2018
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5113
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
“MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA”
(STUDI DI KECAMATAN MEDAN DENAI, KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Oleh :
140200444
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2018
NIM : 140200444
1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar dan tidak
merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain
Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dan tekanan
dari pihak manapun.
Oynike D Marpaung
Nim. 140200444
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
kemampuan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Penulis sangat bersyukur
juga atas karunia dan hikmat serta penyertaan-Nya kepada penulis. Semoga
skripsi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul : “Mangalua (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Batak Toba” (Studi di
Kecamatam Medan Denai, Kota Medan).
Namun, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis akan sangat
berterima kasih jika ada kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan
skripsi ini.
Pada kesempatan ini juga penulis sangat rindu mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof Dr. Saidin, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini dengan segala hormat penulis juga rindu untuk
mengucapkan terimakasih kepada Orang tua penulis yakni Ir.Y.Marpaung.STh,
dan Kalena Nainggolan yang selalu mendoakan, membimbing, dan memberi
semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini., serta
ketiga abang penulis Ferry Alberto Marpaung, S.ST, Willyam Rozy Zelady
Marpaung, SE, dan Fontes Romario Marpaung, ST.
ii
iii
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Kesimpulan ............................................................................................... 98
B. Saran.......................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 102
vi
vii
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya , antara kelompok satu dengan
individu lainnya, atau kelompok lainnya. Salah satu bentuk hubungan antara
kalangan manusia. Tetapi terjadi juga pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh
karena manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah
satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam
calon suami istri saja tetapi menyangkut urusan keluarga dan masyarakat .3
keluarga
1
Sony Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama, 2015, hlm.1.
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ketiga, Bandung:Mandar
Maju, 2007, hlm.1.
3
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No.1 tahun 1974, Cetakan Pertama, Jakarta :PT.Dian Rakyat, 1986, hlm.11.
Indonesia sebelum tahun 1974 terdapat dalam berbagai peraturan yang berlaku
dalam masyarakat yaitu hukum adat dan hukum agama dan kepercayaan bagi
masyarakat sudah terlepas dari pengaruh Hukum Adat, ia masih diliput Hukum
Adat sebagai hukum asli rakyat Indonesia yang hidup dan tidak tertulis dalam
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Alumni, 1983, hal 22.
5
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia & Belanda, Bandung:Mandar
Maju, 2002, hlm.239
6
Hilman Hadikusuma ,Op.cit.hlm.13.
Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir
dalam Hukum Adat, dan bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum
Adat. Maka, dapat diartikan bahwa hukum adat mempunyai pengaruh penting
perselisihan antara para pihak yang bersangkutan. Jika terjadi perselisihan maka
dalam mencari jalan penyelesaian bukanlah ditangani oleh pengadilan agama atau
pengadilan negeri, tetapi ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang
memahami Hukum Perkawinan Adat. Perkawinan adat adalah suatu bentuk hidup
bersama yang langgeng lestari antara seorang laki-laki dan perempuan yang
diakui oleh persekutuan Adat dan yang diarahkan pada pembentukan sebuah
keluarga.7
Sabang sampai Merauke, dan didiami oleh berbagai-bagai suku bangsa, yang
bebagai suku ini mempunyai adat, dan bahasa yang berbeda-beda pula. Tetapi
suku, dari bangsa Indonesia yang mendiami sebagian pulau di Indonesia, yang
7
Wila Chandrawila Supriad, Op.Cit.hlm.74.
Batak.8
dimana hukum itu berlaku. Demikian juga hukum adat Batak bertujuan mengatur
kaidah yang terdapat dalam hukum adat, termasuk dalam hal perkawinan.
karena perkawinan adalah merupakan satu-satunya cara sampai saat ini untuk
dalam hukum adat. Proses dalam melangsungkan perkawinan juga di kenal pada
masyarakat Batak. Hukum adat Batak yang ditaati oleh semua orang Batak telah
yang harus dilaksanakan, dan syarat-syarat apa yag harus dipenuhi, apabila
Nan Tiga) yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur, mengendalikan
dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan orang Batak. Ketiga tungku
tersebut adalah Somba marhula-hulam elek marboru dan manat mardongan tubu
yang artinya hormat kepada pihak keluarga istri, mengayomi anak perempuan dan
bersikap sopan terhadap teman semarga. Dalihan Na Tolu sebagai sebuah sistem
8
Masyarakat Batak, oleh Van Vollenhoven adalah merupakan satu lingkungan hukum.
Oleh karena itu masyarakat Batak mempunyai hukum adat tersendiri yang berbeda dengan hukum
adat lingkungan hukum adat yang lain di Indonesia.
9
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980, hlm. 26.
yang memberi pedoman bagi orientasi persepsi dan defenisi dalam realitas
upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan
gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na Tolu. Buktinya
ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga demikian maka sudah
pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk
oleh upacara agama atau pencatatan di catatan sipil. Tetapi oleh adat, dimana yang
hadir itu terdiri atas unsur dalihan natolu dan dongan sahuta. Perkawinan yang
diresmikan secara adat dalam adat Batak Toba merupakan perkawinan yang
bentuk yaitu :
1. Meminang
hukum adat yang berlaku. Pada masyarakat adat Batak Toba proses
2. Tanpa meminang
10
Nalom Siahaan, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, Jakarta :Tulus Jaya,
1982, hal. 18.
Batak Toba dikenal juga istilah “Mangalua” atau “Kawin Lari”, keadaan dimana
belum dilakukannya pengukuhan perkawinan secara adat dengan adat Batak Toba,
yang berarti perkawinannya belum sah secara adat. Perkawinan seperti ini
Manga adalah melaksanakan dan lua adalah membawa atau lari yang
Secara konseptual berarti sepasang muda-mudi yang kawin dengan cara di luar
11
https://er27.wordpress.com/2008/03/17/mangalua-suatu-bentuk-perkawinan-pada-masyarakat-
batak-toba/
prosedur perkawinan yang ideal menurut adat Batak Toba karena satu atau
beberapa hal, seperti karena masalah ekonomi , masalah sosial (status di tengah
lainnya.Masyarakat yang melakukan kawin lari adalah orang yang melanggar adat
Batak dan setiap orang yang melanggar adat akan diberikan hukuman. Dalam
mangalua ini seakan adat adalah soal belakang, yang penting adalah terlaksananya
perkawinan. Kawin lari dapat diselesaikan apabila pihak yang melarikan anak
gadis tersebut yaitu pihak laki-laki pada suatu saat akan melakukan suatu upacara
tidak mengatur mengenai perkawinan kawin lari, hanya saja diatur di dalam
1974. Ketentuan pasal 3 ayat (2) tersebut mengatur tentang kewajiban bagi setiap
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat sebagai syarat formil sahnya untuk melakukan
suatu perkawinan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut :
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari perkawinan mangalua pada
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
mangalua (kawin lari) menurut hukum adat batak toba”(studi pada kecamatan
2. Manfaat Praktis
tentang mangalua (kawin lari) menurut hukum adat batak toba”(studi pada
menurut hukum adat batak toba”(studi pada kecamatan medan denai, kota
medan).
E. Keaslian Penulisan
KOTA MEDAN).
sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dan hasilnya bahwa judul skripsi
Sumatera Utara. Skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran dan usaha
penulis tanpa ada penipuan, penjiplakan atau lainnya yang dapat merugikan
pihak-pihak tertentu. Jika di kemudian hari ada penulisan skripsi dengan judul
F. Metode Penelitian
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”.
yaitu suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, dan cara untuk melaksanakan
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan
kata lain adalah jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan
penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang
Dalam hal ini penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau
keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan
Y.Marpaung dan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Ibu Dewi
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2014,
hlm . 5
13
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002,
hlm. 15
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
1986, hlm. 50.
15
Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm. 16
mangalua (kawin lari) menurut hukum adat Batak Toba (studi di Kecamatan
2. Sumber Data
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang langsung
dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang
dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup
materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut mencakup tiga bagian,
yaitu :18
16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1996, hlm.35.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 12.
18
Ibid,, hlm. 13
19
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 185.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka
dan pedoman wawancara. Studi Pustaka yaitu suatu cara pengumpulan data
penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb). Sedangkan pedoman
wawancara ialah bertanya kepada orang yang ahli dalam bidang nya yaitu kepada
5. Analisis Data
G. Sistematika Penulisan
penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum
pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya maka penulis berusaha
skripsi ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terbagi atas lima bab yang
masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Sistematika Penulisan.
INDONESIA
TOBA
A.Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi
yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam
keluarga.20
urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi.21 Hal ini berarti bahwa
dengan masyarakat, martabat serta urusan pribadi, bukan hanya sebatas urusan
antar pribadi yang saling mengikatkan diri dalam hubungan yang sah yaitu
perkawinan.
religius yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan bersifat materi
20
https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan/ Diakses pada hari Sabtu, 10 Februari 2018,
pukul 20:18 Wib.
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983. hlm. 22.
16
mengganggu sifat sosiologis dari pada religi. Religi tidak mendapat tempat dalam
hubungan perdata pada soal-soal perkawinan. Hal ini didasarkan pada filosofi
Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata‟ dan dalam
pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa „tidak ada upacara keagamaan yang boleh
berlangsung‟.23
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
dipengaruhi oleh Hukum Adat. Menurut Hukum adat pada umumnya di Indonesia
perkawinan itu bukan saja berarti sebagai „perikatan perdata‟, tetapi juga
22
Tan Kamello dan Syarifa Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga,
Medan:PT.RajaGrafindo Persada, 2010, hlm.66-67.
23
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.7.
24
Soedharyo Soimin. Hukum Orang dan Keluarga (Persfektif Hukum Barat/BW, Hukum
Islam dan Hukm Adat), Edisi Revisi Cetakan Pertama, Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2002, hal.4.
mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku bagi masyarakat
bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu
(hubungan anaknak, bujang-muli) dan “rasan tuha” (hubungan antara orang tua
batak toba juga mengartikan perkawinan itu adalah dimana seorang laki-laki
mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah
Laki -laki yang mengikatkan diri ini disebut TUNGANE DOLI (suami)
dan wanita yang mengikatkan diri dengan laki-laki (suaminya) itu disebut dengan
TUNGGANE BORU (istri). Pada masyarakat batak adat toba, seorang laki–laki di
bukanlah hanya masalah laki–laki itu saja, melainkan hak keluarga dan orang tua
si laki–laki pada masyarakat batak toba, karena seorang laki–laki pada masyarakat
adat batak toba, adalah menjadi penerus marga, maka suatu marga tidak
menghendaki marganya di turunkan dari seorang tungane boru (istri) yang tidak
berperilaku yang baik. Demikian juga pihak si wanita yang mau menentukan siapa
yang mau menjadi tungane doli (suami), bukan hanya masalahnya sendiri, tetapi
dari keluarga dan orangtuanya sangat menentukan, walaupun nantinya wanita itu
25
H.Hilman Hadikusuma, op.cit. hlm.8.
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.8.
27
Djisman Samosir, Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980, hlm.29.
tidak akan menurunkan marga dari bapaknya, tetapi dengan suatu perkawinan
Pihak keluarga dari yang menjadi suami (tungani doli) dari anaknya
perempuan (boru) tersebut, nantinya akan menjadi boru (sitem kekerabatan dalam
adat Batak Toba dari pihak boru (anak perempuan), bagi kelompok marga ayah si
wanita itu. Setiap keluarga masyarakat adat Batak Toba, menghendaki agar boru
(hela atau menantu) nya adalah berasal dari keluarga yang baik–baik.
menentukan siapa menjadi tunggane doli (suami) seorang wanita, dan siapa yang
menjadi tunggane boru (istri) seorang laki-laki, oleh keluarga mereka masing–
masing, oleh kedua belah pihak. Karena dengan cara ini, nantinya diharapkan
terbentuklah suatu rumah tangga baru yang rukun dan harmonis, dan dapat
yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam
memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan
berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik
28
H.Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.10.
kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera . Prinsip
perkawinan kekal ini dapat dilihat dalam paal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
“Perkawwinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang
atau seiman , kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu menentukan lain.
Prinsip ini dapat dijumpai dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
29
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016,
hlm.51.
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang
bersamaan. Artinya, dalam waktu yang bersamaan seorang suami atau istri
dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip ini ditegaskan dalam
dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
(Tanpa Paksaan)
Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu
menjadi suami-istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama
lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga. Perkawinan yang
rumah tangga dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam
Perkawinan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) yang tidak membolehkan
harus ada alasan-alasan tertentu dan di depan sidang pengadilan. Rasio yuridis
asas mempersulit perceraian adalah sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri.
Prinsip ini secara tegas diatu dalam ketentuan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1
sebagai berikut:30
individual, akan tetapi masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya
tanggung jawab dalam urusan perkawinan. Oleh karenanya perkawinan dalam hal
ini sangat ditentukan kehendak kerabat dan masyarakat adat. Kehendak yang
dimaksud ialah mulai dari pemilihan pasangan, persoalan “jujur” dan persoalan-
2. Asas Kesukarelaan/Persetujuan
Dalam hukum adat calon mempelai tidak mempunyai otoritas penuh untuk
persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
Pelanggaran terhadap asas ini dapat dikenakan sanksi dikeluarkan dari lingkungan
kekerabatan masyarakat adat, terlebih dalam masyarakat adat yang masih kental
Dalam perkawinan, Partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat adat
sangatlah besar artinya. Partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon mempelai,
30
Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 8
ataupun tidak langsung orang tua beserta kerabat punya tanggung jawab moral
terhadapnya.
4. Asas Poligami
Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi tradisi. Tidak sedikit
raja-raja adat, bangsawan adat baik yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan
Islam mempunyai istri lebih dari satu bahkan puluhan. Dan masing-masing istri
yang dipoligami tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda satu sama lain
terdapat dalam agama. Dengan kata lain poligami dalam hukum adat sudah
5. Asas Selektivitas
Asas Selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan ini diarahkan pada
proses dan siapa yang berhak menentukan calon mempelai. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas bahwa dalam hukum adat, orang tua, kerabat dan masyarakat
oleh orang tua beserta kerabat. Dalam proses pemilihan calon mempelai,
yang dilarang.
C. Tujuan Perkawinan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.32 Yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban suami dan isteri untuk saling membantu dan
yang satu dan lain berbeda-beda termasuk lingkungan hidup dan agama yang
dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-
beda di antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang berlainan, daerah
yang satu dengan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upacara
31
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti,
2000, hlm. 71.
32
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.15.
33
Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama, 2015,
hlm.3.
34
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung 1983. hlm. 22
pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk)
kekerabatan bapaknya
setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan
35
melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabata orangtuanya.
Bagaimana tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga berbeda antara agama
membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita
isteri, tetapi bagi golongan Sudra yang lemah sosial ekonominya cukup
Sanghyang Adi Budha/ Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para
sakit hati orang lain, maka pada prinsipnya hukum perkawinan menurut
perceraian.
hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya
perbuatan hukum tersebut.37 Sahnya suatu perkawinan merupakan hal yang sangat
37
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.15.
kantor pencatatan sipil. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara suatu agama
norma hukum mengenai perkawinan yang sah secara imperatif pada pasal 2, yang
berbunyi:38
berlaku.
pada pasal 2 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya
kepercayaannya itu
38
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016,
hlm.54
39
K.Wantjik Saleh, Op.Cit. hlm.16.
Ada 2 macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan formal. Syatar
materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang
subjektif. Sedangkan syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan
objektif.
kepercayaannya itu.
c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi laki-laki
40
Dr.Rosnidar Sembiring, Op.Cit. hlm.55.
d. Bagi wanita tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau massa idha
adalah :
kepercayaannya itu.
2. Memperoleh izin dari orangtua atau wali calon mempelai, dan mendapat
izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang
(berpoligami).
Menurut Tan Kamello dalam bukunya yang berjudul Hukum Orang dan
Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari syarat substantif dan syarat ajektif. Syarat
substantif adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan
calon istri, sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan tata
berumur (Pasal 7 ayat (1)); Jika belum berumur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orangtua. Kalau orangtua sudah meninggal diperoleh dari wali,
3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (pasal
3, 9)
4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan
1975)
dilangsungkan
orang saksi
Helai pertama disimpan oleh pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera
Pegawai Pencatat yang berwenang/ belum memiliki bukti akta nikah. Oleh sebab
itu, meskipun secara materil perkawinan itu sah tetapi secara formil belum sah,
sehingga selamanya dianggap tidak ada perkawinan kecuali jika dapat dibuktikan
dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
hukum adat di Indonesia ini sangat bercorak karena hukum adat di berbagai
daerah Indonesia ini memilki perbedaan satu sama lain dikarenakan sifat
samping itu, hukum adat mengalami pula beberapa perubahan atau pergeseran-
berlainan.41
Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang
41
C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm.47-
48.
42
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti,
2000, hlm. 26
menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut
hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui
lama (kuno) seperti “sipelebegu” (pemuja roh) di kalangan orang batak atau
perkawinan yang dilakukan menurut tata tertib adat/agama mereka itu adalah sah
menurut hukum adat setempat. Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama
kepercayaan yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat
perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di pengadilan atau di Kantor
Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu
berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau oleh aliran
kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama
Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia yang sah
ataupun di kantor agama, dengan ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab
adalah ucapan „menikahkan dari wali calon isteri dan kabul adalah kata
penerimaan dari calon suami‟. Ucapan Ijab dan Kabul dari kedua pihak harus
43
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.26
44
Ibid., hlm.27.
terdengar di hadapan majeis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas
sebagai saksi akad nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah
diucapkannya ijab dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang
samam di dalam suatu majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi
yang sah.45
dihadiri oleh dua orang saksi. Saat sahnya perkawinan itu diteguhkan oleh
perkawinan itu maka kedua mempelai harus sudah dibaptis, ada kesepakatan
antarakedua mempelai, tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya, tidak ada
paksaan, telah berumur 16 (enam belas) tahun bagi pria dan telah berumur 14
(empat belas) tahun bagi wanita, salah satu atau kedua calon suami isteri itu tidak
dihadapan Brahmana atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat
untuk melakukan perbuatan itu. Tidak semua Brahmana atau pendeta mempunyai
tugas yang sama. Terhadap Brahmana atau pendeta yang melakukan tugas bukan
Hindu, jadi kedua calon suami isteri harus menganut agama Hindu. Selain apa
45
Ibid., hlm.28.
mereka yang akan kawin itu tidak terikatoleh ikatan perkawinan lainnya, mereka
tidak berpenyakit jiwa, telah berumur 18 (delapan belas) tahun bagi pria dan telah
berumur 15 (lima belas) tahun bagi wanita, antara kedua mempelai tidak
agama Hindu.
ditentukan dalam pasal 4-7 HPAB 1977.Tempat upacara perkawinan yang sah
adalah di Vihara atau Cetya atau di depan Altar suci Sang Budha/Bodhisatwa.
diberikan Pandit, umur kedua mempelai sudah berumur 21 tahun. 21 tahun atau
ada izin orangtua mereka jika belum berumur 21 tahun. Perkawinan hanya boleh
bagi mereka yang telah berumur 20 tahun bagi pria, dan 17 tahun bagi wanita,
antara keduanya tidak ada hubungan darah atau hubungan susuan, diantara mereka
tidak ada yang masih terikat tali perkawina dengan orang lain.
hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan
sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van Vollen Hoven disebut
b. Tanah Alas.
1) Tapanuli Utara:
b) Batak Karo.
c) Batak Simelungun.
2) Tapanuli Selatan:
46
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1999,
Hlm.26.
36
b) Angkola.
c) Mandailing (Sayurmatinggi).
5. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Rejang).
Tulang Bawang).
e. Enggano.
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi,
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru,
14. Irian.
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur,
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo,
tersebut jika dihubungkan atau dikaitkan dengan keadaan sekarang ini sudah tidak
relevan lagi karena pada saat ini lingkungan hukum adat tersebut sudah tidak
murni lagi. Hukum adat akan tetap berlaku jika masih di taati oleh masyarakat
adat tersebut, jika tidak ada yang mentaati maka hukum adat tersebut tidak
Sedangkan pada saat ini lingkungan hukum adat sudah mulai pudar
ada sehingga mereka lebih condong untuk menggunakan hukum nasional. Tetapi
lingkungan hukum adat yang ada tidak serta merta di hapuskan karena di dalam
UUD 1945 hukum adat tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hukum adat sekarang lebih dianggap
sebagai budaya pluralis atau kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dengan
didasari oleh faktor genealogis, yakni suatu kesatuan hukum yang para
merasa berasal dari moyang yang sama. Dapat disimpulkan bahwa sistem
Secara umum sistem kekeluargaan ini dapat dibedakan dalam 3 corak, yaitu : 48
kebapaakan/ dari pihak ayah, yaitu suatu masyarakat hukum yang menarik
garis kekeluargaan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak terus
masyarakat ini adalah Batak, Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat,
anak laki-laki, kemungkinan bagi wanita menjadi ahli waris sangat kecil.
keturunan keatas melalui garis ibu, ibu dari ibu terus keatas sehingga
Lampung Pesisir dan lain-lain. Yang menjadi ahli waris adalah anak
Contoh, Mayarakat Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Aceh,
dari harta bawaan ibu atau ayah, ataupun harta pencaharian selama hidup
mereka.
menjadi:
anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja yakni pihak
ayah (Δ) atau ibu (O). Sistem kekerabatan unilateral ini dapat dibagi menjadi
2, yakni:
anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja terus menerus ke
atas karena ada kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari seorang ibu (O)
Lampung Paminggir.
anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki/ayah saja, terus
menerus ke atas karena ada kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ayah
(Δ) asal. Misal: masyarakat Alas (Sumatera Utara), Gayo, Tapanuli (Batak), Nias,
yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada
sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan
tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam
pergaulan hidup.
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang
disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau
puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama
marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara
bangsa Batak yang pertama pada mulanya berada di tepi Danau Toba yang
logatnya bahasa Batak dibagi atas 5 (lima) macam sesuai dengan daerah yang
(1) Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, daerah
Asahan, Silidung, daerah antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahe
dan Habinsaran;
(3) Batak Karo yang mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli
(5) Batak Mandailing yangmendiami daerah Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian
Terjadinya 5 (lima) macam Bahasa Batak tersebut karena pengaruh dari daerah
dan para orang pendatang, di samping juga adanya pengaruh dari bahasa asing.
Masyarakat adat batak toba adalah menarik garis keturunan dari pihak
laki–laki atau di kenal dengan sistem kekerabatan Patrilineal yaitu suatu adat
masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Cara menarik
garis keturunan yang diambil melalui laki–laki (pihak ayah) ini biasanya sangat
49
Napitupulu, S.P., Rusmini, Nani., Hutabarat, Sinan P., Dharmansyah, Corry., Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatera Utara, Jakarta:Depdikbud,
1986, hlm. 10-11.
silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut
dengan sendirinya pula dapat ditentukan kata sapaan yang akan digunakan.
antara dua orang adalah amang, inang, lae, eda, ito dan ampara. Sapaan amang
digunakan terhadap seorang wanita yang diperkirakan sudah sebagai ibu rumah
tangga. Sapaan lae digunakan terhadap seorang anak muda oleh seseorang yang
kurang lebih sebaya dan oleh seseorang yang lebih tua. Sapaan eda digunakan
sesama wanita oleh yang kurang lebih sebaya atau yang lebih tua. Sapaan ito
terhadap seseorang wanita muda oleh seseorang pemuda dan oleh seserorang
lelaki yang lebih tua ataupun sebaliknya. Sapaan ampara digunakan oleh dua
orang yang semarga yang belum jelas hubungan kekerabatan sesama mereka.51
garis keturunan yang dihitung melalui bapak (bersifat patrilineal) yang akan
50
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta:Dian Utama, 2012, hlm. 22.
51
Ibid., hlm. 24.
pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama panggilan
seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang baru
pertama kali bertemu yang ditanya adalah marganya, bukan tempat asalnya.
Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak. Manfaat marga
bagi orang Batak adalah mengatur tata pergaulan, mengatur tata cara adat, dan
mempunyai beberapa cabang, hal ini dikarenakan Pada masyarakat batak toba,
marga – marga yang besar, sudah banyak yang dipecah -pecah menjadi beberapa
sub marga yang lebih kecil. Berikut marga-marga dalam batak toba, yaitu:
52
JV. Vergouwen, masyarakat dan hukum adat batak toba, Yogyakarta: LKIS, 2004,
hlm19-20.
53
Napitupulu, S.P., Rusmini, Nani., Hutabarat, Sinan P., Dharmansyah, Corry., Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatera Utara, Jakarta:Depdikbud, 1986,
hlm. 33.
Batak Toba untuk mengetahui marga apa saja yang segaris dan serumpun dengan
marganya.54 Hal ini ditujukan supaya diantara marga yang serumpun tidak
oleh masyarakat Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan
paling besar jika seorang laki-laki menikahi anak perempuan saudara laki-laki
inangnya. Saudara laki-laki ibunya disebut Tulang dan putrinya tulangnya adalah
Pariban.55
54
WM. Hutagalung, Pustaha Batak:Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak,
Pangururan:Tulus Jaya, 1926, hlm. 32.
55
Ibid, hlm.34.
Dalam sitem ini, seseorang di haruskan kawin dengan orang lain yang berasal dari
Dalam sitem ini, seseorang harus kawin dengan orang lain yang berasal
dari klan yang berlainan. Dengan kata lain bahwa orang orang yang berasal dari
klan atau suku yang sama atau semarga dilarang untuk mekakukan perkawinan.
Sitem ini tidak mengharuskan adanya perkawinan di dalam klan yang sama
ataupun perkawinan antara klan yang berlainan. Dalam sitem ini larangan
Dari ketiga sistem ini, yang kita jumpai pada masyarakat adat batak adalah
sistim perkawinan yang exogami, yaitu yang pada prinsipnya orang batak harus
kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa pada prinsipnya
di luar kelompok marga). Sehingga masyarakat Batak Toba sangat melarang keras
56
Djismas Samosir, Hukum Perkawinaan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980, hlm.31.
sama yang menjadikan setiap marga dikelompok marga tersebut sebagai saudara
dan dianggap semarga. Misalnya kelompok simamora terdiri dari marga Purba,
diperbolehkan perkawinan antara marga yang berbeda. Dengan kata lain bahwa
perkawinan.
bermarga simbolon kawin dengan seorang wanita berrmarga tambunan. Dalam hal
ini jelas bahwa laki–laki yang mau kawin berasal dari marga yang berbeda,
dengan marga si wanita. Dalam hal seperti ini wanita yang bermarga tambunan,
mempunyai saudara laki–laki, maka saudara laki–laki dari wanita tersebut tidak di
perbolehkan kawin dengan seorang wanita yang saudara dari simbolon tersebut.
Walaupun laki–laki dalam hal ini berbeda marga dengan perempuan, tetapi
Hal inilah yang dinamakan asimentris connubium. Oleh karena itu sistem
kawin sumbang. Apabila hal ini terjadi biasanya para pihak yang melakukan
57
JV. Vergouwen, masyarakat dan hukum adat batak toba, Yogyakarta: LKIS, 2004,
hlm. 17.
marga pada masyarakat toba sudah tidak seketat pada masyarakat batak
simalungun. Pada masyarakat batak toba, marga–marga yang besar, sudah banyak
yang dipecah–pecah menjadi beberapa sub marga yang lebih kecil. Sub–sub
marga yang lebih kecil ini sudah ada saling kawin, tetapi tidak diperbolehkan
(empat) sub marga yang lebih kecil yakni, lumban gaol, lumban pea, baruara, dan
pagar aji.
Kalau diantara sub marga ini mengadakan perkawinan , maka biasanya kalau
ditanya marga istrinya maka dia akan menyebutkan nama sub marganya. Akan
tetapi sampai sekarang ini masih ada marga yang masih utuh atau belum terpecah
menjadi sub–sub yang kecil yang tidak di perbolehkan untuk kawin dengan satu
sub marga yang besar tersebut, yaitu adala sub marga parna dalam masyarakat
adat Batak Toba sampai sekarang ini belum ada yang melakukan itu.
Oleh karena itu pada masyarkat adat Batak Toba perkawinan dengan sistem
exogami marga sudah tidak murni lagi. Hal–hal ini juga banyak dipengaruhi oleh
perkembangan jaman. Pada masa sekarang ini apabila terjadi kawin sumbang ,
maka diadakanlah suatu pesta yang disebut pesta manoppas bong-bong. Pada
pesta ini dikumpulkan semua anggota marga dan raja–raja adat, serta memotong
tujuh ekor kerbau, pada pesta inilah kedua belah pihak memohon maaf kepada
Dalam masyarakat adat Batak Toba biasanya seorang anak laki–laki akan
dianjurkan kawin dengan pariban atau boru ni tulang (paman). dan apabila hal ini
terjadi maka hal inilah yang disebut dengan istilah manguduti (menyambung)
dengan tujuan agar ikatan kekeluargaan dengan pihak wanita tetap tersambung
terus–menerus serta harta warisan dari orang tua tidak kepada orang lain.
berbeda leluhur yang saling berjanji untuk tidak menikahkan keturunan mereka
karena alasan tertentu.58 Seperti cerita Nainggolan dan Siregar di anggap semarga
karena dulunya marga Nainggolan memiliki keturunan yaitu hanya anak laki-laki
berlainan sisi siregar hanya memiliki anak perempuan saja sehingga kedua nenek
moyang Nainggolan dan Siregar melakukan pertukaran anak dan berjanji bahwa
mereka bersaudara dan nantinya setiap keturunan mereka tidak boleh saling
menikah. Perkawinan marpadan ini sangat dilarang karena janji yang dibuat oleh
kedua leluhur marga tersebut sangat pantang untuk dilanggar, ini berlaku sejak
dulu sampai sekarang. Jadi apabila ada marga yang marpadan melakukan
Setiap perkawinan akan selalu menyangkut dua belah pihak, yaitu pihak
antara laki–laki dengan pihak wanita. Maka kedua pihak ini akan mengikatkan
diri dengan satu sama lainya untuk hidup dalam satu keluarga. Di dalam
mengikatkan diri ini tentu ada hal–hal yang harus dilaksanakan oleh kedua belah
pihak, hal–hal apa yang haraus dilaksankan oleh kedua pihak ini adalah
merupakan masalah yang akan dibicarakan dalam bentuk dan cara perkawinan
58
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama, 2012, hlm.
197.
1. Perkawinan Jujur
(lelaki) seperti masyarakat Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan
Maluku. Pemberian uang atau barang jujur (Gayo : unjuk, Batak : boli,
tuhor, paranjuk, pangoli, Nias : beuli niha, Lampung : segreh, seroh, daw
pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri,
perkawinan maka isteri tunduk dan patuh terhadap aturan hukum adat
suaminya. Ini berarti dalam konsep perkawinan jujur yaitu adanya suatu
mengikatkan dirinya pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi
maupun harta benda yang dibawa tunduk kepada hukum adat suami, kecuali ada
ketentuan lain yang menyangkut barang-barang istri tertentu. Setelah istri berada
ditangan suami, maka istri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan
59
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung:Mandar Maju,
2003, hlm. 183.
persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Istri
tidak boleh bertindak sendiri, karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur
hubungan kemasyarakatan.60
Mengenai bentuk perkawinan jujur ini dalam hukum perkawinan adat memiliki
itu istri harus kawin dengan saudara laki-laki dari suaminya yang wafat
pembayaran adat dan lain-lain, oleh karena istri memang masih tetap
kerabat istri.61
dan suami kawin lagi dengan kakak atau adik perempuan dari istri yang
telah wafat, dan perkawinan ini sering pula disebut dengan istilah “silih
sama dengan perkawinan ganti suami, karena jujur telah diberikan ketika
3) Perkawinan mengabdi
perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki atau kedua belah pihak tidak
laki-laki tidak usah melunasi uang jujur, uang permintaan dan sebagainya,
dari kerabat B, maka dimasa yang lain kerabat B mengambil istri dari
63
Ibid., hlm. 77.
sehingga senang atau susah selama hidupnya isteri dalam menjalani rumah tangga
harus menahan dan tidak boleh melakukan perceraian, hal ini sejalan dengan asas
dapat tercapai. Akan tetapi ada yang harus dipahami dalam konteks perkawinan
jujur, bahwa perkawinan jujur bukanlah mas kawin, karena uang jujur adalah
kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria
kepada kerabat wanita untuk dibagikan kepada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak
perkawinan yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita
(pribadi).
1. Perkawinan Semanda
dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah prkawinansi pria harus
ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang
atau barang dari pihak wanita. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya
64
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Alumni, 1983, hlm. 82.
dagang”.65
jago” (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang
Dimana keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam
65
Ibid., hlm.82.
suami dan isteri berimbang atau sama, suami adalah kepala rumah tangga
dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkawinan adat dalam bentuk mandiri
tua atau kerabat hanya memberikan bekal (sangu) untuk kelanjutan rumah
tangga mereka.
3. Perkawinan Campuran
terjadi antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya,
agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan diperlakukan dalam
4. Perkawinan Lari
Perkawinan lari sering terjadi pada tatanan garis keturunan ayah pada
pelamaran.66 Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku
66
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung:Mandar Maju,
2003, hlm.189.
67
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan),
Bandung:Alfabeta, 2008 , hlm.248.
perkawinan dalam masyarkat adat Batak Toba adalah masalah „Marhata Sinamot’
yang artinya harta yang di peroleh dari hasil „Mansamot (bekerja dengan tekun)‟.
Oleh karena itu, dalam masyarakat adat Batak Toba pihak keluarga si laki–
laki harus menyerahkan sinamot kepada pihak keluarga si wanita. Sinamot yang di
berikan itu biasanya berupa uang tetapi kadang–kadang dapat juga berupa barang.
Sedangkan jumlahnya selalu merupakan dari hasil kata sepakat atau kesepakatan
dari kedua belah pihak keluarga laki–laki dan pihak keluarga wanita.
Dari sini juga terbukti bahwa masalah perkawinan itu dalam masyarakat
adat Batak Toba masalah perkawinan itu bukan hanya masalah orang yang mau
menikah tetapi melainkan juga merupakan masalah dari keluarga dari masing–
Dalam pemikiran umum dalam arti sinamot yang kita kenal sehari–hari
adalah bahwa kata sinamot selalu diartikan dengan boli atau tuhor, seolah-olah
wanita itu dibeli oleh keluarga si laki–laki, maka dengan itu kalau sudah di beli
berarti hubungan dengan keluarganya sudah putus, sehingga oranng tua si wanita
tidak mempunyai hak lagi terhadap boru (anak perempuan) nya, pengertian yang
demikian sebenarnya kurang tepat karena kalau kita melihat struktur dalihan
natolu, pihak keluarga si wanita adalah hula-hula yaitu pihak yang sangat di
hormati oleh keluarga dari pihak laki–laki dalam masyarakat adat Batak Toba.
Oleh karena itu, maka pengertian dari pemberian dari kata sinamot adalah
berupa persembahan, agar memberikan anak perempuanya sebagai istri dari anak
laki–laki pilihan hati dari anak perempuanya tersebut. Maka dengan diterimanya
sinamot tersebut tadi maka boru (anak perempuannya) tersebut dilepaskan dari
golongan sanak marga ayahnya. Istialah ini bukan berati merupakan putusnya
melahirkan seorang anak maka anak yang dilahirkan nantinya adalah bukan lagi
mengikuti marga dari bapak siwanita itu, akan tetapi akan mengikuti marga dari
wanita tersebut juga mengakibatkan adanya pergeseran harta kekayaan dari pihak
Bentuk perkawinan masyarakat adat Batak Toba ada beberapa bagian yaitu
sebagai berikut :
1. Meminang
oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak lain yang
sangat luas, yang meliputi mulai dari proses yang terjadi sebelum upacara
Pada masyarakat adat Batak Toba saat sebelum upacara dan saat sesudah
upacara perkawinan di langsungkan ini adalah hal yang sangat penting karena
apakah perkawinan itu sudah berjalan sesuai dengan aturan hukum adat. Oleh
karena itu akan diuraikan beberapa proses perkawinan yang di kenal dalam
ini juga hanya kita lihat dari segi pihak laki-laki. Adapun tahap-tahap tersebut
adalah :68
1) Martandang
ini si laki-laki keluar dari rumahnya dan berkunjung kerumah si gadis untuk
laki-laki. Mangaririt berasal dari kata ririt yang artinya pilih. Oleh karena itu pada
martandang ini, termasuk juga tujuan si laki-laki untuk memilih si gadis untuk
68
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Tarsito, 1980, hlm.64-66.
menjadi bakal istrinya. Acara martandang ini biasanya dilakukan pada malam
hari. Kalau seorang laki-laki susah untuk memilih gadis untuk menjadi calon
isterinya, maka biasanya silaki-laki tersebut akan mencari boru tulang (anak
paman)nya . Boru tulang sebagai istri adalah sangat disetujui oleh ibu dari si laki-
laki. Dan ayah si wanita itu juga jarang untuk menolak, karena anak laki-laki itu
2) Mangalehon Tanda
terjadi apabila silaki-laki sudah menemukan si gadis sebagai calon isterinya, dan
si gadis itu sudah menyetujui si laki-laki itu menjadi calon suaminya. Kedua belah
pihak yaitu laki-laki maupun perempuan saling memberikan tanda. Dari pihak
dari pihak wanita menyerahkan kain sarung, ataupun ulos sitoluntuho kepada si
laki-laki. Setelah pemberian tanda dilakukan maka si laki-laki dan si wanita itu
sudah mempunyai ikatan, dan si laki-laki akan memberitahukan hal ini kepada
orang tuanya. Kemudian orang tua si laki-laki menyuruh perantara yang di sebut
mereka sudah mengikat janji dengan putri yang empuya rumah. Apabila ayah si
3) Marhusip
Marhusip artinya berbisik. Pada acara marhusip ini yang masing-masing pihak
masih diwakili oleh perantara, yang dilakukan secara diam-diam, pihak laki-laki
menanyakan kepada pihak si wanita, berapa kira-kira jumlah uang sinamot yang
kepada pihak si wanita kira-kira kemampuan pihak si laki-laki. Hal ini dilakukan
agar kedua belah pihak mengetahui dan mengerti bagaimana keadaaan masing-
masing pihak. Marhusip ini dilakukan dirumah si wanita, dan dalam hal ini orang
tua kedua belah pihak belum ikut campir. Dalam waktu marhusip inilah juga
resmi.
(sinamot) yang mereka harus serahkan. Pada waktu yang telah di tetapkan
makanan adat. Pada masyarakat Batak Toba pembicaraan baru akan diadakan
jumlah besarnya jujur yang harus di serahkan oleh pihak laki-laki. biasanya dalam
pembicaraan ini terjadi tawar menawar yang gesit, yang nantinya jatuh paada
jumlah yang telah ditetapkan pada waktu marhusip. Walaupun tidak persis sama,
Sinamot pada masyarakat Batak Toba biasanya terdiri dari uang dan hewan.
Sinamot yang terdiri dari uang biasanya di serahkan pada orangtua si wanita pada
saat marhata sinamot. Oleh karena itu pihak orangtua si wanita di sebut manjalo
sinamot (menerima jujur). Sedangkan sinamot yang terdiri dari hewan diserahkan
kemudian. Pada waktu marhata sinamot inilah dibicarakan semua hal-hal yang
sinamot juga adalah saat perkenalan resmi antara orangtua si laki-laki dengan
orangtua si wanita.
5) Maningkir Lobu
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sinamot itu di samping uang ada juga
hewan. Oleh karena itu pada saat yang di tentukan keluarga si wanita yang
biasanya di wakili oleh adik atau kakak dari ayah si gadis datang maningkir
(melihat) lobu (hewan piaraan) yang telah di janjikan, ke tempat keluarga si laki-
laki. Kemudian setelah acara makan bersama, perutusan keluarga si wanita itu
akan membawa hewan itu ke tempat keluarga si wanita. Hewan yang biasanya
6) Martonggo Raja
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba bukanlah hanya urusan ayah dan ibu
si laki-laki saja, melainkan urusan semua keluarga. Oleh karena itu orangtua si
perkawinan. Jadi martonggo raja ini adalah merupakan suatu rapat untuk
b. Upacara Perkawinan :
upacara perkawinan itu menyangkut dua hal, yaitu upacara menurut adat
Upacara perkawinan pada Batak Toba di atur dalam tiga hal yaitu : 70
1975
tahun 1975 yaitu yang terdapat pada pasal 3 sampai dengan 11 Peraturan
Pemerintah no.9 tahun 1975. Di samping itu acara-acara yang ditentukan menurut
69
Ibid.,hlm.68
70
Ibid.,hlm.72
pada waktu yang telah di tetapkan pihak keluarga laki-laki datang kerumah
orangtua si wanita dengan membawa makanan adat. Makanan adat ini diletakkan
di dalam bakul yang di sebut ampang, dan di bawa oleh seorang yang disebut
boru sihunti ampang. Rombongan ini sudah di tunggu oleh keluarga si wanita di
perkawinan secara agama. Seusai upacara agama ini maka semua keluarga
bersama pengantin pergi ke tempat pesta yang telah di tentukan. Bagi masyarakat
Batak Toba peresmian perkawinan biasanya harus dilakukan dalam suatu pesta.
kedua belah pihak. Pesta peresmian perkawinan ini dapat dilakukan di tempat
71
Ibid., hlm.73-74.
sebut ditaruhon jual. Semua pembgian jambar bagi yang berhak diserahkan pada
bawa dulu kerumah orangtua si wanita atau langsung ke suatu tempat pesta.
Upacara perkawinan seperti ini dinamakan dialap jual. Kemudian setelah pesta
baru si wanita di bawa ke rumah keluarga si laki-laki. Pada pesta ini jugalah
ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah no.9 tahun 1975, yaitu harus terlebih
laki-laki. Walaupun si perempuan itu sudah di bawa bukan berarti sudah selesai
proses-proses yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, di dalam rangka
boleh di tinggalkan begitu saja. Dengan kata lain acara-acara itu masih
merupakan bagian dari proses perkawinan, yang harus dilaksanakan oleh kedua
belah pihak.72
72
Ibid., hlm.75.
Mebat ini maka si wanita dengan suaminya belum boleh untuk berkunjung ke
rumah orangtua si wanita tersebut. Pada acara ini biasanya adalah untuk
2) Maningkir Tangga
Maningkir artinya melihat. Berarti dalam hal ini kedua orangtua si wanita
melihat rumah tangga anaknya. Kedatangan mereka ini selalu membawa makanan
adat.
3) Manjae
dengan istri untuk hidup tidak serumah dengan orangtuanya. Orangtua laki-laki
akan memberi peralatan dan makanan secukupnya sambil menunggu panen dari
sawah mereka. Dengan demikian suami istri yang baru itu akan berdiri sendiri
sebagai rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban penuh menurut adat.
73
Ibid., hlm.77-78.
melaksanakan dan lua adalah membawa atau lari. Secara leksikal berarti
perkawinan ideal karena satu atau beberapa hal. Artinya tanpa dengan
(pajolo gogo, papudi uhum). Kedua calon pengantin yang mangalua akan
ditemani oleh satu atau dua orang yang bertindak sebagai pihak ketiga,
Dala bahasa Batak Toba, kawin lari disebut dengan mangalua dan
mangaroba. Si lelaki disebut mangala dan si gadis yang mau di bawa di sebut
mangaroba. Namun secara umum kawin tanpa melalui prosedur adat ini disebut
mangalua .74
uang yang diletakkan di bawah tikar buruk (rere).Ketika ibu si gadis menyapu
rumah uang itu ditemukan. Uang yang laziim disebut tading rere ini, sebagai
petunjuk kepada orangtua si gadis bahwa anaknya sudah menempuh cara kawin
lari. Apabila petunjuk melalui tading rere itu kurang jelas, misalnya kemarga
mana anak gadis itu kawin lari, maka orangtua si gadis menyuruh beberapa
74
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta:Dian Utama, 2012, hlm.206.
melacak ini disebut si pajal bogas atau di tempat lain disebut pangihut-ihut.
Adalah lazim bahwa gadis yang di bawa kawin lari, tidak langsung kerumah
orangtua si pemuda tetapi kerumah salah satu penatua gereja. Dengan kata lain si
gereja, pasangan yang kawin lari ini di berkati di gereja atau di rumah si
pemuda.75
meskipun perkawinan mereka sudah di berkati penatua gereja dan sudah di catat
di catatan sipil bahkan sudah di buatkan resepsi perkawinan dan di hadiri para
kerabat hal tersebut di karenakan dalam sah tidaknya perkawinan menurut adat
dalihan natolu bukan oleh pemberkatan di gereja atau pencatatan di catatan sipil,
ataupun resepsi. Tetapi oleh adat, dimana yang hadir itu terdiri atas unsur dalihan
natolu dan dongan sahuta, telah dilakukannya pembagian jambar juhut dan
Kawin lari ( mangalua) dalam adat Batak Toba sendiri dapat dibedakan
Kawin lari (mangalau) yang di adati adalah kawin lari (mangalua) yang
dengan proses mangalua namun tetap di lakukan acara adat yang di sebut
75
Ibid., hlm.206
76
Ibid., hlm.212.
kawin lari (mangalua) ini hampir sama dengan proses perkawinan yang
dan si perempuan yang hendak kawin lari tetap harus di bawa ke rumah
pemberkatan.
Kawin lari (mangalua) yang di adati seperti ini biasanya terjadi karena
pengaruh ekonomi dimana pihak lelaki tidak dapat memenuhi biaya yang
pihak telah setuju dan sepakat untuk melakukan perkawinan mangalua dan
memang cara itulah yang dianggap tepat pada saat itu agar perkawinan
Kawin lari (mangalua) tidak di adati adalah kawin lari (mangalua) yang
perbedaan agama.
nuruk.
Dalam perkawinan mangalua ini tentu ada cara yang lazim dilakukan oleh
peranan dalam pelaksanaan mangalua ini karena si lelaki lah yang telah membawa
Seperti yang telah di bahas di atas bahwa kawin lari (mangalua) tidak di
adati adalah kawin lari (mangalua) yang terjadi di dalam masyarakat Batak Toba,
adatnya atau tanpa mangadati. Dimana sebelum si gadis berangkat kawin lari, dia
Sebagai langkah pertama adalah perempuan yang di bawa kawin lari pergi
kerumah keluarga pihak lelaki yang terpercaya lalu di antar ke tempat penatua
agama dan dirumah tersebut calon pengantin perempuan dititipkan sampai pada
pendekatan antara ibu penatua gereja (yang bertindak sebagai pihak ketiga)
77
Ibid., hlm.206.
pasangan yang kawin lari ini di berkati di gereja atau di rumah keluarga si
perjamuan ini disebut parajahon, artinya perkawinan itu dilakukan dengan raja.
Untuk perjamuan yang disebut parajahon ini, seekor anak babi disembelih dan
dimasak secara khas. Undangan yang hadir di acara ini adalah unsur dalihan
natolu pihak paranak dan dongan sahuta. Hula-hula di acara ini adalah tulang si
perjamuan yang ala kadarnya ini pihak keluarga perempuan tidak hadir dan
pemberkatan saja namun tidak ikut dalam acara perjamuan yang ala kadarnya
Setelah selesai makan, dua orang boru disertai seorang ama yang semarga
dongan sabutuha dekat dari orangtua si gadis. Penyampaian ihur-ihur itu adalah
merupakan informasi resmi secara adat kepada orangtua si gadis, bahwa anak
78
Ibid., hlm.206.
79
Ibid., hlm.206.
Utusan yang mengantar ihur-ihur itu, berkata dengan mimik agak takut kurang
holong papudi uhum angka naposo on. Manganju ma hamu di nasida. Butima.”
kemarahan orangtua si perempuan . apabila diketahui rasa marah itu sudah reda
adalah acara minta maaf kepada orangtua yang anaknya di bawa kawin lari. 81
menerima kedatangan paranak yang datang manuruk-nuruk. Hal ini bertujuan agar
pasangan yang telah melakukan kawin lari (mangalua) itu dapat dengan bebas
parboru.
haruslah menyerahkan upa sangke hujur dan upa harbangan kepada dongan
sahuta dan parboru agar di perbolehkan masuk. Hal pertama yang di lakukan
adalah pihak keluarga perempuan bertanya maksud dan tujuan kedatangan pihak
80
Ibid., hlm.207.
81
Ibid., hlm.207.
keluarga laki-laki, sehingga lebih jelas dan tegas. Ini lah acara sebagai tanda
dan pemberian ulos holong oleh orangtua pengantin perempuan sebagai tanda
penutup.
adat dalihan natolu, berniat mengadakan pesta adat, langkah pertama yang
maka paranak mengirimkan boru disertai dongan tubu untuk menjajaki hal-hal
melaksanakan pesta adat tersebut. Biasanya konsep dari suhut paranak diajukan
dinding sudah menunjukkan lampu hijau, barulah dibawakan di acara resmi atau
secara formal yang disebut pasahat situtungon. Acara pasahat situtungon kurang
lebih sama dengan acara marhata sinamot, yaitu acara untuk menyepakati:82
82
Ibid., hlm.213.
1.Sejumlah uang yang akan diberi paranak kepada parboru, uuntuk pelaksanaan
kurang lebih tampak sama dengan acara marhata sinamot, hanya saja istilah
sinamot tidak lagi disebut, tetapi situtungon adakalanya digunakan istilah batu ni
sulang-sulang. Disebut namanya situtungon karena jumlah uang yang diterima itu
adalah untuk keperluan pesta adat itu, bahkan adakalanya parboru menambah dari
besar jumlah uang yang di beri pihak keluarga laki-laki melainkan menerima
berapapun besar jumlah uang yang di berikan. Dalam rangka menghadapi pesta
mangadati atau pasahat adat nagok, perlu juga diadakan martonggo raja di pihak
paranak dan marria raja di pihak parboru. Acara ini perlu dilakukan adalah
83
Ibid., hlm.214.
untuk menyerahkan pelaksanaan pesta kepada dongan tubu dan boru/bere agar
melakukannya. Dengan demikian acara pesta berjalan lancar dan baik. Perlu
rumah.84 Makna yang tersirat didalam acara itu adalah mengambil hati (manubut
roha ni) dongan tubu, boru, dan dongan sahuta agar masing-masing berusaha
pasahat adat na gok. Perkawinan yang di tempuh dengan kawin lari (mangalua)
atau pajolo holong papudi uhum, atau hanya melaksanakan pemberkatan, catatan
sipil, resepsi, sebaiknya dilaksanakan pesta mangadati, agar perkawinan itu sah
secara adat penuh.86 Acara pesta mangadati atau pasahat adat nagok pada
84
Ibid., hlm.218.
85
Ibid., hlm.220.
86
Ibid., hlm.220.
perkawinan. Apabila kata sepakat antara kedua belah pihak paranak dan parboru
tidak tercapai, atau salah satu dari pihak itu tidak mampu membiayai upacara
Jika terdapat kata sepakat antara mereka untuk mewujudkan perkawinan, satu-
satunya jalan yang di tempuh adalah dengan jalan kawin lari disebut mangalua.87
Kawin lari (mangalua) dalam adat Batak Toba sendiri di bedakan menjadi
2 bagian, yaitu:88
dengan proses mangalua namun tetap dilakukan acara adatnya sesuai adat Batak
rumah salah satu keluarganya ataupun ke rumah penatua agama dan tinggal
Setelah itu si lelaki ataupun utusan dari keluarga si lelaki datang ke rumah
76
dengan adat na denggan atau melakukan adat sesuai dalam Batak Toba. Setelah
tiba hari pemberkatan maka pasangan yang melakukan kawin lari tersebut
bertemu di sebuah gereja yang sudah di tentukan untuk di berkati oleh pendeta.
masyarakat Batak Toba yaitu mebat (paulak une) dimana pasangan yang
pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) tersebut, maningkir tangga yang
untuk melihat bagaimana rumah tangga anaknya, dan manjae yaitu keadaan
dimana pasangan yang telah kawin lari (mangalua) tersebut di lepas oleh orangtua
keluarga pihak laki-laki atau ke rumah penatua gereja selama beberapa hari
sebelum hari pemberkatan oleh pendeta. Setelah tiba hari pemberkatan maka
kedua calon pengantin tersebut datang ke gereja untuk di berkati oleh pendeta, si
lelaki dengan keluarganya sedang si perempuan bersama pihak kedua atau ke tiga
Kemudia setelah beberapa hari kemudian pasangan yang melakukan kawin lari ini
serta keluarganya karena telah membawa lari anak perempuannya serta bertujuan
manuruk-nuruk ini pihak laki-laki harus membayar denda baik kepada keluarga
(mangalua) menurut hukum adat Batak Toba karena melihat berbagai hal yang
1. Sinamot
89
Richard Sinaga, Op.Cit, hlm. 205.
2. Melangkahi
Orangtua pada umumnya menginginkan yang lebih dulu lahirlah yang lebih
dulu kawin. Karena itu orangtua menyuruh sabar kepada anaknya yang minta
sampai sudah berbadan dua. Demi harga diri orangtua, ada kalanya si orangtua
orangtua si gadis yang dipilih oleh anak laki-lakinya. Karena dua pasangan
yang saling mencintai ini tidak bisa di arahkan, maka keduanya menempuh
1. Faktor Ekonomi
mangalua. Hal ini dihubungkan dengan mata pencaharian, serta jumlah anggota
90
Wawancara, J.Pakpahan, Minggu tanggal 25 Februari, pukul 19:00 Wib
Dalam hal ini pihak keluarga laki-laki mempunyai taraf perekonomian yang
lebih rendah dari keluarga perempuan, sedangkan perkawinan secara ideal itu
membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk menghindari semua itu ditempuh
persetujuan dari kedua belah pihak. Kondisi tidak mendapat persetujuan ini
bagi pasangan tersebut dan memilih kawin dengan cara kawin lari
yang lainnya .
Orang Batak pada umumnya kuat idealismenya dalam hal kesukuan dan
menujukkan kebatakannya. Hal itu dijelaskan dengan adanya konsep halak hita
Dalam kemajuan dewasa ini sering di dengar bahwa hal-hal kesukuan seperti
itu lambat laun telah mulai dihilangkan, dengan tidak begitu membedakan
dapat di lihat dalam masayarakat Batak masalah ini sering menghalangi seseorang
menuju jenjang perkawinan. Bahkan karena aliran sekte yang berbeda juga dapat
4. Faktor Pendidikan
seseorang secara formal maupun non formal dalam membentuk suatu pemikiran
yang lebih maju daripada orang-orang yang tidak menjalaninya. Sering dikatakan
91
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Yogyakarta:Liberty Yogyakarta, 1981, hlm.175.
hukum itu sedemikian rupa sifatnya, sehingga perlu diambil beberapa tindakan
bersangkutan.
yang lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi
Hukum Adat.93 Menurut konsep masyarakat Batak Toba, Adat merupakan nilai-
nilai yang diwariskan dari nenek moyang kepada keturunannya supaya dijaga dan
dijalankan terlepas dari hukum perundangan yang berlaku yang berfungsi untuk
Toba yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat atau na so
maradat (orang yang tidak memiliki adat) akan dikenai sanksi sosial terhadap
orang-orang yang melanggar adat tersebut. Adat Batak Toba adalah norma, aturan
atau ketentuan yang dibuat oleh penguasa/pemimpin dalam suku Batak Toba
bangsa Batak Toba berasal dari satu nenek moyang yang menurunkan orang
Batak Toba. Pemimpin adat Batak Toba biasanya disebut sebagai Mangaraja
Adat yaitu yang diangkat dan diberi gelar Mangaraja yang disandangnya seumur
hidup. Hal ini dikarenakan orang tersebut mengetahui seluk-beluk aturan norma-
92
Ibid., hlm.176.
93
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan),
Bandung:Alfabeta, 2008, hlm. 1.
norma, ketentuan, dan hukum yang berlaku dalam adat Batak Toba. Pemimpin
adat bukan berarti yang mempunyai kuasa dalam adat, akan tetapi fungsinya
jenis dan sifatnya dan pihak mana saja yang terlibat dalam lingkaran adat tersebut.
Oleh karena itu seorang Mangaraja Adat harus menjadi panutan dan menjadi guru
sendiri. Walaupun nanti akan ada upacara mangadati yaitu suatu proses upacara
menurut adat tidak berarti langsung melenyapkan permasalahan ysng pernah ada.
mangalua ini, karena pihak laki-laki telah mengambil anak perempuan mereka
tanpa ijin. Tindakan pihak laki-laki itu diaggap telah mencorengkan arang di
merupakan yang tertinggi dalam struktur dalihan na tolu dan harus dijunjung
tinggi serta struktur dalihan na tolu harus dijunjung tinggi oleh pihak laki-laki.
sebenarnya tidaklah menjadi permasalahan, karena pihak laki-laki ini secara tidak
Bila ditinjau dari segi ekonomi sebenarnya menguntungkan bagi pihak laki-laki
sebab mereka tidak dibebani lagi dengan sejumlah sinamot yang diminta oleh
keluarga perempuan.
1. Pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) itu tidak boleh datang
tidak boleh datang mengunjungi anaknya yang telah di bawa kawin lari.
Oleh sebab itu hal ini sangat di hindari atau sesegera mungkin si pasangan
mestinya sehingga bila ada acara atau kejadian yang tidak terduga mereka
94
Wawancara, St.G.Simanjuntak, Selasa tanggal 27 Februari, pukul 13:00 Wib
bertemu dengan kelompok masyarakat adat yang sangat taat kepada adat.
4. Pasangan yang kawin lari (mangalua) itu tidak berhak atau tidak dapat
tidak boleh memberi ulos ataupun menerima ulos dalam acara adat orang
ada 3 (tiga) akibat hukum dari perkawinan mangalua, yaitu:95 masalah hubungan
suami-isteri, masalah hubungan orangtua dengan anak, dan masalah harta benda.
suami dengan isteri, terutama yang menyangkut soal hak dan kewajiban. Maka
hubungan tersebut dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Antara suami dan
isteri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah
Di dalam KUHPerdata (BW) yang dahulu hanya berlaku bagi Golongan Eropa
dan Timur Asing Cina tentang hak-hak dan kewajiban suami dan isteri diatur
dalam bab V pasal 103-118 KUHPerdata, yaitu kedudukan suami sebagai kepala
dalam persatuan suami isteri (Pasal 105 KUHPerdata). Suami wajib menerima
Apabila KUHPerdata bertitik tolak dari hubungan perdata suami isteri semata,
maka lain halnya dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Didalam
95
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.33.
96
Ibid., hlm. 33.
97
Hilman Hadikusuma, Hukum Pekawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.102.
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat (Pasal 30 UU No. 1 Tahun 1974). Hak dan kedudukan
isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
berhak untuk melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga dan
isteri ialah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 1 sampai 3 UU No.1 Tahun 1974). 98
No. 1 Tahun 1974, maka nampak adanya pengaruh KUHPerdata yang masuk
dalam UU No. 1 Tahun 1974, antara lain misalnya pasal 33 ayat 3 UU No. 1
Tahun 1974 mendekati pasal 105 KUHPerdata. Namun UU No. 1 Tahun 1974
isteri harus tunduk patuh terhadap suaminya (Pasal 106 KUHPerdata), setiap
suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi isterinya‟ (Pasal
105 KUHPerdata).99
Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat bangsa
menjadi kewajiban moral orangtua dan kerabat, walupun sifatnya immaterial dan
tidak langsung berupa perhatian dan pengawasan. Apalagi jika yang ditegakkan
98
Ibid., hlm. 102.
99
Ibid., hlm. 103.
itu keluarga/rumah tangga yang masih baru dengan suami isteri yang berumur
muda.
isteri setelah mengikat perkawinan, yang dapat berakibat hak dan kedudukan
suami dan isteri tidak seimbang . Disamping itu dimana tempat kediaman suami
Medan kedudukan suami istri baik yang kawin secara meminang maupun kawin
lari (mangalua) adalah sama dalam keluarga yang mereka bangun. Dahulu
kedudukan di dalam masyarakat adat ada sedikit perbedaan dimana orang yang
kawin lari (mangalua) status dan kedudukannya dalam masyarakat adat masih
yang seharusnya. Namun sesuai dengan perkembangan, hal tersebut tidak begitu
100
Wawancara, G.Simanjuntak, Selasa tanggal 28 Februari, pukul 13:00 Wib
perkawinan mengaturnya dalam pasal 42 sampai dengan pasal 49. Tentang hak
dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur dalam pasal 45 sampai dengan
pasal 49. Ditentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak
mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan terus
walaupun perkawinan antara orang tua itu putus. Disamping kewajiban itu orang
tua menguasai pula anaknya sampai berumur 18 tahun atau belum pernah kawin.
Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala
menghormati dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Dan apabila anak telah
menyebabkan adanya hak dan kewajiban yang timbal balik antara anak dan orang
dan bentuk perkawinan dari ayah ibunya dan ada tidaknya pertalian adat diantara
darah yang diutamakan adalah kewangsaan ayah dan pada umumnya berlaku adat
garis keturunan laki-laki, kedudukan anak laki-laki lebih diutamakan dari anak
perempuan. Anak laki-laki adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari
satu bapak asal, sedangkan anak perempuan disiapkan untuk menjadi anak orang
lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Hal oleh karenanya apabila
suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki lebih-lebih tidak punya keturunan
sama sekali dikatakan “putus keturunan” (Batak: punu, Lampung: mupus, Bali:
putung).103
Pada umumnya menurut hukum adat sebagaiman juga diatur dalam pasal
45-46 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, bahwa kedua orang tua wajib
kawin atau dapat berdiri sendiri. Sebaliknya anak wajib menghormati orang tua
dan mentaati kehendak mereka yang baik, serta wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas. Menurut
kewajiban anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan, walaupun dalam
hubungannya dengan orangtuanya atau kerabatnya adalah dapat dilihat dari latar
Selain dari apa yang diuraikan diatas, kedudukan anak laki-laki terhadap
orangtuanya dalam kekerabatan patrilineal dapat pula dilihat dari latar belakang
103
Ibid., hlm. 34.
104
Ibid., hlm. 34.
itu maka isteri dilepas oleh kerabat orangtuanya dengan pemberian barang-barang
bawaan baik barang tetap maupun barang bergerak (Batak: Saba bangunan,
kedudukan seorang anak yang lahir dari orangtua yang melakukan kawin lari
(mangalua) adalah sama di dalam adat dengan anak yang lahir dari perkawinan
yang dilakukan secara ideal atau sah menurut adat. Hanya saja bila anak dari
perkawinan juga maka si anak tadi tidak dapat diadati karena status kedua
orangtuanya sendiri yang belum sah dalam adat. Perkawinan mangalua yang
hal adat istiadat dimana keturunannya juga tidak dapat melaksanakan adat seperti
orangtuanya, sampai orangtuanya sah secara adat atau mangadati. Hal ini adalah
salah satu alasan pertimbangan bagi orangtua yang belum melakukan acara
105
Ibid., hlm. 37.
106
Wawancara, J.Pakpahan, Minggu tanggal 25 Februari, pukul 19:00 Wib
sampai dengan pasal 37. Ditentukan bahwa tentang harta-benda yang diperoleh
masing memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap
bersama.
dengan persetujuan salah satu pihak sedangkan mengenai harta bawaan, suami
atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu.
dengan ”hukumnya” itu adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum
lainnya.107
menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang melakukan
hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga atau somah (gezin
atau household). Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah
107
K.Wantjik Saleh, Op.Cit., hlm. 35.
berkeluarga.108
undang dan pengurusannya diatur dalam Bab VII pasal 119-138 KUHPerdata
yang terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama tentang harta bersama menurut undang-
harta bersama dan hak untuk melepaskan diri dari padanya (Pasal126-138
KUHPerdata).109
suami isteri sebagai harta persatuan. Semua harta dari masing-masing suami-
isteri, baik yang mereka bawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka
bersama dari suami dan isteri. Persatuan bulat kekayaan suami dan isteri tersebut
persekutuan antara suami dan isteri. Harta atau barang-barang tertentu yang
108
Sony Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama, 2015,
hlm.23.
109
Hilman Hadikusuma, Hukum Pekawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.113.
testamentair dan sebagai hadiah, tidak bisa dianggap sebagai harta bersama. Hal
ini diatur dalam pasal 120 KUHPerdata. Yang menyatakan bahwa berkenaan
dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak
dan barang-barang tidak bergerak suami isteri itu, baik yang ada maupun yang
akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh cuma-cuma kecuali dalam hal
110
terahkir ini yang mewariskan menentukan kebalikannya dengan tegas.
pengurusan harta bersama. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 124
KUHPerdata yang menyatakan bahwa hanya suami saja yang boleh mengurus
111
harta bersama itu. Jika dibandingkan dengan uraian tentang harta perkawinan
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka uraian dalam
KUHPerdata lebih banyak sampai 18 pasal. Di dalam UU No.1 Tahun 1974 hanya
Tahun 1974 bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai
hadiah atau warisan yang menentukan lain (pasal 35 ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun
1974). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri
bersama akan diatur menurut hukumnya masing-masing. Dimana hal ini sesuai
110
Sonny Dewi Judiasih, Op.Cit., hlm.20.
111
Ibid., hlm. 20
dikatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama
lebih lanjut mengenai wujud dan ruang lingkup dari harta bersama itu. Tetapi
meskipun demikan, telah tertanam suatu kaidah hukum semua harta yang
Dengan demikian UU No.1 Tahun 1974 lebih mendekati hukum adat dan
hukum lain menjauhi hukum perdata eropa yang menjauhi Hukum Indonesia. Hal
mana tidak berarti bahwa hukum perkawinan nasional Indonesia kita itu telah
sesuai bagi keluarga/rumah tangga yang bersifat parental, tetapi tidak sesuai
Harta perkwinan menurut hukum adat adalah semua harta yang dikuasai
suami dan isteri selama terikat dalam perkawinan, baik harta kerabat yang
dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, hibah, harta
penghasilan sendiri, harta pencarian hasil suami dan isteri, dan barang-barang
hadiah.114 Hukum adat mengatur harta kekayaan suami dan isteri menjadi 2
1. Harta asal
112
Ibid., hlm. 24.
113
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 114.
114
Sonny Dewi Judiasih, Op.Cit., hlm. 7.
115
Ibid., hlm. 10.
Harta asal ialah harta yang dibawa ke dalam perkawinan oleh masing -
masing suami dan isteri. Harta ini ada kalanya berasal dari harta warisan
atau hadiah dari orang tua atau kerabat dan nenek moyang masing-masing
pihak. Kemungkinan lain bahwa barang asal itu merupakan hasil dari
(Jawa).
2. Harta bersama
Harta bersama ialah harta yang diperoleh dalam perkawinan. Hukum adat
menyatakan bahwa tidak semua harta benda yang dimiliki suami dan isteri
harta gono-gini hanya harta benda yang diperoleh secara bersama sejak
harta warisan yang diperoleh selama masa perkawinan tetap merupakan harta
hukum yang satu dengan yang lain dimana semua memandang bahwa harta
harta bersama, tetapi dalam konteks budaya lokal terdapat perbedaan dalam
penerapannya. Hal ini dapat dilihat dalam masyarakat yang bercorak patrilineal,
seperti hukum adat Batak di Sumatera Utara, harta bersama tidak terbentuk dalam
perkawinan, dimana hal ini berkaitan dengan sistem perkawinan jujur yang
tidak ada pemisahan harta bersama dan harta bawaan (hadiah/warisan). Kesemua
harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama atau harta
persatuan yang dikuasai oleh suami sebagai kepala rumah tangga. Semua
disetujui suami.
perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau dengan kata lain
warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian warisan
tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa
(mangalua) melainkan sesuai dengan hukum yang berlaku biasanya. Hanya saja
pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) tidak dapat menuntut hak atas
harta yang dimiliki oleh orangtuanya, si perempuan tidak berhak untuk meminta
lebih dari orangtuanya dan si laki-laki tidak berhak menuntut atau meminta lebih
116
Ibid., hlm. 13.
kepada orangtua si perempuan, hal tersebut karena pasangan itu belum melakukan
117
Wawancara, Ev.Manalu, Rabu tanggal 7 Maret, pukul 16:00 Wib
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
si perempuan.
b. Tidak di setujui, dimana baik salah satu pihak maupun kedua belah
hubungan anaknya.
dalam perkawinan.
hal yang di luar kewajaran atau di sebut juga telah salah langkah
dilaksanakannya perkawinan.
99
pengucilan, tidak dapat ikut berpartisipasi dalam acara adat apapun, dan
3. Akibat hukum yang timbul dari perkawinan mangalua (kawin lari) pada
a. Akibat hukum yang timbul akibat kawin lari (mangalua) dalam hal
disebut dengan istilah hela dan parumaen namun bila di tinjau dari
secara penuh atau belum mangadati maka anak yang lahir dari
atau mangadati.
keluarga .
B. Saran
menjadikan pasangan suami istri itu tidak sah menikah karena menurut
Indonesia tidak terkecuali masyarakat adat Batak Toba. Oleh sebab itu,
No.1 Tahun 1974 dimana pada pasal 2 ayat (1) dan (2) telah mengatur
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
2. Hasil Wawancara
Bapak Y. Marpaung, hari sabtu tanggal 3 Maret 2018, pukul 15.00 WIB di
Jalan Menteng 7 Gang Era Baru No.15
Ibu Dewi Nababan, hari sabtu tanggal 3 Maret 2018, pukul 19.00 WIB di
Jalan Menteng Raya No.370
Ibu Vina Silaban, hari senin tanggal 5 Maret 2018, pukul 15.00 WIB di
PanglimaDenai No.28
Bapak Ev. Manalu, hari rabu tanggal 7 Maret 2018, pukul 16.00 WIB di
Jalan Jermal Baru No.21
3. Internet
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/08/sistem-kekerabatan-
masyarakat-adat-di indonesia/ Diakses pada hari Rabu, 26 Februari 2018, pukul
22:11 Wib
https://er27.wordpress.com/2008/03/17/mangalua-suatu-bentuk-perkawinan-pada-
masyarakat-batak-toba/ Diakses pada hari Rabu, 26 Februari 2018, pukul 21:00
Wib