Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

IBU POST SECTIO CAESAREA DENGAN INDIKASI PEB (Pre-eklampsia Berat)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Klinik Keperawatan

Mata Kuliah Maternitas

RSI MASYITOH BANGIL

Oleh:

Sonia Nabila

P17220194050

D- III KEPERAWATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan dengan membuat sayatan pada dinding
uterus melalui dinding depan perut.Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatann pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina.Seksio cesarea
berasal dari perkataan Latin “Caedere” yang artinya memotong.Definisi ini tidak termasuk
melahirkan janin dari rongga perut pada kasus rupture uteri atau kehamilan abdominal
( Pritchard dkk, 1991 dalam (Sholihah, 2019)

B. Patofisilogi
Terjadi kelainan pada ibu dan kelainan pada janin menyebabkan persalinan normal
tidak memungkinkan dan akhirnya harus diilakukan tindakan Sectiocaesarea, bahkan
sekarang Sectiocaesarea menjadi salah satu pilihan persalinan (Laeli, 2016).

Adanya beberapa hambatan ada proses persalinan yyang menyebabkan bayi tidak dapat
dilahirkan secara normal, misalnyaplasenta previa, rupture sentralis dan lateralis, pannggul
sempit, partustidak maju (partus lama), pre-eklamsi, distokksia service dan mall presentasi
janin, kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu
Sectiocaesarea (SC). Dalam proses operasinya dilakukan tindakan yang akan menyebabkan
pasien mengalami mobilisasii sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan aktifitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah deficit
perawatan diri(Laeli, 2016).

Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan dan perawatan post


operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu dalam proses pembedahan
juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan
inkontinuitas jaringan, pembuluh darah dan saraf-saraf di daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri.
Setelah semua proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka
post operasii, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah resiko
infeksi(Laeli, 2016).
C. Tanda dan Gejala

Tanda dan Gejala Post Sc :

1. Kejang parsial (Fokal dan lokal )

a) Kejang sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
• Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh;umumnya
gerakan setipa kejang sama.
• Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi
pupil.
• Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa
seakan ajtuh dari udara, parestesia.
• Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.

b) Kejang komplek
• Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang
parsial simpleks
• Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang
pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
• Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )

2. Kejang absens
a) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
b) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya
berlangsung kurang dari 15 detik
c) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali
waspada dan konsentrasipenuh

3. Kejang mioklonik
a) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yangterjadi
secara mendadak
b) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologikberupa kedutan
keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
c) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
d) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

4. Kejang tonik klonik


a. Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot
ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
b. Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
c. Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
d. Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal

5. Kejang atonik

a) Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopakmata turun,


kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.

b) Singkat dan terjadi tanpa peringatan(AINUHIKMA, 2018)

D. Pemeriksaan Penunjang / Diagnostik


1. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
2. Pemantauan EKG
3. JDL dengan diferensial
4. Elektrolit
5. Hemoglobin/Hematokrit
6. Golongan Darah
7. Urinalis
8. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
9. Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi
10. Ultrasound sesuai pesanan (Sagita, 2019)

E. Penatalaksanaan Medis

1. Perawatan awal
a) Letakan pasien dalam posisi pemulihan
b) Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit
sampai sadar
c) Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d) Transfusi jika diperlukan
e) Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke
kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian
minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
a) Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi
b) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
c) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentangsedini mungkin
setelah sadar
d) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
e) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
f) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai
hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
a) Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
b) Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c) Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d) Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
5. Perawatan fungsi kandung kemih

a) Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam
b) Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
c) Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai
minimum 7 hari atau urin jernih.
d) Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per oral
per hari sampai kateter dilepas
e) Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkanperdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
6. Pembalutan dan perawatan luka
a) Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut
b) Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plesteruntuk
mengencangkan
c) Ganti pembalut dengan cara steril

F. Patthway
2. PEB (Pre-eklampsia berat)

A. Definisi
Pre-eklamsia adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan, terjadi setelah
minggu ke 20 gestasi, ditandai dengan hipertensi dan protein uria dandapat juga
diserta dengan udema. Hipertensi di sini adalah tekanan darah 140/90 mmHgatau
lebih, atau sutu kenaikan tekanan sistolik sebesar 30mmHg atau lebih (jika diketahui
tingkat yang biasa), atau kenaikan tekanan darah diastolic sebesar 15 mmHg atau
lebih (jika diketahui tingkat yang biasa). Protein uria dalam preeklamsia adalah
konsentrasi protein sebesar 0,3 g/l atau lebih pada sedikitnya 2spesimen urin yang di
ambil secara acak dan pada selang waktu 6 jam atau lebih. Edema biasa terjadi pada
kehamilan normal, sehingga edema bukanlah tanda pre- eklampsia yang dapat
dipercaya kecuali jika edema juga mulai terjadi pada tangandan wajah, serta Kenaikan
berat badan yangmendadk sebanyak 1 kg atay kebih dalam seminggu (atau 3 kg dalam
sebulan) adalah indikasi pre-eklampsia (kenaikan berat badan normal sekitar 0,5 kg
per minggu). (Anonim, 2007).
Sedangkan PEB (Pre-eklampsia berat) adalah pre-eklampsia yang berlabihan
yang terjadi secara mendadak. Wanita dapat dengan cepat mengalami eklampsia. Hal
ini merupakan kedaruratan obstertik dan penatalaksanaannya harus segera dimulai.
Pre-eklamsi berat terjadi apabila :
a. Tekanan darah 160/110 atau lebih.diukur 2x dengan antara sekurang-
kurangnya 6 jam dan pasien istirahat.
b. Proteinuria 5 gr atau lebih/24 jam.
c. Olyguri 400 cc atau lebih/ 24 jam.
d. Gangguan cerebral /penglihatan
e. Oedema paru / cyanosis
f. Sakit kepala hebat
g. Mengantuk
h. Konfensi mental
i. Gangguan penglihatan (seperti pandangan kabur, kilatan cahaya)
j. Nyeri epigastrium
k. Mual dan muntah (Musalli, 2007).
Seksio Caesaria adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut & dinding rahim dng syarat dinidng rahim dalam keada an utuh
serta berat janin diatas 500 gram. Indikasi sectio caesaria adalah sectio caesarea antara lain
: Ibu / janin : Distosia (ketidakseimbangan sepalopelvik, kegagalan induksi persalinan, kerja
rahim yang abnormal). Ibu : Penyakit pada ibu (Eklapmsia, DM, Penyakit jantung, Ca
servik), pembedahan sebelumnya,sumbatan pada jalan lahir. Janin : Gangguan pada janin,
Prolaps tali, Mal presentasi. Plasenta : Plasenta previa,Abrupsion plasenta ( Mochtar, 1998).

B. Faktor Risiko Preeklampsia

Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi;
1. Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau
riwayat keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya
preeklampsia.
2. Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat
(blocking antibodies) belum sempurna sehinggameningkatkan resiko terjadinya
preeklampsia Perkembangan preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan
pertama dan kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu
tua.
3. Kegemukan (Rochimhadi, 2005).

C. Etiologi

Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-
teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh
karena itu disebut “penyakit teori”; namun belum ada yang memberikan jawaban yang
memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori
“iskemia plasenta”.
Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan
penyakit ini.Adapun teori-teori tersebut adalah ;
a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,


sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta
berkurang, sedangkan pada kehamilan normal prostasiklin meningkat. Sekresi
tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstrikso
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangn perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume
plasma.
b. Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan I karena pada kehamilanI


terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna. Pada preeklampsia terjadi komplek imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
c.Peran Faktor Genetik

Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada anak


dari ibu yang menderita preeklampsia.
d. Iskemik dari uterus. Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus
e. Defisiensi kalsium. Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu
mempertahankan vasodilatasi dari pembuluh darah.

f. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial. Kerusakan sel endotel vaskuler maternal
memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia.
Fibronektin diketahui dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan
meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia.
Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan
dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan
(Anonim, 2007).
D. Patofisiologi

Pada preeklampsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi


peningkatan hematokrit, dimana perubahan pokok pada preeklampsi yaitu
mengalami spasme pembuluh darah perlu adanya kompensasi hipertensi ( suatu
usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifir agar oksigenasi jaringan
tercukupi). Dengan adanya spasme pembuluh darah menyebabkan perubahan –
perubahan ke organ antara lain :
a. Otak .

Mengalami resistensi pembuluh darah ke otak meningkat akan terjadi oedema


yang menyebabkan kelainan cerebal bisa menimbulkan pusing dan CVA ,serta
kelainan visus pada mata.
b. Ginjal.

Terjadi spasme arteriole glomerulus yang menyebabkan aliran darah ke ginjal


berkurang maka terjadi filtrasi glomerolus negatif , dimana filtrasi natirum lewat
glomelurus mengalami penurunan sampai dengan 50 % dari normal yang
mengakibatkan retensi garam dan air , sehingga terjadi oliguri dan oedema.
c. URI

Dimana aliran darah plasenta menurun yang menyebabkan gangguan plasenta


maka akan terjadi IUGR, oksigenisasi berkurang sehingga akan terjadigangguan
pertumbuhan janin, gawat janin , serta kematian janin dalam kandungan.
d. Rahim

Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan menyebabkan
partus prematur.
e.Paru

Dekompensi cordis yang akan menyebabkan oedema paru sehingga oksigenasi


terganggu dan cyanosis maka akan terjadi gangguan pola nafas. Juga mengalami
aspirasi paru / abses paru yang bisa menyebabkan kematian .
f. Hepar

Penurunan perfusi ke hati dapat mengakibatkan oedema hati , dan perdarahan


subskapular sehingga sering menyebabkan nyeri epigastrium, serta ikterus
(Wahdi, 2009).

E. Pathway
E. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah kontrol tekanan darah yang adekuat
serta pencegahan kejang atau eklampsia. Persalinan atau terminasi kehamilan adalah
satu-satunya penatalaksanaan definitif preeklampsia. Namun, tata laksana juga sangat
ditentukan oleh kondisi klinis ibu dan janin, khususnya usia kehamilan, progresivitas
penyakit, serta kesejahteraan janin. Dalam tata laksana, dokter hendaknya selalu
mempertimbangkan manfaat dan risiko baik pada ibu maupun janin.
1. Tata Laksana Konservatif
Tata laksana konservatif (expectant management) bertujuan untuk memperbaiki
luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatus serta memperpanjang
usia gestasi tanpa membahayakan ibu. Tata laksana konservatif dapat
direkomendasikan untuk pasien preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia
kehamilan <37 minggu atau pasien preeklampsia dengan gejala berat dan usia
kehamilan <34 minggu. Rawat jalan dapat dilakukan untuk pasien preeklampsia
tanpa gejala berat dengan usia kehamilan preterm (<37 minggu), dengan catatan
harus ada observasi ketat terhadap kondisi ibu dan janin. Pemantauan bertujuan
untuk mendeteksi ada tidaknya komplikasi atau perburukan preeklampsia.
Idealnya, pengukuran tekanan darah ibu dilakukan 2 kali/minggu, sementara
pemeriksaan laboratorium (nilai trombosit, fungsi ginjal, serta enzim liver)
diperiksa tiap minggu. Kesejahteraan janin dipantau dengan USG serial untuk
menilai pertumbuhan janin dan volume air ketuban. Jika ada hambatan
pertumbuhan janin, dokter dapat melakukan pemeriksaan Doppler untuk menilai
aliran darah arteri umbilikus. Frekuensi pemeriksaan dapat berbeda pada tiap
pasien tergantung indikasi dan kondisi klinis. Pasien preeklampsia dengan gejala
berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama menjalani perawatan
konservatif. Selain itu, perawatan sebaiknya dilakukan di fasilitas kesehatan yang
memiliki perawatan intensif maternal dan neonatal. Selama perawatan konservatif,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru
janin. Tata laksana konservatif dapat dilakukan sampai usia kandungan mencapai
37 minggu pada pasien preeklampsia tanpa gejala berat atau sampai 34 minggu
pada pasien preeklampsia dengan gejala berat. Syaratnya adalah tidak ada
perburukan kondisi ibu dan janin, tidak ada tanda persalinan preterm, dan tidak ada
ketuban pecah dini.
2. Persalinan atau Terminasi Kehamilan
Persalinan merupakan tata laksana definitif dari preeklampsia. Berikut ini adalah
kondisi di mana persalinan lebih direkomendasikan daripada tata laksana
konservatif:
• Usia kehamilan ≥37 minggu
• Usia kehamilan ≥34 minggu pada preeklampsia dengan gejala berat, ada tanda
persalinan atau ketuban pecah dini, hambatan pertumbuhan janin, dan abruptio
plasenta
• Ada kontraindikasi maternal untuk perawatan konservatif: hipertensi yang
tidak terkontrol dengan obat, gejala berat yang persisten, eklampsia, sindrom
HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets), edema paru,
stroke, infark miokard, disseminated intravascular coagulation, dan abruptio
plasenta
• Ada kontraindikasi fetus untuk perawatan konservatif: gawat janin, deselerasi
variabel dan hasil lambat pada non-stress test, profil biofisik <4, reversed end
diastolic flow pada Doppler arteri umbilikalis, abruptio plasenta,
oligohidramnion persisten, intrauterine fetal death (IUFD), dan janin tidak
viabel
Persalinan diupayakan untuk dilakukan sesegera mungkin setelah kondisi ibu
stabil. Persalinan sebaiknya tidak ditunda dengan alasan pemberian steroid pada
kasus-kasus di atas. Cara persalinan pervaginam tetap diutamakan kecuali jika
terdapat indikasi obstetri lain untuk sectio caesarea. Pada usia kehamilan preterm
yang ekstrem, sectio caesarea darurat bisa segera dilakukan bila kehamilan tak
bisa dipertahankan.
3. Tata Laksana Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat di mana tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan/atau diastolik≥
110 mmHg. Tujuannya adalah untuk mencapai target tekanan darah sistolik <160
mmHg dan diastolik <110 mmHg serta mencegah komplikasi serebrovaskular
pada ibu.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian obat antihipertensi berpotensi menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat akibat efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Maka
dari itu, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap dan tidak >25%
penurunan tekanan arteri rata-rata dalam 1 jam.
Antihipertensi pilihan utama adalah nifedipine short-acting peroral serta hidralazin
dan labetalol parenteral. Karena hidralazin dan labetalol parenteral tidak tersedia
di Indonesia, nitrogliserin dan metildopa sebagai alternatif dapat diberikan.
4. Profilaksis Kejang
Prinsip utama pencegahan kejang (eklampsia) adalah terminasi kehamilan.
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan utama sebagai profilaksis kejang pada
pasien dengan preeklampsia berat. Terdapat banyak studi yang menunjukkan
bahwa magnesium sulfat secara signifikan menurunkan angka kejadian eklampsia
pada pasien preeklampsia dengan gejala berat. Magnesium sulfat lebih dipilih
daripada diazepam maupun fenitoin. Namun, fenitoin dan golongan
benzodiazepine tetap dapat digunakan sebagai alternatif profilaksis kejang apabila
terdapat kontraindikasi terhadap magnesium sulfat. Magnesium sulfat diberikan
secara intravena dan dilarutkan dalam cairan salin fisiologis dengan dosis inisial
(loading dose) 4–6 gram selama 20–30 menit. Lalu, lanjutkan dengan dosis
rumatan 1–2 gram/jam. Durasi pemberian magnesium sulfat dimulai dari sebelum
waktu persalinan sampai dengan 24 jam pascasalin. Jika tidak ada akses intravena,
magnesium sulfat dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis inisial 5 gram
masing-masing pada gluteus kanan dan kiri dan dilanjutkan dengan pemberian 5
gram tiap 4 jam selama 24 jam. Pemberian magnesium sulfat sebisa mungkin tidak
menunda tindakan persalinan.
Selama pemberian magnesium sulfat, pantau laju pernapasan dan tekanan darah
tiap 30 menit, denyut nadi dan produksi urine tiap 1 jam, dan refleks patella setelah
dosis inisial dan tiap 2 jam. Pemantauan kadar magnesium tidak dilakukan secara
rutin dan hanya diindikasikan jika ada tanda toksisitas, yaitu laju respirasi <10
kali/menit, saturasi oksigen <92%, paralisis otot, dan refleks patella menghilang.
Jika terjadi toksisitas, pemberian magnesium sulfat segera dihentikan. Dokter
memberi kalsium glukonas 10% secara intravena sebanyak 10 ml dalam 100 ml
salin fisiologis selama 10–20 menit.
5. Tata Laksana setelah Persalinan
Secara keseluruhan, kondisi klinis dan parameter laboratorium pasien
preeklampsia umumnya membaik setelah persalinan. Namun, pada beberapa
kasus, pemulihan dapat memanjang sampai beberapa hari pascasalin. Hipertensi
dapat bertahan sampai 3 bulan, sehingga masih diperlukan pemantauan dan
penurunan dosis antihipertensi secara bertahap. Pasien yang mengalami
preeklampsia berisiko mengalami rekurensi pada kehamilan berikutnya, sehingga
diperlukan evaluasi dari dokter sebelum mempersiapkan kehamilan berikutnya
6. Pencegahan Kejang
Studi MAGPIE telah membuktikan bahwa pemberian Magnesium Sulphate dapat
menurunkan risiko eklampsia/kejang pada wanita dengan preeklampsia sebesar
58%. Magnesium Sulphate (MgSO4) adalah obat pilihan pertama dalam
mencegah kejang pada kasus preeklampsia berat. Diazepam dan Phenitoin tidak
lagi menjadi obat pilihan utama dalam pencegahan kejang (RCOG, 2010).
Syarat pemberian MgSO4 (Angsar MD. 2005):
1. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Gluconas 10%=1 gr
(10% dalam 10cc) diberikan intra vena (iv) selama 3 menit
2. Refleks patella (+) kuat
3. Frekuensi pernafasan >16 x/menit, dan tidak ada tanda-tanda distress
nafas
4. Produksi urin >100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kg/bb/jam)
Konsep Asuhan Keperawatan
• Pengkajian
A. Pengumpulan data
1) Identitas
(1) Nama : Untuk mengetahui nama pasien agar mempelancar komunikasi dalam
pengkajian sehingga tidak terlihat kaku dan bisa lebih akrab.
(2) Umur : Untuk mengetahui apakah pasien dalam kehamilan yang beresiko atau
tidak. Usia dibawah 16 tahun dan diatas 35 tahun merupakan umur yang beresiko
tinggi untuk hamil.
(3) Agama : Sebagai keyakinan individu untuk proses kesembuhan.
(4) Alamat : Untuk memudahkan saat pertolongan persalinan dan untuk
mengetahui jarak rumah dengan tempat rujukan.
(5) Suku Bangsa : Ras, etis, dan keturunan harus di identifikasi dalam rangka
memberikan perawatan yang peka budaya kepada pasien.
(6) Pendidikan : Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien sehingga
mempermudah dalam memberikan pendidikan kesehatan.
(7) Pekerjaan : Untuk mengkaji potensi kelahiran, premature, dan pajanan
terhadap bahaya lingkungan kerja, yang dapat merusak janin.
2) Keluhan utama
Pasien post operasi biasanya mengeluh nyeri pada luka operasi SC (Sectio
Caesarea).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit
dirasakan setelah pasien operasi.
P : Nyeri karena adanya luka post operasi
Q : Nyeri seperti terbakar
R : Nyeri pada daerah jahitan (di atas simpisis pubis)
S : Skala nyeri ringan (1 - 3), sedang (4 - 6), berat (7 - 10)
T : Nyeri hilang timbul
4) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien pernah mengalami operasi sesar sebelumnya, adakah pasien
pernah mempunyai riwayat penyakit sebelum nya seperti jantung, hipertensi, DM
dan yang lainnya.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat penyakit menurun seperti jantung, hipertensi, DM, dan penyakit
menular lainnya seperti TBC, hepatisis, HIV/AIDS dari komplikasi tersebut akan
dilakukan operasi sesar.
6) Riwayat perkawinan Untuk mengetahui berapa kali menikah, umur
berapa dan
berlangsung berapa tahun pernikahannya.
7) Riwayat kehamilan saat ini
Pada kasus ibu hamil dengan letak lintang perlu dikaji riwayat kesehatan
sekarang, riwayat kesehatan lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat kesehatan
seperti : kehamilan premature, hidramnion, kehamilan kembar, panggul sempit,
tumor didaerah panggul, plasenta previa yang dapat menyebabkan letak lintang
demikian pula kelainan bentuk Rahim seperti misalnya uterus arkuatus atau
uterus supsesus juga merupakan penyebab terjadinya letak lintang.
8) Riwayat persalinan
Meliputi jenis persalinan yang pernah di alami (SC, Normal) dan ditolong oleh
siapa. Ibu melahirkan lebih dari 2 kali.
9) Riwayat ginekologi
(1) Riwayat menstruasi
Mengetahui tentang menarche siklus, dismenorhoe, umur berapa, lama
menstruasi, banyak nya menstruasi dan untuk mengetahui hari pertama dan hari
terakhir (HPHT) menstruasi untuk menentukan tanggal kelahiran dari persalinan.
(2) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas
Meliputi kehamilan anak ke berapa, umur kehamilan berapa, ada\ penyakit atau
tidak, penolong dalam persalinan, jenis persalinan SC atau normal terdapat
komplikasi nifas atau tidak, bagaimana proses laktasinya.
Macam – macam Lochea berdasarkan jumlah dan warnanya :
((1) Lochea rubra : 1-3 berwarna merah dan hitam, terdiri dari sel desidua, verniks
kaseosa, rambut lanugo, sisa mikonium, sisa darah.
((2) Lochea Sanguinolenta : 3-7 hari berwarna putih campur merah kecoklatan.
((3) Lochea Serosa : 7-14 hari berwarna kekuningan.
((4) Lochea Alba : setelah hari ke-14 berwarna putih.
(3) Riwayat keluarga berencana
Apakah sebelum hamil pernah menggunakan alat kontrasepsi atau belum, jika
pernah lamanya berapa tahun, jenis KB apa yang digunakan dan ada keluhan atau
tidak selama penggunaan alat kontrasepsi tersebut.

• Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Biasanya pada pasien post operasi keadaan umumnya lemah.
2) Tanda-tanda vital meliputi pemeriksaan tekanan darah, suhu, pernafasan,
dan nadi.
3) Respirasi (B1)
(1) Inspeksi : bentuk dada simetris, pola nafas teratur, tidak ada retraksi dada.
(2) Palpasi : tidak mengalami nyeri tekan (Pada hidung dan dada).
(3) Perkusi : sonor
(4) Auskultasi : tidak ada suara nafas tambahan (Rales, ronchi, heezing, pleura
frictionrub)
4) Kardiovaskuler (B2)
(1) Inspeksi : tidak mengalami sianosis
(2) Palpasi : irama jantung teratur, tekanan darah bisa meningkat atau
menurun.
(3) Perkusi : pekak
(4) Auskultasi : bunyi jantung S1 (Lub), S2 (Dup) tunggal
5) Persyarafan (B3)
(1) Inspeksi : kesadaran composmentis, orientasi baik.
(2) Palpasi : tidak ada krepitasi
(3) Perkusi : tidak ada
(4) Auskultasi : tidak ada
6) Genetourinaria (B4)
(1) Inspeksi : menggunakan kateter, warna urine kuning kemerahan,
berbau amis, sedikit kotor.
(2) Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada perkemihan.
(3) Perkusi : tidak ada
(4) Auskultasi : tidak ada
7) Pencernaan (B5)
(1) Inspeksi : mukosa bibir lembab, bibir normal
(2) Palpasi : kontruksi uterus bisa naik / tidak, terdapat nyeri tekan
pada abdomen, TFU 2 jadi dibawah pusat.
(3) Perkusi : abdomen nyeri
(4) Auskultasi : terjadi penurunan pada bissing usus.
8) Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
(1) Inspeksi : turgor kulit elastis, warna kulit sawo matang atau kuning langsat,
tidak ada oedema, payudara menonjol, aerola hitam, putting menonjol,
kelemahan otot, tampak
sulit bergerak, kebutuhan klien masih dibantu keluarga, adanya luka post
operasi masih dibalut, terdapat striae.
(2) Palpasi : akral hangat, payudara keras, ada bendungan asi.
(3) Perkusi : reflek patella (+)
(4) Auskultasi : tidak ada
9) Panca Indera (B7)
(1) Mata : conjungtiva merah mudah, pupil isokor, sclera putih
(2) Hidung : normal, penciuman tajam
(3) Telinga : normal, kanan dan kiri simetris
(4) Perasa : manis (˅), pahit (˅), asam (˅), asin (˅)
(5) Peraba : normal
10) Endokrin (B8)
(1) Inspeksi : tidak ada luka gangrene atau pus
(2) Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan parotis
• Analisa data
Analisa data adalah kemampuan kognitif perawat yang
mengembangkan daya berfikir dan penalaran yang dipengaruhi pengalaman
meliputi data objektif dan data subjektif (Perry dan Potter, 2015).
Diagnosa keperawatan (Prawirohardjo, 2013)
1 Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya inkontuitas jaringan
2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas fisik
3 Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko : episiotomi, laserasi
jalan lahir, bantuan pertolongan persalinan.
4 Gangguan pola tidur berhubungan dengan restraint fisik
5 Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penanganan
post partum.
• Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah untuk menguraikan berbagai diagnosa keperawatan
diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dalam menentukan tujuan dan
hasil yang akan dicapai (Potter & Perry, 2005). Tahap dalam perencanaan
melibatkan perawat, klien, keluarga, dan orang terdekat klien untuk merumuskan
rencana tindakan keperawatan dalam mengatasi masalah yang sedang di alami klien.
Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk tertulis untuk menggambarkan secara
tepat rencana tindakan keperawatan yang akan dilakkuan kepada klien sesuai dengan
kebutuhan berdasarkkan diagnose keperawatan.

• Implementasi Keperawatana
Implementasi keperawatan adalah tahap asuhan keperawatn dimana perawat
melaksanakan tindakankeperawatan sesuai dengan rencana keperawatan dan
perwujudan dari tahap perencanaan (Wahyuni, 2016). Fokus
Implementasikeperawatan pada pasien Defisit Nutrisi adalah memberikan Nutrisi
yang mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi dan masalah pencernaan
yang lainnya, memberikan makanan yang mengandung tinggi kalori tinggi protein
untuk memenuhi kebutuhan energi dengan tekstur yang lunak atau halus.

• Evaluasi Keperwatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus-menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan
anggota tim kesehatan lainnya. Tahapan akhir dari asuhan keperawatan yaitu
evaluasi, pengisian format yang dipakai dalam evaluasi adalah format SOAP
(Wahyuni, 2016) Format SOAP :
S : Data Subjektif Data yang didapat dari klien berupa perkembangan dari keadaan
berupa apa yang dikatakan klien, dirasakan dan yang dikeluhkan
O : Data Objektif Data yang diperoleh dari klien berupa keadaan yang bisa dilihat dan
diukur oleh perawat maupun tenaga medis lain
A : Analisis Penilaian data subjektif dan objektif mengarah lebih baik atau menurun
P : Perencanaan Rencana untuk klien dengan didasarkan dari hasil i analisa data yang
berisi kelanjutan perencanaan tindakan apabila keadaan klien menurun atau belum
teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

AINUHIKMA, L. (2018). LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN POST


SECTIO CAESAREA DENGAN FOKUS STUDI PENGELOLAAN NYERI AKUT DI
RSUD DJOJONEGORO KABUPATEN TEMANGGUNG.
Asmandi. (2008). Teknik prosedural keperawatan: Konsep dan aplikasi kebutuhan
Dasar Klien. Salemba Medika.
Anonim.2007.Preeclampsia.htttp://www.mayoclinic.com/health/preeclamsia/DS00583/
DSECTION=4. Diakses 30 September 2013.

Mochtar, R..1998. Toksemia Gravidarum dalam: Sinopsis Obstetri Jilid I edisi II. EGC:
Jakarta

Rachimhadhi, T.. 2005. Preklamsia dan Eklamsia, dalam: buku Ilmu


Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Laeli, A. N. (2016). Tinjauan Pustaka Sectio Caesarea.


http://repository.ump.ac.id/968/3/ALIFAH%20NUR%20LAELI%20BAB%20II.pdf
Mawardi, A. (2014). Nyeri Akut.
Sagita, F. E. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN IBU POST PARTUM DENGAN POST
OPERASI SECTIO CAESAREA DI RUANGAN RAWAT INAP KEBIDANAN Dr.
ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019.
http://repo.stikesperintis.ac.id/852/1/30%20FHADILLA%20ERIN%20SAGITA.pdf
Sholihah, D. (2019). Sectio Caesarea. http://eprints.umpo.ac.id/5038/3/BAB%202.pdf
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG). 2010. Management of
Severe Preeclampsial Eclampsia. NO. 10(A).

Angsar, MD. 2005. Kuliah Dasar Hipertensi Dalam Kehamilan. Edisi IV tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai