Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan konstituen


tubuh untuk menghasilkan efek terapi. Farmakodinamik adalah ilmu yang
mempelajari cara kerja obat, efek obat terhadap faal tubuh dan perubahan biokimia
tubuh. Sedangkan farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari cara pemberian
obat, perubahan yang dialami obat di dalam tubuh dan cara obat dikeluarkan dari
tubuh. Farmakokinetik mencakup empat proses yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Absorpsi merupakan proses masuknya obat
dari tempat pemberian ke dalam darah. Distribusi adalah proses obat dihantarkan dari
sirkulasi sistemik ke jaringan dan cairan tubuh. Metabolisme adalah proses tubuh
merubah komposisi obat sehingga menjadi dapat dibuang keluar tubuh. Ekskresi
adalah proses eliminasi obat dari tubuh.1,2
Farmakokinetik obat mata merupakan salah satu tantangan yang dihadapi di
dunia oftalmologi dan farmakologi. Anatomi mata yang unik, disertai fisiologi dan
biokimia yang kompleks menjadikan mata sebagai organ yang terlindung dari
berbagai gangguan baik eksogen maupun endogen. Tantangan terbesar dalam proses
penghantaran obat pada mata ialah kemampuan obat dalam menembus barrier darah-
mata (blood-ocular barrier) tanpa meyebabkan efek toksik pada mata. 3,4,5
Proses penghantaran agen terapeutik ke retina merupakan suatu tantangan
berat karena terdapatnya barrier pada retinal pigment epithelium (RPE) dan lapisan
endotel di bagian dalam pembuluh darah retina. Sementara itu, penghantaran obat ke
segmen anterior juga tidak luput dari perhatian karena lebih dari 90% obat tetes mata
yang diberikan akan terbuang melalui duktus nasolakrimal. Untuk mencapai
konsentrasi terapeutik pada segmen anterior, maka obat harus melewati barrier di
segmen anterior seperti epitel kornea dan konjungtiva.4,6,7
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai anatomi mata secara umum, rute
pemberian obat mata dan farmakokinetik obat mata topikal.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA

2.1 Tear Film


Tear film melapisi permukaan kornea dan merupakan bagian dari sistem
optik mata. Tear film terdiri dari tiga lapis: lapisan lipid, lapisan aqueous, dan lapisan
musin. Lapisan lipid merupakan lapisan paling luar, diproduksi oleh kelenjar
meibom, dan berfungsi untuk mencegah evaporasi air mata yang cepat. Lapisan
tengah berupa lapisan air yang diproduksi oleh kelenjar air mata. Fungsi utamanya
ialah menyuplai oksigen pada daerah-daerah avaskular seperti kornea dan lensa.
Sedangkan lapisan paling dalam merupakan lapisan musin, yang diproduksi oleh sel-
sel goblet di konjungtiva. 8,9,10
Volume normal air mata adalah 8-10 µl, termasuk cairan yang terdapat
dalam lipatan-lipatan konjungtiva. Volume maksimal air mata ialah sebesar 30 µl.
Jika diberikan obat tetes mata di atas volume maksimal maka sisanya akan dibuang
melalui duktus nasolakrimalis. Oleh karena itu, menambah volume obat tetes mata
tidak akan meningkatkan penyerapan obat di kornea.8,9,10
2.2 Kornea
Kornea merupakan jaringan optik transparan yang membiaskan cahaya ke
bagian posterior mata dan meliputi seperenam permukaan bola mata. Kornea
merupakan jaringan avaskular yang menerima nutrisi dari air mata dan aqueous
humor. Kornea dianggap sebagai jalur utama untuk penetrasi obat ke dalam anterior
chamber. Tebal kornea hampir 0,5 mm, dan semakin ke tepi semakin tebal (0,7 mm
di perifer. Kornea terdiri atas lima lapis, yaitu:11,12,13,14
2.2.1 Epitel
Epitel kornea terdiri atas 5-6 lapisan sel di bagian sentral dan 8-10 lapisan
sel di daerah lateral. Ketebalan total sekitar 50-100 µm dan kecepatan
pertumbuhan sekitar 1 lapis sel perhari. Lapisan ini mengandung 90% total sel
di kornea yang menjadikanya lapisan yang paling lipofilik. Epitel kornea

1
memiliki dua fungsi utama yaitu pertama sebagai penghalang agar benda asing
seperti debu dan air tidak masuk ke dalam mata dan kedua menyerap oksigen
dan nutrient lainnya dari tear film. Permukaan Sel-sel epitel kornea berikatan
erat satu sama lain karena adanya cell adhesion protein yang membentuk tight
junction. Adanya ikatan yang erat antar sel dan sifat hidrofobik dari lapisan ini
menjadikannya barrier yang paling signifikan dalam penyerapan obat. 11,12,13,14
2.2.2 Membrana Bowman
Membrana Bowman merupakan lapisan aselular yang homogen, dengan
ketebalan sekitar 8-14 µm. terletak antara membrana basalis lapisan epitel dan
stroma. Membran ini tidak berperan sebagai barrier absorbi obat ke mata.11,12,13
2.2.3. Stroma
Stroma meliputi 90% ketebalan kornea dan mengandung hampir sepertiga
sel kornea dalam bentuk keratosit. Jaringan ikat pada stroma tersusun atas
lapisan-lapisan kolagen (lamella). Stroma memiliki struktur yang cukup terbuka
dan biasanya akan menjadi tempat berdifusi zat-zat yang bersifat
hidrofilik.11,13,14
2.2.4. Membrana Descemet
Membrana Descemet disekresikan oleh sel-sel di endotel. Membrana
Descemet memiliki ketebalan 10-12 µm dan terletak antara stroma dan endotel.
Membrana ini tidak berperan dalam barrier absorbsi obat ke mata.11,13,14
2.2.5. Endotel
Endotel terdiri atas selapis sel berbentuk heksagonal yang berada di
antara stroma dan aqueous humor. Endotel bertanggung jawab untuk menjaga
hidrasi kornea dengan memompa air keluar dari stroma. Endotel berkontak
langsung dengan anterior chamber dan tidak bersifat sebagai barrier obat ke
mata.11,12,13

2
Gambar 1. Lapisan kornea15

2.3 Sklera
Sklera merupakan suatu struktur vaskular opak yang bersambung dengan
kornea pada limbus. Di atasnya terdapat jaringan ikat longgar yang disebut
konjungtiva. Konjungtiva dan sklera bertanggung jawab atas absorbsi kurang dari
seperlima obat ke dalam iris dan korpus siliaris. Sedikitnya penyerapan yang terjadi
pada sklera dan konjungtiva disebabkan oleh banyaknya pembuluh darah pada
jaringan ini sehingga mempercepat proses eliminasi.7,16
2.4 Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior, memisahkan anterior
chamber dengan posterior chamber. Fungsi utama iris adalah untuk mengatur
banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata, mengandung pigmen yang dapat
menyerap cahaya. Butiran pigmen ini juga dapat menyerap obat-obat yang bersifat

3
lipofilik. Perdarahan iris didapat dari sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel tak berlubang (nonfenestrated) yang berperan sebagai
blood aqueous barrier (BAB) .4,16
2.5 Korpus Siliaris
Fungsi utama korpus siliaris adalah memproduksi aqueous humor. Pada
korpus siliaris terdapat banyak pembuluh kapiler sehingga seharusnya tidak terdapat
barrier yang mengambat proses difusi obat-obat atau protein. Namun begitu, terdapat
lapisan sel epitel nonpigmented yang beikatan erat sehingga membatasi absorbsi obat.
Pada korpus siliaris, sawar terdiri dari endotel vaskular, membran basalis, stroma,
sertasel epitel pigmented dan non-pigmented korpus siliaris. Walaupun seluruh
struktur ikut serta dalam BAB, tight junction (zonae occludentes) yang
menghubungkan bagian apeks sel epitel nonpigmented korpus siliaris yang
berdekatan, diyakini sebagai barrier yang sebenarnya. Junction ini tidak terlalu rapat
dan masih bisa dilewati oleh ion–ion kecil dan air. BAB berperan dalam
mempertahankan perbedaan komposisi antara plasma dan aqueous humor. Obat-obat
yang masuk dari jalur sistemik sebagian besar memasuki anterior chamber dan
posterior chamber melalui pembuluh-pembuluh darah di korpus siliaris dan berdifusi
ke iris dan memasuki aqueous humor.4,16
2.6. Aquoeus Humor
Aqueous humor merupakan substansi seperti jeli yang mengisi anterior
chamber. Aqueous humor bersifat sedikit basa dan mengandung sedikit ion natrium
dan klorida. Aqueous humor diproduksi secara terus menerus oleh korpus siliaris,
mengalir dari posterior chamber ke anterior chamber melewati pupil dan keluar
melalui trabecular meshwork. Kecepatan turnover dari aqueous humor adalah 1%-
5% dari volume anterior chamber per menit.1,7,13
2.7 Korpus Vitreus
Korpus vitreus merupakan jaringan ikat viskoelastis terdiri atas air (99,9%)
dan sisanya berupa kolagen, asam hyaluronik, dan elektrolit. Dengan bertambahnya
usia, maka kandungan kolagen dan asam hyaluronik akan meningkat.1,13

4
2.8 Retina
Retina berada di bagian posterior mata di antara korpus vitreous dan koroid,
dan terdiri dari sel-sel vaskular (sel perisit dan endotelial), makroglia (sel Müller dan
astrosit), neuron (fotoreseptor, sel-sel bipolar, sel amakrin, sel horizontal, dan sel
ganglion), pigmen epitel, dan mikroglia atau makrofag. Sel-sel ini tersusun atas
lapisan-lapisan yang berbeda yang membentuk retina:9,12
- lapisan serat saraf,
- sel ganglion,
- pleksiform dalam,
- inti dalam,
- pleksiform luar,
- inti luar,
- fotoreseptor, dan
- RPE.9
Elemen saraf pada retina dipisahkan dari darah pada dua lapisan. Lapisan luar,
dimana RPE melapisi semua permukaan antara elemen saraf retina dan elemen
vaskular koroid. Sedangkan lapisan dalam, dimana sel-sel endotel pembuluh darah
retina memisahkan elemen saraf retina dengan suplai darah ke retina. Kedua
komponen ini membentuk suatu blood retinal barrier (BRB) yang berperan penting
dalam melindungi retina dan korpus vitreus dari zat-zat toksik dan mempertahankan
homeostasis pada fisiologi retina.4,6,18
Pembuluh darah pada koroid memiliki celah-celah yang cukup besar yang
memungkinkan difusi zat-zat keluar dan masuk stroma koroid. Membrana Bruch
berperan sebagai barrier bagi makromolekul seperti protein, oligonukleotida, dan
gen. RPE memiliki ikatan yang erat sehingga menjadi barrier bagi molekul-molekul
yang lebih kecil.4,6,18
Pembuluh kapiler di retina dianggap sebagai barrier sel endotel. Ultrastruktur
pada pembuluh darah retina terdiri atas endotel yang berkesinambungan dan
dikeliling oleh membran basal yang tebal. Tidak seperti endotel kapiler pada jaringan
lain, endotel pada pembuluh darah retina tidak memiliki celah dan berikatan sangat

5
erat satu sama lainnya. Oleh karena itu, RPE dan endotel pembuluh darah retina
bersama-sama membentuk BRB dan berperan dalam mencegah pertukaran molekul
antara sirkulasi sistemik dengan segmen posterior mata.4,6,17
Struktur spesifik pada pembuluh darah retina menjadi dasar dari fungsi BRB.
Kapiler retina yang membentuk BRB terdiri dari selapis sel–sel endotel yang melekat
erat, basal lamina, perisit sekitar, astrosit dan mikroglia, yang membentuk unit
neurovaskular. Transpor molekul yang diregulasi secara selektif memungkinkan
untuk terjadi di sepanjang sawar ini. Terdapat dua jalur transpor yaitu jalur
paraselular, yang diregulasi oleh interendothelial junction yang membuka dan
menutup secara dinamis, dan jalur transelular yang membutuhkan media pengantar
(caveolae) serta receptor-mediated transport.,14

Gambar 2. Lapisan retina dan skema blood retinal barrier17

6
BAB III
FARMAKOKINETIK OBAT MATA

3.1 Rute Pemberian Obat Mata


Terdapat beberapa rute obat untuk dapat sampai ke jaringan mata. Pemilihan
rute tergantung pada jaringan mana yang dituju.
3.1.1 Topikal
Pemberian obat secara topikal merupakan cara yang paling umum dipakai
pada obat mata. Hal ini disebabkan oleh pemberiannya yang praktis, nyaman, non
invasive dan mudah sehingga pasien dapat melakukannya sendiri. Kehilangan obat
pada pemberian obat secara topikal disebabkan oleh berdifusinya obat ke sirkulasi
sistemik melalui pembuluh darah di konjungtiva, episklera, pembuluh darah
intraokuler dan pembuluh darah pada mukosa hidung dan orofaring akibat
mengalirnya obat ke dalam duktus nasolakrimal. Oleh karena itu, tidak semua obat
dapat menembus struktur mata posterior dan karena itu pula pemberian obat topikal
tidak dianjurkan pada kelainan pada segmen posterior mata.4,5,6
Sebagian besar obat yang digunakan pada mata diberikan secara topikal
sebagai obat tetes mata dalam bentuk larutan. Cara pemberian ini memaksimalkan
konsentrasi obat di segmen anterior dan meminimalkan toksisitas sistemik. Gradien
obat dari yang berkonsentrasi tinggi pada air mata ke area yang konsentrasi obatnya
relatif rendah di epitel kornea dan konjungtiva mengakibatkan adanya absorbsi secara
pasif. Keuntungan pemberian obat tetes mata ialah lebih praktis dan tidak
mengganggu penglihatan. Kerugiannya adalah pendeknya waktu kontak obat, risiko
kontaminasi yang tinggi dan risiko trauma akibat tergeser ujung kemasan tetes
mata.6,7,14
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan absorbsi mata
terhadap zat-zat yang tidak bisa melewati kornea dengan cepat. Pasien yang
menggunakan lebih dari satu obat mata harus diinformasikan agar menjarakkan
pemberian obat minimal 5 menit, jika tidak, maka tetesan obat yang kedua hanya
akan membilas obat yang pertama. Berkedip juga akan mengurangi efek obat dengan

7
mengaktivasi mekanisme pompa nasolakrimal, yang mendorong cairan dari sakus
lakrimal ke nasofaring, dan membuat tekanan negatif sehingga mengosongkan tear
lake. Pasien dapat mencegah kehilangan reservoir obat ini dengan menekan duktus
nasolakrimal menggunakan jari pada kantus medial 5 menit setelah meneteskan obat
mata. Cara ini akan mencegah pengosongan tear lake dan mengurangi toksisitas
sistemik dengan mengurangi absorbsi obat pada mukosa hidung. Sumbatan
nasolakrimal akan meningkatkan absorbsi obat yang diberikan secara topikal dan
mengurangi absorbsi sistemik dan potensi toksisitas.1,17,18
Teknik pemberian obat tetes yang benar adalah:17
a. Cuci tangan dengan bersih.
b. Rebahkan kepala ke belakang dan instruksikan pasien untuk melihat ke langit-
langit sehingga obat tetes tidak langsung mengenai kornea.
c. Tarik bagian luar palpebra inferior.
d. Tanpa menyentuh bulu mata, teteskan satu tetes obat ke sakus konjungtiva
e. Pertahankan posisi menahan palpebra inferior tersebut selama beberapa detik
agar obat tetes dapat meresap ke bagian fornix paling bawah.
f. Lepaskan tarikan pada palpebra inferior, jika perlu, tekan bagian punctum dan
kanalikuli untuk mengurangi drainase pada duktus nasolakrimal.

Gambar 3. Teknik menetes obat mata.17


Strategi lain untuk meningkatkan waktu kontak pada pengobatan mata
adalah dengan penggunaan ointment. Ointment yang berbahan dasar minyak
biasanya terbentuk dari petrolatum dan minyak mineral. Minyak mineral
membuat ointment mencair pada suhu tubuh. Kedua bahan tersebut juga efektif

8
sebagai pelarut lemak. Bagaimanapun, kebanyakan obat-obat larut air tidak
larut dalam ointment dan disediakan dalam bentuk mikrokristal. Hanya
mikrokristal yang terdapat pada permukaan ointment yang larut pada air mata,
selebihnya terjebak dalam ointment sampai ointment mencair. Pengeluaran
yang lama dan panjang tersebut dapat mencegah obat mencapai kadar level
terapeutik dalam air mata. Hanya jika obat memiliki kelarutan lemak yang
tinggi (yang memungkinkannya berdifusi melalui ointment) dan sedikit
kelarutan dalam air maka obat akan dilepaskan ke epitel kornea dan air mata.
Flormetolon, kloramfenikol dan tetrasiklin adalah contoh obat yang mencapai
kadar tinggi jika diberikan sebagai ointment dibandingkan tetes mata.15,17,19

Gambar 4. Pemasangan eye ointment 19


Cara pemberian eye ointment yang direkomendasikan adalah:
a. Cuci tangan sampai bersih.
b. Kepala pasien menengadah ke belakang dan instruksikan pasien untuk
melihat ke langit-langit.
c. Tarik bagian luar palpebra inferior
d. Berikan ointment pada sakus konjungtiva inferior.
e. Jika perlu dapat dipasang patch.
3.1.2 Injeksi Periokular
3.1.2.1 Injeksi Subkonjungtiva
Injeksi subkonjungtiva dilakukan dengan menyuntikkan obat ke area di
antara konjungtiva anterior dan kapsul Tenon. Cara ini dapat dilakukan melalui

9
palpebra atau langsung ke rongga subkonjungtiva. Kapsul Tenon terletak antara
obat yang diinjeksikan dan bola mata sehingga obat yang diserap melalui sklera
dapat diminimalisir. Keuntungan yang didapatkan pada injeksi subkonjungtiva
adalah:19
- Konsentrasi lokal yang tinggi dapat dicapai dengan jumlah obat yang
sedikit, sehingga efek samping sistemik dapat dihindari.
- Konsentrasi jaringan yang tinggi dapat dicapai dengan obat yang daya
tembusnya rendah terhadap epitel kornea atau konjungtiva.
Keuntungan klinis yang paling dirasakan dengan injeksi
subkonjungtiva ini adalah pada penatalaksanaan kelainan kornea yang berat
seperti pada ulkus bakteri. Konsentrasi antibiotic yang jauh lebih tinggi dapat
dicapai pada jaringan kornea yang rusak dibandingkan dengan pemberian
antibiotic secara sistemik. Pemberian anestesi subkonjungtiva sekarang lebih
dipilih pada tindakan trabekulektomi dan katarak dibandingkan injeksi
peribulber atau retrobulber.5,19
3.1.2.2 Injeksi Sub Tenon
Injeksi sub-Tenon anterior tidak memberikan keuntungan yang
signifikan jika dibandingkan dengan injeksi subkonjungtiva. Bahkan, injeksi
sub-Tenon berisiko perforasi bola mata. Meskipun demikian, pemberian
kortikosteriod secara sub-Tenon anterior masih digunakan pada
penatalaksanaan uveitis yang berat.5,20
Injeksi kortikosteroid sub-Tenon posterior paling sering digunakan
pada penatalaksanaan uveitis posterior dan juga inflamasi pada makula.5,17,21
3.1.2.3 Injeksi Retrobulber
Injeksi retrobulber telah digunakan sejak tahun 1920an. Prosedur ini
awalnya berkembang untuk anestesi pada operasi katarak dan operasi
intraocular lainnya. Saat ini, selain untuk anestesi, pemberian kortikosteriod
retrobulber juga kadang digunakan.17,19

10
Gambar 5. Posisi injeksi perioklar A. Subkonjungtiva, B. Sub-Tenon, C.
Retrobulber17

3.1.2.4 Injeksi Peribulber


Pada tahun 1980an diperkenalkan teknik injeksi peribulber oleh karena
risiko yang tinggi pada injeksi retrobulber. Caranya dengan memberikan satu
atau dua suntikan anestesi di sekitar bola mata tapi tidak langsung mengenai
muscle cone. Dibandingkan dengan teknik retrobulber, anestesi peribulber
menghasilkan efek anestesi dan akinesia pada tindakan di segmen anterior dan
vitreoretinal. Selain itu, onset blockade juga tidak secepat injeksi retrobulber.
Akan tetapi, injeksi anestesi peribulber mengurangi risiko penetrasi bola mata,
perdarahan retrobulber, dan trauma langsung pada nervus optikus.17,19
3.1.3. Injeksi Intrakameral
Injeksi obat intrakameral dilakukan dengan memasukkan obat
langsung ke kamera okuli anterior. Aplikasi klinis yang paling sering adalah
pada penyuntikan zat viskoelastis saat tindakan ekstraksi katarak untuk
mencegah hilangnya lapisan endotel kornea dan mengempisnya kamera okuli
anterior. 3,5,19
3.1.4 Injeksi Intravitreal
Banyak obat yang disuntikkan langsung ke vitreus, diantaranya
antibakteri dan antifungi untuk penatalaksaaan endoftalmitis oleh bakteri dan

11
jamur, serta antiviral untuk penatalaksanaan retinitis virus. Triamnicolone
telah digunakan untuk diffuse diabetic macular edema.8,19
Metode ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan obat langsung ke
dalam vitreus di pars plana menggunakan jarum 30G. cara ini lebih aman
dibandingkan dengan pemberian secara sistemik. Injeksi intravitreal
mengakibatkan konsentrasi obat yang tinggi di vitreus dan retina sehingga
memiliki keuntungan yaitu bisa mencapai kadar terapeutik secara cepat dan
mengurangi paparan sistemik. Beberapa kekurangan dari injeksi intravitreal
yaitu ketidaknyamanan pasien, nyeri, peningkatan tekanan intraokuler harus
dilakukan berulang (sekali seminggu), infeksi (endoftalmitis) dan ablatio
retina.2,19
3.1.5 Sistemik
Pemberian obat secara sistemik pada kelainan mata memiliki
keberhasilan yang terbatas karena terekslusinya mata dari sirkulasi sistemik.
Hanya 1-2% kadar obat dalam plasma yang mencapai vitreus humor.
Konsentrasi yang rendah tersebut mengharuskan pemberian obat yang lebih
sering dengan dosis tinggi untuk mempertahankan kadar obat dalam jaringan
mata. Keuntungan dari pemberian secara sistemik adalah untuk mengendalikan
penyebaran infeksi ke organ tubuh lain. Sedangkan kerugiannya adalah
penyerapan yang tidak spesifik oleh jaringan lain yang dapat menyebabkan
keracunan yang hebat.5,17,19
Pemberian obat secara sistemik dapat dilakukan dengan cara injeksi
intravena atau melalui oral. Pada injeksi intravena, obat masuk ke dalam
sirkulasi darah secara langsung. Biasanya diberikan pada tindakan operasi
intraokuler atau pada kasus endoftalmitis. Sedangkan obat oral diberikan pada
kasus-kasus yang diduga memiliki penyebab sistemik misalnya pemberian
steroid oral pada Grave’s disease. 19,20

12
3.2. Mekanisme Absorbsi Obat Mata
3.2.1 Absorbsi Obat di Segmen Anterior
Mata merupakan organ yang unik, karena beberapa jaringannya bersifat
transparan yaitu tear film, aqueous humor, lensa, dan korpus vitreus. Komponen-
komponen ini tidak memuliki suplai darah langsung. Masing-masing jaringan
tersebut dianggap sebagai sebuah chamber atau kompartemen dimana di dalamnya
obat dapat berdifusi secara bebas. Masing-masing kompartemen dipisahkan oleh
suatu barrier sehingga aliran molekul-molekul obat antarkompartemen membutuhkan
waktu yang lebih lama dibandingkan difusi di dalam masing-masing kompartemen.
Barrier merupakan suatu regio yang memiliki permeabilitas lebih rendah sehingga
difusi bebas antarkompartemen menjadi terbatas.8,18,19
Obat berdifusi melintasi barrier dari kompartemen dengan konsentrasi obat
yang tinggi ke kompartemen dengan konsentrasi obat yang lebih rendah. Hal ini
sesuai dengan hukum termodinamika. Menurut hukum Fick I, kecepatan difusi
melintasi barrier berbanding lurus dengan gradient konsentrasi antara kedua
kompartemen. Maka, jika konsentrasi obat di kornea sudah sama dengan konsentrasi
pada tear film, maka obat tidak akan berdifusi lebih lanjut. Sehingga, absorbsi obat di
kornea bergantung pada konsentrasi intergral pada tear film pada 10-20 menit
pertama setelah pemberian obat. 2,18,21
Karena waktu kontak obat topikal yang pendek, maka kecepatan transfer obat
dari air mata ke kornea sangat penting. Lapisan epitel dan endotel kornea memiliki
kaitan interseluler yang erat yang membatasi jalur molekul di ekstraseluler. Obat
topikal pertama-tama harus melewati membran sel yang hidrofobik/lipofilik di epitel,
kemudian stroma kornea yang yang hidrofilik/lipofobik, dan akhirnya melewati
membran sel endotel yang hidrofobik/lipofilik untuk dapat memasuki segmen
anterior. Gangguan mekanik pada barrier epitel karena abrasi kornea atau infeksi
dapat meningkatkan kecepatan penetrasi obat intraokuler.,3,10,17

Beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan obat pada mata yaitu:

13
a. Konsentrasi dan kelarutan obat
Untuk medapatkan jumlah obat yang cukup untuk melewati barrier kornea,
maka penting untuk me-loading tear lake dengan larutan konsentrasi tinggi
(contoh, dengan memilih pilocarpin 4% dibandingkan pilocarpin 1%). Suatu obat
dengan kelarutan yang cukup pada larutan aqueous dapat diformulasikan sebagai
solusi, sedangkan obat dengan kelarutan yang kurang dibuat sebagai suspensi.
Suatu suspensi biasanya lebih mengiritasi permukaan bola mata dibandingkan
solusio, yang menajdi bahan pertimbangan untuk memilih formulasi obat.1,3,16
b. Viskositas
Penambahan substansi dengan viskositas tinggi seperti metilselulose atau
polivinil alkohol ke dalam obat dapat meningkatkan retensi obat pada cul-de-sac
inferior, dan membantu penetrasi obat. Contohnya, gel pada timolol maleate
mengandung heteropolisakarida yang mempertebal kontak dengan tear film, dan
mempertahankankadar terapeutik dan mengurangi dosis hingga satu kali
perhari.1,3,16
Viskositas optimal yang dianjurkan ialah pada 12–15 cP. Viskositas yang
lebih tinggi daripada level ini tidak terbukti meningkatkan konsentrasi obat
dalam aqueous. Bahkan, viskositas yang terlalu tinggi menyebabkan iritasi
permukaan bola mata, sehingga terjadi reflek berkedip, lakrimasi dan
mempercepat drainase dari obat yang baru saja diberikan. Viskositas yang tinggi
juga menghalangi perpaduan antara obat dengan air mata. Selain itu, produk
dengan viskositas yang terlalu tinggi meninggalkan rasa lengket dan kurang
nyaman bagi pasien. 1,3,16
c. Solubilitas Lipid
Penelitian menunjukkan bahwa kelarutan lemak lebih penting daripada
kelarutan air dalam meningkatkan penetrasi obat. Hal ini disebabkan permukaan
sel epitel kornea yang bersifat lipofilik sehingga lebih mudah menyerap zat yng
larut lemak.5,20

d. Surfaktan

14
Zat pengawet yang digunakan pada antibiotic tetes mata merupakan zat aktif
yang dapat merusak membran sel bakteri dan juga membrane sel kornea. Bahan-
bahan ini mengurangi efek barrier pada epitel kornea dan meningkatkan
permeabilitas obat. Contohnya, larutan carbachol 0,1% yang mengandung 0,03%
benzalkonium klorida dapat menghasikan efek miosis yang sama dengan larutan
carbachol 2% tanpa bahan pengawet.5,20
e. Reflek air mata
Keluarnya air mata dapat menghilangkan reservoir obat pada tearlake dan
berakibat berkurangnya waktu kontak obat dengan kornea. Reflek air mata
muncul ketika obat-obat topikal tidak bersifat isotonik atau ketika pH nya tidak
fisiologis atau mengandung iritan.5,20
f. Protein Binding
Protein di permukaan bola mata dan air mata, sama seperti melanin, bisa
mengikat obat topical ataupun sistemik, menyebabkan obat tidak efektif atau
terhambat. Ikatan ini bisa mengubah waktu paruh obat, onset kerja, atau waktu
puncak dan durasi obat, dan juga menyebabkan toksisitas lokal yang muncul
kemudian bahkan saat pemakaian obat dihentikan.1,5,15
3.2.2 Absorbsi Obat di Segmen Posterior
Blood-retinal barrier memisahkan antara retina dengan sirkulasi sistemik. Hal
ini diperlukan untuk mempertahankan lingkungan yang optimal bagi fungsi
neurosensori retina. Tight junction di antara sel-sel endotel kapiler retina dan pada
sel-sel epitel pigmen retina (RPE) membentuk suatu sawar yang sulit dilewati
molekul-molekul obat melalui influx pasif. Hanya sekitar 1-2% dari kadar obat pada
plasma yang sampai di korpus vitreus.16,19
Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi obat ke retina masih belum
sepenuhnya dipahami. Mekanisme absorbsi obat yang paling mungkin ialah melalui
mekanisme transpor aktif. Beberapa protein transporter efflux dan influx
diidentifikasi pada BRB seperti P-glikoprotein.16,19

15
BAB IV
KESIMPULAN

1. Mata merupakan organ dengan struktur anatomi yang unik, dan juga fisiologi
serta biokimia kompleks yang menjadikan mata sebagai organ yang terlindung
dari berbagai gangguan baik eksogen maupun endogen.
2. Penghantaran obat pada mata tergantung kemampuan obat dalam menembus
barrier darah-mata (blood-ocular barrier) tanpa meyebabkan efek toksis pada
mata.
3. Banyak cara dalam memberikan obat mata yaitu topikal, injeksi periokular,
injeksi intrakemaral dan injeksi intravitreal serta pemberian obat secara
sistemik. Semuanya memeliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
4. Absorbsi obat ke dalam mata terjadi melalui proses difusi. Obat berdifusi
melintasi barrier dari kompartemen dengan konsentrasi obat yang tinggi ke
kompartemen dengan konsentrasi obat yang lebih rendah sesuai dengan
hukum termodinamika.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan obat pada mata adalah,
konsentrasi dan kelarutan obat, viskositas, solubilitas lipid, surfaktan, reflek
air mata dan protein binding.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Mitra AK, Anand BS, Duvvuri S. Drug Delivery to the Eye. In The Biology of
the Eye. Volume 10. Elsevier. Amsterdam: 2006. pp 308-340
2. Ritter JM, Lewis LD, Mant TG, Ferro A. Drug and The Eye. In A Text Book of
Clinical Pharmacology. Hodder Arnold. London: 2008. pp 421-430
3. Patel PB, Shastri DH, Shelat PK, Shukla AK. Ophthalmic Drug Delivery System:
Challangers and Approaches-Invited Review. Kalupur Bank Institute of
Pharmaceutical Education and Research. Vol 1(2). 2010. pp 113-120
4. Dhanapal R, Ratna JV. Ocular Drug Delivery System-A Review. International
Journal of Innovative Drug Discovery. Vol 2(1). 2012. pp 4-15
5. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi AG. Pharmacologic Principle. In: Fundamental
and Principles of Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic
and Clinical Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2014-2015.pp293-304
6. Gunda S, Hariharan S. Barriers in Ocular Drug Delivery. In Ocular Transporters
in Ophthalmic Diseases and Drug Delivery. Humana Press. New Jersey: 2008.
pp 399-410
7. Fiscella RG. Ophthalmic Drug Formulation. In Clinical Ocular Pharmacology.
Fith Edition. Butterworth-Heinemann. Missouri: 2008. pp 17-36
8. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi AG. Tear Film. In: Fundamental and Principles
of Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical
Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2014-2015.pp213-222
9. Khurana AK. Diseases of Lacrimal Apparatus. In Comprehensive
Ophthalmology. New Age International. New Delhi: 2007. pp 363-377
10. Dartt AD, Hodges RR, Zoukhri D. Tears and Their Secretion. In The Biology of
the Eye. Volume 10. Elsevier. Amsterdam: 2006. pp 22-67
11. Kanski JJ. Cornea. In Kanski’s Clinical Ophthalmology. Fifth Edition. Elsevier.
Philadelphia: 2007. Pp 249-310

17
12. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi AG. The Eye. In: Fundamental and Principles of
Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science
Course. Section 2. Singapore: FSC; 2014-2015.pp 223-227
13. Vaughan, Asbury. Anatomy and Embriology of the Eye. In General
Ophthalmology. 17th edition. McGraw-Hill. New York. 2007. pp. 1-27
14. Ehlers N, Hjortdal J. The Cornea. In The Biology of the Eye. Volume 10. Elsevier.
Amsterdam: 2006. pp 84-101
15. Vadlapudi AD, Cholkar K, Dasari SR, Mitra AK. Ocular Drug Delivery. In Drug
Delivery. Jones & Barnett. New Delhi: 2014. pp 219-263
16. Ambati J. Transcleral Drug Delivery to the Retina and Choroid. In Intraocular
Drug Delivery. Taylor & Francis. New York: 2006. pp 193-199
17. Kuno N, Fujii S. Recent Advances in Ocular Drug Delivery System-Review.
Polymers Journal. 2011. Vol 3. pp. 193-221
18. Antonetti DA, Gardner TW, Barber AJ. In Intraocular Drug Delivery. Taylor &
Francis. New York: 2006. pp 27-34
19. Barlett JD. Ophthalmic Drug Delivery. In Clinical Ocular Pharmacology. Fith
Edition. Butterworth-Heinemann. Missouri: 2008. pp 41-55
20. Duval B, Kershner R. Pharmaceutical Characteristic and Delivery. In Ophthalmic
Medications and Pharmacology. Slack Incorporated. London: 2006. pp 2-6
21. Khokhar P, Shukla V. Ocular Drug Delivery System-A Review Based on
Ocuserts. International Journal of Pharma Research & Review. Vol 3(8). 2014. pp
29-38

18

Anda mungkin juga menyukai