MADRAS
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Sosial Strata 1 (S1) Pada Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu
Sosial UIN Sumatera Utara
Oleh:
NOVITA INDAH UTAMI
NIM: 0604192038
OLEH :
Mengetahui
Ketua Program Studi Sosiologi Agama
i
MOTTO
ii
PERSEMBAHAN
iii
SURAT PERNYATAAN
PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI
iv
BIODATA PENELITI
A. IDENTITAS DIRI
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
vi
penyelesaian skripsi saya. Bapak Rholand Muary, S. Sos, M. Si.
10. Penasehat akademik yang membimbing banyak sarjana dan
memberi mereka dorongan dan bimbingan yang bermanfaat
Bapak Muhammad Jailani, S.Sos, M.A.
11. Bapak atau Ibu Dosen yang telah menginstruksikan dan
memberikan informasi selama perkuliahan di Program Studi
Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumatera Utara.
12. Seluruh staf administrasi FIS UIN Sumatera Utara.
13. Seluruh narasumber saya terimakasih yang sebesar-besarnya atas
bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir skripsi
ini.
14. Ayahanda Tasmun tersayang dan Ibunda Elfina Simbolon tercinta,
yang selalu mendoakan saya, mendidik, memberikan semangat,
memberikan material dan selalu menemani dan mendukung
sehingga peneliti menjadi anak yang semangat dalam
mengerjakan skripsi ini.
15. Terimakasih kepada kedua abang saya Indra Permadi dan
Muhammad Iqbal yang telah mensupport saya selama ini
16. Kepada sahabat-sahabat tersayang Mutia Zahrah, Rania, dan Syifa
Arifa Nazila Hasmi yang telah memberikan bantuan, dukungan,
semangat, dan doa bagi peneliti selama penyelesaian skripsi ini.
17. Abangda Gunawan Panjaitan terimakasih telah memberikan
semangat dan menemani saya kemanapun dan berkontribusi
banyak dalam penulisan skripsi ini. memberi semangat untuk
terus maju tanpa kenal lelah. Terimakasih telah menjadi bagian
dari perjalanan hidup saya.
18. Terimakasih juga kepada diri sendiri telah kuat dan bertahan
sampai sejauh ini
19. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan kelas
Sosiologi Agama-2 yang telah memberikan dukungan serta
semangat kepada peneliti.
vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pernikahan beda kasta
berdasarkan Aturan agama Hindu, faktor penyebab terjadinya pernikahan
beda kasta di Kampung Madrash, dan implikasi pernikahan beda kasta
dilihat dari sudut pandang hukum, sosial budaya dan keagamaan di
Kampung Madrash, Kota Medan. Data di dalamnya Penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan metode yaitu 1) observasi, 2)
wawancara, 3) pencatatan, 4) literatur. Penelitian ini dilakukan di
masyarakat Banjar Brahmana Bukit Kabupaten Bangli dan Kabupaten
Bangli. Subyek penelitian ini adalah 1) mereka yang menikah dengan
beda kasta, 2) tokoh masyarakat, 3) tokoh camat, 4) tokoh agama di
Banjar Brahmana Bukit, 5) Organisasi Pemuda Banjar Brahmana Bukit,
6) Masyarakat itu sendiri yang berbasis secara sengaja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa : 1) adanya pernikahan beda kasta di Kampung
Madrash masih eksis. Namun jika dikaitkan dengan hukum hindu
berdasarkan Kitab Manawa Dharmasastra sehingga disarankan agar
pernikahan dilakukan di antara orang-orang yang mempunyai kasta yang
sama karena pernikahan dengan kasta yang berbeda akan mempengaruhi
keturunan atau kelahiran bayi. 2). Masyarakat yang menikah dengan beda
kasta di Kampung Madrash pada umumnya disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor internal yang mengacu pada perasaan pribadi dan cinta dan
Faktor eksternal mengacu pada lingkungan di mana lingkungan baik atau
buruk akan mempengaruhi karakter dan kepribadian seseorang. 3)
implikasi pernikahan beda kasta di Kampung Madrash dalam perspektif
hukum pada dasarnya semua orang mempunyai hak, kewajiban yang
sama dan kedudukan yang sama dari sudut pandang hukum. Melainkan
menurut sosial budaya dan agama ada batasan bagi mereka yang
melangsungkan pernikahan dengan beda kasta yang berdasarkan dresta
dan tradisi masyarakat itu sendiri.
viii
ABSTRACT
This research aims to determine the existence of inter-caste marriages
based on Hindu religious rules, the factors causing the occurrence of
inter-caste marriages in Madrash Village, and the implications of inter-
caste marriages from a legal, socio-cultural and religious perspective in
Madrash Village, Medan City. The data in this research were collected
using methods, namely 1) observation, 2) interviews, 3) recording, 4)
literature. This research was conducted in the Banjar Brahmana Bukit
community, Bangli Regency and Bangli Regency. The subjects of this
research are 1) those who marry from different castes, 2) community
leaders,
3) sub-district leaders, 4) religious leaders in Banjar Brahmana Bukit, 5)
Banjar Brahmana Bukit Youth Organization, 6) The community itself is
based on purpose. The results of the research show that: 1) the existence
of inter-caste marriages in Madrash Village still exists. However, if it is
related to Hindu law based on the Manawa Dharmasastra Book, it is
recommended that marriages be carried out between people of the same
caste because marriages with different castes will affect offspring or the
birth of babies. 2). People who marry from different castes in Madrash
Village are generally caused by two factors, namely internal factors
which refer to personal feelings and love and external factors refer to the
environment where a good or bad environment will influence a person's
character and personality. 3) the implications of inter-caste marriage in
Madrash Village from a legal perspective, basically everyone has the
same rights, obligations and the same position from a legal perspective.
However, according to social culture and religion, there are restrictions
for those who enter into marriages between different castes based on the
traditions and traditions of the community itself.
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN SKRIPSI BERJUDUL ........................................................... i
MOTTO ............................................................................................................... ii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................... iv
PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI ................................ iv
BIODATA PENELITI .........................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR ISI...................................................................................................... xii
BAB I.....................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................3
A. Latar BeIakang MasaIah..................................................................................3
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................7
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................................8
E. Batasan Istilah .................................................................................................8
F. Sistematika Pembahasan ...............................................................................12
BAB II .................................................................................................................14
LANDASAN TEORI .........................................................................................14
A. Sejarah Kampung Madrash ........................... Error! Bookmark not defined.
B. Konsep dan Realitas Kasta ............................ Error! Bookmark not defined.
C. Penelitian Terdahulu ....................................................................................29
BAB III ...............................................................................................................32
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................32
xii
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BeIakang MasaIah
Dalam era globalisasi seperti sekarang, terjadi berbagai perubahan
signifikan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya yang berlangsung
dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Kemajuan dalam arus informasi dan
telekomunikasi, meskipun memberikan dampak positif bagi perkembangan
global, tidak dapat diabaikan bahwa ada pula dampak negatif yang signifikan,
terutama dalam pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di seluruh dunia,
termasuk di Hindia. Fenomena ini termanifestasi dalam pelemahan budaya
Hindia yang khas. Keunikan Hindia tercermin dalam upaya orang- orangnya
untuk mempertahankan ikatan kekerabatan, baik secara fisik maupun spiritual.
Ketaatan mereka terhadap pengetahuan asal-usul mereka menciptakan sistem
kasta atau wangsa yang mendefinisikan struktur masyarakat Hindia. 1
Sistem kasta telah ada sejak zaman pemerintahan kerajaan Brahmana, di
mana perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata sudah terdapat. Pada masa
pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, seorang Brahmana dari Jawa
datang dengan keterampilan luar biasa. Setelah mengatasi "huru-hara politik"
di kerajaan Gelgel, Brahmana tersebut diangkat menjadi Bhagawanta kerajaan,
yaitu pendeta tertinggi. Dengan restu raja, Brahmana ini kemudian
memperkenalkan sistem kasta, yang menjadi semakin kuat dan terdefinisi
dengan jelas dalam kehidupan masyarakat Hindia selama berabad-abad
setelahnya. Sistem kasta seringkali menimbulkan kontroversi dalam
perkawinan dan menjadi sumber perdebatan, mirip dengan pernikahan antar-
agama. Di Hindia, perkawinan lintas kasta cenderung dihindari, termasuk di
Kampung Madhrash di Kota Medan, Sumatera Utara, yang merupakan tempat
tinggal mayoritas penganut Hindu di Hindia.
Dulunya merupakan rumah bagi komunitas India yang cukup besar,
Kampung Madras, yang sebelumnya dikenal sebagai Kampung Keling, adalah
1
Pudja, Gd dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Felita
Nursatama Lestaria
4
nama yang diberikan untuk wilayah seluas sekitar 10 hektar di kota Medan,
Indonesia. Wilayah ini terdapat di dekat kecamatan Medan Petisah dan
Polonia. Kuil Sri Mariamman, kuil Hindu tertua di Medan, dan Vihara Gunung
Timur, kuil terbesar di Medan, adalah dua tempat ibadah terkemuka di
lingkungan ini. Selain itu, terdapat juga dua masjid, yaitu Masjid Jami dan
Masjid Ghaudiyah, yang dibangun oleh komunitas Muslim India. Di Kampung
Madras, terdapat Perguruan Nasional Khalsa yang dikelola oleh Yayasan
Pendidikan Sikh Medan, yang pada masa lalu terkenal sebagai sekolah unik
karena menjadi satu-satunya lembaga pendidikan di Medan yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai medium pengajaran.2
Banjar Bukit Brahmana merupakan salah satu dari delapan banjar
bersejarah yang ada di dusun ini. Komunitas Banjar Brahmana Bukit yang
terletak di dekat pintu masuk Desa Madhrash dapat dikatakan sebagai
kelompok sosial modern. Secara empiris, tidak banyak perbedaan mencolok
antara cara hidup masyarakat Banjar Brahmana Bukit dan masyarakat Hindia
secara keseluruhan. Namun, lingkungan banjar ini memiliki ciri khasnya
sendiri, terutama jika dibandingkan dengan banjar lain di Kampung Madhrash,
Medan. Ciri khas tersebut terlihat dari komposisi masyarakatnya yang terdiri
hanya dari wangsa Brahmana, sehingga lingkungan ini dikenal dengan sebutan
Banjar Brahmana Bukit. 3
Mengenai isu pernikahan, sejak zaman lampau telah menjadi kebiasaan
di kalangan masyarakat lokal bahwa individu terhormat diharapkan menikah
dengan pasangan yang sejajar. Tujuannya adalah untuk menjaga kelangsungan
garis keturunan, wangsa, atau kelompok sosial seorang Brahmana. Awalnya,
masyarakat setempat sangat menghargai tradisi ini, namun dalam beberapa
tahun terakhir, Banjar Brahmana Bukit mencatat adanya kasus pernikahan
lintas kasta, baik oleh pria maupun wanita. Tingginya jumlah pernikahan lintas
kasta tersebut tentu berdampak atau memiliki konsekuensi bagi individu yang
2
"Kampung Keling: Economic symbiosis in Medan's Chinese-Indian enclave" Diarsipkan
2008-02-19 di Wayback Machine., The Jakarta Post, diakses 26 Maret 2023
3
Putra, I.B.Wyasa, 2000, Brahmana dan Hukum-Hukumnya, Denpasar: Yayasan
Dharmopadesa
5
4
Prem P. Bhalla, Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2010)hal 128
6
5
I Nyoman Arthayasa, Petuntuk Teknis Perkawinan Hindu,
(Surabaya : Paramita,1998),hal 18-19
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang
dapat diuraikan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana eksistensi perkawinan beda kasta menurut Hindu
Tamil?
2. Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perkawinan
beda kasta di Kampung Madrash?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka tujuan penelitian yang
dapat diuraikan adalah sebagai berikut :
8
7
Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE Evans-
Pritchard , (London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256.
8
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: CV Titian Galang Printika, 2009), 242.
11
Landasan ikatan fisik antar pasangan adalah ikatan batin. Landasan untuk
menciptakan dan melestarikan keluarga yang bahagia dan langgeng
adalah pengembangan ikatan mental dan fisik. Keluarga yang bahagia
dan langgeng merupakan tujuan mendasar dari sebuah pernikahan, oleh
karena itu sebuah pernikahan hendaknya menjadi sebuah komitmen
seumur hidup yang sulit untuk diakhiri. Perpisahan hidup menjadi pilihan
terakhir setelah semua upaya sebelumnya untuk membubarkan
pernikahan karena alasan selain kematian sangat dibatasi.11
Pernikahan Hindu bertujuan untuk menghasilkan anak-anak yang
dapat bersama-sama memenuhi tugas pemerintahan dan agama, bukan
sekadar untuk meningkatkan hubungan seksual. Dalam agama Hindu,
perkawinan atau wiwaha mempunyai makna dan peran khusus sebagai
awal tahap kehidupan grehasta. Selain memiliki tanggung jawab hukum
mengenai kebutuhan seseorang untuk menebus dosa-dosanya dan
menghasilkan keturunan, pernikahan juga dihormati sebagai sebuah ritus
sakral.
Alasan mengapa pernikahan begitu sakral adalah karena memberikan
kesempatan kepada leluhur untuk bersatu kembali dengan dunia.
Kehidupan yang kaya dan bahagia adalah inti dari pernikahan ini. Sesuai
dengan Manawadharmasastra, pernikahan memiliki tiga tujuan: praja
(melahirkan anak), rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan
indera lainnya), dan dharmasampatti (melalui pernikahan, suami dan istri
bersama-sama mewujudkan pelaksanaan dharma).12
F. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, diuraikan menjadi beberapa bab dan sub bab untuk
memudahkan dalam penulisan agar runtut dan mudah dipahami. Adapun
sistematikanya yaitu sebagai berikut:
1. Bab I: PENDAHULUAN: memuat latar belakang masalah,
11
Diriksen, Anak Agung Ngurah Gede, 1983, Eksistensi Hukum Perkawinan Bagi Umat
Hindu di Bali, Denpasar : Fakultas Hukum UNUD.
12
Artayasa, Sujaelanto I Nyoman, 1995/1996, Petunjuk Tehnis Perkawinan Hindu,
Jakarta : Bimas Hindu dan Budha.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
13
Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli. Jakarta: Pustaka Umum
16
Etnis Tamil mulai menetap di Jl. KH. Zainul Arifin yang dulu bernama
Jalan Kalkuta, demi menghidupi dirinya selama bekerja sebagai buruh
perkebunan di Sumatera Timur. Sungai Babura yang membelah Kota Medan
dan dahulu pernah menjadi sarana transportasi masyarakatnya menjadi alasan
dipilihnya lokasi ini. Karena banyaknya kuli etnis Tamil yang menetap di sini
secara permanen, masyarakat Medan sudah terbiasa menyebut lingkungan ini
sebagai Kampung Madras.
Etnis TamiI mulai menghilang di kawasan Jalan KH. Zainul Arifin
sekitar tahun 1900, khususnya ketika wilayah Deli mencapai kemakmuran
ekonomi setelah menjadi komoditas paling berharga dalam perdagangan
internasional, mengangkat industri perkebunan Deli ke tingkat global. Saat ini,
area tersebut tidak hanya dihuni oleh etnis TamiI, melainkan juga oleh
penduduk keturunan Aceh, Jawa, MeIayu, dan Tionghoa (Cina). Selama
bertahun-tahun, Kebanyakan warga Medan menyebutnya sebagai Kampung
KeIing. Nama "KeIing" diberikan karena daerah ini dikenaI sebagai tempat
tinggal Komunitas orang kuIit hitam TamiI. Di wilayah ini juga, Evolusi
doktrin agama Hindu sepanjang sejarah, dimuIai pada tahun 1884 dengan
pembangunan KuiI Shri Mariamman.
Keberadaan kampung ini membuktikan sejarah panjang masyarakat etnis
TamiI yang hidup berdampingan dengan etnis Iain di Kota Medan. Pendirian
masjid oleh etnis minoritas MusIim TamiI menjadi indikasi Iain keberadaan
keIompok etnis TamiI. Masjid Ghaudiyah, demikian diketahui, didirikan pada
tahun 1887. Masjid ini terIetak di Kecamatan Petisah Tengah, tepatnya di JI.
KH. ZainuI Arifin, di pinggir jaIan. Kehadiran ini menunjukkan beragamnya
Iatar beIakang etnis.
Penduduk desa TamiI di Madras. Pemukiman Madras sangat menarik
dan kaya akan sejarah, dengan bangunan-bangunan tua yang menjadi
pengingat akan kehadiran kelompok etnis TamiI di Medan. Kawasan desa ini
sudah banyak digemari sejak didirikan dan kini Iebih dikenaI dengan nama
Kampung KeIing, sedangkan Kampung Madras kembaIi menjadi nama
resminya.
17
Perubahan ini tidak terjadi tanpa alasan, karena ada beberapa unsur
pendukung masyarakat Desa Madras, terutama etnis TamiI, untuk
menginginkan penghapusan kata "KeIing" dan menggantinya dengan nama
"Madras" kembali. Mengingat kata "KeIing" diasosiasikan dengan warna kuIit
geIap, maka diduga memiIiki makna negatif, dan haI ini menjadi tidak disukai
oIeh etnis TamiI sendiri. Selain itu, tidak ditemukan bukti adanya etnis Keling
atau wilayah bernama Keling di seluruh dunia. Meski istilah ―Keling‖
dihilangkan, namun nama ―Desa Madras‖ dirasa lebih pas dan menyenangkan
karena dusun tersebut terletak di Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan
Polonia, Kota Medan. Selain itu, penduduk pertama Desa Madras berasal dari
provinsi Madras di India.
Dari catatan sejarah sebuah kerajaan MeIayu dengan banyak Iegenda
yang menghubungkannya dengan MaIabar (India SeIatan), yang terIetak di
pantai timur Sumatera dan MaIaya, tercatat daIam sejarah MeIayu dan epos
raja-raja Pasai. India adaIah tempat keIahiran SuItan Iskandar Muda Aceh dan
penguasa DeIi, Raja Tuangku Sri Paduka Gocah PahIawan. Komunitas TamiI
mendominasi di Kampung Madras, dan bahasa, budaya, dan makanan MeIayu
memiIiki banyak karakteristik yang dipinjam dari budaya TamiI. Dikatakan di
banyak Iokasi, termasuk Madras Utara, daratan Ghats, PuIicat hingga Cape
Comorin, TeIuk BenggaIa, Travancore SeIatan, Trivandrum, dan Sri Lanka
Utara, TamiI adaIah anggota penting dari rumpun bahasa Dravida. DahuIu
disebut sebagai orang KIing, orang TamiI dipekerjakan sebagai buruh di
Sumatera Timur, Pagu, MaIaysia, Singapura, Suriname, dan KepuIauan
Mauritius. Bahasa Tamil memberikan pengaruh yang signifikan pada bahasa
setempat, dan hubungan antara orang TamiI dan orang MeIayu sudah
berlangsung selama sekitar 1000 tahun. Banyak orang TamiI yang menganut
IsIam menjadi raja MeIayu atau tokoh MeIayu terkemuka, seperti
Manipurindam, yang menjabat sebagai bendahara kerajaan MaIaka. Ketua
lainnya yang berasal dari keturunan Manipurindam adalah Tun Sri Lanang.
Keturunan India hadir pada nenek moyang SuItan Serdang, SuItan DeIi, dan
sejumIah anggota dinasti raja Pasai. Muslim Tamil di Malaysia disebut sebagai
18
orang Mamak. MusIim TamiI sering menikahi wanita MusIim asIi di Sumatera
Timur, sehingga terjadi perpaduan dua budaya di daIamnya.
Kasta adalah sistem membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok
fungsional yang dijalankannya daIam kehidupan sehari-hari. Jika seorang
individu mengejar tugas kependetaan atau berperan sebagai seorang pendeta,
selanjutnya dia akan melakukannya diklasifikasikan sebagai anggota Kasta
Brahmana. Jika individu tersebut memiliki peran sebagai pemimpin dalam
masyarakat, dia akan termasuk dalam Kasta Ksatriya. Sebaliknya, jika
seseorang menduduki posisi penting sebagai pejabat atau profesional, dia akan
dianggap sebagai anggota Kasta Waisya. Dan apabila seseorang
menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai buruh atau pekerja lepas, dia akan
diidentifikasi sebagai anggota Kasta Sudra.14
Dalam masa lampau, sistem kasta memiliki dampak yang signifikan
pada cara hidup masyarakat Hindu di BaIi. Masyarakat BaIi teIah diajarkan
seIama ribuan tahun bahwa kasta yang Iebih tinggi harus diperIakukan dengan
Iebih hormat, termasuk daIam konteks perkawinan. Diupayakan agar Anggota
klan yang sama menikah satu sama lain, atau setidaknya di antara mereka yang
dianggap setara daIam kasta. Perkawinan Adat Bali cenderung bersifat
endogami klen, di mana orang-orang se-klen adalah individu yang sejajar
kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dengan berusaha menjalankan
perkawinan dalam batas klen-nya, diharapkan dapat mencegah kemungkinan
ketegangan dan konflik serta menjaga kehormatan keluarga yang dapat muncul
akibat perkawinan antar-kasta dengan derajat yang berbeda. Terutama, perlu
diawasi agar anak perempuan dari kasta yang lebih tinggi tidak menikah dengan
pria yang memiliki derajat kasta yang lebih rendah.
Karena pernikahan seperti itu akan merendahkan nama baik seluruh
kasta anak-anak perempuan tersebut dan membawa aib bagi keluarga. Bila
perkawinan campuran semacam ini terjadi di masa lalu, maka perempuan itu
akan diucapkan keluar dari dadanya, dan fisik Suami istri dipidana dengan
masa pengasingan (maselog) ke tempat yang jauh dari tempat kelahirannya.
14
Anak Agung, Gde Ika. 1987.TuntunanDasaAgama Hindu. Hanoman Sakti,Jakarta
19
15
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT.
Gramedia. Pustaka Utama
20
16
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) oleh Balai Pustaka. Dalam pembahasan
dijelaskan mengenai Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria (golongan rakyat jembel yang
hina-dina dalam masyarakat Hindu).
17
Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE Evans-
Pritchard , (London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256.
18
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: CV Titian Galang Printika, 2009), 242
22
sebagai Brahmana. Mereka yang mengabdi pada negara atau keluarga kerajaan
sebagai ksatria adalah keturunan raja. Wesya adalah orang-orang yang
berstatus wirausaha atau mantan wirausaha. Sudra, sebaliknya, adalah kasta
terendah; mereka adalah petani atau buruh tanpa hak milik, tidak seperti kasta
lainnya.
sebagai respons terhadap orang luar yang mengakui asal-usul Bali mereka
dalam catatan tertulis, seolah-olah hal itu sudah menjadi rahasia umum dalam
budaya Kei.19
Laksono mencatat bahwa di Kei, tidak ada sistem kasta seperti di India,
melainkan strata atau lapisan masyarakat. Ini disebabkan oleh perbedaan
struktur organisasi, kepemimpinan, dan ideologi antar strata tersebut. Kedua,
pengakuan dan pemisahan yang kuat antara Mel-mel, Renren, dan Iri-iri
terbentuk selama masa penjajahan Belanda pada abad ke- 16 atau ke-17.
Proses ini dapat dijelaskan sebagai suatu upaya politisasi dengan dampak
penindasan terhadap masyarakat, semuanya dilakukan untuk mencapai
kepentingan penjajah Belanda. Orang-orang Melmel yang mahir dalam
administrasi dan memiliki kemampuan kepemimpinan diambil oleh Belanda
untuk menduduki posisi-posisi penting dalam masyarakat. Mereka yang
terpilih di antaranya dikenal sebagai "Hala‘ai," yang menempati posisi sebagai
raja pertama di tanah Kei.
Max Weber juga mengemukakan teori serupa tentang kasta sebagai
komponen struktur sosial, meskipun Louis Dumonth tidak setuju. Ia
menyatakan: "Kita tidak bisa membahas kasta secara terpisah dari lingkungan
budaya tertentu di mana kasta tersebut berasal. Sebaliknya, kita harus
memandang kasta sebagai aspek terpadu dari totalitas sosial dan budaya untuk
memahaminya. Salah satu aspek budaya India yang perlu dipahami adalah
dipahami dalam konteks keseluruhan sosiokultural Hindu adalah kasta‖.20
Homo Hierarchicus adalah studi teoritis tentang kasta dan hierarki
yang dihasilkan Louis Dumonth pada tahun 1949 berdasarkan penelitian
lapangannya di kalangan Pralayai Kallar di India selatan (Une sous-caste de
l'Inde du Sud) dan literatur ideologi tentang kasta. Dengan isu "kasta" sebagai
perhatian utama, Dumont membahas historiografi dan teori sosiologi India
oleh JH Hutton, MN Srinivas, McKim Marriott, Emile Durkheim, dan Eugene
19
Ohoitimir J, Beberapa Sikap Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,
(Manado: Pinenang, 2010) 98.
20
Ohoitimir J, Beberapa Sikap Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,
(Manado: Pinenang, 2010) 98
25
posisi. Oleh karena itu, jika seluruh umat manusia dianggap ada dalam diri
setiap manusia, maka setiap manusia harus bebas dan semua orang harus
setara, dan inilah yang mendasari dua prinsip besar: kebebasan bersama dan
kesetaraan. Ide-ide tersebut tentu saja mengikuti konsep manusia sebagai
individu. periode kontemporer. Sebaliknya, setelah laki-laki menganut tujuan
komunal, kebebasan mereka dibatasi dan kesetaraan mereka dipertanyakan.
Namun, seperti yang ditunjukkan Dumonth, kesetaraan adalah konsep yang
lebih baik namun pada dasarnya dibuat-buat. Dengan demikian, penulis
menerapkan konsep Dumonth untuk menganalisis konsep kasta dalam
masyarakat Kei dengan mencoba menarik perbandingan antara realitas aktual
dan konsepsi asli kelompok sosial, yang dalam pandangan Dumonth terjalin
membentuk suatu totalitas struktural..
Masyarakat agraris yang diteliti inilah yang akan diteliti. dengan
pertanian sebagai sumber pendapatan utama. Jenis dan kondisi stratifikasi
sosial yang ada dipengaruhi oleh lingkungan pertanian tersebut. khususnya,
dampaknya terhadap kasta. Strata sosial berikut ini merupakan mayoritas
sistem stratifikasi pertanian. Pertama, elit politik-ekonomi, yang mencakup
kelas pemilik tanah dan raja serta keluarganya. Kelas penyewa adalah yang
kedua. Kelas pedagang berada di urutan ketiga. Kelas klerikal berada di urutan
keempat. Kelas petani berada di urutan kelima. Kelas keenam untuk seniman.
Kelas ―sampah masyarakat‖ berada di urutan ketujuh. Hak istimewa khusus
diberikan kepada empat kelas pertama sebagai kelompok kelas. Meskipun
demikian, elit politik-ekonomi – yaitu kelas penguasa dan pemerintah – tidak
diragukan lagi merupakan kelompok istimewa yang paling signifikan. Kelas
terbawah adalah petani, seniman, dan kelompok terakhir; namun, karena petani
merupakan kelas terbesar, mereka juga merupakan kelompok yang paling
tereksploitasi.15 Struktur sosial mencakup kasta, menurut antropologi sosial
dan budaya. Kata ―struktur‖ dalam bahasa Latin yang berarti mengatur, berasal
dari kata ―struktur‖.21
21
Sanderson, Stephen K, Makro Sosiologi-Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), 153
28
Konsepsi Max Weber tentang kelas sosial, kedudukan sosial, dan partai
memungkinkannya membedakan antara status sosial dan kelas sosial. Weber
mendefinisikan kelas sosial sebagai jenis stratifikasi sosial yang berkaitan
dengan kepemilikan kekayaan dan hubungan produksi. Sebaliknya, status
sosial merupakan ekspresi stratifikasi sosial dan terkait dengan nilai-nilai yang
dianut suatu komunitas dalam membelanjakan uang atau cara hidupnya. Pada
22
Doddy Sumbodo Singgih, / Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif
Sosiologi/,Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, 2010, hlm.1.
29
C. Penelitian Terdahulu
Meninjau penelitian sebelumnya memudahkan peneliti untuk melakukan
penelitian, sehingga sangat penting bagi peneliti untuk melakukan penelitian
ini. Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang mencakup subjek
yang berkaitan dengan penyelidikan saat ini.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, berbagai karya ilmiah telah mengkaji
30
Kitab; Di antara karya ilmiah tersebut ada yang ditulis oleh Almu Yuni
Triyatmi, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin yang
mengulas tentang Etos Kerja. Etos kerja yang dibahas dalam buku ini
khususnya dikaji dalam kajian ini dari sudut pandang agama.
Siti Mahmudah mengkaji Ketuhanan dalam Bhagavad Gita, sedangkan
Faidatul Inayah mengkaji Atman dalam tesisnya Konsep Atman dalam
Bhagavad Gita. M. Danil Balya Rizal memusatkan penelitiannya pada
pengertian moksa dalam Bhagavad Gita. Dengan menggunakan sudut pandang
filosofis dan teknik hermeneutika-teologis Rudolf Bultman, ia mengawali
penelitiannya dengan penjelasan gagasan seputar moksa dan diakhiri dengan
pembahasan cara mencapai moksa.
Selain itu, Rizal Umami, salah satu jurusan filsafat di bawah Ushuluddin
Aqidah, dengan tesis berjudul ―Kebahagiaan Menurut Bhagavad Gita,‖
penelitiannya berpusat pada kebahagiaan dan akibat yang ditimbulkannya.
Kesenangan manusia dapat dicapai dengan pengetahuan (Jnana Yoga),
aktivitas tanpa memperhatikan hasil (Karma Yoga), dan cinta; tindakan
sebagai pengorbanan kepada Tuhan (Bhakti Yoga). Penelitian ini
menggunakan pendekatan filosofis sebagai metodologinya.
Selain itu, kajian tentang kebahagiaan dan dampaknya juga dilakukan
oleh Rizal Umami, salah satu jurusan filsafat di bawah bimbingan Ushuluddin
Aqidah, untuk tesisnya, ―Kebahagiaan Menurut Bhagavad Gita.‖ Kebahagiaan
manusia dapat dicapai dengan pengetahuan (Jnana Yoga), tindakan sebagai
pengorbanan kepada Tuhan (Bhakti Yoga), dan aktivitas tanpa mempedulikan
hasilnya (Karma Yoga). Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini
bersifat filosofis.
David Hizkia Tobing, Ni Made Dwi Mahardini. Pulau Bali adalah rumah
bagi beragam tradisi budaya leluhur. Diantara tradisi tersebut adalah sistem
kasta yang masih menjadi ciri masyarakat Hindu di sana. Kasta adalah sistem
stratifikasi sosial India kuno yang membedakan antara kehormatan dan
martabat. Orang keturunan Wiana dan Santeri. Hingga saat ini, kasta masih
menjadi kesulitan tersendiri bagi perempuan Bali yang memiliki kasta tinggi
31
dalam memilih pasangan; Ketika perempuan dari kasta tinggi atau triwangsa
menikah dengan laki-laki dari kasta terbawah atau sudra wangsa atau yang
disebut dengan nikah nyerod, maka prasangka dan beban yang mereka hadapi
akan terlihat sederetan Karmini. Hal inilah yang membuat para akademisi
penasaran untuk mengetahui apa saja modifikasi yang dilakukan perempuan
Hindu dalam budaya Bali dalam memenuhi tugas perempuan nyerod.
Wawancara mendalam digunakan sebagai metode pengumpulan data
dalam studi fenomenologi kualitatif ini, yang melibatkan tiga orang wanita
Hindu-Bali yang sedang menjalani pernikahan nyerod sebagai responden.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada lima wilayah berbeda di mana
perempuan penganut nerod Hindu-Bali menyesuaikan diri. Hal ini mencakup:
penyesuaian pribadi yang dilakukan dalam konteks hubungan dengan suami;
penyesuaian sosial yang dilakukan dengan keluarga responden dengan tetap
berupaya menjaga hubungan baik; dan penyesuaian Keluarga suami
berinteraksi secara sosial dengan melakukan upaya menerima dan bersikap
ramah.
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bersifat kualitatif
dan menghasilkan data berupa pernyataan lisan atau tertulis dari subjek yang
tampak dan diperlukan.
Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penyelidikan
terhadap fenomena perilaku, persepsi, motif, tindakan, dan lain-lain yang
dialami partisipan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif dengan cara kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan data yang tersedia saat ini untuk mengidentifikasi
permasalahan dan memberikan gambaran serta penjelasan yang jelas.23
Karena tujuan peneliti adalah untuk menjelaskan, mengkarakterisasi, dan
menunjukkan bagaimana praktik kasta digunakan dalam pernikahan Hindi di
Desa Madrash, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
teknik deskriptif.
C. Subjek Penelitian
Muhammad Idrus mengartikan subjek penelitian adalah orang, benda,
atau makhluk hidup yang dijadikan sebagai sumber data untuk pengumpulan
23
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2019).
33
24
Rahmadi, Pengantar Metodelogi Penelitian, (Banjarmasin, Kalimantan Selatan: Antasari
Press, 2011), hlm. 61.
34
D. Tahap-Tahap Penelitian
1. Tahap Pra Lapangan (Persiapan)
a. Menyusun Rancangan Penelitian
Peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan yang terdapat di
Kampung Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, yaitu
mengenai Praktek Kasta Pada Pernikahan Orang Hindu, mayoritas mereka
adalah Orang Hindia.
b. Pemilihan Lokasi Penelitian
Peneliti memilih Kampung Madras Hulu, sebagai lokasi penelitian
utamanya adalah karena di kampung tersebut adalah komunitas terbesar
dan penduduk terbanyak orang Hindia.
c. Mengurus Surat Perizinan
Peneliti mendapatkan surat izin sebelum memulai penelitian, oleh
karena itu pengurusan izinnya melalui Fakultas Ilmu Sosial Uin Sumatera
Utara Medan. Kepala dusun terdekat yang menjadi tempat penelitian
kemudian diberikan surat izin.
d. Menjajaki dan Menilai Lapangan
Sebelum memulai penelitian, peneliti meminta izin; Oleh karena
itu, Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumut Medan mengurus izin tersebut. Surat
izin kemudian diserahkan kepada kepala dusun terdekat tempat penelitian
dilakukan.
e. Memilih dan Memanfaatkan Informan
Untuk mendapatkan informasi yang akurat, peneliti memilih
sejumlah tokoh masyarakat Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan
Polonia, Kota Medan, antara lain tokoh agama, tokoh adat, dan
masyarakat yang sadar akan pernikahan kasta. Mereka juga memilih
sejumlah informan lain yang mereka yakini dapat memberikan informasi
sesuai dengan data yang mereka cari.
f. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Dipercaya bahwa untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya,
peralatan penelitian harus siap. Merakit perlengkapan penelitian seperti
35
buku, pena, dan alat tulis lainnya, serta perangkat komunikasi seperti
telepon dan kamera untuk mengambil dan merekam gambar untuk
dokumentasi.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
a. Pengumpulan Data
Sebelum melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi di
lokasi penelitian, peneliti mencari berbagai bahan dan referensi dalam
buku dan jurnal yang relevan dengan pokok bahasan yang diteliti pada
tahap pengumpulan data.
Dalam kesempatan ini, para ulama pernah berkunjung ke
Perpustakaan Kota Medan dan juga Perpustakaan Uin Sumut. Selanjutnya
di lokasi penelitian yang dipilih yaitu Desa Madras Hulu, Kecamatan
Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara, peneliti melakukan
observasi, wawancara, dan dokumentasi.
b. Tahap Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah melakukan wawancara dengan
menggunakan informasi yang telah ditentukan sebelumnya dengan
menggunakan teori-teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Apabila
informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan data belum sepenuhnya
akurat dan relevan, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memperoleh data akurat yang sesuai dengan informasi yang diberikan.
c. Tahap Penulisan Laporan
Laporan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu laporan
prapenelitian yaitu proposal skripsi berupa rancangan penelitian yang akan
diselesaikan sebelum dilakukan penelitian, dan laporan tesis. Setelah
melakukan penelitian dan mengumpulkan data lapangan yang dipelajari
secara komprehensif, maka skripsi ini ditulis.
25
Nazir, Moh. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
37
Foto-foto dan berbagai data lain yang akan diambil sebelum, saat,
dan sesudah acara adat, serta beberapa dokumentasi luar lainnya yang
dianggap penting dan dapat melengkapi data yang akan diperoleh, akan
dijadikan dokumentasi dalam penelitian ini.
26
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011),
hlm. 249.
27
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).
(Ahmadi, 2019:13)
38
1. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknis adalah proses dimana peneliti memperoleh data
dari sumber yang sama dengan menggunakan banyak metode. Untuk
sumber data yang sama, peneliti secara bersamaan menggunakan dokumen,
wawancara, dan observasi.
Observasi
Sumber data
sama
Wawancara
Dukumentasi
2. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari sumber
yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.
Wawancara B
BAB IV
A. Hasil Penelitian
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Sumatera Utara
Di Desa Keling, Jel. Tuku Chik Deitiro, Madras Hulu, Nyonya Timur, Teru
Adalah Roughali 1.530 Warga Hindu.
46
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Petisah
Berdasarkan Agama
Agama Jumlah
Islam 2.322
Kristen 485
Katolik 477
Budha 3.256
Hindu 2.014
Anderson berangkat dari Penang menuju Sumatera Timur, tiba kembali pada
tanggal 9 April, tepatnya tiga bulan kemudian. Perkembangan perkebunan di
Deli mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja karena tidak ada pekerja di
wilayah tersebut yang membudidayakan tembakau. Tiongkok, India, dan
Pulau Jawa mulai mengimpor kuli untuk dijadikan buruh perkebunan di
bisnis Deli.
Para pemilik perkebunan saat itu banyak mendatangkan kuli-kuli
tersebut untuk membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja di setiap
wilayah perkebunan. Pekerja India telah digunakan sejak kebun pertama
dibuka. Kuli India lebih menguntungkan karena lebih murah dan, dalam
pandangan tukang kebun, mempunyai sikap yang lebih tenang dan tidak suka
bersekongkol, namun kuli Cina tetap dipilih karena bakat dan usaha mereka.
Para kulikuli asal India ini terkenal rajin, memiliki passion terhadap
profesinya, serta terampil dalam pengelolaan hasil perkebunan dan beternak
sapi perah.
Breman menyatakan bahwa pada tahun 1862, perkebunan di Sumatera
Timur mulai menghasilkan produk pertanian siap saji, dengan tembakau yang
paling banyak dikonsumsi. Jumlah perkebunan kini berkembang pesat. Inilah
sebabnya mengapa 800-900 kuli diimpor pada tahun 1869. Selain orang
Tionghoa, mereka juga mempekerjakan beberapa ratus orang Jawa, Siam
(Thailand), dan Madrasah dari pantai Coromandel di British India. Dua puluh
perkebunan beroperasi di Sumatera hingga akhir tahun 1875; pada tahun
1872, hanya lima belas 13 di antaranya di Deli yang mempekerjakan 3.4476
orang Tionghoa, 459 orang India, dan 316 orang Jawa. Mereka tersebar di
beberapa wilayah di Sumatera Timur dan sudah cukup lama menjadi buruh
perkebunan. Kuli etnis Tamil India merupakan salah satu komunitas kuli
perkebunan. Sebenarnya keberadaan mereka sudah diketahui sejak abad
ketiga Masehi ketika mereka tiba di Sumatera Timur untuk bekerja di
perkebunan dengan tujuan menyebarkan agama Budha dan Hindu di Barus.
Kemudian, beberapa dekade kemudian, pada abad ke-19, imigran dan kuli
Tamil mulai berdatangan ke perkebunan di Sumatera Timur.
48
keadilan, serta hak untuk merasa aman dan mendapat perlindungan dari
orang-orang yang merendahkan martabat dan kedudukan manusia, semuanya
ditekankan dalam penerapan Upakarapati Wangi. Surat Keputusan
Pasamuhan Agung III yang diterbitkan oleh Dewan Desa Pakraman pada
tahun 2010 lebih memberikan kejelasan mengenai status perempuan setelah
berpisah dari perkawinan antar dinasti yang berbeda. Dampak perceraian
terhadap kedudukan perempuan, seperti yang disampaikan oleh Kep.
Pasamuhan Ag. III : Dengan adanya desa wangsa mulih (kembalinya gadis-
gadis), para wanita tri golongan yang bercerai dari perkawinan dengan
anggota dinasti lain akan kembali ke rumah leluhurnya. Swadikara dan
swadharma wanita di rumah keluarganya akan kembali seperti sebelum
menikah jika dia kembali ke desa.
Meskipun tidak ada undang-undang yang memberikan hukuman jika
keluarga perempuan tersebut menyetujui dia kembali tinggal bersama mereka
sebagai seorang anak perempuan, dalam hal ini, kerabat perempuan tersebut
harus terbuka untuk menerima dia kembali ke rumah dimana dia dibesarkan.
Dengan menggunakan konsep padapedum, harta bersama atau gunakaya akan
dibagi rata. Tentu saja, hal ini tidak sama dengan pembagian uang di masa
lalu, ketika pengalihan aset bersama hanya menguntungkan pihak laki-laki.
Namun saat ini, kekayaan demi kekayaan memerlukan distribusi yang adil di
antara seluruh pemangku kepentingan.
5. Faktor-Faktor terjadinya perkawinan beda kasta di Kampung Madrash
Berdasarkan temuan wawancara yang dilakukan peneliti dengan sekaa
truna, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan individu yang menikah di luar kasta,
penyebab-penyebab berikut biasanya berkontribusi terhadap perkawinan
antar kasta:
a. Faktor Internal
dalam contoh ini, menikahi seseorang yang berbeda kasta. Selain itu,
perkawinan antar kasta juga bisa disebabkan oleh kelalaian orang tua.
Ketika orang tua terkadang kekurangan waktu untuk memantau
interaksi anak karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
secara fisik dan kognitif, bebas, dan sadar akan Tuhan yang
terungkap dalam sifat manusia intelektual, emosional, dan
fisik.”
Berdasarkan temuan wawancara dengan Pak Made
Rasmite tentang komponen pendidikan yang juga berkaitan
dengan perkawinan, individu akan lebih mudah untuk
bermigrasi atau bermigrasi jika akses terhadap pendidikan
berkualitas tinggi mudah didapat dan membekali mereka dengan
informasi. mereka peroleh sebagai siswa. Di sisi lain, mereka
yang kurang memiliki pendidikan yang kuat akan kesulitan
untuk mengubah posisinya karena kurangnya informasi yang
diperlukan untuk dapat memperoleh pendidikan yang
berkualitas.
Hal yang sama juga disampaikan bapak I Nyoman
Nandra tentang kedua belah pihak yang saling mencintai :
‖ Ini tentang emosi dan watak seseorang, yang terhubung
dengan emosi seseorang yang begitu dalam mencintai orang
lain sehingga mereka tidak akan berhenti untuk bersama
mereka, bahkan jika itu berarti menikah dengan seseorang dari
kasta yang berbeda. Faktor yang paling kuat dalam persatuan
mereka adalah cinta mereka satu sama lain, yang merupakan
penyebab utama perkawinan antara anggota dari berbagai
kasta. Kebanyakan orang di tempat ini menikah karena cinta,
tanpa memandang status sosial atau kasta mereka.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas bahwa jika
seseorang sudah saling mencintai tidak ada yang bisa mencegah
lagi.
Hal yang sama juga disampaikan dengan bapak Made
Rasmite mengenai putra atau putrinya yang jika menikah
dengan berbeda kasta:
―Since I believe there is no such thing as caste from a religious
58
Selanjutnya ada protokol tersendiri bagi seorang rabbi dalam ritual Pitra
Yadnya. Penduduk setempat diperbolehkan mengumpulkan dan
membersihkan jenazah rabi setelah kematiannya, namun tidak
diperbolehkan ―negen‖ (membawa) jenazah.
Aturan serupa juga berlaku untuk perlengkapan upacara seperti
sesaji yang digunakan dalam ritual Ngaben. Meskipun diperbolehkan
memberikan sesaji, namun tidak diperbolehkan untuk "nyuun"
(meletakkannya di kepala), sehingga sering kali pihak keluarga perempuan
memberikan perbekalan tersebut. Adat menganggap Sang Hyang Atma
orang yang meninggal akan menjalani "panesan" jika disentuh dan
pengorbanannya adalah suwun. Oleh karena itu, hal semacam ini tetap
dilestarikan hingga saat ini demi ketenangan masyarakat dan ketenangan
almarhum.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Eksistensi Perkawinan Beda Kasta Hindu Tamil
Pada hakikatnya, perkawinan yang ideal adalah perkawinan antar
individu berdasarkan keturunan atau dinasti di negara-negara tradisional
dimana cita-cita komunalistik masih tertanam kuat. Hal ini nampaknya
mendukung pandangan Hilman Hadikusuma yang mengatakan bahwa
perkawinan adalah sebuah nilai untuk meneruskan keturunan, menjaga
silsilah dan status sosial yang dimaksud dalam budaya asli yang masih
kuatnya paham kekerabatan berdasarkan hubungan keturunan (magis).
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Madrash masih
berupaya untuk menjunjung tinggi dan melestarikan adat istiadatnya,
khususnya yang berkaitan dengan silsilah dan garis keturunan, sarana adat
dan keagamaan serta adat istiadat (dresta) yang diturunkan dari nenek
moyangnya, khususnya yang bernilai dan sakral. atau aspek kearifan lokal
yang patut dilestarikan. Masyarakat Desa Madrash meyakini bahwa
pernikahan ada hubungannya dengan hubungan baik lahiriah maupun batin
(sekala dan niskala).
Berdasarkan catatan sejarah bahwa masyarakat Desa Madrash
66
akan berdampak pada masyarakat Desa Madrash bukan? Bukan hanya pada
individu yang akan menikah, namun juga pada keluarganya, yang dapat
dilihat dari segi hukum, budaya, dan agama.
Tidak ada undang-undang formal yang mengatur dampak perkawinan
antar kasta. Demikian pula di Desa Madrash, individu yang menikah di luar
kasta mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam hak dan
tanggung jawabnya sebagai warga negara, sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Namun jika dilihat dari sudut pandang sosial budaya dan
agama, terlihat adanya perbedaan perlakuan terhadap orang yang menikah
berbeda kasta. Perbedaan tersebut bukan hanya disebabkan oleh
pertimbangan kasta, namun juga karena kepercayaan (dresta) masyarakat
setempat yang dianut secara turun-temurun dan masih dijunjung tinggi oleh
masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa upaya untuk mengatasi
masalah-masalah tradisional, seperti masalah perkawinan, harus dikaitkan
dengan prinsip-prinsip dan praktik-praktik dasar keagamaan yang dianut
oleh masyarakat, khususnya bagi masyarakat Bali, yang rata-rata tingkat
keagamaannya masih relatif tinggi.
3. Analisis Teori Stratifikasi Sosial Terhadap Kasta Pada Perkawinan
Orang Hindu Di Kampung Madras
Stratifikasi sosial dan sistem kasta saling terkait secara erat dalam
konteks perkawinan Hindu. Stratifikasi sosial merujuk pada pembagian
masyarakat menjadi kelompok-kelompok berdasarkan faktor-faktor seperti
ekonomi, status sosial, dan kekuasaan. Di sisi lain, sistem kasta dalam
masyarakat Hindu merupakan bentuk khusus dari stratifikasi sosial, di
mana masyarakat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang disebut kasta,
dan status seseorang ditentukan oleh kelahiran atau pewarisan.Beberapa
keterkaitan antara stratifikasi dan sistem kasta dalam perkawinan Hindu
dapat diuraikan sebagai berikut:
Kelas dan Kasta, Ide kelas sosial dalam stratifikasi sosial dapat
diasosiasikan dengan kasta-kasta tertentu dalam masyarakat Hindu.
68
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan :
DAFTAR PUSTAKA
Wawancara
Wawancara dengan bapak Candra Bose Kuil Sri Mariamman 4 Oktober
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Informan I
Informan II
Nama : Kunna
(Admin) Usia : 45 Tahun
78
Informan III
Nama : R. Welyutman
Usia : 41 Tahun
79
Informan IV
Nama : Kasturi
Usia : 50 Tahun
Informan V
Nama : Ajay
Usia : 31 Tahun