Anda di halaman 1dari 117

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Hukum Skripsi Sarjana

2018

Mangalua (Kawin Lari) Menurut Hukum


Adat Batak Toba (Studi di Kecamatam
Medan Denai, Kota Medan)

Marpaung, Oynike Dolorosa


Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5113
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
“MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA”
(STUDI DI KECAMATAN MEDAN DENAI, KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Syarat-Syarat Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

OYNIKE DOLOROSA MARPAUNG

140200444

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Oynike Dolorosa Marpaung

NIM : 140200444

Departemen : Hukum Keperdataan

Judul Skripsi : “MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT HUKUM ADAT


BATAK TOBA” (STUDI DI KECAMATAN MEDAN DENAI,
KOTA MEDAN)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar dan tidak
merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka


segala akibat hokum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dan tekanan
dari pihak manapun.

Medan, Maret 2018

Oynike D Marpaung

Nim. 140200444

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
kemampuan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Penulis sangat bersyukur
juga atas karunia dan hikmat serta penyertaan-Nya kepada penulis. Semoga
skripsi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul : “Mangalua (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Batak Toba” (Studi di
Kecamatam Medan Denai, Kota Medan).
Namun, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis akan sangat
berterima kasih jika ada kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan
skripsi ini.
Pada kesempatan ini juga penulis sangat rindu mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof Dr. Saidin, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Terima kasih secara khusus kepada Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH.,
M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Idha Aprilyana
Sembiring, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
menolong penulis dan yang telah banyak meluangkan waktunya kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh dosen Fakultas Hukum yang mengabadikan diri mengajar di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala
perkuliahan penulis selama menjalani urusan perkuliahan.
10. Seluruh staff, dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
untuk setiap pelayanan terbaik yang bisa diberikan.
11. Kelompok Gaudete (Jessica Grace Simanjuntak, S.H, Aprianti Aritonang
dan Jernih Talenta Zebua)
12. Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI)
13. Untuk Bosna Trimanta yang telah mendukung dalam pengerjaan penulisa
skripsi ini.
14. Untuk Farida Panjaitan,S.H, Aprianti Aritonang dan Elizabeth Purba, S.H.

Pada kesempatan ini dengan segala hormat penulis juga rindu untuk
mengucapkan terimakasih kepada Orang tua penulis yakni Ir.Y.Marpaung.STh,
dan Kalena Nainggolan yang selalu mendoakan, membimbing, dan memberi
semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini., serta
ketiga abang penulis Ferry Alberto Marpaung, S.ST, Willyam Rozy Zelady
Marpaung, SE, dan Fontes Romario Marpaung, ST.

Medan, Maret 2018


Penulis

Oynike Dolorosa Marpaung

ii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH

Amang Sapaan umum untuk menghormati


kaum laki-laki yang lebih tua
Ampara Sapaan awal teman semarga
Bere Anak dari saudara perempuan si laki-
laki
Boru Anak perempuan
Dalihan Na Tolu Kerangka yang menghubungkan
kerabat dalam hubungan perkawinan
yang menghubungkan suatu kelompok
dan terdiri dari 3 tungku kedudukan
yaitu hula-hula, boru dan dongan tubu
Dengke Ikan yang dimasak secara khas.
Dongan Sabutuha Saudara semarga yang masih
berhubungan pertalian darah
Dongan Sahuta Orang atau teman yang satu kampung.
Dongan Tubu Orang atau teman yang semarga
Eda Sapaan sesama perempuan yang
menjadi kakak ataupun adik ipar
Hula-hula Pihak keluarga isteri
Inang Sapaan umum untuk menghormati
kaum perempuan yang lebih tua
Ito Sapaan untuk laki-laki terhadap
perempuan maupun sebaliknya
Lae Tutur sapa terhadap anak laki-laki
paman ataupun anak laki-laki bibi
Mangadati Pelaksanaan acara adat secara resmi
Mangalua Kawin lari tanpa adat batak yang
idealnya
Manjae Berkeluarga dan berumahtangga secara
mandiri
Manuruk-nuruk Acara permintaan maaf kepada
orangtua si perempuan karena telah
melarikan anak perempuannya
Marpadan Hubungan kekeluargaan dua marga
yang mengikat janji untuk tidak

iii

Universitas Sumatera Utara


menikahkan keturunannya
Mariboto Panggilan untuk kakak/adik perempuan
yang satu marga
Martarombo Silsilah
Martutur Berkerabat
Parboru Pihak keluarga menantu laki-laki
Pariban Anak perempuan dari paman
Sinamot Jujur atau mahar
Tulang Saudara laki-laki ibu atau paman
Tungane boru Isteri
Tungane doli Suami

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1


B. Perumusan Masalah ....................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 8
E. Keaslian Penulisan .......................................................................................... 9
F. Metode Penelitian............................................................................................ 9
G. Sistematika Penulisan...................................................................................... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan .................................................................................... 16


B. Asas- Asas Hukum Perkawinan ...................................................................... 19
C. Tujuan Perkawinan.......................................................................................... 24
D. Syarat Sahnya Perkawinan .............................................................................. 27

BAB III TATA CARA PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT BATAK


TOBA

A. Sistem Kekerabatan Masyarakat Adat Batak Toba ......................................... 36


B. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba .......................................... 46
C. Bentuk Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba ......................................... 49
1) Meminang .............................................................................................. 58
2) Tanpa Meminang ................................................................................... 66
D. Tata Cara Mangalua Menurut Hukum Adat Batak Toba ................................ 69

Universitas Sumatera Utara


BAB IV PERKAWINAN MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT
HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA
MEDAN

A. Penyebab terjadinya perkawinan mangalua pada masyarakat Batak Toba .... 76


B. Sanksi yang di terapkan jika terjadi perkawinan mangalua pada masyarakat
Batak Toba ...................................................................................................... 81
C. Akibat hukum yang timbul dari perkawinan mangalua pada masyarakat Batak
Toba dalam hal ................................................................................................ 85
1) status / kedudukan suami-istri yang melakukan mangalua ................ 86
2) anak yang lahir dari perkawinan mangalua ......................................... 88
3) kedudukan harta bersama suami-istri yang melakukan mangalua ...... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................................... 98
B. Saran.......................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 102

vi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Oynike Marpaung*
Rosnidar Sembiring **
Idha Aprilyana Sembiring ***

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan yang diatur


dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun bukan berarti
pelaksanaan perkawinan terlepas dari pengaruh hukum adat. Seperti pada
masyarakat Batak Toba perkawinan diatur berdasarkan adat dalihan Na Ttolu,
terdapat perkawinan mangalua yang dianggap belum resmi secara adat, sehingga
tidak masuk dalam perhitungan dalam unsur adat masyarakat Batak Toba. Skripsi
yang berjudul “Mangalua (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Batak Toba”
membahas permasalahan mengenai faktor apa yang menyebabkan terjadinya
perkawinan mangalua pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Denai,
bagaimana penerapan sanksi jika terjadi perkawinan mangalua pada masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Medan Denai, dan bagaimana akibat hukum yang
timbul dari perkawinan mangalua pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Medan Denai.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi
pustaka (Library Research) yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan
penelusuran dan menelaah bahan pustaka dan pedoman wawancara (Field
Research). Data dalam penulisan ini adalah data sekunder dengan bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan dalam masyarakat
adat Batak Toba terdiri dari dua bentuk yaitu meminang atau melamar dan tanpa
meminang disebut juga dengan mangalua (kawin lari) yang berarti melaksanakan
perkawinan dengan tidak mengikuti adat istiadat yang berlaku. Perkawinan
mangalua sendiri terbagi atas dua jenis yaitu dengan tidak diadati dan dengan di
adati. Perkawinan mangalua terjadi karena beberapa faktor seperti faktor
ekonomi, tidak mendapat restu keluarga, faktor suku dan kepercayaan, hubungan
seksual bebas serta faktor pendidikan. Hal tersebut menimbulkan sanksi ataupun
akibat hukum antara lain pengucilan, tidak dapat berpartisipasi dalam acara adat
dan dikenai sanksi denda dan juga menimbulkan akibat hukum dalam hal status/
kedudukan anak dimana tidak dapat melaksanakan adat sebelum orangtuanya
meresmikan pemenuhan adat perkawinannya sebagaimana idealnya serta
menimbulkan akibat hukum dalam hal status/kedudukan harta dalam keluarga.
Keadaan yang timbul akibat perkawinan mangalua menjadi peringatan agar
masyarakat tidak terkecuali masyarakat adat Batak Toba untuk tetap berpedoman
pada Undang-Undang perkawinan yang di dasarkan pada pasal 2 ayat (1) dan (2)
agar tertatanya kehidupan dalam masyarakat namun tetap tidak meninggalkan
kebiasaan adat yang ada.
Kata kunci: Perkawinan Mangalua (Kawin Lari), Masyarakat adat Batak
Toba
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
*** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Masyarakat terdiri dari manusia, baik sebagai perorangan (individu) atau

kelompok-kelompok manusia yang telah berhimpun untuk berbagai keperluan dan

tujuan. Unsur-unsur dari masyarakat tersebut dalam menjalankan kehidupannya

selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya , antara kelompok satu dengan

individu lainnya, atau kelompok lainnya. Salah satu bentuk hubungan antara

individu dalam masyarakat adalah hubungan antara seorang perempuan dan

seorang laki-laki yang melakukan perkawinan.1

Perkawinan adalah perilaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar

kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di

kalangan manusia. Tetapi terjadi juga pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh

karena manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah

satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam

kehidupan masyarakat.2 Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam

kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua

calon suami istri saja tetapi menyangkut urusan keluarga dan masyarakat .3

Manusia tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena

perkawinan menyebabkan adanya keturunan, dan keturunan menimbulkan

keluarga

1
Sony Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama, 2015, hlm.1.
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ketiga, Bandung:Mandar
Maju, 2007, hlm.1.
3
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No.1 tahun 1974, Cetakan Pertama, Jakarta :PT.Dian Rakyat, 1986, hlm.11.

Universitas Sumatera Utara


2

yang berkembang menjadi kerabat dan masyarakat. Jadi perkawinan merupakan

unsur tali temali yang merupakan kehidupan manusia dan masyarakat.4

Di Indonesia perkawinan memiliki pengaturan yang tegas oleh negara

melalui hukum positif yang berlaku. Pengaturan mengenai perkawinan di

Indonesia sebelum tahun 1974 terdapat dalam berbagai peraturan yang berlaku

untuk berbagai golongan masyarakat, di samping ketentuan-ketentuan yang hidup

dalam masyarakat yaitu hukum adat dan hukum agama dan kepercayaan bagi

pemeluknya. Hukum perkawinan di Indonesia mengalami perkembangan dimana

sebelumnya untuk sementara waktu Indonesia memberlakukan peraturan

perundang-undangan yang berasal dari zaman pemerintahan kolonial.5

Pembentukan peraturan mengenai perkawinan yang mengikat dan berlaku

untuk seluruh warga negara Indonesia disebut dengan UndangUndang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Definisi perkawinan diatur dalam Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu: ”Ikatan lahir batin antara

seoranglaki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, belum berarti bahwa di dalam pelaksanaan perkawinan di kalangan

masyarakat sudah terlepas dari pengaruh Hukum Adat, ia masih diliput Hukum

Adat sebagai hukum asli rakyat Indonesia yang hidup dan tidak tertulis dalam

bentuk peraturan perundang-undangan negara.6 Dan juga telah diatur di dalam

4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Alumni, 1983, hal 22.
5
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia & Belanda, Bandung:Mandar
Maju, 2002, hlm.239
6
Hilman Hadikusuma ,Op.cit.hlm.13.

Universitas Sumatera Utara


3

penjelasan angka 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan yang mengatur mengenai Hukum adat yakni: Bagi orang-orang

Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir

dalam Hukum Adat, dan bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum

Adat. Maka, dapat diartikan bahwa hukum adat mempunyai pengaruh penting

dalam kelangsungan perkawinan yang ada di Indonesia.

Perbedaan-perbedaan Hukum Adat yang berlaku, seringkali menimbulkan

perselisihan antara para pihak yang bersangkutan. Jika terjadi perselisihan maka

dalam mencari jalan penyelesaian bukanlah ditangani oleh pengadilan agama atau

pengadilan negeri, tetapi ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang

bersendikan kerukunan, keselarasan dan kedamaian. Oleh karenanya di samping

perlu memahami perkawinan menurut perundang-undangan, diperlukan pula

memahami Hukum Perkawinan Adat. Perkawinan adat adalah suatu bentuk hidup

bersama yang langgeng lestari antara seorang laki-laki dan perempuan yang

diakui oleh persekutuan Adat dan yang diarahkan pada pembentukan sebuah

keluarga.7

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai-bagai pulau dari

Sabang sampai Merauke, dan didiami oleh berbagai-bagai suku bangsa, yang

semuanya dinamakan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang terdiri dari

bebagai suku ini mempunyai adat, dan bahasa yang berbeda-beda pula. Tetapi

walaupun adatnya berbeda, tetap mempunyai beberapa persamaan. Salah satu

suku, dari bangsa Indonesia yang mendiami sebagian pulau di Indonesia, yang

7
Wila Chandrawila Supriad, Op.Cit.hlm.74.

Universitas Sumatera Utara


4

terdapat di pulau Sumatera jelasnya Propinsi Sumatera Utara disebutlah suku

Batak.8

Hukum bertujuan untuk mengatur tata kehidupan dari suatu masyarakat

dimana hukum itu berlaku. Demikian juga hukum adat Batak bertujuan mengatur

masyarakat batak dalam bertingkah laku, serta mengatur segenap segi

kehidupannya. Dalam kehidupannya sehari-hari, selalu didasari oleh kaidah-

kaidah yang terdapat dalam hukum adat, termasuk dalam hal perkawinan.

Masalah perkawinan adalah masalah yang penting bagi semua manusia,

karena perkawinan adalah merupakan satu-satunya cara sampai saat ini untuk

melanjutkan keturunan. Oleh karena itu di dalam melakukan suatu perkawinan

haruslah terlebih dahulu, melalui proses-proses tertentu, yang telah ditentukan

dalam hukum adat. Proses dalam melangsungkan perkawinan juga di kenal pada

masyarakat Batak. Hukum adat Batak yang ditaati oleh semua orang Batak telah

menetapkan bagaimana proses yang harus dilakukan, serta tindakan-tindakan apa

yang harus dilaksanakan, dan syarat-syarat apa yag harus dipenuhi, apabila

seorang orang Batak mau melaksanakan perkawinan.9

Pada sistem kekerabatan Bata dikenal sistem Dalihan Na Tolu (Tungku

Nan Tiga) yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur, mengendalikan

dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan orang Batak. Ketiga tungku

tersebut adalah Somba marhula-hulam elek marboru dan manat mardongan tubu

yang artinya hormat kepada pihak keluarga istri, mengayomi anak perempuan dan

bersikap sopan terhadap teman semarga. Dalihan Na Tolu sebagai sebuah sistem

8
Masyarakat Batak, oleh Van Vollenhoven adalah merupakan satu lingkungan hukum.
Oleh karena itu masyarakat Batak mempunyai hukum adat tersendiri yang berbeda dengan hukum
adat lingkungan hukum adat yang lain di Indonesia.
9
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980, hlm. 26.

Universitas Sumatera Utara


5

yang memberi pedoman bagi orientasi persepsi dan defenisi dalam realitas

masyarakat Batak Toba sehingga dijunjung dan dilestarikannya nilai-nilai budaya

tersebut. Perkawinan masyarakat Batak Toba berpegang teguh pada sistem

Dalihan Na Tolu. Perkawinan orang Batak yang hanya diabsahkan dengan

upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan

gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na Tolu. Buktinya

ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga demikian maka sudah

pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk

mencampurinya.10 Sah tidaknya perkawinan menurut adat dalihan natolu bukan

oleh upacara agama atau pencatatan di catatan sipil. Tetapi oleh adat, dimana yang

hadir itu terdiri atas unsur dalihan natolu dan dongan sahuta. Perkawinan yang

diresmikan secara adat dalam adat Batak Toba merupakan perkawinan yang

diawali dengan cara meminang.

Didalam Masyarakat adat Batak Toba sendiri perkawinan terdiri dari 2

bentuk yaitu :

1. Meminang

Meminang sinonimnya adalah melamar sesuai dengan aturan

hukum adat yang berlaku. Pada masyarakat adat Batak Toba proses

upacara adat yang dilakukan sebelum dan sesudah dalam hal

perkawinan yang dilakukan dengan meminang ini merupakan hal

yang sangat penting dimana dalam setiap prosesnya terdiri dari

beberapa tahap yang harus dilakukan.

2. Tanpa meminang

10
Nalom Siahaan, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, Jakarta :Tulus Jaya,
1982, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara


6

Tanpa meminang dalam masyarakat adat Batak Toba disebut juga

dengan mangalua yang disebut juga dengan kawin lari. Mangalua

adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan cara melarikan diri

dan melakukan perkwinan dengan cara di luar prosedur

perkawinan yang idealnya karena satu atau beberapa hal. Artinya

tanpa pemberian jujur ataupun mahar yang di dalam masyarakat

Batak Toba disebut dengan sinamot. Dalam adat Batak Toba

menyebut bahwa perkawinan yang dilakukan dengan cara

mangalua bahwa si pemuda mengandalkan kekuatan dan

mengabaikan hukum adat.

Faktor dari dilakukannya perkawinan mangalua ini adalah faktor

ekonomi, tidak mendapat restum faktor suku dan kepercayaanm

faktor hubungan seksual bebas dan faktor pendidikan.

Pada dasarnya perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat,

berdasarkan adat Batak Toba agar di hari-hari mendatang boleh terlaksananya

acara-acara adat yang memyangkut dirinya. Namun di dalam perkawinan adat

Batak Toba dikenal juga istilah “Mangalua” atau “Kawin Lari”, keadaan dimana

belum dilakukannya pengukuhan perkawinan secara adat dengan adat Batak Toba,

yang berarti perkawinannya belum sah secara adat. Perkawinan seperti ini

merupakan perkawinan tanpa meminang .

Manga adalah melaksanakan dan lua adalah membawa atau lari yang

secara leksikal berarti melaksanakan kegiatan membawa lari atau melarikan.11

Secara konseptual berarti sepasang muda-mudi yang kawin dengan cara di luar

11
https://er27.wordpress.com/2008/03/17/mangalua-suatu-bentuk-perkawinan-pada-masyarakat-
batak-toba/

Universitas Sumatera Utara


7

prosedur perkawinan yang ideal menurut adat Batak Toba karena satu atau

beberapa hal, seperti karena masalah ekonomi , masalah sosial (status di tengah

kehidupan masyarakat), tidak adanya kesesuaian ataupun masalah yang

lainnya.Masyarakat yang melakukan kawin lari adalah orang yang melanggar adat

Batak dan setiap orang yang melanggar adat akan diberikan hukuman. Dalam

mangalua ini seakan adat adalah soal belakang, yang penting adalah terlaksananya

perkawinan. Kawin lari dapat diselesaikan apabila pihak yang melarikan anak

gadis tersebut yaitu pihak laki-laki pada suatu saat akan melakukan suatu upacara

adat sesuai dengan hukum adat yang ditetapkan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

tidak mengatur mengenai perkawinan kawin lari, hanya saja diatur di dalam

ketentuan pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, yang

merupakan peraturan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor l tahun

1974. Ketentuan pasal 3 ayat (2) tersebut mengatur tentang kewajiban bagi setiap

orang yang akan melangsungkan perkawinan untuk memberitahukan kehendak itu

kepada Pegawai Pencatat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya sepuluh hari

kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Perkawinan tersebut nantinya akan

dicatatkan oleh Pegawai Pencatat sebagai syarat formil sahnya untuk melakukan

suatu perkawinan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah adalah sebagai berikut :

1. Mengapa terjadi perkawinan mangalua pada masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Denai ?

Universitas Sumatera Utara


8

2. Bagaimana penerapan sanksi jika terjadi perkawinan mangalua pada

masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai ?

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari perkawinan mangalua pada

masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang

diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadi perkawinan mangalua pada

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Denai.

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi jika terjadi perkawinan mangalua pada

masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari perkawinan mangalua pada

masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Adat yang berkaitan dengan

mangalua (kawin lari) menurut hukum adat batak toba”(studi pada kecamatan

medan denai, kota medan).

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis

tentang mangalua (kawin lari) menurut hukum adat batak toba”(studi pada

kecamatan medan denai, kota medan).

Universitas Sumatera Utara


9

b. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada yang

berkaitan dengan hukum perkawinan mengenai mangalua (kawin lari)

menurut hukum adat batak toba”(studi pada kecamatan medan denai, kota

medan).

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT HUKUM

ADAT BATAK TOBA”(STUDI PADA KECAMATAN MEDAN DENAI,

KOTA MEDAN).

Judul skripsi ini telah terlebih dahulu di konfirmasi pada Ketua

Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara serta melakukan

pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dan hasilnya bahwa judul skripsi

tersebut belum ada terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran dan usaha

penulis tanpa ada penipuan, penjiplakan atau lainnya yang dapat merugikan

pihak-pihak tertentu. Jika di kemudian hari ada penulisan skripsi dengan judul

yang sama maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

F. Metode Penelitian

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”.

Namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan

yaitu suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,

suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, dan cara untuk melaksanakan

Universitas Sumatera Utara


10

suatu prosedur.12 Penulisan skripsi ini membutuhkan adanya keterangan yang

dapat dijadikan bahan analitis untuk dapat membahas masalah. Untuk

mendapatkan dan mengumpulkan keterangan tersebut maka skripsi ini

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan

kata lain adalah jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan

penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang

terjadi dalam kenyataannya di masyarakat.13 Menurut Soejono Soekanto

penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau

implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa

hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.14

Dalam hal ini penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau

keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan

menemukan fakta-fakta yang dibutuhkan, setelah bahan yang dibutuhkan

terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya

menuju pada penyelesaian masalah.15 Dimana yang menjadi Informan dalam

penelitian ini adalah Bapak J.Pakpahan, Bapak St.G.Simanjuntak, dan Bapak

Y.Marpaung dan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Ibu Dewi

Nababan, Bapak Ev.Manalu dan Ibu Vina Silaban.

12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2014,
hlm . 5
13
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002,
hlm. 15
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
1986, hlm. 50.
15
Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm. 16

Universitas Sumatera Utara


11

Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau

membedakannya menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eskploratori, penelitian

deskriptif, dan penelitian eksplanatori. Sifat penelitian ini ialah deskriptif,

penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara

sistematis,faktua dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu,

mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.16 yaitu

menggambarkan atau menjelaskan norma-norma dalam hukum positif mengenai

mangalua (kawin lari) menurut hukum adat Batak Toba (studi di Kecamatan

Medan Denai, Kota Medan).

2. Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang langsung

dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.17 Data

dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup

dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-

undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan

materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut mencakup tiga bagian,

yaitu :18

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat19.

Bahan Hukum Primer terdiri dari:

16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1996, hlm.35.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 12.
18
Ibid,, hlm. 13
19
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 185.

Universitas Sumatera Utara


12

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian, karya

ilmiah dari para sarjana, dan jurnal.

c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan-bahan data yang memberikan

informasi tentang hukum primer dan sekunder. Seperti kamus bahasa

indonesia, kamus hukum, ensiklopedi, media massa dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yaitu buku-buku, majalah

hukum, pendapat para sarjana dan juga bahan-bahan kuliah, jurnal-jurnal

hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

b. Field Research (Penelitian Lapangan) yaitu dengan melakukan penelitian

ke lapangan untuk mengadakan wawancara dengan responden (pelaku

mangalua) dan informan.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka

dan pedoman wawancara. Studi Pustaka yaitu suatu cara pengumpulan data

dengan melakukan penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil

penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb). Sedangkan pedoman

Universitas Sumatera Utara


13

wawancara ialah bertanya kepada orang yang ahli dalam bidang nya yaitu kepada

mengenai kawin lari (mangalua) di Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

5. Analisis Data

Setelah tahap pengumpulan dan pengolahan data, maka tahap selanjutnya

adalah menganalisis data. Tujuan dari analisis data adalah untuk

menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan. Metode analisis data yang digunakan adalah secara deskriptif

kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang

mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari studi kepustakaan

menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori,

asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan

sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan proses pembahasan tulisan dan membantu

penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum

dalam sistematika penulisan sebagai suatu paradigma berpikir. Dengan pedoman

pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya maka penulis berusaha

untuk mendeskripsikan gambaran umum yang berhubungan dengan cakupan

skripsi ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terbagi atas lima bab yang

masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan

Universitas Sumatera Utara


14

substansi penelitiannya. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Di dalam bab ini diuraikan mengenai pendahuluan pengantar

yang mengantarkan kita menuju uraian-uraian selanjutnya. Latar

Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat

Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II :TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN DI

INDONESIA

Di dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian perkawinan, asas-

asas hukum perkawinan, tujuan perkawinan, syarat sahnya

perkawinan syarat sahnya perkawinan, tata cara perkawinan,

kedudukan anak dalam perkawinan dan sistem pewarisan.

BAB III : TATA CARA PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT BATAK

TOBA

Di dalam bab ini diuraikan mengenai sistem kekerabatan

masyarakat adat batak toba, sistem perkawinan masyarakat adat

batak toba, bentuk perkawinan masyarakat adat batak toba dengan

cara meminang tanpa meminang, dan tata cara mangalua menurut

hukum adat batak toba

Universitas Sumatera Utara


15

BAB IV : PERKAWINAN MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT

HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN MEDAN

DENAI KOTA MEDAN

Di dalam bab ini diuraikan mengenai penyebab atau faktor

terjadinya perkawinan mangalua (kawin lari) pada masyarakat

batak toba, sanksi yang di terapkan jika terjadi perkawinan

mangalua pada masyarakat batak toba, akibat hukum yang timbul

dari perkawinan mangalua pada masyarakat batak toba dalam hal

status / kedudukan suami-istri yang melakukan mangalua, anak

yang lahir dari perkawinan mangalua, dan kedudukan harta bersama

suami-istri yang melakukan mangalua;

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Di dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dan saran yang

merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab

sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan

uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN DI INDONESIA

A.Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi

yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam

budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi-yang biasanya intim

dan seksual.Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara

pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk

keluarga.20

Perkawinan menurut Ter Haar adalah urusan kerabat, urusan keluarga,

urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi.21 Hal ini berarti bahwa

perihal perkawinan merupakan urusan yang memiliki ikatan atau hubungan

dengan masyarakat, martabat serta urusan pribadi, bukan hanya sebatas urusan

antar pribadi yang saling mengikatkan diri dalam hubungan yang sah yaitu

perkawinan.

Pengertian perkawinan di dalam KUHPerdata, hal ini dapat dilihat dalam

pasal 26 KUHPerdata, dikatakan bahwa Undang-Undang memandang soal

perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja. Rasio pasal ini

menunjukkan bahwa KUHPerdata memandang perkawinan bukan suatu perbuatan

religius yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan bersifat materi

atau kebendaan (zakelijk).

20
https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan/ Diakses pada hari Sabtu, 10 Februari 2018,
pukul 20:18 Wib.
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983. hlm. 22.

16

Universitas Sumatera Utara


17

Tujuan perkawinan hanya memfokuskan hubungan suami isteri dengan

nilai-nilai kebendaan dan serba duniawi. Hubungan suami isteri lebih

mengganggu sifat sosiologis dari pada religi. Religi tidak mendapat tempat dalam

hubungan perdata pada soal-soal perkawinan. Hal ini didasarkan pada filosofi

bahwa KUHPerdata menganut paham serba materi saja dengan mengagungkan

indivudual-liberalistis.22 Menurut pasal 26 KUHPerdata dikatakan „Undang-

Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata‟ dan dalam

pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa „tidak ada upacara keagamaan yang boleh

diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama

mereka, bahwa perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah

berlangsung‟.23

Di Indonesia, Tata tertib dan kaidah-kaidah perkawinan telah dirumuskan

dalam suatu undang-undang pokok perkawinan yaitu UU No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang dalam Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 berbunyi :

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.24

Pada dasarnya pelaksanaan perkawinan masyarakat Indonesia telah

dipengaruhi oleh Hukum Adat. Menurut Hukum adat pada umumnya di Indonesia

perkawinan itu bukan saja berarti sebagai „perikatan perdata‟, tetapi juga

merupakan „perikatan adat‟ dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan

22
Tan Kamello dan Syarifa Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga,
Medan:PT.RajaGrafindo Persada, 2010, hlm.66-67.
23
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.7.
24
Soedharyo Soimin. Hukum Orang dan Keluarga (Persfektif Hukum Barat/BW, Hukum
Islam dan Hukm Adat), Edisi Revisi Cetakan Pertama, Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2002, hal.4.

Universitas Sumatera Utara


18

ketetanggaan‟.25 Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang

mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku bagi masyarakat

bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu

misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak”

(hubungan anaknak, bujang-muli) dan “rasan tuha” (hubungan antara orang tua

keluarga dari para calon suami, istri).26

Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Batak Toba, bagi masyarakat adat

batak toba juga mengartikan perkawinan itu adalah dimana seorang laki-laki

mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah

tangga dengan melalui prosedur yang di tentukan dalam ketentuan-ketentuan

hukum adat batak toba.27

Laki -laki yang mengikatkan diri ini disebut TUNGANE DOLI (suami)

dan wanita yang mengikatkan diri dengan laki-laki (suaminya) itu disebut dengan

TUNGGANE BORU (istri). Pada masyarakat batak adat toba, seorang laki–laki di

dalam menentukan siapa yang pantas mennjadi TUNGGANE BORU–nya,

bukanlah hanya masalah laki–laki itu saja, melainkan hak keluarga dan orang tua

si laki–laki pada masyarakat batak toba, karena seorang laki–laki pada masyarakat

adat batak toba, adalah menjadi penerus marga, maka suatu marga tidak

menghendaki marganya di turunkan dari seorang tungane boru (istri) yang tidak

berperilaku yang baik. Demikian juga pihak si wanita yang mau menentukan siapa

yang mau menjadi tungane doli (suami), bukan hanya masalahnya sendiri, tetapi

dari keluarga dan orangtuanya sangat menentukan, walaupun nantinya wanita itu

25
H.Hilman Hadikusuma, op.cit. hlm.8.
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.8.
27
Djisman Samosir, Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980, hlm.29.

Universitas Sumatera Utara


19

tidak akan menurunkan marga dari bapaknya, tetapi dengan suatu perkawinan

berarti bertambahnya suatu keluarga, bagi pihak si wanita.

Pihak keluarga dari yang menjadi suami (tungani doli) dari anaknya

perempuan (boru) tersebut, nantinya akan menjadi boru (sitem kekerabatan dalam

adat Batak Toba dari pihak boru (anak perempuan), bagi kelompok marga ayah si

wanita itu. Setiap keluarga masyarakat adat Batak Toba, menghendaki agar boru

(hela atau menantu) nya adalah berasal dari keluarga yang baik–baik.

Dengan demikian perkawinan bagi masyarakat adat batak toba,

menentukan siapa menjadi tunggane doli (suami) seorang wanita, dan siapa yang

menjadi tunggane boru (istri) seorang laki-laki, oleh keluarga mereka masing–

masing, oleh kedua belah pihak. Karena dengan cara ini, nantinya diharapkan

terbentuklah suatu rumah tangga baru yang rukun dan harmonis, dan dapat

menurunkan marga dengan baik.

Perkawinan menurut Hukum Agama pada umumnya adalah perbuatan

yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam

memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan

berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik

sesuai dengan ajaran agama masing-masing.28

B. Asas-Asas Hukum Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan

dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan

28
H.Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.10.

Universitas Sumatera Utara


20

zaman. Prinsip atau asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan

adalah sebagai berikut :29

1. Asas Perkawinan Kekal

Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup. Hanya dengan perkawinan

kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera . Prinsip

perkawinan kekal ini dapat dilihat dalam paal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :

“Perkawwinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

2. Asas Perkawinan menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya

Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana

perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang

dianut oleh calon mempelai.Prinsip ini mengedepankan keseimbangan agama

sebagai dasar untukmelakukan perkawinan. Kedua calon mempelai harus seagama

atau seiman , kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu menentukan lain.

Prinsip ini dapat dijumpai dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

29
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016,
hlm.51.

Universitas Sumatera Utara


21

3. Asas Perkawinan Terdaftar

Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum

bilamana dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan yang dicatat mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-Undang

Perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Asas Perkawinan Monogami

Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami, bahwa pada

asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang

bersamaan. Artinya, dalam waktu yang bersamaan seorang suami atau istri

dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip ini ditegaskan dalam

pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada

dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

5. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan atau Kebebasan Berkehendak

(Tanpa Paksaan)

Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu

perkawinan harus didasarkan pada kesukarelaan masing-masing pihak untuk

menjadi suami-istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama

lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga. Perkawinan yang

tanpa didasari persetujuan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan

dapat dijadikan alasan membatalkan perkawinan. Prinsip ini ditegakkan dalam

Universitas Sumatera Utara


22

pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa,

perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.

6. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami-Istri

Hak dan kedudukan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga maupun

masyarakat adalah seimbang. Suami-istri dapat melakukan perbuatan hukum

dalam kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala

rumah tangga dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam

memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara

suami-istri. Prinsip ini leih lanjut dijabarkan dalam pasal 31 Undang-Undang

Perkawinan.

7. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri

Ketentuan ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) yang tidak membolehkan

adanya perkawinan poliandri, dimana seorang wanita hanya boleh memiliki

seorang suami dalam waktu yang bersamaan.

8. Asas Mempersukar Terjadinya Perceraian

Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang

bahagia, kekal, dan sejahtera maka Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip

yang mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian maka

harus ada alasan-alasan tertentu dan di depan sidang pengadilan. Rasio yuridis

asas mempersulit perceraian adalah sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri.

Prinsip ini secara tegas diatu dalam ketentuan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara


23

Menurut Hilman Hadikusuma, asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah

sebagai berikut:30

1. Asas Keadatan dan kekerabatan

Urusan perkawinan dalam hukum adat bukan sekedar persoalan

individual, akan tetapi masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya

tanggung jawab dalam urusan perkawinan. Oleh karenanya perkawinan dalam hal

ini sangat ditentukan kehendak kerabat dan masyarakat adat. Kehendak yang

dimaksud ialah mulai dari pemilihan pasangan, persoalan “jujur” dan persoalan-

persoalan lainnya. Asas inilah sebenarnya yang mendasari dari asas-asas

perkawinan dalam hukum adat.

2. Asas Kesukarelaan/Persetujuan

Dalam hukum adat calon mempelai tidak mempunyai otoritas penuh untuk

menyatakan kerelaan/persetujuan perkawinan. Perkawinan harus didasarkan pada

persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak

kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.

Pelanggaran terhadap asas ini dapat dikenakan sanksi dikeluarkan dari lingkungan

kekerabatan masyarakat adat, terlebih dalam masyarakat adat yang masih kental

sistem kesukuaannya seperti masyarakat adat Nusa Tenggara Timur.

3. Asas Partisipasi Kerabat dan masyarakat Adat.

Dalam perkawinan, Partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat adat

sangatlah besar artinya. Partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon mempelai,

persetujuan sampai pada kelanggengan rumah tangga mereka, secara langsung

30
Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 8

Universitas Sumatera Utara


24

ataupun tidak langsung orang tua beserta kerabat punya tanggung jawab moral

terhadapnya.

4. Asas Poligami

Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi tradisi. Tidak sedikit

raja-raja adat, bangsawan adat baik yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan

Islam mempunyai istri lebih dari satu bahkan puluhan. Dan masing-masing istri

yang dipoligami tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda satu sama lain

berdasarkan struktur hukum adat setempat. Walaupun demikian seiring dengan

perkembangan jaman dan lemahnya institusi adat serta perkembangan iklim

hukum nasional, praktek poligami dalam masyarakat adat sudah mulai

ditinggalkan, kalaupun ada menyesuaikan dengan ketentuanketentuan yang

terdapat dalam agama. Dengan kata lain poligami dalam hukum adat sudah

teresepsi dalam hukum lainnya yang lebih kuat.

5. Asas Selektivitas

Asas Selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan ini diarahkan pada

proses dan siapa yang berhak menentukan calon mempelai. Seperti yang sudah

dijelaskan di atas bahwa dalam hukum adat, orang tua, kerabat dan masyarakat

adat sangat berpengaruh dalam pemilihan calon mempelai. Dengan demikian

proses seleksi – meskipun calon mempelai mempunyai sedikit peran – ditentukan

oleh orang tua beserta kerabat. Dalam proses pemilihan calon mempelai,

diarahkan pada jenis perkawinan yang dikehendaki dan menghindari perkawinan

yang dilarang.

Universitas Sumatera Utara


25

C. Tujuan Perkawinan

Menurut Undang-Undang Perkawinan tujuan perkawinan bertujuan untuk

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.31 Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah

berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.32 Yang

mengakibatkan timbulnya kewajiban suami dan isteri untuk saling membantu dan

melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkap kepribadiannya dalam

rangka membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.33

Sedangkan tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat

kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut

garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah

tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan

kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.34

Oleh karena sistem keturunan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia

yang satu dan lain berbeda-beda termasuk lingkungan hidup dan agama yang

dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-

beda di antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang berlainan, daerah

yang satu dengan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upacara

perkawinannya berbeda-beda. Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial,

31
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti,
2000, hlm. 71.
32
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.15.
33
Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama, 2015,
hlm.3.
34
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung 1983. hlm. 22

Universitas Sumatera Utara


26

perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak

lelaki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan

pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk)

dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan

kekerabatan bapaknya

. Sebaliknya pada masyarakat kekerabatan adat yang matrilinial,

perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita

(tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda) dimana

setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan
35
melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabata orangtuanya.

Bagaimana tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga berbeda antara agama

yang satu dengan agama yang lain , yaitu : 36

a. Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah, untuk menegakkan

agama, untuk mendapat keturunan, untuk mencegah maksiyat dan untuk

membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur.

b. Menurut hukum agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita

berdasarkan cinta kasih. Sifat hakiki perkawinan ialah monogami, tidak

terceraikan dan sakramen.

c. Menurut hukum agama Hindu tujuan perkawina adalah untuk untuk

mendapatkan keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orangtua dengan

menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orangtuanya

dari neraka). Hukum agama Hindu menganut asas monogami yang


35
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.22.
36
Ibid., hlm.23-24

Universitas Sumatera Utara


27

membolehkan poligami. Bagi yang mampu sosial ekonominya seperti

golongan Waisha, Ksatria, Brahmana boleh berpoligami sampai empat

isteri, tetapi bagi golongan Sudra yang lemah sosial ekonominya cukup

beristeri seorang saja.

d. Menurut hukum agama Budha tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh

Sanghyang Adi Budha/ Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para

Bodhisatwa-Mahatsatwa. Oleh karena hubungan perkawinan menurut

agama Budha Indonesia berdasarkan Cinta Kasih (Metta), Kasih Sayang

(Karuna) dan Rasa Sepenanggungan (Mudita), maka ajaran agama Budha

Indonesia menerangkan bahwa sebagai umat Budha tidak boleh membuat

sakit hati orang lain, maka pada prinsipnya hukum perkawinan menurut

agama Budha Indonesia berasaskan monogami dan tidak mengenal

perceraian.

D.Syarat Sahnya Perkawinan

Sebagai salah satu perbuatan hukum, Perkawinan mempunyai akibat

hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya

perbuatan hukum tersebut.37 Sahnya suatu perkawinan merupakan hal yang sangat

penting, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang

menyangkut keturunan (anak) maupun harta. Berikut akan dibedakan syarat

sahnya perkawinan menurut hukum nasional dan hukum adat.

1. Menurut Hukum Perdata

37
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.15.

Universitas Sumatera Utara


28

Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan dimuka petugas

kantor pencatatan sipil. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara suatu agama

saja tidaklah sah. Ketentuan tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai ius constitutum telah merumuskan

norma hukum mengenai perkawinan yang sah secara imperatif pada pasal 2, yang

berbunyi:38

a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaan ;

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Dalam penjelasan pasal 2 tersebut diterangkan bahwa “Dengan perumusan

pada pasal 2 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Selanjutnya,

yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

adalah sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam undang-undang

ini.Perlu digaris bawahi kata-kata “sesuai Undang-Undang Dasar 1945” dalam

hubungan dengan “hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”,

adalah pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :39

a. Negara berdasarkan atas ke Tuhanan Yang Maha Esa

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu

38
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016,
hlm.54
39
K.Wantjik Saleh, Op.Cit. hlm.16.

Universitas Sumatera Utara


29

Ada 2 macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan formal. Syatar

materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang

melangsungkan perkawinan, syarat materiil ini disebut juga dengan syarat

subjektif. Sedangkan syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan

perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga syarat

objektif.

Syarat-syarat perkawinan dalam hukum nasional diatur dalam ketentuan pasal

6 sampai dengan pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang didalamnya meliputi persyaratan materiil maupun syarat

formal. Dalam melaksanankan perkawinan, maka para pihak harus juga

memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan didalam hukum

agamanya dan kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam

perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu.

Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak

melangsungkan perkawinan, yang meliputi:40

1. Persyaratan terhadap orangnya (Para pihak)

Persyaratan berikut berlaku umum bagi semua perkawinan, yaitu :

a. Adanya persetujuan dari keduacalon mempelai

b. Calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria

dan 18 (delapan belas) tahun bagi wanita

c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi laki-laki

yang beristri lebih dari seorang

40
Dr.Rosnidar Sembiring, Op.Cit. hlm.55.

Universitas Sumatera Utara


30

d. Bagi wanita tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau massa idha

Adapun ketentuan yang berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu

adalah :

a. Tidak terkena larangan/halangan melakukan perkawinan, baik menurut

undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

b. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah

kain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Memperoleh izin dari orangtua atau wali calon mempelai, dan mendapat

izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang

(berpoligami).

Menurut Tan Kamello dalam bukunya yang berjudul Hukum Orang dan

Keluarga, bahwa syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari syarat substantif dan syarat ajektif. Syarat

substantif adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan

calon istri, sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan tata

cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaan .

Persyaratan substantif tersebut adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon suami-

istri (Pasal 6 ayat (1))

2. Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri

berumur (Pasal 7 ayat (1)); Jika belum berumur 21 tahun harus mendapat

Universitas Sumatera Utara


31

izin kedua orangtua. Kalau orangtua sudah meninggal diperoleh dari wali,

dan jika tak ada wali diperoleh izin pengadilan setempat

3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (pasal

3, 9)

4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan

melangsungkan perkawinannya yang kedua (pasal 11 jo Op No. 9 Tahun

1975)

5. Calon suami-istri memiliki agama yang sama.

Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut :

1. Kedua calon suami-istri atau kedua orangtua atau wakilnya

memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat

perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau tertulis

2. Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan

3. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua

dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas calon suami-istri

4. Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada Kantor

Pencatatan Perkawinan untuk diketahui umum

5. Perkawinan dilangsungkan sejak hari kesepuluh pengumuman

6. Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2 (dua)

orang saksi

7. Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami-istri, diikuti saksi

dan pegawai pencatat. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua).

Helai pertama disimpan oleh pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera

Universitas Sumatera Utara


32

Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada

suami-istri diberikan kutipan akta perkawinan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, apabila suatu perkawinan telah

dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka syarat materil

perkawinan telah terpenuhi. Namun demikian, perkawinan tersebut belum

memenuhi ketentuan hukum formil perkawinan karena belum dicatat pada

Pegawai Pencatat yang berwenang/ belum memiliki bukti akta nikah. Oleh sebab

itu, meskipun secara materil perkawinan itu sah tetapi secara formil belum sah,

sehingga selamanya dianggap tidak ada perkawinan kecuali jika dapat dibuktikan

dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).

2. Menurut Hukum Adat

Aturan-aturan yang menjadi patokan sahnya suatu perkawinan menurut

hukum adat di Indonesia ini sangat bercorak karena hukum adat di berbagai

daerah Indonesia ini memilki perbedaan satu sama lain dikarenakan sifat

kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Di

samping itu, hukum adat mengalami pula beberapa perubahan atau pergeseran-

pergeseran nilai dikarenakan adanya faktor perubahan zaman, terjadinya

perkawinan antarsuku, adat istiadat, dan agama serta kepercayaan yang

berlainan.41

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di

Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang

dianut masyarakat adat bersangkutan.42 Maksudnya jika telah dilaksanakan

41
C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm.47-
48.
42
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti,
2000, hlm. 26

Universitas Sumatera Utara


33

menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut

hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui

pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut kepercayaan agama

lama (kuno) seperti “sipelebegu” (pemuja roh) di kalangan orang batak atau

agama Kaharingan orang-orang Daya Kalimantan Tengah dan lainnya, maka

perkawinan yang dilakukan menurut tata tertib adat/agama mereka itu adalah sah

menurut hukum adat setempat. Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama

kepercayaan yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat

dari masyarakat adat bersangkutan. 43

3. Menurut Hukum Agama

Sejak berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sahnya perkawinan

menurut hukum agama di Indonesia bersifat menentukan. Apabila suatu

perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti

perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di pengadilan atau di Kantor

Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu

berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau oleh aliran

kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama

yang diakui pemerintah berarti tidak sah. 44

Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia yang sah

adalah perkawinan yang dilaksanakan ditempat kediaman mempelai, di mesjid

ataupun di kantor agama, dengan ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab

adalah ucapan „menikahkan dari wali calon isteri dan kabul adalah kata

penerimaan dari calon suami‟. Ucapan Ijab dan Kabul dari kedua pihak harus
43
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.26
44
Ibid., hlm.27.

Universitas Sumatera Utara


34

terdengar di hadapan majeis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas

sebagai saksi akad nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah

diucapkannya ijab dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang

samam di dalam suatu majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi

yang sah.45

Menurut hukum Kristen/Katolik perkawinan itu sah apabila syarat-syarat yang

telah ditentukandipenuhi dan perkawinannya dilaksanakan di hadapan Pastur yang

dihadiri oleh dua orang saksi. Saat sahnya perkawinan itu diteguhkan oleh

Imam/Pastur dengan mengucapkan janji bersatu. Untuk dapat disahkan

perkawinan itu maka kedua mempelai harus sudah dibaptis, ada kesepakatan

antarakedua mempelai, tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya, tidak ada

paksaan, telah berumur 16 (enam belas) tahun bagi pria dan telah berumur 14

(empat belas) tahun bagi wanita, salah satu atau kedua calon suami isteri itu tidak

terikat perkawinan sebelumnya.

Menurut hukum agama Hindu perkawinan itu sah apabila dilakukan

dihadapan Brahmana atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat

untuk melakukan perbuatan itu. Tidak semua Brahmana atau pendeta mempunyai

tugas yang sama. Terhadap Brahmana atau pendeta yang melakukan tugas bukan

wewenangnya ada ancaman hukumannya. Syarat yang lain untuk sahnya

perkawinan menurut hukum Hindu ialah harus dilaksanakan berdasarkan hukum

Hindu, jadi kedua calon suami isteri harus menganut agama Hindu. Selain apa

yang diterangkan di atas sebelum ikatan perkawinan disahkan oleh Brahmana

yang memimpin upacara perkawinan, harus diperhatikan persyaratan, bahwa

45
Ibid., hlm.28.

Universitas Sumatera Utara


35

mereka yang akan kawin itu tidak terikatoleh ikatan perkawinan lainnya, mereka

tidak berpenyakit jiwa, telah berumur 18 (delapan belas) tahun bagi pria dan telah

berumur 15 (lima belas) tahun bagi wanita, antara kedua mempelai tidak

mempunyai hubungan darah dekat yang dilarang menurut ketentuan hukum

agama Hindu.

Menurut hukum agama Budha Indonesia perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum perkawinan Agama Budha Indonesia. Untuk sahnya

perkawinan makan para calon suami-isteri harus memenuhi syarat yang

ditentukan dalam pasal 4-7 HPAB 1977.Tempat upacara perkawinan yang sah

adalah di Vihara atau Cetya atau di depan Altar suci Sang Budha/Bodhisatwa.

Syarat-syarat perkawinan menurut hukum agama Budha Indonesia untuk sahnya

perkawinan, bahwa kedua mempelai harus saling menyetujui dan cinta

mencinntai, satu bulan sebelum perkawinan harus mengikuti penataran yang

diberikan Pandit, umur kedua mempelai sudah berumur 21 tahun. 21 tahun atau

ada izin orangtua mereka jika belum berumur 21 tahun. Perkawinan hanya boleh

bagi mereka yang telah berumur 20 tahun bagi pria, dan 17 tahun bagi wanita,

antara keduanya tidak ada hubungan darah atau hubungan susuan, diantara mereka

tidak ada yang masih terikat tali perkawina dengan orang lain.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

TATA CARA PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA

A. Sistem Kekerabatan Masyarakat Adat Batak Toba

Van Vollen Hoven membagi lingkungan hukum adat menjadi 19 lingkungan

hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan

sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van Vollen Hoven disebut

“rechtskring”. Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dibagi lagi kepada beberapa

bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”. Kesembilan

belas lingkaran hukum adat itu ialah :46

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).

2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak.

a. Tanah Gayo (Gayo Leus).

b. Tanah Alas.

c. Tanah Batak (Tapanuli).

1) Tapanuli Utara:

a) Batak Pakpak (Barus).

b) Batak Karo.

c) Batak Simelungun.

d) Batak Toba (Simsir, Balige, Laguboti, Lumban, Julu).

2) Tapanuli Selatan:

a) Padang Lawas (Tano Sepanjang).

46
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1999,
Hlm.26.

36

Universitas Sumatera Utara


37

b) Angkola.

c) Mandailing (Sayurmatinggi).

3. Nias (Nias Selatan).

4. Tanah Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh Kota,

Tanah Kampar, Kerinci). Mentawai (Orang Pagai).

5. Sumatera Selatan

a. Bengkulu (Rejang).

b. Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan,

Tulang Bawang).

c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).

d. Jambi (Batin dan Penghulu).

e. Enggano.

6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).

7. Bangka dan Belitung.

8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,

Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak

Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).

9. Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).

10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi,

Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).

11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,

Makassar, Selayar, Muna).

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).

Universitas Sumatera Utara


38

13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru,

Seram, Kep. Kei, Kep. Aru).

14. Irian.

15. Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur,

Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima).

16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem,

Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).

17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo,

Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).

18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).

19. Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten).

Untuk pembagian Lingkungan Hukum Adat menurut Van Vollen Hoven

tersebut jika dihubungkan atau dikaitkan dengan keadaan sekarang ini sudah tidak

relevan lagi karena pada saat ini lingkungan hukum adat tersebut sudah tidak

murni lagi. Hukum adat akan tetap berlaku jika masih di taati oleh masyarakat

adat tersebut, jika tidak ada yang mentaati maka hukum adat tersebut tidak

menjadi hukum lagi dan lama-lama akan hilang.

Sedangkan pada saat ini lingkungan hukum adat sudah mulai pudar

dengan adanya modernisasi atau semakin berkembangnya pola masyarakat yang

ada sehingga mereka lebih condong untuk menggunakan hukum nasional. Tetapi

lingkungan hukum adat yang ada tidak serta merta di hapuskan karena di dalam

UUD 1945 hukum adat tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hukum adat sekarang lebih dianggap

Universitas Sumatera Utara


39

sebagai budaya pluralis atau kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dengan

beragam suku bangsa tetapi tetap satu berasaskan nasionalisme.

Sistem kekerabatan yang dianut dalam masyarakat adat di Indonesia

didasari oleh faktor genealogis, yakni suatu kesatuan hukum yang para

anggotanya terikat sebagai satu kesatuan karena persekutuan hukum tersebut

merasa berasal dari moyang yang sama. Dapat disimpulkan bahwa sistem

kekerabatan dipengaruhi oleh garis keturunan yang menurunkan/ diikuti oleh

kesatuan hukum adat tersebut.47

Secara umum sistem kekeluargaan ini dapat dibedakan dalam 3 corak, yaitu : 48

a. Sistem Patrilinial , adalah sistem kekeluargaan berdasarkan garis

kebapaakan/ dari pihak ayah, yaitu suatu masyarakat hukum yang menarik

garis kekeluargaan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak terus

keatas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya . Contoh

masyarakat ini adalah Batak, Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat,

Nusa Tenggara Timur, dan Ambon. Pada asasnya dalam susunan

masyarakat, yang mempertahankan sistem ini yang berhak mewaris adalah

anak laki-laki, kemungkinan bagi wanita menjadi ahli waris sangat kecil.

b. Sistem Matrilinial, adalah sistem dimana para anggotanya menarik garis

keturunan keatas melalui garis ibu, ibu dari ibu terus keatas sehingga

dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya, contoh masyarakatnya

adalah Minangkabau, Pesisir sumatera selatan bagian utara, Enggana,

Lampung Pesisir dan lain-lain. Yang menjadi ahli waris adalah anak

perempuan. Menurut Ter Haar kedudukan perempuan sebagai ahli waris


47
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/08/sistem-kekerabatan-masyarakat-
adat-di indonesia/ Diakses pada hari Rabu, 26 Februari 2018, pukul 22:11 Wib.
48
Hilman Hadikusuma , Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta:Fajar Agung, 1997, hlm.20.

Universitas Sumatera Utara


40

dalam sistem matrilinial berbeda dengan kedudukan anak laki-laki sebagai

ahli waris dalam sistem patrilinial.

c. Sistem Parental atau Bilateral, adalah suatu sistem dimana para

anggotanya menarik garis keturunan keatas baik bapak/ibu terus keatas

hingga dijumpai seorang laki-laki dan perempuan sebagai moyangnya.

Contoh, Mayarakat Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Aceh,

Riau, Sulawesi dan Kalimantan. Baik anak-anak pria maupun wanita

berhak mendapat warisan dari orang tuanya, baik terhadap harta

peninggalan yang tergolong harta pusaka keturunan, maupun yang berasal

dari harta bawaan ibu atau ayah, ataupun harta pencaharian selama hidup

mereka.

Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat hukum adat di Indonesia dibagi

menjadi:

a. Sistem kekerabatan unilateral

Sistem kekerabatan unilateral merupakan sistem kekerabatan yang angota-

anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja yakni pihak

ayah (Δ) atau ibu (O). Sistem kekerabatan unilateral ini dapat dibagi menjadi

2, yakni:

1) Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang anggota-

anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja terus menerus ke

atas karena ada kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari seorang ibu (O)

asal. Misal: masyarakat Minangkabau, Kerinci, Semendo (Sumatera Selatan),

Lampung Paminggir.

Universitas Sumatera Utara


41

2) Sistem Kekerabatan Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang anggota-

anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki/ayah saja, terus

menerus ke atas karena ada kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ayah

(Δ) asal. Misal: masyarakat Alas (Sumatera Utara), Gayo, Tapanuli (Batak), Nias,

Pulau Buru, Pulau Seram, Lampung Pepadun, Bali, Lombok.

b. Masyarakat Bilateral/ Parental

Sistem kekerabatan bilateral/ parental merupakan sistem kekerabatan yang

angota-anggotanya menarik garis keturunan baik melalui garis ayah (Δ)

maupun ibu (O).

Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan

yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada

sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan

kekerabatan berdasarkan geneologis.Sementara kekerabatan berdasarkan

sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-

tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam

pergaulan hidup.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang

disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau

puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak

Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama

marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara

mereka.Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Universitas Sumatera Utara


42

Menurut sejarah di kalangan suku Toba, tempat perkampungan leluhur suku

bangsa Batak yang pertama pada mulanya berada di tepi Danau Toba yang

bernama Sianjur Mula-mula, di kaki gunung Pusuk. Kemudian warganya mulai

berpencar ke daerah lain sehingga menimbulkan bahasa yang berbeda. Menurut

logatnya bahasa Batak dibagi atas 5 (lima) macam sesuai dengan daerah yang

menggunakannya, yaitu bahasa : 49

(1) Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, daerah

Asahan, Silidung, daerah antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahe

dan Habinsaran;

(2) Batak Pakpak yang mendiaimi daerah Dairi;

(3) Batak Karo yang mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli

Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian dari Dairi;

(4) Batak Simalungun yang mendiami daerah Simalungun, dan

(5) Batak Mandailing yangmendiami daerah Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian

sealatan dari Padang Lawas.

Terjadinya 5 (lima) macam Bahasa Batak tersebut karena pengaruh dari daerah

dan para orang pendatang, di samping juga adanya pengaruh dari bahasa asing.

Masyarakat adat batak toba adalah menarik garis keturunan dari pihak

laki–laki atau di kenal dengan sistem kekerabatan Patrilineal yaitu suatu adat

masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Cara menarik

garis keturunan yang diambil melalui laki–laki (pihak ayah) ini biasanya sangat

mempengaruhi pada masayarakat adat pada umumnya.

49
Napitupulu, S.P., Rusmini, Nani., Hutabarat, Sinan P., Dharmansyah, Corry., Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatera Utara, Jakarta:Depdikbud,
1986, hlm. 10-11.

Universitas Sumatera Utara


43

Hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba masih sangat kuat dan

terus dipertahankan di mana pun berada. Untuk mengetahui hubungan

kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya, dilakukan dengan menelusuri

silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut

Martarombo atau Martutur. Martarombo atau martutur adalah mencari atau

menentukan titik pertalian darah yang terdekat dalam rangka menentukan

hubungan kekerabatan.50 Dengan mengetahui hubungan kekerabatan itu maka

dengan sendirinya pula dapat ditentukan kata sapaan yang akan digunakan.

Sapaan yang dimaksud tentu sapaan di suasana kekerabatan ke-Batak.

Sapaan sementara sebelum mengetahui betul hubungan kekerabatan

antara dua orang adalah amang, inang, lae, eda, ito dan ampara. Sapaan amang

digunakan terhadap lelaki yang dianggap sudah berkeluarga. Sapaan inang

digunakan terhadap seorang wanita yang diperkirakan sudah sebagai ibu rumah

tangga. Sapaan lae digunakan terhadap seorang anak muda oleh seseorang yang

kurang lebih sebaya dan oleh seseorang yang lebih tua. Sapaan eda digunakan

sesama wanita oleh yang kurang lebih sebaya atau yang lebih tua. Sapaan ito

terhadap seseorang wanita muda oleh seseorang pemuda dan oleh seserorang

lelaki yang lebih tua ataupun sebaliknya. Sapaan ampara digunakan oleh dua

orang yang semarga yang belum jelas hubungan kekerabatan sesama mereka.51

Masyarakat adat Batak Toba dikelompokkan dalam suatu marga. Marga

adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari kakek bersama,dan

garis keturunan yang dihitung melalui bapak (bersifat patrilineal) yang akan

50
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta:Dian Utama, 2012, hlm. 22.
51
Ibid., hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara


44

diteruskan kepada keturunannya secara terus-menerus.52 Menurut Djaren Saragih

pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama panggilan

seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang baru

pertama kali bertemu yang ditanya adalah marganya, bukan tempat asalnya.

Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak. Manfaat marga

bagi orang Batak adalah mengatur tata pergaulan, mengatur tata cara adat, dan

mengatur hubungan kekeluargaan.53

Masyarakat Batak Toba memiliki jumlah marga sangat banyak dan

mempunyai beberapa cabang, hal ini dikarenakan Pada masyarakat batak toba,

marga – marga yang besar, sudah banyak yang dipecah -pecah menjadi beberapa

sub marga yang lebih kecil. Berikut marga-marga dalam batak toba, yaitu:

Ambarita, Aritonang, Aruan, Anakampun (Nahampun), Bakkara (Bangkara),

Banjarnahor, Baringbing, Batubara, Butar-Butar (Butarbutar), Girsang, Gorat,

Gultom, Gurning, Habeahan, Harahap, Harianja, Hariara, Haro, Haro

(Rajagukguk), Hasibuan, Hasugian, Hutabalian, Hutabarat, Hutagalung, Hutagaol,

Hutahaean , Hutajulu, Hutapea, Hutasoit, Hutasuhut, Hutauruk, Limbong, Lubis,

Lumbanbatu, Lumbangaol, Lumbannahor, Lumbanpea, Lumbanraja, Lumban

Siantar, Lumbantobing/(Tobing), Lumbantoruan, Lumbantungkup

Mahulae/(Nahulae), Malau, Manalu, Manihuruk, Manik, Manurung, Marbun,

Marpaung ,Matondang, Munthe, Napitupulu, Pakpahan, Pandiangan, Pane,

Pangaribuan, Panggabean, Panjaitan, Parapat, Pardede, Pardosi, Parhusip,

Pasaribu, Pintubatu, Pohan, Purba, Ompsunggu, Rambe, Rajagukguk, Ritonga,

52
JV. Vergouwen, masyarakat dan hukum adat batak toba, Yogyakarta: LKIS, 2004,
hlm19-20.
53
Napitupulu, S.P., Rusmini, Nani., Hutabarat, Sinan P., Dharmansyah, Corry., Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatera Utara, Jakarta:Depdikbud, 1986,
hlm. 33.

Universitas Sumatera Utara


45

Rumahorbo, Rumapea, Rumasingap, Rumasondi Sagala, Samosir, Saragi (tanpa

huruf H di akhir), Saruksuk, Sarumpaet, Siadari, Siagian, Siahaan, Siallagan,

Siambaton, Sianipar, Sianturi, Sibarani, Sibagariang (Sinagabariang),

Sibangebange, Siboro, Sibuaton (Buaton), Sibuea, Sidauruk, Sidabalok,

Sidabariba, Sidabutar, Sidabungke (Dabungke), Sigalingging (Galingging),

Sihaloho (Haloho), Sihite, Sihombing, Sihotang, Sijabat, Silaen, Silaban, Silalahi,

Silitonga, Simamora, Simandalahi (Mandalahi), Simangunsong, Simanjorang,

Simanjuntak, Simanullang (Manullang), Simanungkalit, Simaremare,

Simargolang, Simarmata, Simatupang, Simbolon, Simorangkir, Sinaga,

Sinambela, Sinurat, Sipahutar, Sipangkar, Sipayung, Sirait, Sirandos, Siregar,

Siringoringo, Sitanggang, Sitindaon (Tindaon), Sitinjak, Sitio, Sitohang,

Sitompul, Sitorus, Situmeang, Situmorang, Situngkir, Sormin, Solin, Tambun,

Tambunan, Togatorop, Tinambunan, Tobing, Tumanggor.

Berdasarkan marga-marga diatas, maka sangat penting bagi masyarakat

Batak Toba untuk mengetahui marga apa saja yang segaris dan serumpun dengan

marganya.54 Hal ini ditujukan supaya diantara marga yang serumpun tidak

memungkin lagi untuk saling menikah . Bentuk perkawinan yang didambakan

oleh masyarakat Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan

paribannya (putri pamannya), hal ini dianggap menyebabkan kebahagiaan yang

paling besar jika seorang laki-laki menikahi anak perempuan saudara laki-laki

inangnya. Saudara laki-laki ibunya disebut Tulang dan putrinya tulangnya adalah

Pariban.55

54
WM. Hutagalung, Pustaha Batak:Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak,
Pangururan:Tulus Jaya, 1926, hlm. 32.
55
Ibid, hlm.34.

Universitas Sumatera Utara


46

B. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba

Sistem perkawinan pada masyarakat adat ini pada umumnya dapat

dibedakan menjadi sebagai berikut:56

a.Sistem perkawinan Endogami.

Dalam sitem ini, seseorang di haruskan kawin dengan orang lain yang berasal dari

kalanya sendiri, ataupun dari keluarganya sendiri.

b.Sistem perkawinan Exogami.

Dalam sitem ini, seseorang harus kawin dengan orang lain yang berasal

dari klan yang berlainan. Dengan kata lain bahwa orang orang yang berasal dari

klan atau suku yang sama atau semarga dilarang untuk mekakukan perkawinan.

c.Sistem perkawinan Eleutheregami.

Sitem ini tidak mengharuskan adanya perkawinan di dalam klan yang sama

ataupun perkawinan antara klan yang berlainan. Dalam sitem ini larangan

perkawinan lebih ditonjolkan masalah pertalian ikatan kekeluargaan.

Dari ketiga sistem ini, yang kita jumpai pada masyarakat adat batak adalah

sistim perkawinan yang exogami, yaitu yang pada prinsipnya orang batak harus

kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa pada prinsipnya

perkawinan antara marga yang sama adalah tidak diperbolehkan dalam

lingkungan masyarakat adat batak.

Sistem perkawinan adat Batak Toba menganut sistem Eksogami (perkawinan

di luar kelompok marga). Sehingga masyarakat Batak Toba sangat melarang keras

adanya pernikahan semarga sebab pernikahan semarga (namariboto) dianggap

sebagai pernikahan sedarah/incest.

56
Djismas Samosir, Hukum Perkawinaan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980, hlm.31.

Universitas Sumatera Utara


47

Namariboto adalah marga-marga yang terdapat dalam kelompok marga yang

sama yang menjadikan setiap marga dikelompok marga tersebut sebagai saudara

dan dianggap semarga. Misalnya kelompok simamora terdiri dari marga Purba,

Manalu, dan Debataraja, maka apabila diantara marga tersebut melakukan

perkawinan disebut perkawinan semarga.57 Namun bukan berati pula

diperbolehkan perkawinan antara marga yang berbeda. Dengan kata lain bahwa

tidak selalu bahwa marga yang berbeda diperbolehkan untuk melaksanakan

perkawinan.

Didalam masyarakat adat batak dikenal istilah asimentris connubium, yaitu

tidak diperbolehkanya perkawinan secara timbal balik, misalnya seorang laki–laki

bermarga simbolon kawin dengan seorang wanita berrmarga tambunan. Dalam hal

ini jelas bahwa laki–laki yang mau kawin berasal dari marga yang berbeda,

dengan marga si wanita. Dalam hal seperti ini wanita yang bermarga tambunan,

mempunyai saudara laki–laki, maka saudara laki–laki dari wanita tersebut tidak di

perbolehkan kawin dengan seorang wanita yang saudara dari simbolon tersebut.

Walaupun laki–laki dalam hal ini berbeda marga dengan perempuan, tetapi

mereka mereka tidak diperbolehkan untuk kawin.

Hal inilah yang dinamakan asimentris connubium. Oleh karena itu sistem

perkawinan pada masyarakat batak, disamping menganut sistem exogami, yaitu

tidak diperbolehkan perkawinan dalam satu marga, juga tidak diperbolehkan

perkawinan timbal balik.

Apabila terjadi perkawinan dalam satu marga maka perkawinanya disebut

kawin sumbang. Apabila hal ini terjadi biasanya para pihak yang melakukan

57
JV. Vergouwen, masyarakat dan hukum adat batak toba, Yogyakarta: LKIS, 2004,
hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara


48

perkawinan akan dihukum oleh pemuka–pemuka adat. Perkawinan exogami

marga pada masyarakat toba sudah tidak seketat pada masyarakat batak

simalungun. Pada masyarakat batak toba, marga–marga yang besar, sudah banyak

yang dipecah–pecah menjadi beberapa sub marga yang lebih kecil. Sub–sub

marga yang lebih kecil ini sudah ada saling kawin, tetapi tidak diperbolehkan

menggunakan marga besarnya. Misalnya marga Tambunan dipecah menjadi 4

(empat) sub marga yang lebih kecil yakni, lumban gaol, lumban pea, baruara, dan

pagar aji.

Kalau diantara sub marga ini mengadakan perkawinan , maka biasanya kalau

ditanya marga istrinya maka dia akan menyebutkan nama sub marganya. Akan

tetapi sampai sekarang ini masih ada marga yang masih utuh atau belum terpecah

menjadi sub–sub yang kecil yang tidak di perbolehkan untuk kawin dengan satu

sub marga yang besar tersebut, yaitu adala sub marga parna dalam masyarakat

adat Batak Toba sampai sekarang ini belum ada yang melakukan itu.

Oleh karena itu pada masyarkat adat Batak Toba perkawinan dengan sistem

exogami marga sudah tidak murni lagi. Hal–hal ini juga banyak dipengaruhi oleh

perkembangan jaman. Pada masa sekarang ini apabila terjadi kawin sumbang ,

maka diadakanlah suatu pesta yang disebut pesta manoppas bong-bong. Pada

pesta ini dikumpulkan semua anggota marga dan raja–raja adat, serta memotong

tujuh ekor kerbau, pada pesta inilah kedua belah pihak memohon maaf kepada

raja–raja adat dan khalayak ramai.

Dalam masyarakat adat Batak Toba biasanya seorang anak laki–laki akan

dianjurkan kawin dengan pariban atau boru ni tulang (paman). dan apabila hal ini

terjadi maka hal inilah yang disebut dengan istilah manguduti (menyambung)

Universitas Sumatera Utara


49

dengan tujuan agar ikatan kekeluargaan dengan pihak wanita tetap tersambung

terus–menerus serta harta warisan dari orang tua tidak kepada orang lain.

Masyarakat Batak Toba juga melarang keras adanya perkawinan marpadan

(janji/ sumpah). Marpadan adalah hubungan persaudaraan dua marga yang

berbeda leluhur yang saling berjanji untuk tidak menikahkan keturunan mereka

karena alasan tertentu.58 Seperti cerita Nainggolan dan Siregar di anggap semarga

karena dulunya marga Nainggolan memiliki keturunan yaitu hanya anak laki-laki

berlainan sisi siregar hanya memiliki anak perempuan saja sehingga kedua nenek

moyang Nainggolan dan Siregar melakukan pertukaran anak dan berjanji bahwa

mereka bersaudara dan nantinya setiap keturunan mereka tidak boleh saling

menikah. Perkawinan marpadan ini sangat dilarang karena janji yang dibuat oleh

kedua leluhur marga tersebut sangat pantang untuk dilanggar, ini berlaku sejak

dulu sampai sekarang. Jadi apabila ada marga yang marpadan melakukan

perkawinan dianggap telah melakukan pelanggaran adat.

C. Bentuk Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba.

Setiap perkawinan akan selalu menyangkut dua belah pihak, yaitu pihak

antara laki–laki dengan pihak wanita. Maka kedua pihak ini akan mengikatkan

diri dengan satu sama lainya untuk hidup dalam satu keluarga. Di dalam

mengikatkan diri ini tentu ada hal–hal yang harus dilaksanakan oleh kedua belah

pihak, hal–hal apa yang haraus dilaksankan oleh kedua pihak ini adalah

merupakan masalah yang akan dibicarakan dalam bentuk dan cara perkawinan

adat, masyarakat Adat Batak Toba ini.

58
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama, 2012, hlm.
197.

Universitas Sumatera Utara


50

Melihat suasana hukum adat di Indonesia, yaitu dalam masyarakat adat

Patrilinial, Matrilinial, dan Parental terdapat bentuk-bentuk perkawinan adat yang

masih berlaku dan dipertahankan, diantaranya adalah :59

1. Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian

(pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan

masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak

(lelaki) seperti masyarakat Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan

Maluku. Pemberian uang atau barang jujur (Gayo : unjuk, Batak : boli,

tuhor, paranjuk, pangoli, Nias : beuli niha, Lampung : segreh, seroh, daw

adat, Timor-Sawu : belis, wellie, Maluku : beli, wilin) dilakukan oleh

pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri,

sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan

adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam

persekutuan hukum suaminya. Hal ini berarti setelah dilakukannya

perkawinan maka isteri tunduk dan patuh terhadap aturan hukum adat

suaminya. Ini berarti dalam konsep perkawinan jujur yaitu adanya suatu

perpindahan kewargaan adat.

Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si perempuan

mengikatkan dirinya pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi

maupun harta benda yang dibawa tunduk kepada hukum adat suami, kecuali ada

ketentuan lain yang menyangkut barang-barang istri tertentu. Setelah istri berada

ditangan suami, maka istri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan

59
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung:Mandar Maju,
2003, hlm. 183.

Universitas Sumatera Utara


51

persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Istri

tidak boleh bertindak sendiri, karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur

kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam

hubungan kemasyarakatan.60

Mengenai bentuk perkawinan jujur ini dalam hukum perkawinan adat memiliki

variasi bentuk yaitu:

1) Perkawinan Ganti Suami,

Terjadinya perkawinan ganti suami dikarenakan suami wafat. Oleh karena

itu istri harus kawin dengan saudara laki-laki dari suaminya yang wafat

itu. Di dalam perkawinan ini tidak diperlukan lagi pembayaran jujur,

pembayaran adat dan lain-lain, oleh karena istri memang masih tetap

berada di rumah suami, hanya perlu adanya pengetahuan dari pihak

kerabat istri.61

2) Perkawinan Ganti Istri

Terjadinya perkawinan ganti istri disebabkan karena istri meninggal dunia

dan suami kawin lagi dengan kakak atau adik perempuan dari istri yang

telah wafat, dan perkawinan ini sering pula disebut dengan istilah “silih

tikar”. Dalam pelaksanaannya tidak diperlukan lagi pembayaran uang jujur

sama dengan perkawinan ganti suami, karena jujur telah diberikan ketika

mengambil istri yang telah wafat.62

3) Perkawinan mengabdi

Perkawinan mengabdi terjadi karena diadakan pembicaraan lamaran, pihak

laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-syarat permintaan dari pihak


60
Ibid., hlm. 73.
61
Ibid., hlm.74.
62
Ibid., hlm. 76.

Universitas Sumatera Utara


52

perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki atau kedua belah pihak tidak

menghendaki adanya perkawinan semenda lepas, sehingga setelah

perkawinan suami akan terus menerus berada atau berkediaman atau

berkedudukan dipihak kerabat istri. Dengan perkawinan mengabdi pihak

laki-laki tidak usah melunasi uang jujur, uang permintaan dan sebagainya,

yang merupakan syarat perkawinan jujur, tetapi setelah perkawinan laki-

laki berkediaman ditempat mertua atau tempat istri sampai saat

berakhirnya pengabdian dan hal itu dianggap telah melunasi pembayaran

jujur dan sebagainya.63

4) Perkawinan Ambil Beri

Perkawinan ambil beri adalah bentuk perkawinan yang terjadi diantara

kerabat yang sifatnya simetris, dimana bertukar kerabat untuk saling

mengikatkan diri. Bisa digambarkan dengan kerabat A mengambil istri

dari kerabat B, maka dimasa yang lain kerabat B mengambil istri dari

kerabat A. Keadaan ini sering terjadi di daerah masyarakat adat

Minangkabau, tetapi tidak dapat berlaku didaerah Batak karena sifat

kekerabatannya asimetris dan menganut adat “manunduti”, artinya dimana

perkawinan itu terjadi berulang searah tidak boleh bertimbal balik.

5) Perkawinan ambil anak

Perkawinan ambil anak yaitu bentuk perkawinan yang terjadi karena

hanya memiliki anak perempuan tunggal, maka anak perempuan

mengambil laki-laki dari anggota kerabat untuk menjadi suami dan

63
Ibid., hlm. 77.

Universitas Sumatera Utara


53

mengikuti kerabat istri selama perkawinannya guna menjadi penerus

keturunan pihak isterinya.

Pada umumnya, dalam perkawinan jujur berlaku adat “pantang-cerai”,

sehingga senang atau susah selama hidupnya isteri dalam menjalani rumah tangga

harus menahan dan tidak boleh melakukan perceraian, hal ini sejalan dengan asas

yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan, sehingga tujuan perkawinan

dapat tercapai. Akan tetapi ada yang harus dipahami dalam konteks perkawinan

jujur, bahwa perkawinan jujur bukanlah mas kawin, karena uang jujur adalah

kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria

kepada kerabat wanita untuk dibagikan kepada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak

wanita, sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan

perkawinan yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita

(pribadi).

1. Perkawinan Semanda

Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur

dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah prkawinansi pria harus

menetap di pihak kekerabatan isteri atau bertanggung jawab untuk

meneruskan keturunan wanita di pihak isteri. Adakalanya walaupun tidah

ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang

atau barang dari pihak wanita. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya

ialah perkawinan dimana suami setelah perkawinan menetap dan

berkedudukan di pihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di

pihak kerabatnya sendiri.64

64
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Alumni, 1983, hlm. 82.

Universitas Sumatera Utara


54

Perkawinan semanda pada umunya berlaku di lingkungan masyarakat

adat matrilinial yaitu mengambil garis ibu sedangkan garis ayah

dikesampingkan. Perkawinan semanda merupakan kebalikan dari

perkawinan jujur, dimana calon mempelai pria dan kerabatnya tidak

memberikan uang jujur kepada pihak wanita, melainkan pihak wanita

melakukan pelamaran kepada pihak pria. Oleh karena itu, dalam

perkawinan semanda setelah perkawinan berlangsung maka suami berada

di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung

pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku, apakah perkawinan

semanda dalam bentuk “semanda raja-raja”, “semanda lepas”, “semanda

bebas”, “semanda nunggu”, “semanda ngangkit”, “Semanda anak

dagang”.65

Pada umumnya, dalam perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri yang

lebih berperan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah “nginjam

jago” (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang

tanggung jawab dalam keluarga atau rumah tangga.

2. Perkawinan Bebas (Mandiri)

Pada umumnya bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri berlaku

di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (orang tua), seperti

pada masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi.

Dimana keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam

keluarga atau rumah tangga. Bentuk perkawinan mandiri ini merupakan

perkawinan yang dikehendaki oleh peraturan nasional yang berlaku di

65
Ibid., hlm.82.

Universitas Sumatera Utara


55

Indonesia yaitu Undang-Undang Perkawinan bahwa kedudukan dan hak

suami dan isteri berimbang atau sama, suami adalah kepala rumah tangga

dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkawinan adat dalam bentuk mandiri

ini, setelah berlangsungnya perkawinan maka suami dan isteri akan

memisahkan diri dari keluarga atau kerabat masing-masing, serta

membangun keluarga atau rumah tangga masing-masing. Sedangkan orang

tua atau kerabat hanya memberikan bekal (sangu) untuk kelanjutan rumah

tangga mereka.

3. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang

terjadi antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya,

dan/atau berbeda agama yang dianut. Sedangkan dalam Undang-Undang

Perkawinan yang dimaksud perkawinan campuran hanyalah perkawinan

antara laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan

kewarganegaraan. Terjadinya perkawinan campuran ini akan

menyebabkan masalah hukum antara tata hukum adat dan/atau hukum

agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan diperlakukan dalam

pelaksanaan perkawinan itu. Akan tetapi dalam perkembangannya hukum

adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut,

sehingga perkawinan campuran dapat dilaksanakan. Pada dasarnya

perkawinan campuran bukan hanya sebatas perbedaan kewarganegaraan

sebagaimana yang didefiniskan dalam Undang-Undang Perkawinan,

karena perbedaan suku pun menjadi perkawinan campuran seperti suku

Universitas Sumatera Utara


56

Lampung menikah dengan suku Jawa, dengan catatan memiliki

kepercayaan yang sama.

4. Perkawinan Lari

Perkawinan lari sering terjadi pada tatanan garis keturunan ayah pada

umumnya dan wilayah-wilayah parental seperti masyarakat adat Lampung,

Batak, Bali, Bugis/Makasar, dan Maluku. Meskipun perkawinan lari

merupakan pelanggaran adat, akan tetapi dalam lingkungan masyarakat

adat tersebut terdapat tata-tertib cara menyelesaikannya. Sesungguhnya

perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem

pelamaran.66 Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku

bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas (mandiri), tergantung pada

keadaan dan perundingan kedua pihak. Sistem perkawinan lari dapat

dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan.

Perkawinan lari bersama yang dalam bahasa Belanda disebut dengan

istilah vlucht-huwelijk, wegloop-luwelijk, Batak: mangalua, Sumatera

Selatan: belarian, Bengkulu: selarian, Lampung: Sebambangan, metudau,

nakat, cakak lakei, Bali: ngerorod, merangkat, Bugis: silariang, Ambon:

lari bini, Banyuwangi : nyolong, Flores: kawin roko.67

66
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung:Mandar Maju,
2003, hlm.189.
67
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan),
Bandung:Alfabeta, 2008 , hlm.248.

Universitas Sumatera Utara


57

Masalah yang pertama yang harus dibicarakan sebelum melaksankan

perkawinan dalam masyarkat adat Batak Toba adalah masalah „Marhata Sinamot’

yang artinya harta yang di peroleh dari hasil „Mansamot (bekerja dengan tekun)‟.

Oleh karena itu, dalam masyarakat adat Batak Toba pihak keluarga si laki–

laki harus menyerahkan sinamot kepada pihak keluarga si wanita. Sinamot yang di

berikan itu biasanya berupa uang tetapi kadang–kadang dapat juga berupa barang.

Sedangkan jumlahnya selalu merupakan dari hasil kata sepakat atau kesepakatan

dari kedua belah pihak keluarga laki–laki dan pihak keluarga wanita.

Dari sini juga terbukti bahwa masalah perkawinan itu dalam masyarakat

adat Batak Toba masalah perkawinan itu bukan hanya masalah orang yang mau

menikah tetapi melainkan juga merupakan masalah dari keluarga dari masing–

masing kedua belah pihak.

Dalam pemikiran umum dalam arti sinamot yang kita kenal sehari–hari

adalah bahwa kata sinamot selalu diartikan dengan boli atau tuhor, seolah-olah

wanita itu dibeli oleh keluarga si laki–laki, maka dengan itu kalau sudah di beli

berarti hubungan dengan keluarganya sudah putus, sehingga oranng tua si wanita

tidak mempunyai hak lagi terhadap boru (anak perempuan) nya, pengertian yang

demikian sebenarnya kurang tepat karena kalau kita melihat struktur dalihan

natolu, pihak keluarga si wanita adalah hula-hula yaitu pihak yang sangat di

hormati oleh keluarga dari pihak laki–laki dalam masyarakat adat Batak Toba.

Oleh karena itu, maka pengertian dari pemberian dari kata sinamot adalah

merupakan penghormatan kepada keluarga dari pihak perempuan (hula-hula)

berupa persembahan, agar memberikan anak perempuanya sebagai istri dari anak

laki–laki pilihan hati dari anak perempuanya tersebut. Maka dengan diterimanya

Universitas Sumatera Utara


58

sinamot tersebut tadi maka boru (anak perempuannya) tersebut dilepaskan dari

golongan sanak marga ayahnya. Istialah ini bukan berati merupakan putusnya

hubungan keluarga dari si wanita tersebut dengan pihak keluarganya, artinya

disini dimaksudkan adalah apabila nantinya si wanita tersebut nantinya

melahirkan seorang anak maka anak yang dilahirkan nantinya adalah bukan lagi

mengikuti marga dari bapak siwanita itu, akan tetapi akan mengikuti marga dari

suami si wanita tersebut, pemberian sinamot tersebut kapada pihak keluarga

wanita tersebut juga mengakibatkan adanya pergeseran harta kekayaan dari pihak

keluarga anak laki–laki kepada pihak keluarga perempuan tersebut.

Bentuk perkawinan masyarakat adat Batak Toba ada beberapa bagian yaitu

sebagai berikut :

1. Meminang

Peminangan berasaldari kata pinang dengan kata kerja meminang, yang

sinonimnya melamar. Peminangan adalah pernyataan atau permintaan dari

seorang laki-laki kepada pihak perempuan untuk menikahinya, baik dilakukan

oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak lain yang

dipercayainya sesuai dengan ketentuan agamanya. Tradisi peminangan tersebut

biasa disebut dengan lamaran (meminang).

Perkawinan dengan meminang dalam suatu masyarakat mempunyai arti yang

sangat luas, yang meliputi mulai dari proses yang terjadi sebelum upacara

perkawinan itu sampai selesainya acara perkawinan. Dalam proses sebelum

upacara perkawinan di langsungkan disini adalah masa yang sangat penting di

karenakan bukan hanya membicarakan masalah proses perkawinan tetapi juga

menyangkut sesudah dan sebelum perkawinan itu dilangsungkan.

Universitas Sumatera Utara


59

Pada masyarakat adat Batak Toba saat sebelum upacara dan saat sesudah

upacara perkawinan di langsungkan ini adalah hal yang sangat penting karena

apakah perkawinan itu sudah berjalan sesuai dengan aturan hukum adat. Oleh

karena itu akan diuraikan beberapa proses perkawinan yang di kenal dalam

masyarakat adat batak toba yang antara lainya sebagai berikut:

a. Sebelum Upacara Perkawinan :

Saat-saat sebelum upacara perkawinan , ini tidak diatur dalam Undang-

Undang Tentang Perkawinan maupun Peraturan Pelaksanaannya. Oleh karena itu

pada masyarakat Batak Toba saat-saat sebelum upacara perkawinan ini

dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Hukum Adat.

Proses-proses yang terjadi sebelum upacara perkawinan ini pada masyarakat

Batak Toba mempunyai tahap-tahap tersendiri.

Dalam masyarakat Batak Toba terdapat tahap-tahap tertentu yang merupakan

rangkaian proses yang mengkait di dalam menuju suatu perkawinan. Tahap-tahap

ini juga hanya kita lihat dari segi pihak laki-laki. Adapun tahap-tahap tersebut

adalah :68

1) Martandang

Kata martandang artinya berkunjung kerumah orang lain. Dalam martandang

ini si laki-laki keluar dari rumahnya dan berkunjung kerumah si gadis untuk

berkenalan. Pada martandang inilah sering dilakukan mangaririt boru oleh si

laki-laki. Mangaririt berasal dari kata ririt yang artinya pilih. Oleh karena itu pada

martandang ini, termasuk juga tujuan si laki-laki untuk memilih si gadis untuk

68
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Tarsito, 1980, hlm.64-66.

Universitas Sumatera Utara


60

menjadi bakal istrinya. Acara martandang ini biasanya dilakukan pada malam

hari. Kalau seorang laki-laki susah untuk memilih gadis untuk menjadi calon

isterinya, maka biasanya silaki-laki tersebut akan mencari boru tulang (anak

paman)nya . Boru tulang sebagai istri adalah sangat disetujui oleh ibu dari si laki-

laki. Dan ayah si wanita itu juga jarang untuk menolak, karena anak laki-laki itu

adalah anak ni namboru dari anak wanitanya sendiri.

2) Mangalehon Tanda

Mangalehon tanda artinya adalah memberikan tanda. Pemberian tanda ini

terjadi apabila silaki-laki sudah menemukan si gadis sebagai calon isterinya, dan

si gadis itu sudah menyetujui si laki-laki itu menjadi calon suaminya. Kedua belah

pihak yaitu laki-laki maupun perempuan saling memberikan tanda. Dari pihak

laki-laki biasanya menyerahkan uang kepada wanita itusebagai tanda, sedangkan

dari pihak wanita menyerahkan kain sarung, ataupun ulos sitoluntuho kepada si

laki-laki. Setelah pemberian tanda dilakukan maka si laki-laki dan si wanita itu

sudah mempunyai ikatan, dan si laki-laki akan memberitahukan hal ini kepada

orang tuanya. Kemudian orang tua si laki-laki menyuruh perantara yang di sebut

domu-domu utuk memberitahukan kepada ayah si wanita bahwa anak laki-laki

mereka sudah mengikat janji dengan putri yang empuya rumah. Apabila ayah si

gadis menyetujui, maka dia memberitahukan kepada perantara tersebut, untuk di

teruskan kepada orangtua si laki-laki.

3) Marhusip

Marhusip artinya berbisik. Pada acara marhusip ini yang masing-masing pihak

masih diwakili oleh perantara, yang dilakukan secara diam-diam, pihak laki-laki

menanyakan kepada pihak si wanita, berapa kira-kira jumlah uang sinamot yang

Universitas Sumatera Utara


61

harus disediakan oleh pihak keluarfa si laki-laki, dan juga memberitahukan

kepada pihak si wanita kira-kira kemampuan pihak si laki-laki. Hal ini dilakukan

agar kedua belah pihak mengetahui dan mengerti bagaimana keadaaan masing-

masing pihak. Marhusip ini dilakukan dirumah si wanita, dan dalam hal ini orang

tua kedua belah pihak belum ikut campir. Dalam waktu marhusip inilah juga

ditentukan kapan orangtua si laki-laki datang kerumah orangtua si wanita untuk

membicarakan keinginan orangtua si laki-laki itu kepada orangtua si wanita secara

resmi.

4) Marhata Sinamot dan Manjalo Sinamot

Seperti telah dikemukakan di atas, pada waktu marhusip di bicarakan kapan

keluarga si laki-laki secara resmi datang ke keluarga si wanita, untuk

membicarakan keinginan dari anaknya sekaligus membicarakan berapa jujur

(sinamot) yang mereka harus serahkan. Pada waktu yang telah di tetapkan

rombongan pihak laki-laki ke rumah orang tua si perempuan dengan membawa

makanan adat. Pada masyarakat Batak Toba pembicaraan baru akan diadakan

setelah memakan bersama makanan yang di bawa oleh keluarga si laki-laki.

Setelah makan barulah diadakan acara marhata sinamot artinya membicarakan

jumlah besarnya jujur yang harus di serahkan oleh pihak laki-laki. biasanya dalam

pembicaraan ini terjadi tawar menawar yang gesit, yang nantinya jatuh paada

jumlah yang telah ditetapkan pada waktu marhusip. Walaupun tidak persis sama,

tetapi tidak seberapa jauh bedanya.

Sinamot pada masyarakat Batak Toba biasanya terdiri dari uang dan hewan.

Sinamot yang terdiri dari uang biasanya di serahkan pada orangtua si wanita pada

saat marhata sinamot. Oleh karena itu pihak orangtua si wanita di sebut manjalo

Universitas Sumatera Utara


62

sinamot (menerima jujur). Sedangkan sinamot yang terdiri dari hewan diserahkan

kemudian. Pada waktu marhata sinamot inilah dibicarakan semua hal-hal yang

penting di dalam pelaksanaan perkawinanndan bagaimana bentuknya. Marhata

sinamot juga adalah saat perkenalan resmi antara orangtua si laki-laki dengan

orangtua si wanita.

5) Maningkir Lobu

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sinamot itu di samping uang ada juga

hewan. Oleh karena itu pada saat yang di tentukan keluarga si wanita yang

biasanya di wakili oleh adik atau kakak dari ayah si gadis datang maningkir

(melihat) lobu (hewan piaraan) yang telah di janjikan, ke tempat keluarga si laki-

laki. Kemudian setelah acara makan bersama, perutusan keluarga si wanita itu

akan membawa hewan itu ke tempat keluarga si wanita. Hewan yang biasanya

digunakan sebagai sinamot adalah kerbau atau lembu.

6) Martonggo Raja

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba bukanlah hanya urusan ayah dan ibu

si laki-laki saja, melainkan urusan semua keluarga. Oleh karena itu orangtua si

laki-laki akan mengumpulkan semua keluarganya terutama yang mmenyangkut

dalihan natolu. Untuk berkumpul di rumah orangtua si laki-laki, dan

membicarakan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan

perkawinan. Jadi martonggo raja ini adalah merupakan suatu rapat untuk

mengadakan pembagian tugas.

b. Upacara Perkawinan :

Universitas Sumatera Utara


63

Yang dimaksud disini pengertian upacara perkawinan adalah sejak

dipertemukannya calon pengantin pria dan calon pengantin wanita,

menurut hukum adat dan sejak adanya pemberitahuan calon mempelai

kepada pegawai pencatat perkawinan sampai terlaksanya perkawinan

menurut agamanya masing-masing. Pada masyarakat Batak umumnya

upacara perkawinan itu menyangkut dua hal, yaitu upacara menurut adat

dan upacara menurut agamanya masing-masing. Pelaksanaan kedua acara

ini dilakukan secara terpisah-pisah. Setelah berlakunya undangan-

undangan tentang perkawinan,maka disamping kedua hal tersebut ada lagi

upacara lain yaitu upacara di depan pencatatan perkawinan, yaitu berupa

pendaftaran perkawinan mereka itu kepada pegawai pencatat

perkawinan.69 Di dalam bagian upacara perkawinan ini akan di uraikan

acara-acara apa yang akan di jumpai di dalam hukum adat.

Upacara perkawinan pada Batak Toba di atur dalam tiga hal yaitu : 70

1) Upacara yang di tentukan di dalam Peraturan Pemerintah no. 9 tahun

1975

2) Upacara yang di tentukan di dalam hukum adat

3) Upacara yang di tentukan di dalam ketentuan agama

Khusus mengenai acara yang di tentukan dalam peraturan pemerintah no.9

tahun 1975 yaitu yang terdapat pada pasal 3 sampai dengan 11 Peraturan

Pemerintah no.9 tahun 1975. Di samping itu acara-acara yang ditentukan menurut

agamanya masing-masing pada umumnya. Oleh karena itu pada pembicaraan

69
Ibid.,hlm.68
70
Ibid.,hlm.72

Universitas Sumatera Utara


64

upacara perkawinan padamasyarakat Batak Toba, hanya meninjau acara-acara

yang di tentukan di dalam hukum adat.

Upacara adat :71

Seperti yang telah dikemukan terdahulu bahwa upacara-upacara

perkawinan yang dilakukan menurut hukumadat dapat tetap dilaksanakan di

samping upacara-upacara yang ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah no.9

tahun 1975 dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam agama.

Setelah selesai semua acara sebelum upacara perkawinan di atas, maka

pada waktu yang telah di tetapkan pihak keluarga laki-laki datang kerumah

orangtua si wanita dengan membawa makanan adat. Makanan adat ini diletakkan

di dalam bakul yang di sebut ampang, dan di bawa oleh seorang yang disebut

boru sihunti ampang. Rombongan ini sudah di tunggu oleh keluarga si wanita di

rumah oranngtua si wanita tersebut. Setelah makan maka secara bersama-sama

mereka mengantarkan kedua calon pengantin ini untuk melakukan upacara

perkawinan secara agama. Seusai upacara agama ini maka semua keluarga

bersama pengantin pergi ke tempat pesta yang telah di tentukan. Bagi masyarakat

Batak Toba peresmian perkawinan biasanya harus dilakukan dalam suatu pesta.

Besar kecilnya pesta ini dengan sendirinya di sesuaikan dengan kemampuan

kedua belah pihak. Pesta peresmian perkawinan ini dapat dilakukan di tempat

pihak keluarga laki-laki dan dapat di lakukan di tempat keluarga perempuan.

Kalau upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga laki-laki maka,

setelah upacara perkawinan di gereja , maka si wanita itu di bawa ke rumah

keluarga si laki-laki, pesta dilakukan di sana. Upacara perkawinan seperti ini di

71
Ibid., hlm.73-74.

Universitas Sumatera Utara


65

sebut ditaruhon jual. Semua pembgian jambar bagi yang berhak diserahkan pada

saat pesta tersebut. Kalau pesta perkawinan dilakukan di tempat orangtua si

wanita, maka setelah upacara perkawinan di Gereja, maka kedua pengantin di

bawa dulu kerumah orangtua si wanita atau langsung ke suatu tempat pesta.

Upacara perkawinan seperti ini dinamakan dialap jual. Kemudian setelah pesta

baru si wanita di bawa ke rumah keluarga si laki-laki. Pada pesta ini jugalah

diserahkan pembagian jambar bagi pihak-pihak yang berhak.

Dengan sendirinya semua acara-acara ataupun di dalam proses untuk menuju

upacara perkawinan ini haruslah terlebih dahulu melakukan upacara perkawinan

ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah no.9 tahun 1975, yaitu harus terlebih

dahulu harus memberitahukan keinginan kedua calaon mempelai ini kepada

pegawai pencatat perkawinan.

c. Setelah Upacara Perkawinan

Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa pada orang-orang Batak Toba,

setelah upacara perkawinan anak perempuan itu di bawa kelingkungan keluarga si

laki-laki. Walaupun si perempuan itu sudah di bawa bukan berarti sudah selesai

proses-proses yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, di dalam rangka

perkawinan mereka. Acara-acara tertentu yang masih harus dilaksanakan, tidak

boleh di tinggalkan begitu saja. Dengan kata lain acara-acara itu masih

merupakan bagian dari proses perkawinan, yang harus dilaksanakan oleh kedua

belah pihak.72

72
Ibid., hlm.75.

Universitas Sumatera Utara


66

Pada masyarakat Batak Toba terdapat acara yang merupakan rangkaina

perkawinan, yang dilaksanakan setelah upacara perkawinan, yaitu :73

1) Mebat (Paulak Une)

Artinya bahwa setelah kira-kira satu minggu, maka kedua pengantin

dengan beberapa orang keluarganya datang ke rumah orangtua si wanita. Sebelum

Mebat ini maka si wanita dengan suaminya belum boleh untuk berkunjung ke

rumah orangtua si wanita tersebut. Pada acara ini biasanya adalah untuk

kesempatan bagi kedua orangtua untuk memberikan nasehat-nasehat kepada

kedua suami istri yang baru itu.

2) Maningkir Tangga

Maningkir artinya melihat. Berarti dalam hal ini kedua orangtua si wanita

beserta beberapa orang keluarganya datang ke rumah orangtua si laki-laki untuk

melihat rumah tangga anaknya. Kedatangan mereka ini selalu membawa makanan

adat.

3) Manjae

Setelah semua upacara selesai maka orangtua si laki-laki menyuruh anaknya

dengan istri untuk hidup tidak serumah dengan orangtuanya. Orangtua laki-laki

akan memberi peralatan dan makanan secukupnya sambil menunggu panen dari

sawah mereka. Dengan demikian suami istri yang baru itu akan berdiri sendiri

sebagai rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban penuh menurut adat.

2. Tanpa Meminang (Mangalua)

Mangalua adalah suatu bentuk perkawinan yang di kenal dalam

adat masyarakat Batak Toba, dimana seorang anak laki–laki dengan

73
Ibid., hlm.77-78.

Universitas Sumatera Utara


67

wanita pilihanya mau melaksanakan perkawinan bersama dengan cara

melarikan diri, dengan menghilangkan peraturan– peraturan yang dikenal

biasanya. Mangalua adalah kawin lari secara bebas, manga adalah

melaksanakan dan lua adalah membawa atau lari. Secara leksikal berarti

melaksanakan kegiatan membawa lari atau melarikan. Secara konseptual

berati sepasang muda-mudi yang kawin dengan cara di luar prosedur

perkawinan ideal karena satu atau beberapa hal. Artinya tanpa dengan

membayar sinamot terlebih dahulu. Adat menyebut perkawinan mngalua

ini bahwa si pemuda mengandalkan kekuatan, mengabaikan hukum

(pajolo gogo, papudi uhum). Kedua calon pengantin yang mangalua akan

ditemani oleh satu atau dua orang yang bertindak sebagai pihak ketiga,

demi menjaga kehormatan kedua calon pengantin.

Dala bahasa Batak Toba, kawin lari disebut dengan mangalua dan

mangaroba. Si lelaki disebut mangala dan si gadis yang mau di bawa di sebut

mangaroba. Namun secara umum kawin tanpa melalui prosedur adat ini disebut

mangalua .74

Biasanya sebelum si gadis berangkat kawin lari, dia meninggalkan

informasi kepada orangtuanya. Dahulu cara yang dilakukan ialah meninggalkan

uang yang diletakkan di bawah tikar buruk (rere).Ketika ibu si gadis menyapu

rumah uang itu ditemukan. Uang yang laziim disebut tading rere ini, sebagai

petunjuk kepada orangtua si gadis bahwa anaknya sudah menempuh cara kawin

lari. Apabila petunjuk melalui tading rere itu kurang jelas, misalnya kemarga

mana anak gadis itu kawin lari, maka orangtua si gadis menyuruh beberapa

74
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta:Dian Utama, 2012, hlm.206.

Universitas Sumatera Utara


68

borunya (suami anak perempuan) untuk melacaknya. Mereka yang di suruh

melacak ini disebut si pajal bogas atau di tempat lain disebut pangihut-ihut.

Adalah lazim bahwa gadis yang di bawa kawin lari, tidak langsung kerumah

orangtua si pemuda tetapi kerumah salah satu penatua gereja. Dengan kata lain si

pemuda dengan si gadis belum dibolehkan tidur bersama sebelum di adakan

pemberkatan. Atas kesepakatan orangtua si pemuda dengan pihak pengurus

gereja, pasangan yang kawin lari ini di berkati di gereja atau di rumah si

pemuda.75

Perkawinan tanpa meminang (mangalua) ini belum sah secara adat

meskipun perkawinan mereka sudah di berkati penatua gereja dan sudah di catat

di catatan sipil bahkan sudah di buatkan resepsi perkawinan dan di hadiri para

kerabat hal tersebut di karenakan dalam sah tidaknya perkawinan menurut adat

dalihan natolu bukan oleh pemberkatan di gereja atau pencatatan di catatan sipil,

ataupun resepsi. Tetapi oleh adat, dimana yang hadir itu terdiri atas unsur dalihan

natolu dan dongan sahuta, telah dilakukannya pembagian jambar juhut dan

pemberian ulos sebagaimana dulu dilaksanakan ompu si jolo-jolo tubu.76

Kawin lari ( mangalua) dalam adat Batak Toba sendiri dapat dibedakan

menjadi 2 bagian, yaitu:

a. Kawin lari ( mangalua ) yang di adati

Kawin lari (mangalau) yang di adati adalah kawin lari (mangalua) yang

terjadi di dalam masyarakat Batak Toba, dimana perkawinan dilaksanakan

dengan proses mangalua namun tetap di lakukan acara adat yang di sebut

75
Ibid., hlm.206
76
Ibid., hlm.212.

Universitas Sumatera Utara


69

dengan mangadati, yang di laksanakan di akhir acara perkawinan. Proses

kawin lari (mangalua) ini hampir sama dengan proses perkawinan yang

idealnya , hanya saja langkah-langkah yang di lakukan lebih sederhana

dan si perempuan yang hendak kawin lari tetap harus di bawa ke rumah

keluarga si lelaki dan di titipkan di rumah penatua agama sebelum

pemberkatan.

Kawin lari (mangalua) yang di adati seperti ini biasanya terjadi karena

pengaruh ekonomi dimana pihak lelaki tidak dapat memenuhi biaya yang

di minta oleh pihak keluarga si perempuan, namun keluarga kedua belah

pihak telah setuju dan sepakat untuk melakukan perkawinan mangalua dan

tetap dilaksanakan adat (mangadati), sehingga di kemudian hari tidak

perlu lagi dilakukan acara adatnya. kedua belah pihak keluarga

mengetahui dan memberi ijin untuk melaksanakan hal tersebut, karena

memang cara itulah yang dianggap tepat pada saat itu agar perkawinan

tetap bisa dilaksanakan.

b. Kawin lari (mangalua) tidak di adati

Kawin lari (mangalua) tidak di adati adalah kawin lari (mangalua) yang

terjadi di dalam masyarakat Batak Toba, dimana perkawinan dilaksanakan

dengan proses mangalua tanpa dilakukan acara adatnya atau tanpa

mangadati. Kawin lari (mangalua) seperti ini terjadi karena beberapa

faktor seperti faktor ekonomi, tidak mendapat persetujuan, maupun

perbedaan agama.

Kawin lari (mangalua) tidak di adati ini adalah perkawinan yang di

anggap belum sah secara adat sehingga pasangan yang melakukan

Universitas Sumatera Utara


70

perkawinan mangalua ini haruslah memenuhi kewajiban adatnya dengan

melakukan acara mangadati nantinya ketika mereka telah siap secara

materi yang di dahului dengan pelaksanaan acara adat meminta maaf

kepada keluarga si perempuan dengan menyembah karena telah membawa

anak perempuannya kawin lari (mangalua) atau di sebut dengan manuruk-

nuruk.

D. Tata Cara Mangalua Menurut Hukum Adat Batak Toba

Dalam perkawinan mangalua ini tentu ada cara yang lazim dilakukan oleh

pelaku-pelakunya. Yang sering terjadi adalah keluarga si lelaki yang memegang

peranan dalam pelaksanaan mangalua ini karena si lelaki lah yang telah membawa

si perempuan untuk melakukan kawin lari (mangalua). Dalam pelaksanaan

mangalua ini dilakukan dengan cara yaitu :

Seperti yang telah di bahas di atas bahwa kawin lari (mangalua) tidak di

adati adalah kawin lari (mangalua) yang terjadi di dalam masyarakat Batak Toba,

dimana perkawinan dilaksanakan dengan proses mangalua tanpa dilakukan acara

adatnya atau tanpa mangadati. Dimana sebelum si gadis berangkat kawin lari, dia

meninggalkan informasi kepada orangtuanya. 77 Dahulu cara yang dilakukan ialah

meninggalkan uang yang diletakkan di bawah tikar buruk (rere).

Sebagai langkah pertama adalah perempuan yang di bawa kawin lari pergi

kerumah keluarga pihak lelaki yang terpercaya lalu di antar ke tempat penatua

agama dan dirumah tersebut calon pengantin perempuan dititipkan sampai pada

tangga pemberkatan yang di tentukan, hal itu bertujuan untuk dilakukan

pendekatan antara ibu penatua gereja (yang bertindak sebagai pihak ketiga)

77
Ibid., hlm.206.

Universitas Sumatera Utara


71

terhadap si gadis yang hendak melaksanakan kawin lari (mangalua) tersebut

sehingga di ketahui keadaan sebenarnya apakah si gadis dan si pemuda yang

hendak melakukan kawin lari (mangalua) tersebut masih layak menerima

pemberkatan di gereja dan demi menjaga kehormatan kedua calon pengantin.

Atas kesepakatan orangtua si pemuda dengan pihak pengurus gereja,

pasangan yang kawin lari ini di berkati di gereja atau di rumah keluarga si

pemuda.78 Pemberkatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah di

rencanakan dan di tetapkan antara keluarga si pemuda dengan pihak gereja.

Seusai pemberkatan diadakanlah acara perjamuan ala kadarnya. Acara

perjamuan ini disebut parajahon, artinya perkawinan itu dilakukan dengan raja.

Untuk perjamuan yang disebut parajahon ini, seekor anak babi disembelih dan

dimasak secara khas. Undangan yang hadir di acara ini adalah unsur dalihan

natolu pihak paranak dan dongan sahuta. Hula-hula di acara ini adalah tulang si

pemuda, minimal yang semarga. 79 Dalam pelaksanan pemberkatan dan

perjamuan yang ala kadarnya ini pihak keluarga perempuan tidak hadir dan

kalaupun hadir biasanya keluarga pihak perempuan hanya mengikuti acara

pemberkatan saja namun tidak ikut dalam acara perjamuan yang ala kadarnya

tersebut melainkan pulang ke rumahnya, karena pantang baginya untuk memakan

makanan di acara tersebut.

Setelah selesai makan, dua orang boru disertai seorang ama yang semarga

dengan si pemuda di suruh segera mengantar ihur-ihur tersebut ke salah satu

dongan sabutuha dekat dari orangtua si gadis. Penyampaian ihur-ihur itu adalah

merupakan informasi resmi secara adat kepada orangtua si gadis, bahwa anak

78
Ibid., hlm.206.
79
Ibid., hlm.206.

Universitas Sumatera Utara


72

gadisnya sudah di paraja (dijadikan istri) oleh pemuda yang mencintainya.

Utusan yang mengantar ihur-ihur itu, berkata dengan mimik agak takut kurang

lebih sebagai berikut :

“Di hamu na huparsangapi hami, rajani hula-hula nami. Di son ro do

hami pasahat ihur-ihur tu hamu songon na pabotohon, ia boru muna nugga hu

paraja hami gabe parumaennami. Marboha bahenon ma hamu amang na pajolo

holong papudi uhum angka naposo on. Manganju ma hamu di nasida. Butima.”

Informasi resmi secara adat ini, segera di sampaikan ke orangtua si gadis,

agar si pajal bogas atau si pangihut-ihut tidak meneruskan pelacakannya.80 Hari-

hari berikutnya orangtua si pemuda selalu mencari informasi, sejauh mana

kemarahan orangtua si perempuan . apabila diketahui rasa marah itu sudah reda

maka hari untuk pelaksanaan acara adat manuruk-nuruk. Acara manuruk-nuruk

adalah acara minta maaf kepada orangtua yang anaknya di bawa kawin lari. 81

Parboru mengundang boru/bere, dongan tubu, dan dongan sahuta untuk

menerima kedatangan paranak yang datang manuruk-nuruk. Hal ini bertujuan agar

pasangan yang telah melakukan kawin lari (mangalua) itu dapat dengan bebas

datang berkunjung ke rumah orangtua si perempuan. Pihak paranakpun

mengundang boru/bere dan dongan tubu menyertai pengantin berangkat ke rumah

parboru.

Dalam acara manuruk-nuruk ini sebelum pihak keluarga laki-laki masuk

haruslah menyerahkan upa sangke hujur dan upa harbangan kepada dongan

sahuta dan parboru agar di perbolehkan masuk. Hal pertama yang di lakukan

adalah pihak keluarga perempuan bertanya maksud dan tujuan kedatangan pihak

80
Ibid., hlm.207.
81
Ibid., hlm.207.

Universitas Sumatera Utara


73

keluarga laki-laki, sehingga lebih jelas dan tegas. Ini lah acara sebagai tanda

permintaan maaf kedua pengantin dan mengakui kesalahannya kepada orangtua

perempuan. Kedatangan pihak laki-laki dalam acara manuruk-nuruk ini membawa

makanan yang di sebut dengan sulang-sulang si panganon sementara pihak

perempuan menyediakan dengke yaitu ikan, dan diadakanlah makan bersama.

Acara manuruk-nuruk ini di akhiri dengan penyampaikan nasihat dan pengarahan

dan pemberian ulos holong oleh orangtua pengantin perempuan sebagai tanda

telah mereka telah di terimakembali dalam keluarga itu, serta menyampaikan

harapan agar paranak/ pihak laki-laki segera mengupayakan pesta adat

pengukuhan perkawinan tersebut yaitu mangadati, dan di akhiri dengan doa

penutup.

Bila sepasang suami istri yang perkawinannya belum dikukuhkan secara

adat dalihan natolu, berniat mengadakan pesta adat, langkah pertama yang

dilakukan adalah menghubungi pihak parboru. Apabila sudah sama-sama sepakat,

maka paranak mengirimkan boru disertai dongan tubu untuk menjajaki hal-hal

yang menyangkut materi yang akan diberi paranak ke parboru untuk

melaksanakan pesta adat tersebut. Biasanya konsep dari suhut paranak diajukan

ke parboru. Pertemuan pengajuan konsep ini di namakan marhori-hori dinding,

mangarisik-risik, atau marhusip-husip. Apabila di pertemuan marhori-hori

dinding sudah menunjukkan lampu hijau, barulah dibawakan di acara resmi atau

secara formal yang disebut pasahat situtungon. Acara pasahat situtungon kurang

lebih sama dengan acara marhata sinamot, yaitu acara untuk menyepakati:82

82
Ibid., hlm.213.

Universitas Sumatera Utara


74

1.Sejumlah uang yang akan diberi paranak kepada parboru, uuntuk pelaksanaan

pesta adat yang dimaksud.

2.Sejumlah uang yang di sepakati di atas apakah mencakup parjambar nagok

parmarai, pariban, tulang dan simandokhon atau tidak.

3.Jumlah ulos na marhadohoan yang akan diberi parboru kepada paranak di

pesta adat tersebut.

4.Hari H pesta adat tersebut.

5.Gedung tempat pesta adat tersebut

6.Jumlah undangan di pihka paranak dan pihak parboru.

7.Pembagian jambar juhut.

8.Ada atau tidaknya hiburan musik atau gondang.

9.Diadakan atau tidak diadakan tortor las ni roha di akhir acara.

Hak-hal di atas itulah yang disepakati di acara pasahat situtungon, yang

kurang lebih tampak sama dengan acara marhata sinamot, hanya saja istilah

sinamot tidak lagi disebut, tetapi situtungon adakalanya digunakan istilah batu ni

sulang-sulang. Disebut namanya situtungon karena jumlah uang yang diterima itu

adalah untuk keperluan pesta adat itu, bahkan adakalanya parboru menambah dari

kantongnya sendiri demi pesta itu berlangsung dengan baik. 83

Di acara situtungon ini pihak keluarga perempuan tidak dapat menuntut

besar jumlah uang yang di beri pihak keluarga laki-laki melainkan menerima

berapapun besar jumlah uang yang di berikan. Dalam rangka menghadapi pesta

mangadati atau pasahat adat nagok, perlu juga diadakan martonggo raja di pihak

paranak dan marria raja di pihak parboru. Acara ini perlu dilakukan adalah

83
Ibid., hlm.214.

Universitas Sumatera Utara


75

untuk menyerahkan pelaksanaan pesta kepada dongan tubu dan boru/bere agar

pesta di rasakan sebagai pestanya sendiri. Di acara inilah dilakukan pembagian

tugas, agar masing-masing bertanggung jawab dan mempunyai kesiapan

melakukannya. Dengan demikian acara pesta berjalan lancar dan baik. Perlu

diketahui umumnya pesta mangadati dilakukan di tempat paranak. Berarti

paranaklah yang menyediakan/menyiapkan pesta, paranaklah yang menjadi tuan

rumah.84 Makna yang tersirat didalam acara itu adalah mengambil hati (manubut

roha ni) dongan tubu, boru, dan dongan sahuta agar masing-masing berusaha

membuat acara adat itu lancar dan membuahkan sukacita.85

Acara pengukuhan perkawinan secara adat disebut mangadati atau

pasahat adat na gok. Perkawinan yang di tempuh dengan kawin lari (mangalua)

atau pajolo holong papudi uhum, atau hanya melaksanakan pemberkatan, catatan

sipil, resepsi, sebaiknya dilaksanakan pesta mangadati, agar perkawinan itu sah

secara adat penuh.86 Acara pesta mangadati atau pasahat adat nagok pada

umumnya paranaklah yang menjadi tuan tumah.

84
Ibid., hlm.218.
85
Ibid., hlm.220.
86
Ibid., hlm.220.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERKAWINAN MANGALUA (KAWIN LARI) MENURUT HUKUM ADAT

BATAK TOBA DI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN

A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Mangalua Pada

Masyarakat Batak Toba

Mangalua adalah kawin lari sepasang remaja untuk mewujudkan

perkawinan. Apabila kata sepakat antara kedua belah pihak paranak dan parboru

tidak tercapai, atau salah satu dari pihak itu tidak mampu membiayai upacara

peresmian perkawinan maka keputusan bergantung kepada sepasang remaja itu.

Jika terdapat kata sepakat antara mereka untuk mewujudkan perkawinan, satu-

satunya jalan yang di tempuh adalah dengan jalan kawin lari disebut mangalua.87

Kawin lari (mangalua) dalam adat Batak Toba sendiri di bedakan menjadi

2 bagian, yaitu:88

1. Kawin lari (mangalua) yang di adati

Kawin lari (mangalua) yang di adati adalah perkawinan yang dilaksanakan

dengan proses mangalua namun tetap dilakukan acara adatnya sesuai adat Batak

Toba. Tata caranya adalah pertama si perempuan di bawa oleh si laki-laki ke

rumah salah satu keluarganya ataupun ke rumah penatua agama dan tinggal

bersama keluarga tersebut selama beberapa hari sebelum hari pemberkatan.

Setelah itu si lelaki ataupun utusan dari keluarga si lelaki datang ke rumah

orangtua si perempuan untuk memberitahukan bahwa anak perempuan mereka

sudah di paraja, di sini juga


87
DJ.Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan:
CV.Armanda, 1992, hlm.353.
88
Wawancara, Y.Marpaung, Sabtu tanggal 03 Maret, pukul 15:00 Wib

76

Universitas Sumatera Utara


77

di bicarakan bahwa mereka bermaksud untuk melangsungkan perkawinan dengan

cara kawin lari (mangalua) dan dihasilkanlah kesepakatan bersama keluarga si

perempuan dimana ditentukanlah hari pemberkatannya yang sekaligus dilakukan

dengan adat na denggan atau melakukan adat sesuai dalam Batak Toba. Setelah

tiba hari pemberkatan maka pasangan yang melakukan kawin lari tersebut

bertemu di sebuah gereja yang sudah di tentukan untuk di berkati oleh pendeta.

Setelah proses pemberkatan selesai maka di lanjutkan dengan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba yaitu mebat (paulak une) dimana pasangan yang

melangsungkan perkawinan mangalua itu datang berkunjung ke rumah orangtua

si perempuan yang bertujuan di berikannya nasehat oleh kedua orangtua kepada

pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) tersebut, maningkir tangga yang

berarti orangtua si perempuan dan keluarganya datang ke rumah orangtua si lelaki

untuk melihat bagaimana rumah tangga anaknya, dan manjae yaitu keadaan

dimana pasangan yang telah kawin lari (mangalua) tersebut di lepas oleh orangtua

dan hidup mandiri.

2. Kawin lari (mangalua) tidak di adati

Kawin lari (mangalua) tidak di adati adalah perkawinan dilaksanakan dengan

proses mangalua tanpa dilakukan acara adatnya atau tanpa mangadati.Tata

caranya adalah calon pengantin wanita pergi di bawa si laki-laki ke rumah

keluarga pihak laki-laki atau ke rumah penatua gereja selama beberapa hari

sebelum hari pemberkatan oleh pendeta. Setelah tiba hari pemberkatan maka

kedua calon pengantin tersebut datang ke gereja untuk di berkati oleh pendeta, si

lelaki dengan keluarganya sedang si perempuan bersama pihak kedua atau ke tiga

dan keluarga si lelaki yang menemaninya sebelum hari pemberkatan tersebut

Universitas Sumatera Utara


78

tanpa di dampingi orangtua si perempuan. Setelah pemberkatan selesai untuk

mengakhiri acara pernikahan tersebut maka diadakan acara makan sederhana.

Kemudia setelah beberapa hari kemudian pasangan yang melakukan kawin lari ini

bersama keluarga si lelaki pergi ke rumah orangtua si perempuan untuk

melaksanakan acara adat yang di sebut dengan manuruk-nuruk dengan membawa

makanan adat, yang berarti permohonan maaf kepada orangtua si perempuan

serta keluarganya karena telah membawa lari anak perempuannya serta bertujuan

agar pasangan tersebut dapat dengan bebas bertemu dengan orangtua si

perempuan, begitu juga sebaliknya dimana orangtua si perempuan juga dapat

dengan bebas berkunjung ke rumah anaknya atau orangtua si lelaki. Di dalam

manuruk-nuruk ini pihak laki-laki harus membayar denda baik kepada keluarga

maupun persekutuan adat setempat. Setelah selesai diadakan acara manuruk-nuruk

ini maka di bicarakanlah kapan pasangan yang mangalua tersebut meresmikan

perkawinannya secara adat atau mangadati.

Sepasang muda-mudi memutuskan untuk melaksanakan kawin lari

(mangalua) menurut hukum adat Batak Toba karena melihat berbagai hal yang

akan menghambat mereka untuk dapat hidup bersama. Adapun sebab-sebab

terjadinya kawin lari pada umumnya adalah:89

1. Sinamot

Karena jumlah sinamot yang akan diberikan paranak kurang memadai

menurut penilaian parboru maka parboru menunda rencana perkawinan

tersebut. Karena ditundanya rencana perkawinan itu, adakalanya si pemuda

atau si gadis mengajak kawin lari.

89
Richard Sinaga, Op.Cit, hlm. 205.

Universitas Sumatera Utara


79

2. Melangkahi

Orangtua pada umumnya menginginkan yang lebih dulu lahirlah yang lebih

dulu kawin. Karena itu orangtua menyuruh sabar kepada anaknya yang minta

dikawinkan, menunggu kakaknya dapat jodoh. Ada kalanya si adik takut

kehilangan pasangannya lalu nekat menempuh cara kawin lari.

3. Hubungan Bebas antara Laki-laki dan Perempuan

Si pemuda dan calonnya telah melakukan hubungan sebagaimana suami isteri

sampai sudah berbadan dua. Demi harga diri orangtua, ada kalanya si orangtua

malah mendorong anaknya menempuh jalan kawin lari.

4. Orangtua Tidak Setuju

Ada kalanya orangtua si perempuan tidak setuju terhadap pilihan anak

perempuannya. Sebaliknya orangtua si pemuda tidak setuju berbesan dengan

orangtua si gadis yang dipilih oleh anak laki-lakinya. Karena dua pasangan

yang saling mencintai ini tidak bisa di arahkan, maka keduanya menempuh

cara kawin lari.

Berdasarkan hasil penelitian, sebab-sebab kawin lari (mangalua) pada

masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai kota Medan adalah:90

1. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi dikatakan merupakan salah satu penyebab dilaksanaknanya

mangalua. Hal ini dihubungkan dengan mata pencaharian, serta jumlah anggota

90
Wawancara, J.Pakpahan, Minggu tanggal 25 Februari, pukul 19:00 Wib

Universitas Sumatera Utara


80

kelurga dalam suatu rumah tangga, sehingga ada pengelompokkan kaya,

menengah dan miskin.

Dalam hal ini pihak keluarga laki-laki mempunyai taraf perekonomian yang

lebih rendah dari keluarga perempuan, sedangkan perkawinan secara ideal itu

membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk menghindari semua itu ditempuh

dengan cara mangalua.

2. Tidak Mendapat Persetujuan

Dalam melaksanakan perkawinan yang idealnya haruslah mendapat

persetujuan dari kedua belah pihak. Kondisi tidak mendapat persetujuan ini

sendiri di bagi atas 3, yaitu :

a. Tidak mendapat persetujuan atau restu dari keluarga pihak perempuan

saja, sehingga dalam melaksanakan perkawinannya si perempuan lebih

memilih kawin lari (mangalua) ke rumah orangtua si lelaki.

b. Tidak mendapat persetujuan atau restu dari keluarga pihak laki-laki

saja, sehingga si lelaki memilih kawin lari (mangalua) dan membawa

si perempuan ke rumah keluarganya yang lain.

c. Tidak mendapat persetujuan atau restu dari keluarga pihak perempuan

maupun keluarga pihak laki-laki. Hal ini tidak menjadi penghalang

bagi pasangan tersebut dan memilih kawin dengan cara kawin lari

(mangalua) dimana pasangan ini pergi ke rumah keluarga si lelaki

yang lainnya .

3. Faktor Suku dan Agama

Orang Batak pada umumnya kuat idealismenya dalam hal kesukuan dan

keagamaan. Dapat melihat bahwa dimanapun orang Batak berada selalu

Universitas Sumatera Utara


81

menujukkan kebatakannya. Hal itu dijelaskan dengan adanya konsep halak hita

dan bukan halak hita.

Dalam kemajuan dewasa ini sering di dengar bahwa hal-hal kesukuan seperti

itu lambat laun telah mulai dihilangkan, dengan tidak begitu membedakan

kesukuan dan keagamaan dalam kehidupan bermasayarakat. Tetapi kenyataanya

dapat di lihat dalam masayarakat Batak masalah ini sering menghalangi seseorang

menuju jenjang perkawinan. Bahkan karena aliran sekte yang berbeda juga dapat

menjadi alasan sepasang muda mudi untuk kawin lari (mangalua).

4. Faktor Pendidikan

Masalah pendidikan adalah tinggi rendahnya pendidikan yang telah diperoleh

seseorang secara formal maupun non formal dalam membentuk suatu pemikiran

yang lebih maju daripada orang-orang yang tidak menjalaninya. Sering dikatakan

bahwa dengan lebih tingginya pendidikan seseorang akan kurangnya keinginan

untuk melaksanaknan perkawinan dengan cara mangalua, karena seseorang itu

dianggap lebih maju memikirkan akibat-akibat negatif dari mangalua tersebut.

B. Sanksi Yang di Terapkan Jika Terjadi Perkawinan Mangalua Pada

Masyarakat Batak Toba

Di dalam sistem Hukum Adat segala tindakan yang bertentangan dengan

peraturan Hukum Adat merupakan tindakan ilegal. Apabila terjadi suatu

pelanggaran hukum, maka petugas hukum (kepala Adat dan sebagainya)

mengambil tindakan konkrit (reaksi adat) guna membetulkan hukum yang

dilanggar itu.91 Terhadap tindakan-tindakan ilegal lain, mungkin pelanggaran

91
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Yogyakarta:Liberty Yogyakarta, 1981, hlm.175.

Universitas Sumatera Utara


82

hukum itu sedemikian rupa sifatnya, sehingga perlu diambil beberapa tindakan

untuk memulihkan hukum yang dilanggar, umpamanya :92

1. Mengganti kerugian kepada keluarga dari pihak perempuan

2. Membayar uang adat atau korban kepada persekutuan hukum yang

bersangkutan.

Adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat

yang lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi

semua anggota masyarakat dengan dilengkapi oleh sanksi,sehingga menjadi

Hukum Adat.93 Menurut konsep masyarakat Batak Toba, Adat merupakan nilai-

nilai yang diwariskan dari nenek moyang kepada keturunannya supaya dijaga dan

dijalankan terlepas dari hukum perundangan yang berlaku yang berfungsi untuk

mengatur kehidupan seseorang sebagai masyarakat adat, sehingga orang Batak

Toba yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat atau na so

maradat (orang yang tidak memiliki adat) akan dikenai sanksi sosial terhadap

orang-orang yang melanggar adat tersebut. Adat Batak Toba adalah norma, aturan

atau ketentuan yang dibuat oleh penguasa/pemimpin dalam suku Batak Toba

untuk mengatur kehidupan atau kegiatan sehari-hari orang Batak Toba di

kampungnya dan di dalam keluarga besar orang Batak Toba.

Dapat dikatakan bahwa semua orang Batak Toba bersaudara, karena

bangsa Batak Toba berasal dari satu nenek moyang yang menurunkan orang

Batak Toba. Pemimpin adat Batak Toba biasanya disebut sebagai Mangaraja

Adat yaitu yang diangkat dan diberi gelar Mangaraja yang disandangnya seumur

hidup. Hal ini dikarenakan orang tersebut mengetahui seluk-beluk aturan norma-
92
Ibid., hlm.176.
93
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan),
Bandung:Alfabeta, 2008, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


83

norma, ketentuan, dan hukum yang berlaku dalam adat Batak Toba. Pemimpin

adat bukan berarti yang mempunyai kuasa dalam adat, akan tetapi fungsinya

adalah memberitahu, mengarahkan cara melaksanakan satu adat tertentu, bentuk,

jenis dan sifatnya dan pihak mana saja yang terlibat dalam lingkaran adat tersebut.

Oleh karena itu seorang Mangaraja Adat harus menjadi panutan dan menjadi guru

adat di dalam masyarakat di daerahnya.

Perkawinan dengan cara mangalua, ternyata telah menimbulkan banyak

permasalahan baik itu bagi pelaku mangalua yang bersangkutan, dipihak

perempuan, dipihak lelaki maupun di tengah-tengah masyarakat batak toba

sendiri. Walaupun nanti akan ada upacara mangadati yaitu suatu proses upacara

adat untuk mensahkan pasangan pelaku mangalua tersebut dalam perkawinan

menurut adat tidak berarti langsung melenyapkan permasalahan ysng pernah ada.

Umumnya keluarga pihak perempuan sangat menyesali tindakan

mangalua ini, karena pihak laki-laki telah mengambil anak perempuan mereka

tanpa ijin. Tindakan pihak laki-laki itu diaggap telah mencorengkan arang di

muka keluarga perempuan. Seharusnya sebagai hula-hula kedudukan mereka

merupakan yang tertinggi dalam struktur dalihan na tolu dan harus dijunjung

tinggi serta struktur dalihan na tolu harus dijunjung tinggi oleh pihak laki-laki.

Pada umumnya pihak laki-lakilah yang memegang peranan penting dalam

pelaksanaan mangalua sebab si perempuan di bawa si lelaki ke rumah orangtua

ataupun keluarga terdekatnya. Akibatnya mangalua ini bagi pihak laki-laki

sebenarnya tidaklah menjadi permasalahan, karena pihak laki-laki ini secara tidak

langsung ikut mengusulkan dan membantu terjadinya perkawinan mangalua ini.

Bila ditinjau dari segi ekonomi sebenarnya menguntungkan bagi pihak laki-laki

Universitas Sumatera Utara


84

sebab mereka tidak dibebani lagi dengan sejumlah sinamot yang diminta oleh

keluarga perempuan.

Sanksi yang di terapkan jika terjadi perkawinan mangalua pada masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Dedai antara lain:94

1. Pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) itu tidak boleh datang

secara bebas ke rumah orangtua si perempuan sebelum dilakukannya acara

manuruk-nuruk sebagai tanda pemintaan maaf karena telah melarikan

anak perempuannya, begitu juga sebaliknya orangtua perempuan juga

tidak boleh datang mengunjungi anaknya yang telah di bawa kawin lari.

Oleh sebab itu hal ini sangat di hindari atau sesegera mungkin si pasangan

yang melakukan kawin lari tersebut melakukan proses adat sebagaimana

mestinya sehingga bila ada acara atau kejadian yang tidak terduga mereka

boleh saling mengunjungi.

2. Pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) tersebut harus

memberikan bayaran yang dituntut dan berupa denda karena telah

melanggar hukum adat Batak Toba tersebut, antara lain:

a. Upa sangke hujur (upah pengawal kampung, agar kemarahan atau

sikap bermusuhan dihentikan terhadap si lelaki yang melarikan

gadis kampung mereka).

b. Upa ungkap harbangan (upah untuk para penjaga pintu gerbang

kampung. Penghormatan diberikan kepada mereka, agar si pria

tersebut diijinkan masuk ke komplek kampung tersebut).

94
Wawancara, St.G.Simanjuntak, Selasa tanggal 27 Februari, pukul 13:00 Wib

Universitas Sumatera Utara


85

c. Upa pangihut-ihut (Upah yang di berikan kepada pangihut-ihut

yang merupakan mata-mata yang mengikuti perkembangan si

perempuan selama ini maupuun selama di kampung si lelaki dan

memberikan laporan terhadap hal itu kepada orangtua si

perempuan, yang menjadi pangihut-ihut ini adalah suami kakak

atau suami adik perempuan si pengantin perempuan dan suami

saudara perempuan dari ayah si pengantin perempuan).

d. Upa raja huta (upah untuk ketua kampung yang

bertanggungjawab atas keamanan atau masalah-masalah lainnya

dari seluruh penduduk huta atau kampung tersebut).

3. Adanya pengucilan bagi pasangan yang kawin lari (mangalua) bila

bertemu dengan kelompok masyarakat adat yang sangat taat kepada adat.

Ataupun pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) tersebut di

asingkan dalam acara adat yang lainnya, bahkan kadang mau

dipermalukan di depan saudara-saudara yang ada dalam suatu acara adat

dengan cara menegur karena belum mangadati atau melakukan adat.

4. Pasangan yang kawin lari (mangalua) itu tidak berhak atau tidak dapat

berpartisipasi mengambil bagian dalam acara adat yang lainnya, misalnya

tidak boleh memberi ulos ataupun menerima ulos dalam acara adat orang

lain karena belum mangadati.

Universitas Sumatera Utara


86

C.Akibat Hukum Yang Timbul Dari Perkawinan Mangalua Pada

Masyarakat Batak Toba di Medan Denai

Adanya suatu perkawinan akan menimbulkan akibat hukum. Secara umum

ada 3 (tiga) akibat hukum dari perkawinan mangalua, yaitu:95 masalah hubungan

suami-isteri, masalah hubungan orangtua dengan anak, dan masalah harta benda.

1. Status dan Kedudukan Suami-Istri Yang Melakukan Mangalua

Pokok masalah setelah terjadinya suatu perkawinan adalah hubungan antara

suami dengan isteri, terutama yang menyangkut soal hak dan kewajiban. Maka

Undang-Undang Perkawinan mengatur hal tersebut dengan merumuskan

hubungan tersebut dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Antara suami dan

isteri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah

tangga maupun dalam pergaulan hidup besama dalam masyarakat. 96

Di dalam KUHPerdata (BW) yang dahulu hanya berlaku bagi Golongan Eropa

dan Timur Asing Cina tentang hak-hak dan kewajiban suami dan isteri diatur

dalam bab V pasal 103-118 KUHPerdata, yaitu kedudukan suami sebagai kepala

dalam persatuan suami isteri (Pasal 105 KUHPerdata). Suami wajib menerima

isterinya dalam rumah kediamannya (Pasal 107 KUHPerdata). Sedangkan

kedudukan isteri harus tunduk pada suami (Pasal 106 KUHPerdata). 97

Apabila KUHPerdata bertitik tolak dari hubungan perdata suami isteri semata,

maka lain halnya dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Didalam

Undang-Undang perkawinan nasional ini dikatakan bahwa suami isteri memikul

95
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.33.
96
Ibid., hlm. 33.
97
Hilman Hadikusuma, Hukum Pekawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.102.

Universitas Sumatera Utara


87

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar

dari susunan masyarakat (Pasal 30 UU No. 1 Tahun 1974). Hak dan kedudukan

isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah

tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak

berhak untuk melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga dan

isteri ialah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 1 sampai 3 UU No.1 Tahun 1974). 98

Apabila kita bandingkan ketentuan menurut KUHPerdata tersebut dengan UU

No. 1 Tahun 1974, maka nampak adanya pengaruh KUHPerdata yang masuk

dalam UU No. 1 Tahun 1974, antara lain misalnya pasal 33 ayat 3 UU No. 1

Tahun 1974 mendekati pasal 105 KUHPerdata. Namun UU No. 1 Tahun 1974

sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga

dan kehidupan bermasyarakat, sedangkan dalam KUHPerdata kedudukan isteri

tidak seimbang dengan suami, misalnya dikatakan dalam KUHPerdata „Setiap

isteri harus tunduk patuh terhadap suaminya (Pasal 106 KUHPerdata), setiap

suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi isterinya‟ (Pasal

105 KUHPerdata).99

Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat bangsa

Indonesia, baik dalam masyarakat kekerabatan bilateral maupun unilateral

(patrilineal dan matrilineal) ataupun yang beralih-alih (altenerend), kewajiban

untuk menegakkan keluarga/rumah tangga (suami isteri) bukan semata-mata

menjadi kewajiban moral orangtua dan kerabat, walupun sifatnya immaterial dan

tidak langsung berupa perhatian dan pengawasan. Apalagi jika yang ditegakkan

98
Ibid., hlm. 102.
99
Ibid., hlm. 103.

Universitas Sumatera Utara


88

itu keluarga/rumah tangga yang masih baru dengan suami isteri yang berumur

muda.

Disamping itu berdirinya keluarga/rumah tangga tidak terlepas dari bentuk

perkawinan yang terjadi, seperti bentuk perkawinan jujur, perkawinan semenda,

perkawinan bebas, perkawinan poligami, perkawinan ganti tikar (levirat),

perkawinan turun ranjang (sororat), perkawinan belarian, dan sebagainya.

Bentuk-bentuk perkawinan tersebut besar pengaruhnya bagi kedudukan suami dan

isteri setelah mengikat perkawinan, yang dapat berakibat hak dan kedudukan

suami dan isteri tidak seimbang . Disamping itu dimana tempat kediaman suami

isteri menetap setelah perkawinan akan mempengaruhi tanggung jawab suami

isteri dalam keluarga/rumah tangga.

Dalam masyarakat Batak Toba khususnya kecamatan Medan Denai Kota

Medan kedudukan suami istri baik yang kawin secara meminang maupun kawin

lari (mangalua) adalah sama dalam keluarga yang mereka bangun. Dahulu

kedudukan di dalam masyarakat adat ada sedikit perbedaan dimana orang yang

kawin lari (mangalua) status dan kedudukannya dalam masyarakat adat masih

menimbulkan pandangan yang kurang baik sebelum di lakukannya proses adat

yang seharusnya. Namun sesuai dengan perkembangan, hal tersebut tidak begitu

di permasalahkan lagi karena bertambahnya pengertian masyarakat Batak Toba

antara satu sama lain.100

2. Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Mangalua

Dalam hal perkawinan yang di karunia dengan memiliki anak sebagai

penerus keturunan, maka kedudukan anak serta bagaimana hubungan antara

100
Wawancara, G.Simanjuntak, Selasa tanggal 28 Februari, pukul 13:00 Wib

Universitas Sumatera Utara


89

orangtua dengan anaknya itu menjadi persoalan, maka Undang-Undang

perkawinan mengaturnya dalam pasal 42 sampai dengan pasal 49. Tentang hak

dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur dalam pasal 45 sampai dengan

pasal 49. Ditentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak

mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan terus

walaupun perkawinan antara orang tua itu putus. Disamping kewajiban itu orang

tua menguasai pula anaknya sampai berumur 18 tahun atau belum pernah kawin.

Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum didalam dan di luar pengadilan.

Kewajiban anak terhadap orang tua pertama sekali adalah untuk

menghormati dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Dan apabila anak telah

dewasa maka berdasarkan kemampuannya, anak tersebut wajib memelihara

orangtuanya.101 Sejauh mana kedudukan anak terhadap kedua orangtuanya,

menyebabkan adanya hak dan kewajiban yang timbal balik antara anak dan orang

tua. Dipengaruhi oleh susuan kekerabatan, sistem pertalian darahnya, perkawinan

dan bentuk perkawinan dari ayah ibunya dan ada tidaknya pertalian adat diantara

si anak dan orangtua.

Dalam susunan kekerabatan yang patrilineal maka ada sistem pertalian

darah yang diutamakan adalah kewangsaan ayah dan pada umumnya berlaku adat

perkawinan dengan pembayaran jujur, dimana setelah perkawinan isteri masuk

dalam kekerabatan suami. Kemudian jika tidak mempunyai keturunan berlaku

adat pengangkatan anak laki-laki.102 Kedudukan anak dalam susunan kekerabatan

patrilineal dimana sistem pertalian kewangsaan lebih dititik beratkan menurut


101
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976,
hlm.35.
102
Hilman Hadikusuma , Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta:Fajar Agung, 1987, hlm.33.

Universitas Sumatera Utara


90

garis keturunan laki-laki, kedudukan anak laki-laki lebih diutamakan dari anak

perempuan. Anak laki-laki adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari

satu bapak asal, sedangkan anak perempuan disiapkan untuk menjadi anak orang

lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Hal oleh karenanya apabila

suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki lebih-lebih tidak punya keturunan

sama sekali dikatakan “putus keturunan” (Batak: punu, Lampung: mupus, Bali:

putung).103

Pada umumnya menurut hukum adat sebagaiman juga diatur dalam pasal

45-46 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, bahwa kedua orang tua wajib

memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu

kawin atau dapat berdiri sendiri. Sebaliknya anak wajib menghormati orang tua

dan mentaati kehendak mereka yang baik, serta wajib memelihara menurut

kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas. Menurut

Undang-Undang tersebut tidak dibedakan kewajiban antara anak laki-laki dan

anak perempuan, namun di dalam kekerabatan patrilineal pada dasarnya beban

kewajiban anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan, walaupun dalam

kenyataannya sering kali terjadi penyimpangan dimana anak perempuan lebih

menunjukkan tanggung jawabnya pada orangtuanya dari pada anak laki-laki.

Perbedaan kedudukan anak laki-laki dalam kekerabatan patrilineal dalam

hubungannya dengan orangtuanya atau kerabatnya adalah dapat dilihat dari latar

belakang pertalian darah, pertalian perkawinan, pertalian adat. 104

Selain dari apa yang diuraikan diatas, kedudukan anak laki-laki terhadap

orangtuanya dalam kekerabatan patrilineal dapat pula dilihat dari latar belakang

103
Ibid., hlm. 34.
104
Ibid., hlm. 34.

Universitas Sumatera Utara


91

sah tidaknya perkawinan orangtuanya serta bentuk perkawinan orangtuanya dan

bentuk perkawinannya sendiri105.

Bentuk perkawinan orangtua maupun perkawinan sendiri mempengaruhi

perkawinan anak. Dalam susunan patrilineal pada umumnya berlaku adat

perkawinan dengan pembayaran jujur (Sinamot, tuhor, boli). Dimana setelah

perkawinan isteri masuk kedalam kekerabatan suami. Dengan pembayaran jujur

itu maka isteri dilepas oleh kerabat orangtuanya dengan pemberian barang-barang

bawaan baik barang tetap maupun barang bergerak (Batak: Saba bangunan,

pauseang, indahan arian, penjajoon, ragi-ragi, hohas).

Dalam masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai Kota Medan

kedudukan seorang anak yang lahir dari orangtua yang melakukan kawin lari

(mangalua) adalah sama di dalam adat dengan anak yang lahir dari perkawinan

yang dilakukan secara ideal atau sah menurut adat. Hanya saja bila anak dari

pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) ini mau melaksanakan

perkawinan juga maka si anak tadi tidak dapat diadati karena status kedua

orangtuanya sendiri yang belum sah dalam adat. Perkawinan mangalua yang

dilakukan sepasang perempuan dan laki-laki berdampak pada keturunannya dalam

hal adat istiadat dimana keturunannya juga tidak dapat melaksanakan adat seperti

orangtuanya, sampai orangtuanya sah secara adat atau mangadati. Hal ini adalah

salah satu alasan pertimbangan bagi orangtua yang belum melakukan acara

perkawinan sesuai adat istiadat yang berlaku.106

105
Ibid., hlm. 37.
106
Wawancara, J.Pakpahan, Minggu tanggal 25 Februari, pukul 19:00 Wib

Universitas Sumatera Utara


92

3. Kedudukan Harta Bersama Suami-Istri Yang Melakukan Mangalua

Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda merupakan

pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan

dalam hidup perkawinan sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup

rumah tangga. Berhubung oleh karena itu Undang-Undang Perkawinan

memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 35

sampai dengan pasal 37. Ditentukan bahwa tentang harta-benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama. Kalau suami-isteri masing-masing

membawa harta kedalam perkawinannya atau dalam perkawinannya itu masing-

masing memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap

masing-masing menguasainya, kecuali kalau ditentukan untuk dijadikan harta

bersama.

Tentang harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya

dengan persetujuan salah satu pihak sedangkan mengenai harta bawaan, suami

atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu.

Selanjutnya ditentukan, apabila perkawinan putus maka tentang harta besama,

dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud

dengan ”hukumnya” itu adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum

lainnya.107

Perkawinan mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga

menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang melakukan

hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga atau somah (gezin

atau household). Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah

107
K.Wantjik Saleh, Op.Cit., hlm. 35.

Universitas Sumatera Utara


93

terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan

guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan

berkeluarga.108

Di dalam KUHPerdata (BW), tentang harta bersama menurut undang-

undang dan pengurusannya diatur dalam Bab VII pasal 119-138 KUHPerdata

yang terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama tentang harta bersama menurut undang-

undang (Pasal 119-123 KUHPerdata), bagian kedua tentang pengurusan harta

bersama (Pasal 124-125 KUHPerdata) dan bagian ketiga tentang pembubaran

harta bersama dan hak untuk melepaskan diri dari padanya (Pasal126-138

KUHPerdata).109

Pengaturan harta benda perkawinan dalam KUHPerdata mempunyai

ketentuan hukum yang berlainan dengan Undang-Undang Perkawinan, dimana

menurut ketentuan 119 KUHPerdata dinyatakan bahwa mulai saat perkawinan

dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan

suami-isteri. Dengan demikian, suatu perkawinan menyebabkan leburnya harta

suami isteri sebagai harta persatuan. Semua harta dari masing-masing suami-

isteri, baik yang mereka bawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka

peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan

bersama dari suami dan isteri. Persatuan bulat kekayaan suami dan isteri tersebut

sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dan dirubah dengan suatu

persekutuan antara suami dan isteri. Harta atau barang-barang tertentu yang

diperoleh suami atau isteri dengan cuma-cuma karena pewarisan secara

108
Sony Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama, 2015,
hlm.23.
109
Hilman Hadikusuma, Hukum Pekawinan Indonesia, Bandung:Mandar Maju, 2007,
hlm.113.

Universitas Sumatera Utara


94

testamentair dan sebagai hadiah, tidak bisa dianggap sebagai harta bersama. Hal

ini diatur dalam pasal 120 KUHPerdata. Yang menyatakan bahwa berkenaan

dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak

dan barang-barang tidak bergerak suami isteri itu, baik yang ada maupun yang

akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh cuma-cuma kecuali dalam hal
110
terahkir ini yang mewariskan menentukan kebalikannya dengan tegas.

KUHPerdata memberikan kekuasaan yang besar kepada suami dalam

pengurusan harta bersama. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 124

KUHPerdata yang menyatakan bahwa hanya suami saja yang boleh mengurus
111
harta bersama itu. Jika dibandingkan dengan uraian tentang harta perkawinan

dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka uraian dalam

KUHPerdata lebih banyak sampai 18 pasal. Di dalam UU No.1 Tahun 1974 hanya

diuraikan dalam 3 pasal saja.

Antara kedua perundangan terdapat perbedaan asasi. Menurut UU No.1

Tahun 1974 bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama, sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai

hadiah atau warisan yang menentukan lain (pasal 35 ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun

1974). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri

mempunya hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya. (Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun 1974).

Kedudukan harta perkawinan apabila terjadi perceraian maka harta

bersama akan diatur menurut hukumnya masing-masing. Dimana hal ini sesuai

110
Sonny Dewi Judiasih, Op.Cit., hlm.20.
111
Ibid., hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


95

dengan pasal 37 UU Perkawinan. Di dalam penjelasan pasal 37 UU Perkawinan

dikatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama

akan diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu berdasarkan hukum adat,

hukum agama dan peraturan hukum lainnya. UU Perkawinan tidak menguraikan

lebih lanjut mengenai wujud dan ruang lingkup dari harta bersama itu. Tetapi

meskipun demikan, telah tertanam suatu kaidah hukum semua harta yang

diperoleh selama masa perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama.112

Dengan demikian UU No.1 Tahun 1974 lebih mendekati hukum adat dan

hukum lain menjauhi hukum perdata eropa yang menjauhi Hukum Indonesia. Hal

mana tidak berarti bahwa hukum perkawinan nasional Indonesia kita itu telah

menerima hukum adat yang menyangkut harta perkawinan. Menang ia mungkin

sesuai bagi keluarga/rumah tangga yang bersifat parental, tetapi tidak sesuai

dengan keluarga/rumah tangga yang bersifat patrilineal maupun matrilineal. Oleh

karenanya di dalam Undang-Undang dipakai kaidah „sepanjang para pihak tidak

menentukan lain‟, atau kaidah „diatur menurut hukumnya masing-masing‟.113

Harta perkwinan menurut hukum adat adalah semua harta yang dikuasai

suami dan isteri selama terikat dalam perkawinan, baik harta kerabat yang

dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, hibah, harta

penghasilan sendiri, harta pencarian hasil suami dan isteri, dan barang-barang

hadiah.114 Hukum adat mengatur harta kekayaan suami dan isteri menjadi 2

kelompok harta yang dapat dirinci sebagai berikut, yaitu: 115

1. Harta asal

112
Ibid., hlm. 24.
113
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 114.
114
Sonny Dewi Judiasih, Op.Cit., hlm. 7.
115
Ibid., hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


96

Harta asal ialah harta yang dibawa ke dalam perkawinan oleh masing -

masing suami dan isteri. Harta ini ada kalanya berasal dari harta warisan

atau hadiah dari orang tua atau kerabat dan nenek moyang masing-masing

pihak. Kemungkinan lain bahwa barang asal itu merupakan hasil dari

usaha sendiri sebelum perkawinan berlangsung. Barang-barang ini di

setiap daerah disebut dengan istilah berbeda-beda. Seperti Pimbit (Dayak

Ngaju), Sisila (Bugis Makassar), Babakan (Bali), Gono atau Gawang

(Jawa).

2. Harta bersama

Harta bersama ialah harta yang diperoleh dalam perkawinan. Hukum adat

menyatakan bahwa tidak semua harta benda yang dimiliki suami dan isteri

merupakan kesatuan harta kekayaan atau gono-gini. Yang termasuk dalam

harta gono-gini hanya harta benda yang diperoleh secara bersama sejak

terjadinya ikatan perkawinan. Harta benda yang diperoleh sebelum

terjadinya perkawinan dan harta warisan yang diperoleh selama masa

perkawinan dimiliki masing-masing suami dan isteri.

Adapun harta masing-masing yang diperoleh sebelum perkawinan atau

harta warisan yang diperoleh selama masa perkawinan tetap merupakan harta

kekayaan masing-masing. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara sistem

hukum yang satu dengan yang lain dimana semua memandang bahwa harta

bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan.

Hukum adat di setiap daerah mempunyai persepsi yang sama mengenai

harta bersama, tetapi dalam konteks budaya lokal terdapat perbedaan dalam

penerapannya. Hal ini dapat dilihat dalam masyarakat yang bercorak patrilineal,

Universitas Sumatera Utara


97

seperti hukum adat Batak di Sumatera Utara, harta bersama tidak terbentuk dalam

perkawinan, dimana hal ini berkaitan dengan sistem perkawinan jujur yang

dianggap dalam masyarakat tersebut.116

Pada masyarakat hukum adat dari golongan patrilineal pada dasarnya

tidak ada pemisahan harta bersama dan harta bawaan (hadiah/warisan). Kesemua

harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama atau harta

persatuan yang dikuasai oleh suami sebagai kepala rumah tangga. Semua

perbuatan hukum yang menyangkut harta perkawinan harus diketahui dan

disetujui suami.

Dalam pembagian warisan, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-

laki karena Batak berdasarkan kekerabatan patrilineal. Sedangkan anak

perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau dengan kata lain

pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta

warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian warisan

tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa

bataknya disebut siapudan mendapatkan warisan yang khusus.

Perkawinan yang di lakukan dengan cara kawin lari (mangalua) dalam

masyarakat Batak Toba kecamatan Medan Denai Kota Medan tidak

mempengaruhi kedudukan harta bersama suami-istri yang melakukan kawin lari

(mangalua) melainkan sesuai dengan hukum yang berlaku biasanya. Hanya saja

pasangan yang melakukan kawin lari (mangalua) tidak dapat menuntut hak atas

harta yang dimiliki oleh orangtuanya, si perempuan tidak berhak untuk meminta

lebih dari orangtuanya dan si laki-laki tidak berhak menuntut atau meminta lebih

116
Ibid., hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara


98

kepada orangtua si perempuan, hal tersebut karena pasangan itu belum melakukan

kewajibannya secara penuh dalam adat.117

117
Wawancara, Ev.Manalu, Rabu tanggal 7 Maret, pukul 16:00 Wib

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Perkawinan mangalua (kawin lari) pada masyarakat Batak Toba di

kecamatan Medan Denai terjadi karena beberapa faktor yaitu :

a. Faktor ekonomi, dimana pihak laki-laki tidak dapat membayar

biaya pestabila dilakukan perkawinan secara ideal serta tidak dapat

memenuhi jumlah sinamot yang diingini oleh keluarga dari pihak

si perempuan.

b. Tidak di setujui, dimana baik salah satu pihak maupun kedua belah

pihak dari keluarga pasangan calon pengantin ini tidak merestui

hubungan anaknya.

c. Faktor suku dan kepercayaan, baik suku, agama bahkan aliran

kepercayaan sekalipun dapat mempengaruhi penyebab terjadinya

kawin lari. Dimana berbeda suku berarti berbeda adat istiadatnya,

berbeda aliran kepercayaan berbeda pula cara-cara yang dilakukan

dalam perkawinan.

d. Faktor hubungan seksual bebas antara laki-laki dan perempuan

yang berarti pasangan calon pengantin tersebut sudah melakukan

hal yang di luar kewajaran atau di sebut juga telah salah langkah

sehingga menyebabkan si perempuan mengandung sebelum

dilaksanakannya perkawinan.

99

Universitas Sumatera Utara


100

e. Faktor pendidikan , merupakan faktor terakhir dimana tinggi dan

rendahnya pendidikan seseorang mempengaruhi pengetahuannya

akan akibat-akibat yang timbul dari perkawinan yang di pilihnya.

2. Sanksi yang diterapkan jika terjadi perkawinan mangalua pada masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Denai antara lain berupa sanksi

pengucilan, tidak dapat ikut berpartisipasi dalam acara adat apapun, dan

juga dapat dikenai sanksi denda.

3. Akibat hukum yang timbul dari perkawinan mangalua (kawin lari) pada

masyarakat Batak Toba di kecamatan Medan Denai dalam hal :

a. Akibat hukum yang timbul akibat kawin lari (mangalua) dalam hal

status/ kedudukan suami-istri yang kawin secara mangalua di

dalam keluarga adalah sama, sama-sama menjadi menantu yang

disebut dengan istilah hela dan parumaen namun bila di tinjau dari

masing-masing pihak keluarga maka dalam pihak keluarga si

perempuan perkawinan tetap diakui, namun kedudukan si lelaki di

bedakan dengan menantu yang lainnya, yang melakukan

perkawinan sesuai dengan adat idealnya dan kedudukan itu akan

sama bila si lelaki melakukan peresmian pernikahannya secara adat

yang resmi pula.

b. Status/kedudukan anak yang lahir dari perkawinan mangalua sama

dengan anak yang lahir dari pasangan yang melakukan perkawinan

secara adat Batak Toba idealnya. Tetapi menimbulkan akibat

hukum dalam adat karena orangtuanya belum melakukan adat

secara penuh atau belum mangadati maka anak yang lahir dari

Universitas Sumatera Utara


101

perkawinan mangalua (kawin lari) juga turut tidak dapat

melakukan adat Batak Toba sampai orangtuanya melakukan adat

atau mangadati.

c. kawin lari (mangalua) tidak mempengaruhi status/ kedudukan

harta bersama suami-istri yang melakukan kawin lari (mangalua).

Hanya saja menimbulkan akibat hukum dimana pasangan yang

melakukan perkawinan dengan cara mangalua tidak dapat

menuntut atau meminta lebih dalam hal harta warisan di dalam

keluarga .

B. Saran

1. Kebiasaan masyarakat adat tetap dapat dilestarikan termasuk dalam hal

perkawinan mangalua namun perkawinan mangalua ini tidak

menjadikan pasangan suami istri itu tidak sah menikah karena menurut

Undang-undang Perkawinan sah atau tidaknya perkawinan di dasarkan

pada pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).

2. Hukum perkawinan adat merupakan bagian dari hukum adat dimana

sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis yang

tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum

masyarakat. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh

berkembang, maka hukum adat memiliki kemampuan yang

menyesuaikan diri dan elastis. Oleh karena kefleksibelannya maka

tetap di perlukannya sanksi namun sanksi yang di terapkan dalam adat

istiadat baik dalam perkawinan mangalua (kawin lari) dalam adat

Batak Toba haruslah di sesuaikan juga dengan perkembangan

Universitas Sumatera Utara


102

masyarakatnya, sehingga masyarakat adat dapat tetap rukun dan saling

menghargai dengan perbedaan yang ada tanpa mengurangi rasa

kewajibannya dalam melaksanakan peraturan adat yang berlaku.

3. Sistem hukum Indonesia merupakan keseluruhan peraturan hukum

yang diciptakan oleh negara dan berlaku bagi seluruh masyarakat

Indonesia tidak terkecuali masyarakat adat Batak Toba. Oleh sebab itu,

sebaiknya seluruh masyarakat Indonesia berpedoman dan tetib pada

peraturan perundang-undangan. Seperti halnya dalam permasalahan

perkawinan yang telah dimuat dalam Undang-Undang Perkawinan

No.1 Tahun 1974 dimana pada pasal 2 ayat (1) dan (2) telah mengatur

sahnya perkawinan bila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dengan berpedoman kepada

Undang-Undang Perkawinan ini maka akan meminimalisir akibat-

akibat hukum yang timbul. Namun bukan berarti menghilangkan

kebiasaan adat hanya saja agar tertatanya kehidupan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


103

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang


Perkawinan No.1 tahun 1974, Jakarta :PT.Dian Rakyat, 1986.

Doangsa, P.L.Situmeang, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan


Batak Toba, Jakarta:Kerabat, 2007.

Hadikusuma Hilman, Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta:Fajar Agung,


1987.

------------------------, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Alumni, 1983.

------------------------, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan


Upacara Adatnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

------------------------, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:Mandar


Maju, 2007.

------------------------, Hukum Waris Adat, Bandung:PT Citra Aditya Bakti,


1999.

------------------------, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,


Bandung:Mandar Maju, 2003.

Hutagalung, WM., Pustaha Batak:Tarombo dohot Turiturian ni Bangso


Batak, Pangururan:Tulus Jaya, 1926.

Judiasih Sony, Dewi, Harta Benda Perkawinan, Bandung:Refika Aditama,


2015.

Kamello,Tan dan Andriati, Syarifa Lisa, Hukum Orang dan Keluarga,


Medan:PT.RajaGrafindo Persada, 2010.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra


Aditya Bakti, 2004.

Universitas Sumatera Utara


104

----------------------------, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya


Bakti, 2000.

Napitupulu, S.P., Rusmini, Nani., Hutabarat, Sinan P., Dharmansyah,


Corry., Dampak Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatera
Utara, Jakarta:Depdikbud, 1986.

Rajamarpodang, DJ.Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak,


Medan: CV.Armanda, 1992.

Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:Ghalia


Indonesia, 1976.

Saragih, Djaren, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Tarsito, 1980.

------------------, Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung:Tarsito, 1980.

------------------, Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun,


Toba, Karo, dan UU Tentang Perkawianan (UU. No 1/1974), Bandung :Tarsito,
1980.

Sembiring, Rosnidar, Hukum Keluarga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2016.

Setiady Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian


Kepustakaan), Bandung:Alfabeta, 2008.

Siahaan, Nalom, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya,


Jakarta:Tulus Jaya, 1982.

Sinaga, Richard, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama,


2012.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Universitas


Indonesia Press, 2014.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011.

Universitas Sumatera Utara


105

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga (Persfektif Hukum


Barat/BW, Hukum Islam dan Hukm Adat), Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2002.

Sudiyat, Iman, Hukum Adat, Yogyakarta:Liberty Yogyakarta, 1981.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum , Jakarta: Rajawali


Pers, 2012.

Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia & Belanda,


Bandung:Mandar Maju, 2002.

Vergouwen, JV, masyarakat dan hukum adat batak toba, Yogyakarta:


LKIS, 2004.

Wulansari, C. Dewi, Hukum Adat Indonesia, Bandung: Refika Aditama,


2009.

2. Hasil Wawancara

Bapak J.Pakpahan, hari minggu tanggal 25 Februari 2018, pukul 19.00


WIB di Jalan Menteng 7 Gang Duma No.25

Bapak St.G.Simanjuntak, hari selasa tanggal 28 Februari 2018, pukul


13.00 WIB di Jalan Menteng 7 Gang Pribadi No.11

Bapak Y. Marpaung, hari sabtu tanggal 3 Maret 2018, pukul 15.00 WIB di
Jalan Menteng 7 Gang Era Baru No.15

Ibu Dewi Nababan, hari sabtu tanggal 3 Maret 2018, pukul 19.00 WIB di
Jalan Menteng Raya No.370

Ibu Vina Silaban, hari senin tanggal 5 Maret 2018, pukul 15.00 WIB di
PanglimaDenai No.28

Bapak Ev. Manalu, hari rabu tanggal 7 Maret 2018, pukul 16.00 WIB di
Jalan Jermal Baru No.21

Universitas Sumatera Utara


106

3. Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan/ Di akses pada hari Sabtu, 10 februari


2018, pukul 20:18 Wib.

https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/08/sistem-kekerabatan-
masyarakat-adat-di indonesia/ Diakses pada hari Rabu, 26 Februari 2018, pukul
22:11 Wib

https://er27.wordpress.com/2008/03/17/mangalua-suatu-bentuk-perkawinan-pada-
masyarakat-batak-toba/ Diakses pada hari Rabu, 26 Februari 2018, pukul 21:00
Wib

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai