Anda di halaman 1dari 16

Toleransi Beragama

Oleh: Nurbaiti, S.Sy., MH

Kemapuan Akhir yang diharapkan


- Mahasiswa mampu menerapkan kehidupan yang toleran dengan agama
dankepercayaan lain
Uraian dan Pembahasan
Salah satu identitas bangsa Indonesia adalah dikenal sebagai sebuah bangsa yang
majemuk. Kemajemukan Indonesia dapat dilihat salah satunya dari sisi agama. Oleh karena
itu, salah satu upaya mensyukuri nikmat kemajemukan pemberian Allah SWT dapat
dilakukan dengan sikap atau tindakan tidak memaksakan keyakinan dan tradisi suatu agama,
baik mayoritas maupun minoritas atas kelompok lainnya.
Perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah
SWT. Menjadi suatu hal penting untuk menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan itu
termasuk dalam hal teologis. Sikap penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain sebagai
ajaran toleransi yang ditawarkan Islam. Toleransi antar umat beragama yang berbeda
termasuk ke dalam salah satu kajian penting yang ada dalam sistem teologi Islam.
Jika kita mengkaji arti kata yang serumpun dengan kata Islam, maka akan ditemukan
esensi dari ajaran Islam. Salam adalah kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian lebih
umum. Islam adalah kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian yang lebih khusus,
memiliki seperangkat konsepsi nilai dan norma. Istislam adalah seruan kedamaian dan
kepasrahan yang lebih cepat, tegas dan sempurna (perfect). Oleh karena itu, Allah SWT
memberi nama agamanya yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan agama Islam. Bukan
agama salam (kepasrahan tanpa konsep). Bukan juga agama istislam yang lebih
mengutamakan kecepatan, ketegasan dan kesempurnaan dalam memperjuangkan kedamaian
dan kepasrahan.
A. Pengertian
Istilah toleransi merupakan kata serapan dari bahasa inggris, yaitu tolerance dan
diindonesiakan menjadi toleransi. Dalam bahasa arab disebut tasamuh yang berarti antara lain
sikap tenggang rasa, mudah dalam berinteraksi, fleksibel dan bersikap tidak mempersulit
orang lain. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) toleransi didefinisikan sebagai sifat
atau sikap dua kelompok yang berbeda kebudayaan yang saling berhubungan dengan penuh
(2010).
Bila disebut toleransi antarumat beragama, maka memiliki makna bahwa masing-
masing umat beragama membiarkan dan menjaga suasana kondusif bagi umat agama lain
untuk melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya tanpa dihalangi (Jamrah, 2015: 186) dapat
juga dimaknai dengan sikap atau perbuatan yang tidak membedakan kelompok atau golongan
tertentu, dalam hal ini adalah penganut agama lain. Di mana kelompok agama yang mayoritas
dalam suatu masyarakat, memberikan tempat bagi kelompok agama lain untuk hidup di
lingkungannya.
B. Toleransi dalam Islam
Islam mengajarkan toleransi tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga alam
semesta, binatang, serta lingkungan hidup. Cakupan toleransi yang luas tersebut meliputi juga
toleransi antar umat beragama. Salah satu dari tujuan pokok ajaran agama adalah
pemeliharaan terhadap agama itu sendiri, yang antara lain menuntut peningkatan pemahaman
umat terhadap ajaran agamanya serta membentengi mereka dari setiap upaya pencemaran
ajaran agamanya.
Dalam konteks toleransi antar umat beragama, Islam memiliki konsep yang sangat
jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama”. Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk
memilih dan menetapkan jalan hidupnya serta agama yang dianutnya (Shihab, 1998: 368).
Allah menganugerahi seluruh manusia dengan kehormatan dan martabat, apapun perbedaan
yang mungkin terdapat di antara mereka, umat muslim harus menjamin kebebasan beragama
dan kebebasan bagi semua orang. Tidak boleh ada paksaan dalam masalah keyakinan.
Qurays Shihab mengutip pernyataan Abdul Halim Mahmud bahwa Kebebasan ini
bukan berarti kebebasan memilih ajaran-ajaran agama pilihannya itu, mana yang dianut dan
mana yang ditolak. Karena tuhan tidak menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia
dalam rangka memilih yang dianggapnya sesuai (1998: 368). Kebebasan atau toleransi
beragama harus dipahami sebagai bentuk sistem dan tata cara peribadatannya dan
memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 256
ِ‫وت وي ؤِمن ِِبهللِ فَ َق ِد استمسك ِِبلْعروة‬
ِ ِ
َ ُْ َ َ ْ َ ْ ْ ُ َ ُ‫الر ْش ُد ِم َن الْغَ ِي فَ َمن يَ ْك ُف ْر ِِبلطَّاغ‬ َ َّ َ‫آلَإِ ْكَر َاه ِِف الدي ِن قَد تَّب‬
ُّ ‫َّي‬

}256 :‫يع َعلِ ٌيم { البقرة‬ ِ


ٌ ‫ص َام ََلَا َوهللاُ ََس‬
ِ
َ ‫الْ ُوثْ َقى الَ انْف‬
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan
beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:256)
Banyak ayat yang tersebar dalam surat lain dan juga sejumlah hadis serta praktik
toleransi dalam sejarah Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam
Islam bukanlah konsep asing. tetapi sudah melekat sebagai ajaran inti Islam untuk
diimplementasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Ada beberapa landasan teologis yang secara langsung maupun tidak langsung
mengandung pesan akhlak toleransi Islam. Yaitu:
a. Pengakuan pluralisme
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk. Menurut Muhammad Imarah,
pluralisme adalah keragaman yang didasarkan atas karakteristik dan kekhususan (Toha, 2005:
129). Masyarakat pluralisme adalah suatu masyarakat yang terdapat keoksistensi lebih dari
satu agama, pandangan hidup yang berada dalam hubungan konflik dan mendapat pengakuan
oleh semua pihak terkait keberadaan inkompatibilitas fundamental di antara mereka. Namun,
tetap ada kesadaran bahwa keosistensi inkompatibilitas-inkompatibilitas ini bernilai positif,
baik untuk komunitas secara umum maupun untuk setiap kelompok yang tercakup di
dalamnya itu sendiri (Toha, 2005: 129).
Kita perlu meyakinkan kepada segenap umat beragama bahwa perbedaan itu adalah
sunnatullah (divine order), sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur`an:
ِِ َِ ‫ض ُكلُّهم‬
: ‫َّي { يونس‬
َ ‫َّاس َح ََّّت يَ ُكونُوا ُم ْؤمن‬ ِ َ ‫َج ًيعا أَفَأ‬
َ ‫َنت تُ ْكرهُ الن‬ ْ ُ ِ ‫ك أل ََم َن َمن ِِف اْأل َْر‬
َ ُّ‫َولَ ْو َشآءَ َرب‬

}99
Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka
apakah ka(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (QS.
10:99)
Banyak ayat lain yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam
masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah SWT. Di dalam ayat lain Allah lebih tegas
menekankan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa. Dalam
perspektif tasawuf dijelaskan bahwa semuanya itu sesungguhnya sebagai perwujudan nama-
NYA (al-asma’ al-husna) yang bermacam-macam. Setiap nama tersebut menuntut
pengejewantahan di dalam realitas alam raya (Umar, 2018: 134).

ٍ ‫اح ٍد و ْاد ُخلُوا ِمن أَبْو‬


}67 :‫اب ُمتَ َف ِرقَ ٍة { يوسف‬ ِ ٍ ِ
َ ْ َ ‫الَتَ ْد ُخلُوا من َِبب َو‬
janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang
berlain-lain (QS. Yusuf: 67)
b. Kesatuan dan persaudaraan universal
Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan zaman.
Islam berinteraksi dengan alam kemanusiaan. Islam ada bersama manusia tanpa pembatas
ruang dan waktu. Karena itu pula nash-nash ajarannya berbicara kepada hati dan akal
manusia. Ia lahir untuk memenuhi spritiualis dan rasionalis manusia.
Semua manusia adalah makhluk atau ciptaan Allah, berkembang dari satu keturunan
nabi Adam as. Islam tidak hanya mengenal adanya konsep persaudaraan sesama muslim atau
al-ukhuwah al-islamiyah, tetapi juga mengenal persaudaraan kemanusiaan yang dikenal
dengan ukhuwah fi insaniyyah. Seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka
semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu (Shihab, 1998: 358).
Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibahas tentang fikih minoritas. Salah satu
kewajiban umat Islam terhadap umat manusia, tanpa membedakan agama dan etniknya, ialah
menyelamatkan mereka dari lokasi musibah dan penderitaan. Sekiranya sudah menjadi mayat
pun, tetap menjadi fardhu kifayah bagi umat Islam untuk mengurus jenazah tersebut.
Islam tidak pernah membatasi hubungan silaturrahim pada saudara sesama seiman
saja, tetapi juga silaturrahim kepada saudara sesama manusia lintas agama bahkan terhadap
manusia yang tidak beragama. Begitu pula keadilan dan kebaikan Islam adalah sama dan
merata untuk semua manusia. Kita wajib memuliakan manusia sebagaimana sang pencipta
memuliakannya. Bukan hanya kepada orang lain, tetapi terhadap diri sendiri pun Allah swt
melarang untuk mencelakakan diri, sebagaimana ditegaskan: dalam QS. al-Baqarah ayat 195.

}195 :‫َّي { البقرة‬ِِ ُّ ‫َح ِسنُوا إِ َّن هللاَ ُُِي‬ ِ ‫والَ تُلْ ُقوا ِِبَي ِدي ُكم إِ ََل الت‬
َ ‫ب الْ ُم ْحسن‬ ْ ‫َّهلُ َكة َوأ‬
ْ ْ ْ َ
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. 2:195)
c. Etika dakwah persuasif
Dakwah merupakan seruan kepada Islam. Dakwah menyeru semua manusia
kepadanya, karena semua manusia adalah makhluknya. Oleh karena itu, Islam sebagai agama
disebut sebagai agama dakwah. Maksudnya adalah agama yang disebarluaskan dengan cara
damai, tidak lewat kekerasan. Unsur-unsur yang terdapat dalam dakwah:
 Dakwah adalah proses penyampaian agama Islam dari sesorang kepada orang lain.
 Dakwah adalah penyampaian ajaran Islam tersebut dapat berupa amr ma’ruf (ajaran
kepada kebaikan ) dan nahi munkar (mencegah kemunkaran) (Aziz, 2004:3).
Upaya tersebut dilakukan secara sadar dengan tujuan terbentuknya suatu individu atau
masyarakat yang taat dan mengamalkan sepenuhnya seluruh ajaran Islam. Dengan demikian
dakwah adalah segala bentuk aktivitas penyampaian ajaran Islam kepada orang lain dengan
berbagai cara yang bijaksana untuk terciptanya individu dan masyarakat yang menghayati
dan mengamalkan ajaran Islam dalam semua semua aspek kehidupan.
Dalam kehidupan bermasyarakat secara luas di mana perbedaan-perbedaan
(pluralitas) sangat dimungkinkan dakwah Islam haruslah lebih mementingkan isi dan makna
dibandingkan dengan bentuk-bentuk. Prinsip dan etika dakwah ini telah terbukti dan diakui
oleh sejarah. Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia secara damai dan kasih sayang serta
diterima atas dasar nurani dan akal sehat.
Secara rinci prinip dakwah Islam harus mencakup beberapa hal. Pertama, dakwah
islsam adalah ajakan yang tujuannya dapat tercapai tanpa paksaan (kebebasan). Karena
tujuannya adalah meyakinkan objek dakwah bahwa Allah itu pencipta, tuhan dan hakimnya,
maka penilaian yang dipaksakan adalah pelanggaran berat terhadap diri manusia. Kedua,
dakwah Islam adalah ajakan untuk berpikir, berdebat, berargunen (rasionalitas). Dakwah
harus merupakan penjelasan tenang kepada kesadaran, di mana akal maupun hati tidak saling
mengabaikan. Karena itu, dakwah Islam merupakan proses kritis penalaran dan ia tidak
bersifat dogmatis. Ketiga, objek dakwah Islam adalah semua manusia dan tanpa mengenal
batasan (universal). Islam memandang semua orang mempunyai kewajiban untuk mendengar
bukti dan menerima kebenaran (Aziz, 2004:25).
Islam memiliki konsep prinsip bahwa keislaman manusia tergantung kepada hidayah
Allah. Allah bebas memberikan atau tidak memberikan hidayah-NYA tersebut kepada orang-
orang yang dia kehendaki. Berdasarkan prinsip teologis ini, maka kewajiban setiap muslim
hanya wajib berdakwah menyampaikan kebenarana Islam, namun tidak wajib mengislamkan
orang. Hidayah adalah milik Allah secara mutlak. Maka dalam berdakwah menyampaikan
dan mengajak manusia kepada kebenaran Islam, pendekatan yang digunakan oleh umat
muslim adalah pendekatan secara persuasif. Pendekatan dengan cara yang bijaksana dan tutur
kata yang santun dan menggunakan dialog rasional.

‫ك ُه َو أ َْعلَ ُم ِِبَ ْن‬ ِ َِّ‫اد ْْلم ِِبل‬


ِ ِ ‫ك ِِب ْْلِ ْكم ِة والْمو ِعظى ِة ا ْْل‬
‫اُ ْدعُ إِ ىَل ىسبِْي ِل ىربِ ى‬
َ َّ‫س ُن إِ َّن َرب‬
‫ىح ى‬
ْ ‫ِت ه ىي أ‬
ْ ْ ُ ‫سنىة ىو ىج‬‫ىى‬ ْ‫ى ى ى‬

}125 :‫ض َّل َع ْن َسبِْيلِ ِه َوُه َو أ َْعلَ ُم ِِبلْ ُم ْهتَ ِديْ َن {النحل‬
َ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 16:125)

d. Sikap Islam terhadap agama wahyu

‫ين الْ َقيِ ُم‬ ِ ‫هللا الَِِّت فىطىر النَّاس علىي ها الىتىب ِديل ِِلىل ِْق‬
ِ ِ‫هللا َذل‬ ِ ‫ت‬ ِ ِ‫ك ل‬
‫لدي ِن ىحنِي ًفا فِط ىْر ى‬ ‫فىأىقِ ْم ىو ْج ىه ى‬
ُ ‫ك الد‬
َ ‫ى ى ْى ْ ى‬ ‫ى‬
ِ ‫َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬
}30 :‫َّاس الَيَ ْعلَ ُمو َن { الروم‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. 30:30)

Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Allah menciptakan
manusia mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid (monotheisme). Islam adalah
agama tauhid yang amat kuat dijadikan pedoman. Ini berarti al-Qur`an mengklaim, bahwa
ajaran agama yang diperkenalkannya sesuai dengan seluruh manusia (Shihab, 1998: 209).
Karena naluri kemanusiaan itu dimiliki oleh setiap manusia, kapan dan di mana saja. Islam
tidak memandang diirnya sebagai agama baru yang dulunya tidak ada, namun sebagai
pengukuh kebenaran yang juga disampaikan oleh nabi-nabi yudaisme dan kristen
sebelumnya.
Islam memberikan yang terbaik yang mungkin dapat diberikan satu agama kepada
agama lain. Islam mengakui kebenaran para nabi, kitab suci dan ajarannya. Islam mengatakan
bahwa risalah semua nabi hanya memiliki satu esensi yang terdiri dari dua unsur, yaitu tauhid
atau pengakuan bahwa Allah adalah tuhan. Segenap ibadah dan ketaatan hanya ditujukan
kepada-NYA dan moralitas amr ma’ruf nahi munkar (Aziz, 2004:33). Islam meletakkan
dasar hubungan bahwa semua manusia adalah sebagai penerima ajaran tuhan (seruan tuhan).
Dalam hubungan dengan umat agama sebelumnya, yahudi dan nasrani, Islam
mempunyai dasar dan pandangan teologis tersendiri. Teologi Islam menegaskan bahwa
semua nabi dan rasul Allah membawa akidah tauhidiyah, monotheisme. Akidah tauhid ini
seumur dengan awal keberadaan manusia di muka bumi. Dengan demikian, tauhid tidak
mengenal proses evolusi.
Implikasi dari prinsip teologis yang demikian, maka Islam mengimani keberadaan
para nabi dan rasul sebelum Muhammad. Demikian pula Islam mengimani seluruh kitab suci
yang diturunkan oleh Allah swt sebelum al-Qur`an. Karena hubungan teologis ini pula, Islam
memberikan apresiasi dan perlakuan khusus terhadap umat yahudi dan nasrani, yang
dipanggil dengan panggilan khusus pula sebagai ahl al-kitab. Terlepas dari perdebatan dan
perbedaan pendapat keberadaan ahl al-kitab saat ini, yang pasti perlakuan simpatik Islam ini
jelas sebagai salah satu aspek simpati dan toleransi Islam terhadap ahl al-kitab.
Berdasarkan prinsip teologis yang demikian pula, maka dalam interaksi dan
komunikasi dengan ahl al-kitab, Islam selalu mengajak mereka agar kembali kepada titik
persamaan, yakni akidah tauhid, bukan mencari sisi perbedaan dan pertentangan (Jamrah,
2015: 190). Ketika ajakan persuaasif ini tidak disambut dengan baik, maka umat muslim
hanya meminta agar komunitas ahl al-kitab tersebut mengakui dan menghormati eksistensi
umat muslim, sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 64.

‫َّخ َذ‬ ٍ ٍ ِ ِ
ِ ‫آء ب ي نَنَا وب ي نَ ُكم أَالَّ نَعب َد إِالَّ هللا والَ نُ ْش ِرَك بِِه َشي ئًا والَ ي ت‬ ِ ِ
َ َ ْ ََ ُْ ْ َْ َ َْ ‫قُ ْل ََيأ َْه َل الْكتَاب تَ َعالَ ْوا إ ََل َكل َمة َس َو‬
}64 :‫ون هللاِ فَِإن تَ َولَّ ْوا فَ ُقولُوا ا ْش َه ُدوا ِِبَ ََّّن ُم ْسلِ ُمو َن {ال عمران‬
ِ ‫ضا أَرِبِب ِمن د‬
ُ ً َ ْ ً ‫ضنَا بَ ْع‬
ُ ‫بَ ْع‬
Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
(QS. 3:64)
Demikian,Islam adalah agama yag sarat dan sangat menjunjung tinggi serta
mengharuskan akhlak toleransi Islami dalam hubungan antar agama dan kemanusiaan. Di
dalam ayat lain, Allah juga mengingatkan umat muslim agar jangan berdebat dengan ahl al-
kitab kecuali dengan cara yang paling baik dalam surat al-Ankabut ayat 46

‫ين ظَلَ ُموا ِمْن ُه ْم َوقُولُوا ءَ َامنَّا ِِبلَّ ِذي أُن ِزَل إِلَْي نَا َوأُن ِزَل‬ ِ َّ ِ ِ ِ َ‫والَ ُُتَ ِادلُوا أ َْهل الْ ِكت‬
ْ ‫اب إِالَّ ِِبلَِِّت ه َي أ‬
َ ‫َح َس ُن إالَّ الذ‬ َ َ
}46: ‫اح ٌد َوََْن ُن لَهُ ُم ْسلِ ُمو َن { العنكبوت‬
ِ ‫إِلَي ُكم وإِالَهنَا وإِالَه ُكم و‬
َْ ُ َ ُ َْ ْ
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,
kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami telah beriman
kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah
kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. 29:46)

C. Prinsip Toleransi Islam


Bertoleransi dan menghormati eksistensi sebuah agama, tidak boleh dalam tindakan
kesediaan mengikuti sebagian ajaran teologi atau sebagian ibadah agama tersebut. Toleransi
agama menurut Islam adalah sebatas membiarkan umat agama lain untuk melaksanakan
ibadah dan ajaran agamanya. Sejauh aktifitas tersebut tidak mengganggu ketertiban dan
ketenangan umum.
Islam menekankan dan mengajarakan keniscayaan akhlak toleransi dalam pergaulan
antarumat beragama, namun Islam juga sangat menjaga kemurnian akidah dan syariah
Islamiyah. Maka kemurnian akidah dan syariah Islamiyah tersebut tidak boleh dirusak oleh
praktik toleransi. Akidah adalah masalah yang paling sensitif, baik secara individual maupun
kolektif. Bagi umat Islam membela dan mempertahankan akidah dari ancaman pemurtadan
adalah jihad yang wajib dilakukan dan paling tinggi nilai teologisnya.
Islam memiliki prinsip dalam bertoleransi. Pertama, toleransi Islam tersebut terbatas
dan fokus pada masalah hubungan sosial kemasyarakatan yang dibangun atas dasar kasih
sayang dan persaudaraan kemanusiaan, sejauh tidak melanggar atau bertentangan dengan
ketentuan telogis Islami. Kedua, toleransi Islam di wilayah agama hanya sebatas membiarkan
dan memberikan suasana kondusif bagi umat lain untuk menjalankan ajaran agamanya.
Ketiga, di dalam bertoleransi kemurnian akidah dan syariah wajib dipelihara. Maka Islam
sangat melarang toleransi yang kebablasan, yakni perilaku toleransi yang bersifat
kompromistis dan nuansa sinkretis (Jamrah, 2015: 192).
D. Isu-Isu Konflik Keagamaan
Dalam kurun waktu 1990-2008 terdiri 6 kategori. Yaitu:
a. Pertama, isu moral, seperti isu-isu perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan
asusila, prostitusi, pormografi/pornoaksi. Isu-isu moral lainnya seperti antikorupsi juga
dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut melibatkan kelompok
keagamaan dan atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi
keagamaan.
b. Kedua, isu sektarian, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpertasi atau
pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam
suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, Lia-Eden dan al-
Qiyadah al-Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok keagamaan yang kerap
memicu berbagai insiden protes maupun kekerasan, baik yang diakukan oleh kelompok
keagamaan maupun warga masyarakat secara umum. Sedangkan dalam komunitas
kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi
contoh yang mewakili isu sekteran ini.
c. Ketiga, isu komunal, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan antarkomunitas agama,
seperti konflik muslim-kristen, maupun perseteruan antara kelompok agama dengan
kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok
agama teretentu. Isu penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur tentang nabi
Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal ini.
d. Keempat, isu terorisme, yaitu isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan
sasaran kelompok keamanan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun
serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing.
Tindakan kekerasan ini kerap disebut juga sebagai tindakan terorisme keagamaan
(religious terorism), yang oleh Juergensmeyer dipandang sebagai “tindakan simbolik”
atau performance violance, ketimbang suatu tindakan taktis atau starategis. Untuk kasus
Indonesia, contohnya adalah pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam
Samudra, dan berbagai serangan bom di Jakarta. Adapun kekerasan berupa serangan
teror di wilayah konflik komunal, maupun insiden yang terkait dengan upaya
penyelesaian konflik di wilayah komunal tertentu seperti Poso, Sulawesi Tengah dan
Ambon, Malku dimasukkan dalam kategori ketiga di atas, yaitu komunal.
e. Kelima, isu politik-keagamaan, yaitu isu-isu yang melibatkan sikap anti terhadapp
kebijakan pemrintah barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra
ideologi/kebudayaan barat atau asing lainnya. Termasuk ke dalam isu politik keagamaan
di sini adalah isu penerapan syariah Islam atau Islamisme, serta pro kontra menyangkut
kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu.
f. Keenam, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperi santet, tenun dan sebagainya.
penjabaran di atas memperlihatkan bahwsanya isu konflik keagamaan sangat variatif dan
beragam. Bisa juga dilihat konflik keagamaan berwujud aksi damai dan aksi kekerasan.
Yang pertama merupakan tindakan tanpa kekerasan dalam merespon isu keagamaan
yang sementara diperselisihkan. Termasuk di dalamnya aksi protes, aksi dukungan
maupun aksi mediasi. Yang kedua, tindakan atau aksi kekersan fisik dalam merespon isu
keagamaan yang diperselisihkan dan berakibat mati, luka, hilang, mengungsi pada orang
atau kerugian dan kerusakan (Aisyah, 2014: 199-200).
E. Penyebab Intoleransi Beragama
Toleransi dikembangkan hanya sebagai suatu cara agar manusia dapat menyingkir
dari agama, atau sebaliknya. Itulah sebabnya di barat terdapat keengganan besar untuk
menjadikan agama sebagai tempat mencari rujukan otentifikasi dan validasi pandangan hidup
sosial politik yang diperlukan masyarakat (Arifin, 2016: 405). Ada beberapa hal yang
menyebabkan intoleransi antarumat beragama antara lain:
a. Pertama, paham keagamaan yang bersifat eksklusif dan munculnya fundamentalisme
dalam agama. Azyumardi Azra meliht dalam istilah fundamentalisme tersebut ciri-ciri di
antaranya adalah kembali kepada dasar-dasar agama secara penuh dan literal, bebas dari
kompromi, penjinakan dan reinterpretasi. Doktrin eksklusif dalam agama dapat kita
pahami karena hal itu dapat kita temui pada setiap agama khususnya agama samawi
namun pemahaman skriptualisme eksklusif dan literalis terhadap ajaran tersebut akan
menutup kesadaran akan adanya pluralisme. Dengan tertutupnya kesadaran tersebut
maka akan membawa menuju kepada sikap fundamentalis dan radikalis sehingga hal itu
akan merubah orientasi agama dari membawa keselamatan manusia di dunia dan akhirat
berubah menjadi bencana kemanusiaan.
b. Kedua, kesenjangan sosial yang semakin terbuka lebar dan adanya ketidakadilan
ekonomi. Kesenjangan ini dapat terakumulasi menjadi benturan-benturan sosial.
Sedangkan pada ketidakadilan akan mengambil bentuk sesuai dengan pengelompokan
pihak yang merasa diperlakukan tidak adil oleh keadaan. Ketika ketidakadilan dan
kesenjangan terjadi pada satu wilayah terhadap wilayah lainnya maka yang muncul
adalah konflik antar wilayah. Ketika hal itu berlangsung pada ras tertentu maka yang
muncul adalah konflik antar ras. Ketika hal itu mengambil bentuk pada kelas ekonomi,
maka terjadi konflik antar kelas. Begitu juga ketika kesenjangan dan ketidakadilan
tersebut didasarkan pada garis kesamaan agama maka akan muncul pula konflik atau
perseteruan berdasarkan kesamaan agama yang dianut.
c. Ketiga, rekayasa kepentingan yang biasanya berkaitan dengan politik. Berbagai
kerusuhan di sejumlah daerah di tanah air diduga terkait dengan rekayasa oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mengambil keuntungan di tengah
kekacauan yang terjadi. Cara-cara yang digunakan adalah dengan penyebaran kebencian
dan sentimen keagamaan yang bagi masyarakat Indonesia yang agamis dan kadang
fanatis akan sangat ampuh untuk mengobarkan konflik.
d. Keempat, hegemoni mayoritas dan kekuasaan. Pada suatu daerah dengan penduduk yang
mayoritasnya memeluk agama tertentu maka akan mempunyai potensi hegemoni
mayoritas atau munculnya suatu superioritas terhadap kaum minoritas. Di sisi lain hal itu
juga dapat dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan walaupun secara jumlah
mereka adalah minoritas. Kedua hal tersbut yang kerap mendapat nama lain sebagai
diktator mayoritas dan tirani minoritas harus dapat dihindari karena sangat berpotensi
menimbulkan konflik yang akan menghancurkan toleransi di masyarakat (Arifin, 2016:
405-407).
F. Toleransi dan Pluralitas di Indonesia
Bangsa indonesia adalah bangsa yang religius. Menyadari bahwa keberagaman
merupakan realita dan ketentuan dari Allah SWT, maka bagi manusia tidak ada alternatif
lain, kecuali menerima dan memelihara dengan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan
bersama. Walaupun agama bersifat universal, namun dengan beragama tidak mengurangi rasa
kebangsaan, bahkan menguatkan rasa kebangsaan. Karena agama mendorong penganutnya
untuk membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Di Indonesia, keberadaan agama diakui dan sangat dijunjung tinggi secara
konstitusional, sehingga pemerintah memiliki perhatian khusus dan mempunyai wewenang
mengatur kepentingan umat beragama serta mengawasi aktifitas keagamaan di negeri ini,
agar tetap dalam bingkai pancasila demi tetap terjaganya kerukunan dan kesatuan bangsa.
Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi negara pancasila. Pancasila
mengakui dan menjunjung tinggi keberadaan agama serta mengapresisi nilai-nilai agama.
Jauh sebelum lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka, di bumi Indonesia telah
hidup masyarakat heterogen multiagama. Begitu bangsa ini merdeka dan membentuk negara
yang disebut Indonesia pada tahun 1945 toleransi antarumat beragama terutama oleh umat
muslim, telah berkontribusi menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini terbukti dengan
keputusan para tokoh muslim nasionalis yang semula menghendaki Indonesia sebagai negara
Islam, akihrnya rela berlapang dada menerima Indonesia sebagai negara republik berdasarkan
pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, ketika tujuh kalimat pada pembukaan UUD 1945
dihapus, karena permintaan pihak komunitas umat beragama tertentu di Indonesia, umat
Islam kembali berlapang dada dengan semnagat dan sikap memberikan toleransinya demi
kesatuan dan keutuhan Indonesia.
Sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, pemerintah Indonesia menyadari
pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama demi kesatuan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka pemerintah secara aktif terus
menerus berupaya membangun dan mengawasi jalannya toleransi ini demi terciptanya
berbagai kerukunan. yaitu kerukunan intern umat beragama, antarumat beragama dan antar
umat beragama dan pemerintah.
Dalam upaya pemerintah dan umat beragama terus membangun toleransi dan
kerukunan antar umat beragama di Indonesia, tidak lepas dari kendala yang disebabkan oleh
agama itu sendiri. Seperti peristiwa pasca pemberonakan G 30 S/PKI. Umat kristen Indonesia
berusaha memaksimalkan program dan gerakan kristenisasi bersama para misionaris dan
zending asing. Sasaran utama misi mereka adalah keluarga orang-orang komunis yang
ditangkap dan umat Islam yang berpendidikan rendah serta berekonomi lemah.
Peniingkatan pengawasan dan pengaturan hubungan antarumat beragama dan
berbagai aktifitas keagamaan, demi terwujudnya kerukunan yang berperan penting dalam
memelihara stabilitas dan memperlancar semua rencana pembangunan nasioanl. Bahkan,
Indonesia telah memiliki forum komunikasi umat beragma (FKUB) yang memiliki struktur
lebih sempurna dengan legalitas yang lebih kuat. Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29
ayat 2 juga telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya" Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati
antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan
menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Hingga saat ini, toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia telah
tercipta sedemikian rupa dan tanpa mengesampingkan masih adanya konflik yang berisfat
kasuistik, namun cukup terbina. Sehingga Indonesia mendapat apresiasi dunia sebagai negara
dan bangsa paling sukses membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Indonesia sering dijadikan model dan guru oleh negara dan bangsa lain dalam hal
membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama (Jamrah, 2015: 199). Meskipun
demikian, masih ada konflik di Indonesia yang disebabkan oleh isu keagamaan. Karena
toleransi beragama menyangkut keyakinan manusia yang sangat sensitif dan mudah
menimbulkan konflik.
Secara lebih spesifik, konflik sosial berbau agama di Indonesia disebabkan oleh
beberapa hal:
a. Pertama, adanya klaim kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan kebenaran
diinterpretasi secara berbeda dan dipahami secara absolut. Pemahaman seperti itu akan
berpotensi konflik manakala dijadikan landasan gerak dalam dakwah. Absolutisme,
ekslusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang
biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Dalam ajaran atau doktrin agama,
terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak
orang lain menuju keselamatan tersebut. hal ini akan memunculkan sentimen agama,
sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat
melahirkan konflik antar agama.
b. Kedua, wilayah agama dan suku semakin bias. Kasus ini dapat dilihat pada mantan
menteri agama masa Habibi, ketika “menuduh” Megawati pindah agama, hanya dengan
melihat kehadiran Megawati dalam sutu tradisi keagamaam suku tertentu.
c. Ketiga, doktrin jihad yang dipahami secara sempit. Selama ini makna jihad sering
dipahami secara terpenggal, tidak utuh, sehingga melahirkan implementasi yang keliru
ditengah masyarakat. Jihad seringkali dipahami sebagai perjuangan yang harus
melahirkan korban, bila perlu melayangkan nyawa. Jihad yang selama ini hanya
dipahami semata-mata sebagai perjuangan fisik. Padahal, jihad bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan,
apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sinergi antara jihad,
ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad Rasulullah
selalu berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia
selalu menang, dan diperhitungkan kawan dan lawan.
d. Keempat, kurangnya sikap toleransi dalam beragama. Sebagaimana uraian sebelumnya
bahwa toleransi adalah merupakan keharusan yang harus terus dijaga. Mengingat
keanekaragaman agama merupakan identitas lain dari kemajemukan alamiah Indonesia.
e. Kelima, minimnya pemahaman terhadap ideologi pluralisme. Dalam masyarakat yang
plural, dalam hal ini multiagama, Harold Howard mengatakan ada tiga prinsip umum
dalam merespons keanekaragaman agama. Pertama, logika bersama, yang satu yang
berwujud banyak. Secara filosofis dan teologis, logika ini merupakan sumber realitas dan
cara paling signifikan untuk menjelaskan keanekaragaman agama. Bagi mereka yang
mendalami sejarah agama-agama, logika ini bukanlah hal yang asing. Misalnya, dalam
veda dapat menemukan gagasan tentang yang satau yang disebut dengan banyak nama.
Kedua, agama sebagai alat. Karenanya, wahyu dan doktrin dari agama-agama adalah
jalan atau syariat untuk menuju yang satu (Aisyah, 2014: 196).
SOAL SOAL LATIHAN

Jawablah pertanyaan pertanyaan berikut ini.

1. Sebutkan bunyi pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tentang kebebasan memiliki


keyakinan/beragama di Indonesia.
2. Menurut saudara, apa yang dimaksud dengan toleransi antar umat beragama.
3. Sebutkan bunyi QS. Al-Baqarah ayat 256 tentang pilihan dalam keyakinan.
4. Sebutkan contoh pelaksanaan toleransi beragama.
5. Sebutkan beberapa kendala yang menyebabkan toleransi beragama di Indonesia sulit
diwujudkan.

JAWABAN

1. Pasal 29 ayat 2 juga menyebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap


penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya"
2. Sikap saling memahami dan menjaga keharmonisan dengan tetap menjalankan aturan
yang berlaku
3. Surat al-Baqarah ayat 256:
ِ ِ ِ ِ ِ ‫آلَإِ ْكراه ِِف‬
ِ ُّ ‫الدي ِن قَد تَّب ََّّي‬
‫ك‬ ْ ‫الر ْش ُد م َن الْغَ ِي فَ َمن يَ ْك ُف ْر ِِبلطَّا ُغوت َويُ ْؤمن ِِبهلل فَ َقد‬
َ ‫استَ ْم َس‬ ََ ََ
}256 :‫يع َعلِ ٌيم { البقرة‬ ِ ِ ِ
َ ‫ِِبلْ ُع ْرَوة الْ ُوثْ َقى الَ انْف‬
ٌ ‫ص َام ََلَا َوهللاُ ََس‬
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. 2:256)
4. Adanya bangunan rumah ibadah dua agama yang berbeda di Indonesia yang saling
berhadapan. Seperti masjid Istiqlal dan gereja katedral. Selain itu, dalam pelaksanaan
kegiatan ibadah di masjid tersebut pun saling menjaga keharmonisan.
5. Pertama, paham keagamaan yang bersifat eksklusif dan munculnya fundamentalisme
dalam agama. Kedua, kesenjangan sosial yang semakin terbuka lebar dan adanya
ketidakadilan ekonomi. Ketiga, rekayasa kepentingan yang biasanya berkaitan dengan
politik. Keempat, hegemoni mayoritas dan kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti. “Konflik Sosial dalam Hubungan Antar Umat Beragama,” Jurnal Dakwah
Tabligh, Vol. 15, No.2 (2014).
Arifin, Bustanul. “Implikasi Prinsip Tasamuh (Toleransi) dalam Interaksi Antar Umat
Beragama,” Jurnal Fikri, Vol. 1, No. 2 (2016).
Aziz, Mohammad Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004.
Jamrah, Suryan. “Toleransi Antar umat Beragama: Perspektif Islam,” Jurnal Ushuluddin,
Vol. 23, No. 2 (2015).
Suryana, Toto. “Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama,” Jurnal
Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, Vol. 9, No. 2 (2011).
Shihab, Qurays. Membumikan al-Qur`an. Bandung: MIZAN, 1998.
Toha, Anas Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif Kelompok
Gema Insani, 2005.
Umar, Nasaruddin. Khutbah-Khutbah Imam Besar. Jakarta: Pustaka Iiman, 2018.
http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/view/189/134

Anda mungkin juga menyukai