Anda di halaman 1dari 3

Arifin Ilham

Penggerak Majelis Dzikir

Gema tasbih, tahmid, tahlil dan takbir berkumandang memecah pagi Ahad
yang cerah awal bulan lalu. Masjid Al-Amru Bittaqwa yang luas di komplek
perumahan Mampang Indah Dua, Depok itu terasa sempit oleh ribuan
jamaah yang hadir. Tua, muda, miskin, kaya, laki-laki dan wanita berbaur
dalam linangan air mata, sambil lisan mereka melantunkan kalimat suci dan
mengagungkan asma Allah. Mereka khusyuk mengikuti dzikir yang dipimpin
oleh ustadz muda H M Arifin Ilham.

Muhammad Fauzan (65) menuturkan pengalamannya setelah beberapa kali mengikuti


majelis dzikir itu. "Hidup ini terasa lebih indah dan saya mendapatkan ketenangan batin.
Terutama temperamen, saya jadi bisa lebih mengendalikannya," katanya. Menariknya,
Fauzan sebelumnya seorang Khatolik yang memeluk Islam dua tahun lalu. Terpenting
lagi, katanya, dengan mengikuti majelis dzikir itu keyakinannya kepada Islam kian kuat.

Majelis dzikir itu bersemi sejak tiga tahun lalu. Bermula dari kebiasaan Arifin berdzikir
usai shalat di Masjid Al Amru Bittaqwa, dekat rumahnya. Kebiasaan itu lalu diikuti jamaah
lain. Awalnya cuma tujuh orang, makin lama makin banyak. Bukan cuma jamaah masjid
Bittaqwa saja, melainkan juga dari jamaah masjid lain. Kini jamaahnya mencapai ribuan.
Lihat saja ketika majelis itu digelar, mobil yang parkir sekitar 400. Biasanya, masing-
masing mobil membawa rombongan. Belum lagi yang datang naik sepeda motor dan
kendaraan umum. Menurut Arifin, sambutan yang sangat besar dari ummat itu
disebabkan majelis dzikirnya dapat menyentuh hati setiap orang yang datang.

Ketika ditanya motivasi yang sesungguhnya dari gerakan dzikirnya itu, Arifin
mempersilahkan melihat al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 96. Penggalan kalimat pertama
ayat itu menyatakan, jika para penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa maka Allah
akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Untuk itulah ia mengumpulkan
masyarakat untuk mensucikan jiwa dan hati sehingga iman akan menancap dalam dada-
dada mereka dan taqwa akan menghiasi perilakunya. Jika ini terwujud, katanya, maka
derita bangsa Indonesia akan segera hilang. Lebih dari itu, Islam yang secara konsep
sangat tinggi dan mulia bakal tercermin dalam pribadi setiap Muslim, inilah tujuan mulia
Arifin.

"Setiap manusia pada hakekatnya fitrah, sayangnya arus kehidupan membuat hati
mereka berkarat," ujarnya menjelaskan. Dzikir, lanjutnya, dapat membersihkan karat
yang melekat di hati manusia itu, sehingga dalam suasana hati yang bersih, kebenaran
akan dapat diterima dengan baik.

Dipatuk Ular

Arifin lahir di Banjarmasin Kalimantan Selatan pada 8 Juni l969. Anak dari pasangan H.
Ilham Marzuki dan Hj Nurhayati ini sejak kecil sudah menjadi `anak masjid'. Maklum,
ayahnya memang seorang aktivis Masjid Sabilil Muttadien Banjarmasin, sehingga
menular kepada anak laki satu-satunya dari lima bersaudara itu. Di masjid Sabilil itu ada
ustadz yang menjadi idola Arifin, namanya KH Rabbi Hamdi. Ustadz ini dikenal
mempunyai tutur kata dan perilaku yang lembut. Nah, kelembutan inilah yang
mengesankan Arifin kecil, hingga ia kelak ingin menjadi sesorang penceramah seperti
Ustadz Rabbi, atau setidak-tidak seorang guru.
Siapa orang tua yang tidak senang mendengar si buah hati bercita-cita mulia seperti
Arifin? Maka, demi menggapai cita-cita mulia itu, Arifin dikirim ke Pesantren Darunnajah
di Jakarta Selatan. Namun di Pesantren ini Arifin cuma bertahan setengah tahun. Ia
kemudian pindah ke Pesantren Assyafi'iyah, juga di Jakarta, hingga lulus sekolah
menengah.

Ketika di pesantren itu bakatnya berpidato mulai kelihatan. Beberapa kali ia meraih juara
pidato, baik di Assyafi'iyah maupun antar pesantren se-Indonesia dan internasional.
Karena kemampuannya berceramah itu, meski usianya masih remaja, Arifin sudah kerap
keluar `kandang', mengisi pengajian di luar pesantren. Bahkan pada usia 16 tahun ia
sudah melalang buana ke beberapa daerah di Nusantara ini. Antara lain di Lampung,
Batam, Balikpapan, Samarinda, dan Banjarmasin. Pernah pula ia berceramah di negeri
Singapura. "Subhanallah pada waktu itu saya begitu bangga, dan sambutan jamaah
yang saya ceramahi sungguh luar biasa," ungkap Arifin, lalu istighfar lirih terdengar dari
mulutnya.

Tapi anehnya, masa-masa yang membanggakan itu justru dianggapnya sebagai masa-
masa memalukan, terutama malu kepada Allah. Ia menyebut dirinya sebagai da'i
jahiliyah. Lho, kok?

Iya, sebab, katanya, saat itu ia hanya pandai bicara tapi prakteknya nol besar. Motivasi
berda'wahnya juga kurang bersih, dan shalat shubuh di masjid malas, apalagi tahajjud.
"Nah inikan da'i jahiliyah namanya, pandai memberi penerangan pada ummat, namun tak
mampu memberi penerangan pada dirinya sendiri," kata suami Wahyuniyati Al Wali ini.

Syukurlah, Allah berkenan memberi peringatan. Dan cara Allah memperingatkan


hambanya macam-macam. Bisa meminjam mulut orang lain untuk memberi nasihat, bisa
pula dengan menimpakan musibah. Rupanya untuk Arifin, Allah memilih cara terakhir itu.
Tahun l977 di sekitar rumahnya di Mampang ia dipatuk ular berbisa. Akibatnya sangat
parah. Ia mengalami koma selama 21 hari dan seandainya selamat, kata dokter yang
merawatnya, Arifin bakal mengalami kelumpuhan otak, dan impoten.

Akan tetapi, sesungguhnya Allah yang memberi penyakit dan Allah pulalah yang
menyembuhkan. Manusia hanyalah bisa meramalkan, kepastiannya sepenuhnya dalam
kekuasaan Allah. Itu terbukti pada diri Arifin. Ramalan dokter yang menakutkan itu
meleset jauh sekali. Lewat kebesaran-Nya, sarjana Hubungan Internasioanal dari
Universitas Nasional Jakarta ini sembuh seperti sedia kala.

Peristiwa itu sungguh menghentakkan kesadarannya. Ia kemudian merenungi perjalanan


hidupnya, sambil mohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Sang Khaliq. Ia kemudian
makin mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdzikir dan memperbanyak ibadah.
Dari situ, jadilah Arifin seperti yang sekarang ini.

Kini ayah dua anak ini tak sudi lagi menjadi mubaligh. Lho? Maksudnya, hanya sekedar
menyampaikan. Tapi ia ingin menjadi da'i. Antara keduanya, menurut Arifin, ada
perbedaan jauh. Menjadi mubaligh itu siapa saja bisa, karena syaratnya mudah yakni
asal berani menyampaikan. Berbeda seorang da'i, dia mesti mampu mempraktekkan ke
dalam kehidupan sehari-hari apa-apa yang disampaikan.

Arifin pun berusaha untuk menjadi da'i. Caranya, ia selalu berusaha untuk menjaga tujuh
sunah Rasulullah saw: tahajjud, tilawah Qur'an, shalat berjamaah di masjid, shalat
dhuha, sedekah, menjaga wudhu dan memperbanyak istighfar.
Ketika Suara Hidayatullah (Sahid) berkunjung ke rumahnya yang asri, di atas fotonya
yang terpampang di dinding tertulis kalimat hikmah yang pantas menjadi renungan.
Bunyinya, "satu detik akan lebih berharga dari langit dan bumi jika sudah berada di alam
kubur; hidup ini jihad, istirahatnya di alam kubur; hidup bukan untuk sekejap tapi untuk
hari tanpa akhir, akhirat; hidup bukan untuk hidup, tetapi untuk maha hidup, hidup hanya
pamrih kepada-Nya, ridlanya, jangan takut mati, dan seterusnya."• (Sartono/Bas)

Anda mungkin juga menyukai