Anda di halaman 1dari 36

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Subjective well-being merupakan salah satu kajian dalam psikologi positif

yang didefinisikan sebagai suatu fenomena yang meliputi evaluasi kognitif dan

emosional individu terhadap kehidupan mereka termasuk kebahagiaan,

ketentraman, berfungsi penuh, dan kepuasan pada hidup (Diener, dkk., 2003a).

Subjective well-being berfokus pada bagaimana dan mengapa seseorang

memaknai kehidupannya dengan jalan yang positif menggunakan penilaian baik

secara kognitif maupun afektif. Diener menambahkan bahwa peneliti lebih suka

menggunakan istilah “subjective well-being” meskipun kebahagiaan terkadang

juga digunakan sebagai sinonim dari subjective well-being.

Menurut Veenhoven (dalam Eid & Larsen, 2008), subjective well-being paling

cocok digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan manusia secara utuh

(overall happiness). Veenhoven menjabarkan bahwa subjective well-being

merupakan domain menyeluruh yang mencakup konstrak yang luas yang

berhubungan dengan evaluasi subjektif individu terhadap kualitas hidupnya.

Peneliti lainnya seperti Linley & Joseph (2004) menjelaskan bahwa subjective

well-being adalah gabungan antara kepuasan hidup (komponen kognitif) dengan

afek positif yang dikurangi dengan afek negatif (komponen afektif). Hal tersebut

juga diperkuat dengan pendapat Palwelski (dalam Lopez, 2009) mengartikan


commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

subjective well-being sebagai keadaan afek positif yang tinggi, afek negatif yang

rendah dan kepuasan hidup yang tinggi. Penyataan tersebut juga sesuai dengan

pernyataan Diener (2009b) bahwa subjective well-being terdiri dari level jangka

panjang atas afek positif, sedikit afek negatif, dan kepuasan hidup seseorang.

Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kualitas hidupnya secara

utuh yang mencakup evaluasi kognitif berupa kepuasan kepuasan hidup pada

ranah tertentu maupun global dan evaluasi afektif berupa pengalaman afek positif

yang menyenangkan lebih tinggi dibanding afek negatif yang kurang

menyenangkan.

2. Aspek Subjective Well-Being

Diener, dkk (dalam Eid & Larsen, 2008) mengatakan bahwa subjective well-

being secara luas berfokus pada dua komponen yang berkaitan dengan

kesejahteraan diri, yaitu pengalaman emosi positif dan negatif pada diri individu;

dan kepuasan hidup individu secara global. Kemudian Diener menambahkan

komponen lagi yaitu kepuasan dalam ranah/domain tertentu di dalam definisi

subjective well-being (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Andrew dan

Whitney (dalam Diener, 2009b) juga menguatkan bahwa terdapat tiga aspek

utama dalam subjective well-being, yaitu penilaian kepuasan hidup, afek positif,

dan afek negatif. Berikut gambar yang menggambarkan hirarki komponen

subjective well-being tersebut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Gambar 1.
A Hierarchical Model of Happiness (sumber: Diener, dkk., 2003)
© copyrigtht by Diener

Keempat aspek subjective well-being di atas sering digolongkan menjadi

komponen afektif dan komponen kognitif. Komponen afektif terdiri dari afek

positif dan afek negatif. Sedangkan komponen kognitif terdiri dari kepuasan hidup

secara global dan kepuasan pada ranah tertentu. (Schimmack dalam Eid & Larsen,

2008). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Komponen afektif subjective well-being

Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa suasana hati dan emosi yang

bersama-sama diberi label afek, menggambarkan mengenai evaluasi

individu terhadap kejadian yang terjadi pada hidupnya. Diener (dalam Eid &

Larsen, 2008) menyebutkan bahwa dengan melakukan perbandingan antara

pengalaman emosi positif dan negatif yang dialami oleh seseorang sehari-

hari maka dapat diprediksi mengenai level subjective well-being yang

commit
dimilikinya. Evaluasi afektif atauto user
respon afektif terhadap kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

individu dapat dilakukan berdasarkan atas perbandingan komponennya yaitu

afek positif dan afek negatif (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008) yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Evaluasi terhadap afek positif

Diener (2009a) menyatakan bahwa afek positif adalah kombinasi

dari gairah dan kesenangan serta termasuk di dalamnya terdapat emosi-

emosi yang positif seperti aktif, waspada, dan bersemangat. Menurut

Keyes dan Magyar-Moe (dalam Lopez & Snyder, 2003), afek positif

merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pengalaman

emosi yang memberikan reaksi antusias, kesenangan, dan kebahagiaan

dalam hidup. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari klan

subjective well-being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi

seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup

berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.

Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa afek positif individu yang

mempengaruhi subjective well-being mencakup kesenangan (joy), suka

cita (elation), kepuasan (contentment), harga diri (pride), rasa kasih

sayang (affection), kebahagiaan (happiness), dan kegembiraan sesaat

(ecstasy).

2) Evaluasi terhadap afek negatif

Afek negatif menggambarkan mood dan emosi yang tidak

menyenangkan, dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang

sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

yang dialami (Diener, 2009b). Menurut Diener, dkk. (1999) afek negatif

individu yang mempengaruhi subjective well-being mencakup rasa

bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan

dan kekhawatiran (anxiety and worry), kemarahan (anger), tekanan

(stress), depresi (depression),dan kedengkian (envy).

b. Komponen kognitif subjective well-being

Komponen kognitif mengacu pada kepuasan hidup (Life Satisfaction)

yang berdasar pada kepercayaan atau sikap individu dalam menilai

hidupnya (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Individu kemudian

menilai apakah situasi dan kondisi dalam hidupnya sudah positif dan

memuaskannya (Pavot dalam Eid & Larsen, 2008). Haybron (dalam Eid &

Larsen, 2008) juga menjelaskan bahwa kepuasan hidup merupakan suatu hal

yang dinilai secara holistic, memuat keseluruhan dari kehidupan individu

atau total penilaian kehidupan sepanjang hidupnya. Kepuasan hidup

tergantung pada prioritas masing-masing individu. Hidup dinilai puas atau

tidak merupakan kebebasan setiap individu, apakah sesuai dengan cita-

citanya atau tidak. Evaluasi kognitif terhadap kepuasan hidup dibagi

menjadi kepuasan hidup secara global (Global Life Judgement) dan

kepuasan hidup pada ranah-ranah tertentu (Domain Satisfaction).

1) Evaluasi kepuasan hidup secara global

Evaluasi kehidupan secara kognitif dinilai berdasarkan evaluasi

kehidupan secara menyeluruh atau global (Pavot dalam Eid & Larsen,

2008). Diener (2009b) menjelaskan bahwa kepuasan hidup


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

mencerminkan penilaian seseorang mengenai hidupnya dengan cara

membandingkan dengan standar yang dimiliki. Kepuasan hidup secara

global dimaksudkan untuk merepresentasikan penilaian individu secara

umum dan reflektif terhadap hidupnya.

Diener, dkk. (1999) menjelaskan bahwa kepuasan hidup secara global

memiliki beberapa bagian yang mempengaruhi subjective well-being,

antara lain adalah keinginan merubah hidup (desire to change life),

kepuasan pada kehidupan saat ini (satisfaction with current life),

kepuasan pada kehidupan di masa lampau (satisfaction with past),

kepuasan pada masa depan (satisfaction with future), dan pandangan

orang-orang terdekat mengenai kehidupannya (significant other’s views

of one’s life).

2) Evaluasi kepuasan hidup pada ranah tertentu

Pavot (dalam Eid Larsen, 2008) menjelaskan bahwa secara konsep,

kepuasan seseorang terhadap ranah kehidupannya yang tertentu berfokus

pada penilaian mengenai beberapa aspek yang spesifik. Diener, dkk.

(1999) menyebutkan beberapa ranah yang mempengaruhi subjective

well-being yang diantaranya adalah pekerjaan (work), keluarga (family),

waktu luang (leisure), kesehatan (health), keuangan (finances), diri

sendiri (self), dan kelompok tertentu (one’s group).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek subjective well-being

meliputi evaluasi komponen afektif yang berupa evaluasi afek positif maupun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

afek negatif, dan evaluasi komponen kognitif yang meliputi evaluasi kepuasan

hidup secara global dan kepuasan hidup pada ranah tertentu.

3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Diener (2009a) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat

subjective well-being, yaitu:

a. Kontrol diri

Ariati (2010) menyatakan kontrol diri diartikan sebagai keyakinan

individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika

menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi,

motivasi, perilaku, dan aktivitas fisik. Dalam kontrol diri tersebut juga

meliputi regulasi emosi yang dapat mengurangi emosi negatif sehingga

terhindar dari simtom depresi, merasa lebih memiliki kepuasan hidup, lebih

optimis, dan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik (Gross & John, 2004).

b. Optimis

Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih

bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya

dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya,

sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan

(Ariati, 2010). Scheneider (dalam Ariati, 2010) menyatakan bahwa

kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh

individu bersifat realistis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

c. Pendapatan

Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan adanya hubungan positif

antara pendapatan dan subjective well-being di berbagai negara (Larson,

dalam Diener, 2009a). Menurut Diener (2009a), pendapatan biasanya

didasarkan pada sumber-sumber eksternal yang dapat meningkatkan

subjective well-being seseorang, juga merupakan sumber daya yang berasal

dari kesejahteraan individu. Namun pendapatan ternyata hanya

mempengaruhi subjective well-being pada tingkat yang lebih rendah, dimana

kebutuhan dasar belum terpenuhi. Apabila kebutuhan dasar telah terpenuhi,

peningkatan pendapatan atau kekayaan hanya sedikit mempengaruhi

subjective well-being (Diener, dkk., dalam Lopez & Snyder, 2002).

d. Kepribadian

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sifat kepribadian tertentu

(ekstravert misalnya) akan lebih banyak mengalami afek positif,

dibandingkan sifat yang lain (neuroticsm misalnya) yang lebih banyak

mengalami afek negatif (Rusting & Larsen dalam Diener, 2009a). Diener,

dkk. (1999) menjelaskan bahwa subjective well-being dapat memiliki

kesensitifan pada faktor eksternal, seperti keberhasilan atau perceraian, tetapi

hasil penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap

stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan sifat

kepribadian yang dimiliki individu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

e. Faktor biologis

Campbell, dkk (dalam Diener, 2009a) menemukan bahwa meskipun

kesehatan dinilai oleh subyek sebagai faktor yang paling penting dalam

kebahagiaan, kepuasan akan kesehatan sebenarnya termasuk delapan

prediktor kepuasan hidup yang terkuat. Bultena dan Oyler (dalam Diener,

2009a) menemukan adanya pengaruh kesehatan pada subjective well-being

meskipun perbedaan interaksi sosial telah dikontrol. Miller (dalam Diener,

2009a) melaporkan bahwa kesehatan hanya akan mempengaruhi kepuasan

pada cross-sectional, tidak longitudinal.

f. Faktor demografis

1) Umur

Individu yang lebih tua mempunyai kepuasan yang lebih besar dalam

setiap domain kehidupannya kecuali kesehatan. Diener, dkk (dalam

Diener, 2009a) mengatakan sebagian hasil penelitian menunjukkan

terdapat kenaikan yang lambat pada kepuasan dengan usia, tetapi

tambpaknya afek positif dan afek negatif lebih intens dialami oleh kaum

muda. Dengan demikian, kaum muda tampaknya mengalami tingkat

kesenangan yang lebih tinggi, tetapi orang-orang tua tampaknya menilai

hidupnya dengan cara yang lebih positif.

2) Jenis kelamin

Meskipun perempuan lebih banyak menunjukkan afek negatif, tetapi

juga terlihat lebih banyak mengalami kesenangan (Braun dalam Diener,

2009b). Studi tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang lebih muda


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih muda, dan perempuan

yang lebih tua lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih tua (Medley

dalam Diener, 2009a). Meskipun kebalikan ini terjadi di sekitar usia 45

tahun, tetapi perbedaan antara jenis kelamin tidak pernah memiliki korelasi

yang kuat.

3) Ras

Pada negara Amerika, kulit hitam biasanya ditemukan memiliki

subjective well-being lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih

(Andrews dan Withey dalam Diener, 2009a), meskipun hal itu tidak

ditemukan secara universal (Messer dalam Diener, 2009a). Keadaan

karena faktor urbanisasi dan pendapatan yang rendah, menjadi seseorang

berkulit hitam juga memberikan faktor tambahan bagi subjective well-

being yang rendah, tetapi hanya untuk kelompok tertentu.

4) Pekerjaan

Campbel, dkk (dalam Diener, 2009a) menemukan bahwa individu yang

tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) merupakan kelompok yang tidak

bahagia, bahkan ketika perbedaan pendapatan telah dikontrol. Hal ini

menggambarkan bahwa menjadi pengangguran memiliki efek yang sangat

efektif terhadap subjective well-being untuk banyak individu yang sudah

jelas mengalami kesulitan keuangan. Bradburn (dalam Diener, 2009a)

memberikan bukti-bukti bahwa keadaan pengangguran mempengaruhi

well-being baik pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, hal ini bukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

berarti bahwa ibu rumah tangga tidak lebih bahagia dari yang bekerja yang

bergaji (Wright dalam Diener, 2009a).

5) Pendidikan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa korelasi subjective well-being

dengan pendidikan lebih banyak memiliki efek positif pada perempuan

dibanding laki-laki (Glenn & Weaver dalam Diener, 2009a). Analisis

Campbell (dalam Diener, 2009a) menunjukkan bahwa meskipun

pendidikan dapat menjadi suatu sumber daya bagi individu, hal ini juga

dapat meningkatkan aspirasi dan memberikan peringatan bagi individu

tentang alternatif kehidupan.

6) Agama

Iman, pentingnya agama, dan tradisionalisme agama secara luas

berhubungan dengan subjective well-being (Cameron, dkk. dalam Diener,

2009b). Cameron menemukan bahwa religiusitas berkorelasi terbalik

dengan suasana hati yang positif.

7) Status pernikahan dan keluarga

Beberapa studi skala besar menunjukkan bahwa individu yang menikah

memiliki tingkat subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan

dengan individu yang tidak menikah (Andrews dan Withey dalam Diener,

2009a). Glen & Weaver (dalam Diener, 2009b) menemukan bahwa

pernikahan adalah faktor paling kuat bagi subjective well-being bahkan

ketika pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan tidak terkontrol.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

g. Perilaku dan hasil

1) Kontak sosial

Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan positif antara

berbagai macam pengukuran objektif tetang aktivitas sosial dengan

berbagai macam pengukuran subjective well-being (Rhodes dalam Diener,

2009a) Kontak sosial sangat direkomendasikan jika ingin meningkatkan

happiness dan hal ini telah terbukti efektif (Fordyce dalam Diener, 2009a).

Peningkatan atau penurunan kontak sosial akan disertai dengan perubahan

yang terjadi pada subjective well-being (Graney dalam Diener, 2009a).

Dukungan sosial juga merupakan bentuk dari interaksi sosial. Hasil

penelitian Saputri (2013) yang menunjukkan bahwa ada hubungan postif

antara dukungan sosial dengan psychological well being yang merupakan

bagian dari subjective well-being.

2) Kejadian dalam hidup

Kejadian hidup memperlihatkan hubungan konsisten dengan subjective

well-being meskipun tidak terlalu signifikan (Diener, 2009a). Kejadian

hidup yang baik berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian

buruk berhubungan dengan afek negatif (Reich dan Zautra dalam Diener,

2009a).

3) Aktivitas

Kozma dan Stones (dalam Diener, 2009a) menemukan bahwa beberapa

aktivitas merupakan faktor yang baik bagi subjective well-being. Schaffer

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

(dalam Diener, 2009a) menjelaskan bahwa hubungan antara aktivitas dan

subjective well-being tergantung kepada kepribadian individu.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being adalah

kontrol diri, optimis, pendapatan, kepribadian, faktor biologis, faktor demografis

(seperti usia, pendidikan, dan agama), dan perilaku hasil (seperti kontak sosial dan

kejadian dalam hidup).

B. Regulasi Emosi

1. Pengertian Regulasi Emosi

Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses secara

ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi,

dan memodifikasi reaksi emosional secara intensif dan dan khusus untuk

mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan

untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku

tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, dalam

Garnefski, dkk., 2001). Hal senada juga dijelaskan Garnefski dkk (2001) bahwa

regulasi emosi berhubungan dengan kehidupan manusia dan dapat membantu

dalam mengelola, mengatur emosi dan mengendalikan emosi agar tidak

berlebihan pada suatu situasi. Sehingga individu dapat bertingkah laku yang

responsif dalam menghadapi suatu situasi emosional.

Campos (dalam Putnam & Silk, 2005) mendefinisikan regulasi emosi sebagai

modifikasi proses di dalam sistem yang menghasilkan emosi atau manifestasinya


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

dalam perilaku. Sedangkan menurut Gross (2002) regulasi emosi ditinjau dari

proses pengolahan emosi yang terjadi dalam individu. Gross lebih lanjut juga

menjelaskan bahwa regulasi emosi melibatkan strategi baik sadar dan bawah sadar

yang digunakan individu untuk memodulasi respon emosional mereka dalam

bentuk perasaan, perilaku, dan respon fisiologis terhadap suatu kejadian.

Ahli lainnya seperti Eisenberg & Spinrad (2004) mendefinisikan regulasi

emosi sebagai proses permulaan, pemeliharaan, modulasi, intensitas atau lamanya

perasaan , dan proses emosi yang berhubungan dengan fisiologis yang berperan

dalam mencapai suatu tujuan. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan Bonano

(dalam Tamir, 2011) bahwa regulasi emosi merupakan proses bahwa individu

dapat mengatur emosi mereka agar mereka dapat berhasil mengejar tujuan.

Berdasarkan paparan dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi

emosi merupakan proses individu mengolah emosi dengan memantau,

mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional sesuai dengan situasi yang

sedang terjadi demi mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Aspek Regulasi Emosi

Gratz & Roemer (2004) mengemukakan aspek yang terdapat dalam regulasi

emosi terkait dengan detail kemampuan individu dalam mengatur emosi.

Komponen tersebut antara lain:

a. Awareness of emotion (awareness)

Awareness of emotion merupakan kemampuan individu untuk menyadari

adanya emosi yang hadir pada dirinya. Individu dalam kemampuan ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

mampu memberikan perhatian pada emosi yang dirasakannya dan mengakui

emosi yang sedang dirasakan.

b. Emotional clarity (clarity)

Emotional clarity merupakan kemampuan individu untuk mengetahui

secara jelas tentang emosi yang dialami. Individu mampu memahami dengan

pasti perasaannya dan tidak mengalami kebingungan dalam memahami emosi

yang sedang dialami.

c. Acceptance of emotional response (acceptance)

Acceptance of emotional response merupakan kemampuan individu untuk

menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa

malu merasakan emosi tersebut.

d. Control emotional responses (impulse)

Control emotional responses merupakan kemampuan untuk mengontrol

perilaku impulsif dan berperilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan bila

individu mengalami emosi negatif. Kemampuan tersebut untuk dapat

mengontrol emosi yang dirasakannya dan menampilkan respon emosi tepat.

e. Engaging in goal directed behavior (goals)

Engaging in goal directed behavior merupakan kemampuan individu

untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat

tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

f. Strategies to emotion regulation (strategies)

Strategies to emotion regulation merupakan keyakinan individu untuk

dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat

menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

Berbeda dengan Gratz & Roemer, ahli lainnya yakni Thompson (1994)

memandang regulasi emosi dalam suatu dinamika yang nantinya dapat terbagi

menjadi beberapa aspek mulai dari permulaan adanya kesadaran tentang emosi

hingga usaha untuk mengubah emosi. Aspek regulasi emosi menurut Thompson

(1994) tersebut yaitu :

a. Memonitor emosi (emotion monitoring)

Memonitor emosi adalah kemampuan individu untuk menyadari dan

memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri, seperti perasaan,

pikiran dan latar belakang dari tindakan. Dengan memonitor emosi akan

membantu individu terhubung dengan emosi-emosi, pikiran-pikiran dan

hubungan inilah yang membuat individu mampu menamakan setiap emosi

yang muncul.

b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating)

Mengevaluasi emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan

menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan mengelola emosi-

emosi khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan ,kecewa,

dendam dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh

secara mendalam. Hal ini mengakibatkan individu tidak mampu lagi beroikir

rasional.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

c. Modifikasi emosi (emotions modifications)

Modifikasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengubah emosi

sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu

berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah. Kemampuan tersebut

membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebani dan

terus berjuang ketika menghadapi hambatan dan tidak mudah putus asa

Dari uraian ahli-ahli di atas dan berdasarkan kesesuaian kontrak yang ingin

diteliti, peneliti menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Gratz & Roemer

(2004) yaitu awareness of emotion (awareness), emotional clarity (clarity),

acceptance of emotional response (acceptance), control emotional responses

(impulse), engaging in goal directed behavior (goals), dan strategies to emotion

regulation (strategies).

C. Dukungan Sosial

1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi dari orang lain yang dicintai,

terhormat dan nilai-nilai, dan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban

bersama (Taylor, 2009). Gottlieb (dalam Smet, 1994) menjelaskan dukungan

sosial sebagai bantuan yang diberikan berupa informasi verbal atau non-verbal,

saran, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang

memiliki efek emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Hal ini dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

dimaknai bahwa dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa

tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten.

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Sarafino (1994) bahwa dukungan

sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan, kepedulian, atau

bantuan yang diterima dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Ahli

lainnya seperti Johnson & Johnson (2001) menambahkan dukungan sosial berasal

dari orang-orang penting yang dekat (significant other) bagi individu yang

membutuhkan bantuan. Dukungan sosial tersebut dapat berupa dukungan

emosional, dukungan penghargaan atau harga diri, dukungan instrumental,

dukungan informasi atau dukungan dari kelompok. Pemberian dukungan

membantu individu menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan. Rook

(dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan sosial sebagai salah satu fungsi

pertalian sosial. Adanya segi fungsional tersebut dapat mencakup dukungan

emosional, yang mendorong seseorang untuk mengungkapkan perasaan,

pemberian nasehat atau informasi, dan pemberian bantuan material (Ritter, dalam

Smet 1994).

Berdasarkan pernyataan dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

dukungan sosial adalah dukungan dari orang-orang di lingkungan sekitar yang

dapat berupa emosional, dukungan penghargaan atau harga diri, dukungan

instrumental, dukungan informasi formal maupun nonformal atau dukungan dari

kelompok agar individu dalam menghadapi permasalahannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

2. Aspek Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang diberikan kepada individu memiliki beberapa bentuk.

Sarafino (1994) menjelaskan ada lima aspek dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan emosional

Merupakan dukungan berupa ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian

kepada orang yang menerima. Kesediaan orang untuk memperhatikan dengan

rasa nyaman, tentram, jaminan perlindungan dan merasa dicintai saat mereka

menghadapi masalah dalam hidupnya.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan yang positif

untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau

perasaan individu, dan perbandingan positif antara satu individu dengan

individu yang lain. Hal seperti ini akan mengembangkan penghargaan diri

seseorang, kompetensi yang dimiliki dan nilai-nilai.

c. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental merupakan suatu dukungan yang berupa

pemberian sesuatu berupa bantuan nyata atau dukungan alat. Dukungana ini

juga mencakup bantuan secara langsung seperti memberikan pinjaman uang

bagi orang yang memerlukannya. Dukungan ini membantu seseorang untuk

melakukan aktivitasnya.

d. Dukungan informatif

Dukungan informatif mencakup pemberian nasihat, petunjuk, saran-saran,

informasi, atau umpan balik. Dukungan ini dapat membantu individu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman

individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi diperlukan untuk

mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah tersebut.

e. Dukungan jaringan sosial

Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu

kelompok yang saling berbagi kesamaan kesenangan dan aktivitas sosial.

Dukungan ini membuat individu merasa dianggap sebagai anggota/bagian

dari suatu kelompok.

House (dalam Smet, 1994) membagi dukungan sosial menjadi empat aspek,

yaitu:

a. Dukungan emosional

Merupakan pemberian dukungan secara afeksi kepada individu mencakup

ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang-orang yang

bersangkutan.

b. Dukungan penghargaan

Berupa ungkapan rasa hormat secara positif kepada seseorang, dorongan

maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan

perbandingan sosial antara satu orang dengan orang lainnya.

c. Dukungan instrumental

Bantuan instrumental dapat berupa bantuan nyata dan langsung kepada

individu berupa barang ataupun jasa. Bantuan ini dapat diwujudkan seperti

pemberian bantuan alat, keuangan, dan peluang waktu kepada individu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

d. Dukungan informatif

Bantuan dapat berupa pemberian nasihat atau pengarahan, saran, petunjuk,

dan umpan-balik yang berguna bagi individu untuk menyelesaikan masalah.

Sarason dkk (1990) mengungkapkan bahwa dukungan sosial adalah transaksi

interpersonal yang melibatkan salah satu faktor atau lebih dari karakteristik

berikut ini:

a. Afeksi

Ekspresi menyukai, mencintai, mengagumi, dan menghormati.

b. Penegasan

Ekspresi persetujuan, penghargaan terhadap ketepatan, kebenaran dari

beberapa tindakan pernyataan, pandangan.

c. Bantuan

Transaksi yang memberikan bantuan dan pertolongan secara langsung,

diantaranya adalah barang, uang, informasi, nasihat, dan waktu.

Taylor (2012) membagi dukungan sosial menjadi beberapa aspek, antara lain:

a. Tangible assistance

Berupa bantuan material seperti jasa atau layanan, bantuan keuangan, atau

dalam bentuk barang.

b. Informative support

Bantuan yang dilakukan dengan memberikan suatu informasi yang mungkin

saja dapat membantu individu untuk memahami permasalahannya atau

keadaan yang menekan, agar menjadi lebih baik dan terarah, baik mengenai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

sumber permasalahannya maupun strategi coping yang dapat digunakan

untuk menguraikan permasalahan tersebut.

c. Emotional support

Dukungan ini dapat diberikan dengan menentramkan dan meyakinkan orang

tersebut bernilai dan harus diperhatikan. Melakui kehangatan dan pengasuhan

yang diberikan oleh orang lain dapat membuat seseorang yang berada dalam

tekana menjadi lebih tenang.

d. Invisible support

Menurut Bolger, Zuckerman, dan Kessel (dalam Taylor, 2012) berupa

dukungan yang diberikan kepada orang lain yang tidak disadari oleh

seseorang yang menerima bantuan dan bantuan tersebut tentunya memberikan

keuntungan pada penerima bantuan.

Berdasarkan paparan di atas penelitian ini menggunakan aspek dukungan

sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) yakni dukungan emosional,

dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif, dan

dukungan jaringan sosial karena sudah mencakup juga dukungan jaringan sosial

yang merupakan bentuk dukungan dalam komunitas sesuai dengan cakupan yang

akan diteliti.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

D. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Dukungan Sosial Dengan

Subjective Well-Being Pada Yogini

1. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Dukungan Sosial Dengan

Subjective Well-Being Pada Yogini

Orang dewasa bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya sebagai

individu dan makluk sosial serta dapat menentukan sendiri keadaannya, mengatur

kepentingannya, dapat membimbing dan membantu yang lebih muda dalam

memenuhi kebutuhan mereka (Meichati, 1983). Mereka dituntut untuk lebih

mandiri, matang secara pikiran dan emosi, dapat berhubungan positif dengan

orang lain, dan mampu mengatasi permasalahannya dengan segera. Ketika

tuntutan-tuntutan tersebut tercapai maka kebahagiaan dan kepuasan hidup akan

lebih dinilai tercapai oleh individu.

Beberapa cara yang ditempuh dalam mencapai kebahagiaan tersebut

diantaranya dengan melakukan aktivitas yang membuat rileks dan senang. Stress

menghadapi rutinitas harian memerlukan penyaluran yang bisa membuat energi

kembali penuh dan meningkatkan mood. “Me time” merupakan istilah yang

menjadi trend dewasa ini untuk mewakili aktivitas meluangkan waktu khusus

demi mengurangi stressor dan ketegangan yang dihadapi sehari-hari. Me time

menjadi waktu yang tepat untuk intropeksi diri untuk memahami diri sendiri

membuat mood menjadi lebih baik dan bisa menemukan solusi untuk masalah

(Oktaviani, 2013).

Salah satu bentuk aktivitas “me time” yang biasa dilakukan adalah dengan

berolahraga. Beberapa orang memilih olahraga karena dengan olahraga dapat


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

melepaskan hormon feromon yang dikenal sebagai hormon yang membuat rileks

dan mengurangi stress. Gerakan-gerakan olahraga yang menitik beratkan pada

pernafasan dan olah tubuh lembut seperti yoga menjadi pilihan beberapa orang.

Yoga mampu membantu individu memusatkan pikirannya menjadi positif dengan

mengeliminasi emosi negatif. Meditasi dan gerakan yoga yang lembut membawa

ketenangan dalam pikiran dan emosi individu. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Acarya (2011) bahwa yoga mampu mengontrol emosi-emosi negatif

yang mengganggu, mengurangi stress, dan mengembangkan kontrol kejiwaan.

Pemfokusan emosi positif dan berkurangnya afek negatif yang dapat dicapai

dalam yoga tersebut dapat diartikan sebagai subjective well-being atau

kebahagiaan secara utuh. Tingginya emosi positif, rendahnya emosi negatif, dan

evaluasi kepuasan hidup merupakan komponen afektif pembentuk subjective well-

being. Hal ini sesuai dengan pendapat Diener, dkk (dalam Eid dan Larsen, 2008)

mengatakan bahwa subjective well-being secara luas berfokus pada dua komponen

yang berkaitan dengan kesejahteraan diri, yaitu pengalaman emosi positif dan

negatif pada diri individu; dan kepuasan hidup.

Subjective well-being didefinisikan Veenhoven (dalam Eid & Larsen, 2008)

sebagai domain menyeluruh yang mencakup konstrak luas yang berhubungan

dengan evaluasi subjektif individu terhadap kualitas hidupnya. Sedangkan Linley

& Joseph (2004) menjabarkan bahwa subjective well-being adalah gabungan

antara kepuasan hidup (komponen kognitif) dengan afek positif yang dikurangi

dengan afek negatif (komponen afektif). Jadi dapat dimaknai bahwa subjective

well-being adalah penilaian individu terhadap kualitas hidupnya secara utuh yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

mencakup evaluasi kognitif berupa kepuasan hidup pada ranah tertentu maupun

global dan evaluasi afektif berupa pengalaman afek positif yang menyenangkan

lebih tinggi dibanding afek negatif yang kurang menyenangkan.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan peneliti membuktikan hubungan

praktik yoga dengan hal yang terkait dengan subjective well-being. Pertama,

penelitian yang dilakukan oleh Narasimham, dkk (2011) pada 312 partisipan di

India menunjukkan hasil bahwa terdapat peningkatan afek positif yang signifikan

setelah melakukan latihan pernafasan, suryanamaskar, dan teknik relaksasi yang

mendalam. Sebaliknya afek negatif juga menurun setelah melakukan serangkaian

kegiatan yoga tersebut. Hal tersebut dapat diartikan bahwa yoga mampu mencapai

dengan komponen afektif dalam subjective well-being yakni afek positif yang

tinggi dan afek negatif yang rendah.

Kedua, penelitian yang juga dilakukan di India oleh Rathore & Choudhary

(2013). Penelitian eksperimen pre-post dilakukan untuk mengetahui dampak

berlatih yoga pada subjective well-being dan stress. Subjek dipilih secara

purposive sebanyak 30 wanita dan 30 pria. Hasil akhir penelitian menunjukkan

bahwa terdapat dampak positif yang signifikan dari pada subjek yang latihan yoga

terhadap variabel subjective well-being dan emotional intelegence. Yoga juga

mengurangi tingkat stress dan emosi negatif lainnya. Ketiga, hasil penelitian yang

dilakukan oleh Lucia (2013) dalam disertasinya. Sebagian besar partisipan yang

melakukan yoga mengaku yoga bermanfaat bagi kesehatan secara keseluruhan.

Partisipan yoga memiliki kesehatan fisik yang baik, kepuasaan hidup yang lebih

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

tinggi, dan kesejahteraan diri yang tinggi dibanding dengan partisipan yang tidak

melakukan yoga.

Hasil survey pada pelaku yoga wanita yang disebut dengan yogini

menunjukkan bahwa setelah melakukan yoga penilaian subjective tentang

kebahagian secara utuh perlahan meningkat baik jangka pendek dan jangka

panjang. Subjek dipilih berdasarkan usianya yakni usia dewasa muda (20-40

tahun) di Hatha Yoga Ganep’s. Keempat responden mengungkapkan lebih sering

mengalami afek positif seperti rasa senang, puas, berharga, dan bahagia dibanding

sebelum rutin beryoga. Mereka juga mengemukakan bahwa perasaan negatif

menjadi dapat berkurang dirasakan ketika melakukan yoga, seperti perasaan sedih,

cemas, marah, tertekan, depresi, iri, dan bersalah yang berlebihan. Kepuasan dan

kualitas hidupnya juga diakui sudah dalam kategori cukup baik. Hal tersebut

mengindikasi bahwa ada kecenderungan bahwa pelaku yoga memiliki subjective

well-being yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Diener (2009a)

bahwa subjective well-being terdiri dari level jangka panjang atas afek positif,

sedikit afek negatif, dan kepuasan hidup seseorang.

Subjective well-being yang tinggi memberikan dampak yang positif, antara lain

adalah kesehatan, performansi kerja yang lebih baik, hubungan sosial yang lebih

baik, dan banyak lagi perilaku yang positif (Diener, 2009a). Oleh karena itu

pengupayaan subjective well-being penting dilakukan oleh setiap individu. Namun

ada beberapa faktor yang menyebabkan subjective well-being individu berbeda

tingkatnya pada setiap orang. Faktor-faktor tersebut antara lain kontrol diri,

optimis, pendapatan, kepribadian, faktor biologis, faktor demografis (seperti usia,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

pendidikan, dan agama), dan perilaku hasil (seperti kontak sosial dan kejadian

dalam hidup). Namun diantara beberapa faktor tersebut regulasi emosi (bagian

dari kontrol diri) dan dukungan sosial (bagian dari kontak sosial) menarik minat

peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan.

Regulasi emosi merupakan bagian dari kontrol diri karena masuk dalam dalam

proses kontrol diri sesuai dengan pernyataan (Ariati, 2010) bahwa kontrol diri

akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku, dan aktivitas fisik. Definisi

regulasi emosi dipaparkan oleh Thompson (1994) sebagai proses secara ekstrinsik

dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan

memodifikasi reaksi emosional secara intensif dan dan khusus untuk mencapai

suatu tujuan.

Widowaty dan Kumolohadi (2007) meneliti intensitas melakukan yoga terkait

dengan regulasi emosi yang diwakili variabel kecerdasan emosi pada orang

dewasa di Yogyakarta. Kecerdasan emosi merupakan bagian dari regulasi emosi

karena mempunyai definisi kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang

lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi diri dengan baik dalam

berhubungan dengan orang lain. Definisi tersebut tercakup dalam komponen

regulasi emosi. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa ada

hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan intensitas

melakukan yoga. Semakin tinggi intensitas yoga maka semakin tinggi kecerdasan

emosinya dan sebaliknya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

Penelitian terkait dengan regulasi emosi dan subjective well-being juga

ditemukan dengan hasil yang positif. Hasil penelitian Machmuroch, dkk (2012)

menunjukkan hasil bahwa regulasi emosi dapat menurunkan tingkat ekspresi

emosinya dimana ekspresi emosi ini tercakup dalam subjective well-being. Singh

& Mishra (2011) menambahkan bahwa regulasi emosi berkorelasi positif dengan

kesehatan mental, kesehatan fisik, dan kepuasan hubungan, dan kinerja dimana

hal tersebut tercakup dalam subjective well being. Hal tersebut sesuai dengan

komponen kognitif subjective well-being oleh Diener yakni kepuasaan ranah

tertentu yang meliputi kepuasan kesehatan dan pekerjaan.

Faktor kedua dari subjective well-being yang menarik perhatian peneliti

adalah dukungan sosial. Kontak sosial sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi subjective well-being individu (Diener, 2009a). Kontak sosial yang

menjadi payung dari dukungan sosial mutlak dibutuhkan karena manusia adalah

makhluk sosial. Kontak sosial tersebut dapat berupa interaksi interpersonal,

partisipasi sosial, maupun dukungan sosial. Hal tersebut dapat dimakna bahwa

hubungan yang sehat dan akrab di lingkungan keluarga, relasi kerja, peer group,

dan organisasi lainnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dirasakan

individu.

Gottlieb (dalam Smet, 1994) menjelaskan dukungan sosial sebagai bantuan

yang diberikan berupa informasi verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau

tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang memiliki efek emosional atau

efek perilaku bagi pihak penerima. Misalnya dukungan dari keluarga terdekat dan

teman-teman dalam komunitas. Pemberian dukungan membantu individu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan. Dukungan sosial membuat

individu lebih bisa menerima kehidupan dan memandang positif dirinya.

Pada relasi individu dengan komunitas, dukungan sosial menjadi hal yang

penting mempengaruhi subjective well-being. Penelitian di Australia,

mengemukan bahwa dukungan sosial berhubungan negatif dengan pengalaman

stress (Gencoz & Ozlale, 2004). Pengalaman stres tersebut diasosiasikan dengan

bentuk afeksi negatif yang muncul. Hal tersebut dapat diartikan dengan dukungan

sosial yang tinggi berhubungan dengan rendahnya pengalaman stress yang

menjadi ciri subjective well-being yang tinggi. Johnson & Johnson (1991)

menambahkan dukungan sosial dapat mengurangi tingkat stress dimana orang

yang jarang stress akan merasa lebih bahagia, dan sebaliknya.

Sementara itu, relasi sosial juga merupakan faktor yang mempengaruhi

regulasi emosi. Pengaturan emosi individu dalam menghadapi situasi akan

menjadi lebih mudah ketika dibantu relasi sosial positif berupa penerimaan

dukungan yang baik dari orang di sekitar individu. Relasi sosial yang positif akan

tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Pengaturan emosi

yang dilakukan individu terjadi atas respon terhadap lingkungan sekitarnya

termasuk permasalahan dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan yang di

dalamnya terdapat dukungan sosial dan keintiman membuat individu mampu

mengembangkan diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan

pemecahan masalah yang adapted. Selanjutnya, regulasi emosi dan dukungan

sosial yang baik tersebut akan membuat individu memandang hidupnya lebih

positif dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara keselurahan.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

Bussing, dkk (dalam Bhavanani, dkk., 2014) mengobservasi dampak dan

keterkaitan intervensi yoga pada regulasi emosi, kontak sosial, dan kualitas hidup

pelaku yoga. Tabel 1 berikut menunjukkan hasil observasi tersebut:

Tabel 1.
Level of Action and Observed Effect of Yoga Intervention

LEVEL OF ACTION AND OBSERVED EFFECT OF YOGA


INTERVENTION
Specific effects Unspesific effects
Cognition Comtemplative states, Control of attentional
mindfulness, self-identity, self-
efficacy, beliefs, expectations
Emotion Emotional regulation Quality of life
Psysiology Vagal afferent activity, Sosial contacts
respiration, relaxation response,
stress reduction
Psysical body Physical flexibility, endurance Healthy life style

Pada ranah emosi, intervensi yoga menunjukkan efek spesifik berupa

peningkatkan regulasi emosi yang baik yang kemudian terkait dengan kualitas

hidup yogis yang lebih baik dan positif sebagai dampak lanjutannya. Sedangkan

pada ranah fisiologis. Intervensi yoga meningkatkan respon relaksasi dan

mengurangi stress yang dirasakan individu. Dampak lanjutan yang dihasilkan

meningkatkan kontak sosial yang baik dengan lingkungan sekitar individu.

Hasil penelitian dan uraian yang telah dipaparkan di atas membuktikan bahwa

regulasi emosi dan dukungan sosial berkorelasi positif dengan subjective well-

being. Regulasi emosi dan dukungan sosial yang tinggi akan mununjukkan

subjective well-being yang tinggi. Afeksi positif tinggi, afeksi negatif yang

rendah, dan kepuasan hidup secara global maupun ranah tertentu akan mudah

dicapai dengan adanya regulasi emosi dan dukungan sosial yang tinggi. Hal
commit to user
tersebut menarik perhatian peneliti untuk dibuktikan pada yogini yang
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

berdasarkan hasil survey menunjukkan karakteristik subjective well-being yang

tinggi.

2. Hubungan Antara Regulasi Emosi dengan Subjective Well-Being pada

Yogini

Regulasi emosi dipaparkan oleh Thompson (1994) sebagai proses secara

ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi,

dan memodifikasi reaksi emosional secara intensif dan dan khusus untuk

mencapai suatu tujuan. Thompson menambahkan terdapat tiga komponen di

dalam regulasi emosi yaitu: memonitor emosi (emotion monitoring),

mengevaluasi emosi (emotion evaluating), dan modifikasi emosi (emotion

modification). Sedangkan menurut Gratz & Roemer (2004), regulasi emosi

mempunyai enam aspek yaitu awareness of emotion (awareness), emotional

clarity (clarity), acceptance of emotional response (acceptance), control

emotional responses (impulse), engaging in goal directed behavior (goals), dan

strategies to emotion regulation (strategies).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan

antara kecerdasan emosi dengan intensitas melakukan yoga (Widowaty dan

Kumolohadi, 2007). Semakin tinggi intensitas yoga maka semakin tinggi

kecerdasan emosinya dan sebaliknya. Kecerdasan emosi merupakan dapat bagian

dari regulasi emosi karena mempunyai definisi kemampuan mengenali perasaan

diri sendiri dan oranglain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi diri dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

baik dalam berhubungan dengan orang lain. Definisi tersebut tercakup dalam

komponen regulasi emosi.

Penelitian terkait dengan regulasi emosi dan subjective well-being juga

ditemukan dengan hasil yang positif. Pertama, penelitian Singh & Mishra (2011)

menunjukkan bahwa regulasi emosi berkorelasi positif dengan kesehatan mental,

kesehatan fisik, dan kepuasan hubungan, dan kinerja dimana hal tersebut tercakup

dalam subjective well-being. Hal tersebut sesuai dengan komponen kognitif

subjective well-being oleh Diener yakni kepuasaan pada ranah tertentu.

Kedua, hasil penelitian korelasi psychological well-being dengan regulasi

emosi juga ditemukan pada penelitian Bernanti (2014) yang menunjukkan

hubungan positif dan signifikan antara regulasi emosi dengan psychological well-

being pada caregiver di RSJD Surakarta. Psychological well-being masuk dalam

cakupan subjective well-being karena di dalam pemahaman individu tentang

subjective well-being secara otomatis meliputi evaluasi afeksi yang menjadi fokus

psychological well-being. Hasil pelatihan regulasi emosi pada caregiver pasien

skizofrenia oleh Machmuroh, dkk (2012) menunjukkan hasil bahwa regulasi

emosi dapat menurunkan tingkat ekspresi emosinya, dimana ekspresi emosi ini

tercakup dalam subjective well-being.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan regulasi

emosi yang tinggi mampu meningkatkan subjective well-being. Sebaliknya

dengan rendahnya regulasi emosi akan menurunkan subjective well-being yang

dimiliki individu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Subjective Well-Being pada

Yogini

Kontak sosial yang menjadi payung dari dukungan sosial mutlak dibutuhkan

karena manusia adalah makhluk sosial. Gottlieb (dalam Smet, 1994) menjelaskan

dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan berupa informasi verbal dan

nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang

memiliki efek emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Sarafino (1994)

mendukung dengan pernyataan dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang

dirasakan, penghargaan, kepedulian, atau bantuan yang diterima dari orang-orang

atau kelompok-kelompok lain. Misalnya keluarga terdekat dan teman-teman

dalam komunitas. Pemberian dukungan membantu individu menghadapi situasi

yang menimbulkan ketegangan.

Korelasi antara dukungan sosial dengan subjective well-being ditemukan pada

penelitian Rohmad (2014) yang dilakukan pada mahasiwa Fakultas Psikologi

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan dukungan

sosial mempunyai korelasi yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan subjektif

yang dimiliki mahasiswa. Sedangkan pada subjek wanita usia dewasa, hasil yang

serupa ditemukan pada penelitian Gatari (2008) menemukan hubungan signifikan

antara perceived social support terhadap subjective well-being pada ibu pekerja.

Bantuan yang diterima ibu pekerja berupa dukungan sosial dari lingkungan sekitar

meningkatkan kebahagiaannya.

Saputri (2013) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat

hubungan postif antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

santri di pondok pesantren. Dimana psychological well-being tersebut tercakup

dalam subjective well-being. Pada relasi individu dengan komunitas, dukungan

sosial menjadi hal yang penting mempengaruhi subjective well-being. Penelitian

di Australia pada pria yang aktif dalam komunitas, mengemukakan bahwa

dukungan sosial berhubungan negatif dengan pengalaman stress (Gencoz &

Ozlale, 2004). Pengalaman stress tersebut diasosiasikan dengan bentuk afeksi

negatif yang muncul. Hal tersebut dapat diartikan dengan dukungan sosial yang

tinggi berhubungan dengan rendahnya pengalaman stress yang menjadi ciri

subjective well being yang tinggi.

Johnson & Johnson (1991) juga menguatkan korelasi dukungan sosial dengan

psychological well-being. Dukungan sosial dapat meningkatkan psychological

well-being seseorang yang merupakan perhatian, kasih sayang, pengertian, dan

kedekatan yang mengarah pada keyakinan individu dan meningkatkan harga diri

individu. Dukungan sosial membuat individu lebih bisa menerima kehidupan dan

memandang positif dirinya. Johnson menambahkan dukungan sosial dapat

mengurangi tingkat stress dimana orang yang jarang stress akan merasa lebih

bahagia, dan sebaliknya. Rasa bahagia tersebut kemudian menjadi pertanda

psychological well-being yang tinggi.

Uraian di atas menunjukkan tingginya dukungan sosial yang diterima

individu akan mampu meningkatkan subjective well-being. Sebaliknya, rendahnya

dukungan sosial yang diterima individu akan mampu menurunkan subjective well-

being individu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

E. Kerangka Pemikiran

Regulasi Emosi
H2

H1 Subjective Well-Being

Dukungan Sosial H3

Gambar 2.
Kerangka Pemikiran Hubungan Regulasi Emosi dan Dukungan Sosial dengan
Subjective Well-Being pada Yogini di Hatha Yoga Ganep’s

Panah H1 (Hipotesis 1) menggambarkan adanya hubungan antara regulasi

emosi dan dukungan sosial terhadap subjective well-being pada yogini di Hatha

Yoga Ganep’s Semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki dan semakin tinggi

dukungan sosial yang diterima, maka akan semakin tinggi subjective well-being

yang dimiliki yogini.

Panah H2 (Hipotesis 2) menggambarkan adanya hubungan antara regulasi

emosi terhadap subjective well-being pada yogini di Hatha Yoga Ganep’s.

Semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki yogini, maka akan semakin tinggi

subjective well-being yang dimiliki yogini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

Panah H3 (Hipotesis 3) menggambarkan adanya hubungan antara dukungan

sosial terhadap subjective well-being pada yogini di Hatha Yoga Ganep’s.

Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh yogini maka akan semakin

tinggi subjective well-being yang dimiliki yogini.

F. Hipotesis

Berdasarkan dari landasan teori yang dikemukakan dan analisa teori-teori

yang telah dijabarkan sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dan dukungan sosial dengan

subjective well-being pada Yogini di Hatha Yoga Ganep’s.

2. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan subjective well-being pada

Yogini di Hatha Yoga Ganep’s.

3. Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well being pada

Yogini di Hatha Yoga Ganep’s.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai