Anda di halaman 1dari 228

RANTAI

TA K
PUTUS
Mari kita dukung hak cipta penulis dengan tidak
menggandakan, memindai, atau mengedarkan sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin. Hak cipta bisa menjadi
pendorong kreativitas penulis, penyebarluasan gagasan,
dan penguatan nilai-nilai keberagaman. Terima kasih
sudah membeli buku cetak/digital edisi resmi. Anda
telah turut mendukung penulis dan penerbit agar terus
berusaha membuat buku-buku terbaik bagi semua
kalangan pembaca.
RANTAI
TA K
PUTUS
Ilmu Mumpuni
Merawat UMKM Indonesia

Dee Lestari
Rantai tak putus
Karya Dee Lestari
Cetakan Pertama, Agustus 2020

Penyunting: Dhewiberta Hardjono


Perancang sampul: Fahmi Ilmansyah
Pemeriksa aksara: Rani Nura
Penata aksara: Labusiam

Diterbitkan oleh Penerbit Bentang


(PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi
Jln. Palagan Tentara Pelajar No. 101, Jongkang, RT 004 RW 035, Sariharjo, Ngaglik,
Sleman, Yogyakarta 55581
Telp.: 0274 - 2839636
Surel: info@bentangpustaka.com
Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com
http://www.bentangpustaka.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Dee Lestari
Rantai tak putus / Dee Lestari ; penyunting, Dhewiberta
Hardjono. ― Yogyakarta : Bentang Pustaka, 2020.
vi + 222 hlm.; 20 cm.
ISBN 978-602-291-724-3
1. Filsafat kehidupan. I. Judul. II. Dhewiberta Hardjono.
128

Didistribusikan oleh:
Mizan Media Utama
Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146, Ujungberung, Bandung 40294
Telp.: (022) 7815500 – Faks: (022) 7834244
Surel: mmubdg@mizanmediautama.com

Perwakilan: Medan: Telp./Faks: 061-42905176 Jakarta: Telp.: 021-7874455/Faks: 021-


7864272 Yogyakarta: Telp./Faks: 0274-2839759 Surabaya: Telp.: 031-8281857/Faks: 031-
8289318 Makassar: Telp./Faks: 0411-8948871 Banjarmasin: Telp./Faks: 0511-3252178

Mizan Online Bookstore: www.mizan.com & www.mizanstore.com


Daftar Isi
1. Kisah­yang Penting 1
2. Metalurgi Cita 21
3. Seniman Besi 34
4. Semangat Iban 55
5. Bengkel Penuh Kejutan 70
6. Jalan Berputar 100
7. Tanah Istimewa 118
8. Mendayung Bersama 138
9. Setangguh Baja, Selembut Merpati 168
10. Replikasi Spirit 187
11. Rantai Tak Putus 205
Dari Penulis 211
Tentang Penulis 215
1 Kisah­
yang Penting
Waru, 2005

S
EBUAH mobil bak bermesin diesel bergerak bimbang
di Tol Romokalisari yang lengang pada malam buta.
Posisinya berangsur merapat ke kiri, mendekati truk-
truk bermuatan besar yang bergerak lamban. Separuh
rodanya di lajur darurat, separuh lagi di lajur lambat.

Agus memegang kemudi dengan sebelah tangan. Sebelah lagi


sibuk menyeka mata yang tak henti mencucurkan air mata.
Ia meringis dan mengerang, bukan karena sedih, melainkan
perih dan pendar yang mengganggu penglihatannya sejak
meninggalkan bengkel beberapa jam lalu.

Sedikit lagi, sedikit lagi. Ia berusaha menyemangati diri,


menavigasi arah berdasarkan cuplikan buram di antara
kedipan matanya.

Napas Agus tahu-tahu tertahan. Truk besar berwarna merah


muncul di hadapannya seolah-olah dihadirkan oleh tukang
sulap. Agus membanting setir ke kanan, diikuti pijakan
rem untuk menahan jarak dari mobil angkutan sayuran
yang mengisi jalur kanan. Terdengar klakson meraung dari
belakang. Mobilnya seketika dihujani kedipan lampu jauh
dari mereka yang gusar dengan manuver mendadaknya.

Jantung Agus berdebar kencang. Ia baru saja lolos dari


lubang jarum. Hidup, untungnya, masih berpihak padanya.
Telat sekian detik, ia dan mobilnya sudah menjadi roti
3

lapis di tengah Tol Romokalisari. Ia bisa memicu rangkaian


kecelakaan. Entah berapa nyawa dapat melayang konyol,
semata-mata karena pendar yang tak kunjung padam dan
air mata yang tak henti mengucur. Semata-mata karena ia
tak tahu kapan harus berhenti.

Perlahan, Agus membawa kemudinya kembali ke kiri, ke


lajur darurat, lalu diam di sana. Seusai menarik rem tangan,
menekan tombol hazard, Agus merebahkan jok. Ia meringkuk
sambil sesekali menyeka pipi. Air matanya, meski tetap
terasa sama basah, kini seperti datang dari tempat berbeda.
Tak lagi dari perih fisik, tetapi juga rasa sedih.

Agus meraih telepon genggam yang sejak tadi tergeletak


di jok penumpang. Susah payah ia meraba bentuk-bentuk
huruf yang terbaca buram, mengontak satu-satunya nomor
yang terpikir olehnya pada situasi itu.

“Halo? San?”

“Mas Agus?” Ichsan, adik iparnya di Lamongan, balas


menyapa dengan suara serak. Agus baru saja memutus tidur
adik iparnya yang mulai lelap.

“San, bisa jemput aku?” tanya Agus. “Tapi, tolong, jangan


bilang dulu ke Fidah.”
4

AGUS dikagetkan oleh ketukan beruntun di jendela


mobil. Samar ia menangkap sosok yang ia kenal. Ichsan, adik
iparnya. Ada pria-pria lain yang berdiri di belakang Ichsan,
yang tak bisa ia pastikan identitasnya.

Agus membuka pintu.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ichsan segera.

Agus mengangguk.

“Astagfirullah, Mas. Itu matamu kenapa?”

“Kabur. Nggak bisa lihat.”

“Ketusuk apa gimana?” Seseorang di samping Ichsan


berceletuk.

“Virus itu. Makanya merah begitu. Harus cepat ke rumah


sakit.” Seorang lain menyambar.

“Bukan, bukan.” Agus menggeleng cepat. “Kawanmu dari


mana, toh?” bisik Agus kepada Ichsan.

“Tetangga. Lagi meronda. Cuma mereka yang masih bangun.


Untung mau diajak,” jawab Ichsan.

“Bukan ketusuk, bukan virus.” Seseorang berkopiah


menyeruak. Perawakannya kecil seperti Agus. Suaranya
berwibawa. “Nanti juga hilang sendiri.”

Jantung Agus langsung mengkeret, kekagetannya mirip


dengan saat membanting setir tadi.
5

Pria berkopiah itu menepuk bahu Ichsan dari belakang, “Aku


yang bawa mobil Agus. Kamu ikut mereka saja.” Ia beralih
kepada Agus. “Geser sana.”

Tanpa bicara, Agus beringsut pindah ke jok penumpang.

“Jadi, kita nggak ke rumah sakit?” Ichsan bertanya ragu. Mata


Agus tampak mengkhawatirkan. Sembap seperti disengat
serangga, merah seperti tertusuk sembilu, dan berair terus-
menerus seperti keran bocor.

“Nggak usah.” Pria itu menegaskan. “Kita langsung pulang.”

KADANG Agus bingung harus bagaimana berkomunikasi


dengan adik istrinya itu. Ketika Agus mewanti-wanti Ichsan
untuk tidak bicara kepada Fidah, bukan berarti ada selipan
instruksi agar Ichsan malah melapor kepada ayahnya. Pak
Haji Sulkhan. Abah. Berduaan dengan ayahnya dalam kondisi
fisiknya seperti itu adalah hal terakhir yang Agus inginkan.

Sulkhan melirik kaca spion. Mobilnya, yang dikemudikan


oleh Ichsan, masih tampak membuntuti. Ia lalu melirik Agus
yang sedari tadi diam, rebah dengan mata terpejam. “Berapa
lama?” tanya Sulkhan.

“Apanya?” gumam Agus.

Yang terdengar dari ayahnya hanyalah embusan napas


berat. Menandakan kekesalan atas respons retorik Agus.
6

Mereka berdua sama-sama pandai besi. Mereka sama-sama


tahu maksud dari pertanyaan tadi.

“Delapan jam,” Agus akhirnya menjawab.

“Nggak sekalian otakmu dilas biar terang sedikit?” Sulkhan


berdecak. “Sarjana teknik, kok, malah lebih goblok kerjanya
dari tukangku yang nggak sekolahan. Memangnya matamu
itu dibikin dari beling?”

“Ada order, Bah. Besok harus dikirim.”

“Terus, besok sekalian kamu disembahyangkan, begitu?


Mata sudah nggak bisa dipakai, malah maksa pulang, nyetir
sendiri. Goblokmu itu dobel-dobel, tahu?”

Agus terdiam. Ia sudah menebak percakapan dengan


ayahnya bakal seperti apa. Ia sudah mengantisipasi kata-
kata nyelekit yang akan diluncurkan bertubi-tubi. Diamnya
bukan karena tersinggung, melainkan karena setuju.

Sejak kecil Agus bergaul dengan bengkel dan metal, dengan


sangit aroma besi panas, desingan logam yang saling beradu,
kilau percikan gerinda, dan nyala las yang menyilaukan.
Kesehariannya diisi dengan canda tawa bersama para
pegawai ayahnya di Bengkel Jaya Utama, di Ngelom
Sepanjang. Agus adalah penonton setia mereka.

Jika pegawai ayahnya kerja lembur, kegiatan sore hari


Agus adalah menontoni mereka bekerja. Alih-alih melepas
7

Agus bermain bersama anak-anak tetangga, Sulkhan


menyuruhnya diam di bengkel untuk melihat sambil belajar.
Pada akhirnya, Agus menyelesaikan studi Teknik Mesin di
Institut Adhi Tama Surabaya. Jika ayahnya dan para pegawai
di Bengkel Jaya Utama hanya mampu meraba kualitas serta
interaksi logam lewat pengalaman mata dan kerja, Agus-lah
yang punya kemampuan teknis untuk melakukan metalurgi
lewat uji laboratorium dan perhitungan eksakta.

Hari itu, kecerobohannya mencederai ilmu yang tahunan ia


pelajari. Delapan jam berdekatan dengan las yang membakar
hingga suhu 2.000° Celsius, bukan hanya matanya yang
terkena sindrom fotokeratitis, kemungkinan besar Agus
juga dehidrasi.

“Sampai kapan mau kerja kayak begitu, Gus?” Nada suara


Sulkhan melunak. Amarahnya susut, berganti prihatin.

Agus perlahan membuka mata. Penglihatannya yang kabur


menangkap siluet barisan pepohonan melaju cepat di
bawah langit malam. Dunia seolah berlari meninggalkannya
yang duduk tergeming. Pertanyaan ayahnya barusan
melemparkannya ke masa yang lebih tenang saat ia masih
menjadi karyawan bengkel. Ia seharusnya berbangga. Dua
tahun sudah berlalu, dan ia sekarang memiliki bengkel
sendiri. Namun, hari-harinya kini lebih berat dan menguras.

Kelopak mata Agus kembali mengatup. Ingatannya tertancap


ke mesin pertamanya.
8

Seiring laju mobil yang semakin mendekati Lamongan, Agus


merunut perjalanan hidupnya. Mencari potongan-potongan
kenangan yang akan membuat kejadian malam ini lebih
masuk akal.

Jakarta, 2019
BUKU itu berukuran sedikit lebih kecil dari kertas A4. Isinya
60 halaman. Sampulnya berwarna merah putih dengan judul
Buku Panduan Sektor Unggulan 1.1: Memasang Landasan.

Saya membuka cepat lembar demi lembar, menemukan


diagram, tabel, susunan nomor, abjad, dan butir. Terngianglah
perkataan Henry C. Widjaja, Ketua Pengurus Yayasan
Dharma Bhakti Astra, saat pertemuan pertama kami: “Kami
ingin memuat perjalanan UMKM ke dalam sebuah buku
yang nantinya dikonsumsi publik, bukan sekadar buku
internal perusahaan.”

Saya harus jujur berkata kepada mereka bahwa sebelum


perjumpaan itu, saya belum mengetahui apa “YDBA” atau
Yayasan Dharma Bakti Astra. Saya dapat membayangkan
perusahaan sebesar Astra pasti memiliki yayasan dan
program tanggung jawab sosial, tetapi saya buta sama sekali
tentang kiprah YDBA yang padahal sudah berdiri empat
dekade.

Pada perjalanan mereka yang memasuki tahun keempat


puluh inilah, Pak Henry dan tim merasa sudah saatnya
9

masyarakat luas mengetahui visi YDBA dan capaiannya.


Tujuannya hanya satu, agar spirit YDBA tidak berhenti di
mereka. Mereka percaya spirit yang sama dapat diadopsi
oleh banyak pihak. Spirit yang dapat memajukan banyak
pihak.

Setelah Pak Henry dan tim menjelaskan nilai-nilai YDBA


yang selama ini berusaha ditransfer ke UMKM yang mereka
bina, saya pun diberikan buku merah putih tersebut.
Kembali saya bertumbukan dengan pertanyaan besar
yang belum bisa saya jawab selama berhari-hari setelah
pertemuan kami: bagaimana caranya menerjemahkan isi
buku panduan menjadi sebuah kisah yang dapat dinikmati
publik? Bagaimana menuangkan spirit itu ke dalam tulisan?

Dari penjelasan lisan tim YDBA, saya sudah mendapat


gambaran kasar tentang apa saja yang telah mereka lakukan.
Melalui cabang-cabang YDBA yang disebut Lembaga
Pengembangan Bisnis (LPB), mereka melakukan pelatihan
dan pendampingan untuk UMKM di berbagai daerah.
Tapi, bukankah itu sudah dilakukan oleh berbagai Balai
Latihan Kerja? Oleh beragam diklat yang diselenggarakan
Kementerian Tenaga Kerja? Apa yang membedakan
Lembaga Pengembangan Bisnis-nya YDBA dengan upaya-
upaya sejenis dari pihak swasta lainnya?

Urgensi sebuah cerita tidak bisa dipaksakan. Ia harus


hadir secara organik, tidak disematkan atau dijejalkan.
10

Mendengarkan penjelasan selama satu setengah jam sambil


santap siang baru menggaruk permukaan saja. Penjabaran
program YDBA tertulis lengkap
dalam buku panduan tersebut,
Urgensi sebuah tetapi semua diagram dan tabel
cerita tidak tidak akan sanggup bercerita
bisa dipaksakan.
tentang apa yang terjadi di luar
Ia harus hadir
sana, seberapa jauh program
secara organik.
mereka mengubah orang-orang
yang disentuhnya.

Saya lalu menutup buku panduan itu, memejamkan mata,


dan mencoba meminggirkan sejenak permintaan Pak Henry
demi menjawab sebuah pertanyaan yang lebih mendasar:
bagaimana caranya saya menerjemahkan buku panduan ini
menjadi sebuah kisah yang penting bagi saya?

Waru, 2003
KOTAK susu UHT berwarna biru bertumpuk rapi di atas
nampan. Dalam waktu singkat, tumpukan itu terurai. Satu
demi satu karyawan Badja Teknik mengambil jatah susu
mereka. Merupakan kelaziman bagi penyedia bengkel
manufaktur untuk memberikan jatah susu kepada karyawan
secara rutin. Susu dipercaya menetralisasi efek buruk
pengelasan dan mencegah sindrom demam inhalasi pada
pekerja logam. Bengkel tempat Agus bekerja termasuk yang
tidak pelit. Setidaknya mereka diberi susu cair murni, bukan
kental manis, susu bubuk, ataupun krimer.
11

Agus mengambil jatahnya, lalu mengoper satu kotak kepada


kawannya, Supri. Dari semua karyawan Badja Teknik, Supri
adalah kawannya yang paling dekat. Sebagai karyawan
yang lebih senior, Supri juga merangkap mentor bagi Agus.
Mereka berdua berjongkok di lantai sambil menghirup susu
masing-masing.

Rehat siang pada hari Sabtu adalah oasis singkat yang


dinantikan di bengkel. Setiap Sabtu mereka hanya bekerja
setengah hari. Pada saat rehatlah, mesin berhenti mengentak
dan berdesing, berganti dengan suara seruput orang minum
susu dan sayup lagu-lagu yang diputar acak dari radio.

Kotak susunya masih terasa dingin dalam genggaman. Aliran


cairan dingin di kerongkongan menyejukkan udara yang
panas di bengkel. Menyegarkan pikirannya. Ide itu terasa
semakin mantap. “Aku mau beli mesin ini, Man,” ucap Agus.

Supri mengedarkan pandangan.

“Mesin apa?”

Agus menepak mesin yang mendengungkan bunyi rendah


di samping mereka. Mesin wire cut bercat hijau-abu dengan
layar monitor yang masih menyala.

Supri nyaris memuncratkan susu di mulutnya. Dengan


senyum tersungging, ia memutuskan untuk meladeni Agus.
“Mesin ini? Atau, mesin kayak begini?”

“Mesin ini.”
12

Senyum Supri melebar. “Kapan?”

“Hari ini.”

Senyum Supri memudar. Agus yang ia kenal memang punya


sifat nekat. Tapi, seharusnya ada batas tegas antara nekat
dan kurang waras.

“Mau tak ambilkan susu lagi, Gus?”

Agus tak menanggapi. Perhatiannya terfokus ke kantor


administrasi. Satu-satunya ruangan ber-AC di bengkel
itu, yang biasanya cuma dihuni oleh seorang staf admin.
Bosnya, Karyadi, tak selalu di sana. Beliau hampir selalu ada
di bengkel, atau di luar. Namun, siang itu, Karyadi terlihat
sedang di dalam, bertelepon sambil duduk bersandar ke
meja admin.

“Aku ketemu Pak Karyadi dulu,” kata Agus seraya berdiri.

“Gus!” sergah Supri. Ia menarik Agus untuk kembali


berjongkok. “Ada empat lulusan ITATS di sini. Dari kalian
berempat, cuma kamu yang disuruh ngasih makan ayam.”

Di bengkel itu, ada bos kedua. Ayahnya Karyadi yang sudah


lanjut usia. Ia memelihara banyak ayam petelur. Entah
kenapa, dari semua karyawan bengkel, ia memilih Agus
sebagai pekerja tak resmi dari peternakan ayamnya. Kalau
terlihat Agus sedikit saja menganggur, sudah pasti Agus akan
dikirim ke kandang ayam, memberi makan atau menghitungi
telur. Bagi Agus, itu kutukan. Bagi Supri, itu hiburan. “Terus,
13

sekarang kamu mau ke sana, bilang mau beli mesinnya ini?”


tanya Supri lagi.

“Iya.”

“Kamu dendam gara-gara disuruh ngitung telur?”

“Ndak.” Agus mengernyitkan kening.

“Nggak gitu caranya, Gus.”

“Lha? Cara apa lagi? Aku memang mau beli.” Agus kembali
berdiri, lalu berjalan ke arah kantor dengan langkah-langkah
besar.

“Celaka.” Supri bergumam di samping mesin.

KETIKA rehat makan siang selesai, satu bengkel sudah


mengetahui kabar tentang Agus Sholeh Kurnia—si karyawan
kemarin sore, sarjana bau kencur, tukang kasih makan
ayam—baru disemprot habis-habisan gara-gara kepingin
beli mesin wire cut seharga dua ratusan juta milik Bos.

Menjelang bubaran bengkel, Supri menghampiri Agus yang


mengisap rokok putihnya dengan wajah mutung di pojok
halaman depan, bersisian dengan pohon belimbing yang
separuh batangnya tertelan oleh tanaman rambat. Supri
ikut menyalakan sebatang.
14

“Kamu mainnya nggak cantik, Gus.”

“Cantik opo toh? Aku betulan kepingin beli mesin.”

“Beli pakai daun cincau?” Supri menunjuk ke daun-daun


cincau yang membelit pohon belimbing.

“Aku akan pinjam ke bank.”

Air muka Supri berubah. “Kamu serius, ya, Gus?”

“Dari tadi juga serius, tapi nggak ada yang percaya,” dumel
Agus. “Aku sudah telepon Bapak. Bapak mau jadi penjamin
ke Pak Karyadi.”

“Bapakmu bakal kemari? Hari ini?”

“Sebentar lagi.” Agus mengangguk. “Sebelum bengkel tutup,


Bapak akan ketemu sama Pak Karyadi.”

Supri mengisap sisa rokoknya dengan terburu-buru. Haji


Sulkhan, ayah Agus, adalah salah seorang pemilik bengkel
yang terkenal di Sidoarjo. Bukan karena ukuran bisnisnya,
melainkan karena beliau adalah tokoh masyarakat yang
disegani. Sementara Karyadi dan ayahnya adalah pemilik
perusahaan importir mesin paling bonafide di Waru.

Supri pernah bertanya kepada Agus, mengapa tidak memilih


kerja di bengkel ayahnya saja, malah di tempat lain. Agus
beralasan, ilmunya sudah mentok jika dipakai di bengkel
ayahnya, berbeda dengan Badja Teknik yang punya cakupan
15

mesin yang lebih rumit dan beragam. Ke arah sanalah Agus


ingin berkembang.

Membayangkan kedua pria itu, Haji Sulkhan dan Karyadi,


sampai melakukan pertemuan gara-gara Agus berulah, akan
membuat hari ini bertambah seru. Supri tak sabar ingin
segera menyebar kabar ke rekan-rekan kerjanya.

TAK sampai sepuluh menit Supri dan kawan-kawannya


menunggu. Di mulut gang, terlihat sosok Sulkhan yang
berkopiah sedang berjalan menuju bengkel. Sebagian besar
mesin sudah mati. Supri berharap suara-suara dari balik
pintu kantor akan lebih jelas terdengar keluar. Syukur-
syukur kalau ada yang lalai menutup pintu kurang rapat.

“Agus mana?” Supri berbisik kepada teman di sebelahnya.

“Di toilet.”

Supri berdecak gelisah. Jangan sampai momen puncak


yang dinantinya rusak hanya gara-gara Agus telat muncul.
Namun, Sulkhan sudah keburu masuk kantor. Pintu itu,
syukurnya, dibiarkan terbuka.

Tampak ekspresi kaget Karyadi ketika melihat tamunya.


“Lho. Pak Haji? Apa kabar? Tumben kemari.”

Keduanya bersalaman.
16

Melihat itu, napas Supri menghela kecewa. Bahwa keduanya


saling kenal otomatis mematikan sumbu antisipasi ledakan
yang mereka nanti-nanti.

“Anakku mana?”

“Anak Pak Haji? Memang ada yang ikut kemari juga?”

“Anakku, kan, kerja di sini.” Sulkhan tertawa ringan.

“Lho. Siapa?”

Keluar dari toilet, mendengar suara yang dikenalnya, Agus


buru-buru masuk ke ruangan kantor.

“Ya, ini!” Sulkhan menunjuk Agus.

Kekagetan Karyadi disambung oleh kemurkaan ayahnya,


yang ternyata duduk menyempil di pojok sambil mengelus
seekor ayam di pangkuan. Laki-laki itu memelototi Agus.
“Jadi, kamu anaknya Pak Haji Sulkhan? Kenapa nggak bilang-
bilang dari dulu?”

Dari jauh, Supri tersenyum puas. Meski kericuhan yang


terjadi tidak seperti yang ia bayangkan, tetapi melihat Agus
didamprat dua kali sudah cukup menjadi hiburan hari itu.

DUA gelas teh hangat di meja makan menyambut mereka


sepulang dari bengkel. Ada sepiring ubi goreng dan segepok
kacang rebus. Dalam situasi normal, segelas teh dan
17

setidaknya setengah piring makanan itu sudah tandas oleh


Agus sejak tadi. Akan tetapi, baik gelas maupun camilan
sorenya tak tersentuh.

Bayangan mesin pertama miliknya sendiri terasa mendesir­


kan darah. Agus tak ingat kapan kali terakhir semangat
mengaliri tubuhnya sedemikian rupa. Bulu kuduknya
merinding. Bukannya ia tak mensyukuri pekerjaannya
di Bengkel Badja Teknik. Ia tahu masih banyak lulusan
seangkatannya yang menjadi pengangguran. Tapi, Agus juga
tahu ia tak akan berlama-lama menjadi karyawan orang.
Panggilan terkuat yang ia selalu rasakan adalah memiliki
usaha sendiri. Persis ayahnya. Tidak. Harus lebih.

“Kamu berutang bukan sama Abah. Kamu berutang sama


bank.” Suara tegas ayahnya memecah mimpi siang bolong
Agus yang sudah bercabang liar.

“Nggih, Bah,” Agus menjawab cepat.

Tanpa penjelasan lebih lanjut, Agus paham implikasi dari


kalimat ayahnya. Jika sampai angsurannya macet, Agus akan
menanggung sendiri konsekuensinya dengan pihak bank.

“Sudah tahu mau kamu apakan itu mesin?”

“Sudah, Bah,” jawab Agus dengan mantap.

Sejujurnya, Agus tak tahu pasti. Yang ia tahu, ia punya


kemampuan untuk memanfaatkan mesin itu sebaik
mungkin. Ia dapat mengerjakan orderan dari perusahaan
18

kasur pegas yang membutuhkan rangka, dan masih banyak


lagi kemungkinan lain. Ia harus mampu memutar uang
sedemikian rupa hingga mesin itu membiayai dirinya sendiri.

Intuisinya tak keliru. Dalam beberapa bulan setelah memiliki


mesin, Agus memiliki dua orang karyawan. Angsurannya
kepada bank berjalan lancar, bahkan cukup untuk menggaji
dua karyawannya. Namun, Agus pun menyadari, ia harus
bertumbuh lebih besar. Untuk itu, ia harus melakukan yang
lebih besar lagi.

Jakarta, 2019
TIDAK saja saya buta soal kiprah YDBA, saya pun harus
mengakui bahwa saya buta soal UMKM.

Saya lalu memulai riset kecil-kecilan tentang UMKM,


membaca artikel dan menelaah data-data dari Badan
Pusat Statistik. Sebagai orang awam, saya terpukau ketika
menemukan angka 99,9%. Sebanyak itulah porsi UMKM
dalam kue unit usaha yang berlangsung di negara ini.
Persentase perusahaan besar hanya 0,1% dari keseluruhan
unit usaha di Indonesia, tetapi menyumbang lebih dari 37%
kepada GDP negara. 63% sisanya disumbangkan oleh usaha
mikro hingga menengah.

Angka itu menyadarkan saya bahwa hidup kita dikelilingi


dan digerakkan oleh UMKM. Tak berlebihan jika muncul
ungkapan bahwa “UMKM adalah kita”.
19

Hidup kita dikelilingi ­


dan digerakkan oleh UMKM.
Tak berlebihan jika muncul
ungkapan bahwa
“UMKM adalah kita”.

Penelusuran saya berlanjut, dan saya menemukan kenyataan


yang mencambuk. Dari total 99,9% UMKM, usaha mikro
mendominasi di angka 98,7%. Angka ini sangat besar, dan
sayangnya, belum banyak berubah selama sepuluh tahun
terakhir. Indikasi yang terbaca dari situasi tadi adalah, usaha
mikro di Indonesia belum mengalami kenaikan kelas yang
berarti.

Pendapatan usaha mikro rata-rata 250 ribu rupiah per hari.


Bandingkan dengan perusahaan besar yang bisa mencapai
pendapatan 3 miliar per hari—lebih dari 12.000 kali lipat.
Besarnya kesenjangan ini menunjukkan sekaligus banyak
hal. Pertama, usaha mikro rentan tekanan persaingan. Kedua,
usaha mikro yang masif menyimpan potensi yang­­
juga
masif. Ketiga, pendampingan terhadap usaha mikro-kecil-
menengah sangatlah krusial agar terjadi peningkatan kelas
yang lebih cepat. Besarnya porsi UMKM dalam dunia usaha
kita menciptakan sebuah perbandingan lurus. Perbaikan
kualitas pada UMKM sama artinya dengan perbaikan bagi
masyarakat secara luas.

Yang licin dari pendampingan adalah proses tersebut


merupakan tarian dua arah. Yang kecil harus mau membuka
20

diri, yang sudah besar harus mau berbagi. Yang besar tidak
bisa serta-merta mengatrol begitu saja, dan yang kecil tidak
cukup hanya menengadahkan tangan. Keduanya harus
bekerja sama. Keduanya harus maju bersama.

Pendampingan merupakan tarian


dua arah. Yang kecil mau membuka
diri, yang besar mau berbagi.
Keduanya harus bekerja sama.
Keduanya harus ma ju bersama.

Sontak saya teringat satu kalimat Pak Henry saat pertemuan


kami. “Sejak empat puluh tahun YDBA berdiri, prinsip yang
kami pegang teguh adalah maju bersama.”

Saya kemudian meraih telepon genggam. Mengetikkan


pesan:

Pak, saya bersedia.

Tak lama, balasan masuk: Apa yang kira-kira Mbak Dewi


butuhkan untuk persiapan menulis?

Saya membalas: Saya perlu bertemu langsung dengan UMKM


yang dibina YDBA.
2 Metalurgi
Cita
Waru, 2020

S
aya berkenalan dengan Agus Sholeh Kurnia ketika
ia sudah menjadi pemilik CV Asia Teknik, sebuah
UMKM manufaktur di salah satu sentra industri logam
terkemuka Jawa Timur, yakni Desa Ngingas di Kecamatan
Waru.

Tempat kami bertemu, bengkel sekaligus kantor yang


bertempat di Jalan Raya Ngelom, hanyalah satu dari tiga
lokasi bengkel milik Agus. Berbagai mesin dengan spesifikasi
berbeda-beda tersebar ke tiga lokasi tersebut.

Agus menyambut saya dengan senyum lebar dan jabat


tangan yang mantap. Siang itu, ia terlihat fit dan gesit,
mengenakan kemeja polo putih, celana jogger hitam, dan
sepatu olahraga. Kulitnya cokelat matang. “Bukan gara-
gara kebanyakan di bengkel, lho, Mbak. Memang sudah dari
pabriknya begini. Kami tujuh bersaudara. Saya yang paling
ireng.” Ia menjelaskan perihal warna kulitnya sambil tertawa.
Suaranya nyaring dan tinggi.

Ruang bercat krem tempat kami duduk, meski mungil,


terlihat rapi dan berkelas. Ada komputer desktop di meja
kerja Agus, berhadapan dengan kursi eksekutif beroda yang
memunggungi lukisan Menara Eiffel bergaya kontemporer.

“Kurang asem itu si Supri,” katanya seusai menceritakan


kisah mesin pertamanya. Nadanya yang ceria menandakan
pengalamannya hari itu telah berubah menjadi kenangan
23

manis. Percakapan pada malam buta dengan ayahnya di


jalan tol merupakan titik terendah yang memantik Agus
untuk melakukan perubahan. Tujuh belas tahun berlalu
sudah. Perjalanan Agus sebagai pengusaha logam ternyata
panjang dan berliku.

“Mesin yang dulu itu masih ada, Mas?” tanya saya.

“Ada. Tapi, nggak di sini. Di Lamongan. Sekarang mesin wire


cut saya ada lima,” lanjutnya dengan senyum.

Nadanya berubah serius ketika menceritakan masa awal di


Ngingas.

Keterlibatan Agus dalam industri teknologi tepat guna


menjadi batu pijakan pertamanya. Ia berjumpa dengan
sebuah perusahaan yang mendapatkan tender teknologi
tepat guna dari pemerintah untuk membuat mesin pencacah
sampah. Di situlah Agus melihat kondisi timpang yang
sekaligus menjadi peluang.

Ternyata, di luar sana banyak perusahaan menang tender


karena punya surat-surat dan dokumen kuat, tetapi
sesungguhnya tak punya kapabilitas produksi. Sebaliknya,
banyak perusahaan manufaktur yang berkapabilitas
produksi, tapi lemah urusan dokumen. Agus, salah satunya.
“Saya punya keahlian, punya mesin, tapi saya nggak bisa
tembus tender karena saya nggak punya surat-surat dan
dokumen yang jadi prasyarat,” katanya.
24

Memakai bendera perusahaan temannya, di celah itulah


Agus masuk. Menjadi subkontraktor dari perusahaan
pemenang tender.

Order pertamanya adalah tiga mesin pencacah sampah


dengan total harga 60 juta. Order dengan rupiah terbesar
sejak bisnisnya dirintis. Ia bahkan tak bisa tidur semalaman
membayangkan apa saja yang bisa dilakukan dengan 60 juta
di tangan.

“Prosesnya ternyata berat,” katanya mengenang masa


itu. “Menang tender justru membawa saya ke masa yang
paling sulit.” Di luar dugaannya, pemenang tender ternyata
harus berhadapan dengan banyak ketentuan, antara lain
mendepositokan sejumlah uang sebagai jaminan di bank.
Sementara, modal yang tersisa untuk produksi sudah pas-
pasan. Agus tak punya pilihan. Modalnya harus dilarikan ke
bank sebagai jaminan. Dan, sebagai bukti profesionalitasnya,
ia harus memulai produksi tanpa kompromi.
25

Agus pontang-panting mencari pinjaman ke sana-sini. Bank,


saat itu belum menjadi opsi. Bisnisnya masih terlalu kecil
dan hijau untuk menjadi debitur yang kredibel di mata bank.
“Akhirnya, saya pinjam ke Abah, dan dikasih uang pinjaman.
Tapi, sedikiiit… sekali. Nggak cukup untuk menutup biaya
produksi,” tuturnya. Agus tak kehabisan akal. Ia lalu ke pergi
ke Pasar Dupak, pasar loak tempat perdagangan besi-besi
tua. Pasar Dupak adalah tempat kegemarannya sejak kecil.
Ia biasa menemani ayahnya berbelanja di sana, ikut kenal
dengan banyak penjual, sampai akhirnya Agus bisa pergi
sendirian dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana.

Reputasi Haji Sulkhan, dan sosok Agus yang familier,


membuat ia beroleh kepercayaan. “Orang yang paham
metalurgi dan bisa membedakan mana besi yang berkualitas
akan menemukan banyak bahan bagus di Dupak,” katanya.
“Karena hubungan baik saya dengan para penjual di sana,
mereka mau meminjamkan bahan baku. Baru dibayar kalau
saya dapat uang dari proyek.”

Dengan cara itu, Agus akhirnya mampu menutup biaya


produksi. Setelah beberapa bulan berada di titik kritis,
akhirnya proyek mesin pencacah sampah itu selesai.
Kucuran dana mulai mengalir. Agus pun bisa bernapas lega,
sekaligus mengantongi banyak pelajaran untuk bisa terus
berjalan.

“Saat kita masih muda, fisik ini rasanya bisa dibawa melaku­
kan apa saja. Ngelas delapan jam pun saya lakoni. Tapi,
26

fisik kuat memang tidak selalu dibarengi pikiran yang bijak.


Waktu itu saya sudah kepepet. Isi pikiran saya sudah macam-
macam. Bayangkan. Tujuh tahun saya terpisah dengan istri
saya, Fidah. Kami menikah sejak kuliah semester 6. Saya
belum mandiri. Belum punya apa-apa. Saya bertekad, tidak
apa-apa kami berjauhan dulu, kami akan bareng kalau
saya sudah berhasil, kalau saya sudah bisa memberikan
kehidupan yang layak buat Fidah. Kenyataannya, kondisi
keuangan saya malah lebih payah daripada sebelum pindah
ke Ngingas,” tuturnya.

Sejenak Agus menghirup teh panas yang tersaji di meja


kerjanya. “Tapi, uang memang bukan penentu segalanya.
Uang saya waktu itu habis,
“Uang bukan tapi pengalaman saya lebih
penentu segalanya. kaya. Saya belajar banyak dari
Uang saya habis, tender pertama itu.”
tapi pengalaman Ia dan istrinya, Ani Mufidah,
saya kaya.”
kini sudah menetap di
Ngingas. Mereka dikaruniai
dua putra. Yang sulung sudah di bangku SMP, sementara
yang kecil masih balita.

“Sekarang, ketika sudah lebih berumur, fisik saya memang


tidak sekuat dulu lagi, tapi pemikiran saya lebih matang.
Saya lebih berhati-hati dalam berlaku, berucap, dan berpikir,”
katanya.
27

Agus yang saya temui hari itu sudah bukan sekadar pebisnis
manufaktur biasa. Ia menjabat sebagai ketua dari Waru
Manufaktur Indonesia (WMI), organisasi yang mewadahi
para pebisnis manufaktur di sentra industri logam Waru.

Untuk posisi yang ia emban, usia Agus terbilang masih


muda, bahkan belum menginjak kepala empat. Secara usia
maupun pengalaman bisnis, masih banyak yang lebih senior
ketimbang Agus. Namun, ialah yang mendapat kepercayaan
untuk memimpin WMI.

Kualitas leadership yang dimiliki Agus sudah terasa


ketika kami berbincang. Dari caranya membawa diri dan
berkomunikasi, saya dapat menilai Agus memiliki kualitas
berimbang antara ketegasan dan keluwesan. Ia punya visi
jauh ke depan sekaligus sikap membumi saat berinteraksi
horizontal dengan tamu, klien, dan karyawan. Yang lebih
penting lagi, ia mau terus belajar.

Semangat belajar itu jualah yang mempertemukan Agus


dengan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) cabang
Waru, lembaga yang khusus dibentuk pada tahun 2009
oleh YDBA untuk mengembangkan UMKM Manufaktur di
sentra industri Waru.

Seorang kawan Agus sudah duluan dibina oleh LPB Waru.


Kawannyalah yang mengajak Agus ikut serta. “Jujur, awalnya
partisipasi saya di LPB belum konsisten. Kalau ada program
pelatihan, kadang saya ikut, kadang tidak,” jelas Agus. Sampai
28

satu hari, ia diajak oleh LPB Waru untuk menjadi dosen tamu
di Institut Teknologi Surabaya (ITS). Agus diminta berbagi
pengalamannya sebagai pebisnis manufaktur. Reaksinya
bercampur saat itu. Antara tersanjung dan terheran-heran.

Ketika masih kuliah di Institut Teknologi Adhi Tama, Agus


kerap merasa inferior ketika berhadapan dengan mahasiswa-
mahasiswa ITS yang notabene punya skor akademis
lebih baik dan lebih berprestise. Pada saat menjadi dosen
tamu itulah Agus tersadar betapa berharganya ilmu dari
pengalaman dan jatuh bangun.

“Lulusan ITS itu pintar-pintar, Mbak. Tapi, rata-rata mereka


jadi pegawai dan karyawan orang. Kami, anak-anak swasta,
lebih banyak yang turun langsung jadi pebisnis—yah,
mungkin karena kegoblokan kami juga.” Agus tertawa lepas.

Merasa ilmunya diapresiasi, Agus menjadi lebih terlibat


­dalam kegiatan dan interaksi dengan LPB Waru. Bagi
Agus, LPB Waru mengisi apa yang menjadi kelemahannya.
“Pelatihan-pelatihan LPB Waru sangat bermanfaat.
Keuangan saya jadi lebih rapi. Saya jadi lebih mengerti
standar baku dalam bekerja, bermitra, dan berorganisasi,”
imbuhnya.

Setelah berkali-kali menjadi subkontraktor dari berbagai


tender pemerintah, Agus kembali meniatkan untuk naik
kelas. Ia ingin maju sebagai perusahaan legal dengan
dokumen kuat agar bisa langsung ikut tender tanpa ada
lagi lapisan perantara. Dengan pendampingan LPB, Agus
29

berbenah dan kemudian membentuk CV. Lahirlah CV Asia


Teknik. Status barunya mempertemukan Agus dengan
klien-klien yang lebih besar dan bonafide. Ia bahkan bekerja
sama dengan PT Garam, BUMN produsen garam terbesar
di Indonesia.

Berkat dorongan LPB Waru pula, komunitas pebisnis


manufaktur di Waru, yakni Waru Manufacture Parts,
bertransformasi menjadi Waru Manufaktur Indonesia.
Perubahan itu diharapkan mendorong industri manufaktur
Waru kelak mewakili Indonesia di level global. Tak hanya
nama yang berubah, WMI didesain untuk menjadi koperasi
yang mandiri. Untuk itu, dibutuhkan manajemen yang
profesional dan transparan. Dan, yang lebih penting lagi,
dapat menjadi rumah yang nyaman dan guyub bagi para
anggotanya.

Usai berubah menjadi WMI, Agus Sholeh Kurnia secara


aklamasi terpilih menjadi ketua. Tidak buang waktu, Agus
memetakan rencana pembangunan organisasinya dalam
tiga tahap. Tahap pertama adalah penataan keuangan, yakni
standardisasi sistem keuangan dan administrasi yang rapi
bagi semua UMKM. Tak ada lagi permainan harga. Mulai dari
standar harga dan SOP yang akan diatur bersama. Asosiasi
yang menghasilkan koperasi, demikian Agus meringkas
fungsi utama WMI.

Pada tahap kedua, Agus bervisi WMI dapat Go National


dengan memaksimalkan situs daring yang tak cuma
30

menampilkan profil organisasi, tetapi juga layanan dan


produk yang ditawarkan para anggota WMI. Pada tahap
ketiga, Agus mencanangkan program regenerasi. Dalam
satu kali periode kepemimpinannya, Agus berharap sistem
yang ia bangun dapat menjadi tongkat estafet yang cukup
solid untuk dilanjutkan ke pemimpin WMI berikutnya.

Ketika ditanya, apa kiat yang menurutnya paling penting


sebagai seorang pemimpin, Agus menjawab, “Kita harus
selalu ingat, yang penting adalah manusianya. Mesin
secanggih apa pun, uang sebanyak apa pun, kalau kita tidak
berhasil menyentuh manusianya, percuma.”

Mesin secanggih apa pun, uang


sebanyak apa pun, kalau kita tidak
berhasil menyentuh manusianya,
percuma.

Atas prinsip itu, Agus berusaha memastikan bahwa


keberadaannya selalu meninggalkan kesan baik bagi
orang-orang yang ditemuinya. Topik ini membawa kami ke
cerita Agus lainnya, yang pada ujungnya membawa saya
kepada sebuah kesimpulan. Agus paham akan pentingnya
kebersamaan. Ia pun paham akan efektifnya menjejakkan
kesan.

“Pernah saya ke kantor dinas yang jadi mitra saya,” ia


berkisah. “Di jalan, saya lihat ada tukang rambutan yang
31

jualan di mobil. Saya borong semuanya. Satu pick-up! Semua


yang di kantor itu kebagian rambutan. Biasanya orang kasih
oleh-oleh cuma untuk mereka yang jabatannya tinggi. Oleh-
oleh saya untuk semua orang, Mbak. Bukan soal mahal-
murahnya, ya. Bagi yang menerima, seikat rambutan itu
mungkin bukan barang mahal. Tapi, semua orang kebagian.
Ada kebersamaan. Dan, kehadiran saya di sana jadi punya
kesan.”

Pada kesempatan lain, saat Agus pergi mengantar anaknya


mendaftar SD, lewatlah tukang bakso di depan sekolah
anaknya. Tebersitlah ide spontan untuk makan bakso. Agus
memborong satu gerobak dan membagikan bakso bagi
semua guru dan karyawan SD itu. Siang itu, mereka makan
bersama. “Semangkuk bakso buat kita mungkin biasa saja,
tapi begitu dimakan ramai-ramai dalam waktu bersamaan,
itu sulit dilupakan. Setidaknya mereka akan ingat terus sama
anak saya. ‘Itu lho, yang bapaknya pernah traktir bakso satu
sekolahan!’ Ya, toh?” kata Agus sambil terbahak.

Pada akhir kunjungan, saya pergi menengok bengkelnya,


yang terletak tak jauh dari kantor tempat kami bertemu.
Di jalan kecil yang muat satu mobil, tahu-tahu sebuah
bangunan besar menyambut kami.

Berdinding batako abu-abu dan berlantai semen polos,


bengkel itu memiliki atap tinggi, ditopang oleh tiang-tiang
besi dicat biru cerah. Beberapa kipas ventilasi yang tertanam
di tembok berputar cepat. Sinar matahari menembus dari
32

kisi-kisinya. Mesin-mesin berjajar, dioperasikan oleh para


mekanik berseragam kelabu.

Tampak beberapa spanduk terpasang di tembok, bermuatan


pengingat tentang budaya kerja 5R: Ringkas, Rapi, Resik,
Rawat, Rajin―praktik utama yang
5R: Ringkas, dilatihkan YDBA kepada UMKM.
Rapi, Resik, “Kami semua pakai seragam hari
Rawat, Rajin ini karena tahu Mbak Dewi akan
datang,” seloroh Agus yang disambut
tawa para karyawannya. Ada lima belas pekerja tetap di CV
Asia Teknik, termasuk staf admin. Mereka bekerja sejak
pukul 07.30 pagi hingga pukul 16.00.

Dengung dan desing mesin sejenak berhenti ketika kami


ramai-ramai berfoto. Masih satu jam sebelum bengkel bubar
saat saya hadir. Usai berfoto, satu demi satu mesin kembali
berbunyi.

Tidak ada percakapan antara karyawan begitu mereka mulai


bekerja. Selain membutuhkan fokus yang terpusat, suara
mesin menelan segalanya. Saya dan Agus harus setengah
berteriak untuk meneruskan percakapan.

Di waktu kunjungan yang tersisa, Agus sempat menunjukkan


produk-produk CV Asia Teknik. Mulai dari spacer panel
lantai sampai benda-benda besar seperti troli dan tempat
tidur rumah sakit.
33

Menanggapi komentar saya mengenai produknya yang


beragam, Agus berkata, “Pokoknya, semua yang kalau
disentil bunyinya ‘ting’, itu saya kerjakan.”

Sejenak saya mengamati keriuhan yang terjadi di bengkel


itu. Bunyi nyaring yang mengentak-entak begitu kontras
dengan wajah-wajah para karyawan yang seolah tenggelam
dalam ketenangan meditatif. Saya menduga-duga, apakah
itu yang dirasakan oleh para pandai besi? Sebuah titik
ketika keheningan lahir dari kegaduhan. Sama halnya ketika
sebuah pertumbuhan lahir dari rangkaian kesulitan.

Agus Sholeh Kurnia dan CV Asia Teknik membuktikan hal


itu.

Pertumbuhan lahir
dari rangkaian kesulitan.
3 Seniman
Besi
K
ECIPAK kawanan koi yang menggeliat gesit seperti
tak menembus pencerapan indranya. Harjito
bergeming di tepi kolam ikannya sambil memegang
semangkuk pelet yang hampir habis. Tatapannya kosong. Ia
sepenuhnya berada di ruang lamunan.

Pada lemparan pakan yang terakhir sebelum isi mangkuk


itu tandas, seekor ikan bergerak ekstra lincah, melibaskan
percikan air ke muka Harjito. Refleks, Harjito terlonjak. Detik
itu juga ruang lamunannya runtuh. Tatapan matanya tak lagi
kosong. Harjito meletakkan mangkuk yang sudah kosong
lalu menyambar ponsel yang tergeletak di sampingnya.

Setelah berpikir sejenak, Harjito mulai mengetikkan


pesan. Jemarinya bergerak tergesa, selekas mungkin ingin
menumpahkan apa yang membekukannya sejak tadi.

Usai memencet tombol kirim, Harjito meletakkan ponsel.


Hatinya berdebar. Ini adalah upayanya kelima selama enam
belas tahun terakhir. Setiap kali terasa makin sukar.

Ia berharap ini akan menjadi yang terakhir.

BARU menjelang malam, balasan yang ditunggu-tunggunya


masuk. Menanggapi pesan Harjito yang berbaris-baris dan
berlarat-larat, Edy Widjaja, pemilik perusahaan pengecoran
baja tempatnya bekerja, membalas dengan ringkas. Sambil
36

membaca, Harjito dapat membayangkan suara dan nada


bosnya sebagaimana beliau berbicara kepadanya secara
langsung:

Ya sudah, To. Saya paham. Besok jangan lupa bawa surat


pengunduran dirimu.

Napas Harjito mengembus panjang. Bertahun-tahun ia


membayangkan momen ini datang, mengantisipasi kelegaan
yang luar biasa. Nyatanya, tak persis sama. Kelegaan itu
timbul berbarengan dengan perasaan kehilangan.

Bahkan untuk sebuah surat pengunduran diri, bosnya tetap


berbaik hati mengingatkan.

Waru, 2020
KOLAM ikan koi itu besar dan sederhana, terbuat dari bak
beton tanpa hiasan. Pipa-pipa saluran air terekspos. Lapisan
antibocor berwarna abu-abu tua yang meliputi seluruh
permukaan bak membuat air kolam tampak gelap sekaligus
mencuatkan warna-warni cerah kawanan ikan koi yang
tampak sehat. Terdapat bangku besi di tepian kolam, yang
tampaknya ditujukan untuk mereka yang ingin mengaso
sambil menontoni aksi ikan koi.

“Selamat datang, Mbak Dewi,” sapa Harjito dengan ramah. Ia


mengenakan kemeja polo biru benhur yang senada dengan
warna beberapa sisi tembok bengkelnya.
37

“Selamat pagi, Pak,” balas saya seraya berjabat tangan.

Melihat mata saya singgah agak lama di kolam ikan, Harjito


berkata, “Untuk penyegaran, Mbak. Supaya suasana bengkel
lebih adem.”

Belakangan, setelah percakapan kami mengalir, saya


mengetahui bahwa di bangku besi itulah Harjito mengirim
pesan pengunduran diri kepada
mantan bosnya, sebelum
akhirnya berkecimpung penuh
di PT Sarana Sukses Teknik,
perusahaan manufaktur yang
dirintisnya sejak tahun 2010.

Menempati lahan seluas


500 meter persegi, bengkel
Harjito tampak rapi dan
asri. Selain kolam ikan koi,
bengkel itu memiliki sepetak
taman dalam yang rimbun
oleh berbagai
tanaman. Pokok
belimbing
wuluh tampak
menaungi
berbagai jenis
Aglaonema dan
38

Philodendron. Di bagian lain, berjajar pohon-pohon jeruk


nipis yang subur.

Perbincangan kami berlangsung di ruang tamu kantor yang


sejuk. Dua tandan pisang di piring dan satu teko minuman
herbal tersedia di meja.

“Ini dari kebun sendiri, Mbak,” kata Harjito sambil menggeser


piring berisi pisang ke arah saya. “Beda dengan yang di
supermarket.”

Meski tergoda mencicip, pisang itu tak kunjung tersentuh.


Pembicaraan kami pagi itu terlalu mengasyikkan untuk
diinterupsi. Harjito bercerita dengan nada bicara yang
hangat. Senyum hampir tak lepas dari wajahnya.

Ia lahir di Blitar, lima puluh tahun silam. Harjito pindah


ke Surabaya sejak tahun 1989. Lepas dari bangku kuliah
sebagai Sarjana Teknik Mesin, Harjito mengawali kariernya
sebagai karyawan PT Barata Indonesia selama lima tahun.
Di tempat kerjanya yang kedua, PT Maju Bersama, Harjito
berkesempatan melanglang buana ke Korea Selatan selama
tiga bulan untuk magang di salah satu anak perusahaannya
LG.

Dari pengalaman di dua tempat kerjanya, Harjito merasa


sudah punya bekal cukup. Namun, ternyata semua itu
belum apa-apa. Justru di tempat kerja berikutnyalah, sebuah
perusahaan pengecoran baja bernama PT Bagaskara Sinar
Mulya, Harjito menuai begitu banyak mutiara pelajaran.
39

Di perusahaan pengecoran baja itu, Harjito bekerja di


bagian purchasing. Awalnya, ia tidak memahami sama sekali
pengecoran baja, tidak menguasai metalurgi. Untungnya, ia
memiliki bos yang sabar dan memberikannya ruang untuk
belajar.

Ketika Edy Widjaja, sang pemilik, mulai mengalihkan


perusahaannya dari pengecoran baja konvensional ke
pengecoran baja modern, ia membutuhkan staf marketing.
Tugas itu dipercayakan kepada Harjito.

Dari sana, Harjito menemukan pasar dan kesempatan.


Berhubungan dengan banyak pihak, Harjito jadi memahami
peta perdagangan baja.

“Semasa itu, saya sering melakukan kerja sama subkontrak


ke banyak bengkel. Lama-lama terpikir, kenapa saya tidak
ikut mencoba juga?” tuturnya. Harjito lantas meminta izin
kepada Edy untuk membuat usaha sampingan sendiri,
yang tentunya tidak berbentrokan dengan usaha bosnya.
Harjito malah membayangkan bahwa bengkelnya kelak
dapat menjadi komplementer bagi pabrik Edy. Barang yang
dihasilkan pabrik Edy masih barang mentah. Harjito akan
mengambil celah di bagian finishing. Singkat kata, ia bisa
ikut menyempurnakan produk-produk dari pabrik Edy. Edy,
bosnya, mendukung penuh.

Modal awal Harjito saat itu sekitar 75 juta rupiah. Dengan


dana tersebut, Harjito berencana untuk membeli mesin kecil.
40

Namun, Edy memberi nasihat berbeda. Ia menganjurkan


Harjito untuk sekalian membeli mesin berukuran besar
dengan pertimbangan Harjito bebas dari persaingan dengan
bengkel-bengkel kecil yang jumlahnya sangat banyak.

Bengkel-bengkel kecil rata-rata dijalankan oleh pemilik yang


merangkap jadi pekerja. Akibatnya, mereka bisa menekan
biaya produksi. Harjito tidak akan sanggup bersaing dengan
model bisnis semacam itu karena ia bukan teknisi. Akhirnya,
ia mengikuti nasihat Edy, mengambil segmen pengerjaan
mesin-mesin besar.

Tak dinyana, itulah nasihat terbaik dan terjitu yang


memuluskan perjalanannya bertahun-tahun ke depan,
hingga sekarang.

Dalam satu tahun, Harjito mulai membangun bengkelnya.


Ia mengerjakan pekerjaan subkontrak dari perusahaan Edy,
dan pelan-pelan mulai membina kerja sama dengan pabrik-
pabrik besar yang membutuhkan jasanya.
41

Dengan memilih segmen mesin besar sejak awal, Harjito


secara strategis menempatkan dirinya di dalam ceruk
terpisah. Kuantitas pekerjaan yang ia lakukan memang
tidak banyak, tetapi selalu di angka yang besar dengan
klien yang bonafide. Harjito juga tidak perlu direpotkan
dengan strategi promosi karena pemain di bengkel bubut
besar memang sedikit. Selain itu, Harjito masih memiliki
keuntungan keluwesan dari segi harga jika dibandingkan
pabrik yang lebih besar darinya.

“Kalau dengan perusahaan yang sudah besar banget, PT


Tjokro, misalnya, perhitungannya sudah pasti berbeda.
Overhead mereka jauh lebih besar, dan perhitungan budget-
nya juga lebih terperinci. Dengan saya, harga masih lebih
fleksibel. Klien juga senang karena bisa bernegosiasi
langsung dengan saya, bukan staf. Dan, karena saya bisa
langsung mengambil keputusan, proses transaksi jadi jauh
lebih cepat,” jelasnya.
42

Berangkat dari ilmu kelistrikan tidak menjadi penghalang.


Belajar dari lapangan, akhirnya Harjito menguasai machining
dan bisa membaca gambar. Lagi-lagi, Harjito terinspirasi
dari Edy. Beliau, yang bukan orang teknik sama sekali,
berkat ketekunannya mengamati anak buah di lapangan,
akhirnya bisa menguasai bahkan mengoreksi pekerjaan
anak buahnya.

“Saya ingat waktu divisi mesin packaging baru dibuka di


pabrik. Selama dua tahun Pak Edy tidak pernah berhenti
mengamati anak buahnya bekerja. Beliau cuma di kantor
sebentar, urus-urus admin sedikit, sisanya terjun ke lapangan.
Benar-benar untuk mengamati dan mempelajari. Eh, habis
itu, Pak Edy malah jadi lebih jagoan daripada mekaniknya,”
puji Harjito dengan mata berbinar. Terlihat jelas bagaimana
ia menaruh hormat kepada mantan atasannya itu.

Sinar di matanya meredup ketika Harjito bercerita tentang


perpisahannya dengan Edy, figur yang menjadi teladan
emasnya.

Ketika Harjito membuka usahanya sendiri, kakinya seperti


berdiri di dua tempat berbeda. Sebelah di bisnis pribadinya,
sebelah lagi di perusahaan Edy.

“Saya lalu mengajukan pengunduran diri. Bukan hanya sekali,


berkali-kali, Mbak. Tapi, Pak Edy selalu menahan. Beliau
bilang, ‘Selama di tempat usahamu nggak ada masalah,
selama otakmu masih sanggup, nggak apa-apa, kamu tetap
43

kerja di sini. Nggak usah masuk tiap hari pun nggak masalah.
Yang penting pekerjaanmu beres.’ Dan, sejujurnya, saya juga
berat meninggalkan beliau. Akhirnya, saya bertahan.”

Akan tetapi, lama-kelamaan, Harjito mulai tak enak hati.


Ia menyadari pergunjingan di antara rekan-rekan kerjanya
karena dirinya sering pulang lebih awal atau tidak masuk.
Ketika ia kembali berbicara soal pengunduran diri kepada
Edy, ia malah diberi solusi baru. Semua ketidakhadirannya
akan diperhitungkan lewat pemotongan gaji agar adil bagi
yang lain. Lagi, Harjito bertahan.

“Selama enam belas tahun saya kerja di sana, lima kali saya
minta mundur. Yang terakhir itu, akhirnya saya minta lewat
WA. Saya tahu, kalau kami ketemu langsung, Pak Edy akan
kembali meminta saya menetap, dan saya akan sungkan
menolak. Tapi, saya sudah bertekad, Mbak. Bukannya saya
tidak sayang dan menghargai beliau, tapi sudah saatnya saya
fokus di salah satu. Tidak bisa bercabang lagi. Tempat ini
butuh perhatian saya sepenuhnya untuk bisa berkembang,”
ujarnya.

“Hubungan dengan Pak Edy masih baik?” tanya saya.

“Alhamdulillah, sangat baik,” jawab Harjito, semringah. Air


mukanya kembali cerah. “Sampai kapan pun, saya utang
budi dan utang ilmu kepada beliau. Beruntung saya bisa
dibimbing sekian lama oleh Pak Edy.”
44

Berkat strategi awal yang tepat, perjalanan Harjito memang


terbilang mulus. Kendala yang selama ini ditemuinya tidak
ada yang terlalu berarti. Harjito memegang prinsip bahwa
penguasaan pasar adalah yang utama. Jika pasar sudah
dipegang dengan baik, yang lainnya bisa menyusul.

Penguasaan pasar adalah yang


utama. Jika pasar sudah dipegang
dengan baik, yang lainnya bisa
menyusul.

Kendati demikian, Harjito tak semudah itu berpuas diri.


Semangat belajarnya tetap menyala. Tahun 2017, ia mulai
dibina oleh LPB Waru.

“Sebetulnya sudah ditawari gabung sejak 2010,” katanya,


“tapi, waktu itu saya masih minder. Nama Astra, kan, besar
sekali. Sementara itu, usaha saya masih bau kencur. Rasanya,
kok, belum pantas bergabung.”

Belakangan, Harjito mulai menyadari asumsinya yang


keliru. “Ternyata saya belum paham apa yang sebenarnya
ditawarkan oleh LPB. Kalau saja saya tahu banyak ilmu yang
dibagikan secara gratis, tanpa ada ikatan apa-apa, wah,
sudah dari dulu saya gabung,” cetusnya.

Setelah mendapatkan informasi yang lebih terang, Harjito


mulai mengikuti aneka pelatihan yang diselenggarakan LPB
45

Waru. “Sederhana saja motivasi saya,” ucapnya, “saya ingin


berubah menjadi lebih baik.”

Sebelumnya, Harjito sudah mengikuti beberapa pelatihan


lain, termasuk dari Dinas Ketenagakerjaan. “Bedanya
dengan LPB adalah, ada fasilitator yang rutin mengecek
perkembangan kami, mengecek implementasi ilmu
pelatihan mereka di lapangan.
Kami tidak dibiarkan lengah,”
“Ada fasilitator
katanya.
yang rutin mengecek
“Apa yang terasa paling implementasi. Kami
berubah, Pak?” tanya saya. tidak dibiarkan
lengah.”
“Secara fisik, tampilan
bengkelnya, Mbak. Jauh sekali
dibandingkan dulu. Sekarang, setelah kami menerapkan
5R, sudah nggak malu-maluin lagi. Saya pede bawa tamu
kemari.”

Tak lama, kami meninggalkan kantor ber-AC dan memasuki


belantara mesin. Pembicaraan berlanjut sambil berjalan
melihat-lihat kondisi bengkel. Dengan bentuk memanjang
dan beratap tinggi, diapit oleh tembok-tembok batako
bercat putih dikombinasi dengan dinding polos bercat biru,
bengkel itu tampak resik. Cahaya masuk dari petak-petak
glass block yang tertanam tinggi di tembok. Tiang-tiang
penyangga dicat biru dengan aksen kuning. Hampir semua
mesin dicat seragam dengan warna hijau telur asin.
46

“Dulu tampilan mesin-mesin kami tidak seperti ini. Sekarang,


kami cat lagi semuanya, jadi kelihatannya representatif.
Barang-barang lebih tertata. Nggak asal simpan.” Sambil
berkeliling, Harjito menjelaskan. Sejak pertama berdiri,
pembangunan fisik bangunan bengkelnya masih belum
berhenti. Ia memperluas bengkelnya sedikit demi sedikit.
Ada dua tukang bangunan yang setiap hari bekerja di
tempatnya untuk terus menggarap bangunan.

Di situlah saya melihat alat-alat besar yang diproduksi oleh


Harjito. Ia mengerjakan produk yang tidak dijual di pasaran.
Semua barangnya customized. Ia membubut untuk mesin
pabrik gula, tambang batubara, perkapalan, dan sebagainya.

“Kalau manufaktur suku cadang, atau aftermarket, pasti


mainnya di kuantitas. Kalau saya hanya mengerjakan sedikit,
tapi ya, sebesar-besar begini.” Ia menunjukkan roda mesin
yang diameternya hampir satu setengah meter. Ada rantai
kapal tongkang yang per matanya lebih besar daripada
kepalan tangan saya. Ada pula serupa tiang besi yang padat
dan panjang bagai meriam, yang ternyata merupakan as
kapal laut.

“Bagi saya, inilah seni besi. Saya seperti seniman yang


memproduksi barang langka, bahkan cuma satu-satunya.
Jujur, itu jadi kepuasan buat saya,” katanya.

Tak hanya memproduksi barang customized, Harjito juga


menerima jasa reparasi mesin pabrik. Tak jarang, mesin
besar dengan berat berton-ton diangkut ke bengkelnya.
47

“Enaknya berbisnis dengan pabrik besar, mereka nggak


sering nawar. Jasa kami spesifik, dan kalau sudah servis
untuk mesin pabrik, biasanya sifatnya urgen. Mereka butuh
cepat, kalau tidak, pabrik merugi,” jelas Harjito.

Sejak awal bisnisnya, Harjito dituntut untuk selektif


menempatkan orang-orang yang sudah ahli. Berurusan
dengan mesin-mesin besar tentunya membutuhkan orang-
orang dengan keahlian khusus, yang punya ilmu spesifik dan
pengalaman tinggi. Sementara itu, sejauh yang saya amati,
pemeliharaan kesetiaan karyawan merupakan isu besar di
industri manufaktur yang turnover-nya terbilang tinggi.

Pak Harjito tampaknya menanggulangi masalah itu dengan


baik. Saat ini jumlah karyawannya mencapai 30 orang. Jika
diamati, cukup banyak karyawan di bengkel Harjito yang
umurnya terlihat senior. Kebanyakan adalah karyawan
awalnya yang masih bertahan sampai sekarang.

“Bengkel jadi rapi itu efek kelihatan. Yang nggak kelihatan


dan sangat bermanfaat buat saya adalah HRD,” lanjut
Harjito. “Dulu saya autodidak saja menjalankan bengkel,
tapi setelah saya mendapat ilmu HRD dari LPB, saya jadi
tahu bagaimana melakukan screening penerimaan pegawai,
bagaimana cara mewawancarai mereka, pertanyaan-
pertanyaan apa yang sebaiknya saya ajukan. Dan, begitu
mereka sudah bergabung, saya tahu bagaimana menggali
potensi mereka.”
48

“Seperti apa proses penerimaan pegawai di sini, Pak?”


pancing saya.

Pertanyaan itu memancing jawaban yang filosofis. “Bagian


penting dari seni besi adalah keselarasan antara teori dan
praktik,” jawabnya. “Kalau saya menguji seseorang, tidak
akan cukup satu-dua hari. Saya akan mempekerjakan mereka
seminggu penuh sambil mengamati dan menggali. Apakah
teori mereka sudah selaras dengan kemampuan praktiknya?
Nah, untuk menilai itu butuh waktu. Kalau memang ternyata
mereka tidak cocok di sini, tetap akan saya bayar upah
mereka selama seminggu.
Kalau cocok, tentunya saya
“Bagian penting
dari seni besi teruskan.”
adalah keselarasan Saking gandrungnya Harjito
antara teori dengan ilmu Human Resource
dan praktik.” Development yang diberikan
YDBA melalui LPB, ia sudah
mengikuti pelatihannya sampai tiga kali. “Bahkan kalau
nanti diadakan lagi, akan saya ikuti lagi pelatihannya!”
ucapnya sambil terbahak. “Kalau kita tidak bisa menggali
potensi pegawai kita, usaha kita tidak bisa berkembang
optimal. Dulu, cara saya lebih seperti mendoktrin, harus ini-
harus itu. Sekarang, saya lebih banyak menggali. Apa hobi
karyawan, kekuatannya di mana, kelemahannya apa, dan
sebagainya. Jadi, saya cukup bertanya sedikit, mereka yang
sekarang banyak bicara dan berinisiatif.”
49

Kalau kita tidak bisa menggali


potensi pegawai kita, usaha kita
tidak bisa berkembang optimal.

Melihat begitu dalam keterlibatan Harjito dalam operasional


sehari-hari bengkelnya, saya menjadi penasaran akan isu
regenerasi. Cukup banyak saya melihat profil perusahaan
yang bertumpu kepada figur sang pemilik. Di luar dari
sederet kelebihannya, ketergantungan itu juga memiliki titik
rentan. Apakah ada pihak yang siap dan dipercaya untuk
meneruskan tongkat estafet berikutnya?

Ketika diskusi soal regenerasi saya buka, raut Harjito


berubah serius. Kami duduk di bangku di tepi kolam, sedikit
menjauh dari kebisingan mesin.

“Ilmu pemasaran itu kadang memang seperti pedang


bermata dua, khususnya di bidang saya ini,” katanya, “kalau
dulu di pengecoran baja, semua harga sudah standar, jadi
tidak ada yang bisa dipermainkan. Tapi, produk saya custom
made. Mirip barang seni, tidak punya standar harga. Belum
lagi, kebanyakan klien memang ada di posisi yang sudah
sangat membutuhkan. Mereka butuh barangnya, dan
mereka butuh cepat. Jadi, harga bukan soal sensitif. Tapi,
justru karena itu, permainan harga jadi lebih riskan.”

“Memang berapa rata-rata harga barang yang diproduksi


Pak Harjito?” tanya saya.
50

Harjito tersenyum sambil mengedikkan kepala. “Wah, susah


kalau ditanya rata-ratanya. Bisa mulai dari 30 juta sampai
1 M,” jawabnya. “Nah, bisa saja, ada staf marketing yang
memang niatnya ingin mencuri peluang secara tidak sehat,
lalu memanfaatkan koneksi yang sudah saya bangun, lantas
mengerjakannya di tempat lain dengan iming-iming harga
lebih murah. Akhirnya, kami jadi kompetitor. Tapi, cara
seperti itu nggak sehat, kan, Mbak? Makanya, saya ingin
sekali menurunkan pengetahuan saya ke orang yang benar-
benar bisa dipercaya.”

Harjito lantas menceritakan tentang keluarganya. Dari


istrinya, Pujiati Ningsih, mereka dikaruniai dua orang putra.
Galih Setiadi dan Dinarjat Prioprayogo. Anak keduanya,
Dinarjat, masih SMP. Sementara anak pertamanya, Galih,
saat ini berkuliah di Teknik Perkapalan, Institut Teknologi
Surabaya. Kepada Galih-lah, Harjito menyiapkan tongkat
estafet tersebut.

“Dia sudah menunjukkan ketertarikan ke industri ini. Dia


sudah tahu bahwa suatu saat dia akan mengembangkan
usaha saya. Meski statusnya masih anak kuliah, pelan-pelan
sudah saya turunkan ilmu saya. Saya bawa main ke bengkel,
saya kasih lihat semuanya,” ujar Harjito.

Menilai dari bengkelnya yang niche, sebuah pertanyaan


timbul. Apakah Harjito sudah nyaman dalam posisi bebas
persaingan sehingga tak perlu lagi berbaur dengan pebisnis
bengkel lain?
51

Pertanyaan saya terjawab ketika mengetahui bahwa Harjito


menjabat Sekretaris di Waru Manufaktur Indonesia. “Betul.
Saya memang tidak merasakan kompetisi ketat karena jenis
pekerjaan yang saya ambil. Tapi, masih banyak yang bisa saya
pelajari dari pengalaman teman-teman. Untungnya, di WMI
kami cukup kompak, Mbak. Kadang, kalau ada pekerjaan
yang bisa saya alihkan, saya langsung subkontrakkan ke
teman-teman,” katanya.

Pandangan saya tahu-tahu tertumbuk ke sebuah keranjang


cucian. Di tengah barang-barang logam besar, kehadiran
keranjang cucian plastik berwarna biru muda menjadi
pemandangan yang tidak biasa.

Harjito terkekeh ketika saya menanyakan asal muasal


keranjang tersebut. Berkat ilmu HRD yang ia dapat dari
LPB, Harjito terpancing untuk mencari ide hal-hal tambahan
apa yang bisa ia berikan kepada karyawan, yang belum lazim
dilakukan bengkel lain.

“Umumnya, bengkel itu pasti kasih susu untuk karyawan.


Saya pengin cari ide lain, yang berguna buat mereka, dan
punya dampak positif juga ke bengkel. Lalu, saya tambahkan
sabun mandi. Mereka jadi wangi dan bersih, toh?” Harjito
tertawa. “Terus, saya coba gali lagi. Akhirnya, saya dapat ide
untuk kasih mereka layanan laundry.”

Seragam bengkel karyawannya dikumpulkan setiap hari


ke dalam keranjang biru itu, lalu dicucikan secara gratis.
52

Dengan demikian, mereka bekerja dengan baju bersih setiap


harinya. “Kalau nggak begitu, seragam malah nggak awet,
Mbak. Baru beberapa bulan sudah kumal. Tapi, dengan
begini, mereka nyaman, bengkel kami juga kelihatannya elok
kalau dikunjungi tamu. Karyawan kami bersih, seragamnya
nggak belel.”

Harjito juga rajin mengadakan makan bersama. Ulang tahun


bengkel dirayakan setiap tahun. Pada perayaan hari-hari
besar, makan bersama juga digelar. Sesekali ia mengajak
karyawannya rekreasi dan outing.

Ketika saya memuji pendekatannya yang humanis, sorot


mata Harjito kembali tersedot ke masa lalu. “Saya terinspirasi
Pak Edy,” jelasnya. Melalui teladan mantan atasannya itu,
Harjito belajar bahwa ikatan yang kuat tidak hanya dibangun
lewat gaji. “Pernah keluarga karyawan sakit, setelah
beberapa hari dilaporkan sakit, Pak Edy lantas mengecek.
Ternyata yang bersangkutan masih belum sembuh juga. Pak
Edy langsung inisiatif, ‘Sudah, ke dokter saya saja.’ Dan, ia
kirim sopir pribadinya untuk mengantar. Bahkan, kadang
Pak Edy sendiri yang mengantar.”

Begitu pula tentang mendengarkan aspirasi karyawan. “Pak


Edy jarang memberikan penghargaan lewat uang, tetapi
lewat ‘ya’. Kalau karyawannya punya ide dan masukan, Pak
Edy sangat terbuka dan menghargai. ‘Ya, bagus, silakan
dikerjakan,’ katanya begitu. Jadi, kami ini dibuat nyaman dan
merasa dihargai.”
53

Teladan yang baik, serta mitra pengembangan diri yang


tepat. Dua faktor itu menjadi kontributor besar atas
kemajuan Harjito.

Berkat dorongan LPB, Harjito terus berbenah diri hingga


kini bisnisnya sudah berentitas Perseroan Terbatas. Setelah
menjadi PT, klien-kliennya juga ikut naik tingkat. Kini ia
bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan go public dari
pertambangan maupun industri pangan. Klien PT Sarana
Sukses Teknik tersebar dari ujung timur sampai ujung barat
Indonesia.

Satu hal menarik lainnya yang terungkap adalah, sejak awal


ia membuka bisnis hingga sekarang, Harjito tidak pernah
memakai fasilitas agunan dari bank. “Syukur alhamdulillah,
putaran bisnis saya, meskipun angkanya tidak sefantastis
bengkel aftermarket yang ordernya ribuan, tetapi selalu
sehat. Selalu cukup. Pengembangan saya memang pelan,
tapi dicukupkan dengan apa yang saya butuhkan,” tuturnya.

Dari tempat kami duduk, suasana kontras terlihat.


Antara ketenangan taman hijau serta gemercik kolam
ikan, dengan ingar-bingar beradunya metal dan deru
mesin. Dari keseluruhan cerita yang saya dengar, saya
berkesimpulan bahwa kepekaan dan kejelian Harjito
terlihat dari kemampuannya menemukan titik tengah.
Kerasnya logam bertemu dengan luwesnya kemanusiaan.
Pendekatan humanistik dan sikap profesional terbukti dapat
meningkatkan kelas sebuah usaha.
54

Seniman besi, Harjito menjuduli pekerjaannya. Dan, saya


mengamininya.

Pendekatan humanistik
dan sikap profesional
terbukti dapat meningkatkan
kelas sebuah usaha.
4 Semangat
Iban
P
ADA satu masa, ketika batas Bumi dan khayangan
terbuka bebas, di tanah subur di hulu Sungai Sekayam,
di daerah yang dinamai Tampun Juah, berkumpul
kaum Pangau Banyau. Kaum ini merupakan gabungan dewa
dan manusia yang berbaur menjadi satu. Merekalah yang
dipercaya sebagai rakyat Kalimantan pertama.

Setelah sekian lama hidup damai dan harmonis, perang


pertama pecah akibat serangan dari kerajaan lain yang
resah dengan kekuatan Tampun Juah. Perang itu dinamakan
Perang Sumpit. Usai perang, racun yang digunakan musuh
ternyata berakibat panjang. Tampun Juah terpecah akibat
perubahan bahasa, logat, dan intonasi secara tiba-tiba.
Masyarakat yang tadinya akur, menjadi saling tak mengerti.
Kendati demikian, pecahan-pecahan masyarakat tadi masih
mengakui bahwa mereka satu rumpun. Rumpun Iban.

Hari ini, Tampun Juah, di Kabupaten Sanggau Kalimantan


Barat, merupakan simbol panjang perjuangan rakyat adat
mempertahankan hutan leluhur. Tanah subur itu telah
dikepung tambang dan hutan kelapa sawit. Namun, wibawa
suku Iban tidak luntur. Hingga kini, suku Iban kesohor
akan kesaktian dan kearifannya. Harmoni dengan alam
merupakan napas semangat suku Iban.

TERPISAH pulau dan lautan, nun jauh di Desa Ngingas,


Jawa Timur, seorang pebisnis manufaktur sebegitu
57

terinspirasinya oleh spirit suku Iban, ia pun menamakan


perusahaannya PT Borneo Iban Jaya Perkasa.

“Iban itu manusia kuat,” kata Mashudi, pria berusia 51 tahun


yang saya temui di Ngingas, Waru. “Mereka sakti-sakti.
Saya pernah memegang pedangnya Temenggung Sumpit.
Wah, rasanya panas di tangan!” Dengan bersemangat, ia
menceritakan perjumpaannya dengan Temenggung Sumpit,
seorang tokoh Dayak Iban. Meski asli Jawa Timur, Mashudi
lama menetap di Kalimantan. Logat Melayu terdengar kental
saat ia berbicara.

Sore merangkak datang ketika saya tiba di bengkel Mashudi


di Jalan Ngingas Selatan. Bengkelnya tidak terletak tepat
di tepi jalan. Kami harus berjalan memasuki sebuah gang
yang kemudian berujung pada sebuah bangunan seluas
650 meter persegi. Beliau menyambut saya dengan setelan
pakaian santai, kaus abu-abu dan celana kargo sebetis.
Ia kemudian menyilakan saya masuk ke sebuah ruangan
mungil. Di dalam, seorang staf admin perempuan yang
tengah menghadapi komputer melempar senyum sopan.
Kami lantas duduk di kursi yang bersandar pada tembok.

Bengkel Mashudi adalah satu dari tiga UMKM yang dijadikan


pilot oleh LPB Waru. UMKM yang terpilih sebagai pilot akan
menjadi percontohan bagi UMKM lain setelahnya. Tentu,
proses seleksi LPB dalam menentukan mana yang dijadikan
pilot tidaklah sembarangan. Harus ada alasan kuat. Untuk
58

menggali alasan itulah, saya datang dan berbincang dengan


Mashudi.

Sejauh yang ia ingat, Mashudi sudah hobi mengulik


mesin sejak kecil. Ia meneruskan hobinya itu hingga ke
pendidikan formal di STM Penerbangan Juanda. Namun,
jiwa petualangannya melampaui keinginannya bertahan di
sekolah.

“Karena ingin mencoba merantau, saya drop out dari STM,”


katanya dengan mata menerawang. Garis-garis di wajahnya
yang cokelat matang menunjukkan pengalaman hidup yang
keras. Mashudi merantau ke berbagai tempat. Kali pertama,
ia mencoba mengadu nasib ke Jakarta. Namun, Jakarta tidak
membuatnya kerasan. Mashudi lalu mencoba ke Sumatra.
Di sana, ia juga merasa kurang cocok. Lalu, ia mencoba ke
pulau lain. Kalimantan.

Di Kota Pontianak, Mashudi menemukan kedamaian. Ia


merasa betah di Kalimantan. Ia menyukai kultur masyarakat
di sana yang apa adanya dan tak banyak berpolitik. “Beda
dengan orang Jawa, Mbak. Di sini, meski hati kita sakit, kita
harus pasang senyum. Mau kawan sendiri menikam dari
belakang, tetap senyum. Di Kalimantan, orang-orang lebih
apa adanya. Tidak main belakang. Suka, ya, suka. Kalau tak
suka, mereka akan terus terang,” katanya.

Di Pontianak, Mashudi mengasah ilmu mesinnya di Pusat


Latihan Kejuruan Industri (PLKI). Ia mengambil jurusan
59

mesin bensin dan mesin solar. Prestasi Mashudi menonjol


selama di PLKI. Ia dianggap sebagai salah satu yang
berbakat dan mudah dibina. Prestasinya lantas dilirik
oleh sebuah perusahaan logging dari Serawak, Malaysia.
Mashudi ditawari pekerjaan sebagai mekanik mesin besar.
Berbarengan dengan itu, kondisi ekonomi Pontianak tengah
lesu. Tertantang untuk mencoba petualangan berikutnya di
negeri orang, Mashudi menerima tawaran ke Serawak.

Mashudi berkarier di Serawak selama sepuluh tahun. Di


sana, ia bahkan sempat berkeluarga, dan dikaruniai seorang
putri. Namun, pernikahan pertamanya tidak bertahan.
Sementara mantan istri dan anaknya tetap di Serawak,
Mashudi kembali ke Indonesia. Di Lanjak, Kalimantan Barat,
ia kembali membina keluarga baru. Putra pertamanya ia
namakan Yoga Borneo.

Setelah putra keduanya lahir, Mashudi memutuskan untuk


kembali pulang ke kampung halamannya di Jawa Timur.
Tak serta-merta Mashudi menekuni bidang lamanya.
Bertahun-tahun ia menjadi sopir truk. “Lama-lama saya
berpikir, kalau begini terus, saya nggak bakal mati tua. Saya
bakal mati muda gara-gara kena angin pagi-siang-malam,”
ungkapnya. “Seorang teman mengingatkan, kenapa nggak
balik saja pegang mesin? Terpikirlah ide untuk buka bengkel
manufaktur.”

Tahun 2007, berdirilah UD Borneo Putra. Mashudi seorang


mekanik, tetapi ia bukan pandai besi. Namun, dengan tekad
60

kuat, Mashudi kembali belajar dari nol. “Jujur, rasanya tidak


terlalu sulit buat saya. Walaupun saya tidak tahu banyak
teori metalurgi, feeling saya jalan di manufaktur. Jadi, rasanya
cepat sekali saya menyerap ilmu logam ini.”

Awalnya, Mashudi bekerja seorang diri. Satu hari ia mendapat


order pedal rem sebanyak 500 unit. Jumlah tersebut banyak
sekali bagi Mashudi saat itu. Akhirnya, ia mempekerjakan
empat orang tambahan.

UD Borneo Putra terus berkembang. Mashudi mengaku


punya kehausan tinggi untuk belajar. Ia tak segan
mengunjungi bengkel-bengkel lain yang lebih maju di Waru
untuk mempelajari teknik-teknik yang tadinya ia tak kuasai.
“Begitu balik kemari, langsung saya coba praktikkan. Banyak
gagalnya juga, Mbak,” ia terkekeh, “tapi, saya nggak kapok
mencoba.” Kendati demikian, perkawanan dengan pemilik
bengkel lain bukannya tak punya risiko.

Terbiasa dengan kultur di Kalimantan, Mashudi yang


darahnya asli Jawa Timur tak terhindar dari gegar budaya.
Dan, itu membawanya ke titik sulit pada tahun 2011.

“Saya sempat mendapat proyek besar. Karena kapasitas


bengkel saya waktu itu belum cukup, saya alihkan sebagian
ke teman. Ternyata, di belakang saya, dia merayu karyawan-
karyawan saya untuk pindah ke bengkelnya. Diiming-imingi
gaji lebih tinggi. Satu hari, saya tiba-tiba kehilangan hampir
seluruh karyawan saya. Dibajak sama dia! Aduuuh… rasanya
61

sudah ingin saya apakan itu orang,” katanya sambil geleng-


geleng kepala. “Saya nggak habis pikir, kok bisa dia tidak
punya etika? Karyawan yang dia bajak itu hasil didikan saya
semua. Kok, tega? Tapi, ya, begitulah di sini. Di permukaan
terlihat halus-halus, tapi di dalamnya, raja tega semua!”
lanjutnya sambil terpingkal.

Napasnya menghela panjang. “Kalau kilas balik ke belakang,


saya sudah bisa ketawa ingat itu. Tapi, dulu? Saya benar-
benar down, Mbak. Rasanya nggak kuat kalau harus bersaing
dalam suasana seperti itu. Sempat terpikir untuk kembali ke
Kalimantan,” ucapnya.

Hukum karma tetap berlaku. Mereka yang dibajak akhirnya


kembali ke Mashudi. “Ternyata, di sana, mereka mentok.
Ada kesulitan teknis, tidak ada yang bisa memecahkan,
karena tidak ada yang benar-benar menguasai ilmunya.
Ujung-ujungnya, mereka kembali ke saya. Dan, sekarang?
Orang yang nikam saya itu malah mengorder barang ke
saya,” katanya dengan senyum.

Tahun 2014, Mashudi masuk ke dalam pembinaan LPB


Waru. “Luar biasa,” ia berdecak, “kami dikasih ilmu tingkat
tinggi. Gratis! Bolak-balik Jakarta-Waru berkali-kali pun
saya jalani. Ongkos saya tanggung sendiri. Nggak masalah,
karena ilmunya jauh lebih mahal daripada biaya perjalanan
saya.”

Melalui pelatihan di LPB, Mashudi merasa amat terbantu


dalam perihal pembukuan. “Sekarang, saya bisa ditanya
62

kapan pun berapa pengeluaran, berapa pemasukan.


Semuanya jelas,” ujarnya. Dengan pembukuan yang lebih
rapi, berangsur UD Borneo Putra beranjak level, ke CV, dan
kini menjadi PT Borneo Iban Jaya Perkasa.

Mashudi adalah anggota aktif di Waru Manufaktur


Indonesia. Saya teringat ucapan Agus, Ketua WMI, yang
saya temui sebelum Mashudi. “Mbak Dewi akan ketemu
Pak Mashudi?” Kata Agus tempo hari, “Dia itu Menteri
Teknologi-nya WMI! Pokoknya kalau ada barang yang sulit
diproduksi, kita pasti bertanya ke beliau.”

Saya pun menyampaikan komentar Agus kepada Mashudi.


Ia menanggapinya dengan tawa terbahak. “Ah, bisa saja si
Agus,” Mashudi lalu mengedikkan bahu, “kuncinya hanya
satu. Senang belajar.”

Kami pun beranjak dari kantor, berjalan menuju bengkel.


Berdekatan dengan pintu kantor, terdapat tangga semen
menuju ruangan di lantai dua. Sejenak ia berhenti. Tangannya
menunjuk ke deretan jendela panjang di atas kepala kami.
“Saya lagi bangun ruang pertemuan di atas. Nantinya bisa
dipakai bersama-sama untuk pelatihan,” ucapnya.

Bengkel Mashudi dibangun secara bertahap. Yang berdiri


saat ini sudah dua kali lipat lebih besar daripada bangunan
awal. Bahkan, harus dibuat semacam mezzanine untuk
menampung mesin-mesin yang ada. Dibandingkan dengan
beberapa bengkel yang saya kunjungi sebelumnya, bengkel
Mashudi terasa lebih padat.
63

Memproduksi barang-barang aftermarket yang jumlahnya


ribuan, Mashudi juga amat terbantu oleh wawasan 5R―
Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin―yang diusung YDBA.
“Dulu, bengkel ini lantai
tanah dan dek bambu.
“Rapi itu bukan cuma
Sekarang, sudah saya
soal estetika. Begitu
jadikan beton.” Ia lalu
barang lebih tertata,
menunjuk sebuah drum
operasional juga jadi
berisi ribuan pelat lebih mulus.”
sebesar kartu kredit.
“Tadinya, pelat seperti
ini berserakan begitu saja di lantai. Bertumpuk-tumpuk di
mana-mana tanpa wadah. Memang, yang namanya bengkel
aftermarket berantakan itu sudah umum. Kerapian nggak
pernah jadi perhatian utama kami. Setelah ikut pelatihan 5R,
mindset saya berubah. Rapi itu bukan cuma soal estetika,
ternyata. Begitu barang lebih tertata, operasional juga jadi
lebih mulus.”

Kuncinya hanya satu.


Senang bela jar.

Karyawan Mashudi kini mencapai dua puluh orang.


Bengkelnya terbagi ke dua lokasi. Kapasitas produksinya
sudah jauh lebih besar dibandingkan dulu. Selain welding
(pengelasan), ia kini punya mesin-mesin stamping
64

(pencetakan). Order sampai 2000 unit sekalipun cukup


dikerjakan oleh dua orang saja.

Kehadiran para perempuan di balik mesin menjadi hal paling


menarik yang langsung mencuri perhatian saya. Ternyata,
sepertiga dari karyawan di bengkel itu adalah perempuan.
Dari tampilannya, saya menaksir rata-rata usia mereka di
atas 40 tahun.

“Mereka ibu-ibu dari sekitar sini. Beberapa ada yang


janda, butuh pekerjaan. Ya sudah, saya ajak gabung di sini.”
Setengah berbisik, Mashudi berkata, “Mereka ini jauh lebih
hebat daripada yang cowok-cowok. Kerjanya, wah, paten.”
Ia mengacungkan jempol.

Dengan putaran uang yang bisa berkisar antara 400-600


juta per bulan, Mashudi mulai bisa berinvestasi ke mesin-
mesin yang lebih berkualitas demi efisiensi. “Sekarang saya
lebih banyak pakai mesin buatan Jepang. Sudah ada empat
yang saya punya. Harga memang jauh lebih mahal ketimbang
buatan Cina. Tapi, efisien betul. Hasilnya bisa dua kali lipat.”

Berdasarkan performa tersebut, pinjaman dari bank tidak


menjadi isu bagi Mashudi. “Tempo hari, saya mengajukan
pinjaman. Bank mempelajari laporan keuangan kami. Hanya
dua minggu prosesnya, langsung cair,” katanya berseri.

Di salah satu sisi tembok bengkel, terpasang pada sebidang


ram kawat, digantunglah berbagai hasil produksi PT Borneo
Iban Jaya Perkasa. Benda-benda itu sungguh beragam,
bahkan lintas industri. Ada kepala pacul, kawat pengaman
speaker, pedal rem, alat panggangan, penyangga televisi,
dan seterusnya.

Ketika saya mengomentari variasi barang produksinya yang


sangat kaya, Mashudi berkata, “Saya ini ibarat ‘tukang jahit’,
Mbak. Order apa pun akan saya coba kerjakan. Baru kalau
benar-benar tidak sanggup, atau sudah kebanyakan order,
saya alihkan ke kawan-kawan.” Kliennya sejauh ini banyak
datang dari Jakarta.

Air mukanya berubah cerah ketika melihat seorang pemuda


berusia dua puluh tahunan tiba di bengkel. “Itu anak saya,
Mbak,” katanya, “tahun ini sudah mau menikah.” Ia lalu
tertawa sendiri, “Abangnya dilangkahi.” Mashudi lantas
meraih ponselnya, menunjukkan foto dua pasang pemuda-
66

pemudi yang berfoto bersama. “Ini dua anak cowok saya,


dan pacar-pacarnya.”

“Ganteng-ganteng dan cantik-cantik, Pak,” saya


berkomentar.

Wajah Mashudi semringah, menyiratkan kebanggaan.


“Pernah saya bawa anak saya ikut pelatihan ke Jakarta.
Manajer YDBA sampai nggak percaya, ‘Mashudi! Itu
anakmu? Kok, nggak mirip?’ Dia belum tahu saja, waktu
muda saya juga pernah ganteng, lho!” Tawanya pecah.
67

Pada pernikahan kedua, Mashudi mendapatkan jodoh


orang Dayak. Namanya Khunur Rohmah. Mereka dikaruniai
tiga anak. Anak bungsunya yang perempuan masih berusia
delapan tahun. Setelah bercerita, Mashudi kembali
menunjukkan foto dari ponselnya. “Ini yang bungsu, Regina,
kecil-kecil sudah pintar selfie.”

Rumah pribadi Mashudi, yang tadinya bergabung dengan


bengkel, kini terpisah. Jarak antara rumah dan bengkelnya
hanya tiga ratus meter, memudahkan Mashudi untuk
menghabiskan waktu dengan keluarga. Sesuatu yang
didambakannya ketika dulu masih menjadi sopir truk.

Mashudi patut bersyukur karena sejauh ini kedua putranya


menikmati ikut kerja di bengkel. “Saya juga bersyukur mereka
nggak ada yang neko-neko, bisa dididik,” lanjutnya. “Pernah
saya bicara dari hati ke hati dengan mereka. Saya bilang,
‘Bang, Bapak sudah tua. Bisnis Bapak ini dibangun dari nol.
Semua barang di bengkel ini nggak datang sekaligus. Dibeli
sedikit-sedikit. Tolong, kalianlah yang nanti membesarkan.
Bapak mati tidak akan bawa apa-apa. Jadi, ini untuk kalian
semua.’” Untuk kali pertama sejak perjumpaan kami,
Mashudi terlihat melankolis. Ia mengucapkannya seolah-
olah sedang berhadapan dengan kedua anaknya.

Meski dilibatkan hampir setiap hari di bengkel, anak-


anaknya tidak dibiarkan untuk bekerja kasar seperti Pak
Mashudi dulu.
68

“Setidaknya mereka tahu teori dan prinsipnya. Lebih penting


adalah mereka suka dan mengerti cara mengembangkan
bengkel ini ke depannya,” jelasnya.

Sore semakin larut. Kunjungan saya di PT Borneo Iban


Jaya Perkasa sebentar lagi usai. Gambaran itu pun semakin
terang. Saya memahami mengapa bengkel Mashudi terpilih
menjadi percontohan pilot bagi UMKM Manufaktur di
Waru. Kegigihan dan semangat belajar Mashudi menjadi
lahan subur bagi kemajuan. Dan, upaya bersama antara
Mashudi dan LPB Waru telah berbuah manis.

“Pak Edison, manajer YDBA, pernah wanti-wanti sama saya.


‘Pak Mashudi, YDBA itu memberikan pembinaan lho, ya.
Tidak menjanjikan order.’ Saya lantas bilang ke beliau, ‘Tidak
apa-apa, Pak. Saya bergabung di sini bukan untuk dapat
order, melainkan untuk jadi lebih baik. Order itu nomor
sekian.’ Dan, ucapan saya benar diuji,” ungkapnya. “Pernah
saya dapat order yang sudah saya beri komitmen harga.
Pas mau mulai produksi, tahu-tahu harga material naik.
Bukannya untung, malah buntung! Tapi, berkat pelajaran
dari YDBA bahwa kita harus profesional, saya tidak batalkan
order itu. Saya harus buktikan bahwa saya orang yang bisa
dipercaya.”

Proses pun tak menyalahi hasil. Berkat sikap profesionalnya,


banyak pelanggan yang terus merekomendasikan Mashudi
karena menaruh kepercayaan tinggi.
69

Kesungguhan Mashudi ternyata meninggalkan kesan yang


juga mendalam di pihak YDBA. Beberapa minggu setelah
kunjungan saya ke Waru, saya pergi mengunjungi kantor
YDBA di bilangan Sunter, Jakarta Utara.

Di sebuah area serba-terbuka yang berfungsi sebagai


galeri YDBA, terpampanglah sosok-sosok pemilik UMKM
binaan YDBA di berbagai daerah. Saya mengenali salah
satunya. Mashudi, dalam balutan kemeja polo abu-abu,
tengah mengamati sesuatu di laptop dengan raut serius. Di
bawahnya, tercetak sederet kutipan:

“Dapat order itu nomor sekian.


Yang penting, usaha dulu untuk
lebih baik.”
5 Bengkel
Penuh Kejutan
B
ENTANGAN seluas lima hektare itu dipenuhi
kendaraan berbagai merek dan model. Lebih dari
empat ratus ribu pengunjung diperkirakan akan
datang selama sepuluh hari pameran Gaikindo Indonesia
International Auto Show 2019 yang digelar di pusat konvensi
ICE, Bumi Serpong Damai. Sorot lampu dari berbagai
penjuru bertemu dengan bodi mobil-mobil yang terpoles
licin, membuat efek kilau sejauh mata memandang. Musik
dari pengeras suara berdentum dengan dengung panjang
akibat akustik ruangan yang gigantis.

Pinuji, pemilik Bengkel of Pinujie yang datang jauh dari


Rungkut, Surabaya, mengelap butir-butir keringat dingin
di tepi keningnya. Ingar-bingar itu membanjiri indranya
dan membuatnya sulit berkonsentrasi. Namun, ia tak bisa
mundur. Kompetisi harus tetap berjalan.

Di panggung, seorang pembawa acara kembali


mengumumkan kepada para pengunjung yang berseliweran
di area Castrol Super Mechanic Contest bahwa sebentar lagi
perlombaan akan dimulai. Para mekanik dari berbagai kota
di Indonesia akan beradu keahlian dan kecepatan. Mereka
akan diminta untuk melakukan serangkaian tes, dimulai
dari penggantian oli, dilanjut tune-up, dan terakhir, reparasi
problem teknis.

Sejenak Pinuji melirik ke para montir lain yang sama-sama


tengah bersiap. Ada enam montir yang lolos sampai ke tahap
final, termasuk dirinya. Ia menduga, mereka adalah montir-
72

montir aktif yang berkecimpung secara harian di bengkel


masing-masing. Sementara, sudah bertahun-tahun Pinuji
melepaskan peran montir aktif. Ia fokus pada pengembangan
bengkel, manajemen, keuangan—semua yang memang
menjadi tugas seorang pemilik usaha. Peran yang seharusnya
ia jalani sejak dulu tetapi lama tertunda karena kesibukannya
merangkap mekanik utama di bengkelnya sendiri.

Seharusnya, ia menurunkan mekanik lain untuk ikut


kompetisi ini. Sayangnya, mereka semua berhalangan.
Dengan terpaksa, Pinuji turun gunung. Ia mengecek kembali
perkakasnya seraya mengembuskan napas panjang. Pinuji
berdoa dalam hati semoga ilmu mekaniknya, yang telah
mengharumkan nama Bengkel of Pinujie sebagai salah satu
bengkel favorit di Rungkut dan mengumpulkan banyak
pelanggan setia, masih melekat di ingatan. Kompetisi ini
adalah cara terbaik untuk menguji memorinya, sekaligus
cara paling menegangkan.

APA yang mau saya kerjakan? Itulah pertanyaan yang


bergaung di benak Pinuji ketika penghitungan mundur
dimulai. Batas waktu mereka bekerja hanya empat puluh
lima menit. Dan, ia menjalani lima menit pertama dalam
kekacauan.

Pinuji lupa step-step pengamanan standar untuk


penggantian oli. Kap mesin, yang seharusnya dibuka se­
73

belum penggantian oli, ia biarkan tertutup. Ia bahkan sempat


lupa tempat oli berada. Sementara para kompetitornya
sudah mantap di posisi masing-masing, Pinuji masih bolak-
balik jongkok berdiri, mencari arah.

Merasa diamati, Pinuji sejenak mengangkat matanya dari


mesin Avanza yang menjadi bahan ujiannya, menemukan
wajah perempuan yang dibingkai kerudung krem muda di
antara orang-orang yang berdiri di batas area kontes. Siti
Subaidah, istri Pinuji, menatapnya dengan cemas. Tahunan
mendampingi Pinuji di bengkel, Siti dapat melihat suaminya
dalam kesulitan.

Pinuji melirik penunjuk waktu digital yang memendarkan


angka-angka berwarna merah. Ia masih punya tiga puluh
tujuh menit untuk kembali ke jalur.

Pinuji memutar kunci kontak. Mesin tak menyala. Ia dikenal


sebagai jagoan elektrik. Mobil-mobil mangkrak, Eropa
maupun Jepang, yang sudah tak tertolong di bengkel
lain, dapat menyala kembali di tangannya. Berangsur,
kecanggungannya memudar.

Intuisinya sudah mengatakan bahwa problem ada pada


sekring, tetapi Pinuji harus melakukan serangkaian prosedur
uji coba untuk tiba pada kesimpulan itu. Intuisinya tak salah.
Ketika sekring diganti, mesin mobil menyala. Terdengarlah
getaran tinggi yang tak lazim. Ingatan dan intuisi bahu-
membahu memandu langkah-langkah Pinuji selanjutnya.
74

Seiring dengan batas waktu yang kian menyusut, Pinuji


semakin yakin apa yang ia harus lakukan. Problem getaran
itu berujung pada busi.

Pinuji kembali memutar kunci kontak. Suara mesin terdengar


normal. Ia melihat sekeliling. Semua montir lain masih sibuk
bekerja. Mobilnya ternyata rampung yang paling pertama.

MATAHARI belum terlampau tinggi ketika saya meng­


injakkan kaki ke Bengkel of Pinujie, atau BOP—nama
populernya, di Jalan Raya Kedung Asem, Rungkut, Surabaya.
Waktu belum menunjukkan pukul 10.00 pagi. Spanduk
besar berwarna merah dengan kombinasi huruf hitam dan
kuning memampangkan detail servis-servis yang ditawarkan
BOP.

Teman-teman LPB yang mengantar saya pagi itu sudah


duluan masuk ke kantor bengkel. Tak lama, mereka keluar
lagi.

“Maaf, Mbak. Kita harus tunggu sebentar.”

“Oke, nggak masalah,” jawab saya. Kami memang datang


sedikit lebih awal dari janji.

Di kejauhan, mata saya menangkap pemandangan sebidang


tanah berbatas pagar bambu. Dua ekor ayam putih berlarian
kecil melewati saya, saling berlomba menuju tanah itu.
75

Meski dipersilakan menunggu di dalam kantor yang ber-


AC, saya memilih melihat-lihat bengkel. Rapi adalah kesan
pertama saya.

Bengkel of Pinujie tidak semewah dan sebesar bengkel-


bengkel resmi, tetapi tampak jelas ada sentuhan profesional
di sana. Montir-montirnya berseragam hitam abu-abu.
Mobil-mobil yang tengah diservis berjajar rapi dalam marka-
marka yang tergambar dengan cat hijau-kuning di lantai. Di
atasnya bergantung bendera segitiga dengan penomoran
berurutan: Stall 1, Stall 2, Stall 3, dan seterusnya. Setiap mobil
ditandai dengan selembar informasi status, ada yang sedang
“Proses”, dan ada yang
sedang “Tunggu Spare
Part”. Pada dinding yang
bercat kuning menyala,
terdapat banner peng­
ingat Budaya 5R.

Pada satu sisi dinding


lainnya, tergantung pa­
pan besar dengan tabel
rapi berkode warna
yang dilengkapi foto
para mekanik. Tertera di
judulnya: Papan Kontrol
Pekerjaan Mekanik.
76

Saya lalu berjalan lebih masuk ke dalam, melewati ruang


musala, mesin pengisian angin, dan menemukan sistem
penampungan pembuangan. Tersedia bak oil trap, yang
kemudian dipisahkan lagi antara penampungan oli bekas
dan lumpur.

Di paling belakang terdapat kebun yang tampaknya


dipakai sebagai area istirahat. Sebuah pohon gempol yang
bercabang lebar bagai kanopi menaungi bangku besi yang
dirancang untuk melingkari batang pohon. Di atasnya,
terpasang trap-trap besi yang tampaknya dipakai menjadi
undakan. Sebelum mempelajari guna trap besi itu lebih
lanjut, saya sudah keburu dipanggil. Sang tuan rumah sudah
tiba. Saya pun kembali ke kantor bengkel.
77

Dibalut celana kain hitam dan kemeja bergaris, Pinuji


menyapa saya. “Mohon maaf menunggu sebentar ya, Mbak,”
katanya.

“Nggak apa-apa, Pak.”

“Saya baru selesai berkuda, makanya harus pulang untuk


mandi dulu.”

“Berkuda?” Saya perlu memastikan pendengaran saya.

“Olahraga saya setiap pagi,” jawabnya. “Tadi saya berkuda


sampai tujuh belas kilometer. Langsung banjir keringat.”

Sungguh pilihan olahraga yang tidak biasa. Perawakan Pinuji


memang mengingatkan saya dengan sosok joki. Tubuhnya
mungil dan langsing. Ia juga terlihat lincah.

Beberapa piring makanan kecil sudah tersedia di meja. Kami


duduk memunggungi tembok yang penuh oleh bingkai
sertifikat dan penghargaan. Di atas sebuah lemari dekat
meja kasir, berdiri gagah dua buah piala.

Pertanyaan saya mengenai kedua piala itulah yang mem­


bawa kami ke cerita Pinuji, tentang kontes yang diikutinya
di GIIAS 2019. Meski awalnya tak mulus, Pinuji berhasil
meraih predikat Juara 2 di Castrol Super Mechanic Contest.

“Hadiahnya apa, Pak?” tanya saya.

“Kami diboyong ke Malaysia untuk menonton MotoGP.”


78

Saya dapat membayangkan


betapa senangnya seorang
mekanik dibawa menonton
pertandingan balap. Namun,
jawaban Pinuji di luar
dugaan.

“Sejujurnya, saya tidak


terlalu menikmati ajang
balap. Karena, menurut
saya, mesin bagus-bagus
kok malah ‘dirusak’,”
katanya dengan cengiran
lebar. “Tapi, saya senang
sekali waktu dijamu di
ruang tunggu. Kue-kuenya
buaaanyak sekali… dan,
enak-enak. Kalau saja
dekat, sudah saya bungkus
buat dibawa pulang!”

Tawa kami pecah bersama.

Pinuji lahir di Ponorogo, 51 tahun lalu. Sejak kecil, ia


menyukai mesin kendaraan. Setiap melihat ada yang
membongkar motor atau mobil, entah punya tetangga
atau kawan orang tuanya, Pinuji selalu nimbrung. Kadang
kehadirannya membuat kacau karena Pinuji terlalu banyak
79

inisiatif. Ia sering dihalau pergi. Tapi, Pinuji tak kapok-kapok.


Pada setiap kesempatan, ia kembali ikut-ikutan.

Keluarganya menganjurkan Pinuji untuk masuk SMEA,


seperti kakak-kakaknya. Lulusan SMEA dianggap lebih
terjamin untuk bisa mendapatkan kerja kantoran. “Kadang
saya malu diketahui lulusan SMEA,” katanya.

“Lho, kenapa, Pak?” tanya saya.

“Habis nyasarnya jauh. Boro-boro kerja di kantor. Malah


jadi mekanik,” katanya sambil terkekeh. Setelah mendapat
pelatihan dari Balai Latihan Kerja, Pinuji disalurkan ke PT
Unilever sebagai pemelihara mesin produksi. Hanya saja,
kesukaannya pada mesin otomotif tetap memanggil lebih
kuat. Pinuji lantas membuka usaha bengkel kecil-kecilan,
bergabung dengan tempat bengkel pengecatan milik
kawannya.

Tahun 1998, Pinuji akhirnya membuka bengkel sendiri.


Berhubung tempatnya masih kecil, hanya halaman dari
paviliun sewaannya, Pinuji kadang memberikan servis
reparasi keliling ke rumah-rumah. Berangsur-angsur,
melebar seiring pertumbuhan bengkelnya, Pinuji mulai
menyewa lahan di lokasi yang sama. Tanah tempat BOP
berdiri kini sudah terbeli oleh Pinuji. Sementara sebagian
lagi, yang dipakainya untuk menjadi kandang dan latihan
berkuda, masih ia sewa.
80

“Dulu bengkel bergabung dengan rumah. Tapi, sejak 2015,


rumah kami sudah pindah. Masih dekat dari sini. Bisa jalan
kaki,” jelasnya.

Pinuji memiliki keluarga besar. Ia dikaruniai sembilan orang


anak. Enam laki-laki dan tiga perempuan. Anaknya yang
paling besar kini sudah dua puluh lima tahun.

Percakapan kami sejenak terputus oleh kehadiran istri Pinuji


yang datang membawa tambahan kue-kue.

“Saya Ibu Siti. Siti Subaidah,” sapanya ramah. “Sebentar, saya


bicara sama admin dulu. Silakan dilanjutkan ngobrolnya.
Nanti saya gabung lagi.”

Sekilas saya memperhatikan Siti yang berbicara kepada staf.


Terlihat jelas Siti punya keterlibatan mendalam di bengkel
tersebut.
81

Pengamatan saya dikonfirmasi oleh Pinuji. “Bertahun-tahun


saya kerja sendirian, Mbak. Merangkap segala-galanya.
Tapi, lama-lama saya tidak nyaman. Soalnya, ketika saya
berhadapan langsung dengan pelanggan, kadang pas lagi
menulis bon, masih saja ditawar. Mungkin, mereka pikir,
‘Ah, mumpung langsung sama yang punya.’ Konsentrasi
saya sering pecah. Kadang-kadang suka salah tulis angka.
Harusnya seratus ribu jadi sepuluh ribu,” ia tertawa,
“akhirnya, saya minta bantuan Ibu untuk bantu-bantu di
bengkel.”

Siti, usai memberikan briefing kepada staf, ikut duduk


bersama kami. Dengan cepat ia ikut menanggapi, “Tulisannya
Pak Pinuji jelek soalnya, Mbak,” cetusnya sambil nyengir.

“Jadi, sebenarnya ‘Pinuji’ atau ‘Pinujie’?” tanya saya.

“Aslinya nama Bapak itu Pinuji. Tapi, kalau untuk nama


bengkel, kami tambahkan ‘e’ biar nggak terlalu ndeso,” jawab
Siti, yang diikuti dengan tawa ringan Pinuji.

Sejak 2003, Siti mulai membantu Pinuji di bengkel. Awalnya,


Siti hanya membantu membuat nota dan pembukuan
sederhana. Sebatas mencatat keluar masuk uang.

“Segitu pun sudah sangat membantu,” kata Pinuji. “Pelanggan


jadi lebih segan, nggak asal tawar. Dan, saya bisa konsentrasi
ke tugas saya sebagai montir.”

Lama-kelamaan, keterlibatan Siti di BOP semakin dalam.


Yang tadinya peran Siti di keluarga adalah ibu rumah tangga
82

penuh, akhirnya harus bertambah fungsi menjadi manajer


bengkel. “Sampai anak kelima, kami tidak pernah pakai
pembantu,” Siti menambahkan. “Tapi, setelah saya lebih
terlibat di bengkel, dan anak-anak yang besar sudah cukup
bisa dipercaya momong adik-adiknya, baru kami mulai pakai
jasa ART.”

“Dari yang tadinya dilakukan semua sendirian, mulai ada


pemisahan peran. Ada Ibu Siti yang ikut ketemu pelanggan.
Jarak itu membuat hubungan saya dengan pelanggan juga
jadi lebih sehat,” lanjut Pinuji.

Sayangnya, bantuan Siti seorang masih belum cukup untuk


mewujudkan keberhasilan yang langgeng di bisnis bengkel
Pinuji.

“Saya kerja itu hampir nggak berhenti mulai dari bangun


pagi sampai menjelang tidur. Kadang-kadang malah sampai
pagi lagi karena didesak pelanggan yang butuh cepat. Tapi,
sudah kerja sekeras itu, kok, hasilnya nggak ada? Hidup saya
masih susah,” Pinuji bertutur.

Satu waktu, Pinuji harus membayar gaji mingguan dua orang


mekaniknya, sementara kas bengkel sama sekali kosong.
Bengkelnya tidak menyetok oli maupun suku cadang
sehingga tidak ada barang yang bisa dijual. Setelah bongkar
sana-sini, Pinuji memutuskan untuk menjual satu helmnya
yang masih baru dan ia beli dengan harga cukup mahal,
sekitar seratus ribu rupiah. Itulah satu-satunya barang yang
cukup berharga untuk bisa ia jual.
83

Pinuji membawa helmnya itu sampai ke Jalan Darmo. Di


sana, ada lapak-lapak penjaja helm. Helm mahalnya ternyata
hanya ditawar lima belas ribu rupiah. Jauh dari cukup.

Berat hati, Pinuji kembali pulang. Ia berbicara dari hati ke


hati dengan mekaniknya, meminta pengertian mereka untuk
sementara merelakan penunggakan gaji.

“Saya malu sekali sama mereka, Mbak. Saya merasa


menelantarkan nasib mereka, padahal mereka sudah bekerja
keras untuk saya dan bengkel,” tuturnya mengenang masa
sulit itu.

Secara kemampuan, Pinuji tahu ia adalah mekanik yang


sangat kompeten. Sudah banyak kursus dan program
pemantapan dari Balai Latihan Kerja yang ia ikuti, dan
sudah kenyang ia dengan jam terbang. Namun, ibarat cinta
bertepuk sebelah tangan, pekerjaan yang ia cintai itu tak
memberikan penghidupan sebagaimana yang ia harapkan.

Ketika Pinuji pulang kampung, ia mendapati beberapa


teman lamanya jauh lebih makmur. Mereka bisa membeli
truk bahkan membangun rumah. Sementara Pinuji yang
sudah tahunan menekuni usaha bengkel di Surabaya, masih
kesulitan untuk menafkahi keluarganya yang saat itu sudah
beranggotakan lima orang anak.

Ke teman-temannya itu, Pinuji bertanya apa gerangan bisnis


atau pekerjaan yang mereka jalankan. Ternyata mereka
84

menjadi TKI. Sepulangnya ke Surabaya, Pinuji berpikir serius


untuk meninggalkan dunia mekanik, lalu ikut menjadi TKI.

Sambil menunggu proses aplikasi TKI, Pinuji mencari


tambahan penghasilan dengan melamar menjadi satpam.
Siang ia bekerja di bengkel, malamnya jadi sekuriti mal.
Namun, ia ditempatkan di area yang menurutnya angker.
Pinuji tak berani meneruskan, lalu memutuskan mundur
dari pekerjaan itu.

“Jadi, biarpun saya sudah coba banting setir, jalan keluar


dari dunia bengkel itu ternyata tidak terbuka. Yah, mungkin
itulah yang namanya jodoh. Nggak lari ke mana. Saya
akhirnya kembali ke jalur semula. Dengan catatan, saya
harus membenahi diri,” ujarnya.

Niatnya bersambut. Tahun 2015, ia bertemu dengan LPB


dan menjadi salah satu bengkel di Surabaya yang dibina di
bawah payung besar YDBA.

Perubahan yang ia jalani tidak mudah. Transisi sistem, nilai,


budaya kerja yang lama membutuhkan proses adaptasi
dan juga modal. “Saya belajar 5R dari tahun 2015, tetapi
baru 2018 saya bisa menerapkannya secara keseluruhan,”
katanya. Lantai semennya dirapikan. Dinding dicat ulang.
Wallpaper dengan logo BOP menghiasi tembok. Atap terpal,
yang kerap membuat bengkel becek kala hujan, diganti
dengan baja ringan. “Dulu, saya suka menumpuk kaleng oli.
Bekas-bekas komponen saya tempel di tembok. Saya pikir,
85

itu keren. Kesannya, pekerjaan saya banyak. Sekarang, yang


begitu-begitu sudah tidak ada lagi. Justru, bengkel saya
kelihatan semakin profesional.”

Perbaikan fisik pun harus diikuti dengan kedisiplinan para


karyawan. Setiap pagi sebelum bengkel buka, setidaknya
90 menit diluangkan untuk kegiatan bersih-bersih. Begitu
pula ketika ada mobil yang sudah selesai dan keluar dari
bengkel, lantai bekas mobil tersebut langsung dibersihkan.
“Kadang, saya suka posting foto bengkel di Facebook.
Teman-teman saya pada heran, ‘Lho, kok, bisa bersih amat
lantaimu?’ Padahal, lantai mereka keramik, dan lantai saya
cuma semen.”

Kerja keras Pinuji mewujudkan 5R pada akhirnya membawa


keuntungan. Meski ada banyak bengkel di daerah yang sama,
BOP mencuat dibandingkan yang lain. Terlihat jelas Bengkel
of Pinujie memiliki standar yang tinggi. Dengan tampilan
demikian, klien-kliennya ikut naik kelas. Belum lama ini,
BOP bahkan mendapatkan kontrak kerja dengan instansi.
Nilai kontraknya besar, dan slot bengkel selalu terisi.

Berurusan dengan klien besar Pinuji pun dituntut untuk ikut


naik kelas. Setelah sekian lama tak berbadan hukum, pada
pertengahan tahun 2019 bengkelnya menjadi sebuah CV.

“Terus terang, menjalankan 5R itu sulit sekali. Apalagi


saya tahu praktik umum bengkel-bengkel macam saya ini
seperti apa. Jauh sekali dari praktik 5R. Pendampingan
dari LPB menjadi sangat penting,” ungkapnya. “Biasanya,
86

sehabis pelatihan, kita bersemangat. Seminggu-dua minggu


setelahnya, perhatian saya mulai kembali ke pekerjaan
servis. Akhirnya, pe-er-pe-er dari LPB, detail-detail kerapian,
terbengkalai lagi.”

Adanya pendampingan, yakni kunjungan fasilitator untuk


mengecek dan mengingatkan, sangat membantu Pinuji
kembali ke jalur. “Saya memang ingin berubah. Tapi, kalau
hanya mengandalkan kemampuan saya, perubahan di
bengkel tidak akan terjadi seperti sekarang. Kehadiran
fasilitator jadi mengharuskan saya
Kehadiran untuk berubah,” tegasnya. Pandangan
fasilitator Pinuji beralih ke Siti yang duduk
jadi di sampingnya. “Saya juga sangat
mengharuskan terbantu oleh peran Ibu. Setiap hari Ibu
saya untuk pasti cek, ‘Sudah pada nyapu, belum?’,
berubah. ‘Barang sudah dirapikan, belum?’ Ibu
yang rajin mengingatkan.”

“Ibu ikut pelatihan dengan LPB juga?” Giliran saya bertanya


kepada Siti.

“Tentunya, Mbak,” jawab Siti bersemangat. “Ilmu keuangan,


komputer, itu semua saya dapat dari LPB.”

Selanjutnya, Siti dan Pinuji secara bergantian bercerita


tentang perombakan besar keuangan BOP. Tadinya,
keuangan rumah tangga mereka dan BOP campur menjadi
satu. Hal itu mengakibatkan neraca tak bisa terbaca.
Pemasukan dan pengeluaran tidak pernah klop. “Rasanya,
87

tuh, pemasukan ada, tapi hasilnya nggak ada,” Pinuji


menambahkan.

Setelah intensif didampingi LPB untuk perbaikan sistem


keuangan, tak cuma terjadi pemisahan jelas antara bengkel
dan rumah tangga, sistem pencatatan transaksi dan
keuangan BOP kini sudah terkomputerisasi. “Pendampingan
dari LPB memang intensif,” ujar Siti, “bisa sekitar lima kali
pendampingan untuk satu program, dan bisa berlangsung
selama dua-tiga bulan.”

BOP kini memiliki tujuh mekanik dan sembilan staf kantor.


Ketika pelanggan datang ke BOP, ia akan disambut oleh
Service Advisor. Kemudian, Service Advisor akan berkonsultasi
dengan Workshop Leader untuk menetapkan servis apa
saja yang dibutuhkan pelanggan. Dengan adanya fungsi
perantara tersebut, mekanik dapat fokus sepenuhnya di
urusan servis tanpa direcoki pelanggan.

BOP termasuk bengkel yang cukup rajin berpromosi.


Mereka punya akun media sosial di Instagram dan juga aktif
di Facebook. Lewat iklan Facebook, mereka bisa mendapat
setidaknya dua pelanggan baru per hari. BOP pun lihai
mengambil celah kolaborasi dengan aplikasi transportasi
berbasis daring seperti Grab.

Berbarengan dengan itu, Pinuji dan Siti mulai melakukan


“penyaringan” konsumen. “Dulu segala merek saya
kerjakan. Sekarang, saya khususkan ke mobil Jepang karena
keterbatasan SDM. Saya juga sudah nggak terima mobil
88

teknologi karburator, meskipun sanggup mengerjakan.


Rata-rata mobil yang saya terima di sini keluaran tahun
2010 ke atas. Saya hanya mau terima mobil lama atau mobil
Eropa kalau benar-benar sudah pelanggan setia saya, yang
hubungannya sudah dekat,” jelasnya.

“Bapak itu, kan, keahliannya di listrik,” Siti mengimbuhkan,


“memang kalau sudah mengerjakan electrical dan problem
servis yang sulit-sulit, Bapak mendapatkan kepuasan.
Tapi, dibandingkan waktu dan tenaga yang dikeluarkan,
penghasilannya nggak sebanding.”

Pinuji manggut-manggut setuju atas komentar istrinya.


“Saya lihat, tren bengkel-bengkel besar sekarang pun lebih
condong ke perawatan ketimbang perbaikan. Makanya,
segmen maintenance yang berusaha kami kejar. Harga kami
jauh lebih murah dibandingkan bengkel resmi, tapi secara
kualitas servis kami bersaing,” katanya, “konsumen yang
termasuk ‘sulit’ juga akhirnya hampir nggak ada lagi, Mbak.”

“Cerita dong, Pak, yang ‘sulit’ itu seperti apa?” pancing saya.

Pinuji dan Siti berpandang-pandangan sambil mesam-


mesem. Mereka lalu ganti-gantian berkisah tentang cerita
suka duka menghadapi kelakuan pelanggan yang ‘aneh-
aneh’. Pinuji pernah diancam celurit oleh pelanggan yang
mendesak agar mobilnya selesai dalam waktu yang tak
realistis. Ada lagi seorang pelanggan temperamental,
yang secara tak sengaja kuncinya terbawa di mobil lain,
mengamuk sampai menendangi mobilnya sendiri. Pinuji
89

juga pernah diancam serius oleh seorang anak pejabat


yang memiliki mobil antik. “Padahal, ya, itu mobil memang
sudah tua. Sudah susah ditangani. Diperbaiki A, B rusak. B
diperbaiki, muncul kerusakan lain. Nggak habis-habis. Tapi,
yang bersangkutan nggak mau ngerti,” tutur Pinuji sambil
terkekeh.

“Kalau sekarang, Bapak masih turun langsung di bengkel?”


tanya saya.

“Hanya kalau ada kesulitan khusus yang nggak bisa


dipecahkan oleh anak buah,” jawab Pinuji. “Mekanik
berpengalaman itu sulit sekali dicari, Mbak. Kalau yang
jagoan, rata-rata jam terbang mereka di atas sepuluh
tahun. Kalau yang muda-muda, tetap harus dibimbing. Tapi,
syukurlah, mereka lebih sering saya lepas.” Pinuji melempar
pandangan ke jendela, ke para mekanik berseragam hitam
yang tengah bekerja.

“Sekarang hidup Bapak lebih berimbang,” sahut Siti, “pagi-


pagi bisa berkuda, bisa main sama anak-anak. Nggak seperti
dulu, yang di bengkel dari pagi sampai malam.”

Anak sulung mereka, Ashfan Zakka, kini berkuliah Universitas


Muhammadiyah Surabaya di jurusan Manajemen Sumber
Daya Manusia. Anaknya yang kedua, Muhammad Aldino
Thoriq, kuliah di Universitas Tujuh Belas Agustus mengambil
jurusan Teknik Otomotif Mesin. Tiga anaknya masuk ke
pesantren Sragen, dua lainnya di pesantren Ponorogo. Yang
90

di bangku sekolah dasar masih tinggal bersama mereka di


Surabaya.

“Berarti, anak kedua yang kira-kira bakal ikut jejak bapaknya,


ya?” tanya saya.

“Sejauh ini, dia lebih tertarik mempelajari pabrik perakitan,


tapi kita lihat saja nanti.” Pinuji tersenyum.

“Kalau anak kami yang pengais bungsu, Kumala, ngikut


bapaknya juga. Tapi, bukan bengkel. Berkuda.” Siti
berceletuk. “Baru sebelas tahun, tapi pintar naik kudanya.”

Celetukan itu membawa ingatan saya kembali ke lapangan


tanah yang sempat saya amati dari kejauhan.

“Jadi penasaran pengin lihat kudanya,” kata saya, jujur. Saya


menatap Pinuji. “Boleh, nggak, Pak?”

“Kenapa cuma dilihat? Harus coba naik sekalian,” ujar Pinuji.


Ia bangkit berdiri. “Sebentar, saya siapkan peralatannya.”

Tanpa sempat saya memproses tawaran itu, Pinuji sudah


beranjak dan keluar dari ruangan.

SEOLAH tak ingin ketinggalan acara, dua ayam kampung


berwarna putih yang saya lihat beriringan sejak pagi, berlari
mengikuti kami yang berjalan ke kandang kuda. Berbeda
dengan saya yang berjalan hati-hati menuju istal, kedua
91

ayam itu menerobos masuk ke kandang Luki, kuda berwarna


cokelat terang milik Pinuji. Tanpa takut, mereka mematuki
makanan Luki. Lucunya, Luki tampak tak terganggu.

“Mereka sudah berteman, Mbak,” kata Pinuji menimpali


adegan itu. Ia memasuki istal seraya mengangkut pelana,
helm, serta sepatu bot sekaligus.

“Kenapa bisa tertarik berkuda, Pak?” tanya saya sambil


menyiapkan kamera. Foto saat Pinuji berkuda harus masuk
ke dalam dokumentasi saya.

“Waktu kecil, tetangga saya punya dokar. Entah kenapa,


saya langsung tertarik melihat kuda. Tapi, yah, belum terpikir
serius untuk belajar dan pelihara. Kadang-kadang mencoba
di tempat wisata doang.”

“Kalau kuda wisata saya juga pernah, Pak,” sahut saya.


“Kalau bukan kuda wisata beda banget, ya?” Pertanyaan
itu memang polos. Namun, saya penasaran menggali lebih
dalam ilmu berkuda Pinuji.

“Wah, beda banget. Ibarat naik sepeda dipegangi orang


dibandingkan dengan bersepeda sendirian. Kalau kuda
wisata, kan, dituntun sama petugasnya. Kalau kita naik
sen­­­
diri, kita harus tahu mekanisme pengendalian kuda.
Bagaimana cara belok, cara berhenti, cara menambah
kecepatan. Persis mengemudi,” jelasnya. “Tapi, jangan
dipikir seperti naik motor, ya, Mbak. Di motor kita
masih bisa bertopang ke setang, tapi berkuda itu benar-
92

benar pengendalian keseimbangan. Intinya, kita harus


bisa bergerak bersama kuda, bisa menempel terus di
punggungnya.” Ia menepak pahanya. “Otot kaki kita harus
benar-benar bekerja.”

Bisa dibilang, Pinuji tengah menjemput ketertarikan masa


kecilnya. Baru setelah ia membenahi BOP dan memiliki
waktu luang, Pinuji memberanikan diri untuk membeli kuda
dan mulai belajar berkuda secara benar.

Luki, kuda pertamanya, adalah kuda lokal dari Sumba.


“Hebat daya tahan tubuhnya,” puji Pinuji sambil mengusap
lembut tubuh Luki. Ia menunjuk kandang sebelah, tempat
seekor kuda berwarna cokelat gelap tengah beristirahat.
“Itu titipan teman. Namanya Tornado. Tubuhnya lebih besar,
keturunan ras Australia. Tapi, untuk urusan ketahanan, Luki
jauh lebih kuat. Kuda Sumba memang sudah alami hidup di
cuaca kita.”

“Kecepatannya rata-rata berapa kalau berkuda, Pak?”

“Kalau santai sekitar 15 km/jam. Di jalan aspal, kuda


biasanya melambat karena licin. Begitu di jalan rumput atau
tanah, mereka lebih cepat. Maksimum saya bisa bawa Luki
sampai 48 km/jam,” katanya. “Saya bisa menghitung karena
pakai Endomondo,” ia menambahkan.

Jawaban itu memicu bayangan visual seorang Pinuji


berkendara kuda setiap pagi, menembus aspal dan jalan
tanah, dengan smart phone tersemat. Sungguh olahraga
yang tak biasa.
93

Usai memasang pelana, mengenakan sepatu dan helm, Pinuji


naik ke atas punggung Luki. Dengan langkah-langkah kecil,
Luki keluar dari kandang, menuju lapangan tanah. Berangsur,
kecepatan Luki meningkat. Pinuji tampak nyaman dan
santai bergoyang di atas punggungnya. Mereka mengelilingi
lapangan itu berkali-kali sembari saya menjepretkan kamera.

Persis di seberang saya, mereka lalu berhenti. Pinuji turun,


dan membawa Luki mendekat. “Silakan dicoba, Mbak.”

Sejenak saya berdiri kaku dengan kamera di tangan. Terakhir


saya naik kuda kira-kira dua belas tahun silam, ketika anak
pertama saya, Keenan, baru tiga tahun. Seekor tukang kuda
lewat di depan rumah, dan Keenan sangat ingin melihat
kuda dari dekat. Demi memenuhi rasa ingin tahunya, saya
panggil kuda itu. Dan, agar bisa terjadi transaksi sehat antara
saya dan tukang kuda, sayalah yang akhirnya menunggangi
kuda itu sekitar dua ratus meter. Dengan kecepatan orang
berjalan.

Luki, meski kuda lokal, tetap lebih tinggi dan kekar


dibandingkan rata-rata kuda wisata. Untuk membantu saya
naik, Pinuji sudah menyiapkan sebuah kursi.

Teman-teman rombongan saya, termasuk Siti, me­nye­


mangati. “Ayo, kapan lagi?” kata mereka. Siti menambahkan,
“Yang penting tenang, Mbak. Kuda itu tahu kalau kita
tegang. Dia bisa merasakan emosi kita.”

“Kuda itu mirip kucing, kok, Mbak. Suka usil. Kalau kucing
bercanda, kadang suka cakar-cakar kita. Nah, kalau kuda
94

sukanya menggigit. Karena giginya besar, kadang gigitannya


linu sampai ke tulang. Padahal, maksud dia bercanda,” kata
Pinuji sambil mengelus-elus kepala Luki.

Keterangan Siti dan Pinuji tidak membuat saya lantas santai


dan seratus persen yakin mengendarai Luki. Tapi, saya cukup
penasaran untuk mencoba.

“Jangan ke arah belakangnya, ya, Mbak. Takutnya ditendang.”

Baiklah, jawab saya dalam hati sambil beringsut ke kursi.


Saya tak ingin mencicipi fatalnya tendangan kuda.

Upaya saya naik tidak langsung berhasil. Pijakan kaki itu


ternyata bergoyang, bukan pijakan yang stabil macam
undakan tangga. Setelah dua kali mencoba, akhirnya saya
berhasil duduk di atas pelana. Tanah terlihat jauh di bawah.
Rasanya memang tidak seperti sebagaimana menunggang
kuda wisata.

Selagi mengelilingi lapangan dan merasakan digoyang ke


kanan dan ke kiri, tebersit sebuah dugaan di benak saya.
“Pak, apa ada hubungannya antara hobi Bapak di mesin
mobil dengan berkuda? Dua-duanya, kan, alat berkendara.”

“Benar juga,” sahutnya. Pinuji lalu terdiam dan seperti sedang


berpikir. “Saya memang percaya teori yang bilang bahwa
suatu saat teknologi akan hilang. Manusia akan kembali ke
cara-cara alami. Kalau mobil nggak ada, kita akan kembali
ke kuda. Bisa jadi karena saya mengulik mesin mobil, kalau
95

sampai kita kembali ke kuda, ya, saya harus mengulik kuda.”


Ia tertawa. Namun, saya tahu Pinuji tidak bercanda.

Setelah satu keliling membawa orang asing di punggungnya,


Luki pun berhenti. Tepuk tangan mengiringi turunnya
saya kembali ke kursi. Tidak ada aksi yang spesial dari
berkelilingnya kami barusan. Teman-teman rombongan
hanya mengapresiasi kenekatan saya.

SIANG kian matang. Sejenak lagi bengkel akan rehat,


begitu juga saya dan kawan-kawan LPB yang mengantar
hari itu. Sebelum pulang, kami duduk di bawah pohon
gempol nan rindang. Buah-buah gempol yang berjatuhan
tersebar di dekat kami.

Menurut Siti, gempol sangat wangi dan cantik jika berbuah,


meski tak bisa dimakan. Begitu jatuh, bebuahan tersebut
lunak bagai kue. Tak heran, serangga banyak mengerubuti
pecahan-pecahan buah gempol.

“Masih ada rencana apa untuk BOP, Pak?” tanya saya.

“Saya ingin buka cabang,” jawabnya. “Selain masih mencari


partner, saya juga masih harus berbenah keuangan. Kalau
portofolio saya sudah semakin bagus, semakin rapi, saya
juga akan lebih percaya diri untuk bermitra.” Saat ini, sudah
ada empat pihak yang ia jajaki. Dua di Surabaya, dan dua lagi
di Mojokerto.
96

“Jujur, tidak sulit membuat orang terkesan dengan bengkel


kami. Apalagi ketika tahu bengkel saya binaannya YDBA.
Kadang, ada yang mengira kami ini seperti franchise-nya
Astra,” ia tertawa. “Tapi, saya sadar, masih ada beberapa hal
yang perlu saya perbaiki secara internal. Karena itu, pesan
saya ke YDBA cuma satu, jangan segan-segan mengevaluasi
dan mengoreksi. Kami ini sangat
butuh dibimbing.”
Pesan saya
ke YDBA cuma “Materi dari YDBA sungguh luar
satu, jangan biasa, Mbak,” kata Siti sungguh-
segan-segan sungguh. “Jadi, tinggal kembali
mengevaluasi ke kemauan bengkel untuk
dan mengoreksi. mengaplikasikan pengetahuan itu
di tempat masing-masing.”

“Pak Pinuji dan Ibu sudah berapa kali ikut pelatihan YDBA?”

“Setahun bisa sepuluh kali!” Siti menyambar.

“Wah, banyak juga!” Saya membelalak.

“Ganti-gantian, kok,” kata Pinuji. “Sekarang, saya lebih sering


kirim anak buah. Biar mereka ikut pintar. Dan, semua harus
kebagian. Jadi, digilir siapa yang ikut.”

Nia, salah seorang fasilitator LPB yang mengantar saya siang


itu, ikut berkomentar. “Pak Pinuji ini memang termasuk
yang rajin, Mbak. Kami membina tujuh bengkel di Surabaya-
Sidoarjo. BOP ini yang paling konsisten mempertahankan
5R.”
97

Zuhri, rekan Nia, ikut menimpali. “Nggak heran Pak Pinuji


diundang lagi ke GIIAS tahun lalu, kasih testimoni tentang
manfaat pelatihan YDBA,” ucapnya sambil mengacungkan
jempol ke arah Pinuji.

“Bapak itu menikmati banget pekerjaannya. Kalau Bapak


nggak punya passion ke pekerjaannya, mungkin begitu ada
kesulitan, Bapak bakal mental atau berhenti. Alhamdulillah,
karena passion-nya, Bapak tetap tabah dan mencari jalan,”
imbuh Siti.

Pinuji kemudian mengatakan sesuatu yang sangat saya


sepakati. “Passion, kalau tidak dikelola dengan baik, akan
sulit maju,” ucapnya. “Passion digabungkan profesionalitas,
baru dua jempol.

Passion, kalau tidak dikelola dengan


baik, akan sulit ma ju. Passion
digabungkan profesionalitas, baru
dua jempol.

Sesaat setelah berpamitan, saya iseng menanyakan sesuatu


yang belum sempat terjawab. “Sebenarnya ini gunanya
apa, Pak?” Saya memegang trap besi yang mengikat batang
pohon gempol.

“Buat manjat, Mbak.”


98

Saya mendongak ke atas. Ternyata ada semacam saung


petak berbahan kayu yang tertancap di percabangan pohon.

“Itu rumah pohon kami,” Siti menambahkan. “Buat ngaso.”

Rumah pohon. Istal kuda. Bengkel of Pinujie ternyata


menyimpan banyak kejutan. “Saya belum pernah ke rumah
pohon. Cuma baca di buku-buku cerita.” Saya terkekeh.

“Naik saja kalau begitu,” sahut Pinuji. “Biar merasakan, toh?”

Saya melihat ke rombongan saya. Meski tidak berkata apa-


apa, di antara kami terjadi semacam saling-silang kode. Saya
minta ekstra waktu, dan mereka mengizinkan makan siang
tertunda lima sampai sepuluh menit. Jika tak ada kendala
dalam proses pemanjatan, tentunya. Saya tak ingat lagi
kapan kali terakhir memanjat pohon. Mungkin waktu masih
SD.

Saya menyilangkan kamera, menarik napas, menumpukan


tangan di trap besi, dan… hap! Rumah pohon tak lagi sekadar
cerita. Hari itu, saya mengalaminya.
6 Jalan
Berputar
T
IDAK, terima kasih. Seperti ini sudah cukup.

Jawaban semacam itu sudah sering dilayangkan


kepadanya. Setelah setahun bekerja menjadi
fasilitator di LPB Waru, Aghnia memiliki tabungan siasat
untuk memutar kata “tidak” menjadi “ya”. Yang perlu ia
lakukan adalah mengambil jalan berputar. Lewat keluarga.

Ketika Sugeng, pemilik bengkel binaannya, Sugeng Motor,


sedang keluar berbelanja suku cadang, Aghnia mengambil
kesempatan itu untuk berbicara kepada Eko, putra sulung
Sugeng. Sudah jelas bahwa Eko akan meneruskan bisnis
ayahnya kelak. Ia sudah menjadi tangan kanan Sugeng di
bengkel selama setahun terakhir. Pelan dan pasti, Sugeng
menurunkan ilmu kepada anaknya, seorang sarjana Teknik
Mesin yang baru diwisuda delapan bulan lalu.

“Mas Eko bisa lihat sendiri, hampir semua urusan masih


dipegang sama Bapak. Customer kemari yang dicari cuma
Bapak. Sekarang, yang belanja juga masih Bapak. Baik Bapak
dan Mas Eko sama-sama kepingin bengkel ini berkembang.
Tapi, kalau segalanya masih bertumpu sama Bapak tok,
susah majunya, Mas.” Aghnia berbicara empat mata dengan
Eko di kantor bengkel. Dua gelas teh mereka sudah berhenti
mengepul, didiamkan sejak tadi.

“Memang betul, Mbak. Tapi, Mbak tahu sendiri Bapak keras


kepalanya gimana. Keuangannya saja masih campur sama
uang pribadi. Mekanik ada empat, tapi nggak ada yang
102

berani gerak kalau Bapak belum bilang apa-apa,” keluhnya.


“Nggak ada sistem!” Eko berdecak gusar.

“Mas Eko, kan, sudah dipercaya sama Bapak. Kalau cuma


aku yang ngomong, pasti kurang. Mas Eko juga harus
bantu mendorong Bapak untuk berubah. Kalau bengkel
ini mau beradaptasi, pasti bakal tambah sip,” Aghnia
menyunggingkan senyum. “Daripada jadi admin begini, Mas
Eko bisa jadi workshop leader. Admin bisa kita rekrut, kita
latih. Sayang, dong, ilmunya Mas Eko nggak terpakai.”

Eko manggut-manggut. Namun, keningnya kembali


berkerut. “Kalau cuma aku yang ngomong, pasti belum
mempan, Mbak. Aku masih dianggap anak bawang, belum
tahu apa-apa. Ibu juga harus ikut dorong Bapak,” ucapnya.

“Ibu pasti dukung, Mas. Tenang saja.” Aghnia telah


mengantisipasi permintaan itu. Persiapannya sudah
selangkah di depan.

JARAK dari bengkel ke rumah Sugeng cukup ditempuh


lima menit dengan sepeda motor. Tergantung di bawah
setang motornya, ada satu kantong keresek berisi seikat
kacang panjang, labu siam, cabai hijau, tempe, ikan asin, dan
petai.

Rumah Sugeng ada di ujung gang. Pintu dapurnya punya


akses langsung dari jalan. Setiap Aghnia berkunjung, jendela
103

dapur itu selalu terbuka sebelum pukul 12.00 siang. Rubina,


istri Sugeng, selalu terlihat memasak di sana.

“Bu Rubinaaa…,” sapa Aghnia merdu.

“Mbak Nia!” Rubina memutar punggungnya. Wajahnya


seketika semringah. “Langsung masuk saja, Mbak. Maaf, aku
lagi potong bawang. Nggak bisa bukakan pintu.”

Nia masuk membawa kantong kereseknya.

“Bawa apa toh, Mbak?” tanya Rubina.

“Buat bikin lodeh, Bu.”

“Oalah, repot-repot segala!”

“Nggak apa-apa. Tadi pagi sekalian ke pasar. Tiba-tiba ingat.


Ini kesukaannya Pak Sugeng, kan?”

“Pas banget ini. Berarti bawangnya buat jadi bumbu lodeh


saja, ya?” Rubina tertawa kecil.

“Ya, Bu. Kita masak sekarang.” Tanpa ba-bi-bu, Aghnia


langsung menggulung lengan baju, mencuci tangan, dan
menyiapkan bahan-bahan yang dibawanya.

Diiringi ayunan pisau yang mengiris sayuran di talenan,


Rubina bertanya, “Bentar lagi musim liburan, Mbak Nia
bakal ke mana?”

“Mau coba ke Banyuwangi, Bu. Kata orang-orang bagus.


Aku belum pernah.”
104

“Ibu juga belum.”

Ini dia. Aghnia menemukan celah untuknya masuk.

“Kapan terakhir liburan sama Bapak, Bu?”

“Bapak? Libur? Mana pernah!” balas Rubina. “Bapak itu,


ya, dari dulu sampai sekarang, dari pagi sampai malam, di
bengkeeel… terus!”

Tanpa diminta, mengalirlah keluh kesah Rubina bagai keran


jebol. Aghnia mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Sekali-sekali Ibu harus liburanlah sama Bapak. Bapak, kan,


sudah berumur. Harusnya lebih sering beristirahat.”

“Maunya juga gitu, Mbak.” Suara Rubina melunak. “Tapi,


gimana, dong? Bapak sibuk terus.”

“Kalau Bapak mau ikut program kami, nanti pekerjaan


Bapak bisa lebih ringan, Bu. Sudah banyak yang terbantu,
kok.” Aghnia lalu menyebutkan nama-nama bengkel binaan
LPB Waru, yang orang-orangnya juga dikenal langsung oleh
Rubina.

Aghnia lantas menceritakan pembicaraannya tempo hari


dengan Eko, kekhawatiran sekaligus aspirasinya. Mendengar
bahwa anaknya pun punya pertimbangan senada, Rubina
mengembuskan napas panjang. “Nanti malam aku bakal
ngomong sama Bapak,” ucapnya.
105

DUA bulan berlalu dari kegiatan memasak sayur lodeh


di dapur Rubina. Sore itu, Aghnia pergi ke Sugeng Motor
membawa sekantong es kelapa muda yang terbungkus
dalam plastik-plastik berkaret gelang.

“Mbak Nia Cantik, selamat sore!” sapa seorang montir.


“Tambah cantik, deh, kalau bawa es degan,” lanjutnya sambil
tersenyum lebar.

“Tapi, awas, ngepelnya nanti harus yang bersih!” lanjut Nia


sambil membagikan satu demi satu es kelapa muda kepada
para montir.

Membina hubungan baik dengan karyawan bengkel, bukan


hanya pemilik, merupakan bagian penting dari pekerjaannya.
Ilmu 5R hanya bisa efektif jika dijalankan sepenuh hati
oleh para karyawan, jika mereka benar-benar merasakan
manfaatnya. Untuk itu, Aghnia mempersenjatai diri dengan
berbagai macam pendekatan. Tak jarang, ia ikut menyapu
bersama karyawan ketika jam bubar bengkel. Kalau ada
rezeki lebih, ia membawa minuman atau makanan yang
mereka bisa santap bersama. Es kelapa muda, es campur,
es krim, dan segala yang serbasejuk, menjadi favorit para
montir.

“Bapak mana?” tanya Aghnia.

“Sudah pulang, Mbak,” jawab seorang montir.

“Kok, tumben, cepat?”


106

“Katanya, mau ke luar kota. Sama Ibu.”

“Liburan, Mbak. Ke Banyuwangi.” Seorang lagi berceletuk.

“Yang di kantor siapa?”

“Mas Eko.”

Aghnia melemparkan pandangannya ke jendela kantor.


Meski kacanya berstiker gelap, ia dapat melihat Eko sedang
berbicara dengan pelanggan.

Upayanya tak sia-sia. Perubahan yang dinanti-nanti akhirnya


terjadi.

MATAHARI menyorot garang di langit Surabaya siang itu.


Kendati demikian, bangunan yang saya masuki terasa sejuk
meski mesin-mesin pendingin di dinding belum dinyalakan.
Memasuki kantor LPB Waru di Jalan Kolonel Sugiyono,
Waru, terasa seperti memasuki rumah. Dari pembagian
ruangannya terlihat jelas bangunan itu tadinya rumah
tinggal. Masih tersisa bentuk dapur yang bergabung dengan
ruang makan, lalu terhubung oleh pintu ke taman belakang
yang punya tangga jemuran serta teras yang merangkap
area servis.

Di ruangan bermeja besar yang berfungsi sebagai ruang


pelatihan, kami duduk bersama untuk bertukar cerita.
107

Didit, staf admin sekaligus karyawan dengan masa kerja


paling lama di LPB, masuk mengantarkan gelas-gelas air
putih. “Jarang-jarang kantor ramai begini,” katanya, “biasanya
cuma saya sendirian.”

Hampir selalu fasilitator berada di lapangan. Mereka


memang tak dituntut untuk berkantor setiap hari. Pekerjaan
mereka sebenarnya ada di lokasi-lokasi bengkel binaan, baik
manufaktur maupun otomotif. Mereka kembali ke kantor
hanya jika ada urusan administrasi atau pelatihan.

“Kadang dari buka bengkel sampai bengkel tutup, mulai


dari menyapu pagi sampai mengepel sore,” cetus Aghnia.
“Makanya, dengan montir-montir dan karyawan bengkel itu
rasanya sudah seperti saudara sendiri.”

Aghnia adalah angkatan ketiga Pemberdaya Muda di LPB


Waru. Fokus binaannya adalah bengkel otomotif. Kisah
transformasi bengkel Sugeng merupakan tantangan tipikal
yang dihadapinya. “Mengubah mindset, dari yang ‘segini
sudah cukup’ sampai akhirnya mau terbuka untuk perubahan,
adalah selalu yang paling sulit,” tandasnya. Sementara itu,
yang paling berat dijalankan menurutnya adalah 5R.

Mau terbuka untuk perubahan


adalah selalu yang paling sulit.
108

Materi 5R selalu diberikan kali pertama sekaligus yang


paling cepat melonggar. Menurut Nia, 5R terpengaruh
besar oleh faktor budaya. Banyak yang tidak terbiasa dan
merasa bahwa itu bukan hal utama. Mereka yang akhirnya
bertahan adalah mereka yang sudah merasakan manfaat
implementasi 5R dalam waktu cukup lama. Dan, karena
5R merupakan kebijakan internal, dibutuhkan penegakan
disiplin baik dari pemilik maupun staf.

“Gara-gara 5R, biasanya bengkel jadi tambah ramai karena


orang-orang tertarik lihat bengkel yang rapi. Kesannya
profesional. Tapi, kalau bengkel tambah ramai, yang ada fokus
5R-nya terpecah. Lama-lama terbengkalai. Keramik mulai
copot, cat mengelupas, pembuangan mulai sembarangan
lagi. Makanya, saya nggak keberatan ikut nyapu dan ngepel.
Kalau cuma dikasih teori, nggak akan mudeng-mudeng.
Harus dipraktikkan bersama. Harus diingatkan terus-
terusan,” tuturnya.

Lain lagi yang dihadapi di bengkel manufaktur. Mira,


angkatan keempat Pemberdaya Muda yang dipercaya
untuk menangani bengkel manufaktur, mengungkapkan
situasi yang berbeda. “Kalau di otomotif, biasanya istri
punya keterlibatan tinggi. Mereka biasanya bantu menjadi
admin, sering kelihatan terlibat di bengkel. Kalau di
manufaktur, bapak-bapak owner biasanya bekerja sendiri,
tidak melibatkan keluarga, kecuali anak yang memang
dimandatkan untuk terjun atau sedang dilatih untuk
109

meneruskan bisnisnya. Jadi, saya jarang bertemu dengan


istri dan keluarga. Ke karyawan juga nggak memungkinkan,
karena pekerjaan manufaktur, kan, butuh fokus tinggi.
Salah-salah kita ajak ngobrol nanti malah mereka yang
celaka,” kata Mira sambil nyengir. “Pendekatan awalnya mau
nggak mau harus berbeda. Lebih ke meyakinkan owner dan
meningkatkan kualitas adminnya dulu.”

Mira berfokus pada pelatihan keuangan. Kebanyakan


UMKM memulai usahanya tanpa sistem keuangan yang
terencana. Mencampurkan keuangan keluarga dengan
keuangan usaha sangat umum ditemukan. Sebelum
ada pembinaan, itulah yang lazimnya dipraktikkan oleh
UMKM. Paralel dengan perbaikan
keuangan, perbaikan 5R menjadi
Kerapian dan
tantangan besar berikutnya.
penataan
Bengkel manufaktur skala kecil
bengkel yang
jarang memprioritaskan kerapian
sesuai workflow
bengkel. Padahal, kerapian dan
berdampak besar
penataan bengkel yang sesuai bagi efisiensi.
workflow berdampak besar bagi
efisiensi.

Penerimaan para pemilik berbeda-beda. Ada yang langsung


dan bersemangat menerapkan. Ada yang berkeluh-kesah
dan lambat berubah karena sudah terbiasa dengan cara
lama. “Setiap pertemuan, berulang-ulang saya sarankan
dan jelaskan apa saja keuntungan sistem keuangan yang
110

benar,” kata Mira. Mirip dengan Nia, hubungan yang terjalin


akibat pendampingan yang berulang menjadi cair dan akrab.
“Biar sering dibilang cerewet, tapi saya diperlakukan seperti
keluarga. Sejak jadi fasilitator di LPB, rasanya saya jadi punya
banyak paman baru,” kata Mira sambil tertawa.

Rahman adalah Pemberdaya Muda angkatan pertama


di LPB Waru. Memiliki watak yang cenderung pendiam,
banyak pemilik bengkel yang mulanya meremehkan Rahman
karena dianggap tidak tahu apa-apa. Padahal, Rahman
adalah seorang sarjana teknik dan pernah bekerja di Astra
Otoparts. “Enam bulan pertama jadi fasilitator memang
terasa berat,” kata Rahman, “cukup sulit meyakinkan teman-
teman UMKM. Harus diakui, mereka lebih kaya pengalaman
ketimbang saya. Jadi, pendekatannya memang tidak bisa
seperti orang menggurui.”

LPB Waru telah berjalan sejak 2009, dan kini sudah


memiliki angkatan Pemberdaya Muda yang kelima. Baru
pada tahun 2015 program sektor unggulan logam dilansir.
Terpilih empat orang untuk menjadi program pilot: Mashudi,
Yogi, Bambang, dan Kasiadi. “Pak Mashudi orangnya ramah,
tapi sebagai pemilik bisnis, dia terkenal keras. Pendekatan
saya tentunya juga harus pelan-pelan. Salah satu kuncinya
adalah sering berkunjung. Lama-lama, kami jadi dekat,” kata
Rahman. “Pak Mashudi hobinya bersepeda. Sampai akhirnya
dia pinjamkan sepeda buat saya, dan kami bersepeda
bersama sampai ke Mojokerto,” lanjutnya sambil tersenyum.
111

Selain keuangan dan 5R, perombakan besar yang perlu


terjadi adalah soal sumber daya manusia. “Terutama di
manufaktur, kultur kerja yang sudah berjalan biasanya lebih
otoriter dan keras. Ini kebiasaan lama yang sulit diubah
karena para pemilik dulunya berangkat dari kultur kerja yang
keras juga,” kata Rahman. Rata-rata para pemilik berlatar
belakang teknik atau mekanik. Pola pikir mereka lebih mirip
dengan pola pikir pekerja, bukan manajemen. Menciptakan
suasana kerja yang nyaman dan komunikasi yang demokratis
adalah kebutuhan yang rasanya asing, terutama mereka
yang usianya lebih senior. Begitu pula urusan gaji. Jarang
yang memberi gaji sesuai UMR.

“Kualitas karyawan juga menjadi tantangan,” Zuhri


menambahkan. Kebanyakan karyawan UMKM adalah
mereka yang melamar ke perusahaan besar tapi tidak
tersaring, sehingga akhirnya masuk ke UMKM. Akibatnya,
kualitas sumber daya manusia di UMKM bukanlah lini yang
terbaik. Untuk itulah, perbaikan HRD merupakan salah satu
program paling intensif yang diberikan LPB.

“Sistem yang ditawarkan LPB sebetulnya sudah sangat jelas,”


sahut Rahman. “Setiap fase punya sub tahapan. Setiap sub
tahapan punya indikator yang bisa terukur. UMKM tinggal
mengikuti saja.”

Zuhri, fasilitator LPB Waru, lalu berkisah tentang awal


berdirinya WMI. Sebelum menjadi WMI, bentuk awalnya
112

adalah WMP, atau Waru Manufacture Parts. Setelah


sektor unggulan logam dibentuk di Waru, LPB-lah yang
lantas mendorong perubahan WMP menjadi WMI. Waru
Manufaktur Indonesia disiapkan untuk skala nasional,
bahkan tidak menutup kemungkinan kelak bisa menembus
pasar global.

“WMP sempat dianggap seperti organisasi ‘milik’ LPB.


Keterlibatan anggota tidak terlalu aktif, lebih menunggu
bola,” tutur Zuhri. “Ketika kami ganti jadi WMI, sekaligus
juga kami beri pengertian baru. WMI ini milik anggotanya,
bukan milik LPB. Kami hanya memfasilitasi, anggota-
anggotanyalah yang menjalankan dan mengembangkan.

Berbarengan dengan itu, kehadiran para pemberdaya muda


seperti Rahman, Nia, dan Mira, semakin mempermulus
transisi yang terjadi. Kunjungan dan pendampingan mereka,
hubungan mereka yang cair dengan para pemilik UMKM,
ikut meningkatkan kepercayaan kepada LPB. UMKM tidak
lagi melihat para fasilitator sebagai orang luar, melainkan
salah satu dari mereka. “Sekarang WMI semakin terbuka.
Suasananya berubah jauh, lebih akrab, lebih transparan,”
lanjut Zuhri.

Kendala perizinan yang ditemui di Sidoarjo-Surabaya,


misalnya, menjadi hambatan yang dikeluhkan UMKM.
Masih sering terjadi praktik pungutan liar. Berbeda dengan
LPB di Tegal yang Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja-nya
bahkan menggratiskan biaya izin usaha industri.
113

Terlepas dari kendala birokrasi, sektor unggulan manufaktur


di Waru sudah hampir menyelesaikan fase pertama. Tahap
final dari fase pertama adalah mandiri sebagai koperasi.
Pada titik itu, UMKM dianggap sudah lepas landas. Fase
kedua adalah branding. Fase terakhir adalah fase go global.
Pendampingan intensif hanya dilakukan pada fase pertama.
Pada fase-fase selanjutnya, peran LPB dan YDBA hanya
bersifat konsultasi. “Kemandirian mereka memungkinkan
kita untuk pindah fokus ke UMKM lain yang belum tersentuh.
Jadi, memang harus ada garis batasnya,” jelas Zuhri.

“UMKM-nya pasti bakal kangen sama kalian,” cetus saya.

“Sampai kapan pun, kita bakal jadi teman mereka, Mbak,”


kata Rahman.

“Dan, kita bakal terus bangga sudah membuat perubahan


di hidup mereka,” Aghnia menambahkan. Ia mengalihkan
pandangannya ke jendela, menyembunyikan matanya yang
berkaca-kaca.

KOTA Surabaya pada malam Minggu terasa ekstra


semarak. Cuaca malam itu cerah, tak menyisakan jejak
hujan siang tadi. Beberapa jalan raya yang mengarah ke
pusat-pusat perbelanjaan tampak padat oleh antrean
kendaraan. Restoran yang kami tuju berada di Jalan Tegal
Sari, Kedungdoro, tak jauh dari keramaian tadi.
114

Di sebuah ruangan privat berkapasitas sedang, telah


menanti empat belas anggota WMI dan para fasilitator dari
LPB Waru. Jamuan makan malam ini akan menjadi penutup
kunjungan saya ke Waru.

Meja yang dipasang berangkai-rangkai itu dipenuhi makanan


dan minuman. Setidaknya tiga wajah di ruangan itu sudah
tak asing. Agus, Harjito, dan Mashudi. Sebagian orang masih
menunaikan ibadah Magrib. Saya lantas berkenalan dengan
yang ada di ruangan.

Empat belas anggota WMI hadir malam itu, termasuk tiga


orang yang sudah saya temui. Di luar itu, saya berkenalan
dengan Dwi Supriyatno, Bambang Budiarto, Kasiadi,
Zainal, Firman, Achmad Fuad, Purwantoro, Yogi Hermanto,
Hambali, Heri Priyono, dan Robbi A. Sidarta. Meski sama-
sama mengerjakan manufaktur, mereka datang dengan latar
belakang dan keahlian spesifik yang berbeda-beda.

Malam itu memang tidak diperuntukkan bagi perbincangan


serius. Work hard, laugh hard. Di sana saya melihat sisi lain
dari profil para pekerja keras yang saya temui siang hari di
bengkel.

Setiap ada orang yang baru masuk ke ruangan pasti


mengundang sorak sorai. Belum lagi sahut-sahutan jail
antara anggota WMI dan empat fasilitator LPB Waru yang
hadir malam itu.
115

Sesi perkenalan, ketika masing-masing anggota WMI


yang hadir menceritakan singkat siapa dan apa usaha
mereka, menjadi ajang ledek-ledekan yang mengocok
perut. Ada juga yang memberikan perkenalan dengan cara
unik. Yogi Hermanto, seorang pebisnis manufaktur dari
Desa Kureksari, ternyata juga penyuka literasi. Sosoknya
sudah terlihat berbeda. Dengan rambut panjangnya, profil
Yogi mirip seperti seniman-seniman di TIM. Malam itu, ia
membacakan puisi hasil karyanya dengan dramatis.

Terakhir, saya ikut diminta berbicara. Sulit menahan diri


untuk tidak menunjukkan membuncahnya rasa gembira
saya seusai melakukan rangkaian kunjungan di Waru. Malam
itu, di penghujung pertemuan kami, saya memperoleh
gambar optimis tentang masa depan UMKM Indonesia.
Profesionalisme dan rasa kekeluargaan merupakan resep
sempurna untuk menjangkau sebuah kemajuan organisasi.

Profesionalisme dan rasa


kekeluargaan merupakan resep
sempurna untuk menjangkau
sebuah kema juan organisasi.

Gerimis menutup pertemuan kami malam itu. Angin sejuk


bertiup di Kota Surabaya yang biasanya berhawa panas.
Lapangan parkir yang basah tampak berkilau oleh lampu
116

jalan. Empat belas anggota WMI ikut melepas mobil saya


keluar dari area rumah makan. Kami pulang dengan rasa
puas. Puas bersantap, puas tertawa.

Saya merasakan kebenaran dari ucapan Agus tempo hari.


Bukan soal tempat di mana kami makan dan apa yang kami
santap, melainkan kebersamaan. Malam itu bermakna
karena interaksi manusianya. Kekompakan para pebisnis
manufaktur WMI, dedikasi dan keakraban para fasilitator
LPB Waru, menorehkan harapan baru.

Variasi pengalaman, fokus, dan keahlian, dapat dilihat


sebagai sekat-sekat yang membedakan satu UMKM
dengan yang lain. Sama halnya seperti legenda Tampun
Juah yang terpecah tapi masih mengakui persatuan mereka
sebagai satu rumpun. Dengan keguyuban WMI sebagai
payung pebisnis manufaktur Waru, dan YDBA melalui LPB
Waru sebagai mitra, sekat-sekat tadi bukanlah batas yang
memisahkan melainkan memperkaya.
117
7 Tanah
Istimewa
A
LKISAH, seorang pemuda yang berasal dari
sebuah desa miskin berkelana ke kaki gunung
lalu menemukan sebuah tanaman buah yang
tumbuh liar. Tak ada yang istimewa dari buah itu.
Tanaman tersebut tersebar di seantero negeri. Semua
orang sudah pernah mencicipi rasa buahnya. Semata-
mata karena belum pernah mencoba menanam sendiri,
pemuda itu tetap membawa bibitnya pulang.

Melihat si pemuda menanam bibit-bibit yang


dibawanya dari kaki gunung, orang-orang di sekitarnya
mentertawakan. Bagi penduduk desa itu, tanah
mereka bagaikan tanah yang terkutuk. Sulit digarap,
dan tak sesuai untuk bercocok tanam. Dari satu tahun,
setengah desa mereka terendam air karena berada di
rawa-rawa. Dan, ketika sudah kering sekalipun, hanya
sedikit tanaman yang bisa tumbuh di tanah bekas air
rawa. Namun, pemuda itu tetap mencoba.

Di luar dugaan, bibit itu tumbuh subur di halaman


rumahnya. Setelah tiga bulan, tanaman itu berbuah.
Dengan girang, pemuda itu dan keluarganya memetik
buah warna-warni yang tampak ranum. Ia mulai
menyadari sebuah perbedaan. Buah tanaman itu
dagingnya lebih tebal dari biasa. Ketika ia mencicipi
rasanya, terkejutlah pemuda itu. Buah tersebut berkali
lipat lebih manis!

Dengan cepat, berita keajaiban buah yang ditanamnya


tersebar ke seluruh desa. Penduduk yang lain mulai
ikut menanam. Ternyata, hasilnya sama. Buah yang
mereka tanam berkali lipat lebih manis dibandingkan
buah sama yang ditanam di desa tetangga. Buah dari
desa tersebut semakin sohor. Orang-orang dari desa
lain berbondong-bondong membelinya. Desa yang
tadinya miskin berubah menjadi makmur.

Mereka pun menyadari, tanah desa merekalah yang


mengubah tanaman biasa itu menjadi istimewa. Tanah
yang tadinya dianggap sebagai kutukan ternyata
merupakan berkah tiada dua yang diberikan Ibu Bumi
kepada mereka.

BAGI sebagian besar orang, kisah di atas terdengar bagai


dongeng belaka. Namun, tidak bagi Barjo dan masyarakat
Desa Hiyung, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Hingga empat tahun lalu, Desa Hiyung merupakan desa


berstatus tertinggal. Ekonomi masyarakat sulit bertumbuh
karena tak banyak kegiatan ekonomi yang bisa dikembangkan
di sana. Terletak di daerah rawa, selama empat-lima bulan
lamanya Desa Hiyung terendam air dan tak bisa digunakan
penduduk untuk bertani. Ketika musim kering dan air
menyusut, barulah penduduk bisa menanam padi.

Kabupaten Tapin memang dikenal sebagai penghasil


padi, bahkan salah satu penyokong swasembada pangan
121

Kalimantan Selatan. Namun, sawah di Desa Hiyung rentan


hama dan serangan tikus. Keuntungan dari padi pun tidak
banyak karena musim tanam yang terbatas.

Satu hari pada tahun 1993, seorang pemuda yang akrab


dipanggil Barjo, pergi berkunjung ke desa tetangga, yakni
Desa Miawa. Dari kaki gunung, ia membawa pulang beberapa
pokok tanaman cabai rawit, lalu mencoba menanamnya
di rumah. Tak ada penduduk Hiyung yang menanam cabai
saat itu. Barjo sendiri tidak pernah membayangkan akan
menanam cabai dalam jumlah banyak, hanya cukup untuk
konsumsinya dan keluarga.

Ketika cabai rawitnya berbuah, Barjo menyadari perbedaan


antara cabai yang dipanennya dengan kebanyakan
cabai rawit yang ia coba. Cabainya memang berukuran
lebih kecil, tetapi dagingnya lebih tebal. Warnanya pun
lebih cerah. Namun, yang paling mengejutkan adalah
tingkat kepedasannya. Rawit kecil dan tebal itu berkali
lipat lebih pedas dibandingkan rawit biasa. Perbedaan
itu terlalu mencolok untuk ia diamkan. Barjo kemudian
mengomunikasikannya kepada kawan-kawan dekatnya.

Setelah melihat dan mencicipi sendiri, lima orang temannya


ikut mencoba menanam. Hasilnya tetap konsisten.
Kesimpulan mereka, sesuatu dalam tanah Desa Hiyung
menyebabkan perbedaan karakter cabai. Upaya penanaman
cabai memperoleh semakin banyak dukungan dari
masyarakat sekitar.
122

Secara berangsur-angsur, semakin banyak penduduk


Hiyung berbudi daya cabai rawit di lahan mereka. Dari
mulut ke mulut, kedahsyatan cabai pedas asal Hiyung mulai
terdengar ke daerah lain, menciptakan nama tersendiri:
Cabai Hiyung.

LANGIT sedikit berawan tapi urung menumpahkan hujan.


Di hadapan saya, bentangan tanah luas yang tergenang
air bagaikan cermin raksasa, berkilau oleh pantulan sinar
matahari jelang sore.

Perhatian saya sempat tercuri melihat kecipak lemah di


genangan air. “Ada ikannya, Mas?” tanya saya kepada Djoko,
koordinator LPB Tapin yang sore itu mendampingi saya.
Genangan rawa tersebut tak sampai semata kaki, dan airnya
cenderung bening.

Djoko menunjuk ke kawat berbentuk lingkaran yang tersebar


di mana-mana. “Itu perangkap ikan, Mbak,” jawabnya. “Yang
ditangkap ikan kecil-kecil, paling setengah jempol besarnya.
Di sini disebutnya ikan papuyu. Kalau di Jawa, namanya ikan
betok.”

Bertepatan dengan itu, sebuah perangkap kawat diangkat


oleh seorang pria dari tepi rawa. Terlihat banyak ikan mungil
berlompatan di dalamnya.
123

Saya pun berjalan lebih jauh, menyeberangi jembatan kayu


yang membelah kali untuk mencapai Balai Tani Karya Maju,
kelompok tani yang diketuai oleh seorang petani bernama
Junaedi.

Sejak perjalanan, saya sudah diwanti-wanti bahwa Junaedi


belum terlalu lama bisa berbahasa Indonesia. Jadi, harap
dimaklumi kalau-kalau terjadi kemacetan dalam komunikasi
kami.

Sore itu, Junaedi, pria berusia 50 tahun asli Tapin, telah


bersiaga di ujung jembatan. Langit yang mendung terasa
kontras dengan kemeja batiknya yang berwarna merah-
kuning cerah. Ujung-ujung rambutnya yang keriting tampak
menyembul di balik topi pet.

Bangunan tempat kami duduk berupa rumah panggung


yang terpancang di atas rawa. Angin sejuk menerpa tanpa
halangan. Separuh rumah panggung itu terbuka. Menyembul
dari genangan air, masih terlihat baris-baris tanah bekas jalur
penanaman cabai. Hanya tersisa beberapa pucuk pohon
cabai. Kedatangan saya memang tepat di musim penghujan,
ketika sebagian besar Desa Hiyung terendam air.

Junaedi menyilakan saya duduk di bangku panjang. Di


hadapan kami ada meja besar yang tampaknya sudah
disiapkan dengan saksama. Terdapat setampah bibit cabai
yang tertanam dalam cangkir plastik. Di sebelahnya,
tersusun bagai kipas, kantong-kantong benih cabai Hiyung.
Berbaris pula botol-botol berisi sambal dan bubuk cabai.
124

Junaedi tak sendirian. Beberapa pemuda dan seorang ibu


telah menanti kami. Mereka sudah duluan mengambil
tempat duduk di saung itu, menatap saya dengan tatapan
ingin tahu.

Balai itu tampak resik dan tertib. Tepat di atas kepala,


tergantung Garuda Pancasila yang menaungi foto Presiden
dan Wakil Presiden. Di bawahnya lagi, selembar white board
dengan judul besar Jadwal Kegiatan. Nama saya tercantum
dalam coretan spidol. Pertemuan dengan Dewi Lestari.

Peringatan tentang kemampuan berbahasa Junaedi seolah


ikut tertiup angin. Sepanjang pembicaraan kami, Junaedi
berbicara dalam bahasa Indonesia yang lancar, bahkan
cenderung cepat. Terutama tentang fakta data cabai Hiyung
yang tampaknya sudah dihafalnya luar kepala.

“Akibat menjadi rawa selama setengah tahun, kondisi PH


tanah di sini asam, di bawah 4,5. Itu yang menjadikan tanah
di Hiyung unik untuk penanaman cabai. Menurut penelitian
di laboratorium IPB, cabai Hiyung adalah yang terpedas di
Indonesia, dengan tingkat kepedasan 94.500 ppm,” jelas
Junaedi hampir tak berjeda, seolah ada teks berjalan yang
tengah ia baca.

Balai itu memang sudah sering kedatangan tamu. Dalam


satu minggu, setidaknya ada empat sampai lima kunjungan.
Tamu yang paling sering mampir adalah dari Dinas Pertanian
Daerah. Cabai Hiyung memang telah menjadi primadona
125

kebanggaan Kalimantan Selatan. “Dukungan Dinas kepada


kami luar biasa besar,” Junaedi mengonfirmasi.

Kendati demikian, perjalanan cabai Hiyung mencapai


statusnya yang sekarang tidaklah seindah dongeng. Ketika
mayoritas penduduk Hiyung sudah menanam cabai rawit
sekalipun, awalnya mereka belum memiliki kematangan
agrobisnis, masih asal tanam. Sekitar tahun 2013, harga
cabai rawit sempat anjlok. Petani bahkan menolak untuk
memanen karena sudah pasti rugi. Biaya memanen lebih
tinggi daripada harga jual. Akibatnya, begitu banyak cabai
yang terbuang sia-sia.

Djoko, koordinator LPB Tapin, yang ikut menyertai saya


menemui Junaedi, melengkapi cerita. “Ketika LPB pertama
kali membina Desa Hiyung, kami juga masih mencari bentuk.
Awalnya, kami mengajak masyarakat berbudi daya lele.
Tahunya malah gagal. Air di sini asam, akibatnya nutrisi dari
pakan ikan tidak terserap maksimal. Lele kami nggak gede-
gede. Sampai satu hari, saya lewat rumah seorang petani
dan melihat tanaman cabai sebegitu banyak dan tidak
diapa-apakan. Ketika saya tanya alasannya, ternyata karena
harga anjlok. Cuma tujuh ribu per kilo. Di situlah saya mulai
berpikir, bagaimana caranya memanfaatkan cabai-cabai
ini?”

Bagai bohlam ide yang terpantik, fokus LPB pun berubah.


Djoko dan Junaedi mulai menjajaki membuat produk
126

turunan cabai. Tebersitlah ide untuk membuat abon cabai.


Berbekal dua buah blender, mereka mulai mengeringkan
cabai kemudian menggilingnya jadi tepung. Meski bentuk
sudah menyerupai abon cabai di pasaran, mereka sadar
produk itu masih jauh dari sempurna.

“Berbagai percobaan kami lakukan, sampai akhirnya kedua


blender kami rusak. Kami mulai mempertimbangkan mem­
beli mesin giling,” kata Djoko. Harga mesin giling termasuk
tinggi, mencapai delapan juta rupiah. Sialnya, pihak Djoko
tertipu pedagang online yang menjanjikan mengantar mesin.
Uang sudah tertransfer, barang tak datang-datang.

Menilai pentingnya kehadiran mesin giling di Hiyung, kantor


pusat akhirnya mengucurkan dana lagi. Kali ini, Djoko dan
kawan-kawan tak mau kecolongan. “Kami kawal benar-
benar itu mesin, pokoknya dari tempat pengambilan sampai
ke rumah produksi, kami ikuti terus.”

Memiliki mesin ternyata tak lantas menuntaskan semua


persoalan. Cabai mereka sudah halus sempurna bagai
tepung, tetapi tidak tahan lama, dan tidak ada rasanya.
Hanya pedas.

Junaedi lalu dikirim untuk studi banding ke Bogor, ke Balai


Besar Litbang Pasca Panen Pertanian. Di sanalah, Junaedi
belajar mengawetkan tepung cabai secara alami tanpa
bahan-bahan kimia berbahaya. Junaedi juga jadi tahu varian
rasa dan cara memberi rasa ke abon cabai yang tadinya
tawar.
127

Pe-er mereka terus berlanjut. Dari mentor yang disediakan


YDBA, Junaedi belajar tentang branding. Junaedi menjadi
paham betapa pentingnya pengemasan, desain, dan
produksi. “Saya sudah diwanti-wanti, harus siap rugi dua
tahun pertama. Kami harus bertahan meski belum untung.
Produk kami bagus, tapi tidak ada yang tahu. Dua tahun itu
untuk kami pelan-pelan membangun pasar,” katanya.

“Bukan hal gampang buat petani, Mbak,” Djoko menyahut.


“Pola pikir seperti itu di luar kebiasaan petani. Biasanya,
petani dapat hasil setelah beberapa bulan nanam, toh? Lha,
ini harus pahit-pahitan dua tahun.”

Benar saja. Melihat tak ada keuntungan selama dua tahun


berturut-turut, beberapa warga menyangsikan, bahkan
mencemooh. Junaedi dianggap buang-buang waktu. Namun,
Junaedi percaya penuh kepada instruksi mentornya. “Kalau
berhasil, keberhasilan ini akan dinikmati satu desa. Bukan
saya sendiri. Kami tidak perlu takut lagi harga anjlok. Kami
bahkan bisa punya penghasilan di musim hujan.”

Tak cuma pihak Junaedi, pihak LPB Tapin pun harus


berkorban ekstra. Pendampingan Desa Hiyung berjalan
panjang. Sementara program lain selesai dalam satu-dua
tahun, pendampingan cabai Hiyung berlangsung hingga
empat tahun lamanya.

Pada tahun ketiga, upaya mereka mulai menunjukkan hasil.


Sebuah advertorial yang mereka pasang di surat kabar
128

lokal berhasil mencuri perhatian.


Banyak yang penasaran tentang
cabai terpedas di Indonesia
yang ternyata tumbuh tak jauh-
jauh di Kalimantan Selatan. Satu
demi satu, liputan media lokal
bertambah. “Akhirnya kami dapat
kunjungan dari Dinas Pertanian
Daerah, kami diajak ikut pameran,”
ujar Junaedi.

Setelah berkali-kali mengikuti


pameran lokal, Abon Cabai
Hiyung ikut melanglang buana
ke pameran nasional di Jakarta
sebagai produk kebanggaan
Kalimantan Selatan. Status
rekognisi nasional itu dikukuhkan
lagi oleh liputan TVRI—video yang
kemudian dijadikan dokumentasi
standar bagi para tamu Rumah
Produksi Cabai Hiyung.

“Sekarang, setiap Hari Jadi


Kabupaten Tapin, kami pasti
dibawa. Wajib, kalau kata Bupati,”
lanjut Junaedi berseri-seri.

Junaedi telaten mengumpulkan


dokumentasi perjalanan cabai
129

Hiyung dari tahun ke tahun. Setumpuk album foto tersedia


untuk dilihat tamu-tamu. Dengan terbuka, ia bahkan
menunjukkan data penjualan abon cabai dan sambal Hiyung
dari tahun ke tahun. Terlihat peningkatan signifikan setelah
tahun kedua.

“Laporan seperti ini siapa yang mengerjakan, Pak?” tanya


saya.

“Saya, Mbak.” Seorang ibu muda yang sedari tadi duduk di


dekat kami, malu-malu beringsut mendekat. Ia kemudian
memperkenalkan diri. Namanya Arbainah.

Arbainah adalah Koordinator Kelompok Tani Wanita di


Hiyung. Ia jugalah yang mengelola sambal botol Hiyung,
produk andalan kedua setelah abon cabai. Profesi Arbainah
sehari-harinya adalah seorang penjaga perpustakaan di
sebuah sekolah dasar. Lewat pendampingan LPB, Arbainah
belajar menggunakan Word dan Excel, yang kemudian
dimanfaatkan untuk merapikan data keuangan kelompok
tani mereka. Sudah tiga bulan berjalan, dan Arbainah
rela untuk tidak digaji dulu. “Semangat kami adalah maju
bersama. Saya rela tidak dikasih honor apa-apa, karena saya
tahu ini untuk kebaikan kita semua,” ungkapnya.

Kami harus bertahan meski belum


untung. Keberhasilan ini akan dinikmati
satu desa. Bukan saya sendiri.
Semangat kami adalah ma ju bersama.
130

Perkembangan cabai Hiyung memang memacu seisi desa


untuk maju. Tahun 2013, ketika Djoko dan LPB Tapin
baru masuk ke Hiyung, sedikit sekali masyarakat yang bisa
berbahasa Indonesia. Mereka sering salah paham karena
kesulitan bahasa. Junaedi tadinya bahkan hampir tak bisa
sama sekali. Namun, didorong oleh keinginan bersama untuk
mengembangkan pertanian di Hiyung, batasan dan kendala
bahasa akhirnya ditanggulangi. Junaedi kini dengan percaya
diri bahkan bisa melakukan presentasi mewakili kelompok
taninya, dan menjadi salah satu juara di tingkat nasional.

Sejenak kami beranjak dari balai dan mengunjungi galeri


kecil yang merangkap tempat kumpul dan tempat pelatihan.
Di sanalah berjajar piala hasil prestasi Desa Hiyung dan
kelompok taninya.

Para pemuda yang ikut bersama kami ternyata adalah petani-


petani cabai muda. Lain halnya dengan kebanyakan petani
di Jawa yang menghadapi isu regenerasi, masalah klasik itu
tidak terlihat sama sekali di Tapin. Sejak awal, Junaedi telah
menggandeng Karang Taruna dan melatih mereka bertani.
Tidak sulit meyakinkan mereka karena penghasilan dari
cabai Hiyung memang menggiurkan. Saat musim panen,
rata-rata penduduk bisa punya penghasilan 5-10 juta per
bulan, tergantung seberapa besar lahan yang mereka garap.
Dari 113 hektare keseluruhan lahan cabai di Hiyung, 40
hektare digarap oleh petani muda.
131

Asnan, salah seorang petani muda Hiyung, dengan sedikit


malu-malu menceritakan ia baru saja membeli sepeda motor
Honda, hasil dari panen cabai.

“Kalau tanya ke dealer Honda di Banjarbaru, mereka pasti


tahu, yang beli kendaraan di sana kebanyakan orang dari
Hiyung.” Djoko berkata sambil melempar senyum kepada
Asnan dan kawan-kawannya yang saling berpandangan dan
mesem-mesem seolah tertangkap basah.

“Hebat dia,” Junaedi berdecak. “Bukan cuma punya sepeda


motor baru, Asnan ini sudah bisa bangun rumah sendiri dari
hasil panen cabai.”

Asnan baru berusia 27 tahun.

SELEMBAR plastik menjuntai menutupi pesawat televisi


berlayar tipis, dua boks pengeras suara, dan DVD player.
Junaedi membuka plastik penutup itu dengan hati-hati.
Menggunakan remote, ia menyalakan televisi dan memutar
video kebanggaannya. Liputan TVRI tentang cabai Hiyung
sepanjang tiga puluh menit.

Liputan itu memang diproduksi dengan baik. Meski hampir


semua konten informasinya sudah saya dengar langsung
dari Junaedi, tontonan itu masih menarik untuk diikuti.
132

Setidaknya, saya mendapat gambaran penampakan ladang


cabai kala musim panen. Genangan air hilang, berganti baris
demi baris pohon cabai yang hijau rimbun. Buah-buah cabai
kecil dengan ragam warna merah-oranye-kuning menyala
menghiasi puncak pepohonan bagai semburan kembang
api.

Baru sebulan lagi, ketika air diperkirakan surut, tanah yang


mengelilingi kami akan digarap memakai tajak, salah satu alat
pertanian tradisional khas budaya Melayu-Jambi. Karena
kondisi tanah di Hiyung, mulsa plastik tidak digunakan
karena akan rusak. Sebagai ganti, dipakailah batang-batang
semak tanaman rawa, yang sekaligus memanfaatkan limbah
dari proses pembersihan lahan. Mulai dari penanaman
hingga panen makan waktu sekitar lima bulan.

Dalam satu adegan, tampak pembawa acara kepedasan


ketika mengigit cabai Hiyung yang ia makan bersama
gorengan.
133

“Kalau Pak Junaedi mungkin sudah kebal, ya,” komentar


saya.

“Saya cuma kuat setengah butir, kok,” jawabnya sambil


tertawa.

“Juragannya Hiyung cuma kuat makan cabai dari luar


Hiyung,” goda Djoko.

Sudah santer kabar bahwa benih cabai Hiyung yang ditanam


di luar Hiyung tidak lagi pedas. Jadi, meski benih cabai
Hiyung tersedia untuk dibeli, jika ditanam di tanah dengan
kondisi berbeda, hasilnya pun akan lain. Selain PH yang
asam, perubahan kondisi aerob menjadi anaerob ketika
tergenang air memberikan kesempatan bagi tanah di Hiyung
untuk beristirahat dan menahan bibit penyakit berkembang.
Ketika terkena hama sekalipun, cabai Hiyung menunjukkan
kekuatan yang lebih baik dibandingkan cabai di lahan biasa.

Ketahanan itu masih berlanjut ketika cabai sudah dipetik.


Salah satu karakteristik unggulan cabai Hiyung adalah
tidak mudah membusuk. “Saya pernah pameran di
Malang. Delapan hari penuh. Cabai kami tetap segar, tidak
membusuk. Sementara, cabai yang di stan lain sudah ganti
dua kali,” kata Junaedi.

Junaedi boleh berbangga karena klien cabai segarnya tidak


berhenti di Kalimantan saja. Beberapa restoran di Jawa Barat
dan Jakarta sudah memakai produk cabai Hiyung. “Kata
mereka, kalau rawit Jawa harus pakai lima, rawit Hiyung
134

cukup satu,” katanya sambil tersenyum simpul. Secara


harga, cabai Hiyung memang lebih mahal dibandingkan
cabai biasa, tapi pemakaiannya jauh lebih efisien.

“Kesulitan awal kami ada tiga.


Hama, harga, dan stok,” Junaedi
“Isu kelebihan
stok teratasi berkata sambil merunut dengan
dengan adanya jemarinya. “Kehadiran LPB
produk turunan.” mampu mengatasi itu semua.
Kami diajari bagaimana budi daya
yang benar, tidak asal-asalan. Isu
kelebihan stok teratasi dengan adanya produk turunan. Soal
harga, kami terbantu dengan adanya BSK.”

“Apa itu BSK, Pak?” tanya saya. Satu hal yang saya cermati
ketika berada dalam lingkungan industri. Ada banyak sekali
singkatan. Jika tidak cepat-cepat ditanya kepanjangannya
dan tujuannya, mudah sekali tersesat dalam rimba huruf.

“Itu nama komunitas tani di Tapin, Mbak. Dibentuk atas


inisiatif LPB,” sahut Djoko. “Kelak, kami mencita-citakan
BSK akan menjadi koperasi.”

“Dengan adanya BSK, kami bersatu untuk punya standar


harga. Tidak dimainkan tengkulak,” timpal Junaedi. Jika
dahulu harga cabai bisa jatuh sampai tujuh ribu rupiah,
kini harga cabai Hiyung terbilang stabil. Tidak pernah lagi
di bawah lima belas ribu rupiah per kilogram. Pada kasus-
kasus luar biasa, kadang mencapai harga 110 ribu rupiah
per kilogram.
135

Ketika tayangan video selesai, saya lalu dibawa berkeliling


ke rumah produksi. Junaedi berhenti di depan sebuah
kontainer plastik besar. Ketika tutupnya dibuka, meruaplah
aroma cabai yang pedasnya sampai ke mata. Saya melongok,
menemukan ribuan cabai rawit kering yang warnanya
sudah seragam menjadi merah hati dan mengeriput akibat
terpanggang matahari dan oven. Mesin giling mereka sudah
ada dua. Dus-dus berisi botol plastik bertumpuk rapi di
sudut.

“Pak Junaedi ini 5R-nya memang mantap,” kata Djoko sambil


menepuk bahu Junaedi. “Mungkin terbawa jabatan beliau
yang Sekretaris Desa. Jadinya apik.”

“Hari ini nggak masuk kerja dong, Pak?” kata saya.

“Terpaksa cuti dulu, karena ada tamu jauh,” Junaedi


tersenyum. Dari kantong kemejanya, ia mengeluarkan
selembar kertas dan menunjukkannya kepada saya. Sebuah
surat resmi dengan kop dari kecamatan. “Sekarang di tingkat
desa sudah rapi surat-menyuratnya. Nggak bisa lagi bolos
sembarangan. Saya harus mengajukan permintaan cuti, lalu
dikasih surat persetujuannya seperti ini.”

Kesan tertib memang melekat kuat pada sosok Junaedi. Tak


heran, cabai Hiyung melaju stabil menjadi jagoan Kalimantan
Selatan. Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup Kalsel tengah
menjadikan cabai Hiyung sebagai salah satu profil unggulan
ke seleksi Kalpataru.
136

Desa Hiyung tidak lagi berstatus Tertinggal. Sebetulnya,


Hiyung sudah diajukan menjadi desa kategori Maju. Hanya
setahap di bawah kategori puncak yakni Mandiri. Namun,
pengajuan itu masih ditolak halus oleh Junaedi dan warga.
“Status kami cukup desa Berkembang dulu. Kalau sudah
Maju, nanti sudah tidak lagi dibantu. Padahal, kami masih
banyak perlu belajar,” ujarnya.

Dari jendela yang terbuka, angkasa mulai bersemburat


jingga. Kombinasi dengan awan kelabu membuat langit
tampak indah dan unik. Seunik cabai Hiyung yang sayangnya
belum sempat saya cicipi.

Untungnya, Junaedi dan Arbainah berbaik hati mengoleh-


olehi saya beberapa botol sambal dan abon cabai. Sebagai
tambahan, saya membawa dua bibit cabai Hiyung yang
tertancap di cangkir plastik. Entah bagaimana bisa
membawanya pulang ke Jakarta tanpa tergencet, tumpah,
atau layu.

Dinaungi langit senja yang indah, diiringi suara kelotok yang


melaju di kali, saya meninggalkan Desa Hiyung yang tenang.

DENGAN ketenangan sama, saya menaburkan abon cabai


Hiyung ke mangkuk sup sayur. Perjalanan jauh dari Hiyung
membuat kami tiba di Banjarbaru lewat jam makan malam.
137

Restoran sudah banyak yang tutup. Akhirnya, kami makan


masing-masing di kamar hotel. Sup sayur yang saya pesan
adalah teman ideal untuk bubuk cabai.

Saya memang penyuka makanan pedas. Tidak banyak


makanan yang katanya pedas, benar-benar pedas di lidah
saya. Saya mengaduk kuah sup, menyeruput sesendok
penuh.

Mata saya membelalak. Hal pertama yang terpikir adalah: di


mana air putih?
8 Mendayung
Bersama
P
EMANDANGAN hutan karet yang rapat membuat
saya mengecek agenda hari itu sekali lagi. Lahan
hortikultura Bpk. Ardiani. Saya mengedarkan
pandangan. Di mana lahannya?

Referensi lahan pertanian dalam bayangan saya merujuk ke


tipikal ladang-ladang sayur di Pulau Jawa. Luas terbentang,
serbaterbuka, tak terputus sejauh mata memandang.
Bahkan, dari kejauhan pun kita bisa menaksir yang mana
lokasi penanaman kol, yang mana tomat, yang mana wortel,
dan seterusnya. Namun, pemandangan yang saya hadapi
di luar dari tipikalitas itu. Di sini, sejauh mata memandang,
yang tampak hanya pohon karet.

Mobil kami berhenti tepat di pinggir hutan karet


kawasan Desa 3B, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
Penamaan desa menggunakan angka merupakan khas
zaman transmigrasi, demikian info yang saya dapat ketika
menanyakan asal muasal nama “3B” yang terdengar tak
umum untuk nama desa.

Saya lalu dipandu oleh rekan-rekan dari LPB Tapin memasuki


setapak tanah. Sensasi gatal menusuk di beberapa bagian
tangan. Saya menepaknya secara refleks. Terlihatlah
nyamuk Aedes aegepty gepeng bersama sepercik darah. Ia
tak sendirian. Kawan-kawan rombongannya beterbangan
gesit, mencari peruntungan di daerah tangan saya yang saat
itu berkaus lengan pendek.
140

Sementara Indra memutuskan untuk balik arah dan mencari


cairan penolak serangga di toko terdekat dengan sepeda
motornya, saya memutuskan untuk mengambil jaket dari
mobil. Jaket yang saya bawa adalah jenis jaket hangat
yang memang saya peruntukkan dipakai di pesawat atau
bandara. Tak pernah saya rencanakan memakai jaket itu
di alam terbuka, di dataran rendah 10 mdpl, pada siang-
siang bolong. Namun, dihadapkan dengan pilihan antara
berkeringat atau menjadi meja prasmanan bagi rombongan
Aedes aegepty, saya pilih yang pertama.

Setelah berjalan kurang lebih lima menit di setapak,


pepohonan rapat itu terkuak, dan kami tiba di sebentang
lahan seluas kurang lebih satu hektare. Di tepi ladang,
sebuah saung bambu berdiri. Dua sepeda motor dan satu
mesin traktor terparkir di dekatnya.

Kedatangan kami mengundang seseorang dari ladang


mendekat. Sementara saya sibuk menepaki nyamuk yang
kini menyerang wajah, pria itu tampak tak terpengaruh oleh
awan nyamuk yang meliputi kami.

“Nyamuknya sudah kenal sama saya. Sudah nggak gigit lagi,”


selorohnya. Pria itu lalu memperkenalkan diri. Namanya
Ardiani. Ialah pemilik lahan dua setengah hektare tempat
kami berdiri. Satu hektare telah digarap menjadi lahan
hortikultura, sementara sisa satu setengah hektarenya
masih berupa hutan karet sebagaimana awalnya lahan itu
dahulu.
141

Ardiani, kini berusia 43 tahun, merupakan pendatang di


Tapin. Kampung halamannya ada di bagian utara Kalimantan
Selatan, tepatnya di Kota Baringin, Kabupaten Balangan.
Pada tahun 1980-an, seiring demam karet di Kalimantan
Selatan, orang tuanya pindah ke Tapin yang saat itu sangat
bergairah menanam karet. Ardiani menyusul tahun 1990-
an, setelah lulus SMA.

Memasuki tahun 2000-an, pasar karet melesu. Ardiani


mengakui, kualitas karet di Kalimantan Selatan bersenjang
jauh dibandingkan dengan karet dari Sulawesi atau Sumatra.
Menurutnya, keilmuan pertanian karet di Kalimantan
Selatan tidak berkembang, bertahun-tahun tanpa inovasi
seolah jalan di tempat. Otomatis, hal itu berdampak pula
pada harga. Kondisi ekonomi petani karet ikut melesu.

Menyikapi situasi tadi, Ardiani mulai melirik peluang baru.


Ia mengetahui beberapa kenalannya dari desa lain yang
mencoba hortikultura. Sementara, di area sekitarnya, belum
ada yang berbudi daya lain selain karet. Ide hortikultura
memang tidak populer. Tapi, Ardiani tertarik mencoba.

Dibantu dua sesama petani karet lain, Ardiani mencicil


pembersihan lahan hanya berbekal gergaji dan parang.
Pekerjaan itu sangat berat dan melelahkan. Mereka
melakukannya sedikit demi sedikit. Pagi menyadap karet,
siang sampai sore membersihkan lahan. Pada masa-masa
itu, Ardiani menyambung hidup dari lahan karetnya yang
makin hari makin menyusut.
142

Akhirnya, setelah setahun lamanya, lahan itu bersih. Dengan


ilmu tani dan pemasaran yang masih nol besar, Ardiani lantas
menanam kacang panjang. Panen pertamanya gagal total.
Sebagian besar kacang panjangnya rusak akibat hama yang
tak bisa ia tanggulangi. Nahasnya lagi, sisa tanaman yang
sehat hampir tak ada harganya.

“Penanaman kacang panjang memang pendek, cuma empat


puluh hari, tapi saya tidak bisa menghitungnya seperti
itu. Upaya pembukaan lahan adalah investasi saya yang
terbesar,” ucapnya, air mukanya memuram, “panen pertama
itu, kami hanya dapat uang 140 ribu per orang. Bayangkan,
Mbak. Setahun bekerja!” Ia geleng-geleng kepala.

Tak pelak, usaha hortikultura Ardiani menjadi bahan


tertawaan. Para petani karet di sana sudah mengetahui
betapa Ardiani setengah mati membersihkan lahan dan
mengorbankan satu hektare, ketika ternyata hasilnya sekecil
itu, mereka menganggap Ardiani hilang akal sehat.

“Tapi, mau bagaimana lagi? Lahan sudah telanjur dibuka.


Saya tidak mungkin mundur. Saya harus terus coba,” kata
Ardiani.

Suatu hari, Ardiani menengok lahan hortikultura di desa


sebelah. Lahan itu terlihat jauh lebih baik dibandingkan
lahannya. Pemilik lahan itu mengusulkan kepada Ardiani
untuk bergabung di kelompok tani. “Di sana banyak ilmu,
katanya begitu,” ujar Ardiani, “saya juga sadar, pengetahuan
143

saya minim sekali. Tanam masih asal-asalan. Pemasaran


masih buta. Akhirnya, saya turuti nasihatnya.”

Di situlah, Ardiani bertemu dengan LPB dan menjadi salah


satu petani binaan. Ia mengikuti pelatihan ilmu budi daya—
penanggulangan hama, pemupukan, dan cara kalkulasi
tanam agar lahan bisa panen berkesinambungan.

Obrolan kami sempat berhenti karena kedatangan Indra


yang kembali bersama satu renceng losion antinyamuk
yang langsung dibagikan ke rombongan. Ardiani dan Mastur
hanya menontoni kami yang dengan kalap membalurkan
cairan itu ke bagian tubuh yang terbuka. Sejenak saya bisa
bernapas lega karena terbebas dari bekapan jaket, dan juga
dari kawanan nyamuk lapar.

Jeda itu memberi saya kesempatan untuk mengamati


saung tempat kami duduk. Di dinding biliknya tergantung
beberapa kertas berlaminasi. Semuanya tercetak rapi. Isinya
tak lain adalah pedoman 5R. Ada pula Tata Tertib Kerja
yang mengingatkan untuk datang tepat waktu, memakai
perlengkapan tani yang lengkap dan sesuai, mengembalikan
barang-barang ke tempatnya semula, dan seterusnya.

“Seumur-umur saya pergi ke ladang orang, baru kali ini


saya lihat ada petunjuk tata tertib,” komentar saya, tak
tertahankan.

Ardiani melepas tawa. “Saya juga dulu bilang ke fasilitator,


‘Kalau di ladang begini, bagaimana cara mengatur 5R-nya?’
144

Tapi, ternyata ketemu juga bentuk yang pas. Biarpun cuma


satu saung begini, penting untuk kita memegang ketertiban
kerja yang benar. Terasa beda, Mbak. Kerja jadi lebih
sungguh-sungguh, istirahat nggak kebablasan, siapa yang
masuk dan keluar jelas, peralatan nggak kececer,” katanya.

Tidak banyak mesin yang Ardiani gunakan, sebagian besar


pekerjaan masih dikerjakan secara manual. Mereka hanya
memakai satu traktor untuk menggemburkan tanah. “Tidak
masalah meskipun cara tani kita sederhana, yang penting
kita paham ilmunya,” ujarnya, “anggota kelompok tani
kami sekarang ada dua puluh, dan kami rutin melakukan
pertemuan untuk berbagi ilmu dan pengalaman.”

“Untuk pemasaran, kami terbantu oleh BSK,” pria di sebelah


Ardiani menambahkan. Mereka berdua kelihatan sebaya. Ia
memperkenalkan diri, namanya Mastur. Ialah rekan Ardiani
yang sejak awal ikut membantu pembukaan lahan. Secara
singkat Mastur kemudian menceritakan latar belakangnya
yang cukup mirip dengan Ardiani. Mastur tiba di Tapin
karena ikut orang tuanya yang menjadi penanam karet. Ia
berasal dari Kabupaten Barito Kuala. “Translokal”, demikian
istilah yang dipakai untuk menyebut kegiatan berpindah
lokasi di dalam Pulau Kalimantan.

“Kalau tidak ada BSK, kami jadi terlalu bergantung kepada


tengkulak,” sambung Ardiani.

Ini bukan kali pertama saya mendengar tentang “BSK”.


Junaedi dari Hiyung juga sudah pernah menyebutkannya.
145

Saya merasa sudah saatnya menanyakan lebih jauh tentang


BSK.

Tepat ketika saya hendak menyalakan alat perekam, sebuah


sepeda motor kembali datang. Kali ini, saya tidak mengenali
pengemudinya. Memakai topi pet dan kaus merah, seorang
pemuda turun dari motor. Kulitnya cokelat gelap. Ia menyapa
Ardiani dengan logat Jawa yang medok.

“Nah, ini dia, ketua kami,” kata Ardiani sambil merangkul


bahu pria itu.

“Bambang,” sapanya kepada saya sambil mengulurkan


tangan. “Saya Ketua BSK.”

Ini dia, pikir saya. Ketua dari ‘organisasi misterius’ yang


sudah saya dengar berkali-kali selama di Tapin.

Saya menyalakan alat perekam, mengarahkannya kepada


Bambang.

KALIMANTAN adalah pulau terbesar kedua di Indonesia.


Luasnya enam kali Pulau Jawa. Mereka yang lahir dan besar
di Pulau Jawa, termasuk saya, mungkin tak pernah terpikir
bahwa sayuran dan buah-buahan umum yang sehari-
hari kita konsumsi belum tentu tersedia di pulau seluas
Kalimantan, yang padahal berada di iklim serupa.
146

Bambang adalah salah seorang perintis budi daya buah


melon di Kalimantan Selatan. Sebelumnya, tidak ada yang
membayangkan melon bisa dibudidayakan di Kalimantan.
Bambang mendapat ide menanam melon setelah ia sempat
bekerja singkat di sebuah pertanian di Jawa Timur. Selama
setahun, ia mengikuti dan mengamati bagaimana petani
melon bekerja. Ketika kembali ke Tapin, ia mencoba dan
berhasil.

“Jadi, Mas Bambang belajar menanam melon ketika pulang


kampung ke Jawa?” saya mengklarifikasi.

“Saya asli Tapin, Mbak.”

Kening saya berkerut. Bagaimana mungkin? Logat Jawa-nya


sangat medok. “Tapi, kok… nggak kedengaran….”

“Dia Jawa Gambut, Mbak!” sambar Ardiani sambil terbahak.

Jawa Gambut? Istilah itu baru di kuping saya.

“Jawa Gambut itu sebutan buat orang-orang kayak saya.


Lahir di sini tapi besar di lingkungan transmigran, jadi bahasa
dan cara bicara masih ngikut ke bahasa asli orang tua saya.
Bapak dari Madiun, ibu dari Jember. Kalau orang luar dengar
saya ngomong, pasti dikiranya saya merantau dari Jawa.
Tapi, kalau orang Kalimantan sudah biasa ketemu dengan
model kayak saya begini. Jawa Gambut, kata mereka,” jelas
Bambang dengan cengiran lebar.
147

Pada usia yang relatif muda, 40 tahun, Bambang telah


mengemban tugas penting sebagai ketua salah satu
komunitas petani teraktif di Kalimantan Selatan, yakni BSK.

Untuk mencegah kembali tersesat di akronim, saya pun


bertanya, “Jadi, BSK ini singkatan dari apa sebenarnya?”

“Berkat Saraba Kawa. Kami ambil dari bahasa lokal. Saraba


artinya ‘serba’. Kawa artinya ‘bisa’. Jadi, ‘berkat serbabisa’,”
jawab Bambang dengan mantap. “Kepinginnya, para petani
yang bergabung di BSK jadi serbabisa. Bisa berbudi daya
dengan benar, bisa bikin produk turunan, bisa melakukan
pemasaran, dan bisa saling dukung,” lanjutnya.

Petani serbabisa. Bisa berbudi


daya dengan benar, bisa bikin
produk turunan, bisa melakukan
pemasaran, dan bisa saling dukung.

Menurut Bambang, iklim persaingan di antara petani


hortikultura di Kalimantan Selatan sangat sehat. Mereka
rajin bertukar ilmu dan pengalaman. Yang pemula tak
sungkan untuk bertanya dan belajar kepada yang sudah
tahu, dan mereka yang lebih senior tak ragu untuk berbagi.

Menariknya lagi, petani hortikultura di Tapin didominasi oleh


orang-orang muda. Mereka mulai bertani sejak usia 20-an,
148

dan bukan karena meneruskan tradisi orang tua, melainkan


karena tertarik sendiri. Menyadap karet maupun bekerja di
tambang dianggap sebagai pekerjaan berkonotasi ‘zaman
old’. Sebaliknya, bertani hortikultura dianggap pekerjaan
‘zaman now’.

Potensi hortikultura di Kalimantan luar biasa luas. Masih


banyak jenis tanaman konsumsi umum yang belum ditanam
di Kalimantan, semisal sawi putih, kol, kembang kol,
kentang, labu siam, wortel, dan seterusnya. Semua itu harus
didatangkan dari Jawa.

Untuk pembibitan dan pembenihan, Bambang dan kawan-


kawan memang masih memakai benih dari Jawa. “Di
Kalimantan, terus terang, ilmu untuk pembibitan dan
pembenihan masih jauh dibandingkan Jawa,” katanya. Meski
demikian, Kalimantan juga punya sayur dan buah khas yang
tidak bisa didapatkan di tempat lain. “Kami punya cabai
Hiyung, tiung tanjung, jeruk siam Banjar, padi duyung, dan
masih banyak lagi yang bisa kita eksplorasi dari berbagai
daerah di Kalimantan,” Bambang melanjutkan.

“Kalimantan memang luas sekali, tapi transportasi antarkota


bukan isu besar karena infrastruktur di sini cukup baik. Jalan
cenderung lurus-lurus, aspalnya bagus. Kalaupun jalan raya
tak tersedia, masih ada opsi jalur tambang,” Mastur ikut
menambahkan.
149

“Di Banjar, terkenal ungkapan: banyak yang makan ketimbang


yang nanam,” sahut Bambang. “Konsumsi tinggi, tapi yang
memproduksi sedikit.”

Ardiani membenarkan. Dari 240 KK di desanya, tak sampai


dua puluh orang yang berprofesi menjadi petani. “Kadang
mengecer hasil panen untuk teman-teman di kampung saja
sudah habis,” ujarnya.

Tentu saja, kehausan pasar di Kalimantan tidak otomatis


menjadikan perjalanan Bambang dan BSK mulus-mulus saja.
Baru pada tahun 2014, Bambang berkenalan dengan LPB.
Sebelumnya, ia masih menjadi pembibit karet. “Di LPB, kami
diarahkan untuk memproduksi tomat, terung, cabai, dan
melon,” tuturnya. Melon berhasil memancing ketertarikan
mendalam bagi Bambang. Namun, seperti kisah Ardiani dan
banyak petani pemula lainnya, Bambang pun sempat asal
tanam. “Saya sudah senang ketika berhasil panen melon.
Saya bisa menghasilkan 9 ton. Dua truk full. Bangganya minta
ampun. Tapi, saya nggak menemukan pembeli,” ia menghela
napas. “Timing saya keliru, nggak ngerti pemasaran. Ya
sudah, akhirnya jual murah ke tengkulak.”

BSK sendiri terlahir dari kesulitan para petani di lapangan.


Tanpa adanya sentra informasi untuk sesama petani,
mereka menanam tanpa koordinasi jadwal maupun jenis.
Akibatnya, sering terjadi kelangkaan untuk produk tertentu,
dan kelebihan pasokan untuk produk yang lain. Harga jadi
tak menentu.
150

Petani yang tidak punya bekal ilmu keuangan biasanya


langsung menghabiskan pendapatannya segera setelah
panen. Tidak ada perencanaan. Padahal, persiapan untuk
musim tanam berikutnya sudah
menanti. Belum lagi kalau berurusan
BSK terlahir
dengan pemasok sarana tani yang
dari kesulitan
kasih harga mencekik. Sementara,
para petani.
uang mereka sudah habis terpakai
biaya hidup.

Kejelian dan kematangan keuangan menjadi hal penting.


Begitu pula perhitungan masa tanam yang tepat. Itulah
celah penting yang kemudian diisi oleh LPB Tapin. Para
petani dilatih untuk menata keuangan mereka. Setiap kali
panen, tujuh puluh persen diprioritaskan untuk membayar
alat produksi tani, sisanya untuk biaya sehari-hari. Dengan
demikian petani terhindar dari tumpukan utang. Pembagian
ini sudah dilakukan otomatis oleh BSK. Di rekening terpisah,
petani akan menerima dana sesuai dengan porsi pemilahan
tadi. “Kalau nggak seperti itu, wah, sudah pasti habis
uangnya,” Bambang mengedikkan kepala sambil tertawa.

Dengan adanya sentra komunikasi di BSK, jadwal dan


jenis tanaman yang ditanam dapat diatur sedemikian rupa
sehingga tidak saling tumpang tindih. “Melon, misalnya,
harus panen tepat ketika bulan puasa, dan jangan bentrok
dengan buah-buah lainnya, supaya bisa bergantian. Kalau
timing kita pas, hasil panen langsung terserap cepat,” tutur
151

Bambang. Kondisi sudah berbalik baginya. Setelah sempat


kesulitan mencari pembeli, sekarang Bambang yang dikejar
sampai ke ladang. Melonnya yang baru sekepal tangan pun
sudah dipesan duluan. Target permintaan pasar semakin
meningkat. “Target pasar sekarang sudah sampai 15 ton,
dan sayangnya masih belum bisa kami penuhi, karena yang
menanam melon masih jarang.”

Tengkulak masih menjadi problem terbesar dan paling urgen.


Memperpendek mata rantai adalah tujuan utama lahirnya
BSK. Bersatunya para petani memberikan mereka kekuatan
untuk bernegosiasi. Dengan bergabungnya berbagai produk
di satu pintu, BSK maju menjadi salah satu pemain di mata
rantai supplier. Mereka mencoba melakukan terobosan
berupa penjualan farm to table ke restoran-restoran di
Banjarmasin dan Banjar Baru. Mereka juga menyuplai
supermarket, hipermarket, dan hotel.

“Kalau ada tomat dari Jawa dan tomat dari kami, pasti yang
dipilih punya kami karena lebih segar. Produk-produk dari
Jawa sudah berhari-hari melewati perjalanan, ke gudang,
dan seterusnya. Sampai ke restoran sudah tidak prima lagi.
Kalau produk dari kami benar-benar langsung dari ladang,”
lanjut Bambang.

“Petani juga otomatis lebih suka menjual bersama lewat


BSK, karena harga di BSK mendekati harga riil di pasar,”
imbuh Ardiani.
152

“Melon dijual di pasar tradisional harganya 15.000 per


kilo. Tengkulak mengambil melon di ladang? Cuma kasih
harga enam ribu! Jauh sekali, kan?” Bambang memberikan
ilustrasi. “Lewat BSK, harga dari ladang mendekati harga riil
di pasar. BSK berani mengambil melon ke petani langsung
dengan harga di 12.000-13.000 per kilo.”

Di samping harga jual yang jauh lebih tinggi, kehadiran


komunitas juga menekan biaya produksi. Dengan bersatu­
nya para petani, mereka dapat mengorder kebutuhan
sarana produksi tani dengan harga grosir. “Jika kelak
mandiri, unit bisnis BSK adalah penyedia alat produksi tani
dan memasarkan hasil tani,” Djoko, Koordinator LPB Tapin
sekaligus salah seorang pendiri BSK, ikut bersuara.

“Dari sisi kami para fasilitator, yang paling sulit adalah


mengubah mindset petani bahwa LPB itu memberi ilmu.
Bukan uang. Di sini banyak sekali perusahaan tambang
yang kasih charity ke petani dalam bentuk dana hibah. Jadi,
petani terbiasa diberi bantuan uang. Sementara itu, prinsip
kami kasih kail, bukan ikan,” Djoko melanjutkan. “Sekarang,
setelah BSK terbentuk, petani akhirnya merasakan manfaat
ilmu itu seperti apa. Ternyata, mereka jadi lebih sejahtera.
Kalau uang, sekali dikasih langsung habis. Kalau ilmu,
sejahteranya berkelanjutan.”

Uang, sekali dikasih langsung habis.


Ilmu, sejahteranya berkelanjutan.
153

Dari ranselnya, Bambang mengeluarkan sebuah kantong


plastik, lalu menyodorkannya kepada saya. “Ini salah satu
produk kami, Mbak. Silakan dicoba.”

Tampak gulungan enting-enting jahe yang oranye


berkilau, bertabur wijen. Saya menelan ludah. Meski
terlihat menggoda, seliweran nyamuk membuat saya sulit
berkonsentrasi pada hal lain. Belum lagi jari yang bakal
lengket-lengket kena gula.

“Saya bawa pulang saja ya, Mas?”

“Boleh, boleh. Kalau gitu, bawa sekalian banyak.” Bambang


mengeluarkan beberapa kantong dari ranselnya yang
ternyata dipenuhi enting-enting jahe.

“Satu saja, Mas.”

“Masa satu?”

“Lagi diet, Mas.” Saya melontarkan alasan pertama yang


terlintas di benak.

Bambang lalu menutup ranselnya. “Nanti dicoba, ya, Mbak.


Kasih masukan. Rencana kami ke depan adalah mengolah
hasil panen menjadi produk-produk turunan seperti di
Hiyung.”

“Siap, Mas.” Saya berjanji.

Melihat awan mendung menggantung di atas pucuk-pucuk


karet, Ardiani beranjak dari saung. “Sebelum hujan, kita lihat
154

ke ladang dulu, ya,” katanya seraya menyambar sepasang


sepatu bot warna kuning.

Melihat mereka semua sudah bersepatu bot, saya


berkesimpulan sepatu itu diperuntukkan untuk saya.
Ternyata, Ardiani tidak main-main dengan tata tertibnya.

ANGIN bertiup kencang hingga terdengar suara siulan


dari arah hutan. Guguran daun menghujani kepala kami, lalu
jatuh menaburi tanah tempat kami melangkah.

Lagi-lagi, saya disuguhi pemandangan tak lazim. Kalau saja


tak melihat pokok-pokok terung yang tumbuh subur di
atasnya, saya tak akan mengira tanah yang saya pijak layak
menjadi lahan pertanian. Teksturnya kasar, kering, dipenuhi
kerikil sebesar pecahan genting. Di luar dugaan, buah-buah
terung itu ranum dan besar-besar. Bahkan, terbesar dari
semua terung yang pernah saya lihat selama ini.

Bersebelahan dengan terung, terdapat baris-baris tanaman


tomat yang tampaknya sudah di ujung masa panen. Masih
tersisa sedikit buah yang belum terpetik. Lainnya sudah
memenuhi tumpukan peti kayu yang siap diangkut.

Sesuai dengan pelatihan yang didapatnya, Ardiani kini


menanam berbagai jenis sayur agar tetap sambung-
menyambung. Ketika tomat sudah selesai, terungnya
155

yang gantian siap panen, sementara itu lahan bekas tomat


dibersihkan dan dipersiapkan untuk tanaman lain. Dengan
demikian, produktivitas di lahannya terjaga.

Di kejauhan saya melihat ada bukit merah yang tampak


tandus. “Di sana ada apa, Mas?” tanya saya.

Ardiani mengikuti arah mata saya. “Oh, itu tambang batu


bara,” jawabnya.

Saya baru menyadari, bukan hanya dilingkungi oleh hutan


karet, lahan Ardiani pun berbatasan dengan tambang.

Ardiani lalu menjelaskan, salah satu keuntungan lahan yang


dilingkungi hutan adalah penyakit tanaman lebih sedikit dan
lebih lambat penyebarannya. Di Tapin, umum ditemukan
lahan pertanian yang berbatasan dengan pohon karet dan
tambang.

“Kalau di Jawa, ladang itu memang lebih enak dilihat. Rapi,


dan bersih. Tapi, tanah di Jawa cenderung jenuh, jadi malah
lebih banyak membutuhkan obat-obatan dan pupuk karena
sudah ada resistensi,” imbuh Bambang.

“Hama yang kita hadapi sama, tapi karena di sini terlindungi


hutan, penyebaran tidak cepat. Memang ada saja yang sakit,
tapi jauh lebih mudah ditangani,” sahut Ardiani.

“Kalau di Kalimantan, bencana dibikin manusia,” Mastur


menambahkan. “Di sini masih mending, Mbak. Kalau yang
156

dekat sumber air lebih riskan, karena airnya dicemari


tambang. Tanahnya jadi kelewat asam, malah mematikan
tanaman.”

Bambang bercerita, di sekitar Desa Sabah tempat ia tinggal,


truk angkutan batubara yang lewat bisa ribuan banyaknya.
Tanah digerus terus sampai menjadi jurang. Sawah-sawah
banyak yang dikonversi menjadi tambang, termasuk di lahan
Ardiani. Bukit tandus yang saya lihat itu ternyata dulunya
sawah.

“Lahan kita memang kejar-kejaran dengan tambang.


Tapi, saya optimis, hortikultura di Kalimantan akan terus
berkembang. Batubara sekarang mulai lesu, meninggalkan
kerusakan di mana-mana. Mudah-mudahan, dengan
banyaknya anak muda Kalimantan yang tertarik budi
daya hortikultura, pelan-pelan kita bisa bergeser,” tandas
Bambang.

Dari obrol-obrol kami di ladang, saya jadi mengetahui


hal menarik lainnya. Selain menilai dari kebutuhan pasar
dan info sentral dari BSK, ternyata ada faktor lebih besar
yang menentukan jenis tanaman apa yang dibudidayakan.
Kesukaan.

Bambang menyukai melon. Ada rasa sentimental yang


mengikatnya dengan buah satu itu. Melon adalah tanaman
pertama yang ditanamnya. Sementara Ardiani dan Mastur
menyukai menanam terung dan tomat. Mereka tidak lantas
merasa iri dengan keberhasilan Bambang menanam melon.
157

“Semua orang punya kesukaannya masing-masing. Saya


santai saja kalau melihat teman-teman berhasil panen
tanaman lain. Kalau saya memang belum tertarik, ya, tidak
usah dipaksakan,” ujar Ardiani dengan senyum. “Memang
betul, saya mencoba hortikultura karena ingin kehidupan
ekonomi yang lebih baik. Tapi, sebenarnya, kepuasan
yang paling besar itu justru datang dari keberhasilan saya
menanam.”

Pernyataan Ardiani langsung mendapat kata sepakat dari


Bambang dan Mastur.

“Benar itu, Mbak. Kalau ditanya alasan pertama kenapa


cocok tanam, saya akan jawab karena hobi. Kalau tanaman
kita subur, berbuah lebat, kepuasannya itu… wah…,” Mastur
mengedikkan kepala, “soal harga rasanya jadi urusan
belakangan.”

“Kita percaya, harga mengikuti kalau kualitas yang kita


tawarkan juga baik,” sambung Bambang. “Di hortikultura,
intuisi memang harus jalan. Kita harus peka dengan
kebutuhan tanaman dari waktu ke waktu.”
158

“Lihat saja, tanah kayak begini, sepertinya nggak mungkin,


kan?” Ardiani meraup tanah ladangnya yang berkerikil dan
berwarna merah pucat. “Tapi, sekarang saya percaya, tanah
itu, ya, tergantung kita. Asal kita rajin dan peka melihat yang
dibutuhkan tanah dan tanaman, insyaallah bisa.”

Dalam kondisi setengah berjongkok, Ardiani memetik


sebuah terung. “Coba dipetik saja, Mbak,” ajaknya. “Silakan
nanti dibawa pulang.”

Gemuruh guntur menyahut dari kejauhan. Gerimis


tipis mempercepat gerakan kami dari ladang, sekaligus
membubarkan serangan nyamuk hutan karet.

Saya teringat koper mungil saya, yang sudah padat oleh


laptop, kamera, dan perlengkapan traveling. Saya teringat
pula botol-botol produk Hiyung dan sekantong enting-
159

enting jahe. Entah bagaimana lagi memasukkan terung


sebesar lengan ke dalamnya.

Pada akhirnya, saya beranjak dari ladang itu tetap dengan


membawa kantong keresek yang penuh terisi terung dan
tomat. Kepuasan di wajah Ardiani ketika saya memuji hasil
taninya tergenapi dengan sayur-mayur yang saya bawa
pulang.

SETELAH sempat menjanjikan hujan, langit di atas Tapin


berangsur cerah. Tepat ketika kami hendak menuju Desa
3A tempat saya dan para petani BSK akan makan siang
bersama.

Berbeda dengan lahan sebelumnya yang harus dimasuki


lewat jalan setapak, lahan yang saya datangi kali ini sudah
terlihat dari pinggir jalan raya. Luasnya juga berkali-kali lipat.
Lahan ini memang bukan lahan perorangan, melainkan lahan
bersama sekelompok petani yang tergabung di Gapoktan
Kayuh Bambai.

Kami disambut oleh pepohonan buah yang tertata rapi.


Barisan lengkeng yang tengah berbuah menjadi pagar paling
depan. Ada barisan pohon jeruk Banjar di sebelahnya.

“Makanan sudah datang,” komentar Djoko sambil menepuk


bodi Daihatsu Gran Max putih yang terparkir di tepi jalan.
160

“Ini mobil operasional kami, Mbak. Mengangkut apa saja.


Mulai dari sayur, makanan, sampai orang.”

Indra membuka pintu bagian tengah. Terlihatlah interior


mobil yang blong tanpa jok tengah maupun belakang.
Beberapa barang berserakan di lantainya, termasuk tampah
dan baskom berisi kontainer plastik bekas makanan. “Kalau
dipakai buat ngangkut orang, kita taruh sofa di tengah sini,
Mbak.”

“Serius? Sofa?”

Sambil terkekeh-kekeh, baik Indra maupun Djoko


mengangguk. “Benar, Mbak. Kadang sofa, kadang kasur
lipat,” kata Indra sambil nyengir.

“Gini-gini sudah sampai Kalimantan Timur, lho,” celetuk


Djoko.

Kami lalu berjalan menuju sebuah tenda beratap terpal biru


yang berdiri di tengah ladang. Terlihat susunan kursi plastik
dan sebuah meja panjang. Setengah dari kursi-kursi itu telah
terisi.

Tuan rumah siang itu, Misrani, Ketua Gapoktan Kayuh


Bambai, menyambut kami. Tubuhnya yang tinggi dan ram­
ping dibalut setelan batik biru muda. Sambil menunggu para
petani lain yang datang menyusul, saya diajak berkeliling.

“Kayuh Bambai itu artinya mendayung bersama,” jelas


Misrani ketika saya sempat mengira nama Gapoktan-nya
161

diambil dari nama daerah. “Itu semboyan daerah Banjar,


Mbak,” tambahnya.

Keseluruhan lahan Gapoktan Kayuh Bambai ada 13


hektare. Tujuh hektare yang baru tergarap. Sebagian masih
menunggu pembebasan tanah, dan sebagian lagi memang
sengaja “dicadangkan” untuk tanaman lanjutan. “Artinya,
kalau tanah sudah ditanami cabai, tanahnya harus istirahat
dulu, atau diganti dengan tanaman lain, supaya tetap bagus.
Kalau terus-terusan ditanami cabai, nanti cepat jenuh,” jelas
Misrani. Tempo bicaranya pelan, runut, dan sopan.

Persis seperti Desa 3A, Desa 3B juga dulunya hutan karet.


Ketika pasar karet melesu, para penduduk mencari alternatif
usaha lain. Sebagian tergerak untuk memulai hortikultura.
“Ternyata hasilnya bagus, bahkan mengalahkan sawit
dan karet,” kata Misrani. Gapoktan yang diketuai Misrani
itu merupakan organisasi besar, mewakili seratus petani
meliputi karet, ayam petelur, tanaman pangan, dan serai
wangi. Dari seratus, yang terjun ke hortikultura ada tujuh
belas orang, yang lantas membentuk BSK.

Menyadari popularitas hortikultura yang terus menanjak,


Misrani menyasar anak-anak muda. Ia mendorong para
petani muda Tapin untuk bergabung di komunitas Patra,
Pelatihan Anak Tani Remaja, yang berpusat di Bondowoso,
Jawa Timur. Dibentuklah cabang Patra di Tapin. Meski
terbilang masih muda secara organisasi, Patra Tapin sudah
mengukir prestasi. Dalam sebuah perlombaan kelompok
162

tani nasional yang diadakan PT Semen Gresik, Patra Tapin


berhasil menjadi juara kedua.

Semangat tani juga disosialisasikan Misrani dan kawan-


kawannya ke generasi lebih muda. Gapoktan Kayuh Bambai
menjadi salah satu tempat favorit field trip bagi PAUD dan
sekolah dasar di sekitar Tapin. “Tidak cuma anak sekolahan,
kalau sudah jam lima sore, banyak orang datang kemari
melihat-lihat. Anak-anak kecil main-main di depan sana.
Kami terbuka saja,” lanjutnya.

Terdengar panggilan dari arah tenda. Makan siang sepertinya


hendak dimulai. Sebelum kami berjalan kembali, Misrani
menyempatkan diri untuk menunjukkan sebuah status
Facebook seorang petani muda binaannya. Tertera tulisan:
Bangga Menjadi Petani.

KURSI sudah hampir semua terisi. Kembali saya bertemu


dengan Ardiani, Bambang, dan Mastur, yang datang dengan
sepeda motor dari Desa 3B.

Beberapa ibu, termasuk istri Misrani, sibuk menyiapkan


meja prasmanan. Termos nasi yang terbuka mengepulkan
uap hangat. Wadah-wadah beralas daun pisang dipenuhi
lauk-pauk beraneka ragam. Terung goreng tepung, urap
daun singkong, ikan nila goreng, pepes ikan patin, dan
sambal segar.
163

Acara makan-makan di tenda itu ternyata merupakan


kegiatan yang rutin. Sebulan bisa terselenggara tiga kali.
Dari obrol-obrol sambil makan, saya mengetahui dari
Misrani bahwa lahan Gapoktan Kayuh Bambai memang
sering mendapat kunjungan. Dinas Pertanian Provinsi Kalsel
adalah salah satu pihak yang paling sering berkunjung.

“Kami beruntung karena sangat didukung oleh Dinas.


Mereka terkesan sekali dengan produktivitas dan
perkembangan gapoktan kami. Bisa jadi mengundang iri
dari tempat lain. Kalau di tempat lain, harus berkali-kali
mengajukan proposal. Kalau di sini, kebutuhan kami digolkan
dulu, proposal boleh menyusul belakangan.” Prestasi
Misrani dan kawan-kawan yang kerap mengharumkan nama
Tapin memang menjadi salah satu kebanggaan pemerintah
setempat.

Konsentrasi saya bercabang antara menyimak penjelasan


Misrani dan santapan siang saya yang luar biasa lezat. Sudah
dua kali saya pamit mengisi piring.

Sekembalinya saya dari menambah makan, sudah terpajang


papan denah di sebelah Misrani. “Ini rencana pengembangan
kami ke depan,” jelasnya.
164

Tempat itu didesain untuk kelak


menjadi destinasi wisata agro
bernama Agroforestri Gapoktan
Kayuh Bambai. Puluhan jenis
buah akan ditanam di sana,
termasuk buah-buahan unik
seperti nangkadak (hibrida
nangka dan cempedak),
karantongan (durian pandan),
lahong (durian merah), papakin
(bentuk seperti durian, tapi
rasa jauh berbeda, dagingnya
oranye), dan banyak lagi buah
yang belum pernah saya dengar
sebelumnya. Akan ada area khusus tanaman herbal dan
obat-obatan. Ada pula area sayur-sayuran. Akan ada kolam
ternak ikan, griya anggrek, dan green house. Buah dan sayur
akan bisa dipetik dan dibeli langsung oleh pengunjung.

Dari denah itu, terlihat gambar sebuah waduk di sebelah


Barat. “Ini waduk apa, Pak?” tanya saya sambil menunjuk
gambar yang ditandai dengan warna biru itu.

“Itu sumber air kami sementara ini, Mbak. Tapi, sejujurnya,


kapasitas waduk masih kecil. Kalau area ini berkembang,
kami harus punya sumber air tambahan,” jawabnya. Irigasi
adalah hal yang paling dibutuhkan untuk menopang
pertanian di Gapoktan Kayuh Bambai agar kegiatan tani
tetap bisa berjalan pada musim kemarau.
165

“Tidak banyak daerah di Kalimantan yang punya irigasi,”


kata Misrani lagi, “di antara kami, hanya daerah Pak Karlis
dan Pak Bambang yang punya.”

Seorang bapak berkemeja kotak-kotak tersenyum ramah


kepada kami begitu namanya disebut. Ia lalu memperkenalkan
diri sebagai Sukarlis, biasa dipanggil “Karlis” oleh kawan-
kawannya.

“Pak Karlis ini pernah diundang wawancara sampai ke Trijaya


FM Jakarta lho, Mbak,” kata Misrani dengan nada bangga.

“Pak Karlis asalnya dari Sabah juga?” tanya saya.

“Betul, Mbak. Kalau di sini, saya bawahannya Pak Bambang.


Tapi, kalau di kampung, saya atasannya,” ia berseloroh.
Sukarlis adalah Koordinator Kelompok Tani Desa Harapan
Masa, sama seperti Misrani yang menjadi koordinator di
Desa 3A. Sementara pertemuan siang itu adalah acara BSK,
yang mana Bambang-lah ketuanya.

Di Sabah, daerah tempat Sukarlis tinggal, ada danau


seluas satu hektare yang dibangun menjadi waduk pada
pemerintahan Presiden Soeharto. Sementara di daerah
Desa 3A dan 3B harus menggunakan sistem tadah hujan
yang akan ada masa keringnya, petani di Sabah dapat
bertani sepanjang tahun. Kendati demikian, menurut
Sukarlis, penggunaan waduk di Sabah masih belum optimal.
Masyarakat belum tertib, perawatannya juga minim.
Dengan adanya program pembangunan waduk secara
massal oleh pemerintahan Jokowi, Sukarlis berharap irigasi
166

di Sabah ikut membaik. “Bakal dibangun waduk besar untuk


PLTA. Rencananya rampung tahun depan. Waduk itu akan
mengairi desa kami juga,” katanya penuh harap.

Sukarlis mengenang tahun 2002 ketika kali pertama


kelompok tani di Sabah terbentuk. “Susaaah… sekali,” katanya
sambil geleng-geleng kepala, “tarik iuran susah, pemasaran
susah.” Sebagai ketua, sudah menjadi tanggung jawab
Sukarlis untuk memburu paling banyak informasi. Sedikit
demi sedikit, ia mulai menggandeng mitra, baik perusahaan,
maupun organisasi lain yang bisa berkontribusi kepada
kelompok tani. “Sekarang kesadaran petani sudah bagus.
Narik iuran gampang. Kenapa? Karena manfaatnya sudah
terasa,” katanya. “Dengan petani di 3A, 3B, maupun yang
di Hiyung, kita juga tetap kompak. LPB yang menyatukan
kami. Jarak boleh jauh, hati tetap dekat.”

Tak lama, Sukarlis dan Misrani terlibat pembicaraan internal.


Pada kesempatan itu, saya pamit lagi untuk menambah
makanan.

Dari tujuh belas anggota BSK, dua belas orang berkumpul


siang itu. Setelah semua selesai, satu demi satu petani
memperkenalkan diri.

Dua belas orang berkumpul hari itu. Hanya teman-teman


dari Hiyung yang tidak bisa hadir karena kendala jarak. Di
luar dari yang sudah saya kenal, masih ada Arbani, Sukirno,
Zainudin, Amaludin, Fahruji, Suryani, Rahmadi, Hanafi,
167

Mahyuni, Ansari, dan Madianto. Sebagian dari mereka


kelihatan masih muda-muda, di bawah 30 tahun.

Giliran terakhir jatuh ke Sukarlis. Seketika ada hawa


antisipasi yang terasa. Seperti Misrani, Sukarlis adalah sosok
petani senior yang disegani.

“Perkenalkan, nama saya Sukarlis,” katanya dengan logat


Jawa yang kental. “Dulu di Jawa, nama asli saya Sulis. Ketika
di Kalimantan, berubah jadi Sukarlis.”

“Kenapa, Pak?”

“Lho, kok bisa ganti?”

Celetukan pertanyaan senada terdengar dari berbagai


penjuru.

“Karena, di Jawa saya ‘sulit’. Di Kalimantan saya ‘sukar’.”

Usai makan siang, ada dua topik yang berbuntut panjang dan
terus dibicarakan. Perkenalan Sukarlis dan saya menambah
makan tiga kali.
Setangguh

9 Baja,
Selembut
Merpati
B
ANYAK hal dari proses rekrutmen itu yang meleset
dari asumsinya semula. Pertama, ternyata mereka
tidak disuruh berjualan panci. Kedua, jumlah pelamar
lebih banyak daripada yang ia duga. Ketiga, ini perusahaan
besar, jauh lebih besar daripada bayangannya, berpusat
di Jakarta, berinduk ke perusahaan otomotif terbesar di
Indonesia. Astra.

Satu hal yang tetap sama. Djoko sangat membutuhkan


pekerjaan ini.

Ketika istrinya diterima sebagai calon pegawai negara


sipil, mereka berdua tahu bahwa peluang itu tak boleh
disia-siakan, meski dengan demikian Djoko harus rela
meninggalkan kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah,
dan bersusah-susah dahulu dengan gaji istri yang belum
seberapa. Djoko harus mendapatkan pekerjaan.

Seminggu lalu, pelesirnya ke Duta Mall menghasilkan


panggilan wawancara ini. Tatkala sedang makan di food
court, bangku mereka tepat bersebelahan dengan tempat
koran. Stan kayu berisi aneka surat kabar yang bisa dibaca
gratis oleh pengunjung. Koran yang Djoko baca sudah
berumur dua hari. Seperti biasa, ia langsung menyasar
ke halaman lowongan kerja. Di situlah ia temukan tulisan
Lembaga Pengembangan Bisnis. Kata “pengembangan bisnis”
seketika menautkannya dengan pekerjaan sales door to
door. Sudah beberapa kali Djoko menemukan lowongan
pekerjaan dengan kata-kata pancingan semacam itu. Ujung-
ujungnya berjualan panci, pikirnya.
170

Berjualan panci tentunya tak berhubungan dengan latar


belakang pendidikannya sebagai sarjana pertanian.
Terakhir sebelum pindah ke Kalimantan, Djoko bekerja
sebagai pengawas penyemaian kedelai merangkap mandor
bangunan. Ia dan istri kadang berjualan makanan untuk
menambah penghasilan. Tapi, setiap lowongan adalah
kesempatan. Jual panci pun tak mengapa, pikirnya. Yang
penting halal dan ada pemasukan. Tanpa pikir panjang,
Djoko segera mendaftar.

Setelah lolos dua tahap sebelumnya, tahap ketiga adalah


tahap wawancara oleh staf kantor pusat dari Jakarta.
Baru pada tahap ketiga ini terkuak bahwa Lembaga
Pengembangan Bisnis atau LPB adalah perpanjangan
tangan dari Yayasan Dharma Bakti Astra yang berfokus
pada pembinaan UMKM. Dari para pelamar yang lolos dan
berkumpul di ruangan tunggu, tercipta perkawanan antara
Djoko dan dua orang lainnya: Amir dan Muslih.

Setelah ketiganya berbincang lebih lama, ternyata ada satu


benang merah yang menautkan mereka, yakni sama-sama
terpepet ekonomi dan butuh pekerjaan.

Di pojok ruangan, ketiganya bersama-sama mengisi formulir


kuesioner. Amir berhenti di kolom permintaan gaji.

“Djok, aku baiknya minta berapa, ya?”

Djoko melihat ke sekeliling. “Sebentar.” Ia lalu beranjak pergi.

Tak lama, Djoko kembali. “Banyak yang nulis lima juta. Malah
ada yang nekat minta tujuh juta,” bisik Djoko. Nama Astra
171

tampaknya melonjakkan ekspektasi banyak orang. “Kita


jangan minta tinggi-tinggi, Mir. Pokoknya, biar kita nembus
dulu. Kalau kita kerjanya rajin, sedikit-sedikit baru minta
naik. Jangan minta tinggi di depan.”

Berdasarkan strategi itu, ketiganya menuliskan angka yang


paling rendah dibandingkan yang lain: 2,5 juta.

Ketika hasil seleksi diumumkan, ada tiga nama yang lolos ke


tahap selanjutnya: Muslih, Amir, dan Djoko.

Malamnya, Amir bertelepon dengan Djoko, “Djok, kayaknya


harga kita kemurahan.”

SEMBILAN tahun berlalu setelah rekrutmen mereka.


Djoko kini menjabat menjadi Koordinator LPB Tapin,
sekaligus fasilitator yang paling senior. Muslih, sudah
bekerja di perusahaan lain. Sementara, Amir juga sudah
menjadi Koordinator untuk LPB lain, yakni di Tabalong.

“Hari pertama masuk kantor, ruangannya kosong, meja


kursi pun tak ada. Tidak ada instruksi kami harus melakukan
apa,” Djoko mengenang kembali tahun 2009 saat mereka
memulai LPB Tapin. “Ya sudah, kami putuskan untuk pergi
keliling.”

Saat itu, LPB ibarat kertas polos. Baik di Tapin maupun di


pusat, di Jakarta, masih sama-sama mencari bentuk. Tujuan
utama, yakni pemberdayaan UMKM, sudah jelas. Namun,
172

sistem, cara, dan pendekatan yang paling tepat untuk


mencapainya belum diketahui pasti. Setiap daerah memiliki
kultur yang berbeda, karakter masyarakat yang spesifik.
Tugas mereka bertigalah untuk merumuskan formula bagi
Tapin.

Setiap hari Djoko dan kedua rekannya berkeliling memasuki


desa demi desa, ke RT demi RT. “Tugas kami awalnya mirip
surveyor. Hasil survei kami lantas digodok jadi konsep,”
ungkap Djoko.

Perbincangan saya dan Djoko, juga rekan-rekan LPB,


berlangsung di sebuah kedai es campur di terminal
keberangkatan Syamsudin Noor, Banjar Baru. Siang itu, kami
sengaja datang lebih awal
ke bandara agar punya
kesempatan berbincang
panjang sebelum saya
kembali ke Jakarta.

Setelah dua hari mengikuti


mereka menemui para
petani Tapin, saya mulai
memiliki gambaran
tentang apa yang
dilakukan LPB selama
ini. Tentu saja, gambaran
tersebut memancing
banyak pertanyaan. Kerja
173

sama antara LPB Tapin dan petani otomatis menyimpan


dua sisi cerita. Saya ingin tahu lebih dalam cerita dari sisi
fasilitator.

Hasil survei awal Djoko dan tim lantas menjadi dasar


dari konsep LPB. Konsep yang diajukan mereka adalah
membentuk UMKM Pilot. Yang disebut UMKM Pilot adalah
petani yang dijadikan percontohan.
Alih-alih membina banyak petani
UMKM Pilot
sekaligus, strategi yang diajukan Djoko
menjadi
dan timnya adalah membina beberapa percontohan
petani pilihan. Kelak, ketika petani dan mentor
pilot sudah berhasil dibina, petani bagi
inilah yang kemudian menjadi mentor sesamanya.
bagi petani lainnya.

“Ada banyak keuntungan dengan program pilot tersebut,


Mbak,” tutur Djoko. “Pertama, mereka akan lebih didengar
ketimbang kami. Kami ini, kan, orang luar. Kami punya
wawasan tani, tapi kami bukan petani. Jadi, kalau kami
yang ngomong, akan muncul reaksi, ‘Kamu tahu apa? Kamu
bukan petani, dan kamu bukan orang sini.’ Berbeda kalau
yang ngomong dari sesama mereka. Orang yang mereka
kenal, orang yang seperjuangan.”

Konsep UMKM Pilot masih belum sempurna. Faktor penjegal


berikutnya adalah pemasaran. Banyak petani yang tidak
berdaya menghadapi tengkulak. Jika pun panen mereka
berhasil akibat pembimbingan LPB, hasil panen belum tentu
diserap maksimal dengan harga yang bagus.
174

“Berarti, pe-er kami nambah, bagaimana memecahkan


problem pemasaran. Kami godok lagi, lalu kami ajukan
konsep lagi ke pusat,” kata Djoko. “Kami kerja bebas, waktu
kami yang atur, yang penting KPI tercapai,” lanjut Djoko.
“Ketemu petani itu, kan, nggak bisa seperti menemui orang
kantoran. Kadang, mereka baru sore sampai di rumah.
Malah sering juga malam-malam baru bisa janjian bertemu.”

Fleksibilitas jam kerja tidak berarti kerja mereka lebih


ringan. Mereka bekerja tanpa kenal waktu, bahkan tak kenal
libur. “Kapan pun ada kesempatan ketemu petani, ya, kami
jalankan. Kadang jatuhnya pada hari Sabtu dan Minggu.
Belum lagi jarak tempuh yang jauh-jauh. Waktu dan tenaga
kami habis di jalan.”

Terkadang mereka kesulitan menanggulangi operasional.


Kalau sudah kehabisan uang sama sekali, mereka terpaksa
bersiasat. “Kami sengaja mengatur kunjungan ke UMKM
menjelang makan siang, biar ditawari makan. Lumayan,
ngirit,” kata Djoko sambil tertawa geli.

Tantangan di lapangan juga tak sedikit. Saat pembinaan


di lahan, mata Djoko pernah terkena serpihan kayu yang
mengakibatkan retinanya lepas. Amir pernah dijahit kakinya
karena insiden memacul. Di suatu perjalanan sepulang
dari lokasi binaan, mereka berdua pernah terjebak banjir
bandang dan nyaris hanyut bersama sepeda motor yang
mereka kendarai. “Kalau bicara suka duka di lapangan,
pokoknya pol, Mbak!” cetus Djoko dengan tawa.
175

Tekad baja dan etos kerja keras tak menjadikan mereka imun
dari hantaman. Setelah enam bulan bekerja, tim Djoko mulai
diuji. Muslih mundur karena menerima tawaran pekerjaan di
tempat lain. Djoko pun mulai kelimpungan menanggulangi
biaya hidupnya. Sementara itu, pekerjaan mendatangi
UMKM terus bertambah. “Tapi, itulah yang membuat LPB
kami berprestasi. Kami dipilih jadi LPB terbaik karena
konsep-konsep yang kami ajukan berhasil di lapangan,”
lanjutnya. Setelah berdikusi dengan kantor pusat, kendala
biaya operasional ditanggulangi. Masuk pulalah Tabib,
pengganti Muslih. Tim mereka kembali solid.

Tabib mengenang masa-masa awalnya di LPB Tapin sebagai


masa yang penuh kesan dan pelajaran. Selain penyesuaian
dengan karakter pekerjaan yang tidak konvensional, Tabib
menyadari bahwa bekerja sebagai fasilitator di LPB memang
membutuhkan jiwa sosial yang tinggi. “Kalau sekadar
mengejar status dan uang, kami pasti tidak bertahan,’
katanya. ‘Saya bahkan percaya kami bisa bertahan seperti
ini juga berkat dari doa para petani.”

Kalau sekadar mengejar status


dan uang, kami pasti tidak bertahan.
Kami bisa bertahan berkat dari doa
para petani.
176

Perkataannya disepakati rekan-rekannya yang lain. Di meja


itu, masih ada dua orang fasilitator muda, Cantika dan Indra,
dan seorang staf admin yang usianya paling bungsu dari
semua, Udin.

“Apalagi kami yang datang dari jauh,” timpal Indra.


Terpisah jauh dari keluarganya di Ciamis, Jawa Barat, Indra
menemukan banyak keluarga baru di Tapin. Tak setiap
hari raya Indra berkesempatan pulang. Pada saat seperti
itu, undangan dari petani-petani binaan membanjirinya.
“Biarpun nggak bareng keluarga pas hari raya, saya nggak
kesepian. Di sini saya sudah dianggap keluarga oleh banyak
petani,” ucapnya. “Malah kalau saya lama nggak muncul,
mereka yang cari. ‘Mas Indra ke mana? Lama nggak mampir.’”

“Kedekatan seperti itu yang sebenarnya membuat pekerjaan


kami berhasil,” sahut Tabib. “Kalau LPB kerjanya cuma kasih
dana, hubungan kami pasti transaksional. Mereka ketemu
kami karena berharap dapat uang. Tapi, karena yang kami
beri adalah ilmu dan pendampingan, hubungan kami jadi
lebih seperti teman, bahkan keluarga.”

Kalau LPB cuma kasih dana,


hubungan kami pasti transaksional.
Tapi, yang kami beri adalah ilmu
dan pendampingan. Kami jadi lebih
seperti teman, bahkan keluarga.
177

Cantika ikut berkisah. “Waktu saya baru kerja dua bulan,


Mas Tabib sempat sakit. Jadi, saya yang menggantikan
pendampingan. Saya terharu melihat respons petani ketika
tahu Mas Tabib sakit. Mereka dengan serius mendoakan.
Berkali-kali mereka bilang, ‘Tabib itu orang baik, harus
kita doakan supaya cepat sembuh.’ Saya berpikir, kok, bisa
segitunya, ya? Setelah saya jalani pekerjaan ini lebih lama,
ternyata memang seperti itu hubungan para fasilitator
dengan petani.”

Pada hari pertamanya bekerja, Cantika langsung mencicipi


pahit dan manisnya pekerjaan sebagai fasilitator. Berangkat
dari Ungaran sampai ke Banjarbaru, Cantika tiba di kantor
LPB Tapin sekitar pukul 5.00 sore, hanya untuk setor muka
ke rekan-rekan kerja barunya. Pukul 6.00 sore, ia sudah
mendapat instruksi dari Djoko untuk menyiapkan materi
bimbingan keuangan yang akan diajarkan keesokan harinya
di Sungai Puting.

Esok hari pukul 6.00 pagi, Cantika sudah dijemput sopir.


Selama satu setengah jam, ia berkendara di jalan hauling,
jalur angkutan batu bara yang berupa jalan tanah dan padat
oleh truk besar. Tidak ada yang bisa menemani Cantika
karena rekannya yang lain sibuk bersiap untuk pameran.
Cantika hanya dibekali selembar masker yang ia belum tahu
kegunaannya.

Jawaban itu hadir ketika perjalanan mobilnya usai dan


dilanjut dengan motor. Debu menerpa wajahnya tanpa henti
178

hingga tibalah Cantika di tepi sungai. Perjalanannya masih


berlanjut di atas perahu kelotok. Setibanya di dermaga,
seorang penduduk dengan sepeda motor lalu mengantarnya
ke desa tujuan, di mana Cantika sudah ditunggu oleh dua
puluh santri yang ingin belajar tentang sistem pembukuan.

“Bayangkan, Mbak, belum 24 jam aku di Tapin! Sudah kayak


gitu!” Cantika tergelak. Namun, antusiasme para santri dan
sambutan mereka yang ramah seketika membayar segala
kelelahan dan ketegangannya.

Pekerjaan dengan mobilitas tinggi dan jarak tempuh jauh


tak hanya membutuhkan stamina fisik yang tinggi, tetapi
juga mental. Sebulan lalu, Cantika merasa kecintaannya
pada pekerjaan fasilitator diuji.

Hari itu, ia mengejar rampungnya target pendampingan


keuangan dan pembukuan bagi Ibu Arbainah yang sudah
hampir genap satu bulan. Pada hari yang sama, Cantika juga
punya jadwal kunjungan ke Desa 3A. Kantor LPB berada
kurang lebih di tengah-tengah antara dua lokasi tadi.

Fasilitas pengantaran tidak tersedia karena mobil sedang


dipakai dan semua rekan kerjanya bertugas di tempat lain.
Mengendarai sepeda motor, Cantika menempuh sepuluh
kilometer ke kantor LPB. Lalu, ia berkendara lagi sejauh dua
puluh kilometer ke Desa Hiyung, mengajar Ibu Arbainah
hingga pukul 3.00 sore. Sesudahnya, ia berputar arah ke
Desa 3A, menempuh sekitar tiga puluh kilometer. Ia kembali
179

ke indekosnya menjelang gelap. Dalam perjalanan pulang, ia


diguyur hujan deras.

“Waktu aku sampai di tempat kos, rasanya sudah nggak karu-


karuan. Capek fisik, capek hati. Aku sampai membatin, kok,
kerja sampai begini amat, ya? Sebenarnya aku ngapain di
sini?” ucapnya sambil geleng-geleng kepala. “Tapi, aku nggak
kapok-kapok,” sambungnya dengan senyum. Kelelahan itu
selalu terbayar oleh semangat tinggi dan kehangatan warga
desa yang dibinanya. “Ada pemilik UMKM makanan yang
kudampingi, namanya Bu Nur. Aku baru lihat status FB-nya.
Ternyata, Bu Nur pakai fotonya yang bareng sama aku untuk
jadi foto profil. Padahal, aku itu siapanya? Mungkin banyak
orang yang lebih penting dalam hidupnya Bu Nur. Tapi, aku
yang dipilih. Duh, jadi tersanjung!” serunya, berseri-seri.
“Belum lagi makanan-makanannya, Mbak. Kalau ke UMKM
makanan, kami pasti dapat produk.” Cantika mengeluarkan
stoples plastik berisi keripik talas dari kantong kain yang
dibawanya sejak tadi, “Kalau ke Hiyung pasti dapat gorengan
sama sambal. Makanya, badan jadi sebesar gini!” Cantika
cekikikan, diikuti derai tawa rekan-rekannya.

Udin, yang sedari tadi duduk diam di kursi pojok, mulai ikut
terpancing. “Saya betah kerja di LPB. Suasananya akrab.
Semuanya seperti keluarga sendiri,” Udin tersenyum sambil
melirik ke arah teman-teman kerjanya. “Saya ini lulusan STM
jurusan Otomotif,” jelasnya dengan suara halus, “sebelum di
LPB saya jadi pekerja bangunan.” Kakaknya merupakan salah
180

satu pemilik UMKM yang dibina LPB. Dari kakaknyalah,


Udin mengetahui ada peluang pekerjaan. Udin sempat
berkecil hati karena hanya lulusan sekolah menengah atas.
Ternyata, ia diterima.

“Udin ini rajin, Mbak. Anaknya memang pendiam, tapi diam-


diam menghanyutkan,” seloroh Djoko.

Sebagai staf admin, Udin yang paling jarang terjun ke


lapangan. Namun, diam-diam ia mempelajari sepak terjang
rekan-rekannya. Sebagai putra daerah yang berkampung
di Desa Simpang Empat, Udin punya cita-cita memajukan
pertanian di daerahnya. “Suatu hari, saya kepingin punya
ladang dan peternakan sendiri,” lanjutnya.

Saat ini pun Udin sudah menjadi kebanggaan keluarga karena


berhasil mendapat pekerjaan di perusahaan bonafide.
“Pendapatan saya terbilang bagus. Jauh dibandingkan
dengan pemuda seumuran saya di kampung. Apalagi bekerja
di LPB ini manfaatnya untuk orang banyak,” ucapnya.

Meski yang bersangkutan tak hadir untuk menceritakannya


sendiri, di antara semua cerita keakraban para fasilitator
dan petani yang saya dengar siang itu, kisah Amir menjadi
puncaknya.

“Amir itu orangnya sangat pemalu. Di antara kami, Amir-lah


yang waktu itu masih bujangan. Diam-diam, petani-petani
binaan kami memperhatikan. Akhirnya, Pak Misrani inisiatif
181

menjodohkan Amir dengan salah satu keponakan petani


Desa 3A. Eh… ternyata cocok, Mbak!” Djoko menepuk
tangan.

“Sampai nikah?” Saya mengonfirmasi.

Djoko menjawab pertanyaan saya dengan sebuah foto dari


ponselnya. Tampak sepasang pengantin diarak dalam sebuah
upacara adat. Amir berpakaian daerah khas Kalimantan
Selatan, dan istrinya mengenakan baju adat warna merah
jambu.

BATU-BATU es di mangkuk es campur saya mulai meleleh,


santannya mulai terpisah dari air. Obrolan kami sedari tadi
terlalu menarik untuk disambi. Sebelum mulai menyuap
es campur yang kuahnya mengencer, saya melontarkan
satu pertanyaan, “Kalau dari pengamatan teman-teman,
perbedaan signifikan apa yang terlihat antara petani yang
dibina dan tidak?”

“Indikator paling jelas adalah pendapatan,” Djoko menjawab


lebih dulu. “Petani binaan yang berinisatif membentuk
komunitas punya posisi tawar lebih tinggi, bisa menjual
dengan harga lebih tinggi, dan punya pengetahuan
keuangan. Mereka biasanya lebih sejahtera.”
182

Petani komunitas punya posisi


tawar lebih tinggi, bisa menjual
dengan harga lebih tinggi,
dan punya pengetahuan keuangan.
Mereka biasanya lebih sejahtera.

“Punya pola tanam yang jelas,” Tabib menambahkan. “Petani


komunitas punya koordinasi siapa menanam apa dan kapan.
Jadi, nggak seenaknya sendiri. Ada jadwal. Manfaatnya, hasil
panen selalu terserap tepat waktu dengan harga bagus.”

“Wawasan,” Indra ikut bersuara. “Karena mereka sering ikut


pelatihan, mereka lebih sering berkontak dengan dunia luar.
Mereka punya kesempatan keluar dari daerah mereka, ke
kota besar, bahkan sampai ke luar pulau. Transaksi panen
tidak cuma dengan tengkulak, tapi juga dengan supermarket
dan hipermarket. Untuk itu, cara komunikasi mereka juga
dituntut bisa lebih baik dan profesional. Pokoknya, mereka
lebih kaya pengalaman, Mbak.”

LPB Tapin boleh berbangga karena Program Sektor Unggulan


(Sekung) yang kini menjadi standar di YDBA berangkat
dari uji coba LPB Tapin. Program Sekung adalah progam
pengumpulan UMKM yang bergerak di bidang yang sama.
“Dari dua-tiga orang pilot, terbentuk kelompok yang lebih
besar. Otomatis, hasil binaan yang lebih besar akan lebih
terlihat hasilnya. Ini penting bagi edukasi UMKM lainnya
183

yang belum bergabung atau belum mau berubah. Mereka


jadi bisa lihat contoh yang riil,” jelas Djoko.

“Susah, nggak, mencari orang-orang yang bisa dijadikan


‘pilot’?” tanya saya.

Tabib terkekeh. “Susah-susah gampang,” katanya,


“ketemunya susah, kalau sudah dijalankan jadi gampang.”

“Ada petani yang senior, atau yang makmur, atau yang


pintar, tapi mereka belum tentu bisa pilot. Untuk menjadi
pilot mereka harus punya karakter yang spesifik. Biasanya
mereka yang kooperatif, proaktif, dan tidak merasa pintar.
Mereka justru haus belajar,” jelas Tabib.

“Yang jelas, orang yang jadi pilot itu senang berbagi,” Indra
mengimbuhkan. Pendekatan ke para pilot ini memang
ekstra, dan terjadi seleksi alam. Dari enam yang didekati,
mungkin hanya dua yang bertahan.

Di Tapin, dari sembilan pilot hortikultura, kini berkembanglah


menjadi sektor unggulan yang beranggotakan tujuh belas
petani. Jumlah keseluruhan binaan LPB Tapin sudah
mencapai seratus UMKM. Tahap selanjutnya adalah
koperasi dan mandiri finansial.

“Namanya manusia, pasti ada saja yang ngeyel. Menghadapi


yang kayak begitu biasanya bagaimana?” tanya saya.

“Yang ngeyel, yang ndablek, terpaksa ditinggalkan,” jawab


Djoko. “Fasilitator jumlahnya nggak banyak. Hanya kita-
184

kita ini. Nggak bisa kita menghabiskan energi. Harus fokus


kepada mereka yang memang bisa menjadi contoh. Nanti
yang ngeyel dan ndablek pada akhirnya akan belajar kepada
para contoh tadi.”

“Selain pemasaran, apa yang paling menantang untuk


diubah, Mas?” saya bertanya lagi.

“Mindset,” tegas Djoko. “Dari terbiasa dikasih ikan menjadi


dikasih kail. Di lapangan, mengubah mindset itu nggak
mudah.”

“Tadi waktu saya baru sampai di lahan Gapoktan, ada orang


sempat tanya, ada apa kumpul ramai-ramai? Ada pembagian
modal, ya? Saya bilang, ‘nggak ada.’ Dia langsung pergi lagi,”
Indra terkekeh.

“Nah, itulah contohnya, Mbak,” sahut Djoko. “Masih banyak


yang terbiasa dikasih bantuan duit. Kalau sudah dapat duit,
seterusnya bagaimana? Kembali ke urusan masing-masing.
Nggak jadi apa-apa.” Bahkan, LPB Tapin sempat mengubah
logo mereka agar tidak disangka perusahaan tambang.
Perusahaan tambang berarti uang merupakan persepsi
umum selama bertahun-tahun. Di logonya yang baru LPB
mengedepankan YDBA agar tidak menimbulkan ekspektasi
yang keliru dari masyarakat.

Tinggal sisa dua seruput sebelum es campur saya tandas.


Lima belas menit sebelum kami harus masuk ke terminal.
Pada seperempat jam terakhir itulah saya mengetahui
185

sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya. Bukan saja


UMKM yang diharapkan untuk kelak mandiri. Ternyata, LPB
sendiri diharapkan untuk suatu saat mandiri dari YDBA.
Menjadi entitas tersendiri yang mampu membiayai dirinya
sendiri.

“Masih banyak daerah lain yang membutuhkan LPB, Mbak.


Kami sadar itu. YDBA tidak mungkin menyokong terus-
menerus. Ketika kami mandiri, payung besar kami menjadi
BSK. BSK akan menjadi koperasi yang menaungi petani-
petani sektor unggulan,” tutur Djoko.

“Terus terang, citra koperasi di petani tadinya kurang baik,


Mbak. Mungkin beberapa ada yang punya pengalaman
buruk, khususnya soal keuangan,” Tabib berkata. “BSK
ingin mengubah itu. Kami ingin membuktikan transparansi
keuangan dan informasi bisa berjalan di BSK.”

“Pembiayaannya dari mana, Mas?” tanya saya, penasaran.

“Kami harus punya unit usaha. Penyediaan jasa sarana tani,


supplier produk hortikultura, dan konsultan pertanian,”
jawab Tabib. Yang paling utama, mereka ingin memangkas
rantai tengkulak, menjembatani petani langsung ke para
konsumen.

“Pelatihan masih akan terus berjalan?”

“Tentu saja. Itu yang tidak akan lepas dari YDBA. Hanya
kami tidak perlu digaji lagi sebagai fasilitator. Kami akan
membiayai diri sendiri lewat BSK,” Djoko menegaskan.
186

Masih banyak yang ingin saya dengar. Masih banyak yang


ingin saya sampaikan. Termasuk kesimpulan akhir saya
setelah mendengar kisah-kisah para fasilitator, tentang
bagaimana pekerjaan ini menuntut mereka untuk punya
fisik setangguh baja dan hati selembut merpati. Namun,
penunjuk waktu mengharuskan kami berpisah. Kesimpulan
itu saya telan bersama es campur yang tandas di mangkuk.
Bangku-bangku kami rapikan. Kegiatan foto-foto kami
tunaikan. Saya lalu masuk ke terminal keberangkatan
mengangkut satu tas ekstra. Tas lipat yang selalu saya bawa
ketika bepergian demi berjaga-jaga.

Tidak selalu tas itu terpakai. Kali ini, tas kanvas tersebut
penuh sesak. Botol-botol cabai, keripik talas UMKM,
enting-enting jahe, dan dua cangkir plastik berisi benih
cabai Hiyung yang saya harap dapat selamat di perjalanan,
menjadi pelengkap kenangan perjalanan saya ke Tapin.
10 Replikasi
Spirit
"If your actions inspire others to dream more, learn more, do
more and become more, you are a leader."

―John Quincy Adams―

M
ERUNUT jejak Yayasan Dharma Bakti Astra akan
membawa kita kembali ke William Soeryadjaya.
Keduanya tak terpisahkan. Keduanya saling
becermin. Menelaah kiprah YDBA di Indonesia sama dengan
menelaah refleksi semangat seorang William Soeryadjaya.
Visinya, harapannya, dan ikhtiarnya.

Kenangan itu masih kuat tersimpan, khususnya bagi para


karyawan senior Astra yang sudah bekerja sejak tahun
’70-’80-an. William tidak pernah pergi dengan saku celana
kosong. Ia memberi tip ke mana pun ia pergi. Ke sopir,
satpam, office boy, dan nyaris semua orang yang ia lewati.
Dalam buku biografi William Soeryadjaya berjudul Man of
Honor, istri William mengatakan, hobi suaminya hanya dua:
tenis dan ‘buang uang’. “William hobi menolong siapa saja,
bagi-bagi uang di mana-mana,” ungkap Lily. Saking seringnya
orang-orang datang ke rumah mereka untuk minta bantuan
uang, kadang Lily mengaku bahwa suaminya tidak di rumah.
Ketika kedapatan oleh William, Lily ditegur. “Ladeni saja.
Kalau nanti kita tua, lalu digitukan oleh orang, bagaimana?”
ucap William.

Tak sebatas menjadi Sinterklas lewat saku celananya,


William memiliki rekening bank pribadi yang khusus
189

dikelola untuk bantuan sosial. William lantas menggandeng


taipan lain, Liem Sioe Liong, dan bersama-sama mereka
mendistribusikan dana itu untuk panti asuhan, sekolah,
institusi keagamaan, dan lembaga lain yang membutuhkan.

Satu pesan yang berulang-ulang ditekankan William hingga


menjadi mantra yang dihafal baik oleh para karyawannya
adalah: kesejahteraan Astra tidak boleh dinikmati sendiri.
Astra harus menjadi berkat bagi orang banyak.

Secara informal, William pernah menggagaskan berdirinya


sebuah lembaga yang kelak melestarikan nilai-nilai
kebajikan. Ia berharap, jika dirinya sudah tak ada, lembaga
tersebut dapat mewariskan nilai-nilai yang ia percaya
kepada generasi berikutnya, dipraktikkan secara sinambung.
William meyakini bahwa pendidikan menjadi kunci penting
kesinambungan. Keyakinannya sudah terlibat sejak William
mendirikan Yayasan Toyota Astra pada tahun 1974, sebuah
yayasan yang menyediakan beasiswa bagi pelajar mulai dari
tingkat dasar sampai S-3. Ia juga terkenal rajin mengirimkan
para profesional yang bekerja di Astra untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Akan tetapi, pendidikan formal bukanlah satu-satunya jalan


untuk mendapatkan ilmu. Pemberian ilmu terapan ke unit-
unit industri, ke para pelaku usaha kecil, tak kalah penting
untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa.

Selanjutnya, William membidik pengusaha kecil dan


menengah. Menyadari bahwa menjadi Sinterklas dengan
190

dua tangan dan dua saku belum cukup untuk mempercepat


visinya, William mendirikan Yayasan Dharma Bakti Astra
pada tahun 1980. Jauh sebelum maraknya praktik CSR
(Corporate Social Responsibility) yang baru populer pada
tahun 2000-an. Melalui YDBA, William ingin memperbanyak
tangan, menjangkau lebih banyak orang. Visi William
itu kemudian dituangkan ke dalam manifestonya, yakni
menjadikan Astra sebagai pride of the nation.

Pendirian YDBA meruncingkan target yang dituju William,


yakni UMKM. Angka riil berpihak kepada visinya. Jumlah
UMKM mencapai 99,5% dari total jumlah perusahaan di
Indonesia dan menyerap sekitar 65% dari jumlah tenaga
kerja. Data itu dengan tegas menyatakan bahwa UMKM
memegang peran utama dalam pergerakan roda ekonomi
bangsa Indonesia. Dengan ikut memakmurkan pengusaha
kecil dan menengah maka kesejahteraan Astra menjadi
kesejahteraan orang banyak.

Besarnya peran UMKM sebanding dengan problem yang


dihadapinya. Kesulitan pemasaran, keterbatasan modal,
pengadaan bahan baku, sumber daya manusia dan ilmu
manajemen yang pas-pasan, merupakan kumpulan masalah
klasik yang sampai hari ini masih terus dihadapi. William
melihat jelas celah yang dapat diisi Astra melalui YDBA:
perusahaan besar harus mampu mentransfer ilmunya
ke perusahaan kecil. Ilmu adalah katrol yang mampu
mengangkat UMKM untuk naik kelas, mandiri, dan maju.
Inilah fondasi dari prinsip YDBA: berikan kail, bukan ikan.
191

Ilmu adalah katrol yang mampu


mengangkat UMKM untuk
naik kelas, mandiri, dan ma ju.

Perkembangan berikut datang dari usulan salah seorang


direksi Astra saat itu, Palgunadi. Setelah riset ke sana-
sini, Palgunadi menemukan model venture capital yang
menurutnya cocok diterapkan untuk menyokong kiprah
YDBA.

“Kita butuh dua tangan, Om,” usul Palgunadi saat itu. “Satu
tangan untuk melatih dan memberikan kail. Satu tangan
lagi memberikan peluang supaya mereka bisa lebih mudah
mengambil ikan, bukan cuma dari Astra, melainkan dari
mana saja.” Dengan venture capital, atau modal ventura,
Astra menghimpun modal bagi perusahaan kecil yang
nantinya diperhitungkan melalui sistem bagi hasil.

William menyambut ide itu dengan bersemangat. Dalam


waktu singkat, didirikanlah PT Astra Mitra Ventura (AMV).
Astra kini memiliki dua tangan untuk memberdayakan
UMKM. Lewat pelatihan, dan lewat permodalan. Palgunadi
ditunjuk sebagai Direktur AMV.

Kontribusi Astra kepada AMV dan YDBA lantas ditentukan


lewat rapat direksi Grup Astra. Dan, momen inilah yang
kemudian menggulirkan sebuah cerita klasik tentang
bagaimana personalnya AMV dan YDBA bagi seorang
William Soeryadjaya.
192

Ketika rapat berlangsung, William mengikuti dari balik pintu.


Palgunadi keluar dari ruang rapat dengan wajah tertekuk.

“Dapat berapa dari direksi?” tanya William waswas.

“5 miliar, Om,” jawab Palgunadi. Rapat direksi memutuskan


untuk memberi dua persen dari laba bersih Astra. Satu
persen untuk AMV, dan satu persen untuk YDBA.

“5 M? Itu namanya main-main!” tukas William gusar. “Kamu


dapat 25 M, Pal. Dua puluhnya dari uang pribadi saya,”
William menegaskan seraya membanting pintu ruang rapat.

Reaksi keras William langsung memicu rapat susulan.


Disepakatilah persentase baru. Empat persen dari laba
bersih Astra. Masing-masing dua persen untuk AMV dan
YDBA. Dan, mengucurlah dana 25 miliar. Tak lupa, William
berpesan kepada pengurus untuk menjadikan YDBA institusi
terbaik di bidang pembinaan dan pengembangan UMKM.

Mereka yang mengenal William Soeryadjaya dengan baik


akan tiba pada kesimpulan yang sama. YDBA merupakan
personifikasi beliau. Sejahtera bersama adalah spirit William
Soeryadjaya yang mengkristal dalam setiap gerak dan
langkah YDBA.

Empat dekade telah berjalan sejak manifesto William


Soeryadjaya. Visi William untuk menjadikan Astra pride of
the nation, spiritnya untuk maju bersama melalui Yayasan
193

Dharma Bakti Astra, telah diuji oleh waktu dan perubahan


zaman.

Bagaimana mereplika spirit seorang William Soeryadjaya


empat puluh tahun silam ke para Pemberdaya Muda
di berbagai daerah di Indonesia? Mereka yang baru
beberapa tahun lulus kuliah, berkendara motor berjam-
jam, menyeberangi sungai dengan perahu kelotok demi
mengajarkan sistem keuangan kepada seorang penjaga
perpustakaan yang dipercaya mengelola uang para petani
desa?

Sumber daya Astra sebagai perusahaan otomotif terbesar


di Indonesia dengan segala kapasitasnya tentu merupakan
faktor utama yang memungkinkan replikasi itu terjadi.
Namun, saya juga percaya, bahwa sumber daya yang gigantis
bukan satu-satunya faktor. Harus ada sesuatu yang inheren,
yang membuat spirit tadi memiliki relevansi sehingga bisa
bertahan hingga kini.

Hal itulah yang paling menggelitik keingintahuan saya ketika


menulis buku ini. Bagaimana bisa mata rantai itu terjaga—
menembus jarak dan waktu yang sedemikian panjang?
194

PERTANYAAN itu membuat saya kembali mendedah


komponen-komponen yang disiapkan YDBA dalam
programnya. Setidaknya, ada tiga hal utama.

◊ Pertama, para carrier, dalam hal ini fasilitator dan


Pemberdaya Muda, mereka yang menjadi ujung
tombak perpanjangan visi YDBA.
◊ Kedua, konten, roadmap yang kemudian diwariskan
kepada UMKM.
◊ Ketiga, para pendukung, yakni mereka yang
menjemput hasil kerja keras UMKM sekaligus
menjadi bagian integral dari ujian kenaikan
kelas UMKM. Dengan demikian, mata rantai itu
mengutuh menjadi lingkaran

Profesional yang Sosial


BERBICARA dengan para fasilitator, melihat relasi dan
interaksi mereka dengan UMKM binaan, mendengar cara
mereka bekerja di lapangan, saya berkesimpulan bahwa
pekerjaan mereka membutuhkan kapasitas kemanusiaan
yang besar. Mereka bukan relawan pro bono. Mereka adalah
profesional. Profesional yang sangat sosial. Ketika mereka
resmi menjadi fasilitator, mereka harus membuang standar
lembur, jam kerja, bahkan metode kerja.

Apa yang mereka bagi lewat LPB sesungguhnya sangat


metodologis. Roadmap yang disusun oleh YDBA untuk
195

pengembangan UMKM sangat jelas dan terukur. Namun,


cara para fasilitator untuk mendekati UMKM sepenuhnya
organik. Fasilitator akan bertemu dengan budaya lokal,
kultur kerja, bahasa, dan watak yang beragam, yang tidak bisa
diseragamkan ke dalam satu prosedur pendekatan. Dalam
relasi itu, dibutuhkan kepedulian yang autentik. Fasilitator
harus peduli, benar-benar dari hati, atas perkembangan
UMKM serta kemaslahatan hidup, baik pemilik maupun
karyawannya.

Keakraban yang saya saksikan pada jamuan makan malam


kami di Surabaya, maupun pada acara makan siang bersama
di lahan Gapoktan Kayuh Bambai, merupakan kedekatan
yang alamiah dan tidak dibuat-buat.

Sesulit menemukan para Pilot di


tengah lautan UMKM, saya yakin
Fasilitator
menemukan para fasilitator pun harus peduli,
bukan pekerjaan mudah. Untuk benar-benar
mempertemukan ketiga pihak ini dari hati, atas
dalam perjodohan yang sinergis— perkembangan
YDBA, fasilitator, dan Pilot— UMKM.
pastinya ada semacam operating
value yang selaras dan senapas.

Sejak dari rekrutmen Pemberdaya Muda ke kampus-kampus,


kriteria dan operating values YDBA telah dikomunikasikan,
yakni Compassionate, Adaptive, Responsible, Excellent (CARE).
196

Compassionate Adaptive Responsible Excellent

Fasilitator Fasilitator Fasilitator Fasilitator


berwelas adaptif memberikan berkomitmen
asih karena terhadap hasil tepat untuk
kewelas-asihan perubahan waktu, baik memberikan
adalah bola dan luwes kepada YDBA yang terbaik,
salju kebaikan berimprovisasi maupun kepada dan menjadi
yang bergulung di lapangan. UMKM yang yang terbaik
dengan dibimbing. dari versi
sendirinya diri masing-
ketika masing .
digulirkan.

Pekerjaan fasilitator tidak sedikit. Selain pelatihan dasar


seperti 5R, masih banyak praktik Astra yang harus mereka
transfer kepada UMKM, antara lain praktik Keselamatan
Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L), praktik Quality
Control Circle yakni pembentukan grup kecil untuk bersama-
sama merumuskan cara peningkatan kualitas, praktik 7
Habits (rumus produktivitas terkenal dari Stephen R. Covey),
manajemen keuangan, pendampingan pemasaran, pelatihan
teknis lanjutan, persiapan supply chain, dan pengembangan
komunitas. Tentu saja, materi-materi pelatihan dibawakan
oleh beragam mentor kompeten yang disediakan oleh
YDBA. Namun, seorang fasilitator harus mampu menjadi
duta yang mewakili nilai-nilai YDBA.
197

Menjadi Pilot
DI LAPANGAN, UMKM Pilot adalah titik awal tempat
pertumbuhan bermula. Tak mudah mencari Pilot, tak
mudah juga untuk menjadi Pilot. Mereka diharapkan untuk
menjalankan tiga peran secara bertahap. Pertama, sebagai
agen perubahan. Kedua, sebagai teladan. Ketiga, sebagai
pelatih atau trainer. Kendati demikian, dengan memiliki
karakteristik yang memang telah menjadi prasyarat untuk
menjadi UMKM Pilot, segala kesulitan dan tanggung jawab
akan bisa diatasi. Karakteristik itu antara lain:

Changing Spirit: Keinginan untuk berubah


dan naik kelas.

Compassion to Help Others: Kepedulian


untuk membantu orang lain.

Commitment: Selalu menepati janji.

Consistency: Konsisten mengikuti


dan mengimplementasikan program.

Seleksi Pilot yang dilakukan LPB sangatlah krusial. Tidak


semua langsung berhasil. Ada yang gugur di tengah jalan.
Dengan prinsip pemberian kail dan bukan ikan, YDBA
tidak serta-merta memberikan segalanya cuma-cuma. Ada
persiapan dan konsekuensi pribadi yang harus ditanggung
198

para Pilot. Selain harus aktif mengikuti program pembinaan,


para Pilot menanggung sendiri biaya transportasi dan
akomodasi jika program dilakukan di luar tempat tinggal
mereka. Mereka tetap menanggung biaya produksi barang
yang mereka hasilkan sampai kelak barang tersebut diterima
oleh “ayah angkat”. Dan, ketika mereka berhasil nanti, para
Pilot harus berbagi pengetahuan kepada UMKM lain yang
sama-sama berada di sektor unggulan.

Tentu saja, sebagai timbal balik, ada perlakuan khusus


dari LPB kepada para Pilot. Para Pilot mendapatkan
pendampingan yang intensif dan prioritas. Mereka juga
diberi publikasi di media-media Astra yang berskala
nasional. Dengan ditautkannya mereka dengan perusahaan
ayah angkat, mereka otomatis mendapatkan peluang pasar
yang lebih besar.

Pelatihan Mental
MENULARKAN sistem nilai merupakan proses yang
tidak terjadi seketika. Ibarat menerbangkan pesawat,
perlu disiapkan landasan agar proses lepas landas
dimungkinkan terjadi. Agar seperangkat sistem nilai dapat
berjalan, dibutuhkan mental yang siap dan sesuai sebagai
landasannya.

Pelatihan mental dilakukan LPB dengan cara mengarahkan


fokus UMKM ke hal-hal yang selama ini mungkin masih
199

menjadi target buram, bahkan tak diperhatikan sebelumnya.


Pertama, UMKM diminta untuk fokus kepada pelanggan.
Kedua, mereka diminta fokus pada alur kerja Rencanakan -
Kerjakan - Cek - Tindak Lanjuti. Ketiga, mereka dibiasakan
untuk fokus pada fakta dan data. Keempat, mereka
dibiasakan fokus pada kerja sama. Terakhir, mereka harus
fokus pada keunggulan.

5R, mantra yang terpampang di mana-mana sepanjang


kunjungan saya ke UMKM, merupakan bagian dari mentalitas
dasar yang diusung YDBA. Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan
Rajin. Kelima “R” tadi sesungguhnya merupakan adaptasi
bahasa Jepang: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke. Sebuah
metodologi Jepang yang populer diterapkan di lingkungan
kerja.

Seiri/ Ringkas Menyingkirkan barang yang tak perlu.

Meletakkan segala sesuatu pada


Seiton/Rapi
tempatnya sesuai dengan alur kerja.

Membersihkan peralatan dan daerah kerja


Seiso/Resik
secara rutin.

Memastikan prosedur dan jadwal agar


Seiketsu/Rawat ketiga praktik sebelumnya berlangsung
kontinu.

Pemeliharaan disiplin diri untuk konsisten


Shitsuke/Rajin
melakukan keseluruhan praktik tadi.
200

Sapu Lidi Lebih Kuat daripada Satu Lidi


KOPERASI, sebagaimana asal kata kerjanya, adalah kerja
sama. Perkumpulan yang diresmikan menjadi koperasi
ialah perkumpulan kerja sama dalam mencapai satu tujuan.
Problem klasik koperasi, menurut Kementrian Koperasi dan
UKM, adalah konsistensi dan komitmen anggotanya.

Koperasi merupakan produk final pada tahap Memasang


Landasan yang dicanangkan YDBA. Ketika para Pilot telah
dikembangkan menjadi Sektor Unggulan dengan anggota
hingga mencapai dua puluh orang, inilah saatnya mereka
melanjutkan ke langkah berikut yakni pembentukan
koperasi. Kehadiran koperasi diharapkan dapat menyatukan
kekuatan UMKM. Hal-hal yang kurang efektif jika dilakukan
sendiri-sendiri, seperti pengadaan, pemasaran, logistik, dan
seterusnya, dapat teratasi melalui koperasi.

Bagi YDBA, koperasi unggulan mereka pun harus memiliki


karakteristik khusus. Tiap anggota mempunyai hak suara
yang sama, terlepas berapa pun simpanan sukarelanya.
Kesejahteraan anggota menjadi hal utama, dan setiap
anggota berkontribusi secara adil dalam menghimpun modal
koperasi serta bersama-sama mengawasinya. Koperasi juga
diharapkan secara berkala untuk memberikan pendidikan
dan pelatihan kepada anggota dan stafnya.

Koperasi yang punya visi berkelanjutan dan mampu


membiayai dirinya sendiri merupakan bentuk kemandirian
201

serta bukti bahwa UMKM telah mampu melangkah


lebih jauh dari persaingan menuju ekosistem yang saling
mendukung.

Ayah Angkat
SESUAI dengan namanya, Ayah Angkat adalah sebutan
bagi perusahaan yang bersedia menjadi mitra UMKM binaan.
Dalam relasi itu, Ayah Angkat berperan sebagai customer.
Tentunya, bukan pelanggan biasa, melainkan pelanggan
yang menetapkan standar spesifikasi produk akhir. Lebih dari
sekadar pemasukan bagi UMKM, order dari Ayah Angkat
sesungguhnya merupakan ujian kenaikan kelas. Berhasil
memenuhi order Ayah Angkat sesuai dengan spesifikasi dan
jadwal yang ditentukan menjadi loncatan besar bagi UMKM.
Tak jarang, sang Ayah Angkat ikut berperan sebagai tenaga
ahli yang akan mendampingi UMKM saat melakukan proses
produksi. Tak menutup kemungkinan pula perusahaan Ayah
Angkat membuka kesempatan magang bagi pemilik maupun
karyawan UMKM.

Sebagai timbal balik, perusahaan Ayah Angkat diuntungkan


dari sisi keamanan suplai dan publikasi. Dan, yang terutama,
ikut menjadi Ayah Angkat berarti menaikkan kelas program
CSR-nya, dari model Sinterklas menjadi model Sustainable.

Dalam beberapa kasus ketika tidak ditemukan Ayah Angkat,


maka fungsi tersebut digantikan YDBA dalam bentuk
202

konsultan atau tenaga ahli. LPB dan YDBA juga tetap


berusaha mencarikan pelanggan besar bagi UMKM sebagai
ujian pembuktiannya.

Lahan yang Gembur


AWET, Gres, Mandiri, Naik Kelas, dan Go Global. Demikian
kriteria ideal yang diharapkan mewujud pada UMKM yang
dibina oleh YDBA.

Sematang-matangnya sebuah
Kriteria Ideal program dan sesukses apa
UMKM: Awet, pun eksekusinya di lapangan,
Gres, Mandiri, akan tetap dipengaruhi oleh
Naik Kelas, ekosistem yang melingkupinya.
dan Go Global. Ibarat lahan gembur atau
tandus, dukungan pemerintah
menjadi faktor yang bisa mempercepat atau memperlambat
proses peningkatan kualitas UMKM.

Kendala perizinan yang ditemui di Sidoarjo-Surabaya,


misalnya, menjadi hambatan yang dikeluhkan para UMKM.
Sebaliknya, Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Tegal
sangat suportif kepada IKM (Industri Kecil Menengah—
istilah yang dipakai di Tegal). Di Tapin, sebagaimana yang
diceritakan oleh Junaedi di Desa Hiyung atau Misrani di
Desa 3A, Dinas Pertanian setempat memberikan banyak
perhatian dan kesempatan exposure untuk UMKM.
203

Cerita senada datang dari Klaten. UMKM binaan LPB di


Klaten berkolaborasi di Kemenkop untuk membuat cangkul
yang sesuai dengan standar SNI, sejalan dengan program
Presiden Jokowi untuk memajukan produksi cangkul lokal
dan mengurangi impor cangkul.

Ketika kita memahami bahwa peningkatan UMKM memiliki


manfaat yang berantai dan bercabang ke berbagai industri,
stimulus berupa peluang dan kemudahan birokrasi akan
menjadi dukungan yang berarti. Terlibat langsung atau tidak
di dalam pendampingan mereka, pemerintah dapat memilih
untuk menjadi lahan yang subur, yang mempercepat naik
kelasnya UMKM.

Mandiri Bersama
OBROLAN kawan-kawan dari LPB Tapin di bandara
menjadi pembuka mata. Sebelum percakapan kami, saya
mengira semua jerih payah itu dilakukan demi transformasi
UMKM semata. Namun, persepsi saya ternyata tidak
sepenuhnya lengkap.

Setelah sembilan tahun berjalan, Djoko dan kawan-kawan


LPB Tapin mulai mempersiapkan kemandirian mereka.
LPB akan lebur bersama komunitas petani yang mereka
inisiasi, Berkat Saraba Kawa (BSK), dan membiayai diri
mereka sendiri. Ketika kami berbincang di bandara, Djoko
telah mengkaji berbagai skenario. Kesimpulannya saat ini
adalah perlunya pendapatan harian. Menyuplai ke banyak
204

restoran kecil dan menengah merupakan pilihan paling


taktis, mengingat klien retail besar biasanya melakukan
pembayaran mundur. Sudah sembilan restoran yang mereka
suplai, dan jumlahnya akan terus bertambah.

Tak sekadar berhenti


di ma ju bersama, tetapi juga
mandiri bersama.

Ketika saya bertanya, apa sesungguhnya alasan LPB harus


mandiri? Bukankah LPB sudah menjadi bagian integral dari
YDBA? Djoko menjawab, “Kami harus bersiap jika YDBA
tidak lagi bersama kami karena harus membina komunitas
lain, bagaimana nasib LPB kami? Lalu, bagaimana nasibnya
petani binaan? Kalau kami mandiri, bisa berdiri di kaki sendiri,
skenario terburuk sudah teratasi dengan sendirinya.”

Mendengar jawaban itu, saya berkesimpulan bahwa yang


hendak dicapai oleh YDBA tak sekadar berhenti di maju
bersama, tetapi juga mandiri bersama.* Tujuan tersebut bisa
jadi sebuah efek samping, bukan yang utama. Yang jelas,
semangat berbagi kesuksesan, semangat memberdayakan
diri dan sesama, telah mengakar begitu dalam di tubuh
YDBA sendiri hingga cabang yang mereka buat suatu saat
akan tumbuh menjadi pohon mandiri.

* Kisah William Soeryadjaya merujuk ke buku biografi Man of Honor karya


Teguh Sri Pambudhi & Edy Djatmiko (Gramedia Pustaka Utama).
11 Rantai
Tak Putus
D
UA bibit cabai Hiyung setinggi telunjuk yang saya
bawa dari Tapin kini telah pindah ke pot lebih besar.
Tinggi keduanya sudah hampir tiga puluh senti.
Batangnya mulai tegak dan menebal. Akankah cabai di pot
itu sama pedasnya dengan cabai Hiyung, atau menjinak
menjadi cabai rawit biasa? Dalam bulan-bulan ke depan,
niscaya saya akan memetik jawabannya, melahapnya
bersama tahu goreng hangat dan secangkir teh.

Setiap kali saya ke taman untuk menyiram, menyimak


pertumbuhan mereka, saya selalu teringat senja kuning di
Desa Hiyung, ke hamparan lahan rawa yang membentuk
cermin besar bagi langit berkaca. Begitu pula ketika saya
melihat benda-benda logam di sekitar saya, yang tak
terhitung banyaknya, kecil-besar, diam sendirian ataupun
bagian dari sebuah mesin yang berderu dan bergerak,
ingatan saya kembali ke bengkel-bengkel di Waru dan
Surabaya. Ke aroma sangit besi dan desing tajam kala logam
saling diadu.

Produk hortikultura yang kita temui di pasar dan


supermarket, pedal rem yang kita injak saat berkendara,
hadir seolah begitu mudah di tengah kehidupan sehari-hari
yang menyedot perhatian sehingga tak ada lagi kesempatan
merenungkan bagaimana benda-benda itu bermula. Dari
mana datangnya mereka? Proses apa yang dibutuhkan
untuk menghadirkannya ke tangan kita? Siapa yang bergerak
dan berupaya di balik layar untuk menjadikan mereka ada?
207

Menuliskan buku ini telah memberikan saya kesempatan


untuk melihat lebih dekat roda penggerak ekonomi bangsa.

Saya pun bagian dari mesin ekonomi bangsa. Dan, saya


yakin, sebagian besar mereka yang membaca buku ini juga
mengambil bagian di dalam mesin itu dengan cara dan
porsinya masing-masing.

Ketika satu bagian dari mesin besar ini mengalami kemacetan,


kemandekan, maka cepat atau lambat, langsung maupun
tak langsung, kinerja keseluruhan mesin akan terpengaruh.
Sebaliknya, ketika ada bagian-bagian yang bekerja semakin
lancar, semakin mulus dan optimal, akan berdampak pula
pada kinerja mesin secara holistik.

Di dalam mesin itu, hubungan kita saling menjalin. Tidak


akan ada yang benar-benar bisa melesat sendirian tanpa
ada dukungan dari elemen lain. Banyak “pelumas” yang
dapat digunakan untuk melicinkan kerja mesin. Kucuran
dana, salah satunya. Namun, perjalanan ke Tapin dan Waru
membuka mata saya akan jenis pelumas yang lebih slow-
acting, tetapi dalam jangka panjang, ia punya dampak yang
jauh lebih besar. Ilmu.

Alih-alih menggelontorkan pelumas yang sifatnya semen­


tara, ilmu adalah pelumas yang bukan cuma melicinkan,
tetapi meningkatkan kualitas mesin itu secara keseluruhan.
Tapi, mengapa jalan ini tidak banyak ditempuh? Jawabannya
sederhana. Karena tidak mudah. Dan, apakah lebih mahal?
208

Ya, bisa jadi. Yang jelas, agar transfer ilmu terjadi optimal,
harus ada proses yang sinambung. Kesinambungan proses
membutuhkan kesabaran, dana, dan orang-orang terpilih
yang mampu menjalankan tugas pendampingan.

Banyak UMKM yang menjalankan


Agar transfer usahanya tanpa peta, tanpa
ilmu terjadi visi, hanya untuk membiayai
optimal, harus kehidupan sehari-hari lalu sudah.
ada proses yang Berhenti sampai di sana. Yang
sinambung. diberikan YDBA sesungguhnya
adalah peta untuk berkembang.
Rimba yang UMKM masuki menjadi terang dan punya marka.
Ada target yang bisa dituju dan pos-pos untuk mencapainya.
UMKM bahkan dibekali cara untuk mencapai target-target
tersebut. Namun, merekalah yang berjalan. Mereka yang
kembali menentukan laju pertumbuhan masing-masing.

Ada banyak kebaikan di negeri ini. Banyak pihak yang


berniat baik dan punya kemampuan besar untuk melakukan
sejuta kebaikan, yang mewujud melalui banyak cara dan
bentuk. YDBA mengambil jalan yang tak mudah. Berkali
lipat lebih mudah mentransfer dana ketimbang mentransfer
ilmu. Namun, jalan sukar yang dipilih YDBA membawa efek
yang setimpal. Kelanggengan.

Ilmu merupakan warisan yang langgeng. Ketika mata rantai


dana berakhir dengan cepat, mata rantai ilmu tak terputus.
209

Masih banyak kisah-kisah transformasi terpendam yang


tak mungkin saya ungkap sendirian. Kisah itu barangkali
tengah Anda jalani. Atau mungkin baru hendak Anda mulai.
Perubahan menuju arah yang lebih baik sering kali tidak
nyaman, terutama ketika kita dituntut untuk meruntuhkan
kebiasaan lama, mengganti pola pikir yang sudah melekat
bagai selimut hangat. Tengoklah ke kiri dan ke kanan.
Sambutlah uluran tangan dan masuki pintu kesempatan. Jika
bantuan itu datang dalam bentuk ilmu dan keterampilan,
jika bantuan itu datang dalam bentuk kail dan bukan ikan,
genggamlah ia erat-erat. Perjalanan itu hampir pasti tidak
mudah, tetapi Anda tak perlu sendirian. Rantai ilmu niscaya
tak terputus.

Ilmu merupakan warisan yang


langgeng. Ketika mata rantai dana
berakhir dengan cepat, mata rantai
ilmu tak terputus.
Dari Penulis

Buku ini lahir pada masa yang unik, yang dipercaya


banyak orang sebagai peristiwa sekali seumur hidup, yakni
Pandemi Covid-19. Masa pandemi, yang memaksa jutaan
manusia di dunia mengurung diri di rumah masing-masing,
menimbulkan kelumpuhan pada banyak aspek secara
global, dan di sisi lain melahirkan banyak inovasi di tengah
keterbatasan.

Buku ini juga menjadi pengalaman unik bagi saya, mulai dari
topik, proses riset, dan tantangan penulisan. Meski bukan
karya nonfiksi saya yang pertama, Rantai Tak Putus memberi
saya pengalaman serbabaru. Menuliskan buku ini membuka
mata saya terhadap betapa krusialnya UMKM bagi
perekonomian bangsa. Hidup kita setiap harinya ditopang
dan dikelilingi jutaan UMKM. Karenanya, perbaikan kualitas
UMKM tak ubahnya perbaikan kualitas masyarakat. UMKM
yang berhasil meningkatkan kelasnya tidak terbatas pada
peningkatan kondisi ekonomi, tetapi juga sumber dayanya,
cara berpikir, dan mentalitas.

Secara kuantitas, jumlah industri besar di Indonesia sangat


sedikit dibandingkan usaha kecil dan menengah. Namun,
kekuatan para raksasa ini luar biasa besar. Ketika salah satu
dari raksasa tadi memutuskan untuk fokus pada perbaikan
UMKM, dampaknya sangat berarti. Upaya empat dekade
yang dilakukan oleh Yayasan Dharma Bhakti Astra, yayasan
yang didirikan oleh PT Astra International Tbk untuk
memajukan UMKM, merupakan sumbangan yang amat
berharga. Memberikan kail kepada UMKM, bukan ikan. Ilmu,
bukan sekadar dana. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan,
serta ketangguhan di segala lini untuk bisa konsisten
melakukannya. Itulah yang akhirnya menggerakkan saya
untuk ikut terlibat mewujudkan buku Rantai Tak Putus ini.
Saya merasa, semangat YDBA perlu disebarkan, direplikasi,
dan diterapkan.

Naskah buku ini saya tulis ketika pandemi mulai menyeruak,


dan selesai ketika sedang memuncak. Riset dan segala
perjalanan fisik, syukurnya, telah saya lakukan beberapa
bulan sebelum itu. Kondisi pandemi membubarkan rencana
kami untuk melansir buku ini pada bulan Mei 2020, yang
seharusnya bertepatan dengan ulang tahun YDBA ke-40.
Meski beberapa bulan mundur dari rencana mula, buku ini
tidak kehilangan relevansinya. Sebaliknya, ketika kondisi
pandemi memaksa para pelaku ekonomi beradaptasi, di
sinilah kreativitas dan ketangguhan UMKM kita diuji. Di
sinilah kisah-kisah dalam Rantai Tak Putus berguna untuk
kita berefleksi bersama.

Terima kasih kepada Henry C. Widjaja, Agustin, Ardam, dan


segenap tim YDBA atas kepercayaan yang diberikan kepada
saya. Sungguh merupakan satu kehormatan. Terima kasih
kepada para fasilitator LPB Waru dan Tapin yang dengan
penuh semangat telah menemani saya sepanjang proses
riset. Terima kasih kepada kawan-kawan UMKM, WMI,
BSK, dan para kelompok tani yang telah membuka pintu
dan hatinya untuk saya wawancarai. Pengalaman ini tak
akan pernah saya lupakan.

Terima kasih kepada penerbit Bentang Pustaka dan Salman


Faridi, khususnya kepada editor Dhewiberta, Satrio, dan
tim Bentang lainnya yang telah sama-sama membidani
lahirnya buku ini. Tak ketinggalan pula desainer grafis
Fahmi Ilmansyah, yang kembali menuangkan kreativitasnya
di sampul buku saya. Untuk keluarga saya yang tak henti
memberikan cinta dan dukungan—Reza, Keenan, dan
Atisha—terima kasih tak berkesudahan saya haturkan.
Kepada para pembaca setia, terima kasih atas waktu dan
ruang yang diberikan pada karya-karya saya selama ini.

Semoga kisah-kisah yang terjalin dalam Rantai Tak Putus


dapat menjadi pemantik motivasi, penjaga api semangat,
dan penghangat hati ketika tantangan datang.

Untuk semua UMKM Indonesia, buku ini saya


persembahkan.
Tentang Penulis

DEWI LESTARI, dikenal dengan nama pena Dee Lestari,


lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Debut Dee dalam
kancah sastra dimulai pada tahun 2001 dengan episode
pertama novel serial Supernova berjudul Kesatria, Putri, dan
Bintang Jatuh. Serial Supernova, yang kini sudah mencapai
enam buku yakni Akar (2002), Petir (2004), Partikel (2012),
Gelombang (2014), dan Inteligensi Embun Pagi (2016),
konsisten menjadi best seller nasional dan membawa banyak
kontribusi positif dalam dunia perbukuan Indonesia.

Dee juga telah melahirkan buku-buku fenomenal lainnya,


yakni Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008), Perahu Kertas
(2009), Madre (2011), Kepingan Supernova (2017), Aroma
Karsa (2018), dan Di Balik Tirai Aroma Karsa (2018). Di antara
sejumlah penghargaan sastra yang diperolehnya, Dee adalah
satu-satunya penulis Indonesia yang pernah meraih dua kali
gelar Book of the Year, dan dua kali gelar Anugerah Pembaca
Indonesia untuk kategori Buku Favorit dan Penulis Favorit.

Hampir semua karya Dee telah diadaptasi menjadi film


layar lebar. Kiprahnya dalam dunia kepenulisan juga telah
membawa Dee ke berbagai ajang nasional dan internasional.

Selain dunia menulis, Dee juga aktif di dunia musik sebagai


penyanyi dan penulis lagu. Di dunia maya, penikmat
dan penggemar buku-buku Dee dikenal dengan sebutan
Addeection. Anda bisa berinteraksi dengan Dee Lestari
melalui:

@DeeLestari & @AdDEEction


@DeeLestari
www.deelestari.com
temukan kutipan
favoritmu di sini

“Semua diperhitungkan dengan


matang. Aroma Karsa mengirim
pembaca ke sebuah dunia ganjil
sekaligus asyik, membuat takjub.
Bookgasm yang dahsyat.”
–Majalah Tempo–

jendela menuju
proses kreatif dee.

Anda mungkin juga menyukai