Anda di halaman 1dari 13

Hukum Komersial

PERLINDUNGAN MEREK SEBAGAI HAK ATAS


KEKAYAAN INTELEKTUAL
“Mie Sedaap VS Mie Sedaaap”

OLEH:

Miranda Julia Prisilia Settuang Lamia (14061104129)


Joshua Maralending (14061104161)
Tri Tunggal Dewi Yulia (14061104167)
Anggelita Prichilia Tijow (14061104189)
Andika Saputra Popang (14061104203)
Lidya Anastasya Suak (14061104255)
Felicia Maria Kalangi (14061104273)

0
A. Pendahuluan
Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik
Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR)
atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada
tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud
dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah
HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan
abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.

Penggunaan merek semakin luas di pasaran, hal ini sesuai dengan perkembangan
perdagangan bebas yang semakin berkembang. Merek memiliki peranan penting dalam
memperebutkan kedudukan di mata konsumen. Merek juga sangat penting dalam dunia
periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan image, kualitas atau reputasi barang
dan jasa dengan merek tertentu. Perlindungan hak kekayaan intelektual sangat penting bagi
pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Salah satu alasan mengapa investor
menanamkan modal di Indonesia adalah mengharapkan adanya royalti dari alih teknologi
termasuk di dalamnya royalti atas transfer Hak Kekayaan Intelektual yang salah satu bentuknya
adalah royalti atas pemberian Lisensi atas Merek.

 Di Indonesia, perlindungan merek pada masa kolonial Belanda yang saat itu dibuat
Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 jo. Stb.
1912 No. 214 yang digunakan sampai Indonesia merdeka.
 Lalu pada tahun 1961 dibuat Undang-Undang tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan. Undang -Undang tersebut lalu digantikan dengan Undang-Undang No. 19
Tahun 1992 tentang merek yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 yang masih berlaku hingga sampai saat ini.
 Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian
internasional yang telah diratifikasi Indonesia serta pengalaman melaksanakan
administrasi Merek, maka Indonesia sudah melaksanakan beberapa kali perbaikan
tentang Undang-Undang Merek dan undang-undang yang terakhir adalah Undang-
Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Akhir-akhir ini begitu riuh terdengar maraknya kasus plagiat atau perampokan atas karya
cipta suatu produk dengan maksud untuk memperoleh keuntungan sendiri. Hal ini tentu ironis
mengingat Indonesia sebagai negara berkembang yang sangat haus akan kreatifitas dari sumber
daya manusianya kaitannya dengan dimulainya pasar bebas. Dengan maraknya kasus ini, muncul
kekhawatiran tersendiri dari para kreator bangsa ini atas keamanan inovasinya.

1
B. Kasus
Mie Sedaap Vs Mie Sedaaap

*Mie Sedaap dengan jumlah huruf “a” sebanyak 2 huruf milik, PT. WINGSFOOD

*Mie Sedaaap tertera di kemasan Supermi Sedaaap dengan jumlah huruf “a” sebanyak 3
huruf, milik PT. INDOFOOD

Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa kedua merek tersebut sebenarnya berasal
dari perusahaan yang berbeda.

Produk Mie Sedaap yang pertama, dibawahi oleh perusahaan WINGSFOOD merupakan
produk dengan merek “Mie Sedaap” yang lebih dahulu muncul.

Sedangkan pesaingnya, yaitu Mi Sedaaap atau lebih tepatnya Supermi Sedaaap (Merek
Tiruan), adalah Merek yang kedua, yang diproduksi oleh INDOFOOD.

Jika di pasaran, konsumen yang kurang teliti akan menganggap kedua produk tersebut
sama karena sebenarnya kata-kata “sedap” lah yang biasa didengar dan muncul di benak
konsumen. Oleh karena itu saat mereka melihat tulisan “sedap” yang tertera di kemasan, tanpa
sempat memperhatikan jumlah huruf “a”nya, mereka langsung membeli produk tersebut.
Beberapa konsumen menganggap ”Mie Sedaap” dan ”Supermi Sedaaap” adalah satu produsen,
apalagi Supermi bisa dikatakan sebagai induk dari semua mi instant di Indonesia, jadi bukan
suatu hal yang mustahil jika masyarakat akhirnya lebih memilih ”Supermi” yang lebih punya
nama dibandingkan dengan ”Mie Sedaap” yang asli.

Hal ini tentunya sangat merugikan WINGSFOOD karena adanya persamaan pada
pokoknya tersebut dapat berdampak pada merosotnya omzet penjualan produk “Mie Sedaap” itu
sendiri. Selain itu, juga merugikan konsumen yang memang menggemari “Mie Sedaap” karena
mereka merasa tertipu apabila mereka salah membeli produk hanya karena tidak memperhatikan
jumlah huruf “a” pada Merek.

 Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, pada kasus ini
pemilik merek dagang “Mie Sedaap” (WINGSFOOD) yang pertama bisa
menuntut perusahaan Supermi(INDOFOOD) atas produk yang dianggap meniru
produk dagangnya. Dalam kasus ini, Supermi Sedaaap(INDOFOOD) melanggar
hak milik industri terkait dengan merek produk, desain tulisan, atau kemasan yang
sama atau hampir sama. Hak milik industri ini berlaku selama 10 tahun, jika
setelah jangka waktu tersebut produsen, dalam hal ini WINGSFOOD, tidak
mendaftarkan lagi produk dagangnya, maka perusahaan lain baru bisa mengambil
alih penggunaan Merek dagang tersebut.

2
Duduk Perkara :
Produk Mie Sedaap dibawahi oleh perusahaan WINGSFOOD merupakan produk yang
lebih dahulu muncul yakni pada tahun 2003, sedangkan produk Supermi Sedaaap di bawah
perusahaan INDOFOOD muncul sebagai pesaing dengan merek yang hampir serupa.

· PT WINGS FOOD menuntut PT INDOFOOD atas dasar ketentuan yang terdapat dalam
undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang merek.
UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merk
Subjek, materi muatan, dan pasal yang menyangkut keterkaitan UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merk dengan
Hukum Siber adalah:

1. Batasan Merek (Pasal 1)


2. Ruang Lingkup Hak (Pasal 3)
3. Indikasi Geografis (Pasal 56)
4. Pemeriksaan Substantif (Pasal 18 Ayat (2), Pasal 52)
5. Jangka Waktu Perlindungan (Pasal 28, Pasal 35 Ayat (1), Pasal 56 Ayat (7))
6. Administrasi Pendaftaran (Pasal 7 Ayat (1))

C. Analisis Kasus

Kemiripan suatu merek produk bukan hal yang sulit kita jumpai sehari-hari. Banyak
sekali merek-merek memiliki kesamaan bentuk, warna, ciri dan sebagainya. Tentunya kemiripan
merek tersebut bukanlah tanpa alasan. Motif atau tujuan kemiripan merek biasanya karena
dengan membentuk merek yang mirip dengan suatu merek yang terkenal yang banyak dipilih
masyarakat akan mendompleng jumlah penjualan produk apakah hal ini dapat dibenarkan dalam
hukum, pertanyaan tersebut akan terjawab dengan melihat contoh kasus kemiripan merek.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dikenal adanya sistem perlindungan


terhadap merek yaitu sistem konstitutif, artinya adalah perlindungan hak atas merek diberikan
hanya berdasarkan adanya pendaftaran sistem ini dikenal juga dengan istilah first to file system
yang artinya perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar lebih dulu.

Pemohon sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau mirip tidak akan
mendapat perlindungan hukum. Terkait kemiripan merek dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 telah pula diatur ketentuan merek sedemikian rupa dalam pemeriksaan pendaftaran

3
merek untuk mencegah hal tersebut terjadi, namun pada praktiknya masih sering timbul
beberapa masalah dalam pemeriksaan merek yang menyebabkan adanya kesamaan atau
kemiripan merek. Pasal, 6 ayat 1 huruf (a) menyebutkan bahwa permohonan merek harus ditolak
oleh Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual (DITJEN HAKI), apabila merek tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah
terdaftar lebih dulu untuk barang dan atau jasa sejenis.

Pasal 6 ayat 1 huruf (a) tersebut sedemikian jelas telah mengatur perlindungan hukum
bagi pemegang hak atas merek.

Selanjutnya dalam menentukan ada tidaknya suatu persamaan dalam merek dapat
dilakukan melalui pendekatan teori. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan
merek dianggap sama dan tidak sama, yaitu:

 Terdapat persamaan keseluruhan elemen

Persamaan keseluruhan elemen adalah standar untuk menentukan adanya persamaan


dalam hal ini merek yang diminta untuk didaftarkan merupakan hasil karya atau reproduksi
merek orang lain. Agar suatu merek dapat disebut hasil karya atau reproduksi dari merek orang
lain sehingga dapat dikualifikasi mengandung persamaan secara keseluruhan harus memenuhi
syarat-syarat;

1. Terdapat persamaan elemen merek secara keseluruhan.


Bahwa dalam merek produk barang maupun jasa yang sejenis maupun tidak sejenis
terdapat kesamaan dalam unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam merek
secara keseluruhan baik dari bentuk, bunyi, penempatan, atau tata letak huruf, angka, dan
gabungan dari semua elemen-elemen tersebut.

2. Persamaan jenis atau produksi dan kelas barang atau jasa.


Bahwa barang yang diproduksi memiliki kesamaan jenis dan cara memproduksi.
Contohnya; jenis kesamaan merek jenis produk minuman dan kesamaan merek jenis
produk makanan.

3. Persamaan wilayah dan segmen perusahaan.


Bahwa merek barang atau jasa yang dihasilkan memiliki persamaan dalam wilayah atau
letak geografis yang sama dan segemen merek barang yang dihasilkan ditujukan bagi
masyarakat kelas menengah ke bawah atau menengah ke atas. Contohnya ; Kopi Toraja
yang berasal dari daerah Toraja, batik Pekalongan dari Pekalongan dan lain lain.

4. Persamaan cara dan perilaku pemakaian.


Bahwa adanya kesamaan cara dalam memproduksi merek barang mau pun jasa.

4
5. Persamaan cara pemeliharaan.
Adanya kesamaan dalam menjaga kualitas dan kuantitas sebuah merek produk barang
atau jasa.

6. Persamaan jalur pemasaran.


Bahwa dalam memasarkan merek barang atau jasa terdapat kesamaan antara unsur-unsur
dari suatu merek. Syarat-syarat tersebut diatas bersifat kumulatif sehingga untuk
menentukan adanya persamaan harus semuanya terpenuhi. Standar penentuan
berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu kaku dan tidak dapat melindungi kepentinagan
pemilik merek khususnya untuk merek terkenal.

 Persamaan pada pokoknya

Penjelasan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek


menyebutkan bahwa persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya
unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat
menimbulkan kesan adanya persamaan baik dalam bentuk lukisan atau tulisan. Cara penempatan
yaitu unsur-unsur yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang
lain, baik arti mau pun kombinasi antara unsur-unsur atau pun persamaan bunyi dalam ucapan
yang terdapat dalam merek tersebut. Permasalahan yang timbul dalam pemeriksaan merek adalah
bagaimana menerapkan ketentuan mengenai barang dan jasa sejenis atau tidak sejenis dilihat dari
ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 ayat 1 huruf (a). Untuk menentukan ada tidaknya suatu
persamaan pada merek selain ditentukan oleh mereknya sendiri juga ditentukan oleh jenis barang
dan jasanyanya. Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang tertentu
lainnya meskipun berada dalam satu kelas yang sama, demikian sebaliknya suatu barang bisa
dikatakan sejenis dengan barang lainnya walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena
keterkaitan yang sangat erat antara kedua barang tersebut. Sejauh ini batasan mengenai merek
terkenal hanya berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut;

1. Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk memiliki
kualitas stabil dari waktu ke waktu, dapat dipertahankan di berbagai negara serta memiliki
pendaftaran di beberapa negara.

2. Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya
berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan.

3. Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut dibidang usaha yang bersangkutan
yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan gencar dan besar-besaran,
adanya investasi di beberapa negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya
bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.

5
Persamaan merek dan jenis barang serta kriteria merek terkenal sering menimbulkan
masalah dalam pemeriksaan merek. Selain karenatidak adanya ketentuan yang memberikan
pedoman yang pasti pada pemeriksaan merek juga karena sifatnya sangat subyektif sehingga
untuk menentukan arti yang sebenarnya dari persamaan pada pokoknya dari suatu merek barang
atau jasa bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-masing individu.
Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan yang kurang konsisten mengenai kasus-
kasus yang serupa.

Persamaan merek disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yaitu:

1. Mengangkat nilai jual suatu barang dengan meniru produk lain yang sejenis yang lebih
terkenal dan laku produknya untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

2. Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek khususnya penafsiran terhadap pasal 6 ayat 1 sehingga memberikan kesempatan
kepada setiap orang atau badan usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.

3. Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan merek hasil karya atau produksi

4. Lemahnya kesadaran hukum masyarakat untuk menghargai merek hasil karya orang lain.

D. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa terhadap merek diatur di dalam hukum indonesia antara lain

1. Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute Resolution)

Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam penyelesaian sengketa merek diatur dalam Pasal 84
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, selain dalam Undang-Undang Merek
penyelesaian sengketa alternatif lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Alternatif. Menurut Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase yang dimaksud dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berdasarkan ketentuan diatas maka
dapat dilihat ada beberapa macam penyelesaian sengketa alternatif yaitu :

a. Konsultasi

Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian konsultasi.


Pengertian konsultasi menurut Black Law Dictionary yang pada prinsipnya konsultasi
merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut
dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya
kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Klien tidak

6
terikat atau berkewajiban untuk memenuhi pendapat pihak konsultan. Klien bebas untuk
menentukan sendiri keputusan yang akan diambil untuk kepentingannya sendiri, walau tidak
tertutup mungkinannya untuk mempergunakan pendapat yang disampaikan pihak konsultan.
Konsultan hanya bertugas memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta kliennya,
selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut diambil sendiri oleh para pihak.

b. Negosiasi

Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat
berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan
mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang
disetujui oleh para pihak. Negosiasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi
dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang
secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu
kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa sudah barang tentu telah berdiskusi atau
bermusyawarah sedemikian rupa agar kepentingan-kepentingan dan hak-haknya terakomodir
menjadi kepentingan/ kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya
kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.

c. Mediasi

Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator)
yang tidak memihak (imparsia) yang turut aktif memberikan bimbingan atau arahan guna
mencapai penyelesaian. Namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil
keputusan. Inisiatif penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Dalam
kaitan dengan Mediasi menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 menyatakan atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat
bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis, wajib didaftarkan
ke Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penandatanganan dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran. Mediasi ini pada dasarnya telah diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 02 tahun 2003 yang dimana sejak 31 Juli 2008, Mahkamah Agung sudah menerbitkan
beleid baru tentang prosedur mediasi di pengadilan. Beleid dimaksud adalah Perma No. 1 Tahun
2008.

7
d. Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak
ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah
seseorang yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya. Konsiliator dalam
proses konsiliasi ini memiliki peran yang cukup berarti, oleh karena konsilisator berkewajiban
untuk menyampaikan pendapatnya mengenai duduk persoalan dari masalah atau sengketa yang
dihadapi, aternatif cara penyelesaian sengketa yang dihadapi, bagaimana cara penyelesaian yang
terbaik, apa keuntungan dan kerugian bagi para pihak, serta akibat hukumnya

2. Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase

Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka
melalui arbitase daripada pengadilan karena beberapa alasan yaitu:

a. Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui arbitase diluar negeri karena
menggangap sistem hukum dan pengadilan setempat berbeda bagi mereka. Sebenarnya alasan ini
pun tidak terlalu benar karena mereka bisa menunjuk pengacara setempat untuk mewakili
mereka di depan pengadilan.

b. Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim negara berkembang tidak


menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan
internasional yang rumit. Alasan ini sepenuhnya juga tidak benar karena hakim dapat memanggil
saksi ahli.

c. Pengusaha Negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan


memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari
tingkat pertama sampai tingkat Mahkamah Agung.

d. Keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa didepan pengadilan bertolak


dari anggapan bahwa pengadilan akan bersikap subyektif kepada mereka, karena sengketa
diperiksa dan diadili berdasarkan bukan hukum Negara mereka oleh hakim bukan dari Negara
mereka.

e. Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar,
dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Penyelesaian
sengketa melalui arbitase dianggap dapat melahirkan putusan yang komporomisi yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

f. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tertutup sifatnya, sehingga tidak ada publikasi
mengenai sengketa yang timbul. Publikasi mengenai sengketa suatu yang tidak disukai oleh para
pengusaha.

8
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud dengan
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.

3. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan.

Penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan sebagaimana diatur di dalam Undang-


Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga oleh pihak pemilik
merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak
menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk
barang atau jasa yang sejenis, yaitu :

a. Gugatan ganti rugi, dan/atau

b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan dengan menggunakan merek tersebut.
Persamaaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang
menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-
unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. Gugatan
sebagaimana disebutkan di atas diajukan kepada Pengadilan Niaga gugatan atas pelanggaran
Merek dapat diajukan oleh penerima Lisensi Merek terdaftar, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan pemilik Merek yang bersangkutan. Selama masih dalam pemeriksaan dan
untuk mencegah kerugian yang lebih besar, atas permohonan pemilik merek atau penerima
Lisensi selaku penggugat, hakim dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi,
peredaran dan atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan Merek tersebut secara
tanpa hak. Dalam hal tergugat dituntut juga menyerahkan barang yang menggunakan Merek
secara tanpa hak, hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang
tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap
putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi. Selain melalui Pengadilan Niaga
penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan di Pengadilan Negeri dengan perkara pidana dimana
Undang-undang Merek memberikan ancaman pidana kepada setiap orang yang menggunakan
Merek yang sama pada keseluruhannya ataupun yang sama pada pokoknya. Kedua bentuk
perbuatan ini diklasifikasikan sebagai kejahatan. Besarnya ancaman pidana, ditentukan dalam
ketentuan Pasal 90 dan Pasal 91 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, sebagai
berikut :

Pasal 90 :

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang

9
diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 91 :

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya
dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/
atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

10
E. Penutup
Undang – Undang dibidang HaKi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, dan merupakan bentuk yuridis campur tangan negara dalam perlindungan hukum baik
secara nasional maupun internasional. Hakim sebagai organ Pengadilan dituntut untuk
mewujudkan perlindungan hukum, keadilan dan kebenaran dalam penegakan hukum dibidang
HaKi. Namun kembali lagi, dalam penegakan hukum kita harus berangkat dari pokok
permasalahannya sendiri, yakni manusia sebagai subyek hukum kaitannya dengan pelaku usaha
dalam perdagangan dituntut harus memiliki sikap patuh terhadap hukum. Karena menurut saya
bagaimana pun baiknya aturan hukum suatu negara namun apabila masyarakatnya tidak mau
patuh terhadap hukum tersebut maka tak akan ada artinya.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://hukuumdagang.blogspot.co.id/2014_10_01_archive.html?
m=1
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekayaan_intelektual
http://sciencebooth.com/2013/06/12/hal-hal-yang-berkaitan-
dengan-merek-uu-no-15-tahun-2001/
Diktat bahan ajaran Hukum Dagang

12

Anda mungkin juga menyukai