Anda di halaman 1dari 18

Persamaan dan Perbedaan Unsur-Unsur

Syi’ir Madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi


dengan Syi’ir Madh kepada Raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
 ( Analisis Deskriptif Komparatif )

BAB I
 PENDAHULUAN

I.    Latar Belakang Masalah


Al Busyiri dengan nama asli Muhammad bin Said bin Hammad As Sanhaji yang dilahirkan di
Desa Dallas dekat kota Bani Suwaif di Mesir pada tahun 608 H dan Shofiyudin al-Hilli
dengan nama asli Abdullah Aziz bin Ali dilahirkan di kota Hallah (tepi Furat) pada tahun
677H, merupakan dua penyair besar pada zaman keruntuhan Abasiyah. Hal ini dibuktikan
dengan karya besarnya qasidah Burdah karya al-Busyiri tentang pujiannya kepada Nabi besar
Muhammad SAW yang hingga kini masih sering dilantunkan dan Shofiyidin al-Hilli dengan
puisi-puisinya yang dianggap karangan terbaik sesudah al-Busyairi dan bahasa dalam
syairnya sangat mudah sehingga banyak orang yang menjadikannya pantun. Dan juga karena
kelihaiannya dalam menciptakan sya’ir madh kepada Raja Ibnu Kholawwun, beliau diangkat
menjadi juru tulisnya. Shofiyudin al-Hilli juga sebagai orang pertama yang menciptakan
syi’ir madh kepada Nabi Muhammad yang paling lengkap dari segi ilmu badi’ sehingga
beliau dimasukkan sebagai imam ilmu badi’.
    Penelitian disini mencoba membandingkan unsur-unsur dua syi’ir madh karya dua penyair
besar zaman keruntuhan. Meskipun dua syi’ir yang kami teliti berbeda kepada siapa syi’ir
tersebut diciptakan –karya al-Busyairi ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan karya
Shofiudin al-hilli ditujukan kepada raja Sholeh ketika menghadapi serangan Mongol- tapi
pada dasarnya tema kedua syi’ir tersebut sama, yaitu sebagai pujian orang-orang mulia.
    Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori
sendiri. Menurut Remak (1990 : 1), sastra bandingan adalah kajian sastra diluar sebuah
Negara dan kajian hubungan diantara sastra dengan bidang ilmu serta keercayaan yang lain
seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bina dan seni musik), filsafat, sejarah dan
sains sosial (misalnya politik ekonomi, sosiologi) sains, agama dan lain-lain.
Menurut Nada (1999:9), sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa
yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses
saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra
dan apa pula yang telah disumbangkannya.
    Kedua syi’ir tersebut akan kami teliti dengan metode sastra bandingan yaitu
membandingkan unsur-unsur syi’ir (Burdah) madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al
Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli, sehingga akan
tampak bagaimana perbedaan serta persamaan rasa, gagasan, imajinasi, dan bentuk bahasa
kedua pengarang dalam mengumpamakan orang-orang yang dikaguminya.
    Penelitian di sini diharapkan mampu memberikan pengetahuan kita tentang bagaimana
seorang penyair menngemas sara, pikiran gagasan, dan bahasa sehingga menjadi sebuah
karya yang ditujukan orang-orang yang dikaguminya, selain untuk menambah lebih banyak
pengetahuan kita tentang syi’ir-syi’ir masa keruntuhan Daulah Abasiyah. Karena
bagaimanapun, pada masa itu berlangsung carut marut peperangan antara daulah Abasyiah
mengahadapi orang-orang mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan, yang akhirnya
kemenangan diraih bangsa Mongol.

II.    Rumusan Masalah


1.    Bagaimana unsur-unsur syi’ir (Burdah) madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al
Busyairi?
2.    Bagaimana unsur-unsur syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli?
3.    Apa persamaan dan berbedaan unsur-unsur syi’ir madh kepada Nabi Muhammad SAW
karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli?

III.    Tujuan Masalah Penelitian


1.    mengetahui unsur-unsur syi’ir madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi.
2.    mengetahui unsur-unsur pada syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
3.    Mengetahui persamaan dan berbedaan unsur-unsur syi’ir madh kepada Nabi Muhammad
SAW karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.

IV.    Manfaat Penelitian


Dengan penelitian ini diharapkan mampu mengetahui kedalaman dalam memahami karya
sastra. Begitu juga sebagai pelatihan penelitian yang dapat memperluas wawasan penulis
maupun pembaca dalam hal kesusastraan.

V.    Metodologi Penelitian


1.    Obyek penelitian
Obyek yang digunakan pada penelitian sastra ini adalah syi’ir madh kepada Nabi Muhammad
SAW karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
2.    Metode pengumpulan data.
Untuk pengumpulan data peneliti menggunakan data-data dalam kedua syi’ir tersebut yang
berhubungan dan diperlukan sebagai data-data penelitian.
3.    Metode penelitian
Penelitian perbandingan ini menggunakan penelitian perpustakaan (library research) yaitu
penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perepustakaan dimana peneliti
memperoleh data dan inforamasi tentang obyek penelitiannya lewat buku-buku atau alat-alat
audio visual lainya.
Adapun metode kerja pada penelitian ini menggunakan  metode komparatif deskriptif yaitu
membandingkan dengan menjabarkan unsur-unsurnya.
Langkah-langkah yang kami tempuh dalam penelitian ini adalah menganalisa unsur-unsur
per-syi’ir meliputi 1.) Rasa (athifah), 2) imajinasi (al-Khoyal), 3) gagasan (al-fikroh), 4)
Bentuk (Shurah)., setelah unsur-unsur keduanya diketahui, kita akan membandingkan dan
mencari perbedaan serta kesamaan unsur-unsur kedua syi’ir tersebut.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Unsur-Unsur Karya Sastra


Dalam kajian sastra Arab disebutkan bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan sebagai
karya sastra, baik genre syair maupun genre prosa, apabila memenuhi empat unsur, yaitu 1.)
Rasa (athifah), 2) imajinasi (al-Khoyal), 3) gagasan (al-fikroh), 4) Bentuk (Shurah). Ada yang
menyebut al-fikrah dengan istilah tema (al-ma’na) dan surah dengan gaya bahasa (al-uslub).
1.    Rasa (athifah)
Ada dua istilah yang oleh para satrawan sering kali disamakan dengan rasa, yaitu feeling ad
emosi. Feeling adalah sikap sang penyair terhadap pokok permasalahan atau objeknya (Henry
Guntur Tarigan;1993:11). Sedangkan emosi adalah keadaan bathin yang kuat, yang
memperlihatkan kegembiraan, kesedihan, keharuan, atau keberanian yang bersifat subyektif
(Syamsir Arifin: 1991; 40). Menurut A.Syayib pengertian emosi inilah yang memiliki
kesamaan dengan pengertian rasa sastra.
2.    imajinasi (al-Khoyal)
Imajinasi adalah kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikran tentang
sesuatu yang tidak diserap oleh panca indra atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan
(Panuti Sudjiman; 1990: 36). Dalam karya satra imajinasi merupakan unsur yang sangat
penting. Ia dapatr membantu sastrawan merekam peristiwa yang telah berlalu dan yang akan
datang. Andaikata tidak ada imajinasi, niscaya kehidupan manusia menjadi miskin (M. Abd
Al-Mun’im Khafaji: 1995; 52). Imajinasi tidaklah sama dengan realitas sesungguhnya,
walaupun ia tetap berpangkal pada kenyataan dan pengalaman. Oleh karena itu, sastra tidak
terikat oleh kenyataan, kebenaran dan kedustaan. Maksudnya, bukan berarti sastra tidak dapat
merealisasikan kenyataan, karena hal itu memang bukan tujuan sastra. Jadi, sastra merupakan
perasaan yang tidak mengungkapkan kenyataan, kebatilan, kebenaran, dan kedustaan. Inilah
yang membedakan karya sastra dengan ilmu pengetahuan lainnya (Syauqi Dhaif: t.t:11).
3.    Gagasan (Fikrah)
Pada umumnya, gagasan dalam karya sastra banyak dipengaruhi faktor-faktor yang ada di
luar, misalnya keadaan sosial, perkembangan politik, budaya, dan juga diwarnai oleh faktor
Psikologi pengarang. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara peristiwa
sejarah dengan gagasan yang dituangkan. Yang dimaksud dengan hubiungan timbal balik di
sini adalah sastrawan yang mengangkat kehidupan sosial masyarakat sebagai bahan
penciptaan, dan karya sastra yang diciptakan mampu menggambarkan kembali kehidupan
sosial masyarakat kepada masyarakat pembaca, serta memberikan sikap atau penilaian
terhadapnya (Aminudin; 2000: 197).
4.    Bentuk (shurah)
Ahmad As-Syayib mendefinisikan bentuk merupakan sarana utama bagi seorang sastrawan
untuk mengungkapkan pikiran dan imajinasinya kepada pembaca dan pendengar sastra. Yang
dimaksud sarana dalam definisi ini adalah struktur fisik sastra yang tergambar dalam bentuk
bahasa. Sedangkan pkiran dan makna merupakan struktur batin. Pikiran, makna, dan pesan
yang terkandung dalam karya sastra merupakan tujuan, sedangkan perasaan yang tergambar
dalam imajinasi merupakan sarana untuk membangkitkan keindahan dan kekuatan pikiran.
Dalam bentuk karya khususnya Syi’ir Arab, yang perlu diteliti adalah perumpamaan
(Tasybih) pemilihan kata (Diksi), Bahr atau nada syi’ir yang digunakan, dan juga huruf
qawafi pada akhir bait.

BAB III
ANALISA

‫وقال البشيري في البردة يمدحه النبي محمد صلى هللا عليه وسلم‬:
‫ والفريقين من عرب ومن عجم‬        ‫محمد سيد الكونين والثقلين‬
‫ ثم اصطفاه حبيبا بارئ النسـم‬         ‫فهو الذي تم معناه وصورته‬
‫وجوهر الحسن فيه غير منقسم‬        ‫منزه عن شريك في محاسنه‬
‫ للقرب والبعد منه غير منفحم‬      ‫اعيا الورى فهم معنا فليس يرى‬
‫ صغيرة وتكل الطرف من امـم‬     ‫كالشمس نظهر للعينين من بعد‬
‫ قوم نيام تسلوا عنه بالحلـم‬            ‫وكيف يدرك في الدنيا حقيقته‬
‫ وانه خير خلـق هللا كلهـم‬                 ‫فمبلغ العلم فيه انه بشــر‬
Artinya:
Nabi Muhammad adalah pengguhulu dua alam (Dunia dan akhirat)
Penghulu jin dan manusia, penghulu dua jenis bangsa (arab dan ajam)

Nabi Muhammad telah sempurna makna serta rupanya


Kemudian Tuhan pencipta makhuk  memilihnya menjadi kekasihNya

Tidak seorangpun dapat menyamainya dalam keindahan dan kebaikannya


Permata indah itu hanya pada dirinya dan tidak terbagi pada yang lainnya

Tidak suatu makhlukpun yang mengerti akan hakikat Nabi Muhammad


Namun, (karena besarnya kecintaan beliau kepada kami) sehingga setiap orang yang jauh
maupun dekat mengagumi beliau.

Seperti matahari yang kelihatannya kecil dari jauh oleh dua mata
Tapi tidak ada mata yang tidak silau memandanginya

Bagaimana akan mengerti hakikat beliau di dunia ini


Bagi orang-orang yang menikmati tidur tenggelam dalam mimpi

Memang dari sudut pandang lahir, beliau adalah seorang manusia


Tapi dari sudut makna, beliau adalah makhluk pilihan.

‫ ويمدحه‬، ‫ قال صفي الدين الحلي من قصيدة نحرض فيها السلطان الصالح على اإلحتراز من المغول‬:
    ‫ وال ينال العال مـن قـدم الحـذرا‬         ‫ال يمتطي المجد من لم يركب الخطرا‬
‫ قضى ولم يقض من إدراكها وطـرا‬           ‫ومن أراد العال عفوا بـال تعـب‬
‫ ال يجـني النفع من لم يحمل الضررا‬             ‫ال بد للشهد مـن نحـل يمنعـه‬
‫ ال يقرب الورد حتى يعرف الصدرا‬        ‫وأحزم الناس من لو مات من ظمأ‬
‫ غـدا بالغير معتبـرا‬،‫ عيناه أمرا‬            ‫وأعزر الناس عقـال من إذا نظرت‬
‫ وال يقال عثــار الرأي إن عثرا‬               ‫فقد يقال عثار الرجل ان عـثرت‬
‫ خالله فأطاع الدهـر ماأمـرا‬                    ‫ العال إال فني شرفـت‬ ‫وال ينال‬
‫ فلو توعد قلب الدرال نفـطـرا‬            ‫ سطوته‬ ‫ المرهوب‬ ‫ الملك‬ ‫كالصالح‬
‫والليث والغيث في يومي وغى وقرى‬     ‫كالبحر والدهر في يومي ندى وردى‬
‫ هل تقدر السحب أال ترسل المطرا‬           ‫الموه في بذله األموال قلت لهــم‬
Artinya:
Seseorang tidak akan mendapat keagungan tanpa mengarungi mara bahaya
Dan seseorang tak akan mendapatkan kemuliaan jika mengedepankan ketakutan

Orang yang mengharapkan kemuliaan tidak akan pernah mendapatinya tanpa kelelahan
Dan tidak akan pernah memperoleh harapannya tanpa berusaha

Orang-orang akan selalu mengikat dirinya dengan rindu meskipun mati memisahkannya
Mereka tidak akan bisa mendekati para pasukan tanpa mengetahui pemimpinnya

Orang-orang akan memulyakan akal jika mereka melihat suatu perkara


Dan esok akan menjadi ternama dari sesamanya
Seseorang akan dikatakan hina apabila ia berbuat hina
Namun tidak akan dikatakan hina saat hina dalam berpendapat

Seseorang tidak mendapatkan kehormatan tanpa memperoleh kebaikan


Maka tunduk dengan masa apa yang dipimpinnya

Sebagaimana raja Sholeh yang ditakuti kebesarannya


Jika hati beliau sudah berjanji, maka tak akan mengingkarinya

Laksana sungai besar dan waktu yang menyapa dan pergi dalam hariku
Dan tumbuhan yang rimbun serta hujan yang gaduh dan menggenang

Besarnya dalam mendermakan hartanya hingga dikatakan oleh mereka


Tidakkah ditakdirkan awan kecuali untuk mengirimkan hujan

Dari segi athifah atau rasa, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan sebagai
berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:       
Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada jiwa dan raga Nabi Muhammad SAW,
bahwa beliau adalah makhluk pilihan Allah SWT. Karena ini merupakan syi’ir madh, maka
rasa sastra yang terungkap adalah kekaguman yang dituliskan lewat pujian-pujian.   
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada ketegaran Raja Sholeh dalam segala
urusan. Terutama penyair terkagum-kagum dengan ketepatan beliau dalam mendermakan
hartanya. Rasa sastra kekaguman, akan menjadi modal untuk pengarang sebagai bahan syi’ir-
syi’ir madh.    

Dari segi khayal atau imajinasi, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan
sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:         
Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang
digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. Lebih jelasnya akan dijelaskan dalam
penguraian tentang tata bahasa.   
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang
digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. Lebih jelasnya akan dijelaskan dalam
penguraian tentang tata bahasa.    

Dari segi fikrah  atau gagasan, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kita uraikan sebagai
berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:       
Syair bertemakan tentang pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW, gagasan pada syair
tersebut mengungkapkan keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW dan kebesaran beliau
sebagai seorang pemimpin dua jenis makhluk, manusia dan jin. Seperti tercermin bada bait:
Nabi Muhammad adalah pengguhulu dua alam (Dunia dan akhirat)
Penghulu jin dan manusia, penghulu dua jenis bangsa (arab dan ajam)
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW memang ada untuk seluruh umat,
tidak hanya orang Islam dan Arab saja, tapi seluruh manusia, dan juga jin.   
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli: 
Syair bertemakan tentang pujian kepada Raja Sholih, gagasan pada syair tersebut
mengungkapkan tentang ketegaran beliau dalam memimpin dan kedermawanannya dalam
mendermakan hartanya. Seperti tercermin pada bait:
Sebagaimana raja Sholeh yang ditakuti kebesarannya
Seorang raja, pastilah memiliki kharisma dan kekuatan yang besar, karena ia memimpin
rakyatnya dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada rakyatnya.
    

Dari segi shurah atau bentuk, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan
sebagai berikut:
 
Syi’ir Madh Al-Busyairi: 
1. tasybih (perumpamaan) beserta pemilihan kata:
Dalam syi’ir al-Busyairi di atas terdapat satu tasybih yang memuji keagungan Nabi besar
Muhammad SAW. Adapun rincian tasybih sebagai berikut:

‫اعيا الورى فهم معنا فليس يرى‬#


‫للقرب والبعد منه غير منفحم‬
‫كالشمس نظهر للعينين من بعد‬#
‫صغيرة وتكل الطرف من امـم‬

‫اعيا الورى فهم معنا فليس يرى للقرب والبعد منه غير منفحم= مشبه‬
‫الشمس نظهر للعينين من بعد صغيرة وتكل الطرف من امـم = مشبه به‬
‫كـ = أدة التشبه‬

Tasybih di atas disebut juga tasbih tamtsil yaitu tasybih dengan musyabah bih-nya terdiri dari
jumlah. Dalam mengibaratkan keagungan baginda Nabi Muhammad SAW, al-Busyiri
menggunakan matahari sebagai bandingannya. Matahari, selalu terang benerang. Kalau kita
lihat tampak kecil, namun sinarnya membuat mata kita tak mampu menatap lama-lama. Dan
dimanapun manusia berada pasti dapat melihat sinar matahari yang terang tersebut. Matahari
juga sebagai sumber kehidupan di dunia. Tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia akan mati
tanpa matahari.
Kurang lebih begitulah yang diinginkan al-Busyairi dalam tasybih madh-nya. Nabi
Muhammad sebagai manusia termulia dan semua orang mengaguminya, di dekat maupun di
jauh dari beliau. Nabi Muhammad rasul, penutup para Nabi tidak hanya mempunyai
tanggung jawab terhadap umat Islam saja, tapi kepada seluruh umat manusia.

2. Arud dan qowafi


Menggunakan Bahr Basyith, yaitu mengikuti wazan
‫مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن‬
Sedangkan huruf qafiahnya menggunakan Arrawi yaitu haruf yang diciptakan pada akhir
syi’ir dan dinisbatkan kepadanya. Karena menggunakan huruf mim, disebut juga dengan
Arrawi mimiyah.   
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
     1. tasybih (perumpamaan) beserta pemilihan kata:
Pada syi’ir di atas terdapat dua tasybih yang digunakan Shofiudin al-Hilli untuk memuji raja
Sholeh. Ketiga tasybih tersebut akan kami uraikan sebagai berikut:
    
‫ سطوته‬ ‫ المرهوب‬ ‫ الملك‬ ‫كالصالح‬#
‫فلو توعد قلب الدرال نفـطـرا‬
‫كالبحر والدهر في يومي ندى وردى‬#
‫والليث والغيث في يومي وغى وقرى‬

‫الصالح الملك المرهوب سطوته = مشبه‬


‫البحر والدهر في يومي ندى وردى والليث‬
‫والغيث في يومي وغى وقرى = مشبه به‬
‫كـ = أدة التشبيه‬
‫فلو توعد قلب الدرال نفـطـرا = وجه الشبه‬
Tasybih di atas disebut juga dengan tasybih tamtsil yaitu apabila musyabbah bih terdiri dari
jumlah. Adapun karakter tasybih di sini menggunakan fenomena alam dalam
mengumpamakan keagungan raja Sholeh. Kata-kata sungai, waktu, rimbunan pohon-pohon,
dan hujan menjadikan seolah-olah raja Sholeh memberi kesejahteraan bagi rakyatnya,
sebagaimana sungai, rimbunan pohon, serta hujan yang menumbuhkan biji-bijian kemudian
berbuah dan dinikmati manusia.

‫الموه في بذله األموال قلت لهــم‬


‫هل تقدر السحب أال ترسل المطرا‬

‫ضمر "ه" في الموه تقدره الصالح = مشبه‬


‫تقدر السحب أال ترسل المطرا = مشبه به‬
‫في بذل األموال = وجه الشبه‬
Tasybih di atas juga disebut tasybih tamtsil karena musyabbah bih terdiri dari jumlah.
Karakter tasybih di atas juga menggunakan fenomena alam untuk mengibaratkan besarnya
harta raja Sholeh yang didermakan untuk kesejahterakan rakyatnya. Kata awan yang
mengirimkan hujan telah mewakili kedermawanan raja Sholeh yang selalu mendermakan
hartanya      

2. Arud dan qowafi


Menggunakan Bahr Basyith, yaitu mengikuti wazan
‫مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن‬
Sedangkan dari segi huruf qafiahnya menggunakan al-Washlu, yaitu mad atau ha’ kasroh
yang memanjangkan arrawi.    

BAB IV
KESIMPULAN

1.    Unsur-Unsur syi’ir madh dalam qosidah burdah karya al-Busyairi, sebagai berikut:
dari segi 1.) Rasa (athifah) ditekankan pada kekaguman sang penyair pada jiwa dan raga Nabi
Muhammad SAW.  2) imajinasi (al-Khoyal), syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui
perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. 3)
gagasan (al-fikroh), gagasan pada syair tersebut mengungkapkan keagungan akhlak Nabi
Muhammad SAW dan kebesaran beliau sebagai seorang pemimpin dua jenis makhluk,
manusia dan jin. 4) Bentuk (Shurah), terdapat satu tasbih, yaitu tasybih tamsil. Huruf
qowafinya arrawi mimiyah, menggunakan bahr basith.

2.    Unsur-unsur syi’ir madh kepada Raja Sholeh karya Shofiudin al-Hilli, sebagai berikut:
dari segi 1.) Rasa (athifah), Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada ketegaran
Raja Sholeh dalam segala urusan. Terutama penyair terkagum-kagum dengan ketepatan
beliau dalam mendermakan hartanya. 2) imajinasi (al-Khoyal), Unsur imajinasi syi’ir tersebut
dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar
tentang fenomena alam. 3) gagasan (al-fikroh), gagasan pada syair tersebut mengungkapkan
tentang ketegaran beliau dalam memimpin dan kedermawanannya dalam mendermakan
hartanya 4) Bentuk (Shurah), terdapat dua tasybih yang keduanya merupakan tasbih tamsil,
huruf qawafinya Al-waslu, menggunakan bahr basith.

3.    Persamaan dan berbedaan unsur-unsur kedua syi’ir sebagai berikut:


F    Persamaan Unsur-unsur keduanya adalah sama-sama menggunakan fenomena alam
dalam hal berimajinasi, yaitu untuk mengungkapkan keagungan. Menggunakan alam yang
berperan sebagai sumber kehidupan di dunia. Bahr yang digunakan juga sama, menggunakan
bahr basith.
F    Adapun perbedaannya adalah pada fikrah atau gagasan al-Busyiri kepada Nabi
Muhammad dengan rasa lebih kuat yaitu dengan menggunakan ibarat matahari sebagai ibarat
kebesaran Nabi Muhammad, yang mana matahari lingkup jangkauan sinarnya lebih luas dan
lebih banyak orang yang menerimanya. Sedangkan Shofiudin al-Hilli gagasan tertumpu pada
pujian pada Raja Sholih dengan megibaratkan ketegaran Raja Sholih saat berjanji dengan rasa
menggunakan sungai dan waktu yang selalu mengalir tanpa ragu sebagai pengibaratan
ketegaran beliau, juga dalam kedermawanannya diibaratkan dengan awan yang selalu
mengucurkan hujan. Sederas aliran sungai, sederas hujan namun yang merasakan hanya
sekitar itu saja, dalam artian lingkup sekitar aliran sungai maupun hujan itu. Lain dengan
matahari yang sinarnya menembus segala celah selama ia tidak terhalangi sesuatu, dalam hal
ini sara syi’ir (burdah) madh pada Nabi Muhammad SAW karya al-Busyairi lebih kuat dari
pada sara syi’ir madh pada raja Sholih karya Shofiudin al-Hilli. Perbedaan juga tampak pada
penggunaan huruf qawafi antara keduanya.

Daftar Pustaka
Yunus ali al Mudar dan Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya: pt. Bina Ilmu,
1983)
Sapardi Djoko Darmono, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. (Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, 2005)
Ponpes Ploso Kediri, al-arudh wal Qowafi (Kediri; Penerbin Ponpes Ploso, tanpa tahun)
Akhmad Kholasi, Taysir Balaghah (Madinah; Thob’ah tsaniyah mazidah wamunhaqomah;
1995).
Akhmad Muzzaki, Kesusastraan arab, pengantar teori dan terapan (Jogjakarta; Ar-Ruzz
Media jogjakarta, 2006)
SASTRA BANDINGAN: PINTU MASUK KAJIAN BUDAYA
STUDI KASUS ROMEO DAN JULIA, SONEZAKI SHINJU, UDA DAN DARA
Maman S. Mahayana

Ada dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra
bandingan (comparative literature) sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan. Dalam
banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya,
penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya
dua negara yang berbeda menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi,
sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua
negara, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Jika kita membandingkan dua karya
yang berasal dari dua kultur etnik yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal kedua
karya itu berada dalam wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra
bandingan. Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita membandingkan sastra
Singapura dengan sastra Taiwan yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra
Brunei Darussalam dengan sastra Malaysia yang keduanya memakai bahasa Melayu.
Pertanyaan yang sama tentu saja dapat kita kemukakan lebih panjang lagi. Jadi, jika kita
mengamati karya-karya dari berbagai negara yang menggunakan bahasa yang sama atau
sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata bahwa rumusan sastra
bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru akan mengundang masalah
konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-
rumusan sastra bandingan yang pernah ada.

Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik
sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu
dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan
kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau
lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada
perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan
reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka
perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra
bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih.
Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai
pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan
perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai
bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang
berbeda.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh
kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah
rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan
beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula kita akan memperoleh
rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra
bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.

***
Dalam kamus Websters,[1] dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan
timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan
bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara
itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren[2] ada tiga pengertian mengenai sastra
bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya.
Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi
bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan
kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra
umum dan sastra universal.
Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman[3] mengungkapkan, bahwa sastra
bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu
tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang
satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada dikemukakan Remak[4] yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan
adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan
bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah
perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta
perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak
menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima
sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang
di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J.
Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1)
tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang
lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra. [5]

***

Definisi yang tertulis dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat
umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu
merupakan kamus yang memuat kosa kata yang umum digunakan dalam bahasa Inggris.
Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari
sebuah entri yang terdapat dalam kamus umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata
rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam
konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus
dalam kesusastraan beberapa negara. Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan
nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan
Indonesia, bukanlah hal yang baru. Sebutlah kasus Hamka--Manfaluthi[6] dan Chairil
Anwar--Archibald Macleish.[7] Sebenarnya, kita masih dapat menyebut kasus serupa yang
belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub Djunaedi, misalnya,
ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972).
[8] Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman
manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat
(1963) menampilkan tokoh tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat
ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan
persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita
masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya
Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai
Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell.[9] Tetapi bagaimana dengan kasus
Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-
mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran?
Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?[10]
Kembali, jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas perbandingan
antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan dan perbedaan
tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi persamaan dan perbedaan, tetap
bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba mengungkapkannya. Dan ketika kita coba
menemukan jawabannya, maka tidak dapat lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan
konteks sosio-kultural yang melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh
menyentuh latar belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
sosial budaya yang terjadi pada zamannya. Di sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya
tidak berhenti hanya sebatas menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus
menukik pada berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Sebagai contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya
William Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen
Malaysia (“Uda dan Dara” karya Usman Awang).

***

Romeo dan Julia[11] karya William Shakespeare (1564—1616) menurut Trisno Sumardjo
yang menerjemahkan karya itu, pokok ceritanya bersumber dari cerita lisan orang lain.
Berikut keterangan yang disampaikan Sumardjo:

Menurut anggapan penduduk Verona, riwayat ini (Romeo dan Julia, MSM)) terjadi tahun
1303, dan pada kaum pelancong mereka tunjukkan rumah keluarga Capulet serta kubu
pemakaman asyik masyuk itu. Tahun 1535 diterbitkan sebuah cerita pendek bernama La
Giulietta oleh Luigi da Porto dari Vicenza, ditulis menurut kisah yang dituturkan padanya
oleh seorang prajurit tua. Pada tahun 1554 dikisahkan oleh Bandello dalam cerita pendek Itali
tentang hikayat Romeo dan Julia. Dari situ Pierre Boisteaux membuat cerita Perancis, dan
tahun 1567 cerita ini dimasukkan oleh Painter dalam kumpulan ceritanya bernama Palace of
Pleasures yng sering dipakai oleh Shakespeare. Sebelumnya, dalam tahun 1562 ada
diterbitkan sebuah sajak epis dari tangan Arthur Brooke, namanya “The Tragicall Historye of
Romeus and Juliet, written first in Italian by Bandell, and now in English by Ar. Br. (Arthur
Brooke). Buah tangan Shakespeare lebih mendekati sajak ini daripada cerita Painter.[12]

Mencermati kutipan di atas, kita melihat bahwa cerita Romeo dan Julia merupakan cerita
klasik yang sudah dikenal luas masyarakat sebelum Shakespeare mengangkat cerita itu ke
dalam bentuk drama. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan Shakespeare atau sastrawan
lainnya di dunia ini, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Dalam hal ini, cerita-cerita lisan
klasik atau karya-karya agung, tidak hanya berpotensi melakukan penetrasi dan menyebarkan
pengaruhnya, tetapi juga inspiring (mengilhami), sehingga bermunculan cerita-cerita yang
secara tematik mempunyai persamaan.[13] Pertanyaannya kini: apakah studi sastra bandingan
cukup sampai pada kesimpulan adanya penetrasi dan pengaruh-mempengaruhi serta usaha
mengungkapkan persamaan dan perbedaan secara tekstual atau juga mengungkapna faktor-
faktor di luar teks?

Secara tematik, Romeo dan Julia bercerita tentang kisah kasih tak sampai yang menimpa diri
pemuda Romeo dan gadis Julia. Permusuhan antara keluarga besar Montague –sebagai pihak
Romeo—dan keluarga Capulet –sebagai pihak Julia—pada awalnya tidak dapat merintangi
tumbuhnya perasaan cinta kedua sejoli itu. Romeo dan Julia pun bersepakat mengikat ikrar
dalam tali perkawinan yang disahkan oleh pendeta Lorenzo. Tetapi, tewasnya kerabat dan
sahabat Romeo, Mercutio oleh Tybalt, kerabat keluarga Capulet membuka kembali
permusuhan antarkeluarga itu. Romeo terlibat dalam perkelahian berdarah. Pedangnya
menewaskan Tybalt. Untuk menyelamatkan Romeo dari hukuman mati, pendeta Lorenzo
menyuruhnya pergi dari Verona dan tinggal di Mantua.

Sementara itu duka cita Julia atas perpisahan dengan Romeo, dilihat oleh Capulet dan istrinya
sebagai kesedihan atas kematian Tybalt. Maka, ketika datang Paris, pemuda bangsawan
melamar Julia, keluarga Capulet menyambutnya bahagia. Hari perkawinan pun kemudian
ditetapkan.

Julia tentu saja menolak rencana kedua orang tuanya menjodohkan dengan Paris. Tetapi,
kesepakatan telah dibuat, hari perkawinan telah ditetapkan. Julia tak dapat berbuat apa-apa. Ia
pun mendatangi pendeta Lorenzo. Untuk menyelamatkan kesucian cinta Romeo—Julia,
pendeta Lorenzo merancang rencana. Disuruhlah Julia minum racun menjelang pesta
perkawinan dengan Paris dilaksanakan. Menurut Lorenzo, jika racun itu diminum, Julia akan
terbujur kaku seperti orang mati. Dua hari kemudian, ia akan siuman kembali. Pada saat
itulah, Romeo datang dan membawa Julia pergi meninggalkan Verona.
Pesta perkawinan dengan Paris memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum
racun. Jasadnya dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman.
Tetapi rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang disusun
pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo segera datang ke
pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana, ia jumpa Paris. Perkelahian pun tak
terhindarkan. Paris tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun
yang telah disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris
mati bersimbah darah dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun.
Menyadari segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke
dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan keluarga
Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi, semua sudah
terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan Montague—yang
selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun bersepakat untuk mencipakan
perdamaian.
Tragedi percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam
karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724),[14] berjudul Sonezaki Shinju (1703).[15]
Hubungan percintaan Tokubei dan Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang
menolak dikawinkan dengan kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya
selama tinggal bersama pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja
sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai wanita
penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta secara sembunyi-
sembunyi.
Kegigihan dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah
rencana menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk
melaksanakan rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang
diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada Ohatsu, ia
menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya marah. Tokubei
diusir dari Osaka. Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah
dengan uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut
pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat Tokubei,
meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan pamannya. Pada
hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya itu. Tetapi Kuheiji malah
menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia
menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari,
perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang kekasih itu
akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar mereka bisa
melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya
mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan
perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,[16] terbukan jalan lempang untuk
melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.[17]
Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda
yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding
dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi,
karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan
sakit parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk
yang terakhir kalinya.
Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga
membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya,
mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya,
ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda dan Dara sebagai
pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).

***

Dua naskah drama Romeo dan Julia dan Sonezaki Shinju serta sebuah cerpen “Uda dan Dara”
memperlihatkan sebuah tema yang sama: kasih tak sampai. Apakah praktik sastra bandingan
sebatas membandingkannya secara tekstual? Dalam praktik sastra bandingan dikatakan,
bahwa perbandingan itu dilakukan secara sistematik dan punya pertalian yang logis. Dari
sana memang kemudian akan tampak adanya persamaan dan perbedaan. Kasus Romeo dan
Julia, misalnya, dilatarbelakangi oleh permusuhan keluarga, sedang dalam Sonezaki Shinju
penyebabnya didasari oleh “kepercayaan” sang paman atas kinerja dan pengabdian
kemenakannya. “Kepercayaan dan penghargaan” itu kemudian direpresentasikan melalui
keinginannya menjodohkan Tokubei dengan kemenanakan istrinya. Jika saja Tokubei
menuruti kehendak pamannya, maka selain ia memperoleh kepercayaan yang makin besar
dari pamannya itu, juga mendapatkan kedai sendiri untuk mengembangkan usahanya. Jadi,
usaha yang dilakukan paman Tokubei sesungguhnya merupakan bentuk penghargaan dan
sekaligus kepercayaan.
Dalam “Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial.
Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya. Demikian
juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah membutakan mata hatinya.
Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa
perlu harus didasari perasaan cinta. Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan
baik-baik saja. Ia lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu
cocok diterapkan sekarang.
Pertanyaannya kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan
dan perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi penting
jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai pintu masuk untuk
mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra bandingan akan bermuara pada
pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru menjadi ruh yang menjiwai karya sastra.
Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi ruh kebudayaan yang
melahirkannya?
Kasus Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan
kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu
kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta Lorenzo
hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya larangan jual-beli
racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya penyalahgunaan racun pada masa
itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh
racun ganas dan “kematian sementara” Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada
waktu tertentu merupakan bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak rasional, karena
kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan tidak ditempatkan dalam
sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana
juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang sangat
berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta Lorenzo
gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona. Sejumlah hal itulah yang
mestinya diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk
memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena
fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta dan
kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian Romeo dan
Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan kemarahan. Romeo dan Julia
adalah korban, betapa berharganya cinta bagi manusia.
Makna kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi
pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju) [18]
sesungguhnya dilandasi oleh sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam
masyarakat Jepang pada waktu itu. Shinju ‘bunuh diri bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu
adalah pilihan yang tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya,[19]
tetapi juga representasi kepercayaannya pada dunia yang lain. Shinju merupakan pilihan
untuk mewujudkan perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang
sementara (carte diem), kesetiaan sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai
nirwana, dan kematian sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan
sistem kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin
Buddha Zen.[20]
Bukankah apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang
sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit merupakan
pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan norma masyarakat
yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia Melayu. Dengan begitu, citra
Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat sebagai simbol cinta suci dua anak manusia.
Uda dan Dara adalah korban ketika cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.

***

Demikianlah, praktik sastra bandingan pada akhirnya akan sampai pada muara persamaan
tentang sifat dasar manusia. Di mana pun, kapan pun, dengan latar belakang kultur, ideologi
atau agama apa pun, manusia tidak akan terlepas dari sifat dasarnya sebagai manusia.
Masalah kemanusiaan pada dasarnya berlaku universal, dan itu telah diperlihatkan dalam tiga
karya yang dibincangkan tadi. Dalam hal ini, sastra bandingan akan menghasilkan persamaan
ketika yang diangkat adalah persoalan kemanusiaan.
Bahwa di sana ada perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan
kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan mestinya
mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan juga
pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem
kepercayaan.
Agaknya, gagasan ini patut dipertimbangkan.

Artikel ini adalah Kertas Kerja Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarbangsa 2007
diselenggarakan Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia, Kuala Lumpur, 8—9 Juni
2007 di Menara Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.

Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Indonesia, anggota Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

[1]Webster’s Third New International of English Language Unabridged, (Massachusetts,


1966), hlm. 462.

[2] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, (Jakarta,
1989), hlm. 46--49.

[3] C. Hugh Holman, “The Nonfiction-Novel,” American Fiction 1940-1980: A


Comprehensive History and Critical Evaluation, (New York, 1984), hlm. 94.

[4] Henry H. Remak. “Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.),
Contemporarry Literature: Methode & Perspective, (Carbondale & Edwardsville, 1971),
hlm. 1--7.

[5] Robert J. Clement, Comparative Literature as Academic Discipline, (New York, 1978),
hlm. 8.

[6] Bandingkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan
Kabah karya Hamka, dengan novel Magdalena (1964) dan Al-Yatim karya Al-Manfaluthi.

[7] Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish,
“The Young Dead Soldier”. Periksa juga H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45,
(Djakarta, 1956).
[8] Novel karya Natsume Soseki ini aslinya berjudul Wagahai wa Neko de Aru. Terbit
pertama kali tahun 1905 di majalah Hototogisu (Cuckoo). Aiko Ito dan Greeme Wilson
kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris tahun 1972.
[9] Mohd. Yusuf Hasan, Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm? Berita
Minggu, 12 Mei 1974. Lihat juga, Umar Junus, Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu,
(Kuala Lumpur, 1971), hlm. 60-68.
[10] Sapardi Djoko Damono menyebut “penerjemahan” karya sastra sebagai “pengkhianatan
kreatif”, sebab menurutnya, penerjemahan karya sastra memerlukan kreativitas
penerjemahnya, sehingga boleh jadi karya terjemahannya itu menjadi lebih baik daripada
karya aslinya, sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Jika begitu, mestinya masalah
saduran juga termasuk wilayah sastra bandingan.
[11]Trisno Sumardjo menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare
dengan Romeo dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka
Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama itu lebih akrab
dengan pembaca Indonesia.
[12] William Shakespeare, Romeo dan Julia, terjemahan Trisno Sumardjo, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1976, hlm. 151.
[13]Satu contoh lain dapat dikemukakan di sini. Cerita Hayy Ibn Yaqzhan karya Ibn Thufail
(1106—1185), misalnya, menyebarkan pengaruhnya begitu luas. Ibn Thufail tidak hanya
berhasil mengintegrasikan deskripsi anatomi, astronomi, dan filsafat Islam sebagai naluri,
intuisi, dan akal murni tokoh Hayy, tetapi juga menjadikan cerita itu secara tematbegitu
menarik. Tidak sedikit pemikir yang menempatkan karya itu dalam kerangka pemikiran
filosofis Ibn Thufail. Tetapi, banyak pula yang mengaguminya sebagai karya sastra yang
bernilai tinggi. Penerjemahan Hayy Ibn Yaqzhan ke dalam banyak bahasa dan pengaruhnya
yang luas merupakan bukti pentingnya karya itu. Dipercayai pula, Daniel Defoe (1661-1731)
dalam karyanya, Robinson Crusoe (1719), Jonathan Swift (1667--1745) dalam Gullivers
Travels, dan Rudyard Kipling (1856--1936) dalam Jungle Books (1894), langsung atau tidak,
terpengaruh karya Ibn Thufail. Jika mencermati karya Ibn Thufail itu sendiri, beberapa
bagiannya mempunyai persamaan dengan kisah Nabi Musa. Oidipus Sang Raja karya
Sophokles atau cerita rakyat Pasundan, Sangkuriang dan Ciung Wanara, juga mempunyai
beberapa persamaan dengan kisah Nabi Musa.

[14]Dalam kesusastraan Jepang, Chikamatsu Monzaemon dikenal sebagai Shakespeare-nya


Jepang. Ia telah menghasilkan 130 naskah drama.

[15]Sonezaki Shinju yang digunakan sebagai contoh kasus tulisan ini berdasarkan terjemahan
Darsimah Mandah (Belum dipublikasikan). Sonezaki Shinju dalam kesusastraan Jepang
termasuk naskah drama bunraku, yaitu naskah yang dipentaskan dalam sebuah gedung
kesenian. Ada dua jenis bunraku, yaitu sewamono dan jidaimono. Sewamono yaitu drama
yang mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan pada zaman Edo sedangkah
drama jidaimono mengisahkan peristiwa sejarah pada zaman Heian sampai zaman
Muromachi, yaitu terjadi serangkaian peperangan para samurai dengan kelompok bangsawan.

[16]Shinju: Mati bersama dua insan yang tidak dapat mewujudkan cintanya di dunia. Dengan
kematian itu, keduanya akan melaksanakan perkawinannya di akhirat.

[17]Cerpen “Uda dan Dara” dimuat dalam antologi cerpen Mekar dan Segar, diselenggarakan
Asraf (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1959), hlm. 132—153.

[18]Shinju bagi masyarakat Jepang adalah perbuatan ksatria, terhormat, dan menunjukkan
bahwa ia berada di jalan yang benar. Shinju juga sebagai representasi
kebertanggungjawabannya sebagai manusia. Maka, shinju dipandang sebagai perbuatan yang
sangat terhormat, sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjalankan tugas, serta sebagai
usaha menunjukkan kesetiaannya yang paling tinggi. Bagi masyarakat Islam tentu saja
konsep itu tidak dapat diterima. Dengan demikian, penilaian atas satu kebudayaan atau
kepercayaan, tidak dapat lain, harus berdasarkan kebudayaan dan kepercayaan yang
bersangkutan, dan bukan berdasarkan kepercayaan atau kebudayaan lainnya.
[19]Pembahasan lebih lanjut tentang shinju, harakiri, jibaku, atau jisatsu, akan sampai pada
konsep giri dan ninjo yang berkaitan dengan persoalan harga diri, tanggung jawab, kesetiaan,
dan pengabdian. Jadi, bunuh diri punya makna positif sebagai bentuk
kebertanggungjawabannya atas kepercayaan yang diemban, dan tidak sebaliknya. Sikap dan
etika budaya itu telah tertanam sejak zaman Tokugawa (1603—1867) yang jejaknya sampai
sekarang dapat dijumpai pada sikap para pejabat di Jepang yang mengundurkan diri sebagai
bentuk tanggung jawab menjalankan tugas.

[20]Keyakinan Tokubei dan Ohatsu bahwa mereka akan melaksanakan perkawinannya di


akhirat bersumber dari ajaran Buddha tentang rinne, yaitu perjalanan transmigrasi dan
kelahiran kembali (reinkarnasi) sebagai hasil dari karya seseorang. Cinta suci kedua kekasih
itu di dunia memang mendapat halangan, tetapi di akhirat mereka akan memperoleh buah dari
kesetiaan berpegang pada cinta suci.

MAMAN S. MAHAYANA, lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957. Lulus Fakultas Sastra


Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1986. Sejak itu ia mengajar di almamaternya yang kini
menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997
selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Kini tercatat sebagai kandidat doktor di
Universitas Kebangsaan Malaysia.Selain mengajar, ia banyak melakukan penelitian.
Beberapa hasil penelitiannya yang belum dipublikasikan, antara lain, “Inventarisasi
Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi
Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994) dan “Majalah Wanita Awal
Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
PENGHARGAAN:
1. Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya, Universitas Indonesia,
1990. Judul Penelitian: “Sitti Nurbaya dan Relevansinya dengan Kepribadian Bangsa”
2. Juara Harapan III Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia
1991. Judul Penelitian: “Antara Dajjal Mana Sikana dan Godlob Danarto”
3. Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
1995. Judul Penelitian: "Kebijaksanaan Jepang dalam Bidang Sosial Budaya: Studi Kasus
Harian Asia Raja (1942--1945).
4. Peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia (2003) yang karyanya dimuat
dalam jurnal internasional.
5. Peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia (2006) yang karyanya dimuat
dalam jurnal internasional.
6. Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H.
Soesilo Bambang Yudhoyono (2005).
7. Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2005)
8. Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2006)
9. Anugerah Serantau Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang di Pekanbaru, Riau sebagai
sastrawan serantau atas kontribusinya yang penting bagi perkembangan dan kemajuan dunia
Melayu, khususnya kebudayaan Melayu di kawasan Riau, 20 Desember 2006.
10. Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) ke-5 untuk kategori
Sastera Bukan Kreatif (Non-fiksi) atas buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta:
Bening Publishing, 2005, ix + 502 halaman, Kuala Lumpur, 27 November 2007.
11. Penghargaan Penulis Buku Teks Tahun 2007 untuk buku Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman, dalam rangka Dies Natalis ke-58
Universitas Indonesia, Depok, 2 Februari 2008.
12. Penghargaan Penulis Buku Ajar Tahun 2008 untuk buku Bermain dengan Cerpen
(Jakarta: Gramedia, 2006), xiii + 385 halaman.

PUBLIKASI BUKU:

1. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1992), xii + 308
halaman, Cetakan II, 2007. 2. Kesusastraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995),
xiy + 175 halaman
3. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997), xviii + 346 halaman
4. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, (Magelang:
Indonesiatera, April 2001), xiii + 301 halaman
5. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 4 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama
Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
6. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 5 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama
Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
7. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 6 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama
Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Pemda DKI, 2002), 103 halalam.
8. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 1 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun
bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
9. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun
bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
10. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 3 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun
bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
11. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), ix + 502
halaman.
12. Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), xiii + 385 halaman.
13. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman. 14.
Bahasa Indonesia Kreatif, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008. 15. Pantun Betawi:
Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi (Bandung:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008).

Anda mungkin juga menyukai