Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN KEPERAWATAN

PENGARUH PELAKSANAAN MANAJEMEN KONFLIK OLEH KEPALA


RUANGAN PADA MOTIVASI KERJA PERAWAT PELAKSANA

DI RUMAH SAKIT MARTHA FRISKA MEDAN

Dosen Pengampuh:
Ns. Norman Alfiat Talibo S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
Arni Lajulu 1801046

PROGRAM STUDI S1 NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH MANADO
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan
makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Manado, 2021
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan...............................................................................................................................
BAB II Pembahasan
A. Variabel Independent
1. Pengertian Konflik................................................................................................
2. Tipe Konflik.........................................................................................................
3. Penyebab Konflik.................................................................................................
4. Proses Konflik......................................................................................................
5. Strategi Dan Keterampilan Manajement Konflik..................................................
B. Variabel Dependent
1. Pengertian Motivasi..............................................................................................
2. Jenis Motivasi.......................................................................................................
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi........................................................
4. Unsur Penggerak Motivasi………………………………………………………
5. Tujuan Motivasi....................................................................................................
6. Ciri – ciri Motivasi................................................................................................
7. Pengukuran Motivasi Kerja..................................................................................
BAB III Analisa Jurnal
A. Analisa Jurnal Berdasarkan PICOT..................................................................................
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai salah satu organisasi penghasil jasa dituntut untuk menyediakan
pelayanan keperawatan yang bermutu. Salah satu profesi yang paling berperan penting di RS
adalah perawat. Keperawatan sebagai organisasi profesi berpotensi besar dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan di rumah sakit. Oleh karena itu, perawat dituntut memiliki kinerja yang
optimal. Faktor yang turut mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja perawat dalam
melaksanakan pelayanan keperawatan dirumah sakit adalah adanya konflik, pengambilan
keputusan, gaya kepemimpinan, supervisi, dan motivasi kerja. Konflik mempengaruhi kinerja
terhadap keselamatan pasien (Swanburg, 2000). Aamodt (2010) mengatakan bahwa karyawan
yang memiliki motivasi kerja rendah, maka akan memiliki kepercayaan diri yang rendah dan
kebutuhan akan pencapaian prestasi yang rendah juga.
Keberadaan motivasi sebagai faktor potensial mempengaruhi kinerja organisasi dalam
memberikan pelayanan medis sangat bersifat substansial , bahwa motivasi bagian dari proses
yang dapat meningkatkan atau menurunkan keinginan dan komitmen individu untuk mencapai
tujuan personal dan organisasi melalui motivasi (Nawawi, 2013). Faktor yang turut
mempengaruhi tinggi rendahnya motivasi kerja perawat dalam melaksanakan pelayanan
keperawatan di rumah sakit salah satunya adalah adanya konflik. Jika kondisi fisik, emosional,
dan mental perawat kurang baik maka hal ini akan berdampak pada pelayanan keperawatan
yang diberikan pada pasien.
Pengelolaan konflik sangat berhubungan penting dengan peran kepala ruangan dalam
mengelola konflik yang konstruktif untuk menciptakan lingkungan yang produktif. Kepala
ruangan harus mampu mengenali adanya konflik dan mampu memfasilitasi penyelesaian
konflik yang bersifat membangun/konstruktif secepat mungkin (Toren & Wagner, 2010). Jika
konflik mengarah ke suatu yang menghambat, maka kepala ruangan harus mengidentifikasi
sejak awal dan secara aktif melakukan intervensi supaya tidak berefek pada produktifitas dan
motivasi kerja. Belajar menangani konflik secara konstruktif dengan menekankan pada win-
win solution merupakan keterampilan dalam suatu manajemen (Nursalam, 2011). Hasil
penelitian Rahayu (2017) mengemukakan bahwa motivasi kerja perawat berada pada kategori
lemah sebanyak 48% dalam melaksanakan asuhan keperawatan sedangkan penelitian lainnya
yang di lakukan Rahman, dkk (2018) mayoritas perawat memiliki motivasi yang tinggi dalam
penerapan standar asuhan keperawatan sebanyak 76%. Kuntoro (2010) sumber menjelaskan
bahwa peningkatan dan penurunan motivasi perawat pelaksana di rumah sakit tergantung pada
kemampuan kepala ruangan (kepala ruangan perawat) dalam mengelola konflik dengan baik.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik merupakan hal
yang sangat penting di dalam suatu organisasi, secara khusus rumah sakit karena sangat
mempengaruhi motivasi perawat yang akan sangat berdampak pada mutu pelayanan rumah
sakit terhadap masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas Pengaruh
pelaksanaan manajemen konflik oleh kepala ruangan pada motivasi kerja perawat pelaksana di
rumah sakit Martha Friska Medan

C. Tujuan
Untuk Mengetahui apakah ada pengaruh pelaksanaan manajemen konflik oleh kepala
ruangan pada motivasi kerja perawat pelaksana di rumah sakit Martha Friska Medan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Variabel Independent (Manajement Konflik)


1. Pengertian
Konflik adalah perselisihan atau perjuangan yang timbul ketika keseimbangan dari
perasaan, hasrat, pikiran, dan perilaku seseorang terancam. Perjuangan ini dapat terjadi di
dalam individu atau di dalam kelompok. Pemimpin dapat menggerakkan konflik ke hasil yang
destruktif atau konstruktif.
Deutsch (1969) dalam lamonica (1986), mendefinisikan konflik sebagai suatu
perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman keseimbangan antara
perasaan, pikiran, Hasrat dan perilaku seseorang.
Douglass & bevis (1979) mengartikan konflik sebagai suatu bentuk perjuangan
diantara kekuatan interdependen. Perjuangan tersebut dapat terjadi baik di dalam individu
(interpersonal conflict) ataupun di dalam kelompok (intragroup conflict).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi akibat adanya
pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu taupun pada tatanan
yang lebih luas, seperti antar-individu, antar-kelompok, atau bahkan antar-masyarakat. Konflik
dianggap sebagai suatu bentuk perjuangan maka dalam penyelesaian konflik seharusnya
diperlukan usaha-usaha yang bersifat konstruktif untuk menghasilkan pertumbuhan positif
individu atau kelompok, mpeningkatan kesadaran, pemahaman diri dan orang lain, dan
perasaan positif kearah hasil interaksi atau hubungan dengan orang lain.

2. Tipe konflik
Konflik timbul didalam diantara dan antara orang- orang adanya perbedaan adanya
pada kenyataan definisi, pandangan, otoritas, tujuan, nilai, dan kendali konflik dalam
organisasi secra strukturan dapat dikategorikan sebagai konflik vertika atau horizontal. Konflik
vertical meliputi perbedaan antara pemimpin dan anak buah. Hal inin sering diakibatkan oleh
komunikasi dan kurang penyebaran persepsi dan perilaku yang tepat untuk peran diri sendiri
atau orang lain. Konflik horizontal adalh garis konflik antara staff dan ada hubungan dengan
praktik keahlian otoritas, dan sebagainya. Sering berupa perselisihan antar departemen:
1) Konflik di dalam pengirim
Pengirim sama pesan saling berlawaan. Contoh pemimpin yang sama menutut
pelayanan yang tinggi, menolak memecat anggota staff tidak kompeten dan menolak
pengontrak staff tambahan
2) Antar pengirim
Pesan – pesan yang berlawan dari dua atau lebih pengirim. Contoh pimpinan
tertinggi dari keperawatan menekankan kebutuhan untuk memakai keperawatan
menekankan kebutuhan untuk memakai keperawatan primer sebagai model pelayanan
keperawatan; anak buah yakin bahwa mereka dapat mencapai layanan keperawatan
yang individual dan bermutu dengan menggunakan metode keperawatan tim
3) Antar pesan
Orang yang sama ternasuk didalam kelompok- kelompok yang berkonflik. Contoh
Direktur keperawatan adalah seorang anggota kelompok konsumen masyarakat yang
sedang berusaha untuk mengkonsilidasi pelatyanan obsteri dan pediatric didaerahnya,
dengan menempatkan semau ahli pediatric terbagi diantara dua rumah sakit lainya.
Perawat yang sama juga merupakan pegawai di salah satu rumah sakit yang ingin tetap
mempertahankan kedua pelayanan tersebut dirumah sakitnya.
4) Peran pribadi
Orang yang sama nilai - nilainya berlawanan (ketidak sesuaian kognitif). Contoh
perawat percaya bahwa pasien di klinik harus menerima perhatian individual dari
seseorang perawat yang mengikuti perkembangannya pada setiap kunjungan. Syarat –
syarat dari kedudukannya dan system pelayanan yang ada membuat tujuan ini jarang
bisa tercapai, jika tidak boleh dibilang bahwa tidak mungkin tercapai.
5) Antar pribadi
Dua atau lebih orang bertindak sebagai pendukung kelompok- kelompok yang berbeda.
Contoh direktur keperawatan bersaing dengan direktur lain untuk sebuah posisi baru.
6) Didalam kelompok
Nilai- nilai baru dari luar dimasukkan pada kelompok yang ada. Contoh Pendidikan
yang berkelajutan diwajibkan oleh pemerintah untuk setiap perpanjangan ijin
keperawatan. Lembaga pelayanan Kesehatan desa tidak mempunyai dana untuk
pengirim perawat untuk mengikuti program pendidikan berkelanjutan, dan staff
perawat, yang dibayar murah tetapi puas, tidak dapat membianyayi sendiri pendidikan
lanjutan mereka.
7) Antar kelompok
Dua atau lebih kelompok dengan tujuan yang berlawanan. Contoh departemen
keperawatan menuntut bahwa para perawata diruang operasi dan pemulihan secara
organisional berada dibawah keperwatan. Departemen bedah, yang terdiri dari dari
para dokter, menyakini bahwa mereka harus mengendalikan perawat- perawat di
area ini.
8) Peran mendua
Seseorang tidak menyadari harapan orang lain terhadap sebuah peran
tertentunya. Contoh seorang pengawas perawat yang baru tidak mempunyai
gambaran tentang posisinya dan tidak mempunyai pengalaman sebelumnnya
sebagai pengawas.
9) Beban peran yang terlalu
Seseorang tidak dapat memenuhi harapan orang lain untuk perannya. Contoh
seorang sarjana muda baru diharapkan oleh direktur keperawatan untuk
bertanggung jawab terhadap 40 tempat tidur di unit penyakit kronis dan akut
pada dinas malam

3. Penyebab Konflik
Banyak faktor yang bertanggungjawab terhadap terjadinya konflik terutama dalam
suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut dapat berupa perilaku yang menentang, stres, kondisi
ruangan, kewenangan dokter-perawat, keyakinan, eksklusifisme, kekaburan tugas,
kekurangan sumber daya, proses perubahan, imbalan, dan masalah komunikasi
1) Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog
rasional, dapat menimbulkan gangguan protocol penerimaan untuk interaksi dengan
orang lain. Perilaku ini dapat berupa verbal dan non verbal. Terdapat tiga macam
perilaku menentang, yaitu:
a. Competitive bomber, yang dicirikan dengan perilaku mudah menolak,
menggerutu dan menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan merusak
secara agresif yang di sengaja.
b. Martyred accommodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu
atau palsu dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain, namun sambil
melakukan ejekan dan hinaan.
c. Avoider, yang ditunjukkan dengan penghindaran kesepakatan yang telah dibuat dan
menolak untuk berpartisipasi.
2) Stres, juga dapat mengkobatkan terjadinya konflik dalam suatu organisasi. Stres yang
timbul ini dapat disebabkan oleh banyaknya stressor yang muncul dalam
lingkungan kerja seseorang. Contoh stressor antara lain terlalu banyak atau terlalu
sedikit beban yang menjadi tanggung jawab seseorang jika dibandingkan dengan orang
lain yang ada dalam organisasi, misalnya di bangsal keperawatan.
3) Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan-
kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang memperburuk keadaan dalam
ruangan dapat berupa hubungan yang monoton atau konstan diantara individu yang
terlibat didalamnya, terlalu banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan
atau bangsal, dan bahkan dapat berupa aktivitas profesi selain keperawatan, seperti
dokter juga mampu memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya
konflik.
4) Kewenangan dokter-perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan
usulan-usulan diantara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik.
Dokter yang tidak mau menerima umpan balik dari perawat, atau perawat yang
merasa tidak acuh dengan saran-saran dari dokter untuk kesembuhan klien yang
dirawatnya, dapat memperkeruh suasana. Kondisi ini akan semakin “runyam” jika
diantara pihak yang terlibat dalam pengelolaan klien merasa direndahkan harga
dirinya akibat sesuatu hal. Misalnya kata-kata ketus dokter terhadap perawat atau nada
tinggi dari perawat sebagai bentuk ketidak puasan tehadap penanganan yang dilakukan
profesi lain.
5) Perbedaaan nilai atau keyakinan antara satu orang dengan orang lain. Perawat begitu
percaya dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin
dengan pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan lain. Keadaan
ini akan semakin menjadi kompleks jika perbedaan keyakinan, nilai dan
persepsi telah melibatkan pihak diluar tim kesehatan yaitu keluarga pasien. Jika ini
telah terjadi, konflik yang muncul pun semakin tidak sederhana karena telah
mengikutsertakan banyak variable di dalamnya.
6) Eksklusifisme, adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki kemampuan
yang lebih dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini tidak jarang mengakibatkan
terjadinya konflik antar-kelompok dalam suatu tatanan organisasi. Hal ini bisa terjadi
manakala sebuah kelompok didalam tatanan organisasi (seperti bangsal keperawatan)
diberikan tanggung jawab oleh manager untuk suatu tugas tertentu atau area pelayanan
tertentu, lantas memisahkan diri dari sistem atau kelompok lain yang ada dibangsal
tersebut karena merasa bahwa kelompoknya lebih mampu dibandingakan dengan
kelompo lain.
7) Peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam bangsal keperawatan
seringkali mengakibatkan konflik seorang perawatan yang berperan lebih dari satu
peran pada waktu yang hamper bersamaan, masih merupakan fenomena yang jamak
ditemukan dalam tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di
komunitas. Contoh peran ganda, antara lain satu sisi perawat sebagai pemberi
pelayanan keperawatan kepada klien, namun pada saat yang bersamaan yang harus
juga berperan sebagai pembimbing mahasiswa atau bahkan sebagai manager
dibangsal yang bersangkutan. Dalam kondisi ini sering terjadi kebingunan untuk
menentukan mana yang harus dikerjaka terlebih dahulu oleh perawat tersebut dan
kegiatan mana yang dapat dilakukan kemudian. Akibatnya, sering terjadi kegagalan
melakukan tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas pada individu atay
kelompok.
8) Kekurangan sumber daya insani, dalam tatanan organisasi dapat dianggap
sumber absolute terjadinya konflik. Sedikinya sumber daya insani atau manusia,
sering memicu terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi.
Contoh konflik yang dapat terjadi, yaitu persaingan untuk memperoleh uang
melalui pemikiran bahwa segala sesuatu pasti dihubungkan dengan uang, persaingan
memperebutkan menangani klien, dan tidak jarang juga terjadi persaingan dalam
memperebutkan jabatan atau kedudukan.
9) Perubahan dianggap sebagai proses ilmiah. Tetapi kadang perubahan justru akan
mengakibatkan munculnya berbagai macam konflik. Perubahan yang dilakukan terlalu
tergesa-gesa atau cepat, atau perubahan yang dilakukan terlalu lambat, dapat
memunculkan konflik. Individu yang tidak siap dengan perubahan, memandang
perubahan sebagai suatu ancaman. Begitu juga individu yang selalu menginginkan
perubaan akan menjadi tidak nyaman bila tidak terjadi perubahan, atau perubahan
dilakukan terlalu dalam tatanan organisasinya.
10) Imbalan, beberapa ahli berpendapat bahwa imbalan kadang tidak cukup berpengaruh
dengan motovasi seseorang. Namun, jika imbalan dikaitkan dengan pembagian yang
tidak merata antar satu orang dan orang lain sering menyebabkan munculnya konflik.
Terlebih lagi bila individu yang bersangkutan tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan untuk menentukan besar-kecilnya imbalan atau sering disebut dengan
sistem imbalan. Pemberian imbalan yang tidak didasarkan atas pertimbangan
professional sering menimbulkan masalah yang pada gilirannya dapat memunculkan
suatu konflik.
11) Komunikasi dapat memunculkan suatu konflik jika penyampaian informasi yang tidak
seimbang, hanya orang-orang tertentu yang diajak biacar oleh manager, penggunaan
bahasa yang tidak efektif, dan juga penggunaan media yang tidak tepat sering kali
berujung dengan terjadinya konflik ditatanan organisasi yang bersangkutan

4. Proses Konflik
La Monica (1986) mengutip pendapatnya Filley (1980) membagi proses konflik dalam
enam tahapan, yaitu kondisi yang mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang
dirasakan, perilaku yang dinyatakan, penyelesaian atau penekanan konflik, dan penyelesaian
akibat konflik. Kondisi yang mendahului merupakan penyebab terjadinya konflik seperti yang
sudah didiskusikan sebelumnya. Setelah terjadi suatu konflik, konflik yang ada dipersepsi atau
berusaha diketahui. Kondisi yang ada diantara pihak yang terlibat atau di dalam diri dapat
menyebabkan terjadinya konflik. Konflik yang dipersepsi ini pada umumnya bersifat logis,
tidak personal, dan sangat objektif.
Di sisi lain konflik akan dirasakan secara subjektif karena individu merasa ada konflik
relasi. Perasaan semacam ini sering diasumsikan sebagai suatu yang dapat mengancam
integritas diri, memunculkan permusuhan, perasaan takut dan bahkan timbulnya perasaan
tidak berdaya. Akibat dari kondisi-kondisi tersebut, beberapa individu kemudian melakukan
bentuk perilaku nyata seperti perilaku agresif, pasif, aseptif, persaingan, debat, atau ada
beberapa individu yang mencoba memecahkan masalah atau konflik. Langkah selanjutnya
yang dilakukan terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk menyelesaikan atau menekan
konflik tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjnjian diantara yang terlibat atau kadang
melalui tindakan “penaklukan” pada pihak yang terlibat. Oleh karena itu,upaya untuk
menyelesaikan sisa atau akibat konflik tersebut sudah selayaknya dilakukan oleh pihak yang
terlibat. Jika hal itu tidak dilakukan, dapat memunculkan konflik baru pada tempat dan waktu
yang berbeda.
5. Strategi dan Ketrampilan Manajemen Konflik
Beberapa strategi dapat dipakai untuk menyelesaikanterjadinya konflik. Strategi-
strategi tersebut adalah menghindar, akomodasi, kompetisi, kompromi, dan kerjasama.
Pendekatan strategi konflik dengan cara menghindar memungkinkan kedua kelompok atau
pihak yang terlibat konflik menjadi dingin dan berusaha mengumpulkan informasi. Teknik
menghindar dapat digunakan apabila isu tidak gawat atau bila kerusakan yang potensial tidak
akan terjadi dan lebih banyak menguntungkan. Selanjutnya baru diatur kembali untuk
pertemuan penyelesaian konflik. Dengan demikian, pihak yang terlibat konflik diberi
kesempatan untuk merenungkan dan memikirkan alternative penyelesaiannya. Strategi
akomodasi digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan wadah untuk menampung
keinginan pihak yang terlibat konflik. Dengan cara ini dimungkinkan terjadi peningkatan
kerjasama dan pengumpulan data-data yang akurat dan signifikan untuk pengambilan suatu
kesepakatan. Cara kompetisi dapat dilakukan seorang manajer dengan cara menunjukkan
kekuasaan yang terkait dengan posisinya untuk menyelesaikan konflik, terutama yang
terkait dengan tugas dan tanggungjawab stafnya. Strategi yang biasa digunakan adalah melalui
peningkatan motivasi antar staf guna menimbulkan rasa persaingan yang sehat. Strategi
kompromi dilakukan dengan mengambil jalan tengah diantara pihak-pihak yang terlibat
konflik. Hal ini biasanya bersifat sementara sehingga bila situasinya sudah stabil, perlu
dikumpulkan pihak yang terlibat konflik untuk selanjutnya dapat dilakukan penyelesaian
masalah secara tuntas.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik adalah dengan cara
kerjasama. Cara ini dilakukan dengan melibatkan pihak yang terlibat konflik untuk melakukan
Kerjasama dalam rangka menyelesaikan konflik. Cara ini biasanya menimbulkan perasaan
puas di kedua belah pihak yang terlibat konflik Bentuk ketrampilan yang dapat dimanfaatkan
untuk mengelola konflik pada umumnya berupa kegiatan pencegahan. Ketrampilan tersebut
berkisar pada kegiatan berikut.
1) Membuat aturan atau pedoman yang jelas dan harus diketahui oleh semua pihak.
2) Menciptakan suasana yang mendukung dengan banyak pilihan. Hal ini akan membuat
3) orang menjadi senang dalam memberikan usulan, member kekuatan bagi
mereka
4) meningkatkan pemikiran kreatif, memungkinkan pemecahan masalah yang lebih baik.
5) Mengungkapkan bahwa mereka dihargai. Pujian dan penegasan tentang nilai-nilai
adalah
6) penting untuk setiap orang dalam bekerja.
7) Menekankan pemecahan masalah secara damai, dan membangun suatu jembatan
8) pengertian.
9) Menghadapi konflik dengan tenang dan memberikan pendidikan tentang perilaku.
10) Memainkan peran yang tidak menimbulkan stress dan konflik.

B. Variabel Dependent (Motivasi Kerja Perawat)


1. Pengertian
Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang
untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya (Hamzah, 2008). Motivasi
adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk
memuaskan kebutuhan individu. Suatu kebutuhan (need), dalam terminologi kami, berarti
suatu kekurangan secara fisik atau psikologis yang membuat keluaran tertentu terlihat menarik
(Robin, 2002). Suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi menciptakan ketegangan, sehingga
merangsang dorongan dalam diri individu. Dorongan-dorongan ini menghasilkan suatu
pencarian untuk menentukan tujuan-tujuan tertentu yang, jika tercapai, akan memuaskan
kebutuhan dan menyebabkan penurunan ketegangan.
Karyawan-karyawan yang termotivasi berada dalam suatu kondisi tertekan. Untuk
mengurangi ketegangan ini, mereka melakukan aktivitas. Semakin besar tekanan, semakin
banyak aktivitas yang dibutuhkan untuk mengurangi ketegangan tersebut. Oleh karena itu,
ketika kita melihat para karyawan bekerja keras melaksanakan aktivitasnya, kita dapat
menyimpulkan bahwa mereka didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan yang mereka
inginkan. (Gerungan, 2004). Motif dan sikap (attutude) merupakan pengertian-pengertian yang
utama dalam uraian kegiatan dan tingkah laku manusia, baik secara umum maupun secara
khusus dalam interaksi sosial. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua
penggerak, alasan atau dorongan 8 dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.
Semua tingkah laku manusia pada hakekatnya mempunyai motif. Tingkah laku juga disebut
tingkah laku secara refleks dan berlangsung secara otomatis dan mempunyai maksud-maksud
tertentu walaupun maksud itu tidak senantiasa sadar bagi manusia. Motif-motif manusia dapat
bekerja secara sadar dan juga tidak sadar bagi diri manusia (Gerungan, 2004).

2. Jenis Motivasi
Motivasi terbagi dua yaitu Motivasi Primer dan Motivasi Sekunder
1) Motivasi Primer Motivasi primer dilatarbelakangi oleh kejadian organ tubuh manusia
(Alex Sobur, 2003:294). Termasuk dalam golongan ini adalah haus, lapar, istirahat,
bernafas. Motivasi primer bersifat tidak dipelajari, dan tidak ada pengalaman yang
mendahuluinya. Misalnya anak yang baru saja dilahirkan, dia merasa haus kemudian
menangis. Keadaan haus itu sebelumnya belum pernah dipelajari dan tidak ada
pengalaman bagi bayi. Sehingga hal tersebut membuat bayi menangis.
2) Motivasi Sekunder Motivasi sekunder bersifat tergantung pada pengalaman seseorang
dan tidak tergantung pada proses fisiologis tubuh manusia. Misalnya motivasi takut
(Alex Sobur, 2003:295). Bayi yang baru saja dilahirkan tidak memiliki motivasi
sekunder, karena belum memiliki pengalaman apapun. Makin bertambah usia
seseorang, makin bertambah pula hal-hal yang dipelajari, berarti makin banyak dia
mempunyai motivasi sekunder.

Motivasi juga dibagi atas Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik yaitu:
1) Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah
ada dorongan untuk melakukan sesuatu (Syaiful Bahri Djamarah, 12 2002:115).
Tujuannya adalah karyawan dalam hal ini perawat termotivasi sendiri untuk bekerja
lebih giat.
2) Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi
karena adanya perangsang dari luar (Syaiful Bahri Djumarah, 2002:117).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi


Abraham Maslow dalam Asmadi (2005) menyatakan bahwa motivasi pertumbuhan dan
perkembangan didasarkan pada kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang.
Kapasitas tersebut merupakan pembawaan setiap manusia. Kapasitas itu pula yang mendorong
manusia mencapai tingkat hierarki tertinggi kebutuhan yang paling tinggi yang aktualisasi diri
meliputi :
a. Kebutuhan fisiologi (physiological need)
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia yang sangat primer dan mutlak harus
dipenuhi untuk memelihara homeostatis biologis dalam kelangsungan hidup manusia.
Kebutuhan ini merupakan syarat dasar apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka dapat
mempengaruhi kebutuhan yang lain, misalnya makanan dan beraktivitas.
b. Kebutuhan rasa aman (self security needs)
Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan adalah kebutuhan untuk melindungi diri dari
berbagai bahaya yang mengancam baik terhadap fisik maupun psikososial.
c. Kebutuhan mencintai dan dicintai (love and belongingness needs)
Kebutuhan cinta adalah kebutuhan dasar yang menggambarkan emosi seseorang.
Kebutuhan ini merupakan suatu dorongan di mana seseorang berkeinginan untuk menjalin
hubungan yang bermakna secara efektif atau hubungan emosional dengan orang lain.
Dorongan ini akan menekan seseorang sedemikian rupa, sehingga ia akan berupaya
semaksimal mungkin untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan akan cinta kasih dan
perasaan memiliki.
d. Kebutuhan harga diri (self esteem needs)
Menurut hierarki kebutuhan manusia, seseorang dapat mencapai kebutuhan harga diri bila
kebutuhan terhadap mencintai dan dicintai telah terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan harga
diri seseorang tampak dari sikap penghargaan diri yang merujuk pada penghormatan diri
dan pengakuan diri.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) Kebutuhan aktualisasi diri adalah
tingkat kebutuhan kebutuhan tertinggi. Aktualisasi diri berhubungan dengan proses
pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Ini menyangkut kebutuhan
untuk menunjukkan kemampuan keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang.

4. Unsur Penggerak Motivasi


Motivasi tenaga kerja akan ditentukan oleh perangsangnya. Perangsang yang dimaksud
merupakan mesin penggerak motivasi tenaga kerja, sehingga menimbulkan pengaruh perilaku
individu tenaga kerja yang bersangkutan. Siswanto Sastrohadiwiryo (2003:268)
mengemukakan unsur-unsur penggerak motivasi antara lain kinerja, penghargaan, tantangan,
tanggung jawab, pengembangan, keterlibatan, dan kesempatan.
1) Kinerja (Performance)
Seseorang yang memiliki keinginan untuk berkinerja sebagai suatu kebutuhan atau
needs dapat mendorongnya untuk mencapai sasaran.
2) Penghargaan (Recognition)
Penghargaan atau pengakuan atas suatu kinerja yang relatif dicapai seseorang akan
merupakan perangsang yang kuat. Pengakuan atas suatu kinerja, akan memberikan
kepuasan batin yang lebih tinggi daripada penghargaan dalam bentuk materi atau
hadiah. Penghargaan atau pengakuan dalam bentuk piagam penghargaan atau medali,
dapat menjadikan perangsang yang lebih kuat dibandingkan dengan hadiah berupa
barang, bonus atau uang.
3) Tantangan (Challenge)
Adanya tantangan yang dihadapi, merupakan perangsang kuat bagi manusia untuk
mengatasinya, Suatu sasaran yang tidak menantang atau dengan mudah dapat dicapai
biasanya tidak mampu menjadi perangsang. Bahkan cenderung menjadi kegiatan rutin.
Tantangan demi tantangan biasanya akan menumbuhkan kegairahan untuk
mengatasinya.
4) Tanggung jawab (Responsibility)
Adanya rasa takut memiliki akan menimbulkan motivasi untuk turut merasa tanggung
jawab. Dalam dal ini peningkatan mutu terpadu, berhasil memberikan tekanan pada
tenaga kerja, bahkan setiap tenaga keja dalam tahapan proses produksi sebagai mata
rantai dalam suatu sistem akan sangat ditentukan oleh tanggung jawab tanggung jawab
subsistem (mata rantai) dalam proses produksi.
5) Pengembangan (Development)
Pengembangan kemampuan seseorang, baik dari pengalaman kerja atau kesempatan
untuk maju, dapat merupakan perangsang kuat bagi tenaga kerja untuk bekerja lebih
giat atau lebih bergairah. Apalagi jika pengembangan perusahaan selalu dikaitkan
dengan kinerja atau produktivitas tenaga kerja.
6) Keterlibatan (Involvement)
Rasa ikut terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan atau bentuknya, dapat
pula ”kotak saran” dari tenaga kerja, yang dijadikan masukan untuk manajemen
perusahaan, merupakan perangsang yang cukup kuat untuk tenaga kerja. Rasa terlibat
akan menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab, rasa dihargai yang merupakan
”tantangan” yang harus dijawab, melalui peran serta berkinerja untuk pengembangan
usaha dan pengembangan pribadi. Adanya rasa keterlibatan bukan saja menciptakan
rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility),
tetapi juga menimbulkan mawas diri untuk bekerja lebih baik dan menghasilkan produk
yang lebih bermutu.
7) Kesempatan (opportunity)
Kesempatan untuk maju dalam jenjang karir yang terbuka, dari tingkat bawah sampai
tingkat manajemen puncak merupakan perangsang yang cukup kuat bagi tenaga kerja.
Bekerja tanpa harapan atau kesempatan untuk meraih kemajuan atau perbaikan nasib
tidak akan merupakan perangsang untuk berkinerja atau bekerja produktif.
Motivasi moral atau gairah bekerja seseorang akan meningkat, jika kepada mereka
diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya (Hasibuan,
2002:149).

5. Tujuan Motivasi
Hasibuan (2002:146) menerangkan tujuan motivasi antara lain :
1) Meningkatkan moral dan kepuasan karyawan
2) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
3) Mempertahankan kestabilan karyawan
4) Meningkatkan kedisiplinan karyawan
5) Mengefektifkan pengadaan karyawan
6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
7) Meningkatkan loyalitas, kreatifitas dan partisipasi karyawan
8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan
9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya
10) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku

6. Ciri Ciri Motivasi


Menurut Joko Raharjo (2002:4) ada beberapa ciri motivasi pada diri setiap orang yaitu :
1) Tekun dalam menghadapi tugas
2) Ulet menghadapi kesulitan (tidak mudah putus asa) dan tidak lekas puas dengan hasil
yang telah dicapainya
3) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah untuk orang dewasa
4) Lebih senang bekerja sendiri
5) Dapat mempertahankan pendapat (bila sudah yakin akan sesuatu)
6) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu
7) Senang mencari solusi dan memecahkan masalah Apabila seseorang memiliki ciri-ciri
seperti di atas, berarti seseorang itu selalu memiliki motivasi yang cukup kuat.
Dalam upaya pencapaian kinerja, perawat harus mampu mempertahankan pendapatnya, bila ia
telah yakin dan dipandangnya cukup rasional. Bahkan lebih lanjut perawat harus juga peka dan
responsif terhadap masalah yang dihadapi.
7. Pengukuran Motivasi Kerja
Teknik pengukuran motivasi kerja salah satu caranya adalah dengan menggunakan teori
pengharapan (expectation theory). Teori pengharapan mengemukakan bahwa adalah
bermanfaat untuk mengukur sikap para individu guna membuat diagnosis permasalahan
motivasi. Pengukuran dilakukan dengan melalui daftar pertanyaan. Pengukuran semacam ini
dapat membantu manajemen tenaga kerja mengerti mengapa tenaga kerja terdorong untuk
bekerja atau tidak, apa yang merupakan kekuatan motivasi di berbagai bagian dalam
perusahaan atau instansi, dan seberapa jauh berbagai cara pengubahan dapat efektif dalam
memotivasikan kinerja para tenaga kerja (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003:275).
BAB III
ANALISA JURNAL

A. Analisa Jurnal Berdasarkan Metode PICOt

PICOT Analisa Jurnal

P (Populasi) Dalam jurnal ini membahas tentang Pengaruh pelaksanaan manajemen


konflik oleh kepala ruangan pada motivasi kerja perawat pelaksana di
rumah sakit Martha Friska Medan Dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel yaitu simple random sampling dengan jumlah 59
orang di rumah sakit
I (Intervensi) Penilitian ini dilakukan di rumah sakit Martha Friska kota Medan pada
tahun 2019. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional yaitu melakukan
pengumpulan data pelaksanaan manajemen konflik oleh kepala
ruangan dan motivasi kerja perawat pelaksana yang digunakan dalam
waktu yang sama dan diukur satu kali saja. Instrumen pelaksanaan
manajemen konflik menggunakan lembar observasi pada laporan
pendokumentasian manajemen konflik di ruangan oleh kepala
ruangan. Pendokumentasian ini sebagai catatan atau bukti/bukti
penanganan konflik yng telah ataupun belum diselesaikan yang
membutuhkan tindak lanjut ke depannya. Pendokumentasian meliputi
data konflik, sumber konflik, penanganan konflik dan tindak lanjut
penanganan konflik. Metode pengukuran motivasi kerja perawat
berupa kuesioner yang berisi sebanyak 29 pernyataan yang telah
digunakan sebelumnya oleh peneliti terdahulu (Zulham, 2015) dan
menggunakan skala Likert dengan nilai cronbach’s alpha = 0,785.
Pernyataan pada kuesioner dengan pilihan jawaban SS: Sangat setuju
(5), S: Setuju (4), KS: Kurang setuju (3), TS : Tidak setuju (2), STS:
Sangat Tidak Setuju (1), namun memperhatikan pernyataan positif dan
negative apabila jawaban yang benar maka skor tertinggi setiap satu
pernyataan adalah 5. Analisis bivariat menggunakan uji statistik chi-
square untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan manajemen
konflik oleh kepala ruangan yang baik, cukup, kurang, dengan
motivasi kerja perawat pelaksana yang kuat, sedang dan lemah.

C (Comparation) Pada organisasi keperawatan, konflik terjadi secara alami dan


merupakan fenomena yang dapat terjadi karena sumber daya di
dalamnya berhubungan secara interpersonal memiliki perbedaan
(Marquis & Huston, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Maisoglou (2014) ditemukan bahwa beban kerja (83,4%), kurangnya
deskripsi yang jelas mengenai pekerjaan (63,2%), alokasi sumber daya
yang tidak adil (59,5%) dan rendahnya pengakuan atasan (68,1%)
merupakan sumber-sumber terjadinya konflik. Hasil penelitian
mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna anatara
pelaknsanaan manajemen konflik dengan motivasi kerja perawat
(Arini, 2012). Penelitian yang dilakukan Rahmadita (2013)
menemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara konflik
peran ganda dan motivasi kerja, ketika konflik peran ganda tinggi
maka motivasi kerja pada karyawati menurun. Apapun penyebab dan
bentuk dari konflik itu harus segera diatasi/ditangani, karena akan
tercipta suasana kerja yang kurang kondusif.
O (Out Come) Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pelaksanaan
manajemen konflik oleh kepala ruangan adalah cukup yaitu 54,2%
dengan motivasi kerja perawat pelaksana mayoritas sedang yaitu
57,6%. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa ada pengaruh
pelaksanaan manajemen konflik oleh kepala ruangan pada motivasi
kerja perawat pelaksana dengan nilai p value= 0,000. Motivasi kerja
perawat adalah dorongan dan keinginan seorang perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan tanggung jawab,
pengakuan, komitmen kepemimpinan, upah dan kondisi kerja.
(Rahayu, 2017)
T (Time) Penelitian ini melakukan pengumpulan data pelaksanaan manajemen
konflik oleh kepala ruangan dan motivasi kerja perawat pelaksana
yang digunakan dalam waktu yang sama dan diukur satu kali saja
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penilitian ini menunjukan bahwa ada pengaruh penerapan manajement konflik pada motivasi
kerja perawat pelaksana dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pelaksanaan
manajemen konflik oleh kepala ruangan adalah cukup yaitu 54,2% dengan motivasi kerja
perawat pelaksana mayoritas sedang yaitu 57,6%.

B. Saran
Konflik menjadi salah satu pengaruh perawat pelaksana dalam melakukan tugas dan
mengembangkan skill dalam penerapan asuhan keperawatan, kepala ruangan harus menengahi
dan melakukan manajement konflik yang tepat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi
dalam kepemimpinan di suatu ruangan.
Semoga bisa diterapkan dan menjadi bahan acuan dan referensi oleh perawat dan
mahasiswa untuk menjaga mutu dan marwa perawat indonesia
DAFTAR PUSTAKA

https://xdocs.tips/doc/makalah-manajemen-konflik-keperawatan-qoey942pm4n6

http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/153/jtptunimus-gdl-hernikprih-7617-3-babii.pdf

http://lib.unnes.ac.id/2603/1/3899.pdf

Abubakar, A. (2008). Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik Pada Kepala Ruangan


Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RS dr. H. Marzuki
Mahdi Bogor. Jakarta; FIK UI Tesis.

Brinket, R. (2010). A literature review of conflict communication causes, costs,


benefits, and intervensions in nursing. Journal of Nursing Management, 18,145-
156.

Anda mungkin juga menyukai