Anda di halaman 1dari 64

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Auditing

2.1.1 Pengertian Auditing

Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to

determine and report on the degree of correspondence between the information and

established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person.

(ASOBAC, Arrens, 2006). Dengan terjemahan sebagai berikut audit adalah

pengakumulasian dan pengevaluasian bukti tentang informasi untuk menetukan

laporan pada pada tingkat kesesuaian antara informasi kuantitaif dan kriteria yang

telah ditentukan. Auditing harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki kompetensi

dan independensi.

The Report of Committee on Basic Auditing concepts of the American

accounting association ( Accounting Review, Vol. 47) mendefenisikan audit sebagai

A systemic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding

assertions about economic actions and events to assertion the degree of

correspondence between those assertions and established crirteria and

communicating the results to interested users.

Dengan terjemahan sebagai berikut, suatu proses sistematis untuk

memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan

dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-

asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasil-hasilnya

kepada pihak-pihak yang berkepentingan.


12

Auditing adalah proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi

bukti-bukti secara obyektif mengenai asersi-asersi(peryataan-peryataan) tentang

berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara

asersi asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan

hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan. (Mulyadi, 2002).

Dari berbagai pengertian audit di atas, dapat penulis simpulkan bahwa “audit

merupakan suatu proses sistematis untuk mengevaluasi suatu asersi-asersi (pendapat-

pendapat) mengenai suatu entitas tertentu yang dilaksanakan oleh orang yang

kompeten dan independen (integritas dan obyektif) berdasarkan pada bukti yang

cukup dan informasi yang relevan, yang dapat diperoleh selama pemriksaan dengan

menetukan kriteria pemeriksaan yang jelas untuk kemudian menilai kesesuaian

criteria tersebut dengan bukti dan standar yang ditemukan.

2.1.1.2 Jenis Audit

Akuntan publik melaksanakan tiga tipe audit utama : audit atas laporan

keuangan, audit operasionl, serta audit kepatuhan ( Alvin A. Arens, Randal J. Elder,

Mark S.Beasley 2001:18). Audit atas laporan keuangan dilaksanakan untuk

menentukan apakah seluruh laporan keuangan (informasi yang diuji) elah dinyatakan

sesuai dengan criteria tertentu (Alvin A.Arens, Randal J.Elder, Mark S.Beasle

2001:20) Audit operasional adalah tinjauan atas bagian tertentu dari prosedur serta

metode operasional organisasi tertentu yang bertujuan mengavaluasi efisiensi serta

efektivitas prosedur serta metode tersebut ( Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark

S.Beasley 2001:19). Audit kepatuhan adalah tinjauan yang bertujuan menetukan


13

apakah klien (auditee) telah mengikuti prosedur, tata cara, serta peraturan yang dibuat

oleh otoritas yang lebih tinggi. Melihat fenomena yang begitu kompleks berkaitan

dengan deteksi fraud white collar crime maka lahirlah Audit Investigasi yang

menggabungkan ketiga jenis audit tadi namun dikombinasikan dengan berbagai jenis

ilmu yang lebih komprehesif dan berbasis pada Akuntansi Forensik (Ilmu Hukum,

Psikologi Kriminal, dan Teknik Komunikasi) dengan tujuan untuk mendeteksi

kecurangan yang lebih rumit sekaligus membuktikan kecurangan tersebut dengan

menjadi saksi ahli dalam persidangan sesuai dengan posisi auditor forensik sebagai

Expert Witness (Saksi Ahli) dan Konsultan litigasi terhadap suatu kasus kecurangan.

2.1.2 Risiko

Risiko menurut psudiklatwas BPKP (2009) adalah ketidakpastian yang

dihadapi oleh organisasi dalam mencapai tujuannya. Risiko juga bisa dipandang

sebagai potensi terjadinya kondisikondisi atau kejadian-kejadian yang dapat

menghambat organisasi untuk mencapai tujuannya. Berkaitan dengan audit, ada dua

jenis risiko yaitu risiko organisasi dan risiko audit. Risiko organisasi adalah potensi

terjadinya kondisi-kondisi atau kejadian-kejadian yang dihadapi oleh organisasi

dalam mencapai tujuannya, sedangkan risiko audit adalah risiko yang dihadapi oleh

auditor yang menyebabkan audit tidak mencapai tujuannya.

1. Risiko Organisasi
14

Setiap organisasi, termasuk pemerintahan, mempunyai tujuan-tujuan. Dalam

usaha mencapai tujuan, organisasi menghadapi risiko yaitu kondisi atau kejadian

yang dapat menghambat organisasi dalam mencapai tujuannya. Karenanya, dalam

usaha mencapai tujuan, sangat penting bagi organisasi untuk mengevaluasi dan

meningkatkan pengendalian risiko. Pemahaman tentang pengelolaan/manajemen

risiko penting bagi auditor intern, karena auditor intern bertanggung jawab untuk

mengkaji ulang penerapan manajemen risiko dan menentukan bahwa penerapan

manajemen risiko telah sesuai dengan tata kelola yang sehat. Atau dengan kata lain,

auditor intern mempunyai kewajiban untuk menentukan bahwa risiko yang dihadapi

organisasi telah diidentifikasi dan

diminimalisasi.

Pemahaman atas manajemen risiko juga penting bagi auditor intern, karena

pada setiap penugasan audit, risiko-risiko organisasi akan merupakan dasar bagi

auditor dalam menentukan tingkat risiko audit. Tingkat risiko pelaksanaan kegiatan

(risiko organisasi) juga merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam

menetapkan materialitas atau tingkat dapat diterimanya suatu keadaan yang tidak

sesuai dengan yang seharusnya, atau dengan kata lain batas nilai kesalahan yang

masih dapat ditoleransi. Di samping itu, pemahaman mengenai risiko organisasi

diperlukan oleh auditor untuk menentukan, mengembangkan dan memfokuskan

tujuan-tujuan audit.

2. Risiko Audit
15

Risiko audit adalah kondisi ketidakpastian yang dihadapi oleh auditor yang

menyebabkan audit tidak mencapai sasaran. Dengan kata lain simpulan atau pendapat

yang dikemukakan tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. Auditor yang

melakukan audit oprasional dikatakan mengalami risiko audit jika auditor

menyimpulkan bahwa kegiatan telah dilakukan secara ekonomis, efisien dan efektif,

padahal sesungguhnya terdapat ketidakekonomisan, ketidakefisienan, serta

ketidakefektifan dalam pelaksanaan kegiatan. Guna memperkecil risiko audit, auditor

dapat menggunakan model risiko sebagai berikut:

Risko Audit = Risiko Pengendalian X Risiko Pengendalian X Risiko Deteksi

Sumber : Arens, Alvin A., et al, Auditing and Assurance Services – An Integrated

Approach, Prentice Hall, 2007

Risiko audit (RA) adalah ukuran risiko tidak tercapainya tujuan audit.

Dengan kata risiko audit merupakan suatu ukuran dimana auditor akan membuat

simpulan atau pendapat yang tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. Risiko

audit dipengaruhi oleh ketiga unsur risiko yang lain, yakni risiko inheren (risiko

melekat), risiko pengendalian dan risiko deteksi.

Risiko inheren (RI) atau risiko melekat adalah ukuran risiko yang terkait

dengan operasi organisasi sebelum mempertimbangkan efektivitas pengendalian.

Jadi, risiko inheren berkaitan dengan sifat kegiatan yang bersangkutan, tanpa

memperhatikan lemah atau kuatnya pengendalian intern yang diterapkan dalam

pengelolaan kegiatan tersebut serta tidak dapat dipengaruhi oleh auditor.


16

Risiko pengendalian (RP) adalah ukuran taksiran auditor bahwa

pengendalian yang diterapkan auditi dalam pelaksanaan suatu kegiatan tidak mampu

mendeteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau kecurangan. Makin lemah

pengendalian yang diterapkan, maka makin besar nilai RP. Sama halnya dengan

risiko inheren, risiko pengendalian juga tidak dapat dipengaruhi oleh auditor. Risiko

pengendalian merupakan hasil dari penerapan pengendalian intern yang telah

ditetapkan oleh auditor.

2.1.3 Kemampuan Auditor

Dalam melakasanakan pendapat untuk sampai pada suatu pernyataan

pendapat, auditor harus senantiasa bertindal sebagai seorang ahli dalam bidang

akuntansi dan dalam bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan

pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya

dalam praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesinal, auditor

harus menjalani pelatihan teknis yang cukup, pelatihan ini harus secara memadai dan

mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten junior, yang baru masuk

kedalam karir auditing harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan

mendapatkan supervise memadai dan review terhadap hasil pekerjannya. Auditor

independen yang memikul tanggung jawab akhir suatu perikatan, harus menggunakan

pertimbangan matang dalam setiap tahap pelaksanaan supervise dan dalam review

terhadap hasil pekerjaan dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat asistennya.

Pada gilrannya, para asisten tersebut harus juga memenuhi tanggung jawabnya

menurut tingkat dan fungsi pekerjaan masing-masing.


17

Dalam pernyataan Standar Auditing No.4 (PSA No.4) pada standar umum

ketiga menyatakan “Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor

wajib menggunakan kemahiran profesinalnya dengan secara cermat dan seksama.

Penggunaan kemahiran professional dengan kecermatan dan keseksamaan

menekankan tanggung jawab secara professional yang bekerja dalam organisasi

auditor independen untuk mengamati standar pekerjaan lapangan dan standar

pelaporan. Penggunaan kemahiran professional dengan cermat dan seksama menuntut

auditor untuk melaksanakan skeptisme professional.

Skeptisme professional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu

mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis. Auditor menggunakan

pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan

publik untuk melaksanakan dengan cermat dan seksama dengan maksud baik dan

integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif. Pelaksanaan audit

investigasi lebih mendasarkan kepada pola pikir bahwa untuk mengungkapkan

kecurangan suatu auditor harus berpikir seperti pelaku kecurangan itu sendiri, dengan

mendasarkan pelaksanaan prosedur yang ditetapkan baik pada tahap perencanaan,

pelaksanaan, pelaporan hingga tindak lanjut pemeriksaan yang dimiliki auditor.

Auditor harus memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya kecurangan

yang kemungkinan terjadi dan sebelumnya telah diindikasikan oleh berbagai pihak.

Kemampuan yang harus dimiliki oleh auditor investigasi dalam mengungkap

kecurangan khususnya tidak bisa dipelajari melainkan dilatih berdasarkan

berpengalaman auditor harus peka terhadap semua hal yang tidak wajar baik hal itu

dirsakan terlalu besar, terlalu kecil terlalu sering, terlalu brendah, terlalubanyak,
18

terlalu sedikit maupun kesan yang janggal. Kedian auditor harus meneliti hal tersebut

untuk merekonstruksi apa yang menyebabkan hal tersebut dan apa akibatnya.

Auditor investigasi yang sukses harus memiliki kemampuan yang unik. Di

samping keahlian teknis, seorang Auditor Investigasi ang sukses mempunyai

kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak

memihak, sahih ( mengikuti ketentuan perundang-undangan), dan akurat serta mampu

melaporkan fakta- fakta itu secara akuat dan lengkap. Kemampuan untuk memastikan

kebenaran dari fakta yang dikumpulkan dan kemudian melaporkannnya dengan

akurat dan lengkap adalah sama pentingnya. Auditor investigasi daalah gabungan

antara pengcara, akuntan, kriminolog, dan detektif. (Theodorus M. Tunakotta

2007:49-50)

Adapun beberapa persyaratan kemampuan/keahlian yang harus dipenuhi oleh

auditor yang akan melaksanakan audit investigasi, yaitu meliputi :

1. Pengetahuan Dasar

a) Memiliki background ilmu akuntansi dan Auditing.

b) Menguasai teknik sitem pengendalian intern.

c) Memiliki kemampuan komunikasi yang baik

d) Memiliki pengetahuan tentang investigasi, diantaranya aksioma audit investigasi,

prinsip-prinsip audit investigasi dan kecurangan, teknik audit investigasi dan cara

memperoleh bukti.

e) Menjaga kerahasiaan sumber informasi

f) Memiliki pengetahuan tentang bukti, bahwa bukti harus relevan dan kompeten.
19

g) Mengetahui masalah informasi dan teknologi (hardware,software, maupun system,

serta memahami tentang cyber crime.

2. Kemampuan Teknis

a) Auditor harus memiliki kemampuan bukti.

b) Auditor harus mengetahui kontruksi hukum (undang-undang).

c) Mengetahui pengetahuan tentang tindak pidana korupsi.

d) Memahami peratutarn bisnis.

e) Mampu bertindak objektif dan independen, serta netral, dan selalu menjunjung

azas praduga tak bersalah.

f) Memiliki kemampuan mebuat hipotesa.

g) Mampu mengumpulkan data untuk membuat hipotesis

3. Sikap Mental

a) Mengikuti standar audit investigasi

b) Bersifat independen

c) Bersifat bebas dan skeptic professional

d) Bersifat kritis

e) Mempunyai insting investigasi

f) Mempelajari teknis dan metodologi dari kasus-kasus lain

Dari kriteria-kriteria yang ada diatas penulis menyimpulkan seorang auditor

forensik yang melakukan audit investigasi harus memiliki kompetensi gabungan

antara keilmuan akuntansi yang dalam, pemahaman konsep dan peraturan hukum
20

yang berlaku, analisis psikologi criminal, dan teknik komunikasi konstruktif yang

baik agar dapat menemukan sekaligus mebuktikan kecurangan (fraud) tersebut.

2.1.4 Audit Investigasi

2.1.4.1 Pengertian Audit Investigasi

Menurut Jack Bologna dan paul Shaw yang dikutip oleh Amin Widjaja dalam

bukunya yang berjudul Audit Kecurangan (Suatu Pengantar):

Forensic accounting, sometimes called fraud auditing, is a skill that goes beyond the

realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery.

Indeed forensic accounting skill go beyond the general realm of collar crime. Dengan

terjemahan sebagai berikut, akuntansi forensik, kadang-kadang disebut audit

penipuan, adalah keterampilan yang melampaui alam penggelapan dan penipuan

manejemen perusahaan, atau penyuapan komersial. Memang keterampilan akuntansi

forensik melampaui wilayah umum kejahatan berkerah.

Association of Certified fraud Examiner seperti yang dikutip Amin Widjaja,

mendefinisikan audit investigasi sebagai berikut: ‘ Fraud auditing is an initial

approach (proactive) to detecting financial fraud, using accounting records and

information, analytical relationship and awareness of fraud of perpetration and

concealment efforts’. Yang mana diterjemahkan sebagai berikut audit kecurangan

merupakan suatu pendekatan awal (proaktif) untuk mendeteksi penipuan keuangan,

dengan menggunakan catatan akuntansi dan informasi, hubungan analitis dan

kesadaran perbuatan penipuan dan upaya penyembunyian.


21

Secara garis besar Audit Investigasi mirip dengan istilah Fraud Examination

sebgaimana yang di maksud dalam Fraud Examination Manual yang diterbitkan oleh

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). Menurut panduan/manual para

fraud examiners tersebut, yang dimaksud dengan audit investigasi : Methodology for

resolving fraud allegations from inception to disposition. More specifically, fraud

examination involves obtaining evidence and taking statements, writing report,

testifying findings and assisting in the detection and prevention fraud. Yang artinya

adalah metodologi untuk menyelesaikan tuduhan-tuduhan penipuan dari awal sampai

disposisi. Lebih khusus, pemeriksaan penipuan melibatkan memperoleh bukti dan

mengambil laporan, menulis laporan, kesaksian temuan dan membantu dalam deteksi

dan pencegahan penipuan.

Secara lebih khusus G.Jack Bologna dan Robert J. Lindquist menyatakan

bahwa “ Investigative auditing involves reviewing financial documentation for a

specific purpose, which could relate to litigation support and issurance claims, as wll

as criminal matters”. Yangt artinya bahwa audi investigasi melakukakn review

terhadap dokume keuangan dengan tujuan spesifik, yang bertujuan untuk dukungan

litigas dan asuransi, juga untuk keperluan permasalahan kriminal.

Dari semua definisi di atas definisi audit investigasi di atas, dapat disimpulkan

bahwa audit investigasi merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk

mendeteksi dan memeriksa kecurangan terutama dalam laporan keuangan yang

kemungkinan sedang atau sudah terjadi dengan menggunakan keahlian tertentu dari

seorang auditor (teknik audit).


22

2.1.4.2 Aksioma Audit Investigasi

Ada beberapa aksioma yang menarik terkait dengan audit investigasi, yaitu :

1. Kecurangan itu tersembunyi (Fraud is Hidden)

Kecurangan memiliki metode untuk menyembunyikan seluruh aspek yang

mungkin dapat mengarahkan pihak lain menemukan terjadinya kecurangan

tersebut. Upaya-upaya yang dilakukana oleh pelaku kecurangan untuk menutupi

kecurangannya juga sangat beragam, hal ini semakin sulit dideteksi apabila modus

kecurangan yang dilakukan berkaitan dengan white collar crime biasanya pola

kecurangannya sangat canggih sehingga hampir semua orang (bahkan Auditor

Investigasi sekalipun) juga dapat terkecoh.

2. Melakukan pembuktian dua sisi (Reverse Proof)

Auditor harus mempertimbangkan apakah ada bukti-bukti yang membuktikan

bahwa dia tidak melakukan kecurangan. Demikian juga sebaliknya, jika hendak

membuktikan bahwa seseorang tidak melakukan tindak kecurangan, maka dia

harus mempertimbangkan bukti-bukti bahwa yang bersangkutan melakukan tindak

kecurangan.

3 keberadaan suatu kecurangan (Existence of Fraud).

Adanya suatu tindak kecurangan atau korupsi baru dapat dipastikan jika telah

diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Dengan demikian, dalam

melaksnakan Audit Investigasi, seorang auditor dalam laporannya tidak boleh

memberikan opini mengenai kesalahan atau tanggung jawab salah satu pihak

jawab atas terjadinya suatu tindak kecurangan korupsi.


23

Auditor hanya mengungkapkan fakta dan proses kejadian, beserta pihak-pihak

terkai dengan terjadinya kejadian tersebut berdasarkan bukti-bukti yang telah

dikumpulkannya.

2.1.4.3 Prinsip-prinsip Audit Investigasi

1. Investigasi adalah tindakan mencari kebenaran.

2. Kegiatan investigasi mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat

mendukung fakta yang dipermasalahkan.

3. Semakin kecil selang antara waktu terjadinya tindak kejahatan dengan waktu untuk

‘merespons’ maka kemungkinan bahwa suatu tindakan kejahatan dapat terungkap

akan semakin besar.

4. Auditor mengumpulkan fakta-fakta sehingga bukti yang diperolehnya tersebut dapt

memberikan kesimpulan sendiri/bercerita.

5. Bukti fisik merupakan bukti nyata. Bukti tersebut sampai kapanpun akan selalu

mengungkapkan hal yang sama.

6. Informasi yang diperole dari hasil wawancara dengan saksi akan sangat

dipengaruhi oleh kelemahan manusia.

7. Jika auditor mengajukan pertanyaan yang cukup kepada sejumlah orang yang

cukup, maka akhirnya akan mendapatkan jawaban yang benar.

8. informasi merupakan nafas dan darahnya investigasi.


24

2.1.4.4 Metodologi Audit Investigasi

Metodologi ini digunakan oleh Association of Certified Fraud Examiners

yang menjadi rujukan internasional dalam melaksanakan Fraud Examination.

Metodologi tersebut menekankan kepada kapan dan bagaimana melaksanakan suatu

Pemeriksaan Investigasi atas kasus yang memiliki indikasi tindak kecurangan yang

berimplikasi kepada spek hokum, serta bagaiman tindak lanjutnya.

Pemeriksaan investigasi yang dilakukan untuk mengungkapkan adanya tindak

kecurangan terdiri atas bbanyak langkah. Karena pelaksanaan periksaan investigasi

atas kecurangan berhubungan dengan hak-hak individual pihak-pihak lainnya, maka

pemeriksaan invetsigasi harus dilakukan setelah diperoleh alas an yang sangat

memadai dan kuat, yang di istilahkan dengan predikasi.

Predikasi adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau

menunjukkan danya keyakinan kuat yang didasari oleh profesionalisme dan sikap

kehati-hatian dari auditor yang telah dibekali dengan pelatihan dan pemahaman

tentang kecurangan, bahwa fraud/kecurangan telah terjadi, sedang terjadi atau akan

terjadi. Tanpa predikasi, pemeriksaan investigasi tidak boleh dilakukan. Hal ini

menyebabkan adanya ketidakpuasan dari berbagai kalangan yang menyangka bahwa

jika suatu institusi audit menemukan suatun indikasi penyimpangan dalam

pelaksanaan financial audit-nya maka intitusi tersebut dapat melakukan Pemeriksaan

Investigasi.

Pemeriksaan Investigasi belum tentu langsung dilaksanakan karena indikasi

yang ditemukan umumnya masih sangat prematur sehingga memerlukan sedikit


25

pendalaman agar diperoleh bukti yang cukup kuat untuk dilakukan Pemeriksaan

Investigasi.

2.1.4.5 Prosedur Pelaksanaan Aduit Investigasi

Garis besar proses Audit Investigasi secara keseluruhan, dari awal sampai

dengan akhir, dipilah pilah sebagai berikut:

A. Perencanaan Pemeriksaan

Pada proses ini pemeriksa melakukan: penelaahan informasi awal & sasaran &

ruang linkup, menyusun program audit, menyusun anggaran dan tim audit.

B. Pelaksanaan Pemeriksaan

Pada tahapan pelaksanaan dilakukan: pembicaraan pendahuluan dengan auditan,

melaksanakan audit secara flexible, menguji analisis yang dilakukan, melakukan

ekspose intern dan ekstern, menyusun KKA.

C. Laporan Pemeriksaan

Pada tahapan laporan pemeriksaan dilakukan: penentuan tujuan pelaporan,

meyusun laporan hasil audit investigasi, meyusunnya tepat waktu, mmembahas

laporan. Dalam tahapan ini, pemeriksa membangun skenario terburuk dari

penyimpangan yang hendak diungkap dan mencari bukti yang dapat diterima

secara hukum atas scenario tersebut dengan menggunakan teknik-teknik audit di

atas.

D. Tindak Lanjut pemeriksaan

Pada tahapan tindak lanjut ini, dilakukan : pemberian saran dan rekomendasi,

poemantauan tindak lanjut, pengakuan tanggung jawab auditor. Pada tahapan ini
26

proses sudah diserahkan dari tim audit kepada pimpinan organisasi dan secara

formal selanjutnya diserahkan kepada penegak hukum. Penyampaian laporan hasil

Audit Investigasi kepada pengguna laporan diharapkan sudah memasuki pada

tahap penyidikan. Berkaitan dengan kesaksian dalam proses lanjutan dalam

peradilan, tim Audit Investigasi dapat ditunjuk oleh organisasi untuk memberikan

keterangan ahli jika diperlukan.

2.1.4.6 Bukti Audit

Dalam melaksanakan audit, seorang auditor berusaha mencari bukti-bukti

yang akan menjadi dasar bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya mengenai apa

yang diauditnya. Bukti audit kompeten yang cukup kuat dapat melalui inspeksi

pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk

menyatakan pendapat.

Ada beberapa jenis bukti audit yang dapat dikumpulkan oleh seseorang

auditor antara lain :

1. Bukti Fisik (Physical Evidence)

Adalah bukti yang dapat dilihat langsung oleh auditor. Bukti fisik merupakan

bukti audit yang paling dapat diandalkan oleh auditor karena bukti yang diperoleh

cukup kompeten dan sering digunakan untuk memverifikasi keberadan dari asset

dan aktivitas perusahaan. Pe,eriksaan fisik terhadap aktiva atau asset serta

pengematan langsung terhadap aktivitas perusahaan merupakan contoh bukti fisik.


27

2. Representasi dari pihak ketiga (Representation by Third parties)

Adakah jenis bukti yang diperoleh oleh auditor melalui hubungan langsung dengan

individu atau perusahaan lain selain klien yang bersangkutan. Hal ini didasari pada

kenyataan bahwa sebagian besar kegiatan selalu melibatkan pihak ketiga.

Keandalan informasi ini tergantung kepada kualifikasi dan kemauan untuk bekerja

dari pihak ketiga. Pihak ketiga yang terlibat diantaranya adalah konsumen,

pemasok, bank, pengacara dan agen. Bentuk yang paling banyak dari jenis bukti

audit ini antara lain berupa konfirmasi.

3. Bukti matematis ( Mathematical Evidence)

Merupakan perhitungan yang dilakukan oleh auditor terhadap perhitungan klien

yang terdapat di dalam laporan keuangan maupun catatan atas laporan keuangan

untuk melihat apakah angka-angka yang disajikan telah terhitung dengan benar.

4. Bukti Dokumentasi ( Documentation Evidence )

Adalah pengujian ang dilakukan oleh auditor terhadap dokumen-dokumen yang

digunakan untuk mendukung perhitungan terhadap transaksi yang terjadi.

Dokumen yang diuji dapat berasal dari internal maupun eksternal.

5. Representasi dari klien (Representation by Cient Personal)

Auditor harusnya meminta bukti langsung dari klien. Bukti semacam ini banyak

digunakan auditor dalam tahap perencanaan, tetapi karena bukti ini berasal dari

pernayataan klien, maka kegunaanya terbatas. Bukti ini dperoleh melalui Tanya

jawab dengan klien oleh auditor.


28

6. Hubungan Data (Data Interrelationship)

Meliputi pengujian dan pembandingan dari hubungan antar data. Data yang

dikumpulkan dapat berupa data keuangan maupun data non keuangan.

Bukti audit (Audit Evidencei) yang diperoleh harus memenuhi kualifikasi tertentu,

yaitu relevan dengan data yang diperiksa, kompetensi dari pihak pemberi

informasi kecukupan jumlah, tepat waktu, biaya yang kecil, dan kemampuannya

dalam membantu memberikan kesimpulan bagi auditor.

2.1.4.7 Perbedaan Financial Audit dengan Audit Investigasi

Sampai saat ini audit investigasi di Indonesia belum dibakukan prosedurnya

oleh IAI. Selain itu, istilah yang resmi dari IAI juga belumturun. Sebagian ada yang

menyebutnya audit kecurangan, audit forensik, audit khusus dan audit investigasi.

Untuk memudahkan pembahasan, penulis akan menggunakan istilah audit investigasi

dan mengasumsikan bahwa investigasi berkaitan dengan pengadilan atau hukum dan

dilakukan mulai dari tahap pendeteksian sampai dengan persidangan.

Dalam majalah Akuntansi No.10 tahun 1988 seperti yang dikutip oleh

Soejono Karni, dijelaskan tentang akuntann investigasi tidak berbeda dengan akuntan

publik yang ada, hanya akuntan publik, mereka bertujuan memberikan pendapat atas

laporan keuangan yang diperiksa dan kadang juga menemukan adanya kecurangan,

sedangkan akuntan investigasi memang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan

adanya kecurangan, terutama terhadap perusahaan-perusahan yang mati misterius

(tidak wajar)”.
29

Dari kutipan di atas, terdapat beberapa perbedaan antara audit laporan

keuangan dengan audit invetigasi. Ada delapan perbedaan yang terlihat antara lain :

1. Dasar Pelaksanaan Audit

Pada audit atas laporan keuangan, audit dilaksanakan berdasarkan permintaan

perusahaan yang menginginkan laporan keuangannya diaudit. Dasar pelaksanaan

audit investigasi adalah permintaan dari penyidik untuk mendeteksi kecurangan

yang mungkin terjadi. Selain itu, aduit investigasi juga dapat dilakuakan atas dasar

pengaduan dari masyarakat tentang kecurigaan adanya kecurangan dan dari

temuan audit yang mengarah pada kemungkinan adanya kecurangan yang di dapat

atas laporan keuangan sebelumnya.

2. Tanggung jawab Auditor

Pada audit atas laporan keuangan, audit bertanggung jawab atas nama lembaga

audit atau KAP ( Kantor Akuntan Publik ) tempat auditor bekerja. Pada audit

investigasi, auditor bertanggung jawab atas nama pribadi yang ditunjuk, karena

apabila keterangan di siding pengadilan merupakan keterangan palsu auditor yang

bersangkutan akan terkena sanksi.

3. Tujuan Audit

Tujuan audit atas laporan keuangan adalah untuk mengetahui laporan keuangan

perusahaan klien telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Audit

investigasi bertujuan untuk membantu penyidik untuk membuat terang perkara

dengan mencari bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mendukung dakwaan jaksa.


30

4. Teknik dan Prosedur Audit

Dalam audit atas laporan keuangan, prosedur dan teknik audit yang digunakan

mengacu hanya pada standar auditing, sedangkan adit investigasi mengacu pada

standar auditing juga kewenangan penyidik sehingga dapat digunakan teknik audit

yang lebih luas.

5. Penerapan Azas Perencanaan dan Pelaksanaan Audit

Pada audit laporan keuangan menggunakan skeptic profesionalisme, sedangkan

audit investigasi selain menggunakan skeptic profesionalisme juga menggunakan

azas praduga tak bersalah.

6. Tim Audit

Dalam audit atas laporan keuangan, tim audit bisa saja yang ada di Instansi

tersebut. Dalam audit investigasi, tim audit dipilih oleh auditor yang sudah pernah

melaksanakan bantuan tenaga ahli untuk kasus yang serupa atau hampir sama

salah satu dari tim audit harus bersedia menjadi saksi ahli di persidangan.

7. Persyaratan Tim audit

Pada audit atas laporan keuangan, auditor harus menguasai masalah akuntansi dan

auditing.

8. Laporan Hasil Audit

Dalam audit ata slaporan keuangan, menyatakan pendapat auditor tentang

kesesuaian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Dalam

audit investigasi, menyatakan siapa yang bertanggung jawab dan terlibat dalam

kasus kecurangan yang ditangani, tetapi tetap menerapkan azas praduga tak

bersalah.
31

2.2. Pengendalian Internal (Internal Control)

2.2.1. Pengertian Pengendalian Internal

Pengertian pengendalian internal didapat dari beberapa sumber, antara lain

definisi yang diambil dari situs resmi commission of Sponsoring Orgnization of the

Treadway Commission (www.coso.org), yaitu komisi yang dibentuk oleh National

Commission of Fraudulent Financial Reporting di Amerika Serikat untuk meneliti

penyebab terjadinya kecurangan atau fraud. Pengendalian internal menurut COSO

dijelaskan sebagai berikut :

“Commission of Sponsoring Organization of the Treadway Commission

(COSO) describes internal control as follows : Internal control is broadly defined as

a process, effected by an entity’s board of directors, management and other

personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of

objectives in the following categories, which are: effectiveness and efficiency of

operations, reliability of financial reporting, and compliance with applicable

laws and regulations”.

Disini dijelaskan bahwa pengendalian internal secara luas diartikan sebagai

suatu proses yang dipengaruhi dewan direksi suatu entitas, manajemen, dan personel

lainnya. Didesain untuk menyediakan kepastian yang masuk akal tentang pencapaian

tujuan dalam kategori berikut, yaitu : efektivittas dan efisiensi operasi, yang berkaitan

dengan performa dan tujuan pemerintahan untuk memperoleh laporan keuangan

pemerintahan yang transparan, berkaitan dengan kegiatan mempersiapkan data-data

untuk laporan keuangan yang dapat diandalkan: dan kesesuaian dengan hokum dan

peraturan yang berlaku. Selain definisi tersebut, New York’s Office of State
32

Comptroller (OSC) dalam situs resminya (www.osc.state.ny.us) juga mmiliki

definisi yang lebih terperinci mengenai pengendalian internal, seperti yang

diterangkan di bawah ini. New York’s Office of State Comptroller (OSC) stated that

Internal control or an internal control system is the intergration of the activities,

plans, attitudes, policies, and efforts of the people of an organization working

together to provide reasonable assurance that the organization will achieve its

objectives and mission.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa pengendalian internal adalah suatu

kesatuan dari aktivitas, perencanaan, prilaku, kebijakan, dan usaha dari personel suatu

organisasi yang bekerja sama untuk menyediakan kepastian yang memadai bahwa

organisasi tersebut akan dapat mencapai tujuannya. Secara mendetil, New York’s

OSC juga menyatakan bahwa:

1. Pengendalian Internal mempengaruhi seluruh aspek dari organisasi, baik personel,

proses, dan struktur fisiknya.

2. Pengendalian Internal adalah elemen yang mendasar dari suatu organisasi, bukan

hanya sebagai fungsi tambahan.

3. Pengendalian Internal menggabungkan kualitas dari manajemen yang baik

4. Pengendalian Internal berkaitan erat dengan personel, dan keberhasilannya

bergantung pada kepedulian yang diberikan oleh personel dalam pelaksanaannya.

5. Pengendalian Internal akan terlaksana secara efektif apabila seluruh personel dalam

entitas dan lingkungan kerjanya dapat bekerja sama dengan baik.

6. Pengendalian Internal menyediakan tingkatan kenyamanan bagi organisasi, namun

tidak menjadi jaminan keberhasilan.


33

7. Pengendalian Internal membantu organisasi mencapai tujuannya.

2.2.2. Unsur Pengendalian Internal

Baik COSO maupun New York’s OSC menyebutkan lima unsure pokok

dalam Pengendalian Internal, yaitu :

1. Control Environment (Lingkungan Pengendalian)

Lingkungan pengendalian merupakan dasar dari unsure-unsur lainnya, yang

menyediakan aturan dan struktur bagi Pengendalian Internal. Faktor-faktor dalam

lingkungan pengendalian adalah :

1. Ethica Values and Integrity (Nilai Etika dan Integritas)

Nilai etika adalah standar prilaku yang membentuk kerangka tata cara kerja

pegawai negeri sipil. Manajemen menetapkan nilai etika yang akan membantu

kemampuan pegawai negeri sipil mengambil keputusan yang positif dalam

pekerjaan. Untuk dapat mencapai tujuan laporan akuntansi keuangan pemerintahan

yang transparan. Tiap-tiap personel dalam organisasi memiliki integritas pribadi

dan profesional saat dihadapkan pada nilai etika. Jika tugas manajemen adalah

menetapkan dan mengkomunikasikan nilai etika organisasi, maka masing-masing

personel memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan integritas yang mendukung

nilai-nilai tersebut. Merupakan tugas manajemen untuk memastikan proses dan

aktivitas yang dilakukuan dapat memperkokoh integritas tersebut.

2. Management Operating Style and Philosophy (Jenis dan Filosofi Operasi

Manajemen)
34

Filosofi dan jenis operasi manajemen mencerminkan gambaran umum pengelolaan

dan penyelenggaraan aktivitas organisasi. Terdapat beberapa jenis dan filosofi

yang dapat diterapkan, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan

dari yang lain, dan tingkat aktivitas yang berbeda-beda jika diterapkan dalam

entitas tertentu. Manajemen harus mempraktekkan jenis dan filosofi yang paling

efektif dan sesuai dengan nilai etika yang diterapkan dalam organisasi, serta

memberikan pengaruh positif terhadap modal karyawan.

3. Competence (Kompetensi)

Kompetensi adalah karakteristik seseorang yang memiliki keahlian, pengetahuan,

dan kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas. Sebuah organisasi harus

memastikan stafnya memiliki keahlian, pengetahuan, dan kemampuan untuk

melaksanakan tugasnya. Pihak manajemen juga harus memastikan seluruh staf

memiliki hal-hal yang dibutuhkan, misalnya perlengkapan, piranti lunak, serta

paduan kebijakan dan prosedur, untuk melaksanakan tugasnya.

4. Morale (Nilai Moral)

Nilai moral adalah perilaku yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya,

ditunjukkan dengan keyakinan, disiplin, dan kemauan untuk melaksanakan tugas.

Manajemen harus tanggap akan peranan nilai moral yang baik dengan efektifnya

lingkungan pengendalian, karena perilaku pegawai akan pekerjaannnya berdampak

pada seberapa baik mereka melaksanakan tugasnya.

5. Supportive Attitude (Perilaku yang mendukung)

Perilaku yang mendukung adalah sikap-sikap yang mendukung hasil yang

diinginkan. Karena pengendalian internal memberikan keyakinan memadai pada


35

manajemen bahwa proses pencapaian misi organisasi sedang berjalan, maka pihak

manajemen juga harus mendukung kegiatan pengendalian internal. Manajemen

eksekutif dapat juga menekankan pentingnya pengendalian internal dalam

pencapaian tujuan pemerintahan pada seluru elemen pemerintahan, untuk

menumbuhkan atmosfer kerja yang mendukung pencapaian tujuan organisasi.

6. Mission (Misi/Tugas)

Misi akuntansi keuangan pemerintahan adalah alas an keberadaan keuangan

pemerintahan harus transparan yang memberikan arahan dan tujuan bagi seluru

personel, serta panduan saat harus membuat keputusan penting. Tanpa misi yang

didefinisikan dengan jelas dan dikomunikasikan dengan baik, suatu organisasi

dapat terombang-ambing dan tidak dapat berfungsi dengan optimal.

7. Structure (Struktur)

Struktur adalah kerangka pelaksanaan rencana organisasi, yang mendefinisikan

fungsi dan hubungan dari bagianbagian organisasi tersebut. Manajemen dapat

menggambarkan struktur organisasi dalam bentuk bagan yang menggambarkan

dengan jelas otoritas dan hubungan tanggung jawab antar bagian, sehingga dapat

membantu pegawai negeri sipil untuk lebih memahami organisasi secara utuh.

2. Risk Assessment (Penilaian Resiko)

Setiap entitas mengalami berbagai jenis resiko baik dari dalam maupun luar yang

harus diperkirakan sebelumnya. Penilaian resiko adalah proses identifikasi dan

analisa resiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan, dengan menyusun dasar

untuk menentukan bagaimana resiko tersebut harus ditangani.


36

Tahapan-tahapan dalam penilaian resiko antara lain:

1. Risk Assessment Preparation (Persiapan Penilaian Resiko)

Untuk dapat menilai resiko, sebelumnya pihak manajemen harus sudah

mengidentifikasi seluruh tujuan organisasional dan operasional, juga tujuan

pengendalian yang dimiliki entitas. Setelah itu, pengguna anggaran dapat

mengidentifikasikan resiko yang berkaitan dengan tiap-tiap tujuan, baik internal

(misalnya: kesalahan manusia, kecurangan, kerusakan system) maupun eksternal

(misalnya: perubahan kekuasaan legislatif, bencana alam). Amatlah penting untuk

mengidentifikasi semua resiko yang terkait dengan pencapaian tiap-tiap tujuan

yang ada.

2. Risk Assessment Process (Proses Penilaian Resiko)

Pihak manajemen harus mengevaluasi tiap resiko yang diidentifikasi menurut

tiga kategori, yaitu :

1. Kepentingan, yaitu ukuran besar-kecilnya akibat yang ditimbulkan pada organisasi

apabila terjadi hal yang merugikan.

2. Kecenderungan, yaitu kemungkinan terjadinya hal yang merugikan apabila tidak

terdapat aktivitas pengendalian untuk mencegahnya.

3. Penyebab, yaitu alasan kenapa hal yang merugikan tersebut terjadi. Dengan

informasi yang didapat, pengguna anggaran dapat menentukan cara menangani


37

resiko, mencegah atau menguranginya, menjadwalkan frekuensi evaluasi system

pengendalian internal, dan menghadapi resiko apabila terjadi perubahan.

3. Managing Risk (Pengelola Resiko)

Terdapat beberapa cara pengelolaan resiko yang bias dilakukan, antara lain :

1. Menerima resiko : Tidak menerapkan tindakan pengendalian Manajemen bisa

menerima resiko yang mungkin terjadi karena konsekuensi atau kerugian yang

diderita tidak terlalu berarti.

2. Mencegah atau mengurangi resiko : menerapkan tindakan pengendalian Kerugian

yang mungkin diderita amat signifikan, sehingga pihak manajemen menerapkan

tindakan pengendalian untuk mencegah terjadinya resiko tersebut.

3. Menghindari resiko : tidak melaksanakan fungsi/tindakan tertentu. Manajemen

tidak dapat mengambil resiko terjadinya hal yang tidak diinginkan, sehingga

langkah yang riskan tersebut tidak dilakukan, dan dihapuskan dari rencana

kegiatan untuk digantikan dengan langkah lain dengan tingkat resiko yang lebih

rendah.

4. Preventing or Reducing Risk (Pencgahan atau Minimalisasi Resiko)

Dalam hal ini manajemen harus menggunakan informasi penaksiran resiko untuk

membantu menentukan aktivitas pengendalian yang paling efektif dan efisien

untuk menangani resiko tersebut. Analisa dan interpretasi yang dibuat dari

informasi penaksiran resiko itu dicatat dan nantinya dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan kembali secara periodik.

5. Managing Risk during change (Penanganan Resiko saat terjadi Perubahan)


38

Bila terjadi perubahan dalam organisasi (misalnya: penerapan proses atau system

baru, pengaturan ulang personel, dll), hal itu dapat juga berdampak pada aktivitas

pengendalian resiko yang ada sebelumnya. Untuk dapat menangani resiko dengan

semestinya, manajemen harus memonitor apabila ada hal yang harus diubah dalam

aktivitas itu untuk menyesuaian dengan perubahan yang terjadi dalam organisasi.

4. Control Activities (Aktivitas Pengendalian)

Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang membantu memastikan

bahwa arahan yang diberikan pihak manajemen dilaksanakan dengan baik. Beberapa

aktivitas pengendalian yang dapat dilakukan antara lain :

1. Documentation (Pencatatan)

Pencatatan berhubungan dengan penyimpanan bukti nyata atas pengembalian

keputusan, kejadian, transaksi atau system secara utuh, akurat, dan dicatat

berdasarkan waktu kejadiannya.

2. Approval and Authorization (Persetujuan dan Otorisasi)

Persetujuan adalah bentuk konfirmasi atau persetujuan atas keputusan karyawan,

kejadian atau transaksi berdasarkan pertimbangan tertentu, sedangkan otorisasi

adalah kekuasaan yang diberikan manajemen pada karyawan untuk melaksanakan

tugas tertentu, berdasarkan persetujuan yang diterima dari atasan.

3. Verification (Pengesahan)

Pengesahan adalah kepastian dari kelengkapan, ketepatan, keaslian dan kebenaran

transaksi , kejadian atau informasi. Hal ini merupakan aktivitas pengendalian yang

memungkinkan manajemen memastikan bahwa kegiatan telah dilakukan sesuai

dengan ketentuan.
39

4. Supervision (Pengawasan)

Pengawasan merupakan kegiatan manajemen atau suatu panduan untuk

memastiakan hasil dari suatu kegiatan dapat mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

5. Separation of Duties (Pemisahan Tugas)

Pemisahan tugas adalah pembagian dari tugas pokok dan kewajiban antara

berbagai karyawan dan unit dari organisasi, dengan memisahkan tugas pokok dan

kewajiban, manajemen dapat mengurangi resiko kesalahan, pemborosan, atau

tindakan yang salah yang muncul ataupun yang tidak terdeteksi.

6. Safeguarding Assets (Penjegaan Aset)

Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi akses pada aset dan informasi, untuk

mengurangi resiko penggunaan yang tidak sah atau kehilangan.

7. Reporting (Pelaporan)

Pelaporan adalah salah satu cara menyampaikan informasi, yang juga berperan

sebagai pengendali saat mencegah atau mengurangi resiko terjadinya hal yang

tidak menguntungkan. Selain itu, pelaporan juga membantu menyediakan

informasi seperti misalnya pencapaian tujuan, status anggaran, dan kepentingan

karyawan; serta membantu mempertanggungjawabkan tindakan dan keputusan

yang diambil.

8. Computer System Control (Pengendalian Sistem Kontrol)

Untuk system informasi berbasis computer, aktivitas didalamnya berkisar pada

keamanan akses baik pada perangkat keras maupun file elektronik, yang
40

mencakup pengendalian terhadap pengembangan, modifikasi, dan pemeliharaan

program computer serta penggunaan dan perubahan data dalam file computer.

9. Back-up and Disaster Recovery (Data Cadangan dan

Pemulihan Kerusakan) Semua sistem computer harus memilki data cadangan dan

prosedur pemuliahan kerusakan yang memadai untuk mencegah atau mengurangi

resiko yang terkait dengan kegagalan system, kehilangan tenaga, atau ancaman

potensial lainnya pada system dan data.

10. Input Control (Pengendalian Masukan)

Pengendalian masukan membantu memastikan bahwa data yang akan diproses

telah disahkan dan diubah dalam format yang dapat dibaca oleh mesin. Sebagai

tambahan, pengendalian ini memungkinkan pengguna menentukan ada tidaknya

data yang hilang, disembunyikan, ditambah, digandakan, atau diubah secara tidak

semestinya.

11. Output Control (Pengendalian Keluaran)

Pengendalian keluaran memastikan bahwa informasi yang dihasilkan oleh system

tersebut akurat dan hanya pengguna yang telah diotorisasi yang menerima

informasi itu.

5. Information and Communication (Informasi dan Komunikasi)

Informasi yang berhubungan dengan kegiatan entitas harus dapat

diidentifikasi, diperoleh, dan komunikasikan dalam dalam bentuk dan kerangka

waktu yang memungkinkan personel untuk menjalankan kewajibannya. Komunikasi

yang efektif juga berlaku dalam pengertian yang lebih luas, dalam arus ke bawah,
41

mendatar, maupun ke atas dalam strukturorganisasi. Beberapa aspek yang harus

diperhatikan dalam pengendalian arus informasi dan komunikasi adalah :

1. Communicasition and Internal Control (Komunikasi dan Pengendalian Internal)

Manajemen harus memastikan terdapat saluran komunikasi yang baik untuk

menyampaiakan informasi pada pihak yang berkaitan dalam organisasi.

Manajemen maupun staf dapat menggunakan salauran yang tersedia untuk

mengkomunikasikan informasi yang relevan pada orang yang tepat dan pada

waktu yang tepat pula, juga untuk mensosialisasikan hal-hal mengenai

pengendalian internal antara manajemen dan staf.

2. Control Environment (Lingkungan Pengendalian)

Saluran komunikasi yang baik akan memungkinkan manajemen untuk

memberitahukan tujuan, sasaran, kebijakan, rencana organisasi pada karyawan.

Selain itu, karyawan juga bisa mendapatkan penjelasan mengenai gamabaran

pekerjaan mereka, termasuk tujuan dan kontribusi yang bisa diberikan untuk

pencapaian tujuan laporan keuangan akuntansi pemerintahan yang transparan.

3. Assessing and Managing Risks (Menilai dan Mengelola Resiko)

Saluran komunikasi yang baik amat penting bagi penilaian resiko, karena dapat

membantu menejer mengidentifikasi resiko baru atau perubahan resiko yang sudah

ada sehingga dapat ditentukan bagaimana cara menghadapinya. Manajemen dapat

menyampaikan hasil penaksiran resiko dan keputusan yang diambil untuk

menghadapi resiko pada manajemen di tingkat lebih tinggi dan juga pada personel

pelaksana aktivitas manajemen resiko.


42

4. Control Activities (Activitas Pengendalian)

Alat komunikasi yang handal memungkinkan manajemen untuk menjelaskan

kegiatan dan tanggung jawab pengendalian pada pihak pelaksana dan pihak yang

terpengaruh atas kegiatan pengendalian tersebut. Selain itu, manajemen juga bisa

selalu waspada saat aktivitas pengendalian gagal dan tindakan korektif perlu

diambil.

5. Monitoring (Pemantauan)

Pemantauan memerlukan komunikasi yang signifikan. Staf operasi harus

Mengkomunikasikan detil pekerjaannya pada supervisor (pengawas). Supervisor

kemudian memberikan hasil pengamatannya pada staf operasi untuk membetulkan

kesalahan dan/atau membantu penerapan aktivitas kerja yang sesuai, juga pada

pihak manajemen ditingkat lebih tinggi untuk melaporkan tujuan yang telah

tercapai dan masalah yang ditemukan. Pihak manejemen kemudian merespon

laporan tersebut bila terdapat perubahan rencana atau tujuan yang mungkin

diambil berdasarkan kegiatan pengamatan tadi.

6. Monitoring (Pemantauan)

System pengendalian internal memerlukan pemantauan untuk menilai kualitas

pelaksanaan system tersebut dari waktu ke waktu. Terdapat tiga hal yang harus

diperhatikan dalam proses pemantauan, yaitu:

1. Monitoring Responsibilities and Duties (Kewajiban dan Tugas Pemantauan)

Semua orang dalam organisasi mempunyai tanggung jawab untuk pemantauan.

Posisi dalam organisasi adalah penentu fokus dan banyaknya tanggung jawab,

seperti yang dijelaskan berikut:


43

a. Staf

Focus utama pemantauan mandiri staf adalah untuk memastikan bahwa tugas

mereka telah dilakasanakan dengan semestinya, dan membetulkan kesalahan yang

ditemukan sebelum hasil pekerjaan tersebut dilaporkan pada atasan untuk

pemeriksaan lebih lanjut.

b. Supervisor

Pemeriksaan merupakan elemen penting dari pemantauan. Supervisor harus

mengawasi semua aktivitas dan transaksi dalam unit mereka, untuk memastikan

pengendalian berfungsi semestinya, tujuan unit tercapai, komunikasi berjalan

dengan baik, serta resiko dan kesempatan telah diidentifikasi dengan semestinya.

c. Menejemen Tengah

Tugas pementauan di tingkat ini meliputi ulasan mengenai pelaksanaan

pengendalian pada beberapa unit dalam organisasi, dan seberapa baik performa

supervisor dalam mengawasi unit masing-masing.

d. Manajemen Eksekutif

Kegiatan yang dilakukan lebih menitikberatkan keberhasilan pencapaian tujuan

organisasi dalam pelaksanaannya. Manajer eksekutif juga harus mengawasi

keberadaan resiko dan kesempatan baik pada lingkungan internal maupun

eksternal yang mungkin menyebabkan perubahan rencana organisasi.


44

2. Major Areas For Monitoring (Lingkup Umum Pemantauan)

Pemantauan yang efektif dapat member kesempatan pada manaejemen untuk

melakukan koreksi terhadap permasalaahan yang dihadapi kegiatan pengendalian,

dan mengendalikan resiko, sebelum muncul hal yang tidak diinginkan.

Pemantauan tersebut dapat dilakukan terhadap :

1. Misi

Meliputi pengembangan dan ulasan data operasional yang memungkinkan

manajemen menentukan apakah operasi telah mencapai tujuannya atau tidak

2. Lingkungan Pengendalian

Bertujuan untuk memastikan pengguna anggaran tiap level mempertahankan

standar prilaku yang etis dan menerapkan moral staf yang baik, juga untuk

meyakinkan kompetensi staf, kecukupan pelatihan, serta jenis dan filosofi yang

dianut dapat membantu mencapai tujuan perusahaan.

3. Komunikasi

Pengguna anggaran harus memastikan secara regular bahwa pihak berkepentingan

menerima dan dapat berbagai informasi pertanggungjawaban dengan semestinya

secara tepat waktu, memadai, serta sesuai bagi semua pengguna.

4. Resiko dan Kesempatan

Pengguna anggaran juga harus mengawasi lingkungan internal dan eksternal

pemerintahan untuk mengidentifikasi kan perubahan pada resiko dan kesempatan

baru. Jika perubahan telah diidentifikasi, kemudian dapat diambil tindakan yang

sesuai untuk menghadapi resiko atau kesempatan tersebut.


45

3. Monitoring Results (Hasil Pemantauan)

Manajemen harus memastikan terdapat saluran komunikasi yang terbuka baik

untuk manajemen maupun staf, untuk melaporkan hasil positif maupun negatif

pada tingkatan manajemen yang semestinya tanpa menimbulkan rasa takut atau

sakit hati.

2.2.3. Tujuan Pengendalian Internal

Seperti dijelaskan sebelumnya, tujuan akhir system pengendalian internal

adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan dan misi organisasi. Secara spesifik

International Organization of Supreme Audit Institutions telah mendefinisikan

beberapa tujuan pengendalian internal sebagai berikut :

1. Untuk menerapkan operasi yang teratur, ekonomis, efisien dan efektif sesuai

dengan misi organisasi

2. Untuk menjaga laporan keuangan yang transparan,penyalahgunaan, pengelolaan

keuangan yang tidak sesuai, kesalahan dan kecurangan.

3. Untuk memastikan keseuaian anatara hukum, peraturan, Kontrak dan langkah-

langkah yang diambil pihak manajemen.

4. Untuk mengembangkan dan menjaga data keuangan dan manajemen yang dapat

diandalkan, serta menyajikan dalam laporan dengan tepat waktu. Secara garis

besar, tujuan dan komponen pengendalian internal dapat dirangkumkan dalam

tabel berikut:
46

Control Environment

Communication Assesing & Control Monitoring


activities
Managing Risk

Sumber : New York State Government’s Office of State Comptroller

(http://www.osc.state,ny.Us/audits/audits/controls/)

2.2.4. Pihak-pihak yang Berperan dalam Pengendalian Internal

Menurut COSO, terdapat beberapa pihak yang mempunyai peranan dalam

pengendalian internal suatu entitas, yaitu :

1. Manajemen/Birokrat Eksekutif

Pimpinan eksekutif adalah penanggung jawab dari system pengendalian internal,

karena ia menetapkan keputusan yang

mempengaruhi integritas, etika, serta factor lain dari lingkungan pengendalian

yang baik. Dalam pemerintahan biasanya pimpinan Instansi memberikan arahan

kepada sekretaris, yang kemudian akan diubah menjadi kebijakan dan prosedur

pengendalian internal yang lebih spesifik untuk masing-masing fungsi unit. Dalam

entitas yang lebih kecil, pengaruh pimpinan eksekutif yang biasanya sebagai

pengguna anggaran lebih langsung terlihat. Secara umum, pengguna anggaran


47

bertindak sebagai pimpinan eksekutif terhadap departemen yang menjadi tanggung

jawabnya.

2. Dewan Direksi/Birokrat Legislatif

Manajemen bertanggung jawab pada dewan direksi, yang mengendalikan,

memandu dan memantau kinerjanya. Anggota dewan direksi yang efektif harus

bersikap obyektif, handal, memiliki kepedulian dan pengetahuan yang memadai

tentang kegiatan dan lingkungan entitas, serta menerapkan jangka waktu yang

diperlukan untuk memenuhi kewajiban dewan. Seringkali manajemen dapat

menyalahgunakan posisinya dalam system pengendalian internal dan

menimbulkan kecurangan yang berusaha ditutupi dengan memberikan laporan

yang tidak benar. Dewan direksi yang kokoh dan aktif terutama jika memeiliki

saluran komunikasi yang baik dan pendanaan yang memadai, bersama dengan

fungsi audit internal yang legal, merupakan solusi terbaik untuk mengkoreksi

masalah tersebut.

3. Auditor Internal

Auditor internal memainkankan peranan penting dalam mengevaluasi efektivitas

system pengendalian, dan memberi masukan untuk peningkatannya. Terlebih lagi,

karena posisi organisasi dan otorisasi dalam entitas yang dimilikinya, fungsi audit

internal seringkali memiliki peranan signifikan dalam mengawasi kegiatan operasi

laporan keuangan pemerintahan.

4. Personel Lainnya

Pengendalian internal merupakan tanggung jawab semua orang dalam organisasi,

dan menjadi bagian implisit maupun eksplisit dari depenelitian kerja tiap personel.
48

Dalam prakteknya, semua personel memberikan informasi untuk system

pengendalian internal atau melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam

penerapan pengendalian. Semua personel juga harus bertanggung jawab untuk

mengkomunikasikan permasalahan yang mungkin dialami atau ditemui pada pihak

atasan.

2.2.5. Manfaat dan Keterbatasan Pengendalian Internal

Menurut COSO, terdapat beberapa manfat yang dapat diberikan pngendalian

internal begi entitas, antara lain:

1. Membantu entitas meningkatkan performanya dan mendapatkan keuntungan, serta

mencegah hilangnya sumber daya

2. Dapat member keyakinan yang memadai akan kebenaran laporan keuangan yang

dibuat perusahaan tersebut

3. Memberikan keyakinan bahwa pemerintahan telah mematuhi hukum dan aturan

yang berlaku, sehingga dapat mencegah rusaknya reputasi keuangan pemerintahan,

atau konsekuensi lain yang mungkin terjadi COSO juga menjelaskan, karena

manfaat-manfaat yang diberikan pengendalian internal tersebut, seringkali timbul

anggapan-anggapan yang tidak realitas, bahwa dengan adanya pengendalian

internal, performa pemerintahan akan meningkat secara absolute. Padahal dalam

prakteknya, pengendalian internal juga memeiliki beberapa keterbatasan fungsi

dibandingkan anggapan-anggapan yang ada, misalnya:

1. Adanya anggapan bahwa dengan adanya pengendalian internal keberhasilan

entitas dapat tercapai dengan memastikan terpenuhinya tujuan pemerintahan,


49

atau paling tidak memastikan keselamatan keuangan pemerintahan dari korupsi.

Sebenarnya penendalian internal hanya bisa membantu pencapaian tujuan

entitas dengan cara menyediakan informasi manajerial tentang perkembangan

atau penurunan performa pemerintahan, namun tidak dapat mengubah

manajemen yang memang buruk menjadi baik seketika. Lebih jauh lagi,

perubahan peraturan pemerintahan, dan kondisi keuangan yang mungkin

berubah, berada di luar kendali manajemen. Pengendalian internal bukan

menjadi jaminan keberhasilan, maupun keselamatan dari korupsi.

2. Pengendalian internal dapat memastikan kebenaran laporan keuangan serta

kesesuaian dengan hukum dan peraturan. Anggapan ini juga tidak memiliki

jaminan, karena sebaik apapun sistem pengendalian internal, hanya dapat

memberikan keyakinan yang memadai bukannya absolute untuk manajemen

dan dewan mengenai pencapaian tujuan suatu entitas. Pencapaian tujuan ini

juga dipengaruhi oleh batasan-batasan dalam system pengendalian internal

secara umum, misalnya pengambilan keputusan yang salah dalam proses

penentuan keputusan, atau mungkin kegagalan karena faktor yang tidak

disengaja. Terlebih lagi, pengendalian dapat dibobol oleh kolusi dua orang atau

lebih, dan manajemen juga mempunyai kemampuan untuk mengesampingkan

sistem tersebut. Faktor keterbatasan lainnya adalah bahwa desain dari system

tersebut sebanding dengan biaya yang dikeluarkan pemerintahan. Jadi.

walaupun pengendalian internal dapat membantu entitas mencapai tujuannya,

namun bukanlah obat mujarab yang langsung dapat bekerja dengan ajaib.

Untuk itulah dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan menyeluruh


50

mengenai beberapa hal yang mampu meningkatkan resistensi pengendalian

internal terhadap fraud.

2.3. Kecurangan (Fraud)

2.3.1. Pengertian Kecurangan

Kecurangan atau fraud telah didefinisikan dalam beberapa sumber , seperti

yang akan dijelaskan di bawah ini. Menurut Institute of Internal Audit, kecurangan

didefinisikan sebagai: “An Array of irregularities and illegal acts characterizied by

intentional deception, that can be perpretrated for the benefit of or to the detriment of

the organisation and by person outside as well as inside the organization, or in other

word an intentional improper usage of resources and the misrepresenlalion of facts

la receive gain.”

Maksud dari definisi tersebut, kecurangan adalah suatu penyimpangan dari

kebiasaan dan tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja, yang

dilakukan untuk tujuan menguntungkan atau merugikan pemerintahan, dan dilakukan

oleh orang di luar maupun di dalam pemerintahan itu sendiri. Dalam hand-out

seminar “Fraud Detection and Investigation for Internal Auditor” dijelaskan bahwa

kecurangan atau fraud merupakan suatu penyimpangan dan perbuatan. Melanggar

hukum (illegal acts) yang dilakukan dengan sengaja, untuk tujuan tertentu, misalnya

menipu atau memberikan gambaran yang keliru, untuk keuntungan pribadi atau

sekelompok secara tidak fair, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan

pihak lain.
51

2.3.2. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Fraud

Menurut M. Romney, W.S. Albrecht, and D.J. Cherrington, dalam "Auditors

and the Detection of Fraud" (1980), menyatakan bahwa seseorang melakukan

kecurangan sebagai hasil interaksi dari dua kekuatan yang berasal dari dalam pribadi

seseorang dan lingkungan ekstern. Kekuatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi

tiga kategori : (1) tekanan situasional (situational pressures), (2) Kesempatan

(opportunity), dan (3) karakteristik pribadi (personal characteristics).

William C boyntin menyebutkan terdapat 3 (tiga) factor pendorong terjadinya

fraud, yang lebih dikenal dengan “fraud triangle” yaitu ooprtunity, pressure dan

rationalization.

Pressure Rationalizitaion

Opportunity

Gambar 1 : Fraud Triangle

Sumber : W. Steve Albrecht & Chad O.Albrecht, Fraud Examination (2003)


52

Opprtunity (kesempatan) untuk melakukan fraud tergantung pada kedudukan

pelaku terhadap objek fraud. Kesempatan untuk melakukan fraud selalu ada pada

setia kedudukan, hanya ada kesempatan besar dan kesempatan kecil. Kesempatan

adalah kondisi yang paling mudah dikendalikan.

Pressure (tekanan) untuk melakukan fraud lebih banyak tergantung pada

kondisi individu seperti masalah keuangan maupun tekanan non financial.

Rationalization (rasionalisai) terjadi apabila seseorang membangun pembenaran atas

fraud yang dilakukannya.

Ridwan Simanjuntak mengatakan bahwa terdapat empat factor pendorong

seseorang untuk melakukan fraud, di kenal dengan teori GONE, yaitu :

1. Greed ( Keserakahan)

2. Opportunity (Kesempatan)

3. Need (Kebutuhan); dan

4. Exposure (Pengungkapan)

2.3.3. Jenis dan Bentuk Kecurangan

Association Certifeid of Fraud Examinations (ACFE) menggambarkan jenis

dan bentuk kecurangan dalam sebuah pohon kecurangan (The Fraud Tree), dalam

pohon kecurangan tersebut digambarkan terdapat tiga jenis dan bentu utama

kecurangan yaitu, Corruption (Korupsi), Asset Misaproriation (Penyalahgunaan

Aset), dan Fradulent Statements.


53

2.3.3. Latar Belakang Kecurangan

Terjadinya praktek kecurangan atau fraud makin berkembang dari hari ke

hari, karena beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Beberapa di antaranya

dibahas dalam seminar “Fraud Detection and Investigation for Internal Auditor”,

yaitu :

1. Permasalahan ekonomi yang makin dinamis dan kompleks

2. Pencapaian kemampuan di bidang ekonomi diiringi munculnya bentuk-bentuk baru

kejahatan, baik dibidang ekonomi maupun sosial.

3. Lemahnya prosedur, internal control, perangkat hukum, pegawai, maupun

pengawasan yang belum sempat dibenahi.

4. Kualitas dan kuantitas fraud meningkat seiring dengan peningkatan ketiga hal

diatas.Terdapat juga beberapa kondisi yang mendukung terjadinya tindak

kecurangan (fraud), seperti yang dijelaskan Soejatna Soenoesoebrata dalam

seminar “Auditor Forensik atas Kecurangan pada Sistem Berbasis Komputer”,

yaitu :

1. Pengendalian internal tidak ada, lemah, atau lalai dalam penerapannya

2. Dalam mempekerjakan karyawan tanpa pertimbangan yang seksama mengenai

kejujuran

3. Karyawan kurang/tidak diarahkan, terlalu dieksploitir, diperlakukan tidak adil, atau

bekerja di bawah tekanan

4. Pimpinan yang dijadikan panutan tidak kompeten, korup, dan boros.

5. Dalam hal kecurangan dapat terungkap kepada pelaku tidak diberi tindakan yang

tegas
54

6. Orang yang dipercaya mungkin mempunyai masalah pribadi yang tidak

terselesaikan

7. Pemerintahan mempunyai tradisi atau sejarah korupsi.

2.3.3. Langkah-langkah Pengendalian Kecurangan

Seperti yang dijelaskan oleh Sawyer (2005:1038-1039), terdapat beberapa

langkah yang bisa dilakukan untuk mengendalikan atau mencegah terjadinya fraud

dalam pemerintahan, antara lain:

1. Menetapkan standar, anggaran dan statistic, dan menyelidiki semua penyimpangan

yang material.

2. Menggunakan teknik kuantitatif dan analitis untuk menandai peristiwa yang

menyimpang

3. Mengidentifikasi indicator proses kritis: kehilangan dalam berkas, pengulangan

kerja dalam pembuatan surat pertanggung jawaban, dan melakukan uji petik dalam

pemeriksaan pengadaan barang dan jasa.

4. Menganalisa secara mendalam performa yang tampak terlalu baik, dan performa

yang ada dibawah standar.

5. Mendirikan departemen audit internal yang professional.

2.3.4. Langkah-langkah Pencegahan Fraud

Menurut Zabihollah Rezaee dan Richard Riley (2004 : 64) menjelaskan ada

tiga unsur yang harus diperhatikan oleh pihak manajemen perusahaan bila ingin

menjegah terjadinya tindakan fraud, yaitu :


55

1. Menciptakan dan mengembalikan budaya yang menghargai kejujuran dan nilai-

nilai etika yang tinggisalah satu tanggung jawab organisasi adalah menumbuhkan

budaya yang menghargai kejujuran dan nilai-nilai etika tinggi hendaknya

mencakup hal-hal sebagai berikut :

Setting the at the top, merekrut dan mempromosikan karyawan yang tepat,

pelatihan, disiplin.

a. “Setting the at the top”

Penelaahan peraturan perundang-undangan, tujuannya untuk memperoleh

pengertian mengenai peraturanperaturan yang bersifat umum yang ditetapkan pada

semua instansi atau organisasi.

b. Merekrut dan mempromosikan karyawan yang tepat Diadakan penyeleksian

pegawai dimana seorang yang mempunyai kualitas audit yang baik itu

ditempatkan sesuai dengan bidang keahliannya.

c. Pelatihan

Pegawai diharuskan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan pada inspektorat

provinsi Sumatera Utara dan inspektorat kabupaten labuhanbatu utara yang

dimana kualitas profesionalisme seorang auditor bertahan dan meningkat.

d. Disiplin

Pegawai harus mentaati peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh instansi

pemerintah provinsi sumatera utara dan instansi kabupaten labuhanbatu utara, agar

kinerja audit berjalan dengan lancar.


56

2. Penerapan dan Evaluasi Proses Pengendalian anti Fraud

Fraud tidak akan terjadi tanpa persepsi adanya kesempatan dan menyembunyikan

perbuatannya organisasi hendaknya proaktif mengurangi kesempatan dengan

mengidentifikasi dan mengukur resiko fraud, pengurangan resiko fraud,

implementasi dan monitoring pengendalian intern.

a. Mengidentifikasi dan mengukur resiko kecurangan Deteksi fraud mencakup

identifikasi indikatorindikator kecurangan yang memerlukan tindak lanjut auditor

internal untuk melakukan investigasi.

Beberapa hal yang harus dimilki oleh auditor internal agar pendeteksian fraud

lebih lancar antara lain :

1. Memiliki keahlian dan pengetahuan yang memadai dalam mengidentifikasi

indikator terjadinya fraud.

2. Memiliki sikap kewaspadaan yang tinggi terhadap kemungkinan kelemahan

pengendalian intern dengan melakukan serangkaian pengujian untuk menemukan

indikator terjadinya fraud.

3. Memiliki keakuratan & kecermatan dalam mengevaluasi indikator-indikator fraud

tersebut.

Ketiga hal tersebut, dapat memiliki oleh auditor internal setelah pengalaman

bertahun-tahun melakukan audit berbagai fungsi atau unit kerja di suatu organisasi

(perusahaan).

b. Pengurangan resiko kecurangan

1. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur yang telah

ditetapkan oleh manajemen.


57

2. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertnggungjawabkan dan dilindungi

dari

kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan.

3. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat

dipercaya

4. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan

oleh manajemen.

5. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan

efisiensi dan efektifitas

c. Implementasi dan monitoring pengendalian interen

Auditor dalam melaksanakan pemeriksaan dan pengawasan selalu mengandalkan

kemampuan teknis yaitu pengetahuan akuntansi dan auditing yang dibantu dengan

kemampuan penyidikan.

3. Pengembangan Proses Pengawasan (Oversight Process)

Untuk mencegah dan menangkal kecurangan secara efektif, entitas hendaknya

memiliki fungsi pengawasan yang tepat, pengawasan dalam berbagai jenis dan

bentuk ini dapat dilaksnakan oleh berbagai pihak ini dapat dilaksanakan oleh

berbagai pihak antar lain Komite Audit, Manajemen, Internal Auditor.

a. Komite Audit

Auditor harus dapat menentukan sifat dari kondisi yang perlu dilaporkan dan

mengidentifikasikan masalah pengendalian yang paling penting untuk jajaran

manajemen dengan
58

menguraikan situasi yang menyebabkan, atau yang akan menyebabkan suatu

kesalahan atau ketidak beresan dalam kelangsungan organisasi yang signifikan

untuk segera dilakukan tindakan korektif yang dapat mengurangi resiko dan

kerugian potensial.

b. Manajemen

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, auditor harus membuat

kesimpulan mengenai efektivitas pengendalian organisasi disertai ungkapan

mengenai kekuatan, kelemahan, dan rekomendasi perbaikannya, sebagai salah satu

bahan penyusunan laporan audit kinerja.

c. Internal Auditor

Jumlah staf auditor yang diperlukan, agar diperoleh pemanfaatan yang optimal

dari kecakapan staf auditor sehingga terhindarkan ketidakefisien audit, serta

jumlah waktu yang dibutuhkan, guna jaminan ketepatan waktu kerja. Salah satu

cara yang paling efektif untuk mencegah timbulnya fraud adalah melalui

peningkatan system pengendalian intern (internal control system) selain melalui

struktur atau mekanisme pengendalian intern. Dalam hal ini, yang paling

bertanggung jawab atas pengendalian intern adalah pihak manajemen suatu

organisasi. Dalam rangka pencegahan fraud, maka berbagi upaya harus dikerahkan

untuk membuat para pelaku fraud tidak berani melakukan fraud. Apabila fraud

terjadi, maka dampak (effect) yang timbul diharapkan dapat diminimalisir. Auditor

internal bertanggungjawab untuk membantu pencegahan fraud dengan jalan

melakukan pengujian (test) atas kecukupan dan keefektivan system pengendalian


59

intern, dengan mengevaluasi seberapa jauh resiko yang potensial (potential risk)

telah diidentifikasi.

2.3.5. Perbandingan Kecurangan dan Tindak Pidana Korupsi (TPK)

Dalam hand-out seminar “Fraud Detection and Investigation for Internal

Auditor”, disebutkan beberapa unsur yang terdapat oleh praktek fraud atau

kecurangan, antara lain :

1. Adanya perbuatan melanggar hukum

2. Dilakukan oleh orang dari dalam atau luar entitas

3. Bertujuan mendapat keuntungan pribadi atau kelompok

4. Merugikan Negara baik secara langsung atau tidak langsung

Dalam pengelolaan keuangan Negara, apabila keempat unsur tersebut

terpenuhi, maka tindakan tersebut termasuk dalam tindakan Pidana Khusus dan

termasuk juga dalam cakupan Tindakan Pidana Korupsi (KPK) seperti dinyatakan

dalam UU No.31/Tahun 1999. Undang-undang RI No.31/Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi (TPK) menyebutkan bahwa TPK ialah:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri/orang lain/suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian

Negara, dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4-20 tahun dan

denda minimal Rp 200 juta s/d maksimal Rp 1 miliyar. Untuk keadaan tertentu dapat

dipidana mati.”
60

2.4. White Collar Crime ( Kejahatan Kerah Putih )

2.4.1. Pengertian White Collar Crime ( Kejahatan Kerah Putih )

Kajian white collar crime mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada

tahun 1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological

Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai

perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi serta

berhubungan dengan pekerjaannya (Sutherland 1940: 1-12; 1949: 9; 1956: 79).

Konsepsi ini mendapatkan tentangan dari Paul Tappan dalam bukunya Who is

the Criminal? (1947), dimana dia mengkritik pandangan Sutherland yang berakar

dari pemikiran Durkheim bahwa suatu perbuatan dianggap jahat berdasarkan reaksi

masyarakat. Menurutnya konsepsi white collar crime terutama perbuatannya, harus

didasarkan pada hukum yang berlaku, demi kemudahan dalam pengusutan dan

penuntutan.

Sebelumnya, E.A. Ross pernah menyebut kejahatan ini sebagai criminaloid

dimana memiliki karakter seseorang yang mencari kemakmuran melalui cara yang

memalukan, tetapi tidak dianggap melanggar oleh masyarakat dan masyarakat tidak

menggolongkan mereka sebagai penjahat.

A. Morris menggunakan istilah criminal of the upper world untuk

menunjukkan kejahatan dengan ciri pelaku yang tidak teridentifikasi dengan jelas,

dimana dengan posisinya, kemampuannya, dan kepintarannya memungkinkan untuk

berbaur dengan orang lain sehingga tidak digolongkan sebagai penjahat.

Penelitian selanjutnya telah mengembangkan konsep white collar crime,

bukan hanya dilakukan oleh individual tetapi dapat pula dilakukan oleh organisasi.
61

Seperti studi yang dilakukan oleh Clinard (1946) terhadap perilaku pelanggaran yang

dilakukan oleh perusahaan bisnis saat Perang Dunia II, Hartung (1950) terhadap

industri daging di Detroit, Quinney (1963) terhadap pelanggaran yang dilakukan toko

obat/apotik, dan Geis (1967) terhadap pelanggaran anti monopoli yang dilakukan oleh

perusahaan listrik.

Definisi lain diberikan pula oleh Edelhertz (1970:3), menurut dia white collar

crime adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan ilegal yang dilakukan secara non

fisik dan dengan sembunyi-sembunyi atau tipu muslihat, untuk mendapatkan uang

atau barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau

untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri.

Dictionary of Criminal Justice Data Terminology mendefinisikan white collar

crime sebagai nonviolent crime dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan

finansial yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang memiliki status pekerjaan

sebagai pengusaha, profesional atau semi profesional dan menggunakan kemampuan

teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya. Atau perbuatan dengan tujuan untuk

mendapatkan keuntungan finansial, menggunakan tipu muslihat dan dilakukan oleh

orang yang memiliki kecakapan khusus dan pengetahuan profesional atas perusahaan

dan pemerintahan, terlepas dari pekerjaannya.

Biderman dan Reiss (1980), juga mencoba mendefinisikan white collar crime

sebagai pelanggaran hukum yang tidak terbatas pada pelaku dengan status sosial

tinggi, karena hal ini menjadi permasalahan. Status sosial tidak bisa menjadi variabel

bebas, padahal dalam menjelaskan kejahatan status sosial menjadi variabel yang

signifikan untuk diperhatikan.


62

Menurut Coleman (1985:5, 1989:5), white collar crime adalah pelanggaran

hukum yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan dalam

pekerjaan yang dihormati dan sah. Aktivitas tersebut bertujuan untuk mendapatkan

uang.

Beberapa karakteristik white collar crime yang membedakannya dengan

kejahatan lain (Clarke, 1990; Croall, 1992; Langgan, 1996) yaitu:

1. Pelaku sulit diidentifikasi. Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak

akan sadar (Clarke, 1990; Croall, 1992).

2. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian

tertentu.

3. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab,

biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan

karena tidak mengikuti perintah atasan (Croall, 1992; Fisse & Braithwaite,

1993; Wells, 1993).

4. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara

langsung berhadapan.

5. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak.

6. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan.

7. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan.

8. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.


63

Vito dan Holmes (1994:383-384), juga menjelaskan karakter white collar

crime, yaitu:

a. Kerugian yang diderita lebih besar dibandingkan street crime (Calavita and

Pontell, 1991: 94; Coleman, 1991: 219).

b. Tidak selalu nonviolent (Bohm, 1986: 195).

c. Lebih rumit dalam metode yang digunakan dan kerugian yang diderita.

d. Korban lebih menderita dan penderitaan tersebut tidak dirasakan seketika.

e. Korban terutama dalam kasus simpan-pinjam, akan berkurang

kepercayaannya terhadap ekonomi bebas dan pimpinan perusahaan.

f. Bisa membawa akibat penundaan/hilangnya investasi yang dilakukan

masyarakat.

g. Membawa akibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi

politik, proses politik dan para pemimpin serta erosi atas moralitas masyarakat

(Moore and Mills, 1990).

h. Dalam kebijakan publik, perbedaan antara organized dan white collar crime

tidak jelas.

i. Masyarakat akan menuntut penegakan hukum dan hukuman terhadap pelaku

lebih keras lagi.

Clinard dan Quinney (1973; Kramer, 1984), membagi white collar crime

kedalam dua pembagian, yaitu occupational crime dan corporate crime. occupational

crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh individual untuk dirinya sendiri dalam

lingkup pekerjaannya atau kejahatan yang dilakukan pekerja terhadap bosnya.


64

Corporate crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh pekerja untuk kepentingan

perusahaannya, atau kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan.

Jo Ann Miller, seorang kriminolog dari Purdue University merinci

pengkategorian white collar crime menjadi empat jenis, yaitu:

a. Organizational Occupational crime (Kejahatan yang dilakukan oleh

organisasi atau perusahaan).

b. Government Occupational Crime (Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah

atau atas nama pemerintah).

c. Professional Occupational crime (Kejahatan yang berkenaan dengan profesi).

d. Individual Occupational Crime (Kejahatan yang dilakukan secara individu).

Bloch dan Geis (1970) membagi white collar crime dalam lima bagian, yaitu:

a) Sebagai individual (dilakukan oleh profesional seperti pengacara, dokter)

b) Pekerja terhadap perusahaan atau bisnis (contohnya korupsi)

c) Petugas pembuat kebijakan untuk perusahaan (contohnya dalam kasus anti

monopoli)

d) Pekerja perusahaan terhadap masyarakat umum (contohnya penipuan iklan)

e) Pelaku bisnis terhadap konsumennya (contohnya penipuan konsumen).

Edelhertz (1970), membuat pembagian white collar crime dalam empat

bagian, yaitu:

1. Kejahatan yang dilakukan oleh perorangan yang dilakukan secara individu

dalam situasi yang khusus atau ad hoc (contohnya pelanggaran pajak,

penipuan kartu kredit).


65

2. Kejahatan yang dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya dan

dilaksanakan oleh mereka yang menjalankan suatu bisnis, pemerintahan atau

lembaga lainnya dengan melanggar kewajiban untuk loyal maupun kesetiaan

kepada majikan atau nasabah (contohnya penggelapan, pencurian oleh

karyawan, pemalsuan daftar pengupahan).

3. Kejahatan sesekali terhadap dan dalam rangka melaksanakan bisnis tetapi

tidak merupakan kegiatan utama bisnis (contohnya penyuapan)

4. White collar crime sebagai bisnis atau sebagian kegiatan pokok (merupakan

kejahatan profesional yaitu kegiatan seperti penipuan dalam asuransi

kesehatan, kontes pura-pura, pembayaran palsu).

Croal (1998: 274) membagi white collar crime kedalam empat bagian, yaitu:

(1)occupational crime, (2)computer crime, (3)corporate/organizational crime,

(4)financial fraud. Malapraktek jika dilakukan oleh dokter secara individu dan untuk

kepentingan individu menurut pendefinisian dari Clinard dan Quinney dapat

dikategorikan sebagai occupational crime. Tetapi jika dilakukan oleh rumah sakit

atau dilakukan oleh perawat atau dokter sebagai pegawai rumah sakit dan dalam

rangka keuntungan rumah sakit dapat dikategorikan sebagai corporate crime.

Dibawah ini akan dibahas pembagian white collar crime berdasarkan

pembagian dari Clinnard dan Quinney dan dikaitkan dengan malapraktek.


66

2.4.2 Occupational Crime

Selain Clinard dan Quinney, beberapa ahli juga mengajukan suatu

pendefinisian tentang occupational crime. Gross (1980) dan Vaughan (1980)

menyebut istilah organizational criminality untuk menunjuk occupational crime,

yaitu kejahatan yang dilakukan oleh anggota organisasi, tetapi definisi tersebut

terbatas karena tidak memasukkan kejahatan yang dilakukan oleh bukan anggota

organisasi.

Albanese (1987:7), mengkonsepkan organizational crime sebagai kejahatan

yang didasarkan adanya perencanaan dan tipu muslihat, namun tidak terbatas pada

kejahatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Horning (1970), menyebutnya

dengan istilah blue collar, sebagai kejahatan oleh pekerja yang dilakukan oleh

seseorang dalam pekerjaannya tetapi tidak terbatas pada pekerjaan yang tinggi

statusnya. Sementara Green (1990), membuat definisi occupational crime dengan

setiap kegiatan yang dapat dikenakan sanksi hukum, dilakukan berdasarkan

kesempatan yang diciptakan melalui pekerjaan yang legal.

Green (1990: 12), membagi occupational crime kedalam empat tipe besar,

yaitu:

1. Kejahatan yang dilakukan untuk keuntungan organisasi (contoh: penipuan

asuransi perbaikan mobil yang dilakukan oleh bengkel mobil, jika ditanggung

pihak asuransi akan dinaikkan harganya).

2. Kejahatan yang dilakukan sebagai hasil dari kekuasaan negara (contohnya

pejabat negara yang melakukan kejahatan dalam rangka melakukan tugas

sebagai wakil negara).


67

3. Kejahatan yang dilakukan oleh profesional dalam kapasitas pekerjaannya

(contohnya dokter yang melakukan penipuan kepada pasien atas pemeriksaan

yang sebenarnya tidak perlu atau tidak dilakukan).

4. Kejahatan yang dilakukan oleh individual untuk kepentingan pribadi.

Clinard dan Quinney (1967), juga menawarkan seperangkat analisa untuk

membedah fenomena kejahatan secara umum termasuk white collar crime. Kelima

aspek ini akan memperlihatkan pola hubungan dilakukannya kejahatan occupational

criminal behavior, yaitu:

a. Aspek hukum; Aturan resmi yang ada mengenai pekerjaan memberikan

perlindungan terhadap kepentingan kelompok dan hanya dalam beberapa hal

mengatur tindakan yang merugikan. Aturan hukum yang mengatur bidang

kerja dan profesi cenderung disusun oleh mereka sendiri, dan

merepresentasikan kepentingan mereka.

b. Aspek karir; Pelaku kejahatan tidak menyadari dirinya sebagai penjahat.

Pelanggaran yang dilakukan diikuti dengan rasionalisasi. Biasanya

pelanggaran dilakukan dalam bagian pekerjaan sehari-hari. Penjahat juga

memahami nilai baik dan buruk yang berlaku dalam masyarakat.

c. Aspek dukungan kelompok; Rekan kerja atau kelompok dalam pekerjaan

membenarkan dan bahkan mendukung pelanggaran yang dilakukan. Penjahat

diterima dalam kelompok sosial dan norma-norma sosial.

d. Hubungan kejahatan dan perilaku yang tidak jahat; Perilaku jahat

berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai oleh perusahaan.


68

e. Reaksi masyarakat dan proses hukum; Reaksi masyarakat terhadap kejahatan

biasanya lemah dan tidak sama. Hukuman yang diberikan oleh pihak berwajib

biasanya ringan dan lebih sering dikenakan sanksi administratif oleh asosiasi

profesi.

Berbagai perilaku dokter yang dapat dikategorikan sebagai occupational

crime antara lain: pemberian narkotika secara ilegal, melakukan aborsi ilegal, fee

splitting dan membuat penipuan dalam laporan kesehatan seseorang atau membuat

kesaksian palsu dalam kasus kecelakaan.

Green (1990), memasukkan kejahatan oleh dokter dalam kategori

professional occupation crime yang terdiri dari (1) Kejahatan terhadap orang meliputi

pengobatan dan operasi yang tidak perlu, pelecehan seksual terhadap pasien,

pembunuhan kriminal seperti aborsi dan euthanasia (2) Kejahatan terhadap harta

termasuk di dalamnya penipuan asuransi kesehatan dan fee-splitting.

2.4.3 Corporate Crime

Corporate crime, menurut Kramer (1984:31) adalah kejahatan yang dilakukan

oleh organisasi korporat. Hal ini adalah hasil dari kebijakan yang diambil oleh para

petinggi perusahaan. Dan perusahaan membuat keputusan tersebut untuk memperoleh

keuntungan untuk perusahaan. L.S. Schrager dan James Short (1978:411-412),

mendefinisikan corporate crime sebagai kegiatan ilegal secara hukum baik berupa

omission atau commission yang dilakukan oleh individual maupun kelompok di

dalam organisasi yang formal yang bertujuan untuk memberikan keuntungan untuk

organisasi tersebut dengan membawa dampak secara fisik atau ekonomi kepada
69

pekerja, konsumen atau masyarakat umum. Definisi lain diberikan oleh Hagan

(1987:128), sebagai kejahatan yang dilakukan oleh individual atau kelompok dengan

tujuan untuk memberikan keuntungan kepada organisasi atau korporasi.

Clinard dan Yeager (1980) menguraikan ada enam bentuk utama dari

pelanggaran korporasi, yaitu:

1. Pelanggaran administratif; pelanggaran ini meliputi tidak dipenuhinya

persyaratan yang diberikan oeh suatu pranata pemerintahan atau oleh suatu

pengadilan, misalnya tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh

suatu pranata, atau perintah pengadilan untuk memenuhi gugatan penggugat.

2. Pelanggaran lingkungan; antara lain melakukan pencemaran air dan udara

termasuk limbah kimiawi, termasuk melanggar ambang batas kandungan

polutan pada udara dan air.

3. Pelanggaran keuangan; termasuk pembayaran yang tidak sah atau tidak

mengakui adanya penyuapan, termasuk politik uang.

4. Pelanggaran perburuhan; yang dapat dibagi menjadi empat bentuk utama,

diskriminasi dalam penerimaan pegawai, pelanggaran K3, praktik perburuhan

yang tidak jujur dan pelanggaran upah.

5. Pelanggran manufaktur; meliputi pelanggaran yang berada dibawah tiga

lembaga, yaitu yang berhubungan dengan federal hazardous substances act,

the poison prevention packaging act, serta the consumer product safety act.

6. Praktik perdagangan yang tidak jujur; meliputi persaingan yang tidak jujur,

monopoli, diskriminasi harga, mengurus penjualan ulang dengan paksaan,

pelanggaran kredit dll.


70

Sementara James Coleman (1989), melihat ada empat kategori besar

corporate crime, yaitu: (1) Penipuan, (2)Penyuapan dan influence peddling,

(3)Kekerasan oleh korporasi (termasuk pencemaran lingkungan atau segala kegiatan

korporasi yang menyebabkan luka atau kematian) , dan (4) Kontrol atas harga dan

monopoli. Croal (1998) memasukkan tiga kelompok besar kejahatan yang termasuk

corporate crime, yaitu: (1) kejahatan terhadap konsumen, (2) kejahatan terhadap

kesehatan dan perlindungan, (3) kejahatan lingkungan.

Kelima aspek dibawah ini akan memperlihatkan pola hubungan dilakukannya

kejahatan corporate criminal behavior menurut Clinard dan Quinney (1967), yaitu:

1. Aspek hukum; Aturan resmi yang ada dibuat seiring dengan perkembangan

korporasi. Berbagai macam peraturan, terutama peraturan administratif

dihasilkan atas desakan dan untuk semata-mata mencari keuntungan bagi

korporasi dan melindungi ekonomi kapitalis.

2. Aspek karir; Pelaku kejahatan dan korporasinya memiliki status sosial yang

tinggi. Perilaku kejahatan yang dilakukan adalah bagian dari mekanisme

berjalannya korporasi. Pelanggaran dirasionalisasikan sebagai bagian dasar

dari korporasi secara keseluruhan.

3. Aspek dukungan kelompok; Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau

karyawan atas nama korporasi justru mendapatkan dukungan dari sesamanya

bukannya persaingan. Melawan hukum atau mencari celah hukum adalah

bentuk normatif yang dipahami oleh semua korporasi.

4. Hubungan kejahatan dan perilaku yang tidak jahat ; Kejahatan korporasi

sejalan dengan idiologi yang dianut oleh semua korporasi yang mendukung
71

tidak terbatasnya produksi dan konsumsi. Harus dikembangakan alternatif

nilai etis yang mempertanyakan perilaku kejahatan ini.

5. Reaksi masyarakat dan proses hukum; Hukuman yang keras jarang

diberlakukan untuk pelaku kejahatan ini. Hukuman juga lebih bersifat

memberi teguran daripada memberikan hukuman.

2.4.4. Keterkaitan White Collar Crime ( Kejahatan Kerah Putih ) dengan

Audit Investigasi

Gambaran tentang white collar crime, salah satunya adalah gambaran yang

mengacu pada bagaimana seseorang termotivasi untuk melakukan suatu kejahatan

dengan memanfaatkan kelemahan dari lingkungan pengendalian yang ada dan

kemampuan intelegensi yang meadai untuk memanfaatkan kesemapatan kaitannya

dengan tindak kecurangan yang ada.Hal ini dapat di lihat dengan adanya teori yang

menjelaskan bagaimana seseorang melakukan suatu bentuk penyimpangan yang

bersifat kriminal dan erat kaitannya dengan pengeloaan perusahaan maupun birokrasi

negara.

Teori tersebut di namakan dengan teori triangle fraud di mana teori tersebut

menggabungkan antara kesempatan yang ada yang di sebabkan oleh lemahnya

lingkungan pengendalian. Kemdian hal kedua yang dapat menyebabkan terjadinya

fraud adalah apabila seseorang mendapatkan sebuah pressure atau dorongan, pressure

atau dorongan inidapat berupa pressure yang bersiat internal maupun pressure yang

bersifat eksternal.
72

Pressure atau dorongan yang bersifat eksternal di karenakan adanya sebuah

tekanan yang timbul lebih di sebabkan oleh persoalan finansial misalnya persoalan

hutang piutang, ataupun juga persoalan lain yang erat kaitannya dengan keterbatasan

finansial, hal ini menyebabkan seseorang sangat ingin melakukan suatu hal untuk

terlepas dari tekanan tersebut, salah satu contohnya seseorang yang terlilit hutang

motivasinya akan berlipat untuk melunasi hutangnya sehingga cenderung akan

melakukan berbagai tindakan menyimpang untuk atau kecurangan dalam hal

keuangan yang dapat merugikan orang lain. Dari semua pemaparan tentang white

collar clime yang telah dibahas diatas maka jawaban untuk mendeteksi dan mecegah

fraud yang bermodus white collar crime adalah auditor investigasi yang dituntut

untuk menggunakan segala kemampuannya untuk mengenali skema dan pola

kejahatan kerah putih untuk kemudian dilakukan langkah pencegahan dan

pendeteksian fraud yang berkaitan dengan kejahatan tersebut guna meningkatkan

resistensi internal control terhadap fraud sehingga melahirkan tata kelola (Good

Corporate Governance) yang baik.

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu dan Skema Pemikiran

2.5.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan beberapa hasil

penelitian yang berhubungan dengan variable dalam penelitian ini:

1. Permana, Indra Jaya (2006) dalam penelitian yang berjudul : “Pengaruh

Profesionalisme Akuntan Publik Dalam Mengungkap Kecurangan” Dari hasil


73

penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh sikap profesionalisme akuntan

public terhadap pengungkapan kecurangan.

2. Hasibuan, Genta Marcapanda (2008) dalam penelitiannya yang berjudul : Peranan

Audit Internal Dalam Mencegah dan Mendeteksi Kecurangan” Dari hasil

penelitian tersebut bahwa analisis auditor internal berperan dalam mencegah dan

mendeteksi kecurangan.

2.5.2 Kerangka Pemikiran

Audit Investigasi atau Akuntansi forensik adalah suatu kegiatan assurance dan

konsultasi yang independen dan obyektif, dirancang untuk memberikan nilai tambah

serta peningkatan kegiatan organisasi, dengan membantu organisasi tersebut untuk

menemukan dan mendeteksi fraud yang sulit untuk di deteksi. Salah satu tujuan dari

kegiatan Audit Investigasi adalah untuk mendeteksi kecurangan. Kecurangan sendiri

adalah penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan secara

sengaja, dengan tujuan tertentu misalnya menipu atau memberikan gambaran yang

keliru, untuk keuntungan pribadi/kelompok secara tidak fair, yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan pihak. Tingginya kasus kecurangan dan korupsi di

Indonesia kebanyakan Disebabkan sulitnya mengungkap kasus fraud yang bermodus

white collar crime Hal ini sebenarnya dapat dihindarkan dengan system pengendalian

internal yang memadai, yang slah satunya dapat tercapai dengan kemampuan Auditor

Investigasi untuk mengungkap kecurangan agar dapat memperbaik celah internal

control yang digunakan oleh pelaku kejahatan kerah putih untuk berbuat curang.
74

SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN

Audit Investigasi Akuntansi


Forensik

Auditor Forensik/Auditor
Investigasi

(+) (+)

Peningkatan Pengungkapan Fraud Litigasi Terhadap


Internal Control penegak Hukum

Pelaku Fraud Bermodus


(-) White Collar Crime (-)

Fraud White Collar


Crime

Anda mungkin juga menyukai