Anda di halaman 1dari 112

PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

PENANGANAN KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Rumah Perempuan Kupang


Didukung oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia
2019
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Oleh: Paul SinlaEloE dan Libby SinlaEloE

Editor: Yedityah Tridarty Mella


Desain sampul dan isi: Ragil Sukriwul
Penyelia Aksara: Tim Rumah Perempuan

Cetakan pertama, 2019


Ukuran: 13,5 x 20 cm
Jumlah Halaman: 110 hal.

Diterbitkan oleh Rumah Perempuan Kupang


Dengan dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia

ISBN: 978-602-96517-0-6

© Hak Cipta pada Penulis dan Penerbit


Hak Cipta dilindungi undang-undang. Diperbolehkan mengutip atau menggandakan
sebagian isi buku selama tidak untuk kepentingan komersial.
KATA PENGANTAR

Keberadaan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam


sistem peradilan pidana harus mendapat perhatian serius. Seringkali
korban yang telah menderita kerugian akibat dari suatu TPPO,
terabaikan hak-haknya. Posisi korban TPPO sebagai pencari keadilan
tak lagi mendapat keadilan yang diinginkannya.
Pemenuhan keadilan bagi korban TPPO tidak cukup dengan dipidana-
nya pelaku, melainkan harus sampai pada dipulihkannya kerugian
penderitaan korban akibat TPPO. Untuk itu, penanganan korban TPPO
demi pemenuhan serta terjaminnya hak-haknya adalah sesuatu yang
mutlak diperlukan.
Sebagai wujud kepedulian terhadap korban TPPO dan dalam rangka
pemenuhan serta terjaminnya hak-hak dari korban TPPO, maka Ru-
mah Perempuan Kupang dengan dukungan Kementerian Pemberda-
yaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengha-
dirkan buku berjudul: Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Buku berkategori panduan yang didesain secara praktis ini, terdiri dari
enam bagian dan pada intinya menguraikan tentang penanganan
korban TPPO, mulai dari tahapan penerimaan pengaduan, tahapan
reparasi, tahapan pemulangan sampai dengan tahapan terminasi.
Pada akhirnya, buku ini diharapkan bisa menjadi pegangan dasar yang
dapat menunjang setiap orang untuk melakukan kerja-kerja penanga-
nan korban TPPO. Terima kasih dan semoga bermanfaat.
Kupang, Januari 2019
Libby SinlaEloE
Direktur Rumah Perempuan Kupang

5
PRAKATA

Secara yuridis, penanganan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang


(TPPO) adalah tanggungjawab Negara dan masyarakat diharapkan
untuk berperan serta. Itulah mengapa para pengambil kebijakan telah
mendesain sistem dalam penanganan korban TPPO secara terpadu
dan komprehensif yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Sistem
penanganan korban TPPO ini, dilegitimasi dengan sejumlah instrumen
hu-kum, yakni: Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang; Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Tata Cara
dan Mekanisme Layanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang; Keempat, Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 69 Tahun 2008, Tentang Gugus Tugas Pencegahan
dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Kelima, Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Re-
publik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012, Tentang Panduan Pembentu-
kan dan Penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang; dan Keenam, Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaya-
nan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Walaupun demikian, hingga saat ini masih banyak pihak yang belum
memahami secara sempurna sistem penanganan korban TPPO.
Parahnya lagi, ada juga pihak-pihak yang sudah sering terlibat dalam

6
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

penanganan korban TPPO, namun tidak mengetahui mekanisme dan


prinsip-prinsip dalam penanganan korban TPPO. Konsekuensinya, kor-
ban TPPO yang ditangani tidak mendapatkan pelayanan yang optimal
dan sejumlah haknya menjadi terabaikan. Bahkan dalam beberapa
kasus TPPO, korban TPPO dipersalahkan (victim blaming) karena di-
anggap memberikan kontribusi pada terjadinya TPPO.
Bertolak dari realita yang demikian dan dalam rangka membangun pe-
mahaman para pihak terkait dengan penanganan korban TPPO, maka
penulis tergerak untuk merangkum poin penting dari sejumlah instru-
men hukum terkait penanganan korban TPPO, mengambil intisari dari
pengalaman pihak lain yang terdapat dalam literatur tentang TPPO dan
kemudian memadukannya dengan pengalaman penulis dalam melaku-
kan advokasi berbagai kasus TPPO (termasuk pengalaman penulis
dalam menangani korban TPPO), lalu menuangkannya dalam buku ini.
Secara substansi, buku ini menggambarkan tentang apa, mengapa
dan bagaimana seharusnya melakukan penanganan terhadap korban
TPPO. Buku berkategori panduan yang didesain secara praktis ini, ter-
diri dari enam bagian dan pada intinya menguraikan tentang penanga-
nan korban TPPO, mulai dari tahapan penerimaan pengaduan, tahapan
reparasi, tahapan pemulangan, sampai dengan tahapan terminasi.
Buku Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ini diha-
rapkan dapat menunjang setiap orang untuk melakukan kerja-kerja
penanganan korban TPPO. Untuk itu, buku ini ditulis dengan memper-
gunakan gaya penulisan ilmiah populer dan dibahasakan secara lugas
dan sederhana. Dengan harapan bisa jadi mudah dimengerti dan
dipahami oleh khalayak luas dengan pelbagai latar belakangnya.
Mengingat bahwa tidak ada karya yang sempurna, maka kritik dan sa-
ran demi kesempurnaan buku sangat diharapkan. Untuk itu, sebelum-
nya kami ucapkan limpah terima kasih.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada
para pihak yang secara sadar maupun tidak, telah berkontribusi dalam
segala hal yang berkaitan dengan penulisan dan penyelesaian buku ini.

7
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Para pihak tersebut diantaranya adalah teman-teman seperjuangan di


PIAR NTT, IRGSC, Rumah Perempuan Kupang dan LAKMAS Cendana
Wangi, terutama Sarah Lery Mboeik, Conny Tiluata, Ata Taga, Juliana
Ay, Elcid Li, Jonatan Lassa, Ermi Ndoen, Randy Banunaek, Ragil Sukri-
wul, Yadi Diaz, Lommi Dida Kini, Carmelo Daniel, Ardy Milik, Peringatan
Zendrato, Greg Daeng, Arthurio Oktavianus, Agustinus Wahyono, Gilian
Bogart, Imelda Dally, Watty Bagang, Nurkasrih Umar, Magdalena Taneo,
Helena Korang, Sepi Tapehe, Hofni Tefbana, Victor Manbait, Oddy
Mesakh, Alfons Lena Heo, Echa Djami, Yevendi Sariman, Juwita Boboy,
Deny Fernandez, Olyvianus Dadi Lado, Windy P. Suwarno, Yes Balle dan
Cornelius Selan.
Akhirnya, buku ini didedikasikan untuk Mantan Direktur Yayasan Alfa
Omega, Alm. Pdt. Emr. Ishak Nicolas Frans (1939-2018) yang hidupnya
telah dipersembahkan untuk memanusiakan manusia dan keabadian
lingkungan. Dalam berbagai diskusi informal dengannya, penulis
selalu diajarkan apa yang diyakininya, yakni: “Menangani dan/atau
melayani korban (termasuk korban TPPO) adalah salah satu wujud
pengabdian pada Allah”. Meskipun beliau tidak sempat membaca “hasil
desakan”-nya ini tetapi, penulis yakin, beliau tentu akan tersenyum di
alamnya jika mengetahui kehadiran buku ini.
Tarus Raya, Januari 2019
Penulis

8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ~ 5
PRAKATA ~ 7
DAFTAR ISI ~ 11
DAFTAR TABEL, BAGAN & BOX ~ 13

Bagian 1 Konsep Penanganan Korban TPPO ~ 13

Bagian 2 Tahapan Penerimaan Pengaduan ~ 23


 Penanganan Pengaduan Kasus TPPO ~ 25
 Pengidentifikasian Korban TPPO ~ 29

Bagian 3 Tahapan Reparasi ~ 39


 Rehabilitasi Kesehatan Korban TPPO ~ 41
 Rehabilitasi Sosial Korban TPPO ~ 45
 Bantuan Hukum Untuk Korban TPPO ~ 52
 Restitusi Bagi Korban TPPO ~ 58

Bagian 4 Tahapan Pemulangan ~ 65


 Pemulangan Korban TPPO ~ 66

Bagian 5 Tahapan Terminasi ~ 73


 Reintegrasi Sosial Korban TPPO ~ 74

9
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Bagian 6 Dinamika Penanganan Korban TPPO


dan Tantangannya ~ 85
 Aspek Sinergitas dalam Penanganan Korban TPPO ~ 87

LAMPIRAN-LAMPIRAN ~ 95
DAFTAR BACAAN ~ 106
TENTANG PENULIS ~ 109

10
DAFTAR TABEL, BAGAN DAN BOX

A. TABEL:
 Tabel 1: Wawancara dan Observasi dalam Penanganan Korban TPPO
 Tabel 2: Pelayanan Medis bagi Korban TPPO Sesuai Fasilitas
Kesehatan
 Tabel 3: Konsinyasi Menurut KUHPerdata
 Tabel 4: Perbedaan antara UUPTPPO dengan KUHPer data Terkait
Penitipan Ganti Rugi di Pengadilan
 Tabel 5: Memaknai Keluarga dan Keluarga Pengganti
 Tabel 6: Tantangan dalam Implementasi Bantuan Reintegrasi Sosial
 Tabel 7: Gambaran Program Terkait Reintegrasi Sosial Bagi Korban
TPPO
 Tabel 8: Gambaran Sinergitas Peran dalam Penanganan Korban
TPPO
 Tabel 9: Sistem Administrasi dalam Penanganan Korban TPPO
B. BAGAN:
 Bagan 1: Alur Penanganan Korban
 Bagan 2: Pelaku TPPO Versi UUPTPPO
C. BOX:
 Box 1: Tips Dalam Penerimaan Pengaduan
 Box 2: Memahami Visum et Repertum
 Box 3: Penjangkauan Korban TPPO
 Box 4: Tips Dalam Mewawancarai Korban TPPO
 Box 5: Tips Dalam Melakukan Rujukan Lintas Sektor

11
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

 Box 6: Tips Dalam Mewawancarai Korban TPPO yang Berusia Anak


 Box 7: Protap Rumah Aman/Shelter versi Rumah Perempuan Kupang
 Box 8: Protap Konseling & Bimbingan Rohani versi Rumah
Perempuan Kupang
 Box 9: Alat Bukti/Barang Bukti dalam Kasus TPPO
 Box 10: Standar Pengambilan Keterangan dan/atau Kesaksian
Korban TPPO dalam Perspektif Korban
 Box 11: Perlakuan Terhadap Korban dalam Penegakan Hukum Kasus
TPPO Versi UUPTPPO
 Box 12: Restitusi Versi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
 Box 13: Kendala dalam Penanganan Korban TPPO

12
1
KONSEP PENANGANAN KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

K orban merupakan pihak yang dirugikan dalam Tindak Pidana


Perdagangan Orang (TPPO). Kerugian yang dialami oleh Korban
TPPO ini dapat berupa kerugian materil dan/atau imateril. Korban
TPPO berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 21 Tahun 2007, Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Orang (UUPTPPO), dipahami sebagai
seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,
ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO. Dengan pengertian
yang seperti ini, maka siapa saja bisa menjadi korban TPPO, baik itu
berjenis kelamin laki-laki, berjenis kelamin perempuan, orang dewasa
maupun anak (belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan), kaya ataupun miskin, dan sebagainya.
Sebagai wujud kepedulian Negara terhadap korban TPPO, para pe-
ngambil kebijakan telah merumuskan sejumlah hak korban dalam
UUPTPPO. Hak-hak dari korban TPPO itu adalah: Pertama, hak untuk
dilindungi dan memperoleh rasa aman (Pasal 43 Jo. Pasal 45 ayat (1)
Jo. Pasal 46 ayat (1) Jo. Pasal 47 UUPTPPO); Kedua, hak untuk mem-
peroleh kerahasiaan identitas (Pasal 44 UUPTPPO); Ketiga, hak untuk
memperoleh restitusi/ganti rugi (Pasal 48 UUPTPPO); Keempat, hak
untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemula-
ngan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila korban mengalami
penderitaan fisik maupun psikis akibat TPPO (Pasal 51 UUPTPPO).
Kerangka Penanganan Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Penanganan korban TPPO adalah bagian yang terpisahkan dari sistim
peradilan pidana. Penanganan korban TPPO merupakan rangkaian
aktivitas atau tindakan yang dilakukan secara terpadu untuk mem-
berikan layanan dalam konteks pemulihan/rehabilitasi dalam aspek
kesehatan, aspek sosial dan aspek hukum bagi korban TPPO. Dengan
pemahaman yang seperti ini maka pemenuhan hak korban untuk
mendapatkan keadilan serta mengembalikan kondisi korban baik
secara fisik, psikis, dan sosial-ekonominya yang terzalimi, sebagai

14
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

akibat dari TPPO, adalah substansi dari model-model penanganan


korban TPPO.
Secara yuridis, penanganan korban TPPO merupakan bagian dari
proses perlindungan terhadap korban TPPO dan merupakan tanggung
jawab Negara. Hal ini sesuai dengan kontrak politik antara rakyat
dengan negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, yang pada intinya menyebutkan bahwa salah satu
tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam upaya penanganan korban TPPO, masyarakat diharapkan untuk
berperan serta membantu (Pasal 60 ayat (1) UUPTPPO). Peran serta
masyarakat dalam penanganan korban TPPO, diwujudkan dengan
turut serta dalam menangani korban TPPO (Pasal 60 ayat (2)
UUPTPPO). Untuk tujuan penanganan korban TPPO, pemerintah wajib
membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik
nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang
berlaku (Pasal 61 UUPTPPO).
Masyarakat dalam melaksanakan peran sertanya, berhak untuk
memperoleh perlindungan hukum antara lain perlindungan atas
keamanan pribadi, kerahasiaan identitas diri atau penuntutan hukum
sebagai akibat melaporkan secara bertanggung jawab TPPO (Pasal 62
UUPTPPO dan penjelasannya). Peran serta masyarakat harus dilaksa-
nakan secara bertanggung jawab (Pasal 63 UUPTPPO).
Pada tataran operasional, penanganan korban TPPO harus dilakukan
sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008, tentang
Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP No. 9 Tahun 2008),
yakni: Pertama, dilakukan secara terpadu dan meliputi pelayanan
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi
sosial, termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum (Pasal 4 ayat
(1) Jo. Pasal 14 ayat (1) PP No. 9 Tahun 2008);

15
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Kedua, dalam rangka memberikan pelayanan yang optimal kepada


korban TPPO, penyelenggaraan Pusat Pelayanan Terpadu harus ber-
sifat integratif antar instansi atau lembaga (Lembaga Sosial Masyara-
kat atau Lembaga Bantuan Hukum) yang melakukan pendampingan
korban TPPO. Penyelenggaraan Pusat Pelayanan Terpadu yang ber-
sifat integratif ini, dapat berupa satu atap dimana Pusat Pelayanan
Terpadu bertanggungjawab melaksanakan keseluruhan proses dalam
satu kesatuan unit kerja yang memberikan pelayanan yang diperlukan
korban TPPO, maupun berjejaring dalam hal ini keseluruhan proses ru-
jukan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban kepada ru-
mah sakit atau pusat trauma yang tersedia, yang masuk dalam jari-
ngan pelayanan terpadu untuk memberikan pelayanan yang optimal
kepada korban TPPO (Pasal 5 PP No. 9 Tahun 2008 dan Penjelasannya);
Ketiga, dalam hal diperlukan, pada Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri dapat dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 18 ayat (1)
PP No. 9 Tahun 2008); Keempat, Pemerintah Kabupaten/Kota memben-
tuk dan menyelenggarakan Pusat Pelayanan Terpadu untuk melin-
dungi korban TPPO (Pasal 6 ayat (1) PP No. 9 Tahun 2008); Kelima, Pe-
merintah Kabupaten/Kota yang membentuk dan menyelenggarakan
Pusat Pelayanan Terpadu, wajib menyediakan sarana dan prasarana
pada Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 9 ayat (1) PP No. 9 Tahun 2008);
Keenam, penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh
petugas pelaksana atau petugas fungsional yang meliputi tenaga
kesehatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang disediakan oleh
instansi atau lembaga terkait (Pasal 11 ayat (1) PP No. 9 Tahun 2008).
Alur Penanganan Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Untuk lebih menjamin kualitas pelayanan terpadu terkait dengan
penanganan korban TPPO, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, telah menyusun prosedur standar operasional
pelayanan terpadu bagi korban TPPO. Alur penanganan korban TPPO
yang diolah berdasarkan prosedur standar penanganan korban TPPO
versi Rumah Perempuan Kupang dan Perkumpulan Pengembangan

16
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT) yang dipadukan dengan Per-


aturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaya-
nan Terpadu Bagi Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang, dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Bagan 1
Alur Penanganan Korban TPPO

Alur penanganan korban TPPO sebagaimana yang terdapat dalam


bagan, pada dasarnya menggambarkan bahwa ada empat tahapan
dalam rangkaian aktivitas penanganan korban TPPO, yakni tahapan
penerimaan pengaduan, tahapan reparasi, tahapan pemulangan dan
yang terakhir adalah tahapan terminasi.

17
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Penerimaan pengaduan adalah langkah awal dan sangat penting da-


lam penanganan korban TPPO, baik itu yang datang sendiri (penga-
duan secara langsung) maupun pengaduan secara tidak langsung
melalui berbagai media komunikasi. Pengaduan yang disampaikan
secara tidak langsung ini, termasuk di dalamnya informasi yang
diperoleh karena rujukan maupun keterangan yang diperoleh karena
penjangkauan.
Ada dua aktivitas utama ketika melakukan penerimaan pengaduan,
yakni penanganan pengaduan dan pengidentifikasian korban. Proses
identifikasi ini meliputi screening, assesment dan rencana intervensi
sesuai dengan kebutuhan korban. Jika orang yang diduga sebagai
korban TPPO adalah bukan korban TPPO, maka orang yang diduga
sebagai korban TPPO, harus segera dirujuk ke lembaga pelayanan
yang tepat.
Jika dalam proses pengidentifikasian ditemukan bahwa orang yang
diduga sebagai korban TPPO adalah korban TPPO, maka penanganan-
nya harus dilakukan sesuai prosedur standar penanganan korban
TPPO. Apabila korban TPPO mengalami luka-luka, maka korban TPPO
tersebut harus sesegera mungkin diberikan rehabilitasi kesehatan
yang meliputi pelayanan non kritis, pelayanan semi kritis, pelayanan
kritis, dan pelayanan medikolegal sesuai dengan kondisi korban TPPO.
Rekam medis harus memuat selengkap mungkin hasil pemeriksaan
korban TPPO karena dapat digunakan sebagai bahan dalam proses
penegakan hukum.
Apabila orang yang diduga sebagai korban TPPO tidak mempunyai luka
fisik, dan diidentifikasi memerlukan konseling untuk pemulihan psi-
kisnya, maka korban TPPO masuk dalam tahapan rehabilitasi sosial
yang meliputi adanya kontrak sosial yaitu perjanjian dengan korban
untuk persetujuan mendapatkan layanan sosial, dilakukan konseling
awal, konseling lanjutan, bimbingan mental dan spiritual, pendamping-
an, rujukan, dan home visit sebagai persiapan keluarga dan lingkungan
untuk menerima korban dengan berkoordinasi dengan instansi/dinas
sosial dan instansi/dinas terkait lainnya.

18
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Korban TPPO yang dalam proses identifikasi diketahui bahwa memer-


lukan bantuan hukum, maka dilakukan setelah proses rehabilitasi
kesehatan dan rehabilitasi sosial. Jika hasil identifikasi ditemukan
bahwa korban TPPO tidak memerlukan rehabilitasi kesehatan dan
rehabilitasi sosial, maka korban TPPO bisa langsung diberikan bantuan
hukum. Bantuan hukum diberikan mulai dari perlindungan saksi
dan/atau korban, proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian, proses penuntutan di
Kejaksaan sampai pada proses pemeriksaan di sidang Pengadilan.
Termasuk di dalamnya bantuan hukum bagi korban TPPO untuk
memperoleh restitusi atas kerugian materil dan imateril yang diderita.
Pemulangan korban TPPO, baik itu yang dipulangkan dari luar negeri
ke Provinsi maupun dari dalam negeri ke daerah asal atau keluarga
atau keluarga pengganti, harus dilakukan atas keinginan dan persetu-
juan korban TPPO. Layanan penanganan, perlindungan dan pemenu-
han kebutuhan, harus juga diberikan secara sama kepada Warga
Negara Asing yang menjadi korban TPPO di Indonesia, kecuali proses
reintegrasi sosial.
Reintegrasi sosial ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali korban
TPPO dengan keluarga atau keluarga pengganti atau masyarakat. Pe-
layanan reintegrasi sosial merupakan bagian dari tahapan terminasi
dan hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang menjadi
korban TPPO.
Prinsip Umum Penanganan Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Ada sejumlah prinsip umum yang harus dipegang teguh dan tidak
boleh diabaikan ketika menangani korban TPPO. Prinsip-prinsip
dimaksud adalah: Pertama, Penghormatan dan Penegakan Hak Asasi
Manusia. Pelayanan ketika menangani korban TPPO harus dilakukan
dalam rangka memenuhi penghormatan dan penegakan hak asasi
korban dan harus diperlakukan secara wajar, manusiawi dan tidak

19
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

boleh menambah beban penderitaan korban (dikriminalisasi atau di


reviktimisasi);
Kedua, Non Diskriminasi. Penanganan korban TPPO harus dilakukan
dengan menghormati prinsip non diskriminasi berdasarkan apapun
seperti agama, suku, ras, etnis, dan jenis kelamin, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan tentang hak-hak
korban; Ketiga, Pemenuhan Hak Anak. Korban TPPO yang berusia anak,
harus ditangani dengan memperhatikan bahwa anak memiliki hak
untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, memiliki hak
untuk dihargai secara penuh dalam memperoleh kelangsungan hidup,
mendapat perlindungan khusus perkembangan dan partisipasi, serta
mendapatkan perawatan sementara, identifikasi dan penerapan
solusi jangka panjang sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak.
Sederhananya, semua proses yang dilalui harus dalam penanganan
korban TPPO yang berusia anak, harus didasarkan pada kepentingan
yang terbaik bagi anak;
Keempat, Hak atas Informasi. Ketersediaan informasi mengenai hak-
haknya, layanan yang tersedia, upaya hukum, perkembangan kasus,
putusan pengadilan, penyediaan penerjemah yang sesuai dengan
kebutuhan, dan proses penyatuan kembali (reunifikasi/repatriasi)
keluarga, merupakan layanan yang harus diperoleh korban TPPO
ketika melakukan penanganan. Informasi yang diberikan kepada
korban TPPO harus dari tahap paling awal hingga akhir, akurat,
relevan, jelas, dan dalam bahasa yang dipahami;
Kelima, Hak atas Kerahasiaan dan Privasi. Layanan yang diberikan
kepada korban TPPO dalam proses penanganan, harus dilakukan de-
ngan menghormati hak atas kerahasiaan serta wajib menjamin terlin-
dunginya aspek privasi maupun identitas korban. Jika ada informasi
yang harus dibagi ke pihak lain, diperlukan persetujuan dari korban;
Keenam, Penghormatan atas suku, budaya, agama dan kepercayaan.
Harus dipastikan bahwa layanan yang diberikan dalam penanganan,
telah memenuhi hak dan kebutuhan korban TPPO sesuai dengan
kondisi yang ada di dalam suku, budaya, agama dan kepercayaan.

20
2
TAHAPAN PENERIMAAN PENGADUAN
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

P enerimaan pengaduan atau penerimaan laporan kasus merupa-


kan tahap awal dari penanganan korban TPPO. Pengaduan atau
laporan terkait suatu kasus TPPO dapat dilakukan secara langsung
oleh korban, orangtua dari korban, teman korban, pihak keluarga kor-
ban, tetangga korban, maupun siapa saja yang peduli terhadap korban
atau siapa saja yang memusatkan perhatian pada persoalan TPPO.
Box 1:
TIPS DALAM PENERIMAAN PENGADUAN
1. Apabila pelapor yang datang lebih dari satu orang, sebaiknya petugas yang
menerima lebih dari satu orang (NB: Prinsip keamanan petugas dan korban
harus diutamakan. Untuk itu, sebaiknya petugas dan korban harus duduk di
dekat pintu keluar).
2. Apabila pelapor adalah kategori berkebutuhan khusus (tuna rungu dan
tuna wicara) atau tidak bisa berbahasa Indonesia, maka diupayakan
penerjemah.
3. Apabila saat memberikan laporan/pengaduan, pelapor dalam keadaan
tertekan, luka parah, pingsan, dsb, maka dilakukan pertolongan pertama
terlebih dahulu.
4. Apabila pelapor tidak bisa memberi keterangan karena berbagai alasan,
maka identifikasi cepat dapat juga dilakukan berdasarkan keterangan dari
keluarga/pendamping lainnya.
5. Apabila pelapor adalah berusia anak dan tidak mempunyai pendamping
atau wali, maka petugas penerima pengaduan bersama satu atau dua
petugas profesional yang mempunyai wewenang khusus, dapat menen-
tukan jenis layanan yang akan diberikan berdasarkan kepentingan terbaik
anak.
Sumber: Diolah dari, PIAR NTT, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Perkumpulan Pengembangan
Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2003.

Pengaduan atau laporan terkait suatu kasus TPPO, bisa juga dilakukan
secara tidak langsung melalui surat, telepon atau media komunikasi
lainnya. Pengaduan atau pelaporan kasus TPPO yang dilakukan secara
tidak langsung ini, termasuk juga di dalamnya adalah korban TPPO di-
rujuk oleh pihak penegak hukum formal seperti kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan maupun oleh lembaga lainnya untuk mendapat rehabi-

22
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

litasi sosial (pelayanan konseling dan/atau bimbingan rohani), rehabi-


litasi kesehatan, bantuan hukum, pemulangan dan reintegrasi sosial.
Dalam tahapan penerimaan pengaduan, ada dua aktivitas utama yang
wajib dilakukan, yakni: penanganan pengaduan dan pengidentifika-
sian korban. Aktivitas dalam penanganan pengaduan dan identifikasi
korban ini meskipun dalam target capaiannya memiliki substansi yang
berbeda, namun dalam implementasinya harus dilakukan secara ber-
samaan (komplementer). Tidak boleh dipisahkan satu dengan lainnya
karena keduanya merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Penanganan Pengaduan Kasus
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam penanganan pengaduan atau penanganan laporan terkait suatu
kasus TPPO, petugas penerima pengaduan atau penerima laporan
wajib membuat kronologi kasus (uraian peristiwa berdasarkan waktu)
dan membuat profil singkat dari pelapor, orang yang diduga sebagai
korban TPPO maupun pihak yang diduga sebagai pelaku TPPO.
Kronologi kasus dan profil dari para pihak yang terkait dengan TPPO
ini, harus dibuat dan dituangkan dalam satu dokumen yang sama.
Profil dari para pihak dapat mencakup: nama lengkap, alamat, peker-
jaan, alamat lengkap tempat bekerja, nomor telepon, umur dan seba-
gainya. Apabila korban diantar, petugas juga harus mencatat identitas
pengantar dengan lengkap. Yang substansinya kurang lebih sama de-
ngan profil dari para pihak. Khusus untuk pihak yang diduga sebagai
pelaku, maka dalam profilnya harus diidentifikasi juga kategorinya
(lihat Bagan 2). Sedangkan peran dari setiap orang yang diduga mela-
kukan TPPO, harus tergambar dalam kronologi kasus.
Petugas penerima pengaduan, harus juga menjelaskan pada pelapor
tentang layanan yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan korban
dan tugas serta kapasitas dan mekanisme kerja dari lembaga peneri-
ma aduan atau laporan dalam penanganan korban. Apabila dibutuh-
kan, petugas penerima pengaduan dapat juga menjelaskan secara

23
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

yuridis tentang wewenang dari lembaga penerima aduan/laporan


dalam penanganan korban kepada pelapor.
Bagan 2
Pelaku TPPO Versi UUPTPPO

Kalau pelapornya adalah korban, maka para pihak yang menerima


kasus harus memastikan kondisi terakhir korban untuk memutuskan
penting tidaknya mendapatkan pelayanan darurat. Tindakan segera
yang diambil apabila korban dalam kondisi kritis baik secara fisik
maupun psikologis sehingga perlu pelayanan darurat, di antaranya:
Pertama, bila korban mengalami luka parah, maka korban segera
dibawa ke Rumah Sakit, Puskesmas atau dokter/bidan praktek ter-
dekat untuk mendapatkan perawatan.
Kedua, bila korban mengalami ketakutan dan tidak merasa aman di
tempat kejadian, maka diupayakan agar korban dibawa ke rumah
aman (shelter) terdekat atau dijauhkan dari pelaku yang kemungkinan
berada di sekitarnya. Ketiga, bila korban mengalami perkosaan, kor-
ban bisa diobati lukanya tetapi dilarang untuk mandi sebelum dilaku-
kan visum et repertum. Barang-barang bukti seperti baju, pakaian
dalam dan senjata tajam serta barang bukti lain yang menunjang (bila
ada) harus disimpan dengan baik untuk kepentingan pembuktian.

24
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Box 2:
MEMAHAMI VISUM ET REPERTUM
Visum et repertum (VeR) merupakan keterangan dokter tentang apa yang di-
lihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna ke-
pentingan peradilan. Visum et repertum ini dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan kesaksian tertulis kepada hakim dalam proses peradilan tentang
suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti yang ada pada korban atas
semua keadaan sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar
hakim dapat mengambil putusan dengan tepat dengan dasar kenyataan atau
fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung keyakinan hakim.
Dalam ilmu kedokteran forensik maupun ilmu hukum, istilah visum et repertum
sering disingkat menjadi “VeR” dan juga lebih dikenal dengan nama “visum”.
Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dari aspek
etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau
melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala se-
suatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan. Sedangkan “repertum”
berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Dengan demikian, secara etimologi, visum et repertum dapat
dipahami sebagai apa yang dilihat dan ditemukan.
Menurut Staatsblad tahun 1937 Nomor 350, “visum et repertum adalah laporan
tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima ja-
batan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya". Visum et
repertum merupakan laporan ahli dan sambil menunjuk LN 1937 -380 RIB/306
melalui ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981, Tentang Kitab Un-
dang-Undang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya, permintaan keterangan ahli
dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli yang bersangkutan mem-
buat “laporan” yang berbentuk “surat keterangan” atau visum et repertum.
Dalam praktik pengadilan, keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum
(diatur dalam sataatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937,
tentang visa reperta van genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam
Berita Acara Pengadilan.
Sumber: Diolah dari berbagai informasi sekunder.

25
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Box 3:
PENJANGKAUAN KORBAN TPPO
Langkah untuk melakukan penjangkauan korban (outreach) bisa diambil sebagai
tindak lanjut dari pengaduan melalui telepon, SMS (short message service; layanan
pesan singkat) atau surat oleh korban maupun pihak lain serta pemberitaan di
media massa. Penjangkauan korban perlu memperhatikan aspek keamanan baik
bagi korban, keluarga atau petugas. Penjangkauan korban perlu dilakukan dengan
lebih terencana dan hati-hati untuk memastikan bahwa penjangkauan korban
tidak akan menyebabkan korban dalam situasi yang lebih buruk.
Penjangkauan korban bisa saja tidak dilakukan di tempat tinggal korban, bila kor-
ban merasa tidak aman melakukan pengaduan dan wawancara di rumah. Jika
penjangkauan korban tidak dapat dilakukan sendiri oleh lembaga penanganan
pengaduan, maka petugas dari lembaga penanganan pengaduan harus mengko-
ordinasikan dengan lembaga layanan yang relevan dengan sifat kedaruratan
pelapor untuk melakukan penjangkauan korban secara bersama-sama.
Jika lembaga yang menerima pengaduan mampu melakukan penjangkauan
korban sendiri, maka pelaksanaan penjangkauan korban dapat dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Petugas memastikan dulu tentang keamanan korban dan dirinya sendiri
b. Petugas mengkoordinasikan dengan aparat keamanan, jika diperlukan untuk
memastikan keamanan korban
c. Petugas harus memastikan bahwa korban setuju dengan tawaran outreach
d. Petugas harus mendiskusikan tentang hal keamanan yang mesti diperhatikan
e. Untuk korban anak, petugas harus melakukan proses di atas dengan keluarga
yang bertanggung jawab;
f. Jika korban menolak untuk melakukan proses pendampingan lebih lanjut,
petugas mengajak korban untuk membuat perencanaan penyelamatan diri
(safety plan) yang mencakup cara melarikan diri dari rumah/tempat tinggal,
cara mencapai tujuan penyelamatan, penyimpanan dokumen penting dan uang
bekal;
g. Sebelum meninggalkan tempat, petugas memberikan nomor kontak yang bisa
dihubungi jika sewaktu-waktu korban berubah pikiran;
h. Petugas dapat memulai wawancara dengan korban, bila korban telah me-
nyatakan persetujuannya;
Sebelum meninggalkan tempat, petugas memberikan nama, alamat, dan nomor
kontak dan meminta agar korban menyimpannya di tempat yang aman.
Sumber: Diolah dari Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Rumah
Perempuan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.

26
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Untuk penanganan pengaduan kasus TPPO yang dilaporkan melalui


surat, telepon atau media komunikasi lainnya, maka setelah membuat
kronologi kasus, profil singkat dari pelapor, petugas harus sesegera
mungkin membuat kesepakatan untuk bisa bertemu dengan pelapor.
Pertemuan dengan pelapor ini dimaksudkan unuk memastikan
kebenaran dari kasus yang dilaporkan, serta bagaimana strategi yang
tepat dalam rangka penjangkauan korban.
Dalam pertemuan dengan pelapor ini, petugas harus menginformasi-
kan tentang layanan yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan
korban serta kapasitas dan mekanisme kerja dari lembaga penerima
aduan atau laporan dalam penanganan korban. Bila diperlukan, pada
pertemuan ini petugas dapat menjelaskan secara yuridis tentang
wewenang dari lembaga penerima aduan/laporan dalam penanganan
korban. Hal ini menjadi penting karena pelaporan atau pengaduan
yang dilakukan dengan cara tidak langsung, biasanya dilakukan de-
ngan alasan korban tidak mampu mengakses layanan dengan datang
langsung karena selain tempat tinggalnya jauh, juga karena korban
secara psikologis belum siap untuk bertemu secara langsung dengan
pihak lain.
Ketika melakukan penerimaan korban yang dirujuk, maka sebelum
membuat kronologi kasus, petugas terlebih dahulu harus memeriksa
surat rujukan ataupun data-data yang dikirim oleh lembaga/individu
perujuk dan membuat berita acara penerimaan kasus. Jika tidak ada
surat rujukan ataupun data-data penyerta, maka penanganannya
sama dengan korban yang datang melapor secara langsung.
Pengidentifikasian Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengidentifikasi korban TPPO merupakan aktivitas yang memiliki ke-
terkaitan erat dengan penanganan pengaduan kasus TPPO, baik itu
yang dilaporkan secara langsung oleh korban yang datang sendiri,
karena penjangkauan maupun karena rujukan. Secara sederhana,
pengidentifikasian korban TPPO dapat dipahami sebagai kegiatan

27
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

pengamatan dan penggalian informasi dari orang yang diduga korban


TPPO, dalam kerangka pemberian hak atas informasi dan komunikasi
bagi korban sekaligus mendapatkan bukti/data tentang pelaku, proses
dan cara, untuk menentukan apakah seseorang adalah benar merupa-
kan korban TPPO atau bukan, sehingga orang dimaksud bisa menda-
patkan layanan sebagai korban TPPO atau tidak.
Box 4:
TIPS DALAM MEWAWANCARAI KORBAN TPPO
Identifikasi yang dilakukan dengan cara mewawancara orang yang diduga sebagai korban
TPPO, idealnya dilakukan dengan mengajukan daftar pertanyaan (screening form) yang
mengarah pada pemenuhan unsur-unsur TPPO. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
pewawancara sebelum melakukan wawancara di antaranya:
1. Pastikan tempat wawancara yang aman dan tertutup, dengan memastikan tidak ada
orang yang akan mengganggu jalannya wawancara. Pastikan membangun kedekatan
(rapport) dengan korban yang diduga sebagai korban TPPO, sehingga dia merasa dihor-
mati atau merasa nyaman untuk bercerita, mengingat pertanyaan yang akan diajukan
mungkin terlalu pribadi baginya. Pastikan juga kondisi fisik dan mentalnya siap untuk
menjawab pertanyaan. Hindari pertanyaan yang sifatnya interogatif.
2. Pewawancara harus memperkenalkan dirinya dan peran atau kapasitasnya dalam
organisasi atau tempatnya bekerja. Hal ini penting untuk menghilangkan keraguan dan
ketidaknyamanan dari orang yang diduga sebagai korban TPPO.
3. Jelaskan secara singkat untuk keperluan apakah informasi yang didapat dari orang
yang diduga sebagai korban TPPO, dan yakinkan bahwa informasi-informasi yang
didapat itu akan dijaga kerahasiaannya. Jelaskan pula bantuan apa yang dapat di-
terima korban TPPO, dan memastikan bahwa orang yang diduga sebagai korban TPPO
memberikan persetujuannya untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Yakinkan
juga kepada orang yang diduga sebagai korban TPPO bahwa wawancara bisa berhenti
sewaktu-waktu kapanpun dibutuhkan sesuai keinginannya.
4. Setelah melakukan wawancara dan menemukan bukti-bukti adanya TPPO, maka orang
yang diduga sebagai korban TPPO, segera ditetapkan statusnya sebagai korban TPPO.
5. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi bantuan apa yang dibutuhkan korban
TPPO. Eksploitasi yang pernah dialami korban tentu akan berdampak pada kondisi
kesehatan fisik, psikologis, ataupun kesehatan reproduksi. Untuk mengetahui
kebutuhan apa yang perlu diberikan kepada korban TPPO, maka korban TPPO perlu
segera dipindahkan dan dirujuk ke instansi/organisasi atau bidang tertentu dalam
instansi/organisasi yang memberikan pemulihan dan rehabilitasi sosial bagi korban
TPPO.
Sumber: Diolah dari, PIAR NTT, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Perkumpulan Pengembangan
Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2003.

28
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengidentifikasian korban TPPO pada dasarnya bertujuan untuk:


Pertama, mengetahui dan memastikan kebenaran bahwa seseorang
adalah korban TPPO; Kedua, mengetahui masalah dan kondisi individu
yang diduga korban TPPO, berkaitan dengan kondisi kesehatan fisik,
psikis dan psikososial, status, kepemilikan dokumen dan identitas diri,
kondisi keuangan, hutang-piutang, keamanan, serta keinginan yang
bersangkutan dengan kasusnya; Ketiga, mengetahui kebutuhan orang
yang diduga korban TPPO yang harus segera dipenuhi, seperti: tempat
tinggal sementara apabila korban dari luar daerah, perlindungan apa-
bila korban terancam keselamatan, pengobatan, pendampingan, dan
sebagainya.
Pengidentifikasian terhadap seseorang yang diduga sebagai korban
TPPO, idealnya dilakukan oleh petugas yang telah terlatih dalam me-
lakukan identifikasi. Petugas yang melakukan pengidentifikasian ha-
rus bersikap empati, responsif dan tidak menghakimi, sehingga orang
yang diduga sebagai korban TPPO merasa nyaman dan percaya untuk
menceritakan masalah yang dihadapinya. Dalam melakukan peng-
identifikasian, petugas harus memahami apa itu TPPO sekaligus de-
ngan prinsip-prinsipnya dalam penanganan korban TPPO dan menge-
tahui tentang hak-hak dari korban TPPO.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan proses identifikasi,
sebagai berikut: Pertama, dalam hal orang yang diduga sebagai korban
TPPO adalah anak atau diindikasikan masih berusia anak, maka sege-
ra dicarikan pendamping (orangtua/wali atau petugas) yang berfungsi
sebagai wali pendamping anak, di mana akan bertugas mendampingi
anak dalam proses-proses selanjutnya;
Kedua, dalam hal orang yang diduga sebagai korban TPPO berasal dari
Daerah atau Negara lain atau mempunyai hambatan komunikasi, maka
disediakan penerjemah untuk mendampingi petugas yang melakukan
identifikasi; Ketiga, dalam hal orang yang diduga korban TPPO menun-
jukkan tanda-tanda sakit yang kritis dan membutuhkan tindakan me-
dis cepat atau segera, maka petugas harus segera menghubungi
rumah sakit atau petugas kesehatan untuk memeriksa korban TPPO,

29
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

bahkan jika diperlukan mengantar/merujuknya ke instalasi gawat


darurat di rumah sakit terbaik setempat.
Keempat, untuk orang yang diduga sebagai korban TPPO adalah
korban yang dirujuk, maka petugas yang akan melakukan identifikasi
harus terlebih dahulu memeriksa surat rujukan ataupun data-data
yang dikirim oleh lembaga/individu perujuk dan melakukan verifikasi
terhadap hasil identifikasi dan pemeriksaan yang dilakukan oleh
lembaga yang merujuk serta dan membuat berita acara penerimaan
korban.
Box 5:
TIPS DALAM MELAKUKAN RUJUKAN LINTAS SEKTOR
Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan lintas sektor terkait dengan
penanganan korban TPPO adalah:
1. Pihak perujuk harus membuat surat rujukan untuk diserahkan pada pihak
penerima rujukan.
2. Dalam proses rujukan dari pihak perujuk ke pihak penerima rujukan, korban harus
didampingi oleh petugas/pendamping dari pihak perujuk. Tugas dari petugas/
pendamping dari pihak perujuk adalah: a. Memastikan tempat yang akan dirujuk;
b. Memastikan keberadaan penerima rujukan; c. Menjelaskan kronologi kasus pada
pihak penerima rujukan; d. Menjelaskan pelayanan yang sudah diberikan kepada
korban; e. Membuat kesepakatan pemberian layanan lanjutan; f. Menyepakati sis-
tem pendanaan berhubungan dengan kebutuhan korban (NB: Kesepakatan ini kalau
memungkinkan harus juga melibatkan korban); dan g. Menyepakati pembagian
peran antara pihak perujuk dan pihak penerima rujukan.
3. Pada saat penyerahan korban, petugas dari pihak perujuk dan petugas dari pihak
penerima rujukan, harus menandatangani berita acara penyerahan korban (NB:
Dalam berita acara penyerahan harus dicantumkan dengan jelas tentang kondisi
korban atau pelaku).
4. Bila rujukan dilakukan ke atau dari Rumah Sakit dan korban membutuhkan surat
keterangan tidak mampu, maka korban harus didampingi oleh petugas/pendam-
ping untuk pengurusan surat dimaksud.
Sumber: Diolah dari, PIAR NTT, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Perkumpulan Pengembangan
Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2003.

30
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tabel 1:
WAWANCARA DAN OBSERVASI DALAM PENANGANAN KORBAN TPPO
Langkah awal dalam penanganan orang yang diduga sebagai korban TPPO adalah
wawancara dan observasi. Korban yang membutuhkan penanganan, biasanya akan
datang sendiri ke lembaga atau pusat pelayanan yang selalu menangani korban untuk
mendapatkan penanganan. Lembaga atau pusat pelayanan yang selalu menangani
korban, sering juga menangani korban yang dirujuk oleh lembaga lain. Terkadang,
penjangkauan korban juga dilakukan oleh lembaga atau pusat pelayanan yang selalu
menangani korban, ketika korban membutuhkan penanganan namun tidak bisa
datang sendiri ke lembaga atau pusat pelayanan.
Klaster Awal Penanganan
Jika seseorang yang diduga korban TPPO mendatangi sendiri Pusat
Korban
Datang Sendiri
Pelayanan Terpadu untuk meminta bantuan, maka wawancara dan
observasi dilakukan di Pusat Pelayanan Terpadu.
Jika korban rujukan, maka wawancara dan observasi dilakukan untuk
korban TPPO yang datang ke Pusat Pelayanan Terpadu berdasarkan
Korban rujukan dari lembaga pemberi layanan seperti Pusat Pelayanan Ter-
Dirujuk padu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Perlindu-
ngan Sosial Anak (RPSA), Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC),
Rumah Perlindungan Anak Tenaga Kerja.
Jika melakukan penjangkauan korban, maka wawancara dan obser-
vasi dilakukan dengan mendatangi lokasi di mana seseorang yang
Korban
Dijangkau
diduga korban TPPO terlaporkan. Hal ini dilakukan jika seseorang
yang diduga korban TPPO tersebut mengalami kesulitan untuk datang
ke Pusat Pelayanan Terpadu
Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi
Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Pengidentifikasian korban dilakukan dengan langkah-langkah sebagai


berikut:
1. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamati kondisi fisik untuk menduga
apakah korban TPPO masih di bawah umur (di bawah 18 tahun) dan
kondisi kesehatan fisik dan psikis korban TPPO apakah kritis/non
kritis yang membutuhkan tindakan medis cepat atau segera. Hal
penting yang perlu diperhatikan dalam pendugaan usia dari seseorang

31
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

yang diduga sebagai korban TPPO pada proses observasi, yaitu selain
didasarkan pada dokumen yang ada, juga dari penampakan fisik,
kematangan psikologis, dan pernyataan/pengakuannya.
Dalam hal usia dari seseorang yang diduga sebagai korban TPPO
adalah tidak jelas, namun ada indikator yang dapat dipercaya bahwa
orang yang diduga sebagai korban TPPO tersebut adalah anak, maka
harus ditangani dengan standar penanganan untuk anak sampai
dengan umurnya dapat diketahui dengan pasti.
Apabila dalam melakukan observasi diketahui atau ditemukan bahwa
korban berada dalam kondisi tidak memadai untuk terlibat dalam
wawancara ataupun tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri disebabkan korban mengalami situasi berat seperti cedera
atau stres berat atau dalam ketakutan yang besar mengenai
keamanan diri dan/atau keluarganya, maka petugas layanan harus
melakukan: Pertama, menenangkan korban terlebih dahulu; apabila
klien terlihat sangat tegang, terapkan teknik relaksasi sederhana (jika
diperlukan); Kedua, merujuk korban pada prioritas penanganan yang
tepat sesuai dengan kondisi korban (medis atau psikologis) sesuai
tingkat kedaruratan yang terjadi; dan Ketiga, apabila korban dalam
keadaan bahaya, maka petugas segera meminta bantuan Polisi.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan setelah kondisi korban TPPO memungkinkan.
Wawancara idealnya dilakukan dengan menggunakan daftar perta-
nyaan (check list identifikasi) yang telah ada. Wawancara dilakukan
untuk mengetahui identitas korban TPPO, serta untuk memastikan
apakah benar yang bersangkutan merupakan korban TPPO. Hal-hal
yang harus diperhatikan terkait wawancara adalah:
(a) Pra Wawancara
Sebelum melakukan wawancara, petugas harus meminta persetu-
juan dari seseorang yang diduga korban TPPO untuk melakukan
pengaduan/identifikasi dengan menjelaskan bahwa akan dijaga

32
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

kerahasiaan masalahnya, privasi, dan tentang hak-hak korban TPPO


lainnya.
Jika diperlukan, petugas dapat menjelaskan apa yang akan dilaku-
kan terhadap keterangan yang didapat dalam wawancara dan
memastikan bahwa korban TPPO tahu akibat dari wawancara yang
dilakukannya. Dalam kondisi tertentu, misalnya ditanyakan oleh kor-
ban TPPO, petugas mungkin perlu menjelaskan bagaimana catatan
disimpan, siapa yang memiliki akses, dan sebagainya.
Petugas yang akan melakukan wawancara, harus menjelaskan
kepada seseorang yang diduga korban TPPO bahwa pertanyaan yang
diajukan mungkin akan menyebabkan ketidaknyamanan atau rasa
takut baginya, tetapi petugas akan berupaya menjamin keamanan
dan kenyamanan dari korban TPPO dan memastikan informasi tidak
akan digunakan untuk menghukum mereka.
Jika dibutuhkan dan diinginkan oleh korban TPPO, misalnya perem-
puan atau anak, harus disediakan petugas wawancara yang berjenis
kelamin sama dengan korban TPPO. Demikian pula, dalam hal korban
TPPO berasal dari Daerah/Negara lain atau mempunyai hambatan
komunikasi, maka disediakan penerjemah untuk mendampingi petu-
gas melakukan wawancara.
(b). Proses Wawancara
Proses wawancara harus dilakukan secara sukarela dan wajib dihen-
tikan kapan pun ketika korban TPPO menghendakinya. Jika kondisi
korban TPPO memungkinkan, petugas harus berupaya mengumpul-
kan informasi yang diperlukan secukupnya dari korban TPPO untuk
mendukung penentuan statusnya sebagai korban TPPO atau bukan.
Dalam hal korban adalah perempuan yang dieksploitasi seksual,
maka selama proses wawancara harus dipastikan oleh petugas
bahwa riwayat hidup korban TPPO serta stigma yang melekat pada
korban, tidak akan digunakan untuk memojokkannya atau dijadikan
dasar pertimbangan untuk mengnyampingkan laporan dan hak-
haknya.

33
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Ketika melakukan wawancara terhadap perempuan yang dieksploi-


tasi seksual, petugas juga harus hati-hati terhadap persoalan sen-
sitif yang mungkin dialami korban TPPO, misalnya pelecehan seksual
(khususnya yang terjadi di rumah atau sebelum terjadinya TPPO),
anak-anak, anggota keluarga, alamat rumah, terinfeksi penyakit
menular seksual atau Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), persinggungan dengan
penegakan hukum, dan aktivitas-aktivitas ilegal yang mereka per-
caya telah terlibat di dalamnya, seperti dokumen palsu, “pelacuran”,
penyeberang batas secara ilegal, penggunaan obat terlarang, dan
sebagainya.
Jika seseorang yang diduga korban TPPO adalah anak, maka selama
wawancara harus didampingi orangtua/wali atau petugas sebagai
wali sementara. Selama wawancara petugas harus menggunakan
metode wawancara yang akrab anak sesuai dengan usia dan jenis
kelamin anak, dengan bahasa yang dimengerti, serta dilakukan
dalam lingkungan yang akrab anak. Untuk melengkapi hasil wawan-
cara, petugas mengumpulkan data dan informasi dari berbagai
sumber (orangtua, anak, saudara, tetangga, pengurus RT/RW setem-
pat, lembaga yang melaporkan, dan lain-lain) dengan tetap mem-
prioritaskan keamanan, kerahasiaan dan privasi korban.
(c) Pasca Wawancara
Setelah dilakukan wawancara, sesegera mungkin dibuat laporan
hasil wawancara yang dilampiri data pendukung yang didapat pada
saat wawancara untuk dipertimbangkan dan diputuskan apakah
orang yang diduga sebagai korban TPPO adalah benar merupakan
korban TPPO.
3. Penilaian/Assessment Kebutuhan Korban
Setelah diketahui dari hasil identifikasi bahwa orang yang diduga se-
bagai korban TPPO tidak terkategorisasi sebagai korban TPPO, maka
petugas harus segera merujuk korban ke lembaga penyedia layanan
yang tepat sesuai dengan kasus yang dialami. Jika dari hasil identifi-

34
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

kasi diketahui bahwa orang yang diduga sebagai korban TPPO terse-
but termasuk dalam kategori korban TPPO, maka petugas melakukan
assessment kebutuhan pelayanan lanjutan dengan melakukan identi-
fikasi kondisi fisik, piskis, dan kondisi lain yang dibutuhkan.
4. Rekomendasi Layanan Lanjutan
Berdasarkan hasil assessment dan rekomendasi penanganan lanjutan
oleh Pusat Pelayanan Terpadu perujuk, maka petugas Pusat Pelayanan
Terpadu memberikan rekomendasi intervensi layanan, dengan tujuan
untuk menetapkan langkah-langkah tindak lanjut yang terbaik dalam
perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban TPPO. Karenanya,
petugas Pusat Pelayanan Terpadu harus membangun kesepakatan
dengan korban TPPO terkait dengan intervensi layanan lanjutan yang
akan diberikan, penjelasan tentang hak-hak dan peran dari korban
TPPO.
5. Koordinasi dan Rujukan ke Layanan Lanjutan dan Pihak Terkait
Hal yang tidak boleh terabaikan dalam melakukan koordinasi dan
rujukan ke layanan lanjutan dan pihak terkait adalah: (a). Setelah ada
rekomendasi layanan lanjutan dan terbangun kesepakatan dengan
korban TPPO, petugas menghubungi lembaga layanan lanjutan untuk
mengkoordinasikan langkah selanjutnya; (b). Setelah terjadi
kesepakatan dengan lembaga pemberi layanan lanjutan sesuai
dengan rekomendasi, petugas mengantarkan korban TPPO ke
lembaga tersebut; (c). Petugas Pusat Pelayanan Terpadu perujuk
melakukan serah terima layanan dengan berita acara serah terima.
6. Pengadministrasian Proses Identifikasi
Hasil identifikasi dimasukkan ke dalam buku rekam kasus dan
diadministrasikan bersama dokumen pendukung serta dimasukkan ke
dalam sistem data base yang terkomputerisasi. Salinan buku rekam
kasus akan disertakan bersamaan dengan pemulangan korban TPPO.
Dokumen pendukung dapat berupa: (a). Foto korban TPPO yang
diambil pada saat pertama bertemu dengan Petugas; (b). Fotokopi
Kartu Tanda Penduduk, dokumen imigrasi (paspor, visa, ijin tinggal,

35
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

kartu asuransi, dan sebagainya); (c). Hasil verbal/Berita Acara Peme-


riksaan; (d). Fotokopi kontrak kerja; (e). Surat keterangan/dokumen
lain yang mendukung; (f). Surat pernyataan dari korban TPPO tentang
kebenaran informasi yang disampaikan.

36
3
TAHAPAN REPARASI
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

R eparasi (reparation) merupakan terminologi hukum Hak Asasi


Manusia yang dipergunakan untuk menunjukan upaya pemulihan
hak yang adil dan layak terhadap korban pelanggaran Hak Asasi
Manusia, termasuk di dalamnya korban TPPO. Pemulihan hak bagi
korban ini, harus sebisa mungkin dilakukan untuk memulihkan atau
mengembali-kan keadaan korban pada kedudukan semula
sebagaimana sebelum terjadinya TPPO atau mengembalikan keadaan
korban seperti bila TPPO tidak dialaminya.
Bentuk reparasi korban yang terdapat dalam berbagai instrumen Hak
Asasi Manusia, dapat dikategorikan dalam lima jenis, yakni: Pertama,
rehabilitasi (rehabilitation). Rehabilitasi adalah tindakan pemulihan
korban dalam bentuk dan/atau mencakup pelayanan hukum, pemuli-
han psikologi, perawatan medis serta pelayanan atau perawatan
lainnya dan tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi (nama
baik) yang korban.
Kedua, restitusi (restitution). Restitusi merupakan ganti kerugian yang
diberikan kepada korban oleh pelaku atau pihak ketiga dan haruslah
diberikan untuk menegakan kembali, sejauh mungkin, situasi yang ada
bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Resti-
tusi juga mengharuskan, antara lain, pemulihan kebebasan, kewarga-
negaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atau hal milik.
Ketiga, kompensasi (compensation). Kompensasi adalah ganti rugi
yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu. Kompensasi
akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat
diperkirakan nilainya, yang timbul dari pelanggaran Hak Asasi Manu-
sia, seperti: kerusakan fisik dan mental, kesakitan, penderitaan dan
tekanan batin, kesempatan yang hilang (termasuk pendidikan),
hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah, biaya
medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal (termasuk keuntu-
ngan yang hilang), kerugian terhadap reputasi dan martabat, biaya dan
bayaran yang masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untuk

38
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

memperoleh suatu pemulihan dan kerugian terhadap hak milik usaha


(termasuk keuntungan yang hilang).
Keempat, jaminan kepuasan (satisfaction). Tersedianya atau diberi-
kannya kepuasan bagi korban bahwa perbuatan serupa tidak akan ter-
ulang lagi (nonrepetisi) di masa depan dengan dihentikannya pelang-
garan yang berkelanjutan, verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan
kebenaran sepenuhnya secara terbuka, keputusan yang diumumkan
demi kepentingan korban, permintaan maaf (termasuk pengakuan di
depan umum mengenai fakta-fakta dan penerimaan tanggung jawab).
Selain itu, diajukannya orang-orang yang bertanggungjawab atas pe-
langgaran ke pengadilan, serta peringatan dan pemberian hormat ke-
pada para korban, merupakan hal yang tidak boleh terabaikan dalam
pemberian jaminan kepuasan bagi korban.
Kelima, jaminan ketidakberulangan (nonreccurence). Jaminan ketidak-
berulangan, merupakan tindakan-tindakan untuk mencegah berulang-
nya pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan cara seperti: a. Memper-
kuat kemandirian badan peradilan; b. Melindungi profesi hukum dan
para pekerja Hak Asasi Manusia; c. Memberikan pendidikan dan pela-
tihan Hak Asasi Manusia untuk semua lapisan masyarakat, terutama
kepada institusi negara beserta seluruh aparatusnya; dan d. Memasti-
kan tersedianya instrumen Hak Asasi Manusia untuk menjamin dan
memenuhi kepentingan Hak Asasi Manusia.
Rehabilitasi Kesehatan Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Rehabilitasi kesehatan merupakan pemulihan korban dari gangguan
kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis sebagai akibat
dari suatu TPPO. Rehabilitasi kesehatan ini bertujuan untuk: Pertama,
menyediakan akomodasi yang aman dan terlindungi serta dukungan
medis bagi orang-orang yang teridentifikasi sebagai korban TPPO.
Kedua, memulihkan gangguan kondisi fisik dan psikis korban TPPO
sehingga menjadi berdaya.

39
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Pelayanan rehabilitasi kesehatan dalam penanganan korban TPPO, se-


cara khusus harus berpegang pada prinsip sebagai berikut: Pertama,
Kerahasiaan. Agar korban TPPO terjamin kerahasiaan dan kenyama-
nannya, maka dibutuhkan ruang khusus pemeriksaan atau ruang
tunggu untuk korban TPPO di Rumah Sakit atau Puskesmas sehingga
korban tidak perlu menunggu bersama dengan pasien lainnya.
Kedua, Tersedianya Sumber Daya Manusia yang Terlatih. Diharapkan di
tempat pelayanan, korban TPPO dilayani oleh petugas medis atau
perawat khusus yang telah dilatih untuk penanganan korban TPPO,
dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, gender, dan anak. Pemberi
layanan pada pelayanan rehabilitasi kesehatan meliputi dokter umum,
dokter spesialis, perawat, dan tenaga nonmedis yang telah terlatih.
Ketiga, Perjanjian Intervensi. Setiap melakukan tindakan rehabilitasi
kesehatan, wajib dibuat perjanjian intervensi (informed consent).
Keempat, Prosedur Tata Laksana Khusus. Untuk memastikan korban
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kondisi korban TPPO dan
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, gender, dan anak, maka Rumah Sa-
kit atau Puskesmas diharapkan memiliki dan menjalankan prosedur
tata laksana khusus untuk korban kekerasan terhadap perempuan
dan anak, termasuk di dalamnya korban TPPO.
Tabel 2:
PELAYANAN MEDIS BAGI KORBAN TPPO SESUAI FASILITAS KESEHATAN
No Jenis Layanan Puskesmas Rumah Sakit
1 Pemeriksaan • Anamnesis dan pemeriksaan • Anamnesis dan pemerik-
Medis Dasar fisik menyeluruh. saan fisik menyeluruh.
• Pemeriksaan virus jika • Pemeriksaan virus jika
memungkinkan atau rujukan memungkinkan atau rujukan
ke poliklinik mata terdekat ke poliklinik mata terdekat
bila terdapat keluhan bila terdapat keluhan
penurunan virus. penurunan virus.
• Pemeriksaan darah dan urine • Pemeriksaan darah dan
sesuai dengan ketersediaan urine sesuai dengan
fasilitas. ketersediaan fasilitas.
• Tata laksana dan rujukan • Tata laksana dan rujukan
sesuai dengan temuan. sesuai dengan temuan.

40
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

2 Screening TBC • Pemeriksaan gejala/tanda • Pemeriksaan gejala/tanda


klinis TBC, pemeriksaan klinis TBC, pemeriksaan
rontgen thorax bila fasilitas rontgen thorax bila fasilitas
tersedia. tersedia.
• Pemeriksaan sputum sesuai • Pemeriksaan sputum sesuai
indikasi. indikasi.
• Tata laksana TBC sesuai • Tata laksana TBC sesuai
temuan. temuan.

3 Screening • Rujukan untuk pemeriksaan • Rujukan untuk pemeriksaan


Hepatitis B serologi Hepatitis bila serologi Hepatitis bila
terdapat gejala/tanda klinis. terdapat gejala/tanda klinis.
• Tata laksana dan • Tata laksana dan
• Rujukan sesuai temuan. • Rujukan sesuai temuan.

4 Screening IMS • Pendekatan sindromik untuk • Pendekatan sindromik untuk


IMS serta pemeriksaan IMS serta pemeriksaan
genitalia eksterna untuk genitalia eksterna untuk
deteksi keberadaan tubuh deteksi keberadaan tubuh
vagina, Ulkus Molle, Herpes vagina, Ulkus Molle, Herpes
Genitalis, Kondiloma Genitalis, Kondiloma
Akuminata, Limfogranuloma Akuminata, Limfogranuloma
Venereum, dll. Venereum, dll.
• Tata laksana dan rujukan • Tata laksana dan rujukan
sesuai dengan temuan. sesuai dengan temuan.

5 Screening • Rujukan ke sarana VCT • Rujukan ke sarana VCT


HIV/AIDS terdekat bila terdapat faktor terdekat bila terdapat faktor
resiko untuk HIV/AIDS. resiko untuk HIV/AIDS.

6 Terapi presum- • Pirantel Pamoat dosis • Pirantel Pamoat dosis


tif Klamidia dan tunggal. tunggal.
Kecacingan
7 Asesment • Deteksi ansietas dan depresi • Deteksi ansietas dan depresi
psikologis dengan Skala Hamilton dengan Skala Hamilton

8 Rehabilitasi • Konseling • Konseling


Psikologis
Sumber: Diadopsi dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi
Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

41
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Jika teridentifikasi bahwa seseorang yang diduga korban TPPO adalah


korban TPPO, maka langkah-langkah terkait rehabilitasi kesehatan
yang harus dilakukan yakni: Pertama, Penerimaan Rujukan Korban.
Petugas medis menerima data korban TPPO, data perkembangan
kondisi, serta rekomendasi intervensi pemulihan lanjutan korban
TPPO dan melakukan observarsi terhadap data tersebut. Kedua,
Triase. Petugas medis melakukan triase (cara memilih dan memilah
pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia)
dan menentukan layanan lanjutan apa saja yang akan diberikan
kepada korban TPPO setelah melakukan: (a). Anamnesa. Merupakan
proses wawancara untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang
berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap
penyakitnya; (b). Pemeriksaan fisik; (c). Pemeriksaan penunjang
diagnostic. Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk menunjang
penegakan diagnosis penyakit.
Ketiga, Pertolongan Pertama Sesuai Dengan Kondisi Korban: (a).
Korban kritis atau semi kritis akan ditangani di Instalasi Gawat Darurat
(IGD), sesuai dengan prosedur yang berlaku. Apabila diperlukan dapat
dikonsultasikan dan/atau dirujuk ke dokter spesialis terkait atau ke
kamar operasi (OK) dan/atau Intensive Care Unit (ICU) dan/atau High
Care Unit (HCU). Setelah penanganan oleh dokter spesialis ataupun OK,
ICU, HCU dan kondisi korban TPPO membaik, maka korban TPPO akan
mendapatkan layanan lanjutan; (b). Korban TPPO non kritis akan
langsung mendapatkan pemeriksaan medikolegal dan penanganan
lanjutan sesuai kebutuhan; (c). Dalam rangka mendapatkan pelayanan
gratis, korban TPPO harus dilengkapi surat rujukan dari Dinas Sosial
cq. panti yang bersangkutan.
Keempat, Penanganan Lanjutan: (a). Tindakan medis merupakan
tindakan yang bersifat operatif dan non operatif yang dilakukan baik
untuk tujuan diagnostik maupun pengobatan; (b). Konsultasi spesia-
listik sesuai kebutuhan; (c). Pulang/rawat jalan atau rawat inap sesuai
kebutuhan korban. Kelima, Perekaman Intervensi dan Perkembangan
Kondisi Korban TPPO dalam Dokumen Database. Perkembangan

42
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

kesehatan korban dipantau secara teratur, dan hasilnya direkam


dalam buku rekam kasus, yang kemudian diadministrasikan dalam
sistem database terkomputerisasi. Keenam, Rekomendasi Penanga-
nan Tindak Lanjut. Petugas medis (fisik dan psikis) dan sosial bersama
dengan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu melakukan case conference
dan memutuskan rekomendasi penanganan lanjutan/rekomendasi
pemulangan.
Rehabilitasi Sosial untuk Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan korban TPPO dari gangguan kon-
disi psikososial akibat TPPO dan pengembalian keberfungsian sosial
secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Rehabi-
litasi Sosial ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan
memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban TPPO
sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Pelayanan rehabilitasi sosial dilakukan oleh Kementerian Sosial dan
dapat juga dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Rehabilitasi
sosial harus dilakukan oleh pekerja sosial, petugas pendamping sosial,
konselor, psikolog dan psikiater yang telah mendapatkan pelatihan
penanganan rehabilitasi sosial untuk korban TPPO, dengan prinsip-
prinsip Hak Asasi Manusia, gender dan anak.
Jika rehabilitasi sosial dilakukan langsung di Rumah Perlindungan
seperti Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindu-
ngan Sosial Wanita (RPSW), Rumah Pelayanan Sosial Anak (RPSA) baik
di pusat dan daerah, maka sumber pendanaan berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tercantum dalam Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Sosial. Sedangkan,
jika rehabilitasi sosial dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat di
Kabupaten/Kota, maka sumber pendanaan bisa diperoleh dari Ang-
garan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pen-
dapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan cara berkoordinasi dengan
Dinas Sosial setempat.

43
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, terdapat sejumlah prinsip


khusus yang tidak boleh diabaikan, yakni: (1). Keamanan, yaitu membe-
rikan perlindungan kepada korban TPPO yang dilaksanakan di tempat
khusus agar dapat memberi rasa aman terhadap korban TPPO dalam
jangka tertentu; (2). Efektifitas, yaitu korban TPPO ditangani segera
tanpa prosedur yang berbelit-belit; (3). Profesional, yaitu penanganan
korban TPPO dilakukan secara tepat, sistematis dan terukur oleh te-
naga terlatih; (4). Keterpaduan, yaitu rehabilitasi sosial dilaksanakan
secara bersama dan lintas sektor dalam satu pelayanan di Pusat Pela-
yanan Terpadu.
Rehabilitasi sosial untuk korban TPPO, harus dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, Penerimaan Korban TPPO
atau Rujukan Korban TPPO. Petugas menerima korban TPPO, data diri,
data perkembangan kondisi korban, serta rekomendasi intervensi
pemulihan lanjutan (jika korban TPPO rujukan atau sudah mendapat-
kan penanganan rehabilitasi psikososial dari lembaga lain) dan mela-
kukan analisis terhadap data tersebut.
Kedua, Pelaksanaan Konseling Awal. Konselor melakukan konseling
awal dan melakukan pemeriksaan kondisi psikis untuk membuat
perencanaan tindakan rehabilitasi sosial. Konseling awal dilakukan
dengan melihat atau verifikasi dokumen rekam kasus dan rekam
kondisi dengan tujuan antara lain agar membantu korban mengenali
permasalahannya dan menemukan cara-cara yang efektiif untuk me-
ngatasinya sendiri, menata masa depannya sendiri serta membantu
korban dalam proses layanan keseluruhan yang dijalaninya. Pada
tahap ini konselor lebih menekankan pada penggalian masalah dan
keinginan korban dalam rangka penyelesaian kasusnya;
Ketiga, Kesepakatan Jadwal Konseling. Konselor membuat kesepaka-
tan dengan korban TPPO untuk perencanaan jadwal konseling setelah
diberikan informasi tentang kegiatan rehabilitasi dan hak-hak korban
TPPO; Keempat, Penjangkauan atau Penelusuran. Petugas wajib mela-
kukan penjangkauan/penelusuran terhadap keluarga korban TPPO,
guna mendukung proses pemulangan dan reintegrasi.

44
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Kelima, Layanan Shelter/Rumah Aman. Jika korban TPPO membutuh-


kan tempat tinggal sementara sebelum dipulangkan ke tempat tinggal
atau daerah asalnya, maka korban TPPO diantar oleh petugas untuk
tinggal di shelter dan mendapatkan layanan rehabilitasi lanjutan. Pem-
berian pelayanan bagi korban TPPO di shelter harus memperhatikan:
(1). Pemberian informasi kepada korban TPPO tentang kegiatan di
shelter, hak-haknya, dan mendapatkan kesanggupan atau kesepaka-
tan darinya untuk menerima kegiatan dan peraturan-peraturan yang
berlaku di shelter; (2). Fasilitas tempat penampungan sesuai standar,
misalnya akomodasi, makanan, sandang, kebutuhan perempuan,
fasilitas komunikasi, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan, rekreasi,
kegiatan pengisi waktu, dan sebagainya;
(3). Selama pelayanan berlangsung, korban TPPO yang berusia anak
berhak mendapatkan hak dasar anak termasuk hak untuk pendidikan
dan akses terhadap orang tua, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak; (4). Penempatan, fasilitas, dan akomodasi yang
berbeda untuk korban TPPO dengan korban TPPO yang berusia anak.
Bagi anak yang menjadi korban TPPO yang mempunyai pendamping,
diatur agar dapat tinggal bersama dengan pendampingnya;
(5). Penempatan, fasilitas, dan akomodasi yang berbeda bagi pe-
rempuan dan laki-laki. Jika diperlukan, akan disediakan pula fasilitas
yang berbeda bagi korban TPPO yang mengalami eksploitasi seksual
dalam TPPO; (6). Keamanan dan penjagaan lingkungan harus mak-
simal; (7). Pengawalan bagi korban TPPO baik dalam situasi darurat
maupun situasi normal; (8). Menghormati etnis, kultur, kepercayaan
dan agama korban TPPO, serta kebebasan melakukan ibadah; (9).
Memberikan layanan bimbingan rohani; dan (10). Kegiatan pengisi
waktu yang bermanfaat bagi pemberdayaan korban TPPO.
Keenam, Rehabilitasi Lanjutan. Pada kegiatan rehabilitasi lanjutan
dilakukan konseling oleh petugas kepada korban TPPO untuk mencari
solusi langkah-langkah penyelesaian kasusnya. Konseling lanjutan ini
dapat dilakukan di dalam maupun di luar shelter. Setelah petugas
pendamping sosial atau konselor melakukan pemeriksaan kondisi

45
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

psikis korban TPPO dan perencanaan rehabilitasi sosial berdasarkan


kesepakatan proses rehabilitasi sosial, maka dilakukan konseling
antara lain berupa konseling rutin, konseling kelompok, berbagai
program rehabilitasi sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan korban
TPPO. Konseling pada tahap lanjutan ini bisa dilakukan oleh pekerja
sosial atau psikolog tergantung dari masalah yang dialami korban.
Dalam beberapa kasus yang tidak dapat terpecahkan, maka perlu
dilakukan case conference; baik antara internal petugas di dalam satu
lembaga, atau dapat juga dilakukan dengan mengundang ahli dari luar.
Bila korban tidak tinggal di dalam shelter, atau korban tidak dapat
datang ke tempat layanan maka penanganan lanjutan tersebut harus
melibatkan keluarga/orang-orang lain di lingkungan korban dengan
cara melakukan kunjungan ke rumah (home visit)
Ketujuh, Perekaman Intervensi dan Perkembangan Kondisi dalam Do-
kumen Database Korban TPPO. Perkembangan kondisi psikis korban
TPPO dipantau secara teratur, dan hasilnya direkam dalam buku
rekam kasus kemudian diadministrasikan dalam sistem database ter-
komputerisasi. Kedelapan, Rekomendasi Penanganan Tindak Lanjut.
Setelah dilakukan beberapa kali konseling, petugas rehabilitasi sosial
atau konselor bersama dengan ketua Pusat Pelayanan Terpadu mela-
kukan case conference dan memutuskan rekomendasi penanganan
lanjutan/rekomendasi pemulangan.
Keseluruhan langkah diatas pada dasarnya menjelaskan bahwa laya-
nan konseling, layanan bimbingan rohani dan penyediaan rumah aman
(shelter) merupakan substansi dari rehabilitasi sosial bagi korban
TPPO. Ketiga jenis layanan rehabilitasi sosial ini harus dilaksanakan
secara terpadu, simultan, komplementer dan dapat dijabarkan se-
bagai berikut:
1. Penyediaan Rumah Aman (Shelter)
Rumah aman adalah tempat bernaung sementara yang dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan dan rasa aman pada korban keke-
rasan atau korban tindak pidana, termasuk korban TPPO. Tidak semua

46
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

korban kekerasan atau korban tindak pidana, termasuk korban TPPO


membutuhkan layanan rumah aman (shelter).
Ada beberapa kriteria yang dapat dipergunakan oleh pengelola rumah
aman untuk memutuskan apakah seorang korban dapat tinggal di
rumah aman dan mendapatkan layanan, diantaranya: Pertama, korban
terancam jiwanya; Kedua, korban mendapat penolakan dari keluarga
atau masyarakat; Ketiga, korban memerlukan pelayanan intensif,
namun rumah tinggalnya relatif jauh; Keempat, korban tidak mungkin
tinggal dengan keluarga karena berbagai alasan; Kelima, korban akan
terlantar, jika tidak ditempatkan dalam rumah aman; dan Keenam, kor-
ban juga dapat tinggal di rumah aman dengan alasan untuk keperluan
persiapan proses hukum.
Jika seorang korban TPPO diputuskan untuk harus tinggal di rumah
aman dan mendapatkan layanan, maka yang wajib dipersiapkan ada-
lah pelayanan jangka pendek dan panjang. Hal ini menjadi penting
karena berapa lama korban TPPO akan tinggal di rumah aman sangat
tergantung kepada kebutuhan dan kesiapan korban TPPO untuk kem-
bali ke keluarga dan lingkungannya.
Box 7:
PROTAP PENERIMAAN KORBAN DI RUMAH AMAN/SHELTER VERSI
RUMAH PEREMPUAN KUPANG
1. Korban diterima di shelter oleh petugas.
2. Korban membaca dan menandatangani perjanjian masuk shelter dengan di-
saksikan oleh saksi/keluarga/pendamping. (NB: Bila korban adalah anak, maka
persetujuan masuk shelter ditandatangani oleh orangtua/wali/pendamping).
3. Konselor/pendamping menjelaskan peraturan selama di shelter.
4. Pendamping mendokumentasikan perkembangan korban di shelter (fisik, psi-
kis, seksual).
5. Bila masa tinggal di shelter berakhir, korban menandatangani surat meninggal-
kan shelter.
6. Konselor wajib membuat surat yang menjelaskan kondisi korban saat
meninggalkan shelter.
Sumber: Diolah dari Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Rumah Perem-
puan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.

47
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

2. Layanan Bimbingan Rohani


Bimbingan rohani adalah hubungan timbal balik (interpersonal rela-
tionship) antara tokoh agama/pembimbing rohani sebagai konselor
dengan konselenya (korban) dalam mana konselor mencoba membim-
bing konselenya ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang
ideal atau condusive atmosphere.
Pelayanan bimbingan rohani diharapkan dapat menjadikan konsele
benar-benar mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada
dirinya sendiri, mengenali kelemahan dan kekuatannya, sekaligus
memotivasi dan memberdayakan mereka menuju perubahan perilaku
diri, sehingga konselenya mampu melihat tujuan hidupnya dalam
relasi dan tanggung jawabnya pada Allah dan mencoba mencapai
tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang
sudah diberikan Allah kepadanya.
Layanan bimbingan rohani terhadap korban TPPO pada tahapan
rehabilitasi sosial, harus dilakukan dengan tidak ada pemaksaan ter-
kait agama atau keyakinan manapun. Idealnya, pelayanan bimbingan
rohani harus dilakukan oleh tokoh agama/konselor yang seiman/
sekeyakinan dengan konsele, dalam hal ini korban TPPO.
3. Layanan Konseling
Konseling adalah pemberian bantuan oleh seseorang yang ahli atau
orang yang terlatih sedemikian rupa sehingga pemahaman dan
kemampuan psikologis diri korban meningkat dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi. pelayanan konseling untuk korban TPPO
pada dasarnya bertujuan untuk: (a). Membantu korban mengenali
permasaalahannya dan menemukan cara-cara yang efektif untuk
mengatasi persoalannya sendiri; (b). Memberdayakan korban untuk
dapat memutuskan masa depannya sendiri; (c). Menguatkan korban
dalam menghadapi proses yang dijalaninya; (d). Membuat korban
merasa diterima dan tidak dihakimi.

48
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Box 8:
PROTAP KONSELING & BIMBINGAN ROHANI VERSI
RUMAH PEREMPUAN KUPANG
1. Konsele diterima konselor.
2. Bila kondisi konsele dalam situasi kritis, maka langkah awalnya konselor
langsung memberikan pertolongan pertama dan apabila kondisi konsele parah,
konselor segera membawanya ke dokter.
3. Penggalian informasi awal (identitas) dari konsele. Bila konsele adalah anak,
maka penggalian informasi dilakukan dengan orangtua, wali atau pendamping.
4. Penggalian masalah dengan prinsip konseling berperspektif korban dan kalau
korbannya adalah perempuan, maka perspektif gender tidak boleh diabaiakan:
(a). Tidak mengadili korban/nonjudgement; (b). Membangun hubungan yang
setara/egaliter; (c). Memegang prinsip self determination atau keputusan
ditangan korban; (d). Melakukan pemberdayaan atau empowerment
(penyadaran gender, menjelaskan tentang hak-hak korban, memberikan
dukungan, membantu memberikan pertimbangan atau solusi, membantu
memahami masalahnya); (e). Menjaga kerahasiaan korban.
5. Konselor dan konsele (bila anak dengan orangtua/wali, keluarga korban yang
mendampingi) membuat kesepakatan tentang: rujukan, tindak lanjut
penyelesaian masalah, peran konselor dan konsele (bila anak dengan
orangtua/wali, keluarga konsele yang mendampingi).
6. Kesepakatan rujukan termasuk rujukan ke psikolog bila konselor merasa
konsele membutuhkan therapy khusus oleh psikolog.
7. Konselor membuat dokumentasi (lisan, tertulis, visual): identitas konsele,
kronologi kasus, layanan yang diberikan, kondisi konsele (psikis, fisik, seksual).
Sumber: Diolah dari Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Rumah Perem-
puan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.

Pelayanan konseling ini harus dilakukan oleh petugas (konselor) yang


telah dididik/terlatih dan memiliki perspektif korban. Dalam melaku-
kan konseling, seorang konselor harus memastikan bahwa konseling
untuk korban dilakukan di tempat yang menjamin rasa aman, nyaman
dan kerahasiaan informasi.

49
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Bantuan Hukum untuk Korban


Tindak Pidana Perdagangan Orang
Bantuan hukum merupakan tindakan yang terkait dengan penanganan
dan perlindungan korban TPPO di bidang hukum. Bantuan hukum ini
dilakukan mulai dari tingkat pemeriksaan di Kepolisian, penuntutan di
Kejaksaan, proses sidang di Pengadilan hingga pemberian restitusi
yang diberikan dalam kerangka pemenuhan hak asasi korban TPPO
dan dilakukan secara terintegrasi dengan pelayanan lainnya.
Tujuan dari diberikannya bantuan hukum bagi korban TPPO adalah
untuk memenuhi hak-hak korban TPPO di bidang hukum guna mem-
peroleh hak atas kebenaran dan keadilan atas kasus yang dialaminya.
Bantuan hukum yang diberikan bagi korban TPPO harus dilakukan
secara terintegrasi dengan pelayanan lainnya.
Bantuan hukum untuk korban TPPO dilaksanakan oleh Advokat, Para-
legal/Pendamping hukum, Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) dan pihak penyedia layanan hukum lain
dengan cuma-cuma. Bentuk bantuan hukum bagi korban TPPO antara
lain mencakup pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan maupun peraturan kebijakan yang berlaku.
Dari aspek pidana, bantuan hukum bagi korban TPPO adalah mem-
bantu dan mendampingi korban TPPO di setiap tahapan proses per-
adilan sampai memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum
tetap serta memperoleh restitusi. Secara perdata, bantuan hukum
bagi korban TPPO dilakukan dengan membantu dan mendampingi
korban dalam mengajukan gugatan perdata sampai memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap serta eksekusi putusan.
Bantuan hukum berupa penyelidikan dan penyidikan (meliputi pem-
buatan Berita Acara dan pengejaran tersangka) yang dilakukan oleh
Aparat Penegak Hukum didanai dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Kasus TPPO yang ditangani Aparat Penegak

50
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Hukum adalah kasus TPPO yang terjadi antar Provinsi dan antar
Negara. Keperluan korban TPPO selama menjalani proses bantuan
hukum, seperti shelter, transportasi untuk bersaksi di pengadilan
(pilihan) dan sebagainya dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yang
bekerjasama dengan jejaring Pusat Pelayanan Terpadu. Kasus TPPO
yang terjadi antar daerah Kabupaten/Kota di Dalam Negeri yang di-
tangani oleh Aparat Penegak Hukum Daerah, maka kegiatan ini didanai
oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Langkah-langkah dalam rangka memberikan layanan bantuan hukum
bagi korban TPPO adalah sebagai berikut: Pertama, Pusat Pelayanan
Terpadu menerima laporan yang dilaporkan oleh korban TPPO atau
dilaporkan oleh keluarga korban, pendamping, Polisi, petugas instansi
terkait, atau rujukan dari proses sebelumnya. Kedua, melakukan iden-
tifikasi korban dan alat bukti yang terkait dengan TPPO. Apabila kor-
ban teridentifikasi mengalami TPPO dan membutuhkan perlindungan,
petugas mengajukan surat permohonan perlindungan korban TPPO ke
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan/atau segera
dirujuk ke shelter/rumah aman. Apabila korban TPPO membutuhkan
intervensi medis dan guna kepentingan alat bukti (visum et repertum,
visum et psikiatrikum, surat keterangan psikolog), maka harus dirujuk
ke Rumah Sakit.
Ketiga, membantu korban TPPO untuk mengidentifikasi dan menyiap-
kan bukti-bukti yang ada seperti paspor/fotokopinya, kuitansi pemba-
yaran makan, kuitansi pembelian tiket pesawat, beserta boarding
pass, airport tax, surat kontrak kerja, slip pembayaran gaji, dan seba-
gainya. Keempat, pada setiap tahapan proses hukum, korban TPPO
wajib didampingi advokat, paralegal/pendamping hukum. Kelima,
menyediakan penerjemah yang mampu berkomunikasi dan menerje-
mahkan secara verbal dan tertulis, tersumpah, kompeten dan terlatih
mengenai TPPO dan pelayanan yang berprinsip Hak Asasi Manusia,
gender, dan anak (terlatih yang berperspektif Hak Asasi Manusia,
gender, dan anak). Penyediaan penerjemah disesuaikan kebutuhan
korban TPPO.

51
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Box 9:
ALAT BUKTI/BARANG BUKTI DALAM KASUS TPPO
1. Alat bukti/barang bukti dalam kasus TPPO harus berdasarkan apa yang telah
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 39 ayat (1) KUHAP, yakni: a.
Keterangan Saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa;
f. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; h. benda yang
telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya; i. benda yang digunakan untuk menghalanghalangi penyelidikan
tindak pidana; j. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana; k. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
2. Pasal 29 UUPTPPO juga mengakui alat bukti/barang bukti berupa: a. informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: Pertama, tulisan, suara,
atau gambar; Kedua, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau Ketiga, huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau memahaminya. Bahkan, dalam Pasal 30 UUPTPPO
dinyatakan dengan tegas bahwa: “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan
seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah,
apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya”.
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik
sebagaimana yang dimaksud dengan dalam Pasal 29 UUPTPPO misalnya: data yang
tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan
lainnya seperti: a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan
kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau
korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang; b.
catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi
yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau c.
dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara
asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang
negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan
dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Sumber: Diolah berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang dan UU
No. 8 tahun 1981, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

52
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Box 10:
STANDAR PENGAMBILAN KETERANGAN DAN/ATAU KESAKSIAN
KORBAN TPPO DALAM PRESPEKTIF KORBAN
1. Pengambilan keterangan/kesaksian harus difokuskan untuk pemenuhan unsur pa-
sal dan harus dilakukan oleh petugas yang terlatih secara khusus untuk menangani
kasus TPPO, termasuk dilatih khusus untuk melakukan wawancara. (NB: Berha-
dapan dengan korban anak-anak, petugas yang menangani haruslah petugas yang
secara khusus dilatih untuk melakukan pemeriksaan terhadap anak-anak).
2. Atas permohonan korban, maka petugas yang mengambil keterangan harus ber-
jenis kelamin sama dengan korban.
3. Pengambilan keterangan/kesaksian harus dilakukan dalam lingkungan atau sua-
sana profesional, yang tidak konfrontatif dan tidak menyudutkan korban (non-
judgmental). Jika korban memilih untuk didengar keterangannya bukan di kantor
polisi, maka permohonan yang demikian haruslah dikabulkan, kecuali kepentingan
penyidikan mengharuskan lain.
4. Jika seorang korban mengajukan permohonan agar didampingi misalnya oleh se-
orang teman, pekerja sosial atau petugas dari lembaga swadaya masyarakat sela-
ma proses pemeriksaan berlangsung, maka keinginan itu harus dikabulkan. (NB:
Namun demikian, haruslah dijelaskan kepada korban bahwa pendamping tersebut
pada tahap penanganan perkara selanjutnya, tidaklah berkedudukan sebagai saksi).
5. Korban setiap saat diperkenankan pergi meninggalkan ruang pemeriksaan.
6. Pengambilan keterangan/kesaksian; jika kemungkinan, tidak boleh dilakukan lebih
dari dua jam.
7. Pertanyaan yang diajukan serta teknik/cara bertanya haruslah bersifat tidak me-
nyudutkan korban; sewaktu memeriksa korban petugas memeriksa tidak boleh
mengajukan pertanyaan yang mengesankan meragukan integritas (kejujuran)
korban, yakni pertanyaan yang memindahkan beban tanggungjawab atas kejaha-
tan yang dialami ke atas pundak korban atau yang secara langsung menyalahkan
korban atas derita yang dialaminya. Dalam kasus TPPO, pelacuran ataupun bentuk-
bentuk eksploitasi seksual lainnya, pertanyaan tentang riwayat seksual korban
yang tidak memiliki relevansi langsung dengan kasus yang sedang diperiksa tidak
boleh diajukan.
8. Jika diperlukan, pada waktu pengambilan keterangan/kesaksian korban, haruslah
disediakan penerjemah yang kompeten dan berkualitas.
Sumber: Diadopsi dari Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017,
hal. 62-63.

Keenam, Polisi terlatih yang berperspektif Hak Asasi Manusia, gender,


dan anak setelah menerima laporan dari korban, kuasa korban atau
pendamping korban, segera melakukan penyelidikan dan penyidikan,
menyampaikan kepada korban atas hak-hak korban termasuk restitu-

53
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

si, menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Ketu-


juh, setelah pembuatan laporan Polisi dan melengkapi administrasi
penyidikan, penyidik segera membuat Surat Pemberitahuan Dimulai-
nya Penyidikan (SPDP).
Kedelapan, jika Surat Pemberitahuan Dimulai-nya Penyidikan sudah
dikirim ke Kejaksaan, Polisi dan Jaksa Penuntut Umum dapat
melakukan koordinasi dan kerjasama dalam penanganan TPPO yang
telah dilaporkan oleh korban, termasuk penerapan pasal-pasalnya,
sehingga bolak-baliknya perkara dapat diminimalisir sedini mungkin.
Kesembilan, Jaksa Penuntut Umum terlatih yang berperspektif Hak
Asasi Manusia, gender, dan anak setelah menerima berkas perkara
dari penyidik, kemudian meneliti berkas perkara, memberikan surat
keterangan terkait pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah
lengkap (P21) kepada kepolisian, melaksanakan pra-penuntutan, pen-
dakwaan, penuntutan, dan eksekusi.
Kesepuluh, Hakim terlatih yang berperspektif Hak Asasi Manusia,
gender, dan anak memeriksa berkas penuntutan dan memutus perka-
ra dan Hakim dapat mempertimbangkan untuk memutuskan secara
profesional, restitusi yang menjadi hak korban serta melalui putusan
Hakim mewajibkan pelaku TPPO untuk memberikan restitusi dimaksud
kepada korban.
Kesebelas, advokat, paralegal atau pendamping hukum membantu dan
mendampingi korban TPPO di setiap tahapan proses sidang peradilan
pidana, sampai memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap
serta korban memperoleh restitusi.
Keduabelas, advokat, paralegal atau pendamping hukum membantu
dan mendampingi korban TPPO dalam mengajukan gugatan perdata
sampai korban memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap
serta eksekusi putusan.

54
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Ketigabelas, advokat, paralegal atau pendamping hukum mendam-


pingi dan menyiapkan kondisi fisik dan psikis korban TPPO dalam
setiap tahap proses peradilan pidana, perdata, dan administrasi.
Box 11:
PERLAKUAN TERHADAP KORBAN DALAM PENEGAKAN HUKUM
KASUS TPPO VERSI UUPTPPO
1. Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan terkait kasus TPPO, keterangan saksi dapat diberikan secara
jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual (Pasal 34 UUPTPPO).
2. Selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
saksi dan/atau korban berhak: Pertama, didampingi oleh advokat dan/atau
pendamping lainnya yang dibutuhkan (Pasal 35 UUPTPPO). Kedua, mendapatkan
informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. Informasi
tentang perkembangan kasus dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap
tahap pemeriksaan (Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) UUPTPPO). Ketiga, meminta
kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang
pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 37 ayat (1) UUPTPPO).
3. Menurut Pasal 37 ayat (2) UUPTPPO, jika saksi dan/atau korban akan memberikan
keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan
terdakwa untuk keluar ruang sidang. Selanjutnya pemeriksaan terdakwa dapat
dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang
diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang
pengadilan (Pasal 37 ayat (3) UUPTPPO).
4. Dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap saksi dan/atau korban anak dalam kasus TPPO, harus dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga
atau pakaian dinas (Pasal 38 UUPTPPO).
5. Sidang kasus TPPO untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam
sidang tertutup dan wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau
pendamping lainnya (Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UUPTPPO).
6. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, juga harus dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa (Pasal 39 ayat (3) UUPTPPO).
7. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat
dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman (alat rekam audio, dan/atau
audio visual) dan harus di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini penyidik
atau penuntut umum (Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UUPTPPO).
Sumber: Diolah dari UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang.

55
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Keempatbelas, dalam hal korban TPPO adalah anak, maka pemeriksa-


an pada semua tahapan, wajib didampingi oleh pendamping dan ke-
mudian direkam sebagai alat bukti untuk mewakili kehadiran korban
anak di sidang pengadilan. Segala bantuan hukum terhadap korban
anak harus menjamin penghormatan dan penegakan hak-hak anak
untuk bertahan hidup, pengembangan, perlindungan dan partisipasi,
serta kebutuhan akan perlindungan khusus demi kepentingan terbaik
bagi anak.
Kelimabelas, advokat, paralegal atau pendamping hukum harus ber-
koordinasi dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam
pemantauan proses hukum; Keenambelas, setiap tahapan dalam pro-
sedur bantuan hukum direkam dalam buku rekam kasus dan diadmi-
nistrasikan dalam sistem data base penanganan korban TPPO. Ketu-
juhbelas, apabila TPPO terjadi di Luar Negeri, perwakilan Repulik Indo-
nesia di Luar Negeri harus menyediakan dan menunjuk advokat atau
paralegal atau pendamping hukum, bagi korban TPPO sesuai dengan
kebutuhan proses hukum.
Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam Pasal 1 angka 13 UUPTPPO, restitusi diartikan sebagai pembaya-
ran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putu-
san pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil
dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Dengan pe-
ngertian yang seperti ini, maka setiap korban TPPO atau ahli warisnya
berhak untuk memperoleh restitusi.
Restitusi untuk setiap korban TPPO atau ahli warisnya, berupa ganti
kerugian atas: Pertama, kehilangan kekayaan atau penghasilan; Ke-
dua, penderitaan; Ketiga, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/
atau psikologis; serta Keempat, kerugian lain yang diderita korban se-
bagai akibat perdagangan orang, seperti: kehilangan harta milik, biaya
transportasi dasar, biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan
dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan
pelaku.

56
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Box 12:
RESTITUSI VERSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2014, TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006, TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
1. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga (Pasal 1 angka 11 UUPSK). Dalam pasal 7A ayat (1)
UUPSK, ditegaskan bahwa Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi
berupa: a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Ganti
kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai
akibat tindak pidana; dan/atau c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau
psikologis.
2. Terkait dengan restitusi, Pasal 7A ayat (3) s/d ayat (6) UUPSK, mengegaskan bahwa:
Pertama, Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); Kedua, Dalam hal permohonan
Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk
dimuat dalam tuntutannya; Ketiga, Dalam hal permohonan Restitusi diajukan
setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK
dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
Keempat, Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan
kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.
3. Dalam menyelenggarakan tugas, LPSK berwenang melakukan penilaian ganti rugi
dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi (Pasal 12A huruf j UUPSK).
Sumber: Diadopsi dari Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017,
hal. 153-154.

Mekanisme untuk mendapatkan restitusi bagi korban TPPO meliputi


langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, pengajuan restitusi dilaks-
anakan sejak korban melaporkan kasus TPPO yang dialaminya kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh pe-
nyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan;
Kedua, Penuntut Umum memberitahukan kepada korban tentang
haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum me-
nyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat TPPO ber-
samaan dengan tuntutan (NB: Mekanisme ini tidak menghilangkan hak
korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Selain itu,

57
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

restitusi bagi korban TPPO dapat juga diajukan melalui dan/atau oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);
Ketiga, restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat
perkara diputus; Keempat, penitipan restitusi dalam bentuk uang di
pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Ketentuan ini disamakan dengan konsinyasi dalam proses
penanganan perkara perdata.
Tabel 3:
KONSINYASI MENURUT KUHPerdata
PENGERTIAN
Konsinyasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam
Pasal 1404 s/d Pasal 1412. Konsinyasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata
“Consignatie” yang berarti “Penitipan uang atau barang pada pengadilan guna
pembayaran satu utang”.
Dalam praktek hukum perdata, penitipan uang atau barang pada pengadilan guna
pembayaran satu utang harus diawali dengan penawaran kesiapan membayar
(Aanbod Van Gereede Betaling). Proses konsinyasi meliputi dua tahapan yang meliputi
penawaran dan penitipan uang atau barang. Penawaran dan penitipan pada proses
konsinyasi haruslah disahkan dengan penetapan hakim.
Konsinyasi hanya mungkin dilakukan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang
atau menyerahkan barang-barang bergerak. Konsinyasi tidak berlaku bagi
perikatan/perjanjian untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk
barang-barang tidak bergerak.
SYARAT DAN MEKANISME KONSINYASI
Ada tiga syarat yang diamanatkan dalam Pasal 1405 KUHPerdata, terkait dengan
sahnya penawaran dalam terkait dengan Konsinyasi, yakni: Pertama, penawaran
harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya; Kedua, dilakukan oleh orang yang
berwenang melakukan pembayaran; Ketiga, penawarah harus meliputi: a. Seluruh
uang pokok; b. Bunga; c. Biaya yang telah ditetapkan; d. Uang untuk biaya yang belum
ditetapkan.
Penawaran harus dilakukan di tempat, di mana menurut persetujuan pembayaran
harus dilakukan, jika tidak ada persetujuan khusus maka penawaran harus ditujukan
kepada kreditur pribadi atau tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang
telah dipilih kreditur.
Penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita kedua-duanya disertai
dua orang saksi. Dengan diterimanya penawaran pembayaran, maka telah terjadi
pembayaran, akan tetapi jika penawaran pembayaran pembayaran tidak diterima,
maka debitur dapat menitipkan apa yang ditawarkan.

58
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Menurut Pasal 1406 KUHPerdata, penitipan uang atau barang dalam proses konsinyasi
adalah sah apabila telah memenuhi sejumlah syarat, yakni: Pertama, sebelum peni-
tipan, kreditur harus diberitahukan tentang hari, jam dan tempat dimana barang yang
ditawarkan akan disimpan; Kedua, debitur telah melepas barang yang ditawarkan,
dengan menitipkannya kepada kas penyimpanan atau penitipan di Kepaniteraan Pe-
ngadilan, akan mengadilinya Jika terjadi perselisihan, disertai bunga sampai pada
hari penitipan;
Ketiga, oleh Notaris atau Juru Sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi, dibuat se-
pucuk surat pemberitahuan, yang menerangkan wujudnya mata uang yang ditawar-
kan, penolakan kreditur atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya dan akhirnya
tentang penyimpanannya sendiri; Keempat, yang berutang mengajukan permohonan
tentang penawaran pembayaran dan penitipan tersebut ke Pengadilan Negeri yang
meliputi tempat di mana persetujuan pembayaran harus dilakukan (debitur sebagai
pemohon dan kreditur sebagai termohon). Kelima, dalam hal tidak ada persetujuan,
maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri di mana termohon (si berpiutang
pribadi) bertempat tinggal atau tempat tinggal yang dipilihnya; Keenam, permohonan
konsinyasi di daftar dalam register permohonan;
Ketujuh, Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri dengan
disertai dua orang saksi, dituangkan dalam surat penetapan untuk melakukan pe-
nawaran pembayaran kepada si berpiutang pribadi di tempat tinggal atau di tempat
tinggal pilihannya; Kedelapan, juru sita dengan disertai dua orang saksi menjalankan
perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut dan dituangkan dalam Berita Acara
tentang Pernyataan Kesediaan untuk Membayar (aanbod van gereede betaling);
Kesembilan, juru sita membuat berita acara pemberitahuan karena pihak berpiutang
menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan (konsignasi) di kas
kepaniteraan Pengadilan Negeri yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang
telah ditentukan dalam berita acara tersebut; Kesepuluh, Pada waktu yang telah
ditentukan, juru sita dengan diserta dua orang saksi menyerahkan uang tersebut
kepada panitera pengadilan negeri dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya
untuk disimpan dalam kas kepaniteraan pengadilan negeri sebagai uang konsignasi;
Kesebelas, agar supaya pernyataan kesediaan untuk membayar yang diikuti dengan
penyimpanan tersebut sah dan berharga, harus diikuti dengan pengajuan permoho-
nan oleh siberhutang terhadap berpiutang sebagai termohon kepada pengadilan ne-
geri, dengan petitum: (1). Menyatakan sah dan berharga penawaran pembayaran dan
penitipan sebagwai konsignasi; (2). Menghukum pemohon membayar biaya perkara.
AKIBAT HUKUM KONSINYASI
Penawaran yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi) merupakan pembayaran yang
memebebaskan debitur dari perikatan. Pembebasan tersebut mengakibatkan: a.
Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi atau pembatalan
perjanjian timbal balik dari kreditur dengan mengemukakan adanya konsinyasi. b.
Debitur tidak lagi berutang bunga, sejak hari penitipan. c. Sejak penitipan kreditur

59
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

menanggung risiko atas barangnya. d. Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat
menuntut prestasi kreditur.
Meskipun konsinyasi menimbulkan akibat hukum membebaskan debitur dan berlaku
sebagai pembayaran karena perikatan hapus, adalah tidak tepat dan kurang
mencerminkan keadilan karena berdasarkan ketentuan Pasal 1408 KUHPerdata yang
mengatakan bahwa selama kreditur tidak menerimanya, debitur dapat mengambilnya
kembali, hal tersebut tidak mungkin, jika perikatan hapus karena konsinyasi. Dalam
situasi seperti ini pembebasan debitur tidak bersifat tetap, sebab sebelum kreditur
menerima apa yang ditawarkan dan dititipkan debitur dapat mengambil kembali, baru
definitif jika kreditur menerimanya.
Debitur tidak dapat mengambil kembali barangnya dan utangnyapun hapus secara
definitif, jika telah ada penetapan hakim yang menyatakan penawaran pembayaran
dan penitipan adalah sah dan berharga dan mempunyai kekuatan hukum, karena
penetapan konsinyasi dimungkinkan adanya upaya hukum kasasi.
Sumber: Diadopsi dari Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017,
hal. 155-157.

Kelima, restitusi untuk korban TPPO atau ahli warisnya diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang per-
kara TPPO; Keenam, pemberian restitusi ini dilaksanakan sejak dija-
tuhkan putusan pengadilan tingkat pertama; Ketujuh, pemberian
restitusi dilakukan dalam empat belas hari terhitung sejak diberita-
hukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Kedelapan, pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua
pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti
pelaksanaan pemberian restitusi tersebut;
Kesembilan, setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti pelaksa-
naan pemberian restitusi, Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksa-
naan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan
dan salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi disampaikan
oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya; Kesepuluh, jika
pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi
sampai melampaui batas waktu empat belas hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka korban TPPO atau ahli warisnya memberitahukan hal ter-
sebut kepada Pengadilan;

60
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tabel 4:
PERBEDAAN ANTARA UUPTPPO DENGAN KUHPerdata TERKAIT
PENITIPAN GANTI RUGI DI PENGADILAN
PENITIPAN RESTITUSI DI
NO KONSINYASI MENURUT KUHPerdata
PENGADILAN VERSI UUPTPPO
1 Restitusi merupakan putusan pida- Merupakan hubungan perdata antara
na yang sekaligus dilaksanakan se- pihak Debitur dan Kreditur yang dimung-
suai dan disamakan dengan proses kinkan dilaksanakan sebelum adanya
penanganan perkara perdata dalam perkara atau sementara perkara ber-
kon-sinyasi (Pasal 48 ayat 5) jalan sebelum diputus.
2 Restitusi diberikan dan dicantum- Jika Kreditur menolak pembayaran,
kan sekaligus dalam amar putusan maka oleh Debitur melakukan penawa-
pengadilan dalam perkara TPPO ran pembayaran tunai atau penyerahan
(Pasal 48 ayat 3) barang sebagai pembayaran tunai atau
penyerahan barang sebagai pembayaran
utang kepada kreditur. Bila kreditur
menolak maka Debitur dapat menitip-
kannya ke Pengadilan
3 Atas perintah Hakim dalam perkara Agar konsinyasinya sah, tidak perlu ada-
pidana, restitusi dititipkan lebih da- nya kuasa Hakim cukup dengan menitip-
hulu di Pengadilan (Pasal 48 ayat 5) kan pada kuasa/penyimpanan di kepani-
traan Pengadilan yang akan menangani
perkaranya
4 Penitipan restitusi dalam bentuk Penitipan oleh Debitur dapat berupa
uang di Pengadilan (Penjelasan barang atau uang tunai (seluruh utang
Pasal 48 ayat 1) pokok dan bunga)
5 Restitusi merupakan pembayaran Penawaran dapat dilakukan oleh notaris
riil (factual) dari jumlah restitusi dilakukan oleh notaris atau jurusita pe-
yang diputus yang sebelumnya di- ngadilan dengan masingmasing disertai
titipkan pada pengadilan tingkat 2 orang saksi. Penitipan dapat dilakukan
pertama (Pasal 48 ayat 6) pada kas penyimpanan atau di penitipan
pada kepanitraan pengadilan yang akan
mengadili perkaranya.
Sumber: Diadopsi dari, IOM, Pedoman Penegakan Hukum dan perlindungan Korban Dalam Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit International Organization for Migration (IOM) Indonesia,
Jakarta, 2008, hal. 55.

61
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Kesebelas, setelah mendapatkan pemberitahuan dari korban atau ahli


warisnya, pengadilan wajib memberikan surat peringatan secara
tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban
memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya; Keduabelas,
jika surat peringatan dari pengadilan tidak dilaksanakan dalam waktu
empat belas hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk
menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk
pembayaran restitusi; Ketigabelas, jika pelaku tidak mampu memba-
yar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling
lama satu tahun.

62
4
TAHAPAN PEMULANGAN
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Pemulangan korban TPPO merupakan tindakan pengembalian korban


TPPO, dari luar negeri maupun dalam negeri ke daerah asal atau nega-
ra asal atau keluarga atau keluarga pengganti, atas keinginan dan
persetujuan korban TPPO, dengan tetap mengutamakan pelayanan
perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya. Itu berarti, pelayanan
pemulangan pada dasarnya ditujukan untuk memastikan perjalanan
sukarela yang aman dan terlindung bagi korban TPPO dari penam-
pungan atau tempat perlindungan, ke tempat tinggal yang layak sesuai
dengan keinginan korban TPPO.
Ada sejumlah prinsip khusus yang tidak boleh diabaikan dalam pela-
yanan pemulangan bagi korban TPPO, yakni: Pertama, sukarela. Pemu-
langan harus dilakukan secara sukarela, bukan pengusiran atau
pemaksaan; Kedua, aman dan bermartabat. Pemulangan dilakukan
dengan memperhatikan jaminan keamanan dari gangguan atau per-
lakuan yang menimbulkan kerugian dan melanggar hak dan martabat
korban TPPO; Ketiga, penghormatan hak korban. Pemulangan dilaku-
kan dengan menghormati hak-hak korban dan diperlakukan secara
manusiawi.
Dalam hal pemulangan korban TPPO yang berusia anak, perlu dipasti-
kan terlaksananya prinsip-prinsip hak anak, termasuk perlindungan
khusus demi kepentingan terbaik untuk anak. Apaila terdapat situasi
di mana pemulangan korban TPPO yang berusia anak secara aman
kepada keluarganya tidaklah memungkinkan, atau apabila pemula-
ngan tidaklah merupakan kepentingan utama/terbaik anak, maka
dibuat rencana perawatan yang memadai dengan menghormati hak-
hak dan martabat anak-anak yang menjadi korban TPPO.
Pemulangan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Secara konseptual, pemulangan korban TPPO dapat dibagi dalam em-
pat kategori, yakni: Pertama, pemulangan korban TPPO dari Luar Ne-
geri; Kedua, pemulangan korban TPPO dari Provinsi ke Kabupaten/
Kota; Ketiga, pemulangan korban TPPO dari Kabupaten/Kota ke keluar-

64
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

ga atau keluarga pengganti; dan Keempat, pemulangan warga negara


asing yang menjadi korban TPPO di Indonesia.
Walaupun pemulangan korban TPPO merupakan tahapan tersendiri
dalam penanganan korban TPPO, namun pemulangan korban TPPO
adalah sesuatu yang komplementer dengan tahapan pemulihan dan
tahapan terminasi. Hal ini disebabkan karena pemulangan korban
TPPO dari Provinsi ke Kabupaten/Kota dan pemulangan warga negara
asing yang menjadi korban TPPO di Indonesia, merupakan bagian dari
tahapan pemulihan. Sedangkan, untuk pemulangan korban TPPO dari
Kabupaten/Kota ke keluarga atau keluarga pengganti adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari tahapan terminasi.
Langkah-langkah dalam pemulangan korban TPPO mulai dari pemu-
langan korban TPPO dari Luar Negeri/Lintas Batas Negara ke titik de-
barkasi, pemulangan korban TPPO dari Provinsi ke Kabupaten/Kota
sampai dengan pemulangan korban TPPO dari Kabupaten/Kota ke ke-
luarga atau keluarga pengganti dan pemulangan warga negara asing
yang menjadi korban TPPO di Indonesia dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Pemulangan Korban TPPO dari Luar Negeri
Pendanaan pemulangan korban TPPO dari Luar Negeri ke titik debar-
kasi, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang tercantum dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Ke-
menterian Luar Negeri. Langkah-langkah pemulangan korban TPPO
dari Luar Negeri ke titik debarkasi adalah sebagai berikut: Pertama,
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri berkoordinasi dengan
pihak Kepolisian di Negara setempat untuk membantu meng-
identifikasi dan memberikan bantuan serta perlindungan kepada
korban TPPO;
Kedua, menempatkan korban TPPO sementara di penampungan Per-
wakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, sampai dengan kepulangan
atau selama dalam proses persidangan; Ketiga, apabila korban TPPO
berada di penampungan Negara setempat, Perwakilan Republik Indo-

65
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

nesia di Luar Negeri berkoordinasi dengan aparat hukum setempat


untuk memastikan bahwa korban TPPO mendapatkan perlakuan yang
layak dan hak-hak mereka dilindungi serta ijin tinggal mereka diurus;
Keempat, memastikan korban TPPO mendapatkan fasilitas pemulihan
(rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial) dari lembaga berwe-
nang di Negara setempat;
Kelima, Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri mengurus dan
membicarakan biaya pemulangan korban TPPO ke Indonesia dengan
pejabat berwenang di Negara setempat. Apabila Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri mengalami kesulitan dalam pemulangan kor-
ban TPPO, Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat mela-
kukan kerjasama dengan organisasi internasional yang mengurus
masalah TPPO;
Keenam, Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, melalui Ke-
menterian Luar Negeri, menghubungi instansi pemerintah pusat untuk
memberitahu mengenai tanggal pemulangan, jenis transportasi, pen-
damping, tujuan dan rute perjalanan, termasuk memberikan nama dan
alamat yang dapat dihubungi pada tempat-tempat persinggahan.
Informasi yang sama, juga harus disampaikan kepada korban. Pro-
sedur ini penting dilakukan untuk mengantisipasi jika terjadi keadaan
darurat.
Ketujuh, Instansi pemerintah pusat menghubungi Pemerintah Daerah
terkait untuk memastikan bahwa setelah dipulangkan, layanan pen-
dukung untuk pemulihan korban TPPO telah tersedia; Kedelapan,
Pejabat Kabupaten/Kota yang berwenang, meminta pernyataan se-
cara tertulis kesanggupan orang tua/wali dan lingkungannya dalam
menerima korban TPPO kembali ke dalam keluarga dan lingkungan
masyarakat setempat. Selanjutnya, pernyataan tertulis tersebut diki-
rim ke Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri disertai rekomen-
dasi berdasarkan hasil observasi tentang kondisi ekonomi, sosial,
budaya, dan keamanan dari keluarga dan lingkungan masyarakatnya;

66
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Kesembilan, komunikasi yang dilakukan Perwakilan Republik Indone-


sia di Luar Negeri melalui Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat
Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indo-
nesia (BHI) di Luar Negeri. Kesepuluh, Pejabat pada Perwakilan Repu-
blik Indonesia di Luar Negeri, menyiapkan Surat Perjalanan Laksana
Paspor (SPLP)/paspor dan exit permit dari Negara setempat serta
Berita Acara serah terima korban TPPO;
Kesebelas, penyerahan korban TPPO dari Perwakilan Republik Indo-
nesia di Luar Negeri ke Kementerian Luar Negeri dibuktikan dengan
Berita Acara Serah Terima yang ditandatangani oleh Pejabat Perwa-
kilan Republik Indonesia terkait dan Kementerian Luar Negeri cq.
Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan
Hukum Indonesia (BHI). Selanjutnya Kementerian Luar Negeri menye-
rahkan korban TPPO kepada institusi pemerintah pusat (Kementerian
Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI) dengan
berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
Keduabelas, pemulangan korban TPPO dari titik debarkasi ke Pusat
Pelayanan Terpadu/shelter/penampungan/rumah perlindungan, men-
jadi tanggung jawab BNP2TKI/Depnakertrans/Depsos dan selanjutnya
pemulangan korban TPPO dari Pusat Pelayanan Terpadu/shelter/pe-
nampungan/rumah perlindungan ke daerah asal, menjadi tanggung
jawab instansi sosial Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota; Ketigabelas,
pemulangan korban TPPO selanjutnya sampai ke Desa/Kelurahan asal,
menjadi tanggung jawab instansi sosial Pusat/Provinsi/Kabupaten/
Kota atau Kabupaten/Kota yang menerima korban dari Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri; Keempatbelas, dalam hal korban
meninggal dunia, pemulangan jenazah korban dilakukan oleh Kemen-
terian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan Warga Negara Indone-
sia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI), langsung kepada keluarga.
2. Pemulangan Korban TPPO dari Provinsi ke Kabupaten/Kota
Pendanaan pemulangan korban TPPO dari Daerah Debarkasi (Provinsi)
ke Kabupaten/Kota (selanjutnya ke keluarga/keluarga pengganti) ber-

67
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

asal dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Sosial


yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Untuk melakukan pemulangan ini, Kementerian Sosial telah
memiliki nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU)
dengan PT. Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dan Perum Djawatan
Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) serta dengan beberapa
Satuan Tugas (satgas) di wilayah di Indonesia, di mana mekanisme
pengucuran dana dilakukan dengan cara reimburesment. Komponen
yang bisa didanai adalah transportasi dan kebutuhan makanan untuk
korban TPPO.
Langkah-langkah dalam pemulangan korban TPPO dari daerah Debar-
kasi (Provinsi) ke Kabupaten/Kota (selanjutnya ke keluarga/ keluarga
pengganti) adalah sebagai berikut: Pertama, petugas Pusat Pelayanan
Terpadu Provinsi menghubungi Instansi Sosial/Pusat Pelayanan Ter-
padu/shelter/penampungan di Kabupaten/Kota di mana korban akan
dipulangkan untuk melakukan penelusuran keluarga atau keluarga
pengganti;
Kedua, hasil penelusuran keluarga diinformasikan kepada Instansi
Sosial/Pusat Pelayanan Terpadu/shelter/penampung Kabupaten/Kota
untuk menentukan kepastian kepulangan korban TPPO; Ketiga, setelah
menandatangani formulir pemulangan sukarela, korban TPPO dipula-
ngkan dengan didampingi pendamping ke Kabupaten/Kota.
3. Pemulangan Korban TPPO dari Kabupaten/Kota ke Keluarga
atau Keluarga Pengganti
Pemulangan korban TPPO dari Kabupaten/Kota ke Keluarga/Keluarga
Pengganti, pembiayaan bisa berasal dari berbagai sumber yang ada di
Kabupaten/Kota misalnya dari dinas atau instansi sosial, Lembaga
Swadaya Masyarakat maupun sumber pendanaan lainnya.
Pemulangan korban TPPO ke keluarga pengganti dengan lingkungan
masyarakat yang baru, dapat dilakukan, jika: Pertama, sejak pengung-
kapan masalah, korban TPPO telah menyatakan bahwa tidak ingin
kembali ke orang tua/wali dan keluarganya karena berbagai alasan

68
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

yang mendasar, seperti keretakan hubungan dalam berumah tangga,


kekerasan dalam rumah tangga yang traumatik, tidak mempunyai
orang tua/wali atau saudara, malu, jeratan hutang, keluarga tidak
menerima korban TPPO untuk pulang, dan sebagainya.
Tabel 5:
MEMAKNAI KELUARGA DAN KELUARGA PENGGANTI
ISTILAH PENGERTIAN
Keluarga Orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus
ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang
menanggung korban TPPO.
Keluarga Pengganti Keluarga yang dipilih oleh institusi yang berwenang
dengan persetujuan dari korban TPPO yang berusia anak,
dan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
Keluarga pengganti secara yuridis, hanya diperuntukan
bagi korban TPPO yang berusia anak.
Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi
Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kedua, dalam proses pengungkapan masalah jika diketahui bahwa


korban TPPO berkeinginan untuk kembali ke orang tua/wali dan ling-
kungan masyarakat asalnya, tetapi observasi yang dilakukan mem-
berikan hasil dan rekomendasi bahwa korban TPPO tidak layak dikem-
balikan ke orang tua/wali dan lingkungan masyarakat karena berbagai
hal, misalnya hubungan keluarga yang tidak harmonis, stigmatisasi
negatif terhadap kegagalan korban, jeratan hutang, ancaman dari
pelaku TPPO, tidak ada lapangan pekerjaan, atau ada indikasi/dugaan
bahwa pelaku adalah orang tua/wali (untuk korban anak).
Langkah-langkah terkait pemulangan korban TPPO dari Kabupaten/
Kota ke keluarga pengganti, sebagai berikut: Pertama, petugas Instan-
si Sosial/Pusat Pelayanan Terpadu/shelter/penampungan Kabupaten/
Kota menghubungi keluarga/keluarga pengganti dimana korban akan
dipulangkan; Kedua, korban dipulangkan dengan aman dan diterima
oleh keluarga/keluarga pengganti; Ketiga, pembiayaan pemulangan

69
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

dibebankan kepada Instansi Sosial/Pusat Pelayanan Terpadu/shelter/


penampungan Kabupaten/Kota atau sumber lainnya.
4. Pemulangan Warga Negara Asing yang Menjadi Korban TPPO
Pemerintah Republik Indonesia wajib mengupayakan perlindungan
dan pemulangan ke negara asalnya, setiap Warga Negara Asing yang
menjadi korban TPPO di Indonesia. Pemulangan dan perlindungan
Warga Negara Asing yang menjadi korban TPPO di Indonesia, harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
hukum internasional, atau kebiasaan internasional.
Jika ditemukan Warga Negara Asing yang menjadi korban TPPO di
Indonesia, maka Instansi pertama yang menemukan Warga Negara
Asing yang menjadi korban TPPO di Indonesia, wajib melaporkan ke-
pada Kementerian Luar Negeri cq Direktorat Konsuler, secepatnya dan
Kementerian Luar Negeri akan menghubungi perwakilan negara asal
korban tersebut untuk membantu proses penanganan. Sedangkan,
jika terjadi TPPO pada Warga Negara Asing yang tidak mempunyai
perwakilan di Indonesia, maka Menteri Luar Negeri memberitahukan
pada perwakilan negara asing tersebut pada perwakilan asing yang
diakreditasikan untuk wilayah negara Republik Indonesia.
Teknis implementasi terkait dengan pemulangan korban TPPO di
Indonesia yang adalah Warga Negara Asing, dibebankan kepada
perwakilan negaranya yang berada di Indonesia. Ketika melakukan
penanganan korban TPPO yang adalah warga negara asing, namun
belum diketahui negara asalnya, maka korban TPPO yang adalah
warga negara asing tersebut, harus mendapatkan pelayanan
sementara di Pusat Pelayanan Terpadu terdekat dari lokasi di mana
Warga Negara Asing yang menjadi korban TPPO ditemukan. Pelayanan
sementara di Pusat Pelayanan Terpadu bagi Warga Negara Asing yang
menjadi korban TPPO dilakukan dengan standar pelayanan dan
penanganan yang sama dengan korban TPPO warga negara Indonesia.

70
5
TAHAPAN TERMINASI
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

T erminasi merupakan tahap akhir dari rangkaian proses pena-


nganan korban TPPO. Rangkaian aktivitas untuk mengakhiri dan/
atau pengakhiran dalam penanganan korban TPPO harus dilakukan
secara terencana dan wajib didesain sejak awal penanganan penga-
duan. Artinya, walaupun intervensi pada tahapan terminasi itu berbe-
da dan intervensi perubahan pada fase penanganan sebelumnya,
namun proses terminasi korban TPPO harus menjadi suatu bagian
yang utuh dan integral dalam perencanaan penanganan korban TPPO.
Dalam melakukan terminasi, harus dipertimbangkan stabilisasi peru-
bahan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial pada
korban TPPO yang telah terjadi di tahap pemulihan dapat terjaga,
sehingga korban TPPO dapat menerima dan diterima dalam lingkup
keluarga atau keluarga pengganti maupun lingkungan masyarakat. Hal
ini menjadi penting karena, sering ditemukan korban TPPO mengalami
kemunduran psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial,
pasca proses terminasi. Untuk itu, dalam proses terminasi hendaknya
dikembangkan berbagai strategi agar korban TPPO tidak kembali
mengalami masalah psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau
sosial. Reintegrasi sosial merupakan salah satu strategi dasar dalam
proses terminasi korban TPPO.
Reintegrasi Sosial Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Reintegrasi Sosial adalah penyatuan kembali korban TPPO dengan pi-
hak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat mem-
berikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban TPPO
yang mencakup seluruh aspek kehidupan korban baik sosial, ekonomi,
budaya, pendidikan dan kesehatan.
Reintegrasi sosial bertujuan untuk mengembalikan dan menyatukan
kembali korban TPPO dengan keluarga atau keluarga pengganti atau
masyarakat. Selain itu, reintegrasi sosial juga bertujuan untuk me-

72
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

ningkatkan keberdayaan korban TPPO sehingga bisa menjalani kehi-


dupannya kembali di lingkungan masyarakat.
Dengan tujuan reintegrasi sosial yang demikian, maka jelaslah bahwa
keberhasilan suatu proses reintegrasi sosial, sangat ditentukan oleh
kesiapan korban TPPO secara mental dan kemampuan Sumber Daya
Manusia, dukungan keluarga dan masyarakat, keamanan dari anca-
man pelaku, peluang keberdayaan ekonomi, serta pemenuhan hak-
hak khususnya anak yang menjadi korban TPPO. Karenanya, sejumlah
dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memudahkan
proses reintegrasi korban TPPO. Apalagi, reintegrasi sosial merupakan
proses panjang dengan hambatan-hambatan yang tidak mudah.

Tabel 6:
TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI BANTUAN REINTEGRASI SOSIAL
No Point Tantangan Potret Tantangan
1 Kurangnya Manajemen kasus memainkan peran penting
manajemen kasus dalam mengantisipasi dan menangani isu-isu
dan dukungan dan masalah yang mungkin dihadapi oleh kor-
reintegrasi sesuai ban TPPO selama reintegrasi. Namun, di Indone-
kebutuhan korban sia, manajemen kasus individu secara umum
TPPO lemah bahkan tidak ada. Penilaian (assessment)
kebutuhan jarang dilakukan; penyedia layanan
jarang merancang rencana reintegrasi dengan
korban TPPO. Bantuan biasanya merupakan se-
buah paket standar bantuan yang diberikan satu
kali atau berupa layanan jangka pendek.
Kurangnya pekerja sosial profesional di tingkat
komunitas memberikan kontribusi terhadap ku-
rangnya manajemen kasus dan dukungan rein-
tegrasi yang sesuai kebutuhan di Indonesia.
Minimnya manajemen kasus dan tindak lanjut
dari penyedia layanan dapat menyebabkan kon-
sekuensi negatif dan bahkan kegagalan proses
reintegrasi korban TPPO.
2 Kurangnya informasi Kurangnya informasi tentang bantuan, menga-
tentang bantuan bagi kibatkan banyak korban TPPO yang tidak me-
korban TPPO ngetahui bantuan apa yang akan mereka dapat-

73
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

kan atau ke mana harus pergi untuk mendapat-


kan bantuan. Bahkan seringkali korban TPPO
bingung tentang apakah mereka layak (meme-
nuhi syarat) untuk mendapatkan bantuan, serta
bagaimana proses untuk mengajukan bantuan.
Kurangnya informasi tentang bantuan yang
tersedia menjadi penghalang bagi korban TPPO
dalam menerima dukungan yang mereka butuh-
kan untuk reintegrasi kembali ke dalam keluar-
ga atau keluarga pengganti maupun lingkungan
komunitas tempat tinggal mereka.
3 Korban TPPO Terlepas dari hak melekat atas bantuan dan
menghadapi kendala duku’ngan yang disediakan bagi korban TPPO
dalam mengakses dalam berbagai produk hukum di Indonesia, na-
bantuan yang mun beberapa bantuan tetap tidak dapat di-
tersedia akses. Korban TPPO menghadapi berbagai jenis
hambatan dalam mengakses layanan termasuk
persyaratan administrasi, rintangan birokrasi,
hambatan struktural, masalah-masalah pribadi
dan individu (misalnya perasaan malu atau malu
untuk meminta bantuan, kurangnya kepercayaan
kepada pihak berwenang, pesimisme tentang
kemungkinan menerima bantuan, ketidakper-
cayaan terhadap pemerintah) dan tantangan-
tantangan praktis (misalnya kurangnya sumber
daya untuk mengakses layanan). Ketidakmam-
puan mengakses layanan dapat berdampak ne-
gatif bagi korban TPPO dalam proses reintegrasi
jangka panjang.
4 Kebanyakan bantuan Banyak dukungan untuk korban TPPO di Indone-
bagi korban TPPO sia adalah bantuan yang hanya sekali, yang si-
bersifat “hanya fatnya terbatas atau tidak ada tindak lanjut.
sekali” Pada sisi yang lain, penyedia layanan harus be-
kerja dengan para korban TPPO untuk bersama-
sama mengembangkan rencana reintegrasi
yang mempertimbangkan dan memenuhi se-
mua kebutuhan mereka. Pemberian bantuan
hanya sekali ini memiliki keterbatasan dalam
hal mendukung reintegrasi yang berhasil bagi
korban TPPO.

74
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

5 Bantuan bagi korban Reintegrasi merupakan proses jangka panjang.


TPPO bersifat jangka Selain waktu spesifik yang diperlukan untuk
pendek mendukung reintegrasi tergantung pada setiap
individu, reintegrasi biasanya membutuhkan
dukungan yang berkelanjutan dari waktu ke
waktu serta akses ke layanan-layanan untuk
mengatasi permasalahan yang mungkin muncul
dari waktu ke waktu dalam jangka panjang.
Bantuan yang saat ini tersedia untuk korban
TPPO di Indonesia kebanyakan adalah jangka
pendek dan dirancang hanya untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat segera dan mendesak.
Bantuan jangka pendek biasanya tidak pernah
cukup untuk mendukung reintegrasi indivi-dual
setelah mereka mengalami eksploitasi dan
menjadi korban TPPO.
6 Kurangnya bantuan Kerangka kerja (framework) untuk memerangi
reintegrasi bagi laki- TPPO dan melindungi serta membantu para kor-
laki korban TPPO ban di Indonesia disusun berdasarkan asumsi
bahwa orang yang paling banyak diperdagang-
kan adalah perempuan dan anak-anak. Terda-
pat inkonsistensi di antara kebijakan dan per-
aturan yang berbeda dalam hal layanan dan
bantuan untuk laki-laki yang menjadi korban
TPPO. Kebanyakan laki-laki korban TPPO yang
telah dibantu menerima dukungan dari Lemba-
ga Swadaya Masyarakat dan organisasi-organi-
sasi internasional, bukan dari pemerintah pusat
maupun daerah. Banyak laki-laki yang menjadi
korban TPPO tidak menerima bantuan resmi
sama sekali. Kalaupun mendapatkannya, para
laki-laki korban TPPO hanya menerima bantuan
yang kebanyakan bersifat hanya sekali atau
bantuan yang sifatnya jangka pendek dan tidak
mengatasi proses reintegrasi jangka panjang
mereka.
7 Penyediaan bantuan Sistem desentralisasi dengan pendekatan pela-
bagi korban TPPO yanan publik berbasiskan wilayah administratif,
yang tidak merata sangat berpengaruh dan bisa berdampak nega-
karena desentralisasi tif terhadap pemberian bantuan terhadap kor-

75
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

dan distribusi ban TPPO, misalnya ketika sumber daya keua-


geografis ngan di tingkat lokal tidak memadai dan/atau
administrasi Pemerintah Daerah tidak efektif
atau tidak efisien, maka hak-hak korban TPPO
akan bantuan, menjadi terabaikan. Parahnya
lagi jika Provinsi atau Kabupaten/Kota di mana
tidak ada Peraturan Daerah tentang penanga-
nan TPPO atau gugus tugas penanganan TPPO
yang aktif, maka korban TPPO akan menghadapi
tantangan tambahan dalam mencari bantuan.
Desentralisasi di Indonesia telah mengakibat-
kan variasi yang luas dalam hal layanan dan
kualitas layanan yang tersedia bagi korban
TPPO di berbagai Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Variasi ini diperparah dengan distribusi geo-
grafis dari layanan, di mana wilayah yang ku-
rang penduduknya cenderung kurang memiliki
layanan yang tersedia dan para korban TPPO
harus melakukan perjalanan jarak jauh dan
biaya yang besar untuk mengakses bantuan
yang mereka butuhkan.
Sumber: Diolah dari, Rebecca Surtees, Laura S. Johnson, Thaufiek Zulbahary dan Suarni Daeng Caya, Pulang
ke Rumah. Tantangan dalam Reintegrasi Korban Perdagangan Orang (Trafficking) di Indonesia, Penerbit
NEXUS Institute, Washington DC, 2016, Hal. 17-18.

Pemantauan secara tersistem untuk mencegah korban TPPO diperda-


gangkan kembali adalah hal yang penting dalam suatu proses reinte-
grasi sosial. Jika korban TPPO (berusia dewasa) memutuskan untuk
melakukan reintegrasi ke dalam suatu keluarga dan komunitas baru,
pemerintah melalui Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) wajib menyedia-
kan tempat tinggal dan sumber penghasilan sementara sampai korban
TPPO tersebut mandiri. Dalam hal korban TPPO adalah anak, reinte-
grasi diprioritaskan untuk mengembalikan atau menyatukan kembali
dengan keluarga, saudara lain, keluarga pengganti dan/atau masyara-
kat. Untuk reintegrasi ke dalam lembaga sosial atau panti hanya
dilakukan sebagai pilihan terakhir.

76
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tabel 7:
GAMBARAN PROGRAM TERKAIT REINTEGRASI SOSIAL
BAGI KORBAN TPPO
No Point Tantangan Potret Tantangan
1 Rekomendasi untuk • Program bantuan bagi korban TPPO harus
mendukung individu bersifat jangka panjang dan komprehensif
korban TPPO yang ditujukan untuk reintegrasi.
• Program bantuan bagi korban TPPO harus
memenuhi semua kebutuhan korban dan
mengatasi semua kerentanan.
• Menawarkan dan memastiakn bantuan ke-
pada semua korban TPPO.
• Meningkatkan akses para korban TPPO
terhadap layanan di tingkat desa.
• Memastikan bahwa kebutuhan spesifik
terkait TPPO diidentifikasi dan ditangani.
• Meningkatkan peran dan kompetensi pe-
kerja sosial di tingkat lokal.
• Melindungi hak-hak korban TPPO ketika
membantu para anggota keluarga.
2 Rekomendasi untuk • Mengidentifikasi dampak dari perdaga-
bekerja dengan ngan orang terhadap keluarga korban
keluarga korban TPPO TPPO.
• Memasukkan anggota keluarga korban
TPPO dalam pemberian bantuan.
• Memahami dan mengakomodir latar
(setting) keluarga di semua kerja-kerja
reintegrasi.
• Menawarkan peluang untuk mediasi
keluarga dan konseling.
• Menyediakan bantuan yang
memperhitungkan berbagai kebutuhan
dan situasi korban TPPO (dengan keluarga
mereka yang berbeda, konstelasi dan
kebutuhan).

77
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

3 Rekomendasi untuk • Mempertimbangkan dan mengakomodir


meningkatkan dinamika masyarakat dalam program dan
reintegrasi korban kebijakan reintegrasi.
TPPO di lingkungan • Membangun kepekaan para tokoh masya-
masyarakat rakat terhadap isu perdagangan orang,
termasuk segala bentuk TPPO beserta
kategori korbannya, termasuk peka
terhadap hak-hak dan kebutuhan korban.
• Bekerja dengan para tokoh masyarakat
dalam identifikasi dan rujukan korban
TPPO.
• Mengatasi diskriminasi, marjinalisasi dan
stigmatisasi sebagai bagian dari upaya
reintegrasi di masyarakat.
• Mengidentifikasi berbagai penyebab kete-
gangan di masyarakat, stigma dan
diskriminasi terhadap korban TPPO, dari
berbagai bentuk TPPO dan dalam latar
(setting) yang berbeda.
• Menawarkan bantuan yang tidak terlihat
mencolok di tengah masyarakat, supaya
tidak menimbulkan semacam
kecemburuan sosial dari pihak-pihak
tertentu.
Sumber: Diolah dari, Rebecca Surtees, Melangkah Maju. Reintegrasi Korban Perdagangan Orang(Trafficking)
di Indonesia dalam Keluarga dan Masyarakat (Ringkasan Laporan), Penerbit NEXUS Institute, Washington DC,
2017, Hal. 48.

Pelayanan reintegrasi sosial terkait dengan penanganan korban TPPO,


dilakukan oleh Kementerian Sosial berkoordinasi dengan Dinas Sosial
setempat. Pelayanan reintegrasi sosial dapat juga dilakukan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat. Sumber pendanaan untuk reintegrasi
sosial tercantum dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
Kementerian Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Karena reintegrasi sosial dilakukan di daerah
Kabupaten/Kota, maka Dinas Sosial setempat dapat bekerjasama
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Satuan Kerja Perangkat

78
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Daerah (SKPD) atau Struktur Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) di


wilayah Kabupaten/Kota.
Implementasi pelayanan proses reintegrasi sosial ditangani oleh
petugas Pusat Pelayanan Terpadu Kabupaten/Kota dengan bekerja-
sama dengan aparat Kelurahan, Organisasi Masyarakat/Lembaga Swa-
daya Masyarakat, dan instansi pemerintah yang mempunyai program
kemandirian ekonomi dan pendidikan. Selama proses ini, korban TPPO
dimungkinkan untuk mendapatkan pelayanan pemulihan dan bantuan
hukum sesuai dengan kebutuhan korban.
Langkah-langkah dalam melakukan reintegrasi sosial bagi korban
TPPO, meliputi: Pertama, Pra Reintegrasi Sosial: (1). Melakukan kajian
rekam kasus korban TPPO dan mengkaji rekomendasi reintegrasi yang
dibuat oleh Pusat Pelayanan Terpadu perujuk bila korban TPPO adalah
rujukan dari Pusat Pelayanan Terpadu Provinsi/Luar Negeri/Daerah
lain; (2). Penelusuran keluarga dan lingkungan korban TPPO atau
keluarga atau keluarga pengganti; (3). Asesment keluarga atau ke-
luarga pengganti; (4). Menanyakan persetujuan korban TPPO untuk
mendapatkan pelayanan reintegrasi. Bagi korban TPPO yang berusia
anak, persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/pendamping dengan
pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak.
Kedua, Penilaian (Assesment): (1). Melakukan asesment (penilaian) atau
menggali kebutuhan reintegrasi korban TPPO, termasuk asesment
potensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan sosial, di
daerah pemulangan; (2). Keputusan reintegrasi korban TPPO dilakukan
oleh Pusat Pelayanan Terpadu Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan
asesment kebutuhan reintegrasi korban TPPO; (3). Membuat rencana
intervensi yang mencerminkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia,
gender, dan anak, dengan mempertimbangkan pemeliharaan dan inte-
gritas etnis, suku, budaya, jenis kelamin, serta identitas agama dan
kepercayaan korban TPPO. Selain itu, pengalaman eksploitasi dan
kekerasan seksual yang dialami korban TPPO adalah hal yang harus
dipertimbangkan juga dalam membuat rencana intervensi.

79
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Ketiga, Pelaksanaan Reintegrasi: (1). Melakukan asesmen ulang untuk


penyiapan korban TPPO yang akan direintegrasikan dan penguatan
kesiapan keluarga atau keluarga pengganti dan lingkungan dalam
menerima korban TPPO; (2). Memberikan keterangan status korban
TPPO, sekaligus dokumen yang dibutuhkan (contohnya: Kartu Tanda
Penduduk), jika korban TPPO kehilangan dokumen diri;
(3). Pemberian bantuan reintegrasi dilakukan secara terkoordinasi/
berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota hingga Pemerintah
Desa. Bantuan reintegrasi meliputi: (a). Pendidikan formal, nonformal
dan informal, khususnya pada korban TPPO yang berusia anak. Apabila
akses pelayanan tidak mudah dijangkau karena alasan lokasi, dana,
dan sebagainya, maka Pusat Pelayanan Terpadu dapat mengakseskan
pelayanan tersebut di lokasi terdekat dari wilayah tempat tinggal
korban TPPO melalui instansi pemerintah dan organisasi masyarakat/
lembaga swadaya masyarakat. (b). Pelatihan, bimbingan, fisik/mental/
sosial dan ketrampilan sesuai minat dan bakat dari korban TPPO. (c).
Memberikan akses kepada korban TPPO untuk magang di dunia usaha
sesuai keterampilan yang dimiliki. (d). Pemberian informasi mengenai
migrasi aman (safe migration), TPPO, hak-hak pekerja, hak asasi
perempuan dan hak asasi anak, kesehatan reproduksi, bantuan
hukum. (e). Bantuan modal usaha dan pengembangannya.
Keempat, Monitoring/Bimbingan Lanjut: (1). Waktu monitoring dilakukan
minimal sebulan sekali selama 3-6 bulan, sesuai kerawanan kasus; (2).
Monitoring dilakukan melalui kunjungan langsung dan hubungan tele-
pon atau bentuk interaksi lain tentang laporan perkembangan korban
TPPO; (3). Monitoring mencakup keberhasilan dan hambatan yang
dialami korban TPPO dalam proses reintergrasi, status kesehatan,
mengalami penolakan dari keluarga dan masyarakat sekitar, menga-
lami pelecehan atau kekerasan seksual setelah pemulangan, dan
mengalami ancaman dari pelaku TPPO; (4). Monitoring dilakukan oleh
petugas Pusat Pelayanan Terpadu, berkoordinasi dengan keluarga dan
instansi terkait (Petugas LSM, Pekerja Sosial Masyarakat, Petugas
Karang Taruna, Petugas RT/RW, Petugas Kelurahan, Petugas dari Dinas

80
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

terkait pada level Kabupaten/Kota/Provinsi, Paralegal, Advokat, Kepo-


lisian, dsb). Untuk kasus tertentu yang membutuhkan monitoring
khusus di mana instansi lokal masih memerlukan informasi tambahan
penting, maka pihak Pusat Pelayanan Terpadu dapat melakukan moni-
toring pertama langsung ke lokasi, mengkoordinasikan dan mengko-
munikasikan jenis layanan dampingan yang akan dilanjutkan oleh
instansi terkait atau lembaga lokal; (5). Apabila pihak keluarga/orang
tua diduga sebagai pelaku TPPO, maka koordinasi dengan pihak Kepo-
lisian terkait dapat meliputi jaminan perlindungan korban (khususnya
salah satu pelaku berada di daerah korban), dengan membuat surat
perjanjian bahwa orang tuatidak akan mengulang perbuatannya di
depan petugas Kepolisian dengan disaksikan oleh pendamping dan
tokoh masyarakat setempat.

81
6
DINAMIKA PENANGANAN KORBAN
TPPO DAN TANTANGANNYA
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

S eseorang dapat menjadi korban TPPO karena negara gagal da-


lam menjalankan kewajibannya untuk melindungi (to protect).
Dalam perspektif hukum Hak Asasi Manusia, kewajiban untuk melin-
dungi ini menuntut negara dan aparaturnya untuk melakukan tindakan
yang memadai guna melindungi dan/atau mencegah warga individu
dari kejahatan atau pelanggaran terhadap hak-hak individu atau
kelompok.
Saat ini, Indonesia telah memiliki sistem penanganan korban TPPO ter-
padu dan komprehensif yang telah terlegitimasi dalam sejumlah pro-
duk hukum. Sistem penanganan korban TPPO ini sangat diperlukan
bukan saja untuk menangani korban TPPO, tetapi dapat juga dipergu-
nakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem penanganan
korban TPPO.
Walaupun demikian, harus diakui bahwa sampai dengan saat ini masih
terdapat beberapa kendala dalam implementasi sistem penanganan
korban TPPO yang terpadu serta komprehensif, yakni: Pertama, belum
mantapnya jaringan/koordinasi lintas lembaga maupun antar wilayah
dalam penanganan korban TPPO; Kedua, kurangnya pemahaman ma-
syarakat, aparat pemerintah dan penegak hukum tentang penanganan
korban TPPO; Ketiga, belum jelasnya prosedur untuk mengakses laya-
nan dan pendanaan dalam penanganan korban TPPO; dan Keempat,
lemahnya konsep reintegrasi sosial yang berdampak pada korban
TPPO sehingga korban akhirnya dapat dengan mudah diperdagangkan
lagi.
Box 13:
KENDALA DALAM PENANGANAN KORBAN TPPO
1. Terhambatnya penegakan hukum kasus TPPO dikarenakan kekurangan bukti
maupun petunjuk dalam penanganan kasus-kasus TPPO.
2. Terhambatnya penegakan hukum kasus TPPO dikarenakan perbedaan persepsi
diantara aparat penegak hukum terkait kasus-kasus TPPO.
3. Belum semua sub Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO mempunyai
program khusus pencegahan dan penanganan TPPO di dalam Renstra dan rencana
kerja tahunan.

84
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

4. Belum optimalnya mekanisme koordinasi sub gugus tugas di Pusat dan di Daerah.
5. Belum optimalnya mekanisme pengumpulan data TPPO di Pusat maupun di
Daerah.
6. Belum optimalnya pelayanan untuk korban TPPO, terutama pelayanan pemulangan
dan reintegrasi korban di daerah masing-masing.
7. Belum ada kepastian jaminan kesehatan bagi korban TPPO termasuk visum dalam
konteks Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, karena BPJS
berbasis kartu anggota.
8. Belum memadainya, sistem pembiayaan dalam penanganan korban TPPO di luar
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
9. Belum jelasnya alokasi anggaran di masing-masing daerah untuk mendukung
penanganan TPPO.
10. Belum memadainya fasilitas pada Rumah Perlindungan Trauma Center, Rumah
Perlindungan Sosial Wanita, Rumah Pelayanan Sosial Anak dan lembaga lain yang
menangani korban TPPO di Daerah.
11. Terbatasnya jumlah Rumah Perlindungan Trauma Center, Rumah Perlindungan
Sosial Wanita, Rumah Pelayanan Sosial Anak dan lembaga lain yang menangani
korban TPPO di daerah.
12. Terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan teknis dalam
menangani korban TPPO.
13. Belum optimalnya kerjasama multilateral, bilateral, regional misalnya masih ada
kesenjangan dalam hukum nasional masing-masing dengan komitmen-komitmen
internasional.
Sumber: Diadopsi dari PIAR NTT, Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kendala Penanganannya, Catatan
Akhir Tahun, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2015.

Aspek Sinergitas Dalam Penanganan


Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Alur dan tahapan dalam konsep penanganan korban TPPO yang telah
diuraikan pada bagian-bagian terdahulu, tidak selalu harus berlaku
berurutan atau diterapkan secara kaku. Teknis implementasinya
mesti disesuaikan dengan kebutuhan korban TPPO. Maksudnya, bisa
saja korban TPPO mendapat bantuan hukum sebelum, ataupun setelah
pemulangan. Hal ini disebabkan karena kondisi dari korban TPPO yang
berbeda-beda, sehingga menimbulkan kebutuhan yang berbeda.
Bahkan bisa saja karena alasan tertentu, korban (dewasa) TPPO
menolak pelayanan-pelayanan dalam penanganan tersebut.

85
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Penanganan korban TPPO akan berjalan dengan maksimal, jika


dilakukan secara berjejaring, terpadu, terintegrasi dan komprehensif.
Untuk itu, dalam penanganan korban TPPO sangat diperlukan sinergi-
tas antara berbagai pihak. Apalagi dalam penanganan korban TPPO,
ada pembagian peran dan tanggung jawab antar wilayah.
Sinergi antara berbagai elemen dalam penanganan korban TPPO ini
dilakukan secara koordinatif dan bukan sub ordinatif. Masing-masing
unsur terkait mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam pe-
nanganan korban TPPO yang secara prinsip mendudukan Negara/Pe-
merintah memiliki peran yang lebih besar dalam penanganan korban
TPPO.
Tabel 8:
GAMBARAN SINERGITAS PERAN DALAM PENANGANAN KORBAN TPPO
Elemen Peran
• Memfasilitasi program pemulihan bagi
Negara/Pemerintah
korban terutama perempuan dan anak
korban TPPO secara komprehensif dan
berjangka panjang.
• Memastikan proses hukum bagi pelaku
TPPO (termasuk “mafia, calo dan oknum
lain” yang terlibat).
• Memproses hukum pelaku TPPO
berdasarkan Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO
sebagai dasar utama dalam penuntutan
hukum disamping peraturan perundang-
undangan lainnya, untuk membuat jera si
pelaku TPPO.
• Mengoptimalkan sistem dan mekanisme
penanganan korban TPPO.
• Mengoptimalkan pelayanan sesuai dengan
SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan PSO
(Prosedur Standar Operasional) dalam
pemenuhan hak korban TPPO dengan
mempertimbangkan kebutuhan khusus
perempuan korban TPPO.

86
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

• Mengoptimalkan peran Gugus Tugas


dalam Penanganan korban TPPO mulai
dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
• Peningkatan kapasitas bagi pihak–pihak
yang terkait dengan penanganan korban
TPPO.
• Mengalokasikan dana APBD untuk
keperluan penanganan korban TPPO.
• Memantau pelaksanaan perlindungan
korban TPPO melalui lembaga layanan
pengaduan, rehabilitasi kesehatan, sosial,
pemulangan dan reintegrasi sosial.
• Memantau perkembangan pelaksanaan
kebijakan terkait Penanganan korban
TPPO.
• Melakukan pelaporan dan evaluasi terkait
penanganan korban TPPO.
• Para penyelenggara negara mulai dari
tingkat Pusat sampai Provinsi dan
Kabupaten/Kota harus mempunyai
komitmen yang kuat terhadap
penanganan korban TPPO.
• Dan sebagainya.
• Menyediakan sistem dukungan bagi
MASYARAKAT
pemulihan korban TPPO.
• Menyediakan sistem dukungan untuk
pemulangan korban TPPO dan reintegrasi
sosial bagi korban TPPO.
• Menyebarkan informasi tentang
pentingnya penanganan korban TPPO.
• Membangun kepedulian masyarakat
terhadap korban TPPO agar termotivasi
dan bangkit kembali dari keterpurukan
melalui program pemberdayaan bagi
korban TPPO.
• Penguatan dukungan dan pendampingan
masyarakat bagi korban TPPO dalam

87
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

proses reintegrasi sosial agar terhindar


dari stigma masyarakat.
• Membangun komunitas untuk peduli
korban TPPO melalui program
pemberdayaan ekonomi/kewirausahaan.
• Melakukan advokasi kebijakan yang
menjamin perlindungan bagi korban TPPO
yang berperspektif Hak Asasi Manusia dan
Gender.
• Membentuk kelompok-kelompok kecil
masyarakat yang berperan di dalam
penanganan korban TPPO, misalnya
terbentuknya serikat-serikat, Pos
Pelayanan Terpadu (PPT) di desa dan
Gugus Tugas Masyarakat di kelurahan dan
pedesaan.
• Mengawal proses penegakan hukum
sehingga penegakan hukum kasus TPPO
harus berdasarkan UUPTPPO sebagai
dasar utama dalam penuntutan hukum
disamping peraturan perundang-
undangan lainnya.
• Membangun sistem rujukan secara
berjejaring termasuk dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
• Dan sebagainya.
• Mengidentifikasi dengan cermat
PENDAMPING
kebutuhan korban TPPO, dengan
mempertimbangkan kondisi khusus
perempuan dan anak korban TPPO dalam
pengungkapan kebenaran, keadilan dan
pemulihan.
• Mengaktualisasi dan menjembatani
masyarakat dan komunitas untuk
memastikan perlindungan bagi korban
TPPO bersama dengan pemerintah.
• Melakukan proses pendampingan yang
komprehensif (cepat, aman, nyaman
secara gratis) berdasarkan SPM

88
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Penanganan Perempuan Korban


Kekerasan dan Prosedur Standar
Operasional penanganan korban TPPO,
termasuk pendampingan hukum saat
korban menjadi saksi dalam proses
hukum bagi pelaku TPPO.
• Mendorong terbentuknya kelompok
korban TPPO sehingga mampu secara
fisik, psikososial dan kapasitas untuk
mendampingi korban TPPO lainnya dan
dapat terlibat untuk memperkuat
reintgrasi sosial.
• Memperkuat keluarga korban TPPO
sehingga mampu melakukan penanganan
korban TPPO berbasis keluarga.
• Dan sebagainya.
• Memberikan kesempatan kepada korban
KORBAN
untuk mengungkapkan kondisi dan situasi
yang dialami.
• Mengorganisir dan membangun kekuatan
diri untuk menyuarakan hak-haknya agar
mampu bertahan hidup (survivor).
• Membangun pemulihan diri dengan
menggunakan potensi di lingkungannya
dan berupaya memberdayakan diri secara
mandiri.
• Menumbuhkan rasa percaya diri sebagai
bagian dari masyarakat dan warga negara
yang memiliki hak dan kewajiban.
Menumbuhkan kesadaran korban TPPO
bahwa proses pemulihan bukan jangka
pendek agar tidak merasa terabaikan.
• Membantu penegak hukum dalam
melakukan penindakan terhadap pelaku
TPPO sesuai dengan amanat UUPTPPO.
• Dan sebagainya.
Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, Tentang Panduan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang Berbasis Masyarakat dan Komunitas.

89
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Tabel 9:
SISTEM ADMINISTRASI DALAM PENANGANAN KORBAN TPPO
PENGERTIAN
Sistem administrasi terkait dengan penanganan korban TPPO pada Pusat Pelayanan
Terpadu meliputi: Pertama, administrasi perkantoran yang meliputi tata usaha dan
kegiatan teknis administratif untuk mendukung terselenggaranya pelayanan bagi
korban TPPO. Kedua, administrasi pelayanan yang mencakup kegiatan teknis
administratif yang menyangkut prasyarat, prosedur, teknis, dan materi-materi yang
terkait dengan pelayanan bagi saksi dan/atau korban.
ADMINISTRASI PERKANTORAN ADMINISTRASI PELAYANAN
Sistem adminstrasi perkantoran terdiri dari:
Sistem adminstrasi pelayanan terdiri
1. Penyusunan rencana program dan dari:
anggaran;
1. Pembahasan kasus;
2. Pengurusan keuangan; 2. Penyediaan file rekam kasus dan
3. Pendokumentasian file-file administrasi lembar monitoring korban;
perkantoran; 3. Pengisian file korban;
4. Pencatatan dan pemeliharaan barang 4. Pengisian lembar monitoring
inventaris; korban;
5. Pemeliharaan peralatan dan sarana untuk 5. Menginput data tentang korban;
kegiatan; 6. Pengaturan mekanisme program;
6. Pengaturan kerja para pelaksana seperti 7. Penyusunan jadwal kegiatan
absensi dan jadwal kegiatan sehari-hari; program;
8. Menjalin kerjasama dengan
7. Pengaturan pengembangan kemampuan
berbagai pihak untuk
pelaksana dan pendokumentasian
implementasi pelayanan bagi
materi-materinya;
korban.
8. Pembuatan laporan, dokumentasi dan
diseminasinya ke lembaga/instansi yang
terkait dan Sekretariat Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan TPPO di
level pemerintah dimana Pusat Pelayanan
Terpadu berada.
Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi
Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sinergitas dalam penanganan korban TPPO, harus ditunjang dengan


petugas pelaksana yang fungsional dalam artian telah terlatih dan
dilatih kusus untuk menjadi pendamping korban. Selain itu, harus
diingat bahwa sinergitas dalam penanganan korban TPPO hanya akan

90
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

terwujud jika ada ketertiban administrasi, keseragaman formulir pen-


dataan dan ketertiban dalam pengarsipan. Guna mencapai ketertiban
administrasi dan pendataan dibutuhkan formulir untuk setiap tahapan
dalam proses pelayanan terkait penanganan korban TPPO.
Dalam bersinergi untuk penanganan korban TPPO, aspek perlindungan
dalam penanganan korban TPPO harus mendapat prioritas tertinggi
dan tetap menjadi hal terpenting dan bersifat mutlak. Poin utama yang
inheren (berhubungan erat atau melekat) dengan perlindungan, adalah
asas kerahasiaan untuk memastikan identitas, tempat berada, dan
keadaan saksi dan/atau korban TPPO tidak terungkap kepada pihak
lain di luar ruang lingkup perlindungan. Hal ini sangat penting untuk
menjamin bahwa para pelaku TPPO dan pihak lain tidak mencoba
mengintimidasi, mengancam atau sebaliknya menjadikan seseorang
menjadi korban TPPO kembali.

91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

LAMPIRAN 1:

Daftar Istilah dalam UU No. 21 Tahun 2007,


Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,


termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 Angka 5 UUPTPPO).
2. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum
berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan
atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau
mengekang kebebasan hakiki seseorang (Pasal 1 Angka 12 UUPTPPO).
3. Dipaksa adalah suatu keadaan di mana seseorang/korban disuruh mela-
kukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak sendiri (Penjelasan Pasal 18 UUPTPPO).
4. Dokumen negara adalah dokumen meliputi tetapi tidak terbatas pada
paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan
surat nikah (Penjelasan Pasal 19 UUPTPPO).
5. Dokumen lain adalah dokumen yang meliputi tetapi tidak terbatas pada
surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia,
asuransi, dan dokumen yang terkait (Penjelasan Pasal 19 UUPTPPO).
6. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan pak-
sa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemera-
san, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan
hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh
pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun imateril
(Pasal 1 Angka 7 UUPTPPO).
7. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh
seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntu-
ngan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran
dan percabulan (Pasal 1 Angka 8 UUPTPPO).
8. Informasi tentang perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan
adalah antara lain, berupa salinan berita acara pemeriksaan atau resume

94
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta


putusan pengadilan (Penjelasan Pasal 36 ayat (2) UUPTPPO).
9. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau
tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan
bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdeka-
an seseorang (Pasal 1 Angka 11 UUPTPPO).
10. Kelompok yang terorganisasi adalah kelompok terstruktur yang terdiri
dari tiga orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan
bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang
diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan
materil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan
Pasal 16 UUPTPPO)
11. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental,
fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana
perdagangan orang (Pasal 1 Angka 3 UUPTPPO).
12. Korban yang berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan
kasus yang melibatkan dirinya adalah korban yang menjadi saksi dalam
proses peradilan tindak pidana perdagangan orang (Penjelasan Pasal 36
ayat (1) UUPTPPO).
13. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1
Angka 6 UUPTPPO).
14. Luka berat adalah meliputi jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan
bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencaharian; kehilangan salah satu panca indera;
mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; mengalami gangguan
daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama empat minggu
terus menerus atau satu tahun tidak berturut-turut; atau gugur atau ma-
tinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi (Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UUPTPPO).

15. Menyalahgunakan kekuasaan adalah menjalankan kekuasaan yang ada


padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau

95
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan (Penjelasan


Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO).
16. Pemerintah adalah instansi yang menjalankan urusan antara lain, di bi-
dang pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan, hu-
kum dan hak asasi manusia, komunikasi dan informasi (Penjelasan Pasal
57 ayat (1) UUPTPPO).
17. Pemerintah Daerah adalah meliputi provinsi dan kabupaten/kota (Penje-
lasan Pasal 57 ayat (1) UUPTPPO).
18. Pemerintah Republik Indonesia adalah pejabat yang oleh Presiden diberi-
kan kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksa-
naan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUPTPPO).
19. Penanganan adalah meliputi antara lain, kegiatan pemantauan, pengua-
tan, dan peningkatan kemampuan penegak hukum dan para pemangku
kepentingan lain (Penjelasan Pasal 57 ayat (2) UUPTPPO).
20. Pendamping lainnya adalah antara lain psikolog, psikiater, ahli keseha-
tan, rohaniwan, dan anggota keluarga (Penjelasan Pasal 35 UUPTPPO).
21. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan sese-
orang dari satu tempat ke tempat lain (Pasal 1 Angka 10 UUPTPPO).
22. Pengiriman anak ke dalam negeri adalah pengiriman anak antar daerah
dalam wilayah negara Republik Indonesia (Penjelasan Pasal 6 UUPTPPO).
23. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status
atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau ke-
luarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa
pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang (Pasal 1 Angka 15 UUPTPPO).
24. Penyedia jasa keuangan adalah antara lain, bank, perusahaan efek, reksa
dana, kustodian, dan pedagang valuta asing (Penjelasan Pasal 32
UUPTPPO).
25. Penyelenggara Negara adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara Na-
sional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat
keamanan, penegak hukum atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 8 ayat
(1) UUPTPPO).
26. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penam-
pungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan

96
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,


pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga mem-
peroleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal
1 Angka 1 UUPTPPO).
27. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan,
membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitas-
nya. (Pasal 1 Angka 9 UUPTPPO).
28. Perlindungan hukum adalah dapat berupa perlindungan atas: keamanan
pribadi; kerahasiaan identitas diri; atau penuntutan hukum sebagai
akibat melaporkan secara bertanggung jawab tindak pidana perdaga-
ngan orang (Penjelasan Pasal 62 UUPTPPO).
29. Perwakilan di luar negeri adalah kedutaan besar, konsulat jenderal,
kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau
kekonsuleran lainnya yang sesuai peraturan perundang-undangan
menjalankan mandat Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi
kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang mengha-
dapi permasalahan hukum di luar negeri (Penjelasan Pasal 54 ayat (1)
UUPTPPO).
30. Petugas di persidangan adalah hakim, penuntut umum, panitera, pen-
damping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persida-
ngan TPPO (Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UUPTPPO).
31. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psi-
kis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar,
dalam keluarga maupun dalam masyarakat (Pasal 1 Angka 14 UUPTPPO).
32. Rehabilitasi kesehatan adalah pemulihan kondisi semula baik fisik mau-
pun psikis (Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUPTPPO).
33. Rehabilitasi sosial adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi
mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melak-
sanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat (Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUPTPPO).

97
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

34. Reintegrasi sosial adalah penyatuan kembali korban tindak pidana per-
dagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang
dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi kor-
ban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan
bahwa korban benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko
bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut (Penjelasan Pasal 51 ayat
(1) UUPTPPO).
35. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
atas kerugian materil dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli
warisnya (Pasal 1 Angka 13 UUPTPPO).
36. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan
tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 Angka 4 UUPTPPO).
37. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serang-
kaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentu-
kan dalam UUPTPPO (Pasal 1 Angka 2 UUPTPPO).

98
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

LAMPIRAN 2:

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


Menurut UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian


tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
UUPTPPO (Pasal 1 angka 2 UUPTPPO). Tindakan-tindakan dimaksud, dirumus-
kan dan dijabarkan sebagai berikut:
1. Memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain (Pasal 3 UUPTPPO).
2. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pe-
mindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dila-
kukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2
ayat (2) UUPTPPO).
3. Membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia (Pasal 4 UUPTPPO).
4. Melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau mem-
berikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi (Pasal 5 UUPTPPO).
5. Melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara
apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi (Pasal 6
UUPTPPO).
6. Penyalahgunaan kekuasaan oleh setiap penyelenggara negara meng-
akibatkan terjadinya TPPO (Pasal 8 UUPTPPO).
7. Berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO, dan tindak
pidana itu tidak terjadi (Pasal 9 UUPTPPO).

99
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

8. Membantu melakukan percobaan untuk melakukan TPPO (Pasal 10


UUPTPPO).
9. Merencanakan atau Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
TPPO (Pasal 11 UUPTPPO).
10. Menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban TPPO, mem-
pekerjakan korban TPPO untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari hasil TPPO (Pasal 12 UUPTPPO).
11. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara
atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen
lain, untuk mempermudah terjadinya TPPO (Pasal 19 UUPTPPO).
12. Memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau bar-
ang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di
sidang pengadilan TPPO (Pasal 20 UUPTPPO).
13. Melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persida-
ngan dalam perkara TPPO (Pasal 21 ayat (1) UUPTPPO).
14. Sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara
TPPO (Pasal 22 UUPTPPO).
15. Membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana (Pasal 23
UUPTPPO).
16. Memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah
diberitahukan bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus
dirahasiakan (Pasal 24 UUPTPPO).

100
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

LAMPIRAN 3:

PROFIL RUMAH PEREMPUAN KUPANG

Latar Belakang
Pada tanggal 15 September 2000 Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP)
yang berkantor di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mendirikan
Rumah Perempuan di Kota Kupang, sebagai Women Crisis Centre (WCC) dan
bersifat organisasi nirlaba. Pembentukan Rumah Perempuan Kupang dilatar
belakangi adanya ketidakadilan gender dalam ranah keluarga, masyarakat
dan negara yang melahirkan berbagai persoalan. Persoalan lebih banyak
dialami oleh perempuan, anak dan masyarakat miskin seperti: tingginya
kekerasan terhadap perempuan, kematian ibu hamil melahirkan, busung
lapar, gizi buruk, buta huruf, penggangguran dan lain-lain.
Dengan realita yang demikian, beberapa individu yang memiliki kepedulian
terhadap persoalan ketidakadilan gender sehingga mendirikan Rumah Pe-
rempuan Kupang. Berbeda dengan organisasi induknya yang beroperasi di
Kabupaten TTS. Rumah Perempuan Kupang lebih memfokuskan area ker-
janya di wilayah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Pendirian Rumah
Perempuan Kupang bertujuan untuk merespon berbagai tindak kriminal yang
terjadi di Kota Kupang dengan memberikan pelayanan dan pendampingan
langsung terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Pertengahan tahun 2005 Rumah Perempuan Kupang melakukan perenca-
naan strategis lembaga untuk melihat kembali posisinya terhadap berbagai
persoalan sosial kemasyarakatan di Kota Kupang. Melalui perencanaan stra-
tegis, Rumah Perempuan Kupang memutuskan untuk tidak lagi jadi Women
Crisis Centre (WCC) walaupun isu kekerasan terhadap perempuan dan anak
korban kekerasan tetap menjadi salah satu isu yang dikerjakan Rumah Pe-
rempuan Kupang. Isu lain yang menjadi fokus perhatian Rumah Perempuan

101
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Kupang adalah persoalan kesehatan ibu dan anak serta isu tindak pidana
perdagangan orang.
Visi
Terciptanya lembaga yang memiliki sumber daya yang profesional, eksis dan
konsisten terhadap perjuangan keadilan gender sehingga tercapainya relasi
laki-laki dan perempuan yang adil, demokratis, damai dan sejahtera pada
semua level.
Misi
1. Mewujudkan pendampingan dan pelayanan terhadap perempuan dan
anak korban kekerasan secara terpadu dan prima yang didukung oleh
sarana prasarana yang memadai sesuai dengan kebutuhan korban.
2. Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kapasitas perempuan dan
laki-laki tentang isu hak asasi manusia, kesehatan reproduksi,
kekerasan terhadap perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap
berbagai program pembangunan dan posisi strategis baik dalam
lembaga formal maupun nonformal.
3. Mengembangkan dan mempromosikan pangan lokal sebagai komo-
ditas unggulan sebagai salah satu upaya peningkatan pendapatan
masyarakat dampingan melalui berbagai usaha tani dan usaha
produktif lainnya dengan mitra pada pihak lain.
4. Memperjuangkan adanya komitmen pemerintah, swasta dan LSM serta
semua pihak untuk memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan
terhadap perempuan dan anak, termasuk buruh migran dalam melaku-
kan perubahan dan pembuatan kebijakan yang tidak diskriminatif ser-
ta melestarikan nilai-nilai budaya yang berpihak pada keadilan gender
dalam rangka mengimbangi budaya luar yang merugikan masyarakat.
5. Meningkatkan kapasitas staf terkait dengan bidang-bidang yang
digeluti SSP/RP dan merekrut staf yang sesuai dengan latar belakang
pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan oleh lembaga serta
mengupayakan peluang-peluang kemitraan dengan pihak pemerintah,
swasta, NGO dan pihak lainnya yang tidak mengikat termasuk
Fundraising mandiri lembaga demi mendukung tersedianya sarana
prasarana yang memadai untuk melaksanakan pelayanan yang optimal
dan berkelanjutan.

102
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Isu Strategis
1. Bagaimana meminimalisir eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak melalui penguatan hak-hak perempuan dan anak
yang mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi.
2. Bagaimana memperkuat ekonomi perempuan dan masyarakat miskin
melalui pemberdayaan ekonomi.
3. Bagaimana memperbesar akses masyarakat miskin, perempuan dan
anak pada layanan kesehatan dasar.
4. Bagaimana memperkuat kapasitas lembaga melalui kerja jaringan
ditingkat lokal, regional dan nasional.
Struktur Organisasi
Libby SinlaEloE (Direktur), Rahmawaty Bagang (Koordinator Divisi Pendampi-
ngan dan Advokasi), Imelda Dally (Koordinator Divisi Penguatan Kapasitas),
Nurkasrih Umar (Koordinator Divisi Publikasi & Informasi), Magdalena Taneo
(Koordinator Admin dan Keuangan), Helena Korang (Staf Admin), Sepi Tapehe
& Hofni Tefbana (Staf Divisi Pendampingan).

103
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

DAFTAR BACAAN

A. Buku dan Makalah:


1. Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
2. Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagnagn Orang (Kebijakan Hukum
Pidana dan Pencegahannya), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
3. Imelda Daly, Rehabilitasi Sosial dan Implementasinya, Makalah,
disampaikan dalam Workshop: “Perumusan Strategi Advokasi untuk
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan
oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR
NTT), di Hotel Joniar, Kota Kupang, pada tanggal 20 Februari 2012.
4. IOM, Pedoman Penegakan Hukum dan perlindungan Korban Dalam
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit International
Organization for Migration (IOM) Indonesia, Jakarta, 2008.
5. Libby SinlaEloE, Perlindungan Korban Trafficking dan Urgensi Pelaksa-
naannya, Makalah, disampaikan dalam diskusi publik: “Implementasi
Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Antara Tantangan
dan Harapan”, yang dilaksanakan oleh Rumah Perempuan, di Hotel
Astiti, Kota Kupang, pada tanggal 21 Oktober 2008.
6. Libby SinlaEloE dan Paul SinlaEloE, Pencegahan Tindak Pidana Per-
dagangan Orang, Penerbit Rumah Perempuan, Kota Kupang, 2017.
7. Libby SinlaEloE, Tri Soekirman dan Paul SinlaEloE, Jalan Panjang Menuju
Keharmonisan Rumah Tangga, Penerbit Rumah Perempuan, Kota
Kupang, 2011.
8. Marlina dan Azmiati Zuliah, Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pida-
na Perdagangan Orang, Penerbit Penerbit Refika Aditama, 2015
9. Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara
Press, Malang, 2017.
10. PIAR NTT, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada Perkumpulan
Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Tidak
Diterbitkan, Kota Kupang, 2003.

104
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

11. PIAR NTT, Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kendala Penanga-
nannya, Catatan Akhir Tahun, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2015.
12. Rebecca Surtees, Melangkah Maju; Reintegrasi Korban Perdagangan
Orang (Trafficking) di Indonesia dalam Keluarga dan Masyarakat (Ring-
kasan Laporan), Penerbit NEXUS Institute, Washington DC, 2017.
13. Rebecca Surtees, Laura S. Johnson, Thaufiek Zulbahary dan Suarni
Daeng Caya, Pulang ke Rumah. Tantangan dalam Reintegrasi Korban
Perdagangan Orang (Trafficking) di Indonesia, Penerbit NEXUS Institute,
Washington DC, 2016.
14. Rena Yulia, Mengkaji Kembali Posisi Korban Kejahatan Dalam Sistem Per-
adilan Pidana, Jurnal MIMBAR HUKUM Vol. 28, No. 1, Februari 2016.
15. Rumah Perempuan Kupang, Prosedur Standar Penanganan Korban Pada
Rumah Perempuan Kupang, Tidak Diterbitkan, Kota Kupang, 2010.
16. Supriyadi Widodo Eddyono dan Zainal Abidin, Memastikan Pemenuhan
Hak atas Reparasi Korban Pelanggaran HAM Yang Berat, Penerbit
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta, 2016.
17. Theo van Boven, Tentang Mereka yang Menjadi Korban: Kajian Terhadap
Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Penerbit Lem-
baga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001.
18. Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1, Penerbit Yayasan Gandum
Mas, Jakarta, 1981.
19. Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktik Kompensasi di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW),
Jakarta, 2007.
B. PRODUK HUKUM:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981, Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014, Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

105
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Tata Cara dan


Mekanisme Layanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pi-
dana Perdagangan Orang.
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008, Tentang
Gugus Tugas Pencegahan Dan Penanganan Tindak Pidana Perdaga-
ngan Orang.
7. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindu-
ngan Anak Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Prosedur
Standar Operasional pelayanan Terpadu Bagi Saksi Dan/Atau Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
8. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindu-
ngan Anak Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012, Tentang Panduan
Pembentukan dan Penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanga-
nan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
9. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindu-
ngan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, Tentang Panduan
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Ber-
basis Masyarakat dan Komunitas.

106
TENTANG PENULIS

Marthen Luther Johannes Paul SinlaEloE, adalah


alumni SMA Negeri 1 Kupang Tahun 1991. Pernah
mengenyam pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana, namun berhenti kuliah
pada semester V (lima). Pada tahun 1996, mengawali
kuliah (bukan transfer) di Fakultas Hukum
Universitas Kristen Artha Wacana dan menyelesai-
kan pendidikan S1 pada Program Study Ilmu Hukum di tahun 2003, dengan
menulis skripsi berjudul Deskripsi tentang Pelaksanaan Pendidikan Politik
oleh Partai Politik di Kota Kupang.
Sejak tahun 2004 sampai sekarang, bergabung dengan Perkumpulan
Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR-NTT) dan bekerja sebagai
Staf Divisi Advokasi (Community Organizer dan Penanggung Jawab Wilayah
di Kabupaten Kupang untuk Kecamatan Amfoang Selatan, Kecamatan Takari
dan Kecamatan Fatuleu) periode 2004/2005, Staf Divisi Advokasi (Community
Organizer dan Penanggung Jawab Wilayah untuk Kabupaten Rote Ndao)
periode 2005/2006 dan sejak Maret 2006 sampai Sakarang menjadi Staf
Divisi Advokasi (Pengembangan Jaringan Anti Korupsi dan Pemantauan
Korupsi).
Pengalaman selama bergabung dengan PIAR NTT diantaranya, Pertama,
Anggota Tim Penyusunan Desain Model Dengar Pendapat Publik antara
Pemerintah dan Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Publik yang Efektif
dan Akuntabel di Kota Kupang, berdasarkan Keputusan Walikota Kupang
Nomor: 3/A/KEP/HK/2008, Tentang Pembentukan Tim Penyusunan Desain
Model Dengar Pendapat Publik antara Pemerintah dan Masyarakat Dalam
Perumusan Kebijakan Publik yang Efektif dan Akuntabel di Kota
Kupang; Kedua, Staf Ahli DPRD Kota Kupang, untuk penyusunan Peraturan
Daerah Layanan Transportasi Kota, berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan
DPRD Kota Kupang, Nomor: 03/PIM.DPRD/KK/2009, tentang Pe-ngangkatan
Staf Ahli DPRD Kota Kupang;
Ketiga, Pengurus Ad Hoc Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan/KontraS Nusa Tenggara, berdasarkan Surat Mandat No: 01/SM/SK-
Federasi KontraS/II/2010, tentang Penunjukan Pengurus Ad Hoc KontraS Nusa

107
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

Tenggara serta Menjalankan Kegiatan-Kegiatan yang Berhubungan dengan


Rencana Pembentukan KontraS Nusa Tenggara Defenitif; Keempat, Koordi-
nator Daerah Kota Kupang, untuk Program Kemitraan Strategis Penanggu-
langan Kemiskinan/Strategic Alliance for Poverty Alleviation (Program SAPA),
berdasarkan Surat Keputusan Deputi Menkokesra Bidang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Nomor
02/KMK/D.VII/III/2011, Tentang Pembentukan Satuan Unit Kerja Pengelolaan
Program Kemitraan Strategis Penanggulangan Kemiskinan (SAPA/Strategic
Alliance for Poverty Alleviation); Kelima, Anggota Tim Peneliti, Riset Pelayanan
Publik Disektor Pendidikan dan Kesehatan di Kabupaten Kupang, yang
dilaksanakan oleh PIAR NTT, Tahun 2006;
Keenam, Assisten Peneliti, Riset Dana Dekonsentrasi Pendidikan di NTT, atas
kerjasama PSPK Jakarta dan PIAR NTT, Tahun 2009; Ketujuh, Koordinator Tim
Survey, Survey Pelaksanaan SK. Mahkamah Agung Nomor 144, yang dilaksa-
nakan atas kerjasama PIAR NTT dan LeIP Jakarta, Tahun 2009; Kedelapan,
Anggota Tim Survey, Survey Kepuasan Masyarakat terkait Pelayanan Publik
Pengadilan, yang dilaksanakan atas Kerjasama PIAR NTT, Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK) Jakarta dan Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Tahun 2013; Kesembilan, Koordinator Program, Program Pemantauan Kinerja
dan Perilaku Jaksa, kerjasama PIAR NTT dan Australia Indonesia Partnership
for Justice (AIPJ), Tahun 2013-2015;
Kesepuluh, Enumerator, Survey Penyusunan Indeks Negara Hukum, yang
dilaksanakan oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) Jakarta, Tahun 2014-
2017; Kesebelas, Koordinator Program, Program Pemberdayaan Hukum
Masyarakat, kerjasama PIAR NTT dan Australia Indonesia Partnership for
Justice (AIPJ), Tahun 2015; Keduabelas, Pemimpin Redaksi, Newsletter Udik,
Tahun 2014/Sekarang.
Aktifitas yang senantiasa dilakukan sejak kuliah hingga sekarang, yaitu:
Pertama, aktif dalam berbagai berbagai kegiatan kemahasiswaan maupun
kemasyarakatan; Kedua, aktif mengikuti diskusi diberbagai forum, baik itu
sebagai narasumber, fasilitator, moderator maupun peserta; Ketiga, aktif
menulis artikel di berbagai mediamassa cetak maupun online;
Keempat, aktif melakukan pengorganisiran terhadap masyarakat miskin dan
kelompok marjinal lainnya, melakukan advokasi/pendampingan terhadap
masyarakat untuk menolak berbagai kebijakan yang tidak prorakyat, me-
lakukan advoksi untuk mendorong lahirnya kebijakan yang prorakyat,

108
Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

melakukan advokasi berbagai kasus terkait pelayanan publik, melakukan


analsis dan mengkritisi APBD maupun APBDes, melakukan investigasi dan
advokasi berbagai kasus korupsi serta melakukan advikasi/pendampingan
kasus terkait tindak pidana perdagangan orang, penyelundupan orang,
tindak pidana penempatan dan kasus ketenagakerjaan.
Pada tahun 2011, bersama-sama dengan aktifis Rumah Perempuan, yakni:
Libby SinlaEloE dan Tri M. Soekirman, menulis buku tentang penyelesaian
alternatif kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diterbitkan
oleh Rumah Perempuan dengan judul Jalan Panjang Menuju Keharmonisan
Rumah Tangga. Di tahun 2015, menulis buku berjudul Memahami Surat
Dakwaan yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan
Advokasi Rakyat (PIAR NTT). Pada tahun 2017 menulis 2 (dua) buku yakni
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Setara Press, 2017) dan Pencegahan
Tindak Pidana Perdagangan Orang—ditulis bersama dengan Libby SinlaEloE
(Rumah Perempuan, 2017).

W. S. Libby SinlaEloE, lahir di Kupang, Nusa Teng-


gara Timur, pada tanggal 5 Agustus 1971. Menyele-
saikan study S1 di Fakultas Peternakan Univesitas
Negeri Nusa Cendana, Kupang, tahun 1996.
Terlibat dalam memperjuangkan hak-hak perem-
puan sejak menjadi relawan di Rumah Perempuan
pada tahun 2000. Selama bergabung di Rumah
Perempuan, pernah bertugas sebagai Staf Divisi Publikasi dan Informasi
Tahun 2001-2002, Koordinator Divisi Penguatan Kapasitas periode 2003-
2004, Koordinator Divisi Publikasi dan Informasi periode 2004-2005, Staf
Pendampingan Korban Tahun 2005-2006, Koordinator Pendampingan Korban
periode 2006-2009 dan sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang diperca-
yakan untuk menjabat sebagai Koordinator Umum Rumah Perempuan. Selain
itu, pernah menjadi Koordinator Blok Politik Masyarakat Sipil Kota Kupang
Periode 2008-2010, Anggota Panwaslu Kota Kupang Pemilu Legislatif dan
DPD tahun 2008-2009.
Aktivitas lain yang sering dilakukan adalah menjadi pembicara dan fasilitator
dalam berbagai seminar, workshop, dan pelatihan yang berkaitan dengan

109
Paul SinlaEloE & Libby SinlaEloE

isu-isu perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap


anak, traffikcing dan buruh migran, di level lokal maupun nasional.
Pada tahun 2010, bersama rekan-rekan di Rumah Perempuan menulis buku
berjudul Setetes Air di Tengah Kegersangan, yang di terbitkan tahun 2010 oleh
Rumah Perempuan dengan dukungan Brot Fur die Welt dan American Friend
Service Commite. Pada tahun 2011, bersama-sama dengan Paul SinlaEloE dan
Tri M. Soekirman, menulis buku tentang penyelesaian alternatif kasus Keke-
rasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diterbitkan oleh Rumah Perempuan
dengan judul Jalan Panjang Menuju Keharmonisan Rumah Tangga dan menulis
buku Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang ditulis bersama
dengan Paul SinlaEloE dan diterbitkan oleh Rumah Perempuan, pada tahun
2017.

110

Anda mungkin juga menyukai