MENTERI PERHUBUNGAN,
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dan daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra
dan antar moda transportasi;
2. Kepelabuhanan adalah meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran,
keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat
perpindahan intra dan/ atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah;
3. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem Kepelabuhanan Nasional yang memuat tentang
hirarki, peran, fungsi, klasifikasi, jenis, penyelenggaraan, kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda
transportasi, serta keterpaduan dengan sektor lainnya;
4. Jaringan trayek adalah kumpulan trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan
penumpang, barang dan/atau hewan dan satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya;
5. Pelabuhan Umum adalah pelabuhan yang diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat
umum;
6. Pelabuhan Khusus adalah pelabuhan yang dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan
tertentu;
7. Pelabuhan laut adalah pelabuhan umum yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut;
8. Pelabuhan Penyeberangan adalah pelabuhan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan
penyeberangan;
9. Pelabuhan sungai dan danau adalah pelabuhan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan
sungai dan danau;
10. Pelabuhan Daratan adalah suatu tempat tertentu di daratan dengan batas-batas yang jelas, dilengkapi
dengan fasilitas bongkar muat, lapangan penumpukan dan gudang serta prasarana dan sarana angkutan
barang dengan cara pengemasan khusus dan berfungsi sebagai pelabuhan umum;
11. Keselamatan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan yang menyangkut
angkutan di perairan dan kepelabuhanan;
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pelayaran.
Pasal 2
(1) Menteri melakukan pembinaan kepelabuhanan yang meliputi aspek pengaturan, pengawasan dan
pengendalian terhadap kegiatan pembangunan pendayagunaan dan pengembangan pelabuhan guna
mewujudkan tatanan kepelabuhanan nasional.
(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan penetapan kebijakan di
bidang kepelabuhanan.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN PENETAPAN
TATANAN KEPELABUHANAN NASIONAL
Pasal 3
a. terjalinnya suatu jaringan infrastruktur pelabuhan secara terpadu, selaras dan harmonis agar bersaing dan
tidak sating mengganggu yang bersifat dinamis;
b. terjadinya efisiensi transportasi taut secara nasional;
c. terwujudnya penyediaan jasa kepelabuhanan sesuai dengan tingkat kebutuhan;
d. terwujudnya penyelenggaraan pelabuhan yang handal dan berkemampuan tinggi dalam rangka menunjang
pembangunan nasional dan daerah.
Pasal 4
Penetapan Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan dengan
memperhatikan:
a. tata ruang wilayah;
b. sistem transportasi nasional;
c. pertumbuhan ekonomi;
d. pola/jalur pelayanan angkutan taut nasional dan internasional;
e. kelestarian tingkungan;
f. keselamatan pelayaran; dan
g. standarisast nasional, kriteria dan norma.
Pasal 5
Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memuat peran, fungsi, kegiatan, jenis
dan klasifikasi pelabuhan yang diwujudkan dalam hirarki peran dan fungsi pelabuhan.
BAB III
PERAN, FUNGSI, KEGIATAN, DAN JENIS PELABUHAN
Pasal 6
Pelabuhan menurut kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dan pelabuhan yang melayani
kegiatan:
Pasal 7
(2) Untuk mewujudkan peran pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pelabuhan melaksanakan
fungsi:
a. pemerintahan;
Pasal 8
BAB IV
HIRARKI PERAN DAN FUNGSI PELABUHAN
Pasal 9
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 5, terdiri dari:
Pasal 10
(1) Pelabuhan internasional hub yang merupakan pelabuhan utama primer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, ditetapkan dengan memperhatikan:
a. berperan sebagai pelabuhan internasional hub yang melayani angkutan alih muat (transhipment) peti
kemas nasional dan internasional dengan skala pelayanan transportasi laut dunia;
b. berperan sebagai pelabuhan induk yang melayani angkutan peti kemas nasional dan internasional
sebesar 2.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
c. berperan sebagai pelabuhan alih muat angkutan peti kemas nasional dan internasional dengan
pelayanan berkisar dan 3.000.000 - 3.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional ± 500 mil;
e. kedalaman minimal pelabuhan : -12 m LWS;
f. memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 350 m',4 crane dan lapangan penumpukan peti kemas
seluas 15 Ha;
g. jarak dengan pelabuhan internasional hub lainnya 500 - 1.000 mil.
(2) Pelabuhan intemasional yang merupakan pelabuhan utama sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 huruf b, ditetapkan dengan memperhatikan:
a. berperan sebagai pusat distribusi peti kemas nasional dan pelayanan angkutan peti kemas
internasional;
b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan angkutan peti kemas;
c. melayani angkutan peti kemas sebesan 1.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional + 500 mil dan jalur pelayaran nasional ± 50 mil;
e. kedalaman minimal pelabuhan - 9 m LWS;
f. memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 250 m',2 crane dan lapangan penumpukan kontener
seluas 10 Ha:
g. jarak dengan pelabuhan internasional lainnya 200 - 500 mil.
(3) Pelabuhan nasional yang merupakan pelabuhan utama tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
c, ditetapkan dengan memperhatikan:
(4) Pelabuhan regional yang merupakan pelabuhan pengumpan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf d, ditetapkan dengan memperhatikan:
a. berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan internasional pelabuhan nasional;
b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke pelabuhan utarna dan pelabuhan
pengumpan:
c. berperan melayani angkutan taut antar Kabupaten/Kota dalam propinsi;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran antar pulau ± 25 mil:
e. kedalaman minimal pelabuhan -4 m LWS:
f. memiliki dermaga minimal panjang 70 m;
g. jarak dengan pelabuhan regional lainnya 20 - 50 mil.
(5) Pelabuhan lokal yang merupakan pelabuhan pengumpan sekunder sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 9
huruf e, ditetapkan dengan memperhatikan:
Pasal 11
Penetapan hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut, selain menggunakan kriteria teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, mempertimbangkan pula hal-hal sebagai berikut:
a. jenis pelabuhan;
b. potensi pelabuhan masa datang;
c. kedekatan lokasi pelabuhan dengan daerah perbatasan;
d. posisi strategis pelabuhan ditinjau dari aspek pertahanan dan keamanan negara;
e. lokasi pelabuhan di daerah terpencil yang berpotensi sebagai areal terisolasi, terbelakang guna
keseimbangan perkembangan wilayah nasional.
Pasal 12
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IA dan IB Keputusan ini dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan bersifat tidak statis yang dapat
dievaluasi sesuai kebutuhan.
Pasal 13
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:
Pasal 14
(1) Pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
a, ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan nasional dan jalan antar
Negara.
(2) Pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b,
ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan
Propinsi.
(3) Pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c,
ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan Kabupaten /Kota.
Pasal 15
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II A dan II B Keputusan ini dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan bersifat tidak
statis yang dapat dievaluasi sesuai kebutuhan.
Pasal 16
Pelabuhan sungai dan danau menurut peran dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:
Pasal 17
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan khusus dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:
Pasal 18
(1) Pelabuhan khusus nasional/internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, ditetapkan
dengan kriteria:
(2) Pelabuhan khusus regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b, ditetapkan dengan kriteria:
a. bobot kapal yang dilayani lebih clan 1000 DWT dan kurang dan 3000 DWT;
b. panjang dermaga kurang dari 70 M', konstruksi beton/baja;
c. kedalaman di depan dermaga kurang clan - 5 M LWS;
d. tidak menangani pelayanan barang-barang berbahaya dan beracun (B3);
e. melayani kegiatan pelayanan lintas Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi.
(3) Pelabuhan khusus lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c, ditetapkan dengan kriteria:
Pasal 19
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, sebagaimana tercantum
dalam Lampran III Keputusan in dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan bersifat tidak statis yang dapat
dievaluasi sesuai kebutuhan.
BAB V
KLASIFIKASI PELABUHAN PENYEBERANGAN, SUNGAI DAN DANAU SERTA PELABUHAN
DARATAN
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan ditetapkan klasifikasi
pelabuhan.
(2) Klasifikasi pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan:
a. fasilitas pelabuhan yang terdiri dan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang;
b. volume operasional pelabuhan;
c. peran dan fungsi pelabuhan.
(3) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a meliputi:
(4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a meliputi:
Pasal 21
Volume sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) huruf b, merupakan jumlah kegiatan:
Pasal 22
(1) Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 Ayat (1) dibagi kedalam 3
(tiga) kelas, yaitu:
(2) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dengan
memperhatikan:
a. volume angkutan:
1) penumpang > 2000 orang/hari;
2) kendaraan. > 500 unit/hari;
(3) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dengan
memperhatikan:
a. volume angkutan:
1) penumpang : 1000 - 2000 orang/hari;
2) kendaraan : 250 - 500 unit/hari;
b. frekuensi 6 -12 trip/hari;
c. dermaga 500 - 1000 GRT;
d. waktu operasi 6 -12 jam/hari;
e. fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi:
1) perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran;
2) kolam pelabuhan;
3) fasilitas sandar kapal;
4) fasilitas penimbangan muatan,
5) terminal penumpang;
6) akses penumpang dan barang ke dermaga;
7) perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa;
8) fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker).
(4) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, dengan
memperhatikan:
a. volume angkutan:
1) penumpang < 1000 orang/hari;
2) kendaraan < 250 unit/hari;
b. frekuensi < 6 trip/hari;
c. dermaga < 500 GRT;
d. waktu operasi < 6 jam/hari;
e. fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi:
1) perairan tempat labuh termasuk alur pelayanan;
2) Kolam pelabuhan;
3) fasilitas sandar kapal;
4) fasilitas penimbangan muatan;
5) terminal penumpang,
6) akses penumpang dan barang ke dermaga;
7) perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa.
Pasal 24
Pelabuhan daratan mempunyai peran sebagai terminal peti kemas untuk pengumpulan dan distribusi barang di
daratan yang di hubungkan dengan pelabuhan induknya melalui jalan atau jalur kereta api.
Pasal 25
Pasal 26
(1) Klasifikasi pelabuhan daratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, ditetapkan sebagai berikut:
(2) Penetapan klasifikasi pelabuhan daratan kelas I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dengan
memperhatikan:
(3) Penetapan klasifikasi pelabuhan daratan kelas II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dengan
memperhatikan:
(4) Penetapan klasifikasi pelabuhan daratan kelas III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, dengan
memperhatikan:
a. volume angkutan barang/peti kemas < 12.000 TEU’s/tahun;
b. luas terminal < 2 Ha
c. area penumpukan < 5.000 m2
d. kapasitas penumpukan < 750 TEU’s
e. gudang ekspor < 300 m2
f. gudang impor < 300 m2
g. hangar mekanik < 250 m2
h. gedung perkantoran < 250 m2
i. area bonkar muat dan lalu lintas trailer/alat berat < 3.000 m2
j. panjang landasan pacu gantry crane < 200 m2
k. panjang jalan rel untuk bongkar muat.
BAB VI
PELIMPAHAN PENYELENGGARAAN PELABUHAN LOKAL DAN PELABUHAN REGIONAL
Pasal 27
(1) Pelabuhan laut lokal yang diselenggarakan oleh Pemerintah (unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja
Pelabuhan), diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di lokasi pelabuhan laut tersebut berada
sebagai tugas desentralisasi.
(2) Pelabuhan laut regional yang diselengarakan oleh Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/satuan Kerja
Pelabuhan), dilimpahkan kepada Pemerintah Propinsi di lokasi
pelabuhan laut tersebut berada, sebagai tugas dekosentrasi.
Pasal 28
(1) Pelabuhan sungai dan danau diselenggrakan oleh Kabupaten/Kota yang pelaksanaanya dilakukan oleh
Unit Pelaksana Teknis Kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan Daerah.
(2) Pelabuhan penyeberangan diselenggarakan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya diserahkan kepada
Badan Usaha Milik Negara atau oleh Kabupaten/Kota yang pelaksanaannya oleh Unit Pelaksana Teknis
kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan Daerah.
Pasal 29
Penyerahan/pelimpahan pelabuhan laut lokal dan pelabuhan lokal dan pelabuhan regional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan tersendiri.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
Untuk mencapai tujuan tatanan kepelabuhan nasional, untuk pelabuhan laut digunakan
pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian.
Pasal 31
Pasal 32
a. pelabuhan harus terletak pada lokasi yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran
serta dapat dikembangkan dan dipelihara sesuai standar yang berlaku;
b. pelabuhan harus mempertimbangkan kemudahan pencapaian bagi pengguna;
c. pelabuhan harus mudah dikembangkan, untuk memenuhi peningkatan permintaan akan jasa
angkutan laut;
d. pelabuhan harus menjamin pengoperasian dalam jangka waktu panjang;
e. pelabuhan harus berwawasan lingkungan;
f. pelabuhan harus terjangkau secara ekonomis bagi pengguna dan penyelenggara pelabuhan.
(2) Terjangkau secara ekonomis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f merupakanbiaya untuk
pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan diupayakan diperoleh dari
penerimaan pelabuhan dan sedikit mungkin menggantungkan pada anggaran Pemerintah.
Pasal 33
(1) Kriteria indikasi awal pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan laut
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 huruf b di dasarkan atas tingkat pemanfaatan operasional.
(2) Tingkat pemanfaatan operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
(3) Tingkat pemanfaatan operasional pelabuhan sebgaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dihitung dengan
menggunakan formula perhitungan kinerja operasional dan perencanaan pelabuhan sebagaimana
tercantum pada Lampiran IV Keputusan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
(2) Direktur Jenderal Perhubungan Darat melaksanakan pembinaan teknis operasional dan pengawasan di
Pelabuhan Penyeberangan, Pelabuhan Sungai, dan Danau, dan Pelabuhan Daratan.
Pasal 35
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Agustus 2002
MENTERI PERHUBUNGAN
ttd
AGUM GUMELAR, M.Sc.