Anda di halaman 1dari 3

A.

Krisis Sosial
Indonesia saat ini bisa dikatakan mengalami krisis-krisis multidimensional. Politik
berkembang secara teknik, tetapi mundur secara etik; demokrasi melahirkan perluasan
korupsi, kebebasan informasi membawa luberan sensasi dan industry kebohongan (hoax).
Akar tunjang dari semua kerawanan sosial ini adalah politik pembangunan yang terlalu
menekankan kemajuan fisik dengan mengabaikan kemajuan jiwa. (Yudi Latif, 2018).
Menurut teori “patologi sosial”, sebab pokok masalah sosial adalah kegagalan
sosialisasi norma-norma moralitas. Menurut teori “disorganisasi sosial”, masalah sosial
terjadi karena kemacetan sistem peraturan. Menurut teori “konflik nilai”, masalah sosial
terjadi karena benturan nilai. Menurut teori “penyimpangan perilaku”, masalah sosial
terjadi karena kegagalan institusi keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan
yang mendorong individu memilih proses sosialisasi yang menyimpang. Menurut teori “
sosial kritis”, masalah sosial pada akhirnya harus dipandang sebagai masalah endemic
dan bagian inheren dari masyarakat kapitalis. Menurut teori “pemberian label” (labeling)
dan “konsuktrionis”, masalah sosial pada akhirnya harus dipandang dari reaksi dan
definisi orang terhadap realitas sosial. (Yudi Latif, 2018).
Dengan bantuan berbagai perspektif teori sosiologi bias kita simpulkan bahwa krisi
sosial yang kita lamami melanda segala ruang kehidupan, mulai dari ruang keluarga,
ruang komunitas, dan ruang politik. (Yudi Latif, 2018).

B. Usaha Sengaja Membudayakan Pancasila


Dalam kaitan dengan penguatan etika public, jiwa bangsa ini perlu dibangun dengan
kesengajaan menyemai kembali nilai-nilai keindonesiaan, melalui penyadaran,
pemberdayaan, serta pembudayaan nilai-nilai dan moralitas Pancasila. Salah satu
karakteristik Indonesia yang mesti dipertimbangkan dalam merumuskan nilai-nilai
ideologi kolektif bangsa ini adalah fakta kebesara, keluasan, dan kemajemukannya. Meja
statis yang mempersatukan Indonesia sekaligus bintang penuntun yang dinamis bagi
semesta pembangunan kita itu terkristalisasi dalam nilai-nilai Pancasila. (Yudi Latif,
2018).
Usaha sengaja untuk membudayakan nilai-nilai Pancasila berkaitan erat dengan basis
legitimasi dari negara. Untuk itu, salah satu misi negara adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Hendaklah diingat bahwa kedirian manusia terdiri dari dua bagian: kedirian yang
bersifat privat (private self) yaitu kedirian yang bersifat personal dank has, dan kedirian
yang bersifat public (public self) yaitu kedirian yang melibatkan relasi sosial. Krisi pada
kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelemahan proses pendidikan dan
pembudayaan dalam mengembangkan “kecerdasan kewarganegaraan”. (Yudi Latif,
2018).
Menjadi warga negara yang baik hendaklah memahami bahwa dasar mengada dari
politik-kenegaraan adalah budaya kewargaan (budaya kota). Pergerakan dan perjumpaan
di ruang public itulah yang menjadi pengungkit pertukaran gagasan, penyerbukan silang-
budaya dan kreativitas warga. Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang public,
warga dituntut memiliki kecerdasan. Demi mngembangkan kecerdasan kewargaan perlu
diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Corak
politik sangat menentukan. (Yudi Latif, 2018).
Eric Weiner (2016) menengarai, tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan
dan demokrasi. Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih luas
dan sehat. Di kota-kota seperti ini, budaya literasi kuat. Kota-kota menjelma menjadi
pusat teladan-keadaban, mewarisi tradisi besar umat manusia yang selalu memaknai kota
(polis, civic, madina) dalam konotasi positif; keberadaan (civility), kemuliaan (nobility),
dan keteraturan (order). Pengembangan “kecerdasan kewargaan” lebih fundalmental bagi
suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari cengkraman individualisme yang
mendorong kapitalisme dan kolonialisme. Berbeda dengan individualisme, Pancasila
memandang bahwa dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi
manusia tidaklah bias berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Kebajikan
individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang baik.
(Yudi Latif, 2018).
Dengan demikian, pengembangan “kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila
merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. (Yudi Latif, 2018).

C. Tantangan Pembinaan Ideologi Pancasila


Perlu pada usaha sengaja pembinaan ideology Pancasila secara terencana, sistematis,
terpadu, terukur, dan berkesinambungan, dengan melibatkan segenap pemangku
kepentingan, dalam rangka menguatkan Pancasila baik sebagai dasar negara, pandangan
hidup bangsa, maupun ideology nasional. Dalam praktiknya, setiap rezim, baik Orde
Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, pembinaan ideologi Pancasila ini dilakukan
secara beragam bergantung dengan corak politik yang melingkupinya. Apa pun kritik kita
terhadap pembinaan Pancasila di masa lalu, paling tidak ada satu hal yang patut
dilanjutkan. Hal itu ialah adanya perhatian dan kesengajaan untuk melakukan pembinaan
ideologi Pancasila. (Yudi Latif, 2018).
Setelah belasan tahun hidup di dalam era Reformasi, negeri ini sedang menghadapi
segenap kompleksitas persoalan hidup bernegara, seperti kehilangan pasangan yang
mngikatkan kita dalam hidup bersama serta petunjuk arah yang dapat membimbing kita
mencapai tujuan bernegara. Suasana ketika yang lama ditinggalkan dan yang baru belum
terlahir memunculkan berbagai persoalan-persoalan sosio-politik. Dalam hal ini,
transformasi besar kehidupan politik kita juga menghadapi persoalan-persoalan besar
yang belum terselesaikan terkait dengan problem moralitas politik. Sementara itu, arus
globalisasi tata-nilai telah pula membawa dampal pluralisasi, polarisasi, dan fragmentasi
ideology dalam kehidupan kebangsaan, dengan cakupan dan penetrasi yang sedemikian
luasnya. Arus globalisasi yang difasilitasi perkembangan mutakhir dalam teknologi
komunikasi dan transportasi juga membawa tambahan budaya. Masalahnya, tidak pernah
ada manusia yang bias sepenuhnya universal yang bias hidup selamanya dalam dunia
khayal. Ketika konektivitas teknis makin rapat, konektivitas dalam nalar dan rasa
berbangsa justru makin renggang. (Yudi Latif, 2018).
Dalam memberikan respons generasional atas tantangan zaman ini, hendaklah diingat
bahwa di balik perubahan-perubahan revolusioner dalam aspek-aspek keteknikan, selalu
ada elemen konstanta yang menentukan apakah penemuan-penemuan baru itu membawa
maslahat atau mudarat bagi kemanusiaan. Kita tidak tahu persis bagaimana kelangsungan
negara-bangsa ke depan; tetapi selama manusia membutuhkan ruang hidup, selama itu
pula orientai etis kita harus mendahulukan relasi etis dalam lingkungan terdekat. Dalam
wawasan Pancasila, kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai
emansipatorisnya. Dihadapkan pada berbagai tantangan eksternal dan internal, ekstensi
Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. (Yudi
Latif, 2018).
Upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan bagi
berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang
mahal berupa fragmentasi sosial. Untuk itulah pembinaan atas nilai-nilai Pancasila bagi
segenap penyelenggara negara dan warga negara saat ini menjadi penting. (Yudi Latif,
2018).

Anda mungkin juga menyukai