Anda di halaman 1dari 113

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN LANSIA

DALAM MEMBANGUN KEDEKATAN DI UPTD PANTI SOSIAL


TRESNA WERDHA NIRWANA PURI DINAS SOSIAL PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR

SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Srata 1

OLEH:
AZRA ZAHRA CINTAMI
2002056031

ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Komunikasi Interpersonal Perawat Dengan Lansia Dalam


Membangun Kedekatan Di UPTD Panti Sosial Tresna
Werdha Nirwana Puri Dinas Sosial Provinsi Kalimantan
Timur
Nama : Azra Zahra Cintami
NIM : 2002056031
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menyetujui:
Pembimbing,

Ainun Ni’matu Rohmah, S.I.Kom, M.A


NIP. 19910601 201903 2 025

Mengesahkan:
Dekan,

Dr. Finnah Furqoniah S.Sos., M.Si


NIP. 19800709 200604 2 001

i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah orisinal,
merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di perguruan tinggi manapun, dan tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
dikutip dalam skripsi ini dan disebutkan sumber kutipan dan daftar pustakanya.
Apabila di kemudian hari ditemukan bahwa dalam naskah skripsi ini dapat
dibuktikan adanya unsur-unsur plagiasi, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan
gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana) dibatalkan, serta diproses menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Samarinda, 18 September 2023


Penulis,

Azra Zahra Cintami


NIM. 2002056031

ii
ABSTRAK
Tahapan perkembangan manusia di masa lansia merupakan tahapan krusial
yang banyak dihinggapi permasalahan dan membutuhkan seseorang dalam
merawat kesehatan fisik dan psikologisnya. UPTD PSTW Nirwana Puri
Samarinda memiliki tugas pokok sebagai pemberi pelayanan kesejahteraan
sosial bagi lansia terlantar yang kebanyakan menutup diri dari lingkungan
sekitar. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perawat
melakukan penerapan komunikasi interpersonal pada lansia. Dalam
menjelaskan masalah ini, penelitian ini menggunakan Teori Penetrasi Sosial.
Penelitian ini berjenis kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi
deskriptif dan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan
observasi. Hasil penelitian menunjukkan perawat di UPTD PSTW Nirwana
Puri Samarinda melakukan tahap orientasi dengan baik namun pada tahap
pertukaran penjajakan afektif, tahap pertukaran afektif, dan tahap pertukaran
stabil masih ditemukan ketidakefektifan dikarenakan kurangnya aspek
keterbukaan dan aspek empati kepada lansia.
Kata Kunci: Komunikasi Interpersonal, Lansia, Perawat, Panti Werdha

iii
ABSTRACT
The stage of human development in old age is a crucial stage that presents many
problems and requires someone to take care of their physical and psychological
health. UPTD PSTW Nirwana Puri Samarinda has the main task of providing social
welfare services for neglected elderly people who mostly shut themselves off from
their surroundings. The aim of this research is to find out how nurses carry out the
principles of interpersonal communication with the elderly. In explaining this
problem, this research uses Social Penetration Theory. This research is of a
qualitative type with descriptive phenomenological research methods and data
collection techniques using interviews and observation. The results of the research
showed that nurses at UPTD PSTW Nirwana Puri Samarinda carried out the
orientation stage well, but in the affective exploratory exchange stage, affective
exchange stage and stable exchange stage they were still found to be ineffective due
to a lack of openness and empathy aspects in the elderly.
Keywords: Interpersonal Communication, Elderly, Nurse, Nursing Home

iv
RIWAYAT HIDUP

Azra Zahra Cintami, lahir pada tanggal 30 Desember 2002 di Samarinda, Provinsi
Kalimantan Timur. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Achmad Yudi Irawan dan Ibu Dewi Susana. Mengawali pendidikan di SD
Negeri 011 Samarinda Ulu pada 2008 dan lulus pada tahun 2014. Kemudian
melanjutkan jenjang pendidikan di SMP Negeri 22 Samarinda dan lulus pada tahun
2017. Di tahun yang sama melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Samarinda
dan lulus pada tahun 2020. Pada tahun yang sama, penulis akhirnya melanjutkan
jenjang pendidikan tinggi di Universitas Mulawarman Samarinda dan diterima
sebagai mahasiswa baru di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Pada masa perkuliahan penulis sempat mengikuti magang praktik
di Bank Kaltimtara Syariah. Penulis kemudian melakukan penyusunan tugas akhir
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Strata 1.

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program
Strata Satu Ilmu Komunikasi dengan judul skripsi “Komunikasi Interpersonal
Perawat Dengan Lansia Dalam Membangun Kedekatan Di UPTD Panti Sosial
Tresna Werdha Nirwana Puri Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur”
Penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan serta dorongan dari
banyak pihak, sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. Untuk itu selayaknya
penulis dengan segala kerendahan hati ingin menyampaikan beberapa ucapan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. H. Abdunur, M.Si., IPU, selaku Rektor Universitas
Mulawarman Samarinda yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk dapat melanjutkan studi di Universitas Mulawarman.
2. Ibu Dr. Finnah Furqoniah, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Mulawarman yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
3. Ibu Dr. Rina Juwita, S.IP., MHRIR selaku Ketua Program Studi S1 Ilmu
Komunikasi yang memotivasi dan selalu memberi semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi serta menyelesaikan pendidikan di Program
Studi S1 Ilmu Komunikasi.
4. Ibu Ainun Ni’matu Rohmah, S.I.Kom., M.A selaku Dosen Pembimbing
yang senantiasa membimbing dan memotivasi penulis dengan keikhlasan
hati sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Ibu Dr. Silviana Purwanti, S.Sos., M.Si selaku Dosen Penguji I dan Ibu
Kheyene Molekandella Boer, S.I..Kom., M.I.kom selaku Dosen Penguji II
yang selalu memberikan dukungan, doa serta kritik dan saran yang
membangun kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

vi
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Ilmu Komunikasi yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang senantiasa memberikan motivasi, doa,
dukungan, dan tentunya ilmu bermanfaat yang telah diberikan kepada
penulis selama menempuh studi hingga penulisan skripsi ini selesai.
7. Khususnya kepada yang paling berjasa dalam hidup saya yaitu Ayah dan
Ibu saya tercinta, Ayah Achmad Yudi Irawan dan Ibu Dewi Susana yang
senantiasa mendoakan, memotivasi, serta memberikan dukungan moril dan
materiil sehingga penulisan skripsi dapat selesai.
8. Untuk adik saya tersayang Abizard Algiffari Azwar yang senantiasa
menghibur, mendoakan, dan memotivasi penulis sehingga proses
perkuliahan dapat terlewati dengan baik.
9. Untuk Support System saya, Rayhan Rafi Izzati yang tidak henti-hentinya
menyemangati dan mendoakan penulis untuk selalu maju sekalipun saya
sedang terjatuh. Terima kasih selalu menjadi motivator terbaik dan selalu
membantu hingga titik ini. Semoga cepat menyusul ya gelar BBA nya.
10. Untuk sahabat seperjuangan Nur Fadila, Nabilah, dan R’sya yang senantiasa
bersama-sama dengan penulis selama 3.5 tahun ini. Terimakasih atas
pengalaman dan momen luar biasa bersama kalian yang tidak akan pernah
terlupakan dan selalu dirindukan. Semoga sukses selalu untuk kita semua.
11. Teman-teman Ilkom A 2020 yang senantiasa menjadi teman yang baik,
menjalin persahabatan baru dan saling berbagi informasi penting seputar
perkuliahan.
12. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga sukses selalu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalaskan hal-hal baik kepada semua
pihak. Terima kasih telah menjadi bagian dan membantu kelancaran dan membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan ini masih belum sempurna karena keterbatasan yang dimiliki penulis.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan skripsi ini.

vii
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kelak Tugas Akhir ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan seluruh pihak yang membutuhkan.

Samarinda, 18 September 2023


Penulis,

AZRA ZAHRA CINTAMI


NIM. 2002056031

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ i

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................ iii

ABSTRACT ........................................................................................................... iv

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................... 1


1.2. RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 6
1.3. TUJUAN PENELITIAN.................................................................................. 7
1.4. MANFAAT PENELITIAN .............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................9

2.1 PENELITIAN TERDAHULU .......................................................................... 9


2.2 TEORI DAN KONSEP ................................................................................. 11
2.2.1 Social Penetration Theory (Teori Penetrasi Sosial) ............................ 11
2.2.2 Komunikasi Interpersonal ................................................................... 14
2.2.3 Perawat................................................................................................ 20
2.2.4 Lansia .................................................................................................. 21
2.2.5 Panti Jompo......................................................................................... 22
2.3 DEFINISI KONSEPSIONAL ......................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................24

3.1 JENIS PENELITIAN .................................................................................... 24


3.2 FOKUS PENELITIAN.................................................................................. 24
3.3 SUMBER DATA ........................................................................................ 25
3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA ................................................................ 28
3.5 TEKNIK ANALISIS DATA .......................................................................... 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................31

4.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................................. 31

ix
4.3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................................... 38
BAB V PENUTUP ................................................................................................95

5.1 KESIMPULAN ........................................................................................... 95


5.2 REKOMENDASI ........................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................98

LAMPIRAN ........................................................................................................101

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara Perawat


Lampiran 2 : Pedoman Wawancara Lansia
Lampiran 3 : Transkrip Wawancara Perawat 1
Lampiran 4 : Transkrip Wawancara Perawat 2
Lampiran 5 : Transkrip Wawancara Perawat 3
Lampiran 6 : Transkrip Wawancara Lansia 1
Lampiran 7 : Transkrip Wawancara Lansia 2
Lampiran 8 : Transkrip Wawancara Lansia 3
Lampiran 9 : Transkrip Wawancara Lansia 4
Lampiran 10 : Dokumentasi-Dokumentasi
Lampiran 11 : Surat Ijin Penelitian dari Dinas Sosial UPTD Panti Sosial Tresna
Werdha Nirwana Puri

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) merupakan seorang individu yang telah menginjak

usia di atas 60 tahun, berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia. Indonesia merupakan salah satu dari lima besar

negara dengan penduduk lansia terbanyak di dunia. Data Badan Pusat Statistik

Nasional (2021) menyatakan bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah

penduduk lansia, dari angka 18 juta jiwa (7,6%) di tahun 2010 menjadi 27 juta

jiwa (10%) di tahun 2020. Angka ini diprediksi akan terus mengalami

peningkatan menjadi 40 juta jiwa (13,8%) di tahun 2035 (Setiawan et al, 2015).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Samarinda (2021) yang

menyatakan jumlah data lansia dari tahun 2021-2025, penduduk berusia 60

tahun keatas (lansia) di Samarinda mengalami kenaikan, yang semula di tahun

2021 berada di angka 4,69% dan di tahun 2022 berada di angka 5,01% menjadi

5,35% di tahun 2023.

Banyak negara yang mengalami kenaikan angka penduduk lansia secara

progsesif dan dibutuhkan pelayanan yang lebih banyak untuk lansia (Saadati et

al, 2014). Semakin bertambahnya usia lansia, maka permasalahan yang harus

dihadapi akan semakin banyak pula, karena tahapan perkembangan manusia di

masa lansia merupakan tahapan krusial yang banyak dihinggapi permasalahan.

Pada tahap ini, individu mengalami penurunan dan perubahan kondisi fisik,

psikologis, spiritual, hingga sosialnya. Keadaan seperti itu akan memicu

1
2

masalah kesehatan secara fisik hingga kesehatan jiwa secara khusus pada lansia

(Affandi, 2008).

Dengan demikian, lansia membutuhkan seseorang dalam merawat

kesehatan, fisik, psikologis, spiritual, hingga sosialnya. Pada umumnya,

seorang anaklah yang diamanatkan untuk merawat orang tua sebagai wujud

baktinya. Namun sayangnya, pada masa globalisasi seperti saat ini, masyarakat

diharuskan untuk dapat mengikuti perkembangan inovasi-inovasi baru. Hal ini

tentu dapat menjadikan masyarakat terutama pada masyarakat di daerah

perkotaan menjadi makhluk yang individualis. Sikap individualis serta faktor

keterbatasan ekonomi masyarakat berdampak buruk terhadap kehidupan

berkeluarga, yang berujung masyarakat hanya memikirkan keluarga intinya

saja sehingga menganggap orang tua sebagai orang luar (Kemensos RI, 2019)

Faktor keterbatasan ekonomi dan faktor sosial membuat lansia dititipkan

oleh keluarganya di panti jompo. Panti jompo merupakan sebuah tempat

penampungan untuk lansia dalam upaya membantu keluarga menanggulangi

masalah kesejahteraan sosial (Haq, 2017). UPTD Panti Sosial Tresna Werdha

Nirwana Puri Kalimantan Timur melayani lansia dengan kategori miskin,

terlantar, dan ditelantarkan. Berdasarkan observasi awal peneliti, sebelum

seorang lansia menjadi anggota di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri,

para calon anggota lansia PSTW tersebut terlebih dahulu di survei untuk dilihat

apakah lansia-lansia tersebut layak untuk diberikan pelayanan di PSTW

Nirwana Puri. Setelah lansia dinyatakan layak untuk diberikan pelayanan,


3

maka tim Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur segera menjemput lansia

tersebut untuk mendapatkan pelayanan yang layak di PSTW.

Panti jompo menyediakan layanan dan perawatan khusus bagi lansia agar

lebih mudah dalam menjalani kegiatan sehari-hari seperti, makan, mandi,

hingga berpakaian. Lansia yang tinggal di panti jompo cenderung bergantung

pada bantuan dari panti, semisal, makanan, obat-obatan, kebersihan, hingga

kegiatan sosial (Forsgren et al, 2015). Lansia perlu melakukan komunikasi

dengan perawat untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Oleh karena itu,

pada lansia di panti jompo, komunikasi dengan perawat menjadi hal penting

untuk kebutuhan pribadi para lansia dan diharapkan komunikasi yang

dilakukan mendapat (feedback) yang baik.

O’Byrne et al (dalam Mcmullan et al, 2015) berpendapat bahwa, salah

satu hal yang harus diperhatikan dalam proses perawatan dan melakukan

pertukaran informasi perawat dengan pasien (dalam penelitian ini lansia)

maupun sebaliknya adalah proses komunikasi. Karena bagi semua individu

yang terlibat dalam hubungan antarmanusia, keahlian komunikasi yang efektif

merupakan hal yang penting (Kusuma, 2017). Begitupun dengan hubungan

antara perawat dan lansia di panti jompo, keahlian berkomunikasi khusunya

bagi perawat menjadi sesuatu yang harus diperhatikan dalam memenuhi

kebutuhan pribadi para lansia di panti jompo (Forsgren et al, 2015).

Apabila seseorang memperhatikan keahlian berkomunikasi, maka

komunikasi secara efektif dapat membangun sebuah hubungan kedekatan dan

keintiman antar kedua belah pihak pada proses penyampaian pesannya. Dalam
4

bertukar informasi secara langsung, perawatlah seseorang yang terdekat

dengan lansia dalam melakukan komunikasi. Salah satu proses komunikasi

interpersonal di panti jompo adalah pada saat pagi hari ketika perawat

membantu lansia untuk beranjak dari tempat tidur untuk lanjut melakukan

rutinitas pagi lainnya di panti jompo (Forsgren et al, 2015). Bagi perawat,

membangun kedekatan dengan lansia sangat diperlukan, karena lansia pada

kesehariannya di panti jompo selalu melakukan komunikasi interpersonal

dengan perawat untuk dapat memahami kondisi dari lansia tersebut.

Namun kenyataannya, dalam menjalin sebuah komunikasi yang efektif

serta membangun kedekatan dengan lansia bukanlah hal yang mudah bagi para

perawat. Disebutkan dalam penelitian Christanty & Azeharie (2017), kondisi

fisik dan mental lansia menjadi sebuah hambatan dalam melakukan

komunikasi, salah satunya adalah gangguan pendengaran lansia yang membuat

perawat harus mengulang penyampaian pesan dengan penuh kesabaran dan

harus berhati-hati agar tidak menyakiti perasaan lansia. Terdapat kendala

komunikasi lainnya, salah satunya adalah perawat yang sulit untuk dapat

memahami apa yang diinginkan oleh lansia, terlebih pada umumnya keadaan

lansia yang semakin bertambahnya usia perilakunya cenderung berubah seperti

anak kecil sehingga tidak mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri.

Disinilah kapasitas seorang perawat diperlukan dalam merubah perilaku

keseharian lansia dan membantu lansia untuk menjadi lebih baik. Keputusan

atau tindakan yang diambil perawat tidak harus berdasarkan fakta medis yang

ada, melainkan perawat juga harus dapat mempertimbangkan nilai-nilai serta


5

keinginan lansia itu sendiri. Oleh karena itu, seorang perawat harus bisa

mengambil sebuah keputusan. Dengan seperti itu, maka lansia akan merasa

diperhatikan dan dihargai (Bollig et al, 2016). Menurut Undang-Undang No.

13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, kesejahteraan bagi lansia

dengan menciptakan rasa aman, nyaman, dan tentram harus diutamakan.

Sebuah panti jompo haruslah memiliki misi tersebut. Salah satu panti jompo di

Samarinda, yakni UPTD Panti Sosial Trena Werdha Nirwana Puri memiliki

misi tersebut.

UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Dinas Sosial Provinsi

Kalimantan Timur memiliki tugas pokok sebagai pemberi pelayanan

kesejahteraan sosial bagi lansia dengan diantaranya, memberikan bimbingan

fisik, spiritual, dan keterampilan. UPTD PSTW terletak di Jalan Mayjend

Sutoyo no. 1, Sungai Pinang Dalam, Kecamatan, Sungai Pinang, Kota

Samarinda, Kalimantan Timur UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana

Puri merupakan wisma pemerintah bagi masyarakat lanjut usia untuk merawat

serta menampung lansia. Saat ini PSTW Nirwana Puri memiliki 110 jumlah

lansia yang dirawat. Dalam kesehariannya menunjang aktivitas lansia, perawat

melakukan komunikasi interpersonal dengan lansia (yang pada penelitian ini

adalah perawat di UPTD PSTW Nirwana Puri).

Berdasarkan observasi awal peneliti, lansia yang baru masuk di PSTW

kebanyakan menutup diri dari lingkungan sekitar dan bingung menyesuaikan

diri dengan lingkungan baru. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Khisholi

(2016) yang menuturkan, lansia yang dititipkan oleh keluarganya di panti


6

jompo pada umumnya akan merasa dirinya sudah tidak berguna serta merasa

di buang oleh keluarga sendiri. Diperlukan adaptasi dengan kondisi baru di

panti jompo agar lansia merasa nyaman. Oleh karena itu, peran perawat

dibutuhkan agar senantiasa membangun kedekatan dengan lansia agar lansia

tidak merasa asing dan terbuang.

Fenomena komunikasi interpersonal antara perawat dan lansia telah

dikaji oleh beberapa penelitian terdahulu. Diantaranya penelitian oleh Havifi

(2014) yang meneliti Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Lansia di

Panti Jompo UPT PSTW Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru. Hasil penelitian

ini menunjukkan, terdapat masalah komunikasi yang sering kali dihadapi oleh

perawat saat berkomunikasi dengan lansia adalah terdapat penyakit yang

diderita lansia, emosi lansia yang tidak stabil, dan lansia yang merasa

diasingkan oleh keluarganya sendiri karena ditempatkan di panti jompo.

Fenomena diatas membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam dengan

melakukan penelitian berjudul “Komunikasi interpersonal Perawat dengan

Lansia dalam Membangun Kedekatan di UPTD Panti Sosial Tresna Werdha

Nirwana Puri Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang diatas dapat disimpulkan identifikasi

masalah untuk dapat lebih fokus dalam menjawab tujuan penelitian. Rumusan

masalah penelitian ini adalah bagaimana komunikasi interpersonal antara


7

perawat dengan lansia dalam membangun kedekatan di UPTD Panti Sosial

Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda?

1.3. Tujuan Penelitian

Rumusan masalah diatas memiliki tujuan penelitian yang diantaranya

adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana perawat melakukan penerapan

komunikasi interpersonal pada lansia di panti jompo

2. Untuk mengetahui bagaimana strategi perawat dalam membangun

kedekatan dengan lansia baru

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis, yakni:

a. Manfaat Teoritis

1. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan peneliti dapat menerapkan

ilmu Mata Kuliah komunikasi interpersonal yang sudah peneliti

dapatkan selama menempuh Pendidikan di Program Studi Ilmu

Komunikasi Universitas Mulawarman

2. Menambah wawasan serta pengalaman peneliti agar dapat

mempertahankan ilmu komunikasi dengan baik

3. Menjadi landasan teori guna mengetahui bagaimana Komunikasi

Interpersonal Perawat dengan Lansia dalam Membangun Kedekatan di


8

UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Dinas Sosial Provinsi

Kalimantan Timur.

b. Manfaat Praktis

1. Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi msukan serta

bahan pertimbangan bagi perawat lansia di UPTD PSTW Nirwana Puri

untuk dapat lebih maksimal memberikan pelayanan serta komunikasi

yang baik dengan para lansia

2. Berguna sebagai gagasan informasi bagi mahasiswa selanjutnya,

khususnya mahasiswa yang akan meneliti permasalahan yang sama

3. Bagi universitas, di harapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan

referensi penelitian lanjutan yang lebih mendalam pada masa yang akan

dating.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Penelitian Terdahulu

Sebelumnya komunikasi interpersonal perawat dengan lansia yang peneliti

gunakan sebagai acuan peneliti dalam melakukan penelitian sudah pernah dikaji

oleh beberapa peneliti lain sebagaimana dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Identitas Penelitian Perbedaan Persamaan

1 Komunikasi Interpersonal Objek Konsep

Perawat dengan Lansia di penelitian,

Panti Jompo UPT PSTW Model

Khusnul Khotimah di Kota Komunikasi

Pekanbaru oleh Havifi (2014)

2 Komunikasi Interpersonal Teori yang Konsep dan Objek

Perawat dan Lansia dalam digunakan penelitian

Memberikan Dukungan Sosial

di Panti Sosial Tresna Werdha

Nirwana Puri Samarinda oleh

Selviyanti et al (2019)

9
10

3 Pendekatan Komunikasi Teori yang Konsep


Interpersonal pengasuh digunakan,

Terhadap Lansia di Panti objek

Jompo Maghrifatullah penelitian

Kecamatan Deleng

Pokhkisen Kabupaten Aceh

Tenggara oleh Rahman

(2022)

Sumber: Olahan Peneliti (2023

Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah ditunjukkan pada tabel 2.1,

penelitian ini memiliki kebaruan atau gap penelitian. Kebaruan pertama dilihat dari

konteksnya, dimana penelitian pertama dan ketiga terdapat perbedaan dari lokasi

penelitian Pada penelitian Havifi (2014) lokasi penelitian di kota Pekanbaru dan

pada penelitian Rahman (2022) lokasi penelitiannya terdapat di Kabupaten Aceh

Tenggara, Kecamatan Deleng Pokhkisen.

Sementara dilihat dari teori, ketiga penelitian pada tabel 2.1 menggunakan

teori yang berbeda. Pada penelitian Selviyanti et al (2019), teori yang digunakan

adalah teori interaksi simbolik, pada penelitian Havifi (2014) menggunakan teori

model Osgood & Schramm, dan pada penelitian Rahman (2022) menggunakan teori

FIRO. Sedangkan penelitian ini mengkaji teori yang berbeda dengan ketiga

penelitian sebelumnya dengan menggunakan Teori Penetrasi Sosial karena peneliti


11

ingin fokus untuk meneliti level kedekatan antara perawat dan lansia melalui

komunikasi interpersonal.

1.2 Teori dan Konsep

1.2.1 Social Penetration Theory (Teori Penetrasi Sosial)

Penelitian ini menggunakan teori penetrasi sosial sebagai landasan

utama teoritik penelitian. Pencentus teori ini ialah Irwin Altman dan

Dalmas Taylor yang menjabarkan bahwa apabila sebuah hubungan

berkembang maka hubungan tersebut akan meningkat kedalaman dan

keluasannya. Sebaliknya apabila sebuah hubungan menjadi rusak atau

tidak berkembang maka kedalaman dan keluasan hubungan tersebut

menjadi rusak atau tidak berkembang maka kedalaman dan keluasan

hubungan tersebut akan menurun atau biasa disebut depenetrasi. Struktur

persinalitas digambarkan dengan “Teori Multi-Lapis Bawang” (West &

Turner, 2019).

Altman dan Taylor (dalam West & Turner, 2019) menganalogikan

kepribadian individu adalah sebuah bawang. Analogi ini menjelaskan

bahwa apabila sebuah bawang dikupas kulit terluarnya, maka

didalamnya akan terdapat lapisan kulit kedua, ketiga, dan seterusnya.

Lapisan terluar mencakup diri individu yang bersifat umum dan dapat

dilihat oleh semua seperti usia, jenis kelamin, dan barang-barang yang

melekat pada individu tersebut. Lapisan selanjutnya yang mencakup

kepribadian semiprivate pada individu yang hanya diketahui oleh


12

beberapa orang terdekatnya. Semakin dalam kepribadian individu

terbuka maka akan meminimalisir kemungkinan kesalahpahaman dalam

melakukan komunikasi dan hubungan individu satu dengan lainnya akan

semakin intim (West & Turner, 2019).

Teori penetrasi sosial diartikan sebagai sebuah proses

pengembangan keintiman komunikasi yang lebih dalam pada sebuah

hubungan antar manusia melalui sifat saling membuka diri satu sama lain

(Griffin, 2019). Keintiman yang peneliti maksud disini bukan hanya

sekedar keintiman secara fisik. Ada dimensi lain dari keintiman,

misalnya keintiman intelektual dan keintiman emosional, hingga

melakukan aktivitas Bersama (West & Turner, 2019). Ada 4 (empat)

tahapan pengembangan sebuah hubungan dalam teori penetrasi sosial

yakni, orientasi, pertukaran penjajakan afektif, pertukaran afektif, dan

pertukaran stabil.

Gambar 2.1 Tahapan Penetrasi Sosial

Sumber: West & Turner (2019)

1. Tahap orientasi, adalah ketika seseorang hanya membagikan

informasi secara dangkal atau hanya mencakup lapisan terluar tentang


13

dirinya. Pada tahap paling awal ini, seseorang akan lebih waspada dan

berhati-hati ketika memberikan informasi dirinya.

2. Tahap pertukaran penjajakan afektif, adalah tahapan kedua dari teori

penetrasi sosial yang mana seseorang memberikan informasi yang

sedikit lebih detail tentang dirinya kepada orang lain dan akan lebih

mengurangi rasa waspadanya. Pada tahap ini topik pembahasan aka

nada peningkatan, akan tetapi topik-topik tersebut masih yang umum

diketahui orang lain.

3. Tahap pertukaran afektif, adalah tahapan dimana informasi yang

diberikan seseorang memasuki lapisan tengah, atau interaksi yang

dilakukan semakin kasual. Di tahap ini, seseorang akan memberikan

bebrapa informasi tentang privasi dirinya atau informasi yang lebih

intim. Keterbukaan informasi akan lebih santai dan spontan, dan

ditahap inilah seseorang akan mencerminkan tingkat kenyamanan dan

tingkat kedekatan yang lebih antara satu dan lainnya.

4. Tahap pertukaran stabil, merupakan tahap terakhir dari teori penetrasi

sosial, dengan ditandai oleh beberapa karakteristik yakni,

keterbukaan, luas, dan mendalamnya topik pembicaraan. Informasi

tentang privasi diri akan dilakukan pada tahap ini secara


14

berkelanjutan, dengan ditandai kejujuran dan keintiman, tingkat

spontanitas yang tinggi, perilaku, perasaan dan pikiran yang terbuka.

1.2.2 Komunikasi Interpersonal

A. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi adalah sebuah insting dasar bagi seluruh makhluk

hidup, tak terkecuali manusia. Manusia melakukan komunikasi

dimanapun dan kapanpun, entah itu dirumah, dipasar, dan ditempat ia

bekerja. Ketika melakukan aktivitas komunikasi interpersonalnya,

manusia memiliki caranya tersendiri. Seseorang tidak diperkenankan

membeda-bedakan umur, suku, agama, ras, antargolongan, adat dan

bahasa seseorang. Komunikasi yang pada prosesnya menyampaikan

pesan dari komunikator kepada komunikan akan menghasilkan timbal

balik (feedback). Mulyana (2010) berpendapat bahwa komunikasi

interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua individu atau

lebih secara tatap muka dengan setiap pesertanya dapat melihat atau

menangkap reaksi lawan komunikasinya secara dalam komunikasi

tersebut.

Peristiwa komunikasi biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, seseorang anak diminta ibunya untuk mematikan bola lampu

dengan cara menekan sakelar listrik, bahkan tombol sakelar dengan bola

lampu yang berhubungan juga salah satu peristiwa komunikasi (Cangara,


15

2019). Komunikasi interpersonal diartikan sebagai sebuah proses

terjadinya pertukaran, penyampaian, penerimaan informasi, dan

pergantian pesan secara timbal balik antara dua orang. Diharapkan terjadi

perubahan perilaku antara komunikan dan komunikator yang saling

mengenal dan mengenal masalah (Roudhonah, 2019). Komunikasi ini

dapat disebut komunikasi antarpersona (Nurudin, 2017). Menurut Pace

(dalam Cangara, 2019), komunikasi antarpersona merupakan

komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih melalui tatap muka.

B. Proses Komunikasi Interpersonal

Komunikasi yang efektif diciptakan dari proses komunikasi

interpersonal. Suranto (2011) berpendapat, bahwa terdapat 6 (enam)

proses komunikasi interpersonal yang merupakan tahapan-tahapan

dalam menggambarkan terjadinya kegiatan komunikasi, diantaranya

yakni:

a) Keinginan untuk berkomunikasi, komunikator harus memiliki

keinginan untuk menyampaikan informasi kepada komunikan atau

lawan bicaranya.

b) Encoding, komunikator merubah isi pikiran atau gagasannya

menjadi kalimat, simbol-simbol, dan sebagainya.

c) Pengiriman pesan, komunikator menyampaikan informasi/pesan

melalui saluran berupa tatap muka, surel, surat, SMS. Saluran


16

untuk berkomunikasi tersebut menyesuaikan dengan waktu, lokasi,

dan kecepatan pengiriman pesan.

d) Penerimaan pesan, informasi yang disampaikan komunikator

diterima komunikan.

e) Decoding, komunikan mendapatkan simbol-simbol dan kata-kata

uang diubah menjadi isi pikiran yang mengandung makna untuk

memahami isi pesan/informasi.

f) Feedback, respon atau umpan balik diberikan setelah komunikan

menerima dan memahami isi informasi yang diberikan oleh

komunikator.

C. Tujuan Komunikasi Interpersonal

De Vito (dalam Suryanto, 2017) menjabarkan beberapa tujuan

komunikasi interpersonal, diantaranya sebagai berikut:

a) Untuk Belajar (To Learn)

Membangun komunikasi interpersonal dapat memungkinkan bagi

seseorang untuk mendapatkan wawasan baru dan memahami dunia

luar, memahami orang lain, dan memahami dirinya sendiri.

Seseorang memungkinkan untuk memahami dirinya sendiri melalui

perasaan dan pemikirannya berdasarkan umpan balik yang

didapatkan serta penilaian lawan bicara terhadap dirinya.


17

b) Untuk berhubungan (To Relate)

Membangun relasi yang baik pada manusia dengan cara saling

berinteraksi dapat dilakukan melalui hubungan yang baik dalam

melakukan komunikasi interpersonal.

c) Untuk Memengaruhi (To Influence)

Sikap dan perilaku seseorang dalam proses komunikasi interpersonal

dapat memengaruhi orang lain dan biasa dikenal sebagai komunikasi

interpersonal persuasif. Komunikasi interpersonal diharapkan dapat

menjadikan pengaruh negatif menjadi pengaruh yang positif.

d) Untuk Bermain (To Play)

Ketika seseorang mengalami kejenuhan dalam melakukan aktivitas

kesibukan dalam hidupnya, seseorang tersebut perlu waktu rehat

sejenak seperti melakukan obrolan ringan Bersama kerabat ataupun

teman tentang rencana berlibur atau membuat lelucon untuk

melepaskan pikiran serius yang membuat penat.

e) Untuk membantu (To Help)

Seseorang membutuhkan komunikasi interpersonal dalam menolong

orang lain, memberikan saran, nasehat, masukan, dan sebagainya.

Tujuan komunikasi interpersonal ini dapat berhasil dengan

mengadalkan kemampuan serta pengetahuan seseorang tersebut.


18

D. Aspek Komunikasi Interpersonal

De Vito 1997 (dalam Masyhuri, 2014) mengidentifikasikan

beberapa aspek-aspek komunikasi interpersonal yang wajib

diperhatikan agar terjadi keefektifan proses komunikasi interpersonal,

diantaranya:

a) Aspek Keterbukaan (Open)

Terbuka berarti terdapat keinginan dalam membuka diri

pada saat melakukan komunikasi. Keterbukaan yang di maksud

disini adalah bukan berarti kita harus menceritakan tentang latar

belakang dan privasi dalam kehidupan kita, melainkan terbuka

terhadap masalah-masalah umum agar lawan bicara kita dapat

mengerti serta mengetahui pendapat dan gagasan kita, sehingga

komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan efektif.

b) Aspek Empati (Empaty)

Empati merupakan kemampuan masing-masing pihak untuk

dapat merasakan atau menempatkan dirinya berada di posisi orang

lain dan dapat memahami apa yang dirasakan dan dialami orang

lain secara intelektual maupun emosional yang meliputi perasaan,

sikap, motivasi serta perilaku orang lain.

c) Aspek Dukungan (Supportiveness)

Efektifnya sebuah proses komunikasi interpersonal bila

didalamnya terdapat perilaku suportif berupa motivasi, saran dan


19

ilmu yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi suatu

masalah. Aspek keterbukaan dan juga aspek empati tidak dapat

terlaksana apabila suasana komunikasi interpersonal tidak suportif.

d) Aspek Sikap Positif (Positiviness)

Kemampuan ini dibutuhkan agar dapat terjalinnya

komunikasi interpersonal yang efektif. Seseorang harus dapat

memandang serta menghargai orang lain secara positif dalam

bentuk memuji, memberikan penghargaan, ataupun memberikan

perilaku yang kita harapkan.

e) Aspek Kesamaan atau Kesetaraan (Equality)

Kesamaan atau kesetaraan tidak akan pernah terjadi, karena

tidak akan ada dua orang yang benar-benar memiliki kesamaan

atau kesetaraan dalam segala hal. Terdapat dua hal yang mencakup

kesamaan atau kesetaraan dalam komunikasi interpersonal, yakni:

1. Kesamaan pengalaman antara kedua belah pihak. Tidak berarti

jika kedua belah pihak yang tidak memiliki kesamaan

pengalaman adalah tidak komunikatif. Akan tetapi, pada

umumnya komunikasi interpersonal dapat berjalan secara

efektif apabila kedua belah pihak yakni komunikator dan

komunikan memiliki pengalaman, nilai, dan perilaku yang

sama.

2. Kesamaan percakapan antara kedua belah pihak. Komunikator

dan komunikan harus memberi pengertian bahwa dalam


20

proses pertukaran pesan haruslah terdapat kesamaan

informasi/pesan didalamnya.

1.2.3 Perawat

A. Pengertian Perawat

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun

2014 tentang Keperawatan, perawat adalah seseorang yang telah

menempuh pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam atau luar

negeri yang diakui Pemerintah dengan sesuai ketentuan Peraturan

Perundang-undangan. Perawat merupakan seseorang yang memiliki

tanggung jawab secara profesional dalam memberikan pelayanan dan

perawatan pada seluruh jenjang pelayanan keperawatan (Kusnanto,

2014).

B. Peran Perawat

Menurut Undang-Undang Nomor 38 pasal 29 ayat 1 Tahun 2014,

disebutkan bahwa peran perawat adalah sebagai:

a) Memberikan asuhan keperawatan

b) Menjadi konselor serta penyuluh bagi pasien

c) Melakukan pengelolaan layanan keperawatan

d) Peneliti bidang keperawatan

e) Melaksanakan tugas berdasarkan limpahan wewenang, ataupun

f) Melaksanakan tugas dalam keadaan tertentu.


21

1.2.4 Lansia

A. Pengertian Lansia

Lansia secara umum diartikan sebagai seseorang yang telah

menginjak usia 65 tahun keatas (Effendi & Makhfudli, 2009).

Sedangkan menurut WHO, individu dapat disebut lansia apabila telah

berumur 60-74 tahun. Lansia merupakan tahap akhir dari

perkembangan manusia. Menurut Budi (dalam Maryam, Siti, 2008),

lansia memiliki beberapa karakteristik, yang diantaranya ialah berusia

di atas 60 tahun, memiliki kebutuhan serta masalah kesehatan dan sosial

yang variatif, dan lingkungan tempat tinggal bervariasi.

B. Periode Lansia

Burnside et al (Nugroho, 2012), mengelompokkan beberapa periode

lansia menjadi 4 tahapan:

1. Young Old, lansia pada periode ini berumur 60-69 tahun dan harus

menyesuaikan diri dengan peran baru agar dapat menghadapi

masalah-masalah seperti berkurangnya penghasilan karena pensiun,

kehilangan teman dan orang yang dicintai.

2. Middle Age Old, periode ini berlangsung pada umur 70-79 tahun.

Pada umunya, lansia di periode ini akan mengalami timbul penyakit

dan mengalami rasa kehilangan karena banyak keluarga yang

meninggalkannya.
22

3. Old-Old, periode ini berlangsung pada usia 80-89 tahun dimana

lansia semakin sulit untuk melakukan interaksi dengan lingkungan

sekitarnya.

1.2.5 Panti Jompo

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, panti jompo merupakan

sebuah tempat dimana lansia ditampung untuk dapat dirawat. Sedangkan

menurut Peraturan Daerah (Perda) No. 15 Tahun 2002, panti jompo

adalah tempat dimana orang-orang lansia berkumpul baik secara sukarela

maupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk dirawat. Panti jompo ada

yang dikelola pemerintah dan ada yang dikelola pihak swasta.

1.3 Definisi Konsepsional

Definisi konsepsional merupakan suatu definisi dalam bentuk abstrak guna

memudahkan pembaca dalam memahami serta menginterpretasi penelitian

(Prasetyo & Jannah, 2016). Pada penelitian ini peneliti menetapkan beberapa

definisi konsepsional dari masing-masing variabel.

Komunikasi Interpersonal merupakan sebuah proses dimana dua orang

maupun sekelompok kecil orang mengirim dan menerima informasi atau pesan-

pesan dengan timbal balik (feedback). Perawat merupakan seseorang yang

memiliki kemampuan wewenang, dan tanggung jawab secara professional

dalam memberikan pelayanan dan perawatan pada seluruh jenjang pelayanan

keperawatan. Lansia menurut WHO diartikan sebagai individu yang telah


23

menginjak usia 60-74 tahun. Panti Jompo adalah wisma bagi lansia untuk

membantu keluarga guna menanggulangi masalah kesejahteraan sosial.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan

dalam meneliti kondisi objek yang bersifat alamiah dengan berlandaskan

filsafat postpositivisme dengan peneliti sebagai instrumen kunci, analisis

datanya bersifat induktif, teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan

cara triangulasi, dan hasil penelitiannya lebih menekankan makna daripada

generalisasi (Sugiyono, 2017).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian fenomenologi deskriptif

yang melakukan pendekatan serta menemukan pengalaman hidup manusia

terhadap dirinya (Morissan, 2019). Metode ini akan peneliti gunakan dalam

membangun makna umum dari sebuah peristiwa terkait situasi, pengalaman

serta pemahaman yang mendalam terhadap fenomena. Metode ini bertujuan

untuk menyelidiki serta menjelaskan secara langsung fenomena yang individu

alami tanpa terlebih dahulu terdapat penjelasan teori (Morissan, 2019).

3.2 Fokus Penelitian

Fokus penelitian adalah garis besar pengamatan penelitian atau topik-topik

yang akan digali pada penelitan, guna menjadikan hasil observasi dan analisa

hasil penelitan lebih terarah. Indikator-indikator digunakan agar pembahasan

24
25

tidak terlalu luas yang membuat judul penelitian tidak sesuai dengan hasil

penelitian. Adapun fokus penelitian yang peneliti gunakan adalah sesuai

dengan tahapan-tahapan teori penetrasi sosial yang terdiri atas 4 (empat)

tahapan, yakni:

1. Tahap orientasi, adalah ketika seseorang hanya membagikan informasi

secara dangkal atau hanya mencakup lapisan terluar tentang dirinya.

2. Tahap pertukaran penjajakan afektif, adalah tahapan kedua dari teori

penetrasi sosial yang mana seseorang memberikan informasi yang sedikit

lebih detail tentang dirinya kepada orang lain dan akan lebih mengurangi

rasa waspadanya.

3. Tahap pertukaran afektif, adalah tahapan dimana informasi yang diberikan

seseorang memasuki lapisan tegah, atau interaksi yang dilakukan semakin

kasual.

4. Tahap pertukaran stabil, adalah tahap terakhir dari teori penetrasi sosial,

dengan ditandai oleh beberapa karakteristik yakni, keterbukaan, luas, dan

mendalamnya topik pembicaraan.

3.3 Sumber Data

Sumber data merupakan subjek berasal darimana data-data penelitian

tersebut dapat diperoleh/didapat (Arikunto, 2014). Data penelitian dapat

diperoleh dari berbagai macam sumber. Peneliti melakukan pengumpulan data

dengan dua sumber sehingga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan

pengumpulan data penelitian. Sumber data dibagi menjadi dua jenis, yakni data

primer dan data sekunder.


26

A. Data Primer

Data primer merupakan sumber data yang memberikan data secara

langsung kepada pengumpul data (Sugiyono, 2017). Sumber data primer

yang peneliti himpun secara langsung dari informan penelitian. Informan

penelitian merupakan narasumber yang memiliki banyak informasi maupun

data terkait fenomena dan objek yang diteliti, sehingga akan diminta

informasi mengenai fenomena dan objek penelitian tersebut (Sugiyono,

2017).

Informan pada penelitian ini merupakan perawat dan lansia UPTD

PSTW Nirwana Puri. Untuk perawat dan lansia yang dipilih sebahai

informan menggunkan metode purposive dengan kriteria tertentu yang

sudah peneliti tentukan menyesuaikan fokus penelitian. Adapun kriteria

informan adalah sebagai berikut:

a) Kriteria Informan Perawat

1. Menjadi perawat lansia di UPTD PSTW Nirwana Puri Samarinda

minimal 1 tahun

2. Berpengalaman merawat lansia baru (maksimal 6 bulan)

3. Bersedia diwawancarai dan didokumentasikan selama proses

wawancara berlangsung
27

Nama Umur Lama Bekerja

Maesaroh 38 tahun 8 tahun

Aditya 42 tahun 1,5 tahun

Nurul 28 tahun 1,5 tahun

b) Kriteria Informan Lansia

1. Berusia 60-74 tahun

2. Menjadi anggota UPTD PSTW Nirwana Puri Samarinda maksimal

selama 6 (enam) bulan

3. Dapat melakukan wawancara dan bersedia didokumentasikan

selama proses wawancara berlangsung

Nama Umur Lama Bergabung

Rusmin 63 tahun 6 bulan

Komari 74 tahun 3 bulan

Tati Marto 70 tahun 3 bulan

Kartini 75 tahun 6 bulan

B. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan

data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2017). Peristiwa berbentuk catatan


28

maupun berbentuk cerita yang tidak disaksikan langsung oleh peneliti dapat

dilaporkan oleh peneliti apa saja yang ditulis oleh orang yang mengetahui

atau menyaksikan peristiwa tersebut dapat menjadi sumber dari data

sekunder. Pada penelitian ini data sekunder peneliti peroleh secara tidak

langsung dapat berupa dokumen, foto-foto, dan arsip.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini melibatkan dua pihak dalam melakukan pengumpulan data,

yakni pihak pemberi data dan pihak pengumpul data. Teknik pengumpulan data

yang peneliti gunakan, diantaranya:

A. Wawancara

Esterberg (dalam Sugiyono, 2017) mengartikan wawancara sebagai dua

orang yang bertemu melakukan tanya jawab bertukar informasi dan ide

guna disusun menjadi makna pada sebuah topik tertentu. Peneliti dapat

menemukan suatu permasalahan yang akan diteliti serta dapat memproleh

informasi secara langsung dari sumbernya pada teknik ini.

Peneliti dalam memperoleh data penelitian secara kompleks akan

menggunakan teknik wawancara secara mendalam indepth interview.

Peneliti akan memberi informan pertanyaan terkait proses komunikasi

interpersonal dan melakukan pengamatan tentang bagaimana proses

komunikasi yang terjadi.

B. Observasi

Obervasi apabila dibandingkan dengan wawancara dan kuisioner

merupakan teknik pengumpulan data yang memiliki ciri spesifik


29

(Sugiyono, 2017). Observasi dapat digunakan apabila melakukan

penelitian terkait perilaku manusia, proses kerja, gejala alam, dan

responden tidak terlalu besar (Sugiyono, 2017). Manfaat teknik ini adalah

dapat menangkap konteks data yang diperoleh dengan mengamati secara

langsung sumber data dan fenomena yang terjadi untuk melihat

perkembangan fenomena serta dapat menyeluruh melihat data-data yang

tidak atau kurang jelas saat wawancara.

3.5 Teknik Analisis data

Sugiyono (2017) berpendapat bahwa teknik analisis data kualitatif adalah

dimana peneliti dapat melakukan analisis data sebelum memasuki lapangan,

saat di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Penelitian ini menggunakan

teknik analisis data deskriptif. Adapun tujuan analisis deskriptif adalah guna

mendeskripsikan data yang telah terkumpul melalui hasil wawancara dan

observasi secara spesifik, transparan, dan mendalam.

Alasan peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif karena hasil data

yang terkumpul berupa data deskriptif terkait fenomena penelitian dan data

bersumber dari dari informan, tulisan, dan kata-kata. Berikut tahapan teknik

analisis deskriptif:

a. Reduksi Data

Data diperiksa kelengkapannya untuk mencari kembali data yang masih

kurang dengan mengesampingkan data yang kurang.

b. Penyajian Data
30

Data yang sesuai dengan topik pembahasan terkait komunikasi

interpersonal perawat dan lansia digunakan secara sistematis

c. Penarikan Kesimpulan

Data yang telah disajikan diuraikan menjadi susunan yang lebih singkat,

padat dan jelas.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda

Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda dengan

kapasitas tampung yang mencapai 110 orang merupakan unit pelaksana

Teknis Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur, bidang kesejahteraan

sosial khususnya bagi usia lanjut dan memberikan pelayanan berupa

penampungan dan jaminan hidup seperti pangan, sandang, kesehatan,

pengisian waktu luang, bimbingan sosial, mental dan keagamaan.

Sehingga para usia lanjut dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi

rasa aman, tenteram lahir dan batin.

UPTD PSTW Nirwana Puri Samarinda memiliki program

pelayanan rutin (reguler) dimana program ini menyelenggarakan

pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia terlantar yang berasal

dari keluarga yang tidak mampu tanpa dipungut biaya, seluruh

kepentingan klien pada program ini dibebankan pada APBD Provinsi dan

para lanjut usia ditampung didalam panti (wisma). Program Pelayanan

Rutin (reguler) adalah sebagai berikut :

1. Pemberian bimbingan fisik berupa kegiatan senam lansia/senam

jantung sehat, yang dilaksanakan setiap hari rabu dan sabtu.

31
32

2. Bimbingan psikologi dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien.

3. Bimbingan keterampilan dilakukan berupa kegiatan membuat

keset dari kain perca, membuat kerajinan tas dari limbah plastik,

pembuatan telur asin dan keterampilan sulam menyulam yang

dilaksanakan setiap hari sabtu.

4. Bimbingan Kesehatan berupa Kunjungan dokter umum sekali

sebulan untuk melaksanakan kegiatan pemeriksaan kesehatan

umum dan Kunjungan dokter spesialis kejiwaan sekali sebulan

untuk melaksanakan kegiatan pemeriksaan kesehatan mental

kejiwaan sekali sebulan jadwal menyesuaikan.

5. Kegiatan Pemulasaraan Klien Panti yang meninggal dunia.

4.1.2 Visi dan Misi UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda

Pelayanan terbaik untuk mewujudkan lanjut usia bahagia sejahtera di

usia tua.

4.1.3 Daftar Nama Klien Lansia UPTD Panti Sosial Tresna Werdha

Nirwana Puri Samarinda

Tabel 4.1 Daftar Nama Klien Lansia

Nama Lansia Jenis Kelamin Asal Kab/Kota Tgl Bergabung

Galuh P Samarinda 2 Feb 2015

Musrinah P Balikpapan 17 Feb 2004


33

Ngatini P Samarinda 4 Mar 2019

Ruslikah P Bontang 12 Sept 2020

Syamsiah P Samarinda 6 Des 2022

Kamsiah P Samarinda 19 Feb 2020

Mukinah P Samarinda 14 Apr 2021

Mustokinah P Samarinda 17 Des 2010

Sukini P Samarinda 20 Apr 2011

Kartini P Kukar 2 Nov 2022

Tati Marto P Samarinda 24 Mar 2023

Hendra L Kukar 7 Juni 2018

Laipo L Samarinda 7 Okt 1989

Priyo Sutoyo L Balikpapan 22 Jun 2021

Sulaiman L Bontang 3 Mar 2021

Rusmin L Samarinda 13 Nov 2022

Komari L Balikpapan 13 Mar 2023

Ashari Astam L Balikpapan 18 Agu 2020

Imam Nacrowi L Samarinda 21 Jun 2017

Subandi L Balikpapan 17 Jun 2022

M. Amin L Balikpapan 25 Agu 2022

Sumber: Olahan Peneliti (2023)


34

4.1.4 Struktur Organisasi UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana


Puri Samarinda

Gambar 4.1.1 Struktur Organisasi UPTD PSTW Nirwana Puri


Kepala UPTD PSTW Nirwana Puri

Ka. Sub bag Tata


Usaha

Kasi Penyantunan dan Kasi Pembinaan &


pelayanan Terminasi

Kelompok Jabatan Fungsional

Sumber: Olahan Peneliti (2023)

4.1.5 Jadwal Kegiatan Klien Lansia di UPTD Panti Sosial Tresna Werdha

Nirwana Puri Samarinda

Tabel 4.2 Jadwal Kegiatan Klien Lansia

Kegiatan Waktu Pelaksanaan

Bimbingan sosial (motivasi, konseling Selasa

dan kesadaran senasib

sepenanggungan)

Bimbingan Ceramah Kamis

Bimbingan fisik (kegiatan senam Rabu dan sabtu

lansia/senam jantung sehat)


35

Bimbingan Mengaji Senin, rabu, jum’at dan hari

besar keagamaan Islam

Bimbingan Keterampilan Sabtu

Bimbingan Psikologi Sesuai kebutuhan klien

lansia

Bimbingan kesehatan (pemeriksaan Sebulan sekali

kesehatan umum dan kunjungan dokter

spesialis kejiwaan)

Pemulasaraan klien lansia yang Ketika klien lansia

meninggal dunia meninggal dunia

Sumber: Olahan Peneliti (2023)

4.2 Data Informan

4.2.1 Informan (Perawat)

1. Informan – Perawat 1: Maesaroh

Maesaroh adalah seorang perawat lansia berusia 38 tahun yang telah

bekerja selama delapan tahun. Ia berasal dari Jambi dan memiliki latar

belakang pendidikan sebagai Sarjana Pendidikan. Sebagai perawat

dengan pengalaman cukup lama, Maesaroh memiliki pemahaman

mendalam tentang tugas dan tanggung jawabnya dalam merawat lansia.

Dalam wawancara, Maesaroh akan memberikan pandangan dan

pengalaman pribadinya terkait perawatan lansia di panti.


36

2. Informan – Perawat 2: Aditya

Aditya adalah seorang perawat lansia berusia 42 tahun yang baru bekerja

selama 1,5 tahun. Ia berasal dari Samarinda dan memiliki latar belakang

SMA. Meskipun Aditya memiliki pengalaman kerja yang relatif singkat,

pandangannya sebagai seorang perawat lansia dapat memberikan

perspektif berbeda dalam hal perawatan lansia di panti. Dalam

wawancara, Aditya akan berbagi pemahamannya dalam merawat lansia

dan pengalamannya dalam bekerja di panti jompo.

3. Informan – Perawat 3: Nurul Istiqomah

Nurul adalah seorang perawat lansia muda berusia 28 tahun. Ia juga

memiliki pengalaman bekerja di panti jompo selama 1,5 tahun dan

berasal dari Samarinda. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana

Psikologi. Keahliannya dalam psikologi dapat memberikan wawasan

yang berharga terkait aspek psikologis dalam merawat dan menangani

lansia di panti. Dalam wawancaranya, Nurul akan memberikan

informasi mengenai pengalamannya dalam merawat lansia serta

tantangan yang dihadapinya.

4.2.2 Informan (Lansia)

1. Informan – Lansia 1: Rusmin

Rusmin adalah seorang lansia berusia 63 tahun yang telah tinggal di

panti selama 6 bulan. Ia berasal dari Madiun. Wawancara dengan

Rusmin akan memberikan pandangan dan pengalaman pribadinya


37

sebagai seorang lansia yang tinggal di panti. Ia akan berbagi cerita

mengenai penyesuaian diri dengan kehidupan di panti, harapan dan

kebutuhan khususnya, serta perspektifnya tentang perawatan yang

diberikan oleh perawat.

2. Informan – Lansia 2: Komari

Komari adalah seorang lansia berusia 74 tahun yang telah tinggal di

panti selama 3 bulan. Ia juga berasal dari Madiun. Wawancara dengan

Komari akan memberikan pemahaman tentang pengalaman pribadinya

dalam beradaptasi dengan lingkungan panti. Perspektifnya sebagai

seorang lansia dengan tingkat ketergantungan yang mungkin berbeda

dapat memberikan wawasan penting.

3. Informan – Lansia 3: Tati Marto

Tati Marto adalah lansia berusia 70 tahun yang tinggal di panti selama

3 bulan. Ia berasal dari Banyuwangi. Dalam wawancara dengan Tati

Marto, ia akan berbagi pengalaman pribadinya tentang perawatan dan

perasaannya selama tinggal di panti. Sebagai lansia dengan latar

belakang yang berbeda, pengalaman dan pandangan Tati Marto dapat

memberikan wawasan dalam memahami kebutuhan lansia di panti.

4. Informan – Lansia 4: Kartini

Kartini, seorang lansia berusia 75 tahun, telah tinggal di panti selama 6

bulan. Sama seperti Rusmin, ia juga berasal dari Madiun. Dalam

wawancara dengan Kartini ia akan membagikan pengalamannya dalam


38

berhubungan dengan perawat dan tentang perawatan yang diberikan

oleh perawat.

4.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.3.1 Tahapan Penetrasi Sosial Komunikasi Interpersonal Perawat

dengan Lansia dalam Membangun Kedekatan di Panti Sosial Tresna

Werdha Nirwana Puri Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur

Perkembangan komunikasi interpersonal dalam teori penetrasi sosial

terdapat empat tahapan, yang diantaranya:

1. Tahap Orientasi

Tahap orientasi merupakan sebuah tahap awal yang terjadi

saat komunikasi terjadi yang bersifat tidak pribadi. Individu

yang terlibat pada tahap ini hanya memberikan informasi yang

bersifat sangat umum saja tentang dirinya. Pada tahap ini,

pernyataan yang dibuat individu biasanya bersifat klise.

Individu biasanya akan bertindak baik secara sosial dan lebih

hati-hati karena tidak ingin melanggar harapan sosial (West &

Turner, 2019).

Pada tahap ini, individu berusaha untuk membangun

pemahaman awal tentang situasi sosial dan siapa saja yang ada

di sekitar mereka. Mereka melibatkan diri dalam pengamatan

dan mencari tanda-tanda kehadiran orang lain. Seperti ungkapan

Perawat 3, yang mengungkapkan:


39

“Oh yang pertama kali saya lakukan kah, nyapa kalo ada
mbahnya ketemu saya gitukan kalo ada mbahnya diluar
saya sapa.” (Wawancara dengan perawat 3, 31 Mei 2023)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa ketika pertama kali

perawat 3 bertemu dengan lansia yang baru saja masuk ke panti,

ia akan melakukan tindakan salam dan menyapa lansia. Ia

berusaha untuk memperkenalkan diri dan menciptakan interaksi

awal yang bersifat sosial dan tidak pribadi. Hal ini

mencerminkan upaya perawat untuk menjalin hubungan yang

baik dengan lansia dalam tahap awal komunikasi.

Pada tahap orientasi, individu cenderung memberikan

informasi umum dan melakukan tindakan yang bertujuan untuk

membangun kesan positif dan memperoleh pemahaman awal

tentang pihak lain. Dalam konteks ini, perawat 3 menggunakan

tindakan sapaan sebagai lankah awal untuk memulai

komunikasi dengan lansia yang baru mereka temui. Selanjutnya

pada tahap orientasi perawat 3 juga mengungkapkan:

“Tanya-tanya pasti tanya-tanya, gimana latar belakangnya


paling latar belakangnya, ajak ngobrol dulu gimana di
wisma ini, gimana karakternya mereka, biar mereka
nyaman kita bikin nyaman dulu terus sama biar betah
juga, kita kasi tau kondisi situasinya di wisma ini
khususnya gimana.” (Wawancara dengan perawat 3, 30
Mei 2023)
40

Pada kutipan diatas, perawat menjelaskan bahwa mereka

melakukan tanya-jawab dengan lansia yang baru masuk untuk

memahami latar belakang mereka. Perawat juga berusaha untuk

mengobrol dan berusaha memberi tahu lansia lebih lanjut

mengenai lingkungan di wisma. Tujuan dari tindakan perawat

ini adalah untuk menciptakan kenyamanan bagi lansia serta

untuk memastikan mereka merasa betah di lingkungan

perawatan. Perawat juga memberikan informasi tentang kondisi

situasional di wisma, sehingga lansia dapat memiliki

pemahaman awal tentang lingkungan tempat mereka tinggal.

Hal ini menunjukkan adanya upaya perawat untuk

membangun hubungan yang positif dengan lansia melalui tahap

orientasi. Mereka berusaha untuk memperoleh pemahaman

awal tentang lansia, baik dalam hal latar belakang, karakteristik,

maupun perawatan. Dengan melakukan interaksi dan

memberikan informasi yang relevan, perawat berupaya

menciptakan kesan positif dan kenyamanan pada tahap awal

komunikasi dengan lansia.

UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

melakuka home visit sebelum lansia diserahkan untuk dirawat

oleh para perawatnya di masing-masing wisma, calon klien

lansia terlebih dahulu di survei untuk mengetahui bagaimana

latar belakang calon klien lansia tersebut. Latar belakang klien


41

lansia tersebut nantinya akan berguna dalam memahami

karakter lansia karena perawat sudah tahu segi kesulitan dan

kemudahan dilihat dari bagaimana kondisi fisik dan psikologis

lansia itu sendiri. Hal tersebut sebagaimana seperti hasil

wawancara dengan perawat 1 selaku perawat lansia mengatakan

bahwa:

“..Nah sebelum masuk sini biasanya kan diadakan home


visit. Jadi kita survey dulu atau yang bagian kantor, ya jadi
bagian ada penunjukkan dua sampai tiga orang untuk
survey mbahnya, kayak gitu…” (Wawancara dengan
perawat 1, 23 Mei 2023)

Perawat 1 juga mengungkapkan:

“..Nah pas disitu (home visit) kan kita bisa tau


karakternya, karena kan kalo pengasuh apalagi penjaga
lansia ini kita harus tau background-nya. Kita gabisa
ngeliat dari kasat mata…” (Wawancara dengan perawat 1,
23 Mei 2023)

Berdasarkan ungkapan perawat 1, individu yang terlibat

dalam komunikasi cenderung memberikan informasi yang

bersifat umum dan klise tentang diri mereka. Perawat 1

mengungkapkan bahwa mereka perlu mengetahui karakter dan

latar belakang lansia sebelum berinteraksi dengan mereka.

Dalam hal ini, home visit dilakukan untuk meperoleh


42

pemahaman lebih dalam tentang lansia dan membantu perawat

mengenal karakteristik individu yang dirawat.

Perawat 1 juga mengungkapkan bahwa ia menyadari

melalui pengamatan kasat mata saja tidak cukup untuk

memahami sepenuhnya lansia. Oleh sebab itu, mereka perlu

mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang lansia melalui

interaksi dan observasi langsung. Hal ini menunjukkan bahwa

perawat sedang berada dalam tahap orientasi dimana mereka

berusaha untuk mengumpulkan informasi dasar tentang lansia

untuk memulai proses membangun kedekatan dan pemahaman

yang lebih dalam.

Berdasarkan ungkapan informan di atas, menunjukkan

bahwa faktor fisik dan psikologis lansia sangat berpengaruh

terhadap tahap orientasi perawat dengan lansia. Untuk

membangun sebuah kedekatan, perawat harus bisa memahami

karakter lansia berdasarkan faktor fisik dan psikologis masing-

masing lansia. Hal ini dapat dikatakan sebagai tahap orientasi

karena memahami kondisi fisik dan psikologis lansia

merupakan tahapan awal. Perawat 2 pada tahap orientasinya

juga mengungkapkan bahwa:

“Biasanya ya nanya asal darimana, ada penyakit apa, dan


kenapa bisa sampai kesini, apa alasannya kesini. Itu aja
pertanyaan saya, semoga masuk sini betah kayak gitu aja
43

saya nanya nya.” (Wawancara dengan perawat 2, 24 Mei


2023)

Pada ungkapan perawat 2, membuktikan bahwa pada

tahap orientasi individu yang terlibat dalam komunikasi

memberikan informasi yang bersifat sangat umum tentang

dirinya dan pertanyaan yang diajukan bersifat klise. Dalam

ungkapan tersebut, perawat 2 mengungkapkan pertanyaan-

pertanyaan umum yang sering diajukan pada tahap orientasi,

seperti asal-usulan riwayat penyakit, dan alasan lansia tersebut

berada di panti. Hal ini menunjukkan bahwa perawat sedang

mencoba memperoleh pemahaman awal tentang lansia dan

situasinya.

Pernyataan perawat 2 juga menunjukkan kehati-hatian

sosial dan niat baik untuk menjaga keberlangsungan komunikasi

dengan lansia. Ia berharap agar lansia merasa nyaman dan betah

di tempat tersebut. Dengan demikian, ungkapan perawat 2

sesuai dengan gambaran tahap orientasi dalam teori penetrasi

sosial, dimana individu memberikan informasi umum dan

bertindak dengan hati-hati dalam rangka membangun hubungan

sosial awal. Lansia 1 memberikan pendapatnya saat pertama

kali berada di panti dengan mengatakan:


44

“Ya, enak lah nyaman” (Wawancara dengan Lansia 1, 24


Mei 2023)

Pada tahap orientasi, individu baru mulai beradaptasi

dengan lingkungan baru dan memperoleh pemahaman awal

tentang peran dan harapan mereka. Dalam kutipan yang

diberikan lansia 1 diatas, ia menyatakan bahwa ia merasa

nyaman saat pertama kali berada dipanti jompo. Ia juga

mengungkapkan apa yang membuat dirinya merasa nyaman dan

cepat beradaptasi di panti, dengan mengatakan:

“Tempat dikasih, tempat tidur dikasih, mandi tinggal


mandi, makan ya tinggal makan” (Wawancara dengan
lansia 1, 24 Mei 2023)

Kutipan lansia 1 diatas menunjukkan bahwa lansia 1

merasa nyaman dengan fasilitas-fasilitas yang disediakan di

panti. Ungkapan ini mencerminkan tahap orientasi, dimana

lansia baru mulai beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.

Lansia 1 menekankan bahwa ia menerima fasilitas yang

memadai seperti tempat tinggal, tempat tidur, mandi, dan

makanan, tanpa kesulitan ataupun keterbatasan. Hal ini

menunjukkan bahwa lansia 1 sedang mengalami tahap awal

dalam memahami dan mengenali fasilitas yang tersedia di

lingkungan perawatan dan merasa nyaman dengan kondisi yang


45

diberikan. Hal berbeda diungkapkan oleh lansia 2, ia

mengatakan bahwa:

“Saya duganya gini, saya gangerti kalo dikirim kesini.


Maksud saya dikirim pulang gitu saya gak dikirim pulang,
terus yang kirim saya gatau ya RT atau apa itu bilangnya.
Nah trus saya sampai selesai disini, terlanjur disini. Saya
gak mau masuk sini.” (Wawancara dengan lansia 2, 24
Mei 2023)

Kutipan lansia 2 diatas menggambarkan pengalaman dan

perasaannya saat pertama kali masuk ke panti jompo. Lansia 2

menyatakan bahwa ia merasa tidak mengerti mengapa ia dikirim

ke panti tersebut dan tidak tahu secara pasti siapa yang

mengirimkannya. Ia kemudian menambahkan:

“Kurang nyaman, gelisah saya gak tau kaget saya masuk


sini” (Wawancara dengan lansia 2, 24 Mei 2023)

Lansia 2 juga mengungkapkan bahwa ia merasa gelisah

dan kaget dengan situasi masuk ke panti jompo tersebut. Lansia

2 menyatakan bahwa ia tidak tahu apa yang harus dilakukan

setelah sampai di panti jompo dan merasa kebingungan untuk

masuk. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman dan perasaan

lansia bervariasi saat berada dalam tahap orientasi di panti

jompo. Lansia 2 menggambarkan rasa tidak mengerti dan


46

kebingungan mengenai situasi yang dialaminya, serta rasa tidak

mau untuk masuk ke panti jompo.

Berdasarkan fokus penelitian yang telah peneliti jabarkan

pada bab sebelumnya, digunakan Teori Penetrasi Sosial dalam

menganalisis komunikasi interpersonal perawat dengan lansia

dalam membangun kedekatan di UPTD PSTW Nirwana Puri.

Pada Teori Penetrasi Sosial di tahap orientasi umumnya

seseorang akan berhati-hati dalam berucap maupun sikap agar

lawan bicara merasa nyaman (West, Richard L & Turner, Lynn

H, 2019). Komunikasi interpersonal antara perawat dan lansia

di panti jompo sangatlah penting karena merupakan tahap awal

yang membantu membangun kedekatan antara keduanya. Pada

tahap ini, individu yang terlibat dalam komunikasi memberikan

informasi yang bersifat umum dan melakukan tindakan yang

bertujuan untuk membangun kesan positif serta memperoleh

pemahaman awal tentang pihak lain. Dalam hal ini, perawat 3

menggunakan tindakan sapaan dan tanya-jawab sebagai

langkah awal untuk memulai komunikasi dengan lansia.

perawat juga berusaha menciptakan kenyamanan dan

memberikan informasi tentang lingkungan panti kepada lansia.

Strategi yang dilakukan oleh perawat 1 dalam tahap

orientasi meliputi penyapaan, tanya-jawab, pengobrolan,

pengamatan langsung, serta survei melalui home visit sebelum


47

lansia diserahkan untuk dirawat oleh para perawat dimasing-

masing wisma. Dalam survei tersebut, perawat berusaha untuk

memahami latar belakang, karakteristik, kondisi fisik, dan

kondisi psikologis lansia. Hal ini bertujuan untuk memperoleh

pemahaman lebih dalam tentang lansia dan membantu perawat

mengenal karakteristik individu yang dirawat.

Pengaruh faktor fisik dan psikologis lansia terhadap tahap

orientasi juga penting untuk diperhatikan. Menurut Burnside et

al (Nugroho, 2012) umumnya pada periode Middle Age Old,

lansia di periode ini akan mengalami timbul penyakit dan

mengalami rasa kehilangan karena banyak keluarga yang

meninggalkannya. Perawat perlu memahami karakter lansia

berdasarkan faktor-faktor tersebut. Faktor fisik mencakup

kondisi kesehatan, penyakit, dan kondisi fisik lainnya yang

dapat memengaruhi perawatan dan interaksi dengan lansia.

Sementara itu, faktor psikologis melibatkan pemahaman

tentang kondisi emosional, kebutuhan psikologis, dan

karakteristik individu lansia yang dapat berpengaruh pada cara

perawat berkomunikasi dan merawat lansia. Perawat perlu

mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang lansia melalui

interaksi langsung dan observasi untuk memperoleh

pemahaman yang mendalam. Selain itu, dalam tahap orientasi,

individu baru mulai beradaptasi dengan lingkungan baru dan


48

memperoleh pemahaman awal tentang peran dan harapan

mereka.

Lansia 1 mengaku merasa nyaman dengan situasi yang

baru di panti jompo. Ungkapannya mencerminkan penerimaan

dan kenyamanan terhadap fasilitas yang disediakan, seperti

tempat tinggal, tempat tidur, mandi, dan makanan. Lansia 1

menunjukkan bahwa ia tidak mengalami kesulitan dalam

beradaptasi dan merasa cukup puas dengan kondisi yang

diberikan. Hal ini mengindikasikan bahwa lansia 1 telah

memulai proses orientasi dengan baik, menerima dan

memanfaatkan fasilitas yang tersedia dengan mudah serta

memberikan bukti yang sesuai dengan tahap orientasi, dimana

individu baru mulai merasa nyaman dan memahami lingkungan

mereka yang baru.

Hal berbeda diungkapkan oleh lansia 2 bahwa ia

mengalami perasaan dan pengalaman yang mencerminkan tahap

orientasi yang kurang efektif di panti jompo. Lansia 2

menyatakan rasa tidak mengerti dan kebingungan mengenai

alasan dikirim ke panti tersebut dan siapa yang

mengirimkannya. Hal ini menunjukkan bahwa lansia 2 tidak

memiliki pemahaman yang jelas mengenai proses masuk ke

panti jompo dan mungkin tidak mendapatkan informasi yang

memadai sebelumnya.
49

Selain itu, lansia 2 juga mengungkapkan perasaan kurang

nyaman, gelisah, dan kaget saat tiba di panti jompo. Hal ini

menunjukkan adanya ketidaknyamanan dan ketidakpahaman

lansia 2 terhadap lingkungan dan situasi baru yang dihadapinya.

Lansia 2 mungkin merasa kehilangan, tidak tahu apa yang

diharapkan darinya, dan tidak memiliki panduan yang jelas

mengenai langkah-langkah yang harus diambil setelah tiba di

panti jompo.

Pada tahap orientasi yang efektif sejalan dengan Teori

Penetrasi Sosial yang dijelaskan oleh (West & Turner, 2019),

tujuannya adalah untuk memberikan informasi yang memadai,

membantu lansia memahami perasn dan harapan mereka, serta

menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Namun,

pada kasus lansia 2, terlibat bahwa tahap orientasi tersebut tidak

efektif. Lansia 2 merasa tidak mendapatkan informasi yang

cukup dan tidak memiliki pemahaman yang jelas mengenai

situasi dan proses masuk ke panti jompo. Hal tersebut

menyebabkan lansia 2 merasa gelisah, kurang nyaman, dan

tidak mau masuk ke panti tersebut.

Penting bagi perawat dan staf panti jompo untuk

memperhatikan pengalaman dan perasaan lansia saat tahap

orientasi. Perawat perlu mengkomunikasikan informasi dengan

jelas, memberikan panduan yang jelas, dan menciptakan


50

lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi lansia. Selain itu,

perawat juga perlu melibatkan lansia secara aktif dalam proses

orientasi, mendengarkan kekhawatirkan dan kebutuhan mereka,

serta memberikan dukungan emosional yang diperlukan.

Khususnya pada kasus lansia 2, upaya lebih lanjut perlu

dilakukan untuk membantu lansia tersebut merasa lebih nyaman

dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai situasi

dan proses masuk ke panti jompo. Hal ini dapat melibatkan

penjelasan yang lebih rinci, pendekatan yang lebih empati dan

dukungan yang lebih intensif dari perawat dan staf panti jompo.

Oleh sebab itu, terdapat masalah pada aspek komunikasi

interpersonal, yaitu aspek keterbukaan, dilihat dari kutipan yang

disampaikan lansia 2 yang bingung dan tidak mengerti

mengenai alasan dikirim ke panti jompo dan siapa yang

mengirimkannya. Hal ini menunjukkan adanya ketidakjelasan

dalam komunikasi yang terjadi antara perawat dan lansia 2.

Aspek keterbukaan seperti yang dikemukakan oleh De

Vito 1997 (dalam Masyhuri, 2014) dalam komunikasi

interpersonal mencakup kemampuan untuk saling berbagi

informasi secara jujur, terbuka, dan transparan. Dalam kasus

lansia 2, terdapat masalah dalam aspek keterbukaan ini. Lansia

2 merasa tidak memperoleh informasi yang memadai mengenai

proses masuk ke panti jompo dan siapa yang bertanggung jawab


51

atas keputusan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa

terdapat kekurangan dalam keterbukaan informasi yang

diberikan oleh perawat kepada lansia 2.

Sedangkan dalam tujuan komunikasi interpersonal yang

mencakup untuk membantu (to help) seperti yang diungkapkan

oleh De Vito (dalam Suryanto, 2017), perawat dalam kasus ini

memiliki peran penting dalam membantu lansia dalam tahap

orientasi di panti jompo. Tujuan utama perawat adalah untuk

membantu lansia beradaptasi dengan lingkungan baru,

memahami proses masuk ke panti jompo, dan merasa nyaman

serta mendapatkan pemahaman yang memadai. Selain itu,

perawat juga dapat memberikan saran, nasehat, dan masukan

kepada lansia dalam membantu mereka beradaptasi dengan

lingkungan baru. Misalnya, perawat dapat memberikan

dukungan emosional kepada lansia 2 yang mengalami

ketidaknyamanan atau kebingungan.

Tabel 4.2.1 Sintesa Indikator Tahap Orientasi

Teori Temuan

Altman dan Taylor (dalam West 1. Lansia pada tahap orientasi


& Turner, 2019) menjelaskan memberikan informasi umum tentang
bahwa tahap orientasi adalah diri mereka dan menggunakan
ketika seseorang hanya pernyataan yang bersifat klise seperti
membagikan informasi secara nama, umur dan asal tinggalnya.
dangkal atau hanya mencakup Perawat melakukan tanya-jawab dan
lapisan terluar tentang dirinya. mengobrol untuk memahami latar
Pada tahap paling awal ini, belakang lansia. Melalui home visit
seseorang akan lebih waspada perawat mengumpulkan informasi
52

dan berhati-hati ketika tentang karakter lansia. Faktor fisik


memberikan informasi dirinya. dan psikologis lansia berpengaruh
pada tahap orientasi. Perawat
memberikan informasi tentang kondisi
De Vito 1997 (dalam Masyhuri, situasional di wisma dan lingkungan
2014) menyebutkan aspek panti jompo. Lansia yang merasa
keterbukaan terkait masalah- nyaman di lingkungan baru panti
masalah umum wajib jompo mencerminkan tahap orientasi
diperhatikan agar lawan bicara yang baik. Sebaliknya, lansia yang
dapat mengerti serta mengetahui tidak mengerti dan kebingungan
pendapat serta gagasan kita, menunjukkan tantangan dalam tahap
sehingga komunikasi dapat orientasi
berjalan dengan lancar dan 2. Lansia 2 merasa tidak memperoleh
efektif. informasi yang memadai mengenai
proses masuk ke panti jompo dan siapa
yang bertanggung jawab atas
De Vito (dalam Suryanto, 2017) keputusan tersebut. Hal ini
menjelaskan beberapa tujuan mengindikasikan bahwa terdapat
komunikasi interpersonal salah kekurangan dalam keterbukaan
satunya adalah untuk membantu informasi yang diberikan oleh perawat
(To Help). Seseorang kepada lansia 2.
membutuhkan komunikasi 3. Perawat dapat memberikan dukungan
interpersonal dalam menolong emosional kepada lansia 2 yang
orang lain, memberikan saran, mengalami ketidaknyamanan atau
nasehat, masukan, dan kebingungan.
sebagainya. Tujuan komunikasi
interpersonal ini dapat berhasil
dengan mengadalkan
kemampuan serta pengetahuan
seseorang tersebut.

Sumber: (Olahan data primer, 2023)

2. Tahap Pertukaran Penjajakan Afektif

Tahap pertukaran penjajakan afektif, dimana seseorang

akan memberikan informasi yang sedikit lebih detail tentang

dirinya kepada orang lain dan akan lebih mengurangi rasa


53

waspadanya. Pada tahap ini topik pembahasan akan ada

peningkatan, akan tetapi topik-topik tersebut masih yang umum

diketahui orang lain. Tahap ini merupakan tahap menuju ke

wilayah lanjutan yang bersifat lebih akrab dimulai. Pada tahap

ini, sebuah informasi yang pada awalnya bersifat privat akan

menjadi publik. Seperti yang diungkapkan oleh perawat 2, yang

mengatakan:

“Ada yang nyaman cerita mereka tentang diri mereka, ada


juga yang tidak. Ada yang tertutup mereka tidak mau
menceritakan. Kata saya kalo gak mau yasudah gak usah
dipaksakan.” (Wawancara dengan perawat 2, 24 Mei
2023)

Pada ungkapan perawat 2 diatas menunjukkan bahwa ada

lansia yang merasa nyaman untuk berbagi cerita tentang diri

mereka, sementara ada yang lebih tertutup dan tidak mau

menceritakan. Hal ini mencerminkan adanya perbedaan dalam

tingkat keterbukaan dan kesiapan lansia untuk membagikan

informasi pribadi pada tahap tersebut. Perawat juga memberikan

pemahaman dan penghormatan terhadap batas-batas pribadi

lansia yang tidak ingin menceritakan diri mereka secara

mendalam. Hal ini sesuai dengan tahap pertukaran penjajakan

afektif dimana individu masih menjaga topik pembicaraan pada


54

tingkat yang lebih umum dan menyesuaikan diri dengan

kenyamanan dan batasan pribadi orang lain.

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh perawat 2

menggambarkan upaya untuk membangun hubungan yang lebih

dekat dan lebih dalam dengan lansia melalui tahap pertukaran

penjajakan afektif, dimana informasi pribadi mulai diungkapkan

secara sukarela dan topik pembicaraan menjadi lebih mendalam,

meskipun masih dalam batasan yang lebih umum dan tidak

terlalu privat. Sedangkan perawat 1, mengatakan:

“…Mau curhat atau gaknya itu tergantung psikologis


mbahnya si moodnya mbahnya juga. Kita gabisa maksa,
mereka lebih terbuka kepada sesama lansia teman-
temannya. Ibaratnya kalo ke saya ada rasa malu dan
segan.” (Wawancara dengan perawat 1, 23 Mei 2023)

Tahap pertukaran penjajakan afektif melibatkan adanya

peningkatan dalam saling berbagi informasi yang lebih personal

dan mendalam antara individu yang berkomunikasi. Pada tahap

ini, individu cenderung merasa lebih nyaman dan terbuka untuk

berbagi cerita atau pengalaman yang lebih rinci tentang diri

mereka. Topik pembahasan juga dapat lebih spesifik dan

mendalam daripada topik yang umum diketahui orang lain.

Berdasarkan ungkapan perawat 1 diatas, ia

mengungkapkan bahwa lansia lebih terbuka untuk berbagi cerita


55

dengan sesama lansia teman-temannya dan bahwa keinginan

mereka untuk berbagi tergantung pada kondisi psikologis dan

suasana hati lansia tersebut. Terlihat juga bahwa lansia

cenderung merasa malu dan segan untuk berbagi cerita kepada

perawat. Hal ini bisa menunjukkan bahwa tahap pertukaran

penjajakan afektif antara perawat 1 dengan lansia belum

berjalan dengan efektif.

Dalam tahap pertukaran penjajakan afektif, penting bagi

individu untuk merasa nyaman dan terbuka dalam berbagi

informasi tentang diri mereka dengan orang lain. Namun, jika

lansia merasa malu dan segan untuk berbagi cerita kepada

perawat, hal ini dapat menghambat proses membangun

kedekatan dan kepercayaan antara keduanya. Dapat dikatakan

bahwa ada hambatan dalam tahap pertukaran penjajakan afektif

antara perawat 1 dengan lansia. Perawat 1 perlu mencari cara

untuk mengatasi rasa malu dan segan yang dirasakan lansia,

seperti menciptakan lingkungan yang mendukung dan

memberikan dukungan emosional yang lebih besar. Selain itu,

penting juga untuk memahami bahwa setiap individu memiliki

preferensi dan kenyamanan yang berbeda dalam berbagi cerita

pribadi, dan perawat harus menghormati dan memahami

batasan-batasan yang ada. Peneliti melakukan wawancara

dengan lansia 4, yang mengatakan sebagai berikut:


56

“Enggak, pengasuhnya gaada yang mau nanyain saya,


coba dia cerita apa gitu kan. Jadi saya mau cerita juga ke
dia kan.” (Wawancara dengan lansia 4, 30 Mei 2023)

Ungkapan lansia 4 diatas menunjukkan bahwa dalam

hubungan antara lansia dan perawat, belum terjadi tahap

pertukaran penjajakan afektif yang efektif. Lansia

menyampaikan bahwa perawat tidak pernah menanyakan atau

meminta cerita dari dirinya. Lansia juga menyatakan

keinginannya untuk bisa bercerita kepada perawat jika perawat

tersebut mengajak atau memberikan kesempatan untuk

melakukannya.

Pada tahap pertukaran penjajakan afektif, perawat perlu

menunjukkan inisiatif untuk mengajukan pertanyaan dan

mengajak lansia untuk bercerita atau berbagi pengalaman.

Tahap ini melibatkan saling berbagi informasi yang lebih

personal dan mendalam tentang diri masing-masing, sehingga

menciptakan ikatan emosional yang lebih kuat antara perawat

dengan lansia. Namun, berdasarkan pernyataan lansia 4, belum

terlihat adanya pertukaran penjajakan afektif yang berjalan

secara efektif antara perawat dan lansia tersebut. Perawat belum

menunjukkan keinginan untuk mendengarkan cerita atau

curhatan dari lansia, yang mengindikasikan bahwa tahap ini


57

tidak tercapai secara efektif. Peneliti juga melakukan

wawancara dengan perawat 3, ia menjelaskan proses tahap

pertukaran penjajakan afektif dengan lansia, sebagai berikut:

“Suka saya ajak cerita, ajak cerita tentang kehidupannya


sebelum dipanti, tentang keluarganya” (Wawancara
dengan perawat 3, 30 Mei 2023)

Ungkapan perawat 3 diatas menunjukkan adanya upaya

untuk memulai tahap pertukaran penjajakan afektif dengan

lansia. Perawat 3 mengajak lansia untuk berbagi cerita tentang

kehidupan mereka sebelum tinggal di panti dan tentang

keluarganya. Pada tahap pertukaran penjajakan afektif,

seseorang secara bertahap memberikan informasi yang lebih

detail tentang dirinya kepada orang lain. Dalam hal ini, perawat

3 mencoba mendapatkan informasi lebih lanjut tentang

kehidupan lansia sebelum tinggal di panti dan hubungan mereka

dengan keluarga. Hal ini mengindikasikan adanya upaya untuk

mengurangi rasa waspada lansia dan memperdalam hubungan

dengan mereka.

Meskipun topik pembicaraan masih dalam lingkup yang

umum diketahui orang lain, yaitu kehidupan sebelum dipanti

dan keluarga, upaya untuk mengajak cerita ini membantu

membuka jalur komunikasi yang lebih intim dan membangun


58

kedekatan dengan lansia. Dengan mengungkapkan informasi

tentang diri mereka, lansia dapat merasa lebih nyaman dan

percaya diri dalam berkomunikasi dengan perawat. Perawat 3

melanjutkan:

“Ada, ada yang pendiem dia diem dulu ada. Lansia yang
diem itu awalnya yang terpaksa masuk kesini gamau sama
sekali dia kaya masih menolak kan, susah itu. Ada juga
yang legowo kayak yaudah gitu.” (Wawancara dengan
perawat 3, 30 Mei 2023)

Ungkapan perawat 3, menunjukkan bahwa ia mengamati

ada beberapa lansia yang awalnya pendiam dan enggan untuk

berbagi cerita. Lansia yang pendiam ini mungkin merasa tidak

nyaman atau masih menolak untuk terlibat dalam proses

pertukaran penjajakan afektif. Mereka mungkin masih bisa

beradaptasi dengan situasi baru, seperti tinggal di panti, dan

butuh waktu lebih lama untuk merasa cukup aman dan nyaman

untuk berbagi informasi pribadi. Disisi lain, ada juga lansia yang

lebih menerima situasi dengan sikap ikhlas dan rela. Hal ini

dapat menunjukkan bahwa mereka lebih terbuka atau bersedia

dalam berbagi cerita, atau mungkin lebih mudah beradaptasi

dengan lingkungan dan interaksi sosial di panti. Perawat 3 juga

menambahkan:
59

“Cara ngasih perhatiannya lebih ke tindakan sih,


membantu, menawarkan bantuan. Kita yang menawarkan
duluan gitu. Apa yang bisa atau yang belum kita lakukan
gitu kan, misalnya kita peka dan lebih inisiatif duluan
membantu.” (Wawancara dengan perawat 3, 30 Mei 2023)

Ungkapan perawat 3 diatas juga menunjukkan tahap

pertukaran penjajakan afektif dengan lansia di panti. Perawat 3

menyatakan bahwa ia memberikan perhatian melalui tindakan

nyata, seperti membantu dan menawarkan bantuan kepada

lansia. Ia mengambil inisiatif untuk menawarman bantuan

sebelum lansia meminta atau mengungkapkan kebutuhan

mereka. Pada tahap pertukaran penjajakan afektif, seseorang

akan memberikan informasi yang lebih detail tentang dirinya

kepada orang lain dan mengurangi rasa waspada. Dalam hal ini,

perawat 3 mengungkapkan bahwa ia lebih fokus pada tindakan

konkret, seperti membantu dan menawarkan kepada lansia.

Tindakan ini mencerminkan upaya untuk membangun

hubungan yang lebih dekat dengan lansia.

Apabila dengan menjadi peka terhadap kebutuhan lansia

dan mengambil inisiatif untuk membantu, perawat dapat

menciptakan lingkungan yang lebih hangat, perhatian, dan

peduli. Lansia dapat merasakan kehadiran perawat yang

memberikan perhatian aktif dan siap membantu. Hal ini dapat

membantu mengurangi rasa waspada lansia dan membantu


60

menbangun kepercayaan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh

lansia 3, yang mengungkapkan:

“Perhatian banget itu bagus dia yang ngerawat saya bagus


seperti mbahnya sendiri dikasih makan dimandiin”
(Wawancara dengan lansia 3, 30 Mei 2023)

Ungkapan lansia 3 diatas membuktikan pernyataan

perawat 3, yang menunjukkan adanya perhatian yang diberikan

oleh perawat terhadap mereka. Lansia 3 menyatakan bahwa

perawat memberikan perhatian yang baik dan merawat ia

dengan baik seperti merawat keluarga sendiri. Perawat

memberikan perhatian dalam bentuk memberi makan dan

memandikan lansia.

Pada tahap pertukaran penjajakan afektif antara perawat

dengan lansia, adanya perhatian yang diberikan oleh perawat

terhadap lansia adalah salah satu aspek yang penting.

Mundiharno (2010) menyatakan bahwa dukungan sekitar baik

verbal maupun nonverbal, saran, bantuan, atau tingkah laku

yang diberikan oleh orang-orang terdekat berupa keberadaan

serta hal-hal yang dapat memberi keuntungan emosional kepada

penerimanya. Tahap ini melibatkan saling berbagi dan

memperdalam pemahaman tentang diri masing-masing,

termasuk memberikan perhatian dan kepeduluan satu sama lain.


61

Hal ini, menunjukkan perawat memberikan perhatian yang

nyata terhadap kebutuhan dan kesejahteraan lansia yang mereka

rawat. Tindakan memberi makan dan memandikan lansia adalah

bentuk nyata dari perhatian dan kasih sayang yang diberikan

oleh perawat. Perhatian memainkan peran penting dalam

membangun hubungan yang lebih dekat antara perawat dan

lansia di panti jompo. Dengan memberikan perhatian yang baik,

perawat menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan

dipenuhi dengan rasa perhatian, sehingga memperkuat ikatan

emosional antara mereka.

Tahap pertukaran penjajakan afektif dalam hubungan

antara perawat dengan lansia di panti jompo melibatkan saling

berbagi informasi yang lebih personal dan mendalam tentang

diri masing-masing. Tahap ini bertujuan untuk membangun

kedekatan, kepercayaan, dan ikatan emosional antara perawat

dan lansia. Namun, terdapat perbedaan dalam tingkat

keterbukaan dan kesiapan lansia untuk membagikan informasi

pribadi pada tahap ini.

Berdasarkan ungkapan perawat 2, terlihat bahwa ada

lansia yang merasa nyaman untuk berbagi cerita tentang diri

mereka, sementara ada yang lebih tertutup dan tidak mau

menceritakan. Perawat 2 menyadari bahwa tidak semua lansia

merasa nyaman untuk membuka diri secara mendalam, dan ia


62

menghormati batas-batas pribadi lansia tersebut. Hal ini sesuai

dengan tahap pertukaran penjajakan afektif, dimana individu

masih menjaga topik pembicaraan pada tingkat yang lebih

umum dan menyesuaikan diri dengan kenyamanan dan batasan

pribadi orang lain.

Disisi lain, perawat 1 menyatakan bahwa lansia lebih

terbuka untuk berbagi cerita dengan sesama lansia teman-

temannya daripada dengan perawat. Hal ini mengindikasikan

bahwa perawat 1 belum berhasil membangun tahap pertukaran

penjajakan afektif yang efektif dengan lansia. Perawat 1 perlu

mencari cara untuk mengatasi rasa malu dan segan yang

dirasakan lansia, serta menciptakan lingkungan yang

mendukung dan memberikan dukungan emosional yang lebih

besar.

Upaya perawat 3 dalam membangun tahap pertukaran

penjajakan afektif, adalah melakukan pendekatan yang lebih

aktif dengan mengajak lansia untuk berbagi cerita tentang

kehidupan mereka sebelum tinggal di panti dan tentang

keluarga. Perawat 3 juga memberikan perhatian nyata kepada

lansia melalui tindakan membantu dan menawarkan bantuan.

Hal ini mencerminkan inisiatif perawat 3 dalam memperdalam

hubungan dengan lansia dan menciptakan lingkungan yang

lebih hangat, perhatian, dan peduli.


63

Namun, terdapat beberapa lansia yang awalnya pendiam

dan enggan untuk berbagi cerita. Hal ini mungkin disebabkan

oleh ketidaknyamanan atau rasa menolak terhadap situasi baru,

seperti tinggal di panti. Oleh sebab itu, perawat perlu

memberikan waktu dan kesempatan bagi lansia untuk

beradaptasi dan merasa aman dalam membuka diri secara

emosional. Perhatian yang diberikan perawat kepada lansia

memainkan peran penting dalam membangun tahap pertukaran

penjajakan afektif yang efektif. Dalam ungkapan lansia 3,

terlihat bahwa lansia merasakan perhatian yang baik dari

perawat dalam bentuk memberi makan dan memandikan merka.

Sedangkan pada ungkapan lansia 4, lansia tersebut merasa

perawat tidak pernah menanyakan atau meminta cerita dari

dirinya. Lansia 4 juga menyatakan keinginannya untuk bisa

bercerita kepada perawat, jika perawat tersebut mengajak atau

memberikan kesempatan untuk melakukannya. Ungkapan

lansia 4 ini menunjukkan bahwa hubungan antara perawat dan

lansia belum mencapai tahap pertukaran penjajakan afektif yang

efektif. Perawat belum menunjukkan inisiatif untuk mengajukan

pertanyaan dan mengajak lansia untuk berbagi cerita atau

pengalaman pribadi mereka.

Hal ini menunjukkan, perawat 1 perlu meningkatkan

komunikasi dengan lansia 4 dan menunjukkan minat serta


64

keinginan untuk mendengarkan cerita atau curhatan dari lansia.

Dengan memberikan kesempatan kepada lansia untuk berbagi

pengalaman mereka, perawat dapat menciptakan lingkungan

yang lebih inklusif dan mendukung bagi lansia. Hal ini akan

membantu membangun tahap pertukaran penjajakan afektif

yang lebih efektif, dimana lansia merasa didengarkan, dihargai,

dan lebih terhubung dengan perawat.

Pada tahap pertukaran penjajakan afektif ini, terdapat

masalah komunikasi interpersonal yang melibatkan aspek

empati dan aspek sikap mendukung, terdapat beberapa

permasalahan yang terlihat dalam hubungan antara perawat dan

lansia di panti jompo. Masalah pada aspek empat yakni dimana

lansia merasa bahwa perawat tidak menunjukkan minat atau

empati yang cukup terhadap cerita serta pengalaman pribadi

mereka. Lansia 4 yang menyatakan bahwa perawat tidak pernah

menanyakan atau meminta cerita dari dirinya. Hal ini

mengindikasikan kurangnya empati dari perawat 1 dalam

mendengarkan dan menghargai pengalaman lansia tersebut.

Ketika perawat tidak menunjukkan minat atau keinginan untuk

memahami lansia secara emosional, hal ini dapat membuat

lansia merasa diabaikan atau tidak dihargai, sehingga masalah

ini mempengaruhi tahap pertukaran penjajakan afektif yang

efektif.
65

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian diatas terdapat

masalah pada aspek sikap mendukung dimana dalam upaya

membangun tahap pertukaran penjajakan afektif yang efektif,

penting halnya bagi perawat untuk menciptakan lingkungan

yang mendukung dan memberikan dukungan emosional yang

lebih besar kepada lansia. Namun, terdapat perbedaan dalam

tingkat keterbukaan dan kesiapan lansia untuk membagikan

informasi pribadi. Lansia yang lebih tertutup atau enggan untuk

membuka diri secara emosional mungkin membutuhkan

pendekatan yang lebih sensitif dan sabar dari perawat untuk

mengatasi rasa malu atau segan yang mereka rasakan. Perawat

perlu memberikan waktu dan kesempatan bagi lansia untuk

merasa aman dan nyaman dalam berbagi cerita atau pengalaman

mereka.

Tabel 4.2.2 Sintesa Indikator Tahap Pertukaran Penjajakan Afektif

Teori Temuan

Altman dan Taylor (dalam 1. Terdapat lansia yang merasa


West & Turner, 2019) tahap nyaman untuk berbagi cerita
pertukaran penjajakan afektif tentang diri mereka, sementara ada
adalah tahapan dimana yang lebih tertutup dan enggan
informasi yang diberikan bercerita kepada perawat. Lansia
seseorang memasuki lapisan menyampaikan bahwa ia ingin
tengah, atau interaksi yang bercerita kepada perawat apabila
dilakukan semakin kasual. Di perawat mengajaknya bercerita atau
tahap ini, seseorang akan memberikan kesempatan bercerita.
memberikan bebrapa Lansia cenderung lebih terbuka
informasi tentang privasi untuk bercerita kepada sesama
dirinya atau informasi yang lansia.
66

lebih intim. Keterbukaan 2. Penting halnya bagi perawat untuk


informasi akan lebih santai menciptakan lingkungan yang
dan spontan, dan ditahap mendukung dan memberikan
inilah seseorang akan dukungan emosional yang lebih
mencerminkan tingkat besar kepada lansia.
kenyamanan dan tingkat 3. Namun, terdapat perbedaan dalam
kedekatan yang lebih antara tingkat keterbukaan dan kesiapan
satu dan lainnya. lansia untuk membagikan informasi
pribadi.
De Vito 1997 (dalam 4. Lansia yang lebih tertutup atau
Masyhuri, 2014) menjelaskan enggan untuk membuka diri secara
bahwa efektifnya sebuah emosional mungkin membutuhkan
proses komunikasi pendekatan yang lebih sensitif dan
interpersonal bila didalamnya sabar dari perawat untuk mengatasi
terdapat perilaku suportif rasa malu atau segan yang mereka
berupa motivasi, saran dan rasakan.
ilmu yang dapat membantu
seseorang dalam menghadapi
suatu masalah. Aspek
keterbukaan dan juga aspek
empati tidak dapat terlaksana
apabila suasana komunikasi
interpersonal tidak suportif.

Sumber: (Olahan data primer, 2023)

3. Tahap Pertukaran Afektif

Altman dan Taylor (dalam West & Turner, 2019)

menyatakan bahwa pada tahap pertukaran afektif, informasi

yang diberikan individu kepada orang lain memasuki lapisan

tengah, atau interaksi yang dilakukan akan semakin kasual. Pada

tahap ini, ketika individu merasa nyaman dan telah

mendapatkan feedback yang cukup baik dari lawan bicara

mereka, maka individu akan terbuka terhadap lawan bicara


67

mereka dan akan bercerita lebih banyak tentang apa yang

dialaminya. Pada tahap ini ditandai dengan sebuah hubungan

yang intim dan termasuk interaksi yang tidak canggung dan

cenderung santai karena komunikasi yang terjalin sering

berjalan spontan . Seperti yang diungkapkan oleh lansia 1 yang

sudah enam bulan berada di panti, ia mengatakan bahwa:

“Yaa, kalo suka apa gitu dikasih tau ke pak Adit. Sering
cerita juga kalo ada masalah masa lalu biar pak Adit
nengahi.” (Wawancara dengan lansia 1, 24 Mei 2023)

Berdasarkan ungkapan lansia 1 diatas, menunjukkan

kepercayaan dan kenyamanan dalam berbagi perasaan dan

masalah pribadinya dengan perawat 2, menunjukkan bahwa ia

terbuka untuk berbagi pengalaman positif dengan perawat

tersebut. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa ia sering

bercerita tentang masalah masa lalu, menunjukkan bahwa ia

memiliki kepercayaan dalam mengungkapkan sisi emosional

yang lebih dalam dan pribadi kepada perawat 2.

Ungkapan lansia 1 tersebut mencerminkan adanya

interaksi yang tidak canggung dan bersifat santai antara lansia 1

dan perawat 2. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka telah

membangun hubungan afektif yang intim, dimana lansia merasa

nyaman untuk berbagi pengalaman dan perasaan lebih dalam

kepada perawat 2. Ungkapan tersebut juga mencerminkan


68

adanya kepercayaan, dukungan, dan pemahaman yang terjalin

antara keduanya. Peneliti juga mewawancarai lansia 2 yang baru

saja berada di panti selama tiga bulan, ia mengatakan bahwa:

“Yo pernah masalah pribadi aja.” (Wawancara dengan


lansia 2, 24 Mei 2023)

Ungkapan yang disampaikan lansia 2 yang baru saja

berada dipanti, menunjukkan bahwa ia masih dalam tahap awal

pertukaran afektif dan belum mencapai tingkat kedalaman yang

lebih intim. Hal ini dikarenakan lansia yang baru saja berada di

panti selama tiga bulan masih dalam tahap penyesuaian dengan

lingkungan baru dan belum sepenuhnya merasa nyaman. Dalam

tahap awal ini, mereka masih mempertahankan kewaspadaan

dan belum terbuka sepenuhnya untuk berbagi pengalaman

pribadi yang lebih dalam. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat

keintiman dan kenyamanan dalam pertukaran afektif.

Pada tahap awal pertukaran afektif, individu cenderung

lebih berhati-hati dalam berbagi dan mungkin memilih untuk

memulainya dengan permintaan umum untuk berbicara tentang

masalah pribadi tanpa memberikan detail yang lebih rinci. Ini

merupakan langkah awal yang penting dalam membangun

kepercayaan dan kenyamanan antara lansia dan lingkungan

panti. Oleh sebab itu ungkapan tersebut mencerminkan tahap


69

pertukaran afektif yang efektif karena lansia 2 baru saja berada

di panti dan belum mencapai tingkat kedalaman hubungan yang

lebih intim. Tahap pertukaran afektif juga tercermin dari

ungkapan perawat 3, ia mengatakan bahwa:

“Iya, saya langsung tanya. Karena mereka kayak mendem


aja kan jadi kita tanya duluan. Keluarkan aja misalnya ada
unek-unek atau lagi mendem kesal gitu sama perawat
kasih tau aja.” (Wawancara dengan perawat 3, 30 Mei
2023)

Tahap pertukaran afektif yang efektif antara perawat

dengan lansia tercermin dalam ungkapan perawat 3 diatas yang

mengungkapkan pendekatan komunikasi yang langsung dan

santai. Perawat 3 mengatakan bahwa ia langsung bertanya

kepada lansia dan mengundang mereka untuk berbagi perasaan.

Pendekatan ini mencerminkan hubungan yang telah terjalin

dengan baik antara perawat dan lansia, dimana komunikasi

terasa alami dan spontan.

Perawat 3 menunjukkan sikap yang terbuka dan empatik

terhadap lansia dengan mengajukan pertanyaan yang

mengundang lansia untuk berbicara. Ia menyadari bahwa lansia

mungkin mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan

mereka sendiri. Oleh sebab itu, perawat 3 dengan sadar

mengambil inisiatif untuk membuka ruang bagi lansia agar


70

mereka dapat mengeluarkan perasaan mereka. Pendekatan ini

mencerminkan keinginan perawat untuk mendengarkan keluh

kesah atau unek-unek lansia dan membangun kedekatan dengan

mereka.

Perawat juga responsif terhadap perasaan lansia dengan

menunjukkan pemahaman dan kesadaran akan kebutuhan

emosional mereka. Ia menyadari bahwa lansia mungkin

memiliki masalah pribadi atau rasa kesal yang sedang mereka

pendam. Oleh sebab itu, perawat mengajak lansia untuk

berbicara dan memberikan dukungan dengan mendengarkan

perasaan mereka. Pendekatan ini mencerminkan sikap perawat

yang peduli dan siap memberikan perhatian kepada lansia.

Perawat 3 kemudian melanjutkan dengan mengatakan, bahwa:

“Biasanya kesal dengan pengasuh karena tidak sesuai


dengan harapan mereka. mereka maunya begini, terus kita
gabisa menuhin ekspektasinya gitu kan. Ekspektasi
misalnya harus tepat waktu, tapi kita nanti dulu
melakukannya. Mereka maunya cepet gitu langsung.”
(Wawancara dengan perawat 3, 30 Mei 2023)

Ungkapan perawat 3 diatas, menjelaskan bahwa lansia

sering mengungkapkan kepada perawat 3 karena ekspektasi

mereka tidak terpenuhi. Lansia memiliki harapan tertentu terkait

dengan pelayanan yang diberikan oleh perawat, seperti

kepatuhan terhadap waktu. Namun, perawat menyadari bahwa


71

ia tidak selalu dapat memenuhi ekspektasi tersebut dengan

segera atau sesuai dengan keinginan langsung lansia.

Pada tahap pertukaran afektif, individu cenderung

menjadi lebih terbuka dan santai dalam berinteraksi,

memungkinkan mereka untuk berbagi lebih banyak tentang

pengalaman dan perasaan yang idalami. Pada hal ini, perawat 3

menjelaskan mengenai harapan lansia dan kesulitan yang ia

hadapi dalam memenuhi ekspektasi tersebut, mencerminkan

adanya keintiman dan keterbukaan dalam hubungan perawat-

lansia. Perawat berbagi informasi tentang kesenjangan antara

harapan lansia dan kenyataan, dengan komunikasi yang santai

dan spontan.

Ketika perawat 3 menjelaskan bahwa lansia sering merasa

tidak sesuai dengan harapan mereka, hal ini menunjukkan

bahwa ada tingkat kepercayaan dan keterbukaan yang telah

terbentuk antara perawat dan lansia. Lansia merasa cukup

nyaman untuk menyampaikan ketidakpuasan mereka kepada

perawat. Perawat, disisi lain, secara aktif mendengarkan dan

mencoba untuk memahami perasaan dan kebutuhan lansia. Hal

ini menunjukkan adanya komunikasi yang terbuka, saling

mendukung, dan membangun kepercayaan antara perawat dan

lansia.
72

Perawat 1 juga mengatakan tahap pertukaran afektifnya

dengan lansia:

“Paling ya kita nasehatin, kasih tau karena kan disini


kebanyakan kasusnya itu ada salah satu mbah mandiri
mindsetnya dia pengen sendiri disini pengen ibadah dan
pengen ketenangan, tapi ternyata pas masuk sini dia
shock.” (Wawancara dengan perawat 1, 23 Mei 2023)

Ungkapan perawat 1 diatas, ia menjelaskan bahwa salah

satu upaya yang dilakukan adalah memberikan nasehat kepada

lansia yang mengalami kejutan saat memasuki panti. Perawat 1

menyadari bahwa banyak kasus dimana seorang lansia memiliki

keinginan untuk hidup secara mandiri, beribadah, dan mencari

ketenangan di dalam panti. Namun, ketika mereka tiba di panti,

mereka mengalami perasaan terkejut atau shock dengan

lingkungan sosial panti.

Untuk menghadapi situasi tersebut, perawat 1 berperan

dalam memberikan nasehat kepada lansia. Ia mencoba

menjelaskan kepada lansia tentang realitas didalam panti dan

mengapa ada aturan dan kegiatan yang harus diikuti. Perawat

memberikan pemahaman kepada lansia bahwa kehidupan di

panti membutuhkan penyesuaian dengan lingkungan baru dan

perlu melibatkan interaksi dengan sesama penghuni panti.


73

Nasehat yang diberikan perawat 1 bertujuan untuk

membantu lansia memahami bahwa adanya perubahan dan

pembatasan dalam rutinitas mereka bukanlah sesuatu yang

bertujuan untuk menyulitkan, akan tetapi untuk menciptakan

lingkungan yang aman, terstruktur, dan mendukung didalam

panti. Perawat 1 berusaha menjelaskan pentingnya beradaptasi

dengan lingkungan baru dan mengajak lansia untuk melihat sisi

positif dan peluang yang ada di dalam panti. Perawat 1 juga

melanjutkan:

“…Biasanya mereka shock karena biasanya hidupnya


lempeng aja tiba-tiba ketemu sama orang-orang yang tadi
itu julid dan sebagainya. Akhirnya banyak yang cekcok
dan berantem, dan biasanya nda tahan tinggal disini.”
(Wawancara dengan perawat 1, 23 Mei 2023)

Ungkapan diatas menjelaskan bahwa lansia sering

mengalami keterkejutan atau shock ketika mereka memasuki

panti karena perbedaan lingkungan dan interaksi sosial yang

mereka alami dipanti. Perawat 1 menyadari bahwa kehidupan

lansia sebelumnya mungkin berjalan dengan relatif tenang dan

tidak banyak konflik. Namun, ketika mereka memasuki panti

dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki sikap

“nyinyir” atau suka menjulid, lansia dapat merasa kaget dan

tidak nyaman. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya


74

pertengkaran dan konflik antara lansia dengan penghuni lainnya

di panti.

Banyak lansia yang tidak dapat menahan diri untuk tetap

tinggal di panti jika terus mengalami situasi yang penuh dengan

pertengkaran dan konflik tersebut. Mereka mungkin merasa

bahwa lingkungan di panti tidak cocok atau tidak mendukung

keinginan mereka untuk hidup dengan ketenangan dan

kedamaian.

Untuk menghadapi situasi ini, perawat perlu memahami

dan mengelola konflik yang mungkin terjadi diantara lansia.

Perawat dapat menggunakan pendekatan seperti mediasi,

membantu lansia untuk berkomunikasi dan menyelesaikan

masalah dengan penghuni lainnya. Selain itu, penting bagi

perawat untuk menciptakan lingkungan yang aman, damai, dan

mengedepankan sikap saling menghormati di panti. Perawat 1

juga mengutarakan upayanya untuk menyelesaikan konflik

tersebut, ia mengatakan:

“Sebisanya kita selesaikan di wisma ini, kalo selesai


alhamdulilah. Kalo tidak bisa selesai ya saya angkat
tangan dan lemparkan ke bagian atasan saya atau bagian
psikolog.” (Wawancara dengan perawat 1, 23 Mei 2023)

Ungkapan diatas menyatakan bahwa perawat 1 akan

mencoba menyelesaikan masalah atau konflik di dalam wisma.


75

Ia berharap bahwa situasi dapat diselesaikan dengan baik, dan

apabila berhasil, ia akan merasa bersyukur. Namun, apabila ia

menghadapi kesulitan yang tidak dapat diatasi sendiri, perawat

1 merujuk pada atasannya atau bagian psikolog untuk

membantu menangani situasi tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa perawat 1 menyadari batas

kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang mungkin

timbul di wisma. Ia menyadari pentingnya melibatkan pihak lain

yang memiliki otoritas atau keahlian yang lebih dalam

menangani konflik atau masalah yang lebih kompleks. Pada

konteks tahap pertukaran afektif, perawat 1 menunjukkan

keterbukaan dalam mengakui bahwa mereka juga memiliki

batasan dan bahwa ia perlu mendapatkan dukungan dari orang

lain dalam menyelesaikan masalah. Ini mencerminkan sikap

kerja sama dan kesediaan untuk mencari solusi yang terbaik

untuk kepentingan lansia dan lingkungan wisma secara

keseluruhan.

Pada tahap ini, perawat berada pada tahap interaksi yang

lebih kasual dan terbuka dengan lansia. Ia menerima tanggung

jawab untuk menyelesaikan masalah, namun juga menyadari

perlunya melibatkan pihak lain yang lebih berkualifikasi jika

diperlukan. Dengan berbagi pengalaman, memberikan nasihat,

dan siap mencari bantuan dari pihak lain, perawat 1


76

menunjukkan keterbukaan, keterlibatan emosional, dan

hubungan yang intim dengan lansia. Hal ini sesuai dengan ciri-

ciri tahap pertukaran afektif dimana individu merasa nyaman

untuk membuka diri dan berinteraksi dengan lebih santai serta

berbagi lebih banyak tentang pengalaman dan perasaan mereka.

Pada tahap ini, individu merasa nyaman dan terbuka

dalam berbagi perasaan dan masalah pribadi dengan orang lain.

Mereka merasa hubungan yang intin dan saling memahami

dengan lawan bicara mereka, sehingga mereka bersedia untuk

menceritakan lebih banyak tentang apa yang mereka alami.

Ungkapan lansia 1 menunjukkan kepercayaan dan

kenyamanan dalam berbagi pengalaman positif dengan perawat

2. Lansia tersebut merasa nyaman untuk membicarakan masalah

masa lalu dan mengungkapkan sisi emosional yang lebih dalam

kepada perawat 2. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka telah

membangun hubungan afektif yang intim.

Disisi lain, ungkapan lansia 2 yang baru saja berada di

panti selama tiga bulan menunjukkan bahwa ia masih dalam

tahap awal pertukaran afektif. Ia belum sepenuhnya merasa

nyaman dan belum membuka diri sepenuhnya untuk berbagi

pengalaman pribadi yang lebih dalam.

Perawat 3 menunjukkan sikap terbuka dan empatik

terhadap lansia dengan mengajukan pertanyaan yang


77

mengundang mereka untuk berbicara. Pendekatan ini

mencerminkan hubungan yang baik antara perawat dan lansia,

dengan komunikasi yang terasa alami dan spontan. Perawat 3

juga menunjukkan pemahaman dan kesadaran akan kebutuhan

emosional lansia, dan ia mengajak mereka untuk berbicara dan

memberikan dukungan dengan mendengarkan perasaan mereka.

Perawat 1 memberikan nasehat kepada lansia yang

mengalami kejutan saat memasuki panti. Ia berperan dalam

membantu lansia memahami bahwa ada perubahan dan

pembatasan dalam rutinitas mereka di panti, dan mengajak

mereka untuk melihat sisi positif dan peluang yang ada. Perawat

1 juga menyadari bahwa konflik dapat terjadi diantara lansia di

panti, dan ia mencoba menyelesaikan masalah tersebut didalam

wisma. Jika ada kesulitan yang tidak dapat diatasi sendiri,

perawat 1 siap mencari bantuan dari pihak lain yang lebih

berkualifikasi, seperti atasannya atau psikolog.

Pada tahap afektif diatas menunjukkan aspek komunikasi

interpersonal yakni aspek keterbukaan yang efektif, dimana

aspek keterbukaan melibatkan individu yang merasa nyaman

dan terbuka untuk berbagi perasaan, pengalaman, dan masalah

pribadi dengan orang lain. Ungkapan lansia 1 menunjukkan

kepercayaan dan kenyamanan dalam berbagi pengalaman

positif dengan perawat 2. Lansia tersebut merasa nyaman


78

membicarakan masalah masa lalu dan mengungkapkan sisi

emosional yang lebih dalam kepada perawat 2. Hal ini

menunjukkan bahwa hubungan afektif yang lebih intim telah

terbentuk antara mereka. Pada sisi lain, ungkapan lansia 2 yang

masih baru di panti menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya

merasa nyaman dan belum siap membuka diri secara penuh

untuk berbagi pengalaman pribadi yang lebih dalam.

Keterbukaan ini penting dalam membangun sebuah kedekatan

hubungan, saling pengertian, dan membangun kepercayaan

antara perawat dan lansia.

Selain aspek keterbukaan, ditemukan juga aspek sikap

mendukung pada tahap ini. Aspek sikap mendukung melibatkan

peran perawat dalam menciptakan lingkungan yang

mendukung, memberikan dukungan emosional, dan memahami

kebutuhan lansia. Dalam ungkapannya, perawat 3 menunjukkan

sifat terbuka dan empatik dengan mengajukan pertanyaan yang

mengundang lansia untuk berbicara. Pendekatan ini

mencerminkan hubungan yang baik antara perawat dan lansia,

dengan komunikasi yang terasa alami dan spontan. Perawat 3

juga memperlihatkan pemahaman dan kesadaran akan

kebutuhan emosional lansia, mengajak mereka untuk berbicara,

dan memberikan dukungan dengan mendengarkan perasaan

mereka.
79

Sementara disisi lain, perawat 1 memberikan nasehat

kepada lansia yang mengalami keterkejutan saat memasuki

panti. Perawat ini berperan dalam membantu lansia memahami

perubahan dan pembatasan yang ada di panti, serta mengajak

mereka melihat sisi positif dan peluang yang ada. Perawat 1 juga

menyadari bahwa konflik dapat terjadi di antara lansia di panti,

dan ia berusaha menyelesaikan masalah tersebut di dalam

wisma. Jika ada kesulitan yang tidak dapat ia atasi sendiri,

perawat 1 siap mencari bantuan dari pihak lain yang lebih

berkualifikasi, seperti atasannya atau psikolog. Sikap

mendukung ini membantu menciptakan lingkungan yang

hangat, perhatian dan peduli, yang memfasilitasi pertukaran

afektif yang efektif antara perawat dan lansia.

Tabel 4.2.3 Sintesa Indikator Tahap Pertukaran Afektif

Teoritis Temuan
Tahap pertukaran afektif, adalah 1. Lansia yang baru saja berada di panti selama
tahapan dimana informasi yang tiga bulan masih dalam tahap penyesuaian
diberikan seseorang memasuki dan belum sepenuhnya merasa nyaman
lapisan tengah, atau interaksi yang untuk berbagi pengalaman pribadi yang lebih
dilakukan semakin kasual. Di dalam. Sebaliknya, lansia yang sudah enam
tahap ini, seseorang akan bulan merasa nyaman dan terbuka untuk
memberikan bebrapa informasi berbagi pengalaman dan perasaan yang lebih
tentang privasi dirinya atau dalam kepada perawat. Perawat 3 mengajak
informasi yang lebih intim. lansia untuk berbicara dan memberikan
Keterbukaan informasi akan lebih dukungan, ia pun menyadari kesulitan lansia
santai dan spontan, dan ditahap dalam mengungkapkan peasaan mereka
inilah seseorang akan sendiri sehingga mengambil inisiatif untuk
mencerminkan tingkat membuka ruang bagi lansia agar mereka
kenyamanan dan tingkat dapat mengeluarkan perasaan mereka.
80

kedekatan yang lebih antara satu 2. Lansia 1 menunjukkan kepercayaan dan


dan lainnya. kenyamanan dalam berbagi pengalaman
positif dengan perawat 2. Lansia tersebut
merasa nyaman membicarakan masalah
De Vito 1997 (dalam Masyhuri, masa lalu dan mengungkapkan sisi
2014) menyebutkan aspek emosional yang lebih dalam kepada perawat
keterbukaan terkait masalah- 2.
masalah umum wajib diperhatikan 3. Pada sisi lain, ungkapan lansia 2 yang masih
agar lawan bicara dapat mengerti baru di panti menunjukkan bahwa ia belum
serta mengetahui pendapat serta sepenuhnya merasa nyaman dan belum siap
gagasan kita, sehingga komunikasi membuka diri secara penuh untuk berbagi
dapat berjalan dengan lancar dan pengalaman pribadi yang lebih dalam.
efektif. 4. Perawat 3 juga memperlihatkan pemahaman
dan kesadaran akan kebutuhan emosional
lansia, mengajak mereka untuk berbicara,
De Vito 1997 (dalam Masyhuri, dan memberikan dukungan dengan
2014) menjelaskan bahwa mendengarkan perasaan mereka.
efektifnya sebuah proses
komunikasi interpersonal bila
didalamnya terdapat perilaku
suportif berupa motivasi, saran dan
ilmu yang dapat membantu
seseorang dalam menghadapi
suatu masalah. Aspek keterbukaan
dan juga aspek empati tidak dapat
terlaksana apabila suasana
komunikasi interpersonal tidak
suportif.

Sumber: (Olahan data primer, 2023)

4. Tahap Pertukaran Stabil

Pada tahap pertukaran stabil sebuah hubungan dikatakan

berkembang dengan bercirikan keterbukaan yang

berkesinambungan dan adanya kesempurnaan kepribadian pada


81

semua lapisan. Peneliti telah melakukan wawancara dengan

perawat 2 selaku perawat lansia yang mengatakan bahwa:

“Ada yang bisa saya mengerti, yang ini misalnya lagi


gamau diganggu, yang ini lagi sakit, yang ini lagi kesal
mungkin, saya bisa melihat gimana raut wajahnya itu.”
(Wawancara dengan perawat 2, 24 Mei 2023)

Pernyataan perawat 2 diatas menggambarkan pentingnya

pemahaman emosional dalam menjalin hubungan dengan

lansia. Perawat 2 menyatakan bahwa ia mampu memahami

kondisi dan kebutuhan lansia dengan melihat ekspresi wajah

mereka. Ia dapat memperhatikan raut wajah yang menunjukkan

bahwa seseorang tidak ingin diganggu, sedang sakit, atau

sedang kesal. Kemampuan tersebut memungkinkan perawat 2

untuk merespons secara tepat terhadap kebutuhan dan keadaan

emosional lansia, sehingga membangun hubungan yang lebih

baik dan saling memahami.

Melalui pengamatan raut wajah, perawat 2 dapat

mengenali perubahan emosi dan kondisi kesehatan lansia,

sehingga dapat mengambil tindakan yang sesuai. Misalnya, jika

lansia terlihat kesal, perawat dapat menghindari mengganggu

mereka dan menunggu hingga suasana hati mereka membaik

sebelum mendekat. Pendekatan seperti ini dapat membantu


82

menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi

lansia.

Pada perawatan lansia, pemahaman emosional dan

keterampilan mengamati ekspresi wajah menjadi penting karena

seringkali lansia mungkin memiliki kesulitan dalam

mengungkapkan perasaan mereka dengan kata-kata. Oleh

karena itu, kemampuan perawat 2 untuk membaca ekspresi

wajah dan merespons secara tepat menjadi elemen penting

dalam membangun hubungan yang berkualitas dengan lansia.

Perawat 2 juga megatakan bahwa:

“Kalo yang lagi kesel atau marah ya saya gamau ganggu


atau dekati dulu. Tunggu sampai mereka senyum baru
saya dekati tunggu moodnya bagus. Takutnya kalo kita
dekati saat moodnya ga bagus nanti kita juga yang kena
nanti.” (Wawancara dengan perawat 2, 24 Mei 2023)

Ungkapan perawat 2 diatas menunjukkan pemahaman dan

kebijaksanaan dalam menangani lansia yang sedang dalam

kondisi marah atau kesal. Perawat tersebut menyatakan bahwa

ia tidak ingin mengganggu atau mendekati lansia yang sedang

dalam suasana hati yang negatif. Ia memilih untuk menunggu

hingga lansia tersenyum atau mood-nya membaik sebelum

mendekatinya. Alasan dibalik pendekatan tersebut adalah takut

bahwa jika ia mendekati lansia saat mood-nya buruk, mereka


83

juga dapat menjadi sasaran kekesalan atau kemarahan lansia

tersebut.

Pendekatan tersebut mencerminkan kepekaan dan

kebijaksanaan dalam menghormati dan menghargai perasaan

lansia. Lansia, seperti halnya individu lainnya, dapat memiliki

perubahan suasana hati yang normal dan bereaksi dengan marah

atau kesal dalam situasi tertentu. Dalam kondisi tersebut,

perawat memilih untuk memberikan ruang bagi lansia untuk

meredakan emosi mereka sendiri sebelum memulai interaksi

lebih lanjut.

Pendekatan ini juga mencerminkan pentingnya

memastikan kenyamanan dan keamanan baik bagi perawat

maupun lansia. Dengan menghormati keadaan emosional lansia,

perawat dapat menciptakan lingkungan yang lebih tenang dan

bebas stres, sehingga membantu mengurangi potensi konflik

atau kebingungan yang mungkin timbul. Hal ini juga

disampaikan oleh perawat 1:

“Iya, tau saya. Dia gasuka apa gitu saya langsung tau, saya
kan udah delapan tahun disini ibaratnya sudah lama
banget kan itu.” (Wawancara dengan perawat 1, 23 Mei
2023)

Ungkapan perawat 1 yang menyatakan bahwa ia dapat

mengerti dan mengetahui preferensi atau keinginan lansia


84

dengan cepat. Ia mengungkapkan bahwa sudah memiliki

pengalaman yang cukup lama dalam pekerjaannya sebagai

perawat lansia yakni selama delapan tahun.

Pernyataan perawat 1 tersebut mencerminkan pentingnya

pengalaman dan pemahaman yang mendalam terhadap lansia.

Seiring dengan bertambahnya pengalaman dalam merawat

lansia, perawat dapat mengembangkan kepekaan yang lebih

tinggi terhadap kebutuhan dan preferensi lansia yang mereka

layani. Hal ini termasuk memahami apa yang disukai atau tidak

disukai oleh lansia serta bagaimana cara terbaik untuk

merespons keinginan dan kebutuhan mereka.

Selain itu, pernyataan tersebut juga menunjukkan

pentingnya keterbukaan dalam hubungan antara perawat dan

lansia. Dengan adanya keterbukaan yang berkesinambungan,

perawat dapat membangun hubungan yang saling percaya

dengan lansia. Lansia merasa nyaman untuk berbagi preferensi

dan kebutuhan mereka, sedangkan perawat siap mendengarkan

dan memberikan perhatian yang sesuai. Perawat 1 juga

menambahkan:

“Jadi kita gamau maksa mbahnya, ketika mbahnya mau


terbuka ya ayo ketika mereka gamau utarakan isi hatinya,
atau malu yasudah gapapa karena kita kan disini gamau
maksa ya.” (Wawancara dengan perawat 1, 23 Mei 2023)
85

Pernyataan lanjutan perawat 1 diatas menunjukkan

pendekatan yang sangat menghargai dan menghormati privasi

serta kenyamanan lansia. Perawat 1 menyadari bahwa tidak

semua lansia merasa nyaman untuk terbuka secara emosional

atau mengungkapkan isi hati mereka. Oleh sebab itu, perawat 1

menekankan bahwa ia tidak akan memaksa atau menekan lansia

untuk berbicara jika mereka tidak mau.

Pendekatan tersebut mencerminkan pemahaman yang

sensitif terhadap kebutuhan dan preferensi individu dalam

perawatan lansia. Melalui pendekatan ini, perawat menciptakan

lingkungan yang mendukung dan menghargai otonomi lansia,

memberi mereka kekuasaan untuk mengendalikan sejauh mana

mereka ingin melibatkan diri dalam percakapan atau berbagi

emosi. Pada tahap pertukaran stabil dimana sebuah hubungan

dikatakan berkembang dengan adanya keterbukaan yang

berkesinambungan dan kesempurnaan kepribadian pada semua

lapiran. Pernyataan perawat 3 dibawah ini yang menyatakan:

“Lebih ke membuktiin melakukan pekerjaan, banyak


membantu, perhatian, menyelesaikan pekerjaan di wisma
ini juga. Lebih ke tindakan sih, berusaha melakukan yang
terbaik.” (Wawancara dengan perawat 3, 30 Mei 2023)

Pernyataan perawat 3 diatas menunjukkan adanya ciri ciri

tahap pertukaran stabil dalam hubungannya dengan lansia.


86

Perawat 3 mengungkapkan bahwa ia lebih fokus pada

membuktikan diri melalui tindakan nyata. Hal ini mencakup

banyak membantu lansia, memberikan perhatian, dan

menyelesaikan pekerjaan di wisma dengan baik. Dalam

menjalin hubungan dengan lansia, perawat 3 berusaha

melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginan lansia.

Keterbukaan yang berkesinambungan terlihat dalam sikap

perawat 3 untuk terus membantu lansia dan memberikan

perhatian secara konsisten. Perawat tersebut juga menunjukkan

adanya kesempurnaan kepribadian pada semua lapiran dengan

berusaha melakukan yang terbaik untuk memenuhi harapan dan

kebutuhan lansia. Oleh sebab itu, perilaku perawat 3 ini

mencerminkan tahap pertukaran stabil yang efektif dicirikan

oleh keterbukaan yang berkelanjutan dan adanya

pengembangan kesempurnaan kepribadian. Namun, pada tahap

pertukaran stabil juga dapat muncul masalah antara perawat dan

lansia, seperti munculnya persepsi. Seperti yang diungkapkan

oleh perawat 3:

“Gak, karena mereka kaya merasa kita lebih muda.


Mereka mengira kita menggurui mereka nanti, mereka
menganggap bahwa mereka harus dihormati gitu kan.”
(Wawancara dengan perawat 3, 30 Mei 2023)
87

Situasi yang diungkapkan perawat 3 diatas, masalah yang

terjadi antara perawat 3 dan lansia terkait persepsi dan

ekspektasi yang berbeda dapat mempengaruhi tahap pertukaran

stabil dalam hubungan mereka. Perawat 3mengatakan bahwa ia

tidak memberikan solusi kepada lansia terkait masalah yang

mereka hadapi. Hal ini disebabkan oleh persepsi lansia bahwa

perawat 3, sebagai perawat yang lebih muda, dianggap

menggurui mereka. Lansia merasa bahwa mereka harus

dihormati dan tidak mengharapkan saran atau solusi dari

perawat yang lebih muda.

Masalah ini dapat menjadi hambatan dalam mencapai

keterbukaan yang berkesinambungan dan kesempurnaan

kepribadian pada semua lapisan, yang merupakan ciri dari tahap

pertukaran stabil. Keterbukaan yang berkesinambungan

mencakup kemampuan untuk berbagi masalah dan harapan

secara terbuka, sedangkan kesempurnaan kepribadian pada

semua lapisan melibatkan saling menghargai dan memahami

peran serta pengalaman masing-masing individu.

Masalah yang terjadi, mengindikasikan adanya

kesenjangan dalam persepsi, harapan, dan pemahaman antara

perawat 3 dan lansia. Untuk mencapai tahap pertukaran stabil

perlu adanya upaya komunikasi yang lebih efektif, membangun

kepercayaan, dan menciptakan lingkungan yang saling


88

mendukung. Perawat 3 dapat mencoba mengatasi persepsi

bahwa mereka menggurui lansia dengan mengadopsi

pendekatan yang lebih empatik, mendengarkan dengan baik,

dan menghormati kebutuhan serta keinginan lansia. Sedangkan

pada sisi lansia 3, ia mengungkapkan bahwa:

“Ya kalo cerita gaada gapernah, gapernah ngomong dia


itu. Asal dimandiin, dikasih makan sudah gitu aja
gapernah cerita”

Ungkapan lansia 3 diatas mengindikasikan adanya

masalah dalam tahap pertukaran stabil. Pada tahap penetrasi

sosial, hubungan diharapkan berkembang dengan keterbukaan

yang berkesinambungan dan adanya keintiman emosional.

Namun, lansia 3 mengungkapkan bahwa pengasuh jarang

menunjukkan minat untuk mendengar cerita atau melibatkan

dirinya dalam percakapan. Lansia merasa bahwa tidak diajak

berbicara atau didengarkan dengan baik, hanya diberikan

perawatan dasar seperti mandi dan makan. Keterbatasan

interaksi tersebut mengindikasikan bahwa hubungan antara

lansia 3 dan perawat belum mencapai tingkat keterbukaan dan

keintiman yang diharapkan pada tahap pertukaran stabil.

Ketidakmampuan untuk berbagi cerita dan pengalaman secara

lebih mendalam dapat menghambat proses saling memahami

dan mengakibatkan kekurangan keintiman dalam hubungan


89

tersebut. Oleh sebab itu, terdapat masalah dalam mencapai tahap

pertukaran stabil yang ideal dalam hubungan antara lansia 3 dan

perawat.

Tahap pertukaran stabil yang telah dipaparkan pada hasil

penelitian diatas, terdapat beberapa ciri-ciri yang

menggambarkan perkembangan hubungan yang baik antara

perawat dan lansia. Ciri-ciri tersebut meliputi keterbukaan yang

berkesinambungan, kesempurnaan kepribadian pada semua

lapiran, pemahaman emosional, pengalaman yang mendalam,

dan pendekatan yang menghargai privasi serta kenyamanan

lansia.

Perawat 2 dalam tahap pertukaran stabil, menunjukkan

pentingnya pemahaman emosional dalam menjalin hubungan

dengan lansia. Ia mampu memahami kondisi dan kebutuhan

lansia melalui pengamatan raut wajah mereka. Kemampuan ini

memungkinkan perawat 2 untuk merespons dengan tepat

terhadap kebutuhan dan keadaan emosional lansia, sehingga

membangun hubungan yang lebih baik dan saling memahami.

Perawat 2 juga menghindari mengganggu atau mendekati lansia

yang sedang kesal atau marah, memberikan ruang bagi mereka

untuk meredakan emosi sendiri sebelum memulai interaksi lebih

lanjut.
90

Selain itu, pemahaman yang mendalam juga menjadi

faktor penting dalam tahap pertukaran stabil. Perawat 1 telah

bekerja sebagai perawat lansia selama delapan tahun, sehingga

memiliki pengalaman yang cukup lama dalam merawat dan

memahami lansia. Pengalaman ini memungkinkan perawat 1

untuk mengembangkan kepekaan yang lebih tinggi terhadap

kebutuhan dan preferensi lansia yang dilayani. Perawat 1

mampu mengenali preferensi atau keinginan lansia dengan

cepat, serta merespons dengan cara yang tepat.

Perawat 1 juga menunjukkan pendekatan yang

menghargai privasi serta kenyamanan lansia. Ia tidak akan

memaksa atau menekan lansia untuk berbicara jika mereka tidak

ingin melakukannya. Pendekatan ini mencerminkan

pemahaman yang sensitif terhadap kebutuhan dan preferensi

individu dalam perawatan lansia. Perawat 1 menciptakan

lingkungan yang mendukung dan menghargai otonomi lansia,

memberi mereka kekuasaan untuk mengendalikan sejauh mana

mereka ingin melibatkan diri dalam percakapan atau berbagi

emosi.

Namun, dalam tahap pertukaran stabil juga dapat muncul

masalah antara perawat dan lansia, seperti masalah persepsi

yang diungkapkan oleh perawat 3. Lansia memiliki persepsi

bahwa perawat yang lebih muda menggurui mereka, sehingga


91

mereka tidak mengharapkan saran atau solusi dari perawat

tersebut. Masalah persepsi seperti ini dapat menjadi hambatan

dalam mencapai keterbukaan yang berkesinambungan dan

kesempurnaan kepribadian pada semua lapisan.

Selain itu, pada tahap pertukaran stabil hubungan antara

perawat dan lansia diharapkan berkembang dengan keterbukaan

yang berkesinambungan dan adanya keintiman emosional.

Namun, pada ungkapan lansia 3, terdapat masalah yang

mengindikasikan adanya kesenjangan dalam aspek komunikasi

interpersonal, khususnya dalam aspek empati dan aspek

keterbukaan.

Aspek empati menjadi penting dalam tahap pertukaran

stabil karena melibatkan kemampuan perawat untuk memahami

dan merespons perasaan dan kebutuhan lansia dengan empati.

Ungkapan lansia 3 menunjukkan bahwa perawat kurang

berminat atau tidak mau mendengarkan dan merespons perasaan

lansia secara lebih mendalam. Kekurangan empati ini dapat

menghambat terbentuknya keintiman emosional yang

diharapkan dalam tahap pertukaran stabil.

Demikian pula sama pentingnya dengan aspek

keterbukaan dalam tahap pertukaran stabil. Keterbukaan

mencakup keinginan dan kemampuan berbagi cerita,

pengalaman, dan perasaan secara terbuka dengan lawan bicara.


92

Ungkapan lansia 3, ia mengungkapkan bahwa perawat hanya

melakukan perawatan dasar seperti mandi dan makan tanpa

menunjukkan minat untuk mendengar ceritanya. Hal ini

menunjukkan kurangnya keterbukaan dalam hubungan tersebut.

Keterbatasan interaksi ini menghambat terjalinnya komunikasi

yang lebih dalam dan saling memahami antara perawat dan

lansia.

Dalam menghadapi masalah ini, penting bagi perawat

untuk meningkatkan aspek empati dan aspek keterbukaan dalam

komunikasi interpersonal dengan lansia. Perawat dapat

mengadopsi pendekatan yang lebih empatik, mendengarkan

dengan baik, dan menunjukkan minat yang lebih besar terhadap

cerita dan perasaan lansia. Dengan cara ini, perawat dapat

membangun kepercayaan dan menciptakan lingkungan yang

saling mendukung, memungkinkan terbentuknya tahap

pertukaran stabil yang diharapkan. Disisi lansia, ia juga perlu

membuka diri lebih banyak dan mengkomunikasikan kebutuhan

dan keinginannya dengan lebih jelas kepada perawat, sehingga

perawat dapat memberikan perhatian yang lebih sesuai.

Selain itu, untuk mengatasi masalah ini dan mencapai

tahap pertukaran stabil yang lebih efektif, perlu dilakukan upaya

komunikasi yang lebih baik antara perawat dan lansia.

Komunikasi yang efektif melibatkan pendekatan yang empatik,


93

penggunaan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti, serta

kesabaran dalam mendengarkan dan merespons kebutuhan

lansia. Selain itu, menghargai perbedaan individual dan

menyediakan ruang untuk lansia berbagi pendapat serta

kekhawatiran mereka juga merupakan langkah penting dalam

memperkuat hubungan perawat-lansia.

Tabel 4.2.4 Sintesa Indikator Tahap Pertukaran Stabil

Teori Temuan
Tahap pertukaran stabil, 1. Pada tahap ini, ditemukan kekurangan
merupakan tahap terakhir keterbukaan, luas, dan mendalamnya
dari teori penetrasi sosial, topik pembicaraan. Ditunjukkan dengan
dengan ditandai oleh lansia yang merasa bahwa perawat jarang
beberapa karakteristik yakni, menunjukkan minat untuk mendengarkan
keterbukaan, luas, dan cerita atau melibatkan dirinya dalam
mendalamnya topik percakapan dan ia juga mengungkapkan
pembicaraan. Informasi bahwa jarang diajak berbicara ataupun
tentang privasi diri akan didengarkan dengan baik oleh perawat.
dilakukan pada tahap ini Disisi lain, perawat mengungkapkan
secara berkelanjutan, dengan adanya persepsi bahwa ia dianggap
ditandai kejujuran dan menggurui lansia karena perawat
keintiman, tingkat dianggap lebih muda
spontanitas yang tinggi, 2. Lansia 3 mengungkapkan bahwa perawat
perilaku, perasaan dan kurang berminat atau tidak mau
pikiran yang terbuka. mendengarkan dan merespons perasaan
lansia secara lebih mendalam.
Menurut De Vito 1997 Kekurangan empati ini dapat
(dalam Masyhuri, 2014) menghambat terbentuknya keintiman
Empati merupakan emosional yang diharapkan dalam tahap
kemampuan masing-masing pertukaran stabil.
pihak untuk dapat merasakan 3. Lansia 3 juga mengungkapkan bahwa
atau menempatkan dirinya perawat hanya melakukan perawatan
berada di posisi orang lain dasar seperti mandi dan makan tanpa
dan dapat memahami apa menunjukkan minat untuk mendengar
yang dirasakan dan dialami ceritanya. Hal ini menunjukkan
orang lain secara intelektual kurangnya keterbukaan dalam hubungan
94

maupun emosional yang tersebut.


meliputi perasaan, sikap,
motivasi serta perilaku orang
lain.

De Vito 1997 (dalam


Masyhuri, 2014)
menyebutkan aspek
keterbukaan terkait masalah-
masalah umum wajib
diperhatikan agar lawan
bicara dapat mengerti serta
mengetahui pendapat serta
gagasan kita, sehingga
komunikasi dapat berjalan
dengan lancar dan efektif.

Sumber: (Olahan data primer,2023)


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti bahas pada bab

sebelumnya, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan penerapan

komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial yang dilakukan oleh

perawat dengan lansia dalam membangun kedekatan di UPTD Panti Sosial

Tresna Werdha Nirwana Puri sebagai berikut:

1. Tahap orientasi yang dilakukan di panti jompo, ditemukan bahwa

perawat dan lansia memberikan informasi umum tentang diri mereka

dan perawat berinteraksi melalui obrolan yang dapat membantu

mereka memahami latar belakang lansia. Pada tahap ini faktor fisik

dan psikologis lansia memiliki dampak, dan perawat memberikan

informasi tentang situasi di panti jompo. Keberhasilan orientasi

tecermin ketika lansia merasa nyaman di panti, sementara tantangan

orientasi tercermin ketika lansia merasa kebingungan dengan kondisi

baru panti jompo.

2. Pada tahap pertukaran penjajakan afektif, ditemukan bahwa interaksi

antara perawat dengan lansia di panti jompo terdapat variasi dalam

tingkap keterbukaan dan kesiapan untuk berbagi cerita dan informasi

bersifat pribadi. Lansia cenderung terbuka jika perawat menciptakan

95
96

lingkungan yang mendukung dan memberikan dukungan emosional

kepada lansia.

3. Pada tahap pertukaran afektif, ditemukan bahwa pengalaman lansia

dalam berbagi cerita dan pengalaman pribadi di panti jompo sangat

dipengaruhi oleh tingkat penyesuaian dan kenyamanan mereka di

lingkungan tersebut. Lansia yang telah berada di panti jompo lebih

lama cenderung lebih terbuka untuk berbicara dan berbagi perasaan

mereka, sementara lansia yang masih baru merasa enggan untuk

membuka diri sepenuhnya kepada perawat.

4. Pada tahap pertukaran stabil, ditemukan kurangnya keterbukaan dan

minat serta respon mendalam dari perawat terhadap cerita dan

perasaan lansia menghambat pembentukan hubungan emosional yang

kuat antara perawat dan lansia.

5.2 Rekomendasi

Berdasarkan seluruh analisis, pembahasan, serta kesimpulan yang telah

peneliti uraikan sebelumnya, maka diajukan rekomendasi yang dapat

dijadikan sebagai masukan serta perbaikan dimasa mendatang, antara lain:

1. Kepada perawat

a. Berlatih skill komunikasi dengan mengedepankan aspek-aspek

komunikasi interpersonal agar kedepannya komunikasi yang terjalin

dengan lansia lebih efektif.

b. Menjadi tempat bagi lansia untuk dapat mencurahkan isi hatinya


97

2. Kepada instansi

a. Sebaiknya dilakukan pelatihan komunikasi yang berkelanjutan bagi

para perawat dalam menghadapi lansia, karena bagaimanapun

perawat lah yang berhadapan langsung dengan lansia.

b. Tahap rekrutmen perawat semakin diperketat dengan

mengedepankan skill komunikasi dari calon perawat. Hal ini

dikarenakan skill komunikasi penting dalam penerapan pelayanan

yang baik.

c. Isi dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan

kontribusi kepada pihak UPTD Panti Sosial Nirwana Puri Samarinda

agar lebih meningkatkan rasa kekeluargaan demi terciptanya

keluarga yang hangat dan harmonis bagi lansia.

3. Kepada peneliti selanjutnya

a. Penelitian ini mengangkat masalah bagaimana komunikasi

interpersonal perawat dengan lansia dalam membangun kedekatan,

peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat berlanjut dengan

permasalahan komunikasi interpersonal lansia dan lansia atau

lainnya sehingga beragam persoalan dapat ditemukan

b. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya

dalam mengangkat permasalahan ditempat lain.


DAFTAR PUSTAKA

Affandi, I. (2008). Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia yang


Menderita. Penyakit Kronis. http//www.imamaffandi.

Badan Pusat Statistik. (2021). [SUPAS2015] Persentase Penduduk Lansia di Kota


Samarinda 2021-2025. Badan Pusat Statistik.
https://samarindakota.bps.go.id

Bollig, George, Roslan, Jan Hendrik, & Heller, Andreas. (2016). How to
implement systematic ethics work in nursing homes. Advances in Medical
Ethics.

Cangara, Hafied. (2019). Pengantar ilmu komunikasi. RajaGrafindo Persada.

Effendi, F & Makhfudli. (2009). Mengenal Usia Lanjut. Salemba Medika.

Forsgren, Emma, Skott, Carola, Hartellius, Lena, & Saldert, Charlotta. (2015).
Communicative barriers and resources in nursing homes from the enrolled
nurses’ perspective: A qualitative interview study. International Journal of
Nursing Studies.

Griffin, Em. (2019). A FIRST LOOK AT COMMUNICATION THEORY 10TH


EDITION. McGraw-Hill Education.

Haq, Faisal. (2017). POLA TIDUR DAN KESEHATAN JASMANI LANSIA (Studi
Deskriptif Pada Lansia di Panti Werdha Usia Surabaya.

Havifi, Ilham. (2014). KOMUNIKASI INTERPERSONAL PERAWAT


DENGAN LANSIA PANTI JOMPO UPT PSTW KHUSNUL KHOTIMAH
DI KOTA PEKANBARU. Jom FISIP Volume 1 No. 2.

Khisholi, A, K. (2016). Proses Penetrasi Sosial Dalam Hubungan Interpersonal


Anak Asuh dengan Pengasuh. Prosiding Interdisciplinary Postgraduate

98
99

Student Conference 1st.

Kusnanto. (2014). Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Professional.


EGC.

Kusuma, R. S. (2017). KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SEBAGAI SOLUSI


KONFLIK PADA HUBUNGAN REMAJA DAN ORANG TUA DI SMK
BATIK 2 SURAKARTA. Warta LPM.

Maryam, Siti. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Salemba Medika.

Masyhuri. (2014). Hubungan Komunikasi Interpersonal dan Budaya Organisasi


dengan Kepuasan Kerja. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat.

Mcmullan, Alicia, Parush, Avi, & Momtahan, Kathryn. (2015). Transferring


patient care: Patterns of synchronous bidisciplinary communication between
physicians and nurses during handoffs in a critical care unit. Journal of
PeriAnesthesia Nursing.

Mela Christanty & Suzy Azeharie. (2017). Studi Komunikasi Interpersonal Antara
Perawat Dengan Lansia Di Panti Lansia Santa Anna Teluk Gong Jakarta.
Jurnal Komunikasi.

Morissan. (2019). Riset Kualitatif. Penada Media.

Mulyana, Deddy. (2010). Pengantar Ilmu Komunikasi. Remaja Rosdakarya.

Mundiharno. (2010). Penduduk lansia: Perlunya perhatian terhadap kondisi lokal


dan peran keluarga.

Nugroho, W. (2012). Keperawatan gerontik & geriatrik, edisi 3 (3 ed.). EGC.

Nurudin. (2017). Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer. RajaGrafindo Persada.

Plt Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sosial RI. (2019).


100

Kementerian Sosial RI. www.kemensos.go.id

Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina Miftahul. (2016). Metode penelitian


kuantitatif: Teori dan aplikasi. RajaGrafindo Persada.

Rahman, Fatur. (2022). Pendekatan Komunikasi Interpersonal pengasuh Terhadap


Lansia di Panti Jompo Maghrifatullah Kecamatan Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara. SKRIPSI.

Roudhonah. (2019). Ilmu Komunikasi. RajaGrafindo Persada.

Saadati, Hemn, Pouryan, Asrin, Shooae, Fateme, & Alkasir, Emad. (2014).
Effectiveness of Gestalt Group Therapy on Loneliness of Woman
Caregivers. Iranian Rehabilitation Jurnal.

Selviyanti, Hairunnisa, & Dwivayani, Kadek Dristiana. (2019). KOMUNIKASI


INTERPERSONAL PERAWAT DAN LANSIA DALAM MEMBERI
DUKUNGAN SOSIAL DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA
NIRWANA PURI SAMARINDA. eJournal Ilmu Komunikasi.

Setiawan, Armadi, Budiatmojo, Eko, Ramadani, Karuniawati Dewi, & Sari,


Nindya Riana. (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia. Badan Pusat
Statistik.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

Suharsimi, Arikunto. (2014). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (14


ed.). Rineka Cipta.

Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Graha Ilmu.

Suryanto. (2017). Pengantar Ilmu Komunikasi. CV. Pustaka Setia.

West, Richard L & Turner, Lynn H. (2019). Introducing Communication Theory:


Analysis and Application. McGraw-Hill Education.
LAMPIRAN

101

Anda mungkin juga menyukai