Anda di halaman 1dari 10

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN


NOMOR KM 53 TAHUN 2002

MENTERI PERHUBUNGAN,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang


Kepelabuhanan, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan
pelabuhan yang handal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi
nasional dan mempunyai daya saing global guna menunjang
pembangunan nasional dan daerah, perlu menata pelabuhan dalam satu
kesatuan tatanan kepelabuhan nasional;

a. bahwa sehubungan dengan hal tersebut huruf a di atas, perlu


menetapkan Keputusan Menteri Perhubungan tentang Tatanan
Kepelabuhanan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;

1. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

1. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

1. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan Di


Perairan;
1. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian;

1. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001tentang Kepelabuhanan ;

1. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan


Organisasi dan Tugas Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2001;

1. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001tentang Kedudukan, Tugas,


Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor
45 Tahun 2002;

1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.24 Tahun 2001 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor 45 Tahun 2001;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATANAN


KEPELABUHANAN NASIONAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dan daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra
dan antar moda transportasi;

2. Kepelabuhanan adalah meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran,
keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat
perpindahan intra dan/ atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah;

3. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem Kepelabuhanan Nasional yang memuat tentang
hirarki, peran, fungsi, klasifikasi, jenis, penyelenggaraan, kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda
transportasi, serta keterpaduan dengan sektor lainnya;

4. Jaringan trayek adalah kumpulan trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan
penumpang, barang dan/atau hewan dan satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya;

5. Pelabuhan Umum adalah pelabuhan yang diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat
umum;
6. Pelabuhan Khusus adalah pelabuhan yang dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan
tertentu;

7. Pelabuhan laut adalah pelabuhan umum yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut;

8. Pelabuhan Penyeberangan adalah pelabuhan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan
penyeberangan;

9. Pelabuhan sungai dan danau adalah pelabuhan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan
sungai dan danau;

10. Pelabuhan Daratan adalah suatu tempat tertentu di daratan dengan batas-batas yang jelas, dilengkapi
dengan fasilitas bongkar muat, lapangan penumpukan dan gudang serta prasarana dan sarana angkutan
barang dengan cara pengemasan khusus dan berfungsi sebagai pelabuhan umum;

11. Keselamatan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan yang menyangkut
angkutan di perairan dan kepelabuhanan;
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pelayaran.

Pasal 2

(1) Menteri melakukan pembinaan kepelabuhanan yang meliputi aspek pengaturan, pengawasan dan
pengendalian terhadap kegiatan pembangunan pendayagunaan dan pengembangan pelabuhan guna
mewujudkan tatanan kepelabuhanan nasional.

(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan penetapan kebijakan di
bidang kepelabuhanan.

(3) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:


a. pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pembangunan, operasional dan pengembangan
pelabuhan; dan
b. tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, operasional dan pengembangan
pelabuhan.

(4) kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:


a. pemberian arahan dan petunjuk dalam melaksanakan pembangunan, operasional dan pengembangan
pelabuhan; dan
b. pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban masyarakat
pengguna jasa kepelabuhanan.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN PENETAPAN
TATANAN KEPELABUHANAN NASIONAL

Pasal 3

Tatanan Kepelabuhanan Nasional merupakan dasar dalam perencanaan pembangunan, pendayagunaan,


pengembangan dan pengoperasian pelabuhan di seluruh Indonesia, balk pelabuhan laut, pelabuhan
penyeberangan, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan daratan dan pelabuhah khusus yang bertujuan:

a. terjalinnya suatu jaringan infrastruktur pelabuhan secara terpadu, selaras dan harmonis agar bersaing dan
tidak sating mengganggu yang bersifat dinamis;
b. terjadinya efisiensi transportasi taut secara nasional;
c. terwujudnya penyediaan jasa kepelabuhanan sesuai dengan tingkat kebutuhan;
d. terwujudnya penyelenggaraan pelabuhan yang handal dan berkemampuan tinggi dalam rangka menunjang
pembangunan nasional dan daerah.

Pasal 4

Penetapan Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan dengan
memperhatikan:
a. tata ruang wilayah;
b. sistem transportasi nasional;
c. pertumbuhan ekonomi;
d. pola/jalur pelayanan angkutan taut nasional dan internasional;
e. kelestarian tingkungan;
f. keselamatan pelayaran; dan
g. standarisast nasional, kriteria dan norma.

Pasal 5

Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memuat peran, fungsi, kegiatan, jenis
dan klasifikasi pelabuhan yang diwujudkan dalam hirarki peran dan fungsi pelabuhan.

BAB III
PERAN, FUNGSI, KEGIATAN, DAN JENIS PELABUHAN

Pasal 6

Pelabuhan menurut kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dan pelabuhan yang melayani
kegiatan:

a. angkutan laut yang selanjutnya disebut pelabuhan laut;


b. angkutan sungai dan danau yang selanjutnya disebut pelabuhan sungai dan danau;
c. angkutan penyeberangan yang selanjutnya disebut pelabuhan penyeberangan.

Pasal 7

(1) Pelabuhan menurut perannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan:

a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hirarkinya;


b. pintu gerbang kegiatan perekonomian daerah, nasional dan internasional;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. penunjang kegiatan industri dan perdagangan;
e. tempat distribusi, konsolidasi dan produksi.

(2) Untuk mewujudkan peran pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pelabuhan melaksanakan
fungsi:
a. pemerintahan;

1) pelaksana fungsi keselamatan pelayaran;


2) pelaksana fungsi Bea dan Cukai;
3) pelaksana fungsi imigrasi;
4) pelaksana fungsi karantina;
5) pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban;

b. pengusahaan jasa kepelabuhanan:

1) Usaha pokok yang meliputi pelayanan kapal, barang dan penumpang;


2) usaha penunjang yang meliputi persewaan gudang, lahan dan lain-lain.

Pasal 8

Pelabuhan menurut jenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:

a. Pelabuhan umum yang digunakan untuk melayani kepentingan umum;


b. Pelabuhan khusus yang digunakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.

BAB IV
HIRARKI PERAN DAN FUNGSI PELABUHAN

Pasal 9

Hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 5, terdiri dari:

a. Pelabuhan internasional hub merupakan pelabuhan utama primer;


b. Pelabuhan internasional merupakan pelabuhan utama sekunder;
c. Pelabuhan nasional merupakan pelabuhan utama tersier;
d. Pelabuhan regional merupakan pelabuhan pengumpan primer;
e. Pelabuhan lokal merupakan pelabuhan pengumpan sekunder.

Pasal 10
(1) Pelabuhan internasional hub yang merupakan pelabuhan utama primer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, ditetapkan dengan memperhatikan:

a. berperan sebagai pelabuhan internasional hub yang melayani angkutan alih muat (transhipment) peti
kemas nasional dan internasional dengan skala pelayanan transportasi laut dunia;
b. berperan sebagai pelabuhan induk yang melayani angkutan peti kemas nasional dan internasional
sebesar 2.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
c. berperan sebagai pelabuhan alih muat angkutan peti kemas nasional dan internasional dengan
pelayanan berkisar dan 3.000.000 - 3.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional ± 500 mil;
e. kedalaman minimal pelabuhan : -12 m LWS;
f. memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 350 m',4 crane dan lapangan penumpukan peti kemas
seluas 15 Ha;
g. jarak dengan pelabuhan internasional hub lainnya 500 - 1.000 mil.

(2) Pelabuhan intemasional yang merupakan pelabuhan utama sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 huruf b, ditetapkan dengan memperhatikan:

a. berperan sebagai pusat distribusi peti kemas nasional dan pelayanan angkutan peti kemas
internasional;
b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan angkutan peti kemas;
c. melayani angkutan peti kemas sebesan 1.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional + 500 mil dan jalur pelayaran nasional ± 50 mil;
e. kedalaman minimal pelabuhan - 9 m LWS;
f. memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 250 m',2 crane dan lapangan penumpukan kontener
seluas 10 Ha:
g. jarak dengan pelabuhan internasional lainnya 200 - 500 mil.

(3) Pelabuhan nasional yang merupakan pelabuhan utama tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
c, ditetapkan dengan memperhatikan:

a. berperan sebagai pengumpan anqkutan peti kemas nasional;


b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang umum nasional;
c. berperan melayani angkutan peti kemas nasional di seluruh Indonesia;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran nasional + 50 mil.
e. kedalaman minimal pelabuhan –9 m LWS;
f. memiliki dermaga multipurpose minimal panjang 150 m', mobile crane atau skipgear kapasitas 50 ton;
g. jarak dengan pelabuhan nasional lainnya 50 - 100 mil.

(4) Pelabuhan regional yang merupakan pelabuhan pengumpan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf d, ditetapkan dengan memperhatikan:

a. berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan internasional pelabuhan nasional;
b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke pelabuhan utarna dan pelabuhan
pengumpan:
c. berperan melayani angkutan taut antar Kabupaten/Kota dalam propinsi;
d. berada dekat dengan jalur pelayaran antar pulau ± 25 mil:
e. kedalaman minimal pelabuhan -4 m LWS:
f. memiliki dermaga minimal panjang 70 m;
g. jarak dengan pelabuhan regional lainnya 20 - 50 mil.

(5) Pelabuhan lokal yang merupakan pelabuhan pengumpan sekunder sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 9
huruf e, ditetapkan dengan memperhatikan:

a. berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan internasional, pelabuhan


nasional dan pelabuhan regional;
b. berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil, terisolasi, perbatasan, daerah
perbatasan yang hanya didukung oleh mode transportasi laut;
c. berperan sebagai tempat pelayanan moda transportasi laut untuk mendukung kehidupan masyarakat
dan berfungsi sebagai tempat multifungsi selain sebagai terminal untuk penumpang juga untuk
melayani bongkar muat kebutuhan hidup masyarakat disekitamya;
d. berada pada lokasi yang tidak dilalui jalur transportasi laut reguler kecuali keperintisan;
e. kedalaman minimal pelabuhan -1,5 m LWS;
f. memiliki fasilitas tambat;
g. jarak dengan pelabuhan lokal lainnya 5 - 20 mil.

Pasal 11
Penetapan hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut, selain menggunakan kriteria teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, mempertimbangkan pula hal-hal sebagai berikut:

a. jenis pelabuhan;
b. potensi pelabuhan masa datang;
c. kedekatan lokasi pelabuhan dengan daerah perbatasan;
d. posisi strategis pelabuhan ditinjau dari aspek pertahanan dan keamanan negara;
e. lokasi pelabuhan di daerah terpencil yang berpotensi sebagai areal terisolasi, terbelakang guna
keseimbangan perkembangan wilayah nasional.

Pasal 12

Hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IA dan IB Keputusan ini dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan bersifat tidak statis yang dapat
dievaluasi sesuai kebutuhan.

Pasal 13

Hirarki peran dan fungsi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:

a. pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi/antar Negara;


b. pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota;
c. pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/Kota;

Pasal 14

(1) Pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
a, ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan nasional dan jalan antar
Negara.

(2) Pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b,
ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan
Propinsi.

(3) Pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c,
ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan Kabupaten /Kota.

Pasal 15

Hirarki peran dan fungsi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II A dan II B Keputusan ini dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan bersifat tidak
statis yang dapat dievaluasi sesuai kebutuhan.

Pasal 16

Pelabuhan sungai dan danau menurut peran dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:

a. pelabuhan sungai dan danau yang melayani angkutan antar propinsi;


b. pelabuhan sungai dan danau yang melayani angkutan antar kabupaten/Kota dalam
propinsi;
c. pelabuhan sungai dan danau yang melayani angkutan dalam Kabupaten/Kota.

Pasal 17

Hirarki peran dan fungsi pelabuhan khusus dimaksud dalam Pasal 5, terdiri dari:

a. pelabuhan khusus nasional/internasional;


b. pelabuhan khusus regional;
c. pelabuhan khusus lokal.

Pasal 18

(1) Pelabuhan khusus nasional/internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, ditetapkan
dengan kriteria:

a. bobot kapal yang dilayani 3000 DWT atau lebih;


b. panjang dermaga 70 M atau lebih, konstruksi beton/baja;
c. kedalaman di depan dermaga - 5 M LWS atau lebih;
d. menangani pelayanan barang-barang berbahaya dan Beracun (B3);
e. melayani kegiatan pelayanan lintas Propinsi dan Internasional.

(2) Pelabuhan khusus regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b, ditetapkan dengan kriteria:

a. bobot kapal yang dilayani lebih clan 1000 DWT dan kurang dan 3000 DWT;
b. panjang dermaga kurang dari 70 M', konstruksi beton/baja;
c. kedalaman di depan dermaga kurang clan - 5 M LWS;
d. tidak menangani pelayanan barang-barang berbahaya dan beracun (B3);
e. melayani kegiatan pelayanan lintas Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi.

(3) Pelabuhan khusus lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c, ditetapkan dengan kriteria:

a. bobot kapal kurang dari 1000 DWT;


b. panjang dermaga kurang clan 50 M' dengan konstruksi kayu;
c. kedalaman di depan dermaga kurang clan - 4 M LWS;
d. tidak menangani pelayanan barang berbahaya dan beracun (B3); dan melayani kegiatan pelayanan
lintas Kota dalam satu Kabupaten/Kota.

Pasal 19

Hirarki peran dan fungsi pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, sebagaimana tercantum
dalam Lampran III Keputusan in dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan bersifat tidak statis yang dapat
dievaluasi sesuai kebutuhan.

BAB V
KLASIFIKASI PELABUHAN PENYEBERANGAN, SUNGAI DAN DANAU SERTA PELABUHAN
DARATAN

Pasal 20

(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan ditetapkan klasifikasi
pelabuhan.

(2) Klasifikasi pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan:

a. fasilitas pelabuhan yang terdiri dan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang;
b. volume operasional pelabuhan;
c. peran dan fungsi pelabuhan.

(3) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a meliputi:

a. perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran;


b. kolam pelabuhan;
c. fasilitas sandar kapal;
d. penimbangan muatan;
e. terminal penumpang;
f. akses penumpang dan barang ke dermaga;
g. perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa;
h. fasilitas penyimpanan bahan bakar (Bunker);
i. instalasi air, listrik dan komunikasi;
j. akses jalan dan atau rel kereta api;
k. fasilitas pemadam kebakaran;
l. tempat tunggu kendaran bermotor sebelum naik ke kapal.

(4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a meliputi:

a. kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan;


b. tempat penampungan limbah;
c. fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan;
d. area pengembangan pelabuhan.

Pasal 21

Volume sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) huruf b, merupakan jumlah kegiatan:

a. jumlah kedatangan dan keberangkatan kapal;


b. jumlah naik turun penumpang dan kendaraan serta muatannya.

Pasal 22

(1) Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 Ayat (1) dibagi kedalam 3
(tiga) kelas, yaitu:

a. pelabuhan penyeberangan kelas I


b. pelabuhan penyeberangan kelas II
c. pelabuhan penyeberangan kelas III.

(2) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dengan
memperhatikan:
a. volume angkutan:
1) penumpang > 2000 orang/hari;
2) kendaraan. > 500 unit/hari;

b. frekuensi > 12 trip/hari;


c. dermaga > 1000 GRT;
d. waktu operasi > 12jam/hari;
e. fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi:
1) perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran;
2) kolam pelabuhan;
3) fasilitas sandar kapal;
4) fasilitas penimbangan muatan;
5) terminal penumpang;
6) akses penumpang dan barang ke dermaga;
7) perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa;
8) fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker);
9) instalasi air, listrik dan komunikasi;
10) akses jalan dan/atau rel kereta api;
11) fasilitas pemadam kebakaran;
12) tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal.

(3) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dengan
memperhatikan:

a. volume angkutan:
1) penumpang : 1000 - 2000 orang/hari;
2) kendaraan : 250 - 500 unit/hari;
b. frekuensi 6 -12 trip/hari;
c. dermaga 500 - 1000 GRT;
d. waktu operasi 6 -12 jam/hari;
e. fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi:
1) perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran;
2) kolam pelabuhan;
3) fasilitas sandar kapal;
4) fasilitas penimbangan muatan,
5) terminal penumpang;
6) akses penumpang dan barang ke dermaga;
7) perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa;
8) fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker).

(4) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, dengan
memperhatikan:

a. volume angkutan:
1) penumpang < 1000 orang/hari;
2) kendaraan < 250 unit/hari;
b. frekuensi < 6 trip/hari;
c. dermaga < 500 GRT;
d. waktu operasi < 6 jam/hari;
e. fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi:
1) perairan tempat labuh termasuk alur pelayanan;
2) Kolam pelabuhan;
3) fasilitas sandar kapal;
4) fasilitas penimbangan muatan;
5) terminal penumpang,
6) akses penumpang dan barang ke dermaga;
7) perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa.

Pasal 24

Pelabuhan daratan mempunyai peran sebagai terminal peti kemas untuk pengumpulan dan distribusi barang di
daratan yang di hubungkan dengan pelabuhan induknya melalui jalan atau jalur kereta api.

Pasal 25

Pelabuhan daratan menurut klasifikasinya, ditetapkan dengan memperhatikan:

a. kelas dari pelabuhan induknya;


b. jaringan jalan dan/atau jalur kereta api;
c. cakupan hinterland;
d. kegiatan lalu lintas yangada di dalam pelabuhan daratan;
e. frekuensi kegiatan angkutan dari pelabuhan daratan ke pelabuhan induknya atau sebaliknya;
f. memiliki fasilitas:
1) bongkar muat;
2) lapangan penumpukan;
3) gudang;
4) prasarana dan sarana angkutan barang;
5) perlengkapan/peralatan untuk pengemasan; dan
6) kantor penyelenggara pelabuhan.

Pasal 26

(1) Klasifikasi pelabuhan daratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, ditetapkan sebagai berikut:

a. pelabuhan daratan kelas I;


b. pelabuhan daratan kelas II;
c. pelabuhan daratan kelas III;

(2) Penetapan klasifikasi pelabuhan daratan kelas I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dengan
memperhatikan:

a. volume angkutan barang/peti kemas > 20.000 TEU’s/tahun


b. luas terminal > 3 Ha
c. area penumpukan > 8.000 m2
d. kapasitas penumpukan > 1.000 TEU’s
e. gudang ekspor >450 m2
f. gudang impor > 450 m2
g. hangar mekanik > 350 m2
h. gedung perkantoran > 400 m2
i. area bongkar muat dan lalu lintas trailer/alat berat > 6.000 m2
j. panjang landasan pacu gantry crane > 250 m2
k. panjang jalan rel untuk bongkar muat.

(3) Penetapan klasifikasi pelabuhan daratan kelas II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dengan
memperhatikan:

a. volume angkutan barang/peti kemas < 12.000 TEU’s/tahun;


b. luas terminal < 2 Ha
c. area penumpukan : 5.000 – 8.000 m2
d. kapasitas penumpukan 750 – 1.000 TEU’s
e. gudang ekspor: 300 – 450 m2
f. gudang impor: 300 – 450 m2
g. hangar mekanik: 250 – 350 m2
h. gedung perkantoran: 250 – 400 m2
i. area bonkar muat dan lalu lintas trailer/alat berat > 6.000 m2
j. panjang landasan pacu gantry crane: 200 – 250 m2
k. panjang jalan rel untuk bongkar muat.

(4) Penetapan klasifikasi pelabuhan daratan kelas III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, dengan
memperhatikan:
a. volume angkutan barang/peti kemas < 12.000 TEU’s/tahun;
b. luas terminal < 2 Ha
c. area penumpukan < 5.000 m2
d. kapasitas penumpukan < 750 TEU’s
e. gudang ekspor < 300 m2
f. gudang impor < 300 m2
g. hangar mekanik < 250 m2
h. gedung perkantoran < 250 m2
i. area bonkar muat dan lalu lintas trailer/alat berat < 3.000 m2
j. panjang landasan pacu gantry crane < 200 m2
k. panjang jalan rel untuk bongkar muat.

BAB VI
PELIMPAHAN PENYELENGGARAAN PELABUHAN LOKAL DAN PELABUHAN REGIONAL

Pasal 27

(1) Pelabuhan laut lokal yang diselenggarakan oleh Pemerintah (unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja
Pelabuhan), diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di lokasi pelabuhan laut tersebut berada
sebagai tugas desentralisasi.

(2) Pelabuhan laut regional yang diselengarakan oleh Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/satuan Kerja
Pelabuhan), dilimpahkan kepada Pemerintah Propinsi di lokasi
pelabuhan laut tersebut berada, sebagai tugas dekosentrasi.

Pasal 28

(1) Pelabuhan sungai dan danau diselenggrakan oleh Kabupaten/Kota yang pelaksanaanya dilakukan oleh
Unit Pelaksana Teknis Kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan Daerah.

(2) Pelabuhan penyeberangan diselenggarakan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya diserahkan kepada
Badan Usaha Milik Negara atau oleh Kabupaten/Kota yang pelaksanaannya oleh Unit Pelaksana Teknis
kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan Daerah.

Pasal 29

Penyerahan/pelimpahan pelabuhan laut lokal dan pelabuhan lokal dan pelabuhan regional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan tersendiri.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 30

Untuk mencapai tujuan tatanan kepelabuhan nasional, untuk pelabuhan laut digunakan
pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian.

Pasal 31

Dalam pelaksanaan strategi pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan


laut dilaksanakan dengan memperhatikan:

a. prinsip dasar pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan;

b. kriteria indikasi awal pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan.

Pasal 32

(1) Prinsip dasar pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian


pelabuhan laut sebgaimana dimaksud dalam Paal 31 huruf a;

a. pelabuhan harus terletak pada lokasi yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran
serta dapat dikembangkan dan dipelihara sesuai standar yang berlaku;
b. pelabuhan harus mempertimbangkan kemudahan pencapaian bagi pengguna;
c. pelabuhan harus mudah dikembangkan, untuk memenuhi peningkatan permintaan akan jasa
angkutan laut;
d. pelabuhan harus menjamin pengoperasian dalam jangka waktu panjang;
e. pelabuhan harus berwawasan lingkungan;
f. pelabuhan harus terjangkau secara ekonomis bagi pengguna dan penyelenggara pelabuhan.
(2) Terjangkau secara ekonomis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f merupakanbiaya untuk
pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan diupayakan diperoleh dari
penerimaan pelabuhan dan sedikit mungkin menggantungkan pada anggaran Pemerintah.

Pasal 33

(1) Kriteria indikasi awal pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan laut
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 huruf b di dasarkan atas tingkat pemanfaatan operasional.

(2) Tingkat pemanfaatan operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. fasiitas sisi air;


b. fasilitas sisi darat.

(3) Tingkat pemanfaatan operasional pelabuhan sebgaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dihitung dengan
menggunakan formula perhitungan kinerja operasional dan perencanaan pelabuhan sebagaimana
tercantum pada Lampiran IV Keputusan ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

(1) Direktur Jenderal Perhubungan Laut melaksanakan pembinaan operasional dan


pengawasan di pelabuhan Laut dan Pelabuhan Khusus;

(2) Direktur Jenderal Perhubungan Darat melaksanakan pembinaan teknis operasional dan pengawasan di
Pelabuhan Penyeberangan, Pelabuhan Sungai, dan Danau, dan Pelabuhan Daratan.

Pasal 35

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Agustus 2002
MENTERI PERHUBUNGAN
ttd
AGUM GUMELAR, M.Sc.

Anda mungkin juga menyukai