Anda di halaman 1dari 92

KASTA PADA PERKAWINAN ORANG HINDU DI KAMPUNG

MADRAS

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Sosial Strata 1 (S1) Pada Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu
Sosial UIN Sumatera Utara

Oleh:
NOVITA INDAH UTAMI
NIM: 0604192038

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS


ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2024
PERSETUJUAN SKRIPSI BERJUDUL

KASTA PADA PERKAWINAN ORANG HINDU DI KAMPUNG MADRAS

OLEH :

NAMA : NOVITA INDAH


UTAMI NIM : 0604192038

Dapat disetujui Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Sosial (S.Sos) Pada Program Studi Sosiologi Agama
Menyetujui
Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Dr. Mhd. Syahminan, M,Ag Rholand Muary, S,Sos, M,Si


196605261994031001 198909112019031011

Mengetahui
Ketua Program Studi Sosiologi Agama

Neila Susanti, S.Sos, M.Si


196907281999032003

i
MOTTO

‗‘ Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah


pada Allah, jangan engkau lemah ‗‘
(HR. Muslim)

ii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan


untuk: Program Studi
Sosiologi Agama Fakuktas
Ilmu Sosial
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Kedua Orang Tua saya Bapak Tasmun dan Ibu Elfina Simbolon

iii
SURAT PERNYATAAN
PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Novita Indah Utami
NIM 0604192038
Tempat/Tanggal Lahir : Kisaran, 06 November 2001
Pekerjaan : Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial UINSU
Alamat : Dusun ll Parsuluman, Desa Bandar Selamat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kasta


Pada Perkawinan Orang Hindu di Kampung Madras” adalah benar karya
asli saya kecuali kutipan-kutipan yang telah disebutkan sumbernya.
Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya.
Demikian surat ini saya perbuat dengan sesungguhnya.

Medan, 08 Desember 2023


Yang membuat pernyataan

Novita Indah Utami


NIM: 0604192038

iv
BIODATA PENELITI

A. IDENTITAS DIRI

1. Nama : Novita Indah Utami


2. NIM 0604192038
3. Tempat/Tanggal Lahir : Kisaran, 06 November 2001
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat : Dusun ll Parsuluman Desa Bandar
Selamat
7. No. Hp 082283049013
8. Email : novitaindahutami06@gmail.com
9. Nama Ibu : Elfina Simbolon
10. Alamat Orangtua : Dusun ll Parsuluman Desa Bandar
Selamat
Labuhanbatu Utara

B. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

 SD/MIS : SDN 112301 St. Aek Pamingke


 SMP/MTS : MTs N Aek Natas
 SMA : SMA NEGERI 1 Aek Natas

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bersyukur kita kepada Allah yang telah memberikan rahmat serta


hidayah nya kepada saya sehingga saya bisa mengerjakan Skripsi yang
berjudul ―Kasta Pada Perkawinan Orang Hindu di Kampung Madras‖.

Penyusunan Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan


dalam menyelesaikan studi pada program studi Sosiologi Agama,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan pengetahuan
seputar Perkawinan orang hindu dikampung madras. Dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor UIN Sumatera Utara Ibu Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag.


2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ibu Dr. Nursapiah Harahap, M.A.
3. Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas
Ilmu Sosial. Ibu Dra. Retno Sayekti, M.Lis.
4. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan
Keuangan Fakultas Ilmu Sosial Bapak Dr. Abdul Karim Batu
Bara, MA.
5. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Dan Alumni Fakultas
Ilmu Sosial Bapak Yoserizal Saragih, M.I.Kom.
6. Ketua Prodi Sosiologi Agama Ibu Neila Susanti S.Sos, M.Si.
7. Sekretaris Prodi Sosiologi Agama Bapak Rholand Muary S.Sos,
M.Si.
8. Dosen Pembimbing I saya yang sudah banyak sekali membantu
dan memberi arahan, nasihat, dan semangat terhadap penyelesaian
skripsi saya. Bapak Dr. Mhd. Syahminan, M.Ag.
9. Dosen Pembimbing II saya yang juga sudah mau membantu saya
serta memberikan arahan, petunjuk, inspirasi terhadap

vi
penyelesaian skripsi saya. Bapak Rholand Muary, S. Sos, M. Si.
10. Penasehat akademik yang membimbing banyak sarjana dan
memberi mereka dorongan dan bimbingan yang bermanfaat
Bapak Muhammad Jailani, S.Sos, M.A.
11. Bapak atau Ibu Dosen yang telah menginstruksikan dan
memberikan informasi selama perkuliahan di Program Studi
Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumatera Utara.
12. Seluruh staf administrasi FIS UIN Sumatera Utara.
13. Seluruh narasumber saya terimakasih yang sebesar-besarnya atas
bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir skripsi
ini.
14. Ayahanda Tasmun tersayang dan Ibunda Elfina Simbolon tercinta,
yang selalu mendoakan saya, mendidik, memberikan semangat,
memberikan material dan selalu menemani dan mendukung
sehingga peneliti menjadi anak yang semangat dalam
mengerjakan skripsi ini.
15. Terimakasih kepada kedua abang saya Indra Permadi dan
Muhammad Iqbal yang telah mensupport saya selama ini
16. Kepada sahabat-sahabat tersayang Mutia Zahrah, Rania, dan Syifa
Arifa Nazila Hasmi yang telah memberikan bantuan, dukungan,
semangat, dan doa bagi peneliti selama penyelesaian skripsi ini.
17. Abangda Gunawan Panjaitan terimakasih telah memberikan
semangat dan menemani saya kemanapun dan berkontribusi
banyak dalam penulisan skripsi ini. memberi semangat untuk
terus maju tanpa kenal lelah. Terimakasih telah menjadi bagian
dari perjalanan hidup saya.
18. Terimakasih juga kepada diri sendiri telah kuat dan bertahan
sampai sejauh ini
19. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan kelas
Sosiologi Agama-2 yang telah memberikan dukungan serta
semangat kepada peneliti.

vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pernikahan beda kasta
berdasarkan Aturan agama Hindu, faktor penyebab terjadinya pernikahan
beda kasta di Kampung Madrash, dan implikasi pernikahan beda kasta
dilihat dari sudut pandang hukum, sosial budaya dan keagamaan di
Kampung Madrash, Kota Medan. Data di dalamnya Penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan metode yaitu 1) observasi, 2)
wawancara, 3) pencatatan, 4) literatur. Penelitian ini dilakukan di
masyarakat Banjar Brahmana Bukit Kabupaten Bangli dan Kabupaten
Bangli. Subyek penelitian ini adalah 1) mereka yang menikah dengan
beda kasta, 2) tokoh masyarakat, 3) tokoh camat, 4) tokoh agama di
Banjar Brahmana Bukit, 5) Organisasi Pemuda Banjar Brahmana Bukit,
6) Masyarakat itu sendiri yang berbasis secara sengaja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa : 1) adanya pernikahan beda kasta di Kampung
Madrash masih eksis. Namun jika dikaitkan dengan hukum hindu
berdasarkan Kitab Manawa Dharmasastra sehingga disarankan agar
pernikahan dilakukan di antara orang-orang yang mempunyai kasta yang
sama karena pernikahan dengan kasta yang berbeda akan mempengaruhi
keturunan atau kelahiran bayi. 2). Masyarakat yang menikah dengan beda
kasta di Kampung Madrash pada umumnya disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor internal yang mengacu pada perasaan pribadi dan cinta dan
Faktor eksternal mengacu pada lingkungan di mana lingkungan baik atau
buruk akan mempengaruhi karakter dan kepribadian seseorang. 3)
implikasi pernikahan beda kasta di Kampung Madrash dalam perspektif
hukum pada dasarnya semua orang mempunyai hak, kewajiban yang
sama dan kedudukan yang sama dari sudut pandang hukum. Melainkan
menurut sosial budaya dan agama ada batasan bagi mereka yang
melangsungkan pernikahan dengan beda kasta yang berdasarkan dresta
dan tradisi masyarakat itu sendiri.

Kata kunci : Perkawinan, kasta, sosial budaya dan agama.

viii
ABSTRACT
This research aims to determine the existence of inter-caste marriages
based on Hindu religious rules, the factors causing the occurrence of
inter-caste marriages in Madrash Village, and the implications of inter-
caste marriages from a legal, socio-cultural and religious perspective in
Madrash Village, Medan City. The data in this research were collected
using methods, namely 1) observation, 2) interviews, 3) recording, 4)
literature. This research was conducted in the Banjar Brahmana Bukit
community, Bangli Regency and Bangli Regency. The subjects of this
research are 1) those who marry from different castes, 2) community
leaders,
3) sub-district leaders, 4) religious leaders in Banjar Brahmana Bukit, 5)
Banjar Brahmana Bukit Youth Organization, 6) The community itself is
based on purpose. The results of the research show that: 1) the existence
of inter-caste marriages in Madrash Village still exists. However, if it is
related to Hindu law based on the Manawa Dharmasastra Book, it is
recommended that marriages be carried out between people of the same
caste because marriages with different castes will affect offspring or the
birth of babies. 2). People who marry from different castes in Madrash
Village are generally caused by two factors, namely internal factors
which refer to personal feelings and love and external factors refer to the
environment where a good or bad environment will influence a person's
character and personality. 3) the implications of inter-caste marriage in
Madrash Village from a legal perspective, basically everyone has the
same rights, obligations and the same position from a legal perspective.
However, according to social culture and religion, there are restrictions
for those who enter into marriages between different castes based on the
traditions and traditions of the community itself.

Keywords: Marriage, caste, socio-cultural and religious.

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian ................................................ 33


Tabel 4.1 Jumlah penduduk berdasarkan agama di sumut ................ 45
Tabel 4.3 Jumlah penduduk kelurahan madras hulu.......................... 47

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Triangulasi Teknik ..................................................... 40


Gambar 3.2 Triangulasi Sumber .................................................... 40
Gambar 4.1 Kampung madras medan petisah ............................... 50

xi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN SKRIPSI BERJUDUL ........................................................... i
MOTTO ............................................................................................................... ii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................... iv
PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI ................................ iv
BIODATA PENELITI .........................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR ISI...................................................................................................... xii
BAB I.....................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................3
A. Latar BeIakang MasaIah..................................................................................3
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................7
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................................8
E. Batasan Istilah .................................................................................................8
F. Sistematika Pembahasan ...............................................................................12
BAB II .................................................................................................................14
LANDASAN TEORI .........................................................................................14
A. Sejarah Kampung Madrash ........................... Error! Bookmark not defined.
B. Konsep dan Realitas Kasta ............................ Error! Bookmark not defined.
C. Penelitian Terdahulu ....................................................................................29
BAB III ...............................................................................................................32
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................32

xii
2

A. Pendekatan Penelitian ...................................................................................32


B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................32
C. Subjek Penelitian...........................................................................................32
D. Tahap-Tahap Penelitian ................................................................................34
2. Tahap Pekerjaan Lapangan ...........................................................................35
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................35
F. Teknik Analisis Data.....................................................................................37
G. Teknik Keabsahan Data ................................................................................39
BAB IV ................................................................................................................40
A. Hasil Penelitian ............................................................................................40
1. Kondisi Geografis Kampung Madrash, Medan Petisah .........................40
2. Demografis Kampung Madrash, Medan Petisah ...................................42
3. Gambaran Umum Penelitian ..................................................................46
4. Eksistensi Perkawinan Beda Kasta Menurut Hindu Tamil ....................49
5. Faktor-Faktor terjadinya perkawinan beda kasta di Kampung Madrash54
6. Perkawinan Beda kasta di kampung Madrash .......................................63
B. Pembahasan Hasil Penelitian .....................................................................65
1. Eksistensi Perkawinan Beda Kasta Hindu Tamil...................................65
2. Faktor Terjadinya Perkawinan Beda Kasta Kampung Madrash ............66
3. Analisis Teori Stratifikasi Sosial Terhadap Kasta Pada Perkawinan
Orang Hindu Di Kampung Madras .......................................................67
BAB V .................................................................................................................69
PENUTUP ..........................................................................................................69
1. Kesimpulam ................................................................................................69
2. Saran ............................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................72
LAMPIRAN........................................................................................................75
3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BeIakang MasaIah
Dalam era globalisasi seperti sekarang, terjadi berbagai perubahan
signifikan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya yang berlangsung
dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Kemajuan dalam arus informasi dan
telekomunikasi, meskipun memberikan dampak positif bagi perkembangan
global, tidak dapat diabaikan bahwa ada pula dampak negatif yang signifikan,
terutama dalam pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di seluruh dunia,
termasuk di Hindia. Fenomena ini termanifestasi dalam pelemahan budaya
Hindia yang khas. Keunikan Hindia tercermin dalam upaya orang- orangnya
untuk mempertahankan ikatan kekerabatan, baik secara fisik maupun spiritual.
Ketaatan mereka terhadap pengetahuan asal-usul mereka menciptakan sistem
kasta atau wangsa yang mendefinisikan struktur masyarakat Hindia. 1
Sistem kasta telah ada sejak zaman pemerintahan kerajaan Brahmana, di
mana perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata sudah terdapat. Pada masa
pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, seorang Brahmana dari Jawa
datang dengan keterampilan luar biasa. Setelah mengatasi "huru-hara politik"
di kerajaan Gelgel, Brahmana tersebut diangkat menjadi Bhagawanta kerajaan,
yaitu pendeta tertinggi. Dengan restu raja, Brahmana ini kemudian
memperkenalkan sistem kasta, yang menjadi semakin kuat dan terdefinisi
dengan jelas dalam kehidupan masyarakat Hindia selama berabad-abad
setelahnya. Sistem kasta seringkali menimbulkan kontroversi dalam
perkawinan dan menjadi sumber perdebatan, mirip dengan pernikahan antar-
agama. Di Hindia, perkawinan lintas kasta cenderung dihindari, termasuk di
Kampung Madhrash di Kota Medan, Sumatera Utara, yang merupakan tempat
tinggal mayoritas penganut Hindu di Hindia.
Dulunya merupakan rumah bagi komunitas India yang cukup besar,
Kampung Madras, yang sebelumnya dikenal sebagai Kampung Keling, adalah

1
Pudja, Gd dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Felita
Nursatama Lestaria
4

nama yang diberikan untuk wilayah seluas sekitar 10 hektar di kota Medan,
Indonesia. Wilayah ini terdapat di dekat kecamatan Medan Petisah dan
Polonia. Kuil Sri Mariamman, kuil Hindu tertua di Medan, dan Vihara Gunung
Timur, kuil terbesar di Medan, adalah dua tempat ibadah terkemuka di
lingkungan ini. Selain itu, terdapat juga dua masjid, yaitu Masjid Jami dan
Masjid Ghaudiyah, yang dibangun oleh komunitas Muslim India. Di Kampung
Madras, terdapat Perguruan Nasional Khalsa yang dikelola oleh Yayasan
Pendidikan Sikh Medan, yang pada masa lalu terkenal sebagai sekolah unik
karena menjadi satu-satunya lembaga pendidikan di Medan yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai medium pengajaran.2
Banjar Bukit Brahmana merupakan salah satu dari delapan banjar
bersejarah yang ada di dusun ini. Komunitas Banjar Brahmana Bukit yang
terletak di dekat pintu masuk Desa Madhrash dapat dikatakan sebagai
kelompok sosial modern. Secara empiris, tidak banyak perbedaan mencolok
antara cara hidup masyarakat Banjar Brahmana Bukit dan masyarakat Hindia
secara keseluruhan. Namun, lingkungan banjar ini memiliki ciri khasnya
sendiri, terutama jika dibandingkan dengan banjar lain di Kampung Madhrash,
Medan. Ciri khas tersebut terlihat dari komposisi masyarakatnya yang terdiri
hanya dari wangsa Brahmana, sehingga lingkungan ini dikenal dengan sebutan
Banjar Brahmana Bukit. 3
Mengenai isu pernikahan, sejak zaman lampau telah menjadi kebiasaan
di kalangan masyarakat lokal bahwa individu terhormat diharapkan menikah
dengan pasangan yang sejajar. Tujuannya adalah untuk menjaga kelangsungan
garis keturunan, wangsa, atau kelompok sosial seorang Brahmana. Awalnya,
masyarakat setempat sangat menghargai tradisi ini, namun dalam beberapa
tahun terakhir, Banjar Brahmana Bukit mencatat adanya kasus pernikahan
lintas kasta, baik oleh pria maupun wanita. Tingginya jumlah pernikahan lintas
kasta tersebut tentu berdampak atau memiliki konsekuensi bagi individu yang

2
"Kampung Keling: Economic symbiosis in Medan's Chinese-Indian enclave" Diarsipkan
2008-02-19 di Wayback Machine., The Jakarta Post, diakses 26 Maret 2023
3
Putra, I.B.Wyasa, 2000, Brahmana dan Hukum-Hukumnya, Denpasar: Yayasan
Dharmopadesa
5

bersangkutan, keluarga, dan komunitas setempat. Dampak tersebut mencakup


aspek kehidupan sosial- budaya dan keagamaan, yang akan mengalami
perubahan signifikan bagi seseorang sebelum dan setelah menikah lintas kasta.
Pandangan modern terhadap pernikahan lintas kasta menyatakan bahwa
hal ini dapat menyebabkan diskriminasi di kalangan masyarakat Kasta
Waisya atau Sudra, walaupun konsepnya pada awalnya hanya digunakan
untuk membedakan profesi masyarakat. Berbicara tentang pernikahan, sejak
zaman dulu, menjadi suatu norma bagi masyarakat setempat bahwa individu
terhormat seharusnya menikah dengan pasangan sekelasnya. Tujuannya
adalah untuk menjaga kelangsungan garis keturunan dan wangsa, khususnya
bagi seorang Brahmana. Tingginya jumlah kasus pernikahan lintas kasta tentu
membawa dampak atau konsekuensi bagi individu yang bersangkutan,
keluarga, dan komunitas setempat. Selain itu, dampak tersebut juga
mencakup aspek kehidupan sosial-budaya dan keagamaan yang mengalami
perubahan yang signifikan bagi seseorang sebelum dan setelah menikah lintas
kasta. Kesimpulannya, pada era saat ini, tidak ada hambatan umum jika
seseorang menikah dengan pasangan dari kasta yang berbeda, karena tidak
lagi berlaku sistem perjodohan dan setiap individu memiliki kebebasan untuk
memilih pasangan hidupnya sendiri. Yang penting hanyalah meyakinkan
keluarga dan bersiap mengemban tanggung jawab di dalam keluarga tersebut.
Menurut kitab suci Hindu, ada berbagai pilihan untuk menikah.
Manusmriti menyebutkan ada delapan macam perkawinan: 1). Brahma
(mengacu pada jiwa yang kekal), 2). Deva (terhubung dengan Dewa) (3).
Aarsh (terhubung dengan Resi): 4). Prajapatya (terhubung dengan raja). 5)
Asur (raksa), 6) Gandharv (komunitas Gandharv, khususnya cinta
pernikahan), 7) Raksash (raksasa dan roh jahat), dan 8) Paisach (setan). Manu
mengizinkan empat pernikahan pertama dan menganggap pernikahan lainnya
tidak pantas.4
Dalam hukum Hindu, syarat-syarat perkawinan yang sah adalah sebagai
berikut: 1) Suatu perkawinan sah menurut hukum Hindu apabila dilaksanakan

4
Prem P. Bhalla, Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2010)hal 128
6

menurut peraturan-peraturannya. 2). Menurut hukum Hindu, upacara


perkawinan harus dilakukan oleh seorang pendeta/Pinandita. Pernikahan hanya
dapat diizinkan menurut hukum Hindu jika kedua mempelai menganut agama
Hindu. Artinya, jika calon pengantin belum beragama Hindu, maka
perkawinan tidak diperbolehkan. Untuk masuk agama Hindu, seseorang harus
menjadi sudhiwadani terlebih dahulu. Agama Hindu mendasarkan pemujaan
terhadap pernikahan, atau Vivaha, pada Weda karena merupakan salah satu
Sarira Samskara, yang mencakup penyucian diri oleh Grhastha Asrama.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat hidup bersama secara sah atau
tidak, tergantung pada hasil suatu ritus yang disebut perkawinan. Oleh karena
itu, pernikahan adalah Yajna.5
Sistem kasta seringkali memicu diskusi dan kontroversi mengenai
pernikahan, bahkan mungkin menjadi masalah yang harus diselesaikan. Mirip
dengan persatuan antaragama, persatuan antarkasta biasanya tidak disukai di
Desa Madrash. Meski keterbukaan masyarakat meningkat, pernikahan antar
kasta yang penuh tantangan masih terus terjadi. Sebenarnya agama Hindu
hanya mengenal sistem warna berdasarkan pekerjaan; tidak ada yang namanya
kasta. Sistem kasta yang mengacu pada silsilah keluarga berdasarkan
keturunan paling banyak dikenal dalam lingkungan sosiokultural Desa
Madrash. Tidak ada hukuman atau dampak apapun bagi pernikahan di luar
kasta, baik menurut hukum negara maupun hukum agama.
Struktur sosial budaya desa Madrash didasarkan pada tradisi patrilineal.
Mengikuti kasta, warisan, dan garis keturunan suami merupakan hukum adat
dalam masyarakat patrilineal ini. Boleh jadi undang-undang menyatakan
bahwa jika laki-laki dari kasta yang lebih rendah menikah dengan perempuan
dari kasta yang lebih tinggi, perempuan tersebut tidak dapat bergabung dengan
kasta suaminya, tetapi jika perempuan dari kasta yang lebih rendah menikah
dengan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi, ia dapat.
Akibat menikah dengan orang yang berbeda kasta tidak dibahas dalam

5
I Nyoman Arthayasa, Petuntuk Teknis Perkawinan Hindu,
(Surabaya : Paramita,1998),hal 18-19
7

agama. Namun dari sudut pandang sosio-religius, perempuan harus mengikuti


silsilah suami karena mereka sudah menjadi bagian dari silsilah suami. Selain
itu, struktur patrilinear komunitas Hindu-Madrash juga ikut menjadi penyebab
hal ini. Tidak ada kasta yang menduduki tempat yang sama dalam masyarakat,
hal ini menunjukkan bahwa kasta tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang
setara.
Menikah di luar kasta merupakan suatu tantangan; Komunikasi yang
efektif antar keluarga calon pengantin sangat diperlukan. Mungkin tidak akan
ada persoalan apa-apa jika sudah ada kesepakatan antara lain bagaimana
upacara itu akan dilaksanakan. Sebuah pernikahan memerlukan kesadaran dan
penerimaan bersama terhadap perbedaan sejarah keluarga dan adat istiadat
masing-masing pasangan di samping adanya kesepakatan antara kedua
keluarga.
Dalam sebuah pernikahan, penyesuaian diri sangatlah penting dan akan
mempengaruhi kesejahteraan dan kedamaian rumah tangga. Perempuan nyerod
dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan dinamika keluarga
yang muncul ketika mereka terpaksa bergabung dengan keluarga suami.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat
skripsi dengan judul “Kasta Pada Perkawinan Orang Hindu Di Kampung
Madras”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang
dapat diuraikan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana eksistensi perkawinan beda kasta menurut Hindu
Tamil?
2. Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perkawinan
beda kasta di Kampung Madrash?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka tujuan penelitian yang
dapat diuraikan adalah sebagai berikut :
8

1. Untuk mengetahui eksistensi perkawinan beda kasta menurut


Hindu Tamil
2. Untuk mengetahui Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan
terjadinya perkawinan beda kasta di Kampung Madrash
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diyakini dapat memberikan pencerahan mengenai
adat istiadat perkawinan umat Hindu mengenai kasta.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
bidang sosiologi agama, baik secara umum maupun khususnya.
c. Penelitian ini bertujuan untuk memperluas pemahaman
mahasiswa terhadap ilmu-ilmu sosial, khususnya bagi mereka
yang terdaftar pada program studi sosiologi agama di UINSU.
d. Diharapkan artikel ilmiah selanjutnya yang ditulis dengan
menggunakan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan mempelajari praktik kasta dalam pernikahan Hindu di
Desa Madrash, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
pengetahuan dan pengalaman penting secara langsung, serta
membaca rekomendasi dan keahlian. Penelitian ini diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan keilmuan peneliti untuk
menghasilkan karya ilmiah.
b. Potensi penelitian untuk memberikan manfaat bagi masyarakat
khususnya para partisipan adalah sebuah harapan.
E. Batasan Istilah
Penting bagi peneliti untuk memperjelas terlebih dahulu maksud dari
judul penelitian—‖Praktik Kasta dalam Pernikahan Hindu di Desa Madrash‖
agar tidak terjadi kesalahpahaman. Definisi dan batasan kata-kata berikut
berlaku untuk penelitian ini:
1. Praktik
Praktek adalah tindakan menerapkan teori, teknik, dan hal-hal lain ke
dalam tindakan untuk memenuhi tujuan dan memajukan kepentingan
9

kelompok yang telah diatur sebelumnya dan diinginkan. Praktek atau


tindakan, dalam pandangan Prawita, merupakan suatu sikap yang tidak
harus selalu diterjemahkan menjadi suatu tindakan (Overt Behavior).
Elemen pendukung atau kondisi pemungkin, seperti fasilitas, diperlukan
untuk menerjemahkan suatu sikap menjadi tindakan praktis. Perilaku ini
memiliki beberapa tingkatan:
a. Reaksi terbimbing adalah aktivitas yang dapat dilakukan dalam
urutan yang tepat dan sesuai dengan contoh, yang berfungsi
sebagai sinyal untuk tindakan tingkat pertama.
b. Mekanisme: Suatu mekanisme mencapai tindakan tingkat
kedua ketika mereka mampu melakukan suatu tindakan secara
akurat dan otomatis, sehingga menjadikannya suatu kebiasaan.
c. Adopsi: Adopsi adalah praktik atau aktivitas yang
dikembangkan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa telah
dilakukan perubahan terhadap suatu kegiatan tanpa mengurangi
keakuratannya.
2. Kasta
Menurut Kamus Bahasa Inggris Amerika, kasta adalah kelas sosial
yang tercipta ketika suatu komunitas terbagi berdasarkan pendapatan,
status, hak, profesi, atau panggilan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat
di Encyclopedia Americana. Kata "Casta" berakar dari bahasa Spanyol
dan Portugis, yang berarti izin, kelas, ras, keturunan, tembok, atau
penghalang. Sebaliknya, kasta diartikan sebagai golongan (tingkatan atau
derajat) individu dalam budaya Hindu dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.6 Kasta pertama kali digunakan oleh orang Portugis untuk
merujuk pada ribuan kelompok sosial keturunan India yang mereka
temui ketika mereka tiba di India pada tahun 1498. Orang Portugis
menggunakan ejaan "kasta" dengan arti terakhir, yang pertama kali
dicatat dalam bahasa Inggris pada tahun 1613. Kasta Orang Spanyol
6
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) oleh Balai Pustaka. Dalam pembahasan
dijelaskan mengenai Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria (golongan rakyat jembel yang
hina-dina dalam masyarakat Hindu).
10

menggunakan kata kasta untuk merujuk pada "garis keturunan" selama


penjajahan mereka di Dunia Baru.7
Kasta adalah tatanan sosial yang berkaitan dengan sifat-sifat yang
melekat dan turun-temurun, menurut para ilmuwan sosial. Sistem kasta
digambarkan sebagai suatu tatanan yang membagi seluruh masyarakat
Hindu menjadi kelompok endogami yang turun temurun. Kelompok-
kelompok ini sekaligus memisahkan dan menghubungkan individu
melalui tiga ciri: pembagian kerja dalam setiap kelompok sesuai dengan
profesi tertentu; perpisahan mengenai pernikahan dan kontak; dan,
terakhir, hierarki yang menempatkan kelompok-kelompok tersebut pada
skala yang memisahkan mereka menjadi kasta tinggi dan rendah.8
Empat kasta yang membentuk masyarakat India adalah Brahmana,
Ksatria, Wesya, dan Sudra. Secara umum masyarakat India meyakini
bahwa orang yang mengamalkan imamat dan mempunyai status tertinggi
dikenal dengan sebutan Brahmana. Mereka yang mengabdi pada negara
atau keluarga kerajaan sebagai ksatria adalah keturunan raja. Wesya
adalah orang-orang yang berstatus wirausaha atau mantan wirausaha.
Sudra, sebaliknya, adalah kasta terendah; mereka adalah petani atau
pekerja tanpa hak milik, tidak seperti kasta lainnya.
3. Perkawinan Hindu
Pernikahan dalam agama Hindu disebut dengan grhastha. Istilah
"grh" aslinya berarti "rumah". Grhastha adalah istilah untuk keadaan
menikah. Setelah Brahmacari, tahap kehidupan kedua, pernikahan
(wivaha), menandai dimulainya era rumah tangga ini. Sebelum
memasuki fase wanaprastha dan bhiksuka/sanyasin, grhastha ini
dilakukan. Pernikahan menurut teks Agastyaparwa diartikan sebagai:
grhastha ta pwa sira, manak madruwenya Hulun, ityawawadhi
manguhaken kayekadharma yathasakti. Artinya grhastha mengacu pada

7
Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE Evans-
Pritchard , (London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256.
8
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: CV Titian Galang Printika, 2009), 242.
11

pernikahan, memulai sebuah keluarga, dan mengembangkan


keterampilan yang berhubungan dengan pengembangan diri pribadi
(kayika dharma) dengan kekuatan yang sudah ada sebelumnya
(yathasakti).9
Wiwaha, disebut juga perkawinan, adalah penyatuan jasmani dan
rohani dua individu yang didasari oleh kesamaan suka dan duka, cinta
satu sama lain, dan saling mendukung, yang kesemuanya itu ditegaskan
dengan ritual keagamaan dan persyaratan hukum yang relevan. Menurut
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tujuan utama perkawinan
adalah mewujudkan keluarga bahagia kekal yang dilandasi keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan jasmani dan rohani adalah
tujuan kebahagiaan, dan kedua hal ini perlu dipupuk seiring berjalannya
waktu. Kepuasan dalam keluarga mencakup lebih dari sekedar
memperoleh harta benda dan memuaskan hasrat seksual; itu juga
melibatkan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani yang rasional. 10
Tujuan utama sebuah perkawinan yaitu mewujudkan keluarga
bahagia dan langgeng berdasarkan Konsep Pancasila Ketuhanan Yang
Maha Esa, diperlukan adanya ikatan lahir dan batin antara kedua belah
pihak. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup bersama
sebagai suami istri dapat dengan jelas dinyatakan mempunyai hubungan
hukum formal apabila keduanya mempunyai ikatan fisik yang disebut
juga ikatan kelahiran. Sebaliknya, ―ikatan batin‖ adalah hubungan tidak
resmi yang tidak terlihat dengan mata telanjang. Keberadaan hubungan
spiritual ini, meskipun sifatnya tidak terlihat, sangatlah penting karena
tanpanya, ikatan fisik akan melemah. Baik suami maupun istri harus
merasakan hubungan rohani dan jasmani.
Keinginan tulus untuk hidup bersama adalah langkah pertama
menuju hubungan batin pada tahap awal pengalaman perkawinan.
9
Beny, I Wayan, 1980, Hukum Adat Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia,
Denpasar : Biro Dokumen dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum UNUD.
10
Kom, VE , 1978. Hukum Adat Kekeluargaan di Bati (dite~eniahkan dan diberikan
eatatan-catatan olch 1 Gde Wayan Pangkat), Denpasar, Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana.
12

Landasan ikatan fisik antar pasangan adalah ikatan batin. Landasan untuk
menciptakan dan melestarikan keluarga yang bahagia dan langgeng
adalah pengembangan ikatan mental dan fisik. Keluarga yang bahagia
dan langgeng merupakan tujuan mendasar dari sebuah pernikahan, oleh
karena itu sebuah pernikahan hendaknya menjadi sebuah komitmen
seumur hidup yang sulit untuk diakhiri. Perpisahan hidup menjadi pilihan
terakhir setelah semua upaya sebelumnya untuk membubarkan
pernikahan karena alasan selain kematian sangat dibatasi.11
Pernikahan Hindu bertujuan untuk menghasilkan anak-anak yang
dapat bersama-sama memenuhi tugas pemerintahan dan agama, bukan
sekadar untuk meningkatkan hubungan seksual. Dalam agama Hindu,
perkawinan atau wiwaha mempunyai makna dan peran khusus sebagai
awal tahap kehidupan grehasta. Selain memiliki tanggung jawab hukum
mengenai kebutuhan seseorang untuk menebus dosa-dosanya dan
menghasilkan keturunan, pernikahan juga dihormati sebagai sebuah ritus
sakral.
Alasan mengapa pernikahan begitu sakral adalah karena memberikan
kesempatan kepada leluhur untuk bersatu kembali dengan dunia.
Kehidupan yang kaya dan bahagia adalah inti dari pernikahan ini. Sesuai
dengan Manawadharmasastra, pernikahan memiliki tiga tujuan: praja
(melahirkan anak), rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan
indera lainnya), dan dharmasampatti (melalui pernikahan, suami dan istri
bersama-sama mewujudkan pelaksanaan dharma).12
F. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, diuraikan menjadi beberapa bab dan sub bab untuk
memudahkan dalam penulisan agar runtut dan mudah dipahami. Adapun
sistematikanya yaitu sebagai berikut:
1. Bab I: PENDAHULUAN: memuat latar belakang masalah,

11
Diriksen, Anak Agung Ngurah Gede, 1983, Eksistensi Hukum Perkawinan Bagi Umat
Hindu di Bali, Denpasar : Fakultas Hukum UNUD.
12
Artayasa, Sujaelanto I Nyoman, 1995/1996, Petunjuk Tehnis Perkawinan Hindu,
Jakarta : Bimas Hindu dan Budha.
13

rumusan, manfaat dan tujuan penelitian, batasan masalah dan


metode pembahasannya, serta pendekatan penelitian yang akan
digunakan, lokasi dan waktu penelitian, objek penelitian, informan
penelitian, tahapan penelitian. , teknik pengumpulan data (seperti
metode wawancara, teknik observasi, dan teknik dokumentasi),
kumpulan data penelitian, dan teknik validasi data.
2. Bab II: KAJIAN PUSTAKA: Meliputi beberapa penelitian
terdahulu yang memiliki yang sama dengan penelitian yang akan
dilakukan, dan teori pendukung yang digunakan dalam penelitian
3. Bab III: METODOLOGI PENELITIAN: Meliputi pendekatan
penelitian yang akan digunakan, tempat dan waktu penelitian,
informan penelitian, objek penelitian, tahapan-tahapan penelitian,
teknik pengumpulan data (metode observasi, metode wawancara,
metode dokumentasi), data set penelitian, serta teknik pemeriksaan
keabsahan data.
4. Bab IV: HASIL DAN PEMBAHASAN: Mencakup hasil temuan
lapangan dalam penelitian dan analisis temuan dengan teori
behavioralisme.
5. Bab V: PENUTUP: Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari
peneliti.
14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sejarah Kampung Madrash

Kota terbesar ketiga di Indonesia adalah Kota Medan yang berfungsi


sebagai ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kemiripannya terlihat tidak hanya
dalam hal wilayah tetapi juga dalam hal jumlah penduduk yang cukup besar.
Populasi di Kota Medan sangat beragam, mencakup ras, agama, dan suku, dan
berbagai kelas sosial. Saat ini, Medan terus menduduki peringkat di antara
kota-kota terbesar dan dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia, dengan
perkembangannya yang dapat dilihat dari berbagai aspek seperti sosial,
ekonomi, budaya, agama, keragaman penduduk, dan warisan sejarahnya.
Perkembangan pesat Kota Medan hingga saat ini dipengaruhi oleh peran
pentingnya sebagai pusat perkebunan di masa lalu. Perekonomian perkebunan
di Sumatera Timur didirikan oleh warga negara Belanda Jacobus Nienhuys,
menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan kota Medan.
Di Sumatera Timur, tembakau telah menjadi komoditas ekspor yang
paling menguntungkan sejak perkebunan didirikan. Pelzer menyatakan bahwa
R. Ibbetson awalnya diberi tugas untuk melakukan survei terhadap kondisi
pantai timur Sumatera oleh Sekretaris Gubernur Perusahaan Hindia Timur
Inggris di Penang. Namun, R. Ibbetson tidak dapat memenuhi tanggung jawab
ini karena dia merasa tidak sehat. John Anderson ditunjuk untuk mengambil
alih posisi R. Ibbetson pada tanggal 1 Januari 1823. Pada tanggal 9 Januari
1823, Anderson meninggalkan Penang menuju Sumatera Timur, dan pada
tanggal 9 ApriI ia kembali, menghabiskan waktu tiga buIan untuk
menyelesaikan tugas tersebut.
Pembukaan perkebunan Deli memiliki dampak signifikan terhadap
kehadiran tenaga kerja, karena daerah tersebut tidak memiliki jumlah pekerja
yang cukup untuk menanam tembakau. Oleh karena itu, kuli-kuli dari Cina,
India, dan Jawa mulai dipekerjakan di industri perkebunan Deli. Para
pengusaha perkebunan membawa kuli-kuli tersebut dalam jumlah besar untuk
15

memenuhi kebutuhan pekerja di setiap bagian perkebunan. Sejak pembukaan


kebun-kebun pertama, tenaga kerja dari bangsa India telah aktif digunakan.
Meskipun para pemilik kebun cenderung lebih menyukai kuli Cina karena
keterampilan mereka, namun kuli India lebih diminati karena biayanya lebih
rendah dan menurut pandangan mereka, memiliki sifat yang Iebih tenang dan
tidak suka berkonspirasi. KuIi-kuIi India ini terkenaI rajin, mencintai pekerjaan
mereka, dan mahir dalam mengeIola hasiI perkebunan, serta berperan sebagai
peternak sapi untuk menghasilkan susu.

Breman mengklaim bahwa perkebunan di Sumatera Timur mulai


memproduksi produk pertanian siap saji sekitar tahun 1862, dengan tembakau
yang paling banyak dikonsumsi. Jumlah perkebunan saat ini berkembang
pesat. Inilah sebabnya mengapa 800-900 kuli diimpor pada tahun 1869. Selain
orang Cina, ada beberapa ratus orang Jawa, Siam (dari Thailand), dan
Madrasah yang bekerja di sana dari pantai Coromandel di British India. 20
perkebunan beroperasi di Sumatera hingga akhir tahun 1875; pada tahun 1872,
hanya lima belas—13 di antaranya di Deli—yang mempekerjakan 34.476
orang Tionghoa, 459 orang India, dan 316 orang Jawa.13

Mereka tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Timur dan sudah


cukup lama menjadi buruh perkebunan. Kuli etnis Tamil merupakan salah satu
jenis buruh perkebunan yang berasal dari India. Kehadiran mereka dalam misi
menyebarkan agama Buddha dan Hindu di Barus sudah ada sejak abad ketiga
Masehi, jauh sebelum mereka tiba di Sumatera Timur untuk bekerja di
perkebunan. Abad ke-19 merupakan awal migrasi orang Tamil ke pantai timur
Afrika. Menurut informasi yang diberikan, mereka senang bekerja di Asia
Tenggara karena iklim sedang di wilayah tersebut, mirip dengan Tanjore,
Madura, dan Tinenelly. Meskipun kuli Tamil di Sumatera Timur lebih cocok
menanam kakao, lada, kelapa, dan tembakau, mereka harus menyesuaikan diri
dengan udara pegunungan di Sri Lanka agar bisa menanam kopi.

13
Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli. Jakarta: Pustaka Umum
16

Etnis Tamil mulai menetap di Jl. KH. Zainul Arifin yang dulu bernama
Jalan Kalkuta, demi menghidupi dirinya selama bekerja sebagai buruh
perkebunan di Sumatera Timur. Sungai Babura yang membelah Kota Medan
dan dahulu pernah menjadi sarana transportasi masyarakatnya menjadi alasan
dipilihnya lokasi ini. Karena banyaknya kuli etnis Tamil yang menetap di sini
secara permanen, masyarakat Medan sudah terbiasa menyebut lingkungan ini
sebagai Kampung Madras.
Etnis TamiI mulai menghilang di kawasan Jalan KH. Zainul Arifin
sekitar tahun 1900, khususnya ketika wilayah Deli mencapai kemakmuran
ekonomi setelah menjadi komoditas paling berharga dalam perdagangan
internasional, mengangkat industri perkebunan Deli ke tingkat global. Saat ini,
area tersebut tidak hanya dihuni oleh etnis TamiI, melainkan juga oleh
penduduk keturunan Aceh, Jawa, MeIayu, dan Tionghoa (Cina). Selama
bertahun-tahun, Kebanyakan warga Medan menyebutnya sebagai Kampung
KeIing. Nama "KeIing" diberikan karena daerah ini dikenaI sebagai tempat
tinggal Komunitas orang kuIit hitam TamiI. Di wilayah ini juga, Evolusi
doktrin agama Hindu sepanjang sejarah, dimuIai pada tahun 1884 dengan
pembangunan KuiI Shri Mariamman.
Keberadaan kampung ini membuktikan sejarah panjang masyarakat etnis
TamiI yang hidup berdampingan dengan etnis Iain di Kota Medan. Pendirian
masjid oleh etnis minoritas MusIim TamiI menjadi indikasi Iain keberadaan
keIompok etnis TamiI. Masjid Ghaudiyah, demikian diketahui, didirikan pada
tahun 1887. Masjid ini terIetak di Kecamatan Petisah Tengah, tepatnya di JI.
KH. ZainuI Arifin, di pinggir jaIan. Kehadiran ini menunjukkan beragamnya
Iatar beIakang etnis.
Penduduk desa TamiI di Madras. Pemukiman Madras sangat menarik
dan kaya akan sejarah, dengan bangunan-bangunan tua yang menjadi
pengingat akan kehadiran kelompok etnis TamiI di Medan. Kawasan desa ini
sudah banyak digemari sejak didirikan dan kini Iebih dikenaI dengan nama
Kampung KeIing, sedangkan Kampung Madras kembaIi menjadi nama
resminya.
17

Perubahan ini tidak terjadi tanpa alasan, karena ada beberapa unsur
pendukung masyarakat Desa Madras, terutama etnis TamiI, untuk
menginginkan penghapusan kata "KeIing" dan menggantinya dengan nama
"Madras" kembali. Mengingat kata "KeIing" diasosiasikan dengan warna kuIit
geIap, maka diduga memiIiki makna negatif, dan haI ini menjadi tidak disukai
oIeh etnis TamiI sendiri. Selain itu, tidak ditemukan bukti adanya etnis Keling
atau wilayah bernama Keling di seluruh dunia. Meski istilah ―Keling‖
dihilangkan, namun nama ―Desa Madras‖ dirasa lebih pas dan menyenangkan
karena dusun tersebut terletak di Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan
Polonia, Kota Medan. Selain itu, penduduk pertama Desa Madras berasal dari
provinsi Madras di India.
Dari catatan sejarah sebuah kerajaan MeIayu dengan banyak Iegenda
yang menghubungkannya dengan MaIabar (India SeIatan), yang terIetak di
pantai timur Sumatera dan MaIaya, tercatat daIam sejarah MeIayu dan epos
raja-raja Pasai. India adaIah tempat keIahiran SuItan Iskandar Muda Aceh dan
penguasa DeIi, Raja Tuangku Sri Paduka Gocah PahIawan. Komunitas TamiI
mendominasi di Kampung Madras, dan bahasa, budaya, dan makanan MeIayu
memiIiki banyak karakteristik yang dipinjam dari budaya TamiI. Dikatakan di
banyak Iokasi, termasuk Madras Utara, daratan Ghats, PuIicat hingga Cape
Comorin, TeIuk BenggaIa, Travancore SeIatan, Trivandrum, dan Sri Lanka
Utara, TamiI adaIah anggota penting dari rumpun bahasa Dravida. DahuIu
disebut sebagai orang KIing, orang TamiI dipekerjakan sebagai buruh di
Sumatera Timur, Pagu, MaIaysia, Singapura, Suriname, dan KepuIauan
Mauritius. Bahasa Tamil memberikan pengaruh yang signifikan pada bahasa
setempat, dan hubungan antara orang TamiI dan orang MeIayu sudah
berlangsung selama sekitar 1000 tahun. Banyak orang TamiI yang menganut
IsIam menjadi raja MeIayu atau tokoh MeIayu terkemuka, seperti
Manipurindam, yang menjabat sebagai bendahara kerajaan MaIaka. Ketua
lainnya yang berasal dari keturunan Manipurindam adalah Tun Sri Lanang.
Keturunan India hadir pada nenek moyang SuItan Serdang, SuItan DeIi, dan
sejumIah anggota dinasti raja Pasai. Muslim Tamil di Malaysia disebut sebagai
18

orang Mamak. MusIim TamiI sering menikahi wanita MusIim asIi di Sumatera
Timur, sehingga terjadi perpaduan dua budaya di daIamnya.
Kasta adalah sistem membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok
fungsional yang dijalankannya daIam kehidupan sehari-hari. Jika seorang
individu mengejar tugas kependetaan atau berperan sebagai seorang pendeta,
selanjutnya dia akan melakukannya diklasifikasikan sebagai anggota Kasta
Brahmana. Jika individu tersebut memiliki peran sebagai pemimpin dalam
masyarakat, dia akan termasuk dalam Kasta Ksatriya. Sebaliknya, jika
seseorang menduduki posisi penting sebagai pejabat atau profesional, dia akan
dianggap sebagai anggota Kasta Waisya. Dan apabila seseorang
menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai buruh atau pekerja lepas, dia akan
diidentifikasi sebagai anggota Kasta Sudra.14
Dalam masa lampau, sistem kasta memiliki dampak yang signifikan
pada cara hidup masyarakat Hindu di BaIi. Masyarakat BaIi teIah diajarkan
seIama ribuan tahun bahwa kasta yang Iebih tinggi harus diperIakukan dengan
Iebih hormat, termasuk daIam konteks perkawinan. Diupayakan agar Anggota
klan yang sama menikah satu sama lain, atau setidaknya di antara mereka yang
dianggap setara daIam kasta. Perkawinan Adat Bali cenderung bersifat
endogami klen, di mana orang-orang se-klen adalah individu yang sejajar
kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dengan berusaha menjalankan
perkawinan dalam batas klen-nya, diharapkan dapat mencegah kemungkinan
ketegangan dan konflik serta menjaga kehormatan keluarga yang dapat muncul
akibat perkawinan antar-kasta dengan derajat yang berbeda. Terutama, perlu
diawasi agar anak perempuan dari kasta yang lebih tinggi tidak menikah dengan
pria yang memiliki derajat kasta yang lebih rendah.
Karena pernikahan seperti itu akan merendahkan nama baik seluruh
kasta anak-anak perempuan tersebut dan membawa aib bagi keluarga. Bila
perkawinan campuran semacam ini terjadi di masa lalu, maka perempuan itu
akan diucapkan keluar dari dadanya, dan fisik Suami istri dipidana dengan
masa pengasingan (maselog) ke tempat yang jauh dari tempat kelahirannya.

14
Anak Agung, Gde Ika. 1987.TuntunanDasaAgama Hindu. Hanoman Sakti,Jakarta
19

Undang-undang ini belum diberlakukan sejak tahun 1951, dan perkawinan


campuran antar kasta kini relatif lebih umum.15

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian individu masih menganggap struktur


keluarga dalam budaya Bali adalah terstruktur berdasarkan Tidak ada
stratifikasi sosial vertikal yang ditunjukkan oleh garis keturunan, yang berarti
adanya satu kasta yang lebih tinggi dari kasta lainnya. Seiring berjalannya
waktu, peraturan tersebut tidak lagi berlaku, dan seringkali perkawinan antar-
kasta terjadi secara rahasia atau disebut sebagai "ngemaling" atau, sebagai
penggantinya kawin lari. Perkawinan beda kasta menimbulkan sejumlah
permasalahan yang bermula dari adat istiadat yang berangkat dari ajaran
Weda. Contohnya, daIam kegiatan sosial di masyarakat, mereka yang berasal
dari kasta yang lebih tinggi mendapatkan penghormatan lebih. Selain
perbedaan dalam penggunaan bahasa, kasta juga memiliki dampak pada ritus
adat dan keagamaan, seperti upacara pernikahan dan tempat ibadah. Meskipun
di pura besar seperti Pura Besakih, semua kasta dapat beribadah di mana saja,
namun di pura yang lebih kecil terdapat pembagian tempat ibadah antara satu
kasta dengan kasta lainnya untuk menghindari pencampuran.
Terjadinya perubahan dalam masyarakat sering kali disebabkan oleh
ketidakpuasan terhadap suatu kondisi. Perubahan tersebut mungkin dipicu oleh
munculnya unsur-unsur baru yang dipandang masyarakat lebih memuaskan
dibandingkan unsur-unsur yang pernah ada. Secara umum, ada dua jenis
penyebab perubahan: pengaruh eksternal yang berasal dari luar masyarakat dan
faktor internal yang berasal dari dalam masyarakat. Pernikahan adalah suatu
hubungan rohani dan jasmani yang diakui secara sosial antara satu atau lebih
laki-laki dan satu atau lebih perempuan dalam hubungan suami-istri. Seorang
laki-laki dan seorang perempuan saling berikrar untuk menciptakan kehidupan
rumah tangga yang sehat, dan ikrar tersebut harus dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah arti pernikahan. Ikatan perkawinan
memerlukan dukungan dari para tetangga, sahabat, teman, orangtua, atau tokoh

15
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT.
Gramedia. Pustaka Utama
20

masyarakat yang menyaksikan ikrar tersebut.


Dengan mengikuti sejumlah ritual sesuai dengan hukum adat yang
berlaku pada suatu masyarakat tertentu, seseorang dapat meningkatkan
pengakuan terhadap status suami istri dalam masyarakat. Masyarakat Bali
umumnya menganggap perkawinan endogami klen dalam Catur Warna sebagai
bentuk perkawinan yang ideal, yang berarti seseorang diharapkan menikah
dengan warga se-klen (sederajat atau memiliki kasta yang sama). Aturan ini
awalnya berlaku karena stratifikasi sosial pada masa lalu bersifat kaku, tetapi
sekarang jarang dilaksanakan karena dapat memicu konflik dalam masyarakat.
Agama Hindu menyebut perkawinan dengan istilah pawiwahan, istilah yang
berasal dari akar kata wiwaha yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai perayaan pernikahan. Upacara pernikahan adat Bali biasanya
dilakukan sebagai tanda kepada Tuhan dan masyarakat bahwa pasangan
tersebut kini sudah sah menikah, sekaligus sebagai permohonan perlindungan
agar tercipta keluarga bahagia yang mempunyai ikatan batin yang erat hingga
akhir hayat. Berikut tahapan rangkaian ritual yang dilakukan selama
pernikahan:
1. Pengantin wanita tidak boleh keluar kamar sampai sang suami
muncul saat ritual Ngareb.
2. Mungkah lawang membuka pintu dan menjemput pengantin
wanita.
3. Ritual Mesegehagung yaitu penyambutan calon mempelai
wanita.
4. Madengen–dengen berupaya mensucikan diri dari segala kotoran.
5. Mewidhi Widana puncak ritual yang bertujuan untuk mensucikan
diri dan memperhalus adat istiadat pernikahan Bali.
6. Meja Bantal Ngabe Tipat berfungsi sebagai tempat pesta para
tamu keluarga laki-laki yang diundang ke rumah mempelai
wanita untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang tua,
saudara, dan leluhurnya.
21

B. Konsep dan Realitas Kasta


Menurut Kamus Bahasa Inggris Amerika, kasta adalah kelas sosial
yang tercipta ketika suatu komunitas terbagi berdasarkan pendapatan, status,
hak, profesi, atau panggilan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di
Encyclopedia Americana. Kata "Casta" berakar dari bahasa Spanyol dan
Portugis, yang berarti izin, kelas, ras, keturunan, tembok, atau penghalang.
Sebaliknya, kasta diartikan sebagai golongan (tingkatan atau derajat) individu
dalam budaya Hindu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.16 Orang India
adalah orang pertama di Asia yang terlibat dalam perdagangan sebelum
kelahiran Kristus. Kaibar Pass, celah sempit antara pegunungan Himalaya,
digunakan untuk perdagangan pada saat itu. Selain itu, para pedagang dari luar
India masuk dan keluar daerah tersebut melalui Kaibar Pass. Sebagaimana
tertuang dalam Kehidupan Masyarakat Pada Masa Pra-Aksara, Masa Hindu-
Buddha, dan Masa Islam karya Tri Worosetyaningsih, perdagangan ini diduga
turut mendorong tumbuhnya peradaban Hindu-Buddha di India, antara lain
Sungai Indus, Sungai Brahmaputra. , dan di seluruh nusantara. Simak "4 Teori
Masuknya Agama Hindu-Buddha ke Nusantara" di detikedu.17
Kasta adalah hierarki sosial yang berkaitan dengan sifat-sifat yang
melekat dan turun-temurun, menurut para ilmuwan sosial. Pengertian sistem
kasta adalah suatu tatanan yang memisahkan seluruh masyarakat Hindu ke
dalam kelompok endogami yang turun temurun. Kelompok-kelompok ini
ditentukan oleh tiga karakteristik yang memisahkan dan menghubungkan
individu satu sama lain: pembagian kerja dalam setiap kelompok yang
mencerminkan profesi tertentu; dan, terakhir, hierarki yang menempatkan
kelompok-kelompok tersebut pada skala yang memisahkan mereka menjadi
kasta tinggi dan rendah.18

16
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) oleh Balai Pustaka. Dalam pembahasan
dijelaskan mengenai Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria (golongan rakyat jembel yang
hina-dina dalam masyarakat Hindu).
17
Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE Evans-
Pritchard , (London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256.
18
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: CV Titian Galang Printika, 2009), 242
22

Menurut gagasan Brahmana, kedatangan rombongan Brahmana—yang


diundang oleh penguasa setempat—merupakan faktor utama penyebaran
agama dan budaya Hindu-Buddha ke seluruh nusantara. Adalah orientalis J.C.
Van Leur yang pertama kali mengemukakan gagasan ini. Teori ini
menunjukkan bagaimana komunitas Brahmana secara aktif berkontribusi
terhadap perluasan agama Hindu di Indonesia. Temuan beberapa prasasti
Sanskerta di Indonesia, yang merupakan bahasa kelompok Brahmana dan juga
digunakan dalam tulisan-tulisan Weda dan acara-acara seremonial,
memperkuat teori ini. Anggota kasta Brahmana diyakini memahami agama
Hindu secara keseluruhan. Namun teori Brahmana juga mengakui bahwa salah
satu alasan penyebaran agama Hindu adalah hubungan ekonomi yang terjalin
antara penguasa nusantara dan India.
Menurut teori Ksatria, orang India yang termasuk dalam kasta Ksatria
berjasa memperkenalkan agama dan budaya Hindu-Buddha ke Indonesia.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Prof. Dr. J.L. Moens, banyak terjadi
pertempuran pada abad ke-4 dan ke-6 M yang menyebabkan hilangnya kasta
Kshatriya yang terdiri dari tentara dan bangsawan. Menurut gagasan Ksatria,
para Ksatria didorong untuk mengungsi dan mencari daerah lain di seluruh
nusantara setelah beberapa kasta mereka dikalahkan dalam pertempuran.
Menurut teori Waisya, komunitas Waisya berperan penting dalam
memajukan budaya dan agama Hindu-Buddha. Pendukung gagasan Waisya,
Orientalis Prof. N.J. Krom, berpendapat bahwa kelompok yang terdiri dari
pedagang, petani, dan pemilik tanah, sudah akrab dengan agama Hindu-
Buddha. Selain dalam bidang perdagangan, Krom mengatakan kehadiran
kelompok Vaisya di Indonesia juga memperkenalkan agama dan budaya
Hindu-Buddha kepada masyarakat Indonesia. Kelompok ini diperkirakan
sesekali mengunjungi nusantara dan kadang-kadang menetap di sana secara
permanen setelah menikah dengan penduduk setempat.
Empat kasta yang membentuk masyarakat India adalah Brahmana,
Ksatria, Wesya, dan Sudra. Secara umum, masyarakat India percaya bahwa
orang yang menjalankan imamat dan menyandang status tertinggi dikenal
23

sebagai Brahmana. Mereka yang mengabdi pada negara atau keluarga kerajaan
sebagai ksatria adalah keturunan raja. Wesya adalah orang-orang yang
berstatus wirausaha atau mantan wirausaha. Sudra, sebaliknya, adalah kasta
terendah; mereka adalah petani atau buruh tanpa hak milik, tidak seperti kasta
lainnya.

Dikenal sebagai kelompok ketiga, Triwangsa terdiri dari kasta


Brahmana, Ksatria, dan Vaisya. Sedangkan Sudrawagsa merupakan nama
kasta yang paling rendah yaitu kasta Sudra. Karena setiap kasta memiliki gelar
penamaan berbeda yang membedakannya dengan jelas dari kasta lainnya,
setiap kasta dapat diidentifikasi dengan mengidentifikasi nama atau gelar yang
dimilikinya. Kata ―kasta‖ tidak ditemukan dalam kepustakaan Veda;
sebaliknya, istilah Warna, atau Catur Warna, mengacu pada pembagian
masyarakat menurut bidang kerja atau Swadharma (profesi) yang berbeda
dalam kitab Bhagavadgita. Selain itu, peradaban India mempunyai sistem
kekeluargaan yang disebut Wangsa yang disusun berdasarkan keturunan. Alih-
alih menggunakan kata ―kasta‖, masyarakat Hindu India merujuk pada
kelompok orang yang disebut varna, yang berarti ―warna‖ dalam bahasa
Sansekerta. Kelompok-kelompok ini digambarkan sebagai Brahman, atau
pendeta, Kshatriya, atau tentara dan pemerintah, Waisya, atau pedagang dan
pemilik bisnis, dan Sudra, atau pelayan, dalam Rig Veda, yang ditulis sekitar
3.000 tahun sebelum kelahiran Kristus..
Alasan tiga kelompok pertama disebut dengan ―dwij‖ adalah karena
diadakan parade penyucian untuk menghormati kelahiran mereka. Penerapan
kasta terhadap pemahaman varna dalam masyarakat Hindu kemudian menjadi
problematis. Dalam dialek yang digunakan masyarakat Kei, ada tiga derajat
kasta: Mel-mel, yang mengacu pada pendatang atau pendatang baru. Iri-Iri
adalah sekelompok pelayan yang telah melanggar konvensi dan jabatan mereka
sebelumnya sebagai Mel dan Ren dicabut, sedangkan Ren-ren adalah
sekelompok masyarakat adat yang otonom. Dahulu, kasta mulai bermunculan
di Kepulauan Kei pada abad kelima belas atau keenam belasKasta ini dibentuk
24

sebagai respons terhadap orang luar yang mengakui asal-usul Bali mereka
dalam catatan tertulis, seolah-olah hal itu sudah menjadi rahasia umum dalam
budaya Kei.19
Laksono mencatat bahwa di Kei, tidak ada sistem kasta seperti di India,
melainkan strata atau lapisan masyarakat. Ini disebabkan oleh perbedaan
struktur organisasi, kepemimpinan, dan ideologi antar strata tersebut. Kedua,
pengakuan dan pemisahan yang kuat antara Mel-mel, Renren, dan Iri-iri
terbentuk selama masa penjajahan Belanda pada abad ke- 16 atau ke-17.
Proses ini dapat dijelaskan sebagai suatu upaya politisasi dengan dampak
penindasan terhadap masyarakat, semuanya dilakukan untuk mencapai
kepentingan penjajah Belanda. Orang-orang Melmel yang mahir dalam
administrasi dan memiliki kemampuan kepemimpinan diambil oleh Belanda
untuk menduduki posisi-posisi penting dalam masyarakat. Mereka yang
terpilih di antaranya dikenal sebagai "Hala‘ai," yang menempati posisi sebagai
raja pertama di tanah Kei.
Max Weber juga mengemukakan teori serupa tentang kasta sebagai
komponen struktur sosial, meskipun Louis Dumonth tidak setuju. Ia
menyatakan: "Kita tidak bisa membahas kasta secara terpisah dari lingkungan
budaya tertentu di mana kasta tersebut berasal. Sebaliknya, kita harus
memandang kasta sebagai aspek terpadu dari totalitas sosial dan budaya untuk
memahaminya. Salah satu aspek budaya India yang perlu dipahami adalah
dipahami dalam konteks keseluruhan sosiokultural Hindu adalah kasta‖.20
Homo Hierarchicus adalah studi teoritis tentang kasta dan hierarki
yang dihasilkan Louis Dumonth pada tahun 1949 berdasarkan penelitian
lapangannya di kalangan Pralayai Kallar di India selatan (Une sous-caste de
l'Inde du Sud) dan literatur ideologi tentang kasta. Dengan isu "kasta" sebagai
perhatian utama, Dumont membahas historiografi dan teori sosiologi India
oleh JH Hutton, MN Srinivas, McKim Marriott, Emile Durkheim, dan Eugene

19
Ohoitimir J, Beberapa Sikap Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,
(Manado: Pinenang, 2010) 98.
20
Ohoitimir J, Beberapa Sikap Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,
(Manado: Pinenang, 2010) 98
25

Weber. Dumont berpendapat bahwa "kasta bukanlah stratifikasi sosial,


melainkan sistem hierarki yang didasarkan pada ketidaksetaraan." Di sini,
Dumonth mencoba untuk memahami kasta sebagai kebenaran sosial yang
lengkap dan bukan sebagai konsep strata sosial Barat yang aneh, Dumonth
berangkat untuk mengidentifikasi prinsip ideologi utama struktur sosial India
dan menyelidiki, memisahkan, dan merumuskan teori hierarki baru serta
konsep fundamentalnya tentang murni dan tidak murni. Dalam pengenalannya
yang inovatif terhadap konsep Victoria tentang "persatuan umat manusia",
Dumonth membingkai keprihatinan individu, masyarakat, kesetaraan, dan
hierarki dalam studi tentang kasta.
Sepanjang tulisannya, Dumonth menunjukkan konsistensinya dalam
menggunakan perbandingan dibandingkan dengan analisis sejarah yang
berkonsentrasi pada kasta di India. Dumonth menganalisis struktur dan hierarki
sosial untuk menarik kesimpulan dan perbandingan teoretis. Hal ini terutama
terlihat jelas dalam pertanyaan dari individu. Menurut Dumonth, masyarakat
tradisional sangat menekankan pada kolektif manusia, masyarakat secara
keseluruhan, dan bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan hierarki
dan tatanan. Sementara itu, masyarakat kontemporer sangat menekankan
individu sebagai landasan pemahaman Dumonth tentang hierarki dan
kesetaraan.
Dumonth berpendapat bahwa hirarki muncul dari konsensus nilai dan
gagasan dan Menurut Dumonth, hierarki merupakan komponen penting dalam
kehidupan sosial dan merupakan hasil kesepakatan konsep dan nilai. Karena
"hierarki mencakup agen-agen sosial dan kategori-kategori sosial", maka
hierarki mencakup elemen-elemen fundamental masyarakat. Lembaga kasta
pan-India didefinisikan oleh Dumonth sebagai seperangkat konsep dan nilai,
kerangka pemikiran yang formal dan dapat dipahami, dan—yang terpenting—
sarana untuk membedakan dan menghubungkan kelompok kasta satu sama
lain. Kedua, pekerjaan, adat istiadat, dan pembagian kerja. Ada tiga
pengelompokan peringkat hierarki yang secara komparatif lebih baik atau lebih
buruk satu sama lain. Akibatnya, pembedaan antara yang murni dan yang tidak
26

murni merupakan ciri hierarki yang paling signifikan.


Untuk memperluas gagasan hierarki, Domonth membedakan antara
teori hierarki India dan konsep hierarki Barat sebagai subordinasi progresif.
Daripada mendasarkan hierarki pada konsep barat tentang kekuasaan dan
otoritas linier, Domonth menghubungkan hierarki India dengan nilai-nilai
agama, menguraikan empat varna dan hubungannya dengan keseluruhan. Kata
Sansekerta "varnas" berarti "tipe", "urutan", "warna", atau "kelas". Kelas sosial
dilambangkan dengan frasa ini, yang dapat juga bermakna menutupi,
membungkus, menghitung, mengklasifikasikan, mengkarakterisasi, atau
memilih. Kata ini pertama kali muncul dalam Rgveda, yang menunjukkan
warna, penampilan luar, warna luar, warna, pewarna, pigmen, atau bentuk
gambar. Dalam banyak tulisan Weda dan abad pertengahan, istilah "Varna"
mengacu pada "warna, ras, suku, spesies, jenis, jenis, sifat, karakter, kualitas,
properti" suatu objek atau seseorang dalam arti kontekstual.
Empat varna—Brahmana, pendeta, ilmuwan, dan instruktur; Ksatria,
raja, pejuang, dan administrator; Waisya, petani dan pedagang; dan Sudra,
buruh dan penyedia jasa—adalah kelompok dasar masyarakat yang ditemukan
dalam literatur Hindu. Menurut Dumonth, prinsip hierarki mengklasifikasikan
bagian-bagian penyusun suatu keseluruhan menurut hubungannya dengan
keseluruhan. Alih-alih mengkarakterisasi sistem tersebut sebagai sistem
ekonomi, Dumonth mencirikannya sebagai sistem hubungan dan aktivitas yang
bersifat turun-temurun, dengan keberhasilan dan kegagalan. Akibatnya, sistem
ini didasarkan pada referensi implisit umum yang pada dasarnya bersifat
keagamaan, atau jika seseorang lebih suka, suatu hal yang paling penting12
tetapi mendistribusikan otoritas di antara kelompok kasta sambil mengakui
konsep politik dan kekuasaan secara keseluruhan. Dumont menyatakan bahwa
otoritas duniawi adalah milik raja, hakim, dan hukum Brahmana, namun
otoritas keagamaan adalah milik para Brahmana. Selain itu, unit desa
mempunyai kewenangan yang rumit dan beragam..
Dumonth menegaskan bahwa stratifikasi sosial dan perbedaan kasta
memang ada, dan gagasan tentang kasta sangat terkait dengan kekuasaan dan
27

posisi. Oleh karena itu, jika seluruh umat manusia dianggap ada dalam diri
setiap manusia, maka setiap manusia harus bebas dan semua orang harus
setara, dan inilah yang mendasari dua prinsip besar: kebebasan bersama dan
kesetaraan. Ide-ide tersebut tentu saja mengikuti konsep manusia sebagai
individu. periode kontemporer. Sebaliknya, setelah laki-laki menganut tujuan
komunal, kebebasan mereka dibatasi dan kesetaraan mereka dipertanyakan.
Namun, seperti yang ditunjukkan Dumonth, kesetaraan adalah konsep yang
lebih baik namun pada dasarnya dibuat-buat. Dengan demikian, penulis
menerapkan konsep Dumonth untuk menganalisis konsep kasta dalam
masyarakat Kei dengan mencoba menarik perbandingan antara realitas aktual
dan konsepsi asli kelompok sosial, yang dalam pandangan Dumonth terjalin
membentuk suatu totalitas struktural..
Masyarakat agraris yang diteliti inilah yang akan diteliti. dengan
pertanian sebagai sumber pendapatan utama. Jenis dan kondisi stratifikasi
sosial yang ada dipengaruhi oleh lingkungan pertanian tersebut. khususnya,
dampaknya terhadap kasta. Strata sosial berikut ini merupakan mayoritas
sistem stratifikasi pertanian. Pertama, elit politik-ekonomi, yang mencakup
kelas pemilik tanah dan raja serta keluarganya. Kelas penyewa adalah yang
kedua. Kelas pedagang berada di urutan ketiga. Kelas klerikal berada di urutan
keempat. Kelas petani berada di urutan kelima. Kelas keenam untuk seniman.
Kelas ―sampah masyarakat‖ berada di urutan ketujuh. Hak istimewa khusus
diberikan kepada empat kelas pertama sebagai kelompok kelas. Meskipun
demikian, elit politik-ekonomi – yaitu kelas penguasa dan pemerintah – tidak
diragukan lagi merupakan kelompok istimewa yang paling signifikan. Kelas
terbawah adalah petani, seniman, dan kelompok terakhir; namun, karena petani
merupakan kelas terbesar, mereka juga merupakan kelompok yang paling
tereksploitasi.15 Struktur sosial mencakup kasta, menurut antropologi sosial
dan budaya. Kata ―struktur‖ dalam bahasa Latin yang berarti mengatur, berasal
dari kata ―struktur‖.21

21
Sanderson, Stephen K, Makro Sosiologi-Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), 153
28

Konsep stratifikasi sosial menggambarkan adanya perbedaan dan


hierarki pada berbagai tingkatan dalam suatu komunitas. Misalnya, ada lapisan
atas, menengah, dan bawah di lingkungan ini. Dalam suatu kelompok sosial
atau masyarakat, pembedaan dan pengelompokan tersebut didasarkan pada
adanya simbol-simbol tertentu yang bernilai atau penting ditinjau dari ciri-ciri
sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan lainnya. Hal-hal seperti
pendapatan, pendidikan, status, kesalehan beragama, dan pekerjaan adalah
beberapa contoh lambang tersebut.
Dengan kata lain, stratifikasi sosial akan tetap ada dalam suatu
kelompok atau komunitas selama ada sesuatu yang bernilai atau berguna.
Kelas sosial pernah lebih banyak digunakan dalam sosiologi dibandingkan
gagasan stratifikasi sosial. Kata "kelas sosial" pertama kali digunakan untuk
merujuk pada kedudukan atau kedudukan sosial oleh kaisar Romawi pada abad
kedelapan belas dan kesembilan belas..
Max Weber, yang pertama kali mengemukakan gagasan tentang kelas
sosial, kedudukan sosial, dan partai, kemudian mengidentifikasi perbedaan
antara kelas sosial dan status sosial. Menurut Weber, kelas sosial diasosiasikan
dengan hubungan antara penciptaan dan kepemilikan kekayaan, sedangkan
status sosial merupakan cerminan dari stratifikasi sosial, yang diasosiasikan
dengan nilai-nilai yang dijunjung suatu komunitas dalam mengonsumsi
kekayaan dan cara hidupnya. Partai, di sisi lain, adalah kelompok sosial yang
memberikan pengaruh pada perilaku sosial melalui kekuasaan..22

Konsepsi Max Weber tentang kelas sosial, kedudukan sosial, dan partai
memungkinkannya membedakan antara status sosial dan kelas sosial. Weber
mendefinisikan kelas sosial sebagai jenis stratifikasi sosial yang berkaitan
dengan kepemilikan kekayaan dan hubungan produksi. Sebaliknya, status
sosial merupakan ekspresi stratifikasi sosial dan terkait dengan nilai-nilai yang
dianut suatu komunitas dalam membelanjakan uang atau cara hidupnya. Pada

22
Doddy Sumbodo Singgih, / Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif
Sosiologi/,Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, 2010, hlm.1.
29

hakikatnya partai merupakan kelompok sosial yang mengutamakan


penggunaan wewenang untuk membentuk perilaku sosial tertentu.
Weber memperluas gagasan yang dikemukakan Marx dalam
pendekatannya terhadap kelas sosial. Marx mendefinisikan kelas sosial sebagai
pengelompokan sosial orang-orang yang mempunyai peran yang sebanding
dalam organisasi produksi, yang terutama dibedakan berdasarkan tempatnya
dalam struktur ekonomi dan kepemilikan alat-alat produksi. Weber
mengadopsi definisi kelas sosial Marx tetapi menambahkan dua elemen
penting: kondisi pasar dan kapasitas individu. Kelas, dalam pandangan Weber,
bukanlah sebuah komunitas yang homogen melainkan kumpulan individu-
individu dalam keadaan yang sebanding.
Struktur sosial, kemudian, mengacu pada organisasi masyarakat.
Gagasan tentang struktur sosial tampaknya diterapkan dalam banyak cara.
Menurut Radclife Brown, struktur sosial masyarakat terdiri dari jaringan
hubungan antarpribadi yang kompleks. Hubungan sosial antar manusia serta
pembedaan antar manusia dan kelas sosial berdasarkan tugas sosialnya
masing-masing dengan demikian termasuk dalam konsep struktur sosial.
Diawali dengan gagasan kebudayaan, yang meliputi pembagian struktur sosial
menjadi dua kategori: stratifikasi dan diferensiasi. Kasta membedakan
kelompok-kelompok dalam masyarakat berdasarkan sifat alamiah dan sifat
bawaan. Memilah orang berdasarkan kedudukan bawaannya, menjalin
hubungan timbal balik, mengatur hubungan antar anggota melalui norma dan
hukum, serta mengalokasikan pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh
anggota tertentu adalah semua aspek dari sistem kasta.

C. Penelitian Terdahulu
Meninjau penelitian sebelumnya memudahkan peneliti untuk melakukan
penelitian, sehingga sangat penting bagi peneliti untuk melakukan penelitian
ini. Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang mencakup subjek
yang berkaitan dengan penyelidikan saat ini.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, berbagai karya ilmiah telah mengkaji
30

Kitab; Di antara karya ilmiah tersebut ada yang ditulis oleh Almu Yuni
Triyatmi, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin yang
mengulas tentang Etos Kerja. Etos kerja yang dibahas dalam buku ini
khususnya dikaji dalam kajian ini dari sudut pandang agama.
Siti Mahmudah mengkaji Ketuhanan dalam Bhagavad Gita, sedangkan
Faidatul Inayah mengkaji Atman dalam tesisnya Konsep Atman dalam
Bhagavad Gita. M. Danil Balya Rizal memusatkan penelitiannya pada
pengertian moksa dalam Bhagavad Gita. Dengan menggunakan sudut pandang
filosofis dan teknik hermeneutika-teologis Rudolf Bultman, ia mengawali
penelitiannya dengan penjelasan gagasan seputar moksa dan diakhiri dengan
pembahasan cara mencapai moksa.
Selain itu, Rizal Umami, salah satu jurusan filsafat di bawah Ushuluddin
Aqidah, dengan tesis berjudul ―Kebahagiaan Menurut Bhagavad Gita,‖
penelitiannya berpusat pada kebahagiaan dan akibat yang ditimbulkannya.
Kesenangan manusia dapat dicapai dengan pengetahuan (Jnana Yoga),
aktivitas tanpa memperhatikan hasil (Karma Yoga), dan cinta; tindakan
sebagai pengorbanan kepada Tuhan (Bhakti Yoga). Penelitian ini
menggunakan pendekatan filosofis sebagai metodologinya.
Selain itu, kajian tentang kebahagiaan dan dampaknya juga dilakukan
oleh Rizal Umami, salah satu jurusan filsafat di bawah bimbingan Ushuluddin
Aqidah, untuk tesisnya, ―Kebahagiaan Menurut Bhagavad Gita.‖ Kebahagiaan
manusia dapat dicapai dengan pengetahuan (Jnana Yoga), tindakan sebagai
pengorbanan kepada Tuhan (Bhakti Yoga), dan aktivitas tanpa mempedulikan
hasilnya (Karma Yoga). Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini
bersifat filosofis.
David Hizkia Tobing, Ni Made Dwi Mahardini. Pulau Bali adalah rumah
bagi beragam tradisi budaya leluhur. Diantara tradisi tersebut adalah sistem
kasta yang masih menjadi ciri masyarakat Hindu di sana. Kasta adalah sistem
stratifikasi sosial India kuno yang membedakan antara kehormatan dan
martabat. Orang keturunan Wiana dan Santeri. Hingga saat ini, kasta masih
menjadi kesulitan tersendiri bagi perempuan Bali yang memiliki kasta tinggi
31

dalam memilih pasangan; Ketika perempuan dari kasta tinggi atau triwangsa
menikah dengan laki-laki dari kasta terbawah atau sudra wangsa atau yang
disebut dengan nikah nyerod, maka prasangka dan beban yang mereka hadapi
akan terlihat sederetan Karmini. Hal inilah yang membuat para akademisi
penasaran untuk mengetahui apa saja modifikasi yang dilakukan perempuan
Hindu dalam budaya Bali dalam memenuhi tugas perempuan nyerod.
Wawancara mendalam digunakan sebagai metode pengumpulan data
dalam studi fenomenologi kualitatif ini, yang melibatkan tiga orang wanita
Hindu-Bali yang sedang menjalani pernikahan nyerod sebagai responden.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada lima wilayah berbeda di mana
perempuan penganut nerod Hindu-Bali menyesuaikan diri. Hal ini mencakup:
penyesuaian pribadi yang dilakukan dalam konteks hubungan dengan suami;
penyesuaian sosial yang dilakukan dengan keluarga responden dengan tetap
berupaya menjaga hubungan baik; dan penyesuaian Keluarga suami
berinteraksi secara sosial dengan melakukan upaya menerima dan bersikap
ramah.
32

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bersifat kualitatif
dan menghasilkan data berupa pernyataan lisan atau tertulis dari subjek yang
tampak dan diperlukan.
Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penyelidikan
terhadap fenomena perilaku, persepsi, motif, tindakan, dan lain-lain yang
dialami partisipan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif dengan cara kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan data yang tersedia saat ini untuk mengidentifikasi
permasalahan dan memberikan gambaran serta penjelasan yang jelas.23
Karena tujuan peneliti adalah untuk menjelaskan, mengkarakterisasi, dan
menunjukkan bagaimana praktik kasta digunakan dalam pernikahan Hindi di
Desa Madrash, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
teknik deskriptif.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul yang diangkat dalam penelitian ini, maka lokasi
penelitian ini dilakukan Di wilayah Kampung Madrash Jln. Medan Petisah,
Madras Hulu, Petisah Tengah, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.
Dimana wilayah itu terdapat Kampung Hindia yang memiliki komunitas besar
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitiannya dimulai Pada bulan Maret sampai bulan Oktober
2023.

C. Subjek Penelitian
Muhammad Idrus mengartikan subjek penelitian adalah orang, benda,
atau makhluk hidup yang dijadikan sebagai sumber data untuk pengumpulan

23
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2019).
33

data penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto, topik penelitian adalah suatu


benda, orang, atau keadaan yang dijadikan sebagai letak data yang relevan
dengan penelitian dan berkaitan dengan variabel-variabel penelitian. Kedua
definisi yang disampaikan di atas menunjukkan betapa eratnya keterkaitan
antara topik kajian dan sumber data penelitian. Subjek penelitian adalah segala
sesuatu yang tertanam dalam isu yang ingin Anda pelajari dan berfungsi
sebagai sumber data untuk penyelidikan Anda.24
Adapun yang akan menjadi informan dalam penelitian ini adalah warga
Kampung Madras Hulu, kecamatan Medan Petisah, Kota Medan yang
memiliki mayoritas dan komunitas besar orang Hindia.
Beberapa informan tersebut dipilih peneliti guna untuk memperoleh
informasi dan data yang sesuai terkait Praktek kasata perkawinan orang Hindu
di Kampung Madrash dikarenakan dapat memberikan informasi sesuai dengan
rumusan masalah yang akan dicari oleh peneliti.
Tabel 3.1 : Daftar Informan Peneliti
No Nama Kedudukan Jenis Umur
Kelamin
1 M. Chandra Bose, Ketua Laki-laki 58
S.Sos
2 S. Panir Selwa Sekretaris Laki-laki 45
3 M. Jaya Silen Bendahara Laki-laki 41
4 M. Kunasegren Admin Laki-Laki 50
5 Narain Sami Masyarakat Laki-laki 42
6 R. welyutman Masyarakat Laki-laki 32

Sumber : Hasil Penelitian 2023.

24
Rahmadi, Pengantar Metodelogi Penelitian, (Banjarmasin, Kalimantan Selatan: Antasari
Press, 2011), hlm. 61.
34

D. Tahap-Tahap Penelitian
1. Tahap Pra Lapangan (Persiapan)
a. Menyusun Rancangan Penelitian
Peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan yang terdapat di
Kampung Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, yaitu
mengenai Praktek Kasta Pada Pernikahan Orang Hindu, mayoritas mereka
adalah Orang Hindia.
b. Pemilihan Lokasi Penelitian
Peneliti memilih Kampung Madras Hulu, sebagai lokasi penelitian
utamanya adalah karena di kampung tersebut adalah komunitas terbesar
dan penduduk terbanyak orang Hindia.
c. Mengurus Surat Perizinan
Peneliti mendapatkan surat izin sebelum memulai penelitian, oleh
karena itu pengurusan izinnya melalui Fakultas Ilmu Sosial Uin Sumatera
Utara Medan. Kepala dusun terdekat yang menjadi tempat penelitian
kemudian diberikan surat izin.
d. Menjajaki dan Menilai Lapangan
Sebelum memulai penelitian, peneliti meminta izin; Oleh karena
itu, Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumut Medan mengurus izin tersebut. Surat
izin kemudian diserahkan kepada kepala dusun terdekat tempat penelitian
dilakukan.
e. Memilih dan Memanfaatkan Informan
Untuk mendapatkan informasi yang akurat, peneliti memilih
sejumlah tokoh masyarakat Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan
Polonia, Kota Medan, antara lain tokoh agama, tokoh adat, dan
masyarakat yang sadar akan pernikahan kasta. Mereka juga memilih
sejumlah informan lain yang mereka yakini dapat memberikan informasi
sesuai dengan data yang mereka cari.
f. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Dipercaya bahwa untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya,
peralatan penelitian harus siap. Merakit perlengkapan penelitian seperti
35

buku, pena, dan alat tulis lainnya, serta perangkat komunikasi seperti
telepon dan kamera untuk mengambil dan merekam gambar untuk
dokumentasi.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
a. Pengumpulan Data
Sebelum melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi di
lokasi penelitian, peneliti mencari berbagai bahan dan referensi dalam
buku dan jurnal yang relevan dengan pokok bahasan yang diteliti pada
tahap pengumpulan data.
Dalam kesempatan ini, para ulama pernah berkunjung ke
Perpustakaan Kota Medan dan juga Perpustakaan Uin Sumut. Selanjutnya
di lokasi penelitian yang dipilih yaitu Desa Madras Hulu, Kecamatan
Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara, peneliti melakukan
observasi, wawancara, dan dokumentasi.
b. Tahap Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah melakukan wawancara dengan
menggunakan informasi yang telah ditentukan sebelumnya dengan
menggunakan teori-teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Apabila
informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan data belum sepenuhnya
akurat dan relevan, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memperoleh data akurat yang sesuai dengan informasi yang diberikan.
c. Tahap Penulisan Laporan
Laporan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu laporan
prapenelitian yaitu proposal skripsi berupa rancangan penelitian yang akan
diselesaikan sebelum dilakukan penelitian, dan laporan tesis. Setelah
melakukan penelitian dan mengumpulkan data lapangan yang dipelajari
secara komprehensif, maka skripsi ini ditulis.

E. Teknik Pengumpulan Data


Proses pengumpulan data yang diperlukan secara metodis dan seragam
dikenal sebagai pengumpulan data. Karena perolehan data merupakan tujuan
36

utama penelitian, Sugiyono menegaskan bahwa prosedur pengumpulan data


merupakan tahapan paling strategis dalam proses tersebut. Tanpa pemahaman
tentang metode pengumpulan data, peneliti tidak dapat memperoleh data yang
memenuhi standar data yang dipersyaratkan.‖ 25
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Wawancara
Interaksi tatap muka dengan orang yang diwawancarai adalah
metode pengumpulan data yang dikenal dengan wawancara. Kelurahan
Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan menjadi lokasi
penelitian ini. Tujuannya untuk memperoleh balasan terkait penelitian.
Wawancara semi terstruktur adalah pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini. dimana peneliti menyiapkan sejumlah pertanyaan yang
berkaitan dengan data yang dikumpulkan, namun pertanyaan tersebut
dapat berubah berdasarkan apa yang muncul selama wawancara.
Komunitas lokal berperan sebagai informan tambahan, dan dalam hal ini
penulis mewawancarai pendeta dan staf.
2. Observasi
Istilah "metode observasi" sering kali mengacu pada observasi.
Dengan menggunakan observasi langsung dan pencatatan terhadap item-
item lapangan tertentu, pendekatan observasi ini mengumpulkan data.
Dalam hal ini, observasi dilakukan sebagai bagian dari
penyelidikan untuk mengetahui penyebab punahnya sistem kasta di desa
Madrash.
3. Dokumentasi
Mencari informasi tentang objek atau variabel melalui catatan,
transkrip, buku, agenda, dan bahan lainnya disebut dokumentasi.
Memanfaatkan metodologi penelitian ini, sumber dan informasi tentang
Desa Madrash diperiksa.

25
Nazir, Moh. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
37

Foto-foto dan berbagai data lain yang akan diambil sebelum, saat,
dan sesudah acara adat, serta beberapa dokumentasi luar lainnya yang
dianggap penting dan dapat melengkapi data yang akan diperoleh, akan
dijadikan dokumentasi dalam penelitian ini.

F. Teknik Analisis Data


Ketika data empiris dikumpulkan dalam bentuk kumpulan kata-kata,
bukan rangkaian angka, dan tidak dapat diorganisasikan ke dalam kategori atau
sistem klasifikasi, maka dilakukan analisis data kualitatif. Meskipun ada
banyak cara untuk mengumpulkan data (seperti observasi, wawancara, intisari
dokumen, rekaman kaset), data tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum
dapat digunakan (misalnya dengan mencatat, mengetik, mengedit, atau
menulis). Analisis kualitatif, sebaliknya, masih menggunakan kata-kata yang
biasanya disusun menjadi teks yang diperluas dan tidak mengandalkan statistik
atau perhitungan matematis sebagai alat analisis.26
Tiga aliran aktivitas bersamaan reduksi data, penyajian data, dan
kesimpulan/verifikasi merupakan aktivitas analitis, menurut Miles dan
Huberman. Serentak berarti terjalinnya reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan/verifikasi; ini merupakan proses siklus dan interaksi
yang terjadi secara paralel sebelum, selama, dan setelah pengumpulan data dan
mengembangkan wawasan luas yang dikenal dengan ―analisis‖ Ulber Silalahi.
Triangulasi, reduksi data, analisis, interpretasi, dan transkrip wawancara adalah
beberapa prosedur analitik data yang digunakan dalam penelitian kualitatif.27
Proses pengumpulan informasi secara metodis dari wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi dikenal sebagai analisis data. Ini melibatkan
pengorganisasian sintesis, menyusunnya menjadi pola, memilih informasi yang
akan dipelajari, dan menarik kesimpulan yang mudah dipahami baik oleh
individu maupun masyarakat. Tiga proses yang saling berhubungan yaitu

26
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011),
hlm. 249.
27
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).
(Ahmadi, 2019:13)
38

reduksi data, penyajian data, dan penyusunan kesimpulan merupakan


pendekatan analisis data kualitatif. Sugiono menyatakan bahwa analisis data
kualitatif terjadi dalam tiga tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Proses mengklasifikasikan dan menyederhanakan data disebut
reduksi data. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi
tema dan menciptakan konsep. Hasil dari prosedur ini mencakup tema,
konsep, dan deskripsi data berbeda yang membahas isu-isu terkait dan
bertentangan. Reduksi data adalah proses rumit yang memerlukan
wawasan, keluasan, dan pemahaman yang mendalam. (Sugiono)
2. Penyajian Data
Data kemudian harus ditampilkan setelah reduksi data. Tujuan dari
prosedur ini adalah untuk memfasilitasi kemampuan penulis dalam
mengintegrasikan materi ke dalam gambaran sosial yang komprehensif.
selanjutnya untuk memverifikasi keakuratan data yang sudah dapat
diakses. Selain itu, ada cara lain untuk menyajikan data selain prosa
naratif, seperti grafik, matriks, jaringan, dan obrolan. Dengan
menyajikan data, akan lebih mudah memahami apa yang telah dipahami.
3. Penarikan Kesimpulan
Dalam penelitian kualitatif, hasil-hasil baru yang telah ditemukan
merupakan kesimpulan yang diperkirakan. Penemuan data bisa berupa
gambaran atau deskripsi suatu objek yang sebelumnya tidak jelas, namun
menjadi jelas jika diamati lebih dekat. Data tampilan yang telah
ditampilkan sebelumnya dapat dikatakan sebagai kesimpulan yang dapat
diandalkan jika didukung oleh data yang substansial.

Mengikuti proses pengumpulan data yang diuraikan di atas,


penalaran induktif digunakan oleh peneliti untuk menguji data. Secara khusus,
penalaran induktif menyatakan bahwa ―kesimpulan umum diambil dari fakta
atau peristiwa tertentu, yang dimulai dari fakta dan peristiwa konkret tertentu‖.
39

G. Teknik Keabsahan Data


Menurut Moleong, penting untuk memverifikasi keabsahan data yang
digunakan untuk menjelaskan temuan penelitian ini. Teknik triangulasi
digunakan oleh peneliti untuk memverifikasi keaslian data dalam penelitian
ini. Dua bentuk triangulasi yang berbeda digunakan dalam penyelidikan ini,
yaitu:

1. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknis adalah proses dimana peneliti memperoleh data
dari sumber yang sama dengan menggunakan banyak metode. Untuk
sumber data yang sama, peneliti secara bersamaan menggunakan dokumen,
wawancara, dan observasi.

Observasi

Sumber data
sama
Wawancara

Dukumentasi

Gambar 3.1 Triangulasi Teknik

2. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari sumber
yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.

Wawancara B

Gambar 3.2 Triangulasi Sumber


40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kondisi Geografis Kampung Madrash, Medan Petisah


Kawasan seluas sekitar 10 hektar di kota Medan, Indonesia, yang
dikenal sebagai Kampung Madras (sebelumnya Kampung Keling), dulunya
merupakan rumah bagi koloni India yang cukup besar. Wilayah ini terdapat
di dekat kecamatan Medan Petisah dan Polonia. Candi Hindu tertua di
Medan, Candi Sri Mariamman, dan candi terbesar di Medan, Candi Vihara
Gunung Timur, terletak di kawasan ini. Muslim India juga membangun
Masjid Ghaudiyah dan Masjid Jami. Selain itu, Perguruan Tinggi Nasional
Khalsa yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Sikh Medan terletak di Desa
Madras. Dulunya sekolah ini terkenal sebagai satu-satunya sekolah berbahasa
Inggris di Medan. Selanjutnya nama daerah tersebut diubah dari ―Patisah‖
menjadi ―Kampung Madras‖ untuk mewakili negara asal penduduk India
setempat.

Kini "kampung keling" sering digunakan sebagai kata-kata yang


meremehkan dan bersifat rasis, sehingga dianggap berkonotasi negatif.
Namun istilah "Kampung Madras" kini telah menggantikannya.[Referensi
diperlukan] Meskipun masih banyak individu keturunan India yang tinggal di
wilayah ini hingga tahun 1950-an, jumlah mereka kemudian menurun akibat
kondisi ekonomi yang sulit. telah memaksa mereka untuk pindah.
Bersama dengan Little India, Penang, Madras Village saat ini jauh
lebih banyak dihuni oleh orang-orang keturunan Tionghoa dibandingkan
orang India. Pada tanggal 27 Oktober 2018, Walikota Medan Dzulmi Eldin
membuka Gerbang Medan Little India di Kampung Madras. Acara tersebut
meliputi pelepasan balon, pemotongan pita, dan penulisan prasasti.
Rumah Ibadah :
a) Kuil Shri Mariamman
b) Kuil Thandayuthapani
41

c) Kuil Sri Kaliamman


d) Kuil Maha Muniswarar
e) Masjid Ghaudiyah
f) Masjid Jami
Terletak di antara kecamatan Medan Polonia dan kecamatan Medan
Petisah merupakan kawasan desa Madras. Sedangkan Kelurahan Madras
Hulu mempunyai batas wilayah sebagai berikut dan terletak di kecamatan
Petisah Kota Medan:
a) Berbatasan dengan Desa Anggrung, Kecamatan Medan
Polonia, di sebelah selatan,
b) Desa Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, di sebelah
utara.
c) Berbatasan dengan Kecamatan Hamdan Kecamatan Medan
Maimun di sebelah barat.
d) Membatasi Desa Petisah Hulu Kecamatan Medan Baru di
sebelah timur.
Struktur Pemerintahan Kelurahan Madras Hulu
a) Kepala Kelurahan Madras Hulu : Amrul Jihat, S.Sos
b) Sekretaris Lurah : Umar Dani SH
c) Kasi Pemerintahan : MHA. Mustaqiim Siregar, S.STP
d) Pembangunan : Saminem
e) Kasi Trantib : R. Tri Amanda S
Untuk pekerjaan pemerintahan kelurahan Madras Hulu di bantu
oleh 10 kepala lingkungan yaitu:
a) Kepala Lingukungan I : Bahari Effendi
b) Kepala Lingkungan II : Eko Apryanto.S
c) Kepala Lingkungan III : Nanda Balen
d) Kepala Lingkungan IV : Irwan
e) Kepala Lingkungan V : Sanjaya, ST
f) Kepala Lingkungan VI : Zulkifli
g) Kepala Lingkungan VII : Ashoka David
42

h) Kepala Lingkungan VIII : Drs. Wisnu G.P


i) Kepala Lingkungan IX : Adi Chandra
j) Kepala Lingkungan X : Suwardi
2. Demografis Kampung Madrash, Medan Petisah
Terletak di wilayah utara pulau Sumatera, Sumatera Utara adalah
sebuah provinsi di Indonesia. Dengan luas wilayah 72.981,23 km2, Kota
Medan dijadikan sebagai ibu kota provinsi. Dengan jumlah penduduk
beragama Hindu sebanyak 9.296 jiwa, Kota Medan memiliki jumlah
penduduk beragama Hindu terbesar. Kabupaten DeliSerdang berada di urutan
kedua dengan 2.989, disusul Kota Binjai dan Langkat. Umat Hindu di Kota
Medan merupakan mayoritas penduduk menurut data agama di Sumatera
Utara, sehingga peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan masyarakat
Hindu terhadap perbankan syariah di daerah tersebut.

Masyarakat Hindu Tamil di Kota Medan, seperti di berbagai tempat di


dunia, merupakan bagian dari komunitas Hindu yang memiliki akar budaya
dan tradisi khusus dari Tamil Nadu, India Selatan. Beberapa ciri khas yang
mungkin ditemui dalam masyarakat Hindu Tamil di Kota Medan melibatkan:

a. Bahasa dan Identitas Budaya:


Penggunaan bahasa Tamil dan pemeliharaan identitas budaya
yang berasal dari Tamil Nadu menjadi ciri penting dalam komunikasi
sehari- hari dan dalam upacara keagamaan di kalangan masyarakat
Hindu Tamil.
b. Kuil dan Tempat Ibadah:
Kuil Hindu Tamil, seperti Kuil Sri Mariamman di Medan,
berpotensi menjadi pusat aktivitas keagamaan dan budaya. Kuil-kuil
ini sering kali menjadi tempat utama untuk melakukan ibadah,
merayakan festival, dan melaksanakan upacara keagamaan.
c. Upacara Perkawinan dan Tradisi Keluarga:

Upacara perkawinan di kalangan masyarakat Hindu Tamil dapat


mengikuti tradisi dan ritual khas Tamil Nadu. Pentingnya menjaga
43

kesucian dan nilai-nilai keluarga dalam konteks perkawinan memiliki


peran yang signifikan.
d. Festival Hindu Tamil:
Festival-festival Hindu seperti Pongal, Diwali, Navaratri, dan
Thaipusam dirayakan dengan semangat di kalangan masyarakat Hindu
Tamil di Kota Medan. Setiap festival memiliki keunikan dan tradisi
sendiri.
e. Seni, Musik, dan Tarian:
Seni, musik, dan tarian yang bersumber dari tradisi Tamil
menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu
Tamil di Kota Medan. Pertunjukan seni ini seringkali mencerminkan
ekspresi budaya yang kaya.
f. Pendidikan Agama dan Bahasa Tamil:
Upaya untuk melestarikan warisan budaya dan keagamaan
dilakukan melalui pendidikan agama Hindu dan pengajaran bahasa
Tamil, khususnya untuk generasi muda.
g. Organisasi dan Komunitas:
Masyarakat Hindu Tamil di Kota Medan dapat terlibat dalam
organisasi atau kelompok komunitas yang bertujuan untuk menjaga
dan mempromosikan kegiatan keagamaan dan budaya Tamil.
44

Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Sumatera Utara

Kabubupaten Islam Protestan Katolik Hind Budha Kong Hu


u Cu
01 N i a s 1 546 124 530 32 533 - 345 20
02 Mandailing Natal 10 013 1 699 10 22 20
03 Tapanuli Selatan 251 394 33 557 5 729 3 981 30
04 Tapanuli Tengah 108 887 145 701 53 261 18 144 -
05 Tapanuli Utara 15 269 254 136 14 515 2 125 -
06 Toba 10 551 295 670 22 540 37 118 35
07 Labuhan batu 325 016 48 958 30 776 53 7 637 270
08 A s a h a n 622 937 114 276 12 913 109 9 478 695
09 Simalungun 799 835 308 840 71 160 128 2 604 95
10 D a i r i 73 529 216 334 53 332 20 271 -
11 K a r o 94 348 225 011 78 894 130 2 318 -
12 Deli Serdang 1 402 282 301 106 75 173 2 44 758 11 802
989
13 L a n g k a t 918 013 102 800 5 831 409 9 374 480
14 Nias Selatan 7 300 394 280 76 268 6 43 -

15 Humbang 7 700 112 739 56 110 - 3 -


Hasundutan
16 Pakpak Bharat 23 102 29 083 2 224 - - -
17 Samosir 1 924 89 152 64 941 8 7 -
18 Serdang Bedagai 475 605 93 102 17 678 207 7 968 545
19 Batu Bara 328 122 37 289 8 827 25 1 300 280
20 Padang Lawas Utara 229 492 5 497 35 3 17 20
21 Padang Lawas 278 539 1 200 35 - 7 -
22 Labuhanbatu Selatan 272 351 2 300 2 417 16 822 120
23 Labuhanbatu Utara 301 445 27 332 7 786 30 2 138 90
24 Nias Utara 9 317 141 154 27 789 2 - -
25 Nias Barat 3 250 71 957 18 170 2 - -
Kota
26 S i b o l g a 54 407 46 929 8 359 2 3 062 48
27 Tanjungbalai 131 320 15 700 2 385 27 14 093 895
28 Pematangsiantar 120 386 113259 16 365 265 15 631 385
29 Tebing Tinggi 125 423 33 236 3 104 217 12 374 337
30 M e d a n 1 641 401 495 141 309 483 9 215 315 11 194
296
31 B i n j a i 240 829 5 873 4 251 630 14 248 380
32 Padangsidimpuan 191 810 15 865 1 883 - 938 39
33 Gunungsitoli 18 587 99 883 16 384 - - -
4 011 1 102 14
Sumatera Utara 9 522 822 366 141 27 780
903 850 644
Sumber: Kantor Wilayah Kementrian Agama Sumatera Utara, 2021
45

Kota Medan merupakan pusat Provinsi Sumatera Utara dan kota


terbesar di Pulau Sumatera bagian timur. Kota Medan berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, timur, dan selatan, serta Selat
Malaka di sebelah utara. Kota Medan terbagi menjadi 21 kecamatan : Medan
Amplas, Medan Denai, Medan Johor, Medan Kota, Medan Tuntungan, Medan
Polonia, Medan Area, Medan Maimun, Medan Selayang, Medan Baru, Medan
Helvetia, Medan Sunggal, Medan Perjuangan, Timur Medan, Medan Barat,
Medan Petisah, Medan Deli, Medan

Kecamatan di Kota Medan dirancang untuk membantu kerjasama dan


tata kelola. Kecamatan Medan Polonia terbagi menjadi lima kecamatan:
Kecamatan Polonia, Damai, Suka Damai, Madras Hulu, dan Anggrung.
Mengingat Kecamatan Madras Hulu mayoritas penduduknya beragama Hindu
dan dikenal dengan nama Desa Keling, maka dipilihlah Kecamatan Madras
Hulu sebagai lokasi penelitian.

Dari segi sosiologi, Kecamatan Madras Hulu memberi nama Kampung


Keling tanpa alasan yang jelas, selain masyarakat yang memberinya julukan
Keling Keling. Alasan disebutnya Desa Keling adalah karena banyak
penduduk setempat yang mempunyai wajah keling. Hal ini menunjukkan
bahwa orang India merupakan mayoritas penduduk Tamil/India di desa
tersebut. Terlihat dari data di atas, terdapat 1.290 WNI asli yang meliputi
warga Aceh, Melayu, Jawa, dan Batak, serta 2.034 warga keturunan keturunan
Indonesia yang meliputi etnis Tionghoa dan Sikh. 1.630 orang Tamil dan 57
orang asing Publik.

Di Desa Keling, Jel. Tuku Chik Deitiro, Madras Hulu, Nyonya Timur, Teru
Adalah Roughali 1.530 Warga Hindu.
46

Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Petisah
Berdasarkan Agama
Agama Jumlah

Islam 2.322

Kristen 485

Katolik 477

Budha 3.256

Hindu 2.014

Sumber: Sistem Pendataan, Profil Kelurahan Madras Hulu, 2021

3. Gambaran Umum Penelitian


Kota terbesar ketiga di Indonesia adalah Kota Medan yang berfungsi
sebagai ibu kota provinsi Sumatera Utara. tidak hanya luas dari segi luas
lahan tetapi juga luas dari segi jumlah penduduk. Penduduk Kota Medan
berasal dari berbagai wilayah geografis dan mewakili berbagai latar belakang
ras, agama, dan sosial. Saat ini, Medan adalah salah satu kota terbesar dan
termaju di Indonesia dalam hal keragaman demografi, perkembangan sosial
dan ekonomi, keragaman budaya dan agama, serta makna sejarah. Pengaruh
dibukanya kota ini sebagai bekas kota perkebunan khususnya industri
perkebunan di Sumatera Timur yang dirintis oleh warga negara Belanda
Jacobus Nienhuys adalah yang menyebabkan pesatnya perkembangan kota ini
hingga saat ini. Produk ekspor yang paling menguntungkan sejak dibukanya
perkebunan di Sumatera Timur adalah tembakau.
Pelzer melaporkan bahwa tanggung jawab survei status pantai timur
Sumatera pada awalnya diserahkan kepada R. Ibbetson oleh Sekretaris
Gubernur British East India Company di Penang. Namun R. Ibbetson tidak
dapat menyelesaikan tugas ini karena sakit. Kemudian, pada tanggal 1
Januari 1823, R. Ibbetson terpaksa mengundurkan diri, dan John Anderson
diberi perintah untuk menyelesaikan tugasnya. Pada tanggal 9 Januari 1823,
47

Anderson berangkat dari Penang menuju Sumatera Timur, tiba kembali pada
tanggal 9 April, tepatnya tiga bulan kemudian. Perkembangan perkebunan di
Deli mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja karena tidak ada pekerja di
wilayah tersebut yang membudidayakan tembakau. Tiongkok, India, dan
Pulau Jawa mulai mengimpor kuli untuk dijadikan buruh perkebunan di
bisnis Deli.
Para pemilik perkebunan saat itu banyak mendatangkan kuli-kuli
tersebut untuk membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja di setiap
wilayah perkebunan. Pekerja India telah digunakan sejak kebun pertama
dibuka. Kuli India lebih menguntungkan karena lebih murah dan, dalam
pandangan tukang kebun, mempunyai sikap yang lebih tenang dan tidak suka
bersekongkol, namun kuli Cina tetap dipilih karena bakat dan usaha mereka.
Para kulikuli asal India ini terkenal rajin, memiliki passion terhadap
profesinya, serta terampil dalam pengelolaan hasil perkebunan dan beternak
sapi perah.
Breman menyatakan bahwa pada tahun 1862, perkebunan di Sumatera
Timur mulai menghasilkan produk pertanian siap saji, dengan tembakau yang
paling banyak dikonsumsi. Jumlah perkebunan kini berkembang pesat. Inilah
sebabnya mengapa 800-900 kuli diimpor pada tahun 1869. Selain orang
Tionghoa, mereka juga mempekerjakan beberapa ratus orang Jawa, Siam
(Thailand), dan Madrasah dari pantai Coromandel di British India. Dua puluh
perkebunan beroperasi di Sumatera hingga akhir tahun 1875; pada tahun
1872, hanya lima belas 13 di antaranya di Deli yang mempekerjakan 3.4476
orang Tionghoa, 459 orang India, dan 316 orang Jawa. Mereka tersebar di
beberapa wilayah di Sumatera Timur dan sudah cukup lama menjadi buruh
perkebunan. Kuli etnis Tamil India merupakan salah satu komunitas kuli
perkebunan. Sebenarnya keberadaan mereka sudah diketahui sejak abad
ketiga Masehi ketika mereka tiba di Sumatera Timur untuk bekerja di
perkebunan dengan tujuan menyebarkan agama Budha dan Hindu di Barus.
Kemudian, beberapa dekade kemudian, pada abad ke-19, imigran dan kuli
Tamil mulai berdatangan ke perkebunan di Sumatera Timur.
48

Sinar mengklaim bahwa mereka lebih memilih beroperasi di Sumatera


Timur karena suhu pantai di sana lebih panas dibandingkan suhu di dataran
Tanjore, Madura, dan Tinenelly. Meskipun kuli Tamil di Sumatera Timur
lebih cocok menanam kakao, lada, kelapa, dan tembakau, mereka harus
menyesuaikan diri dengan udara pegunungan di Sri Lanka agar bisa menanam
kopi. Etnis Tamil mulai menetap di Jl. KH. Zainul Arifin (sebelumnya
bernama Jalan Kalkuta) guna menghidupi dirinya selama bekerja sebagai
buruh perkebunan di Sumatera Timur. Sungai Babura yang membelah Kota
Medan dan menjadi sarana transit masyarakatnya pada masa lalu menjadi
alasan dipilihnya lokasi ini. Penduduk Medan sudah terbiasa menyebut
lingkungan ini sebagai Kampung Madras karena banyaknya kuli etnis Tamil
yang menetap di sini secara permanen.
Etnis Tamil mulai menetap di Jl. KH. Zainul Arifin diperkirakan
hidup pada abad ke-19, dimana wilayah Kesultanan Deli mengalami
kemakmuran ekonomi berkat keberhasilan penjualan tembakau Deli yang
akhirnya menjadi produk utama usaha perkebunan Deli di seluruh dunia. Saat
ini, penduduk di kawasan ini tidak hanya terdiri dari etnis Tamil tetapi juga
orang-orang asal Tionghoa (Tionghoa), Aceh, Jawa, Batak, dan suku Melayu.
Sudah lama dikenal sebagai Kampung Keling di kalangan masyarakat Medan.
Karena reputasi lokasi ini sebagai komunitas Tamil kulit hitam, maka dijuluki
Keling. Sejarah ajaran agama Hindu di wilayah ini berkembang dan dimulai
pada tahun 1884 dengan dibangunnya Kuil Shri Mariamman.
Keberadaan kampung ini membuktikan sejarah panjang masyarakat
etnis Tamil yang hidup berdampingan dengan etnis lain di Medan.
Pembangunan masjid oleh etnis minoritas Muslim Tamil merupakan indikasi
lain keberadaan kelompok etnis Tamil. Masjid Ghaudiyah, demikian
diketahui, didirikan pada tahun 1887. Masjid ini terletak di Kecamatan
Petisah Tengah, tepatnya di Jl. KH. Zainul Arifin, di pinggir jalan.
Keberagaman suku Tamil di Desa Madras ditunjukkan dengan kehadiran
mereka.
Pemukiman Madras sangat menarik dan kaya akan sejarah, dengan
49

bangunan-bangunan tua yang menjadi pengingat akan kehadiran kelompok


etnis Tamil di Medan. Meski Kampung Madras merupakan nama baru dusun
tersebut, namun Kampung Keling merupakan nama asli desa tersebut dan
masih terkenal hingga saat ini. Modifikasi ini dilakukan untuk tujuan baik;
Penduduk lima Desa Madras, khususnya warga Tamil, dilatarbelakangi oleh
sejumlah pertimbangan untuk menghilangkan istilah Keling dan memulihkan
nama Madras. Karena kata "Keling" dikaitkan dengan kulit gelap mereka dan
menyinggung kelompok etnis Tamil, kata tersebut dipandang memiliki arti
negatif.
Selain itu, tidak ada suku atau wilayah geografis di dunia yang pernah
diberi nama Keling. Selain menghilangkan istilah ―Keling‖ sama sekali, nama
Kampung Madras dipandang lebih tepat dan bagus karena memang kampung
tersebut terletak di Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Petisah, Kota
Medan. Selain itu, kelompok aslinya berasal dari distrik Madras di India.

Gambar 4.1 Kampung Madras, Medan petisah

4. Eksistensi Perkawinan Beda Kasta Menurut Hindu Tamil

Agama Hindu memandang perkawinan atau wiwaha sebagai perbuatan


dharma dan yadnya karena Tuhan telah bersabda dalam Manava
dharmasastra IX sebagai berikut: Manavah samtarnarthamca prnja nartha
striyah srstah. Salam kepada krutam dharmah patnya sahaditah. Terjemahan:
50

Laki-laki diciptakan untuk menjadi ayah, sedangkan perempuan dimaksudkan


untuk menjadi ibu. Oleh karena itu, Weda mengamanatkan agar suami dan
istri ikut serta dalam upacara keagamaan.
Langkah pertama dalam Grahasta Ashram disebut wiwaha, atau
pernikahan. Sebagaimana dikemukakan Agastya Parwa, tujuan utama
kehidupan berumah tangga adalah menjalin kehidupan yang disebut ―Yatha
sakti Kayika Dharma‖, yaitu amalan menegakkan Dharma dengan kekuatan
diri sendiri. Mengingat bahwa pernikahan akan mempengaruhi kedudukan
dan martabat keluarga, disarankan atau diantisipasi bahwa hal itu akan terjadi
antara dua orang yang sederajat. Manawa Dharmasastra III, sloka 15, yang
berbunyi: "Hinabati striyam mohad udwa hanto dwijatayah kulanyewa
nayantyacu sasamtanani cudratam" dalam terjemahannya mendukung hal
tersebut. Jika orang Dwijati menikahi wanita Sudra karena kebodohannya,
maka keluarga dan anak-anaknya akan segera kehilangan martabatnya dan
menjadi seperti para Sudra. Mengingat prevalensi pernikahan antar kasta di
desa-desa Madrash, keluarga dan masyarakat pada umumnya, dan desa-desa
Madrash pada khususnya, lebih memilih pernikahan dilakukan antara anggota
kasta yang sama. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh fanatisme kasta;
sebaliknya, hal ini juga bertujuan untuk melestarikan garis keturunan dan
tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi serta kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat setempat.
Namun terlepas dari itu semua, tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhanlah
yang menentukan nasib dan pasangan jiwa seseorang. Sebagai manusia, yang
bisa kita lakukan hanyalah berusaha; Pada akhirnya, Tuhanlah yang
menentukan jalan hidup seseorang. Oleh karena itu, perkawinan beda kasta
baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan terus terjadi di Desa
Madrash meskipun sudah banyak peringatan dari orang tua dan warga Desa
Gria tentang dampak negatif dari perkawinan tersebut.
Kasutri, warga Desa Madrash mengatakan, ―Desa Madrash melindungi
hukum dalam perkawinan adat dengan aspek terkait di tingkat masyarakat.”
Keberadaan dan penerapan peraturan adat perkawinan yang terkenal di
51

kalangan masyarakat Wangsa dapat memberikan dampak pada lapisan


masyarakat tersebut. Dalam paradigma ini kedudukan sosial seseorang sejak
lahir bersifat vertikal, namun dalam Wangsa lebih ditentukan oleh
keturunannya. Pasek Diantha menggambarkannya sebagai “stelsel vertikal
untuk sistem catur dinasti, sedangkan sistem catur warna menganut sistem
horizontal”
“Sistem kasta sudah ada sejak zaman kerajaan, dengan perbedaan
yang jelas antara kaum bangsawan dan rakyat jelata,” Kunna, sang
pengurus, menambahkan. “Seorang Brahmana Jawa yang konon mempunyai
kesaktian luar biasa muncul di Gelgel pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong. Dengan persetujuan raja, Brahmana diangkat menjadi
Bhagavanta kerajaan, atau pendeta tertinggi kerajaan, setelah
menyelesaikan "kerusuhan politik" di kerajaan Gelgel. Para Brahmana ini
kemudian menerapkan sistem kasta setelahnya. Pangkat tertinggi ditempati
oleh para Brahmana dan keluarganya. Para Vaishya adalah para arya, atau
gubernur, raja dan keluarga mereka, sedangkan keluarga kerajaan menjadi
para Kshatriya. Sudra adalah kasta terendah umat manusia. Sejak saat itu,
sistem kasta di Bali berkembang dari generasi ke generasi dan menjadi
semakin kaku. Sistem kasta memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
perkawinan, bahkan terkadang menimbulkan masalah. Mirip dengan
pernikahan beda agama, pernikahan antar kasta juga secara tradisional
dihindari.”
Beberapa kesimpulan, termasuk adanya pernikahan dalam agama
Hindu Tamil, dapat diambil berdasarkan temuan penelitian ini. Intinya, teks
Manawa Dharmasastra menyatakan bahwa karena perkawinan akan
berdampak pada status keturunan, maka sebaiknya individu dari kasta yang
sama menikah. akan tiba setelah lahir. Namun dalam kaitannya dengan
serikat antarkasta yang terjadi di desa-desa Madrasha, serikat-serikat tersebut
masih berlanjut hingga saat ini; Menurut data yang dihimpun, enam
pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, telah menikah di luar kasta
mereka.
52

Selain itu, orang mungkin melihat berbagai hal di masyarakat dalam


berbagai cara dan dapat berdampak buruk pada kehidupan orang lain melalui
tindakan nyata mereka. Menurut sejumlah perspektif, prosedur tersebut
memerlukan pengenalan data atau sinyal dari masyarakat ke dalam setiap
stimulus individu yang terpapar, sehingga memungkinkan mereka untuk
bertindak dan membentuk individu. Reaksi ini memunculkan banyak tipe
masyarakat. Masing-masing orang harus saling memberi tanggapan mengenai
apa yang boleh dan tidak boleh diterima. Hal ini didasarkan pada kemampuan
untuk menalar perbedaan dalam proses berpikir dan menarik kesimpulan
positif antara dua orang atau lebih. Struktur organisasi sosial sistem wangsa
Bali hampir identik dengan sistem wangsa India.
Kemiripan ini mungkin muncul dari kenyataan bahwa sistem di kedua
domain ini berasal dari sumber yang sama kesalahan dalam penerapan sistem
derajat Weda. Sebaliknya, sistem gelar India di Madras jauh lebih kompleks
dan terbagi menjadi empat dinasti: Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Hal ini disebabkan perlakuan sistem dinasti yang tidak normal terhadap setiap
golongan, mulai dari Sudra terendah hingga Brahmana tertinggi, membuat
pernikahan antar orang yang berbeda status menjadi sangat tidak pantas.
Alasannya adalah, terutama jika wanita tersebut berasal dari dinasti yang
lebih tinggi, pernikahan memiliki tingkat hubungan yang berbeda-beda antara
dinasti yang lebih tinggi dan masyarakat pada umumnya. Banyak orang dari
dinasti yang lebih tinggi masih tidak ingin menikah dengan dinasti yang lebih
rendah, yang tentu saja berdampak pada perlakuan berbeda terhadap manusia
tergantung pada dinasti mana mereka berasal, termasuk pemisahan.
Jika seorang wanita dianiaya, anggota dinasti lain dilarang menikah.
Hukum ini tidak hanya berlaku bagi istri tetapi juga bagi laki-laki,
keluarganya, dan anak-anaknya, meskipun ibu dan anak-anaknya mungkin
menggunakan kata-kata kotor. Selain itu, perempuan tidak diperbolehkan
beribadah di pura keluarganya, tidak diperbolehkan memandikan jenazah
orang tua atau kerabatnya jika meninggal dunia, dan kerabat wajib berbicara
dengan tenang.
53

Sementara itu, pasangan dan anak-anaknya tidak diperbolehkan


meninggalkan jenazahnya saat bepergian ke Setra jika ia meninggal dunia.
Alasan mengapa posisi perempuan buruk dalam perkawinan dinasti di sini
adalah jika seorang perempuan menikah dengan dinasti lain dan kemudian
bercerai, statusnya akan menjadi topik perbincangan di masyarakat dan
keluarganya. Ketika dua orang yang berbeda ras menikah, posisi perempuan
akan sangat menderita akibat perpisahan tersebut. Keadaan perempuan yang
diceraikan sangat memprihatinkan sepanjang masa paswara, yang
berlangsung dari tahun 1910 hingga diubah menjadi paswara pada tahun
1927. Perempuan yang menikah dengan orang luar wajib mengadakan
upacara perpisahan antara masa Paswara tahun 1910 dan 1927. Hal ini
dilakukan sebagai cara untuk mengurangi gelar etnis perempuan agar setara
dengan suaminya.
Perempuan jenis ini kehilangan dinastinya karena model Upakara,
sehingga tidak bisa lagi menggunakan gelar yang mengandung nama
tridinasti. Dari segi hak asasi manusia, terbukti bahwa perkawinan antara
akupundung dan Akangakhi kalang huku telah melanggar hak-hak tersebut
secara signifikan. Sebab, sistem hidup dan mati merupakan pengingkaran
terhadap hak-hak, termasuk hak atas keselamatan dan perlindungan dari
perlakuan yang merendahkan derajat manusia, hak atas keadilan, persamaan
hak, dan kekerabatan. Dalam contoh lain perkawinan campuran, perempuan
diharuskan melakukan ibadah keagamaan dalam upaya menghilangkan
dinastinya jika status mempelai perempuan dianggap lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Maksudnya diistilahkan upakarapati wangi, upakara
ini. Mengurangi aroma inilah yang dimaksud dengan istilah pati wangi. Baik
buruknya upakarapati aromatik ini banyak dibicarakan di masyarakat. Ritual
ini dipandang penting bagi masyarakat yang mempunyai sumber daya
keuangan lebih besar, namun tidak diperlukan bagi masyarakat yang
berkecukupan karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip
kehidupan.
Bahwa hak untuk menjalin hubungan kekeluargaan, persamaan hak dan
54

keadilan, serta hak untuk merasa aman dan mendapat perlindungan dari
orang-orang yang merendahkan martabat dan kedudukan manusia, semuanya
ditekankan dalam penerapan Upakarapati Wangi. Surat Keputusan
Pasamuhan Agung III yang diterbitkan oleh Dewan Desa Pakraman pada
tahun 2010 lebih memberikan kejelasan mengenai status perempuan setelah
berpisah dari perkawinan antar dinasti yang berbeda. Dampak perceraian
terhadap kedudukan perempuan, seperti yang disampaikan oleh Kep.
Pasamuhan Ag. III : Dengan adanya desa wangsa mulih (kembalinya gadis-
gadis), para wanita tri golongan yang bercerai dari perkawinan dengan
anggota dinasti lain akan kembali ke rumah leluhurnya. Swadikara dan
swadharma wanita di rumah keluarganya akan kembali seperti sebelum
menikah jika dia kembali ke desa.
Meskipun tidak ada undang-undang yang memberikan hukuman jika
keluarga perempuan tersebut menyetujui dia kembali tinggal bersama mereka
sebagai seorang anak perempuan, dalam hal ini, kerabat perempuan tersebut
harus terbuka untuk menerima dia kembali ke rumah dimana dia dibesarkan.
Dengan menggunakan konsep padapedum, harta bersama atau gunakaya akan
dibagi rata. Tentu saja, hal ini tidak sama dengan pembagian uang di masa
lalu, ketika pengalihan aset bersama hanya menguntungkan pihak laki-laki.
Namun saat ini, kekayaan demi kekayaan memerlukan distribusi yang adil di
antara seluruh pemangku kepentingan.
5. Faktor-Faktor terjadinya perkawinan beda kasta di Kampung Madrash
Berdasarkan temuan wawancara yang dilakukan peneliti dengan sekaa
truna, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan individu yang menikah di luar kasta,
penyebab-penyebab berikut biasanya berkontribusi terhadap perkawinan
antar kasta:
a. Faktor Internal

Dalam hal ini, ―faktor internal‖ adalah emosi dan kepribadian


seseorang. Dalam hal emosi, seseorang yang sangat mencintai orang
lain mungkin akan berusaha keras untuk tetap bersama orang tersebut—
55

dalam contoh ini, menikahi seseorang yang berbeda kasta. Selain itu,
perkawinan antar kasta juga bisa disebabkan oleh kelalaian orang tua.
Ketika orang tua terkadang kekurangan waktu untuk memantau
interaksi anak karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Pak Made Rasmite menegaskan, apabila calon pengantin


mempunyai hubungan darah dengan isterinya atau bila seorang suami
beristri banyak, merupakan bibi atau kemenakan isterinya, maka
perkawinan sedarah itu dilarang atau dilarang. diperpanjang, yaitu
antar saudara kandung serta saudara kandung orang tua dan nenek
seseorang. Menurutnya, kasta tidak ada dari sudut pandang agama,
sehingga orang tua tidak mempermasalahkan jika anaknya
memutuskan menikah dengan orang yang kasta lebih rendah dalam
perkawinan beda kasta. Cinta bersama (tresna), menciptakan dan
memelihara sebuah keluarga, dan membesarkan anak-anak adalah
kekuatan pendorong pernikahan mereka, terlepas dari status sosial
ekonomi mereka. Pejati atau kesaksian Hyang Widhi Wasa
merupakan komponen fundamental dalam pelaksanaan perkawinan.
Hal ini meliputi penyucian diri, khususnya wanita, agar keturunannya
menjadi keturunan yang unggul dan mampu menjunjung tinggi segala
dharma. Bpk I Nyoman Nandra S.Ag. S.Pd. menularkan ini:
―Orang-orang di Desa Madrash menikah dengan orang-orang
yang berbeda kasta karena berbagai alasan, termasuk
keyakinan mereka sendiri bahwa mereka harus bisa memilih
pasangannya sendiri dan mengendalikan nasib dan masa depan
mereka sendiri. Ada di antara mereka yang pernah melakukan
pernikahan terencana, namun banyak orang tua yang mungkin
tidak setuju dengan pilihan anaknya jika perjodohan tersebut
batal karena pasangan tidak saling menyukai atau karena salah
satu dari mereka sudah memiliki pasangan, Namun sekali lagi,
budaya Hindu memandang pernikahan sebagai sebuah dharma,
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sungguh-sungguh
56

karena merupakan peristiwa sekali seumur hidup dan bertujuan


untuk menciptakan keluarga bahagia. Di sini, orang tua
memberikan dan mempercayakan pilihan dan pilihan anaknya,
tanpa memandang kasta.”
Berdasarkan wawancara dengan bapak I Nyoman
Nandra, perkawinan beda kasta terjadi dikarenakan mereka
yang berpasangan ini saling mencintai dan tidak ada yang bisa
menentukan nasib mereka kecuali mereka sendiri dan semua
mempunyai hak dalam memilih pasangan.
Hal ini juga diungkapkan oleh bapak wayan dan ibu
gusti tentang kenapa kasta sudah tidak dipakai lagi didalam
pernikahan hindu tamil :
―Setiap orang mempunyai hak dan kepercayaan diri untuk
memilih pasangan hidupnya melalui pernikahan. Jadi mereka
berpendapat bahwa kasta menumbuhkan kesenjangan sosial di
antara umat Hindu. Hal lain yang dilakukan kasta adalah
memutuskan tali silaturahmi antar umat Hindu.”
Dari hasil wawancara dengan bapak wayan dan ibu gusti
beliau mengatakan bahwa kasta tidak menjadi permasalahan
justru dengan cara menikah dengan berbeda kasta semakin
memperkuat tali silaturahmi sesama umat hindu
Hal yang sama juga disampaikan bapak Made Rasmite
yang dimana menurutnya pendidikan juga menjadi faktor
penyebab perkawinan beda kasta :
‖ Karena banyaknya pengalaman yang ditawarkan sekolah,
mungkin saja ikatan santai atau terarah antara orang dewasa
dan remaja juga akan menghasilkan kesinambungan sosial.
Pertumbuhan dan pemantauan individu yang belum dewasa
serta komunitas tempat mereka tinggal adalah bagian dari
proses ini. Pendidikan memungkinkan mereka untuk memahami
dan beradaptasi dengan manusia yang lebih maju matang
57

secara fisik dan kognitif, bebas, dan sadar akan Tuhan yang
terungkap dalam sifat manusia intelektual, emosional, dan
fisik.”
Berdasarkan temuan wawancara dengan Pak Made
Rasmite tentang komponen pendidikan yang juga berkaitan
dengan perkawinan, individu akan lebih mudah untuk
bermigrasi atau bermigrasi jika akses terhadap pendidikan
berkualitas tinggi mudah didapat dan membekali mereka dengan
informasi. mereka peroleh sebagai siswa. Di sisi lain, mereka
yang kurang memiliki pendidikan yang kuat akan kesulitan
untuk mengubah posisinya karena kurangnya informasi yang
diperlukan untuk dapat memperoleh pendidikan yang
berkualitas.
Hal yang sama juga disampaikan bapak I Nyoman
Nandra tentang kedua belah pihak yang saling mencintai :
‖ Ini tentang emosi dan watak seseorang, yang terhubung
dengan emosi seseorang yang begitu dalam mencintai orang
lain sehingga mereka tidak akan berhenti untuk bersama
mereka, bahkan jika itu berarti menikah dengan seseorang dari
kasta yang berbeda. Faktor yang paling kuat dalam persatuan
mereka adalah cinta mereka satu sama lain, yang merupakan
penyebab utama perkawinan antara anggota dari berbagai
kasta. Kebanyakan orang di tempat ini menikah karena cinta,
tanpa memandang status sosial atau kasta mereka.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas bahwa jika
seseorang sudah saling mencintai tidak ada yang bisa mencegah
lagi.
Hal yang sama juga disampaikan dengan bapak Made
Rasmite mengenai putra atau putrinya yang jika menikah
dengan berbeda kasta:
―Since I believe there is no such thing as caste from a religious
58

standpoint, I won't mind if my son or daughter chooses to wed


someone from a lower caste. Their marriage was based on their
love for one another, their desire to create and maintain a
family, and their desire to have children—not on their mutual
social standing.”
Beberapa dari mereka tidak mempermasalahkan putra dan
putrinya menikah dengan kasta yang lebih rendah sebab
kebahagian lah yang diutamakan dengan mereka.
a. Faktor Eksternal
Unsur lingkungan merupakan faktor eksternal yang dibahas di
sini. Padahal karakter, mentalitas, cara berpikir, dan gagasan kasta
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Kemungkinan
terjadinya perkawinan beda kasta akan terhindarkan atau dikurangi
jika terdapat lingkungan kekerabatan yang kuat (ikatan komonalistis).
Sebab, sistem kekerabatan masih mengakui adanya merajan tunggal
atau kawitan sehingga sulit menerima atau mendemonstrasikan
berbagai bentuk perkawinan antar kasta.

Sebaliknya, jika seseorang hidup di lingkungan yang didominasi


oleh gaya hidup materialistis dan tersapu oleh modernitas,
kemungkinan besar ia akan jauh dari prinsip komunalistik, kehilangan
minat terhadap budaya atau tradisinya, dan lebih memilih hidup
mandiri tanpa kasta. atau keluarga. Namun sebenarnya hal ini
tergantung pada kepribadian masing-masing individu. Ketika orang
tua menunjukkan pengabdian yang berlebihan, hal ini dapat
menyebabkan kegelisahan dan depresi pada anak-anak mereka, yang
pada gilirannya memotivasi mereka untuk menolak keterbatasan
mereka.
Begitu pula dengan anak yang diberi kebebasan oleh orang
tuanya (tidak terlalu dibatasi), hal ini sering kali dapat merangsang
keinginan anak untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat orang
tuanya bangga. Selain itu, tidak lazim jika permasalahan ekonomi
59

menjadi salah satu katalisator pernikahan antar kasta. Tidak dapat


dipungkiri bahwa memiliki penghasilan yang besar akan mengangkat
derajat sosial seseorang dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain.
Kadang-kadang mereka tidak akan berhenti untuk mencapai
tujuannya, seperti dalam hal ini melepaskan kasta mereka demi
mendapatkan sesuatu yang dianggap lebih penting dan berharga
daripada kasta mereka sendiri.
Banyak kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan temuan
penelitian di atas. Alasan terjadinya perkawinan beda kasta dapat
dilihat dari dua sudut pandang: pertama, faktor internal yang berkaitan
dengan perasaan seseorang, yang dipengaruhi oleh rasa cinta yang
begitu kuat terhadap orang lain, bahkan terkadang sampai rela
melakukan apa saja. hanya untuk bisa menghabiskan waktu bersama
orang yang dicintainya, meski itu berarti menikah dengan orang yang
berbeda kasta. Unsur lingkungan hidup merupakan aspek eksternal
yang dibahas di sini. Padahal karakter, mentalitas, cara berpikir, dan
gagasan kasta seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Selain itu, perkawinan antar kasta biasanya juga dipicu oleh
pertimbangan ekonomi.
1) Faktor Lingkungan Pak Made Rasmite menegaskan bahwa
karakter, mentalitas, cara berpikir, dan gagasan kasta
seseorang sangat dibentuk oleh lingkungannya. Untuk
mencegah perselisihan yang tidak produktif, belajarlah
menghargai dan memahami perbedaan yang ada. Bapak
Mangku Sugita menegaskan bahwa perilaku manusia dibentuk
dan berubah seiring dengan lingkungan. Dari lingkungan inilah
sifat-sifat dan tingkah laku manusia berasal secara alami.
Orang-orang akan terlibat satu sama lain dan berusaha untuk
bertahan hidup di lingkungannya. Untuk memastikan bahwa ia
dapat eksis di lingkungannya saat ini dan berkembang di sana,
salah satu hal yang harus dilakukan adalah dengan
60

menyesuaikan perilakunya agar sesuai.


2) Keterbukaan Masyarakat Pak Made Rasmite menegaskan
bahwa mereka yang memiliki tingkat keterbukaan terhadap
pengalaman yang lebih tinggi memandang perubahan sebagai
pengalaman baru, dan bahwa keterbukaan terhadap masyarakat
atau kepribadian yang lebih terbuka membuat seseorang lebih
mudah menangani perubahan. Dengan cara ini, pengetahuan
tentang kemajuan global yang sedang berlangsung tidak akan
hilang begitu saja.
3) Modernisasi atau Kemajuan Zaman Pak Sugita menyatakan
bahwa modernisasi atau perkembangan zaman dapat
mendorong perubahan di banyak bidang, termasuk
kebudayaan, dan bahkan dapat mempengaruhi apakah budaya
yang diterima suatu kelompok sosial akan berubah. Serupa
dengan ini, pernikahan antarkasta kini diizinkan tanpa
memandang kasta; dahulunya perkawinan hanya dapat
dilakukan oleh anggota marga atau kasta yang sama.
Kelompok yang menentang perubahan pada akhirnya akan
bentrok akibat transformasi tersebut. Komunitas suatu
kelompok sosial mungkin memilih untuk mengubah budaya
yang mereka ikuti karena mereka yakin budaya tersebut sudah
tidak sesuai lagi.
Cara berpikir masyarakat yaitu berhak menentukan nasib dan
kehidupannya di masa depan dengan pilihan pasangannya sendiri
merupakan salah satu dari dua faktor internal dan eksternal yang
menyebabkan terjadinya perkawinan beda kasta pada masyarakat
Kelurahan Madras Medan. Petisah, sesuai pengamatan yang dilakukan.
Beberapa dari mereka telah melakukan perjodohan; Namun, jika
pertandingan dibatalkan karena pasangan tidak akur atau sudah
memiliki pasangan sendiri, maka pertandingan dibatalkan. Banyak
orang tua yang tidak setuju dengan pilihan anaknya, namun pernikahan
61

merupakan sebuah dharma dalam masyarakat Hindu yang dilaksanakan


dengan khidmat dan serius karena merupakan peristiwa sekali seumur
hidup. Di sini, orang tua percaya dan menyerahkan keputusan anaknya,
tanpa memandang kasta.
Gaya berpikir mereka yang terus berkembang dan canggih
membuat mereka tetap terbuka untuk mencoba hal-hal baru dan
beradaptasi menjadi lebih baik; mereka percaya bahwa hal tersebut
tidak bertentangan dengan tradisi dan tetap mematuhi hukum atau
praktik yang berlaku. Dengan demikian, status sosial mereka tidak
menghalangi mereka untuk hidup bersama. Salah satu alasan mengapa
pendidikan menjadi salah satu faktor dalam pernikahan antar kasta
adalah karena pendidikan merupakan proses menemukan kembali
makna pengalaman; Hal ini bisa terjadi dalam interaksi santai atau
interaksi antara orang dewasa dan remaja, namun bisa juga terjadi
dengan sengaja dan dilembagakan untuk menciptakan kesinambungan
sosial.
Generasi muda dan kelompok tempat tinggalnya harus dibina
dan diawasi selama proses ini. Bagi manusia yang telah matang secara
intelektual dan fisik, yang bebas dan sadar akan Tuhan seperti yang
ditunjukkan di alam, pendidikan merupakan proses penyesuaian diri
yang lebih tinggi yang berkelanjutan. sifat manusia, baik intelektual
maupun emosional. Aspek pendidikan juga berhubungan dengan
pernikahan. Masyarakat akan lebih mudah berpindah atau bermobilisasi
dengan informasi yang diperolehnya selama menjadi pelajar jika
pendidikan berkualitas tinggi dapat diakses dengan mudah.
Di sisi lain, mereka yang belum mendapatkan pendidikan
yang layak merasa sulit untuk mengubah keadaannya karena
ketidaktahuan yang disebabkan oleh hambatan terhadap pendidikan
berkualitas tinggi. Contoh ini berkaitan dengan emosi dan watak
seseorang yang begitu terbuai oleh rasa cinta terhadap orang lain
sehingga tak henti-hentinya untuk bersama, meski harus menikah
62

dengan orang yang berbeda kasta. Mayoritas orang di sini menikah


karena cinta, tanpa memandang perbedaan kasta atau status sosial.
Inilah motif utama mereka bersatu, dan alasan mengapa mereka
menikah lintas kelas. Karakter, mentalitas, cara berpikir, dan gagasan
kasta seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Untuk mencegah perselisihan yang tidak produktif, belajarlah
menghargai dan memahami perbedaan yang ada. Perilaku manusia
dalam suatu lingkungan dapat mengalami modifikasi dan pembentukan.
Dari lingkungan inilah sifat-sifat dan tingkah laku manusia berasal
secara alami. Orang-orang akan terlibat satu sama lain dan berusaha
untuk bertahan hidup di lingkungannya. Untuk tetap eksis di
lingkungan, salah satu hal yang harus dilakukan adalah dengan
menyesuaikan perilaku seseorang dengan lingkungan sekitar. Di dunia
yang selalu berubah, penerimaan masyarakat terhadap ide-ide baru
membantu masyarakat memahami bahwa segala sesuatunya harus
berubah agar kehidupan dapat menjadi lebih baik. Hal ini juga berlaku
dalam pernikahan, yang tidak hanya harus didasarkan pada hubungan
kekeluargaan tetapi juga pada keinginan untuk dapat hidup bahagia
selamanya bersama orang yang Anda cintai. sambil terus mematuhi
standar perilaku dan substansi serta memenuhi syarat untuk
memberikan nasihat yang akurat dan tepat mengenai prosedur
pawiwahan.
Perkawinan ini menurut hukum adat tergolong dalam sistem
Ngerorod atau bentuk perkawinan yang disebut juga angkat.
Merupakan jenis perkawinan yang didasari oleh usia, kerelaan bersama,
dan rasa cinta antara calon mempelai. Apakah budaya yang diterima
suatu kelompok sosial akan berkembang, modernisasi dan kemajuan
sepanjang waktu dapat mendorong perubahan di semua bidang,
termasuk budaya. Serupa dengan ini, pernikahan antarkasta kini
diizinkan tanpa memandang kasta; dahulunya perkawinan hanya dapat
dilakukan oleh anggota marga atau kasta yang sama. Konflik antara
63

pihak-pihak yang menolak perubahan pada akhirnya akan terjadi akibat


transisi ini.
Karena alasan-alasan yang tidak lagi tepat, suatu komunitas
dalam suatu kelompok sosial mungkin ingin melihat adanya perubahan
pada budayanya. Kompleksitas kehidupan yang ditimbulkan oleh
kemajuan zaman berdampak pada timbulnya berbagai perubahan,
namun juga membawa berbagai bahaya. Tumbuhnya cita-cita masa kini
yang tidak selalu dianut oleh semua orang menjadi salah satu
tantangannya. Begitu pula dengan permasalahan perkawinan antar kasta
di komunitas ini. Meski sebagian dari mereka masih mendukung
pernikahan antar anggota kasta yang sama, pembatasan yang melarang
pernikahan antar anggota kasta lain tidak menghalangi individu yang
memilih untuk menikah.
6. Perkawinan Beda kasta di kampung Madrash
Seorang perempuan yang berasal dari sistem kasta tidak bisa
memiliki tingkat kebebasan yang sama dalam hubungannya dengan
keluarga sehari-hari. Hal ini sejalan dengan cerita Candra Bose, pendeta di
Desa Madrash, yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dan
perlakuan terhadap mereka yang menikah di luar kasta dapat mengungkap
dampak sosial dari pernikahan antar kasta. Misalnya, seorang wanita yang
pulang ke rumah setelah turun kasta (nyerod) harus berbicara kepada orang
tuanya, saudara kandungnya, dan anggota keluarganya yang lain dengan
menggunakan bahasa yang bijaksana (sor singgih).
Di sisi lain, jika seorang wanita dari kasta yang lebih rendah
menikah dengan pria dari kasta yang lebih tinggi, keluarganya akan
memperlakukannya secara berbeda ketika dia pulang dan akan
memanggilnya Jero, bukan dengan nama aslinya. Sedangkan masyarakat
Desa Madrash mempunyai adat istiadat yang dikenal dengan sebutan
sembah kesembah dan parid-keparid dari segi budaya. Rasa persatuan dan
ikatan kekeluargaan yang kuat pada kasta Brahmana pada dasarnya
ditunjukkan oleh adat ini.
64

Ritual ini hanya dilakukan di rumah mempelai pria bagi wanita


yang merupakan keturunan kasta; itu tidak lagi dilakukan di rumah dan
malah diberikan kepada pria tersebut. Sedangkan pada masa metataban,
banten lain yang kedudukannya lebih rendah dari suaminya biasanya
diperuntukkan bagi perempuan dari kasta lebih rendah yang menikah
dengan laki-laki dari kasta lebih tinggi. Hal ini disebabkan adanya perintah
keluarga laki-laki (diparid) yang sering disampaikan kepada keluarga
perempuan dan melarang perempuan untuk makan. Begitu pula dalam adat
salat, wanita dari kasta rendah seringkali hanya dipuja oleh keluarga
asalnya dan tidak boleh dipuja oleh keluarga suaminya. Jika seseorang
mencoba menghentikan perilaku yang sudah mendarah daging ini,
hubungan sosialnya akan terpengaruh dan terganggu. Kecenderungan ini
telah diturunkan dari generasi ke generasi di masyarakat.
Berdasarkan temuan wawancara peneliti dengan R. Welyutman,
jika pelaksanaan yadnya tersebut di atas dihubungkan dengan pernikahan
antar kasta yang berlangsung di Desa Madrash Medan, maka setiap
upacara yadnya mempunyai adat atau peraturan yang melarang
memperlakukan orang secara setara. Misalnya, ada aturan khusus yang
tidak boleh diikuti dalam upacara piodalan Pura Gria Sakti Bukit Bangli
termasuk rabbi atau wanita dari kasta yang lebih rendah. Hal ini terlihat
pada saat ngayah di pura, dimana para rabi tidak diperbolehkan melakukan
persembahan catur. Selain itu, mereka juga boleh membantu dalam
melakukan sesaji lainnya, namun tidak boleh mengangkat (ngunggahang)
Medan ke pelinggih atau mengikuti meketis. Masyarakat setempat
meyakini bahwa pura ini merupakan tempat pemujaan Ida Pedanda,
sehingga tidak semua orang diperbolehkan melakukan apapun yang
berhubungan dengan tempat suci tersebut. Keyakinan inilah yang menjadi
alasan hal ini dilakukan selain karena adanya kesenjangan kasta.
Karena gagasan-gagasan tersebut telah tertanam dalam masyarakat
setempat, maka para rabi dan masyarakat setempat masih menjunjung dan
mengapresiasinya hingga saat ini tanpa merasa terpinggirkan atau iri hati.
65

Selanjutnya ada protokol tersendiri bagi seorang rabbi dalam ritual Pitra
Yadnya. Penduduk setempat diperbolehkan mengumpulkan dan
membersihkan jenazah rabi setelah kematiannya, namun tidak
diperbolehkan ―negen‖ (membawa) jenazah.
Aturan serupa juga berlaku untuk perlengkapan upacara seperti
sesaji yang digunakan dalam ritual Ngaben. Meskipun diperbolehkan
memberikan sesaji, namun tidak diperbolehkan untuk "nyuun"
(meletakkannya di kepala), sehingga sering kali pihak keluarga perempuan
memberikan perbekalan tersebut. Adat menganggap Sang Hyang Atma
orang yang meninggal akan menjalani "panesan" jika disentuh dan
pengorbanannya adalah suwun. Oleh karena itu, hal semacam ini tetap
dilestarikan hingga saat ini demi ketenangan masyarakat dan ketenangan
almarhum.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Eksistensi Perkawinan Beda Kasta Hindu Tamil
Pada hakikatnya, perkawinan yang ideal adalah perkawinan antar
individu berdasarkan keturunan atau dinasti di negara-negara tradisional
dimana cita-cita komunalistik masih tertanam kuat. Hal ini nampaknya
mendukung pandangan Hilman Hadikusuma yang mengatakan bahwa
perkawinan adalah sebuah nilai untuk meneruskan keturunan, menjaga
silsilah dan status sosial yang dimaksud dalam budaya asli yang masih
kuatnya paham kekerabatan berdasarkan hubungan keturunan (magis).
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Madrash masih
berupaya untuk menjunjung tinggi dan melestarikan adat istiadatnya,
khususnya yang berkaitan dengan silsilah dan garis keturunan, sarana adat
dan keagamaan serta adat istiadat (dresta) yang diturunkan dari nenek
moyangnya, khususnya yang bernilai dan sakral. atau aspek kearifan lokal
yang patut dilestarikan. Masyarakat Desa Madrash meyakini bahwa
pernikahan ada hubungannya dengan hubungan baik lahiriah maupun batin
(sekala dan niskala).
Berdasarkan catatan sejarah bahwa masyarakat Desa Madrash
66

merupakan peradaban Brahmana yang unik dengan tingkat kekerabatan


yang tinggi. Oleh karena itu, pernikahan dalam komunitas ini harus
dilangsungkan sesering mungkin antar Brahmana. Hal ini sesuai dengan
penegasan dalam buku ―Brahmana dan Hukumnya‖ karya Ida Bagus
Wyasa Putra bahwa cita-cita menjadi Brahmana adalah suatu yang mulia.
Banyak orang saat ini bercita-cita menjadi Brahmana, namun
sayangnya, banyak yang tidak berusaha dengan baik. Banyak di antara
mereka yang berusaha melakukan hal tersebut dengan cara yang tidak
benar, dengan menghujat orang-orang yang lahir dalam keluarga Brahmana
dan bahkan nenek moyang dinasti tersebut, yang bahkan pernah menjabat
sebagai purohitas atau Bhagavanta—pendeta istana dengan peringkat
tertinggi dengan memberikan nasihat kepada sanak saudara dan nenek
moyang mereka di jalan tersebut. tentang kelahiran dan kematian.
2. Faktor Terjadinya Perkawinan Beda Kasta Kampung Madrash
Pernikahan antar kasta terjadi karena berbagai alasan. Beberapa di
antaranya didorong oleh kepribadian atau emosi seseorang, seperti cinta,
yang seringkali menyebabkan seseorang kehilangan pandangan terhadap
dunia dan membuat mereka ingin melakukan apa pun untuk bersama orang
yang dicintainya. Variabel lingkungan sama pentingnya dengan variabel
lainnya. dimana watak dan kepribadian seseorang sangat dibentuk oleh
lingkungannya.

Lingkungan yang mendukung akan memberikan dampak yang


menguntungkan bagi pembentukan kepribadian dan sebaliknya. Data
tersebut nampaknya mendukung pernyataan Kartini Kartono bahwa
perkembangan kepribadian anak dipengaruhi oleh struktur keluarga dan
masyarakat, baik positif maupun negatif.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan beda kasta dapat
dipicu oleh keadaan ekonomi. Saat ini, tidak ada seorang pun yang ingin
hidup dalam kemiskinan; sebaliknya, semua orang ingin hidup cukup baik
sehingga, kadang-kadang, individu bahkan melepaskan kasta mereka demi
mendapatkan harta duniawi yang bersifat sementara. Pernikahan beda kasta
67

akan berdampak pada masyarakat Desa Madrash bukan? Bukan hanya pada
individu yang akan menikah, namun juga pada keluarganya, yang dapat
dilihat dari segi hukum, budaya, dan agama.
Tidak ada undang-undang formal yang mengatur dampak perkawinan
antar kasta. Demikian pula di Desa Madrash, individu yang menikah di luar
kasta mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam hak dan
tanggung jawabnya sebagai warga negara, sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Namun jika dilihat dari sudut pandang sosial budaya dan
agama, terlihat adanya perbedaan perlakuan terhadap orang yang menikah
berbeda kasta. Perbedaan tersebut bukan hanya disebabkan oleh
pertimbangan kasta, namun juga karena kepercayaan (dresta) masyarakat
setempat yang dianut secara turun-temurun dan masih dijunjung tinggi oleh
masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa upaya untuk mengatasi
masalah-masalah tradisional, seperti masalah perkawinan, harus dikaitkan
dengan prinsip-prinsip dan praktik-praktik dasar keagamaan yang dianut
oleh masyarakat, khususnya bagi masyarakat Bali, yang rata-rata tingkat
keagamaannya masih relatif tinggi.
3. Analisis Teori Stratifikasi Sosial Terhadap Kasta Pada Perkawinan
Orang Hindu Di Kampung Madras
Stratifikasi sosial dan sistem kasta saling terkait secara erat dalam
konteks perkawinan Hindu. Stratifikasi sosial merujuk pada pembagian
masyarakat menjadi kelompok-kelompok berdasarkan faktor-faktor seperti
ekonomi, status sosial, dan kekuasaan. Di sisi lain, sistem kasta dalam
masyarakat Hindu merupakan bentuk khusus dari stratifikasi sosial, di
mana masyarakat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang disebut kasta,
dan status seseorang ditentukan oleh kelahiran atau pewarisan.Beberapa
keterkaitan antara stratifikasi dan sistem kasta dalam perkawinan Hindu
dapat diuraikan sebagai berikut:
Kelas dan Kasta, Ide kelas sosial dalam stratifikasi sosial dapat
diasosiasikan dengan kasta-kasta tertentu dalam masyarakat Hindu.
68

Sebagai contoh, kasta Brahmana sering dikaitkan dengan kelompok yang


memiliki status sosial tinggi, sementara kasta pekerja atau Sudra
cenderung memiliki status sosial yang lebih rendah. Ini mencerminkan
adanya stratifikasi berdasarkan pekerjaan atau fungsi sosial dari setiap
kasta.
Status Sosial dan Kasta: Status sosial, seperti yang dijelaskan oleh
Max Weber dalam stratifikasi sosial, mencakup unsur-unsur seperti
kehormatan, prestise, dan pengakuan. Dalam konteks perkawinan Hindu,
status sosial seseorang sering kali tergantung pada kasta keluarga atau kasta
tempat lahirnya. Pilihan Pasangan Hidup dan Kasta, Sistem kasta dalam
perkawinan Hindu memengaruhi kecenderungan memilih pasangan hidup.
Dalam tradisi Hindu yang konservatif, ada kecenderungan untuk menikah
di dalam kasta yang sama. Pembatasan ini dapat menciptakan batasan
sosial yang kuat dan mempertahankan stratifikasi dalam masyarakat.
Otoritas Keluarga dan Kasta, Otoritas dalam keluarga atau komunitas
sering terkait dengan kasta. Pemimpin keluarga atau tokoh- tokoh
masyarakat yang memiliki otoritas biasanya berasal dari kasta tertentu, dan
hal ini dapat memengaruhi keputusan-keputusan dalam konteks
perkawinan. Prestise dan Gengsi, Gengsi dan prestise dalam stratifikasi
sosial tercermin dalam pandangan masyarakat Hindu terhadap kasta-kasta
tertentu. Kasta yang dianggap lebih tinggi cenderung menikmati gengsi dan
prestise lebih besar, sementara kasta yang dianggap lebih rendah mungkin
menghadapi stigmatisasi.
69

BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan :

1. Adanya pernikahan dalam agama Hindu Tamil, dapat diambil


berdasarkan temuan penelitian ini. Intinya, teks Manawa Dharmasastra
menyatakan bahwa karena perkawinan akan berdampak pada status
keturunan, maka sebaiknya individu dari kasta yang sama menikah.
akan tiba setelah lahir. Namun dalam kaitannya dengan serikat
antarkasta yang terjadi di desa-desa Madrasha, serikat-serikat tersebut
masih berlanjut hingga saat ini; Menurut data yang dihimpun, enam
pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, telah menikah di luar kasta
mereka.
2. Ada dua cara untuk melihat keadaan yang menyebabkan perkawinan
beda kasta: pertama, ada unsur internal yang berkaitan dengan perasaan
seseorang, yang dipengaruhi oleh rasa cinta yang kuat terhadap orang
lain, kadang-kadang sampai pada titik di mana seseorang tidak akan
berhenti untuk bersama orang itu. termasuk—dalam hal ini dengan
melangsungkan pernikahan antar kasta yang berbeda. Unsur lingkungan
hidup merupakan aspek eksternal yang dibahas di sini. Padahal karakter,
mentalitas, cara berpikir, dan gagasan kasta seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungannya. Selain itu, perkawinan antar kasta
biasanya juga dipicu oleh pertimbangan ekonomi.
a. Faktor Internal
1) Mentalitas Jika kita mengamati cara berpikir masyarakat Desa
Madras, kita akan melihat bahwa pola pikir mereka yang semakin
berkembang dan canggih tidak menjadikan mereka resisten
terhadap perubahan dan berkembang menjadi lebih baik, dengan
tetap menganut paham kala dan patra dan desa tersebut. tanpa
melanggar konvensi. agar status perkawinan mereka tidak
70

menjadi penghalang dalam hidup bersama.


2) Pendidikan Pendidikan juga dapat dipahami sebagai suatu proses
sosial dimana individu diwujudkan dalam kondisi dan pengaruh
lingkungan yang dipilih dan diatur (sekolah adalah contoh yang
paling nyata), sehingga mengakibatkan individu tersebut
mengalami perkembangan yang optimal. Pendidikan merupakan
suatu proses yang membantu seorang individu mengembangkan
jati dirinya dan masyarakatnya agar mampu bertahan dalam
menjalani kehidupannya, termasuk identitas calon pasangan
hidupnya di masa depan.
3) Kedua Pihak Saling Mencintai Dalam hal ini, persoalannya
adalah salah satu sentimen pribadi, yakni perasaan seseorang
yang begitu terbuai oleh rasa cinta terhadap orang lain sehingga
tak henti-hentinya mendampinginya, sekalipun harus menikah
dengan seseorang. dari kasta yang berbeda. Mayoritas orang di
sini menikah karena cinta, tanpa memandang perbedaan kasta
atau status sosial. Inilah motif utama mereka bersatu, dan alasan
mengapa mereka menikah lintas kelas.
b. Faktor Eksternal
1) Faktor Lingkungan Sifat, kepribadian, cara berpikir, dan
pandangan kasta seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya. Jika di daerah tempat tinggalnya banyak dihuni oleh
masyarakat yang memiliki pola hidup ketinggalan jaman,
misalnya yang menganut sistem kasta, maka individu tersebut
akan berkeinginan untuk hidup mandiri tanpa keluarga dan kasta.
2) Keterbukaan terhadap Masyarakat Di saat segalanya berubah
begitu cepat, penerimaan masyarakat terhadap ide-ide baru
membantu masyarakat menyadari bahwa segala sesuatunya harus
berubah agar kehidupan menjadi lebih baik. Hal ini terutama
berlaku dalam hal pernikahan, yang tidak hanya harus didasarkan
pada keinginan untuk bahagia tetapi juga pada hubungan
71

kekeluargaan. mendampingi orang-orang terdekat dengan tetap


mematuhi adat istiadat dan harapan, serta mampu memberikan
nasihat tentang cara menyelesaikan prosedur waiwahan secara
efektif dan benar. Perkawinan ini menurut hukum adat tergolong
sistem atau bentuk perkawinan Ngerorod yang disebut juga
angkat. Ini adalah jenis pernikahan yang didasarkan pada usia,
persetujuan bersama, dan cinta kedua mempelai satu sama lain.
3) Evolusi Zaman Salah satu alasan munculnya variabel eksternal
dari semua bidang, termasuk budaya, adalah karena seiring
dengan perubahan zaman, budaya yang diterima suatu kelompok
sosial pasti akan berubah. Hal yang sama juga terjadi pada
perkawinan antar kasta, yang sebelumnya hanya terbatas pada
perkawinan antar anggota klan atau kasta yang sama, namun kini
diperbolehkan dalam kasta mana pun.
3. Tidak diragukan lagi bahwa pernikahan antar kasta mempunyai dampak
atau dampak yang tidak hanya berdampak pada pasangan yang akan
menikah namun juga keluarga mereka dan orang-orang terkasih lainnya.
Dari segi hukum, sosiokultural, dan teologis, pengaruh ini terlihat.
Meskipun tidak ada undang-undang formal yang mengatur dampak atau
larangan pernikahan antar kasta, pernikahan antar kasta memiliki
dampak sosial, budaya, dan agama yang signifikan karena terkait
dengan norma dan kepercayaan masyarakat.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti memberikan beberapa saran,
yaitu sebagai berikut:
Peneliti berharap penelitian selanjutnya dapat membahas kasta pada
perkawinan orang hindu di lingkungan yang berbeda untuk mendapatkan hasil
kasta pada perkawinan orang hindu yang lebih baik. Dan peneliti berharap
masyarakat dan mahasiswa dapat mengerti dan memahami kasta pada
perkawinan orang hindu di kampung madrash melalui penelitian ini.
72

DAFTAR PUSTAKA

Anak Agung, Gde Ika. 1987.TuntunanDasaAgama Hindu.


Hanoman Sakti,Jakarta
Arikunto. 1998. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek.
Yogyakarta : Rineka Cipta
Bungin Burhan. 2003. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT
Raja Grafindo

Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli. Jakarta: Pustaka Umum

Hadikusuma, Hilman. 1995. Hukum Perkawinan Adat. Bandung. PT.


Citra Aditya Bakti.
Kartini Kartono. 2006. Patologi Sosial Kenakan Remaja. Jakarta : PT
Raja Grafindo
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) oleh Balai Pustaka. Dalam pembahasan
dijelaskan mengenai Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria
(golongan rakyat jembel yang hina-dina dalam masyarakat Hindu).

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.


Jakarta : PT. Gramedia. Pustaka Utama

Lestari Putri Ariani, Desak Putu. 2009. Sanksi Adat Terhadap


Pelanggaran Perkawinan (Studi Kasus Perkawinan Sedarah pada
Masyarakat Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli ) Skripsi : Universitas Pendidikan Ganesha.

Nazir, Moh. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia

Pitana, 1994 dan Putri Ariani 2009:70


Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE
Evans- Pritchard , (London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256
Pudja, Gd dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharmasastra.
Jakarta : Felita Nursatama
Prabhupada, Swami Bhagavad Gita 2006 Menurut Aslinya terj Tim
Penerjemah.
Jakarta: CV. Hanuman Sakti.
73

Puri. 2006. Fakultas Ushuluddin. Pedoman Penulisan Proposal dan


Skripsi.
Yogyakarta 2008: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Putra, I.B.Wyasa, 2000, Brahmana dan Hukum-Hukumnya, Denpasar:
Yayasan Dharmopadesa
---------. Kembali Lagi 2002, Sains tentang Reinkarnasi terj dalam
Tim penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti.
Radhakrishna. The Bhagavad Gita: With an Introductory Essay, Sanskrit
Text, English Translation and Note. London: Georgeo Allen &
Unwin.
Romdon 1996, Metodelogi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: PT
RajaGarafindo Persada.
Romo. Bhagavad Gita 1962, Disadur dan Ditafsirkan oleh Romo.
Semarang: P.T. Mandiri.
Smith Husthon 2001. Agama-Agama Manusia terj Safroedin Bahar.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Smith, Wilfered Cantwell 2005. Kitab Suci-Agama-Agama terj. Dede
Iswadi.
Bandung: Teraju.
Soerjono Soekanto, Suleman Tanek. 1987.Hukum Adat Indonesia,
Yogyakarta : Liberty
Suja, I Wayan 2005. “Perkembangan Agama Hindu Indonesia” dalam
Wiwin Siti Aminah (ed.). Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-
Agama. Jogjakarata: Interfidei:
Suseno, Franz Magnis 2001. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka.
Suwantana, I Gede. Pesan dari Gita, M.K. Gandhi. Denpasar: Ashram
Gandhi Wach, Joachim 1984. Ilmu Perbandingan Agam, terj
Djam’annuri. Jakaarta:
Rajawalii Press.
Wiana, I Ketut dan Raka Santeri. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman
74

Berabadabad 1993. Dempasar: Yayasan Dharma Naradha.


Wiana, I Ketut 2006. Memahami Perbedaan Caturwarna, Kasta dan
Wangsa.
Surabaya: PĀRAMITA.

Zaehner, Robert C 1993. Kebijaksanaan Dari Timur terj Sudiarja.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zimmer, Heinrich 2003. Sejarah Filsafat India terj Agung
Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wawancara
Wawancara dengan bapak Candra Bose Kuil Sri Mariamman 4 Oktober

2023 Wawancara dengan bapak Kunna Kuil Sri Mariamman 15 Oktober

2023 Wawancara dengan bapak R. Welyutman Kec. Petisah Hulu 4

Oktober 2023 Wawancara dengan bapak I Nyoman Nandra Kec. Petisah

Hulu 4 Oktober 2023 Wawancara dengan bapak Sugita Kuil Sri

Mariamman 20 November 2023 Wawancara dengan bapak Made

Rasmite Kuil Sri Mariamman 15 Oktober 2023 Wawancara dengan

bapak Wayan Kuil Sri Mariamman 20 Oktober 2023 Wawancara dengan

ibu Gusti Kuil Sri Mariamman 10 Desember 2023


75

LAMPIRAN

Lampiran l : Panduan Wawancara

Dalam usaha peneliti untuk mengumpulkan informasi,metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, yang digunakan

untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam. Berikut adalah

pedoman yang telah disusun oleh peneliti dalam penelitian berjudul

‗‘Kasta Pada Perkawinan Orang Hindu di Kampung Madras‘‘

Bagian 1 : Informan Kunci

4. Apa yang dimaksud dengan perkawinan beda kasta dalam

konteks Agama Hindu?

5. Apa dampak social dan budaya dari perkawinan beda kasta

dalam masyarakat Hindu?

6. Apakah ada perubahan atau evolusi dalam pandangan

masyarakat Hindu terkait perkawinan beda kasta?

7. Bagaimana masyarakat Hindu menghadapi isu perkawinan beda

kasta di era modern?

8. Apa peran pemerintah atau hukum dalam mengatur

perkawinan beda kasta di beberapa wilayah

9. Bagaimana eksistensi kasta pada perkawinan orangHindu pada


saat ini

Bagian 2 : Informan Tambahan

1 .Kapan etnis tamil mulai menetap di Kuil Sri Mariamman?

2 Apa pekerjaan etnis tamil awal mula memasuki Sumatera Utara


76

LAMPIRAN

Informan I

Nama : Candra Bose (Pendeta)


Usia : 58 Tahun
77

Informan II

Nama : Kunna
(Admin) Usia : 45 Tahun
78

Informan III

Nama : R. Welyutman
Usia : 41 Tahun
79

Informan IV

Nama : Kasturi
Usia : 50 Tahun

Nama : Narain Sami


Usia : 34 Tahun
80

Informan V

Nama : Ajay

Usia : 31 Tahun

Anda mungkin juga menyukai