Anda di halaman 1dari 38

RESUME

PTKP(Penghasilan Tidak Kena Pajak)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6

1. Stephanie Laura Nathania 202050122


2. Clarissa 202050152
3. Theresia Theodora 202050155
4. Gary Geraldo 202050157
5. Indra 202050169

MATA KULIAH : PERPAJAKAN 1


TRISAKTI SCHOOL OF MANAGAMENT
PTKP(Penghasilan Tidak Kena Pajak)

Pengertian penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah jumlah pendapatan WP orang
pribadi yang dibebaskan dari PPh Pasal 21. Definisi PTKP tersebut berasal dari Pasal 7 UU
Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.
Penghasilan Tidak Kena Pajak ini merupakan salah satu elemen dalam perhitungan pajak
yang berfungsi untuk mengurangi penghasilan neto wajib pajak.
PTKP akan selalu mengalami perubahan seiring perkembangan zaman, dan meningkatnya
kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia. Semakin besar PTKP yang ditetapkan pemerintah,
maka pajak penghasilan akan semakin kecil, berlaku pula sebaliknya.
Mengapa perlu ada PTKP?
Menurut ketentuan perpajakan di negara Indonesia, PPh tidak dikenakan pada penghasilan
wajib pajak (penghasilan bruto), karena pasalnya pemungutan pajak ini hanya dikenakan
pada Penghasilan Kena Pajak (PKP). Dengan lain kata semakin tinggi penghasilan makin
besar juga tarif pajak yang dikenakan. Penghasilan Kena Pajak adalah jumlah upah
karyawan/pekerja yang akan dikenakan PPh 21 setelah dikalkulasikan dengan tunjangan,
biaya jabatan, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan lainnya.
Untuk tahu jumlah PKP tentunya Anda harus tahu dulu pengurangan terhadap penghasilan
bruto, dimana salah satunya adalah PTKP. Namun tujuan hal ini diadakan adalah untuk
melindungi orang-orang yang berpenghasilan rendah, tidak harus membayar pajak lagi.
Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurang penghasilan neto WP,
untuk mencari jumlah penghasilan yang dikenakan pajak.
Status PTKP
Terdapat beberapa status di dalam PTKP yang harus Anda pahami agar Anda dapat
mencocokkannya terhadap kondisi Anda sebenarnya. Status PTKP ini muncul dalam bentuk
kode TK dan K.
Berikut adalah berbagai kode beserta penjelasan dari status PTKP.
1. Status Lajang (TK)
A. PTKP TK/0: tidak kawin dan tidak ada tanggungan.
B. PTKP TK/1: tidak kawin dan 1 tanggungan.
C. PTKP TK/2: tidak kawin dan 2 tanggungan.
D. PTKP TK/3: tidak kawin dan 3 tanggungan.
2. Status Menikah (K)
A. PTKP K/0: kawin dan tidak ada tanggungan.
B. PTKP K/1: kawin dan 1 tanggungan.
C. PTKP K/2: kawin dan 2 tanggungan.
D. PTKP K/3: kawin dan 3 tanggungan.
3. Status PTKP Digabung (K/I)
A. PTKP K/I/0: penghasilan suami dan istri digabung dan tidak ada tanggungan.
B. PTKP K/I/1: penghasilan suami dan istri digabung dan 1 tanggungan.
C. PTKP K/I/2: penghasilan suami dan istri digabung dan 2 tanggungan.
D. PTKP K/I/3: penghasilan suami dan istri digabung dan 3 tanggungan.

PTKP Periode 2013-2015

PTKP LAKI- PTKP PTKP


LAKI/PEREMPUA LAKI- SUAMI
N LAJANG LAKI DAN ISTRI
KAWIN DIGABUNG
TK/0 Rp24.300.000 K/0 Rp26.325.000 K/I/0 Rp50.625.000
TK/1 Rp26.325.000 K/1 Rp28.350.000 K/I/1 Rp52.650.000
TK/2 Rp28.350.000 K/2 Rp30.375.000 K/I/2 Rp54.675.000
TK/3 Rp30.375.000 K/3 Rp32.400.000 K/I/3 Rp56.700.000

PTKP Periode 2015

PTKP LAKI- PTKP PTKP


LAKI/PEREMPUA LAKI- SUAMI
N LAJANG LAKI DAN ISTRI
KAWIN DIGABUNG
TK/0 Rp36.000.000 K/0 Rp39.000.000 K/I/0 Rp75.000.000
TK/1 Rp39.000.000 K/1 Rp42.000.000 K/I/1 Rp78.000.000
TK/2 Rp42.000.000 K/2 Rp45.000.000 K/I/2 Rp81.000.000
TK/3 Rp45.000.000 K/3 Rp48.000.000 K/I/3 Rp84.000.000

PTKP Periode 2016-2019

PTKP LAKI- PTKP PTKP


LAKI/PEREMPUAN LAKI- SUAMI
LAJANG LAKI DAN ISTRI
KAWIN DIGABUNG
TK/0 Rp54.000.000 K/0 Rp58.500.000 K/I/0 Rp112.500.000
TK/1 Rp58.500.000 K/1 Rp63.000.000 K/I/1 Rp117.000.000
TK/2 Rp63.000.000 K/2 Rp67.500.000 K/I/2 Rp121.500.000
TK/3 Rp67.500.000 K/3 Rp72.000.000 K/I/3 Rp126.000.000

PTKP Periode 2021


PTKP LAKI- PTKP PTKP
LAKI/PEREMPUA LAKI- SUAMI
N LAJANG LAKI DAN ISTRI
KAWIN DIGABUNG
TK/0 Rp54.000.000 K/0 Rp58.500.000 K/I/0 Rp112.500.000
TK/1 Rp58.500.000 K/1 Rp63.000.000 K/I/1 Rp117.000.000
TK/2 Rp63.000.000 K/2 Rp67.500.000 K/I/2 Rp121.500.000
TK/3 Rp67.500.000 K/3 Rp72.000.000 K/I/3 Rp126.000.000
Untuk lebih jelasnya, rincian PTKP adalah sebagai berikut:
1. PTKP bagi WP orang pribadi adalah Rp54.000.000,00;
2. PTKP bagi WP yang kawin mendapat tambahan sebesar Rp4.500.000,00;
3. Tambahan PTKP untuk seorang istri yang penghasilannya secara pajak digabung
dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp54.000.000,00;
4. Tambahan PTKP untuk tanggungan, dengan besaran untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda yang berada dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat adalah sebesar Rp4.500.000,00. Ketentuan jumlah tanggungan adalah
maksimal tiga orang setiap WP. Keluarga sedarah ialah orang tua kandung, saudara
kandung dan anak dan yang yang dimaksud keluarga semenda adalah mertua, anak
tiri serta ipar.
Berikut ini cara mengetahui jumlah Penghasilan Kena Pajak:

 Dari Penghasilan Bruto => dikurangi biaya-biaya => selanjutnya menjadi penghasilan
neto.
 Dari penghasilan neto tersebut => dikurangi PTKP hingga akhirnya diperoleh
Penghasilan Kena Pajak.
Contoh Perhitungan PTKP
AAA seorang karyawati bekerja di PT BCD mendapatkan gaji perbulannya Rp5.000.000.Ia
tercatat seorang fresh graduate yang baru bekerja selama satu tahun dengan status belum
menikah.
Berapa perhitungan PTKP-nya?

Gaji Pokok Rp 5.000.000


-/- Biaya Jabatan 5% x Rp 5.000.000= Rp 250.000
Penghasilan Bersih per bulan Rp 4.750.000
Penghasilan Per Tahun Rp 4.750.000 x 12 bulan= Rp 57.000.000
-/- PTKP (karena AAA masih lajang dan tidak Rp 54.000.000(Liat dari Tabel Sebelum
memiliki tanggungan, maka ia tergolong TK/0) nya)
Penghasilan kena pajak setahun Rp 3.000.000
PPH Terutang 5% x 3.000.000=Rp 150.000
PPH 21 masa Rp 150.000/12 bulan=Rp 12.500
Dengan perhitungan tersebut, maka AAA harus membayar PPh 21 sebesar Rp12.500 per-
bulannya atau Rp300.000 untuk total per-tahun.
2.Jika pada tahun berikutnya, AAA menikah dan memiliki satu orang anak.AAA kemudian
berhenti bekerja sehingga tidak menghasilkan pemasukan.Sementara pendapatan suaminya
sebesar Rp7.500.000 per bulan.Maka tarif PTKP suami AAA sebanyak Rp63.000.000 per
tahun dengan contoh perhitungan berikut ini.

Gaji Pokok Rp 7.500.000


-/- Biaya Jabatan 5% x Rp 7.500.000= Rp 250.000
-/- Biaya Pensiun 1% x Rp 7.500.000= Rp 75.000
Penghasilan Bersih per bulan Rp 7.050.000
Penghasilan Per Tahun Rp 7.050.000 x 12 bulan= Rp 84.600.000
-/- PTKP (K/I) karena AAA sudah Rp 63.000.000(Liat dari Tabel Sebelum
menikah,berhenti bekerja dan mempunyai satu nya)
anak
Penghasilan kena pajak setahun Rp 21.600.000
PPH Terutang 5% x Rp 21.600.000 =Rp 1.080.000
PPH 21 masa Rp 1.080.000/12 bulan=Rp 90.000
Dengan perhitungan tersebut, maka suami AAA yang memiliki satu orang tanggungan, ia
harus membayar PPh 21 sebesar Rp90.000 setiap bulannya atau Rp1.080.000 setahun.
3. Rudi merupakan karyawan tidak tetap di perusahaan terkemuka dan penghasilan setiap
bulannya adalah Rp4,5 juta. Sementara, status Rudi ini adalah lajang atau belum menikah.
Maka, perhitungan PTKP-nya adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok Rp 4.500.000


Penghasilan Bersih per tahun Rp 4.500.000 x 12 = Rp 54.000.000
-/- PTKP TK/0 karena Rudi Masih Jalang Rp 54.000.000
dan tidak punya Tanggungan
PPH 21 masa 0
Dari perhitungan PTKP di atas, maka Rudi tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak
jenis PPh 21. Hal ini karena dirinya tidak mempunyai PPh 21 terutang.

Biaya jabatan adalah biaya untuk menagih, mendapatkan dan juga memelihara penghasilan,
yang merupakan salah satu komponen Pajak Penghasilan (PPh 21) berdasarkan Undang
Undang Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Pajak Penghasilan.
Pengenaan biaya ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
250/PMK.03/2008 yaitu sebesar 5% dari penghasilan bruto yang diterima pegawai.
Perhitungan biaya jabatan pegawai tetap yaitu dengan pengurangan setinggi – tingginya
Rp500 ribu per bulan atau Rp6 juta per tahun.Jika penghasilan bruto melebihi Rp500 ribu per
bulan, maka pajak jabatannya tetaplah sebesar Rp500 ribu, begitu juga dengan kalkulasi per
tahunnya.
Ketentuan lain pengenaan biaya ini di antaranya:
1. Jika mulai dari awal tahun pegawai atau karyawan tersebut sudah berstatus pegawai
tetap, maka biaya ini akan mulai dihitung dari bulan Januari sampai dengan akhir
tahun saat karyawan atau pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja.
2. Kalau seorang karyawan atau pegawai tersebut baru diangkat sebagai pegawai tetap
dalam tahun takwim/kalender, maka biaya ini akan dihitung sejak bulan pengangkatan
karyawan atau pegawai sampai akhir tahun atau status berhenti bekerja.
3. Jika seorang karyawan atau pegawai tersebut telah berhenti bekerja dalam tahun
takwim, maka biaya tersebut akan dihitung dari bulan Januari sampai dengan bulan
saat karyawan atau pegawai tersebut yang bersangkutan berhenti bekerja.
pegawai tetap dalam jabatan apapun di sebuah perusahaan bahkan profesi Office Boy tetap
pun wajib membayar biaya jabatan. Lantaran biaya jabatan ini jadi komponen dalam PPh 21
maka dari itu, biaya jabatan ini dipotong dari pendapatan bruto yang diterima oleh pegawai
sebagai wajib pajak
PENYUSUTAN DAN AMORTISASI
Penyusutan
Pengertian penyusutan
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11 (1))
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
tersebut melalui penyusutan.
Metode yang digunakan untuk menghitung penyusutan harta berwujud
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11 (1))
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 Ps 11 (1))
adalah :

 Metode garis lurus (straight-line method) yaitu metode yang digunakan untuk
menghitung penyusutan yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut. Penyusutan atas pengeluaran untuk
pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan atau perubahan harta berwujud, kecuali
tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu (1) tahun dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta
tersebut.
 Metode saldo menurun (declining-balance method) yaitu metode yang digunakan
untuk menghitung penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan nilai sisa buku pada akhir masa
manfaat harus disusutkan sekaligus.
Metode ini tidak dapat digunakan untuk menghitung penyusutan atas bangunan.
Penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.
Waktu penyusutan mulai dilakukan
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11 (3))
Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang
masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan
harta tesebut. Penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Dengan persetujuan Dirjen Pajak, wajib pajak dapat melakukan penyusutan mulai pada bulan
digunakannya harta tersebut untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.
Contoh 1 :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan
sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4
(empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:

Yang tidak boleh disusutkan Menurut Ketentuan Fiskal

 Harta yang tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan tidak boleh disusutkan secara fiskal. Misalnya; kendaraan perusahaan
yang dikuasai dan dibawa pulang oleh karyawan, rumah dinas karyawan yang tidak
terletak di daerah terpencil.
 Dalam hal harta yang tidak boleh disusutkan secara fiskal tersebut dijual (dialihkan),
keuntungannya merupakan obyek PPh, yang dihitung dari selisih antara harga jual
(nilai pasar) dengan harga perolehan. Dalam hal selisihnya negatif (rugi), kerugian
tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
Dasar penyusutan atas harta yang telah dilakukan penilaian kembali (revaluasi)
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11 (5))
Dasar penyusutan atas harta yang telah dilakukan penilaian kembali (revaluasi) adalah nilai
setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan
sebagai berikut :

 Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian
kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
 Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva
tetap tersebut.
 Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan.
Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :

 Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun
pajak yang bersangkutan.
 Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak
yang bersangkutan.
 Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak tersebut.
Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula
sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.
Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11 (6))
Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah ditetapkan
sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara
dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan,
yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya barak atau asrama yang
terbuat dari kayu untuk karyawan.
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagai bantuan, sumbangan, zakat,
hibah dan/atau warisan yang diakui berdasarkan perundang-undangan perpajakan, yang
berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok
harta berwujud sesuai dengan masa manfaat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Contoh soal
Contoh soal 1 Metode Garis Lurus
PT MANTAB mulai membangun sebuah kantor pada tanggal 14 April 2014 dengan biaya
Rp3.000.000.000,-. Kantor tersebut selesai dibangun pada tanggal 14 Maret 2015. Kantor
tersebut mulai digunakan pada tanggal 1 Mei 2015.
Maka kantor tersebut mulai disusutkan pada bulan Maret 2015, bulan dimana selesai proses
pengerjaan. Besarnya beban penyusutan fiskal tahun pajak 2015 adalah
Rp3.000.000.000 x 5% x 10/12 = Rp125.000.000,-

Dengan persetujuan Dirjen Pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan digunakan, yaitu
bulan Mei 2015. Sehingga besarnya beban penyusutan fiskal tahun pajak 2015 menjadi
Rp3.000.000.000 X 5% x 8/12 = Rp100.000.000,-
Contoh soal 2
X membeli laptop pada 1 Januari 2018 yang merupakan kelompok 1 dengan harga
Rp7.000.000. Berikut adalah penghitungan penyusutan tahun 2019 dengan metode garis lurus
dan saldo menurun.
Penyusutan tahun 2019 dengan metode garis lurus:
Rp7.000.000 x 25% dikarenakan bukan bangunan kelompok 1 = Rp1.750.000
Penyusutan tahun 2019 berdasarkan metode saldo menurun:
Penyusutan tahun 2018 = Rp7.000.000 x 50% dikarenakan bukan bangunan kelompok 1 =
Rp3.500.000
Penyusutan tahun 2019 = (Rp7.000.000 – Rp 3.500.000) x 50% = Rp1.750.000

Amortisasi
Amortisasi harta tak berwujud
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11A)
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
(termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, yang digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dengan metode garis lurus (straight line
methode) atau metode saldo menurun (decline balance methode) secara taat azas.
Tabel Masa Manfaat dan tarif amortisasi harta tak berwujud :

Contoh Penghitungannya
PT MANTAB memperoleh hak penambangan gas bumi, yang mempunyai potensi
10.000.000.000 barel, dengan biaya sebesar Rp30.000.000.000,-. Pada tahun 2014 jumlah
produksi mencapai 500.000.000 barel yang berarti 20% dari potensi yang tersedia
Metode amortisasi yang digunakan adalah metode satuan produksi. Besarnya beban
amortisasi tahun 2014 adalah sebagai berikut:
20% x Rp30.000.000.000,- = Rp6.000.000.000,-

Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan tabel masa manfaat dan
tarif amortisasi.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum perusahaan beroperasi komersial yang memiliki masa
manfaat lebih dari satu tahun, dikapitalisasi (sebagai biaya pra operasi) kemudian dimortisasi
dengan metode di atas.
Yang termasuk pengeluaran pra operasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum
perusahaan beroperasi komersial, misalnya biaya study kelayakan dan biaya produksi
percobaan, tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji
pegawai, rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Pengeluaran yang rutin
tersebut harus dibebankan sekaligus pada tahun terjadinya.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. Apabila terjadi pengalihan harta
tak berwujud atau hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, muhibah (goodwill), hak
pengusahaan hutan, hak di bidang penambangan minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan
jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan tersebut.
Amortisasi atas Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dengan
menggunakan metode satuan produksi, yaitu :
= {Produksi tahun ini / Taksiran deposit minyak mentah (gas bumi) yang bisa ditambang} x
100 %
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di
suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah
tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas
bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut
kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan
kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :
Harga perolehan Rp500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp250.000.000,00
Nilai buku harta Rp250.000.000,00
Harga jual harta Rp300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp250.000.000,00 dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Apabila pengalihan tersebut dalam rangka sumbangan, hibah, bantuan, dan warisan
yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU Nomor 36 Tahun 2008, maka
nilai sisa buku fiskalnya tidak dapat diakui sebagai biaya.
KOMPENSASI KERUGIAN
Kompensasi kerugian adalah suatu skema ganti rugi yang dapat diterapkan oleh wajib pajak
orang pribadi atau wajib pajak badan yang berdasarkan pembukuannya mengalami kerugian.
Dan kompensasi ini akan dilakukan pada tahun berikutnya secara berturut-turut hingga 5
(Lima) tahun.
Bagi wajib pajak baik orang pribadi maupun badan yang menyelenggarakan pembukuan atas
kegiatan usahannya dan mengalami kerugian dalam suatu tahun pajak, maka kerugian
tersebut dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya.
Sehingga, pada tahun-tahun berikutnya pajak penghasilan (PPh) yang terutang akan menjadi
lebih kecil atau tidak terutang sama sekali.
Ketentuan pajak ini yang dimaksud disini adalah Kompensasi Kerugian atau Carrying Loss
yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang (UU) PPh yang berbunyi: “Apabila
penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun”.
Maksud dari pengurangan pada ayat (1) sendiri yaitu:

- Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha;
- Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun;
- Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
- Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan;
- Kerugian disebabkan selisih kurs mata uang asing;
- Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
- Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
- Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih;
- Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP);
- Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan PP;
- Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan PP;
- Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP;
- Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan PP.
Berikut catatan penting mengenai penggunaan fasilitas kompensasi kerugian ini:

- Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal, bukan kerugian komersial.

Kerugian atau keuntungan fiskal merupakan selisih antara penghasilan bruto dan
biaya-biaya yang telah memperhitungkan ketentuan PPh (biaya yang boleh
dibebankan secara fiskal).

Disuatu perusahaan umumnya mempunyai dua jenis akuntansi keuangan, yaitu


akuntansi komersial dan akuntansi fiskal. Akuntansi komersial merupakan aktivitas
untuk menyediakan informasi keuangan yang diperoleh melalui suatu proses
akuntansi secara umum.

Sedangkan akuntansi fiskal merupakan bagian dari akuntansi keuangan yang


menekankan pada penyusunan laporan perpajakan SPT dan pertimbangan
konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Dan
penghitungan fiskal bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan perusahaan
yang ditujukan secara khusus kepada otoritas pajak sebagai salah satu pemenuhan
kepatuhan pajak. Sehingga dari perhitungan tersebut nantinya akan diketahui apakah
wajib pajak tersebut mengalami kerugian fiskal atau tidak.

- Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama 5 tahun ke depan secara berturut-


turut.

Jadi jika diakhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa
kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.

- Kompensasi kerugian hanya untuk wajib pajak orang pribadi dan badan yang
melakukan kegiatan usaha dan wajib pembukuan.

Karena kompensasi kerugian tidak berlaku bagi wajib pajak yang keseluruhan
penghasilannya bersifat final, menggunakan norma penghitungan, atau bukan
merupakan objek pajak.

- Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari
dalam negeri.
Jenis Kompensasi Kerugian Fiskal:

- Kompensasi kerugian fiskal Horizontal adalah kompensasi kerugian fiskal jika suatu
usaha mengalami kerugian dalam satu tahun pajak maka kerugian itu akan
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya.
- Kompensasi kerugian fiskal Vertikal adalah kompensasi kerugian fiskal yang
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya sampai 5 tahun
berturut-turut
Contoh Kasus Kompensasi Kerugian Fiskal Vertikal:
Pak Bima mempunyai 2 usaha yaitu restoran dan laundry. Di tahun 2010, restoran Pak Bima
menderita kerugian fiskal sebesar Rp100.000.000. Sebaliknya, usaha laundry Pak Bima
mendapat laba fiskal Rp200.000.000. Maka penghasilan neto fiskal dari Pak Bima untuk
tahun pajak 2010 adalah Rp100.000.000
Perhitungannya: (Rp100.000.000) – Rp200.000.000 = Rp100.000.000
Contoh Kasus Kompensasi Kerugian Fiskal Horizontal:
PT Sinar dalam tahun 2015 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1,5 miliar. Dalam lima tahun
berikutnya laba rugi fiskal PT Sinar adalah sebagai berikut:
2016: Laba fiskal Rp200 juta
2017: Rugi fiskal (Rp300 juta)
2018: Laba fiskal Rp300 juta
2019: Laba fiskal Rp100 juta
2020: Laba fiskal Rp800 juta
Perhitungan: Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut.

Rugi Fiskal (2015) (Rp1.500.000.000)


Laba Fiskal (2016) Rp200.000.000
Sisa Rugi Fiskal (2015) (Rp1.300.000.000)
Rugi Fiskal (2017) (Rp300.000.000)
Sisa Rugi Fiskal (2015) (Rp1.300.000.000)
Laba Fiskal (2018) Rp300.000.000
Sisa Rugi Fiskal (2015) (Rp1.000.000.000)
Laba Fiskal (2019) Rp100.000.000
Sisa Rugi Fiskal (2015) (Rp900.000.000)
Laba Fiskal (2020) Rp800.000.000
Sisa Rugi Fiskal (2015) (Rp100.000.000)

Kesimpulan: Rugi fiskal tahun 2015 sebesar Rp100 juta yang masih tersisa pada akhir tahun
2020 dan tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2021, sedangkan untuk
rugi fiskal tahun 2017 sebesar Rp300 juta hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal
tahun 2021 dan tahun 2022, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2017
berakhir pada akhir tahun 2022.
PPh OP dan PPh Badan

Pengertian Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) Adalah?

Secara mendasar, Pajak Penghasilan Orang Pribadi ini terbagi menjadi 2 yakni orang pribadi
yang bekerja sebagai karyawan, dan orang pribadi yang melakukan pekerjaan atau usaha
(pengusaha).

Pajak Penghasilan Orang Pribadi atau PPh Orang Pribadi (PPh OP) adalah pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak Orang Pribadi (OP) atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam Tahun Pajak maupun bagian Tahun Pajak.

Orang Pribadi adalah subjek pajak penghasilan yang mencakup orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Subjek PPh Orang Pribadi atau PPh OP Adalah?

Sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), subjek Pajak Penghasilan Orang
Pribadi adalah orang atau pihak yang bertanggung jawab atas pajak penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak maupun bagian Tahun Pajak

Artinya, subjek pajak penghasilan yakni orang yang harus membayar PPh dan disebut
sebagai Wajib Pajak (WP), yang ditetapkan melalui kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).

Namun subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi atau PPh OP ini terbagi menjadi 2 jenis,
yakni:

a. Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri


Merujuk pada Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, subjek PPh Orang
Pribadi Dalam Negeri adalah WP Orang Pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia
(WNI) atau Warga Negara Asing (WNA), yang:

 Bertempat tinggal di Indonesia

 Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

 Atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia
PPh Orang Pribadi Dalam Negeri ini dikenakan pada bagi WP OP yang telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

b. Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi Luar Negeri


Masih sesuai UU Cipta Kerja, sedangkan subjek PPh Orang Pribadi Luar Negeri WP Orang
Pribadi, yang:

 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia

 WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

 WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
serta memenuhi persyaratan

Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah penghasilan yang merupakan setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh orang pribadi, baik berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Jenis-Jenis Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Merujuk Pasal 4 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2008, berikut jenis-jenis objek PPh Orang
Pribadi:

a. Penghasilan dari Pekerjaan

Penghasilan yang merupakan objek PPh Orang Pribadi dari pekerjaan ini meliputi:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang
2. Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Penghasilan dari Usaha atau Pekerjaan Bebas

Objek PPh Orang Pribadi yang merupakan penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas
adalah:
1. Laba usaha
2. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan atau pekerjaan bebas.

b. Penghasilan dari Modal (Investasi)

Penghasilan dari modal atau investasi yang merupakan objek pajak penghasilan orang pribadi
/ PPh Orang Pribadi diantaranya:

1. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk

 Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan


lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal

 Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena


pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota

 Keuntungan pengalihan harta dalam likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,


pemecahan, pengambilalihan usaha; atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk
apa pun

 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,


kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keaagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro kecil, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan

 Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak


penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan

2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang

3. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian laba dari sisa hasil usaha koperasi

4. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

c. Penghasilan lain-lain
Sedangkan penghasilan lain-lain yang masuk dalam kategori objek pajak penghasilan orang
pribadi / PPh Orang Pribadi adalah:

1. Hadiah dari undian
2. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
3. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
4. Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
5. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
6. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak
7. Penghasilan dari usaha berbasis Syariah
8. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP
9. Surplus Bank Indonesia

Dari penegasan bahwa tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak merupakan objek pajak kecuali ditetapkan sebaliknya.

Penghasilan yang Dikenai Pajak Bersifat Final


Dalam pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya ditetapkan
secara final, diantaranya:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan Surat
Utang Negara (SUN), dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi
2. Penghasilan berupa hadiah undian
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP)

Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh No. 36 Tahun 2008 ini, objek pajak penghasilan orang
pribadi yang dikecualikan dari PPh Orang Pribadi diantaranya:

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
PP
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK),
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
3. Warisan. Ini akan dikecualikan dari objek pajak penghasilan orang pribadi.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa
6. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Penggolongan Jenis  PPh Orang Pribadi


Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang ditentukan bahwa jenis-jenis penghasilan
tertentu pajaknya ditetapkan secara final, maka semua jenis penghasilan di Indonesia dapat
digolongkan menjadi 3 macam yaitu:

1. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh Final (Pasal 4 ayat


(2)
2. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh tidak bersifat Final (Pasal 4 ayat
(1)
3. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3)

Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Pada dasarnya terdapat tiga mekanisme perhitungan PPh OP yang dibedakan berdasarkan
jumlah penghasilan dan penggunaan metode pencatatan atau pembukuan yang dilakukan,
yaitu:
a. Mekanisme PPh OP secara Umum

Mekanisme umum ini berlaku bagi WP OP yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan
bebas dengan melakukan pembukuan.

Pembukuan di sini adalah proses pencatatan keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut.

Perhitungan pajak bagi orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ini dilakukan
dengan menggunakan mekanisme perhitungan biasa sesuai ketentuan tarif pada UU PPh
Pasal 17.

b. Mekanisme PPh Final PP 23/2018

Mekanisme perhitungan PPh OP ini berlaku bagi wajib pajak pribadi yang memiliki
peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. WP OP ini hanya
menyelenggarakan pencatatan saja dalam satu tahun pajak.

Perhitungan PPh OP ini tidak menyelenggarakan pembukuan, sehingga akan dikenakan PPh
yang bersifat final sesuai tarif dan ketentuan pada PP 23 Tahun 2018, yakni tarif PPh Final
sebesar 0,5% dari omzet bruto.

c. Mekanisme PPh OP secara NPPN

Penghitungan PPh OP dengan mekanisme NPPN ini bagi yang tidak menyelenggarakan
pembukuan. Norma penghitungan penghasilan neto ini bisa digunakan oleh wajib pajak
dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun.

Untuk menggunakan mekanisme NPPN ini, WP OP / objek pajak penghasilan orang pribadi
harus mengajukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dengan demikian, penghitungan pajak penghasilan dilakukan dengan terlebih dahulu


menetapkan jumlah penghasilan neto berdasarkan ketentuan norma yang ditetapkan pada
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015. Kemudian PPh-nya dihitung
berdasarkan tarif pada UU PPh Pasal 17.
Skema Pembagian Mekanisme Perhitungan PPh Orang Pribadi
Skema pembagian mekanisme perhitungan Pajak Penghasilan bagi wajib Pajak Orang Pribadi
yang berbeda, yang melakukan usaha atau pekerjaan, yakni:

1. Jika Peredaran Bruto > Rp4,8 Miliar

Apabila WP Orang Pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan dengan peredaran bruto
lebih dari Rp4,8 miliar setahun, wajib melakukan pembukuan dan PPh dihitung berdasarkan
Mekanisme Umum.

2. Jika Peredaran Bruto < Rp4,8 Miliar

Ketika WP Orang Pribadi / objek pajak penghasilan orang pribadi yang melakukan usaha
atau pekerjaan memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun, dapat memilih
metode perhitungan pajak penghasilan, yaitu:

 Melakukan Pencatatan

PPh dihitung berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (Pasal 17 UU PPh No. 38
Tahun 2008), atau PPh dihitung berdasarkan PP No. 23 Tahun 2018.

 Memilih Pembukuan

Jika memilih pembukuan, maka PPh dihitung berdasarkan Mekanisme Umum.

1. Menghitung PPh Sebelum Menikah


 Contoh simulasinya:

 Andi seorang karyawan, wajib pajak belum menikah (TK/0)

 Gaji per bulan = Rp 6.000.000

 Penghasilan neto per tahun = Rp 6.000.000 x 12 = Rp 72.000.000

 PTKP = Rp 54.000.000

 PKP Andi = Rp 72.000.000 – Rp 54.000.000 = Rp 18.000.000

 Pembayaran PPh (tarif 5%) = 5% x Rp 18.000.000 = Rp 900.000


 PPh tersebut sudah dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan), sehingga saat
melaporkan pajak di SPT Tahunan nihil atau tidak kurang bayar pajak.
Contoh lain:

 Santoso seorang karyawan, wajib pajak belum menikah (TK/0)


 Gaji per bulan = Rp 10.000.000

 Penghasilan neto per tahun = 12 x Rp 10.000.000 = Rp 120.000.000

 PKP Santoso = Rp 120.000.000 – Rp 54.000.000 = Rp 66.000.000

 PPh progresif = Tarif 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000


           = Tarif 15% x Rp 16.000.000 = Rp 2.400.000

 Pembayaran PPh = Rp 2.500.000 + Rp 2.400.000 = Rp 4.900.000.


2. Menghitung PPh Setelah Menikah
NPWP suami istri digabung
 Surya menikah dengan Tiara dan memiliki 2 orang anak (K/2)

 Surya dan Tiara bekerja di perusahaan berbeda, namun NPWP sudah digabung.

 Penghasilan neto setahun Surya = Rp 120.000.000

 Penghasilan neto setahun Tiara = Rp 84.000.000

 PTKP K/2 = Rp 67.500.000

 PKP Surya = Rp 120.000.000 – Rp 67.500.000 = Rp 52.500.000

 PPh Surya yang dipotong pemberi kerja = Tarif 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000


                                                                  = Tarif 15% x Rp 2.500.000 = Rp 375.000

                                                                  = Rp 2.500.000 + Rp 375.000 = Rp 2.875.000


 PKP Tiara = Rp 84.000.000 – (PTKP TK/0) Rp 54.000.000 = Rp 30.000.000

 PPh Tiara yang sudah dipotong pemberi kerja = Tarif 5% x Rp 30.000.000 = Rp


1.500.000.
 Pembayaran PPh Surya dilaporkan dalam SPT Tahunan dan tidak kurang bayar pajak.
Sedangkan jumlah PPh Tiara dilaporkan di SPT Tahunan suami (Surya) dan tidak
kurang bayar pajak juga.
NPWP suami istri dipisah
 Surya menikah dengan Tiara dan memiliki 2 orang anak (K/2)

 Surya dan Tiara bekerja di perusahaan berbeda, namun NPWP dipisah

 Penghasilan neto setahun Surya = Rp 120.000.000

 Penghasilan neto setahun Tiara = Rp 84.000.000

 PTKP K/I/2 = Rp 121.500.000

 PKP = (Penghasilan Surya + Tiara) Rp 120.000.000 + Rp 84.000.000 = Rp


204.000.000.
   Rp 204.000.000 – Rp 121.500.000 = Rp 82.500.000
 PPh suami istri = Tarif 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
                         = Tarif 15% x Rp 32.500.000 = Rp 4.875.000

                         = Rp 2.500.000 + Rp 4.875.000 = Rp 7.375.000


 SPT Tahunan Surya = (Rp 120.000.000 / Rp 204.000.000) x Rp 7.375.000 = Rp
4.338.235

 PPh Surya yang sudah dipotong pemberi kerja = Rp 2.875.000

 Kurang bayar pajak yang harus dilunasi Surya = Rp 4.338.235 – Rp 2.875.000 =


Rp 1.463.235
 SPT Tahunan Tiara = (Rp 84.000.000 / Rp 204.000.000) x Rp 7.375.000 = Rp
3.036.764

 PPh Tiara yang sudah dipotong pemberi kerja = Rp 1.500.000

 Kurang bayar pajak = Rp 3.036.764 – Rp 1.500.000 = Rp 1.536.764.

Cara Lapor SPT Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Wajib Pajak Orang Pribadi wajib melaporkan penghasilan, harta dan kewajiban mereka
setahun sekali dalam bentuk formulir SPT Tahunan ke KPP.

Periode pelaporan SPT PPh Orang Pribadi adalah dari tanggal 1 Januari hingga 31
Desember dan harus dilaporkan ke KPP sebelum tanggal 31 Maret pada tahun
berikutnya.

Formulir penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pribadi bagi yang berstatus
karyawan saja dengan mereka yang sebagai pengusaha berbeda.

 Jika WP Orang Pribadi Karyawan menggunakan Formulir SPT 1770SS atau 1770S

 WP Orang Pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan menggunakan Formulir SPT
1770

Cara Bayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Pembayaran PPh Orang Pribadi ini berbeda waktunya antara yang menggunakan Mekanisme
Umum dan NPPN dengan menggunakan mekanisme PP 23 Tahun 2018.
Batas waktu pembayaran PPh Orang Pribadi:

1. Mekanisme Umum dan NPPN

Pembayaran pajak terutang bagi Wajib Pajak OP yang menggunakan Mekanisme Umum atau
NPPN, dilakukan setelah mengetahui nominal pajak kurang bayar di akhir periode.

Batas waktu pembayaran/penyetoran PPh OP adalah sebelum SPT Tahunan PPh OP


disampaikan, yaitu sebelum tanggal 31 Maret periode berikutnya.

2. PP 23 tahun 2018

Pembayaran pajak terutang bagi Wajib Pajak OP yang menggunakan PP 23 tahun 2018,
dilakukan per bulan dengan mengacu pada nilai omset usaha (peredaran bruto) setiap bulan.

Pembayaran nominal pajak final ini dilakukan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya.

PPH BADAN

Selain orang pribadi, subjek pajak lain yang memiliki kewajiban membayar pajak adalah
badan.

Menurut ketentuan perpajakan, yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang atau
modal yang menjadi suatu kesatuan, dengan tujuan untuk melakukan usaha ataupun tidak
melakukan usaha.

Bentuk-bentuk badan antara lain adalah perseroan komanditer, perseroan terbatas, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, firma, koperasi, kongsi, dana pensiun,
yayasan, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk lainnya.

Tidak hanya itu, badan juga dapat berbentuk perkumpulan seperti asosiasi, perhimpunan, dan
ikatan.

1. Subjek PPh Badan & Objek PPh Badan

Siapa saja yang menjadi subjek PPh Badan dan apa saja yang termasuk dalam objek PPh
Badan juga telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan pajak penghasilan.
Berikut adalah subjek pajak penghasilan badan (subjek PPh Badan) dan objek pajak
penghasilan badan (objek PPh Badan):

a. Subjek Pajak Badan (PPh Badan)

Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang diberikan
kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun dan disetor ke kas
negara.

Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang
termasuk dalam pengertian Badan adalah sebagai berikut:

1. Perseroan Terbatas (PT)


2. Perseroan Lainnya
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
5. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
6. Firma
7. Kongsi
8. Koperasi
9. Dana Pensiun
10. Persekutuan
11. Perkumpulan
12. Yayasan
13. Organisasi Masyarakat
14. Organisasi Sosial Politik
15. Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun
16. Lembaga dan bentuk badan lainnya
17. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
18. Bentuk Usaha Tetap

b. Objek PPh Badan (Objek Pajak Badan)

Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan.

Bagi Subjek Badan dalam negeri yang menjadi objek PPh adalah semua penghasilan baik
dari dalam maupun dari luar negeri.

Penghasilan yang sebagai objek PPh Badan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat
(1) Undang-Undang PPh ini meliputi:
1. Hadiah dari kegiatan dan penghargaan
2. Laba usaha
3. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (selain tanah dan
bangunan)
4. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
5. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
6. Dividen
7. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
8. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
9. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan
10. Peraturan Pemerintah
11. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap
13. Iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
14. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
15. Surplus Bank Indonesia

Jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan pada Badan atau PPh Badan

Ada beberapa jenis pajak penghasilan badan atau PPh Badan yang harus dibayar dan
dilaporkan oleh perusahaan atau WP Badan, di antaranya:

a. Pajak Penghasilan Pasal 21

PPh Pasal 21 mengatur tentang pemotongan dari hasil pekerjaan jasa atau kegiatan dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak atau karyawan
Sobat Klikajak, dan harus dibayarkan setiap bulannya.

Perusahaan melakukan pemotongan langsung atas penghasilan para karyawan untuk


selanjutnya disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi.

Saat ini, pengelolaan untuk pajak karyawan termasuk hitung dan setor maupun lapor dapat
dilakukan melalui fitur e-Filing Klikpajak.

b. Pajak Penghasilan Pasal 22


PPh Pasal 22 mengatur atas pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang dibebankan pada
badan usaha tertentu karena melakukan aktivitas perdagangan terkait dengan ekspor, impor,
maupun re-impor.

c. Pajak Penghasilan Pasal 23

PPh Pasal 23 mengatur atas pemotongan pajak yang dilakukan oleh pemungut pajak dari
Wajib Pajak ketika terjadi transaksi yang merujuk pada:

 Transaksi dividen atau pembagian keuntungan saham

 Royalti, bunga, hadiah dan penghargaan

 sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain tanah dan
transfer bangunan atau jasa.

 d. Pajak Penghasilan Pasal 25


 PPh Pasal 25 mengatur atas angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak
penghasilan terutang menurut SPT PPh dikurangi PPh yang telah dipungut serta PPh
yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan boleh dikreditkan.
 e. Pajak Penghasilan Pasal 26
 PPh Pasal 26 mengatur pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia dan diterima Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia.
 f. Pajak Penghasilan Pasal 29
 PPh Pasal 29 mengatur atas jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu tahun
pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak lain, serta
telah disetorkan.
 Maka nilai lebih pajak terutang tersebut harus dibayarkan sebelum SPT PPh Badan
dilaporkan.

g. Pajak Penghasilan Pasal 15

PPh Pasal 15 mengatur atas laporan pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan
Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, termasuk Wajib Pajak Badan yang bergerak
pada:

 Sektor pelayaran atau penerbangan internasional

 Perusahaan asuransi luar negeri

 Pengeboran minyak, gas dan geothermal


 Perusahaan dagang asing

 Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna.

h. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan yang dipotong
dari:

 Bunga deposito dan tabungan lainnya

 Bunga obligasi dan surat utang negara

 Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi

 Hadiah undian

 Transaksi saham dan sekuritas lainnya

 Serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.

Peraturan Tentang Pajak Penghasilan Badan

Ada beberapa peraturan yang berlaku mengenai pajak Badan, antara lain:

 UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Badan.

 UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7


tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas


Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran Bruto tertentu.

Cara Menghitung PPh Badan

Sebagai subjek pajak dalam negeri, badan memiliki kewajiban untuk membayar pajak sejak
saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia.

Kewajiban tersebut akan berakhir ketika badan dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di
Indonesia.

Untuk menghitung pajak yang dikenakan pada badan atas penghasilan yang didapatkan,
berikut mekanisme yang umum digunakan.
o Penghitungan Penghasilan Kena Pajak

Untuk mendapatkan nominal penghasilan kena pajak badan, pertama-tama wajib pajak badan
perlu mengetahui besaran jumlah penghasilan bruto yang didapatkan selama 1 tahun berjalan.
Kemudian, kurangi penghasilan bruto tersebut dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan
(deductible expense).

Biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana diatur dalam ketentuan fiskal adalah biaya yang
terkait dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M).
Biaya-biaya ini diatur dalam UU PPh Pasal 6, di antaranya:

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
contohnya biaya pembelian lahan, biaya promosi dan penjualan yang diatur
berdasarkan PMK No. 02/PMK/03/2010
2. Biaya penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta perusahaan untuk 3M
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
9. Sumbangan penanggulangan bencana nasional
10. Sumbangan penelitian yang dilakukan di Indonesia
11. Sumbangan biaya pembangunan infrastruktur sosial
12. Sumbangan fasilitas pendidikan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Sementara di dalam perusahaan, terdapat biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan (non-
deductible expense). Biaya ini diatur dalam Pasal 9 UU PPh, di antaranya:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi
2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura atau kenikmatan
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh
8. Pajak penghasilan
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak orang
pribadi atau orang yang menjadi tanggungannya
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
11. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus,
melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 atau Pasal 11A UU PPh

Biaya yang termasuk ke dalam deductible expense tidak dapat digunakan sebagai pengurang


untuk menghitung penghasilan kena pajak. Karena itu, ada baiknya untuk memisahkan
terlebih dahulu antara deductible expense dan non-deductible expense dalam menghitung PPh
Badan.

Biaya-biaya yang termasuk ke dalam non-deductible expense ini akan menimbulkan koreksi


fiskal positif, dan biaya-biaya yang termasuk ke dalam deductible expense akan menimbulkan
koreksi fiskal negatif.

Selanjutnya, didapatkan penghasilan neto fiskal, yaitu penghasilan neto yang diterima oleh
wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati proses
rekonsiliasi fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan.

Penghasilan neto fiskal ini kemudian dikurangkan dengan kompensasi kerugian fiskal, yaitu
sisa saldo kerugian badan dari tahun sebelumnya (jika ada). Melalui Pasal 6 ayat (2) UU PPh,
pemerintah memperbolehkan wajib pajak badan untuk memperhitungkan kompensasi
kerugian sehingga didapatkan angka Penghasilan Kena Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) untuk menghitung PPh Badan terutang.

Sebagai informasi, kerugian fiskal yang akan dikompensasikan wajib dihitung berdasarkan
aturan perpajakan terlebih dahulu dan bukan merupakan kerugian komersial.

Kemudian, hasil dari pengurangan penghasilan neto fiskal dan kompensasi kerugian fiskal
tersebut adalah besaran penghasilan kena pajak yang dimaksud.

Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat kerugian sehingga
tidak terdapat penghasilan kena pajak, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun
berikutnya.

o Penghitungan PPh Terutang

Untuk mendapatkan nominal PPh terutang atau pajak penghasilan yang dibayarkan, wajib
pajak dapat mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini berlaku sampai tahun
pajak 2019.

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah menurunkan tarif umum PPh Badan menjadi
22% untuk tahun 2020 dan 2021, lalu menjadi 20% pada tahun 2022.

Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbuka (Go Public) dengan jumlah
keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan
memenuhi syarat tertentu, memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum PPh Badan.
Jadi, tarif PPh Badan Go Public sebesar 19% untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu 17%
mulai tahun pajak 2022.

Setelah mendapatkan besaran PPh yang terutang, jangan lupa untuk mengkreditkan pajak-
pajak lain, seperti:

1. PPh lain yang sudah dibayarkan melalui mekanisme pemotongan (Withholding Tax)
oleh pihak ketiga (PPh 23 dan PPh 22).
2. Angsuran PPh Badan yang telah dicicil dan dibayarkan sendiri (PPh 25 Badan).
3. PPh yang telah dibayarkan di luar Indonesia (PPh 24 Kredit Pajak Luar Negeri).
Kemudian, akan didapatkan perhitungan akhir PPh Badan, baik kurang bayar atau lebih
bayar.

Contoh Sederhana Penghitungan SPT PPh Badan


Mari mencoba menghitung PPh Badan menggunakan penjelasan di atas. Berikut ini ada dua
contoh penghitungan PPh Badan yang menggunakan fasilitas pengurangan tarif dan tidak.
Mengutip dari laman Pajak.go.id, berikut contoh kasus penghitungan PPh Badan:

Contoh Penghitungan PPh Badan dengan Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E
Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 6 Miliar. Selain
itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan
pendapatan sebagai berikut:

 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto


sebesar Rp5,4 miliar.
 Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp50 juta.
 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya
sebesar Rp30 juta.
 Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp10 juta.
 Kredit PPh Pasal 25 Rp100 juta.
 Kredit PPh Pasal 22 Rp10 juta.
 Kredit PPh Pasal 23 Rp20 juta.
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT
Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak
PT Abjad XYZ:

Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto

Rp6.000.000.000 – Rp5.400.000.000 = Rp600.000.000

Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya

Rp50.000.000 – Rp30.000.000 = Rp20.000.000

Total Penghasilan Neto = Rp600.000.000 + Rp20.000.000

Total Penghasilan Neto = Rp620.000.000

Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian

Penghasilan Kena Pajak = Rp620.000.000 – Rp10.000.000

Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp610.000.000

Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp4,8 miliar, maka memperoleh
fasilitas pengurangan tarif:

Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

(Rp4.800.000.000 x Rp610.000.000) / Rp6.000.000.000 = Rp488.000.000

Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas

Rp610.000.000 – Rp488.000.000 = Rp122.000.000

Maka, besaran PPh terutangnya adalah

(50% x 22%) x Rp488.000.000 = Rp53.680.000

22% x Rp122.000.000 = Rp26.840.000

Total PPh terutang= Rp53.680.000 + Rp26.840.000

PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp80.520.000

PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:
PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25

Rp10.000.000 + Rp20.000.000 + Rp100.000.000

Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.

Rp80.520.000 – Rp130.000.000= (Rp49.480.000)

Dalam hal ini, PT Abjad XYZ memiliki lebih bayar pajak sebesar Rp49.480.000

Contoh Penghitungan PPh Badan Tanpa Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E
Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp60 Miliar. Selain
itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan
pendapatan sebagai berikut:

 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto


sebesar Rp54 miliar.
 Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp500 juta.
 Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya
sebesar Rp300 juta.
 Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp100 juta.
 Kredit PPh Pasal 25 Rp500 juta.
 Kredit PPh Pasal 22 Rp100 juta.
 Kredit PPh Pasal 23 Rp400 juta.
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT
Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak
PT Abjad XYZ:

Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto

Rp60.000.000.000 – Rp54.000.000.000 = Rp6.000.000.000

Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya

Rp500.000.000 – Rp300.000.000 = Rp200.000.000

Total Penghasilan Neto = Rp6.000.000.000 + Rp200.000.000

Total Penghasilan Neto = Rp6.200.000.000

Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian

Penghasilan Kena Pajak = Rp6.200.000.000 – Rp100.000.000

Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp6.100.000.000


Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp50 miliar, maka tidak memperoleh
fasilitas pengurangan tarif sehingga penghitungannya:

22% x Penghasilan Kena Pajak

22% x Rp6.100.000.000 = Rp1.342.000.000

PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp1.342.000.000

PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:

PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25

Rp100.000.000 + Rp400.000.000 + Rp500.000.000

Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.

Rp1.342.000.000 – Rp1.000.000.000= Rp342.000.000

Dalam hal ini, PT Abjad XYZ masih harus membayar pajak sebesar Rp342.000.000

Setelah mendapatkan nominal PPh kurang bayar, wajib pajak badan kemudian dapat
menyetorkan dan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan pada negara. Proses setor dan lapor
ini dapat dilakukan melalui situs resmi DJP di e-SPT.
Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak
Badan pada Pajak Penghasilan
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Pajak Penghasilan (PPh) didefinisikan sebagai
pajak yang dikenakan kepada Wajib Pajak orang pribadi atau badan atas penghasilan yang
diterima dalam Tahun Pajak.
Ketentuan PPh tersebut telah diatur dalam sejumlah pasal di dalam Undang-Undang PPh.
Salah satunya adalah PPh Pasal 17 yang berfungsi dalam mengatur tarif yang diberlakukan
Pemerintah terhadap Wajib Pajak. Tarif ini dibedakan menjadi dua jenis. Kedua jenis tarif
tersebut ditentukan berdasarkan kepada siapa pajak dikenakan. Pertama, tarif Pasal 17 untuk
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Dan yang kedua, tarif pasal 17 untuk Wajib Pajak
badan dalam negeri serta bentuk usaha. Ketahui lebih banyak lagi tentang Pajak

Pengertian PPh Pasal 17

Dalam Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008,  PPh Pasal 17 menjelaskan secara terperinci
tentang tarif yang digunakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Istilah Penghasilan
Kena Pajak mengacu pada jumlah penghasilan bruto dikurangi komponen pengurang
penghasilan bruto dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Wajib Pajak yang dimasukkan
dalam undang-undang ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan Wajib Pajak
badan dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 17

Tarif progresif Pajak Penghasilan Pasal 17 merupakan perwujudan dari asas keadilan.
Artinya, tarif pajak yang dikenakan akan semakin tinggi seiring kenaikan jumlah penghasilan
yang dijadikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Tarif Pajak Penghasilan Pasal 17 dikenakan
bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, wajib pajak Badan Dalam Negeri, dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT)
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak

Sampai dengan Rp50.000.000 5%

Rp50.000.001 s.d. Rp250.000.000 15%

Rp250.000.001 s.d. Rp500.000.000 25%

Di atas Rp500.000.001 30%


Wajib Pajak Badan Dalam Negeri

 Pasal 17 Ayat 1 UU PPh yaitu Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha
Tetap adalah sebesar 28%.
 Pasal 17 Ayat 2 UU PPh, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat diturunkan menjadi paling rendah sebesar 25%.
 Selanjutnya, Pasal 17 Ayat 2a UU PPh, tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
 Pasal 17 Ayat 2b UU PPh yaitu Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT
yang paling sedikit sebesar 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor atau
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Apabila telah memenuhi persyaratan
tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah. Tarif ini tentu lebih
rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a).
 Pasal 17 Ayat 2c UU PPh yaitu tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen
yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sebesar 10% dan
bersifat final.
 Dan Pasal 17 Ayat 2d UU PPh yaitu ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Tarif Pajak Penghasilan Badan Usaha

 Tarif umum pajak penghasilan badan usaha adalah sebesar 28% dari omset kotor
dikurangi biaya-biaya.
 Apabila memenuhi ketentuan PP No 81 Tahun 2007, maka tarif yang berlaku adalah
25% dari omset kotor dikurangi biaya-biaya.
 Untuk omset dibawah Rp4,8 miliar, maka akan mendapat fasilitas penurunan tarif
sebesar 50% sehingga tarif efektifnya adalah 12,5% dari omset kotor dikurangi biaya-
biaya.
 Tarif Pasal 17 UU PPh Badan ini hanya berlaku untuk tahun pertama. Apabila  di
tahun tersebut omsetnya tidak mencapai Rp4,8 milyar, maka di tahun berikutnya tarif
pajak penghasilan badan mengacu pada PP No 46 Tahun 2013 yaitu sebesar 1% dari
omset kotor.

Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar
28%

a. Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, dapat diturunkan menjadi
paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)

b. Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dapat
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK).

c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
d. Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang terutang
pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 4 dihitung
sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dikalikan dengan pajak
yang terutang untuk satu tahun pajak.

e. Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 5, tiap bulan yang
penuh dihitung 30 hari.

f. Dengan PP, dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat 2, sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut
pada ayat 1

Cara Menghitung Pasal 17 UU PPh


Cermati contoh penghitungan PPh Badan berikut ini:

Wajib Pajak memiliki Omzet tahun 2019 sebesar Rp5 miliar. Jumlah seluruh biaya adalah
Rp4 miliar. Maka tarif pajak penghasilan badannya adalah:

Wajib Pajak memiliki Omzet tahun 2019 sebesar Rp5 miliar. Jumlah seluruh biaya adalah
Rp4 miliar. Maka tarif pajak penghasilan badannya adalah:

>4,8 Miliar

(0.25 – (0.6 Miliar/Penghasilan kotor)) x PKP


(0.25 – (600.000.000/ (5.000.000.000)) x 1.000.000.000

= 0.13 x 1.000.000.000

= 130.000.000

Jadi untuk omset Rp5 miliar pajak penghasilannya adalah Rp130.000.000. Dan di tahun 2019
Wajib Pajak tetap menggunakan tarif pasal 17 UU PPh. Hal ini dikarenakan omset tahun
2018 sudah di atas Rp4,8 miliar.

Cara menghitung Pasal 17 UU PPh WP pribadi

Santoso seorang karyawan, wajib pajak belum menikah (TK/0)

Gaji per bulan = Rp 10.000.000

Penghasilan neto per tahun = 12 x Rp 10.000.000 = Rp 120.000.000

PTKP = Rp. 54.000.000

PKP Santoso = Rp 120.000.000 – Rp 54.000.000 = Rp 66.000.000

PPh progresif = Tarif 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000

 = Tarif 15% x Rp 16.000.000 = Rp 2.400.000

Pembayaran PPh = Rp 2.500.000 + Rp 2.400.000 = Rp 4.900.000.

Anda mungkin juga menyukai