Anda di halaman 1dari 9

KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK) PADA WANITA USIA

SUBUR (WUS) DAN IBU HAMIL

Nur Indah Ramadhani / NIM. 70200119061

PENDAHULUAN

Kekurangan Energi Kronik (KEK) masih menjadi permasalahan di Indonesia.


Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah kondisi ketika seseorang mengalami kekurangan
gizi yang berlangsung menahun (kronis) sehingga menimbulkan gangguan kesehatan
(Prawita et al., 2017). Wanita dan anak-anak merupakan kelompok yang memiliki risiko
paling tinggi mengalami Kekurangan Energi Kronik (KEK). Saat ini Kekurangan Energi
Kronik (KEK) menjadi perhatian pemerintah dan tenaga kesehatan, karena seorang wanitas
usia subur (WUS) yang mengalami KEK memiliki risiko tinggi untuk melahirkan anak yang
juga akan mengalami KEK di kemudian hari. Disamping hal tersebut, kekurangan gizi
menimbulkan masalah kesehatan morbiditas, mortalitas, dan disabilitas, juga menurunkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas, kekurangan
gizi dapat menjadi ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa (Paramata
& Sandalayuk, 2019).

Kekurangan Energi Kronik (KEK) sering diderita oleh wanita usia subur (WUS).
Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang berada pada masa kematangan organ
reproduksi dan organ reproduksi tersebut telah berfungsi dengan baik, yaitu pada rentang usia
15 – 49 tahun termasuk wanita hamil, wanita tidak hamil, ibu nifas, calon pengantin, remaja
putri, dan pekerja wanita. KEK menggambarkan asupan energi dan protein yang tidak
adekuat. Salah satu indikator untuk mendeteksi risiko KEK dan status gizi WUS adalah
dengan melakukan pengukuran antropometri yaitu pengukuran lingkar lengan atas (LILA)
pada lengan tangan yang tidak sering melakukan aktivitas gerakan yang berat. Nilai ambang
batas yang digunakan di Indonesia adalah nilai rerata LILA < 23,5 cm yang menggambarkan
terdapat risiko kekurangan energi kronik pada kelompok wanita usia subur (Angraini, 2018).

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sebesar 395 per 100.000 kelahiran hidup. Pendarahan
menempati persentase tertinggi penyebab kematian Ibu sebesar 31.85%. Anemia dan KEK
pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarah dan infeksi yang merupakan
faktor utama kematian ibu. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, proporsi wanita usia
subur berisiko KEK usia 15-19 tahun yang hamil sebesar 31,3% dan yang tidak hamil sebesar
30,9%. Pada usia 20-24 tahun yang hamil sebesar 23,8% dan yang tidak hamil sebesar
18,2%. Pada usia 25-29 tahun yang hamil sebesar 16,1% dan yang tidak hamil sebesar
13,1%. Pada usia 30-34 tahun yang hamil sebesar 12,7% dan yang tidak hamil sebesar
10,2%. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 proporsi WUS risiko KEK mengalami
peningkatan yaitu usia 15-19 tahun yang hamil sebesar 38,5% yang tidak hamil sebesar
46,6% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Pada usia 20-24 tahun adalah
sebesar 30,1% yang hamil dan 30,6% yang tidak hamil. Pada usia 25-29 tahun adalah 20,9%
yang hamil dan 19,3% yang tidak hamil. Dan pada usia 30-34 tahun yang hamil 21,4% dan
yang tidak hamil 13,6% (Putri et al., 2019).

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEK

Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK pada Wanita Usia
Subur (WUS) (Alam et al., 2020) dan ibu hamil (Mahirawati, 2014):

1. Pola Makan

Pola makan yang tidak seimbang dan tidak sesuai dengan kebutuhan gizi individu
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan asupan zat gizi yang masuk ke dalam
tubuh sehingga kekurangan gizi dapat terjadi pada wanita usia subur di masa
kehamilannya. Wanita usia subur (WUS) dengan pola makan kategori kurang dapat
diindikasikan bahwa WUS tersebut tidak tercukupi kebutuhan nutrisinya sesuai angka
kebutuhan gizi (AKG) yang direkomendasikan sehingga berpotensi terjadi gangguan
gizi atau kekurangan gizi. Kebiasaan pola makan yang tidak memenuhi standar, jika
berlangsung lama maka WUS akan berisiko mengalami KEK dibandingkan individu
dengan pola makan yang baik. Apabila ada WUS dengan kategori pola makan
baiknamun mengalami KEK dapat diindikasikan bahwa asupan makanan yang
dikonsumsi oleh WUS tidak adekuat. Makanan yang adekuat pada WUS adalah
makanan yang dikonsumsi tiap harinya dapat memenuhi kebutuhan zat gizi yang
diperlukan oleh tubuh yang terpenuhi baik secara kualitas maupun kuantitasnya
(Alam et al., 2020).
2. Riwayat Pendidikan WUS

Riwayat pendidikan seseorang merupakan suatu unsur penting yang dapat


mempengaruhi status gizi dan kesehatannya. Masalah gizi dan kesehatan seringkali
terjadi karena adanya ketidaktahuan dan kurnag informasi tentang pentingnya
pemenuhan gizi untuk kesehatan tubuh sehingga berdampak pada kesadaran dan
kemauan berperilaku gizi seimbang dalam kehidupannya (Alam et al., 2020).

3. Pendidikan suami

Pendidikan suami akan mempengaruhi perilaku terhadap istrinya yang sedang hamil
(Mulyaningrum, 2009). Perubahan sikap dan perilaku sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan yang lebih tinggi sehingga lebih mudah menyerap informasi dengan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehat, khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka secara tidak
langsung meningkatkan kesadaran untuk hidup lebih sehat sehingga menurunkan
risiko gangguan kesehatan (Mahirawati, 2014).

4. Pekerjaan ibu

Ibu hamil yang bekerja mempunyai waktu lebih sedikit dalam menyiapkan makanan
yang berpengaruh pada jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga berpengaruh pada
status gizi ibu hamil. Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi
untuk ibu hamil. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang
dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient. Gizi secara
langsung dipengaruhi oleh asupan makanan dan penyakit, khususnya penyakit infeksi.
Salah satu faktor tersebut adalah keterbatasan ekonomi, yang berarti tidak mampu
membeli bahan makanan yang berkualitas baik, sehingga mengganggu pemenuhan
gizi (Mahirawati, 2014).

5. Pekerjaan suami

Beberapa studi menunjukkan bahwa pekerjaan suami menentukan berapa besar


pendapatan yang diperoleh setiap bulan dan daya beli keluarga untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan suami dan
pendapatan per bulan dengan kejadian KEK pada ibu hamil (Mahirawati, 2014).
Penelitian lain menunjukan bahwa ada hubungan nyata antara pendapat suami dengan
risiko KEK pada ibu hamil. Semakin tinggi tingkat pendapatan suami maka status gizi
ibu hamil cenderung lebih baik sehingga lebih kecil kemungkinannya untuk berisiko
KEK dibandingkan dengan ibu hamil yang berasal dari status sosial ekonomi rendah
(Amirullah, 2006).

6. Umur ibu

Umur merupakan salah satu faktor penting dalam proses kehamilan hingga persalinan,
karena kehamilan pada ibu yang berumur muda menyebabkan terjadinya kompetisi
makanan antara janin dengan ibu yang masih dalam masa pertumbuhan(Baliwati &
Retnaningsih, 2004). Penelitian lain menunjukkan bahwa ibu hamil yang berumur
kurang dari 20 tahun memiliki risiko KEK yang lebih tinggi, bahkan ibu hamil yang
umurnya terlalu muda dapat meningkatkan risiko KEK secara
bermakna(Mulyaningrum, 2009).

7. Paritas

Paritas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya KEK pada ibu hamil. Paritas
adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa ibu hamil yang mempunyai paritas lebih dari 4 orang lebih berisiko KEK
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai paritas kurang dari 4 orang(Mahirawati,
2014).

DAMPAK KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK)

KEK dapat memberi dampak pada kesehatan. Individu yang menderita KEK akan
mengalami berat badan kurang atau rendah, serta produktivitasnya akan terganggu karena
tidak dapat begerak aktif sebab kekurangan gizi. Apabila KEK terjadi pada wanita usia subur
(WUS) dan ibu hamil makan akan berdampak pada proses kehamilan, melahirkan, dan berat
badan bayi. Ibu hamil yang berisiko KEK (LILA < 23,5 cm) kemungkinan akan mengalami
kesulitan persalinan, pendarahan, dan berpeluang melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan/atau bayi
(Proverawati & Ismawati, 2010). Status gizi sebelum hamil atau selama hamil memiliki
peluang 50% dalam mempengaruhi tingginya kasus kejadian bayi BBLR di negara
berkembang. Hasil meta analisis World Health organization (WHO) Collaboration Study
menyimpulkan bahwa berat badan dan tinggi badan ibu sebelum hamil, indeks masa tubuh
dan lingkar lengan atas (LILA) merupakan faktor yang mempengaruhi bayi BBLR
(Sarumaha, 2018). Wanita hamil yang mengalami KEK sejak mudanya memiliki risiko
melahirkan bayi dengan BBLR 4,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
mengalami KEK (Syofianti, 2013).

Status kekurangan energi kronis sebelum kehamilan dalam jangka panjang dan selama
kehamilan akan menyebabkan ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
anemia pada bayi baru lahir, mudah terinfeksi, abortus, dan terhambatnya pertumbuhan otak
janin (Siti, 2013).

Kurang energi kronis pada masa usia subur khususnya masa persiapan kehamilan
maupun saat kehamilan dapat berakibat pada ibu maupun janin yang dikandungnya. Terhadap
persalinan pengaruhnya dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum
waktunya, dan pendarahan. Pengaruhnya terhadap janin dapat menimbulkan
keguguran/abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, dan
berat badan lahir rendah (BBLR) (Pratiwi, 2018). Dampak Kekurangan Energi Kronis (KEK)
pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko komplikasi pada ibu antara lain anemia,
pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi dan
dampak pada persalinan yaitu persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya
(prematur), pendarahan setelah persalinan, dan persalinan dengan operasi cenderung
meningkat (Proverawati, 2009).

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEK

Untuk menekan angka kejadian KEK diperlukan suatu solusi yang komprehensif,
terpadu, dan paripurna. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melalui penggerakan
dan pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh ke dalam suatu program layanan kesehatan
masyarakat untuk mengatasi KEK.

Upaya penanggulangan masalah KEK dapat dilakukan dengan program Pemberian


Makanan Tambahan (PMT) dalam bentuk biskuit yang dibagikan kepada seluruh WUS dan
ibu hamil yang mengalami KEK, pemberian tablet Fe atau penambah darah untuk mencegah
terjadiya anemia pada ibu hamil, serta melakukan program konseling kepada Wanita Usia
Subur (WUS) mengenai masalah kesehatan reproduksi, kesiapan sebelum hamil, persalinan,
nifas dan konseling pemilihan alat kontrasepsi KB. Selain program PMT, ada juga program
nasional yaitu program Pekan Seribu Hari Kehidupan (HPK) yaitu program untuk
menyelamatkan kehidupan ibu dan bayi yang dimulai dari seribu HPK yaitu setiap sebulan
sekali di setiap Puskesmas semua ibu hamil, bersalin, nifas, bayi, dan balita harus dilayani
ditimbang berat badan dan dilihat status gizinya(Muhamad & Liputo, 2017).

Selain mengikuti program yang dilakukan oleh puskesmas dan pemerintah, WUS dan
ibu hamil perlu melakukan perbaikan gizi secara mandiri. Asupan nutrisi merupakan faktor
utama penyebab KEK pada ibu hamil. Gizi ibu hamil dikatakan sempurna jika makanan yang
dikonsumsinya mengandung zat gizi yang seimbang, jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan
tidak belebihan. Makanan yang baik dan seimbang akan menghindari masalah di saat hamil,
melahirkan bayi yang sehat, dan memperlancar ASI. Apabila konsumsi energi kurang, maka
energi dalam jaringan otot/lemak akan digunakan untuk menutupi kekurangan tersebut.
Kekurangan energi akan menurunkan kapasitas kerja, hal ini biasanya terjadi sebagai proses
kronis dengan akibat penurunan berat badan(Muhamad & Liputo, 2017).

Konsumsi biskuit ubi jalar ungu merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki
gizi masyarakat. Ubi jalan ungu merupakan ubi jalar yang berwarna ungu pekat baik kulit
maupun dagingnya serta memiliki produktivitas yang tinggi, ubi jalar ungu varietas anitin-3
memiliki kandungan zat antosianin relatif lebih tinggi dibanding varietas antin-1 dan antin-2.
Biskuit ubi jalar ungu merupakan salah satu produk diversifikasi pangan lokal akan potensi
sumber daya alam khususnya pemanfaatan ubi jalan ungu. Terdapat banyak zat gizi yang ada
pada biskuit ubi jalar ungu seperti karbohidrat, protein, zat besi, dan vitamin C. Sangat
banyak manfaat yang dapat diperoleh dari biskuit ubi jalar ungu khususnya kandungan zat
gizi yang dapat digunakan sebagai makanan alternatif untuk segala usia termasuk WUS
sehingga tidak mengalami KEK(Satrianegara & Alam, 2017).

Selain biskuit ubi jalar ungu, roti rumput laut lawi-lawi juga dapat menjadi alternatif
perbaikan gizi masyarakat. Roti rumput laut lawi-lawi memiliki kandungan gizi yang cukup
tinggi sebagai sumber protein nabati maupun mineral. Untuk menambah kandungan gizi
produk olahan berbahan dasar rumput laut lawi-lawi dibutuhkan penambahan pangan lokal
lain yang dapat dioptimalkan keberadaannya dan merupakan sumber protein nabati serta kaya
akan Fe dan zat gizi lainnya. Kadar kandungan gizi makro dalam 100 gram roti rumput laut
untuk karbohidrat sebanyak 56,10%, untuk protein 11,42%, untuk lemak 8,81%, dan zat besi
(Fe) sebesar 20,9091 mg/kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa roti rumput laut lawi-lawi
cocok digunakan sebagai alternatif perbaikan gizi masyarakat substitusi dari tempe. Dengan
perbaikan gizi masyarakat dapat terhindar dari kejadian KEK, baik pada WUS dan ibu
hamil(Syarfaini et al., 2019).

Upaya dan program tersebut dapat berjalan dengan pengembangan dari masyarakat
dan puskesmas. Program pemerintah dan puskesmas dapat dipegang tanggung jawabnya oleh
puskesmas, sehingga puskesmas dapat memantau berjalannya progrm tersebut. Selain itu juga
diperlukan kerjasama dengan kader posyandu yang hubungannya lebih dekat dengan ibu
hamil atau ibu yang memiliki bayi dan/atau balita. Penyediaan makanan yang membantu
perbaikan gizi dapat dikoordinasikan dengan toko-toko di sekitar desa, agar distribusi
makanan secara merata, dan akses untuk mendapatkan makanan dapat lebih mudah. Dengan
demikian perbaikan gizi dapat dilakukan oleh WUS dan ibu hamil dengan mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S., Ansyar, D. I., & Satrianegara, M. F. (2020). Eating pattern and educational history
in women of childbearing age. Al-Sihah: The Public Health Science Journal, 12(1), 81.
https://doi.org/10.24252/as.v12i1.14185

Amirullah, S. (2006). Prosedur Pengukuran Lingkar Lengan Atas Pada Ibu Hamil dengan
Kurang Energi Kronis (KEK). Rineka Cipta.

Angraini, D. I. (2018). Hubungan Faktor Keluarga dengan Kejadian Kurang Energi Kronis
pada Wanita Usia Subur di Kecamatan Terbanggi Besar. JK Unila, 2(2), 146–150.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/download/1952/1919

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riskesdas Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar. http://www.depkes.go.id/

Baliwati, Y. F., & Retnaningsih. (2004). Kebutuhan Gizi: Dalam Pengantar Pangan dan
Gizi. Swadaya.

Mahirawati, V. K. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kekurangan Energi


Kronik (KEK) Pada Ibu Hamil di Kecamatan Kamoning dan Tambelangan, Kabupaten
Sampang, Jawa Timur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17(2), 193–202.

Muhamad, Z., & Liputo, S. (2017). PERAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
MENANGGULANGI THE ROLE OF THE LOCAL GOVERNMENT POLICY IN
ERADICATION OF. 7(November), 113–122.

Mulyaningrum. (2009). Hubungan Faktor Risiko Ibu Hamil dengan Kejadian Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Barru. Media Gizi Pangan, VII(1).

Paramata, Y., & Sandalayuk, M. (2019). Kurang Energi Kronis pada Wanita Usia Subur di
Wilayah Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo. Gorontalo Journal of Public
Health, 2(1), 120. https://doi.org/10.32662/gjph.v2i1.390

Pratiwi, S. K. (2018). Hubungan Pendapatan Keluarga dan Tingkat Pendidikan Ibu dengan
Kejadian Kekurangan Energi Kronis (KEK) Pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja
Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Politeknik Kesehatan
Kendari.

Prawita, A., Susanti, A. I., & Sari, P. (2017). Survei Intervensi Ibu Hamil Kekurangan Energi
Kronik (KEK) di Kecamatan Jatinangor Tahun 2015. Jurnal Sistem Kesehatan, 2(4).

Proverawati. (2009). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. EGC.

Proverawati, A., & Ismawati, C. (2010). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Nuha Medika.

Putri, M. C., Angraini, D. I., & Hanriko, R. (2019). Hubungan asupan makan dengan
kejadian kurang energi kronis (kek) pada wanita usia subur (wus) di kecamatan
terbanggi besar kabupaten lampung tengah. Journal Agromedicine, 6(1), 105–113.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/2260/pdf

Sarumaha, O. (2018). Pengaruh Pemberian Siomay Ikan Gabus Terhadap Status Gizi (IMT
dan LILA) Pada Wanita Usia Subur Yang Kekurangan Energi Kronik di Kelurahan
Paluh Kemiri. Politeknik Kesehatan Medan.

Satrianegara, M. F., & Alam, S. (2017). Al - Sihah : Public Health Science Journal ANALISIS
KANDUNGAN ZAT GIZI BISKUIT UBI JALAR UNGU ( Ipomoea batatas L . Poiret )
SEBAGAI ALTERNATIF PERBAIKAN GIZI DI MASYARAKAT. 9, 138–152.

Siti, M. (2013). Faktor Penyebab Ibu Hamil Kurang Energi Kronis. Infokus, 3(3), 40–62.
Syarfaini, Damayati, D. S., Susilawaty, A., Alam, S., & Humaerah, A. M. (2019). ANALISIS
KANDUNGAN ZAT GIZI ROTI RUMPUT LAUT LAWI-LAWI (Ceulerpa racemosa)
SUBSTITUSI TEMPE ALTERNATIF PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT. 11, 94–106.

Syofianti, H. (2013). Pengaruh Risiko Kurang Energi Kronis Pada Ibu Hamil Terhadap
Berat Badan Bayi Lahir Rendah (Analisis Kohort Ibu DI Kabupaten Sawahlunto-
Sijujung Tahun 2007). Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai