Anda di halaman 1dari 29

`` LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI KOMUNITAS

Care Plan
(Studi Kasus Demam Tifoid)

DISUSUN OLEH:
Rizcha Anastasia Widodo, S.Farm
200070600011010

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi yang menyerang saluran pencernaan dan menimbulkan beberapa
gejala seperti demam, mual, muntah, nyeri abdomen atau perasaan tidak enak di
perut, dan diare. Walau dapat terjadi pada semua umur, anak-anak lebih rentan
terserang penyakit ini meskipun gejala yang dialami anak cenderung lebih ringan
dibandingkan dewasa. Insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 3-19
tahun di hampir semua daerah endemik (Isnainy, 2018).
Penularan demam tifoid terjadi melalui beberapa cara yang disebut 5F,
yakni Food (makanan), Fingers (jari tangan /kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat),
dan melalui Feces (kotoran). Maka dari itu, penyebaran penyakit ini berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan
sanitasi yang buruk, serta standar higiene pengolahan makanan yang rendah
(Prehamukti, 2018).
WHO memperkirakan bahwa di seluruh dunia terdapat sejumlah 17 juta
kematian akibat demam tifoid tiap tahun, di mana kasus terbanyak terjadi di Asia
sebesar 13 juta kasus tiap tahunnya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia
diperkirakan terdapat sejumlah 900.000 penduduk tiap tahunnya dengan lebih dari
20.000 kematian (Saputra, 2017). Di Jawa Timur sendiri, terdapat kejadian
demam tifoid sejumlah 15.244 kasus pada tahun 2015 (Diana, 2017).
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat muncul jika infeksi Salmonella
typhi tidak diterapi secara adekuat, antara lain pendarahan usus, melena, perforasi
usus, dan peritonitis (Saputra, 2017). Terapi demam tifoid bersifat kuratif dengan
menggunakan antibiotik untuk melawan bakteri penyebab penyakit, dan terapi
tambahan untuk mengurangi gejala dan cairan untuk mencegah dehidrasi. Maka,
diperlukan asuhan kefarmasian untuk memastikan terapi yang diterima pasien
adekuat.
1.2 Tujuan
Tujuan terapi pada pasien demam tifoid adalah mempercepat
penyembuhan, meminimalkan komplikasi, dan isolasi untuk mencegah
pencemaran atau kontaminasi lingkungan.

1.3 Data Pasien


Pada tanggal 31 Mei 2021, pasien An. R datang ke poli umum Puskesmas
Tumpang dengan keluhan demam 7 hari, mual, dan batuk pilek. An. R didiagnosa
demam tifoid dan masuk ke unit rawat inap. Pada hari pertama pasien mendapat
resep:

Gambar 1.1 Resep Pasien An. R.


Data penderita diperoleh dari hasil skrining keabsahan dan kelengkapan
resep yakni sebagai berikut :
1. Skrining Administratif
a. Dokter Penulis Resep
Nama dokter : Tidak Ada
Alamat praktek : Puskesmas Tumpang
SIP : Tidak ada
b. Pasien Penerima Resep
Nama pasien : Ny. H
Alamat pasien : Tulus Besar
Jenis kelamin : Perempuan
Umur pasien : 3 tahun
BB : Tidak ada
No. Rekam Medik : Tidak ada
c. Kelengkapan Resep
Tanggal penulisan resep : 31 Mei 2021
Nama obat dan jumlah yang diinginkan : Ada
Bentuk sediaan yang diinginkan : Ada
Aturan pakai : Ada
Tanda tangan/paraf dokter : Ada

2. Skrining Farmasetika
Kekuatan obat tidak terdapat dalam resep, namun hal ini dapat diketahui
berdasarkan aturan pakai, umur pasien, dan sediaan yang terdapat di Puskesmas
Tumpang.

3. Skrining Klinis
Dokter mendiagnosa An. R dengan demam tifoid. Berdasarkan asesmen,
pasien datang dengan keluhan demam 7 hari, mual, dan batuk pilek. Pasien
berusia 3 tahun dengan berat badan 12kg. Dokter mendiagnosa pasien dengan
demam tifoid (typhoid fever). Berdasarkan resep di atas dan data rekam medik
didapatkan skrining klinis terapi pada hari pertama:
Obat Dosis Literatur Dosis sekali Dosis Sehari Keterangan
Ampicillin <40kg: iv Dosis resep Dosis resep Indikasi:
3x200mg iv 50mg/kg/hari iv 200mg 3x200mg= Infeksi S. typhi.
atau im terbagi 600mg
3-4 kali sehari Dosis literatur Dosis sekali pakai
(drugs.com, 12x50/3= Dosis literatur dan sehari sesuai.
2021) 200mg 12x50mg=
600mg per hari
Antrain 9-15kg: iv Dosis resep Dosis resep Indikasi:
(Metamizole) 80-240mg/dosis 200mg 3x200mg= Demam
3x200mg iv 320-960mg/hari 600mg
(EMA, 2018) Dosis literatur Dosis sekali pakai
80-240mg/ Dosis literatur dan sehari sesuai.
dosis 320-960mg/hari
Domperidone < 35kg: p.o. Dosis resep Dosis resep Indikasi:
1x5mg prn 0,25mg/kg 5mg 1x5mg=5mg mual muntah
mual muntah Max
0,75mg/kg/hari Dosis literatur Dosis literatur Dosis sekali
(EMA, 2018) 12x0,25mg= 12x0,75mg= berlebih
3mg 9mg/hari
Dosis dan bentuk
sediaan diganti ke
domperidone sirup
suspensi 5mg/5ml
dengan dosis
3x2,5ml setelah
konfirmasi dokter.
Vit C 3x25mg 35-100mg/hari Dosis resep Dosis resep Indikasi:
(drugs.com, 25mg 3x25mg=75mg suplementasi
2021) vitamin C
Dosis literatur Dosis literatur
- 35-100mg/hari Dosis sesuai
Vit B 1-2 tablet/hari Dosis resep Dosis resep Indikasi:
complex 3x½ ½ tab 3x½ tab=1,5 tab suplementasi
tab vitamin B
Dosis literatur Dosis literatur
- 1-2 tablet/hari Dosis sesuai
Chlorphenira- 2-6 tahun: p.o. Dosis resep Dosis resep Indikasi: pilek
mine maleat 1mg tiap 4-6 2mg 3x2mg=6mg
3x2mg jam, maksimal Dosis sekali
6mg/hari Dosis literatur Dosis literatur berlebih
(rxlist.com, 1mg maksimal
2021) 6mg/hari
Berdasarkan rekam medik pasien, keadaan pasien membaik dan
dipulangkan pada tanggal 2 Juni 2021. Berikut adalah terapi yang diterima pasien
selama rawat inap:
Regimen Dosis Tanggal
No. Obat
31/5 1/6 2/6
1. Ampicillin 3x200 mg (iv) √ √ √
2. Antrain 3x200 mg (iv)
√ √ //
prn demam
3. Domperidone 3x2,5 mg (po)
√ //
prn mual
4. Chlorpheniramine maleat 3x2mg (po) √ //
3x0,8mg(po) √ √
5. Guaifenesin 3x20mg (po) √ √
6. Vitamin B Complex 3x½ tab (po) √ √ √
7. Vitamin C 3x25mg (po) √ √ √
BAB II
ASSESS NEEDS AND IDENTIFY DRUG THERAPY PROBLEM TO
ACHIEVE GOAL OF THERAPY

2.1 Assessment Needs


Hal pertama yang dilakukan saat resep diterima yaitu melakukan
penggalian informasi yang dibutuhkan terkait dengan resep. Beberapa hal penting
yang perlu diketahui tentang pasien antara lain keluhan, adanya alergi terhadap
obat tertentu, riwayat pengobatan, dan riwayat penyakit pasien. Hal-hal teersebut
membantu apoteker memastikan bahwa terapi yang diterima efektif dan efisien
untuk pasien.

2.2 Disease Factor


2.2.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut pada usus halus yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh
akibat fasilitas sanitasi dan kebersihan makanan yang belum memadai (Mansjoer,
2011). Selain itu, Kepmenkes RI no. 364 tahun 2006 mengenai pengendalian
demam tifoid menjelaskan bahwa demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan
kuman berbentuk basil yaitu Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan
atau minuman yang tercemar feses manusia (Kementrian Kesehatan RI, 2006).

2.2.2 Epidemiologi
WHO memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kematian terjadi tiap tahun
akibat demam tifoid. Kasus terbanyak terdapat di Asia sebesar 13 juta kasus tiap
tahunnya. Di Indonesia diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk
yang terkena penyakit demam tifoid sepanjang tahun. Kasus tifoid diderita oleh
anak-anak sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan angka kematian 20.000
pertahunnya (Saputra, 2017).
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar kebersihan
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Penularan penyakit ini hampir
selalu melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Saputra, 2017).
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 memperlihatkan bahwa gambaran
10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi kasus
demam tifoid sebesar 5,13%. Prevalensi demam tifoid banyak ditemukan pada
umur 5–19 tahun dan paling rendah pada bayi. Prevalensi demam thypoid
menurut tempat tinggal paling banyak di pedesaan dibandingkan perkotaaan,
dengan pendidikan rendah dan dengan jumlah pengeluaran rumah tangga rendah
(Depkes RI, 2013).

2.2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi.
Bakteri ini mempunyai 3 macam antigen, antara lain antigen somatik (O) yang
disebut juga endotoxin, terletak di lapisan luar bakteri dengan komponen protein,
lipopolisakarida, dan lipid; antigen flagela (H) yang terletak pada flagela,
fimbriae, dan pili dengan struktur berupa protein; dan antigen permukaan (Vi)
dengan struktur protein terletak pada selaput dinding bakteri yang berfungsi
melindungi bakteri dari fagositosis oleh sel imun (Nasronudin, 2017)
Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan
tempat bakteri berkembang biak dan merangsang sintesis pelepasan zat pirogen
dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Penyakit ini
berkaitan erat dengan lingkungan di mana penyediaan air minumnya tidak
memenuhi syarat kesehatan dan memiliki sanitasi yang buruk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran demam tifoid antara lain sanitasi umum, kualitas air,
kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa laki-laki lebih sering terinfeksi tifoid karena lebih sering bekerja dan
makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya (Sherwood, 2001).

2.2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi dari demam tifoid yang pasti dijumpai adalah demam.
Demam meningkat perlahan menjelang sore hingga malam hari dan menurun pada
siang hari. Pada minggu kedua, demam dapat mencapai 39-40 derajat celcius dan
menetap. Gejala demam tifoid umumnya tidak spesifik, anta lain demam, sakit
kepala, anoreksia, myalgia, athralgia, mual, nyeri perut, konstipasi, dan diare.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam tinggi, bradikardi relatif, lidah
kotor, hepatomegali, nyeri tekan abdomen, splenomegali, atau rose spot. Gejala
klinis yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi umumnya lebih ringan
dibandingkan oleh Salmonella typhi (Levani, 2020).
Komplikasi dapat terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum bila perawatan pasien kurang sempurna. Komplikasi intestinal dari demam
tifoid dapat berupa pendarahan usus, perforasi usus, dan ileus paralitik.
Sedangkan komplikasi di luar usus dapat terjadi di banyak organ, beberapa
diantaranya yakni sepsis, trombositopenia, pneumonia, hepatitis,
glomerulonefritis, dan meningitis (Mansjoer, 2011).
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya aglutinin O, H, dan Vi.
Namun, interpretasinya hanya menggunakan O dan H. Pembentukan aglutinin
dimulai dari aglutinin O kemudian aglutinin H. Pada penderita yang bebas
demam, aglutinin O akan tetap ditemukan hingga 4-6 bulan, dan aglutinin H
hingga 9-12 bulan. Karena itu, uji widal tidak dapat menjadi acuan keberhasilan
terapi (Levani, 2020).

2.2.5 Patofisiologi
Bakteri yang terbawa melalui makanan atau benda lainnya akan memasuki
pencernaan. Dosis infektif rata-rata untuk menimbullkan infeksi klinis dan
subklinis pada manusia adalah sebesar 105-108 bakteri Salmonella. Sebagian dari
bakteri akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun sebagian yang lolos akan
masuk ke usus halus dan melakukan penetrasi mukosa usus serta berproliferasi.
Ketika bakteri mencapai epitel dan IgA tidak dapat menanganinya, maka akan
terjadi degenerasi brush border (mikrovili pada usus) (Brooks, 2007).
Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan
tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus
dan mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterik untuk kemudian menjalani
multiplikasi. Setelah periode inkubasi (umumnya 7-14 hari), Salmonella typhi
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Maka, bakteri dapat mencapai organ manapun, meski tempat utamanya
adalah hati, limpa, sumsum tulang, kantung empdu, dan peyer’s patch ileum
terminal. Infeksi Salmonella typhi di mukosa usus dan komponen limfoid usus
akan menyebabkan inflamasi, hiperplasia, yang dapat berlanjut menjadi nekrosis.
Selain itu, bakteri akan memproduksi enterotoksin yang akan menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen usus (Soedarmo, 2012).

2.2.6 Terapi
A. Nonfarmakologi
Tirah baring atau bed rest bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang
membuat kondisi pasien menjadi lebih buruk. Tergantung pada tingkat keparahan
pasien, pasien dapat diminta hanya untuk mengurangi aktivitas hingga benar-
benar harus beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas
apapun. Pada pasien demam tifoid hal ini mencegah timbulnya komplikasi
perforasi atau pendarahan usus. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai pulihnya
kekuatan pasien. Bed rest dilakukan minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih sampai 14 hari (Rahmasari, 2018).
Pasien demam tifoid dianjurkan mengikuti diet lunak rendah serat demi
menghindari komplikasi perforasi atau perdarahan usus. Makanan rendah serat
membatasi volume feses dan mengurangi rangsangan pada saluran cerna. Adapun
asupan serat maksimal 8 gram/hari. Pasien juga dianjurkan menghindari susu,
daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam serta makanan
diberikan dalam porsi kecil. Makanan harus cukup cairan, kalori, protein, dan
vitamin (Rahmasari, 2018).
Pasien harus menjaga kebersihan untuk mencegah penularan bakteri
Salmonella ke makanan yang tersentuh tangan. Tangan harus dicuci dengan sabun
minimal selama 15 detik, dibilas, dan dikeringkan sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet. Orang yang baru sembuh dari tifoid masih terus mengekresi
Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih sampai 3 bulan setelah sakit dan dapat
menjadi karier kronik bila masih mengandung basil sampai 1 tahun atau lebih.
Maka, higienitas harus tetap dijaga setelah dinyatakan sembuh untuk mencegah
penularan (Rahmasari, 2018).
B. Farmakologi
Terapi simtomatik dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita, antara lain vitamin, antipiretik, dan antiemetik. Selain itu, penderita
harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral atau parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada pasien dengan sakit berat, mengalami komplikasi,
penurunan kesadaran, serta sulit makan. Dosis cairan disesuaikan dengan
kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal
(Kementrian Kesehatan RI, 2006).
Antimikroba diberikan dengan segera jika diagnosa demam tifoid telah
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosa konfirmasi, probable, ataupun suspek.
Pilihan antimikroba disesuaikan dengan kepekaan tertinggi pada suatu daerah
karena daerah yang berbeda akan memiliki tingkat kepekaan yang berbeda
terhadap antimikroba. Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah
Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita hamil), dan
Trimetoprim-sulfametoksazol. Bila pemberian antimikroba lini perama dinilai
tidak efektif dapat dipilih antimikroba lini kedua untuk tifoid, antara lain
seftriakson, sefiksim (efektif untuk anak), dan golongan quinolone (tidak
dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dapat mengganggu pertumbuhan tulang).
Bila penderita telah memiliki riwayat tifoid sebelumnya maka dianjurkan
pemberian golongan quinolone karena antimikroba ini efektif mencegah relaps
dan karier (Kementrian Kesehatan RI, 2006).

2.3 Identify Drug Therapy Problem


Obat-obatan yang diberikan pada pasien selama rawat inap yaitu
ampicillin, antrain, domperidone, chlorpheniramine, guaifenesin, vitamin B
complex dan C.
a. Ampicillin (drugs.com, 2021)
Indikasi : Infeksi kemih, pneumonia, gonorrhea, meningitis, infeksi
saluran pencernaan.
Kontraindikasi : hipersensitivitas penisilin
Efek samping : diare terkait C. difficile, mual, ruam makulopapular
Komentar : ampicillin diberikan sebagai antibiotik terhadap S. typhi.
b. Antrain (metamizole) (MIMS.com)
Indikasi : nyeri berat, demam
Kontraindikasi : hipersensitivitas metamizole, supresi sum-sum tulang atau
kelainan hematopoetik, hipotensi, kondisi kardiovaskuler
tidak stabil, gangguan hepar dan ginjal berat, anak-anak < 3
bulan atau <5 kg, kehamilan dan laktasi.
Efek samping : hipotensi, nyeri dada, aritmia, mual, dispepsia, pusing.
Komentar : metamizole diberikan pada saat demam untuk menurunkan
demam, namun obat dapat menyebabkan dispepsia akibat
penghambatan prostaglandin sehingga dapat memperburuk
keluhan mual.
c. Domperidone (MIMS.com, 2021)
Indikasi : Mual muntah
Kontraindikasi : Prolactinoma, prolongasi interval QT, gangguan elektrolit
berat, penyakit jantung, pendarahan pencernaan, gangguan
hepar sedang hingga berat.
Efek samping : peningkatan kadar prolaktin, hipersensitivitas domperidone,
efek samping ekstrapiramidal (pada anak-anak)
Komentar : Domperidone diberikan untuk keluhan mual muntah pasien
dan hanya diminum jika mual. Dosis diturunkan dari resep
awal (1x5mg ke 3x2,5mg) karena dosis sekali pakai terlalu
besar untuk bobot pasien. Terdapat interaksi mayor antara
domperidone dan chlorpheniramine maleat di mana
domperidone memiliki resiko tinggi menimbulkan
perpanjangan interval QT dan chlorpheniramine maleat
memiliki resiko moderat menimbulkan perpanjangan interval
QT, kombinasi kedua obat ini dapat meningkatkan resiko
perpanjangan interval QT (drugbank.com). Selain itu,
berdasarkan studi yang dilakukan Leitz, et al. (2019), tidak
ditemukan perbedaan signifikan antara efektivitas
domperidone dengan plasebo dalam menurunkan kejadian
mual dan muntah pada pasien pediatrik yang mengalami
gastroenteritis.
d. Chlorpheniramine maleate (MIMS.com, 2021)
Indikasi : Kondisi alergi
Kontraindikasi : Asma akut, glaukoma sudut sempit, hambatan saluran
kencing, hipertrofi prostat simtomatik, ulkus peptikum.
Efek samping : faringitis, retensi uriner, poliuria, somnolence, sedasi,
penekanan CNS, mulut kering, mual, diare, arthralgia.
Komentar : Obat diberikan untuk keluhan pilek dan memudahkan pasien
beristirahat karena memiliki efek samping sedasi. Pada hari
pertama dosis terlalu besar untuk usia pasien (3x2mg) dan
diturunkan di hari kedua menjadi 3x0,8mg. Terdapat interaksi
mayor di mana kombinasi CTM dan domperidone dapat
meningkatkan resiko perpanjangan interval QT
(drugbank.com).
e. Guaifenesin (drugs.com, 2021)
Indikasi : batuk, membantu melepaskan dan mengencerkan dahak yang
mengganggu sehingga membuat batuk lebih produktif.
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Efek samping : mual, muntah, pusing, sakit kepala, ruam.
Komentar : pada hari pertama obat batuk diberikan meski pasien
memiliki keluhan batuk. Obat diberikan pada hari kedua
setelah intervensi apoteker.
f. Vit B complex (B1, B2, B6, nikotinamid, ca pantothenat) (webmd.com, 2021)
Indikasi : mengatasi atau mencegah defisiensi vitamin B
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Efek samping : sakit perut ringan
Komentar : vitamin untuk menjaga stamina pasien dengan mencegah
defisiensi vitamin B karena pasien susah makan.
g. Vitamin C (webmd.com, 2021)
Indikasi : mengatasi atau mencegah defisiensi vitamin C
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Efek samping : mual, muntah, GERD, nyeri perut, batu ginjal (dosis >2g)
Komentar : vitamin untuk menjaga stamina pasien dengan mencegah
defisiensi vitamin C karena pasien susah makan.
Drug Related Problem (DRP) atau disebut juga masalah terkait obat
didefinisikan sebagai keadaan yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien
berkaitan dengan terapi obat dan mengganggu pencapaian dari tujuan terapi.
Identifikasi terhadap kemungkinan terjadinya DRP yang dialami oleh pasien
merupakan salah satu tahapan dari pelayanan asuhan kefarmasian yang dilakukan
oleh apoteker (Rovers et al., 2003).
Terdapat dua jenis DRP, yaitu DRP aktual dan potensial. DRP aktual
merupakan masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan
untuk memperbaikinya. Sedangkan DRP potensial merupakan masalah yang besar
kemungkinan dapat terjadi pada pasien karena berkembangnya suatu resiko jika
farmasis tidak turun tangan (Rovers et al., 2003).
Pharmaceutical Care Network Europe (2006) mengklasifikasikan
permasalahan DRP pada klasifikasi DRP PCNE vol. 5 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi DRP (PCNE, 2006)
Domain Primer Kode V4 Masalah
1. Adverse reaction P1.1 Mengalami efek samping (non
Pasien mengalami alergi)
reaksi obat yang tidak P1.2 Mengalami efek samping (alergi)
diinginkan P1.3 Mengalami efek toksik
2. Drug Choice P2.1 Obat yang tidak tepat
Problem P2.2 Sediaan obat yang tidak tepat
Pasien mendapatkan P2.3 Duplikasi kelompok terapi atau zat
obat yang salah atau aktif yang tidak tepat
tidak mendapatkan obat P2.4 Kontraindikasi obat (kehamilan atau
untuk penyakit yang menyusui)
dideritanya P2.5 Tidak ada indikasi yang jelas pada
penggunaan obat
P2.6 Tidak ada obat yang diresepkan
tetapi indikasi jelas
3. Dosing Problem P3.1 Dosis dan atau frekuensi obat terlalu
Pasien mendapatkan rendah
jumlah obat yang P3.2 Dosis dan atau frekuensi obat terlalu
kurang atau lebih dari tinggi
yang dibutuhkan P3.3 Durasi terapi terlalu pendek
P3.4 Durasi terapi terlalu panjang
4. Drug Use Problem P.4.1 Obat tidak dipakai sama sekali
Obat tidak digunakan P4.2 Obat dipakai dengan cara yang salah
atau salah penggunaan-
nya
5. Interactions P5.1 Interaksi yang potensial
Ada interaksi obat-obat P5.2 Interaksi yang terbukti terjadi
atau obat-makanan
yang terjadi atau
potensial terjadi
6. Others P6.1 Pasien tidak merasa puas dengan
terapinya walau menggunakan obat
dengan benar
P6.2 Kurangnya pengetahuan terhadap
masalah kesehatan dan penyakit
(dapat menyebabkan masalah di
masa mendatang)
P6.3 Keluhan tidak jelas, perlu klarifikasi
lebih lanjut
P6.4 Gagal terapi (penyebab tidak
diketahui)

PCNE juga mengklasifikasikan penyebab dari DRP dalam PCNE vol. 5


sebagai berikut.
Tabel. Klasifikasi Penyebab DRP (PCNE, 2006)
Penyebab DRP (satu masalah dapat disebabkan banyak hal)
No Domain Primer Kode Penyebab
.
1. Pemilihan Obat C 1.1 Pemilihan obat tidak tepat
(Penyebab DRP C 1.2 Pemilihan dosis tidak tepat
terkait pemilihan C 1.3 Terdapat obat lebih cost-effective
obat atau jadwal C 1.4 Permasalahan farmakokinetika
minum) C 1.5 Tidak diberikan obat
sinergistik/preventif yang dibutuhkan
C 1.6 Kondisi penyakit memburuk/membaik
C 1.7 Terdapat gejala atau indikasi baru
C 1.8 Terjadi efek samping, tidak ada
penyebab lain
2. Penggunaan Obat C 2.1 Waktu penggunaan dan/atau interval
(Penyebab DRP dosis yang tidak tepat
berkaitan dengan C 2.2 Obat yang dikonsumsi kurang
cara pasien meng- C 2.3 Obat yang dikonsumsi berlebih
gunakan obat C 2.4 Kadar terapetik obat tidak dimonitor
walau tertera cara C 2.5 Penyalahgunaan obat
pemberian yang C 2.6 Pasien tidak dapat menggunakan obat
benar) sesuai instruksi
3. Informasi C 3.1 Instruksi penggunaan tidak diketahui
(Penyebab DRP C 3.2 Pasien tidak tahu alasan pemberian
obat
C 3.3 Pasien kesulitan membaca/memahami
lembar informasi/leaflet
berkaitan dengan C 3.4 Pasien tidak memahami bahasa lokal
kurangnya atau C 3.5 Kurangnya komunikasi antara tenaga
kesalahpahaman kesehatan
4. informasi)
Pasien/Psikologis C 4.1 Pasien lupa menggunakan obat
(Penyebab DRP C 4.2 Pasien memiliki kekhawatiran tentang
berkaitan dengan obatnya
kepribadian atau C 4.3 Pasien mencurigai efek samping
perilaku pasien) C 4.4 Pasien tidak mau menanggung beban
biaya
C 4.5 Pasien tidak mau mengganggu dokter
C 4.6 Pasien tidak mau mengganti obat
C 4.7 Pasien tidak mau mengadaptasi gaya
hidup
C 4.8 Beban pengobatan
C 4.9 Pengobatan tidak sesuai dengan
kepercayaan pasien
C 4.10 Pasien mengonsumsi makanan yang
berinteraksi dengan obat
5 Logistik C 5.1 Obat yang diminta tidak tersedia
(Penyebab DRP C 5.2 Kesalahan peresepan (hilangnya
berkaitan dengan informasi penting)
ketersediaan obat C 5.3 Kesalahan dispensing (salah obat /
saat dispensing) salah dosis)
6 Lainnya C 6.1 Penyebab lain; sebutkan
C 6.2 Tidak ada penyebab yang jelas

Apoteker berperan dalam memberikan suatu rekomendasi untuk


menyelesaikan suatu DRP yang muncul. PCNE juga memberikan klasifikasi
terhadap intervensi yang diberikan untuk menyelesaikan suatu DRP. Klasifikasi
intervensi DRP tersebut disajikan sebagai berikut.
Tabel. Klasifikasi Intervensi Permasalahan Terkait DRP (PCNE, 2010)
Intervensi DRP (satu masalah dapat diberikan lebih dari satu intervensi)
No
Domain Primer Kode Penyebab
.
0 Tidak ada intervensi I 0.0 Tidak ada intervensi
1 Tahap Peresepan I 1.1 Menginformasikan pada dokter
I 1.2 Dokter meminta informasi
I 1.3 Mengajukan intervensi, disetujui dokter
I 1.4 Mengajukan intervensi, tidak disetujui
dokter
I 1.5 Mengajukan intervensi, hasil tidak
diketahui
2 Tahap Pasien I 2.1 Melakukan konseling obat pada pasien
I 2.2 Hanya memberikan informasi tertulis
I 2.3 Mempertemukan pasien dengan dokter
I 2.4 Berbicara dengan anggota keluarga
pasien
3 Tahap Pengobatan I 3.1 Mengganti obat
I 3.2 Mengganti dosis
I 3.3 Mengganti formulasi/bentuk sediaan
I 3.4 Mengganti instruksi penggunaan
I 3.5 Menghentikan pengobatan
I 3.6 Memulai pengobatan baru
4 Intervensi lain I 4.1 Intervensi lain (sebutkan)
I 4.2 Melaporkan efek samping kepada otoritas

DRP pada kasus resep untuk An. R dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 DRP pada Pasien An. R
Nama Obat DRP Kategori DRP
Antrain inj.
Antrain memiliki efek P2.1: Obat yang tidak tepat
samping dispepsia C1.1: Pemilihan obat tidak tepat
akibat panghambatan I1.5: Mengajukan intervensi, hasil
prostaglandin, tidak diketahui
sedangkan pasien
memiliki keluhan mual.
Domperidone Dosis sekali minum P3.2: Dosis dan atau frekuensi obat
berlebih untuk BB 12kg. terlalu tinggi
C1.2: Pemilihan dosis tidak tepat
I1.3: Mengajukan intervensi,
disetujui dokter
Interaksi mayor antara P5.1: Interaksi yang potensial
domperidone dan C1.1: Pemilihan obat tidak tepat
chlorpheniramine I1.5: Mengajukan intervensi, hasil
maleat di mana tidak diketahui
domperidone memiliki
resiko tinggi
menimbulkan
perpanjangan interval
QT dan
chlorpheniramine
maleat memiliki resiko
moderat menimbulkan
perpanjangan interval
QT, kombinasi kedua
obat ini dapat
meningkatkan resiko
perpanjangan interval
QT (drugbank.com).
Efektivitas domperidone P2.1: Obat yang tidak tepat
dibandingkan plasebo C1.1: Pemilihan obat tidak tepat
tidak berbeda secara I1.5: Mengajukan intervensi, hasil
signifikan untuk tidak diketahui
mengatasi mual akibat
infeksi pencernaan pada
anak (Leitz, et al.,
2019). Konsensus saat
ini merekomendasikan
rehidrasi untuk
mengatasi dehidrasi
akibat gastroenteritis
pada anak. Sedangkan
antiemetik yang dapat
diberikan untuk
membantu berhasilnya
rehidrasi oral adalah
ondansentron (Hartman,
2019).
Chlorphenira Dosis sekali minum P3.2: Dosis dan atau frekuensi obat
-mine maleat berlebih untuk umur 3 terlalu tinggi
tahun. C1.2: Pemilihan dosis tidak tepat
I1.3: Mengajukan intervensi,
disetujui dokter
Guaifenesin Keluhan batuk tidak P2.6: Tidak ada obat yang
diberi terapi padah hari diresepkan tetapi indikasi jelas
pertama. C6.2: Tidak ada penyebab yang
jelas
I1.1: Menginformasikan pada dokter
BAB III
DEVELOP A CARE PLAN

Hasil screening resep dan assessment pasien memerlukan tindak lanjut


untuk mencapai tujuan terapi. Berdasarkan hasil screening resep dan assessment
pasien terdapat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan diantaranya
sebagai berikut.
Tabel 3.1 Permasalahan Terapi pada Pasien An. R.
Kategori
No Nama Obat DRP Penyelesaian
DRP
1. Antrain inj. Antrain memiliki efek P2.1 Mengajukan
samping dispepsia C1.1 rekomendasi untuk
akibat panghambatan I1.5 mengganti terapi dengan
prostaglandin, parasetamol oral jika
sedangkan pasien terjadi demam karena
memiliki keluhan mual. pasien masih dapat
mengonsumsi obat secara
oral.
2. Domperidone Pasien diresepkan P3.2 Mengajukan intervensi
10 mg domperidone ½ tablet C1.2 pada dokter untuk
untuk dibuat puyer. I1.5 mengurangi dosis.
Melalui asesmen Intervensi diterima
diketahui dosis berlebih: sehingga dosis dikurangi.
 Dosis resep 5mg
 Dosis literatur (EMA,
2018):
12x0,25mg= 3mg
Interaksi mayor antara P5.1 Mengajukan
domperidone dan C1.1 rekomendasi untuk
chlorpheniramine I1.5 mengganti terapi dengan
maleat di mana rehidrasi oral (oralit)
domperidone memiliki untuk mencegah
resiko tinggi dehidrasi. Rekomendasi
menimbulkan untuk memberikan
perpanjangan interval ondansentron jika
QT dan dibutuhkan.
chlorpheniramine
maleat memiliki resiko
moderat menimbulkan
perpanjangan interval
QT, kombinasi kedua
obat ini dapat
meningkatkan resiko
perpanjangan interval
QT (drugbank.com).
Efektivitas domperidone P2.1 Mengajukan
dibandingkan plasebo C1.1 rekomendasi untuk
tidak berbeda secara I1.5 mengganti terapi dengan
signifikan untuk rehidrasi oral (oralit)
mengatasi mual akibat untuk mencegah
infeksi pencernaan pada dehidrasi. Rekomendasi
anak (Leitz, et al., untuk memberikan
2019). Konsensus saat ondansentron jika
ini merekomendasikan dibutuhkan
rehidrasi untuk
mengatasi dehidrasi
akibat gastroenteritis
pada anak. Sedangkan
antiemetik yang dapat
diberikan untuk
membantu berhasilnya
rehidrasi oral adalah
ondansentron (Hartman,
2019).
3. Chlorpheni- Pasien diresepkan CTM P3.2 Mengajukan intervensi
ramine ½ tablet untuk dibuat C1.2 pada dokter untuk
maleat 4 mg puyer. Melalui asesmen I1.3 mengurangi dosis.
diketahui dosis berlebih: Intervensi diterima
 Dosis resep: 2mg sehingga dosis dikurangi.
 Dosis literatur
(rxlist.com, 2021):
1mg
4 Guaifenesin Pasien datang ke UGD P2.6 Menginformasikan pada
selain dengan keluhan C 6.2 dokter bahwa pasien
demam dan mual juga I 1.1 memiliki keluhan batuk
memiliki keluhan batuk yang belum menerima
pilek. Pada resep hari terapi sehingga dokter
pertama pasien tidak meresepkan guaifenesin.
diberikan obat batuk.

Setelah melakukan screening resep dan menyiapkan obat, selanjutnya adalah


tahapan penyerahan obat dan konseling. Penyerahan obat kepada pasien disertai
dengan pemberian informasi mengenai nama dan jumlah obat yang didapat,
indikasi obat, bentuk sediaan, dosis, aturai pakai, cara penyimpanan, efek samping
yang paling dominan dan cara mengatasinya. Pada tahap ini selain pemberian
informasi terkait obat yang diberikan juga perlu dilakukan edukasi kepada pasien
terkait terapi non farmakologi untuk mendukung tercapainya tujuan terapi dan
mencegah penularan penyakit demam tifoid.
Konseling yang diberikan pada pasien ketika penyerahan obat sebagai
berikut.
a. Terdapat 2 macam obat yang diresepkan oleh dokter untuk diminum, yakni
domperidone dan puyer racikan. Domperidone sirup berfungsi
meringankan mual, diminum setengah sendok teh atau setengah sendok
takar maksimal 3 kali sehari, sebaiknya diberi jarak 7-8 jam. Obat
diminum jika mual saja 30 menit sebelum makan. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah deredegan dan otot tampak berkedut. Walau jarang
muncul, jika efek samping terjadi laporkan pada dokter. Puyer berisi
vitamin B, vitamin C, dan CTM untuk menjaga stamina dan memudahkan
istirahat. Puyer diminum 3 kali sehari satu bungkus setelah makan. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah mengantuk. Bila masih muntah
disarankan untuk minum air putih agar tidak dehidrasi.
b. Pasien disarankan untuk banyak beristirahat dan mengurangi aktivitas
selama perawatan di rawat inap. Pasien disarankan untuk makan makanan
lunak dan rendah serat agar tidak membebani pencernaan. Pasien juga
untuk sementara dianjurkan menghindari susu, daging berserat kasar,
lemak, terlalu manis, asam, pedas, serta tinggi serat seperti sayuran.
Makanan sebaiknya diberikan dalam porsi kecil namun sering.
c. Demam tifoid disebabkan oleh masuknya bakteri Salmonella ke dalam
tubuh lewat makanan, dan bakteri akan masih terdapat pada tinja penderita
hingga beberapa bulan setelah kondisi membaik, maka pasien harus
menjaga kebersihan untuk mencegah penularan bakteri Salmonella ke
makanan. Tangan harus dicuci dengan sabun sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet. Makanan juga harus terjamin kebersihannya agar
tidak terkena penyakit lagi.
BAB IV
IMPLEMENT THE CARE PLAN

4.1 Informasi Langsung


Pemberian informasi dilakukan secara langsung kepada pasien dalam
bentuk konseling. Konseling dilakukan oleh penulis (calon apoteker) kepada
pasien ketika penyerahan obat dengan bertatap muka di ruang rawat inap.
Pemberian informasi (KIE) dengan metode konseling ini bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman pasien terkait terapi yang diterima sehingga dapat
memperoleh outcome therapy yang maksimal. Selain itu, pemberian KIE juga
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien dan mencegah
penularan bakteri Salmonella typhi.
Informasi langsung yang diberikan kepada pasien atau keluarga pasien
ketika menyerahkan obat yaitu meliputi nama, jumlah obat dan bentuk sediaan,
indikasi obat, dosis dan aturan pakai dari obat, efek samping obat dan cara
mengatasi efek samping obat apabila muncul, dan diet makanan atau minuman
yang perlu dihindari. Pemberian informasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan
pasien. Informasi yang diberikan kepada pasien yaitu meliputi :
a. Domperidone sirup
Indikasi : Mual muntah
Aturan Pakai : diminum ½ sendok teh atau sendok takar 30 menit sebelum
makan bila mual saja, maksimal 3 kali sehari.
Efek Samping : jantung deredegan, otot berkedut atau berkontraksi, jika
terjadi laporkan pada perawat atau dokter.
b. Puyer racikan berisi vitamin B, vitamin C, dan CTM
Indikasi : menjaga stamina dan memudahkan istirahat
Aturan Pakai : diminum 3 kali 1 bungkus sesudah makan
Efek Samping : mengantuk
c. Terapi Non Farmakologi
Pasien disarankan untuk banyak beristirahat dan mengurangi aktivitas
selama perawatan di rawat inap. Pasien disarankan untuk makan makanan
lunak dan rendah serat agar tidak membebani pencernaan. Pasien juga untuk
sementara dianjurkan menghindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu
manis, asam, pedas, serta tinggi serat seperti sayuran. Makanan sebaiknya
diberikan dalam porsi kecil namun sering.
Demam tifoid disebabkan oleh masuknya bakteri Salmonella ke dalam
tubuh lewat makanan, dan bakteri akan masih terdapat pada tinja penderita
hingga beberapa bulan setelah kondisi membaik, maka pasien harus menjaga
kebersihan untuk mencegah penularan bakteri Salmonella ke makanan.
Tangan harus dicuci dengan sabun sebelum makan dan setelah menggunakan
toilet. Makanan juga harus terjamin kebersihannya agar tidak terkena penyakit
lagi.

4.2 Information Sheet


4.2.1 Etiket

UPTD PUSKESMAS TUMPANG


Jl. Setiawan No. 227 Tumpang
Telp. 0341 78723
No: Tgl : 31 Mei 2021

An. R
Domperidone (mual muntah)
3 kali sehari ½ sendok teh
Sebelum / Sesudah makan

UPTD PUSKESMAS TUMPANG


Jl. Setiawan No. 227 Tumpang
Telp. 0341 78723
No: Tgl : 31 Mei 2021

An. R
Puyer
3 kali sehari 1 bungkus
Sebelum / Sesudah makan
BAB V
MONITOR AND REVIEW THE CARE PLAN

Monitoring dan review merupakan bagian dari pharmaceutical care yang


bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Monitoring dapat dilakukan
dengan program Home Pharmacy Care atau via telepon dan dapat ditulis dalam
bentuk dokumen Patient Medical Record (PMR) atau catatan pengobatan pasien.
Berikut adalah catatan pengobatan pasien selama di rawat inap:
DINAS KESEHATAN KABUPATEN MALANG
UPT PUSKESMAS TUMPANG
Jln Setiawan No 227 Tumpang Telp: (0341) 78723
Apoteker : Wasiatul Ulum, S.Farm., Apt

No. RM: xxxxx Catatan Pengobatan Pasien


Nama: : An. R Pekerjaan :-
Alamat : Tulus Besar Jenis Kelamin & umur : Perempuan / 3th
No. telp/hp : 08xxxxxxxxxx TB/BB/Gol. Darah : 12 kg

Nama
Tgl Kasus Terapi Catatan Apoteker Paraf
Dokter
Inj. Ampicillin 3x200mg S: Demam, mual, muntah, susah makan, batuk, pilek
Inj. Antrain 3x200mg
Diagnosa: O: nadi: 118x/menit Leukosit: 5000
Domperidone 5mg/5ml
Typhoid Fever RR: 22x/menit Widal typhi O= 1/160
3x2,5ml prn mual
Suhu: 37oC typhi H= (-)
31/5/ Keluhan panas 7 A: -Keluhan batuk pilek belum mendapat terapi
dr. R
2021 hari, pilek dan Puyer 3x1 bungkus: -Dosis CTM berlebih
batuk berdahak 2 Vit C ½ tab, Vit B -Interaksi mayor CTM dan domperidone (prolongasi interval QT)
hari, muntah, complex ½ tab, CTM 2 mg P: -Menginfokan dokter mengenai keluhan batuk pasien agar
susah makan. diberi terapi.
-Menyarankan untuk menurunkan dosis CTM.
-Menyarankan untuk mengganti domperidone dengan
Metoklopramide.
Inj. Ampicillin 3x200 mg S: Batuk pilek
Diagnosa: Inj. Antrain 3x200 mg prn
O: Nadi: 83x/menit Suhu: 36,2 oC
Typhoid Fever demam
RR: 22x/menit
1/6/ Puyer 3x1 bungkus:
dr. F A: Dosis GG underdose
2021 Batuk pilek (+) GG 20 mg, Vit C ½ tab,
Dosis guaifenesin anak 2-6th = 50-100mg P.O. q4hr (Medscape)
Demam (-) Vit B complex ½ tab,
P: -Menyarankan dokter untuk meningkatkan dosis GG
Mual (-) CTM 0,8 mg
-Monitoring suhu dan keluhan batuk pilek
Inj. Ampicillin 3x200 mg S: Batuk pilek
Diagnosa:
O: Suhu: 36,2 oC RR: 22x/menit
Typhoid Fever Puyer 3x1 bungkus:
2/6/ A: Dosis GG underdose
dr. F GG 20 mg, Vit C ½ tab,
2021 Dosis guaifenesin anak 2-6th = 50-100mg P.O. q4hr (Medscape)
Batuk pilek (+) Vit B complex ½ tab,
P: -Menyarankan dokter untuk meningkatkan dosis GG
CTM 0,8 mg
-Monitoring suhu dan keluhan batuk pilek
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Penulisan resep di Puskesmas Tumpang Kabupaten Malang, telah
sesuai baik dari segi administratif, klinis, maupun farmasetik.
2. DRP yang paling banyak ditemukan dalam terapi pasien pada kasus ini
adalah kesalahan dosis (terlalu rendah atau terlalu tinggi) sehingga
pengkajian klinis harus diperhatikan.
3. Terapi pada pasien demam tifoid bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan, meminimalkan komplikasi, dan isolasi untuk mencegah
pencemaran atau kontaminasi lingkungan. Maka, perlu dilakukan care
plan dari segi pengobatan demi tercapainya target terapi, mencegah
terjadinya komplikasi, dan mengurangi resiko penularan bakteri
Salmonella typhi. Care plan dilakukan melalui pengkajian kebutuhan
terapi dan identifikasi Drug Related Problem, implementasi, dan
monitoring terapi.

6.2 Saran
Komunikasi antar tenaga kesehatan perlu ditingkatkan agar dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, G. F., et al. 2007. Medical Microbiology 24th Edition. McGraw Hill. New
York.

Depkes RI. 201. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013. Menteri Kesehatan RI.
Jakarta.

Diana, F.N., Ratnawati, M. and Sawitri, M. 2017. Asuhan Keperawatan Pada


Anak Demam Thypoid dengan Masalah Ketidakseimbangan Nutrisi
Kurang dari Kebutuhan Tubuh. Jurnal Ilmiah Keperawatan, 3(2), pp.26-
29.

Hartman S, Brown E, Loomis E, Russell HA. Gastroenteritis in Children. Am


Fam Physician. 2019 Feb 1;99(3):159-165. Erratum in: Am Fam
Physician. 2019 Jun 15;99(12):732. PMID: 30702253.

Isnainy, U. C. A., Zainaro, M. A. 2018. Penyuluhan Kesehatan Tentang Demam


Tifoid di SMP Negeri 26 Bandar Lampung. Jurnal Kreativitas
Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(2): 52-57.

Kementrian Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. Menteri Kesehatan RI. Jakarta.

Leitz, G., Hu, P., Appiani, C., Li, Q., Mitha, E., Garces-Sanchez, M. and Gupta,
R. 2019. Safety and efficacy of low-dose domperidone for treating nausea
and vomiting due to acute gastroenteritis in children. Journal of pediatric
gastroenterology and nutrition, 69(4), pp.425-430.

Levani, Y. and Prastya, A.D., 2020. Demam Tifoid: Manifestasi Klinis, Pilihan
Terapi dan Pandangan dalam Islam. Al-Iqra Medical Journal: Jurnal
Berkala Ilmiah Kedokteran, 3(1), pp.10-16.

Mansjoer, A. 2011. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media Aesculapius.


Jakarta.
Nasronudin. 2017. Demam Tifoid. Penyakit Infeksi di Indonesia. Airlangga
University. Surabaya.

PCNE. 2010. Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical Care


Network European Foundation, Zuidlaren.

Prehamukti, A.A., 2018. Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Kejadian


Demam Tifoid. HIGEIA (Journal of Public Health Research and
Development), 2(4), pp.587-598.

Rahmasari, V. and Lestari, K., 2018. Review Artikel: Manajemen Terapi Demam
Tifoid: Kajian Terapi Farmakologis dan Non Farmakologis. Farmaka,
16(1), pp.184-195.

Saputra, R.K. and Majid, R. 2017. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Kebiasaan
Makan Dengan Gejala Demam Thypoid Pada Mahasiswa Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo Tahun 2017. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 2(6).

Sherwood, L. 2001. Energy Balance and Temperature Regulation. Human


Physiology: from Cells to Systems 4th Edition. Brooks Cole. Australia.

Soedarmo, s. et al. 2012. Demam Tifoid. Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
Edisi 2. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai