Makalah Tafsir Ad Dzakhil
Makalah Tafsir Ad Dzakhil
AD-DAKHIL
Fi Tafsir Al Baha’iyah Dan Al Qadyaniyah
Disusun Oleh:
Amirudin : 191410111
Bab I Pendahuluan
a. Latar Belakang
Bab II Pembahasan
Bab II
Pembahasan
A. Sejarah Tafsir Bahaiyah
Al-Baha'iyah adalah nama julukan kelompok pendirinya dan
Baha'iyah merupakan penerus warisan sebagian pemikiran kelompok
Babiyah. Kelompok ini menyembah Husain Ali bin al-Mirza Abbas
al-Mazandani, yang biasa dijuluki al- Baha', Al-Baha' pertama kali
mengenal ajaran al-babiyah dari salah seorang juru dakwah kelompok
itu di kota Teheran. Setelah bergabung dengan kelompok al-Babiyah,
al-baha' lambat laun menjadi salang seorang tokoh penting dalam
dakwah al-Babiyah1. Al-Baha'iyah adalah sekte yang muncul pada
abad ke-19 Iran dengan tokoh utamanya Mirza Husayn 'Ali (w.1892
M). Sekte ini merupakan metamorfo’ali dari sekte al-Babīyah, sebuah
sekte yang digagas oleh Mirza 'Ali al-Syayrazi (w.1850 M) yang
dikenal dengan julukan al-Bab (pintu). Pasca terbunuhnya Mirza 'Ali
pada tahun 1850 M, kepemimpinan sekte al-Bābīyah ini diteruskan
oleh Mirza Husayn 'Ali yang dikenal dengan julukan Baha'ullah
(keagungan Allah). Maka sejak saat itulah, para pengikutnya
kemudian dikenal dengan sebutan al-Baha'iyah2.
B. Kritik Terhadap Tafsir Al-Baha’iyah
Di antara doktrin sekte ini adalah mengakui kenabian
pemimpin mereka, mengafirkan orang selain kelompok mereka,
menghapus semua agama-agama, bahkan 'Abbas al-Baha'i salah
seorang tokoh sentral sekte baha'iyah mengatakan bahwa ia ingin
mengintegrasikan ajaran agama Islam, Nasrani dan Yahudi dengan
menggunakan ajaran Nabi Musa a.s3
Dalam konteks penafsiran Al-Qur'an, metode yang digunakan
sekte Baha'iyah mirip dengan Batiniyah yakni dengan
mengedepankan makna esoterik (batin) tanpa mengindahkan makna
eksoterik (lahir) ayat. Metode ini mereka lakukan demi untuk
mencari pembenaran atas ajaran dan dogma mazhab, bukan untuk
mencari kebenaran dan ajaran universal Al-Qur'an. Karena itu,
parameter kritik terhadap penafsiran ini sama dengan parameter kritik
tafsir Bätiniyah.
C. Contoh Penafsiran Tafsir Al-Baha’iyah
a. Surat Yusuf ayat 4
1
Tanzimat. Jurnal ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan, H. 151
2
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, H. 181-182
3
Muhammad al-Khadir Husayn, al-Qadyaniyah wa al-Baha’iyah, H 17
"Maksud Tuhan menyebut Yusuf adalah jiwa Rasul saw., dan
putra sang wanita suci, Husayn ibn 'Ali ibn Abi Talib,
Sesungguhnya yang dimaksud Tuhan dengan al-Syams adalah
Fățimah, al-Qamar adalah Muḥammad, al-Nujum adalah para
imam yang haq yang disebut dalam umm al-kitab. Mereka itulah
yang bersedih dan menangis atas peristiwa yang dialami Yusuf
dengan izin Allah, baik dalam keadaan sujud maupun berdiri4.
Penafsiran di atas terlihat dengan jelas tingkat subjektivitas
mufasirnya. Tak pelak, penafsiran semacam ini pun berbanding
terbalik dengan bentuk teks dan konteks ayat. Dengan kaca mata
awam pun terlihat jelas bahwa ayat di atas sedang bercerita tentang
Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya, tidak ada korelasi sama
sekali dengan Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Dengan
demikian, Mirza ‘Ali Muḥammad telah menjadikan ayat sebagai alat
justifikasi terhadap doktrin sektenya, yakni keyakinan terhadap
keagungan keluarga Nabi saw. dan para imam mereka.
b. Surat al-A’raf ayat 143 penafsiran Abu al-Fadl al-Iran ia berkata :
"Ketahuilah wahai kekasihku, sesungguhnya para ahli bahasa
sering menggunakan kata jabal (gunung) secara metaforis untuk
menunjuk kepada makna tokoh dan pembesar atau menunjukkan
sampainya derajat seseorang kepada puncak keutamaan,
kedudukan dan ilmu pengetahuan. Karena itu, makna ayat ini
adalah bahwa ketika para pengikut Musa meminta untuk melihat
wujud Tuhannya, Musa pun mencoba menurutinya seraya
berkata; 'Wahai Tuhanku kemarilah, aku ingin melihatmu. Allah
pun menjawab, kamu tidak akan mampu melihat-Ku, karena Bani
Isra'il belum mencapai derajat kesempurnaan iman. Karena itu,
mereka belum siap untuk bertemu dengan Tuhan.5
Terlihat jelas bahwa Abu al-Fadl telah memalingkan makna jabal
dari makna hakiki (asal) ke makna majazi (metafor). Secara
hakiki, jabal yang dimaksud ayat tersebut adalah gunung Tür
Sinai yang ada di Mesir, kemudian dipahami secara metafor
sebagai seorang hamba yang sampai kepada derajat keyakinan
yang sempurna dan keimanan yang kuat. Pemahaman semacam
ini jauh dari konteks ayat, dan terlihat betul usaha Abu al-Fadl
4
Dinukil dari kitab Miftah Bab al-Abwab oleh al-Zahabi. Lihat Muhammad Husayn al-
Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufas- sirun, Juz 2, 265-266.
5
untuk mencari pembenaran atas doktrin sekte Baha'iyah yang
mengatakan bahwa Allah tidak akan menampakkan wujud asli-
Nya, tapi Dia akan mewujud dalam sosok para nabi, dan
perwujudan Allah yang terbesar dan terspektakuler terdapat
dalam diri al-Baha (Mirza Husayn 'Ali).
D. Sejarah Tafsir Qadyaniyah
Al-Qadyaniyah adalah gerakan keagamaan yang didirikan
oleh Mirza Ghulam Ahmad pada akhir abad ke-19 di desa Qadyan,
Punjab, India Britania (sekarang Pakistan). Mirza Ghulam Ahmad
lahir pada tahun 1835 dari keluarga Muslim yang taat dan pada
awalnya mengikuti ajaran Ahlul Hadith, salah satu mazhab Sunni
yang menekankan pada penggunaan hadits sebagai sumber hukum
Islam.
Namun, Mirza Ghulam Ahmad kemudian mengklaim dirinya sebagai
nabi dan mesias yang dinubuatkan oleh agama-agama dunia dan
mulai mengembangkan ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran
Islam tradisional. Ia mengklaim bahwa dirinya adalah Imam Mahdi
yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam dan bahwa ia juga merupakan
inkarnasi dari Nabi Isa (Yesus) yang telah kembali ke dunia untuk
menyelesaikan misi-Nya.
Ajaran-ajaran ini mulai menyebar luas di kalangan masyarakat
Punjab dan India Utara, tetapi juga menuai kontroversi dan kecaman
dari kalangan ulama dan umat Islam lainnya yang menganggap
ajaran-ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang
sebenarnya. Gerakan ini juga dianggap sesat oleh banyak ulama dan
Muslim, sehingga tidak diakui sebagai bagian dari Islam.
Meskipun begitu, gerakan Al-Qadyaniyah terus bertahan hingga saat
ini dan memiliki jemaah di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Gerakan ini juga telah mengalami banyak perpecahan dan
perselisihan internal sejak kematian Mirza Ghulam Ahmad pada
tahun 1908.
E. Al-Qadyaniyah adalah sekte yang lahir pada abad ke-19 di Qadian,
India, ditangan Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908 M). Pada tahun
1876, ayah- nya sakit dan Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan
wahyu dari Tuhan bahwa sang ayah akan meninggal pada waktu sore
hari. Cerita ini diyakini oleh pengikutnya sebagai wahyu pertama
yang diterima Ghulam Ahmad.
Dinukil dari kitab Miftah Bab al-Abwab oleh al-Zahabi. Lihat Muhammad
Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufas- sirun, Juz 2, 265-266.
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, H. 181-182
Muhammad al-Khadir Husayn, al-Qadyaniyah wa al-Baha’iyah, H 17
Tanzimat. Jurnal ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan, H. 151