PENANGANAN KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
ISBN: 978-602-96517-0-6
5
PRAKATA
6
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
7
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ~ 5
PRAKATA ~ 7
DAFTAR ISI ~ 11
DAFTAR TABEL, BAGAN & BOX ~ 13
9
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
LAMPIRAN-LAMPIRAN ~ 95
DAFTAR BACAAN ~ 106
TENTANG PENULIS ~ 109
10
DAFTAR TABEL, BAGAN DAN BOX
A. TABEL:
Tabel 1: Wawancara dan Observasi dalam Penanganan Korban TPPO
Tabel 2: Pelayanan Medis bagi Korban TPPO Sesuai Fasilitas
Kesehatan
Tabel 3: Konsinyasi Menurut KUHPerdata
Tabel 4: Perbedaan antara UUPTPPO dengan KUHPer data Terkait
Penitipan Ganti Rugi di Pengadilan
Tabel 5: Memaknai Keluarga dan Keluarga Pengganti
Tabel 6: Tantangan dalam Implementasi Bantuan Reintegrasi Sosial
Tabel 7: Gambaran Program Terkait Reintegrasi Sosial Bagi Korban
TPPO
Tabel 8: Gambaran Sinergitas Peran dalam Penanganan Korban
TPPO
Tabel 9: Sistem Administrasi dalam Penanganan Korban TPPO
B. BAGAN:
Bagan 1: Alur Penanganan Korban
Bagan 2: Pelaku TPPO Versi UUPTPPO
C. BOX:
Box 1: Tips Dalam Penerimaan Pengaduan
Box 2: Memahami Visum et Repertum
Box 3: Penjangkauan Korban TPPO
Box 4: Tips Dalam Mewawancarai Korban TPPO
Box 5: Tips Dalam Melakukan Rujukan Lintas Sektor
11
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
12
1
KONSEP PENANGANAN KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
14
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
15
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
16
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
17
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
18
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
19
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
20
2
TAHAPAN PENERIMAAN PENGADUAN
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
Pengaduan atau laporan terkait suatu kasus TPPO, bisa juga dilakukan
secara tidak langsung melalui surat, telepon atau media komunikasi
lainnya. Pengaduan atau pelaporan kasus TPPO yang dilakukan secara
tidak langsung ini, termasuk juga di dalamnya adalah korban TPPO di-
rujuk oleh pihak penegak hukum formal seperti kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan maupun oleh lembaga lainnya untuk mendapat rehabi-
22
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
23
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
24
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Box 2:
MEMAHAMI VISUM ET REPERTUM
Visum et repertum (VeR) merupakan keterangan dokter tentang apa yang di-
lihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna ke-
pentingan peradilan. Visum et repertum ini dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan kesaksian tertulis kepada hakim dalam proses peradilan tentang
suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti yang ada pada korban atas
semua keadaan sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar
hakim dapat mengambil putusan dengan tepat dengan dasar kenyataan atau
fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung keyakinan hakim.
Dalam ilmu kedokteran forensik maupun ilmu hukum, istilah visum et repertum
sering disingkat menjadi “VeR” dan juga lebih dikenal dengan nama “visum”.
Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dari aspek
etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau
melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala se-
suatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan. Sedangkan “repertum”
berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Dengan demikian, secara etimologi, visum et repertum dapat
dipahami sebagai apa yang dilihat dan ditemukan.
Menurut Staatsblad tahun 1937 Nomor 350, “visum et repertum adalah laporan
tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima ja-
batan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya". Visum et
repertum merupakan laporan ahli dan sambil menunjuk LN 1937 -380 RIB/306
melalui ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981, Tentang Kitab Un-
dang-Undang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya, permintaan keterangan ahli
dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli yang bersangkutan mem-
buat “laporan” yang berbentuk “surat keterangan” atau visum et repertum.
Dalam praktik pengadilan, keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum
(diatur dalam sataatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937,
tentang visa reperta van genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam
Berita Acara Pengadilan.
Sumber: Diolah dari berbagai informasi sekunder.
25
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
Box 3:
PENJANGKAUAN KORBAN TPPO
Langkah untuk melakukan penjangkauan korban (outreach) bisa diambil sebagai
tindak lanjut dari pengaduan melalui telepon, SMS (short message service; layanan
pesan singkat) atau surat oleh korban maupun pihak lain serta pemberitaan di
media massa. Penjangkauan korban perlu memperhatikan aspek keamanan baik
bagi korban, keluarga atau petugas. Penjangkauan korban perlu dilakukan dengan
lebih terencana dan hati-hati untuk memastikan bahwa penjangkauan korban
tidak akan menyebabkan korban dalam situasi yang lebih buruk.
Penjangkauan korban bisa saja tidak dilakukan di tempat tinggal korban, bila kor-
ban merasa tidak aman melakukan pengaduan dan wawancara di rumah. Jika
penjangkauan korban tidak dapat dilakukan sendiri oleh lembaga penanganan
pengaduan, maka petugas dari lembaga penanganan pengaduan harus mengko-
ordinasikan dengan lembaga layanan yang relevan dengan sifat kedaruratan
pelapor untuk melakukan penjangkauan korban secara bersama-sama.
Jika lembaga yang menerima pengaduan mampu melakukan penjangkauan
korban sendiri, maka pelaksanaan penjangkauan korban dapat dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Petugas memastikan dulu tentang keamanan korban dan dirinya sendiri
b. Petugas mengkoordinasikan dengan aparat keamanan, jika diperlukan untuk
memastikan keamanan korban
c. Petugas harus memastikan bahwa korban setuju dengan tawaran outreach
d. Petugas harus mendiskusikan tentang hal keamanan yang mesti diperhatikan
e. Untuk korban anak, petugas harus melakukan proses di atas dengan keluarga
yang bertanggung jawab;
f. Jika korban menolak untuk melakukan proses pendampingan lebih lanjut,
petugas mengajak korban untuk membuat perencanaan penyelamatan diri
(safety plan) yang mencakup cara melarikan diri dari rumah/tempat tinggal,
cara mencapai tujuan penyelamatan, penyimpanan dokumen penting dan uang
bekal;
g. Sebelum meninggalkan tempat, petugas memberikan nomor kontak yang bisa
dihubungi jika sewaktu-waktu korban berubah pikiran;
h. Petugas dapat memulai wawancara dengan korban, bila korban telah me-
nyatakan persetujuannya;
Sebelum meninggalkan tempat, petugas memberikan nama, alamat, dan nomor
kontak dan meminta agar korban menyimpannya di tempat yang aman.
Sumber: Diolah dari Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Rumah
Perempuan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.
26
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
27
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
28
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
29
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
30
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tabel 1:
WAWANCARA DAN OBSERVASI DALAM PENANGANAN KORBAN TPPO
Langkah awal dalam penanganan orang yang diduga sebagai korban TPPO adalah
wawancara dan observasi. Korban yang membutuhkan penanganan, biasanya akan
datang sendiri ke lembaga atau pusat pelayanan yang selalu menangani korban untuk
mendapatkan penanganan. Lembaga atau pusat pelayanan yang selalu menangani
korban, sering juga menangani korban yang dirujuk oleh lembaga lain. Terkadang,
penjangkauan korban juga dilakukan oleh lembaga atau pusat pelayanan yang selalu
menangani korban, ketika korban membutuhkan penanganan namun tidak bisa
datang sendiri ke lembaga atau pusat pelayanan.
Klaster Awal Penanganan
Jika seseorang yang diduga korban TPPO mendatangi sendiri Pusat
Korban
Datang Sendiri
Pelayanan Terpadu untuk meminta bantuan, maka wawancara dan
observasi dilakukan di Pusat Pelayanan Terpadu.
Jika korban rujukan, maka wawancara dan observasi dilakukan untuk
korban TPPO yang datang ke Pusat Pelayanan Terpadu berdasarkan
Korban rujukan dari lembaga pemberi layanan seperti Pusat Pelayanan Ter-
Dirujuk padu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Perlindu-
ngan Sosial Anak (RPSA), Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC),
Rumah Perlindungan Anak Tenaga Kerja.
Jika melakukan penjangkauan korban, maka wawancara dan obser-
vasi dilakukan dengan mendatangi lokasi di mana seseorang yang
Korban
Dijangkau
diduga korban TPPO terlaporkan. Hal ini dilakukan jika seseorang
yang diduga korban TPPO tersebut mengalami kesulitan untuk datang
ke Pusat Pelayanan Terpadu
Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi
Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
31
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
yang diduga sebagai korban TPPO pada proses observasi, yaitu selain
didasarkan pada dokumen yang ada, juga dari penampakan fisik,
kematangan psikologis, dan pernyataan/pengakuannya.
Dalam hal usia dari seseorang yang diduga sebagai korban TPPO
adalah tidak jelas, namun ada indikator yang dapat dipercaya bahwa
orang yang diduga sebagai korban TPPO tersebut adalah anak, maka
harus ditangani dengan standar penanganan untuk anak sampai
dengan umurnya dapat diketahui dengan pasti.
Apabila dalam melakukan observasi diketahui atau ditemukan bahwa
korban berada dalam kondisi tidak memadai untuk terlibat dalam
wawancara ataupun tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri disebabkan korban mengalami situasi berat seperti cedera
atau stres berat atau dalam ketakutan yang besar mengenai
keamanan diri dan/atau keluarganya, maka petugas layanan harus
melakukan: Pertama, menenangkan korban terlebih dahulu; apabila
klien terlihat sangat tegang, terapkan teknik relaksasi sederhana (jika
diperlukan); Kedua, merujuk korban pada prioritas penanganan yang
tepat sesuai dengan kondisi korban (medis atau psikologis) sesuai
tingkat kedaruratan yang terjadi; dan Ketiga, apabila korban dalam
keadaan bahaya, maka petugas segera meminta bantuan Polisi.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan setelah kondisi korban TPPO memungkinkan.
Wawancara idealnya dilakukan dengan menggunakan daftar perta-
nyaan (check list identifikasi) yang telah ada. Wawancara dilakukan
untuk mengetahui identitas korban TPPO, serta untuk memastikan
apakah benar yang bersangkutan merupakan korban TPPO. Hal-hal
yang harus diperhatikan terkait wawancara adalah:
(a) Pra Wawancara
Sebelum melakukan wawancara, petugas harus meminta persetu-
juan dari seseorang yang diduga korban TPPO untuk melakukan
pengaduan/identifikasi dengan menjelaskan bahwa akan dijaga
32
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
33
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
34
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
kasi diketahui bahwa orang yang diduga sebagai korban TPPO terse-
but termasuk dalam kategori korban TPPO, maka petugas melakukan
assessment kebutuhan pelayanan lanjutan dengan melakukan identi-
fikasi kondisi fisik, piskis, dan kondisi lain yang dibutuhkan.
4. Rekomendasi Layanan Lanjutan
Berdasarkan hasil assessment dan rekomendasi penanganan lanjutan
oleh Pusat Pelayanan Terpadu perujuk, maka petugas Pusat Pelayanan
Terpadu memberikan rekomendasi intervensi layanan, dengan tujuan
untuk menetapkan langkah-langkah tindak lanjut yang terbaik dalam
perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban TPPO. Karenanya,
petugas Pusat Pelayanan Terpadu harus membangun kesepakatan
dengan korban TPPO terkait dengan intervensi layanan lanjutan yang
akan diberikan, penjelasan tentang hak-hak dan peran dari korban
TPPO.
5. Koordinasi dan Rujukan ke Layanan Lanjutan dan Pihak Terkait
Hal yang tidak boleh terabaikan dalam melakukan koordinasi dan
rujukan ke layanan lanjutan dan pihak terkait adalah: (a). Setelah ada
rekomendasi layanan lanjutan dan terbangun kesepakatan dengan
korban TPPO, petugas menghubungi lembaga layanan lanjutan untuk
mengkoordinasikan langkah selanjutnya; (b). Setelah terjadi
kesepakatan dengan lembaga pemberi layanan lanjutan sesuai
dengan rekomendasi, petugas mengantarkan korban TPPO ke
lembaga tersebut; (c). Petugas Pusat Pelayanan Terpadu perujuk
melakukan serah terima layanan dengan berita acara serah terima.
6. Pengadministrasian Proses Identifikasi
Hasil identifikasi dimasukkan ke dalam buku rekam kasus dan
diadministrasikan bersama dokumen pendukung serta dimasukkan ke
dalam sistem data base yang terkomputerisasi. Salinan buku rekam
kasus akan disertakan bersamaan dengan pemulangan korban TPPO.
Dokumen pendukung dapat berupa: (a). Foto korban TPPO yang
diambil pada saat pertama bertemu dengan Petugas; (b). Fotokopi
Kartu Tanda Penduduk, dokumen imigrasi (paspor, visa, ijin tinggal,
35
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
36
3
TAHAPAN REPARASI
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
38
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
39
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
40
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
41
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
42
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
43
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
44
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
45
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
46
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
47
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
48
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Box 8:
PROTAP KONSELING & BIMBINGAN ROHANI VERSI
RUMAH PEREMPUAN KUPANG
1. Konsele diterima konselor.
2. Bila kondisi konsele dalam situasi kritis, maka langkah awalnya konselor
langsung memberikan pertolongan pertama dan apabila kondisi konsele parah,
konselor segera membawanya ke dokter.
3. Penggalian informasi awal (identitas) dari konsele. Bila konsele adalah anak,
maka penggalian informasi dilakukan dengan orangtua, wali atau pendamping.
4. Penggalian masalah dengan prinsip konseling berperspektif korban dan kalau
korbannya adalah perempuan, maka perspektif gender tidak boleh diabaiakan:
(a). Tidak mengadili korban/nonjudgement; (b). Membangun hubungan yang
setara/egaliter; (c). Memegang prinsip self determination atau keputusan
ditangan korban; (d). Melakukan pemberdayaan atau empowerment
(penyadaran gender, menjelaskan tentang hak-hak korban, memberikan
dukungan, membantu memberikan pertimbangan atau solusi, membantu
memahami masalahnya); (e). Menjaga kerahasiaan korban.
5. Konselor dan konsele (bila anak dengan orangtua/wali, keluarga korban yang
mendampingi) membuat kesepakatan tentang: rujukan, tindak lanjut
penyelesaian masalah, peran konselor dan konsele (bila anak dengan
orangtua/wali, keluarga konsele yang mendampingi).
6. Kesepakatan rujukan termasuk rujukan ke psikolog bila konselor merasa
konsele membutuhkan therapy khusus oleh psikolog.
7. Konselor membuat dokumentasi (lisan, tertulis, visual): identitas konsele,
kronologi kasus, layanan yang diberikan, kondisi konsele (psikis, fisik, seksual).
Sumber: Diolah dari Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Rumah Perem-
puan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.
49
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
50
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Hukum adalah kasus TPPO yang terjadi antar Provinsi dan antar
Negara. Keperluan korban TPPO selama menjalani proses bantuan
hukum, seperti shelter, transportasi untuk bersaksi di pengadilan
(pilihan) dan sebagainya dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yang
bekerjasama dengan jejaring Pusat Pelayanan Terpadu. Kasus TPPO
yang terjadi antar daerah Kabupaten/Kota di Dalam Negeri yang di-
tangani oleh Aparat Penegak Hukum Daerah, maka kegiatan ini didanai
oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Langkah-langkah dalam rangka memberikan layanan bantuan hukum
bagi korban TPPO adalah sebagai berikut: Pertama, Pusat Pelayanan
Terpadu menerima laporan yang dilaporkan oleh korban TPPO atau
dilaporkan oleh keluarga korban, pendamping, Polisi, petugas instansi
terkait, atau rujukan dari proses sebelumnya. Kedua, melakukan iden-
tifikasi korban dan alat bukti yang terkait dengan TPPO. Apabila kor-
ban teridentifikasi mengalami TPPO dan membutuhkan perlindungan,
petugas mengajukan surat permohonan perlindungan korban TPPO ke
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan/atau segera
dirujuk ke shelter/rumah aman. Apabila korban TPPO membutuhkan
intervensi medis dan guna kepentingan alat bukti (visum et repertum,
visum et psikiatrikum, surat keterangan psikolog), maka harus dirujuk
ke Rumah Sakit.
Ketiga, membantu korban TPPO untuk mengidentifikasi dan menyiap-
kan bukti-bukti yang ada seperti paspor/fotokopinya, kuitansi pemba-
yaran makan, kuitansi pembelian tiket pesawat, beserta boarding
pass, airport tax, surat kontrak kerja, slip pembayaran gaji, dan seba-
gainya. Keempat, pada setiap tahapan proses hukum, korban TPPO
wajib didampingi advokat, paralegal/pendamping hukum. Kelima,
menyediakan penerjemah yang mampu berkomunikasi dan menerje-
mahkan secara verbal dan tertulis, tersumpah, kompeten dan terlatih
mengenai TPPO dan pelayanan yang berprinsip Hak Asasi Manusia,
gender, dan anak (terlatih yang berperspektif Hak Asasi Manusia,
gender, dan anak). Penyediaan penerjemah disesuaikan kebutuhan
korban TPPO.
51
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
Box 9:
ALAT BUKTI/BARANG BUKTI DALAM KASUS TPPO
1. Alat bukti/barang bukti dalam kasus TPPO harus berdasarkan apa yang telah
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 39 ayat (1) KUHAP, yakni: a.
Keterangan Saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa;
f. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; h. benda yang
telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya; i. benda yang digunakan untuk menghalanghalangi penyelidikan
tindak pidana; j. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana; k. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
2. Pasal 29 UUPTPPO juga mengakui alat bukti/barang bukti berupa: a. informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: Pertama, tulisan, suara,
atau gambar; Kedua, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau Ketiga, huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau memahaminya. Bahkan, dalam Pasal 30 UUPTPPO
dinyatakan dengan tegas bahwa: “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan
seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah,
apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya”.
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik
sebagaimana yang dimaksud dengan dalam Pasal 29 UUPTPPO misalnya: data yang
tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan
lainnya seperti: a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan
kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau
korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang; b.
catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi
yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau c.
dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara
asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang
negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan
dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Sumber: Diolah berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang dan UU
No. 8 tahun 1981, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
52
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Box 10:
STANDAR PENGAMBILAN KETERANGAN DAN/ATAU KESAKSIAN
KORBAN TPPO DALAM PRESPEKTIF KORBAN
1. Pengambilan keterangan/kesaksian harus difokuskan untuk pemenuhan unsur pa-
sal dan harus dilakukan oleh petugas yang terlatih secara khusus untuk menangani
kasus TPPO, termasuk dilatih khusus untuk melakukan wawancara. (NB: Berha-
dapan dengan korban anak-anak, petugas yang menangani haruslah petugas yang
secara khusus dilatih untuk melakukan pemeriksaan terhadap anak-anak).
2. Atas permohonan korban, maka petugas yang mengambil keterangan harus ber-
jenis kelamin sama dengan korban.
3. Pengambilan keterangan/kesaksian harus dilakukan dalam lingkungan atau sua-
sana profesional, yang tidak konfrontatif dan tidak menyudutkan korban (non-
judgmental). Jika korban memilih untuk didengar keterangannya bukan di kantor
polisi, maka permohonan yang demikian haruslah dikabulkan, kecuali kepentingan
penyidikan mengharuskan lain.
4. Jika seorang korban mengajukan permohonan agar didampingi misalnya oleh se-
orang teman, pekerja sosial atau petugas dari lembaga swadaya masyarakat sela-
ma proses pemeriksaan berlangsung, maka keinginan itu harus dikabulkan. (NB:
Namun demikian, haruslah dijelaskan kepada korban bahwa pendamping tersebut
pada tahap penanganan perkara selanjutnya, tidaklah berkedudukan sebagai saksi).
5. Korban setiap saat diperkenankan pergi meninggalkan ruang pemeriksaan.
6. Pengambilan keterangan/kesaksian; jika kemungkinan, tidak boleh dilakukan lebih
dari dua jam.
7. Pertanyaan yang diajukan serta teknik/cara bertanya haruslah bersifat tidak me-
nyudutkan korban; sewaktu memeriksa korban petugas memeriksa tidak boleh
mengajukan pertanyaan yang mengesankan meragukan integritas (kejujuran)
korban, yakni pertanyaan yang memindahkan beban tanggungjawab atas kejaha-
tan yang dialami ke atas pundak korban atau yang secara langsung menyalahkan
korban atas derita yang dialaminya. Dalam kasus TPPO, pelacuran ataupun bentuk-
bentuk eksploitasi seksual lainnya, pertanyaan tentang riwayat seksual korban
yang tidak memiliki relevansi langsung dengan kasus yang sedang diperiksa tidak
boleh diajukan.
8. Jika diperlukan, pada waktu pengambilan keterangan/kesaksian korban, haruslah
disediakan penerjemah yang kompeten dan berkualitas.
Sumber: Diadopsi dari Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017,
hal. 62-63.
53
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
54
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
55
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
56
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Box 12:
RESTITUSI VERSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2014, TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006, TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
1. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga (Pasal 1 angka 11 UUPSK). Dalam pasal 7A ayat (1)
UUPSK, ditegaskan bahwa Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi
berupa: a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Ganti
kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai
akibat tindak pidana; dan/atau c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau
psikologis.
2. Terkait dengan restitusi, Pasal 7A ayat (3) s/d ayat (6) UUPSK, mengegaskan bahwa:
Pertama, Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); Kedua, Dalam hal permohonan
Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk
dimuat dalam tuntutannya; Ketiga, Dalam hal permohonan Restitusi diajukan
setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK
dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
Keempat, Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan
kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.
3. Dalam menyelenggarakan tugas, LPSK berwenang melakukan penilaian ganti rugi
dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi (Pasal 12A huruf j UUPSK).
Sumber: Diadopsi dari Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017,
hal. 153-154.
57
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
restitusi bagi korban TPPO dapat juga diajukan melalui dan/atau oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);
Ketiga, restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat
perkara diputus; Keempat, penitipan restitusi dalam bentuk uang di
pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Ketentuan ini disamakan dengan konsinyasi dalam proses
penanganan perkara perdata.
Tabel 3:
KONSINYASI MENURUT KUHPerdata
PENGERTIAN
Konsinyasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam
Pasal 1404 s/d Pasal 1412. Konsinyasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata
“Consignatie” yang berarti “Penitipan uang atau barang pada pengadilan guna
pembayaran satu utang”.
Dalam praktek hukum perdata, penitipan uang atau barang pada pengadilan guna
pembayaran satu utang harus diawali dengan penawaran kesiapan membayar
(Aanbod Van Gereede Betaling). Proses konsinyasi meliputi dua tahapan yang meliputi
penawaran dan penitipan uang atau barang. Penawaran dan penitipan pada proses
konsinyasi haruslah disahkan dengan penetapan hakim.
Konsinyasi hanya mungkin dilakukan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang
atau menyerahkan barang-barang bergerak. Konsinyasi tidak berlaku bagi
perikatan/perjanjian untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk
barang-barang tidak bergerak.
SYARAT DAN MEKANISME KONSINYASI
Ada tiga syarat yang diamanatkan dalam Pasal 1405 KUHPerdata, terkait dengan
sahnya penawaran dalam terkait dengan Konsinyasi, yakni: Pertama, penawaran
harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya; Kedua, dilakukan oleh orang yang
berwenang melakukan pembayaran; Ketiga, penawarah harus meliputi: a. Seluruh
uang pokok; b. Bunga; c. Biaya yang telah ditetapkan; d. Uang untuk biaya yang belum
ditetapkan.
Penawaran harus dilakukan di tempat, di mana menurut persetujuan pembayaran
harus dilakukan, jika tidak ada persetujuan khusus maka penawaran harus ditujukan
kepada kreditur pribadi atau tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang
telah dipilih kreditur.
Penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita kedua-duanya disertai
dua orang saksi. Dengan diterimanya penawaran pembayaran, maka telah terjadi
pembayaran, akan tetapi jika penawaran pembayaran pembayaran tidak diterima,
maka debitur dapat menitipkan apa yang ditawarkan.
58
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Menurut Pasal 1406 KUHPerdata, penitipan uang atau barang dalam proses konsinyasi
adalah sah apabila telah memenuhi sejumlah syarat, yakni: Pertama, sebelum peni-
tipan, kreditur harus diberitahukan tentang hari, jam dan tempat dimana barang yang
ditawarkan akan disimpan; Kedua, debitur telah melepas barang yang ditawarkan,
dengan menitipkannya kepada kas penyimpanan atau penitipan di Kepaniteraan Pe-
ngadilan, akan mengadilinya Jika terjadi perselisihan, disertai bunga sampai pada
hari penitipan;
Ketiga, oleh Notaris atau Juru Sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi, dibuat se-
pucuk surat pemberitahuan, yang menerangkan wujudnya mata uang yang ditawar-
kan, penolakan kreditur atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya dan akhirnya
tentang penyimpanannya sendiri; Keempat, yang berutang mengajukan permohonan
tentang penawaran pembayaran dan penitipan tersebut ke Pengadilan Negeri yang
meliputi tempat di mana persetujuan pembayaran harus dilakukan (debitur sebagai
pemohon dan kreditur sebagai termohon). Kelima, dalam hal tidak ada persetujuan,
maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri di mana termohon (si berpiutang
pribadi) bertempat tinggal atau tempat tinggal yang dipilihnya; Keenam, permohonan
konsinyasi di daftar dalam register permohonan;
Ketujuh, Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri dengan
disertai dua orang saksi, dituangkan dalam surat penetapan untuk melakukan pe-
nawaran pembayaran kepada si berpiutang pribadi di tempat tinggal atau di tempat
tinggal pilihannya; Kedelapan, juru sita dengan disertai dua orang saksi menjalankan
perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut dan dituangkan dalam Berita Acara
tentang Pernyataan Kesediaan untuk Membayar (aanbod van gereede betaling);
Kesembilan, juru sita membuat berita acara pemberitahuan karena pihak berpiutang
menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan (konsignasi) di kas
kepaniteraan Pengadilan Negeri yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang
telah ditentukan dalam berita acara tersebut; Kesepuluh, Pada waktu yang telah
ditentukan, juru sita dengan diserta dua orang saksi menyerahkan uang tersebut
kepada panitera pengadilan negeri dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya
untuk disimpan dalam kas kepaniteraan pengadilan negeri sebagai uang konsignasi;
Kesebelas, agar supaya pernyataan kesediaan untuk membayar yang diikuti dengan
penyimpanan tersebut sah dan berharga, harus diikuti dengan pengajuan permoho-
nan oleh siberhutang terhadap berpiutang sebagai termohon kepada pengadilan ne-
geri, dengan petitum: (1). Menyatakan sah dan berharga penawaran pembayaran dan
penitipan sebagwai konsignasi; (2). Menghukum pemohon membayar biaya perkara.
AKIBAT HUKUM KONSINYASI
Penawaran yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi) merupakan pembayaran yang
memebebaskan debitur dari perikatan. Pembebasan tersebut mengakibatkan: a.
Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi atau pembatalan
perjanjian timbal balik dari kreditur dengan mengemukakan adanya konsinyasi. b.
Debitur tidak lagi berutang bunga, sejak hari penitipan. c. Sejak penitipan kreditur
59
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
menanggung risiko atas barangnya. d. Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat
menuntut prestasi kreditur.
Meskipun konsinyasi menimbulkan akibat hukum membebaskan debitur dan berlaku
sebagai pembayaran karena perikatan hapus, adalah tidak tepat dan kurang
mencerminkan keadilan karena berdasarkan ketentuan Pasal 1408 KUHPerdata yang
mengatakan bahwa selama kreditur tidak menerimanya, debitur dapat mengambilnya
kembali, hal tersebut tidak mungkin, jika perikatan hapus karena konsinyasi. Dalam
situasi seperti ini pembebasan debitur tidak bersifat tetap, sebab sebelum kreditur
menerima apa yang ditawarkan dan dititipkan debitur dapat mengambil kembali, baru
definitif jika kreditur menerimanya.
Debitur tidak dapat mengambil kembali barangnya dan utangnyapun hapus secara
definitif, jika telah ada penetapan hakim yang menyatakan penawaran pembayaran
dan penitipan adalah sah dan berharga dan mempunyai kekuatan hukum, karena
penetapan konsinyasi dimungkinkan adanya upaya hukum kasasi.
Sumber: Diadopsi dari Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017,
hal. 155-157.
Kelima, restitusi untuk korban TPPO atau ahli warisnya diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang per-
kara TPPO; Keenam, pemberian restitusi ini dilaksanakan sejak dija-
tuhkan putusan pengadilan tingkat pertama; Ketujuh, pemberian
restitusi dilakukan dalam empat belas hari terhitung sejak diberita-
hukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Kedelapan, pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua
pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti
pelaksanaan pemberian restitusi tersebut;
Kesembilan, setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti pelaksa-
naan pemberian restitusi, Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksa-
naan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan
dan salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi disampaikan
oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya; Kesepuluh, jika
pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi
sampai melampaui batas waktu empat belas hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka korban TPPO atau ahli warisnya memberitahukan hal ter-
sebut kepada Pengadilan;
60
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tabel 4:
PERBEDAAN ANTARA UUPTPPO DENGAN KUHPerdata TERKAIT
PENITIPAN GANTI RUGI DI PENGADILAN
PENITIPAN RESTITUSI DI
NO KONSINYASI MENURUT KUHPerdata
PENGADILAN VERSI UUPTPPO
1 Restitusi merupakan putusan pida- Merupakan hubungan perdata antara
na yang sekaligus dilaksanakan se- pihak Debitur dan Kreditur yang dimung-
suai dan disamakan dengan proses kinkan dilaksanakan sebelum adanya
penanganan perkara perdata dalam perkara atau sementara perkara ber-
kon-sinyasi (Pasal 48 ayat 5) jalan sebelum diputus.
2 Restitusi diberikan dan dicantum- Jika Kreditur menolak pembayaran,
kan sekaligus dalam amar putusan maka oleh Debitur melakukan penawa-
pengadilan dalam perkara TPPO ran pembayaran tunai atau penyerahan
(Pasal 48 ayat 3) barang sebagai pembayaran tunai atau
penyerahan barang sebagai pembayaran
utang kepada kreditur. Bila kreditur
menolak maka Debitur dapat menitip-
kannya ke Pengadilan
3 Atas perintah Hakim dalam perkara Agar konsinyasinya sah, tidak perlu ada-
pidana, restitusi dititipkan lebih da- nya kuasa Hakim cukup dengan menitip-
hulu di Pengadilan (Pasal 48 ayat 5) kan pada kuasa/penyimpanan di kepani-
traan Pengadilan yang akan menangani
perkaranya
4 Penitipan restitusi dalam bentuk Penitipan oleh Debitur dapat berupa
uang di Pengadilan (Penjelasan barang atau uang tunai (seluruh utang
Pasal 48 ayat 1) pokok dan bunga)
5 Restitusi merupakan pembayaran Penawaran dapat dilakukan oleh notaris
riil (factual) dari jumlah restitusi dilakukan oleh notaris atau jurusita pe-
yang diputus yang sebelumnya di- ngadilan dengan masingmasing disertai
titipkan pada pengadilan tingkat 2 orang saksi. Penitipan dapat dilakukan
pertama (Pasal 48 ayat 6) pada kas penyimpanan atau di penitipan
pada kepanitraan pengadilan yang akan
mengadili perkaranya.
Sumber: Diadopsi dari, IOM, Pedoman Penegakan Hukum dan perlindungan Korban Dalam Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit International Organization for Migration (IOM) Indonesia,
Jakarta, 2008, hal. 55.
61
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
62
4
TAHAPAN PEMULANGAN
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
64
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
65
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
66
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
67
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
68
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
69
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
70
5
TAHAPAN TERMINASI
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
72
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tabel 6:
TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI BANTUAN REINTEGRASI SOSIAL
No Point Tantangan Potret Tantangan
1 Kurangnya Manajemen kasus memainkan peran penting
manajemen kasus dalam mengantisipasi dan menangani isu-isu
dan dukungan dan masalah yang mungkin dihadapi oleh kor-
reintegrasi sesuai ban TPPO selama reintegrasi. Namun, di Indone-
kebutuhan korban sia, manajemen kasus individu secara umum
TPPO lemah bahkan tidak ada. Penilaian (assessment)
kebutuhan jarang dilakukan; penyedia layanan
jarang merancang rencana reintegrasi dengan
korban TPPO. Bantuan biasanya merupakan se-
buah paket standar bantuan yang diberikan satu
kali atau berupa layanan jangka pendek.
Kurangnya pekerja sosial profesional di tingkat
komunitas memberikan kontribusi terhadap ku-
rangnya manajemen kasus dan dukungan rein-
tegrasi yang sesuai kebutuhan di Indonesia.
Minimnya manajemen kasus dan tindak lanjut
dari penyedia layanan dapat menyebabkan kon-
sekuensi negatif dan bahkan kegagalan proses
reintegrasi korban TPPO.
2 Kurangnya informasi Kurangnya informasi tentang bantuan, menga-
tentang bantuan bagi kibatkan banyak korban TPPO yang tidak me-
korban TPPO ngetahui bantuan apa yang akan mereka dapat-
73
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
74
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
75
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
76
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tabel 7:
GAMBARAN PROGRAM TERKAIT REINTEGRASI SOSIAL
BAGI KORBAN TPPO
No Point Tantangan Potret Tantangan
1 Rekomendasi untuk • Program bantuan bagi korban TPPO harus
mendukung individu bersifat jangka panjang dan komprehensif
korban TPPO yang ditujukan untuk reintegrasi.
• Program bantuan bagi korban TPPO harus
memenuhi semua kebutuhan korban dan
mengatasi semua kerentanan.
• Menawarkan dan memastiakn bantuan ke-
pada semua korban TPPO.
• Meningkatkan akses para korban TPPO
terhadap layanan di tingkat desa.
• Memastikan bahwa kebutuhan spesifik
terkait TPPO diidentifikasi dan ditangani.
• Meningkatkan peran dan kompetensi pe-
kerja sosial di tingkat lokal.
• Melindungi hak-hak korban TPPO ketika
membantu para anggota keluarga.
2 Rekomendasi untuk • Mengidentifikasi dampak dari perdaga-
bekerja dengan ngan orang terhadap keluarga korban
keluarga korban TPPO TPPO.
• Memasukkan anggota keluarga korban
TPPO dalam pemberian bantuan.
• Memahami dan mengakomodir latar
(setting) keluarga di semua kerja-kerja
reintegrasi.
• Menawarkan peluang untuk mediasi
keluarga dan konseling.
• Menyediakan bantuan yang
memperhitungkan berbagai kebutuhan
dan situasi korban TPPO (dengan keluarga
mereka yang berbeda, konstelasi dan
kebutuhan).
77
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
78
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
79
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
80
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
81
6
DINAMIKA PENANGANAN KORBAN
TPPO DAN TANTANGANNYA
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
84
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
4. Belum optimalnya mekanisme koordinasi sub gugus tugas di Pusat dan di Daerah.
5. Belum optimalnya mekanisme pengumpulan data TPPO di Pusat maupun di
Daerah.
6. Belum optimalnya pelayanan untuk korban TPPO, terutama pelayanan pemulangan
dan reintegrasi korban di daerah masing-masing.
7. Belum ada kepastian jaminan kesehatan bagi korban TPPO termasuk visum dalam
konteks Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, karena BPJS
berbasis kartu anggota.
8. Belum memadainya, sistem pembiayaan dalam penanganan korban TPPO di luar
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
9. Belum jelasnya alokasi anggaran di masing-masing daerah untuk mendukung
penanganan TPPO.
10. Belum memadainya fasilitas pada Rumah Perlindungan Trauma Center, Rumah
Perlindungan Sosial Wanita, Rumah Pelayanan Sosial Anak dan lembaga lain yang
menangani korban TPPO di Daerah.
11. Terbatasnya jumlah Rumah Perlindungan Trauma Center, Rumah Perlindungan
Sosial Wanita, Rumah Pelayanan Sosial Anak dan lembaga lain yang menangani
korban TPPO di daerah.
12. Terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan teknis dalam
menangani korban TPPO.
13. Belum optimalnya kerjasama multilateral, bilateral, regional misalnya masih ada
kesenjangan dalam hukum nasional masing-masing dengan komitmen-komitmen
internasional.
Sumber: Diadopsi dari PIAR NTT, Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kendala Penanganannya, Catatan
Akhir Tahun, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2015.
85
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
86
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
87
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
88
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
89
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
Tabel 9:
SISTEM ADMINISTRASI DALAM PENANGANAN KORBAN TPPO
PENGERTIAN
Sistem administrasi terkait dengan penanganan korban TPPO pada Pusat Pelayanan
Terpadu meliputi: Pertama, administrasi perkantoran yang meliputi tata usaha dan
kegiatan teknis administratif untuk mendukung terselenggaranya pelayanan bagi
korban TPPO. Kedua, administrasi pelayanan yang mencakup kegiatan teknis
administratif yang menyangkut prasyarat, prosedur, teknis, dan materi-materi yang
terkait dengan pelayanan bagi saksi dan/atau korban.
ADMINISTRASI PERKANTORAN ADMINISTRASI PELAYANAN
Sistem adminstrasi perkantoran terdiri dari:
Sistem adminstrasi pelayanan terdiri
1. Penyusunan rencana program dan dari:
anggaran;
1. Pembahasan kasus;
2. Pengurusan keuangan; 2. Penyediaan file rekam kasus dan
3. Pendokumentasian file-file administrasi lembar monitoring korban;
perkantoran; 3. Pengisian file korban;
4. Pencatatan dan pemeliharaan barang 4. Pengisian lembar monitoring
inventaris; korban;
5. Pemeliharaan peralatan dan sarana untuk 5. Menginput data tentang korban;
kegiatan; 6. Pengaturan mekanisme program;
6. Pengaturan kerja para pelaksana seperti 7. Penyusunan jadwal kegiatan
absensi dan jadwal kegiatan sehari-hari; program;
8. Menjalin kerjasama dengan
7. Pengaturan pengembangan kemampuan
berbagai pihak untuk
pelaksana dan pendokumentasian
implementasi pelayanan bagi
materi-materinya;
korban.
8. Pembuatan laporan, dokumentasi dan
diseminasinya ke lembaga/instansi yang
terkait dan Sekretariat Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan TPPO di
level pemerintah dimana Pusat Pelayanan
Terpadu berada.
Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi
Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
90
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
LAMPIRAN 1:
94
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
95
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
96
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
97
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
34. Reintegrasi sosial adalah penyatuan kembali korban tindak pidana per-
dagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang
dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi kor-
ban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan
bahwa korban benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko
bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut (Penjelasan Pasal 51 ayat
(1) UUPTPPO).
35. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
atas kerugian materil dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli
warisnya (Pasal 1 Angka 13 UUPTPPO).
36. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan
tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 Angka 4 UUPTPPO).
37. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serang-
kaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentu-
kan dalam UUPTPPO (Pasal 1 Angka 2 UUPTPPO).
98
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
LAMPIRAN 2:
99
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
100
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
LAMPIRAN 3:
Latar Belakang
Pada tanggal 15 September 2000 Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP)
yang berkantor di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mendirikan
Rumah Perempuan di Kota Kupang, sebagai Women Crisis Centre (WCC) dan
bersifat organisasi nirlaba. Pembentukan Rumah Perempuan Kupang dilatar
belakangi adanya ketidakadilan gender dalam ranah keluarga, masyarakat
dan negara yang melahirkan berbagai persoalan. Persoalan lebih banyak
dialami oleh perempuan, anak dan masyarakat miskin seperti: tingginya
kekerasan terhadap perempuan, kematian ibu hamil melahirkan, busung
lapar, gizi buruk, buta huruf, penggangguran dan lain-lain.
Dengan realita yang demikian, beberapa individu yang memiliki kepedulian
terhadap persoalan ketidakadilan gender sehingga mendirikan Rumah Pe-
rempuan Kupang. Berbeda dengan organisasi induknya yang beroperasi di
Kabupaten TTS. Rumah Perempuan Kupang lebih memfokuskan area ker-
janya di wilayah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Pendirian Rumah
Perempuan Kupang bertujuan untuk merespon berbagai tindak kriminal yang
terjadi di Kota Kupang dengan memberikan pelayanan dan pendampingan
langsung terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Pertengahan tahun 2005 Rumah Perempuan Kupang melakukan perenca-
naan strategis lembaga untuk melihat kembali posisinya terhadap berbagai
persoalan sosial kemasyarakatan di Kota Kupang. Melalui perencanaan stra-
tegis, Rumah Perempuan Kupang memutuskan untuk tidak lagi jadi Women
Crisis Centre (WCC) walaupun isu kekerasan terhadap perempuan dan anak
korban kekerasan tetap menjadi salah satu isu yang dikerjakan Rumah Pe-
rempuan Kupang. Isu lain yang menjadi fokus perhatian Rumah Perempuan
101
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
Kupang adalah persoalan kesehatan ibu dan anak serta isu tindak pidana
perdagangan orang.
Visi
Terciptanya lembaga yang memiliki sumber daya yang profesional, eksis dan
konsisten terhadap perjuangan keadilan gender sehingga tercapainya relasi
laki-laki dan perempuan yang adil, demokratis, damai dan sejahtera pada
semua level.
Misi
1. Mewujudkan pendampingan dan pelayanan terhadap perempuan dan
anak korban kekerasan secara terpadu dan prima yang didukung oleh
sarana prasarana yang memadai sesuai dengan kebutuhan korban.
2. Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kapasitas perempuan dan
laki-laki tentang isu hak asasi manusia, kesehatan reproduksi,
kekerasan terhadap perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap
berbagai program pembangunan dan posisi strategis baik dalam
lembaga formal maupun nonformal.
3. Mengembangkan dan mempromosikan pangan lokal sebagai komo-
ditas unggulan sebagai salah satu upaya peningkatan pendapatan
masyarakat dampingan melalui berbagai usaha tani dan usaha
produktif lainnya dengan mitra pada pihak lain.
4. Memperjuangkan adanya komitmen pemerintah, swasta dan LSM serta
semua pihak untuk memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan
terhadap perempuan dan anak, termasuk buruh migran dalam melaku-
kan perubahan dan pembuatan kebijakan yang tidak diskriminatif ser-
ta melestarikan nilai-nilai budaya yang berpihak pada keadilan gender
dalam rangka mengimbangi budaya luar yang merugikan masyarakat.
5. Meningkatkan kapasitas staf terkait dengan bidang-bidang yang
digeluti SSP/RP dan merekrut staf yang sesuai dengan latar belakang
pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan oleh lembaga serta
mengupayakan peluang-peluang kemitraan dengan pihak pemerintah,
swasta, NGO dan pihak lainnya yang tidak mengikat termasuk
Fundraising mandiri lembaga demi mendukung tersedianya sarana
prasarana yang memadai untuk melaksanakan pelayanan yang optimal
dan berkelanjutan.
102
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Isu Strategis
1. Bagaimana meminimalisir eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak melalui penguatan hak-hak perempuan dan anak
yang mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi.
2. Bagaimana memperkuat ekonomi perempuan dan masyarakat miskin
melalui pemberdayaan ekonomi.
3. Bagaimana memperbesar akses masyarakat miskin, perempuan dan
anak pada layanan kesehatan dasar.
4. Bagaimana memperkuat kapasitas lembaga melalui kerja jaringan
ditingkat lokal, regional dan nasional.
Struktur Organisasi
Libby SinlaEloE (Direktur), Rahmawaty Bagang (Koordinator Divisi Pendampi-
ngan dan Advokasi), Imelda Dally (Koordinator Divisi Penguatan Kapasitas),
Nurkasrih Umar (Koordinator Divisi Publikasi & Informasi), Magdalena Taneo
(Koordinator Admin dan Keuangan), Helena Korang (Staf Admin), Sepi Tapehe
& Hofni Tefbana (Staf Divisi Pendampingan).
103
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
DAFTAR BACAAN
104
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
11. PIAR NTT, Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kendala Penanga-
nannya, Catatan Akhir Tahun, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2015.
12. Rebecca Surtees, Melangkah Maju; Reintegrasi Korban Perdagangan
Orang (Trafficking) di Indonesia dalam Keluarga dan Masyarakat (Ring-
kasan Laporan), Penerbit NEXUS Institute, Washington DC, 2017.
13. Rebecca Surtees, Laura S. Johnson, Thaufiek Zulbahary dan Suarni
Daeng Caya, Pulang ke Rumah. Tantangan dalam Reintegrasi Korban
Perdagangan Orang (Trafficking) di Indonesia, Penerbit NEXUS Institute,
Washington DC, 2016.
14. Rena Yulia, Mengkaji Kembali Posisi Korban Kejahatan Dalam Sistem Per-
adilan Pidana, Jurnal MIMBAR HUKUM Vol. 28, No. 1, Februari 2016.
15. Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada
Rumah Perempuan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.
16. Supriyadi Widodo Eddyono dan Zainal Abidin, Memastikan Pemenuhan
Hak atas Reparasi Korban Pelanggaran HAM Yang Berat, Penerbit
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta, 2016.
17. Theo van Boven, Tentang Mereka yang Menjadi Korban: Kajian Terhadap
Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Penerbit Lem-
baga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001.
18. Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1, Penerbit Yayasan Gandum
Mas, Jakarta, 1981.
19. Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktik Kompensasi di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW),
Jakarta, 2007.
B. PRODUK HUKUM:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981, Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014, Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
105
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
106
TENTANG PENULIS
107
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
108
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
109
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE
110