Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Laluna Kayla Fidhia

NIM : 11000121140474
Mata kuliah : Metode Penelitian dan Penulisan Hukum

KESENJANGAN ANTARA DAS SOLLEN DAN DAS SEIN TERHADAP


PENERAPAN ASAS FIRST TO FILE PADA PUTUSAN
NO.2/Pdt.Sus.HKI.Merek/2022/PN.Niaga. Sby

DAS SOLLEN : Kepastian hukum dalam penerapan asas first to file terhadap pendaftaran
merek di Indonesia dibagi menjadi dua, yakni sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Sistem
konstitutif yaitu mendapatkannya hak atas merek dengan pendaftarannya merek tersebut
pada kantor pendaftaran dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum karena
mereknya sudah didaftarkan terlebih dulu di kantor Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual. Hal tersebut tertulis dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menjelaskannya bahwa “Hak atas merek
diperoleh setelah merek tersebut terdaftar”. Dalam sistem Konstitutif perlindungan hukumnya
berdasarkan pada orang yang mendaftarkan mereknya pertama kali diikuti dengan
adanya itikad baik dari pendaftar.

DAS SEIN : Di dalam sebuah perkara, penafsiran dan pandangan hakim dalam mengadili
dan memutus perkara sangat mempengaruhi nasib dari suatu merek yang sedang berperkara.
Tidak dipungkiri bahwa sering ditemukan perbedaan penafsiran dari Majelis Hakim atas
suatu merek. Maka banyak timbul permasalahan dan berbagai pandangan penafsiran
mengenai sistem first to fileyang ada di Indonesia. Tidak jarang juga terjadi benturan hukum
antara first to file dengan merek terkenal. Walaupun suatu merek sudah didaftarkan pertama
kali, akan tetapi apabila terbukti bahwa pemilik merek pertama dapat membuktikan bahwa
mereknya adalah merek terkenal maka terhadap merek yang sudah didaftarkan dapat
dibatalkan dengan mengajukan gugatan pembatalan merek terdaftar kepada pemilik merek
terdaftar.

KESENJANGAN : Dalam kasus antara Merek Ms. Glow dan Ps. Glow terdapat
perbedaan konsepsi dalam sistem first to file. sengketa antara Ms. Glow dan Ps. Glow Ms.
Glow dan Ps. Glow yang dimana nama produk atau merek dan jenis produk milik
Ms. Glow hampir menyerupai Ps. Glow sedangkan Ms. Glow lebih dulu berdiri dan
lebih dulu didaftarkan di Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual pada sejak tahun
2016 dengan nomor pendaftaran IDM000633038, Ms. Glow sudah menguhubungi pihak
Ps. Glow untuk meminta penjelasan serta itikad baik, akan tetapi, tidak ada satu pun
kejelasan dari pihak Ps. Glow itu sendiri, selanjutnya, Ms. Glow mendaftarkan gugatan ke
Pengadilan Niaga Medan, dan dimenangkan oleh Ms. Glow, karena ketidakterimaanya atas
kekalahan pihak Ps. Glow menggugat balik Ms. Glow di Pengadilan Niaga Surabaya
dengan putusan No.2/Pdt.Sus.HKI.Merek/2022/PN.Niaga. Sby, yang dimana majelis
hakim mengabulkan permohonan dari penggugat serta menyatakan kepada pihak
Ms.Glow untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp. 37.900.000.000.00 (tiga puluh miliar
sembilan ratus juta rupiah). Dalam hal ini sudah diketahui bahwa asas first to file belum
terlaksanakan dan terjadi disparitas antara kedua putusan pengadilan tersebut. Kedua merek
ini sama-sama telah didaftarkannya terlebih dahulu dan telah mendapatkannya
perlindungan hukum karena telah melewati dan telah melalui serangkaian pemeriksaan
formalitas dan substantif, sebagai syarat sahnya pendaftaran merek. Kedua merek ini juga
didaftarkan dengan itikad baik. Tetapi terdapat perbedaan penerapan hukum mengenai asas
first to file. Padahal Ms. Glow adalah Pendaftar merek pertama dengan Nomor
Pendaftaran IDM000633038 dan merupakan merek yang terkenal sebelum Ps. Glow
mendaftarkan mereknya kepada Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual. Adanya
pertimbangan hakim Pengadilan Niaga Surabaya karena dalam pertimbangannya Ms.
Glow bukan merupakan pendaftar pertama, serta pemilik Ms. Glow (Shandy Purnamasari)
tidak berhak atas merek tersebut,padahal merek Ms. Glow sudah terkenal jauh sebelum
Ps. Glow mendaftarkan mereknya,serta menurut majelis hakim pendaftaran merek Ms. Glow
dengan Nomor Pendaftaran IDM000731102 atas nama CV. Kosmetika Cantik dan
untuk kelas 32 yaitu berupa minuman serbuk teh yang tidak sesuai digunakan sebagai merek
dari produk kosmetika, sedangkan untuk penggunaan logo Ms. Glow ternyata terdapat
kesamaan dengan pendaftar yang memohon pendaftarannya kepada Direktorat Jendral
Kekayaan Intelektual akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Setelah dilakukan
pengecekan di website Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual terkait tentang pendaftaran
merek, ternyata untuk kelas 32 tersebut bukan milik Shandy Purnamasari akan tetapi milik
orang lain yang Bernama Ichwan Anggawirya, S.sn., S.H., merupakan konsultan hukum dari
CV. Cantik Indonesia. Sedangkan untuk merek Ms. Glow/foR cantik skincare, dengan
nomor pendaftaran IDM000633038 merupakan milik sah Shandy Purnamasari, dan Shandy
Purnamasari berkerja sama dengan PT. Kosmetika Cantik Indonesia bukan CV. Cantik
Indonesia. Oleh karena itu, majelis hakim telah keliru dalam memperoleh data untuk
membuktikan siapa yang mendaftarakan mereknya terlebih dahulu kepada Direktorat
Jendral Kekayaan Intelektual, serta ditarik kesimpulan bahwa dalam penerapan asas first to
file belum berjalan dengan baik.
LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara yang tunduk dalam melindungi Hak Kekayaan Intelektual
(“HAKI”) sudah sepatutnya menegakkan hukum terkait dengan perlindungan HKI serta
memotivasi para penghasil karya-karya intelektual untuk berinovasi dan menghasilkan karya-
karya lain karena adanya perlindungan terhadap hak-hak intelektual mereka. Dalam
perdagangan bebas pada saat ini HAKI sendiri memegang peran yang sangat krusial sebagai
aset yang tak kasat mata. Dunia usaha sangat membutuhkan perlindungan akan produk yang
lahir dari kreatifitas dan apa saja yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, misalnya
merek dari sebuah produk, desain sebuah produk, dan lain sebagainya, yang perlu dilindungi
agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain demi keuntungannya sendiri dan merugikan pemilik
hak tersebut.

Merek merupakan salah satu bagian dari wujud karya intelektual yang memiliki
peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan dan investasi. Merek sendiri
menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi geografis tanda
yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan
warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau
kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa
yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau
jasa. Merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan jasa. Melalui merek,
pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan kualitas (a guarantee of quality)
barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan (konkurensi) yang
tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng
reputasinya.

Perkembangan zaman mengakibatkan makin maraknya produk-produk baru yang


muncul. Hal ini mengakibatkan peran merek menjadi sangat penting karena bukan hanya
sebagai tanda pembeda dari suatu usaha tetapi juga sebagai jaminan atas mutu suatu usaha
dan bentuk promosi atas produk tersebut. Merek disini tidak lagi hanya menjadi identitas
suatu produk tetapi sudah menjadi indikator kualitas suatu produk. Namun, kenyataannya
masih kerap ditemukan pelanggaran merek dalam pendaftaran merek yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan merek lain. Perlindungan hukum bagi hak merek terkenal
di Indonesia menjadi sangat penting agar dapat menciptakan iklim industri dan ekonomi yang
aman dan nyaman bagi para pelaku usaha di Indonesia. Kemudian mengenai akibat hukum
atau sanksi bagi para pelanggar hak merek terkenal di Indonesia juga harus diberikan sanksi
tegas yang dapat memberikan efek jera agar dapat memberikan kepastian hukumnya bagi
semua pihak.

Pendaftaran merek di Indonesia menggunakan prinsip first to file, dimana pendaftar


pertama diakui sebagai pemilik hak atas merek tersebut. Artinya perlindungan merek akan
timbul apabila pemilik merek tersebut telah mendaftarkannya terlebih dahulu ke Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan
perundang-undangan tentang Merek di Indonesia mensyaratkan hal tersebut kepada pemilik
merek untuk mendapatkan perlindungan hukum dan juga sebagai dasar untuk mencegah
pihak lain agar tidak menggunakan merek terdaftar secara tidak sah. Konsep pendaftaran
merek di Indonesia berdasarkan prinsip “First to File” apabila ditinjau secara komprehensif
terdapat kekosongan hukum. Sebab penerapan prinsip “First to File” yang memberikan hak
eksklusif terhadap pendaftar pertama suatu merek berakibat juga terhadap pengguna merek
pertama dan pemilik sebenarnya namun belum mendaftarkan di Indonesia. Pemilik merek
yang sebenarnya dapat tergantikan oleh pihak lain yang telah lebih dahulu mendaftarkan
merek tersebut.

Prinsip “First to File” apabila ditinjau secara komprehensif terdapat kekosongan


hukum. Sebab penerapan prinsip “First to File” yang memberikan hak eksklusif terhadap
pendaftar pertama suatu merek berakibat juga terhadap pengguna merek pertama dan pemilik
sebenarnya namun belum mendaftarkan di Indonesia. Pemilik merek yang sebenarnya dapat
tergantikan oleh pihak lain yang telah lebih dahulu mendaftarkan merek tersebut. Hal ini
berakibat saat pemilik merek yang sebenarnya akan mendaftarkan merek miliknya maka akan
terhalang oleh merek terdaftar milik pihak yang telah lebih dahulu mendaftarkan nama
merek. Akhirnya hal ini akan merugikan pemilik merek yang telah lebih dahulu menjalankan
usaha menggunakan nama merek tersebut. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal ini juga tidak dapat membatalkan
merek terdaftar kecuali merek didaftarkan atas dasar itikad tidak baik atau mendompleng
merek terkenal lainnya. Hal tersebut pun harus dilakukan upaya hukum berupa Gugatan ke
Pengadilan Niaga terlebih dahulu dan atas dasar itu putusan nya baru dapat dijadikan dasar
untuk membatalkan merek terdaftar tersebut.
Beban pembuktian untuk pemilik merek asli hanya dapat disalurkan melalui sidang di
pengadilan. Selain itu cara untuk mengajukan keberatan hanya dapat dilakukan pada saat
proses pendaftaran sedang berlangsung. Apabila merek telah dinyatakan terdaftar maka cara
satu-satunya menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis adalah mengajukan gugatan ke pengadilan niaga. Ironisnya, memperhatikan dari
beberapa putusan gugatan pembatalan merek, dapat dikatakan bahwa sistem yang ada di
Indonesia saat ini masih memungkinkan pihak yang sesungguhnya tidak berhak atas suatu
merek tetap mendapat perlindungan, bahkan dapat mempidanakan pihak yang sesungguhnya
pemilik merek. Hal ini disebabkan oleh karena belum adanya norma yang tegas dan jelas
terkait dengan persamaan pada pokoknya dan kriteria merek terkenal yang dapat menjadi
acuan bagi hakim dalam memutus perkara sengeketa di bidang merek. Sehingga masih
banyak kasus-kasus sengketa merek yang mengalahkan pemilik merek terdaftar di Indonesia.
Bentuk penyelesaian yang dilakukan pun bervariasi tergantung dari penafsiran masing-
masing hakim yang menyelesaikannya. Terdapat banyak pertimbangan yang dilakukan oleh
hakim dalam setiap penyelesaian masalah dikarenakan jenis gugatan yang dilayangkan oleh
para penggugat juga sangat bervariasi.

Terdapat kasus antara Merek Ms. Glow dan Ps. Glow yang mana muncul perbedaan
konsepsi dalam sistem first to file. Sengketa antara Ms. Glow dan Ps. Glow Ms. Glow dan
Ps. Glow yang dimana nama produk atau merek dan jenis produk milik Ms. Glow
hampir menyerupai Ps. Glow sedangkan Ms. Glow lebih dulu berdiri dan lebih dulu
didaftarkan di Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Kemudian, Ms. Glow
mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Niaga Medan, dan dimenangkan oleh Ms. Glow, karena
ketidakterimaanya atas kekalahan pihak Ps. Glow menggugat balik Ms. Glow di Pengadilan
Niaga Surabaya dengan putusan No.2/Pdt.Sus.HKI.Merek/2022/PN.Niaga. Sby, yang
dimana majelis hakim mengabulkan permohonan dari penggugat serta menyatakan
kepada pihak Ms.Glow untuk membayar ganti kerugian. Pada penelitian ini berutujuan
untuk mengetahui bahwa asas first to file belum terlaksanakan dan terjadi disparitas antara
kedua putusan pengadilan tersebut.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kepastian hukum dalam penerapan asas first to file di Indonesia?


2. Bagaimana upaya penyelesaian terhadap disparitas kedua putusan pengadilan terhadap
sengketa merek Ms. Glow v. Ps. Glow?

Anda mungkin juga menyukai