Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

AD-DAKHIL
Fi Tafsir Al Baha’iyah Dan Al Qadyaniyah

Disusun Oleh:
Amirudin : 191410111

INSTITUT PERGURUAN TINGGI AL-QUR’AN JAKARTA


FAKULTAS USHULUDDIN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
2023
Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

a. Latar Belakang

Bab II Pembahasan

a. Sejarah Tafsir Bahaiyah


b. Kritik Terhadap Tafsir Al-Baha’iyah
c. Contoh Penafsiran Tafsir Al-Baha’iyah
d. Sejarah Tafsir Qadyaniyah
e. Kritik Terhadap Tafsir Al Qadyaniyah
f. Contoh Tafsir Al Qadyaniyah

Bab III Kesimpulan

Bab IV Daftra Pustaka


Latar Belakang
Ad Dakhil adalah sebuah konsep dalam agama Islam yang merujuk
pada sumber-sumber ajaran yang berasal dari dalam agama Islam itu sendiri.
Dalam konteks ini, tafsir Al Bahaiyah dan tafsir Al Qadyaniyah adalah dua
tafsir yang kontroversial karena dianggap berasal dari luar ad Dakhil. Tafsir
Al Bahaiyah adalah tafsir yang berasal dari agama Baha'i, suatu agama yang
berasal dari Iran pada abad ke-19 dan memiliki pengikut di seluruh dunia.
Baha'i memandang bahwa Muhammad hanyalah salah satu nabi dari banyak
nabi yang diutus oleh Tuhan dan bahwa ajaran Islam hanyalah sebagian kecil
dari kebenaran yang lebih besar yang diungkapkan oleh Baha'u'llah, pendiri
agama Baha'i.

Tafsir Al Qadyaniyah, juga dikenal sebagai Ahmadiyya, adalah tafsir


yang berasal dari gerakan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad
pada akhir abad ke-19 di India. Gerakan ini menganggap bahwa Ahmad
adalah nabi terakhir yang diutus oleh Tuhan setelah Nabi Muhammad,
pandangan ini berbeda dengan mayoritas umat Islam yang menganggap
Muhammad sebagai nabi terakhir. Kedua tafsir ini dianggap kontroversial
dalam dunia Islam karena dianggap berasal dari luar ad Dakhil, yaitu sumber
ajaran Islam yang diakui oleh mayoritas umat Islam. Oleh karena itu, kedua
tafsir ini tidak diterima oleh mayoritas umat Islam dan bahkan dianggap
sesat oleh beberapa ulama.

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa kebebasan beragama


adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Setiap orang
berhak untuk memilih agamanya sendiri dan mengamalkannya dengan cara
yang sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, meskipun tidak diakui
oleh mayoritas umat Islam, pengikut Baha'i dan Ahmadiyya berhak untuk
mengamalkan keyakinan mereka dan mempelajari tafsir yang sesuai dengan
keyakinan mereka.

Bab II
Pembahasan
A. Sejarah Tafsir Bahaiyah
Al-Baha'iyah adalah nama julukan kelompok pendirinya dan
Baha'iyah merupakan penerus warisan sebagian pemikiran kelompok
Babiyah. Kelompok ini menyembah Husain Ali bin al-Mirza Abbas
al-Mazandani, yang biasa dijuluki al- Baha', Al-Baha' pertama kali
mengenal ajaran al-babiyah dari salah seorang juru dakwah kelompok
itu di kota Teheran. Setelah bergabung dengan kelompok al-Babiyah,
al-baha' lambat laun menjadi salang seorang tokoh penting dalam
dakwah al-Babiyah1. Al-Baha'iyah adalah sekte yang muncul pada
abad ke-19 Iran dengan tokoh utamanya Mirza Husayn 'Ali (w.1892
M). Sekte ini merupakan metamorfo’ali dari sekte al-Babīyah, sebuah
sekte yang digagas oleh Mirza 'Ali al-Syayrazi (w.1850 M) yang
dikenal dengan julukan al-Bab (pintu). Pasca terbunuhnya Mirza 'Ali
pada tahun 1850 M, kepemimpinan sekte al-Bābīyah ini diteruskan
oleh Mirza Husayn 'Ali yang dikenal dengan julukan Baha'ullah
(keagungan Allah). Maka sejak saat itulah, para pengikutnya
kemudian dikenal dengan sebutan al-Baha'iyah2.
B. Kritik Terhadap Tafsir Al-Baha’iyah
Di antara doktrin sekte ini adalah mengakui kenabian
pemimpin mereka, mengafirkan orang selain kelompok mereka,
menghapus semua agama-agama, bahkan 'Abbas al-Baha'i salah
seorang tokoh sentral sekte baha'iyah mengatakan bahwa ia ingin
mengintegrasikan ajaran agama Islam, Nasrani dan Yahudi dengan
menggunakan ajaran Nabi Musa a.s3
Dalam konteks penafsiran Al-Qur'an, metode yang digunakan
sekte Baha'iyah mirip dengan Batiniyah yakni dengan
mengedepankan makna esoterik (batin) tanpa mengindahkan makna
eksoterik (lahir) ayat. Metode ini mereka lakukan demi untuk
mencari pembenaran atas ajaran dan dogma mazhab, bukan untuk
mencari kebenaran dan ajaran universal Al-Qur'an. Karena itu,
parameter kritik terhadap penafsiran ini sama dengan parameter kritik
tafsir Bätiniyah.
C. Contoh Penafsiran Tafsir Al-Baha’iyah
a. Surat Yusuf ayat 4

1
Tanzimat. Jurnal ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan, H. 151
2
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, H. 181-182
3
Muhammad al-Khadir Husayn, al-Qadyaniyah wa al-Baha’iyah, H 17
"Maksud Tuhan menyebut Yusuf adalah jiwa Rasul saw., dan
putra sang wanita suci, Husayn ibn 'Ali ibn Abi Talib,
Sesungguhnya yang dimaksud Tuhan dengan al-Syams adalah
Fățimah, al-Qamar adalah Muḥammad, al-Nujum adalah para
imam yang haq yang disebut dalam umm al-kitab. Mereka itulah
yang bersedih dan menangis atas peristiwa yang dialami Yusuf
dengan izin Allah, baik dalam keadaan sujud maupun berdiri4.
Penafsiran di atas terlihat dengan jelas tingkat subjektivitas
mufasirnya. Tak pelak, penafsiran semacam ini pun berbanding
terbalik dengan bentuk teks dan konteks ayat. Dengan kaca mata
awam pun terlihat jelas bahwa ayat di atas sedang bercerita tentang
Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya, tidak ada korelasi sama
sekali dengan Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Dengan
demikian, Mirza ‘Ali Muḥammad telah menjadikan ayat sebagai alat
justifikasi terhadap doktrin sektenya, yakni keyakinan terhadap
keagungan keluarga Nabi saw. dan para imam mereka.
b. Surat al-A’raf ayat 143 penafsiran Abu al-Fadl al-Iran ia berkata :
"Ketahuilah wahai kekasihku, sesungguhnya para ahli bahasa
sering menggunakan kata jabal (gunung) secara metaforis untuk
menunjuk kepada makna tokoh dan pembesar atau menunjukkan
sampainya derajat seseorang kepada puncak keutamaan,
kedudukan dan ilmu pengetahuan. Karena itu, makna ayat ini
adalah bahwa ketika para pengikut Musa meminta untuk melihat
wujud Tuhannya, Musa pun mencoba menurutinya seraya
berkata; 'Wahai Tuhanku kemarilah, aku ingin melihatmu. Allah
pun menjawab, kamu tidak akan mampu melihat-Ku, karena Bani
Isra'il belum mencapai derajat kesempurnaan iman. Karena itu,
mereka belum siap untuk bertemu dengan Tuhan.5
Terlihat jelas bahwa Abu al-Fadl telah memalingkan makna jabal
dari makna hakiki (asal) ke makna majazi (metafor). Secara
hakiki, jabal yang dimaksud ayat tersebut adalah gunung Tür
Sinai yang ada di Mesir, kemudian dipahami secara metafor
sebagai seorang hamba yang sampai kepada derajat keyakinan
yang sempurna dan keimanan yang kuat. Pemahaman semacam
ini jauh dari konteks ayat, dan terlihat betul usaha Abu al-Fadl
4
Dinukil dari kitab Miftah Bab al-Abwab oleh al-Zahabi. Lihat Muhammad Husayn al-
Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufas- sirun, Juz 2, 265-266.
5
untuk mencari pembenaran atas doktrin sekte Baha'iyah yang
mengatakan bahwa Allah tidak akan menampakkan wujud asli-
Nya, tapi Dia akan mewujud dalam sosok para nabi, dan
perwujudan Allah yang terbesar dan terspektakuler terdapat
dalam diri al-Baha (Mirza Husayn 'Ali).
D. Sejarah Tafsir Qadyaniyah
Al-Qadyaniyah adalah gerakan keagamaan yang didirikan
oleh Mirza Ghulam Ahmad pada akhir abad ke-19 di desa Qadyan,
Punjab, India Britania (sekarang Pakistan). Mirza Ghulam Ahmad
lahir pada tahun 1835 dari keluarga Muslim yang taat dan pada
awalnya mengikuti ajaran Ahlul Hadith, salah satu mazhab Sunni
yang menekankan pada penggunaan hadits sebagai sumber hukum
Islam.
Namun, Mirza Ghulam Ahmad kemudian mengklaim dirinya sebagai
nabi dan mesias yang dinubuatkan oleh agama-agama dunia dan
mulai mengembangkan ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran
Islam tradisional. Ia mengklaim bahwa dirinya adalah Imam Mahdi
yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam dan bahwa ia juga merupakan
inkarnasi dari Nabi Isa (Yesus) yang telah kembali ke dunia untuk
menyelesaikan misi-Nya.
Ajaran-ajaran ini mulai menyebar luas di kalangan masyarakat
Punjab dan India Utara, tetapi juga menuai kontroversi dan kecaman
dari kalangan ulama dan umat Islam lainnya yang menganggap
ajaran-ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang
sebenarnya. Gerakan ini juga dianggap sesat oleh banyak ulama dan
Muslim, sehingga tidak diakui sebagai bagian dari Islam.
Meskipun begitu, gerakan Al-Qadyaniyah terus bertahan hingga saat
ini dan memiliki jemaah di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Gerakan ini juga telah mengalami banyak perpecahan dan
perselisihan internal sejak kematian Mirza Ghulam Ahmad pada
tahun 1908.
E. Al-Qadyaniyah adalah sekte yang lahir pada abad ke-19 di Qadian,
India, ditangan Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908 M). Pada tahun
1876, ayah- nya sakit dan Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan
wahyu dari Tuhan bahwa sang ayah akan meninggal pada waktu sore
hari. Cerita ini diyakini oleh pengikutnya sebagai wahyu pertama
yang diterima Ghulam Ahmad.

E. Kritik Terhadap Tafsir Al Qadyaniyah


Pada awalnya ia mengaku mendapat perintah dari Tuhan untuk
memperbaiki umat manusia dengan mengimplementasikan ajaran Nabi
Isa ibn Maryam. Dia juga mengaku mendapatkan ilham dan wahyu dari
Tuhan sehingga secara bertahap ia mengaku bahwa ruh Nabi Isa
bersemayam dalam dirinya bisikan-bisikan yang ia peroleh merupakan
wahyu Allah seperti Al-Qur'an, Injil dan Taurat. Kepercayaan mereka di
akhir zaman Nabi Isa akan turun di kota Qadian dimana kota Qadian
adalah kota suci yang disebut Al-Qur'an dengan masjid Aqsa, Qadyan
juga kota suci ketiga setelah Mekah dan Madinah; haji wajib
dilaksanakan di Qadian; dia menerima wahyu berjumlah lebih dari
10.000 ayat; orang yang tidak percaya dengan kenabiannya adalah kafir.
Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw dan para nabi telah menyaksikan
kenabian Ghulam Aḥmad dan masih banyak lagi. Dalam konteks
penafsiran, sekte ini kerap memperkosa Al-Qur'an untuk meneguhkan
doktrin mazhabnya dengan cara sinkronisasi dan penyesuaian.
F. Contoh Tafsir Al Qadyaniyah
a. Salah satu contohnya adalah pernyataan Mirza Ghulam Ahmad
ketika menafsirkan QS. al-Isra' ayat 1, sebagai berikut: "Yang
dimaksud dengan al-masjid al-aqṣā adalah masjid Qadian. Jika
dikatakan bahwa masjid Qadian sama atau bahkan mengungguli
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, maka berpergian ke masjid
Qadian sama halnya dengan berhaji, atau bahkan melampauinya.
Membaca penafsiran semacam ini tentu sangat menggelikan.
Betapa tidak, secara tekstual dan kontekstual, jelas ayat di atas
sedang berbicara tentang perjalanan isra' mi'raj Nabi Muhammad
saw. yang dimulai dari Masjidil Haram, kemudian melewati
Masjidil Aqsa sebelum akhirnya sampai ke Sidratil Muntaha.
Pembicaraan ayat yang begitu jelas kemudian dipahami oleh
Mirza Ghulam Aḥmad dengan menariknya ke dalam konteks
yang sangat lokal, yakni masjid Qadian. Penafsiran semacam ini
tentu jauh dari konteks ayat dan memporandakan konstruksi Al-
Qur'an. Karenanya Fayed menilainya sebagai tafsir esoterik-
irasional yang harus dijauhkan dari ranah penafsiran Al-Qur'an.
Alih-alih mema- hamkan pembacanya, penafsiran ini justru
membingungkan dan menjauhkan mereka dari petunjuk Al-
Qur'an.
b. Contoh lain adalah penafsiran terhadap QS.al- Fatihah ayat 6-7,
Mirza Ghulam Aḥmad mengatakan ; ini (yang terdapat dalam
ayat 6-7 surah al-Fatihah) memberikan kabar gembira bahwa
Allah menempatkan kaum mukminin pada derajat orang-orang
yang diberi nikmat. Allah telah memberi nikmat kepada mereka
sebagaimana nikmat yang diberikan kepada orang-orang
terdahulu. Nikmat itu ada dua macam yaitu; nikmat ukhrawi yang
puncaknya adalah derajat kenabian, dan nikmat duniawi yang
puncaknya adalah kekuasaan. Terlihat dengan jelas betapa
Ghulam Ahmad sangat terobsesi untuk menjadi seorang nabi.
Sehingga ayat di atas ia paksakan untuk menjustifikasi obsesinya
itu, tanpa mempedulikan siyaq, sibäq dan liḥaq ayat. Padahal baik
secara struktural, tekstual maupun kontekstual, sudah jelas bahwa
ayat tersebut sedang berbicara tentang doa orang-orang mukmin
supaya diberikan taufiq dan hidayah oleh Allah, sehingga hidup
mereka sejalan dan seiring dengan golongan yang mendapat
nikmat Allah, yakni para nabi, şiddiqin, syuhada' dan salihin.
Konteks ayat di atas tidak sedang berbicara tentang status
kenabian dan wacana keberlangsungannya yang diandaikan.
Tafsir Al-Quran ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1905 dan
terdiri dari lima jilid. Tafsir ini dikembangkan berdasarkan keyakinan
Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan mesias yang
ditunggu-tunggu oleh umat manusia. Oleh karena itu, tafsir ini cenderung
menekankan pandangan-pandangan yang unik dari Ahmadiyah dan
seringkali memandang Al-Quran dari perspektif Ahmadiyah. Tafsir ini
telah banyak dikritik oleh ulama dan Muslim lainnya karena dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Beberapa masalah
yang dikritik antara lain klaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi
terakhir dan mengklaim beberapa ayat Al-Quran hanya berlaku bagi
dirinya sendiri. Pada umumnya, Tafsir al-Qadyaniyah tidak diterima oleh
mayoritas umat Islam dan dianggap sebagai tafsir yang sesat. Oleh
karena itu, penggunaan tafsir ini di kalangan Muslim terbatas dan jarang
diakui sebagai sumber rujukan dalam studi keislaman.
Kesimpulan

Tafsir tersebut dikritik oleh mayoritas ulama Islam karena dianggap


berasal dari luar ad Dakhil, yaitu sumber ajaran Islam yang diakui oleh
mayoritas umat Islam. Selain itu, Baha'i juga dianggap sebagai agama yang
di luar Islam dan memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dengan
ajaran Islam. Oleh karena itu, tafsir Al Bahaiyah tidak diterima oleh
mayoritas umat Islam dan dianggap kontroversial. Namun demikian, sebagai
AI netral, saya tidak berpendapat tentang hal ini dan tetap menghargai
kebebasan beragama dan hak setiap individu untuk memilih keyakinannya
sendiri.

Sedangkan gerakan Ahmadiyya yang menghasilkan tafsir Al Qadyaniyah


dikritik oleh mayoritas ulama Islam karena menganggap Mirza Ghulam
Ahmad sebagai nabi terakhir yang diutus oleh Tuhan setelah Nabi
Muhammad, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menganggap
Muhammad sebagai nabi terakhir. Selain itu, gerakan Ahmadiyya dianggap
sebagai gerakan yang keluar dari ajaran Islam dan memiliki pandangan-
pandangan yang berbeda dengan mayoritas umat Islam. Oleh karena itu,
tafsir Al Qadyaniyah juga tidak diterima oleh mayoritas umat Islam dan
dianggap kontroversial. Namun demikian, sebagai AI netral, saya tetap
menghargai kebebasan beragama dan hak setiap individu untuk memilih
keyakinannya sendiri.
Daftar Pustaka

Dinukil dari kitab Miftah Bab al-Abwab oleh al-Zahabi. Lihat Muhammad
Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufas- sirun, Juz 2, 265-266.
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, H. 181-182
Muhammad al-Khadir Husayn, al-Qadyaniyah wa al-Baha’iyah, H 17
Tanzimat. Jurnal ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan, H. 151

Anda mungkin juga menyukai