Jakarta - Pada hari Jum’at tanggal 30 April 2021 BEM TAU mengadakan Diskusi Publik bertajuk
"Merdeka Belajar, Apakah pendidikan kita sudah merdeka?".
Diangkatnya tema ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut masalah utama di balik polemik
yang dialami oleh mahasiswa saat ini mulai dari kriminalisasi yang diterima mahasiswa,
pembebanann UKT pada masa pandemi, dan lulusan sarjana yang menjadi pengangguran.
Diskusi ini dilakukan via Zoom.
Dengan dasar bahwasanya adanya keresahan yang timbul diruang Pendidikan Indonesia, melalui
konstitusi pemerintah diingatkan bahwasannya pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat
mengembangkan potensi dalam dirinya melalui proses pembelajaran. Namun, pendidikan bukan
hanya sebatas mengembangkan dalam ranah kecerdasan saja, melainkan pendidikan juga
diharapkan agar seseorang semakin beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki sikap yang baik terhadap sesama dan makhluk ciptaannya, berbudi pekerti luhur,
membangun potensi diri dengan tujuan membangun bangsa dan negara.
Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidikan harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan
sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu
pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Mungkin sedikit demi
sedikit Indonesia juga sadar akan pentingnya pendidikan.
Pemaparan pertama dilakukan oleh Ari Martua selaku Presiden BEM TAU yang menjelaskan
mengenai poin pertama yaitu kebebasan akademik. Kebebasan akademik merupakan hal
fundamental yang dimiliki mahasiswa Indonesia, ruang bagi seluruh civitas akademika untuk
mampu memberikan pendapatnya di muka umum, baik di dalam maupun di luar institusi
pendidikan. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
merupakan negara hukum. Semua aktivitas ini diatur dalam undang-undang Kebebasan
mengeluarkan pendapat merupakan hak bagi setiap warga negara. Tetapi bukan kebebasan yang
didapat melainkan tindaka reprsif, kriminalisasi, dampai drop out secara paksa tanpa adanya
perundingan terbeih dahulu yang diterima.
• Ada mahasiswa UGM yang melakukan diskusi publik mengenai komunitas buruh malah
dibubarkan diskusinya hanya karena membahas yang sensitif.
• Banyak mahasiswa juga mendapatkan hukuman skorsing karena menuntut keringanan UKT dan
aksi protes transparansi.
Jika hal ini terus terjadi maka artinya pemerintah gagal dalam menerapkan prinisp Kampus
Merdeka dan gagal melaksanakan amanat konstitusi. Beliau juga mengaatakan bahwa mahasiswa
tidak seharusnya hanya memikirkan profit semata, tetapi ilmu yang bermanfaat untu orang
banyak, mahasiwa tidak boleh waktunya hanya digunakan untuk belajar saja, tetapi menuangkan
aktivitas dan pendapat nya yang positif.
Selanjutnya pemaparan kedua dilanjutkan oleh Firdaus Fadilah selaku Mentri PSDM yang
membahas tentang maraknya pengangguran intelektual, ini menandakan bahwa Pendidikan
benar-benar belum merdeka. Karena jika dilihat dari jumlah pengangguran berdasarkan tingkat
Pendidikan yang paling rendah justru lulusan SD kebawah, lebih tepatnya 13,55 persen lulusan
SMK, 9,86 persen lulusan SMA, 8,08 persen lulusan diploma, 7,35 persen lulusan universitas, 6,46
persen lulusan SMP, dan 3,61 persen lulusan SD
Menurutnya, pengangguran disebabkan oleh Kualitas manusia, globalisasi, dan tidak sesuai
antara supply tenaga kerja dan pencari tenaga kerja. Oleh karena itu solusinya yaitu
Secara hierarki dalam kondisi seperti ini mau tidak mau, suka atau tidak suka pemotongan UKT
harus ditunaikan. Proses kuliah daring membuat mahasiswa resah dengan berbagai keluhan yang
diterapkan beberapa dosen yang kurang jelas, tugas yang berlebihan, pengeluaran yang
membludak untuk pembelian kouta internet, jaringan yang tidak mendukung, bahkan Kesehatan
mata yang mulai terganggu karena menatap layar HP dari pagi bahkan sampai malam hari untuk
menyelasaikan aktivitas perkuliahan.
faktanya, hingga saat ini kebijakan terkait keringanan UKT masih belum memenuhi keinginan
mahasiswa. Portal-portal berita pun masih merilis berbagai aksi mahasiswa yang menuntut
diberikannya sistem keringanan UKT yang merata. Persyaratan tidak masuk akal dan informasi
yang simpang siur juga menjadi alasannya. Banyaknya persyaratan yang diminta oleh pihak
kampus membuat mahasiswa merasa terbebani karena dampak ekonomi yang dirasakan setiap
mahasiswa pun berbeda. Beberapa mahasiswa tak serta merta mengalami kemerosotan ekonomi
yang signifikan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jumlah UKT dirasa cukup memberatkan.
Persyaratan yang tidak memihak mahasiswa dengan kondisi tersebut juga menjadi alasan masih
belum diterimanya kebijakan keringanan UKT yang diberikan. faktanya, hingga saat ini kebijakan
terkait keringanan UKT masih belum memenuhi keinginan mahasiswa. Portal-portal berita pun
masih merilis berbagai aksi mahasiswa yang menuntut diberikannya sistem keringanan UKT yang
merata. Persyaratan tidak masuk akal dan informasi yang simpang siur juga menjadi alasannya.
Banyaknya persyaratan yang diminta oleh pihak kampus membuat mahasiswa merasa terbebani
karena dampak ekonomi yang dirasakan setiap mahasiswa pun berbeda. Beberapa mahasiswa
tak serta merta mengalami kemerosotan ekonomi yang signifikan, tetapi tak dapat dipungkiri
bahwa jumlah UKT dirasa cukup memberatkan. Persyaratan yang tidak memihak mahasiswa
dengan kondisi tersebut juga menjadi alasan masih belum diterimanya kebijakan keringanan UKT
yang diberikan.
Diskusi publik diakhiri dengan rangkaian sesi diskusi serta tanya jawab, peserta dipersilakan
untuk memberikan pertanyaan kepada narasumber. Peserta Diskusi Publik berpartisipasi aktif
dalam diskusi ini yang ditunjukkan dengan banyaknya pertanyaan kritis dari para peserta. Secara
keseluruhan, diskusi berjalan dengan baik, terbuka, dan semi-dua arah.
Kesimpulan dari Diskusi Publik ini adalah bahwasanya Kemerdekaan dalam Pendidikan
memerlukan penataan lingkungan belajar dalam suasana kondusif. Sebuah asumsi, orang belajar
harus bebas (freedom of learning). Hanya di alam yang penuh kebebasan tersebut si belajar
dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasi terhadap segala sesuatu yang
ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.