Anda di halaman 1dari 9

1. Q.

S Al-Hasyr ayat 9

‫اج ًة ِممَّا أُو ُتوا‬


َ ‫ُور ِه ْم َح‬
ِ ‫صد‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ تَبَ َّو ُءوا ال َّدا َر َواإْل ِ ي َمانَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم ي ُِحبُّونَ َم ْن ه‬
ُ ‫َاج َر إِلَ ْي ِه ْم َواَل يَ ِج ُدونَ فِي‬
ْ ْ
َ‫ك ُه ُم ال ُمفلِحُون‬ َ ٰ ُ ْ ُ
َ ‫ُوق ش َّح َنفسِ ِه َفأول ِئ‬ َ ‫ص ٌة ۚ َو َمنْ ي‬
َ ‫صا‬ َ ‫ان ِب ِه ْم َخ‬ َ ‫ُون َعلَ ٰى أَ ْنفُسِ ِه ْم َولَ ْو َك‬
َ ‫َوي ُْؤ ِثر‬

Artinya :

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah


beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka
(Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).
Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al-
Hasyr; 9)

Mufradat

‫ُي ْؤثُِر ْون‬ = mereka mendahulukan dan mengutamakan.

‫اصة‬
َ ‫ص‬َ ‫ال َخ‬ = kebutuhan, ia berasal dari Khasasah Bait, yaitu celah-celah yang
tersisa diantara tiang-tiang, juga setiap lubang dari pengayak, pintu, awan dan
tirai.1

Asbabun Nuzul
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Zaid ibnul Asham bahwa suatu ketika
orang-orang Anshar berkata,”Wahai Rasulullah, berikanlah sebagian dari tanah
yang kami miliki ini kepada saudar-sudara kami, kaum Muhajirin.” Rasulullah
lalu menjawab,”Tidak. Akan tetapi, kalian cukup menjamin kebutuhan makan
mereka serta memberikan setengah dari hasil panen kalian. Adapun tanahnya
maka ia tetap menjadi hal milik kalian.” Orang-orang Anshar lalu menjawab,”Ya,
kami menerimanya.” Allah lalu menurunkan ayat ini.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata,”Suatu hari,
seseorang datang kepada Rasulullah seraya berkata,”Wahai Rasulullah, sekarang
ini saya sangat kelaparan. ”Rasulullah lalu menanyakan kepada istri-istrinya

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sygma
1

Examedia Arkanlema, 2010), hlm. 546

1
apakah memiliki persediaan makanan, namun tidak ada apapun pada mereka.
Rasulullah lantas berkata kepada sahabat-sahabatnya, ”Adakah di antara kalian
yang mau menjamunya malam ini? Semoga Allah merahmati yang menjamu
tersebut.” Seorang laki-laki dari kalangan Anshar lalu berdiri dan berkata,”Wahai
Rasulullah, saya yang akan menjamunya.”2
Laki-laki itu lantas pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya,”Saya telah
berjanji akan menjamu seorang tamu Rasulullah. Oleh karena itu, keluarkanlah
persediaan makananmu.” Akan tetapi, sang istri menjawab,”Demi Allah, saya
tidak punya makanan apapun kecuali sekedar yang akan diberikan kepada anak-
anak kita.” Laki-laki itu lantas berkata,”Kalau begitu, jika nanti anak-anak kita
telah terlihat ingin makan malam maka berusahalah untuk menidurkan mereka.
Setelah itu, hidangkanlah makanan untuk mereka itu (kepada sang tamu) dan
padamkan lampu.” Adapun kita sendiri akan tidur dengan perut kosong pada
malam ini ! sang istri lalu mengikuti instruksi suaminya itu.
Pada pagi harinya, laki-laki itu bertemu dengan Rasulullah. Beliau lantas
berkata kepada para sahabat, ”Sesungguhnya Allah telah terkagum-kagum atau
tersenyum dengan apa yang dilakukan oleh si Fulan dan si Fulanah. Allah lantas
menurunkan ayat, ”.....dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya
sendiri, meskipun mereka juga memerlukan.....”3

Tafsir Al Maragi
Allah memuji dan menyanjung orang-orang Anshar yang merelakan harta
fai’ itu diberikan kepada orang-orang Muhajirin, meskipun mereka tidak
menerimanya. Firman- Nya:

‫ص ُدو ِر ِه ْم‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ُ ‫اج َر إِل َْي ِه ْم َواَل يَج ُدو َن في‬
َ ‫يما َن من َق ْبل ِه ْم يُحبُّو َن َم ْن َه‬ َ ِ‫َّار َواإْل‬
َ ‫ين َتَب َّو ُؤوا الد‬ َ ‫َوالذ‬
ِ ِ
ٌ‫اصة‬
َ ‫ص‬ َ ‫اجةً ِّم َّما أُوتُوا َو ُي ْؤث ُرو َن َعلَى أَن ُفس ِه ْم َول َْو َكا َن بِ ِه ْم َخ‬
َ ‫َح‬
Dan orang-orang yang tinggal di Madinah dan hati mereka telah dipenuhi
kecintaan iman sebelum kedatangan orang-orang Muhajirin. Mereka mempunyai

Jalaludin As-Suyuti, Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an), penerjemah


2

Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 561-562


3
Op.Cit., Jalaludin As-Suyuti, hlm. 562

2
sifat-sifat mulia dan akhlak luhur yang menunjukkan kemuliaan jiwa dan
keluhuran budi. Mereka adalah:
1) Mencintai orang-orang Muhajirin dan menginginkan kebaikan untuk
orang-orang Muhajirin itu sebagaimana halnya mereka menginginkan
kebaikan untuk diri mereka sendiri. Rasulullah telah mempersaudarakan
antara mereka dengan orang-orang Muhajirin itu dan menempatkan orang-
orang Muhajirin di rumah-rumah orang-orang Anshar untuk tinggal
bersama.
2) Mereka tidak menginginkan sedikitpun dari harta fai dan lain-lain yang
diberikan kepada orang-orang Muhajirin.
3) Mereka mendahulukan orang-orang yang membutuhkan di atas diri
mereka sendiri dan memulai dengan orang lain sebelum diri mereka
sendiri. Sehingga orang yang mempunyai dua orang istri diantara mereka
itu menceraikan salah seorang dari keduanya, dan mengawinkannya
dengan salah seorang dengan kaum Muhajirin.
Telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasai
dari Abu Hurairah ia berkata, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah saw
lalu dia berkata, ”Aku telah ditimpa kepayahan.” Lalu beliau menanyakan kepada
istri-istri beliau, tetapi beliau tidak mendapatkan apa-apa kepada mereka. Maka
kata Rasulullah saw. ”Tidak adakah seorang laki-laki yang hendak menjamu
orang ini pada malam ini? Semoga ia dirahmati Allah.” Maka kata Abu Talhah,
”Aku wahai Rasulullah,” Lalu ia pulang kepada keluarganya untuk mengatakan
kepada istrinya, ”Hormatilah tamu Rasulullah ini.” Istrinya menjawab,”Demi
Allah, aku tidak mempunyai apa-apa selain dari makanan anak-anak.” Maka kata
Abu Talhah,”Apabila anak-anak hendak makan malam, maka tidurkanlah mereka,
lalu naiklah engkau lalu padamkan lampu, dan kita jamu tamu Rasulullah pada
malam ini.” Lalu istrinyapun melakukan yang demikian. Tatkala pagi harinya
tamu itu menghadap Rasulullah saw. Maka beliau mengatakan,”Allah kagum
terhadap si Fulan dan si Fulanah, dan menurunkan untuk mereka berdua:
ِ ِ
ٌ‫اصة‬
َ ‫ص‬َ ‫َو ُي ْؤث ُرو َن َعلَى أَن ُفس ِه ْم َول َْو َكا َن بِ ِه ْم َخ‬
Kemudian Allah menjelaskan akibat buruk dari kebakhilan, Firman-Nya:

3
‫ك ُه ُم ال ُْم ْفلِ ُحو َن‬
َ ِ‫َو َمن يُو َق ُش َّح َن ْف ِس ِه فَأ ُْولَئ‬
Dan barangsiapa yang menjaga diri mereka dari keserakahan dan
kebakhilan terhadap harta, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung dalam
segala tuntutan dan selamat dari segala ketidakbaikan.
Telah dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, Abu Ya’la dan Ibnu Mardawaih dari
Anas secara marfu’, ”Tidak akan bertemu untuk selama-lamanya kesengsaraan di
jalan Allah dengan asap neraka jahannam pada hati seorang hamba. Dan tidak
bertemu pula untuk selama-lamanya antara iman dengan kebakhilan pada hati
seorang hamba.”4

Tafsir Al Munir
Allah SWT memuji kaum Anshar menyatakan keutamaan dan kemuliaan
mereka, kebersihan mereka dari perasaan hasud, sikap mereka yang lebih
mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri meskipun mereka sedang
butuh, serta sikap mereka yang rela dan menerima dengan lapang dada kaum
Muhajirin diberi dari harta fai,5

“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri,
meskipun mereka juga memerlukan.” (al-Hasyr: 9)

Orang-orangyang mendiami Daarul Hijrah Madinah, dan keimanan


mereka kepada Allah SWT dan Rasul-Nya benar-benar tertanam kukuh dalam hati
mereka, yaitu kaum Anshar. Mereka mencintai kaum Muhajirin, memberi bantuan
kepada kaum Muhajirin dengan harta mereka, Mereka sama sekali tidak
mendapati dalam diri mereka perasaan hasud, kecewa atau benci kepada kaum
Muhajirin atas apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin dari harta fai'
sementara mereka tidak diberi. Tetapi sebaliknya, mereka merasa senang, rela,

4
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi Juz 28, ahli bahasa Bahrun Abu
Bakar, dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 67-69
5
Abdul Hayyie, dkk. Terj. Tafsir Al Munir Jilid 14 Wahbah Az-Zuhaili, (Jakarta: Gema Insani,
2013), hlm. 459

4
dan menerima kenyataan itu dengan senang hati dan penuh lapang dada, padahal
kaum Muhajirin tinggal di rumah-rumah mereka. Mereka juga lebih
mengutamakan dan memprioritaskan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri
dalam hal-hal keduniawian, walaupun sebenarnya mereka juga sedang butuh dan
mengalami kesulitan ekonomi sendiri.

Disini bisa diperhatikan bahwa setiap sesuatu yang dirasakan oleh


seseorang di dalam dadanya yang perlu untuk dihilangkan, itu disebut hajat,

Al-litsaar artinya adalah mengutamakan, mendahulukan, dan


memprioritaskan orang lain daripada kepentingan dan keinginan duniawi diri
sendiri.
"Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-
orang yang beruntung (al-Hasyr: 9)
Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah SWT dari kerakusan, ketamakan,
dan kebakhilan dirinya, ia pun menunaikan apa yang diwajibkan oleh syari'at atas
dirinya pada harta yang dimiliki berupa zakat atau hak, sungguh ia benar-benar
telah beruntung, selamat, serta sukses menggapai setiap harapan dan keinginan.6
Ayat ini menunjukkan tentang lima sifat dan gambaran kaum Anshar.
Pertama, mereka telah lebih dulu mendiami Daarul Hijrah Madinah dan
menjadikan keimanan sebagai tempat menetap dan jati diri bagi mereka. Kedua,
mereka mencintai para saudara mereka, Muhajirin. Ketiga, mereka jauh dari
sifattamak, rakus, hasud, dan benci. Keempat, mereka lebih mengutamakan dan
memprioritaskan orang-orang yang butuh atas diri mereka sendiri, sekalipun
sebenarnya mereka sendiri juga sedang butuh dan mengalami kesulitan ekonomi.
Kelima, dermawan dan jauh dari sifat kikir. Mereka disebut sebagai orang- orang
yang bahagia, beruntung dan sukses menggapai apa yang mereka inginkan.7

2. Q.S Ali Imran ayat 92

6
Ibid., hlm. 460
7
Ibid., hlm. 461

5
‫لَن تَنَالُوا ا ْلبِ َّر َحتَّى تُنفِقُوا ِم َّما ت ُِحبُّونَ َو َما تُنفِقُوا ِمن ش َْي ٍء فَإِنَّ هَّللا َ بِ ِه َعلِي ٌم‬

Artinya:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
(QS. Ali-‘Imran: 92)

Mufradat

‫َح َّت ٰى‬ sehingga (sebelum)


۟ ‫ُتنفِ ُق‬ kamu menafkahkan
‫وا‬

‫ِممَّا‬ dari apa (harta)


َ ‫ُت ِحب‬
‫ُّون‬ kamu mencintai
‫َو َما‬ dan apa
۟ ُ‫ُتنفِق‬
‫وا‬ kamu nafkahkan
‫مِن‬ dari
‫َشىْ ٍء‬ sesuatu

Asbabun Nuzul
Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata; Telah menceritakan
kepadaku Malik dari Ishaq bin 'Abdullah bin Abu Thalhah bahwasanya dia
mendengar Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Abu Thalhah adalah orang
Anshar yang paling banyak pohon kurmanya. Dan harta yang paling ia sukai dari
harta miliknya adalah Bairuha` (kebun) yang berhadapan dengan masjid. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam biasa masuk ke dalamnya untuk minum airnya yang
jernih segar. ketika turun ayat: "Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan
kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang
kamu cintai. Maka Abu Thalhah berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
telah berfirman: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai, dan
harta yang paling aku sukai adalah Bairuha`, maka ia sekarang adalah sedekah
bagi Allah 'azza wajalla. Dan aku mengharap kebaikan dan simpanannya di sisi
Allah. Wahai Rasulullah, sekarang aturlah ia sesukamu." Maka Nabi shallallahu

6
'alaihi wasallam pun bersabda: "Amboi, itu adalah harta yang menguntungkan, itu
adalah harta yang menguntungkan! Aku telah mendengar apa yang telah kamu
katakan, namun aku melihat sepertinya lebih baik itu engkau sedekahkan untuk
kerabat-kerabatmu." Lalu Abu Thalhah berkata; "Wahai Rasulullah, aku akan
melakukannya." Maka Abu Thalhah pun membagi-bagikan kepada kerabat dan
anak-anak pamannya." 'Abdullah bin Yusuf dan Rauh bin 'Ubadah berkata; 'Itulah
harta yang rabih (menguntungkan). Telah menceritakan kepadaku Yahya bin
Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dengan lafazh; 'Maal Rayih.'
(harta yang menguntungkan). Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
'Abdullah Al Anshari dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari
Tsumamah dari Anas radliallahu 'anhu berkata; 'Maka harta itu dibagikan kepada
Hassan dan Ubay, dan akupun termasuk kerabat yang paling dekat dengannya
namun dia tidak memberikannya kepadaku sedikit pun.”8
Tafsir Jalalain
(Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian) artinya pahalanya yaitu
surge (sebelum kamu menafkahkan) menyedekahkan (sebagian dari apa yang
kamu cintai) berupa harta bendamu (dan apa yang kamu nafkahkan dari sesuatu
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya.9

Ketika orang-orang Yahudi mengatakan kepada Nabi saw, "Anda


mengakui diri Anda dalam agama Ibrahim padahal ia tidak memakan daging unta
dan susunya," maka turunlah ayat ini.10
Tafsir Ibnu Katsir

Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)


sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang
kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengtahuinya. Waki’ di dalam kitab
tafsirnya meriwayatkan dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun

8
Shahih Bukhari dengan nomor 4189 (hadis dengan sanad dan matan yang sama juga
terdapat dalam kitab Fathul Bari)
9
Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli & Jalal al-Din Abdur Rahman ibn Abi
Bakar al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain (Surabaya: Darul Ilmu), hlm. 57
10
Ibid.,

7
sehubungan dengan firman-Nya: Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna). (Ali Imran: 92)

Yang dimaksud dengan al-birr ialah surga. Imam Ahmad mengatakan,


telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Malik,
dari Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Talhah yang pernah mendengar dari Anas ibnu
Malik, Bahwa Abu Talhah adalah seorang Anshar yang paling banyak memiliki
harta di Madinah, dan tersebutlah bahwa harta yang paling dicintainya adalah
Bairuha (sebuah kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memasuki kebun itu dan


meminum airnya yang segar lagi tawar. Sahabat Anas melanjutkan kisahnya,
bahwa setelah diturunkan firman-Nya yang mengatakan: Kalian sekali-kali tidak
akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan
sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92) Lalu Abu Talhah berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah


berfirman: “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai” (Ali Imran: 92),
dan sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha ini, dan
sekarang Bairuha aku sedekahkan agar aku dapat mencapai kebajikan melaluinya
dan sebagai simpananku di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, maka aku mohon
sudilah engkau, wahai Rasulullah, mempergunakannya menurut apa yang
diperlihatkan oleh Allah kepadamu.”11

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya:


Wah, wah, itu harta yang menguntungkan, itu harta yang menguntungkan; dan
aku telah mendengarnya, tetapi aku berpendapat hendaklah kamu memberikannya
kepada kaum kerabatmu. Abu Talhah menjawab, “Akan aku lakukan sekarang,
wahai Rasulullah.” Lalu Abu Talhah membagi-bagikannya kepada kaum
kerabatnya dan anak-anak pamannya.
11
Umar Al-Quraisyi Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Adzim. Juz 4.
(Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2000) hal. 1

8
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Di
dalam kitab Shahihain disebutkan: Bahwa sahabat Umar mengatakan, “Wahai
Rasulullah, aku belum pernah memperoleh harta yang paling aku cintai dari
semua harta yang ada padaku selain bagianku dari ganimah Khaibar. Apakah yang
harus aku lakukan terhadapnya menurutmu?” Maka Rasuiullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah (di jalan Allah)
buah (hasil)nya.

Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada


kami Abul Khattab (yaitu Ziyad ibnu Yahya Al-Hassani), telah menceritakan
kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Amr, dari Abu Amr ibnu Hammas, dari Hamzah ibnu Abdullah ibnu Umar yang
menceritakan bahwa telah sampai kepadanya ayat berikut, Yaitu firman-Nya:
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kalian
menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92). Maka ia teringat
kepada pemberian Allah yang paling ia cintai, yaitu seorang budak wanita
Romawi. Aku (Ibnu Umar) berkata, “Dia merdeka demi karena Allah. Seandainya
aku menarik kembali sesuatu yang telah kujadikan sebagai amal taqarrub kepada
Allah, niscaya aku akan menikahinya.”

Tafsir Al Azhar
Tafsir al-Azhar menjelaskan surat Ali-Imran ayat 92 dengan menyatakan
bahwa setelah ayat ini turun, maka sangat besar pengaruhnya kepada
sahabat-sahabat Nabi Saw dan selanjutnya menjadi pendidikan batin yang
mendalam di hati kaum muslimin yang hendak memperteguh keimanannya
melalui wakaf.12

12
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), hlm. 8

Anda mungkin juga menyukai