Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KEPERAWATAN MANAJEMEN
MANAJEMEN KONFLIK DALAM KEPERAWATAN

Fasilitator:
Eka Mishbahatul Mar’ah Has, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun Oleh Kelompok 4:


Kelas A1-2017
Mega Kurniawati Dewi 131711133053
Meirina Nur Asih 131711133054
Lathifath’ul Rahayuningrum 131711133055
Miftahul Janah 131711133056
Salsabila Ridni Fairuz I 131711133061
Zenitha Rani 131711133062
Yumna Muhammad Apta 131711133102

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
“Manajemen Konflik Dalam Keperawatan” ini tepat waktu. Meskipun banyak hambatan
yang kami alami dalam proses pengerjaannya.
Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah
ini, makapenulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ibu Eka Mishbahatul Mar’ah Has, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku fasilitator mata
kuliah Keperawatan Manajemen di Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga, yang memberikan bimbingan dan saran.
2. Teman-teman anggota kelompok 4 kelas A1-2017 Program Studi S1
Kperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, yang memberikan
kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada
penulis.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun dari rekan-rekan sangat kami butuhkan demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita
semua. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.

Surabaya, 22 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum...................................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus..................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Konflik dalam Pelayanan Keperawatan...................................................................5
2.1.1 Definisi Konflik................................................................................................5
2.1.2 Jenis-Jenis Konflik dalam Pelayanan Keperawatan..........................................6
2.2 Kepemimpinan Profesi Perawat...............................................................................7
2.2.1 Definisi Kepemimpinan....................................................................................7
2.2.2 Peran Kepemimpinan dalam Keperawatan.......................................................8
2.2.3 Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan......................................................................8
2.3 Manajemen Konflik dalam Pemberian Layanan Keperawatan.............................10
2.3.1 Kode Etik dalam Pemberian Asuhan Keperawatan........................................10
2.3.2 Tahapan Manajemen Konflik Keperawatan....................................................12
2.3.3 Strategi Manajemen Konflik Keperawatan.....................................................13
2.3.4 Pendekatan Penyelesaian Konflik Keperawatan.............................................14
2.4 Contoh Kasus.........................................................................................................15
BAB 3 PENUTUP 20
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................20
3.2 Saran.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sebuah organisasi, pekerjaan antara satu anggota dengan anggota lainnya
akan saling terkait. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya
selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika suatu
keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu menjadi kambing
hitam. Perawat adalah salah satu profesi pelayanan jasa kesehatan yang melibatkan
interaksi langsung dengan banyak orang dalam hal ini adalah klien. Profesi perawat dalam
menjalankan tugasnya juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim kesehatan lainnya,
baik itu dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan hubungan kolaboratif dengan tim kesehatan
lainnya, perawat akan saling berinteraksi dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini
memandang suatu masalah atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka dapat terjadi
sebuah konflik (CNO, 2009).
Perawat seringkali mengambil tindakan menghindar dalam menyelesaikan
permasalahan atau konflik yang terjadi dengan tujuan mempertahankan status nyaman dan
mencegah perpecahan dalam kelompok (Hudson, 2005). Ironisnya, strategi tersebut
memberikan dampak destruktif terhadap perkembangan individu dan organisasi. Perawat
sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan penting dalam
menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya. Seorang pemimpin yang
dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a conflict-competent leader) adalah
pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya suatu konflik, memahami reaksi
yang ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu
organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent
organization) (Runde and Flanagan, 2007). Perawat sebagai manajer harus memiliki
ketrampilan berkomunikasi dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses
perumusan keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan tersebut
kepada pihak-pihak lain untuk menghindari terjadinya konflik.

3
Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan
meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Oleh karena itu
seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi (Utami, 2016).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Manajemen Konflik dalam Keperawatan?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara nyata dan mengembangkan pola pikir ilmiah dalam
menerapkan model manajemen konflik di seluruh tatanan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan tentang konsep dasar konflik dalam pelayanan keperawatan
2. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
3. Mampu menjelaskan manajemem konflik yang terjadi dalam pemberian layanan
keperawatan

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konflik dalam Pelayanan Keperawatan


2.1.1 Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai,
dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel dkk,
2005). Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi
ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.
Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan
salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak
lain. Menurut Vasta (dalam Indati, 1996) konflik akan terjadi bila seseorang melakukan
sesuatu tetapi orang lain menolak, menyangkal, merasa keberatan atau tidak setuju
dengan apa yang dilakukan seseorang. Secara umum pengertian konflik yaitu suatu
kondisi terjadinya ketidaksesuaian antara nilai-nilai atau tujuan yang diinginkan dicapai
baik di dalam diri sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain.
Subtantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan
kelompok, pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi, distribusi kebijaksanaan
dan prosedur, dan pembagian jabatan pekerjaan. Konflik ini biasa terjadi dalam sebuah
organisasi. Sedangkan Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak
percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi
(personality clashes). Konflik inilah yang sering terjadi pada remaja dengan teman
sebaya. Konflik adalah perselisihan internal atau eksternal akibat dari adanya perbedaan
gagasan, nilai atau perasaan antara dua orang atau lebih.
Menurut Littlefield 1995 dalam Nursalam bahwa konflik dapat dikategorikan
sebagai suatu kejadian atau proses. Sebagai suatu kejadian, konflik terjadi akibat
ketidaksetujuan antara dua orang atau organisasi yang merasa kepentingannya
terancam. Sebagai manajer keperawatan, konflik sering terjadi pada setiap tatanan
asuhan keperawatan. Oleh karena itu, manajer harus mempunyai dua asumsi dasar
tentang konflik, asumsi pertama konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari

5
dalam suatu organisasi, asumsi yang kedua jika konflik dapat dikelola dengan baik
maka dapat menghasilkan suatu penyelesaian yang kreatif dan berkualitas, sehingga
berdampak pada peningkatan produksi (Riski, K dan Wijaya, 2018).

2.1.2 Jenis-Jenis Konflik dalam Pelayanan Keperawatan


Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok :
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan
ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasi nilai dan keinginan dari
konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi
peran. Misalnya seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan
loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas
kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan,
dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan
berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai
contoh seorang manajer sering mengalami konflik dengan teman sesama manajer,
atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra Kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja
berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak mendokumentasikan
rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat
lainnya dalam satu tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk
mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam
mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.

6
Jika dilihat dari berfungsi atau tidaknya konflik, maka konflik itu dapat dibagi
menjadi 2 yaitu :
1. Konflik Fungsional, yaitu konflik yang memang bertujuan dan mempunyai dampak
atau kegunaan yang positif bagi pengembangan dan kewajaran organisasi. Persoalan
yang menyebutkan terjadinya konflik hanya semata-mata pada persoalan bagaimana
organisasi dapat mencapai suatu taraf kemajuan tertentu yang diinginkan bersama
oleh seluruh para anggota organisasi, bukanlah segolongan atau kelompok tertentu.
Jadi hanya berhubungan dengan prospek kemajuan organisasi secara keseluruhan di
masa datang.
2. Konflik non fungsional, yaitu konflik yang sama sekali tidak berkaitan dengan
prospek kemajuan organisasi. Konflik yang terjadi hanya benar - benar berkaitan
dengan misalnya "human interest", sentimen pribadi para anggota organisai.
Demikian pula atas intrik – intrik pribadi, golongan yang human interestnya sama,
Permasalahan kurang adanya relevansi dengan prospek organisasi (Riski, K dan
Wijaya, 2018).

2.2 Kepemimpinan Profesi Perawat


2.2.1 Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan penggunaan keterampilan mempengaruhi orang lain
untuk melaksanakan sesuatu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya
(Sullivan & Decleur, 1989). Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan untuk
mempengaruhi anggota kelompok bergerak menuju pencapaian tujuan yang ditentukan
(Baily, Lancoster & Lancoster, 1989). Kepemimpinan adalah sebuah hubungan dimana
satu pihak memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mempengaruhi perilaku pihak
lain yang didasarkan pada perbedaan kekuasaan antara pihak-pihak tersebut (Gillies,
1996). Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1993: 26). "Kepemimpinan sebagai suatu
bentuk persuasi, suatu seni pembinaan kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui
'human relations' dan motivasi yang tepat, sehingga tanpa adanya rasa takut mereka
mau bekerja sama dan membanting tulang memahami dan mencapai segala apa yang
menjadi tujuan-tujuan organisasi".

7
Dari beberapa pengertian kepemimpinan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kepemimpinan berarti kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sebagai
pengikutnya.

2.2.2 Peran Kepemimpinan dalam Keperawatan


Dalam buku Manajemen dan Kepemimpinan dalam Keperawatan, disebutkan
bahwa pemimpin memiliki peran diantaranya :
a) Interpersonal role : peranan yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi
b) Informational role : peranan yang berhubungan dengan informasi, baik
informasi yang diterima maupun informasi yang harus disampaikan
c) Decisional role : peranan terkait dengan pembuatan keputusan

2.2.3 Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan


Gaya kepemimpinan merupakan cara seseorang memanfaatkan kekuatan yang
tersedia untuk memimpin orang lain. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan
yang berbeda. Ada tiga faktor yang menjadi kunci gaya kepemimpinan seseorang yang
merupakan faktor yang saling melengkapi dan mempengaruhi satu sama lainnya, yaitu:
pemimpin itu sendiri, orang yang dipimpin dan situasi, seperti pada gambar dibawah ini
:

8
Bisa disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan seseorang merupakan fungsi dari
ketiga variabel di atas. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing variable tersebut
melalui pemahaman teori-teori gaya kepemimpinan :
a) Teori Bakat
Teori bakat dikenal dengan “Great Man Theory”. Teori bakat muncul karena
adanya keyakinan bahwa kemampuan memimpin hanya dimiliki oleh orang yang
dilahirkan dengan bakat tersebut. Teori ini tidak sepenuhnya benar sebab setiap
orang bisa menjadi pemimpin, dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan
kepemimpinannya.
b) Teori Perilaku, yang biasa digunakan Kurt Lewin (1960)
1) Otokratik : Pada gaya otokratik pemimpin melakukan kontrol maksimal
terhadap staf, membuat keputusan sendiri dalam menentukan tujuan kelompok.
Lebih menekankan pada penyelesaian tugas dari pada hubungan interpersonal.
Gaya ini cenderung menyebabkan permusuhan dan agresif atau apatis sampai
menurunnya inisiatif.
Contoh Kepala Ruang menetapkan jadwal dinas, sanksi sesuai aturan, tanpa
mempertimbangkan alasan staf perawat yang mengajukan ijin
2) Demokratik : Pemimpin mengikut sertakan bawahan dalam proses pengambilan
keputusan. Lebih menekankan pada hubungan interpersonal dan kerja
kelompok. Pemimpin menggunakan posisinya untuk mendapatkan pandangan
dan pemikiran bawahan serta memotivasi mereka untuk menentukan tujuan dan
mengembangkan rencana. Hal ini cenderung meningkatkan produktivitas dan
kepuasan kerja.
Contoh : Kepala Bidang Keperawatan selalu meminta Kepala Ruang
memberikan masukan untuk sebuah perubahan kebijakan
3) Laissez Fair : Pemimpin memberikan kebebasan bertindak, menyerahkan
perannya sebagai pemimpin kepada bawahan tanpa diberi petunjuk atau
bimbingan serta pengawasan. Pemimpin sangat sedikit merencanakan dan
membuat keputusan. Gaya kepemimpinan ini efektif bila bawahan mempunyai

9
kemampuan dan tanggung jawab yang tinggi. Bila kemampuan dan tanggung
jawab bawahan kurang cenderung menimbulkan keresahan dan frustasi.
Contoh : Kepala Ruang tidak pernah mau tahu apa yang sedang terjadi di
ruangan, staf perawat yang tidak disiplin tidak mendapat teguran yang penting
aman
c) Teori Situasional
Pemimpin berubah dari satu gaya ke gaya lainnya sesuai dengan perubahan
situasi yang terjadi. Jadi seseorang pemimpin yang efektif pada situasi tertentu
belum tentu mampu bersikap dan bertindak efektif pada situasi lain.

2.3 Manajemen Konflik dalam Pemberian Layanan Keperawatan


Konflik tidak dapat dihindari, melainkan dapat dikelola agar memberikan dampak
positif sebagai sebuah pembelajaran. Konflik dapat bersifat negatif (merugikan) tetapi
dapat bersifat positif (menguntungkan), tergantung bagaimana konflik dikelola. Konflik
yang sedikit dapat membuat suatu organisasi statis dan konflik yang terlalu banyak dapat
menyebabkan kehancuran. Konflik dapat mempengarui kualitas pelayanan keperawatan.
Konflik yang tidak diselesaikan secara tepat dapat merusak kesatuan unit kerja dan
menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan, sehingga dapat menurunkan produktivitas.
Manajemen konflik yang tidak efektif dapat menyebabkan kondisi kerja yang tidak sehat,
permainan kekuasaan, ketidakpuasan klien, penurunan kualitas perawatan, dan peningkatan
biaya kesehatan. Maka dari itu, keperawatan profesional dituntut untuk memiliki keahlian
dalam manajemen konflik. Manajemen konflik dalam keperawatan merupakan salah satu
implementasi yang mendukung pelayanan prima (Wulandari, Novieastari and
Purwaningsih, 2019).

2.3.1 Kode Etik dalam Pemberian Asuhan Keperawatan


Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman
perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan.
Kode etik keperawatan Indonesia :

10
a. Perawat dan Klien
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan
martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warnakulit, umur, jeniskelamin, aliran politik dan agama
yang dianutserta kedudukan sosial.
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama klien.
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan
asuhan keperawatan.
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
b. Perawat dan Praktik
1) Perawat memlihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui
belajar terus-menerus
2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai
kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta ketrampilan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan sertakualifikasi seseorang bilamelakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan
selalu menunjukkan perilaku profesional.
c. Perawat dan Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan
mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan
masyarakat.

11
d. Perawat dan Teman Sejawat
1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesame perawat maupun
dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
keseluruhan.
2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.
e. Perawat dan Profesi
1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan
2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi
keperawatan
3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan
yang bermutu tinggi (PPNI, 2020).

2.3.2 Tahapan Manajemen Konflik Keperawatan


1. Pencegahan konflik bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
2. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui
persetujuan damai.
3. Pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
4. Resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun
hubungan baru dan tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berkonflik.
5. Transformasi konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang
lebih luas dan berusaha merubah kekuatan negatif dari perselisihan menjadi
kekuatan sosial politik yang positif (Rusdiana, 2015).

12
2.3.3 Strategi Manajemen Konflik Keperawatan
Teori perilaku konflik (Conflict Behavior) menjelaskan terdapat beberapa strategi
penyelesaian konflik, yaitu :
1. Kompromi atau Negosiasi
Suatu strategi penyelesaian konflik dimana semua yang terlibat saling
menyadari dan sepakat tentang keinginan bersama. Penyelesaian seperti ini sering
diartikan sebagai “lose-lose situation” kedua unsur yang terlibat menyerah dan
menyepakati hal yang telah dibuat. Di dalam manajemen keperawatan strategi ini
sering digunakan oleh middle dan top manajer keperawatan.
2. Kompetisi
Strategi ini dapat diartikan sebagai “win-lose” penyelesaian konflik.
Penyelesaian ini menekankan bahwa hanya ada satu orang atau kelompok yang
menang tanpa mempertimbangkan yang kalah. Akibat negatif dari strategi ini adalah
kemarahan, putus asa dan keinginan untuk perbaikan di masa mendatang.
3. Akomodasi
Istilah yang lain sering digunakan adalah “cooperative”. Konflik ini berlawanan
dengan kompetisi. Pada strategi ini seseorang berusaha mengakomodasi
permasalahan-permasalahan dan memberi kesempatan orang lain untuk menang.
Masalah utama pada strategii sebenarnya tidak terselesaikan. Strategi ini biasanya
sering digunakan dalam suatu politik untuk suatu kekuasaan dengan berbagai
konsekuensinya.
4. Smoothing
Penyelesaian konflik dengan mengurangi komponen emosional dalam konflik.
Pada strategi ini individu yang terlibat dalam konflik berupaya mencapai
kebersamaan daripada perbedaan dengan penuh kesadaran dan introspeksi diri.
Strategi ini bisa ditetapkan pada konflik yang ringan, tetapi untuk konflik yang
besar misalnya persaingan pelayanan/ hasil produksi dan tidak dapat dipergunakan.
5. Menghindar
Semua yang terlibat dalam konflik, pada strategi ini menyadari tentang masalah
yang dihadapi tetapi memilih untuk menghindar atau tidak menyelesaikan

13
masalahnya. Strategi ini dipilih bila ketidaksepakatan dapat membahayakan kedua
pihak, biaya penyelesaian lebih besar daripada menghindar, atau perlu orang ketiga
dalam menyelesaikan atau jika ada masalah dapat terselesaikan dengan sendirinya.
6. Kolaborasi
Strategi ini merupakan strategi “win-win solution” pada kolaborasi kedua unsur
terlibat menentukan tujuan bersama dan bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan.
Karena keduanya meyakini akan mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Strategi kolaborasi tidak akan berjalan jika kompetisi insentif sebagai bagian dari
situasi tersebut, kelompok yang terlibat tidak memiliki kemampuanan dalam
menyelesaikan masalah dan tidak adanya kepercayaan dari kedua belah pihak
(Wahyudi, 2006).

2.3.4 Pendekatan Penyelesaian Konflik Keperawatan


Pengendalian konflik yang dilakukan melalui pendekatan musyawarah, campur
tangan pihak ketiga, konfrontasi, tawar menawar, dan kompromi (Rusdiana, 2015).
1. Musyawarah
Pendekatan ini bertujuan agar masing-masing pihak yang berkonflik
mendapatkan apa yang diinginkan sehingga kedua belah pihak tidak ada yang
dikalahkan. Musyawarah merupakan metode paling sehat dalam memecahkan
konflik antar kelompok dalam organisasi. Dalam metode ini, pihak-pihak yang
berkonflik untuk saling bertemu dan mencari penyebab yang menjadi dasar dari
konflik dan bertanggung jawab bersama untuk keberhasilan resolusinya (Robbins
and Judge, 2015).
2. Campur tangan pihak ketiga
Pengendalian konflik melalui campur tangan orang ketiga diperlukan apabila
pihak-pihak yang bertentangan tidak ingin berunding atau telah mencapai jalan
buntu.
3. Konfrontasi
Konfrontasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengendalikan
konflik. Konfrontasi dilakukan dengan mempertemukan pihak-pihak yang sedang

14
berkonflik untuk diminta pendapatnya secara langsung dalam rapat atau sidang, dan
pimpinan bertindak sebagai moderator.
4. Tawar menawar
Tawar menawar adalah pengendalian konflik melalui proses pertukaran
persetujuan dengan maksud mencapai keuntungan kedua belah pihak yang sedang
berkonflik (win-win solution). Dalam proses ini masing-masing pihak tidak
mendapatkan secara penuh apa yang diinginkan, akan tetapi tujuan dapat tercapai
dengan mengorbankan sedikit kepentingannya. Inti dari tawar-menawar adalah
tidak mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menyerahkan sesuatu yang
dianggap penting bagi kelompoknya.
5. Kompromi
Pendekatan ini dilakukan untuk mengatasi konflik dengan cara mencari jalan
tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bertentangan. Sikap yang
diperlukan agar dapat melaksanakan kompromi adalah salah satu pihak harus
bersedia mengerti dan merasakan keadaan pihak lain. Kedua belah pihak tidak ada
yang menang maupun kalah, masing-masing memberikan kelonggaran dan konsesi.

2.4 Contoh Kasus


Perawat R (wanita) 48 tahun (S2 Keperawatan, pengalaman bekerja 18 tahun) adalah
manajer keperawatan di unit perawatan neuroscience di sebuah rumah sakit di Chicago.
Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renovasi pada unit perawatan yang
dipimpinnya dan perawat R pun menemui direktur keperawatan di RS tersebut. Ketika
bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata menurut direktur keperawatan, RS
hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit saja untuk tahun ini, dan direktur
mengatakan sudah ada perawat J (laki-laki) 56 tahun (S1 Keperawatan, pengalaman bekerja
30 tahun) yang merupakan manajer keperawatan di unit perawatan bedah ortopedi yang
juga mengajukan proposal untuk renovasi. Direktur menyarankan mereka untuk bertemu
satu sama lain untuk membahas masalah yang terjadi agar mendapatkan keputusan yang
tepat. Perawat R dan Perawat J sebelumnya juga pernah berkonflik tentang penyusunan
standar tindakan keperawatan sehingga mereka jarang menjalin komunikasi secara

15
langsung. Perawat R pun merasa terpaksa harus menemui Perawat J, dan dalam pertemuan
tersebut terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana kedua belah pihak
beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih penting dari renovasi di unit
perawatan lainnya. Perawat J juga menganggap perawat R tidak berkewenangan untuk
melakukan negosiasi dengannya, yang memiliki kewenangan tersebut adalah direktur
keperawatan. Konflik ini berdampak pula pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit
masing-masing terutama dalam hal kolaborasi. Direktur keperawatan merasa bertanggung
jawab terhadap kondisi ini, dan ingin segera menyelesaikannya.

Analisa Kasus
1. Analisa Gaya Kepemimpinan
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah participative
theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa yang orang lain miliki
sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap
bawahan untuk bersama-sama menyelesaikan konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan
yang sesuai dipakai oleh direktur keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas adalah
democratic style dimana pemimpin mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi
pada proses pengambilan keputusan. Direktur keperawatan tetap membuat keputusan
akhir tetapi kedua manajer keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin
dalam menyelesaikan konflik pada kasus di atas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur keperawatan
harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader, dimana direktur
keperawatan harus bisa mengajak perawat R dan perawat J untuk duduk bersama
dalam menyelesaikan konflik. Selain itu direktur keperawatan harus menjadi
fasilitator antara kedua manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.

16
b. Peran informasional
Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan langsung
ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk mendapatkan informasi yang
valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat keputusan,
dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan mana yang akan di renovasi
terlebih dahulu agar tidak salah dalam mendistribusikan sumber dana yang ada.
Direktur keperawatan harus mampu melakukan negosiasi kepada perawat R dan
perawat J selaku manager keperawatan terkait sumber dana yang ada, sehingga
dihasilkan keputusan yang win-win solution antara kedua belah pihak.
2. Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan sebagai
bentuk strategi penyelesaian konflik.
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
1) Identifikasi batasan konflik
Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2 jenis konflik yang terjadi antara lain
konflik interpersonal dan konflik antar kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi
adalah antara Perawat J dan Perawat R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik
dan jarang menjalin komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar
kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk
mencapai tujuan kelompoknya masing-masing, dalam kasus ini kelompok yang
dimaksud adalah kelompok perawat yang bekerja di unit perawatan neuroscience
dan perawat yang bekerja di unit perawatan bedah ortopedi yang sama-sama
menuntut adanya renovasi di unit perawatan masing-masing.
2) Identifikasi penyebab konflik
Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent
conditions). Dalam kasus di atas sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori
tersebut. Kurangnya komunikasi yang terjalin antara Perawat J dan Perawat R
menyebabkan komunikasi dua arah sulit tercapai. Perbedaan jenis kelamin menjadi

17
salah satu penghambat dalam berkomunikasi asertif, dimana laki-laki cenderung
agresif, independen, dan jarang melibatkan emosi, sebaliknya wanita cenderung
pasif, dependen, dan melibatkan emosi. Kemudian untuk perbedaan kepentingan
dapat dilihat dari adanya dua kelompok perawat yang memiliki tujuan dan
kepentingan yang berbeda (terkait posisi, peran, status, dan tingkat hirarki).
3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat menjadi
penghalang untuk manajemen konflik
Sebelum menentukan strategi-strategi dalam penyelesaian konflik, Direktur
keperawatan harus melakukan pengkajian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyelesaian konflik, salah satunya sumber daya manusia yaitu terkait kemampuan,
peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya kepemimpinannya yang selanjutnya
mempengaruhi pilihan strategi manajemen konflik yang dihadapi.
4) Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung dari cara
menyelesaikan atau memanajemen konflik. Berdasarkan kasus di atas, gaya
penyelesaian konflik yang dipilih adalah berdasarkan suasana komunikasi bukan
berdasarkan gender, yaitu compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada
posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima
(give and take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Outcome resolusi konflik
yang diharapkan dari kasus di atas adalah win-win solution.
b. Intervensi
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan menggunakan prinsip
kompromi adalah :
1. Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya operasional dibagi 2,
yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian 50% untuk unit bedah ortopedi,
kemudian di tahun selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.
2. Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan biaya 75%, sedangkan
unit neuroscience membeli perlengkapan sekunder untuk unitnya dengan biaya 25%, di
tahun berikutnya dilakukan barter, unit neuroscience mendapatkan 75% untuk renovasi

18
fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25% untuk melengkapi sarana dan prasarana
lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin melakukan evaluasi:
1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri dari:
- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif, verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah atau memunculkan
masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang direncanakan dalam
intervensi?
2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang telah direncanakan
dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah hasil manajemen konflik
mengarah pada proses yang konstruktif atau destruktif. Manajemen konflik yang
konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian
masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu
masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi yang
harus ditemukan pemecahan masalahnya. Sedangkan konflik bersifat destruktif bila
berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang bersifat negatif, dan
menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi (Utami, 2016).

19
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai,
keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin memiliki
peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam pengembangan,
peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya kepemimpinan seseorang sangat
mempengaruhi pemilihan strategi penanganan konflik (integrating, obliging,
dominating, avoiding, dan compromising). Salah satu model penyelesaian konflik yang
digunakan adalah Model Rahim (2002), yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi,
dan evaluasi. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi,
antara lain identifikasi batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia,
dan identifikasi strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi.
Terdapat bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan gaya
kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin dan mampu
memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan proses belajar dan
pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun
yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi,
seperti dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward
system, dan lain sebagainya. Proses terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan
balik terhadap proses diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.

3.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi
profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian
konflik.

20
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2020) Kode Etik Keperawatan Indonesia.


Riski, K dan Wijaya, A. (2018) ‘Modul Pembelajaran: Manajemen Keperawatan’, Insan
Cendekia Medika Jombang.
Robbins and Judge (2015) Organizational Behavior. 16th edn. Boston: Pearson.
Rusdiana (2015) Manajemen Konflik. Bandung: CV Pustaka Setia.
Utami, K. C. (2016) ‘Manajemen Konflik’, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana,
Bali, (September), pp. 1–35.
Wahyudi (2006) Manajemen Konflik dalam Organisasi. 2nd edn. Bandung: Alfabeta.
Wulandari, C. I., Novieastari, E. and Purwaningsih, S. (2019) ‘Optimalisasi Manajemen
Konflik: Perilaku Asertif Dalam Keperawatan’, Jurnal Kesehatan Saelmakers, 2(2).

21

Anda mungkin juga menyukai