Anda di halaman 1dari 120

KEDUDUKAN PERKAWINAN SEMARGA DALAM

KLAN SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO DI


DESA TANJUNG PULO KECAMATAN TIGA
NDERKET KABUPATEN KARO

TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ARIE GANTI
157011044/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada
Tanggal: 7 November 2017

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum
Anggota : 1. Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum
2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
4. Dr. Yefrizawati SH, M.Hum

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya, Arie Gantidengan ini menyatakan bahwa tesis saya :


KEDUDUKAN PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING
PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN
TIGA NDERKET KABUPATEN KARO.
Adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis
sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2017

Yang menyatakan

Arie Ganti

Universitas Sumatera Utara


PERSETUJUAN PUBLIKASI
TESIS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Arie Ganti
NIM : 157011044
Program Studi : Magister Kenotariatan
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan
kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non
exclusive, royalty free right) untuk mempublikasikan tesis saya yang berjudul :
KEDUDUKAN PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING
PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN
TIGA NDERKET KABUPATEN KARO.

Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak
menyimpan, mengalih media / memformatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tesis saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan,
Yang menyatakan

Arie Ganti

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Arie Ganti

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/06 Juni 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

II. IDENTITAS KELUARGA

Ayah : Drs. Ramlan Kaban, M.Pd


Ibu : Inderawati Singarimbun, Amk

III. PENDIDIKAN FORMAL

SD Methodist 1 Medan : Tamat Tahun 2003

SMP Methodist 1 Medan : Tamat Tahun 2006

SMA Negeri 1 Pancur Batu : Tamat Tahun 2009

S-1 Fakultas Hukum UNIKA ST. Thomas : Tamat Tahun 2013

S-2 Magister Kenotariatan USU : Tamat Tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


KEDUDUKAN PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING
PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULOKECAMATAN
TIGA NDERKET KABUPATEN KARO
ABSTRAK
Perkawinan Suku karo masih mempertahankan susunan kekerabatan
patrilineal, sehingga system perkawinan yang dianut masyarakat suku karo adalah
eksogami, yang berarti seorang pria harus mencari isteri diluar marga dan dilarang
kawin dengan wanita semarga. Permasalahan penelitian ini adalah pertama,alas
an diperbolehkannya perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat
Karo di Desa tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo, kedua
kedudukan perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo di
Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ditinjau dari hokum adat, dan ketiga
akibat hokum dari perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat
Karo di DesaTanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo.
Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normative dan empiris
yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan bahan hukum primer
berupa Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
keterangan hasil wawancara masyarakat adat karo, bahan hukum sekunder berupa
buku-buku, dan tersier berupa kamus umum, kamus hukum.
Hasil penelitian ini, alasan diperbolehkannya perkawinan semarga dalam
klan sembiring pada masyarakat karo menurut penelitian adalah karena agama dan
rasa cinta. Kedudukan hukum adat karo dalam perkawinan sesama marga
sembiring dianggap sah dan diakui apabila telah dilakukan menurut tata cara
perkawinan adat karo yaitu melewati tahapan maba belo selambar (lamaran),
nganting manuk (musyawarah tentang upacara perkawinan), kerja nereh empo
(pesta adat), dan mukul (syarat sahnya perkawinan). Khusus untuk marga
Sembiring dan Perangin-nangin adalah eleutherogami terbatas yaitu seseorang
marga tertentu dari Sembiring dan Perangin-angin hanya diperbolehkan kawin
dengan orang tertentu dari marga yang sama namun tertentu pula asal klannya
berbeda. Akibat hokum dari perkawinan semarga dalam klan sembiring
mempunyai akibat hokum layaknya perkawinan pada umumnya yaitu meng
akibatkan si isteri putus hubungan dengan keluarganya, terhadap anak yang
dilahirkan dari perkawinan semarga sehingga ketika orang tuanya meninggal
mengakibatkan saudara si ayah bertanggung jawab mendapat hak asuhnya,
terhadap harta perkawinan mengakibatkan pengelompokan harta, perkawinan
semarga sembiring membawa tutur yang melekat dalam dirinya yang diwarisinya
dari pihak ayah dan ibunya.
.

Kata kunci: perkawinan semarga, adat karo, klan sembiring

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Adat (custom) is the reflection of the identity of a nation; it is the


manifestation of its spirit of life from generation to generation. Each nation has
its own adat, and up to the present adat law as an unwritten law has been still
recognized as an effective law. It has been known in the Karonese community
there is a prohibition to get married with the same clan. The objective of this
research was to analyze the position of marriage in the same Sembiring clan in
the Karonese community at TanjungPulo Village, TiganderketSubdistrict, Karo
Regency. The formula of the problems was the reasons why it was allowed, the
position, and its consequence.
The research used empirical juridical normative and descriptive analytic
method. Primary legal materials were Law No. 1/1974 on Marriage, the result of
the interviews with the adatKaronese community, while secondary data were
obtained from books and tertiary legal materials such as dictionaries, and
dictionaries on law.
The result of the research shows that the reasons why getting married with
the same Sembiring clan is allowed are religion and the change in social values.
It is considered legitimate and recognized when the stages of its procedures have
been done such as beloselambar (proposal), ngantingmanuk (negotiation on
marriage ceremony), kerjanerehempo (adat party), and mukul (its legitimation).
Sembiring and Perangin-angin clans are specifically called limited
eleutherogamy; that is, a person from a certain clan in Sembiring and Perangin-
angin clans is allowed to get married with a person of the same sub-clan in
different clan. The legal consequence if getting married with same Sembiring clan
is the existence of sinereh (wife) will break off from her family. When the parents
die, the brother of the late father takes the responsibility to raise the children,
joint property will be property grouping, and Sembiring clan will be attached to
the children who inherit it from their father and mother.

Keywords: Marriage with Same Clan, KaroneseAdat, Sembiring Clan.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat kasih dan anugerahnya, penulis diberi kesehatan, keselamatan, dan

kemampuan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister KENOTARIATAN pada fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Adapun judul tesis Penulis adalah “KEDUDUKAN

PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING PADA

MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN TIGA

NDERKET KABUPATEN KARO”.

Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,

pengarahan dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu,

penulismenyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, selaku ketua komisi

pembimbing, Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum, selaku pembimbing

kedua penulis, dan terima kasih buatDr. Idha Aprilyana Sembiring,

SH,M.Hum, selaku pembimbing ketiga penulis yang telah dengan tulus

memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memberikan arahan dan

masukan dalam menyempurnakan penulisan tesis ini.

Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, Mhum., selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., Mhum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., Mhum., selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Eddy Ikhsan, SH., MA., selaku Sekretaris Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., Cn., dan Dr. Yefrizawati, SH.,

Mhum., selaku Penguji, yang telah memberikan masukan untuk

kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Bapak dan ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama

penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

7. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada yang terhormat dan telah membantu, mendukung dan meluangkan

waktu dalam penyelesaian tesis ini, Bapak Kepala Desa Tanjung Pulo

Kecamatan Tiga Nderket Daniel Sitepu, Sekertaris Desa Tanjung Pulo

Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo Karta Bangun, dan Bapak

Malem Ukur Ginting selaku Pengetua Adat karo

9. Kepada sahabat-sahabat terbaik Fachrur Rouzi SH, Rinaldiansyah SH,

Putri Dewi Tulus SH, Sri Elpina Nainggolan SH, Jusmar Siagian SH,

Faisal Dasyah Surbakti SH, Reny Elisa Lumban Gaol SH, Franky

Tambunan SH, Fendy SH, Fith Riyanto SH, Mahmudin Lubis SH,

Universitas Sumatera Utara


Wahdah Nora Harahap SH, Emma SH, Ayu Ulina Siahaan SH, Kitha

Satelita Pinem SH, Andy Aprianta Sitepu SH, Rori Eka Putra Sitepu SH.

10. Kepada rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi pada Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

angkatan 2015.

Penulis sangat sadar karena doa dan dukungan dari orang-orang yang

terkasih, tesis ini dapat terselesaikan pada waktu yang tepat. Teruntuk orangtua

Penulis yaitu Drs. Ramlan Kaban, M.Pd dan Inderawati Singarimbun, Amk serta

abang penulis yaitu Daniel Ramindra Kaban, SE, dan Edward Dwi Putra Kaban.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kasih sayang kalian, semoga selalu

diberi kesehatan dan umur yang panjang.

Akhir kata Penulis mengucapkan segala syukur, semoga Tuhan

memberkati kita semua dan dengan segala kerendahan hati Penulis berharap tesis

ini dapat membantu dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Amin.

Medan, Desember 2017

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI
PENGESAHAN
TANGGAL UJIAN
PERNYATAAN ORISINALITAS
PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ....................................................................................................... i
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. . v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 9
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 10
E. Keaslian Penelitian ....................................................................... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................... 13
1. Kerangka Teori ...................................................................... 13
2. Konsepsi ................................................................................ 17
G. Metode Penelitian ......................................................................... 18
1. Jenis dan sifat Penelitian ........................................................ 19
2. Lokasi Penelitian ................................................................... 20
3. Populasi dan Sampel........................................................... 21
4. Responden dan Informan........................................................ 21
5. Sumber Data .......................................................................... 22
6. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 23
7. Analisa Data ........................................................................... 23
BAB II ALASAN DIPERBOLEHKANNYA PERKAWINAN
SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING PADA
MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO
KECAMATAN TIGA NDERKET KABUPATEN KARO ............... 25
A. Ketentuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Karo ..................... 25
1. Pengertian Dan Tujuan Perkawinan ....................................... 25
2. Syarat Sahnya Perkawinan Adat Karo ................................... 27

Universitas Sumatera Utara


3. Sistem Dan Bentuk Perkawinan ............................................. 29
4. Larangan Perkawinan ............................................................. 32
B. Sejarah Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada
Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket
Kabupaten Karo ........................................................................... 34
C. Alasan Terjadinya Perkawinan Semarga Dalam
Klan Sembiring Pada Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo
Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo.......................... ........ 47
BAB III KEDUDUKAN HUKUM PERKAWINAN SEMARGA
DALAM KLAN SEMBIRING PADA MASYARAKAT
KARO DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN TIGA
NDERKET
KABUPATEN KARO ......................................................................... 55
A. Pelaksanaan Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring
Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket
Kabupaten Karo .......................................................................... 55
B. Status Perkawinan Semarga Pada Masyarakat Karo Di
Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten
Karo....................................................................................
.82
BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN
SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO
DI DESA TANJUNG PULO KECAMATAN TIGA NDERKET
KABUPATEN KARO.. ........................................................................ 85
A. Akibat Hukum Terhadap Suami-Isteri Dengan Kerabat ............... 85
B. Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Perkawinan
Semarga ...................................................................................... 88
C. Akibat Hukum Terhadap Harta Peninggalan ..................... .......... 92
D. Sanksi Terhadap Perkawinan Semarga ......................................... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 99
A. Kesimpulan .................................................................................... 99
B. Saran .............................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA

ii

Universitas Sumatera Utara


Daftar Istilah

1. Batang Unjuken : Uang mahar.

2. Beru : Istilah marga yang melekat pada perempuan.

3. Bere-bere : Marga ibu yang melekat pada kita.

4. Impal : 1. Semua anak perempuan saudara laki-laki ibu.

2. Semua anak laki-laki saudara perempaun ayah.

5. Kampil : Tempat sirih

6. Kampil Pengarihi : Kapur sirih

7. Kalimbubu : Sekelompok marga (saudara laki-laki ) dari isteri,

ibu, nenek, istri anak, dan isteri saudara (laki-laki).

8. Kerja Nereh Empo : pesta adat

9. Mama : Saudara ibu yang laki-laki.

10. Mami : Istri dari saudara ibu yang laki-laki.

11. Maba Belo Selambar : Lamaran

12. Merga : Istilah marga yang melekat pada laki-laki

13. Merga Silima : Lima marga yang terdapat dalam Suku Karo

14. Mukul : Syarat sahnya perkawinan.

15. Nganting Manuk : Musyawarah tentang upacara perkawinan

16. Puang Kalimbubu : Sekelompok yang berasal dari kalimbubu atau

perkempun dari ibu.

17. Rakut Sitelu : Sebagai perwujudan lebih lanjut dari adanya

Merga Silima

18. Sangkep Ngeluh : Kerabat yang satu marga dengan kita.

iii

Universitas Sumatera Utara


19. Senina : Mereka yang bersaudara karena mempunyai merga

dan sub merga yang sama

20. Senina Kuranan : Juru bicara

21. Sembuyak : Orang-orang yang bersaudara (satu ayah, ibu) satu

kakek atau satu buyut

22. Si Empo : Istilah bagi pengantin laki-laki.

23. SingaloBere-Bere : Saudra ibu kita (perempuan) yang laki-laki.

24. SingaloCiken-Ciken : Paman ibu kita (laki-laki)

25. Singalo Perninin : Paman ibu kita (perempuan)

26. Sirembah Kulau : Saudara ayah yang perempuan.

27. Singalo Ulu Emas : Saudra ibu kita (laki-laki) yang laki-laki.

28. Si Sereh : Istilah bagi pengantin perempuan.

29. Sukut : Orang yang satu marga dengan kita.

30. Teman Sendalanen : Kelompok satu ikatan kekerabatan.

31. Turangku : 1. Istri dari saudara laki-laki istri kita.

2. Suami dari saudara perempuan suami kita.

32. Tutur Siwaluh : Panggilan secara umum yang dapat diberikan

kepada setiap orang Karo

iv

Universitas Sumatera Utara


Daftar Tabel

Tabel 1 : Skema Merga Silima………………………………………… 25

Tabel 2 : Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pulo Menurut Agama…….. 36

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pulo

Menurut Mata Pencaharian……………………………………37

Tabel 4 : Jawaban Responden Tentang Alasan Menikah

Sesama Sembiring……………………………………………. 48

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adat adalah merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa,

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari

abad keabad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat

kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama.1

Sampai saat ini keanekaragaman hukum adat dalam suatu masyarakat adat

sebagai hukum yang tidak tertulis tetap diakui sebagai hukum yang hidup (living

law).Selain itu, hukum adat mempunyai sifat dinamis artinya mudah berubah dan

berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu sendiri.

Masyarakat hukum adat dibentuk dan diintergrasikan oleh sifat dan corak

fundamental yang komunal seperticara hidup bergotong-royong untuk

membangun sarana-sarana kepentingan bersama seperti pembuatan mesjid,

tanggul penahan air, sistem irigasi atau semua kegiatan yang dianggap akan

membawa keuntungan untuk seluruh anggota masyarakat. Selain dalam kegiatan

kemasyarakatan, cara hidup komunal juga dapat dilihat dalam perkawinan.

Hukum adat memandang bahwa perkawinan adalah peristiwa yang mengandung

unsur magis serta merupakan urusan seluruh masyarakat, bukan hanya ikatan

kontraktual atau urusan mereka yang menjadi calon mempelai.

Pasal 1 dari Undang-undang Perkawinan memuat tentang pengertian

perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

1
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung,
Jakarta, 2004, h. 13.

Universitas Sumatera Utara


2

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Kemudian dalam

penjelasan umum dicantumkan dari tujuan perkawinan yaitu adalah membentuk

keluarga yang berbahagia dan kekal.Untuk itu suami istri perlu saling membantu

dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.2

Dalam hukum perdata, perkawinan dilakukan dengan menganut beberapa

asas berikut :3

a. Perkawinan didasarkan pada asas monogami maka poligami terlarang

sebagaimana menurut hukum;

b. Undang-undang hanya mengenal perkawinan dalam hubungan

keperdataan, yaitu perkawinan yang dilakaukan dihadapan petugas kantor

pencatatan sipil;

c. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan di dalam bidang hukum keluarga;

d. Supaya dianggap sah, perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang

dikehendaki oleh undang-undang;

e. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak-hak dan kewajiban suami

isteri;

f. Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian darah (keturunan) dan

hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk

dalam lingkungan keturunan itu;


2
Tridah Bangun, Penelitian dan Pencatatan Adatt Istiadat Karo, Yayasan Merga Silima,
Jakarta, 1990, h.115
3
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011, h. 2

Universitas Sumatera Utara


3

g. Perkawinan mempunyai akibat di dalam bidang kekayaan suami isteri.

Bagi kelompok-kelompok bangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuan-

kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum (bagian clan, kaum, kerabat),

perkawinan parawarganya (pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk

melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib-teratur, sarana yang dapat

melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di

dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu

merupakan cara meneruskan (yang diharap dapat meneruskan) garis keluarga

tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga,

urusan bapak-ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan.4

Perkawinan merupakan suatu kejadianyang sangat penting dalam

kehidupan seseorang karena ikatan perkawinan yang timbul antara seorang laki-

laki dan perempuan menimbulkan hubungan lahiriah dan spritual. Dari sebuah

perkawinan diharapkan terjadinya proses regenerasi dan juga penerusan tradisi

masyarakat melalui keluarga yangdibentuk oleh mereka yang melaksanakan

perkawinan tersebut. Dalam hal regenerasidapatdilakukan dengan cara menarik

garis keturunan dari sistem kekeluargaan yangdianut oleh masyarakat hukum adat.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1981, h. 107.

Universitas Sumatera Utara


4

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam

perkawinan, yaitu :5

1. Ikatan lahir batin

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita

3. Sebagai suami isteri

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan merumuskan, bahwa ikatan suami-isteri berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa, Perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat

melepaskan dari agama yang dianut suami-isteri.Hidup bersama suami-istri dalam

perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada

pasangan suami-istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah

tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami-istri.Perkawinan salah satu

perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

membentuk keluarga bahagia.6

Adat istiadat Karo, sebagaimana adat istiadat masyarakat suku-suku di

wilayah Sumatera Utara umumnya, memiliki kesamaan untuk beberapa hal,

termasuk dalam sistem perkawinan.Kesamaan tersebut disebabkan oleh karena

wilayah Sumatera Utara cukuplama dipengaruhi oleh Agama Hindu sebelum

masuknya agama Islam dan Kristen. Menurut kepercayaan Hindu Perkawinan

adalah sebuah makna yang bersifat sakral, suci, dan merupakan kewajiban bagi
5
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 43.
6
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


5

setiap individu untuk melaksanakannya, karena dengan perkawinan akan tercapai

sebuah keteraturan dalam perkembangan masyarakat dari keluarga inti menuju

keluarga besaar. Pengaruh Hindu dalam perkawinan adat karo adalah perempuan

dibeli oleh laki-laki, dalam istilah Karo disebut tukur.7

Masyarakat Karo masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan yang

bersifat assymetrisch connubium sehingga sistem perkawinan yang dianut adalah

eksogami, yaitu seorang pria harus mencari istri di luar marga dan dilarang kawin

dengan wanita yang semarga.Marga merupakan identitas diri yang dibawa oleh

setiap keturunan yang dilahirkan dalam perkawinan masyarakat adat Karo.

Pada dasarnya adat perkawinan Suku Karo mengandung nilai sakral.

Dikatakan sakral dalam pemahaman adat Karo bermakna pengorbanan bagi pihak

pengantin perempuan (pihak sinereh), karena ia memberikan anak perempuannya

kepada orang lain pihak pengantin laki-laki (pihak sipempoken), sehingga pihak

laki-laki juga harus menghargainya dengan menanggung semua biaya acara adat

dan makanan adat.

Perkawinan merupakan suatu upacara dimana mempersatukan seorang

laki-laki dengan perempuan atau dipersatukanya dua sifat keluarga yang berbeda

melalui hukum. Suku Karo memiliki sistem kekerabatan yang bersifat patrilinial

dimana seorang anak laki-laki akan mewariskan marga kepada anak-anaknya.

Suku Karo memiliki lima rumpun marga atau disebut Merga Silimayaitu :

1. Ginting

2. Karo-Karo

7
Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo, Budaya Dan Modernisme, Balai Adat Budaya
Karo Indonesia, Medan, 2008, h. 68

Universitas Sumatera Utara


6

3. Perangin-Angin

4. Sembiring

5. Tarigan8

Khusus bagi marga Sembiring boleh kawin semarga itupun dari klan

yang berbeda seperti, Sembiring Pandia kawin dengan Sembiring Colia,

Sembiring Muham kawin dengan Sembiring Meliala. Khusus terhadap Sembiring

Kembaren tidak boleh kawin dengan Sembiring manapun karena ada anggapan

yang menyatakan kembarannya semua.

Perkawinan pada masyarakat Karo berfungsi untuk :

1. Melanjutkan hubungan kekeluargaan.


2. Menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada
hubungan kekeluargaan.
3. Melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak-anak laki-laki dan
perempuan.
4. Menjaga kemurnian suatu keturunan.
5. Menghindarkan berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain.
6. Mempertahankan atau memperlas hubungan kekeluargaan.9

Sistem kekerabatan dalam Suku Batak Karo terdapat ikatan yang disebut

Rakut Sitelu (tiga kedudukan dalam satu kelompok yang utuh dan

menyeluruh).Unsur-unsur dalam rakut sitelu adalah senina, kalimbubu dan anak

beru.Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi perempuan dan sangat dihormati

dalam sistem kekerabatan orang Karo.Anak beru adalah pihak pengambil

perempuan atau penerima perempuan untuk diperistri.Senina adalah hubungan

satu marga.

8
M. Ukur Ginting, Adat Karo Sirulo, Kalangan Sendiri, Medan, 2008, h. 1.
9
Darwan Prinst, Adat Karo, Bina Media Perintis, Medan, 2004, h. 75.

Universitas Sumatera Utara


7

Di era globalisasi saat ini Suku Karo berusaha untuk dapat

mempertahankan tradisi leluhurnya dari pengaruh budaya luar, bukan berarti Suku

Karo anti terhadap budaya luar, banyak nilai nilai budaya luar juga diterima dan

disesuaikan dengan budaya Suku Karo sebagai upaya modernisasi tanpa

menghilangkan nilai nilai luhur budayanya.

Hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam suatu

masyarakat yang merupakan pencerminan rasa tenteram serta nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat yang lebih lanjut dikatakan :

―Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah,
sedang, akan) diadatkan.Dan adat ini ada yang tebal ada yang tipis dan
senantiasa menebal dan menipis.Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam
masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan adat.Akan
tetapi dari aturanaturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku
yang merupakan aturan hukum.‖10

Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang

semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem

kekerabatan pada masyarakatKaro, karena nilai budaya Karo sangat tinggi

pengaruhnya dalam mewujudkan kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib,

adil, dan sejahtera. Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semarga (sumbang)

adalah diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat,

dikucilkan dan diusir oleh keluarga.Namun, pada masyarakatKaro walaupun

sistem perkawinannya adalah sistem eksogami murni seperti pada Batak lainnya,

untuk marga tertentu dikenal pula sistem eleutherogami terbatas yaitu pada Marga

Sembiring dan Peranginangin. Adapun letak keterbatasannya adalah seseorang

10
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979,
h. 11.

Universitas Sumatera Utara


8

marga tertentu dari Marga Sembiring dan Perangin-angin hanya diperbolehkan

kawin dengan orang tertentu dari marga yang sama namun tertentu pula asal

klannya berbeda. Misalnya dalamMerga Peranginangin, antara Bangun dan

Sebayang atau antara Kuta Buluh dan Sebayang.Demikian juga dalam

MergaSembiring, antara Brahmana dan Meliala antara Pelawi dan Depari dan

sebagainya. Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga-nya tidak

dikenal, kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dan Tekang

yang disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian.Karena pada tempo dulu mereka

telah mengadakan perjanjian tidak saling berkawin. Dengan adanya eleutherogami

terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebagai hubungan genealogis dan

asal usul merga tidak sama.11

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, mengingat

selama ini muncul adanya anggapan bahwa setiap perkawinan adat Karo harus

dilakukan dengan perbedaan marga, saya tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk tesis dengan judul ―Kedudukan Perkawinan Semarga Dalam

Klan Sembiring Pada Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan

Tiga Nderket Kabupaten Karo‖.

11
Ibid, h. 74.

Universitas Sumatera Utara


9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang

akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai

berikut :

1. Apakah yang menjadi alasan diperbolehkannya perkawinan semarga dalam

klan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga

Nderket ?

2. Bagaimana kedudukan perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada

masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ditinjau dari

hukum adat ?

3. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan semarga dalam klan Sembiring

pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket

Kabupaten Karo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis hal-hal yang menyebabkan diperbolehkannya perkawinan

semarga dalamklan Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo

Kecamatan Tiga Nderket.

2. Untuk menganalisskedudukan hukum perkawinan semarga dalam klan

Sembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga

Nderket ditinjau dari Hukum Adat.

Universitas Sumatera Utara


10

3. Untuk menganalisis akibat hukum dari perkawinan semarga dalam

klanSembiring pada masyarakat Karo di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga

Nderket Kabupaten Karo.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

praktis maupun secara teoritis, yaitu :

1. Praktis

a. Bahan bacaan dan sumber informasi bagi pembaca yang membutuhkan.

b. Salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan studi pada Program

Magister Kenotariatan.

c. Memperluas wacana keilmuan yang berkaitan dengan perkawinan semarga

dikalangan marga Sembiring.

2. Teoritis

Kegunaan penelitian tesis ini secara teoritis adalah untuk memberikan

sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum

perdata serta menambah khasanah ilmu pengetahuan maupun adat istiadat di

Kabupaten Karo.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

“Kedudukan Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada Masyarakat

Karo Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo‖,

Universitas Sumatera Utara


11

belum pernah dilakukan, akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang

berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Tesis atas nama Mberguh Sembiring, NIM : 017005054/M.Kn, dengan judul

―Sikap Masyarakat Batak Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republic

Indonesia (MA-RI) No. 179/k/sip/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak

Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada

Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten

Karo)‖. Dengan rumusan masalah :

a. Bagaimana pembagian harta warisan itu dilakukan oleh masyarakat karo

di desa Lingga?

b. Bagaimana sikap masyarakat karo terhadap persamaanhak mewarisi

antaralaki-laki dan perempuan di desa Lingga?

c. Bagaimana sikap dan pandangan Mahkamah Agung terhadap asas

persamaan hak waris antara anak laki-laki dan anak perempuan?

2. Tesis atas nama Frans Sory Melando Ginting, NIM : 077011023/M.kn dengan

judul ―Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo

(Studi: Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo)‖, Dengan rumusan masalah :

a. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat batak

karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda),

Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara?

b. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat

batak karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda),

Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara?

Universitas Sumatera Utara


12

c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum waris

adat batak karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa

Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera

Utara?

3. Tesis atas nama Abi Yaser Handito, Nim 097011041/M.kn dengan judul

―Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya

Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo (Studi Kecamatan

Berastagi Kabupaten Karo), dengan rumusan masalah :

a. Mengapa orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada

anak pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi ?

b. Bagaimanakah titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa

hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di

Kecamatan Berastagi?

c. Bagaimanakah status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua

semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di

Kecamatan Berastagi?

Berdasarkan hasil penelusuran judul tesis diatas dapat disimpulkan bahwa

judul dan permasalahan dalam penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan

judul dan permasalahan yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini di fokuskan

kepada permasalahan peralihan jual beli tanah dan bangunan yang pihak

pertamanya sudah bercerai, maka penelitian ini asli baik, dari segi materi maupun

segi lokasi penelitian.

Universitas Sumatera Utara


13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis yang menyatakan konsepsi merupakan kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan

(problem) yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang

mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan masukan eksternal bagi

peneliti.12

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat

jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya

yang tertinggi. 13 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari

mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah

kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.14

Teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikitmencakup

hal-hal sebagai berikut:15

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih

mengkhususkan faktayang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membinastruktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-

defenisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah

diketahuiserta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

12
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80.
13
Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, h. 254.
14
Ibid, h. 253.
15
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1981, h. 121.

Universitas Sumatera Utara


14

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telahdiketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin

faktor-faktortersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan

padapengetahuan peneliti.

Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya

untukmenyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga

merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah

penjelasan yang sifatnya umum 16 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan

menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi

hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang

terdahulu.17

Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu

mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan

lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk

meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi.18

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori

dalammembangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang

dianalisis.Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka

pemikiran, atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di

16
Mukti Fajar et al., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 134.
17
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.19.
18
Snelbecker dalam Lexy J.Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya,Bandung,2002, h. 34.

Universitas Sumatera Utara


15

bidang hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,

yang mungkin disetujui atau tidak disetujui.19

Sejalan dengan kegunaaan teori yang disebut diatas, teori yang digunakan

sebagai pisau analitis dalam penelitian ini adalah teori Sociological

Jurisprudence. Teori Sociological Jurisprudence adalah teori yang mempelajari

pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari

hukum ke masyarakat, hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan

dapat berupa undang-undangdan yurisprudensi atau kombinasi keduanya dan

menjadi inti pemikiran dalam sociological jurisprudence adalah hukum yang baik

adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat sebab jika ternyata tidak maka

akibatnya secara efektif akan mendapat tantangan.20

Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound yang menyatakan bahwa

terdapat perbedaan antara hukum positif disatu pihak dengan hukum yang hidup

didalam masyarakat dipihak lain yang mana perkembangan hukum itu tidak hanya

terletak pada undang-undang, ilmu hukum ataupun putusan hakim tetapi pada

masyarakat itu sendiri.21

Berkenaan dengan penelitian hukum adat, dapat digabungkan fungsi

hukum yang dinamis, aspirasi optimalisasi hukum dengan legitimasi yang

berorientasi pada nilai-nilai dan asas-asas hukum serta teori living law

sebagaimana dikatakan oleh Eugen Erlich. Dalam kerangka teoretis yang

demikian, hakim dituntut melihat hukum sebagai proyek yang selalu harus diolah,

19
M. Solly Lubis, Op.Cit. h. 80.
20
Sahman. R. Otje, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armiko,Bandung, 1999, h. 52
21
Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, h.
191

Universitas Sumatera Utara


16

dan digarap menuju kepada hukum yang dinamis, optimal, untuk mewujudkan

keadilan dengan legitimasi yang berorientasi pada asas-asas hukum dan nilai-nilai

hukum, sesuai dengan living law di masyarakat.22

Eugen Erlich dalam teorinya menyatakan bahwa hukum adalah hukum

sosial.Hukum lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan

kehidupan sehari-hari.Hukum terbentuk lewat kebiasaan.Kebiasaan itu lambat

laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif.Kemudian kehidupan berjalan

dalam tatanan itu.Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh

kewibawaan negara. Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur

oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi internya hubungan-

hubungan dalam kelompok social tergantung dari anggota-anggota kelompok

itu.23

Menurut A.A.G. Peters keabsahan hukum sebagai produk politik yang

sering kali controversial, tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus

diolah dan digarap lebih lanjut lagi. Bahwa usaha-usaha yang demikian

bergantung pada berbagai faktor, baik yang bersifat hukum maupun non-

hukum.Di lapangan praktik hukum ditemukan kecenderungan keabsahan hukum

yang cenderung goyah, efektivitasnya melemah, dan bobotnya yang merosot.Oleh

karena itu, keabsahan hukum, merupakan sebuah proyek yang

berkelanjutan.Secara teoretis, dapat disimpulkan bahwa hukum tidak dipakai

untuk mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan secara sewenang-wenang,

walaupun itu adalah kebijakan yang dimuat dalam peraturan atau aturan hukum
22
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, sinar grafika, Jakarta, 2009, h, 87.
23
Markus, Y, Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakaarta, 2010, h. 142

Universitas Sumatera Utara


17

tertulis dan tidak tertulis.Hukum sepantasnya sebagai pengarah kepada

terwujudnya keadilan dan legitimasi yang berorientasi pada asas-asas hukum dan

nilai-nilai hukum, sesuai living law yang ada di masyarakat.24

2. Konsepsi

Konsep adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti

untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan.Konsep

diartikan sebagai suatu kata yang menyatukan abstrak yang digeneralisasikan dari

hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.Oleh karena itu untuk

menjawab permasalahan haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar

secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan

yang telah ditentukan.Konsep merupakan alat yang digunakan oleh hukum

disamping yang lainnnya, seperti asas dan standar.Oleh sebab itu kebutuhan untuk

membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting

dalam hukum.25

Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Perkawinanadalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

penghidupan masyarakat kita. Perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa

yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki), akan

tetapi juga orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya.26

24
H. Zainuddin Ali, Op. Cit, h, 89.
25
Sumardi Surya Brata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
h. 4.
26
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta,1985, h. 100.

Universitas Sumatera Utara


18

b. Klanadalah Kelompok kekerabatan yang besar, kesatuan genealogis yang

mempunyai kesatuan tempat tinggal, dan menunjukkan adanya integrasi

social, kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas Unileal.

c. Sembiring adalah urutan ke-4 (empat) dalam 5 (lima) marga Suku Batak

Karo (Silima Merga)

d. Perkawinan Semargaadalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan

menurut hukum adat terlarang seperti mengawini turang, turang impal.27

e. Karoadalah nama dari salah satu suku sub Batak yang tinggal didataran

tinggi Karo, Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Dairi, Alas, Keluat, serta

daerah pegunungan disebelah utara Danau Toba.28

f. Desa adalah persatuan hukum territorial yang anggota-anggotanya merasa

terikat satu sama lain karena merasa bertempat kedudukan di suatu daerah

yang sama.29

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani ―methods‖ yang berarti cara atau

jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.30

27
Darwan Prinst, Op.Cit, h. 82.
28
S.K. Ginting, E.P. Ginting, Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, Yayasan Merga
Silima, Jakarta, 1996, h. 157
29
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h.
117.
30
Koenjtaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1997, h.16.

Universitas Sumatera Utara


19

Penelitianhukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

segala hukum dengan jalan menganalisanya.31

Metodelogi yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara

tertentu,sistematis, berdasarkan suatu sistem dan konsisten berarti tidak

bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.32

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini akan digunakan jenis penelitian yuridis empiris, yaitu

suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu data yang didapat

langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu berdasarkan

kenyataan hukum didalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum dalam

interaksi sosial didalam masyarakat yang berfungsi sebagai sumber utama untuk

mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non-hukum bagi keperluan

penelitian atau penulisan hukum.33

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang akan menggunakan

pendekatan yuridis empiris yaitu cara yang dipergunakan untuk memecahkan

masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian

dilanjutkan dengan menggunakan penelitian terhadap data primer di lapangan.34

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, penelitian hukum deskriptif bersifat

pemaparandan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang

31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo,
Persada, Jakarta, 2001, h . 42.
32
Roni Hanitijo, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghia Indonesia, Jakarta, 1988,
h. 105.
33
Zainuddin Ali, Op.Cit, h 79
34
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, h. 112

Universitas Sumatera Utara


20

keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau

mengenai gejala yuridis yang ada atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi

dalam masyarakat. Pada penelitian ini, peneliti biasanya sudah memperoleh data

awal atau mempunyai pengetahuan awal tentang masalah yang akan diteliti.35

Penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis

tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan

gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara bagaimana menjawab

permasalahan dan menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan

tersebut.36

2. Lokasi Penelitian

Untuk mengumpulkan data primer, maka penelitian tentang Kedudukan

Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada Masyarakat Karo dilakukan di

Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo. Adapun alasan

pemilihan lokasi untuk penelitian ini karena Desa Tanjung Pulo merupakan salah

satu desa dengan komposisi penduduk yang beragam (heterogen), yang telah

mempengaruhi corak dan gaya hidup masyarakat Karo. Selain itu juga

menemukan adanya masyarakat yang telah melakukan perkawinan semarga dalam

klan sembiring, sehingga diharapkan di Desa Tanjung Pulo akan lebih mudah

mendapatkan informasi-informasi yang lain terutama tentang Kedudukan

perkawinansemargadalam klan Sembiring.

35
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 14.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, h. 30.

Universitas Sumatera Utara


21

3. Populasi dan Sampel

Berdasarkan perumusan masalah yang ditentukan di atas, maka yang

ditetapkan sebagai populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Karo yang

bermarga sembiring dan tinggal di Desa Tanjung Pulo kecamatan Tiga Nderket

Kabupaten Karo.Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah

masyarakat Karo bermarga Sembiring yang melakukan perkawinan semarga dan

tinggal di Desa Tanjung Pulo kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo.

4. Responden dan Informan

a. Responden

Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Karo yang pernah

melakukan perkawinan semarga Sembiring yang berdomisili di desa Tanjung

Pulokecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo.Adapun jumlah responden

penelitian ini sebanyak 3 (tiga) kepala keluarga yangdapat mewakili masyarakat

Karo di desa Tanjung Pulo kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo.

b. Informan

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari

narasumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dengan objek penelitian

yaitu:

1) Kepala Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo

2) Pengetua Adat Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket

Kabupaten Karo.

Universitas Sumatera Utara


22

5. Sumber Data

Sumber data penelitian ini meliputi:

1. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui

wawancara secara mendalam dan kuesioner

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-

buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan,

skripsi, tesis, disertasi, dan Undang-Undang Perkawinan. Data sekunder

tersebut dapat dibagi menjadi:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah satu sumber hukum yang penting bagi

sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif.Bahan

hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

bagi landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.Bahan hukum

yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan hukum perkawinan dan hukum adat.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti

hasil-hasil penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan

hukum, jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang

memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

Universitas Sumatera Utara


23

sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, kamus bahasa, artikel,

sumber data elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan

penelitian ini.

6. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,

maka pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang

hukum perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang

penting.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide).

Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman

wawancara bebas dan mendalam (depth interview).

c. Kuesioner, yaitu dengan pengumpulan data yang berupa serangkaian

pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk mendapatkan jawaban.

7. Analisa Data

Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh

data.37Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yaitu

mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan

menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori

yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga dapat menjawab permasalahan.

37
Lexy J. Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
h.101.

Universitas Sumatera Utara


24

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi

terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahan hukum primer, sekunder, dan

tersier), data yang diperoleh melalui wawancara yang dilakukan, kemudian

keseluruhan data tersebut akan disusun secara sistematis sehingga menghasilkan

klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian

ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula. Selanjutnya ditarik

kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir

yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang

khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti

teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk

menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.38

38
Mukti Fajar Dan Yuliato Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, h. 109.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

ALASAN DIPERBOLEHKANNYA PERKAWINAN SEMARGA DALAM


KLAN SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG
PULO KECAMATAN TIGA NDERKET KABUPATEN KARO
A. Ketentuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Karo
1. Pengertian dan tujuan perkawinan

Mayarakat Karo merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai macam

marga yang dikenal dengan istilah merga silima.

Tabel 1
Skema Merga Silima
Ginting Karo-karo Perangin- Tarigan Sembiring
angin
Munte Purba Bangun Girsang Kembaren
Manik Sinulingga Pinem Cingkes Keloko
Sinulingga Kaban Sebayang Sibero Sinulaki
Sini-suka Sitepu Sinurat Silangit Sinupayung
Jawak Barus Pencawan Tua Brahmana
Tumangger Surbakti Singarimbun Jampang Guru kinayan
Capah Tambak Colia
Muham
Pandia
Depari
Bunuaji
Milala
Pelawi
Tekang

Sumber data: Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua adat karo

25

Universitas Sumatera Utara


26

Masyarakat karo mengenal perkawinan ideal yaitu perkawinan antara orang-

orang yang rimpal (berimpal) ialah antara laki-laki dengan anak perempuan saudara

laki-laki ibunya.Perkawinan pada masyarakat Karo umumnya merupakan satu

pranata, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi

juga mengikat dalam suatu hubungan tertentu, kaum kerabat dari kaum laki-laki

dengan kaum kerabat dari si wanita.Perkawinan semacam ini dianggap baik sebab

memperbaharui hubungan kalimbubu (pemberi gadis) dengan anak beru (penerima

gadis) yang sudah terjalin sebelumnya.

Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat karo adalah :39

1) Mendapatkan keturunan terutama anak laki-laki sebagai pelanjut keluarga

menurut garis bapak (patrilineal), sehingga urutan kekeluargaan menurut

garis itu tetap berkelanjutan disamping warisan tetap pada kelompok ini;

2) Mempunyai pengakuan dan status dari masyarakat sekitar bahwa adanya

keluarga baru merupakan pembentukan generasi berikut yang bertanggung

jawab penuh dalam urusan keluarga dari orang tua yang memiliki anak

laki-laki tadi;

3) Memperkuat dan mengembanagkan tali kekerabatan;

4) Menciptakan kebahagiaan lahir batin suami istri.

Hal ini berarti sifat religius dari perkawinan pada masyarakat Karo terlihat

dengan adanya perkawinan yang tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang

39
Ibid, h. 116.

Universitas Sumatera Utara


27

melangsungkan perkawinan, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah

pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.

2. Syarat Sahnya Perkawinan Adat Karo

Tujuan perkawinan pada masyarakat Karo ialah ikatan lahir batin,

mendapatkan keturunan, memperkuat tali kekerabatan dan hak waris jatuh kepada

anak laki-laki langsung, tidak akhirnya kepada orang lain, walaupun masih saudara

senenek misalnya.Demikian juga bila ditinjau secara sosiologis maka tujuan

perkawinan bagi orang Karo adalah untuk memperoleh pengakuan dari kerabatnya

dan masyarakat sekitar tempat kejadian, dimana upacara perkawinan berlangsung.

Sesuai dengan tujuan perkawinan diatas, dalam adat istiadat masyarakat Karo

telah digariskan suatu aturan yang berkaitan dengan ―siapa boleh kawin dengan siapa

dan siapa yang tidak boleh dikawini‖.Dalam tatanan adat masyarakat Karo, telah

digariskan beberapa aturan berupa larangan kawin. Aturan –aturan tersebut antara

lain seorang laki-laki dan gadis yang seketurunan marga, sama sekali tidak dapat

dibenarkan kawin, kecuali cabang anak marga Peranginangin Sebayang dapat kawin

dengan anak marga lain dari marga induk marga Peranginangin, misalnya marga

Bangun dan marga Singarimbun diperbolehkan dengan marga Sebayang dimana

marga ini sama-sama anak cabang dari marga Peranginangin lain. Beberapa cabang

dari induk marga Sembiring juga ada yang dapat dibenarkan saling kawin, misalnya

antara marga Sembiring Milala dengan marga Sembiring Gurukinayan. Kecuali

lainnya yang sudah merupakan tradisi bagi masyarakat Karo adalah laki-laki atau

gadis dari marga Sebayang tidak dibenarkan kawin dengan marga Sitepu dari induk

Universitas Sumatera Utara


28

marga Karo-karo. Jadi walaupun mereka ini berbeda marga tetapi mereka tidak boleh

saling kawin, tentu hal ini ada sejarahnya.40

Selain larangan kawin semarga sebagaimana disebutkan diatas, masih ada lagi

pantangan kawin atau yang menurut istilah Karo disebut la arus (melawan arus)

kalau antara laki-laki dan wanita ada pertalian kekerabatan seperti :

a. Sepemeren(ibu bersaudara)

b. Erturang impal ( ibu sigadis bersaudara dengan ayah jejaka dan yang

sederajat.

c. Mamina (jejaka dengan gadis yang seharusnya menjadi isteri

pamannya)

d. Jejaka memanggil bibi terhadap si gadis (saudara perempuan ayah)

e. Anak tiri atau anak angkat

f. Bere-bere (anak gadis dari kakak/adik perempuan)

Menurut ketentuan adat istiadat Karo, syarat untuk melangsungkan

perkawinan adalah dengan melewati empat tahapan, yaitu :

a. Maba Belo Selambar yang berarti membawa sekapur sirih adalah upacara

peminangan gadis menurut adat Karo. Dalam acara bersifat setengah resmi

ini, kerabat langsung pihak laki-laki, orang tua dan anak beru mereka datang

ke rumah pihak perempuan untuk mengutarakan niatnya mengawini anak

perempuan keluarga tersebut. Apabila pihak perempuan setuju, akan diadakan

musyawarah lebih lanjut mengenai rencana perkawinan;


40
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


29

b. Nganting Manok yaitu musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang lebih

jauh mendetail tentang upacara perkawinan menurut adat, seperti waktu

perkawinan, persiapan perkawinan, besarnya unjuken atau mas kawin yang

harus diterima pihak perempuan, dan lain sebagainya. Pernikahan secara

agama juga dapat dilakukan sekaligus dalam tahapan ini;

c. Kerja Nereh Empo atau upacara perkawinan menurut adat.Tahapan ini

sepenuhnya dilakukan sama seperti yang telah disepakati dalam nganting

manok. Kerja nereh empo merupakan upacara yang dilakukan dengan

mengundang seluruh lapisan masyarakat adat di daerahnya selain pihak

keluarga dari kedua mempelai. Selain itu, acara nggalari hutang man

kalimbubu atau membayar hutang pada pihak wanita juga dilakukan;

d. Mukul sebagai syarat sahnya perkawinan. Setelah pelaksanaan upacara

perkawinan adat, pada malam harinya diadakan mukul yaitu kedua pengantin

makan bersama dalam satu piring di kamar pengantin dengan hanya dihadiri

kerabat terdekat. Menurut adat Karo, mukul ini merupakan ―materai‖ sahnya

perkawinan walaupun secara formal sudah dilaksanakan nggalari hutang man

kalimbubu dalam kerja nereh empo.41

3. Sistem Dan Bentuk Perkawinan

Adakalanya satu fakta bahwa pada setiap zaman adat istiadat atau kebudayaan

sesuatu suku bangsa, apalagi suku bangsa itu bersentuhan dengan lain suku

mengalami perubahan. Sudah barang tentu perubahan kebudayaan atas adat istiadat
41
Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indayu, 1986, h. 48-49.

Universitas Sumatera Utara


30

pada satu suku berbeda dengan suku lain dan pada satu zaman yang tertentu pula. Ini

tergantung dari beberapa factor yang meresap kepada suku tersebut seperti bidang

tehnik, ekonomi, sosial bahkan politik.Demikan juga dalam hal sikap sesuatu suku

terhadap adat istiadat berbeda, ada memegangnya secara ketat, tapi ada juga agak

longgar.

Dalam kaitan dengan adat istiadat itu, maka masyarakat Karo sudah sejak

dulu kala terikat adat istiadat mereka.Ikatan kekeluargaan atau kekerabatan pada

masyarakat Karo dilaksanakan agak keras, dalam arti dijalankan dengan suka rela dan

patuh oleh setiap anggota masyarakat.Jarang sekali ada yang berani secara terang-

terangan melanggar ketentuan adat istiadat walau adat itu sendiri tidak tertulis, namun

sudah menjadi kebiasaan bagi setiap anggota masyarakat untuk mentaatinya.

Adat istiadat diwariskan secara begitu saja kepada keturunan atau generasi

penerus, bukan diajarkan oleh orang tua kepada anaknya, jadi generasi anak atau

penerus belajar dari praktek sehari-hari dari adat istiadat itu, baik dalam upacara

perkawinan, memasuki rumah baru, kelahiran anak, hubungan kekerabatan dan

macam-macam lagi. Jadi para anggota masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan

adat istiadat itu umunya adalah terdiri dari praktisis di lapangan. Maka tidaklah

mengherankan apabila generasi muda masyarakat karo terutama mereka dengan

orang tuanya yang tinggal di kota—kota besar di mana sudah jarang dilakukan

upacara adat, menjadi asing bagi mereka apa yang dimaksud dengan adat istiadat itu.

Padahal salah satu pertanda seseorang dianggap sebagai orang Karo adalah apabila

dianya termasuk dalam kelompok Merga Silima, Sangkep, atau Rakut Sitelu, Tukur

Universitas Sumatera Utara


31

Siwaluh, Perkade-kade si12 atau 18 dan masih menggunakan adat istiadat Karo

dalam hidup mereka sehari-hari dalam rangkuman kekerabatan masyrakat Karo.42

Maka adat istiadat pada masyarakat karo dari dulu hingga sekarang, dengan

tidak mengabaikan perubahan-perubahan yang terjadi secara lamban tapi pasti, selalu

menjadi pegangan para anggota masyarakat tersebut yaitu tentang hidup berkeluarga,

berkerabat, dan bermasyarakat, di mana dalam hal ini terangkum segala kegiatan

social budaya mereka. Tercakuplah dalam lingkaran adat ini hampir semua kegiatan

manusia mulai dari dalam janin sampai upacara 7 bulanan lagi bagi kelahiran anak

pertama, kelahiran, membawa bayi ke pancuran, ke ladang, memotong rambut, anak

remaja, merencanakan perkawinan dengan berbagai acara musyawarah untuk sampai

pada upacara perkawinan, perkawinan dalam bentuk lain,upacara menghadapi

kematian, mendirikan dan memasuki rumah adat, susunan kekerabatan dalam rakut si

telu, hal-hal yang harus dilakukan atau dipantangkan, gotong royong dan bermacam-

macam lagi. Pokoknya aspek-aspek kehidupan, baik individu atau keluarga dalam

kehidupan sehari-hari, terutama di desa-desa yang homogen adalah masyarakat itu,

biasanya tidak terlepas dari adat istiadat dan dilaksanakan agak ketat. Bahwa adat

istiadatdihormati oleh masyarakat tertentu yang merupakan hukum adat tidak tertulis,

sebenarnya bukan hanya berlaku pada masyarakat karo saja, tapi seluruh suku-suku di

Indonesia. Hukum adat pada hakekatnya beriringan dengan hukum-hukum positif

atau perundang-undangan Negara.

42
ibid

Universitas Sumatera Utara


32

Sistem perkawinan dalam masyarakat Karo adalah eksogami yaitu seseorang

harus menikah dengan orang lain di luar klannya. Sedangkan bentuk perkawinannya

adalah dengan perkawinan jujur yaitu pemberian uang atau barang dari pihak laki-laki

kepada pihak perempuan.

Sistem perkawinan dalam masyarakat Karo yang patrilineal adalah eksogami

yang mengakibatkan :43

a. Cara perkawinannya adalah perkawinan jujur ―unjuken‖, artinya pihak

laki-laki membayar mas kawin dengan sejumlah uang kepada pihak

perempuan dan setelah menjadi wanita tersebut kemudian berpindah ke

dalam klan suaminya.

b. Anak-anak menjadi anggota dari klan ayahnya.

c. Suami mendominasi dalam keluarga ―brayat”.

d. Dikenal adanya perkawinan leviraat (kawin mengganti ―medun ranjang‖

yaitu janda kawin dengan saudara laki-laki almarhum suaminya) dan

perkawinan surorat (kawin meneruskan ―ngarang wulu‖ yaitu duda kawin

dengan saudara perempuan mendiang istrinya).

e. Istri pada hakikatnya tidak berhak memiliki harta perkawinan.

4. Larangan Perkawinan

Dalam hukum adat Karo, dikenal adanya larangan untuk dapat

melangsungkan suatu perkawinan yaitu :44

43
Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum
Nasional, Bandung, Tarsito, 1978, h. 30-31

Universitas Sumatera Utara


33

a. Berasal dari satu marga, kecuali untuk Marga Sembiring dan Perangin-

angin.

b. Mereka yang karena adat dilarang untuk melangsungkan perkawinan

karena erturang (bersaudara), seperemen, atau erturang impal.

c. Belum dewasa, dalam hal ini mengukur kedewasaan seseorang tidak

dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan

bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki hal ini

diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan

bertani dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli) sedangkan

untuk perempuan hal ini diukur dengan sudah akil balig dan telah

mengetahui adat (meteh tutur).

Dalam hal ini, di berbagai daerah di Indonesia terdapat perbedaan-perbedaan

larangan terhadap perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan ada daerah

yang melarang terjadinya perkawinan antara anggota kerabat tertentu, sedangkan di

daerah lain perkawinan antara anggota kerabat yang dilarang justru dianjurkan.

Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang menarik garis

kekeluargaan dari pihak ayah mengenal bentuk perkawinan eksogami. Misalnya,

bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Batak yang mengharuskan adanya

perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki dengan perempuan sehingga pihak

laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk dalam klannya.

44
Ibid

Universitas Sumatera Utara


34

Masyarakat patrilineal memiliki ciri mempertahankan kelangsungan generasi

keluarganya. Oleh karena itu, dikenal beberapa larangan perkawinan, yaitu larangan

kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan kawin timbal balik antara

dua kelurga yang walaupun berbeda klan tetapi telah atau pernah terjadi hubungan

perkawinan (asymmetrisch connubium) di antara dua keluarga yang bersangkutan.45

Perkawinan harus dilaksanakan manunduti atau melakukan perkawinan

berulang searah dari satu sumber bibit, pihak penerima dara (boru, anak beru)

dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (hula-

hula, kalimbubu).Idealnya adalah seorang laki-laki kawin dengan perempuan anak

dari paman saudara ibunya.Tetapi tidak dibenarkan adanya perkawinan antara anak

bersaudara ibu.46

B. Sejarah Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Di Desa Tanjung Pulo


Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo
Kabupaten Daerah Tingkat II Karo yang beribu kota di Kabanjahe terletak di

dataran tinggi dengan letak ketinggian kira-kira 1300 meter di atas permukaan laut.

Lingkungan alam tanah Karo yang berbukit-bukit merupakan bagian dari pegunungan

Bukit Barisan mempunyai curah hujan yang cukup tinggi sehingga iklimnya dingin.

Di tanah Karo yang merupakan bukit-bukit itu dijumpai beberapa sungai yaitu

Lau Biang yang bermuara di Selat Malaka dan merupakan pangkal dari Sungai

45
R.Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung,
Alumni, 2002, h. 177.
46
Hilman Hadikusuma, Op. cit, h. 100.

Universitas Sumatera Utara


35

Wampu dan Lau Bengap yang bermuara di Samudera Hindia yang mengalir melalui

Sungai Simpang Kiri.47

Luas wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Karo adalah 212.725 Ha dan

jumlah penduduk sebanyak 284.110 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 68.

168.

Kabupaten Karo dibagi atas 13 kecamatan dan salah satu diantaranya adalah

Kecamatan Tiga Nderket.Pusat pemerintahan Desa Tanjung Pulo berada di

Kecamatan Tiga Nderket.


o
Secara geografis, Kecamatan Tiga Nderket terletak diantara 2 50’ sampai
o o o
dengan 3 19’ Lintang Utara dan 97 55’ sampai dengan 98 38’ Bujur Timur. Pusat

pemerintahan wilayah Kecamatan Tiga Nderket terletak pada ketinggian 600 M di


o o
atas permukaan laut dengan suhu udara terendah 18 C dan suhu tertinggi 27 C, atau
o
suhu rata-rata 22 C dengan luas wilayahnya 535 Ha.Wilayah Kecamatan Tiga

Nderket luasnya 16.038 Ha terdiri dari satu kelurahan dan 10 desa. Desa Tanjung

Pulo Kecamatan Tiga Nderket memiliki luas kurang lebih 450Ha.48

Adapun batas-batas Desa Tanjung Pulo secara administratif adalah:49

a. Sebelah Utara berbatas dengan Desa Tanjung Mbelang

47
Hasil Wawancara dengan Karta Ginting, Sekertaris Desa Tanjung Pulo, Tanggal 22 Mei
2017.
48
Hasil Wawancara dengan Karta Ginting, Sekertaris Desa Tanjung Pulo, Tanggal 22 Mei
2017.
49
Hasil Wawancara dengan Karta Ginting, Sekertaris Desa Tanjung Pulo, Tanggal 22 Mei
2017.

Universitas Sumatera Utara


36

b. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Bintang Meriah

c. Sebelah Timur berbatas dengan Desa Narigunung

d. Sebelah Barat berbatas dengan Desa Bintang Meriah.

Penduduk Desa Tanjung Pulo pada bulan Desember 2016 berjumlah 427 jiwa

yang terdiri dari 90 kepala keluarga, yang terdiri dari 179 orang laki-laki dan 248

orang perempuan.

Mobilitas penduduk menurut seorang perangkat desa 50 ,disebabkan karena

adanya kelahiran, kematian, atau migrasi baik yang datang maupun yang pergi.

Faktor-faktor yang mendorong masyarakat Karo meninggalkan Tanah Karo antara

lain untuk berdagang, menuntut ilmu, untuk mengusahakan daerah pertanian baru,

dan hal-hal lain.

Penduduk Desa Tanjung Pulo sudah banyak yang memeluk agama seperti

dapat terlihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2

Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pulo Menurut Agama

Agama Jumlah (Orang) Persentase (%)

Islam 68 28, 00

Kristen Protestan 102 43,00

Kristen Katolik 70 29, 00

Sumber data : diolah dari data monografi desa tanjung pulo bulan desember 2016

50
Ibid

Universitas Sumatera Utara


37

Menurut data monografi Desa Tanjung Pulo Bulan Desember 2016, jumlah

penduduk yang beragama Islam adalah 68 orang (28%), Kristen Protestan adalah 102

orang (43%), Kristen Katolik adalah 70 orang (29%),

Sebelum datangnya agama di tanah Karo, masyarakat Karo pada umumnya

menganut kepercayaan Pemena atau dikenal dengan perbegu yang menyembah

Dibata Mula Jadi yang mempunyai tiga perwujudan yaitu Dibata Kaci-kaci, Dibata

Banua Koling, dan Dibata Padukah Ni Aji.51

Namun sejak datangnya agama ke tanah Karo maka lambat laun penganut

kepercayaan perbegu ini hilang, tetapi dari hasil temuan di lapangan menyatakan

bahwa masih ada masyarakat Karo yang menganut kepercayaan perbegu terutama

bagi masyarakat Karo yang sudah lanjut usia.52

Penduduk Desa Tanjung Pulo menurut mata pencahariannya dapat dilihat dari

tabel di bawah ini :

Tabel 3

Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pulo Menurut Mata Pencaharian

Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%)


PNS/ ABRI 8 3
PENGUSAHA/WIRASWASTA 20 8
PETANI 212 89
Sumber data : diolah dari data monografi desa tanjung pulo bulan desember 2016

51
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017
52
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


38

Dilihat dari tabel di atas dapat diketahui bahwa bertani adalah pekerjaan

paling dominan pada masyarakat Karo yaitu sebanyak 89 %, diikuti dengan

pengusaha sebanyak 8%, dan PNS sebanyak 3%.

Berdasarkan sejarah perkembangannya, sebelum adanya kerajaan-kerajaan di

Tanah Karo, masyarakatnya hanya terdiri dari bangsa tanah yang menumpang dan

datang dari luar.Pada waktu itu pimpinan diangkat dari marga tanah dibantu oleh

senina dan anak berunya yang lama kelamaan medirikan suatu kesain dan

pimpinannya tetap berasal dari keluarga bangsa tanah itu.Beberapa kesain tersebut

mengadakan perserikatan yang disebut urung dengan pimpinannya yang disebut bapa

urung. Dengan terbentuknya kepemimpinan dalam satu urung maka semakin

menonjollah keinginan berkuasa untuk menjaga prestise sehingga akhirnya terjadi

perselisihan antara urung yang satu dengan urung yang lain.53

Sekitar 1607-1636 Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda

mengadakan penyebaran agama Islam ke tanah Karo. Melihat adanya perselisihan

antara urung- urung yang terdapat di tanah Karo maka utusan Raja Aceh yang disebut

Tuan Kita meresmikan empat kerajaan adat yang disebut Sibayak yang diperintah

oleh empat orang raja yang mempunyai luas daerah yang berbeda-beda yaitu : 54

1. Kerajaan Lingga terdiri dari enam urung, yaitu :

a. Urung XII Kuta yang berkedudukan di Kabanjahe;

b. Urung III Kuru yang berkedudukan di Lingga;

53
Darwan Prinst, Op.Cit, h. 1
54
Ibid, h.1-3.

Universitas Sumatera Utara


39

c. Urung Naman yang berkedudukan di Naman;

d. Urung Tigapancur yang berkedudukan di Tigapancur;

e. Urung Teran yang berkedudukan di Batukarang;

f. Urung Tiga Nderket yang berkedudukan di Tiga Nderket.

2. Kerajaan Barusjahe yang terdiri dari dua urung, yaitu :

a. Urung si VII yang berkedudukan di Barusjahe;

b. Urung si VI yang berkedudukan di Sukanalu.

3. Kerajaaan Suka yang terdiri dari empat urung, yaitu :

a. Urung Suka yang berkedudukan di Suka;

b. Urung Sukapiring yang berkedudukan di Seberaya;

c. Urung Ajinembah yang berkedudukan di Ajinembah;

d. Urung Tongging yang berkedudukan di Tongging.

4. Kerajaan Sarinembah yang terdiri dari empat urung, yaitu :

a. Urung XVII Kuta yang berkedudukan di Sarinembah;

b. Urung Perbesi yang berkedudukan di Perbesi;

c. Urung Juhar yang berkedudukan di Juhar;

d. Urung Kutabangun yang berkedudukan di Kutabangun.

5. Kerajaan Kutabuluh yang terdiri dari dua urung, yaitu :

a. Urung Namohaji yang berkedudukan di Kutabuluh;

b. Urung Langmelas yang berkedudukan di Mardingding

Kerajaan Kutabuluh diresmikan oleh Pemerintah Belanda yang pada tahun

1890 Belanda masuk ke tanah Karo dengan tujuan berdagang sekaligus melancarkan

Universitas Sumatera Utara


40

politik devide et impera yang membuat perselisihan antar urung terjadi kembali

disusul dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942 yang semakin menambah

penderitaan rakyat. Kepercayaan perbegu merupakan alam kepercayaan orang Karo

yang bersifat animisme yang dipengaruhi oleh agama Hindu yang dapat terlihat

misalnya pada acara-acara kematian. Menurut kepercayaan ini, selain mengakui

kebesaran Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi termasuk seluruh isinya, mereka

juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan lain seperti roh-roh halus dari nenek

moyang dengan melakukan upacara persembahan khusus dengan perantaraan seorang

dukun.55

Suku bangsa Haru yang mendiami daerah Karo sekarang ini kemudian disebut

suku bangsa Haro lalu sampai sekarang ini dinamai suku bangsa Karo dimana ejaan

―u‖ banyak terdapat dalam kata-kata bahasa Haru berubah dengan ejaan ―o‖

sedangkan ejaan ―h‖ berubah menjadi ―k‖ sehingga Haru berubah menjadi Karo

karena pengaruh situasi dan lingkungan. Suku bangsa Karo mempunyai bahasa

sendiri yaitu bahasa Karo, mempunyai aksara sendiri, tari-tarian sendiri dengan alat-

alat musiknya sendiri dan adat istiadatnya serta sistem marga yang turun menurun

sebagai asalnya.56

Menurut hasil wawancara dengan para responden dapat diketahui bahwa

perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo sudah dilakukan

sejak dulu, namun tidak ada yang dapat memberikan keterangan yang pasti tahun

55
Ibid, h. 4
56
Ibid, h 5

Universitas Sumatera Utara


41

berapa perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo pertama

kali terjadi. 57

Dari hasil dari wawancara dengan Malem Ukur Ginting, salah satu pengetua

adat menyatakan bahwa perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat

Karo sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan keturunan dalam klan Sembiring.

Dimulai dengan masuknya bangsa India Tamil yang lebih dikenal dengan nama India

Belakang dengan tujuan berdagang ke Tanah Karo. Orang-orang India Belakang

mempunyai kulit berwarna hitam sehingga dipanggil oleh masyarakat Karo setempat

dengan si mbiring yang artinya si hitam sedangkan marga Sembiring sendiri memang

telah ada.58

Panggilan si mbiring tersebut lama kelamaan melekat terhadap orang India

Belakang yang telah menetap lama di wilayah Karo dan kemudian menjadi marga

mereka.Dengan demikian, orang India Belakang akhirnya diangkat menjadi saudara

bagi marga Sembiring asli yang berasal dari Bangko, Jambi sehingga

konsekwensinya adalah harus mengikuti segala aturan yang ada pada adat Karo.59

Masalah timbul pada perkawinan disebabkan kondisi orang India Belakang

yang hitam, jelek, dan pesek maka orang Karo asli jarang bahkan kadang tidak ada

yang mau kawin dengan mereka sehingga setelah diadakan musyawarah antara orang

57
Hasil wawancara dengan Pindon Sembiring, Responden, Tanggal 20 Mei 2017
58
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017
59
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


42

India Belakang yang telah bermarga Sembiring dengan pengetua adat akhirnya

diperbolehkan terjadi kawin mengawini antara mereka.60

Marga Sembiring yang ada pada masyarakat Karo secara umum membagi diri

atas dua kelompok, yaitu :61

1. Si man Biang (yang memakan anjing) terdiri dari :

a. Sembiring Kembaren, (asal usul marga ini dari Kuala Ayer Batu,

kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan

selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama

Kenca Tampe Kuala berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan

membawa pisau kerajaan bernama ―pisau bala bari”. Keturunannya

kemudian mendirikan Kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan

yang menyebar ke Liang Melas, seperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola

Tebu, Ujong Deleng, Negeri Jahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong

Merahe, Rih Tengah, dan lain-lain. Marga ini juga tersebar luas di

Kabupaten Langkat seperti Lau Damak, Batu Erjong-jong, Sapo Padang,

Sijagat dan lain-lain).

b. Sembiring Keloko, (menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu

keturunan dengan Sembiring Kembaren. Marga Sembiring Keloko tinggal

di Rumah Tualang sebuah desa yang sudah ditinggalkan antara Pola Tebu

60
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017
61
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


43

dengan Sampe Raya. Marga ini sekarang terbanyak tinggal di

Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang).

c. Sembiring Sinulaki, (sejarah Marga Sembiring Sinulaki dikatakan juga

sama dengan sejarah Sembiring Kembaren karena mereka masih dalam

satu rumpun. Marga Sinulaki berasal dari Silalahi).

d. Sembiring Sinupayung, marga ini menurut cerita bersaudara dengan

Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri).62

2. Si la man Biang (yang tidak memakan anjing) atau Sembiring

Singombak terdiri dari :63

a. Sembiring Brahmana

Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah

seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu

Kaban.Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya

menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe.Mbulan Brahmana

menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang

keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi

Sembiring Guru Kinayan.Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana

memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian

keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah

ke Limang.

62
Darwan Prinst, Op.Cit, h. 35
63
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


44

b. Sembiring Guru Kinayan

Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah

seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambu bertulis

(Buloh Kanayan Ersurat).Daun bambu itu bertuliskan aksara Karo yang berisi

obat-obatan.Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan)

dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan).Keturunannya

kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.

c. Sembiring Colia

Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni

kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.

d. Sembiring Muham

Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak

praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring

Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia.

Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata

nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama

Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya

selalu bergempet (Muham).

Universitas Sumatera Utara


45

e. Sembiring Pandia

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring

Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India.Dewasa ini mereka

umumnya tinggal di Payung.

f. Sembiring Keling

Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah

menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih.Untuk itu

Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras.Akan

tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah

Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri.Sembiring Keling sekarang

ada di Raja Berneh dan Juhar.

g. Sembiring Depari

Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi

sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di

daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut

Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah

menjadi Sembiring Busok.Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang

lalu.Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.

h. Sembiring Bunuaji

Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.

Universitas Sumatera Utara


46

i. Sembiring Milala

Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka

masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di

Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu.Nenek moyang

mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah.Merka umumnya tinggal di

kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan

lain-lain.Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.

j. Sembiring Pelawi

Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India

(Palawa).Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di

Bekancan.Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi,

menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi

dan Lau Pelawi.Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk

wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi

adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.

k. Sembiring Sinukapor

Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di

Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.

l. Sembiring Tekang

Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring

Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya

Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun

Universitas Sumatera Utara


47

anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari

Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita).Sementara

Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong

(perempuan).Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-

mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena

anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.64

Adanya perbedaan antara Sembiring Siman Biang dengan Sembiring Si La

Man Biang sebenarnya menurut Malem Ukur Ginting, seorang pengetua adat adalah

merupakan kelanjutan kisah dari pelarian Sembiring Keling setelah menipu Raja

Aceh yaitu dengan mempersembahkan seekor gajah putih padahal sesungguhnya

adalah seekor kerbau yang dicat dengan tepung beras. Namun, pada saat

mempersembahkannya hujan turun sehingga tepung beras yang melumuri kerbau

tersebut luntur sehingga ia harus melarikan diri.65

Dalam pelariannya ia menemukan jalan buntu dan satu-satunya jalan hanya

menyeberangi sungai. Sembiring Keling tersebut tidak dapat berenang sehingga ia

bersumpah siapapun yang dapat menolongnya akan diberi imbalan yang sesuai.

Ternyata ada seekor anjing yang menolongnya sehingga ia selamat sampai ke

seberang dan dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan Raja Aceh. Setelah

64
Ibid, h. 36-40
65
Hasil Wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017.

Universitas Sumatera Utara


48

diselamatkan oleh anjing ia akhirnya bersumpah bahwa ia, saudara-saudara dan

keturunannya tidak akan memakan anjing sampai kapanpun.66

Akibat dari sumpahnya akhirnya semua Marga Sembiring yang berasal dari

India Belakang beserta keturunannya ikut menanggung akibatnya sampai saatini,

yaitu apabila ada keturunan Sembiring Simantangken Biang yang memakan anjing

maka akan mengalami gatal-gatal di tubuhnya.67

C. Alasan Terjadinya Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Pada

Masyarakat Karo Di Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan semarga dalam klan

Sembiring adalah faktor agama, dan faktor cinta, seperti terlihat pada table dibawah

ini:

Tabel 4

Jawaban responden tentang alasan menikah sesama sembiring


n=6
Alasan Menikah Responden Laki-Laki Responden Perempuan

Agama 2 2

Cinta 1 1

Jumlah Total 3 3

Sumber : hasil wawancara dengan responden

Agama Kristen yang datang ke wilayah nusantara dibawa oleh misionaris

Belanda kebanyakan merupakan aliran Protestan yang sedang berkembang di Eropa

66
Hasil Wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017.
67
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


49

kala itu.Aliran Protestan sangat menekankan ajaran agama menurut kitab suci, namun

di samping itu juga menekankan aspek kesejahtraan bagi jemaatnya.

Dalam perkembangannya banyak masyarakat Karo menjadi Kristen yang

dimulai di desa Buluh Awar, kemudian berkembang kewilayah sekitarnya.

Selanjutnya ke Kabanjahe dan wilayah lain di dataran tinggi tanah Karo, seterusnya

kedaerah Pancur batu tahun 1927. Sedangkan kedaerah Langkat dimulai penginjilan

tahun 1921.Gereja pertama ditahbiskan tahun 1929, dua orang putra karo

disekolahkan menjadi pendeta di Siminari Sipoholon dan menjadi pendeta pertama

masyarakat Karo yakni Thomas Sibero dan P. Sitepu.68

Bagi masyarakat karo, upacara perkawinan menurut adat sebenarnya adalah

sesuatu yang suci, karena itu selalu diusahakan agar dapat berjalan menurut

semestinya, artinya disini menyangkut kehendak untuk menjaga martabat.Sebab

menurut adat, suatu perkawinan itu tidak harus diupacarakan secara besar-

besaran.Yang penting segala persyaratan telah terpenuhi.Begitu juga dengan upacara

perkawinan menurut agama, yang penting segala persyaratan telah terpenuhi dan

melakukan pemberkatan digereja saja sudah cukup dan dianggap sah setelah

melakukan pemberkatan.69

Adat dengan agama yang dianut anggota masyarakat, segitu jauh tidak

menimbulkan perbenturan.Ini karena adanya sikap toleransi antara tokoh-tokoh adat

maupun acara menurut agama dapat diselaraskan dan ini cukup

68
Marin, Orang Karo Diantara Orang Batak, Sora Mido, Jakarta, 2004, h.37.
69
Ibid

Universitas Sumatera Utara


50

menggembirakan.Adat dan agama tidak menjadi problem bagi masyarakat Karo

dalam melakukan perkawinan.Agama cukup memberi pengaruh terhadap adat namun

adat tidak dapat dihilangkan dari masyarakat karena adat telah mendarah daging

dalam tubuh masyarakat khususnya masyarakat Karo.

Tujuan perkawinan adalah untuk menyatakan kesetiaan dan kesediaan untuk

saling tolong menolong dalam menanggung beban juga untuk mempraktekkan dan

merasakan keindahan hubungan dalam kristus. Masing-masing pasangan harus

menjalankan cara hidup yang tulus, istri harus menghormati suaminya dan suaminya

harus menghormati isterinya sama seperti mengasihi dirinya sendiri.70

Agama yang dianut masyarakat Karo saat ini akan selalu berusaha untuk

menyelaraskan diri dengan adat yang ada dikampung tersebut demi terjalinnya

hubungan yang baik antara adat dan agama. Proses perkawinan yang dilakukan secara

agama tidak serumit proses perkawinan yang dilakukan secara adat.

Tujuan perkawinan menurut hukum agama, berbeda antara agama yang satu

dan agama yang lain. Menurut hukum Islam tujuan perkawinan yang sah dalam

masyarakat adalah mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Jadi tujuan

perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk menegakkan agama, untuk

meendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga

rumah tangga yang damai dan teratur.71

70
Ridwan Piliang, Perilaku Perkawinan Dalam Membangun Rumsh Tangga Bahagia, Perdana
Publishing, Medan, 2011, h.37.
71
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar MajuBandung, 2007, h. 23.

Universitas Sumatera Utara


51

Proses perkawinan berdasarkan agama Kristen yaitu hanya dengan melakukan

pemberkatan di gereja dengan mengikuti peraturan yang telah ditentukan oleh gereja

dimana pemberkatan perkawinan itu dilakukan. Perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Faktor kedua dibolehkannya perkawinan semarga menurut responden adalah

karena cinta.72

Kalau dilihat secara adat, perkawinan semarga dalam Klan sembiring tidak

boleh dilakukan namun jika sudah saling menyayangi dan mencintai kenapa harus

dihalangi, setiap manusia berhak untuk hidup bahagia.

Alasan diperbolehkannya perkawinan semarga, muncul dengan adanya

pergeseran hukum adat baik karena agama maupun karena perubahan

sosial.Perubahan-perubahan di dalam masyarakat karena sistem nilai-nilai, norma-

norma, pola-pola prilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga sosial, statifikasi,

kekuasaan, interaksi sosial, cinta dan lain sebagainya.73

Adanya perubahan-perubahan tersebut akan menyebabkan timbulnya

masalah-masalah yaitu :74

1. Pada taraf pribadi atau individu maka timbul masalah bagaimana

mengamankan identitasnya sebagai manusia, sebagai warga masyarakat dan

sebagai penganut tradisi kebudayaan tertentu;

72
Hasil wawancara dengan Darmina Br. Sembiring Meliala, Masyarakat Desa Tanjung Pulo
Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten karo, Tanggal 22 Mei 2017.
73
Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1991, h. 1
74
ibid

Universitas Sumatera Utara


52

2. Pada taraf strukturil, timbul masalah bagaimana mengorganisasikan pola

peranan dan kelompok-kelompok yang baru;

3. Pada taraf kebudayaan timbul masalah bagaimana membentuk tradisi baru

yang akan dapat menjadi pedoman bagi warga masyarakat dalam masa

transisi. Pada umumnya dapatlah dikatakan, bahwa sebab-sebab terjadinya

perubahan sosial dapat bersumber pada masyarakat itu sendiri dan yang

letaknya diluar masyarakat lain atau dari alam sekelilingnya. Sebab-sebab

yang bersumber pada masyarakat itu sendiri adalah antara lain, bertambah dan

berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-

pertentangan dan terjadinya revolusi. Suatu perubahan sosial dapat pula

bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam, peperangan,

pengaruh kebudayaan masyarakat lain dan seterusnya.

Disamping hal-hal tersebut di atas maka perlu juga disinggung faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhi jalannya atau berlangsungnya perubahan sosial yaitu

faktor yang mendorong atau menunjang dan yang menghambat. Diantara faktor-

faktor yang mendorong dapatlah disebutkan kontak dengan kebudayaan lain, sistem

pendidikan yang maju, toleransi terhadap prilaku yang menyimpang, stratifikasi yang

terbuka, penduduk yang heterogen dan ketidakpuasan terhadap bidang-bidang

kehidupan tertentu. Daya pendorong faktor-faktor tersebut dapat berkurang karena

adanya faktor-faktor yang menghambat seperti kurangnya atau tidak ada hubungan

dengan masyarakat lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap

masyarakat yang terlalu tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah

Universitas Sumatera Utara


53

tertanam dengan kuat sekali, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi

kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru, hambatan-hambatan yang bersifat

ideologis dan mungkin juga adat istiadat yang melembaga dengan kuat.

Pelembagaan hukum yang memperkukuh terjadinya perubahan sosial bisa saja

berawal dari peranan ajaran agama yang dianut dalam masyarakat yang

bersangkutan.Filsuf Marxis seperti Karl Mark memang menepis pendapat bahwa

agama dapat mempengaruhi perubahan- perubahan sosial.75Namun kini diakui bahwa

perubahan-perubahan sosial adalah hasil dari proses yang amat kompleks, dimana

antara semua faktor terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling menentukan.

Sebagaimana dikutip oleh Sucipto Rahadjo,sekalipun Weber mengakui bahwa

teori rasionalitasnya dapat dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti agama, namun

ia menolak pandangan bahwa perkembangan hukum dapat diakibatkan oleh tuntutan

ekonomi. Pendapat Weber mengenai yang disebut belakangan ini bersifat negatif

artinya ia menolak pandangan bahwa perkembangan dari hukum bisa dijelaskan

sebagai suatu respon terhadap tuntutan ekonomi.76

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk meninjau hubungan antara hukum

dan perubahan sosial lebih dulu perlu dilihat tempat hukum itu di dalam kerangka

masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan ini suatu teori yang

dikembangkan Talcott Parsons menjelaskan kerangka masyarakat yang serba meliputi

itu bertitik tolak dari tindakan individu bahkan juga dapat dikatakan bahwa teori

75
Ibid
76
Satcipto Rahardjo..Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1983, h. 295.

Universitas Sumatera Utara


54

Parsons merupakan pengembangan yang lengkap mengenai tindakan dalam serba

perkaitannya yang luas.77

Pada teori Parsons, tindakan individu pada tempatnya yang pertama tidaklah

dilihat sebagai suatu kelakuan biologis melainkan sebagai suatu kelakuan bermakna.

Tindakan seseorang itu senantiasa ditempatkan dalam suatu kaitan (sosial) tertentu

atau dengan perkataan lain merupakan tindakan yang berstruktur. Dengan demikian,

perhatian Parsons tertuju pada penyusunan konsep yang lengkap mengenai sistem

tindakan dan melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang terbuka yaitu yang

selalu mengalami proses saling pertukaran dalam bentuk masukan, dan keluaran

dengan lingkungannya.78

Perubahan sosial tersebut merupakan hal yang wajar, karena didalam

kebanyakan analisa sosiologi dinyatakan bahwa perubahan memang diperlukan, oleh

karena sifat hakekat dari prilaku-prilaku sosial. Artinya karena manusia selalu

mengadakan interaksi dengan sesamanya dan dengan adanya gerak serta tujuan dari

ikatan sosial, maka perubahan memang diperlukan.

Dengan adanya perkawinan semarga berarti terjadi suatu perubahan sosial

dalam masyarakat Karo.Khususnya dalam lapangan hukum perkawinannya, sebab

perubahan sosial itu sendiri mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai,

sikap dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

77
Ibid
78
Ibid. h. 25-30.

Universitas Sumatera Utara


BAB III
KEDUDUKAN HUKUM PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN
SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO
KECAMATAN TIGA NDERKET DITINJAU DARI HUKUM ADAT

A. Pelaksanaan Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring Di Desa

Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo

Pelaksanaan perkawinan semarga dalam klan Sembiring yang dilakukan di

Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket ini sama seperti perkawinan pada

masyarakat karo pada umumnya. Di kalangan orang Karo, Merga Silima, Rakut

Sitelu, Tutur Sepuluhsada (berasal dari tutur siwaluh dengan tambahan 3 tutur/

panggilan secara umum yang dapat diberikan kepada setiap orang karo, dan

perkade-kaden Sisepuluh Dua tambah Sada terdapat suatu keunikan dalam

prosesi awal pernikahan yaitu maba belo selambar/ ngembah belo selambar yang

dapat dikatakan secara prosesi lamaran.

Menuju acara perkawinan agung, ditemukanlah tutur sepuluhsada

(golongan sebelas) yang terdiri atas :79

1. Puang Kalimbubu adalah sekelompok yang berasal dari kalimbubu atau

perkempun dari ibu.

2. Kalimbubu adalah sekelompok marga (saudara laki-laki ) dari isteri, ibu,

nenek, istri anak, dan isteri saudara (laki-laki).

3. Sembuyak adalah orang-orang yang bersaudara (satu ayah, ibu) satu kakek

atau satu buyut.

79
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

55

Universitas Sumatera Utara


56

4. Senina adalah mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan

submerge yang sama.

5. Senina sepemeren adalah orang-orang yang bersaudara karena isteri mereka

bersaudara atau beru isteri mereka sama.

6. Senina separibanen adalah orang-orang yang bersaudara karena isteri

mereka bersaudara atau beru isteri mereka sama.

7. Senina sendalanen adalah seorang laki-laki mengawini sepupu dekat (impal)

8. Senina sepengalon adalah anak perempuan yang kawin dengan pria yang

saudaranya mengambil isteri dari marga tersebut atau karena anak

perempuan kawin dengan marga tertentu sehingga kalimbubu anak

perempuan menjadi sepengalon.

9. Anak beru adalah permpuan yang mengambil isteri atau keluarga atau marga

tertentu.

10. Anak berumenteri adalah anak beru dari anak beru

11. Anak beru singukuri adalah anak beru dari anak beru menteri.

Senina sepemeren dan senina sepaaribanen adalah anak dari puang (dari

garis keturunan ibu), sedangkan senina sepengalon dan senina sendalanen

berasal dari diri sendiri/ keluarga pihak laki-laki pelamar.Tutur siwaluh atau

delapan golongan menjadi tutur sisepuluhsada atau golongan sebelas.

Jika akan diadakan perkawinan, maka harus tertulis jelas Sijalapen atau

musyawarah sebagai berikut :80

80
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga
Nderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


57

2. Pihak yang mengawini (SI Empo)

b. Gelarbapa simupus (nama ayah kandung/kakek dari ayah);

c. Bapana/ sipempoken (Nama ayah Kandung);

d. Senina adalah mereka yang bersaudara semerga;

e. Anak beru singerana adalah anak beru taneh yang telah begitu lama

kejadiannya, tetapi mendapat nama penghormatan kepada generasinya

di dalam satu kampong;

f. Anak beru cekoh baka adalah anak beru yang secara langsung dapat

mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya .anak beru

cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala

keluarga. Misalnya si A seorang laki-laki, mempunyai saudara

perempuan si B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup

dari si A. dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere

mama.

g. Anak beru iangkip adalah yang mengawini anak perempuan satu

keluarga dan dalam keluarga menjadi anak beru iangkip atau anak beru

iperdemui.

3. Pihak yang dikawini (Si Sereh)

a. Gelar Bapa Simupus adalah nama ayah kandung/ nama kakek dari

ayah;

b. Bapana/Sipersereken adalah nama ayah kandung;

c. Senina yaitu mereka yang bersaudara kerena mempunyai merga dan

submerga yang sama;

Universitas Sumatera Utara


58

d. Anak beru singerana adalah anak beru langsung dari empung. Tapi

lambat laun anak beru tersebut dinyatakan ialah anak beru setingkat

nenek. Anak beru tersebut tetap dihargai termasuk saudara anak dan

cucunya;

e. Anak beru cekoh baka adalah anak beru yang secara langsung dapat

mengetahui segala sesuatu di dalam kalimbubunya. Anak beru cekoh

baka tutup adalah anak saudar perempuan dari seorang kepala

keluarga. Misalnya si A seorang laki-laki, mempunyai saudara

perempuan si B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup

dari si A. Dalam panggilan sehari-hari disebut anak mama;

f. Anak beru Iangkip adalah anak beru langsung karena terjadinya

perkawinan. Selama ini mungkin kedudukannya bukan sebagai anak

beru , tetapi setelah mengawini anak perempuan suatu keluarga, maka

dalam keluarga itu dia menjadi anak beru iangkip atau anak beru

iperdemui;

g. Kalimbubu adalah sekelompok marga (saudara laki-laki) dari isteri,

ibu, nenek, isteri anak dan isteri saudara (laki-laki).

Selain itu perlu juga diketehui Batang Tumba atau yang menerima mas

kawin sebagai berikut :81

a. Batang Unjuken adalah yang menerima adalah orang tua perempuan

yang kawin;

b. Singalo ulu emas adalah kalimbubu/Impal dari ayah;


81
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


59

c. Singalo Bere-bere adalah mama/turang dari ibu;

d. Singalo perbibin adalah senina dari ibu;

e. Sirembah kulau/perkembaren adalah bibi dari ayah/turang ayah;

f. Perseninan adalah senina.

Prosesi dan berbagai macam varian yang komplek dari sistem perkawinan

dalam adat Karo diatas akan sangat jarang ditemukan dewasa ini, bahkan mungkin

hampir tidak ada lagisecara umum yang masih berlangsung secara kronologis

adalah sebagai berikut :82

A. Sitandan ras keluarga pekepar/ Nungkuni

Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah

pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua

belah pihak akan menyampaikan kepada “ Anak Beru “ masing-masing

untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah

pihak ―Kalimbubu‖ untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar“,

Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak

yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah

pihak akan menyampaikan kepada “ anak beru” masing-masing untuk

menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak

“kalimbubu” untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar”.

B. Mbaba Belo Selambar

Acara mbaba belo Selambar (membawa selembar daun sirih),

adalah suatu upacara untuk meminang seorang gadis menurut adat Karo
82
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


60

yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya

beserta seluruh anak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-

masing menurut adat Karo.

Dalam acara ini pihak keluarga pria mendatangi keluarga

perempuan dan untuk sarana Mbaba Belo Selambar tersebut pihak pria

membawa :

1) Kampil Pengarihi / Kampil Pengorat ( kapur sirih );

2) Penindih Pudun, Uis Arinteneng,Pudun dan Penindiken Rp.

11.000,00 agar supaya acara menanyakan kesediaan si gadis dapat

dimulai maka terlebih dahulu dijalankan kampil Pengarihi / kampil

Pengorati kepada keluarga pihak perempuan yang artinya sebagai

permohonan kepada pihak keluarga perempuan agar bersedia

menerima maksud kedatangan pihak pria. Bilamana kedatangan

pihak pria sudah dimengerti maksudnya dan pihak keluarga

perempuan bersedia menerima pinangan tersebut maka dibuatlah

pengikat janji (penindih pudun) berupa uang dan ditentukan kapan

akan diadakan acara selanjutnya yaitu nganting manuk. Pada waktu

penyerahan uang penindih pudun tersebut uang dimaksud

diletakkan pada sebuah piringyang dilapisi dengan uis arinteneng

(sejenis kain ulos)83

83
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


61

Pada acara maba belo selambar terdapat tiga tingkatan, yaitu :84

a. Tersinget-singet gantang tumba (utang adat);

b. Sitandaan Ras Keluarga Pekepar/ Nungkuni;

c. Maba Belo Selambar.

Acara maba belo selambar (membawa selemmbar daun sirih) yang

merupakan suatu upaca untuk meminang seorang gadis menurut adat Karo

yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya

beserta seluruh sanak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-

masing menurut adat Karo.

c. Nganting Manuk

Menjelang hari nganting manuk, kedua belah pihak yang terlibat

sudah menyampaikan undangan terhadap golongan adat yang mempunyai

kedudukan dalam masalah yang bakal dilaksanakan.Acara nganting manuk

adalah merupakan musyawarah adat antara keluarga pengantin pria dan

wanita guna membicarakan gantang tumba/ unjuken ras mata kerja yang

artinya adalah tentang masalah pesta daan pembayaran (uang mahar) yang

harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.

Sistem perkawinan pada masyarakat Batak yang pada umumnya bersistem

kekerabatan patrilenal adalah eksogami, yaitu pada prinsipnya orang Batak harus

kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa pada prinsipnya

perkawinan antara marga yang sama adalah tidak diperbolehkan. Dalam

melakukan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang masih


84
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


62

semarga adalah dilarang menurut ketentuan adat istiadat yang masih di

pertahankan oleh para ketua adat dan orang tua sampai saat ini.

Sistem yang eksogami yang dijumpai pada masyarakat Batak mempunyai

kekhususan tersendiri. Larangan perkawinan pada marga yang sama, tidak

diperbolehkan bukan berarti pula tidak selamanya diperbolehkan perkawinan

antara marga yang berbeda. Dengan kata lain bahwa tidak selalu bahwa marga

yang berbeda diperbolehkan untuk melaksanakan perkawinan.85

Didalam masyarakat Batak dikenal istilah assymetrisch connubium, yaitu

tidak diperbolehkannya perkawinan secara timbal balik, misalnya seorang laki-

laki bermarga Sembiring kawin dengan wanita beru Ginting.Dalam hal ini jelas

bahwa laki-laki yang mau kawin berasal dari marga yang berbeda, dengan marga

si wanita.Seandainya wanita yang bermarga Ginting itu punya adik laki-laki maka

adik wanita tersebut tidak diperbolehkan kawin dengan seorang wanita saudara

dari kakak iparnya tadi.Walaupun laki-laki dalam hal ini berbeda marga dengan

perempuan, tetapi mereka tidak diperbolehkan untuk kawin.

Oleh karena itu sistem perkawinan pada masyarakat Batak, disamping

menganut sistem eksogami, yaitu tidak diperbolehkan perkawinan satu marga,

juga tidak memperbolehkan adanya perkawinan timbal balik atau asimetris

connibium.

Pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga Sembiring dan Perangin-

nangin, sistem perkawinannya bukan eksogami seperti yang terjadi pada

umumnya di masyarakat Batak melainkan eleutherogami terbatas.Letak

85
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei
2017

Universitas Sumatera Utara


63

keterbatasannya adalah seseorang dari marga tertentu dari Perangin-nangin dan

Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama

asal klannya berbeda. Misalnya dalam Marga Perangin-nangin antara Bangun dan

Sebayang atau antara Perangin-nangin Kuta Buluh dan Sebayang.Demikian juga

dalam Marga Sembiring, antara Sembiring Brahmana dan Sembiring Milala,

antara Sembiring Depari dan Sembiring Depari, dan sebagainya.

Pengklasifikasian perkawinan semarga dalam Marga Sembiring juga

terbagi atas dua bagian yaitu antara Sembiring Siman Biang dengan Sembiring Si

La Man Biang atau antara sesama Sembiring Si La Man Biang.Khusus untuk

Sembiring Keloko sampai saat ini tidak diperbolehkan adanya perkawinan dengan

Marga Sembiring lainnya, dikarenakan nenek moyang Sembiring Keloko

bersumpah untuk tidak pernah mengawini turangnya.86

Larangan perkawinan dengan orang dari luar marganya tidak dikenal,

kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dengan Sembiring

Tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian, karena pada tempo dulu

mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling berkawin.87

Pada dasarnya perkawinan antara merga-merga Sembiring yang umum

terjadi hanya pada merga Sembiring Milala dan merga Sembiring Depari.

Menurut penuturan orang-orang tua di daerah ini, perkawinan antara Sembiring

Milala dan Sembiring Depari terjadi oleh latar belakang berupa legenda.88

86
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017
87
Hasil wawancara dengan Karta bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga
Nderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017.
88
Hasil wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Pengetua Adat Karo, Tanggal 20 Mei
2017.

Universitas Sumatera Utara


64

Menurut legenda tersebut, pada awalnya merga Sembiring Milala dan

Sembiring Depari adalah satu nenek moyang yang berasal dari India.Milala dan

Depari tergolong dalam Sembiring Singombak.Istilah Sembiring Singombak

berasal dari ritual yang disebut Ngombak.Ritual ini dilaksanakan bagi orang-orang

yang jasadnya dibakar. Ngombak dilakukan untuk menghanyutkan abu jasadnya

di sungai melalui sebuah perahu mini yang dihiasi. Pada prosesi menghanyutkan

abu jenazah, maka akan diikuti pula oleh ritual meratapi kepergian anggota

keluarga yang telah meninggal dunia tersebut. Agar prosesi penghanyutan abu

jenazah dan ritual meratapi dapat berjalan dengan maksimal ketika ada diantara

anggota keluarga yang meninggal dunia, maka maka para anggota keluarga dari

Sembiring Singombak ini secara rutin akan mengadakan latihan, yaitu

menghanyutkan batang pisang yang dijadikan sebagai simbol dari pada mayat

keluarga mereka. Akibat dari seringnya anggota keluarga Sembiring Singombak

melakukan latihan menghanyutkan batang pisang sekaligus latihan meratap,

sehingga hal ini membuat kelompok lain di luar marga ini merasa takut dan risih

dengan keberadaan mereka, sehingga keberadaan Sembiring Singombak menjadi

terkucil di tengah-tengah masyarakat. Selain dikucilkan dari tengah-tengah

masyarakat, muncul pula larangan dari masyarakat luar agar tidak mengawini para

keturunan Sembiring Singombak, baik yang laki-laki maupun perempuan. Karena

tidak ada lagi merga lain yang mau menikah dengan kelompok Sembiring

Singombak, sehingga pada akhirnya semua anak gadis dan anak jejaka mereka

sulit untuk mendapatkan pasangan hidup. Untuk mengatasi hal tersebut, maka

para orang tua dari kelompok Sembiring Singombak akhirnya mengadakan

Universitas Sumatera Utara


65

pertemuan untuk membuat suatu kesepakatan supaya atara merga mereka dapat

saling menikahi.Dalam pertemuan tersebut, maka dibagilah marga Sembiring

Singombak menjadi dua bagian, yaitu menjadi Sembiring Milala dan Sembiring

Depari.Setelah pembagian merga menjadi dua bahagian tersebut, maka semenjak

itu pula dibuat kesepatakan, bahwa antara Sembiring Milala dan Sembiring Depari

dapat saling mengawini hingga saat ini.

Di dalam kehidupan masyarakat partilineal susunan masyarakat adatnya

terbagi dalam klan-klan yang kecil disebut klan/clan, dan kesatuan yang terkecil

adalah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Masyarakat kebapakan adalah masyarakat yang terbagi dalam klan-klan

kebapakan, yang anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuen dan

berdasar pandangan yang bersifat religio magis, melalui garis ayah laki-

laki.Sebagai konsekuensinya diadakanlah suatu sistem perkawinan yang cocok

untuk mempertahankan garis bapak itu, yaitu kawin jujur atau sering disebut

eksogami jujur.

Syarat-syarat perkawinan untuk mendapatkan predikat keabsahan menurut

peraturan satu dengan yang lainnya berbeda hukum adat umpamanya, untuk

melakukan perkawinan sangat banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang

yang hendak melangsungkan perkawinan, oleh karena hukum adat banyak aturan-

aturannya yang diambil dari hukum agama disamping ketentuan adat semata-

mata.

Menurut pandangan masyarakat adat bahwa suatu perbuatan hukum yang

tidak dilakukan tanpa menghiraukan ketentuan adat belum dianggap sebagai suatu

Universitas Sumatera Utara


66

perbuatan hukum yang sempurna. Demikian juga halnya dalam masalah

perkawinan, sekalipun perkawinan banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur agama

bahkan sekarang di semua lingkungan adat peran agama merupakan yang sangat

dominan sebab bagaimanapun juga acara puncak dari suatu perkawinan (akad

nikah) dilakukan atas dasar ketentuan agama akan tetapi walaupun demikian

dalam kehidupan masyarakat adat belumlah sempurna suatu perkawinan apabila

ketentuan adat belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Perkawinan merupakan suatu nilai kehidupan dan menyangkut pula

kehormatan keluarga dan kerabat bersangkutan dalam pergaulan masyarakat,

maka proses pelaksanaan perkawinan haruslah memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan oleh hukum adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan

pelanggaran yang tidak diinginkan, yang akan menjatuhkan martabat keluarga dan

kerabat bersangkutan.89

Mengingat perkawinan merupakan nilai kehidupan dan menyangkut pula

kehormatan keluarga dan kerabat bersangkutan dalam pergaulan masyarakat,

maka proses pelaksanaan perkawinan haruslah memenuhi persyaratan yang telah

di tentukan oleh hukum adat.

Perkawinan ini disertai dengan pemberian uang jujur sebagai pelepas calon

istri serta pengganti keseimbangan lahir dan bathin dari keluarga laki-laki kepada

keluarga calon istri.Uang jujur tersebut diserahkan oleh keluarga pihak calon

89
Hasil wawancara dengan Karta Bangun, Sekertaris Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


67

suami kepada keluarga pihak calon istri maka dengan demikian lepaslah sudah

wanita tersebut dari keluarga asalnya dan masuk ke dalam keluarga suami.90

Dengan demikian nantinya apabila si wanita melahirkan seorang anak

maka si anak yang lahir itu tidak menuruti marga dari si perempuan melainkan

menuruti marga dari laki-laki yang menjadi suami si perempuan itu (ayah si anak

tersebut).Dan inilah sebenarnya yang menjadi inti dari masyarakat patrilineal yang

menarik garis keturunan dari pihak laki-laki.

Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian (makna), yaitu :

a. Segi yuridis yaitu pindahnya si wanita ke dalam lingkungan keluarga si

suami dan bertugas, berhak dan berkewajiban disitu dan dianggap

anggota klan suami. Jadi terang disini ada perubahan status;

b. Segi sosial, di dalam arti bahwa perkawinan seperti itu mempererat

hubungan antara keluarga dan klan-klan yang bersangkutan;

c. Segi ekonomi karena ada pertukaran barang atau benda antara

keluarga-keluarga yang bersangkutan.

Maka persoalan jujur harus merupakan sesuatu yang dijelaskan dengan

akibat karena jika tidak, tanpa jujur maka tidak ada perkawinan menurut hukum

adat dengan sistem kekerabatan patrilineal, sebab dengan dipertahankannya sistem

eksogami jujur ini maka dipertahankan pula garis keturunan bapak itu.

Pelaksanaan suatu perkawinan yang dilakukan menurut adat Karo adalah

meliputi : Maba Belo Selambar yaitu upacara meminang gadis menurut adat Karo

yang tujuannya adalah untuk menanyakan kesediaan si gadis, orang tua,

90
IGN Sugangga, Hukum Adat Waris Pada Masyarakat Hukum Adat Yang Bersistem
Patrilineal Di Indonesia.1988, h. 11

Universitas Sumatera Utara


68

sembuyak, anak beru, kalimbubu singalo bere-bere dan kalimbubu singalo

perkempun atas pinangan tersebut, Nganting Manuk adalah suatu acarayang

diadakan sebagai kelanjutan maba belo selambar untuk membicarakan tentang

besarnya unjuken (uang jujur) yaitu mas kawin yang harus diterima oileh pihak

perempuan, Kerja Nereh Empo adalah hari yang telah ditentukan untuk

melaksanakan pesta perkawinan dimana semua sangkep enggeloh dari kedua

belah pihak hadir untuk memuliakan pesta perkawinan dan terakhir adalah Mukul

yang dilakukan pada malam hari setelah pesta perkawinan dilaksanakan sebagai

acara puncak yang merupakan bagian terpenting karena dihadiri oleh rakut sitelu

kedua belah pihak keluarga.91

Untuk memahami adat-istiadat Karo maka perlu dipahami terlebih dahulu

mengenai sangkep enggeloh karena dalam setiap pelaksanaan adat-istiadat yang

berperan adalah sangkep enggeloh yang terdiri dari Merga Silima, Rakut Sitelu

dan Tutur Siwaluh, misalnya dalam perkawinan, kelahiran, kematian dan lain-

lain.92

Merga Silima adalah lima marga yang terdapat dalam Suku Karo, yaitu :93

a. Marga Ginting, terdiri dari sembilan klan, yaitu : Ginting Pase, Ginting

Munte, Ginting Manik, Ginting Sinusinga, Ginting Seragih, Ginting

Sini Suka, Ginting Jawak, Ginting Tumangger, dan Ginting Capah;

91
Darwan Prinst, Op.Cit, h. 294
92
Hasil Wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017
93
Darwan Prinst, Op. Cit, h. 26-42

Universitas Sumatera Utara


69

b. Marga Karo-karo, terdiri dari enam klan, yaitu : Karo-karo Purba,

Karo-karo Sinulingga, Karo-karo Kaban, Karo-karo Sitepu, Karo-karo

Barus, dan Karo-karo Manik;

c. Marga Perangin-nangin, terdiri dari empat belas klan, yaitu Perangin-

nangin Sukatendel, Perangin-nangin Kacinambun, Perangin-nangin

Bangun, Perangin-nangin Mano, Perangin-nangin Pinem, Perangin-

nangin Sebayang, Perangin-nangin Laksa, Perangin-nangin Penggarun,

Perangin-nangin Uwir, Perangin-nangin Sinurat, Perangin-nangin

Pincawan, Perangin-nangin Singarimbun, Perangin-nangin Limbeng,

dan Perangin-nangin Prasi;

d. Marga Sembiring, terdiri dari enam belas klan, yaitu Sembiring

Kembaren, Keloko, Sembiring Sinulaki, Sembiring Sinupayung,

Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia,

Sembiring Muham, Sembiring Pandia, Sembiring Keling, Sembiring

Sembiring Depari, Sembiring Bunuaji, Sembiring Milala, Sembiring

Pelawi, Sembiring Sinukapur, dan Sembiring Tekang;

e. Marga Tarigan, terdiri dari lima belas klan, yaitu : Tarigan Tua,

Tarigan Gondong, Tarigan Jampang, Tarigan Gersang, Tarigan

Cingkes, Tarigan Gana-gana, Tarigan Tambak, Tarigan Pekan, Tarigan

Purba, Tarigan Sibero, Tarigan Beringen, Tarigan Silangit.

Rakut Sitelu adalah sebagai perwujudan lebih lanjut dari adanya Merga

Silima sehingga masyarakat Karo membagi diri atas tiga kelompok menurut

fungsinya di dalam hubungan kekeluargaan yang terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara


70

1. Senina adalah orang-orang yang satu kata dalam musyawarah adat

yang terdiri dari :

a. Yang langsung ke sukut :

1) Sembuyak adalah orang-orang yang bersaudara (satu ayah ibu) ,

satu kakek atau satu buyut;

2) Senina Sikaku Ranan /Gamet adalah orang-orang yang

mempunyai marga sama tapi klannya berbeda dan tugasnya

sebagai juru bicara dalam musyawarah adat. 94

b. Yang berperantara ke sukut

1) Sepemeren adalah orang-orang yang bersaudara karena ibu

mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama.

2) Separibanen adalah orang-orang yang bersaudara karena istri

mereka bersaudara atau beru istri mereka sama.

3) Sepengalon adalah persaudaraan yang timbul karena anak

perempuan kita kawin dengan pria yang saudaranya mengambil

istri dari marga tersebut atau karena anak perempuan kita

kawin dengan marga tertentu sehingga kalimbubu anak

perempuan kita menjadi sepengalon dengan kita.

4) Sendalanen adalah persaudaraan yang timbul karena seorang

laki-laki mengawini sepupu dekat (impal) kita. 95

94
Ibid, h. 286
95
ibid

Universitas Sumatera Utara


71

2. Anak Beru berarti anak perempuan atau kelompok yang mengambil

istri dari keluarga/marga tertentu, yang secara umum dapat dibagi atas

dua kelompok yaitu :96

a. Anak Beru Langsung yang terdiri dari :

1) Anak beru Angkip/Ampu yaitu menantu atau suami dari anak

yang baru untuk pertama sekali keluarganya kawin dengan

keluarga kita.

2) Anak Beru Dareh/Anak Beru Ipupus adalah anak dari bibi atau

anak dari saudari kita atau yang lahir dari ibu yang berunya

adalah dari marga kita.

3) Anak Beru Cekoh Baka adalah anak beru yang telah kawin

dengan keluarga tertentu dua kali berturut-turut, misalnya anak

beru dareh atau ipupus yang mengawini impal (sepupunya)

maka ia menjadi anak beru cekoh baka.

4) Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah orang (keluarga atau

marga) tertentu yang telah tiga kali berturut-turut mengawini

perempuan (beru) dari keluarga atau marga tertentu misalnya

anak beru cekoh baka mengawini impalnya maka ia menjadi

anak beru cekoh baka tutup.

5) Anak Beru Tua yang terbagi atas tiga macam yaitu :

a) Anak Beru Tua Jabu adalah orang/keluarga tertentu yang

telah empat kali berturut-turut mengawini perempuan

96
Ibid, h.. 287

Universitas Sumatera Utara


72

(beru) dari keluarga tertentu. Atau apabila anak beru cekoh

baka tutup mengawini impalnya, maka ia menjadi anak

beru tua jabu.

b) Anak Beru Tua Kesain adalah anak beru yang ikut

mendirikan sesuatu kesain tertentu.

c) Anak Beru Tua Kuta adalah anak beru yang ikut

mendirikan kuta.97

b. Anak Beru Berperantara adalah anak beru, yang tidak langsung

berhubungan keluarga kepada sukut, tetapi berperantara keluarga

(orang) tertentu. Anak beru yang demikian terdiri dari :

1) Anak Beru Sepemeren yaitu anak beru dari sepemerenta,

umpamanya di limang Marga Perangin-angin sepemeren

dengan Marga Ketaren. Oleh karena itu anak beru dari Marga

Perangin-angin menjadi anak beru sepemeren dengan Marga

Ketaren. Demikian juga sebaliknya.

2) Anak Beru Menteri adalah anak beru dari anak beru, dalam

upacara perkawinan dia menerima hutang adat berupa simajek

lape-lape.

3) Anak Beru Ngikuri adalah anak beru dari anak beru menteri. 98

4. Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (marga)

tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sering juga disebut Dibata Ni

97
Ibid, h. 287-288
98
Ibid, h. 288-289

Universitas Sumatera Utara


73

Idah (Tuhan yang kelihatan), karena kedudukannya yang sangat

dihormati. Kalimbubu dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu :99

a. Kalimbubu yang langsung ke sukut, yaitu :

1) Kalimbubu Iperdemui atau Kalimbubu Sierkimbang adalah

orang tua/saudara dari istri orang/keluarga/marga tertentu, atau

biasa juga disebut kalimbubu simaba ose (pakaian adat) bagi

anak dan kela (menantunya) pada pesta-pesta tertentu (pesta

agung).

2) Kalimbubu Simada Dareh (bere-bere) adalah orang tua (bapa)

atau turang (saudara) ibu uang dalam prakteknya dapat

berganti nama sebanyak lima kali sesuai dengan keadaan, yaitu:

a. Kalimbubu Singalo Ulu Mas adalah bere-bere

(keponakan)nya yang laki-laki kawin maka ia disebut

kalimbubu singalo ulu mas;

b. Kalimbubu Singalo Bere-bere adalah apabila bere-berenya

yang perempuan kawin maka ia disebut kalimbubu singalo

bere-bere.

c. Kalimbubu Singalo Maneh-maneh yaitu apabila anak beru

dareh (ipupus) meninggal dunia cawir metua (umur sudah

lanjut dan anak-anak sudah berumah tangga semua) maka

ia menerima hutang adat berupa maneh-maneh. Apabila

yang meninggal itu anak beru menteri (yang

99
Ibid, h. 289-291

Universitas Sumatera Utara


74

perempuan/turang anak beru dareh), maka maneh-maneh

kepada kalimbubu singalo perkempun berupa kain adat

kelam-kelam;

d. Kalimbubu Singalo Morah-morah yaitu apabila anak beru

dareh meninggal dunia, umur belum lanjut, anak belum

berkeluarga semua maka ia menerima hutang adat bernama

morah-morah. Apabila yang meninggal itu anak beru

menteri (turang dari anak beru dareh), maka ia juga

menerima morah-morah untuk puang kalimbubu;

e. Kalimbubu Singalo Sapu Iloh yaitu apabila anak beru

dareh meninggal dalam usia muda, belum berkeluarga,

maka hutang adatnya bernama sapu iloh. Apabila yang

meninggal itu anak beru menteri (turang anak beru dareh)

dia juga menerima sapu iloh untuk puang kalimbubu.

3) Kalimbubu Bapa (Binuang) adalah kalimbubu dari ayah, yang

dapat beberapa kali berganti nama sesuai fungsinya, seperti :

a) Kalimbubu Simajek Diliken yaitu apabila anak berunya

(yang binuangnya) adalah dia memasuki rumah baru maka,

dia disebut kalimbubu simajek diliken (memasang tungku);

b) Kalimbubu Singalo Perninin yaitu apabila anak beru

menteri (anak perempuan dari bere-berenya sidilaki) kawin,

maka ia menerima perninin maka disebut kalimbubu

singalo perninin. Hutang adat perninin ini hanya ada di

Universitas Sumatera Utara


75

beberapa daerah Karo, seperti di Urung Julu, dan Lau Cih

(Deli serdang) serta Langkat. Di daerah Langkat disebut

kalimbubu singalo perkempun;

c) Kalimbubu Singalo Ciken-ciken yaitu apabila anak beru

menteri (kaki-laki), yakni anak dari bere-berenya yang

perempuan meninggal dunia, maka ia menerima hutang

adat bernama ciken-ciken dan disebut kalimbubu singalo

ciken-ciken.

4) Kalibubu Nini (Kampah) atau Kalimbubu Bena-bena yaitu

kalimbubu dari kakek (ayah dari ayah) menurut tutur ia

menjadi kampah;

5) Kalimbubu Tua, dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

a) Kalimbubu Tua Jabu yaitu kalimbubu yang secara terus

menerus memberi dara mulai dari empong ni empong,

kepada empong, kepada nini (kakek) pada ayah (bapa)

maka ia disebut kalimbubu tua jabu;

b) Kalimbubu Tua Kesain yaitu kelompok orang dari marga

tertentu yang diangkat menjadi kalimbubu ketika

mendirikan suatu kesain tertentu;

c) Kalimbubu Tua Kuta (Simajek Lulang) atau Kalimbubu

Taneh yaitu kelompok orang atau marga tertentu yang

diangkat sebagai kalimbubu.

Universitas Sumatera Utara


76

b. Kalimbubu berperantara ke sukut yang terdiri dari :

Puang Kalimbubu (Perkempun) adalah kalimbubu dari

kalimbubu dan ada beberapa kali berganti nama sesuai fungsinya,

yaitu:

1) Di daerah Langkat (Karo Jahe), apabila anak beru menteri

(turang dari anak beru dareh) meninggal dunia dia menerima

morah-morah dan disebut kalimbubu singalo morah-morah;

2) Kalimbubu Singalo Maneh-maneh Perkempun apabila yang

meninggal adalah anak beru menteri yang laki-laki (anak dari

bere-bere) maka di Karo Gugung ia menerima hutang adat

dapat berupa maneh-maneh, morah-morah, sapu iloh untuk

puang kalimbubu.

3) Kalimbubu Singalo Perkempun atau Kalimbubu Singalo

Perninin yaitu apabila anak perempuan dari anak beru

menterinya kawin, maka ia menerima hutang adat bernama

perkempun dan disebut kalimbubu singalo perkempun.

4) Puang Ni Puang (Soler) adalah Kalimbubu dari puang

kalimbubu yang dalam tutur menjadi soler. Kalimbubu

Sepemeren adalah sepemeren dari mama atau turang

sepemeren dari ibu yang melahirkan kita.100

100
Ibid, h. 46-55.

Universitas Sumatera Utara


77

Tutur Siwaluh adalah : panggilan secara umum yang dapat diberikan

kepada setiap orang Karo, sedangkan untuk yang kedelapan adalah penghargaan

kepada teman sepergaulan, yaitu :101

a. Sembuyak;

b. Senina (Gamet, Sepemeren, Separibanen, Sepengalon, Sendalanen);

c. Anak Beru (Angkip, Dareh, Cekuh Baka, Cekuh Baka Tutup, Tua,

Sepemeren, Ngikuti, Pengapit);

d. Anak Beru Menteri;

e. Anak Beru Ngikuri;

f. Kalimbubu (Iperdemui, Simada Dareh, Bapa, Nini, Tua);

g. Puang Kalimbubu (Perkempun, Soler, Sepemeren);

h. Teman Meriah.

Pusat dari sangkep enggeloh adalah sukut yaitu pribadi/keluarga/marga

tertentu, yang dikelilingi oleh senina, anak beru dan kalimbubunya.Sukut dalam

pesta perkawinan akan menerima uang jujuran berupa bena emas (erdemu bayu)

atau batang unjuken (petuturken), misalnya dalam perkawinan sukut adalah orang

yang kawin dan orang tuanya.

Sebenarnya, dasar hidup masyarakat Karo adalah rakut sitelu karena

merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan masyarakat Karo dalam

hubungan sosialnya.Akibatnya mulailah terjadi pengelompokan dalam kehidupan

bersama itu sesuai dengan fungsinya dalam rakut sitelu.

101
Darwan Prinst, Sejarah dan Kebudayaan Karo, Medan , Cv. Yrama, 1984, h. 69.

Universitas Sumatera Utara


78

Fungsi masing-masing unsur rakut sitelu pada masyarakat Karo dapat

disamakan dengan fungsi trias politiqa (pemisahan kekuasaan pada tiga badan),

seperti digambarkan oleh Montesqieu dalam bukunya L’spirit des loi, yaitu :

a. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan pemerintahan);

b. Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang);

c. Kekuasaan yudikatif (kekuasaan peradilan).102

Demikian juga pada rakut sitelu adalah merupakan pembagian kekuasaan

dan tugas sertawewenang sebagai berikut :

a. Senina/sembuyak, sebagai kekuasaan eksekutif;

b. Anak beru, sebagai yudikatif; dan

c. Kalimbubu, sebagai legislatif.103

Adapun fungsi masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut :104

a. Anak Beru, sebagai pelaksana tugas;

b. Senina, sebagai penyedia sarana yang dibutuhkan anak beru;

c. Kalimbubu, sebagai supremasi keadilan dan kehormatan.

Tugas dan kewajiban dari rakut sitelu:

a. Anak Beru, yaitu :

1) Mengatur jalannya pembicaraan musyawarah adat;

2) Menyiapkan makanan dan minuman di pesta;

3) Menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan;

102
Ibid, h. 67.
103
Hasil Wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017
104
Hasil Wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


79

4) Menanggung biaya sementara apabila belum cukup;

5) Menanggung aib kalimbubunya dan harus menerimanya dengan

rela seperti terjadi apabila puteri kalimbubu mendapat aib dan tidak

ada yang bertanggung jawab atasnya;

6) Mengawasi segala harta milik kalimbubunya;

7) Mengatur pertemuan keluarga.

b. Kalimbubu

1) Menyelesaikan perselisihan anak berunya; Dalam hal ini

kalimbubu dapat memaksakan kehendaknya, apabila pihak yang

berselisih masih tidak ada yang mau mengalah. Hal ini sesuai

dengan anggapan kalimbubu adalah perwujudan nyata dari Tuhan

(Dibata Ni Idah : Tuhan Yang Kelihatan);

2) Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga;

3) Senina

a) Mengawasi pelaksanaan tugas anak beru;

b) Secara bersama-sama menanggung biaya pesta

Hak rakut sitelu :

a. Anak beru, yaitu :

1) Berhak mengawini puteri-puteri kalimbubunya

Dalam hal ini kalimbubu tidak dapat menolaknya terlepas

apakah kalimbubu setuju atau tidak.

Universitas Sumatera Utara


80

2) Dalam pembagian warisan kalimbubunya yang meninggal dunia,

anak beru berhak mendapat maneh-maneh atau morah-morah,

berupa alat-alat bekerja, seperti parang, pisau dan lain-lain;

3) Dalam pembagian maneh-maneh atau morah-morah biasanya

diberikan baju almarhum yang sering dipakainya sebagai kenang-

kenangan.

b. Kalimbubu, yaitu :

1) Berhak mendapat segala kehormatan dari anak berunya

(diprioritaskan).

2) Dapat memaksakan kehendaknya kepada anak berunya.

c. Senina, yaitu :

1) Mendapat pembagian harta;

2) Dalam hal anak wanita kawin berhak mendapat mas kawin.

Pada perkawinan dalam masyarakat Karo, saat sebelum upacara dan saat

sesudah upacara perkawinan adalah masalah yang penting sehingga ikut

menentukan apakah perkawinan itu sudah berjalan atau belum sesuai dengan

adat.Pada saat ini peran rakut sitelu amat menentukan dalam pelaksanaan

perkawinan.105

Menurut Pindon Sembiring Perkawinan semarga dalam adat Karo

khususnya sembiring dengan sembiring tidak dilarang, akan tetapi tidak semua

marga sembiring bisa kawin dengan sembiring yang lain. Adapun berbagai alasan

yang didapat karena asal usul marga sembiring di kabupaten Karo tidak sama.

105
Hasil Wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


81

Contohnya : Sembiring Kembaren, Sembiring sinulaki, sembiring meliala, itu

berasal dari Batak Toba, misalnya disana marga silalahi, haloho. Sedangkan

sembiring brahmana, sembiring guru kinayan, sembiring pelawi, ini berasal dari

india (Pakistan). Istilah brahmana langsung diambil alih dari kasta brahmana di

India.Hal ini dapat dibuktikan dari postur tubuh (face muka) yang memang mirip

dengan orang Tamil. Oleh karena itu terhadap marga sembiring yang bukan

berasal dari Batak Toba boleh saling kawin dengan yang berasal dari Batak Toba

karena mereka tidak ada hubungan darah sama sekali.106

Akan tetapi harus diperhatikan bahwa dalam adat Karo, ada marga

sembiring yang sudah disahkan sebagai senina kuranan (senina sebagai perantara

dan menjadi juru bicara dari marga sembiring yang lainnya. Seperti contoh

sembiring meliala adalah senina kuranan (juru bicara ) dari sembiring kembaren,

sembiring keloko, sembiring sinulaki dalam peristiwa adat, baik itu sukacita

maupun dukacita. Misalnya perkawinan, kematian, memasuki rumah baru dan

peristiwa adat lainnya.

Sesuai dengan perkembangan zaman maka nilai-nilai adat budaya Karo

ikut juga dipengaruhi sehingga harus dibuat jalan keluar dari peristiwa adat yang

terjadi.Contohnya saja pada tahun 2013 yang lalu di Desa Tanjung Pulo

Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo, seorang pemuda bermarga sembiring

kembaren dengan sembiring meliala.Dia secara resmi meninggalkan penadingen

(sebuah kain sarung sebagai tanda dia beritikad baik untuk mengawini perempuan

tersebut. Oleh karena itu dalam adat karo ada jalan keluarnya yaitu I pedalan

106
Hasil Wawancara dengan Pindon Sembiring, Penduduk Desa Tanjung Pulo
Kecamatan Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 22 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


82

kampil pengarusi yang artinya dijalankan kampil lengkap dengan isinya,

misalnya: pinang, rokok, gambir, tembakau yang disampaikan oleh anak beru

laki-laki kepada sukut atau yang semarga dengan bapak atau orang tua dari

perempuan tersebut. Ini artinya adalah dengan diberikannya kampil pengarusi

yang seharusnya tidak direstui adat karo akhirnya menjadi harus

(diperbolehkan),107

Maka dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa perkawinan semarga

dalam klan Sembiring juga melalui tahap-tahap yang sama seperti perkawinan

pada umumnya yang terjadi pada masyarakat Karo yaitu tetap melewati tahap

Maba Belo Selambar, Nganting Manuk, Kerja Nereh Empo dan Mukul.

B. Status Perkawinan Semarga Dalam Klan Sembiring

Pelaksanaan perkawinan dalam suatu masyarakat adat mempunyai arti

yang luas.Bukan hanya sekedar saat dimana seorang laki-laki dan seorang wanita

datang ke catatan sipil bagi orang yang bukan beragama islam dan saat datang ke

kantor urusan agama bagi orang yang beragama islam. Proses yang terjadi

sebelum upacara itu dan sesudah upacara adalah merupakan hal yang penting

selain dari pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

Dalam masyarakat yang susunan kekerabatannya menurut garis keturunan

bapak, keturunan pihak bapak dinilai lebih tinggi serta hal-haknya pun lebih

banyak.

Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 yang diatur dalam pasal 1 yang

berbunyi sebagai berikut :

107
Hasil Wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo, Kecamatan
Tiganderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


83

―Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖.

Pengertian diatas merupakan pengertian yang paling dasar dan hakiki dari

suatu perkawinan.Ikatan lahir dan batin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak

hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja tetapi harus kedua-

duanya.

Ikatan lahir merupakan peryataan, pengakuan adanya hubungan antara

seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami

istri.Hubungan tersebut memberikan akibat dibidang hukum sehingga perkawinan

itusendiri tidaklah sekedar sesuatu kegiatan dua insan yang berbeda hanya terbatas

pada pemenuhan biologis saja.

Perkawinan semarga dalam klan Sembiring dilakukan seperti pelaksanaan

perkawinan masyarakat Karo pada umumnya. Hal ini dapat terjadi karena

perkawinan semarga dalam klan Sembiring telah diakui dan diterima dalam

masyarakat Karo, yaitu apabila telah melewati tahapan Maba Belo Selambar yang

berarti upacara peminangan gadis, Nganting Manok yaitu musyawarah untuk

membicarakan hal-hal yang lebih mendetail tentang upacara perkawinan, seperti

waktu perkawinan, persiapan perkawinan, besarnya unjuken atau mas kawin yang

harus diterima pihak perempuan, dan lain sebagainya. Per nikahan secara agama

juga dapat dilakukan sekaligus dalam tahapan ini, Kerja Nereh Empo atau upacara

perkawinan menurut adat yang merupakan upacara perkawinan dengan

mengundang seluruh lapisan masyarakat adat di daerahnya selain pihak keluarga

Universitas Sumatera Utara


84

dari kedua mempelai yang dapat dilakukan sekaligus dengan acara nggalari

hutang man kalimbubu atau membayar hutang pada pihak wanita. Dan tahapan

terakhir yaitu Mukul sebagai syarat sahnya perkawinan, yang dilaksanakan pada

malam hari setelah pelaksanaan upacara perkawinan adat.

Kedudukan perkawinan semarga dalam Klan sembiring dianggap sah dan

diakui apabila telah dilakukan menurut tata cara perkawinan adat karo yaitu telah

melewati tahapan maba belo selambar (lamaran), nganting manuk (musyawarah

tentang upacara perkawinan), kerja nereh empo (pesta adat), dan mukul (syarat

sahnya perkawinan).

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN


SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TANJUNG PULO
KECAMATAN TIGA NDERKET KABUPATEN KARO

A. Akibat Hukum Terhadap Suami-Isteri Dengan Kerabat

Perkembangan demokrasi yang sekarang nampak di seluruh dunia, maka

tidak dapat ketinggalan perhatian umum terhadap kedudukan suami isteri dalam

masyarakat secara yang ditujukan kepada prinsip persamaan hak dan persamaan

kewajiban.108

Masyarakat Karo adalah masyarakat genealogis patrilineal yang menarik

garis keturunan dari garis laki-laki. Untuk tetap dapat mempertahankannya maka

sistem perkawinan yang dilakukan adalah kawin jujurdengan pemberian barang

atau uang yang dapat dilakukan pada saat perkawinan maupun setelah perkawinan

sehingga pemberian yang bersifat religio magis ini mengakibatkan perempuan

dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan ke dalam klan suaminya sehingga

perempuan tadi berhak, berkewajiban dan bertugas di lingkungan keluarga

suami.109

Sistem perkawinan semarga dalam klan Sembiring adalah eleutherogami

terbatas namun tetap mempertahankan sistem jujur sehingga istri tetap masuk

klan suami.

Pokok masalah setelah terjadinya suatu perkawinan adalah hubungan

antara suami dengan isteri, terutama yang menyangkut soal hak dan

108
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur bandung,
Jakarta,1991, H. 64.
109
Hasil wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo, Kecamatan Tiga
Nderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017
85

Universitas Sumatera Utara


86

kewajiban.Maka Undang-undang Perkawinan mengatur hal tersebut dengan

merumuskan hubungan tersebut dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34.

―Antara suami dan isteri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik

dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat‖.

―Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dibarengi dengan suatu

kewajiban yang sama pula untuk membina daan menegakkan rumah tangga yang

diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat‖.

Dalam pembinaan rumah tangga itu, diperlukan saling cinta mencintai,

hormat menghormati, setia dan member bantuan lahir batin.Suatu rumah tangga

yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang untuk itu

haruslah ditentukan secara bersama.110

Persamaan yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum.

Suami dan isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan

hukum.Umpamanya seorang isteri dapat saja mengadakan perjanjian, jual beli dan

lain-lain perbuatan hukum sendiri tanpa memerlukan bantuan atau pendampingan

dari suaminya.Bahkan diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan

gugatan kepada pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.

Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, maka antara suami dan

isteri diberikan perbedaan.Suami dibebani kewajiban untuk melindungi isterinya

dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya.Dinyatakan dengan tegas, bahwa suami adalah kepala keluarga

110
Hasil wawancara dengan Daniel Sitepu, Kepala Desa Tanjung Pulo, Kecamatan Tiga
Nderket Kabupaten Karo, Tanggal 21 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


87

sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga.Isteri sebagai ibu rumah tanga, tentulah

harus mengatur urusan rumah tanggaitu dengan sebaik-baiknya.

Pada masyarakat patrilineal dengan diterimanya uang atau barang jujur

berarti perempuan tersebut mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut pihak

suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum

adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan

istri tertentu.

Seperti yang dinyatakan menurut Hilman Hadikusuma :


Setelah istri berada di tangan suami, maka istri dalam segala perbuatan
hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami atau atas persetujuan
kerabat suami. Istri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena ia adalah
pembantu suami dalam mengatur kehidupan berumah tangga, baik dalam
hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.111

Keadaan tersebut tidak hanya berlangsung selama dalam ikatan

perkawinan, melainkan masih tetap berjalan terus walaupun si suami meninggal

dunia sehingga kedudukan almarhum suami terhadap janda (istrinya) dilanjutkan

oleh kerabat mendiang dari suaminya.

Hubungan antara si janda dengan kerabat suaminya baru terputus apabila

janda melakukan tindakan hukum berupa pengembalian uang jujur yang semula

telah diterima kerabatnya kepada kerabat mendiang suaminya.

Akibat hukum yang terjadi dari sistem ini adalah istri karena

perkawinannya (uang jujuran) dikeluarkan dari keluarganya kemudian masuk ke

keluarga suaminya.Anak-anak yang lahir menjadi keluarga bapak (suami), harta

yang ada milik bapak (suami) yang nantinya diperuntukkan bagi anak-anak

keturunannya.

111
Ibid, h. 73

Universitas Sumatera Utara


88

Masyarakat kebapakan adalah masyarakat yang terbagi dalam klan-klan

kebapakan, yang anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuen dan

berdasar pandangan yang bersifat religio magis, melalui garis ayah laki-

laki.Sebagai konsekuensinya diadakanlah suatu sistem perkawinan yang cocok

untuk mempertahankan garis bapak itu, yaitu kawin jujur atau sering disebut

eksogami jujur. Ini berarti suatu keharusan, laki-laki dan perempuan itu berlainan

klan, dengan pemberian barang yang bersifat religio magis itu, perempuan

dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan ke dalam klan suaminya dan

selanjutnya berhak, berkewajiban dan bertugas di lingkungan keluarga suami.

Jadi, walaupun sistem perkawinan semarga dalam klan Sembiring adalah

eleutherogami terbatas namun tetap mempertahankan sistem jujur yaitu istri tetap

masuk klan suami.

B. Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Semarga

Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil,

karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut

dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta.112

Dalam hal perkawinan melaahirkan anak, maka kedudukan anak serta bagaimana

hubungan antara orangtua dengan anaknya itu menjadi persoalan.Maka Undang-

Undang Perkawinan mengaturnya dalam pasal 42 sampai dengan pasal 49.

Sebelum sampai pada persoalan hak dan kewajiban antara orang tua dan

anak, masalah sahnya seorang anak mendapat perhatian khusus, sebagaimana

disebutkan dalam pasal 42, 43, dan 44, yang terpenting adalah pernyataan bahwa

112
H.M. Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015,
h. 12.

Universitas Sumatera Utara


89

yang dianggap anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat

perkawinan yang sah. Tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur

dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49.113

Anak terhadap orang tuanya, yang menyebabkan adanya hak dan

kewajiban yang timbal balik antara anak dan orang tua dipengaruhi oleh susunan

kekerabatan, sistem pertalian darahnya, perkawinan dan bentuk perkawinan dari

ayah ibunya dan ada tidaknya pertalian adat diantara sianak dan orang tua.Dalam

susunan kekerabatan yang patrilineal maka sistem pertalian darah lebih

diutamakan adalah kewangsaan ayah dan pada umumnya berlaku adat perkawinan

dengan pembayaran jujur, dimana setelah perkawinan istri masuk dalam

kekerabatan suami.114

Ditentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka

sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan terus

walaupun perkawinan antara orang tua itu putus.Disamping kewajiban itu, orang

tua menguasai pula anknya sampai anak berumur 18 tahun atau belum pernah

kawin.Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.Tapi kekuasaan tersebut dapat

dicabut atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus

keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,

dengan alasan kalau orang tua tersebut sangat melalaikan kewajibannya atau

berkelakuan buruk sekali.115

113
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghia Indonesia, Jakarta, 1976, h. 34
114
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987, h. 33
115
Waluyudi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009, h. 8.

Universitas Sumatera Utara


90

Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka berdua

terikat dalam ikatan perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa

disebut kekuasaan orang tua.116

Kewajiban anak terhadap orang tua pertama sekali adalah untuk

menghormati dan mentaati kehendak orang tua yang baik.Dan apabila anak telah

dewasa, maka berdasarkan kemampuannya, anak tersebut wajib memelihara orang

tuanya.Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara

orang seorang dan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan

darah, jadi yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang seorang dari yang lain.

Sedangkan apabila dilihat dari sudut kekerabatan adat maka istilah orang tua

sebenarnya dapat dibedakan antara orang tua dalam arti sempit yaitu ibu dan ayah

biologis dan orang tua dalam arti luas yaitu termasuk pula saudara sekandung

ayah menurut garis lelaki atau saudara sekandung ibu menurut garis wanita. Di

lingkungan masyarakat kebapakan jika orang tua tidak dapat mengurus kehidupan

anak-anaknya atau melalaikan tanggung jawabnya memelihara dan mendidik

anak-anaknya, maka tanggung jawab itu beralih dengan sendirinya kepada paman

atau saudara laki-laki ayahnya, apabila pamannya tidak mampu bertanggung

jawab maka tanggung jawab itu beralih kepada paman saudara sekakek dan

seterusnya. Sehingga selama rasa tanggung jawab kekerabatan itu masih kuat

berlaku, maka selama itu akan kecil sekali kemungkinan terjadinya anak-anak

yang tidak terurus. Sedangkan hubungan anak-anak dengan ibunya dan kerabat

ibunya menurut hukum adat Karo secara hukum tidak ada, tetapi secara moral

116
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, h. 21.

Universitas Sumatera Utara


91

menyatakan bahwa anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu mempunyai

kewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan

pekerjaan-pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang diselenggarakan oleh

kerabat ibunya.

Menurut hukum adat Karo, bukan saja kedua orang tua yang wajib

memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan tapi

kewajiban itu juga dapat diberikan kepada saudara-saudara laki-laki dari ayahnya.

Demikian juga halnya dalam perkawinan semarga dalam Klan Sembiring karena

tetap memakai sistem perkawinan dalam bentuk jujur maka anak-anak yang

dilahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya sedangkan hubungan anak-

anak dengan ibunya dan kerabat ibunya secara hukum tidak ada, tetapi secara

moral menyatakan bahwa anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu

mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang

diselenggarakan oleh kerabat ibunya.

Hubungan hukum antara anak-anak yang lahir dari perkawinan semarga

dalam klan Sembiring dengan kerabat ayahnya sangat erat karena posisi kerabat

ayah yang harus bertanggung jawab untuk menggantikan kedudukan dan

tanggung jawab ayah apabila ayahnya itu meninggal dunia. Selain itu, anak-anak

tersebut dapat juga bertindak sebagai ahli waris dalam keluarga kerabat ayahnya

apabila kelompok utama penerima warisan tidak ada.

Hubungan anak-anak dengan ibunya dan kerabat ibunya menurut hukum

adat Karo secara hukum tidak ada, tetapi secara moral menyatakan bahwa anak-

Universitas Sumatera Utara


92

anak yang dilahirkan dari perkawinan itu mempunyai kewajiban untuk mengabdi

dan bertanggung jawab penuh melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam setiap

acara-acara adat yang diselenggarakan oleh kerabat ibunya.

C. Akibat hukum terhadap harta peninggalan

Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda atau harta

kekayaan merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai

perselisihan dan ketegangan dalam hidup perkawinan, sehingga mungkin akan

menghilangkan kerukunan hidup berumah tangga.117

Tujuan perkawinan adalah bersama-sama hidup dalam suatu masyarakat

dan suatu ikatan perkawinan. Salah satu syarat untuk tetap hidup manusia

membutuhkan makanan, minuman, dan pakaian, orang butuh pekerjaan. Bekerja

menghasilkan upah dan dari upah dibelikan makanan pakaian dan keperluan

lainnya, sehingga manusia membutuhkan harta kekayaan yang dapat digunakan

suami isteri untuk bertahan hidup.118

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 dinyatakan bahwa harta benda

yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta

bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta bawaan dari masing-

masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan

isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan apabila

117
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika, 2006, h. 369.
118
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center
Publishing, Jakarta, 2011, h. 35

Universitas Sumatera Utara


93

perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-

masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.119

Didalam setiap perkawinan pada dasarnya diperlukan harta yang menjadi

dasar materiil bagi kehidupan keluarga tersebut. Harta tersebut dinamakan harta

keluarga atau harta perkawinan.yang terdiri dari :

a. Harta suami atau isteri yang diperoleh sebelum perkawinan atau

sebagai warisan

b. Harta suami dan isteri yang didapatkan atas hasil usahanya sebelum

atau semasa perkawinan

c. Harta yang diperoleh suami dan isteri bersama-sama selama

perkawinan

d. Harta yang diberikan kepada mempelai ketika menikah.120

Harta perkawinan menurut hukum adat adalah semua harta yang dikuasai

suami dan isteri selama mereka terikat dalam perkawinan, baik harta kerabat yang

dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, hibah, harta

penghasilan sendiri, harta pencarian hasil bersama suami dan isteri, dan barang-

barang hadiah.121

Sama seperti pada masyarakat Batak pada umumnya, masyarakat Karo

juga mengenal adanya pengelompokan harta perkawinan.Pengelompokan harta

tersebut terjadi pada saat mereka (suami istri baru) memisahkan diri dari orang tua

yang laki-laki. Pada saat mereka memisahkan diri dari orang tua laki-laki,

119
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, Citra Aditya Bakti, Bndung, 2003, h. 155
120
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980, h. 61.
121
Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2015,
h. 7.

Universitas Sumatera Utara


94

biasanya orang tua laki-laki akan memberikan modal sebagai bekal untuk mereka

berupa pemberian tanah, sawah, ladang, kebun yang akan masuk menjadi harta

kekayaan perkawinan bagi keluarga baru itu.

Dari pihak perempuan pada saat perkawinan juga membawa harta

kekayaan berupa pemberian orang tuanya misalnya berupa perhiasan dari emas

atau alat-alat rumah tangga yang nantinya juga masuk menjadi harta kekayaan

bagi keluarga baru itu.

Kedua macam harta yang tersebut di atas merupakan pemberian dari kedua

orang tua mereka masing-masing yaitu dari orang tua laki-laki dan orang tua

perempuan.Harta seperti ini disebut Harta Ibaba (Harta Bawaan).

Disamping itu, ada juga harta yang didapat setelah mereka memisahkan

diri dari tempat tinggal orang tua laki-laki atau harta yang didapat selama

perkawinan yang disebut Harta Bekas Encari (Harta Bersama).Harta seperti ini

tidak dipersoalkan dari pihak mana yang mencari, artinya baik yang diusahakan

oleh suami ataupun istri selama perkawinan, termasuk harta bekas encari dan

semua dikuasai oleh suami.

Jadi, dalam setiap rumah tangga pada masyarakat Karo terdiri dari Harta

Ibaba (Harta Bawaan) baik harta bawaan suami maupun harta bawaan istri dan

Harta Bekas Encari (Harta Bersama).

Perkawinan semarga dalam klan Sembiring juga mengenal adanya

pengelompokan harta perkawinan itu, yaitu harta yang dibawa ke dalam

perkawinan yang biasanya merupakan pemberian dari orang tua kedua belah

pihak tetap menjadi harta bawaan sedangkan untuk harta yang didapat selama

Universitas Sumatera Utara


95

perkawinan menjadi harta bersama. Apabila terjadi perceraian maka harta bawaan

kembali menjadi masing-masing pihak suami istri tetapi khusus untuk harta

bersama menjadi milik suami.

Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda merupakan

pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan

dalam hidupperkawinan, sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup

rumah tangga.

Berhubungan oleh karena itu, Undang undang perkawinan memberikan

ketentuan-ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 35 sampai dengan

pasal 37. Ditentukan bahwa tentang harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama.Kalau suami isteri masing-masing membawa

harta kedalam perkawinannya atau dalam perkawinannya itu masing-masing

memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap masing-

masing menguasainya, kecuali kalau ditentukan untuk menjadi harta

bersama.Tentang harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya

dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami

atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya

itu.Selanjutnya ditentukan, apabila perkawinan putus, maka tentang harta

bersama, dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun

yangdimaksud dengan hukumnya itu adalah hukum agama, hukum adat, dan

hukum-hukum lainnya.122

122
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, 1976, h. 35

Universitas Sumatera Utara


96

Walaupun dikenal adanya perbedaan dalam pengelompokan harta

perkawinan, namun ada satu hal yang perlu dicatat adalah akibat hukum dari suatu

perkawinan terhadap harta benda yang diperoleh suami istri sebelum dan sesudah

perkawinan adalah timbulnya lebih dari satu kelompok harta dalam perkawinan

itu.Artinya dalam setiap perkawinan termasuk pada masyarakat Karo selalu

dikenal lebih dari satu macam harta.123

Hal ini menyebabkan harta bawaan yang dibawa oleh istri bukan

merupakan harta bersama sehingga apabila terjadi perceraian istri masih dapat

memiliki kembali harta bawaannya, tetapi tidak dapat meminta bagian dari harta

bersama.

D. Sanksi Terhadap Perkawinan Semarga

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah


ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974
menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.Dari pasal ini dapat diketahui bahwa anak disebut
anak sah bila lahir karena perkawinan yang sah.Jika anak lahir tidak dengan
perkawinan yang sah berarti bukan anak sah. Berkaitan dengan perkawinan yang
sah, Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.124
Pasal 8 UU Perkainan mengatur tentang larangan kawin bagi mereka yang
masih memiliki hubungan darah.Ketentuan senada juga ditemukan dalam Pasal 30
BW.Perkawina dari mereka yang masih ada hubungan keluarga, umumnya dalam
tatanan kebaanyakan masyarakat memang dilarang. Penelitian medis pun
membenarkan larangan kawin bagi mereka yang masih dekat hubungan tali
persaudaraannya. Ukuran seberapa jauh hububungan kekerabatan yang
menimbulkan larangan kawin, memang tidak dapat ditentukan secara pasti.
Mungkin ajaran agama dapat dijadikan tolak ukur, juga sistem kekerabatan yanag

123
Ibid
124
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2013, h. 107.

Universitas Sumatera Utara


97

masih dianut oleh kelompok masyarakat tertentu, dapat juga ikut membantu sesuai
kadar kepatuhan para warganya.125

Perkawinan semarga dalam masyarakat patrilineal pada dasarnya dilarang

karena adanya keyakinan bahwa mereka masih memiliki hubungan darah karena

berasal dari nenek moyang yang sama.

Tiap-tiap individu suku Karo membawa tutor yang melekat dalam dirinya

yang diwarisinya dari pihak ayah dan ibunya. Ini membuktikan bahwa orang karo

menarik garis keturunan secara bilateral dari kebapakan dan keibuan sekaligus.

Adapun tutor tersebut meliputi :126

1. Merga/ bebere (diwarisi dari marga ayah)

2. Berebere (diwarisi dari beru ibu)

3. Binuang ( diwarisi dari bebere ayah)

4. Kempu ( diwarisi dari bebere ibu)

5. Kampah ( diwarisi dari bebere ibu)

6. Soler (diwarsi dari singalo perkempun nande/ pung nu puang)

Selain itu, menurut Malem Ukur Ginting127, perkawinan semarga dilarang

dikarenakan melanggar pertalian darah, adanya peremehan terhadap kedudukan

rakut sitelu, sumbang dan tidak sopan.

Sehubungan dengan itu, perkawinan semarga dilarang menurut adat

istiadat masyarakat Karo sehingga bagi pelanggarnya dikenakan sanksi sosial

125
Moch Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, PT. Refika Aditama, 2016,
h.58.
126
Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo, Balai Adat Budaya Karo Indonesia,,
Kabanjahe, 2010, H. 121.
127
Hasil Wawancara dengan Malem Ukur Ginting, Tokoh Adat, Tanggal 20 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara


98

berupa dibuang dari kelompok masyarakat adat setempat dan sanksi adat berupa

pernikahannya tidak diakui sah menurut adat setempat.

Perkawinan semarga dalam klan Sembiring secara otomatis mempunyai

akibat hukum layaknya perkawinan pada umumnya yaitu apabila dilakukan sesuai

dengan jalurnya yaitu baik menurut adat, agama dan hukum nasiaonal maka sah

menurut adat, menurut agama dan sah menurut hukum nasional.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pada dasarnya perkawinanan antara merga Sembiring yang umum terjadi hanya

pada merga Sembiring Milala dan Sembiring Depari, sedangkan merga Sembiring

yang lain dilarang untuk saling menikah. Namun dari hasil penelitian pada

masyarakat Karo di desa Tanjung Pulo Kecamatan Tiga Nderket Kabupaten Karo,

jika terjadi perkawinan antara Sembiring, hal ini disebabkan karena faktor

pengaruh masuknya agama dan faktor rasa cinta.

2. Kedudukan hukum adat karo dalam perkawinan sesama marga sembiring dianggap

sah dan diakui apabila telah dilakukan menurut tata cara perkawinan adat karo

yaitu melewati tahapan maba belo selambar (lamaran), nganting manuk

(musyawarah tentang upacara perkawinan), kerja nereh empo (pesta adat), dan

mukul (syarat sahnya perkawinan).

3. Akibat hukum dari perkawinan semarga dalam klan sembiringmempunyai akibat

hukum layaknya perkawinan pada umumnya yaitu mengakibatkan siperempuan

putus hubungan dengan keluarganya, terhadap anakyang dilahirkan dari

perkawinan semarga sehingga ketika orang tuanya meninggal mengakibatkan

saudara si ayah bertanggung jawab mendapat hak asuhnya, terhadap harta

perkawinan mengakibatkan pengelompokan harta, perkawinan semarga sembiring

99

Universitas Sumatera Utara


100

membawa tutur yang melekat dalam dirinya yang diwarisinya dari pihak ayah dan

ibunya.

B. Saran

1. Klan sembiring memiliki beberapa asal usul keturunan yang mengakibatkan

dalam keturunan tertentu diperbolehkan melakukan perkawinan semarga. Namun

tidak semua masyarakat adat mengetahuinya secara konkrit sehingga perlunya

masyarakat dan beserta ketua adat untuk melakukan sosialisasi yang ada pada

Klan sembiring agar tetap terlestarikan.

2. Perkawinan semarga dalam Klan sembiring pada dasarnya memang diakui karena

pergeseran agama. Namun untuk hukum yang hidup dalam masyarakat karo

khususnya marga sembiring sebaiknya tidak bergeser sehingga hukum yang hidup

dalam masyarakat karo tetap hidup.

3. Akibat hukum perkawinan semarga dan sesama Klan sembiring memberikan

perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan anak harus tetap dilindungi

walaupun anak tersebut lahir dari perkawinan semarga. Sedangkan untuk harta

benda perkawinan suami-isteri tetap memiliki hak yang sama.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

a. Buku

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

Arifin, Muhammad, Teori dan Filsafat Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.

Anshary,H.M, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015.


Ashshofa, Burhan ,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Bangun Tridah,Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indayu, 1986.

Brata, Sumardi Surya, Metodelogi Penelitian, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1998.
Fajar, Mukti, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010.

Ginting M. Ukur, Adat Karo Sirulo, Kalangan sendiri, Medan, 2008.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2013.

Hage, Y, Markus, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakaarta, 2010.

Hanitijo, Roni, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1988.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987.

___________,Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya,


Citra Aditya Bakti, Bndung, 2003.

___________,Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar MajuBandung, 2007.

Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011.

Isnaeni, Moch, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, PT. Refika Aditama, 2016.

Universitas Sumatera Utara


Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung,
2015.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Kharlie, Tholabi Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Koenjtaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta, 1997.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan, 2012.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2004.

Otje, R, Sahman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armiko, Bandung, 1999.

Pide, Mustari, Suriyaman, Hukum Adat, Kencana, Jakarta, 2014.

Peranginangin, Aswin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan


Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978.

Piliang, Ridwan, Perilaku Perkawinan Dalam Membangun Rumsh Tangga Bahagia,


Perdana Publishing, Medan, 2011.

Prinst, Darwan, Adat Karo, Bina Media Perintis, Medan,2004.

___________,Sejarah dan Kebudayaan Karo, Medan , Cv. Yrama, 1984.

Prodjodikoro, R, Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur bandung,


Jakarta,1991.

Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center


Publishing, Jakarta, 2011.

Raharjo, Satijipto, Ilmu Hukum Cetakan Ke 6, Aditya Bakti, Bandung, 2006.

____________, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1983.

Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, 1976.

Sri Mamudji, Soerjono, Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo,


Persada, Jakarta, 2001.

Universitas Sumatera Utara


Sembiring, Rosnidar, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016.

Soekanto, Soerjono, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Cv. Rajawali, Jakarta, 1985.

___________, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung. Citra Aditya Bakti,
1991.

___________,Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980.

Spemadiningrat, R. Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat kontemporer,


bandung, Alumni, 2002.

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Sudiyat Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1981.

Surbakti, Bujur, S.K. Ginting, E.P. Ginting, Kamus Karo Indonesia, Yayasan Merga
Silima, Jakarta, 1996.

Tarigan, Sarjani, Dinamika Orang Karo, Budaya Dan Modernisme, Balai Adat
Budaya Karo Indonesia, Medan, 2008.

___________,Kepercayaan Orang Karo, Balai Adat Budaya Karo Indonesia, Medan,


2011.

___________,Dinamika Orang Karo, Balai Adat Budaya Karo Indonesia,, Kabanjahe,


2010.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,


Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Moleong Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Waluyudi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009.

Wignjodipoero, Surojo ,Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cv. Haji Masagung,
Jakarta, 2004.

___________, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979

Universitas Sumatera Utara


Yuliato Achmad Dan Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai