Anda di halaman 1dari 58

NAMA : RISKY BAGUS ANDRIANTO

KELAS : XI TKR 4
NO ABSEN : 21

TEMA TOKOH WATAK SUDUT GAYA AMANAT LATAR


PANDANG BAHASA/MAJAS
ISTRI Mas Seno Penyayang, Orang Hiperbola Jangan Ruma
KEDU Keluarga pembohon pertama mudah h
A g percaya mewa
dengan h,
orang jika Tasik,
belum Bandu
mengenal ng,
lebih Ruma
dalam h
Sakit,
Kamar
Perselingkuhan Istri Seno Lugu, Orang Sinisme Lebih baik Mala
penurut pertama berkata m
jujur hari,
daripada dua
menutupi hari
fakta.
Ibu Seno Tegas, Orang Interminus Bingu
pembohon ketiga ng,
g, berjiwa serba gelisa
sosial tahu h,
bahagi
a,
sedih.
Ibu mertua Pemarah Orang Metafora
Seno ketiga
pengamat
PENG
ARAN
G:
Nirani
a

CERPE TEMA Perjuangan Cita - Cita


N2
Meng TOKOH Nurul Ibu Pemilik
gapai toko
Angan
-
Angan
WATAK Pekerja bijaksana Baik hati,
keras, tidak dermawa
pantag n
meyerah,
menepati
janji
SUDUT Orang ketiga
PANDANG

PENG GAYA Eufimisme Hiperbola


ARAN BAHASA/MAJAS
G
Bara AMANAT Harus tetap Belajar Menepati
Redina berjuang terus untuk janji itu
ta demi cita - menggapai penting.
cita cita - cita
LATAR Rumah sakit, Lima belas Sedih,
makam, menit, tiga berduka,
sekolah, hari bahagia
uiversitas berlalu,
masa putih
abu - abu

SINOPSIS CERITA CERPEN PERTAMA ADALAH..........(ceritakan kembali)


Menceritakan mengenai seorang wanita muda yang dinikahi oleh pria kaya raya yang memiliki bisnis di seluruh
Indonesia, wanita itu mengira hidupnya adalah sebuah impian semua wanita karena memiliki suami yang kaya
raya, tampan dan penyayang walaupun selisih umur mereka cukup jauh. Selain itu, ibu mertuanya juga baik dan
tegas. Wanita itu dikaruniai sepasang anak kembar berjenis kelamin perempuan yang menjadi kesayangan
keluarganya. Ia mengira suaminya orang yang suka bekerja hingga saat bekerja ia tak ingin diganggu dan wanita
itu berpendapat meskipun suaminya sibuk ia serig meluangkan waktunya untuk keluarga di rumah. Hingga
suatu ketika suaminya meminta izin pergi ke Tasik untuk sebuah urusan, dua hari kemudian ia mendapat telfon
dari nomor suaminya namun yang berbicara seorang polisi mengabarkan suaminya mengalami kecelakaan dan
dibawa ke RS di Bandung, ia bergegas pergi kesana dengan mertuanya untuk melihat suaminya. Sesampainya
disana ada seorang wanita tua yang menangis dan merutuki nasib anaknya, hingga ia berjumpa dengan
mertuanya dan menyalahkan suaminya atas kecelakaan tersebut wanita itu menyalahkan suaminya karena
meminta bercerai dengan anaknya hingga terjadilah kecelakaan. Ibu mertuanya tidak terima dan membalas
bahwa ia menginginkan cucu maka ia mengizinkan anaknya menikah lagi. Mendengar ucapan mertuanya
perempuan muda itu bingung dan menanggapi hingga ia dicemooh oleh wanita tua itu dengan menyebutnya
perempuan perebut kebahagiaan orang lain. Sejak saat itu ia berfikir bahwa hidupnya tidak seindah itu bahw ia
dinikahi karena alasan mendapatkan cucu dan menjadi istri kedua.

SINOPSIS CERITA CERPEN KE-2 ADALAH..........(ceritakan kembali)


Menceritakan seorang gadis bernama Nurul yang baru saja ditinggal oleh ibunya dan berjanji akan menepati
permintaan ibunya menjadi seorang dokter yang berguna. Kehidupanya dilalui dengan suka, duka, tangis, tawa
untuk meraih cita – citanya. Ia rajin belajar hingga mendapatkan beasiswa di Universitas terkenal di Indonesia
dengan jurusan kedokteran, tak berhenti disitu perjuangan ia harus tetap bekerja paruh waktu untuk
mencukupi kebutuhannya dengan menjaga toko baju karena uang beasiswa tak mampu untuk memenuhinya.
Setiap berangkat ke kampus ia selalu mengayuh sepedanya dengan jarak yang tidak dekat, berbeda dengan
teman – temannya yang menggunakan mobil atau motor terbaru. Ia tak pernah minder hingga hari itu tiba ia
sukses menjadi seorang dokter yang dermawan dengan menggratiskan pelayanan setiap hari Minggu dan ia
berpedapat bahwa menjadi manusia yang sebatas lahir ke dunia kemudian beranjak dewasa, bekerja, lalu mati
ditelan sejarah. Dia menginginkan lebih dari itu, dia ingin dirinya bisa menjadi manusia yang berguna bagi
sesama sebelum ia dipanggil pulang oleh-Nya dan berjumpa kepada ayah dan ibunya.

Tabel 2
Nama : RISKY BAGUS A
Kelas : XI TKR 4
No absen : 21
Kesulitan kalian saat penjelasan
menulis cerpen
1. Menentukan unsur Sulit menentukan ide
tema pokok yang harus ditulis
2. Menentukan alur sulit menentukan jalanya
cerita cerita dan menentukan
alur maju, mundur atau
campuran.
3. Menentukan Menentukan hal – hal
kekuatan cerpen yang membuat cerpen
menarik dan memotivasi
4. Menentukan -
kerangka cerpen
1. bercerita tentang
kehidupan sehari – hari
TULISLAH PENDAPAT 2. alurnya pendek
KALIAN 3. dapat memberikan
BAGAIMANA CERPEN hikmah dan motivasi
BISA DIKATAKAN BAIK , 4. dapat selesai dibaca
SEBUTKAN 5 POINT sekali duduk.
PENTING 5. penokohan secara
sederhana
Istri Kedua
Karya Nirania

"Ulurkan Suami setia, tinggal di rumah mewah,

anak-anak sehat dan ceria, memiliki mertua baik hati, dan

diberi uang bulanan wow adalah dambaan setiap

perempuan. Aku beruntung telah memiliki impian setiap

perempuan tersebut.

Suamiku Mas Seno yang luar biasa rupawan. Dia

laki-laki pekerja keras, pebisnis tangguh yang memiliki

cabang di seluruh Indonesia. Tiap awal bulan selalu

melakukan perjalanan bisnis, tetapi tidak melupakan

keluarga kecilnya. Meskipun selama satu minggu dia ke

luar kota tanpa komunikasi, aku memakluminya. Dia

hanya tidak ingin pekerjaannya terganggu. Karena ketika

berada di rumah, dia memberikan perhatian utuh pada

aku dan

2
anak-anak. Tanpa ponsel dan rentetan pekerjaan kantor.

Impas.

Aku memiliki dua orang anak berusia tiga tahun-

Ruwi dan Meta- si kembar yang manis dan

menggemaskan. Mereka anak-anak yang ceria dan sama

sekali tidak menyusahkan. Meski memiliki pengasuh

masing-masing, aku lebih suka menyiapkan kebutuhan

mereka dengan tangan sendiri.

Dan, mertuaku perempuan hebat yang berjiwa

sosial tinggi. Meski sudah berusia 59 tahun, perempuan itu

masih gesit. Ia memiliki tujuh orang anak yang semuanya

sukses. Mas Seno, suamiku itu anak bungsu yang

disayang. Tidak seperti si bungsu pada umumnya yang

selalu dimanja. Tidak. Mertuaku orang tua tegas dan agak

keras dalam mendidik. Dia tidak ingin anak-anaknya

3
berleha- leha. Suaminya meninggal sejak anak-anak

masih kecil .

Maka, dia yang bekerja keras menghidupi tujuh anak itu

hingga berjaya seperti sekarang.

"Sayang, besok aku berangkat ke Tasik. Jaga anak-

anak, ya."

Ah, itu suara suamiku yang terdengar sangat

merdu. Suaranya bagai instrumen terindah yang

menyejukkan hati. Dia mendekat, lalu memberikan

kecupatan singkat yang mampu menggetarkan seluruh

jiwaku. Entahlah, aku selalu tak berdaya berada di

dekatnya.

4
"Mas, kenapa akhir-akhir ini lebih sering ke Tasik.

Kalau enggak salah, sudah enam bulan ini kamu enggak

pergi ke kota lain. Apa yang kamu lakukan di Tasik?"

Oh, tidak. Jangan mengira aku istri posesif yang

mengawasi suami tiap waktu. Aku tidak suka melakukan

itu. Sepenuhnya aku memberikan kepercayaan pada Mas

Seno. Lagian, aku tidak suka mengurus pekerjaan

kantornya yang memang tidak aku pahami. Aku hanya

gadis tamatan SMP yang bertemu dengannya empat tahun

lalu. Gadis desa yang tidak memiliki masa depan cerah.

Namun, kehidupanku berubah setelah bertemu Mas Seno.

Aku sangat percaya kalau Mas Seno suami yang setia dan

luar biasa penyayang.

5
"Oh, Sayang. Aku sedang membangun cabang

bisnis kita di sana. Nanti kita pindah ke sana kalau semua

sudah beres."

"Oh, benarkah? Tapi, aku suka di sini." Dia

mengelus lembut pipiku sembari menyunggingkan senyum

yang meneduhkan. Aku tersipu.

Usiaku dan Mas Seno beda jauh, empat belas

tahun. Aku menikah dengannya saat masih delapan belas

tahun. Sebuah pernikahan sederhana di desa yang hanya

dihadiri keluargaku dan Mama Mertua. Kakak-kakak

Mas Seno

sampai sekarang belum pernah datang ke rumah ini.

Entahlah, aku juga tidak tahu mereka tinggal di mana. Aku

tahu mereka sekadar cerita dari Mama dan foto-foto

keluarga.

6
"Sayang, kenapa melamun?" tanyanya

membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng malu-malu,

lalu menunduk. Meski tidak melihat, aku yakin dia tertawa

dengan tingkahku. Menit berikutnya tubuhku didekap dan

kecupan bertebu-tubi dia sematkan. Saat dia ingin

melakukan sesuatu yang lebih intim, Ruwi dan Meta

berteriak dari luar kamar, memanggil papa kesayangannya.

"Oh, astaga! Bocah-bocah licikmu itu mengganggu

kesenangan kita, Sayang."

Aku tertawa ketika ia membuang napas, lalu

bergegas keluar kamar. Tidak, itu bukan ekspresi kesal.

Sungguh, dia sangat mencintai anak-anaknya yang manis.

7
Betapa ia sangat merasa bersalah ketika pulang dari luar

kota dan mendapati salah satunya sakit. Ia akan terjaga

sepanjang malam di samping tempat tidur anaknya.

Lihatlah sekarang, dua bidadari kecilku merengek

minta diajak jalan-jalan. Si Meta yang memiliki bibir

paling mungil sudah berada dalam gendongannya.

Sementara kembarannya menarik-narik tangan Mas Seno.

"Meta dan Ruwi sayang, kalian mau punya adik

enggak?"

"Mau!"

"Kalau gitu, acara jalan-jalannya nanti saja, ya.

Kalian berdua main bareng Mbak Lili. Papa mau buatkan

adik buat kalian."

8
Astaga! Aku tidak percaya dia mengatakan itu pada

anak-anaknya yang polos. Ekpresi berbinar dari keduanya

membuatku ikut tertawa. Meski sebenarnya aku ingin

memukul mulut Mas Seno yang luar biasa lancang. Kedua

anak manis itu telah berlari ke ruang main.

Sekarang dia berjalan menghampiriku dengan

senyum jahil. Ketika telah berdiri tepat di hadapanku, dia

membungkuk. Menit berikutnya tubuhku terangkat dan

dibawa ke kamar tempat kami memadu kasih.

Aku selalu menyukai caranya memanjakanku. Ya,

apa pun tentang Mas Seno membuatku tergila-gila. Segala

keinginanku dapat dipenuhi dengan sangat memuaskan.

Aku selalu berdoa semoga kebahagiaan ini tidak berakhir.

~ooOoo~

9
Dua hari tanpa Mas Seno menciptakan rindu yang

menggelora. Rindu itu selalu menghantui tiap kali dia

keluar kota. Aku ingin mendengar suaranya meski hanya

sebentar, tetapi ponselnya benar-benar tidak digunakan.

Biasanya ketika rindu itu menggelinjang, aku

memeluk dan mencium bajunya yang sengaja tidak dicuci.

Wangi tubuhnya masih melekat di sana. Namun, tidak

untuk sekarang. Hari ini benar-benar melelahkan. Ruwi

dan Meta entah kenapa menangis sepanjang hari tanpa

alasan.

Ponselku berdering. Siapa pun itu aku tidak peduli.

Aku masih membantu Lili dan Fia menenangkan doa

bocah ini. Namun, orang yang menelepon itu sepertinya

bebal. Ponselku tidak berhenti berdering.

"Angkat aja, Bu. Siapa tahu penting. Biar Lili atasi

10
Ruwi."

Mengikuti perintah sang pengasuh, aku mengambil

ponsel. Dan, hatiku lega ketika kontak dengan nama

'Suami Tercinta' terpampang di layar. Bergegas aku

menerima panggil itu, berharap suaranya mampu memberi

ketenangan.

"Dengan istri Pak Suseno Wijaya?"

Oh, tidak. Itu bukan suara suamiku tercinta. Itu

suara asing yang membuatku waswas.

"Iya, saya sendiri. Ini siapa? Di mana suamiku."

"Saya dari kepolisian. Suami Ibu mengalami

kecelakaan dan sekarang ada di Rumah Sakit Santosa

11
Bandung."

Ponsel dalam genggamanku terjatuh. Kakiku pun

lemas dan tak mampu berpijak ke bumi. Ya, Tuhan! Baru

dua hari yang lalu dia pamit dengan penuh dramatisir.

Memberi ciuman dan pelukaan penuh kasih sayang. Oh,

suamiku yang malang.

"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menangis? Tenanglah,

Ruwi dan Meta sudah tertidur. Akan lebih baik kalau Ibu

juga istirahat."

"Oh, Lili sayang. Kamu baik sekali. Tolong

panggilkan Pak Aji, antar saya ke Bandung. Papanya anak-

anak kecelakaan." Ya, Tuhan! Aku tidak sanggup

melihatnya terbaring penuh luka dan selang-selang infus.

12
"Ya, ampun! Pantas saja anak-anak nangis. Naluri

polos mereka pasti merasakan musibah yang dialami Pak

Seno. Baiklah, Bu. Lili akan panggil Pak Aji di belakang."

Pak Aji, supir keluarga yang sangat disegani. Sudah

lama beliau mengabdi di keluarga ini. Namun, tiap kali

aku bertanya perihal kakak-kakak Mas Seno yang luar

biasa berjaya itu, Pak Aji selalu mengelak.

"Bapak juga tidak mengerti, Nak, kenapa mereka

tidak berkunjung ke rumah ini selama bertahun-tahun."

Sepanjang perjalanan, Pak Aji tampak gelisah.

Beliau selalu melihatku melalui kaca spion tengah. Tiap

kali melihatku, beliau selalu membuang napas. Entahlah.

Pikiranku terlalu kacau memikirkan Mas Seno. Jadi, tidak

kutanyakan apa pun padanya. Aku hanya duduk diam

13
setelah mengirim pesan pada Mama yang saat ini sedang

arisan di rumah temannya.

Tiba di rumah sakit, aku bergegas masuk dan

bertanya keberadaan Mas Seno. Seorang perawat

mengantarku ke ruang OK. Mas Seno sedang ditangani.

Aku duduk gelisah. Di sampingku seorang perempuan

seusia Mama Mertua menangis tersedu-sedu. Sementara

seorang laki-laki dengan usia yang sama berusaha

menenangkan, meski tidak ada gunanya. Mungkin mereka

suami istri yang mengalami kegelisahan serupa denganku.

"Sayang, maafkan mama terlambat datang."

Aku mendongak dan mendapati Mama Mertua

dengan wajah pucat.

14
"Oh, bagus sekali, Perempuan iblis!" Ibu yang

menangis tersedu di sampingku berdiri, memandang

murka pada Mama Mertua. Aku tidak mengerti kenapa ia

menyebut Mama sebagai perempuan iblis. Sepanjang

empat tahun hidup bersamanya, Mama adalah sosok mulia

yang penuh kasih dan luar biasa memperhatikan menantu

dan cucu-cucunya. "Ini semua gara-gara kamu, Iblis.

Kamu tahu kenapa mereka kecelakaan? Anakmu yang

berengsek itu mengajukan perceraian di pengadilan."

Ibu itu menangis lagi dan aku semakin tidak

mengerti arah pembicaraannya.

"Oh, anakku yang malang!" Ibu itu berkata lirih.

"Dia dengan kerelakaan hati mengizinkan si berengsek itu

menikah lagi. Tapi, pengorbanannya sia-sia. Dia akan

15
ditinggalkan dan menjadi janda tanpa belas kasihan. Ya,

Tuhan! Mengapa dulu aku merestui si berengsek itu."

Izin menikah lagi? Si berengsek? Cerai? Oh, aku

tidak tahan dengan semua ini.

"Ma, apa maksud Ibu ini?"

Mama tidak menjawab. Ia mengarahkan pandangan

ke pintu ruang OK yang masih tertutup. Namun, Ibu yang

di samping menatap murka ke arahku.

"Jadi kamu istri kedua Suseno?"

"Istri kedua?"

"Tidak usah berlagak bego, Sundal kecil. Kamu

masih sangat muda, tapi sudah berbakat menghancurkan

kebahagiaan anakku. Ya, Tuhan! Aku bersumpah. Jika

16
terjadi hal buruk pada anakku, kamu akan menderita

seumur hidup."

Aku terduduk lemas. Sungguh aku benar-benar

syock. Mengapa aku disebut istri kedua. Mas Seno tidak

pernah cerita kalau dia suami orang. Selama empat tahun

hidup bersama, oh tidak ... betapa bodohnya aku. Selama

itu aku tidak memiliki buku nikah. Itu artinya ...

"Jangan berani menyentuh menantu kesayanganku.

Putrimu memang baik, tapi aku butuh cucu. Sedangkan dia

perempuan mandul yang tidak berguna. Enam orang

anakku telah meninggal dan aku hanya punya Seno. Apa

aku salah meminta dia menikah lagi?"

17
Pernyataan Mama Mertua semakin membuatku

tercengang. Jadi aku dinikahi karena anak, bukan alasan

lain. Mas Seno tidak mencintaiku.

Tidak. Mungkin cinta itu telah ada. Itulah sebabnya

dia ingin bercerai dengan istri pertamanya. Namun, apa

artinya semua itu jika didasari dengan kebohongan. Lagi

pula ... astaga! Aku tidak pernah bermimpi merusak

kebahagiaan orang lain. Jika Mas Seno sadar dan selamat,

semua tidak akan sama lagi.

18
Jalan Persimpangan

Motorku tiba di depan Taman Catleya. Hari ini aku

mengajak Endar bertemu. Dia kekasihku sejak tiga tahun

lalu. Awal pertemuan kami di taman ini. Saat itu aku kabur

dari rumah dan menangis sendirian di sini. Gara-gara

Mama menikah lagi tanpa berunding denganku. Bukan. Itu

bukan masalahnya. Aku tidak peduli Mama menikah lagi.

Toh, Papa juga sudah lama meninggal. Bukankah tiap

orang butuh pasangan? Masalahnya, kenapa harus pacar

aku yang Mama embat.

"Mamamu sudah siap menikah. Sedangkan kamu

masih kuliah. Aku cium saja kamu enggak mau. Aku ini

laki-laki dewasa yang ingin segera menikah. Jadi, maaf.

Lebih baik aku menikahi mamamu saja."

19
Itu kalimat laki-laki berengsek yang menikahi

mamaku tiga tahun lalu. Umur kami memang berbeda

sembilan tahun. Saat itu, mamanya pun mendesak untuk

segera menikah. Namun, aku masih kuliah. Pantang

bagiku menikah sebelum menyelesaikan pendidikan.

Rupanya laki-laki itu sudah tidak tahan.

Tiap hari aku disuguhi adegan mesra. Aku muak.

Dengan hati terluka dan kacaunya pikiran, aku memilih

pergi dari rumah. Hanya berbekal uang yang tidak

seberapa. Nyatanya, hidup sendirian di luar tanpa

penghasilan membuatku semakin berantakan.

Sore itu, aku mendatangi taman ini. Berharap ada

laki-laki hidung belang menghampiri dan mengajakku

pergi. Saking putus asanya aku berniat menjual diri. Tidak

terpikir bagiku untuk pulang ke rumah Mama. Bukan

20
malu, tetapi amarahku kian melonjak karena

perempuan itu

seolah melupakan anaknya sendiri. Satu bulan berlalu

sejak pergi dari rumah, ia bahkan tidak menelepon atau

menanyakan keberadaanku.

"Nih, jadi perempuan kudu kuat." Bukan laki-laki

hidung belang seperti harapanku, melainkan seseorang

yang sangat manis dan lembut. Ia menyodorkan sebuah

sapu tangan biru muda yang terukir nama Endar. Aku

masih memandang wajah imutnya. "Jangan mau ditindas.

Buktikan pada dunia bahwa kamu perempuan hebat."

Aku tersenyum sembari mengulurkan tangan,

mengambil sapu tangan yang diberikan.

"Terima kasih, Kak."

21
"Hei, aku bukan kakakmu. Panggil aku Endar."

Sejak saat itu, kami tinggal bersama di rumah

kontrakannya. Perhatian dan kelembutannya membuatku

terpesona. Ketika ia mengutarakan isi hatinya, aku tidak

kuasa menolak. Pesonanya menjeratku ke dalam cinta

yang tak biasa. Kehadirannya mengikis luka yang diukir

Mama dan laki-laki berengsek itu. Bersamanya aku merasa

menjadi perempuan istimewa. Ia selalu memanjakanku.

Bahkan tidak sekali pun menolak permintaanku.

Satu bulan yang lalu, mamanya datang. Ia dipaksa

pulang. Jujur, rindu di hati ini bergelincang ketika jauh

darinya. Betapa aku mendambakan kehangatan

pelukannya lagi. Entah kenapa, sejak ia pulang ke rumah

mamanya, telepon dan chat dariku tidak pernah

22
ditanggapi. Baru tadi pagi ia mengiyakan ajakku bertemu

di taman ini.

Kuhela napas sebelum turun dari motor. Ini motor

pemberiannya. Bahkan rumah kontrakan itu sudah dibeli

dan diberikan padaku. Sungguh, dia manusia berhati mulia

yang benar-benar membuatku jatuh cinta.

23
Hari sudah sore. Taman mulai ramai. Aku duduk

gelisah. Sudah satu jam berlalu, sosok Endar yang

kurindukan belum terlihat. Sudah belasan chat aku

kirimkan, tetapi centangnya masih abu-abu.

Dengan perasaan jengkel, aku memasukkan ponsel

ke dalam tas. Kepalan tanganku memukul-mukul pelan

bangku taman. Sesekali melirik ke pintu masuk. Hanya

orang-orang tak dikenali yang membuat sakit mataku. Oh,

tidak. Bukan mata, tetapi hati yang terasa seperti ditikam

belati.

Air mataku menetes, mengalir membasahi pipi.

Hatiku remuk. Pikiranku mendadak tak keruan.

Membayangkan dia yang kucintai tak lagi ada saat

dibutuhkan. Betapa suram hari-hariku nanti jika dia tidak

lagi menemani. Saat-saat seperti ini, aku berharap dia tiba-

24
tiba hadir dan memberikan pelukan hangat seperti hari-hari

yang telah terlewati.

Matahari semakin condong ke barat. Panas tak lagi

menyengat. Beberapa penghunjung taman mulai beranjak

pulang. Sementara aku masih bertahan dan terus berharap,

di penghujung senja ini dia hadir sembari melirihkan kata

maaf. Tidak mengapa aku menunggu selama berjam-jam.

Maaf itu selalu ada untuknya. Tidak peduli kata orang

bahwa menunggu itu membosankan.

Ya, memang sangat membosankan. Namun, aku

tidak pernah bosan jika itu tentang dia yang terkasih.

Taman ini semakin sunyi. Aku menghela napas

panjang. Kemudian berdiri, hendak melangkah pulang.

Barangkali dia memang tak pernah datang atau mamanya

25
melarang. Namun, langkahku terhenti saat melihat dia

turun dari mobil. Senyumnya seolah dipaksakan saat

melihat ke

arahku. Bagaimanapun caranya mengukir senyum, akan

tetap terlihat indah di mataku.

Bibirnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu.

Namun, pelukan dan ciumanku secara tiba-tiba

mengurungkan niatnya.

"Aku kangen banget. Kamu kenapa, sih enggak

pernah balas chat? Kamu enggak mau hidup bersama aku

lagi? Asal kamu tahu, aku kesulitan tidur saat kamu jauh.

Kenapa, En? Kenapa kamu seolah menghindariku?"

26
Dia melepaskan pelukanku. Seolah tidak ingin

tubuhku menempel terlalu lama. Dia melirik ke arah

mobil, lalu mengajakku duduk di bangku taman.

"Maaf, Kia. Aku minta maaf karena tidak bisa

bersama kamu lagi," ujarnya tanpa memandang ke

arahmu. Dia menunduk sembari meremas ujung bajunya.

Air menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu kenapa? Kalau ada masalah kenapa enggak

pernah cerita?" Aku memegang bahunya, berharap bisa

memberikan kekuatan jika dia sedang dirudung masalah

saat ini. Akan tetapi, dengan lembut dia menurunkan

tanganku dari bahunya.

"Aku sudah menikah dengan orang yang dipilih

Mama."

27
Aku ternganga. Mata pun melebar. Itu tidak

mungkin. Dia yang pernah mengatakan akan hidup

bersamaku selamanya tidak mungkin mengingkari janji,

kan? Bahkan dia berjanji tahun depan akan mengajakku ke

Australia, mengesahkan kebersamaan kami. Lantas

sekarang dia datang dengan berita yang mengoyak hatiku.

Padahal dia yang aku kenal tidak mungkin setega itu.

28
"Jangan bercanda deh, En. Kamu buat aku takut,

tahu enggak?" Dia masih terus menunduk. Tangannya

kugenggam. Dia pun sesenggukan, lalu memelukku.

"Maafin aku, Kia. Aku tidak bercanda. Kita tidak

bisa bersama lagi. Mungkin setelah ini aku akan blokir

nomormu. Carilah kebahagiaanmu sendiri, Kia.

Kebahagiaan dalam hidup normal selayak manusia pada

umumnya." Dia melepaskan pelukan, lalu berdiri. "Sekali

lagi maafkan aku yang telah menjerumuskanmu ke dalam

dunia yang nestapa ini. Sungguh, aku mencintaimu sama

seperti kamu mencintaiku. Tapi, cinta kita salah, Kia.

Mulai sekarang, aku akan belajar mencintai suamiku.

Selamat tinggal."

Dia berderap menjauh. Seorang laki-laki tersenyum

menyambutnya sembari menekuk lengan. Endar-ku

29
menyambut dengan melingkarkan tangannya. Mereka

masuk ke mobil lalu melaju meninggalkan taman.

Aku terdiam dalam keremangan senja yang hampir

lenyap. Dia yang mengajakku mencintai diri dan

membenci laki-laki, kini telah berpaling ke jalan yang

seharusnya. Entah sampai kapan aku merenungi nasib

karena ditinggal pergi yang terkasih. Mungkinkah aku

kembali mencintai laki-laki atau berpetualangan mencari

Endar yang baru? Entah

30
31
32
33
34
17
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
2
2
3

Anda mungkin juga menyukai