Anda di halaman 1dari 53

NASKAH AKADEMIK

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Visi Kementerian Pendidikan Nasional:


“Insan Indonesia Cerdas, Komprehensif, Kompetitif, dan Bermartabat
(Insan Kamil/Insan Paripurna)”

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN
Jakarta, 2011
Tim Pengembang:
Ketua : Prof. Dr. S. Hamid Hasan, MA

Sekretaris : Dra. Darmiasti, M.Hum (Puskurbuk, Balitbang, Kemdiknas)

Anggota : 1. Erry Utomo, Ph.D. (Puskurbuk, Balitbang, Kemdiknas)

2. Renni Diastuti, S.Si, M.Si (Puskurbuk, Balitbang, Kemdiknas)

3. Dr. Mukminan (UNY)

4. Dra. Titik N.,M.Pd ( SMP Sudirman, Jakarta)

5. Drs. Arismunandar, S.Pd.,M.Si. (UNJ)

6. Dr. Agus Mulyana (UPI)

7. Drs. Dadang D., M.Pd. (Pengawas SMP Kota Bandung)

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan “Naskah
Akademik Satuan Pendidikan” sebagai penjabaran dari Naskah Akademik Penataan Ulang
Kurikulum yang telah disusun sebelumnya. Penyusunan naskah akademik ini adalah dalam
rangka menindaklanjuti program-program prioritas yang dimuat, baik dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 maupun dalam Rencana Strategis
Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014.

Naskah Akademik Satuan Pendidikan yang telah disusun oleh Pusat Kurikulum dan
Perbukuan adalah sebagai berikut :

1. Naskah Akademik Pendidikan Anak Usia Dini


2. Naskah Akademik Sekolah Dasar
3. Naskah Akademik Sekolah Menengah Pertama
4. Naskah Akademik Sekolah Menengah Atas
5. Naskah Akademik Sekolah Menengah Kejuruan
6. Naskah Akademik Program Khusus
7. Naskah Akademik Pendidikan Non Formal

Selain itu, Pusat Kurikulum dan Perbukuan juga telah menyusun Naskah Akademik
Kewirausahaan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan
pemikiran dalam mewujudkan naskah akademik ini. Dengan kerendahan hati, kami
mengharapkan masukan dan kritik yang konstruktif dalam rangka pemantapan dan
penyempurnaannya. Semoga upaya ini bisa menjadi salah satu unsur yang signifikan dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan.

Jakarta, Mei 2011


Kepala Pusat Kurikulum dan
Perbukuan,

Dra. Diah Harianti, M.Psi


NIP. 195504161983032001

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

Bab I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
C. Fungsi 3
D. Cakupan Naskah Akademik 3

Bab II LANDASAN 4
A. Landasan Yuridis 4
B. Landasan Teori 5
1. Hakikat Kurikulum 5
2. Karakteristik Lembaga SMP 9
3. Karakteristik Peserta Didik SMP 10
C. Landasan Empiris 12
1. Konsep Mata Pelajaran 12
2. Layanan Pendidikan 13
3. Peserta Didik 13
4. Sistem Penilaian (Ulangan harian, ulangan semester, ulangan
kenaikan kelas, ujian sekolah, ujian nasional, PBK) 14

Bab III PENATAAN KURIKULUM 18


A. Standar Kompetensi Lulusan 18
B. Kerangka Dasar 21
C. Struktur Kurikulum 23
D. Pengelolaan Kurikulum 24
E. Beban Belajar 27
F. Kalender Pendidikan 27
G. Rancangan Sistem Pembelajaran 28
H. Pengembangan Budaya Sekolah 34

Bab IV PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER, 36


KEWIRAUSAHAAN DAN EKONOMI KREATIF
A. Pendidikan Karakter 36
B. Pendidikan Kewirausahaan dan Ekonomi Kreatif 38
C. Pengembangan Keterampilan 41
D. Pengintegrasian Nilai Karakter, Kewirausahaan, Keterampilan
dalam KTSP 41
E. Proses Pembelajaran Aktif 43

Bab V REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT 45


A. Rekomendasi 45
B. Tindak Lanjut 46

DAFTAR PUSTAKA 47

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awal tahun 2010 Pemerintah mencanangkan berbagai kebijakan berkenaan dengan
pengembangan pendidikan di Indonesia. Melalui Instruksi Presiden, Pemerintah menetapkan
antara lain pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, belajar aktif,
kewirausahaan, dan ekonomi kreatif. Sebelumnya, menjelang akhir tahun 2009, Pemerintah
telah menetapkan kebijakan tentang penyempurnaan pelaksanaan kurikulum dan berbagai
aspek kependidikan lainnya. Kebijakan tersebut berkenaan dengan upaya penyempurnaan
pelaksanaan pendidikan terutama penyempurnaan pelaksanaan kurikulum. Untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan tadi, diperlukan adanya pedoman yang jelas dan
operasional bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas/inspektur.

Selain adanya kebijakan Pemerintah yang telah disebutkan di atas, hasil pemantauan yang
dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan instansi lain memberikan petunjuk yang jelas bahwa
diperlukan upaya penyempurnaan pelaksanaan kurikulum di sekolah. Dari hasil pemantauan
tersebut ditemukan adanya masih banyak sekolah yang belum mampu mengembangkan
dokumen kurikulum (KTSP), proses pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik, dan hasil
belajar yang belum memuaskan berdasarkan standar yang ditetapkan Pemerintah.

Penyempurnaan yang akan dilaksanakan haruslah didasarkan pada landasan pemikiran


teoritik yang jelas dan kuat dalam berbagai aspek pelaksanaan/kenyataan empirik yang
ditemukan selama pemantauan. Pemikiran teoritik yang jelas dan kuat tadi perlu dirumuskan
dalam satu naskah akademik yaitu landasan teori mengenai pendidikan dan kurikulum yang
dikembangkan berdasarkan pendekatan standar dan kompetensi, ketetapan mengenai fungsi,
wewenang, dan tujuan satuan pendidikan SMP, dan hal lain yang penting untuk
mengembangkan solusi terhadap permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanan
pengembangan dan implementasi KTSP di SMP.
Di samping kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dan adanya berbagai kendala yang
teramati dari hasil pemantauan di lapangan, keperluan adanya naskah akademik didasarkan
atas kepentingan memiliki rambu-rambu bagi menyempurnakan kurikulum agar kurikulum
menjadi lebih relevan dengan perkembangan masyarakat, dunia ilmu, dan kehidupan
kebangsaan. Perkembangan kehidupan masyarakat yang sangat cepat pada dekade pertama
abad ke 21, dipicu terutama oleh perkembangan teknologi informasi dan tantangan global.
Tantangan global menuntut adanya penyikapan dan persiapan yang hati-hati karena potensi
globalisasi yang dapat menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di bidang
sosial, ekonomi, budaya, ilmu dan teknologi ancaman globalisasi berwajah jamak (multi-
facet) dan apalgi dalam waktu dekat terjadi bersamaan dengan pemberlakuan era pasar bebas
(APEC dan AFTA). Walau pun APEC baru secara resmi dilaksanakan pada tahun 2020, satu
dekade sebelum diberlakukannya APEC, masyarakat sudah harus berhadapan dengan
berbagai bentuk persaingan di berbagai bidang antara lain bidang ekonomi, sosial, budaya
dan teknologi.

Selain dari persaingan yang bersifat internasional, bangsa Indonesia menghadapi pula
masalah-masalah yang berkenaan dengan perkembangan kehidupan kebangsaan. Perubahan
sistem ketatanegaraan dari sentralistik dengan otonomi terbatas ke sistem pemerintahan
desentralistis dengan otonomi yang lebih luas memerlukan kesiapan warganegara dalam

1
pengetahuan, nilai, sikap, cara komunikasi, cara berpartisipasi, kemampuan belajar, cara
berpikir, rasa ingin tahu, kebiasaan kerja keras, jujur, semangat kebangsaan yang sesuai
dengan kehidupan demokratis. Memasuki kehidupan yang berbeda dari masa sebelumnya,
generasi muda bangsa Indonesia perlu disiapkan untuk menghadapi kehidupan berbangsa
yang sedang berproses, dan pendidikan adalah wahana ampuh dalam upaya mempersiapkan
generasi muda untuk kehidupan kebangsaan yang baru. Pemikiran demikian yang melahirkan
kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa,
pendidikan kewirausahaan, belajar aktif, dan kemandirian yang mengandung banyak nilai-
nilai.

Kenyataan yang ada pada SKL, SK/KD dan KTSP serta kebijakan tentang evaluasi hasil
belajar secara esensial belum memberikan perhatian yang cukup terhadap pengembangan
nilai-nilai kemanusiaan yang diperlukan oleh pendidikan budaya dan karater bangsa, belajar
aktif, pendidikan kewirausahaan, dan kemandirian. Rumusan SKL, SK/KD, dokumen KTSP
serta kebijakan tentang evaluasi hasil belajar masih secara tradisional memusatkan pada
pendidikan disiplin ilmu dengan perhatian utama terhadap kemampuan mengingat
pengetahuan. Ketetapan yang telah dinyatakan dalam berbagai keputusan Presiden (instruksi,
peraturan, pencanangan) dan kebijakan dalam Rancangan Pengembangan Jangka Menengah
Pendidikan sebagai upaya untuk memperbaiki kurikulum yang ada telah memberikan
petunjuk kuat akan kepedulian terhadap pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa,
kewirausahaan, belajar aktif, dan kemandirian. Konsekuensi dari kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan tersebut antara lain adalah keharusan memperkuat dan memperkaya
kurikulum yang berlaku saat ini.

Upaya memperkuat dan memperkaya kurikulum haruslah berkenaan dengan keempat dimensi
kurikulum yaitu dimensi ide, rencana tertulis (dokumen), proses/pelaksanaan (implementasi),
dan evaluasi. Penguatan dan pengayaan keempat dimensi kurikulum tersebut mengandung
makna bahwa diperlukan berbagai strategi untuk menyempurnakan dan memperkaya SKL
dan SI (sesuai dengan ketetapan tentang wewenang satuan pendidikan memperkaya SKL dan
SI), memperkaya dokumen KTSP, memperkuat proses pembelajaran untuk memberikan
jaminan pencapaian kompetensi yang dinyatakan sebagi SKL, SK dan KD, serta evaluasi
kurikulum (dokumen, pelaksanaan, dan hasil). Untuk itu maka naskah akademik ini disusun
sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam upaya memperkuat dan memperkaya kurikulum
SMP.

Selain yang telah dikemukakan di atas, upaya untuk memperkuat kurikulum SMP
dilatarbelakangi oleh tujuan untuk memperbaiki tingkat kualitas hasil belajar dan dimensi
hasil belajar peserta didik. Melalui pendidikan budaya dan karakter bangsa, belajar aktif,
kewirausahaan, kemandirian maka peserta didik diubah posisinya dari objek yang menerima
semua informasi dari guru dan sumber lainnya menjadi subjek yang memiliki kemampuan
untuk mengembangkan lebih lanjut pengetahuan yang telah mereka pelajari, memberi dasar
yang kuat untuk belajar sepanjang hayat, mengembangkan sikap hidup sehat, dan memiliki
wawasan serta tindakan sebagai warganegara yang produktif, antisipatif, dan
bertanggungjawab. Melalui upaya ini, maka permasalahan tentang rendahnya tingkat
pencapaian standar kelulusan dapat diatasi. Melalui pemikiran yang dikemukakan dalam
naskah akademik ini maka proses belajar menjadi semakin menantang tapi menyenangkan,
dan memberi peluang besar bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka
menjadi kemampuan sebagai warganegara yang tidak saja cerdas, bertanggungjawab, hidup
sehat, dan kreatif, tetapi juga memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang kuat.

2
B. Tujuan

Naskah Akademik ini bertujuan:


1. Menyiapkan rancangan bahan kebijakan yang dapat digunakan dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan di SMP.
2. Sebagai pedoman dalam melakukan penataan dan langkah untuk memperkuat dan
memperkaya kurikulum SMP.
3. Sebagai rambu-rambu bagi upaya untuk meningkatkan relevansi pendidikan di SMP
dengan kondisi global dan perubahan masyarakat yang sangat cepat.

C. Fungsi

Naskah Akademik ini berfungsi sebagai panduan untuk mengembangkan pendidikan pada
satuan pendidikan SMP, penataan standar isi dan SKL, mengembangkan dokumen KTSP dan
realisasinya dalam silabus, RPP, dan proses pembelajaran di kelas.
Naskah ini sebagai panduan umum bagi satuan pendidikan SMP. Kepala sekolah dan guru
secara bersama-sama sebagai “community of educators” menjabarkan panduan ini ke dalam
tataran operasional yang disesuaikan dengan kondisi sekolah.

D. Cakupan Naskah Akademik

Naskah akademik mencakup berbagai hal yang berkenaan dengan peran dan kedudukan SMP
dalam sistem pendidikan Indonesia, dan dalam kedudukannya sebagai satuan pendidikan.
Naskah akademik ini mencakup:
- Pendahuluan, terdiri atas Latar Belakang, Tujuan, Fungsi, Cakupan Naskah Akademik)
- Landasan Penataan Kurikulum, terdiri atas Landasan Yuridis, Landasan Teoritis,
Landasan Empiris
- Penataan Kurikulum, berisikan Standar Kompetensi Lulusan, Struktur Kurikulum,
Pengelolaan Kurikulum, Beban Belajar, Kalender Pendidikan, Rancangan Sistem
Pembelajaran, Pengembangan Budaya Sekolah
- Pengembangan Pendidikan Karakter, Kewirausahaan Dan Ekonomi Kreatif
- Rekomendasi Dan Tindak Lanjut

3
BAB II
LANDASAN

A. Landasan Yuridis
Landasan yuridis untuk penyempurnaan kurikulum SMP adalah :
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36
sampai dengan Pasal 38
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal
5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27;
3. PeraturanPemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan:
1). Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2). Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
3). Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
4). Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
Pada pasal 38 di sebutkan :
5). Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
Pemerintah.
6). Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota
untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pada Pasal 10 dinyatakan bahwa satuan
pendidikan SMP adalah lembaga pendidikan formal yang merupakan bagian dari pendidikan
dasar. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 10 tersebut menyebutkan:
Sekolah Menengah Pertama, yang selanjutnya disingkat SMP, adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang

4
pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan
dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
Rumusan Pasal 11 tentang Madrasah Ibtidaiyah sama dengan rumusan SMP di atas terkecuali
dengan adanya tambahan bahwa MTs dikelola dibawah koordinasi Departemen Agama.
Dengan rumusan yang demikian maka SMP adalah satuan pendidikan yang sama pentingnya
dengan SD/MI karena bertanggungjawab terhadap pengembangan potensi peserta didik
menjadi kualitas yang diperlukan dalam pengembangan kehidupan pribadi setiap anggota
masyarakat dan bangsa.
Selanjutnya, Pasal 67 ayat (2) PP nomor 17 tahun 2010 merumuskan fungsi satuan
pendidikan SMP adalah:
1. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur yang telah dikenalinya;
2. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah
air yang telah dikenalinya;
3. mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi;
4. melatih dan mengembangkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
5. mengembangkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan
kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
6. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan menengah dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat.

Lebih lanjut Pasal 67 ayat (3) merumuskan tujuan pendidikan dasar untuk membangun
landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang :
1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan
berkepribadian luhur;
2. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
3. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
4. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.
Ketetapan yang dirumuskan pada Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010 di atas jelas
menunjukkan perlu ada penyempurnaan dan penguatan pada SKL, SI, dan KTSP SMP.
Keempat tujuan yang dirumuskan sebagai tujuan yang harus dijadikan kualitas minimal
peserta didik yang menyelesaikan pendidikan mereka pada satuan pendidikan SMP,
menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengembangkan potensi manusia peserta didik
sebagaimana yang dikemukakan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.

B.Landasan Teoritis

1. Hakikat Kurikulum

Banyak definisi kurikulum yang dikemukakan para ahli. Pada dasarnya, definisi-definisi
tersebut bersifat operasional dan sangat membantu proses pengembangan kurikulum, tetapi
pengertian makna kurikulum yang diajukan tidak lengkap. Ada akhli yang mengemukakan
bahwa kurikulum adalah pernyataan mengenai tujuan (MacDonald; Popham), ada yang
mengemukakan bahwa kurikulum adalah suatu rencana tertulis (Tanner and Tanner, 1980),
ada yang menyatakan bahwa kurikulum adalah pengalaman nyata yang dialami peserta didik
dengan bimbingan sekolah (Saylor dan Alexander, 1980). Definisi hanya berkenaan dengan

5
salah satu dimensi kurikulum yaitu dimensi ide, dimensi dokumen, dimensi implementasi
(Hasan, 1999). Memang secara teknis kurikulum mencakup dimensi ide, dokumen tertulis,
implementasi, dan hasil (Hasan, 2000) dan oleh karena itu definisi teknis yang dikemukakan
seharusnya mencakup keempat dimensi tersebut bukan hanya mengenai salah satu dimensi
kurikulum.

Secara konseptual, kurikulum adalah jawaban pendidikan terhadap kebutuhan dan tantangan
masyarakat (Oliva, 1997:60). Definisi ini sering dilupakan orang padahal kurikulum dalam
pengertian ini teramat penting karena definisi ini menggambarkan posisi pedagogis
kurikulum dalam mengembangkan potensi peserta didik, dan landasan bagi pertanyaan utama
yang harus dijawab ketika proses pengembangan suatu kurikulum akan dimulai. Oleh karena
itu, pengertian kurikulum ini sangat fundamental dan menggambarkan posisi sesungguhnya
kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Atas dasar pemikiran tersebut, Klein (1999)
menempatkan posisi kurikulum sebagai ”the heart of education”. Dengan posisi tersebut
maka proses pengembangan kurikulum tidak boleh hanya terjebak pada pengertian kurikulum
yang berkaitan dengan dimensi kurikulum semata dan bersifat praktis tetapi dimulai dengan
jawaban yang diberikan pendidikan terhadap tantangan masyarakat bagi kehidupan manusia
Indonesia di masa kini dan masa mendatang. Setelah jawaban tersebut diperoleh maka proses
pengembangan kurikulum sebagai rencana tertulis baru dapat dimulai, dilanjutkan dengan
peng1embangan kurikulum sebagai proses pembelajaran, dan evaluasi hasil kurikulum.

Kita perlu mengkaji tantangan masyarakat untuk menemukan kualitas yang perlu dimiliki
peserta didik SMP pada masa 12 tahun mendatang. Kajian tersebut dilakukan dengan
membandingkan kualitas manusia Indonesia yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan
nasional dan kualitas manusia Indonesia masa kini di satu sisi dengan kehidupan manusia
Indonesia 12 tahun mendatang. Gap dalam kualitas dari hasil kajian tersebut adalah kualitas
manusia Indonesia masa depan yang harus dikembangkan oleh kurikulum SMP. Identifikasi
kualitas tersebut menjadi Standar Kompetensi Lulusan SMP. Sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, SKL SMP
bukanlah kurikulum dan bukan tugas satuan pendidikan SMP untuk mengembangkannya.
Pemerintah melalui kajian BSNP berwewenang melakukan kajian kualitas manusia Indonesia
yang akan ditetapkan dalam SKL.

Secara teknis, UUSPN 2003 dan PP nomor 19 tahun 2005 menetapkan pengertian teknis
kurikulum sebagai ”seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Pengertian yang diungkapkan
dalam kedua produk hukum itu dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum. Kegiatan
pengembangan kurikulum (curriculum development) terdiri atas tiga kegiatan utama yaitu
konstruksi kurikulum (curriculum construction), pelaksanaan kurikulum (curriculum

1
Kajian tersebut berkenaan dengan masa 12 tahun mendatang karena tamatan yang mengunakan kurikulum
baru menjadi warganegara produktif di masyarakat pada tahun keempat paling cepat dan kebanyakan baru pada
tahun kelima, dihitung dari masa berlakunya kurikulum. Dampak pada masyarakat baru dirasakan masyarakat
pada tahun kedua setelah mereka berkontribusi secara produktif. Oleh karena itu dampak kurikulum baru dapat
dirasakan masyarakat 4 tahun setelah seseorang tamat SMP atau 7 tahun setelah suatu kurikulum berlaku. Pada
waktu itu evaluasi dampak kurikulum baru dapat dilakukan, diperlukan waktu 2 tahun untuk penyelesaian dan
mengetahui tingkat relevansi kurikulum dengan kemampuan yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu. Jika
diperlukan penyesuaian tingkat relevansi kurikulum maka diperlukan waktu 2 tahun untuk pengembangan
kebijakan dan dokumen kurikulum yang baru, termasuk uji coba. Setelah itu diperlukan masa satu tahun untuk
sosialisasi agar pelaksana (guru,kepala sekolah, pengawas) paham terhadap ide baru dan memiliki kemampuan
untuk menerapkan kurikulum baru.

6
implementation), dan evaluasi kurikulum (curriculum evaluation). SMP harus
mengembangkan ketiga kegiatan tersebut.

Kegiatan konstruksi kurikulum bermuara dari kegiatan pengembangan dimensi ide dan
dokumen kurikulum. Kegiatan pengembangan ide kurikulum berkenaan dengan landasan
filosofis dan teoritis kurikulum. Landasan filosofis kurikulum berkenaan dengan filosofi
pendidikan yang digunakan untuk mengembangkan arah dan orientasi kurikulum. Aspek
filosofis ini menentukan jawaban kurikulum terhadap kualitas yang telah diidentifikasi .
Schubert (1986:116) menyatakan philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is
perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to
the question of how to live a good life. Oleh karena itu dari aspek filosofis terlihat apakah
kurikulum yang dikembangkan dapat menjawab kualitas yang harus dimiliki manusia
Indonesia yang telah mengikuti pendidikan dasar atau hanya mampu menjawab salah satu
aspek dari kualitas yang direncanakan.

Menurut kategori Broemfeld (Tanner dan Tanner, 1980) filosofi kurikulum yang ada ialah
esensialisme, perenialisme, humanisme, dan rekonstruksi sosial. Esensialisme dan
perenialisme memposisikan kurikulum sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan tugas untuk
mengembangkan kemampuan intelektual (esensialisme), dan kemampuan rasional
(perenialisme). Humanisme memberikan posisi sentral pada manusia sebagai mahluk yang
“bebas” dan menjadikan kurikulum sebagai wahana pendidikan untuk mengembangkan
potensi kemanusiaan peserta didik. Rekonstruksi sosial memberikan posisi kurikulum sebagai
wahana pendidikan untuk building an ideal democratic social order (Tanner dan Tanner,
1980).

Berdasarkan kebijakan yang ada, maka ide kurikulum yang digunakan pada saat kini adalah
kurikulum berbasis kompetensi yang sangat dipengaruhi oleh filosofi progresif dan
rekonstruksi sosial. Ketetapan ini dilakukan pada tingkat nasional dan satuan pendidikan
tidak diberi wewenang untuk menggunakan filosofi kurikulum lainnya. Di masa depan
mungkin sudah saatnya memberikan kebebasan kepada setiap satuan pendidikan SMP untuk
menentukan filosofi kurikulum yang akan digunakan terutama ketika SMP tersebut telah
mampu menegakkan akuntabilitas akademik/pendidikan satuan pendidikannya. Baik ketika
filosofi kurikulum ditetapkan oleh Pemerintah maupun ketika SMP telah diberi wewenang
untuk menetapkan filosofi kurikulum yang akan digunakan, para pengembang kurikulum
satuan pendidikan harus memahami filosofi kurikulum yang dipilih beserta konsekuensinya
dalam mengembangkan dokumen kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi
kurikulum. Sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, para
pengembang kurikulum pada jenjang satuan pendidikan SMP perlu mempelajari pandangan
filosofi kurikulum rekonstruksi sosial dan teori pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi.

Dalam kategori yang konseptual, (Oliva 1997:512) mengemukakan bahwa kurikulum


berdasarkan kompetensi masuk dalam kelompok yang dinamakan "outcomes-based
curriculum". Dalam bentuknya yang masih awal, Oliva (1997:512) mengemukakan bahwa
perkembangan ide kurikulum berbasis "outcomes-based" dapat ditelusuri sejauh pertengahan
abad kesembilan belas oleh seorang pendidik terkenal Eropa yang bernama Herbert Spencer.
Di Amerika Serikat perkembangan ide kurikulum berbasis "outcomes" dapat dikatakan pada
awal abad ke-20 yaitu tahun 1918 atau menurut Tuxworth (Burke, 1995:10) pada tahun 1920-
an. Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Ralph Tyler tahun 1950 ketika yang bersangkutan

7
mengembangkan proyek kurikulum yang bertaraf nasional kemudian menjadi lebih terkenal
dengan nama "mastery learning and competency based" oleh Benjamin Bloom.
Kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Dalam
pengertian ini berbagai ahli mengartikan kompetensi meliputi berbagai aspek kemampuan
yang harus dimiliki seseorang. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa
kompetensi meliputi "pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat".
Dalam pengertian yang lebih konseptual tetapi memiliki persamaan dengan apa yang telah
dikemukakan kedua ahli tersebut, McAsham (1981) merumuskan kompetensi sebagai
berikut:

Competency is knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which
become parts of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular
cognitive, affective, and psychomotor behavior.

Pengertian di atas dapat dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Wolf (1995),
Debling (1995), Kupper dan Palthe. Wolf (1995:40) mengatakan bahwa esensi dari
pengertian kompetensi "is the ability to perform". Debling (1995:80) mengatakan
"competence pertains to the ability to perform the activities within a function or an
occupational area to the level of performance expected in employment". Sedangkan Kupper
dan Palthe mengatakan "competencies as the ability of a student/ worker enabling him to
accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in work situations”. Lebih
lanjut Kupper dan Palthe mengatakan "these qualifications should be expressed in terms of
knowledge, skills, and attitude".

Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan terutama
dalam tahap pengembangan ide dipengaruhi oleh pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan
kompetensi dapat mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa depan. Artinya, pada
waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi, maka
pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan kekuatan dan kelemahan pendekatan
kompetensi dalam mengembangkan kualitas manusia Indonesia, serta jangkauan validitas
pendekatan tersebut ke masa depan sebagaimana dikatakan Quillen (2201) "the first part of
the process of integration is to understand the theoritical and practical basis of a
competency-based educational system".

Selanjutnya harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dan Bangsa Indonesia. Perkembangan kemampuan
baru menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh peserta didik. Kupper
dan Palthe mengingatkan bahwa kompetensi bersifat dinamis dan berkembang terus sesuai
dengan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan yang berkaitan dengan kompetensi
tertentu. Maknanya, penyesuaian SKL harus selalu dalam pantauan Pemerintah, dan
pengembangan kurikulum harus dilakukan sehingga kurikulum tidak menjadi daluwarsa.

Dalam kegiatan pengembangan program atau dokumen kurikulum maka ada beberapa prinsip
yang perlu diperhatikan. Salah satu prinsip yang harus diingat adalah: "no one course is
strictly responsible for any one competency". Hal ini mengandung makna bahwa ketika suatu
SMP mengembangkan KTSP maka setiap kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik
harus dikembangkan oleh setiap mata pelajaran. Penerapan prinsip ini menghendaki agar
sekolah mengembangkan desain konten kurikulum yang secara jelas memperlihatkan pada
setiap pokok bahasan nilai dan keterampilan yang dinyatakan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa, belajar aktif, kewirausahaan, dan ekonomi kreatif. Setiap materi

8
pengetahuan yang dipelajari pada setiap pokok bahasan memiliki kewajiban mengembangkan
kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang telah ditetapkan. Prinsip yang
dikemukakan tentang pengembangan kompetensi dikembangkan ketika sekolah
mengembangkan dokumen kurikulum, dilanjutkan pada waktu mengimplementasikan
kurikulum dalam bentuk proses. Komponen dokumen kurikulum terdiri atas berbagai
komponen, tetapi paling tidak ada komponen tujuan, konten, proses, dan penilaian hasil
belajar.

Dimensi proses adalah implementasi dari apa yang direncanakan dalam dimensi dokumen.
Pelaksanaan atau implementasi itu mungkin sama tapi mungkin juga berbeda dari apa yang
direncanakan dalam dokumen. Dimensi proses terkadang disebut dengan istilah implemented,
observed, atau reality. Ini adalah dimensi kurikulum yang sangat menentukan apakah ide dan
apa yang dirancang dalam dokumen kurikulum menjadi suatu kenyataan, suatu pengalaman
belajar riil yang dialami peserta didik. Implementasi kurikulum menentukan apakah
kurikulum sebagai dokumen yang ”ininertia” menjadi suatu kekuatan pendidikan yang
berdampak pada hasil kurikulum. Berbagai pengaruh di luar kurikulum berperan dalam
keberhasilan implementasi tetapi faktor yang paling menentukan adalah guru dan kepala
sekolah. Keberhasilan implementasi kurikulum secara signifikan dipengaruhi oleh
pemahaman guru, kemampuan guru, keinginan guru serta kepemimpinan kepala sekolah
(Hasan, 1984).

Dimensi hasil adalah berkenaan dengan apa yang dimiliki oleh peserta didik. Dimensi ini
merupakan suatu pembuktian apakah peserta didik telah memiliki kemampuan yang
dirancang oleh tujuan kurikulum telah tercapai. Dimensi ini sangat kritikal dalam
menentukan keberhasilan suatu kurikulum dalam mempersiapkan peserta didik, apakah
peserta didik telah memiliki kemampuan yang dirancang sebagai jawaban kurikulum
terhadap masalah yang teridentifikasi pada awal pengembangan kurikulum (curriculum
development), dan apakah kemampuan itu memang masih diperlukan masyarakat. Dari sudut
pandang para pengambil keputusan dalam dunia pendidikan dan para pengembangan
kurikulum, keberhasilan kurikulum adalah apabila seluruh peserta didik telah memiliki
kemampuan yang dinyatakan dalam kompetensi. Oleh karena itu alat evaluasi hasil yang
digunakan haruslah memiliki tingkat validitas kurikulum (curriculum validity) yang tinggi,
bukan sekedar validitas konten. Validitas kurikulum menunjukkan tingkat kesesuaian ruang
lingkup tujuan kurikulum (pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, nilai, kebiasaan)
dengan ruang lingkup alat evaluasi yang digunakan. Validitas konten menunjukkan tingkat
kesesuaian ruang lingkup suatu konten (konsep, teori, nilai, kebiasaan) dengan ruang lingkup
butir-butir pertanyaan dari suatu tes.

2. Karakteristik Lembaga SMP

Satuan pendidikan SMP memiliki kedudukan strategis dalam proses pendidikan dan dalam
kebijakan pendidikan di Indonesia. SMP memiliki kedudukan strategis dalam proses
pendidikan karena pada tingkat sekolah ini peserta didik memasuki fase terakhir dari
pendidikan dasar yang ditetapkan Pemerintah (Wajar 9 Tahun). Wajar 9 tahun adalah
pendidikan minimal yang menjadi hak setiap warga negara. Dalam waktu 9 tahun mereka
mengembangkan potensi dirinya menjadi kualitas minimal dan dasar agar dapat berperan
sebagai warga negara yang produktif, antisipatif, dan bertanggung jawab.

9
Sensitivitas kedudukan SMP ini menempatkan proses pembelajaran di SMP menjadi sangat
kritikal dan harus mampu dalam mengembangkan kualitas peserta didik sebagai warga
negara yang cerdas, mandiri, aktif dan kreatif, kemampuan dan kemauan belajar, senang
membaca, kerja keras, jujur, memiliki rasa ingin tahu dan keinginan mengembangkan diri,
menghargai prestasi, serta berani dan bertanggung jawab dalam tindakan. Berbagai masalah
dan kesulitan dalam belajar yang dialami peserta didik untuk mengembangkan potensi
menjadi kualitas dirinya sudah harus dapat diatasi oleh kurikulum SMP. Posisi SMP menjadi
posisi menentukan keberlangsungan hidup bangsa, kemampuan bangsa dalam berhadapan
dengan persaingan dunia internasional serta kemampuan peserta didik dalam
mensejahterakan kehidupannya (good-life) dan kehidupan bangsanya. Kedudukan ini
berkenaan dengan kehidupan sebagian besar warga negara Indonesia yang karena sesuatu
alasan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
pemerintah dan pemerintah daerah sangat perlu untuk memperhatikan dan peduli terhadap
kualitas proses pendidikan yang diberikan setiap satuan pendidikan SMP.

Pendidikan di atasnya, jenjang pendidikan menengah dan tinggi, merupakan jenjang


pendidikan pengembangan kemampuan dasar yang telah dimiliki peserta didik SMP. Apalagi
karena berbagai hal sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah, maka kualitas proses pendidikan selama 3 tahun di SMP sudah seharusnya
merupakan proses pendidikan yang memantapkan kualitas dasar manusia Indonesia untuk
menjadi warganegara yang produktif, partisipatif dan bertanggung jawab.

Sementara itu, pelayanan pendidikan di SMP harus berkenaan dengan perkembangan


kejiwaan peserta didik yang penuh gejolak, memasuki masa puber yang sudah dimulai sejak
di dua tahun terakhir SD, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan sangat terbuka.
Kemampuan dalam berpikir abstrak (formal operational thinking, menurut istilah yang
digunakan Piaget, dan enactive menurut Bruner) telah menjadi pendorong untuk
mempertanyakan banyak hal dari apa yang sedang dipelajarinya dan tidak mempercayai
berbagai norma dan nilai yang ada di lingkungannya.

Atas dasar kedudukan lembaga yang sangat penting dan karateristik peserta didik yang
dilayaninya, maka pengembangan kurikulum SMP perlu dilakukan dengan sangat hati-hati
dan wawasan pedagogis yang tinggi.

3. Karakteristik Peserta didik SMP

Peserta didik SMP adalah mereka yang sudah berada pada tingkat perkembangan intelektual
formal (formal operational thinking). Pada jenjang berpikir formal, kemampuan untuk
memahami dan menggunakan berbagai konsep abstrak sudah dimulai, walau pun beberapa
studi menunjukkan bahwa pada usia 11 dan 12 tahun anak sudah mulai mengembangkan
kemampuan berpikir abstrak. Pada waktu mereka mengikuti proses pendidikan di SMP
kemampuan berpikir abstrak diperkuat dan dikembangkan. Oleh karena itu proses pendidikan
di SMP perlu memperhatikan faktor kemampuan kognitif peserta didik sehingga memiliki
keterampilan berpikir pada tingkat yang mampu mengembangkan kreativitas. Kemampuan
kognitif tersebut disertai dengan pengembangan aspek nilai dan moral pada diri sehingga
mampu mengembangkan rasa senang belajar, rasa ingin tahu, senang pada kreativitas, dan
pengembangan karakter yang kuat.

10
Turiel (1978) menyatakan bahwa para peserta didik pada masa remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan
lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya.
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang
diberikan pada mereka selama tanpa disertai bantahan. Bantahan tersebut tercipta karena
mereka telah menghasilkan pengetahuan, nilai, sikap baru yang mungkin berbeda bahkan
bertentangan dengan apa yang sudah dimiliki guru, orang tua, dan masyarakat. Menghadapi
bantahan tersebut secara frontal bukanlah suatu sikap yang menguntungkan, baik bagi yang
bersangkutan maupun para guru serta masyarakat. Proses pembelajaran di SMP harus mampu
menyalurkan gejolak remaja SMP menjadi suatu yang produktif bagi dirinya, masyarakat,
dan bangsa.
Sejalan dengan perkembangan intelektualitas, terjadi perkembangan yang mendasar pada diri
peserta didik SMP dalam rasa ingin tahu, perkembangan kehidupan dan interaksi sosial
yang beragam, serta perkembangan moral yang kritikal. Rasa ingin tahu peserta didik sering
tidak mendapat kesempatan berkembang dalam suatu proses pendidikan sehingga Shulman
(1974) menyimpulkan bahwa proses pendidikan yang terjadi cenderung untuk “membunuh”
dorongan rasa ingin tahu peserta didik. Oleh karena keberhasilan/kegagalan proses
pendidikan di SMP dalam pengembangan kemampuan intelektual formal peserta didik dalam
mempertanyakan banyak hal “baru” bagi mereka akan berdampak pada pengembangan rasa
ingin tahu peserta didik. Ketika proses pendidikan tidak mampu mengembangkan
kemampuan intelektual dan rasa ingin tahu mereka, maka peserta didik akan menutup
keinginan untuk membaca dan mencari informasi dari berbagai sumber, mengolah informasi,
mencari pengetahuan baru dan menggunakan apa yang sudah mereka pelajari. Apabila proses
pembelajaran pendidikan di SMP tidak mampu mengembangkan kualitas tersebut, maka
peserta didik akan memposisikan dirinya sebagai penerima dan bukan “penghasil”
pengetahuan, nilai, moral/karakter. Kemampuan dan keinginan belajar sepanjang hayat pada
diri mereka menjadi redup dan menuju ke titik yang sudah sukar untuk dikembangkan
kembali. Oleh karena itu proses pembelajaran di SMP mempunyai tanggungjawab besar
dalam mengembangkan hasil belajar peserta didik SMP yang mampu mengembangkan
potensi mereka untuk mampu dan mau belajar sepanjang hayat.

Sejalan dengan perkembangan intelektualitas, terjadi perkembangan yang mendasar pada


aspek emosi peserta didik SMP dimana emosi mereka meluap-luap, perkembangan
kehidupan dan interaksi sosial yang beragam, serta perkembangan moral yang kritikal. Turiel
(1978) menyatakan bahwa para peserta didik pada masa remaja mulai membuat penilaian
tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan
mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya. Remaja
tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada
mereka selama tanpa disertai bantahan. Bantahan tersebut tercipta karena mereka telah
menghasilkan pengetahuan, nilai, sikap baru yang mungkin berbeda bahkan bertentangan
dengan apa yang sudah dimiliki guru, orang tua, dan masyarakat. Menghadai bantahan
tersebut secara frontal bukanlah suatu sikap yang mnguntungkan baik bagi yang
bersangkutan mau pun para guru serta masyarakat. Guru SMP harus memahami kenyataan ini
dan menghadapinya dengan cara yang mampu menyalurkan gejolak remaja SMP menjadi
suatu yang produktif bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa.

11
C. Landasan Empiris

1. Konsep Mata Pelajaran


Konsep mata pelajaran hendaknya tergambarkan dalam standar isi yang memuat standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Hal yang harus diperhatikan dalam standar isi yang
dijadikan dasar dalam mengembangkan materi pelajaran adalah proporsi penyebaran SK dan
KD pada setiap semester dan alokasi waktu yang disediakan. Umumnya pada semua mata
pelajaran yang ada di SMP, penyebaran SK dan KD belum begitu proporsional baik pada
setiap semester dan alokasi waktu yang disediakan. Penyebaran SK dan KD pun harus
mempertimbangkan jenjang yang hierarchis atau tingkat kesulitan dengan pertimbangan
semester. Selain itu sebaran SK dan KD pun harus mempertimbangkan bahwa dalam
memahamai suatu materi pelajaran perlu adanya suatu prasyarat, artinya siswa untuk
memahami suatu materi B misalnya harus memahami materi A dulu, jangan sampaikan
tingkat kesulitan itu disejajarkan. Misalnya dalam kasus pelajaran bahasa Inggris di SMP.
Masalah terkait dengan pengelompokan SK dan KD ke dalam empat aspek keterampilan
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Terjadi pengulangan rumusan kompetensi
komunikatif yang sama bahkan sampai sebanyak empat kali, yang pembedanya hanya kata
‘memahami’, ‘mengungkapkan’, dll. Hal ini terjadi dari Semester 1 Kelas VII sampai dengan
Semester 2 Kelas XII. Keempat aspek keterampilan harus dirumuskan SK dan KDnya secara
sejajar. Maka terjadi perumusan SK dan KD yang terlalu sulit bagi siswa Kelas VII. Tentunya
pada level tersebut siswa belum memiliki cukup waktu untuk terbiasa mendengar dan
membaca teks yang bersangkutan, tetapi sudah dituntut untuk dapat menghasilkan secara
tertulis. Tuntutan yang terlalu tinggi juga akan beresiko terbentuknya perkembangan yang
masing-masing tahapnya rapuh dan tidak terisi penuh dengan unsur-unsur pendukung yang
diperlukan. Tidak ada pembeda cakupan genre yang sama pada semester atau kelas yang
berlainan. Sebagai contoh, sebaran pembelajaran teks descriptive, recount, procedure,
narrative dan report di SMP.
Mata pelajaran pada dasarnya memiliki konsep tersendiri yang dibedakan dengan mata
pelajaran yang lainnya. Konsep mata pelajaran tersebut akan tercermin dalam materi yang
akan disampaikan. Pada mata pelajaran di SMP ada konsep mata pelajaran yang kurang jelas
mengenai konsep dengan uraian materi yang ada pada SK dan KD. Mata pelajaran tersebut
adalah IPS dan IPA. Konsep yang digunakan dalam IPS di SMP diberi nama IPS Terpadu.
Ada dua masalah utama yang berkaitan dengan IPS di SMP yaitu sequens dan materi
(content). Urutan yang digunakan dalam IPS SMP tidak jelas konsepnya apakah konsep
Kurikulum IPS Terpadu, Korelasi, atau Terpisah-Pisah. Walaupun diberi nama IPS Terpadu
akan tetapi dalam kenyataannya SK dan KD tetap terpisah-pisah antara Sejarah, Ekonomi,
Geografi dan Sosiologi, sehingga materi yang tercantum dalam SK dan KD tidak berurutan.
Ada upaya untu memadukan dalam suatu tema yang diuraikan dalam KD yang beragam,
misalnya KD nya tersebut ada aspek sejarah dan Geografi. Tetapi cara memadukannya
tersebut kurang tepat. Pada umumnya materi mata pelajaran IPS dan alokasi waktu yang
disediakan kurang proporsional. Waktu yang diberikan sangat singkat sedangkan materi yang
harus diberikan cukup banyak. Selain alokasi waktu yang tidak proporsional, terdapat juga
sebaran materi yang tidak merata. Semestinya proporsi sebaran materi sejarah, geografi,
ekonomi, dan sosiologi merata pada setiap semester dan kelas.
Begitu pula dalam konsep IPA Terpadu sangat sulit untuk dipadukan. Beberapa
masalah yang muncul dalam standar isi yang ada pada IPA di SMP yaitu urutan penyajian
kompetensi yang kuran logis,Keluasan dan kedalaman materi kurang terdefinisi dengan jelas,
distribusi kompetensi dalam 3 tahun kurang merata, hubungan antara kompetensi pada SK

12
kurang relevan dengan kompetensi pada KD, distribusi muatan fisika, biologi, dan kimia
dalam satu tahun tidak sama, dan pelaksanaan IPA terpadu belum maksimal karena
urutan/letak SK dan KD yang dapat diintegrasikan berada pada kelas yang berbeda.

2. Layanan Pendidikan
Layanan pendidikan sejatinya bersifat inklusif, yaitu suatu layanan pendidikan yang
diberikan oleh Sekolah Biasa atau Sekolah Umum (SD/MI, SMP/MTs, atau SMA/MA),
yang proses pembelajarannya dapat mengakomodasi semua peserta didik tanpa diskriminasi.
Namun demikian, untuk memberikan layanan pendidikan yang optimal dan berkeadilan,
layananan pendidikan pada satuan pendidikan SMP biasanya dilakukan dalam beberapa kelas
layanan, yaitu:
a. Kelas Reguler, diberikan untuk melayani peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa dalam kategori rata-rata, menggunakan kurikulum lokal dan nasional,
dengan masa belajar 3 tahun;
b. Kelas Khusus/Plus, diberikan untuk melayani peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa dalam kategori di rata-rata, menggunakan kurikulum
lokal dan nasional yang dimodifikasi sedemikian rupa, dengan masa belajar 3 tahun;
c. Kelas Cerdas Istimewa, diberikan untuk melayani peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa dalam kategori di atas rata-rata dengan, menggunakan
kurikulum yang lokal, nasional dan internasional serta proses pembelajarannya dengan
sistem bilingual, dengan masa belajar 2 tahun;
d. Kelas Bertaraf Internasional, diberikan untuk melayani peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam kategori di atas rata-rata, dengan
menggunakan kurikulum lokal, nasional dan internasional serta proses pembelajarannya
dengan sistem bilingual, dengan masa belajar 3 tahun;

3. Peserta Didik

Peserta didik SMP adalah mereka yang berusia antara 13 dan 15 tahun, di mana pada usia ini
mereka sedang berada pada fase remaja antara 10 dan 19 tahun. Masa remaja (adolescence)
adalah periode peralihan atau perkembangan dari masa kekanakan (childhood) menuju masa
dewasa (adulthood). Seseorang yang berada pada masa remaja ini ditandai antara lain dengan
pubertas (keinginan untuk mendekat ke lawan jenis) dan pencarian jati diri. Berkenaan
dengan hal itu, Arnett (1999) mengatakan bahwa G. Stanley Hall (1904) proposed that
adolescence is inherently a time of storm and stress. Conflict at this stage of development is
normal and unusual. Namun demikian, menurut Arnett bahwa Hall’s view continues to be
addressed by psychologists. For the most part, contemporary psychologists reject the view
that adolescent storm and stress is universal and inevitable.

Jelasnya bahwa peserta didik SMP berada pada masa remaja yang sangat berdekatan dengan
gejolak, stres, pubertas, dan tingkat kemampuan berpikir abstrak dan memaknai suatu objek
tanpa memerlukan fisiknya atau bahkan pengalaman sebelumnya. Peserta didik SMP
termasuk dalam kategori pendidikan dasar, di mana pemerintah Indonesia telah
mencanangkan dan mewajibkan kepada mereka untuk minimal mengikuti wajib belajar 9
tahun (pendidikan SD 6 tahun dan SMP 3 tahun)

13
4. Sistem Penilaian:

Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 Pasal 63 (1), menetakan bahwa penilaian
pendidikan pada satuan pendidikan SMP terdiri atas:
a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik, dilakukan melalui: pengamatan, ulangan dan
penugasan;
b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan (Ujian Sekolah dan penilaian Akhir),
merupakan salah satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan;
c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah (Ujian Nasional), merupakan salah satu syarat
kelulusan dari satuan pendidikan.
(1) Penilaian hasil belajar oleh pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1
butir a dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir
semester, dan ulangan kenaikan kelas.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. menilai pencapaian kompetensi peserta didik;
b. bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan
c. memperbaiki proses pembelajaran.
(3) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui:
a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan
kepribadian peserta didik; serta
b. ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
(4) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan
karakteristik materi yang dinilai.
(5) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui
pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan
afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik.
(6) Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan
dilakukan melalui:
a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai
perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; serta
b. ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

Ulangan Harian
Dilakukan setelah peserta didik selesai dari satu Kompetensi Dasar atau lebih. Ulangan
Harian tersebut dilakukan melalui: tertulis, observasi, penugasan, atau lainnya.

Ulangan Tengah Semester


Dilakukan setelah peserta didik selesai dari beberapa Kompetensi Dasar (8 - 9 minggu
pembelajaran). Ulangan Tengah Semeseter tersebut dilakukan melalui: tes tertulis atau
penugasan.

Ulangan Akhir Semester


Dilakukan setelah peserta didik selesai dari semua Kompetensi Dasar pada semester yang
bersangkutan. Ulangan Akhir semester tersebut dilakukan melalui: tes tertulis atau penugasan

14
Ulangan Kenaikan Kelas

Dilakukan setelah peserta didik selesai dari semua Kompetensi Dasar pada akhir semester
genap. Ulangan Kenaikan Kelas tersebut dilakukan melalui: tes tertulis atau penugasan

Kriteria Kenaikan Kelas


a. Kriteria Umum:
Kehadiran peserta didik di luar sakit minimal 95%;

b. Kriteria Khusus:
1. Tidak ada nilai 40 (empat puluh) atau kurang dari 40 (empat puluh) untuk semua
mata pelajaran;
2. Nilai murni rata-rata untuk semua mata pelajaran termasuk psikomotor
sekurang-kurangnya sesuai dengan target Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang
telah ditetapkan oleh sekolah;
3. Hanya boleh ada 3 (tiga) nilai kurang (NK), dengan ketentuan sesuai dengan KKM
yang berlaku di masing-masing kelas/program.
4. Nilai sikap dan kepribadian minimal BAIK (B).

Penetapan kenaikan kelas dihitung dari nilai semester 1 dan 2, dengan ketentuan sebagai
berikut:
- Hitunglah rata-rata nilai semester 1 dan 2 pada mata pelajaran tersebut;
- Hitunglah rata-rata KKM semester 1 dan 2 mata pelajaran tersebut;
- Jika nilai semester 1 dan 2 mata pelajaran tersebut sama atau lebih besar dari rata
rata KKM, mata pelajaran tersebut dinyatakan tuntas;

Ujian Sekolah

Ujian Sekolah/Madrasah adalah ujian akhir bagi peserta didik kelas IX pada satuan
pendidikan SMP dengan materi ujian yang tidak di-ujianasionalkan, yaitu pada kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Kriteria kelulusan UjianSekolah/Madrasah
untuk satuan pendidikan SMP/MTs, ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan
nilai Sekolah/Madrasah (S/M) untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Nilai Sekolah/Madrasah (satuan pendidikan SMP) adalah gabungan 0,60 nilai Ujian Sekolah
dan 0,40 rata-rata nilai rapor semester 1,2,3,4, dan 5 untuk SMP/MTs.

Ujian Nasional

Pengertian Ujian Nasional (UN) adalah penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang
bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi

Tujuan Ujian Nasional (UN) untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional
pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi.

15
Kegunaan Hasil Ujian Nasional (UN):

Sebagai salah satu pertimbangan untuk:


1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. Penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
4. Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Penilaian Berbasis kelas

Perubahan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik SMP yaitu
dengan menerapkan pendekatan penilaian kelas (“classroom assessment”). Pengertian yang
dikemukakan Stassen, Doherty, dan Poe (2008) tentang penilaian kelas adalah “the
systematic collection and analysis of information to improve student learning”. Pengertian ini
mengandung makna bahwa penilaian yang dilakukan guru setiap saat di kelas diarahkan
untuk memperbaiki hasil belajar peserta didik. Perbaikan hasil belajar tersebut diarah agar
peserta didik memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dianggap mencapai standar
yang ditetapkan.

Pendekatan ini menghendaki adanya perubahan dalam cara pandang pendidikan dan belajar
serta penilaian guru terhadap pencapaian hasil belajar. Dengan cara pandang ini informasi
mengenai tingkat penguasaan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik yang diperoleh dari
ulangan, tugas, dan alat lain tidak digunakan untuk memberikan sanksi kepada peserta didik.
Peserta didik tidak dianggap sebagai objek yang sedang berpacu dan guru menjadi wasit
dalam menentukan keberhasilan setiap peserta pacuan. Dengan pendekatan penilaian kelas,
peserta didik dianggap sebagai subjek dalam pendidikan dan pembelajaran adalah proses
membantu peserta didik untuk menguasai pengetahuan dan kemampuan yang dinyatakan
dalam tujuan.

Melalui penilaian kelas maka proses belajar bukan lagi tempat dimana peserta didik bekerja
dengan kemampuan mereka sendiri dan kemudian dinilai keberhasilan. Dalam Penilaian
kelas, proses belajar diposisikan proses belajar sebagai kesempatan kesempatan yang luas
bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan dengan
bantuan guru dan bahkan teman sekelas. Keberhasilan pendidikan dinilai apabila seluruh
peserta didik memiliki pengetahuan dan kemampuan minimal yang dipersyaratkan, dalam
konteks penilaian kelas pengetahuan dan kemampuan minimal tersebut dinyatakan dalam
tujuan khusus pembelajaran.

Perbedaan yang terjadi antar peserta didik bukan antara mereka yang menguasai dan tidak
menguasai sebagaimana yang terjadi pada saat sekarang. Perbedaan yang terjadi, pendekatan
penilaian kelas tidak menolak adanya perbedaan tersebut, adalah antara peserta didik yang
memiliki penguasaan minimal yang dipersyaratkan dan mereka yang memiliki penguasaan di
atas yang dipersyaratkan. Oleh karena itu pendekatan penilaian kelas sangat sesuai dengan
pandangan dan kebijakan modern pendidikan, bahwa setiap anak bangsa dapat memiliki
kemampuan yang dinyatakan dalam standar kelulusan peserta didik.

16
Tujuan penilaian kelas adalah untuk:
 Menemukan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah tercapai dan proses pembelajaran
terjadi, sebagaimana telah direncanakan guru dalam RPP (To find the extend to which
anticipated outcomes actually occur and determine to what degree learning takes place)
 Mengembangkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif (Makes the learning process
more effective)
 Membantu guru menjadi lebih baik (Help instructors become better teacher)
 Memberikan masukan yang sistematis kepada peserta didik tentang kekuatan dan
kelemahan hasil belajar mereka (Provides systematic feedback to students)
Stassen, Doherty, dan Poe (2008)
Alasan tersebut menyebabkan pendekatan penilaian kelas menjadi pendekatan yang
memberikan pencerahan dalam dunia pendidikan, masya

17
BAB IV

PENATAAN KURIKULUM

A. Standar Kompetensi Lulusan


Standar Kompetensi Lulusan (SKL) menggambarkan kualitas minimal dalam pengetahuan,
ketrampilan, dan nilai yang harus dimiliki setiap peserta didik ketika mereka menyelesaikan
pendidikan di SMP. Kualitas minimal tersebut adalah kualitas minimal yang berlaku secara
nasional dan menjadi kualitas minimal warganegara Indonesia. Standar Kompetensi Lulusan
menentukan isi yang harus dipelajari peserta didik, pembelajaran yang akan dialami peserta
didik untuk menguasai kemampuan minimal yang dinyatakan dalam SKL, serta penilaian
hasil belajar peserta didik untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat pencapaian SKL,
evaluasi proses pelayanan pendidikan SMP, serta sumber belajar. Oleh karena itu SKL
memiliki kedudukan yang demikian penting sesuai dengan prinsip kurikulum berbasis
kompetensi dan standar yang dikelompokkan oleh Oliva sebagai “outcomes-based
curriculum”. Meski pun demikian, SKL bukan kurikulum dan SKL tidak menentukan apa dan
bagaimana sebuah kurikulum (konstruksi dokumen, implementasi, dan evaluasi kurikulum).

Standar Kompetensi Lulusan SMP bersumber dari Tujuan Pendidikan Nasional, karakteristik
SMP, konten kurikulum SMP yang ditetapkan dalam Sisdiknas, dan ekspektasi kualitas hidup
bangsa Indonesia di masa mendatang. Secara kategorial, sebagaimana telah disebutkan di
alinea terdahulu, SKL yang harus dikuasai peserta didik SMP terdiri atas pengetahuan yang
dianggap penting untuk dimiliki oleh seluruh warganegara, ketrampilan yang dapat
digunakan untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan, serta nilai dan sikap yang
menjadi landasan dan wawasan dalam melihat masalah dan menyelesaikan masalah,
berkehidupan dalam dimensi sosial-ekonomi-politik-budaya-seni-ilmu-teknologi,
mengembangkan diri dalam berbagai apek kehidupan sebagai dirinya (personal), anggota
masyarakat di mana dia bertempat tinggal, dan berbangsa. Komponen pengetahuan SKL
untuk SMP yang dinyatakan dalam UU Sisdiknas dikembangkan lebih lanjut menjadi
Standar Isi yaitu berupa kelompok pokok konten (strands) sebuah mata pelajaran yang
dianggap penting untuk dimiliki seluruh warganegara Indonesia.

Diantara ketrampilan dasar yang harus dimiliki peserta didik adalah kemampuan membaca,
kemampuan kognitif, kreativitas, kemampuan belajar (learning skills), kerjasama,
kemampuan menggunakan teknologi, dan kemampuan memecahkan masalah. Ketrampilan
dasar ini berlaku untuk seluruh mata pelajaran dan “strands” yamg ditetapkan sebagai Standar
Isi. Satuan pendidikan memiliki hak untuk menambah “strands” dari suatu mata pelajaran
dan/atau mengembangkan materi dari lingkungan (muatan lokal) sebagai “strands” suatu
mata pelajaran. Diantara nilai dasar yang perlu menjadi milik peserta didik adalah kebiasaan
membaca, rasa ingin tahu, keinginan belajar sepanjang hayat, jujur, kerja keras, bersikap dan
bertindak demokratis, menghargai prestasi, rasa kebangsaan dan lain-lain sebagaimana
dinyatakan dalam dokumen pendidikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.

Kemampuan kognitif bukan pengetahuan. Kemampuan kognitif adalah kemampuan


memeroses dan menggunakan informasi (berpikir). Kemampuan memeroses dan
menggunakan informasi yang dipelajari peserta didik mulai dari jenjang mengingat,
memahami, mengaplikasi suatu prosedur/teknik/langka kerja/peraturan/teori, menganalisis
suatu sumber/bacaan/ situasi/kondisi dalam kategori/hubungan antar kategori/menemukan
pikiran dasar informasi, mengevaluasi kualitas informasi yang diterima, dan menciptakan
sesuatu yang “baru” dari apa yang sudah dipelajari (kreativitas). Kemampuan mengingat dan

18
memahami adalah kemampuan kognitif dasar yang sangat diperlukan untuk mengembangkan
kemampuan jenjang kognitif di atasnya, dan relatif lebih mudah dikuasai dibandingkan empat
kemampuan kognitif lainnya. Penguasaan kemampuan kognitif memerlukan upaya keras dari
peserta didik dan didorong oleh berbagai nilai yang perlu dimiliki peserta didik (ketekunan,
kerja keras, rasa ingin tahu, rasa senang belajar, dan sebagainya) pada jenjang afektif
tertinggi (karateristik).

Kemampuan belajar (learning skills) memuat sejumlah kemampuan kognitif berupa


kemampuan kognitif untuk menenentukan informasi dan mencari sumber informasi yang
diperlukan (heuristik)2, cara mempelajari sumber untuk mendapatkan informasi (data
collection), analisis data (memeroses informasi, membangun pengetahuan “baru” sebagai
hasil dari memeroses informasi), serta mengkomunikasikan pengetahuan baru tadi dengan
cara yang sesuai dengan dirinya. Selanjutnya, pengetahuan baru (fakta, konsep, prinsip, nilai,
moral/karakter) tersebut dikembangkan secara internal menjadi bagian dari dirinya yang
“baru”.

Untuk mengembangkan nilai dan sikap yang dikemukakan dalam alinea di atas oleh peserta
didik, mereka memerlukan kemampuan afektif. Kemampuan afektif adalah kemampuan
menerima dan tanggap terhadap nilai/ moral, melakukan proses penentuan
kebaikan/keburukan nilai/moral, menentukan apakah akan menempatkan atau tidak
nilai/moral baru tersebut pada sistem nilai/moral yang sudah ada pada dirinya, serta
mengembangkan nilai/moral tersebut sehingga menjadi bagian dari dirinya dan membentuk
karakter/jatidiri “baru” berdasarkan nilai/moral tersebut. Karakter baru itu tercermin dalam
wawasan berpikir, dalam melihat masalah, dalam berkomunikasi/bertindak terhadap orang
lain, dalam bekerja/belajar, dalam menentukan cara hidup, dan sebagainya. Pengembangan
nilai dalam diri siswa sehingga menjadi karakter/jatidiri memerlukan penguasaan
kemampuan kognitif pada jenjang memahami atau lebih tinggi.

Kemampuan psikomotorik adalah kemampuan kognitif dan afektif seseorang dalam


mengendalikan ketrampilan motorik untuk menghasilkan suatu gerakan/pekerjaan/ekspresi
pada tingkat presisi yang tinggi. Kemampuan psikomotorik memerlukan pengetahuan,
kemampuan kognitif dan afektif. Gerak-gerak motorik diperlukan peserta didik ketika mereka
melakukan peniruan (imitating), mengubah sesuatu (manipulating), mengembangkan suatu
kemampuan/gerakan (developing), menjadikan kemampuan tersebut dalam suatu tindakan
yang trampil (articulating), dan menjadikan gerak psikomotorik tersebut menjadi bagian dari
dirinya dan dilakukan sebagai kebiasaan (naturalizing).
Pada diri peserta didik SMP harus terjadi perubahan pada kemampuan kognitif, afektif atau
psikomotornya. Oleh karena itu kurikulum SMP dalam bentuk dokumen harus mencakup
berbagai aspek pengetahuan, ketrampilan dan nilai tersebut. Kurikulum sebagai suatu proses
atau implementasi harus mampu mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai
sehingga menjadi hasil belajar peserta didik. Dengan perkataan lain, kurikulum SMP
merupakan satu kesatuan antara perencanaan, pelaksanaan, dan hasil.

2
Dalam proes pembelajaran di kelas kemampuan belajar peeserta didik seringkali menggunakan
informasi yang sudah tersedia dari guru sebagai sumber informasi tetap sehingga kemampuan heuristik
(mencari sumber dan mengambil informasi dari sumber) tidak berkembang. Informasi yang
disampaikan guru umumnya adalah dalam bentuk pengetahuan yang sudah jadi sehingga kemampuan
mengolah informasi dan membangun pengetahuan terabaikan. Rendahnya kemampuan belajar
berakibat pada rendahnya kemampuan belajar sepanjang hayat (apalagi jika ketrampilan membaca dan
rasa ingin tahu peserta didik juga rendah). Ujungnya, selesai dari pendidikan di SMP mereka tidak
dalam posisi mampu belajar sepanjang hayat.

19
Standar Kompetensi Lulusan tidak dapat dan tidak boleh dirumuskan dalam bentuk tujuan.
Hal ini disebabkan bukan saja SKL berbeda dari tujuan tetapi apabila SKL dirumuskan
sebagai tujuan maka rumusan tersebut merusak hakekat materi SKL. Materi SKL terdiri atas
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai/moral/ sikap dan ketiganya memiliki hakekat yang
berbeda. Pengetahuan adalah dasar untuk pengembangan ketrampilan dan proses internalisasi
nilai/moral/sikap. Pada gilirannya, ketrampilan diperlukan untuk menambah dan memperluas
pengetahuan baik ketika peserta didik melakukan aktivitas belajar di sekolah mau pun ketika
sudah tidak lagi berstatus sebagai peserta didik. Ketrampilan hanya dapat digunakan apabila
ada dorongan nilai/moral/sikap. Seseorang baru akan belajar (belajar sepanjang hayat bukan
sekolah sepanjang hayat) ketika ia memiliki rasa ingin tahu, ketabahan dalam menghadapi
berbagai kesulitan belajar, menghargai prestasi, dan senang membaca. Oleh karena itu, SKL
dirumuskan dalam kelompok pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik, kemampuan
kognitif/memeroses informasi/berpikir, kemampuan afektif yang mencapai tingkat tertinggi
berupa kebiasaan yang menjadi jatidiri seseorang, dan kemampuan psikomotorik.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) peserta didi
SMP haruslah memiliki:

1. Pengetahuan Esensial tentang:


- kelahiran dan perkembangan kehidupan Bangsa Indonesia;
- kehidupan sosial-budaya-ekonomi-politik Bangsa Indonesia;
- wilayah geografis, lingkungan alam dan lingkungan biologi Indonesiadan dunia
beserta kekayaan alam Indonesia
- kehidupan bangsa dan negara lain yang saling terkait dengan kehidupan bangsa
Indonesia di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, ilmudan teknologi
- fakta, konsep, teori, prosedur esensial dan temuan penting dalam ilmu dan teknologi
(termasuk temuan penting yang mengubah kehidupanummat manusia)
- Perkembangan teknologi dalam kehidupan bangsa Indonesia
- Globalisasi dan dampaknya bagi kehidupan bangsa Indonesia nilai, moral/karakter
positif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan Bangsa Indonesia

2. Kemampuan Esensial dalam:


- berbahasa dan berkomunikasi
- membaca
- berhitung
- belajar
- berpikir kritis, analitis, dan kreatif
- memecahkan masalah
- menggunakan teknologi
- kewirausahawan

3. Memiliki, Moral, Sikap dan Kebiasaan yang dikembangkan dari:


- iman, taqwa dan akhlak mulia
- rasa ingin tahu
- kepedulian sosial,
- jujur,
- kerja keras,
- kreatif dan inovatif,
- cinta bangsa dan tanah air,
- disiplin

20
- teliti,
- toleransi,
- mandiri,
- demokratis,
- cinta damai,
- peduli lingkungan,
- tanggung-jawab
- kerjasama
- hidup sehat

B. Kerangka Dasar Kurikulum


Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6
ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.

Cakupan setiap kelompok mata pelajaran disajikan pada Tabel berikut ini:

No Kelompok Mata Cakupan


Pelajaran
1. Agama dan
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
Akhlak Mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti,
atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan
agama.
2. Kewarganega- Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
raan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan
Kepribadian kesadaran dan wawasan peserta didik akan status,
hak, dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan
kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara,
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,
kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan
hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung
jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan
membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti
korupsi, kolusi, dan nepotisme.

21
No Kelompok Mata Cakupan
Pelajaran
3. Ilmu Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
Pengetahuan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan
dan Teknologi untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu
pengetahuan dan teknologi serta membudayakan
berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.

4. Estetika Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan


untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan
mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi
keindahan dan harmoni. Kemampuan
mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan
serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi,
baik dalam kehidupan individual sehingga mampu
menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam
kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu
menciptakan kebersamaan yang harmonis.
5. Jasmani, Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan
Olahraga dan kesehatan pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan
Kesehatan untuk meningkatkan potensi fisik serta
membudayakan sportivitas dan kesadaran hidup
sehat.

22
C. Struktur Kurikulum

STRUKTUR KURIKULUM SMP

KELOMPOK/ KELAS DAN ALOKASI WAKTU


PROGRAM MATA PELAJARAN VII VIII IX
1.Pendidikan Agama 2 2 2
PUSAT
2.Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2
(NASIONAL)
3.Bahasa Indonesia 4 4 4
4.Matematika 4 4 4
PUSAT/ 5.IPS 4 4 4
DAERAH 6.IPA 4 4 4
(NASIONAL/ 7.Bahasa Inggeris 4 4 4
PROPINSI)
PEMERINTAH 1.Pendidikan Jasmani dan 2 2 2
DAERAH Olahraga
1.Seni-Budaya
2.Ketrampilan (Ditentukan
4 4 4
Pemerintah Daerah)
3.TIK

SATUAN 1.Mulok
PENDIDIKAN 2.Pengembangan Diri 4 4 4

JUMLAH 34 34 34

PENJELASAN:

MATA PELAJARAN KELOMPOK PUSAT/NASIONAL:


Kelompok Mata Pelajaran yang berlaku secara nasional, mewakili
kepentingan nasional, dan merupakan mata pelajaran dan materi
minimal bagi seluruh peserta Wajib Belajar 9 Tahun.

MATA PELAJARAN KELOMPOK PUSAT/NASIONAL DAN DAERAH/PROPINSI:


Kelompok Mata Pelajaran yang terdiri atas materi nasional dan lokal
yaitu pendidikan IPA, IPS dan Bahasa Inggeris. Kelompok mata
pelajaran ini mewakili kepentingan nasional dan propinsi yang
bersangkutan terkait dengan adanya sifat lingkungan sosial, ekonomi,
sejarah, geografis, dan alam yang perlu diketahui, dikenal, dan
dijadikan kepedulian peserta didik di wilayah propinsi tersebut. Mata
pelajaran ini berlaku untuk SMP/MTs di seluruh Indonesia dengan
catatan menjadi mata pelajaran wajib di provinsi terkait.

23
KELOMPOK DAERAH:
Kelompok Mata Pelajaran yang ditentukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota satuan pendidikan dan mewakili kepentingan
pengembangan wilayah terkait. Melalui mata pelajaran dalam
kelompok itu peserta didik mengenal, menghayati dan mampu
memberikan apresiasi terhadap seni-budaya di daerah tersebut tanpa
menutup diri dari seni-budaya nasional; mengembangkan kehidupan
jasmani dan rohani yang sehat dan sesuai dengan lingkungan sosial-
budaya masyarakat, serta lingkungan teknologi dan kemampuan
pemerintah dalam menyediakan fasilitas belajar di bidang seni-
budaya, pendidikan jasmani dan oleharaga, serta teknologi.
SATUAN PENDIDIKAN:
Satuan Pendidikan memiliki kewajiban untuk mengembangkan mata
Pelajaran muatan lokal dan kepribadian serta mengembangkan semua
yang dalam kelompok di atas dalam suatu dokumen Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.

D.Pengelolaan Kurikulum

1.Model Pengembangan

Model kurikulum yang digunakan adalah revisi dari model Goodlad (Marsh). Model
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

PEMERINTAH (PUSAT) : SKL, Standar Isi, Struktur Kurikulum, Mata Pelajaran


Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, dan Matematika
PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH PROVINSI : Standar Isi dan SK mata pelajaran IPA, IPS, Dan Bahasa
Inggeris oleh Pemerintah, konten mata pelajaran oleh
Pemerintah Provinsi

PEMERINTAH DAERAH : Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengembangkan


SK/KD Pendidikan Jasmani dan Olahraga,Pendidikan
Ketrampilan, TIK, Seni-Budaya

SATUAN PENDIDIKAN : Setiap Satuan Pendidikan SMP mengembangkan mater


muatan lokal untuk dikemas dalam mata pelajaran, program
pengembangan kepribadian KTSP

Pemerintah memiliki wewenang dan tanggungjawab mengembangkan Standar Kompetensi


Lulusan dan Standar Isi, Struktur Kurikulum dan mata pelajaran Pendidikan Agama,
Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan Matematika. Kompetensi lulusan
adalah kualitas minimal yang harus dimiliki setiap peserta didik yang telah menyelesaikan
pendidikan di jenjang pendidikan tertentu dan satuan pendidikan tertentu. SKL dan SI adalah
pedoman dan kriteria bagi Pemerintah dalam menegakkan akuntabilitas kepada masyarakat.
Berdasarkan standar yang telah dinyatakan dalam SKL dan SI Pemerintah

24
mempertanggungjawabkan kualitas pendidikan yang diemban sebagai amanat yang diberikan
bangsa.

Untuk mencapai kualitas yang dinyakan dalam SKL dan SI SMP, Pemerintah bekerja sama
dengan pemerintah daerah melengkapi persyaratan yang bersifat fisik dan non-fisik.
Kemudian adalah kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengetahui tingkat
pencapaian SKL, dan pelaksanaan proses pendidikan untuk mewujudkan kualitas yang
ditetapkan dalam SKL. Berdasarkan informasi tingkat pencapaian tersebut maka adalah
kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan profesional, bukan
administratif semata, kepada satuan pendidikan yang memerlukan.

Demikian pula dengan Pemerintah Daerah memiliki wewenang dan tanggungjawab yang
sama dengan Pemerintah hanya berbeda dalam ruang lingkup wewenang. Jika Pemerintah
berwewenang dan bertanggungjawab secara nasional kepada seluruh bangsa maka
Pemerintah Daerah bertanggungjawab kepada masyarakat yang ada di wilayah administratif
pemerintah daerah yang bersangkutan.

Satuan pendidikan mengembangkan kurikulum yang berdasarkan Standar Kompetensi


Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan Pemerintah dan pemerintah daerah. Satuan
pendidikan mengembangkan SKL dan SI menjadi komponen kurikulum sebagai rencana
(dokumen tertulis), proses (implementasi), dan harus memberikan pertanggungjawaban
(akuntabilitas) kepada masyarakat yang dilayani mengenai kualitas pelayanan pendidikan dan
hasil belajar peserta didik di satuan pendidikan tersebut.

Keseluruhan gambaran pengembangan tersebut adalah sebagai berikut:

HASIL

SKL
PENGEMBANGAN
DOKUMEN
KURIKULUM E
(KOMPETENSI V
PENGEMBANGAN
KELAS & A
PROSES/
SEMESTER; POKOK L
SI IMPLEMENTASI
BAHASAN; U
(PERENCANAAN
PEMBELAJARAN; A
TAHUNAN,
SUMBER; ASESMEN S
SEMESTER,
HASIL BELAJAR, I
PERTEMUAN;
JAM DAN
STRATEGI
KALENDER)
IMPLEMENTASI;
EVALUASI PROSES)
DILAKUKAN
SECARA BERSAMA
(COMMUNITY OF
EDUCATORS)

25
Jenjang satuan pendidikan memiliki wewenang mengembangkan keseluruhan kurikulum
(kurikulum sebagai rencana tertulis, kurikulum sebagai proses/implementasi, dan evaluasi).
Pengembangan kurikulum sebagai rencana (dokumen kurikulum/curriculum plan), sebagai
proses/pelaksanaan kurikulum (taught/action curriculum), dan evaluasi kurikulum (assessed
curriculum) dilakukan oleh kepala sekolah dan guru secara bersama-sama sebagai
“community of educators”. Untuk pengembangan dokumen kurikulum dan pelaksanaan
kurikulum, kepala sekolah dan guru perlu melakukan “deliberation process” mengenai ide-
ide yang akan dikembangkan dalam dokumen dan pelaksanaan sehingga terbentuk kesamaan
persepsi.

Dalam kegiatan pengembangan dokumen dan pelaksanaan, satuan pendidikan perlu


mendapatkan bantuan profesional dari Dinas Pendidikan melalui Sie Kurikulum. Bantuan
profesional tersebut diberikan sejak awal kegiatan pengembangan. Artinya, tenaga
profesional yang akan mendampingi proses pengembangan dan pelaksanaan kurikulum perlu
terlibat pada kegiatan “deliberation process”.

Evaluasi Kurikulum dilakukan selama masa konstruksi dan implementasi. Satuan pendidikan
dapat menunjuk salah seorang guru atau bahkan meminta jasa dari Dinas untuk menjadi
evaluator. Evaluasi terhadap hasil belajar dilakukan sebagai kewajiban satuan pendidikan
menegakkan akuntabilitas terhadap masyarakat. Evaluasi itu dapat dilakukan baik secara
eksternal mau pun internal.

2. Model Pengelolaan Kurikulum


Sesuai dengan model pengembangan standar dan kurikulum maka pengelolaan kurikulum
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan satuan pendidikan. Dalam pengelolaan
ini Pemerintah yng telah menetapkan SKL dan Standar Isi memiliki kewajiban untuk
melakukan evaluasi dan pembinaan terhadap satuan pendidikan dalam proses konstruksi dan
implementasi.

Pemerintah bertanggungjawab secara nasional kepada seluruh bangsa dalam memberikan


jaminan bahwa seluruh standar yang telah ditentukan terpenuhi dan kualitas pelayanan
pendidikan telah memenuhi berbagai prinsip pedagogik yang memperhatikan entry behavior
peserta didik. Dalam jaminan kualitas tersebut Pemerintah memantau kegiatan
pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan untuk mendapatkan jaminan bahwa
apa yang telah dituangkan dalam SKL dan SI tercakup dalam KTSP.

Pemerintah bersama Pemerintah Daerah menyediakan bantuan profesional kepada sekolah.


Oleh karena itu pada tingkat Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus tersedia akhli
kurikulum yang bersifat umum (general) mau pun akhli kurikulum bidang studi.

Pada tingkat satuan pendidikan, pengelolaan kurikulum menjadi tanggungjawab bersama


kepala sekolah dan guru. Mereka adalah sekelompok “educators” (pedagog) yang
berkepentingan dengan pendidikan peserta didik di satuan pendidikan tersebut. Mereka
adalah sekelompok orang yang secara kelompok memberikan akuntabilitas kepada
masyarakat apa yang sudah mereka lakukan. Pengelolaan itu berkenaan dengan kegiatan
perencanaan, pengembangan proses pembelajaran, evaluasi mengenai keberhasilan dan
masalah yang mereka temukan. Guru sudah tidak boleh lagi menjadi pendidik yang bekerja
sendiri dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi tetapi bekerja dalam
komunitas sekolah.

26
E. Beban Belajar
Satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan menyelenggarakan program
pendidikan dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester. Kedua sistem
tersebut dipilih berdasarkan jenjang dan kategori satuan pendidikan yang bersangkutan.

Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Sistem Paket adalah sistem penyelenggaraan program
pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan
beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum
yang berlaku pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem Paket
dinyatakan dalam satuan jam pembelajaran.

Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik
untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan terstruktur,
dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Semua itu dimaksudkan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik.

Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi antara
peserta didik dengan pendidik. Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada
satuan pendidikan SMP ditetapkan selama 40 menit.

Beban belajar kegiatan tatap muka per minggu pada setiap satuan pendidikan SMP ditetapkan
34 jam pembelajaran.

Beban Belajar Kegiatan Tatap Muka Keseluruhan untuk Satuan Pendidikan SMP sebagai
berikut:

Minggu Jumlah
Satu jam
Jumlah jam Efektif Waktu jam per
Satuan pemb. tatap
Kelas pemb. per per pembelajaran tahun
Pendidikan muka
minggu tahun per tahun (@60
(menit)
ajaran menit)
1088 - 1216
jam
SMP/MTs/ VII pembelajaran
40 34 34-38 725-811
SMPLB*) s.d. IX (43520 -
48640
menit)

F. KALENDER PENDIDIKAN

Kurikulum satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang diselenggarakan dengan
mengikuti kalender pendidikan pada setiap tahun pelajaran. Kalender pendidikan adalah
pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang
mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif dan
hari libur.

27
Permulaan tahun pelajaran adalah waktu dimulainya kegiatan pembelajaran pada awal tahun
pelajaran pada setiap satuan pendidikan.

Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun
pelajaran pada setiap satuan pendidikan.

Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam pembelajaran setiap minggu, meliputi jumlah
jam pembelajaran untuk seluruh matapelajaran termasuk muatan lokal, ditambah jumlah jam
untuk kegiatan pengembangan diri.

Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan kegiatan pembelajaran
terjadwal pada satuan pendidikan yang dimaksud. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah
semester, jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur
umum termasuk hari-hari besar nasional, dan hari libur khusus.

Alokasi waktu minggu efektif belajar, waktu libur dan kegiatan lainnya tertera berikut ini:

No Kegiatan Alokasi Waktu Keterangan


1. Minggu efektif Minimum 34 Digunakan untuk kegiatan
belajar minggu dan pembelajaran efektif pada setiap satuan
maksimum 38 pendidikan
minggu
2. Jeda antarsemester Maksimum 2 Antara semester I dan II
minggu

3. Libur akhir tahun Maksimum 3 Digunakan untuk penyiapan kegiatan


pelajaran minggu dan administrasi akhir dan awal tahun
pelajaran
4. Hari libur keagamaan 2 – 4 minggu Daerah khusus yang memerlukan libur
keagamaan lebih panjang dapat
mengaturnya sendiri tanpa mengurangi
jumlah minggu efektif belajar dan
waktu pembelajaran efektif
5. Hari libur Maksimum 2 Disesuaikan dengan Peraturan
umum/nasional minggu Pemerintah
6. Hari libur khusus Maksimum 1 Untuk satuan pendidikan sesuai dengan
minggu ciri kekhususan masing-masing
7. Kegiatan khusus Digunakan untuk kegiatan yang
Maksimum 3
sekolah/madrasah diprogramkan secara khusus oleh
minggu
sekolah/madrasah tanpa mengurangi
jumlah minggu efektif belajar dan
waktu pembelajaran efektif

G. Rancangan Sistem Pembelajaran Masa Depan

Dengan semakin tingginya tuntutan dunia kerja di seluruh dunia, maka sektor pendidikan
memegang peranan yang sangat penting dan strategis. Oleh sebab itu, diperlukan sistem
pembelajaran yang mampu menjawab tantangan global tersebut. Tenaga-tenaga ahli yang

28
bekerja di seluruh sektor perekonomian, dicetak dari sistem pendidikan yang handal. Sistem
pendidikan yang handal memiliki ciri dan kriteria khusus. Beberapa ciri dan kriteria tersebut
adalah:

a. Pembelajaran menekankan kepada kebermaknaan kompetensi;


b. Pembelajaran mengoptimalkan penggalian kemampuan siswa , serta menjamin
terlaksananya pembelajaran yang maju berkelanjutan;
c. Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan bahasa asing dan pemanfaatan teknologi
informasi;
d. Pembelajaran berbasis life skill;
e. Pembelajaran mata pelajaran muatan global mendapatkan prioritas utama;
f. Waktu dan kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengeksplorasi seluruh
kemampuannya memadai;
g. Learning society menjadi bagian yang sangat penting; dan
h. Porsi pembelajaran yang bersifat praktik lebih besar dibanding teori.
i. Pembelajaran seluruh mata pelajaran , mengintegrasikan karakter bangsa.

Untuk memberikan terobosan baru dan mutu lulusan yang handal, maka pembelajaran satuan
pendidikan dasar di masa datang perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Struktur kurikulum di kelas 1-3 disamakan dengan kelas 4-6;


b. Beban belajar masih tetap menggunakan sistem paket, untuk kelas 1-3, 50% beban
belajar dialokasikan untuk membaca, menulis, dan berhitung, 15% untuk Pendidikan
Agama, serta 35% untuk mata pelajaran lainnya;
c. Pembelajaran semua mata pelajaran memanfaatkan teknologi informasi;
d. Pemberian penghargaan kepada siswa dilakukan di semua ranah, baik kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Misal : penghargaan kepada siswa berprestasi dalam bidang
akademik, bidang ketaatan beribadah, bidang kerajinan, etika, kejujuran, ketepatan
mengerjakan tugas, kehadiran, berpakaian, prestasi dalam seni, prestasi dalam bidang
produksi, dan sebagainya;
e. Setiap kurun waktu tertentu dilaksanakan assembly, sebagai ajang pentas kreasi ,
testimoni , dan pemberian penghargaan kepada siswa;
f. Guru mengajar di kelas wajib membawa alat peraga dan media;
g. Setiap waktu tertentu, setiap siswa wajib membuat makalah dan mempresentasikan di
hadapan siswa lain dalam kegiatan tematik, misal : Sains week, Math week, atau
sejenisnya;
h. Laporan hasil belajar siswa dibuat dalam beberapa bentuk, ada rapor angka dan ada rapor
narasi;
i. Semua siswa wajib naik kelas, sesuai dengan kriteria dan kecepatan masing-masing.
Dalam hal ini, sekolah perlu mendefinisikan ulang ketentuan kenaikan kelas;
j. Sumber belajar menggunakan berbagai jenis referensi, dan tidak terpaku kepada salah
satu sumber tertentu; dan
k. Mengedepankan pola belajar aktif.

Model standar isi dan kompetensi lulusan hendaknya mengacu kepada paradigma belajar
aktif yang terutama didukung oleh teori belajar konstruktivisme sebagai kulminasi
perkembangan berbagai teori belajar sebelumnya. Amatilah gambar berikut ini.

29
Teori-teori belajar yang ditemukan pada akhirnya berkulminasi pada teori konstruktivisme.
Teori konstruktivisme pada dasarnya: (1) menyesuaikan aplikasi teori dengan cara kerja otak
seperti yang dilaporkan oleh temuan riset neurosains; (2) mengadopsi hasil riset biologi
tentang cara kerja tubuh; (3) mengadopsi temuan riset fisika tentang alam semesta yang
bersinergi sebagai satu sistem; (4) menyelaraskan aplikasi nilai-nilai dan pandangan historis,
kultural, dan sosial, terutama melalui bahasa, dalam penerapan belajar aktif, baik dari hasil
riset ilmu-ilmu sosial maupun dari segi konsepsi filsafat, teologi agama, dan humaniora; dan
(5) mengadaptasi temuan dan praksis yang relevan dari dunia kerja.
Penerapan teori belajar konstruktivisme secara kumulatif tampil dalam istilah active learning
(belajar aktif). Temuan teori lanjutan dan hasil uji coba penerapan dalam proses belajar-
mengajar tampil dengan beragam istilah, seperti brain-based learning, multiple intelligences
learning approach, cooperative learning, contextual teaching and learning, dan quantum
learning. Penerapannya sebenarnya hanya menekankan salah satu aspek, unsur, atau bidang
khusus belajar aktif. Hampir semuanya bernaung di bawah paradigma belajar aktif. Gagasan-
gagasan pokok pendekatan belajar aktif pada prinsipnya mengikuti gagasan inti teori belajar
konstruktivisme. Perkembangan dalam terapan melahirkan paradigma baru, yaitu paradigma
belajar aktif. Amatilah gambar berikut ini

30
Fasilitator
bimbing
konstruksi
makna
Dalam realitas
Belajar itu
fisik, sosial &
mengalami budaya

Pengertian
belajar Tanggung
Belajar jawab belajar
aktif
bagaimana pada peserta
belajar didik & siswa
pembelajar

Guru: Ditantang
Instruktur -> 1 langkah
fasilitator lebih maju

Sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator. Menurut pendekatan konstruktivisme,


instruktur harus mengadaptasi peran fasilitator dan bukan peran sebagai guru.

Peran fasilitator
Peran pengajar (instruktur)
Berceramah tentang materi pelajaran. Membantu peserta didik mendapatkan
pemahaman sendiri tentang materi.
Peserta didik berperan pasif dalam proses Peserta didik memainkan peran aktif dalam
belajar-mengajar proses belajar-mengajar
Menekankan kepada instruktur dan materi Penekanan kepada peserta didik

Tuntutan perubahan peran yang dramatis membutuhkan rangkaian keterampilan


yang berbeda
Guru memberi tahu Fasilitator bertanya
Guru ‘berpidato’ dari depan Fasilitator mendukung dari belakang
Guru menjawab menurut kurikulum Fasilitator memberi panduan dan
menciptakan lingkungan bagi peserta didik
untuk mencapai kesimpulan sendiri
Guru bermonolog Fasilitator secara kontinu berdialog dengan
peserta didik
Guru menceritakan pengalamannya Fasilitator mampu mengadaptasi pengalaman
belajar ‘yang melangit’ dengan
menggunakan inisiatif peserta didik untuk
mengendalikan pengalaman belajar ke
tempat peserta didik ingin menciptakan nilai.

(Gamoran, Secada& Marrett 1998; Brownstein 2001; Rhodes and Bellamy 1999)

31
Perbandingan antara pengajaran konvensional (tradisional) dan pengajaran yang berciri
belajar aktif dikemukakan pada tabel berikut ini.

Perbandingan pengajaran konvensional dan belajar aktif


Pengajaran konvensional Belajar aktif
Berpusat kepada guru (teacher-centred) Berpusat kepada peserta didik (student-
centred)
Kurikulum berbasis materi (konten, Kurikulum berbasis kompetensi
pengetahuan)
Pengetahuan dangkal (surface knowledge) Pengetahuan mendalam (deep knowledge)
Kegiatan belajar pasif, berpikir linier, tak Kegiatan belajar aktif, kreatif, efektif,
efektif, membosankan menyenangkan
Sumber belajar: guru dan buku pelajaran Sumber belajar bervariasi, termasuk
lingkungan
Pengorganisasian kelas: duduk berbaris Pengorganisasian kelas: bervariasi, dan bisa
diatur duduk berkelompok
Pajangan: gambar pahlawan, daftar absensi, Pajangan bervariasi, terutama hasil pekerjaan
poster buatan pemerintah peserta didik (2 dimensi, 3 dimensi)
Portofolio tak diterapkan Portofolio diterapkan dan dipakai untuk
penilaian
Pengajaran untuk peserta didik kelas dan Pengajaran untuk peserta didik multikelas dan
jenjang yang sama (monograde teaching) multijenjang (multigrade teaching) dapat
diterapkan
Struktur bab buku pelajaran: 90% informasi Struktur bab buku pelajaran: Informasi –
+ 10% soal latihan dan evaluasi. Ilustrasi kegiatan – informasi – kegiatan, dst. Banyak
amat kurang dan monoton. ilustrasi beragam.
Penilaian: dominansi tes tertulis, terutama Penilaian: tes, penilaian karya peserta didik 2
pilihan ganda dan esai dan 3 dimensi, penilaian unjuk kerja
(performance), penilaian perilaku
Umpan balik kepada peserta didik jarang Umpan balik kepada peserta didik sering
diberikan dilakukan
Ujian nasional: dominasi tes pilihan ganda Ujian nasional: tes pilihan ganda, esai, data-
pertanyaan, ujian praktik

Berkaitan dengan keterampilan berpikir (thinking skill) , Benjamin Bloom memperkenalkan


taksonomi domain kognitif dan afektif pada pertengahan tahun 1960-an, dunia pendidikan
cenderung terpaku kepada pola pengembangan kurikulum, pelaksanaannya dalam proses
belajar-mengajar, dan penilaian yang amat behavioristik. Banyak ahli berusaha memperbaiki
tingkatan keterampilan berpikir Bloom.
Dewasa ini, tingkatan keterampilan berpikir sudah diramu ke tingkatan keterampilan berpikir
kompleks. Salah satu acuan yang sering diikuti adalah Matriks Gubbin. Keterampilan
berpikir tingkat kompleks adalah jenis pemahaman yang memerlukan berpikir mendasar
(basic thinking) dan mempunyai ciri-ciri: menuntut berbagai kemungkinan jawaban,
penilaian dari orang yang berpartisipasi, dan penempatan makna pada suatu situasi. Jenis
berpikir kompleks termasuk berpikir kritis, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.
Cara belajar pasif tak akan mampu mendorong dan membina peserta didik sampai mencapai
keterampilan berpikir kompleks. Salah satu pilihan agar peserta didik mampu

32
mengembangkan keterampilan berpikir kompleks adalah menerapkan belajar aktif. Matriks
berikut ini menjelaskan pernyataan tersebut.

Hanya dapat dicapai melalui belajar Hanya dapat dicapai melalui belajar aktif

pasif dan belajar aktif


Berpikir kreatif
Memecahkan • Membuat daftar
masalah atribut
objek/situasi
Berpikir evaluatif • Mengidentifik
• Menghasilkan
asi problem
Berpikir deduktif • Membedakan fakta gagasan yang
umum
dan opini beragam
Berpikir • Menggunakan • Mengklarifika
• Menilai kredibilitas (kelancaran)
induktif logika si problem
sumber • Menghasilkan
• Menemukan • Merumuskan
• Menentukan • Mengamati dan pertanyaan
gagasan yang
pernyataan yang berbeda
sebab dan menilai laporan
bertentangan yang tepat
akibat observasi (fleksibilitas)
• Menganalisis • Merumuskan
• Menganalisis • Mengidentifikasi isu • Menghasilkan
silogisme alternatif gagasan yang
masalah dan problem utama
• Memecahkan pemecahan
terbuka • Memahami asumsi masalah
unik (orisinal)
problem spasial • Menghasilkan
• Menggunakan yang mendasari
• Memilih solusi
(ruang)
alasan dengan • Mendeteksi bias, yang terbaik
gagasan yang
analogi stereotipi dan klise rinci
• Menerapkan • Mensintesis
• Membuat • Mengenal bahasa solusi laporan
kesimpulan yang terlalu • Memonitor
sementara berlebihan penerimaan
(inferensi) • Menilai hipotesis solusi
• Menentukan • Mengklasifikasi data • Menarik
informasi yang • Memprediksi kesimpulan
relevan konsekuensi
• Memahami • Mendemonstrasi
hubungan- urutan sintesis
hubungan informasi
• Memecahkan • Merencanakan
problem yang alternatif strategi
dihayati • Mengenal ketidak-
(“insight”) ajekan informasi
• Mengidentifikasi
alasan yang
dikemukan dan yang
tidak
• Membandingkan
persamaan dan
perbedaan
• Menilai argumen

Diadaptasi dari Gubbin’s Matrix of Thinking Skills. Matriks Gubbin mengkompilasi


dan menyaring gagasan-gagasan dari Bloom, Bransford Bruner, Carpenter, Dewey,
Ennis, Feuerstein, Jones, Kurfman, Kurfman & Salomon, Lipman, Orlandi, Parners,
Paul, Perkins, Ranzulli, Stemberg, Suchman, Taba, Torrence, Upton, The Ross Test,
the Whimbey Analytical Skills Test, The Cornell Critical thinking Test, the Cognitive
Abilities Test, the Watson-Glasser Critical Thinking Appraisal, the New Jersey Test of
Reasoning Skills dan the SEA Test (Sumber: home.ched.coventry.ac.uk

33
H. PENGEMBANGAN BUDAYA SEKOLAH

Dalam kedudukannya sebagai satuan pendidikan yang memiliki akuntabilitas, SMP perlu
mengubah suasana dan kebiasan kerja yang terjadi pada masa kini menjadi suatu budaya
sekolah yang baru. Budaya sekolah adalah gambaran dari suasana kerja, belajar, dan aktivitas
sekolah yang tercipta oleh kepemimpinan kepala sekolah. Suasana tersebut didasarkan pada
nilai, norma, tata tertib, dan tradisi yang diakui bersama oleh pimpinan, guru, peserta didik,
dan tenaga administrasi. Suasana itu terwujudkan dari interaksi antar seluruh komponen
pendukung budaya sekolah: pimpinan – guru-tenaga administrasi-peserta didik, antar guru,
antar peserta didik, antara guru-peserta didik, antar tenaga administrasi dan dengan guru serta
peserta didik.

Perubahan dalam suasana dan kebiasaan kerja untuk budaya sekolah SMP yang baru adalah
mengembangkan interaksi antar guru dan dengan pimpinan sekolah sebagai suatu
“community of educators” dimana terjadi kerjasama yang profesional di antara mereka.
Nilai, norma, etika pendidikan dan etika profesi menjadi dasar bagi hubungan kerja mereka
dan kepedulian bersama mereka dalam mengembangkan suasana edukatif di sekolah. Dalam
mengembangkan suasana edukatif di sekolah, kepedulian terhadap kualitas pelayanan
pendidikan yang diberikan sekolah dan keberhasilan peserta didik mengembangkan potensi
dirinya secara optimum menjadi kriteria utama. Kepedulian terhadap kualitas pelayanan
pendidikan dan keberhasilan seluruh peserta didik dijadikan modal utama mereka dalam
membangun kredibilitas SMP sebagai lembaga pendidikan terpercaya dan dipercaya
masyarakat.

Dalam budaya sekolah yang demikian, kurikulum tidak lagi dianggap sebagai daftar mata
pelajaran. Kurikulum adalah “construct” yang dikembangkan sekolah dalam bentuk rencana
tertulis (dokumen tertulis, intended plan), pelaksanaan (taught curriculum; implementasi),
dan hasil belajar peserta didik. Mata pelajaran adalah label dari organisasi konten kurikulum
untuk memudahkan perencanaan dokumen. Pelaksanaan atau implementasi atau “taught
curriculum” menghendaki koordinasi dan kooperasi dari guru dalam mengkaitkan materi dan
proses pembelajaran sehingga mampu memberi kesempatan terbaik bagi peserta didik dalam
menguasai pengetahuan dan ketrampilan serta memiliki nilai/moral dan sikap. Pengalaman
belajar peserta didik pada satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain harus saling
memperkuat dalam menguasai pengetahuan dan ketrampilan serta memantapkan pemilikan
nilai/moral/sikap menjadi suatu kebiasaan.

Pikiran pedagogik terbaik para guru dan kepala sekolah dituangkan dalam suatu perencanaan
tertulis yang dinamakan KTSP, dilanjutkan dengan silabus dan RPP yang merupakan bentuk
akuntabilitas tertulis satuan SMP kepada masyarakat. Dalam dokumen tertulis itu terencana
dengan baik kualitas yang diharapkan dimiliki peserta didik. Melalui dokumen tertulis
tersebut masyarakat sebagai stakeholder mengetahui kualitas yang akan dimiliki anak-anak
mereka yang menjadi peserta didik di sekolah itu. Jika masyarakat merasakan perlu
penyempurnaan dalam rancangan tertulis tersebut, mereka dapat menyalurkan inspirasi
mereka melalui Komite Sekolah dengan tetap menghormati kepala sekolah dan guru sebagai
tenaga profesional yang memiliki hak dalam menentukan apakah inspirasi tersebut memenuhi
kaedah pedagogik dan dapat diterima atau sebaliknya.

Dalam merealisasikan KTSP menjadi aktivitas pembelajaran di sekolah (di kelas dan luar
kelas) dan di luar sekolah, kepala sekolah dan guru mengembangkan berbagai RPP, fasilitas
yang diperlukan, dan suasana pembelajaran yang perlu diciptakan di sekolah. Fasilitas yang
diperlukan di kelas seperti papan tulis atau bahkan komputer beserta program internet,

34
laboratorium beserta alat dan bahan praktikum, dan di sekolah seperti kamar kecil, tempat
sampah, warung/kantin, tempat untuk koran dinding/papan komunikasi, tempat beribadat,
yang perlu untuk mencapai keberhasilan peserta didik dikembangkan berdasarkan kepedulian
bersama terhadap kualitas pelayanan pendidikan.

Suasana belajar yang aman dan nyaman adalah bagian dari budaya sekolah. Suasana belajar
yang nyaman ditandai oleh aliran udara bersih yang cukup di kelas dan sekolah, jumlah
peserta didik di kelas yang tidak berlebihan sehingga guru dan peserta didik dapat berjalan
secara bebas ketika mendekati peserta didik atau guru, sinar yang cukup, kebersihan kelas
dan sekolah yang memenuhi kaedah higenis, ruang gerak yang nyaman ketika peserta didik
sedang berada di halaman sekolah. Suasana yang aman terbentuk dari usaha bersama kepala
sekolah, guru, tenaga administrasi dan peserta didik dalam meredam dan melindungi sekolah
dari berbagai ancaman yang secara psikologis menimbulkan rasa tidak aman ketika berada di
sekolah.

35
BAB IV
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA,
KEWIRAUSAHAAN, EKONOMI KREATIF DAN KETRAMPILAN BELAJAR
AKTIF

A. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa merupakan upaya menyempurnakan pendidikan dan
kurikulum ke arah yang telah ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Melalui upaya
ini maka kurikulum diharapkan mampu menyediakan pengalaman belajar yang dapat
mengembangkan berbagai kualitas yang perlu dimiliki peserta didik untuk dapat berperan
sebagai warganegara yang aktif, kreatif, produktif, dan bertanggungjawab. Nilai-nilai seperti
religius, jujur, kerja keras, ulet (perseverance), menghargai prestasi, cinta tanah air dan
sebagainya merupakan kualitas yang diamanatkan tujuan pendidikan nasional untuk dimiliki
setiap warganegara. Nilai yang dimiliki peserta didik adalah motor yang menggerakkan
kemampuan yang dimiliki peerta didik untuk terus menerus mengembangkan diri.

Pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan


“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Rumusan tujuan
pendidikan nasional jelas menunjukkan bahwa pendidikan nilai merupakan realisasi dari
tujuan pendidikan nasional. Melalui pemilikan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa, generasi muda Indonesia diarahkan untuk menjadi manusia yang beriman,
berakhlak mulia, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab.

Dalam dokumen Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Balitbang, 2010)
“pendidikan budaya dan karakter bangsa diartikan sebagai proses internalisasi serta
penghayatan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dilakukan peserta didik secara aktif
dibawah bimbingan guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan serta diwujudkan dalam
kehidupannya di kelas, sekolah, dan masyarakat”. Rumusan tersebut mengandung makna
nilai-nilai tersebut dikembangkan dalam suatu proses internalisasi yang dilakukan secara
aktif oleh peserta didik sehingga menjadi milik mereka, bukan diajarkan sebagaimana ketika
peserta didik belajar tentang suatu teori, peristiwa sejarah, prosedur, hukum, atau bahkan
fakta.

Proses internalisasi adalah proses pemilikan nilai/moral/sikap yang terjadi di bawah


bimbingan guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan terintegrasi melalui proses belajar
pengetahuan. Penghayatan mengandung makna bahwa nilai/moral/sikap yang sudah dimiliki
melalui proses internalisasi dikembangkan dan dimantapkan peserta didik menjadi kebiasaan
ketika mereka belajar sesuatu, berkomunikasi, dan dalam tindakan sehari-hari di kelas,
sekolah, dan masyarakat. Proses internalisasi terjadi dalam kegiatan belajar sehari-hari
melalui kegiatan-kegiatan berikut:

1. Kegiatan Belajar

Dalam setiap pertemuan kelas ketika terjadi proses pembelajaran dan aktivitas peserta didik
dalam dan antar mata pelajaran. Pada waktu peserta didik mengkaji ssuatu pokok bahasan,

36
guru memberikan upaya tertentu agar peserta didik memiliki kesempatan untuk
mengembangkan nilai pada dirinya dan menerapkan nilai tersebut dalam berpikir, bertindak,
mengerjakan tugas, dan berkomunikasi dengan teman sekelas dan guru.

2. Program Pengembangan Diri

Pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke


dalam kegiatan sehari-hari sekolah dan melalui hal-hal sebagai berikut:

a. Kegiatan rutin sekolah


Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan
konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: upacara pada hari besar kenegaraan,
pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan lain-lain) setiap hari Senin,
beribadah bersama/sembahyang bersama setiap dluhur (bagi yang beragama Islam), berdoa
waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru/tenaga kependidikan
yang lain dan sebagainya.

b. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan
ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya
perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga.
Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu
juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan
yang tidak baik tersebut. Contoh kegiatan tersebut adalah: membuang sampah tidak pada
tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, melakukan bulliying,
memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak pada tempatnya dan sebagainya.
Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang
baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain,
memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang/mengkoreksi perilaku
teman yang tidak terpuji dan sebagainya.

c. Teladan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam
memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi
panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain
menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang
pertama dan utama memberikan contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan
nilai-nilai terebut. Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras,
bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan
dan sebagainya.

d. Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah
harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan tersebut. Sekolah harus mencerminkan
keehidupan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai dalam budaya dan karakter bangsa yang
diinginkan. Misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu
dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.

37
3. Budaya Sekolah
Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan,
demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan,
kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah
suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru
dengan guru, pegawai administrasi dengan sesamanya dan antara satu kelompok anggota
masyarakat sekolah dengan kelompok lainnya. Interaksi internal kelompok dan antar
kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika profesi.

B. Pendidikan Kewirausahaan dan Ekonomi Kreatif3

Sampai saat ini konsep kewirausahaan masih terus berkembang. Kewirausahan adalah suatu
sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan
berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang
selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha dalam rangka
meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya. Seseorang yang memiliki sikap dan jiwa
wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Wirausahawan adalah orang
yang trampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya dengan tujuan untuk
meningkatkan kehidupannya. Menurut Scarborough dan Zimmerer (1993:5), “An
entrepreneur is one who creates a new business in the face if risk and uncertainty for the
purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and asembling the
necessary resources to capitalze on those opportunities. Artinya, wirausahawan adalah
seseorang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis;
mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang
tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan
gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih
sukses/meningkatkan pendapatan. Intinya, seorang wirausahawan adalah orang-orang yang
memiliki jiwa wirausaha dan mengaplikasikan hakekat kewirausahaan dalam
hidupnya.Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang
tinggi dalam hidupnya.

Dari beberapa konsep di atas terlihat seolah-olah kewirausahaan identik dengan kemampuan
para wirausahawan dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya,
kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat
wirausahawanpun dimiliki oleh seorang yang bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup
semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman
Soemahamidjaja, 1980). Wirausahawan adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif
dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan
peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 1997).

Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang individu berani


mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua
fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan
organisasi usaha (Suryana, 2001). Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai

3
Bagian ini diambil dari naskah Pengintegrasian Pendidikan Kewrirausahaan di Sekolah yang dikembangkan
oleh Tim Puskur. Penyesuaian huruf dan kalimat yang tidak mengubah arti dilakukan pada bagian-bagian
tertentu. Pengambilan tulisan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam konsep
kewirausahaan.

38
tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan
berbeda agar dapat bersaing. Menurut Zimmerer (1996:51), nilai tambah tersebut dapat
diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:

1. Pengembangan teknologi baru (developing new technology)


2. Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)
3. Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or
services)
4. Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih
banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more
goods and services with fewer resources)

Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran
pengusaha kecil, namun sifat inipun sebenarnya dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi di
luar wirausahawan. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan,
pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya. Dengan demikian, ada enam
hakekat pentingnya kewirausahaan, yaitu:
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan
sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Sanusi,
1994)
2. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan
mengembangkan usaha (Prawiro, 1997)
3. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan
berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih.
4. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda
(Drucker, 1959)
5. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam
memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan usaha
(Zimmerer, 1996)
6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan
sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan.

Meredith dalam Pusposutardjo(1999), memberikan ciri-ciri seseorang yang memiliki jiwa


wirausaha (entrepeneur) sebagai orang yang (1) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil,
(3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6)
keorisinal. Bentuk ketata kelakukan ciri-ciri wirausaha nampak pada tabel berikut.

39
Bentuk Ketata Kelakukan Ciri-Ciri Wirausaha

Bentuk tata – kelakuan


Ciri-ciri Kewirausahaan
Percaya diri 1. Bekerja penuh keyakinan
2. Tidak berketergantungan dalam melakukan
pekerjaan
Berorientasi pada tugas dan 1. Memenuhi kebutuhan akan prestasi
hasil 2. Orientasi pekerjaan berupa laba, tekun dan
tabah, tekad kerja keras.
3. Berinisiatif
Pengambil risiko 1. Berani dan mampu mengambil risiko kerja
2. Menyukai pekerjaan yang menantang
Kepemipinan 1. Bertingkah laku sebagai pemimpin yang terbuka
thd saran dan kritik.
2. Mudah bergaul dan bekerjasama dengan orang
lain
Berfikir ke arah yang asli 1. Kreatif dan Inovatif
2. Luwes dalam melaksanakan pekerjaan
3. Mempunyai banyak sumberdaya
4. Serba bisa dan berpengetahuan luas
Keorisinilan 1. Berfikiran menatap ke depan
2. Perspektif

Pendidikan ekonomi kreatif dirasakan sebagai suatu kebutuhan baru Bangsa Indonesia dalam
menghadapi kehidupan ekonomi pasar bebas dan penuh persaingan. Berdasarkan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2009 tanggal 5 Agustus 2009 dicanang
pengembangan ekonomi kreatif melalui berbagai kementerian termasuk Kementerian
Pendidikan Nasional (dalam Inpres tersebut masih dinamakan Departemen Pendidikan
Nasional). Kegiatan pengembangan tersebut dilakukan dari tahun 2009 – 2015.

Sesuai dengan posisi pendidikan dan kurikulum yaitu mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kemampuan yang harus dimiliki generasi muda untuk kehidupan kebangsaan masa
mendatang, maka pengembangan kemampuan ekonomi kreatif sudah harus menjadi tugas
kurikulum. Oleh karena itu penyempurnaan dan penguatan kurikulum yang akan datang perlu
dan harus memasukkan unsur pendidikan ekonomi kreatif.

Pendidikan ekonomi kreatif dilakukan bukan melalui mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Sebagaimana dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, dan pendidikan
kewirausahaan, maka pendidikan ekonomi kreatif dilakukan dengan mengembangkan potensi
peserta didik dengan nilai-nilai yang menggambarkan manusia Indonesia baru yang memiliki
kreativitas berorientasi ekonomi. Oleh karena itu pendidikan ekonomi kreatif dilakukan
melalui pengembangan nilai dan kemampuan kreativif peserta didik.

Disamping nilai dan kemampuan berkreatif, maka nilai-nilai dalam pendidikan


kewirausahaan dan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang terkait dengan kemampuan
berkreasi antara lain kemandirian, percaya diri, tangguh dalam bekerja, disiplin dapat

40
dikembangkan untuk pendidikan ekonomi kreatif. Dengan perkataan lain, ketiga hal baru
yang dikemukakan di bagian ini memiliki nilai-nilai yang berhimpit dan sama untuk
pengembangan potensi peserta didik menjadi manusia “baru” Indonesia.

C. Pengembangan Ketrampilan Berpikir

Pengembangan ketrampilan yang dinyatakan dalam SKL teramat penting bagi pendidikan di
SMP di masa mendatang. Ketrampilan itu memberi kemampuan (kail) kepada peserta didik
untuk mengembangkan pengetahuan mereka mengenai berbagai materi substantif pokok
bahasan dan pengembangan diri dalam suatu proses belajar sepanjang hayat. Melalui
ketrampilan itu peserta didik memiliki kesempatan untuk menjadi pelajar mandiri baik ketika
mereka masih di SMP mau pun ketika mereka sudah di masyarakat, ketika mereka tidak
melanjutkan pendidikan di jenjang pendidikan menengah. Oleh karena itu penguasaan
ketrampilan esensial tersebut menjadi sangat kritikal dan menentukan kualitas manusia
Indonesia di masa mendatang. Bersamaan dengan nilai-nilai yang mereka miliki, manusia
Indonesia yang akan datang memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat sehingga mereka
terus-menerus dapat mengembangkan diri.

Sebagaimana halnya dengan proses internalisasi nilai melalui mata pelajaran, maka
pengembangan ketrampilan terutama pada membaca dan berkomunikasi; belajar; berpikir
kritis, analitis, dan kreatif; memecahkan masalah; menggunakan teknologi, dilakukan
teritegrasi dengan kegiatan belajar setiap pokok bahasan pada setiap mata pelajaran. Meski
pun demikian, berbeda dari proses internalisai nilai, maka proses pengembangan ketrampilan
direncanakan dalam kegiatan pembelajaran yang dirancang secara khusus. Misalnya,
ketrampilan membaca dan berkomunikasi dirancang secara dengan khusus dengan alokasi
waktu yang jelas ketika belajar suatu pokok bahasan. Ketrampilan membaca dilakukan
dengan memulai setiap pelajaran baru dengan membaca.

Membaca adalah ketrampilan yang sudah dikembangkan sejak peserta didik masih di SD/MI.
Oleh karena itu pengembangan ketrampilan membaca di SMP sifatnya adalah pengembangan
lebih lanjut dari ketrampilan membaca yang sudah mereka miliki di SD/MI. Demikian pula
dengan ketrampilan-ketrampilan lainnya yang sudah dikembangkan di SD/MI, proses
pengembangan ketrampilan tersebut di SMP bersifat memperkuat dan memantapkan apa
yang sudah mereka kuasai di SD/MTs. Tentu saja tingkat penguasaan dan penggunaan
ketrampilan itu lebih tinggi kompleksitas kemampuannya mengingat kompleksitas materi ajar
SMP.

D. Pengintegrasian Nilai Budaya dan Karakter Bangsa, Kewirausahaan dan Ekonomi


Kreatif, serta Ketrampilan Berpikir dalam KTSP

Untuk mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa, Kewirausahaan, dan


ketrampilan ke dalam kurikulum sekolah dilakukan melalui tiga dimensi kurikulum yaitu
sebagai dokumen, sebagai proses, dan sebagai hasil. Dimensi kurikulum sebagai ide tidak
dikembangkan oleh satuan pendidikan. Untuk mengembangkan nilai pendidikan budaya dan
karakter bangsa, kewirausahaan, dan ketrampilan kedalam ketiga dimensi kurikulum
ditempuh empat langkah berikut:

1. Langkah pertama, memasukkan aspek ketrampilan dan nilai-nilai pendidikan budaya dan
karakter bangsa ke dalam KTSP, silabus dan RPP. Sekolah perlu melakukan kajian

41
mengenai pengetahuan, nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, nilai
kewirausahaan dan ketrampilan untuk menemukan mana yang sudah ada dan yang
belum dalam KTSP. Pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang belum ada dimasukkan
sebagai bagian integral KTSP yang sudah dimiliki. Tindakan ini diikuti dengan
merumuskan tujuan pendidikan SMP sebagaimana yang telah ditetapkan pada Pasal 67
ayat (3) PP nomor 17 tahun 2010.
2. Langkah berikutnya adalah memasukkan ketrampilan dan nilai-nilai pendidikan budaya
dan karakater bangsa dalam setiap pokok bahasan dari mata pelajaran. Nilai-nilai
tersebut dicantumkan dalam silabus. Seperti halnya dengan KTSP, pengembangan
ketrampilan dan nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:

a. mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah ketrampilan dan nilai-nilai budaya


dan karakter bangsa yang sudah tercakup
b. menggunakan tabel nilai yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/KD dengan
nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan (Lampiran I)
dan daftar ketrampilan (Lampiran II)
c. mencantumkankan ketrampilan dan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam
Lampiran I dan II ke dalam silabus
d. selanjutnya mencantumkan ketrampilan dan nilai-nilai yang sudah tercantum dalam
silabus ke RPP
Perlu disadari bahwa pengetahuan, ketrampilan, dan nilai merupakan satu kesatuan yang
membangun kualitas peserta didik. Keterkaitan antara materi pengetahuan, ketrampilan dan
nilai tergambar sebagai berikut:

BERDASARKAN

IPS (termasuk ekonomi


kreatif dan kewirausahawan)

Ketrampilan belajar-
berpikir-berkomunikasi
PROYEK

Pengetahuan MULOK

Nilai budayagdan karakter


bangsa MAT
IPA
BELAJAR

Kreativitas

BAHASA INDONESIA

SISWA AKTIF

Pengetahuan (awal) diperlukan untuk dapat mengembangkan ketrampilan dan nilai.


Selanjutnya melalui penguasaan ketrampilan dan nilai yang dimiliki peserta didik mereka
mampu mengembangkan pengetahuan awal tadi menjadi pengetahuan yang lebih luas dan
mendalam. Pembelajaran yang menerapkan “belajar berdasarkan proyek” memberikan
kesempatan yang leluasa, nyaman, dan berkelanjutan kepada peserta didik untuk
memantapkan ketrampilan dan nilai yang telah mereka miliki serta mengembangkan
pengetahuan lebih mendalam dan meluas. Pengetahuan, nilai, dan ketrampilan tersebut
dikembangkan secara integral dalam setiap pokok bahasan dari mata pelajaran.

42
3. Langkah ketiga ialah mengembangkan proses pembelajaran yang memberi kesempatan
yang luas dan nyaman kepada peserta didik untuk melakukan proses internalisasi dan
penghayatan nilai-nilai dan menguasai ketrampilan baik dengan cara mereorganisasikan
perencanaan proses pembelajaran sehingga bersifat akumulatif, saling memperkuat,
memperkaya pengalaman belajar melalui pengalaman langsung dengan objek yang
dipelajari, serta mengembangkan tugas-tugas rumah sebagai suatu kegiatan untuk
memantapkan, memperdalam, dan kesempatan bagi peerta didik SMP untuk membangun
pengetahuan “barunya”. Model dasar belajar aktif yang dikemukakan pada bab VII
naskah ini dapat digunakan tetapi setiap satuan pendidikan dapat mengembangkan model
tersebut lebih lanjut berdasarkan langkah belajar yang dikemukakan dalam model.

4. Langkah keempat ialah mengembangkan prosedur, alat, serta proses penilaian yang
berfungsi membantu peserta didik dalam memantapkan dan mengembangkan
pengetahuan, memperkuat proses internalisasi dan penghayatan dan penguasaan
ketrampilan, serta sebagai alat untuk memberi bantuan kepada peserta didik mengatasi
kesulitan belajar mereka. Konsep baru dalam asesmen hasil belajar ini yaitu asesmen
adalah untuk membantu guru menemukan kesulitan belajar peserta didik, dan
berdasarkan inormasi itu guru mengembangkan upaya-upaya membantu mereka
mengatasi kesulitan tersebut.

E. PROSES PEMBELAJARAN AKTIF

Proses pembelajaran mengikuti pola belajar aktif yang digambarkan sebagai berikut:

MEMBACA DAN MEMAHAMI


INFORMASI

MEMANTAPKAN
PEMAHAMAN INFORMASI/
KEMAMPUAN/
INTERNALISASI NILAI

MENERAPKAN/MENGGUNAKAN
INFORMASI/KETRAMPILAN/
NILAI DALAM KEGIATAN DI KELAS,
SEKOLAH, MASYARAKAT
PROJECT-BASED LEARNING

Proses belajar aktif selalu dimulai dengan kegiatan mendapatkan informasi (knowledge, nilai,
ketrampilan). Kegiatan mendapatkan informasi yang banyak dilakukan adalah dari guru. Di
sini dianjurkan agar kegiatan mendapatkan informasi dimulai dengan membaca (buku, teks,
karikatur, dokumen, sumber lainnya). Untuk membaca tersebut peserta didik perlu dilatih
membaca cepat dan membaca apa yang tersirat. Kegiatan membaca sebagai kegiatan
mendapatkan informasi akan membentuk ketrampilan mencari informasi (heuristik),
kebiasaan membaca, dan rasa senang membaca. Tentu saja jika peserta didik tidak mampu

43
membeli buku, setiap satuan pendidikan harus menyediakan buku teks dan buku bacaan di
perpustakaan. Di masa mendatang sudah sepantasnya setiap SMP memiliki perpustakaan
yang berisikan paling tidak buku teks dan buku bacaan.

Kegiatan membaca diikuti dengan kegiatan pemahaman informasi yang ditemukan dalam
bacaan. Dalam kegiatan ini peserta didik mengembangkan proses berpikir untuk memahami
informasi tadi. Pengetahuan yang telah dimiliki menjadi dasar untuk memahami informasi
baru, memberi makna terhadap informasi itu dan memasukkannya ke dalam sistem yang
sudah dimiliki. Jika informasi tersebut adalah ketrampilan, peserta didik perlu menguasai
aspek teknis berkenaan dengan ketrampilan tersebut. Jika informasi itu berkenaan dengan
nilai maka peserta didik perlu mengembangkan suatu sikap dan keputusan untuk menentukan
apakah nilai tersebut sesuai dengan nilai yang sudah ada pada dirinya dan apakah mereka
mau menerima nilai itu.

Apabila prinsip belajar melalui pengalaman asli (authentic experience) diterapkan maka
sumber informasi dapat berupa masyarakat, kegiatan masyarakat, benda/bangunan yang ada
di masyarakat. Untuk itu peserta didik harus terlatih melakukan observasi dan menarik
informasi dari observasi tersebut.

Kegiatan berikutnya adalah pemantapan informasi. Pada tahap ini kegiatan utama yang
dilakukan peserta didik adalah menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah
dipelajari pada kegiatan pertama. Peserta didik dapat menggunakan pengetahuan dan
ketrampilan tersebut terhadap sumber informasi dari buku teks, buku bacaan, masyarakat, dan
sumber lain yang belum dipelajari sebelumnya atau pada waktu mereka mengembangkan
ketrampilan. Sedangkan mengenai nilai, peserta didik memantapkan nilai yang sudah
disetujui dengan menerapkannya ketika mereka berkomunikasi dengan teman, guru, tenaga
administrasi atau pun ketika mereka beraktivitas di kelas dan di luar kelas. Di kelas ketika
peserta didik berdiskusi tentang informasi baru mereka dapat mengembangkan berbagai nilai
yang telah menjadi perilakunya seperti toleransi, menghargai pendapat orang lain, dan
sebagainya.

Penerapan adalah kegiatan berikutnya dalam belajar. Dalam kegiatan ini peserta didik sudah
memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahami berbagai informasi baru yang lebih
kompleks dari apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Demikian pula halnya dengan
ketrampilan dan nilai. Pada waktu ini peserta didik sudah mahir dalam ketrampilan belajar,
memiliki kemampuan berpikir yang cukup tinggi, dan kemampuan memecahkan masalah
yang baik. Nilai telah digunakan pada waktu proses mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan tersebut.

Project-based learning (PBL) adalah pendekatan belajar yang mampu memberikan


kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dalam kelompok atau mandiri dalam
menerapkan dan memantapkan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai dalam satu semester atau
satu tahun. Penentuan proyek harus dilakukan pada awal tahun jika proyek itu memerlukan
waktu satu tahun untuk menyelesaikannya atau awal semester jika proyek itu perlu waktu
satu semester untuk menyelesaikannya. Satu proyek dapat menampung aplikasi dari satu atau
lebih mata pelajaran.

44
BAB V
REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT

A. Rekomendasi

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu maka perlu
dilakukan penyempurnaan dan penguatan SKL, SI, dan KTSP dengan memperhatikan
kebijakan Pemerintah dan kebutuhan masyarakat tentang kualitas tamatan pendidikan SMP.
Upaya penyempurnaan dan penguatan itu dilakukan melalui:

1. Perlu dirumuskan adanya pembagian kurikulum pusat, daerah (Propinsi) dan Satuan
Pendidikan pada Jenjang SMP.
2. Rumusan kurikulum pusat, daerah dan satuan pendidikan dapat dibedakan dalam hal
Struktur kurikulum, fungsi dan tujuan, proporsi mata pelajaran, alokasi waktu dan beban
belajar.
3. Rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Satuan Pendidikan SMP harus
memberikan rumusan yang jelas sebagai jenjang pendidikan lanjutan dari Sekolah Dasar
dan mempersiapkan diri ke jenjang Pendidikan SMA/SMK.
4. BSNP perlu merumuskan kembali SKL SMP dengan memasukkan nilai-nilai Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa, Kewirausahaan, Ketrampilan, Kemandirian. Rumusan
tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik materi kelompok
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai. Sesuai dengan karakteristik materi tersebut maka
SKL tidak boleh dirumuskan dalam bentuk tujuan.
5. Satuan pendidikan SMP perlu mengembangkan dan memperkuat KTSP dengan nilai-
nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kewirausahaan, Ketrampilan, dan
Kemandirian dalam dimensi kurikulum sebagai dokumen (rencana), kegiatan/proses
(implementasi), dan hasil. Pengembangan dan penguatan itu dilakukan dengan empat
langkah sistematis dimulai dari dokumen KTSP, silabus dan RPP, pelaksanaan dan
penilaian hasil belajar.
6. Standar Isi yang berlaku berdasarkan Permen Diknas nomor 22 tahun 2005, perlu
disesuaikan dengan pengertian dasar standar dan isi. Standar bukan kurikulum dan
dengan demikian standar isi harus dirumuskan kembali sehingga komponen seperti
struktur kurikulum, alokasi jam belajar mata pelajaran, distribusi mata pelajaran dalam
semester dikembalikan kepada satuan pendidikan yang berhak mengembangkan
kurikulum.
7. Perlu ada sosialisasi yang terencana, menyeluruh, dan menyangkut guru dalam satu
kesatuan di satu SMP. Puskur melaksanakan evaluasi terhadap pengembangan kurikulum
(curriculum development) yang menyangkut kegiatan pengembangan dokumen
(konstruksi), pelaksanaan (akting atau implementasi), dan evaluasi hasil belajar.
8. SMP perlu membangun kegiatan pengembangan kurikulum (perencanaan dan
implementasi) dalam suatu kegiatan menyeluruh yang dilakukan seluruh guru dan kepala
sekolah secara bersama-sama (dalam “community of educators”).
9. SMP perlu menyediakan hari khusus (mungkin setengah hari) untuk pengembangan
kemampuan guru dalam pegembangan kurikulum (curriculum development).

45
B. Tindak Lanjut

Sebagai tindak lanjut dari rekomendasi di atas diperlukan kegiatan tindak lanjut sebagai
berikut:

Tahun
No. Kegiatan
2010 2011 2012 2013 2014
1. Pengembangan SKL dan SI X X
2. Pengembangan Pedoman - X
3. Pengembangan Budaya Sekolah - X X
Penguatan kepala sekolah dan
4. guru dalam kemampuan X X
pengembangan KTSP
Sosialisasi PBKB,
5. Kewirausahaan, Kemandirian, X X
Belajar Aktif
Penguatan KTSP dengan nilai
PBKB,
6. X X
Kewirausahaan,Kemandirian,
BA
Implementasi KTSP Yang
7. X X
Disempurnakan
8. Evaluasi dan Tindak Lanjut X X X X X

46
DAFTAR PUSTAKA

Burke, J. (Ed.)(1995). Competency Based Education and Training. London: The Falmer
Press.
Conley, D. (1999). Statewide Strategies for Implementing Competency-based Admissions
Standards. Denver: State Higher Education Executive Officers.
Cinterfor (2001). Competency-based Curriculum Design. Available at http://www.ilo.org,
tanggal 24 Januari 2002.
Elam, S. (1971). Performance Based teacher Education. Monograph. Washington, D.C:
American Educational Research Association.
Facione, P.A. dan Facione, N.C. (1994). Holistic Critical Thinking Scoring Rubric. Mllbrae,
CA: The California Academic Press.
Feller, I. (2002). Performance Measurement Redux. The American Journal of Evaluation, 23,
4: 435-452
Fogarty,R. (1991). How to integrate the curriculum. Polatine, Illinois: IRI/Skylight
Publishing, Inc
Ferguson,F. (2000). Outcomes-Based Curriculum Development. Available at
http://www.c2t2.ca, tanggal 24 Januari 2002.
Hasan,S.H. (1999). Landasan Filosofi Dan Teori Penyusunan Kurikulum, makalah disajikan
dalam Seminar Kinerja PPPG-IPA, Bandung, 28 Juni 1999.
Hasan,S.H. (2003). Strategi Pembelajaran Sejarah Pada Era Otonomi Daerah Sebagai
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah
Hasan, S.H. (2006). Evaluasi Kurikulum. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
University Press
Indiana University Medical Sciences Program (?). Implementation of the Competency Based
Curriculum in Bloomington. Available at http://medsci.indiana.edu, tanggal 9 Mei
2002.
Kupper,H.A.E. dan Arnold A.W. van Wulfften Palthe (1996), Competency-based curriculum
development, Experiences in Agriculture Chain Management in the Netherlands and in
China.
Longstreet,W.S. dan Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millenium. Boston: Allyn
and Bacon
Loon,J.van (1998). Holistic or Discrete? A Competency Based Assessment Issue in the
Certificate of General Education for Adults Reading and Writing Stream. Available at
http://education.curtin.edu.au, tanggal 9 Mei 2002.
Mann, D. (Ed.)(1978). Making Change Happen?. New York: Teachers College, Columbia
University.
McDavid, J.C. dan Hawthorn, L.R.L. (2006). Program Evaluation and Performance
Measurement: an Introduction to Practice. Thousand Oaks: Sage Publications
Mueller, J.(2006). Authentic Assessment Toolbox. Tersedia pada
http://jonathan.muller.faculty.noctrl.edu/toolbox/rubrics.htm, tanggal 16/2/2007
Nebraska State Board of Education (1998). Nebraska Social Studies/History Standards.
Grade K-12. Available at http://www.nde.state.ne.us/SS/SocSStnd, tanggal 25 Mei
2001.
Oliva, P.F. (1997). Developing the Curriculum, 4th ed., New York: Longman
Ohia State Department of Education (2001). Academic Content Standards Development.
Available at http://www.ode.state.oh.us/academic_content_standards, tanggal 20
Februari 2002.

47
Patton, M.A. dan T. Shanka (1997). Developing an Outcome-based Quality Standard based
on Graduate Achievement and Perception. Available at
http://www.cbs.curtin.edu.au/mkt/research, tanggal 10 Maret 2000.
Quillen,D.M. (2001). Challenges and Pitfalls of Developing and Applying a Competency-
based Curriculum. Family Medicine, Oktober 2001.
RMIT (2002). Competency Based Curriculum. Available at http://www.rmit.edu.au, tanggal
9 Mei 2002.
Resnick, L. dan K. Nolan (1995). Where in the World Are World-Class Standards?,
Educational Leadership, 52, 6: 6-10.
Tucker, M.S. dan J.B. Codding (1998). Standards for Our Schools: How to Set Them,
Measure Them, and Reach Them. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Umass (2001). Competency-based Education. Available at http://www.umb.edu, tanggal 24
Januari 2002.
University of Pennsylvania School of Dental Medicine (1999). Accreditation Update. Vol.I
no.3.
Unruh,G.G. dan A. Unruh (1984), Curriculum development: problems, process, and
progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Company

DOKUMEN:

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas

Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005

Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006

Peraturan Menteri Diknas nomor 22 tahun 2006

Peraturan Menteri Diknas nomor 23 tahun 2006

Peraturan Menteri Diknas nomor 24 tahun 2006

Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010

48

Anda mungkin juga menyukai