Anda di halaman 1dari 23

Istri yang ngidam

Abu Nawas ingin sekali menyenangkan hati istrinya. Istrinya ketika itu sedang

hamil, dan begitu menginginkan buah markisah, padahal buah itu sangat sukar

diperoleh sehingga harganya sangat mahal.

“Bang, nggak usah beli lho, aku cuma pengin saja kok bukan butuh” kata istri Abu

Nawas menyakinkan suaminya.

“Kok kamu tahu kalau dompetku lagi kempes terus?!” jawab Abu Nawas. Mereka

pun tertawa, ....padahal hidup mereka miskin.

Suatu hari dagangan Abu Nawas begitu laku keras sampai-sampai ia

mendapatkan uang banyak sekali. Ia teringat keinginan istrinya akan buah

markisah, maka dicarinya di pasar ternyata tak ada yang jual.

Akhirnya Abu Nawas pulang ke rumah dengan wajah agak lesu.

“Ada apa Bang kok lesu begitu, nggak laku ya dagangannya?” tanya istrinya

“Justru itu, daganganku sangat laku!”

“Lho kok malah sedih?”

“Aku ingin sekali membelikan kamu buah markisah, tapi sampai sore kutunggu

nggak ada pedagang yang membawa buah itu”

“Kenapa Abang nggak beli baju saja?”

“Lho, kamukan lagi pengin banget buah itu?!”

“Ya, tapi sebenarnyaaku lebih pengin lagi beli baju” kata istrinya tersipu-sipu.

“Lho kok nggak bilang?!”


“Jelas baju kita kan sudah sangat jelek, hampir-hampir nggak pantas, tapi aku

nggak tega kalau sampai merengek-rengek minta baju, soalnya kan harganya lebih

mahal dari markisah!”

“Jadi kamu ini ngidam markisah apa baju?!” tanya Abu Nawas bingung.

**

Kalau mati sih masih bisa........

Sudah beberapa hari ini istri Abu Nawas yang sedang hamil agak nggak enak

badan. Karena itulah Abu Nawas harus memasak sendiri dan menyiapkan makan

untuk istri dan dirinya sendiri. Suatu saat Abu Nawas sangat kecapekan, tapi apa

boleh dikata istri kan masih sakit, terpaksalah ia sendiri memasak masakan.

Karena jengkel, ia buat sayur sop yang sangat pedas dan benar-benar pedas seperti

petasan, mungkin supaya istrinya tahu bahwa ia lagi jengkel.

Mendadak ketika menjelang saatnya makan, Abu Nawas lupa mengicipi

sopnya tersebut. Tak ayal lagi, mukanya memerah dan air matanya menyerocos

mengalir dengan deras. Karena rumah mereka sempit, istrinya pun kaget melihat

wajah suaminya tiba-toba menangis.

“Bang, tak usah bersedih seperti itu, sebentar lagi aku sembuh kok”

“......aku senang kalau kau cepat sembuh...”

“...iya, Bang aku nggak mati kok..”

“Kalau mati sih bisa cari pengganti, tapi kalau sakit begini.....aku kan harus

terus.......memasak!”

**
Terlalu Asin

Suatu hari Abu Nawas makan siang di rumah. Rupanya masakan istrinya

terlalu asin bagi dirinya. Akhirnya Abu Nawas pun hanya mengambil sayur sedikit

sekali.

“Lho, Bang kok makan sayurnya sedikit banget? Ini sayur enak sekali lho Bang!”

kata istrinya yang menemaninya makan.

“Kamu juga makan dong jangan cuma nemenin duduk begitu...” kata Abu Nawas

“Aku kan udah kenyang Bang, maaf deh nanti malam saja makan barengnya...”

“Wah, kalau begitu susah juga aku njelasinnya.....” bisik Abu Nawas pada dirinya

sendiri

“Apa Bang, Abang ngomong apa?” tanya istrinya penasaran.

“Oh, ini kalau makan sayurnya kebanyakan aku takut keringatku jadi banyak dan

bau...”

“Lho kok?!”

“Iya, bau dan tambah asin!”

**

Kenapa Bisa Terjadi?

Suatu saat Abu Nawas menghadapi keadaan yang sangat sulit, yaitu pertanyaan

anaknya yang bertubi tubi.

“Bah, bagaimana sih kok Ibu bisa hamil?” tanya anaknya

“Ya, ....itu dari Allah sana yang membuat begitu...”

“Tapi, waktu belum sama Abah nggak begitu?”

“Iya”
“lho. kok bisa ya?! Itu...tante-tante semuanya kok nggak hamil sih kayak ibu?”

‘Soalnya belum menikah..”

“Kalau begitu nikah saja sama aku Bah!”

‘Lho, nggak bisa...”

“Kenapa? Aku kan laki-laki!”

“Iya, tapi kan masih kecil..”

“Kalau udah besar berarti bisa ya Bah?”

“Bisa”

“Nanti perutnya trus jadi besar?”

“Iya....”

“Tapi kok yang besar cuma perutnya wanita ya?”

“Kalau laki-laki hamil juga gimana ngeluarinnya?” kata Abu Nawas gemas tak

bisa menahan emosi.

“Bisa Bah, gampang!”

“Gimana coba?”

“Kan Bisa lewat mulut?! Kalau kita ngeluarin isi perut kan bisa juga lewat mulut,

kayak kalau lagi mutah itu lho?”

Bengong Abu Nawas mendengar jawaban anaknya. Ia hanya mengangguk-

angguk, rasanya tak sanggup lagi meneruskan diskusi menegangkan itu.

**

Barang Ajaib

Abu Nawas begitu banyak membutuhkan uang. Rumahnya sudah reyot,

dan setiap kali hujan bocor, sedang istrinya telah melahirkan seorang bayi kecil.
Kasihan rasanya kalau rumahnya tak segera ia perbaiki. Akan tetapi barang

dagangannya masih juga tak selaris yang ia harapkan. Akhirnya Abu Nawas

memutar otak, bagaimana agar dagangannya laris.

Akhirnya timbul ide emas. Ia pahat tiap barangnya dengan kata’ajaib’.

Maka semua barang yang ia jual ia katakan ajaib. Piring ajaib, terompah ajaib,

pokoknya semuanya ajaib. Orang-orang begitu tertarik membeli barang-barang-

barangnya. Tentu saja mereka semua menganggapnya sangat murah. Sesuatu yang

ajaib hanya dijual dengan harga seperti itu.

“Kalau ini apa, Pak?” tanya salah seorang pembeli

“Ini adalah piring ajaib!” Jawab Abu Nawas penuh percaya diri

“Waoow, lalu apa saja kehebatannya?”

“Tentu saja banyak sekali, kau akan lebih tahu setelah membelinya! Makanmu

akan lebih lezat, istrimu akan tambah menyukaimu, dan banyak lagi”

Akhirnya barang Abu Nawas pun ludes, sampai ia bisa libur beberapa hari karena

dagangannya habis. Waktu libur bisa ia manfaatkan untuk memperbaiki rumah.

Ketika tiba waktunya berdagang kembali ke pasar tentu saja ia banyak didatangi

para pembelinya beberapa hari yang lalu.

“Mana buktinya? Katanya ajaib, buktinya semuanya biasa saja?” tanya salah satu

dari mereka

“Lho, ajaib itu maksuidnya mereknya ajaib, coba kalian lihat dan amati di setiap

barang kalian, pasti ada tulisan mereka ajaib. Ya kan?”

Orang-orang mengamati masing-masing barangnya, ternyata benar di setiap

barang mereka ada tulisan mereka ajaib, tentu saja mereka jadi tak berkutik.
“Kalian jangan berpikir yang aneh-aneh! Mengharap kegaiban kepada selain Allah

apalagi benda-benda mati, bisa-bisa kalian berbuat syirik! Kalau kalian membeli

piring tentu saja makan kalian akan lebih enak karena tadinya hanya beralas daun

sekarang dengan piring, dan tentu saja istri kalian akan senang kalau kalian beri

oleh-oleh piring,....seorang suami yang peduli pada dapur istrinya.”

**

Berkah Jeroan

Suatu ketika Abu Nawas didera krisis keuangan. Ia pun pontang panting

berusaha ek sana ke mari untuk terus tidak putus asa. Suatu saat terbetiklah ide

dalam benaknya. Di lingkungan Abu Nawas kala itu semua daging jeroan

dibuang begitu saja. Orang-orang begitu jijik untuk memakannya. Akhirnya Abu

Nawas memutuskan untuk mengolahnya. Ia mencari siapa saja pedagang daging,

dan berpura-pura membuangkan sampahnya. Kadang-kadanga ia mendapat uang

karena telah berjasa membuangkan sampah. Jeroan yang dibuang tadi ia ambil,

seperti ususnya dan sebagianya, ia bersihkan hingga bersih lalu digorengnya

hingga benar-benar kering. Sebelum digoreng diirisnya kecil-kecil, sehingga

ketika masak orang tak mengenalnya lagi bahwa itu adalah daging jeroan. Abu

Nawas lalu menawarkan makanan itu sebagai kerupuk pecah istimewa.

Selang sebulan ternyata makanan itu menjadi sangat populer, hingga

beberapa bulan kemudian telah menjadi makanan favorit bahkan sampai sang

khalifah pun menggemarinya. Begitu mengetahui bahwa kerupuk itu buatan Abu

Nawas maka Khalifah malah memberikan penghargaan kepada Abu Nawas atas

inovasinya tersebut, bahkan makanan itu dipuji selalin enak juga bergizi. Orang-
orang miskin menyukainya karena murah dan anak-anak mereka menjadi tak

kurus-kurus amat semenjak mengkonsumsi krupuk istimewa tersebut.

Tentu saja kesuksesan yang telah membawa Abu Nawas kaya tersebut

menimbulkan kedengkian segelintir orang. Akhirnya mereka terus menerus

mengadakan penyelidikan dan membuat propaganda buruk. Suatu saat akhirnya

mereka pun berhasil membongkar rahasia Abu Nawas bahwa krupuk itu dibuat

dari jeroan hewan ternak. Maka isu pun berhembus begitu cepat dan kencang,

hingga penjualan menjadi sangat merosot bahkan sampai ke telinga Khalifah.

Akhirnya Abu Nawas pun dipanggil menghadap.

“Gila, benar kau Abu Nawas telah memberi kami semua makanan dari

sampah yang hina!” kata Khalifah

“Maafkan saya Khalifah..”

“Tidak! Kau harus dihukum!”

“Apakah ada seseorang yang celaka karena krupuk tadi?”

Khalifah pun terdiam.

“Apakah ada seseorang yang menemukan kotoran meski sedikit dalam

kerupuk tersebut? Apakah ada rasa jijik setiap Khalifah akan memakannya?”

tanya Abu Nawas.

Khalifah terdiam.

“Tidak Bukan?! Berapa banyak keluarga miskin yang anak-anaknya

menjadi tak kurus lagi sekarang ini, Khalifah? Seandanya orang-orang tidak tahu

dari apakah saya membuatnya bukankah semua orang tahu bahwa krupuk itu

bersih, berbau sedap, dan bergizi?”


Khalifah masih juga terdiam.

“Apakah tidak seharusnya masyarakat berterimakasih bila ada seseorang

yang bisa mengurangi banyaknya sampah, bahkan mengolahnya menjadi barang

yang berguna?!”

Khalifah pun terdiam. Akhirnya beliau pun berkata,” Kalau begitu

sekarang aku anjurkan rakyatku untuk banyak memakan makanan itu!”

Sejak saat itu kembali makanan Abu Nawas menjadi favorit dan

keluarganya pun tak lagi miskin seperti sebelumnya.

**

Tidak Tulus

Masa-masa kecil adalah masa-masa penuh kelucuan bagi Abu Nawas.

Sering ia tersenyum sendiri bila teringat peristiwa-peristiwa itu sebagaimana sore

itu ketika ia sedang duduk-duduk bersama istrinya. Tentu saja hal itu mengundang

perhatian istrinya.

“Ada, apa sih Bang kok tersenyum sendiri?” tanya istrinya

“Ehmmm, teringat waktu aku remaja dulu. Betapa bodohnya aku dulu!”

jawab Abu Nawas sambil masih tersenyum.

“Dulu..., ketika remaja aku pernah belajar di pondok seorang kiai. Suatu saat di

bulan ramadhan banyak dari teman-temanku yang pulang ke kampungnya. Hingga

aku sendiri mengurus dan membersihkan pondok. Selama sebulan penuh aku

bertugas sendirian di pondok, sedang teman-temanku menikmati bulan ramadhan

bersama keluarga mereka.


Sesudah bulan ramadhan habis mulailah mereka kembali ke pondok. Salah

satu temanku kembali dengan membawa oleh satu karung ubi. Tentu saja kiai

sangat senang, lalu kepadanya diberi dua ekor kambing untuk dipelihara dan

diambil manfaatnya.

Melihat hal itu tentu saja aku jadi kepingin. Aku berpikir, kalau aku bisa

membawakan sesuatu yang lebih baik lagi tentu kiai akan memberikan sesuatu

yang lebih baik pula kepadaku. Maka aku pun berpamitan kepada kiai untuk

pulang. Lalu aku ambil seekor kambing untuk kubawa kepada kiai, dengan

harapan agar aku bisa diberinya unta. Dia membawa ubi diberi kambing, tentu

kalau aku berikan kambing kiai akan berikan kepadaku unta-untanya. Begitulah

angan-anganku.

Lalu aku pulang ke pondok. Kiai tentu saja sangat senang.

“Lho, kok cepat sekali kamu pulang?!” tanya kiai

“Ya Kiai, ....ini saya bawakan kambing buat Kiai”

“Wah, kamu baik sekali. Sungguh kamu adalah seorang murid yang sangat

berbakti” kata kiai. Mendengar pujian itu tentu saja aku sangat senang, tak

diragukan lagi bahwa kiai akan memberiku sesuatu yang hebat.

“Maukah kau aku beri sesuatu?” tanya kiai

“Tentu saja kiai” jawabku berbunga-bunga.

“Ambilah itu ubi ini buat sarapanmu, sudah lama aku makan tak juga-habis-habis”

kata kiai dengan santainya. Tentu saja aku kaget bukan kepalang mendengar kata-

kata kiai. Tentu saja aku sangat sedih saat itu, akan tetapi sekarang aku malah

tertawa kalau teringat kejadian itu.”


“Abang, sih nggak ikhlas...” kata istrinya

“Ya, itulah akibat tidak ikhlas, sekarang aku kapok! Tidak mengharap kecuali

balasan Allah saja.”

“Benar, nih Bang?”

“Tentu saja” jawab Abu Nawas penuh keyakinan.

“Tadi aku berikan anak kambing kita kepada tetangga sebelah kita yang miskin

itu. Aku kasihan sekali padanya.”

“Hah?!”

“Aku tahu itu anak kambing kesayangan Abang, tapi pahala Allah jauh lebih baik

lagi Bang daripada anak kambing itu sendiri” kata istri Abu Nawas menasehati.

Abu Nawas hanya bisa mengangguk-angguk.

**

Mancing Kolam Orang

Suatu hari Abu Nawas diajak memancing teman-temannya. Abu Nawas

sebenarnya bukanlah orang yang suka memancing berlama-lama di pinggir

sungai, akan tetapi kala itu ia ingin menyenangkan teman-temannya untuk bisa

bermain bersama-sama.

Akhirnya beramai-ramai mereka memancing di suatu pinggir sungai. Telah

lama Abu Nawas tak juga mendapat ikan, sedang teman-temannya telah banyak

menuai ikan. Lama-kelamaan Abu Nawas pun jadi bahan ejekan.

“Nggak bisa mancing!”


“Gimana kok nggak dapat-dapat?!” begitulah beberapa komentar teman-

temannya, yang lama-kelamaan membuat Abu Nawas risih dan bersedih. Inginnya

dia menggembirakan teman-temannya, malah sekarang mereka mengejeknya.

Maklum waktu itu Abu Nawas masih remaja, jadi masih mudah emosi.

Lama-lama tak tahan juga ia mendengar kata-kata temannya. Di sebelah sungai

tempat itu ada sebuah kolam pemeliharaan ikan, yang banyak sekali ikan di

dalamnya. Karena sebel akhirnya Abu Nawas memindahkan kail pancingnya ke

dalam kolam itu, agar ia bisa membanggakan diri kepada teman-temannya.

Baru sebentar ia masukkan kailnya tiba-tiba terasa berat kailnya. Betapa

senang Abu Nawas. Saat ia akan menarik kailnya, tiba-tiba ada buah kelapa jatuh

di sebelahnya. Gludukk! Abu Nawas kaget bukan kepalang. Bagaimana jadinya

kalau kelapa itu jatuh di kepalanya?! Alhamdulillah. Ia lanjutkan menarik kailnya.

Tiba-tiba jatuh kembali sebuah buah kelapa di dekatnya. Ceblung!! Buah itu jatuh

di kolam tepat di depannya persis. Belum selesai Abu Nawas kaget, telah jatuh

kembali buah kelapa di bawahnya. Nampaknya terjadi hujan buah kelapa.

Sungguh hebat hari ini. Ia hanya ingin mengail ikan, sekarang malah buah kelapa

berjatuhan sendiri di sebelahnya. Abu Nawas pun Ge-eR, mungkin ini terjadi

karena dirinya rajin mengaji dan lain sebagainya. Lalu ia tatap pohon kelapa itu,

pohon yang memberinya rezki.

Betapa kaget ketika ia melihat ke atas ternyata bertengger seseorang

dengan wajah marah dan berusaha melempar buah kelapa ke arahnya. Tanpa pikir

panjang Abu Nawas pun lari terbirit-birit. Dengan nafas terengah-engah Abu

Nawas kembali ke tengah teman-temannya.


“Ada apa Abu? Kok kayak dikejar singa?”

“Ohh, tidak apa-apa kok” jawab Abu Nawas sambil berusaha menahan nafasnya.

Akhirnya Abu Nawas pun pulang dengan lesu. Kenapa ya Allah, teman-temanku

yang malas mengaji dan hsolat kok malah dapat rezki ikan banyak, sedangkan aku

yang rajin mengaji malah mancing nggak dapat-dapat. Begitulah pikirang itu

mengganggu Abu Nawas sampai pulang.

Akhirnya kesedihannya itu pun ia sampaikan kepada kiai. Kiai pun

membesarkan hatinya.

“Kalau Allah memberi ikan banyak, itu bukan berarti Allah lebih mencintai

mereka daripada kamu. Kita baru tahu nanti di akhirat. Tanda cinta Allah bukan

pada banyaknya harta yang ia miliki akan tetapi adalah mudahnya ia melakukan

kebaikan dan terhindarnya ia dari maksiat atau bencinya ia pada maksiat. Seperti

kamu tadi yang dilempari buah kelapa, itu menunjukkan Allah menyelamatkan

kamu dari barang yang haram. Coba kalau perbuatanmu itu tidak ketahuan,

pastilah kamu akan memakan sesuatu yang haram. Bukankah Allah masih

mencintaimu?!” Nasehat kiai itu tertanam di hati Abu Nawas. Terimakasih Allah,

Engkau telah menyelamatkan aku dari amarahMu,....begitu kata Abu Nawas

dalam hati.

**

Rezki dari Langit

Hari itu dagangan Abu Nawas begitu laris sampai-sampai ia tak sempat

menghitung-hitung uang yang diperolehnya karena waktu keburu malam.


Sesampai di rumah pun Abu Nawas terburu-buru untuk mandi karena ingin segera

bisa berangkat ke masjid untuk berjamaah maghrib.

Pulang dari shalat isya ia makan bersama istrinya. Seperti biasa mereka

makan dengan sangat sederhana.

“Yang, besok kamu masak yang enak dong..” kata Abu Nawas

“Ya, penginnya begitu sih, tapi uang kita tinggal sedikit Bang...” jawab istrinya

“Ah, santai saja nanti aku kasih uang banyak, sekalian buat beli baju buat kamu”

kata Abu Nawas sedikit bergaya.

“Bener nih, Bang?! Aduuh terimakasih Bang!’ istri Abu Nawas sangat senang

mendengar kata-kata suaminya. Belum juga lebaran sudah mau dibelikan baju

baru.

Esok harinya Abu Nawas tergesa-gesa. Rupanya ia ada janjian dengan

salah satu temannya. Ia pun kebingungan mencari-cari uangnya. Kenapa uangnya

tak sebanyak yang ia sangka? Mungkin ada sesuatu yang salah kemarin.

Begitulah akhirnya dengan sedih ia berkata kepada istrinya, “Ternyata uangku

hanya sedikit, nanti kau masak sederhana saja, dan belinya baju kapan-kapan saja”

Hari itu perdagangan Abu Nawas seret. Ia pulang membawa uang sedikit.

Dengan wajah loyo ia pulang menjelang maghrib. Istrinya tetap menyambutnya

dengan wajah berseri-seri.

“Ayo, Bang cepat mandi!”

“Nanti saja ......”

“Sudah hampir maghrib lho!”


Akhirnya Abu Nawas dengan lunglai pergi untuk mandi. Usai mandi ia kaget.

Istrinya telah menyiapkan baju baru baginya.

“Darimana kau beli baju baru ini?” tanya Abu Nawas keheranan.

“Rezki dari langit, Bang!” jawab istrinya singkat

Usai shalat isya, sesampai di rumah tercium bau masakan yang begitu lezat.

Ketika masuk Abu Nawas pun melihat hidangan makan yang begitu menggiurkan.

“Bagaimana kau bisa memasak sehebat ini? Dari mana kau dapatkan uang?” tanya

Abu Nawas tak habis pikir.

“Dari langit!” jawab istrinya singkat.

“Dari langit bagaimana?”

“Dari langit turun ke tempat cucian!”

“Pantas saja aku cari-cari uangku tak ada!Rupanya sembunyi di temapt cucian

bersama celana kotorku!”

“Makanya Bang jangan loyo begitu....Kemarin Abang bersemangat karena uang,

sekarang loyo juga karena uang. Kayaknya uang itu kok segala-galanya!” nasehat

istrinya.

Abu Nawas hanya terdiam mendengar nasehat istrinya. Memang ternyata imannya

begitu lemah. Hanya karena uang ia loyo, padahal uang hanyalah salah satu dari

sekian banyak rezki Allah yang begitu banyak.

“Ayo sekarang kita makan Bang!” ajak istrinya mengagetkan lamunan Abu

Nawas.

**
Jual Unta

Abu Nawas menuntun untanya menuju pasar untuk dijual. Ternyata harga

yang ditawar oleh para pembeli terlalu rendah hingga Abu Nawas masih terus

mempertahankan untanya hingga sore hari, dan belum melepaskannya kepada

pembeli. Akhirnya karena telah begitu lelah dan capek ia putuskan untuk

membawa pulang untanya itu. Ketika akan beranjak pulang mendadak datang

seseorang yang menawar untanya dengan harga yang cukup tinggi. Tidak diduga

ternyata Abu Nawas malah menolaknya.

“Bodoh sekali engkau! Tidak akan ada orang yang mau menawar harga lebih

tinggi dari hargaku ini!” Kata orang tersebut.

“Maaf Tuan! Memang aku akan dapat begitu banyak, akan tetapi anda tidak tahu

betapa aku sebentar lagi akan pingsan bila berjalan kaki sampai rumah. Bila aku

pingsan di tengah jalan maka sia-sialah uang yang kuperoleh, sebab bisa jadi uang

itu telah raib di kala aku sadar diri” kata Abu Nawas sambil menaiki untanya

untuk pulang menuju rumah.

**

Penjara Angin

Suatu hari Abu Nawas dipanggil oleh khalifah. Tentu saja Abu Nawas sedikit

cemas, sebab seperti biasa selalu ia diberi tugas yang aneh-aneh oleh khalifah

yang ujung-ujungnya khalifah mengancam dengan hukuman bila ia tak mampu

memenuhi permintaannya.
“Ada gerangan apakah khalifah memanggil saya?!’ Tanya Abu Nawas dengan

harap-harap cemas.

“Sudah beberapa hari ini aku sakit perut. Ternyata aku terkena serangan angin

atau masuk angin. Sekarang aku minta tolong kepadamu untuk menangkap angin

dan memenjarakannya agar tak lagi menggangguku lagi”

“Wah, permintaan khalifah sungguh sulit”

“Kau adalah orang yang cerdik, kalau kau tak mampu kau akan diboikot!” kata

khalifah.

“Hamba minta waktu khalifah”

“Baiklah jangan lama-lama!” kata khalifah

“Tiga hari insya Allah cukup” jawab Abu Nawas. Segera ia bergegas pulang ke

rumahnya. Di hari pertama sampai hari kedua ia terus gundah memikirkan

permintaan khalifah. Akhirnya di hari ketika ia pun mendapat ide untuk

melakukan apa yang menjadi permintaan khalifah.

Abu Nawas pun akhirnya menghadap khalifah.

“Bagimana Abu Nawas, apakah kau sudah berhasil memenjarakan angin yang

membuatku sakit itu?” tanya khalifah

“Insya Allah, khalifah”

“Mana angin itu?”

“Ini”kata Abu Nawas sambil menyerahkan sebuah botol yang disumbat.

“Apakah ini?” tanya khalifah

“Ini adalah angin yang membuat sakit perut” jawab Abu nAwas tanpa ragu-ragu.

“Di dalam botol ini?”


“Ya”

“Aku tak percaya”

“Bukankah angin itu tak kelihatan?” tanya Abu Nawas

“Ya, Akan tetapi bagiamana kau bisa membguktikannya?”

“Baik, kalau khalifah ingin membuktikannya silakan dibuka sumbatnya di depan

hidung khalifah agar khalifah bisa mengetahuinya.”

Benar saja khalifah membuka sumbat botol itu dan segera tercium bau

busuk kentut yang tak karuan. Tentu saja khalifah jengkel akan tetapi ia tak bisa

berbuat apa-apa.

“Bukankah ketika khalifah sakit perut, seperti itu busuknya bau angin yang keluar

dari khalifah, ya kan?” tanya Abu Nawas.

Khalifah pun mengangguk-angguk mengakui kecerdikan khalifah.

“Sekarang khalifah harus memberiku hadiah” kata Abu Nawas

“Lho, kenapa harus?”

‘Bukankah kalau saya gagal menangkap angin ini khalifah mengancamku untuk

menghukumku? Nah, kalau sebaliknya mestinya khalifah memberiku hadiah,

sebab itulah yang akan dilakukan oleh pemimpin yang adil, dan bukankah aku

telah menyembunyikan aib khalifah?”

“Aib apakah maksudmu?”

“Khalifah telah berusaha mencium kentut Abu Nawas!”

Tertawa khalifah mendengar penjelasan Abu Nawas. Memang ia harus mengakui

kecerdikan Abu Nawas, karena itu akhirnya Abu Nawas pun menerima hadiah

dari khalifah.
**

Di Balik Kebanggaan

Abu Nawas berjalan menuju rumah Abu Lalab. Di tengah jalan ia

berpapasan dengan seorang anak kecil yang menangis.

“Hai anak kecil, mengapa kamu menangis?” tanya Abu Nawas

“Haaaa, haaaa, haaaa” anak kecil itu hanya menangis saja.

“Aku akan bantu kamu tapi jangan menangis terus!” kata Abu Nawas

“Haaa, haaa, haaaa” masih juga anak kecil itu menangis sambil memegangi

perutnya.

“Ooh, rupanya perutmu sakit, ya?” tanya Abu Nawas

“Haa, haaa, haaaaa” masih juga anak itu hanya menangis sambil menganggukkan

kepala.

Maka dibawalah anak kecil itu ke warung terdekat, kemudian Abu Nawas

membelikan roti. Segera anak kecil itu memakan roti dengan lahab dan

berhentilah ia menangis.

Akhirnya Abu Nawas meneruskan perjalanan ke rumah Abu Lalab.

Mereka berdua hendak mengunjungi rumah salah seorang sahabat mereka yang

telah lama tak bertemu. Seusai shalat ashar berangkatlah Abu Nawas dan Abu

Lalab menuju rumah sahabatnya itu. Sesampai di rumah sang sahabat mereka

asyik mnegobrol sampai menjelang maghrib. Memang mereka sengaja bertamu

sampai maghrib sebab sang sahabat telah mengundang mereka untuk berbuka

bersama. Maklum saat itu adalah bulan ramadhan.


Saat berbuka pun tiba. Abu Nawas dan Abu Lalab dijamu oleh keluarga

itu. Mereka berbuka bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga.

“Apakah anak-anak anda semuanya berpuasa?” tanya Abu Nawas

“Ya, meski masih kecil mereka semua berpuasa” jawab sang sahabat dengan

bangga.

Mendadak Abu Nawas kaget sebab salah satu dari anak-anak itu adalah

anak kecil yang ia temui menangis di siang hari tadi. Oooh, rupanya anak ini tadi

kelaparan karena belajar puasa.

“Wow, apakah sekecil itu mereka sudah kuat menahan lapar?” tanya Abu Nawas

“Ya, mereka selama ini baik-baik saja” kata sang sahabat

Tentu saja anak kecil itu sangat malu begitu melihat wajah Abu Nawas.

Abu Nawas pun tahu diri. Akan tetapi terlanjur mereka berada dalam satu ruangan

sehingga mau tak mau pun akhirnya mereka pun saling bersapa.

“Hai anak kecil, rupanya di sini rumahmu, ya?” tanya Abu Nawas

“Ya, paman!” kata anak kecil itu dengan wajah agak takut.

“Lho, rupanya kalian telah saling kenal! Bagaimana bisa?!” kata sang sahabat.

“Ya, kami pernah kebetulan saja bertemu di tengah jalan” jawab Abu Nawas

“Ya, Ayah,. Paman ini pernah menolongku ketika aku menderita kesakitan di

tengah jalan. Hampir saja aku pingsan, alhamdulillah Paman ini membantuku

hingga akhirnya aku sembuh” jawab si anak berterus terang.

“Lho, kenapa kamu tak bercerita kepada ayah?!”

“Aku tak ingin ayah kecewa”

“Kecewa, bagaimana maksudmu?”


“Kecewa karena anaknya tak kuat berpuasa”

“Oh, anakku bukan itu maksudku” kata sang ayah sambil memeluk anaknya,”

Maafkan ayahmu, maafkan ayah, Nak. Dan ...terimakasih Abu....atas

pertolonganmu. Ayah tetap akan bangga meski kau tak kuat puasa seharian, sebab

kau telah bersungguh-sungguh berusaha”

**

Lolos dari Jebakan Khalifah

Sudah lama khalifah Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu Nawas

akan tetapi berbagai perangkap selalu bisa dipecahkan oleh Abu Nawas. Kali ini

khalifah benar-benar akan berusaha mengalahkannya dan sudah saatnya Abu

Nawas mendapat hukuman karena sebelumnya ia selalu menerima hadiah.

Khalifah memanggil beberapa orang menteri, lalu mereka semua

diberitahu oleh khalifah tentang rencananya yang akan menjebak Abu Nawas.

“Besok kalian datang ke pemandian air hangat, lebih awal dari biasanya, aku ada

urusan penting dengan kalian.” Begitu kata khalifah kepada para menterinya.

Khalifah pun mengundang Abu Nawas untuk datang ke pemandian hangat itu.

Seperti yang telah direncanakan, khalifah dan para menteri datang lebih

awal. Khalifah membagi kepada mereka semua masing-masing satu butir telur

ayam termasuk untuk khalifah sendiri. Lalu mereka semua segera masuk ke dalam

pemandian itu. Tak lama kemudian Abu Nawas datang.

“Wahai Abu Nawas, cepatlah bergabung dengan kami!” sapa khalifah. Abu Nawas

pun tak pikir panjang segera masuk ke dalam pemandian itu sedangkan khalifah
dan para menteri telah terlebih dahulu berendam di dalamnya. Dalam hati Abu

Nawas sempat terlintas juga pikiran-pikiran buruk, jangan-jangan khalifah tidak

sekedar mengajaknya rekreasi, jangan-jangan dirinya mau ‘dikerjain’. Akan tetapi

Abu Nawas cepat-cepat menghilangkan prasangka buruknya itu. IA pun berendam

dengan santai tanp[a tahu bahwa khalifah telah memiliki rencana

menggelincirkannya.

Tiba-tiba khalifah berkata dengan suara agak keras.

“Hai para menteriku dan Abu Nawas! Aku mengundang kalian semua datang ke

sini untuk mengikuti suatu permainan, yang tidak akan bisa melakukannya kecuali

orang-orang bodoh dan layak untuk mendapat hukuman!”

Benarlah ternyata apa yang terlintas dalam benak Abu Nawas,. Khalifah ingin

menjebaknya! Akan tetapi biarlah, Abu Nawas tetap tenang sebab ia berprinsip

bahwa pantang takut bila ia berada di atas kebenaran.

“Permainan apakah itu khalifah?”

“Masing-masing dari kita harus bisa melakukan apa yang ayam pun

melakukannya, yakni bertelur. Barangsiapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus

dihukum!”

Wah, benar-benar semena-mena khalifah dalam mencari celah untuk menjebak

dirinya, begitulah kata Abu Nawas dalam hati. Akan tetapi kalau hanya marah

dalam hati maka itu tak akan memecahkan masalah, maka Abu Nawas pun

berpikir keras bagaimana agar ia bisa lolos dari jebakan ini.

“Tunggu apa lagi, sekarang semuanya menyelam, dan hanya boleh mengeluarkan

kepala bila sudah menghasilkan satu butir telur!” kata Khalifah. Maka segera
semua yang ada di situ menyelamkan kepala dan badan mereka ke dalam air.

Beberapa saat kemudian satu per satu mulai mengeluarkan kepalanya dengan

membawa sebutir telur, sedangkan Abu Nawas masih terus menyelam karena

terus berpikir bagaimkana bisa seorang manusia menghasilkan telur.

Semua telah selesai menyelam dan membawa sebutir telur, tinggal Abu

Nawas saja yang masih menyelam. Khalifah mulai senang. Abu Nawas kali ini

benar-benar akan mati kutu, tak ada lagi baginya celah untuk berkelit. Sementara

itu Abu Nawas pun mulai merasakan sesak dadanya, ia tak lagi kuat menahan

napas. Tak ada jalan lain kecuali harus mengeluarkan kepalanya segera.

Semua pandangan tertuju pada Abu Nawas yang masih berada di dalam

air. Mereka harap-harap cemas. Apakah kali ini Abu Nawas benar-benar keokl

melawan permainan khalifah? Begitulah, para menteri pun sangat ingin melihat

sekali-kali Abu Nawas bisa dikalahkan.

Tiba-tiba Abu Nawas mengelurkan kepalanya. IA berlaku aneh. Abu

Nawas mleihat semua orang telah membawa satu butir telur. Wah, ini pasti tipu

daya khalifah. Tiba-tiba Abu Nawas menepuk-nepuk dada dan kemudian

mengeluarkan bunyi keras dan panjang persis bunjyi seekor ayam jantan yang

berkokok. Kuk-kuruyyuuuuuuuuuuuuuuuuk.

“Ampun khalifah, hamba tidak bisa bertelor seperti khalifah dan para menteri!”

“Kalau begitu kau harus dihukum!” kata khalifah dengan mantap dan wajah

berseri-seri

“Bagaimana hamba bisa diukum, bukankah Ayam jantan tidak akan bisa

bertelur.Sedangkan hamba benar-benar tak bisa menjadi ayam betina. Hamba tak
sampai hati pada diri hamba. Hamba hanya bisa menjadi ayam jantan, oleh sebab

terlalu sulit untuk mengubah sifat-sifat jantan hamba menjadi sifat perempuan!”

Khalifah terperangah. Ia tak menyangka begitu mudah Abu Nawas

mematahkan jebakannya. Memang Abu Nawas benar-benar cerdik., dan kali ini

pun khalifah belum berhasil mengalahkannya.

Anda mungkin juga menyukai