Anda di halaman 1dari 17

JURNAL

PENANGANAN DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS KORBAN BENCANA


MERAPI

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perawatan Trauma


Dosen Mata Kuliah : Ns. Yayan Mulyana., S.Kep,. M. Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 3 :
1. Diana Nova Margareta (CKR0180199)
2. Eksa Vika Suherman (CKR0180201)
3. Indah (CKR0180207)
4. Inka Desianty (CKR0180208)
5. Lia Cahyaningsih (CKR0180210)
6. Melani (CKR0180212)
7. Mia Silvyawati (CKR0180213)
8. Ova Maylan (CKR0180218)
9. Rana Pristianti (CKR0180220)
10.Yeyen Destiyanti (CKR0180226)

Kelas/Tingkat: A/3
Semester VI

PROGRAM S1 KEPERAWATANKampus 2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan


Kuningan (STIKKu)
RS Ciremai – Cirebon
Jl. Pangeran Drajat No. 40A, Cirebon 45133

Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 1


PENANGANAN DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS KORBAN BENCANA MERAPI
(Sosial Impact of Psychological Treatment Merapi Disaster Victims)

Chatarina Rusmiyati
Email: cathy.mami@yahoo.com
dan
Enny Hikmawati

Abstrak
Hidup di tempat pengungsian yang penuh dengan keterbatasan sering menimbulkan ketidakpastian
sampai kapan mereka akan tinggal. Hal ini berkaitan pada kemampuan pemerintah dalam menyediakan
pengganti tempat tinggal yang permanen, di samping kemampuan dari korban bencana itu sendiri.
Lokasi pengungsian kurang memadai ditinjau dari kepadatan hunian, asupan gizi, sarana MCK, sanitasi
lingkungan, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Kondisi ini dapat menyebabkan pengungsi terutama
anak- anak dan lansia rawan terhadap penyakit. Ketersediaan tenaga kesehatan, obat-obatan seringkali
tidak seimbang dengan jumlah korban bencana yang membutuhkan penanganan kesehatan.
Penanganannya harus dilakukan secara terkoordinir dan terpadu dengan melibatkan seluruh lapisan
masyarakat, LSM, dunia usaha dan pemerintah terkait. Pada intinya dari hasil wawancara dan
observasi pada informan dapat disimpulkan bahwa para pengungsi telah ditangani secara fisik, psikis
dan sosial. Pemenuhan kebutuhan fisik meliputi pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal,
pelayanan kesehatan, air bersih dan sarana MCK. Pemenuhan kebutuhan psikis dengan menghilangkan
trauma (trauma healing) seperti menghibur, memberikan pembinaan mental psikologis agar tidak jenuh,
pelayanan penguatan mental keagamaan, pendidikan dan informasi. Pemenuhan kebutuhan sosial
dengan menerima kunjungan tamu, advokasi dan fasilitasi kegiatan. Pemenuhan kebutuhan sosial
psikologis di pengungsian dapat dikatakan terpenuhi meskipun serba terbatas. Oleh karena itu
disarankan kepada pemerintah khususnya Kementerian Sosial dan lembaga terkait, dalam memberikan
bantuan kepada korban perlu melakukan analisis kebutuhan agar tepat sasaran. Kepada masyarakat di
daerah rawan bencana perlu peningkatan kesadaran tentang risiko bencana melalui sosialisasi dan
simulasi siaga bencana, agar masyarakat berdaya menghadapi bencana dan risikonya.

Kata Kunci: Penanganan, Pengungsi, Korban Bencana Merapi

Abstract
Living in refugee camps filled with limitations often lead to uncertainty for how long they will stay. This
relates to the ability of the government to provide a permanent replacement dwelling, in addition to the
ability of victims of the disaster itself. Inadequate evacuation in terms of residential density, nutrition,
sanitary facilities, sanitation, sosial facilities and public facilities. This condition can lead to refugees,
especially children and the elderly prone to disease. Availability of health personnel, drugs are often not
balanced by the number of victims requiring medical treatment. Handling should be done in a
coordinated and integrated with the involvement of the whole society, NGOs, businesses and government
agencies. In essence, from interviews and observations of informants can be concluded that the refugees
had been handled sosial needs food, clothing, shelter, health care, clean water and sanitary facilities, and
services, including capital and attempted reintegration. Psychologically form of mental strengthening
religious services, education and information. Fulfillment of sosial needs in the camps can be said
psychological fulfilled despite limited. It is therefore recommended to the government especially the
Ministry of Sosial Affairs and related agencies, in providing assistance to victims should conduct a needs
analysis to be right on target. To communities in disaster prone areas need to increase awareness of
disaster risks through awareness and disaster preparedness simulations, so that empowered communities

2 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012


for disasters and risks.

Keywords: Management, Refugees, Disaster Victims Merapi


PENDAHULUAN pengungsian dipenuhi lebih dari 370.000 jiwa.
Korban Merapi
Indonesia memiliki wilayah yang luas
dengan banyak pulau, terletak pada jalur gempa
bumi dan gunung berapi. Kondisi tersebut
menyebabkan Indonesia rawan terhadap
berbagai bencana alam. Di Indonesia terdapat
129 gunung berapi aktif, 70 diantaranya
digolongkan sangat berbahaya. Keberadaan
gunung berapi membawa dampak kesuburan
bagi tanah di sekitar, sehingga banyak
penduduk yang bermukim. Namun dibalik itu
terdapat bahaya yang dapat mengancam
keselamatan jiwa, kerusakan alam dan
kehancuran lingkungan apabila terjadi bencana
gunung meletus. Peristiwa bencana alam
merupakan kejadian yang sulit dihindari dan
diperkirakan secara tepat. Dampak bencana
dapat berupa korban jiwa, harta benda,
kerusakan infrastruktur, lingkungan sosial, dan
gangguan terhadap tata kehidupan serta
penghidupan masyarakat yang telah mapan
sebelumnya.
Merapi merupakan salah satu gunung
berapi paling aktif di dunia. Sejak meletus pada
tanggal 26 Oktober 2010, menurut data Pusat
Pengendalian dan Operasi Badan Nasional
Penanggulangan Bencana yang dirilis pada
tanggal 11 Nopember 2010 jumlah korban
tewas mencapai 194 orang. Aliran awan panas
yang dimuntahkan lava/material Merapi pada
hari Jumat malam 5 Nopember 2010 dengan
kecepatan mencapai 100 km per jam, dan panas
mencapai kisaran 450-600 derajat celsius,
membakar pepohonan dan rumah-rumah
sehingga dilakukan evakuasi penduduk secara
besar-besaran. Kondisi tersebut memaksa
pemerintah memperlebar zona bahaya hingga
berjarak 20 km dari puncak Merapi, yang
sebelumnya ditetapkan dengan radius 15 km.
Letusan Merapi memicu evakuasi massa
di wilayah DI Yogyakarta (Sleman,
Yogyakarta, Bantul) dan Jawa Tengah
(Magelang, Klaten, Boyolali). Tempat-tempat
Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 3
mengalami trauma karena kehilangan Soerodjo Kota Magelang. Mereka
orang yang dicintai, harta benda, diindikasikan mengalami stres dan trauma berat
hancurnya rumah dan sawah yang menjadi pasca erupsi eksplosif Merapi. Harta benda
mata pencaharian mereka selama ini. mereka habis, bahkan banyak keluarga
Kondisi di pengungsian yang tak layak meninggal dunia karena tidak sempat
menambah tekanan jiwa semakin berat. menyelamatkan diri. Sementara data yang
Semakin lama waktu yang dihabiskan di diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Daerah
pengungsian, berdampak pada jumlah (RSJD) Soejarwadi, Klaten, tercatat 19 orang
pengungsi yang mengalami gangguan pengungsi masuk dalam kategori gangguan
psikologis. Hasil observasi dan jiwa berat. Jadi total pengungsi yang “gila”
pendampingan yang dilakukan relawan sementara ini ada 46 orang (dari Magelang dan
menyimpulkan bahwa sebagian besar Klaten).
pengungsi mengalami tekanan psikologis
Korban bencana alam menghadapi
akibat bencana gunung Merapi. Dari
situasi dan kondisi yang sangat kompleks,
sampel 50 orang pengungsi yang
baik secara fisik, psikis maupun sosial.
diklasifikasi berdasarkan kelompok umur,
Problema paling mendasar adalah persoalan
60 persen memerlukan terapi psikologi.
fisik, seperti gangguan pemenuhan kebutuhan
(Harian Kedaulatan Rakyat, 3 Januari
makan, minum, tempat tinggal, kesehatan,
2011). Menurut Deputi Bidang
dan pendidikan. Hal ini berawal dari, tidak
Penanganan Darurat BNPB, sebagian
tersedia atau terbatasnya fasilitas umum, sosial
kondisi pengungsi labil dan tertekan di
dan sanitasi lingkungan yang buruk sehingga
tempat pengungsian. Bahkan, belum genap
menimbulkan ketidaknyamanan bahkan dapat
dua minggu tinggal di pengungsian,
menjadi sumber penyakit. Kehilangan harta
sebanyak 27 pengungsi sudah dirujuk ke
benda menyebabkan korban menjadi jatuh
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. Dr.
miskin, apalagi sumber matapencaharian
berupa lahan pertanian dan perkebunan juga kesedihan berkepanjangan. Selain itu, dengan
mengalami kerusakan. Kehilangan anggota terpaksa harus tinggal di pengungsian dalam
keluarga, khususnya sumber pencari nafkah kondisi yang serba terbatas menambah rasa
keluarga, seringkali menyebabkan timbulnya cemas para pengungsi. Hal yang
perasaan khawatir, ketakutan bahkan trauma memperparah kondisi para pengungsi adalah
yang berkepanjangan. Bantuan dari berbagai mereka mudah tersulut api konflik dengan
sumber yang berbentuk materi mungkin dapat sesama pengungsi akibat jenuh. Sebagian
memenuhi kebutuhan fisik para korban besar pengungsi bermatapencaharian sebagai
bencana, tetapi belum tentu dapat petani yang setiap hari terbiasa bekerja keras,
menyelesaikan masalah yang dihadapi. sementara yang terjadi di tempat pengungsian
Kehilangan orang yang dicintai, rumah, harta mereka hanya diam saja tanpa berkegiatan,
benda, sawah, atau ternak yang menjadi mata membuat mereka bosan. Kurang terpenuhinya
pencarian, dapat menyebabkan guncangan jiwa kebutuhan hidup, tidak optimalnya
dan trauma hebat. pelaksanaan fungsi dan peran keluarga serta
kemungkinan-kemungkinan hilangnya
Keterpurukan lain yang dihadapi
pengendalian diri, kekecewaan terhadap
menyangkut masalah psikososial, seperti
pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah
kekhawatiran akan terjadi letusan susulan, rasa
dapat berpotensi menjadi aksi sosial.
kehilangan yang mendalam atas meninggalnya
Pengungsi pun kehilangan harga diri dan rasa
anggota keluarga, harta benda dan sumber
percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus
mata pencaharian seringkali menimbulkan
asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa
4 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012
depan, cenderung menyalahkan orang/pihak yang menimpa. Mereka menolak direlokasi
lain yang dianggap menambah beban hidup ke tempat baru, padahal tempat asalnya tidak
mereka, bergantung pada bantuan pemerintah memungkinkan lagi untuk dihuni.
dan pihak lain, serta menyalahkan Tuhan atas
musibah Dalam situasi yang demikian maka
diperlukan upaya penanganan dampak sosial
psikologis terhadap korban agar terhindar dari
gangguan psikologis dan permasalahan sosial
yang lebih luas. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mengetahui upaya penanganan dampak
sosial psikologis korban bencana Merapi yang
telah dilakukan. Oleh karena itu rumusan
masalah yang diajukan adalah bagaimana
penanganan dampak sosial psikologis korban
bencana Merapi di tempat pengungsian?
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui upaya
penanganan dampak sosial psikologis korban
bencana Merapi.

Pengungsi Sebagai Korban bencana


Pengungsi akibat bencana alam adalah
orang-orang yang terpaksa melarikan diri atau
meninggalkan rumah mereka sebagai akibat
atau dalam rangka menghindarkan diri dari
bencana alam dan berpindah ke daerah yang
lebih aman. Definisi dari United Nation Hight
Commission for Refugees (UNHCR)
menyebutkan bahwa pengungsi adalah orang
yang meninggalkan tempat tinggalnya karena
adanya unsur pemaksa seperti bencana alam
berupa banjir, kekeringan, kebakaran, gunung
meletus, tanah longsor, gelombang pasang air
laut, tsunami, wabah penyakit dan peperangan.
Tujuan orang mengungsi adalah untuk mencari
tempat yang lebih aman demi keselamatan diri
dan keluarga. Pengungsi jika dilihat dari
kelompok umur dapat dibedakan menjadi
pengungsi anak-anak, pengungsi dewasa dan
pengungsi lanjut usia. Pengungsian bisa
dilakukan secara individu, bersama-sama atau
dalam kelompok dengan persiapan ataupun
tanpa persiapan sama sekali. Pengungsian bisa
untuk sementara waktu ketika kondisi masih
dalam bahaya dan dapat kembali ke tempat
asal ketika keadaan sudah aman
dan kehidupan sudah nornal kembali. Akan tetapi pengungsian bisa terjadi dalam kurun waktu
Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 5
yang lama bahkan tidak menentu karena a. Rasa aman (security) dari ancaman
terjadinya perubahan kondisi tempat asal, lingkungan manusia dan alam serta rasa
misalnya daerahnya menjadi tidak layak huni aman dari gangguan penyakit.
dan termasuk zona merah, sehingga mereka b. Kasih sayang (affection) baik dari keluarga
tidak mungkin bisa kembali. Dari pengertian maupun masyarakat lingkungannya.
di atas maka pengungsi dapat dikategorikan
c. Mencapai cita-cita (achievment) dalam
sebagai korban bencana. kondisi kehidupan sesuai yang diinginkan.
Status pengungsi sering diidentikkan d. Penerimaan (acceptance) eksistensi diri
dengan seseorang atau sekelompok orang ditengah masyarakat sekitarnya.
yang perlu dikasihani dan dibantu karena LP Getubig dan Sonke Schmidt (1992)
ketidakberdayaannya, meskipun demikian mengemukakan bahwa individu dan kelompok
pengungsi tetap mempunyai hak asasi sebagai orang atau masyarakat dapat dikatakan aman
manusia. Hak asasi manusia (HAM) pengungsi secara sosial (sosially secured) apabila
sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal terpenuhi kebutuhan hidupnya dalam aspek:
Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial a. Pendapatan yang tetap dan cukup (adequate
dan Budaya, serta Konvensi Internasional and stable income)
tentang Hak Sipil dan Politik, adalah hak b. Kesehatan (health care)
untuk memeluk agama, bebas dari perbudakan, c. Makan cukup gizi (good nutrion)
bebas dari penyiksaan, meminta dan menerima d. Rumah tempat tinggal (shelter)
perlindungan bantuan humaniter, kebebasan
e. Pendidikan (education)
berpindah, rasa aman, pendidikan serta
memperoleh informasi tentang keberadaan f. Air bersih (clean water)
sanak saudara. Dalam penelitian ini yang g. Sanitasi (sanitation)
dimaksud pengungsi adalah mereka yang h. Penyantunan anak dan lanjut usia (child
menjadi korban letusan Gunung Merapi dan and old age care)
terpaksa tinggal di pengungsian. Sementara Laird dan Laird (dalam
Sumarnonugroho, 1984: 6) mengemukakan
Pengungsi dan Pemenuhan Kebutuhan kebutuhan dasar hidup manusia meliputi:
Hidup
a. Hidup
Pengungsi sebagai manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok masyarakat b. Merasa aman
yang sedang menghadapi masalah, mempunyai c. Penghargaan atas eksistensi dirinya
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Apabila d. Melakukan pekerjaan yang disenangi.
kebutuhan hidup itu tidak dapat terpenuhi Selanjutnya aspek kebutuhan dasar hidup
dalam kurun waktu yang lama maka akan manusia menurut Maslow adalah:
menjadi masalah sosial, sehingga manusia dan
masyarakat tidak dapat melaksanakan fungsi a. Kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan
sosialnya. Kebutuhan dasar manusia menurut udara untuk bernafas.
Elizabeth Nicolds (1965: 59) meliputi: b. Rasa aman.
c. Menyayangi dan disayangi
d. Penghargaan diri
e. Aktualisasi diri.
Kebutuhan dasar manusia tersebut di mudah terpenuhi apabila alam dan lingkungan
atas dalam kondisi yang normal dapat dengan manusia mendukung, dalam arti sedang tidak
6 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012
terjadi bencana. Sebaliknya apabila alam dan d. Bantuan kemanusiaan berupa makanan,
lingkungan tidak mendukung karena sedang pakaian, kesehatan atau obat-obatan,
terjadi bencana maka kebutuhan dasar manusia pendidikan, hiburan, dan pelayanan
itu kadang-kadang sulit terpenuhi, maka untuk administrasi kependudukan. Pemerintah dan
dapat terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, pihak swasta harus menjamin kelancaran
manusia tersebut memerlukan intervensi dari dan keamanan dalam menyalurkan bantuan
pihak lain. Dalam hal ini manusia sebagai kemanusiaan tersebut sehingga terhindar
pengungsi memerlukan bantuan orang lain dari gangguan pihak-pihak yang tidak
agar tetap dapat bertahan hidup di tempat bertanggungjawab dan berbagai hambatan
pengungsian. birokrasi.
e. Bantuan pemulangan, relokasi dan integrasi
Dalam panduan pengungsi internal yang dengan masyarakat tempat pengungsi
dikeluarkan oleh PBB Koordinator Urusan berada. (Gunanto Surjono, dkk. 2004: 7).
Kemanusiaan (OCHA), kebutuhan
Lima prinsip di atas telah mencakup
perlindungan bagi pengungsi meliputi lima
kebutuhan dasar manusia baik fisik, psikis
prinsip yaitu:
maupun sosial.
a. Perlindungan umum meliputi hak
memperoleh persamaan perlakuan hukum,
Dampak Sosial Psikologis Korban bencana
kebebasan bersuara, perlindungan dari
tindak diskriminasi, dan perlindungan Peristiwa bencana membawa dampak bagi
khusus terutama untuk pengungsi anak- warga masyarakat khususnya yang menjadi
anak, ibu hamil, perempuan kepala rumah korban. Beberapa permasalahan yang dihadapi
tangga, lanjut usia serta orang cacat. korban bencana meletusnya Gunung Merapi
b. Perlindungan terhadap kemungkinan yaitu:
paksaan jadi pengungsi karena diskriminasi a. Kehilangan tempat tinggal untuk sementara
warna kulit, pembersihan etnis, agama dan waktu atau bisa terjadi untuk seterusnya,
politik. karena merupakan kawasan rawan bencana
c. Perlindungan selama masa pengungsian (termasuk dalam zona merah).
internal dari tindak genoside, pembunuhan, b. Kehilangan mata pencaharian karena
penculikan, penahanan, kekerasan, kerusakan lahan pertanian dan hancurnya
perampokan, penyanderaan, pemerkosaan, tempat usaha.
penghukuman kerja, penyiksaan,
c. Berpisah dengan kepala keluarga karena
pencacatan, perbudakan, eksploitasi,
ayah atau suami banyak yang memilih
pelecehan seksual, pengekangan gerak,
untuk tetap tinggal di rumah dengan alasan
pemaksaan ikut bertikai, penurunan
menjaga rumah, harta benda dan tetap
martabat, moral dan mental. Pengungsi juga
bekerja sebagai petani, berkebun atau
memperoleh hak untuk mengetahui tentang
peternak.
keberadaan keluarganya dan dipertemukan
kembali, pemakaman yang layak apabila d. Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan,
meninggal, memperoleh informasi tentang minum, tempat tinggal sementara atau
pilihan hidup yang lebih baik, pergi ke penampungan, pendidikan, kesehatan dan
negara lain yang dipandang aman dan sarana air bersih yang tidak memadai. Tidak
mencari suaka ke negara lain. tersedia atau terbatasnya fasilitas umum dan
fasilitas sosial.
e. Terganggunya pendidikan anak-anak yang
tidak bisa sekolah karena kerusakan sarana
dan prasarana sekolah.
f. Risiko timbulnya penyakit-penyakit ringan (batuk, flu) ataupun penyakit menular (misalnya
Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 7
diare) karena kondisi lingkungan dan pada Tuhan karena diberi ujian atau
tempat penampungan yang kurang bersih hukuman bahkan cobaan kepada orang-
dan tidak kondusif serta sarana pelayanan orang yang merasa dirinya sudah
kesehatan yang kurang memadai. melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama.
g. Terganggunya fungsi dan peran keluarga (Marjono, 2010).
karena dalam satu tempat penampungan
tinggal beberapa keluarga sekaligus. Tidak Penanganan Korban bencana
optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran Pelayanan sosial pengungsi merupakan
keluarga serta kemungkinan-kemungkinan
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah,
hilangnya pengendalian diri dapat
pihak swasta dalam skala internasional,
menimbulkan potensi konflik dengan
nasional ataupun tingkat lokal untuk memberi
sesama pengungsi akibat jenuh, tidak
terpenuhinya kebutuhan hidup. perlindungan hukum, keamanan, pemenuhan
kebutuhan pangan, pakaian, shelter, obat-
h. Hilangnya harga diri dan kemampuan baik
obatan, pelayanan administratif kependudukan,
sebagai individu maupun sebagai keluarga
reintegrasidengankeluargadanrelokasi.Menurut
karena di tempat pengungsian mereka
menerima belas kasihan dari pihak lain dan Allen Pansus dan Anne Minahan (dalam
bahkan seringkali menjadi tontonan. Gunanto Surjono, dkk., 2004), pelayanan sosial
Kecewa pada pemerintah atau pihak-pihak ditujukan untuk menolong orang-orang yang
lain yang tidak dapat meminimalisir mengalami permasalahan sehari-hari dalam
kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan keluarga, anak- anak yang mengalami
gunung berapi dan kecewa terhadap hambatan belajar di sekolah, orang yang
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan
yang berpotensi menjadi aksi sosial. guna menghidupi dirinya dan beberapa kondisi
i. Terhambatnya pelaksanaan fungsi dan kehidupan traumatis seperti kedukaan,
peran sosial dalam kekerabatan serta perpisahan dengan keluarga, menderita suatu
pelaksanaan tugas-tugas kehidupan dalam penyakit dan masalah keuangan sebagai
kemasyarakatan, misalnya: kegiatan arisan, penopang hidup.
kegiatan adat atau budaya yang tidak dapat
Demikian juga Sukamdi (dalam Gunanto
dilaksanakan di lokasi pengungsian.
Surjono, 2004) mengemukakan bahwa tindakan
j. Kejenuhan akibat ketidakpastian berapa
pelayanan kepada pengungsi adalah untuk:
lama harus mengungsi, perasaan tidak
berdaya, ketakutan dan bahkan perasaan a. Proteksi, khususnya terhadap perempuan,
putus asa menghadapi kemungkinan anak-anak dan lanjut usia.
bencana yang tidak mungkin dihindari b. Pemberian fasilitas untuk kembali ke
(tidak dapat melawan kehendak Tuhan). pemukiman asal perantauan atau lokasi
Akibatnya timbul perasaan marah, stres baru.
atau frustrasi dengan situasi dan kondisi
c. Menyelesaikan akar permasalahan
yang serba tidak menentu, trauma, putus
penyebab pengungsian agar dikemudian
asa, merasa tidak berdaya dan
hari tidak terjadi masalah pengungsian yang
ketidakpastian terhadap masa depannya.
sama.
k. Berfikir tidak realistis dan mencari
Selanjutnya Eddy Ch Papilaya (2003)
kekuatan supra natural untuk mencegah
terjadinya bencana. Kekecewaan spiritual mengemukakan bahwa pemberdayaan
yaitu kecewa pengungsi meliputi tiga hal pokok, yaitu:
a. Pendidikan dan pembangkitan kesadaran.
Pendidikan dan pembangkitan kesadaran
mencakup tiga unsur yaitu: 1) Pendidikan
8 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012
formal terutama bagi pengungsi anak- anak agar tidak terlalu tertinggal dengan
pendidikan anak-anak lain yang bukan lebih baik apabila dilaksanakan di tempat asal
pengungsi, 2) Pendidikan informal
untuk pengungsi dewasa yang bisa
berlangsung setiap waktu dengan tujuan
untuk menanamkan nilai, pengetahuan,
keterampilan, akses informasi usaha
ekonomis produktif dengan memanfaatkan
sumber alam, manusia dan sosial
sekitarnya. Pendidikan informal dapat
dilakukan melalui pendampingan,
bimbingan dan konsultasi,
3) Pendidikan non-formal yang berorientasi
pada pemberdayaan hukum, demokrasi,
ekonomi produktif, advokasi pemenuhan
hak azasi kehidupan dan kekerasan gender.
b. Pelibatan Kebijakan dan Perencanaan Elitis
Dalam hal ini untuk mempengaruhi
kebijakan elit pengambil keputusan
mempunyai kompetensi dalam sektor
keamanan, sistem ekonomi, penyediaan
akses lembaga keuangan, fasilitas
informasi, kesehatan, kesejahteraan sosial,
layanan administrasi kependudukan, dan
penyediaan sarana sekolah formal.
Kebijakan dan perencanaan elitis digunakan
untuk menghindari permasalah lanjut,
seperti stres berkepanjangan, kekecewaan,
frustrasi, tindak negatif, pemiskinan,
pembodohan, dan ketertinggalan sebagai
akibat lama mengungsi tanpa intervensi dari
pihak pengambil kebijakan pemerintah.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya masyarakat yang
dimarginalkan, sosial cost atau generation
lost.
c. Aksi Sosial Politik
Aksi sosial politik dilakukan dengan
menjunjung tinggi prinsip partisipatif dalam
masyarakat pengungsi sendiri, mulai dari
perencanaan, identifikasi masalah,
penentuan skala prioritas, tujuan,
implementasi dan pemantauan, serta
evaluasi akhir dalam proses rehabilitasi
pengungsi.
Program pemberdayaan bagi pengungsi
tidak dapat tercapai secara maksimal apabila
dilaksanakan di tempat pengungsian, akan
Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 9
apabila memungkinkan atau di tempat baru yang pemenuhan kebutuhan makan, kesehatan,
lebih aman. Pemberdayaan masyarakat pakaian, keamanan/pendidikan, relokasi dan
pengungsi tidak cukup dilakukan pemerintah perlindungan hukum. Sedangkan unsur
saja, tetapi harus melibatkan pihak lain seperti penunjang meliputi publikasi, simpati
swasta, LSM, masyarakat lingkungan di mana masyarakat lingkungan dan semangat hidup
pengungsi berada, baik secara perorangan dari pengungsi sendiri.
maupun terorganisir yang bekerja sama atas
Langkah yang dilakukan dalam upaya
nama kemanusiaan (for the sake of humanisme).
penanganan dampak sosial psikologis korban
(Eddy Ch. Papilaya, 2003). Menurut panduan
bencana Merapi antara lain:
pengungsi yang dikeluarkan oleh PBB (OCHA)
intervensi kepada pengungsi mengandung a. Advokasi, yaitu melindungi dan
prinsip tidak ada larangan secara formal bagi mengupayakan kepastian mengenai
lembaga manapun yang akan memberikan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi
bantuan kemanusiaan kepada pengungsi. secara layak dan memadai.
b. Intervensi keluarga.
Fancois J. Tunner (dalam Gunanto Surjono,
Keluarga-keluarga pengungsi yang
dkk., 2004:10) mengemukakan bahwa dalam
kehilangan kepala keluarganya perlu
penanganan pengungsi tidak ada satu aspek
mendapatkan pelayanan khusus karena
penanganan yang ditekankan dan didominasikan (barangkali) seorang istri atau ibu harus
(overstressed and dominated) tetapi semua unsur mengambil alih tanggung jawab sebagai
harus bekerja sama saling mengisi kompleksitas kepala keluarga sekaligus pencari nafkah.
kebutuhan pengungsi. Unsur pelayanan sosial Pengertian, dukungan dan partisipasi
pokok yang harus dilakukan bersama seperti
semua anggota keluarga sangat dibutuhkan. positif dan bekerja bersama-sama dengan
Agar masa transisi peran tersebut dapat kelompok untuk menginventarisasi hal-hal
dilaksanakan dengan baik diperlukan positif yang dapat dilakukan di daerah yang baru
dukungan dari berbagai pihak sehingga dan menyusun rencana kegiatannya.
fungsi keluarga dapat pulih kembali dan d. Membangun partisipasi
stabilisasi peran keluarga dapat dicapai.
Pengungsi perlu dilibatkan dalam berbagai
c. Terapi kritis. kegiatan di barak-barak pengungsian (dapur
Tidak sedikit masyarakat yang menolak umum, latihan keterampilan dan kegiatan lain)
untuk direlokasi, tidak puas dan merasa untuk mengalihkan perasaan-perasaan kontra
tidak berdaya dengan situasi dan kondisi produktif, dan dalam menyusun rencana
baru yang berbeda dengan keseharian recovery.
mereka sebelumnya. Perasaan-perasaan e. Mediasi dan fasilitasi relokasi dengan
tersebut seringkali menimbulkan gangguan penyuluhan terhadap masyarakat di daerah
psikis, seperti kecemasan dan insomnia, tujuan yang baru agar dapat menerima kehadiran
stres, frustrasi dan selalu ada kemungkinan para pengungsi yang direlokasi ke daerah
timbul aksi sosial atau konflik. Layanan mereka. (Marjono, 2010).
ini diberikan kepada individu-individu
Selain langkah-langkah tersebut dukungan
yang mengalami stress atau trauma karena
kejadian bencana itu sendiri, karena sosial dari keluarga atau sesama pengungsi sangat
kehilangan harta benda atau karena membantu korban untuk bisa menyesuaikan diri
kehilangan anggota keluarganya. Terapi terhadap kondisi yang
yang dilakukan antara lain pengungkapan
perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan
dengan pembelajaran sederhana mengenai
cara membangun perasaan-perasaan yang
10 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012
dialami saat ini. Pengungsi yang perasaan orang-orang yang diberi pelayanan.
mengalami gangguan penyesuaian diri Allen Pancus dan Anne Minahan yang dikutip
biasanya mengalami insomnia, hipertensi Gunanto Surjono, dkk., 2004 mengemukakan
dan psikosomatis. Hal ini ditunjukkan bahwa untuk dapat melakukan penyelesaian
dengan keinginan untuk segera pulang ke masalah sosial dengan baik harus melibatkan
rumah, tidak betah tinggal di pos sistem sumber (resources system) yang
pengungsian, tidak mau makan dan tidak meliputi:
mau bicara. Untuk kasus yang berat, a. Sumber informal, berasal dari keluarga,
biasanya mereka mengalami ketakutan teman, tetangga dan masyarakat sekitar
secara terus menerus, sering menangis, yang diberikan secara spontan.
dan mengalami halusinasi. Mereka
b. Sumber formal, berasal dari organisasi
kebanyakan juga mengalami insomnia,
(pemerintah atau swasta) baik yang
tidak tenang dan cemas secara berlebihan. menyandang masalah sebagai anggota
Penanganan masalah sosial organisasi bersangkutan maupun bukan
psikologis pengungsi pada dasarnya untuk anggota (di luar) organisasi.
membantu manusia yang sedang c. Sumber sosial, berasal dari organisasi yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi dibentuk secara khusus untuk memberikan
kebutuhan hidup bagi diri dan intervensi pertolongan pada saat khusus dan
keluarganya, karena adanya faktor tertentu (given situation).
penghambat seperti terjadinya bencana Dalam praktek penggalian sumber
sehingga harus mengungsi di tempat yang tersebut di atas diperlukan kerjasama secara
dianggap aman. Oleh karena itu dalam terpadu untuk saling melengkapi agar misi
memberikan pelayanan sosial atau pelayanan sosial dapat dilaksanakan tepat
intervensi harus menggunakan pendekatan sasaran, tercapai
kemanusiaan agar tidak menyinggung
tujuan dan sesuai harapan. Kementerian Sosial
dalam penanganan korban bencana alam Metode Penelitian
membedakan empat tahapan kegiatan yaitu Penelitian ini bersifat deskriptif
tahap pencegahan dan kesiapsiagaan, tanggap kualitatif, dilaksanakan di tempat
darurat, rehabilitasi sosial serta sosialisasi dan pengungsian Hargobinangun, Kepuharjo,
rujukan. Dalam setiap tahapan menekankan Girikerto, dan Wonokerto Kabupaten
pada adanya koordinasi antar instansi terkait Sleman. Sumber data penelitian adalah
(Dinas Sosial, BNPB, Dinas Kesehatan) korban Merapi baik anak maupun orangtua
dengan unsur masyarakat, LSM dan dunia dan relawan baik secara individu maupun
usaha dalam satu komando. Tanggap darurat terorganisir (LSM). Pengumpulan data
adalah kegiatan memobilisasi dan dilakukan dengan wawancara menggunakan
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pedoman wawancara untuk mengungkap
mengkonsolidasikan diri melalui penyediaan berbagai upaya yang telah dilakukan dalam
sarana dan prasarana penanganan korban penanganan dampak sosial psikologis korban
bencana alam. Dalam penelitian ini yang bencana Merapi. Observasi tentang kondisi
menjadi fokus bahasan adalah upaya pengungsi di tempat pengungsian dan telaah
penanganan dampak sosial psikologis dalam dokumen yang terkait dengan kondisi wilayah
hal pemenuhan kebutuhan fisik, psikis dan dan jumlah korban. Selanjutnya data yang
sosial ketika korban bencana masih berada di terkumpul dianalisis secara deskriptif
tempat pengungsian atau dibatasi pada tahap kualitatif. Langkah dalam analisis kualitatif
tanggap darurat.
Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 11
dilakukan melalui: pada permasalahan yang diteliti.
1. Pengumpulan data, dilakukan dengan 3. Display data, menunjukkan data yang telah
wawancara, observasi dan dokumentasi. diklasifikasikan atau dikelompokkan sesuai
2. Reduksi data, data yang diperoleh dengan permasalahan yang diteliti.
difokuskan 4. Penarikan kesimpulan (verifikasi) yaitu
menelusuri makna atau interpretasi terhadap
hasil temuan penelitian, bila kesimpulan
masih meragukan data dapat ditambah.
(Moleong, 2002).
Keabsahan data kualitatif untuk
mendapatkan data yang absah dan kredibel,
maka peneliti melakukan:
1. Memperpanjang waktu penelitian, bila data
dianggap belum cukup.
2. Trianggulasi, mengkonfirmasikan data dari
beberapa sumber/informan yang berbeda
peran, status dan jabatannya.
3. Diskusi teman sejawat, data dan temuan
lapangan didiskusikan pada teman sejawat
untuk mendapatkan masukan yang benar.

PEMbAHASAN

Penanganan Dampak Sosial Psikologis


Korban bencana Gunung Merapi
Wilayah bencana di Sleman
Sleman merupakan salah satu kabupaten
di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan
luas wilayah 7574,82 km2 atau 18% dari luas
wilayah DIY. Di sebelah utara, berbatasan
dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten
Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Klaten, sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Kuloprogo dan Kabupaten
Magelang, dan sebelah selatan berbatasan
dengan kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Sleman
secara administratif, terbagi atas 17 kecamatan,
86 desa, dan 1.212 pedukuhan.
Wilayah Kabupaten Sleman merupakan
kawasan Lereng Gunung Merapi, di mulai dari
jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta
dengan Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan Merapi. Wilayah ini kaya sumberdaya air dan
(rightbelt) sampai dengan Puncak Gunung potensi ekowisata yang beorientasi pada aktivitas
12 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012
Gunung Merapi dan ekosistemnya. Daerah dan Wukirsari. Kecamatan Pakem di Posko
yang terkena erupsi Merapi pada tanggal 26 Purwobinangun dan Hargobinangun, sementara
Oktober 2010 adalah Kabupaten Sleman, Kecamatan Turi di Posko Girikerto dan
Magelang, Boyolali dan Klaten. Kabupaten Wonokerto.
Sleman merupakan wilayah yang paling parah
terkena dampak letusan Gunung Merapi. Meletusnya Gunung Merapi
Kerusakan akibat letusan Gunung Merapi melumpuhkan berbagai sektor, baik pariwisata,
tersebut mencapai sekitar 2.300 kepala perhotelan, pertanian, peternakan, maupun
keluarga yang kehilangan rumah dan ratusan perikanan. Kerugian diperkirakan mencapai
orang meninggal. Badan Nasional ratusan milliar rupiah, bahkan triliunan rupiah.
Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data Berdasar pendataan yang telah dilakukan,
yang dilaporkan pada tanggal 6 Nopember erupsi Merapi di wilayah Kabupaten Sleman,
2010 mencapai 116 orang, jumlah korban mengakibatkan kerusakan senilai Rp 894,35
meninggal, di Sleman tercatat sebanyak 104 miliar dan kerugian senilai Rp 4,51 triliun atau
orang. Sementara jumlah total pengungsi total perkiraan kerusakan dan kerugian
Merapi hingga saat itu sebanyak 198 ribu, 56 mencapai Rp 5,405 triliun. Angka kerugian dan
ribu orang diantaranya di Kabupaten Sleman. kerusakan tersebut meliputi sektor
permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi dan
Data yang dihimpun oleh Dinas lintas sektor. (Pemkab Sleman, 2011)
Kesehatan Kabupaten Sleman menyebutkan
jumlah korban bencana erupsi Gunung Merapi
Penanganan Dampak Sosial Psikologis
bertambah menjadi 277 orang sampai dengan
Kejadian bencana membawa dampak
tanggal 2 Desember 2010. Bertambahnya data
bagi warga masyarakat khususnya yang
korban meninggal ini diantaranya merupakan
menjadi korban. Permasalahan nyata yang
hasil evakuasi di lokasi bencana dan dari barak
dialami korban bencana antara lain kondisi
pengungsian, baik yang meninggal karena sakit
dalam penampungan atau pengungsian,
maupun karena usia lanjut.
terceraiberainya tatanan keluarga baik
Beberapa kecamatan yang ada di selama proses pelarian maupun pengungsian,
Kabupaten Sleman yang terkena dampak erupsi melemahnya semangat kemasyarakatan karena
Gunung Merapi terparah adalah di Kecamatan padatnya kampung-kampung pengungsian,
Cangkringan, Pakem, Turi dan Tempel, yang deprivasi dan keterbatasan akses karena
masih berada dalam radius 15 km dari Merapi. pengungsi datang tanpa bekal yang memadai,
Warga masyarakat meninggalkan desa dan sementara sumber fasilitas pelayanan setempat
mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman terbatas. Jika pengungsi tinggal relatif lama
seperti posko pengungsian maupun ke rumah berpotensi untuk bersaing dalam mendapatkan
sanak saudara yang berada dalam radius akses dengan masyarakat setempat sehingga
aman, karena abu vulkanik yang sangat tebal memicu terjadinya konflik. Adanya trauma
sehingga mengganggu aktivitas keseharian sosial psikologis karena ketidakberdayaan
mereka. Posko pengungsian yang ada di secara fisik, ekonomi maupun sosial yang
Sleman tersebar di Kecamatan Cangkringan dialami sendiri maupun orang-orang terdekat
yaitu Posko Umbulharjo, Kepuharjo, selama di pengungsian. Penanganan dampak
Glagaharjo, sosial psikologis korban bencana erupsi Merapi
akan dilihat dari aspek pemenuhan kebutuhan
fisik, psikis dan sosial.
Pemenuhan kebutuhan fisik korban bencana termasuk korban meletusnya
Masalah mendasar yang dihadapi oleh Gunung Merapi adalah pemenuhan kebutuhan
Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 13
fisik, seperti makan, minum dan tempat tinggal marinir membuka dapur umum untuk
yang aman. Pemenuhan kebutuhan fisik ini membantu memenuhi kebutuhan makan
penting karena penduduk yang tinggal d daerah pengungsi. Kegiatan seperti ini sudah sering
rawan bencana ketika Merapi meletus harus dilakukan oleh marinir sehingga mereka dapat
segera menyelamatkan diri menuju ke tempat dengan cepat dan sigap menyediakan makan
aman atau barak pengungsian yang sudah bagi pengungsi yang jumlahnya ribuan.
disediakan pemerintah seperti di balai desa Demikian juga di posko pengungsian
yang letaknya memang lebih aman. Dalam Hargobinangun, dapur umum melibatkan
kondisi panik dan tergesa-gesa mereka pergi tentara, relawan dan Tagana yang secara bahu
meninggalkan rumah tanpa membawa bekal membahu menyiapkan kebutuhan logistik
apapun guna menyelamatkan diri. Menghadapi pengungsi.
situasi demikian pemenuhan kebutuhan fisik
menjadi kebutuhan yang mendesak untuk Selain kebutuhan makan, minum dan
segera disediakan. Kebutuhan dasar manusia tempat tinggal, kebutuhan mendesak lainnya
dengan mudah dapat terpenuhi apabila alam adalah kebutuhan pelayanan kesehatan,
dan lingkungan manusia mendukung. pendidikan, air bersih dan sanitasi. Pelayanan
Sebaliknya apabila alam dan lingkungan tidak kesehatan diberikan oleh dinas kesehatan
mendukung karena sedang terjadi bencana dengan melibatkan relawan dari perguruan
maka kebutuhan dasar manusia kadang-kadang tinggi yang memiliki fakultas kedokteran
sulit terpenuhi. Oleh karena itu untuk dengan kegiatan pemeriksaan rutin bagi
memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan pengungsi terutama anak-anak dan lansia.
intervensi pihak lain. Hidup di pengungsian rentan terserang
gangguan penyakit seperti flu, batuk, pilek
Hasil pengamatan di beberapa tempat (ISPA) dan diare. Hal tersebut dikarenakan
pengungsian terlihat bahwa bantuan dari kondisi lingkungan yang tidak nyaman, kurang
masyarakat khususnya pangan dan sandang bersih dan serba terbatas, selain itu juga karena
cukup banyak, bahkan bisa dikatakan kurang tersedianya air bersih dan sarana MCK.
melimpah, seperti beras, mie instan, makanan Untuk mencukupi kebutuhan air bersih dan
ringan, makanan bayi, air mineral dan pakaian MCK, pemerintah melalui dinas pekerjaan
pantas pakai. Hal tersebut didukung hasil umum menyediakan toilet umum yang bisa
wawancara dengan petugas di posko bencana dipindahkan dan mendrop air bersih ke lokasi
yang menyatakan bahwa bantuan untuk pengungsian.
pemenuhan kebutuhan fisik banyak mengalir
baik secara perorangan maupun dari kelompok
Pemenuhan kebutuhan psikis
pengusaha, organisasi sosial, dan instansi
Selain kebutuhan fisik, hal yang tidak
pemerintah. Penyediaan pemenuhan kebutuhan
kalah penting adalah pemenuhan kebutuhan
makan dan minum bagi pengungsi didirikan
psikis sebagai dampak terjadinya gangguan
dapur umum di tempat pengungsian baik oleh
psikologis pengungsi. Gangguan psikologis
relawan, korps marinir, korps angkatan darat,
yang dialami pengungsi antara lain perasaan
taruna siaga bencana (Tagana) maupun
sedih akibat kehilangan keluarga yang mereka
masyarakat. Di posko pengungsian Girikerto
sayangi, kehilangan harta benda, rumah,
Sleman, korps
matapencaharian, dan merasa asing di tempat
pengungsian. Kondisi pengungsian atau tempat
berlindung yang tidak memadai, berdesak-
desakan dan tidak adanya pemisahan antara
laki-laki dan perempuan, anak-anak dan

14 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012


lansia membuat mereka stress. Keamanan atas menghilangkan kebosanan pada anak-
kepemilikan ternak, rumah dan harta benda anak selama dipengungsian. Selain itu juga
lain yang ditinggalkan menjadikan perasaan mendengarkan cerita dari anak–anak sebagai
khawatir bagi sebagian pengungsi. upaya untuk meluapkan ekspresinya. Pada saat
Berbagai permasalahan tersebut memicu peneliti melakukan observasi terlihat anak-anak
timbulnya gangguan psikologis dikalangan yang berada di pengungsian Hargobinangun
pengungsi. Penanganan yang dibutuhkan untuk sedang dikunjungi oleh beberapa Polisi Wanita
mengurangi gangguan psikologis tersebut (Polwan) dari Polres Sleman. Kedatangan
adalah menghilangkan trauma bagi para korban mereka bertujuan untuk menghibur dan
dengan menghibur mereka, memberi pelatihan mengajak bermain anak-anak guna
dan pembinaan serta aktivitas lain agar mereka menghilangkan trauma atas kejadian yang baru
tidak jenuh. Para pengungsi yang sebagian saja mereka alami sekaligus untuk
besar bermatapencaharian sebagai menghilangkan kejenuhan selama berada di
petani/peternak dengan rutinitas pekerjaannya pengungsian.
membuat mereka sibuk, sementara di tempat
pengungsian rutinitas pekerjaannya tidak bisa Pemenuhan kebutuhan sosial
dilakukan. Mereka tidak terbiasa tanpa Pengungsi yang berada di pengungsian
aktivitas sehingga bosan, jenuh dan stress harus rela tinggal bersama di barak
berada di pengungsian. Kondisi tersebut pengungsian dengan berbagai macam karakter
menjadikan pengungsian kehilangan ekologi orang. Situasi dan kondisi kehidupan yang
sosial yaitu kehilangan rutinitas harian yang mereka alami di pengungsian sering
biasa dijalani. Untuk menghilangkan kejenuhan memunculkan perasaan kecewa dan putus asa
tersebut mereka diberi hiburan dan pencerahan, bahkan frusterasi karena ketidakjelasan dengan
walaupun hiburan hanya sementara sifatnya nasib mereka. Hal tersebut diperparah dengan
paling tidak mereka mendapatkan ketenangan kondisi yang mudah tersulut api konflik antar
dan melupakan sejenak beban mental mereka. sesama pengungsi akibat jenuh (burnout).
Mereka diberi konseling ringan untuk Sebagian besar korban bermatapencaharian
mengurangi stress atau depresi. Melibatkan sebagai petani dengan rutinitas aktivitas
pengungsi khususnya para ibu dan remaja putri keseharian, sementara di tempat pengungsian
dalam kegiatan dapur umum sangat membantu mereka hanya diam saja sehingga mereka
untuk mengisi waktu sehingga tidak jenuh. bosan. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup,
Demikian juga bagi bapak-bapak dan pemuda tidak optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran
dilibatkan sebagai relawan membantu evakuasi keluarga serta kemungkinan- kemungkinan
korban yang masih berada di lokasi bencana. hilangnya pengendalian diri, kekecewaan
Kesibukan tersebut akan mengurangi kesedihan terhadap pelayanan yang diberikan oleh
dan memperkuat mental mereka karena pemerintah berpotensi menjadi pemicu
berguna bagi orang lain. timbulnya aksi sosial.
Penanganan trauma juga dilakukan Penanganan kebutuhan sosial dapat
bagi anak-anak karena mereka belum tahu dilakukan dengan memberikan hiburan
cara mengontrol emosi dan mungkin belum bagi pengungsi untuk sejenak melupakan
paham apa yang sebenarnya terjadi. Relawan permasalahan yang dihadapi dan menghilangan
mengadakan aktivitas bermain seperti kejenuhan selama di pengungsian. Kunjungan
menggambar, mewarnai, dan permainan para tamu yang memberi pelayanan sosial
kelompok serta menyanyi, tujuannya untuk membuat para pengungsi merasa diperhatikan,
diringankan penderitaannya, dan diakui

Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012 15


keberadaannya. Hiburan juga dimaksudkan KESIMPULAN
untuk mengatasi mereka yang mengalami
kesulitan bersosialisasi akibat keterpisahan Korban bencana, khususnya pengungsi
keluarga, keterasingan dan keterlantaran, memerlukan berbagai kebutuhan agar dirinya
diperlukan adanya penelusuran (tracing) dan dapat bertahan hidup dan bangkit kembali
penyatuan (reunifikasi) kembali keluarga yang semangatnya untuk hidup bermasyarakat.
terpisah. Pelayanan konseling, bimbingan Kebutuhan tersebut antara lain makan, pakaian,
sosial, advokasi dan fasilitasi kegiatan tempat tinggal, pelayanan kesehatan, air bersih
bertujuan untuk mengembalikan rasa percaya dan sarana MCK. Pengungsi juga
diri dan fungsi sosial agar mereka dapat hidup membutuhkan pelayanan psikososial,
normal dalam masyarakat. Pembinaan dan keagamaan, pendidikan, kependudukan,
penyuluhan diberikan bagi masyarakat informasi, reintegrasi dan pelayanan untuk
pengungsi yang kehilangan tempat tinggal dan berusaha atau bekerja termasuk permodalan.
wilayahnya merupakan daerah rawan (zona Berbagai kebutuhan tersebut merupakan
merah) yang tidak mungkin untuk bisa permasalahan pengungsi. Untuk itu
ditempati kembali sehingga mereka harus diperlukan penanganan agar permasalahan
direlokasi di tempat yang lebih aman. Korban kebutuhan dasar pengungsi dapat terpenuhi.
Merapi diberi penyuluhan berkaitan tempat Pemenuhan kebutuhan korban bencana
tinggal sementara agar mereka dapat menerima tidak mungkin dilakukan oleh satu lembaga
keadaan di tempat tinggal yang baru serta dapat atau satu organisasi saja, tetapi diperlukan
beradaptasi di lingkungan yang baru. Hal koordinasi dan keterpaduan program baik dari
tersebut penting dilakukan karena keberadaan pemerintah, LSM, organisasi sosial, organisasi
rumah sebagai tempat perlindungan agar kemasyarakatan, dunia usaha dan pihak-pihak
keluarga merasa nyaman dan aman dalam yang peduli terhadap masalah korban bencana.
menjalankan kehidupan. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa
Diketahuinya berbagai kebutuhan banyaknya bantuan seringkali tidak sebanding
pengungsi secara empirik selanjutnya dapat dengan jumlah orang yang membutuhkan
digunakan sebagai dasar dalam upaya sehingga sulit didistribusikan dan bantuan
penanganan dampak sosial psikologis korban kurang sesuai dengan kebutuhan pengungsi. Di
Merapi. Penanganan masalah sosial psikologis samping itu kurang maksimalnya koordinasi
pengungsi pada dasarnya untuk membantu antar lembaga pemberi bantuan dapat memicu
manusia yang sedang mengalami kesulitan timbulnya konflik ditingkat akar rumput.
untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri Dalam hal pemenuhan kebutuhan pengungsi
dan keluarganya. Oleh karena itu dalam korban Merapi di pengungsian dapat dikatakan
memberikan pelayanan sosial atau intervensi terpenuhi meskipun serba terbatas, seperti
harus menggunakan pendekatan kemanusiaan kebutuhan air bersih dan sarana MCK masih
agar tidak menyinggung perasaan orang-orang dirasa sangat kurang. Kapasitas shelter yang
yang diberi pelayanan. Berkaitan dengan itu kurang sesuai dengan jumlah pengungsi dan
maka dalam penanganan pengungsi tidak bercampurnya pengungsi laki-laki dan
cukup dilakukan pemerintah saja, tetapi harus perempuan, anak-anak dan lansia memicu
melibatkan pihak lain seperti LSM, masyarakat timbulnya stres dan rawan penyakit.
lingkungan di mana pengungsi berada, baik Selanjutnya untuk menghilangkan trauma
secara perorangan maupun terorganisir yang sosial psikologis dan kejenuhan di tempat
bekerja sama atas nama kemanusiaan. pengungsian telah dilakukan berbagai aktivitas
seperti hiburan, konseling, advokasi, tracing
dan reunifikasi, informasi, penyuluhan

16 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012


dan bimbingan sosial serta pelatihan-pelatihan DAFTAR PUSTAKA
sebagai bekal hidup di kemudian hari.
Eddy Ch. (2003). Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pengungsi, www. Google.
Saran yang dapat diberikan antara lain: com
(a) Dalam memberikan bantuan kepada
Elizabeth, N.. (1965). A Primer of Sosial Case
korban bencana (pengungsi) perlu, melakukan
Work, New York, Columbia University
analisa kebutuhan agar tepat sasaran yaitu
sesuai dengan kebutuhan, baik jenis maupun Press
jumlahnya, (b). Peningkatan koordinasi antar Gunanto dkk. (2004). Uji Coba Konsep
lembaga terkait dan keterpaduan program Model Penyelesaian Masalah Pengungsi
dalam satu komando supaya efektif dan Perantau Di Tempat Penampungan
efisien, (c). Penguatan lembaga-lembaga yang Sementara Daerah Asal, Yogyakarta,
berfungsi sebagai mekanisme penanggulangan B2P3KS
bencana melalui pendidikan dan latihan di
bidang kebencanaan (Tagana), (d). Melakukan Harian Kedaulatan Rakyat, Program Trauma
pemberdayaan agar masyarakat siaga akan Healing Dibutuhkan Pengungsi Barak, 3
bencana yang mungkin terjadi setiap waktu, Januari 2011
sehingga dapat meminimalisir resiko bencana.
Heru (2006). Bencana dan Penanganannya,
Bagi masyarakat, khususnya di daerah Jurnal Pusdiklat Kesos, Vol. 1 No 2, Juni
rawan bencana saran yang dapat diberikan 2006, Departemen Sosial
anatara lain: (a). Penyuluhan kesadaran
LP. Getubig dan Sonke S. (1992). Rethinking
masyarakat tentang resiko bencana, melalui
sosialisasi, demonstrasi (pemutaran film, CD) Sosial Security-Reaching Out to The
dan simulasi siaga bencana agar masyarakat Poor, Frankfurt, APDC
sadar dan berdaya menghadapi bencana dan Marjono.(2010). Penanganan Dampak Sosial
resikonya. (b). Penyediaan sistem peringatan Psikologis Korban Merapi, http://www.
bahaya, sistem komunikasi darurat dan jatengprov.go.id/?mid = wartadaera &
informasi bencana. (c). Penyiapan tindakan
listStyle = gallery & category = 4254 &
darurat, seperti evakuasi penduduk ke tempat
document_srl = 11905
yang lebih aman dan penyimpanan bahan
(logistik) apabila sewaktu-waktu diperlukan, Moleong. (2002). Metodologi Penelitian
penyiapan barak pengungsian untuk Kualitatif, Bandung: Remaja Rusdakarya
menyelamatkan jiwa dan melindungi harta
benda serta mengurangi resiko bencana. (d). Sumarnonugroho. (1984). Sistem Intervensi
Pemasangan rambu-rambu peringatan dan jalur Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta,
evakuasi. (e). Menjalin hubungan kerjasama Hanindita.
dengan pihak-pihak terkait seperti puskesmas, Suroso. (2006). Kebijakan dan Strategi
kepolisian, PMI, lembaga donasi, relawan, Penanggulangan Bencana dan
aparat desa/kecamatan, LSM, Tim SAR,
Penanganan Pengungsi, Jurnal Pusdiklat
ORARI dan RAPI. (f). Perlu dibentuk tim
Kesos, Vol. 1 No. 2 Juni 2006
penanggulangan resiko bencana berbasis
masyarakat pada tingkat desa, kecamatan di
daerah-daerah rawan bencana.

110 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012


***

Anda mungkin juga menyukai