Anda di halaman 1dari 94

CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER:

ANALISIS SOSIOSASTRA

SKRIPSI

OLEH

NOVA MANDASARI
060701028

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

-1-
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya

bersedia menerima sanksi yang ditentukan.

Medan, Mei 2010

Nova Mandasari
060701028

- 2ii -
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis
Sosiosastra”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana bidang ilmu Sastra Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini dibuat berdasarkan data yang dikumpulkan dari novel Cerita Calon Arang
Karya Pramoedya Ananta Toer.
Dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini, penulis tentu mengalami kesulitan-
kesulitan seperti kurangnya bahan-bahan, kemampuan serta pengalaman. Untuk itu penulis
mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan
kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Peraturen Sukapiring, S.U. sebagai pembimbing
I dan Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. sebagai pembimbing II, yang telah menyediakan
waktu dan pikiran serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini juga penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum, dan ibu Dra. Mascahaya, M.Hum sebagai ketua
dan sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Unversitas Sumatera
Utara.
3. Ibu Dra. Ida Basaria sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.
4. Segenap dosen di lingkungan Jurusan Sastra Indonesia yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, atas dorongan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di
Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
5. Keluarga penulis, yaitu ayah W.Sihaloho dan ibu A. Siallagan tercinta serta kakak
Manahan, Indra, Julfan, dan Vivi yang tidak pernah lupa memberi dorongan dan
memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keberhasilan penulis.
6. Sahabat-sahabat penulis: Eva, Ade, Ira, Novry, Marlina atas kebaikan dan kebersamaan
dengan penulis.

-3-
iii Universitas Sumatera Utara
7. Teman-teman Sasindo berbagai stambuk khususnya stambuk 2006 yang tidak dapat
disebutkan namanya satu per satu yang telah banyak membantu, memberikan semangat,
dan dorongan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
8. Rekan-rekan di Sogo Departement atas bantuan dan dorongan kepada penulis.

Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.
Skripsi sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penikmat sastra.

Medan, Juni 2010

Nova Mandasari
060701028

iv
-4-
Universitas Sumatera Utara
CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER: ANALISIS
SOSIOSASTRA

ABSTRAK

Karya ilmiah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran intrinsik dan nilai sosial
yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk
mencapai tujuan tersebut, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca
heuristik dan hermeneutik yang menghasilkan sinopsis cerita. Setelah data terkumpul lalu
dianalisis dengan menggunakan teori struktural dan sosiosastra. Dari analisis tersebut,
diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Unsur intrinsik, yaitu; tema novel ini adalah kejahatan
yang dilakukan oleh Calon Arang dan para pengikutnya, tokoh yang dianalisis dalam karya
ilmiah ini terdiri atas tokoh utama (antagonis dan protagonis) dan tokoh tambahan
(bawahan), juga tokoh sederhana (datar) dan tokoh bulat (kompleks). Cerita ini disusun
dalam alur yang bergerak teratur (maju) dengan tahap-tahap: exposition, Inciting Force,
Rising Action, crisis, climax, Falling Action, dan Conclusion, sedangkan latar dalam cerita
ini berupa latar fisik yang mengacu pada latar tempat, yaitu lokasi berlangsungnya
peristiwa dalam cerita ini dan latar sosial, yaitu penggambaran keadaan masyarakat Daha
yang hidup makmur dan sejahtera namun berubah buruk karena kejahatan Calon Arang, 2)
Nilai-nilai sosial, yang berupa: cinta, kejahatan, dan kepahlawanan. Dari analisis tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam cerita ini (intrinsik) merupakan struktur
yang terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu
kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan dan nilai-nilai sosial
dalam cerita ini dapat menggambarkan keadaaan masyarakat dalam novel ini.

- 5v -
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………..i
PERNYATAAN…………………………………………………………………………….ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………..…...……….iii
ABSTRAK………………………………………………………………………………….v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….vi

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………....1
1.1 Latar Belakang ………………………………...………………………...……….1
1.2 Rumusan Masalah……...………………………………….……...........................6
1.3 Batasan Masalah………………………………………………………..………...7
1.4 Tujuan dan Manfaat………………………………………………........................7
1.4.1 Tujuan Penelitian………………..……………………………………..7
1.4.2 Manfaat Penelitian……………………………………….......................8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA…………..…..9


2.1 Konsep……………………………………………………………………….....…9
2.2 Landasan Teori………………………………………………………..…...….…11
2.3 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………...……15

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………….……...18


3.1 Metode Pengumpulan Data……………………………………………...………18
3.2 Metode Analisis Data…………………………………………...……………….26

BAB IV ANALISIS STRUKTUR TERHADAP NOVEL CERITA CALON ARANG


KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER……………………………………….…….27
4.1 Tema……………………………………………………………..………………27
4.2 Tokoh…………………………………………………………………....………31
4.3 Alur…………………………………………………………………......……….45
4.4 Latar………………………………………………………………………..……57

- 6vi-
Universitas Sumatera Utara
BAB V ANALISIS SOSIOSASTRA TERHADAP NOVEL CERITA CALON
ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER……………………...……62
5.1 Cinta…………………………………….…………………………………….....62
5.1.1 Storge: Cinta Ayah Kepada Putrinya dan Cinta Ibu Kepada Putrinya...63
5.1.2 Philia: Cinta Pemimpin Kepada Rakyatnya………......………...……..68
5.1.3 Agape: Cinta Empu Baradah Kepada Penduduk Daha………………...70
5.2 Kejahatan…………………………..……………………...…………………..…72
5.2.1 Pembunuhan……………………………………………………...…….74
5.2.2 Intimidasi……………………………………...……….……………….76
5.3 Kepahlawanan………………………….…………………………………..……79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….………83


6.1 Simpulan…………………………………………………..….…………………83
6.2 Saran…………………………………………………………………..……...….84

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..….85

-7-
Universitas Sumatera Utara
CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER: ANALISIS
SOSIOSASTRA

ABSTRAK

Karya ilmiah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran intrinsik dan nilai sosial
yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk
mencapai tujuan tersebut, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca
heuristik dan hermeneutik yang menghasilkan sinopsis cerita. Setelah data terkumpul lalu
dianalisis dengan menggunakan teori struktural dan sosiosastra. Dari analisis tersebut,
diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Unsur intrinsik, yaitu; tema novel ini adalah kejahatan
yang dilakukan oleh Calon Arang dan para pengikutnya, tokoh yang dianalisis dalam karya
ilmiah ini terdiri atas tokoh utama (antagonis dan protagonis) dan tokoh tambahan
(bawahan), juga tokoh sederhana (datar) dan tokoh bulat (kompleks). Cerita ini disusun
dalam alur yang bergerak teratur (maju) dengan tahap-tahap: exposition, Inciting Force,
Rising Action, crisis, climax, Falling Action, dan Conclusion, sedangkan latar dalam cerita
ini berupa latar fisik yang mengacu pada latar tempat, yaitu lokasi berlangsungnya
peristiwa dalam cerita ini dan latar sosial, yaitu penggambaran keadaan masyarakat Daha
yang hidup makmur dan sejahtera namun berubah buruk karena kejahatan Calon Arang, 2)
Nilai-nilai sosial, yang berupa: cinta, kejahatan, dan kepahlawanan. Dari analisis tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam cerita ini (intrinsik) merupakan struktur
yang terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu
kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan dan nilai-nilai sosial
dalam cerita ini dapat menggambarkan keadaaan masyarakat dalam novel ini.

- 5v -
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Karya sastra merupakan hasil ciptaan pengarang melalui proses kreatif dengan

bahasa sebagai mediumnya. Sebagaimana dikatakan Luxemburg, dkk (1984: 5) “sastra

merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi”.

Selanjutnya Luxemburg, dkk mengatakan:

sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang
dengan alasan tertentu diberikan kepada sebuah hasil tertentu dalam sebuah
lingkungan kebudayaan. Sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau
dipakai untuk suatu tujuan komunikatif dan hanya berlangsung untuk sementara
waktu saja.( Luxemburg dkk, 1984: 9 ).

Jadi, dapat dikatakan bahwa karya sastra adalah wujud dari perkembangan peradaban

manusia sesuai dengan lingkungannya karena pada dasarnya karya sastra itu merupakan

unsur kebudayaan manusia itu sendiri yang mampu menggambarkan kenyataan.

Karya sastra Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada sastra

lama, sastra dianggap masyarakat sebagai milik bersama, bersifat sakral, serta tidak boleh

bertentangan dengan adat yang berlaku. Oleh karena sastra dianggap milik siapa saja,

dengan sendirinya setiap individu dapat mengerti apa yang digambarkan oleh suatu karya

sastra, sedangkan karya sastra pada saat ini memperlihatkan perkembangan tema yang

menunjukkan perubahan tema yang kolektifisme ke arah individualisme. Novel pada masa

sekarang ini dapat dikatakan telah menembus batas dan sekat-sekat yang membatasi ruang

ide pengarang. Pengarang masa kini dapat lebih bebas menuangkan segala ekspresi dalam

menciptakan karyanya. Sehingga tema-tema yang muncul saat ini tidak lagi monoton.

-8-
Universitas Sumatera Utara
Tidak heran jika sekarang banyak ditemukan karya sastra yang kompleks atau bahkan

absurd.

Karya sastra merupakan gambaran masyarakat pada zamannya, dan perkembangan

peradaban manusia tidak lepas dari karya sastra karena memuat hal-hal yang berhubungan

erat dengan situasi kehidupan manusia yang berlaku dalam masyarakat kapan dan di mana

karya sastra itu diciptakan. Karya sastra diciptakan melalui proses kreatif yang dimiliki

oleh seorang pengarang yang melihat, mengamati dan menangkap segala peristiwa dan

gejolak yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya, lalu mengolahnya sedemikian rupa

kemudian mengembangkannya dengan imajinasi yang dalam sehingga karya sastra dapat

dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra yang diciptakan

pengarang itu dapat mencerminkan gambaran realitas kehidupan sosial yang dapat berupa

lingkungan, adat, kebudayaan, dan sebagainya.

Pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman

unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi masyarakat. Melalui kemampuan

yang dimiliki pengarang dapat menggali kekayaan masyarakat, memasukkannya ke dalam

karya sastra, yang kemudian dinikmati oleh pembaca. Pengarang adalah anggota

masyarakat itu sendiri dan terikat pada status sosial tertentu pula dan secara tidak langsung

terlibat dalam karyanya. Sehingga dalam sastra tergambar cerminan langsung dari berbagai

struktur sosial, hubungan kekeluargaan, dan lain-lain.

Realitas atau kenyataan sosial yang diciptakan pengarang dalam karyanya tidak

harus sama dengan yang ada dalam masyarakat karena karya sastra merupakan dunia baru

yang diolah pengarang dengan imajinasi yang dalam dan dengan sudut pandang tertentu.

Ratna (2004: 60) mengatakan “dalam sastra, sebagai kualitas imajinatif, setiap manusia

-9-
Universitas Sumatera Utara
dapat membayangkan dirinya menjadi orang kaya, raja, bahkan dewa”. Hal ini

menunjukkan bahwa pembaca karya sastra akan menempatkan dirinya pada posisi tertentu

yang diinginkannya sesuai dengan pengalaman dan harapannya. Pembaca seolah-olah

mengalami kenyataan pada saat menikmati suatu karya sastra. Selanjutnya Ratna (2004:

338) mengatakan “karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses

emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan

sehari-hari”. Pernyataan ini memperkuat bahwa selama membaca dan menikmati suatu

karya sastra, pembaca secara bebas menjadi dewa, raja, perampok, dan berbagai posisi lain.

Dari uraian di atas terlihat hubungan karya sastra dengan masyarakat. Hal ini

menyangkut masalah karya sastra, pengarang, dan masyarakat pembacanya. Maksudnya, isi

dari suatu karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam sastra itu sendiri

berkaitan dengan masalah sosial, kemudian yang menyangkut pengarang sebagai anggota

masyarakat yang dapat dipelajari sebagai makhluk sosial, dan dampak sosial suatu karya

sastra terhadap masyarakat tertentu. Hal ini juga berarti meletakkan sastra dalam konteks

sosiobudayanya. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat merupakan

pengkajian sosiosastra. Ratna ( 2004: 60) menyatakan:

Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya
sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan
oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah
anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

- 10 -
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sastra menggambarkan suatu kenyataan

sosial, dan penelitian ini akan menitikberatkan permasalahan pada klasifikasi bahwa karya

sastra itu sendiri sebagai objek kajian dan penelitian.

Objek kajian penelitian ini adalah novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya

Ananta Toer. Cerita ini sebenarnya berbentuk dongeng. Mungkin dongeng sudah

terlupakan di masa yang sarat dengan hiruk-pikuk informasi seperti saat ini. Beberapa

usaha yang dilakukan untuk mempertahankan dongeng dalam ingatan masyarakat adalah

dengan menerbitkan dongeng itu ke dalam media tulis seperti Cerita Calon Arang karya

Pramoedya Ananta Toer ini. Tulisan lama naskah ini ada dua versi, yaitu yang berasal dari

Jawa dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R.Ng Purbatjaraka, kemudian

dilagukan oleh Raden Wiradat dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1931. Yang

lain Cerita Calon Arang ini berasal dari Bali (Toer, 2003: 6).

Buku ini adalah satu dari banyak karya yang pernah dihasilkan oleh Pramoedya

Ananta Toer. Pramoedya adalah pengarang Indonesia yang sangat fenomenal. Hampir

separuh hidupnya ia lewatkan dalam penjara, yaitu 3 tahun dalam penjara kolonial , 1 tahun

di orde lama, dan 14 tahun di Orde Baru tanpa proses pengadilan. Namun, penjara tidak

membuatnya berhenti menghasilkan karya, walaupun karya-karyanya berkali-kali dilarang

bahkan dibakar. Dalam penjara ia menghasilkan beberapa karya termasuk tetralogi. Ia juga

pernah dituduh terlibat dengan Gerakan 30 September (G30s / PKI). Kemudian pada 21

Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum dan

tidak terlibat dalam G30s / PKI, tetapi masih dikenakan sebagai tahanan rumah, tahanan

kota, tahanan negara sampai tahun 1999.

- 11 -
Universitas Sumatera Utara
Dari tangan Pramoedya Ananta Toer telah lahir lebih dari 50 karya dan

diterjemahkan dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya dalam bidang sastra dan

kebudayaan, Pramoedya dianugrahi berbagai penghargaan Internasional, Di antaranya The

PEN Freedom-to-write Award (1988), Ramon Magsaysay Award (1995), Fukuoka Culture

Grand Price, Jepang (2000), The Norwegian Authours Union (2003), Pablo Neruda (2004)

dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar, dan ia satu-satunya wakil

Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel

Sastra.

Selain karena penulisnya yang kontroversial, novel ini sangat menarik untuk dikaji,

karena dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan tahun

2003 ini sangat kental dengan aspek-aspek sosialnya. Dalam novel ini Pramoedya

menceritakan tentang kehidupan masyarakat di suatu daerah, yaitu Dusun Girah. Seluruh

penduduk desa itu digeluti perasaan ketakutan yang mencekam. Sebab di dusun itu tinggal

seorang janda yang jahat bernama Calon Arang yang memiliki ilmu hitam. Pramoedya

menggambarkan sosok Calon Arang ini tidak lebih sebagai pemusnah manusia. Calon

Arang adalah pemilik mantra hitam dan penghisap darah manusia. Calon Arang sombong,

dan ia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang dirasakan orang lain akibat

perbuatannya. Calon Arang senang melihat orang sekitarnya menderita. Yang melawannya

segera dihabisinya. Ia terus menyakiti, menganiaya, dan membunuh penduduk dusun itu.

Selain menceritakan kejahatan yang dilakukan Calon Arang dan pengikutnya

terhadap seluruh penduduk Dusun Girah, novel ini juga menggambarkan sikap

kepahlawanan Empu Baradah dalam menumpaskan kejahatan Calon Arang yang kemudian

- 12 -
Universitas Sumatera Utara
berhasil membebaskan penduduk dari cengkraman perempuan jahat itu. Setelah kejahatan

Calon Arang berakhir, maka berakhir pulalah penderitaan seluruh penduduk Dusun Girah.

Kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan para pengikutnya ini sangat

menarik apabila dikaitkan dengan aspek sosiologi. Demikian pula penggambaran peristiwa

demi peristiwa oleh Pramoedya Ananta Toer yang menegangkan dalam cerita ini sangat

menarik perhatian pembaca. Dengan alasan ini maka penulis tertarik untuk menganalisis

novel ini dengan melihat aspek-aspek sosiologisnya.

1.2 Rumusan Masalah


Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan

dengan karya sastra, maka karya sastra tersebut berhadapan dengan kemungkinan

penafsiran. Setiap pembaca berhak memiliki penafsiran yang berbeda terhadap makna

karya sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap

karya sastra.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian ini, masalah yang akan dibicarakan

dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimanakah unsur intrinsik yang mencakup tema, alur, penokohan, dan latar

dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ?

2) Bagaimanakah unsur ekstrinsik yang berupa nilai-nilai sosial seperti cinta,

kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalan novel Cerita Calon Arang karya

Pramoedya Ananta Toer ?

- 13 -
Universitas Sumatera Utara
1.3 Batasan Masalah
Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas, yaitu mencakup

aspek sosiologi, psikologi, antropologi, politik dan sebagainya maka dalam penelitian ini

penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya agar pembicaraan tidak terlalu

mengambang dan tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Penelitian ini dibatasi

pada analisis terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam karya sastra.

Unsur intrinsik itu meliputi alur (plot), tokoh (karakter), tema, suasana cerita, latar cerita

(setting), sudut pandang pencerita (point of view), dan gaya (style) tetapi dalam kesempatan

ini penulis hanya membahas unsur intrinsik yaitu tema, alur, penokohan dan latar

sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra mencakup ilmu atau aspek lain yang berada di luar

sastra, yaitu aspek sosiologis, aspek historis, aspek psikologis, aspek filosofis, aspek religi,

dan sebagainya

(www.google.co.id/qwt/x?source=m&u=http%3A%2fnetworkedblogs.com), tetapi dalam

kesempatan ini penulis hanya membahas unsur-unsur sosial seperti cinta, kejahatan, dan

kepahlawanan yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta

Toer.

1.4 Tujuan dan Manfaat


1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis unsur-unsur intrinsik yang mencakup tema, alur, penokohan, dan

latar dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

- 14 -
Universitas Sumatera Utara
2) Menganalisis unsur-unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai sosial seperti cinta,

kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalan novel Cerita Calon Arang

karya Pramoedya Ananta Toer.

1.4.2 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini diharapkan untuk:

1) Mempertahankan dongeng sebagai warisan kebudayaan Indonesia dalam

ingatan pembaca yang saat ini mulai terlupakan oleh masyarakat Indonesia.

2) Memberi informasi tentang unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik berupa nilai-

nilai sosial yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya

Ananta Toer.

3) Memperkaya wawasan dan referensi ilmu sastra Indonesia khususnya mengenai

sosiologi sastra.

- 15 -
Universitas Sumatera Utara
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan

penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (2005: 588) dijelaskan:

konsep memiliki arti sebagai berikut: 1. rancangan atau buram surat, 2. ide atau
pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, 3. gambaran mental dari objek,
proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang dipergunakan oleh akal budi
untuk memahami hal-hal lain.

Berdasarkan pengertian tersebut, dalam mencari dan memahami definisi atau

pengertian yang tepat mengenai suatu istilah yang konkret, sering terdapat perbedaan ide,

pendapat dari para ahli atau peneliti mengenai makna dan pengertian istilah tersebut.

Seperti yang disebutkan Malo (1985: 47) “konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial

walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun

makna dan pengertiannya dapat berubah”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti

akan menjabarkan atau mendefinisikan istilah yang dianggap berbeda maknanya di dalam

penelitian ini. Istilah-istilah tersebut merupakan konsep yang berfungsi sebagai pedoman

atau pendukung bagi peneliti. Konsep-konsep itu adalah sebagai berikut:

1. Sosiologi
Secara etimologi Ratna (2003: 1) menyatakan:
sosiologi berasal dari akar kata socious (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘teman’,
‘bersatu’, dan logos yang berarti ‘berbicara’, ‘perkataan’, ‘sabda’. Jadi, sosiologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang teman yang berkenaan dengan masyarakat
atau dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia dan kehidupannya.

- 16 -
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti
‘masyarakat’, dan logos berarti ‘ilmu’. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-
usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu yang mempelajari keseluruhan
jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat .

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang erat

sekali hubungannya dengan masyarakat, sosiologi mencoba mempelajari segala sesuatu

tentang manusia dalam masyarakat, baik dalam hubungan antara individu, individu dengan

kelompok, serta antara kelompok dengan kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa sosiologi

adalah suatu ilmu yang mempelajari seluk-beluk masyarakat, baik secara ekonomi, politik,

budaya, yang merupakan sebuah proses perubahan sosial yang pada gilirannya akan

membentuk interaksi sosial, kelompok sosial, dan lembaga-lembaga sosial.

2. Sastra

Sastra adalah hasil karya manusia (pengarang) berdasarkan kreatifitas dalam

mengungkapkan apa yang telah disaksikan, dialami dan direnungkan dengan menggunakan

bahasa sebagai mediumnya. Seperti yang dinyatakan Damono (2002: 1) “sastra adalah

lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, bahasa itu merupakan

ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah

suatu kenyataan sosial”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sastra ditampilkan

gambaran kehidupan sosial dalam pengungkapan keindahan bahasa yang digunakan

pengarang.

3. Sosiologi Sastra
Ratna (2004: 339) mengatakan “sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam

kaitannya dengan masyarakat”. Jadi, sosiologi merupakan kajian terhadap suatu karya

- 17 -
Universitas Sumatera Utara
sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya baik yang berhubungan

dengan penciptanya, gambaran masyarakat dalam karya itu, maupun pembacanya.

4. Karya Sastra
Karya sastra adalah karangan imajinatif yang berhubungan dengan pemberian arti

maupun peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri

(www.google.co.id/qwt/cassle.kemudian.com). Jadi, karya sastra merupakan hasil ciptaan

pengarang dengan imajinasinya yang berisi tentang nilai-nilai yang terdapat dalam

kehidupan manusia sehari-hari.

2.2 Landasan Teori


Dalam sebuah penelitian terhadap karya sastra dibutuhkan landasan teori yang

mendasarinya sebagai titik tolak yang merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Seperti

yang dikatakan Pradopo (2002: 17) “dalam penelitian sastra perlu dikemukakan apakah

dasar-dasar atau kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk mempertimbangkan karya

sastra”.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori struktural. Suwondo (2001: 54)

mengatakan “satu konsep dasar yang menjadi ciri khas struktural adalah adanya anggapan

bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang

dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang

salin berjalinan”. Jadi, dapat dikatakan bahwa pendekatan ini berpijak pada karya sastra itu

sendiri dan lepas dari segala yang berada di luar karya sastra. Pendekatan struktural ini

dapat dijadikan titik tumpu proses penelitian. Seperti yang dikatakan Teeuw (dalam

- 18 -
Universitas Sumatera Utara
Suwondo, 2001: 55) “analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti

sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain”. Selanjutnya Teeuw (2984: 112)

menjelaskan “analisis struktural betujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,

seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan semua anasir dan aspek karya

sastra yang menghasilkan makna menyeluruh”. Jadi, pendekatan struktural ini merupakan

tahap penting dalam penelitian karya sastra untuk mendapatkan makna karya sastra itu

secara keseluruhan.

Yang menjadi ciri dari pendekatan struktural ini adalah adanya anggapan karya

sastra itu merupakan struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan

dengan unsur-unsur pembangunnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Pradopo (2002:

21) “karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur

pembentuk struktur”. Jadi, unsur-unsur dalam karya sastra itu merupakan struktur yang

membangun karya sastra dan menciptakan makna yang utuh.

Menurut Stanton (dalam Suwondo, 2001: 56) “unsur-unsur pembangun struktur itu

terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur,

tokoh, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa

dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan cara-cara pemilihan judul”. Analisis unsur-

unsur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mencakup tema, alur, penokohan, dan

latar yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, karena

unsur-unsur ini termasuk fakta cerita yang berperan penting dalam menghasilkan makna

yang utuh. Alasan lain adalah karena keterbatasan halaman dalam penelitian ini serta

keterbatasan kemampuan peneliti.

- 19 -
Universitas Sumatera Utara
Menurut pendapat di atas, terlihat jelas bahwa analisis unsur-unsur karya sastra

melalui pendekatan struktural ini dapat membantu memahami makna karya sastra secara

optimal dan menyeluruh.

Namun pendekatan struktural ini masih memiliki kelemahan. Seperti yang

dikatakan Teeuw (1984: 115) ada empat kelemahan pendekatan struktural yaitu:

a) analisis struktur karya sastra belum merupakan teori sastra, malahan tidak
berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan merupakan bahaya untuk
mengembangkan teori sastra yang sangat perlu, b) karya sastra tidak dapat diteliti
secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar
belakang sejarah, c) adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin
disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya
sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensinya untuk analisis struktural,
dan d) analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga dapat menghilangkan
konteks dan fungsinya, sehingga karya sastra itu dimenaragadingkan dan kehilangan
relevansi sosialnya.

Dari keterangan di atas maka dalam penelitian ini digunakan teori lain (tambahan)

untuk mendukung makna karya sastra secara lebih terperinci dengan melihat relevansi

sosialnya. Teori itu adalah teori sosiologi sastra karena karya sastra tidak lepas dari

konteks sosialnya. Seperti yang dikatakan Wallek dan Warren (1984: 109) “sastra adalah

institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan

terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif

manusia”.

Jabrohim (2001: 158) menyatakan “pendekatan sosiologi sastra mempertimbangkan

segi-segi kemasyarakatannya. Pendekatan ini tidak berbeda pengertiannya dengan

sosiosastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra”.

Kemudian Ratna (2003: 2) menyatakan “pemahaman terhadap karya sastra dengan

- 20 -
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya”. Jadi, melalui teori ini juga akan

terlihat gambaran tentang masyarakat di dalam sebuah karya sastra.

Dalam penelitian ini akan dilihat nilai-nilai sosial seperti cinta, kejahatan, dan

kepahlawanan yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta

Toer. Nilai-nilai sosial itu dapat dikaji dengan sosiologi sastra karena nilai-nilai sosial ini

merupakan gambaran masyarakat yang terdapat dalam cerita itu. Cinta, kejahatan, dan

kepahlawanan ini adalah bagian kehidupan masyarakat itu. Sesuai yang dinyatakan

Damono (dalam Jabrohim, 2001: 157) “sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan

kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini kehidupan mencakup

hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan

antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang”.

Dalam Wellek dan Warren (1984: 111) dikatakan “karya sastra menyampaikan

kebenaran yang sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan kebenaran sosial. Karya

sastra merupakan dokumen sosial karena merupakan monumen”. Nilai-nilai sosial yang

mencakup cinta, kejahatan, dan kepahlawanan tersebut merupakan suatu kebenaran sosial

yang terjadi pada masyarakat yang dapat mewakili zaman kapan ia diciptakan dan dapat

mencerminkan keadaan masyarakat itu sendiri.

Dari keterangan di atas dapatlah dimengerti bahwa sosiologi sastra merupakan teori

yang berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman

karya sastra itu ditulis. Teori ini dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra

sebagai sistem komunikasi, khususnya kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti

kelompok sosial, institusi sosial, kesadaran sosial, dan bentuk-bentuk konkrit nilai-nilai

sosial.

- 21 -
Universitas Sumatera Utara
2.3 Tinjauan Pustaka
Suatu penelitian haruslah memiliki objek karena objek adalah unsur yang paling

utama dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini objeknya adalah novel Cerita Calon

Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Sejauh yang peneliti ketahui, novel ini belum pernah

diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.

Namun, di lain tempat cerita ini pernah diteliti oleh I Made Suastika untuk meraih gelar

doktoral dalam ilmu sastra yang dipertahankannya dalam ujian promosi di hadapan senat

Universitas Gajah Mada (Setya Amrih Prasaja: http://www.google.co.id/m?hl=id&oe=UTF-

8&source=wax). Tetapi, yang menjadi objek penelitian I Made Suastika adalah teks prosa

Calon Arang dalam tradisi Bali, bukan karya Pramoedya Ananta Toer.

Dalam penelitian ini, I Made Suastika meneliti teks prosa Calon Arang dengan

pendekatan filologi dan intertekstualitas. Pendekatan filologi digunakan karena objek

penelitian ini merupakan teks lama yang dalam penanganannya menggunakan kerja fililogi.

Adapun cara kerja filologi yang dilakukan adalah pendataan naskah, pendeskripsian

naskah, penyuntingan, dan penerjemahan, sedangkan pendekatan intertekstual digunakan

dalam mengetahui proses tranformasi yang terjadi, hal ini untuk menjelaskan bahwa teks

Calon Arang yang muncul kemudian adalah wujud tranformasi dari bentuk hipogramnya

(Setya Amrih Prasaja: http://www.google.co.id/m?hl=id&oe=UTF-8&source=wax).

Lalu pada lain tempat, ada artikel karya Gadis Arivia yang berjudul “Calon Arang

Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty”. Artikel ini mengulas tentang

Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer dan Calon Arang: Kisah Perempuan

Korban Patriarki karya Toeti Heraty. Menurut Gadis, Pramoedya masih terkungkung pada

misi manusia modern. Sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat

- 22 -
Universitas Sumatera Utara
unversalisme dan kebenaran tunggal, serta perjuangan kemanusiaan yang baik melawan

kekuasaan yang jahat. Ide-ide besar ini menurut Gadis, sudah tentu mementingkan rasio,

lalu Pramoedya mengenyampingkan mengenai masalah perempuan. Tidak memikirkan

problematik seorang janda. Itu sebabnya Calon Arang bagi Pramoedya menjadi gender

netral, tidak ada masalah seksual, dan sangat serasi dengan pemikir-pemikir modern.

Sementara tulisan Toeti Heraty menurut Gadis terlihat bebas, liar dengan imajinasi, tanpa

kekangan, kata-kata yang terus mengalir, serta tidak bisa dibendung, ia melepaskan tali

segala norma yang melilit. Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan

mampu memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasa berlari bebas ke segala arah.

Selain itu karya Toeti Heraty mengajak pembaca untuk bergairah karena dengan gairah atau

keinginan, dan bukan rasio, perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran yang

sudah ditetapkan oleh laki-laki. Karena pada akhirnya perempuan hanya dapat bebas dari

penindasan bila ada gairah/keinginan dan bukan rasio.

Dari artikel ini dapat diketahui bahwa tidak ada karya sastra yang netral. Baik

Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, maupun Calon Arang: Kisah

Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty memperlihatkan perspektif yang berbeda.

Pramoedya menuliskan cerita ini dengan sudut pandang laki-laki, sementara Toeti

menuliskannya dengan sudut pandang perempuan. Perbedaan sudut pandang tersebut

mengakibatkan Pramoedya menempatkan Calon Arang seorang janda dari Desa Girah

sebagai tokoh yang jahat (antagonis), sementara Toeti menempatkan Calon Arang sebagai

korban budaya patriarki.(Asep Sambodja: www.asepsambodja.blogspot.com/2008/10c)

Pada kesempatan ini, peneliti akan menganalisis novel Cerita Calon Arang karya

Pramoedya Ananta Toer ini dari segi sosiosastra, yaitu menganalisis unsur intrinsik dengan

- 23 -
Universitas Sumatera Utara
pendekatan struktural, yang mencakup tema, alur, penokohan, dan latar. Kemudian

menganalisis unsur-unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai sosial, seperti cinta, kejahatan, dan

kepahlawanan yang terdapat dalan novel ini.

- 24 -
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang

dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini diperoleh data dan informasi tentang

objek penelitian melalui buku-buku. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari novel,

yaitu:

Judul : Cerita Calon Arang


Karya : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Jenis : Novel

Cetakan : Ketiga

Ukuran : 13 x 20 cm

Tebal : 94 halaman

Gambar Sampul : Gambar seorang wanita yang sedang berdiri yang raut wajahnya

menunjukkan kemarahan, sedangkan di sisi lain terdapat gambar

seorang wanita sedang termenung.

Warna Kulit : Perpaduan kuning muda dan biru toska

Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode membaca

heuristik dan hermeneutik. Pradopo ( 200: 135) menyatakan:

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara


semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik sistem pertama. Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat
kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah

- 25 -
Universitas Sumatera Utara
pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi
konvensi sastranya.

Selanjutnya Pradopo (2001: 135) menjelaskan “pembacaan heuristik cerita rekaan

adalah pembacaan tatabahasa ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita

secara berurutan”. Dari pembacaan ini dihasilkan sinopsis cerita sebagai berikut:

Di sebuah negara, yaitu Daha yang kini bernama Kediri, penduduknya banyak dan

hidup makmur. Petani selalu mendapatkan hasil panen yang baik. Penduduknya hidup

dengan sukacita. Negara Daha termasyhur aman. Penduduknya cukup makanan dan

pakaian, sehinggan tidak ada penyakit. Negara itu diperintah oleh seorang raja yang

berbudi dan bijaksana yang bernama Baginda Erlangga. Baginda selalu memperhatikan

rakyatnya. Rakyatnya mencintai Baginda karena keramatamahannya.

Suatu hari, keadaan negara yang makmur dan sentosa itu berubah. Keamanan dan

kesejahteraannya tidak lagi seperti dulu. Seluruh penduduk gelisah dan diikuti perasaan

takut karena terdengar bahwa akan ada musuh yang datang menyerang mereka. Sehingga

Orangtua melarang anak-anaknya bepergian. Jalan-jalan menjadi sepi. Ibukota negara

seakan-akan berkabung karena sunyinya. Ternyata musuh itu adalah penyakit mematikan

yang dapat menimpa siapa saja yang ada di Negara Daha.

Penyakit berbahaya itu ternyata disebabkan oleh perbuatan seorang janda yang

tinggal di Dusun Girah, dusun yang menakutkan bagi penduduk Daha. Janda setengah tua

itu bernama Calon Arang. Calon Arang berkuasa. Ia senang menganiaya sesama manusia,

membunuh, merampas, dan menyakiti. Ia memiliki ilmu hitam yang dapat digunakannya

untuk membunuh orang. Calon Arang adalah pendeta perempuan pada Candi Dewi Durga.

- 26 -
Universitas Sumatera Utara
Calon Arang juga seorang dukun yang memiliki banyak mantra yang manjur. Tidak ada

orang yang berani melawannya. Ia juga memiliki banyak murid.

Calon Arang memiliki seorang anak perempuan yang berumur lebih dari 25 tahun.

Nama putrinya itu adalah Ratna Manggali. Ia adalah gadis yang sangat cantik. Walaupun

Ratna Manggali sangat cantik, belum ada seorang pemuda pun yang mau meminangnya.

Para pemuda di dusun itu takut pada Calon Arang, karena kelakuannya yang buruk.

Bahkan, Ratna Manggali tidak memiliki teman biasa. Gadis-gadis lain menjauhinya, karena

takut dengan kejahatan dan kedengkian yang dimiliki oleh ibunya. Tidak ada yang mau

berbicara atau bertegur sapa dengan Ratna Manggali, karena jika salah bicara akan

menimbulkan amarah Calon Arang.

Melihat penduduk Girah yang menjauhi putrinya, lama-kelamaan Calon Arang

menjadi sangat marah. Sifat jahatnya pun muncul. Ia hendak membunuh orang sebanyak-

banyaknya, demi memuaskan amarahnya. Maka, Calon Arang memanggil semua muridnya

dan menyampaikan rencana jahatnya. Dengan tidak banyak pertimbangan Calon Arang

berangkat ke Candi Durga untuk memanggil Dewi Durga, yaitu dewi yang menghendaki

kerusakan. Di dalam candi inilah Calon Arang dan murid-muridnya membaca mantra untuk

menyampaikan maksud untuk membunuh orang. Ada yang menyanyi, menandak dan

menari-nari, melangkah berputar-putar, menjulurkan lidah seperti ular, mendelik-delik

menakutkan, memendekkan kaki, miring-miring dan semacamnya, seperti orang gila.

Mereka berhasil membaca mantra dan Dewi Durga memberi izin untuk
membangkitkan penyakit untuk menumpaskan nyawa orang banyak dengan syarat bahwa
mereka tidak boleh menyebarkan penyakit itu hingga ke dalam ibukota. Kemudian mereka
semua pulang dan merencanakan niat jahat yang akan mereka lakukan terhadap seluruh
penduduk.

- 27 -
Universitas Sumatera Utara
Calon Arang dan murid-muridnya mulai melaksanakan rencananya menyakiti dan

menewaskan orang banyak. Setiap hari ada saja yang menjadi korban kejahatan Calon

Arang dan murid-muridnya itu. Tidak ada seorang pun yang berani melawan. Seluruh

penduduk dan kepala desa serta barisannya pun tidak. Tidak ada yang berani keluar rumah.

Sawah-sawah di Dusun Girah tidak ada yang mengerjakan. Ladang-ladang menjadi padang

rumput dan belukar. Lama-kelamaan Dusun Girah yang semula ramai menjadi sunyi karena

penduduknya tidak ada yang berani keluar rumah.

Calon Arang dan murid-muridnya merasa bahagia dan puas karena berhasil

menyakiti dan menewaskan orang-orang yang dibencinya. Mereka tertawa dan merayakan

kemenangan dengan berkeramas. Yang digunakan untuk mengeramasi rambut mereka

adalah darah manusia. Karena itu rambut murid-muridnya lengket-lengket dan tebal. Jika

sedang berpesta, mereka seperti binatang buas. Semua orang takut melihatnya. Jika ada

orang yang mengintip mereka, maka orang itu akan diseret ke tengah pesta dan dibunuh

dan darahnya digunakan untuk keramas.

Pada hari-hari berikutnya mereka menanamkan teluh, agar penyakit menyebar ke

empat mata angin. Tidak lama kemudian, penyakit itu merajalela ke seluruh negeri, ke

gunung, sawah, hutan , dusun kecuali ibukota. Setiap hari ratusan orang meninggal karena

penyakit yang tidak ada obatnya itu. Penduduk negara Daha semakin hari semakin sedikit.

Penyakit panas dingin yang disebarkan Calon Arang dan murid-muridnya tidak bisa

dicegah lagi. Bahkan pendeta-pendeta yang baik hati di Daha pun tidak ada yang bisa

melawan kekuatan Calon Arang. Nama Calon Arang disebut-sebut dan dikutuk oleh

seluruh penduduk negara Daha.

- 28 -
Universitas Sumatera Utara
Suatu hari, berita tentang meluasnya penyakit yang disebarkan Calon Arang itu

sampai kepada Sri Baginda Erlangga. Sri Baginda Erlangga sangat sedih mendengarnya.

Lalu ia memanggil seluruh pendeta dan menteri ke istana. Kemudian ia memerintahkan

balatentara untuk pergi ke Dusun Girah untuk menangkap Calon Arang dan menghentikan

penyakit yang sedang merajalela itu. Seluruh penduduk menyambut gembira keputusan Sri

Baginda Erlangga itu. Mereka mengadakan selamatan agar pasukan balatentara berhasil

menghentikan perbuatan Calon Arang.

Setelah perjalanan panjang, sampailah pasukan balatentara di Dusun Girah. Mereka

tiba di sana larut malam. Tidak ada yang menyadari kedatangan mereka, karena penduduk

sudah pada tidur dan tidak berani keluar rumah. Pasukan itu pun langsung menuju rumah

Calon Arang. Namun, pasukan itu tidak berhasil menangkap Calon Arang, malahan tiga

orang dari pasukan tewas di tangan Calon Arang. Pasukan yang lain pun segera pergi dan

kembali ke ibukota.

Mendengar kegagalan para prajurit balatentara, seluruh penduduk sangat sedih.

Begitu juga Sri Baginda Raja. Penyakit pun terus menyebar. Di sisi lain, Calon Arang dan

murid-muridnya marah karena pemerintah ibukota telah mengetahui dan ikut campu atas

kejahatan yang mereka lakukan. Maka Calon Arang dan murid-muridnya merencanakan

memperluas penyebaran penyakit ke ibukota. Mereka meminta izin pada Dewi Durga

untuk menyebarkan penyakit itu sampai ke ibukota bahkan ke istana. Mereka

mempersembahkan sesaji, kemudian Dewi Durga memberi izin kepada Calon Arang dan

murid-murinya untuk melaksanakan maksud mereka tersebut.

Hari demi hari, penyakit semakin hebat. Mayat tergolek di sepanjang jalan, di dalam

rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana juga. Bukan main amarah Sri Baginda

- 29 -
Universitas Sumatera Utara
melihat peristiwa itu. Maka ia mengumpulkan pasukan dan pendeta-pendeta. Sri Baginda

Erkangga mengatakan bahwa mantra harus dilawan dengan mantra juga. Ia memerintahkan

para pendeta itu untuk memohon petunjuk dari Dewa Agung guna mendapatkan cara

melawan kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya. Pendete-pendeta itu kemudian

memanggil Dewa Agung di dalam candi kerajaan dengan asap pedupaan. Tidak lama

kemudian, muncul Dewa Guru. Dewa itu mengatakan bahwa yang dapat melawan Calon

Arang hanya seorang saja, yaitu seorang pendeta yang sakti dan baik hati bernama Empu

Baradah yang tinggal Lemah Tulis. Ia pulalah kelak yang melindungi kerajaan dari

kerusuhan dan keonaran.

Setelah mendapatkan petunjuk dari Dewa Guru itu, segeralah Sri Baginda Erlangga

memerintahkan Kanduruan agar meminta pertolongan dengan hormat kepada Empu

Baradah. Kenduruan pun segera menuju Lemah Tulis menemui Empu Baradah. Setelah

mereka bertemu, Kenduruan langsung menyampaikan maksudnya kepada Empu Baradah,

bahwa ia utusan Sri Baginda Erlangga. Empu Baradah bersedia menolong penduduk. Lalu

Empu Baradah menanyakan apakah yang menyebabkan Calon Arang berbuat demikian

jahat kepada penduduk Daha. Kanduruan menjelaskan alasannya, yaitu karena tidak

seorang lelaki pun yang mau menikahi putri Calon Arang yaitu Ratna Manggali karena

takut kepada Calon Arang.

Setelah mengetahui alasan tersebut, maka Empu Baradah pun menjodohkan

seorang muridnya yang bernama Empu Bahula dengan Ratna Manggali. Tidak lama

kemudian, Sri Baginda menghadiahkan emas kawin dan uang kepada Empu Bahula untuk

dipersembahkan pada saat upacara perkawinannya nanti. Lalu dengan kuda putih besar

Empu Bahula dan iring-iringan langsung berangkat ke Dusun Girah menemui Calon

- 30 -
Universitas Sumatera Utara
Arang. Sesampainya di sana, Calon Arang sangat senang dan langsung menerima lamaran

Empu Baradah terhadap putrinya Ratna Manggali. Upacara pernikahan pun dilaksanakan

sangat meriah. Suluruh penduduk pun ikut memeriahkan acara itu. Bukan main girangnya

Calon Arang karena putri tunggalnya sudah menikah. Kemudian Empu Bahula dan Ratna

Manggali hidup berumahtangga.

Suatu hari, ketika duduk bersama Ratna Manggali, Empu Bahula menanyakan untuk

apa setiap sore Calon Arang pergi dengan membawa kitab. Ratna Manggali pun

menceritakan semua rahasia Calon Arang kepada Empu Bahula, bahwa Calon Arang setiap

sore pergi ke pekuburan dekat Candi Durga untuk membuat dan menyebarkan penyakit ke

seluruh pendudu. Dan kitab yang dibawa itu sangat bertuah dan di dalamnya berisi rahasia

semua ilmu yang dimiliki Calon Arang. Empu Bahula pun meminta Ratna Manggali

mengambil kitab itu.

Pada suatu malam ketika Calon Arang sedang tidur pulas, Ratna Manggali

mengambil kitab ibunya itu, lalu menyerahkannya kepada Empu Bahula. Setelah menerima

kitab itu, Empu Bahula segera menuju Lemah Tulis menemui Empu Baradah dan memberi

tahu bahwa rahasia ilmu Calon Arang sudah ia pegang. Ia lalu menyerahkan kitab itu

kepada Empu Baradah, gurunya. Empu Baradah membaca seluruh isi dari kitab itu dan

menyuruh Empu Bahula mengembalikannya kepada Ratna Manggali.

Setelah mengetahui rahasia Calon Arang, maka Empu Baradah dan tiga muridnya

pergi ke tempat-tempat yang diteluh penyakit. Di sepanjang jalan mereka mengobati

penyakit penduduk. Bahkan mereka menghidupkan kembali mayat orang-orang yang

meninggal. Lalu Empu Baradah menemui Calon Arang. Awalnya Calon Arang meminta

ampun kepada Empu Baradah dan ingin bertobat, tetapi Empu Baradah menolak

- 31 -
Universitas Sumatera Utara
permintaan Calon Arang itu karena wanita itu memiliki banyak sekali dosa. Jiwanya tidak

bisa disucikan lagi. Calon Arang tidak bisa diampuni lagi. Mendengar penolakan itu, Calon

Arang sangat murka. Ia menyerang Empu Baradah dengan semburan api yang besar.

Namun, api itu sama sekali tidak dapat membakar tubuh Empu Baradah, walaupun sudah

berulang-ulang. Kemudian Empu Baradah mengalahkan Calon Arang hanya dengan

ucapan. Maka Calon Arang pun mati. Kemudian Empu Baradah menghidupkan Calon

Arang kembali untuk menyucikan jiwanya, menghilangkan kotoran jiwanya, kemudian

Calon Arang dibunuh kembali. Setelah itu Calon Arang benar-benar telah tiada.

Kabar kematian Calon Arang sampai ke seluruh negeri. Sri Baginda Erlangga

sangat bahagia. Kini negara Daha yang dipimpinnya bebas dari penyakit teluh Calon

Arang. Sri Baginda pun menemui Empu Baradah untuk mengucapkan rasa terimakasih

yang besar. Ketika mereka bertemu, Sri Baginda Erlangga meminta Empu Baradah

mengajarkan ilmu budi pekerti. Pengetahuan Sri Baginda Erlangga itu dipergunakan untuk

memperbaiki keadaan rakyat. Negara Daha kembali makmur. Orang-orang Tionghoa dan

India leluasa datang ke Jawa untuk berdagang. Anak-anak kecil kembali bermain dengan

riang. Tidak ada seorang pun yang ketakutan. Penyakit tidak lagi banyak seperti dulu.

Sawah dan ladang diolah lagi. Tidak ada lagi kelaparan. Demikianlah keadan Daha setelah

Calon Arang tiada.

Dalam penelitian ini selanjutnya penafsiran data tentang unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik dicatat pada kartu data. Setiap kartu data berbeda warna, yaitu kartu kuning

untuk unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, dan latar serta kartu merah

untuk unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai sosial yaitu cinta, kejahatan, dan kepahlawanan.

- 32 -
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam membedakan setiap masalah yang

akan dibahas.

3.2 Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

yaitu mendeskripsikan data dari kartu data secara sistematis kemudian dilanjutkan dengan

penganalisisan data berdasarkan masalah yang ditawarkan yaitu mulai dari masalah

intrinsik, kemudian dilanjutkan dengan masalah ekstrinsik dan diakhiri dengan kesimpulan.

- 33 -
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP NOVEL CERITA CALON ARANG KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER

4.1 Tema
Tema merupakan gagasan dasar atau ide pokok yang mendasari seorang pengarang
dalam menciptakan karyanya. Suatu kreasi atau suatu karya sastra tidak akan tercipta tanpa
adanya gagasan yang mendahuluinya. Pengarang memiliki ide dan mengangkat
permasalahan kehidupan menjadi tema yang diungkapkan kembali dengan daya imajinasi
yang tinggi ke dalam bentuk cerita rekaan atau fiksi. Dengan demikian, tema merupakan
unsur penting bagi pengarang untuk menghasilkan karyanya. Begitu juga dengan pembaca,
tema merupakan unsur yang mengantar kepada suatu pesan dari cerita yang dibacanya. Hal
ini sesuai dengan yang dikatakan Sumardjo dan Saini K.M (1997: 56):
Tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan mau
sekedar bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya. Sesuatu yang
mau dikatakannya itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang
kehidupan ini atau komentar tentang kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan tokoh
cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut.

Nurgiyantoro (1995: 25) mengatakan “Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar

cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta,

kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat

disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita”. Selanjutnya, Stanton (dalam

Nurgiyantoro, 1995: 70) menyatakan “Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus

menerangkan sebagian beasar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya,

kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama”. Jadi, melalui tema tersebut dapat

diketahui apa yang menjadi gagasan dasar yang ingin disampaikan seorang pengarang

kepada pembacanya yang terdapat dalam sebuah karya fiksi sesuai pengalaman dan

pengamatan dengan lingkungan. Tema itu merupakan gagasan yang berkaitan dengan

- 34 -
Universitas Sumatera Utara
makna. Artinya, tema ini adalah tujuan utama dari cerita. Tujuan ini merupakan sesuatu

yang membuat karya sastra lebih penting dari sekedar bacaan hiburan saja.

Sudjiman (1987: 50) menyatakan “Tema cerita dapat dinyatakan secara eksplisit

(langsung), secara simbolik, dan juga dapat terungkap melalui dialog para tokoh”.

Selanjutnya Sudjiman (1987: 50) menyatakan “Tema yang banyak dijumpai dalam karya

sastra yang bersifat didaktis adalah pertententangan buruk dan baik. Secara lebih konkret

tema pertentangan baik dan buruk ini dinyatakan dalam bentuk kebohongan melawan

kejujuran, kelaziman melawan keadilan, korupsi melawan hidup sederhana”. Sudjiman

menambahkan (1987: 51) “Tema bahkan dapat menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa

cerita dalam satu alur”. Jadi, dapat dikatakan bahwa tema merupakan persoalan yang

mendasari seluruh perkembangan struktur cerita.

Dari keterangan di atas, penulis dapat menemukan tema yang terdapat dalam novel

Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun tema dari novel ini adalah

kejahatan, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya terhadap

seluruh penduduk Dusun Girah dan Ibukota. Kejahatan ini dilakukan karena tidak ada

penduduk yang suka padanya sebab Calon Arang adalah seorang pendeta jahat, terlebih lagi

karena belum ada seorang pun yang mau melamar putrinya Ratna Manggali yang sudah

berusia lebih dari 25 tahun. Padahal, Ratna Manggali adalah gadis yang cantik, namun

karena ibunya memiliki ilmu hitam, maka tidak ada laki-laki yang berani dekat dengannya.

Kejahatan ini sangat menonojol dan berkelanjutan dari awal hingga akhir cerita, sehingga

mendominasi cerita.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya.
Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan,
karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun

- 35 -
Universitas Sumatera Utara
tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah
hatinya. Setelah niatnya pasti, dipanggil semua murid-muridnya yang terkemuka
ialah Weksirsa, Mahisa Wadana, Lendesi, Larung, Guyung, dan Gandi. Semua
muridnya menyetujui maksudnya” (Cerita Calon Arang, 2003: 12-13).

Kejahatan ini juga yang menjadi pangkal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita

ini, seperti ketakutan dan kecemasan seluruh penduduk dan Sri Baginda Erlangga yang

memimpin Negara Daha.

Kecemasan seluruh penduduk dapat dilihat dari kutipan berikut:


anak-anak kecil dilarang orangtuanya meninggalkan rumah. Bahkan orang-orang
tua pun kadang-kadang tak berani keluar rumah. Semua memuja meminta
perlidungan dewa-dewa agar tetap selamat ( Cerita Calon Arang, 2003: 23).

Selanjutnya ketakutan penduduk dapat dilihat dari kutipan berikut:


Tetapi sekarang sunyi saja tanah lapang dusun itu. Bila mereka bermain dan
lewatlah seorang dari murid-murid Calon Arang, larilah mereka masing-masing
karena takutnya. Kalau Calon Arang atau muridnya sedang tidur, tak ada anak yang
berani berseru atau tertawa-tawa. Kalau anak itu anak-anak itu berani berbuat gaduh
di waktu mereka tidur, matilah ia diteluh (Cerita Calon Arang, 2003: 24).

Kecemasan akibat kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya ini bukan hanya

dialami oleh seluruh penduduk, tetapi juga dialami oleh pemimpin Negara Daha, yaitu Sri

Baginda Erlangga. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

Bukan main amarah Sang Baginda melihat kesengsaraan rakyatnya, disebabkan


oleh kejahatan beberapa saja orang itu. Tetapi apa dayanya? Balatentaranya yang
kuat dan pernah menaklukkan berbagai negeri tak bisa melawan tukang sihir yang
bersenjatakan sihirnya itu. Tak habis-habisnya ia memikirkan bagaimana dapat
membinasakan Calon Arang beserta murid-muridnya (Cerita Calon Arang, 2003:
53)

Kejahatan Calon Arang ini semakin merajalela dan menyebabkan penyakit dan kematian
pada hampir seluruh penduduk.
Penyakit tambah menghebat. Ratusan orang mati tiap hari. Tak sempat lagi orang
menguburkan kerabat atau sahabat yang meninggal. Mayat tergolek-golek

- 36 -
Universitas Sumatera Utara
sepanjang jalan, di dalam rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana demikian
pula (Cerita Calon Arang, 2003: 53).

Seluruh penduduk sangat sedih, dan selalu berdoa pada dewa meminta keselamatan.
Hampir setiap hari terdengar menghiba-hiba. Saban hari ada orang-orang yang
masih sehat berduyun-duyun ke candi dan berdengunglah doa memohon
keselamatan dari para dewa. Saban hari terdengar rintih kesakitan dan tangis tangis
serta jerit kesedihan dan ketakutan. Banyak orang mengungsi meninggalkan daerah-
daerah yang sudah diserbu oleh penyakit. Tetapi di tengah-tengah perjalanan
mereka terserang penyakit juga dan roboh di pinggir jalan (Cerita Calon Arang,
2003: 54).

Kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya ini terus berkelanjutan hingga

akhirnya menumbuhkan sikap kepahlwanan Empu Baradah atas permintaan Sri Baginda

Erlangga yang meminta pertolongan agar Empu Baradah mau menolong melawan penyakit

yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya itu. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan berikut:

Segera Sri Baginda Raja memerintahkan Kanduruan. Banyak ia menasihati


Kanduruan agar bersikap hormat pada Empu Baradah dan menghadap benar-benar
agar pendeta yang mulia itu segera sudi turun tangan menghancurkan seluruh
penyakit (Cerita Calon Arang, 2003: 56).

Permintaan Sri Baginda untuk melawan penyakit itu diterima oleh Empu Baradah.
Kesediaan Empu Baradah untuk membebaskan penduduk dari penyakit itu dapat dilihat
dari kutipan berikut:
Sangat pelan katanya. Kemudian suaranya dikeraskan. “Baiklah, priyayi. Tuan lebih
baik segera kembali menghadap Sri Baginda. Sembahkan pada Baginda bahwa aku,
Empu Baradah, sanggup membatalkan teluh janda dari Girah yang bernama Calon
Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit pasti akan tumpas dan rakyat akan
hidup aman kembali” (Cerita Calon Arang, 2003: 57).

Kemudian pada akhirnya kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya dapat dihentikan
dengan kekuatan dan kepintaran yang dimiliki oleh Empu Baradah ini.

- 37 -
Universitas Sumatera Utara
4.2 Tokoh
Tokoh adalah unsur intrinsik yang paling penting dalam sebuah karya fiksi. Tokoh

dapat menyampaikan ide pengarang pada pembaca karena tokohlah yang diceritakan,

melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, membuat konflik, dan lain-lain. Oleh karena itu,

pembicaraan mengenai tokoh ini sangat menarik dalam menganalisis sebuah karya sastra

(fiksi).

Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995: 165) menyatakan “Tokoh cerita adalah orang-

orang yang ditampilkan dalam cerita naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan

memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.

Sudjiman (1987: 17-21) menyatakan bahwa berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita
dapatlah dibedakan dalam tokoh sentral dan bawahan. Tokoh yang memegang peran
pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis. Adapun tokoh yang merupakan penentang
utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh
sentral. Dalam karya sastra tradisional, seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan antara
protagonis dan antagonis jelas sekali. Tokoh utama yang menjadi pusat sorotan dalam
kisahan. Kriterium yang digunakan bukan frekuensi kemunculan tokoh, melainkan
intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, sedangkan
tokoh tambahan, yakni tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, namun
kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.
Berdasarkan cara menampilkan tokoh dibedakan atas tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh
datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang disoroti satu segi wataknya saja, tokoh ini
bersifat statis, watak tokoh ini sedikit sekali berubah, bahkan tidak berubah sama sekali,
sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang dilihat dari segala seginya,
segi wataknya berangsur-angsur berganti dan mampu memberikan kejutan.
Jika kita membicarakan tokoh pasti berhubungan dengan watak atau karakter yang
dimilikinya. Setiap tokoh memiliki watak atau karakter sendiri. Penyajian watak tokoh ini

- 38 -
Universitas Sumatera Utara
oleh pengarang dapat melalui penggambaran sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, perasaan,
atau dengan menyisipkan komentar mengenai sifat-sifat tokoh itu. Penyajian watak tokoh
dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut dengan penokohan (Sudjiman, 1987: 23).
Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan:
Istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’,
sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan,
dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus
menyaran pada teknik perwujudan dan perkembangan tokoh dalam sebuah cerita.

Jadi, dapat dikatakan bahwa melalui pemaparan dan penyajian watak tokoh (penokohan)

oleh pengarang dalam karyanya dapat memberi gambaran yang jelas mengenai karakter

yang dimiliki setiap tokoh cerita yang dapat membedakannya dari tokoh yang lain.

Karakter ini merujuk kepada sifat, pikiran, perasaan para tokoh, serta kualitas pribadinya.

Dari keterangan di atas, dapatlah dianalisis perwatakan para tokoh dalam novel

Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

1. Calon Arang
Calon Arang adalah seorang janda yang tinggal di Dusun Girah. Ia memiliki

seorang anak perawan yang berumur lebih dari 25 tahun. Calon Arang adalah wanita yang

sangat jahat. Seluruh penduduk takut padanya. Ia selalu berbuat keji pada penduduk dusun

itu. Ia juga mempunyai murid (pengikutnya). Ia dan pengikutnya ini setiap hari

menyebarkan penyakit melalui ilmu yang mereka miliki bahkan membunuh penduduk.

Calon Arang tidak peduli akan penderitaan penduduk, yang ia inginkan adalah melihat

orang lain menderita dan mati di tangannya. Sebenarnya kejahatan Calon Arang ini

semakin kaji disebabkan karena tidak ada seorang lelaki yang mau memperistri putri

- 39 -
Universitas Sumatera Utara
tunggalnya. Penduduk dusun takut berteman dengan putrinya karena Calon Arang dikenal

sebagai wanita yang memiliki ilmu hitam dan seluruh penduduk membicarakannya.

“itulah Ratna Manggali, anak Calon Arang. Hati-hati dengan dia, engkau tak boleh
sembarangan.”
“O, itukah Ratna Manggali? Ngeri aku melihatnya.”
Bukan satu dua orang saja yang mempercakapkan seperti itu. Hampir semua orang.
Malah seluruh negeri mendengar belaka namanya dan juga nama ibunya, si Calon
Arang itu.
Bahkan pun anak-anak kecil, sampai-sampai kepada kakek-kakek dan nenek-nenek,
semua tahu betapa jahatnya pendeta perempuan itu. Betapa busuk namanya sebagai
tukang sihir yang menyebar penyakit dan merusak bagi sesama manusia. (Cerita
Calon Arang, 2003: 12).

Ketika mengetahui bahwa tidak ada yang mau berteman dengan putrinya bahkan

menjauhi putrinya, maka kemarahan Calon Arang pun muncul. Ia ingin membalasnya

dengan berbuat keji kepada seluruh penduduk dusun Girah bahkan sampai ke ibukota.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya.
Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan,
karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun
tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya supaya puaslah
hatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Calon Arang dan murid-muridnya menyebarkan penyakit ke seluruh Dusun, untuk

menyakiti, bahkan membunuh penduduk. Seluruh penduduk sangat ketakutan. Berangsur-

angsur penduduk Dusun Girah dan ibukota mati di tangan Calon Arang dan murid-murinya.

Calon Arang merasa bahagia bila telah menyakiti dan menewaskan orang-orang
yang dibencinya, dan kalau orang-orang yang dibencinya itu telah mati, maka
mereka bersenang-senang merayakan kemenangan.
Tiap-tiap waktu murid-muridnya harus berkeramas. Yang dipergunakan
mengeramasi rambut adalah darah. Darah itu adalah darah manusia juga. Karena itu
rambut murid-murid Calon Arang lengket-lengket dan tebal. Kalau mereka sedang
berpesta tak ubahnya dengan sekawanan binatang buas. Takut orang melihatnya.
Kalau ketahuan ada orang yang mengintip, orang itu diseret ke tengah pesta dan
dibunuh, dan darahnya dipergunakan keramas (Cerita Calon Arang, 2003: 23-24).

- 40 -
Universitas Sumatera Utara
Sifat dan perbuatan jahat Calon Arang ini jelas menunjukkan bahwa tokoh ini
memiliki watak yang antagonis. Tokoh ini adalah tokoh yang menciptakan seluruh konflik
dalam novel ini. Ini menunjukkan bahwa kedudukan tokoh Calon Arang dalam cerita ini
sangat sentral. Keteribatan dan intensitas tokoh ini dalam peristiwa yang tejadi dalam cerita
ini sangat besar. Jadi, dapat dikatakan bahwa tokoh ini tergolong tokoh sentral (antagonis).
Berdasarkan perwatakannya atau cara menampilkan watak tokoh, tokoh Calon Arang ini
tergolong tokoh bulat atau kompleks, yaitu tokoh yang memiliki segi watak yang
berangsur-angsur berubah dan dapat memberi kejutan bagi pembacanya. (Sudjiman, 1987:
21). Calon Arang yang pada awal hingga bagian teangah cerita digambarkan sebagai tokoh
yang memiliki sifat jahat, sombong juga tidak pernah takut dengan siapapun ini berubah
menjadi tokoh yang mau berubah meminta ampun atas dan mengakui kejahatannya di
depan pendeta Empu Baradah yang dapat mengalahkannya.
“Ampun sang maha pendeta, sungguh berbahagia hamba dapat bertemu dengan
Paduka, tuan. Tolonglah hamba yang durhaka ini. Lenyapkanlah segala dosa hamba
dan berilah hamba jalan pada budi yang luhur. Ya maha pendeta segeralah Paduka
tuan menyucikan jiwa raga hamba yang durhaka ini”. (Cerita Calon Arang, 2003:
80)

Kutipan ini menunjukkan bahwa Calon Arang yang pada awalnya mempunyai

watak yang jahat dan keras, mau berubah dan meminta ampun agar bisa disucikan hatinya

menjadi jiwa yang baik.

2. Empu Baradah
Empu Baradah merupakan seorang pendeta yang ahli bertapa. Ia juga seorang guru

bertapa. Empu Baradah adalah orang yang baik, saleh, dan taat beragama. Ia juga selalu

bertakwa kepada dewa yang ia puja. Ia tinggal di sebuah asrama di Lemah Tulis. Ia juga

memiliki banyak pengikut. Karena kharisma dan kebaikannya, semua penduduk Lemah

Tulis hormat padanya. Ia selalu ramah dan senang menolong orang yang sedang kesulitan.

Ia tidak pernah menolak jika ada yang membutuhkan pertolongannya. Empu Baradah

- 41 -
Universitas Sumatera Utara
sangat berbeda dengan Calon Arang. Menolong orang lain adalah pekerjaan yang sangat

diutamakan. Karena itu, lama-kalamaan penduduk Lemah Tulis menganggapnya sederajat

dengan dewa. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai dewa yang menjelma sebagai

manusia. Selain penolong, pengasih, dan penyayang pada sesama, ia pun orang yang pandai

belajar. Ia menguasai kitab, seperti kitab Weda, yaitu kitab suci agama Hindu. Empu

Baradah memiliki istri dan seorang putri yang cantik. Ia adalah kepala keluarga yang baik.

Empu Baradah sangat menyayangi putrinya. Ia selalu memberikan perhatian yang cukup

pada putrinya itu. Ia sangat sedih ketika mengetahui putrinya Wedawati meninggalkan

rumah karena bertengkar dengan ibu tirinya. Ia pun langsung cepat-cepat mencari putrinya.

Segera Sang Empu bangun dari tempat duduknya. Kaget benar ia. Cepat-cepat ia
kenakan jubahnya kembali. Katanya kepada istrinya:
“baiklah biar kucari sendiri”
Kemudian jalanlah ia mencari Wedawati. Cepat sekali jalannya. Sebentar-bentar ia
bertanya pada orang di jalan:
“ada engkau melihat anakku? Ke mana perginya?”
Tiap orang yang mengetahui menjawab dengan segera dan hormat
Sampai di padang rumput Sang Empu sekarang. Anak-anak gembala masih banyak
di sana pada salah seorang di antara mereka, bertanyalah ia:
“Ada di antara engkau tahu ke mana anakku pergi?”
“Kak Wedawati yang cantik?” tanya seorang gembala.
“Yang menangis sepanjang jalan?” tanya yang lain.
“Ya, itulah anakku Wedawati. Ke mana dia?” tanya Sang Empu.
“pergi ke luar dusun, bapak Empu,” seorang menjawab. “Lurus ke selatan.
Barangkali ke kuburan ibunya” (Cerita Calon Arang, 2003: 48).

Setelah mengetahui tempat keberadaan putrinya, Empu Baradah langsung menuju

tempat putrinya itu.

Hati-hati Empu Baradah memandang ke kanan dan ke kiri. Kemudian terlihat


olehnya Wedawati duduk terpekur di tanah di samping kuburan mendiang ibunya.
Perlahan dan hati-hati ia mendekati. Ia tak mau gadis yang dikasihinya itu terkejut.
“sudahlah, anakku, sudahlah” bisik empu Baradah pada anaknya.
Bukan kepalang kaget Wedawati. Waktu melihat ayahnya ada di sampingnya segera
orangtua itu dirangkulnya.
“Mengapa engkau pergi dari rumah anakku? Tanya sang Empu.

- 42 -
Universitas Sumatera Utara
Diajaknya Wedawati pulang. Dan gadis itu tidak menolak. Anak dan ayah pun
pelan-pelan pulang ke asrama Lemah Tulis. (Cerita Calon Arang, 2003: 49)

Empu Baradah memiliki sikap kepahlawanan yang tinggi. Ia tidak menolak ketika

Kanduruan yang diutus Sri Baginda Erlangga mendatanginya untuk menyampaikan

permintaan Raja untuk menghadapi Calon Arang demi menyelamatkan seluruh penduduk

dari penyakit yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya itu. Empu Baradah

dianggap mampu mengalahkan Calon Arang. Empu Baradah setuju dan bersedia menolong

seluruh penduduk karena belum ada seorang pendeta pun yang mampu mengalahkan

kekuatan CalonArang.

“Hamba ini dari ibukota, membawa perintah anada Sri Baginda Raja”
Apakah yang dapat kupersembahkan kepada Sri Baginda?” tanya Sang Pendeta.
“Paduka tuanku diharapkan oleh Sri Baginda sudi datang ke Daha untuk
membatalkan teluh Calon Arang.”
“Siapa itu Calon Arang” tanya Sang Empu.
“Itulah janda dari Desa Girah. Dia tukang sihir yang manjur teluhnya. Telah banyak
penduduk yang meninggal karena tingkahnya,” ujar Kanduruan.
Apakah sebabnya janda Girah itu marah-marah priyayi?” tanya Sang Empu.
“Ia beranak seorang perempuan. Sampai sekarang tak ada yang mau memperistri
anaknya itu. Itulah sebabnya ia marah-marah,” dan setelah memperbaiki dudknya,
Kanduruan meneruskan: “Tidaklah buruk anaknya itu. Cantik bukan kepalang, kata
orang-orang Ratna Manggali namanya. Apakah jawabnya yang dapat hamba
sembahkan kepada Sang Baginda Raja, Maha Empu?”
“jadi itulah yang menyebabkan. Hmm,” kata Empu Baradah kepada dirinya sendiri.
Sangat pelan katanya itu. Kemudian suaranya dikeraskan. “Baiklah, priyayi. Tuan
lebih baik segera kembali menghadap Sri Baginda. Sembahkan pada Baginda,
bahwa aku, Empu Baradah, sanggup membatalkan telih janda dari Girah yang
bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit pasti akan tumpas dan
rakyat akan hidup aman kembali.” (Cerita Calon Arang, 2003: 57)

Empu Baradah adalah tokoh penyelamat dalam cerita ini. Ia berhasil mengetahui
rahasia kelemahan Calon Arang dan mulai membebaskan penduduk desa dari penyakit dan
kematian, sehingga penduduk kembali senang seperti keadaan sebelum Calon Arang dan
murid-muridnya menyebarkan ilmu hitamnya.
Setelah mengetahui rahasia kitab itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang
diamuk penyakit. Tiga orang di antara murid-muridnya engiringnya.

- 43 -
Universitas Sumatera Utara
Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah mantranya, Sang
Empu mengobati orang-oang yang sakit. Segera saja mereka sembuh. Tentu saja
girang benar yang disembuhkan itu. Mereka mengucapkan beribu-ribu terimakasih.
Sang pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal bila mayat itu
belum membusuk, Sang Pendeta memercikan dengan air. Dan hiduplah kembali
mayat-mayat yang telah meninggal kena teluh itu. Kadang-kadang hanya dengan
pandang, sentuhan, atau hembusan nafas, mayat-mayat itu dapat hidup kembali
(Cerita Calon Arang, 2003: 75).

Pada akhir cerita tokoh ini berhasil mengalahkan janda itu dengan kebijakan dan

kekuatan yang dimilikinya hingga membuat Calon Arang mati (meninggal) dan penduduk

bebas dari penderitaan.

“Keluarkan seluruh kepandaianmu,” kata Baradah.


Api dari tubuh janda itu kian jadi besar keluar-masuk bersama nafasnya. Bunyi api
keluar-masuk itu mengerikan seperti rumah kebakaran.
Akhirnya Sang Maha Pendeta berkata dengan kepastian:
“He, kau, Calon Arang mesti mati!”
Waktu itu juga matilah Calon Arang. Lenyap apai yang keluar-masuk dari
tubuhnya. Lenyap api yang besar yang seperti rumah terbakar itu (Cerita Calon
Arang, 2003: 83).

Tokoh Empu Baradah ini tergolong tokoh sentral (protagonis) yang memiliki

kedudukan sentral. Ia adalah tokoh yang memiliki peran penting dan memiliki keterlibatan

yang besar dalam membangun cerita dalam novel ini. Tokoh sentral (protagonis) ini adalah

penentang tokoh sentral (antagonis). Dalam hal ini adalah kejahatan pasti dapat dikalahkan

dengan kebaikan dan kebijakan. Berdasarkan perwatakan atau menampilkannya, tokoh ini

tergolong tokoh datar atau sederhana, karena tokoh ini hanya disoroti satu segi wataknya

saja, yaitu memiliki watak yang baik. Watak baik yang dimiliki tokoh ini tidak mengalami

perubahan dari awal hingga akhir cerita.

- 44 -
Universitas Sumatera Utara
3. Sri Baginda Raja Erlangga
Sri Baginda Raja Erlangga adalah pemimpin Negara Daha. Ia adalah raja yang

bijaksana, baik, ramah, dan berbudi terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, seluruh penduduk

menyayanginya. Dalam memerintah negaranya, ia sangat melindungi rakyatnya. Di bawah

pimpinannya, negara Daha aman, tidak ada kejahatan yang terjadi, karena setiap orang

hidup makmur, cukup makan, dan cukup pakaian. Panen pun selalu baik hasilnya. Namun,

keadaan negara itu berubah semenjak Calon Arang dam murid-muridnya menyebarkan

penyakit dan membunuh penduduk. Penduduk banyak yang mati, keadaan sawah menjadi

gersang, dan jalanan sunyi seperti kota mati. Penduduknya hidup dalam ketakutan. Sri

Baginda Erlangga pun sangat sedih dan gelisah melihat kejahatan Calon Arang yang

berlarut-larut yang membuat rakyatnya hidup dalam penderitaan. Ia tidak sanggup melihat

penduduk terjangkit penyakit bahkan setiap hari banyak yang meninggal. Sri Baginda

Erlangga terus mencari bagaimana caranya menaklukkan Calon Arang sehingga rakyatnya

bebas dari penderitaan. Ia pun mengutus balatentara istananya ke Dusun Girah untuk

mengalahkan Calon Arang.

“Penyakit itu harus dilenyapkan. Kalau tidak bisa setidak-tidaknya harus dibatasi.
balatentara raja ke dusun Girah. Tangkap Calon Arang. Kalau melawan, bunuh dia
bersama murid-muridnya.”
Tenang sebentar ruangan di bangsal. Orang bergirang hati. Mendengar putusan Sri
Baginda. Tiba-tiba terdengarlah sorak-sorai yang gemuruh di alun-alun. Semua
orang yang hadir di sana menyetujui putusan Sri Baginda.
Hari itu juga ratusan prajurit berbaris di alun-alun. Mereka ini diperintahkan pergi
ke Dusun Girah untuk menangkap Calon Arang (Cerita Calon Arang, 2003: 30).

Namun, pasukan balatentara yang diutus Sri Baginda tidak berhasil menangkap Calon

Arang. Bahkan tiga dari anggota balatentara itu meninggal karena kekuatan Calon Arang.

Mengetahui hal itu, Sri Baginda semakin sedih. Ia terus mencari dan berpikir bagaimana

- 45 -
Universitas Sumatera Utara
cara mengalahkan Calon Arang. Ia tidak mau penyakit dan kematian terus-menerus

menimpa rakyatnya. Suatu hari ia dan pendeta-pendeta Daha bertapa untuk meminta

petunjuk Dewa Guru mengenai siapa yang dapat mengalahkan Calon Arang. Maka melalui

pertapaan itu, Sri Baginda dan para pendeta mendapat jawaban dari Dewa Guru bahwa

yang dapat mengalahkan Calon Arang hanya satu orang saja yaitu pendeta dari Lemah

Tulis yang bernama Empu Baradah. Maka segera ia mengutus Kanduruan kerajaan

menemui Empu Baradah. Dan pendeta ini bersedia. Hingga akhirnya dapat mengalahkan

Calon Arang dan membebaskan penderitaan penduduk Daha.

“Penyakit ini disebabkan karena mantra. Karena itu, balatentara tidak bisa
menumpaskannya. Kalau balatentara dikerahkan juga, akan buruklah akibatnya,”
kata Sri Baginda. “Karena itu, mantra harus dilawan dengan mantra. Tak ada yang
lain.”
Hadirin membenarkan pendapat Sang Baginda. “Karena itu pula,” Baginda
meneruskan, “kami perintahkan pada semua pendeta di seluruh negara untuk turut
mencari jalan yang baik.”
Pendeta-pendeta yang dipanggil itu adalah pendeta yang pandai-pandai belaka,
mahir dalam segala mantra dan maklum akan segala teluh oarang-orang jahat.
“Kami perintahkan sekarang, semua pendeta yang mengahadap pergi memuja ke
candi, mohon petunjuk dari Dewa Agung guna mendapat obat mujarab untuk
memberantas penyakit ini.” (Cerita Calon Arang, 2003: 55).

Tokoh ini tergolong tokoh sentral yang protagonis karena ia memiliki intensitas

keterlibatan yang besar dalam membangun cerita. Ia merupakan tokoh yang

menghubungkan tokoh sentral (antagonis) dengan tokoh sentral (protagonis). Pertemuan

antara tokoh ini menyebabkan konflik atau pertentangan yaitu antara Calon Arang dan

Empu Baradah dalam cerita ini. Tokoh ini memiliki watak sederhana (datar) dan statis yang

menunjukkan satu segi watak saja, yaitu watak kepemimipinan yang baik. Dalam

perkembangan cerita, watak ini tidak berubah hingga akhir cerita.

- 46 -
Universitas Sumatera Utara
4. Wedawati
Wedawati adalah putri dari Empu Baradah. Ia adalah gadis yang cantik, ramah, rajin

dan cekatan bekerja, dan dia tidak mau merugikan orang lain. Oleh karena itu, ia menjadi

gadis yang dikagumi di Lemah Tulis. Ia juga dihormati di lingkungan asrama tempat

tinggalnya, di kampung, dan di sawah serta di ladang, di hutan, dan di lapangan tempat

biasanya anak-anak menggembalakan binatang peliharaannya. Namun, kesedihan

menggeluti hatinya sejak ibunya meninggal.

“Ya, siapa lagi yang mengasihi daku?” tangisnya.


“Ayah ‘kan masih ada,” hibur ayahnya.
Tapi gadis itu menangis juga.
Siapakah yang akan mencintaiku sekarang?” ratapnya lagi.
Lalu Sang Empu tak tahan lagi melihat tingkah laku anaknya itu. Dirangkulnya
Wedawati, diusap-usapnya rambut dan pipi anaknya yang piatu itu, sambil
mengucurkan airmata.
Tetapi gadis itu tetap menagis.
“Ya, Dewata,” ratapnya, “izinkan daku turut mati bersama ibuku (Cerita Calon
Arang, 2003: 17).

Tidak lama setelah kematian ibunya, Wedawati memiliki ibu tiri. Ibunya ini sangat

membenci Wedawati. Ia juga telah memiliki adik laki-laki yang mulai besar. Ibu tirinya

hanya menyayangi anak kandungnya saja. Ia selalu memarahi Wedawati. Padahal

Wedawati selalu berbuat baik dan rajin bekerja, tetapi ibu tirinya tetap ingin Wedawati

keluar dari rumah.

Di Lemah Tulis sibuklah Wedawati bekerja. Ia gadis yang suka bekerja. Ia tak
senang bermalas-malasan, apalagi bertopang dagu dan tak tentu apa yang
dipikirkan. Sudah lama ibu tirinya ingin agar ia pergi dari rumah.ia ingin agar
semua kasih sayang Sang Empu jatuh padanya dan anaknya lelaki. Karena itu
dicari-carinya alasan untuk memarahi Wedawati (Cerita Calon Arang, 2003: 18-
19).

- 47 -
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya Wedawati tidak tahan tinggal bersama ibu tirinya, dan ia rela berpisah

dengan ayahnya karena ia tidak ingin selalu ada pertengkaran antara ia dan ibu tirnya. Ia

tetap tinggal di sana walaupun ayahnya membujuknya untuk kembali ke Lemah Tulis.

“Anakku, manis, buat apa engkau meninggalkan rumah? Engkau membuat aku
berseduh hati. Mari pulang anakku!”
Wedawati menggelengkan kepala. Ia tak mau pulang lagi. Karena tak mau
menyusahkan orang lain, ia pun tak sudi bila disuruh tinggal di tempat orang lain.
Lama Empu Baradah mangambil hati anaknya. Tapi Wedawati tak mau mengubah
pendiriannya. Lama ia juga ayahnya itu mengusap-usap rambut dan bahu .
Wedawati tetap tidak peduli ( Cerita Calon Arang, 2003: 64).

Maka, Wedawati memutuskan menjadi seorang pertapa. Ia tinggal di tanah dekat

dengan kuburan ibunya. Di sana, ayahnya membangun tempat tinggal untuknya. Tidak

lama kemudian tanah kuburan itu berubah menjadi taman yang indah, karena Wedawati

rajin menanam bunga-bunga dan merawatnya setiap hari. Di sana, Wedawati setiap hari

beribadah pada arwah orang yang cinta kepadanya, dan juga kepada semua dewanya.

Tokoh ini tergolong tokoh tambahan (tambahan). Tokoh ini tidak sentral

kedudukannya di dalam cerita, kemunculannya pun hanya sedikit saja. Selain itu

keterlibatan tokoh ini dalam membangun cerita sangat kecil. Berdasarkan perwatakannya,

atau cara menampilkannya, tokoh ini tergolong tokoh bulat yang memiliki watak yang

berangsur-angsur berubah. Ketika meninggalkan rumah pertama kalinya, ia menuruti

permintaan ayahnya untuk kembali ke rumah. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk

berpisah dengan ayah yang sangat dicintainya. Ia memutuskan untuk menjadi seorang

pertapa dan tinggal di tanah kuburan ibunya. Itu dilakukannya untuk kebaikan. Perubahan

pendirian ini menunjukkan perkembangan perlakuan tokoh, yang dapat memberi efek

kejutan bagi pembaca, sehingga tokoh ini digolongkan menjadi tokoh bulat.

- 48 -
Universitas Sumatera Utara
5. Ratna Manggali
Ratna Manggali adalah putri Calon Arang yang berumur lebih dari 25 tahun.

Sebenarnya ia adalah gadis yang cantik rupanya dan baik. Namun, karena kejahatan ibunya

semua penduduk takut berteman dengannya. Penduduk takut apabila berhubungan dengan

Ratna Manggali maka akan berurusan juga dengan dengan ibunya, Calon Arang.

Akan tetapi karena Calon Arang jahat, pendengki, dan kejam maka tak adalah orang
yang berani mendekati anaknya, Ratna Manggali. Dan karena itu pulalah, gadis itu
dijauhi oleh gadis-gadis lainnya, sehingga kawan biasa pun ia tak punya. Bila ia
menyapa seseorang, orang yang ditegur itu hanya mengangguk atau menggeleng.
Tak ada yang mau bicara dengan dia. Karena kalau salah mulut, mugkin Calon
Arang marah dan celakalah orang yang menimbulkan marahnya (Cerita Calon
Arang, 2003: 12).

Karena ketakutan orang pada ibunya jugalah yang menyebabkan belum ada lelaki

yang mau melamar Ratna Manggali sebagai istri. Namun, pada akhirnya Ratna Manggali

menikah dengan Empu Bahula, salah satu murid terbaik Empu Baradah. Empu Baradahlah

yang menyuruh Empu Bahula agar memperistri Ratna Manggali. Ratna Manggali sangat

senag dengan pernikahannya dengan Empu Bahula. Ia menjadi istri yang baik dan menurut

pada suaminya. Bahkan ia rela memberitahu suaminya tentang rahasia kekuatan ibunya.

“Kemanakah ibu tiap sore pergi sendirian itu? Kelihatannya perlu sekali. Ia baru
kembali kalau beduk malam hari sudah berbunyi. Manggali, kalau engkau tahu,
bilangkan apa sebabnya. Tidakkah ibu takut pada binatang buas?” tanyan Bahula.
Ratna manggali tak buru-buru menyahut.
“Tidakkah engkau mengkhawatirkan ibu?”tanya Bahula lagi.
“Tidak’” jawab Manggali.
“Mengapa tidak?”
“Sudah biasa ibu pergi di waktu sore kemudian pelang tengah malam.”
“Ceritakanlah, apa sebabnya Manggali?” tanya Bahula.
“Biarlah hamba ceritakan yang sebenarnya. Tetapi, tuanku, ini tidak boleh didengar
oleh siapaun juga. Ini rahasia. Rahasia besar. Kalau ibu tahu rahasianya hamba
bongkar, pasti celaka hamba ini. Tidak tuan ceritakan bukan?” tanya Manggali.

- 49 -
Universitas Sumatera Utara
“Tentu saja tak akan ku ceritakan kepada orang lain, Manggali,” kata Bahula.
“Masa aku membongkar rahasia ibu? Aku kan menantunya. Aku pun harus turut
memelihara ketertiban rumahtangga buka?”
“Sebenarnya tuanku, kepergian bunda ialah ke pekuburan dekat Candi Durga. Di
sana ia meneluh. “ Ratna Manggali menceritakan rahasia ibunya (Cerita Calon
Arang, 2003: 72-73).

Tokoh ini tergolong tokoh tambahan (bawahan), yang kedudukannya tidak sentral

dalam cerita. Frekuensi kemunculan tokoh ini dalam cerita sangat sedikit. Begitu juga

keterlibatan tokoh ini sangat sedikit dalam peristiwa yang membangun cerita ini.

Perwatakannya juga tidak mengalami perkembangan. Tokoh ini tetap memiliki watak yang

baik dari awal hingga akhir cerita. Tokoh ini tidak menunjukkan perkembangan watak,

sehingga tokoh ini dapat digolongkan menjadi tokoh datar (sederhana) yang statis atau

tidak berubah.

6. Empu Bahula
Empu Bahula adalah salah seorang murid terbaik Empu Baradah. Ia murid yang

patuh dan taat kepada gurunya. Ia mau menuruti permintaan gurunya untuk segera

menikahi putri Calon Arang, Ratna Manggali dengan tujuan mengetahui rahasia kekuatan

calon Arang, sehingga Calon Arang dapat ditaklukkan dan penduduk Daha dapat bebas dari

penderitaan yang disebabkan oleh Calon Arang. Kesediaan Empu Bahula ini terlihat dari

keberaniannya mendatangi Calon Arang untuk mendapat restu menikahi Ratna Manggali.

Calon Arang pun sangat senang mengetahui ada lelaki yang mau meminang putrinya.

“Kedatangan hamba ialah hendak meminang putri tuan.” Kata Bahula.


Bukan main girang Calon Arang. Sekarang ia tak akan disindir-sindir dan
dipercakapkan orang lagi. Sebentar lagi anaknya akan menjadi pengantin. Dengan
girang, ia pun menjawab:
“O, apakah yang akan dimarahkan? Cuma si Ratna Manggali anak dusun, tak tahu
adat kota.” (Cerita Calon Arang, 2003: 70)

- 50 -
Universitas Sumatera Utara
Setelah menikah dengan Ratna Manggali, Empu Bahula dapat mengetahui rahasia

Calon Arang bahwa kekuatan mantranya terdapat dalam sebuah kitab. Empu Bahula pun

menyuruh istrinya mengambil kitab itu.

“Ratna Manggali, adikku! Ingin benar aku melihat kitab yang bertuah itu. Ingin aku
tahu apakah isinya. Maukah engkau menolong aku?”
“Menolong bagaimana tuanku?” tanya Manggali.
Kalau ibu sedang tidur, cobalah ambilkan kitab itu. Aku ingin tahu isinya, engkau
mau bukan?”
“Tentu saja hamba mau menolong, tuanku.”jawab Ratna Manggali dengan tidak
ragu-ragu sedikit pun juga. “Nanti kalau ibu kelupaan hamba ambilkan” (Cerita
Calon Arang, 2003: 73-74).

Setelah mendapat kitab itu, Empu Bahula langsung menemui gurunya Empu

Baradah dan menyerahkan kitab itu. Kemudian mereka membawa kitab itu ke tempat-

tempat Calon Arang menyebarkan penyakit. Lalu penyakit itu dapat dihilangkan dan rakyat

yang mati dapat dihidupkan kembali.

Tokoh ini tergolong tokoh tambahan (bawahan), karena tokoh ini tidak sentral

kedudukannya dalam cerita. Tokoh ini tidak banyak terlibat dalam peristiwa yang terjadi.

Watak yang dimiliki tokoh ini bersifat statis dan tidak berubah dari awal hingga akhir cerita

sehingga tokoh ini dapat digolongkan menjadi tokoh datar (sederhana).

7. Ibu Tiri Wedawati


Ibu tiri Wedawati adalah istri Empu Baradah yang dinikahi setelah ibu kandung

Wedawati meninggal akibat sakit keras. Ibu tirinya hanya sayang kepada anak kandungnya

saja. Ia sangat membenci Wedawati. Ia selalu mencari alasan untuk memarahi Wedawati.

Bahkan ia mengusir Wedawati dari asrama Lemah Tulis agar ia hidup bahagia.

Melihat Wedawati pergi, bukan main girang hati ibu tirinya. “Moga-moga ia takkan
pulang kembali,” doanya. “moga-moga ia mati di tengah jalan dimakan macan.”

- 51 -
Universitas Sumatera Utara
Setelah anak tirinya itu lenyap dari pemandangannya, dengan air muka berseri-seri,
pergilah ia mendapatkan anaknya. Ia pun bermain-main dengan anaknya itu.
Diberinya berbagai macam janji yang besar-besar (Cerita Calon Arang, 2003: 47).

Berdasarkan fungsi tokoh, tokoh ini tergolong tokoh bawahan (tambahan), yang

kemunculannya dalam cerita ini hanya pada beberapa bagian saja. Keterlibatannya dalam

peristiwa yang membangun cerita juga hanya sedikit, sedangkan berdasarkan cara

menampilkan tokoh, tokoh ini tergolong tokoh datar yang tidak menunjukkan perubahan

watak dan sikapnya dari awal hingga akhir cerita.

4.3 Alur
Alur merupakan unsur karya sastra fiksi yang sangat penting, karena melalui alur

akan didapat gambaran tentang hubungan peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam

sebuah cerita. Alur cerita yang jelas dan sederhana akan mempermudah pemahaman

pembaca atas cerita yang dibacanya. Namun, apabila alur yang ditampilkan kompleks,

maka hubungan antarperistiwa yang terjadi dalam cerita sulit dipahami oleh pembacanya.

Aminuddin (2000: 83) mengatakan “Alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa-peristiwa sehingga menjalin

suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita”.

Stanton (2007: 26) menyatakan “Secara umum, alur merupakan rangkaian

peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-

peristiwa yang terhubung”. Selanjutnya Stanton menyatakan:

Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur
dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam
sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya
pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan
kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen lain, alur

- 52 -
Universitas Sumatera Utara
memiliki hukum-hukum tersendiri, alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah,
dan akhir, yang nyata, meyakinkan, logis, dapat menciptakan bermacam kejutan,
dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan.

Abram (dalam Nurgiyantoro, 1995: 113) mengemukakan “Plot sebuah karya fiksi

merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yang sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan

dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik

tertentu.”

Dari beberapa pengertian yang tersebut di atas, semakin jelas bahwa alur sebuah

cerita sangat penting dalam sebuah karya sastra atau fiksi, karena alur menjelaskan rentetan

peristiwa demi peristiwa yang saling bertautan dalam cerita sehingga pembaca dapat

memahami cerita yang ditampilkan dalam karya fiksi tersebut.

Aminuddin (2000: 84) menyatakan urutan peristiwa dalam plot atau alur adalah

sebagai berikut:

Tahapan exposition, yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat
terjadinya peristiwa serta pengenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita, tahapan
inciting force, yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak, maupun perilaku yang
bertentangan dari pelaku , rising action, yakni situasi panas, karena pelaku-pelaku dalam
cerita mulai berkonflik, crisis, yaitu situasi mulai panas dan para pelaku sudah diberi
gambaran nasib oleh pengarangnya, tahapan climax, yakni situasi puncak ketika konflik
berada pada kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya
sendiri-sendiri, falling action, yaitu kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan
dlam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita.Dari
keterangan di atas peneliti mendapat gambaran mengenai urutan peristiwa yang terjadi
dalam alur atau plot yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya
Ananta Toer, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

- 53 -
Universitas Sumatera Utara
a. Tahap Exposition

Pada tahapan expositon ini, pengarang menceritakan dan memaparkan mengenai

bagaimana keadaan tempat serta pelaku cerita. Tempat itu adalah negera Daha yang

dipimpin oleh seorang Sri Baginda Raja Erlangga yang bijaksana. Daha merupakan tempat

terjadinya peristiwa dalam cerita ini berlangsung.

Adalah sebuah negara. Daha namanya. Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri.
Negara itu berpenduduk banyak. Dan rata-rata penduduk makmur.
Panen pak tani selalu baik, karena tanaman jarang benar diganggu oleh hama.
Tiap-tiap sore anak-anak muda berlatih keprajuritan di alun-alun. Dan adakalanya
diadakan pertandingan antara seorang bakal perwira dengan seekor banteng yang
digalakkan.
Negara Daha termasyhur aman. Tak ada kejahatan yang terjadi. Karena tiap orang
hidup makmur , cukup makan dan cukup pakaian. Karena makmurnya itu, makanan
penduduk teratur, dan karena itu pula tak ada penyakit terjangkit (Cerita Calon
Arang, 2003: 9).

Di negara Daha ini juga terdapat dusun yang bernama dusun Girah. Pengarang juga

menggambarkan mengenai dusun ini. Di dusun inilah tempat tinggal tokoh pelaku utama

dalam cerita ini. Di dusun inilah terjadi konflik antara dua kekuatan yang berbeda.

Menurut riwayat adalah sebuah dusun dalam negara Daha. Girah namanya.
Penduduk daha takut benar mendengar nama dusun itu. Sebab di sana tinggal
seorang janda. Calon Arang namanya (Cerita Calon Arang, 2003: 11).

Kemudian pada tahap ini pengarang menceritakan mengenai beberapa pelaku yang

mendukung peristiwa dalam cerita ini, yaitu Calon Arang yang merupakan pelaku atau

tokoh utama dalam cerita ini.

Calon Arang seorang perempuan setengah tua. Ia mempunyai anak perawan yang
berumur lebih dari 25 tahun. Ratna Manggali namanya.
Calon Arang ini memang buruk kelakuannya. Ia senang menganiaya sesama
manusia, membunuh, dan menyakiti. Calon Arang berkuasa. Is tukang teluh dan
punya ilmu ajaib untuk membunuh orang.
Sebagai pendeta perempuan pada Candi Dewi Durga banyak sekali murid dan
pengikutnya. Ia seorang dukun yang banyak mantranya. Dan matra-mantranya itu

- 54 -
Universitas Sumatera Utara
manjur belaka. Itulah sebabnya tak ada orang berani padanya (Cerita Calon Arang,
2003: 11).

Pada bagian awal cerita juga diceritakan mengenai pelaku lain yaitu Empu Baradah
yang juga merupakan pelaku utama dalam cerita ini yang akhirnya mampu menaklukkan
kekuatan Calon Arang dengan kekuatan dan kepandaiannya.
Pada waktu itu ada seorang pertapa. Ia bergelar Empu. Ia bernama Empu Baradah.
Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya. Ia selalu bertakwa
pada dewanya.
Sudah lama ia berasrama di Lemah Tulis, dan di sana pula ia tinggal.
Karena Sang Empu sangat taat pada agamanya, penduduk dusun sujud belaka
padanya. Lagipula ia selalu ramah, senang menolong orang sengsara, dan tidak
pernah menolak bila orang datang minta tolong (Cerita Calon Arang, 2003: 15).

Demikian tahap exposition yang tergambar dalam novel Cerita Calon Arang ini.

Pengarang membuat perkenalan pada awal cerita yang berupa informasi mengenai pelaku

cerita yang sangat mendukung jalannya peristiwa demi peristiwa dalam cerita ini sehingga

pembaca tertarik membaca kelanjutan ceritanya. Kemudian cerita berlanjut pada

pertentangan yang terjadi akibat kekuatan dan perbuatan jahat yang dilakukan Calon Arang

dan pengikutnya.

b. Tahapan Inciting Force

Tahap inciting force berlangsung dalam cerita ini ketika Calon Arang menjadi

marah karena penduduk Girah tidak ada yang mau berteman dengan putrinya Ratna

Manggali. Walaupun usia putrinya itu sudah lebih dari 25 tahun, belum ada seorang lelaki

yang mau memperistrinya. Penyebabnya adalah seluruh penduduk takut dengan Calon

Arang yang dikenal sebagai janda yang jahat yang memiliki ilmu hitam untuk

mencelakakan orang lain. Karena mengetahui putrinya menjadi bahan percakapan di

- 55 -
Universitas Sumatera Utara
dusunnya, maka Calon Arang pun semakin marah dan memutuskan untuk membunuh

penduduk sebanyak-banyaknya agar kemarahannya terpuaskan.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya.
Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan,
karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun
tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah
hatinya. Setelah niatnya pasti, dipanggil semua muridnya (Cerita Calon Arang,
2003: 12).

Kejahatan yang mulai dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya ini

menyebabkan penduduk dusun Girah dan ibukota diserang penyakit yang disebarkan Calon

Arang dengan ilmu yang dimilikinya.

c. Tahapan Rising Action

Tahap rising action dalam novel Cerita Calon Arang ini diceritakan bahwa Calon

Arang dan murid-muridnya terus menyebarkan penyakit. Banyak penduduk yang

meninggal akibat penyakit yang disebarkan Calon Arang itu. Calon Arang tidak peduli

dengan apa yang sudah dilakukannya. Penyakit ini menyebabkan konflik dalam kehidupan

penduduk. Konflik tersebut adalah perasaan ketakutan yang mencekam yang dialami

seluruh penduduk dusun Girah. Tidak ada penduduk yang berani dan dapat melawan

kekuatan Calon Arang. Jika mereka berani melawan, maka mereka pasti akan mati. Begitu

juga dengan kepala dusun tidak berani melawan Calon Arang. Anak dari kepala dusun juga

menjadi korban dari kehajatan Calon Arang dan murid-muridnya.

Calon arang dan beberapa muridnya datang ke rumah kepala dusun. Di sana mereka
tak mengobati anak yang celaka itu. Melihat hal itu menangislah kepala dusun itu
laki-bini. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa karena ia pun takut pada Calon Arang
dan murid-muridnya.
“enak ya? enak ya?” kata Calon Arang.
“Tentu saja enaklah ia sekarang, Nyai!” kata muridnya.

- 56 -
Universitas Sumatera Utara
Laki-bini itu berdiam diri saja mendengar sindiran itu. Keduanya takut mendapat
bencana lebih besar lagi.
“Lihat, lihat, lakinya menangis,” kata Calon Arang.
Tiba-tiba muncullah kemarahan kepala dusun itu. Ia pun masuk ke dalam kamar.
Dari sana diambilnya tombak yang bertuah. Kemudian ia keluar lagi dan berseru:
“Hinakanlah kami, Calon Arang! Hinakanlah kami!” teriaknya.
Calon arang tertawa melihat kepala dusun itu. Tiba-tiba perempuan itu berteriak:
“Bah!”
Kena hawa teriakan itu jadi kaku-kejanglah kepala dusun itu. Bininya terlompat dan
merangkul suaminya. Tapi kepala dusun itu telah mati. Menangislah istri yang
malang itu tersedan-sedan (Cerita Calon Arang, 2003: 25-26).

Peristiwa kejahatan ini terus terjadi menimpa penduduk dusun. Mereka hidup dalam

ketakutan. Tidak ada yang berani keluar rumah. Dusun Girah yang ramai menjadi sepi.

tidak ada yang berani keluar rumah. Mereka takut akan menjadi korban kejahatan Calon

Arang.

Dahulu tanah lapang Dusun Girah adalah tempat bermain-main anak kecil. Apalagi
kalu bulan bersinar-sinar. Bermacam-macam permainan mereka itu.
Tetapi sekarang sunyi saja lapangan dusun itu. Bila mereka bermain-main dan
lewatlah seorang murid Calon Arang, larilah mereka masing-masing karena
takutnya. Kalau Calon Arang atau salah seorang muridnya sedang tidur, tak ada
anak berani berseru atau tertawa-tawa. Kalau anak-anak itu berani membuat gaduh
waktu mereka tidur, matilah ia diteluh (Cerita Calon Arang, 2003: 24).

d. Tahapan crisis

Tahapan crisis dalam Cerita Calon Arang terlihat ketika kejahatan yang dilakukan

Calon Arang dan murid-muridnya mengakibatkan suasana dan keadaan penduduk dusun

Girah semakin tidak karuan. Calon arang dan murid-muridnya menyebarkan bibit penyakit

itu setiap hari. Sehingga penyakit makin menjalar di dusun itu. Jumlah penduduk dusun

Girah menjadi berkurang akibat banyak yang dibunuh Calon Arang dan murid-muridnya

dan meninggal akibat penyakit panas dingin yang disebarkan Calon Arang.

- 57 -
Universitas Sumatera Utara
Tak ada obat yang bisa melawan penyakit panas dingin yang merajalela di seluruh
negeri. Cuma di ibukota saja penyakit itu tak dapat membunuh orang. Ratusan,
bahkan ribuan orang menderita sakit yang tak dapat diobati itu. Bila mereka sakit,
pastilah tak punya harapan untuk sembuh lagi.
Tiap hari beratus-ratus orang mati dan dibawa ke kuburan. Dan kalau yang
menguburkan pulang, ia pun sakit pula, kemudian mati begitulah terus menerus
(Cerita Calon Arang, 2003: 27).

Kemudian tahapan ini terlihat ketika berita tentang meluasnya penyakit yang disebarkan

oleh Calon Arang dan murid-muridnya sampai kepada Sri Baginda Erlangga. Ia sangat

sedih mengetahui rakyatnya menderita. Pendeta-pendeta yang ada di negera Daha tidak

satupu yang bisa melawan kekuatan Calon Arang. Maka Sri Baginda Erlangga mengirim

beberapa pasukan balatentara dari istananya untuk menangkap atau membunuh Calon

Arang dan murid-muridnya agar penyakit panas dingin itu lenyap dari negeri yang

dipimpinnya. Seluruh rakyat pun sangat gembira mendengar keputusan Sri Baginda

Erlangga itu. Mereka semua berharap bahwa pasukan balatentara istana dapat mengalahkan

Calon Arang dan para muridnya sehingga mereka dapat hidup seperti dulu. Namun, yang

terjadi adalah pasukan balatentara istana ini tidak dapat menangkap Calon Arang, bahkan

tiga dari anggota balatentara itu mati karena kekuatan Calon Arang. Pasukan balatentara

pun kembali ke istana dengan hasil yang nihil. Penduduk yang mendengar kegagalan

balatentara sangat seidh dan putus asa, begitu juga dengan Sri Baginda Erlangga sangat

kecewa.

“Ampun Paduka Baginda, berita buruk yang hendak hamba sembahkan Paduka
Baginda.”
Seluruh menteri dan prawira dan pendeta yang hadir memandang prajurit itu belaka.
“Berita buruk apa yang hendak engkau kabarkan,” kata sang Baginda.
“Kepala pasukan gugur waktu menangkap Calon Arang.”
Sunyi senyaplah ruangan bangsal itu. Dan prajurit itu meneruskan ceritanya:
“Kepala pasukan menjambak rambut Calon Arang. dua orang prajurit
mengamangkan pedang terhunus di atas tubuh janda itu. Ampun Paduka
Baginda…Patik lihat tangan ketiga prajurit itu jadi kejang-kaku tak dapat bergerak.

- 58 -
Universitas Sumatera Utara
Patik lihat sendiri betapa ketakutan mereka itu. Patik bersama pasukan datang di
waktu tengah malam. Pasukan kami mendapati Calon Arang di rumahnya. Sedang
ia tidur waktu itu. Waktu bangun keluar api besar yang menjilat-jilat ke sana-
kemari. Kepala pasukan beserta dua orang prajurit yang hendak menangkapnya
terbakar hangus sama sekali. Karena itu, patik bersama sisa pasukan segera mundur
dan kembali ke kota. Hemat patik si janda Calon Arang tidak dapat dilawan dengan
senjata.” (Cerita Calon Arang, 2003: 34).

e. Tahapan climax
Tahap climax dalam novel Cerita Calon Arang ini tergambar ketika Calon Arang

semakin marah setelah pasukan balatentara kerajaan mulai menyerang dan mengganggu

rencana jahatnya. Maka Calon Arang memutuskan untuk menyebarkan penyakit mematikan

itu tidak hanya di Dusun Girah saja, melainkan melanjutkannya ke ibukota. Para muridnya

pun setuju dan membantu Calon Arang menyebarluaskan penyakit itu sampai ke ibukota.

Mereka meminta izin kepada Dewi Durga dan Dewi Durga mengizinkan rencana jahat

mereka. Mereka pun memulai aksi kejahatannya. Mereka juga tidak ragu untuk membunuh

siapa saja yang mereka jumpai. Kejahatan Calon Arang sudah sangat merajalela ke seluruh

pelosok negeri Daha. Penyakit yang mereka sebarkan semakin hebat. Ratusan penduduk

setiap hari meninggal akibat penyakit itu. Mereka yang masih hidup tidak sempat lagi

menguburkan mayat kerabat yang meninggal. Mayat-mayat itu terkapar di sepanjang jalan,

di dalam rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana demikian pula.

Hampir dari tiap rumah terdengar tangis menghiba-hiba. Saban hari ada orang-
orang yang masih sehat berduyun-duyun ke candi dan berdengunglah doa memohon
keselamatan dari para dewa. Saban hari terdengar rintih kesakitan serta jerit
kesedihan dan ketakutan. Banyak orang mengungsi meninggalkan daerah yang
sudah diserbu oleh penyakit. Tetapi ditengah perjalanan mereka terserang penyakit
itu dan roboh di pinggir jalan.
Sawah dan ladang tak diolah lagi. Semak dan rumput merayap merajalela. Seri
kerajaan Daha kini telah menjadi suram.
Lalat besar-kecil merajalela dan terbang berdansa-dansa kian kemari tambah
melebarkan serangan penyakit. Dan karena rumput dan semak merajalela,

- 59 -
Universitas Sumatera Utara
margasatwa pun beranak-biak dengan secepatnya. Di seluruh negeri itu hanya satu
dua orang saja yang tidak kurus.
Kata orang, pada waktu itu banyak setan bersuara dari angkasa, dari pohon-pohon,
dari padang, dan dari mana-mana saja (Cerita Calon Arang, 2003: 53-54).

Karena keadaan negara yang dipimpinnya semakin gawat, maka Sri Baginda

Erlangga pun sangat sedih dan marah. Oleh karena itu, ia selalu dan tidak berhenti mencari

cara bagaimana caranya mengalahkan Calon Arang dan murid-muridnya agar rakyat dan

negaranya hidup seperti semula.

f. Tahapan Falling Action

Tahap falling action dalam cerita ini digambarkan ketika Sri Baginda Raja Erlangga

mengetahui bahwa kekuatan Calon Arang bukan dikalahkan dengan senjata, melainkan

mantra juga. Sri Baginda Erlangga dan pendeta-pendeta sakti mendapat petunjuk dari Dewa

Agung, yaitu Dewa Guru bahwa yang dapat melawan kekuatan Calon Arang hanyalah satu

orang pendeta dari Lemah Tulis yaitu Empu Baradah.

Di dalam Candi, para pendeta berbareng bersemadi. Asap pedupaan besar


mengepul-ngepul ke langit. Permohonan para pendeta itu terkabul juga akhirnya.
Maka datanglah Dewa Guru melalui asap pedupaan, kemudian berdiri tegak di atas
api. Berkata Dewa ini:
“Berbahagialah engkau semua. Penyakit yang hendak engkau tolak sudah masanya
harus dicegah. Cuma seorang saja yang kuasa melawan teluh si Calon Arang. dan
orang itu adalah seorang pendeta yang berasrama di Lemah Tulis. Empu Baradah
namanya, seorang pertapa yang telah lulus dalam segala macam ilmu. Dialah yang
bertuah segala mantranya. Ia pulalah kelak melindungi kerajaan, memberantas
segala kerusuhan dan keonaran.” (Cerita Calon Arang, 2003: 56)

Setelah mengetahui petunjuk tersebut Sri Baginda pun mengutus Kanduruan untuk

memohon pertolongan. Setelah mengetahui permintaan Sri Baginda, Empu Baradah pun

bersedia untuk mengalahkan Calon Arang sehingga seluruh penduduk dapat hidup aman

dan sejahtera kembali.

- 60 -
Universitas Sumatera Utara
Empu Baradah telah mengetahui penyebab mengapa Calon Arang berbuat demikian

kejam, yaitu karena tidak ada seorang pun yang mau memperistri putri tunggalnya Ratna

Manggali yang berusia lebih dari 25 tahun. Maka Empu Baradah pun menyusun rencana

menikahkan Empu Bahula, seorang murid terbaiknya dengan Ratna Manggali. Pernikahan

itu bertujuan agar Empu Bahula mengetahui rahasia kekuatan Calon Arang melalui

putrinya Ratna Manggali. Calon Arang sangat senang ketika Empu Bahula melamar

putrinya. Pernikahan yang meriah pun dilaksanakan. Setelah beberapa waktu menikah,

Empu Bahula mengetahui bahwa rahasia kekuatan Calon Arang berada dalam sebuah kitab.

Ia pun menyuruh istrinya Ratna Manggali untuk mengambil kitab itu. Setelah mendapat

kitab itu, Empu Bahula pun langsung pergi ke Lemah Tulis untuk menyerahkan kitab itu

kepada Empu Baradah.

Di Lemah Tulis ia pun bertemu dengan gurunya. Kitab segera diserahkan. Kagum
Empu Baradah membaca kitab itu. Katanya:
“Inilah kitab yang sangat luar biasa isinya. Hanya saja si Calon Sarang salah
mempergunakannya. Kalau dipergunakan untuk maksud yang baik, ia akan segera
mendapat terima kasih beribu-ribu manusia. Sayang ia salah pergunakan.”
Setelah kitab itu terbaca habis, bicara lagi sang Baradah:
“Nah, Bahula, inilah kitab itu, suruh istrimu menyimpan baik-baik. Kembalilah
engkau ke Dusun Girah.” (Cerita Calon Arang, 2003: 75).

g. Tahapan Conclusion

Tahap conclusion atau penyelesaian masalah dalam novel Cerita Calon Arang ini

tergambar setelah mengetahui rahasia kitab Calon Arang, Empu Baradah dan ketiga

muridnya yang terbaik pergi ke tempat-tempat yang banyak diserang penyakit. Empu

Baradah mengobati orang-orang yang sakit. Dengan mantranya yang ampuh, penyakit itu

hilang. Penduduk pun satu per satu telah sembuh. Di sepanjang jalan Empu Baradah juga

menemukan orang yang meninggal, lalu ia dapat menghidupkan kembali mayat yang belum

- 61 -
Universitas Sumatera Utara
membusuk dengan pandangan, sentuhan, atau hembusan napas. Penduduk yang menerima

pertolongan pun bergembira dan mengucapkan banyak terimakasih pada Empu Baradah.

Empu Baradah terus melanjutkan perjalanan dari dusun ke dusun dan menyembuhkan serta

menghidupkan mayat-mayat yang masih segar. Penduduk menyambut gembira kedatangan

Empu Baradah.

Barang ke mana Sang Empu datang, tentu beribu-ribu orang datang memohon
berkah. Orang-orang yang mati berhayat kembali. Orang-orang sakit segera sembuh
lagi. Karena itu, tiap langkah Empu Baradah bertindak, ia ditaburi dengan bunga-
bungaan aneka macam. Kalau meneruskan perjalanan, semua penduduk sujud
menghormatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 75-76).

Melihat kekuatan dan kebaikan Empu Baradah, dua murid Calon Arang yaitu

Weksirsa dan Mahisa Wadana menemui Empu Baradah. Mereka mengakui kejahatan dan

dosa yang telah mereka lakukan dan meminta agar Empu Baradah mau menyucikan jiwa

mereka kembali. Empu Baradah pun memeperbaiki jiwa kedua murid Calon Arang itu.

Kemudian kedua murid Calon arang ini mengajak Empu Baradah ke Candi Durga. Di sana

Calon Arang sedang memohon dan berpikir tentang bahaya yang akan dialaminya. Ketika

bertemu Empu Baradah, karena dalam keadaan takut, Calon Arang langsung meminta

ampun kepada Empu Baradah, namun Empu Baradah menolaknya, karena jiwa Calon

Arang masih sangat kotor dan jahat akibat dosa yang terlalu banyak.

“Nyai, kata Weksirsa lagi, “semoga Nyai mengetahui, bahwa inilah Sang Maha
Pendeta Baradah dari Lemah Tulis. Beliau kuasa dalam mengembalikan manusia
pada yang benar dan mengampuni dosa.”
Karena Calon Arang sedang ketakutan dan membutuhkan pertolongan, segera ia
berlutut dan menyembah Sang Maha Pendeta, katanya”
“Ampun Sang Maha Pendeta. Sungguh berbahagia hamba dapat bertemu dengan
paduka tuan. Tolonglah hamba yang durhaka ini. Lenyapkanlah segala dosa hamba
dan berilah hamba jalan pada budi yang luhur. Ya, Maha Pendeta segeralah paduka
tuan menyucikan jiwa raga hamba yang durhaka ini.”
Empu Baradah menggeleng-gelengkan kepala. Calon Arang mendesak dan
mendesak.

- 62 -
Universitas Sumatera Utara
“Hai, janda Girah tukang sihir. Engkau Calon Arang yang banyak dosa. Jiwa
ragamu tak dapat disucikan lagi. Engkau tak bisa diampuni lagi. Dosamu terlampau
banyak. Puluhan ribu orang yang tak berdosa mati karena tingkahmu. Begitu
banyak orang yang kau buat sengsara. Dosamu terlampau besar. Tak ada seorang
pendeta pun yang bisa mengampuni (Cerita Calon Arang, 2003: 80-81).

Karena Empu Baradah menolak permintaan ampunnya, maka kemarahan Calon

Arang timbul. Ia mengancam Empu Baradah. Calon Arang menyerang Empu Baradah

dengan kekuatannya. Calon Arang mengeluarkan api yang sangat besar dari mulutnya

kemudian disemburkannya ke arah Empu Baradah. Lama api itu berkobar pada diri Empu

Baradah. Semakin lama api itu semakin besar. Namun api itu tidak dapat membakar tubuh

Empu Baradah. Ia tetap berdiri tenang. Kemudian sang Empu Baradah hanya mengatakan:

“Hei, kau Calon Arang, mesti mati!” (Cerita Calon Arang, 2003 83).

Maka Calon Arang pun terkapar dan tidak bergerak di atas tanah. Kemudian Empu

Baradah menghidupkan Calon Arang lagi untuk menyucikan jiwanya, kemudian

membunuhnya lagi.

“Ini tidak baik. Tidak ada gunanya kalau ia mati begitu saja sebelum jiwanya
dibersihkan. Ini namanya pembunuhan.”
Setelah Calon Arang dibangunkan kembali.
“Hai, pendeta Lemah Tulis!” teriak perempuan itu. Untuk apa kau hidupkan aku
lagi? Bukankan lebih baik aku mati?”
“Mati ialah gampang, Calon Arang. Tetapi mati itu tidak berguna kalau tidak
membawa kesucian. Baiklah kusucikan jiwamu dahulu,” kata Empu Baradah.
Empu Baradah memberi pelajaran tentang budi-pekerti yang baik kepada janda
Girah itu. Pelajaran itu membuat tukang sihir itu insaf. Kemudian ia menyembah
Empu Baradah dengan takzim. Setelah itu calon Arang dibunuh kembali oleh sang
Empu. Matilah dia (Cerita Calon Arang, 2003: 84).

Setelah Empu Baradah berhasil menaklukkan Calon Arang, seluruh penduduk

bergembira. Begitu juga dengan Sri Baginda, ia sangat senang dan berterimaksaih kepada

Empu Baradah yang telah berhasil membebaskan rakyat dan negerinya dari penderitaan

- 63 -
Universitas Sumatera Utara
yang diakibatkan oleh kekuatan jahat Calon Arang. Sri Baginda Erlangga pergi ke Lemah

Tulis meminta Empu Baradah mengajarkan tentang ilmu budi pekerti yang baik untuk

memimpin Daha. Setelah mendapat ilmu budi pekerti itu, Sri Baginda Erlangga mampu

membuat rakyat Daha hidup makmur dan sejahtera. Rakyat semakin mencintai Sri Baginda.

Daha kembali seperti dahulu. Sawah dan ladang diolah lagi dan panen kembali berhasil.

Anak-anak juga kembali bermain dengan gembira di padang dan rumput sambil

menggembalakan binatangnya. Negri-negri lain pun datang ke Daha untuk berdagang.

Demikianlah keadaan Daha setelah Calon Arang tiada.

4.4 Latar

Latar atau setting merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam karya

fiksi. Peristiwa dalam cerita terjadi dalam pengambaran latar yaitu tempat, waktu, dan

bagaimana keadaan atau situasi ketika peristiwa itu berlangsung. Suatu peristiwa tidak

mungkin terjadi bila tidak ada latar. Dengan kata lain, semua karya fiksi mempunyai latar

atau setting. Latar dapat mewarnai cerita karena merupakan pijakan yang jelas mengenai

cerita. Latar menggambarkan realitas berupa tempat kejadian sehingga tempat atau suasana

itu seperti benar dan nyata.

Aminuddin (2000: 67) mengatakan “Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi,

baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal.”

Kemudian Nurgiyantoro (1995: 216) mengatakan “Latar atau setting yang disebut juga

sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”

- 64 -
Universitas Sumatera Utara
Stanton (2007: 35) mengatakan:
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat
berwujud dekor seperti sebuah cafe di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan
buntu di sudut kota Dublin dan sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu
tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau periode sejarah. Biasanya latar di
ketengahkan lewat baris-baris kalimat deskriptif.

Sudjiman (1987: 44) mengatakan “latar segala keterangan, petunjuk, pengacuan

yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya

sastra.”

Selanjutnya Hudson (dalam Sudjiman 1987: 44) membedakan latar sosial dan latar
fisik/material. “Latar sosial mencakup keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.
Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu
bangunan, daerah, dan sebagainya.”

Dengan mengetahui latar, pembaca lebih mudah memahami cerita dengan persepsi

yang dimilikinya mengenai cerita yang sedang dibacanya. Pembaca dapat merasakan

kebenaran yang diceritakan melalui penggambaran tempat, waktu, dan keadaan suatu

kelompok atau masyarakat tertentu yang diciptakan pengarang sehingga cerita dapat

dipahami secara lebih mendalam.

Dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer terdapat latar fisik,

yang berupa tempat, dan latar sosial yaitu penggambaran mengenai masyarakat Daha dalam

cerita ini.

- 65 -
Universitas Sumatera Utara
Latar tempat dalam cerita ini adalah sebagai berikut:

1. Dusun Girah

Dusun ini adalah dusun di negara Daha. Di dusun inilah tokoh utama Calon Arang

tinggal. Di dusun inilah Calon Arang dan murid-muridnya menyebarkan penyakit kepada

seluruh penduduk kemudian meneruskan penyebarannya ke ibukota.

Hampir seluruh peristiwa terjadi dalam dusun ini.


Menurut riwayat adalah sebuah dusun dalam negara Daha. Girah namanya.
Penduduk Daha takut benar mendengar nama itu dusun itu. Sebab di sana tinggal
seorang janda. Calon Arang namanya (Cerita Calon Arang, 2003: 9).

2. Lemah Tulis
Lemah Tulis juga nama sebuah dusun. Di dusun inilah asrama tempat tinggal Empu

Baradah bersama istri dan anaknya. Di Lemah Tulis ini, Empu Baradah melakukan

aktivitasnya seperti mengajar murid-muridnya.

Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya. Sudah lama ia
berasrama di Lemah Tulis, dan di sana pula ia tinggal (Cerita Calon Arang, 2003:
15).

3. Candi Durga

Candi ini merupakan tempat Calon Arang dan murid-muridnya memuja Dewi

Durga, dewi kejahatan. Calon Arang dan murid-muridnya bertapa untuk memohon izin

kepada Dewi untuk menyebarkan penyakit kepada seluruh penduduk.

Di dalam candi inilah Calon Arang memuja dewinya. Diucapkan segala mantra dan
maksudnya hendak membunuh orang banyak-banyak. Api pedupaan pun mengepul-
ngepulkan asap. Bau ratus pandan wangi semerbak memenuhi ruangan candi
(Cerita Calon Arang, 2003: 13).

- 66 -
Universitas Sumatera Utara
4. Kuburan
Kuburan ini adalah tempat Calon Arang dan murid-muridnya berunding tentang

rencana mereka menyebarkan penyakit. Di sini melakukan ritual aneh. Hal ini mereka

lakukan sebagai kegiatan untuk meneruskan penyebaran penyakit lebih luas lagi yaitu

sampai ke ibukota. Di tempat ini murid-murid Calon Arang ada yang lompat, melipat kaki,

telanjang bulat, menumbuk ke sana dan ke mari, bergerak maju dan mundur dan

membelalakkan dan mendelikkan mata, menjatuhkan diri ke tanah, serta meliuk-liukkan

badan seperti cacing. Ini merupakan kegiatan mereka sebelum menanam bibit penyakit ke

seluruh pelosok negeri.

Sampailah mereka ke kuburan yang dituju. Seorang demi seorang duduklah di tanah
berumput. Di sinilah tempat tempat perundingan mereka. Calon Arang duduk di
tengah-tengah bersandar pada pohon kayu yang besar lagi tua. Tumbuhan-tumbuhan
rambatan berjuluran dari cabang-cabang sampai tanah.
Jarang benar orang datang ke kuburan itu. Selain gelap, juga menakutkan
kelihatannya. Kuburan itu tak terpelihara. Banyak ditumbuhi semak-semak dan ular
berjalaran ke sana kemari (Cerita Calon Arang, 2003: 38).

5. Kuburan Ibu Wedawati


Kuburan ini adalah tempat yang selalu dikunjungi oleh Wedawati ketika ia disakiti

oleh ibu tirinya. Di kuburan ibunya inilah Wedawati meluapkan semua isi hati dan perasaan

. Di sini ia sering menangis mengadu pada ibunya akan kesedihan yang ia alami selama

kepergian ibunya.

Kuburan itu masih sunyi-senyap seperti tadinya juga. Pohon-pohon besar dan
rindang menggeleng-gelengkan tajuknya bila angin datang meniup. Burung
bernyanyi bersahut-sahutan. Di pucuk pohon beringin beberapa ekor gagak
meraung-raung. Dan sinar matahari yang telah tipis membuat kuburan itu
bertambah gelap. Jengkerik sudah mulai mendering-dering (Cerita Calon Arang,
2003: 49).

Tempat ini juga akhirnya menjadi tempat tinggal Wedawati setelah ia memutuskan
berpisah tempat tinggal dengan ayahnya, Empu Baradah. Hingga pada akhirnya Wedawati

- 67 -
Universitas Sumatera Utara
menjadi gadis pertapa. Di kuburan ini, ayahnya membuat sebuah bangunan untuk tempat
tinggal Wedawati dan tidak lama kuburan ini menjadi taman yang indah karena ditanami
dengan bunga-bunga yang indah.
Sekarang banyak orang datang untuk melihat kuburan yang telah menjadi taman
yang indah. Orang-orang tercengang-cengan melihatnya. Kupu-kupu aneka macam
beterbangan dengan girangnya. Dan di tengah-tengah semua itu sebuah rumah kecil
yang indah sekali berdiri dengan damai (Cerita Calon Arang, 2003: 67).

Dalam cerita ini terdapat latar sosial, yaitu penggambaran keadaan masyarakat

penduduk Daha yang hidup dengan aman, sejahtera, dan makmur. Seluruh penduduk

berkecukupan dan hidup bahagia.

Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri. Negara itu berpenduduk banyak, dan
rara-rata penduduk hidup makmur.
Panen pak tani selalu baik, karena tanaman jarang benar diganggu oleh hama.
Tiap-tiap sore anak-anak muda berlatih keprajuritan di alun-alun. Dan ada kalanya
diadakan pertandingan antara seorang bakal perwira dengan seekor banteng yang
digalakkan. Ribuan rakyat menonton pertandingan itu.
Negara Daha termasyhur aman. Tak ada kejahatan yang terjadi, karena tiap orang
hidup maknur, cukup makan dan pakaian. Karena makmurnya itu makanan
penduduk teratur, dan karena itu pula tak ada penyakit yang terjangkit (Cerita
Calon Arang, 2003: 9).

Namun keadaan penduduk yang hidup sejahtera ini kemudian berubah akibat penyakit yang

disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya. Banyak penduduk yang meninggal.

Akibatnya penduduk hidup dalam ketakutan dan penderitaan. Penggambarang keadaan

penduduk oleh pengarang dalam cerita ini menunjukkan latar sosial.

Dahulu tiap hari beratus-ratus orang mati dan dibawa ke kuburan. Dan kalau yang
menguburkan itu pulang, ia pun sakit pula, kemudian mati. Begitulah terus-
menerus.
Penduduk Negara Daha kian lama kian sedikit. Banyak prajurit dari luar ibukota
meninggal. Bukan karena kena senjata di medan perang. Tetapi mati karena teluh
Calon Arang. dan kalau waktu itu datang musuh hendak merobohkan Daha,
robohlah negara yang agung itu (Cerita Calon Arang, 2003: 27).

- 68 -
Universitas Sumatera Utara
BAB V
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP NOVEL CERITA CALON
ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

5.1 Cinta

Cinta merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada

umumnya manusia tidak dapat terlepas dari cinta karena setiap manusia itu memiliki cinta.

Ini disebabkan karena manusia adalah makhluk atau individu sosial yang hidup dengan

individu lainnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa ada pembauran, perhatian, pertolongan,

dan bantuan orang lain. Pembauran, pertolongan, perhatian, dan bantuan antara sesama

individu itu merupakan bentuk rasa cinta kepada orang lain. Oleh karena itu, cinta

merupakan sebuah kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupannya. Cinta dapat

dirasakan oleh setiap orang tanpa memandang usia, waktu, tempat, dan status sosial

seseorang. Cinta dapat dirasakan oleh setiap manusia dan memberi arti yang berbeda pada

setiap yang merasakannya, sehingga sulit memberi satu definisi yang pasti mengenai cinta..

Wibowo Turnady (www.google.com/turnady.com/11/05/2010) menuliskan


beberapa definisi cinta dari beberapa sumber, yaitu: 1) Cinta adalah sebuah perasaan yang
ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang (Wikipedia), 2)
Cinta adalah kasih sayang yang mendalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 3) Cinta
adalah perasaan sayang pada orang lain (Dictionary.com), 4) Cinta adalah ikatan atau
perasaan yang kuat yang menimbulkan rasa hormat dan sayang (Arddictionary.com), 5)
Cinta adalah perasaan sayang dan tertarik yang sangat kuat kepada seseorang (
Answer.com), 6) Cinta adalah fenomena sosial yang kognitif (ilmu sosiologi), 7) Cinta
adalah emosi yang dalam dan kompleks yang membuat seseorang yang bertindak heroik.
(ehow.com), 8) Cinta adalah emosi positif yang kuat.(Lexipedia.com), dan 9) Cinta adalah
ketertarikan rasa sayang pada lawan jenis (biology-online.org).

Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (dalam


www.google.com/id.Wikipedia.org/wiki/cinta/12/05/2010) dinyatakan:
Cinta adalah sebuah perasaan yang membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi
terhadap seseorang. Cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia
terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih

- 69 -
Universitas Sumatera Utara
sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakuka
apapun yang diinginkan objek tersebut.

Wahdi (dalam www.google.com/wahdisblog.blogspot.com/2007/defenisi cinta/12/05/2010)

menyatakan bahwa ada beberapa macam bentuk cinta, yaitu:

1) Eros, adalah cinta manusia semata, yang diinspirasi oleh sesuatu yang menarik
pada objeknya. Eros merupakan cinta yang tumbuh dari seseorang kepada yang
lain, 2) Storge, adalah ikatan alami antara ibu dan anak, bapak dan anak, dan
saudara, 3) Philia, setingkat lebih tinggi dari eros, berhubungan dengan jiwa
daripada tubuh. Menyentuh kepribadian manusia-intelektual, emosi, dan kehendak,
melibatkan saling berbagi, 4) Agape, adalah tingkat kasih yang paling tinggi. Ini
adalah kasih Tuhan, kasih yang tidak mencari kesenangan sendiri, tetapi senang
memberi tanpa menuntut balas.

Dari keempat bentuk cinta tersebut hanya dijumpai tiga bentuk cinta dalam novel

Cerita Calon Arang karya Paramoedya Ananta Toer ini, yaitu:

5.1.1 Storge; Cinta Ayah Kepada Putrinya dan Cinta Ibu Kepada Putrinya

Storge, adalah perasaan atau ikatan alami antara ibu dan anak, bapak dan anak, dan

saudara. Cinta ini tergambar pada Empu Baradah yang sangat mencintai putrinya Ratna

Manggali. Ia sangat sedih melihat putrinya yang belum dapat menerima kepergian ibu

kandungnya. Empu Baradah turut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh putrinya itu.

Sekarang ibunya telah meninggal. Siapa tak akan bersedih hati. Siapa lagi yang
akan bercerita begitu indah kepada Wedawati? Siapa lagi yang akan mengasihinya?
Lalu dengan tersedu-sedu dirangkulnya mayat ibunya.
“Ya, siapa lagi yang mengasihi daku? Tangisnya.
Ayah ‘kan masih ada,” hibur ayahnya.
Tapi tapi gadis itu menangis juga.
“Siapakan yang mencintaiku sekarang?” ratapnya lagi.
Lalu Sang Empu tak tahan lagi melihat tingkah laku anaknya. Dirangkulnya
Wedawati, diusap-usapnya rambut dan pipi anaknya yang piatu itu, sambil
mengucurkan airmata (Cerita Calon Arang, 2003: 17).

- 70 -
Universitas Sumatera Utara
Cinta Empu Baradah kepada putrinya ini juga tercermin melalui kegelisahan yang

dirasakannya ketika ia pulang ke asrama dan mengetahui Wedawati tidak berada di rumah

karena bertengkar dengan ibu tirinya. Kemudian cepat-cepat Empu Baradah berangkat

mencari anaknya.

Segera Sang Empu bangun dari tidurnya. Kaget benar ia. Cepat-cepat dikenakan
kembali jubahnya. Katanya kepada istrinya:
“Baiklah, ku cari sendiri”.
Kemudian jalanlah ia mencari Wedawati. Cepat sekali jalannya. Sebentar-sebantar
ia bertanya kepada orang di jalan:
“Ada engkau melihat anakku? Kemana perginya?”
Tiap orang yang mengetahui menjawablah dengan segera dan hormat.
Sampai di padang rumput Sang Empu sekarang. Anak-anak gembala masih banyak
di sana. Pada salah seorang mereka bertanyalah ia:
“Ada di antara engkau tahu kemana anakku pergi?” (Cerita Calon Arang, 2003: 48).

Perasaan cinta Empu Baradah kepada putrinya Ratna Manggali juga terlihat ketika

Empu Baradah sangat bersedih karena Ratna Manggali tidak mau pulang ke rumah saat

pergi dari rumah untuk kedua kalinya. Empu Baradah menemui Ratna Manggali di

kuburan istrinya dan membujuk Ratna Manggali agar tidak meninggalkan dirinya dan mau

kembali pulang ke Lemah Tulis.

“Anakku, manis! Buat apa engkau meninggalkan rumah? Engkau membuat aku
bersedih hati. Mari pulang, anakku!”
Wedawati menggelengkan kepala. Ia tak mau pulang lagi. Ia tak ingin hidup
bersama ibu tirinya. Karena tak mau menyusahkan orang lain, ia pun tak sudih bila
disuruh tinggal di tempat orang lain.
Lama Empu Baradah mengambil hati anaknya. Tapi Wedawati tak mau mengubah
pendiriannya. Lama juga ayah itu mengusap-usap rambut dan bahu anaknya.
Wedawati tetap tidak peduli.
Sudah lama juga Sang Pendeta memberi nasehat. Banyak juga pelajaran
disuarakannya. Tidak, Wedawati tetap tak mau ikut pulang.
“Mengapa engkau hendak menyedihkan hati ayahmu, Wati?”
“Ayahanda.” Kata Wedawati sopan, “hamba sudah berniat tinggal di kuburan ini.
Hamba tak ingin pulang.”
“Kalau engkau tinggal di sini anakku, angin, hujan, panas, dan dingin udara itu akan
membuat engkau tidak sehat,” ayahnya menasehati lagi.

- 71 -
Universitas Sumatera Utara
“Biarlah hamba sakit, ayahanda. Biarlah hamba sakit,” jawab Wedawati.
“Mengapa engkau hendak menyedihkan hatiku, Wati?” tanya Sang Pendeta (Cerita
Calon Arang, 2003: 64).

Cinta ini juga jelas terlihat ketika Empu Baradah rela mengorbankan keinginannya

membawa Ratna Manggali kembali pulang. Empu Baradah rela menuruti permintaan

Wedawati untuk tinggal di kuburan ibunya, walaupun hatinya sangat sedih. Ia sudah

membujuk anaknya, namun tidak berhasil. Wedawati tetap pada pendiriannya. Empu

Baradah pun menyuruh murid-muridnya untuk membuat sebuah bangunan di kuburan itu

sebagai tempat tinggal Wedawati agar putrinya itu terlidung dari bahaya. Selama Wedawati

tinggal di tempat itu, Empu Baradah setiap hari mengunjungi putrinya itu. Ia juga

mengajarkan ilmu kepada putrinya yang memutuskan menjadi pertapa itu.

“Kalau sudah tetap niatmu, anakku,” katanya perlahan, “ untuk tinggal di kuburan,
sebaiknya engkau tinggal di rumah yang aku suruh buat itu.”
Wedawati tidak menjawab. Juga ia tidak menoleh ke arah orang-orang yang sibuk
mendirikan rumah.
“Dan ini ibumu berkirim makanan. Jangan kau biarkan kosong perutmu di bawah
hawa dingin seperti semalam. Ibumu bilang sejak kemarin pagi kau belum makan.”
Wedawati tak mau juga bicara.
Hari itu juga rumah telah berdiri di pekarangan pekuburan. Berloteng rumah itu.
Dengan kasih sayangnya Sang Pendeta memegang tangan anaknya. Wedawati
didirikan. Dan gadis itu tidak membantah. Lambat-lambat mereka berjalan ke arah
rumah yang sudah jadi itu.
Saban hari Sang Pendeta datang membawa weda-weda dan mengajarkan pada
anaknya berbagai ilmu yang patut diketahui oleh setiap orang. Dan bila berhadapan
dengan ayahnya, tak pernah gadis itu bertanya tentang ibu, tentang adik, tentang
asrama. Ia tak bertanya apa-apa selain tentang pelajarannya. Kalau ia bercerita
kepada ayahnya, ia hanya bercerita tentang kuburan dan suburnya bunga-bunga
yang tumbuh (Cerita Calon Arang, 2003: 66-67).

Cinta ayah kepada putrinya ini semakin jelas terlihat ketika Empu Baradah pada

akhirnya memutuskan hidup menjadi pertapa putrinya. Setelah Empu Baradah berhasil

menyelamatkan penduduk Daha dari kejahatan Calon Arang, ia pun meninggalkan seluruh

hartanya dan mengajak putrinya Wedawati pergi ke tempat yang jauh sekali untuk bertapa.

- 72 -
Universitas Sumatera Utara
Sesampainya di asramanya sendiri, segala kekayaan itu diserahkannya kepada anak
yang lelaki. Setelah menyerahkan seluruh harta-bendanya, pergilah ia ke tempat
Wedawati bertapa. Diajaknya anaknya yang dicintai itu pergi jauh, jauh sekali.
Maka nampaklah kedua orang itu berjalan bersama-sama, naik gunung. Tambah
lama tambah kecil kelihatannya. Akhirnya tak kelihatan sama sekali. Sejak itu tak
pernah orang mendengar berita di mana mereka berdua berada (Cerita Calon Arang,
2003: 92).

Bentuk cinta storge ini juga tergambar dari cinta yang dimiliki oleh Calon Arang

(ibu) kepada putrinya Ratna Manggali. Calon Arang sangat mencintai putri tunggalnya itu.

Karena begitu dalam cintanya itu, Calon Arang rela membunuh banyak orang sebagai

bentuk kemarahannya kepada para penduduk yang sering membicarakan tentang putrinya

yang belum juga ada yang melamar. Mendengar kabar itu, Calon Arang menjadi marah dan

bertekad membunuh orang sebanyak-banyaknya demi memuaskan amarahnya.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya.
Dari murid-muridnya banyak mendengar bahwa anaknya sering menjadi buah
percakapan, karena tidak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya
yang jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya,
supaya puaslah hatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Calon Arang pun menyebarkan penyakit yang menyebabkan banyak penduduk di Daha

yang meninggal. Tindakan ini dilakukan terus-menerus sebagai bentuk dendamnya kepada

penduduk yang menjadikan putrinya sebagai bahan perbincangan. Suatu ketika ada lelaki

yang bernama Empu Bahula yang menemui Calon Arang untuk melamar putri Calon

Arang. Mendengar itu, Calon Arang sangat senang. Ia menyambut gembira lamaran itu dan

menerima dengan terbuka.

“Sangat girang hati hamba, Sang Pendeta, karena tuan sudi memperistri anak
hamba. Tetapi sudah hamba katakan tadi, Ratna Manggali anak kampung yang tak
tahu adat kota. Kerjanya kaku dan kikuk. Dialah anak hamba satu-satunya.”
“Bagaimanakah pendapat tuan tentang permintaan hamba? Tanya Bahula.
“Hamba bersyukur, Pendeta. Hamba serahkan anak hamba kepada tuan.”
“Dan emas kawin apakah yang harus hamba penuhi? tanya Bahula.

- 73 -
Universitas Sumatera Utara
“O, itu perkara gampang, tuan Pendeta! Sembarang hadiah tuan pendeta akan
hamba terima dengan perasaan syukur, beribu-ribu syukur,” jawab janda Girah itu
(Cerita Calon Arang, 2003: 70).

Rasa cinta Calon Arang kepada putrinya ini juga jelas tergambar ketika ia membuat

pesta yang meriah untuk merayakan pernikahan putri tunggalnya itu. Ia rela mengorbankan

sebagian hartanya untuk membuat pesta yang megah. Ia ingin pernikahan pestanya itu

membuat putrinya bahagia.

Perhelatan perkawinan itu dibuat besar-besaran oleh Calon Arang. Tentu saja,
karena Ratna Manggali anak tunggal. Dan anak itu disayangi sekali. Harta benda
janda itu banyak, melimpah-limpah. Tentu saja ia tak sayang kehilangan dari
sebagian dari harta bendanya. Beribu-ribu orang datang. Bukan karena sayang
mereka datang menyaksikan pernikahan itu. Tetapi karena ketakutan. Tua-muda,
laki-perempuan semua keluar rumah masing-masing. Segala permainan ada di pesta
itu. Segala makanan dan minuman tersedia.
Hari itu Calon Arang adalah orang yang paling berbahagia di seluruh dunia.
Sebentar-sebentar ia tertawa-tawa. Ia merasa puas. Sekarang anaknya telah
bersuami (Cerita Calon Arang, 2003: 71).

Tindakan Calon Arang tersebut dilakukan untuk membahagiakan putri tunggalnya

Ratna Manggali. Ini merupakan bentuk cinta. Bentuk cinta ini merupakan ikatan yang

terdapat dalam hubungan antara ibu dan anaknya.

Bentuk cinta yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang ini, yaitu cinta ayah

kepada putrinya dan cinta ibu kepada putrinya (storge) memiliki persamaan dan perbedaan.

Persamaannya adalah yaitu sama-sama rela melakukan apa saja demi membahagiakan

anaknya. Empu Baradah rela menuruti permintaan putrinya untuk berpisah tempat tinggal

dengan ayahnya dan memutuskan menjadi seorang pertapa. Empu baradah menerima

keputusan itu, meskipun itu sangat menyedihkan baginya. Empu Baradah membangun

sebuah rumah tinggal untuk putrinya di lokasi pertapaan itu agar putrinya terlindung.

- 74 -
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga dengan Calon Arang yang sangat marah ketika penduduk membicarakan

putrinya yang belum juga ada yang melamar. Calon Arang kemudian melampiaskan

amarahnya itu dengan membunuh penduduk sebanyak-banyaknya. Hingga suatu hari,

putrinya dilamar oleh Empu Bahula. Calon Arang pun sangat senang dan mengadakan

pesta yang sangat meriah untuk pernikahan putri tunggalnya walaupun harus

mengorbankan sebagian besar dari hartanya.

Perbedaan dari kedua cinta ini, yaitu cinta ayah (Empu Baradah) kepada putrinya

Wedawati menghasilkan hal yang baik, artinya tidak merugikan orang lain di sekitarnya.

Sebaliknya, cinta ibu (Calon Arang) kepada putrinya Ratna Manggali, menyebabkan hal

buruk bagi orang lain, yaitu sanpai menghilangkan nyawa orang lain.

5.1.2 Philia; Cinta Seorang Pemimpin Kepada Rakyatnya (sesama)

Philia adalah cinta yang setingkat lebih tinggi dari eros, berhubungan dengan jiwa

daripada tubuh. Menyentuh kepribadian manusia-intelektual, emosi, dan kehendak,

melibatkan saling berbagi. Bentuk cinta philia dalam novel Cerita Calon Arang ini terlihat

dari rasa cinta yang dimiliki oleh pemimpin negara Daha, Sri Baginda Erlangga kepada

seluruh rakyatnya (sesama). Ia adalah raja yang memimpin dengan bijaksana dan berbudi.

Sri Baginda selalu memperhatikan keadaan seluruh rakyatnya, dari daerah pelosok sampai

ibukota. Karena ia ramah dan sangat peduli akan rakyatnya, seluruh rakyatnya pun

mencintai Baginda.

Namun keadaan penduduk Daha yang makmur dan sejahtera menjadi berubah.

Seluruh penduduk hidup dalam ketakutan dan penderitaaan. Ini disebabkan oleh penyakit

yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya. Akibatnya, banyak rakyat yang

- 75 -
Universitas Sumatera Utara
menderita penyakit panas dingin, bahkan banyak yang meninggal setiap harinya.

Mengetahui keadaan ini, Sri Baginda Erlangga sangat sedih. Ia gelisah melihat rakyat dan

yang dicintainya hidup dalam penderitaan. Ia pun terus-menerus memikirkan cara untuk

melawan kejahatan Calon Arang agar rakyatnya bebas dari penderitaan. Kemudian ia

mengutus pasukan balatentara dari istananya untuk menangkap dan menaklukkan Calon

Arang.

Mereka yang hadir di bangsal diam merenung-renung menunggu putusan Raja.


“Penyakit itu harus dilenyapkan. Kalau tidak bisa setidak-tidaknya harus dibatasi.
Kirimkan balatentara ke dusun Girah. Tangkap Calon Arang. kalau melawan, bunuh
dia besama-sama murid-muridnya.” (Cerita Calon Arang, 2003: 30).

Balatentara istana yang dikirim oleh Sri Baginda Raja Erlangga tidak berhasil menangkap

Calon Arang. Bahkan, tiga dari pasukan itu dibunuh oleh Calon Arang. Mendengar kabar

itu, Sri Baginda pun sangat sedih. Ia pun berdoa kepada dewa agar diberi petunjuk. Namun

tidak ada dewa yang datang. Ia pun bertambah sedih memikirkan rakyatnya belum bisa

terbebas dari penyakit yang disebarkan Calon Arang itu.

Setelah sidang dibubarkan, segera Sri Baginda Erlangga masuk ke sanggar


pemujaaan. Di sana Baginda memuja pada dewanya agar diberi petunjuk untuk
memberantas penyakit yang telah begitu banyak membunuh rakyat kerajaanya.
Tetapi tak ada dewa yang datang.
Dengan hati sedih ditinggalkan sanggar pemujaaan itu dan seorang diri berjalan di
taman.
Tetapi keindahan taman itu tak menarik perhatiannya lagi. Lama Sri Baginda duduk
diam-diam di bangku dalam taman. Kepalanya tunduk ke bawah. Di atasnya burung
bernyanyi-nyanyi girang di dahan-dahan. Itupun tak menarik perhatiannya lagi.
Tak senang ia duduk. Sebentar saja telah bangkit pula. Lambat-lambat ia melangkah
ke kali kecil yang mengalir ke tengah-tengah taman. Ikan yang senag berenang-
renang di air jernih itu pun tak menarik perhatiannya (Cerita Calon Arang, 2003:
35).

Penyakit yang disebarkan Calon Arang pun semakin hebat. Sri Baginda terus

menerus memikirkan bagaimana cara menaklukkan Calon Arang. Hingga pada suatu hari

- 76 -
Universitas Sumatera Utara
Sri Baginda mengadakan rapat dengan pendeta-pendeta terbaik. Sri Baginda menyadari

bahwa kekuatan mantra Calon Arang memang tidak bisa dikalahkan dengan senjata,

melainkan harus dengan mantra juga. Lalu mereka pergi bersama-sama ke candi untuk

meminta petunjuk dari Dewa Agung, yaitu Dewa Guru yang akhirnya mmberi petunjuk

bahwa yang dapat mengalahkan kekuatan Calon Arang hanya ada satu orang yaitu Sang

Pendeta dari Lemah Tulis, yang bernama Empu Baradah. Setelah mendapat petunjuk itu,

maka kemudian Sri Baginda Erlangga mengutus Kanduruan untuk memohon pertolongan

Empu Baradah. Empu Baradah pun bersedia membantu Sri Baginda. Empu Baradah

akhirnya dapat menaklukkan Calon Arang dan seluruh penduduk terbebas dari penyakit.

Penduduk Daha pun hidup makmur kembali.

Kepedulian yang dimiliki Sri Baginda Erlangga dalam cerita ini menunjukkan rasa

cintanya kepada seluruh penduduk Daha. Sri Baginda juga merasakan kesedihan yang

mendalam akibat penyakit dan penderitaan yang dirasakan rakyatnya. Ia selalu mencari

jalan keluar menaklukkan Calon Arang, sampai akhirnya ia menemukan Empu Baradah

sebagai orang yang memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan Calon Arang. Hal ini

menunjukkan rasa cinta yang dalam dari seorang pemimpin kepada anggota (rakyatnya).

Cinta ini menghasilkan sesuatu yang baik, yaitu kesejahteraan seluruh rakyat yang

dipimpinnya.

5.1.3 Agape; Cinta Empu Baradah Kepada Penduduk Daha

Agape adalah tingkat kasih yang paling tinggi. Ini adalah kasih yang senang

memberi tanpa menuntut balas. Cinta ini tergambar dari cinta yang dimiliki oleh Empu

Baradah yang rela bersedia menolong penduduk di sekitarnya. Empu Baradah memiliki

- 77 -
Universitas Sumatera Utara
kekuatan yang luar biasa. Ia menguasai banyak ilmu. Oleh karena itu, banyak penduduk

yang sering meminta tolong kepadanya. Empu Baradah tidak pernah menolak permintaan

itu. Ia dengan senang hati membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan.

Karena sangat taat kepada agamanya, penduduk dusun sujud belaka padanya.
Lagipula ia selalu ramah, senang menolong orang sengsara, dan tak pernah menolak
bila ada orang yang minta tolong.
Menolong orang adalah pekerjaan yang sangat diutamakan. Karena itu lama-lama
penduduk Dusun di Lemah Tulis menganggapnya sederajat dengan dewa. Malah
ada yang menganggapnya sang dewa yang menjelma sebagai manusia.
Selain penolong, pengasih, dan penyayang pada sesama manusia, ia pun orang yang
pandai dan banyak belajar (Cerita Calon Arang, 2003: 15-16).

Empu Baradah juga bersedia membantu raja untuk menolong penduduk Daha agar bebas

dari penyakit yang disebarkan Calon Arang. Ia dengan senang hati membantu mengalahkan

Calon Arang agar seluruh penduduk hidup sejahtera kembali.

“Sembahkan pada baginda bahwa aku, Empu Baradah , sanggup membatalkan teluh
janda dari Girah yang bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit
pasti akan tumpas dan rakyat akan hidup aman kembali.” (Cerita Calon Arang,
2003: 57).

Rasa cinta yang dimiliki oleh Empu Baradah ini juga terlihat ketika menyembuhkan

penduduk Daha yang sakit bahkan menghidupkan kembali mayat-mayat yang belum

membusuk dengan ilmu yang dimilikinya.

Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah mantranya Sang
Empu mengobati orang-orang yang sakit. Segera saja mereka sembuh. Tentu saja
girang benar yang telah disembuhkan itu. Mereka mengucapkan beribu-ribu
terimakasih.
Sang Pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal. Bila mayat itu
belum membusuk Sang Pendeta memercikinya dengan air. Dan hiduplah kembali
mayat-mayat itu (Cerita Calon Arang, 2003: 75)

Rasa cinta yang dimiliki oleh Empu Baradah ini membawa keberhasilannya melawan

kekuatan Calon Arang yang sebelumnya belum ada tandingannya, hingga pada akhirnya

- 78 -
Universitas Sumatera Utara
penduduk bebas dari rasa takut dan penderitaan. Penduduk akhirnya dapat hidup sejahtera

seperti sebelumnya.

Anak-anak kecil senang kembali bermain-main di alun-alun atau di padang rumput


sambil menggembalakan binatang masing-masing. Tak ada seorang pun merasa
ketakutan. Calon Arang pun telah tiada lagi. Penyakit tak lagi sebanyak dahulu.
Sedikit benar orang yang meninggal. Kebanyakan mati ialah karena sudah tua.
Sawah dan ladang diolah lagi. Panen yang bagus tidak berkeputusan. Tak seorang
pun yang takut akan kelaparan. Demikianlah keadaan kerajaan Daha setelah Calon
Arang mati (Cerita Calon Arang, 2003: 87).

Perbuatan baik itu dilakukan oleh Empu Baradah tanpa mengharap imbalan. Ia

melakukannya dengan rela hati. Ini tergambar ketika Empu Baradah berhasil membebaskan

penduduk dari kekuaatan jahat Calon Arang, ia mendapat hadiah dari Raja Erlangga,

namun ia memyerahkan seluruh hadiah itu kepada anak laki-lakinya dan memutuskan

hidup dengan putrinya Wedawati untuk bertapa ke tempat yang jauh.

Dan untuk jasanya ini Sang Maha Pendeta mendapat hadiah dari kedua raja serta Sri
Erlangga segala macam emas berlian dan perak.
Sesampai di asramanya sendiri, segala kekayaan itu diserahkannya kepada anaknya
yang lelaki. Setelah menyerahkan semua harta-bendanya itu, pergilah ia ke tempat
Wedawati bertapa. Diajaknya anaknya yang dicintai itu pergi jauh, jauh sekali
Cerita Calon Arang, 2003: 92).

5.2 Kejahatan

Dalam kehidupan manusia, sering ditemukan berbagai pelanggaran, baik dalam

lingkungan keluarga atau lingkungan di luar keluarga (dalam masyarakat). Pelanggaran

yang terjadi itu disebabkan oleh banyak faktor. Pelanggaran ini bertentangan dengan aturan

dan norma yang telah ditetapkan baik secara lisan atau tulisan. Pelanggaran ini merupakan

bentuk kejahatan. Kejahatan itu tentu saja merugikan orang lain. Oleh sebab itu, pelaku

kejahatan harus diberi hukuman yang sebanding dengan perbuatannya.

- 79 -
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sudarto (dalam Anoraga dan Ninik Widiyanti 1987: 7): “kejahatan

merupakan suatu gejala yang menyangkut setiap orang. Kejahatan berkisar dari bentuk

yang ringan sampai yang berat, misalnya pembunuhan yang keji”. Selanjutnya Anoraga dan

Ninik Widiyanti (1987: 12) menyatakan: “sifat hakikat alamiah kejahatan sebagai suatu

pelanggaran terhadap perasaan-perasaan tentang rasa kasihan dan rasa kejujuran”. Soedjono

(1973: 192) mengatakan “Jenis-jenis kejahatan yang banyak jumlahnya dalam suatu

masyarakat sebagai wadah kehidupan bersama semua gejala yang mengganggu ketertiban

dan ketentraman masyarakat dapat dikatakan sebagai ‘penyakit masyarakat.”

Menurut Kartini Kartono (dalam Sukapiring, 1987: 135-136):

Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah lakuyang bertentangan


dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat, asosial sifatnya, dan
melanggar hukum serta undang-undang pidana. Secara sosiologis, kejahatan ialah
semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkh laku yang secra ekonomis, politis, dan
sosial-phsikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila,
dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam
undang-undang, maupun yang belum tercantum dalam undang-undang pidana).

Selanjutnya menurut Kartini Kartono (dalam Sukapiring, 1987: 136):

Yang dapat dimasukkan dalam perbuatan kejahatan adalah: 1) pembunuhan,


penyembilihan, pencekikan sampai mati, pengracunan sampai mati; 2) perampasan,
perampokan, penyerangan, penggarongan; 3) pelanggaran seks dan pemerkosaan; 4)
maling, mencuri; 5) pengancaman, intimidasi, pemerasan; 6) pemalsuan,
penggelapan; 7) korupsi, penyogokan, penyuapan; 8) pelanggaran ekonomi; 9)
penggunaan senjata api dan perdagangan senjata api; 10) pelanggaran sumpah; 11)
bigami (kawin rangkap satu saat); 12) kejahatan-kejahatan politik; 13) penculikan;
14) perdagangan dan penyalahgunaan narkoba.

Dari bentuk-bentuk kejahatan di atas, dalam novel Cerita Calon Arang karya

Pramoedya Ananta Toer ini terdapat dua bentuk kejahatan, yaitu:

- 80 -
Universitas Sumatera Utara
5.2.1 Pembunuhan

Masalah yang menimbulkan konflik dalam cerita ini adalah mengenai kejahatan

yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya. Mereka membunuh penduduk

Daha dengan cara menyebarkan penyakit kepada penduduk Daha. Calon Arang melakukan

kejahatan ini disebabkan belum ada laki-laki yang meminang putrinya Ratna Manggali.

Kejahatan ini menyebabkan penduduk Daha banyak yang sakit yang kemudian pasti

meninggal. Akibatnya, seluruh penduduk Daha hidup dalam ketakutan dan kecemasan.

Tidak ada yang berani melawan Calon Arang.

Calon Arang berjalan di tengah-tengah membawa kitab sambil mengucapkan


mantra-mantra. Murid-murid lainnya menari-nari melingkupinya sambil berjalan-
jalan. Dan dalam berjalan dan menari itu mereka bergendang-gendang pada tubuh
masing-masing.
Cuma Calon Arang tak menari. Ia hanya berjalan membawa kitab sambil
mengucapkan berbagai mantra. Sampai di perempatan jalan, mereka berhenti. Di
perempatan jalan inilah mereka menanamkan teluh, agar penyakitnya dapat pergi ke
empat mata angin. Dengan girangnya Calon Arang menanamkan teluh itu. Dan
semua muridnya terus menandak dan menari-nari. Setelah itu mereka pulang
dengan girangnya ke rumah Calon Arang. di sana mereka makan-minum bersenag-
senang.
Tak lama kemudian, timbullah penyakit. Tak ada obat bisa melawan penyakit
panas-dingin yang merajalela di seluruh negeri. Ratusan, bahkan ribuan orang
menderia sakit yang tak dapat diobati itu. Bila mereka sakit, pastilah mereka tak
punya harapan untuk sembuh lagi (Cerita Calon Arang, 2003: 27).

Kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya itu membawa akibat yang sangat

buruk pada negara Daha. Penduduknya semakin hari semakin banyak yang mati akibat

penyakit yang disebarkan Calon Arang. Penduduk Daha pun semakin hari semakin sedikit

karena penyakit itu semakin hebat.

Tiap hari beratus-ratus orang mati dan di bawa ke kuburan. Dan kalau yang
menguburkan itu pulang, ia pun sakit, kemudian mati. Begitulah terus menerus.
Penduduk negara Daha kian lama kian sedikit. Banyak prajurit dari luar ibukota
meninggal. Penyakit panas dingin yang diteluhkan Calon Arang tak bisa di cegah

- 81 -
Universitas Sumatera Utara
lagi. Kian lama kian melebar di gunung, dusun, dan sawah. Tambah banyak orang
mati dimakan penyakit itu.
Pendeta-pendeta yang baik hati mencoba menolak teluh itu, tetapi sia-sia. Calon
Arang lebih pandai dari mereka semua. Karena itu, orang hidup dalam ketakutan. Di
rumah-rumah orang menagisi kerabatnya yang meninggal. Seakan-akan tumpaslah
seluruh isi negara Daha waktu itu (Cerita Calon Arang, 2003: 27-28).

Calon Arang juga sangat marah dan akhirnya membunuh tiga balatentara yang

diutus Raja Erlangga dari istana yang mencoba menangkapnya.

Tukang sihir itu pun bangunlah dari tidurnya. Melihat ketiga prajurit itu meluaplah
amarahnya. Matanya merah. Sebentar kemudian menyemburkan api dari matanya
itu. Juga hidung, kuping dan mulutnya merah padam mengeluarkan api yang
menjilat-jilat. Terbakarlah ketiga prajurit itu. Terbakar sampai hangus dan mati di
situ juga (Cerita Calon Arang, 2003: 32).

Ia semakin marah karena Sri Baginda telah mengetahui kejahatannya. Kemudian ia

dan murid-muridnya semakin memperluas kejahatannya ke daerah ibukota. Kejahatan

Calon Arang semakin mengganas. Ia dan murid-muridnya semakin nekat. Penyakit yang

disebarkan semakin hebat. Tidak ada yang bisa menghalangi tindakan Calon Arang dan

murid-muridnya karena takut.

Dari sana-sini orang mendengar murid-murid Calon Arang mengembara ke seluruh


negeri. Dengan garang dan angkuhnya, mereka keluar masuk rumah dengan tiada
minta izin. Berlompatan dari lantai ke tempat tidur. Di dalam rumah mereka
menandak-nandak minta diberi sesaji darah hangat dan daging mentah. Di mana-
mana murid-murid itu menakut-nakuti orang-orang dengan tingkahnya yang
congkak.
Penyakit tambah menghebat. Tak berkurang sedikitpun. Punggawa-punggawa
negara tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun takut kena teluh Calon Arang dan
murid-muridnya yang tak dapat di tolak itu. Demikianlah keadaan negara Daha pada
waktu itu (Cerita Calon Arang, 2003: 54).

Kejahatan yang dilakukan Calon Arang ini akhirnya dapat dihentikan oleh seorang

pendeta, yaitu Empu Baradah yang menguasai banyak ilmu. Dengan kekuatan yang

dimiliki Empu Baradah ini, Calon Arang dapat ditaklukkan sehingga penduduk Daha

- 82 -
Universitas Sumatera Utara
terbebas dari penderitaan dan hidup makmur dan sejahtera kembali seperti dulu. Kejahatan

yang dilakukan oleh Calon Arang dalam cerita ini cukup dominan dalam perkembangan

cerita. Kejahatan ini merupakan masalah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa lain

seperti penderitaan, ketakutan, dan keadaan yang buruk penduduk Daha, hingga akhirnya

konflik antara Empu Baradah dan Calon Arang yang berujung pada kematian Calon Arang.

5.2.2 Intimidasi

Intimidasi merupakan bentuk kejahatan yang kelima (Kartini Kartono, dalam

Sukapiring 1987: 136). Intimidasi merupakan tekanan yang dilakukan seseorang kepada

orang lain. Kejahatan ini dilakukan oleh ibu tiri Wedawati. Ibu tirinya ini sangat membenci

Wedawati. Ia hanya mencintai anak kandungnya saja.

Ibu Wedawati sangat sayang pada anaknya. Berbeda sungguh sikapnya terhadap
Wedawati. Ia tak suka padanya (Cerita Calon Arang, 2003: 18).

Ibu tirinya sering memarahi Wedawati tanpa alasan yang jelas. Walaupun,

Wedawati anak yang sangat baik, rajin, dan tidak pernah berbuat salah, namun ibu tirnya

tetap membenci Wedawati.

Di Lemah Tulis, sibuklah Wedawati bekerja. Ia gadis yang suka bekerja. Ia tak
senang duduk bermalas-malas, apalagi bertopang dagu, dan tak tentu apa yang
dipikirkan. Sudah lama ibu tirinya ingin agar ia pergi dari rumah. Ia ingin agar kasih
Sang Empu jatuh padanya dan anaknya lelaki. Karena itu dicarinya alasan untuk
memarahi Wedawati.
Sebentar kemudian ributlah dalam asrama itu. Ibu tirinya memarahai semau-
maunya. Bukan main bingung Wedawati mendapat marah yang hebat itu. Ia tak
merasa bersalah. Tetapi dilabarak terus. Pada para tetangga ibunya bercerita yang
bukan-bukan tentang dirinya (Cerita Calon Arang, 2003: 18-19).

- 83 -
Universitas Sumatera Utara
Perilaku jahat ibu tirinya ini membuat Wedawati selalu menangis sedih dan akhirnya pergi

meninggalkan asrama tempat tinggal mereka karena ia tidak tahan dengan perlakuan ibu

tirinya itu.

Tak tahan ia. Air matanya bercucuran. Menangis ia tersedan-sedan. Ia terkenang


kembali kepada ibunya yang sudah tiada. Ia pun terkenang pada ayahnya. Tapi ia
tak menceritakan kebengisan ibu tiri itu kepada ayahnya.
Bukan main sedih dan iba hati Wedawati waktu itu. Dengan airmata bercucuran
ditinggalkannya asrama itu. Berat hatinya pergi. Betapa kan tidak. Di sana ia
dilahirkan. Di sana pula ia dibesarkan. Di sana pula ia bergaul dengan kawan-
kawannya semua yang bersikap manis pada dirinya (Cerita Calon Arang, 2003: 19).

Kepergian Wedawati dari asrama membuat ibu tirinya senang. Hal itulah yang

dinanti-nantikannya agar suaminya hanya menyayangi dirinya dan anak lelakinya saja.

Melihat Wedawati pergi, bukan main girang hati ibu tirinya.


“Moga-moga ia tak akan pulang kembali,” doanya. “Moga-moga ia mati di tengah
jalan dimakan macan.”
Setelah anak tirinya itu lenyap dari pandangannya, dengan air muka berseri-seri
pergilah ia mendapatkan anaknya. Ia pun bermain-mainlah dengan anaknya itu.
Diberinya berbagai macam janji yang besar-besar (Cerita Calon Arang, 2003: 47).

Setelah itu, ketika suaminya pulang mengajar dari pertapaan, ibu tiri Wedawati berbohong

kepada suaminya bahwa yang menyebabkan Wedawati pergi dari rumah adalah karena

bertengkar dengan adiknya.

“Tuanku, Sang Empu, sepergi tuanku mengajar di pertapaan Wisauka, ananda


Wedawati bertengkar dengan adiknya.”
Empu Baradah berhenti membaca kitab. Tenang-tenang dipandangnya istrinya.
Kemudian bertanyalah ia:
“Apa yang di pertengkarkan?”
“Bunga!” jawab istrinya.
“Masa bunga begitu banyak dipertengkarkan,” ujar Sang Empu. “Begitu banyak
bunga di taman.”
“Benar tuanku,” kata istrinya. “Setelah bertengkar ia pergi meninggalkan rumah.
Tak mau ditahan.” (Cerita Calon Arang, 2003: 48).

- 84 -
Universitas Sumatera Utara
Setelah Empu Baradah mengetahui Wedawati pergi dari rumah, maka Empu

Baradah langsung mencari putrinya itu. Setelah menemukan putrinya, ia berhasil

membujuk dan membawa putrinya pulang kembali ke asrama. Mengetahui hal itu, ibu tiri

Wedawati kesal dan kecewa. Ia mencari cara untuk mengusir Wedawati. Suatu hari ketika

suaminya sedang pergi ke pertapaan, ibu tirinya itu langsung mengusir Wedawati agar

meninggalkan asrama. Wedawati pun akhirnya pergi dari asrama itu.

Setelah Sang Empu pergi, Wedawati mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa.
Walaupun banyak bujang di rumah, ia sendiri menyapu dan mencuci piring serta
pakaian adiknya.
Waktu matahari telah tampak, ia pun menjemur cuciannya. Tak disangka ibu tirinya
selalu saja berdiri di belakangnya.
Setelah selesai menjemur, ia hendak mandi. Tetapi tiba-tiba ditahan oleh ibu tirinya.
Ia dimaki-maki. Karena tak tahu kesalahannya, ia pun bertanya:
“Apa salah hamba, ibu?”
Tetapi ibu tirinya tak mau peduli. Terus saja memakinya. Akhirnya Wedawati diusir
dari asrama (Cerita Calon Arang, 2003: 60).

Kejahatan yang dilakukan oleh ibu tirinya ini menyebabkan Wedawati terpaksa

berpisah dengan ayah yang sangat dicintainya. Wedawati tidak mau ada yang tersakiti.

Akhirnya ia memutuskan tinggal di pekarangan kuburan ibunya dan menjadi pertapa. Di

sana ayahnya membangun sebuah rumah tinggal untuknya.

Dari bentuk kejahatan yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya terlihat

adanya persamaan, yaitu bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan yang

dilakukan oleh ibu tiri Wedawati sama-sama merugikan dan menyakiti orang lain.

Kejahatan yang dilakukan itu membawa penderitaan bagi orang yang dikenai kejahatan

tersebut. Kejahatan ini juga memiliki perbedaan, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh

Calon Arang mengakibatkan nyawa orang melayang (kematian), sedangkan kejahatan yang

- 85 -
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh ibu tiri Wedawati tidak mengakibatkan kematian orang lain, hanya

meninggalkan kesedihan hati dalam arti menyakiti perasaan.

5.3 Kepahlawanan

Kepahlawanan berasal dari kata pahlawan. Pahlawan adalah orang yang dianggap

berjasa dalam membela kepentingan orang banyak. Pahlawan pada masa lampau diartikan

sebagai orang yang rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan negara. Dalam dunia

pendidikan, guru dapat dianggap sebagai pahlawan karena jasanya dalam mencerdaskan

bangsanya. Dalam keluarga, orangtua juga dapat kita anggap sebagai pahlawan yang rela

membesarkan kita dengan kasih sayang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

pahlawan sebagai sosok yang kuat, berani, pantang menyerah, dan rela mengorbankan

dirinya untuk membela kebenaran dan kepentingan orang banyak. Seperti pendapat yang

terdapat dalam (www.google.com.pesantren.or.id.masterweb.net/02/05/2010) yang

menyatakan “Pahlawan adalah orang yang sangat gagah berani, pejuang yang unggul atau

terkemuka”.

Marto (dalam www.google.com/Martoart.multiply.com/journal/02/05/2010)

menyatakan “Kepahlawanan acap dilekatkan dengan nilai nasionalisme dan ataupun

semangat patriotisme, dan tak terelakkan keduanya juga melekat kepada sejarah dan kisah

lampau”.

Sikap kepahlawanan memang sangat berhubungan dengan patriotisme. Seperti yang

terdapat dalam (www.google.co.id/wikipedia.org/wiki/patriotisme/02/05/2010):

“Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa

dan negara. Patriotisme berasal dari kata ‘patriot’ dan ‘isme’ yang berarti sifat

- 86 -
Universitas Sumatera Utara
kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau ‘heroism’dan ‘patriotism’dalam bahasa Inggris.

Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga.”

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa kepahlawanan merupakan sikap

patriotisme yang rela berkorban demi bangsa dan negara. Dengan kata lain, mau

mengorbankan dirinya demi kepentingan orang banyak. Kepahlawanan dalam Cerita Calon

Arang ini tergambar dari sikap ketersediaan dan kemauan Empu Baradah membebaskan

penduduk Daha dari penderitaan yang disebabkan oleh Calon Arang. Empu Baradah

dengan sikap yang berani menerima permohonan Kanduruan yang di utus Sri Baginda

untuk menolong rakyat. Empu Baradah bertekad menaklukkan Calon Arang dan berjanji

membuat hidup penduduk Daha aman dan sejahtera kembali.

“Baiklah, priyayi. Tuan lebih baik segera kembali mengahadap Sri Baginda.
Sembahkan pada baginda bahwa aku, Empu Baradah, sanggup membatalkan teluh
janda dari Girah yang bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit
pasti akan tumpas dan rakyat akan hidup aman kembali.” (Cerita Calon Arang,
2003: 57).

Seorang pahlawan selain harus memiliki kekuatan juga harus memiliki kemampuan

lain, yaitu kepandaian dalam mengalahkan lawan. Artinya ia mempunyai cara bijak melalui

kecerdasan akal di samping kekuatan yang dimilikinya. Kepandaian dan kecerdasan ini

juga dimiliki oleh Empu Baradah. Setelah mengetahui bahwa penyebab Calon Arang

berbuat jahat adalah karena belum ada lelaki yang melamarnya putrinya Ratna Manggali,

maka Empu Baradah mengutus salah satu murid terbaiknya Empu Bahula untuk menikahi

Ratna Manggali guna mengetahui rahasia kekuatan Calon Arang. Empu Bahula pun

mengatakan kepada Kanduruan yang diutus Sri Baginda untuk menyediakan emas kawin

untuk melamar Ratna Manggali. Calon Arang pun dengan girang menerima lamaran itu.

- 87 -
Universitas Sumatera Utara
Setelah Sri Baginda menghadiahkan barang-barang berharga dan uang untuk emas
kawin serta upacara pernikahan, berangkatlah Empu Bahula ke Dusun Girah. Naik
kuda putih besar Empu Bahula diiringkan oleh pasukan berkuda kerajaan.
Pendeknya iring-iringan itu sampailah sudah di dusun Girah. Empu Bahula duduk
di ruang tamu menunggu Calon Arang keluar.
Keluarlah Calon Arang menemui tamunya. Katanya sopan:
“Berbahagialah yang baru sampai, siapakah tuan, dan dari manakah datang?”
“Semoga tuanku jangan gusar mendengar permohonan hamba,” kata Bahula.
“Cobalah terangkan yang terkandung dalam niat tuan.” sambut Calon Arang.
“Kedatangan hamba adalah hendak meminang putri tuan,” kata Bahula.
Bukan main girang Calon Arang. sekarang ia tak akan disindir-sindir dan
dipercakapkan orang lagi. Sebentar lagi anaknya akan menjadi pengantin. Dengan
girang pun ia menjawab:
“O, apakah yang akan dimarahkan? Cuma si Ratna Manggali anak dusun, tak tahu
adat kota.” (Cerita Calon Arang, 2003: 70).

Tidak lama setelah Ratna Manggali dan Empu Bahula menikah, rahasia kekuatan

Calon Arang telah diketahui oleh Empu Baradah melalui Ratna Manggali. Kekuatan mantra

Calon Arang ada di dalam kitab yang selalu dibawanya ketika menyebarkan penyakit

bersama murid-muridnya. Setelah kitab itu berada di tangan Empu Bardah dan ia selesai

membacanya, maka Empu Baradah pun segera menangkal penyakit yang di sebarkan oleh

Calon Arang. Ia segera membebaskan penduduk dari penyakit itu. Bahkan, menghidupkan

kembali mayat yang belum membusuk. Penduduk Daha pun sangat gembira dan takjub

melihat kekuatan Empu Baradah serta mengucapkan terimakasih pada Empu Baradah.

Setelah mengetahui rahasia kitab itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang
diamuk penyakit. Tiga orang di antara murid-muridnya yang terkemuka
megiringkan. Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah
mantranya Sang Empu mengobati orang-orang yang sakit. Segera saja mereka
sembuh. Tentu saja girang benar yang telah disembuhkan itu. Mereka mengucapkan
beribu-ribu terimakasih.
Sang Pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal. Bila mayat itu
belum membusuk Sang Pendeta memerciknya dengan iar. Dan hiduplah kembali
mayat-mayat yang telah meninggal kena teluh itu. Kadang-kadang hanya dengan
pandang, sentuhan, atau hembusan napas, mayat-mayat itu dapat hidup kembali.
Barang kemana Sang Empu datang, tentu beribu-ribu orang datang memohon
berkah. Orang-orang yang mati berhayat kembali. Orang-orang sakit segera sembuh

- 88 -
Universitas Sumatera Utara
lagi. Karena itu tiap langkah Empu Baradah bertindak, ia ditaburi bunga-bungaan
aneka macam. Kalau meneruskan perjalanan, semua penduduk sujud
menghormatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 75-76).

Setelah penduduk yang sakit disembuhkan dan mayat-mayat dihidupkan kembali,

maka Empu Baradah akhirnya bertarung dengan Calon Arang. Calon Arang mencoba

mengalahkan Empu Baradah dengan api, namun Empu Baradah tidak terkalahkan.

Akhirnya Empu Aradah yang berhasil mengalahkan Calon Arang. Ia berhasil membuat

Calon Arang meninggal, namun sebelum membunuh Calon Arang, Empu Baradah

menyucikan jiwa Calon Arang agar kembali bersih dari dosa-dosa yag selama ini dilakukan

Calon Arang.

“Hai, Baradah! Kenal engkau sekarang siapa aku? Teriak perempuan itu.
“Perlihatkan seluruh kepandaianmu.” Empu Baradah berkata tenang.
“Kurang ajar kau, pendeta kurus!”
“Ayo, perlihatkan segala kebisaanmu. Baradah ingin tahu,” ujar Empu itu dengan
sangat tenangnya.
Bertambah marah Calon Arang mendapat tentangan seperti itu. Dadanya kembang-
kempis. Setelah dilihatnya Maha pendeta tak gentar melihat kepandaiannya, segera
ia meniup. Api besar menyembur dari mulut dan menggulung Sang Empu.
Lama api itu membakar Sang Empu. Api tambah besar. Tetapi Empu Baradah tak
terbakar olehnya. Melihat Baradah tak apa-apa, bertambah murka tukang sihir itu.
“Keluarkan seluruh kepandaianmu,” kata Baradah.
Api dari tubuh janda itu kian jadi besar, keluar masuk bersama napasnya.
Akhirnya Sang Empu berkata dengan kepastian:
“He, Kau, Calon Arang mesti mati!”
Waktu itu juga matilah Calon Arang. Lenyap api yang keluar dari tubuhnya (Cerita
Calon Arang, 2003: 83).

Kematian Calon Arang berarti keselamatan seluruh penduduk Daha. Setelah Calon
Arang tiada maka kehidupan masyarakat Daha kembali makmur dan sejahtera. Keadaan
negeri ini kembali ramai. Anak kecil kembali bermain dengan riang sawah dan ladang pun
dapat diolah kembali. Sri Baginda Raja dan seluruh rakyatnya hidup bahagia. Dan
kebahagiaan ini dapat dicapai karena sikap kepahlawanan Empu Baradah yang berjuang
mengalahkan Calon Arang.

- 89 -
Universitas Sumatera Utara
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Cerita Calon Arang
karya Pramoedya Ananta Toer, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan struktural, dapat diketahui unsur-unsur intrnsik yang terdapat dalam
novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini, yaitu yang mencakup
tema, tokoh, alur, dan latar.
2. Tema novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini adalah kejahatan
yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya yang mengakibatkan penduduk
Negara Daha menderita dan banyak yang meninggal setiap hari. Kejahatan inilah yang
menjadi sebab peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun, di baliknya terdapat nilai
didaktis yang mengajarkan kepada pembaca bahwa kejahatan selalu dapat dikalahkan
oleh kebaikan dan kebajikan. Hal ini dapat dijadikan pedoman bagi pembacanya.
Dengan kata lain dapat membangun moral mayarakat pembacanya.
3. Cerita ini disusun dalam alur yang bergerak teratur (maju) dengan tahap-tahap:
exposition, Inciting Force, Rising Action, crisis, climax, falling action, dan Conclusion.
4. Tokoh yang dianalisis dalam penelitian ini ada tujuh orang yang terdiri dari tokoh
utama (antagonis dan protagonis) dan tokoh tambahan (bawahan) juga tokoh sederhana
(datar) dan tokoh bulat (kompleks).
5. Latar dalam cerita ini berupa latar fisik yang mengacu pada tempat peristiwa dalam
cerita ini berlangsung serta latar sosial yaitu penggambaran masyarakat (penduduk)
Negara Daha yang hidup makmur dan sejahtera, namun berubah menjadi buruk karena
kejahatan Calon Arang.
6. Secara keseluruhan, unsur intrinsik dalam novel ini sudah merupakan struktur yang
terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu
kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan.
7. Dengan batasan sosiosastra, dapat diketahui nila-nilai sosial yang terdapat dalam novel
Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini yaitu cinta, kejahatan, dan
kepahlawanan.

- 90 -
Universitas Sumatera Utara
6.2 Saran
Setelah pembahasan dan penganalisisan novel ini dengan pendekatan struktural,

semakin jelas bahwa analisis struktural adalah langkah dasar yang harus dilakukan dalam

meneliti sebuah karya sastra sebelum melangkah pada wilayah penelitian lain.

Menganalisis novel ini dengan pendekatan sosiosastra juga memperjelas bahwa karya sastra

dan kehidupan masyarakat tidak terpisahkan, karena sosiosatra dapat membedah sisi

kehidupan manusia dalam masyrakat. Diharapkan agar ilmu sosiosastra dapat lebih

didalami, dikembangkan, dan disebarluaskan agar menambah pengetahuan individu

khususnya mahasiswa sastra.

- 91 -
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Anoraga, Panji dan Ninik Widiyanti. 1987. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidkan Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Jabrohim, 2001. “Sosiologi Sastra: Beberapa Konsep Pengantar”. Yogyakarta: Hanindita


Graha Widya.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Malo, Monase. 1985. Metode Penelitian sosial. Jakarta: Karunika.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media
_____________________2007 Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
___________________.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Saini, K.M dan Jakob Sumardjo. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Soedjono, 1970. Patologi Sosial. Bandung (Tanpa Penerbit).

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (Terjemahan oleh Sugihastuti dan Rssi Abi AL Irsyad).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.


Sukapiring, Peraturen. 1987. “Analisis Struktural dan Semiotik Terhadap Roman-Roman
Karya Soeman Hs”.

- 92 -
Universitas Sumatera Utara
Suwondo, Titro. 2001. “Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan Dalam Peneletian
Sastra”. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia.
Zulfa, Eva Achjani dan Topo Santoso. 2001. Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Website :
www.google.co.id/qwt/x?source=m&u=http%3A%fnetworkedblogs.com/3/Februari/2010)
www.google.id/qwt/cassle.kemudian.com/03/Februari/2010
www.asepsambodja.blogspot.com/03/Februari/2010
www.google.co.id/m?hl=id&oe=UTF-8&source=wax)/03/Februari/2010
www.google.com/Martoart.multiply.com/journal/02/Mei/2010
www.google.com.pesantren.or.id.masterweb.net/02/Mei/2010
www.google.com/turnady.com/11/Mei/2010
www.google.com/id.Wikipedia.org/wiki/cinta/12/Mei/2010
www.google.com/www.gky.or/buletin 20/h.idtm/12/Mei/2010
www.google.com/wahdisblog.blogspot.com/2007/definisi cinta/12/Mei/2010

- 93 -
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai