Anda di halaman 1dari 14

MANIFESTASI KLINIS

Dafter Pustaka
1.      Mansjoer, Arif.2001. Kapita selekta kedokteran . Jakarta. Media Aeskulapius: FKUI
2.      Stuart, Sunden. 1998. Keperawatan jiwa Edisi III . Jakarta : EGC

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang


       Pada saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya
mengalami peningkatan. Data hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SK-RT) yang
dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun
1995 menunjukkan, diperkirakan terdapat 264 dari 1000 anggota Rumah Tangga
menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini,
data tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolak-gejolak
lainnya diseluruh daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut memicu
terjadinya peningkatan tersebut.
       Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa negara
menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life
Years (DALY's) sebesar 8,1% dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh
masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi dari pada dampak yang disebabkan
penyakit Tuberculosis (7,2%), Kanker (5,8%), Penyakit Jantung (4,4%) maupun
Malaria (2,6%).
       Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibandingkan
dengan masalah kesehatan lainnya yang ada dimasyarakat. Kesehatan Jiwa
masyarakat (community mental health) telah menjadi bagian masalah kesehatan
masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara.
       Salah satu pemicu terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah
dampak modernisasi dimana tidak semua orang siap untuk menghadapi cepatnya
perubahan dan kemajuan teknologi baru. Gangguan jiwa tidak menyebabkan
kematian secara langsung namun akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak
produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga penderita dan lingkungan
masyarakat sekitarnya. Dari data tersebut diatas, kami tertarik untuk membahas
masalah kesehatan jiwa masyarakat sebagai judul makalah kami.

1.2         Tujuan Penulisan


1.2.1       Tujuan Umum
          Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan masalah-masalah kesehatan
jiwa masyarakat.
1.2.2     Tujuan Khusus
a.       Mahasiswa mengetahui pengertian kesehatan jiwa
b.      Mahasiswa mengetahui pengertian gangguan jiwa
c.       Mahasiswa mengetahui model-model konseptual kesehatan jiwa masyarakat

1.3         Metode penulisan


         Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan
dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.
1.4        Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut :
1.      BAB I           : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode
              penulisan, dan sistematika penulisan.
2.      BAB II    :Tinjauan teoritis, terdiri dari pengertian kesehatan jiwa, pengertian gangguan jiwa,
masalah-masalah kesehatan jiwa masyarakat dan konseptual model keperawatan
kesehatan jiwa.
3.      BAB III        : Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran.

      

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1     Kesehatan Jiwa


       Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai
“keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit
atau kelemahan.” Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera
yang positif, bukan sekedar keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki
kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab
kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan
hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun definisi universal
kesehatan jiwa, tetapi kita dapat menyimpulkan kesehatan jiwa seseorang dari
perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau ditafsirkan berbeda oleh
orang lain, yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka penentuan definisi
kesehatan jiwa menjadi sulit.
       Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping
yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa
memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai factor (Johnson, 1997):
a.         Otonomi dan kemandirian: Individu dapat melihat ke dalam dirinya untuk
menemukan nilai dan tujuan hidup. Opini dan harapan orang lain dipertimbangkan,
tetapi  tidak mengatur keputusan dan perilaku individu tersebut. Individu yang
otonom dan mandiri dapat bekerja secara interdependen atau kooperatif dengan
orang lain tanpa kehilangan otonominya.
b.        Memaksimalkan potensi diri: Individu memiliki orientasi pada pertumbuhan dan
aktualisasi diri. Ia tidak puas dengan status quo dan secara kontinu berusaha tumbuh
sebagai individu.
c.         Menoleransi ketidakpastian hidup: Individu dapat menghadapi tantangan hidup
sehari-hari dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa
yang terjadi di masa depan.
d.        Harga  diri: Individu memiliki kesadaran yang realistis akan kemampuan  dan
keterbatasannya.
e.         Menguasai lingkungan: Individu dapat mengahadapi dan mempengaruhi lingkungan
dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan.
f.         Orientasi realitas: Individu dapat membedakan dunia nyata dari dunia impian, fakta
dari khayalan, dan bertindak secara tepat.
g.        Manajemen stress: Individu dapat menoleransi stress kehidupan, merasa cemas atau
berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa hancur. Ia
menggunakan dukungan dari keluarga dan teman untuk mengatasi krisis karena
mengetahui bahwa stress tidak akan berlangsung selamanya.
          Faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang dapat dikategorikan
sebagai faktor individual, interpersonal, dan sosial/budaya. Faktor individual
meliputi struktur biologis, memiliki keharmonisan hidup,  vitalitas, menemukan arti
hidup, kegembiraan atau daya tahan  emosional, spritualitas,  dan memiliki identitas
yang positif (Seaward, 1997). Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang efektif,
membantu orang lain, keintiman, dan mempertahankan keseimbangan antara
perbedaan dan kesamaan. Faktor sosial budaya meliputi keinginan untuk
bermasyarakat, memiliki penghasilan yang  cukup, tidak menoleransi kekerasan, dan
mendukung keragaman individu.

2.2     Gangguan Jiwa


          Di masa lalu gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman
karena pelanggaran sosial atau agama, kurang minat atau  semangat, dan pelanggaran
norma sosial. Penderita gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dijauhi,  diejek, dan 
dikucilkan dari masyarakat “normal”. Sampai abad ke-19, penderita gangguan jiwa
dinyatakan  tidak dapat disembuhkan dan dibelenggu dalam penjara tanpa diberi
makanan, tempat berteduh, atau pakaian yang cukup.
          Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis.
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai
“suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang
terjadi pada seseorang yang  dikaitkan dengan adanya distress aatau disabilitas.
          Kriteria umum untuk mendiagnosis gangguan jiwa meliputi ketidakpuasan
dengan karakteristik, kemampuan, dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif atau
tidak memuaskan; tidak puas hidup di dunia; atau koping yang tidak efektif terhadap
peristiwa kehidupan dan tidak terjadi pertumbuhan personal. Selain itu, perilaku
individu yang tidak diharapkan atau dikenakan sanksi secara budaya bukan perilaku
menyimpang yang menjadi indikasi suatu gangguan jiwa (DSM-IV, 1994).
          Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga
kategori, yaitu :
1.        Faktor individual: meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997).
2.        Faktor interpersonal: meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan atau menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional
3.        Faktor budaya dan sosial: meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki
tempat tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia
dan jenis kelamin.
2.3    Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat
            Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan
(urban mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus
perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak
jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis
C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri.
2.3.1    Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
            Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (definisi dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT).
Lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, termasuk juga orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pengasuhan,
perwalian dengan suami maupun istri yang menetap bersama dalam rumah tangga.
            Dampak kekerasan dalam rumah tangga meliputi gangguan kesehatan fisik
non-reproduksi (luka fisik, kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi (penularan
penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan
jiwa (trauma mental), kematian atau bunuh diri. Kekerasan rumah tangga juga dapat
menjadi salah satu atau kontributor meningkatnya kasus perceraian, kasus
penelantaran anak, kasus kriminalitas anak remaja serta juga penyalahgunaan Napza.
2.3.2    Anak Putus Sekolah
                        Berdasarkan data direktorat pendidikan kesetaraan depdiknas tahun 2005 lalu
di Indonesia tercatat jumlah pelajar SLTP yang putus sekolah adalah sebanyak
1.000.746 siswa/siswi, sedangkan pelajar SLTA yang putus sekolah adalah sebanyak
151.976. jumlah lulusan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikan keperguruan
tinggi pada tahun tersebut tercatat sebanyak 691.361 siswa/ siswi. Laporan Organisai
Buruh Internasional (ILO) tahun 2005 menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta anak
usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah dan sebagainya menjadi “pekerja anak”
perwakilan ILO di Indonesia menyatakan bahwa banyaknya anak putus sekolah dan
menjadi pekerja anak disebabkan karena biaya pendidikan di Indonesia masih
dianggap terlalu mahal dan tak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat.
Angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang dirilis Depdiknas
menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi anak usia sekolah
yang diharapkan.
2.3.3    Masalah Anak Jalanan
                        Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah anak
jalanan, penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari
Departemen Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar
30.000 anak dan sebagian besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu
baru terdapat 12 daerah di Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan.
Padahal para anak-anak jalanan tersebut jelas rentan terhadap berbagai tindak
kekerasan, penyimpangan perlakuan, pelecehan seksual bahkan dilibatkan dalam
berbagai tindak kriminal oleh orang dewasa yang menguasainya.
2.3.4    Kasus Kriminalitas Anak Remaja
                        Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas
pelindungan anak (PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat
2.179 tahanan anak dan 802 narapidana anak, 7 diantaranya anak perempuan. Tahun
2006 angkanya menjadi 4.130 tahanan anak serta 1.325 narapidana anak, dimana 34
diantaranya adalah anak perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak
masuk LP Anak adalah 40% karena terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena
perjudian sedangkan sisanya karena kasus lain-lain. Kira-kira 20% tindak kekerasan
seksual pada tahun 2006 pelakunya adalah anak remaja, 72% anak remaja pelaku
kekerasan seksual mengaku terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca media cetak
porno dan nonton film porno. Laporan Komnas PA menyatakan bahwa 50-70% anak
terlibat dalam tindak pidana kriminalitas lalu di vonis penjara dan masuk LP Anak
justru perilakunya menjadi lebih jelek dan menjadi residivis dikemudian hari.
2.3.5    Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) serta
dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dll)
                        Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong
dalam zat psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar sinyal
saraf (neuro-transmiter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga meyebabkan
terganggunya fungsi kognitif (pikiran), persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku
serta dapat menyebabakan efek ketergantungan, baik fisik maupun psikis.
Penyalahgunaan Napza di Indonesia sekarang sudah merupakan ancaman yang serius
bagi kehidupan bangsa dan negara. Pengungkapan kasusnya di Indonesia meningkat
rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005 pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia
terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia diprediksi terdapat sekitar 1.365.000
penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan estimasi terakhir menyebutkan
bahwa pengguna Napza di Indonesia mencapai 5.000.000 jiwa. Mengikuti laju
perkembangan kasus tersebut dijumpai pula peningkatan epidemi penyakit hati lever
hepatitis tipe-c dan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired
Immune-Deficiency Syndrome) yang modus penularan melalui penggunaan jarum
yang tidak steril secara bergantian pada “pengguna Napza suntik (Penasus/injecting
drug user/ IDU).
                        Pola epidemik HIV/AIDS di Indonesia tak jauh berbeda dengan negara-
negara lain, pada fase awal penyebarannya melalui kelompok homoseksual,
kemudian tersebar melalui perilaku seksual berisiko tinggi seperti pada pekerja seks
komersial, namun beberapa tahun belakangan ini dijumpai kecenderungan
peningkatan secara cepat penyebaran penyakit ini diantara para pengguna Napza
suntik. Berbagai sember memperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Indonesia telah mencapai kurang lebih 120.000 orang dan sekitar 80% dari jumlah
tersebut terinfeksi karena pengunaan jarum yang tidak steril secara bergantian pada
para pengguna Napza suntik, jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai
2005 meningkat dengan cepat menjadi 4 kali lipat atau 40%. Data pada akhir tahun
2005 menyatakan bahwa prevalensi penularan HIV AIDS pada “penasun” adalah 80-
90% artinya , mencapai 90% dari total penasun dipastikan terinfeksi HIV/AIDS.
2.3.6    Gangguan Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia
                        Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam
pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain
oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham) gangguan persepsi berupa
halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas yan terganggu yang ditunjukan
dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare). Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari
jumlah seluruh penduduk di suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai
timbul (onset) nya pada usia 15-35 tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja
yang menderita gangguan tersebut, di Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang
penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya memerlukan rawat inap di rumah sakit
jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu tempat tidur (hospital bed) Rumah
sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat penderita gangguan jiwa tidak
lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya diantaranya porgram intervensi
dan terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi dilingkungan masyarakat
(community based psyciatric services) penambahan jumlah rumah sakit jwa bukan
lagi merupakan prioritas utama karena paradigma saat ini adalah pengembangan
program kesehatan jiwa masyarakat (deinstitutionalization). Terlebih saat ini telah
banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang efektif yang mampu
mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan pemberian obat yang
tepat dan memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan.
                        Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia lebih
menguntungkan dibandingkan negara maju, karena dukungan keluarga (primary
support groups) yang diperlukan dalam penggobatan gangguan jiwa berat ini lebih
baik dibandingkan di negara maju. Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak
hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi bagi juga
anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan
diisolasi. Penderita gangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran
hak asasi manusia.
2.3.7    Kasus Bunuh Diri
                        Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di seluruh
dunia melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India dan Sri
Langka menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang, mungkin di Indonesia
angkanya tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto Saraceno dari departemen
kesehatan jiwa WHO, lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah
gangguan jiwa seperti depresi, psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza).
                        Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran usia orang yang
melakukan tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya kurang
dari 12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia
kurang dari 12 tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang
tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh panutan di asyarakat membekali
keterampilan hidup (life skill) untuk mengatasi tantangan maupun kesulitan
hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
serius terutama bila dikaitkan dengan dampak kehidupan moderen. Oleh karena itu
WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab utama kematian dini yang dapat
dicegah.
                        Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau
bunuh diri karena loyalitas berlebihan yang antara lain bentuk “bom bunuh diri”.
Banyak ahli mengaitkan hal tersebut sebagi manifestasi dari akumulasi kekecewaan,
perlakuan tidak adil atau tersisihkan. Mengatasi altruistic suicide tidak mudah dan
memerlukan pendekatan multi disiplin antara berbagai pihak terkait seperti aspek
kesehatan jiwa, pendekatan agama, penegakan hukum dan sosial.

2.4    Konseptual Model Keperawatan Kesehatan Jiwa


Ada 6 macam model keperawatan kesehatan jiwa, yaitu:
1.      Psikoanalisa
2.      Interpersonal
3.      Sosial
4.      Existensial
5.      Supportive therapy
6.      Medical
2.4.1  Model psikoanalisis (Freud, Ericson).
         Psikoanalisa sampai saat ini dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner
dibidang psikologi. Hipotesis psikoanalisis menyatakan bahwa tingkah laku manusia
sebagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki
sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.
Proses terapi :
1.        Asosiasi bebas.
          Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan
perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannnya tanpa penyuntingan
atau penyensoran (Akinson, 1991). Pada teknik ini penderita disupport untuk bisa
berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa.
Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks maka pasien harus
mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal
2.        Analisa mimpi
          Terapi dilakukan dengan mengkaji mimpi-mimpi pasien, karena mimpi timbul
akibat respon/memori bawah sadarnya. Mimpi umumnya timbul akibat permasalahan
yang selama ini disimpan dalam alam bawah sadar yang selama ini ditutupi oleh
pasien. Dengan mengkaji mimpi dan alam bawah sadar klien maka konflik dapat
ditemukan dan diselesaikan.

2.4.2  Interpersonal Model (Sullivan, Peplau).


                          Gangguan jiwa bisa muncul karena adanya ancaman, ancaman menimbulkan
kecemasan (anxiety). Ansietas timbul dan dialami seseorang akibat adanya konflik
saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Perasaan takut seseorang
didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang disekitarnya
misalnya : unwanted child
                 Proses terapi:
Build Feeling Security
a.         Berupaya membangun rasa aman bagi klien
b.        Trusting relationship and interpersonal satisfaction
c.    Menjalin hubungan saling percaya dan membina kepuasan dalam bergaul dengan
orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.

2.4.3   Social Model (Caplan, Szasz).


    Gangguan jiwa/penyimpangan perilaku karena banyaknya faktor sosial dan
faktor lingkungan yang memicu munculnya stress pada seseorang. Akumulasi
stressor yang ada dilingkungan (bising, macet, iklim sangat dingin/panas dll) akan
mencetuskan stress pada individu. Stressor dari lingkungan diperparah oleh stressor
dalam hubungan social (misalkan : anak nakal, atasan galak, istri cerewet dll).
Proses terapi:
Environment manipulation and social support: Modifikasi lingkungan dan adanya
dukungan social misal: rumah harus bersih, teratur, harum, tidak bising, ventilasi
cukup, penataan alat dan perabot yang teratur.

2.4.4   Existensial model (Ellis, Roger).


         Gangguan jiwa atau gangguan perilaku terjadi bila individu gagal menemukan
jati dirinya dan tujuan hidupnya, individu tidak memiliki kebanggaan akan dirinya
membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam body imagenya. Seringkali
individu merasa asing dan bingung dengan dirinya sendiri, sehingga pencarian
makna kehidupannya (eksistensinya) menjadi kabur.
Proses terapi:
1.      Experience in relationship
Mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami
riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dianggap bias menjadi panutan.
2.      Self assessment
Memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi
3.      Conducted in group
Bergaul dengan kelompok social dan kemanusiaan
4.      Encourage to accept self and control behavior
Mendorong untuk menerima jati dirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback
tentang perilakunya dari orang lain

2.4.5   Supportive therapy model (Wermon, Rockland).


         Gangguan jiwa disebabkan oleh factor biopsikososial dan respon maladaptive
terhadap stressor saat ini. Manifestasi gangguan jiwa muncul akibat ketidakmampuan
dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada
kaitannya dengan masa lalu. Ketidakmampuan beradaptasi dan menerima apapun
hasilnya setelah berupaya maksimal, menyebabkan individu menjadi stress.
Proses terapi: Menguatkan respon koping adaptif individu diupayakan mengenal
terlebih dahulu kekuatan dirinya dan kekuatan mana yang bias dipakai alternative
pemecahan masalahnya.
2.4.6   Medical model (Meyer, Kraeplin)
Gangguan jiwa muncul akibat multifaktor yang kompleks meliputi: aspek fisik,
genetik, lingkungan dan faktor sosial. Fokus penatalaksanaan harus lengkap meliputi
pemeriksaan diagnostik, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal.

BAB III
PENUTUP

3.1        Kesimpulan
            Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping
yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional.
            Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga
kategori, yaitu :
1.      Faktor individual: meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997).
2.      Faktor interpersonal: meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan atau menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional.
3.      Faktor budaya dan sosial: meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki
tempat tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia
dan jenis kelamin.
            Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan
(urban mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus
perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak
jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis
C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri.
Ada 6 macam model keperawatan kesehatan jiwa, yaitu:
1.      Psikoanalisa
2.      Interpersonal
3.      Sosial
4.      Existensial
5.      Supportive therapy
6.      Medical

3.2        Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah diolah, maka penulis mempunyai
beberapa saran yang diharapkan dapat dipertimbangkan dan berguna bagi kita semua,
yaitu:
1.      Pengadaan klinik-klinik psikiatrik akan membantu mengatasi banyaknya masalah-
masalah kesehatan jiwa masyarakat.
2.      Peran serta masyarakat akan sangat membantu dalam mengatasi masalah-masalah
kesehatan jiwa masyarakat.
3.      Diharapkan kesehatan jiwa healthy people 2010 dapat mengurangi masalah-masalah
kesehatan jiwa yang dihadapi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai