Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PERSALINAN DAN NEONATUS

“ PENCEGAHAN PENULARAN TRIPLE ELIMINASI DARI IBU KE JANIN”

DOSEN PENGAMPUH:
Yetti purnama, S.ST., M.Keb
Disusun oleh : kelompok 3

TINGKAT 1B
NAMA ANGGOTA :

1. Ceni Pratiwi (F0G020073)


2. Ayu sonia (F0G020064)
3. Elisa Fransiska (F0G020076)
4. Sysca Syaputry (F0G020074)
5. Enersi Agrey Nelly Putri (F0G020067)

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. latar belakang

WHO mencanangkan eliminasi penularan penyakit infeksi dari ibu ke anak (mother-to-
child transmission) di Asia dan Pasifik pada tahun 2018-2030. Tiga penyakit yang menjadi
fokus adalah HIV,Hepatitis B, dan Sifilis. Tiga penyakit tersebut merupakan penyakit infeksi
yang endemik di wilayahAsia dan Pasifik.Penularan penyakit-penyakit tersebut ke bayi dapat
dicegah dengan imunisasi, skrining dan pengobatan penyakit infeksi pada ibu hamil. WHO
menyarankan upaya pencegahan tersebut dilakukan dengan pendekatan terkoordinasi untuk
implementasi intervensi di fasilitas layanan kesehatan. Upaya pencegahan tersebut
menggunakan layanan terpadu untuk untuk ibu dan anak agar tercapai eliminasi.Upaya
tersebut melibatkan beberapa komponen layanan kesehatan, seperti: klinik antenatal, klinik
PDPHIV lebih seringterjadi pada masa kehamilan tua dan pada saat partus, dan sangat
jarangterjadi pada masa permulaan kehamilan, maka yang menjadi sasaranpenting untuk
mencegah penularan vertikal adalah janin pada fase akhirintauterin (kehamilan) dan pada
waktu intrapartum. Sifilis merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum. Penyakit ini bisa dibilang silent disease, karena bekerja dengan
diam. Sifilis bisa menyebabkan kerusakan serius pada otak, sistem saraf serta jantung.
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Penularan penyakit hepatitis B pada
dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu penularan horizontal dan penularan vertikal. Penularan
vertikal terjadi antara ibu dan anak .Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV).
Penularan penyakit hepatitis B pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu penularan horizontal
dan penularan vertikal. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
darah atau luka terbuka dari penderita atau membuat tatto dan tindikan dengan alat yang tidak
steril, hubungan seksual, Selain itu, berbagi alat cukur, sikat gigi, atau jarum suntik yang telah
terkontaminasi darah penderita juga meningkatkan risiko tertular.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HIV
Human Immunodeficiency. Virus(HIV) pada bayi dan anak merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang sangat serius karena jumlah penderita banyak dan selalu meningkat
sebagai akibat jumlah ibuusia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. Sebagian
besar(>90 %) infeksi HIV pada bayi ditularkan oleh ibu terinfeksi HIV (Setiawan,2009: 489).
Angka penularan vertikal dari ibu ke bayi sangat bervariasi padaberbagai populasi. Tanpa
pencegahan, angka rata-rata penularan HIV dariibu ke bayi sekitar 14 – 42 %. Angka penularan
vertikal di negara majuseperti Amerika Serikat dan Eropa Barat berkisar antara 15 sampai 20
%,sedangkan di negara berkembang, angka penularan vertikal berkisarantara 24 sampai 40 %.
Akan tetapi, angka penularan vertikal di indonesiasampai saat ini beum diketahui dengan jelas
(Setiawan, 2009: 490).Menurut I Made Setiawan (2009:490), penularan HIV lebih seringterjadi
pada masa kehamilan tua dan pada saat partus, dan sangat jarangterjadi pada masa permulaan
kehamilan, maka yang menjadi sasaranpenting untuk mencegah penularan vertikal adalah janin
pada fase akhirintauterin (kehamilan) dan pada waktu intrapartum.

1. Faktor risiko penularan HIV dari ibu hamil ke janin yangdikandungnya

Tingginya angka penularan vertikal dari ibu ke janin sangatdipengaruhi oleh


adanya faktor risiko pada ibu hamil yang terinfeksiHIV. Faktor risiko tersebut adalah
beratnya infeksi HIV yang dideritaibu, adanya penyakit infeksi lain pada genitalia ibu,
dan kebiasaan ibu(Setiawan, 2009)

Beratnya keadaan infeksi HIV pada ibu merupakan faktorrisiko utama terjadinya
penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi,ternyata angka penularan vertikal lebih tinggi
pada ibu terinfeksi HIVdengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV
tanpagejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan denganmenggunakan kriteria
klinis dan jumlah partikel virus yang terdapatdalam plasma serta keadaan imunitas ibu
(Setiawan, 2009: 490).Menurut Rulina Suradi (2003:181), risiko transmisi vertikal
dariibu hamil ke janinnya tergantung pada beberapa faktor, yaitu:

a. Usia kehamilanTransmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda,
karenaplasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksipada ibu.
Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua atautrimester akhir dan waktu
persalinan

.b..Kondisi kesehatan ibuStadium dan progresivitas penyakit ibu, ada tidaknya


komplikasi,kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensivitamin
A dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke janin.

c. Jumlah viral load (beban virus di dalam darah)4. Pemberian profilaksis obat abti
retroviral(ARV )Menurut Kementerian Kesehatan RI dalamPedoman
NasionalPencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:11), ada tigafaktor utama
yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,yaitu faktor ibu, bayi/anak,
dan tindakan obstetrik. Namun, yangberpengaruh terhadap penularan HIV selama
masa kehamilan adalahfaktor ibu, yang terdiri dari:

d. Jumlah virus (viral load)Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau
saatpersalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusuibayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak.Risiko penularan HIV menjadi sangat
kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar
HIV di atas100.000 kopi/ml.2. Jumlah sel CD4Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah
lebih berisiko menularkan HIVke janinnya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko
penularan HIVsemakin besar.3. Status gizi selama hamilBerat badan rendah serta
kekurangan vitamin dan mineral selamahamil meningkatkan risiko ibu untuk
menderita penyakit infeksiyang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan
HIV ke janin.4. Penyakit infeksi selama hamilPenyakit infeksi seperti sifilis, infeksi
menular seksual, infeksisaluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis,
berisikomeningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke janin.

2. Mekanisme penularan HIV dari ibu hamil ke janin yangdikandungnya

Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melaluiplasenta.


Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibuyang terinfeksi HIV. Sel
limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIVatau virus HIV itu sendiri dapat
mencapai janin secara langsungmelalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak
langsung melaluitrofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer)
yangmempunyai reseptor CD4 (McFarland, 2003).Plasenta diduga juga mempunyai
efek anti HIV-1 denganmekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon
plasentayaituhuman chorionic gonadotropin (hCG)diduga melindungi janin dari HIV-1
melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi viruske jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta,dan menginduksi apoptosis sel-sel
yang terinfeksi HIV-1 (McFarland,2003).Menurut Pediatric Virology Committee of
the AIDS ClinicalTrials Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi
awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tesberikutnya juga
positif (McFarland, 2003).

Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yangberperan pada transmisi


antepartum, yaitu malnutrisi yang seringkaliditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS
akan meningkatkan resikotransmisi karena akan menurunkan imunitas,
meningkatkanprogresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahirrendah
dan prematuritas dan menurunkan fungsi imunitasgastrointestinal dan integritas fetus.
Pada penelitian prospektif randomterkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari 1,05
mmol/L) yangdihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B
ternyataberhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitianDreyfuss,
dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrienakan meningkatkan
transmisi antepartum atau sebaliknya (McFarland,2003).

3.. Tatalaksana pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke janinyang dikandungnya

Strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu hamil ke janin yang
dikandungnya (masa antenatal) adalah denganmemberikan antiretroviral (ARV) dan
memperbaiki faktor risiko. Usahaini memerlukan kerja sama antara dokter ahli HIV
dari kelompok kerjaHIV/AIDS yang merawat ibu pada saat sebelum hamil dan
dokterkebidanan yang merawatnya pada saat hamil. Tujuan perawatan saatkehamilan
adalah untuk mempertahan kesehatan dan status nutrisiibu, serta mengobati ibu agar
jumlah viral load tetap rendah sampaipada tingkat yang tidak dapat dideteksi
( Setiawan, 2009: 491). Anggota tim sebaiknya terdiri dari seorang pembina untuk
ibuterinfeksi HIV, dokter kebidanan, pekerja sosial, keluarga atau teman,dokter anak,
dan perawat. Dengan kerja sama yang baik maka faktorrisiko yang terjadi dapat
dihindari sehingga penularan perinatalberkurang (Setiawan, 2009: 491).Menurut I
Made Setiawan (2009:491), tatalaksana untukmengurangi penularan vertikal dari ibu
hamil dengan HIV ke bayipada masa antenatal (hamil) adalah sebagai berikut:1.
Konseling dan tes antibodi HIV terhadap IbuPetugas yang melakukan perawatan
antenatal dipuskesmas maupun di tempat perawatan antenatal lain sebaiknyamulai
mengadakan pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk
menularkan penyakit HIV kepadabayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara
lain denganmenanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok,mengadakan
hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Biladitemukan kasus tersebut di atas, harus
dilakukan tindakan lebihlanjut.Risiko penularan HIV secara vertikal dapat
berkurangsampai 1-2% dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibudan anak.
Semua usaha yang akan dilakukan sangat tergantungpada temuan pertama dari ibu-ibu
yang berisiko. Oleh karena itu,semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya diberi
konselingHIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibuhamil
disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dariperawatan antenatal, tanpa
memperhatikan faktor risiko danprevalensi HIV-1 di masyarakat. Akan tetapi, ibu
hamil seringmenolak untuk dilakukan tes HIV, karena peraturan yangmemaksa ibu
hamil untuk dites HIV belum ada.Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1
pada saatmasa pancaroba dan dewasa muda yang justru pada masa inimereka tidak
terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan. Padahal pada masa-masa ini banyak
terjadi penularan melaluihubungan seks bebas, dan juga banyak sebagai pengguna
obatterlarang. Kepada mereka harus diberi konseling dan disarankanuntuk dilakukan
tes infeksi HIV-1. Kemudian, jika ditemukan adaibu hamil yang terinfeksi HIV dan
sebagai pengguna obatterlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program
pengobatanatau program detoksifikasi.

Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil,perlu dilakukan


pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus didalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan
genotipe virus. Juga perludiketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti
retrovirus ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakansebagai bahan
informasi kepada ibu tentang risiko penularanterhadap pasangan seks, bayi, serta cara
pencegahannya.Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor risiko
yangdapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.2. Pencatatan dan
pemantauan ibu hamilBanyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamilsangat
jarang melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat
untuk melakukan perawatan prenatal.Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang
melakukan konseling dantes HIV pada waktu prenatal, sehingga mereka tidak dapat
dicatatdan dipantau dengan baik.Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu
hamilterinfeksi HIV termasuk catatan tentang kebiasaan yangmeningkatkan risiko dan
keadaan sosial yang lain, pemeriksaanfisik yang lengkap, serta pemeriksaan
laboratorium untukmengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat
penderitadatang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan
ini akan digunakan sebagai data dasar untuk bahanbanding dalam melihat
perkembangan penyakit selanjutnya.Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap,
urinalisis, tes fungsiginjal dan hati, amylase, lipase, gula darah puasa,
VDRL,gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T, dan jumlahsalinan RNA
HIV.Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauanibu hamil terinfeksi HIV
sama dengan pemantauan ibu terinfeksiHIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T
CD4+ dan kadar RNAHIV-1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu, setiap 3 - 4
bulan)yang berguna untuk menemukan pemberian ARV dalampengobatan penyakit
HIV pada ibu.

Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat
ditentukanberdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul.3. Pengobatan dan profilaksis
antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIVUntuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke
bayi, makaibu hamil terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atauprofilaksis
antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibuhamil, di samping untuk
mengobati ibu, juga untuk mengurangirisiko penularan perinatal kepada janin atau
neonatus. Ternyataibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000
salinanRNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkanibu dengan
jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIVpada bayi sebanyak 60%. Jumlah
virus dalam plasma ibu masihmerupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat
terjadinyapenularan perinatal. Karena itu, semua wanita hamil yangterinfeksi HIV
harus diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untukmengurangi jumlah muatan
virus.Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam

4. PedomanNasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Tujuan pemberian ARV adalah sebagai berikut:a. Mengurangi laju penularan HIV
di masyarakatb. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungandengan
HIVc. Memperbaiki kualitas hidup ODHAd. Memulihkan dan memelihara fungsi
kekebalan tubuh, dane. Menekan replikasi virus secara maksimal.Cara paling efektif
untuk menekan replikasi HIV adalahdengan memulai pengobatan dengan kombinasi
ARV yang efektif.Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yangbersamaan
pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harusmenggunakan dosis dan jadwal yang
tepat. Obat ARV harusdiminum terus menerus secara teratur untuk menghindar
Menurut I Made Setiawan (2009:492), walaupunkeputusan pemilihan dan penggunaan
ARV berbeda-beda,umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan:a. Risiko
penyakit berkembang pada ibu bila tanpa pengobatanb.

Manfaat untuk menurunkan jumlah virus, agar risiko penularanperinatal


berkurangc. Kemungkinan terjadi toksisitas obatd. Kemungkinan ada infeksi oleh
virus yang sudah resisten obate. Efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam
kandungan.Menurut I Made Setiawan (2009:492), CDC andPrevention USA
menyarankan untuk memberikan pengobatan danprofilaksis antiretrovirus kepada ibu
pada saat intrapartum sebagaiberikut:a. Pemberian ZDV intravena disarankan untuk
seluruh ibu hamilterinfeksi HIV, tanpa memandang jenis antivirus yang diberikanpada
saat antepartum; ini bertujuan mengurangi penularan HIVperinatal.b. Untuk ibu yang
mendapat pengobatan antivirus antepartumyang mengandung obat stavudine (d4T),
maka obat ini distopselama pemberian ZDV intravena pada saat persalinan.c. Pada
mereka yang mendapat antiretrovirus kombinasi,pengobatannya harus diteruskan
selama persalinan dansebelum dilakukan bedah saesar sesuai jadwal dengan tepat.d.
Mereka yang mendapat terapi kombinasi dengan dosis yangsudah ditentukan termasuk
ZDV, maka pada saat persalinanharus diberi ZDV intravena, sementara komponen
antiretrovirusyang lain terus diberikan secara oral.e.

Untuk ibu yang sudah mendapat antiretrovirus tetapi pada saatmenjelang


persalinan ternyata jumlah penurunan virus kurangoptimal (misal >1000 salinan/mL)
maka disarankan untukdilakukan bedah saesar. Tidak disarankan untuk menambahkan
NVP dosis tunggal pada saat intrapartum ataukepada neonatus yang dilahirkan.f. Ibu
dengan status HIV yang tidak jelas yang datang pada saatakan melahirkan, harus
dilakukan pemeriksaan tes cepatterhadap antibodi HIV, dan pemberian ZDV intravena
harusdimulai jika hasil test positif (tanpa menunggu hasil teskonfirmasi) tes
konfirmasi dilakukan sesudah melahirkan, danbayi harus mulai diberi ZDV. Jika hasil
tes positif, makadisarankan untuk memberikan ZDV kepada neonatus selama
6minggu, dan jika hasil tes negatif, maka pemberian ZDV padaneonatus distop.g.

Pada ibu terinfeksi HIV yang sedang melahirkan tetapi tidakmendapat pengobatan
antiretrovirus antepartum, disarankanpemberian ZDV intravena selama melahirkan
kepada bayinyaselama 6 minggu. Beberapa ahli sering mengkombinasi obat inidengan
NVP dosis tunggal yang diberi kepada ibu danneonatus. Jika digunakan NVP dosis
tunggal (sendiri ataudikombinasi dengan ZDV), maka harus dipertimbangkan
untukmemberikan 3TC pada saat melahirkan dan kepada ibudiberikan ZDV/3TC
selama 7 hari sesudah melahirkan untukmengurangi terjadinya resistensi virus
terhadap NVP pada ibu.

B. SIFILIS

Sifilis merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum. Penyakit ini bisa dibilang silent disease, karena bekerja dengan diam.
Sifilis bisa menyebabkan kerusakan serius pada otak, sistem saraf serta jantung.

1. Gejala Sifilis

Gejala sipilis atau sifilis digolongkan sesuai dengan tahap perkembangan penyakitnya.
Tiap jenis sifilis memiliki gejala yang berbeda-beda. Berikut adalah penjelasannya:

a. Sifilis primer

Sifilis jenis ini ditandai dengan luka (chancre) di tempat bakteri masuk.

b. Sifilis sekunder

Sifilis jenis ini ditandai dengan munculnya ruam pada tubuh.

c. Sifilis laten

Sifilis ini tidak menimbulkan gejala, tapi bakteri ada di dalam tubuh penderita.

d. Sifilis tersier

Sifilis ini dapat menyebabkan kerusakan organ lainnya otak, saraf, atau jantung.
2. Penyebab Sifilis

Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri, yang menyebar melalui hubungan seksual dengan
penderita sifilis. Meski demikian, bakteri penyebab sifilis juga bisa menyebar melalui
melalui kontak fisik dengan luka yang ada di penderita. Melihat penularannya, sifilis rentan
tertular pada seseorang yang sering bergonta-ganti pasangan seksual.

3. Diagnosis Sifilis

Untuk mengetahui seseorang menderita sifilis, dokter akan melakukan pemeriksaan


berupa tes darah dan pengambilan cairan luka. Tes darah untuk mengetahui adanya antibodi
untuk melawan infeksi, sementara pemeriksaan cairan luka guna mengetahui keberadaan
bakteri penyebab sifilis (sipilis).

4. Pengobatan Sifilis

Pengobatan siflis atau raja singa ini akan lebih efektif jika dilakukan ketika tahap awal.
Sifilis dapat diatasi dengan antibiotik penisilin. Selama masa pengobatan, penderita
dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks, sampai dokter memastikan infeksi sudah
sembuh.

5. Pencegahan Sifilis

Penularan sifilis dapat dicegah dengan perilaku seks yang aman, yaitu setia pada 1
pasangan seksual atau menggunakan kondom. Selain itu, pemeriksaan atau skrining terhadap
penyakit sifilis atau sipilis ini juga perlu dilakukan secara rutin pada orang-orang yang
memiliki faktor risiko tinggi mengalami penyakit ini.

C. HEPATITIS B

Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Penularan penyakit hepatitis B pada
dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu penularan horizontal dan penularan vertikal. Penularan
vertikal terjadi antara ibu dan anak .Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV).
Penularan penyakit hepatitis B pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu penularan horizontal
dan penularan vertikal. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
darah atau luka terbuka dari penderita atau membuat tatto dan tindikan dengan alat yang tidak
steril, hubungan seksual, Selain itu, berbagi alat cukur, sikat gigi, atau jarum suntik yang telah
terkontaminasi darah penderita juga meningkatkan risiko tertular penyakit ini. Penularan
vertikal terjadi antara ibu dan anak baik pada masa sebelum persalinan maupun
persalinan.Transmisi vertikal dari ibu ke bayinya masih menjadi masalah besar secara global.
Transmisi vertikal virus Hepatitis B dari ibu ke bayi merupakan kontributor tertinggi
terjadinya hepatitis B kronik pada masa dewasa yang dapat berakhir dengan kanker hati atau
sirosis.

Deteksi hepatitis B saat hamil dilakukan untuk mengetahui status hepatitis B ibu, agar
dapat mencegah penularan virus tersebut ke bayinya. Deteksi hepatitis B saat hamil dapat
dilakukan dengan mengikuti tes hepatitis B. Pemeriksaan hepatitis B dilakukan dengan
metode Rapid Diagnostic Test (RDT) Hepatitis B surface Antigen (HBsAg). HBsAg akan
mendeteksi keberadaan virus hepatitis B dalam darah. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
skrining awal penyakit hepatitis B. Jika hasil tes positif, maka orang tersebut telah terinfeksi
hepatitis B dan dapat menularkannya pada bayi. Pemeriksaan lanjutan sangat dibutuhkan
untuk infeksi hepatitis B akut atau kronis. Selain itu, pemeriksaan pada pasangan juga harus
dilakukan karena berisiko tertular.

Untuk mencegah bayi baru lahir tertular hepatitis B dari ibunya, vaksin hepatitis B dan
Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg) akan diberikan. Jika kedua vaksin tersebut diberikan
dengan benar, bayi tersebut memiliki kemungkinan 90% terlindungi dari infeksi hepatitis B
seumur hidup. Suntikan harus diberikan sesegera mungkin setelah persalinan dalam 12 jam
pertama kelahiran. Selanjutnya, bayi juga harus mendapat suntikan vaksin hepatitis B yang
kedua dan ketiga dalam pemeriksaan kesehatan teratur agar benar-benar terlindung dari
hepatitis B. Selama bayi menerima vaksin hepatitis B dan HBIg, ibu dengan hepatitis B juga
dapat menyusui tanpa khawatir menularkan penyakit pada bayinya.Pencegahan penularan
hepatitis B dari ibu ke bayi dilakukan dengan vaksinasi HB0 setelah bayi lahir kurang dari 24
jam. Sementara pada bayi lahir dari ibu hepatitis B segera beri Imunoglobulin Hepatitis B
(HBIg) kurang dari 24 jam.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Penularan HIV lebih seringterjadi pada masa kehamilan tua dan pada saat partus, dan
sangat jarangterjadi pada masa permulaan kehamilan, maka yang menjadi sasaranpenting
untuk mencegah penularan vertikal adalah janin pada fase akhirintauterin (kehamilan) dan
pada waktu intrapartum. Sifilis merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan
oleh bakteri Treponema pallidum. Penyakit ini bisa dibilang silent disease, karena bekerja
dengan diam. Sifilis bisa menyebabkan kerusakan serius pada otak, sistem saraf serta jantung.

Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Penularan penyakit hepatitis B


pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu penularan horizontal dan penularan vertikal.
Penularan vertikal terjadi antara ibu dan anak .Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B
(HBV). Penularan penyakit hepatitis B pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu penularan
horizontal dan penularan vertikal. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan darah atau luka terbuka dari penderita atau membuat tatto dan tindikan dengan alat
yang tidak steril, hubungan seksual, Selain itu, berbagi alat cukur, sikat gigi, atau jarum suntik
yang telah terkontaminasi darah penderita juga meningkatkan risiko tertular

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakitdan penyehatan


Lingkungan2012.

Pedoman NasionalPencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) EdisiKedua

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.McFarland, Elizabeth J. 2003.

Human Immunodeficiency Virus (HIV)Infectionin:

Current Pediatric Diagnosis&Treatment.16th edition..McGraw&Hill Company. Singapore


(1140-50).Rusadi, Rulina. 2003.

Tatalaksana Bayi dari Ibu PengidapHIV/AIDS.Volume 4 Nomor 4.Setiawan, I Made. 2009.


The Prevention Management of HIV VerticalTransmission from Infected Mothers to Their
Child.

Anda mungkin juga menyukai