Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
Pendahuluan
Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam
konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup,
harapan, standar, dan lainnya yang terkait.Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas
dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan
sosial dan lingkungan dimana mereka berada (World Health Organization, 2012).
Definisi sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana
tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan, tetapi juga adanya keseimbangan antara
fungsi fisik, mental, dan sosial. Sehingga pengukuran kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan meliputi tiga bidang fungsi yaitu: fisik, psikologi (kognitif dan emosional), dan sosial.
Sampai saat ini faktor penyebab turunnya kualitas hidup pada manusia baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama belum diketahui secara pasti. Masalahnya antara lain sulitnya melakukan
penelitian terhadap manusia untuk mencari hubungan sebab-akibat. Diakui masalahnya sangat
kompleks dan banyak faktor (multifaktorial) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup
manusia.Beberapa penulis menyatakan kualitas hidup pada manusia dipengaruhi oleh
faktorfaktor: kondisi global, kondisi eksternal, kondisi interpersonal, dan kondisi personal.
Mengingat pentingnya informasi tentang kualitas hidup, muncul berbagai cara untuk
mencoba mengukur kualitas hidup seseorang dari berbagai aspek kehidupan manusia. Misalnya
WHO yang telah mencoba membuat alat ukur instrumen untuk mengukur kualitas hidup manusia
yang dikenal sebagai World Health Organization Quality Of Life 100 (WHOQOL-100) serta
versi pendeknya yaitu World Health Organization Quality Of Life-BREF (WHOQOL-
BREF).Instrumen ini mencoba mengukur kualitas hidup manusia dari beberapa domain seperti
fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.Instrumen ini telah digunakan secara luas,
terutama untuk menilai kualitas hidup seseorang dengan beberapa penyakit tertentu.
A. Latar Belakang
Hidup yang berkualitas merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh semua manusia
pada semua tingkatan umur.Kualitas hidup didefinisikan sebagai merupakan penilaian
kesehatan fisik dan mental secara subjektif, yang sangatdipengaruhi oleh nilai-nilai dan
budaya di lingkungan sekitar dan aspek sosial ekonomi pada setiap individu. Ada
duamodel kualitas hidup yang paling banyak digunakan, yaitu Ferans Model of Quality
of Life dan WHO International Classification of Functioning, Disability and Health
(WHO ICF). Kedua model ini menyebutkan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh
faktor indiviu dan faktor lingkungan. Kualitas hidup dimanfaatkan untuk discrimination,
evaluation dan prediction. Instrumen pengukuran kualitas hidup ada yang bersifat generik
dan spesifik. Untuk menentukaninstrumen kualitas hidup yang akan digunakan, ada
beberapa kriteria yang telah ditetapkan. Yaitu akseptabilitas(acceptability), beban
(burden), reliabilitas (reliability), validitas (validity), responsif (responsiveness),
pemanfaatan(usefulness) dan kemampuan untuk diinterpretasikan (interpretability).
B. Rumusan Maslah
1. Apa maksud dari Quality of Life ?
2. Apa saja aspek-aspek Kualitas Hidup ?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ?
4. Apa maksud dari Urgensi Tasawuf Sosial ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa maksud dari Quality of Life.
2. Untuk mengetahui apa saja aspek-aspeknya.
3. Dan untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup.
4. Agar dapat mengetahui apa itu Urgensi Tasawuf Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebuah tinjauan kepustakaan tentang kualitas hidup yang ditulis oleh Sajid,Tonsi
dan Baig (2008) menyebutkan bahwa kualitas hidup merupakan suatu konsep
multidimensi dinamis yang dikembangkan untuk mengetahui dampak psikologis dari
suatu penyakit, yang di dalamnya mencakup aspek kesejahteraan ekonomi, karakteristik
masyarakat dan lingkungan serta status kesehatan. Agborsangaya, Lau, Lahtinen, Cooke
dan Johnson (2013) mendefinisikan kualitas hidup secara lebih sederhana yaitu penilaian
individu tentang kesejahteraan yang berkaitan dengan kesehatan. Sementara itu menurut
Institute of Health Economics (IHE) (2008) kualitas hidup adalah status kesehatan yang
dinilai secara subyektif dari persepsi pasien/individu.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup merupakan
penilaian kesehatan fisik dan mental secara subjektif, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
dan budaya di lingkungan sekitar dan aspek sosial ekonomi pada setiap individu.
Aspek psikologis
Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih
dimana tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki tingkah laku individu lainnya. Mengingat
manusia adalah mahluk sosial maka dalam hubungan sosial ini, manusia
dapat merealisasikan kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia
seutuhnya.Hubungan sosial mencakup hubungan pribadi, dukungan sosial,
aktivitas seksual.
Aspek lingkungan
Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya
keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas
kehidupan, termasuk di dalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat
menunjang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber
financial, kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan
kesehatan dan social care termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan
rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun
keterampilan (skill), partisipasi dan mendapat kesempatan untuk
melakukan rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di waktu luang,
lingkungan fisik termasuk polusi/kebisingan/keadaan air/iklim, serta
transportasi.
o Jenis kelamin
o Usia
o Pendidikan
o Pekerjaan
o Status pernikahan
o Finansial
o Standar referensi
Hasil penelitian diperoleh bahwa ada pengaruh faktor psikologis terhadap kualitas
hidup di Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara (p-value<0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2009)
pada penduduk di Jabodetabek pada dewasa muda mengungkapkan bahwa ada pengaruh
faktor psikologis terhadap kualitas hidup.Hal ini disebbakan pada dewasamuda yang
tidak bekerja menyebabkan stres persepsi terhadap kesehatan, kepuasan hidup dan
kebahagiaan.
Faktor psikologis dalam dimensi kualitas hidup diperoleh sebesar 76% baik,
artinya bahwa sebagain responden tidak mengalami gangguan psikologis yang beratri
dalam menjalani kehidupannya.Sedangkan 24% merasa stress.Hal ini dapat disebabkan
pada dewasa muda penduduk Kelurahan Karubaga Distrik Karubaga Kabupaten Tolikara
dari 100 responden sebagian besar tidak bekerja sebanyak 53 orang (53%).
Gambaran mengenai pernyataan faktor psikologis dari enam pertanyaan faktor
psikologis dengan nilai indeks maksimum skor maksimum = 5 dan minimum = 1 dengan
maka pembagian skor total tanggapan responden mengenai faktor psikologis dari 6
pertanyaan diperoleh total skor 2097 dan total skor ideal 3000 dengan persentase 69,90%
yang dikategorikan baik.
Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa status pekerjaan
berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita. Hasil penghitungan
data IPM Kabupaten Tolikara, diperoleh gambaran rata-rata pengeluaran riil penduduk
Kabupaten Tolikara tahun 2016, yaitu sekitar Rp. 621,150,- per tahun. Angka ini lebih
tinggi dibanding keadaan tahun 2010 (Rp. 611.635,-). Dibanding dengan capaian
pengeluaran riil yang ideal sebesar Rp 737.720,- bisa dikatakan kemampuan penduduk
Kabupaten Tolikara untuk memenuhi penghidupan yang layak masih jauh dari target
seharusnya. Hal ini mengindikasikan pembangunan manusia di Kabupaten Tolikara
kedepannya perlu lebih memfokuskan terutama peningkatan pembangunan ekonomi baik
dari segi laju pertumbuhannya maupun pemerataan hasilnya.
Gerakan tasawuf lahir sebagai antitesis terhadap kehidupan umat beragama yang
fikih sentris. Sebuah sisi keberagamaan yang lebih menekankan pada ukuran-ukuran
eksoterik (lahiriah, normatif, dan formalistik).Jika fikih fokus pada pola keberagamaan
lahiriah, tasawuf lebih peduli pada segi batiniah. Sesungguhnya, ujung dari semua itu,
sebagaimana yang dituntut dan yang diidealkan Islam adalah keseimbangan antara
dimensi lahiriah dan batiniah dalam keberagamaan kita.Untuk itu ulama berujar:
ومن تصوف بغير تفقه تزندق, من تفقه بغير تصوف تفسق
Barang siapa berfikih tanpa tasawuf, maka bisa menjadi fasik, bertasawuf tanpa
berfikih bisa menjadi zindik.
Pola keberagamaan yang bersifat fikih-formalistik adalah baik, tetapi belum
cukup karena bisa membawa kefasikan. Seseorang butuh ajaran-ajaran tasawuf (akhlaqi)
yang akan memandu hati dan perilaku kita terjaga dari perbuatan-perbuatan tercela.
Artinya, keberagamaan yang hanya berorientasi pada standar-standar fiqhiyah bisa
mereduksi sisi penting lainnya yang bersifat esoteris (batiniah). Dimensi ini yang
diangkat kembali oleh gerakan tasawuf yang diarahkan kepada penguatan dua aspek,
yaitu spiritualitas dan moralitas (Kiai Masdar, Membumikan Agama Keadilan, halalam
250-254).
Salah satu dari maqamat itu, yaitu al-hubb atau al-mahabbah, dipopulerkan oleh
Rabi’ah al-Adawiyah.
1
Dalam klasifikasi konsep maqamat ini, menurut Amin Abdullah, tampak adanya pengaruh cara berfikir filsafat di dalam
mengklasifikasi dan mensistimatisasi ajaran al-Qur’an yang berkaitan dengan dimensi bathiniyah. Lihat: M. Amin Abdullah,
Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 152-153.
2
Harun Nasution, op.cit., h. 62-63
3
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 114.
Maqamat dan Ahwal
Lingkup irfani, menurut sufi, tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara
spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-
maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal. Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang
yang berjalan menuju Tuhan.
Maqamat dan Ahwal merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Keduanya
ibarat dua sisi mata uang. Keterikatan antara keduanya dapat dilihat dalam kenyataan
bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan; dan dalam maqam akan ditemukan
kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang
untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.5
Maqamat
Perkataan maqam dapat diartikan sebagai stasiun, tahapan atau tingkatan spiritual
dan fase perjalanan yang telah dicapai seorang sufi menuju kedekatannya dengan Tuhan.
Di kalangan sufi orang pertama yang membahas masalah maqamat, barangkali adalah al-
Haris ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Ia digelari alMuhasibi karena kegemarannya
melakukan muhasabah (intropeksi diri).
Taubat
4
Rosihan Anwar & Mukhtar Solihin, op.cit., h. 69.
5
Ibid., h. 71.
6
Lihat ibid., h. 70.
Taubat adalah stasiun pertama yang harus dilalui oleh seseorang yang
mengamalkan tasawuf.Sebab Rasul sendiri, yang bersih dari dosa, masih mohon ampun
dan bertaubat, apalagi manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa.
Dalam mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat, tetapi secara garis
besarnya dapat dibedakan kepada tiga kategori,; pertama, taubat dalam pengertian
meninggalkan segala kemak-siatan dan melakukan kebajikan secara terusmenerus.
Kedua, taubat ialah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut murka
Allah.Ketiga, taubat adalah terus-menerus bertaubat walaupun sudah tidak pernah lagi
berbuat dosa.Namun menurut al-Mishri, taubat itu ada dua macam; taubat orang awam,
ialah taubat dari salah dan dosa, dan taubat khawas, yaitu taubat dari kelalaian dan
kealpaan.7
Ahmad Shubi, sebagai dikutip Amir al-Najjar, mengatakan, bahwa tidak cukup
bagi seorang sufi untuk bertaubat dari perbuatan dosa lahiriah, akan tetapi ia juga harus
menjaga diri dari dosa-dosa hatinya secara menyeluruh. Maka dari itu, taubat para sufi
benar-benar bersih, sehingga tidak berbekas pada dirinya perbuatan maksiat, baik maksiat
tersembunyi maupun maksiat terangan-angan.8
Bagi para sufi, taubat bukan hanya sebagai penghapus dosa, tetapi lebih dari itu,
yaitu sebagai syarat mutlak agar dapat dekat dengan Allah.
Wara’
Pengertian dasar wara’ adalah meng-hindari apa saja yang tidak baik. Tapi bagi
para sufi mereka mengartikan wara’ itu meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan lain. Ibrahim bin
Adham misalnya berpendapat, bahwa wara’ ialah meninggalkan segala yang masih
diragukan dan meninggalkan kemewahan.9
Menurut Amir al-Najjar, ungkapan terbaik tentang wara’ adalah yang dikatakan
oleh al-Harraz, yaitu wara’ adalah bila engkau bebas daripada kezaliman terhadap
7
H. A. Rivay, op.cit., h. 115.
8
Amir al-Najjar, al-‘Ilm al-Nafs alShufiyah, diterjemahkan oleh Hasan Abrori dengan judul Ilmu Jiwa dalam Tasawuf: Studi
Komparatif
9
H. A. Rivay Siregar, op.cit., h. 118.
makhluk, sekalipun seberat atom, sehingga tidak terdapat pada salah seorang di antara
manusia memiliki pengaduan dan tuntutan atas dirimu.10
Orang-orang sufi adalah orangorang yang sangat hati-hati dalam berbuat. Mereka
tidak mau menggunakan atau melakukan sesuatu yang tidak jelas status dan hukumnya,
apalagi yang jelas-jelas haram.Sikap hidup seperti itulah yang disebut wara’. Orang sufi
senantiasa berusaha untuk menghiasi dirinya dengan sifat wara’ sebab menurut mereka
seorang yang tidak mempunyai sifat wara’ tidak akan merasakan nikmatnya ibadah.
Zuhud
Orang yang zuhud tidak merasa senang atau bangga dengan berlimpah ruah-nya
harta, dan tidak merasa susah dengan kehilangannya, sebagaimana kandungan QS al-
Hadid ayat 33.
Pada mulanya pengertian zuhud itu hanya sekedar hidup sederhana, kemudian
berkembang ke arah yang lebih ekstrim. Pengertian yang ekstrim tentang zuhud datang
pertama kali dari Hasan al-Bashri yang mengatakan, perlakukanlah dunia ini sebagai
jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali jangan membangun apaapa di atasnya.
Bahkan menurut al-Junaid, zuhud itu adalah tidak punya apa-apa dan tidak milik siapa-
siapa.12
Sabar
10
Amir al-Najjar, op.cit., h. 236.
11
H. A. Rivay Siregar, op.cit., h. 116-117.
12
Ibid.
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu.”13
Pandangan kaum sufi tentang sabar merupakan sisi yang penting dalam
memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani
dalam menghadapi segala kesulitan. Sabar merupakan sikap utama dan akan memberikan
keutamaan dalam segala bidang kehidupan; sabar dalam ibadah, sabar dalam menuntut
ilmu, dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi dengan sesama manusia, sabar dalam
sehat maupun sakit, sabar dalam cinta, sabar ketika membenci, sabar dalam kenikmatan
dan penderitaan. Dan sesung-guhnya latihan sabar untuk sabar merupakan sumber
keutamaan akhlak.
Tawakkal
Tawakal adalah pasrah dan memercayakan secara bulat kepada Allah setelah
melaksanakan sesuai rencana dan usaha.Manusia hanya merencanakan dan
mengusahakan, Tuhan menentukan hasilnya.16
Sikap tawakal akan memberikan ketenangan bagi seorang mu’min, dan akan
memberikan sikap stabil dan ketenangan jiwa. Tawakal adalah perasaan dari seorang
mu’min dalam memandang alam, bahwa apa yang terdapat di dalamnya tidak akan luput
dari tangan Allah, di mana di dalam hatinya digelar oleh Allah ketenangan, dan di sinilah
13
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), h., 98.
14
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 118.
15
Amir al-Najjar, op.cit., h. 243
16
H. A. Rivay Siregar, op.cit., h. 121.
seorang muslim merasa tenang dengan Tuhannya setelah ia menjalankan kewajiban-
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah.17
هّٰللا
ْ َو َمنْ يَّتَ َو َّك ْل َعلَى ِ فَ ُه َو َح
سبُ ٗه
Tejemahnya: “Dan barangsiapa yang tawakal kepada Allah, maka Allah akan
mencukupinya.”18
Al-Tustari berkata, “Tawakal adalah sifat (akhlak dan maqam)-nya Nabi, dan
usaha (kasb) adalah sunnahnya, dan barangsiapa yang berada dalam sifatnya, maka
janganlah meninggalkan sunnahnya.19
Ridha
Menurut Zun Nun al-Mishri, ridha adalah menerima qadha dan qadar dengan
kerelaan hati.Menurut al-Qusyairy, ridha adalah tidak menentang hukum dan keputusan
Allah swt.Abu Bakar Thahir mengatakan bahwa ridha adalah melepaskan dan
mengeluarkan rasa tidak senang dari dalam hati sehingga tidak ada lagi perasaan selain
dari rasa senang dan gembira. Rabi’ah al-Adawiyah ketika ditanya tentang ridha, ia
17
Amir al-Najjar, loc.cit.
18
Departemen Agama RI., op.cit., h. 816
19
Amir al-Najjar, op.cit., h. 243-244.
20
Ibid., h. 248.
menjawab bahwa apabila seseorang menda-pat bencana maka perasaannya sama seperti
ketika ia mendapat nikmat.21
Di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat, apakah ridha tergolong
maqamat atau ahwal? Sebagian mereka memasukkannya dalam kategor maqamat dengan
alasan datangnya sikap ridha itu adalah berkat perjuangan yang dilakukan secara
berantai.Sebagian lagi mengang-gapnya kategori ahwal, bahwa itu bukan merupakan
usaha dari seorang hamba, bahkan itu turun dalam hati seperti turunnya tiap-tiap ahwal.
Dalam hal ini, al-Qusyairy berkata, bahwa kedua hal tersebut dapat dipadukan, yaitu awal
dari ridha adalah diusahakan oleh seorang hamba dan itu bermakna “tergolong
maqamat”, dan akhir daripada ridha itu termasuk ahwal yang bukan diupayakan oleh
seorang hamba.22
Menurut Qamar Kailani, sebagai dikutip Rivay Siregar, sebagian sufi berpendapat
bahwa ridha merupakan maqam terakhir dari perjalanan seorang salik. Akan tetapi bagi
sufi yang mengakui adanya ittihad, maqamat itu termasuk juga mahab-bah, ma’rifat dan
kemudian alfana’ dan berlanjut dengan ittihad.23
Ahwal
Istilah hal menurut sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara
otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan. Simuh menjelaskan,
bahwa hal adalah pengalaman dan perasaan kejiwaan yang berubah dan dialami secara
tiba-tiba tanpa diikhtiari, yakni di luar usaha manusia.Karena terjadi di luar usaha ma-
nusia maka hal merupakan hibah, anugerah dan hadiah dari Allah.Dengan demikian hal
berbeda dengan maqam, karena maqam harus diusahakan.Lebih lanjut Simuh
menerangkan pokok perbedaan maqam dan ahwal.Ahwal adalah anugerah (hibah) dari
Allah sedang maqamat adalah hasil jerih payah dari hamba.Ahwal bersifat berubah-ubah
sedang maqamat bersifat tetap.24
21
Asmaran AS, op.cit., h. 126-127
22
Amir al-Najjar, op.cit., h. 248.
23
Untuk lebih lengkapnya, lihat H. A. Rivay Siregar, op.cit., h. 122-131.
24
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 72.
Kalau maqam adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang
hasilnya dapat dilihat dari perilaku seorang, maka kondisi mental al-hal bersifat abstrak.Ia
tidak dapat dilihat dengan mata, hanya dapat difahami dan dirasakan oleh orang yang
mengalaminya atau memilikinya. Oleh karena itu, tidak dapat diinformasikan melalui
bahasa tulisan atau bahasa lisan.25
Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam jumlah dan susunan ahwal ini juga
terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Di antara sekian banyak nama, yang
terpenting dan paling banyak penganutnya adalah: al-muraqabah, al-khauf, al-raja’, al-
syauq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah dan al-yaqin. Akan tetapi ada juga
sebagian sufi menempatkan alma’rifah dan al-mahabbah sebagai bagiandari ahwal. 26
Secara singkat akan dijelaskan sebagai berikut:
Al-Muraqabah
Al-Khauf
Menurut bahasa berarti takut. Dalam pengertian sufi khauf berarti suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena merasa kurang sempurnanya pengabdiannya.
Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya
perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak
menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Sikap mental seperti ini merang-sang
seseorang melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi perbuatan maksiat.27
25
H. A. Rivay Siregar, op.cit., h. 132.H. A. Rivay Siregar, op.cit., h. 132.
26
Ibid., h. 132-133.Ibid., h. 132-133.
27
Ibid., 133-134
Perbedaan orang yang takut kepada manusia dan takut kepada Allah ialah orang
yang takut kepada manusia akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah akan
lari kepada-Nya.
Al-Raja’
Atau harapan. Dalam istilah sufi me-rupakan sikap mental optimisme dalam
memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang
saleh. Oleh karena Allah Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang, maka seorang
hamba yang taat merasa optimis akan memeroleh limpahan karunia Ilahi. Perasaan
optimis akan member semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa
yang diidamidamkan itu, karena Allah adalah Maha Pengasih Maha Penyayang.28
Al-Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah.Yaitu rasa
rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.
Rasa senang danbergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh kerinduan. Rindu ingin
bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Perasaan inilah yang menjadi
motor pendorong bagi sufi agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah. 29 Bagi sufi,
maut bukanlah suatu hal yang harus ditakuti, justru selalu dinanti-nantikan, karena maut
dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan
Ma’budnya.30
Al-Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik
sentrum yaitu Allah.Tidak ada yang dirasa, yang diingat, yang diharap kecuali Allah.
Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan
28
Ibid.
29
Ibid., h, 134-135.
30
Rosihan Anwar & Mukhtar Solihin, op.cit., h. 76.
berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti
itulah yang disebut uns.31
Al-Thuma’ninah
Secara harfiyah, kata ini berarti tenang, tenteram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena iatelah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi setelah melalui usaha dan
perjuangan berat. Ia mampu mengadakan komunikasi langsung dengan Allah karena
sudah dekat kepada-Nya, karenanya ia merasa tenang, bahagia dan tenteram.32
Musyahadah
Dalam situasi seperti ini pulalah seseorang memperoleh tingkatan ma’rifat, satu
situasi di mana seseorang seakanakan menyaksikan Allah dengan seluruh ekspr-esinya
atau melalui mata hatinya.Secara mendetail dapat disaksikannya keadaan Allah, sehingga
lahir pula rasa cinta atau mahabbah melalui ruh dan akhirnya dan dapat dipandang oleh
sirr. Dengan demikian terjadilah musyahadah antara sufi dengan yang dicarinya.34
Al-Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta
danrindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah
dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari
itu.Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung
itulah yang disebut dengan al-yaqin. Dengan demikian, al-yaqin adalah kepercayaan yang
kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri
31
H. Rivay Siregar, op.cit., h. 135.
32
Ibid., h. 135-136.
33
Ibid.
34
Ibid., h. 137.
menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya
serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.35
Mencapai tingkat musyahadah dan al-yaqin, menurut para sufi adalah amat sulit
dan jarang orang yang dapat mencapainya. Mereka yang mampu ke level tersebut adalah
para wali yang sudah sampai ke tingkat insan kami.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
35
Ibid., h. 137-138.
Mencermati beberapa kecenderungan di atas, tasawuf sosial penting untuk memberikan
arah bagi kehidupan yang lebih mencerminkan spiritualitas dan moralitas bagi generasi bangsa
secara keseuluruhan. Pada dasarnya, tasawuf adalah perwujudan salah satu dari tiga pilar
keislaman yang terus diamalkan oleh kaum sufi, yaitu pilar ihsan (akhlak). Mereka menekankan
bahwa mengamalkan Islam sesuai hukum-hukum fikih yang sifatnya formalistik saja tidak
cukup. Berislam itu perlu kedalaman spiritualitas dan moralitas (akhlak mulia), baik kepada
Tuhan maupun sesama.Kaum sufi juga menekankan bahwa seseorang yang ingin mencapai
derajat dan makrifat pada Allah harus lebih mencintai akhirat daripada kenikmatan dunia.
Kenikmatan dunia yang tidak diorientasikan untuk kehidupan akhirat hanya akan menjadi sia-sia
(QS Al Qashash: 77 dan QS Al Hadid: 20).
Tasawuf sosial adalah penegasan nilai-nilai sufistik dalam kehidupan sosial. Terhadap
kecenderungan materialistis, misalnya, tasawuf sosial dapat memberikan arah kehidupan agar
kita hidup sederhana (zuhud), kanaah dengan apa yang ada, ikhlas, dan senantiasa bersyukur.
Tasawuf melarang kita hidup berlebihan, rakus, boros, dan kikir. Tasawuf sosial mengajarkan
kita untuk berprasangka baik kepada orang lain (husn al-zhan) dan pada saat yang sama agama
melarang untuk berprasangka buruk (syu’u al-zhan), menebarkan isu (tajassus) dan fitnah,
menggunjing (gibah), mengadu domba (namimah), bersikap iri hati (hasad), dan seterusnya.
Dengan demikian, tasawuf sosial akan memberi arah dan makna kehidupan, tidak saja
untuk kebahagiaan di dunia, juga kebahagiaan di akhirat. Untuk mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, maka perlu keseimbangan hubungan antara habl min Allâh dan habl min al-
nâs, bahkan juga tidak bisa diabaikan tentang harmonisasi hubungan dengan alam dan makhluk
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996).
Ajeng Tias Endarti. 2015. KUALITAS HIDUP KESEHATAN: KONSEP, MODEL DAN
PENGGUNAAN. Jakarta. Universitas MH Thamrin.
Al-Najjar, Amir, al-‘Ilm al-Nafs alShufiyah, diterjemahkan oleh Hasan Abrori dengan judul Ilmu
Jiwa dalam Tasawuf: Studi Komparatif
AS, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).
Delwien Esther Jacob. 2018. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS HIDUP
MASYARAKAT KARUBAGA DISTRICT SUB DISTRICT TOLIKARA PROPINSI PAPUA.
Makassar. Universitas Hasanuddin.
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Duta Ilmu, 2005).
file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/BAB%20II%20(1).pdf
https://www.beritasatu.com/archive/766155/urgensi-tasawuf-sosial
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002).