Akibat Hukum Perjanjian Pinjam Nama (Nominee)
Akibat Hukum Perjanjian Pinjam Nama (Nominee)
E-JOURNAL
Bunga Gandasari
NIM : 11010214410218
Pembimbing :
Dr. Aminah, SH, M.Si
NIP: 1964120 419903 2002
E-JOURNAL
Bunga Gandasari
NIM : 11010214410218
Mengetahui
Dosen Pembimbin
Dr. Aminah,SH,M.Si
NIP:19641204199032002
SURAT PERNYATAAN
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan
masalah yang dapat peneliti uraikan adalah:
a. Apakah perjanjian pinjam nama (nominee) dapat
dikategorikan sebagai penyelundupan hukum?
b. Bagaimana akibat hukum dengan diadakannya perjanjian
pinjam nama (nominee) dalam hal pemilikan hak atas tanah
di Indonesia?
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris,
dengan spesifikasi penelitiannya secara deskriptif analitistis
didukung dengan pemahaman secara preskriptif. Sumber dan
jenis datanya berupa data primer dan data sekunder, lalu teknik
pengumpulan data diperoleh melalui studi lapangan dan studi
kepustakaan. Teknik analisa datanya menggunakan analisis
kualitatif dengan pemikiran secara dedukatif-indukatif.
1
Maria S.W. Sumardjono, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung,
(Jakarta: Kompas, 1994), hlm. 58
tersebut merupakan penyelundupan hukum yang melanggar
Undang-Undang.
Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini, mengenai
penyelundupan hukum adalah sebagai berikut:
Karpika Wati (Penggugat) sebagai Warga Negara Indonesia
menggugat Alain Maurice Pons (Tergugat I) sebagai Warga Negara
Asing, dan Notaris bernama Eddy Nyoman Winarta, SH (Tergugat
II) yang berkantor di Kabupaten Badung. Penggugat pada tanggal
12 Juni 2007 telah membeli sebidang tanah sesuai dengan
Setipikat Hak Milik Nomor: 1022/Desa Pererenan, dengan Nomor
Identifikasi Bidang Tanah: 22.03.05.18.0113, dengan Surat Ukur
Nomor: 1216/Pererenan/2008, tertanggal 12 Maret 2008, seluas
975 m2 (sembilan ratus tujuh puluh lima meter persegi) yang
terletak di Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana),
Desa Pererenan, Kecamatan Mangwi, Kabupaten Badung, Propinsi
Bali tercatat atas nama KW (Penggugat) berdasarkan Akta Jual Beli
Nomor: 169 tertanggal 12 Juni 2007 yang telah dibuat dan
ditandatangani di Kantor Notaris dan PPAT Kabupaten Badung,
ENW (Tergugat II) yang beralamat di Komplek Pertokoan Segitiga
Emas Kav. 31-32, Jalan By Pass Ngurah Rai Nomor 5, Kuta,
Kabupaten Badung, Propinsi Bali, yang kemudian pada awal tahun
2008 tanah tersebut telah dibangun sebuah villa dengan nama
EMMANUELLE yang ditempati oleh penggugat sendiri hingga saat
ini.
Penggugat dan Tergugat I telah saling mengenal dengan
baik sejak tahun 2006. Dengan bujuk rayu dan iming-iming janji
bahwa tanah yang dibeli Penggugat tersebut akan segera dibangun
Villa dan akan disewakan kepada pihak lain yang kemudian hasil
yang didapat dari pengelolaan Villa tersebut akan dibagi bersama,
Tergugat I kemudian meminta Penggugat untuk membuatkan Akta-
Akta atas tanah tersebut dihadapan Tergugat II, adapun Akta-Akta
Notaris tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa
Menyewa Tanah antara Penggugat selaku Pihak Pertama yang
Menyewakan dan Tergugat I selaku Pihak Kedua sebagai Pihak
Penyewa;
b. Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang
Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan antara Tergugat I
selaku Pihak Pertama yang menghutangkan dan Penggugat
selaku Pihak Kedua sebagai Pihak yang Berhutang;
c. Akta Notaris Nomor 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang
Pernyataan dan Kuasa antara Penggugat selaku yang
menyatakan dan Pemberi Kuasa dan Tergugat I selaku yang
menerima Pernyataan dan Penerima Kuasa;
d. Akta Notaris Nomor 108 tanggal 1 April 2008 tentang Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas nama Alain Maurice
Pons, selaku Tergugat I, yang beralamat di 10, rue Jean Vidaihet
31800 St. Gaudens, France.
Obyek tanah tersebut di atas yang dibuatkan dan dibebani
dengan Akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris sangat jelas
memposisikan Penggugat selaku nominee.
Menurut Maria SW. Sumardjono2, Perjanjian Pokok yang
diikuti dengan perjanjian lain terkait penguasaan hak atas tanah
oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak
langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan
hukum. Karena Perjanjian Pinjam Nama (nominee) sama sekali
tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia khususnya dalam
hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara
khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung
pengertian yang kosong/norma kosong.
2
Maria S.W. Sumardjono, Op. Cit, hlm.16
Menurut Ali Nuryahya3, dijelaskan bahwa perjanjian pinjam
nama (nominee) sepanjang dilakukan dengan kesepakatan oleh
kedua belah pihak tidak akan menimbulkan permasalahan yang
berarti, yaitu pihak warga negara Indonesia yang dipinjam namanya
tersebut adalah sebagai penjamin terhadap warga negara asing,
akan tetapi jika hal yang bersifat formalitas tidak dipenuhi maka
disitulah telah terjadi adanya penyelundupan hukum, yang dalam
hal ini melanggar salah satu kesepakatan yang dibuat oleh para
pihak dalam membuat perjanjian nominee.
Menurut pendapat penulis, perjanjian pinjam nama
(nominee) yang terdapat dalam kasus Putusan
No.787/Pdt.G/2014/PN.DPS adalah termasuk dalam kategori
Penyelundupan Hukum. Karena Perjanjian nominee secara yuridis
formal tidak menyalahi aturan, namun terdapat aturan yang jelas di
dalam pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa :
“Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan
asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan
pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang
telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
3
Wawancara dengan Ali Nuryahya, Panitera Muda Hukum di Pengadilan
Negeri Kota Semarang, pada tanggal 28 Januari 2016, pukul 10.30 WIB
B. Akibat Hukum yang Timbul dengan Adanya Perjanjian Pinjam
Nama (Nominee) dalam Hal Kepemilikan Hak Atas Tanah di
Indonesia
Secara umum badan hukum, baik badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing dan juga warga negara asing hanya
diperbolehkan menguasai dan menggunakan tanah, jika hak itu
secara tegas dimungkinkan oleh peraturan yang bersangkutan.
Pasal-pasal dalam UUPA yang memungkinkan untuk itu adalah
Pasal 30 UUPA untuk badan-badan hukum, yaitu: “hanya badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia, yang boleh menjadi pemegang Hak Guna Usaha dan
Hak Guna Bangunan”. Sedangkan untuk warga negara asing dan
badan-badan hukum asing diberikan hak sesuai yang ditetapkan
dalam Pasal 41, 42, 45, dan Pasal 55 UUPA. UUPA Pasal 42
mengatur bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah:
1. Warga Negara Indonesia
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA, Hak Milik kepada orang
asing dilarang dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung
sanksi batal demi hukum. Namun demikian, UUPA tidak menutup
sama sekali kesempatan WNA dan badan hukum asing untuk
mempunyai hak atas tanah di wilayah Indonesia.
Elly Ninaningsih mengatakan bahwa4, pada permasalahan ini
terbitnya Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang
Sewa Menyewa Tanah antara Penggugat dengan Tergugat I atas
4
Wawancara dengan Elly Ninaningsih, Notaris dan PPAT di Kota
Semarang, pada tanggal 29 Januari 2016, pukul 10.00 WIB
sebidang tanah sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 /
Desa Pererenan, NIB: 22.03.05.18.01103, Surat Ukur Nomor:
1216/Pererenan/2008, tanggal 12 Maret 2008, seluas 975 M2, yang
terletak di Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana),
Desa Pererenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi
Bali, tercatat atas nama penggugat, secara substansinya jelas tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah hukum, kelaziman, kepantasan serta
kepatutan dalam perjanjian sewa menyewa yang selama ini berlaku
di Republik Indonesia. Hal tersebut tampak pada masa sewa atau
jangka waktu sewa menyewa dan uang sewa yang diberikan
Penggugat kepada Tergugat I sebagaimana termuat dalam pasal 1
(satu) Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008, yakni 25 (dua
puluh lima) tahun dan secara otomatis diperpanjang dan
diperbaharui kembali untuk jangka waktu 3 x 25 (dua puluh lima)
tahun dari sejak tanggal 6 Agustus 2007 dan berakhir selambatnya
tanggal 06 Agustus 2107, atau dengan kata lain sewa menyewa
antara Penggugat dengan Tergugat I dilakukan dalam jangka waktu
selama 100 (seratus) tahun dengan uang sewa untuk seluruh masa
sewa selama 100 (seratus) tahun hanya sebesar Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) tanpa adanya renegoisasi jangka waktu dan
uang sewa.
Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa
Menyewa yang memberikan jangka waktu sewa secara otomatis
dapat diperpanjang dan diperbaharui jelas telah memberikan
peluang atau jalan kepada Tergugat I sebagai warga negara asing
untuk dapat menguasai tanah di Republik Indonesia dengan jangka
waktu selama 100 (seratus) tahun dengan hanya membayar uang
sewa sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pemberian
masa jangka waktu sewa yang dikomulatifkan selama 100 (seratus)
tahun dalam satu Akta perjanjan sewa adalah tidak sesuai dengan
kelaziman/kaidah-kaidah perjanjian sewa menyewa yang selama ini
menjadi praktek di Indonesia.
Menurut Elly Ninaningsih5, secara materiil Akta Notaris
Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa yang
diterbitkan oleh Tergugat II adalah tidak adil, tidak seimbang dan
memberatkan salah satu pihak, Penggugat hanya menerima uang
sewa Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk masa sewa
tanah selama jangka waktu 100 (seratus) tahun. Ketidakadilan yang
sengaja dibuat oleh Tergugat I dan Tergugat II memposisikan
bahwa keberadaan Penggugat dalam perjanjian hanya dianggap
pelengkap atau pajangan dan hanya memanfaatkan
kewarganegaraan Penggugat saja. Hal tersebut membuktikan
penerbitan Akta sewa menyewa tersebut jelas di dasari bukan
sebab yang halal yakni bertujuan memberikan hak kepada Tergugat
I untuk menguasai tanah dengan jangka waktu yang tidak terbatas
dengan kata lain penguasaan tanah dalam waktu yang tidak
terbatas, secara tidak langsung Tergugat I menguasai tanah
tersebut secara pribadi. Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret
2008 tentang Sewa Menyewa yang diterbitkan oleh Tergugat II
adalah cacat hukum karena tidak memenuhi unsur syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHperdata,
dan dinyatakan batal demi hukum.
Selain sewa menyewa, tanah yang dibeli oleh Penggugat
berupa sebidang tanah sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor :
1022/Desa Pererenan, NIB: 22.03.05.18.01103, Surat Ukur Nomor:
1216/Pererenan/2008, tanggal 12 Maret 2008, seluas 975 M2
(sembilan ratus tujuh puluh lima meter persegi), yang terletak di
Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana), Desa
Pererenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali,
tercatat atas nama Penggugat, Tergugat II juga menerbitkan Akta
5
Ibid
Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan
Hutang Dengan Memakai Jaminan antara Penggugat I selaku pihak
yang menghutangkan dan Pengguat selaku pihak yang berhutang.
Secara yuridis formal telah ada Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24
Maret 2008 tentang Sewa Menyewa Tanah antara Penggugat
dengan Tergugat I, kemudian tanah yang telah diperjanjikan
sebagai sewa menyewa kembali lagi menjadi jaminan hutang
Penggugat kepada Tergugat I, hal ini telah menyebabkan
kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum terhadap status tanah
tersebut diatas karena terdapat 2 (dua) Akta Notaris / perjanjian
Notariil yang membebani satu objek tanah dengan para pihak yang
sama.
Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang
Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan menyatakan
Penggugat telah berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan atas hutang tersebut
Penggugat tidak dikenakan bunga dan selanjutnya untuk jangka
waktu lamanya pengembalian hutang tidak ditentukan.
Sebagaimana termuat dalam pasal 3 Akta Notaris Nomor 90 tanggal
24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan memakai
Jaminan, dinyatakan hutang Penggugat kepada Tergugat I hanya
dapat dikembalikan apabila telah ditagih oleh Tergugat I dan hutang
hanya bisa dibayar melalui hasil penjualan tanah dan benda-benda
yang ada diatasnya.
Menurut penulis, dalam permasalahan ini, perjanjian hutang
piutang tersebut tidak masuk akal dan tidak dapat diterima akal
sehat karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah perjanjian hutang
piutang yang pada lazimnya mensyaratkan adanya bunga dan
waktu jatuh tempo pengembalian hutang secara jelas dan terperinci.
Sehingga jelas secara hukum Tergugat I bersama Tergugat II
dengan sengaja membuat perjanjian notariil hanya akal-akalan saja
untuk memuluskan niat Tergugat I untuk menguasai sebidang tanah
yang telah atas nama Penggugat.
Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang
Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan yang ditandatangani
dan dibuat dihadapan Tergugat II adalah tidak adil, tidak seimbang
dan memberatkan salah satu pihak, salah satunya tersirat dalam
ketentuan pasal 3 Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008
tentang Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan yang pada
pokoknya menyebutkan, pengembalian hutang baru dapat dilakukan
oleh Penggugat apabila telah ditagih oleh Tergugat I dan jumlah
hutang hanya dapat dibayar melalui penjualan tanah yang dijadikan
jaminan hutang. Menurut penulis, hal ini sangat janggal dan tidak
masuk akal serta memberatkan Penggugat selaku pihak yang
berhutang, sehingga jelas Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret
2008 tentang Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan tidak
memenuhi unsur keseimbangan dan keadilan sebagai syarat formil
sahnya perjanjian dan membuktikan terbitnya Akta Notaris tersebut
hanyalah akal-akalan Tergugat I selaku Warga negara asing.
Elly Ninaningsih berpendapat bahwa6, Tergugat II telah
dengan sengaja memposisikan Penggugat dalam keadaan apapun
harus menerima permintaan Tergugat I untuk dapat mengikat
Penggugat ke dalam Akta Notaris / Perjanjian Notariil agar dapat
dibebani hutang oleh Tergugat I dengan jaminan tanah yang telah
atas nama Penggugat dan selanjutnya Tergugat II menerbitkan Akta
Notaris Nomor 108 tanggal 01 April 2008 tentang Akta Pemberian
Hak tanggungan (APHT) atas nama Tergugat I untuk mengikat
Penggugat dan objek jaminan hutang untuk secara tidak langsung
dapat dikuasai oleh Tergugat I.
6
Ibid
Menurut Elly Ninaningsih7, perbuatan Tergugat II
sebagaimana tersebut diatas jelas bertentangan dengan Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris “Pasal 16
ayat (1) huruf (a) yang menyatakan:
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah,
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
pihak “.
Pendaftaran Hak Tanggungan atas jaminan hutang pada
Kantor Pertanahan Kabupaten Badung atas nama Tergugat I yang
hanya menggunakan Paspor dan Visa Turis/ Kunjungan jelas
adalah bentuk penyelundupan hukum terhadap keimigrasian warga
negara asing, karena bagaimana mungkin warga negara asing yang
hanya berkunjung ke Indonesia sebagai turis memberikan
pinjaman/hutang kepada warga negara Indonesia yang kemudian
tampil sebagai pemegang hak tanggungan atas jaminan hutang
berupa sebidang tanah sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 /
Desa Pererenan atas nama Penggugat. Sehingga dengan demikian
Akta Notaris Nomor 108 tanggal 01 April 2008 tentang Akta
Pemberian Hak tanggungan (APHT) atas nama Tergugat I adalah
cacat hukum sehingga haruslah dinyatakan batal demi hukum,
maka hak tanggungan yang telah diletakkan dalam sertifikat Hak
Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan atas nama Penggugat
sehingga terbitnya Sertifkat Hak Tanggungan Pertama Nomor : 209/
2008 atas nama Tergugat I juga cacat hukum.
Dengan demikian, menurut Sepyo Achtanto8, sudah
sepatutnya Sertifkat Hak Tanggungan Pertama Nomor : 209 / 2008
7
Ibid
8
Wawancara dengan Sepyo Achtanto, Kepala Seksi Bagian Hak Tanah
dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Semarang, pada tanggal 28
Januari 2016, pukul 12.57 WIB
atas nama Tergugat I dinyatakan batal demi hukum. Terbitnya akta-
akta Notaris yang telah diuraikan diatas membuktikan bahwa
Tergugat II selaku Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta
Tanah) yang semestinya menjaga tegaknya hukum pertanahan, ikut
menjaga aset-aset tanah di wilayah hukumnya agar tidak dikuasai
baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh warga negara
asing justru dengan sengaja memberikan jalan menyimpang dari
ketentuan hukum yang berlaku agar keinginan Tergugat I selaku
warga negara asing bisa terlaksana untuk memiliki hak atas tanah
secara langsung dengan menggunakan Akta Notaris / Perjanjian
Notariil yang telah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah bentuk
penyimpangan atau penyelundupan hukum dan melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan baik keperdataan
ataupun pertanahan. Dengan kata lain Tergugat II selaku pejabat
Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) membiarkan
terjadinya penjajahan terhadap aset-aset tanah di wilayah
hukumnya untuk dikuasai oleh warga negara asing, sehingga
dengan demikian patutlah Tergugat II dinyatakan telah melakukan
perbuatan hukum.
Menurut penulis, dalam permasalahan ini telah dijelaskan
bahwasanya terdapat suatu kesepakatan yang dibuat dengan akta
notaris dimana Tergugat I berkedudukan sebagai warga negara
asing meminjam nama Penggugat yang berkedudukan sebagai
warga negara Indonesia mengenai peralihan hak milik atas tanah
yang disebut dalam perjanjian pinjam (nominee). Bahwa dalam hal
pembelian obyek sengketa dengan cara nominee tersebut, menurut
Pengadilan Negeri Denpasar perjanjian/persetujuan yang dibuat
oleh Tergugat tersebut bertentangan dengan pasal 1320
KUHPerdata. Berkaitan dengan syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata antara lain:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Mariam Badrulzaman9, dua syarat pertama
dinamakan syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau
subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat
terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Terkait
dengan perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I di atas, maka
keabsahannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Penggugat dan Tergugat I sepakat mengadakan
perjanjian mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
C. PENUTUP
Dari hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana
diuraikan dalam bab-bab terdahulu untuk menjawab permasalahan
dalam penulisan ini tentang Akibat Hukum Perjanjian Pinjam Nama
(Nominee) dalam Hal Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah di
Indonesia oleh Warga Negara Asing dapat dikemukakan kesimpulan
sebagai berikut :
10
Maria SW. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas
Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing,
(Jakarta: Kompas,2007), hlm.85
11
Maria SW. Sumardjono, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung,
(Jakarta: Kompas, 1994), hlm. 18
A. Simpulan
1. Perjanjian pinjam nama (nominee) dikategorikan sebagai
penyelundupan hukum, karena perjanjian pinjam nama
(nominee) bertujuan untuk menghindari ketentuan larangan
Warga Negara Asing memiliki hak atas tanah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Cara
menghindarinya adalah dengan melakukan nominee
sehingga Warga Negara Asing tersebut bisa memiliki tanah
di Indonesia meskipun secara tidak langsung.
2. Akibat hukum yang timbul dengan adanya perjanjian pinjam
nama (nominee) dalam hal kepemilikan hak atas tanah di
Indonesia yaitu antara lain:
a. Akibat hukum terhadap perjanjian
Perjanjian pinjam nama (nominee) melanggar salah satu
syarat sah perjanjian yaitu sebab yang halal (Melanggar
Pasal 26 ayat (2) UUPA) sehingga akibat hukum
perjanjian batal demi hukum.
b. Akibat hukum terhadap Notaris yang membuat akta
perjanjian pinjam nama (nominee)
Notaris bertanggung gugat terhadap kerugian yang timbul
akibat dari dibuatnya perjanjian nominee.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi pembuat Undang-undang (The Making Institutions),
sebaiknya merumuskan suatu kebijakan hukum yang
mendetail mengenai perjanjian yang melibatkan Warga
Negara Asing.
2. Bagi Notaris/PPAT selaku pelaksana Undang-undang (Rule
Sanctioning), agar memegang teguh dan melaksanakan
sumpah/janji jabatan yang diucapkan sebelum memulai
tugas dan jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab
kepada Negara Republik Indonesia sehingga lebih
mengedepankan unsur kehati-hatian dan menerapkan
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Notaris seharusnya memberikan informasi melalui
penyuluhan hukum kepada para penghadap baik kepada
WNI maupun WNA yang akan menuangkan kehendak ke
dalam suatu akta sehingga tercipta perlindungan hukum
serta kepastian hukum melalui produk hukum akta notaris.
3. Bagi masyarakat secara umum (Role Occupant), sebaiknya
lebih bijaksana dalam melakukan perbuatan hukum
khususnya dalam jual beli tanah yang melibatkan Warga
Negara Asing.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku/Literatur
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD 45)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
C. Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.DPS.
C. Media Elektronik
Didik Suhariyanto, Politik Hukum Terhadap Penggunaan Hak Pakai Atas
Tanah Dan Bangunan Bagi Orang Asing Di Indonesia, http://Untag
Banyuwangi.ac.id/attachments/article/284/Politikhukumterhadappenggun
aanhakpakaiatastanah.Pdf
Widyarini Indriasti, Prospektif Kebijakan Kepemilikan Hak Atas Tanah
Bagi Warganegara Asing Di Indonesia. ”Hukum Dan Dinamika
Masyarakat Vol.12”, http://Fakhukum.Untagsmg.Ac.Id/Images/Jurnal/
F. Wawancara-Wawancara
Wawancara dengan Ali Nuryahya, Panitera Muda Hukum di Pengadilan
Negeri Kota Semarang, pada tanggal 28 Januari 2016, pukul 10.30 WIB