Teknologi Pembakaran Calciner
Teknologi Pembakaran Calciner
Udara yang diperlukan untuk pembakaran pasti mengandung udara berlebih (Excess Air).
Excess air merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan suplay bahan bakar
dan kebutuhan udara pembakaran serta untuk perhitungan energi gas hasil pembakaran bahan
bakar baik di kiln maupun di preheater. Kelebihan udara pembakaran di kiln dituliskan
dengan Excesskiln, kelebihan udara pembakaran di preheater dituliskan dengan Excessd, dan
kelebihan udara pembakaran total di kiln dan preheater dituliskan dengan Excesstot.
Jika kadar karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur, dan oksigen yang terkandung dalam
coal masing-masing adalah C, H, N, S,dan O, sedangkan yang terkandung dalam IDO atau
HFO adalah C1, H1, N1, S1, dan O1, dan laju bahan bakar batubara dan minyak yang dibakar
dikiln per kg klinker adalah Mbbkiln dan Moilk, maka jumlah mol perkilogram klinker untuk
komponen bahan bakar tersebut yang diijeksikan ke kiln dapat dihitung sbb :
H2Obbkiln (dinyatakan dalam [mol/kgcl]) adalah uap air yang dihasilkan oleh pembakaran
bahan bakar coal dan IDO di kiln, dirumuskan :
dimana %02k adalah kadar oksigen dalam gas buang hasil analisis Orsat pada outlet kiln
(biasanya ditunjukkan di CCR).
Dengan demikian Excessk dapat dihitung sebagai berikut :
Excessk = / x 100 % (22)
yaitu prosentase excess air di kiln terhadap udara stoikiometrinya.
Perhitungan ini berlaku untuk proses pembakaran di kiln string. Artinya injeksi bahan bakar
di Calciner atau PC Duct yang mendapat aliran udara dan gas panas dari kiln. Sedangkan
untuk Calciner string yang terpisah (separate line), perhitungan excess airnya sama dengan di
kiln.
Jumlah mol perkilogram klinker untuk komponen bahan bakar yang diijeksikan ke Inline
Calciner atau PC duct dapat dihitung sebagai berikut :
cx1 = (C / 1200 * Mbbduct + C1 / 1200 * Moild) (23)
hy1 = (H / 100 * Mbbduct + H1 / 100 * Moild) (24)
nz1 = (N / 1400 * Mbbduct + N1 / 1400 * Moild) (25)
sp1 = (S / 3200 * Mbbduct + S1 / 3200 * Moild) (26)
oq1 = (O / 1600 * Mbbduct + O1 / 1600 * Moild) (27)
1 = cx1 + hy1 / 4 + sp1 - oq1 / 2 (28)
Jumlah mol gas hasil pembakaran di preheater dengan menggunakan udara sisa dari kiln dan
udara primer bahan bakar yang diinjeksikan ke preheater adalah :
B + 4,762 (1 + 2)
dimana :
B = cx1 + hy1 / 2 + sp1 + 3.762 + nz1 / 2 (29)
2 adalah mol udara primer yang dimasukkan ke Calciner burner atau PC duct burner.
(31)
dimana %02d adalah kadar oksigen dalam gas buang hasil analisis orsat pada outlet preheater.
Sedangkan (1 + 2) (O2 + 3,762 N2) adalah kelebihan udara setelah dipakai untuk
membakar bahan bakar di kiln dan preheater. Jadi untuk sistem kiln dan preheater, prosentase
kelebihan udara dapat dihitung sbb :
(32)
Jika mol udara berlebih di Inline Calciner atau PC duct saja dilambangkan dengan 3, maka
harga 3 ini dapat dihitung dengan persamaan :
3 = + - 1
dan persentase kelebihan udara dapat dihitung sebagai berikut :
(33)
Api merupakan campuran gasgas hasil pembakaran yang panas atau bertemperatur tinggi dimana
nyala api merupakan faktor utama dalam teknologi pembakaran calcinerkiln di industri semen.
Temperatur gas yang tinggi diperoleh dari kalor yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar. Kalor
tersebut dipergunakan untuk meningkatkan temperatur atau memanaskan gasgas hasil pembakaran
sehingga temperaturnya menjadi tinggi. Apabila dianggap tidak ada panas yang hilang kecuali hanya
untuk memanaskan produk pembakaran serta jumlah udara yang dibutuhkan pas atau sama dengan
kebutuhan udara stoikiometriknya, maka temperatur akhir gasgas hasil pembakaran merupakan
temperatur adiabatik atau temperatur teoritik. Secara teoritik tempertur adiabatik ini dapat dihitung
berdasarkan persamaan kekekalan energi. Temperatur api tergantung pada panas spasifik bahan bakar,
komposisi bahan bakar serta temperatur udara yang dipergunakan untuk proses pembakaran. Semakin
tinggi temperatur udara yang dipergunakan untuk pembakaran semakin tinggi pula temperatur teoritik
api yang dihasilkan. Namun demikian temperatur udara ini tidak dapat secara langsung ditambahkan
begitu saja bila kita ingin memperkirakan temperatur api teoritik antara memakai udara bertemperatur
dingin dengan udara bertemperatur tinggi, karena pada temperatur yang lebih tinggi CO 2 dan airakan
berdisosiasi dengan derajad disosiasi yang lebih tinggi dan selama proses disosiasi akan menyerap
panas. Oleh karena kompleksnya proses pembakaran, barangkali akan lebih sederhana bila
diterangkan urutan proses pembakaran bahan bakar hingga diperoleh temperatur gas produk
pembakaran yang tinggi. Urutan proses pembakaran tersebut antara lain:
a. Pemanasan bahan bakar di ruang bakar (misalnya burning zone di kiln). Pemanasan ini terjadi karena
temperatur bahan bakar dan udara primer yang keluar dari burner tip lebih rendah dibanding
lingkungannya dimana dia disemprotkan. Jadi pemanasan ini terjadi dengan mekanisme radiasi dan
konveksi dari ruang bakar ke bahan bakar. Sumber panas untuk pemanasan bahan bakar berasal dari
tiga tempat yaitu dinding ruang bakar (secara radiasi), api yang sudah terbentuk sebelumnya (secara
radiasi), dan temperatur udara sekunder. Perpindahan panas ini diteruskan dari permukaan bahan
bakar yang biasannya untuk batubara tertutup oleh abu menuju ke bagian bahan bakar yang akan
bereaksi secara konduksi. Apabila ukuran butir bahan bakar semakin kecil, pada umumnya proses
perpindahan panas ini berlangsung semakin cepat. Perpindahan panas atau pemanasan ini berlangsung
terus hingga temperatur bahan bakar mencapai temperatur nyalanya dimana reaksi pembakaran mulai
terjadi.
b. Reaksi kimia pembakaran. Setelah temperatur bahan bakar mencapai temperaturnyalanya, unsur yang
dapat terbakar akan mulai terbakar karena bertemu dengan oksigen yang berada di udara sekitar bahan
bakar. Reaksi ini terjadi khususnya untuk C, H 2, dan S degan oksigen O 2 dan membentuk CO2, CO,
H2O, dan SO2 sambil terbentuk kalor yang dipergunakan untuk meningkatkan gas hasil pembakaran.
c. Proses selanjutnya adalah keluarnya gas produk pembakaran dari tempat terjadinya reaksi menuju
permukaan luar dan bercampur dengan gas yang sudah ada diskitar bahan bakar. Proses difusi ini
berbeda antara satu jenis bahan bakar dengan bahan bakar yang lain dan kandungan abunya juga
mempengaruhi karena biasanya abu akan menutup permukaan bahan bakar.
d. Proses terakhir adalah adanya perubahan komposisi gas produk pembakaran akibat adanya proses
disosiasi dan mekanisme reaksi lainnya yang sangat kompleks termasuk reaksi terbentuknya NO x.
Perlu dicatat bahwa nilai temperatur nyala dari batubara berkisar antara 450 hingga 600 oC, untuk
bahan bakar minyak berkisar antara 300 – 550 oC, dan untuk bahan bakar gas sekitar 600 hingga 700
o
C. Sedangkan temperatur api toritik untuk batubara sekitar 2150 oC, sedangkan untuk bahan bakar
minyak dan gas berkisar pada 2120 oC dan 2050 oC. Karena tingginya temperatur api erat kaitannya
dengan panjang gelombang sinar nyalanya, maka adanya distribusi temperatur api akan
mengakibatkan adanya pula bentuk api. Bentuk api ini perlu diperhatikan dalam operasi kiln karena
erat kaitannya dengan kualitas klinker yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh reaksi klinkerisasi
yang sangat erat kaitannya dengan temperatur sekitar dimana reaksi tersebut berlangsung. Bentuk
nyala api dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a. Temperatur udara pembakaran yang erat kaitannya dengan rekuperasi panas di cooler karena biasanya
udara pembakaran sekunder diambil dari cooler.
b. Jumlah kelebihan udara yang dipergunakan dalam proses pembakaran. Jumlah udara berlebih yang
terlalu sedikit akan mengakibatkan bentuk nyala api panjang karena lamanya untuk mencapai reaksi
sempurna.
c. Laju pencampuran antara bahan bakar dan udara pembakaran. Parameter ini juga mempengaruhi laju
pembakaran itu sendiri. Semakin baik proses pencampuran antara bahan bakar dan udara semakin
meningkat pula laju pembakarannya.
d. Tipe burner yang dipergunakan.
e. Jenis dan kualitas bahan bakar yang akan dibakar.
Untuk memenuhi beberapa hal di atas agar bentuk nyala api di dalam kiln baik , perlu kiranya
dilakukan kontrol pembakaran antara lain:
a. Memilih batubara berkualitas baik misalnya kadar abu rendah, kadar belerang rendah, volatile matter
cukup (tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah), dan lainlain.
b. Memperkaya udara primer sampai batas tertentu
c. Meningkatkan pencampuran dengan cara memperbaiki turbulensi aliran dengan mengatur burner tip.
d. Menjaga perbandingan antara bahan bakar dan udara yang ideal dengan cara mengontrol kadar oksigen
di inlet kiln.
e. Menaikkan temperatur udara primer dan sekunder.
Selain halhal di atas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaruh batubara terhadap klinker dan
coating yang antara lain terkait dengan komposisi abu, suasana di burning zone, dan bentuk nyala.
Baiklah akan diuraikan satupersatu:
a. Pengaruh abu:
Abu bersifat asam yang cukup ekstrem jika dibandingkan dengan klinker. Oleh karena itu abu harus
dianalisis agar kita dapat merancang komposisi rawmix yang sesuai untuk mengimbangi sifat abu.
Abu terlalu asam yang tidak diimbangi akan menyebabkan fasa cair klinker memiliki kekentalan
tinggi sehingga berpengaruh negatip terhadap proses pembakaran sendiri.
b. Suasana burning zone:
Sebaiknya diusahakan agar suasana di burning zone dalam kondisi oksidasi, artinya pada keadaan
normal kandungan oksigen di inlet kiln berkisar 1 – 3 % dan CO sekitar 0,01%. Jika kandungan
oksigen terlalu rendah maka kadar CO akan meningkat karena pembakaran menjadi kurang sempurna.
Isamping itu akan kehilangan panas karena nilai kalor berkurang sehingga beberapa akibat dapat
timbul seperti:
1. Temperatur nyala turun
2. Daerah transisi bergeser ke depan menuju burning zone, sehingga memungkinkan raw meal
masuk ke daerah burning zone dan untuk beberapa saat coating akan drop karena adanya
perubahan panas. Liter weight klinker turun dan kiln menjadi dusty, akhirnya banyak debu
yangkembali ke kiln dari cooler sehingga menganggu kondisi burning zone.
c. Bentuk nyala:
Bentuk nyala erat kaitannya dengan temperatur api sehingga akan berpengaruh terhadap perpindahan
panas radiasi ke raw meal yang akhirnya berpengaruh terhadap kualitas klinker.
Tolok ukur yang biasanya dipakai dalam operasi pembakaran kita baik antara lain:
1. Konsumsi panas normal
2. Produksi klinker sesuai yang diharapkan
3. Distribusi temperatur shell kiln yang mencerminkan distribusi gas dan material di dalamnya dalam
kondisi optimum.
3. Teknologi Burner
Api yang terbentuk di dalam kiln misalnya, sangat tergantung salah satunya pada tipe burner yang
digunakan dan pencampuran antara bahan bakar, udara primer dan udara sekunder karena dalam teori
api dalam kiln digolongkan pada diffusi. Diffusi nyala api artinya adalah bahwa antara bahan bakar
dan udara pembakaran, khususnya udara sekunder, dimasukkan ke ruang bakar secara terpisah.
Pencampuran antara bahan bakar, udara primer dan udara sekunder dihasilkan oleh adanya energi
kinetik masingmasing saat memasuki ruang bakar. Namun di dalam praktek hanya energi kinetik dari
udara primer yang dapat diatur, sedangkan lainnya mengikuti atau sangat sedikit variasi
pengaturannya. Energi kinetik biasanya dirumuskan berdasarkan momentum yaitu:
Momentum = Lp x V ( dalam %xm/s)
Dimana Lp adalah % udara primer dan V adalah kecepatan pada burner nozle (m/s). Pengalaman FL
Smidth mengatakan biasanya untuk memperoleh api optimum diperlukan momentum sebesar 1400 (%
x m/s). Namun pada kenyataannya nilai momentum ini memiliki batasan praktis karena jumlah udara
primer terbatas mengingat agar selalu dicapai pemanfaatan energi semaksimal mungkin. Kecepatan
pada nozle merupakan fungsi dari tekanan blower yang ada. Dengan demikian pemilihan dan
penyetelan burner bukanlah hal yang mudah. Beberapa persyaratan burner antara lain:
1. Cocok dengan konsumsi udara primer yang diperlukan dengan memakai bahan bakar yang diinginkan
(tipe dan kualitas bahan bakar).
2. Kalau mungkin serendah mungkin konsumsi udara primer yang diperlukan untuk menjaga
optimumnya pemakaian bahan bakar secara keseluruhan.
3. Mudah dan tersedia kemungkinan yang banyak untuk menyetel agar diperoleh kemudahan mengontrol
api.
4. Cocok dengan instalasi blower/fan serta instalasi lainnya yang ada.
5. Memungkinkan membakar bahan bakar kombinasi atau dapat menampung variasi kualitas bahan bakar
yang cukup lebar.
6. Memenuhi atau cocok dengan fasilitas start up yang dimiliki.
Namun demikian operasi pembakaran dengan burner yang telah dipilih dengan persyaratan tersebut di
atas masih sangat bergantung pada kinerja cooler kita serta sirkulasi debu di sekitar burner. Khusus
untuk pembakaran di kiln burner yang dipilih hendaknya akan menghasilkan api yang memenuhi
beberapa kriteria di bawah ini:
1. Bata tahan api dalam kiln (kiln brick lining) tidak akan over heated dan rusak sehingga umur yang
optimum dapat dicapai.
2. Temperatur dan bentuk yang dihasilkan cocok dngan kebutuhan proses klinkerisasi sehingga diperoleh
kualitas klinker yang bagus. Hal ini per;lu kompromi karena temperatur yang tinggi berarti burning
zone akan lebih pendek dan temperatur api yang lebih rendah akan memerlukan waktu yang lebih
panjang untuk proses klinkerisasi yang sempurna.
3. Pembakaran yang sempurna dapat diperoleh pada biaya operasi yang terendah.
Dari halhal di atas tampak bahwa pemilihan burner dan penyetelan api merupakan sesuatu yang tidak
mudah mengingat banyaknya kriteria yang harus dipenuhi. Berikut ini diberikan beberapa contoh
tentang burner dan karakteristik masingmasing sebagai gambaran.
a. Burner untuk bahan bakar gas
Salah satu contoh burner untuk bahanbakar gas dari FLS diberikan pada gambar 3. Burner untuk gas
ini dapat bekerja pada tekanan gas rendah hingga sekitar 6 bar. Namun yang perlu diingat bahwa
tekanan kerja berhubungan dengan kecepatan aliran gas di nozzle. Kecepatan aliran ini tidak akan
melebihi kecepatan kritis yaitu kecepatan suara 380 m/s. Kecepatan ini pada prakteknya sudah dapat
dicapai walau tekanan gas hanya sekitar 0,8 bar sehingga tekanan gas yang lebih tinggi hanya akan
menyebabkan adanya kompresi gas. Pada umumnya tekanan kerja di nozzle berkisar antara 0,4 – 0,8
bar dan kecepatan aliran diatur dengan mengatur tekanan gas ini.
Pada burner gas FLS tersebut bentuk apidapat distel, karena pada nozzle aliran gas dibagi
menjadi tiga yaitu aliran utama, primer dan sekunder melalui lubang konis. Rasio antara gas
primer dan sekunder dapat diatur dengan mengatur posisi konis secara aksial. Penyala
(igniter) yang berada ditengah berfungsi ganda yaitu sebagai penyala dan menjaga
pembakaran sehingga diharapkan kestabilan api dapat diperoleh. Hal penting yang perlu
diingat bahwa resiko meledak tetap ada sehingga diperlukan peralatan pengaman seperti
interlock pada katup apabila terjadi kegagalan sumber listrik, fan dan lainlain. Selain itu
perlu pula instalasi dilengkapi dengan pengaman tekanan berlebih dari gas.
Perkembangan baru teknologi burner bahan bakar gas adalah centrax seperti diperlihatkan pada
gambar diatas. Burner ini didesain khusus untuk pemakaian udara primer yang sedikit. Udara primer
disupply dari blower.
b. Burner untuk minyak
Salah satu contoh burner untuk minyak dari FLS diberikan pada gambar 5, yang mereka sebut dengan
tie uniflow dengan satu alur (single channel). Burner diletakkan pada bagian tengah dan di luarnya
terdapatpipa konsentrik untuk udara primer. Tujuan utama dari nozzle burner minyak ini adalah untuk
membuat kabut minyak (atomize) dengan ukuran diameter butiran kabut yang cocok dengan proses
pembakaran yang diharapkan dan terdistribusi ke dalam udara sekunder secara baik. Pengkabutan ini
terjadi akibat tekanan tinggi dari pompa minyak, biasanya sekitar 25 bar dan kadangkadang bisa
mencapai 40 bar. Pada umumnya untuk suatu tekanan tertentu ukuran diameter kabut meningkat
dengan meningkatnya diameter nozzle. Oleh sebab itu desain nozzle sangat penting.
Berikut ini adalah Burner bahan bakar gas tipe centrax :
Berdasarkan pengalaman, proses pembakaran minyak yang baik sangat dipengaruhi oleh energi kinetik atau
momentum udara primer. Misalnya untuk burner FLS tersebut akan menghasilkan nyala yang baik bila
persentase udara primer adalah sekitar 15% dan kecepatan udara primer sekitar 90 m/s sehingga momentumnya
sekitar 1350 (%xm/s). Seperti halnya burner gas, burner untuk minyak perkembangannya juga menuju pada
prosentase udara primer yang semakin mengecil agar pemanfaatan konsumsi bahan bakar semakin optimum.
c. Burner untuk batubara
Karena hampir seluruh pabrik semen di Indonesia berbahan bakar utama batubara dan tipe pabrik
semennya juga bervariasi, maka tentu saja banyak sekali tipe burner yang digunakan untuk mebakar
batu bara ini yang digunakan di Indonesia seperti Pillard, FLS (uniflow, swirlax, dan centrax), UBE
dan lain sebagainya. Beberapa gambar dari jenisjenis burner batubara diberikan dalam lampiran.
Apapun jenis burnernya yang lebih penting adalah bentuk nyala yang dihasilkan untuk batubara yang
kita bakar karena bentuk nyala erat kaitannya dengan kualitas operasi kiln. Pengontrolan
pembentukan nyala sangat kompleks karena disamping tergantung pada mekanisme bahan bakar dan
udara primer yang keluar dari mulut burner, juga dipengaruhi oleh pencampurannya dengan udara
sekunder dan kondisi di dalam kiln itu sendiri. Terdapat dua alternatif untuk mengatur semburan
udara dan batubara serbuk yang dapat diatur secara terpisah atau sendirisendiri, yaitu:
1. Komponen kecepatan aksial di bagian dalam dan komponen kecepatan radial di bagian luar
yang bertujuan untuk membentuk dua daerah nyala sehingga diperoleh bentuk nyala yang
disebut cone flame.
2. Komponen kecepatan aksial di luar dan komponen kecepatan radial di dalam yang bertujuan
untuk membentuk nyala yang disebut hollow cone flame atau api dengan bentuk tirus tetapi
ditengahnya berlubang.
Perbedaan dari kedua bentuk api tersebut akan lebih mudah apabila diterangkan dengan gambar
gambar seperti berikut ini :
Penjelasan kedua gambar tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk cone flame:
Titik A :
Bagian luar, komponen radial dari gas menyebabkan nyala terpancar dengan bentuk konis sehingga
pada bagian tengah akan terjadi tekanan yang lebih rendah dan diisi oleh komponen aliran aksial gas
yang menyembur pada bagian tengah.
Titik B :
Arus balik dari gas panas hasil proses pembakaran menyebabkan hidrokarbon menjadi tinggi
temperaturnya dan terurai. Pembentukan jelaga hasil pencampuran yang tidak sempurna dengan udara
sekunder akan memperbaiki radiasi dari nyala.
Titik C :
Terjadinya perbedaan momentum yang tinggi pada daerah C ini antara gas yang keluar dari mulut
burner dan udara sekunder akan mengakibatkan pencampuran dan pembakaran sangat cepat sehingga
terbentuknya jelaga sangat tipis di daerah ini. Pemanasan, peruraian dan pembakaran dimulai segera
dari permukaan konis dan sedikit terlambat pada bagian tengah.
Untuk hollow cone flame:
Titik A :
Komponen kecepatan aliran radial menempati bagian dalam sehingga menyebabkan terbentuknya
daerah bertekanan rendah yang luas pada bagian dalam nyala.
Titik B :
Daerah bertekanan rendah yang lebih luas di bagian dalam akan menyebabkan aliran balik gas hasil
pembakaran sehingga tempat terjadinya temperatur maksimum lebih dekat ke kiln outlet. Pada waktu
yang bersamaan terjadi pula penguraian hidrokarbon tanpa adanya udara di bagian tengah sehingga
terbentuk jelaga yang lebih awal pada permukaan bagian dalam nyala, sehingga emisivitas maksimum
atau perpindahan panas maksimum terjadi lebih mendekat ke arah kiln outlet.
Titik C :
Kejadiannya sama dengan cone flame, hanya pada hollow cone flame persiapan pemanasan bahan
bakar terjadi hampir bersamaan antara bagian dalam dan bagian luar dari hollow cone. Karena adanya
peningkatan pembentukan jelaga maka nyala tipe ini cnderung lebih pendek dengan kerapatan energi
yang tinggi dan lebih terang.
Berdasarkan sifat nyala dari kedua tipe nyala tersebut, apabila diterapkan pada proses
pembakaran di kiln, maka tipe hollow cone flame dirasa lebih cocok karena dengan adanya
sirkulasi internal dari gas panas menunjukkan kestabilan nyala yang lebih baik.
4. Perpindahan panas antara gas dan padatan.
Perpindahan panas dari api atau gasgas hasil pembakaran ke rawmeal merupakan salah satu tujuan
dari proses pembakaran agar material rawmeal dapat bereaksi membentuk klinker dengan kualitas
yang baik. Namun sayangnya temperatur gas yang tinggi tidak selalu menghasilkan perpindahan
panas dari gas ke material rawmeal yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar perpindahan
panas terjadi secara radiasi. Hanya sekitar 10% saja perpindahan panas berlangsung secara konveksi.
Laju perpindahan panas radiasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Q [kW/m2] = e x k x T4
dengan e adalah emisivitas nyala (maksimum bernilai 1), k adalah konstanta Stefan Boltzman dan T
adalah temperatur nyala dalam Kelvin. Dalam praktek tidak mungkin meningkatkan T dengan diikuti
e yang tinggi, karena pada saat yang sama dengan kenaikan T nilai e akan menurun. Jadi laju
perpindahan panas Q biasanya maksimum pada temperatur yang tidak terlalu tinggi namun masih di
atas temperatur klinkerisasi (sekitar 1450oC). Untuk pembakaran batubara nilai e mendekati 1 dengan
tempertur api yang tidak terlalu tinggi, sedangkan untuk pembakaran minyak nilai e pada api yang
dihasilkannya berkisar antara 0,7 hingga 0,9 dan kadang bisa turun hingga 0,3, serta untuk bahan
bakar gas nilai e sekitar 0,2 hingga 0,6. Radiasi dari nyala sebagian langsung mengenai material
rawmeal dan sebagian lagi mengenai dinding ruang bakar terlebih dulu untuk kemudian diradiasikan
kembali ke material rawmeal. Namun tidak seluruh panas yang diterima oleh dinding ruang bakar
diradiasikan kembali ke rawmeal, ada sebagian yang terbuang ke lingkungan. Dengan demikian
menjaga agar coating tetap stabil merupakan hal yang perlu dilakukan sehingga temperatur nyala yang
tinggi tetap dapat dipertahankan agar prosentase radiasi dari dinding ke material tetap tinggi.
Panas radiasi dari api dan dinding ini utamanya mengenai permukaan luar dari tumpukan material.
Kemudian panas mengalir ke bagian dalam tumpukan material dengan lambat sehingga perlu waktu
cukup untuk proses klinkerisasi yang sempurna. Dengan kata lain lambatnya penjalaran panas dari
permukaan ke dalam material mengakibatkan diperlukannya panjang burning zone yang cukup
memadai. Putaran kiln menyebabkan perputaran dan berhamburannya butiran bakal klinker. Hal ini
justru diinginkan agar perpindahan panas dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih merata.
Keseragaman ukuran butiran bakal klinker juga menunjang proses perpindahan panas ini. Oleh sebab
itu ada alasab yang menguntungkan beroperasi pada putaran kiln yang cukup tinggi untuk mengurangi
waktu tinggal klinker di dalam burning zone.