Anda di halaman 1dari 16

LUCKY YUDA TAMA

181010250
KISI-KISI UAS

1. Untuk melaksanakan tugasnya dalam proses penyidikan, penyidik


diberikan wewenang oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan
Penyidik tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP yang terdiri
dari :
a. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana. Menurut Pasal 103 ayat (1), (2) dan (3) jo. Pasal 108
ayat (3), (4) dan (5) KUHAP
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. Menurut
Pasal 72-73 KUHP, Pasal 284 ayat (2) KUHP,
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka. Pasal 102 ayat (2) dan (3)KUHAP
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Pasal 102 ayat (2) dan (3)KUHAP
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. Pasal 102 ayat (2) dan
(3)KUHAP
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. Pasal 111 KUHAP
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi. Pasal 102 ayat (2) dan (3)KUHAP
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di
bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a. Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pengembalian berkas perkara tersebut antara lain bisa berkaitan
dengan syarat formil maupun materiil dari surat dakwaan, seperti yang
dikemukakan oleh Djoko Prakoso sebagai berikut: Bahwa syarat formil
dan materiil dari berkas perkara sudah harus dinilai oleh penuntut umum
sejak awal ialah dalam hal prapenuntutan. Untuk itu diwajibkan para
penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara beserta
petunjukpetunjuk yang jelas dan lengkap mengenai apa yang dilakukan
oleh penyidik atau penyidik pembantu.1 Dalam hal penyidik tidak dapat
memenuhi petunjuk penuntut umum seperti tidak adanya cukup Bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka penyidik
menghentikan penyidikannya, hal demikian sesuai dengan yang
menentukan dalam ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang
menyebutkan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya”. Dalam hal penghentian penyidikan adalah bersifat sementara
dalam arti apabila pada satu saat tertentu ditemukan adanya bukti-bukti
baru, maka penyidikan terhadap perkara tersebut dibuka kembali.
Selanjutnya untuk mengetahui berapa tenggang waktu yang diperlukan
terhadap penyerahan atau pengembalian kembali secara timbal balik dari
penuntut umum kepada penyidik terhadap berkas perkara pidana, maka
terlebih dahulu diuraikan mengenai ketentuan Pasal 110 dan 138 KUHAP:
Pasal 110 KUHAP
1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik
wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut
umum.
2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut ternyata masih kurang lengkap penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk
untuk dilengkapi.
3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
4) Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila
sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan
tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

2. Inti surat dakwaan yang harus dimuatkan pada surat dakwaan agar surat
dakwaan itu sempurnah adalah harus memiliki syarat formil yang diatur
dalam Pasal 143 Ayat (2) a, yang mencakup:
a. Diberi tanggal;
b. Memuat identitas terdakwa secara lengkap yang meliputi nama
lengkap, tempat lahir, umur / tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan;
c. Ditandatangani oleh penuntut umum.
Mencermati isi surat dakwaan dalam kasus korupsi Hj. Nurwati,
penulis tidak menemukan adanya kesalahan dan syarat formil sudah
terpenuhi.
Dan hal elemter yang di muat agar surat dakwaan tidak dibatalkan
demi hukum yaitu harus memiliki syarat materil. Syarat materil diatur
dalam pasal 143 ayat 2 KUHAP dimana dakwaan harus memuat uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang dilakukan
dengan menyebut waktu (tempus delicti) dan tempat tindak pidana itu
dilakukan (locus delicti).
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, tidak menjelaskan
pengertian tentang surat dakwaan yang harus berisi uraian secara jelas dan
lengkap, tetapi berdasarkan praktek pengadilan. Surat dakwaan yang
disusun oleh Penuntut Umum tersebut telah merumuskan semua unsur–
unsur tindak pidana yang di dakwakan, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam perumusan unsur-unsur delik dalam pasal pidana yaitu,
terdakwa dengan melakukan perbuatan korupsi diancam pidana
dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999
b. sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1)
Ke-1 KUHP subsidair Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1)
Ke-1 KUHP ;
c. Dalam menyebutkan cara tindak pidana yang dilakukan, yaitu
dengan cara terdakwa bersama-sama rekannya dengan melakukan
Mark up volume (satuan pekerjaan yang ditinggikan) pada
pembangunan / renovasi pasar sentral Maros.
d. Dalam menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dapat
dicantumkan secara alternatif, yaitu pada bulan Juli 2003 atau
setidak- tidaknya pada suatu waktu tertentu dalam tahun 2003 dan
bertempat di jalan Cempaka (Pasar Sentral Maros) atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat tertentu dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Maros.

3. -Surat dakwaan, dibuat oleh penuntut umum setelah ia menerima berkas


perkara dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Dalam hal ia
berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan,
maka penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan
(pasal 140 jo pasal 139 KUHAP). Surat dakwaan tersebut kemudian
dilimpahkan kepada pengadilan, bersamaan dengan perkaranya. Surat
dakwaan ini dibacakan pada saat permulaan sidang (pasal 155 ayat [2]
KUHAP), atas permintaan dari hakim ketua sidang.

- Surat tuntutan, diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan di


sidang pengadilan dinyatakan selesai (pasal 182 ayat [1] KUHAP). Jadi,
surat tuntutan dibacakan setelah proses pembuktian di persidangan pidana
selesai dilakukan. Surat tuntutan ini sendiri berisikan tuntutan pidana.
“Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan
tuntutan pidana.” Surat Tuntutan atau dalam bahasa lain disebut dengan
Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian Surat Dakwaan
berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan
penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan
pidana. Agar supaya Surat Tuntutan tidak mudah untuk disanggah oleh
terdakwa/ penasehat hukumnya, maka Surat Tuntutan harus dibuat dengan
lengkap dan benar. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam membuat Surat Tuntutan :
1. Surat Tuntutan harus disusun secara sistematis.
2. Harus menggunakan susunan tata bahasa indonesia yang baik dan
benar.
3. Isi dan maksud dari Surat Tuntutan harus jelas dan mudah
dimengerti.
4. Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.

- Eksepsi adalah salah satu istilah yang digunakan dalam proses hukum
dan peradilan yang berarti penolakan/keberatan yang disampaikan oleh
seorang terdakwa, disertai dengan alasan-alasannya bahwa dakwaan yang
diberikan kepadanya dibuat tidak dengan cara yang benar dan tidak
menyangkut hal tentang benar atau tidak benarnya sebuah tindak pidana
yang didakwakan. Dalam hukum perdata, eksepsi berarti sebuah tangkisan
atau bantahan, dan juga pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi
gugatan penggugat.
Ada dua jenis eksepsi yang dikenal yaitu Exeptio non adimpleti
contractus yang artinya tangkisan seorang tertuntut (yang digugat karena
tak menerpati perjanjian) yang menyatakan bahwa si penuntut juga tidak
memenuhi janjinya, khusus mengenai pajak jual-beli. Eksepsi jenis kedua
adalah Exceptio plurium concumbentium yang berarti dalam tuntutan
kebapaan: tangkis seorang tertuntut (lelaki) bahwa pihak penuntut (ibu dan
anak bersangkutan) di waktu sebelum hamil telah melakukan hubungan
kelamin dengan beberapa pria lain. Jika hal ini dapat dibuktikan, tuntutan
si ibu tidak dapat diterima oleh hakim.

- Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai


pokok perkara yang terdapat didalam suatu dakwaan. Dalam hal ini
berkaitan dengan suatu peristiwa apabila terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan. Dalam hukum acara pidana perihal mengenai putusan sela ini
dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)

- Setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat tuntutannya


maka giliran diberikan hak kepada terdakwa dan atau penasehat hukumnya
untuk mengajukan pembelaan (pledoi) (pasal 182 KUHAP). Pembelaan
(pledoi) bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan
terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum ataupun setidak-tidaknya hukumana pidana seringan-
ringannya.

- Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau


penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi
arah dan wujud serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan penasehat
hukumnya dalam replik tersebut. Jaksa penuntut umum harus
menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan terdakwa
atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan
atas pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.

- Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di persidangan, maka


selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk
menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti
ini lazim disebut sebagai “duplik”. Sebagai penutup dari replik dan duplik
dibuat suatu kesimpulan yang menyimpulkan semua tanggapan dan
tangkisan. Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun
keputusan, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan kepada
terdakwa apakah masih ada yang perlu disampaikan misalnya mohon
keringanan hukum atau mohon keputusan yang seadil-adilnya.
4. a. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang,
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan terbatas
hanya diperbolehkan menggunakan alat bukti itu saja. Pembuktian dengan
alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak
mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat.
b. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Bukti Surat;
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
c. -Saksi Varbalisan : Secara fundamental kata verbalisan adalah istilah yang
lazim tumbuh dan berkembang dalam praktik serta tidak diatur dalam
KUHAP. Menurut makna leksikon dan doktrina, verbalisan adalah nama
yang diberikan kepada petugas (polisi atau yang diberikan kepada petugas
khusus), untuk menyusun, membuat atau mengarang berit acara. Apabila
ditilik dari visi praktik peradilan, eksistensi saksi verbalisan tampak jikalau
dalam persidangan terdakwa mungkir/menyangkal keterangan saksi dan
kemudian keterangan saksi/terdakwa di sidang pengadilan berbeda dengan
keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik serta
terdakwa/ saksi mencabut keterangannya pada Berita Acara Pemeriksaan
Penyidik karena adanya tekanan bersifat fisik maupun psikis.

-Saksi a Charge : Saksi A Charge ini adalah saksi yang dipilih dan diajukan
oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang di berikan
akan memberatkan terdakwa, demikian menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c
KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal ada saksi yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan
atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum
selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan. Hakim
ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut”.

- Saksi A De Charge ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, dimana keterangan
atau kesaksian yang diberikan akan menguntungkan/meringankan terdakwa,
demikian menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP bahwa: “Dalam hal
ada saksi yang menguntungkan terdakwa yang tercantum dalam surat
pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat
hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan. Hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan
saksi tersebut”.

- Unus Testis Nullus Testis Dalam hukum pidana dikenal asas unus testis
nullus testis (satu saksi, bukan saksi) sebagaimana diatur di Pasal 185 ayat
(2) KUHAP, yaitu: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya. Siswanto mengatakan dalam artikel Unus Testis
Nullus Testis Kerap Disalahartikan, asas unus testis nullus testis ini sering
disalahartikan sejumlah orang. Karena jika asas ini benar-benar diterapkan
secara lurus, berdampak pada sulitnya pembuktian sebuah kasus pidana.
Padahal, keterangan satu saksi bisa diperkuat dengan kesaksian yang lain
dan menjadi sebuah alat bukti yang sah.
Yang dimaksud saksi dalam Pasal 1 angka 26 maupun Pasal 184 ayat
(1) huruf a KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-
VIII/2010 ialah: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak
pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri. 
Sehingga nantinya Unus testis nullus testis di Pasal 185 ayat (2)
KUHAP di atas tentu harus dipahami sejalan dengan bahwa keterangan
saksi itu ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Berarti, jika
memang hanya ada Anda dan teman Anda yang dicurigai sebagai pelaku
tindak pidana, Anda bisa meminta teman Anda yang lain atau orang lain
menjadi saksi untuk keterangannya dinyatakan di persidangan. Karena
setiap gerak-gerik terduga pelaku yang patut dicurigai bisa menentukan.
Semisal ada orang yang melihat bahwa terduga pelaku keluar dari kelas
Anda, atau memegang handphone Anda di luar kelas, dan banyak
kemungkinan lainnya. 

- Testimonium de auditu yaitu kesaksian atau keterangan karena


mendengar dari orang lain. Pada prinsipnya testimonium de auditu tidak
dapat diterima sebagai alat bukti. Saksi menurut KUHAP adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri. Kemudian Putusan MK 65/PUU-VIII/2010
memperluasnya menjadi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang
terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi.

d. - Berdasarkan arti kata ‘Judex’ berarti hakim dan ‘Facti’ berarti fakta,
sehingga definisi dari judex facti adalah “majelis hakim di tingkat
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memeriksa fakta-fakta pada
perkara dalam persidangan.” Dengan kata lain judex facti artinya “sistem
peradilan dimana majelis hakim berperan sebagai penentu fakta mana yang
benar.” Selain itu juga judex facti lebih condong pada kewenangan hakim
dalam menentukan suatu fakta hukum dalam suatu persidangan yang akan
dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
Alasan mengapa Judex facti berwenang memeriksa fakta dan bukti
dari suatu perkara di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
adalah karena dalam beracara perdata, pemeriksaan bukti hanya sampai
pada tahapan upaya hukum Banding, selanjutnya adalah upaya hukum
kasasi sebagai Judex Juris. Para hakim judex facti memeriksa bukti-bukti
dari suatu perkara dan menentukan nilai hukum dari fakta-fakta yang
diajukan dalam perkara tersebut untuk dijadikan dasar oleh hakim dalam
mengambil putusan.
- Pengertian judex juris adalah “hakim pada tingkat selanjutnya
(Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi) yang memeriksa hukum dari
suatu perkara dan menerapkan hukum tersebut terhadap fakta-fakta perkara
tersebut.” Dengan demikian bahwa, keputusan judex juris adalah putusan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yang.
Mahkamah Agung pada tingkat pemeriksaan Kasasi dikenal dengan
istilah judex juris, karena sesuai alasan dari pengajuan kasasi yang diatur
dalam Pasal 30 UU RI No.3/2009 merupakan suatu alasan penerapan
hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan tingkat bawahan. Wewenang
Mahkamah Agung tersebut tercantum dalam Pasal 20 ayat (2) UU RI
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan
Wewenang Mahkamah Agung ialah sebagai berikut:
1) “Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan
lain;
2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
terhadap undang-undang; dan
3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”

5. - Pengertian upaya hukum


Dalam suatu proses penyelesaian perkara di peradilan umum, para
pihak yang berperkara memiliki tujuan untuk memperoleh putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap. Namun pada kenyataannya, setiap putusan
yang dijatuhkan oleh hakim belum tentu memenuhi unsur keadilan dan
kebenaran karena pada hakekatnya hakim juga merupakan seorang
manusia yang dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan dalam memutus
dan memihak salah satu pihak. “Berdasarkan hal tersebut undang-undang
memberi suatu cara bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan
yang dijatuhkan oleh hakim untuk melakukan perlawanan dalam hal
tertentu sebagai alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam
suatu putusan.”
Berdasarkan pengertian diatas, upaya hukum merupakan upaya yang
diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum dalam
hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-
pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim yang dianggap tidak sesuai
dengan apa yang diinginkan dan tidak memenuhi rasa keadilan demi
mencegah kekeliruan dalam suatu putusan
- Kapan dan syarat Putusan pengadilan Negeri
a. “Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan
tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya
permohonan banding.
b. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU
No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
c. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akta banding yang
memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan
ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding
tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register
Banding Perkara Perdata.
d. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada
pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding
diterima.
e. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas
perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
f. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan
memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan
kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka
waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh
Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11
September 1975).
g. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang
sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan
permohonan banding masih diperbolehkan.”
6. Penetapan pengadilan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir
sehingga upaya hukum banding tidak dapat dilakukan terhadap penetapan.
Oleh karena penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat
dilakukan upaya banding, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah
upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Perlu dipahami bahwa permohonan kasasi hanya dapat diajukan
hanya jika pemohon telah menggunakan upaya hukum banding terhadap
perkaranya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan
banding hanya dapat diajukan satu kali. Selain itu, terdapat pengecualian
terhadap beberapa jenis perkara yang dibatasi untuk pengajuan kasasi.
Pengecualian tersebut berlaku terhadap:
a. putusan tentang praperadilan;
b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan
pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah
daerah yang bersangkutan.
Terhadap permohonan kasasi atas perkara di atas atau permohonan
kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat
diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas
perkaranya tidak dikirimkan ke MA. Di sisi lain, MA juga berwenang
memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat
pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV
UU MA dan perubahannya. PK hanya dapat diajukan satu kali dan tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Selama belum dikeluarkan putusan, permohonan PK dapat dicabut kembali
dan setelah itu tidak dapat diajukan lagi.

7. Kasasi termasuk dalam upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan
Pengadilan Tinggi. Kasasi berasal dari kata ‘casser’ yang berarti
“memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi
terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung,
maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena
dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.” 43 Para
pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan
Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi hanya
meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak
dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga
pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai
pemeriksaan tingkat ketiga.
Agar Upaya hukum kasasi diterima maka Permohonan kasasi harus sudah
disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetapan
pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46
ayat(1) UU RI No. 3/2009 Tentang Mahkamah Agung), bila tidak
terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima. Dan harus melalui
Prosedur upaya hukum kasasi sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 3
Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dijabarkan sebagai berikut:
a. “Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik
secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri
yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi
b. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam
buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi
yang dilampurkan pada berkas.
c. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan
panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis
kepada pihak lawan.
d. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi
dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat
memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi.
e. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori
kasasi pada lawan paling lambat 30 hari.
f. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi dalam
tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan
memori kasasi.
g. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam
jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus
mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung.
8. Upaya Hukum Biasa : “Upaya hukum biasa bersifat menghentikan
pelaksanaan putusan untuk sementara.”38 Upaya hukum biasa sifatnya
terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang telah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan. Wewenang untuk menggunakannya
hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa yakni; perlawanan
(verzet), banding, dan kasasi.
Upaya Hukum Luar Biasa : Memperoleh kekuatan hukum tetap suatu
putusan dapat diajukan upaya hukum luar biasa oleh pihak yang
berperkara. Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum tetap apabila tidak
tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ini tersedia upaya hukum istimewa,
dikatakan istimewa karena upaya hukum tersebut dapat memeriksa
kembali putusan yang telah inkrah agar mentah kembali. Yang termasuk
upaya hukum istimewa yakni Peninjauan Kembali (request civil) dan
Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet).

Anda mungkin juga menyukai