BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORI
BAB III
ANALISA
وقال البشيري في البردة يمدحه النبي محمد صلى هللا عليه وسلم:
والفريقين من عرب ومن عجم محمد سيد الكونين والثقلين
ثم اصطفاه حبيبا بارئ النسـم فهو الذي تم معناه وصورته
وجوهر الحسن فيه غير منقسم منزه عن شريك في محاسنه
للقرب والبعد منه غير منفحم اعيا الورى فهم معنا فليس يرى
صغيرة وتكل الطرف من امـم كالشمس نظهر للعينين من بعد
قوم نيام تسلوا عنه بالحلـم وكيف يدرك في الدنيا حقيقته
وانه خير خلـق هللا كلهـم فمبلغ العلم فيه انه بشــر
Artinya:
Nabi Muhammad adalah pengguhulu dua alam (Dunia dan akhirat)
Penghulu jin dan manusia, penghulu dua jenis bangsa (arab dan ajam)
Seperti matahari yang kelihatannya kecil dari jauh oleh dua mata
Tapi tidak ada mata yang tidak silau memandanginya
ويمدحه، قال صفي الدين الحلي من قصيدة نحرض فيها السلطان الصالح على اإلحتراز من المغول:
وال ينال العال مـن قـدم الحـذرا ال يمتطي المجد من لم يركب الخطرا
قضى ولم يقض من إدراكها وطـرا ومن أراد العال عفوا بـال تعـب
ال يجـني النفع من لم يحمل الضررا ال بد للشهد مـن نحـل يمنعـه
ال يقرب الورد حتى يعرف الصدرا وأحزم الناس من لو مات من ظمأ
غـدا بالغير معتبـرا، عيناه أمرا وأعزر الناس عقـال من إذا نظرت
وال يقال عثــار الرأي إن عثرا فقد يقال عثار الرجل ان عـثرت
خالله فأطاع الدهـر ماأمـرا العال إال فني شرفـت وال ينال
فلو توعد قلب الدرال نفـطـرا سطوته المرهوب الملك كالصالح
والليث والغيث في يومي وغى وقرى كالبحر والدهر في يومي ندى وردى
هل تقدر السحب أال ترسل المطرا الموه في بذله األموال قلت لهــم
Artinya:
Seseorang tidak akan mendapat keagungan tanpa mengarungi mara bahaya
Dan seseorang tak akan mendapatkan kemuliaan jika mengedepankan ketakutan
Orang yang mengharapkan kemuliaan tidak akan pernah mendapatinya tanpa kelelahan
Dan tidak akan pernah memperoleh harapannya tanpa berusaha
Orang-orang akan selalu mengikat dirinya dengan rindu meskipun mati memisahkannya
Mereka tidak akan bisa mendekati para pasukan tanpa mengetahui pemimpinnya
Laksana sungai besar dan waktu yang menyapa dan pergi dalam hariku
Dan tumbuhan yang rimbun serta hujan yang gaduh dan menggenang
Dari segi athifah atau rasa, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan sebagai
berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada jiwa dan raga Nabi Muhammad SAW,
bahwa beliau adalah makhluk pilihan Allah SWT. Karena ini merupakan syi’ir madh, maka
rasa sastra yang terungkap adalah kekaguman yang dituliskan lewat pujian-pujian.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada ketegaran Raja Sholeh dalam segala
urusan. Terutama penyair terkagum-kagum dengan ketepatan beliau dalam mendermakan
hartanya. Rasa sastra kekaguman, akan menjadi modal untuk pengarang sebagai bahan syi’ir-
syi’ir madh.
Dari segi khayal atau imajinasi, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan
sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang
digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. Lebih jelasnya akan dijelaskan dalam
penguraian tentang tata bahasa.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang
digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. Lebih jelasnya akan dijelaskan dalam
penguraian tentang tata bahasa.
Dari segi fikrah atau gagasan, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kita uraikan sebagai
berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
Syair bertemakan tentang pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW, gagasan pada syair
tersebut mengungkapkan keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW dan kebesaran beliau
sebagai seorang pemimpin dua jenis makhluk, manusia dan jin. Seperti tercermin bada bait:
Nabi Muhammad adalah pengguhulu dua alam (Dunia dan akhirat)
Penghulu jin dan manusia, penghulu dua jenis bangsa (arab dan ajam)
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW memang ada untuk seluruh umat,
tidak hanya orang Islam dan Arab saja, tapi seluruh manusia, dan juga jin.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Syair bertemakan tentang pujian kepada Raja Sholih, gagasan pada syair tersebut
mengungkapkan tentang ketegaran beliau dalam memimpin dan kedermawanannya dalam
mendermakan hartanya. Seperti tercermin pada bait:
Sebagaimana raja Sholeh yang ditakuti kebesarannya
Seorang raja, pastilah memiliki kharisma dan kekuatan yang besar, karena ia memimpin
rakyatnya dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada rakyatnya.
Dari segi shurah atau bentuk, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan
sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
1. tasybih (perumpamaan) beserta pemilihan kata:
Dalam syi’ir al-Busyairi di atas terdapat satu tasybih yang memuji keagungan Nabi besar
Muhammad SAW. Adapun rincian tasybih sebagai berikut:
اعيا الورى فهم معنا فليس يرى للقرب والبعد منه غير منفحم= مشبه
الشمس نظهر للعينين من بعد صغيرة وتكل الطرف من امـم = مشبه به
كـ = أدة التشبه
Tasybih di atas disebut juga tasbih tamtsil yaitu tasybih dengan musyabah bih-nya terdiri dari
jumlah. Dalam mengibaratkan keagungan baginda Nabi Muhammad SAW, al-Busyiri
menggunakan matahari sebagai bandingannya. Matahari, selalu terang benerang. Kalau kita
lihat tampak kecil, namun sinarnya membuat mata kita tak mampu menatap lama-lama. Dan
dimanapun manusia berada pasti dapat melihat sinar matahari yang terang tersebut. Matahari
juga sebagai sumber kehidupan di dunia. Tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia akan mati
tanpa matahari.
Kurang lebih begitulah yang diinginkan al-Busyairi dalam tasybih madh-nya. Nabi
Muhammad sebagai manusia termulia dan semua orang mengaguminya, di dekat maupun di
jauh dari beliau. Nabi Muhammad rasul, penutup para Nabi tidak hanya mempunyai
tanggung jawab terhadap umat Islam saja, tapi kepada seluruh umat manusia.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Unsur-Unsur syi’ir madh dalam qosidah burdah karya al-Busyairi, sebagai berikut:
dari segi 1.) Rasa (athifah) ditekankan pada kekaguman sang penyair pada jiwa dan raga Nabi
Muhammad SAW. 2) imajinasi (al-Khoyal), syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui
perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. 3)
gagasan (al-fikroh), gagasan pada syair tersebut mengungkapkan keagungan akhlak Nabi
Muhammad SAW dan kebesaran beliau sebagai seorang pemimpin dua jenis makhluk,
manusia dan jin. 4) Bentuk (Shurah), terdapat satu tasbih, yaitu tasybih tamsil. Huruf
qowafinya arrawi mimiyah, menggunakan bahr basith.
2. Unsur-unsur syi’ir madh kepada Raja Sholeh karya Shofiudin al-Hilli, sebagai berikut:
dari segi 1.) Rasa (athifah), Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada ketegaran
Raja Sholeh dalam segala urusan. Terutama penyair terkagum-kagum dengan ketepatan
beliau dalam mendermakan hartanya. 2) imajinasi (al-Khoyal), Unsur imajinasi syi’ir tersebut
dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar
tentang fenomena alam. 3) gagasan (al-fikroh), gagasan pada syair tersebut mengungkapkan
tentang ketegaran beliau dalam memimpin dan kedermawanannya dalam mendermakan
hartanya 4) Bentuk (Shurah), terdapat dua tasybih yang keduanya merupakan tasbih tamsil,
huruf qawafinya Al-waslu, menggunakan bahr basith.
Daftar Pustaka
Yunus ali al Mudar dan Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya: pt. Bina Ilmu,
1983)
Sapardi Djoko Darmono, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. (Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, 2005)
Ponpes Ploso Kediri, al-arudh wal Qowafi (Kediri; Penerbin Ponpes Ploso, tanpa tahun)
Akhmad Kholasi, Taysir Balaghah (Madinah; Thob’ah tsaniyah mazidah wamunhaqomah;
1995).
Akhmad Muzzaki, Kesusastraan arab, pengantar teori dan terapan (Jogjakarta; Ar-Ruzz
Media jogjakarta, 2006)
SASTRA BANDINGAN: PINTU MASUK KAJIAN BUDAYA
STUDI KASUS ROMEO DAN JULIA, SONEZAKI SHINJU, UDA DAN DARA
Maman S. Mahayana
Ada dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra
bandingan (comparative literature) sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan. Dalam
banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya,
penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya
dua negara yang berbeda menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi,
sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua
negara, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Jika kita membandingkan dua karya
yang berasal dari dua kultur etnik yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal kedua
karya itu berada dalam wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra
bandingan. Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita membandingkan sastra
Singapura dengan sastra Taiwan yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra
Brunei Darussalam dengan sastra Malaysia yang keduanya memakai bahasa Melayu.
Pertanyaan yang sama tentu saja dapat kita kemukakan lebih panjang lagi. Jadi, jika kita
mengamati karya-karya dari berbagai negara yang menggunakan bahasa yang sama atau
sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata bahwa rumusan sastra
bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru akan mengundang masalah
konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-
rumusan sastra bandingan yang pernah ada.
Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik
sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu
dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan
kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau
lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada
perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan
reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka
perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra
bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih.
Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai
pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan
perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai
bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang
berbeda.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh
kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah
rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan
beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula kita akan memperoleh
rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra
bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.
***
Dalam kamus Websters,[1] dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan
timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan
bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara
itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren[2] ada tiga pengertian mengenai sastra
bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya.
Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi
bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan
kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra
umum dan sastra universal.
Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman[3] mengungkapkan, bahwa sastra
bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu
tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang
satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada dikemukakan Remak[4] yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan
adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan
bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah
perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta
perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak
menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima
sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang
di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J.
Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1)
tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang
lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra. [5]
***
Definisi yang tertulis dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat
umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu
merupakan kamus yang memuat kosa kata yang umum digunakan dalam bahasa Inggris.
Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari
sebuah entri yang terdapat dalam kamus umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata
rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam
konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus
dalam kesusastraan beberapa negara. Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan
nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan
Indonesia, bukanlah hal yang baru. Sebutlah kasus Hamka--Manfaluthi[6] dan Chairil
Anwar--Archibald Macleish.[7] Sebenarnya, kita masih dapat menyebut kasus serupa yang
belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub Djunaedi, misalnya,
ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972).
[8] Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman
manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat
(1963) menampilkan tokoh tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat
ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan
persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita
masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya
Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai
Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell.[9] Tetapi bagaimana dengan kasus
Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-
mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran?
Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?[10]
Kembali, jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas perbandingan
antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan dan perbedaan
tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi persamaan dan perbedaan, tetap
bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba mengungkapkannya. Dan ketika kita coba
menemukan jawabannya, maka tidak dapat lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan
konteks sosio-kultural yang melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh
menyentuh latar belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
sosial budaya yang terjadi pada zamannya. Di sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya
tidak berhenti hanya sebatas menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus
menukik pada berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Sebagai contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya
William Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen
Malaysia (“Uda dan Dara” karya Usman Awang).
***
Romeo dan Julia[11] karya William Shakespeare (1564—1616) menurut Trisno Sumardjo
yang menerjemahkan karya itu, pokok ceritanya bersumber dari cerita lisan orang lain.
Berikut keterangan yang disampaikan Sumardjo:
Menurut anggapan penduduk Verona, riwayat ini (Romeo dan Julia, MSM)) terjadi tahun
1303, dan pada kaum pelancong mereka tunjukkan rumah keluarga Capulet serta kubu
pemakaman asyik masyuk itu. Tahun 1535 diterbitkan sebuah cerita pendek bernama La
Giulietta oleh Luigi da Porto dari Vicenza, ditulis menurut kisah yang dituturkan padanya
oleh seorang prajurit tua. Pada tahun 1554 dikisahkan oleh Bandello dalam cerita pendek Itali
tentang hikayat Romeo dan Julia. Dari situ Pierre Boisteaux membuat cerita Perancis, dan
tahun 1567 cerita ini dimasukkan oleh Painter dalam kumpulan ceritanya bernama Palace of
Pleasures yng sering dipakai oleh Shakespeare. Sebelumnya, dalam tahun 1562 ada
diterbitkan sebuah sajak epis dari tangan Arthur Brooke, namanya “The Tragicall Historye of
Romeus and Juliet, written first in Italian by Bandell, and now in English by Ar. Br. (Arthur
Brooke). Buah tangan Shakespeare lebih mendekati sajak ini daripada cerita Painter.[12]
Mencermati kutipan di atas, kita melihat bahwa cerita Romeo dan Julia merupakan cerita
klasik yang sudah dikenal luas masyarakat sebelum Shakespeare mengangkat cerita itu ke
dalam bentuk drama. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan Shakespeare atau sastrawan
lainnya di dunia ini, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Dalam hal ini, cerita-cerita lisan
klasik atau karya-karya agung, tidak hanya berpotensi melakukan penetrasi dan menyebarkan
pengaruhnya, tetapi juga inspiring (mengilhami), sehingga bermunculan cerita-cerita yang
secara tematik mempunyai persamaan.[13] Pertanyaannya kini: apakah studi sastra bandingan
cukup sampai pada kesimpulan adanya penetrasi dan pengaruh-mempengaruhi serta usaha
mengungkapkan persamaan dan perbedaan secara tekstual atau juga mengungkapna faktor-
faktor di luar teks?
Secara tematik, Romeo dan Julia bercerita tentang kisah kasih tak sampai yang menimpa diri
pemuda Romeo dan gadis Julia. Permusuhan antara keluarga besar Montague –sebagai pihak
Romeo—dan keluarga Capulet –sebagai pihak Julia—pada awalnya tidak dapat merintangi
tumbuhnya perasaan cinta kedua sejoli itu. Romeo dan Julia pun bersepakat mengikat ikrar
dalam tali perkawinan yang disahkan oleh pendeta Lorenzo. Tetapi, tewasnya kerabat dan
sahabat Romeo, Mercutio oleh Tybalt, kerabat keluarga Capulet membuka kembali
permusuhan antarkeluarga itu. Romeo terlibat dalam perkelahian berdarah. Pedangnya
menewaskan Tybalt. Untuk menyelamatkan Romeo dari hukuman mati, pendeta Lorenzo
menyuruhnya pergi dari Verona dan tinggal di Mantua.
Sementara itu duka cita Julia atas perpisahan dengan Romeo, dilihat oleh Capulet dan istrinya
sebagai kesedihan atas kematian Tybalt. Maka, ketika datang Paris, pemuda bangsawan
melamar Julia, keluarga Capulet menyambutnya bahagia. Hari perkawinan pun kemudian
ditetapkan.
Julia tentu saja menolak rencana kedua orang tuanya menjodohkan dengan Paris. Tetapi,
kesepakatan telah dibuat, hari perkawinan telah ditetapkan. Julia tak dapat berbuat apa-apa. Ia
pun mendatangi pendeta Lorenzo. Untuk menyelamatkan kesucian cinta Romeo—Julia,
pendeta Lorenzo merancang rencana. Disuruhlah Julia minum racun menjelang pesta
perkawinan dengan Paris dilaksanakan. Menurut Lorenzo, jika racun itu diminum, Julia akan
terbujur kaku seperti orang mati. Dua hari kemudian, ia akan siuman kembali. Pada saat
itulah, Romeo datang dan membawa Julia pergi meninggalkan Verona.
Pesta perkawinan dengan Paris memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum
racun. Jasadnya dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman.
Tetapi rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang disusun
pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo segera datang ke
pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana, ia jumpa Paris. Perkelahian pun tak
terhindarkan. Paris tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun
yang telah disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris
mati bersimbah darah dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun.
Menyadari segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke
dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan keluarga
Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi, semua sudah
terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan Montague—yang
selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun bersepakat untuk mencipakan
perdamaian.
Tragedi percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam
karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724),[14] berjudul Sonezaki Shinju (1703).[15]
Hubungan percintaan Tokubei dan Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang
menolak dikawinkan dengan kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya
selama tinggal bersama pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja
sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai wanita
penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta secara sembunyi-
sembunyi.
Kegigihan dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah
rencana menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk
melaksanakan rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang
diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada Ohatsu, ia
menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya marah. Tokubei
diusir dari Osaka. Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah
dengan uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut
pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat Tokubei,
meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan pamannya. Pada
hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya itu. Tetapi Kuheiji malah
menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia
menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari,
perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang kekasih itu
akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar mereka bisa
melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya
mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan
perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,[16] terbukan jalan lempang untuk
melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.[17]
Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda
yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding
dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi,
karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan
sakit parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk
yang terakhir kalinya.
Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga
membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya,
mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya,
ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda dan Dara sebagai
pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).
***
Dua naskah drama Romeo dan Julia dan Sonezaki Shinju serta sebuah cerpen “Uda dan Dara”
memperlihatkan sebuah tema yang sama: kasih tak sampai. Apakah praktik sastra bandingan
sebatas membandingkannya secara tekstual? Dalam praktik sastra bandingan dikatakan,
bahwa perbandingan itu dilakukan secara sistematik dan punya pertalian yang logis. Dari
sana memang kemudian akan tampak adanya persamaan dan perbedaan. Kasus Romeo dan
Julia, misalnya, dilatarbelakangi oleh permusuhan keluarga, sedang dalam Sonezaki Shinju
penyebabnya didasari oleh “kepercayaan” sang paman atas kinerja dan pengabdian
kemenakannya. “Kepercayaan dan penghargaan” itu kemudian direpresentasikan melalui
keinginannya menjodohkan Tokubei dengan kemenanakan istrinya. Jika saja Tokubei
menuruti kehendak pamannya, maka selain ia memperoleh kepercayaan yang makin besar
dari pamannya itu, juga mendapatkan kedai sendiri untuk mengembangkan usahanya. Jadi,
usaha yang dilakukan paman Tokubei sesungguhnya merupakan bentuk penghargaan dan
sekaligus kepercayaan.
Dalam “Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial.
Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya. Demikian
juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah membutakan mata hatinya.
Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa
perlu harus didasari perasaan cinta. Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan
baik-baik saja. Ia lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu
cocok diterapkan sekarang.
Pertanyaannya kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan
dan perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi penting
jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai pintu masuk untuk
mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra bandingan akan bermuara pada
pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru menjadi ruh yang menjiwai karya sastra.
Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi ruh kebudayaan yang
melahirkannya?
Kasus Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan
kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu
kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta Lorenzo
hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya larangan jual-beli
racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya penyalahgunaan racun pada masa
itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh
racun ganas dan “kematian sementara” Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada
waktu tertentu merupakan bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak rasional, karena
kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan tidak ditempatkan dalam
sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana
juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang sangat
berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta Lorenzo
gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona. Sejumlah hal itulah yang
mestinya diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk
memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena
fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta dan
kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian Romeo dan
Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan kemarahan. Romeo dan Julia
adalah korban, betapa berharganya cinta bagi manusia.
Makna kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi
pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju) [18]
sesungguhnya dilandasi oleh sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam
masyarakat Jepang pada waktu itu. Shinju ‘bunuh diri bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu
adalah pilihan yang tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya,[19]
tetapi juga representasi kepercayaannya pada dunia yang lain. Shinju merupakan pilihan
untuk mewujudkan perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang
sementara (carte diem), kesetiaan sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai
nirwana, dan kematian sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan
sistem kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin
Buddha Zen.[20]
Bukankah apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang
sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit merupakan
pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan norma masyarakat
yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia Melayu. Dengan begitu, citra
Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat sebagai simbol cinta suci dua anak manusia.
Uda dan Dara adalah korban ketika cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.
***
Demikianlah, praktik sastra bandingan pada akhirnya akan sampai pada muara persamaan
tentang sifat dasar manusia. Di mana pun, kapan pun, dengan latar belakang kultur, ideologi
atau agama apa pun, manusia tidak akan terlepas dari sifat dasarnya sebagai manusia.
Masalah kemanusiaan pada dasarnya berlaku universal, dan itu telah diperlihatkan dalam tiga
karya yang dibincangkan tadi. Dalam hal ini, sastra bandingan akan menghasilkan persamaan
ketika yang diangkat adalah persoalan kemanusiaan.
Bahwa di sana ada perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan
kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan mestinya
mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan juga
pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem
kepercayaan.
Agaknya, gagasan ini patut dipertimbangkan.
Artikel ini adalah Kertas Kerja Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarbangsa 2007
diselenggarakan Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia, Kuala Lumpur, 8—9 Juni
2007 di Menara Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.
Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Indonesia, anggota Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[2] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, (Jakarta,
1989), hlm. 46--49.
[4] Henry H. Remak. “Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.),
Contemporarry Literature: Methode & Perspective, (Carbondale & Edwardsville, 1971),
hlm. 1--7.
[5] Robert J. Clement, Comparative Literature as Academic Discipline, (New York, 1978),
hlm. 8.
[6] Bandingkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan
Kabah karya Hamka, dengan novel Magdalena (1964) dan Al-Yatim karya Al-Manfaluthi.
[7] Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish,
“The Young Dead Soldier”. Periksa juga H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45,
(Djakarta, 1956).
[8] Novel karya Natsume Soseki ini aslinya berjudul Wagahai wa Neko de Aru. Terbit
pertama kali tahun 1905 di majalah Hototogisu (Cuckoo). Aiko Ito dan Greeme Wilson
kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris tahun 1972.
[9] Mohd. Yusuf Hasan, Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm? Berita
Minggu, 12 Mei 1974. Lihat juga, Umar Junus, Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu,
(Kuala Lumpur, 1971), hlm. 60-68.
[10] Sapardi Djoko Damono menyebut “penerjemahan” karya sastra sebagai “pengkhianatan
kreatif”, sebab menurutnya, penerjemahan karya sastra memerlukan kreativitas
penerjemahnya, sehingga boleh jadi karya terjemahannya itu menjadi lebih baik daripada
karya aslinya, sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Jika begitu, mestinya masalah
saduran juga termasuk wilayah sastra bandingan.
[11]Trisno Sumardjo menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare
dengan Romeo dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka
Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama itu lebih akrab
dengan pembaca Indonesia.
[12] William Shakespeare, Romeo dan Julia, terjemahan Trisno Sumardjo, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1976, hlm. 151.
[13]Satu contoh lain dapat dikemukakan di sini. Cerita Hayy Ibn Yaqzhan karya Ibn Thufail
(1106—1185), misalnya, menyebarkan pengaruhnya begitu luas. Ibn Thufail tidak hanya
berhasil mengintegrasikan deskripsi anatomi, astronomi, dan filsafat Islam sebagai naluri,
intuisi, dan akal murni tokoh Hayy, tetapi juga menjadikan cerita itu secara tematbegitu
menarik. Tidak sedikit pemikir yang menempatkan karya itu dalam kerangka pemikiran
filosofis Ibn Thufail. Tetapi, banyak pula yang mengaguminya sebagai karya sastra yang
bernilai tinggi. Penerjemahan Hayy Ibn Yaqzhan ke dalam banyak bahasa dan pengaruhnya
yang luas merupakan bukti pentingnya karya itu. Dipercayai pula, Daniel Defoe (1661-1731)
dalam karyanya, Robinson Crusoe (1719), Jonathan Swift (1667--1745) dalam Gullivers
Travels, dan Rudyard Kipling (1856--1936) dalam Jungle Books (1894), langsung atau tidak,
terpengaruh karya Ibn Thufail. Jika mencermati karya Ibn Thufail itu sendiri, beberapa
bagiannya mempunyai persamaan dengan kisah Nabi Musa. Oidipus Sang Raja karya
Sophokles atau cerita rakyat Pasundan, Sangkuriang dan Ciung Wanara, juga mempunyai
beberapa persamaan dengan kisah Nabi Musa.
[15]Sonezaki Shinju yang digunakan sebagai contoh kasus tulisan ini berdasarkan terjemahan
Darsimah Mandah (Belum dipublikasikan). Sonezaki Shinju dalam kesusastraan Jepang
termasuk naskah drama bunraku, yaitu naskah yang dipentaskan dalam sebuah gedung
kesenian. Ada dua jenis bunraku, yaitu sewamono dan jidaimono. Sewamono yaitu drama
yang mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan pada zaman Edo sedangkah
drama jidaimono mengisahkan peristiwa sejarah pada zaman Heian sampai zaman
Muromachi, yaitu terjadi serangkaian peperangan para samurai dengan kelompok bangsawan.
[16]Shinju: Mati bersama dua insan yang tidak dapat mewujudkan cintanya di dunia. Dengan
kematian itu, keduanya akan melaksanakan perkawinannya di akhirat.
[17]Cerpen “Uda dan Dara” dimuat dalam antologi cerpen Mekar dan Segar, diselenggarakan
Asraf (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1959), hlm. 132—153.
[18]Shinju bagi masyarakat Jepang adalah perbuatan ksatria, terhormat, dan menunjukkan
bahwa ia berada di jalan yang benar. Shinju juga sebagai representasi
kebertanggungjawabannya sebagai manusia. Maka, shinju dipandang sebagai perbuatan yang
sangat terhormat, sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjalankan tugas, serta sebagai
usaha menunjukkan kesetiaannya yang paling tinggi. Bagi masyarakat Islam tentu saja
konsep itu tidak dapat diterima. Dengan demikian, penilaian atas satu kebudayaan atau
kepercayaan, tidak dapat lain, harus berdasarkan kebudayaan dan kepercayaan yang
bersangkutan, dan bukan berdasarkan kepercayaan atau kebudayaan lainnya.
[19]Pembahasan lebih lanjut tentang shinju, harakiri, jibaku, atau jisatsu, akan sampai pada
konsep giri dan ninjo yang berkaitan dengan persoalan harga diri, tanggung jawab, kesetiaan,
dan pengabdian. Jadi, bunuh diri punya makna positif sebagai bentuk
kebertanggungjawabannya atas kepercayaan yang diemban, dan tidak sebaliknya. Sikap dan
etika budaya itu telah tertanam sejak zaman Tokugawa (1603—1867) yang jejaknya sampai
sekarang dapat dijumpai pada sikap para pejabat di Jepang yang mengundurkan diri sebagai
bentuk tanggung jawab menjalankan tugas.
PUBLIKASI BUKU:
1. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1992), xii + 308
halaman, Cetakan II, 2007. 2. Kesusastraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995),
xiy + 175 halaman
3. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997), xviii + 346 halaman
4. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, (Magelang:
Indonesiatera, April 2001), xiii + 301 halaman
5. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 4 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama
Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
6. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 5 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama
Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
7. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 6 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama
Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Pemda DKI, 2002), 103 halalam.
8. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 1 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun
bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
9. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun
bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
10. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 3 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun
bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
11. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), ix + 502
halaman.
12. Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), xiii + 385 halaman.
13. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman. 14.
Bahasa Indonesia Kreatif, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008. 15. Pantun Betawi:
Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi (Bandung:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008).