Anda di halaman 1dari 6

Nama : Mohammad Izbik Mas'ud

Nim : 11180220000092
Kelas : 6C
Matkul : SKI ASIA TENGGARA

BAB I
PENDAHULUAN
Mobilitas manusia dalam konteks perjumpaan Arab-Nusantara di abad 18 dan 19 yang
punya peran penting dalam membentuk sikap beragama orang Indonesia setidaknya bisa
dijumpai dalam dua hal: diaspora orang Arab (kebanyakan kaum Hadrami) di Nusantara dan
perjalanan ziarah haji orang-orang Nusantara ke Mekah. Tulisan ini adalah tentang yang
kedua.
Mekah adalah pusat ziarah kaum muslim. Sejak dulu merupakan pusat kegiatan Ziarah
ibadah haji umat muslim seluruh dunia,keberadaan ka’bah sebagai pusat kiblat sholat umat
muslim juga merupakan pusat dari kegiatan rukun islam yang ke-5,pantas saja dulu raja
Abraha ingin memindahkan ka’bah sebagai pusat ziarah ke wilayah nya,mungkin ini
alasannya,tidak hanya untuk msa itu,bahkan kini jutaan orang datang untuk mengunjungi
mekkah terkhususnya ka’bah sebagai ‘RUMAH ALLAH ‘.mekkah yang dulu dataran tandus
yang bahkan para penjajah eropa saja tidak berminat untuk datang,namun kini berubah
menjadi sebuah wilayah yang mana setiap muslim akan berangan angan dan bercita cita
bahwa dirinya harus kesana,bahwa mekkah(tak terkecuali Madinah) harus lah menjadi
agenda perjalanan utama yang harus di kunjungi.
Pada akhir abad 19 terjadi peningkatan tajam jumlah orang berziarah haji dari Nusantara ke
Mekah. Pernah dalam satu waktu hampir separuh dari seluruh jamaah haji adalah dari
Nusantara. Sebuah sumber yang mengutip catatan konsul asing di Jedah menyebut ada
28.000 haji asal Nusantara dari 61.000 jamaah haji yang ada di Mekah pada tahun 1920.
Perjalanan dari Nusantara menuju Jedah berlangsung selama berbulan-bulan. Setelah
menempuh perjalanan panjang, para jamaah haji itu tidak semuanya langsung pulang ke
tanah air. Tidak sedikit yang bermukim dan tinggal di Mekah dalam waktu yang lama,
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Para pemukim ini membentuk satu
komunitas orang-orang Jawi (Jâwiyyîn) atau perkampungan yang dikenal dengan sebutan
“Pemukim Jawah” (Bilâd al-Jâwah). Sebutan jawah atau jawi ini tidak selalu merujuk pada
orang-orang dari pulau Jawa, namun juga pada orang-orang dari Nusantara bahkan Asia
Tenggara. Dalam hal lain kita juga mengenal huruf jawi atau arab pegon, suatu modifikasi
aksara Arab untuk menuliskan bahasa lokal yang dikembangkan komunitas ini. Koloni Jawi
ini termasuk yang terbesar dari semua bangsa yang berada di Mekah. Jumlah orang
Nusantara yang bermukim di Mekah terus meningkat sejak pertengahan abad 19. Pada pada
tahun 1931 setidaknya terdapat 10.000 pemukim Jawah di kota Mekah.
Orang-orang menetap di Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Tak hanya menimba
ilmu, sejumlah orang diantaranya juga menjadi guru besar di bidang ilmu agama dan
muridnya datang dari berbagai bangsa. Kita bisa menyebut sejumlah ulama asal Nusantara
yang berpengaruh dan menjadi pengajar di Masjidil Haram seperti Syaikh Nawawi al-Bantani
(dari namanya, kita tahu ia berasal dari Banten), Syaikh Mahfudz al-Tirmasi (asal Termas,
Pacitan), dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (asal Minangkabau). Selain mengajar,
mereka juga menulis sejumlah buku yang otoritatif dalam keilmuwan islam. Syaikh Nawawi
al-Bantani, misalnya, menulis setidaknya 22 buku dalam Bahasa Arab dan hingga kini tidak
hanya dipelajari di pesantren-pesantren di Indonesia.
Kajian ini merupakan hasil interpretasi dari beberapa sumber yang didapat (Library
Research). Tulisan ini berasal dari berbagai referensi yang berbeda guna melihat
perkumpulan komunitas jawa/jawah di mekkah,yang mana dalam perkembangannya tidak
hanya sekedar perkumpulan biasa juga berkembang dalam pusat jaringan intelektual ulama
antar wilayah dan negara terkhususnya wilayah asia tenggara.tulisan ini memang dirasa
masih kurang dari kata sempurna,keterbatasan sumber yang bisa di akses merupakan salah
satu faktornya,keterbatasan kita untuk mengakses buku cetak secara langsung karena
adanya covid-19 masih menjadi kendala bagi para mahasiswa guna mendapatkan literatur
yang baik.apalagi masih banyak akses link online yang error atau tidak bisa di akses karena
terkendla izin akses yang rumit.
Salah satu sumber yang saya kutip berasal dari situs tangerangonline.id berjudul ”
eksistensi “komunitas jawi” di timur tengah sejak awal abad 19 untuk nusantara” yang mana
dia juga melihat sumbernya dari buku salah satu dosen kita yaitu Prof DR Jajat Burhanudin
MA “ULAMA DAN KEKUASAAN: pergumulan elit muslim dalam sejarah Indonesia”,
Kajian ini menghasilkan data deskriptif berupa kalimat tertulis dari proses interpretasi
sumber yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kajian ini bertujuan membangun pembahasan
dinamika intelektual Islam di Asia Tenggara di Abad ke -19 yang akan lebih difokuskan dalam
dua aspek inti ; Pertama, Adanya Komunitas Jawa di Makkah sebagai Tokoh Utama dalam
Dinamika Intelektual yang berlangsung, Kedua membahas biografi dari ulama jawi yang
berkontribusi signifikan dalam keberlangsungan dinamika intelektual dan perkembangan
Islam di Asia Tenggara (Daud al Fattani dan Nawawi al Bantani) . Kajian ini dilakukan sebagai
tugas mata kuliah Islam Asia Tenggara yang di ampu oleh Prof. Dr. Jahat Burhanuddin MA.
BAB II
PEMBAHASAN
Komunitas Jawa di Makkah
Mekah, saat itu, adalah pusat belajar orang Islam. Kota itu masih menjadi pusat belajar
para penuntut ilmu dari berbagai mazhab Islam sehingga keragaman cara pandang masih
mewarnai dinamika intelektual islam di tanah haram itu. Hampir semua mazhab Islam
mendapat tempat dalam pengajaran agama di Mekah. Di sana terdapat madrasah-
madrasah tempat para syaikh dari berbagai mazhab mengajarkan ilmunya. Dinamisme
intelektual kota Mekah yang tidak tunggal itu juga tercermin dari corak keilmuwan yang
dibawa oleh para pemukim Jawah itu ketika pulang ke tanah air. Selain menggeluti ilmu-
ilmu fikih, terdapat juga ulama-ulama tarekat yang mendalami ilmu tasawuf. Salah satu
ulama asal Nusantara yang perlu disebut ketika berbicara tarekat abad itu adalah Syaikh
Khatib al-Sambasi. Ia adalah orang pertama yang menggabungkan dua tarekat terkemuka
(Qadiriyah dan Naqsyabandiyah)—yang di sebelumnya selalu berbeda— menjadi satu
tarekat bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Muridnya datang dari berbagai negeri.
Tarekat ini hingga kini menjadi sangat populer dan mempunyai jutaan pengikut di Indonesia
dan di berbagai penjuru dunia.
Henri Chamberlert-Loir mencatat bahwa laksamanamelaka hang tuah merupakan orang
pertama nusantara yang melaksanakan ibadah haji,disusul sunan gunung djati dan syekh
yusuf makassar,kemudian saat jaman kolonialisasi,kapal kapal voc pada abad ke 17 pernah
mengangkut para Jemaah haji meskipun hanya perjalanan pribadi yang dilakukan para
bangsawan dan pangeraan saja.ibadah haji sempat membuat khawatir para petinggi
Kolonial karena menganggap mekkah sebagai suatu wilayah yang berbahaya guna
memobilisasi kekuatan untuk melawan pemerintahan,maka dari itu pelarangan ibadah haji
sempat diberlakukan bagi umat muslim nusantara.kemudian pada awal abad ke-19 para
pengusaha kapal kapal layer milik belanda pernah meminta untuk membuka Kembali izin
ibadah haji guna menambah pemasukan untuk kapal kapal mereka,akhirnya pemerintah
belanda Kembali membuka izin ibadah haji tersebut,meskipun dengan peraturan yang ketat
dan biaya yang sangat mahal.dibukanya perijinan ibadah haji ini merupakan tonggak awal
bagi terciptanya kelompok intelektual jawa di mekkah,bahkan tercatat pada abad ke 19 dan
20 jumlah jamaah haji Indonesia hamper memenuhi kuota haji dari seluruh penjuru dunia.
Mekkah pada masa lalu bukan hanya sekedar tempat ibadah haji,disamping itu mekkah juga
berperan sebagai pusat keilmuan islam dunia di sam[ping kairo di mesir,tak heran banyak
para pejiarah datang dan menetap disana,bahkan di antaranya bermukim dan menjadi
ulama besar di sana,syekh Nawawi,syekh ahmad khatib,syeikh mahfudz at turmusi
merupakan conttoh para ulama yang pada akhirnya menjadi penggerak bagi pusat keilmuan
dunia khususnya nusantara dan asia tenggara.jaringan keilmuan yang terus terjalin inilah
yang menyebabkan islam terus berkembang di nusantara,para pejiarah yang pulang dari
sana dan menjadi ulama besar kemudian meneruskan kontak pemikiran para ulama timur
tengah dengan wilayah nusantara.KH,Hasyim asy’ari,KH.Ahmad Dahlan merupakan dua
tokoh penerus pemikiran ulama timur tengah dengan mendirikan NU dan
Muhammadiyah,Nu dengan sinkritismenya,dan Muhammadiyah dengan puritanismenya.
Karya karya ulama nusantara yang berkiprah dan berada di mekkah dalam bentuk karya
karya kitabnya,atau di jawa disebut dengan istilah kitab kuning ini menjadi sebuah rujukan
keilmuan,maka transformasi keilmuan dan pemikiran yang berkembang disana akan terus
berkembang pula dimana kitab itu di ajarkan,seperti halnya di nusantara yang mana,kitab
kitab karya syekh Nawawi seperti “safinatunnajah” atau “sulammunajat” menjadi kitab
primer dalam pengajaran di pesantren pesantren,ditambah murid muridnya yang pulang ke
nusantara ikut menyebarkan proses transformasi pemikiran dan keilmuan ini.
Proses transformasi keilmuan ini terjadi tak terlepas dari peran komunitas jawa di sana,yang
mana proses ini bisa terjadi berkat adanya pusat keilmuan bagi orang orang nusantara dan
asia tenggara yang tinggal menetap dan mengajar disana,saking banyaknya jumlah
komunitas jawi disana,Bahasa melayu dijadikan Bahasa kedua setelah Bahasa arab,ini
menandakan bahwa peran komunitas jawa tidak hanya dalam hal kuantitas juga dalam hal
kualitas mereka tidak kalah dengan masyarakat pribumi.
Komunitas jawa adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut orang orang
nusantara juga asia tenggara.kata jãwa dalam literatur arab atau dalam penyebutannya
jawah digunakan guna membedakan jawah sebagai komunitas orang nusantara islam di
mekkah dengan jawa sebagai etnik atau suku. Diantara tokoh - tokoh yang berperan penting
dalam perkembanganya yakni;
1. Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Nawawi, atau nama lengkapnya Abu Abdul Mut’hi Muhammad Nawawi ibn
Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, dilahirkan di daerah Jawa Barat. Seorang ulama
yang paling tersohor dan dikenal terutama dikalangan para santri dan ulama
Indonesia, dengan sebutan Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau lahir di kampung
Tanara, kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten pada tahun
1813M/1815M.
Secara silsislah Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan GunungJati Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana
Hasanuddin (Sultan Banten 1) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).4 Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui ayahnya K.H. Umar dan ibunya
Zubaidah. Untuk jelasnya silsilah Syekh Nawawi dari garis ayahnya sebagai berikut:
Syekh Nawawi bin Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Ki Janta
bin ki Masbugil bin ki Masqun bin kiMasnun bin Ki maswi bin Ki Tajul Arusy Tanara
bin Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja
Amatudin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam
Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasim bin
Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa An-
Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja’far Ash-Shaddiq
bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyiduna Husain bin
Sayyidatuna Fathimah Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW dan Silsilah dari garis
ibunya adalah Syekh Nawawi bin Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja.
Dalam menuntut ilmu, Imam Nawawi kelihatanya sangat terpengaruh dengan
pernyataan Imam Safi’i dalam mendorong pencarian Ilmu kepada murid - muridnya.
“Tidaklah layak bagi seseorang yang berakal dan berilmu beristirahat dalam mencari
ilmu. Tinggalkan negerimu dan berkelanalah, kelak engkau akan menemukan
pengganti orang yang kau tinggalkan. Bersusah payalah, karena sesungguhnya
ketinggian derajat kehidupan hanya bisa dicapai dengan kesusahpayahan”
Kecerdasan dan ketekunan menghantarkannya menjadi salah satu murid yang
terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzhur menjadi
imam Masjid, ia ditunjuk untuk menggantikannya. Sejak itulah ia menjadi Imam
Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi Al- Bantani Al-Jawi. Selain menjadi
Imam ia juga mengajar dan menyelenggarakan diskusi ilmiah secara halaqah bagi
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia yang berkisar pada tahun
1860-1870 yang merupakan tahun dimana ia sudah secara aktif menulis berbagai
kitab.Diantara buku yang ditulisnya dan mu’tabar adalah tafsir Marah Labid, Atsimar
AlYaniah fi Ar-Riyadah Al-Badiah, Nurazh Sullam, Al-Futubat AlMadaniyah, Tafsir Al-
Munir,Tangih Al-Qoul, Fath majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala,
Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Dani, Bugyah Al-Awwam, Futhus.
Syekh Nawawi Al-Bantani wafat dalam Usia 84 Tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan
dipinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1897 M. Ditempat kediamannya
Shi’ib Ali Mekkah. Jenazahnya dimakamkan dipemakaman Ma’la Mekkah,
berdekatan dengan makan Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia
wafat pada saat sedang menyusun sebuah buku yang menguraikan Minhaj
athThalibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jam’ah Hujam AnNawawi.
2. Biografi Syekh Daud bin Abdullah al-Fattani
Sheikh Daud bin Abdullah Al Fatani nama lengkapnya ialah Al Alim Allamah Al
Arif ArRabbani Syeikh Wan Daud bin Sheikh Wan Abdullah, juga dikenal sebagai
“Syekh Daud Wali Allah”atau “Sheikh Daud Keramat”, begitu terkenal karena
alimnya,sebagai ulama‟ besar di Asia Tenggara.
Beliau dilahirkan di Kampung Kerisik di Patani Selatan Thailand. Sejarah kelahiran
beliau yang tershahih ialah pada 1133 H. dan wafat di Taif Arab Saudi dalam tahun
1847M. Ulama‟ bermaksud “orang yang alim dan berilmu mendapat kedudukan
yang tinggi disi Allah SWT. Beliau bukan saja membawa ilmu yang tinggi serta
beramal dengan ilmunya bahkan mempunyai pribadi yang utuh ketika berinteraksi
dengan masyarakat” Tetapi seseorang itu bukan dikatakan alim kerana ia banyak
mengafal hadis tetapi yang banyak khasyyah atau takut kepada Allah. Golongan
ulama perlu memperkasa pegangan umat terhadap akidah dan nilai-nilai budaya
Islam.
Beliau pada mulanya menerima pendidikan agama Islam melalui sistem sekolah
pondok di Patani, kemudiannya meneruskan pengajiannya di Mekkah, Madinah dan
juga Aceh. Kejayaan pembelajarannya telah menepati salah satu syarat untuk
menjadi ulama. Selain itu beliau meningkatkan kejayaannya menjadi guru
(pendakwa), berhasil mempengaruhi sistem administrasi Islam di peringkat negeri
Kelantan dan Riau, berjihad dengan pena (sebagai penterjemah dan penulis) dan
menentang pemerintahan kafir ditanah kelahiranya Patani. Beliau berhasil menjadi
salah seorang umat yang terpilih dan berjaya memimpin umat manusia pada
zamannya. Beliau mempunyai pegangan hidup atau sekarang sering disebut sebagai
falsafah tentang pendidikan Islam khususnya Beliau sangat kokoh pegangannya
tentang semua orang Islam perlu mempelajari ilmu fardu ain, tauhid terlebih dahulu
sebagai teras kepada pendidikan terutama anak-anak mereka. Filsafat beliau tentang
pendidikan ialah ilmu fardu ain yaitu yang perlu dipelajari untuk mengesahkan
I‟tiqad dan ibadah seseorang Ilmu fardu ain ini adalah asas kepada semua umat
Islam.Dengan itu Syekh Daud telah mengasaskan Filsafat pendidikan teras selain
daripada teori dan konsep pendidikan Filsafat pendidikan yaitu axiologi atau nilai
dalam pembelajaran ialah belajar "dalam banyak bidang" karena semua ilmu itu
berkaitan diantara satu sama lain dan untuk menjadi ulama yang berwibawa. Beliau
juga berpegang kepada konsep bahwa belajar juga boleh berlangsung dengan orang
yang lebih muda umurnya. Ada masanya belajar daripada lebih tua itu juga baik.

Anda mungkin juga menyukai