Anda di halaman 1dari 13

Mirna Shofa Hesti¹, Mohammad Ikhsan², Muhammad Rudy Alamsyah³

Dosen Pembimbing: Syahrul Munir, S.Pd., M.Pd.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang

Abstrac

The interest rate is a certain percentage that describes the costs paid for borrowing money
within a certain period given by the bank. The applied interest rate will affect the level of the
CPI (Consumer Price Index) as an indicator of the inflation rate. High inflation indicates that the
nominal interest rate is also large, and vice versa. This article is intended to analyze and
describe the relationship between interest rates and inflation during recession. The data
collection process is carried out using a qualitative literature approach which is obtained from
statistical data from the OJK, BPS and collects various information related to the effects of
interest rates and inflation. Based on the results of the study, it is evident that the interest rate
and inflation have a mutually influencing relationship. As well as various ways carried out for
economic recovery due to recession.
Keywords: interest rate, inflation, economic recovery

Abstrak

Tingkat suku bunga merupakan persentase tertentu yang mendeskripsikan beban biaya
yang dibayarkan untuk pinjaman uang dalam kurun waktu tertentu yang diberikan oleh pihak
bank. Suku bunga yang diberlakukan akan mempengaruhi tingkat IHK (Indeks Harga
Konsumen) sebagai indikator tingkat inflasi. Inflasi tinggi menandakan bahwa suku bunga
nominal juga besar, begitupun sebaliknya. Artikel ini dimaksudkan untuk menganalisis dan
memaparkan hubungan tingkat suku bunga dengan inflasi dimasa resesi. Proses pengumpulan
data dilakukan dengan pendekatan literatur kualitatif yang didapat dari data statistik OJK, BPS
dan mengumpulkan berbagai informasi terkait pengaruh dari tingkat suku bunga dan inflasi.
Berdasarkan hasil pengkajian membuktikan bahwa tingkat suku bunga dengan inflasi
mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Serta berbagai cara dilakukan untuk pemulihan
ekonomi akibat resesi.

Kata Kunci: suku bunga, inflasi, pemulihan ekonomi

Pada sektor perbankan sering ditemukan istilah suku bunga yang merupakan persentase
tertentu yang menyatakan beban biaya dalam rangka peminjaman uang untuk jangka waktu
tertentu (Bank Indonesia, 2013). Dalam hal ini, suku bunga yang juga dijadikan indikator
kebijakan moneter pemerintahan Indonesia bahkan diberbagai negara, dewasa ini telah
menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan ekonomi di suatu negara. Pasalnya
dalam rekam jejak sistem keuangan yang menggunakan bunga telah banyak menuai krisis
ekonomi. Ini membuktikan bahwa ada kelemahan dalam sistem keuangan konvensional atau
bisa disebut dengan sistem ekonomi kapitalis disamping kelebihan sistem ini yang digunakan
sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi secara global. Kelemahan utama dari sistem kapitalis
ialah menjadikan uang sebagai komoditi dan alat spekulasi dalam perekonomian (Amir, 2013).
Karena uang sebagai komoditi, maka nilai uang tidak lagi sesuai dengan nilai riilnya. Inilah
penyebab akan nilai uang yang selalu merosot terhadap barang apabila ditinjau dari fakta yang
sudah terjadi di negara kita.

Selain itu, tingkat suku bunga sangat besar pengaruhnya terhadap inflasi. Menurut
penelitian Amir (2013), dalam teori kuantitas dinyatakan bahwa kenaikan pada pertumbuhan
uang sebesar 1 persen akan menaikan tingkat inflasi sebesar 1 persen dan menyebabkan
meningkatnya suku bunga nominal sebesar 1 persen. Dari fakta tersebut jelas bahwa suku bunga
dan inflasi memiliki hubungan yang positif. Dalam hal ini, apakah inflasi baik atau tidak, karena
jelas inflasi menurunkan daya beli uang yang telah diperoleh dengan usaha yang tidak mudah.
Saat harga naik, setiap unit pendapatan hanya mampu membeli barang atau jasa dengan
kuantitas yang lebih sedikit. Jadi, tampak bahwa inflasi secara langsung menurunkan daya
hidup apalagi dikala inflasi yang terjadi di kuartal II dan kuartal III tahun 2020. Tetapi,
pemikiran yang seperti ini juga tidak dapat dipastikan. Karena ketika harga naik, para pembeli
barang atau jasa membayar lebih banyak untuk barang dan jasa yang akan dikonsumsi. Namun,
pada saat yang sama, para penjual barang dan jasa akan memperoleh uang yang banyak untuk
barang dan jasa yang mereka jual. Bisa dipahami bahwa inflasi pendapatan berjalan seiring
dengan inflasi harga. Jadi, inflasi sendiri tidak mengurangi daya beli riil masyarakat (Mankiw,
2014).

Melihat kondisi perkonomian saat ini karena efek pandemi Covid-19, yang menyebabkan
kepanikan pasar dan resesi ekonomi global. Maka pemerintah perlu mengambil tindakan
sebagai jalan untuk mengatasi masalah tersebut. Seperti yang sudah dipaparkan oleh gubernur
Bank Indonesia Dr. Perry Warjiyo, bahwa Bank Indonesia telah mengambil kebijakan sebagai
langkah awal untuk memitigasi dampak dari Covid-19 yaitu salah satu baurannya ialah
menurunkan suku bunga. Dalam hal ini penulis mengambil tema hubungan tingkat suku bunga
dengan inflasi dikala resesi dan usahanya dalam memulihkan kesehatan ekonomi. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan para pembaca dalam memperoleh informasi mengenai keterkaitan
suku bunga dengan tingkat inflasi, dampak yang disebabkan, serta kebijakan pemerintah dalam
rangka pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

KAJIAN TEORI

Keterkaitan Suku Bunga terhadap Kesehatan Ekonomi

Suku bunga merupakan salah satu variabel dalam perekonomian yang terus-menerus
diamati secara cermat dikarenakan dampaknya yang luas dan mempengaruhi langsung dalam
kehidupan masyarakat dikesehariannya serta mempunyai dampak penting terhadap kesehatan
ekonomi. Turunnya tingkat suku bunga kredit akan meningkatkan minat masyarakat untuk
melakukan kredit, karena biaya yang dibayar masyarakat relatif lebih rendah. Sedangkan,
turunnya tingkat suku bunga simpanan akan mengurangi minat masyarakat untuk menabung di
bank, karena bunga atau pendapatan dari tabungan yang didapatkan nasabah lebih kecil. Selain
itu, jika tingkat suku bunga kredit naik, ini menyebabkan menurunnya minat masyarakat untuk
meminjam dikarenakan biaya yang harus dibayar jauh lebih tinggi. Bersamaan dengan itu,
ketika tingkat suku bunga simpanan juga naik akan berdampak pada meningkatnya minat
masyarakat untuk menabung di bank, karena bunga atau pendapatan dari tabungan yang
didapatkan jauh lebih besar (Saputra, 2019).

Keterkaitan Inflasi terhadap Kesehatan Ekonomi

Inflasi yang cenderung fluktuatif dapat mempengaruhi kegiatan bank dan perilaku
masyarakat. Naiknya inflasi akan mendorong masyarakat untuk mengurangi saving atau
investasi dan lebih memilih untuk konsumtif, menghabiskan pendapatannya untuk membeli
barang atau jasa yang dibutuhkan, maka aset bank secara riil akan turun (Saputra, 2019).

Dampak dari Usaha Pemulihan Kesehatan Ekonomi

Ekonomi dikatakan sehat apabila mengalami perubahan ekonomi yang positif. Ekonomi
yang sehat juga disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Maknanya terjadi perubahan tingkat
ekonomi secara positif dengan operasional yang normal. Hal itu, bisa diukur dengan 3 variabel
utama dalam perekonomian secara makro, yaitu produk domestik bruto, tingkat inflasi dan
tingkat pengangguran (Mankiw, 2014). Adapun indikator lain untuk menganalisis pertumbuhan
ekonomi ialah tingkat pendapatan atau upah, nilai tukar mata uang, tingkat suku bunga,
corporate profits, neraca perdagangan, harga komoditi dalam USD.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini ialah menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif, dengan analisis telaah yang bersumber dari buku, jurnal ilmiah serta data
dari Bank Indonesia, BPS maupun OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang terkait tentang hubungan
tingkat suku bunga dengan inflasi dikala resesi serta usaha pemerintah dalam rangka
memulihkan kesehatan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Suku Bunga

Tingkat suku bunga merupakan persentase dana yang dipinjam dari pihak luar atau
tingkat keuntungan yang didapatkan oleh penabung di bank atau tingkat beban biaya yang
dikeluarkan oleh investor yang mengalokasikan dananya ke dalam instrumen saham (Miskhin,
2017). Bunga juga dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah
yang membeli atau menjual produk-produk perbankan sesuai prinsip konvensional. Bisa disebut
pula sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah yang memiliki simpanan dengan yang
harus dibayar oleh nasabah yang memperoleh kredit atau pinjaman (Kasmir, 2002).

Suku bunga dewasa ini mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap keputusan
pribadi seperti individu apakah akan memilih untuk menabung atau berbelanja, membeli rumah,
membeli obligasi atau menyimpan uang di rekening tabungan. Suku bunga juga mempengaruhi
keputusan ekonomi di sektor perusahaan maupun rumah tangga, seperti apakah akan
menggunakan uang untuk investasi yang berupa instrumen pasar modal, pasar keuangan,
investasi dalam bentuk peralatan baru untuk pabrik atau menabung uang dan bukan untuk
berbelanja. Dari keputusan-keputusan ekonomi yang diambil akan menghasilkan kesesuaian
dengan jumlah peredaran uang di pasar barang yang mempengaruhi inflasi.

Tingkat bunga bisa diartikan sebagai biaya opportunitas dari memegang uang yang tidak
menghasilkan bunga. Ketika bunga meningkat masyarakat cenderung ingin memegang lebih
sedikit uang dan mengalokasikan uangnya ke tabungan bank. Masyarakat yang surplus dana
biasanya berusaha mengubah sebagian dananya seperti tabungan deposito, obligasi, saham dan
instrumen lainnya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga yaitu sebagai berikut:

 Menurut pandangan klasik, tingkat suku bunga dipengaruhi oleh permintaan atas tabungan
oleh para investor dan penawaran atas tabungan oleh rumah tangga.

 Dalam pandangan Keynes, tingkat bunga dipengaruhi oleh jumlah uang riil yang beredar dan
preferensi likuiditas atau permintaan akan uang.
Selain itu, menurut Kasmir (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi besar-kecilnya
penetapan suku bunga adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan dana

Ketika bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman meningkat, maka


tindakan yang diambil oleh bank agar dana tersebut segera terpenuhi ialah dengan
meningkatkan suku bunga simpanan. Peningkatan dari bunga simpanan secara bersamaan
juga meningkatkan suku bunga pinjaman. Namun apabila dana yang simpan lebih banyak
dibanding permohonan simpanan, maka bunga simpanan akan turun.

2. Persaingan

Disamping melakukan promosi pada produk perbankan, ada hal yang perlu
diperhatikan yaitu para pesaing perusahaan serupa.

3. Kebijakan pemerintah

Bunga pinjaman maupun bunga simpanan perbankan tidak boleh melebihi atau terlalu
rendah dari suku bunga yang sudah ditetapkan pemerintah.

4. Target laba yang diinginkan

Perbankan cenderung menaikkan suku bunga apabila menginginkan laba yang lebih.

5. Jangka waktu

Semakin panjang jangka waktu pinjaman kreditnya, maka semakin besar pula bunga
yang dibebankan. Hal ditentukan sebab risiko kredit yang kemungkinan terjadi. Demikian
sebaliknya, jika pinjaman berjangka pendek bunga yang dibebankan relative lebih kecil.

6. Kualitas jaminan

Semakin liquid jaminan yang diberikan, maka semakin rendah bunga pinjaman kredit
yang dibebankan dan begitu pula sebaliknya.

7. Reputasi perusahaan

Bonafiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat menentukan bunga
yang akan dibebankan.

8. Produk yang kompetitif

Maksudnya produk yang dibiayai tersebut laku laris dipasaran.


9. Hubungan baik

Dalam hal pemberian kredit, Bank menggolongkan nasabah kredit dengan nasabah
utama dan nasabah biasa. Nasabah utama biasanya mempunyai hubungan yang baik
dengan pihak perbankan, sehingga dalam menentukan bunga yang dibebankan akan
berbeda dengan nasabah biasa.

10. Jaminan pihak ketiga

Apabila pihak yang memberikan jaminan atau meminta pinjaman tergolong


perusahaan bonafid, baik dari segi kemampuan membayar kewajiban, nama baik maupun
loyalitasnya dengan bank, maka bunga yang dibebanka akan berbeda.

Para ekonom membagi jenis suku bunga yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil.
Suku bunga nominal adalah tingkat (rate) yang dapat diamati di pasar. Sedangkan suku bunga
riil adalah konsep yang mengukur tingkat pengembalian kredit setelah dikurangi inflasi
(Melvin, dalam R. Laksmono, 2000). Dari hal tersebut, diketahui bahwa ada hubungan saling
mempengaruhi antara suku bunga dengan inflasi.

Inflasi

Inflasi merupakan kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara keseluruhan (Mankiw,
2014). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), inflasi adalah kecenderungan naiknya harga
barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung secara terus-menerus. Jika harga barang dan
jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan
jasa tersebut akan berdampak pada menurunnya nilai uang. Dengan demikian, juga disebut
sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Indikator penting
yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah IHK (Indeks Harga Konsumen).
Perubahan IHK dari waktu ke waktu mendeskripsikan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat
penurunan (deflasi) dari harga barang dan jasa. Mulai Januari 2020, pengukuran inflasi di
Indonesia menggunakan IHK tahun dasar 2018=100 dengan didasarkan pada pola konsumsi
masyarakat, yang sebelumnya menggunakan IHK tahun dasar 2012=100. Perubahan tersebut
diberlakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh BPS selama tahun
2018, sebagai salah satu bahan dasar utama perhitungan IHK.

Dalam mencari atau pencacahan data Statistik Harga Konsumen, BPS melakukan
tugasnya dengan metode wawancara langsung dari 3 atau 4 pedagang eceran yang didatangi
oleh petugas pengumpul data dan mengunduh atau scraping di situs dengan tujuan untuk
memperoleh data harga dari masing-masing komoditas. Pencarian data tersebut dilakukan di
pasar tradisional, pasar modern, outlet dan situs resmi di setiap kota. Dari hasil pencacahan yang
diperoleh, data tersebut lalu diinput oleh masing-masing daerah dengan aplikasi berbasisi web.

Pada bulan Oktober 2020, terjadi inflasi 0,07 persen dengan Indeks Harga Konsumen
(IHK) sebesar 104,92. Dari 90 kota yang tercatat, 66 kota mengalami inflasi dan 24 kota
mengalami deflasi. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya
sebagian besar indeks kelompok pengeluaran (belanja rumah tangga dan pemerintah).

Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik)

Tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Oktober) 2020 sebesar 0,95% dan tingkat inflasi
dari tahun ke tahun peiode 2019-2020 (Oktober 2020 terhadap Oktober 2019) sebesar 1,44%.

Dari pemaparan diatas, dapat dipahami bahwa inflasi erat kaitannya dengan IHK dan itu
juga dipengaruhi oleh perilaku rumah tangga produksi maupun konsumen dalam
membelanjakan hartanya yang dikendalikan oleh tingkat suku bunga yang berlaku. Dengan
asumsi, apabila suku bunga turun sehingga menimbulkan keinginan masyarakat untuk menarik
tabungan mereka dan membelanjakan uang yang dimiliki. Hal ini akan berdampak pada
perubahan IHK yang semakin meningkat dan mempengaruhi tingkat inflasi yang semakin naik
dikarenakan banyaknya uang yang beredar.
Resesi

Resesi bisa terjadi apabila kenaikan inflasi dua kali periode atau ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi secara negatif yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut (Kemenkeu,
2020). Resesi ekonomi dalam lingkup makroekonomi sering disebut dengan kemerosotan,
artinya GDP suatu negara atau Produk Domestik Bruto mengalami penurunan selama dua
kuartal lebih, atau di dalam satu tahun. Resesi ini juga bisa menyebabkan menurunnya semua
kegiatan ekonomi secara simultan, contohnya lapangan kerja yang berkurang, kemerosotan
investasi, dan keuntungan perusahaan yang negatif. Apabila resesi berjalan dengan jangka
waktu yang cukup lama, maka itu dinamakan dengan depresi ekonomi. Penurunan drastis dalam
tingkat ekonomi sering kali disebabkan oleh depresi yang parah atau bisa disebut dengan
hiperinflasi (Case & Fair, 2007).

Ekonomi Indonesia dan ekonomi global sempat terguncang akibat pandemi Covid-19.
Hal ini membawa dampak yang signifikan terhadap perekonomian, diawali dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Q2 (kuartal 2) yaitu dibawah 5% atau lebih tepatnya -
5,3%. Bahkan, di Q3 (kuartal 3) ekspektasi pertumbuhan ekonomi antara -2,9% hingga -1%,
maknanya waktu perlambatan ekonomi sudah berkepanjangan dan inilah yang disebut dengan
resesi. Dampak yang bisa ditimbulkan dari resesi ini bisa berupa jumlah pengangguran yang
meningkat karena belum beradaptasi dengan kondisi tersebut, bersamaan dengan itu pekerjaan
baru akan terus bermunculan dan menggantikan jenis pekerjaan lama. Pasar barang juga akan
terkena dampaknya karena masyarakat cenderung berhemat untuk membeli barang sekunder
dan tersier, hanya fokus pada barang kebutuhan pokok dan kesehatan. Orang yang surplus dana
cenderung lebih survive selain karena aset masih mencukupi mereka juga lebih cepat
beradaptasi untuk meraih keuntungan dengan bisnis online misalnya. Sementara masyarakat
kelas menengah juga bisa memanfaatkan jejaring media online untuk berbisnis, tetapi tidak
semua bisa melakukan WFH (Work From Home) karena kurangnya fasilitas yang mereka miliki
dan disaat bersamaan tingkat pendapatanpun menurun seiring dengan menurunnya tingkat
konsumsi masyarakat.

Pemulihan Kesehatan Ekonomi

Perekonomian suatu negara dikatakan sehat, apabila mengalami pertumbuhan ekonomi


secara positif (mengalami peningkatan dari tahun ke tahun secara signifikan meskipun tidak
terlalu besar). Tingkat PDB riil merupakan suatu indikator dalam mengukur kesejahteraan
ekonomi dan pertumbuhan PDB riil. Karena secara ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB)
menunjukkan nilai pendapatan agregat (keseluruhan) yang diperoleh dalam kegiatan ekonomi
dan pengeluaran agregat dalam produksi barang dan jasa ekonomi (Mankiw, 2014).
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah menyebabkan penurunan ekonomi
dan perubahan aktivitas di berbagai sektor selain ekonomi di wilayah Indonesia khususnya.
Walaupun economic shock yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah mengubah standar
kehidupan masyarakat yang seperti biasanya, perekonomian berangsur mereda seiring stabilnya
pasar keuangan domestik dan menggeliatnya beberapa sektor perekonomian di Indonesia. Akan
tetapi ketika mengingat sifat dari virus tersebut yang sangat berpengaruh negatif, baik dari sisi
penawaran maupun permintaan barang dan jasa, upaya pemulihan yang dilakukan pemerintah
Indonesia masih memerlukan banyak waktu. Pada waktu yang sama, pandemi Covid-19 juga
belum memperlihatkan tanda-tanda berakhir seiring dengan masih adanya tren kasus dan
kematian terkonfirmasi. Di satu sisi, tuntutan untuk memulai kembali berbagai aktivitas sosial
dan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin menguat ditandai dengan
dilonggarkannya pembatasan sosial di berbagai daerah. Di lain sisi, sarana dan prasarana
kesehatan publik yang belum terlalu memadai. Sehingga cukup berisiko apabila ingin
menggerakan kembali roda aktivitas sosial dan ekonomi secara normal. Dengan berbagai
keterbatasan ini, tatanan hidup baru yang disebut new normal menjadi suatu keharusan. New
normal juga merupakan sebuah kesempatan untuk menciptakan inovasi dan kreatifitas setiap
individu atau rumah tangga dari memanfaatkan kondisi saat ini sebagai sarana pendukung
penguatan ekonomi kembali, asalkan diiringi dengan penyusunan prioritas yang baik dan
transparan serta sinkronisasi dan koordinasi dengan kebijakan yang tepat.

Sebagai lembaga yang mempunyai otoritas lebih dalam mengatur negara, pemerintah
membuat kebijakan dalam rangka penanganan Covid-19. Kebijakan tersebut dibuat dalam
bentuk kelembagaan. Lembaga tersebut telah resmi ada dan mulai beroperasi sejak
diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Komite
ini berada di bawah kepemimpinan Presiden. Beberapa sector yang bertugas dalam Komite
Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional adalah sebagai berikut:

a) Komite Kebijakan

b) Satuan Tugas Penanganan Covid-19

c) Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional.

Adapun tugas komite ini sebagaimana tertuang dalam Pepres 82 Tahun 2020 ini yaitu:

a) Membuat rekomendasi kebijakan strategis kepada Presiden dalam rangka percepatan


penanganan Covid-19, pemulihan perekonomian dan transformasi ekonomi nasional.
b) Mengintegrasikan dan menetapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan strategis
dan inovasi baru yang diperlukan untuk percepatan penaganan Covid-19 serta
pemulihan perekonomian dan transformasi ekonomi nasional

c) Melakukan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan strategis dalam rangka


percepatan penanganan Covid-19 serta pemulihan kesehatan ekonomi dan ransformasi
ekonomi nasional.

Berdasarkan tugas-tugas komite yang sudah disebutkan, terlihat bahwa komite ini mampu
menangani dampak dari penyebaran Covid-19 dan juga pemulihan ekonomi. Pemulihan
ekonomi tentu berkaitan erat dengan berbagai sektor dalam hal ini ialah perusahaan dan tenaga
kerja.

Pemulihan ekonomi nasional dilakukan dengan mengambil kebijakan fiskal dan moneter
yang komprehensif. Di samping itu, pemerintah juga telah mengalokasikan dana APBN sebesar
Rp 695,2 triliun untuk pemulihan ekonomi. Pemulihan ekonomi nasional yang diharapkan mulai
terasa di triwulan III. Selanjutnya triwulan IV, diharapkan ekonomi bertumbuh positif agar
kontraksi tahun 2020 bisa ditekan sekecil mungkin. Sementara itu, di tahun 2021 diharapkan
ekonomi nasional mengalami recovery economic yang signifikan.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, terdapat tiga kebijakan yang dapat dilakukan yaitu:

1. Peningkatan konsumsi dalam negeri

2. Peningkatan aktivitas dunia usaha serta menjaga stabilitasi ekonomi

3. Ekspansi moneter

Kebijakan tersebut dilaksanakan haruslah dilaksanakan dengan kerjasama yang kuat


antara pemegang kebijakan fiskal, pemegang kebijakan moneter dan institusi terkait.

Salah satu penggerak ekonomi nasional yang sangat penting adalah konsumsi dalam
negeri, semakin banyak konsumsi dalam negeri maka ekonomi akan bergerak khususnya
Pendapatan Domestik Bruto akan meningkat. Maka dari itu, pemerintah telah mengeluarkan
dana sebesar Rp 172,1 triliun untuk mendorong konsumsi atau kemampuan daya beli
masyarakat. Dana tersebut disalurkan melalui BLT (Bantuan Langsung Tunai), Kartu Pra Kerja,
PKH (Program Keluarga Sejahtera), pembebasan listrik dan lain-lain. Pemerintah juga
menghimbau lembaga pemerintahan daerah untuk meningkatkan konsumsi lembaga melalui
percepatan realisasi APBN atau APBD. Konsumsi juga diarahkan untuk produk dalam negeri
agar memberikan multiplier effects yang cukup signifikan.
Dalam rangka mendukung usaha pemulihan ekonomi nasional, Bank Indonesia
melakukan beberapa usaha sebagai berikut:

1) Menjaga stabilitasi nilai tukar rupiah

2) Menurunkan suku bunga

3) Melakukan pembelian Surat Berharga Negara

4) Stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Adapun tujuan menurunkan suku bunga ialah meningkatkan likuiditas keuangan untuk
mendorong aktivitas dunia usaha.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan


bahwa tingkat suku bunga mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi dengan tingkat
inflasi. Karena naik turunnya suku bunga akan mempengaruhi perilaku rumah tangga dalam
membelanjakan hartanya, apakah itu untuk disimpan di bank, investasi, atau digunakan untuk
membeli kebutuhan hidup seperti. Dalam hal ini, akan terukur melalui IHK (Indeks Harga
Konsumen) yang menggambarkan tingkat inflasi. Tingkat inflasi juga akan mempengaruhi suku
bunga riil.

Mengingat kondisi perekonomian saat ini, yang disebabkan pandemic Covid-19 beberapa
sektor ekonomi negara mengalami guncangan yang cukup serius. Pendapatan negara menjadi
turun, banyak tenaga kerja yang menganggur, hilangnya pekerjaan lama dan digantikan dengan
jenis pekerjaan baru, tingkat konsumsi yang rendah, problematika di dunia pendidikan dan
naiknya harga barang dan jasa secara signifikan. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia
mengalami resesi yang terjadi pada kuartal II dan kuartal III tahun 2020. Untuk itu pemerintah
berupaya untuk menangani dampak Covid-19 ini dengan memberlakukan beberapa kebijakan,
yang salah satunya adalah menurunkan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
tujuan agar meningkatkan likuiditas keuangan dan mendorong aktivitas investasi.

REFERENSI

Mankiw, N. Gregory, Euston Quah, & Peter Wilson. 2014. Pengantar Ekonomi Makro Edisi
Asia-Volume 2. Jakarta: Salemba Empat.

Miskhin, Frederic S. 2017. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan Edisi 11-Buku 1.
Jakarta: Salemba Empat.
Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi 6. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Case, Karl. Dan Ray. C Fair. 2007. Prinsip-prinsip Ekonomi Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.

Saputra, R.M., Rizali, & Ryan J.A. 2019. Dampak Tingkat Suku Bunga Kredit, Inflasi dan
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Jumlah Kredit Bank Umum Swasta Nasional yang
Disalurkan di Indonesia. Jurnal Ecoplan, 2(1), 33ˉ 44. Dari:
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&as_ylo=2019&q=dampak++ti
ngkata+suku+bunga+kredit&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DNBNCD7wvJVMJ

Amir, Amri. 2013. Redenominasi Uang dan Sistem Keuangan. Jurnal Perspektif Pembiayaan
dan Pembangunan Daerah, 1(2), 91ˉ 96. DOI: https://doi.org/10.22437/ppd.v1i2.1498

Sarif, Noman. 2020. Dampak Komite Penanganan Covid-19 dan Ekonomi Nasional Terhadap
Berbagai Regulasi. LawArXiv, Agustus 10. DOI: 10.31228/osf.io/5h9jd

Modjo, M. Ikhsan. 2020. Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi Pasca Pandemi. The Indonesian
Journal of Development Planning, 4(2), 103ˉ 116. Dari
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&as_ylo=2019&&q=upaya+pe
mullihan+ekonomi&oq=pemulihan+ekonomi+indonesia#d=gs_qabs&u=%23p%3Dw2PZ
iluNS0gj

Tammu, R. Gusnawati. 2020. Pengaruh Inflasi dan Suku Bunga Bank Indonesia Terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Periode 2014-2018. JEMMA (Journal of
Economic, Management, and Accounting, 3(1), 62ˉ 66. DOI:
http://dx.doi.org/10.35914/jemma.v3i1.343

Wibowo, A, Anindya P. P., Mulyati, & Dyah R. U. 2020. Penyuluhan Wirausaha Berbasis
Teknologi untuk Pemulihan Ekonomi Masyarakat Terdampak Covid-19 di Masa New
Normal. E-DIMAS: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 11(3), 357ˉ 365. Dari
http://journal.upgris.ac.id/index.php/e-dimas

Muhyidin. 2020. Covid-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia. The
Indonesian Journal of Development Planning, 4(2), 240ˉ 252. Dari:
https://journal.bappenas.go.id/index.php/jpp/article/view/188

Badan Pusat Statistik. 2020. Berita Resmi Statistik: Perkembangan Indeks Harga Konsumen/
Inflasi No. 80/11/Th.XXIII. Diunduh resmi dari:
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/11/02/1664/inflasi-terjadi-pada-oktober-2020-
sebesar-0-07-persen--inflasi-tertinggi-terjadi-di-sibolga-sebesar-1-04-persen-.html

Badan Pusat Statistik. 2020. Informasi Terkait Inflasi. Tersedia online:


https://www.bps.go.id/subject/3/inflasi.html#:~:tekt=inflasi%20adalah%20kecenderunga
n%20naiknya%20harga,tersebut%20menyebabkan%20turunnya%20nilai%20uang

Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2020. Ancaman Resesi Tak Dapat Dihindari, 92%
Negara di Dunia Mengalaminya. Tersedia online:
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ancaman-resesi-tak-dapat-dihindari-92-
negara-di-dunia-mengalaminya/

Kompas.com. 2020. Indonesia Resmi Resesi, Ini Dampak yang Akan Dirasakan Masyarakat.
[Daring] Tersedia online:
https://amp.kompas.com/money/read/2020/11/05/140419526/indonesia-resmi-resesi-ini-
dampak-yang-akan-dirasakan-masyarakat

Anda mungkin juga menyukai