Anda di halaman 1dari 56

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327189820

PENGAWETAN: PENGARUHNYA PADA SIFAT-SIFAT FISIK BENANG DAN


SIMPUL JARING SINTETIS

Book · January 2009

CITATIONS READS

0 4,680

1 author:

Gondo Puspito
Bogor Agricultural University
32 PUBLICATIONS   73 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Gondo Puspito on 23 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGAWETAN : PENGARUHNYA PADA
SIFAT-SIFAT FISIK BENANG DAN SIMPUL
JARING SINTETIS

Oleh :

GONDO PUSPITO

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB
2009
Pengawetan : Pengaruhnya pada Sifat-sifat Fisik Benang dan Simpul Jaring Sintetis

Penulis :
Gondo Puspito
ISBN 978-979-1225-04-5

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Diterbitkan oleh :
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB

Cetakan pertama : Januari 2009

Sanksi pelanggaran Pasal 44, Undang-undang No. 7 tahun 1987 tentang hak cipta, yaitu:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
KATA PENGANTAR

Dunia perikanan tangkap selalu berkembang dan selalu saja terjadi perbaikan atau
modifikasi, baik dalam bidang teknologi alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan,
maupun rancang bangun alat penangkapan ikan. Penggeraknya adalah nelayan. Mereka
sangat trampil dan selalu berupaya untuk meningkatkan hasil tangkapan dengan berbagai
upaya perbaikan atau inovasi pada alat penangkap ikan. Lembaga-lembaga penelitian
sebenarnya juga banyak melakukan penelitian, tetapi umumnya hasilnya tidak sampai ke
masyarakat nelayan.
Salahsatu inovasi yang dilakukan nelayan adalah melakukan pengawetan pada alat
tangkap agar lebih kuat dan tahan lama. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi
pengeluaran untuk pembelian alat tangkap baru. Nelayan menggunakan bahan pengawet
secara coba-coba dan hasilnya belum pernah dibuktikan secara ilmiah.
Tulisan ini berisi banyak hal yang berhubungan dengan pengawetan, terutama jenis-
jenis pengawet dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik benang dan simpul jaring. Materi
tulisan didapatkan dari pustaka dan ujicoba pengawetan terhadap 2 jenis benang yang
banyak digunakan pada dunia perikanan tangkap, yaitu benang polyamide (PA) dan
polyethylene (PE). Dari pengujian, pengawetan untuk jangka pendek ternyata tidak
memberikan pengaruh yang berarti.
Tulisan ini akan terus disempurnakan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2009

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
1. PENDAHULUAN 1
2. PENGAWETAN 3
2.1. Serat Alami 3
2.2. Serat Sintetis 4
3. SERAT SINTETIS 5
3.1. Terminologi 5
3.2. Serat Sintetis Pembentuk Alat Penangkap Ikan 9
4. BAHAN PENGAWET 14
4.1. Styrene Butadiene Ruber (SBR) Lateks 14
4.2. Ekstraktif Kayu 15
4.3. Pelumas 16
4.4. Bahan Bakar 16
5. KEKUATAN PUTUS BENANG DAN STABILITAS SIMPUL 18
5.1. Kekuatan Putus Benang 18
5.2. Stabilitas Simpul 19
6. PENGARUH PENGAWETAN PADA BENANG POLYAMIDE 22
6.1. Pengaruh Oli, Bensin, Solar, dan Minyak Tanah 22
6.2. Pengaruh Lateks 27
6.3. Pengaruh Rui 30
7. PENGARUH PENGAWETAN PADA BENANG POLYETHYLENE 33
7.1. Pengaruh Oli, Bensin, Solar, dan Minyak Tanah 33
7.2. Pengaruh Lateks dan rui 39
8. PENGARUH PENGAWETAN PADA STABILITAS SIMPUL 41
8.1. Simpul Jaring PA 41
8.2. Simpul Jaring PE 43
9. PENUTUP 46
DAFTAR PUSTAKA 47

ii
DAFTAR TABEL

1. Nama dagang serat sintetis polyamide PA 6.6 11


2. Nama dagang serat sintetis polyamide PA 6 12
3. Nama dagang serat sintetis polyethylene PE 13
4. Kekuatan putus benang PA kering 24
5. Kekuatan putus benang PA basah 25
6. Kekuatan putus, massa, dan kecepatan tenggelam benang PA setelah
direndam dalam lateks 28
7. Kekuatan putus, massa, dan kecepatan tenggelam benang PA setelah
direndam dalam rui 31
8. Kekuatan putus benang jaring PE kering setelah direndam dalam oli,
bensin, solar dan minyak tanah 34
9. Kekuatan putus benang PE basah setelah direndam dalam oli, bensin, solar
dan minyak tanah 37
10. Kekuatan putus benang PE setelah direndam dalam lateks dan rui 39

iii
DAFTAR GAMBAR

1. Bagan alir proses pembuatan PA 6.6 salt. Perubahan dari material mentah
kedalam bentuk substansi dasar adipic acid dan hexametylenediamine 7
2. Bagan alir proses pembuatan PA 6.6 salt. Perubahan dari material mentah
kedalam bentuk substansi dasar adipic acid dan hexametylenediamine 7
3. Breaking strength tester merek Shimadzu Autograph Ags-D type 20
4. Posisi benang dan mata jaring ketika dilakukan penarikan 21
5. Hubungan antara lama perendaman dalam cairan pengawet terhadap
kekuatan putus benang PA kering 26
6. Hubungan antara lama perendaman dalam cairan pengawet terhadap
kekuatan putus benang PA basah 27
7. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks terhadap kekuatan putus
benang PA 29
8. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks terhadap massa benang
PA 30
9. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks terhadap kecepatan
tenggelam benang PA 30
10. Hubungan antara lama perendaman dalam rui terhadap kekuatan putus
benang PA 32
11. Hubungan antara lama perendaman terhadap kekuatan putus benang PE
kering 35
12. Hubungan antara lama perendaman terhadap kekuatan putus benang PE
basah 38
13. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui terhadap
persentase simpul jaring PA lepas 42
14. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui terhadap stabilitas
simpul jaring PA 43
15. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui terhadap
persentase simpul jaring PE lepas 44
16. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui terhadap stabilitas
simpul jaring PA 45

iv
1. PENDAHULUAN

Pada awalnya bahan jaring yang digunakan oleh nelayan dibuat menggunakan serat alam,
misalnya kapas, sisal, manila, linen, hemp, dan ramie. Serat-serat alam ini terutama
mengandung selulosa dan protein. Pada kondisi lembab atau saat tenggelam di dalam air,
benang yang terbuat dari serat-serat ini akan dirusak oleh bakteri pembusuk. Alat
penangkap ikan -- yang terbuat dari serat alam -- yang dioperasikan dekat dengan
permukaan dasar perairan akan lebih cepat rapuh. Penyebabnya adalah dasar perairan
banyak dipenuhi oleh bakteri pembusuk dengan daya busuk yang sangat tinggi. Proses
pembusukan barulah akan benar-benar berhenti ketika jaring dalam kondisi kering.
Proses pembusukan pada kenyataannya sulit untuk dicegah dan cuma bisa dihambat.
Upaya nelayan untuk menghambat pembusukan pada alat tangkapnya adalah dengan
melakukan pengawetan. Tujuannya adalah untuk menghambat pembusukan agar alat
penangkap ikan dapat dipakai lebih lama. Selain itu, nelayan menjemur alat tangkapnya
ketika tidak digunakan.
Sejalan dengan berkembangnya jaman, penggunaan serat alam sebagai bahan dasar
pembuat benang jaring ditinggalkan. Nelayan beralih menggunakan jaring sintetis, yaitu
jaring yang terbuat dari benang dengan bahan dasar serat sintetis. Jenis benang ini
memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan dengan benang jaring yang terbuat dari
serat alam. Diantaranya, lebih kuat, tahan lama, murah, mudah dirawat, dan mudah dibuat
menjadi alat tangkap.
Kebiasaan nelayan mengawetkan jaring yang terbuat dari serat alam ternyata juga
dilakukan terhadap jaring sintetis. Pengawetan terhadap jaring sintetis sebenarnya tidak
perlu dilakukan, karena jaring sintetis tidak dapat membusuk. Sedikit kekurangan pada
jaring sintetis adalah lama kelamaan jaring sintetis juga akan menjadi lapuk, terutama jika
sering terjemur.
Penelitian mengenai pengaruh pengawetan terhadap jaring sintetis sudah banyak
dilakukan. Fokus penelitian ditujukan untuk melihat pengaruh pengawetan, diantaranya
terhadap perubahan sifat-sifat fisik benang, seperti kekuatan putus benang, elastisitas
benang, dan diameter benang. Selain itu, penelitian juga diarahkan untuk melihat pengaruh
pengawetan terhadap stabilitas simpul jaring. Dalam tulisan ini dipaparkan mengenai
pengaruh bahan pengawet terhadap sifat-sifat fisik benang jaring, seperti kekuatan putus,

1
perubahan massa, perubahan kecepatan tenggelam, dan perubahan warna. Selain itu,
tulisan ini juga akan menerangkan pengaruh bahan pengawet terhadap persentase simpul
lepas dan stabilitas simpul. Sebelum mengupas semua topik tersebut, tulisan ini akan
menerangkan lebih dahulu mengenai pengawetan, serat sintetis, bahan pengawet, kekuatan
putus benang dan stabilitas simpul.

2
2. PENGAWETAN

Pengawetan pada prinsipnya merupakan upaya menjaga keawetan benang jaring agar
lebih tahan lama dipakai. Pada benang yang terbuat dari serat alam, pengawetan akan
menghambat pembusukan dan menambah kekuatan benang. Adapun pada benang yang
terbuat dari serat sintetis, pengawetan diperkirakan hanya akan mempengaruhi sifat-sifat
fisik benang. Namun demikian, pengawetan sebenarnya juga dapat memberikan efek
samping yang merugikan terhadap sifat-sifat fisik benang jaring, seperti benang menjadi
lebih kaku, pengurangan fleksibilitas, kemuluran, pengerutan, dan kekenduran,
penambahan bobot jaring, dan perubahan warna benang jaring.
Benang yang terbuat dari serat alam sangat mudah lapuk. Oleh karenanya, penelitian
mengenai bahan pengawet dan cara pengawetannya banyak dilakukan. Lembaga penelitian
pun memberikan andil dalam mengembangkan cara-cara pengawetan yang efisien dan
murah. Ini berbeda dengan benang sintetis. Kondisi benang yang jauh lebih baik, lebih
kuat, dan murah dari benang alam menyebabkan tidak ada upaya dari lembaga penelitian
untuk mengembangkan bahan atau cara-cara pengawetannya.

2.1. Serat Alam


Cara yang dilakukan nelayan untuk mengawetkan alat penangkap ikan yang terbuat
dari serat serat alam adalah dengan merendam jaring kedalam cairan ter batu bara, ter kayu
atau karbon. Untuk campurannya terkadang digunakan minyak tanah atau bensin. Cara lain
adalah merendam benang jaring kedalam larutan ekstrak kulit kayu.
Lembaga-lembaga penelitian memperkenalkan penggunaan senyawa metalik sebagai
cairan pengawet, diantaranya adalah potassium bichromat, copper naphtenate, copper
sulphate, coprous, dan oxide. Dua metode pengawetan yang sangat efisien yang
diperkenalkan oleh lembaga penelitian adalah metode testalin dan tannin + potassium
bichromate. Prosesnya adalah :
1. Metode testalin.
Jaring dididihkan selama 30 menit dalam larutan yang mengandung 2% tannin atau
ekstrak kulit kayu bakau dengan tambahan 1% coprous oxide (testalin). Setelah jaring
dikeringkan, maka perlakukan diulangi lagi dengan menambahkan 2% tannin, tetapi
tanpa testalin. Sebagai tambahan, ketika jaring masih basah dimasukkan kedalam

3
carbolineum.
2. Metode tannin + potassium bichromate.
Jaring direbus selama 30 menit dalam larutan 2% tannin. Setelah dikeringkan, jaring
ditaruh kedalam larutan 3% potassium bichromate selama 1 jam. Setelah dibilas
dengan air bersih, jaring dikeringkan. Proses ini diulangi lagi dengan larutan 2%
tannin. Pengawetan akan memberikan hasil terbaik jika jaring dimasukkan lagi
kedalam larutan carbolineum.
Keuntungan dari penggunaan kedua metode ini adalah:
1. Bakteri pembusuk tidak dapat menembus kulit luar serat alam;
2. Larutan pengawet yang menyatu dengan benang jaring tidak mudah dibersihkan oleh
air; dan
3 Benang jaring akan memiliki daya tahan yang sangat tinggi terhadap pembusukan.
Pengaruh pengawetan yang dilakukan menggunakan berbagai metode pengawetan
sangat dipengaruhi oleh tingkat kohesi antara larutan pengawet dengan serat. Penggunaan
tar dan carbolineum tidak dapat melapisi permukaan benang jaring secara rapat, tetapi
tetap menyisakan celah. Penggunaan kedua bahan pengawet tersebut kurang efektif jika
dibandingkan dengan kedua metode pengawetan sebelumnya.

2.2. Serat Sintetis


Pengawetan terhadap benang sintetis hanya dilakukan oleh nelayan dengan cara coba-
coba. Idenya didapat dari cara pengawetan sebelumnya terhadap jaring yang terbuat dari
serat sintetis. Bahan pengawetnya relatif sama dengan bahan yang digunakan untuk
mengawetkan jaring yang terbuat dari serat alam. Cara pengawetannya sangat sederhana.
Jaring hanya direndam dalam larutan pengawet selama waktu yang tidak ditentukan. Tidak
ada patokan dalam menentukan perbandingan konsentrasi antara bahan pengawet dan
cairan pelarutnya. Prosesnya dilakukan berulang-ulang, atau hanya satu kali ketika jaring
masih dalam keadaan baru.
Bahan dasar pengawet biasanya berupa ekstrak kulit kayu, lateks, bahan bakar, pelumas
oli, atau aspal. Pengawetan dengan lateks, bahan bakar, pelumas oli, atau aspal dilakukan
secara langsung, yaitu jaring langsung direndam tanpa dilakukan pengenceran. Adapun
pengawetan dengan bahan kulit kayu terlebih dahulu dilakukan pengenceran menggunakan
air bersih.

4
3. SERAT SINTETIS

3.1. Terminologi
Dewasa ini serat sintetis lebih banyak digunakan sebagai bahan pembuat alat penangkap
ikan dibandingkan dengan serat alam. Kelebihan utama jaring yang terbuat dari serat
sintetis dibandingkan dengan serat alam diantaranya adalah :
1. Tidak mudah lapuk;
2. Kekuatan putusnya tinggi;
3. Kemuluran lebih besar;
4. Daya serap terhadap air kecil;
5. Tahan terhadap gesekan; dan
6. Tidak terpengaruh oleh asam, basa, garam, dan minyak.
Untuk dijadikan sebagai bahan dasar pembentuk alat penangkap ikan, serat sintetis sudah
memenuhi persyaratan yang diperlukan, misalnya :
1. Memiliki ketahanan putus yang besar terhadap tarikan, lengkungan, gesekan, dan
tahan terhadap gaya yang bekerja berulang-ulang;
2. Halus dan fleksibel;
3. Kecepatan tenggelam tinggi;
4. Sangat panjang; dan
5. Elastis dan tidak kaku.
Sintetis sebenarnya adalah istilah ilmiah dan teknis untuk suatu proses kimiawi, yaitu
elemen-elemen kimia dikombinasikan dan diperkuat oleh pabrik dengan sifat-sifat baru.
Bahan penyusunnya sangat sederhana, karena terdiri atas phenol, benzene, acetylene,
prussic acid dan chlorine. Proses pembuatannya sangat rumit. Berikut ini adalah tahapan-
tahapan penting dalam pembuatan salahsatu serat sintetis, yaitu polyamide (PA).
1. Bahan mentah yang harus tersedia adalah batu bara, minyak bumi, kapur, dan garam.
Untuk nilon, bahan bakunya adalah phenol yang terbuat dari ter batu bara;
2. Dari bahan mentah tersebut -- melalui proses kimia -- dihasilkan monomer yang
digunakan untuk membangun makro molekul. Dua bahan dasar yang diperlukan
untuk membantu proses ini adalah adipic acid dan hexamethylenediamine yang
dikombinasikan dengan garam polyamide (Gambar 1);

5
3. Proses penting lainnya adalah polimerisasi atau polikondensasi, yaitu pembentukan
rantai molekul atau polimer. Proses ini berupa pemanasan dalam autoclave
bertekanan tinggi. Untuk pembuatan nilon, sejumlah molekul hexamethylenediamine
dan adipic acid digabung satu dengan lainnya. Hasilnya berupa polimer panjang.
Untuk nilon polimer, dua komponen dihubungkan bersama dengan mengelompokkan
suatu atom jenis khusus yang disebut polyamide. Polimer polyamide (PA)
dikeluarkan dari autoclave dalam bentuk lembaran pita yang dapat dipotong
berbentuk kepingan (Gambar 2);
4. Substansi dasar polyamide dirubah menjadi serat dengan pemintalan lelehan. Caranya
adalah dengan melelehkan kepingan-kepingan PA. Selanjutnya menyemprotkan
lelehan melalui spinnerel (tabung pemintal), sehingga terbentuk benang jaring.
Benang-benang liat ini akan menjadi kaku setelah terkena udara. Kondisi benang
jaring ini masih sangat halus dan memiliki kekuatan putus (breaking strength) yang
sangat rendah, sehingga belum dapat digunakan (Gambar 2); dan
5. Pembuatan filamen diakhiri dengan penarikan. Benang diregangkan 3-5 kali dari
panjang semula untuk mendapatkan kelembutan, diameter, daya rentang dan
kemuluran akhir.

6
Water Coal Air

Tar Coke

Benzene Hydrogen Nitrogen


+ chlorine Benzene Benzene

Ammonia
Chlorobenzene

Hydroxylamine
Phenol +
hydrogen
Nitric acid

Cyclohexanol

Cyclohexanone
+ nitric acid

Adipic acid
+ ammonia

Adiponitrile PA 6.6 salt


+ hydrogen

Hexamethylenediamine

Gambar 1. Bagan alir proses pembuatan PA 6.6 salt. Perubahan dari material
mentah kedalam bentuk substansi dasar adipic acid dan
hexametylenediamine

7
PA 6.6 salt

Policondensation

Finished polimer PA 6.6

Cut into chips

Melt Spinning

300oC

Spinnerel

Cooling air

Netting yarn

Single yarn

Drawing

Gambar 2. Proses pembuatan serat PA 6.6 yang dimulai dari pembentukan


polimer sampai menjadi benang jaring.

8
3.2. SERAT SINTETIS PEMBENTUK ALAT PENANGKAP IKAN

Serat sintetis pembentuk alat penangkap ikan sebagian besar berbentuk jaring. Sebagian
lainnya berbentuk benang -- sebagai pengikat antara jaring dengan jaring atau antara jaring
dengan tali -- dan lainnya tali sebagai pembentuk alat penangkap ikan. Dari sekian banyak
jenis benang sintetis, jenis benang polyamide (PA) dan polyethylene (PE) adalah yang
paling banyak digunakan. Jaring yang terbuat dari benang PA banyak dipakai pada alat
tangkap yang cara penangkapannya dengan menjerat atau memuntal ikan, contohnya jaring
insang, jaring kantong, perangkap lobster, dan kepiting. Adapun jaring yang terbuat dari
benang PE digunakan pada alat tangkap yang fungsinya untuk menghadang dan
mengantongi ikan, contohnya payang, purse seine, dan bagan. Alat tangkap yang terbuat
dari benang PA umumnya tetap menggunakan benang PE sebagai komponen
tambahannya. Misalnya jaring insang yang jaringnya terbuat dari benang PA, tetapi tali ris
atas dan bawahnya terbuat dari PE. Begitu juga dengan alat tangkap payang yang sebagian
besar komponennya menggunakan jaring PE, tetapi tetap menggunakan benang PA sebagai
pengikatnya. Benang PA baik digunakan sebagai pengikat, karena lebih lentur, fleksibel,
dan kuat dibandingkan dengan benang PE. Adapun sebagai bahan dasar tali, benang PE
jauh lebih baik dibandingkan dengan benang PA. Sebab permukaannya lebih kasar,
sehingga mudah dipegang ketika dilakukan pengangkatan alat, lebih kuat sebagai
kerangka pembentuk jaring, dan tempat peletakan pelampung atau pemberat.
Serat sintetis PA digunakan dalam bentuk continuous filament dan monofilament.
Continuous filament artinya filamennya tidak terputus-putus dan bila digabungkan atau
dipilin akan membentuk sebuah multifilament yarn. Panjang serat continuous filament
tidak terbatas. Adapun monofilament artinya filamen tunggal. Monofilament yarn memiliki
ukuran diameter dan kelembutan yang lebih besar dari continuous filament. Sementara
serat sintetis PE hampir selalu digunakan dalam bentuk multifilament. Kekakuan serat PE
sangat tinggi. Benang jaring yang hanya terdiri atas satu filamen atau monofilament sangat
sulit untuk dibentuk dan dijadikan material jaring. Serat PE hanya dijadikan sebagai
benang jaring dengan diameter besar atau tali.
a. Polyamide
Serat PA merupakan serat sintetik yang terdiri atas pengulangan unit-unit gugus amida.
PA diproduksi dalam beberapa jenis yang berbeda sesuai dengan komponen kimia masing-

9
masing dan sifat-sifatnya, misalnya titik cair. Setiap jenis ditandai dengan suatu bilangan
yang ditambahkan pada setiap nama umum dan penunjukkan jumlah atom karbon dalam
komponen monomer. Jenis yang paling penting dan banyak digunakan dalam dunia
perikanan tangkap adalah PA 6.6 dan PA 6. PA 6.6 terbuat dari hexamethylenediamine
dan adipic acid dengan rumus kimia sebagai berikut.

H2N-(CH2)6-NH2 + HCOOH-(CH2)4-COOH NH-(CH2)6-NH-CO-(CH2)4-CO + 2HCL


Hexamethylene Adipic acid Nylon PA 6.6
diamine

Adapun PA 6 terbentuk dari hasil polimerisasi caprolactam dengan rumus kimia berikut.

CH2 CH2 CO3 80-100oC

CH2 NH – (CH2)5 -CO

CH2 CH2 NH3


Nylon PA 6
Caprolactam

Dalam dunia perikanan tangkap, kedua jenis PA tersebut relatif tidak memiliki
perbedaan dan secara praktis memiliki kesamaan sifat-sifat mekanis. Benang jaring PA 6.6
atau PA 6 memiliki jumlah molekul yang sama dan keduanya cocok digunakan sebagai
bahan jaring pada alat penangkap ikan. Perbedaannya hanya terdapat pada nama
dagangnya saja. Pada Tabel 1 dan 2 dituliskan beberapa nama dagang serat PA.

b. Polyethylene
Bahan dasar PE atau monomer ethylene diperoleh dari minyak tanah. Sebelumnya,
pembuatan serat PE dilakukan dengan metode polumerisasi yang memerlukan tekanan
hingga 1.000 atm. Metode yang digunakan sekarang menggunakan tekanan rendah, tetapi
dengan bantuan organometal catalyst, seperti alumunium alkyl. Beberapa nama dagang
serat PE dituliskan pada Tabel 3.
Serat PE memiliki kekuatan putus antara 1,0-1,5 g/denier dengan daya mulur 40%.
Kekuatan putusnya, baik dalam kondisi basah maupun kering, adalah sama. Sifat-sifat
lainnya adalah tidak menyerap air, berat jenisnya 0,93-0,96 g/cm3, tahan panas hingga

10
90oC, dan tahan terhadap sinar matahari. Serat PE memiliki susunan molekul kimia yang
stabil dan tahan terhadap pengaruh kimia, seperti asam, alkalis, dan larutan garam organis.
Selain itu, serat PE sangat tahan dari serangan jamur, bakteri, serangga, larva ngengat, dan
ganggang laut. Kekurangan serat PE adalah kurang tahan terhadap gesekan dan kekuatan
putusnya akan berubah 2% dari kekuatan putus sebelumnya pada setiap kenaikan atau
penurunan temperature 1oC.

Tabel 1. Nama dagang serat sintetis polyamide PA 6.6.

No. Nama dagang Negara No. Nama dagang Negara


1. Akvalon Norwegia 13. Herox USA
2. Amyd Rusia 14. Hisilon Argentina
3. Anyd Rusia 15. Jayanka India
4. Antron Argentina 16. Kenlon Inggris
5. Anzilon Selandia Baru 17. Knoxlock Inggris
6. Blue USA 18. Luron Inggris
7. Brilon Argentina 19. Neva nylon Jerman
8. Bri nylon Inggris 20. Poliafil USA
9. Cedilla USA 21. Prenyl Argentina
10. Celfibras Brasil 22. Promilan Jepang
11. Cordura Usa 23. Roblon Denmark
12. Ducilon Argentina 24. Synthyl Yunani

11
Tabel 2. Nama dagang serat sintetis polyamide PA 6.

No. Nama dagang Negara No. Nama dagang Negara


1. Akulon Belanda 30. Hsien-Chin Taiwan
2. Amilan Jepang 31. Jaykalon India
3. Amilon Cekoslowakia 32. Julon, yulon Yugoslavia
4. Anzalon Belanda 33. Kapron Rusia
5. Atlas-draht Jerman 34. Korlon Korsel
6. Atom Taiwan 35. Lilion Italia
7. Ayrlyn USA 36. Mirlon Swiss
8. Bifil Belanda 37. Monosheer USA
9. Bodanyl Swiss 38. Nailonsix Brasil
10. Caprolan USA 39. Neva perlon Jerman
11. Celon Inggris 40. Nylfil Meksiko
12. Century nylon India 41. Nylpak Pakistan
13. Chemlon Cekoslowakia 42. Nytelle USA
14. Chinlon China 43. Ortalion Italia
15. Cifalon Portugis 44. Perlon Jerman
16. Clion Italia 45. Pescalon Jerman
17. Cordenkalon Belanda 46. Platil (6±6.6) Jerman
18. Cuerda nylon Meksiko 47. Platon Jerman
19. Cydsa nylon Meksiko 48. Polygal Chili
20. Dayan Spanyol 49. Prenylon Argentina
21. Enkalan Belanda 50. Pylon Pakistan
22. Enkalon Inggris 51. Relon Rumania
23. Enzlon Selandia Baru 52. Rulon Rumania
24. Fisisa Peru 53. Seflon Turki
25. Forlion Italia 54. Silon Cekoslowakia
26. Garnyl India 55. Stilon Polandia
27. Glamour Peru 56. Supralon Yugoslavia
28. Helion Malta 57. Teco polyamide Jerman
29. Hilon Korsel 58. Tecron Spanyol

12
Tabel 3. Nama dagang serat sintetis polyethylene PE.

No. Nama dagang Negara No. Nama dagang Negara


1. Amco, PE, PP USA 32. Northylen Jerman
2. Amcostrp, PE, PP USA 33. Nymplex Belanda
3. Akvaflex Norwegia 34. Omni, PE. PP Meksiko
4. Amerfil, PE, PP USA 35. Pex, PE, PP Inggris, USA
5. Argon Francis 36. Platilon Jepang
6. Bellex Jepang 37. Polex Jepang
7. Caralyan Jepang 38. Politial, PE, PP Jerman
8. Cerfil Portugal 39. POliten-omni Meksiko
9. Corfiplaste Portugal 40. Poly-twine, PE PP Kanada
10. Courlene Inggris 41. Polytex, PE, PP Kanada
11. Dawbac, PE, PP USA 42. Poly-net Jerman
12. Diamond, PE, PP USA 43. Polytie, PE, PP Kanada
13. Drylene 3 Inggris 44. Radiant twine, PE, PP USA
14. Etylon Jepang 45. Rigidex Inggris
15. Filmtex, PE, PP Norweggi 46. Rofil Inggris
16. Filtrona, PE, PP Inggris 47. Sainthene Francis
17. Flotten Francis 48. Scanflex, PE, PP Denmark
18. Fortiflex USA 49. Spiralox, PE, PP Denmark
19. Gold metal, PE, PP USA 50. Sunline Jepang
20. Hiralon Jepang 51. Tanikalon Jepang
21. Hi-zex Jepang 52. Teco-polyathylen Jerman
22. Hostalen G Jerman 53. Tiptolene, PE, PP Belanda
23. Hsien-chin Taiwan 54. Trofil Jerman
24. Kanelight Jepang 55. Tuff-lite-l USA
25. Layeten, PE, PP Swedia 56. Tufton, PE, PP Kanada
26. Levilene Italia 57. Velon LP USA
27. Marlin Islandia 58. Velon PS USA
28. Monolene, PE, PP Kanada 59. Vestolen Jerman
29. Multilene, PE, PP Kanada 60. Vislene Italia
30. Next-M Jepang 61. Wynene, PE, PP Kanada
31. Norfil Inggris 62. X-crin Italia

13
4. BAHAN PENGAWET

Ada beberapa jenis bahan pengawet yang digunakan nelayan. Diantaranya lateks dan rui
yang digunakan untuk mengawetkan alat penangkap payang, dan solar untuk mengawetkan
purse seine. Pelumas oli, solar, bensin dan minyak tanah sebenarnya tifdak digunakan
sebagai pengawet, tetapi ketiga bahan cair ini sering bersentuhan dengan alat penangkap
ikan, seperti jaring insang, jaring kantong, purse seine, atau payang. Penyebabnya, geladak
perahu yang sempit tidak menyisakan tempat untuk menaruh alat penangkap ikan dan ke-4
bahan cair tersebut. Akibatnya alat-alat penangkap ikan sering terkena atau terendam
dalam ke-3 cairan tersebut.

4.1. Styrene Butadiene Ruber (SBR) Lateks


SBR merupakan lateks sintetis yang dikembangkan untuk menghasilkan polimer kering.
Lateks ini merupakan hasil proses yang menggunakan lemak hewan yang dimodifikasi
dengan resin acid soaps. Dari proses ini dihasilkan lateks dengan kandungan padatan yang
sedikit. Penelitian lebih lanjut menghasilkan lateks dengan kandungan styrene padatan
lebih banyak. Lateks tersebut terdiri atas lateks jenis 3 dan 4. Kedua lateks tersebut
memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis 1 dan 2.
Pada pembuatan karpet busa, lateks sintetis dicampur dengan lateks alam. Untuk
membuat busa pelapis pada tekstil, ban, perekat dan karet busa, lateks dicampurkan dengan
bahan lain. Lateks yang dicampurkan dengan lateks alam atau dengan emulsi resin yang
diperkaya dengan hidrokarbon menghasilkan perekat.
Informasi yang didapatkan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa lateks yang
digunakan oleh nelayan sebagai bahan pengawet benang jaring berasal dari pabrik ban
Good Year. Dari hasil identifikasi didapatkan bahwa bahan pengawet ini mengandung
senyawa styrene butadiene rubber (SBR), resin, karbon dan fatty acid. Senyawa karbon
berfungsi sebagai penguat dan pemberi warna hitam. Agar resin dan SBR lateks dapat
digunakan, maka harus dicampur dengan air terlebih dahulu. Masalahnya, sifat resin
adalah hidrofob atau tidak bisa bercampur dengan air. Agar dapat bercampur, maka
digunakan senyawa pengemulsi, yaitu fatty acid (asam lemak). Akibat pencampuran ini,
sifat SBR berubah dari hidrofob menjadi hidrofil dan lateks menjadi bersifat asam.

14
Salah satu senyawa dalam lateks yang diperkirakan dapat meningkatkan kekuatan putus
benang jaring adalah resin. Pemberian resin pada benang jaring akan meningkatkan
kekuatan putusnya. Pemakaian konsentrasi resin yang tinggi diperkirakan dapat
meningkatkan kekuatan putus benang jaring PA dan PE. Pabrik jaring PT Matahari Fihing
Net Industry memanfaatkan resin selain sebagai penguat, juga sebagai bahan perekat
benang jaring.

4.2. Ekstraktif Kayu


Sejumlah komponen kayu yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan
non polar disebut sebagai ekstraktif kayu. Ekstraktif dapat dipandang sebagai konstituen
kayu yang tidak struktural dan hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa
ekstraseluler dengan berat molekul yang rendah. Ekstraktif-ekstraktif menempati tempat-
tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Sebagai contoh, asam-asam resin yang
terdapat dalam sel-sel parenkim. Ekstraktif-ekstraktif fenol terdapat terutama dalam kayu
dan kulit.
Ekstraktif terdiri atas senyawa lipofil dan hidrofil. Kandungan kedua ekstraktif tersebut
biasanya lebih tinggi didalam kulit kayu dibandingkan dengan didalam kayunya sendiri.
Bagian lipofil yang dapat diekstraksi dengan pelarut non polar (etil eter diklorometana)
terutama terdiri atas lemak, lilin, terpenoid, dan alcohol alifatik tinggi. Terpenoid, asam-
asam resin, dan sterol-sterol terdapat dalam saluran-saluran resin yang ada dalam kulit
kayu, dalam sel-sel gabus, dalam eksudat patologi (oleoresin), dan dari kulit yang terluka.
Adapun bagian hidrofil – yang hanya dapat diekstraksi dengan air atau pelarut organic
polar (aseton dan etanol) – mengandung konstituen-konstituen fenol dalam jumlah yang
besar. Banyak diantara tannin kondensasi (sering disebut sebagai asam fenolat) dapat
diekstraksi hanya sebagai garam dengan larutan encer alkali.
Salah satu ekstraktif kayu yang digunakan sebagai pengawet benang jaring adalah rui.
Bahan pengawet rui merupakan campuran dari dua jenis kulit kayu, yaitu salam (Syzygium
polyanthum) dan gadog (Bischofia javanica) dengan perbandingan 4 : 1. Zat penguat jaring
yang terdapat pada kedua kulit kayu ini adalah tannin. Kandungan tannin pada kulit kayu
salam mencapai 28%, sedangkan kulit kayu gadog hanya sekitar 16%. Warna tannin yang
merah kecoklatan digunakan juga sebagai pewarna jaring.

15
Getah rui didapatkan dari hasil perendaman kulit kayu salam dan gadog. Warna larutan
yang semakin gelap menandakan bahwa kualitas rui semakin baik. Metode pembuatan rui
seperti ini dinamakan ekstraksi. Rui tergolong produk alam yang tidak bersifat sebagai
pencemar.

4.3. Pelumas
Pelumas oli diperoleh dari hasil pengolahan bahan tambang, bahan mineral atau minyak
bumi. Sampai saat ini oli merupakan bahan yang paling memenuhi syarat sebagai bahan
pelumas, karena memiliki gesekan yang rendah, dapat mencegah korosi, dan merupakan
penghantar panas yang baik. Bahan mineral minyak bumi yang dapat menghasilkan bahan
bakar dan minyak pelumas mayoritas terdiri atas elemen-elemen hydrogen dan karbon.
Hidrogen dan karbon merupakan elemen-elemen organik yang membentuk ikatan yang
dikenal dengan nama hidrokarbon. Oli tersusun atas molekul-mulekul hidrokarbon yang
kompleks. Oli memiliki beberapa warna, mulai dari bening sampai gelap. Semakin gelap
warna oli, maka titik didihnya semakin tinggi. Warna gelap alamiah ini tersusun atas ikatan
fraksi berat, seperti heavy oil, dan asphalt yang tidak mudah menguap dan cenderung
berkumpul pada fraksi yang titik didihnya tinggi. Oli dapat teroksidasi akibat reaksi antara
oksigen dan ikatan hidrokarbon yang ada didalamnya. Proses oksidasi ini berlangsung
lambat pada suhu ruangan, tetapi dapat dipercepat bila suhu dinaikkan. Nilai specific
gravity-nya pada suhu 60oF atau 15,56oC antara 0,85-0,90.

4.4. Bahan Bakar


a. Bensin
Bensin – disebut juga sebagai mogas, gasoline, dan petrol -- adalah suatu cairan yang
terdiri atas campuran zat-zat cair dan arang cair. Sebagian besar bensin digunakan sebagai
bahan bakar motor bensin. Bensin juga digunakan sebagai bahan ekstraksi, pelarut,
pembersih, penerangan, dan pemanas.
Bahan dasar bensin adalah campuran alkana dengan rantai C6H14-C9H18. Komponen
utamanya adalah heptana (C7H16) dan isooktanat (C8H18). Titik didihnya antara 30-300oC.
Pada suhu 60oF atau 15,56oC, bensin memiliki nilai specific gravity antara 0,72-0,7587.
b. Minyak tanah
Minyak tanah atau kerosin adalah fraksi minyak bumi yang lebih berat dari bensin dan
terdiri atas campuran alkana dengan rantai C12H26-C15H32. Kandungan lainnya adalah

16
sulfur sebesar 0,20% dari berat total minyak tanah. Titik didihnya antara 140-200oC. Pada
suhu 60oF atau 15,56oC, minyak tanah memiliki specific gravity maksimum sebesar 0,835.
Minyak tanah pada umumnya dipakai sebagai bakar rumah tangga atau sebagai minyak
lampu.
c. Solar
Solar merupakan campuran alkana dengan rantai C15H32-C16H34 dengan titik didih 250oC.
Nilai viskositasnya antara 1,6-5,8 centipoises. Kadar sulfurnya sebesar 0,5% dan air 0,05%
dari berat total solar. Specific gravity solar pada suhu 60oF adalah antara 0,820-0,870.

17
5. KEKUATAN PUTUS BENANG DAN STABILITAS SIMPUL

5.1. Kekuatan Putus Benang


Kekuatan putus benang adalah kekuatan putus maksimum yang diperlukan untuk
membuat benang putus dalam suatu uji yang menggunakan ketegangan. Satuannya dalam
kilogram gaya (kgf). Cara mengetahui kekuatan putus adalah dengan melakukan uji
kekuatan putus (breaking strength). Strength merupakan nama umum untuk
mendefinisikan tenacity dan tensile strength suatu serat. Kedua istilah tersebut memiliki
perbedaan. Tenacity adalah tekanan rentang kepadatan serat atau benang, sedangkan
tensile strength adalah kekuatan putus terhadap satuan luas penampang. Tenacity
dinyatakan dalam gram per denier (g/D), sedangkan tensile strength dalam satuan gram per
millimeter persegi (g/mm2).
Alat penguji kekuatan putus benang jaring adalah breaking strength tester (Gambar 3).
Selain sebagai sebagai penguji kekuatan putus, alat tersebut diantaranya juga berguna
untuk mengetahui kemuluran benang, uji kekuatan simpul, dan stabilitas simpul. Bagian
terpenting breaking strength tester adalah load cell. Komponen ini berfugsi untuk
mengukur dan merekam tahanan yang diberikan oleh suatu benang ketika dilakukan
penarikan. Pada Gambar 4(a) ditunjukkan posisi benang jaring ketika akan dilakukan
penarikan.
Sebelum melakukan suatu uji penarikan benang jaring, maka ada persyaratan yang harus
dipenuhi, yaitu penetapan kondisi benang dan ruang tempat dilakukannya uji. Persyaratan
tersebut adalah :
1. Ruang pengujian harus dalam kondisi standar. Seluruh pengujian harus dilakukan
dalam ruang bersuhu 20o ± 2oC dan kelembaban udara (RH) 65 ± 2%. Jika
persyaratan ini tidak dapat dipenuhi, maka suhu dan kelembaban udara dalam ruang
tempat dilakukannya pengujian harus dicatat;
2. Kondisi standar contoh benang. Maksudnya contoh benang berada pada kondisi
standar, yaitu dalam kondisi moisture equilibrium. Apabila contoh benang
dikeringkan pada temperature antara 40-50oC dan kemudian dibiarkan dalam ruang
pengujian yang dalam keadaan standar juga, maka contoh benang tersebut dikatakan
dalam kondisi moisture equilibrium; dan

18
3. Tegangan awal standar. Artinya, contoh benang berada dalam ketegangan tertentu.
Jika contoh benang diberi tegangan hingga tegang tanpa mengakibatkan
perpanjangan,maka contoh benang tersebut dikatakan dalam kondisi tegangan awal.

5.2. Stabilitas Simpul


Stabilitas simpul adalah kemampuan dari simpul untuk tidak berubah bentuk, Stabilitas
simpul merupakan syarat bagi terbentuknya ukuran mata jaring dengan bukaan mata yang
tetap. Faktor yang mempengaruhi stabilitas simpul diantaranya adalah :
1. Jenis simpul yang digunakan;
2. Kekencangan simpul;
3. Jenis bahan dasar benang;
4. Jenis benang tunggal (monofilament) atau multifilament;
5. Kekakuan benang;
6. Diameter benang; dan
7. Kondisi benang kering atau licin.
Pada pengujian stabilitas simpul, jumlah mata jaring yang diperlukan hanya satu buah
untuk setiap penarikan. Jumlah ulangan penarikan sebaiknya dilakukan sebanyak-
banyaknya. Mata jaring yang dijadikan contoh harus diambil dari berbagai posisi pada
lembar jaring.
Pada Gambar 4(b) ditunjukkan posisi mata jaring ketika dilakukan pengukuran stabilitas
simpul jaring. Dua simpul yang dapat lepas diletakkan sejajar secara horizontal. Stabilitas
simpul diukur ketika salah satu simpul terlepas setelah dilakukan penarikan Satuannya
dalam kilogram gaya (kgf). Nilai stabilitas ini merupakan nilai kedua simpul yang sejajar.
Oleh karena pengukuran hanya untuk satu simpul, maka nilai stabilitas simpul ini harus
dibagi 2. Adakalanya, penarikan mata jaring tidak mengakibatkan simpul lepas, tetapi
salah satu dari sisi atau kaki simpul putus. Nilai ini tidak dianggap sebagai nilai stabilitas
simpul.

19
Gambar 3. Breaking strength tester merek Shimadzu Autograph Ags-D type.

20
Arah penarikan Arah penarikan
(a) (b)

Load cell
Load cell
Penjepit
Kait atas
Kait atas
Posisi simpul lepas

Benang contoh

Kait bawah Kait bawah Posisi simpul lepas

Gambar 4. Posisi benang dan mata jaring ketika dilakukan penarikan.

21
6. PENGARUH PENGAWETAN PADA BENANG POLYAMIDE

Benang polyamide (PA) multiflament yang diujikan memiliki nomor 210D/9 6,6 dengan
merek dagang Fishing Net. Posisi benang di antara kedua penjepit dapat dilihat pada
Gambar 4(a). Panjang benang diantara 2 penjepit sekitar 6 cm. Adapun panjang total
benang yang ditarik pada setiap uji sekitar 15 cm.
Untuk melihat pengaruh pengawet berdasarkan waktu perendaman, benang jaring
direndam dalam pengawet selama 0, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, dan 70 hari.
Selanjutnya, penarikan benang dikelompokkan berdasarkan waktu perendaman dengan
jumlah ulangan sebanyak 20 kali per perendaman.

6.1. Pengaruh Oli, Bensin, Solar, dan Minyak Tanah


Uji penarikan untuk melihat pengaruh oli, bensin, solar, dan minyak tanah dibagi
kedalam 2 tahap yang didasarkan atas kondisi benang kering dan basah. Kondisi benang
kering adalah pengawetan dilakukan sebelum alat tangkap dioperasikan. Adapun kondisi
benang basah, alat tangkap sudah dioperasikan. Atau bisa juga dianggap, kondisi benang
kering adalah jaring terkena cairan oli, bensin, solar, dan minyak tanah ketika dalam
keadaan kering. Sementara untuk benang basah, jaring baru saja selesai dioperasikan dan
terkena ke-4 cairan tersebut.
a. Benang PA kering
Nilai kekuatan putus benang jaring PA sebelum dan setelah direndam dalam cairan oli,
bensin, solar dan minyak tanah selama 0, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63 dan 70 hari dapat
dilihat pada Tabel 4. Adapun Gambar 5 menjelaskan hubungan antara lama perendaman
terhadap kekuatan putusnya.
Pengaruh oli dan bensin terhadap kekuatan putus benang jaring dijelaskan dengan
persamaan FOli   0,0006t  9,11 dan FBen  0,0002t  9,1773 pada Gambar 5(a) dan 6-
1(b). Kedua persamaan tersebut memiliki nilai kemiringan negatif dengan nilai yang
sangat kecil, yaitu –0,0006 dan –0,0002. Ini mengindikasikan bahwa oli dan bensin
memberikan pengaruh yang negatif terhadap kekuatan putus benang jaring, meskipun
dengan nilai yang sangat kecil. Oli bersifat kental dengan ikatan antar molekulnya relatif
kuat. Bahan penyusunnya terdiri atas ikatan fraksi berat, seperti heavy oil dan asphalt, yang
tidak mudah menguap. Sebagai akibatnya, kemampuan menyerapnya ke dalam benang

22
relatif lambat. Sementara ikatan molekul bensin rapat, tetapi titik didihnya rendah dan
cepat panas. Kedua sifat bensin ini akan menyebabkan benang jaring lebih mudah putus
jika direndam untuk waktu yang sangat lama. Waktu perendaman terlama yang hanya
mencapai 70 hari menyebabkan bensin belum dapat bereaksi secara sempurna dengan
molekul benang.
Gambar 5(c) memperlihatkan pengaruh solar terhadap kekuatan putus benang jaring.
Meskipun kecil, tetapi pengaruhnya dapat menyebabkan peningkatan kekuatan putus,
seperti dijelaskan oleh persamaan FSol  0,004t  8,79 . Demikian juga dengan minyak

tanah yang dijelaskan dengan persamaan FMtn  0,0017t  9,0082 dengan nilai kemiringan
yang positif (Gambar 5(d)). Pengaruhnya terhadap peningkatan kekuatan benang jaring
berada pada urutan pertama. Solar yang bersifat cair memiliki ikatan molekul yang
renggang. Selain itu, solar mempunyai specific gravity antara 0,82-0,87 dan titik didih
yang cukup tinggi mencapai 250oC. Ini menyebabkan solar mudah meresap ke dalam
struktur benang jaring, tidak mudah menguap dan dapat bertahan lama di dalam benang.
Reaksi yang terjadi antara molekul solar dan benang jaring akan menyebabkan perubahan
kekuatan putus benang. Adapun minyak tanah memiliki nilai specific gravity maksimum
0,835 dan titik didih antara 140-200oC yang lebih rendah dibandingkan dengan solar.
Kemampuan minyak tanah meresap ke dalam struktur benang lebih lambat dibandingkan
dengan solar, tapi minyak tanah lebih lama bertahan didalam benang karena lebih lambat
menguap dibandingkan dengan solar. Akibatnya, perendaman benang dalam minyak tanah
akan memberikan nilai kekuatan putus yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar.
Pertambahan waktu perendaman akan memungkinkan terjadinya peningkatan kekuatan
putus benang yang lebih besar.
Data-data yang didapat dari hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nilai
kekuatan putus antara benang jaring yang direndam dalam oli, bensin, solar dan minyak
tanah pada setiap hari uji. Berdasarkan persamaan garis regresi yang dituliskan pada
Gambar 5(d), maka minyak tanah menyebabkan pertambahan nilai kekuatan putus benang
PA tertinggi dan selanjutnya diikuti oleh solar. Penurunan kekuatan putus terendah
disebabkan oleh oli dan selanjutnya bensin.
Perendaman benang PA kering dalam cairan pengawet tidak menimbulkan perubahan
sifat fisik benang. Benang yang direndam dalam oli, solar dan minyak tanah akan tetap

23
basah dengan cairan perendamnya untuk waktu yang lama. Adapun cairan bensin akan
cepat menguap.

Tabel 4. Kekuatan putus benang PA kering.


Kekuatan putus F (kgf)
Waktu t
Minyak
(hari) Oli Bensin Solar
tanah
0 9,06 9,06 9,06 9,06
7 9,35 9,51 8,69 8,78
14 8,85 8,49 8,79 9,22
21 9,06 9,41 8,60 8,89
28 9,07 9,30 9,08 9,29
35 9,20 9,33 9,16 9,18
42 9,32 8,91 8,73 8,82
49 9,28 9,61 8,93 9,06
56 8,30 9,26 8,81 9,18
63 9,19 9,09 9,16 9,30
70 9,28 8,90 9,23 8,95

b. Benang PA basah

Nilai rata-rata kekuatan putus benang PA basah yang direndam dalam oli, bensin, solar
dan minyak tanah selama 0, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63 dan 70 hari dituliskan pada
Tabel 5. Gambar 6 menjelaskan hubungan antara waktu perendaman dengan ke-4 cairan
tersebut terhadap kekuatan putus benang.
Persamaan regresi -- yang menggambarkan hubungan antara waktu perendaman t dan
kekuatan putus F -- benang yang direndam dalam minyak tanah adalah
FAl  Mtn  0,0086t  8,4277 dengan kemiringan positif (0,0086) (Gambar 6(d)). Nilai

kemiringan ini mengindikasikan bahwa perendaman dalam minyak tanah akan


meningkatkan kekuatan putus benang.
Oli menempati urutan kedua setelah minyak tanah dalam meningkatkan nilai kekuatan
putus benang jaring, seperti ditunjukkan oleh nilai kemiringan pada persamaan garis
regresi FAl Oli  0,0075t  8,65 (Gambar 12(a)). Selanjutnya adalah bensin dengan

24
persamaan garis regresi FAl  Bns  0,0022t  8,9509 (Gambar 6(b)). Adapun perendaman
dalam solar mengakibatkan nilai kekuatan putus benang PA menjadi berkurang, seperti
ditunjukkan oleh nilai kemiringan –0,0186 pada persamaan garis regresi
FAl  Slr  0,0186t  8,4577 (Gambar 6(c)).

Tabel 5. Kekuatan putus benang PA basah


Kekuatan putus F (kgf)
Waktu t
Minyak
(hari) Oli Bensin Solar
tanah
0 8,75 8,75 8,75 8,75
7 8,56 8,49 8,01 8,35
14 8,72 9,17 8,46 7,89
21 8,79 9,06 8,18 8,83
28 9,03 9,04 7,60 8,30
35 9,12 9,01 7,42 8,86
42 8,85 9,04 8,48 8,98
49 8,86 9,22 8,13 9,06
56 8,96 9,07 7,21 8,86
63 8,91 9,26 7,16 8,89
70 9,49 8,69 7,51 9,00

Pencemaran minyak tanah terhadap benang jaring PA dalam kondisi basah air laut akan
semakin meningkatkan nilai kekuatan putusnya. Minyak tanah mempunyai nilai spesific
gravity yang lebih besar dibandingkan dengan solar dan bensin serta lebih encer daripada
oli. Akibatnya, minyak tanah akan cepat bereaksi dengan molekul-molekul benang,
meskipun benang masih sedikit mengandung air laut. Proses kimiawi antara keduanya
diduga akan lebih meningkatkan nilai kekuatan putus benang jaring. Pengaruh yang
berlawanan terjadi pada pencemaran dengan bensin. Akibat reaksi kimia antara air yang
sedikit terkandung dalam benang dengan bensin akan menurunkan nilai kekuatan putus
benang.
Perendaman benang PA basah dalam cairan pengawet tidak menimbulkan perubahan
sifat fisik benang. Benang yang direndam dalam oli, solar dan minyak tanah akan tetap

25
basah dengan cairan perendamnya untuk waktu yang lama. Adapun cairan bensin akan
cepat menguap.

10
8
FOli = -0,0006t+ 9,1100
6
4
2 a. Oli
0

10
8
FBns = -0,0002t+ 9,1773
6
4
Kekuatan putus F (kgf)

2 b. Bensin
0

10
8
FSol = 0,004t+ 8,7900
6
4
2 c. Solar
0

10
8
FMtn = 0,0017t+ 9,0082
6
4
2 d. Minyak tanah
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70

Waktu perendaman t (hari)


Gambar 5. Hubungan antara lama perendaman dalam cairan pengawet
terhadap kekuatan putus benang PA kering.

26
10
8
FAl+Oli = 0,0089t+ 8,6609
6
4
2 a. Oli
0

10
8
FAl+Bns = 0,0022t+ 8,9509
6
4
Kekuatan putus F (kgf)

2
b. Bensin
0

10
8
6
FAl+Sol = -0,0186t+ 8,4577
4
2 c. Solar
0

10
8 d
FAl+Mtn= 0,0086t+ 8,4277
6
4
2 d. Minyak tanah
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70

Waktu perendaman t (hari)


Gambar 6. Hubungan antara lama perendaman dalam cairan pengawet
terhadap kekuatan putus benang PA basah.

6.2. Pengaruh Lateks


Cairan lateks agak kental dan lengket. Oleh karena itu, cairan ini diperkirakan juga
berpengaruh terhadap perubahan massa dan kecepatan tenggelam benang jaring. Untuk
mengetahui pengaruh lateks terhadap perubahan massa dan kecepatan tenggelamnya,

27
benang jaring sepanjang 2 cm – dari setiap waktu perendaman – ditimbang beratnya dan
diukur kecepatan tenggelamnya dalam akuarium yang berisi air laut dengan salinitas 30‰.
Jumlah ulangan untuk pengukuran kedua uji tersebut sebanyak 20 kali per waktu
perendaman. Adapun hasil pengukuran kekuatan putus benang PA akibat pengawetan
terhadap kekuatan putus, massa, dan kecepatan tenggelam dituliskan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kekuatan putus, massa, dan kecepatan tenggelam benang PA setelah


direndam dalam lateks.
Waktu
Kekuatan putus Massa Kecepatan tenggelam
perendaman
F (kgf) M (g) V (cm/s)
t (hari)
0 4,766 0,0030 1,800

7 5,168 0,0038 2,077

14 5,248 0,0037 2,099

21 5,194 0,0041 2,091

28 5,165 0,0039 2,090

35 5,290 0,004 2,144

42 5,388 0,0046 2,311

49 5,430 0,0052 2,302

56 5,529 0,0046 2,293

63 5,527 0,0048 2,276

70 5,522 0,0052 2,276

Kekuatan putus benang jaring PA yang diawetkan dengan lateks selama 0, 7, 14, 21, 28,
35, 42, 49, 56, 63, dan 70 hari mengalami peningkatan (Gambar 7). Ini ditunjukkan oleh
garis regresi Flateks = 0,008 t + 4,987 dengan nilai kemiringan positif (+). Waktu
pengawetan yang lebih lama lagi akan semakin menambah kekuatan putusnya.

28
6

Kekuatan putus F (kgf)


5,5

5
Flateks = 0,008 t + 4,987

4,5

4
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
Waktu perendaman t (hari)
Gambar 7. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks terhadap
kekuatan putus benang PA.

Benang jaring PA memiliki sifat yang khas, yaitu daya serap air kecil, tidak terpengaruh
oleh asam, basa, garam dan minyak. Benang jaring PA yang diawetkan dengan lateks
berubah menjadi hitam, karena senyawa karbon yang terkandung dalam lateks. Benang
jaring PA yang diawetkan dengan lateks juga mengalami perubahan diameter dan
kekakuan, yaitu benang menjadi lebih kaku dan diameternya juga bertambah. Peningkatan
ini disebabkan oleh adanya gaya adhesi antara benang jaring PA dengan lateks yang lebih
besar dibandingkan dengan gaya kohesinya. Gaya tarik-menarik ini menyebabkan lateks
dapat menempel pada benang jaring. Adanya senyawa karbon pada lateks menyebabkan
benang jaring yang diawetkan dengan lateks akan menjadi lebih tebal dan kaku.
Massa benang PA setelah diawetkan dengan larutan lateks selama 0, 7, 14, 21, 28, 35, 42,
49, 56, 63, dan 70 hari menjadi lebih tinggi (Gambar 8). Ini disebabkan oleh kemampuan
lateks menyelimuti dan meresap ke dalam benang jaring yang tinggi. Apalagi lateks
bersifat hidrofil dan benang jaring PA dapat menyerap air. Semakin banyak lateks yang
masuk dan menyelimuti benang jaring PA, maka massa benang jaringpun akan bertambah.
Pertambahan massa benang jaring setelah diawetkan dengan lateks akan meningkatkan
pula kecepatan tenggelamnya di dalam air (Gambar 9).

29
0,006

0,005
Massa benang M (g)

0,004

0,003
Mlateks = 3E-05 t + 0,003
0,002

0,001

0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
Waktu perendaman t (hari)
Gambar 8. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks
terhadap massa benang PA.

3
Kecepatan tenggelam V (cm/s)

2,5

1,5 Vlateks = 0,005 t + 1,958

0,5

0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
Waktu perendaman t (hari)
Gambar 9. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks terhadap
kecepatan tenggelam benang PA.

6.3. Pengaruh Rui


Pengaruh pengawetan dengan rui terhadap benang PA tidak hanya mengakibatkan
perubahan kekuatan putusnya, tetapi juga terjadi perubahan massa dan kecepatan
tenggelamnya. Tabel 7 menjelaskan hasil pengukuran ke-3 aspek tersebut.

30
Tabel 7. Kekuatan putus, massa, dan kecepatan tenggelam benang PA setelah
direndam dalam rui.
Waktu
Kekuatan putus Massa Kecepatan tenggelam V
perendaman
F (kgf) M (g) (cm/s)
t (hari)
0 4.766 0,0030 1,800

7 5,013 0,0034 2,063

14 5,075 0,0034 2,045

21 4,948 0,0034 2,107

28 4,965 0,0034 2,070

35 4,949 0,0034 2,070

42 5,032 0,0035 2,091

49 5,127 0,0035 2,122

56 5,170 0,0034 2,152

63 5,186 0,0034 2,200

70 5,189 0,0034 2,233

Benang jaring PA yang diawetkan dengan rui selama 0, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63,
dan 70 hari mengalami peningkatan kekuatan putus. Ini ditunjukkan oleh persamaan
regresi Frui = 0,004 t + 4,878 pada Gambar 10. Penambahan waktu perendaman
kemungkinan besar akan menambah kekuatan putus benang.
Waktu perendaman benang PA antara 7-70 hari dalam rui relatif tidak memberikan
pengaruh terhadap perubahan massa dan kecepatan tenggelam benang (Tabel 7). Jika
dibandingkan dengan benang kering, peningkatan massa dan kecepatan tenggelamnya
hanya sedikit. Cairan rui yang encer diperkirakan hanya menyisakan sedikit partikel rui
dalam serat antar benang ketika dalam kondisi kering. Dengan demikian penambahan
massa benang hanya sedikit.

31
6
Kekuatan putus F (kgf)

5,5

Frui = 0,004 t + 4,878


4,5

4
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
Waktu perendaman t (hari)
Gambar 10. Hubungan antara lama perendaman dalam rui terhadap
kekuatan putus benang PA.

32
7. PENGARUH PENGAWETAN PADA BENANG POLYETHYLENE

Benang polyethylene (PE) multiflament yang diujikan memiliki nomor 380D/9 dengan
merek dagang Arida. Pada Gambar 3 ditunjukkan posisi benang ketika akan dilakukan
penarikan. Panjang benang diantara 2 penjepit sekitar 6 cm. Adapun panjang total benang
yang ditarik pada setiap uji sekitar 15 cm.
Benang jaring direndam dalam cairan pengawet selama 0, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56,
63, dan 70 hari. Penarikan benang dikelompokkan berdasarkan waktu perendaman dengan
jumlah ulangan sebanyak 20 kali per perendaman.

7.1. Pengaruh Oli, Bensin, Solar, dan Minyak Tanah


Uji penarikan benang jaring untuk melihat pengaruh oli, bensin, solar, dan minyak tanah
terhadap perubahan kekuatan putus benang PE dilakukan dalam kondisi benang kering dan
basah air laut. Kondisi benang kering dimaksudkan bahwa pengawetan dilakukan sebelum
jaring dioperasikan dan sebaliknya untuk benang jaring kering.
a. Benang PE kering
Gambar 11 menjelaskan hubungan antara waktu perendaman benang dalam cairan
pengawet dan perubahan kekuatan putus benang yang diakibatkannya. Datanya dituliskan
pada Tabel 8.
Pengawetan benang jaring dalam larutan oli relatif tidak memberikan pengaruh terhadap
kekuatan putus benang jaring. Ini dijelaskan oleh persamaan pada Gambar 11(a) dengan
nilai kemiringan sebesar 0. Oli memiliki nilai viskositas yang tinggi dan sulit masuk
kedalam ruang antar serat benang PE. Berat jenis PE yang lebih tinggi dari oli,
menyebabkan benang cenderung mengapung. Oli hanya bisa menyelimuti bagian luar
benang.
Kekuatan putus benang PE yang direndam dalam solar ternyata memberikan pengaruh
positif. Nilai kekuatan putusnya bertambah sejalan dengan pertambahan waktu
perendaman (Gambar 11(c)). Ini berbeda dengan pengaruh bensin dan minyak tanah
(Gambar 11(b) dan 11 (d)). Keduanya mengakibatkan nilai kekuatan putus benang menjadi
berkurang.
Serat benang PE memiliki sifat tidak dapat menyerap cairan. Jika benang direndam
dalam suatu cairan, maka cairan perendamnya hanya bersifat mengisi celah antar serat.

33
Cairan solar, bensin dan minyak tanah ketika mengisi celah antar serat ternyata melakukan
reaksi kimia yang mempengaruhi kekuatan putus benang dengan nilai yang berbeda-beda.
Dari ke-4 cairan pengawet, hanya solar yang dapat meningkatkan kekuatan putus benang
jaring.
Perendaman benang PE kering dalam cairan pengawet tidak menimbulkan perubahan
sifat fisik benang. Benang yang direndam dalam oli, solar dan minyak tanah akan tetap
basah dengan cairan perendamnya untuk waktu yang lama. Adapun cairan bensin akan
cepat menguap.

Tabel 8. Kekuatan putus benang PE kering setelah direndam dalam


oli, bensin, solar dan minyak tanah.
Kekuatan putus F (kgf)
Waktu t
Minyak
(hari) Oli Bensin Solar
tanah
0 9,83 9,83 9,83 9,83
7 10,37 9,47 10,42 9,71
14 9,69 9,39 9,69 10,02
21 10,28 9,83 10,28 9,97
28 10,03 9,61 10,04 9,89
35 10,00 9,28 10,66 9,75
42 10,11 9,46 10,53 9,17
49 10,82 9,26 10,42 10,47
56 9,67 8,97 9,99 9,52
63 9,82 9,47 10,35 9,61
70 10,14 9,03 9,89 9,76

34
12
10
8
6 FOli = 0.000 t + 10.04

4
2
a. Oli

0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
12
10
8
6 FBns = -0,008 t + 9,715
Kekuatan putus F (kgf)

4
2
b. Bensin

0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
12
10
8 FSol = 0,002 t + 10,11
6
4
2 c. Solar
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
12
10
8
6
FMtn = -0,002 t + 9,880
4
2 d. Minyak tanah
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
Waktu perendaman t (hari)

Gambar 11. Hubungan antara lama perendaman terhadap kekuatan putus


benang PE kering.

35
b. Benang PE basah
Pada Gambar 12 dijelaskan hubungan antara waktu perendaman benang basah air laut
dalam cairan pengawet dan perubahan kekuatan putus benang yang diakibatkannya.
Datanya dituliskan pada Tabel 9.
Dari ke-4 bahan pengawet, bensin dapat menurunkan kekuatan putus benang. Bensin
memberi pengaruh yang buruk terhadap kekuatan putus benang PE, baik dalam kondisi
kering maupun basah. Kondisi benang yang basah dapat sedikit mengurangi pengaruh
buruk bensin. Ini dapat dilihat pada nilai kemiringan persamaan pada Gambar 11(b) dan
12(b), yaitu dari nilai -0,008 pada kondisi benang kering menjadi -0,001 pada kondisi
benang basah.
Perendaman benang basah dalam cairan oli, solar dan minyak tanah mengakibatkan
kekuatan putus benang semakin bertambah. Reaksi kimia yang terjadi antara ke-3 bahan
pengawet tersebut dengan air laut yang terkandung dalam benang mempertinggi kekuatan
putus benang. Dari ketiganya, solar memberi pengaruh pada peningkatan kekuatan putus
yang tinggi, diikuti oleh minyak tanah dan solar.
Perendaman benang PE basah dalam cairan pengawet tidak menimbulkan perubahan sifat
fisik benang. Benang yang direndam dalam oli, solar dan minyak tanah akan tetap basah
dengan cairan perendamnya untuk waktu yang lama. Adapun cairan bensin akan cepat
menguap.

36
Tabel 9. Kekuatan putus benang PE basah setelah direndam dalam
oli, bensin, solar dan minyak tanah.
Kekuatan putus F (kgf)
Waktu t
Minyak
(hari) Oli Bensin Solar
tanah
0 9,83 9,83 9,83 9,83
7 10,88 10,55 10,87 11,07
14 10,68 10,58 10,65 11,13
21 10,92 10,76 10,93 10,93
28 10,67 10,44 10,70 10,03
35 10,02 10,41 10,53 9,53
42 10,23 9,82 10,06 10,25
49 10,63 9,72 10,37 10,12
56 11,09 10,07 10,46 10,76
63 11,17 10,28 10,63 10,71
70 11,38 10,74 11,06 11,35

37
12
10
8
FOli = 0,011 t + 10,26
6
4
a. Oli
2
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
12
10
8
6 FBns= -0,001 t + 10,32
Kekuatan putus F (kgf)

4
b. Bensin
2
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
12
10
8 FSol = 0,003 t + 10,42
6
4
2 c. Solar
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
12
10
8
6 FMtn = 0.004x + 10.35

4
d. Minyak tanah
2
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70
Waktu perendaman t (hari)

Gambar 12. Hubungan antara lama perendaman terhadap kekuatan putus


benang PE basah.

38
7.2. Pengaruh Lateks dan rui
Nilai kekuatan putus benang yang diawetkan dengan lateks dan rui relatif tidak
mengalami perubahan. Ini berarti benang yang tidak diawetkan memiliki kekuatan putus
yang sama dengan benang yang diawetkan. Data nilai kekuatan putus benang PE sebelum
dan sesudah diawetkan dengan lateks dan rui dituliskan pada Tabel 10.
Benang PE yang telah direndam dalam cairan lateks dan dikeringkan akan tetap
ditempeli oleh lateks. Lateks tidak berada diantara celah antar serat, tetapi menempel pada
permukaan benang akibat adanya resin. Adapun pada pengawetan dengan rui, benang tetap
bersih dan warnanya tidak berubah sama sekali. Rui segera terlepas dari benang ketika
benang dalam kondisi kering.

Tabel 10. Kekuatan putus benang PE setelah direndam dalam


lateks dan rui.
Waktu perendaman Kekuatan putus F (kgf)
No.
t (hari) Lateks Rui
1. 0 10,588 10,588
2. 7 10,373 10,290
3. 14 11,112 10,440
4. 21 11,415 10,496
5. 28 10,572 10,620
6. 35 11,032 9,798
7. 42 10,628 10,664
8. 49 10,938 10,481
9. 56 10,953 10,200
10. 63 11,121 10,540
11. 70 11,410 10,510

Benang PE yang telah diawetkan dengan lateks dan rui mengalami perubahan warna,
kekakuan dan diameter. Perubahan tersebut disebabkan oleh menempelnya zat pengawet
pada permukaan benang. Pengaruh ini hanya bersifat sementara, karena zat-zat pengawet
tersebut lama kelamaan akan lepas dari permukaan benang. Ini mungkin disebabkan oleh

39
struktur benang PE yang licin dan kaku. Apalagi jika ditinjau dari sifat hidrofil pada lateks
dan rui yang mengakibatkan keduanya tidak dapat diserap oleh benang PE.
Pengaruh pengawetan benang PE dengan lateks hanya bersifat sementara. Pada awalnya
lateks tetap menempel pada permukaan benang PE, tetapi lama kelamaan akan terlepas dan
hanya tersisa sedikit pada celah antar serabut benang. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa lateks tidak memberikan banyak pengaruh terhadap penambahan kekakuan dan
diameter benang. Pengaruh yang mencolok hanya pada perubahan warna benang yang
menjadi hitam.
Pada pengawetan dengan rui, cairan rui tidak dapat meresap kedalam celah antar serabut
benang dan juga tidak dapat menyelimuti permukaan benang. Setelah kering, benang
benar-benar terbebas dari rui. Akibatnya, benang PE tidakmengalami pertambahan
kekakuan, diameter dan juga warna.

40
8. PENGARUH PENGAWETAN PADA STABILITAS SIMPUL

Bahan yang diuji adalah simpul jaring yang terbuat dari benang polyamide (PA)
6,6 No. 210 D/9 dan polyethylene (PE) No. 380 D/9. Masing-masing berjumlah
400 mata. Adapun tipe simpulnya adalah English knot.

8.1. Simpul Jaring PA


a. Pengaruh lateks
Persentase simpul PA lepas setelah diawetkan dengan lateks berfluktuasi sejalan dengan
pertambahan waktu, tetapi jika dirata-ratakan nilainya meningkat mencapai 18,25%. Ini
digambarkan oleh persamaan Plateks = 0,1277 t + 13,33 dengan nilai kemiringan positif
(Gambar 13). Dari 400 mata yang ditarik, ternyata hanya 73 simpul yang terlepas. Atau,
rata-rata 7,3 simpul per 40 mata. Nilai ini lebih rendah dari simpul PA kontrol yang lepas
sebesar 57,5% atau (23 simpul per 40 mata).

Pengawetan jaring PA dengan lateks menyebabkan stabilitas simpulnya meningkat,


seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Persamaan regresinya adalah Flateks = 0,0077 t +
3,8257 dengan nilai kemiringan positif (+). Nilai kemiringan 0,0077 menunjukkan bahwa
setiap peningkatan lama perendaman sebesar satu satuan akan menyebabkan kekuatan
putus benang PA yang diawetkan dengan lateks mengalami peningkatan sebesar 0,0077
satuan terhadap stabilitas simpul semula.
Perendaman simpul PA dengan lateks tidak menyebabkan nilai stabilitas simpulnya
melebihi nilai stabilitas simpul PA kontrol sebesar 7.22 kgf. Penambahan waktu
perendaman ternyata hanya menyebabkan perbedaan nilai stabilitasnya dengan stabilitas
kontrol menjadi lebih kecil.
b. Pengaruh rui
Pada penarikan terhadap 40 mata jaring PA kontrol menghasilkan persentase simpul PA
kontrol lepas sebesar 57,5% (23 buah). Selanjutnya setelah diawetkan dengan rui,
persentase simpul PA yang lepas mengalami peningkatan rata-rata sebesar 84,75%, seperti
digambarkan oleh persamaan Prui = 0,4351 t + 68 (Gambar 13). Sebanyak 339 simpul
lepas ketika dilakukan penarikan 400 mata jaring. Atau, sekitar 34 simpul lepas setiap
penarikan 40 mata jaring. Pada Gambar 14 ditunjukkan stabilitas simpul PA setelah

41
direndam dalam cairan rui selama 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, dan 70 hari.
Pertambahan waktu perendaman menyebabkan stabilitas simpul menurun. Ini ditunjukkan
oleh persamaan regresinya, yaitu Frui =-0,0103 t + 3,3005. Nilai kemiringan persamaan
garis tersebut adalah negatif (-0,0103). Nilai gradien persamaan regresi yang kecil
menyebabkan kemiringan garis tersebut sangat rendah dan tidak terlalu jelas.
Jika diperhatikan pada Gambar 14, simpul PA yang diawetkan dengan rui pada setiap
waktu pengawetan memiliki nilai stabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
stabilitas benang PA kontrol. Pengawetan dengan rui berpengaruh negatif terhadap
stabilitas simpul PA.

100
Persentase simpul lepas P (%)

80

PRui= 0,435 t + 68
60

40
PLateks = 0,127 t + 13,33

20

0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70

Lama perendaman t (hari)

Gambar 13. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui
terhadap persentase simpul jaring PA lepas.

42
5

Stabilitas simpul, F (kgf) 4


FLateks = 0,007 t + 3,825

2 FRui = -0,010 t + 3,300

1
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70

Waktu perendaman t (hari)

Gambar 14. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui
terhadap stabilitas simpul jaring PA.

8.2. Simpul Jaring PE


a. Pengaruh lateks
Pengawetan mata jaring dengan lateks menyebabkan jumlah simpul yang lepas sebanyak
27,25% dari total 400 mata yang diuji penarikan (Gambar 15). Atau sebanyak 11 simpul
untuk setiap waktu perendaman dengan jumlah sampel sebanyak 40 simpul. Jumlah ini
lebih sedikit dari hasil uji penarikan mata jaring sampel yang menghasilkan jumlah simpul
lepas sebanyak 75% atau 30 simpul dari 40 mata jaring yang diuji coba. Pengawetan
dengan lateks menyebabkan jumlah simpul yang lepas semakin berkurang.

Pada Gambar 16 ditunjukkan hubungan antara lama pengawetan dalam larutan lateks
dengan stabilitas simpul PE. Stabilitas simpul mulai hari ke 7 – 70 cenderung mengalami
peningkatan, seperti ditunjukkan oleh persamaan regresinya FLateks = 0,0096 t + 6,5883.
Nilai kemiringan yang rendah 0,0096 menunjukkan peningkatan stabilitas sejalan dengan
penambahan waktu pengawetan.

43
b. Pengaruh rui
Pada penarikan 40 mata jaring PE kontrol menghasilkan jumlah simpul PA kontrol yang
lepas sebanyak 30 buah (75%). Jumlah simpul yang lepas setelah diawetkan dengan rui
meningkat sebesar 81,25%, atau rata-rata 33 simpul untuk setiap lama perlakuan (Gambar
15). Meskipun pertambahan jumlah simpul yang lepas sedikit jika dibandingkan dengan
simpul kontrol, tetapi pengawetan dengan rui menyebabkan stabilitas simpul jaring PE
semakin berkurang.
Pengawetan simpul PE dengan rui tidak terlalu menyebabkan adanya peningkatan nilai
stabilitas mulai dari lama pengawetan 7 sampai dengan 70 hari. Dari Gambar 16
ditunjukkan persamaan regresi tersebut (FRui = 0,0019 t + 7,4647) dengan nilai kemiringan
0,0019 yang relatif datar.
Perendaman simpul PE dalam larutan pengawet rui langsung menurunkan stabilitasnya.
Nilai stabilitas simpul PE yang diawetkan -- mulai dari lama perendaman 7 – 70 hari --
lebih rendah dari stabilitas simpul kontrolnya. Dengan demikian pengawet rui berpengaruh
negatif terhadap stabilitas simpul PE.

100
Persentase simpul lepas P (%)

80

60 PRui = 0,205 t + 73,33

40 PLateks = 0,508 t + 7,666

20

0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70

Lama pengawetan t (hari)


Gambar 15. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui
terhadap persentase simpul jaring PE lepas.

44
8 FLateks = 0,001 t + 7,464

Stabilitas simpul F (kgf)


7

FRui = 0,009 t + 6,588


6

5
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70

Waktu perendaman t (hari)

Gambar 16. Hubungan antara lama perendaman dalam lateks dan rui
terhadap stabilitas simpul jaring PA.

45
9. PENUTUP

Pengawetan pada benang sintetis tidak ditujukan untuk menghambat pembusukan, karena
benang sintetis tidak dapat membusuk. Tujuan pengawetan lebih diutamakan pada
perbaikan sifat-sifat fisik benang dan stabilitas simpul jaring yang menguntungkan bagi
alat penangkapan ikan.
Benang jaring polyamide (PA) dan polyethylene (PE) yang diawetkan dengan bahan
pengawet untuk jangka waktu yang singkat tidak memberikan pengaruh yang besar
terhadap sifat-sifat fisiknya. Pengawetan dengan bahan alam hanya memberikan pengaruh
nyata pada perubahan warna benang PA. Adapun pengawetan menggunakan oli, minyak
tanah dan solar hanya akan membuat benang menjadi basah. Kondisi benang seperti ini
dikhawatirkan akan mengurangi stabilitas simpul jaring.
Perendaman jaring PA dan PE dengan lateks ternyata akan meningkatkan stabilitas
simpulnya. Pengaruhnya sangat jelas terlihat pada simpul jaring PA. Adapun perendaman
dengan rui akan mengurangi stabilitas simpul jaring.

46
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1979. Proyek survei kebutuhan bahan bakar minyak. Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi, Direktorat Eksplorasi dan Produksi, Jakarta.

Arzano. 1959. Man-made Fibres. Di dalam: Kristjonsson H, editor. Modern fishing gear of
the world. England: FAO Fishing News (Books)Ltd.

Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Depdikbud. 1994.


Kemungkinan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kayu Tropis Indonesia Sebagai Bahan
Pengawet. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.

Indrianto, R. 1996. Pengaruh Konsentrasi Resin Sintetis terhadap Kekuatan Benang


Multifilamen Nylon (polyamide). Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan.

Jasjfi, E & Hons. 1966. Pengolahan minyak bumi. Jakarta : Lembaga Minyak dan Gas
Bumi.

Klust, G. 1987. Netting Materials for Fishing Gear. Oxford: FAO of the Limited Nation by
Fishing News (Books) Ltd.

Murdiyanto, B. 1975. Suatu pengenalan tentang fishing gear material. Diktat kuliah fishing
gear I. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Bagian Penangkapan
Ikan.

Prajudi. 1983. Pengaruh Konsentrasi Larutan Kulit Pohon Koppo dan Lama Perendaman
Air Laut terhadap Nilai Breaking Strength dan Elongation Benang Cotton dan
Benang Campuran Polyester 65% dengan Rayon Viskosa 35%. Karya Ilmiah (tidak
dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Purdon, J.R. 1987. Synthetic Latexes Produced by Emulsion Polymerization. Di dalam:


Robert FM, editor. The Vanderbilt Latex Hand Book Edisi ke-3. Ohio:
R.T.Vanderbilt Company. p63-69.

Sari, K. 1995. Pengaruh Pemberian Resin terhadap Kekuatan Benang Jaring Nylon
Multifilamen. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Shimozaki, Y. 1959. Characteristic of Synthetic Twines Used for Fishing Nets and Ropes
in Japan. Di dalam: Kristjonsson H, editor. Modern fishing gear of the world.
England: FAO Fishing News (Books)Ltd. p19-29.

47
Syahailatua, A. 1985. Hubungan Konsentrasi Larutan Kulit Pohon Samama
(Anthocephalus macrophylla HAVI) dan Lama Perendaman terhadap Breaking
Strength dan Elongation Benang Cotton dan Nilon. Karya Ilmiah (tidak
dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Wartawan, L. 1983. Minyak pelumas : Pengetahuan dasar dan cara penggunaannya. PT.
Gramedia, Jakarta.

48

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai