Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA : Yudiansyah Mala Sinling

NPM : 1974201176

MATA KULIAH : HUKUM ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

SOAL UAS :

1. Cari minimal 3 kasus pelanggaran HKI yang ada di Indonesia dan di analisis

CONTOH KASUS :
1. Kasus Permen Alpenliebe Lolipop.
Alpenliebe adalah salah satu merek permen yang banyak digemari masyarakat Indonesia
di masa kini. Permen Alpenliebe pada awalnya dikenal masyarakat Indonesia sebagai
permen dengan rasa caramel seiring dengan perkembangan waktu, Perfetti Van Melle
S.P.A sebagai produsen permen Alpenliebe tersebut juga melakukan inovasi terhadap
produknya dengan meluncurkan produk baru yaitu Alpenliebe Lollipop.
Permen Alpenliebe Lollipop yang beredar di pasaran Indonesia ternyata sempat
menimbulkan sengketa desain industri dengan salah satu produk permen dalam negeri
milik pengusaha Indonesia. Agus Susanto adalah salah satu pengusaha permen asal
Indonesia yang memproduksi permen Lollyball bermerek Yoko. Agus mengajukan
gugatan pembatalan desain industry Perfetti Van Melle S.P.A untuk jenis produk permen
Alpenliebe Lollipop.
Gugatan Agus dilayangkan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada bulan Juli 2009.
Persidangan perkara No. 42/Desain Industri/2009/PN.NIAGA.JKT.PST sudah memasuki
babak akhir masalahnya bersumber dari kesamaan desain permen Lollyball dengan
desain permen Lollipop. Desain industri milik Perfetti Van Melle terdaftar dalam
sertifikat No. ID 004058 tanggal 8 Januari 2003 dengan judul Lollipops.

Analisis Kasus Permen Lolipop Alpenliebe

Kasus sengketa desain industry antara permen Alpenliebe Lollipop dengan permen Yoko
Lollyball pada dasarnya diawali karena adanya kemiripan di antara kedua produk tersebut dalam
hal bentuk dan konfigurasi. Gugatan yang diajukan oleh Agus Susanto kurang memiliki dasar
pertimbangan yang kuat karena Agus sendiri tidak pernah mendaftarkan desain industri Lollyball
sehingga tidak memiliki hak eksklusif atas desain permen Lollyball. Selain itu dari pihak kuasa
hukum Agus juga tidak dapat menjelaskan secara rinci kesamaannya. Gugatan Agus semakin
diperlemah dengan adanya fakta yang dapat di tunjukkan oleh pihak Perfetti Van Melle S.P.A
bahwa etiket disain industri permen Lollipops dan Loliball berbeda.

Perfetti Van Melle S.P.A juga dapat membuktiikan bahwa produk Alpenliebe Lolipop
telah mendapatkan desain Industri. Pendaftaran sertifikat desain industri Perfetti Van Melle
S.P.A telah melalui tahap pemeriksaan baik administrative, substantif dan telah diumumkan.
Ketika masa pengumuman tidak ada pengajuan keberatan terhadap pemohon pendaftaran desain
industry yang diumumkan, berdasarkan kondisi tersebut gugatan yang diajukan oleh Agus
Susanto memang tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya pelanggaran desain industri yang
dilakukan oleh pihak Perfetti Van Melle.

Desain industry permen Lollyball seharusnya segera didaftarkan ketika baru tercipta.
Gugatan Agus Susanto menjadi gugatan yang lemah karena Agus sendiri tidak memiliki
sertifikat desain industry atas permen Loliball. Meskipun telah memiliki sertifikat merek No.
460924 pada tahun 2001 namun hal ini belum lengkap tanpa adanya sertifikat atas desain
industri jika kondisinya seperti ini permen Lollyball hanya mendapat perlindungan atas merek
dagangnya, namun tidak mendapat perlindungan dan pengakuan atas desain industrinya. Oleh
sebab itu, pendaftaran legalitas atas suatu produk haruslah lengkap dan dilakukan sesegera
mungkin. Hal ini diperlukan agar produsen memperoleh jaminan perlindungan hukum yang sah
atas hak milik perindustrian untuk produk yang dimilikinya.

2. Kasus Pelanggaran Merek terhadap Bentuk Kemassan Produk Larutan Cap Badak
dan Cap Kaki Tiga.
Pada tahun 1978, PT. Sinde Budi Sentosa menerima lisensi untuk penggunaan merek dagang
Cap Kaki Tiga dari Wen Ken Drug Co Ktd di Singapura, perjanjian lisensi itu bersumber dari
kesepakatan para pihak. Sejak 1978 hingga kini telah terjadi perikatan diam-diam antara kedua
perusahaan, Namun faktanya Wen Ken memberi lisensi atas merek Cap Kaki Tiga pada PT
Sinde Budi untuk memproduksi dan memasarkan produk Cap Kaki Tiga yang merupakan merek
dagang untuk minuman kesehatan berupa larutan penyegar pertama kali yang diperkenalkan
pada tahun 1980-an. Larutan penyegar produksi PT. Sinde Budi Sentosa muncul sebagai pioner
obat panas dalam di pasar Indonesia. Selama puluhan tahun, larutan penyegar dengan simbol
badak ini mampu berkembang hingga menjadi produk andalan PT. Sinde Budi Sentosa.

Perjanjian kerjasama yang sudah berjalan sejak tahun 1978 mengalami perubahan yang
dinilai PT. Sinde Budi Sentosa persyaratannya sangat memberatkan dari segi hukum, maka
manajemen PT. Sinde Budi Sentosa mengambil keputusan untuk mengganti metek Cap Kaki
Tiga menjadi Cap Badak.

Sesuai dengan perinsip yang dianut dalam Undang – Undang Merek Indonesia, yakni first to
file principle, bukan first come, first out, pemegang merek baru akan diakui atas kepemilikan
mereknya kalau merek itu dilakukan pendaftaran. Berdasarkan kepada perinsip ini, maka
seseorang yang ingin memiliki hak atas merek dia harus melakukan pendaftaran atas merek yang
bersangkutan. Namun dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dikatakan bahwa
merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut tidak memiliki daya pembeda.

Jika ditilik lebih lanjut, kemassan Larutan Cap Badak memiliki banyak kemiripan dengan
kemasan Larutan Cap Kaki Tiga yang merupakan merek dagang dari Wen Ken Drug Co Ltd.
Dalam hal ini, PT. Sinde Budi Sentosa semestinya tidak dapat mendaftarkan hak merek dari
peroduk yang dimilikinya karena memiliki kemiripan atau kesamaan dengan kemasan Larutan
Cap Kaki Tiga. Adapun persamaan yang terdapat dalam kedua produk tersebut antara lain :

1. Bentuk Botol;
2. Tutup Botol warna biru;
3. Warna Kemasan;
4. Tulisan arab;
5. Font tuulisan;
6. Cara penempatan khasiat produk;
7. Cara menempatkan tulisan komposisi;
8. Cara menempatkan varian rasa;
9. Cara menempatkan logo dan tulisan “larutan penyegar” di tengah;

Unsur merek yang diusung PT.Sinde Budi Sentosa secara tidak langsung memiliki unsur
sama dengan produk Larutan Cap Kaki Tiga, namun permohonan merek dagang kepada
Direktorat Jenderal HAKI oleh PT. Sinde Budi Sentosa berhasil lolospada tahun 2004 dengan
merek Larutan Penyegar Cap Badak untuk kelas 32 (minuman penyegar) dan 05 (minuman
kesehatan) yang masing-masing terdaftar dengan Nomor IDM000241894 dan IDM000152059.
PT. Sinde Budi Sentosa mendapat merek dagang dari HAKI pada tahun 2004 sedangkan Wen
Ken Drug Co (Pte) Ltd belum mendaftarkan merek dagang Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga ke
direktorat Jendral HAKI, sehingga Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga belum tercatat secara
hukum dalam Direktorat Jenderal HAKI Indonesia. Wen Ken Drug Co (Pte) Ltd baru
mendaftarkan merek Laruttan Penyegar Cap Kaki Tiga pada tahun 2008 dan secara sepihak
memindahkan lisensi merek dagang Cap Kaki Tiga ke. PT. Kinocare Kosmetindo pada tahun
2008 pemindahan lisensi ini diantranya karena PT. Sinde Budi Sentosa keberatan untuk
membayra royalty 10 %/ tahun, keenggana mereka untuk mencantumkan lisensi, dan
pemeriksaan produksi.
Di tahun yang sama PT. Sinde Budi Sentosa melakukan gugatan yerhadap Wen Ken
Drug Co. gugatan dilayangkan lantaran Wen K. C (Pte) Ltd telah menghendtikan perjanjian
lisensi secara sepihak terhitung 7 februari 2008 dan berniat mengalihak lisensi merek cap kaki
tiga ke pihak lain maka PT. Sinde Budi pengakhiran itu tidak sah.
Sengketa merek antara PT. Sinde bUdi Sentosa dengan Wen K .D. C berakhir di
pengadilan niaga Jakarta. Majelis memenangkan pengguat PT. Sinde Budi. Majelis berpendapat,
minuman penyegar cap kaki tiga memiliki pada persaaan padda pokoknya dengan merek milik
penggugat, PT. Sinde Budi Sentosa. Majelis hakim menyatakan bahwa pendaftaran merek Cap
Kaki Tiga dengan no. idm 000241894 oleh Wen K. dilakukan dengan itikat tidak baik karena
dapat menyesatkan konsumen yang mengira produk berasal dari penggugat.
Merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdafttar pihak lain ialah merek yang
digunakan dengan merek yang terdaftar sebagai milik orang lain tersebut ada kemiripan karena
ada unsur yang menonjol dengan merek yang digunakan dengan merek milik orang lain.
Keadaan tersebut dpat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara
penempatan, cara penulisan, atau kombinasi unsur atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat
dalam kedua kelompok tersebut ( Pasal 6 ayat (1) huruf a UUD merek). Timbulnya kesan
mengenai merek seolah-olah merek yang sah untuk suatu jenis barang yang sama dapat
menimbulkan keruguan secara ekonomi bagi si pemegang merek yang terdaftar untuk barang
yang dilengkapi merek tersebut.

3. Kasus Idea Field Indonesia VS Mediance PT IDEA FIELD INDONESIA 


Perusahaan ini menciptakan desain dengan isi dan konteks yang kuat, menciptakan produk-
produk ( desain ) yang yang indah dan setiap kliennya di tangani dengan detail dan teliti. karya
desain grafis PT IDEA FIELD INDONESIA bersifat dinamis dan dapat berubah-ubah mengikuti
perkembang zaman. Perusahaan ini memasarkan dan memperdagangkan jasanya secara nasional
dan internasional, melalui pemasaran secara langsung maupun melalui media internet sehingga
desain grafis hasil karya Idea Field Indonesia bisa dikenal dan digunakan secara nasional
maupun internasional.
Melalui http://www.elance.com PT IDEA FIELD INDONESIA memasarkan karya-karya
desain grafisnya didunia maya (internet), dalam website ini PT IDEA FIELD INDONESIA
dihubungkan dengan para pembeli karya desain grafis atau pembeli jasa untuk membuat desain
grafis. Dalam website ini PT IDEA FIELD INDONESIA diharuskan me-upload katalog yang
berisi karyakarya desain grafis, agar para pembeli bisa melihat hasil-hasil karya yang diciptakan
oleh perusahaan. Salah satu katalog yang di-upload di internet adalah katalog dibawah ini : Pada
tanggal 13 Juni 2008 PT. IDEA FIELD INDONESIA mendapatkan laporan dari
http://www.elance.com bahwa katalog berisi karya-karya desain grafis digunakan tanpa izin oleh
pihak MEDIANCE dalam website elance.com dan lambang the idea field diubah menjadi
lambang MEDIANCE. Sehingga katalog tersebut berhasil menarik para pembeli jasa pembuat
karya desain grafis untuk membeli karya dan jasa MEDIANCE, bahkan MEDIANCE berhasil
menjual salah satu karya desain grafis dalam katalog tersebut. Pada tanggal 24 Juni 2008 PT.
IDEA FIELD INDONESIA melakukan somasi pada MEDIANCE melalui e-mail yang berisikan,
bahwa katalog tersebut dan semua karya deain grafis didalamnya adalah ciptaan PT.IDEA
FIELD INDONESIA yang dilindungi oleh hak cipta, sehingga MEDIANCE harus menghentikan
penggunaan katalog tersebut dan membayar sejumlah uang karena telah menjual salah satu karya
desain grafis dalam katalog tersebut sebesar 500 US$ selambat- lambatnya pada tanggal 29 Juni
2008. Sampai pada tanggal 29 Juni 2008 tidak ada tanggapan dari MEDIANCE terhadap somasi
PT IDEA FIELD INDONESIA. Kemudian PT IDEA FIELD INDONESIA meminta bantuan
kepada http://www.elance.com sebagai pihak yang menyediakan layanan untuk menyelesaikan
masalah dengan pihak MEDIANCE. Sehingga pada tanggal 15 Juli 2008 tim Elance.com
membentuk badan arbitrase Ad-Hoc untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pihak PT IDEA
FIELD INDONESIA memilih hakim arbitrer dari Asosiasi Desain Grafis Internasional dan pihak
MEDIANCE menyetujuinya. Hasil arbitrase pada tanggal 15 Agustus 2008 adalah pihak
MEDIANCE akan menghentikan penggunaan katalog tersebut dalam website elance.com dan
akan membayar uang sebesar 300 US$ atas penggunaan katalog dan perbanyakan karya desain
grafis tersebut.
Hasil putusan Arbitrase tersebut telah dilaksanakan oleh MEDIANCE. Tetapi uang sebesar
300 US$ harus rela dipotong sebesar 100 US$ untuk biaya arbitrase yang disediakan oleh
http://www.elance.com. B.ANALISA BUKTI Dalam kasus di atas sangat jelas bukti yang ada
terletak pada design grafis hasil karya Idea Field Indonesia yang sangat mirip dengan design
Mediance sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa Mediance secara benar telah
melakukan pelanggaran hak cipta design grafis karya dari Idea Field Indonesia. Undang -
Undang yang Berlaku Dalam Kasus Tersebut tidak di jelaskan UU yang berlaku, tetapi jika di
analisa maka kasus tersebut terkena UUHC Pasal 72 ayat 2 yang berbunyi : “Barangsiapa dengan
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana di maksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Hukuman yang Berlaku Dalam Kasus ini Jika di ukur dari UU yang berlaku maka akan
dikenakan hukuman Penjara Paling lama lima tahun atau/dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00. Karena dalam kasus ini langkah hokum yang diambil adalah mediasi atau
arbitrase maka dari hasil arbitrase Mediance dijatuhi Hukuman berupa denda sebesar 300 US$
walaupun ada pemotong dengan Biaya Arbitrase.

Anda mungkin juga menyukai