Anda di halaman 1dari 13

ustadz Fadlan mengungkap bahwa sebenarnya Islam adalah agama tertua yang datang di tanah

Papua. “Agama yang tertua dan pertama di negeri ini adalah Islam,” kata ustadz Fadlan sambil
menunjuk peta Papua yang dipancarkan dari lcd proyektor.

“Tanggal 17 Juli 1204 masehi Iskandar Syah dari Samudra Pasai melakukan dakwah ke
Malaysia, Solok, Filipina, turun ke Tidore dan dari Tidore dia sampai ke Irian,” tambahnya.

Ketika sampai ke Irian itulah Iskandar Syah bertemu dengan kepala suku dan dia mengajarkan
dua kalimat syahadat kepada kepala suku itu. Islam masuk ke Irian pada tahun 1204, sementara
agama Kristen masuk ke Irian dibawa oleh orang yang tidak beragama Kristen. Justru Sultan
Tidorelah yang membawa agama Kristen ke Irian kala itu.

“Tanggal 5 Februari 1885 (Kristen dibawa masuk Irian), tapi jauh sebelumnya Islam sudah
masuk ke Irian,” terang ustadz Fadlan.

Ustadz Fadlan lalu menceritakan pengalamannnya mengislamkan pendeta bernama Alfonso di


tanah Irian pada tahun 1980 an. Setelah gigih berdakwah selama tiga bulan di keluarga pendeta
Alfonso, akhirnya pendeta itu bersama keluarganya mengucapkan syahadat. Akibatnya tanah
Irian geger dan ustadz Fadlan ditahan selama tiga bulan tanpa pengadilan.

Keluar dari tahanan Ustadz Fadlan tidak kapok dan kembali berdakwah. Kali ini ia menuju
tempat bernama Kampung Gayem. Baru sampai ditempat tersebut kepala suku langsung
melempar tombak ke salah satu kaki ustadz Fadlan dan tepat mengenai betisnya. Iapun harus
masuk rumah sakit selama beberapa minggu. Setelah sembuh ia kembali datang ke Kampung
Gayem lagi hingga akhirnya kepala suku yang menombak kakinya masuk Islam. Tapi lagi-lagi,
setelah mengislamkan seorang tokoh, ustadz Fadlan ditangkap dan dipenjara lagi, kali ini selama
enam bulan.

Ada fakta unik kenapa banyak anggota suku di Papua tidak memakai baju dan telanjang.
Ternyata mereka dilarang oleh misionaris Kristen untuk memakai baju. Selain dilarang
berpakaian, mereka juga dilarang mandi menggunakan air bersih. “Mereka (warga suku) hanya
boleh mandi menggunakan minyak atau lemak babi saja,” ungkap ustadz Fadlan sambil
menunjukkan foto warga pedalaman yang masih telanjang.

Barangkali kisah dakwah ustadz Fadlan yang fenomenal adalah saat 3712 anggota suku di Irian
berhasil diislamkan dan mengucap kalimat syahadat. Metode yang ia gunakan untuk
mengislamkan penduduk pedalaman ini cukup unik, yaitu dengan mengajari para kepala sukunya
mandi dengan sabun dan menggunakan sampo.

Usai mengumpulkan ribuan anggota suku, ustadz Fadlan dan tim da’inya memprakktekan sholat
diatas panggung yang telah mereka buat. “Begitu kami takbir, warga suku yang sudah mandi
maupun yang belum mandi berdiri dan berputar mengelilingi panggung tempat kami sholat,”
kata ustadz Fadlan menerangkan.

Usai sholat, kepala suku langsung loncat ke atas panggung dan bertanya kepada ustadz Fadlan,
apa yang baru saja dia lakukan bersama tim da’inya. Dengan sabar ustadz Fadlan menjelaskan
bahwa yang mereka lakukan baru saja itu adalah sholat untuk menyembah Allah
subhanahuwata’alla.

“Dalam agama kami, kami diperintahkan sehari lima kali untuk menghadap Allah sang
pencipta,” terang ustadz Fadlan kepada kepala suku itu.

“Begitu mendengar penjelasan saya, kepala suku meminta kami turun dari panggung. Kemudian
kepala suku besar naik ke atas panggung bersama enam kepala suku lainnya untuk melakukan
rapat adat membahas kehadiran kami,” lanjut ustadz Fadlan.

Satu setengah jam kemudian kepala suku berdiri diatas panggung dan berteriak kepada warganya
“Hari ini kita senang, hari ini kita gembira, karena anak-anak ini datang mengajarkan kita agama
yang benar. Dalam rapat adat kami sepakat bahwa kita semua yang berkumpul di lapangan ini
mengikuti agama yang mereka ajarkan,” kata ustadz Fadlan menirukan perkataan kepala suku.

Mendengar penjelasan dari kepala suku, sontak ustadz Fadlan dan tim da’inya sujud syukur dan
menangis kepada Allah Subhanahuwata’alla. Saat itulah sebanyak 3712 warga pedalaman
mengucapkan kalimat syahadat dan memeluk Islam.

Pria ini bernama M Zaaf Fadlan Rabbani Al-Garamatan. asli Irian, berkulit gelap, berjenggot
kemana-mana memilih membalut tubuhnya dengan jubah.

Lahir dari keluarga Muslim, 17 Mei 1969 di Patipi, Fak-fak, sejak kecil dia sudah belajar Islam.
Ayahnya adalah guru SD, juga guru mengaji di kampungnya.

Pengetahuan ilmu agamanya kian dalam ketika kuliah dan aktif di berbagai organisasi
keagamaan di Makassar dan Jawa. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini akhirnya memilih jalan
dakwah. Dia mendirikan Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara. Melalui lembaga sosial dan
pembinaan sumber daya manusia ini, Ustadz Fadlan begitu ia kerap disapa mengenalkan Islam
kepada masyarakat Irian sampai ke pelosok. Dia pun mengembangkan potensi dan sumber daya
yang ada, mencarikan kesempatan anak-anak setempat mengenyam pendidikan di luar Irian.

== Curhat Ust.Fadlan ==

Dikisahkan oleh Ust.Fadlan bahwa orang-orang muslim di Indonesia, masih terbersit opini
bentukan penjajah bahwa di wilayah Indonesia Timur, terutama Papua, banyak penduduknya
yang non muslim masih melekat. Hal itu pernah ia buktikan kala mengisahkan pengalamannya
saat Ust.Fadlan masuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar di tahun
80’an. Dia pernah diusir oleh dosen agama Islam hanya karena berkulit hitam dan berambut
keriting. Tapi sebelum keluar, dia sedikit protes dengan mengajukan empat pernyataan.
”Apakah agama Islam hanya untuk orang berkulit putih, Jawa, Bugis atau untuk semua orang
yang hidup di dunia? Siapa sahabat nabi shallallahu `alaihi wasallam yang berkulit hitam dan
berambut keriting namun merdu suaranya? Siapa saja yang ada dikelas ini yang bisa membaca
Al-Qur’an dengan baik dan benar?” tandasnya.

Ditanya seperti itu, sang dosen hanya menanggapi pertanyaan yang ke-3 saja. Ternyata, dari 47
mahasiswa yang hadir, hanya tujuh orang yang bisa. Salah satunya adalah orang yang berkulit
hitam dan berambut keriting tersebut. Langsung saja Ustadz Fadlan mendapat kesempatan
memberi nasehat kepada semua yang di kelas yang tadi mau mengusirnya. Selama dua jam dia
memberi nasehat, sehingga mata kuliah agama hari itu selesai.

Dosennya pun langsung menyatakan Ustadz Fadlan lulus dengan nilai A di hari pertama masuk
kelas agamalah. Karena, selain puas dengan nasihat Ustadz Fadlan yang menyatakan jangan
merasa bangga hanya karena beda warna kulit atau lainnya, Fadlan mampu membaca Alqur’an
(salah satu kemuliaan agama Islam) dengan baik dan benar.

Mulai Berdakwah

Lulus sebagai sarjana ekonomi, Fadlan tidak memilih untuk menjadi pegawai negeri atau
pengusaha, tapi Da’i, penyeru agama Islam dan mengangkat harkat martabat orang Fak-fak,
Asmat, dan orang Irian lainnya. Dia tidak setuju kalau orang-orang ini dibiarkan tidak
berpendidikan, telanjang, mandi hanya tiga bulan sekali dengan lemak babi, dan tidur bersama
babi. Semua penghinaan itu hanya karena alasan budaya dan pariwisata. ”Itu sama saja
dengan pembunuhan hak asasi manusia” katanya.

Dia pun berjuang dan berdakwah untuk semua itu. Tempat yang pertama kali dikunjungi adalah
lembah Waliem, Wamena. Dengan konsep kebersihan sebagian dari iman, Fadlan mengajarkan
mandi besar kepada salah satu kepala suku. Ternyata ajaran itu disambut positif oleh sang
kepala suku. ”Baginya mandi dengan air, lalu pakai sabun, dan dibilas lagi dengan air sangat
nyaman dan wangi,” jelasnya.

Selain itu juga ada beberapa orang yang tertarik dengan ibadah sholat. Sambil mengingat masa
itu, dia bercerita, ”Di Irian itu, babi banyak berkeliaran kayak mobil antri. Sehingga untuk
mendirikan sholat harus mendirikan panggung dulu. Saat itu orang-orang langsung
mengelilingi. Selesai sholat, kami ditanya mengapa mengangkat tangan, mengapa menyium
bumi?”.

Jawabnya,”Kami bersedekap bertanda kami menyerahkan diri kepada satu-satunya Pencipta


seluruh alam. Mencium bumi karena disinilah kita hidup. Tumbuhan dan hewan, yang mana
makanan kita berasal dari mereka juga tumbuh di atas bumi”

Dakwah seperti ini yang dia gunakan. Mengajarkan kebersihan, dialog dengan apa yang mereka
pahami, pergi ke hutan rimba, dan membuka informasi. Dengan dakwah yang sudah
dijalankannya selama 19 tahun ini, banyak orang yang masuk Islam di sana. Tercatat 45% warga
asli memeluk agama Islam. Jika ditambah dengan para pendatang, maka pemeluk Islam
sebanyak 65% dari seluruh manusia yang ada di pulau burung tersebut.
Di setiap daerah yang dikunjungi, Ust.Fadlan selalu bersikap santun. Shalat di tengah-tengah
komunitas `asing’ tak pernah ia tinggalkan. Perlahan-lahan jejaknya diikuti oleh masyarakat
setempat. `’Ketika menyaksikan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, saya tidak kuat. Air
mata menetes,” ucapnya.

==

Dikisahkan, Ust Fadlan pernah berdakwah sendirian untuk menuju suatu perkampungan dengan
waktu tempuh tercepat 3 bulan berjalan kaki. Dan Subhanallah hal tersebut tidak pernah
menyurutkan hatinya untuk terus berdakwah, jika ada aral melintang dia selalu kembalikan
kepada Allah SWT, dan dia selalu ingat bagaimana dulu Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam
berdakwah dengan jarak ribuan kilo dan di padang tandus.

Ust Fadlan juga mengisahkan cerita ada seorang da’i dari Surabaya ingin ikut berdakwah
dengannya di tanah Papua, dan diajaklah dia. Awalnya da’i tersebut tidak menyangka akan
mendapatkan perjalanan yang sangat berat di tanah Papua. Da’i bersama dengan Ust. Fadlan
harus menempuh perjalanan selama 12 hari berjalan kaki untuk menembus daerah yang akan di
kunjungi. Pada hari ke-10 da’i dari Surabaya sudah merasakan kelelahan sehingga dia marah-
marah, Ust. Fadlan pun bilang, “Jika anda ingin kembali silahkan anda kembali sendiri, saya
akan tetap meneruskan perjalanan ini, dan anda bukanlah umat Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam , karena anda hanya bisa mengeluh, anda tidak ingat betapa beratnya perjuangan
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam waktu pertama kali berdakwah?”. Setelah itu Ust. Fadlan
tetap melanjutkan perjalanannya dan da’i tersebut dengan wajah menyesal mengikutinya.

setelah tiga bulan menetap di daerah tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk Islam, Ust.
Fadlan mengatakan kepada da’i dari Surabaya bahwa ini karena da’i tersebut mempunyai niat
yang salah sewaktu memulai perjalanan tersebut. Da’i tersebut merasa sangat bersalah sekali,
dan dia berniat untuk memperbaikinya, dan Ust. Fadlan mengusulkan agar da’i tersebut untuk
menikahi salah satu wanita yang ada di daerah tersebut. Da’i tersebut meminta waktu untuk
shalat istikarah, setelah 7 hari beristikarah, dia memberi jawaban bahwa dia mendapatkan
petunjuk dengan cahaya putih, Ust. Fadlan menyimpulkan bahwa itu artinya da’i tersebut
memang harus menikah dengan wanita dari daerah tersebut. Maka di bawalah salah seorang
wanita dari penduduk setempat untuk di ajak ke pulau Jawa, dan di tanah Jawa dia diajarkan
semua tentang agama Islam, dan akhirnya mereka menikah di tanah Jawa.

==

Dikisahkan pula,pada suatu waktu Ust. Fadlan menceritakan tatkala ia bersama 20 orang berniat
ingin mengunjungi daerah yang masyarakatnya masih asing dengan orang luar, dia mengatakan
bahwa jika mereka kesana maka kemungkinan mereka akan langsung berhadapan dengan panah-
panah beracun, maka Ust. Fadlan menanyakan apakah mereka siap untuk mati syahid, dalam
menghadapi hal-hal semacam itu. Ternyata hanya 6 orang yang bersedia untuk mati syahid dan
berani mendampingi ust. Fadlan ke daerah tersebut. Setelah mendekati daerah tersebut, mereka
melihat masyarakat disana sudah siap menghadang mereka dengan senjata-senjata tradisional
mereka. Selanjutnya di tengah perjalanan Ust. Fadlan menanyakan kembali kesediaannya dari 6
orang tersebut, apakah mereka benar-benar siap untuk mati syahid, dan mereka semua
menyatakan siap. Sebelum mereka melangkah, Ust. Fadlan memberikan satu pesan, yaitu jika,
Ust. Fadlan terkena panah dan sudah tidak dapat berdiri, ke-6 orang tersebut harus lari
menyelamatkan diri. Setelah ada kesepakatan, mereka pun melangkah dengan langkah pasti. Dan
masyarakat tersebut pun menyambut mereka dengan panah-panah beracun yang di lepaskan,
hingga ust. Fadlan terkena panah di beberapa bagian badannya, dan akhirnya jatuh
tersungkur, dan ust. Fadlan tetap berusaha untuk berdiri dan terus melangkah walaupun darah
terus mengalir dari tubuhnya, sedangkan ke-6 orang tadi melihat ust. Fadlan telah tersungkur,
dan ingat pesannya, maka mereka pun melarikan diri. Dan melihat keadaan ust. Fadlan yang
masih berusaha untuk berdiri, ketua adat daerah tersebut pun meminta agar masyarakatnya
menghentikan panah-panah beracun. Dia menghampiri ust. Fadlan dan membantunya, Ust.
Fadlan hanya ingin kembali ke tempatnya agar bisa di obati luka-lukanya, dan ketua adat
tersebut mengatakan bahwa dia akan ikut mengantarkannya. Ust. Fadlan mengira bahwa ketua
adat akan menghantarkan dirinya sampai batas desa saja, tetapi ternyata ketua adat
menghantarkannya hingga sampai ke rumahnya, sepanjang perjalanan ketua adat tersebut
mengobati luka-luka Ust. Fadlan dengan bahan-bahan yang ada dari sekitar dan ketua adat
tersebut bahkan berkeras untuk mengikuti ke rumah sakit yang ada di Makassar. Setelah pulang
ketua adat tersebut akhirnya mengikrarkan diri masuk Islam.

==

Ust.Fadlan pernah bercerita pula karena dia berkulit gelap, sewaktu dia memberi salam kepada
saudaranya yang muslim, saudara-saudara yang muslim belum tahu kalo dia muslim tidak pernah
menjawab salam-salam beliau, padahal Rasulullah mempunyai seorang sahabat yang selalu
mengumandangkan adzan yang mantan budak dan berkukit, dialah Bilal dan Islam sendiri tidak
pernah membedakan warna kulit seseorang, bahkan dalam Al-Qur’an manusia di ciptakan
berbeda untuk saling mengenal.

Dakwahnya yang beliau lakukan tidak pernah berhenti, selalu berlanjut baik dengan program
pemberdayaan ekonomi. Bekerja sama dengan Baitul Maal Mu’amalat (BMM), selain itu, Fadlan
mendirikan lembaga sosial dakwah dan pembinaan SDM kawasan Timur Indonesia Al Fatih
Kaaffah Nusantara (AFKN). Dengan lembaga tersebut, orang-orang Irian diajak membuat
produk seperti buah merah, ikan asin, dan manisan pala bermerk BMM AFKN. Pasarannya
sudah masuk di Jakarta, termasuk Carefour. Selain itu, Sagu irian juga diekspor ke India.

SDM pun juga tidak ketinggalan. Anak-anak muda dalam bimbingan lembaga tersebut sudah
tersebar di seluruh indonesia demi menuntut ilmu guna memajukan kehidupan di tempat dimana
matahari terbit pertama kali memberikan cahayanya (Nu Waar) untuk Indonesia.

Selain itu pula, beliau bersama dengan Badan Wakaf Qur’an beberapa tahun lalu pernah
mengusahakan agar masyarakat di Papua mengupayakan mendapatkan Al-Qur’an untuk di
tadaburi, dan juga pembangunan tenaga Listrik Mikro Hidro (sumber air yang berlimpah) agar
dapat memberdayakan masyarakat disana jika listrik telah di pasang.

Itulah beberapa sekelumit kisah perjuangan seorang da’i yang tidak kenal lelah untuk
mengenalkan masyarakat di sekitarnya untuk mengenal sang Pencipta. Subhanallah!!
————————

Yang ini saya kutip dari website AFKN yang merupakan wawancara dengan suara HIdayatullah

Cita-citanya sungguh mulia, yaitu mendengar suara azan Shubuh berkumandang di seantero
tanah Papua alias Irian, sehingga mampu “membangunkan” kaum Muslimin di Indonesia.
Berbagai upaya pun dilakukan.

Hasilnya: 900-an masjid telah tersebar di Papua, ribuan orang dimandikan secara massal, diajari
cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah syahadat.

Saat ini 1.400 anak asli Papua telah disekolahkan gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai
pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi,
dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah ada 29
orang yang menggondol gelar S-2.

Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah
Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-
Garamatan (40).

Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah
Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-
Garamatan (40).

Dakwah di Papua memang istimewa. Tantangan alam begitu berat. Kultur dan kebiasaan
masyarakat pun tak mudah ditaklukkan. Biayanya tinggi. Belum lagi harus berpacu dengan
misionaris, yang selama ini sukses mencitrakan Papua identik dengan Kristen.

“Namun berdakwah di wilayah seperti itu luaarr biasa nikmatnya!” ujar Fadzlan dengan mata
berbinar.

Nikmat, sehingga pria kelahiran Fak-Fak ini senantiasa menyunggingkan senyum meski harus
jalan kaki berhari-hari demi menemui warga binaan. Bahkan tetap tersenyum mendakwahi
seseorang yang telah tega memanahnya sehingga siku tangan kanannya berdarah-darah.

Perbincangan berlangsung di markas AFKN di Bekasi (Jawa Barat), suatu sore ketika hujan
rintik-rintik, ditemani manisan pala, sagu, teh manis, serta kerupuk ubi suku abun Sorong yang
rasanya benar-benar khas.

Apa kabar Ustadz?

Alhamdulillah. Maaf Anda terpaksa menunggu. Saya baru pulang dari (Pelabuhan) Tanjung
Priok, mengirim sabun, sarung, mukena, Al-Qur`an, sajadah, dan pakaian ke Papua. Kemudian
ke Departemen Agama, mengurus pengangkatan tenaga penyuluh agama.

Seberapa sering pengiriman bantuan semacam itu dilakukan?


Paling tidak seminggu dua kali. Setahun kami kirim sekitar 29 ton pakaian layak pakai. Orang-
orang PT Pelni sampai komentar, “Pak Fadzlan ini kerjaannya ngurusin pakaian bekas melulu.”
Biar saja, memang kenyataannya begitu.

Dakwah saya di berbagai majelis taklim di Jakarta, akhirnya ya urusan sabun dan pakaian. Saya
bilang, “Daripada pakaian Anda dibuang-buang, kirimlah kepada saya.”

Barang kiriman itu bertruk-truk. Bahkan AFKN (atas kerjasama dengan instansi pemerintah)
pernah mengirim belasan sepeda motor untuk keperluan operasional para da’i. Pelabuhan pun
kami buat sibuk. He…he…

Mengapa barang-barang semacam itu penting bagi kaum Muslimin Papua?

Sebelum berdakwah, kami mempelajari medan dulu untuk mengetahui kebutuhan masyarakat.
Apa maunya, akan dibawa ke mana, lalu kami tawarkan konsep. Kalau tidak ada listrik, kami
bikin listrik. Tidak ada air bersih, bikin sarana air bersih. Perlu pakaian, kami drop dari Jakarta,
lengkap dengan mesin jahitnya sehingga mereka bisa berkarya.

Seperti apa gambaran kondisi masyarakat binaan Anda sehingga memerlukan hal-hal di
atas?

Telepon mereka adalah nyamuk, listriknya cahaya bulan dan matahari. Mandi dan pakaian pun
baru dikenalnya. Tentang kondisi alam, semua orang tahulah bagaimana Irian.

Kami lalu peragakan Islam, perilakunya, aturannya. Setelah mereka lihat, kemudian bertanya-
tanya. Misalnya ketika kami shalat, mereka perhatikan mulai dari takbiratul-ihram, ruku’, sujud,
sampai salam. Kami jelaskan dengan bahasa sederhana.

Penjelasan seperti apa?

Mereka bertanya, “Kenapa Anda angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara?” Saya jelaskan
bahwa bapak dan ibu kami beragama Islam. Kami diperintah oleh Tuhan kami, AllahSubhanahu
wa Ta’ala, dalam satu hari lima kali menghadap-Nya. Ketika mengangkat tangan itu, kami
menyebut Allah Maha Besar. Dia yang pantas dibesarkan, sementara kami ini nggak ada
maknanya.

Mereka bertanya lagi, “Kenapa membungkukkan badan?” Supaya menyaksikan bahwa Allah
menyediakan kekayaan alam di bumi. Ada batu, pohon, sayur, ikan. Ketika mengambil kekayaan
alam, manusia tidak boleh sombong dan merusak, maka kami menunduk.

“Kenapa mencium papan?” Di pedalaman, kami membuat tempat shalat di panggung, karena
banyak babi berseliweran seperti mobil di Jakarta. Kami sujud, agar bisa menangis karena suatu
hari nanti tubuh ini akan kembali dilebur dengan tanah.

“Mengapa menengok ke kanan dan kiri kemudian mulutnya bicara-bicara?” Itu salam. Setelah
berkomunikasi dengan Allah, kami harus menengok ke kanan dan kiri, mungkin ada orang yang
belum berpakaian, maka kami ajari berpakaian. Jika ada yang belum mandi, tugas kami
mengajari mandi. Bila belum ada yang pintar, tugas kami mengajar. Tumbuhlah hubungan
dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia di atas bumi. Terciptalah kedamaian dan
keamanan.

Alhamdulillah, penjelasan semacam itu mampu mengetuk hati orang yang belum mengenal
Islam. Mereka lantas bilang, “Kalau begitu, kami masuk Islam.” Ada yang bersyahadat sendiri,
banyak pula yang massal.

Ketika menjumpai masyarakat yang belum berpakaian, apa yang Anda lakukan?

Pakaian memang proses awal yang agak susah. Ini sasaran dakwah yang benar-benar pemula.

Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun ketika mereka memakainya dan
lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Kami bawakan cermin. Ketika masih
telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka
merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus.

Bagaimana Anda menjelaskan fungsi pakaian?

Kami kisahkan tentang Nabi Adam ‘alaihissalaam. Barangkali pakaian koteka itu seperti
Adam dan Hawa yang telanjang ketika diusir dari surga. Tapi setelah ada ilmu, maka tidak boleh
lagi berpakaian seperti itu. Manusia kan punya akal, bukan binatang. Lalu kami perkenalkan
pakaian, cara memakai, dan semacamnya. Kini kami kewalahan memenuhi permintaan
pakaian. Alhamdulillah.

Bagaimana mengajari kebiasaan mandi?

Memang mereka mandinya dengan melulur minyak babi di tubuh. Kenapa begitu? Katanya
untuk menghindari nyamuk dan udara dingin.

Kami ajari mereka mandi dengan air dan sabun. Tak jarang harus mandi massal orang
sekampung. Ibu-ibu keramas memakai sampo.

Pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Tanpa dibilas, dia
langsung keliling kampung karena merasa amat senang dengan bau wangi sabun di tubuhnya.

Kami lakukan dakwah tentang kebersihan itu dengan bertahap. Akhirnya mereka menyadari, ini
anak-anak Islam ternyata lebih meyakinkan dibanding orang-orang bule yang biasa
mendatanginya dengan naik pesawat.

Apa yang Anda jelaskan tentang makna kebersihan?

Misalnya tentang wudhu, kami jelaskan bahwa hidup ini harus bersih. Sebelum menghadap-Nya,
kami diperintah untuk bersih dulu. Dengan demikian, ketika ber-takbiratul-ihram, Allah akan
mengatakan, “Tangan kamu sudah dicuci, sudah bersih.” Mulut yang mengucap “Allahu
Akbar,” juga bersih. Begitu juga bagian tubuh lainnya. Nah, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu
sudah bersih, mari tegakkan harumnya Islam di tengah-tengah kita.

Bagaimana menjelaskan aspek kebersihan dan pakaian, khususnya untuk kaum wanita?

Ini diajarkan oleh akhwat-akhwat binaan kami, yang tak kalah semangatnya di “medan tempur”,
terutama bila kondisi geografisnya tidak terlampau sulit. Bahkan kami pernah dakwah dengan
salon.

Maksudnya?

Ceritanya bermula dari akhwat binaan kami yang jadi karyawan salon di Mojokerto (Jawa
Timur). Dia jadi familier dengan masalah kecantikan. Rambutnya di-rebounding sehingga lurus,
tubuhnya (maaf) bersih.

Suatu saat dia pulang kampung ke Enarotali, Paniai, dan ceramah. Ibu-ibu kagum. Ini anak jadi
cantik, lancar mengaji, bisa ceramah, tutup auratnya pake mukena. Dia katakan, perubahan fisik
dan keilmuannya itu karena ajaran Islam. Akhirnya ibu-ibu bilang, “Kami mau masuk Islam tapi
pingin cantik seperti kamu.”

Kami kemudian menyewa perlengkapan salon dan dibawa ke kampung itu, selama 3
bulan.Alhamdulillah, banyak yang akhirnya bersyahadat.

Bagaimana mengajarkan pemahaman tauhid kepada penganut kepercayaan animisme-


dinamisme seperti di Papua?

Aspek perilaku sangat menentukan. Ada orang yang takut dengan pohon besar. Kami tunjukkan
bahwa di pohon tidak ada yang perlu ditakuti. Ada komunitas yang suka berperang, maka kami
jelaskan agar tidak melakukannya lagi, apalagi jika sudah sama-sama bersyahadat. Yang suka
mencuri, kami larang karena itu merugikan.

Kami jelaskan hal itu mulai dari tokoh masyarakatnya, semisal kepala suku. Dia yang kemudian
akan mengkampanyekan ke masyarakatnya. Bahkan kalau di situ ada misionaris, mereka sendiri
yang mengusirnya. Pernah ada sekelompok masyarakat yang memasang kayu-kayu di lapangan
terbang perintis agar misionaris tak bisa mendarat. Kami tidak menyuruhnya, tapi mereka sendiri
yang berinisiatif melakukannya.

Pernah ada bentrok?

Banyak. Tombak, panah, diusir, adalah hal yang biasa menimpa kami. Namun saya sampaikan
kepada teman-teman agar tombak itu dijadikan shiraathal-mustaqiim. Kalau dipenjara, jadikan
itu sebagai rumah surga awal. Jika difitnah, itu adalah untaian hidup dan puisi baru kita. Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dilempari, dicaci-maki, difitnah, tapi beliau
terus menebarkan senyum. Subhanallah!

Anda sendiri pernah mengalami tindak kekerasan?


Pernah kena panah, sampai ini patah (sambil memperlihatkan bekas tusukan panah di lengan
kanannya), bengkok sampai sekarang. Tapi bagi kami, tidak perlu bicara tantangan. Seorang
yang mau maju, bicara kebajikan, pasti ada tantangan. Itu hal biasa bagi seorang da’i.

Bagaimana kejadiannya?

Sekitar tahun 1994, antara wilayah Mapenduma dan Timika. Saya bersama delapan orang da’i
sedang survei ke sebuah kampung untuk dijadikan binaan. Tiba-tiba tangan saya kena panah.

Saya tidak tahu persis penyebabnya. Barangkali karena pemanah itu belum memahami apa yang
kami lakukan. Bisa pula orang-orang itu diprovokasi pemahaman yang keliru. Atau mungkin
kami hanya salah sasaran konflik aparat dan kelompok yang menyebut dirinya Organisasi Papua
Merdeka (OPM).

Apa yang kemudian Anda lakukan?

Anak panah itu dicabut, lalu kami bakar pisau kemudian ditusukkan ke luka itu agar racunnya
tidak bekerja. Kemudian saya ke dokter.

Dokter dimana?

Di Timika. Jalan kaki empat hari. Alhamdulillah lukanya tidak terus mengeluarkan
darah.Alhamdulillah pula orang yang memanah itu akhirnya masuk Islam.

Bagaimana bisa?

Nabi itu, diapain saja oleh lawan yang memang belum faham, tetap tersenyum. Allah pun
berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Apalagi jika hal itu dilakukan ketika dia sakit, atau saat susah. Saat itulah insya Allah akan gugur
naluri kebenciannya. Itu pula yang saya lakukan terhadap orang itu.

Menurut pengamatan Anda, apakah orang yang kemudian memeluk Islam berubah
menjadi lebih baik?

Luar biasa. Setiap ke mushalla atau masjid, mereka mengaku merasa tenang. Barangkali
Islamnya justru lebih baik dibanding saya. Mereka itu sangat jujur. Perang antar suku pun
akhirnya berhenti.

Ada seorang kepala suku yang menyatakan masuk Islam, kemudian dianiaya sekelompok orang,
ditindih kayu, ditelanjangi, namun tetap teguh memegang syahadat. Luar biasa. Saya menangis
bila menjumpai hal seperti ini.

Pernahkah punya pengalaman mengesankan terkait dengan pensyahadatan massal,


misalnya?
Pernah di kawasan Sorong. Ketika banyak orang bersyahadat, pohon di sekelilingnya seperti
merunduk. Padahal tak ada angin tak ada hujan. Kawanan rusa liar pun tiba-tiba tenang, tidak
bergerak. Wallahu a’lam, barangkali mereka selama ini belum pernah mendengar kalimat suci
itu dari mulut manusia, meski semua makhluk sebenarnya selalu bertasbih menyebut asma-Nya.

Menilik apa yang Anda lakukan, tampaknya memerlukan waktu lama untuk berdakwah
di suatu lokasi ya?

Paling tidak lima tahun di suatu tempat. Ada da’i yang musti stand by di sana. Saya sendiri jaga
markas di Jakarta, namun sering mengunjungi mereka di berbagai daerah. Sekali ke Papua, saya
bisa menghabiskan waktu 9 bulan. Kemudian ke Jakarta untuk bikin proposal, mendapat
bantuan, lalu ke Papua lagi.

Selama 9 bulan itu, apa saja yang Anda lakukan?

Keliling ke desa-desa binaan. Safari ini berfungsi untuk mendata kebutuhan masyarakat dan
mengevaluasi perkembangan dakwah.

Apakah da’i yang stand by itu kader binaan AFKN?

Ya, tapi kami juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan
Hidayatullah.Alhamdulillah, sebagian da’i itu kini sudah tercatat di Departemen Agama sebagai
penyuluh, sehingga punya gaji.

Semua da’i itu asli orang Papua?

Kebanyakan asli Papua, namun tak sedikit pula yang dari luar. Keduanya kami “kawinkan”,
saling melengkapi.

Da’i asli Papua lebih bagus pendekatan sosial-kemasyarakatannya. Itulah sebabnya mereka
bertugas “membuka lahan” dakwah. Banyak warga yang kemudian bersyahadat.

Sementara da’i non-Papua biasanya unggul dalam hal ilmu agama dan keterampilan. Mereka ini
bertugas meneruskan apa yang telah dirintis da’i asli Papua.

Seberapa banyak da’i dari luar Papua yang aktif bersama AFKN?

Alhamdulillah banyak. Ada yang dari Garut, Tasikmalaya (Jawa Barat), Lamongan, Gresik
(Jawa Timur), Makassar, dan lain-lain. Para da’i ini punya keterampilan lain sehingga bisa
mengembangkan berbagai potensi yang ada di Papua.

Tidak mengalami kendala bahasa?

Memakai bahasa Indonesia saja, insya Allah masyarakat bisa mengerti. Memang akan lebih
bagus kalau bisa bahasa setempat. Tapi harap tahu, di Papua ada 234 bahasa.
Anda sendiri bisa berapa bahasa?

Alhamdulillah, Allah kasih anugerah saya bisa berkomunikasi dalam 49 bahasa.

Subhanallah, banyak sekali, misalnya bahasa apa?

Bahasa Kokoda, Kaimana, Wamena, Asmat, Babo, Irarutu, dan sebagainya. * (red)

[1]

Sempat menjadi PNS di Jayapura, tapi kemudian memilih berhenti karena atasannya menyuruh
melakukan manipulasi dana negara. Apalah artinya uang sejuta, dua juta, tiga juta, atau bahkan
ratusan juta jika meletakkan kaki di neraka? Maka, dengan tekad bulat ia putuskan berjuang di
jalan dakwah. Perdebatan dengan Para Pendeta sudah hal biasa. Berjalan berhari-hari menembus
hutan-hutan ganas Papua juga sudah biasa. Bahkan sambutan panah dan tombak tak sedikitpun
melemahkan semangatnya untuk menyebarkan Islam

Saat ini, Ustadz Fadlan bersama 600-an da’i sedang berjuang menyebarkan indahnya Islam di
tanah Papua. Melepaskan kebodohan dan berhala-hala keyakinan-pemikiran yang sengaja
disebarkan oleh orang-orang yang ingin masyarakat Papua tetap menjadi orang-orang pinggiran
dan tak berperadaban. Dengan sebuah cita-cita, tahun 2020 nanti Papua akan menjadi SERAMBI
MADINAH, melengkapi SERAMBI MEKKAH di ujung barat Indonesia. Jika di ujung timur
telah terbit cahaya Islam dan di ujung barat cahaya Islam semakin terang benderang. [2]

Ada yang menarik dari kisah pengalaman Ustadz Fadlan Garamatan, yang telah berdakwah
sampai ke pelosok Indonesia Timur, khususnya pelosok Bumi Papua dalam acara Inspiration
Day, Ahad (13/7) lalu. Tokoh Perubahan Republika 2011 ini ternyata sempat dikenal sebagai
“Da’I Sabun Mandi”. Rupanya, ia, Papua, dan sabun mandi memiliki kisah unik.

Kisah tersebut bermula dari rasa iba Fadlan terhadap saudara-saudaranya sesama penduduk asli
Wamena, Papua. Kebanyakkan saudaranya itu jarang mandi, dan hanya menggunakan daun atau
koteka sebagai penutup tubuh. Tak heran, kepercayaan mewajibkan mereka untuk tidak
mengenakan pakaian secara utuh. Tidak hanya itu. Alih-alih membersihkan tubuh dengan air,
warga asli Papua itu harus menggunakan minyak babi. Walhasil tubuh mereka bau tidak karuan.

Fadlan pun mencoba mengajarkan mereka tata cara mandi. Sang Kepala Suku ternyata sangat
terkesan dengan wangi shampoo sampai-sampai tidak mau membilas shampoo di rambutnya
selama tiga hari. Begitu wangi shampoo dan sabun mandi hilang, barulah ia akan mandi lagi.
Ternyata seumur hidup ia belum pernah mencium aroma seharum itu.

Dari tata cara mandi, mereka mulai tertarik untuk belajar merawat diri sesuai syariat Islam.
Mereka juga tertarik untuk belajar shalat dan pergi haji. Tak lama kemudian, Sang Kepala Suku
pun mengikrarkan kalimat syahadat.

Bermula dari wangi shampoo, sekitar 3 ribu orang masyarakat menjadi mualaf.
“Alhamdulillah, walaupun awal mulanya berdakwah hanya dengan sabun mandi, mereka semua
pada akhirnya mau masuk agama Islam dan belajar lebih dalam lagi dunia keislaman,” cetus
Fadlan.

Fadlan memiliki prinsip untuk tetap tawakal dan istiqomah dalam berdakwah. Dengan begitu, ia
dapat berdakwah dalam kondisi apa pun. Kini Fadlan masih berupaya untuk menyebarkan nilai
Islam ke seluruh pelosok Papua.

Anda mungkin juga menyukai