Anda di halaman 1dari 78

WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO:

KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN TERHADAP


PEREMPUAN

SKRIPSI

OLEH

MARLINA BR TARIGAN
060701010

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat

ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditentukan.

Medan, Juli 2010

Marlina Br Tarigan

060701010

ii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO :


KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Oleh:
Marlina Br Tarigan

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk


ketidakadilan dan jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh tokoh utama Mira dalam
novel Wajah Sebuah Vagina. Dalam penelitian ini, telah dikumpulkan data dengan
menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik dengan teknik simak dan
catat. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan teori
struktural dan teori feminisme, yaiti feminisme radikal. Dari analisis diperoleh hasil
bahwa cerita dalam novel ini disusun ke dalam bentuk alur campuran (progresif-
regresif), latar dalam cerita ini berupa latar fisik, latar waktu, dan latar sosial. Tokoh
yang dianalisis dalam karya ilmiah ini terdiri dari tokoh utama (protagonis dan
antagonis) dan tokoh tambahan yang digolongkan pada tokoh statis dan tokoh
dinamis. Adapun tema dalam novel ini adalah ketidakadilan gender yang berujung
pada tindak kekerasan. Sedangkan hasil analisis dari bentuk-bentuk ketidakadilan
yang dialami tokoh Mira adalah ketidakadilan dalam bentuk stereotipe, marginalisasi,
kekerasan, dan subordinasi dalam pekerjaan sedangkan jenis-jenis kekerasan yang
dialami Mira adalah kekerasan pada arena domestik yang terdiri dari kekerasan
seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan kekersan dalam bentuk pelacuran
serta kekerasan dalam arena publik yang terdiri dari kekerasan seksual dan kekerasan
fisik.

iii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto :

Ketidakadilan dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat untuk memeperoleh gelar sarjana bidang ilmu Sastra

Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini dibuat

berdasarkan data yang dikumpulkan dari novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning

Pranoto.

Dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mengalami

kesulitan dan hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai

pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis

mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih dan

anugerah-Nya penulis mampu mengerjakan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Drs. D. Syahrial Isa, S.U. sebagai pembimbing I dan Ibu Dra.

Keristiana, M.Hum sebagai pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan

pikiran serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum, dan ibu Dra. Mascahaya, M.Hum

sebagai ketua dan sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra,

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis

yang banyak memberi motivasi dan masukan kepada penulis.

iv

Universitas Sumatera Utara


4. Seluruh dosen di Sastra Indonesia yang telah mencurahkan ilmu dan

motivasinya untuk penulis.

5. Keluarga terkasih, ayahanda M.Tarigan dan ibunda R.Silalahi, terima kasih

untuk semangat, kasih sayang, serta bantuan materi yang diberikan pada

penulis. Terima kasih sudah mengajarkan penulis untuk mengerti arti dari

kehidupan. Terima kasih juga pada kakak terkasih, Quita Tarigan yang tak

henti-hentinya memeberi motivasi dan tak segan-segan memarahi penulis kala

tengah jenuh mengerjakan skripsi ini. Adik terkasih Dami A Tarigan, untuk

semangat yang diberikan kepada penulis. Terima kasih untuk setiap untain

do’a tulus yang tak pernah putus dari mulut manis kalian buat ananda.

Sungguh kalian adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki.

6. Keluarga tulang dan nangtulang Juwita Silalahi di Surabaya. Ternyata jarak

tidak menghalangi kalian untuk selalu mengingatkan penulis semangat

mengerjakan skripsi ini dan terima kasih untuk nasehat serta do’a tulus kalian

bagi penulis.

7. Kakak, abang, serta adik sepupu penulis, kak Juwi Silalahi, kak Lena

Simbolon, bang Bima Simbolon, bang Mion Sembiring, bang Joni Tarigan,

bang Sam Butar-butar, Jojo Silalahi, Ray Simbolon, Jimmy F Sembiring, Ray

Simbolon, Maria Simbolon, Alfi Ginting terima kasih untuk do’a, semangat,

serta kebaikan kalian kepada penulis.

8. Teman-teman pelayanan di KMBI-GKPS yang tidak dapat disebutkan satu

persatu namanya, terima kasih untuk untaian do’a dan semangat yang

diberikan kepada penulis.

Universitas Sumatera Utara


9. Kelompok kecil penulis ”Sola Gratia” kak Roni dan Vero Naibaho, terima

kasih untuk motivasi serta do’anya.

10. Sahabat-sahabat penulis yang sudah begitu baik membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Vani, Vita, Imel, Hanna, Eva, Nova, Ade, Yessa,

Itana, Tumpal, Dewi, Lidia, Vera, Monic, Triana, Merry. Terima kasih sudah

meluangkan waktu untuk bertukar pikiran dan mendengar keluh- kesah

penulis.

11. Teman-teman Sasindo, khususnya stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan

namanya satu persatu, serta stambuk 2005, khususnya kepada bang David,

bang Wira, dan kak Wika. Terima kasih untuk motivasi dan sumbangan

pikiran serta waktu yang diluangkan untuk berdiskusi dengan penulis selama

penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman kost 106 kak Nienie, Yanna, Henni, Lidia, Dewi, Debora, Lensi,

Rohana, dan Adi. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini di 106

berbagi suka dan duka serta saling memberi semangat dan do’a.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Semoga skripsi sederhana ini

bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Juli 2010

Marlina Br Tarigan

060701010

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


PERNYATAAN........................................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv
DAFTAR ISI............................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1


1.1 Latar Belakang dan Masalah..............................................................................1
1.1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...1
1.1.2Masalah…………………………………………………………………..5
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………………..5
1.2.1 Tujuan Penelitian………………………………………………………...5
1.2.2 Manfaat Penelitian……………………………………………………….6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ...............7


2.1 Konsep ..............................................................................................................7
2.2 Landasan Teori .................................................................................................8
2.3 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 12

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 15


3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 15
3.1.1 Bahan Analisis ........................................................................................ 16
3.1.2 Sinopsis Novel Wajah Sebuah Vagina ................................................... 17
3.2 Metode Analisis Data ...................................................................................... 19

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL SERTA KETIDAKADILAN DAN


KEKERASAN PADA TOKOH UTAMA TERHADAP NOVEL WAJAH
SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO .............................................. 20
4.1 Analisis Struktural .......................................................................................... 20
4.1.1 Alur ......................................................................................................... 20
4.1.2 Latar ........................................................................................................ 25

Universitas Sumatera Utara


4.1.3 Penokohan ................................................................................................. 29
4.1.4 Tema ......................................................................................................... 41
4.2 Ketidakadilan dan Kekerasan pada Tokoh Utama dalam Novel Wajah Sebuah
Vagina .............................................................................................................. 45
4.2.1 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama ..................... 45
4.2.2 Jenis-jenis Kekerasan pada Tokoh Utama .............................................. 56
4.2.2.1 Kekerasan Domestik ........................................................................ 56
4.2.2.2 Kekerasan Publik ............................................................................. 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 66


5.1 Simpulan ......................................................................................................... 66
5.2 Saran ............................................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................68

viii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO :


KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Oleh:
Marlina Br Tarigan

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk


ketidakadilan dan jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh tokoh utama Mira dalam
novel Wajah Sebuah Vagina. Dalam penelitian ini, telah dikumpulkan data dengan
menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik dengan teknik simak dan
catat. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan teori
struktural dan teori feminisme, yaiti feminisme radikal. Dari analisis diperoleh hasil
bahwa cerita dalam novel ini disusun ke dalam bentuk alur campuran (progresif-
regresif), latar dalam cerita ini berupa latar fisik, latar waktu, dan latar sosial. Tokoh
yang dianalisis dalam karya ilmiah ini terdiri dari tokoh utama (protagonis dan
antagonis) dan tokoh tambahan yang digolongkan pada tokoh statis dan tokoh
dinamis. Adapun tema dalam novel ini adalah ketidakadilan gender yang berujung
pada tindak kekerasan. Sedangkan hasil analisis dari bentuk-bentuk ketidakadilan
yang dialami tokoh Mira adalah ketidakadilan dalam bentuk stereotipe, marginalisasi,
kekerasan, dan subordinasi dalam pekerjaan sedangkan jenis-jenis kekerasan yang
dialami Mira adalah kekerasan pada arena domestik yang terdiri dari kekerasan
seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan kekersan dalam bentuk pelacuran
serta kekerasan dalam arena publik yang terdiri dari kekerasan seksual dan kekerasan
fisik.

iii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Penciptaan sebuah karya sastra pada umumnya bersumber dari kenyataan-

kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut Jabrohim (2001:167)

mengatakan bahwa:

Karya sastra adalah hasil pikiran pengarang yang menceritakan segala


permasalahan yang ada di masyarakat pada kehidupan sehari-hari. Pengarang
mengungkapkan permasalahan itu karena pengarang berada dalam ruang dan
waktu. Di dalam ruang dan waktu tersebut pengarang senantiasa terlibat
dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata,
ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial,
tempat berbagai pranata di dalamnya berinteraksi.

Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat

berupa struktur sosial masyarakat, fungsi, dan peran masing-masing anggota

masyarakat, maupun interaksi yang terjalin diantara seluruh anggotanya. Secara lebih

sederhana dapat dikatakan bahwa karya sastra menggambarkan unsur-unsur

masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin diantara

keduanya merupakan hal yang menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan

antara dua jenis kelamin yang berbeda yang membentuk tatanan kehidupan

masyarakat, baik secara sosial maupun budaya. Hubungan antara laki-laki dan

perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang

memcerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan

tiap-tiap jenis kelamin. Proses ini dikuatkan oleh banyak kebudayaan bahwa posisi

laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan perempuan. Hal

ini membuktikan bahwa interaksi yang terjalin menuntun adanya satu jenis kelamin

yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan

Universitas Sumatera Utara


pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan

dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup

pergaulan sosial yang lebih luas seperti kelompok masyarakat. Proses pengambilan

keputusan dalam sebuah keluarga dengan demikian juga tidak terlepas dari kontrol

kekuasan laki-laki yang dianggap lebih berwenang. Hal ini terjadi dan seolah-olah

dilegalkan oleh konstruksi kebudayaan.

Proses yang berulang akhirnya banyak membentuk pandangan negatif tentang

kaum perempuan yang diantaranya meliputi fungsi, peran, dan kedudukan mereka

dalam kehidupan bernasyarakat. Salah satunya ialah pandangan bahwa perempuan

merupakan kaum yang lemah sedangkan laki-laki ialah kaum yang kuat. Berdasarkan

hal ini, perempuan memiliki kecenderungan yang kuat untuk bergantung kepada laki-

laki. Sebaliknya laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam

berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, dan sistem pembagian kerja sehingga

yang terjadi kemudian adalah bahwa laki-laki lebih berkuasa atas perempuan. dampak

dari hal ini salah satunya ialah perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan.

Ketika membahas masalah perempuan, satu konsep penting yang tidak boleh

dilupakan ialah konsep gender. Hal ini menjadi masalah yang penting karena stereotip

yang dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan

menguntungkan jenis kelamin tertentu yaitu laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari

berbagai bentuk tatanan sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat yang

menganut budaya patriarki, namun di lain pihak yaitu perempuan stereotip yang

dibentuk tersebut malah sangat merugikan dan menimbulkan berbagai macam

ketidakadilan. Menurut Fakih (2004:12) :

Perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui


pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,

Universitas Sumatera Utara


kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Definisi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dapat bermacam-macam.

Hal yang paling didasarkan atas bentuk perlakuan tidak adil tersebut misalnya

kekerasan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:550) kata kekerasan adalah

“perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya

orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain”. Perbuatan

tersebut merupakan sebuah pola atau bentuk kejahatan tingkah laku yang diarahkan

pada penindasan dan mempertahankan kekuatan terhadap seseorang. Hampir pada

semua kasus, seorang pelaku tindak kekerasan bertujuan untuk mengerahkan tenaga

dan mengontrol atas seorang korban yang biasanya atau sering kali adalah orang yang

kurang mendapat pertolongan atau orang yang lemah, sehingga dapat menyebabkan

kerusakan fisik, mental, bahkan kematian bagi si korban, dalam hal ini adalah

perempuan.

Novel karya Naning Pranoto ini merupakan salah satu novel yang mengangkat

tema mengenai ketimpangan gender yang berakhir pada kekerasan pada objeknya

khususnya perempuan. Cerita ini diangkat dari pengakuan langsung dari seorang

perempuan kepada Naning. Perempuan tersebut mengutarakan niatnya untuk hidup

tanpa vagina karena vagina hanya membuat hidupnya hancur. Berangkat dari

pengakuan perempuan tersebut, Naning pun menuangkan cerita mengenai nasib

perempuan yang kerap mengalami kekerasan maupun penyiksaan yang dilakukan oleh

kaum pria. Seperti yang dialami tokoh utama Mira yang mendapat ketidakadilan yang

berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh teman hidupnya Mulder, sehingga Mira

Universitas Sumatera Utara


kehilangan haknya sebagai manusia yang memiliki martabat dan memiliki nilai

kemanusiaan yang harus dihargai dan dihormati.

Novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah sebuah novel yang

mengangkat tema tentang ketimpangan gender akibat dominasi kaum lelaki. Novel ini

bukanlah sebuah novel picisan yang hanya ingin menjual cerita vulgar untuk menarik

perhatian para konsumen, seperti anggapan banyak orang yang hanya membaca

judulnya sudah mengkategorikan bahwa novel tersebut adalah novel vulgar. Oleh

karena itu, novel karya Naning ini pernah menuai kritikan keras karena dianggap

sebagai novel ‘lendir’ yang hanya mengumbar nafsu syahwat para pembaca atau

dengan kata lain novel Naning ini hanyalah novel vulgar yang tak layak edar. Gugatan

yang dialamatkan pada Naning ini terjadi saat salah seorang mahasiswa yang menjadi

peserta dalam acara bedah buku Naning yang mempertanyakan tujuan Naning

mengarang novelnya tersebut. Masih dalam kasus yang sama menurut laporan dari

Galang Press selaku penerbitnya, sebagian toko buku menolak untuk memasarkannya

sebab novel Naning tersebut dinilai terlalu vulgar untuk khalayak. Namun jika

ditelusuri lebih jauh sebenarnya novel ini jauh dari kesan vulgar. Teks-teks yang ada

dalam novel ini tidak menjual teks-teks yang mengundang libido pembacanya. Naning

menggunakan kata vagina pada judul novelnya hanya sebatas simbolis dari fenomena

tentang kekerasan yang terus-menerus dilakonkan laki-laki terhadap kaum

perempuan. Dalam novelnya tersebut, Naning ingin memberi gambaran bagaimana

tak berdayanya kaum perempuan terhadap kaum pria dimana perempuan selalu

dianggap sebagai kaum yang lemah, miskin, bodoh, tertindas, dan termarginalkan

sehingga para lelaki dengan seenaknya menjadikan perempuan sebagai objek

kekerasan mereka, baik secara fisik, psikologis, maupun seksualitas. Dan perempuan

pun semakin kehilangan hak atas tubuh dan hidupnya.

Universitas Sumatera Utara


Analisis terhadap novel Wajah Sebuah Vagina sangat menarik karena novel

ini membahas ketimpangan gender pada pria dan wanita yang menyebabkan adanya

tindakan kekerasan dari pria yang menganggap bahwa mereka adalah kaum yang

lebih kuat dan berkuasa daripada wanita, seperti yang dialami tokoh Mira. Atas dasar

inilah, novel Wajah Sebuah Vagina menjadi objek penelitian penulis.

1.1.2 Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender apakah yang dialami tokoh utama dalam

novel Wajah Sebuah Vagina?

b. Jenis-jenis kekerasan apakah yang dialami tokoh utama dalam novel Wajah

Sebuah Vagina?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami tokoh

utama dalam novel Wajah Sebuah Vagina,

b. Mendeskripsikan jenis-jenis kekerasan yang dialami tokoh utama dalam novel

Wajah Sebuah Vagina.

Universitas Sumatera Utara


1.2.2 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dikatakan berhasil apabila bermanfaat bagi peneliti, ilmu

pengetahuan, dan, masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi

manfaat.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Menambah pengapresiasian terhadap karya sastra.

b. Memberikan informasi kepada pembaca tentang bentuk-bentuk ketidakadilan

dan kekerasan yang dialami perempuan.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai berikut,

“konsep /konsep/ n 1 rancangan atau buram surat dsb; 2 ide atau pengertian yang

diabstrakkan dari peristiwa konkret: satu istilah dapat mengandung dua—yang

berbeda; 3 gambaran mental dari objek , proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa

yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Defenisi ke-3 adalah yang tepat untuk memberi gambaran wujud dan guna

konsep. Jadi, konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan

arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Dengan kata lain,

konsep digunakan sebagai kerangka atau pijakan untuk menjelaskan,

mengungkapkan, menggambarkan, atau pun memaparkan suatu objek atau topik

pembahasan. Dalam hal ini, konsep yang dimaksud adalah gambaran dari objek

berupa novel berjudul Wajah Sebuah Vagina yang akan dibahas dalam tulisan ilmiah

yang berjudul Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto : Ketidakadilan dan

Kekerasan Terhadap Perempuan.

Dari pengertian di atas maka tulisan ilmiah ini akan melibatkan beberapa konsep

yang akan menjadi dasar pembahasan pada bab selanjutnya, yaitu :

1. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender, antara lain :

a. Stereotipe

b. Marginalisasi

c. Kekerasan

Universitas Sumatera Utara


d. Subordinasi dalam pekerjaan

Dari ketidakadilan gender tersebut, maka muncullah berbagai jenis kekerasan

terhadap perempuan.

2. Berdasarkan situs terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu :

A. Kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau hubungan intim personal

yaitu bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan

keluarga atau hubungan kedekatan yang lain, misalnya penganiayaan yang

dilakukan suami terhadap istri dan penganiayaan terhadap pacar.

Jenis-jenis kekerasan tersebut antara lain :

a. Kekerasan seksual

b. Kekerasan fisik

c. Kekerasan emosional

d. Kekerasan dalam bentuk pelacuran

B. Kekerasan dalam arena publik yaitu bentuk kekerasan yang terjadi di luar

hubungan keluarga atau hubungan personal lain.

Jenis-jenis kekerasan tersebut antara lain :

a. Kekerasan seksual

b. Kekerasan fisik

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini didasarkan pada dua teori sekaligus, yaitu struktural dan feminis.

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk

memahaminya maka sebuah karya sastra tersebut perlu dianalisis dan dalam

menganalisis sebuah karya sastra tidak terlepas dari pendekatan struktural.

Universitas Sumatera Utara


Lebih lanjut Teeuw (dalam Pradopo 2001 : 55) mengatakan bahwa “pendekatan

struktural digunakan karena dalam memenuhi sebuah cerita diperlukan analisis

struktural sebab pendekatan struktural merupakan tugas prioritas dalam penelitian

karya sastra”.

Selanjutnya Teeuw (1984 : 50) mengemukakan ada empat pendekatan

terhadap karya sastra, yaitu :

(1) Pendekatan mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam

(kehidupan); (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu

adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif yang

menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman

sastrawan (penyair); (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra

sebagai suatu yang otonom terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan

pengarang. Maka, yang penting dalam kritik ini adalah karya sastra itu sendiri,

yang dianalisis khusus unsur intrinsiknya.

Sesuai dengan pendapat-pendapat di atas, analisis struktural dijadikan sebagai

tugas pokok dalam pengkajian sebuah karya sastra. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini diterapkan pendekatan objektif (pendekatan struktural) yang menganggap karya

sastra sebagai suatu yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang

bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalin.

Salah satu hasil karya sastra yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang

saling memiliki hubungan dalam membentuk jalinan cerita secara koheren adalah

novel. Dalam menganalisis novel berdasarkan analisis struktural yang dianalisis

adalah segi struktural penceritaannya. Analisis struktural karya sastra, dapat dilakukan

dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan bagaimana keadaan

Universitas Sumatera Utara


peristiwa-peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Dengan

demikian akan dapat diketahui bagaimana fungsi-fungsi setiap unsur-unsur tersebut

dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana hubungan antar unsur

tersebut sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu.

Dari uraian tersebut, maka analisis yang dilakukan pada novel Wajah Sebuah Vagina

adalah analisis terhadap alur, latar, penokohan, dan tema.

Pada dasarnya unsur-unsur intrinsik dalam teori struktural dapat memberikan

gambaran mengenai cerita pada sebuah karya sastra dalam hal ini adalah novel,

namun model analisis yang hanya berdasarkan struktur mengandung kelemahan, yaitu

(1) melepaskan karya sastra dari latar belakang sejarahnya, dan (2) mengasingkan

karya sastra dari relevansi sosial budayanya. Bagaimanapun juga, sebuah karya sastra

tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan latar

belakang kesejarahannya. Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya

dan kesejarahannya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna atau

paling tidak maknanya menjadi amat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit

ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra akan menjadi kurang bermanfaat bagi

kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis

yang lain, yang dalam hal ini adalah feminisme.

Sebelum membahas mengenai masalah feminisme, terlebih dahulu harus

dipahami konsep seks dan konsep gender.

Menurut Fakih (1997 7-9):

Konsep seks atau jenis kelamin merupakan pensyifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu, sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural.
Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, irasional, jantan, perkasa.

Universitas Sumatera Utara


Ciri-ciri atau sifat dari perempuan dan laki-laki tersebut sesungguhnya dapat

dipertukarkan dari waktu ke waktu dan dari temat ke tempat yang lain. Namun

melalui proses yang panjang perbedaan gender ini dianggap masyarakat sebagai

ketentuan Tuhan dan tidak dapat diubah lagi. Padahal gender dan seks berbeda, jika

seks merupakan ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat diubah lagi maka gender

dibentuk dan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran agama

maupun negara. Oleh karena perbedaan gender tersebutlah maka ketidakadilan pada

perempuan pun muncul salah satunya adalah ketidakadilan dalam bentuk kekerasan.

Dari penjelasan tersebut maka feminisme muncul sebagai sebuah upaya

perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki, seperti pemilihan jenis pekerjaan

yang oleh laki-laki dianggap cocok dengan perempuan, mengontrol daya produktif

perempuan, mengontrol atas seksualitas perempuan, mengontrol gerak perempuan

untuk mengendalikan seksualitas, produksi, dan reproduksi para lelaki, mengontrol

harta milik dan sumber daya ekonomi lain dengan sistem pewarisan dari laki-laki ke

laki-laki.

Secara etimologis feminis berasal dari kata ‘femme’ (woman) yang berarti

perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum

perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Feminisme menurut Goefe (dalam

Sugihastuti dan Itsna 2000 : 37) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan

perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang

memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Akibat banyaknya ketimpangan ataupun ketidakadilan yang diarahkan pada

perempuan, maka semakin banyak pulalah aliran dari feminisme yang muncul, antara

lain feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme marxis.

Dalam menganalisis karya sastra Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto ini,

Universitas Sumatera Utara


maka analisis aliran feminisme yang dipandang tepat dikaitkan dengan permasalahan

yang akan dibahas adalah feminisme radikal.

Bhasin (dalan Sugihastuti dan Itsna 2007 : 97) “feminisme radikal

menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau

psikologis antara laki-laki dan perempuan”. Menurut aliran ini, kekuasaan laki-laki

atas kaum perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki

atas kapasitas reproduktif perempuan telah menyebabkan penindasan pada

perempuan. hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik maupun

psikologis kepada laki-laki. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan

terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan

objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Dengan kata lain, bahwa

penindasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki berakar pada jenis

kelmin dari laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian, kaum

laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan kekerasan

terhadap perempuan. Dari hal tersebut, aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik

perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan

terhadap perempuan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Wajah Sebuah Vagina merupakan novel yang memiliki kelebihan dan

cukup kontroversi sehingga novel ini menarik untuk diresensi serta diulas dalam

forum diskusi. Sepanjang penelusuran penulis, novel Wajah Sebuah Vagina belum

pernah diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera

Utara.

Universitas Sumatera Utara


Namun penelitian dengan menggunakan Teori Feminisme, pada objek yang

berbeda pernah dilakukan oleh mahasiswi Departemen Sastra Indonesia, Universitas

Sumatera Utara, dengan judul Novel Memburu Matahari Karya Nadjib Kartapat:

Analisis Feminisme. Skripsi tersebut disusun oleh Tety Warliani yang membahas

tentang emansipasi perempuan dengan menggunakan teori feminis –sosialis atau teori

feminis Marxis. Teori ini meneliti tentang tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang

sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Feminis Marxis ini menganggap bahwa

ketertinggalan yang dialami oleh perempuan disebabkan karena struktur sosial,

politik, dan ekonomi. Aliran ini ingin menganjurkan pada perempuan untuk

mengembangkan potensi atau kemampuan yang dimiliki demi kemajuan dirinya.

Sedangkan di lain tempat novel ini sudah pernah dibahas oleh Esai Arie MP

Tamba dalam forum diskusi di internet. Dalam forum tersebut Esai membahas

mengenai hubungan intertekstual antara kesadaran feminisme Helena Cixous dengan

teks-teks novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto yang secara tendensius

ingin memperjuangkan keadilan atau nilai kesejajaran gender bagi wanita. Perjuangan

ini menurut Esai, sangat unik dipresentasikan oleh Naning dan tidak sebagaimana

lazimnya ditingkat ketimpangan sosial atau ketidaksemena-menaan psikologis

melainkan disoroti melalui tataran biologis filosofis dengan mengedarkan dan juga

membenturkan berbagai pemaknaan atas keberadaan organ wanita, yaitu vagina

(http://www.rayakultura.net).

Novel Wajah Sebuah Vagina juga pernah diteliti oleh Heri Aprilianto

mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang dengan

judul penelitian Tokoh Utama Wanita dalam Pandangan Gender pada Novel Wajah

Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto.

Universitas Sumatera Utara


Heri meneliti novel tersebut dengan menggunakan teori struktural yaitu menganalisis

perwatakan tokoh utama wanita yaitu Mira, dari perwatakan tokoh tersebut Heri

kemudian menganalisis jenis-jenis gender yang ada pada tokoh utama tersebut

(http://digilib.unnes.ac.id).

Sedangkan penulis sendiri meneliti novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning

Pranoto dengan judul Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto : Ketidakadilan

dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Penulis meneliti novel tersebut dengan

menggunakan teori struktural dan teori feminisme radikal yakni teori yang membahas

tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan biologis

atau psikologis serta sistem patriarki yang dibentuk oleh masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan metode. Adapun metode yang digunakan

dalam penelitian ini dalah metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Menurut

Pradopo (2001 : 84) :

Pembacaan heuristik adalah metode pembacaan berdasarkan struktur

kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi tingkat

pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tata bahasa ceritanya yaitu

pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Hasilnya adalah sinopsis

cerita. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang atau retroaktif

sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya. Konvensi

sastra yang dimaksud adalah memeberikan makna dari cerita.

Selanjutnya Pradopo (2001 : 84) juga menjelaskan, “Metode membaca

heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan

tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai akhir dengan cara

berurutan”. Cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal

ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut.

Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara

berurutan.

Selanjutnya dilakukanlah pengumpulan data dengan cara menggunakan teknik

pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka dilakukan dengan menggunakan sumber-

sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat yakni dilakukan

dengan menyimak secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer yang

Universitas Sumatera Utara


merupakan karya sastra berupa novel yaitu Wajah Sebuah Vagina untuk memperoleh

data yang diinginkan, dan terhadap sumber data sekunder yang sasarannya berupa

artikel di internet, seperti http: //www.sastra.indonesia.com/2009/12/melirik buku-

buku berbasis lendir, http://hayam wuruk-online.blog spot. com/2006/06/heboh-

sastra-perempuan.html.

Hasil penyimakan terhadap sumber data primer dan sekunder tersebut

kemudian dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan

penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.

3.1.1 Bahan Analisis

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah:

Judul : Wajah Sebuah Vagina

Pengarang : Naning Pranoto

Penerbit : Galang Press

Tebal Buku : 254

Ukuran : 18 cm x 10,5 cm

Cetakan : Pertama

Tahun : 2004

Warna Sampul : Perpaduan warna hitam, abu-abu, merah

Gambar Sampul : Terdapat gambar setengah wajah seorang wanita yang hanya

memperlihatkan bagian hidung, bibir, dan lidah yang

menjulur.

Desain Sampul : Sri Kuncara

Universitas Sumatera Utara


3.1.2 Sinopsis Wajah Sebuah Vagina

Novel Wajah Sebuah Vagina meliputi kisahan Oktober 1982 s/d Januari 1983,

tersebutlah seorang perempuan bernama Mira dari Desa Mijil, Pulau Jawa, yang

merupakan tokoh utama dalam novel ini. Dalam novel ini diceritakan bahwa ayah dan

ibu Mira telah dibunuh tahun 1965 oleh ‘petugas keamanan negara’ karena ayah Mira

adalah seorang anggota Barisan Tani Indonesia yang merupakan bagian dari Partai

Komunis Indonesia (PKI). Mira kemudian diasuh oleh neneknya. Sebagai seorang

anak keturunan PKI, Mira mendapat bermacam hinaan dalam masa sekolahnya dan

yang paling menyakitkan adalah ketika Mira lulus SD dan baru pertama kali

mendapat haid, dia malah diperkosa oleh lurah desanya yaitu Lurah Prakosa yang

senang hidup berfoya-foya dan merusak gadis-gadis muda.

Setelah memperkosa Mira, Prakosa malah menyuruh Mira untuk

meninggalkan desa mereka karena lurah tersebut takut aibnya akan tersebar dan jika

Mira tidak meninggalkan desa tersebut maka Mira diancam oleh Lurah Prakosa.

Lurah tersebut akan menyebarkan isu bahwa Mira sedang berusaha untuk

mengaktifkan kembali partai komunis di Desa Mijil. Akhirnya Mira memutuskan

untuk mengunjungi tetangganya yang katanya bekerja di restoran di Surabaya. Tapi

bukannya malah menolong, tetangga Mira yang bernama Dinah itu malah menjual

Mira dan menjadikannya sebagai pelacur, ternyata Dinah adalah seorang mucikari.

Mira terbebas dari dunia pelacuran ketika dia menikah dengan Suhar yang

seorang supir taksi namun hidup mereka serba kekurangan, terlebih lagi karena uang

tabungan Mira habis untuk biaya pengobatan dan operasi tumor yang bersarang di

perut nenek Mira. Ekonomi rumah tangga Mira menjadi lebih baik ketika ia ikut

menambah penghasilan dengan berjualan bir kepada seorang penumpang langganan

Universitas Sumatera Utara


Suhar yang bernama Mulder seorang warga asing yang kerap menginap di hotel

tempat Suhar sering mangkal dan mencari penumpang.

Mulder mengaku kepada Mira bahwa dia merupakan orang yang kaya raya

dan memiliki bisnis berlian dan emas. Mira kemudian tergoda , bukan hanya pada

janji-janji manis Mulder yang akan menjadikannya istri dan memberi kekayaan dan

kesenangan tapi Mira awalnya tersanjung atas sikap Mulder yang romantis, baik, dan

selalu menyanjungnya.

Akhirnya Mira pun meninggalkan Suhar dan ikut bersama Mulder ke Afrika.

Melalui pelayaran berbulan-bulan, Mira mulai melihat kejahatan di balik wajah ramah

dan kemesraan Mulder. Dikapal yang mereka tumpangi, Mulder malah menjual Mira

kepada salah seorang temannya dan sesampainya di Durban, Afrika Selatan, Mira

dijadikan palacur dan Mulder mucikarinya. Selama menjadi pelacur, Mira kerap

mendapat perlakuan kasar dari para lelaki hidung belang. Vagina Mira seperti tidak

ada harganya lagi, tak jarang lelaki tersebut menyulut vagina Mira dengan rokok atau

menggunakan benda tajam serta menyiksa tubuh Mira. Kali ini vagina kembali

menghancurkan Mira. Mimpi-mimpi indah tentang kehidupan mewah di bumi Afrika

pun pupus sudah. Mira mulai sakit-sakitan dan sering mendapat penyiksaan dari

Mulder. Puncaknya adalah ketika suatu hari Mira tak sanggup memenuhi permintaan

seorang pelanggan karena dia sedang ‘datang bulan’, Mira malah dipukul dan

perutnya ditendang. Setelah itu Mulder memperkosanya dan Mira pun tak berdaya

dan akhirnya pingsan. Mulder mengira Mira sudah mati dan dengan dalih ingin

membawa Mira berobat ke dokter, Mulder malah mengubur Mira hidup-hidup di

semak-semak wilayah Mpeseo dan aksinya ini dibantu oleh kekasih barunya yang

bernama Wendy.

Universitas Sumatera Utara


Beruntung ada seorang penduduk asli bernama Mbeko melihat penguburan itu.

Mbeko dan keluarganya yaitu Ibu Sofia atau Ibu Sepuh dan juga adik Mbeko yang

bernama Totti dibantu oleh penduduk desanya kemudian menolong Mira. Dalam masa

pemulihan yang dilakukan Ibu Sepuh terhadap Mira, Mira lebih banayak diam dalam

lamunannya terkadang dia menangis dan yang paling parah adalah ketika Julia yang

merupakan istri Ian Camarro seorang pengusaha terkenal di Afrika yang ingin

membela hak-hak Mira datang mengunjunginya, Mira malah pergi berlari dan

bersembunyi di atas pohon karena takut. Tidak sampai disitu saja ketika mereka

membujuk Mira untuk turun Mira malah menangis histeris dan berteriak dia tidak

ingin dikubur lagi hidup-hidup. Ternyata penyiksaan yang dilakukan Mulder padanya

membuat Mira mengalami trauma yang begitu dalam. Selain mengalami trauma,

vagina Mira juga mengalami luka akibat kekerasan yang dia terima selama hidup

bersama Mulder. Puncak dari derita Mira adalah maut, karena tekanan psikis serta

fisik Mira yang semakin hari semakin membuatnya lemah.

3.2 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam mengkaji data. Dalam

analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalh yang

akan dibahas.

Penganalisisan data penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Membaca data yang dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan.

2. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

3. Peneliti kembali menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan

hubungan antardata, sehingga diperoleh pengetahuan secar utuh tentang

makna karya sastra tersebut.

4. Menyimpulkan hasil analisis data.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS STRUKTURAL SERTA KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN

PADA TOKOH UTAMA TERHADAP NOVEL WAJAH SEBUAH VAGINA

KARYA NANING PRANOTO

4.1 Analisis Struktural

4.1.1 Alur

Alur merupakan penuntun bagi pembaca untuk memahami sebuah cerita

dengan baik. Alur yang baik harus memiliki kejelasan dan kesederhanaan.

Nurgiyantoro (1995 :110) menjelaskan bahwa “kejelasan alur dapat berarti

kejelasan cerita dan kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dipahami”.

Aminuddin (1987 : 83) mengatakan “Alur dalam karya fiksi pada umumnya

adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga

menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Abram (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 113) mengemukakan “plot sebuah karya

fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam

pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional

dan efek artistik”.

Pendapat Aminuddin hampir senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Keraf (1991 : 148) :

Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah. Alur
merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah. Alur mengatur
bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, sebagaimana
suatu insiden mempunyai hubungan dengan insiden lain, bagaimana tokoh-
tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu dan
bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalam tindakan-
tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu.

Dari beberapa pengertian di atas, semakin jelas bahwa alur sebuah cerita

sangat penting dalam sebuah karya sastra dalam hal ini prosa, karena alur menjelaskan

Universitas Sumatera Utara


rentetan peristiwa-peristiwa yang saling bertautan dalam cerita sehingga pembaca

dapat memahami cerita yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra tersebut dalam

hal ini adalah novel.

Berdasarkan kriteria urutan waktunya, novel Wajah Sebuah Vagina memiliki

alur campuran (progresif-regresif). Hal tersebut dikarenakan adanya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan secara kronologis (progresif) dan pada tahap selanjutnya

ada penceritaan peristiwa-peristiwa secara sorot-balik/flash-back (regresif).

Pada tahap awal dikisahkan mengenai tokoh utama, Mira yang mengalami

luka disekujur tubuhnya dan tidak sadarkan diri di daerah Zulu, Afrika. Ketika sadar

Mira telah berada di rumah salah satu penduduk desa tersebut yang bernama Mbeko.

Mira dirawat serta diobati oleh Bu Sepuh, nenek Mbeko, yang merupakan tabib di

daerah tersebut. Setelah siuman Mira berkenalan dengan cucu perempuan Bu Sepuh

bernama Totti, adik dari Mbeko. Dari perkenalan tersebut terjadi percakapan antara

Mira dengan Totti, dari percakapan mereka tersebut diceritakan mengenai Mira yang

tidak sadarkan diri akibat penyiksan yang dialaminya yang dilakukan oleh kekasihnya

Mulder yang kemudian diselamatkan oleh seorang pemuda Afrika yang bernama

Mbeko yang kemudian meminta bantuan muda-mudi lain untuk membantunya

menolong nyawa tokoh utama yaitu Mira yang dikubur hidup-hidup di tengah hutan

yang kemudian dirawat dan diobati oleh Bu Sepuh. Hal tersebut terlihat pada kutipan

berikut:

“ Yebo, memang Bang Mbeko yang menolong kakak pertama kali. Yaitu
ketika Bang Mbeko pulang dari gereja, melihat kakak tergeletak di semak-
semak dengan kondisi mengenaskan. Lalu Bang Mbeko memanggil muda-
mudi sini untuk menolong kakak…,”
“Abangmu membawaku ke gubuk di tengah ladang itu…,” sela Mira dengan
pedih.
“Yebo…, untuk dibersihkan dari roh-roh jahat…” tegas Totti.
“Bu Sepuh bilang, Saya pingsan dua hari?” tanya Mira.
“Kakak pingsan selama dua hari, tiga malam…,” Totti meluruskan.
“Makanya, aku disangka sudah mati…, tukas Mira dengan suara parau.

Universitas Sumatera Utara


“Bang Mbeko menunggui kakak selama kakak pingsan.Granny berdoa sambil
mencari songoma yang sakti, agar kakak selamat. Aku dan muda-mudi desa
ini, teman-temanku di gereja, ditugasi Granny mencari ramuan jamu dan
aneka bunga untuk mengobati kakak (WSV : 37).

Selanjutnya dari pembicaraan antara Mira dengan Totti terjadi pembicaraan

mengenai kisah masa remaja Mira di kampung halamannya Desa Mijil, Jawa Tengah

dan sebab mengapa Mira sampai ke Benua Afrika dengan luka-luka disekujur

tubuhnya. Ternyata dari remaja Mira sudah mendapat kekerasan khususnya kekerasan

seksual dari lurah di desanya yang pada akhirnya memaksa Mira menjadi pelacur lalu

bertemu dengan Suhar yang menjadi suaminya yang juga mengenalkannya pada

Mulder yang membawa Mira ke Benua Afrika dan diceritakan juga mengenai

penyiksaan-penyiksaan yang dialami oleh Mira yang dilakukan oleh Mulder yang

merupakan pembawa malapetaka dalam hidupnya. Hal tersebut terlihat pada kutipan

berikut:

“Kakak jadi korban lurah gila itu? Oh…Tixo…! Tixo…!” Totti menjerit,
“Terlalu!”
“Ya, ya, memang terlalu,” tiba-tiba Mira menggegat. Ia merenggut
kegadisanku ketika saya berusia empat belas tahun, pas lulus Sekolah Dasar
(WSV: 47).

“Setelah lurah edan itu merenggut kehormatan saya, saya minggat dari desa,
karena kalau saya tidak pergi diancam akan dibunuh Pak Lurah…”(WSV : 49).

“Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke Surabaya
menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah restoran.
Namanya Mbak Dinah. Ternyata Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia tega
menjual saya…”(WSV : 49).

“Saya menjual vagina sekitar lima tahun, sampai akhirnya saya berhenti
karena dilamar Kang Suhar” (WSV : 50).

“Ternyata menjadi istri Kang Suhar tidak bisa mengantongi uang sebanyak
yang saya dapatkan ketika saya bekerja di Wisma-Sumringah, bordil yang
dikelola Mbak Dinah. Apa lagi pada waktu itu nenek saya memerlukan uang
banyak untuk biaya pengobatan dan operasi tumor yang bersarang di
perutnya…”(WSV : 50).

Universitas Sumatera Utara


“Kang Suhar sangat sabar terhadap saya. Maka, saya lalu dicarikan obyekan,
yaitu menjual bir pada Mister Mulder dan teman-temannya. Tadi sudah saya
ceritakan, ekonomi kami membaik karena obyekan ini. Bahkan, saya juga
merasa menemukan dunia baru yang menyenangkan…”
“Dunia baru? Apa itu?” Totti bertanya penuh semangat (WSV : 50).

“Mister Mulder sering membawa saya oleh-oleh berupa pakaian bagus-bagus,


parfum, sepatu, tas semua bermerk, buatan luar negeri. Bahkan ketika Mister
Mulder pulang dari Afrika, saya diberi oleh-oleh kalung emas dan subang
berlian. Indah sekali. Benda terindah yang pernah saya miliki. Maka, ketika ia
melamar saya, saya langsung mau dan Kang Suhar, saya tinggalkan begitu
saja…”(WSV:51)

“ Mulder ketika belum edan, sangat menghormati saya saat-saat bercinta…”


Apa yang dilakukan Mulder setelah kakak anggap edan?” Totti memandangi
Mira yang tampak marah.
“Mulder menjual vagina saya kepada teman-temannya!” mata Mira berair,
bibirnya gemetar pucat.
“Kapan itu terjadi? Dimana?” kejar Totti, matanya membelalak sangat lebar.
“Pertama-tama terjadi di atas kapal, ketika saya berlayar menuju kemari—ke
Afrika. Kali lain, Mulder menjual saya lagi, beberapa hari sebelum ia
mengubur saya hidup-hidup di wilayah ini. Transaksi yang kali ini
berlangsung di sebuh hotel bintang lima di Durban…” kalimat Mira patah
(WSV : 55-56).

Ternyata Mulder bukan hanya menjual Mira tetapi Mira juga kerap mendapat

kekerasan khususnya kekerasan fisik dan seksual dari Mulder. Hingga puncak dari

penyiksaan Mulder adalah ketika Mira dipaksa melayani laki-laki yang menjadi

langganan Mira dan Mira menolaknya karena sedang haid, lalu Mulder marah dan

menyiksa Mira dan menyetubuhi Mira hingga pingsan. Mulder mengira Mira telah

meninggal lalu mengubur Mira hidup-hidup dibantu kekasih barunya Wendy. Hal

tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Mira, apa malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumban menantimu di Paradise
Motel!
“O, Mulder…Mister Mulder…saya, saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi
saya tidak bisa bekerja melayani Tuan Lulumban!”
Perut Saya mules”. Tegasnya dengan suara gemetar, karena dilanda katakutan.
“Haid!Haid!Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut
Mira.
“You kasih tahu Tuan Lulumban tidak, kalau you sedang merah?”tanya Dicky
sambil memegangi leher Mira yang seolah-olah siap dicekiknya.
Mira menggeleng perlahan-lahan dan Dicky lalu menempelengnya sambil
berteriak, “Stupid! Tolol! Goblok! Bodoh! Dungu! Perempuan kampungan!”

Universitas Sumatera Utara


“Ampun! Ampun, Tuan Mulder! Ampuun…!” Mira meratap-ratap, sambil
menciumi kaki Dicky. Darah segar pun menetes-netes dari bibir Mira yang
baru saja ditempeleng Dicky.
“Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintahkan.
You tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin
bekerja…,”
“Saya, Tuan Mulder. Saya mengerti!” sahut Mira dengan tubuh gemetar dan
darah yang mengalir dari bibirnya makin deras.
Mira yang sedang berdarah-darah itu menjadi sasaran nafsu buasnya. Ketika
Mira menolak, Dicky memaksanya, memerkosanya, membuat Mira tak
berdaya. Ia pingsan. Dicky mengira Mira sudah mati dan mengubur Mira di
semak-semak wilayah Mpeseo (WSV : 161-164).

Pada tahap selanjutnya, diceritakan mengenai kehidupan Mira yang

diceritakan secara kronologis atau berurutan. Pada tahap ini diceritakan mengenai

usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang yang prihatin terhadap nasib Mira yang

masih terus dikejar oleh Mulder dan mereka berusaha untuk memperjuangkan

keadilan yang seharusnya didapat oleh Mira, yang pada akhirnya meninggal akibat

luka pada tubuhnya khususnya vaginanya yang semakin hari semakin parah. Hal

tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Mbeko” seru Bu Sepuh. “Apa pendapatmu mengenai nasib Mira


selanjutnya?”
“Ya, Saya belum bisa menjawab sekarang. Granny bijaksana menemui Tuan
Camarro dan Nicholas untuk ikut memecahkan kasus Mira. Tuan Camarro
bisa kita harapkan memberi bantuan untuk memulangkan Mira ke Java.
Nicholas bisa kita mintai bantuan dari segi hukumnya. Lelaki yang membuang
Mira itu tidak boleh dibiarkan. Ia harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya.” Mbeko berbicara dengan hati-hati (WSV : 115).

Saat menjerit ia merasakan yang nyeri bukan saja perasaannya, tetapi juga
raganya, khususnya di perutnya bagian bawah, yang tak lain adalah alat
reproduksinya luar dalam : rahim dan vaginanya. Nyeri sekali. Dan darah itu
pun mengalir semakin deras. Darah segar. Merah. Merah sekali. Mengerikan
(WSV : 181).

“O…Granny, mengapa Kak Mira tidak mau membuka matanya? tapi


Granny…lihat detak jantungnya cukup bagus!” Totti menunjuk alat pendeteksi
jantung yang mengontrol kondisi tubuh Mira.
“Dia tidur. Biarkan dia tidur Nak. Kalau dia bisa tidur, berarti bebas dari
kesakitan,” sahut Bu Sepuh sambil menyembunyikan kegelisahannya dalam
menghadapi kondisi Mira yang kritis (WSV : 225).

Universitas Sumatera Utara


Mira yang sedang diocehkan Mulder, sedang menyambut hadirnya sang maut
yang mula-mula berupa cahaya berwarna kuning keemasan, kemudian berubah
menjadi cahaya putih bersinar-sinar. Cahaya itu membebaskan Mira dari
semua penderitaan yang menyiksanya (WSV : 249).

Dengan demikian urutan cerita yang diceritakan dalam novel Wajah Sebuah

Vagina menunjukkan bahwa novel ini memiliki alur campuran (progresif-regresif).

4.1.2 Latar

Suatu peristiwa tidak mungkin terjadi bila tidak ada latar. Dengan kata lain,

semua karya fiksi mempunyai latar atau setting.

Latar atau setting merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam

karya fiksi. Latar dapat mewarnai cerita, karena merupakan pijakan yang jelas

mengenai cerita. Latar menggambarkan realitas berupa tempat kejadian sehingga

tempat atau suasana itu seperti benar dan nyata.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216), latar atau setting disebut


juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Unsur latar mengacu pada tempat, waktu, dan sosial. Latar
memberikan pijakan secara konkret dan jelas.
Aminuddin (2000: 67) mengatakan “Setting adalah latar peristiwa dalam karya

fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal.”

Selanjutnya Hudson (dalam Sudjiman 1987: 44) membedakan latar sosial dan

latar fisik/material. “Latar sosial mencakup keadaan masyarakat, kelompok-

kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang

melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam

wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.”

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan latar adalah suatu pijakan pada cerita

secara konkret dan jelas sehingga memberikan kesan realistis kepada pembaca

melalui penggambaran tempat, waktu, dan keadaan suatu kelompok atau masyarakat

Universitas Sumatera Utara


tertentu yang diciptakan pengarang sehingga cerita dapat dipahami secara lebih

mendalam.

Dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto terdapat latar fisik,

yang berupa tempat, latar waktu yang berhubungan dengan kapan terjadinya

peristiwa, dan latar sosial yaitu penggambaran mengenai masyarakat dalam cerita ini.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan.

Hampir keseluruhan dari novel ini berlatarkan Benua Afrika tepatnya di Afrika

Selatan di Desa Mpeseo, Kwa-Zulu Natal, di Durban. Hal tersebut tampak pada awal

cerita hingga akhir cerita dan terlihat pada kutipan cerita berikut ini :

“Afrika? Afrika? Bumi Afrika? Jadi, aku masih berada di Afrika.


Oh…ohhh…Simbok…Bapak…Siiimmboookkk…tolong bawa aku pulang ke
Mijil…”(WSV : 13).

“Saya tidak bisa membandingkannya, karena saya tidak tahu keadaan desa ini,
selain di rumahmu. O iya, Mpeseo ini dimana letaknya?”
“Di Afrika Selatan—wilayah Kwa-Zulu Natal…” (WSV : 39).

Malam itu, bulan purnama juga menghiasi hamparan langit Durban yang biru.
Bahkan pancarannya lebih indah dibandingkan dengan bulan purnama yang
tampil di Mpeseo, yang baru saja dinikmati Mira dan Totti. Sebab bulan
purnama di Durban, bayangannya terpantul indah di permukaan air laut bak
wajah seorang perempuan anggun elok (WSV : 113).

“Dia tidur. Biarkan dia tidur, Nak. Kalau dia bisa tidur, berarti bebas dari
kesakitan, sahut Bu Sepuh, sambil menyembunyikan kegelisahannya dalam
mengahadapi kondisi Mira yang kritis. Bu Sepuh sedang memikirkan,
bagaimana seandainya Mira meninggal di Bumi Afrika? Siapa yang akan
membawa jenazahnya ke Java? (WSV : 225).

Selain di Afrika Selatan, latar tempat pada novel ini juga terjadi di Indonesia

tepatnya di Jakarta, Surabaya, dan Jawa Tengah. Hal tersebut tampak pada kutipan

cerita berikut ini :

“ Tidak. Begitu Mulder melamar saya, saya tidak langsung dinikahi. Kami
hidup bersama. Mulder menyewa rumah mewah Kebayoran-Baru—wilayah
elit di Jakarta Selatan. Saya tinggal di rumah mewah itu…”( WSV : 52).

“Tidak. Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke
Surabaya—menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah

Universitas Sumatera Utara


restoran. Namanya Mbak Dinah. Ternyata, Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia
tega menjaual saya,…” (WSV : 49).

Saya menjual vagina sekitar lima tahun, sampai akhirnya saya berhenti karena
dilamar Kang Suhar”. Mira berbisik, “Ternyata, menjadi istri Kang Suhar
tidak bisa mengantongi uang sebanyak yang saya dapatkan ketika kerja di
Wisma—Sumringah, bordil yang dikelola Mbak Dinah (WSV :50).

“Namanya Desa Mijil—di Jawa Tengah, tanahnya kering berkapur. Tanaman


pangan enggan tumbuh di sana. Kami tidak bisa menanam padi, kecuali
jagung, singkong dan gadung. Itu semua makanan bergizi rendah bukan?
Selain itu, Mijil juga ee…anu…anu…,” tiba-tiba kalimat Mira tersendat…”
“E…saya punya kenangan pahit, sangat pahit di Mijil. Maka, saya
meninggalkan Mijil”. Mira seperti tercekik (WSV : 45).

Selain latar tempat, novel ini juga diperkuat dengan latar waktu. Latar waktu

berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya fiksi. Latar waktu dalam novel Wajah Sebuah Vagina terdapat pada

kutipan berikut “

Latar waktu pertama kali pada Oktober 1982, ketika Mira ditemukan

masyarakat Zulu, Afrika dalam keadaan tubuh yang penuh luka. Latar tersebut dapat

dilihat pada sub judul dari novel tersebut, yaitu :

BAB I Belaian Tixo-Roh Besar, Oktober 1982 (WSV : 9).

Latar waktu tersebut juga diperkuat dengan kutipan berikut:

“Kakak jadi WTS?” Totti mengeja pertanyaanya.


“Ya, karena tidak ada jalan lain yang bisa saya lakukan pada waktu itu, selain
menjadi WTS, tanggap Mira geram (WSV : 49).

Kata WTS pada kutipan cerita tersebut menunjukkan bahwa kejadian pada

novel tersebut bukan terjadi pada masa kini, tetapi terjadi pada tahun 80-an, karena

penggunaan kata WTS pada saat itu digunakan untuk menyebut istilah pelacur

berbeda dengan zaman sekarang yang lebih menghaluskan pemakaian kata untuk

menyebut istilah pelacur dengan istilah tunasusila. Atau dengan kata lain pemakaian

kata sekarang lebih halus dibandingkan dengan pemakaian kata dahulu.

Universitas Sumatera Utara


Latar waktu pada novel tersebut juga terjadi pada Desember 1982. Hal

tersebut terlihat pada sub judul novel tersebut, yaitu :

BAB VIII Tarian Angin, Natal 1982 (WSV : 191).

Latar tersebut diperkuat pada kutipan cerita berikut :

Perayaan Natal masih kurang dua minggu lagi, tetapi suasananya telah
menggema dan menceriakan Durban dan kota-kota lainnya di Afrika Selatan,
sejak awal Desember (WSV : 191).

Latar waktu selanjutnya terjadi pada Januari 1983. Hal tersebut terlihat pada

sub judul novel tersebut, yaitu :

Matahari Kuning, Akhir Januari 1983 (WSV : 224).

Latar waktu yang telah dipaparkan dalam novel ini seolah-olah meyakinkan

pembaca bahwa kisah dalam novel ini benar-benar terjadi pada waktu tersebut. Latar

tempat dan waktu dalam novel tersebut akan diperkuat dengan latar sosial.

Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan

sosial masyarakat di suatu tempat. Latar sosial dalam novel ini ditunjukkan pada

penggunaan beberapa bahasa Zulu, Afrika dimana latar tempat yang paling dominan

dalam novel ini.

Misalnya Tixo yang berarti roh besar, sawubona yang berarti selamat pagi,

granny untuk menyebut nenek, yebo yang artinya iya. Selain bahasa Zulu tersebut,

dalam novel ini juga ada penggunaan bahasa Belanda yang dipakai oleh tokoh Mulder

yang merupakan orang Belanda, seperti pemakaian kata ik yang berarti saya dan you

yang berarti kamu. Selain kedua bahasa tersebut, bahasa Jawa juga dipergunakan

dalam novel ini yang kerap dipakai oleh tokoh Mira yang memang merupakan gadis

keturunan Jawa. Misalnya simbok yang berarti ibu, edan yang berarti gila, matur

nuwun yang berarti terima kasih, Gusti yang berarti Tuhan, telo pendem yang berarti

ubi jalar.

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan jenis-jenis bahasa tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Ya, ada. Tapi namanya berbeda. Kami menyebutnya telo pendem—itu dalam
bahasa Jawa. Dalam bahasa Indonesia disebut ubi jalar atau ubi manis”.
“Yebo…, bahasa Jawa. Maksud kakak bahasa yang dipergunakan di Java
Island, tempat asal kakak seperti kemarin yang kakak ceritakan pada
Granny…”(WSV : 34).

“No, no… no… cukup. Cukup. Jangan paksa ik kalau you mau aman” (WSV :
139).

4.1.3 Penokohan

Karya satra yang baik dalam hal ini adalah fiksi, akan memperhatikan masalah

inter-relasi antara tokoh-tokohnya dan tindak-tanduk mereka. Kebanyakan dari karya

fiksi yang ada selalu berbicara mengenai manusia karena kejadian atau peristiwa

selalu berlangsung pada manusia dan manusialah yang menyebabkan terjadinya

peristiwa. Oleh karena itu, tokoh merupakan unsur intrinsik yang penting dalam

sebuah karya fiksi. Dengan adanya tokoh, pengarang dapat menyampaikan idenya

kepada pembaca.

Istilah “tokoh” sendiri merujuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan

penggunaan istilah “karakter” (character) berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti

perwatakan. Oleh karena itu, menurut Nurgiyantoro ( 1995 : 166) istilah “penokohan”

lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana

penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan

gambaran yang jelas kepada pembaca”.

Pendapat Nurgiyantoro tersebut hampir sama dengan pendapat yang

dikemukakan Aminuddin ( 1987 : 79) “pelaku yang mengemban peristiwa dalam

cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.

Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan

penokohan”.

Universitas Sumatera Utara


Dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penokohan oleh

pengarang dalam karyanya dapat memberi gambaran yang lebih jelas mengenai

karakter yang dimiliki setiap tokoh cerita yang dapat membedakannya dari tokoh-

tokoh yang lain.

Para tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita memiliki peranan yang berbeda-

beda. Aminuddin (1987 : 79-80) memaparkan lebih lanjut bahwa, “Seorang tokoh

yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita disebut dengan tokoh inti atau

tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena

pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh

tambahan atau tokoh pembantu”.

Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan dalam

sebuah karya fiksi dalam hal ini adalah novel, dapat juga ditentukan dengan melihat

intensitas munculnya tokoh tersebut dalam cerita. Selain lewat memahami peranan

dan intensitas munculnya seorang tokoh, dalam menentukan tokoh utama serta tokoh

tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang.

Misalnya tokoh utama merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan

pengarangnya sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan sekedarnya saja.

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di

sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak

tersebut, maka dikenal adanya tokoh protagonis dan tokoh antagonis. “ Tokoh

protagonis adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca

dan tokoh antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki

watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca” (Aminuddin,

1987 : 80).

Aminuddin (1987 : 82) mengatakan bahwa “Selain terdapat tokoh utama,


tokoh tambahan, tokoh protagonis, dan tokoh antagonis, terdapat juga tokoh dinamis

Universitas Sumatera Utara


dan tokoh statis dalam karya fiksi. Tokoh dinamis adalah pelaku yang memiliki
perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya, sedangkan
tokoh statis adalah pelaku yang tidak menunjukkan adanya perubahan atau
perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai cerita berakhir”.

Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa setiap tokoh yang

digambarkan oleh pengarang dalam suatu cerita mempunyai ciri-ciri lahir, sifat, serta

sikap batin sehingga wataknya dapat diketahui pembaca. Pengarang melalui cerita,

dapat memaparkan secara langsung watak tokohnya, yakni mengisahkan sifat-sifat

tokoh, hasrat, ciri-ciri fisik, perasaan, dan pikirannya. Tetapi ada juga sebagaian

pengarang yang lebih suka memaparkan watak tokoh secara implisit, baik dari

pikiran, cakapan, maupun lakuan tokoh. Dengan kata lain, pembacalah yang

menafsirkan watak dari tokoh tersebut.

Dari keterangan-keterangan yang sudah dipaparkan tersebut, dapatlah

dianalisis mengenai penokohan dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning

Pranoto. Namun, dalam pembahasan mengenai penokohan ini, hanya tokoh-tokoh

yang memegang peranan penting saja yang akan dianalisis.

1. Mira

Mira merupakan tokoh protagonis yang memiliki kedudukan sebagai tokoh utama.

Tokoh Mira diceritakan sebagai gadis desa dari Mijil, Jawa Tengah, suatu daerah

yang gersang, tandus, dan miskin. Hal tersebut terdapat pada kutipan cerita berikut :

“Namanya Desa Mijil di Jawa Tengah, tanahnya kering berkapur. Tanaman


pangan enggan tumbuh di sana. Kami tidak bisa menanam padi kecuali
jagung, singkong, dan gadung. Itu semua makanan bergizi rendah bukan?
Selain itu, Mijil juga e…anu…,” tiba-tiba kalimat Mira tersendat (WSV : 45).

Secara fisik, Mira digambarkan sebagai perempuan yang cantik. Hal tersebut

terdapat dalam kutipan berikut :

“Sawubona! Hai, perempuan jelita yang terlentang di balai-balai, siapa


namamu dan dari mana asalmu?” sapa matahari bundar, melalui media berkas-
berkas sinar jiwanya (WSV : 11).

Universitas Sumatera Utara


Mira juga digambarkan sebagai sosok yang suka bekerja keras. Dia ikut

membantu perekonomian keluarganya dengan berjualan bir ke hotel tempat Mulder

yang menjadi langganan suaminya menginap. Hal tersebut terlihat pada kutipan

berikut :

“Teman-teman Mulder juga begitu. Antara lain Mister Pieter, Mister Ben, dan
Mister Coen. Mulder kemana-mana selalu bersama mereka dan semuanya
doyan bir. Kang Suhar melihat ini peluang dagang yang bagus. Saya disuruh
melayani mereka bila dia sedang ke Jakarta, tiap malam mengantar bir untuk
mereka. Ya, saya mondar-mandir keluar-masuk hotel melalui pintu belakang.
Itu saya lakukan dengan mulus karena saya menyogok penjaga hotel” (WSV :
43).

Sifat tokoh Mira ini sendiri adalah mudah tergoda dan dirayu. Hal tersebut

terdapat pada kutipan berikut :

“ Ya, Cuma begini. Jiwa dan raga hancur lebur…, Dik”. Mira menggeleng-
geleng sambil tersenyum pahit. “Saya benar-benar ditipu mentah-mentah sama
Londo edan itu. Padahal, waktu saya baru mengenalnya, Mulder itu orangnya
baik sekali. Baaaiikkkk…makanya saya kepencut ya… terpikat, sampai saya
meninggalkan Kang Suhar, suami saya…,” sambung Mira lirih. “Makanya
saya kualat…jadi sengsara begini (WSV : 42).

Kutipan tersebut menunjukkan Mira merasa menyesal setelah ditipu oleh

Mulder, sampai ia harus meninggalkan Kang Suhar. Mira menyesal mengapa ia dulu

mau dirayu dan percaya akan janji-janji Mulder.

Mira dalam novel ini juga memiliki sifat yang tidak lupa membalas budi serta

menghargai orang lain. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“Mira terharu, matanya berlinang-linang. Ingin rasanya ia mengucapkan


terima kasih kepada perempuan sepuh yang baik hati itu, dengan sembah sujud, tetapi
tubuhnya belum bisa digerakkan (WSV : 23).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira memiliki sifat yang tidak

melupakan balas budi orang lain yang ditunjukkan ketika Mira ditolong serta dirawat

oleh seorang perempuan tua ketika Mira terluka dan pingsan Mira. Mira ingin sekali

Universitas Sumatera Utara


mengucapkan terima kasih serta menyembah perempuan tersebut atas pertolongannya,

namun tubuhnya masih terlalu lemah untuk digerakkan.

Sifat Mira yang menghargai orang lain, telihat pada kutipan berikut :

“O bukan main jauhnya,” Mira menggeleng-geleng, “Sungguh berhati emas


kalian semua. Dengan apa saya bisa membalas kebaikan kalian semua?
Sungguh, saya berhutang budi pada kalian dan hutang itu tidak akan pernah
terbayar sampai dipanggil Gusti Allah,” sambung Mira dengan
membentangkan kedua tanganny yang masih terasa lunglai. “ Apa yang mesti
saya lakukan Dik Totti?” (WSV : 38).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira sangat kagum atas sikap penduduk

kampung Zulu. Penduduk kampung mencarikan obat dari dalam hutan yang jauh,

sehingga membuat hati Mira sangat terharu, ia merasa tidak akan bisa membalas

kebaikan penduduk kampung Zulu, sampai mati sekalipun, hingga Mira bingung apa

yang harus ia perbuat.

Sifat mengahargai orang lain ditunjukkan Mira pada kutipan berikut :

“Nah. Ini masakan saya…!” seru Totti setelah meletakkan masakannya di atas
meja makan yang terbuat dari bonggol pohon yang berdiameter hampir dua
meter.
“O…ulat? Pepes ulat?” Mira terkejut, tetapi ia berusaha menyembunyikan
keterkejutannya itu agar Totti tidak merasa diremehkan
“O, luar biasa,” seru Mira untuk menyenangkan Totti, karena sebetulnya ia
merasa jijik melihat ulat-ulat yang dibakar itu. Tapi, dengan sekuat tenaga ia
berusaha untuk tidak merasa jijik. Apalagi setelah Totti menyendokkannya ke
dalam piring yang diperuntukkan Mira (WSV : 104).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Mira terkejut kaget dan jijik dengan apa

yang disuguhkan Totti, tetapi ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya agar

Totti tidak merasa diremehkan setelah ia bersusah payah memasak untuk Mira.

Tokoh Mira juga memiliki sifat yang takut menyingging perasaan orang lain,

seperti terlihat pada kutipan berikut :

“Ke kota? Kota mana? Menjenguk inkosana Eddy? Siapa dia itu? Boleh saya
tahu?” tanya Mira dengan hati-hati. Ia khawatir pertanyaannya yang beruntun
itu tidak menyenangkan Totti (WSV : 32).

Universitas Sumatera Utara


Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira mempunyai sifat takut untuk

menyinggung perasaan orang lain, saat Mira bertanya kepada Totti dengan hati-hati.

Dia takut jika pertanyaannya membuat Totti tersinggung dan tidak senang.

2. Dicky Mulder

Mulder merupakan tokoh antagonis dengan kedudukan sebagai tokoh utama.

Mulder adalah seorang laki-laki keturunan Belanda yang berdomisili di Afrika karena

bisnisnya, yaitu bisnis emas dan berlian berpusat di benua tersebut. Mulder

merupakan sosok laki-laki bertubuh jangkung dan tambun. Hal tersebut terdapat

dalam kutipan berikut :

Dari benaknya itu kemudian muncul sosok Mulder begitu utuh. Ya, lelaki itu
bertubuh jangkung, tingginya sekitar 180 cm, berlemak, perutnya buncit
karena kegemarannya minum bir. Sedangkan dada, kaki, dan tangannya
berbulu lebat. Kulitnya merah jambu bercak-bercak hitam, rambutnya ikal
tipis, giginya kecoklatan karena tergarang asap cerutu, bola matanya kecil
tajam, warnanya abu-abu.
Ya, ya…Mulder memang lelaki yang bertubuh tinggi, besar, bak
raksasa…(WSV : 91-92).

Watak Mulder digambarkan pengarang memiliki sifat yang kasar serta tidak

berperikemanusiaan, pintar merayu dan menipu.

Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“Mira, apa malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumban menantimu di Paradise
Motel!” tanya Dicky dengan nada menghardik.
“O, Mulder… Mister Mulder… saya, saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi,
saya tidak bisa bekerja melayani Tuan Lulumban!
“Haid! Haid! Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut
Mira, hingga perempuan itu jatuh terpelanting dari tempat tidur kayu yang
sempit itu.
Tentu saja sakit. Tetapi Mira tidak berani menangis. Sebab, kalau ia berani
menangis, Dicky akan menendangnya lebih keras lagi, bahkan ditambah
pukulan bertubi-tubi.
“You sekarang memang kurang ajar. Ngelunjak. Tidak tahu diuntung. Dari
kere sudah ik jadikan nyonya gedongan. Tapi, you membalas apa pada ik?”
Dicky melotot, lalu meludahi wajah Mira yang pucat (WSV : 161-162).

Universitas Sumatera Utara


Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Mulder memiliki sifat yang kasar dan

tidak berperikemanusiaan dimana Mulder telah menyiksa Mira dengan tindak

kekerasan seperti menendang, memukul, dan meludahi Mira.

Disamping sifatnya yang kasar ternyata Mulder memiliki keahlian menyenangkan

serta memanjakan perempuan. Seperti yang dialami Mira pada kutipan berikut :

“ Mister Mulder sering memberi saya oleh-oleh berupa pakaian bagus-bagus,


parfum, sepatu, tas—semua bermerk, buatan luar negeri. Bahkan, ketika
Mister Mulder pulang dari Afrika, saya diberi oleh-oleh kalung emas dan
subang berlian. Indah sekali. Benda terindah yang pernah saya miliki…” (WSV
: 51).

“Ya, pada mulanya ia sangat romantis. Saya sering diberi bunga mawar merah
dan kado-kado yang membuat saya bahagia…(WSV : 55).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa awal berkenalan dengan Mira, Mulder

menunjukkan sikap romantisnya agar dapat menaklukkan hati Mira, namun ternyata

Mulder memiliki niat yang tidak baik, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

Mulder ketika belum edan, sangat menghormati saya saat-saat bercinta…!”


“Apa yang dilakukan Mulder setelah kakak anggap edan?” Totti memandangi
Mira yang tampak marah.
“Mulder menjual vagina saya kepada tema-temannya!” mata Mira berair,
bibirnya gemetar pucat (WSV : 55).

3. Bu Sepuh

Bu Sepuh atau Mama Sofia merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan

sebagai tokoh utama. Bu Sepuh digambarkan sebagai seorang inyanga-dokter

tradisional Zulu yang ternama. Ia merupakan keturunan Inyanga kepercayaan Raja

Shaka. Bu Sepuh digambarkan sebagai perempuan yang memiliki sifat yang penuh

kasih dan tulus yang ditunjukkan dengan kepeduliannya dengan orang-orang

disekelilingnya, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Semoga lekas sembuh, Nak!” kata Bu Sepuh dengan kelembutan yang tulus,
menggunakan bahasa Zulu. Mira memahami kalimat itu dengan jiwanya,
diekspresikan melalui sorot matanya yang mulai membinar. Bu Sepuh
mengusap mata itu dengan air mawar yang diambilnya dari kendi sambil
berbisik, “Nak, sebentar lagi kekuatanmu akan kembali”. Bu Sepuh

Universitas Sumatera Utara


memandangi Mira dengan sorot matanya yang teduh. Mira terharu, matanya
berlinang-linang. Ingin rasanya ia mengucapkan terima kasih kepada
perempuan sepuh yang baik hati itu, dengan sembah sujud, tetapi tubuhnya
belum bisa digerakkan (WSV : 23).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Bu Sepuh walaupun baru mengenal Mira

tetapi dia mau merawat Mira dari luka-luka akibat kekerasan yang dialami Mira,

bukan hanya sekedar mrawat luka Mira, Bu Sepuh juga ikut terlibat jauh dalam

mencari keadilan untuk Mira. Hal ini menunjukkan Bu Sepuh juga memiliki

kepedulian sosial yang tinggi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut :

“Mbeko” seru Bu Sepuh. “Apa pendapatmu mengenai nasib Mira


selanjutnya?”
“Ya, Saya belum bisa menjawab sekarang. Granny bijaksana menemui Tuan
Camarro dan Nicholas untuk ikut memecahkan kasus Mira. Tuan Camarro
bisa kita harapkan memberi bantuan untuk memulangkan Mira ke Java.
Nicholas bisa kita mintai bantuan dari segi hukumnya. Lelaki yang membuang
Mira itu tidak boeh dibiarkan. Ia harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya.” Mbeko berbicara dengan hati-hati.
“ Benar katamu, Mbeko. Lelaki itu harus mempertanggung-jawabkan
perbutannya. Kalau dibiarkan, dia akan terus bertindak brutal begitu,
membuang-buang perempuan seenaknya setelah menikmati vagina perempuan
yang dibuangnya. Hem…terlalu! Dasar binatang…!” Gigi Bu Sepuh
menggegat (WSV : 115).

4. Mbeko

Mbeko merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagi tokoh tambahan,

karena kemunculannya pun hanya sedikit. Tokoh Mbeko ini juga digolongkan pada

tokoh statis, karena tokoh Mbeko tidak menunjukkan adanya perubahan atau

perkembangan sejak muncul sampai cerita berakhir. Mbeko merupakan cucu laki-laki

dari Bu Sepuh. Pengarang menggambarkan sosok Mbeko, sebagai berikut :

… wajah Mbeko mirip Totti : kulitnya tembaga terang, alisnya tebal—setebal


rambutnya yang hitam berombak, matanya jernih tajam—tetapi membiaskan
kelembutan. Ia gagah karena bertubuh tinggi, atletis, dan dadanya bidang.
Mbeko seorang lelaki tampan dan berwibawa…(WSV : 36-37).

Sifat Mbeko ternyata tidak jauh dari neneknya Bu Sepuh, Mbeko merupakan laki-

laki yang memiliki sifat perhatian hal ini ditunjukkannya ketika menolong Mira yang

Universitas Sumatera Utara


pingsan dengan luka ditubuhnya dan membawanya ke rumahnya. Hal tersebut terlihat

pada kutipan berikut :

“ Yebo, memang Bang Mbeko yang menolong kakak pertama kali. Yaitu,
ketika Bang Mbeko pulang dari gereja, melihat kakak tergeletak di semak-
semak dengan kondisi yang mengenaskan. Lalu, Bang Mbeko memanggil
muda-mudi sini untuk menolong kakak…,” (WSV : 37).

Selain itu, Mbeko merupakan pemuda yang giat bekerja serta jujur. Dia

bekerja di perusahaan minuman sari buah milik Ian Camarro. Hal tersebut terdapat

pada kutipan berikut :

Untunglah Ian Camarro mendapat orang-orang yang tepat untuk mengelola


usahanya. Salah satunya adalah cucu Bu Sepuh, Mbeko. Meskipun, Mbeko
bukanlah pemuda yang brilian, tetapi ia pekerja keras dan jujur. Bagi Ian
Camarro, kondisi Mbeko seperti itu lebih dari cukup. Buktinya, kehadiran
Mbeko di perusahaannya dapat menjadi salah satu roda penggeraknya (WSV :
194).

5. Totti

Totti merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh tambahan.

Totti merupakan adik Mbeko. Totti digambarkan sebagai gadis remaja yang masih

memiliki rasa ingin tahu yang besar, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“…Mulder suka ngasih B.H dan celana dalam warna merah jambu, berenda-
renda. Celananya, bagian bawahnya, pas vagina…ada jendelanya… ya ada
lubangnya, jadi… Mulder dapat dengan mudah menyentuh-nyrntuh vagina
maupun clitoris saya… kapan saja ia mau.
“ Woww… hem… hiii… God!” seru Totti melotot, lalu pipinya memerah dan
darahnya mendesir disertai getaran pada syaraf-syaraf vaginanya.
“Maaf, apa cerita saya tidak usah saya lanjutkan?” tanya Mira serius, karena
melihat reaksi Totti yang tampaknya shock mendengar apa yang ia ceritakan.”
Truskan saja. Lanjut! Aku perlu mendengar pengalaman kakak,” tegas Totti
(WSV : 54).

Selain ingin tahu, Totti juga masih bersifat kekanak-kanakan yang cenderung

pada sifat manja. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“ O… Granny, aku cha… cha… tidak mau kelihatan kampungan di depan


Nyonya Julia dan Inkosana Edy Nicholas…,” rengek Totti, “Ayolah bantu aku
memilih baju-baju ini,” kaki Totti menghentak-hentak…” (WSV : 169).

Universitas Sumatera Utara


Sifat yang dimiliki Totti juga tidak jauh dari sifat yang dimiliki kakak serta

neneknya. Adapun sifat yang dimiliki Totti adalah perhatian hal ini ditunjukkannya

dengan keramahannya kepada Mira, perempuan yang baru saja ditolong oleh nenek

dan kakaknya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“Kak Mira! Kak Mira!” seru gadis manis itu sambil menyentuh lagi bahu
Mira.
“O, Totti. Good morning! How are you, toh Dik? Good ya?” tanggap Mira,
berbahasa Inggris pasar dengan aksen Jawa kental.
“Kakak makin sehat bukan?” tanya Totti kemudian.
“Ya, terima kasih, Dik Totti. Itu atas kebaikan nenekmu dan kamu,”…(WSV :
30-31).

Selain perhatian, Totti juga suka menghibur. Hal ini terlihat pada kutipan

berikut:

Totti tersenyum, “O iya. Aku yakin itu,”—ia lalu memeluk Mira sambil
berbisik, “Makanya, kakak tidak usah mengingat-ingat lagi hal-hal yang
membuat kaka sedih, karena Bapa telah menyelamatkan kakak. Okey?
Sekarang kita ngobrol soal lain saja ( WSV : 38-39).

6. Julia

Julia merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh tambahan.

Julia adalah istri dari Ian Camarro, Julia digambarkan sebagai sosok perempuan yang

jelita dan anggun. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut :

“ Contoh itu Nyonya Julia yang tampil alami, toh tampak jelita dan anggun, “
Bu Sepuh menyebut keanggunan Julia, istri Ian Camarro ( WSV : 171).

Selain memiliki fisik yang cantik, Julia juga memiliki hati yang mulia hal

tersebut terlihat dari kepedulian sosialnya yang tinggi terhadap orang lain khususnya

buat Mira. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“ Kalau boleh, aku mau kok ikut menangani kasus ini. Perempuan Java itu
dipulangkan ke Java setelah lelaki yang menyiksa ditangkap dan dihukum
gantung!” (WSV : 131).

Universitas Sumatera Utara


7. Ian Camarro

Ian Camarro merupakan tokoh antagonis dengan kedudukan sebagai tokoh

tambahan. Tokoh Ian Camarro juga digolongkan pada tokoh dinamis, karena Ian

Camarro pada dasarnya merupakan tokoh yang memiliki sifat yang baik yang

ditunjukkan melalui kepeduliannya terhadap orang-orang yang susah, namun tokoh

ini kemudian mengalami perubahan watak karena kehadiran Mira, gadis Jawa dari

Indonesia yang menyita perhatian istri dan anaknya. Hal ini membuat Ian Camarro

menjadi sosok yang kasar, emosional, dan kehilangan kepedulian sosial.

Ian Camarro adalah suami dari Julia. Ian merupakan sosok suami dan ayah

yang sangat memperhatikan keluarganya dan pekerja keras. Hal ini terlihat ketika Ian

melarang istrinya Julia dan anaknya Nichko yang ingin terlibat jauh pada kasus yang

dihadapi Mira. Sebenarnya larangan tersebut merupakan bentuk dari perhatian Ian

karena dia takut istri dan anaknya ikut terlibat dalam masalah hukum. Hal tersebut

terlihat pada kutipan berikut :

“Hem, aku kan sudah berkali-kali bilang, keluarkan segera perempuan yang
bernama Mira dari rumah kita,” Ian Camarro tegas, suaranya menggelegar.
“Dengar? Paham?”
Julia terisak-isak. Ian Camarro menyambung kalimatnya dengan kasar, “ You
tidak usah menangis begitu. You tidak usah bercengeng-cengeng, serahkan
saja urusan Mira itu kepada Mama Sofia. Dan, bilang sama Nicho, dia tidak
usah lagi mengurusi kasus Mira. Kalau dia keras kepala, terus mau mengurusi
Mira, aku tidak akan mendanai lagi lembaganya. Biar dia mencari dana dari
pihak-pihak lain” (WSV : 217).

Dari kutipan tersebut juga telihat bahwa Ian yang tadinya sosok ayah dan

suami yang baik berubah menjadi ayah dan suami yang kasar sejak Mira hadir

ditengah-tengah kehidupan keluarganya. Ian Camarro sebenarnya memiliki jiwa sosial

seperti istri dan anaknya, namun dia enggan mengurus kasus Mira terlalu jauh karena

kasus Mira tersebut melibatkan dua negara yang berbeda dan Ian tidak memahami

hukum di negara Mira, yaitu Indonesia. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

Universitas Sumatera Utara


“Tumben, kau bersikap begitu. Ada apa?” Julia tampak tidak suka.
“Tidak apa-apa,” sahut Ian Camarro datar.
“Memangnya kenapa?”
“Biasanya kau care terhadap mereka yang tertindas dan Nicho kau dukung
membela mereka yang tertindas, “ papar Julia.
“Ya, tapi untuk orang kita, orang Zulu yang aku tahu hukum adatnya, hukum
sipilnya, dan lain-lainnya. Sedangkan kasus perempuan Java ini, aku buta
sama sekali. Terus terang, aku tidak mau keluargaku repot mengurusi kasus
ini…,” (WSV : 133).

8. Nicho

Nicho merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh

tambahan. Nicho juga digolongkan pada tokoh statis. Nicho adalah anak tunggal dari

pasangan Ian Camarro dan Julia. Nicho berprofesi sebagai pengacara dari profesinya

ini dia mengabdikan diri untuk membela kaum yang tertindas. Hal tersebut terdapat

pada kutipan berikut :

… anak tunggalnya, Eddy Nicholas Camarro tidak tertarik bisnis ayahnya ini,
ia lebih tertarik sebagai lawyer, membela kaum lemah (WSV : 193).

Ketertarikannya membela kaum lemah tersebut terlihat ketika Nicho terlibat

dalam kasus Mira, walaupun mendapat tentangan dari ayahnya, Nicho tetap membela

Mira.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“… Tapi, tadi pagi aku mendengar, yang diurus Nicho itu justru lain. Ia
mencari lelaki yang menganiaya Mira itu. Padahal aku sudah bilang, itu tidak
penting. Bikin repot. Bikin susah…” (WSV : 200).

“ Ya, Mulder sudah mencium usaha kami untuk membekuknya. Jadi, dia ber-
action begitu. Dia cukup kreatif untuk menyelamatkan dirinya, karena
memang bandit”.
“Papa, kami telah menemukan klik Mulder. Ternyata, dia tidak hanya
melakukan kejahatan terhadap Mira, tetapi juga serangkaian penipuan dengan
modus operandi memalsukan emas batangan, permata, pembobolan bank, dan
penjualan perempuan…” (WSV : 212).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Nicho berusaha mencari sosok Mulder

dan mencari tahu kegiatannya sehingga memudahkan Nicho untuk melaporkan

Mulder kepada polisi.

Universitas Sumatera Utara


4.1.4 TEMA

Mempertanyakan makna sebuah karya sastra berarti memepertanyakan tema.

Setiap karya fiksi tentulah mengandung atau menawarkan tema.

Tema merupakan gagasan dasar atau ide pokok yang mendasari seorang pengarang

dalam menciptakan karyanya. Suatu kreasi atau suatu karya sastra tidak akan tercipta

tapa adanya gagasan yang mendahuluinya. Pengarang memiliki ide dan mengangkat

permasalahan kehidupan menjadi tema yang diungkapkan kembali dengan daya

imajinasi yang tinggi ke dalam bentuk cerita rekaan ataua fiksi.

Seperti yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro (1995 : 25) ‘tema adalah sesuatu

yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai penglaman kehidupan,

seperti masalah cinta, kasih, rindu takut, maut, religius, dan sebagainya’.

Jadi, melalui tema tersebut dapat diketahui apa yang menjadi gagasan dasar yang

ingin disampaikan seorang pengarang kepada pembacanya yang terdapat dalam

sebuah karya fiksi sesuai pengalaman dan pengamatan dengan lingkungan.

Pada dasarnya untuk mengetahui tema dari sebuah karya fiksi tidaklah mudah.

Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan unsur-unsur pembangun cerita

(unsur-unsur intrinsik) yang lain karena tema terkadang juga didukung oleh pelukisan

latar, dapat tersirat dalam kelakuan tokoh atau penokohan atau bahkan tema dapat

pula menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu latar dan adakalanya

tema mampu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya

fiksi.

Hal ini senada dengan pendapat Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 70)

‘Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar

Universitas Sumatera Utara


unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat

bersinonim dengan ide utama’.

Dari keterangan tersebut, penulis dapat menemukan tema yang terdapat dalam novel

Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto.

Adapun tema dari novel tersebut adalah ketidakadilan gender yang berujung

pada tindak kekerasan. Seperti yang dialami tokoh utama Mira yang kerap mengalami

tindak kekerasan dari orang-orang disekitarnya khususnya dari kekasihnya Mulder.

Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa ketidakadilan gender yang

telah membudaya pada masyarakat dan telah merugikan salah satu pihak yaitu

perempuan. Konsep gender yang telah melekat pada masyarakat dimana konsep

gender dan konsep seks diartikan sama oleh patriarki yang ada pada masyarakat..

Konsep gender merupakan sifat khas yang dimiliki perempuan, seperti emosional,

lemah, irasional serta sifat khas yang dimiliki laki-laki yaitu kuat, maskulin. Pada

dasarnya sifat ini dapat dipertukarkan namun masyarakat menganggap bahwa ini

merupakan ketentuan dari Tuhan sama seperti konsep seks yaitu pembagian jenis

kelamin secara biologis pada jenis kelamin tertentu dan merupakan ketentuan Tuhan.

Akibat pengertian konsep gender yang salah ini laki-laki semakin merasa memiliki

hak atas perempuan.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Nyonya, turuti saja kemauan suami Nyonya. Dalam hidup ini, kita memang
tidak bisa memperoleh segala yang kita inginkan. Lagi pula ada satu hal yang
perlu kita ingat, lelaki masih tetap mendominasi dunia ini. Karena, begitu
banyak hal-hal yang menguatkan status mereka sebagai pelaku utama, hem
misalnya… hukum adat, hukum agama, etika, undang-undang perkawinan,
dan dikokohkan lagi dengan mitos-mitos mengenai keperkasaan kaum lelaki.
Bahkan, bentuk kelaminnya yang tegak seperti tombak pada saat ereksi.
Sedangkan kelamin kita? Hanya berupa lobang, lobang yang pasif… untuk
menerima apa yang masuk ke dalamnya” (WSV : 218) .
Ketidakadilan gender akhirnya berujung pada tindak kekerasan yang dialami

tokoh Mira.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini terlihat dari kutipan cerita berikut :

Tubuhnya yang berkulit sawo matang terang tampak bilir-bilur lebam :


pahanya, pinggulnya, pinggangnya, dan perutnya. Bahkan payudara dan
lehernya penuh gigitan biru-biru hitam.
“Oh, Nak…berapa laki-laki yang merusak vaginamu?”bisik Bu Sepuh dengan
suara parau gemetar, sambil memeluk tubuh Mira yang menggigil (WSV : 25).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Mira mengalami kekerasan fisik dan

seksual. Kekerasan–kekerasan yang dialami Mira pada dasarnya disebabkan karena

katakberdayaan Mira melawan kekuatan yang dimiliki laki-laki, khususnya

kekasihnya Mulder untuk melepaskan Mira dari kekekerasan yang dialaminya.

Ketakberdayaan Mira tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintahkan. You
tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…”
tegas Dicky dengan gigi menggegat- nggegat.
“Saya, Tuan Mulder. Saya mengerti!” sahut Mira dengan tubuh gemetar dan
darah yang mengalir dari bibirnya makin deras (WSV : 163).

Kutipan tersebut memperlihatkan ketidakberdayaan Mira terhadap perintah

Mulder, Mira hanya mampu mengiyakan setiap permintaan ataupun perintah dari

Mulder. Selain itu ketidakberdayaan Mira yang berujung pada tindak kekerasan

seksual yang dilakukan Mulder padanya, seperti terdapat pada kutipan berikut :

Mira yang sedang berdarah-darah itu menjadi sasaran nafsu buasnya. Ketika
Mira menolak, Dicky memaksanya, memperkosanya, membuat Mira tidak
berdaya (WSV : 164).

Dari uraian mengenai unsur-unsur intrinsik tersebut, dapat dilihat bahwa

unsur-unsur alur, latar, penokohan , dan tema memiliki keterkaitan yang saling terjalin

sehingga mampu membentuk suatu rangkaian cerita yang padu. Seperti yang terlihat

pada latar, dimana pada latar diceritakan mengenai tempat asal Mira yaitu Desa Mijil

di Jawa Tengah, dari latar tempat tersebut dapat kita lihat bahwa Mira merupakan

gadis yang berasal dari desa yang kumuh dan miskin dengan tingkat pendidikannya

yang masih sangat kurang, namun penduduknya masih sangat menjunjung tinggi adat-

Universitas Sumatera Utara


istiadat, seperti memposisikan laki-laki di atas perempuan. Oleh karena itu, maka

karakter Mira pun terbentuk menjadi gadis yang lugu, penurut, dan terkesan bodoh

sehingga dengan mudah terperdaya oleh bujukan oleh orang lain, khususnya laki-laki

sehingga Mira pun kerap mendapat ketidakadilan serta kekerasan dari laki-laki.

Kemudian dilihat dari latar tempat di Afrika, Mira juga bertemu dengan perempuan-

perempuan seperti Bu Sepuh dan Julia yang hidup di dalam mayarakat yang menganut

paham patriarki, yaitu memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, sehingga

perempuan harus tunduk pada perintah laki-laki. Hal ini semakin membentuk karakter

Mira menjadi perempuan yang pasrah dan lemah terhadap ketidakadilan dan

kekerasan yang dideritanya.

Hubungan antara latar, penokohan, dan tema, yaitu akibat adanya paham

patriarki dari masyarakat bahwa posisi laki-laki adalah lebih tinggi dari perempuan,

sehingga membentuk karakter dari tokoh utama yaitu Mira menjadi perempuan yang

lemah, penurut, dan gampang dirayu. Dari uraian tersebut, maka terbentuklah tema

dalam novel ini yaitu, ketidakadilan gender yang berujung pada tindak kekerasan.

Jadi, hubungan intrinsik seperti yang telah dikemukan tersebut dengan unsur

ekstrinsik yaitu ketidakadilan dan kekerasan pada perempuan adalah dengan

berangkat dari penokohan yang dimiliki oleh tokoh utama yaitu Mira yang dibentuk

oleh latar atau ruang lingkup kehidupan tokoh Mira tersebut.

4.2 Ketidakadilan dan Kekerasan pada Tokoh Utama dalam Novel Wajah

Sebuah Vagina

4.2.1 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama

Universitas Sumatera Utara


Perbedaan gender telah melahirkan perbedaan peranan sosial antara laki-laki dan

perempuan, perempuan kerap menjadi subordinasi laki-laki, seperti dalam karir. Karir

perempuan tergantung pada laki-laki, izin dari suami diperlukan untuk menduduki

jabatan atau mengemban tugas tertentu. Sebaliknya hampir tidak ditemukan ketentuan

yang dikenakan pada suami untuk minta izin dari istrinya ketika akan menduduki

jabatan tertentu.

Perbedaan gender sesunguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan

ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata

perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan.

Fakih (2004 : 12-13) menyatakan bahwa :

untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan


gender, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni :
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan
negati, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Dari beberapa bentuk ketidakadilan tersebut, hanya dijumpai empat bentuk

ketidakadilan yang dialami tokoh Mira, yaitu:

1. Ketidakadilan Gender yang Berupa Stereotip

Salah satu pangkal ketidakadilan terhadap perempuan bermuara dari stereotipe

yang cenderung merendahkan perempuan. Pandangan ini sering berpangkal dan

mendapat pembenaran dari tradisi budaya dan pemahaman keagamaan yang ada

dalam masyarakat. Menurut Fakih (2004 : 16) : “Secara umum stereotip merupakan

pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan biasanya pelabelan

ini selalu berakibat pada ketidakadilan”.

Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah

dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan

Universitas Sumatera Utara


atau pelecehan seksual yang menimpa perempuan, masyarakat cenderung

menyalahkan korbannya.

Tokoh Mira dalam novel ini adalah tokoh yang mengalami ketidakadilan

gender yang berupa stereotip. Dalam novel ini Mira diperlakukan secara semena-

mena, baik di dalam hukum maupun dalam keluarga. Hal tersebut terlihat pada

kutipan berikut :

“O, begitu?” Julia membelalak, “Pelakunya tidak diusut dulu? Biar


dihukum!”
“Bikin repot! Urusannya panjang dengan polisi dan pengadilan. Kita
banyak pekerjaan yang mesti kita selesaikan. Kita bukan
pengangguran,” sahut Ian Camarro (WSV : 130-131).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira dianggap tidak penting,

keberadaan Mira hanya membuat repot keluarga Ian Camarro.

Mira dianggap tidak penting, bahkan Ian Camarro menyuruh melepaskan

pelaku yang menganiaya Sumirah. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Yang kudengar begitu. Tapi, tadi pagi aku mendengar yang diurus Nico itu
justru lain. Ia mencari lelaki yang menganiaya Mira itu. Padahal aku sudah
bilang, itu tidak penting. Bikin repot. Bikin susah. Cuma buang-buang energi
dan waktu. Lebih baik, pulangkan saja dia itu. Tentu you setuju…!” (WSV :
200).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan Mira tidak penting bahkan

merepotkan. Kasus Mira dianggap Ian Camarro tidak penting dan segera

membatalkan menuntut Mulder ke pengadilan.

Keberadaan Mira juga dianggap merepotkan dan membuat kacau rumah

tangga orang, terdapat pada kutipan berikut :

“Mira apa siapa, apa dari Java, apa dari neraka…aku tidak peduli. Yang jelas,
kehadiran perempuan itu membuat rumah tanggaku kacau, Ian Camarro
memukul meja (WSV : 196).

Kutipan tersebut menunjukkan ketidaksukaan Ian Camarro atas kehadiran

Mira di rumahnya. Kehadiran Mira dianggap hanya membuat kacau rumah tangganya.

Universitas Sumatera Utara


Ketidaksukaan Ian Camarro kepada Mira juga terdapat pada kutipan berikut :

“Carla rupanya you termakan oleh cerita rekaan Mira,” sindir Ian Camarro,
“Mira bilang bahwa Mulder bukan suaminya, karena ia perempuan tidak
waras. Dari pengamatanku, selama di rumahku, ia memang tidak
menunjukkan sebagai perempuan yang waras. Kerjanya Cuma nangis,
termenung, matanya kosong, sakit-sakitan. Ya yang paling tepat ya disebut
gila. Anehnya, semua orang menganggapnya waras…!” (WSV : 208-209).

Kutipan tersebut juga menunjukkan ketidaksukaan Ian Camarro kepada Mira.

Ian Camarro menganggap Mira perempuan yang tidak waras, kerjanya hanya

menangis, termenung, dan sakit-sakitan yang akan menambah beban dan membuat

repot dirinya.

Kebencian Ian Camarro kepada Sumirah semakin dalam, bahkan ia sempat

mengusir Mira dari rumahnya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Apalah kata you, terserah. Itu mauku. Kalau you tidak setuju, bawa itu
perempuan yang namanya Mira keluar dari rumah kita. Aku tidak mau melihat
lagi perempuan itu dari rumah kita, apalagi menjelang Natal. Rumah kita
hanya boleh dihuni oleh orang-orang yang kita kenal, bukan untuk orang
asing, apalagi perempuan yang bernama Mira” (WSV :215).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ian Camarro benar-benar tidak suka

terhadap kehadiran Mira karena Mira hanya merepotkan keluarganya saja, maka ia

mengusir Mira dari rumahnya.

Ian Camarro juga menganggap bahwa yang salah dalam kasus Mira tersebut

adalah Mira sendiri, karena Ian menganggap bahwa Mira tak ada bedanya dengan

pelacur yang suka pada uang dan kemewahan, seperti pada kutipan berikut:

“Maksudku, ee… si Mira atau perempuan mana pun, menjadi begitu


katakanlah korban penipuan laki-laki ya…karena kesalahannya sendiri.
Mudah dirayu. Mata duitan, berfantasi jadi nyonya gedongan, mudah dibujuk
dengan janji-janji palsu. Ya pokoknya salah sendiri…
“Goblok. Tolol. Sundal”, umpat Ian Camarro tiba-tiba (WSV : 201).

Secara umum kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira adalah

seorang wanita yang dianggap mempunyai sifat lembut dan tidak bisa bekerja, Mira

dianggap tidak penting dan hanya membuat repot orang lain saja.

Universitas Sumatera Utara


Perbedaan gender yang dialami Mira mengakibatkan ketidakadilan gender yang

berupa stereotip perempuan dalam lingkungan masyarakat, perempuan dianggap

sebagai makhluk yang lemah lembut, tidak berdaya sehingga dianggap hanya bisa

merepotkan orang lain saja.

2. Ketidakadilan Gender yang Berupa Marginalisasi

Marginalisasi merupakan suatu proses yang mengakibatkan kemiskinan. Proses

ini sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa

kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya

penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Namun, salah satu bentuk

pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini adalah perempuan

disebabkan oleh gender. Dari segi sumbernya marginalisasi ini bisa berasal dari

kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan,

atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi kaum perempuan tidak saja

terjadi di tempat pekerjaan juga terjadi dalam rumah tangga bahkan negara.

Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina juga mengalami ketidakadilan gender

yang berupa marginalisasi perempuan, terlihat pada kutipan berikut :

“Wilayah kumuh adalah tempat tinggal kami, orang pendatang dari desa untuk
mengais nasi di kota besar. Tapi bagaimanapun, meski tinggal di wilayah
kumuh, itu lebih baik daripada saya hidup di desa mati kelaparan,” tegas Mira
(WSV : 44).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira adalah orang desa yang miskin

dan pergi merantau ke kota. Sumirah merantau ke kota, tetapi di kota sulit mencari

pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Hidup di kota besar memang tidak mudah, kalau tidak punya pekerjaan pasti.
Pekerjaan pasti hanya bisa diperoleh bila kita punya keahlian. Lebih baik lagi,
kalau punya pendidikan tinggi-ijazah sekolah tinggi, agar bisa mendapat
pekerjaan pasti, pekerjaan yang mapan. Kenyataannya? Karena kemiskinan
yang parah, jadi saya hanya mampu memiliki ijazah Sekolah Dasar yang tidak
laku untuk melamar pekerjaan (WSV : 50).

Universitas Sumatera Utara


Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira hidup dalam kemiskinan. Ia tidak

mempunyai pekerjaan yang pasti karena tidak memiliki ijazah dan keahlian,

sebenarnya Mira ingin memiliki ijazah sekolah yang tinggi tetapi karena miskin ia

tidak dapat beresekolah dan hanya lulus Sekolah Dasar.

Kemiskinan yang diderita Mira juga diakibatkan karena sejak kecil Mira sudah

kehilangan kedua orang tuanya. Dapat terlihat pada kutipan berikut :

Mira mengangguk, lalu bicara pelan, “Ayah-ibu saya dibunuh ketika saya
masih berusia lima tahun. Ya itu sekitar tahun enam lima akhir”.
“Dibunuh? Siapa yang membunuh?” Totti terkejut.
“Petugas keamanan negara!” sahut Mira lirih.
“Alasannya? Pasti politik!” sela Totti dengan nada tinggi (WSV : 450).

Kutipan tersebut menunjukkan bahawa ayah ibu Mira meninggal saat Mira

masih kecil. Mereka meninggal karena dibunuh oleh petugas keamanan negara karena

terlibat Partai Komunis.

Orang tua Mira terlibat Parati Komunis juga terlihat pada kutipan berikut :

“Saya tidak tahu politik. Yang saya tahu, ayah ibu saya petani miskin. Setelah
saya masuk Sekolah Dasar, saya dengar bahwa ayah ibu saya dibunuh karena
terlibat partai komunis-BTI, Barisan Tani Indonesia adalah organisasi di
bawah payung Partai Komunis… Ketika saya mulai beranjak dewasa,
menjelang lulus Sekolah Dasar, banyak teman-teman dan tetangga saya
mencap Saya anak PKI. Kamu tahu Dik? Itu artinya, saya adalah warga
Indonesia paling dibenci dan paling dikucilkan dalam masyarakat” (WSV : 45-
46).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa orang tua Mira terlibat dalam Partai

Komunis, sehingga Mira ikut dibenci dan dikucilkan oleh masyarakat di desanya,

padahal Mira masih kecil dan tidak tahu apa-apa.

Mira menanggung akibat dari cap yang masyarakat berikan kepadanya, yaitu

sebagai anak PKI. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Ya, karena tidak ada jalan lain yang bisa saya lakuakan pada waktu itu selain
menjadi WTS,” tanggap Mira geram. “Setelah lurah edan itu merenggut
kehormatan saya, saya minggat dari desa, karena kalau saya tidak pergi
diancam akan dibunuh Pak Lurah. Aneh kan? Yang salah dia kok malah dia
yang mengancam saya. Dia mencari-cari kesalahn nenek saya dan saya.

Universitas Sumatera Utara


Katanya, saya mulai kasak-kusuk mengaktifkan partai komunis di Mijil.
Astaga, mana mungkin nak kencur, yang selamanya tinggal di udik, lulusan
Sekolah Dasar mampu menghimpun kekuatan untuk mengaktifkan PKI?”
(WSV : 49).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira menjadi seorang pelacur setelah ia

pergi dari desanya. Setelah Pak Lurah memperkosanya, ia dituduh mulai

mengaktifkan kembali Partai Komunis. Padahal Mira waktu itu masih kecil. Sumirah

diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan desa Mijil.

Secara umum kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahawa Mira merupakan

korban dari ketidakadilan gender yang berupa marginalisasi perempuan. marginalisasi

atau pemiskinan terhadap perempuan dari sumbernya bisa berasal dari kebijakan

pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan

asumsi.

Mira menjadi miskin dan dikucilkan karena kebijakan pemerintah. Ia dicap

sebagai anak PKI dan dibenci oleh masyarakat karena Partai Komunis dilarang di

negara Indonesia. Meskipun orang tuanya terlibat tetapi Mira juga terkena akibatnya

padahal ia tidak tahu apa-apa. Masyarakat beranggapan, apabila orang tuanya terlibat

maka semua keluarganya juga terlibat termasuk anaknya.

3. Ketidakadilan Gender yang berupa Kekerasan

Fakih (2004 : 17) menyatakan bahwa :

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik


maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama
manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu
kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan
disebabkan oleh perbedaan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh
perbedaan gender ini disebut gender-related violence.

Akibat adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, perempuan

menjadi lebih rentan menjadi korban kekerasan , karena posisi perempuan pada

Universitas Sumatera Utara


umumnya dianggap rendah oleh masyarakat baik secara ekonomi, sosial, maupun

politik dibandingkan dengan laki-laki.

Mira dalam novel ini juga mengalami ketidakadilan gender yang berupa

kekerasan. Ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

Mira mengalami penganiayaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Tidak usah tergesa-gesa bangun, Nak. Akan tiba waktnya kau bisa bangun
dengan leluasa dan nikmat, Nak”. Bu Sepuh membelai lembut kedua pipi Mira
yang penuh luka dan berwarna lebam. Mira merasakan, tangan Bu Sepuh
terasa sejuk-dingin, mampu menghilangkan rasa nyeri yang menoreh-noreh
kedua pipinya (WSV : 23).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira mendapat pertolongan setelah

mengalami luka dikedua pipinya karena penganiayaan yang dilakuakan oleh Mulder.

Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.

“Tapi, bagaimanapun, nasib kakak tidak buruk bukan? Bapa melindungi kakak
dari siksaan lelaki itu yang kata kakak bernama Mulder, melalui Granny dan
warga Mpeseo…,” Totti berusaha membesarkan hati Mira.

Mira juga ditipu oleh Mulder, seorang warga Belanda, kekasih Mira dan

menjual Mira pada teman-temannya. Terdapat pada kutipan berikut:

“Ya, Cuma begini. Jiwa dan raga hancur-lebur…,Dik”. Mira menggeleng-


geleng sambil tersenyum pahit. “saya benar-benar ditipu mentah-mantah sama
londo edan itu. Padahal waktu saya baru mengenalnya, Mulder itu orangnya
baik sekali. Baikkk…makanya saya kepincut ya…terpikat kepadanya, sampai
Saya meninggalkan Kang Suhar, suami saya…,” sambung Mira lirih (WSV :
42).

“Apa yang dilakukan Mulder setelah kakak anggap edan?” Totti memandangi
Mira yang nampak marah.
“Mulder menjual vagina saya kepada teman-temannya!” mata Mira berair
bibirnya gemetar pucat (WSV : 55).

Sebelumnya Mulder sangat baik kepada Mira, tetapi kemudian Mulder

menjual Mira kepada teman-temannya.

Mira dijual oleh Mulder juga terdapat pada kutipan berikut :

“ Pertama-tama terjadi di atas kapal, ketika saya berlayar menuju kemari-ke


Afrika. Kali lain, Mulder menjual saya lagi, beberapa hari sebelum ia

Universitas Sumatera Utara


mengubur saya hidup-hidup di wilayah ini. Transaksi yang kali ini
berlangsung di sebuah hotel bintang lima di Durban…” kalimat Mira patah
(WSV : 56).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mira pertama kali dijual Mulder kepada

temannya di kapal yang membawanya ke Afrika. Setelah itu ia menjual Mira di hotel-

hotel bintang lima sebelum akhirnya Mira dianiaya dan dikubur hidup-hidup.

Mira selain disuruh bekerja sebagai pelacur, ia juga sering dianiaya oleh

Mulder. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“Mira malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumba menantimu di Paradise
Motel!” tanya Dicky dengan nada menghardik.
“O, Mulder…Mister Mulder…Saya, Saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi,
Saya tidak bisa bekerja melayani Tuan Lulumba!” sahut Mira geragapan,
terbangun dari tidurnya, “Perut Saya mules”. Tegasnya, dengan suara gemetar,
karena dilanda ketakutan (WSV : 161).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira disuruh melayani teman Mulder di

hotel, tapi Mira sedang haid dan tidak mampu bekerja.

Mira dianiaya Mulder juga terlihat pada kutipan berikut :

“Haid! Haid! Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut
Mira, hingga perempuan itu jatuh terpelanting dari tempat tidur kayu yang
sempit itu (WSV : 162).

Penganiayaan yang dilakukan Mulder ternyata tidak berhenti sampai disitu

saja. Mira juga ditendang, ditempeleng, serta dicaci maki. Hal ini terlihat pada kutipan

berikut :

Mira menggeleng perlahan-lahan dan Dicky lalau menempelengnya sambil


berteriak, “Stupid! Tolol! Goblok! Dungu! Perempuan kampungan!” (WSV :
162-163).

Selain itu Mira juga diancam oleh Mulder.

“Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintah. You
tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…,”
tegas Dicky dengan gigi menggegat-gegat (WSV : 163).

Mira selain dianiaya dan dijual oleh Mulder, ia juga diperkosa oleh seorang
kepala desa di desanya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

Universitas Sumatera Utara


“Ya, ya, memang terlalu,” tiba-tiba Mira menggegat, “Ia merenggut
kegadisanku ketika saya berusia empat belas tahun, pas lulus Sekolah Dasar.
Ia melakukannya di tengah sawah , mencegat saya ketika Saya pulang sekolah.
Lurah gila itu memenggil-manggil saya dengan dalih akan memberi bantuan
biaya saya masuk SMP. Itu, karena ia tahu saya memang ingin sekali
melanjutkan sekolah, padahal nenek saya, yang mengasuh saya sejak kecil,
miskin sekali…” (WSV : 46-47).

Setelah memperkosa Mira, lurah tersebut juga mengancam Mira untuk

meninggalkan desa mereka. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke Surabaya
menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah restoran.
Namanya Mbak Dinah. Ternyata Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia tega
menjual saya…”(WSV : 49).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira setelah diperkosa oleh lurah

desanya juga diancam akan dibunuh. Kemudian Mira pergi ke Surabaya menemui

tetangganya yang katanya bekerja di restoran ternyata ia seorang mucikari. Akhirnya

Mira dijadikan pelacur.

Secara keseluruhan kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira

mengalami ketidakadilan yang berupa kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan

sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. kekerasan

digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan

rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa

atas perempuan.

4. Ketidakadilan Gender yang Berupa Subordinasi

Fakih (2004 : 15) menyatakan : “Subordinasi merupakan adanya anggapan

bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil

memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan dalam bidang

pekerjaan pada posisi yang tidak penting”.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua

pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi

Universitas Sumatera Utara


subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai laki-laki.Mira juga mengalami

ketidakadilan gender berupa subordinasi pekerjaan.

Mira berusaha untuk meningkatkan perekonomian keluarga dengan bekerja

sebagai penjual bir kepada penghuni hotel, tempat dimana Suhar sering menunggu

langganan taksinya. Terlihat pada kutipan berikut :

“Sopir taksi. Taksinya mangkal di hotel. Ya, hotel langganan Mulder. Kalau
Mulder ke Jakarta, ia pasti menginap di hotel itu. Kang Suhar sering dicarter
Mulder. Maka Saya kenal Mulder, karena ia sering pesan bir pada Kang Suhar
dan Saya yang mengantarkan bir pesanannya ke hotel tempat ia menginap
(WSV 42-43).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira ikut mencari nafkah keluarganya

dengan menjual bir kepada penghuni hotel termasuk Mulder. Mira mengalami

ketidakadilan gender berupa subordinasi pekerjaan karena ia seorang perempuan,

dianggap irasional, dimana masyarakat beranggapan bahwa perempuan memiliki

penalaran yang tidak masuk akal. Selain dianggap irasional, perempuan juga dianggap

sebagai kaum yang emosional dimana perempuan cenderung meninjau sesuatu

dengan penuh emosi (perasaan). Karena kecenderungan perempuan yang irasional dan

emosional tersebutlah maka tokoh Mira dalam cerita tersebut dianggap sebagai

perempuan yang tidak bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik selain menjual bir.

Seorang penjual bir harus berpenampilan menarik agar pembelinya merasa puas dan

Mira dirasa cocok dijadikan penjual bir.

Mira melakukan pekerjaannya sebagai penjual bir dengan susah payah. Hal

tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Teman-teman Mulder juga begitu. Antara lain Mister Pieter, Mister Ben, dan
Mister Coen. Mulder kemana-mana selalu bersama mereka dan semuanya
doyan bir. Kang Suhar melihat ini peluang dagang yang bagus. Saya disuruh
melayani mereka bila dia sedang ke Jakarta, tiap malam mengantar bir untuk
mereka. Ya, saya mondar-mandir keluar masuk hotel melalui pintu belakang.
Itu bisa Saya lakukan dengan mulus karena saya menyogok penjaga hotel
“(WSV : 43).

Universitas Sumatera Utara


Kutipan tersebut menunjukkan bahwa suami Mira melihat peluang usaha

menjual bir kepada Mulder dan teman-temannya, karena mereka semua suka bir. Mira

yang merupakan perempuan yang cantik dan lemah lembut dianggap pantas oleh

suaminya untuk mengerjakan pekerjaan itu dan karena perawakannya tersebut Mira

dengan gampang mendekati petugas hotel agar bebas keluar masuk hotel untuk

menjalankan bisnis tersebut. Mira mengalami ketidakadilan gender berupa

subordinasi pekerjaan perempuan juga terlihat pada kutipan berikut :

“Ya, itu karena ada perempuan yang menjual vaginanya. Termasuk aku…,
pernah melakukannya. Menjual vagina,” kata Mira, berkata sejujurnya (WSV :
48).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira menjadi seorang pelacur. Ia

dijadikan pelacur oleh Mbak Dinah karena dianggap tidak mempunyai keterampilan

kecuali untuk memuaskan nafsu syahwat laki-laki.

Secara keseluruhan, kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira

mengalami ketidakadilan gender yang berupa subordinasi dalam pekerjaan. Anggapan

bahwa perempuan itu irasional, emosinal sehingga perempuan tidak bisa tampil

memimpin dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi

yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu.

Seperti Mira yang dianggap hanya pantas bekerja sebagai pelacur dan penjual bir

kepada laki-laki.

Universitas Sumatera Utara


4.2.2 Jenis-jenis Kekerasan pada Tokoh Utama

Menurut La Pona ( dalam Sugihastuti 2007 : 172) :

Kekerasan terhadap perempuan adalah adalah tindakan seorang laki-laki atau


sejumlah laki-laki dengan mengerahkan kekuatan tertentu sehingga
menimbulkan kerugian atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis
pada seorang perempuan atau sekelompok perempuan, termasuk tindakan
yang bersifat memaksa, mengancam, dan atau berbuat sewenang-wenang, baik
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi
di ruang domestik dan publik.

Berdasarkan situs terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau kekerasan dalam

rumah tangga dan kekerasan pada arena publik.

4.2.2.1 Kekerasan Domestik

Menurut Kristi (dalam Achie 2000 : 13):

kekerasan dalam area domestik/hubungan intim-personal adalah berbagai


bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan
keluarga/hubungan kedekatan lain. Termasuk di sini penganiayaan terhadap
istri, penganiayaan terhadap pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan
anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan
oleh anggota keluarga.

Sesuai dengan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa tokoh utama dalam

novel Wajah Sebuah Vagina, yaitu Mira mengalami kekerasan domestik, dimana Mira

mendapat kekerasan dari kekasihnya Mulder. Adapaun jenis kekersan domestik yang

dialami Mira, yaitu :

Universitas Sumatera Utara


1.Kekerasan Seksual

Menurut Kristi (dalam Achie, 2000 : 11) :

Kekerasan seksual merupakan tindakan yang mengarah keajakan desakan


seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-
tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton
produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban,
ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada
aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa
persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak; memaksa
melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan,
menyakiti, atau melukai korban.

Hal senada diungkapkan Meiyenti (dalam Sugihastuti, 2007 : 173) :

“Kekerasan seksual meliputi pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual,

pemaksaan selera seksual sendiri, dan tidak memeperhatikan kepuasan istri

(pasangan)”.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual dalam arena domestik

adalah pemaksaan dalam tindakan seksual serta selera seksual sendiri terhadap

pasangan.

Dalam novel ini tokoh utama yaitu Mira mengalami kekerasan seksual dari

Mulder kekasihnya, hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“Hem…ooohhh…hemmmm…ohhh…,” Mulder terus melenguh-lenguh


berkepanjangan, disertai nafasnya yang berhembus memburu, sambil
mempermainkan alat-alat vital tubuh Mira dengan posisi sesukanya, sesuai
dengan ritme birahinya untuk mencapai kepuasan. Sedangkan Mira? Ia
merasakan dirinya menjelma menjadi sebuah bola yang sedang dilambungkan
tinggi-tinggi, kemudian ditangkap, dilambungkan lagi. Terus, ia merasakan
dilemparkan jauh-jauh. Selanjutnya, ditendang kuat-kuat. Babak berikutnya,
disepak dengan perkasa. Tahap selanjutnya, diinjak-injak dengan sepatu
serdadu. Tidak lama kemudian, ia merasakan seperti dipelintir-pelintir oleh
puluhan jemari ikan gurita. Masih ada versi lainnya, ia merasakan dipantulkan

Universitas Sumatera Utara


bak anak panah. Akhirnya, jatuh… terpelanting dalam posisi terlentang
dengan kedua paha meregang. Hoook…! Tahu-tahu, benda tumpul
menyodoknya dalam-dalam ke sebuah sudut yang sempit dan gelap, yaitu
sudut vaginanya. Nyeri sekali (WSV : 95-96).

Dari kutipan tersebut terlihat Mira mengalami kekerasan seksual dari Mulder

kekasihnya, dimana Mulder dengan sesuka hatinya memepermainkan tubuh serta

kelamin Mira ketika mereka bersenggama, hal ini dilakukan Mulder untuk

mendapatkan kepuasan dalam bentuk seks tanpa memeperhatikan kepuasan dari Mira

kekasihnya.

Kekerasan seksual yang dialami Mira dari Mulder juga terjadi ketika Mira

dalam keadaan luka akibat pukulan dari Mulder dan sedang haid, Mulder malah

memaksa Mira untuk berhubungan badan tanpa memeperhatikan kondisi Mira pada

saat itu. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Saya, Tuan Mulder. Saya mengerti!” sahut Mira dengan tubuh gemetar dan
darah yang mengalir dari bibirnya makin deras. Darah itu berbau anyir tapi di
penciuman Dicky Mulder darah itu menebarkan aroma cendana. Aroma wangi
segar, mengingatkan Mulder pada Wendy. Aroma itu langsung
membangkitkan gairah birahinya. Mira yang sedang berdarah-darah itu
menjadi sasaran nafsu buasnya. Ketika Mira menolak, Dicky memaksanya,
memerkosanya, membuat Mira tidak berdaya. Ia pingsan (WSV : 163-164).

2.Kekerasan Fisik

Menurut La Pona (dalam Sugihastuti, 2007 : 179) “kekerasan fisik adalah

segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya”.

Selain itu, Meiyenti (dalam Sugihastuti 2007 : 179) mengatakan bahwa “kekerasan

fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul, menampar,

meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan

barang atau senjata”.

Universitas Sumatera Utara


Kristi (dalam Achie 2000 : 11) menyatakan bahwa “kekerasan fisik

merupakan tindakan memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang

ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata,

membunuh”.

Dari beberapa defenisi tersebut, maka dalam hal ini tokoh Mira juga

mengalami kekerasan fisik yang dilakukan Mulder. Kekerasan yang dialami Mira,

ketika tidak bekerja melayani laki-laki hidung belang yang menjadi langganannya dan

Mulder yang merupakan mucikari Mira menjadi marah pada Mira lalu menyiksa

tubuh Mira, seperti pada kutipan berikut :

“Mira, apa malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumban menantimu di Paradise
Motel!” tanya Dicky dengan nada menghardik.“O, Mulder… Mister Mulder…
saya, saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi, saya tidak bisa bekerja melayani
Tuan Lulumban!

“Haid! Haid! Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut
Mira, hingga perempuan itu jatuh terpelanting dari tempat tidur kayu yang
sempit itu.
Tentu saja sakit. Tetapi Mira tidak berani menangis. Sebab, kalau ia berani
menangis, Dicky akan menendangnya lebih keras lagi, bahkan ditambah
pukulan bertubi-tubi.
“You sekarang memang kurang ajar. Ngelunjak. Tidak tahu diuntung. Dari
kere sudah ik jadikan nyonya gedongan. Tapi, you membalas apa pada ik?”
Dicky melotot, lalu meludahi wajah Mira yang pucat.
You kasih tahu Tuan Lulumban tidak, kalau you sedang merah?”tanya Dicky
sambil memegangi leher Mira yang seolah-olah siap dicekiknya.
Mira menggeleng perlahan-lahan dan Dicky lalu menempelengnya sambil
berteriak… (WSV : 161-162).

Dari kutipan tersebut terlihat Mira mendapat kekerasan fisik dari Mulder

berupa tendangan, cekikan, dan Mulder juga tak segan-segan menempeleng serta

meludahi wajah Mira dan terlihat pada kutipan tersebut bahwa Mulder ternyata kerap

memukulnya jika ia menangis.

Universitas Sumatera Utara


3. Kekerasan Emosional

Menurut Sugihastuti (2007 : 183) kekerasan emosional melibatkan secara

langsung kondisi psikologis perempuan yang menjadi korbannya. Kekerasan jenis ini

meliputi mencela, menghina, mengancam/menakut-nakuti sebagai sarana

memaksakan kehendak, serta mengisolasi perempuan dari dunia luar.

Kekerasan emosional yang dialami Mira ketika Mira menolak melayani laki-
laki hidung belang langganan Mira karena sedang haid, Mulder langsung marah serta
mengancam Mira. Sehingga menimbulkan ketakutan bagi Mira. Hal tersebut terlihat
pada kutipan berikut :
“Haid! Haid! Haid! You bohong. You sok suci. Heh!”

“You sekarang memang kurang ajar. Ngelunjak. Tidak tahu diuntung. Dari
kere sudah ik jadikan nyonya gedongan. Tapi, you membalas apa pada ik?”
“Stupid! Tolol! Goblok! Bodoh! Dungu! Perempuan kampungan!”
“Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintahkan. You
tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…”
tegas Dicky dengan gigi menggegat-nggegat ( WSV : 163).

Dari kutipan tersebut terlihat Mulder melakukan kekerasan emosional

terhadap Mira dalam bentuk mengancam dan mencela dan menghina Mira.

4. Kekerasan dalam bentuk Pelacuran

Fakih (1987 : 18) menyatakan “kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution)

merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatau

mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan”.

Dalam hal ini Mira mendapat kekerasan dari Mulder, dimana Mulder menjual atau

dengan kata lain menjadikan Mira sebagai seorang pelacur untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi bagi Mulder sendiri. Mulder pertama kali menjual Mira diatas

kapal kepada teman-temannya ketika dia dan Mira pergi ke Afrika. Hal ini terlihat

pada kutipan berikut :

“ Mulder menjual vagina saya kepada teman-temannya!” mata Mira berair,


bibirnya gemetar pucat.
“ Kapan itu terjadi? Dimana?” Kejar Totti, matanya membelalak sangat lebar

Universitas Sumatera Utara


“Pertama-tama terjadi di atas kapal, ketika saya berlayar menuju kemari—ke
Afrika. Kali lain, Mulder menjual saya lagi…, (WSV : 55-56).

Ternyata kekerasan yang dilakukan Mulder tidak hanya sampai disitu, setelah

sampai di Afrika, Mulder masih kerap menjual Mira kepada laki-laki hidung belang

lainnya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“Mira, apa malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumban menantimu di Paradise
Motel!” tanya Dicky dengan nada menghardik.
You tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…”
tegas Dicky dengan gigi menggegat-nggegat ( WSV : 163).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mulder masih terus menjadikan Mira

sebagai pelacur untuk memenuhi perekonomian Mulder.

4.2.2.2 Kekerasan Publik

Menurut Kristi (dalam Achie 2000: 13):

Kekerasan publik adalah berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar


hubungan keluarga atau hubungan personal lain. Dapat dimasukkan di sini,
berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas akupannya, baik yang terjadi di
tempat kerja (dalam semua tempat kerja temasuk untuk kerja-kerja domestik,
misalnya baby sitter, pembantu rumah tangga, perawat orang sakit), di tempat
umum ( bus dan kendaraan umum, di pasar, restoran, tempat-tempat umum
lain); di lembaga-lembaga pendidikan; dalam bentuk publikasi atau produk
dan praktik ekonomis yang meluas distribusinya (misalnya pornografi,
perdagangan perempuan-pelacuran paksa, dan lain-lain).

Menurut Sugihastuti (2007 : 203) “Kekerasan pulik merupakan jenis

kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki

hubungan kekerabatan atau relasi berdasarkan perkawinan dengan perempuan yang

menjadi korban tindakannya dengan tidak memeperhitungkan ranah terjadinya tindak

kekerasan tersebut”.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kekerasan publik adalah bentuk kekersan yang

terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain. Sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara


pendapat tersebut dapat diketahui bahwa tokoh utama dalam novel Wajah Sebuah

Vagina, yaitu Mira mengalami kekerasan publik, dimana Mira mendapat kekerasan

dari orang-orang disekitarnya. Adapaun jenis kekersan domestik yang dialami Mira,

yaitu :

1.Kekerasan Seksual

Menurut Kalyanamitra dan Prasetyo (dalam Sugihastuti 2007 : 204):

Dalam intensitas yang paling ringan, kekerasan seksual disebut sebagai


pelecehan seksual. Bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat berupa siulan
nakal, kerdipan mata, gurauan dan olok-olok yang menjurus pada seks,
memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan
mengenai tubuh atau penampilan fisik, memberikan bahasa isyarat yang
berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno, memperlihatkan
organ seks, mencolek, serta meraba atau mencubit.

Kasus pelecahan seksual terhadap Mira dalam lingkup publik pertama kali

terjadi ketika ia baru lulus dari Sekolah Dasar, Mira diperkosa oleh lurah di desanya

dengan diiming-imingi biaya untuk melanjutkan sekolahnya, karena Mira memang

benar-benar membutuhkan biaya tersebut.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Kakak jadi korban lurah gila itu? Oh…Tixo…! Tixo…!” Totti menjerit , “
Terlalu!”

“ Ya, ya, memang terlalu,” tiba-tiba Mira menggegat. “Ia merenggut


kegadisanku ketika saya berusia empat belas tahun, pas lulus Sekolah Dasar.
Ia melakukannya di tengah sawah, mencegat saya ketika saya pulang sekolah.
Lurah gila itu memanggil-manggil saya dengan dalih akan memberi bantuan
biaya saya masuk SMP. Itu, karena ia tahu saya memang ingin sekali
melanjutkan sekolah, padahal nenek saya, yang mengasuh saya sejak kecil,
miskin sekali…” (WSV : 46-47).

Kekerasan seksual yang dialami Mira juga terlihat ketika Mira ditemukan oleh

Bu Sepuh di Desa Zulu dalam keadaan penuh luka, khususnya luka pada bagian

vaginanya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

Universitas Sumatera Utara


“Oh, Nak… berapa laki-laki yang merusak vaginamu?” bisik Bu Sepuh
dengan suara parau gemetar, sambil memeluk tubuh Mira yang menggigil
(WSV : 25).

Kutipan tersebut memperlihatkan kekerasan seksual yang dialami Mira dari

laki-laki yang kerap menjadi langganannya ketika bekerja menjadi pelacur di tempak

Mbak Dinah dan ketika hidup bersama Mulder.

Mira menjadi pelacur di tempat Mbak Dinah terdapat pada kutipan berikut :

“Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke


Surabaya—menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah
restoran. Namanya, Mbak Dinah. Ternyata, Mbak Dinah menjadi mucikari.
Dia tega menjual saya…,” (WSV : 49).

“Akhirnya ya saya ikuti Mbak Dinah . Saya menjual vagina sekitar lima
tahun…” (WSV : 50).

Selama menjadi pelacur bersama Mbak Dinah, Mira kerap melayani laki-laki

dengan berbagai jenis kesenangan seks. Seperti pada kutipan berikut :

“Dik Totti nanti akan tahu, hubungan intim itu kadang melelahkan dan
memebosankan, karena biasanya laki-laki itu maunya main terus, lama dan
berkali-kali (WSV : 54).

Dari beberapa kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Mira mengalami kekerasan

seksual dari orang-orang disekitarnya. Hal yang paling menyedihkan, ternyata Mira

sejak remaja sudah mendapat kekerasan seksual dari lurah di desanya tidak sampai

disitu ternyata beranjak dewasa pun Mira terus mengalami kekerasan seksual dari

orang-orang di sekitarnya.

2.Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik Menurut La Pona (dalam Sugihastuti, 2007 : 179) “kekerasan

fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada

korbannya”. Selain itu, Meiyenti (dalam Sugihastuti 22007 : 179) mengatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara


“kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul,

menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai

dengan barang atau senjata”.

Kristi (dalam Achie 2000 : 11) menyatakan bahwa “kekerasan fisik

merupakan tindakan memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang

ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata,

membunuh”.

Kekerasan fisik dalam ranah domestik dan publik cenderung sama yang

membedakan hanya pelakunya saja, jika dalam ranah domestik pelakunya memiliki

hubungan dengan korban, maka dalam ranah publik pelaku dan korbannya tidak

memiliki hunungan apa-apa.

Kekerasan fisik yang dialami dalam ranah publik terlihat ketika Mira menjadi

pelacur, Mira kerap mendapat kekerasan fisik dari laki-laki yang dilayaninya.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“…Anu, saya juga pernah dapat laki-laki edan, waktu hubungan intim
memukuli saya dan vagina saya disulut rokok segala (WSV : 55).

Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana sadisnya perlakuan laki-laki yang

dilayani Mira terhadap tubuh Mira, tidak heran jika vagina Mira mengalami luka yang

sangat serius.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

Gadis-gadis lainnya membentangkan kain tenun warna merah, mirip sarung


Bugis untuk menutupi tubuh Mira yang akan dimandikan. Sebetulnya Mira
malu telanjang di depan banyak orang, karena ada sesuatu—bagian organ
vitalnya yang dirasakan sangat memalukan.

Universitas Sumatera Utara


Gadis-gadis yang menyaksikan tubuh Mira yang setengah rusak itu tidak bisa
berkomentar apa-apa selain menarik nafas berat diiringi cucuran airmata.
Apalagi, ketika mereka melihat vagina Mira : wajah vagina yang penuh darah
kering maupun darah segar, yang terdiri dari darah merah dan darah putih
(WSV : 24-25).

Universitas Sumatera Utara


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Setelah menganalisis novel Wajah Sebuah Vagina dari berbagai aspek yang

mendominasinya, maka pada bab, ini dapat ditarik kesimpulan yang merupakan hasil

dari analisis secara keseluruhan. Meskipun analisis yang dilakukan hanya dari

beberapa aspek, namun analisis dari aspek lain masih dapat dilakukan mengingat

analisis di bidang Sastra Indonesia masih begitu luas.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendekatan struktural terhadap novel

Wajah Sebuah Vagina adalah unsur-unsur intrinsik yang membangun novel Wajah

Sebuah Vagina karya Naning Pranto meliputi alur, latar, penokohan, dan tema.

Keempat unsur intrinsik ini merupakan satu struktur yang terjalin dan berhubungan

satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan

tercipta makna karya sastra secara keseluruhan.

Dengan batasan feminisme, yaitu feminisme radikal dapat diketahui bentuk-

bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan yaitu, 1) ketidakadilan gender dalam

bentuk stereotipe 2) ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi 3) ketidakadilan

gender dalam bentuk kekerasan (violence) 4) ketidakadilan gender dalam bentuk

subordinasi dalam pekerjaan, selain bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut dalam hal

ini juga terdapat jenis-jenis kekerasan yang dibagi dalam dua ranah yaitu 1) arena

domestik yang meliputi : kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional,

kekerasan dalam bentuk pelacuran dan 2) kekerasan publik yang meliputi : kekerasan

seksual dan kekerasan fisik.

Universitas Sumatera Utara


5.2 Saran

Setelah membahas dan mendeskripsikan novel Wajah Sebuah Vagina dengan

pendekatan struktural, maka semakin jelas bahwa analisis struktural adalah langkah

dasar yang harus dilakukan dalam meneliti sebuah karya sastra sebelum meneliti pada

wilayah penelitian yang lain.

Membahas novel ini dengan pendekatan feminisme, khususnya feminisme

radikal akan memperjelas mengenai bentuk-bentuk ketidakadilan dan jenis-jenis

kekerasan yang kerap dialami perempuan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, diharapkan agar ilmu mengenai feminisme baik feminisme radikal,

sosialis, marxis, liberal, dan lainnya dapat lebih didalami, dikembangkan, dan

disebarluaskan agar menambah pengetahuan individu khususnya mahasiswa sastra.

Selain dari pendekatan feminisme, novel Wajah Sebuah Vagina ini juga dapat

dikaji melalui pendekatan psikologi, yaitu psikologi pada tokoh utama. Namun,

karena keterbatasan penulis maka novel tersebut hanya dkaji melalui pendekatan

feminisme. Oleh karena itu, disarankan kepada mahasiswa sastra yang mampu

mengkaji novel tersebut melalui pendekatan ilmu psikologi atau pendekatan ilmu-

ilmu sastra lainnya kiranya dapat membahas novel tersebut melalui bidang ilmu

psikologi ataupun bidang ilmu sastra lainnya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru


Algensindo.

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.
Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

http://digilib.unnes.ac.id

http://id.wikipedia.org/wiki/feminisme

http://hayamwuruk-online.blogspot.com/2006/06 heboh-sastra-perempuan.html

http://www.rayakultura.net

http://www.sastra.indonesia.com/2009/12/melirik buku-buku berbasis lendir

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita


Grahawidya.

Keraf, Gorys. 1991. Argumentasi dan Narasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Pusat Bahasa, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan Ketiga.
Jakarta : Balai Pustaka.

Luhulima, Achie Sudiarti (Ed.). 2000. Pehaman Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap


Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Bandung : Alumni.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko.
Jakarta : Gramedia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta :


Hanindita Graha Widia.

Pranoto, Naning. 2004. Wajah Sebuah Vagina. Yogyakarta : Galang Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Universitas Sumatera Utara


Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan,
Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesustraan. Jakarta : Gramedia.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai