FARMASI KOMUNITAS
Care Plan
(Studi Kasus Demam Tifoid)
DISUSUN OLEH:
Rizcha Anastasia Widodo, S.Farm
200070600011010
PENDAHULUAN
2. Skrining Farmasetika
Kekuatan obat tidak terdapat dalam resep, namun hal ini dapat diketahui
berdasarkan aturan pakai, umur pasien, dan sediaan yang terdapat di Puskesmas
Tumpang.
3. Skrining Klinis
Dokter mendiagnosa An. R dengan demam tifoid. Berdasarkan asesmen,
pasien datang dengan keluhan demam 7 hari, mual, dan batuk pilek. Pasien
berusia 3 tahun dengan berat badan 12kg. Dokter mendiagnosa pasien dengan
demam tifoid (typhoid fever). Berdasarkan resep di atas dan data rekam medik
didapatkan skrining klinis terapi pada hari pertama:
Obat Dosis Literatur Dosis sekali Dosis Sehari Keterangan
Ampicillin <40kg: iv Dosis resep Dosis resep Indikasi:
3x200mg iv 50mg/kg/hari iv 200mg 3x200mg= Infeksi S. typhi.
atau im terbagi 600mg
3-4 kali sehari Dosis literatur Dosis sekali pakai
(drugs.com, 12x50/3= Dosis literatur dan sehari sesuai.
2021) 200mg 12x50mg=
600mg per hari
Antrain 9-15kg: iv Dosis resep Dosis resep Indikasi:
(Metamizole) 80-240mg/dosis 200mg 3x200mg= Demam
3x200mg iv 320-960mg/hari 600mg
(EMA, 2018) Dosis literatur Dosis sekali pakai
80-240mg/ Dosis literatur dan sehari sesuai.
dosis 320-960mg/hari
Domperidone < 35kg: p.o. Dosis resep Dosis resep Indikasi:
1x5mg prn 0,25mg/kg 5mg 1x5mg=5mg mual muntah
mual muntah Max
0,75mg/kg/hari Dosis literatur Dosis literatur Dosis sekali
(EMA, 2018) 12x0,25mg= 12x0,75mg= berlebih
3mg 9mg/hari
Dosis dan bentuk
sediaan diganti ke
domperidone sirup
suspensi 5mg/5ml
dengan dosis
3x2,5ml setelah
konfirmasi dokter.
Vit C 3x25mg 35-100mg/hari Dosis resep Dosis resep Indikasi:
(drugs.com, 25mg 3x25mg=75mg suplementasi
2021) vitamin C
Dosis literatur Dosis literatur
- 35-100mg/hari Dosis sesuai
Vit B 1-2 tablet/hari Dosis resep Dosis resep Indikasi:
complex 3x½ ½ tab 3x½ tab=1,5 tab suplementasi
tab vitamin B
Dosis literatur Dosis literatur
- 1-2 tablet/hari Dosis sesuai
Chlorphenira- 2-6 tahun: p.o. Dosis resep Dosis resep Indikasi: pilek
mine maleat 1mg tiap 4-6 2mg 3x2mg=6mg
3x2mg jam, maksimal Dosis sekali
6mg/hari Dosis literatur Dosis literatur berlebih
(rxlist.com, 1mg maksimal
2021) 6mg/hari
Berdasarkan rekam medik pasien, keadaan pasien membaik dan
dipulangkan pada tanggal 2 Juni 2021. Berikut adalah terapi yang diterima pasien
selama rawat inap:
Regimen Dosis Tanggal
No. Obat
31/5 1/6 2/6
1. Ampicillin 3x200 mg (iv) √ √ √
2. Antrain 3x200 mg (iv)
√ √ //
prn demam
3. Domperidone 3x2,5 mg (po)
√ //
prn mual
4. Chlorpheniramine maleat 3x2mg (po) √ //
3x0,8mg(po) √ √
5. Guaifenesin 3x20mg (po) √ √
6. Vitamin B Complex 3x½ tab (po) √ √ √
7. Vitamin C 3x25mg (po) √ √ √
BAB II
ASSESS NEEDS AND IDENTIFY DRUG THERAPY PROBLEM TO
ACHIEVE GOAL OF THERAPY
2.2.2 Epidemiologi
WHO memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kematian terjadi tiap tahun
akibat demam tifoid. Kasus terbanyak terdapat di Asia sebesar 13 juta kasus tiap
tahunnya. Di Indonesia diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk
yang terkena penyakit demam tifoid sepanjang tahun. Kasus tifoid diderita oleh
anak-anak sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan angka kematian 20.000
pertahunnya (Saputra, 2017).
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar kebersihan
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Penularan penyakit ini hampir
selalu melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Saputra, 2017).
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 memperlihatkan bahwa gambaran
10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi kasus
demam tifoid sebesar 5,13%. Prevalensi demam tifoid banyak ditemukan pada
umur 5–19 tahun dan paling rendah pada bayi. Prevalensi demam thypoid
menurut tempat tinggal paling banyak di pedesaan dibandingkan perkotaaan,
dengan pendidikan rendah dan dengan jumlah pengeluaran rumah tangga rendah
(Depkes RI, 2013).
2.2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi.
Bakteri ini mempunyai 3 macam antigen, antara lain antigen somatik (O) yang
disebut juga endotoxin, terletak di lapisan luar bakteri dengan komponen protein,
lipopolisakarida, dan lipid; antigen flagela (H) yang terletak pada flagela,
fimbriae, dan pili dengan struktur berupa protein; dan antigen permukaan (Vi)
dengan struktur protein terletak pada selaput dinding bakteri yang berfungsi
melindungi bakteri dari fagositosis oleh sel imun (Nasronudin, 2017)
Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan
tempat bakteri berkembang biak dan merangsang sintesis pelepasan zat pirogen
dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Penyakit ini
berkaitan erat dengan lingkungan di mana penyediaan air minumnya tidak
memenuhi syarat kesehatan dan memiliki sanitasi yang buruk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran demam tifoid antara lain sanitasi umum, kualitas air,
kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa laki-laki lebih sering terinfeksi tifoid karena lebih sering bekerja dan
makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya (Sherwood, 2001).
2.2.5 Patofisiologi
Bakteri yang terbawa melalui makanan atau benda lainnya akan memasuki
pencernaan. Dosis infektif rata-rata untuk menimbullkan infeksi klinis dan
subklinis pada manusia adalah sebesar 105-108 bakteri Salmonella. Sebagian dari
bakteri akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun sebagian yang lolos akan
masuk ke usus halus dan melakukan penetrasi mukosa usus serta berproliferasi.
Ketika bakteri mencapai epitel dan IgA tidak dapat menanganinya, maka akan
terjadi degenerasi brush border (mikrovili pada usus) (Brooks, 2007).
Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan
tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus
dan mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterik untuk kemudian menjalani
multiplikasi. Setelah periode inkubasi (umumnya 7-14 hari), Salmonella typhi
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Maka, bakteri dapat mencapai organ manapun, meski tempat utamanya
adalah hati, limpa, sumsum tulang, kantung empdu, dan peyer’s patch ileum
terminal. Infeksi Salmonella typhi di mukosa usus dan komponen limfoid usus
akan menyebabkan inflamasi, hiperplasia, yang dapat berlanjut menjadi nekrosis.
Selain itu, bakteri akan memproduksi enterotoksin yang akan menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen usus (Soedarmo, 2012).
2.2.6 Terapi
A. Nonfarmakologi
Tirah baring atau bed rest bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang
membuat kondisi pasien menjadi lebih buruk. Tergantung pada tingkat keparahan
pasien, pasien dapat diminta hanya untuk mengurangi aktivitas hingga benar-
benar harus beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas
apapun. Pada pasien demam tifoid hal ini mencegah timbulnya komplikasi
perforasi atau pendarahan usus. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai pulihnya
kekuatan pasien. Bed rest dilakukan minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih sampai 14 hari (Rahmasari, 2018).
Pasien demam tifoid dianjurkan mengikuti diet lunak rendah serat demi
menghindari komplikasi perforasi atau perdarahan usus. Makanan rendah serat
membatasi volume feses dan mengurangi rangsangan pada saluran cerna. Adapun
asupan serat maksimal 8 gram/hari. Pasien juga dianjurkan menghindari susu,
daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam serta makanan
diberikan dalam porsi kecil. Makanan harus cukup cairan, kalori, protein, dan
vitamin (Rahmasari, 2018).
Pasien harus menjaga kebersihan untuk mencegah penularan bakteri
Salmonella ke makanan yang tersentuh tangan. Tangan harus dicuci dengan sabun
minimal selama 15 detik, dibilas, dan dikeringkan sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet. Orang yang baru sembuh dari tifoid masih terus mengekresi
Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih sampai 3 bulan setelah sakit dan dapat
menjadi karier kronik bila masih mengandung basil sampai 1 tahun atau lebih.
Maka, higienitas harus tetap dijaga setelah dinyatakan sembuh untuk mencegah
penularan (Rahmasari, 2018).
B. Farmakologi
Terapi simtomatik dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita, antara lain vitamin, antipiretik, dan antiemetik. Selain itu, penderita
harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral atau parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada pasien dengan sakit berat, mengalami komplikasi,
penurunan kesadaran, serta sulit makan. Dosis cairan disesuaikan dengan
kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal
(Kementrian Kesehatan RI, 2006).
Antimikroba diberikan dengan segera jika diagnosa demam tifoid telah
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosa konfirmasi, probable, ataupun suspek.
Pilihan antimikroba disesuaikan dengan kepekaan tertinggi pada suatu daerah
karena daerah yang berbeda akan memiliki tingkat kepekaan yang berbeda
terhadap antimikroba. Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah
Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita hamil), dan
Trimetoprim-sulfametoksazol. Bila pemberian antimikroba lini perama dinilai
tidak efektif dapat dipilih antimikroba lini kedua untuk tifoid, antara lain
seftriakson, sefiksim (efektif untuk anak), dan golongan quinolone (tidak
dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dapat mengganggu pertumbuhan tulang).
Bila penderita telah memiliki riwayat tifoid sebelumnya maka dianjurkan
pemberian golongan quinolone karena antimikroba ini efektif mencegah relaps
dan karier (Kementrian Kesehatan RI, 2006).
DRP pada kasus resep untuk An. R dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 DRP pada Pasien An. R
Nama Obat DRP Kategori DRP
Antrain inj.
Antrain memiliki efek P2.1: Obat yang tidak tepat
samping dispepsia C1.1: Pemilihan obat tidak tepat
akibat panghambatan I1.5: Mengajukan intervensi, hasil
prostaglandin, tidak diketahui
sedangkan pasien
memiliki keluhan mual.
Domperidone Dosis sekali minum P3.2: Dosis dan atau frekuensi obat
berlebih untuk BB 12kg. terlalu tinggi
C1.2: Pemilihan dosis tidak tepat
I1.3: Mengajukan intervensi,
disetujui dokter
Interaksi mayor antara P5.1: Interaksi yang potensial
domperidone dan C1.1: Pemilihan obat tidak tepat
chlorpheniramine I1.5: Mengajukan intervensi, hasil
maleat di mana tidak diketahui
domperidone memiliki
resiko tinggi
menimbulkan
perpanjangan interval
QT dan
chlorpheniramine
maleat memiliki resiko
moderat menimbulkan
perpanjangan interval
QT, kombinasi kedua
obat ini dapat
meningkatkan resiko
perpanjangan interval
QT (drugbank.com).
Efektivitas domperidone P2.1: Obat yang tidak tepat
dibandingkan plasebo C1.1: Pemilihan obat tidak tepat
tidak berbeda secara I1.5: Mengajukan intervensi, hasil
signifikan untuk tidak diketahui
mengatasi mual akibat
infeksi pencernaan pada
anak (Leitz, et al.,
2019). Konsensus saat
ini merekomendasikan
rehidrasi untuk
mengatasi dehidrasi
akibat gastroenteritis
pada anak. Sedangkan
antiemetik yang dapat
diberikan untuk
membantu berhasilnya
rehidrasi oral adalah
ondansentron (Hartman,
2019).
Chlorphenira Dosis sekali minum P3.2: Dosis dan atau frekuensi obat
-mine maleat berlebih untuk umur 3 terlalu tinggi
tahun. C1.2: Pemilihan dosis tidak tepat
I1.3: Mengajukan intervensi,
disetujui dokter
Guaifenesin Keluhan batuk tidak P2.6: Tidak ada obat yang
diberi terapi padah hari diresepkan tetapi indikasi jelas
pertama. C6.2: Tidak ada penyebab yang
jelas
I1.1: Menginformasikan pada dokter
BAB III
DEVELOP A CARE PLAN
An. R
Domperidone (mual muntah)
3 kali sehari ½ sendok teh
Sebelum / Sesudah makan
An. R
Puyer
3 kali sehari 1 bungkus
Sebelum / Sesudah makan
BAB V
MONITOR AND REVIEW THE CARE PLAN
Nama
Tgl Kasus Terapi Catatan Apoteker Paraf
Dokter
Inj. Ampicillin 3x200mg S: Demam, mual, muntah, susah makan, batuk, pilek
Inj. Antrain 3x200mg
Diagnosa: O: nadi: 118x/menit Leukosit: 5000
Domperidone 5mg/5ml
Typhoid Fever RR: 22x/menit Widal typhi O= 1/160
3x2,5ml prn mual
Suhu: 37oC typhi H= (-)
31/5/ Keluhan panas 7 A: -Keluhan batuk pilek belum mendapat terapi
dr. R
2021 hari, pilek dan Puyer 3x1 bungkus: -Dosis CTM berlebih
batuk berdahak 2 Vit C ½ tab, Vit B -Interaksi mayor CTM dan domperidone (prolongasi interval QT)
hari, muntah, complex ½ tab, CTM 2 mg P: -Menginfokan dokter mengenai keluhan batuk pasien agar
susah makan. diberi terapi.
-Menyarankan untuk menurunkan dosis CTM.
-Menyarankan untuk mengganti domperidone dengan
Metoklopramide.
Inj. Ampicillin 3x200 mg S: Batuk pilek
Diagnosa: Inj. Antrain 3x200 mg prn
O: Nadi: 83x/menit Suhu: 36,2 oC
Typhoid Fever demam
RR: 22x/menit
1/6/ Puyer 3x1 bungkus:
dr. F A: Dosis GG underdose
2021 Batuk pilek (+) GG 20 mg, Vit C ½ tab,
Dosis guaifenesin anak 2-6th = 50-100mg P.O. q4hr (Medscape)
Demam (-) Vit B complex ½ tab,
P: -Menyarankan dokter untuk meningkatkan dosis GG
Mual (-) CTM 0,8 mg
-Monitoring suhu dan keluhan batuk pilek
Inj. Ampicillin 3x200 mg S: Batuk pilek
Diagnosa:
O: Suhu: 36,2 oC RR: 22x/menit
Typhoid Fever Puyer 3x1 bungkus:
2/6/ A: Dosis GG underdose
dr. F GG 20 mg, Vit C ½ tab,
2021 Dosis guaifenesin anak 2-6th = 50-100mg P.O. q4hr (Medscape)
Batuk pilek (+) Vit B complex ½ tab,
P: -Menyarankan dokter untuk meningkatkan dosis GG
CTM 0,8 mg
-Monitoring suhu dan keluhan batuk pilek
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Penulisan resep di Puskesmas Tumpang Kabupaten Malang, telah
sesuai baik dari segi administratif, klinis, maupun farmasetik.
2. DRP yang paling banyak ditemukan dalam terapi pasien pada kasus ini
adalah kesalahan dosis (terlalu rendah atau terlalu tinggi) sehingga
pengkajian klinis harus diperhatikan.
3. Terapi pada pasien demam tifoid bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan, meminimalkan komplikasi, dan isolasi untuk mencegah
pencemaran atau kontaminasi lingkungan. Maka, perlu dilakukan care
plan dari segi pengobatan demi tercapainya target terapi, mencegah
terjadinya komplikasi, dan mengurangi resiko penularan bakteri
Salmonella typhi. Care plan dilakukan melalui pengkajian kebutuhan
terapi dan identifikasi Drug Related Problem, implementasi, dan
monitoring terapi.
6.2 Saran
Komunikasi antar tenaga kesehatan perlu ditingkatkan agar dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, G. F., et al. 2007. Medical Microbiology 24th Edition. McGraw Hill. New
York.
Depkes RI. 201. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013. Menteri Kesehatan RI.
Jakarta.
Leitz, G., Hu, P., Appiani, C., Li, Q., Mitha, E., Garces-Sanchez, M. and Gupta,
R. 2019. Safety and efficacy of low-dose domperidone for treating nausea
and vomiting due to acute gastroenteritis in children. Journal of pediatric
gastroenterology and nutrition, 69(4), pp.425-430.
Levani, Y. and Prastya, A.D., 2020. Demam Tifoid: Manifestasi Klinis, Pilihan
Terapi dan Pandangan dalam Islam. Al-Iqra Medical Journal: Jurnal
Berkala Ilmiah Kedokteran, 3(1), pp.10-16.
Rahmasari, V. and Lestari, K., 2018. Review Artikel: Manajemen Terapi Demam
Tifoid: Kajian Terapi Farmakologis dan Non Farmakologis. Farmaka,
16(1), pp.184-195.
Saputra, R.K. and Majid, R. 2017. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Kebiasaan
Makan Dengan Gejala Demam Thypoid Pada Mahasiswa Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo Tahun 2017. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 2(6).
Soedarmo, s. et al. 2012. Demam Tifoid. Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
Edisi 2. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.