Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Kanker Payudara

2.1.1 Epidemiologi

Kejadian kanker payudara terjadi sebanyak 1.67 juta dengan angka

kematian sebesar 90% pada stadium lanjut atau metastasis. Pada tahun 2012,

insiden kanker payudara sebesar 40 per 100.000 perempuan. Di Amerika Serikat,

kanker payudara merupakan 28% kanker pada wanita kulit putih, dan 25% pada

wanita kulit hitam. Kurva insiden usia bergerak naik terus sejak usia 30 tahun.

Kanker ini jarang sekali ditemukan pada wanita usia di bawah 20 tahun. Angka

tertinggi terdapat pada usia 45-66 tahun. Insidens karsinoma mammae pada lelaki

hanya 1% dari kejadian pada perempuan (World Health Organization, 2015). Di

Indonesia kanker payudara menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif

sebesar 18,6%. Diperkirakan angka kejadiannya di Indonesia adalah 12/100.000

wanita, sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000 wanita dengan mortalitas

yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18 % dari kematian yang dijumpai pada

wanita. Penyakit ini juga dapat diderita pada laki - laki dengan frekuensi sekitar 1

% (Kementrian Kesehatan Indonesia, 2016).

2.1.2 Patogenesis Kanker Payudara

Karsinogenesis pada kanker payudara secara prinsipal mirip dengan proses

karsinogenesis kanker lainnya. Peristiwa inti yang memegang peranan penting

dalam karsinogenesis kanker payudara adalah aktivasi onkogen dan inaktivasi gen

suppressor tumor. Onkogen yang berperan paling besar pada kanker payudara

1
adalah reseptor hormone gonad seperti estrogen dan progesterone (Osborne,dkk

2014). Aktivasi berkelanjutan dari kedua reseptor ini meningkatkan laju

proliferasi sel induk epithelium pada duktus dan alveolar payudara sehingga

meningkatkan risiko mutasi akibat replikasi DNA. Selain itu, HER-2 yang

termasuk dalam keluarga reseptor faktor pertumbuhan epidermal juga memegang

peranan penting terutama pada subtipe Her2+ (Krishnamurti dkk, 2014). Reseptor

ini termasuk dalam keluarga tirosin kinase sehingga aktivasinya akan

menginduksi beragam jalur signaling yang berujung pada peningkatan proliferasi

sel. Untuk gen suppressor tumor, BRCA-1 dan -2 adalah yang paling banyak

ditinjau pada kanker payudara (Narod dkk, 2011). Fungsi normal kedua gen ini

adalah menjaga stabilitas genomik melalui mekanisme perbaikan mutasi homolog

repair sehingga mutasinya menyebabkan terjadinya instabilitas genomik berupa

peningkatan laju mutasi tanpa perbaikan. Peningkatan akumulasi mutasi

berpotensi menyebabkan transformasi proto-onkogen menjadi onkogen yang

berujung pada transformasi seluler menjadi kanker. Adapun gen supresor tumor

lainnya yang juga memegang peranan penting diantaranya p53, p16INK4A, p21,

dan PTEN. Mutasi gen-gen supresor tumor ini terutama berkontribusi pada

timbulnya kanker payudara subtipe non-luminal seperti HER-2 dan TNBC (De

Jong dkk, 2002).

Karsinogenesis pada kanker payudara seperti halnya kanker pada

umumnya, menyebabkan timbulnya karakteristik klasik dari kanker seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 1 (Hanahan dkk, 2011). Dari karakteristik tersebut,

absobsi metabolik dan kemampuan menghindar dari sistem imun merupakan

karakteristik yang baru dimunculkan (emerging) karena dampak dan

2
keterkaitannya dengan proses karsinogenesis dan progresi kanker masih harus

dibuktikan lebih jauh. Sementara instabilitas genomik dan inflamasi jaringan

tumor digolongkan sebagai karakteristik pemicu karena kedua karakteristik ini

merupakan dasar dari munculnya karakteristik-karakteristik lain pada kanker. Dari

penjabaran ini, terlihat bahwa patogenesis umum kanker payudara berawal dari

salah satu karakteristik pemicu (instabilitas genomik akibat mutasi BRCA) yang

kemudian memunculkan karakteristik dasar dari kanker (stimulasi proliferasi yang

kontinyu, insensitivitas terhadap sinyal penekan proliferasi, kemampuan

menghindari apoptosis, angiogenesis, invasi dan metastasis serta imortalitas)

(Shah dkk, 2014).

Signal proliferasi Resistensi terhadap faktor-


yang kontinyu faktor penekan pertumbuhan

Perubahan Menghindari sistem


metabolisme imunitas
seluler

Imortalitas
Resistensi
replikatif
terhadap
Apoptosis

Instabilitas Inflamasi
Genomik dan protumorigenik
Mutasi

Induksi Invasi dan


Angiogenesis Metastasis

Gambar 1.Karakteristik dasar tumor malignant/kanker. ( Hanahan D dkk 2011 )

3
Berdasarkan reseptor yang terlibat, kanker payudara diklasifikasikan

menjadi tipe luminal A, luminal B, HER2+ dan TNBC (Gambar 2). (Malhotra

dkk,2010) Luminal A merupakan subtipe dengan tingkat malignansi yang

terendah sehingga memiliki prognosis terbaik. Luminal B memiliki kemiripan

karakteristik dengan luminal A namun dengan ekspresi HER2 positif atau ki67

yang tinggi yang menandakan tingkat proliferasi yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan luminal A. Sementara HER2+ merupakah subtipe dengan

ekspresi reseptor HER2 yang tinggi namun memiliki ekspresi ER dan PR yang

rendah. Jenis ini memiliki tingkat proliferasi yang tinggi dan merupakan jenis

yang dapat diterapi dengan terapi target. Di lain pihak, sibtipe TNBC merupakan

subtipe dengan tingkat malignansi tertinggi yang ditandai dengan absennya ketiga

jenis reseptor. Diperkirakan bahwa TNBC memiliki independensi terhadap

stimulasi faktor pertumbuhan yang menyebabkan tingkat proliferasi yang tinggi.

Subtipe ini juga dikenal dengan metastasis yang lebih awal dan tingkat rekurensi

yang lebih tinggi yang dalam beberapa kasus berupa metastasis (Viale, 2012).

Transformasi seluler yang sukses akan mengawali timbulnya kanker yang

terlokalisir pada jaringan epithelium. Tahapan ini dikenal sebagai karsinoma in

situ. Dalam tahapan ini, sel kanker masih belum menyebar melewati jaringan

epithelium dan proses deposit jaringan stromal kanker masih baru dimulai.

Tahapan selanjutnya adalah invasive ductal carcinoma (IDC) dimana massa

kanker telah menembus batas jaringan epithelium sehingga menginvasi jaringan

stromal payudara. IDC muncul sebagai akibat meningkatnya kapasitas invasi sel

kanker yang dihasilkan dari instabilitas genomik yang menimbulkan adanya

evolusi berkelanjutan jaringan kanker (Barroso Sousa dkk,2016).

4
Selama progresinya, pertumbuhan massa kanker yang kontinyu

menyebabkan terganggunya distribusi nutrisi dan oksigen dari vaskuler. Hal ini

terutama dialami oleh massa kanker dengan diameter yang melebihi 1 mm.

Hipoksia yang dialami oleh kanker menginduksi aktivasi dari HIF-1α yang

berperan penting dalam proses angiogenesis dan reprogramming metabolik.

Dalam menginduksi angiogenesis, HIF-1α mengaktifkan gen yang mengkode

VEGF dan Angiopoietin (AngPTL) sehingga menginduksi angiogenesis pada

jaringan hipoksik kanker. Sementara aktivasi gen-gen glikolitik oleh HIF-1α

meningkatkan laju glikolisis pada sel kanker hipoksik yang menjadi dasar

terjadinya efek Warburg. Laktat yang diproduksi oleh sel-sel kanker hipoksik

akan digunakan oleh sel-sel kanker pada area non-hipoksis sebagai substrat

fosforilasi oksidatif. Glikolisis oksodatif tidak hanya terjadi pada sel tumor namun

juga terjadi pada CAF. Pada kasus ini, CAF mensuplai sel-sel parenkimal tumor

dengan laktat yang dapat digunakan sebagai prekursor makromolekul lain atau

sebagai substrat fosforilasi oksidatif. Fenomena ini dikenal sebagai efek reverse

Warburg. Efek Warburg maupun reverse Warburg memainkan peranan penting

pada kanker payudara karena telah terbukti merupakan penanda prognosis yang

buruk. Kedua efek ini ditandai dengan penurunan ekspresi CAV-1 baik pada CAF

maupun sel parenkimal tumor sebagai dampak dari proses autofagi. CAV-1 akan

dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya (Bonuccelli, 2010).

5
Gambar 2. Patogenesis kanker payudara, subtipe histologi, molekulernya
(Malhotra dkk, 2010)

Selain angiogenesis, dalam tahapan tertentu, sel kanker akan mendapatkan

kemampuan migratorik yang menyebabkan timbulnya metastasis. Kemampuan

metastasis kanker didasari oleh fenomena seluler yang dikenal sebagai epithelial

to messenchymal transition (EMT) dan proses kebalikannya yakni mesenchymal

to epithelial transition (MET) (Lamouille dkk, 2014). Onset dari munculnya

kemampuan EMT pada sel kanker payudara sangat bervariasi bergantung pada

6
subtipenya. Pada jenis TNBC, EMT muncul bahkan sejak stadium dini (stadium

klinis I dan II) namun pada jenis luminal, EMT muncul pada stadium lanjut

(stadium III dan IV). Prinsip umum EMT adalah berkurangnya karakteristik

epithelial pada sel kanker yang disertai dengan meningkatnya karakteristik

mesenchymal. Yang paling jelas terlihat adalah perubahan bentuk sel dari bentuk

epithelial (skuamosal atau kuboidal) menjadi fusiformis serta berkurangnya adhesi

antar sel (adheren junction dan desmosomal junction). Molekul adhesi sel yang

berubah dan memegang peranan sentral dalam proses EMT adalah perubahan E-

kadherin menjadi N-kadherin yang bersifat bebas bergerak. Selain itu, terjadi juga

redistribusi mikrofilamen dan peningkatan sekresi matrix metalloproteinase

(MMP) terutama MMP-9 yang berperan dalam degradasi membran basal dan

jaringan ikat stromal sehingga memudahkan migrasi sel kanker metastatik

(Radisky dkk, 2010).

Metastasis sel kanker payudara menyasar organ-organ spesifik seperti

otak, paru, tulang dan hepar. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir

menunjukkan bahwa proses metastasis diawali sejak stadium klinis awal kanker.

Proses ini diawali dengan pembentukan relung premetastatik (premetastatic

niche) pada organ target melaui disekresikannya mediator-mediator seperti S100,

EGF, dan mikroRNA seperti miRNA-155 dan miRNA-182 (Sleeman,2012)

Faktor-faktor ini menginduksi perubahan fibroblast lokal menjadi CAF yang

bersifat protumorigenik. Selain itu, relung premetastatik juga terdiri dari sel-sel

bone marrow suppressor cell (BMSC) yang berperan dalam menekan sistem imun

dan sel punca mesenkimal (MSC) yang juga bersifat protumorigenik. Selanjutnya,

sel kanker metastasis bermigrasi melintasi jaringan ikat stromal dan memasuki

7
vaskuler. Dalam fase intravaskuler ini, sebagian besar sel kanker mengalami

apoptosis atau nekrosis akibat trauma fisika dan serangan imunitas oleh sel NK

dan limfosit T sitotoksik. Namun, beberapa populasi kanker mampu menghindari

hal-hal tersebut dengan membentuk kompleks emboli bersama platelet. Emboli ini

akan tersangkut secara random pada vaskuler yang lebih kecil dan pada tahapan

ini terjadi proses ekstravasasi dan MET pada relung premetastatik yang sesuai

(Seyfried dkk, 2013)

Gambar 3. Proses EMT dan MET pada sel kanker yang mendasari proses
metastasis (Sleeman, 2012).

8
2.2 Biologi Caveolin-1 dan Peranannya sebagai Biomarker Prognostik Kanker

2.2.1 Fungsi Fisiologis Caveolin-1

Pada tahun 1992, sebuah protein dengan berat 22-24 kDa yang disebut

V1P21 diidentifikasi (Parton, 1996). Molekul ini tidak hanya protein yang penting

untuk pembentukan caveolae tetapi juga protein kunci dalam struktur caveolae

yang membentuk struktur caveolae dengan lipid khusus. Oleh karena itu, V1P21

juga disebut dengan Caveolin. Caveolin terdiri dari tiga protein: Caveolin-1,

Caveolin-2, dan Caveolin-3 (Yin H dkk 2016). Caveolin-1 memiliki panjang

transkrip 2704 bp yang berisi tiga ekson dan mengkode 178 residu asam amino.

Gen Caveolin-1 dan Caveolin-2 terletak di kromosom 7 (7q31.1-31.2 pada

manusia), dan dua gen ini terkait erat, sedangkan Caveolin-3 terletak di manusia

pada kromosom 3p25 (Root dkk,2015). Ketiga protein Caveolin ini diekspresikan

sebagian besar pada mamalia, namun tingkat ekspresinya bervariasi dalam

jaringan yang berbeda. Caveolin-1 dan Caveolin-2 secara luas diekspresikan pada

permukaan berbagai sel jaringan dan umumnya ditemukan dalam sel yang sama.

Dua molekul ini banyak ditemukan pada sel alveolar tipe-I, vascular endothelial

cell, fibroblas, dan sel-sel adipose. Penelitian mengungkapkan bahwa Caveolin-1

berinteraksi dengan Caveolin-2 untuk membentuk makromolekul hetero-oligomer.

Penelitian-penelitian menemukan bahwa Caveolin-1 berhubungan dengan

terjadinya perkembangan dan metastasis tumor, proliferasi sel dan transduksi

sinyal. Tidak seperti Caveolin-1 dan Caveolin-2, Caveolin-3 banyak ditemukan

pada sel otot rangka dan sel miokardium. Fungsi dari Caveolin-2 hampir sama

dengan Caveolin-1, sedangkan Caveolin-3 diduga terkait dengan distrofi otot.

9
Caveolin-3 menunjukkan fungsi fisiologis yang berbeda karena perbedaan

distribusinya (Yin dkk, 2016).

Tabel 1. Lokasi gen molekular serta fungsi normal masing-masing Caveolin

(Yin, 2016).

Caveolin-1 merupakan protein membran integral yang dihasilkan oleh gen CAV-1

dan banyak ditemui pada endothelium. Caveolin-1 pertama kali diidentifikasi

sebagai tyrosine-phosphorylated protein yang banyak ditemukan pada caveolae

(invaginasi seperti cawan) and vesikel apikal permukaan sel epitel yang

terpolarisasi. Caveolin-1 dan Caveolin-3 merupakan komponen penting

pembentukan caveolae pada membran plasma. Terdapat sekitar 100-200 molekul

caveolin pada setiap caveola. Caveolae berperan dalam lalu lintas signal

membran, endositosis, dan lipid homeostasis, serta berperan dalam satuan proses

signaling pada tempat berkumpulnya reseptor dan protein (Austin dkk, 2012).

Caveolin-1 pada sel endothelium berperan dalam angiogenesis,

permeabilitas mikrovaskular, dan remodelling vaskular. Selain fungsi signaling

10
pada sel normal, Caveolin-1 memiliki peran dalam proses patofisiologis seperti

pada inflamasi, artherosklerosis, dan transformasi onkogenik. Terlebih lagi,

Caveolin-1 diduga memiliki properti anti-apoptotik, stimulasi tumor, dan

stimulasi metastasis, serta memiliki nilai prognostik pada pasien kanker yang

berulang. (Hehlgans dkk, 2011).

Gambar 4.Struktur Caveolin-1. A) fungsi domain dan situs fosforilasi pada


Caveolin-1. B) Lokasi Caveolin-1 pada membran plasma. (Hehlgans dkk, 2011).

Caveolin-1 memiliki fungsi sebagai transportasi lipid intra dan ekstra

selular. Hal ini dibuktikan dengan tingginya konsentrasi Caveolin-1 pada sel

adiposit, serta didapatkan kelainan metabolisme lemak pada tikus tanpa Caveolin-

1. Caveolin-1 tidak berperan seperti protein pengangkut lemak pada umumnya,

namun berperan dalam partikel intraselular yang mengangkut lemak yang mirip

dengan plasma lipoprotein yang mengangkut lemak antar sel. Komposisi protein

dan lemak dalam partikel ini masih belum diketahui. Caveolin-1 berperan dalam

lalu lintas sel membran yang dapat menarik protein kedalam caveola, namun

11
masih sedikit yang diketahui. Caveolin-1 telah dilaporkan memiliki interaksi

dengan beberapa reseptor tirosin kinase, termasuk reseptor EGF (Endothelial

Growth Factor), namun masih memerlukan penelitian mengenai hubungannya.

Melalui teknik isolasi ditemukan bahwa caveola memiliki banyak molekul

berbeda didalamnya yang berfungsi dalam transduksi signal seluler. Diketahui

pula molekul signaling tersebut berinteraksi secara dinamis dengan caveola,

seperti contoh pada fibrolast yang memiliki sedikit Raf-1 tapi banyak EFGR pada

caveola. Setelah EGF mengikat reseptor EGF (EGFR), Raf-1 yang diluar

kemudian masuk seiring perpindahan EGFR keluar caveola. Pada caveola juga

ditemukan kelompok signaling molekul PDGFR-Ras-ERK yang masih fungsional

meskipun caveola telah diisolasi dari sel tersebut. (Chidlow dkk, 2010)

2.2.2 Peranan Caveolin-1 pada Progresivitas Kanker Payudara

Efek ekspresi Caveolin-1 pada prognosis kanker bergantung pada apakah

itu di sel-sel kanker atau sel stroma. Rendah atau tidak adanya ekspresi dari

Caveolin-1 dalam cancer-associated fibroblasts (CAFs) merupakan hal yang

umum di berbagai jenis kanker yang agresif. Tidak adanya ekspresi Caveolin-1 di

CAF secara konsisten telah dilaporkan berhubungan dengan prognosis yang buruk

(Lamouille S dkk 2014). Ekspresi Caveolin-1 yang rendah di CAFS dimediasi

oleh stress oksidatif, yang mengarah pada degradasi Caveolin-1 melalui

autophagy. Hilangnya ekspresi Caveolin-1 akan meningkatkan stress oksidatif

dan autophagy dalam mekanisme feedforward. Tidak adanya Caveolin-1 pada

stroma kanker payudara berkaitan dengan prognosis yang buruk, seperti

kekambuhan, metastasis kelenjar getah bening dan resistensi terhadap tamoxifen.

Selain itu, hilangnya Caveolin-1 akan menginduksi fosforilasi, menginduksi

12
fenotipe myofibroblast dengan mensekresi transforming growth factor-β (TGFβ),

stress oksidatif, autophagy, glikolisis oksidatif, aktivasi AKT, meningkatkan

ekspresi TGFβ1, dan juga telah dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada jenis

tumor lainnya. Peningkatan ekspresi dan aktivasi AKT dan TGFβ1 dikaitkan

dengan perkembangan kanker yang agresif. Namun, satu penelitian menunjukkan

bahwa ekspresi yang tinggi dari Caveolin-1 berhubungan dengan peningkatan

ekspresi α-aktin otot halus yang merupakan marker fibroblast. Fenotipe fibroblast

di sel stroma berkaitan dengan prognosis yang buruk, karena memungkinkan

terjadinya invasi dan metastasis (Krigjsman dkk, 2011).

Gambar 5. Efek dari kehilangan ekspresi dari Caveoline-1 pada CAFs dan sel
kanker (Lamouille, 2014).
Penelitian ekspresi Caveolin-1 pada berbagai macam tumor yakni kanker

payudara, kanker colon, kanker ovarium dan sarcoma menunjukkan penurunan

regulasi ekspresi Caveolin-1 dan fungsi supressor tumor dari Caveolin-1. Pada

13
penelitian terkini, stroma yang kehilangan ekspresi Caveolin-1 memiliki

hubungan pemburukan klinis dan angka survival pada kanker payudara yang

Basal-Like dan reseptor estrogen (ER) / reseptor progesterone (PR) / HER2 yang

negatif. Perbedaan fungsi Caveolin-1 sebagai tumor promoter atau tumor supresor

juga dipengaruhi oleh stadium tumor tersebut. Hal ini dibuktikan dengan

hubungan Caveolin-1 dan E-cadherin, bahwa Caveolin-1 menginhibisi ekspresi

protein anti-apoptotik yang hanya ada bila terdapat E-cadherin pada kanker kolon

(Liu dkk, 2002).

Overekspresi Caveolin-1 pada tumor sel dibandingkan sel normal

ditemukan pada kanker prostat, adenokarsinoma pancreas, SCC esophagus,

glioblastoma, Renal Cel Carsinoma, dan Non-Small Cell Lung Carcinoma.

Terkait Caveolin sebagai faktor prognostik, penurunan ekspresi Caveolin-1 pada

adenokarsinoma rektum menunjukkan perbaikan kontrol dan survival setelah

terapi. Namun sebaliknya, peningkatan ekspresi Caveolin-1 pada meningoma dan

SCC esophagus menyebabkan penurunan angka survival. Sedangkan ekspresi

Caveolin-1 menunjukkan peranan pada metastasis dalam menentukan tempat

migrasi dan invasi dari sel kanker. Caveolin-1 yang berperan dalam fisiologi dan

patofisiologi proses selular dan perkembangan kanker masih perlu dipahami dan

memerlukan penelitian lebih lanjut (Sunaga dkk, 2004).

2.2.3 Keterkaitan antara Caveolin-1 dan Karakteristik Klinikopatologis

Kanker Payudara

Berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang telah dipaparkan mengenai peranan

caveolin-1 pada kanker payudara, maka dapat dapat diduga bahwa caveolin-1

14
berperan besar dalam progresivitas kanker payudara serta mempengaruhi

karakteristik klinikopatologis kanker tersebut. Peningkatan progresivitas dikaitkan

dengan perubahan-perubahan pada karakteristik klinikopatologis seperti grade

histologis, EMT/metastasis, immune evasion, dan stadium tumor (Sunaga dkk,

2004).

2.2.3.1 Grade Histologis

Karena interaksinya dengan jalur pensinyalan pro-mitotik dan diferensiasi,

penurunan ekspresi Caveolin-1 dapat meningkatkan grade histologis kanker.

Secara umum, grade histologis dapat menjadi cerminan dari tingkat proliferasi dan

diferensiasi dari kanker (Ozsaran dkk, 2013). Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa ekspresi Caveolin-1 secara signifikan berhubungan dengan

grade histologis. Shan-Wei dkk melaporkan bahwa ekspresi Caveolin-1

berbanding terbalik dengan grade histologis dan berkorelasi dengan tingkat

survivabilias yang buruk. Witkiewicz dkk juga menemukan hal yang serupa

namun pada subtype TNBC dan basal-like. Adanya hubungan yang erat antara

ekspresi Caveolin-1 dengan grade histologis merupakan konsekuensi dari

peningkatan efek Warburg seiring dengan meningkatnya keganasan kanker.

2.2.3.2 Stadium Klinis Kanker

Stadium klinis merupakan salah satu metode klasifikasi kanker payudara

yang didasarkan oleh ukuran, status nodular, dan status metastasis. Secara umum,

tingkat keganasan kanker akan meningkat seiring dengan meningkatnya stadium

kanker. Hubungan antara Caveolin-1 dengan stadium kanker payudara telah

dilaporkan pada beberapa penelitian. Ma dkk (2013) menunjukkan adanya

15
korelasi yang signifikan antara ekspresi Caveolin-1 dengan stadium klinis kanker

payudara dan penurunan ekspresi Caveolin-1 merupakan indikasi prognosis yang

lebih buruk. Evaluasi ekspresi Caveolin-1 pada kanker payudara jenis IDC juga

menunjukkan asosiasi yang signifikan antara penurunan ekspresi Caveolin-1

dengan stadium tumor. Penjelasan teoretis dari hal ini adalah adanya peningkatan

laju efek Warburg pada massa tumor yang lebih besar yang sebagian merupakan

akibat sekunder dari iskemia jaringan kanker sehingga mendorong metabolisme

glikolitik oleh sel-sel parenkim kanker.

2.2.3.3 Ekspresi Reseptor Hormonal dan Subtipe Kanker Payudara

Hubungan antara Caveolin-1 dengan ekspresi reseptor dan subtype masih

memerlukan penelusuran lebih lanjut akibat masih adanya temuan-temuan yang

kontradiktif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan ekspresi

Caveolin-1 berasosiasi dengan ekspresi reseptor estrogen yang negative (Koo dkk,

2011). Namun, Shan-Wei dkk (2012) menunjukkan adanya hubungan yang

berbeda dimana ekspresi Caveolin-1 meningkat pada subtipe kanker dengan

ekspresi reseptor estrogen yang negatif. Namun, penelitian tersebut juga

mengemukakan bahwa ekspresi Caveolin-1 secara signifikan lebih tinggi pada

subtipe luminal dibandingkan dengan TNBC. Berdasarkan fakta-fakta tersebut,

maka penelusuran lebih lanjut diperlukan guna mengkonfirmasi hubungan

Caveolin-1 dengan ekspresi reseptor hormonal dan subtipe kanker payudara.

16
2.2.3.4 Limphovascular Invasion (LVI) dan Tumor Infiltrating Lymphocyte

(TIL)

LVI merupakan salah satu indikasi adanya peningkatan invasivitas dan

potensi metastatik dari sel-sel kanker. Walaupun tidak ada penelitian yang

menunjukkan hubungan yang signifikan antara Caveolin-1 dengan LVI, namun

Caveolin-1 menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan EMT yang

merupakan awal dari metastasis seperti yang telah dijabarkan pada sub bagian

sebelumnya. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa penurunan ekspresi

Caveolin-1 berasosiasi negatif dengan LVI. Hal yang sama juga berlaku pada TIL.

Walaupun belum ada penelitian yang menunjukkan secara langsung hubungan

antara Caveolin-1 dengan TIL, namun efek Warburg telah terbukti menurunkan

efisiensi dari system imun seluler antikanker yang dimediasi oleh Th1, sel T

sitotoksik dan sel natural killer. Deplesi glukosa pada lingkungan mikro dan

peningkatan ekspresi TGF-β akibat downregulasi Caveolin-1 mengakibatkan

anergi sel T dan peningkatan ekspresi IL-10 yang menyebabkan pergeseran

respon imun menjadi Th2 dan menumpulkan respon imunitas seluler. Sehingga

dapat diasumsikan bahwa downregulasi Caveolin-1 memiliki potensi asosiasi

dengan penurunan TIL. Namun hubungan Caveolin-1 dengan TIL dan LVI perlu

ditelusuri lebih lanjut untuk mengetahui hubungan dari ketiga variabel ini.

17

Anda mungkin juga menyukai