Anda di halaman 1dari 21

Genosida &

Terorisme
Troy Godwin Gunawan - Westlee Matthew Agustinus
Genosida
Indian
Pendahuluan
Sejak orang-orang Eropa tiba di pantai
Amerika, wilayah pantai menjadi ruang
bersama antara perbedaan yang saling
berbentrokan, yang menyebabkan pemerintah
Amerika Serikat (AS) memberikan wewenang
terhadap lebih dari 1.500 perang, serangan,
dan penggerebekan terhadap suku Indian—
serangan paling banyak yang pernah dilakukan
negara mana pun di dunia terhadap penduduk
aslinya.
Pada akhir Perang Indian pada akhir abad ke-
19, sekitar 238 ribu penduduk asli masih
menetap—penurunan tajam dari perkiraan
sekitar 5 juta hingga 15 juta suku Indian yang
tinggal di Amerika Utara ketika Columbus tiba
pada tahun 1492.
Alasan
Terdapat banyak alasan untuk genosida rasial
ini. Para penjajah—yang sebagian besar di
antaranya dilarang mewarisi properti di Eropa
—tiba di pantai Amerika dan haus akan tanah
Indian, dan sumber daya alam berlimpah yang
menyertainya. Kolusi Indian dengan Inggris
selama Revolusi Amerika dan Perang tahun
1812, memperburuk permusuhan dan
kecurigaan Amerika terhadap mereka.
Yang lebih mendasar lagi, suku Indian terlalu
berbeda: Kulit mereka gelap. Bahasa mereka
asing. Dan pandangan dunia dan keyakinan
spiritual mereka berada di luar pemahaman
kebanyakan orang kulit putih.
PEMBANTAIAN
GNADDENHUTTEN
Pada tahun 1782, sekelompok orang
Protestan Moravia di Ohio membunuh
96 orang Indian Delaware yang
dikristenkan, yang menggambarkan
meningkatnya penghinaan terhadap
penduduk asli.
Warga Delaware itu adalah orang Indian
pertama yang menangkap seorang pemukim
kulit putih dan yang pertama menandatangani
perjanjian AS-Indian empat tahun sebelumnya—
perjanjian yang menjadi preseden untuk 374
perjanjian Indian selama 100 tahun ke depan.

Sering menggunakan frasa umum “perdamaian


dan persahabatan”, 229 perjanjian ini
menyebabkan tanah kesukuan diserahkan ke
Amerika Serikat yang berkembang pesat.
PERANG CREEK
Di Selatan, Perang tahun 1812 berubah
menjadi Perang Muskogee Creek 1813-
1814—yang juga dikenal sebagai Perang
Tongkat Merah. Menjadi konflik antar-
suku di antara faksi-faksi Creek Indian,
perang itu juga melibatkan milisi AS,
bersama dengan Inggris dan Spanyol,
yang mendukung orang-orang Indian
untuk membantu mencegah Amerika
melanggar kepentingan mereka.
Andrew Jackson, mengambil seorang
anak dari seorang ibu yang sedang
ingin membunuh anaknya.
Belakangan, ia menyerahkan bayi
Indian itu kepada istrinya, Rachel, dan
membesarkannya seperti anak mereka
sendiri.

Jackson kemudian memenangkan


Perang Tongkat Merah dalam
pertempuran yang menentukan di
Horseshoe Bend. Perjanjian berikutnya
mengharuskan Creek menyerahkan
lebih dari 21 juta hektar tanah ke
Amerika Serikat.
PERTEMPURAN
TIPPECANOE
Pada awal tahun 1800-an, kebangkitan pemimpin
perang Shawnee yang karismatik, Tecumseh, dan
saudaranya, yang dikenal sebagai ‘Nabi’,
meyakinkan orang Indian dari berbagai suku,
bahwa itu adalah kepentingan mereka untuk
menghentikan pertikaian suku dan bersatu untuk
melindungi kepentingan bersama mereka.
Keputusan oleh Gubernur Wilayah Indiana (yang
kemudian menjadi Presiden) William Henry
Harrison pada tahun 1811 untuk menyerang dan
membakar Prophetstown—ibu kota Indian di
Sungai Tippecanoe—sementara Tecumseh sedang
berkampanye di antara para Choctaw untuk
mendapatkan lebih banyak prajurit, menghasut
pemimpin Shawnee untuk menyerang lagi.
Kali ini ia membujuk Inggris untuk berperang
bersama prajuritnya untuk melawan Amerika.
Kematian dan kekalahan Tecumseh di Battle of
the Thames pada tahun 1813, membuat
perbatasan Ohio “aman” bagi para pemukim—
setidaknya untuk sementara waktu.
EKSEKUSI MANKATO
Ketentuan yang dijanjikan kepada orang Indian
melalui perjanjian pemerintah, lambat diwujudkan,
yang membuat warga Dakota Sioux—yang dilarang di
tanah di perbatasan Minnesota—kelaparan dan putus
asa.
Setelah penyerbuan ke ladang pertanian kulit putih
terdekat untuk mendapatkan makanan berujung pada
pertikaian mematikan, warga Dakota melanjutkan
pencarian mereka, yang mengarah pada Perang Gagak
Kecil tahun 1862, di mana 490 pemukim—kebanyakan
wanita dan anak-anak—terbunuh.
Presiden Lincoln mengirim tentara, yang Lebih dari 4.000 orang berkumpul di
mengalahkan warga Dakota; dan setelah serangkaian jalanan untuk menonton, banyak yang
persidangan massal, lebih dari 300 pria Dakota membawa keranjang piknik. Tiga puluh
dijatuhi hukuman mati. delapan orang dikuburkan di kuburan
Walau Lincoln mengurangi sebagian besar hukuman, dangkal di sepanjang Sungai Minnesota,
namun pada hari setelah Natal di Mankato, para tetapi dokter menggali sebagian besar
pejabat militer menggantung 38 warga Dakota mayat untuk digunakan sebagai mayat
sekaligus—eksekusi massal terbesar dalam sejarah medis.
Amerika.
WOUNDED KNEE
Kemarahan anti-Indian meningkat pada akhir
1880-an, ketika gerakan spiritual Ghost Dance
muncul, yang menyebar ke puluhan suku di
16 negara bagian, dan mengancam upaya
untuk mengasimilasi masyarakat suku secara
budaya.
Ghost Dance—yang mengajarkan bahwa orang
Indian telah dikalahkan dan dikurung karena
mereka membuat marah para dewa dengan
meninggalkan kebiasaan tradisional mereka—
menyerukan penolakan terhadap cara hidup
orang kulit putih.
Pada Desember 1890—beberapa minggu
setelah Kepala Sioux Sitting Bull yang terkenal
tewas ketika ditangkap—Kavaleri Ketujuh
Angkatan Darat AS membantai 150 hingga 200
anggota Ghost Dance di Wounded Knee, South
Dakota.
Atas pembunuhan massal yang mereka
lakukan terhadap Lakota, Presiden Benjamin
Harrison memberikan sekitar 20 prajurit
Medali Kehormatan.
Pengeboman
3 Gereja Surabaya
(2018)
Latar Belakang
Diperkirakan pada tahun 2017 sekitar seratusan
warga negara Indonesia pergi ke Suriah atau
Irak untuk bergabung dengan pasukan Negara
Islam Irak dan Syam sebelum mereka kembali.
Masing-masing dari mereka kembali ke
Indonesia melalui proses deradikalisasi oleh
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
termasuk memantau proses deradikalisasi
setiap individu saat dilepas ke masyarakat.
Beberapa serangan terorisme, seperti serangan
Thamrin, dikendalikan oleh orang-orang yang
kembali atau ekstremis lokal yang bersumpah
untuk NIIS.
Pada 8 hingga 10 Mei 2018, sebuah peristiwa
kerusuhan terjadi di Markas Korps Brigade
Mobil di Depok, Jawa Barat, dan menyebabkan
5 polisi gugur dalam bertugas. Saat itu,
sebanyak 155 narapidana terorisme
menyandera polisi yang bertugas pada sel
khusus teroris. Setelah peristiwa tersebut,
polisi menembak mati empat orang yang
diduga teroris yang diduga kabur "untuk
membantu para tahanan kerusuhan". NIIS
mengaku bertanggung jawab akibat kejadian
tersebut.
Kronologi
Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela
Ledakan terjadi saat suatu sepeda motor yang ditumpangi
oleh 2 orang kakak beradik memasuki kompleks gereja dan
nyaris menabrak seorang jemaat sebelum akhirnya
meledak persis di antara para jemaat yang sedang berjalan
kaki.

GKI Diponegoro
Menurut saksi mata, sebelum terjadi pengeboman, tiga
orang perempuan bercadar, satu orang dewasa, satu anak
kecil, dan satu lagi anak remaja, masuk ke area parkiran
GKI Surabaya. Saksi mata lain, melihat ketiganya
mengenakkan rompi dan satpam Antonius melihat
ketiganya berjalan berjajar di pinggir jalan depan GKI,
masuk ke pintu halaman gereja, dihadang oleh seorang
satpam yang kemudian ia peluk sebelum akhirnya terjadi
ledakan.
GPPS Jemaat Sawahan
Menurut Kepala Rumah Tangga Gereja Pantekosta Pusat
Surabaya, Suhendro, peristiwa terjadi saat suatu mobil
merangsek masuk ke halaman gereja dan kemudian
melemparkan sebuah bom.
Dalam keterangan yang berbeda, Kepala Kepolisian
Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Surabaya, Kombes Pol
Rudi Setiawan menyebutkan bahwa bom di GPPS Jemaat
Sawahan merupakan bom mobil. Diketahui bahwa bom
dibawa menggunakan mobil Avanza menerobos masuk
dengan kecepatan tinggi, menabrak pintu, merangsek ke
teras dan lobi gereja kemudian meledak dan membakar
gereja.
Pelaku
Seluruh pelaku dari rentetan serangan bom di Surabaya dlakukan oleh satu keluarga beranggotakan
enam orang, di antaranya Dita Upriyanto (48), istrinya Puji Kuswati (43) dan mengajak empat
anaknya bernama Yusuf Fadil (18), Firman Halim (16), Fadilah Sari (12), dan Pamela Rizkita (9).
Kapolri Tito Karnavian dalam konferensi persnya menyatakan bahwa keluarga ini baru saja datang
dari Suriah dan merupakan simpatisan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) dan merupakan jaringan
Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Dalam pembagian tugasnya, Dita Upriyanto adalah pengemudi mobil Avanza yang menabrak GPPS
Jemaat Sawahan. Sebelum melakukan kejahatan, Dita menurunkan istrinya Puji Kuswati dan dua
anak perempuannya, FS (12) dan PR (9), di GKI Diponegoro. Ketiga orang ini telah dipasangkan tiga
buah bom yang dililitkan dipinggang. Dalam keterangan polisi, jenazah istri dan kedua anaknya
rusak di bagian perut.
Sedangkan pelaku di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela diduga merupakan anak laki-laki Dita,
yakni Yusuf Fadil (18) dan FH (16). Mereka mengendarai sepeda motor dan memangku bom yang
akan diledakkan.
Negara Islam Irak dan Syam melalui kantor beritanya, Amaq News Agency, menyatakan bahwa
mereka bertanggung jawab atas serangan ini.
THANK YOU!
Troy - Westlee :))

Anda mungkin juga menyukai