Toaz - Info Posiding Si Ikadbudi e Book PR
Toaz - Info Posiding Si Ikadbudi e Book PR
Konferensi Internasional
Budaya Daerah Ke-2
(KIBD-II)
Denpasar, Bali
22-23 Februari 2012
Penyunting
I Wayan Suardian
Nyoman Astawan
KEARIFAN LOKAL DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Buku Prosiding
Konferensi Internasional Budaya Daerah Ke-2 (KIBD II)
Denpasar, 22-23 Februari 2012
Penyunting
I Wayan Suardiana
Nyoman Astawan
Pustaka Larasan
Bekerja sama dengan
IKIP PGRI BALI dan IKADBUDI
KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Penyunting
I Wayan Suardiana
Nyoman Astawan
Pracetak
Slamat Trisila
Penerbit
Pustaka Larasan
Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B
Denpasar, Bali
Telepon: 0361-2163433
Ponsel: 0817353433
Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id
Laman: www.pustaka-larasan.com
ii
SAMBUTAN
Rektor IKIP PGRI BALI
iii
menyusun rumusan-rumusan berikutnya tentang kearifan lokal.
Akhirnya, selamat membaca semua pemikiran yang ada
dalam prosiding ini semoga ada manfaatnya untuk menggali nilai-
nilai kearifan Nusantara demi merumuskan pendidikan karakter yang
bersumber dari kearifan lokal Nusantara!
Denpasar, 17 Februari 2010
Rektor IKIP PGRI BALI
iv
PENGANTAR PENYUNTING
v
ditawarkan paling banyak dalam makalah yang ada di dalam prosiding
ini. Tampaknya, dalam konteks Nusantara, ada benang merah yang
cukup signifikan bahwa kita di Indonesia memiliki akar yang sama
khususnya menyangkut nilai-nilai budi pekerti yang adiluhung itu.
Nilai-nilai itu tercermin dalam karya-karya tradisi seperti pribahasa,
folklor (dalam tataran lisan) dan Guguritan (Sunda), Geguritan (Bali),
Serat (Jawa), I La Galigo (Makassar) (dalam tataran tulis). Semua nilai-
nilai yang masih ‘berserakan’ itulah nantinya penting dirumuskan
untuk dijadikan acuan sebagai bahan ajar bagi anak didik bangsa
Indonesia agar memiliki dasar pijakan untuk membentuk karakter
anak bangsa yang siap bersaing di tingkat global.
Denpasar, 17 Februari 2012
Penyunting
I Wayan Suardiana
Nyoman Astawan
vi
DAFTAR ISI
I Made Suarta ~ 1
Membangun Pendidikan yang Berkarakter Kearifan Lokal
Natalia Theodoridou ~ 24
How do we approach a foreign culture? the problems of representation
H. Rahman ~ 63
Revitalisasi Kompetensi Pedagogi dalam Konteks Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Budaya Daerah
Ruhaliah ~ 79
Pendidikan Karakter dalam Peribahasa dan Permainan Anak Sunda
Ery Iswary ~ 96
Orientasi Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Makassar: Penguatan
Peran Bahasa Ibu Menuju Good Society
vii
H. Yayat Sudaryat ~ 105
Nilai Kearifan Lokal Ungkapan Tradisional dalam Membangun Pendidikan
Karakter
viii
I Nyoman Darsana ~ 244
Refleksi Budaya dalam Retorika Bahasa Politik Elite Indonesia
Purwadi ~ 269
Sastra dan Budaya Jawa Pada Masa Kraton Kartasura
Suwarna ~ 293
Kearifan Lokal dalam Upacara Tuk Si Bedug Membentuk Karakter Masyarakat
Mranggen Kab. Sleman
Darmoko ~ 344
Udyoga Parwa: Resepsi dan Transformasi Teks
ix
I Wayan Adnyana ~ 398
Minimarket and Consumer Cultural in Denpasar Society
I Made Rai Jaya Widanda & Luh Nyoman Chandra Handayani ~ 427
Balinese in Minority Speech Community
x
MEMBANGUN PENDIDIKAN YANG
BERKARAKTER KEARIFAN LOKAL
I Madé Suarta
IKIP PGRI Bali
1. Pendahuluan
1
karakter kelokalan, namun harus bernilai universal yang tidak akan
lapuk di makan zaman. Rumusan dari nilai-nilai karakter lokal itu
secara umum se-Nusantara pasti ada garis merahnya. Kesamaan-
kesamaannya demikian pula sebaliknya perbedaan-perbedaan yang
ada mari kita petakan, kumpulkan, untuk selanjutnya dirangkum
menjadi satu pemikiran yang padu!
2
sesuai keperluan sesuai tema yang diajarkan. Namun, di Bali ada teks
yang khusus membicarakan masalah ajaran yang digolongkan ke
dalam kelompok teks “Tutur”.
Secara keseluruhan, baik teks yang bersumber dari ranah lisan
maupun tulis, di Bali, secara lisan lalu dituturkan kembali dari mulut
ke mulut, meskipun dalam penyampaiannya ada yang diucapkan
sesuai kemampuan penutur bukan pada kebenaran. Sebagai misal,
menyebut Sesonggan (Pepatah), sering diucapkan Sinonggan. Budaya
“tutut” itulah yang menjadi kegiatan inti untuk meneruskan nilai-
nilai dalam dunia pendidikan di Bali yang mungkin juga layak untuk
ditirukan di tingkan Nasional.
3
berprilaku dalam konteks Bali adalah ungkapan sebagaimana yang
diungkapkan dalam Sesonggan (Pepatah) berikut ini.
“Payuk prungpung misi berem”
Terjemahannya:
Priuk compang-camping isinya beram.
4
ngadén awak bisa” itu akan membuat individu Bali giat bekerja, giat
belajar demi mengisi diri agar mampu menjadi pribadi yang santun
namun dapat menguasai banyak ketrampilan sebagai bekal hidup!
Terjemahannya:
Kepingan periuk tanah di bawah pohon pisang, manusia berkarakter
majemuk karena (hidup) berbanyak.
Terjemahannya:
Pohon dagdag 1(*)subur gemulai, diri congkak (banyak) memiliki musuh.
Apabila kita dalam melakoni kehidupan congkak, sombong,
sudah pasti banyak memiliki musuh karena prilaku congkak,
sombong akan membuat orang menjauh dari diri kita. Hidup dalam
keberagaman akan dapat berjalan dengan harmonis bila kita mampu
menerima perbedaan itu dan tidak sombong serta saling menghargai
(*)
Dagdag adalah salah satu pohon yang di Bali daunnya lazim dipakai sebagai pakan
ternak terutama ternak babi.
5
satu sama lain tanpa memandang suku, agama, dan adat istiadat.
4. Simpulan
Pendidikan yang berkarakter Nusantara mendesak untuk
dirumuskan! Perumusan itu hendaknya dilakukan oleh segenap
komponen bangsa yang memangku kepentingan di bidang pendidikan
dan yang berminat untuk itu. Isi pendidikan yang berkarakter se-
Nusantara diambil dari nilai-nilai luhur budaya daerah yang ada
di Nusantara. Konteks Bali, selain kedua hal di atas, masih banyak
nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur kita yang dapat diaplikasikan
dalam dunia pendidikan.
Merumuskan nilai-nilai pendidikan bangsa Indonesia yang
berkarakter dimulai dari mengisi budi (pikiran) anak didik dengan
mengajarkan sikap yang rendah budi atau rendah hati namun memiliki
cita-cita tinggi untuk mengejar kemajuan (teknologi) agar mampu
bersaing di dunia global. Selebihnya, dalam konteks Nusantara, nilai-
nilai multikultur mendesak pula untuk dirumuskan sebagai piranti
meredam konflik yang terjadi akhir-akhir ini di Republik yang kita
cintai!
DAFTAR PUSTAKA
6
MORE THAN JUST ‘NUMPANG NAMPANG’
The Participation of Women in Textual Singing
and the Interpretation of Balinese Literature on
Radio and Television Programs1
9
when it appeared on local television in Bali. We have collected almost
one hundred hours of recordings of a television program from Bali
TV, and use this recording to see how Balinese women participate
in the program, both as part of a group that appears in the studio or
those taking part in the interactive program. Interviews with active
participants were held in order to gain insight into the motivation of
women in mabebasan activities. The paper then examines how gender
related issues are discussed during the textual interpretation exchange
by analysing a sample of text used during the interactive TV program
and the way it was interpreted so as to negotiate gender issues.
Apart from aiming at understanding the enthusiasm of Balinese
women in taking part in mabebasan programs on electronic mass media in
Bali, previous studies also aim to contribute to the literature of research
on media studies in Indonesia, especially to the new interactive form of
programs. Jurriesn (2006; 2007) has studied the role of interactive radio
programs in Bali in the context of freedom of expression, while Creese
(2009) and Putra (2009) look at how mabebasan radio and TV interactive
programs play a role in revitalising the Balinese literary tradition, and
hence the Balinese cultural identity. The current study investigates
specifically the enthusiasm of Balinese women in mabebasan activities
on radio and TV programs, something yet unexplored.
As shown in several studies, radio and TV have played a
significant role in promoting local arts and culture trhough artistic
performance (Lindsay 1997; Hobart 1999; 2000; Creese 2003; Aprs 2003;
Suryadi 2005). Radio and TV are often accused as a form of mass media
which promote global culture and provide little space to promote local
culutre, but there is substantial evidence that radio and TV programs
in Indonesia have been proud to promote local arts and culture. This
paper is one attempt to contribute to the acknowledgement of the role
of electronic mass media to encourage the preservation of regional arts
and culture, hence regional and cultural identities.
10
The appearance of mabebasan on radio and television programs is
closely related to social and political changes in Indonesia. During the
New Order between 1996-1998, the government tightly controlled the
press. Many newspaper outlets were banned or shut down just because
they criticised government performance. In 1994, for example, New
Order closed three media outlets including Tempo, Editor, and Detik.
Through licensing regulation, the New Order government put the
mass media under a regime of strong oppression. Only state radio and
television, RRI and TVRI, were allowed to produce news and current
affairs, while private channels had to relay it. Toward the end of the
New Order, new TV stations, like RCTI and SCTV which are owned
by President Soeharto’s family or chronie, were given permission
to produce news, but they were tightly monitored (Kitley 2000; Sen
2003).
After the fall of Suharto, media have been mushrooming in
Indonesia, especially after Suharto’s successor President Habibie
revoked the press licensing. New print and electronic mass media
appeared throughout the country. After a few years, many of those have
collapsed because of financial reasons and their inability to cope with
the harsh media competition. For electronic media, the newly-found
freedom of press allowed them to produce news and current affairs.
In addition many of them broadcast talk back or interactive programs,
allowing people to express their social and political concerns.
In Bali, according to data by the Bali broadcasting Commission,
as of 2011, there are 71 radio stations, some of which still having their
license processed, and around 20 stations are in preparation to apply
for licenses. In 2002, there were only 29 radio stations in Bali, increased
to 63 in 2008. If they all got their licenses approved, there would be
around 91 radio stations in Bali. There have also been some interesting
developments concerning the number of TV stations as well. Until 2002,
there was practically only one state TV station in Bali, whereas in 2011
there are 12 stations, though only a couple of them have permanent
license, while other still have their license applications processed.
Many television stations broadcast interactive mabebasan programs,
including Bali TV, TVRI Bali, and Dewata TV either pre-recorded or
live interactive (see Table 1).
11
Tabel 1: Kidung Interaktif program on radios and TV stations in Bali
12
Mabebasan began to be broadcast occasionally on government radio
stations in the 1970s. This was an initiative taken by the Consultative
Council for Promoting Cultural Affairs or Listibiya (Rubinstein 1993:
105). This organisation had its branches at every district level and
they organised mabebasan groups in their area to perform on air on
the government-run local radio stations. The programmes were akin
to conventional mabebasan, in that the participants came to the studio
while the listeners simply listened and could have no input.
Interactive mabebasan, in its earliest form, was first broadcast in
the 1980s on limited frequencies between short-wave radio users in
south and west Bali (Manda 2002; Rai Putra 2002). Unlike mabebasan
broadcast on conventional radio stations where participants are sitting
around together, users of this form of mabebasan were not in direct
personal contact, but did engage in interactivity. The vocaliser sang
a poem from one end, while one or more interpreters gave their
interpretation from the other end. Participation in this activity was
limited to those who owned a short-wave radio communicator known
in Indonesia as a handy talky (HT). Although these devices can have
coverage of up to 45 km, ordinary people who did not have the correct
equipment could not listen to it.
Since the mid 1980s, mabebasan enthusiasts in Jembrana have been
using a type of cable communication, called kontek, in order to do textual
singing between the group members. The participants are limited to
those who have access to kontek equipment at home or elsewhere, like
their workplace or shops. There are currently more than eight kontek
groups in Jembrana, each numbering between 30-70 people. In addition
to the Kontek, they also have handy talky to achieve wider coverage
of communication for performing and listening to mabebasan. No other
region in Bali uses Kontek like Jembrana. This can be accounted for by
the fact that Jembrana as a region has a limited number of radio stations,
and consequently lacks continuous broadcasting of interactive kidung,
thus making Kontek a chief alternative for mabebasan enthusiasts in the
region.
In early 1991, RRI radio station began the first interactive
mabebasan program and was soon followed by private radio stations
like Yudha Bali. The programs soon became popular throughout Bali,
attracting thousands of active participants and passive listeners. What
is meant by active participants is people who joined the interactive
program by calling from home, or came to the studio to take part in the
textual singing, while passive participants do neither. But, they also
actively listen and enjoy the program in various ways (the study of
13
which would require extensive ethnographic research). The programs
became more popular after Bali TV, TVRI Bali, and Dewata TV also
started broadcasting mabebasan either on weekdays or on a weekly
basis.
The Mabebasan tradition, which was almost defunct, has now
become lively. In the past, only elaborate rituals used to be accompanied
by mabebasan activities, now almost no ritual, small or big, is held
without mabebasan. Groups of mabebasan are also mushrooming, usually
attached to or based in villages. In Bali today, there are 1485 village
institutions (Desa Pakraman), each of which has roughly five groups
of mabebasan scattered throughout its ward level (banjar). There are also
many mabebasan groups set up at schools, government offices, hotels,
banks, and a petrol station company, thus it is estimated that there are
more than 8000 mabebasan groups in Bali. Most of the organisastions
and their members are active either in performing mabebasan to
accompany rituals or performing for entertainment on TV. These
numbers are unprecedented in the history of Balinese mabebasan. Not
only does this enliven the entire literary tradition in Bali, it also infuses
tradition into popular culture, as it is actively present on radio and
television stations.
There are also loosely organised mabebasan groups set up by
each radio station, populated by the radio station’s followers and
enthusiasts. Like village groups, these groups also regularly volunteer
to perform mabebasan activities at festivals of major temples in Bali like
Besakih, Batur, Samuan Tiga, and also at Semeru temple in East Java.
Women’s Participation
The lively participation of women in mabebasan activities is a
phenomenon of considerable importance since the tradition was
previously dominated by men. In Balinese ritual activities, women are
assigned to kitchen work and the preparation of offerings. There was
little chance for them to take part in textual singing and interpretation.
But, since the popularisation of mabebasan on radio and TV programs,
many middle age women, who have more leisure time at home during
the day or after selling goods at the local market, have a chance to
enjoy interactive kidung through radio or TV. Some of them start
learning how to sing by taking part in the interactive program. Being
generally shy, interacting through radio could give them an arena to
build confidence while not being as exposed.
Many women who are new comers to mabebasan activities said
they learn how to sing through the radio and are grateful that radio
or TV presenters guide them when they encounter difficulties while
14
singing.
Sometimes after acquiring some confidence, they become addicted
to interactive textual singing. They feel incomplete if they are unable
to participate in the interactive program. The participants were slowly
getting to know each other virtually. This is when they start to join or
be invited to join a group of mabebasan where they can continue to learn
more types of tembang or pupuh and exchange copies of literary works.
Their groups often volunteered to accompany rituals in temples or
appeared on television. Performing on TV often becomes an immediate
goal for new groups. It motivates them to learn and practice, as they
try to perfect their appearance. Groups also need to provide uniforms
and other ancillary preparations for a TV performance.
For our project, we have close to 200 hours of recordings of
Kidung Interaktif from Bali TV including some from TVRI Bali and
pre-recorded mabebasan from Dewata TV. They were broadcast from
2004-2011. The same amount of hours from Dagang Gantal program
of RRI Denpasar. We continue to collect and record interactive kidung
programs. On general observation, the participation of women in
interactive programs has been considerably high, either in the studio
or as listeners, and they have been active in interactive activities by
making phone calls to sing from home.
In this paper, I randomly looked at 60 programs, around one
third of the collection, of Kidung Interaktif Bali TV. Out of the program
there are a couple of all-women groups pesantian, and there are almost
none which comprise only of men. Each group comprised five to ten
members, excluding the TV presenter. Groups are also accompanied
by a gugantangan gamelan group, comprised of around ten players,
mostly men, including teenagers. From the 60 groups of mabebasan
who made an appearance on Bali TV between 2004-2008, there were
423 members of mabebasan, out of which 232 were women, i.e. 54.8%.
Meanwhile, there were 191 men, which made up the remaining 45.15%.
The time slot for kidung interaktif is 60 minutes. The first half of it is for
the performance of the group who is coming to the studio, while the
second half is for quizzes and interaction. The number of women who
participated in the interactive part was 147 or 62.5%, while men callers
counted for only 36.4%, almost half of the women callers. When the
number of performers and callers were summed up, there were 379
female participants (57.5%) compared to 279 male participants (42.4%),
see Table 2.
15
Table 2: Participants of Women in 60 Programs of Kidung Interaktif 2004-
2008.
16
new learners of mabebasan. A number of women active in mabebasan
activities said that they feel more confident in taking part in the radio
interactive mabebasan for two reasons. One, as new learners and mature
people they need not feel shame because on radio their face will not be
seen. Two, they found that radio and TV presenters kindly guide and
assist them when they have difficulty in singing a verse. Often novice
women callers asked for guidance from the presenter when they were
on-air on interactive program. The phrase they often used was ‘please
take my hand if I tremble (tolong kedetin yen tyang srandang-srendeng). In
an interview, Murniasih said the fact that there are now more women
textual singers than before proves that learning matembang is not as
difficult as imagined. Murniasih feels proud to see that there are now
more women able to makidung than men. However, since many of them
learn how to sing, there is a lack of women being skilled interpreters,
as if interpretation has become the job of men.
Motivation
Women interested in learning mabebasan are motivated by a
combination of personal and social reasons. There are many young
women, school aged students, learning mabebasan at school or for
competition at the village level. But, those active in radio interactive
programs are mostly middle aged women, aged around fifty years
or more. They either stay at home looking after their grandchildren,
or having their own small business, or have enough spare time for
entertainment. Personal motivation means having a personal reason
that motivates one to start learning or re-start learning singing because
now they have more time for themselves to enjoy. When they were
young, they were busy with working for income, but now that their
children are grown or married, their responsibility to work hard for
their families has been taken over by the next generation. It is time for
them to enjoy themselves on an affordable entertainment and pleasure.
Ni Nyoman Sampreg (60), a self-employed rice seller, said that she
joined mabebasan activities for entertainment and finding new friends.
She said:
What else do I need to do. I worked hard to raise my son and daughter.
I did it without my husband, who died a long time ago. Both of our
children got married and they have their own life. They do not need my
support anymore, and I am unable to do so as I am getting old. Working
hard will not make me rich. I just work for enough to eat, and enjoy the
rest of my life (6 June 2011).
17
joined a janger dance group which involves a lot of singing. She had
every confidence to sing a song, and quickly learnt a couple of tembang
with basic rhythms she needs to take part in interactive mabebasan.
Learning literary values, moral teachings, religious values are among
other personal reasons given by women learning makidung. For them
getting old means a time to learn more about religious teaching, advice
from literary works, and other moral teachings.
Another example of a personal reason to learn and take part in
mabebasan activities is given by Wayan Darsi (45), a souvenir seller at
Sukawati Arts Market, Gianyar. She was born in an artistic family, her
grandfather and mother are dancers. She was interested in matembang
since she was a kid, but became serious about singing traditional poems
when she was 35. At that time, she suffered from a respiratory problem
(sesak nafas). She was encouraged by her family and friends to practise
matembang as a way of breathing exercise (olah vokal). It worked well
and her breathing problem was solved. Being healthy is important for
Darsi, and performing mabebasan in a ritual provides no financial
benefit at all. Only occasionally, she receives Rp 50,000 (AUD$ 5,5)
when performing makidung at a hotel ritual.
Ni Wayan Kawan aka Dadong Edi (55), an unemployed woman
from Batubulan, said that she found herself to be able to read again after
not having done so for decades. She looks after her grandchildren every
day at home. Radio programs, especially kidung interaktif programs, are
the only means for her to get entertained. She is interested in learning
matembang after sometimes following the kidung interaktif radio
programs, broadcast from Denpasar or Gianyar. Sometime last year
she started to phone in to Gianyar-based Jegeg Bali radio station and
singing via phone. She was grateful to sing guided by the presenters.
It gave her every confidence to sing and make regular phone calls from
then on, and became an active participant in kidung interactive. She
is learning makidung exclusively from radio. As mentioned earlier,
Dadong Edi once was able to read basic stuff, but had forgotten and
become illiterate since she had no job that required reading. She
only studied for three years at elementary school, but since learning
makidung, her eagerness to learn the alphabet was rekindled and now
she is no longer illiterate. As she was getting known by others, she was
invited to join a mabebasan group, and was given copies of literary texts
by new friends. The most important thing for her is that she is now
being able to read again.
Voluntary performances of makidung at rituals or ngayah is an
example of social motivation. This source of motivation came after the
18
personal one. Most female participants in interactive programs make
new friends, get involved in a new social network, and then join or
are asked to join a mabebasan group. Each radio station, like Jegeg Bali,
Yudha Bali, Radio Global, RRI Denpasar, established a loose group of
their followers and organised a program to ngayah at various important
temples in Bali and Java. Doing ngayah provides them nothing but
happiness, and this is an important aspect of makidung. Many of the
women interviewed said that by participating in makidung either at
rituals or on electronic interactive, are a way of relieving stress or
feelings of anxiety.
Luh Suciati summarises that whatever the motivation of women
participating in kidung interactive and pesantian groups, they play
an important role in preserving and revitalising the Balinese literary
tradition. Jero Murniasih added that, with the growing number of
women in participating in kidung, it is much easier now to find textual
singers (aluh ngerereh tukang gending), or pesantian group should they
be required to accompany rituals. Both shared the view that mass
media and women help to revive Balinese tradition in the modern
era.
19
selecting a relevant stanza from available works or by creating new
poems that comment on current issues. A survey of programmes from
RRI Denpasar, RRI Singaraja, Bali TV and TVRI Bali, shows that the
works read are dominated by the categories of the classic and familiar,
while specifically created poems, although not as numerous, continue
to be viable.
Parallel to the growing number of women taking part in
mabebasan activities, either on interactive mode or in ritual activities,
the discussion of gender issues began to flourish. There are many
works which have potential themes of gender-related concerns, which
are often selected and discussed by mabebasan members. In Indonesia,
Bali not being exceptional in this case, there are at least two days in
one year when public and media discourse is dominated by news
on women issues, these being Kartini Day (21), the celebration of the
Indonesian feminist hero, and on the celebration of Mother Day or
Hari Ibu (22 December). Activities like seminars and other ancillary
events, such as cooking competitions for men, are only held to mark
these anniversaries. The spirit of such celebrations and women-related
issues are occasionally also echoed on the kidung interaktif programs.
On its program broadcast on 25 December 2008, for example,
Kidung Interaktif Bali Tv dedicated their program to raise, sing, and
discuss women’s issues. The mabebasan group appearing on that day
was Seka Shanti Sanggar Seni Giri Lango from Gianyar. They started the
program by mentioning the Mother Day and also Christmas, and New
Year 2009. Moderated by presenter Luh Suciati, two male members
of the group came up with a joke and a pun to discuss the important
position of women in the family, society, and the nation. Women, one
said, are like madu (honey) and wisia (poison), so it is the obligation of
the member of each family, society, and nation to respect and ensure
the appropriate position of women in order to ensure the prosperity
and harmony of the family, society, and the nation. One member said
that the war in Ramayana was caused by women. It appears that he
refers to Dewi Sita, the wife of Rama who was kidnapped by the demon
Rahwana. An unavoidable bloody war occurs between Rama and
Rowena because of the dishonouring of the woman. The word used
in referring to the women here is ‘Ibu’ (mother), and from this word,
another man reminds us of the importance of paying our respects to our
Ibu like Ibu Kartini and through the celebration of Hari Ibu. By using
the word Ibu, he goes on to make a pun by saying that women should
never become ‘Ibuduh’, in Balinese mean ‘she who is crazy’. During the
interactive activities, the topic of song and discussion went on to other
20
issues, thus women’s issues quickly faded from the program.
On another program, which featured an all-women pesantian
group, women-related issues take centre stage. The group is called
Ganda Nadhi Umbara from Belayu, Tabanan, comprises five members
plus one women presenter, Luh Suciati. In her introduction, Suciati
expresses her pride to the group, although they were still on early stage
of learning, these women were daring enough to perform and share
their readings and singing of literary and religious values. Should
they make any mistake, wise audience members were expected to give
advice for improvement in the attempt of reviving Balinese arts and
literary traditional.
The group picks up the love story between Wayan Mudita and
Kusumasari, part of the Geguritan Dukuh Siladri. This geguritan poem
depicts several issues around love, loyalty, magic and power. Wayan
Mudita and Kusumasari are cousins but they are not aware of their
realtionship, thus they almost fall in love with each other. A third
woman steps into their realtionship and falls in love with Mudita,
which results in conflict involving power and black magic to win love.
Interestingly, a caller, called Ibu Kadek from Tabanan also sang a verse
with the same theme. In the geguritan, Mudita is depicted as having a
good character, being a responsible person, but in Ibu Kadek’s verse,
the male character is presented as a disloyal person who does not keep
his promise.
21
Beli janji tinggal janji, pih bulan You, my brother, keep promising me,
maduan ke luar negeri, nganti mati saying to take me on honeymoon
nyen konè tresnan belinè, sakewala overseas, stating that you love me until
kondèn maan men apa, suba beli you die, but nothing happened yet you
ilang, buin kija kadèn had disappeared again, gone without
notice.
Conclusion
It has been rather unpredictable that the mabebasan tradition,
which was almost defunct, was given a new form by electronic mass
media, especially radio and television. Interactive textual singing
programs that radio and TV in Bali provided, increased the number of
people to take part in mabebasan activities. Interestingly, the number
of women surpassed the number of men in what used to be male
dominated literary tradition.
The participation of women in kidung interaktif programs and
also in accompanying rituals has significant meaning in revitalising
the literary tradition. While the willingness of women in making use
of the mabebasan interactive programs to raise and discuss women’s
issues and to negotiate their position in the public arena, the increased
participation of women in mabebasan activities on and off air does give
a sense of emancipation or of a democratization of Balinese arts and
tradition. Thus, their appearance on radio and on TV is much more
than just numpang nampang.
22
Bibliography
Arps, Bernard. 2003. ‘Letters on air in Banyuwangi (and beyond): Radio and
phatic Performance’, Indonesia and the Malay World 31, no. 91: 301–16.
Creese, Helen. 2000. “Balinese Television Histories: broadcasting historical
discourses in late New Order Indonesia” Review of Indonesia and
Malaysian Affairs, 34 (1) Winter 2000, pp.39-81.
Creese, Helen. 2009 ‘Singing the text: On-Air textual interpretation in Bali.’ in
J. Van der Putten and M. K. Cody, eds. Lost times and untold tales from the
Malay world, pp. 210-226. Singapore: Singapore University Press.
Jurriëns, Edwin.2006. ‘Radio awards and the dialogic contestation of Indonesian
journalism’, Indonesia and the Malay World Vol. 34, No. 99 July 2006, pp.
119–149.
Jurriëns, Edwin.2007.‘Indonesian radio culture: modes of address, fields of
action’, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 41, no. 1 (2007),
pp. 33–70.
Kitley, Philip. 2000. Television, nation, and culture in Indonesia. Athens OH: Ohio
University Press.
Lindsay, Jennifer.1997. ‘Making Waves: Private Radio and Local Identities in
Indonesia,’Indonesia, Vol. 64, (Oct., 1997), pp. 105-123.
Manda, I Nyoman. 2002. ‘Basa Bali Pinaka Sarana Ngawerdiang Sastra Baline’
Ida Bagus Darmasuta et al (eds), Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali
V, pp 184-200. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Putra, I Nyoman Darma. ‘‘Kidung Interaktif’ Vocalising and interpreting
traditional literature through electronic mass media in Bali’, Indonesia
and the Malay World, 37:109, pp. 249-276.
Rai Putra, Ida Bagus. 2002. ‘Susastra Bali miwah Kahananipun’, in Ida Bagus
Darmasuta et al (eds) Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V, pp 264-
75. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Robson, Stuart. 1972. ‘The Kawi classics in Bali’, BKI, 128 (2/3):308-329.
Rubinstein, Raechelle. 1993.‘Pepaosan: challenges and change”, in Danker
Schaareman (ed), Balinese music in context: A sixty-fifth birthday tribute to
Hans Oesch, pp. 85-113. Winterthur: Amadeus Verslag.
Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses; The Balinese ritual of
kekawin composition. Leiden: KITLV.
Sen, Krishna. 2003. ‘Radio days: media-politics in Indonesia’, Pacific Review 16
(4): 573–89.
Suartaya, Kadek. 2003. “Ketika Menembang Menumpang ‘’Nampang’’ “, Bali
Post, Minggu Paing, 2 Maret 2003.
Suryadi. 2005.’Identity, Media and the Margins: Radio in Pekanbaru, Riau
(Indonesia)’, Journal of Southeast Asian Studies, 36 (1), pp 131–151
February 2005.
23
HOW DO WE APPROACH A FOREIGN
CULTURE? THE PROBLEMS OF
REPRESENTATION
Natalia Theodoridou
School of Oriental and African Studies (SOAS),
University of London
1 Of course, things are always more complicated than this. Space does not permit to
go into great depth here. Suffice it to say that neither does the commercialization of
performance cover the entirety of Balinese performance practices, nor can the motiva-
tion of Balinese to create art be limited to economic reasons.
24
Balinese love theatre per se, with a variety of presumably ‘ancient’
genres ranging from shadow theatre to dance and opera, their very
existence came to be understood as a constant theatrical performance.
However, very few people have taken into account Balinese ideas of
what foreigners have identified and studied as theatre, often reducing
the subjects and object of study to preconceived models and theories.
I argue that, in order to access the missing object of study, one would
have to shift the focus to Balinese accounts of their practices, because
any analysis of theatre cannot rely solely on accepting received
accounts.
Theatre as practice, however, cannot be limited to what actors
alone do or have to say about what they do; it is a relationship, the
unscripted interaction between performer and spectator, that makes
up a large part of the event, even more so in improvised genres, as is
the case for much of theatre in Bali. It is therefore necessary to look
at both actors’ and audiences’ ideas about theatre. However, since
the popularization of television in Indonesia, making and watching
televised theatre has been a widespread activity which introduces a new
set of issues regarding the relationship between actor and spectator and
changes the landscape in unexpected ways (80% of theatre companies
in Bali disappeared because people wanted to go see only the very
best of them ‘as seen on TV’ [Hobart 1999:3]). Moreover, television
audiences have turned out to be an exceptionally elusive object in
media studies–both shining in their absence and unknowability, and
subject to representation and articulation by a variety of, usually
complex, agents. Therefore the purpose of my research is to engage
in a detailed study of audiences in Bali. This involves audiences of
both live and televised theatre, as well as, if not predominantly, their
representations by actors and producers. I propose to investigate the
different representations and imaginings of audiences as they arise in
theatre productions on Balinese television (both national and local),
film (ethnographic, documentary, and development), as well as live
performance. By de-positivizing and de-essentializing audiences in
this way, I hope to draw attention to the conditions under which and
the purposes for which different kinds of audiences are constructed,
finalized, and hegemonized, in other words to the business of
proclaiming there to be a unitary essence to audiences (and to Bali by
extension).
Theoretical framework
Margaret Mead and Gregory Bateson, the famous 20th century
25
anthropologists, in their study of Balinese character, pronounced that
‘Balinese culture is in many ways less like our own than any other which
has yet been recorded’ (1942: xvi). And they weren’t the only ones to
remark on the extreme otherness of the Balinese. However, there is one
aspect of Bali that scholars from Europe and the Americas have had no
trouble describing in familiar western categories: and that is theatre.
‘Western’ dramaturgical models are readily exportable for the analysis
of what those doing the analyzing take to be their Balinese counterparts.
It is very easy to do so because theatre and performance studies is now
a well-developed and prolific discipline (even in a Foucauldian sense
of practices in which people discipline themselves and discipline other
people), with an extremely sophisticated, institutionalized apparatus,
while, as I mentioned earlier, the association of Bali with theatre is more
than well-established in European imagination. So the Euro-american
reasoning is this: Of course other people’s theatre is different, but it
is still theatre,2 is it not? And if this is so, we can talk about it using
the familiar concepts of actor, stage, audience, rehearsal, performance,
improvisation, training etc. We just need to be aware of the cultural
translation that is required to make sense of certain things—we can, for
example, go so far as to acknowledge that theatre in Bali is inextricable
from dance and talk about ‘dance dramas.’ But this is missing the
point, as it basically presents a problem of apriorism, of knowing
things before going out to investigate them. We already know what
theatre is, we come to Bali, identify as theatre what we have already
decided theatre is, and then we are happy when we find out that this
theatre is like our own theatre in so many ways! While, of course, we
are ignoring a whole other range of practices that our subjects of study
may find equally, or more, important, in the meantime.
It is not just a problem of translation, of English having grown
into an enunciative language that interprets at the same time as it
translates. The problem is how things are represented, by whom, on
what occasion, for what purpose. As Balinese say, what is important is
Desa, Kala, Patra.
But what do I mean by representation? As is implied in the word
itself, re-presentation presupposes the absence of the thing represented.
As Nelson Goodman has shown and Mark Hobart has elaborated,
2 And to what extent does this class-term do justice to Balinese practices, given that
there is no equivalent term in Basa Bali? In my experience, Balinese refrain from refer-
ring to such general things as ‘theatre’ (the most common translation for terms such
as igel-igelan, sasolahan or balih-balihan) and prefer to refer instead to specific genre
such as Arja, Calonarang, Topéng, and their particular context.
26
one can never represent something as itself; one can only represent
something as something else, on an occasion, for a purpose, and with
an outcome (Goodman 1976:27-31; Hobart 2008:12-13). Representation
is, therefore, a transformational act.
But how should one approach these practices and their
representations? Following Goodman’s re-conceptualization of the
question ‘what is art?’ as ‘when is art’ (1978:66-67), I would suggest
that the first step would be to ask ‘when is theatre,’ ‘when is the
audience’ and so on, and according to whom. This situates the objects
of study in their historical contingency and also highlights the idea of
representation.
In addition, I draw particular attention to acts of commentary,
especially by actors, members of the audience in live performances,
and the media industry, not in an attempt to get to the ‘authentic
native voice’ but to recognize the practices involved in their plurality
and underdetermination.
Finally, rather than recycling the standard position of the scholar
as disinterested observer, I would tend to think of ethnography as a
practice in a way that refuses to hierarchize the researcher and the
subjects of study and at the same time avoids to treat them as merely
‘other.’ Following a Wittgensteinian line, the point is not to find a
middle ground between ‘our theatre’ and ‘their practices,’ but to have
an appreciation of what the project involves in order to go on.
In order to illustrate the theoretical problems that I outlined here,
I would like to draw on some historical examples.
How has Bali been represented, and what are the problems of
representation?
27
Figure 2. Bali as part of Indonesia.
28
Maps, precisely because they are supposed to be accurate
descriptions of the world, illustrate rather neatly the point that I want
to make. Who makes the map of Bali? Who is a map for? What is it for?
It is easy to forget that cartography is a matter of representation and
imagining, in the case of Bali largely as part of colonial practices. If
something as presumably concrete as geography can change so much
overtime, what happens when the object of study is something as
discursively constructed and fleeting as, for instance, audiences?
Furthermore, writing about geography can prove rich in
metaphors that reveal far more about the agents of representation
than the thing represented. For instance, the presumed theatricality of
Bali seems manifested even geographically: the island is ‘dramatically
mountainous,’3 ‘a snug little amphitheatre’ (Pringle 2004:1), likened
to ‘a flattened diamond’ (Pringle 2004:1) belonging to the ‘necklace
of equatorial emeralds’ that is Indonesia.4 The latter echoes earlier
representations almost verbatim: The Miracle of Bali, a 1969 BBC
narrated by David Attenborough, described it as ‘a tiny bead on the
necklace of islands that stretches from west of Malaysia to New Guinea
and Australia.’
As might be expected, cultural examples are even more
complicated. I would like to look briefly at a couple of documentaries:
Mead and Bateson’s Trance and Dance in Bali and The Miracle of Bali,
mentioned above.
There is so much that can be, and has been, said about ethnographic
film in general and Trance and Dance in Bali, filmed in 1937 in Pagutan, in
particular. Here, I would like to focus on the historical contextualization
of the film and the effect of its technique/technology/mise en scene on
the way Bali, the Balinese, and theatre are represented
The genesis of ethnographic film can be searched as far back as 1895
with the first travelogues made by travelling agents and journeying
filmmakers. In its early stages ethnographic film had strong affinities
with salvage operations and a taxidermic approach to the non-Western
and the non-urban.
The first attempts at full-blown ethnographic films, like Curtis’s
In the Land of the Headhunters (1914) and Flaherty’s Nanook of the North
(1922) had such a strong more or less fictional narrative element that can
by today’s standards hardly be considered ethnographic at all. Mead
3 ‘Bali-Geography’ <http://www.marimari.com/content/bali/general_info/geography.
html> [Accessed 30/10/2010].
4 ‘Bali & Indonesia on the Net’ <http://www.indo.com/indonesia/archipelago.html>
[Accessed 11/01/2009].
29
and Bateson’s attempts were among the first by trained anthropologists
that tried to maintain a level of scientific vigour.
The film was sponsored by the Committee for Research in
Dementia Praecox, as schizophrenia was then known. This is because
their study of Balinese culture was actually framed by a concern for
the American national character. This film is only part of a massive
collection of data concerning ‘the Balinese character’ (Bateson & Mead
1942), which they saw as one ‘in which the ordinary adjustment of the
individual approximates in form the sort of adjustment which, in our
own cultural setting, we call schizoid.’ Therefore understanding how
they cope with the condition could lead to methods of child-rearing in
America that would help avoid raising schizoid children.
Funds were also provided by the American Museum of Natural
History. This, I think, is also significant, because it stresses not only the
scientific aspirations of the filmmakers but also the supposedly by then
overcome taxidermic tendencies.
After the credits, there is a set of intertitles summarizing the
storyline of the ‘theatrical ceremony’ that we are going to watch. Briefly,
it explains that Rangda the Witch is angry because no husband wants
to marry her daughter and order her pupils to bring plague upon the
people of the village. The only one who can stand up against her is
Barong, the guardian spirit of the village. His followers attack her but
they fail and fall into trance, which involves turning ceremonial daggers
(kris) against themselves without causing injury. Then Barong and
Rangda fight but there is no resolution, nobody wins. The explanation
of the action after the intertitles is taken up by Mead’s narration.
The whole film is about twenty minutes. This means that they
have condensed a performance that normally lasts several hours.
Also, performances of this sort usually take place at night—this was
remedied for the purposes of filming. The performances themselves
were commissioned by the anthropologists for Margaret Mead’s
birthday. They even asked that two different plays be combined so
that they could shoot both men and women in trance. However some
shots are not even from this performance—part of it was filmed by
Jane Belo, Mead’s former student, in 1939.
The film was shot with a hand-held and hand-wound Movikon
camera which only allows 3-minute takes. However most takes are
much shorter than that, creating very disjunctive and often disorienting
sequences. The camera is constantly moving and changing angles
to get the best possible shots of the individual dancers, especially in
the trance-scenes. Therefore what lends continuity to the material is
30
Mead’s voice-over narrative; her voice is what articulates the otherwise
fragmented footage and creates something that never was. The images
end up supplementing the narration, rather than the other way around.
Their excess is tamed, repackaged and rendered in terms appropriate
for a Western viewer. This is particularly pronounced, I think, when
the dancers fall into trance. Because altered states of consciousness are
empirically inaccessible to the viewer, the ethnographer undertakes
the task of translating them for us.
Balinese spectators of these performances are not absent, but
they populate the margins of the frame. In other words, they are not
represented. They are the ones who get disarticulated by Mead’s
articulation. This I think has to do with the fact that audience practices
were irrelevant to the fixation of meaning that Mead and Bateson were
attempting as well as to the purposes of their study. They set out to look
for schizoid personalities in Bali, they studied what they conceived
as schizoid behavior and then considered this to be fundamental of
the Balinese character. People casually passing by or looking on with
varying degrees of attention were not part of the model and were
therefore overlooked. They may have been in the frame, but they were
narrated into silence.
However, Mead and Bateson were impressively ahead of their
time in anticipating more recent reflexive methodologies. For instance,
they projected some of their footage to their subjects. However, the
Balinese were then asked to comment on ‘whether or not they believed
that a trance dancer was “in trance”’–the framing of the question, in
other words, negated the possibility of commentary and incorporated
it back into the grand narrative.
Another example of almost conscious representation of Bali as
theatre comes from The Miracle of Bali documentary mentioned earlier.
In the opening scenes, while presenting the home of the leader of a
world-famous gamelan orchestra, the camera smoothly travels in front
of what comes across as a series of tableaux vivants: people of all ages,
seemingly oblivious to the presence of the camera or the crew, are
displayed side by side with intriguing murals, instruments, trees and
a cockatoo, carrying out happily, harmoniously, and, above all with
grace the theatre of everyday life.
And then came academics such as Clifford Geertz who showed
that in fact it has always been so: Bali was a theatre state already from
the 19th century, long before it succumbed to the Dutch (1980). In fact,
the argument is that this empty theatricality of kingship, with kings
being not powerful agents but mere symbols of power, was the reason
31
why Bali was finally conquered—the counter argument of course
being that this is precisely the colonial rationale by which the Dutch
attempted to suture over what actually went on and that this state of
affairs more accurately described kings after the conquest, when they
were indeed limited to pomp and ritual, stripped as they were from
their political power.
This business of imagining Bali as paradise was not solely carried
out by Europeans, or soon after American who were lured to the
island—Bali soon became a paradise for Indians (with Nehru, the
first prime-minister of India, calling Bali ‘the morning of the world’),
Japanese and Indonesians alike: Bali in the 1950s became a tourist
destination for many Indonesians with President Sukarno focusing his
attention on Balinese art and culture (Vickers 3-4).
In sum, what I want to argue is this: presenting the historical
and geographical background, or indeed any ‘facts’ about the area
of research is supposedly a straightforward task. However, several
historiographical approaches have shown ‘history’ taken as the totality
of events and the raw material of lived experience in a past period of
time to be largely inaccessible, and have focused instead on history as
a narrative (Collingwood [1946] 2005; White 1973). As such, history
cannot be neutral. Moreover, an attempt to present ‘the historical
background’ is misleading from the outset as it suggests that history is
background rather than a site of contestationor a series of antagonistic
monologues.
Of course there are dozens of other ways that Bali has been
represented, with its whole culture equated with music or religion
etc., but I chose to focus on theatre because this is my background and
because it does make the point about the problems of representation
rather clear. So what is the solution?
Dialogue
It is the dialogue around the practices we are researching that
should become the centre of attention. I am using the term ‘dialogue’
here in its Bakhtinian sense. To put it (perhaps too) simply, dialogue is
the ongoing process of communication (Morson & Emmerson 1990:50).
According to Bakhtin, existing epistemologies monologize knowledge
by transforming the open-endedness of dialogue into a monologic
summary of the world’s contents that inevitably misrepresents ‘its
unfinilizable spirit’ (Morson & Emmerson 1990:60).
One representative of a massively monologic form of knowledge
is the kind of apriorism I described before, which is so often found
32
in the thought of theatre scholars and anthropologists. Anthropology
is the business of studying other people’s culture, which is almost
always incommensurable and irreducible to the researcher’s own.
Mark Hobart argues that culture, like ‘society,’ is a retrospective and
nostalgic notion, a particular Euro-American holistic category that
glosses over the unfinalizability and contingency of people’s practices
(2000). And thinking about practices also involves a set of practices.
Society and culture, as massive suturing operations, were the necessary
conditions of epistemological supremacy over our subjects of study.
Cultural studies fares better than anthropology in this respect: it has
taken culture as the conditions under which social divisions like
class, gender and race are articulated, naturalised, represented and
contested.
As I have mentioned before when talking about representation,
it is a transformational act, undertaken by someone, for someone, on
an occasion, for a purpose, with an outcome. In addition, as Laclau
has argued for the case of society, (and I think this may be true of
audiences as well): the act of representation is the very condition of
intelligibility for that which it claims merely to express (1990).
Conclusion
The discussion so far can be summed up as follows:
A researcher should not approach the object of study from above,
using pre-conceived notions and ideas that might be incompatible with
the subject matter. Paying attention not only to what people say, but
how they say it and in what capacity is of primary importance, because
representation is never innocent. We should therefore look at who is
representing whom as what, on what occasion, for what purpose.
Coming to a close, one point seems critical. The examples I
presented here should not be dismissed as mere figures of speech that
do nothing. Linguistic and pictorial representations naturalize Bali
as theatre/jewel/paradise. A number of scholars have argued, from
various angles, that language is not a means to describe the natural
world but a tool people do things with (Wittgenstein 1958, Austin
1962, Feyerabend 1975, Goodman 1976, Butler 1997). The question then
becomes, what have the various naturalizing metaphors of ‘Bali as…’
done, and what has been disarticulated in the process?
Bibliography
Austin, J. L. 1962. How to Do things With Words. Oxford: Clarendon.
33
Bateson, G. & Mead, M. 1942. Balinese character: a photographic analysis.
New York: Academy of Sciences.
Boon, J.A. 1977. The Anthropological Romance of Bali 1597-1972: Dynamic
Perspectives in Marriage & Caste, Politics & Religion. Cambridge:
University Press.
Butler, J. 1997. Excitable Speech: A Politics of the Performative. London
and New York: Routledge.
Collingwood, R. G. [1946] 2005. The Idea of History. Oxford: University
Press.
Feyerabend, P. 1975. Against method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge. London: Verso.
Geertz, C. 1980. Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali.
Princeton, N.J.: University Press.
Goodman, N. 1976. Languages of art. Indianapolis: Hackett.
Goodman, N. 1978. Ways of Worldmaking. Indianapolis: Hackett.
Hobart, M. 1999. ‘The End of the World News: Television and a
Problem of Articulation in Bali.’ International Journal of Cultural
Studies 3.1: 79-102.
Hobart, M. 2000. After Culture: Anthropology as Radical Metaphysical
Critique. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Hobart, M. 2008. ‘Bali is a Brand: a Critical Approach.’ Paper presented
at Kongres Kebudayaan Bali. ISI, Denpasar. June 2008.
Laclau, E. 1990. New Reflections on the Revolution of our Time. London:
Verso.
Morson, G.S. & Emerson, C. 1990. Mikhail Bakhtin: Creation of a
Prosaics. Stanford, California: Stanford University Press.
Pringle, R. 2004. A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Crows
Nest, Australia: Allen & Unwin.
The Miracle of Bali. 1969. Film. Narrated by Attenborough, D. BBC.
Trance and Dance in Bali. 1951. Film. Filmed by Bateson, G. & Mead,
M. Narrated by Mead, M. USA: Pennsylvania State University.
Vickers, A. 1997. Bali: a Paradise Created. Berkeley & Singapore:
Periplus.
White, H. 1973. Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-
Century Europe. Baltimore & London: Johns Hopkins University
Press.
Wittgenstein, L. 1958. Philosophical investigations. 2nd. ed. Oxford:
Blackwell.
34
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
KOREA DAN INDONESIA:
Kajian tentang Perilaku Masyarakat
Korea dan Jawa
I. Pendahuluan
35
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan
asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung
melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin
banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya
perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka
sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut
orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi
wajah adalah sesuatu yang universal.
Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna
universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan
menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa
bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana
mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan
sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia
memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang
berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda
dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J.: 1998).
Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Jawa
dan Korea ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat di Jawa dan Korea. Makalah ini tidak
hanya menekankan bagaimana orang Jawa dan Korea berbeda
dalam berbicara tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang
dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang
mengatur perilaku anggota masyrakat.
36
berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan
daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh
tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak
yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan
atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak”
karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan
dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang
rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.
Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di
negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-
negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab,
Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Jawa. Negara-negara
dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang,
dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani:
1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi
hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim
hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan
orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik
lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.
37
(Hofstedet: 1980).
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering
tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung
ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan
bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka
dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-
orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-
norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal
sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif
dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang
negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena
menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang
dalam budaya individualistik didorong untuk mengungkapkan emosi
karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai
hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya
individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang
dalam budaya kolektif.
38
2.4 Kesenjangan Kekuasaan
Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya
adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur
dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan
(IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mempunyai kekuasaan dan
pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada
terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat
berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah
Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara
tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali
Perancis. Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang paling rendah)
adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam
hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi dan Korea
berurutan ke-27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga
menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda
kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak
sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa
garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk
budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel
yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang
lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana
anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih banyak
belajar dari orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.
Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan
kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas
status-status individu (Alo Liliweri: 2001). Senyum yang terus menerus
yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk
menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan sosial yang lebih
mulus; mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-
IKK tinggi.
39
atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan.
Dalam situasi atau budaya KT, informasi merupakan gabungan
dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal
yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa didapatkan
dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah
merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi
disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus
diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak
seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT,
institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau
bahasa komputer menuntut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada
yang bisa diterima begitu saja.
Budaya konteks tertinggi ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan
Korea merupakan budaya-budaya berkonteks sangat tinggi. Bahasa
merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eksplisit,
namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit.
Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang
tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal
dalam memahami bahwa budaya KT harus memberikan konteks dan
latar dan membiarkan pokok masalah itu berkembang (Hall, .: 1984).
Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR.
Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih
tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-
orang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-
ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari
budaya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan
misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal
seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap
lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang kurang banyak
bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya
berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan
komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR,
dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak dapat merasakan
komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi
nonverbal memberikan konteks untuk semua komunikasi, tetapi orang-
orang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat kontekstual.
Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan
interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal
lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi
orang-orang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari
budaya KT mengharapkan lebih banyak komunikasi nonverbal
40
dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari
budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami
perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan
isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang
dari budaya KR.
41
tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata
nilai yang ada dalam masyarakat Korea.
Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah
Indonesia, khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal
dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan santun.
Meskipun ada sebagian yang berasal dari Jawa Timur yang dipandang
“kurang memenuhi syarat“ sebagai orang Jawa, namun suku Jawa
tetap merupakan suku yang terkenal dengan keramahannya. Karena
biasanya yang dipandang orang Jawa adalah orang Jawa yang
bertempat tinggal di bagian tengah Jawa (Jawa Tengah - Surakarta) dan
Jogjakarta. Ada begitu banyak kesamaan dalam tata nilai masyarakat,
di antaranya selalu menempatkan orang lain sesuai dengan usianya,
kedudukan sosial/strata sosialnya, atau dengan kata lain pola
hubungan yang berlaku lebih cenderung vertikal daripada horizontal.
Di samping itu masyarakat konfusianis Korea dan masyarakat Jawa
sangat mementingkan kekeluargaan. Walaupun dalam keadaaan
tidak mampu, mereka tidak dapat melupakan rasa bakti mereka
terhadap orang tua. Baik di saat orang tua hidup maupun ketika
sudah meninggal. Begitu dekatnya hubungan kekerabatan sampai
ada peribahasa Jawa yang menyatakan “mangan ra mangan ngumpul”
yang berarti susah senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di
sini adalah rasa kebersamaan dalam menghadapi segala persoalan
hidup.
Namun demikian ada kesamaan nilai-nilai yang sekarang
dipandang tidak menghargai harkat perempuan. Yaitu hubungan
keluarga pada masyarakat Konfusianis Korea lebih berarti daripada
hubungan suami istri. Dapat dikatakan bahwa suami lebih mendengar
perkataan ibunya daripada istrinya sendiri. Bahkan ada peribahasa
Korea yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih kental
daripada air. Jadi untuk masyarakat Konfusianis Korea, istri masih
dianggap sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Jawa menganggap
istri hanya sebagai “konco wingking” atau teman belakang.
Sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara masyarakat Konfusianis
Korea dan masyarakat Jawa, yaitu :
1 Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal
ini tidak terdapat dalam masyarakat Jawa, karena hubungan
kekerabatan masyarakat Jawa dihitung dari pihak maternal
dan paternal, atau dengan kata lain bersifat “bilateral descend”.
Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Korea bersifat
paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai
tercermin dalam “prefiks” bahasa Korea.
42
2 Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar
klan darahnya. Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti
Korea. Namun pada masyarakat Jawa kuno, perkawinan justru
diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka. Hal tersebut
dimaksudkan untuk mengumpulkan “tulang” yang tercerai berai
agar utuh kembali.
3 Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang
ada. Prinsip ini biasanya merupakan salah satu tujuan dari
pernikahan selain membentuk keluarga baru. Namun pada
masyarakat konfusianis Korea lama atau kuno secara tegas
berprinsip bahwa kehadiran suatu pernikahan hanya untuk
satu tujuan pokok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai
penerus keluarga. Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama
dalam ajaran konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi
suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa tidak ada
ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal
marga atau klan seperti masyarakat konfusius Korea, namun
memang sangat dihargai bila “si sulung” merupakan anak laki-
laki, yang nantinya diharapkan mampu mengangkat harkat dan
martabat keluarga.
4 Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri. Perceraian
dapat disebabkan beberapa macam, namun yang berbeda bagi
masyarakat Jawa adalah perceraian dapat “dilakukan” oleh selain
suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini adalah inisiatif perceraian
dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada
jaman Korea lama. Hal tersebut jarang terjadi pada masyarakat
Jawa, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak
“yang sok berkuasa” .
5 Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan.
Bila mendambakan seorang anak laki-laki untuk meneruskan
usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat Jawa
adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya pernikahan
baru tersebut diharapkan “isteri muda” dapat dipersembahkan
“sang penerus keluarga”. Namun berbeda dengan masyarakat
Konfusius Korea yang melakukan upaya adopsi untuk mencari
penerus keluarga. Namun adopsi yang dilakukan pun berbeda,
hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang
mempunyai anak laki-laki pada jaman Korea lama pula.
43
mendisiplinkan diri mereka dan bagaimana dapat diterima dalam
menjalin suatu hubungan. Di Korea, rasa hormat dan sopan santun
menjadi aspek penting dalam kehidupan. Di Jawa kerukunan dan
kehormatan menjadi aspek penting dalam pergaulan. Seseorang
diharapkan agar tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara
berbicara serta membawa diri dituntut untuk selalu menunjukan sikap
hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Orang Korea menjunjung tinggi senioritas, sedangkan di Jawa lebih
menekankan status. Baik di Korea maupun di Jawa mengetahui
secara rinci mengenai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam
pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status lawan
bicara dan bagaimana kita bersikap. Menolak untuk memberi jawaban
juga bukan merupakan hal yang tidak sopan jika kita melakukannya
dengan sikap sopan pula. Orang Korea dan orang Jawa pada dasarnya
adalah orang yang ramah. Akan tetapi, orang Korea tidak begitu mudah
mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi kontak fisik.
Ketika bertemu dengan seseorang, orang Korea hanya mengangguk
secara sopan atau berjabat tangan. Berjabat tangan dengan wanita
bukanlah hal yang biasa sedangkan di Jawa hal ini biasa terjadi. Akan
tetapi, bila seseorang telah mengenal orang Korea dengan dekat, rasa
kekeluargaan akan lebih terasa, dan akan lebih sering terjadi kontak
fisik antarteman atau antarkenalan.
44
4.2 Sopan Santun di Meja Makan
Pada umumnya sopan santun di meja makan antara orang Jawa
dan Korea dapat dikatakan hampir sama. Ketika sedang makan, kita
tidak boleh bercakap terlalu banyak, tidak boleh mengunyah hingga
menimbulkan suara, dan berusaha jangan sampai ada makanan
yang tercecer. Tunggulah orang yang lebih tua untuk duduk terlebih
dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua ketika
makan. Akan tetapi, di Jawa, tuan rumah biasanya mempersilahkan
tamu untuk memulai hidangan terlebih dahulu. Apalagi jika tamu
adalah orang yang lebih tua atau dihormati.
Tidak seperti di Jepang dan Cina, negara tetangga Korea, yang
menggunakan sendok untuk makan nasi dan sup, dan sumpit hanya
digunakan untuk mengambil hidangan sampingan atau lauk pauk
lainnya yang tersedia. Ketika makan, orang Korea tidak mengangkat
mangkuk tempat sup atau nasi seperti orang Jepang. Orang Korea
tidak mengayun-ayunkan sumpit, dan tidak menancapkan sendok
atau sumpit di atas nasi karena dianggap seperti memberi makan
orang mati. Jika hal ini dilakukan tamu, dianggap mempermalukan
orang yang menjamunya. Bila selesai makan, sendok dan sumpit
diletakkan secara rapi di samping mangkuk, jika sendok dan sumpit
diletakkan di mangkuk nasi atau sup, dianggap belum selesai makan.
Orang Jawa makan dengan dua cara. Ada yang menggunakan sendok,
dan ada pula yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan
sendok sama seperti kebiasaan orang barat, hanya saja peralatannya
lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan garpu saja.
45
4.4 Kebiasaan Bertamu dan Mengundang
Saat berkunjung ke rumah orang Korea, pengunjung perlu untuk
membuka alas kaki dan sebaiknya tamu menggunakan kaos kaki atau
stoking karena bertelanjang kaki di hadapan orang tua dianggap tidak
sopan. Di Korea juga terdapat kebiasaan untuk membawa bingkisan
bila berkunjung ke rumah seseorang. Di Jawa juga ada kebiasaan
melepas alas kaki bila berkunjung ke rumah seseorang, tetapi
bertelanjang kaki di hadapan orang tua tidak menjadi suatu masalah
yang dianggap serius.
Di Korea tidak ada kebiasaan “go Dutch” atau membayar sendiri-
sendiri seperti di Jepang tetangganya. Apabila kita berada di Korea,
kita harus siap untuk menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada
kebiasaan bahwa orang yang lebih tua yang akan menjamu yang lebih
muda, karena mereka merasa bertanggung jawab kepada yang lebih
muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih muda. Di Jawa
juga tidak dikenal budaya “go Dutch”, yang mengundang atau yang
mengajak adalah yang berkewajiban untuk membayar atau menjamu.
46
masalah pribadi dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang
menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cenderung
melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk memulai dari
bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke fakta-
fakta yang khusus. Orang Korea menulis alamat mulai dari nama
negara, propinsi, kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor
rumah dan nama orang. Namun di Indonesia, mulai dari nama orang,
nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara. Dalam nama
pun, orang Korea meletakkan nama keluarganya lebih dulu dan baru
diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya.
Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea menjawab
“ya”, ini tidak selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti “saya
mengerti keadaanmu, silakan lanjutkan...”, tidak berarti persetujuan
atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima
jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda persetujuan,
sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum
cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu
seseorang mengatakan “Anda tidak perlu melakukan ini” atau
“Silahkan terima hadiah ini” ketika ada orang lain yang membawakan
hadiah atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu saja
hadiah itu, dia dianggap tidak sopan.
Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan tentang cara
berpikir yang lebih cenderung ke emosional dibandingkan rasional.
Orang Indonesia dan Korea memecahkan masalah berdasarkan emosi.
Ketika orang minta tolong pada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa
orang yang dimintai tolong harus memecahkan persoalan tersebut
walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya, walaupun
orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal itu tidak sah atau
bertentangan dengan aturan masyarakat, dia mengharapkan masalah
atau kesulitan itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan
menggunakan ‘alfa’-nya. Dalam hal ini, orang berorientasi rasional
mungkin menolak dengan mengatakan hal itu tidak sah atau mustahil,
tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Korea, seseorang mungkin
berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah,
dan biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan
dengan cara atau metode ‘alfa’-nya.
Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri
manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat
manusia. Namun sebaliknya dengan orang Indonesia dan Korea.
Sebagai contoh, dalam lukisan Renaissance sumber dari sebagian seni
Barat, alam adalah latar belakang yang kabur bagi manusia di masa
47
mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea atau
Indonesia mengalamkan manusia. Hampir semua sampul majalah
Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah
Korea bergambar alam tanpa manusia di latar belakangnya.
Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep persamaan di
antara orang Indonesia dan Korea. Hubungan lebih cenderung vertikal
daripada horisontal. Tiap orang relatif lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam keluarga pun semua dalam hubungan vertikal: kakak laki-laki
terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap adik perempuan.
Bahkan anak kembar pun tidak sederajat, yang lahir lebih dulu
adalah kakaknya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada yang lahir
kemudian. Di dalam kedua masyarakat tiap orang dianggap sebagai
individu yang memiliki seluruh hubungan manusia mirip dengan
hubungan keluarga. Hal itu dapat dicontohkan dengan memanggil
orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman, atau bibi, dan
mereka memanggil orang yang lebih muda adik.
48
berarti ‘selamat jalan’.
- Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan
(menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua) menggunakan
ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk sesuatu dilakukan dengan
jari telunjuk.
- Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel di jidat
menyatakan ‘gila’, sedangkan di Korea hal itu dinyatakan dengan
membuat lingkaran berkali-kali dengan jari telunjuk di jidat.
- Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya
dengan jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada
dirinya sendiri menepuk atau menunjuk pada dadanya.
- Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea menyatukan
jempol dan telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang
Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan bahwa orang
yang melakukan hal tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau
menganggap sesuatu itu mudah sekali.
- Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya
uang, cukup dengan menggabungkan jempolnya dengan telunjuk
dan kemudian digerak-gerakkan.
- Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar dengan
gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’ di Indonesia, sedang di
Korea itu berarti mengundang orang untuk mendekat.
- Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun Indonesia
menggunakan telapak tangannya untuk menulis.
- Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih
tua dengan sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan
melewati orang yang lebih tua, sedangkan di Korea tidak terdapat
hal seperti itu.
- Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti ‘uang’,
sedangkan di Korea ‘uang’ ditunjukkan dengan membentuk
lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk.
- Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia menggunakan
jabat tangan dan cium pipi, sedangkan di Korea membungkukkan
badan dan jabat tangan. Dalam hal jabat tangan terdapat perbedaan
pula antara Indonesia dan Korea. Di Indonesia umumnya yang
muda mengajak jabat tangan, sedangkan di Korea yang muda
menunggu ajakan jabat tangan dari yang tua.
VI. Penutup
Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan
atau mengingkari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka
49
belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi.
Telah dibahas bahwa kedua negara mempunyai cara pikir dan adat
kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula
bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua negara itu
mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang
lain aneh dan lebih rendah. Namun, tidak akan ada budaya standar,
juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal
yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut
bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan
kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah,
dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi
berusaha memahami satu sama lain, karena kebanyakan masalah ini
timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang
budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan
kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara
yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
50
FREE AND CYBER SEX IN mIRC
VIEWED FROM JAVANESE SEXUAL NORMS
Introduction
Definitions
mIRC
mIRC is a stand-alone internet relay chatting program invented
by English-Jordanian Khaled Mardam-Bey in 1995.2 One of the most
1 Damanik, Fritz H.S. “Menguak Makna Keperawanan Bagi Siswi SMA (Sekolah
Menengah Atas)”. 2006. Jurnal Harmoni Sosial. Vol. I., No. 1., P. 34.
2 “Frequently asked questions”. 7 March 2011. mIRC. Downloaded 25 August 2011.
http://www.mirc.com/faq.html.
51
popular programs of 2003,3 mIRC continues to be used today and has
been downloaded almost 35 million times.4 The program consists of
several channels run through a single server. Upon booting up the
program, the user is required to input a screen name of his or her
choosing as well as a channel starting with a hash key (#). Chatting can
be done in two manners, firstly through a central room in which all
users on the channel can read what is being said, or in private rooms
opened in separate windows by clicking on the name the user who is
to be spoken to. Data intensive communications, such as webcam use,
are not supported.
Free sex
Free sex or promiscuity is the state of having sexual relations with
no commitment between partners, often in large numbers.5 According
to Finnish sexologist Edvard Westermark, historically there have been
two main theories as to the rise of free sex in human society. The first
is that human culture is inherently promiscuous, dating back from
prehistoric times.6 Men are believed to be evolutionarily driven to
propagate their sperm as far as possible, while women have a drive
to receive the sperm of many partners; according to said theory, these
drives result in greater genetic diversity.7 An opposing view is that free
sex culture is a social construct.8
Aspects of free sex culture have been evident in Indonesia for
hundreds of years, when the kings of Java would keep concubines
from conquered nations as symbols of their power and the kings of Bali
exercised the power to force widows into prostitution.9 The belief held
then, that the sexual prowess of the king reflected his political control,
52
continued into the time of President Sukarno.10 With globalization
bringing the after-effects of the American sexual revolution – which led
to the average American man having seven partners over his lifetime,
with women averaging four11 – to Indonesia, there is increasing concern
that the sexual activity in teenagers is ruining traditional mores and
leading to an increase in HIV / AIDS cases throughout the country.
53
result in children who are prone to illness.17 Masturbation, bestiality,
necrophilia, group sex, and voyeurism are forbidden.18
Research by Pieternella van Doorn-Harder of the University
of Illinois indicates that Muslim Javanese men generally consider it
their right that their wives have intercourse only with them, and that
said men believe women should not show any libido of their own; they
should only please their husband. This belief is accepted by women as
well.19 Similar beliefs are held traditionally as well, that women should
cook, be made-up, and bear children; they should work to satisfy their
husbands.20 Adultery is traditionally forbidden.
Virginity, in Javanese culture, is considered a measure of self-
worth, with young women who do not bleed the first time they have
intercourse after marriage considered stained; other traditional signs
of female virginity include small, firm breasts, small hips, and a flat
stomach. Males are traditionally thought to have already had sex if
they have a firm understanding of intercourse and a smooth glans.21
Research Method
The data in this paper was collected using observation and
interviews from the period of 1 to 22 September 2011. The researcher
logged into the #Yogyakarta channel on mIRC using the screen name
co_bule_tampan_cr_ce_indo (‘handsome white male looking for an
Indo[nesian] girl’) at various times of the day, with a focus on the
evening. The screen name and channel were selected to ensure that
the greatest possible number of respondents would be able to answer
questions necessary for the successful completion of this research.
Meanwhile, the timeframe was chosen to ensure a fuller understanding
of the mIRC subculture, including when the most users interested in
casual sexual relationships are online.
The initial stage of research was done through observations of
the main chat room for the channel. When the observations were
complete, the researcher selected screen names with a high likelihood
of belonging to seekers of casual sex, such as ce_pengen (‘girl who
wants [something]’), from a list of chat room members and invited
17 Endraswara, Suwardi. Sampyuh: Seks Jawa Agung. 2009. Yogyakarta: Kuntul Press.
Pp. 112 – 115.
18 Ibid. p. 5, 13.
19 Van Doorn-Harder, Pieternella. Women Shaping Islam: Indonesian Women Reading
the Qu’ran. 2006. Urbana: University of Illinois Press. p. 247.
20 Endraswara, Suwardi. 2002. Op. Cit. p. 69.
21 Ibid. pp. 62 – 64.
54
said person to a private chat. After a period of making conversation,
the researcher began to write in a more sexually explicit manner; if
and when the prospective respondent replied in a similar manner,
the researcher invited the respondent to meet face to face at a hotel in
Yogyakarta after a short session of cybersex.
Once at the hotel, the researcher revealed his goal, namely to
study the free sex culture on mIRC. Those respondents willing to be
interviewed afterwards were remunerated at their request, while those
unwilling to be interviewed were allowed to leave. A total of four
respondents agreed to be interviewed, as shown below. Names have
been changed to protect privacy.
Bunga
Bunga is a 35-year-old woman of mixed Javanese and Chinese
heritage who was met on mIRC on 2 September while she was using the
screen name ce_sepi (“lonely woman”). The following day, the subject
was met at Wilis Hotel in central Yogyakarta, where she agreed to be
interviewed. Through the resulting interview, Bunga revealed that
she is a headscarf-wearing Muslim appraiser in the city of Semarang
who began looking for a partner on mIRC after her husband slept with
a karaoke bar waitress from the Grand Candi Hotel in Semarang; as
such, she was driven by revenge. She used the #Yogyakarta channel to
avoid being seen in public in Semarang with a man who was not her
husband.
Regarding her feelings about meeting people for casual sex,
Bunga said that she felt it was shameful and a sin; this was mainly
influenced by her religion, and not her ethnicity. However, she was
curious regarding sexual acts which she had seen in pornographic
films, such as group sex. Although she said that she had never met a
man for sex via mIRC beforehand, she has had cybersex, using Yahoo!
messenger to exchange webcam feed.
Sekar
Sekar is a 25-year-old woman of mixed Javanese and Dutch
descent who holds a degree in information technology. Using the screen
name ce_pengen, on 5 September she agreed to meet the researcher at
Malioboro Street after doing cybersex on mIRC. From Malioboro, the
researcher and Sekar went to nearby Peti Mas Hotel for the interview.
According to Sekar, after graduating from an academy in
Semarang she moved to Yogyakarta to be free from her parents. She
often practices casual sex with both men and women, meeting them
55
online or at the bar of Phoenix Hotel; whenever she has sex with a
man, she insists that he wear a condom to protect her from sexually
transmitted diseases. When asked about her feelings regarding casual
sex, Sekar said that things such as sin and guilt did not match the spirit
of the modern world. Although she would prefer to be in a relationship,
she does not mind casual pairings and enjoys experimenting.
Rosa
Rosa is a 24-year-old university student of mixed Javanese,
Chinese, and Papuan descent. Met on 8 September, she was using
the screen name ce_cr_co (“woman seeks man”). After a chat, she
requested that the researcher meet her at a 24-hour dining kiosk in
Paingan, Sleman; after a late dinner she brought the researcher to her
boarding house.
According to Rosa, she is originally from Wonosobo but is
in Yogyakarta to study at YKPN. She often changes boyfriends and
casual sex partners and has been pregnant once before; the pregnancy
was terminated. She says that she is allergic to birth control pills and
instead insists that her partner wear a condom. Regarding her feelings
about casual sex, Rosa says that she enjoys it and finds it relaxing.
However, she hides her activities from her parents as she thinks that
they would bring her back to Wonosobo.
Fleur
Fleur is a 25-year-old Javanese woman from the city of Ambarawa.
When she was met on 13 September, she was using the screen name
ce_cr_co. After cybersex, she asked the researcher to pick her up at the
web café where she was chatting. From there, the researcher and subject
went to Pura Puspa Rosa Hotel in Papringan for the interview.
According to Fleur, she and her boyfriend in Ambarawa are in
an open relationship, allowing both to freely choose sex partners. As
Fleur considers herself difficult to please, she enjoys the arrangement;
she uses mIRC to find partners if she is feeling lustful and at a web
café. Regarding her feelings about casual sex, Fleur said that she was
not worried about it – so long as she met the person in a public place
first and her partner wears a condom. As for the open relationship, she
considers it good for the two of them. However, she does not discuss
her sexual relationships with her family.
Results
Not everyone on mIRC is looking for a casual sex partner or
56
cybersex, at least in the #Yogyakarta channel. In the main chat room,
mIRC users run a bot or similar program to play a game similar to
Hangman. The computer gives a total number and layout of characters,
as well as a clue; users then try and guess the word(s). For example, a
clue may read “Suatu provinsi di Indonesia ---- -----“ (“A province in
Indonesia ---- ----“), with the lines indicating the total number of letters;
in this case, the answer is “Jawa Barat” (“West Java”). Discussion of
free sex and cybersex generally does not occur in the group room.
Those persons looking for partners generally use a certain type
of user name, indicative of their purpose. For example, a male user
may use user names such as “co_cr_ce_bispak” (“male looking for
female willing to have sex for free”), “co_gd_cr_ce” (“large male
seeking female”), or “co_mau” (“male wants [something]”). Female
users may use names such as “ce_sk_duit” (“female likes money”,
for one willing to have sex for money) or “ce_imut_pgn” (“cute girl
wants [something]”). Transsexuals and cross-dressers also participate
in the free / cybersex culture on mIRC, generally by indicating
their orientation in their screen names, such as waria_lucu (“funny
transsexual”) and wr_cr_co (“transsexual seeking male”). On the other
hand, those seeking casual conversation or life partners will use more
neutral names, such as rizka_manis (“sweet Rizka”) and anak_stece
(“student of Stece”, a senior high school in Yogyakarta).
When in private chat rooms, there are different activities that
can be done. Most conversations start with the initiating user saying
“ASL?” (“age, sex, location?”) or something similar. Users uninterested
in chatting with the initiator of the conversation can close the chat
window immediately; if interested, they reply with the answer
followed by “u?”, “kamu?” (both meaning “you?”) or “ASL?”. In
response, the initiator of the conversation can close the window if no
longer interested, for example if the person is too young or too old,
or the initiator can reply with his/her information. From this initial
icebreaker, the conversation can diverge into any topic.
Generally both participants then exchange links to their Facebook
profiles (or other social media, if relevant). For people looking for casual
sex or cybersex partners, this is meant to ensure that they can see their
prospective partners before doing anything; among other users, it is
seen as an easier way to know more about their conversation partner
than talking to said person. However, these profiles can be faked. For
example, while conducting this study the researcher met a user with the
screen name “tante_girang” (“older woman who likes younger men”,
equivalent to the American slang word “cougar”). “Tante_girang” used
57
the picture of an Indonesian celebrity as his/her profile picture, and all
posts on the user’s Facebook wall were about sex; the lack of regular
status posts and other daily issues indicated that the profile was a fake,
created exclusively for mIRC and other online chat forums.
After exchanging Facebook profiles, both participants may have
a conversation on a neutral topic as more in-depth icebreaker. When
this is complete, or if one of the participants wishes to be direct, the
conversation will become increasingly oriented towards sex and
innuendo. This may involve statements which can be understood
sexually, such as “q dah lama ga ada ce” (“I haven’t had a girl[friend]
in a long time”), or explicit questions like “lo suka seks?” (“Do you like
sex?”). At this point, people not interested in pursuing sexual relations
or cybersex will close the chat window or try to change the topic.
However, those interested in sex or cybersex, or those intent on
toying with the other participant, will continue the conversation. Often
this leads up to cybersex, which on mIRC takes the form of a sexually
themed story written by one or both participants. If both participants
wish to exchange webcam feed to increase their arousal, they will
switch to Yahoo! messenger. This video feed can simply consist of
the participants’ faces, or show them masturbating. An example of
cybersex done during the course of this study is as follows:
Researcher: Aku buka bajumu, membelai dadamu
yang mulus. Pentilmu semakin keras
dengan sentuhanku.
Subject: ah… don’t stop
Researcher: Kudekati pentilmu dengan lidahku…
kujilat. Enak gak?
Subject: Ahhh…. Enak. Gw buka celana lu. Gw
tarik… wah gede juga, mau isap
Researcher: Boleh say
Or, translated:
Researcher: I take off your shirt and caress your
smooth chest. Your nipples harden under
my touch.
Subject: ah… don’t stop
Researcher: My tongue approaches your nipples… I
lick them. Do you like it?
Subject: Ahhh…. Love it. I unzip your pants. I
tug… ah, it’s so big. I want to suck on it.
Researcher: Go ahead dear
58
participants are masturbating and reach an orgasm, a meeting did not
follow as the prospective subject no longer felt the need. Participants
are also able and at times willing to meet face-to-face after their
conversation or cybersex; in these situations, the cybersex serves as a
form of foreplay. During this study, all participants asked to meet in
public places, such as hotels and internet cafes. None asked to meet at
their homes or boarding houses, possibly for safety concerns.
Analysis
As noted above, casual sex is not accepted in traditional Javanese
culture. Coitus is considered something that is for two people who
are married, and may only be done with one’s spouse(s). Pre-marital
sex, adultery, and group sex are all considered to be against cultural
norms. As such, sexuality on mIRC, insofar as face-to-face meetings
are concerned, generally goes against Javanese sexual mores. Users of
the program meet and, when possible, engage in coitus with people
whom they have never met, are not married to, and are unlikely to
see again. Some, such as Bunga, are already married and as such are
committing adultery.
Users interviewed all indicated some understanding that their
activities on mIRC are not in accordance with traditional sexual mores.
Bunga, who most openly indicated that she felt guilt over what she was
doing, indicated her religious background played a role in how she felt;
said influence was also displayed subconsciously, when she used the
word ‘sin’ to describe her intended activities. Other users interviewed
demonstrated an implicit understanding that their families would not
approve of their activities on mIRC and acted on said knowledge by
partaking in sexual-oriented activities on mIRC in an environment
where their families would not be able to interfere. As such, traditional
values are still felt by these mIRC users.
An interesting phenomenon which may warrant further study is
that respondents, whose participation in a free sex culture on mIRC
deviated from Javanese sexual mores, were more likely to be involved
in other activities considered deviant by the dominant culture. Bunga
is intent on committing adultery, Sekar is a bisexual who occasionally
participates in group sex, Rosa has had an abortion, and Fleur is in an
open relationship. All of these activities are considered to be against
the prevailing mores in Java.
However, the use of mIRC for cybersex is not as clear-cut, caused
in part by the technology itself being too new for traditional culture to
provide feedback. In Javanese culture, sex requires physical contact; if
59
there is no physical contact during cybersex, then the actions committed
do not fall afoul of traditional mores. Admittedly, other activities that
can be partaken in during cybersex, such as masturbation, do fall afoul
of said mores. As such, the following analysis will deal exclusively with
pure cybersex, defined as the exchange of sexually-charged dialogue
and narrative between two partners through the internet.
If participants are not married, the traditional views of premarital
sex are liable to weigh heavily on how cybersex is received by the wider
community. Despite participants not having physical contact, they
are still expressing sexual urges and partaking in sexually-charged
activities with people who are not their spouses. Said activities are
liable to be poorly received by the traditional community, especially
considering that cybersex in some aspects resembles pornography: it
features a frank depiction of sexual relations between two people and
is meant to cause sexual excitement.22
However, there is no pre-existing condemnation of sexual
activities between married couples; as such, the moral value of
cybersex between married couples must be judged solely on the
activity itself. Although, as noted above, in some aspects cybersex
resembles pornography – and as such could face heavy resistance from
traditionalists – the fact that cybersex can be done over great distances
could serve as a mitigating factor. In modern society, with growing
numbers of spouses working in different cities or travelling abroad for
business, some couples have greater emotional distance. As a result of
the increased loneliness and isolation, there are greater opportunities
and motives to commit adultery; in fact, it is common to hear tales
of married businessmen travelling to Bangkok and returning with a
sexually transmitted disease caught from a prostitute there. If more
couples are willing to perform cybersex during period of prolonged
absence, adultery rates could be reduced.
22 As noted above, voyeurism is not considered a moral act in Javanese culture; this
extends to pornography as well, which has a heated history throughout the archipelago.
60
The ideal approach is to deal with each issue separately, to avoid
overcomplicating the issues. Firstly, to deal with free sex and cybersex
issues as they apply to unmarried persons a two-fold approach could
be introduced. Firstly, children could be raised in an environment
conductive to understanding and respecting traditional mores. This
intrinsically involves the parents, as children are liable to emulate what
they observe their parents doing; as such, if parents want their child to
keep in accordance with traditional mores and values, they themselves
must do so. Secondly, parents must understand that traditional values
cannot be applied to every single situation in the modern world –
situations which could not be imagined even a hundred years ago
– and be willing to teach children responsibility. It is not enough to
simply address current issues - the march of technology goes on at an
increasing pace, and the challenges faced by young adults in 2025 may
be entirely different than what they face now. As such, they must have
an instinctive understanding of how to responsibly handle unfamiliar
technologies.
For those already married, or soon to be married, the issue
becomes how to apply the technology to their relationship. This cannot
be adequately dealt with without a greater discourse on the place of
technology in traditional Javanese society; although admittedly there
could be resistance to the practice of cybersex, it may find acceptance
in general society due to its ability to draw married couples closer
emotionally when living apart. If the practice of cybersex is accepted by
the community in general, then spouses may require an introduction
to cybersex and ways in which it can be done which do not go against
traditional mores, such as by not masturbating during cybersex.
To ensure greater understanding of the influence of technology
in the sexuality of Javanese culture, further research of how other
technologies are used by people seeking sexual satisfaction is necessary.
With the number of cellular phone users in Indonesia now over 100
million, and an increasing amount of said phones having cameras, the
practice of sexting (the sending of sexually explicit text messages, often
accompanied by photographs) warrants study. Sexuality through other
commonly-used technologies, such as the aforementioned Yahoo!
messenger, also warrants study. Through these studies it is hoped that
the role of technology in the sexual activities of Indonesians, especially
the Javanese, can become more readily apparent and be addressed in
accordance with traditional mores.
61
Bibliography
Damanik, Fritz H.S. “Menguak Makna Keperawanan Bagi Siswi SMA (Sekolah
Menengah Atas)”. 2006. Jurnal Harmoni Sosial. Vol. I., No. 1., Pp. 28 – 35.
Endraswara, Suwardi. Seksologi Jawa. 2002. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Endraswara, Suwardi. Sampyuh: Seks Jawa Agung. 2009. Yogyakarta: Kuntul
Press.
“Frequently asked questions”. 7 March 2011. mIRC. Downloaded 25 August
2011. http://www.mirc.com/faq.html.
Lehrman, Sally. “The Virtues of Promiscuity”. 22 July 2002. AlterNet.
Downloaded 4 September 2011. http://www.alternet.org/story/13648/.
“mIRC”. 9 March 2011. Cnet. Downloaded 25 August 2011. http://download.
cnet.com/mIRC/3000-2150_4-10001733.html.
“Promiscuity” in Sex and Society. Volume 3. 2010. Marshall Cavendish: New
York. Pp. 667 – 690.
“Traffic patterns of September 2003”. 22 October 2011. Internetnews.com.
Downloaded 25 August 2011. http://www.internetnews.com/stats/
article.php/3096631.
Van Doorn-Harder, Pieternella. Women Shaping Islam: Indonesian Women
Reading the Qu’ran. 2006. Urbana: University of Illinois Press.
Westermarck, Edvard. The History of Marriage. 1903. Macmillan & Co.:
London
62
REVITALISASI KOMPETENSI PEDAGOGI
DALAM KONTEKS PENINGKATAN
KUALITAS PEMBELAJARAN BUDAYA
DAERAH
H. RAHMAN
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Pendahuluan
63
memberi respons rangsangan dari lingkungannya dengan
cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah,
membangun konsep dan merencanakan pemecahan masalah,
serta menggunakan simbol-simbol verbal dan nonverbal.
2) Model pribadi (the personal family), yaitu model pembelajaran
yang berorientasi pada perkembangan diri individu.
3) Model interaksi sosial (the social family), yaitu model pembelajaran
yang mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau
orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses realitas
yang ada dan dipandang sebagai negosiasi sosial.
4) Model prilaku (the behavioral models), yaitu model pembelajaran
yang dibangun atas dasar teori yang umum, yakni teori perilaku.
Tinjauan Pustaka
Berbagai model pembelajaran dapat digunakan dalam
pelaksanaan pembelajaran, di antaranya adalah model Cooperative
Integrated Reading and Compotion (CIRC) dalam pembelajaran unsur
intrinsik dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem. Teoretis dan
penerapan model tersebut sebgai berikut.
1. Guru membentuk kelompok beranggota tiga/empat orang siswa yang
heterogen
Para siswa dina ieu pangajaran, hidep baris dibagi jadi sababaraha
kelompok. Unggal kelompok jumlahna tilu/opat siswa. Angggota
kelompok henteu dipilih, pokona unggal kelompok aya tilu/opat
siswa. Upama aya kelompok nu anggotana kurang ti tiluan, eta
anggota kelompok teh ngagabung jeung kelompok sejen. Jumlah
anggota kelompok teu leuwih ti opat siswa
64
Hiji poé, Syéh Darugem nampa béja majar di Pulo Jawa aya syéh
sakti anu kaceluk ka awun-awun ka koncara ka janapria. Ceuk béja, éta
Syéh téh lian ti loba santrina ogé jadi pananyaan jalam réa ti suklakna
ti siklukna. Malah cenah santrina datang ti mana-mendi teu saeutik
nu ngahaja datang ti séjén nagri. Demi ngaran éta syéh, ceuk béja anu
katarima ku manéhna, nya éta Syéh Kuro.
“ ladalah, nya syéh modél naon atuh manéhna téh, nepi ka jadi catur
salembur, éar sajagat. Panasaran teuing haté aing, nya kumaha kasaktian
jeung pangabisa manéhna téh nepi ka pada muji ku sanagri,” kitu
gerendengna Syéh Darugem téh.
“Dina hate leutik mah, Syéh Darugem téh asa katitih. Katitih ku béja
anu can puguh bukurna. Anu matak, haténa beuki panasaran baé, hayang
ngabuktikeun béja téa. Hayang nyaksian ku panon sorangan mun aya di
Pulo Jawa aya syéh anu sakti mandraguna, anu jembar pangabisana.
Tuluy baé Syéh Darugem téh bebekelan, seja miang ka tanah Jawa.
Lain baé bekel lahir, tapi pangpangna mah bekel batin. Sagala eusi kitab
ku manéhna dilalab. Kitab Kaagamaan, Kitab Kasantikaan, dideres
beurang peuting pikeun nambahan élmu jeung ngandelan pangabisa.
Geus ngarasa masagi mah, Syéh Darugem tuluy balayar ngajugjug
Tanah Jawa.
Kacaturkeun Syéh Darugem geus nepi ka Pasantrén Kuro. Syéh Kuro
dibagéakeun sakumaha tatamu umumna. Ngan heunteu apaleun Syéh
Darugem téh, lamun Syéh Kuro geus apaleun naon maksud manéhna
datang ka Tanah Jawa. Bubuhan apal Syéh Kuro mah jalama anu
sadurung winarah téa. Ti anggalna ogé geus bisa neguh, naon maksud
sabenerna Syéh Darugem nepungan manéhna. Ngan hal éta disidem waé
ku Syéh Kuro téh. Kitu deui Syéh Darugem, teu wani balaka mimitina
mah.
Hiji poé Syéh Darugem diajak leuleumpangan ku Syéh Kuro.
Laleumpangna laju ngalér bari ngobrol ngalér ngidul. Uplek pisan
ngobrolna téh. Bubuhan duanana ogé jalma anu laluhung élmuna,
jalembar pangabisa. Atuh dina ngadu catur gé papada pinter nyarita,
tara béakeun piomongeun.
Barang ngaliwat ka hiji tempat, nyampak aya tangkal buah anu kacida
leubeutna. Ngan hanjakal parentil jeung ngarora kénéh. Kaciptana téh
keur sumedeng hahaseumna. Tapi Syéh Kuro tuluy ngala hiji. Kitu
deui Syéh Darugem. Barang diasaan ku Syéh Darugem, puguh baé
manéhna elél-elélan bakat teu kuat ku haseum. Tapi anéh, Syéh Kuro
mah ngadaharna bangun nu ngeunah pisan.
“Naha bet beuki nu haseum-haseum, Syéh?” ceuk Syéh Darugem
héran.
“Éh, da buah nu kami mah asak. Rasana amis kacida. Matak seger
didaharna,” tembal Syéh Kuro. Barang diilikan ku Syéh Darugem, enya
baé, buah nu diala ku Syéh Kuro mah bet asak. Warnana konéng semu
beuereum. Atuh manéhna milu ngasaan, enya baé amis meni kareueut.
Syéh Darugem bari gogodg lantaran héran.
Sanggeus buahna didahar, pelokna ku Syéh Kuro dialungkeun.
Dadak sakala, pelok buah téh tuluy jadi. Nagcambah, tuluy nonghol
daunna. Heuleut memenitan, éta pelok téh geus jadi tangkal buah
65
anyar anu kacida subur jeung ngémplohna.
Syéh Darugem anu nyaksian éta kajadian, beuki kerung baé tarangna.
Pok nannya ka Syéh Kuro, “Diajar élmu sihir di mana Syéh téh?”
“Kami mah teu boga élmu sihir,” témbal Syéh Kuro, “Éta mah ngan
lantaran Kakawasaan Gusti Alloh baé. Mun Alloh ngidinan, sagala rupa
ogé tangtu bakal kajadian.
Syéh Darugem unggut-unggutan.
Duanana laleumpang deui, beuki jauh ka kalérkeun. Jog anjog ka
daérah nu loba rawa-rawana. Geus wanci lohor harita téh, duanana
kudu sarolat. Tapi di dinya téh bet hésé cai beresih. Cai anu aya, sajaba
ti kotor téh barau deuih. Keur bingung kitu, Syéh Kuro tuluy ngala awi
saleunjeur.
Pokna ka Syéh Darugem, “Sok geura wudu,” cenah.
Puguh wé Syéh Darugem téh bingung, “Wudu di mana ari Syéh?
Piraku kudu wudu ku cai kotor jeung bau mah.”
Syéh Kuro ngan imut baé ngadéngé kitu téh. Kék baé cangkéng Syéh
Darugem dicekel, tuluy dijungjungkeun, sarta tuluy diasupkeun kana
awi. Ku kasaktian Syéh Kuro, awak Syéh Darugem anu sakitu harelung
jangkung, dikersakeun ngaleutikan sarta bisa asup kana liang awi.
Sanggeus aya di jero awi, Syéh Darugem teu kira-kira kagétna.
Lantaran di dinya aya talaga anu sakitu liuhna. Caina cenembrang
hérang, tiis matak seger kana awak. Anginna ngahiliwir, tempatna
pikabeutaheun. Clom baé, manéhna abdas di dinya.
Pasosoré, kakara manéhna baralik deui ka Pasantrén.
Ayeuna mah Syéh Darugem téh teu loba nyarita, da rumasa geus
katétér pangabisa. Kabuktian omongan batur téh, Syéh Kuro téh
singhoréng enya saktina. Lain baé jembar élmuna agamana, tapi luhung
ogé kasaktianana. Kituna téh bari henteu kudu sombong jeung hohoak
yén aing jalma sakti. Tapi geus kabuktian apan, salila di perjalanan
manéhna teu nginjeum sirah teu nginjeum panon, nyaksian pisan
kumaha saktina Syéh Kuro.
Ti harita Syéh Darugem ngaku guru ka Syéh Kuro. Manéhna teu
balik deui ka Nagri Bagdad, kalah tuluy mondok di Pasantrén Kuro,
neuleuman deui élmuning agama ka Syéh Kuro. Malah tuluyna mah jadi
bentong (pangiring) Syéh Kuro, sarta ku balaréa dilandi Syéh Bentong.
Ka mana baé Syéh Kuro indit, Syéh Bentong salawasna nunutur jadi
pangiringna.
Sababada pupus, Syéh Kuro dikurebkeun di Pulo Kalapa. Ari Syéh
Bentong, dimakamkeunana téh di Pulo Masigit, teu jauh ti makam
guruna.
66
2) Di mana tempatna eta sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung
Syéh Darugem di luhur?
3) Iraha waktu kajadianna eta sempalan Dongéng Syéh Kuro
jeung Syéh Darugem di luhur?
4) Kumaha jalan carita sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh
Darugem di luhur?
5) Naon tema sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem
di luhur?
6) Naon amanat sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh
Darugem di luhur?
Panutup
Berbagai model mengajar dapat dijadikan alternatif dalam
peningkatan kualitas pedagogi pembelajaran budaya daerah. Salah
satu model adalah model CIRC yang digunakan dalam pembelajaran
menulis unsur intrinsik Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem.
Dari enam langkah model CIRC, lima langkah (langkah satu sampai
dengan langkah lima) menggambarkan pembelajaran siswa aktif,
67
kreatif mencari jawaban, efektif mencari jawaban dari teks dengan
cara bekerja kelompok, menyenangkan dalam mencari jawaban dari
teks yang sudah disediakan, dan inovatif, karena siswa mencari
bersama-sama dalam kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Attalib, Hilsham (1992) dalam Training Guide for Islamic Worker’s. Malaysia
Harmer, Jeremy. (1992). The Practice of English Language Teaching. London and
New York: Longman.
Heaton, J. B. (1995). Writing English Language Tests. London and New York:
Longman.
Joyce, Bruce & Marsha Weil. (1980). Models of Teaching. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.
Rahman. (2000). Bunga Rampai Perencanaan Pengajaran Bahasa. Bandung: FPBS
UPI.
Rahman (2005). Desain Instruksional Bahasa. Bandung: Alqo Print.
Rahman, dkk. (2006). Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan. Bandung: Alqo Print.
Rahman (2006). Alternatif Model Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: LPMP.
Rahman (2011). Model-model Pembelejaran dan Bahan Pembelajaran(Cetakan
ke-5). Bandung: Alqo Print.
68
CARA MENDIDIK ANAK DALAM
PERSFEKTIF ETIKA SUNDA
Nunuy Nurjanah
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
69
dirinya; (4) sifat manusia yang proaktif, percaya diri, berwawasan
wiraswasta, serta mampu memanfaatkan waktu; (5) watak manusia
yang hatinya suci bersih, menjauhkan diri dari memperdayai dan
mencelakai orang lain, logikanya seimbang, serta selalu mempererat
ikatan silaturahim dengan siapa pun juga; (6) manusia yang paham
akan dirinya sebagai makhluk ciptaan Allh SWT serta mampu
meningkatkan kualitas spiritual rawayan jatinya ke arah kualitas
manusia yang selalu sadar untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaannya; (7) manusia yang keberadaan hidupnys bermanfaat
bagi diri maupun lingkungannya. Teguh pendirian dalam mencapai
maksud dan tujuan hidupnya. sadar akan visi dan misi keberadaannya
di dunia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT; (8) manusia yang
berkecukupan, baik kekayaan lahiriah maupun batiniah; (9) manusia
yang mempunyai kualitas diri sebagai hasil dari perjuangan hidupnya
dan kesadaran dirinya; (10) manusia yang hidupnya selalu berhati-
hati, menggunakan akal pikiran dan perasaan secara seimbang dan
mampu memprediksi keadaan; (11) keadaan yang beres ertib sesuai
dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Posisional, proporsional,
dan prefesional; (12) kemampuan untuk menyelaraskan kehidupan
lahir batih serta kesediaan untuk berbagi kasih, saling asah-asih
dan asuh dengan sesama makhluk; (13) kesadaran sebagai makhluk
yang harus mampu mengarungi kehidupan ini, baik dalam keadaan
senang maupun susah; (14) manusia yang mampu meningkatkan
kualitas SDM-nya dalam keadaan aspek; (15) kemampuan untuk
mengakselerasikan dan memotivasi hidup sehingga mencapai
kualitas optimal sebagai manusia yang bermartabat; (16) kualitas
kehidupan yang beretika, bermoral, berakhlak, serta berestetika yang
menyiratkan citarasa keindahan yang luhur serta bermanfaat bagi
kemanusiaan yang bermartabat; (17) semangat untuk berprestasi
dalam mencapai kualitas yang lebih unggul. Sanggup berkompetisi
dalam kebaikan; (18) manusia yangmampu bertawakal dan bersyukur
dalam menapaki perjalanan hidupnya; (19) manusia yang mampu
mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri; (20) kemampuan
berprilaku, bertatakrama, dan beretika dalam kehidupan di masyarakat;
(21) keadaan fisik laki-laki yang sehat dan beroman muka yang
menimbulkan rasa simpatik orang lain dan berkarakter maskulinitas
yang tangguh; (22) keadaan wanita yang cantik secara fisik juga jelita
batiniah ruhaniahnya; (23) kesadaran terhadap lingkungan hidup yng
70
tertata dengan baik; (24) manusia yang mampu menebarkan rasa kasih
sayang, saling menghargai antara sesama insan, mencintai lingkungan
hidupnya, menjaga harmoni yang selaras dan serasi, mengutamakan
ketentraman dan kedamaian, serta tunduk berserah diri kepada Yang
Maha Pencipta; (25) keadaan kualitas insan yang unggul secara fisikal
maupun psikhis, baik lahiriah maupun batiniah yaitu pada tataran
(a) IQ—luhung elmuna, (b) EQ—jembar budayana, (c) SQ—pengkuh
agamana, dan (d) AQ—rancage gawena (Suryalaga, 2003: 58—78).
Sunda—’nu nyusun jeroning dada’ (yang tersusun dalam dada,
diartikan keimanan dan ketaqwaan yang kuat). Numutkeun ka-Sunda-
an mah maranehna teh kedah kitu...” (Menurut pandangan hidup
orang Sunda sudah sepantasnya seperti itu...).
Sunda dengan ka-Sunda-an adalah kesadaran hidup yang
universal. Dengan demikian, ka-Sunda-an tidak hanya menjadi
penanda bagi orang Sunda saja, tetapi jauh lebih luas bisa dijadikan
penanda bagi siapa pun, etnis mana pun, bangsa apa pun, asal
mempunyai sifat, karakter, perilaku ka-Sunda-an, dia adalah manusia
Sunda. Walau demikian jangan sampai terabaikan, peran orang
Sunda sebagai etnis yang ditakdirkan hidup dan ditugasi untuk
menyejahterakan tatar Sunda sebagai tugas suci Ilahiah.
Selanjutnya, dalam tulisan ini yang dimaksud ka-Sunda-an
adalah pandangan hidup orang Sunda.
71
diada-adakan.
Kita harus ingat bahwa perkataan yang paling benar adalah
kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW.
Seburuk-buruk masalah adalah masalah yang baru, semua yang baru
adalah bid’ah, semua yang bid’ah menyesatkan, dan semua yang
menyesatkan akan membawa ke neraka.
Allah SWT berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar, niscaya Allah
akan memperbaiki perbuatanmu serta mengampuni dosa-dosamu.
Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya maka ia sungguh akan
berbahagia dengan kebahagiaan yang agung” (Al-Ahzab:70-71).
72
Ibuku dengan kelembutannya mengajarkanku kepekaan
hidup, jiwa sosial menghadapi sesama, dll. Ayahku melatih
keberaniannku untuk bisa tegar mengarungi hidup ini. Itulah
sekilas cara pendidikan ibu dan bapakku yang kalau diceritakan
tidak akan tamat-tamat seiring dengan pembalasanku pada jasa
keduanya yang tidak mungkin terbalaskan. Jazakumullaahu
khairan Ema sareng Apa. Abdi mung tiasa nyanggakeun ieu do’a,
”Allaahummagfirlii wali-walidayya warhamhumaa kamaa
rabbayaani shaghiiraa. Aamiiin Ya Rabbal ’aalamiin”.
73
untuk berbuat baik dan larangan berbuat salah. Menurut Rusyana
(1981:4-35) bahwa isi peribahasa itu terbagi tiga: (1) wawaran luang,
(2) pangjurung laku alus, dan (3) panyaram lampah salah.
A. Wawaran Luwang
1. Asa ditonjok congcot (=menerima sesuatu yang sudah lama
diidamkan tanpa disangka-sangka, sehingga dia menjadi sangat
berbahagia).
2. Asa kagunturan madu (=mendapat rizqi besar; sangat berbahagia) .
3. Ati mungkir beungeut nyanghareup (=melakukan sesuatu dengan
terpaksa).
4. Balungbang timur, caang bulan opat welas, jalan gede sasapuan
(=keadaan hati yang bersih; tanpa dendam).
5. Banda tatalang raga(=jangan terlalu sayang pada harta kita kalau
untuk keselamatan jiwa) .
6. Batah kapok anggur gawok (=dalam berbuat kebaikan kita tidak
boleh kapok, tapi harus bersungguh-sungguh) .
7. Batok bulu eusi madu(=sesuatu yang di luarnya sederhana, tapi di
dalamnya sangat bagus) .
8. Beja mah beje(=harus hati-hati kalau menerima berita yang belum
tentu kebenarannya) .
9. Bedog mintul mun diasah, laun-laun jadi seukeut (=meskipun
pada awalnya tidak paham, tapi kalau rajin belajar mesti akan
ada hasilnya).
10. Bonteng ngalawan kadu (=tidak seimbang; yang lemah melawan
yang kuat).
11. Buruk-buruk papan jati (=sejelek-jeleknya dengan saudara tidak
akan terlalu jelek) .
12. Hade ku omong goreng ku omong (perkataan itu bisa
menimbulkan kebaikan atau keburukan; maka berhati-hatilah).
13. Halodo sataun lantis ku hujan sapoe(=kebaikan yang sudah
tertanam lama bisa hilang sama sekali disebabkan perbuatan
yang jelek satu kali) .
14. Hunyur mandean gunung(=ingin menyerupai orang yang lebih
kaya atau lebih tinggi pangkatnya) .
74
15. Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat (=orang tuayang
menjadi penyebab keselamatan dan kemulyaan anaknya) .
16. Kabeureuyan mah tara ku tulang munding (=jangan semberono;
manusia celaka umumnya karena hal kecil-kecil; bukan oleh
perkara besar).
17. Kaduhung tara ti heula(=sebelem bekerja pikirkanlah matang-
matang; jangan menyesal kemudian) .
18. Kujang dua pangadekna (=perkataan atau perbuatan yang dua
rupa maksudnya) .
19. Lamun keyeng tangtu pareng (=kalau kita rajin, pasti berhasil).
20. Leutik-leutik ngagalatik (=meskipun kecil tapi berani dan
pekerjaannya bagus) .
21. Lodong kosong ngelengtrung (=orang yang kurang
pengetahuannya biasanya hanga ngomong doang).
22. Manuk hiber ku jangjangna (=orang hidup harus menggunakan
akalnya) .
23. Milik teu pahili-hili, bagja teu paala-ala (=setiap manusia sudah
punya rizki masing-masing; yang penting dia mau bekerja keras)
.
24. Mun teu ugakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih
(=kalau tidak berusaha, tidak akan ada hasil).
76
Orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan
cara mendidik, membersihkan pekerti, dan mengajarinya akhlaq-
akhlaq yang mulia, serta menghindarkannya dari teman-teman yang
berpekerti buruk. Orang tuanyalah yang membuat anaknya cenderung
untuk menerima kebaikan atau keburukan, karena seorang anak itu
dilahirkan menurut fitrahnya.
Perhatian seorang ibu terhadap anaknya dimulai sejak anaknya
masih dalam kandungan. Seorang ibu harus memperhatikan
makanan yang dikonsumsinya selama ia mengandung, yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang sesuai untuk dirinya dan bayi dalam
kandungannya. Dia tidak boleh melalaikan gizi yang diperlukan oleh
dirinya yang akibatnya akan membahayakan bayi yang ada dalam
kandungannya.
Ketika bayi telah keluar dari rahim sang ibu, maka secara otomatis
suplai gizi alaminya itu terputus, dan menjadi kewajiban bagi kedua
orang tua bayilah untuk menangani penyusuannya. Sang ibu menyusui
bayinya dari air susu yang telah diciptakan oleh Allah pada teteknya,
sehingga bayi mudah mencernanya. Adapun sang ayah berkewajiban
memberi nafkah kepada si ibu dan mencukupi semua keperluannya.
Setiap ibu berkewajiban untuk menyusui bayinya, suka atau tidak
suka. Seorang ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya,
terkecuali bila ia dalam keadaan telah diceraikan. Ia tidak boleh
dipaksa untuk menyusui bayinya dari suami yang menceraikannya,
terkecuali atas kemauan sendiri.
Selanjutnya ibu bersama bapaknya berkewajiban mendidik dan
memberi tuntunan kepada anaknya hingga dewasa. Mendidik dan
memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah dan perhiasan
ynag diberikan oleh orang tua kepada anaknya dengan nilai yang jauh
lebih baik daripada dunia dan segala isinya.
77
Lembaga Basa jeung Sastra Sunda. 2007. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung:
CV Geger Sunten.
Nurihsan, A. Juntika. 2006. Akhlak Mulia dalam Persektif Bimbingan dan
Konseling Islami. Bandung: Rizqi Press.
Rosidi, Ajip. 2005. Babasan&Paribasa. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Rusyana, Yus. 1984. Pedaran Paribasa Sunda. Bandung: Gunung Larang.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan sastra Sunda dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:
CV Diponegoro.
Suryalaga, R. Hidayat. 1993. Etika jeung Tatakrama. Bandung: VC Geger
Sunten..
Suryalaga, R.Hidayat. 2003. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Wahana Raksa
Sunda.
78
PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PERIBAHASA DAN PERMAINAN
ANAK SUNDA
Ruhaliah
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
1. Pengantar
2. Pembahasan
Pada era globalisasi saat ini semua hal menjadi lebih mudah
dibandingkan dengan ketika belum merambahnya teknologi informasi.
Berbincang dengan teman, menonton peristiwa, berdiskusi, segala
sesuatu bisa dilakukan dengan siapapun, bahkan dengan orang yang
berada di lain negara. Bahkan seminarpun dapat dilakukan tanpa
79
berkumpul di suatu tempat. Dengan adanya tele-conference misalnya,
kita dapat berbincang secara langsung seakan-akan kita berhadapan
langsung. Walaupun jaraknya ribuan kilometer seakan-akan ada di
hadapan kita.
Berbagai kemudahan yang didapat dari media elektronik
ternyata tidak berdiri sendiri. Ada segi lain yang mengikutinya, yaitu
akibat negatifnya. Berbagai keburukanpun dapat dengan seketika
berada di hadapan kita, bahkan di hadapan bayi yang baru lahir.
Berita mengenai kejadian tertentu di negara tertentu, gosip, hiburan,
dan lain-lain merupakan sesuatu yang dapat didapat dengan mudah
dan murah. Tetapi berbagai acara tersebut bila tidak disaring, dipilih
dan dipilah, akan dengan mudahnya menimbulkan pengaruh negatif,
baik disadari maupun tidak. Film kartun, komedi, sinetron, dan lain-
lain merupakan hiburan yang kadang tanpa sengaja mengenalkan
kekerasan, dan membentuk karakter yang tidak diinginkan. Misalnya
kartun “Happy Three Friends”, rekaman di berbagai situs di interrnet,
film di handphone, acara komedi di televisi, iklan di televisi, merupakan
sedikit contoh di antara sekian banyak yang kemungkinan dapat
berakibat negatif apabila tidak disaring terlebih dahulu. Keadaan
ini terus berlangsung hingga tanpa disadari membentuk karakter
penontonnya.
Film kartun “Happy Three Friends” misalnya, disajikan dengan
musik yang menarik, gambar yang bagus, seolah-olah disajikan untuk
anak kecil. Tetapi apabila diperhatikan dengan seksama, di dalamnya
terdapat kekerasan dan kriminalitas yang sangat tinggi.
80
Di dalam berbagai budaya setiap suku bangsa dan bangsa
tentu telah dipersiapkan bentuk-bentuk pendidikan yang akan
membentuk manusianya menjadi manusia yang terhormat. Tetapi
akibat kurangnya pengenalan terhadap budaya tersebut, dan karena
generasi sekarang lebih banyak dikenalkan dengan media elektronik
yang serba instan, pembentukan karakter dalam kehidupan sehari-hari
menjadi sangat berkurang. Rasa toleransi, kebersamaan, kejujuran,
kreativitas, semangat, dan nilai-nilai pendidikan lainnya semakin
tidak tersampaikan. Ketika semakin lama generasi muda semakin
mangkhawatirkan, maka disusunlah pendidikan karakter, yang harus
diintegrasikan ke dalam berbagai bidang studi.
Di dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003, disebutkan
bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
81
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung-jawab. Butir-butir tersebut sesungguhnya
sudah tersirat di dalam budaya daerah, walaupun tidak langsung
disebutkan.
82
dan bageur, karena banyak orang cerdas yang menyalahgunakan
kecerdasannya.
b) Someah hade ka semah
Ungkapan ini menyarankan agar masyarakat Sunda bersikap ramah
kepada tamu. Di dalam agamapun dikemukakan bahwa salah satu
ciri orang beriman adalah yang menghormati tamunya. Tetapi saat
ini mungkin harus dipertimbangkan lagi, karena tidak semua tamu
layak untuk diperlakukan dengan ramah, karena ada juga tamu yang
bertujuan kurang baik.
c) Hade ku omong goreng ku omong
Peribahasa ini merupakan jalan keluar ketika menghadapi sesuatu
yang harus dirundingkan. Bahwa musyawarah akan lebih baik
dibandingkan dengan diselesaikan sendiri.
d) Caina herang laukna beunang
Proses merupakan hal penting di dalam mencapai tujuan. Dan
pencapaian tujuan itu lebih baik dengan proses yang baik. Tidak hanya
kepentingan pribadi tetapi juga sebaiknya menyenangkan orang lain
e) Indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat
Peribahasa ini merupakan pedoman karakter, bahwa menghormati
ibu dan ayah merupakan kewajiban seorang anak, karena dengan
restu orang tua semua cita-cita bisa terlaksana. Hal ini juga sesuai
dengan ajaran agama.
f) Saur kudu diukur sabda kudu diungang
Kehati-hatian di dalam berbicara merupakan sebuah keharusan
bagi siapapun. Karena ucapan yang tidak layak bisa kenyakiti orang
lain dan mencelakakan diri sendiri. Di dalam bahasa Indonesia ada
ungkapan “mulutmu harimaumu”, sedangkan di dalam agama Islam
“salamatulinsan fi hifdzillisan”.
g) Hade gogog hade tagog
Masalah penampilan sudah dipikirkan oleh masyarakat Sunda sejak
dulu, karena itu muncullah peribahasa tersebut. Ucapan dan perilaku
harus menggambarkan pribadi yang santun, Pada tingkat nasional
juga hal ini menjadi pertimbangan sehingga muncullah sekolah-
sekolah kepribadian, misalnya Sekolah Kepribadian John Robert
Power. Walaupun pada saat ini orang yang berpenampilan baik belum
tentu bertujuan baik.
h) Silih asih silih asah silih asuh
Saling menyayangi merupakan langkah awal dalam berkomunikasi.
Bila segala sesuatu, termasuk pendidikan, dilakukan dengan rasa
saling menyayangi, maka hasilnya pasti akan sangat memuaskan.
Setelah saling menyayangi dilanjutkan dengan saling mencerdaskan
83
dan saling mengayomi. Bila peribahasa ini dilaksanakan dalam
berbagai kegiatan oleh berbagai pihak, maka kriminalitas tidak akan
ada.
i) Bobot pangayon timbang taraju
Di dalam membuat keputusan diperlukan berbagai pertimbangan
agar dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan tidak merugikan
suatu pihak. Apalagi pembuatan keputusan itu dilakukan oleh
pimpinan. Apabila dibuat keputusan tanpa pertimbangan maka bisa
jadi ada masalah lain yang tidak diharapkan. Karena itu kebijaksanaan
sagat diperlukan dalam pembuatan keputusan.
j) Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok
Peribahasa ini merupakan ungkapa bahwa ketekunan itu sangat
diperlukan dalam mencapai tujuan. Seberat apapun pekerjaan yang
harus dihadapi, apabila dilakukan dengan tekun dan teliti, maka
hasilnya akan menggembirakan. Ketekunan itu bagaikan air yang
menetes tiada henti ke atas batu, sekeras apapun batunya akan menjadi
berlubang karena tetesan air tersebut.
k) Paheuyeuk-heuyeuk leungeun
Paheuyeuk-heuyeuk leungeun artinya bergandengan tangan, yaitu
bergotong-royong dalam mengerjakan sesuatu. Dengan bergotong-
royong pekerjaan akan menjadi lebih cepat terselesaikan.
l) Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng
Hasil itu bergantung dari pekerjaan yang dilakukan. Bila pekerjaan
baik akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bila mengerjakan hal
yang buruk maka akan menghasilkan hal yang buruk. Karena itu orang
baik akan mengerjakan hal yang baik agar hasilnya menjadi baik.
m) Manuk hirup ku jangjangna jalma hirup ku akalna
Manusia diberi akal oleh Sang Pencipta. Karena itu manusia tidak
boleh mudah putus asa dalam menghadapi kehidupan. Burung
akan terbang mencari makanan di manapun berada, sedangkan
manusia bukan hanya mencari makanan. Karena itu manusia harus
menggunakan akalnya dalam berbagai kegiatan.
n) Nimu luang tina burang;
Nimu luang tina baruang;
Nimu luang tina bincurang;
Nimu luang tina daluang;
Nimu luang tina papada urang.
Menuntut ilmu harus dilakukan sepanjang hayat, dalam
situasi apapun. Proses pendidikan ini bisa berasal dari hal-hal yang
pahit dan menyakitkan (burang), bisa dari hal yang mencelakakan
(baruang), bisa berasal dari perselisihan (bincurang), bisa berasal dari
84
buku/tulisan (daluang), dan bisa berasal dari sesama manusia (papada
urang). Tentu saja hal yang terbaik adalah yang berasal dari buku dan
sesama manusia.
q) Ka bala ka bale
Sifat dinamis sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,
jadi harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi. Orang yang dinamis akan mudah bergaul dan mendapatkan
apa yang diinginkannya. Karena orang lain akan merasa nyaman atas
keberadaannya.
r) Gurat batu
Ungkapan ini mempunyai arti yang sama dengan “Teu unggut
kalinduan teu gedag kaanginan”. Artinya tetap kukuh dalam pendirian
selama mempertahankan kebenaran. Jadi tidak tergoda oleh sesuatu
yang mencelakakan.
85
ungkapan dan peribahasa tersebut merupakan sebuah proses
pendidikan di masyarakat baik langsung maupun tidak. Ungkapan
dan peribahasa merupakan kontrol sosial sehingga masyarakat
pemakainya memiliki pertimbangan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu pekerjaan.
Bentuk ungkapan yang disampaikan secara negatif misalnya
1) Adigung adiguna, 2) Ngagulkeun payung butut; 3) Ngaliarkeun taleus
ateul; 4) Muragkeun duwegan ti luhur, 5) Gede cahak manan cohok; dan
sebagainya. Untuk menegaskan bahwa hal tersebut tidak boleh
dilakukan maka di awal ungkapan dituliskan kata /ulah/ (jangan).
86
“Cing Ciripit”, “Dog Celentong”, “Dudukuy Pelentung”, “Dukduk
Dalikduk”, “Dutdut Colotok”, “Enjot-enjotan”, “Eundeuk-eundeukan
Tuan Seh”, “Eureuleu”, “Galah Ginder”, “Gere-gere Tong”, “Gobang
Gojir’, “Gugunungan”, “Haphap Dagoan”, “Hatiku Jang Wawan”,
“Hethet Embe Janggotan”, “Hihid Aing”, “Hitut”, “Hompimpah”,
“Jaleuleu”, “Jing Duang Deong”, “Jongjang”, “Jung Jae”, “Kacang
Buncis”, “Kalong”, “Kelenang Keleneng”, “Kingkilikan”, “Kukudaan”,
“Ma Ijah”, “Mars Siliwangi”, “Maung Lapar”, “Menta Angin”,
“Meuncit Manuk”, “Meuncit Reungit”, “Milang Jawa”, “Milang
Kadaharan”, “Moncor Pager”, “Ngawuluku”, “Neng Prasa”, “Ngadu
Hayam”, “Ngadu Panggal”, “Ngambat Papatong”, “Ngokok”,
“Ningningnang-ningningnong”, “Ni Ongo”, “Oet-oetan”, “Ojok-ojok
Uang-aung”, “Ole-ole Ogong”, “Oyong-oyong Bangkong”, “Pacici-cici
Putri”, “Paciwit-ciwit Lutung”, “Pacublek-cublek Uang”, “Pakaleng-
kaleng Agung”, “Papanting”, “Paparahuan”, “Papatong Diambat”,
“Papatong Eunteup”, “Papatungan”, “Pat Lapat”, “Pom Pilep”, “Prang
Pring”, “Sakentrung Taligung”, “Salam Sereh”, “Samagaha”, “Sang
Nata”, “Sapedah Mini”, “Sasalimpetan”, “Suling Aing”, “Sur Gutuk”,
“Surser”, “Susupaan”, “Tek Kotek Kotek”, “Tilil”, “Ting Kolanding”,
“Tokecang”, “Tong Maliatong”, “Trang Trang Kolentrang”, “Tuk
Taligu”, “Tuk Tuk Brung”, “Tukang Kaleng”, “Turaes”, “Tutunjuk”,
“Ucang Angge”, “Ucing jeung Anjing”, “Uga”, “Ula Elo Heursah”, “Ula
Elo Kembang”, dan “Waru Doyong”. Sedangkan teks yang berbentuk
diaqlog di antaranya “Ambil-ambilan”, “Baju Beureum”, “Bolu
Bogem”, “Cir Kupek”, “Eundeuk-eundeukan Caladi”, “Eundeuk-
eundeukan Lagoni”, “Gobang Kalima Gobang”, “Kali-kali Jahe”,
“Nanangkaan”, “Ngala Hui”, “Oray-orayan”, “Punten Mangga”,
“Si Jendil”, “Tongtolang Nangka”, dan “Wek Wek Dor”. Berikut ini
disajikan contoh teks kakawihan.
a. Kakawihan “Tat Tit Tut”
Tat tit tut daun sampeu
saha nu hitut saha nu ngambeu.
87
Teks ini dinyanyikan sambil diikuti gerakan. Dilihat dari segi
teksnya permainan ini mungkin tidak begitu menarik, tetapi gerakannya
sungguh-sungguh menyajikan unsur pendidikan seperti kerja sama,
tanggung jawab, dan lain-lain. Sekurang-kurangnya tiga orang anak
membentuk lingkaran tetapi saling membelakangi. Masing-masing
sebelah kaki mereka dikaitkan
kepada kaki temannya, sehingga
bila satu orang terjatuh maka
yang lainpun akan terlepas.
Jadi di dalam permainan ini
keseimbangan dan kerja sama
merupakan hal yang sangat
penting.
Perepet Jengkol
88
permainan sudah tidak dimainkan lagi oleh anak-anak karena lahan
untuk bermain semakin tidak ada. Tetapi pada kelopok tertentu
dijadikan ajang rekreasi dan lomba olah raga tradisional, seperti pada
gambar berikut ini.
3. Penutup
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan dapat dilakukan
oleh semua orang. Pendidikan adalah proses yang berlangsung lama
dengan berbagai cara. Dan jenis pendidikan yang paling meresap
adalah yang dilakukan sejak masa kanak-kanak dan tanpa disengaja.
Karena yang terjadi di masa kanak-kanak seringkali mempengaruhi
karakter dan karakter anak tersebut ketika dewasa. Tetapi seiring
dengan perkembangan teknologi, beberapa jenis pendidikan semakin
berkurang. Selain dari tempat, waktu, sarana juga sangat berpengaruh.
Ketika masih menggunakan teknologi lokal unsur kreativitas seseorang
sangat terlatih. Tetapi ketika semua dikerjakan dengan teknologi barat,
maka kreativitas tersebut menjadi sangat berkurang. Pola dan proses
ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Akibat
adanya game tertentu maka anak menjadi sering mengisolasi diri,
asyik dengan dirinya sendiri, sehingga rasa sosialnya berkurang dan
kemudian rasa toleransi semakin menghilang. Lama-kelamaan yang
terbentuk adalah kebiasaan mementingkan diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
89
RENGGANIS REPERTOAR:
Pemanfaatan Kesenian Lokal Dalam
Pembelajaran bahasa dan Sastra Bali
I. Pendahuluan
90
kehidupan masyarakat Bali, sedangkan pendidikan cenderung
dipandang sebagai sesuatu yang formal, ilmiah, dan tanpa rasa, yang
seolah-olah sulit dipertemukan dengan agama dan budaya.
Kondisi tersebut cenderung menempatkan ranah pendidikan,
khususnya pendidikan formal, pada posisi yang kurang bersinergi
dengan aspek agama maupun budaya di Bali. Terkait dengan wacana
pendidikan karakter (character education) saat ini, kehadiran agama dan
budaya sangat diperlukan. Agama dan budaya merupakan sumber-
sumber kearifan lokal yang mampu memberikan kontribusi dalam
memformulasikan substansi dalam pendidikan karakter tersebut.
Upaya-upaya untuk menginternalisasi aspek agama dan budaya
dalam pendidikan tentunya sudah banyak dilakukan. Adanya hajatan
Porsenijar secara rutin setiap tahun, secara tidak langsung mampu
menginternalisasi aspek-aspek budaya maupun agama di Bali dalam
pembelajaran, seperti lomba nyurat lontar, tari maupun tembang
klasik, dan karawitan. Upaya tersebut perlu dilakukan dengan
berkesinambungan dan dikembangkan secara kreatif dan inovatif.
Salah satu upaya dalam memadukan antara aspek pendidikan,
keagamaan, maupun kebudayaan terkait dengan pembelajaran
bahasa Bali, telah dilakukan oleh mahasiswa pendidikan bahasa
Bali Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja dengan
olah kreatif dan inovatif dalam menciptakan kesenian Rengganis
Repertoar. Kesenian ini merupakan perpaduan dari aspek ilmiah
dalam pendidikan formal dengan salah satu bentuk kearifan lokal
masyarakat Bali Utara, yaitu perpaduan antara seni drama modern
dengan kesenian rengganis, sebagai salah satu kesenian khas Bali Utara.
Perpaduan ini menghasilkan suatu bentuk drama moderen berbahasa
Bali dengan iringan musik melalui alunan oral musik (paduan suara)
rengganis. Dalam hal ini, telah tercipta teater Bali moderen yang tetap
dikemas secara tradisi.
Secara tidak langsung, seni drama ini dapat memberikan ruang
pembelajaran bahasa Bali, baik bagi mahasiswa yang menggarapnya
maupun bagi audien yang menikmatinya. Upaya ini merupakan suatu
kontribusi yang positif dalam mendukung upaya pembinaan dan
pengembangan bahasa Bali. Hal ini sejalan dengan pandangan Bagus
(2001: 12) bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga
kelangsungan hidup bahasa Bali adalah menciptakan kreativitas
kehidupan moderen di Bali, seperti pada lagu pop daerah, nanyian
tradisional, maupun dagelan. Dalam tulisan ini ingin diungkapkan
aspek-aspek pembelajaran bahasa Bali melalui kesenian Rengganis
repertoar tersebut sebagai suatu inovasi dalam pemanfaat kerarifan
91
lokal dalam pendidikan formal.
II. Pembahasan
II.1. Sejarah Rengganis dan Terbentuknya Rengganis Repertoar
Rengganis merupakan suatu bentuk seni paduan suara yang
tercipta tahun 1940-an di desa Panglatan, Kabupaten Buleleng. Pencipta
kesenian ini adalah I Gusti Made Alit beserta rekannya, yaitu I Ketut
Sridana dan I Ketut Widra. Inspirasi kesenian ini muncul ketika I Gusti
Made Alit sedang beraktivitas di sawah pada malam hari. Ketika itu,
beliau menembangkan pupuh dangdang gula untuk mengisi kesepiannya.
Alam pun menyambut tembang yang dilantunkan melalui suara katak
yang bersahut-sahutan. Fenomena alam inilah yang kemudian diolah
bersama rekan beliau tersebut hingga melahirkan suatu bentuk seni
paduan suara yang kemudian dinamai rengganis. Istilah rengganis
tersebut dapat dimaknai sebagai suatu lantunan suara yang manis,
yaitu dari kata reng ‘nada,suara’ dan nis ‘manis’, serta dapat juga
dimaknai sebagai suara-suara di keheningan (alam maya), yaitu dari
kata reng ‘suara’ dan nis ‘niskala, alam maya’.
Kesenian ini mengembangkan pupuh dangdang gula melalui
penambahan alunan oral musik enam orang pemain pendukungnya.
Pemain-pemain tersebut memiliki peran sebagai seorang kejur (sebagai
gong), seorang pangugal (sebagai pemimpin lagu), dua orang pangiing
(pemberi suara 1 atau nada dasar), dan dua orang panyandet (pemberi
suara 2 atau nada perangkai). Peran tersebut lazim dijumpai dalam
karawitan, namun pada kesenian ini, peran tersebut dilakukan secara
oral dengan pola yang serupa dalam karawitan. Pelantunan syair pada
peran tersebut terdengar seperti alunan suara katak yang berdendang
di tengah sawah. Hal inilah yang ditonjolkan sebagai suatu estetika
nada suara dalam mengembangkan pupuh dangdang gula pada kesenian
rengganis tersebut.
Kesenian ini telah didokumentasikan oleh Putu Satria dalam
bentuk film dokumenter. Film tersebut menjadi inspirasi bagi pengasuh
mata kuliah drama pada jurusan pendidikan Bahasa Bali Undiksha
(I Wayan Artika) untuk menginternalisasi kesenian rengganis dalam
mendesain suatu model drama moderen berbahasa Bali. Dalam hal
ini, rengganis diposisikan sebagai (1) musik pengiring dan (2) media
penyampaian narasi-narasi dalam drama. Sebagai musik pengiring,
rengganis mengawali, mengakhiri, dan menyelingi insiden maupun
babak dalam drama yang ditampilkan. Sebagai media penyampaian
narasi, rengganis selalu menyampaikan gambaran peristiwa cerita
dalam drama melalui teks-teks yang dilantunkan.
92
Pembelajaran drama dalam perkuliahan tersebut pada
dasarnya mengenalkan drama moderen dengan pola Barat pada
mahasiswa. Terkait dengan jurusan bahasa Bali, mahasiswa pun
dituntut untuk menampilkan “corak Bali” dalam garapan drama yang
hendak dipentaskan sebagai ujian akhir semester. Kehadiran rengganis
dalam drama tersebut dapat memberikan kemasan yang “bernuansa
Bali”, apalagi cerita yang ditampilkan diadopsi dari karya-karya sastra
Bali (Geguritan Sampik dan Geguritan Jayaprana). Perpaduan antara
drama modern dengan kesenian rengganis dalam membentuk drama
moderen bahasa Bali selanjutnya disebut sebagai Rengganis Repertoar.
Pada satu sisi, hal ini dapat (1) melestarikan dan mengembangkan
rengganis, sebagai suatu warisan budaya lokal Bali Utara, dan (2) pada
sisi lain, hal ini juga dapat menciptakan suatu bentuk drama moderen
berbahasa Bali yang sekaligus sebagai model dalam pembelajaran
drama Bali moderen pada ranah pendidikan formal.
93
Bali. Penggunaan karya-karya sastra Bali sebagai sumber cerita dalam
kesenian ini dapat menjadi suatu upaya untuk lebih mengenal dan
memahami karya-karya sastra Bali, yang di dalamnya menyelipkan
nilai-nilai budaya Bali, sebagai refleksi dari kearifan lokal masyarakat
Bali. Hal ini serupa dengan munculnya fenomena wayang kulit inovatif
yang sedang populer di Bali saat ini, seperti Wayang Kulit Cenk Blonk.
Di samping dapat mengeksiskan karya-karya sastra Bali, kesenian
inovatif ini juga dapat menjadi media dalam pembelajaran karya-
karya sastra Bali, khususnya dalam memahami nilai-nilai budaya Bali
yang terdapat di dalamnya.
94
pada kedua karya sastra tersebut, mereka dapat lebih mengenal,
memahami, maupun mengapresiasi karya sastra yang telah hidup dan
berkembang dalam masyarakat Bali. Kisah yang sebelumnya sempat
didengar, dibaca, dianalisa, dan didiskusikan, selanjutnya dapat lebih
dirasakan fibrasi fiksi yang terkandung di dalamnya. sesuatu yang
sebelumnya hanya sebuah kisah, kini telah menjadi desah dalam nafas
mereka. Nilai-nilai budaya yang terselip dalam dua kisah tersebut
tentu akan semakin menancap dalam hati sanubari mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 2001. “Tantangan, Potensi, serta Peluang Bahasa Bali Di
Tengah Peradaban Globalisasi” (makalah). Dinas Kebudayaan Provinsi
Bali.
Hobsbawam, Eric. 1998. “I.Introduction : Inventing Tradition”. Dalam The
Invention of Tradition. Penyunting : E. Hobsbawam dan T. Ranger.
Cambridge : Cambridge University Press.
Soebadio, Haryati. 1986. “Kepeibadian Budaya Bangsa”. Dalam Keperibadian
Budaya Bangsa (local genius). Editor : Ayatrohadi. Jakarta : Pustaka Jaya.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsif-prinsif Dasar Sastra. Bandung : angkasa.
95
ORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS KEARIFAN LOKAL MAKASSAR:
Penguatan Peran Bahasa Ibu Menuju Good
Society
Ery Iswary
Universitas Hasanuddin, Makassar
Pendahuluan
96
masyarakat, dan terhadap lingkungan.
Di era golbalisasi ini konsep pendidikan karakter yang berbasis
bahasa ibu yang berisi kearifan lokal diharapkan dapat memberikan
kontribusi tersendiri dalam membentuk karakter seseorang sejak
dini. Bahasa ibu yang biasanya bahasa daerah adalah bahasa yang
pertama kali diajarkan ibu kepada anaknya sejak kecil, baik saat
mengajarkan berbicara maupun pada saat menceritakan dongeng
lokal. Etika berbicara yang baik biasanya telah ditanamkan seorang
ibu kepada anaknya sejak dini melalui cara bertutur, dan ajaran moral
diajarkan berdasarkan substansi norma budaya yang berlaku dalam
masyarakatnya, yang dapat dilakukan melalui dongeng atau petuah-
petuah.
RUMUSAN MASALAH
Kertas kerja ini mencoba menyorot dua hal yang menarik untuk
diperbincangkan, yaitu :
1. Bagaimana konsep kearifan lokal Makassar mengajarkan
pendidikan karakter kepada masyarakatnya melalui media
bahasa ibu?
2. Jenis-jenis pendidikan karakter apa saja yang dapat ditemukan
dalam manuskrip Makassar yang berupa “pappasang” (pesan/
wasiat)?
97
Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim
didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain, untuk (1)
mewujudkan diversitas kultural, (2) memelihara identitas etnis, (3)
memungkinkan adaptabilitas sosial, (4) secara psikologis menambah
rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistis
(Crystal, 1997). Salah satu bentuk pemertahanan bahasa ibu adalah
dengan mengeksplorasi nilai-ilai kearifan lokal yang dimiliki oleh
bahasa yang bersangkutan, baik yang masih berupa manuskrip maupun
bahan tertulis lainya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut khususnya
yang menyangkut pendidikan karakter positif disosialisaikan kepada
masyarakat agar dapat dijadikan pedoman untuk mendidik anak yang
lebih berkarakter.
Pendidikan karakter sejak dini utamanya berbasis bahasa dan
budaya lokal diharapkan dapat melahirkan generasi yang lebih beretika
dan lebih santun. Jika anggota masyarakat adalah para generasi yang
beretika, saling menghargai keberagaman dan perbedaan, maka
konflik antar etnik otomatis dapat terhindar yang pada gilirannya
dapat menciptakan good society.
Revitalisasi bahasa dan budaya lokal selalu didengungkan oleh
karena menjad identitas etnik pemiliknya. Bahasa lokal diharapkan
juga menjadi sumber kekayaan nilai kearifan lokal sehingga perlu
dipelihara. Adapun tujuan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara
daerah adalah:
a. Memantapkan keberadaan dan kesinambungan penggunaan
bahasa, sastra dan aksara daerah sehingga menjadi faktor
pendukung bagi tumbuhnya jati diri dan kebanggaan daerah;
b. Memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa, sastra, dan aksara
daerah;
c. Melindungi, mengembangkan, memberdayakan, dan
memanfaatkan bahasa, sastra dan aksara daerah yang merupakan
unsur utama kebudayaan daerah yang pada gilirannya menunjang
kebudayaan nasional;
d. Meningkatkan mutu penggunaan potensi bahasa, sastra dan aksara
daerah.
Konsep Pendidikan Karakter Berdasarkan Kearifan Lokal dalam
Pappasang Bahasa Makassar
Isi pappasang yang berbentuk manuskrip berbahasa Makassar
antara lain adalah pemberian tuntunan kepada masyarakat agar
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, rasa dan karsa; baik sebagai pemimpin maupun anggota
98
masyarakat. Untuk menjadi manusia berkarakter perlu diupayakan
untuk mempunyai sifat-sifat tertentu. Misalnya, untuk menjadi
pemimpin berkarakter berdasarkan pappasang Makassar harus
memenuhi beberapa kriteria, seperti tercantuk dalam teks berikut:
1. Nikanaya karaeng panrita
‘yang dikatakan raja harus ahli’
Persyaratan untuk jadi pemimpin (raja) haruslah ahli dalam
kepemimpinan agar nantinya dapat mengorganisir pemerintahannya
secara baik; ahli dalam manajemen maupun ahli dalam berbicara.
2. Nikanaya karaeng, ia naparek poktahannya.o mallaka ri Allah taala laherek
bateng
‘yang dikatakan raja yang dijadikan pegangan haruslah takut pada
Allah lahir batin’
Seorang pemimpin diisyaratkan agar takut kepada Allah secara
lahir batin agar dalam menjalankan roda pemerintahannya tidaklah
sewenang-wenang dan harus merasa bahwa ada yang melihat segala
macam perbuatan yang dilakukannya. Sifat ini sebagai sifat pengontrol
sang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya.
3. Baranipi ‘harus berani’
Sifat berani haruslah dimiliki seorang pemimpin agar tak gentar
menghadapi berbagai masalah dan sanggup bertindak untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa pernah merasa takut
selama berada dalam kebenaran, baik secara agama maupun adat.
4. Malambusukpi rilarrona siagang ritamalarrona
‘harus jujur baik dalam keadaan marah maupun tidak marah’
Sifat jujur dalam keadaan apapun menjadi suatu persyaratan agar
keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin harus adil, sehingga
tidak akan merugikan rakyat dan dirinya sendiri. Kondisi marah tidak
bisa mempengaruhi sikap dan tindakan seorang pemimpin dalam
pengambilan keputusan maupun dalam bersikap terhadap sesama
(rakyatnya).
5. Matattappi ribicaranna
‘dapat dipercaya perkataannya’
6. Mammempopi ripassimbangenna mappakamallak-mallaka namappakabuyu-
buyua.
‘Harus duduk di antara hal yang menakutkan dan yang
mempesonakan’
Filosofi dari pesan ini bahwa seorang pemimpin tidak boleh takut
menghadapi segala macam tantangan dalam bentuk apapun; dan juga
tidak boleh terpesona oleh hal-hal yang bisa membuat pemimpin tidak
adil dalam mengambil keputusan dan bersikap.
7. Napabutapi matanna nanapatongoli tompi tolinna
‘harus membutakan matanya dan menulikan telinganya’
Filosofinya bahwa seorang pemimpin harus dapat melihat hal-hal dan
99
masalah secara proporsional, dan tidak boleh mendengarkan kabar
angin atau kabar yang tak jelas duduk perkaranya.
8. Majaiampi panngamaseang pakmaikna nasipak malabona.
‘Mempunyai rasa belas kasihan (rasa simpati) yang besar daripada
sifat pemurah’.
Pesan ini mengingatkan para pemimpin agar tidak kikir dan
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyatnya. Pemimpinpun
diharapkan agar mempunyai rasa simpati yang tinggi terhadap nasib
rakyat yang diperintahnya.
Di samping pesan/petuah kriteria untuk memilih seorang
pemimpin, dipesankan pula jika seorang pemimpin ingin
masyarakatnya makmur dan langgeng dalam kepemimpinannya
(pemerintahannya) haruslah mengikuti wasiat seperti berikut:
1. Malambusukpi ri karaeng se’rea [jujur kepada Tuhan yang Maha Esa],
malambusukpi ri paranna karaeng [jujur kepada sesama raja],
malambusukpi ri pakrasanganna [jujur kepada negeri tetangganya],
mamlambusukpi ri tau jaina [jujur kepada rakyatnya],
malambusukpi ri kalenna siagang bone ballakna [jujur pada diri sendiri
dan seisi rumahnya],
malambusuki mange risikamma nacinika mata nalanngereka toli [jujur
kepada seluruh yang dilihat mata dan yang didengarkan telinga].
Berdasarkan pesan di atas, kejujuran merupan sifat yang sangat
penting dilakukan dalam segala aspek kehidupan jika ingin menjadi
pemimpin yang sukses dan disenangi rakyatnya.Sifat jujur harus
dimulai dari diri sendiri, sesama, lingkungan/tetangga, hingga jujur
kepada Allah.
2. Apa-apa erok nagaukang, eroko nakanang, nacinippi dallekanna, nakira-
kira bokona, appatangarakpi ripakbicaranna, nasabak sibajik-bajikna gauka
iyamintu gauk nipassamaturukiya
‘apa yang ingin dilakukan, ingin diucapkan, maka seorang pemimpin
harus melihat sebabnya dan memperhitungkan akibatnya, meminta
pendapat dari pemangku adat, sebab sebaik-baik perbuatan adalah
perbuatan yang telah disepakati bersama’.
Pesan ini mengisyaratkan agar sebelum memutuskan perkara perlu
mempertimbangkan secara matang, dan selayaknya keputusan itu
merupakan keputusan bersama bukan keputusan pribadi. Hal ini
diisyaratkan agar nantinya tidak ada pribadi yang dituding menjadi
sumber kegagalan jika ada masalah yang muncul di kemudian hari.
Jika menuai keberhasilan maka yang berhasil bukan pribadi tetapi atas
nama kebersamaan.
3. Malompo panngamaseampi siagang malompo pannulungpi ritaujaina.
‘Harus besar rasa kasihsayangnya dan jiwa penolongnya kepada
rakyatnya’
Seorang pemimpin hendaklah mempunyai rasa simpati dan empati
kepada nasib rakyat, dan perlu terus dijaga agar terhindar dari
100
kesengsaraan dan musibah.
4. Jarreki rijanji namalukmu kana-kana siagang mabajik pannggaukang
risesena adaka siagang saraka.
‘memegang teguh janjinya dan lembut perkataan serta berperilaku
baik sesuai adat dan sara’.
Manusia yang dapat dipercaya adalah manusia yang dapat dipegang
kata-katanya termasuk janjinya. Utamanya kepada para pemimpin
agar bukan hanya mengiming-imingi rakyat dengan janji tapi perlu
pembuktian. Siapa yang berperilaku baik akan menuai kebaikan
dan prinsip ini sangat penting bagi pemimpin yang ingin langgeng
kekuasaannya.
5. Baranipi rigauk kuntu tojeng.
‘berani bertindak berdasarkan kebenaran’
Pesan ini mengisyaratkan agar jangan pernah merasa takut dalam
memimpin atau bertindak selama berada dalam rel kebenaran.
Kebenaran merupakan pedoman dalam melakukan semua tindakan
dalam menjalankan kepemimpinan.
101
Pesan lainnya adalah pesan untuk hati, dan dinyatakan seperti
berikut :
Jagai bajiki pandallekanna atinnu
‘jagalah dengan baik haluan hatimu’
Napunna bajik pandallekanna atinnu
‘karena jika haluan hatimu baik’
102
Konsep ini dapat memberikan pencerahan untuk mencoba
mengarahkan pikiran agar berorientasi pada macam pikiran yang
bersifat tanah yaitu pintar dan jujur serta bersifat produktif. Seperti
diketahui bahwa tanah mempunyai sifat fertilitas dan tempat
tumbuhnya segala macam makhluk hidup.
Pesan-pesan yang terdapat dalam manuskrip berbahasa makassar perlu
diresosialisasikan kepada masyarakat yang empunya budaya, agar
masing-masing individu dapat menghayati dan menginternalisasikan
dalam kehidupannya. Selanjutnya, para orang tua dapat mewariskan
nilai-nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter
anak-anak mereka sejak dini
Jenis-jenis pesan yang bersumber dari kearifan lokal Makassar
sangatlah kaya akan nuansa pendidikan, khususnya pendidikan
manusia yang lebih berkarakter, misalnya pesan untuk menjadi
pemimpin yang baik, cara menjaga hati dan etika yang baik, kejujuran
dalam berbagai aspek kehidupan, bagaimana memfungsikan pikiran
agar senantiasa berpikir positif.
PENUTUP
Konsep pendidikan karakter dalam masyarakat Makassar
berorientasi kepada pemberian tuntunan kepada masyarakat agar
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, rasa dan karsa; baik sebagai pemimpin maupun anggota
masyarakat. Konsep karakter yang diajarkan antara lain adalah
bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan disenangi rakyatnya
sehingga dapat menciptakan stabilitas kehidupan untuk menuju
masyarakat yang lebih damai (good society). Isi pesannya menjelaskan
bahwa ada beberapa kriteria seorang pemimpin yang berhasil
antara lain seorang pemimpin harus pintar dan berani; bertaqwa
kepada Allah; memiliki keberanian untuk berbuat/bertindak untuk
kepentingan orang banyak; jujur dalam situasi apapun; harus buta
dan tuli terhadap apa yang dilihat dan didengarnya;serta rasa belas
kasih kepada rakyat. Pendidikan karakter lainnya adalah tentang
jenis-jenis pikiran yaitu pikiran bersifat angin, air, api, dan udara, yang
dimiliki oleh manusia, sehingga mempengaruhi karakternya dalam
berperilaku. Pikiran hendaklah diorientasikan kepada sifat tanah
yang bersifat stabil dan produktif, dan menjadi tempat bersemainya
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Pencitraan positif terhadap bahasa daerah melalui penguatan
peran bahasa ibu dan pemahaman tentang bahasa daerah masing-
masing akan lebih mempermudah pemahaman tentang kearifan lokal.
103
Orientasi kepada pembentukan karakter positif di kalangan generasi
muda (mahasiswa) diharapkan dapat melahirkan apresiasi terhadap
bahasa ibu,yang bermuara kepada pembentukan komunitas cinta
damai (good society) dan tetap berprinsip “Bertindak lokal berpikir
global”.
DAFTAR PUSATAKA
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Azza, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia.
Yogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Bantang, Siradjuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Refleksi.
Diknas. 28 Desember 2010. Konsep Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di
Kelas.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/.
Febriandy, Stevent. 05 /10/2009. Pendidikan Sulawesi Selatan. http://www.
depdiknas.go.id
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan
Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT. Refika Aditama.
Masnur, Muslich dan Oka .2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana (ed). 2008. Pembelajaran Bahasa dan Sasra Daerah dalam Kerangka
Budaya. Yogjakarta: Tiara Wacana.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Munthe, Bermawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yogjakarta: CTSD UIN Sunan
Kalijaga.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sarkawi. 9 Agustus 2007. Dari Huruf Lontara ke Latin. Pergeseran Pendidikan
Tradisional ke Kolonial di Makassar. http://www.depdiknas.go.id
Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo.
Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoretik dan Praktik.
Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumarsono.2008. Sosiolinguistik. Yogjakarta: SABDA.
104
NILAI KEARIFAN LOKAL UNGKAPAN
TRADISIONAL DALAM MEMBANGUN
PENDIDIKAN KARAKTER
H. Yayat Sudaryat
Univeritas Pendidikan Indonesia, Bandung
Prawacana
Pendidikan Karakter
Istilah karakter (Inggris: character) yang bermakna watak atau
sifat (Echols & Shadily, 1996:107). Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Karakter disebut juga watak dan tabiat (KBBI, 1988:389). Istilah
karakter dapat disamakan dengan nilai, budi pekerti, moral, watak,
atau akhlakul karimah.
105
Karakter bangsa dapat diwariskan dan ditumbuhkan melalui
pendidikan. Pentingnya pendidikan karakter tersurat dan tersirat
dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional (Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3), yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
106
bali geusan ngajadi ‘ingat kepada tanah kelahiran’.
107
Nilai Ilmu Pengetahuan
Isi dari pembicaraan sistem ilmu pengetahuan dalam suatu
kebudayaan adalah uraian mengenai cabang-cabang pengetahuan,
misalnya pengetahuan tentang alam, benda, tumbuh-tumbuhan,
binatang, ruang, dan waktu.
Masyarakat Sunda berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu
merupakan ciri manusia untuk membedakannya dari binatang: Sato
busana daging, jalma busana élmu ‘Ciri manusia itu berilmu tidak hanya
makan seperti binatang’. Ilmu dan harta harus dicari: Elmu tungtut
dunya siar. Oleh karena itu, harus belajar sejak dini sehingga setelah
dewasa tinggal memanfaatkannya: Guguru ti lelembut, diajar ti bubudak,
ngulik pangarti ti leuleutik, geus gedé kari makéna.
Ilmu itu merupakan pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman yang baik maupun buruk, dari buku, dan dari sesama
kita, baik secara langsung maupun tidak langsung: Meunang luang
tina burang ‘mendapat pengetahuan dari musibah’; Diajar ti papada
urang ‘Belajar dari orang lain’; dan Kabisa mah tina luang jeung daluang
‘Pengetahuan itu didapat dari pengalaman dan membaca’.
Siapa pun berharap agar dirinya pintar, jangan bodoh. Ulah bodo
katotoloyoh ‘Jangan seperti orang yang bodoh’; Teu nyaho dialip bingkeng-
bingkeng acan ‘Tidak tahu apa-apa sama sekali’; Miyuni hurang, tai ka
hulu-hulu ‘Orang yang sangat bodoh, tidak tahu apa-apa’; Kolot dina
kolotok munding ‘Sudah tua tetapi kurang berpengalaman’; apalagi
masih kecil janganlah berperilaku seperti orang dewasa: Ulah kokolot
begog ‘Anak kecil jangan berbuat seperti orang dewasa’.
Masyarakat Sunda menyadari betul bahwa di dunia ini tidak
ada orang yang bodoh. Semua orang diberi kemampuan untuk belajar
dan memperoleh ilmu pengetahuan asalkan rajin atau tidak malas.
Matih tuman batan tumbal ‘Bisa karena biasa’. Betapa pun bodohnya,
kalau mau belajar, lambat laun akan pandai. Bedog mintul mun diasah
laun-laun jadi seukeut. ‘Meskipun bodoh, kalau mau belajar pasti lama-
lama akan bisa’. Kita diharuskan rajin belajar: Cikaracak ninggang batu
laun-laun jadi legok. ‘Harus rajin, kelak kemudian akan berhasil yang
dimaksud’; Suluh besem ogé ari diasur-asur mah hurung ‘Kalau rajin,
lama-kelamaan akan bisa juga’.
Apabila merasa bodoh atau tidak tahu, kita harus rajin bertanya
kepada orang lain: Kudu bodo aléwoh ‘Sungguhpun bodoh jika suka
bertanya akan tahu juga’. Janganlah membiarkan diri terbelunggu
108
oleh ketidaktahuan karena akan merugikan diri sendiri: Kawas monyét
ngagugulung kalapa .‘Seperti orang yang memegang benda, tetapi tidak
tahu cara memanfaatkannya’.
Pengetahuan dan pendidikan itu harus diperoleh sebanyak-
banyaknya, jangan sampai kurang. Dengan memiliki pengatahuan
yang memadai, kita dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Orang
yang berpengetahuan kurang akan dianggap tidak bersekolah: Siga
teu nyakola. ‘Seperti tidak pernah belajar atau sekolah saja’ dan seperti
anak kecil Budak bau kénéh jaringao ‘Anak kecil yang masih kurang
pengalaman’.
Orang yang sudah memperoleh dan mempunyai ilmu yang
tinggi itu dianggap orang yang serba bisa: Luhur ku élmu jembar ku
pangabisa sugih ku pangarti. ‘Banyak ilmu pengetahuannya’ dan banyak
pengalaman Legok tapak genténg kadék ‘Banyak pengalamannya’. Orang
yang demikian dikatakan Geus masagi ‘Serba bisa dan serba tahu’.
Apabila sudah berilmu tinggi, janganlah sombong. Setinggi
apapun ilmu manusia akan memiliki kelemaham karena tidak akan
setinggi ilmu Tuhan. Tidak akan terserap semuanya ilmu yang diberikan
Tuhan itu. Jika air laut digunakan sebagai tintanya dan tumbuh-
tumbuhan sebagai penanya, tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu
dari Tuhan. Oleh karena itu, orang yang baik semakin tinggi ilmunya
semakin menyadari kelemahan dirinya. Kudu kawas élmu paré ‘Makin
berilmu makin bijaksana, tidak sombong’.
Orang tua sering memberikan pepatah bahwa lebih baik memiliki
ilmu daripada memiliki harta. Ilmu tidak berat membawanya: Elmu
mah teu beurat mamawana ‘Ilmu tidak akan ada habisnya jika diamalkan’.
Dengan ilmu kita akan mudah memperoleh harta, tetapi memiliki
harta suatu waktu akan habis atau musnah. Uncal teu ridueun ku tanduk
‘Ilmu tidak akan ada habisnya jika diamalkan’.
Dalam memberikan dan menerima ilmu, terdapat berbagai cara.
Orang Sunda beranggapan bahwa ilmu itu janganlah dipamerkan,
apalagi mengajari orang tua: Nyiduh ka langit ‘mengajari orang yang
lebih tua’. Karena itu, dalam beberapa hal orang Sunda suka rendah
hati sehingga dianggap kurang baik apabila memberitahu orang
yang sudah tahu: Ngebéjaan bulu tuur ‘Mengajari orang yang sudah
mengetahuinya’; Mapatahan ngojay ka meri atau Mapatahan naék ka
monyét ‘Mengajari orang yang sudah mengatahuinya’.
Dalam mencari limu, kemampuan seseorang itu berbeda-beda,
109
ada yang lamban (bodoh) dan ada yang cepat (pintar). Orang Sunda
berharap bahwa orang yang belajar itu memiliki otak yang encer: Encér
uteuk ‘mudah memahami sesuatu’. Pelajaran yang diterima itu harus
berbekas: Ulah kawas cai dina daun taleus; atau Ulah kawas cai dina daun
bolang ‘Belajar tetapi tidak berbekas’.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda ada anggapan bahwa
seorang murid tidak akan melebihi gurunya, terutama dalam hal umur
dan pengalaman. Taktak moal ngaluhuran sirah ‘pengalaman anak tidak
akan melebihi orang tuanya’. Meskipun begitu, dalam kenyataannya
seorang murid dapat lebih pintar dari gurunya. Memang seorang
murid harus terus mencari sehingga ilmu dan pengalamannya terus
bertambah. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika ada: Sirung
ngaluhuran tangkal ‘murid melebihi gurunya’ sehingga tidak menutup
kemungkinan, orang yang berusia muda, tetapi ilmunya sudah tinggi:
Leutik-leutik ngagalitik; atau Leutik-leutik gé cabé rawit ‘Meskipun masih
muda, tetapi memiliki kepintaran’.
Empat Pilar Pendidikan
Untuk mencapai catur diri insan, peserta didik harus memiliki
empat pilar pendidikan dari UNESCO, yakni (1) belajar mengetahui
(learning to know), (2) belajar mengerjakan (learning to do), (3) belajar
memiliki (learning to be), dan (4) belajar hidup bersama (learning to live
together).
Pilar pertama, belajar mengetahui (learning to know) mengkondisikan
peserta didik mendapat pengalaman belajar yang menyenangkan dan
berbudi pekerti (beretika) luhur. Perhatikan pupuh Maskumambang
yang menggambarkan ‘percakapan hati dan pikiran’: Hé barudak
kudu mikir ti leuleutik, manéh kahutangan, ku kolot ti barang lahir, nepi ka
ayeuna pisan. ‘[Hai anak-anak haruslah berpikir sejak kecil, Kamu telah
berhutang, Kepada orang tuamu sejak lahir, Sampai masa sekarang
ini.]’
Pilar kedua, belajar mengerjakan (learning to do) menunjukkan
bahwa belajar tidak hanya INGAT saja, tetapi harus MENGERTI,
surti, bahkan terampil baik verbal maupun non-verbal. Bukan belajar
tatabahasa (gramatika), tetapi langsung berkomunikasi. Anak-anak
harus “cas-cés-cos” (piawai berbahasa), serta ditugasi supaya “pok-
pék-prak” (langsung praktek berbahasa).
Pilar ketiga, belajar memiliki (learning to be) menjelaskan bahwa
110
kemampuan atau keterampilan lahir dan batin harus menjadi milik
pribadi peserta didik. Peserta didik membentuk pemahamannya
sendiri (students learn best by actively constructing their own understanding).
Dengan cara begitu, peserta didik diharapkan mampu memasuki
“Gapura Panca waluya” (gerbang lima kesempurnaan hidup), yakni
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Terbentuk insan yang
nyunda, nyantri, dan nyantika, menjadi Sumber Daya Manusia (SDM)
unggul dengan lima penanda utamanya disebut “Panca Rawayan” yang
indikatornya berupa keadaan “Cageur-Bageur-Bener-Pinter-Singer”.
Pilar keempat, belajar hidup bersama (learning to live together)
mengacu kepada belajar berkelompok. Dengan cara berkelompok,
peserta didik bekerja bersama-sama (rempug jukung sauyunan; ka cai
jadi saleuwi ka darat jadi salebak), belajar saling mengisi atau ‘silih élédan’
(sharing). Inilah kunci utama “Tri-SILAS atau silih asih—silih asah—
silih asuh). Silih asih merupakan tingkah laku yang memperlihatkan
rasa kasih sayang yang tulus. Dengan maksud mewujudkan suatu
kebahagiaan di antara mereka. Asih menuntut kejujuran, dedikasi,
kemampuan berdisiplin, kesabaran, ekspresi diri, dan ekspresi rasa
keindahan. Substansi silih asih cenderung kepada kualitas intrinsik
yang berada dalam batiniah seseorang. Bila rasa asih telah bersemayam
dalam batiniah setiap pendidik, maka hubungan sosial kelas pun akan
selalu dilandasi dengan getaran-getaran keindahan nilai manusiawi
yang selaras dan harmonis, yang berakhir pada kebahagiaan bersama
sebagaimana tertuang dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian
yang berbunyi “Ngertakeun bumi lamba” yakni mensejahterakan
alam dunia.
Silih asah adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu
pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalaman lahir batin
untuk peningkatan kualitas kemanusiaan dalam segala aspeknya, baik
pada tataran kognisi, afeksi, spiritual, maupun psikomotor. Silih asah
bertujuan mempersiapkan SDM agar mampu mengatasi tantangan
dan masalah yang dihadapinya. Hal ini sangat penting bagi seorang
pendidik agar terjalin komunikasi dan adanya pentransferan yang baik
dan lancar antara pendidik dan peserta didik. Silih asah merupakan
proses aktivitas antara dua pihak, ada yang berperan sebagai pemberi
dan penerima pengetahuan. Asah berarti memiliki visi dan misi,
pengendalian diri, alat ukur dalam mencapai tujuan, menuntut
kesabaran, memerlukan keterbukaan, memiliki sistem keteraturan,
111
kemampuan mengelola, inovatif, proaktif, pandai berkomunikasi dan
bersinergi.
Silih asuh mengandung makna membimbing, menjaga,
mengayomi, memperhatikan, mengarahkan, dan membina secara
saksama dengan harapan agar selamat lahir batin dan bahagia dunia
akhirat. Asuh adalah kesederajatan, mampu menghargai, adil, bersifat
satria, kebeningan hati, menuntut tanggung jawab dan kebersamaan.
Andaikata dicerna secara saksama, makna kearifan lokal yang
terkandung dalam silih asih, silih asah, dan silih asuh ternyata sarat
dengan nilai kemanusiaan yang universal. Sehubungan dengan proses
pendidikan, silih asih dimaknai sebagai mengasihi dengan segenap
kebeningan hati, silih asah bermakna saling mencerdaskan kualitas
kemanusiaan, sedangkan silih asuh adalah kehidupan yang penuh
harmoni. Yargon silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan sistem
berinteraksi dalam masyarakat yang mengandung kebersamaan dalam
kemitraan dan keterlibatan yang bertanggung jawab. Sikap moral ini
harus dimiliki oleh seorang pendidik yang ideal. Seorang pendidik
dikatakan baik dan ideal jika telah mampu mensejahterakan peserta
didiknya melalui berbagai metode pendidikannya. Akhirnya, tercipta
suasana masyarakat tata tengtrem kerta raharja ‘damai dan sejahtera’
(Suryalaga, 2003:87-106).
Berkaitan dengan karakter silih asih, silih asah, dan silih asuh
tersebut terdapat pupuh Pucung yang berbunyi: Utamana jalma kudu
réa batur, Keur silih tulungan, Silih titipkeun nya diri, Budi akal ngan ukur
ti pada jalma. ‘[Yang utama orang harus banyak kawan, U n t u k
tolong-menolong, Saling meninitipkan diri, Budi akal hanya berasal
dari sesama orang]’.
Berdasarkan empat pilar pendidikan tersebut, peserta didik
dikondisikan agar menjadi “teuneung jeung ludeung” (berani berbuat
berani bertanggung jawab) dalam mengarungi kehidupan. Sikapnya
berubah dari “sawios abdi mah di pengker” (biarlah saya ini di belakang),
menjadi berani di barisan terdepan. Sikap acuh tak acuh terhadap
belajar disebabkan “teu gaduh buku margi teu gaduh artos” (tidak punya
buku karena tidak punya uang), harus diubah menjadi “najan teu
gaduh artos, buku tetep ngagaleuh” (meskipun tak punya uang, buku
tetap terbeli).
Hasilnya akan memberi warna kepada seluruh aspek kehidupan
masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berakhlakulkarimah.
112
Masyarakat Indonesia yang berkualitas ditandai dengan enam aspek
karakter atau Moral Manusia sebagai berikut.
(1) MMT, yakni Moral Manusia terhadap Tuhan, yang ditandai
dengan kualitas iman dan taqwa (IMTAQ).
(2) MMP, yakni Moral Manusia terhadap Pribadi, yang ditandai
dengan kualitas sumber daya manusia (SDM).
(3) MMM, yakni Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, yang
ditandai dengan kesadaran akan adanya masyarakat yang
multi-religi, muliti-etnis dan multikultur.
(4) MMA, yakni Moral Manusia terhadap Alam, yang ditandai
dengan kesadaran ekologi/ekosistem dan geopolitis/
kewilayahan.
(5) MMW, yakni Moral Manusia terhadap Waktu, yang ditandai
dengan kesadaran akan adanya waktu linear, waktu cyclis,
dan waktu baqa.
(6) MMLB, yakni Moral Manusia dalam mencapai kesejahteraan
Lahir Batin, yang ditandai dengan kesadaran Etika dan
Estetika.
Hubungan empat pilar pendidikan dari Unesco dengan
pendidikan karakter Sunda terlihat dari empat hal, yakni:
(1) learning to know berkaitan dengan karakter pinter,
(2) learning to do berkaitan dengan karakter singer,
(3) learning to be berkaitan dengan karakter pangger, dan
(4) learning to live together berkaitan dengan karakter cageur, bageur, dan
bener.
Hasil pendidikan tersebut dapat dicapai apabila dilakukan
melalui proses pembelajaran yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah,
jeung silih asuh.
113
psikomotor berkaitan dengan karakter singer (terampil); dan (3) ranah
afektif berkaitan dengan karakter cageur, bageur, bener, tur pangger
(sehat, baik hati, benar, dan kukuh).
Ketiga ranah kompetensi pendidikan (kognitif, afektif, dan
psikomotor) yang menghasilkan jelema masagi, yakni jelema anu cageur,
bageur, bener, pinter, tur singer tersebut, harus dilakukan melalui proses
pembelajaran yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Orang Sunda tidak mengharapkan pendidikan itu menghasilkan
peserta didik yang pandai tetapi berbuat seperti orang bodoh. Ulah
pinter aling-aling bodo ‘Orang pandai berbuat seperti orang bodoh’,
tetapi menghasilkan jelema masagi ‘manusia paripurna’.
Pascawacana
Ungkapan tradisional mengandung nilai kearifan lokal seperti
nilai karakter bangsa. Nilai kearifan lokal harus dijaga, diwariskan,
dan dilestarikan. Upaya mewariskan kearifan lokal dapat dilakukan
melalui proses pendidikan. Melalui proses pendidikan diharapkan
tercipta jelema masagi ‘manusia paripurna’ yang cageur, bageur, bener,
pinter, singer, tur panger ‘sehat, baik hati, benar, pintar, terampil, dan
kukuh’. Upaya itu dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang
tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, dan silih asuh. Antara pendidik dan
peserta didik terjadi hubungan yang harmonis (sauyunan), sehingga
berlangsung pendidikan yang menyenangkan: ka cai jadi saleuwi ka darat
jadi salebak atau sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan
‘seia sekata dalam ucapan dan tindakan’.
DAFTAR PUSTAKA
114
LAMPIRAN
Jelema masagi
Learning to do Singer
Ranah Kompetensi
Jelema masagi
Kognitif Pinter
115
GEGURITAN MANIGUNA :
Transformasi Feminisme dalam Membangun
Pendidikan Karakter
Pendahuluan
116
seni pertunjukan.
Adapun salah satu karya sastra geguritan yang sangat menarik
untuk di kaji dari nilai-nilai feminisme adalah “Geguritan Maniguna”.
Geguritan Maniguna merupakan sebuah karya sastra Bali tradisional
yang dibangun oleh pupuh-pupuh dalam bentuk variatif. Geguritan
Maniguna memiliki keunikan tersendiri dibandingkan geguritan-
geguritan yang lain yakni terletidak pada struktur ceritanya, dimana
tokoh wanita yang bernama Diah Arini sangat berperan dalam cerita
ini, bukan Maniguna yang menjadi pusat cerita. Meskipun pada judul
itu terlihat nama Maniguna, namun pada ceritanya justru Diah Arini
yang memegang peranan penting dalam cerita ini. Dimana cerita
geguritan ini mengisahkan tentang emansipasi wanita, sosok wanita
lebih ditonjolkan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam
geguritan ini.
Adapun nilai-nilai feminisme yang terdapat pada geguritan
Maniguna adalah wanita sebagai yaitu wanita sebagai pujaan, dimana
wanita sering di puja-puja dan didambakan oleh seorang pria. Wanita
sebagai istri yang setia, dimana kesetiaan wanita terhadap suami sudah
menjadi suatu ajaran, sudah merupakan etos yang ditanamkan pada
wanita melalui pendidikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Bali. Selain itu aspek lain yang tercermin dalam geguritan
ini adalah wanita sebagai perebutan kaum pria, dalam konteks seorang
wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh laki-laki
lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Selanjutnya
aspek wanita sebagai penyelamat atau pelindung, dimana wanita
sering dilukiskan sebagai sosok yang anggun dan lemah lembut,
namun dibalik keanggunan dan wanita memiliki jiwa pemberani
yang dapat menyelamatkan dan melindungi dirinya sendiri, keluarga
maupun orang lain. Adapun nilai-nilai tersebut masih tercermin pada
era sekarang ini.
Dalam tulisan ini akan dicoba menyajikan nilai-nilai feminisme
yang terdapat pada geguritan Maniguna serta transformasi nilai-
nilai feminisme dalam membangun pendidikan karakter siswa
atau mahasiswa pada jaman sekarang ini. Sajian ini tentunya dapat
dijadikan pedoman pada masyarakat, para siswa atau mahasiswa pada
khususnya, agar senantiasa mampu menjadi panutan, bertingkah laku
sesuai dengan norma agama.
Pembahasan
Dalam uraian ini akan dideskripsikaan tentang nilai-nilai
feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna yakni (1)
117
wanita sebagai pujaan, (2) wanita sebagai istri yang setia, (3) wanita
sebagai perebutan kaum pria dan (4) wanita sebagai penyelamat atau
pelindung. Selain itu juga akan dibahas transformasi nilai feminisme
dalam membangun pendidikan karakter, di mana nilai-nilai feminisme
yang terdapat dalam geguritan Maniguna dikaitkan dengan perilaku
siswa atau mahasiswa pada jaman sekarang.
118
tetap setia terhadap suaminya, dan pada waktu suaminya (Maniguna)
meninggal karena dibunuh oleh Raja Nandana, Diah Arini tetap setia
menemani dan mengobati suaminya. Sikap Diah Arini mencerminkan
sosok wanita yang memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap suaminya,
walaupun suaminya telah meninggal tetapi dia tetap ingin bersama.
119
rasa cinta terhadap suaminya, Diah Arini berusaha menyelamatkan
hidupnya dari paksaan sang raja yang ingin memperistrinya. Diah
Arini memanfaatkan ragawi yang dimilikinya, dengan kecerdasan
dan kecantikan yang dimilikinya, Diah Arini akhirnya berhasil
membunuh Raja Nandana. Serta dengan tipu dayanya Diah Arini
berhasil mencari tahu kelemahan dari sang raja, dan akhirnya Diah
Arini berhasil membunuh Raja Canda. Selain dapat menyelamatkan
dirinya dari para raja yang hendak memperistrinya, Diah Arini juga
dapat menyelamatkan suaminya. Dengan berbekal petunjuk dari
Tuhan, Diah Arini dapat menghidupkan kembali suaminya yang telah
dibunuh oleh Raja Nandana dan Raja Canda.
120
atau mahasiswa seperti itu, alangkah baiknya kecantikan yang di
miliki tidak di salah gunakan dan harus di imbangi dengan kecantikan
dari dalam yaitu memiliki moral yang bagus. Namun tidak sedikit dari
siswa atau mahasiswa yang memanfaatkan kelebihan ragawi yang di
miliki untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat seperti ikut dalam
pemilihan putra-putri kampus, putri Indonesia, ataupun kegiatan
lainnya.
Wanita sebagai istri yang setia, dimana setiap wanita harus
mempunyai pemikiran untuk setia terhadap pasangannya. Dalam
geguritan Maniguna di ceritakan, Diah Arini adalah seorang wanita
yang sangat menjungjung kesetiaan terhadap pasangannya. Meskipun
banyak pria yang ingin menjadikannya istri, namun Diah Arini tetap
memilih Maniguna sebagai pasangan hidupnya. Seberapa besar
cobaan yang datang kepada mereka, dengan ketulusan hatinya
Diah Arini tetap mendampingi suaminya, ia tidak pernah mengeluh
terhadap cobaan yang menimpa rumah tangganya. Jika di lihat
perilaku siswa atau mahasiswa sekarang, tidak sedikit dari mereka
yang mulai mengindahkan kesetiaan. Hal ini dapat di lihat dari siswa
atau mahaasiswa yang memiliki pasangan lebih dari satu. Tidak
jarang dari mereka justru merasa bangga karena memiliki banyak
pasangan, karena merasa paling cantik atau paling terkenal di sekolah
atau kampus bahkan di masyarakat. Memiliki banyak pasangan
bagi sebagian siswa atau mahasiswa menjadi prestise tersendiri bagi
mereka. Ada beberapa Terlebih lagi untuk pasangan remaja yang
terhalang oleh jarak yang memisahkan mereka, kesetiaan itu hanya
sebatas wacana. Mereka akan melakukan perselingkuhan dengan
alasan yang tidak masuk di akal. Kecanggihan teknologi seakan tidak
ada artinya lagi, padahal dengan teknologi canggih seperti sekarang,
jarak seakan tidak menjadi penghalang pada sebuah hubungan. Gonta-
ganti pasangan apalagi mengarah pada pergaulan bebas, tentu sangat
berbahaya. Tidak sedikit dari siswa atau mahasiswa yang terpaksa
berhenti sekolah ataupun kuliah karena hamil. Ada juga beberapa
kasus di mana para siswa atau mahasiswa melahirkan anak tanpa di
akui kehamilannya oleh seorang pria dengan berbagai alasan. Kalau
sudah seperti ini tentu wanita yang menjadi korban, oleh sebab itu
sebagai seorang wanita hendaknya pintar-pintarlah membawa diri agar
jangan salah pergaulan. Kesetiaan harus mulai di tanamkan sejak dini
pada siswa atau mahasiswa, karena akan berdampak pada kehidupan
rumah tangga mereka kelak. Namun di balik permasalahan ini, tentu
masih ada perilaku siswa atau mahasiswa yang masih menjungjung
nilai kesetiaan, tidak sedikit dari mereka yang menjalin hubungan
121
hanya pada satu orang saja selama hidupnya.
Wanita sebagai perebutan kaum pria, dalam konteks tersebut
wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang sering diperebutkan
oleh kaum pria, yang dimaksudkan diperebutkan di sini adalah
seorang wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh
laki-laki lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Pada
geguritan Maniguna, Diah Arini menjadi tokoh yang diperebutkan
oleh para raja. Meskipun status Diah Arini sudah jelas menjadi istri
dari Maniguna, namun karena kecantikannya yang sangat mempesona,
Raja Nandana jatuh hati kepada Diah Arini. Sang raja sangat marah
ketika mengetahui Maniguna adalah suami dari Diah Arini, dan sang
raja pun memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Maniguna
serta membawa kabur Diah Arini ke istana untuk dijadikan istri. Diah
Arini kembali menjadi korban perebutan kaum pria, diawali dengan
Raja Canda yang tertarik melihat kecantikan Diah Arini. Sang raja
berusaha memisahkan Diah Arini dengan suaminya yaitu dengan
cara membuang Maniguna ke tengah lautan, setelah itu sang raja lalu
membawa Diah Arini ke istana untuk dijadikan istrinya. Jika kita melihat
pada masa sekarang, para siswa atau mahasiswa banyak yang terlibat
perkelahian bahkan tidak sedikit dari mereka yang terlibat perkelahian
yang mengarah pada tawuran antar geng, antar desa, antar banjar (di
Bali), dimana akar permasalahannya adalah memperebutkan wanita.
Kehadiran wanita bisa menjadi penyejuk dalam kehidupan seseorang
dan kehadirannya dapat pula menjadi masalah bagi sebagian orang.
Sebagai generasi muda yang hidup di jaman globalisasi, hendaknya
para siswa atau mahasiswa mampu menjaga perilaku agar tidak
melanggar dari norma agama. Agar kehadiran seorang wanita tidak
danggap sebagai pengacau ataupun penghancur dalam kehidupan
kaum pria. Kekuasaan dan harta menjadi modal yang kuat untuk
melakukan kekerasan terhadap wanita. tidak sedikit dari para siswa
dan mahasiswa menjadi korban kekerasan seorang pria. Para pria
tidak segan-segan melukai pasangannya hanya karena masalah kecil,
banyak juga dari kaum wanita yang enggan melaporkan perbuatan
pasangannya karena alasan cinta. Inilah yang menjadi boomerang,
mengapa kaum pria tidak sedikit yang lolos dari jeratan hokum akibat
penganiyayaan maupun kekerasan terhadap wanita. Di harapkan
para siswa atau mahasiswa sekarang bisa membedakan antara
perasaan dengan logika, mereka dapat menegakkan keadilan dan
mampu mengambil sikap tegas jika mendapatkan perlakuan kasar
dari pasangannya.
Wanita sebagai penyelamat atau pelindung, adapun pengertian
122
sebagai penyelamat atau pelindung adalah di mana seorang wanita
mampu menjadi penyelamat pasangannya dari perbuatan yang
melanggar norma agama, sebagai pelindung keluarganya. Pada
geguritan Maniguna, diceritidakan bahwa Diah Arini mampu
menjadi penyelamat maupun pelindung suaminya dari perilaku
kejam sang raja. Berbekal kecerdasan dan kecantikan yang di miliki
oleh Diah Arini, ia berhasil memperdayai raja hingga raja-raja tersebut
meninggal. Selain itu diceritidakan juga bagaimana perjuangan Diah
Arini untuk menyelamatkan suaminya dari kematian, berbekal tekad
yang kuat dan rasa cinta yang tulus terhadap suami, Diah Arini
berhasil menyelamatkan suaminya dari kematian. Jika kita melihat
cerminan nilai tersebut pada jaman sekarang, tentu ada beberapa yang
sudah mengalami pergeseran. Tidak sedikit dari perilaku siswa atau
mahasiswa yang justru menjerumuskan pasangannya ke hal-hal yang
bersifat negative seperti mengkonsumsi narkoba, mabuk-mabukan,
serta pergi ke tempat-tempat hiburan malam sehingga pelajaran atau
kuliah mereka terlantar. Mereka seakan tidak mementingkan masa
depan, karena prinsip hidup mereka, hidup cuma sekali jadi harus di
nikmati dan di pakai untuk bersenang-senang. Yang lebih parah jika
perilaku mereka tidak di awasi oleh orang tua, karena alasan sibuk
berkarir, para orang tua sering memanjakan anak dengan materi. Hal
inilah yang menjadi permasalahan mengapa kenakalan remaja sering
terjadi, karena lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak
mereka. Terlepas dari kasus tersebut, tidak sedikit dari para siswa atau
pun mahasiswa yang justru bisa menjadi penyelamat atau pelindung
bagi keluarga dan pasangannya. Tidak sedikit dari mereka yang
berusaha membantu menjadi tulang punggung di keluarga. Bekerja
keras demi dapat menyelesaikan pendidikan, bekerja keras demi
menolong orang tua yang sakit dan lainnya. Bagi siswa atau mahasiswa
yang mempunyai pasangan pecandu narkoba, pemabuk, perokok,
penjudi, mereka mampu berperan sebagai penyelamat dengan
menyadarkan pasangan mereka untuk dapat terlepas dari obat-obatan
terlarang, minum-minuman keras, rokok dan judi. Tidak sedikit dari
mereka yang berhasil mengarahkan pasangannya menuju jalan yang
benar, memikirkan masa depan dan mewujudkan cita-cita mereka.
Dalam hal pendidikan, tidak sedikit dari para siswa atau mahasiswa
yang membantu pasangannya dalam hal pendidikan. Membantu
pasangannya dari segi moril, membantu mengajarkan materi pelajaran
atau perkuliahan yang tidak di mengerti oleh pasangannya, agar
mendapatkan nilai ujian yang memuaskan. Keberhasilan seorang
siswa atau mahasiswa mengarahkan pasangannya untuk lulus dalam
123
ujian nasional, menyelesaikan skripsi atau tesis tepat waktu. Peran
wanita sangat besar dalam hal ini, ada pepatah yang menyebutkan
suksesnya seorang pria karena wanita, hancurnya seorang pria pun
karena seorang wanita.
Penutup
Berdasarkan apa yang sudah di paparkan di atas, banyak sekali
nilai-nilai feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna
dapat di jadikan dasar dalam bersikap serta bertingkah laku sesuai
dengan ajaran agama. Nilai-nilai feminisme tersebut antara lain,
wanita sebagai pujaan, wanita sebagai istri yang setia, wanita sebagai
perebutan kaum pria dan wanita sebagai penyelamat atau pelindung.
Seperti halnya wanita sebagai pujaan, di mana seorang wanita mampu
memanfaatkan kecantikan yang mereka miliki untuk hal-hal bersifat
positif. Wanita sebagai istri yang setia, di mana seorang wanita harus
mampu menjungjung tinggi kesetiaan terhadap pasangannya, itu
menjadi modal yang kuat dalam membangun kehidupan rumah
tangga yang bahagia dan harmonis. Wanita sebagai perebutan kaum
pria, di mana dengan kelebihan yang di miliki oleh seorang wanita
mampu menyelamatkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat.
Wanita sebagai penyelamat atau pelindung, di mana kehadiran
seorang wanita mampu melindungi keluarga, teman, pasangan serta
orang-orang di sekitarnya.
Transformasi nilai feminisme dalam membangun pendidikan
karakter, dikaitkan dengan perilaku siswa atau mahasiswa pada
jaman sekarang. Tak sedikit dari mereka yang mulai berjalan di
jalan yang salah, namun tak sedikit juga dari mereka yang masih
mampu memepertahankan nilai-nilai feminisme tersebut. Harapan ke
depannya, melalui nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya
sastra, para siswa atau mahasiswa mampu mengamalkan nilai-nilai
yang bermanfaat dan dijadikan dasar untuk berperilaku sesuai dengan
ajaran agama. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya sastra
tersebut dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
dapat mencetak sumber daya manusia yang memiliki moral yang
bagus, memiliki sopan santun dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
124
__________.1985. “Keadaan dan Jenis-jenis Naskah Bali”. Yogyakarta:
Makalah Untuk Seminar Bahasa, Sastra, Etika, dan Seni Jawa, Bali dan
Sunda. Proyek Javanologi departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Kebudayaan.
Bandel, Katrin. 2009. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
INSISTPress.
Putra, I Nyoman Darma. 2007. Wanita Bali Tempo Doeloe. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia Dalam Bahasa
dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa
Bandung
125
INFERENSI UNGKAPAN TRADISIONAL
JAWA BENTUK PENJAGA KARAKTER
BANGSA
126
menanam padi secara tradisional yang masih dilangsungkan sampai
saat ini, mengolah tanah pekarangan sesuai dengan peruntukan dan
fungsinya yang kemudian menjadi tradisi, dan seterusnya.
Kearifan lokal mempunyai fungsi yang sangat besar dalam rangka
pembentukan dan penjagaan karakter bangsa. Hal ini disebabkan
kearifan lokal sesungguhnya merupakan penjaga harmoni jagad gedhe
dan jagad cilik. Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih hidup
adalah ungkapan tradisional Jawa. Adapun pengertian ungkapan
tradisiomal menurut Alan Dundes (dalam Dananjaya, 1982:28) adalah
peribahasa dalam bahasa Jawa disebut paribasan yaitu kalimat atau
kelompok kata yang tetap susunannya dan mengiaskan suatu maksud
tertentu. Padmosoekotjo (1960:13) membedakan paribasan dengan
istilah bebasan, paribasan, dan saloka.
Larvandes (dalam Dananjaya, 1982:281), menyebut peribahasa
adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang,
sedangkan Berhand Russer (dalam Dananjaya, 1982:28) menuliskan
bahwa paribasan adalah kebijaksanaan orang banyak yang merupakan
kecerdasan seseorang. Sumarti Suprayitno (1986:449) menyebut
bahwa paribasan adalah ungkapan tradisional yang mempunyai
makna apa adanya tidak bermakna kias. Bebasan adalah ungkapan
yang bermakna kias. Saloka adalah ungkapan yang mempunyai arti
berbalikan. Selanjutnya dalam percakapan sehari-hari ketiga jenis
tersebut disebut paribasan.
Ungkapan tradisional adalah sarana berbahasa untuk
mengungkapkan maksud yang telah dibalut dengan etika dan estetika
sehingga makna yang dihasilkan adalah makna yang halus, bila itu
digunakan untuk menasehati atau menegur maka hal itu tidak kentara
sebagai sebuah teguran. Ungkapan tradisional menunjukkan etika
berbahasa masyarakat Jawa. (Hendrokumoro, 2010:3), menyebutkan
ajaran etika sama dengan pepali, unggah-ungguh, subasita, tata krama,
tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, paranatan, pituduh,
pitutur, wejangan, wulangan, warsita, wewarah, duga prayoga, wewalir, dan
pitungkas. Dalam masyarakat Jawa terdapat pandangan bahwa orang
Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan
papan, dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar
alusing rasa, dan juga genturing tapa (Hendrokumoro, 2010:3).
B. Pendidikan Karakter
Pada masa lalu dikenal istilah pendidikan budi pekerti. Masyarakat
Jawa sangat menjunjung tinggi pengolahan budi pekerti, terbukti
munculnya genre piwulang dan niti dalam karya sastra Jawa. Karya
127
sastra yang berjenis niti dan piwulang ini dalam karya sastra Jawa ditulis
dengan tulisan tangan yang kemudian sering dikenal sebagai naskah
dalam istilah filologi. Adapun piwulang yang banyak dituliskan adalah
piwulang kepada manusia, agar supaya selamat di dunia dan akherat.
Demikian pula naskah Jawa membicarakan piwulang yang mengandung
pesan moral agar berterima di lingkungan sosial, menjadi ayah atau
suami yang baik, menjadi istri atau ibu yang baik, menjadi abdi yang
baik, bagaimana mendidik anak dan piwulang tentang sangkan paraning
dumadi. Bila dicermati pendidikan budi pekerti ini adalah sama dengan
pendidikan karakter.Para pakar yang kemudian mengolah peristilahan
tersebut sehingga dewasa ini isu tentang pendidikan karakter menjadi
topik hangat di berbagai lembaga pendidikan. Adapun pengertian
pendidikan karakter dijabarkan sebagai berikut.
Menurut Ditjen Dikdasmen (2000:5) dan Lebranc (2009:13)
menyebut bahwa pendidikan karakter sama dengan pendidikan afektif,
karena esensi pendidikan budi pekerti identik dengan pendidikan
karakter. Lebih lanjut Hill (dalam Suwarna, 2011:7), menyebut
bahwa pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan
perilaku. Karakter yang baik merupakan motivasi untuk berbuat baik,
setuju terhadap perilaku berbudi luhur dalam setiap situasi.
Menurut Leblanc (dalam Suwarna, 2011:8), pendidikan karakter
meliputi aspek pendidikan: 1) respect (sikap hormat); 2) honesty
(ketulusan); 3) self control (disiplin); 4) integrity (integritas, jujur dan
dapat dipercaya); 5) perseverance (kegigihan); 6) empathy (empati, dapat
merasakan perasaan orang lain); 7) forgiveness (pemaaf); 8) tolerance
(toleransi); 9) politeness (kesantunan); 10) sportiveness (sportif, mentaati
aturan); dan 11) humility (rendah hati).
Lebih lanjut Leblanc (dalam Suwarna, 2011:8) menyebut The Six
Pillars of Character yakni 1) trust wordhiness (keterpercayaan/ dapat
dipercaya), yang merupakan bentuk karakter yang membuat seseorang
menjadi berintegritas, jujur, dan loyal. 2) fairness (kejujuran), bentuk
karakter yang membuat seseorang memiliki sikap terbuka serta tidak
suka memanfaatkan orang lain. 3) caring (kepedulian), bentuk karakter
yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian pada
orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar. 4) respect
(menghormati), bentuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai dan menghormati orang lain. 5) citizenskip (sadar hukum),
bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan
serta peduli terhadap lingkungan alam. 6) responsibility (bertanggung
jawab), bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab,
disiplin dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
128
Tanggung jawab mengandung dan mencakup muatan kelima pilar
sebelumnya.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter berujung pada terbentuknya manusia
yang mempunyai karakter yang dapat dipercaya, jujur, peduli
terhadap sesama dan lingkungan, mempunyai sikap menghormati
dan menghargai orang lain, sadar dan taat pada peraturan, dan
bertanggung jawab.
129
menepati janji yang telah terucap dan menjalankan
komitmennya.Oleh karena itu para pemimpin hendaknya
mempunyai sikap seperti itu, jangan hanya menjadi Lanang
kemangi, ibarat laki-laki yang penampilannya bagus tapi
tindakan dan komitmen tidak terjaga karena tidak punya
kemampuan.
c. Aja nggege mangsa
Jangan mempercepat waktu. Ungkapan tersebut
mengandung makna bahwa manusia harus menjaga tertib
religi, sosial, dan kosmos agar segalanya berjalan melalui
proses. Dewasa ini, manusia ingin segala sesuatu berjalan
cepat dan instan. Untuk menggapai jalan kesuksesan
banyak yang melalui jalan pintas. Tentu untuk itu, maka
kejujuran diabaikan. Banyak orang dikorbankan untuk
tercapainya kepentingannya. Maka ungkapan aja nggege
mangsa merupakan pernyataan dari masyarakat agar
dalam hidup tetap memperhatikan proses.
130
terhadap kebutuhan, persoalan, dan kesiapan rakyat.
Tentu hal ini berdampak untuk meminimalisir kerusakan
lingkungan.
c. Dinunuti wiku manik retno adi
Yang artinya orang pandai yang tidak mau mengajari
orang lain. Adalah bentuk ungkapan yang bermakna kias
berbalikan. Bahwa orang pandai harus peduli dan mau
memberikan ilmunya pada orang lain.
d. Aja mung milik gebyar
Artinya jangan hanya menginginkan segala sesuatu yang
serba kemilau. Ungkapan ini mengandung makna bahwa
orang harus peduli pada orang lain, lingkungan yang
tidak hanya bernuansa material dan kekayaan, namun
harus peduli pula pada orang kecil, dan juga situasi yang
lebih sederhana karena belum tentu segala sesuatu yang
bernuansa megah, mewah, terhormat membuat nyaman
dan tenteram hidupnya.
131
sehingga muncul undha usuk basa dalam bahasa Jawa.
4. Sadar Hukum
a) Negara mawa tata, desa mawa cara
Ungkapan tradisional tersebut berarti negara mempunyai
peraturan adat istiadat dan kebiasaan masing masing
yang mungkin sudah menjadi tradisi, Inferensi makna
tersebut adalah bahwa setiap anggota masyarakat harus
memahami, menghormati adat istiadat masing masing
agar terjadi keharmonisan, tidak saling bermusuhan
maupun bertengkar. Adanya kefahaman perbedaan
didasari oleh adanya kesadaran hukum yang tinggi oleh
anggota masyarakat untuk menghormati perbedaan. Hal
ini sesungguhnya menjadi konsep multikultur yang cocok
dengan keadaan negara Indonesia.
b) Aja Nggege Mangsa
Ungkapan tersebut berarti jangan mempercepat waktu,
memotong waktu sementara proses belum selesai.
Inferensi makna selanjutnya adalah manusia Jawa
sesungguhnya menjunjung tinggi tertib kosmos dan
tertib religi. Dalam menjalani kehidupan manusia seperti
melakukan perjalanan atau sulu sehingga memnbutuhkan
waktu. Kecenderungan masyarakat sekarang banyak
yang melakukan jalan pintas atau bersifat instan untuk
mencapai sesuatu, oleh karena itu banyak dilakukan
pelanggaran hukum.
c) Srengenge pine , banyu kinum, bumi pinendhem
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai arti lugas
matahari dijemur, air direndam bumi dikubur. Semula
ungkapan tersebut untuk lingkup pengadilan. Matahari
diibaratkan sebagai raja, Banyu diibaratkan sebagai patih
dan bumi diibaratkan sebgai jaksa. Masing masing unsur
bekerja dengan kesadaran hukum yang tinggi sehingga
pada saat mengadili suatu perkara maka pemeriksaannya
harus jelas seperti terangnya matahari, putusannya adil
seperti jernihnya air dalam gelas. Semua itu dilalui setelah
melalui penyelidikan yang teliti dan seksama.
5. Bertanggung Jawab
Ungkapan ungkapan yang menyatakan tentang tanggung jawab
adalah:
132
a) Anak polah bapa kepradah
Ungkapan tersebut mempunyai makna bahwa perilaku
anak menjadi tanggung jawab orang tua. Bila anak
mempunyai kelakukan yang kurang baik maka orang tua
akan merasa bahwa dididikannya tidak baik. Orang tua
bertanggung jawab terhadap perilaku anaknya.
b) Mikul dhuwur mendhem jero
Ungkapan tersebut berarti orang harus bisa menghormati
dan mengenang jasa jasa para pemimpin terdahulu,
demikian pula meneruskan yang baik dan mengubur
yang buruk sebagai bagian tanggung jawab sebagai
penerusnya.
Semua itu tidak terlepas dari pemikiran bahwa pemimpin
tersebut adalah juga manusia yang tidak bisa lepas dari
kealpaan. Apa yang dianggap tidak benar harus dilihat
pada konteksnya, sehingga penggantinya bisa meneruskan
langkah dengan baik, bertanggung jawab sebagai generasi
penerus yang mempunyai kearifan.
4. Kesimpulan
Ungkapan-ungkapan tradisional yang merupakan mutiara
kata dari nenek moyang mengandung pesan moral yang dapat
berlaku sepanjang jaman. Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut
dibuat sebagai petuah, nasehat yang disampaikan secara tersirat
dengan memperhatikan estetika bahasa yang tinggi. Seiring dengan
tergerusnya akar budaya maka perlu adanya penguatan karakter
bangsa. Lebih lanjut karakter bangsa perlu dijaga agar tetap terjaga.
Karakter-karakter yang tampak kental pada ungkapan tradisional
Jawa adalah pembentukan karakter jujur, menjaga integritas, loyal
sehingga dapat dipercaya, mempunyai kepedulian tinggi terhadap
sesama, dan lingkungan, menghormati orang lain, sadar hukum dan
bertanggung jawab.
Untuk memahami ungkapan tradisional tersebut perlu
dilakukan inferensi supaya pengembangan makna sesuai dengan
konteks dapat maksimal, lebih lanjut masyarakat dapat menerima dan
mengaplikasikan dalam tutur dan tindak untuk pembelajaran karakter
baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
133
DAFTAR PUSTAKA
134
REAKTUALISASI TEMBANG DOLANAN
JAWA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN
KARAKTER BANGSA (KAJIAN SEMIOTIK)
Farida Nugrahani
Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun
Nusantara Sukoharjo
I. Pendahuluan
135
ketercerabutan budaya sehingga menciptakan budayanya sendiri.
Hal itu terjadi karena selain tidak lagi mengenal budaya asli nenek
moyangnya, juga belum mampu ’memilih dan memilah’, mana budaya
yang baik sesuai karakter bangsanya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral (akhlak)
yang digariskan dalam ajaran agama dewasa ini mulai diabaikan atau
(sengaja) dikaburkan. Nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti luhur
yang diwariskan nenek moyang juga semakin memudar, bahkan
menjadi asing di negeri sendiri. Sementara itu, para pemimpin bangsa
yang seharusnya berperan sebagai contoh ‘panutan’ juga tidak lagi
mampu menempatkan dirinya dengan benar (Nugrahani, 2011:2). Bila
demikian keadaannya, kemana karakter bangsa ini akan berpijak?
Bagaimana pembentukan karakter generasi muda dapat dilakukan?
Pertanyaan besar itulah yang perlu mendapatkan jawabannya, bila
bangsa ini ingin tetap eksis sebagai bangsa yang memiliki jatidiri dan
karakter yang kuat dalam percaturan dunia.
Stereotipe bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang ramah,
santun, andhap-asor, lembah-manah, suka bergotong royong, dan religius,
yang selama ini selalu dibangga-banggakan sebagai pembanding
kontras dengan ciri kepribadian bangsa Barat yang serba bebas,
individualis, sekuler, materialis dan kapitalis, tampaknya tinggalah
mitos belaka.
Menurut Poernomosidi (2006:1) kebiasaan latah masyarakat
Indonesia yang suka meninggalkan budayanya sendiri dan lebih
tertarik mengikuti arus budaya global secara primordial tidak hanya
menimpa pada generasi muda saja, tetapi juga pada seluruh generasi
bangsa. Oleh sebab itu secara nasional karakter bangsa ini dalam
pertaruhan yang membawanya ke dalam kondisi kritis.
Melunturnya kebanggaan masyarakat terhadap budayanya
sendiri mengakibatkan terputusnya estafet pewarisan nilai-nilai
kearifan lokal kepada generasi penerusnya. Hal ini merupakan
masalah besar yang tidak boleh dibiarkan. Segala upaya dari sejak dini
perlu dilakukan, agar generasi penerus bangsa dapat tumbuh menjadi
manusia yang berkarakter baik dan terpuji. Upaya tersebut dapat
dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pembiasaan anak untuk
bermain dan menyanyikan lagu-lagu (tembang) dolanan Jawa, yang
banyak mengandung nilai-nilai didaktis yang bersumber pada filsafat
budaya Jawa yang adiluhung, yang mengajarkan nila-nilai kebaikan,
dan akhlak/budi pekerti luhur dan mulia.
Berkaitan dengan upaya pembentukan karakter bangsa itulah,
maka disampaikan hasil penelitian ini, yang membahas tentang
136
“Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka Pembentukan
Karakter Bangsa (Kajian Semiotik).” Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsilan (1) makna tembang dolanan Jawa; (2) nilai-
nilai kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam tembang
dolanan Jawa; dan (3) pentingnya reaktualisasi tembang dolanan Jawa
dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui hasil penelitian yang
sedehana ini diharapkan dapat ditemukan alternatif solusi dalam
upaya pembentukan karakter generasi muda (Jawa) sebagai penerus
cita-cita bangsa (Indonesia), sebagaimana konsep pendidikan karakter
yang sedang digalakkan oleh pemerintah dewasa ini.
137
Analisis data penelitian ini dilakukan di lapangan bersama dengan
proses pengumpulan data. Pada waktu data dikumpulkan, proses
analisis dimulai dengan penyusunan refleksi peneliti, yang merupakan
kerangka berpikir, gagasan, dan kepedulian peneliti terhadap data
yang ditemukan (Bodgan & Biklen, 1982:84-89). Analisisnya dilakukan
secara interaktif, dalam bentuk siklus. Setiap data yang diperoleh
dikomparasikan dengan data lain secara berkelanjutan, dengan model
analisis interaktif. Komponennya meliputi reduksi data, sajian data,
dan penarikan simpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 1984:23).
Ketiganya dilakukan ketika proses pengumpulan data berlangsung,
seperti dalam gambar berikut.
Data
Data
collection
Data display
Conclusions
Reduction Drawing/ Verifying
Components of Data Analysis: Interactive Model
138
bermakna filosofis. Sebagai ekspresi esetik, tembang dapat menimbulkan
multi tafsir, karena merupakan bagian dari karya sastra yang bersifat
multiinterpretable. Pemaknaannya bergantung pada horison harapan
pembacanya (Jauss, 1974).
Dalam masyarakat Jawa tembang sudah ada sejak semula, bahkan
sebagian besar warisan budaya nenek moyang (Jawa) dikemas dalam
bentuk kidung atau tembang. Salah satu warisan budaya yang dahulu
digemari oleh anak-anak (Jawa) adalah tembang dolanan. Tembang
dolanan ini bukan hanya berfungsi sebagai lagu yang biasanya
dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan
lingkungannya, atau lagu sekedar hiburan semata-mata. Lebih dari itu
tembang dolanan merupakan karya seni yang sangat menarik karena
di dalamnya terkandung makna tang tersirat, berisi pesan-pesan
moral yang penting sebagai pembentuk karakter yang baik bagi anak
bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada
anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius,
mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan
dengan orang lain. Tidak malas atau sombong, rukun dengan sesama,
dan senang membantu orang lain.
139
Dondomana j’rumatana kanggo séba mengko soré
Mumpung padhang rembulané, mumpung jembar kalangané.
Yo surako surak hiyo.
140
kapala (ela-elo) dengan mengucapkan “Laa illa ha illallah” (=tidak ada
Tuhan selain Allah) baik pada saat gembira maupun sedih, baik ketika
mendapatkan kenikmatan maupun musibah. Semuanya dilakukan
atas kesadaran bahwa hidup dan mati manusia ada di tangan Allah
semata. Ketika masih berkesempatan hidup, hendaklah rajin beribadah
dan mencari nafkah atas ridha Allah, karena ketika sewaktu-waktu
dipanggil menghadap-Nya, kita tidak lagi mampu melakukan apa
pun.
(3) PADHANG BULAN
Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré
(4) JARANAN
Jaranan-jaranan… jarane jaran teji
sing numpak ndara bei, sing ngiring para mantri
jeg jeg nong..jeg jeg gung, prok prok turut lurung
gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher
141
sayang, kepedulian, dan kerja sama dengan orang lain. Syair dalam
tembang tersebut menyiratkan pesan akan pentingnya kebersamaan,
karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan. Orang
yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang
lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Bagi yang berkedudukan
tinggi (ndara Bei) membutuhkan pengawalan bawahannya (para
menteri) dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, bagi yang
mempunyai kedudukan lebih rendah harus menghormati orang yang
berkedudukan lebih tinggi. Ndara Bei merupakan perlambang orang
yang berkedudukan tinggi dan/atau keturunan ningrat yang berpunya
(kaya) karena tunggangan-nya (hewan sebagai kendaraan) adalah kuda
yang tinggi besar (jaran teji) sehingga berjalannya pun harus diiringi
oleh bawahannya (para menteri).
(5) MENTHOK-MENTHOK
Menthok-menthok tak kandhani, mung solahmu angisin-isini
Bokya aja ndheprok, ana kandhang wae
Enak-enak ngorok, ora nyambut gawe
Methok-menthok, mung lakumu megal-megol gawe guyu
142
wakul ngglimpang, segané dadi sak ratan
wakul ngglimpang, segané dadi sak rattan
143
bahwa semua tembang dolanan tersebut mengarah pada aspek cerminan
pandangan, falsafah hidup, dan nilai moral yang dibangun dalam
masyarakat Jawa, yang pantas untuk digunakan sebagai pembentuk
karakter generasi muda (Jawa) penerus bangsa.
144
Patut disayangkan karena dewasa ini tembang dolanan sudah jarang
didendangkan ketika anak-anak (Jawa) bermain dengan sebayanya.
Mereka, (utamanya) yang tinggal di perkotaan lebih cenderung untuk
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa
pengantar sehari-hari. Akibatnya mereka kurang mengenal bahasa
Jawa, dan tentunya juga kurang akrab dengan budaya Jawa, termasuk
tembang dolanan Jawa yang merupakan salah satu bagian dari seni
budaya tradisi warisan nenek moyangnya.
Menurut Soetomo (2000:27) sistem budaya terdiri atas empat
kelompok lambang, yakni (1) konstitusi (keagamaan/kepercayaan);
(2) kognisi (ilmu pengetahuan); (3) evaluasi (etika); dan (4) ekspresi
(estetika). Sistem budaya dapat diturunkan atau diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya, apabila terdapat alat komunikasi
antarmanusia, dan antargenerasi, yakni bahasa.
Fungsi bahasa selain sebagai sarana pengembangan kebudayaan
juga penerus kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan bagian
dari kehidupan manusia yang tidak terpisahkan dari eksistensinya
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu
terlibat dengan bahasa karena bahasa merupakan alat komunikasi
utama dengan orang lain. Demikian pula halnya dengan kebudayaan,
ia merupakan bagian dari hidup manusia yang tak terpisahkan. Di
mana ada manusia di sana ada kebudayaan. Tidak ada manusia yang
hidup tanpa kebudayaan, sebaliknya tidak ada kebudayaan yang lahir
tanpa manusia, karena kebudayaan merupakan pengetahuan yang
diperoleh dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman
dan melahirkan tingkah laku sosial bagi masyarakat pemiliknya
(Spradley, 2007:5).
Dari uraian yang disampaikan, dapat digarisbawahi bahwa
pelestarian tembang dolanan Jawa sangat penting bagi generasi penerus
bangsa. Namun demikian kendala utamanya adalah telah tergesernya
kedudukan dan fungsi bahasa daerah (Jawa) oleh bahasa nasional
(Indonesia). Kini generasi muda (Jawa) mayoritas tidak lagi mengenal
bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Fungsi bahasa daerah (Jawa)
telah tergantikan oleh bahasa Indonesia. Padahal menurut teori, sulit
bagi seseorang untuk memahami budaya tanpa mengenal bahasanya,
seperti pendapat Linguis besar Wilhelm von Humbolt (1835) dan Antoine
Meilet (1857), bahwa begitu dekatnya hubungan antara budaya dan
bahasa, sehingga budaya itu tidak seharusnya dipandang sebagai
sesuatu yang tidak tergantung pada masyarakat tempat bahasa itu
digunakan (language est eminemment un fait social). Bahasa merupakan
cermin budaya masyarakat pemakainya, oleh sebab itu penting sekali
145
untuk tetap mempertahankan bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa
Ibu, dalam rangka pelestarian budaya (termasuk tembang dolanan
Jawa) sebagai aset kekayaan budaya bangsa.
Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi tembang
dolanan Jawa diharapkan usaha pelestarian budaya tradisional Jawa
dapat berlangsung dengan baik. Melalui bimbingan gurunya dalam
pembelajaran Bahasa Jawa anak-anak dapat mengapresiasi tembang
dolanan Jawa yang sarat akan nilai-nilai luhur sebagai pembentuk
karakternya. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan bahwa
melalui pembelajaran yang dilaksanakan anak-anak dapat tumbuh
menjadi manusia yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan
diri dengan potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya,
memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, dan berkarakter
kuat, sehingga peka terhadap masalah sosial pada bangsanya.
IV Simpulan
Berdasarkan analisis nilai-nilai dalam tembang dolanan Jawa di
atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
Pertama, tembang dolanan Jawa bukan hanya lagu biasa yang
berfungsi sebagai hiburan untuk dinyanyikan oleh anak-anak
ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lebih dari
itu tembang dolanan merupakan karya seni yang menarik karena di
dalamnya tersirat makna yang penting bagi hidupan manusia. Tembang
dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan
karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang
dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk
memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan
kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain,
tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan dapat menghargai
orang lain.
Kedua, nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tembang
dolanan Jawa pada dasarnya sejalan dengan sembilan pilar karakter
yang mengandung nilai-nilai luhur universal. Sembilan pilar karakter
tersebut adalah (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya,
(2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4)
hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja
sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7)
keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi,
cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai luhur universal yang terdapat
dalam tembang dolanan Jawa, yang sesuai dengan Sembilan pilar
karakter itu perlu dikembangkan dalam pembentukan karakter
146
generasi muda penerus bangsa.
Ketiga, mengingat tembang dolanan Jawa yang sarat dengan nilai-
nilai kehidupan dan pesan-pesan moral, maka tembang dolanan Jawa
itu dipandang perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi
muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa
yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa.
Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi apresiasi tembang
dolanan Jawa diharapkan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia
yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri dengan
potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya, memiliki
wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, berkarakter kuat, sehingga
peka terhadap masalah sosial pada bangsanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education:
An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Challenge to literary Theory”
dalam Rapl Cohen (ed). New Directions in Literary. London:
Routdlege & Kegankaul
Kartini, Yuyun. 2010. “Tembang Dolanan Anak-Anak Berbahasa Jawa Sumber
Pembentukan Watak dan Budi Pekerti”. dalam: Http://Kentruk.
Com/?P=286april 22nd, 2010. (Diakses 8 Februari 2012)
Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of
New Methods. Beverly Hills: Sage Publication.
Nugrahani, Farida. 2008. “Reaktualisai Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa
dalam Konteks Multikultural” dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Daerah dalam Kerangka Budaya. Mulyana (Ed). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
-------. 2011. “Penanaman Nilai-Nilai Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran
“Unggah-Ungguhing Basa” dalam Upaya Pembentukan Karakter
Generasi Muda”. dalam Proseding Seminar Nasional Pengembangan
Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di Universitas
Muhammadiyah Malang, 30 April 2011.
Poernomosidi, Begug. 2006. “Nilai-nilai Budaya Jawa dan Pembangunan
Karakter Bangsa”. Makalah dalam Seminar Nasional Pembangunan
Karakter Generasi Muda di PBSJ FKIP Universitas Veteran bangun
Nusantara Sukoharjo.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana of University
Press.
Rudy, Rita Indrawati. 2010. Ideosinkrasi Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan
Sastra. Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia
FPBS Universitas Negeri Jakarta dan Kepel Yogyakarta.
Soetomo, Istiati. 2000. “Ilmu-ilmu antar-Bidang untuk Sosilolinguistik Abad
Mendatang” Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Sastra
147
Universitas Diponegoro Semarang.
Spradley, James. P. 2007. The Etnographic Interview. (Edisi terjemahan Misbah
Zulfa Eliza).Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Sutopo, H.B. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret Press.
Yin, Robert K. 2000. Case Study Research: Design and Methods (Studi Kasus:
Desain dan Metode). Terjemahan M. Djauzi Mudzakir. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
148
PENDIDIKAN SEKS UNTUK PASANGAN
SUAMI ISTRI DALAM TEKS RESI SAMBINA
GRYA JUNGUTAN BUNGAYA
Latar Belakang
149
seperti google, yahoo, opera, mozila dll, pengguna dapat dengan
mudah menampilkan situs-situs porno dan “syur”, masyarakat
penikmat modernitas internet bisa berjam-jam menikmati tayangan-
tayangan tanpa sensor dari film XXX-Vidio profesional, artis mesum,
hingga tayangan ‘bokep’ amatiran pemuda kampung dengan gadis
lugu, tersaji luas dan tanpa batas di dunia maya tersebut. Tayangan
seperti ini tentunya sangat membahayakan untuk ditonton oleh
kalangan remaja.
Tontonan-tontonan seperti itu cenderung menggiring
penikmatnya untuk memasuki sepenuhnya dunia birahi dan
hubungan kelamin semata, sementara komunikasi, kasih sayang, dan
cinta terabaikan sama sekali. Tayangan-tayangan seperti ini tentunya
dapat menggiring penikmatnya terutama mereka yang tergolong tipis
sradha/imannya untuk berfantasi lebih kearah pengumbaran nafsu
dan kenikmatan kelamin semata, hingga moralitas tanpa disadari
akan semakin menipis lalu akhirnya berujung pada pelanggaran-
pelanggaran etika dan adat ketimuran yang berlaku di masyarakat
Indonesia.
Acaman bagi moralitas dan etika ketimuran seperti ini tentunya
telah disiapkan antisipasinya berupa pendidikan seks/seks edukasi
bagi masyarakat. Sepanjang tahun 2010-2011 media masa Bali Post
online dan Metro Bali online, memberitakan telah dilaksanakannya
seminar seks, diataranya: 1) Pada tanggal 14 November 2010 Media
Bali Post (berita Kota) memberitakan bahwa menjelang HUT III, RS
BaliMed Gelar Seminar Seks Pada Remaja pada tanggal 13 November
2010 bertempat di RS BaliMed. Acara ini dihadiri oleh siswa SMP dan
SMU sedenpasar dengan dua orang pembicara, yakni: dr. Komang
Tonika, Sp.OG dari rumah sakit BaliMed dan dr.IGN Prameswara
yang juga kordinator Klinik Remaja Kisara. (http://www.balipost.
co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=44676;);
Selanjutnya 2) pada tahun 2011 radio “SWiB FM Bali (Karangasem)
pada tanggal 21/4/2011 mengelar seminar seks pranikah yang
silenggarakan pada tanggal 25 April 2011. (http://www.balipost.
co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=50755); dan
Metro Bali juga memberitakan 3) dalam rangka menyongsong HUT
Mangupura yang ke-2, Kabupaten Badung menggelar seminar dengan
mengambil tema “ Seks Tabu Remaja dan Permasalahannya “ seminar
ini diselenggarakan pada tanggal 31/10/2011 bertempat di Wantilan
Kantor DPRD Badung, dengan Narasumber dr.Pramesemara S,Ked
Staf Bagian Andrologi dan Sosiologi FK Unud dan Koordinator Klinik
Remaja Kisara Daerah Bali. (http://metrobali.com/?p=2638).
150
Modernisasi Pendidikan khususnya dalam ranah seks, memberi
peluang seluas-luasnya bagi penyelenggaraan seminar-seminar seks
edukasi untuk para remaja yang pada masa lampau hal seperti ini
adalah ‘barang’ tabu, kenyataan ini dapat dipandang sebagai bukti
nyata dari dampak positif modernisasi di Indonesia; namun anehnya
pendidikan seks bagi pasangan menikah (suami-istri) di Indonesia
malah tak ada gaungnya sama sekali, perhatian pemerintah dan
masyarakat hanya tertuju pada pendidikan seks remaja saja, dan
seolah-olah menganggap pendidikan seks pada pasangan menikah
adalah sesautu hal yang kurang penting bahkan terkesan “sama sekali
tidak penting”.
Apabila dicermati seolah-olah ada paradigma terbalik dalam
masyarakat Indonesia dulu dan kini, hingga keluarlah ungkapan
dalam masyarakat sebagai berikut “dulu pendidikan seks bagi
remaja adalah tabu, pendidikan seks bagi pasangan menikah wajar;
kini pendidikan seks untuk suami istri ditabukan, pendidikan seks
untuk remaja diwajarkan”. Walau pun ungkapan tersebut tidaklah
sepenuhnya benar namun merujuk sedikitnya perhatian pemerintah
dan instansi terkait menyasar pendidikan seks bagi pasangan menikah
hal seperti ini juga tidak dapat dianggap sepenuhnya salah.
Tujuan pendidikan seks untuk remaja adalah untuk mencegah
terjadinya penyimpangan seksual pada remaja, sedangkan pendidikan
seks bagi pasangan menikah adalah untuk mencegah terjadinya
perselingkuhan dan lepas tanggung jawab pada keluarga. Mencegah
penyimpangan seks pada remaja dan mencegah perselingkuhan pada
pasangan suami istri sama pentingnya dan hendaknya keduanya
mendapatkan perhatian dan porsi yang sama.
Kurangya pendidikan seks yang diperuntukan bagi pasangan
menikah di Indonesia terutama Bali, menyebabkan mereka mencari
informasi tersebut pada situs-situs porno dunia maya. Celakanya
informasi yang didapatkan hanyalah sepotong-sepotong dan tidak
komprehensif. Sebagian besar informasi yang didapatkan hanya
berupa instruksi bercinta dan gaya-gaya ‘akrobatik’ tanpa adanya
sentuhan-sentuhan folosofis theologies dalam menikmati hubungan
seks. Tayangan-tayangan video seks dari situs-situs porno yang tersaji
di dunia maya tersebut sebagian besar menyajikan adegan mengumbar
birahi semata, tanpa adanya sentuhan cinta dan kasih sayang seperti
seharusnya sanggama suami istri dilakukan.
Hal yang sangat mengejutkan adalah hasil survei yang diadakan
oleh produsen alat kontrasepsi ternama Durex yang bertajuk “Sexual
Wellbeing Global Survey” yang menunjukkan 13% pria dan 6% wanita
151
Indonesia tidak setia pada pasangan atau memiliki lebih dari satu
pasangan seks, “Ini berarti lebih tinggi dibandingkan pria dan wanita
di Amerika Serikat yaitu 10% dan Inggris sebanyak 8%. Padahal,
negara-negara Barat terkenal lebih bebas dan liberal dibandingkan
negara Timur, seperti Indonesia (http://bataviase.co.id/node/901615).
Penyebab tingginya angka ketidaksetiaan pasangan ini
mengindikasikan masih kurangnya diberikan pemahaman seks yang
baik dan benar pada pasangan-pasangan menikah di Indonesia, hingga
sangatlah dipandang perlu dan mendesak agar Pemerintah, jajaran
terkait dan masyarakat yang perduli mengusahakan dan menggiatkan
pendidikan seks bagi pasangan menikah (suami istri) guna mencegah
terjadinya disharmonis dan perceraian dalam membina rumah tangga
hingga kedepan prosentase ketidaksetiaan pasangan dapat ditekan
seminimal mungkin.
Pendidikan seks bagi pasangan menikah penting diberikan, agar
mereka dapat memahami pengertian seks dalam semua manifestasi
dan variasinya, dapat memahami nilai penting moral dan etika
sebagai aturan dalam menikmati seks sebagai salah satu kenikmatan
anugerah Tuhan, dapat memahami bahwa hubungan manusia yang
menikah seharusnya memberikan kepuasan pada individu-individu
dalam berkeluarga, dapat memahami penyimpangan-penyimpangan
seksual yang membahayakan kesehatan fisik dan mental, serta
mereka dapat menjauhkan diri dari eksplorasi seks yang berlebihan
serta mampu memahami bahwa masing-masing individu yang telah
menikah dalam melakukan aktivitas seksual dapat lebih efektif dan
kreatif dalam berbagai peran, sebagai suami atau istri, sebagai orang
tua dan anggota masyarakat.
Pendidikan seks bagi calon pengantin belum menjadi sebuah
kewajiban di Negara Indonesia. Pembekalan pranikah yang ada
selama ini biasanya lebih bersifat rohani, itupun bukan merupakan
program pemerintah sehingga tidak wajib dilakukan oleh pasangan
yang mau menikah, sedangkan di Negara Iran, pasangan suami istri
yang menikah dan hendak tanda tangan di masjid mereka diharuskan
untuk mengikuti pendidikan seks (http://sosbud.kompasiana.
com/2011/09/18/sex-educationmutlak-perlu/). Karena tidak diwajibkan
oleh pemerintah, mau tidak mau pasangan suami istri harus mencari
literature-literatur yang dapat memberikan pendidikan seks secara
komprehensip dan memadai dalam membina hubungan pernikahan
yang sehat dan langgeng sampai akhir hayat.
Nun jauh terpencil disebuah desa di gunung kidul menurut
Sunarno Mantingan, masih ada sebuah tradisi sapihan atau sengkeran.
152
Pasangan suami-istri yang baru saja sah menikah tidak boleh langsung
“berkumpul” atau berhubungan intim sebagaimana seharusnya
pasangan suami-istri. Dalam masa “sapihan atau sengkeran” ini
mempelai perempuan dikeloni oleh orangtua atau mertua perempuan
untuk lama waktu yang sangat relatif (http://sosbud.kompasiana.
com/2011/08/09/persimpangan-jalan-pendidikan-seks/). Hal seperti
ini dipandang sebagai proses transformasi nilai dari pihak orang tua
kepada pasangan mempelai wanita guna kesiapannya dalam berbagai
hal kehidupan dan tentunya juga seks.
Dalam budaya Bali hal serupa juga masih ada dilaksanakan,
walaupun kini tradisi “ngekeb” di Bali waktunya semakin dipersingkat
dan semakin kehilangan arah dan tujuannya semula. “ngekeb” adalah
prosesi isolasi menjelang pernikahan guna mempersiapkan pengantin
menuju kesiapan mental dan spiritual guna memasuki jenjang
pernikahan. Dalam masa isolasi ini, mempelai pria dan wanita di
bekali berbagai bekal ilmu yang nantinya berguna untuk kehidupan
rumah tangganya ke depan, prosesi isolasi ini biasanya dilaksanakan
selama tiga hari tiga malam, dalam masa ini pengantin diberikan
pemahaman tentang berbagai hal dan juga seks oleh “sang widagdeng
smara” orang yang memahami ilmu seks, pada hari ketiga setelah masa
isolasi selesai, selanjutnya dilakukan prosesi upacara yang bernama
“makekalan”, setelah upacara makekalan selesai, barulah pasangan
yang menikah boleh melakukan hubungan seks dan dianggap sah
secara agama Hindu dan budaya Bali.
Teori pentingnya pendidikan seks bagi pasangan manusia yang
telah menikah bukan barang baru dalam khasanah naskah Bali, di
perpustakaan-perpustakaan formal seperti Gedong Kirtya, PUSDOK,
perpustakaan lontar UNUD dll; demikian juga di perpustakaan
informal Grya dan Puri, teks-teks tentang seks bagi pasangan
suami istri dapat kita jumpai, seperti misalnya Rahasyasanggama,
Smarakridhalaksana, usaddha lara kamatus, panglanang, Resi Sambina
dll, teks-teks inilah yang menjadi acuan bagi kehidupan seks pasangan
menikah masyarakat tradisional Bali yang juga menjadi acuan bagi
“sang widagdeng smara”.guna memberikan pelajaran seks kepada
pasangan pengantin Hindu di Bali. Sayangnya untuk masa sekarang
ini, sangat jarang masyarakat Bali yang mengetahui dan masih perduli
akan kearifan budayanya dalam “menyucikan” seks.
Teks Resi Sambina Grya Jungutan Bungaya misalnya, secara
sangat jelas menyatakan bahwa pendidikan seks itu sangat penting
diberikan kepada pasangan menikah dan hendaknya dijadikan bekal
dalam kehidupan rumah tangga kedepan “yapwan matuha ya, ikang
153
prayoga magelis kayunnya yan mangkana”, jika sudah menikah yoga (yoga
seks=pendidikan seks) itulah yang mendesak untuk diketahuinya;
hinga pentingnya pendidikan seks bagi pasangan menikah adalah hal
yang mendesak diberikan.
154
dan juga dengan menyertakan arti dari suku kata-suku kata yang
membangun nama tersebut. Ra dalam pembacaan aksara bali di baca
re seperti pada restu, Ra adalah penguasaan pada wilayah timur, Si
adalah penguasaan pada wilayah selatan, Sa penguasaan pada wilayah
barat, Mbi penguasaan pada wilayah utara, dan Na penguasaan pada
wilayah tengah; di sini Ratna Candra hendak memuji kehebatan
Gurunya yang bernama Resi Sambina dalam penguasaan berbagai
bidang ilmu dan pengetahuan penting pada zamannya.
Menurut kamus Jawa Kuna kata “rsi”, “resi” artinya guru atu
orang bijaksana (kamus Jawa Kuna, 200:945) sedangkan kata Sambina
ini tak ada satu pun kata yang dapat menerangkannya, kecuali kita
kaitkan dengan kata Sambinya yang artinya sambil, pada waktu yang
sama. (Kamus Jawa Kuna, 200:1002). Jika kedua kata tersebut dikait-
kaitkan agar memiliki makna, resi sambinya jadinya akan bermakna
Seorang guru atau orang bijaksana yang secara bersamaan juga
memahami ilmu seks. Karena tidak adanya kata Sambina sebaiknya
makna kata di atas dimaknai sebagai guru atau orang bijaksana yang
bernama Sambina yang menguasai berbagi macam ilmu penting pada
zamannya dan juga ilmu seks.
Pendidikan seks secara terbuka, seperti bentuk seminar era
sekarang, pada zaman itu ternyata masih sangat ditabukan; namun
walau secara umum ditabukan, ternyata dikalangan tertutup pelajaran
seks ini diakui sangat bermanfaat dan penting untuk di kuasai.
“Ikanang prayoga nung tan winarahaken sang widagda ring wwang len,
rahasya ya de nira, yateka winarahakenku, sarasaning ananga sastra, teki
prayoga winarahakenku, ikanang yogya gawean de sang widagda (lembar2).
“Pengetahuan ini tidak diceritakan oleh para ahli kepada orang lain,
dirahasiakan olehnya, ajaran inilah yang aku bicarakan, pengetahuan
akan hakekat seks, inilah teorinya sekarang aku bicarakan, yang
hendaknya dipraktekkan oleh para ahli. Wacana di atas menjelaskan
jika Ratna Candra menyadari jika pendidikan seks pada zamannya
masih sangat tertutup dan hanya untuk kalangan terbatas saja, hingga
dengan tegas dikatakannya jika orang ahli sekalipun akan sangat
merahasiakan pengetahuan tersebut. Pabila di cermati Ratna Candra
adalah sosok mendobrak tradisi tabu pada zamannya, ia menyatakan
bahwa ajaran rahasia inilah yang sekarang akan ia bicarakan kepada
orang-orang yang bijaksana, orang-orang yang berpikir cerdas
mengetahui arti penting seks bagi harmonisasi kehidupan manusia
dan mereka tidak menolaknya seperti masyarakat kebanyakan.
Ratna candra dengan sangat tegas mengatakan bahwa seks yang
ia pelajari dengan tekun telah mampu membuatnya mahir dalam
155
bercinta dan ia telah pula dapat memahami hakekat dari seks itu sendiri
bagi kehidupan manusia, walau bagi para ahli lainnya ilmu seperti
ini tetap dirahasiakan. “Kadyangganing prayoga ya teka kinaweruhakenku
paramarthanya, matanghyan wihikan, rin gelemku mangabyasa, rinahasya
teki denira sang kawi waneh” (2-3). “Prihal berhubungan seks itulah
aku pelajari hakekatnya, hingga menjadi pandai, karena tekunku
mempelajarinya, ilmu yang dirahasiakan oleh para ilmuwan”.
156
Ratna Candra meyakini bahwa orang yang telah mempelajari
ilmu seks “kama tattwa” secara otomatis mereka akan memperoleh
apa yang disebut dengan “tri warga” yakni dharma, artha, dan kama.
Dharma adalah kebajikan, kebaikan, sopan santun; artha adalah harta
benda, kekayaan, uang; kama adalah cinta, kasih sayang, kesenangan
(Kamus Jawa Kuna, 2000: 197, 64,448);.”ikang wwang yadiapin daridra
lawan wirupa kunang, yan ilu ya mamicara kama tattwa, yeka wwang manemu
triwarga dharma artha kama, muang sapala dadinia wih, ya lituh, ya susila,
ya wruh mawus, ngaranikang wwang yan mangkana, yan lana mamicara
kama tattwa” (halaman 1). “manusia biarpun miskin dan buruk rupa,
jika ia ikut mempelajari kama tattwa (hakekat seks), ialah orang yang
memperoleh tiga hal pokok (tri warga), kebenaran, kekayaan, dan
kesenangan, serta hakekat kehidupan lainnya, dia akan tampan, dia
akan berbudi baik, dia akan pintar beretorika, demikianlah perubahan
yang akan didapatinya, jika ia tekun mempelajari ilmu seks”.
Adapun mereka yang merasa jijik dengan ilmu seks ini, mereka
sesungguhnya adalah orang bodoh yang tidak akan pernah mengetahui
simpul saraf-simpul saraf seks yang dapat memuaskan diri sendiri dan
pasangan dalam penikmatan seksnya. Ratna Candra mengandaikan
orang yang bodoh ini berkeadaan persis seperti ember bocor yang
di tuangi air, ratna candra menganggap tak ada gunanya mengajari
mereka yang jijik dan berpandangan tabu akan pendidikan seks.
“Dadinikang wwang mapunggung tan weruh rikanang nadi, winarah twi tan
wruh atah, apan wwang apunggung, pamulangin diun lunga paramartanya”
(lembar 3). Mereka yang bodoh tidak akan pernah tahu simpul saraf
utama seks, diberitahu mereka tidak mau memahami, sebab manusia
yang bodoh berkeadaan seperti kuali bocor di isi air.
Siapapun suami yang telah mempelajari ilmu seks, hendaknya
dimanfaatkan untuk memuaskan kebutuhan biologis istrinya, hal ini
nantinya akan berefek pada semakin membaiknya prilaku istri secara
etik dan akan menekan nafsu seks yang menyimpang dan sesat yang
kemungkinan bisa timbul dari ketidak puasan istri secara biologis.
“Matanghyan darsana ng kana, ya ta dadi aken kapahenaken ambek anakbi,
dumehnya dadi inak ambeknya, ilang raganya (6) “Pendidikan seks,
jadikanlah alat untuk menyenangkan istri, manfaatnya akan membuat
baik etikanya, hilang nafsu sesatnya”.
157
mesra leher istrinya, kemudian diraba dan dielus dengan penuh kasih,
berikutnya suami hendaknya mencium dengan lembut bibir si istri,
berikutnya barulah dilakukan rangsangan-rangsangan khusus pada
istri menurut warna kulitnya. Apabila istri berkulit cenderung kuning
hendaknya suami memfokuskan rangsangan, baik dengan sentuhan,
rabaan, pijitan, jilatan, hisapan, dan kulumannya pada tubuh bagian
atas istri, maksudnya di atas pusar, meliputi daerah payudara, leher,
tengkuk, dll oleh Ratna Candra, wanita berkulit kuning dinamakannya
Singha Wikranta (wanita Singa). Apabila kulit istri cenderung
berwarna kemerahan disebut dengan Padma Prasita (wanita Lotus),
suami hendaknya lebif focus merangsang tubuh bagian kanan dari
istri. Apabila berkulit kehijauan Rata Wahana, suami hendaknya
lebih memfokuskan rangsangan pada tubuh bagian kiri. Sedangkan
istri yang berkulit cenderung gelap “Sarpa Nuyapana (wanita ular)
suami hendaknya lebih focus merangsang tubuh bagian bawahnya.
Lebih jauh dikatakan seorang suami dengan istri yang berkulit semu
kuning, hendaknya memasukkan dan memainkan kira-kira 3cm
penisnya terlebih dahulu sebelum melakukan koitus penuh, yang
berkulit semu merah kira-kira 6cm, yang berkulit semu hijau kira-
kira 9cm, sedangkan yang berkulit semu hitam 12 centi dimasukkan.
“Ikang tambian kinolahaken ikang gulunya, ring kaping rwa rekhana, ring
kaping tiga sesepin lambenya, telas ring kaping pat ika mengenakaken ta
sira purusa widagdha, yan akuning ikang stri I ruhur unggwaning raganya,
yan bang-bang ring tengenan unggwaning ragania, yan makiris ahijo ring
kiwa unggwaning raganya, yan ahireng ring sor unggwaning raganya. Yan
akuning ikang stri eka anguli tam akna, bang-bang awak pwaya rwanguli tam
akna, yan makiris ahijo telung guli tam akna, yan ahireng pwaya petang guli
tam akna” (4). “Pertama kali peganglah lehernya, kedua raba, ketiga
isap bibirnya, ke empat dilanjutkan dengan tindakan khusus pria
ahli, apabila istri berkulit semu kuning rangsangannya terletak pada
tubuh bagian atas, apabila berkulit semu merah letak rangsangannya
ada ditubuh bagian kanan, apabuila agak kurus semu hijau letak
rangsangannya ada ditubuh bagian kiri, apabila berkulit semu hitam
letak rangsangannya ada ditubuh bagian bawah. Apabila istri berkulit
semu kuning masukkan penis sedalam tiga senti (eka anguli), pabila
berkulit semu merah masukkan penis dua kali tiga senti (rwanguli),
apabila kurus bersemu hijau tiga kali tiga senti dimasukkan, apabila
berkulit hitam empat kali tiga senti dimasukkan (petang guli)”.
Secara umum Ratna Candra menunjukkan daerah-daerah
sensitive rangsangan seks bagi semua tipe wanita, hal ini hendaknya
dipahami oleh para suami, daerah sensitive berikut hendaknya di
158
ciumi, dijilati, dan dikulum; diataranya: bibir atas dan bawah, pipi,
daerah dagu dan leher, lidah, dan payudaranya. “nihan tawak nikang
stri anung sauten, lambe iruhur isor, pipi, jangut, ilat, susunia. Nahan ta
ya sahuten de sang maha widagda (lembar 5). “Inilah bagian tubuh istri
yang bisa kamu isap, bibir atas dan bawah, pipi, dagu/leher, lidah, dan
susunya. Itulah yang disap oleh lelaki ahli”.
159
pramananya, yateka sparsan de sang maha purusa widagda (8). “Adalah
sesuatu yang hebat di bagian vagina, itulah yang diraba olehnya (ahli
seks), didalam liang vagina, adalah daging bergelendut, ditengah
daging itu ada titik bulat, ada lobang kecil, disanalah letak dari
kehebatan seks perempuan, simpul saraf ini letaknya tidak diluar dan
tidak didalam, setengah jari letaknya, itulah yang diraba oleh pria ahli
seks”.
Organ yang juga merupakan jaringan saraf seks selain klitoris ini
letaknya di liang vagina, tidak terlalu didalam dan tidak menyembul
keluar, jika diukur dengan jari tangan ketika bibir vagina dibuka,
letaknya hanya setengah jari tengah dikedalaman liang vagina di
dinding bagian depannya. Seorang suami yang mengetahui dengan
fasih tempat ini akan dengan mudah memuaskan istrinya di ranjang.
Ratna Candra menamakan jaringan ini sebagai “Nari Wisesa”
kekuatan wanita. Senada dengan petunjuk Ratna Candra dalam Resi
Sambinanya, adalah seorang ahli kebidanan dan ginekologi dari Jerman
Ernst Grafenberg bekerja sama dengan ahli kebidanan dan ginekologi
Amerika yang ternama bernama Robert L. Dikinson, M.D, pada
tahun 1950 menulis “suatu zona erotis selalu bisa ditunjukkan pada
dinding depan vagina disepanjang saluran uretra… (yang) tampak
dikelilingi oleh jaringan erektil seperti corpora convernosa (jaringan
pada penis)… bila mendapatkan rangsangan seksual, uretra wanita
ini mulai membesar dan dengan mudah dapat dirasakan. Daerah ini
membengkak semakin besar pada akhir orgasme. Bagian yang paling
merangsang itu terletak di uretra belakang, dimana dia muncul dari
leher kandung kemih”. Jaringan seksual ini kemudian dinamakan
dengan G-Spot/Granfenberg-Spot (Alice Khan Ladas, Beverly Whipple
& Jhon D. Perry, 2000:45). Dari paparan di atas, fungsi organ seksual
dalam vagina wanita berupa Klitoris dan G-spot telah dikenal secara
fasih oleh Ratna Candra dalam karyanya yang berjudul Resi Sambina.
160
karena orgasme istri adalah obat bagi berbagai macam penyakit. “ikang
purna sasangka, ya inasparsanira, rikanang ananga duta, smarosada
kunang, asing atah ingkana anung sinangguh madhosada, ikang
pasida tumungkula, kedik-kedik wineh kadi ardha candra (1-2) “yang
seperti bulan purnama, itulah yang dirabanya, dipakai perantara nafsu
asmara, dijadikan obat seks, semua yang ada disana disebut madu/
sari patinya obat, yang akan mampu menundukkan penyakit, sedikit-
sedikit diberikan seperti fase bulan.
Lebih jauh Ratna Candra menyatakan wanita/istri memiliki
delapan dewata penjaga yang berstana di delapan penjuru tubuh istri,
delapan dewata inilah yang berwenang membebaskan istri dari segala
jenis kesengsaraannya. “Wolu ikang dewata mangastula ri awak nikang stri,
sira ta wenang manglepasaken papa nikang stri, ndya ta ya, nihan lwir nika
Sang Hyang angastula ri awak nikang stri. Ada delapan dewa yang berstana
dalam tubuh istri, beliaulah yang berkewenangan membebaskan
kesengsaraan, siapah dia, inilah Dewa yang bersemayam didalam diri
istri (lembar 8). Ratna Candra memerincinya sebagi berikut: 1) Dewa
Brahma berstana di tubuh bagian bawah, Dewa Wisnu berstana di
barat laut, Dewa Indra di utara, Apsari di timur laut, Uma di tubuh
istri bagian atas, Sita menyatu dengan tubuh istri, Arjuna di selatan,
dan Dewa Iswara di barat daya.
Manfaat seks bagi kesehatan terbukti ilmiah dan sahih secara
medis, berikut delapan manfaat seks bagi kesehatan menurut Dr Gloria
G. Bramer dalam bukunya ‘The Better Sex Guide to Extraordinary
Love Making’ yang dikutif oleh Vivanews (http://kosmo.vivanews.
com/news/read/228981-manfaat-seks-untuk-kesehatan):
1. Mencegah kanker prostat pada pria. Bramer mengatakan,
berhubungan seks tidak hanya sekedar menunjang kedekatan
fisik antara pasangan suami istri. Para suami yang sering
merasakan nikmatnya orgasme bersama pasangan terbukti
mampu menurunkan risiko kanker prostat dan meningkatkan
sistem kekebalan tubuh mereka.
2. Meningkatkan kesehatan jantung. Ingin merasa terlihat bugar
di dalam dan di luar? Berhubungan seks akan meningkatkan
kebugaran kardiovaskular, mengurangi stres, dan merangsang
peningkatan perasaan bahagia secara alami. Hal positif lainnya,
otot-otot panggul akan makin kencang.
3. Berhubungan seks melibatkan seluruh tubuh. Berolahraga tentu
melibatkan seluruh tubuh Anda. Sama halnya ketika Anda
melakukan hubungan seks. “Seluruh tubuh ikut bergerak,” kata
Fulbright. “Otak Anda merasa lebih rileks, menenangkan dan
161
menghilangkan stres.
4. Seks memperlancar aliran darah. Sirkulasi oksigen dalam otak
berjalan lancar. Hal ini pada gilirannya juga mempengaruhi
organ-organ reproduksi dan jantung Anda, membuat mereka
sehat, kuat, dan meningkatkan fungsionalitas,’ ucapnya.
5. Bercinta membuat tubuh lebih lentur. “Seks juga menurunkan
hormon testosteron, sehingga otot bekerja dan membuat Anda
lentur. Pada dasarnya melakukan hubungan seks seperti
menggabungkan manfaat dari berjalan dan yoga ke dalam satu
kegiatan,” kata Fulbright.
6. Menghilangkan selulit. Seks dapat membantu menangkal
timbulnya selulit di kaki dan paha. Meski tidak bisa menghilangkan
secara sempurna, hubungan intim secara teratur mampu
menyamarkan tampilan selulit yang ada. Karena berhubungan
seks bisa melunturkan lemak tubuh.
7. Seks meningkatkan hubungan pasangan. Sebagai kegiatan fisik
yang paling sering dilakukan oleh pasangan suami istri, seks
akan mendekatkan pasangan. Ini berarti semakin sering bercinta
dengan pasangan, koordinasi atau komunikasi yang terjalin
antara Anda dan suami akan lebih baik.
8. Pembangkit energy. Berolahraga bisa meningkatkan energi dan
stamina. Sama halnya jika semakin banyak Anda melakukan
hubungan seks, semakin Anda merasakan adanya peningkatan
energi dan stamina. Tidak hanya di kamar tidur, hubungan intim
yang rutin juga bisa meningkatkan semangat kerja Anda.
162
Hindu “upacara perkawinan menjadi persembahan rumah tangga yang
paling terperinci mengenai pengorbanan rumah tangga kendatipun
hanya sedikit ritual-ritual berikutnya yang bisa dilacak ke periode
weda. Perkawinan dianggap sebagai persembahan itu sendiri dan
laki-laki yang tidak kawin disebut “orang yang tanpa persembahan”.
Ratna Candra menambahkan, walaupun telah menikah, seorang
suami yang baik, bijaksana, dan mahir dalam ilmu seks, belum cukup
mensakralisasi hubungannya hanya dengan ritual pernikahan itu
saja, ia masih harus mempelajari Kama Tattwa (hakekat seks). Pabila
berkenan memilih teks Resi Sambina sebagai acuan pendidikan seksnya
seorang saumi oleh Ratna Candra diwajibkan menghafal mantra-
mantra senggama, karena kenikmatan seks adalah sarana utama yang
akan mengantar istri untuk mencapai alam moksha “ika punian sang
widagda maha purusha mangkana, ya ta dumeh sira tumemwaken kamoksha
padan” (lembar7). Itulah pemberian dari orang yang sangat ahli seks,
itulah yang diberikannya hingga (istri!) mencapai alam pembebasan
“moksha”.
Berikut adalah mantranya: “Apan kama tattwa pinaka marga,
nihanta ng mantra kena-kena de sang maha widagda purusa, ri awakning
anakbi kalaning sanggama lingnya: Syang mantraning susu karwa, Ang
mantraning puser, Tang ring hati, Ong ring ulu, Ong mantraning ngaran,
Byang ring walakang, Ung mantraning tangan kiwa Ang mantraning tangan
tengen, Nyang bahu ring tengen, Yang bahu kiwa, Pang ring pundak, yateka
laksanakna ri kalaning masanggama lawan stri” (lembar 9). “Apabila
hakekat seks “kama Tattwa dijadikan jalan, inilah mantra yang
hendaknya dipahami oleh para ahli seks, saat bersenggama dengan
istri: Syang adalah mantra saat memegang kedua susu, Ang saat
menyentuh pusar, Tang saat menyentuh ulu hati, Ong saat menyentuh
kepala/leher, Ong kala mengingat nama istri, Byang saat menyentuh
punggung dan bagian belakang tubuh, Ung mantra saat menyentuh
tangan kiri, Ang mantra saat menyentuh tangan kanan, Nyang saat
menyentuh bahu kanan, Yang saat menyentuh bahu kiri, Pang mantra
saat menyentuh Pundak, itulah yang hendaknya dirapalkan saat
bersenggama dengan istri.
Dari wacana Ratna Candra di atas, mantra yang wajib dirapalkan
tatkala suami memegang, mengelus, memijat, mencium, menjilati
dan mengulum payudara adalah Syang; saat rangsangan yang sama
dilakukan pada daerah pusar mantranya Ang; saat suami merangsang
daerah ulu hati mantranya Tang; saat suami merangsang daerah
kepala hingga leher mantranya Ong demikian juga mantra ini dipakai
saat mengingat nama istri; Saat suami merangsang bagian punggung
163
hingga bagian belakang tubuhnya mantra yang diucapkan adalah
Byang; Ung dipakai saat merangsang tangan kiri dan Ang untuk
tangan kanan; Ketika suami merangsang bahu kanan mantranya
adalah Nyang, sedangkan untuk yang kiri mantranya Yang; saat
suami merangsang bahu istrinya mantra yang dirapalkan adalah Pang.
Mereka yang memahami Pendidikan seks akan mengantar istrinya
mencapai alam pembebasan.
Demikianlah “selayang pandang” dari pendidikan seks bagi
pasangan menikah menurut Ratna Candra dalam karyanya Resi
Sambina. Tentunya apa yang disajikan di sini masih dalam tataran
permukaan saja, hingga studi lanjut atas topik ini akan dilanjutkan
dilain waktu dan kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Alica Kahn Ladas, Beverly Whipple & John D. Perry, 2000. “G-Spot”, Titik
kenikmatan & penemuan mutakhir lainnya tentang seksualitas manusia.
Mitra Media Publisher: tanpa nama kota.
Ajen Dianawati, 2006. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Kawan Pustaka :
Depok
Maswinara, I Wayan, 1997. Kama Sutra. Paramita : Surabaya.
Geoffrey Parinder, 2005. Teologi Seksual. PT LKiS Pelangi Aksara :
Yogyakarta.
Zoetmulder P.J. & S.O Robson, 2000. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. PT
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Semadi Astra, I Gede, Dkk, 2001. Kamus Sanskerta-Indonesia. Pemprop Bali
: Denpasar.
Team Penyusun Kamus, 1991. Kamus Bahasa Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan
Dasar Propinsi Dati Bali : Denpasar.
Team Redaksi KBBI III, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga.
Balai Pustaka : Jakarta.
164
KOMUNIKASI INTERPERSONAL BUDAYA
DAERAH DALAM KONTEKS HUBUNGAN
ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA
SEKOLAH DAN KEPUASAN KERJA GURU
Ai Sumiati Rahman
IKIP Sukabumi
Pendahuluhan
165
daerah, pengabdian dan kreativitasnya agar dapat melaksanakan
tugas secara profesional sehingga kualitas kepemimpinan kepala
sekolah signifikan bagi keberh
Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
kepuasan kerja seorang guru dalam suatu organisasi antara lain
komunikasi interpersonal, dan gaya kepemimpinan kepala sekolah .
Tinjauan Pustaka
A. Teori Komunikasi Interpersonal Budaya Daerah
Komunikasi interpersonal budaya daerah memiliki arti yang
sangat penting bagi manusia, karena tanpa komunikasi budaya
daerah tidak akan terjadi interaksi dan tidak akan terjadi saling tukar
pengetahuan dan pengalaman apalagi untuk melakukan kerja sama
dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sifat menyampaikan informasi, sistem informasi, komunikasi juga
dikatakan perilaku informatif yang merupakan produk dari proses
sosialisasi di mana individu berperilaku dengan stimuli yang diterima,
informasi kognitif yang bersifat menyampaikan pesan administrasi
tentang cara-cara membuat surat seperti permohonan cuti yang baik,
pengisian kartu rencana studi, pindah jurusan dan lain-lain.
Dengan komunikasi seseorang dapat memperoleh berbagai
informasi yang diperlukan untuk melaksanakan sesuatu, mulai dari
tujuan, persyaratan kerja, waktu pelaksanaan kerja dan personil yang
melaksanakannya. Hal ini dapat dipahami dari definisi komunikasi
yang disampaikan oleh Taylor. Menurut Taylor, “Communication may
be definded, as giving, receiving or exchanging information, opinions or
ideas by writing, speech or visual means, so that the material communicated
is completely understood by everyone concerned”. Artinya, komunikasi
dapat didefinisikan sebagai pemberian, pengiriman atau pertukaran
informasi, pendapat atau gagasan secara tertulis, lisan atau dengan alat
visual, sehingga materi yang dikomunikasikan dapat dipahami dengan
lengkap oleh orang-orang yang berkepentingan. Dengan memilah
substansi yang terdapat di dalam definisi ini, maka komunikasi
mengandung elemen pengirim informasi, materi informasi, media
informasi, dan penerima informasi. Pengirim informasi adalah
orang yang memiliki gagasan atau pendapat yang akan dikirimkan/
disampaikan; materi informasi adalah gagasan atau ide yang akan
dikirimkan; media informasi adalah penyampaian lisan (langsung/
pertelepon), tulisan (surat, memo dan pengumuman), alat visual
(televisi, proyektor, dan lain-lain); dan penerima informasi adalah
orang yang menerima informasi yang dikirimkan.
166
Komunikasi interpersonal budaya daerah adalah antara
dua orang, biasanya berhadapan muka, walaupun orang dapat
menggunakan media komunikasi (seperti pesawat telepon) untuk
berkomunikasi secara pribadi tanpa kehadiran mereka secara bersama-
sama. Satu hal yang terpenting dari hasil hubungan interpersonal
ini adalah perkembangan hubungan manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa komunikasi interpersonal dapat membangun hubungan
sosial yang baik di antara individu organisasi/perusahaan. Dengan
hubungan personal yang baik ini, tugas-tugas koordinasi kerja dapat
dilaksanakan dengan baik, dalam menjalin kerjasama untuk mencapai
tujuan perusahaan.
Ada tiga elemen komunikasi interpersonal yaitu sumber/encoding,
signal dekoding/tujuan. Pengertian sumber atau encoding adalah orang
yang menyediakan informasi yang akan disebarkan kepada orang lain.
Enkoding adalah meletakkan informasi ke dalam bentuk yang dapat
diterima atau dipahami orang lain. Signal adalah informasi yang sudah
dienkodekan sebagai sumber yang hendak dibagikan menyusun suatu
pesan. Dekoder/tujuan adalah orang yang mendapatkan informasi.
Pengkodean adalah proses pengubahan kembali signal menjadi
informasi. Elemen komunikasi yang terdiri dari 3 bagian ini diperluas
oleh Shaw dan Onkvisit yang mengatakan bahwa, “Communication is
basically a five-stage process consisting of source, information, decoding, and
destination”. Artinya, pada dasarnya komunikasi memiliki lima langkah
proses yang terdiri dari sumber, pengkodean, informasi, dan tujuan.
Pembentukan simbol atau dekode dan pemberian arti simbol yang
disebut dengan dekode, dan penyampaian umpan balik pengertian
pesan oleh si penerima pesan kepada si pemberi pesan merupakan
suatu proses pemindahan pesan.
Proses komunikasi dapat berlangsung di antara pengirim dan
penerima pesan, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu komunikasi
interpersonal dan komunikasi impersonal. Komunikasi interpersonal
dapat berlangsung dari satu individu ke individu lain, sedangkan
komunikasi impersonal dapat berlangsung dari satu individu ke suatu
kelompok individu atau masyarakat luas.
Ada dua bentuk komunikasi, oral dan tertulis. Komunikasi oral
disebut juga komunikasi lisan, di mana berlangsung percakapan
tatap muka, diskusi kelompok, panggilan telepon, dan hal lain.
Media komunikasi dalam pembicaraan tatap muka ini adalah kata-
kata langsung yang dinyatakan isi komunikasi dalam tulisan seperti
memo, surat, laporan, catatan dan lainnya dimana kata-kata dituliskan
untuk menyampaikan arti. Komunikasi interpersonal secara tertulis
167
memberikan sebuah catatan tetap, merupakan yang terbaik, ekonomis,
dan mudah didistribusikan, namun, komunikasi tertulis ini lebih kaku
bila dibandingkan komunikasi lisan.
Dilihat dari segi arus komunikasi, maka komunikasi dari atas ke
bawah adalah jalur komunikasi antara manajer, penyelia, dan bawahan.
Komunikasi dari bawah ke atas berisi dari saran-saran dari bawahan
kepada atasan. Sedangkan komunikasi horizontal adalah komunikasi
di antara bawahan atau sesama setingkat/sederajad, teman sejawat dan
sahabat. Grapevine adalah komunikasi yang diabaikan para manajer
tetapi ada dalam organisasi, biasanya gosip yang kebenarannya
kurang akurat. Jaringan adalah sistem komunikasi informal kedua
yang menggambarkan pandangan kelompok/group terhadap atasan
dan lainnya.
Komunikasi grapevine dan jaringan ini merupakan komunikasi
informal yang berlangsung dalam praktek kehidupan sehari pegawai
yang diantaranya adalah diskusi pribadi, percakapan setelah makan
siang, gosip di lift, pembicaraan di telepon, kesempatan pertemuan
di koridor, pertemuan informal karyawan, memerintahkan bawahan,
berhubungan dengan pelanggan, pertemuan resmi, wawancara, sesi
pelatihan, memberikan materi presentasi, seminar. Semua komunikasi
ini bertujuan untuk menyebarkan informasi atau memperoleh
informasi baik berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
pekerjaannya.
Komunikasi interpersonal yang menjadi komunikasi organisasi,
berlangsung secara formal menuruti struktur organisasi yang
ada, sedangkan komunikasi interpersonal informal berlangsung
dalam aktivitas luar organisasi baik yang mempengaruhi atau tidak
mempengaruhi pekerjaan masing-masing individu yang terlibat dalam
komunikasi. Bagan atau struktur organisasi mempermudah seseorang
melihat bagaimana komunikasi berlangsung secara vertikal (antar
tingkat), horizontal (antar bagian), dan diagonal antara bagian dan
tingkat. Tiap aktivitas pekerjaan menuntut komunikasi interpersonal
baik secara vertikal dengan atasan tentang hal-hal seperti prosedur,
target dan program kerja, atau secara horizontal tentang hal-hal seperti
penyamaan pandangan tentang prosedur kerja yang harus diikuti.
Proses komunikasi dikatakan berhasil jika penerima pesan
mengerti pesan sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan.
Kunci utama keberhasilan komunikasi interpersonal adalah kesamaan
pengertian antara penerima dan pengirim pesan atas pesan yang
dikomunikasikan. Oleh karena itu, agar komunikasi interpersonal
dapat berjalan efektif, para komunikan harus memahami kendala-
168
kendala yang akan mengganggu mereka dalam berkomunikasi.
169
minimum akan menjadi perbedaan yang negatif, maka makin besar
pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya.
Kepuasan khusus merupakan bagian dari kepuasan umum yaitu
sebagai hubungan antara dari aspek situasi dan reaksi pekerja. Seorang
guru yang masuk dan bergabung dengan suatu organisasi mempunyai
seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu
yang menyatu membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat
dipenuhi oleh organisasi dan atasannya
.
D. Teori Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto,
“Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
orang lain sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana yang
dikehendaki pemimpin tersebut.”
Menurut Charles Z. Keating terjemahan A.M. Mangunhardjana,
“Kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara
mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk mencapai
tujuan bersama.” Sedangkan McFarland dalam tulisan Soewarno
Handayaningrat memberikan definisi kepemimpinan sebagai suatu
proses dimana pimpinan digambarkan akan memberikan perintah
atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang
lain dalam memilih atau mencapai tujuan yang ditetapkan.
Di pihak lain Moenir memberikan definisi tentang kepemimpinan
sebagai sifat, kemauan, proses atau konsep yang dimiliki seseorang
sedemikian rupa sehingga telah diikuti, dipatuhi dan dihormati
serta disayangi oleh orang lain itu sehingga bersedia dengan penuh
keikhlasan melakukan kegiatan atau perbuatan yang dikehendaki
seseorang tersebut.
Dalam mempelajari masalah kepemimpinan para ahli
menggunakan beberapa pendekatan. Stoner seperti dikutip Purwanto
mengemukakan bahwa, ”pendekatan kepemimpinan dibedakan
menjadi lima macam, yaitu pendekatan sifat, perilaku, kontingensi,
path goal, dan teori kepemimpinan situasional.” Sedangkan Carrol dan
Tossi merangkum menjadi tiga macam pendekatan yaitu, “Pendekatan
kesifatan, pendekatan perilaku, pendekatan situasional.”
Pendapat Carrol dan Tossi ini sejalan dengan pendapat Handoko
bahwa penelitian teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan
menjadi, “Pendekatan kesifatan, pendekata
perilaku, pendekatan situasional.” Pendekatan “kesifatan”
memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sikap-sikap
170
kepemimpinan yang tampak. Pendekatan “perilaku” bermaksud
mengidentifikasikan perilaku-perilaku (behavior) pribadi yang
berhubungan dengan kepemimpinan efektif, sedangkan pendekatan
“situasional” menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektivitas
kepemimpinan dengan situasi tertentu.
Pengertian perilaku kepemimpinan mengacu kepada pendekatan
perilaku, yakni pendekatan yang berlandaskan pemikiran bahwa
keberhasilan dan kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap
dan bertindak yang bersangkutan.
Gaya bersikap dan bertindak akan nampak dari cara memberi
tugas, cara memberi perintah, berkomunikasi, membuat keputusan,
cara mendorong semangat bawahan, menegakkan disiplin, cara
mengawasi. Sedangkan Hersey mengatakan, “Tingkah laku pemimpin
adalah apa yang dikatakan dan dilakukan seorang pemimpin.”
Pendekatan inilah yang melahirkan berbagai teori kepemimpinan,
salah satunya perilaku kepemimpinan yang dikemukakan oleh
para peneliti Universitas Ohio Staff peneliti dari Universitas Ohio
merumuskan kepemimpinan sebagai suatu perilaku seorang
individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu group ke arah
pencapaian tujuan tertentu. Menurut hasil penelitian yang mereka
lakukan dapat dibedakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan,
yaitu “Initiating Structure (struktur tugas) dan Consideration (tenggang
rasa).”
Pusat penelitian Universitas Michigan melakukan penelitian
untuk mempelajari masalah kepemimpinan. Dari penelitiannya
ditemukan adanya dua macam perilaku kepemimpinan, yaitu “The Job
centered (terpusat pada pekerjaan) dan the Employee Centered (terpusat
pada guru).”
Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok atau dapat disebut
ekstrim ada tiga, yaitu Otokratis, Laissez faire, Demokratis.
a. Otokratis.
Dalam kepemimpinan otokratis pemimpin bertindak sebagai
diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin
adalah menggerakkan dan memaksakan kelompok, penafsirannya
sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberi
perintah, kewajiban anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan,
tidak boleh membantah dan mengajukan saran.
Kekuasaan yang demikian ini akan dapat menimbulkan sikap
menyerah tanpa kritik, sikap “asal bapak senang” atau sikap “sendiko
dawuh” terhadap pemimpin dan cenderung untuk mengabaikan
perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan langsung. Dominasi
171
yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi terhadap pemimpin
atau menimbulkan sifat-sifat agresif pada anggota kelompok terhadap
pemimpinnya.
b. Laissez Faire
Dalam kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan
pimpinan. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat
sekehendak hatinya. Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol
atau koreksi terhadap anggota-anggota kelompok.
Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya
semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa
anggota kelompok dan bukan pengaruh dari pimpinannya.
c. Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama
dan terpenting dalam setiap kelompok atau organisasi. Kepemimpinan
ini diwujudkan dalam dominasi perilaku sebagai pelindung,
penyelamat serta cenderung memajukan dan mengembangkan
organisasi, diwarnai dengan usaha mewujudkan hubungan manusiawi
yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati, menghargai satu
dengan yang lain. Tidak ada rasa tertekan atau takut, namun pemimpin
selalu dihormati dan disegani secara wajar sebagai anggota biasa,
dia tidak pernah memberikan perintah tanpa alasan yang jelas atau
menjelaskan pentingnya masalah, juga selalu mendiskusikan semua
masalah dengan kelompoknya serta memperlakukan bawahannya
sebagai kawan kerja.
Menurut Robert Tannembaum dan Warren A. Schmid yang
dikutip oleh Thoha mengatakan bahwa “Kepemimpinan yang
otokratis tekanan orientasinya diarahkan pada tugas, sedangkan
kepemimpinan yang demokratis tekanan orientasinya diarahkan pada
hubungan pemimpin dengan yang dipimpinnya.
Dengan demikian kepemimpinan yang demokratis adalah
cenderung berorientasi bawahan atau sama dengan perilaku perhatian
(konsiderasi). Perilaku kepemimpinan berorientasi bawahan atau
demokratis menimbulkan situasi kerja yang kekeluargaan dan
kondusif. Disiplin yang tinggi bukan disebabkan oleh ancaman atau
sanksi, tetapi bersumber dari kesadaran masing-masing yang secara
positif menunjang pada peningkatan kualitas dalam bekerja atau
melaksanakan kegiatan. Bila kesadaran ada maka setiap perintah atau
instruksi yang diberikan terasa sebagai ajakan untuk berbuat suatu
bagi kepentingan bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartini
Kartono, “Di bawah kepemimpinan yang demokratis terdapat disiplin
kerja dan ketepatan kerja yang lebih tinggi.”
172
Usaha menciptakan disiplin kerja dapat dilakukan melalui
perhatian dan kerja sama dari pemimpin, yaitu perilaku kepemimpinan
yang menciptakan hubungan kerja dengan guru yang didasari rasa
saling menghormati dan menghargai. Siagian menyatakan, “Setiap
orang dalam organisasi bagaimana pun rendahnya pendidikan.
Simpulan
Pertama, terdapat hubungan positif antara komunikasi
interpersonal budaya daerah dengan kepuasan kerja guru se-
Kecamatan Cikakak Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Ini berarti
bahwa makin baik komunikasi interpersonal seorang guru pada
organisasi, akan makin tinggi kepuasan kerja guru tersebut. Demikian
pula sebaliknya, makin kurang baik komunikasi interpersonal seorang
guru pada organisasi, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut.
Oleh karena itu komunikasi interpersonal merupakan variabel yang
penting untuk diperhatikan di dalam memprediksi kepuasan kerja
guru.
Meskipun secara statistik berhasil diuji terdapat hubungan
yang positif antara kedua variabel, peneliti menyadari bahwa
faktor komunikasi interpersonal bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja guru. Masih ada faktor
lain yang mungkin berperan terhadap kepuasan kerja seperti gaya
kepemimpinan kepala sekolah, aktualisasi diri, disiplin kerja, promosi
jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, dan faktor lainnya
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Kedua, terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan
kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru se-Kecamatan Cikakak,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini berarti bahwa makin baik
gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru makin tinggi pula
kepuasan kerja guru tersebut. Demikian pula sebaliknya, makin
kurang baik gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru, makin
rendah pula kepuasan kerja guru tersebut. Oleh karena itu gaya
kepemimpinan kepala sekolah merupakan variabel yang penting
untuk diperhatikan dalam memprediksi kepuasan kerja guru.
Meskipun secara statistik berhasil diuji terdapat hubungan yang
positif antara kedua variabel, peneliti menyadari bahwa faktor gaya
kepemimpinan kepala sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja guru. Masih ada
faktor lain yang mungkin berperan terhadap kepuasan kerja seperti
komunikasi interpersonal, aktualisasi diri, disiplin kerja, promosi
jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, dan faktor lainnya
173
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Ketiga, terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan
kepala sekolah dan komunikasi interpersonal secara bersama-sama
dengan kepuasan kerja guru se-Kecamatan Cikakak Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat. Dengan demikian berarti bahwa makin baik
gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru dan makin baik
komunikasi interpersonalnya, makin tinggi pula kepuasan kerja
guru tersebut. Sebaliknya makin kurang baik gaya kepemimpinan
kepala sekolah seorang guru dan makin kurang baik komunikasi
interpersonalnya, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut.
Kondisi ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah
dan komunikasi interpersonal, merupakan dua variabel yang penting
untuk diperhatikan dalam menjelaskan peningkatan kepuasan kerja
seorang guru.
DAFTAR PUSTAKA
174
BPFE.
Moenir, A.S. 1998. Kepemimpinan Kerja Teknik dan Keberhasilannya. Jakarta:
Bina Aksara.
Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Nitisamito, Alex S. 2002. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung:
Remadja Karya.
Reksohadiprodjo, Sukanto dan T. Hani Handoko. 2000. Organisasi Perusahaan.
Yogyakarta: BPFE.
Robbins, Stephen P. 2000. Organization Theory, Structure, Design and
Application. California: International Inc.
Siagian, Sondang P. 1999. Bunga Rampai Manajemen Modern. Jakarta: Gunung
Agung.
---------------------------. 2002. Manajemen dalam Pemerintahan. Jakarta: LAN-RI.
---------------------------. 2006. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit UI.
Sutarto. 2001. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Thoha, Miftah. 1998. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Radjawali Press.
Wahjosumidjo. 2004. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wayong J. 1999. Fungsi Administrasi Negara. Jakarta: LAN-RI.
Yuwono, S. 2003. Kepemimpinan dalam Organisasi Aparatur Pemerintah.
Yogyakarta: Liberty.
175
DAMPAK SERTIFIKASI GURU DALAM
MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN
PROFESIONALITAS GURU MUATAN
LOKAL SMP DI JAWA BARAT
LATAR BELAKANG
176
dan tenaga staf lainnya serta mengadakan komunikasi dengan siswa
dan orang tua serta masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan diklat yang telah dilaksanakan, dipandang perlu
adanya kegiatan yang dapat melihat secara dekat tentang aktivitas
guru pasca diklat dimana dapat diperoleh informasi di antaranya
mengenai korelasi materi yang diberikan dengan aktivitas guru
di lapangan. Ada pihak lain yang perlu dilihat yakni kemanfaatan
dari diklat terhadap lingkungannya yakni bagaimana dampaknya
terhadap kinerja sekolah, kepala sekolah, guru teman sejawat, siswa
dan masyarakat orang tua siswa.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
dampak sertifikasi guru melalui PLPG terhadap:
1. peningkatan sikap kerja/kreativitasnya bgai guru bidang studi
mulok mata pelajaran bahasa Sunda.
2. peningkatan persiapan kegiatan belajar mengajar guru mulok
bahasa Sunda.
3. peningkatan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru
mulok bahasa Sunda.
4. peningkatan penilaian kegiatan belajar mengajar guru mulok
bahasa Sunda.
5. deseminasi atau penulararan hasil program sertifikasi guru
muatan lokal bahasa Sunda di sekolah.
6. peningkatan pengembangan profesi guru mulok mata
pelajaran bahasa Sunda.
7. kontribusi/kebermanfaatan kinerja guru mulok mata pelajaran
bahasa Sunda.
TINJAUAN PUSTAKA
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan bahwa
sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi
untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut
dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan
pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian
terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi
guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi
akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4)
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan
dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi,
(8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di
177
bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan
dengan bidang pendidikan.
Guru peserta program sertifikasi yang belum lulus pada penilaian
portofolio dan direkomendasikan oleh LPTK untuk mengikuti Diklat
Profesi Guru (DPG) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi
guru sesuai dengan persyaratan sebagai guru profesional yang
ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang
peningkatan profesionalitas guru.
178
dan 13) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai
bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi
kompetensi untuk: 1) berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat
secara santun; 2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi
secara fimgsional; 3) bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan,
orangtua/wali peserta didik; 4) bergaul secara santun dengan
masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai
yang berlaku; dan 5) menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati
dan semangat kebersamaan.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam
menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknoiogi, dan/atau seni yang
diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: 1) materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang
akan diampu; dan 2) konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan,
teknoiogi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi
atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran,
dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Peserta DPG
Peserta DPG adalah guru peserta program sertifikasi yang
belum lulus pada penilaian portofolio dan direkomendasikan oleh
LPTK penyelenggara sertifikasi untuk mengikuti DPG.
Tipe DPG
DPG terdiri atas dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B. Penentuan
tipe DPG bagi peserta yang belum lulus didasarkan pada pencapaian
hasil skor penilaian portofolio.
179
b) DPG diselenggarakan oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi
Guru.
c) DPG diakhiri dengan uji kompetensi guru yang dilakukan
oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru.
d) Peserta yang lulus mendapat sertifikat pendidik, sedangkan
yang tidak lulus diberi kesempatan untuk mengikuti ujian
ulang di LPTK sebanyak dua kali dengan tenggang waktu se
kurang-kurangnya dua minggu sejak tanggal pengumuman.
e) Peserta yang telah mengukuti ujian ulang sebanyak dua kali
namun masih belum lulus, maka diserahkan kembali ke dinas
pendidikan kabupaten/kota untuk dibina lebih lanjut.
Materi DPG
Materi DPG mencakup empat kompetensi guru, yaitu: (1)
pedagogik, (2) sosial, (3) kepribadian, dan (4) profesional. Jabaran rinci
materi DPG ditentukan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian ini secara umum menggunakan pendekatan
A dominant-less dominant (Creswell, 1994), yakni paradigma kuantitatif
sebagai pendekatan utama, ditambah dengan penggunaan paradigma
kualitatif untuk menelusuri kasus-kasus tertentu yang berkaitan
dengan tanggapan, sikap, dan motivasi peserta. Penelitian ini
merupakan objective-based study sehingga secara umum menggunakan
desain kuasi evaluasi dampak (Stufflebeam dan Shinkfield, 1988)
dengan single group after project assessment design dan single group after
project assessment design (FYA & Sharp, 2000).
Metode Penelitian
`Metode yang digunakan adalah deskriptip kuntitatif, yaitu
pengumpulan informasi dengan instrumen tes untuk kemampuan
akademik, tes produk, dan kuesioner untuk menjaring deseminasi atau
penularan hasil sertifikasi atau diklat sertifikasi, kompetensi secara
umum guru tamatan diklat, pengelolaan kegiatan belajar mengajar,
penelitian, dan pengembangan karir.
1. Instrumen
Instrumen yang dipakai untuk menjaring data yang digunakan
adalah tes kemampuan akademik bidang studi dan kuesioner isian.
180
Untuk lebih jelasnya, instrumen yang digunakan dapat dilihat tabel
sebagai berikut:
2. Pengolahan Data
Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan
statistik deskriptif dengan cara (1) dikompilasi, (2) ditabulasi, (3) diberi
skor dan dipresentasi, dan (4) diinterpretasi.
4. Sasaran
Sasaran kegiatan penelitian dari masing-masing daerah adalah
5 orang guru tamatan diklat PLPG Muatan Lokal Bahasa Daerah, 5
Kepala Sekolah, 5 Pengawas, dan 5 orang siswa dari 1 orang guru
tamatan diklat PLPG tersebut. Adapun daerah sampel yang diteliti
adalah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kota
Tasikmalaya, dan Kabupaten Tasikmalaya.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil pengolahan data instrumen penelitian
evaluasi pascadiklat yang diperoleh dari instrumen, maka diambil
interpretasi seperti pada tabel berikut.
181
Tabel Hasil Penelitian Evaluasi PascaPLPG di Jawa Barat
Kota Kab. Kab. Kab. Kota Rata-
No Aspek Kompetensi Bandung Bandung Garut Tasik Tasik rata
Peningkatan Kegiatan
1 Persiapan Pembelajaran 4,03 4,02 4,28 4,04 3,81 4,036
Peningkatan kegiatan
Pelaksanaan
2 Pembelajaran 4,08 3,92 4,26 4,06 3,92 4,048
Peningkatan Kegiatan
3 Penilaian 4,34 4,02 4,42 4,2 3,92 4,18
Peningkatan Pengalaman
Menjadi Instruktur/
4 Pengimbahasan 2,58 2,35 2,39 2,04 2,88 2,448
Peningkatan
5 Pengembangan Profesi
a. Mengikuti Seminar/
Lokakarya/Workshop 3,03 3,1 2,15 2,82 2,98 2,816
b. Penelitian Tindakan
Kelas 3,37 2,96 3,17 3,3 2,95 3,15
c. Studi Banding
(Benchmarking) 2,28 2,18 1,69 1,8 1,77 1,944
d. Menulis Buku 2,9 1,66 1,49 1,39 2,13 1,914
e. Menulis Artikel Ilmiah 1,85 1,83 1,12 1,37 1,99 1,632
Peningkatan Sikap Kerja/
6 Kreativitas 4,03 3,97 4,53 2,14 3,95 3,724
Rata-rata 3,249 3,001 2,95 2,716 3,03
182
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dikumpulkan
dengan menggunakan instrumen monitoring dan evaluasi pascadiklat
di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, kabupaten Garut, Kabupaten
Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Berturut-turut disebutkan dari yang terbesar ke yang terkecil
adanya pengaruh diklat PLPG Muatan Lokal Rayon 10 terhadap (1)
peningkatan kegiatan penilaian( 4,18); (2) peningkatan sikap kerja/
kreativitas (4,09); (3) peningkatan kegiatan persiapan pembelajaran
(4.03); (4) peningkatan kegiatan pelaksanaan pembelajaran (4,02);
(5) peningkatan pengalaman menjadi instruktur/pengimbahasan
(2,38); dan (6) peningkatan pengembangan profesi (2,28).
2. Secara umum menunjukkan bahwa yang dampaknya paling kecil
berturut-turut disebutkan (1) studi banding (1,92), menulis buku
(2,14), PTK (2,34), menulis artikel ilmiah (2,36), dan mengikuti
seminarlokakarya/workshop (2,66).
3. Kinerja guru alumni diklat dapat meningkatkan kemampuannya
dalam peningkatan kegiatan penilaian, peningkatan sikap kerja/
kreativitas, peningkatan kegiatan persiapan pembelajaran, dan
peningkatan kegiatan pelaksanaan pembelajaran bahasa daerah
(bahasa Sunda) di masing-masing sekolahnya akan tetapi kurang
maksimal dalam meningkatkan kemampuan mereka dalam
menulis artikel ilmiah, menyusun PTK, melakukan studi banding,
dan menulis buku pelajaran.
4. Hendaknya PLPG lebih meningkatkan program pengembangan
profesi guru, sehingga guru-guru dapat mengembangkan
kemampuannya dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiah
dan menghasilkan berbagai tulisan/karya ilmiah.
5. UPI perlu mengadakan pemantauan yang kontinu dan memberikan
pembinaan yang terus-menerus terhadap alumni diklat PLPG.
DAFTAR PUSTAKA
183
Dirjendikti. 2010. Panduan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Stufflebeam, D. L. & Shinklfied, A. J. (1988). Systematic Evaluation. Boston:
Kluwer-Nijholl Publishing.
The Foundation of Young Australian (FYA) & Sharp, C. (2000). Start Do It
Yourself: Evaluation Manual. Tersedia: http://www.youngaustralians.
org. [8 Pebruari 2008].
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas).Bandung: Nuansa Aulia.
Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta:
Wacana: Intelektual.
184
PEMAHAMAN KEMBALI LOCAL WISDOM
ETNIK JAWA DALAM TEMBANG MACAPAT
DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BANGSA
I. Pendahuluan
185
Sêrat Sabdā Jati, Sêrat Kālātidhā, Sêrat Sabdā Tāmā. Wulangrèh, Wulang
Sunu, Wulang Èstri karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV. Tripāmā,
Wedātāmā, Wirāwiyātā karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV. Karya
ketiga tokoh itu banyak dikenal di tengah masyarakat. Sampai-sampai
banyak orang hafal akan lari-larik dari tembang itu. Pada era modern
ini pun tembang macapat masih ditulis atau diciptakan dengan
disisipi pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan pengembangan
budi pekerti luhur bangsa.
Têmbang (sêkar) macapat3 merupakan salah satu jenis puisi di
dalam bahasa Jawa yang disebut juga têmbang cilik atau sêkar alit,
atau têmbang lumrah4 (Laginem, dkk., 1996:26). Disebut tembang
karena dalam membawakannya sebenarnya harus dilagukan atau
dinyanyikan (Marsono, 1992:77). Hal itu juga dikatakan oleh Arps
(1992:14) bahwa tembang macapat merupakan puisi tradisional tertulis
yang biasanya dibaca dalam bentuk nyanyian. Cara membaca yang
harus dinyanyikan ini merupakan salah satu keunikan dari bentuk
puisi dalam bahasa Jawa.
Tembang macapat merupakan corak kesenian dalam budaya
tradisional yang secara kolektif dimiliki, dikenal, dan banyak
mengandung pengetahuan, serta kearifan lokal (local wisdom)
masyarakatnya. Selain itu, juga sarat dengan kaidah, serta berisi petuah,
nasihat, dan berbagai kearifan pandangan hidup Jawa. Tembang
macapat adalah salah satu jenis kesenian yang memadukan antara
puisi dengan musik, baik musik tradisional maupun modern. Pilihan
bentuk perpaduan antara tembang dengan musik itu tidak lepas dari
kesenangan nenek moyang etnik Jawa untuk melantunkan tembang.
Ini terbukti pula dengan adanya berbagai alat musik tradisional Jawa
yang telah diciptakan olehnya.
Keindahan tembang saat dilantunkan menyebabkan orang
mudah menghafal dan menyimpan dalam hati pesan-pesan yang
disisipkan dalam tembang itu. Selanjutnya dapat diajak dengan mudah
untuk melaksanakan pesan-pesan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Jika pesan-pesan itu diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari, maka pesan itu dapat membentuk cita rasa keindahan
dan kehalusan budi suatu masyarakat. Hal ini sesuai pendapat
Tedjohadisumarto (1958) bahwa tembang juga dapat dipakai
186
sebagai sarana membangun kehalusan budi dan cita rasa keindahan.
Hal lain yang menarik dari tembang macapat adalah adanya
wujud salah satu anasir budaya Jawa yang bersifat khas karena isinya
mengandung sapaan, amanat, atau pesan bagi seseorang yang menjadi
anggota masyarakat etniknya. Tembang macapat dihiasi pula dengan
aneka simbol di dalamnya yang harus ditafsirkan maknanya. Hal ini
selaras dengan pendapat Casson (1981) bahwa kebudayaan adalah
sistem arti yang bersifat simbolik dan bahasa merupakan sistem tanda
yang berfungsi sebagai simbol. Simbol-simbol itu dapat diidentifikasi
antara lain melalui kespesifikan bahasa yang digunakan dan ritme
suara yang lazim dilantunkan. Sebagai contoh, simbol seperti tersirat
dalam larik tembang macapat karya Ranggawarsita dalam Sêrat
Kalatidha berikut ini.
Amênangi jaman edan, ‘Menyaksikan zaman edan,
ewuh āyā ing pambudi, serba salah dalam menyiasati,
mèlu edan nora tahan ikut gila tidak tahan,
yèn tan mèlu anglakoni, kalau tidak ikut melakukan,
boyā kaduman melik, tidak akan kebagian,
kalirên wêkasanipun, kelaparan akhirnya,
dilalah karsā Allah, kalau sudah dikehendaki Allah,
begjā-begjane kang lali, seberuntung apa pun yang lupa daratan,
luwih begjā kang eling lebih beruntung yang sadar diri dan
lawan waspādā. ``waspada.’
187
(kebaikan), laku utāmā atau ke budi pêkêrti luhur7 karena sadar sebagai
makhluk Tuhan. Dengan demikian, orang yang selalu berbuat eling
dapat terhindar dari perbuatan yang negatif dan mendapatkan
pahala dari Allah. Karena itulah disebutkan orang itu lebih beruntung
daripada orang yang mengikuti keangkaramurkaan karena terseret
arus zaman edan. Ungkapan eling dan waspādā memiliki implikatur
imperatif permintaan dari penulis kepada O2 agar di dalam kehidupan
sehari-hari, konsep itu selalu diingat dan dipakai sebagai peringatan
apabila O2 mengalami hal-hal yang mengharuskan ia memutuskan
untuk berbuat angkara murka atau tidak.
lihat kutipan di atas, larik-larik dalam wacana tembang ternyata
mengandung ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan
filsafat hidup dan menjadi pendidikan bagi orang Jawa. Makna yang
terkandung di dalamnya harus ditafsirkan sendiri oleh anggota
masyarakat. Dalam menafsirkan makna, seseorang harus memiliki
skemata atau knowledge of the world tentang sesuatu yang disasmitakan
itu. Sebagai contoh ungkapan ilmu iku tinêmune kanthi laku8 ‘ilmu itu
diperoleh dengan perbuatan prihatin9’. Diperolehnya ilmu, menurut
ungkapan di atas harus disertai laku yang secara harafiah berarti
’perbuatan’. Pemahaman kata laku tidak hanya sampai pada makna
harafiah saja. Ada makna lain yang harus dipahami dengan cara
menerapkan konsep itu di dalam kehidupan sehari-hari. Kata laku
di samping memiliki makna dasar ’perbuatan’ yang bersifat lahiriah
juga memiliki makna tambahan yang lain, yaitu diikuti oleh adanya
perbuatan yang bersifat batiniah, misalnya puasa, berdoa atau berdzikir,
dan sebagainya. Dengan cara itu, seseorang baru dapat menemukan
konsep dan implikatur dari kata laku serta memahaminya.
Pada kesempatan ini pembahasan hanya dibatasi pada Tripāmā,
Wulangrèh, dan Kālātidhā yang masing-masing mewakili karya dari
keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan dari pujangga. Agar
masalah dapat lebih terfokus, masalah-masalah yang dibahas dalam
pembahasan ini dirumuskan sebagai berikut.
(1) Apa urgensi pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa
7 Budi pekerti luhur atau sifat akhlakul karimah adalah watak dan perbuatan yang mu-
lia. Budi pekerti luhur pada dasarnya merupakan sikap atau perilaku yang dilandasi
pertimbangan baik buruk, kemudian memilih ke hal yang baik untuk dilakukannya
(Endraswara (2003:3).
8 Lihat Wedhātāmā karya KGPAA Mangkunagara IV
9 Ilmu yang dimaksud adalah sains, tetapi apabila ilmu yang dimaksud adalah ilmu
metafisika, laku di situ mempunyai arti lain, yakni bertapa atau berpuasa atau
tindakan spiritual lain yang dapat meraih tercapainya ilmu itu.
188
dalam tembang macapat?
(2) Dapatkah kearifan lokal etnik Jawa yang terdapat dalam tembang-
tembang macapat itu dimanfaatkan sebagai media pendidikan
budi pekerti luhur bangsa Indonesia?
2. Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa adalah “symbolic meaning system” ‘bahasa adalah sistem
makna yang simbolis’, begitu pula halnya dengan kebudayaan yang
dikatakan sebagai “symbolic meaning system” (Casson, 1981:11-17).
Lebih jauh ahli ini menyatakan sebagai berikut.
“Like language, it is a semiotic system10 in which symbols function to communicate
meaning from one mind to another. Cultural like symbols, like linguistic symbols,
encode a connection between a signifying form and a signaled meaning”, ‘Seperti
bahasa, kebudayaan adalah sistem tanda yang merupakan simbol yang
berfungsi untuk mengkomunikasikan makna dari satu konsep pikiran
ke yang lain. Simbol-simbol yang terdapat dalam kebudayaan, seperti
halnya simbol-simbol linguistik, mengkodekan hubungan antara bentuk
yang menandai dan makna yang ditandai’.
Dari pernyataan itu tampak lebih jelas lagi bahwa bahasa merupakan
sistem tanda yang berfungsi sebagi simbol dalam mengkomunikasikan
makna dari seseorang kepada yang lain. Kebudayaan juga simbol,
seperti simbol bahasa, yang merupakan penanda dan petanda11. Senada
dengan itu Sapir (1960:70) juga mengatakan bahwa bahasa merupakan
petunjuk yang sifatnya simbolis terhadap budaya. Jadi, bahasa sebagai
hasil kebudayaan manusia merupakan simbol makna yang diciptakan
untuk keperluan manusia dalam berkomunikasi. Halliday dan Hassan
(1992:4) mengatakan bahwa budaya sebagai seperangkat sistem
semiotik, sebagai seperangkat sistem makna, yang semuanya saling
berhubungan. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna
yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.
Secara garis besar Levi-Strauss12 (1963:68) membedakan tiga
macam pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan
sebagai berikut.
(1) Bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai
refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
(2) Bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan
salah satu unsur dari kebudayaan.
(3) Bahasa merupakan kondisi kebudayaan.
Kaitan antara bahasa dan kebudayaan ini kemudian dikaji
189
dalam bidang ilmu yang disebut etnolinguistik atau antropolinguistik
(Levi-Strauss, 1963:359). Penelitian yang berkaitan dengan bidang ini
awalnya dilakukan oleh Franz Boas yang meneliti orang-orang Indian
dan Eskimo. Penelitian Boas beserta metodenya mengenai orang
Indian tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir
(Samsuri, 1988:50).
Pandangan Sapir itu kemudian dikembangkan oleh Benjamin
L. Whorf. Bagi Whorf cara memandang, cara memahami, serta
menjelaskan berbagai macam gejala atau peristiwa yang dihadapinya,
sangat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakannya. Pandangan ini
kemudian terkenal dengan sebutan “Sapir-Whorf Hypothesis” (Ahimsa-
Putra, 1996:3). Dalam hipotesis tersebut disebutkan bahwa bahasa
menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran
yang berbeda pula. Dengan kata lain suatu bangsa yang berbeda
bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan pikiran yang
berbeda pula (Anwar, 1990: 86).
190
dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap
sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
“kearifan/kebijaksanaan”. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.
Tim Wacana Nusantara (2009:1) menyatakan bawa kearifan lokal
merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh
sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini
masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat
tertentu di daerah tertentu. Kearifan lokal tersebut terpelihara dengan
baik meskipun telah terjadi interaksi dengan dunia luar dan mengalami
akulturasi budaya denga kebudayan di luar kebudayaan mereka.
Menurut Ridwan (2010:3) kearifan-kearifan lokal dalam
masyarakat kita dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah,
semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
hari. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik
yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut,
misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe
rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiaine
manfaat ilmune, patuh gurune barokah uripe (masyarakat pesantren), dan
sebagainya.
Menurut Marsono (2007:182) dalam masing-masing etnik Nusantara
banyak terdapat kearifan lokal. Sewaktu bangsa Nusantara belum bisa
tulis-menulis kearifan lokal yang memuat amanat pembentukan budi
luhur dituangkan dalam bentuk upacara-upacara tradisional, legenda-
legenda/ cerita rakyat/ dongeng, ungkapan-ungkapan, dan relief.
Setelah bangsa ini mampu tulis-menulis maka sarana yang dipakai
lewat bentuk tulis.
4. Pembahasan
4.1 Urgensi Pemahaman Kembali Kearifan Lokal Etnik Jawa Melalui
Tembang Macapat
Dari hasil telaah dan pemahaman kembali terhadap tembang
macapat Tripāmā, Wulangrèh, dan Kālātidhā (selanjutnya disingkat
T, W, dan K) dapat dikatakan bahwa ketiga tembang macapat itu
mengandung bermacam-macam piwulang/ ajaran yang berkaitan
dengan budi pekerti manusia hidup di dunia. Wujud piwulang itu
berupa ungkapan-ungkapan yang disisipkan di dalam tembang
macapat itu. Penggubah tembang (O1) bermaksud memberikan
piwulang itu kepada para keturunan raja, para abdi keraton, dan juga
masyarakat etnik Jawa (O2).
191
Penyampaian pesan berupa piwulang yang dibungkus melalui
tembang itu sangat efektif, sehingga mampu menjangkau masyarakat
etnik Jawa secara luas. Dengan cara memasyarakatkan tembang
macapat di kalangan etnik Jawa, pesan-pesan raja sampai kepada O2
secara perlahan namun pasti. Masyarakat diajak nembang dengan
berbagai metrum yang berbeda. Dari kebiasaan nembang itulah
pesan-pesan itu dengan tidak disadari telah dihafal oleh masyarakat
etnik Jawa dan meresap ke dalam hati sanubari mereka. Kemudian
dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis melaksanakan pesan-
pesan itu.
Dengan demikian O1 secara tidak langsung telah mempengaruhi
O2 agar melaksanakan pesan-pesan tersebut. Apa yang dilakukan
oleh O1 dapat pula dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal yang
dilakukan oleh O1 atau para leluhur etnik Jawa. Dikatakan demikian
karena para leluhur berusaha membentuk budi pekerti masyarakat
etnik Jawa melalui tembang. Leluhur etnik Jawa juga menciptakan
tradisi yang menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Jawa dalam
kehidupannya. Tradisi itu dipelihara secara turun-temurun dan hingga
saat ini masih dipertahnkan keberadaannya. Dengan demikian, dapat
pula dikatakan bahwa tembang macapat merupakan sumber kearifan
lokal etnik Jawa di dalam hal piwulang budi pekerti atau watak yang
patut diteladani.
Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang tersebut, ditemukan
kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan budi pekerti
luhur etnik Jawa. Pesan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis,
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, raja/ pemimpin/ negara, dan
dengan manusia lain. Hubungan manusia dengan alam diintegrasikan
dengan ketiga hubungan tersebut. Berikut ini pembicaraan secara
singkat mengenai hal itu.
(1) Piwulang yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan
Kearifan lokal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
Tuhan yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dibahas tersebut
antara lain agar O2 memahami kesempurnaan Tuhan. Kesempurnaan
itu terbukti dari penyebutan terhadap Tuhan seperti Hjang Agung
‘Yang Agung’ (W, 309, 516, 521, 836), Gusti Kang Murbā ‘Tuhan Yang
Maha Menguasai’ (W, 448), Hyang Widdhi atau Allah (K,69, 99), dan
sebagainya.
Piwulang yang lain adalah agar O2 memahami ajaran Islam
beserta kitab suci Al-Quran karena merupakan kitab yang isinya
berupa tuntunan kehidupan yang sempurna (W, 21), kalau perlu bisa
dilakukan dengan cara berguru untuk mempelajari kitab suci tersebut.
192
Namun, tidak sembarang guru bisa dipilih, harus ada kriteria tertentu
(W, 31 – 38). Setelah itu hendaklah menjalankan rukun Islam dan
syariat agama yang lain (W,1092). Dalam menjalankan rukun Islam
itu hendaklah selalu berdzikir dan berdoa (W, 1181 – 1187). Tidak
lupa pula berupaya mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa (W,
1400 –1408) dengan cara selalu mengolah batin (W, 81–86), selalu
bersyukur dan ikhlas dalam menjalankan ibadah (1177 –1180 dan
1224 – 1225); serta jangan terlena karena hidup hanya diibaratkan
mung mampir ngombe (W, 1126 – 1132), setiap saat manusia dipanggil
menghadap-Nya karena memenuhi takdirnya ((T, 20, 40, dan 59; K,
55 –62). Selain itu, ajaran agar O2 tidak sêmbrānā (W, 1112 – 1118) di
dalam menjalankan perintah agama.
Pendekatan diri kepada Tuhan biasa dilakukan oleh etnik Jawa,
baik melalui cara kejawen atau agama. Jika melalui kejawen proses
pendekatan diri kepada Tuhan biasanya dilakukan dengan cara semedi
‘berdoa secara khusyuk’, nglakoni ‘meninggalkan hal-hal yang bersifat
duniawi’, atau tāpā brātā ‘bertapa’ dalam suatu tempat tertentu. Dalam
agama Islam hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan rukun
Islam disertai berdoa secara khusyuk atau melakukan ritual agama
Islam secara khusus seperti shalat malam atau berdzikir. Selain itu ada
empat tahap proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan tingkatan
makin tinggi semakin memperoleh kemungkinan untuk bisa dekat
dengan Tuhan. Empat tahapan itu adalah syariat, tarekat, hakikat,
dan makrifat. Tahapan syariat adalah tahapan paling rendah, diikuti
tahapan berikutnya makin tinggi tatarannya.
Dari pengetahuan tentang kedekatan diri dengan Tuhan itu dalam
budaya Jawa muncul kearifan lokal yang berupa ungkapan sêmbah rāgā
sebagai padanan tingkat syariat, sêmbah ciptā padanan tahap tarekat,
sêmbah jiwā sebagai padanan hakikat, sêmbah rāsā padanan makrifat.
Sêmbah rāsā merupakan tataran tertinggi dalam tahapan kedekatan
antara manusia dengan Tuhannya. Dalam budaya Jawa tingkat
makrifat atau sêmbah rāsā dapat disamakan dengan manunggaling
Gusti-kawulā. Ada kepercayaan di dalam sistem religi etnik Jawa
bahwa antara seseorang dengan Tuhannya bisa menyatu yang disebut
manunggale Gusti-kawulā. Persatuan ini diibaratkan permata atau emas
dengan tembaga yang menyatu menjadi suasa. Persatuan itu juga
harus bersih, tidak ada nafsu aluamah dan amarah, suci lahir-batin.
Itu semua harus disertai dengan kesabaran, tidak boleh tergesa-gesa
atau nggege mangsa. Kalau telaten akan tercapai kemanunggalan itu.
Di dalam masyarakat etnik Jawa kepercayaan ini saat ini masih ada
dan dilakukan di dalam masyarakat etnik Jawa, walaupun agama
193
Islam telah mendalam di masyarakat etnik Jawa. Konsep persatuan
tersebut memiliki padanan atau disimbolkan dengan konsep curigā
manjing warāngkā ‘keris yang masuk ke dalam wadahnya’.
Kedekatan manusia dengan Tuhannya diibaratkan pula dengan
ungkapan cêdhak tanpā senggolan, adoh tanpā wangênan ‘dekat tidak
bersenggolan, jauh tidak tanpa batasan atau tanpa jarak’. Itulah
perumpamaan hubungan manusia dengan Tuhan yang telah mencapai
tataran tertinggi di dalam sistem religi etnik Jawa.
Untuk mencapai tataran manunggale Gusti-kawulā etnik Jawa
harus mêsu ciptā mati rāgā ‘mengheningkan cipta dan mematikan raga’
yang menjadi sikap laku prihatin. Sikap ini bisa dipadankan dengan
ngungkurke kadonyan ‘menjauhi keduniawian’ yang dilakukan dengan
cara semadi ‘melakukan doa secara khusyuk’ dan harus mematikan
pancaindera atau nutupi babahan hawā sāngā ‘sembilan lubang yang
ada pada tubuh manusia’. Babahan hawā sāngā adalah konsep yang
dipercaya oleh etnik Jawa merupakan sumber keduniawian manusia,
yakni munculnya nafsu yang ada pada diri manusia. Sembilan lubang
yang dimiliki manusia, yaitu hidung, telinga, mata, mulut, payudara,
dan lubang seksual. Orang yang berlaku mêsu ciptā mati rāgā menutup
semua lubang itu dalam arti khusuk berpusat pada doa. Begitulah etnik
Jawa menyikapi hubungan antara dirinya dengan Sang Pencipta.
Etnik Jawa memiliki kearifan lokal berupa ungkapan yang
menyatakan bahwa takdir merupakan garising pêpêsthèn ‘garis takdir’
atau garising kodrat ‘kepastian kodrat’. Segala sesuatu kalau sudah
takdir tan kênā owah gingsir ‘tidak bisa berubah lagi’. Dalam ungkapan-
ungkapan yang lain muncul ungkapan-ungkapan pula seperti pasrah
‘pasrah’, sumarah karsaning Gusti berserah diri kepada Tuhan’, wis
ginaris ing Gusti ‘telah ditakdirkan oleh Tuhan’, mupus pêpêsthening
takdir ‘menyerah dengan adanya takdir’. Orang tidak bisa menghindar
dari takdir buruk yang datang yang diungkapkan kabêntus ing tawang,
kêsandhung ing rātā ‘menabrak angkasa, tersandung di jalan yang rata’.
Ungkapan itu merupakan kiasan untuk menggambarkan sesuatu
yang sebenarnya tidak mungkin terjadi, namun manusia tidak bisa
menghindarkan diri dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan
Ungkapan-ungkapan itu dimanfaatkan untuk bangkit dari
kesedihan dan menimbulkan semangat ketika menghadapi takdir
yang berhubungan dengan kesedihan. Yang berkaitan dengan takdir
muncul pula ungkapan siji pati ‘satu, kematian’, loro jodho ‘dua, jodoh’,
têlu tibaning wahyu ‘tiga, jatuhnya wahyu Illahi’. Ungkapan lain lagi
yang muncul berkaitan dengan takdir adalah bêjā-cilākā ‘beruntung-
celaka’, lārā kêpenak ‘sakit-sehat’, sugih mlarat ‘kāyā-miskin’ itu sudah
194
takdir. Etnik Jawa percaya bahwa mênungsā mung sakdrêmā nglakoni
‘manusia hanya sekedar menjalankan apa yang menjadi takdir Tuhan’.
Ungkapan lain kridaning ati ora bisā mbêdhah kutaning pasti; budi dayaning
manungsā ora bisā ngungkuli garesang kuwāsā ‘tidak setiap keinginan
manusia dapat dipenuhi, budi daya manusia tidak bisa melebihi
kekuasaan atau apa yang ditakdirkan Tuhan’.
195
pemimpin setinggi-tingginya dan menghargainya. Dengan demikian
O2 telah melakukan laku utāmā . Sikap ini merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh seorang anak atau generasi muda kepada orang
tua/ leluhur/ pemimpin yang telah memberikan segala keperluan
kita.
Temuan lain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
raja/ pemimpin/ negara adalah agar O2 sebagai seorang abdi negara
hendaklah gemi , nastiti ‘cermat’, dan ngati-ati ‘hati-hati’ (W, 499 – 502);
bersikap mantep ‘teguh’ dan setya tuhu ’loyal’ terhadap raja (W, 511
– 515); mematuhi semua perintah raja (W,516 – 520, dan 556 – 560);
melaksanakan kewajiban sesuai tugasnya (W, 562 – 570); menghormati
(menyembah) raja, karena raja merupakan wakil Tuhan (W, 516 – 520);
ikhlas lahir-batin (W, 521 – 525); seorang perwira bersikap ksatria,
santun, dan teliti dalam berperilaku (W, 937 – 941); menerima dan
menikmati semua pemberian raja (W, 965 – 976); meniru hal yang
positif dari raja W, 1562, 1566, 1568, 1573 – 1575, 1656, 1669, 1674, 1682,
1685).
Selain meminta, O1 juga melarang kepada O2 sebagai abdi negara
agar tidak absen dalam pisowanan (W, 471 – 478); tidak menggampangkan
dan membuka rahasia raja (W, 501 – 506); tidak menolak keingin raja
(W, 471, dan 1030 – 1041); tidak melanggar wêwalêr atau hal yang tabu
W, 1553 – 1561); tidak bosan berdialog dengan ulama (W, 1605 – 1608);
tidak menolak buku-buku yang berisi ajaran (W, 1625 – 1632).
Yang berkaitan dengan sikap seorang pemimpin, dalam ketiga
tembang itu ditemukan ajaran yang ditujukan kepada O2, hendaklah
jika menjadi raja/ pemimpin negara bisa mempertimbangkan baik dan
buruk (K, 10 –18); memiliki kemampuan lebih (K, 19 – 27); menjadi
teladan bagi yang dipimpin (K, 72–80); mengetahui bahwa semua yang
dilakukan atau dikatakan raja adalah benar adanya (W, 491—494);
menjaga kehormatannya (W, 1151 – 1153); bijaksana dan adil (W, 1161
– 1174); melestarikan tradisi (desa tetap ramai dan rakyat bekerja)
W, 1231 – 1237); luas pengetahuannya (W, 1610 – 1633); mampu
memberantas keangkaramurkaan (K, 19 – 27); menciptakan kedamaian
dan kesejahteraan pemerintahan dan rakyatnya (K, 90 –98); bisa mati
sajroning urip (K, 108 –116); tidak adigang. adigung, dan adigunā (W, 186
– 195); tidak membuat kesalahan (K, 37 – 45); tidak beriman lemah (T,
37 –45); tidak terseret zaman edan dan melakukan aji mumpung (K, 64
– 71); tidak mengikuti arus keangkaramurkaan (K, 37 –45).
Apa yang diuraikan di atas dapat diberikan penjelasan beberapa
bagian sebagai contoh. Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas
etnik Jawa berkaitan dengan (K, 10 –18) di atas adalah munculnya
196
ungkapan becik kêtitik ālā kêtārā ’baik dapat dikenali, buruk akan
ketahuan’. Ungkapan ini untuk menyebut orang yang berperilaku
baik akan dikenali dan dikenang orang, tetapi jika berperilaku buruk
meskipun disembunyikan rapat-rapat akan ketahuan juga. Selain itu
seorang pemimpin dalam menjalankan roda kepemimpinan hendaklah
berpegang teguh pada ajaran sastrā jendrā hayuningrat pangruwating
diyu ‘ilmu rahasia yang dimiliki seorang raja dalam menciptakan
keselamatan dunia, dan dapat menghancurkan keangkaramurkaan’.
Kearifan lokal yang muncul di kalangan masyarakat Jawa
berkaitan dengan apa yang diungkapkan dalam (K, 72–80) adalah
ungkapan ing ngarsā sung tulādhā, ing madyā mangun karsā, tut wuri
handayani ‘di depan memberi keteladanan, di tengah memberikan
dorongan kehendak yang dipimpin, dan mengikuti dari belakang
untuk kebaikan dan keselamatan’. Raja atau pemimpin hendaklah
memiliki sikap ini untuk menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
Dengan sikap ini bawahan akan segan dan menghormati.
Kearifan lokal yang diperoleh dari (W, 1151 – 1153) adalah
munculnya ungkapan êmpan papan ‘dapat menempatkan diri di
mana pun’. Di manapun dan kapan pun seorang pemimpin harus
dapat menjaga kehormatan dan martabatnya. Dengan menerapkan
konsep empan papan seorang pemimpin dapat menyesuaikan diri
di manapun ia berada. Orang akan dikatakan ora ngêrti tātā krāmā
‘tidak tahu tata krama atau norma-normaa kehidupan’ apabila dia
tidak bisa menerapkan konsep êmpan papan. Akibat ketidaktahuan
ini orang tersebut akan menjadi orang yang wirang karena tidak
bisa menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi. Seorang
pemimpin juga harus mengetahui ungkapan ajining diri dumunung ing
kêdaling lathi ‘kehormatan seseorang tergantung dari ucapannya’. Orang
yang tidak pernah menepati janjinya dia akan dikatakan pembohong
sehingga kehormatannya menjadi turun. Sosok pemimpin harus
mengetahui ajining sarirā dumunung ing busānā ‘harga diri seseorang
terletak pada cara ia berpakaian’. Jadi, seorang pemimpin juga wajib
menjaga kata-kata dan penampilannya.
Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa
berkaitan dengan (K, 90 –98) adalah munculnya ungkapan mburu
sênênge dhewe ‘mengejar nafsu kesenangan pribadi’ yang dikenakan
kepada pejabat yang tidak memikirkan kesejahteraan rakyat. Pejabat
model ini hanya mencari keuntungan diri sendiri, keluarga, dan
golongannya. Watak pejabat yang demikian merupakan watak yang
tidak baik dan tidak patut diteladani, dia memiliki sifat angkara murkā
budi candhālā ‘angkara murka, dan budi pekerti yang jelek’, dan
197
sebagainya.
(3) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain
Piwulang yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
manusia lain yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dianalisis,
dapat dkelompokkan menjadi dua, yaitu yang berupa permintaan dan
yang berupa larangan.
Yang berupa permintaan adalah hendaklah menjaga
keprofesionalan (W, 71 – 80); berusaha keras dalam meraih cita-cita (W,
81 – 86); agar selektif dalam berteman (W, 95 – 98); agar menghormati,
patuh, selalu mengingat ajaran orang tua/ leluhur, dan berperilaku
baik(W, 166 – 171); tabêri ‘rajin dan teliti’ (W, 142 –147); meniru ajaran
yang benar walaupun datangnya dari kaum sudra (W, 182 –186); rèrèh
‘sabar’, ririh ‘halus, lembut’, ngati-ati ‘hati-hati’, atau cermat (W, 213 –
216); dapat mempertimbangkan yang baik dan yang buruk, adat dan
tatanan, tata krama (sopan santun), serta musyawarah untuk perkara
yang kecil maupun besar (W, 257 – 263); mengenali watak manusia
(W, 284 – 295); melakukan sêmbah limā W, 403 – 414); mengurangi
makan, tidur, dan nafsu yang membara (W, 601 – 607); menyadari
bahwa benar-salah, baik-buruk, untung-celaka disebabkaan oleh
ulah sendiri (W,615 – 621); hati-hati berbicara (W, 697 – 708); satu
saudara kandung bersatu dan tidak individual (W, 516 – 522); tidak
pilih kasih (W, 871 – 874); saling menghormati dan saling menghargai
(W, 875 – 878); tahu asal-usul (W, 977 – 982); senang menimba ilmu
atau belajar tekun (W, 1067 – 1072); selalu bertakwa (W, 1091 – 1097);
bersikap narimā ‘menerima’ (W, 953 – 958); banyak mendengarkan
atau membaca cerita dan senang nembang (W, 1266 – 1272); berbudi
pekerti luhur (W,1436 – 1444); berhati-hati menentukan sikap (W, 1381
– 1390); generasi muda lebih baik daripada pendahulunya (W, 1658
– 1665); mencari kesempurnaan hidup (W, 1730 – 1737); mendoakan
keturunannya (W, 1666 – 1673); mawas diri (K, 72 – 80).
Yang berupa larangan adalah agar O2 tidak berlebihan tidur dan
makan (W, 87 – 92); tidak sombong, angkuh, dan congkak (W, 93 – 94);
tidak banyak bicara (W, 153 – 158); tidak kêpatuh (W, 171 – 175); tidak
suka disanjung dan disuap maupun menyuap (W, 226 – 235); tidak
suka mengobral janji (W, 246 – 250); tidak dekat orang yang bersikap
dêgsurā (W, 277 – 283); tidak bersikap drêngki, srèi, dorā, irèn, mèrèn,
panastèn, kumingsun, jail, mutakil, dan basiwit (W, 312 – 318); tidak
bersikap lunyu, lèmèr(an), genjah, angrong prasanakan, nyumur gumuling,
dan ambuntut arit (W, 347 – 353); tidak mengikuti ajaran yang diberikan
oleh orang tua atau saudara jika dirasa hal itu tidak baik (W, 379 –
386); tidak berani kepada orang tua (W, 395 – 398); tidak melakukan
198
tiga hal, yaitu nggunggung ‘menyanjung’, nacat ‘mencacat orang lain’,
dan maoni ‘tidak mempercayai semua orang’ (W, 625– 629); tidak suka
ngrasani (W, 678 – 684); tidak mengumpat atau berkata-kata kotor (W,
709 – 714); jangan mengambil janda saudara, abdi, dan teman bekerja
(W, 721 – 726); jangan mengonsumsi opium atau narkoba, bertaruh,
menjadi penjahat, dan berhati saudagar, dan pemabok (W, 739 –
744); tidak bergaul dengan wanita yang buruk tabiatnya, serta tidak
membuka rahasia di depan wanita (W, 829 – 834); tidak angkuh, bêngis,
lêngus, lanas, calak, lancang, langar, ladak, sumalonong, ngidak, ngêpak,
dan siyā-siyā (W, 1133 – 1139); tidak sêmbrānā ‘teledor’, bersikap tidak
menerima, tidak mudah bosan berdialog dengan orang tua (W, 1161 –
1167); tidak mengabaikan wulang (W, 1594 – 1601).
Ungkapan-ungkapan yang disisipkan dalam tembang macapat
dalam hal berhubungan antara manusia dengan manusia yang
lain atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakaat yang
lain di atas merupakan ajaran yang disampaikan O1 kepada O2. Isi
ajaran tersebut ada yang berupa sebuah permintaan dan ada pula
yang berupa larangan. Permintaan tersebut pada umumnya berupa
permintaan dari O1 kepada O2 agar melakukannya, sedangkan yang
berupa ajaran mengenai perilaku buruk berupa larangan agar O2
tidak melakukannya. Semua ajaran itu menjadi kearifan lokal etnik
Jawa yang hidup dan menjadi tradisi bagi etnik Jawa sampai saat ini.
Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang di atas dapat
dikatakan bahwa pemanfaatan kembali terhadap kearifan lokal
etnik Jawa yang terdapat dalam tembang macapat sangat urgen jika
dikaitkan dengan upaya pembentukan budi pekerti luhur bangsa
Indonesia.
199
disimpan sebagai pengetahuan jika suatu saat menghadapi hal yang
buruk itu.
Ungkapan-ungkapan yang ada di dalam tembang itu merupakan
kearifan lokal dan kekayaan kebudayaan yang dimiliki etnik Jawa.
Ungkapan-ungkapan yang diidentifikasi sebagai ajaran tentang budi
pekerti itu selanjutnya menjadi pola pikir dan pandangan hidup
etnik Jawa yang terselip di dalam larik-larik tembang. Penyebaran ke
berbagai komunitas etnik Jawa itu terjadi melalui nyanyian yang sering
dilakukan oleh masyarakat etnik Jawa. Dengan cara menyanyikan
mereka akhirnya hafal ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam
tembang itu. Dengan menyanyikan tembang itu mereka juga tidak
sadar telah merefleksi makna ungkapan-ungkapan yang ada di dalam
tembang itu. Dengan demikian secara otomatis ungkapan-ungkapan
itu lalu memasyarakat dan menjadi kearifan yang dimiliki oleh etnik
Jawa. Dengan demikian akhirnya ungkapan-ungkapan itu lalu menjadi
kearifan lokal yang dimiliki oleh etnik Jawa. Ungkapan-ungkapan itu
dikatakan sebagai kearifan lokal etnik Jawa karena hanya etnik Jawa
saja yang memahami makna atau sasmita dari ungkapan-ungkapan
melalui proses refleksi dalam kurun waktu yang lama.
Dari ungkapan yang ada di dalam tembang kemudian etnik
Jawa melengkapi dengan ungkapan-ungkapan lain yang diciptakan
untuk menghadapi permasalahan-permasalah yang muncul di dalam
kehidupan sehari-hari. Ungkapan lain itu merupakan ungkapan-
ungkapan yang mengandung daya sugesti bagi etnik Jawa, sehingga
etnik Jawa mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebagai
contoh: ada ungkapan adiguna, adigang, adigung menyebabkan
munculnya ungkapan aja dumeh sebagai langkah untuk menanggulangi
agar orang tidak melakukan perbuatan adiguna, adigang, adigung.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa dalam ketiga wacana
tembang macapat itu terkandung konsep pemikiran atau cara
memandang masyarakat etnik Jawa terhadap Tuhan, negara/ raja, dan
manusia lain. Konsep itu lalu dituangkan dalam bentuk tulisan yang
berupa tembang macapat. Setelah itu, tembang beredar di masyarakat
etnik Jawa dan apa yang tertulis di dalam larik-larik itu menjadi sistem
kognisi atau sistem pengetahuan bagi etnik Jawa. Sistem pengetahuan
yang berupa cara pandang etnik Jawa itu dapat dipahami oleh etnik
Jawa secara turun-temurun dan direfleksi secara tidak langsung
melalui nyanyian dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan ini
kemudian menjadi strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan masyarakat etnik Jawa dalam menyelesaikan berbagai
persoalan atau masalah yang muncul di kalangan mereka. Dengan
200
demikian ungkapan-ungkapan itu telah menjadi kearifan lokal dan
kekayaan kebudayaan bagi etnik Jawa dan dimiliki secara turun-
temurun.
Cara menanamkan ungkapan-ungkapan yang mengandung
pendidikan, piwulang, atau ajaran kepada generasi selanjutnya
melalui tembang dan tulisan itu sangat baik dilestarikan karena
dengan tembang pesan-pesan mudah masuk ke dalam hati sanubari.
Walaupun ada pula ungkapan-ungkapan yang saat ini tidak relevan
karena kemajuan zaman, namun kearifan ini perlu pula dipakai sebagai
model bagi penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur bagi
generasi muda.
5. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa dalam tembang macapat
sangat urgen dalam rangka pembentukan budi pekerti luhur bangsa
Indonesia. Dikatakan demikian karena tembang macapat mengandung
ajaran budi pekerti luhur bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Jika masyarakat melaksanakan pendidikan, piwulang,
atau ajaran tersebut, dapat diprediksikan terciptanya kehidupan yang
harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, pemimpin,
dan manusia yang lain, termask di dalamnya alam semesta.
Kearifan lokal etnik Jawa yang berupa ajaran yang bersumber
dari tembang macapat itu dapat dimanfaatkan sebagai model dalam
menanamkan budi pekerti bagi bangsa Indonesia. Penanaman
budi pekerti melalui tembang tersebut dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat masing-masing.
Jenis tembang yang dipilih menyesuaikan dengan cita rasa tembang
masyarakat daerah masing-masing. Misalnya di Jawa menggunakan
media tembang macapat. Di Bali dan Sunda juga ada macapat, mungkin
di Betawi dengan tembang yang dibungkus gambang kromong. Di
Sumatra atau daerah lain dengan lagu daerahnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
201
_______. tt . ”Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia”. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Anwar, Khaidir.1990. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of
Javanese Literature. London: University of London.
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Museum Sonobudoyo
Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan
Publishing Co., Inc.
Darusuprapta. 1989. “Macapat dan Santiswara” dalam Humaniora No. 1.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
_______. 1985. Serat Wulang Reh. Surabaya: CV Citra Jaya.
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT
Hanindita Graha Widya.
Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-
aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan Asruddin
Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kamajaya. 2000. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartomihardjo, Soeseno. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya pada
Beberapa Wacana”. PELBA 6 , hal. 21–58. Jakarta: Lembaga Bahasa
Unika Atma Jaya dan Kanisius.
_______. 2000. ”Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa”. Jurnal Ilmiah
Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun 18, Nomor 1, hal. 123–140.
Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya.
_______. 1993. Sasmita a Shared Knowledge of The World among Javanese. Paper
in Second International Symposium on Humanities: Linguistics and
History. Yogyakarta: Faculty of Letters.
Laginem, Slamet Riyadi, Prapti Rahayu, Sri Haryatmo. 1996. Macapat Tradisional
dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books,
Inc., Publishers.
_______. 2005. Antropologi Struktural (terjemahan Ninik Rochani Sjams).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Marsono. 1996. “Lokajaya: Suntingan Teks, Terjemahan Struktur Teks, Analisis
Intertekstual, dan Semiotik”. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.
_______.2007. “Revitalisasi Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Masyarakat
Sejahtera” dalam Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta: LPPM UGM.
Marsono; Waridi Hendrosaputro (Penyunting). 1999/2000. Ensiklopedi
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa-Lembaga Studi Jawa.
Poerwadarminta, W.J.S. 1953. Sarining Paramasastra Djawa. Jakarta: Noordhoff-
Kolff N.V.
________. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij
NV.
Putut Setiyadi, Dwi Bambang. 2004. “Wacana dalam Tembang Macapat
Wulangreh: Kajian Pragmatik” dalam Jurnal Terakreditasi Fenolingua,
202
Nomor 1, Tahun 13, hal. 85–107. Klaten: Universitas Widya Dharma.
_______. 2009. Wacana Tembang Macapat sebagai Pengungkap Sistem Kognisi
dan Kearifan Lokal Etnik Jawa serta Dasar Pembentukan Kepribadian Bangsa.
Hibah Penelitian untuk Mahasiswa Program Doktor Tahun Anggaran
2009. Yogyakarta: LPPM Universitas Gadjah Mada.
Rajab. 2007. Kearifan Lokal. http://www.depsos.go.id/
Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ridwan, Nurma Ali. 2010. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. http:// www.
nusantara-online.com.
Riyadi, Slamet. 1988. Macapat: Kajian Unsur dan Sejarah. Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa.
Rosidi, Ajip. 2010. “Kearifan Lokal dan Pembangunan Bangsa” dalam
International Conference Proceedings on Traditional Culture and Rancage
Award 2010, hal. 28–35. Yogyakarta: Faculty of Language and Arts,
Yogyakarta State University.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdikbud.
Sapir. Edward. 1960. Culture, Language, and Personality. USA: University of
California Press.
Saputra, Karsono H. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Lingustik Umum (terjemahan Rahayu
S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soesilo. 2002. Ajaran Kejawen: Filosofi dan Perilaku. Jakarta: Yayasan “Yusula”.
_______. 2003. 80 Ajaran Ungkapan Orang Jawa. Jakarta: Yayasan “Yusula”.
Soetrisno, R. 2004a. Nilai Filosofis Kidung Pakeliran. Yogyakarta: Adita
Pressindoesti.
_______. 2004b. “Dimensi Moral dalam SyairTembang pada Pagelaran Wayang
Purwa”. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.
Sri Susuhunan Pakubuwana IV. TT. Wulangreh. Sukoharjo: Cendrawasih.
Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama.
Sudaryanto dan Pranowo (Ed.). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta:
Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa.
Tedjohadisumarto, R. 1958. Mbombong Manah 1. Jakarta: Djambatan.
Tim Penyusun Kamus. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Tim Wacana Nusantara. 2009. “Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik”
http:// www.nusantara-online.com
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Winter Sr. C.F. dan Ranggawarsita, R.Ng. 1994. Kamus Kawi – Jawa. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
_______. 1994. Kalangwan (Terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Djambatan.
203
CERITA DEWI SRI SEBAGAI SUMBER
KEARIFAN DALAM KEHIDUPAN
BERKELUARGA
Avi Meilawati
Universitas Negeri Yogyakarta
Pendahuluan
204
Dalam makalah ini disajikan nilai luhur yang ditinggalkan Dewi Sri
sebagai pedoman hidup berkeluarga, yang nantinya dapat dijadikan
acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
205
menjadi burung Sriti. Di lain tempat, wujud Dewi Sri yang sudah
ditabur oleh Sang Hyang Jagatnata berubah menjadi ular. Dan Raden
Sadana berubah menjadi burung Sriti. Akhirnya Dewi Sri pun moksa
dan Raden Sadana melanglang buana ke tanah Hindustan.
206
memerintahkan agar suami dapat berbuat baik kepada istrinya,
menyayangi, mengasihi, dan menghormati. Istri tidak hanya
sebagai kanca wingking yang tidak boleh tahu apa-apa, namun
sebagai partner dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Semua permasalahan dapat dikomunikasikan dan dicari jalan
keluarnya bersama-sama. Selanjutnya, dari Ummu Salamah
“sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: barang siapa diantara
perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka kepadanya
maka perempuan itu akan masuk surga (Rasjid, 1992: 371). Hadis
itu menunjukkan bahwa istri harus berbakti kepada suami. Bakti
yang dilakukan adalah sesuai dengan aturan yang ada, baik
norma sosial maupun norma agama.
Sedangkan dasar filsafat masyarakat Jawa sejak jaman dahulu
sudah akrab dengan pepatah rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.
Konsep kerukunan tersebut muncul sebagai alat pengendali
emosi diri. Manusia Jawa hendaknya dapat mengendalikan emosi,
tidak mudah terpancing dengan lingkungan negatif. Menurut
Hadiatmadja (2011: 43), ada beberapa ungkapan tradisional yang
dapat dijadikan pedoman untuk menjaga kerukunan, antara lain:
ana bapang sumimpang, ana catur mungkur (jika ada orang sedang
marah maka lebih baik menyingkir, dan jika ada orang bergunjing
sebaiknya menjauhi); suradira jayaningrat lebur dening pangastuti
(kemurkaan dapat dikalahkan oleh kebijaksanaan); aja dhemen
metani alaning liyan (jangan suka mencari keburukan orang lain);
aja dhemen ngetung becike dhewe (jangan suka menghitung kebaikan
sendiri); aja ngewak-ewakke (jangan memamerkan kelebihan
sendiri); aja adigang-adigung-adiguna (jangan menonjolkan
kekuasaan, kebesaran, dan kepandaian); dan ana rembug becik
dirembug (jika ada masalah lebih baik dimusyawarahkan).
Pengendalian diri disertai dengan kesadaran kebijaksanaan akan
menghasilkan jiwa yang welas asih dan dapat lebih menerima
dan memahami orang lain.
(2) tansah ngluluri para leluhure tuwin ajeg sembah-Hyang
Hendaknya pasangan suami-istri juga meluangkan waktu
mengingat leluhurnya, dan mengambil hikmah dari apa
yang pernah diajarkan oleh orang tua sebelumnya termasuk
mendo’akan mereka. Dalam ajaran Islam pun terdapat perintah
untuk mendoakan orang tua. Serta amalan yang abadi, salah
satunya adalah doa anak kepada orang tua. Mengenal leluhur,
sama artinya berusaha mengenal diri sendiri. Mengetahui dari
mana asal diri. Dalam Serat Wulang Reh pun dikenal ajaran
207
sembah lima yang salah satunya adalah orang tua. Orang tua
merupakan lantaran manusia dapat dilahirkan di dunia dan
dapat merasakan kenikmatan hidup. Ada wewaler aja lali marang
asale (jangan melupakan asal-usul). Silsilah keturunan yang ada
secara vertikal meliputi sepuluh tingkatan, yaitu anak, putu, buyut,
canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, grobag senthe, debog
bosok dan galih asem.
Sembah Hyang merupakan hubungan antara manusia dengan
Tuhan penciptanya. Konteks yang muncul dari makna sembah
hyang adalah prinsip eling, waspada, percaya, mituhu (Hadiatmadja,
2011: 24). Eling bermakna manusia harus selalu ingat akan
keberadaan dan kedudukan dirinya. Manusia diciptakan oleh
Tuhan untuk mengabdi kepada Tuhan. Waspada merupakan
sikap yang selalu berhati-hati dari godaan nafsu-nafsu yang ada
pada diri manusia itu sendiri, yaitu nafsu luamah, supiyah, dan
nafsu amarah. Percaya yang dimaksud adalah keimanan yang
kuat bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan semua akan
kembali kepada Tuhan. Mituhu adalah konsep kepatuhan kepada
Tuhan, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
Tuhan. Dari empat konsep tersebut, maka kegiatan sembah
Hyang dapat dilaksanakan secara sadar dan benar. Sembah
Hyang merupakan perwujudan dari empat konsep, terutama
menjalankan salah satu perintah. Menghamba kepada Tuhan.
Manusia hendaknya berusaha, melakukan yang terbaik, dan hasil
akhir diserahkan kepada Tuhan.
(3) taberi mimikir lan nyambut gawe, tangi luwih esuk, reresik pekarangan,
bale omah sapirantine, ngengakake lawang-lawang, adus reresik badan
lan ajeg ngaturake pujamantra; sore sarampunge nyambut gawe uga
banjur adus lan ngaturake pudjamantra ajeg, mapan turu yen wanci
lingsir sore.
Hendaknyalah setiap pasangan suami-istri fokus pada
pekerjaannya masing-masing. Dalam keseharian selalu bangun
pagi menyambut hari, membersihkan rumah dan pekarangan,
termasuk perkakas di dalamnya, membuka pintu, mandi
membersihkan diri dan berdo’a. Sore selesai bekerja juga segera
membersihkan diri, berdo’a dan beristirahat ketika malam
menjelang. Ada istilah kebersihan merupakan sebagian dari iman.
Dengan menjadikan suasana bersih, maka akan sedap dipandang,
membuat pasangan suami istri betah di rumah.
(4) gemi, nastiti, ngati-ati, sabar, narima lan waspada, ora lirwa ing
budidaya
208
Suami harus memberikan nafkah kepada istrinya. Dalam Islam
juga diajarkan seperti dalam surat Thalaq ayat 7 “orang yang
mempunyai kemampuan hendaklah memberi nafkah menurut
kemampuannya”. Sementara istri dalam mengelola pemberian
suami harus hati-hati, tidak boros. Memanajemen keuangan
keluarga sesuai kebutuhan, hidup tidak berlebih-lebihan, tidak
begitu saja mengikuti tren yang berlaku.
Dalam pepatah Jawa ada ungkapan ana sethithik didum sethithik
ana akeh didum akeh dan cecengilan iku ngedohake rejeki. Maksudnya
adalah, suami dalam membagi rejeki harus adil. Suami harus
dapat mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Jika
istri bekerja, maka kembali pada konsep awal bahwa segala
manajemen perekonomian keluarga harus dimusyawarahkan
agar tidak menjadikan masalah. Sementara dari pihak istri, istri
harus dapat mengatur pengeluaran keluarga sesuai dengan apa
yang diperoleh suami. Istri harus dapat bersikap gemi, berhati-
hati, tidak boros.
2. Hubungan antara anak dengan orang tua
Dewi Sri disayangi dan dirawat orang tua sejak kecil. Hubungan
keduanya baik dan harmonis. Orang tua menyayangi anak, anak
berbakti, menghormati, dan patuh kepada orang tua. Hingga
suatu hari, orang tua memberi dhawuh kepada anak lelakinya,
R. Saddana untuk menikah. Raja dan ratu sudah merasa cukup
mempertimbangkan, memikirkan masak-masak hingga meminta
pertimbangan para dwija dan brahmana di negeri itu. Namun R.
Sadana merasa tidak sampai hati karena harus melangkahi saudara
tuanya, Dewi Sri. Karena tidak berani menolak permintaan orang
tua, sekaligus tidak mau menyinggung kakaknya, R. Sadana memilih
untuk meninggalkan istana. Raja marah dan menuduh R. Sadana
sebagai anak durhaka. Raja juga menuduh Dewi Sri telah mengetahui
dan mengijinkan adiknya pergi meninggalkan istana. Sikap orang
tua tersebut kurang bijak karena terlalu memaksakan keinginan
terhadap anaknya tanpa meminta persetujuan anak tersebut, untuk
menyelesaikan permasalahan keluarga sebaiknya dikomunikasikan
dahulu dengan musyawarah. Kedua pihak tidak boleh memaksakan
kehendak masing-masing. Dalam cerita Dewi sri, kejadian Dewi Sri
menjadi ular dan raden sadana menjadi burung sriti adalah akibat
kutukan ayahnya.
he putraku Saddana, teka banget-banget anggonmu wangkal ambadal pitutur
becik lan sihing wong tuwa, milalu kalambrangan lunga saparan-paran,
nunusuh saenggon-enggon kaya pratingkahe manuk. Sarta anggegendeng gawe
kasangsaraning sadulur wadon. Anakku nini Dewi Sri, putri nata malah milalu
209
lunga saparan-paran, tansah tlusuban wedhi kapethuk wong nagara, nganti
kaya pratingkahe ula.
210
tetapi kalau meninggal merasa kehilangan);
d) Mangan ora mangan kumpul (persaudaraan yang kokoh).
Dalam menjaga hubungan keluarga, orang Jawa mendidik
anak menjadi orang yang patuh dan menghormati orang yang lebih
tua. Sedangkan orang yang lebih tua dapat lebih bijaksana daripada
yang lebih muda (Hadiatmadja, 2011: 26). Kesemua petuah tersebut
menandakan betapa hubungan persaudaraan pada masyarakat Jawa
berlangsung erat. Antar saudara diharapkan saling bergotong-royong,
saling menghormati, saling mengasihi, dan saling menjaga. Musibah
bagi salah satu anggota keluarga biasanya merupakan kesedihan
bagi yang lain, sehingga bahu-membahu mengatasi musibah tersebut
bersama-sama. Asas kebersamaan dalam persaudaraan memunculkan
karakter reponsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), fairness
(keadilan), dan caring (peduli).
Penutup
Cerita Dewi Sri mengandung nilai yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sekarang. Nilai-nilai tersebut antara lain mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan diri-
sendiri, dan manusia dengan manusia lain. Dalam kehidupan
berkeluarga, asas kerukunan dan saling menghormati harus dijaga
untuk menjaga keharmonisan keluarga. Kerukunan dan saling
menghormati diterapkan pada hubungan antara suami dengan
istri, hubungan antara orang tua dan anak, serta hubungan antar
saudara. Pembinaan sikap dasar tersebut, kedepannya dapat sebagai
pembelajaran pembentukan karakter pada tingkat keluarga, yang
meliputi : 1) reponsibility (tanggung jawab), 2) respect (rasa hormat), 3)
fairness (keadilan), 4) courage (keberanian), 5) honesty (kejujuran), 6)
citizenship (kewarganegaraan), 7) self-diciplene (disiplin diri), 8) caring
(peduli), dan 9) perseverance (ketekunan).
DAFTAR PUSTAKA
211
LEGENDA ARIF MUHAMAD:
Sebuah kekayaan tradisional yang dapat
digunakan untuk membangun wisata budaya
di daerah candi Cangkuang
1. Pendahuluan
212
Perhatikan gambar di atas, bangunan candi selalu berlatar
belakang gunung atau perbukitan lalu ada danau atau air di sekitarnya
serta tanaman penghias diperbukitan dan tanaman penghias di air.
Situasi seperti ini juga terjadi pada satu candi di Jawa barat.
Di Jawa barat tepatnya di daerah Garut terdapat satu daerah
yang dikenal sebagai daerah candi Cangkuang.Daerah ini dikenal
dengan sebutan desa Cangkuang atau situ Cangkuang karena
memamang di daerah tersebut terdapat situ atau danau yang disebut
situ Cangkuang.Berdasarkan penelitian arkeologi candi Cangkuang
candi ini ditemukan dalam bentuk sisa bangunan berupa bebatuan
sisa candi yang jumlahnya 40%.Penemuan didasarkan petunjuk dari
tulisan arkeolog Belanda 1893 yang bernama Voldermann. Voldermann
menulis laporan tentang situ dan candi kecil di desa Cangkuang
ini dalam Bataviaasch Genootschap.Secara teknis posisi candi kecil
ini berada pada ketinggi 700 m di atas permukaan laut.Daerah situ
Cangkuang ini berada di tengah sebuah cekungan yang bagian
utara terdapat gunung Haruman sedangkan di bagian barat berjajar
mengelilingi agak ke arah timur adalah pegunungan Mandalawangi.
Di sisi lain terdapat perbukitan gunung Guntur. Untuk mencapai desa
Cangkuan harus menempuh jarak sekita 500 m dengan menggunakan
rakit bambu.
Dalam usaha menata ulang bangunan candi Cangkuang ini, para
arkeolog mengambil perkiraan bahwa candi ini mirip dengan candi
213
Hindu yang ada di Jawa Tengah.Situs candi Cangkuang ini ditemukan
pertama kali pada tanggal 29 Desember 1966 oleh seorang ahli arkeolog
yang bernama Dr.Uka Tjandra Sasmtra. Diperkirakan candi ini berdiri
abad 7-8 Masehi dengan besaran candi panjang 4,5 m tinggi 8,5 m.
Candi ini dipugar tahun 1970-1076.Di dalam candi Cangkuang ini
ditemukan arca dewa Siwa.
Menurut keterangan penduduk di sekitar lingkungan candi
tidak ada nama khusus untuk candi ini masyarakat sekitar menyebut
candi ini sebagai candi Cangkuang karena terletak di desa Cangkuang.
Desa Cangkuang terletak
terletak di tengah danau.
Lingkungan masyarakat
yang tinggal di tengah
desa itu disebut sebagai
masyarakat kampong pulo.
Perumahan di kampung
Pulo hanya 6 rumah
dan semuanya memiliki
bentuk yang sama.
Gambar 3: Rumah adat di kampong Pulo
214
yang tersimpan di
ataranya adalah
sejumlah naskah yang
berisi khutbah hari
Jum’at dari seorang
pemuka agama,
naskah tentang fikih,
naskah khutbah idhul
fitri yang terpanjang
di Indonesia dan Al
Qur’an nul Karim.
215
tokoh cerita.Beliau adalah
seorang penyebar agama
Islam yang sangat terkenal
di daerah tersebut, tetapi
petilasannya merupakan
sebuah candi yaitu bangunan
pemujaan yang menganut
agama Hindu dan makamnya
sendiri.
Gambar 6: Makam mbah dalem Arif Muhamad yang terletak di samping candi
Cangkuang
216
disampaikan melalui situasi ini.
217
kehidupan ini. Anggota masyarakat saling membutuhkan dan harus
dapat saling mengisi keperluan hidup satu sama lain. Ini menujukan
bahwa kehidupan terus berlangsung dari generasi ke generasi
selanjutnya.Mbah dalem Arif Muhamad menanamkan satu pemikiran
yang unik bahwa anak perempuan atau keturunan perempuan
harus tinggal di dalam kampung pulo sedangkan anak laki-laki atau
keturunan laki-laki dianjurkan untuk keluar dari kampung pulo.
Artinya anak perempuan atau keturunan perempuan diminta untuk
menjaga, merawat dan melestarikan budaya yang ada, sedangkan anak
laki- laki atau keturunan laki-laki diminta untuk menyebar luaskan
pemikiran yang baru ke generasi yang baru.Orangtua selalu berfikir
tentang kedamaian, karena generasi saat ini tidak muncul begitu saja
tetapi berasal dari generasi sebelumnya.Maksud utama dari pemikiran
yang unik adalah untuk menunjukkan bahwa ada pertalian yang
nyata tetapi ada juga pertalian yang tidak nyata.Pertalian yang nyata
adalah terbentuk satu keluarga yang kemudian merambah menjadi
masyarakat.Pertalian yang tidak nyata adalah para keturunan yang
sudah jauh dari keluarga inti di jaman dahulu atau nenek moyangnya
diharapkan masih dapat menjadi tulangpunggung persaudaraan.
Sebuah strategi kekerabatan yang cukup unik.
Dari situasi ini membutikan bahwa warisan adalah sesuatu yang
sangat berharga.Maknanya warisan tidak hanya warisan fisik tetapi
juga warisan budaya.Warisan budaya dapat menunjukkan kekayaan
fisik sekaligus kekayaan jiwa. Maknanya warisan harus bias menjadi
jembatan bagi kesadaran hidup bersama dalam bermasyarakat.
218
Warisan kekayaan tradisional yang seperti ini sebaiknya dipelihara
dengan baik.Dengan memelihara warisan budaya diharapkan
masyarakat saat ini dapat mengambil manfaat yang cukup banyak.
Tidak hanya manfaat materi atau duniawi tetapi juga dapat memberi
manfaat rohani
6. Kesimpulan
Candi Cangkuang dan Legenda mbah dalem Arif Muhamad
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Secara fisik
saat ini yang dapat dilihat adalah lokasi tempat candi ini dibangun
merupakan tempat yang memang sengaja dipilih dengan alasan
tertentu.Lokasi candi yang memang khusus ini memberikan kesempatan
bagi masyarakat pada masa sekarang untuk memanfaatkan sebagai
lokasi wisata budaya. Legenda mbah dalem Arif Muhamad yang juga
memiliki petilasan pemakaman di samping candi Cangkuang menjadi
monument wisata budaya yang menarikuntuk direnungkan. Hal
lain yang menarik diperhatikan adalah mbah dalem Arif Muhamad
juga memperkenalkan huruf Arab berbahasa Jawa atau pegon.Ini
menunjukkan adanya kebersamaan dalam membina kerukunan
kehidupan bersama. Masyarakat dapat memanfaatkan semua
peninggalan ini tidak hanya sebagai wisata budaya.
DAFTAR PUSTAKA
219
DARI PUISI GUGURITAN HINGGA
TEMBANG YANG BERANAK-PINAK
Dian Hendrayana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
220
seni tembang (dari bahasa Jawa juga thembang), yakni berupa tembang
rancag dengan irama merdeka (bebas) tanpa mengenal ketukan. Sekitar
abad XVIII-XIX materi seni tembang menjadi sebentuk seni vokal yang
baru. Dikatakan ‘baru’ karena sebelumnya masyarakat Sunda telah
terlebih dahulu mengenal seni vokal Sunda seperti kakawihan, beluk,
pupujian, sisindiran, kawih pantun, dan sebagainya (Sukanda, 1984:9).
Seni vokal Sunda semacam ini dirangkum dalam sebuah istilah yang
dikenal masyarakat Sunda sebagai kawih. Keberadaan materi kawih
dapat ditelusuri pada naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan
(1518 M), yang berbunyi:
Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha, kawih panjang,
kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan,
bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan,
kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma,
paraguna tanya.
(Jika ingin mengetahui segala macam lagu batuha, kawih panjang, kawih
lalaguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan,
kawih bongbongkaso, perane, porod eurih, kawih babahanan, kawih
bangbarongan, kawih tangtung, kawih sasambatan, kawih igel-igelan,
maka tanyalah paraguna/akhli karawitan).
Perkembangan Guguritan
Pada awalnya, (seperti juga pada tradisi di Jawa) materi guguritan
di masyarakat Sunda dikembangkan ke dalam karya sastra berbentuk
wawacan. Penyebarannya pertama-tama dilakukan di lingkungan
pesantren, yakni di daerah Priangan Timur, terutama di daerah
Garut dan Tasikmalaya. Di daerah itu pulalah kemudian muncul seni
Tembang Cigawiran (di daerah Limbangan Garut) dan seni Tembang
Ciawian (Pagerageung, Tasikmalaya). Karena perkembangan wawacan
tersebut bermula dari lingkungan pesantren, maka seni tembang
Cigawiran dan seni tembang Ciawian berisi dan bernuansakan materi
keislaman, baik berbentuk kisah Islam maupun bentuk ajaran agama
Islam.
Dalam perkembangan kemudian, wawacan ditulis dan menyebar
di lingkungan bangsawan dan lingkungan pendidikan. Pada masa
itulah banyak sastrawan Sunda, guru, serta petinggi di kepemerintahan
yang menuliskan cerita dalam bentuk wawacan. Adapun para
221
bujangga yang bisa dicatat di sini di antaranya R. Muhamad Moesa, R.
Bratawidjaja, R. Suriadiredja, Abdussalam, R. Satjadibrata, R. Memed
Sastrahadiprawira, serta MA Salmun.
Wawacan yang menyebar di lingkungan pesantren umumnya
ditulis dalam huruf pegon (huruf Arab), sedangkan wawacan yang
ditulis oleh para bangsawan atau pendidik lebih banyak menggunakan
aksara Jawa-Sunda. Namun, setelah masyarakat Sunda mengenal
budaya menulis huruf latin yang disebarkan oleh Belanda, terutama
lewat sekolah-sekolah, maka wawacan pun ditulis dalam huruf latin.
Kadang-kadang pemerintah Belanda mencetak wawacan dalam dua
huruf yakni aksara latin dan aksara Jawa.
Jika dilihat darisumber dan karakterisasinya, seperti yang dicatat
Wibisana (2000:768) wawacan yang bersumber pada sastra Arab atau
pengaruh Islam di antaranya Hayatipinus, Bidayatussalik, Carios Para
Nabi, Abdurahman jeung Abdurahim, Amir Hamzah, Ratu Sep Malik bin
Diazin, serta Iman Elmu Reujeung Amal; wawacan yang bersumber dari
sastra Jawa di antaranya Wawacan Rengganis, Angling Darma, Sekar Taji,
Piwulang Batara Sunu; wawacan yang bersumber babad lokal Sunda
di antaranya Wawacan Kanjeng Pangeran Sumedang, Dipati Imbanagara,
Dipati Ukur, Babad Sukapura, Kidung Sunda, Banten Girang; wawacan
yang bersumber dari cerita pantun di antaranya Wawacan Sulanjana,
Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Sri Dangdayang Trisna
Pohaci, Rangga Wulung.
Masih dalam catatan Wibisana, setelah sastra Sunda dipengaruhi
oleh Barat, banyak bentuk wawacan yang meniru bentuk roman,
dengan tokoh cerita manusia biasa yang tidak memiliki kesaktian
seperti halnya tokoh dalam sastra lama. Wawacan yang dimaksud
di antaranya Wawacan Rusiah Nu Kasep (Ny. R. Hadijah Machtum),
Enden Saribanon (R. Memed Sastra Hadiprawira), Juag Tati (R. Hasan
Soemadipura).
Memasuki paruh waktu akhir abad XIX, ekspresi guguritan banyak
ditulis dalam bentuk dangding. Bentuk dangding ini merupakan karya
puisi liris yang ditulis dalam bentuk puisi guguritan yang terdiri atas
beberapa bait saja; tidak berkisah seperti halnya dalam wawacan. Puisi
guguritan dalam bentuk dangding ini banyak ditulis terutama di awal
abad XX hingga periode sebelum Perang dunia II (Rusyana,1980:1).
Para penulis dangding merupakan sastrawan yang berlatar belakang
pendidikan dan keagamaan seperti halnya RA. Bratawidjaja
(Asmarandana Lahir Batin), R. Memed Sastra Hadiprawira (Di Jalan
Tasik Garut), Haji Hasan Mustapa (Kinanti Jung Indung Turun), R.
Haji Muhamad Moesa (Wulang Krama), R. Ece Majid (Guguritan Laut
222
Kidul), dan MA Salmun (Ngalayung ka Tungtung Lembur).
Puisi dangding seperti ini begitu populer hingga tahun 30-
an. Bahkan pada satu periode, dalam khazanah sastra Sunda pernah
ada kredo bahwa penulisan puisi yang bagus adalah penulisan
dangding, maka jika menulis puisi tidak menuliskan dangding maka
puisi itu tidak termasuk puisi yang baik (Rosidi, 1966:56). Kondisi ini
dibenarkan oleh Moriyama (2005:55) yang mengatakan bahwa puisi
dangding bagi masyarakat Sunda adalah bentuk puisi yang sangat
digandrungi dan mampu mengangkat derajat seseorang dalam status
masyarakat.
Karya dangding ini pulalah yang kemudian banyak dipergunakan
oleh para seniman tembang Sunda Cianjuran pada periode 1900-
1930 dalam menggubah lagu ’kreasi baru’. Terkadang para seniman
tembang Cianjuran menulis sendiri dangding untuk keperluan
penggubahan lagu tembang. Yang dimaksud lagu tembang kreasi baru
adalah lagu gubahan baru hasil olah kreasi seniman padaleman saat
itu terhadap materi tembang dari lagu tembang buhun yang berupa
tembang rancag. Lagu tembang baru tersebut kemudian dikenal
sebagai tembang Cianjuran. Sebagai contoh, jika pada tembang buhun
terdapat hanya satu lagu pupuh Sinom, maka dalam lagu kreasi baru
pupuh sinom tersebut berkembang menjadi lagu Sekar Gambir, Sinom
Ela, Liwung, Sinom Degung, Setra, Satria, dan sebagainya. Demikian
pula yang terjadi pada pupuh Dangdanggula yang kemudian
beranak pinak menjadi Bayubud, Mangari, Kentar Cisaat, Kentar Ajun,
Erangbarong, Dangdanggula Degung, dan sebagainya.
Tembang Sunda
Dalam kamus bahasa Sunda, ‘tembang’ berarti melagukan
guguritan. Artinya, seni suara yang bermaterikan guguritan, otomatis
disebut tembang. Dalam masyarakat Sunda, materi tembang atau
materi seni suara yang menggunakan teks guguritan terdiri atas
tembang wawacan, tembang Cigawiran, tembang Ciawian, serta
tembang Cianjuran.
Tembang wawacan adalah seni menembang dengan teks
berbentuk wawacan. Bentuk musikalitas tembang wawacan
berorientasi kepada bentuk tembang rancag buhun, yakni nyanyian
atas teks guguritan yang disinyalir sebagai bentuk asli ‘kiriman’ dari
Mataram. Melodi lagu tersebut cukup sederhana, tanpa polesan vibrasi
yang rumit. Biasanya setiap harga satu suku kata hanya memiliki harga
satu nada. Namun dalam perkembangannya, seni tembang wawacan
kerap ‘dipercantik’ atau dipoles dengan seni beluk (Sukanda, 1984:32).
223
Seni beluk sendiri adalah seni kawih tanpa kata-kata dengan melodi
yang dinamis dan beroktaf tinggi. Seni beluk biasa digunakan saat
masyarakat Sunda menunaikan pekerjaan di hutan, di saat menggarap
huma (ladang). Alhasil, tembang wawacan yang semula bermelodi
sederhana, selanjutnya menjadi senandung tembang yang memiliki
dinamika melodi yang cukup rumit dan penuh improvisasi bergaya
seni beluk. Karena itulah, tak jarang masyarakat Sunda kini menyebut
seni tembang wawacan sebagai seni beluk.
Seni Cigawiran dan Ciawian adalah seni suara Sunda yang
menggunakan teks guguritan (wawacan) yang berkembang di
pesantren (Sueb, 1997:64). Seni tembang Cigawiran berasal dari daerah
Limbangan Garut (sekitar 30 km ke arah tenggara dari Bandung),
sedangkan Ciawian berasal dari daerah Ciawi Tasikmalaya (sekitar
60 km ke arah Selatan dari Bandung). Kedua seni ini berkembang di
lingkungan pesantren. Karena itu, naskah yang ditembangkannya
pun berisikan ajaran serta cerita keislaman atau seputar hakikat
hidup berdasarkan cara pandang Islam yang ditulis dalam bentuk
wawacan. Sayangnya, baik seni tembang Cigawiran maupun seni
tembang Ciawian tidak terlembagakan dengan baik. Akibatnya, seni
tembang Cigawiran dan seni tembang Ciawian kini tidak banyak lagi
dilantunkan karena regenerasi senimannya tidak berjalan dengan
baik.
Seni Tembang Cianjuran adalah seni suara yang berasal dari
daerah Cianjur (sekitar 50 km ke arah barat dari Bandung). Berbeda
dari Tembang Cigawiran dan Tembang Ciawian yang berasal dari
kalangan pesantren, seni tembang Cianjuran berasal dari lingkungan
kadaleman, bangsawan. Jika tembang Cigawiran dan tembang Ciawian
tidak berkembang dengan baik, maka Tembang Cianjuran hingga kini
masih mendapat tempat yang cukup tinggi di masyarakat (Apung SW,
1994:46). Hingga sekarang, menurut catatan dari Dinas Pariwisata,
di kota Bandung saja sedikitnya terdapat sekitar 200 perguruan seni
tembang Sunda Cianjuran (2002).
Eksistensi tembang Sunda Cianjuran yang telah berusia lebih
dari satu abad ini ditopang dengan pengorganisasian yang cukup
baik. Sedikitnya ada tiga lembaga yang mengurusi tembang Cianjuran
yakni Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), yang mengurusi pasanggiri
(lomba) tembang Sunda Cianjuran; Panglawungan Pamager Asih yang
mengurusi pergelaran tembang Sunda Cianjuran; Yayasan Pancaniti
yang mengurusi pengkajian dan pengembangan. Ketiga lembaga ini
satu sama lainnya bekerja menurut aturan kerjanya masing-masing
namun memiliki sinerji yang cukup harmonis.
224
Sejak perang kemerdekaan hingga sekarang, masih berlangsung
kegiatan pasanggiri (lomba) tembang Sunda Cianjuran dengan agenda
tiga tahunan Terakhir, tahun 2009 merupakan Pasanggiri Tembang
Sunda Cianjuran ke-20 yang diselenggaraan oleh DAMAS. Kegiatan
tembang Cianjuran sempat vakum ketika terjadi revolusi di tahun
1947-1950, serta Gerakan 30 September/PKI di tahun 1965. Namun
kegiatan pasanggiri tersebut bisa kembali terlaksana pada tahun 1969,
hingga sekarang.
Di samping keberadaan tiga lembaga tadi, kepedulian pemerintah,
baik provinsi maupun tingkat kota dan kabupaten pada beberapa
daerah di Jawa Barat cukup memberikan perhatian yang cukup tinggi,
seperti halnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Bandung Barat, Cimahi, Sumedang, Garut, Purwakarta, Subang,
Tasikmalaya, dan tentu saja Cianjur. Di kabupaten dan kota yang
disebutkan tadi, terdapat beberapa sanggar yang mengkhususkan diri
menggarap dan memelihara seni tembang Sunda Cianjuran.
225
Siraman, Ngeuyeuk Seureuh, Sawer, Buka Pintu, di sebagian besar
daerah di Jawa Barat senantiasa menggunakan materi seni tembang
Cianjuran di mana teksnya berupa puisi dangding. Demikian pula
dalam acara peresmian, ulang tahun, acara kepemerintahan seperti
sertijab, penyambutan tamu kehormatan, seringkali menggunakan
materi seni tembang Cianjuran.
Di samping penggunakan materi tembang Cianjuran dalam
berbagai acara ritual serta acara resmi kepemerintahan, seni tembang
Cianjuran senantiasa digunakan dalam pertunjukan gending karesmen.
Pertunjukan ini berupa pagelaran drama di mana dialognya
menggunakan tembang Sunda Cianjuran. Pertunjukan ini kerap
dipertontonkan di lingkungan kadaleman sejak jaman sebelum Perang
Dunia II. Dan sekarang pertunjukan gending karesmen masih sering
dipentaskan, terutama di Kota Bandung.
Kesimpulan
Puisi guguritan di masyarakat Sunda begitu lekat dan dikenal
secara luas. Bahkan di sekolah-sekolah, materi guguritan dijadikan
bagian dari mata pelajaran Bahasa Sunda setiap tingkatan. Materi
tersebut tidak saja sebagai materi sastra ansich, melainkan juga sebagai
materi seni suara.
Hingga sekarang, keberadaan puisi guguritan masih tetap hidup
dan berkembang. Keberadaan yang masih eksis tersebut didukung
karena adanya media ekspresi dalam bentuk seni suara yakni tembang
Sunda (terutama tembang Sunda Cianjuran) yang hingga sekarang
masih hidup dengan subur di masyarakat Sunda. Puisi guguritan
pun tetap bertahan karena masih ditulis oleh para pengarang untuk
dipublikasikan pada media massa terutama majalah.
Di samping pelembagan dalam media seni suara dan media
cetak, kehidupan guguritan ditopang pula dengan tradisi pasanggiri
menulis dangding yang biasa dilaksanakan oleh Paguyuban Pasuhdan
serta hadiah sastra yang saban taun diberikan oleh Lembaga Basa dan
Sastra Sunda (LBSS). Tentu saja, kondisi yang demikian kondusif
tersebut menggiring gairan penulisan dan pemuliaan guguritan terus
berjalan seperti tak pernah terhenti.***
DAFTAR PUSTAKA
226
Rawayan. 2002. Bandung: Sanggar dan Lingkung Seni Sunda. Bandung: Dinas
Pariwisata
Rosidi, Ajip. 1966. Kesusatraan Sunda Dewasa Ini. Jakarta: Tjupumanik
---. 1982. Ngalanglang Kasusatraan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
Rusyana, Yus. 1980. Puisi Guguritan Sunda.Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen dan Kebudayaan
Suéb, Acé Hasan. 1997. Wawasan Tembang Sunda. Bandung: CV Geger Sunten
Sukanda, Enip. 1984. Tembang Sunda Cianjuran: Sekitar Pembentukan dan
Pengembangannya. Bandung: Proyek Pengembangan Institut Kesenian
Indonesia Subproyek Akademi Seni Tari Indonesia Bandung.
Wibisana, Wahyu, dkk. 2000. Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: CV. Geger
Sunten.
227
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM
KAKAWIHAN BARUDAK SUNDA:
Persepsi dan Realisasi Kebahasaan
Dede Kosasih
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
1. Pendahuluan
228
biasanya disertai lagu Oray-orayan. Lagu anak dalam masyarakat
Sunda dikenal dengan istilah kakawihan barudak. Dalam kakawihan
tersebut terkandung potensi pengaruh positif: selain kegembiraan
yang didapat, terpupuk juga sifat kebersamaan, kreativitas, ataupun
kecintaan terhadap alam.
Dapat dikatakan, kakawihan barudak ini merupakan salah satu
wujud dari kearifan lokal masyarakat atau etnik Sunda. Penelusuran
literatur menunjukkan bahwa kajian tentang kearifan lokal telah banyak
dilakukan, menyoroti berbagai bidang kehidupan dan dilakukan di
berbagai belahan dunia. Di antaranya, terdapat kajian kearifan lokal
yang mengangkat nilai lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
(misalnya Kongsat et al. 2009; Channuan et al. 2009). Terdapat juga
kajian yang mengeksplorasi penerapan nilai lokal dalam bidang
rekayasa (misalnya Yukimatsu et al. 2008; Gertler & Vinodrai 2009),
dan dalam upaya pelayanan kesehatan atau pengobatan (misalnya
Chakravorty et al. 2011; Zhang & Pan 2008). Terkait ranah sosial-
politik, muncul berbagai kajian kearifan lokal dalam kaitannya dengan
bidang hukum (misalnya LaFrance & Allen 2010; Schragger 2009),
dengan proses kemasyarakatan (misalnya Hubert 2005; Craw 2006),
dengan bidang sosial-ekonomi (misalnya Ong 2009; Baker & Coulter
2007), dan dengan bidang pendidikan (misalnya Meyers & Willhauck
2003; Jules 1994).
Dalam konteks ini belum teridentifikasi adanya kajian ilmiah yang
khusus membahas lagu tradisional anak. Kajian ini mengeksplorasi
nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan menurut persepsi
orang Sunda dan realisasi kebahasaan yang berpotensi mendukung
kandungan nilai-nilai tersebut.
2. Tinjauan Pustaka
Seperti diungkap secara singkat pada bagian pendahuluan,
kakawihan barudak Sunda akan dieksplorasi dalam konteks kajian
kearifan lokal. Meskipun kajian tentang kearifan lokal telah cukup
banyak dilakukan dalam berbagai bidang, kajian yang berfokus pada
lagu tradisional, apalagi lagu tradisional anak-anak (kakawihan barudak),
belum teridentifikasi pada literatur. Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan menjadi penelitian perintis dalam bidang ini.
Namun demikian telah terdapat bahasan umum di mana kakawihan
barudak dapat ditempatkan. Dalam hal ini, konsep kakawihan barudak
dapat dikaji minimal dari tiga perspektif, yakni budaya secara umum,
teori folklore, dan teori kebahasaan yang mengacu pada penggunaan
bahasa dalam konteks kemasyarakatan.
229
Istilah kakawihan berasal dari kata kawih yang artinya lagu
atau nyanyian. Dan istilah kawih ini telah lama sekali dikenal dan
dipergunakan oleh masyarakat Sunda, bahkan sudah teridentifikasi
dalam naskah Sunda Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada tahun
1581 M (Danasasmita dkk. 1987). Dalam budaya Sunda juga dikenal
kesenian sejenis yang disebut tembang, namun ini muncul belakangan
setelah budaya Sunda memperoleh pengaruh budaya Jawa pada abad
ke-17 (lihat Rosidi 1984, 1996). Dengan demikian, kawih merupakan
tradisi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi selama
berabad-abad.
Dari perspektif budaya secara umum, Keesing (dikutip Damono
1979:4) mengemukakan bahwa melalui kebudayaan manusia membina
interaksi dengan sesamanya dan dengan alam, serta mewariskan nilai-
nilai yang dianggap bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka dari
generasi ke generasi. Dengan demikian, kebudayaan secara langsung
ataupun tidak langsung mampu memberikan identitas tertentu bagi
individu dan masyarakat pendukungnya. Dalam konteks ini kakawihan
barudak merupakan wahana interaksi bagi anak-anak, dalam rangka
memupuk keterampilan sosialnya. Permainan seperti ini akan turut
membentuk karakternya di masa mendatang.
Dari perspektif folklore, kakawihan dapat dikategorikan ke dalam
bentuk puisi nyanyian (lihat Rusyana 1981; Dananjaya 1994). Kakawihan
sebagai puisi rakyat (sajak rakyat) dibagi menjadi tiga kategori yaitu
sajak untuk anak-anak atau nursery rhyme; sajak permainan atau play
rhyme; dan sajak untuk menentukan siapa yang ’jadi’ dalam suatu
permainan atau tuduhan atau counting out rhyme (Dundes, 1968).
Menurut Bascom (dalam Dananjaya, 1994), terdapat empat fungsi
folklore, yaitu (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni
sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai
alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan,
(c) sebagai alat pendidikan (pedagogical device), dan (d) sebagai alat
pemaksa dan pengawasan agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuhi anggota kolektifnya. Kakawihan barudak Sunda tampaknya
minimal memenuhi fungsi (a), yakni sebagai pencerminan nilai-nilai
yang dianut masyarakat Sunda, misalnya bahwa dunia anak-anak itu
harus berupa dunia yang menyenangkan, juga fungsi (c), misalnya
sebagai sarana bagi anak-anak untuk belajar bekerja sama dan
menghormati aturan main.
Dari perspektif teori bahasa, kakawihan barudak dapat ditinjau
di antaranya lewat teori genre sebagai bagian dari teori tatabahasa
sistemik-fungsional (lihat Halliday 1994; Eggins 2004). Dalam hal ini,
230
kakawihan merupakan sebuah genre lisan, dan seperti genre lainnya
memiliki tiga unsur utama, yakni fungsi sosial, struktur skematik,
juga fitur-fitur linguistik tertentu. Eksplorasi lanjutan terhadap fitur
linguistik dapat dilakukan lewat analisis bahasa figuratif, seperti yang
dipaparkan di antaranya oleh Holman (1992) dan Frost (2006). Holman
(1992) membagi bahasa figuratif menjadi dua kelompok utama, yaitu
schemes, yang lebih berpijak pada unsur bentuk, dan tropes, yang lebih
berbasis makna.
3. Metode Kajian
Kajian ini mengeksplorasi nilai-nilai yang terkandung dalam
kakawihan barudak serta realisasi kebahasaannya terutama dengan
menggunakan prosedur kualitatif-deskriptif. Kajian ini dilaksanakan
di wilayah Bandung Raya, yang secara administratif meliputi Kota
Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung
Barat. Penelitian ini melibatkan anak-anak Sunda dan orang Sunda
dewasa yang tinggal di wilayah Bandung Raya. Mereka diseleksi
secara purposif dan dilibatkan terutama untuk menggali persepsi
mereka tentang kakawihan barudak.
Prosedur pengumpulan data ditetapkan berdasarkan jenis data
yang diperlukan. Data jenis pertama adalah kakawihan barudak itu
sendiri, yang diambil dengan cara studi dokumen (buku, artikel) dan
observasi ke lapangan serta media massa untuk mengidentifikasi
keberadaan kakawihan. Data jenis kedua adalah persepsi anak-anak
dan orang dewasa terhadap kakawihan, yang diambil lewat wawancara
dengan responden. Data kakawihan dianalisis secara kualitatif
untuk mengidentifikasi fitur-fitur pembentuknya. Data wawancara
digunakan untuk mengidentifikasi pandangan responden terkait
nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan.
4. Temuan dan Pembahasan
Paparan berikut membahas dua hal, yakni nilai-nilai yang
terkandung dalam kakawihan menurut responden serta bahasan
lanjutannya, serta unsur kebahasaan yang mendukung perwujudan
nilai-nilai tersebut.
231
ini seorang responden dapat mengungkapkan lebih dari satu nilai yang
dianggap relevan dengan kakawihan; dengan demikian, jumlah nilai
yang disebutkan tidak mencerminkan jumlah responden, melainkan
jumlah keseluruhan nilai yang diungkapkan oleh seluruh responden.
232
mendukung nilai hiburan dari kakawihan. Aspek transitivitas dan
progresi tema juga turut mendukung nuansa rekreatif dari kakawihan.
Dengan memiliki dimensi rekreatif, kakawihan bermanfaat untuk
menciptakan kegembiraan di kalangan anak-anak. Dalam suasana
gembira ini tentu berbagai nilai lain yang positif dapat diinternalisasi
secara maksimal. Selain itu, kebahagiaan ini dapat menjadi sumber
untuk gairah dan daya hidup yang dapat mendorong mereka untuk
berkreasi. Kesempatan untuk mendapat kegembiraan seperti ini tentu
relevan dengan konteks Indonesia, di mana anak-anak mendapat
beban kurikulum yang besar, yang cenderung menggiring mereka ke
arah rutinitas.
Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan (atau ketidakbahagiaan)
masa kecil merupakan unsur yang turut mempengaruhi pembentukan
karakter seseorang. Jika kepribadian seorang manusia dipahami
sebagai hasil dari sebuah proses, maka bahan dasarnya adalah dunia
anak-anak ini. Bagaimana format yang akan terbentuk nanti sangatlah
bergantung pada bahan dasarnya yang dibentuk pada masa kecil.
4.1.3 Nilai kebersamaan
Kakawihan sarat dengan nilai kebersamaan karena kakawihan
berikut konteks kemunculannya (dapat berbentuk permainan) pada
umumnya diperagakan secara bersama-sama. Misalnya, kakawihan
Oray-orayan dinyanyikan bersama-sama dalam rangka membentuk
permainan Oray-orayan, yang melibatkan cukup banyak anak untuk
membentuk baris yang panjang supaya tampak seperti oray ’ular’.
Pada permainan ini sejumlah anak berkumpul di tempat
yang cukup luas. Untuk menentukan siapa yang menjadi kepala
ular, biasanya dilakukan undian dengan menggunakan kakawihan
Hompimpah atau Cingciripit. Setelah kepala terpilih, anak lainnya
berebutan untuk berada di belakangnya. Mereka berbaris sambil
berpegangan pada teman di depannya dan berjalan meliuk-liuk
sambil mendendangkan lagu ”Oray-orayan. Orang naon? Orang bungka!
Bungka naon? Bungka Laut! Laut naon? Laut dipa! Dipa naon? Di pandeuri!
ri...riiii...riiii...! Setelah lagu berakhir, anak-anak biasanya riuh rendah,
karena si kepala ular harus menangkap ekornya atau anak yang berada
paling belakang.
Walaupun bentuknya tampak sederhana, permainan ini
mengandung unsur yang sangat berguna bagi pemupukan sikap
mental anak-anak terutama dalam hal kebersamaan. Dengan
permainan tersebut, anak-anak bisa mendapatkan kegembiraan
hidup tanpa harus dibeli dengan uang. Selain itu, nampak pula rasa
233
solidaritas anak-anak dalam bermain, karena bila jumlah pemainnya
kurang banyak maka permainan tersebut kurang seru.
234
bijak dibanding tersisihnya nilai lokal oleh nilai luar yang terus masuk
dan belum tentu bersifat positif.
235
terjadi pada kata gobang, yang diulang pada awal baris berikutnya.
Efek pengulangan kata tadi adalah nuansa keterkaitan antar elemen,
dan berpotensi menimbulkan keindahan dan semangat pada yang
meyanyikannya.
Cacag gurame
Gurame tali gobang
Gobang pancar rame
……
236
paradoks, dan personifikasi.
Dalam gaya bertutur yang metaforis, satu hal dibandingkan
dengan hal lainnya tanpa menggunakan lagi kata penghubung
‘seperti’, ‘laksana’, dan yang sejenisnya. Gaya bahasa metafora ini
terilustrasikan pada kakawihan Aanyaman (Anyaman) berikut. Dalam
kakawihan ini, kaki yang saling berkait diibaratkan anyaman. Pada
anyaman, material yang pipih dan tipis dijalin saling bertumpang
untuk membentuk satu kesatuan sehingga tercipta sebuah produk
yang mempunyai fungsi tertentu, seperti keranjang. Dalam hal ini,
kaki yang saling berkait diibaratkan anyaman yang berfungsi untuk
membentuk sebuah permainan.
Pakait-kait suku
Bitisna patumpang-tumpang
Anyaman masing pageuh
Tacan lesot ulah reureuh
(Kaki berkait
Betisnya saling tumpang
Anyaman harus kuat
Belum lepas jangan berhenti)
237
dianggap sebagai manusia, sehingga bertingkah laku seperti manusia.
Gaya bahasa tersebut dapat diamati pada kakawihan Haphap Dagoan
di bawah ini. Haphap adalah sejenis bunglon yang bisa meloncat seperti
terbang. Dalam konteks ini si bunglon terbang dianggap memiliki
carecet ‘saputangan’, seperti manusia, karena ketika terbang terlihat
seperti sedang membawa sebuah saputangan yang dibentangkan,
yang sebetulnya adalah selaput yang berfungsi sebagai sayap.
Haphap dagoan
Carecet sia tinggaleun
238
4.2.4 Progresi tematis
Setiap bagian pada kakawihan Sunda dikembangkan dengan alur
yang berbeda-beda. Teridentifikasi adanya progresi tematis linier
(zigzag), paralel, dan turunan, serta campuran progresi. Progresi
paralel digunakan dalam jumlah paling panyak.
Alur pengembangan kakawihan berprogresi linier ditemukan
misalnya dalam kakawihan Cacag Gurame berikut ini. Pada contoh ini,
kata yang menjadi rheme pada satu klausa menjadi theme pada klausa
berikutnya. Pada baris pertama gurame menjadi rheme, dan berubah
menjadi theme pada baris kedua. Pada baris kedua gobang menjadi
rheme, dan berubah menjadi theme pada baris ketiga.
Cacag gurame
Ayang-ayang gung
239
pada baris-baris setelahnya sampai dengan baris terakhir.
Baju beureum sombong
Ari bong bongkar mobil
240
nilai-nilai tersebut terealisasikan secara kebahasaan. Ditemukan
bahwa nilai yang terungkap berkaitan erat dengan dengan realisasi
kebahasaannya.
Teridentifikasi sejumlah nilai yang tekandung dalam kakawihan,
seperti diungkapkan oleh para responden. Semua kelompok responden
menempatkan dalam urutan tiga besar tiga buah nilai, yakni rekreatif,
kebersamaan, dan edukatif. Dapat dikatakan bahwa dari ketiga
nilai ini, nilai rekreatif adalah nilai yang pertama dan utama dari
kakawihan, karena fungsi pokok kakawihan adalah untuk menciptakan
kegembiraan. Selanjutnya, nilai kebersamaan pun tidak dapat
dikesampingkan karena kakawihan biasanya dilakukan dalam format
kebersamaan. Kedua nilai ini, beserta nilai-nilai lainnya, selanjutnya
mendukung fungsi edukatif dari kakawihan, yakni untuk menciptakan
manusia yang memiliki karakter positif.
Nilai rekreatif dari kakawihan ternyata sejauh tertentu didukung
oleh realisasi kebahasannya. Dalam hal ini banyak muncul bahasa
figuratif baik dari jenis schemes maupun tropes. Penggunaan bahasa
figuratif ini membuat kakawihan menjadi menarik dan enak didengar.
Secara transitivitas, representasi banyak dilakukan terutama lewat
proses material, diikuti oleh proses relasional. Proses material dapat
melibatkan pelaku kawih secara aktif-dinamik mencipta gerak yang
selaras dengan isi kakawihan, dan proses relasional memberikan atribut
atau definisi kepada entitas yang disebut dalam kakawihan. Terakhir
progresi tematis yang digunakan cukup bervariasi. Progresi yang
paling banyak muncul adalah progresi paralel, yang memungkinkan
terjadinya pengulangan sebuah ungkapan yang membuatnya menjadi
terus diingat. Terdapat juga campuran progresi tematis, seperti
progresi paralel dan linier. Campuran progresi ini membuat kakawihan
menjadi lebih hidup.
Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat dikatakan bahwa
kakawihan menjadi salah satu sumber nilai yang dapat dieksplorasi lalu
diangkat untuk menciptakan sistem pendidikan yang berlandaskan
nilai-nilai lokal, terutama pada pendidikan tahap awal (SD dan
SLTP). Lewat praktek seperti ini diharapkan orang Indonesia dapat
menemukan dan menegaskan karakternya sebagai entitas yang berjati
diri lokal namun tetap berperan aktif dan ikut mewarnai pergaulan
global (lihat Alwasilah et al. 2009).
241
DAFTAR PUSTAKA
242
Vol. 5/2, hal. 134-138.
LaFrance, Casey dan Jennifer M. Allen. 2010. An exploration of the juxtaposition
of professional and politican accountability in local law enforcement
management. International Journal of Police Science and Management,
Vol. 12/1, hal. 90-118.
Meyers, Patty dan Susan Willhauck. 2003. Thelma and Louise do religious
education: a dialogue from the edge for leading with hope. Religious
Education, Vol. 98/3, hal. 382-398.
Mustapha, Abdullah. 1997. Dunia anak-anak kita yang sedang terancam.
Pikiran Rakyat, Kamis, 24 April 1997.
Naisbitt, John, & Patricia Aburdene 1990, Megatrend 2000: Ten New Directions
for the 1990’s, New York: Morrow.
Ong, Lynette. 2009. The Communist Party and financial institutions:
institutional design of China’s post-reform rural credit cooperatives.
Pacific Affairs, Vol. 82/2, hal. 251-278.
Rosidi, A. (2009). Manusia Sunda. Kiblat Buku Utama, Bandung.
Rosidi, Ajip. 1984. Ciri-ciri manusia dan kebudayaan Sunda. Dalam Edi S. Ekadjati
(ed.) Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka,
hal. 125-161.
Rosidi, Ajip. 1996. Pancakaki. Bandung: Girimukti Pasaka.
Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara. Bandung: Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Seni IKIP Bandung.
Schragger, Richard C. 2009. Mobile capital, local economic regulation, and the
democratic city. Harvard Law Review, Vol. 123:482, hal. 483-540.
Stigler, W. S., & Hiebert, J. (1999). The teaching gap: Best ideas from the world’s
teachers for improving education in the classroom. The Free Press, New
York.
Yukimatsu, Keiko; Songkoon Chantachon; Souneth Pothisane; Wissanu
Kobsiriphat. 2008. Comparing local silk textiles: the Thai-Lao Matmii
and the Japanese Tumugi Kasuri. SOJOURN: Journal of Social Issues in
Southeast Asia, Vol. 23/2, hal.234-251.
Zhang, Letian dan Tianshu Pan. 2008. Surviving the crisis: Adaptive wisdom,
coping mechanisms and local responses to avian influenza threats in
Haining, China. Anthropology & Medicine, Vol. 15/1, hal.19-30.
243
REFLEKSI BUDAYA DALAM RETORIKA
BAHASA POLITIK ELITE INDONESIA
I Nyoman Darsana
Universitas Udayana, Bali
1. Latar Belakang
B ahasa, budaya, dan politik adalah tiga hal yang saling terkait
dan menarik untuk dibicarakan. Melalui bahasa akan tercermin
gambaran budaya suatu masyarakat. Demikian juga melalui bahasa
akan dapat dicermati fenomena politik yang di dalamnya terdapat
perilaku yang secara terus menerus mempengaruhi dan menampakkan
dominasi suatu kelompok. Bertolak dari kenyataan itu, tulisan ini
mencoba melihat bagaimana keterkaitan serta refleksi budaya dan
politik suatu masyarakat melalui bahasa yang dipakainya. Di sisi lain,
tulisan ini juga dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa fenomena
bahasa dalam wacana politik semakin menggejala di tengah-tengah
masyarakat saat ini. Hal itu setidak-tidaknya diamati dari berbagai
bentuk pemakaian bahasa seperti terlihat pada Pesan Kemerdekaan
Era Reformasi, Nurcholis Madjid pada Kompas Minggu tanggal 17
Agustus 2003, halaman 11 memuat yang berbunyi sebagai berikut:
“Kini saatnya, bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan
yang dicita-citakan
Merdeka dari penyelewengan
Merdeka dari kesengsaraan
Merdeka dari keserakahan
Merdeka dari rasa dendam
Merdeka dari kesewenangan
Merdeka dari ketakutan
Merdeka dari keterbelakangan
Merdeka dari penyelewengan
Demi masa depan yang lebih bermertabat”
(Nurcholis Madjid pada Kompas Minggu tanggal 17 Agustus
2003)
Bentuk-bentuk bahasa seperti di atas bukanlah hanya sekadar
sebatas ungkapan biasa. Di dalamnya sarat dengan makna. Di satu
pihak bentuk tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan
sederhana, tetapi cukup menggelitik. Penggunaan bentuk tersebut
tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi lebih
244
merupakan pengungkapan diri dan penampakan aspek filososfis dan
budaya.
245
2.2 Bahasa sebagai Alat Dominasi dan Kekuasaan
Pergeseran Orde Lama ke Orde Baru tidak saja mengakibatkan
terjadinya pergeseran ideologi, tetapi juga diikuti oleh pergeseran
bahasa. Pergeseran bahasa dapat dilihat pada tataran leksikon dan
pergeseran makna kata. Sejumlah kata yang digunakan pada masa
Orde lama tidak lagi kedengaran pada masa Orde Baru. Demikian
juga kata-kata yang digunakan pada masa Orde Baru tidak pernah
muncul pada masa Orde Lama. Sejumlah kata atau ungkapan yang
muncul pada masa Orde Lama dapat dilihat pada data berikut.
(6) revolusi
(7) nekolim
(8) kapitalis
(9) nasakom (W)komunisme
(11) indokrinasi, dll. (Latif 1996)
246
yang berdampak psikologis untuk menghantam kekuatan kritis.
Kedua, penguasa Orde Baru melakukan konsolidasi kekuatan melalui
penghalusan (eufemisme) bahasa yang Umar Khayam menyebutnya
dengan “kembang bahasa” atau “bahasa topeng” (Marian Kompas,
27 Oktober 1998), memperalat bahasa untuk menyudutkan kekuatan
oposisi, memproduksi kata-kata yang dapat mengerem emosi rakyat
seperti ungkapan “Soeharto itukan juga pendiri bangsa, mengapa tidak
diizinkan ikut dalam Dialog Nasional” (Gus Dur, Marian Kompas, Desember
1998). Ungkapan Gus Dur di atas menurut beberapa pengamat politik
selain memiliki visi tersembunyi, juga mensinyalir penggunaan
bahasa untuk meredam emosi masyarakat Indonesia. Fenomena
lingual seperti itu senada dengan ungkapan Soeharto pada Harian
Kompas, 7 September 1998 “Buktikan jika saya punya kekayaan di
luar negeri”. Ungkapan tersebut merupakan salah satu gejala bahasa
yang orientasinya untuk meredam emosi masyarakat Indonesia.
Ketiga, penguasa mencaplok surat kabar untuk mengkomunikasikan
propaganda. Keempat, penguasa Orde Baru menggunakan eufemisme
untuk memantapkan citra.
247
Pada data (1.8), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) diartikan
suatu gerakan yang mencoba mengganggu dan merongrong
keamanan negara. Istilah ini diluncurkan oleh pemerintah Orde Baru
terutama sekali kepada sekelompok orang yang mencoba mengajukan
argumentasi kepada pemerintah temtama sekali mereka yang berada
di Aceh, Irian Jaya, dan Timor-Timur.
Pada data (19), OTB dapat diartikan suatu Organisasi Tanpa
Bentuk atau bentuk organisasinya tidak diumumkan secara resmi.
Istilah ini muncul dan membingungkan karena sebenarnya tidak ada
organisasi yang dibuat tanpa bentuk. Istilah ini dimunculkan untuk
menetang PRO (Partai Rakyat Demokrasi), yaitu sebuah organisasi
politik yang berdiri pada masa Orde Baru.
Pada data (20), mempermalukan bangsa dapat diartikan
membeberkan kejelekan yang mempermalukan bangsa sendiri dan
dimunculkan ketika Sri Bintang Pamungkas memberikan ceramah
di Jerman, terutama berkaitan dengan kebijakan Orba yang tidak
disukainya.
Pada data (21), subversi dilontarkan kepada siapa saja yang
mencoba menentang pemerintah. Pada data (22), inskonstitusional
adalah isti]ah yang dipakai untuk segala tindakan yang tidak sejalan
dengan undang-undang. Pada data (23), provokator adalah istilah
yang dipakai untuk siapa saja yang mencoba memancing terjadinya
kekacauan. Pada data (24), mendalangi adalah istilah yang dipakai
untuk orang yang berada dibalik suatu peristiwa atau kekacauan.
Pada data (25), adu domba digunakan untuk orang-orang yang
mencoba mengadu antar sesama. Pada data (26), mahar adalah istilah
yang dilontarkan untuk sekelompok orang (Barisan Nasional) yang
mencoba menentang pemerintah.
Bila dicermati secara lebih mendalam latar pemunculaii kata
dan ungkapan tersebut, dan kepada siapa ditujukan, pemakaiannya
cenderung menyimpang dari makna yang dimaksudkan oleh kata-
kata tersebut. Kata-kata tersebut dimaknai secara seram dan ditujukan
kepada siapa saja yang mencoba menentang pemerintah dalam arti
untuk mendominasi dan menunjukkan kekuasaan sebagaimana yang
dinyatakan oleh Jurgen Habermas (1967:287). Sebagai contoh, kata
mahar, didefinisikan sebagai suatu perbuatan untuk menggulingkan
pemerintahan yang syah. Namun, dalam pemakaiannya sangat
menyimpang dari maksud tersebut. Dikatakan demikian karena
kata makar tidak digunakan kepada orang-orang yang mencoba
menggulingkan pemerintahan Soeharto yang syah pada bulan Mei
1998. Di sini terlihat bahwa makar bukanlah diartikan makar dalam
248
arti sesungguhnya, tetapi hanya sebagai alat untuk membentengi
pemerintah dan memojokkan pihak-pihak yang menentang dengan
kritis.
Hal yang sama juga berlaku untuk istilah PRD (Partai Rakyat
Demokrasi). Segala bentuk yang mencoba menentang pemerintah
pada saat PRD muncul, akan dicap sebagai PRD, walaupun sama
sekali tidak bersinggungan dengan PRD. Pihak penguasa berusaha
menciptakan kesan yang menyeramkan tentang PRD sehingga istilah
itu tidak lagi dimaknai menurut yang sebenarnya. Ada kesan pihak
yang mendominasi memaknai suatu ungkapan menurut keinginannya.
Pada intinya fenomena seperti ini memiliki dua tujuan, yaitu untuk
memperkokoh keberadaannya dan mendeskreditkan pihak yang
didominasi. Hal itupun kelihatannya sejalan dengan fungsi bahasa
sebagai alat untuk mengendalikan pihak lain.
Pemaknaan bentuk-bentuk bahasa sedermkian rupa menurut
keinginan penguasa kelihatannya sangat berdampak kepada
masyarakat secara luas. Hal ini bisa terjadi karena bahasa juga
merupakan alat untuk membentuk opini. Dengan dimaknai sedemikian
rupa, sebagian masyarakat akan mempunyai kesan yang jelek tentang
makar, PRD dan lain-lainnya.
249
Dengan berpedoman kepada konteks, dapat diinterpretasi bahwa
ungkapan tersebut digunakan untuk membentuk suatu opini dan
membangun suatu kesan seolah-olah Golkar itu memang merupakan
partai orang kecil. Namun, yang paling mendasar dari tujun
penggunaan bentuk ungkapan seperti itu adalah untuk merangkul
kelompok lapisan bawah yang jumlahnya cukup banyak di seluruh
Indonesia. Dalam kenyataannya, kelompok masyarakat yang disasar
oleh Golkar tidak hanya masyarakat lapisan bawah (wong cilik),
tetapi adalah semua kalangan. Dengan demikian, ungkapan tersebut
tidak lebih hanya sekedar alat untuk mengumpulkan massa yang ada
akhirnya memperkuat suatu kelompok.
Ungkapan single majority (mayoritas tunggal) secara harfiah
dalam bahasa Indonesia adalah mayoritas tunggal, memiliki
makna yang cukup sulit diukur. Frase tersebut dimunculkan untuk
menggambarkan suatu partai dengan pengikut yang sangat banyak, dan
tidak bisa ditandingi oleh partai lain. Dari sisi pemaknaan kelihatannya
frase tersebut dimaknai sedemikian rupa sehingga baik pencipta istilah
tersebut maupun anggota masyarakat yang menerimanya merasakan
suatu kesan yang positif. Ada semacam citra baik sehingga orang
berbondong-bondong menjadi pengikut partai tersebut. Namun, fakta
bahwa bentuk tersebut mengandung makna yang sangat bernuansa
politis dapat diuji dengan realitas yang diacu. Sesungguhnya, dalam
suatu wacana politik yang mengenal adanya istilah demokrasi tidak
dikenal adanya istilah single mayority. Berdasarkan ciri semantis bila
ditelusuri berdasarkan analisis komponen makna (Leech, 1981: 90-94),
komponen makna single majority bertentangan dengan democracy. Di
pihak lain, single majority tidak memberi peluang kepada pihak lain
untuk mengajukan pilihan lain. Jadi, kesan atau opini yang hendak
dibentuk menjadi bertentangan dengan makna yang dibawa oleh
bentuk tersebut.
Fenomena yang sama juga berlaku untuk istilah temu kader.
Istilah ini dimunculkan pada saat tokoh-tokoh Golkar turun ke
lapangan. Bila dicermati sepintas lalu, frase temu kader mengandung
makna yang bemuansa positif. Secara harfiah, frase tersebut dapat
diartikan, parah tokoh Golkar turun ke lapangan menemui para
kadernya. Namun demikian, bila dihubungkan dengan realitas yang
diacu dan diselaraskan dengan dunia realitasnya, bentuk tersebut
mengandung makna tidak hanya sebatas menemui kader, tetapi lebih
mengacu kepada penggalangan kekuatan. Hanya saja di sini cara yang
dilakukan adalah melalui perekayasaan makna dari bentuk-bentuk
bahasa.
250
Kelihatannya berdasarkan uraian di atas, Golkar, Partai Wong
Cilik, Single Majority, dan Temu Kader, dari segi bentuk kelihatannya
memang berbeda. Akan tetapi, disamping kekhususan makna yang
dimiliki oleh masing-masingnya, ketiganya memiliki medan makna
yang secara umum relatif sama. Pemakaian ketiganya memiliki tujuan
yang sama yaitu untuk mempengaruhi dan mendominasi khalayak
ramai. Ini tampaknya sejalan dengan fungsi bahasa sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu yaitu tujuan politis. Pernyataan ini didukung
oleh pendapat yang mengemukakan bahwa manipulasi bahasa terjadi
dalam semua konteks politik di semua negara, dan kediktatoran
cenderung berjalan secara sistematis dalam mekanisme seperti itu
Evert Vendung dalam Latif, 1996:15).
Refleksi melalui pemakaian bahasa setidaknya tercermin
dari ungkapan siapa melawan, digebuk saja. Ada beberapa alasan
yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa makna kediktatoran
terkandung pada bentuk tersebut. Pertama, secara teoritis, makna
adalah pemakaian bentuk dalam berbahasa (Chase, 1938). Pemunculan
makna tersebut erat kaitannya dengan setting, partisipant, end, act
sequence, key, instrumental, norm, and genre (Hymes dalam Jendra,
1991:59). Klausa tersebut menjadi bermakna yang mengandung unsur
kediktatoran karena dilontarkan oleh pejabat tinggi pemerintah
terhadap orang yang mencoba menentang berbagai kebijakan yang
dikeluarkan. Sebenarnya, klausa tersebut akan bermakna netral apabila
diucapkan oleh orang yang bukan pejabat pemerintah dan tidak dalam
suatu konteks wacana politik. Apabila klausa tersebut diungkapkan
oleh seorang ayah kepada anaknya yang mungkin sedang diganggu
orang, maknanya mungkin hanya sebatas perintah biasa. Demikian
juga pilihan leksikon, digebuk, tidak mencerminkan bahasa seorang
elit politik.
Klausa siapa melawan, digebuk saja, dari segi bentuk atau makna
berbeda dari jargon-jargon politik pada data (27), (28), dan (29). Akan
tetapi, keempatnya memiliki makna politis yang sama dan digunakan
untuk menggalang kekuatan. Hanya saja di sini, untuk data (30)
pemaknaannya lebih diseramkan. Dikatakan demikian karena dalam
konteks politik Indonesia, partai berkuasa (Golkar) sulit dipisahkan
dari ABRI, di mana salah seorang mantan Pangab dan mantan Presiden
Soeharto sendiri melontarkan pernyataan, siapa melawan digebuk
saja.
251
ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang
dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan
(Kawulusan, 1998:1-6; lihat pula Latief, 1996). Dari definisi tersebut,
kita dapat mengatakan bahwa eufemisme termasuk salah satu unsur
kreatifitas berbahasa. Penggunaan eufemisme secara lebih luas dapat
dicermati pada data berikut ini.
(31) kelaparan dikatakan kekurangan pangan
(32) ditangkap untuk pengusutan dikatakan diamankan
(33) keluarga miskin dikatakan keluarga prasejahtera
(34) harga dinaikkan dikatakan harga disesuaikan
(35) korupsi dikatakan salah prosedur
(36) diperiksa dikatakan diklarifikasi
252
di atas, yang menyatakan sebagai pengganti ungkapan yang kasar
yang dianggap merugikan, ada kecenderungan penggunaan
eufemisme pada data (31) sampai dengan (36) menyimpang dari
definisi yang dikemukakan. Penggunaan eufemisme kelihatannya
tidak dimaksudkan untuk mengganti ungkapan kasar yang dirasa
merugikan, tetapi untuk menutupi kelemahan dan kekuasaan yang
ada pada pemerintah.
Dikatakan demikian karena apabila dipakai kata kelaparan,
akan tercermin ketidakmampuan dan kegagalan pemerintah
dalam menangani pangan. Akan tetapi, penggunaan ungkapan
kekurangan pangan dianggap dapat menyembunyikan kelemahan itu.
Demikian juga dengan ungkapan, ditangkap untuk pengusutan akan
mencerminkan kekerasan yang ada pada pemerintah dalam menangani
suatu masalah, dan cara seperti itu akan dapat disembunyikan melalui
ungkapan diamankan. Fenomena yang sama juga berlaku untuk data
(33) sampai dengan data (36).
Bila dicermati data di atas, sasaran lain yang ingin dicapai
kelihatannya adalah untuk meredam emosi pihak-pihak yang
dikuasai. Dengan munculnya istilah-istilah seperti penyesuaian harga,
diamankan, salah prosedur, keluarga prasejahtera, kekurangan
pangan, dan lain-lainnya, akan terbentuk suatu kesan dalam pikiran
masyarakat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik. Namun,
persoalan lain juga bisa muncul. Tidak semua lapisan masyarakat
dapat berpengaruh dan membentuk suatu opini melalui rekayasa
bahasa seperti itu.
253
sebagai bentuk yang mengandung makna yang bernuansa positif,
Bentuk-bentuk tersebut dimunculkan sehingga menggambarkan suatu
kesan menyejukkan dari apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah.
Merujuk kepada rumusan makna yang dikemukakan oleh
Ullmann (1977) bahwa segenap informasi yang dibawa oleh nama atau
simbol-simbol kebahasaan, maka sapta pesona, dapat diartikan tujuh
hal yang mempesonakan terutama sekali dalam bidang pariwisata.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) mempesona adalah
sesuatu yang menarik perhatian dan mengagumkan. Ketujuh hal
tersebut adalah apa yang dibangun oleh pemerintah sehingga terkesan
bahwa pemerintah tidak sembarangan berusaha untuk mewujudkaan
pembangunan di bidang pariwisata yang pada akhirnya untuk
kepentingan rakyat banyak.
Ungkapan, Jakarta Tegar Beriman, Semarang Kota Atlas, Jambi
Kota Beradat, dan Padang Kota Tercinta ada julukan khas yang
diberikan untuk nama-nama daerah hampir di seluruh Indonesia.
Kelihatannya pemberian julukan seperti itu lebih dimaksudkan untuk
menciptakan suatu kesan kenyamanan, kedamaian, dan ketaatan suatu
daerah atau kota. Pemberian julukan seperti pada hakikatnya juga
akan memberikan citra baik tidak saja kepada warga kota tersebut,
tetapi juga pada pemerintah.
Dengan munculnya julukan-julukan seperti itu, kesan negatif
yang mungkin terdapat pada suatu daerah dengan sendirinya akan
tertutupi. Di sini lain, pemberian julukan itu juga akan menggambarkan
kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing kota. Sebagai contoh,
Jakarta akan menjadi khas dengan predikat berimannya, Jambi
menjadi khas dengan julukan Kota Beradat, Semarang menjadi khas
dengan julukan Kota Atlas.
Namun demikian, pemberian julukan seperti itu secara politis
juga memiliki efek negatif. Dengan adanya julukan-julukan yang
sangat bernuansa positif seperti itu, sesuatu yang jelek yang mungkin
merugikan pihak lain, atau sesuatu yang berkonotasi negatif yang
terjadi pada daerah atau kota yang diberi predikat seperti itu akan
termanipulasi. Ada kalanya, orang menjadi terbuai dengan konsep-
konsep yang diluncurkan terutama karena di dalamnya terkandung
suatu kesan yang positif. Hal seperti itu wajar terjadi karena
sebenarnya simbol-simbol bahasa dimunculkan oleh pemakainya
untuk membangun suatu kesan (image) atau membentuk opini.
Ungkapan, Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum), adalah jargon
yang juga mengandung makna yang bernuansa positif. Bentuk tersebut
menggambarkan suatu keluarga yang menyadari keberadaan hukum.
254
Menyadari hukum dalam konteks ini secara rinci dapat dikatakan sadar
dalam arti mematuhi dan tidak melakukan apa saja yang mungkin
bertentangan dengan hukum, Istilah ini dimunculkan tampaknya
dalam rangka memasyarakatkan kepatuhan terhadap hukum terutama
kepada keluarga yang pada akhirnya akan berdampak kepada
masyarakat. Istilah ini menjadi bermuatan politis apabila ditinjau
dari konteks pemunculannya dan dari segi realisasinya. Dikatakan
demikian karena, dalam wacana politik Indonesia himbauan seperti
ini diperntukkan kepada rakyat, sementara realisasinya tidak berlaku
secara menyeluruh.
NKKS (Norma Keluarga Kecil Sejahtera), adalah istilah yang
menggambarkan suatu keluarga kecil, yang bahagia dan sejatera.
Istilah ini muncul dalam rangka mensosialisasikan program keluarga
berencana di Indonesia. Dengan mengikuti program keluarga
berencana, yaitu dengan membatasi kelahiran bayi, keluarga kecil
yang sejahtera akan tercipta. Dengan jumlah anggota keluarga yang
sedikit, kesejahteraan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan akan
dapat dicapai dengan mudah.
Ungkapan, Bapak Pembangunan, merupakan gelar yang
diberikan kepada seseorang yang sangat berjasa dalam membangun
di berbagai bidang. Ungkapan ini diberikan kepada Soeharto
ketika masih menjadi presiden. Secara denotatif, ungkapan ini
sebenamya mengandung makna yang bernuansa positif. Namun, bila
dihubungkan dengan konteks pemakaiannya, maknanya menjadi
membias. Dikatakan membias karena makna yang terkandung di
dalamnya telah dimanipulasi sedemikian rapa sehingga terkesan
mengkultuskan seseorang. Dalam kenyataannya, orang yang berjasa
dibidang pembangunan bukanlah hanya seorang diri.
Sama seperti ungkapan-ungkapan di atas, ungkapan
Kelompencapir, adalah bentuk-bentuk bahasa yang digunakan
sebagai alat untuk menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah. Istilah, kelompencapir (kelompok pendengar dan pemirsa)
merupakan kelompok anggota masyarakat yang dihimpun untuk
menerima dan menjalankan program-program pemerintah. Istilah ini
dipakai terutama untuk masyarakat pedesaan.
Doa Politik adalah ungkapan yang agak sulit dideskripsikan
pengertiannya. Namun demikian, istilah ini dimunculkan terutama sekali
untuk menopang berbagai bentuk perencanaan politis. Pemunculan
istilah ini tidak bisa dipisahkan dan kenyataan bahwa lembaga-lembaga
agama termasuk yang dapat dipengaruhi untuk memperkokoh
keberadaan penguasa. Keterlibatan lembaga agama kelihatannya
255
cukup berdampak dalam mempengaruhi publik dan mengangkat citra
pemerintah. Hal ini tampak jelas pada era Orde Baru.
256
bermunculan pada liflet-liflet yang dipakai pada saat demonstrasi.
Data (50), Usut Harto Cendana, memiliki makna yang ambigu. Di
satu sisi, ungkapan tersebut dapat diinterpretasi, usut Soeharto yang
tinggal di Cendana. Ini berarti tertuju kepada seseorang. Di sisi lain,
Harto, dapat berarti harta (bahasa Minangkabau). Secara keseluruhan
ungkapan tersebut dapat diinterpretasi, usut harta Cendana. Ini tidak
saja tertuju kepada seseorang, tetapi jangkauannya lebih luas.
Ungkapan pada data (51), Habibie + Wiranto = Soeharto,
memiliki pengertian yang sangat kompleks. Kompleks dalam
pengertian Soeharto dimaknai sedemikian rupa sesuai dengan fitur-
fitur dan perilakunya. Akan tetapi, Wiranto dan Habibie diharapkan
tidak seperti Soeharto. Dalam kenyataannya tidak demikian, sehingga
keduanya disamakan dengan Soeharto.
Bila diamati secara umum dan terlepas dari rincian-rincian makna
yang diuraikan di atas, kesemua ungkapan itu merupakan bentuk
perlawanan serta kritik yang dilontarkan oleh pihak oposisi. Mereka
memaknai sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah.
III. Simpulan
Berdasarkan analisis data di atas, ketiga pemasalahan yang
diajukan pada awal tulisan ini dapat dijawab sebagai berikut:
1) Analisis data memperlihatkan bahwa bahasa memiliki kaitan
yang erat dengan budaya dan politik. Dikatakan demikian karena
budaya dan perilaku politik suatu masyarakat tergambar dari
bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya. Hal itu dapat dibuktikan
dengan muncuhiya bermacam-macam jargon politik yang pada
dasarnya menampakkan fungsi bahasa sebagai medium dominasi,
kekuasaan, dan hegemoni budaya.
2) Berbagai makna yang mencerminkan perilaku politis itu
diungkapkan dengan bentuk-bentuk bahasa yang singkat dan
sarat makna. Bentuk cenderung tidak selaras dengan makna atau
dengan kata lain, bentuk statement cenderung bermakna anjuran
atau perintah. Slogan-slogan cenderung dalam bentuk kata-kata
ringkas atau hanya sebatas frase.
3) Adapun tipe-tipe makna yang dikemas melalui bentuk-bentuk
bahasa yang dikategorikan sebagai ungkapan politis antara lain
selain makna denotatif yang bersifat informatif juga tipe makna
yang telah dibiaskan melalui eufemisme dan penyeraman suatu
makna sehingga terkesan membahayakan. Tipe makna seperti
itu selain untuk menunjukkan dominasi dan kekuasaan juga
untuk mensosialisasikan program pemerintah. Pemakaian
257
eufemisme kelihatannya salah tempat. Artinya bukan lagi sekedar
penghalusan, tetapi lebih merupakan penyembunyian perilaku
jelek.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. 1990. How To Do Things With Words. New York: Oxford University
Press.
Chase, Stuart. 1938. The Tyranny of Words. New York: Harcourt, Brace.
Jovanovich.
Oumperz, Jhon J. 1982. Discourse Strategies. America: Cambridge University
Press.
Haviland, William A. 1985. Anthropology. Berlington. CBS. College
Publishing.
Hodge Robert dan Gunther Rress. 1991. Social Semiotics. America: Cambridge
University Press.
Jendra, I Wayan. 1991. Dasar-dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kawuksan, Hans E. 1998. “Bahasa Politik dalam Bahasa Indonesia”. Kongres
Bahasa Indonesia VII, Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Latif, Yudi, dkk. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Politik Wacana di Panggung Orde
Baru. Bandung: Mizan Pustaka.
Leech Geoffrey. 1981. Semantics. The Study of Meaning. New Zealand: Penguin
Books.
Manners A, et al. 1979. Theory in Anthropology. New York.: Aldine Publishing
Company.
Moeliono, Anton. M, dkk. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ogden, C.K. dan Richards. I. 1923. The Meaning of Meaning. London: Roufedge
& Kegan Paul; 8 th editon, 1946.
Subroto, H.D. Edi. 1998. “Eufemisme dalam Bahasa Indonesia”: Kajian
Manipulasi Semantik Untuk Kekuasaan. Yokyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Suroso. 1998. “Ragam Bahasa Propaganda”. Rejim Orde Baru: Makalah Seminar
Internasional. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada.
258
MAKNA LAKU DALAM BUDAYA JAWA
Afendy Widayat
Universitas Negeri Yogyakarta
A. Pendahuluan
259
sekedar mencari bener (benar), tetapi sekaligus mencari pener, yakni
tepat benar dalam tataran praksis. Di Jawa yang bener belum tentu
diterima bila tidak pener, hal ini terungkap pada istilah bener ning ora
pener.
Yang menarik untuk dicermati lebih lanjut adalah dalam
hubungannya dengan pandangan hidup Jawa yakni filsafat Jawa
apakah sesungguhnya laku itu. Di bawah ini akan dicoba untuk
mengungkapkan metafisika kata laku itu ditinjau dari berbagai
formulasi bahasa Jawa, yakni yang menyangkut sikap dan pandangan
hidup Jawa yang berhubungan dengan kata laku itu sendiri.
260
sebagainya), atau lantip yang lebih bersifat afektif. Meskipun demikian,
klasifikasi tersebut tidak dapat terpisahkan betul, karena pada dasarnya
ngelmu dalam kehidupan masyarakat Jawa memang bersifat lahir
dan batin. Hal yang lebih tampak membuktikan itu ialah pada kata
pinter dalam istilah wong pinter. Wong pinter dapat bermakna orang
yang pandai dalam arti pandai dalam hubungannya dengan sekolah
formal, namun wong pinter juga menunjukkan dalam hubungannya
dengan kepandaian pada hal-hal yang bersifat supranatural, seperti
dukun-dukun yang pandai mengobati penyakit non-medis.
Bagi orang Jawa, istilah ngelmu itu berarti ilmu yang menyangkut,
baik ilmu yang menyangkut segala ilmu logika yang bersifat empiric,
maupun ilmu yang menyangkut berbagai keilmuan yang bersifat
supranatural. Ngelmu dapat berarti berbagai keilmuan yang dapat
dipikirkan dan dibuktikan secara akal, yakni berbagai keilmuan yang
diajarkan di sekolah-sekolah formal. Ilmu semacam ini lebih bersifat
lahiriah. Lebih dari itu, ngelmu juga dapat berarti berbagai keilmuan
batiniah, yakni berbagai ilmu yang hanya dapat dirasakan dan diimani,
tidak dapat dirumuskan dan dibuktikan secara akal sehat, dan bersifat
supranatural. Ilmu yang terakhir ini tidak diajarkan dalam sekolah-
sekolah formal, tetapi hanya diajarkan di paguron-paguron (perguruan)
bela diri tertentu dan keilmuan kasepuhan (bagi orang-orang tua), yang
bersifat kebatinan. Salah satu hasil dari keilmuan ini disebut aji-aji.
Kata aji, di samping berarti nilai, berarti raja, juga berarti ilmu. Baik
nilai, raja atau pun ilmu, ketiganya merupakan hal yang sangat diaji-aji
atau dihormati bagi masyarakat Jawa.
Orang yang tamat dalam berguru sehingga mendapatkan aji-aji
tertentu akan dianggap sakti. Adapun orang Jawa yang berguru dalam
hal kebatinan, harus mengembangkan kedewasaan jiwa dengan cara
olah rasa atau olah budi (Saryono, 2011: 105) yang hingga pada tingkat
tertentu akan menjadi manusia yang wicaksana (bijaksana) dan dapat
juga menjadi ngerti sadurunge winarah atau tahu sebelum diberi tahu
atau tahu sebelum sesuatu terjadi.
Secara umum, bagi orang Jawa sebenarnya berpikir itu sekaligus
merasakan, artinya berpikir bagi orang Jawa itu terjadi, baik secara
lahiriah maupun batiniah. Dalam istilah Jawa halus (krama) kata mikir
yang berarti berpikir itu disebut manah atau menggalih. Baik kata manah
atau menggalih, keduanya berhubungan dengan rasa atau berhubungan
dengan hati. Kata manah berasal dari kata panah, sehingga kata manah
dapat berarti memanah, dan juga dapat berarti hati atau merasakan
dalam hati. Agaknya kedua makna tersebut memang berhubungan,
yakni memikirkan dan merasakan dengan tajam pada sesuatu objek
261
yang dituju. Adapun kata menggalih, berasal dari kata galih, yang
disamping berart hati, juga berarti bagian terdalam yang sangat keras
(untuk kayu dan sebagainya) atau berarti inti sari sesuatu. Jadi kata
menggalih bermakna berpikir dan merasakan secara dalam. Dengan
demikian, baik manah maupun menggalih merupakan proses berpikir
atau merasakan yang menyangkut aktivitas lahir dan batin.
Istilah lain yang juga kadang dipergunakan dan maknanya tidak
jauh berbeda, adalah bawa rasa. Kata bawa berarti dalam pengaruh
atau dalam keadaan. Adapun kata rasa menyangkut perasaan.
Istilah bawa rasa ini dapat bermakna berpikir sekaligus merasakan
atau merenungkan. Istilah ini lebih sering dipergunakan dalam
hubungannya dengan olah pikir tentang ilmu kebatinan atau ilmu
kasepuhan. Menurut Magnis-Suseno (1984: 130), rasa merupakan kata
kunci Jawa, rasa berarti merasakan dalam segala dimensi. Dalam rasa,
orang Jawa mencapai kawruh (kata lain dari ngelmu), bahkan sampai
kawruh sangkan paraning dumadi, penertian tentang asal dan tujuan
segala makhluk.
Istilah lain lagi, yang lebih menekankan makna lahir dan batin
atau berpikir sekaligus merasakan, adalah istilah digelar-digulung.
Istilah digelar artinya adalah dibentangkan, sedang kata digulung
berarti digulung kembali. Jadi diuraikan lalu disimpulkan secara
berulang-ulang baik melalui pikiran maupun perasaan. Istilah digelar-
digulung tampak menggambarkan suatu proses dari dipikirkan lalu
dirasakan, atau melalui pikiran lalu melalui hati, secara berulang-
ulang. Kusumawicitra (dalam Damarjati, 2001: 70), menyatakan bahwa
menurut para sarjana Jawa, antara lahir dan batin itu sesungguhnya
satu, lahir itu hanyalah utusan batin, lahir batin itu tidak pisah, tarik
menarik dan saling mendampingi (wengku-winengku). Lahir dan batin
itu bagaikan kawula dan Gusti.
Bila dicermati lebih lanjut, laku yang bermakna proses kehidupan,
selalu menyertai setiap waktu, setiap tempat dan setiap keadaan.
Ngelmu yang telah diuraikan di atas, sesungguhnya sekaligus juga
merupakan laku. Tidak berlebihan bila dipilih kata penyertanya yakni
kanthi, yang berarti bersama. Jadi ngelmu itu bersama dengan laku,
ngelmu itu sendiri juga bersifat laku dalam lelakoning urip (kejadian
kehidupan). Pada tembang Pucung di atas, hal itu tercermin pada
kata lekase dalam baris lekase lawan kas, yang bermakna sebagai proses,
yakni awalnya dimulai dengan kesungguhan. Hal itu lebih ditegaskan
dengan baris setya budya pangekese dur angkara, yang maknanya juga
sebagai proses, yakni selalu setia mengusahakan hilangnya angkara
murka.
262
C. Laku sebagai Proses Hidup
Dalam pandangan hidup Jawa, hidup itu mengalir seperti
aliran air sungai dari waktu ke waktu, dari hari ke hari, yang dapat
menghanyutkan. Bagi orang Jawa, hidup ini boleh saja berjalan
mengikuti arus, namun jangan sampai hal itu karena tidak disadari.
Dalam hubungannya dengan kata laku, aliran air tersebut bagaikan
lelakoning urip atau aliran kejadian dalam kehidupan setiap manusia
yang masing-masing berbeda. Hal ini antara lain tercermin dalam
geguritan (puisi Jawa Modern) karya Sumono Sandy Asmoro (Surabaya,
2000: 43) sebagai berikut.
Jroning Laku (Di dalam Laku)
Angin sing nglimpekake laku (angin yang diam-diam meninggalkan
laku)
Nglungguhake aku lan kowe (mendudukkan aku dan engkau)
Runtut kaya wayang simpingan (urut seperti wayang yang ditata di
samping layar)
Sangarepe dhalang (di depan dalang)
Pindhane ukara banjur dipantha-pantha (seperti kalimat lalu dibagi-
bagi)
Jejer lesan lan wasesa (subjek predikat dan objek)
Adhuh mitra, aku lan kowe (aduh kawan aku dan engkau)
Jebul nate ngombe banyu (ternyata pernah minum air)
Sing padha segere (yang sama segarnya)
Lungguh ing klasa (duduk di tikar)
Sing padha jembare (yang sama luasnya)
Liwat dalan sing padha lempenge (melewati jalan yang sama lurusnya)
Senajan seje mangsane (walaupun berbeda saatnya)
Angin sing ngampirakelaku (angin yang membuat laku mampir)
Nglungguhake aku lan kowe (mendudukkan aku dan engkau)
Bawa rasa sawatara ngonceki cangkriman ketiga (memikirkan dan
merasakan ketika mengupas teka-teki musim kemarau)
Sadurunge bebarengan ngeli turut lakuning dina (sebelum bersama
menghanyutkan diri mengikuti jalannya hari)
Sing nggawa werna-werna patembaya (yang membawa berbagai macam
sayembara).
263
arus (ngeli) dalam kehidupan itu.
Dalam hubungannya dengan puisi di atas, dalam peribahasa
Jawa terdapat istilah ngeli ning aja nganti keli. Kata ngeli berasal dari
kata ili yang berarti aliran, lalu mendapat awalan ka- menjadi keli
yang berarti dalam keadaan hanyut atau terhanyut. Orang yang keli
(terhanyut) dan tidak menyadari, bahkan tidak memiliki kemampuan
untuk berenang dan berusaha keluar dari aliran air itu, ia akan celaka
bahkan dapat mati. Adapun kata ngeli merupakan aktivisasi dari kata
ili atau keli, sehingga secara aktif atau sadar bahkan dengan sengaja ia
menghanyutkan diri. Aja nganti keli maksudnya, setiap manusia harus
menyadari diri ia berkedudukan di mana dan bagaimana setiap saat
ketika ia berada dalam arus kehidupan itu. Ia harus menjalankan laku
atau langkah atau proses hidupnya, atau dengan kata lain hidup ini
harus dilakoni atau disikapi dengan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanan hidup manusia, pengetahuan yang satu akan
menjadi dasar pada pengetahuan yang lainnya, sedikit demi sedikit
terus berproses berkembang sesuai dengan pengalamannya masing-
masing, oleh karena itu, di Jawa juga terdapat istilah ngelmu titen, yakni
yang didasari oleh memperhatikan kejadian dan mengingat-ingat
untuk kemudian dimanfaatkan pada kejadian-kejadian selanjutnya.
Tidak berlebihan bila Soedjonoredjo (dalam Supadjar, 2001: 70)
menuliskan dalam hal proses hidup harus mencari ilmu kenyataan
sebagai berikut.
Benere wong urip, eling marang uripe……benere wong lali, ngudi kawruh
kasunyatan……wajibe wong urip, rumeksa ing uripe……..asaling pangudi,
rumasa, …….wong urip kudu rumasa kawula (Benarnya orang hidup, ingat
akan hidupnya……….benarnya orang lupa, mencari ilmu kenyataan……
kewajiban orang hidup, menjaga hidupnya……asal pencarian adalah
merasa ……..orang hidup harus merasa sebagai makhluk)
264
Adapun eling (ingat) adalah ingat bahwa dirinya hanyalah makhluk
Tuhan Yang Maha Kuasa (bdk. Mulyono, 1982: 58).
265
ini juga berhubungan dengan kata Jawa lelaku. Kata lelaku juga berasal
dari kata dasar laku yang kemudian diulang suku kata depannya
tetapi mengalami perubahan bunyi (proses kebahasaan yang disebut
dwipurwa salin suwara). Kata lelaku bermakna sakaratul maut, atau
sekarat, yakni keadaan manusia sesaat sebelum ia meninggal atau
proses sesaat sebelum meninggal dunia. Dengan demikian kematian
dalam pandangan hidup Jawa memang dianggap sebagai proses
perjalanan menuju kehidupan selanjutnya.
Dalam hubungannya dengan idiom lain, dinyatakan urip iki
manggung dadi lakon (manggung atau di panggung dan sedang menjadi
tokoh utama). Dunia sebagai tempat hidup manusia tidak ubahnya
seperti panggung sandiwara. Hal ini tidak berlebihan, terbukti dalam
suatu lagu pop berbahasa Indonesia juga dinyatakan bahwa dunia
ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Dalam konteks
ceritanya mudah berubah, juga mengandung makna bahwa hidup
ini hanya sementara. Kesemenraraan ini juga tercermin pada istilah
manggung dadi lakon. Dalam konteks tertentu sering menjadi lagi
manggung dadi lakon (sedang di panggung atau manggung).
Kata manggung, kata dasarnya adalah anggung, yakni bunyi
burung-burung (kukila) tertentu terutama burung perkutut. Bagi orang
Jawa burung perkutut merupakan salah satu (di samping wisma yakni
rumah, turangga yakni kuda, dan curiga yakni keris) symbol kamulyan,
yakni hidup dengan tenteram dan sejahtera sekaligus mulia. Orang Jawa
yang memiliki burung perkutut, dia seakan telah mampu menggenapi
idealisme hidupnya, terutama bila anggung atau bunyi perkutut
miliknya memenuhi kriteria bunyi perkutut yang bagus. Burung
perkutut yang bunyinya bagus, akan menjadi pusat perhatian orang-
orang di sekitarnya. Bunyi yang bagus sebagai symbol keharmonisan,
ketenteraman, kesejahteraan, dan kemuliaan. Demikian pula halnya
dengan orang yang sedang berada di panggung, setiap gerak dan
ucapannya akan selalu disoroti oleh orang-orang di sekitarnya. Lakon,
sebagai tokoh utama di panggung akan menjadi pusat perhatian. Ia
akan menjadi Pancer atau pusat dari segala arah yang disebut kiblat
papat (empat penjuru) atau kanan, kiri, muka dan belakang.
Kata lakon berasal dari kata dasar laku yang mendapat akhiran -an.
Kata lakon dalam bahasa Jawa dapat berarti cerita, judul cerita, tokoh
utama, atau pentas terutama pentas wayang purwa. Lakon yang berarti
pentas wayang purwa, prosesnya selalu dimulai dari dibunyikannya
gamelan yang disebut tetalu, kemudian gamelan pathet nem, pathet sanga,
pathet manyura, hingga perang brubuh dan tarian Bima atau tokoh lain
yang merupakan saudara tunggal bayu. Urutan proses pentas wayang
266
purwa itu juga merupakan symbol dari prosesi kehidupan manusia,
sejak diturunkannya benih manusia, masa kanak-kanak, masa remaja,
masa tua, hingga menjelang ajal (Mulyono, 1979: 106-114).
Bila dihubungkan dengan geguritan (puisi Jawa) karya Sumono
Sandy Asmoro di atas, dalam proses tersebut, wayang sebagai
symbol manusia hanya ditata menurut urutan masing-masing untuk
ditampilkan yakni manggung dadi lakon. Meskipun demikian, dalam
rangka manggung itu segala anggung-annya, yakni segala gerak,
tindakan dan ucapannya, harus dipertanggung-jawabkan, haruslah
disadari dan diarahkan menuju yang baik, sehingga para penonton
wayang, yakni masyarakat sekitarnya akan menjadi senang atau puas
karenanya. Semuannya ini tidak berhenti hanya dalam kehidupan di
dunia ini, namun juga diarahkan pada kehidupan selanjutnya setelah
manusia mati. Dalam hal ini proses laku manusia adalah menyadari
sepenuhnya akan sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan hidup
di dunia ini, yakni berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa dan akan
kembali kepada-Nya.
E. Simpulan
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa laku dalam filsafat Jawa
merupakan proses yang harus ada, harus disadari keberadaannya,
dan bahkan harus diadakan sebagai proses perbaikan kualitas hidup
dan kehidupan secara terus menerus. Laku merupakan kata kunci yang
harus disadari setiap saat baik dalam hubungannya dengan proses
hidup sementara di dunia ini, maupun dalam rangka proses hidup
selanjutnya, yakni setelah manusia meninggal dunia.
Hidup ini sesungguhnya juga merupakan laku, yakni proses
menuju hidup setelah manusia meninggal dunia. Orang hidup harus
menyadari akan hidupnya, oleh karena itu ia harus mengetahui akan
dirinya dan segala sesuatu di luar dirinya. Untuk itu manusia harus
berpengetahuan. Dalam hal mencari pengetahuan secara luas (ngelmu),
manusia juga harus melaksanakan dengan laku. Pengetahuan yang
satu menjadi dasar pengetahuan lainnya, itu semua merupakan laku,
yakni proses hidup dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Asmoro, Sumono Sandy. 2000. Antologi Geguritan Layang Panantang. Surabaya:
Balai Bahasa
Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Mulyono, Sri. 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: GUnung
Agung
267
__________. 1982. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung
Saryono, Djoko. 2011. Sosok Nilai Budaya Jawa: Rekonstruksi Normatif idealistis.
Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Sudarminta. 1991. Filsafat Proses, Sebuah Pengantar Sistematis Filsafat Alphed
Warth.-Whitehead
Supadjar, Damardjati. 2001. Cet. II. Nawangsari: Butir-butir Renungan Agama,
Spiritualitas, Budaya. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
268
SASTRA DAN BUDAYA JAWA
PADA MASA KRATON KARTASURA
Purwadi
Universitas Negeri Yogyakarta
1. Pendahuluan
269
lengkap adalah sebagai berikut : Putra dalem Ingkang Sinuwun
Prabu Hamengkurat Agung, ingkang nomer 1, miyos saking garwa
GKR Putrinya Pangeran Pekik Surabaia patutanipun kaliyan. GKR
Wandhansari. Rayi dalem Ingkang Sinuwun Sultan Agung Prabu
Hanyakrakusuma. Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Amral asma
Raden Mas Rahmat Kuning. Asalsilahipun Ingkang Sinuwun Prabu
Amangkurat II Amral Saking Ibu dalem GKR Pambayun.
1. Sunan Ampel Denta, peputra:
2. Pangeran. Surabaiat peputra:
3. Pengeran Pekik Surabaik, peputra:
4. GKR Pambayun GKR Kulon, Permaisuri beliau Ingkang Sinuwun
Prabu Amangkurat Agung, peputra:
5. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral.
Raden Mas Ning.
Ingkang Sinuwun mindhahaken Kraton Pleret dhumateng
Wonokerto, awit sampun risak. Wonokerto kanamekaken Kartasura
Hadiningrat, ing dinten Rabu Pon tanggal. 27 Ruwah Alip 1603 Jawi.
Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral boten nurunaken
nata (Bratadiningrat, 1990). Untuk mendukung keterangan di atas
dapat dikemukakan juga komunikasi antara panembahan Adilangu,
keturunan kelima Sunan Kalijaga, dengan Amangkurat II. Babad
menerangkan hal tersebut berkenan dengan penaklukan Giri oleh
Amangkurat II. Dalam penaklukan itu Adilangu berhasil mengalahkan
Pangeran Singasari, salah seorang panglima Giri. Dalam peristiwa itu
tidak diketemukan percakapan langsung antaraa Adilangu dengan
Amangkurat II, akan tetapi penggunan beberapa kata untuk mereka
dalam komunikasi itu cukup memperlihatkan unggah ungguhing basa
yang mereka pakai.
Pada waktu Amangkurat II berusaha memadamkan
pemberontakan Trunajaya, ialah singgah di Adilangu dan dikatakan
babad, nimbali Panembahan Natapraja dan Adilangu, yang dikatakan
babad kemudian sowan ke hadapan Amangkurat II (Meinsma,1941:
190) Ketika untuk mengalahkan Giri dikatakan Natapraja memerlukan
pusaka Mataram, Amangkurat II tidak keberatan, tertulis dalam babad
bahwa pusaka itu oleh Amangkurat II pinarengaken.
Kata Nimbali dan pinarengaken yang diucapkan Amangkurat
II terhadap Panembahan Natapraja, yang keturunan ke-5 dari Wali
Kalijaga, yang dulu sangat dihormati oleh keluarga Mataram, dapatlah
disimpulkan bahwa keturunan para wali sudah diungguli oleh
keagungan raja Mataram. Sehingga nampak terdapat hubungan antara
unggah unguhing basa dengan kekuasaan dinasti Mataram. Begitu
270
juga dengan penggunaan kata sowan untuk Panembahan Natapraja.
Rehning Kraton dalem Pleret risak dening perang Trunojaya, pramila
lajeng pindhah dhateng Wonokerto. Kadhaton enggal kanamekaken
Kraton KartaSura. Pindhahipun nyarengi dinten Rabu Pon 27 Ruwah
Alip 1603. Negari dalem kaparingan nama Kartasura Hadiningrat.
Dhandhanggula
Sang Aprabu prapteng Wanakarti
Gumarudug sawadya balane
Kawula lan sentanane
Kadya sinebut sebut
Katon sunya hangrasa wani
Ya sinangkalaning candra
Ri Buda Pon nuju
Kaping pitulikur Ruwah
Alip sewu nenemhatus telu dadi
Kartasura Diningrat.
Terjemahan :
Sang Prabu tiba di Wanakarti
Gemuruh suara balatentara
Kawula dan para sentana
Seperti bersorak-sorai
Tampak gembira semangat menyala
Jika dibuat candra sengkala
Yakni Ri Buda Pon
Tanggal dua tujuh Ruwah
Alip seribu enam ratus tiga
Kartasura Hadiningrat.
271
Awit punika, rama dalem KGPAdipati Puger dipunkunjara.
Jumeneng dalem Nata Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat III
namung 2 warsa (Bratadiningrat, 1990). Pada masa pemerintahan
Amangkurat II, banyak terjadi huru-hara yang menyebabkan
stabilitas kerajaan Mataram terganggu. Oleh karena itu Amangkurat
II memindahkan ibukota Mataram ke daerah Kartasura. Ibukota baru
ini diyakini akan membawa ketenteraman dan kedamaian kerajaan.
(Moedjanto, 1994: 93). Para raja yang pernah memerintah kerajaan
Mataram Kartasura yaitu :
1. Amangkurat II (1677 - 1703)
2. Amangkurat III (1703 - 1708)
3. Paku Buwana I (1704 - 1719)
4. Amangkurat IV (1719 - 1726)
3. Serat Menak
Serat Menak merupakan karya sastra sebagai wahana dakwah
Islamiyah. Kitab ini dibuat tahun 1639 tahun Jawa, atas perintah
Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sinuwun Paku Buwana I atau
Pangeran Puger di kraton Kartasura (Poerbatjaraka, 1957: 105). Cerita
Menak ini berasal dari negeri Persia dan dalam bahasa Melayu disebut
Hikayat Amir Hamzah. Serat Menak digubah ke dalam bahasa Jawa
bersamaan dengan berkembangnya agama Islam. Salah satu cabang
cerita Menak yang terkenal adalah cerita Rengganis. Cerita ini dibuat
oleh Rangga Janur, pujangga Kraton Kartasura (Poerbatjaraka, 1957:
112). Serat Rengganis mengisahkan percintaan antara Pangeran Kelan
dengan Dewi Rengganis dan Dewi Kadarmanik.
Karya sastra yang dibuat pada masa Kraton Kartasura yang
lainnya adalah Serat Manikmaya. Penciptanya yaitu Kartamursadah
dari Tanah Pasundan. Para bangsawan Priangan sering mengirim
putra-putrinya ke Kerajaan Mataram untuk belajar sastra dan budaya
(Poerbatjaraka, 1957: 114). Serat Manikmaya sebagian menceritakan
kisah-kisah yang sudah diungkapkan dalam Serat Tantu Panggelaran.
Seangkatan dengan Serat Manikmaya, yaitu Serat Ambiya dan Serat
Kandha. Keduanya juga terbit pada zaman kraton Kartasura. Serat
Ambiya yang terpengaruh agama Islam ini menceritakan kisah awal
penciptaan dunia serta cerita sejak adanya Nabi Adam. Serat Kandha
menggabungkan antara unsur Hindu, Islam, dan Jawa. Di sana
dijumpai kisah para Nabi yang dikemas sedemikian rupa, sehingga
menjadi keunikan khas kreativitas pujangga Jawa.
Paku Buwana III memerintah di kraton Surakarta pada tahun
1749-1788. Ibukota Mataram dipindahkan oleh Paku Buwana II dari
272
Kartasura ke Surakarta tahun 1743 (De Graaf, 1984: 264). Saat itu
kerajaan Kartasura penuh dengan konflik keras yang terjadi antar
keluarga istana.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana III terjadi proses sejarah
Palihan Negari pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan
Yogyakarta pada tahun 1755. Babad Giyanti secara cermat melukiskan
peristiwa historis itu (Ricklefs, 1995: 84). Sinuwun Paku Buwana III aktif
dalam mengembangkan sastra dan budaya. Karya Paku Buwana III yaitu
Serat Wiwaha Jarwa dengan sengkalan: tasik sonya giri juga yang berarti
tahun 1704 Jawa atau 1778 tahun Masehi. Di samping itu, Paku Buwana
III juga ikut menyempurnakan Serat Iskandar dengan wajah baru.
273
dan rakyatnya. Suatu cerminan hubungan patron client relationship
yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling
kawula Gusti, (Ricklefs, 1974). Konsep seperti itu akan selalu muncul saat
mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu
pada masa kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755
Mataram telah terbagi dua (Mari, 1995).
Kerajaan tradisional Jawa yang disebut Mataram, dalam konsep
politiknya mengakui bahwa raja merupakan penguasa yang memiliki
dasar sebagai dewa raja atau kalifatullah. Raja sebagai orang yang
dinilai mempunyai kharisma serta kekuatan melebihi manusia biasa,
memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap kerabat dan rakyatnya.
Adanya konsep dewa raja pada masa Hindu Jawa yang memandang raja
sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam dalam pengertian
kalifatullah. Menurut Soemarsaid Moertono (1985), kenyataan ini
semakin memperkokoh kedudukan raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi di kerajaan (Mari, 1995). Kepemimpinan dalam pandangan
budaya desa di Yogyakarta diperoleh melalui proses turunnya wahyu,
pulung atau ndaru. Di desa-desa sewaktu terjadi pemilihan kepala desa,
para calon kades itu biasanya saling berebut pulung. Mereka datang ke
orang yang dianggap pintar, atau tempat keramat semacam kuburan
leluhur hanya demi mewujudkan impiannya untuk mendapatkan
pulung kepemimpinan tersebut.
Kedudukannya sebagai wakil Tuhan di dunia, memungkinkan
seorang raja untuk menuntut pengakuan bahwa dirinya adalah
penguasa tunggal yang mempunyai kekuasaan terhadap kesetiaan
dan ketaatan penuh dari bawahannya. Institusi yang berhubungan
dengan ketaatan, kesetiaan, kewibawaan, serta keagungan, cukup
memperlihatkan fungsinya bagi budaya kehidupan masyarakat Jawa.
Mendapat perintah raja atau ngemban dhawuh dalem merupakan
kebanggaan tersendiri, sehingga rakyat dapat menerimanya dengan
senang hati (Mari, 1995). Melihat kenyataan dari alam pikiran tersebut,
tentu saja prinsip dan pandangan hidup sangat berpengaruh bagi
kehidupan lingkungannya. Seorang raja yang memerintah kerajaan
Jawa, selalu digambarkan bahwa ia tidak hanya memiliki kekuasaan
terhadap negara dan harta benda, melainkan juga terhadap para
kawula dengan segala kehidupan pribadinya.
Dalam alam kebudayaan Jawa (Soemarsaid, 1985), kekuasaan raja
digambarkan wenang misesa ing sanagari atau memegang kekuasaan
tertinggi di seluruh negeri. Kekuasaan itu digambarkan juga dalam
ungkapan mbaudendha nyakrawati atau berwenang menghukum dan
berkuasa memerintah dunia (Mari, 1995).
274
Ratu binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah,
wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu
nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan,
wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan
wewenang murbamisesa, kedudukannya sebagai Sang Murbawisesa,
atau Penguasa Tertinggi ini, mengakibatkan raja memiliki kekuasaan
tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena
dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi
dua macam wahyu yang telah disebutkan di atas, mendudukkan raja
sebagai yang berkuasa untuk memberi pandam pangauban, artinya
memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya (Darsiti,
2000).
Masih banyak berbagai ungkapan yang memperlihatkan betapa
berkuasanya seorang raja sehingga ia memiliki kekuasaan memerintah,
mengatur, menghukum, menguasai daerah-daerah lain, menguasai
militer, dan bahkan mengatur agama seperti yang terungkap dalam
Senapati Ingalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama. Menurut
Moedjanta (1978), dalam segala permasalahan maka raja memiliki
kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik
tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tiada
yang mampu menandingi. Kenyataan itu diungkapkan melalui bahasa
Jawa yang amat plastis, yang berbunyi endi ana surya kembar, berarti
tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengan
dirinya (Mari, 1995).
Wewenang atau kepemimpinan yang bersumber dari pulung atau
wahyu itulah yang menyebabkan kepemimpinan berubah menjadi
magis, wingit, angker, gaib dan serba supranatural. Salah satu bukti
pusat kepemimpinan yang berwajah wingit adalah sebagian besar
pendopo kabupaten di Jawa. Di sana akan kita temukan beberapa
simbol yang mendukung sifat keangkerannya, misalnya lampu yang
sengaja dipasang nyala redup dan suram, pajangan pusaka tombak,
keris, songsong gilap payung agung, patung Dwarapala dan sebagainya.
Dari sejumlah konsep tentang kekuasaan, sebenarnya masih
ada konsep lain yang mendampingi konsep kekuasaan itu, sehingga
seorang raja tidak bisa bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahannya. Konsep yang mendampinginya adalah ungkapan
bahwa seorang raja haruslah berbudi bawa lekasana ambeg adil para
marta. Konsep ini juga menyiratkan bahwa seorang raja harus dapat
menciptakan ketertiban dan keamanan rakyat serta negara, seperti
dinyatakan J.B. Meinsma (1941) dalam ungkapan anjaga tata titi tentreming
praja. Dengan demikian seharusnya seorang raja tidak saja menjadi
275
penghukum akan tetapi juga sebagai penegak hukum, yang merupakan
manifestasi dari upaya menegakkan keadilan. Berpegang pada konsep
semacam ini maka seorang raja harus wicaksana atau bijaksana dalam
menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu sering
digambarkan sebagai pandai mengambil keputusan yang tepat dalam
menghadapi situasi (Mari, 1995).
Dengan perkataan lain, kekuasaan raja yang tidak terbatas itu
harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada
rakyatnya. Hal ini dapat diumpamakan sebagai dalang-dalang itu tidak
boleh melupakan peranan blencong, yang memberi penerangan pada
layar permainan wayang itu. Bagi raja, hukum merupakan petunjuk
agar ia dapat menjadi tempat berlindung bagi rakyatnya (Darsiti,
2000). Di dalam Serat Wulangreh disebutkan, bahwa raja berkedudukan
sebagai wakil Tuhan dan memerintah berdasarkan hukum keadilan,
oleh sebab itu rakyat wajib mengikutinya.
Orang yang tidak mengikuti raja atau menolak perintahnya
berarti ia menentang kehendak Tuhan. Di samping tiga macam wahyu
tersebut di atas, dikenal pula istilah wahyu kraton,yang juga disebut
dengan istilah wahyu kedhaton atau wahyu cakraningrat. Seorang yang
mendapat wahyu kraton itu akan menjadi raja (Darsiti, 2000). Sebutan
gung binathara menyatakan bahwa seorang raja harus berwatak mulia,
adil, pembela kebenaran dan pelindung bagi rakyatnya. Menurut Van
den Berg (1901) yang pernah mengulas masalah kedudukan para raja
Islam di Indonesia, menyatakan bahwa dalam pengertian ajaran Islam
raja adalah manusia biasa yang oleh Tuhan diberi tugas mengatur
orang lain sesuai dengan ketentuan Syari’ah. Akan tetapi para raja
Mataram telah menganggap dirinya berada di atas manusia biasa
(Mari, 1995). Tradisi kritik terhadap kepemimpinan yang dilakukan
secara terang-terangan dalam budaya Jawa dinilai terlalu banyak
menanggung resiko. Pancaran kepemimpinan diibaratkan dengan
cahaya matahari. Orang yang mengritik secara vulgar dan konfrontatif
sama halnya dengan ngidoni srengenge ‘meludahi matahari’. Sudah
pasti ludahnya akan hanya mengenai muka sendiri.
Memang dalam budaya desa di Yogyakarta dikenal tradisi pepe
‘berjemur’ di alun-alun antara dua ringin kembar. Tetapi itu bukan
bersifat kritikan. Pepe hanya salah satu usaha permintaan keadilan
warga kerajaan yang teraniaya oleh aparat bawahan raja. Beruntung
jika raja memiliki belas kasihan, jika tidak, bukan menjadi tanggungan
berat bagi raja. Konsep tentang kekuasaan besar raja terhadap
rakyatnya tercermin dalam sejumlah serat, seperti Serat Niti Praja,
Serat Niti Sastra, dan Serat Wulang Reh. Dalam Serat Niti Praja, posisi
276
seorang raja disamakan dengan posisi seorang dalang, sedangkan
rakyat disamakan dengan wayang. Melalui perbandingan semacam
itu seorang raja akan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Dalam Serat Wulang Reh (Paku Buwana IV, 1925) ditekankan bahwa
apa yang diperintahkan oleh seorang raja haruslah ditaati, sebab raja
adalah wakil Tuhan seperti yang terlihat dalam kutipan:
Ratu kinarya wakil Hyang Agung,
merentahaken hukum adil,
pramila wajibe den enut,
sapa tan anut ing Gusti,
mring parentahe Sang Katong.
Terjemahan
Raja adalah wakil Tuhan,
sebagai pemegang hukum,
maka wajib diturut,
siapa tidak menurut perintah raja.
277
Demikian pula Pengeran Puger, beliau menjadi raja Mataram dengan
gelar Sunan Paku Buwana I, setelah menghisap sinar yang terpancar
lewat kemaluan Sunan Amangkurat III. Suksesi seperti ini menjadi
legenda yang diwariskan secara turun-temurun.
278
12. GPH Balitar
13. GK Ratu Ayunan, garwanipun Panembahan Cakraningrat. miyos
saking Permaisuri Dalem.
Kanjeng Ratu Mas Balitar adalah garwa dalem sinuwun Paku
Buwana I. Gelar Ratu Balitar lainnya adalah Kanjeng Ratu Ibu atau
Sang Aprabu Nini. Berhubung kepribadiannya yang luhur dan agung,
Ratu Balitar dihormati sebagai Putri amardika jimate wong nusa Jawa
(Sudewa, 1995: 245). Sikap Ratu Balitar yang bijak bestari ini mampu
meredakan krisis politik yang selalu bergolak pada masa awal kerajaan
Kartasura dan Surakarta. Hal ini bukan suatu kebetulan, karena beliau
adalah seorang tokoh putri yang gemar akan ilmu pengetahuan.
Ratu Balitar terlibat dalam pembuatan karya sastra yang berjudul
Serat Iskandar, Serat Menak, dan Serat Yusuf. Serat Iskandar masih
berkaitan dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain berbahasa Melayu
yang pernah dianalisis oleh Siti Chamamah Soeratno (1991) dalam
bentuk disertasi. Serat Menak dan Serat Jusuf ini dibuat oleh Ratu
Balitar di samping untuk syiar Islam juga demi kemajuan pendidikan
masyarakat saat itu yang selalu menghadapi pergolakan politik. Bagi
kebanyakan para putri sekarang, kiranya patut apabila mau meniru
kebijaksanaan dan kepandaian Kanjeng Ratu Mas Balitar dalam
menyikapi perubahan dan pergolakan di pentas kenegaraan.
Sunan Amangkurat IV selanjutnya memerintah Kraton Mataram.
Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Amangkurat IV.
Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai berikut
:Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu
Amangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin
Panata Gama Kalifatullah Ingkang Kaping IV Ing Nagari Kartasura
Hadiningrat 1719-1727. Putra dalem Sampeyan dalem Ingkang
Sinuwun Paku Buwana I miyos saking Permaisuri beliau GKR Paku
Buwana putrinya Raden Tumenggung Balitar. Nama Bandara Raden
Mas Gusti Suryaputra. Asalsilahipun Sampeyan dalem Ingkang
Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa Saking Ibu dalem GKR Paku
Buwana : Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Demak Bintara III, Kanjeng
Panembahan Mas ing Madiun, GK Ratu Retnadumilah, Permaisuri
beliau Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Panembahan Senapati
ing Ngalaga, Panembahan Juminah ing Madiun, Pangeran Adipati
Balitar, Ki Tumenggung Balitar, GKR Paku Buwana, Sampeyan
dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa ing Kartasura, BRM
Gusti Suryaputra.
Permaisuri beliau GKR Kencana, putrinya Raden Tumenggung
Tirtakusuma, ing Kudus. Putra-Putri dalem sedaya GPH
279
Mangkunegara Kartasura, Gusti Raden Ayu Suraloyo ing Brebes, Gusti
Raden Ayu Wirodigdo, GPH Hangabei, GPH Pamot, GPH Dipanegara,
GPH Danupoyo, Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana
II, BRMG. Prabasuyoso, GPH Hadinegara, GKR Maduretna, garwa
KPH Hindranata, Gusti Raden Ajeng Kacihin, GPH Hadiwijaya, GRM
Subronto, GPH Mangkubumi Sultan Yogyakarta, GPH Buminata,
Dandung Martengsari, Gusti Raden Ayu Megatsari, Gusti Raden Ayu
Puruboyo, Gusti Raden Ayu Pakuningrat, GPH Cakranegara, GPH
Silarong, GPH Prangwadana, Gusti Raden Ayu Suryawinata, GPH
Panular, GPH Mangkukusuma, Gusti Raden Ayu Sujonopuro, GPH
Dipawinata, Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I.
Amangkurat IV adalah ayah Paku Buwana II, Hamengku
Buwana I dan kakek Mangkunegara I. Dengan demikian, beliau telah
menurunkan tiga dinasti besar kerajaan Jawa. GPH Mangkunegara
ing Kartasura, peputra Raden Mas Sahid, jumeneng Mangkunegara
I Sambernyawa ing Surakarta. GPH Mangkubumi, jumeneng Sultan
Hamengku Buwana I ing Yogyakarta Hadiningrat. Jaman jumenengipun
Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku
Buwana III. Perjanjian Giyanti 1755. Dipun tapakastani Sampeyan
dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III
(Bratadiningrat, 1990).
GPH Mangkunegara, ayah Mas Sahid ini sangat anti pada
VOC. Dia tidak rwela bila penjajah ikut campur terhadap masalah
internal keluarga Mataram. Begitu gigih perjuangannya, pada suatu
saat akhirnya beliau ditawan oleh VOC ke Batavia. Dari Batavia ini
kemudian beliau diasingkan ke Negeri Srilangka. Hati beliau tidak
lunak juga. Bahkan rasa nasionalisme semakin berkobar. Terakhir
beliau dbuang ke Tanjung Harapan. Cita-cita beliau ini dilanjutkan
oleh putranya, yaitu RM Sahid atau Pangeran Sambernyawa. Kelak,
RM Sahid inilah yang menjadi pendiri dinasti Mangkunegaran dengan
gelar KGPAA Mangkunegara I.
6. Penutup
Karya sastra dan budaya warisan kraton Kartasura tetap berlanjut
pada periode sesudahnya. Kraton Surakarta merupakan kelanjutan dari
kraton Mataram yang beribukota di Kartasura. Dengan demikian para
raja Surakarta masih keturunan langsung Panembahan Senapati. Kraton
Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu puncak warisan budaya
Jawa. Kraton ini pernah menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan,
kesenian, perekonomian, tata nilai, tuntunan hidup keagamaan dan
merupakan representasi kosmologi Jawa pada jamannya.
280
Keberadaan kraton ini adalah hasil dari proses perjalanan politik
yang panjang sebagai pewaris kejayaan Kraton Mataram. Persoalan
sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah
melihat wujud kekuasaan tradisional Jawa dengan sejumlah konsep
yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan
politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai
pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan
subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi
kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Suatu
cerminan patron client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan
Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti (Ricklefs, 1974).
Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat
kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa
kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755 Mataram telah
terbagi dua (Mari, 1995). Kraton Surakarta telah melahirkan para raja
yang aktif sekali dalam mengembangkan sastra dan budaya. Bahkan
raja sendiri terjun langsung dalam dunia karang mengarang, sehingga
para raja ini mendapat julukan satria pinandhita. Para raja Surakarta
sungguh ahli dan produktif dalam menyebarkan gagasannya lewat
karya sastra yang bermutu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
281
SEMBAH CATUR DALAM SERAT
WEDHATAMA MERUPAKAN DASAR
PERILAKU BERBANGSA DAN BERNEGARA
Pendahuluan
282
bersujud, misalnya ‘ia melakukan sembah sungkem sambil menangis di
hadapan orang tuanya’, dan seterusnya.
Implementasi perilaku sembah tersebut sudah terlihat dalam
wujud realitas kehidupan masyarakat di Nusantara, antara lain sebagai
berikut:
− sikap saling hormat menghormati dan harga menghargai,
− sikap saling mencintai sesama manusia,
− mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan,
− sikap saling tenggang rasa dan tepa selira,
− bekerjasama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
− Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama dengan semangat kekeluargaan,
− membina kerukunan beragama,
− membela kebenaran dan keadilan,
− mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan
dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama
di atas kepentingan pribadi dan golongan,
− mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa, serta
− sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
apabila diperlukan.
Secara keseluruhan sikap-sikap dan nilai-nilai tersebut telah
meresap di lubuk sanubari masyarakat Indonesia, sehingga terwujud
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perwujudan tersebut tentunya
tidak sekonyong-konyong dapat terjadi apabila tidak ditanamkan
sejak kelahiran seorang anak manusia. Penanaman sikap dan nilai-
nilai adiluhung yang teresapkan itu membutuhkan proses panjang
yang secara tidak langsung telah mentradisi dalam kehidupan di bumi
Nusantara, khususnya Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa dikenal konsep Manunggaling
Kawula Gusti dan Kasampurnaning Urip. Konsep tersebut saling berkait
erat sebagai tujuan hidup manusia Jawa, yaitu kesempurnaan, di
mana akan terjelma sifat ilalhi, dengan tercapainya Manunggaling
kawula-Gusti, maka pertentangan baik-buruk akan diatasi dengan
peningkatan kesadaran, yang disebut kadewasan jiwa ‘kedewasaan
jiwa manusia’. (Ciptoprawiro, Abdullah. Filsafat Jawa. 1980: 26)
Pencapaian kesempurnaan dalam pandangan hidup Jawa tercermin
pada keseimbangan hidup di berbagai segi kehidupan, baik manusia
(mikrokosmos) maupun alam semesta (makrokosmos). Keseimbangan
tersebut merupakan tolok ukur sebagai dasar tindakan manusia
yang telah manunggal, yaitu kemanunggalan/satu kesatuan antara
283
mikrokosmos dan makrokosmos dari suatu keseluruhan yang saling
mempengaruhi. Zoetmulder (1983: 268-269) menyatakan bahwa:
Satu kesatuan alam semesta dan semua makhluk di dalamnya dengan
segala bentuknya selalu dipandang sebagai manifestasi dari Yang
Mutlak dan sebagai representasi sebuah kesempurnaan. Alam tidak
hanya dapat dipersonifikasikan dengan sifat-sifat dan bentuk-bentuk
manusiawi, akan tetapi juga memberi reaksi dengan cara manusiawi,
turut ambil bagian dalam perasaan manusia yang bergerak di tengah-
tengah alam itu (Setyani, 2011: 6).
284
dan memahami dengan bersungguh-sungguh bahwa ilmu (hakikat)
di mana pun keberadaannya tidak berbeda, seperti terungkap dalam
pupuh pucung bait 8 beriktu:
Nora weruh
rosing rasa kang rinuruh
lumeketing angga
anggere padha marsudi
kana kene kaanane nora beda
Terjemahan:
Tidak mengetahui,
inti ilmu (hakekat) yang dicari,
sesungguhnya ada di dalam diri,
asalkan mau berusaha,
sana sini keadaan (ilmu)-nya tidak berbeda.
Terjemahan:
Saya sampaikan sekarang,
empat jenis sembah supaya dipahami,
pertama raga, (selanjutnya) cipta, jiwa, (dan) rasa anakku,
di situ hanya ditemukan,
tanda-tanda anugerah dari Yang Maha Mengetahui.
285
Maknawi Sembah Catur
Masing-masing sembah catur tersebut apabila dipandang dalam
sebuah tataran laku, merupakan tingkatan perjalanan pengenalan diri
manusia secara pribadi (pakartine wong amagang laku). Tingkatan laku
dalam wujud realitas sembah raga sebagai tingkat perjalan awal adalah
membersihkan diri dengan menggunakan sarana air (Susucine asarana
saking warih; gambuh: bait 2). Raga merupakan jasad yang senantiasa
harus dijaga dan dirawat demi kesehatannya (lahir maupun batin)
sehingga dapat bekerja dan melaksanakan tugas-tugasnya di dunia
dengan baik. Apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
maka akan mencapai keberhasilan dan memperoleh anugerah watak
pemimpin (sing sapa temen tinemu, nugraha geming kaprabon; gambuh:
bait 10).
Pada tingkatan berikutnya adalah sembah cipta atau sembah
kalbu. Sembah ini masih berkaitan dengan jasad, namun bentuk
penyucian yang dilakukan lebih pada kesadaran akan hawa nafsu
atau keinginan jasad dan tidak lagi menggunakan air (sucine tanpa
banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu; gambuh: bait 12). Dalam
bekerja menyampaikan apa yang ada diciptanya dengan niat dan
dilaksanakan dengan cermat, berhati-hati, tekun, serta ulet, tidak
mudah tergoda, dan penuh kewaspadaan hingga menjadi watak
dasar pribadi (pambukane tata titi ngati-ati, atetep telaten atul, tuladan
marang waspaos; gambuh: bait 12). Apabila tingkatan ini dijalankan
secara teratur dan berkesinambungan merupakan jalan menuju olah
spiritual tingkat tinggi yang dimiliki seorang raja (yen lumintu uga dadi
laku, laku agung kang kagungan Narapati; gambuh: bait 11). Sebab itu
merupakan tujuan dari ajaran ilmu ini, agar dapat mengetahui dan
mengenal terhadap yang mengasuh diri pribadinya, yaitu guru sejati
(patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong; gambuh: bait 11).
Pembersihan diri pada tingkat sembah kalbu tersebut dengan
menggunakan mata hati atau penglihatan sejati hingga mencapai
tujuan dengan cara yang benar (mring jatining pandulu, panduk ing
ndon dadalan satuhu; gambuh: bait 13). Pelaksanaan dilakukan dengan
memusatkan perhatian atau konsentrasi tinggi terhadap gejala-gejala
batin, sehingga rahasia alam dapat terkuak (lamun lugu legutaning
reh maligi, lagehane tumalawung, wenganing alam kinaot; gambuh: bait
13). Bahkan jika tingkatan ini telah tercapai (yen wis kambah kadyeku;
gambuh: bait 14), maka akan menemukan keadilan Tuhan Yang Maha
Mengetahui (kono adile Hyang Manon; gambuh: bait 14).
Berikutnya adalah sembah jiwa yang memiliki tingkatan lebih
dalam dan terlepas dari urusan jasad. Dalam tataran ini manusia dapat
286
memahami hakikat kehidupan terhadap apa yang dilakukannya, bahwa
kehidupan ini mengalir mengikuti/berselaras dengan alam semesta
dan disebut sebagai ujung jalan spiritual (ingaranan pepuntoning laku;
gambuh: bait 17). Segala sesuatu yang dilakukan dalam ketenangan,
ketentraman, kedamain, kebahagiaan dengan kesungguhan batin
dan cara menyucikan diri senantiasa selalu memiliki kewaspadaan
dan kesadaran terhadap alam atau dunia abadi (kalakuwan tumrap
kang bangsaning batin, sucine lan awas emut, mring alaming lama amot;
gambuh: bait 17).
Keberhasilan mencapai perjalanan sembah jiwa ini ditandai oleh
pertemuan diri dengan pribadinya sebagai petunjuk (tarlen mung
pribadinipun, kang katon tinonton kono; gambuh: bait 20). Gambaran
petunjuk yang disampaikan adalah munculnya cahaya sejati sebagai
energi penunjuk jalan yang akan membimbing atau menggerakkan
akal budi (kono ana sejatining urub, yeku urub pangarep uriping budi;
gambuh: bait 21). Di situlah letak dimensi kedalaman hati yang
menguakan rahasia penyatuan kekuasaan (kuasa-menguasai) alam
semesta dalam diri pribadi ditandai oleh cahaya bagaikan bintang
yang bersinar terang (yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku
winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku,
mring kang pindha kartika byor; gambuh: bait 22).
Petunujuk tersebut memberikan gambaran bahwa keselarasan
mikrokosmos dan makrokosmos senantiasa menjadikan diri tersamar
dalam wujud jasad yang membalutnya. Akan tetapi jiwa menuntun
keadaan dan keberadaan jasad dalam satu kesatuan yang mandiri,
sehingga mempengaruhi perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tingkatan keempat, sembah rasa merupakan tataran tertinggi
atau yang terdalam atau halus. Rasa menempati kesadaran hakiki
di luar jasad diri dan berada pada inti diri yang terdalam/tertinggi.
Perjalanan yang dilaksanakan tidak membutuhkan petunjuk (dadine
wis tanpa tuduh: gambuh: bait 23), karena telah menyatu dengan rasa
hidup atau manunggal dalam satu wujud Tuhan yang terhampar
di alam semesta (rasaning urip iku, krana momor pamoring sawujud,
wujudollah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, gambuh:
bait 29).
Apabila telah memahami dan menghayati gambaran itu, mengerti
sabdaNya, segala hakikat kehidupan menjadi tampak nyata baik lahir
maupun batin (yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamoaning hebing
kang Mahasuci, kasat mata lair batos; gambuh: 30). Pencapaian tersebut
memunculkan tindakan apa adanya, segala yang dijalani adalah
merupakan kehendak Allah/kersaning Gusti, sehingga manusia hanya
287
sekadar mensyukuri.
Ciri orang yang sudah mencapai tataran sembah rasa ini antara
lain:
− Memiliki rasa kasih yang dalam dan dapat menyesuaikan sikap
berdasarkan saat dan tempat yang tepat (widadaning budi sadu,
pandak panduking liru nggon; gambuh: bait 31).
− Berkata benar dan tepat, karena ucapannya bukanlah sepenuhnya
atas kehendak diri pribadinya (ing kono yekti karasa, dudu ucape
pribadi; kinanthi: 5).
− Tidak suka omong kosong dan mencampuri urusan orang lain
(tan dahwen pati-openan; kinanthi: bait 12).
− Tidak suka iri hati dan berbuat jahil (tan panasten nora jail; kinanthi:
bait 12).
− Memiliki sikap yang tenang untuk mencapai keheningan jiwa
(among eneng mamrih ening; kinanthi: bait 12).
− Terkenal memiliki budi pekerti luhur dan pandai menyesuaikan
diri (kaunang ing budi luhur, bangkit ajur-ajer; kinanthi: bait 13)
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Serat Wedhatama
karya Mangkunegara IV tersebut sebagai ajaran menyampaikan
sembah catur yang masih sangat relevan hingga saat ini. Bagi yang telah
diberi dan melaksanakan ajaran tersebut akan menjadi manusia utama
(supadya dadya utami; kinanthi: bait 2), mampu melenyapkan segala
rintangan (pasah wukir reksamuka, kekes srabedaning budi; kinanthi, bait
3), bahkan apabila senantiasa dapat menjaga kesadaran laku sembah
catur semakin bertambah anugerah sabda dari Yang Maha Suci (yen
yuwana ing salami, marga wimbuhing nugraha, saking Heb Kang Maha
Suci; kinanthi: bait 15).
Dengan kata lain, seseorang yang sudah menguasai sembah catur,
ia dapat memanusiakan diri pribadinya. Secara tidak langsung dalam
berkehidupan ia mengimplementasikannya sebagai dasar perilaku
berbangsa dan bernegara.
Sesungguhnya keempat jenis sembah tersebut telah dilakukan
dalam wujud realitas kehidupan sehari-hari di berbagai daerah di
Nusantara sesuai dengan kebudayaan yang melingkupinya. Budaya
dari suatu negeri melambangkan suatu bangsa. Keberadaban bangsa
dapat terlihat dari aplikasi budaya yang terdapat dalam kehidupan
masyarakatnya. Tindakan sembah sebagai salah satu yang mewujudkan
nilai-nilai etis, estetis, sekaligus religius itu merepresentasikan budaya
setempat. Baik dalam ritual keagamaan, praktik-praktik laku, bentuk-
bentuk kesenian (terutama tari-tarian) maupun sikap dan perilaku
dalam berkehidupan, Berikut dapat terlihat implementasinya dalam
288
wujud realitas tersebut.
289
dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas
mata. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap
anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita
serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati.
Tradisi perilaku panca sembah merupakan bagian dari serangkaian
upacara di Bali yang dimaksudkan untuk memberi pemujaan sesuai
dengan jenis tindakan sembah yang dilakukan. Tidak berbeda jauh
dengan tindakan sembah munjung. Hanya saja munjung secara khusus
dilakukan sebagai rasa penghormatan.
Secara etimologis kata Munjung mengandung arti menjunjung
atau meninggikan derajat atau penghormatan sangat tinggi.
Sikap munjung adalah cara atau tata-krama menghaturkan hormat
bangsa Nusantara kepada sesuatu yang dituju, yaitu dengan cara
merapatkan kedua telapak tangan di depan wajah. Sikap ini merupakan
ungkapan rasa hormat yang sangat tinggi.
Dalam suatu acara perhelatan sikap munjung selalu digunakan
sebagai pembuka dan penutup sebagai rasa penghormatan
(menyembah). Jadi, bangsa Nusantara tidak melakukan sembah
dengan cara bersujud. Menghormat dan menjunjung tinggi dengan
sikap munjung merupakan bentuk penghormatan yang sangat dalam
dan agung. Dalam konsep Jawa, sembahan jengkeng kepada Sultan
sebagai penguasa keraton dimaksudkan untuk menghormati dan
tunduk takluk atas kekuasaannya.
Perilaku munjungan secara umum masih dilakukan oleh hampir
seluruh bangsa Indonesia yang masih memegang adab tata-krama
(sopan-santun), seperti munjung kepada orang yang dituakan ataupun
kepada orang tua sendiri. Selain itu sikap munjungan juga digunakan
bagi penghormatan kepada para leluhur yang sudah meninggal dunia
dan kepada para Hyang serta Yang Maha Kuasa1.
Selain itu, tindakan sembah pun sering terlihat pada pertunjukan-
pertunjukan seni tari dari berbagai daerah, Jawa dan Lampung misalnya.
Dalam tarian Bedhaya Ketawang, posisi sembahan dimaksudkan untuk
melambangkan bahwa manusia harus menghormati Tuhan sebagai
Sang Pencipta.
Di Provinsi Lampung, salah satu jenis tarian yang terkenal
adalah Tari Sembah atau disebut pula Sigeh Penguten. Oleh masyarakat
lampung, ritual tari sembah biasanya diadakan untuk menyambut dan
memberikan penghormatan kepada para tamu atau undangan yang
1 http://cahyadiargo.tumblr.com/post/1081307117/cara-menghormat-bangsa-nu-
santara
290
datang pada acara begawi (hajatan adat), seminar, kunjungan tokoh
masyarakat, dan lain-lain.
Akan tetapi saat ini tari Sigeh Penguten sudah seperti tarian wajib
di berbagai acara sebagai tarian ritual penyambutan. Selain sebagai
ritual penyambutan, tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam
upacara adat pernikahan masyarakat Lampung. Selain itu juga untuk
menjaga keharmonisan dalam kehidupan. Dianggap pula sebagai
pemersatu antara Lampung Pepadun dan Lampung Peminggir
(Pesisir) untuk mengokohkan identitas Provinsi Lampung2.
Dengan demikian tindakan sembah sudah menjadi tradisi yang
dilaksanakan di berbagai daerah di Nusantara. Perilaku tersebut
memuat nilai-nilai etis, estetis, dan religius yang terangkum dalam
nilai-nilai sosial. Bahkan hingga saat ini perilaku sembah merupakan
sikap yang senantiasa dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan. Secara
tidak langsung tindakan tersebut menjadi ciri perilaku berbangsa dan
bernegara bagi masyarakat Indonesia. Manfaat lebih dalam terjelaskan
dari ajaran sembah catur yang termuat dalam Serat Wedhatama. Bagi yang
telah menguasai ajaran tersebut dan berhasil melaksanakan dengan
penuh kesadaran secara berkesinambungan dalam kehidupannya
sehari-hari, ia merupakan manusia yang memiliki dasar perilaku
berbangsa dan bernegara, khususnya Indonesia.
Kesimpulan
Sembah Catur merupakan ajaran yang disampaikan kepada kaum
muda agar senantiasa menguasai ilmu (hakikat) sebagai bekal dalam
kesempurnaan hidupnya. Bagi masyarakat Jawa, kesempurnaan
hidup merupakan keseimbangan antara mikrokosmos (manusia) dan
makrokosmos (alam semesta) dalam hubungan keilahian. Manusia yang
menguasai sembah catur dapat menjadi teladan yang memanifestasikan
diri pribadi untuk memancarkan cahaya Ketuhanan sebagai inti
ilahiah. Oleh sebab itu, ajaran sembah catur dapat dijadikan pedoman
dan pengamalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa Sembah
Catur dalam Serat Wedhatama apabila dipelajari, dipahami, dihayati
secara mendalam dapat diamalkan, bahkan dijadikan sebagai pedoman
dasar perilaku atau tindakan manusia berbangsa dan bernegara,
khususnya bangsa dan negara Indonesia.
291
DAFTAR PUSTAKA
292
KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA
TUK SI BEDUG MEMBENTUK KARAKTER
MASYARAKAT MRANGGEN, SLEMAN
Suwarna
Universitas Negeri Yogyakarta
1. Pendahuluan
293
yang diyakini oleh masyarakat pendukung tradisi.
Salah satu upacara tradisi di Kabupaten Sleman adalah upacara
tradisi Tuk si Bedug. Upacara tradisi Tuk si Bedug berada di Desa
Mranggen, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.Upacara selalu diakhiridengan puncak acara Jumat
Kliwon.Jumat pada setiap tahunnya berkisar antara bulan Juni akhir
hingga awal Juni. Ada berbagai acara pada setiap upacara tradisi,
yakniacara hiburan seperti pasar malam yang berlangsung minimal
dua minggu sebelum pelaksanaan upacara Tuk si Bedug, kesenian
seperti ketoprak, karawitan, wayang kulit, macapatan, kubrasiswa,
angguk (jatilan wanita), dan kesenian lainnya seperti drama, teater,
pentas tari, dan kirab yang diakhiri dengan fragmen terjadinya Tuk
si Bedug. Ini merupakan agenda
rutin setiap tahun di antara
bulan Juni-Juli.Upacara tradisi
yang dilasanakan secara turun-
temurun ini cenderung semakin
berkembang dari berbagai segi
seperti performansi, agenda
acara, penonton selalu bertambah,
berbagai stand kuliner, bahkan
sandang, pangan, hingga stand
motor.
294
pada jatuh. Oleh muridnya yang bernama Bagus Mukmin, rambut
dan potongan kuku dikubur untuk menghormati sang guru. Tempat
menguburkan rambut dan kuku tersebut sekarang masih terpelihara
dengan nama petilasan Ketandhan. Lokasi mataair pun samih terhaga
hingga sekarang dan didirikan masjid di Dusun Mranggen tersebut.
Hingga kini peristiwa tersebut dikenang dengan pelaksanaan upacara
Tuk si Bedug.
295
seni rupa tatah sungging
(seperti wayang).
296
Gunungan dan Kirab Tuk si Bedug
(Koleksi KKN PPM UNY)
297
Mahasiswa KKN Kirab busana prajurit
menjadi pemimpin kirab
2.7 Kreativitas
Walaupun setiap tahuan upacara Tuk si Bedug dilaksanakan
dengan acara rekatif sama, namun setiap tahun muatannya selalu
berganti atau baru. Jika tidak diperbaharui, tidak mungkin akan
lestari hingga ratusan tahun. Jika tidak diperbaharui setip tampilan,
orang pasti akan bosan. Di sinilah seni kreasi dari pada seniman dan
panitia penyelenggara.Contoh tahun 2009 masyarakat bersama dengan
mahasiswa UNY membuat lakon ketoprak yang menceriterakan
terjadinya Tuk si Bedug.Lakon ini telah dibukukan dan menjadi salah
satu kekayaan lakon.Sebelumnya tidak ada karena tidak ada yang
membuat lakon tersebut. Tahun-tahun sebelumnya pentas ketoprak
senantiasa melakonkan lakon-lakon umum seperti Minakjingga, Hariya
Penangsang, Jaka Umbaran, Sultan Agung, Pangeran Sambernyawa,
dan lakon-lakon carangan (kreasi baru) lainnya.
298
2.9 Potensi Wisata
Upacara Tuk si Bedug merupakan salah satu agenda wisata di
Kabupaten Sleman.Upacara ini juga menjadi binaan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Sleman.Binaan ini cukup berhasil.Menurut
Baskara Aji (Kabid Kebudayaan Sleman) pelaksanaan upacara Tuk
si Bedug selalu meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi materi
upacara, pengunjung, geliat ekonomi, maupun kualitas penampilan.
Hal ini menjadi daya tarik wisata di Kabupaten Sleman. Kondisi
demikian membuat Disbudpar Sleman berani mem-publish-kan
upacara Tuk si Bedug ke dunia maya sehingga akan dikenal secara
global. Potensi lokal dapat diangkat globalkan dengan berbagai
pendekatan salah satunya teknologi informasi (Chang, 2010). Itulah
ssebabnya mahasiswa KKN UNY berusaha mengembangkan web
untuk Upacara Tuk si Bedug. Hanya saying oleh pemerintah yang
terkait belum dapat dtindaklanjuti secara maksimal.
299
selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Tanggung jawab
mengandung/mencakup muatan kelima pilar sebelumnya. Thomas
Lickona (1991) merangkum ajaran karakter tersebut menjadi empat
yakni“knowledge, feeling, loving, dan acting”. Berikut lirik Gugur
Gunung salah satu kearifan lokal karakter orang Jawa pada umumnya
yang dilakukan oleh masyarakat Mranggen, Sleman, Derah Ismiewa
Yogyakarta.
GUGUR GUNUNG
Ayo kanca, ayo kanca ngayahi karyaning praja,
kene, kene, kene, kene gugur gunung tandang gawe,
sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane,
lila lan legawa kanggo mulyaning negara,
siji loro telu papat,
maju papat-papat diulang-ulungake mesthi enggal rampunge,
holobis kontul baris, holobis kontul baris,
holobis kontul baris, holobis kontul baris, (Karya Ki Narto Sabdo)
300
penting bagi mereka.Yang penting secara turun-temurun mereka
melaksanakan upacara Tuk di Bedug.Kearifan lokal membentuk
karakter warga Desa Mranggen merupakan suatu kunci (Dimermen,
2009) untuk melestarikan upacara tradisi Tuk si Bedug.
Walaupun tidak menyadari dan memahami terhadap esensi
kearifan lokal upacara Tuk si Bedug, tetapi mereka telah mengamalkan
secara langsung (pragmatis). Pelaksanaan ini konsisten dan terus
menerus sehingga membentuk kristalisasi kearifan lokal dalam jiwa
pelaku. Terbentuknya jiwa kearifan lokal pun belum tentu disadari oleh
masyarakat Mranggen.Itulah kehebatan masyarakat pragmatis.Mereka
tidak membutuhkan teori, mereka telah langsung mempraktikkannya
sehingga membentuk karakter dalam membela budayanya.
Karakter bersifat abstrak (tidak dapat dilihat, datan kasat mripat).
Karakter tampak dari perilakunya sebagai gejala jiwa/karakternya .
Karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku. Hill (2002)
berkata “Character determines someone’s private thoughts and someone’s
actions done. Good character is the inward motivation to do what is right,
according to the highest standard of behaviour, in every situation”. Karakter
yang baik merupakan motivasi untuk berbuat baik, bersetuju terhadap
perilaku berbudi luhur dalam setiap situasi.Karakter yang demikian
menjadi suatu kebiasaan dalam bertindak atau berperilaku.
Kebiasaan dan pembiasaan upacara Tuk si Bedug dengan
berbagai acara, peristiwa, tugas, kehidupan bermasyarakat membentuk
kristalisasi kearifan lokal. Mereka langsung mempraktikkan kearifan
religius, estetika, etika, didaktis, ekonomis, pariwisata, kultural,
kreattivitas, pengabdian pada kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
dan sebagainya secara konsisten, ikhlas, dan mulia. Kearifan lokal
ini secara turun-temurun telah diturunkan oleh generasi sebelumnya
ke generasi berikutnya.Teknik pewarisannya dengan melaksanakan
aktivitas secara langsung.Ini cukup demokratis, tidak ada pemaksaan,
tidak ada indoktrinasi, dan tidak ada pembelajaran.Yang ada infiltrasi
budaya yang masuk secara perlahan ke generasi berikutnya. Tongkat
estafet tersebut terbukti sangat efektif dan ampuh hingga upacara
yang telah berlangsung ratusan tahun namun tetap lestari hingga
kini. Ini implementasi semboyan yang dicetuskan oleh Pangeran
Sambernyawa dari Kraton Surakarta rumangsa handarbeni, melu
hangrungkebi, mulat sarira,hangrasawani ‘ikut merasa memiliki, ikut
membela/mengkajikembangkan, introspeksi, dan bertanggung jawab
atau filosofi orang Ngayogyakarta Hadiningrat greget, sengguh, ora
mingkuh ‘semangat, dengan cermat/ pertitungan, dan bertanggung
jawab (Sri Suwito, 2011).
301
Alangkah lebih indahnya jika materi tradisi Tuk si Bedug
yang bermuatan kearifan lokal juga menjadi bagian materi pada
pembelajaran afektif sesuai dengan pendapat Leblanc dan Galava
(2009). Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan).KTSP ini peka lingkungan sehingga yang
diajarkan memang kontekstual seseuai dengan lingkungan kehidupan
siswa.Dapat pula dimasukkan di materi muatan lokal bahasa Jawa
atau pelajaran seni budaya.
4. Penutup
Masyarakat merupakan pemangku budaya.Kearifan lokalyang
telah menyatu dengan karakter masyarakat pemangkunya dapat
terus lestari dan berkembang.Kearifan lokal telah menyatu dengan
kepribadiannya hingga membetuk suatu karakter.Karakter masyarakat
ditentukan oleh interaksi individu dengan masyarakat budaya di
sekelilingnya. Secara umum pelestarian kearifan lokal dilakukan secara
infiltrasi konvensional, yakni dilakukan secara perlahan dengan langsung
mempraktikkan (pragmatis) dan secara tradisi turun-temurun.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, Yin Cheong. 2005. New Paradigm for Re-engineering Education.
Dorddrecht: Springer.
Dimermen, Sara. 2009. Character is The Key. Canada: Wiley.
Hill, T.A., 2005. Character First! Kimray Inc., http://www.charactercities.org/
downloads/publications/Whatischaracter.pdf.
Leblanc, Patrice R & Gallava, Nancy P. 2009.Affective Teacher Education. New
York: Association of Teacher Educattors.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, & Lewis, Catgerine. 1998. “Eleven Principles of
Effective Character Education” In Scholastic Early Childhood Today,
Nov/Dec 1998., 13; 3; . ProQuest Eduation Journals pg 53-55.
Rahardi, R. Kunjana. 2009. Bahasa prevoir Budaya. Yogyakarta: Pinus.
Sri Suwito, Yuwono. 2008. Eksistensi dan Kinerja Dewan Kebudayaan Propinsi
DIY. Yogyakarta: Disbudpar.
_________. 2010. Tata Nilai Budaya Jawa Yogyakarta. Makalah Seminar Centre of
Exellence Budaya Lokal. Yogyakarta: Hotel Shapir.
302
UPACARA “NGALAKSA” DI KABUPATEN
SUMEDANG SEBUAH KEARIFAN LOKAL
DARI TATAR SUNDA
Retty Isnendes
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Pendahuluan
1 Wawancara dengan Apa Sukarma, 04 Juli 2011 jam 21.00 di rumahnya di Desa
rancakalong Kecamatan Rancakalong.
303
Upacara Ngalaksa yang sebelumnya dilaksanakan tiga atau
empat tahun sekali (Kartikasari, dkk, 1991:22), sekarang dilaksanakan
satu tahun sekali (Nugraha, 2010)2. Hal ini berhubungan dengan
pengelolaan pemerintah Kabupaten Sumedang, dibawah Bupati H.
Yon Murdono yang menjadikan Ngalaksa sebagai aset perintah daerah
dalam hal kepariwisataan yang bisa mendatangkan devisa. Upacara
tradisional yang dilaksanakan setelah panen ini, diwujudkan dalam
budaya yang nampak yaitu berupa pembuatan laksa3 oleh kaum wanita
dan dibantu oleh kaum laki-laki dari daerah yang bersangkutan.
Upacara ini memang sangat menarik bila dilihat dari segi struktur
dan isi, juga keunikan namanya, sehingga pada laman di dunia
maya terdapat sekira 5.620 laman dari hasil penelusuran. Tetapi bila
diperhatikan lebih mendetail, jumlah tersebut terus bertambah dan
ternyata bercampur dengan kata ‘Ngalaksa’ yang dilaksanakan oleh
masyarakat adat Baduy (Kanekes). Walaupun ada dua upacara dengan
nama yang sama (Ngalaksa), dalam pelaksanaannya jauh berbeda.4
Populernya upacara Ngalaksa di tataran praktis tidak berbanding
lurus dengan tataran akademis, terutama sebagai tulisan hasil
penelitian. Sementara ini hanya beberapa yang didapatkan. Di KITLV
Leiden-Belanda, terdapat satu buku yang berjudul Pengukuhan Nilai-
nilai Budaya Melalui Upacara Tradisional: Upacara Kesuburan Tanah
“Ngalaksa” dan Upacara Bersih Desa “Syaparan” (Tatiek Kartikasari,
1991). Selain itu terdapat satu judul skripsi dalam bahasa Sunda
Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa di Desa Rancakalong
Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun Bahan Pangajaran
Maca di SMA Kls XII (Ikhsan Nugraha, 2010). Penelitian lainnya
belum ada ditemukan, apalagi yang ditulis oleh peneliti asing (non
Indonesia). Mengapakah sampai demikian? Tentunya ini menjadi
keuntungan akademik bagi peneliti yang berminat meneliti upacara
ini, karena merupakan objek material yang sangat menarik. Tapi di
sisi lain ini adalah kerugian akademik, karena pendokumentasian,
analisis, interpretasi, serta revitalisasi terhadapnya sangat kurang.
Padahal dari hasil pengamatan Juli 2011, penelusuran laman di
dunia maya, dan dari hasil pembacaan dua karya penelitian tentang
Ngalaksa tersebut, ditafsirkan terdapat nilai-nilai pendidikan,
304
khususnya pendidikan karakter pada upacara tersebut. Hal ini
dikarenakan pada Ngalaksa ada kearifan lokal dan bisa menjadi pola
pendidikan informal yang bisa diimplementasikan pada pendidikan
formal.
305
Sebenarnya sembilan tahap besar ini setiap tahapnya bertahap lagi,
tapi tidak saya kemukakan di sini. Demikian keterangan tahap-tahap
besar tersebut.
1) Babadantenan (perundingan; musyawarah; tahap persiapan),
Pada tahap ini dilakukan perundingan atau musyawah sebagai tanda
mempersiapkan upacara. Hal-hal penting dibicarakan oleh anggota
masyarakat; alat dan bahan; biaya; personel; tempat; desa yang
bertanggung jawab, dan semua hal-hal penting bagi pelaksanaan
upacara.
2) Bewara (mengumumkan hal-hal penting)
Pada tahapan ini dilakukan pengumuman penting hasil musyawarah.
Pada pelakanaannya harus dihadiri oleh perwakilan desa dan
babakan, para tetua yang dianggap bertanggung jawab. Semua yang
dibicarakan dan pembagian tugaspun diumumkan. Terutama pula tim
kesenian jentreng yang akan mengiringi selama upacara berlangsung.
Pada kegiatan bewara pula, diingatkan untuk mempersiapkan fisik dan
batin pada waktunya.
3) Ijab-Kabul
Tahap ini adalah tahap ‘menjadikan’ kegiatan atau tanda
bahwa Ngalaksa akan dilaksanakan. Setelah penjelasan
mengenai rencana pelaksanaan Ngalaksa selesai disampaikan
oleh sesepuh senior, maka acara dilanjutkan dengan
mempersilakan juru ijab, yaitu salah seorang tokoh agama,
untuk membacakan ijab dan kabul, lalu diakhiri dengan
pembacaan doa. Isi ljab dan kabul ini adalah rajah atau mantra
pembuka kegiatan.
4) Ngalungsurkeun
Tahap ini adalah tahapan dimana para wanita membawa padi
bibit untuk bahan Ngalaksa. Padi-padi tersebut dikumpulkan,
tetapi sebelumnya ada padi bibit diisimpan dari goah
dikeluarkan; diturunkan (dilungsurkeun) dan dikukusi dengan
kemenyan. Bibit padi tersebut nanti akan disebarkan di
persemaian dan merupakan benih padi yang diharapkan akan
membawa kesuburan kepada yang lainnya. Wanita-wanita
yang memegang wadah-wadah padi menari diiringi lagu
dari jentreng dan berkeliling dengan gerak mengayun seperti
sedang menggendong bayi yang baru lahir. Jika sebuah lagu
sudah berakhir, maka mereka duduk sambil tetap memangku
benih padinya. Kemudian satu persatu dikukusi dan disimpan
berderet dekat pedupaan.
306
5) Nginebkeun
Setelah padi-padi tersebut dimasukkan dan disimpan di
goah, padi-padi tersebbut dianggap ngineb; nginep; masuk ke
kamar. Dan dibiarkan di dalam goah sampai waktunya mera.
6) Hiburan
Padi-padi yang beristirahat di kamar tersebut dihibur terus-menerus
dengan jentreng (kacapi) (bunyi kawat kecapi, treng-treng-treng menjadi
jentreng) yang dikolaborasi dengan tarawangsa (rebab; biola yang
digesek dengan posisi berdiri, warga sekitar menyebutnya ngek-ngek,
karena bunyinya yang ngek-ngekkan). Dua nama pekakas seni tersebut
menjadi nama keseniannya sendiri yang mengiringi upacara Ngalaksa
terus-menerus tanpa henti. Sehingga orang-orang menyebutnya
sebagai ‘kesenian jentreng’ dan sebagian lagi menyebutnya ‘kesenian
tarawangsa’. dan lagu-lagu tanpa syair pun digesek melalui dua alat
tersebut yang menjadi nama kesenian yang mengiringi Ngalaksa
tersebut. Kesenian tersebut dilengkapi dengan tarian yang berpola
mengayun (mengayun-ayun Nyi Pohaci).
7) Mera (pembagian padi bibit)
Pada tahap ini padi bibit (padi khusus) yang akan digunakan sebagai
bahan laksa dibagikan. Pada waktunya pembagian, kesenian jentreng
atau tarawangsa mengiringinya.
8) Meuseul (memijit; menumbuk padi),
Meuseul dari kata mencet yaitu memijit dalam konotasi kasar. Meuseul
sangat halus digunakan sebagai pengganti kata menumbuk, karena
padi adalah jelmaan Nyi Pohaci Sri yang harus dipijat bukan ditumbuk.
Hasil meuseul adalah beras yang disimpan di ruangan khusus.
Sebelum padi disimpan, padi di’mandikan’ dahulu atau dicuci, baru
setelah itu disimpan supaya rineh ‘santai’ beberapa malam.
9) Lekasan (berakhir).
Lekasan atau berakhirnya kegiatan adalah acara puncak dalam
pembuatan laksa. Dalam kegiatan ini terdapat tahap-tahap lagi, dari
mulai mengeluarkan padi dari ruangan, meuseul menjadi tepung,
membuat adonan laksa, membungkusnya dengan daun congkok,
menggodog hasil laksa yang telah dibungkusi, dan membagikan pada
seluruh kampung. Setelah itu upacarapun diakhiri, baik secara tradisi
maupun secara seremoni.
Fungsi Ngalaksa
Dari pengamatan dan wawancara, serta penelusuran referens,
fungsi upacara Ngalaksa adalah sebagai berikut:
1) melaksanakan syukuran atau salametan pada Maha Pencipta karena
307
dengan kemurahanNya panen telah berhasil5,
2) melaksanakan tali paranti karuhun ‘leluhur’ memuliakan padi sebagai
makanan pokok6,
3) melaksanakan penghormatan terhadap padi yang bagaikan jelmaan
perempuan (Nyi Pohaci) dan pasangan yang selalu membelanya
(Sulanjana)7,
4) sebagai pengharapan terhadap kelimpahan rejeki pada tahun-tahun
mendatang karena dengan bersyukur, rejeki diyakini akan datang
berlimpah-limpah (interpretasi Al-Qur’an).
5) melaksanakan tepung lawung silaturahmi antara dulur, wargi, karib-
kerabat, dan ikatan-ikatan emosional lainnya dalam tatanan sosial
masyarakat di desa-desa di Kecamatan Rancakalong.
308
Demikian teksnya.
Titip ka luhur ka susuhunan rama ka nu ngayuga
Titip ka handap ka susuhunan ibu anu ngandung
Ka luhur ka langit ka handap ka bumi
Poma ulah aya gangguan
Nyuhunkeun mulus banglus
Terjemahan:
(Saya) titipkan ke atas ke susuhunan rama yang memberikan benih
(Saya) titip ke bawah ke susuhunan ibu yang mengandung
Ke atas ke langit ke bawah ke bumi
Mudah-mudahan tidak ada gangguan
Minta mulus selamat
Terjemahan:
Assalamualaikum waalaikumsalam
Pun sampun ke paralun
ke atas kepada sang rumuhun
ke bawah kepada sang nugraha
Sayangku Nyai,
silahkan datangkan angin dari selatan
masuk ke hatinya dari jenggi
yang datang bercahaya dari puncak gunung,
yang berkilauan dari karancang,
duduk bertopang di atas awan,
yang tua gagah datang melenggang,
melenggang di mata holang,
309
ashaduallailahaillallah,
waashaduanna Muhammadarrasululoh,
tohid Muhammad rasul rohid alekum amana,
badan sanyawa rasa Allah ka baitullah laillahaillallah,
Assalamu ‘alaikum wa’alaikum salam.
310
penabuhnya para tua-tua yang mempunyai kemampuan secara fisik
dan batin. Mereka secara bergiliran menjalankan tugasnya dengan
sabar dan khidmat.
Judul-judul lagu jentreng yang buhun atau kuno ada tujuh (7)
judul, yaitu: Pangapungan, Pamapag, Paminang, Angin-anginan, Sirna
Galih, Tongeret, Limbangan, dan Badud. Judul-judul lain yang ditabuh
yang hampir 15-20-an judul adalah inovasi dan pengayaan sejak tahun
80-an dari judul-judul buhun tersebut.
Judul-judul lagu buhun dan yang lainnya mengandung
muatan sastra karena mengandung makna konotatif dan filosofis yang
tidak bisa diartikan secara saklek lewat unsur denotatif bahasa saja.
Mungkin pada masyarakat modern dan kaum puritan, lagu-
lagu yang panjang dan konstan dianggap bosan dan membosankan,
juga membisingkan tak berfaedah. Tetapi bagi masyarakat pelaku
ritual, hal tersebut adalah jiwa yang membangkitkan pengertian akan
keseimbangan alam dan kehidupan. Mereka tetap bekerja seperti
biasa, sedangkan yang bertanggung jawab akan kegiatan tersebut
menunaikan tugasnya dengan khidmatnya.
Lagu-lagu jentreng sepanjang upacara berlangsung membahana
melingkupi Kampung Cijere Desa Nagarawangi, suaranya lambat-
lambat merayapi celah angin terdengar ke seluruh pelosok Kecamatan
Rancakalong. Suaranya dibawa hembusan angin mengiringi aktivitas
manusia dan pucuk-pucuk padi di sawah yang melambai seolah jari
jemari Nyi Pohaci yang indah, serta pohonan dan satwa yang secara
spiritual menggenapi keseimbangan jagat alit di bumi Rancakalong.
311
tersebut tentu saja dilengkapi dengan benda-benda yang menyertainya
sebagai bagian dari budayanya. Wujud tali paranti masyarakat Sunda
dalam bahasa misalnya saja berupa suruhan; keharusan; anjuran;
pujian (kudu...ngarah ‘harus’...’supaya’), larangan; celaan (ulah; pamali;
teu meunang), dan ungkapan-ungkapan. Wujud aktivitasnya berupa
ritual-ritual; upacara-upacara; inisiasi-inisiasi yang dianggapnya
bisa menyelamatkeun kosmos dan sebagai tanda syukur pada segala
nikmat yang telah diberikan Pangéran Nu Murbéng Alam atau Gusti Nu
Maha Kawasa (Isnendes, 2011).
Tali paranti pada masyarakat Sunda, bukan hanya untuk manusia
tapi juga untuk tumbuhan, terutama padi. Cara-cara masyarakat Sunda
memperlakukan padi dianggap sebagai kegiatan pemuliaan terhadap
perempuan. Hal itu dikarenakan dalam kosmos agraris Sunda
terdapat mitos mengenai asal-muasal padi yaitu yang menceritakan
bahwa padi tercipta dari jasad perempuan yang bernama Nyi Pohaci;
Dewi Sri; Sanghyang Sari Pohaci. Lengkapnya mite ini bisa dibaca dari
karya sastra Sunda yang berupa internalisasi pandangan dan orientasi
hidup masyarakat agraris Sunda9. Hal ini terbuktikan dengan adanya
kegiatan upacara Ngalaksa yang berupa tali paranti yang memuliakan
padi di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.
Dari observasi pertama, tali paranti masyarakat Sunda di
Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang ini, saya tak meragukan
lagi bahwa upacara Ngalaksa ini adalah kearifan lokal yang harus
dihormati dan disosialisasikan keberadaannya tanpa merusak tatanan
yang sudah ada.
Kearifan lokal berasal dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Echols dan Syadily (1998) menyebutkan bahwa, local
berarti setempat, sedangkan wisdom berarti kearifan atau sama dengan
kebijaksanaan.
Sementara itu, Ayatrohaedi mengutip Moendardjito yang
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius
karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-cirinya adalah: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar, 2)
memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, 3)
mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli, 4) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan
9 Baca Wawatjan Soelandjana, keluaran Bale Poestaka (1931) yang dikarang lagi oleh
R. Satjadibrata, Wawatjan Suladjana: Samboengan Tina Kidung Njai Sri Puhatji yang
ditulis oleh Madnasan (1957); Wawacan Sulanjana yang ditulis oleh Jus Rusjamsi
(1964) atau Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana pantun Sunda yang dipantunkan oleh
Ki Atjeng Tamadipura dan diusahakan oleh Ajip Rosidi (1970).
312
5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya (Sartini, 2004).
Kearifan lokal ditafsirkan sebagai perpaduan antara nilai-nilai
suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya
dianggap sangat universal.
Contoh-contoh kearifan lokal di antaranya adalah: nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat-istiadat –termasuk upacara tradisioanal,
hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang
bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat
maka fungsinya menjadi bermacam-macam, yaitu: 1) berfungsi untuk
konservasi dan pelestarian sumber daya alam, 2) berfungsi untuk
pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan
upacara daur hidup (misalnya konsep cageur-bageur-bener-pinter), 3)
berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya folklor, 4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan
pantangan, 5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/
kerabat, rasulan, pancakaki, marhabaan, 6) bermakna sosial, misalnya
pada upacara daur pertanian, 7) bermakna etika dan moral, yang
terwujud dalam upacara keagamaan, 8) bermakna politik, misalnya
upacara seba dan kekuasaan patron-klien (www.balipos.co.id. dengan
beberapa penyesuaian).
Kearifan lokal yang sarat nilai dan makna ini ketika dihubungkan
dengan kurikulum pendidikan karakter sangat relevan sebagai dasar
karakter baik di tengah carut marut persoalan sosial di Indonesia.
Relevansinya dikarenakan pada orang Sunda terdapat pandangan
hidup. Pandangan hidup ini adalah dasar perilaku masyarakat Sunda
dalam memegang tali paranti yang kemudian memancar menjadi
kearifan lokal.
Warnaen dkk (1987) mengkategorikan pandangan hidup orang
Sunda ke dalam lima kategori, yaitu: 1) manusia sebagai pribadi, 2)
manusia sebagai bagian dari lingkungan masyarakat, 3) manusia
dengan alam, 4) manusia dengan Tuhan, 5) manusia dalam mengejar
kemajuan lahiriah, 6) manusia dalam mengejar kepuasan batiniah.
Disebutkan Warnaen bahwa pandangan hidup sebagai akar
kehidupan orang Sunda yang bisa dimanfaatkan dalam kehidupannya,
terlebih lagi bagi mereka yang mengalami kekaburan nilai yang
dianutnya untuk mendapatkan pegangan yang lebih kokoh dengan
jalan menemukan kembali nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya
313
dan dianggp masih efektif dalam menghadapi tantangan hidup pada
saat ini (1987:2).
Selain fungsi Ngalaksa yang sarat nilai, kegiatannya pun
memancarkan nilai-nilai positif, yaitu:
1) nilai gotong royong
2) nilai musyawah
3) nilai persatuan, kesatuan, dan kesetiakawanan
4) nilai pengendali sosial (Kartikasari, 1991), selain itu patut
ditambahkan nilai-nilai di bawah ini:
5) nilai religius: keseimbangan spiritual dan emosional
6) nilai tanggung jawab
7) nilai seni
8) nilai cinta pada alam yang menghidupi.
Bila dihubungkan dengan sembilan (9) pilar karakter yang
berasal dari nilai-nilai luhur universal10, yaitu: pertama, karakter
cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan
tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat,
hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan
gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras;
ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah
hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan,
nilai-nilai dalam upacara Ngalaksa patut diteliti lebih lanjut karena
nilai-nilai karakter sembilan pilar tersebut diasumsikan terdapat
didalamnya. Akan tetapi, belum dikategorikan secara khusus dan
mendetail, kecuali delapan nilai yang disebutkan penulis di atas.
Dari nilai-nilai tersebut, Ngalaksa sebagai kearifan lokal yang
dilaksanakan sebagai bagian dari tali paranti Sunda, pada dasarnya
mengandung pandangan hidup yang berupa nilai-nilai sarat makna,
sangat relevan dengan tujuan pendidikan karakter saat ini yang sedang
digembar-gemborkan pemerintah.
Akan tetapi, ada asumsi bahwa memaknai pendidikan karakter
yang sedang trend ini seolah melangit dan berbusa-busa, padahal
apa yang sudah ada dalam tali paranti orang Sunda dan kebiasaan-
kebiasaan serta nilai-nilai baik yang diyakini masyarakat tradisional
Indonesia pada suku bangsa apapun, itulah yang disebut karakter11.
10 Sembilan (9) pilar karakter ini ditawarkan oleh Ratna Megawangi, Ph. D, dan diso-
sialisasikan oleh ditjen pendidikan Indonesia
11 Pengertian ini diambil ketika berdialog dengan Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd.
guru besar pada Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Rabu, 18 Januari 2012 jam 12.30
di UPI. Selaras dengan itu, Prof. Dr. H. Yus Rusyana juga memaknai pendidikan karak-
ter sebagai sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh suku bangsa di Indonesia sebagaima-
314
Pada kenyataannya, masyarakat suku bangsa di Indonesia
sebenarnya sudah mempunyai karakternya tersendiri di samping
pola sembilar (9) pilar pendidikan karakter yang disebut di atas, atau
pola-pola yang banyak ditawarkan oleh beberapa ahli dan penulis
pendidikan karakter.
Adapun hal-hal negatif yang menjadi carut-marut sosial
pada masyarakat sekarang ini dianggap berupa penyimpangan-
penyimpangan karakter yang disebabkan cara pandangan politik
pembangunan Indonesia yang instan dan diadopsinya paham
liberalisme, materialisme, dan kapitalisme dalam setiap lini kehidupan,
termasuk pendidikan.
Ukuran keberhasilan pembangunan, juga di bidang pendidikan di
Indonesia saat ini selalu diukur dengan angka dan paham positivistik
yang rasionalis, bukan fenomenologis. Sekarang dikenal adanya angka
partisipasi sekolah, tingkat kelulusan, angka minimal kelulusan,
jumlah gedung sekolah, rasio guru dan murid, jumlah angka putus
sekolah, dan sebagainya, tetapi banyak hal yang tidak terukur dan
dilupakan yakni: kemerosotan moral, sopan-santun, lemahnya kohesi
sosial, tumbuhnya sikap individualistik, melemahnya sikap pluralistik,
dan yang berbahaya teralienasi (terasing) dari budaya sendiri atau
mengalienasi dari budaya sendiri. Menurut Budiyono (2007:130) hal
ini dikarenakan konsep pendidikan di Indonesia yang menganut
sistem liberal, rasionalistik-individualistik, dan anti sosial.
Permasalahan tersebut melahirkan konsep pendidikan yang
tidak mengacuhkan bahkan membunuh konsep irrasional dan
suprarasional. Padahal, pada masyarakat Indonesia dan suku-suku
bangsanya telah berkembang kearifan lokal sebagai upaya pemecahan
masalah dan adaptasi lingkungan sosial budaya dan alam sekitarnya.
Dalam menemukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan kearifan
ini, masyarakat Indonesia hampir tidak menempuh metode-metode
rasional sebagaimana yang dikembangkan di Barat. Masyarakat
cenderung menggunakan rasionalitas khasnya yang kalau diukur
dengan rasionalitas Barat termasuk dalam ketegori irrasional dan
suprarasional. Padahal itulah rasionalitas negeri ini yang berbeda
dengan filsafat Barat (band. dengan Budiyono, 2007: 131).
Untuk itulah perlunya mensosialisasikan penguatan pendidikan
berbasis budaya dengan nilai-nilai budaya dari kearifan-kearifan
lokal seperti Ngalaksa ini guna mengembalikan bentuk karakter baik
bangsa ini.
315
Penutup
Dari bahasan tentang upacara Ngalaksa di Kecamatan
Rancakalong Kabupaten Sumedang, terangkum mengenai struktur,
fungsi, dan kearifan lokal upacara tersebut. Mengenai kearifan lokal
upacara Ngalaksa yang relevan dengan pendidikan karakter yang
dewasa ini sedang menjadi mode dan trend dalam bidang pendidikan
di Indonesia, patutlah kiranya ada penelitian yang membahas aspek-
aspek tersebut sehingga dapat mewujud pola atau konsep alternatif
pendidikan karakter dari kearifan lokal khas Kecamatan Rancakalong
Kabupaten Sumedang ini, terutama dalam hal menjaga keseimbangan
alam dan pembentukan kembali ide dan aktivitas positif pada insan
pendidikan di Jawa Barat pada khususnya, dan pada masyarakat Jawa
Barat dan Indonesia pada umumnya.*
DAFTAR PUSTAKA
316
REVITALISASI KESENIAN TRADISI DALAM
PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA:
STUDI KASUS DI SURAKARTA
I. Pendahuluan
317
elektronik seperti: video compact disc (VCD), digital video disc (DVD), home
theatre, televisi (TV) asing, ponsel, dan internet, membuat perhatian
masyarakat terhadap kesenian tradisi menjadi berkurang. Akhir-akhir
ini kesenian tradisi Jawa mengalami masa-masa sulit. Masyarakat
terlebih kawula muda banyak yang tidak lagi mempunyai rasa
memiliki (sense of belonging) atas kesenian tradisi, bahkan sebagiannya
sudah tidak mengenalnya lagi.
Ironis memang ketika banyak universitas besar di negara-negara
Barat sejak beberapa dekade yang lalu mempelajari kesenian tradisi
Jawa seperti karawitan, wayang orang dan kethoprak, serta tarian
Jawa dan Bali, misalnya, kini masyarakat kita mulai ‘memandang
sebelah mata’ atas kesenian tradisi dan cenderung kepada kesenian
Barat. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat terutama komunitas
mudanya mulai melirik kesenian Barat, di antaranya kesenian dari
Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, variatif,
dan praktis. Hal ini berkaitan dengan pola hidup masyarakat modern
yang cenderung ke pola pragmatis, termasuk dalam mencari hiburan
dan rekreasi.
Beberapa hal di atas diduga mengakibatkan menyusutnya
jumlah penonton pada pementasannya. Padahal, kesenian tradisi
seperti wayang orang dan kethoprak di samping tarian merupakan
aset Kota Surakarta unggulan dalam pengembangan sektor pariwisata
budaya budaya yang dapat mendatangkan penghasilan asli daerah
(PAD). Dalam konteks otonomi daerah hal itu sangatlah penting untuk
diberdayakan.
Pengembangan sektor pariwisata budaya dan sektor informal
dapat menjadi alternatif dalam menambah penghasilan masyarakat
dan pendapatan asli daerah (PAD). Lebih-lebih dalam konteks
otonomi daerah di Kota Surakarta, sesuai dengan Undang-undang
No. 22/ 1999 tentang Otonomi Daerah, maka pariwisata budaya di
Surakarta utamanya wisata budaya, dapat menjadi program unggulan
dalam menambah PAD. Dan, mengingat potensinya, wisata budaya
dengan berbagai kesenian tradisi merupakan peluang yang perlu kita
tangkap.
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk
melakukan revitalisasi kesenian tradisi di Surakarta dewasa ini dalam
rangka mengembangkan pariwisata budaya. Secara khusus ada tiga
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni (1) memaparkan
tantangan yang dihadapi kesenian tradisi Jawa di Surakarta dewasa
ini; (2) mendeskripsikan upaya-upaya kreatif dan antisipatif untuk
mengaktualisasikan kesenian tradisi di Surakarta agar tetap memiliki
318
daya pikat bagi wisatawan selaras dengan dinamika kehidupan; (3)
memaparkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kesenian
tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata
budaya di Surakarta.
Ada beberapa buku atau tulisan yang mengkaji kesenian tradisi
Jawa. Jennifer Lindsay dalam bukunya Klasik, Kitsh or Contemporary:
A. Study of the Javasene Performing Arts (1991), Umar Kayam dalam
Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), dan Rahayu Supanggah (1991) dalam
“Karawitan Anak-anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa
yang Memprihatinkan”. Ketiganya menyatakan kegelisahan dan
keprihatinannya mengenai kesenian tradisi yang semakin redup,
padahal memiliki potensi untuk dikembangkan. Bahkan, secara
ekstrem Kunt (dalam Lindsay 1991) menyatakan bahwa masa depan
kesenian tradisi Indonesia sekarang tetap merupakan hal yang
menggelisahkan di Indonesia, bahkan sudah terasa sejak dekade 1930-
an pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Edi Sedyawati dalam Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981), jurnal
Seni Pertunjukan Indonesia dalam beberapa edisinya juga membahas
berbagai perkembangan kesenian tradisi Jawa. Hersapandi dalam
“Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial Suatu Kajian
Sosio-Historis” (1994) dan Sumanta dalam “Wayang Madya Salah Satu
Sarana Pengukuh Mangkunagara IV” (1994) juga membahas seputar
kesenian tradisi Jawa.
Koentjaraningrat (1979: 205) membagi kebudayaan menjadi
tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan; sistem dan
organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian;
sistem mata pencaharian hidup serta sistem teknologi dan peralatan.
Demikianlah ketujuh unsur kebudayaan universal mencakup seluruh
manusia dalam kehidupannya.
Kesenian tradisi merupakan bagian dari jagat kesenian Indonesia.
Pada umumnya, ia hidup dalam dua lingkungan dua alam budaya. Di
satu pihak ia lahir dari suatu kebudayaan daerah tertentu yang memiliki
sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi daerah tertentu,
dan di pihak lain ia disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan
suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas, yakni Indonesia (lihat
Sedyawati, 1981: 39).
Kesenian tradisi kini telah mengalami pergeseran pemilikan. Jika
semula ia hanya menjadi milik masyarakat pendukung kebudayaan
daerah tertentu, kini masyarakat daerah lain pun merasa memilikinya.
Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa kebudayaan Indonesia
adalah keseluruhan kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena itu,
319
kesenian tradisi dari kebudayaan daerah tertentu dapat memperoleh
masukan cita rasa ataupun konsep-konsep kebudayaan daerah lain.
Bahkan, terbuka lebar bagi kesenian tradisi akan masuknya gagasan
dan cita rasa negara lain (Sedyawati, 1981: 39). .
Wayang orang dan wayang kulit yang mengangkat cerita dari
mahakarya Mahabharata dan Ramayana misalnya, kini tidak hanya
menjadi milik masyarakat pendukung aslinya melainkan sudah
menjadi milik daerah atau suku lain. Fenomena ini, menurut Kayam
(1981: 66; lihat Sedyawati, 1981: 39), barangkali merupakan bagian dari
proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi kesenian termasuk cita-
rasa daerah lain, bahkan dimungkinkan pula masuknya unsur-unsur
dari mancanegara.
Semakin berkembangnya nasionalisme dalam masyarakat kita,
maka fanatisme kedaerahan berangsur-angsur menipis menuju
semangat keindonesiaan. Hal itu juga mendorong adanya perubahan
konsep dan penampilan kesenian tradisi yang lebih bersifat bikultural.
Dalam penampilannya, kesenian tradisi sering pula memasukkan
unsur-unsur budaya daerah lain dan nuansa yang lebih ‘Indonesia’.
Bahkan, cita rasa ‘universal’ mulai terasa dalam penampilan kesenian
tradisi.
Kesenian tradisi sering pula diartikan dengan ‘kesenian rakyat’,
‘kesenian daerah’ atau ‘kesenian klasik’. (lihat Kayam, 1981: 61).
Namun, dalam makalah ini digunakan istilah ‘kesenian tradisi’,
bukan ‘kesenian rakyat’ atau ‘kesenian daerah’. Sebab, kata ’rakyat’
dapat merupakan lawan dari kata feodal atau istana, sedangkan kata
‘daerah’ dapat diartikan berlawanan dengan ‘nasional’. Meskipun
istilah ‘seni-tradisi-rakyat’’ dan ‘seni-tradisi-klasik’ ada semacam
perkembangan, pada dasarnya keduanya masih memiliki sifat yang
mirip (Kayam, 1981: 61). Karena itu, dalam tulisan ini dipakai istilah
kesenian tradisi.
Sebagai sebuah genre karya seni, kesenian tradisi memiliki
beberapa ciri khas, antara lain: (1) ia memiliki jangkauan terbatas pada
lingkungan kultur yang menunjangnya, (2) ia merupakan pencerminan
dari sebuah kultur yang berkembang sangat lamban, karena dinamika
masyarakat pendukungya memang demikian, (3) ia merupakan
bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-
bagi dalam pengkotakan spesialisasi, dan (4) ia bukan merupakan
hasil kreativitas individu melainkan tercipta secara anonim bersama
dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya (Kayam,
1981:60).
Kesenian tradisi adalah suatu karya budaya berupa seni budaya
320
yang sejak lama turun-temurun tetap hidup dan berkembang pada
suatu daerah (Yoeti, 1985:2). Itu sebabnya kesenian itu disebut juga
kesenian daerah. Beberapa bentuk kesenian tradisi Jawa meliputi
wayang kulit, wayang wong (orang), ketoprak, ludruk, kentrung,
jathilan, reog, dhagelan, karawitan, tarian klasik dan modern.
Lahirnya ‘wayang orang panggung komersial’ menunjukkan
adanya pergeseran nilai seni dan formalitas budaya kraton, yakni
terjadi perubahan bentuk dan sifat kelembagaan dari patron-client
dan patrimonial ke produsen-konsumen dan kapitalis. Kuntowijoyo
(1987:28) menyatakan bahwa dalam kebudayaan baru yang ditandai
dengan lahirnya budayawan, golongan intelegensia, dan seniman,
profesionalisme dalam budaya baru berbeda dengan profesionalisme
budaya lama. Singkatnya, hubungan patron-client dalam budaya lama
digantikan oleh hubungan produsen-konsumen dalam budaya baru,
sifat hubungan vertikal diganti menjadi hubungan horisontal.
Adapun jenis dan bentuk kesenian tradisi Jawa di Surakarta
banyak ragamnya, di antaranya: Wayang Kulit/Purwa, Wayang Orang
(Wayang Wong), Ketoprak, Dhagelan, tari-tarian, reog, dan karawitan.
Wayang kulit adalah pagelaran wayang yang ceritanya (reportair)
bersumber pada Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India (Satoto,
1990:133) dengan menggunakan media wayang (boneka dari kulit).
Adapun Wayang Orang merupakan suatu jenis wayang yang tokoh
ceritanya diperankan oleh manusia menggantikan boneka-boneka
wayang yang merupakan pertunjukan dengan gaya tersendiri, sedang
sumber ceritanya juga Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India
(Satoto, 1990:190).
Ditinjau dari potensinya, sektor pariwisata budaya yang
paling dapat diandalkan di Surakarta adalah wisata budaya. Wisata
budaya adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata budaya dengan
memanfaatkan potensi dan kekayaan budaya untuk menunjang
peningkatan pembangunan nasional dengan menyejahterakan
masyarakat tanpa melupakan upaya pelestarian dan pengembangannya
(SKB Menparpostel, Mendikbud dan Mendagri, Tanpa Tahun).
Adapun maksud dan tujuan pariwisata budaya yakni meningkatkan,
mengembangkan, dan melestarikan objek wisata budaya sebagai
bagian dari kebudayaan bangsa guna terwujudnya pengembangan
kepariwisata budaya yang berdaya guna dan berhasil guna (Dinas
Pariwisata budaya Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, 1990).
Dengan sejumlah potensi yang ada, maka pengembangan
kesenian tradisi Jawa di Surakarta dapat menjadi salah satu primadona
dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata budaya. Pada
321
gilirannya, mengingat potensi dan sarana pendukungya, pariwisata
budaya di Surakarta tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi
“wajah” wisata budaya di tingkat nasional.
Banyak sekali ragam kesenian tradisi di Surakarta. Dalam
penelitian ini, mengingat berbagai keterbatasan, maka dikaji lima
kesenian tradisi saja yakni: wayang purwa (kulit), wayang orang,
kethoprak, karawitan, dan tari. Hal itu berdasarkan alasan bahwa
bentuk-bentuk kesenian tradisi Jawa tersebut dipandang representatif
dan berhubungan secara signifikan dengan permasalahan penelitian.
Selain itu, lima kesenian tradisi tersebut dipandang relevan dan
memiliki daya jual (marketable) dari sektor pariwisata budaya.
322
aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data sebagai suatu proses siklus (Miles and Huberman
dalam Soetopo, 2002: 93-100). Pada model ini peneliti tetap bergerak
di antara empat komponen (termasuk proses pengumpulan data),
selama proses pengumpulan data ber-langsung.. Skema berikut
menggambarkan proses analisis data model interaktif.
Pengumpulan
data Sajian
data
Reduksi
Penarikan
data
Kesimpulan
Verifikasi
Model Analisis Interaktif
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tantangan yang Dihadapi dalam Revitalisasi Kesenian Tradisi
Kehidupan teater tradisi di tengah-tengah membanjirnya
produk budaya Barat di masyarakat menghadapi tantangan yang cukup
berat. Ada fenomena bahwa masyarakat mulai ‘mengesampingkan’
kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat dengan alasan
antara lain: kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah
dinikmati, dinamis, praktis, dan ‘prestisius’. Pada masa kini dalam
mencari hiburan orang sering bertindak pragmatis, sejalan dengan
pola hidupnya yang pragmatis pula.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh temuan, bahwa
sepinya penonton pada pementasan wayang orang dan Kethopark di
Surakarta sudah agak lama terjadi yakni sejak akhir dekade 1980-an
karena adanya paling tidak empat faktor. Keempat faktor itu antara
lain:
Pertama, aspek kesenian tradisi itu sendiri --menyangkut cerita
(aspek literernya), penggarapan teatrikalnya, teknologi pementasan,
dan manajemen pementasannya--. Dari segi ceritanya, wayang orang
dan kethoprak misalnya, biasanya menyajikan tema-tema yang
itu-itu saja tanpa banyak variasi, sehingga terkesan monoton. Segi
penggarapan teatrikalnya kurang greget dan tidak mengesankan.
Akibatnya, penonton bosan melihatnya. Hal ini berbeda jauh dengan
323
ketika masih berkiprahnya seniman legendaris Rusman, Darsih, dan
tokoh-tokoh seangkatannya yang bermain total dan sangat popular
pada zamannya.
Dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi di Surakarta
masih menggunakan media yang konvensional sifatnya, kurang
ada inovasi. Panggung dan back ground (geber) yang terlihat kumal
bahkan ada yang sudah berlubang merupakan ilustrasi hal itu. Ini
menyebabkan pementasan menjadi kurang menarik. Segi manajemen
pementasan pun tampak kurang profesional. Pengelola kurang sigap
melakukan gebrakan-gebrakan dalam pemasaran, misalnya menjalin
kerja sama dengan relasi dan instansi atau institusi terkait seperti hotel
dan lembaga pendidikan. Penjaringan penonton melalui publikasi dan
iklan pun terkesan kurang optimal.
Kedua, kurang adanya proses pewarisan nilai-nilai budaya
tradisi secara terprogram, sistematis, dan terpadu bagi generasi muda
melalui lembaga pendidikan. Sejak paroh dekade 1970-an, kesenian
daerah, termasuk sastra daerah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang
‘terpandang’. Beberapa tahun terakhir bahkan kesenian, bahasa, dan
sastra daerah di sekolah boleh dikatakan hanya dipandang ‘sebelah
mata’, sekedar menjadi muatan lokal (mulok), yang sama sekali ‘tidak
prestisius’. Karena itu, motivasi siswa untuk mendalami kesenian
tradisi pun kurang. Jika para siswa SD, SMTP dan SMTA dulu (dekade
1960-1970-an) memahami cerita Mahabharata dan Ramayana serta cerita-
cerita rakyat, sejak era 1980-an kebanyakan pelajar di Jawa Tengah dan
Yogyakarta tidak memahaminya, terlebih mengapresiasinya.
Ketiga, membanjirnya produk teknologi komunikasi media
massa turut menjauhkan masyarakat dari kesenian tradisi. Munculnya
beberapa televisi swasta di Indonesia sejak tahun 1989 yakni RCTI
dan SCTV hingga Metro TV, TV Global, dan entah apa lagi, lalu TV
mancanegara seperti CNN Amerika, NHK Jepang, Star TV Hong Kong,
dan sejumlah TV Eropa melalui antena parabola, dengan tayangan
acara yang menarik, baik olah raga, kesenian, musik, maupun filmnya
menyedot perhatian masyarakat (penonton). Terjadilah semacam
euforia TV swasta dan TV asing.
Belum usai euforia tersebut, menjamur pula produk-produk
elektronik seperti home theatre, VCD, DVD, dan internet dengan dunia
mayanya yang meluas sejak 1990-an. Kini masyarakat ‘dimanjakan’
betul oleh berbagai fasilitas media dengan tontonan yang variatif
dan menarik. Mereka dapat menikmati tontotan bagus sambil
bercengkerama dengan anak dan istri/suami. Akibatnya, mereka
enggan menonton hiburan di luar rumah, termasuk kesenian tradisi.
324
Keempat, pergeseran nilai akibat berlangsungnya transformasi
sosial budaya dalam masyarakat seiring dengan era globalisasi. Sejalan
globalisasi, terjadilah transformasi sosial budaya yang berimplikasi pada
bergesernya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Kini masyarakat
berada dalam tegangan dua kultur, di satu sisi tetap memegang nilai
tradisi (lama) dan di sisi lain harus menerima nilai modern (baru) dari
kultur asing yang mendunia. Akibatnya, masyarakat terlebih kaum
muda kini cenderung memilih seni budaya massa (kitsch) daripada
budaya lokal, termasuk kesenian tradisi (Al-Ma’ruf, 2002: 45).
325
acting pemain dalam membawakan tokoh cerita dengan penuh
improvisasi dan atraktif.
Totalitas keterlibatan para pekerja seni tradisi dalam dunia
panggung agaknya perlu diperhatikan. Pada masa emas kesenian tradisi
Surakarta ketika Rusman, Darsih, dan rekan-rekan seangkatannya
berjaya (1960-an hingga 1980-an), mereka terlibat secara total dalam
dunia kesenian tradisi itu. Mereka mendedikasikan hidupnya pada
kesenian tradisi tersebut. Dalam masa sekarang, banyak pemain
terjun ke dunia kesenian tradisi sekedar ‘sambilan’. Akibatnya, sulit
diharapkan mereka dapat terjun secara total.
Ketiga, dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi juga
perlu dilakukan inovasi dan rekonstruksi. Guna menambah daya tarik
pementasan kesenian tradisi, para pekerja seni dapat mengadopsi
teknologi komunikasi dan media seperti dalam sinema sehingga lebih
berdaya jual. Cerita tetap bersumber dari pakem, tetapi teknologi
mesti mengikuti perkembangan zaman.
Dari aspek tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata musik,
perlu ditunjang dengan teknologi canggih. Panggung misalnya, kiranya
dapat diusahakan agar nampak lebih hidup dengan menggunakan
teknologi sinema sehingga latar (setting) akan terlihat lebih hidup dan
atraktif. Dalam hal-hal tertentu, kelompok kethoprak Siswa Budaya
dari Jawa Timur sudah memanfaatkan teknologi itu.
Keempat, dari segi manajemen pementasan, kesenian tradisi perlu
lebih profesional. Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu
bentuk hiburan yang dijajakan untuk para wisatawan/masyarakat,
maka pementasan kesenian tradisi dalam konteks pengembangan
pariwisata budaya harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis
hiburan (entertainment). Dari perencanaan program, termasuk
pemasaran (marketting) melalui publikasi dan promosi yang memadai
dengan berbagai cara: media elektronik (radio, TV), media cetak surat
kabar, pamflet di berbagai tempat strategis dan lembaga-lembaga
pendidikan, selebaran, mobil keliling, dan seterusnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah manajemen keuangan. Keuangan
harus dikelola dengan penuh disiplin. Dengan harga tiket masuk
(HTM) yang relatif ringan (Rp 5000,00 – Rp 10.000,00), penjualan tiket
masuk harus benar-benar ketat. Di lapangan ditemukan data bahwa
banyak penonton yang dapat masuk ke gedung kesenian/ arena tanpa
membayar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen
bisnis hiburan. Terlebih jika wisata budaya ini dikembangkan dalam
kerangka mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD).
326
3.3 Langkah Strategis untuk Mewujudkan Kesenian Tradisi sebagai
Produk Unggulan dalam Menunjang Pariwisata budaya di Surakarta
Dari wawancara dengan berbagai kalanagan diperoleh temuan,
bahwa jika kesenian tradisi akan diberdayakan menjadi produk
unggulan dalam wisata budaya, maka perlu dilakukan langkah-
langkah strategis sebagai berikut.
Pertama, mengemas kesenian tradisi menjadi sebuah suguhan
kesenian yang memikat, namun efisien waktu. Untuk keperluan
wisatawan –terlebih wisatawan asing yang memiliki waktu relatif
sedikit--, maka perlu dilakukan kreasi ‘baru’ yang lebih simpel, tanpa
harus mengurangi nilai estetiknya. Pementasan kesenian tradisi
dapat dikemas menjadi sebuah sajian yang ringkas, padat, namun
tetap atraktif. Alur ceritanya tetap dapat diikuti oleh penonton, tetapi
disajikan dalam bentuk ringkas dan padat (simpel).
Adapun untuk suguhan bagi wisatawan asing yang memiliki
keterbatasan waktu, maka pementasan kesenian tradisi dapat
dilakukan juga di hotel-hotel –selain di Taman Sriwedari, auditorium
RRI, dan Balaikambang--. Sebagai perbandingan, kita dapat belajar dari
pementasan seni drama tari (sendratari) Ramayana di Candi Prambanan
atau tari Kecak di Student Centre Bali. Keduanya digarap sedemikian
atraktif dan memikat meskipun singkat.
Kedua, untuk meningkatkan daya jual (marketable), pada
even-even tertentu pihak pengelola perlu mendatangkan bintang-
bintang tamu dalam pementasan kesenian tradisi. Guna memancing
masyarakat datang menyaksikan pementasan kesenian tradisi, perlu
dihadirkan bintang tamu yang namanya dapat menjadi daya magnetik
bagi penonton. Diperoleh data di lapangan, bahwa banyak penonton
membanjiri Auditorium RRI Surakarta dan gedung kesenian Sriwedari
karena ingin menyaksikan bintang tamu Basuki (alm.), Ki Manteb, dan
Yati Pesek, yang ikut bermain kethoprak dan wayang orang.
Sekedar ilustrasi, ketika dipentaskan kethoprak dengan lakon
“Arya Penangsang” di auditorim RRI Surakarta dengan menghadirkan
bintang-bintang kondang seperti Ki Mantep Sudarsono, Ki Gati
(saudara kembar Ki Gito (Alm.) dari Yogyakarta), Timbul, Basuki
(alm.), dan Nunung (Srimulat), dan lain-lain, ternyata penonton
datang berduyun-duyun memenuhi arena pertunjukan.
Demikian pula ketika di gedung Sriwedari digelar Wayang Orang
yang diproduksi oleh para seniman muda yang tergabung dalam
Paguyuban Seniman Wayang Orang Surakarta (STSI Surakarta, SMK
Karawitan, sanggar-sanggar kesenian, dan para siswa dari berbagai
sekolah di Surakarta yang menggeluti kesenian tradisi itu), penonton
327
pun membludak.
Ketiga, perlu dilakukan kerja sama secara sinergis dengan
institusi terkait. Dalam upaya lebih membumikan kesenian tradisi
sebagai aset wisata budaya yang dapat mendatangkan pendapatan
asli daerah (PAD) sekaligus upaya pelestarian dan pewarisan seni
budaya tradisi, perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga
terkait seperti: sanggar kesenian, lembaga pendidikan (sekolah dan
perguruan tinggi), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI),
Taman Budaya Surakarta (TBS), Gabungan Seniman Wayang Orang
Surakarta, biro perjalanan wisata, dan hotel. Komunitas seni budaya
perlu diajak kerja sama dalam penggarapan kesenian tradisi.
Sekolah dan perguruan tinggi dapat diajak untuk menanamkan
nilai-nilai budaya adiluhung dengan memberikan dasar-dasar apresiasi
kesenian tradisi melalui proses pembelajaran di kelas, sanggar-
sanggar seni sekolah (ekstrakurikuler), dan menyaksikan pementasan
kesenian tradisi. Dengan demikian, niscaya para siswa akan memiliki
rasa memiliki (handarbeni) atas budaya warisan leluhur.
Keempat, perlu retrospeksi berbagai pihak terkait untuk mengkaji
revitalisasi kesenian tradisi. Melalui diskusi dan sarasehan akan dapat
ditemukan berbagai permasalahan yang bergayut dengan upaya
revitalisasi kesenian tradisi guna menunjang pariwisata budaya.
4. Simpulan
Secara umum pementasan kesenian tradisi seperti wayang
orang dan kethoprak di gedung kesenian Sriwedari, auditorium
RRI Surakarta, dan Balaikambang, perlu penggarapan yang lebih
kreatif dari aspek teatrikalnya dan modernisasi sarana pendukung
pementasannya.
Dengan pengelolaan secara terpadu dan manajemen profesional
serta adanya kerja sama secara sinergis dengan pihak terkait yakni
seniman/budayawan, akademisi dan pengamat budaya, Dinas
Pariwisata budaya, Biro Jasa Wisata (pengusaha industri pariwisata
budaya) dan pihak perhotelan, kesenian tradisi akan dapat eksis
sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata budaya budaya
di Surakarta.
Tantangan yang dihadapi dalam upaya revitalisasi kesenian
tradisi meliputi empat aspek yakni: (1) penggarapan kesenian tradisi
yang meliputi: segi cerita yang terkesan monoton, penggarapan aspek
teatrikal kurang kreatif dan atraktif, teknologi pementasan masih
konvensional, dan manajemen pementasan yang tidak profesional; (2)
proses pewarisan nilai budaya tradisi dalam masyarakat tidak berjalan
328
dengan baik sehingga tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian
tradisi menurun; (3) membanjirnya berbagai produk teknologi
komunikasi dan media massa mempengaruhi menurunnya minat
masyarakat atas kesenian tradisi; (4) perubahan nilai-nilai kehidupan
akibat globalisasi berdampak pada bergesernya respons dan apresiasi
masyarakat atas seni budaya; kini kecenderungan masyarakat lebih
kepada seni budaya modern..
Adapun upaya revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan
melalui reaktualisasi agar sesuai dengan dinamika kehidupan.
Upaya itu meliputi: (1) penggarapan cerita yang lebih variatif dan
mengangkat masalah aktual; (2) penggarapan teatrikalnya yang lebih
kreatif dan atraktif; (3) perlu inovasi dalam teknologi pementasan
misalnya dengan mengadopsi teknologi sinema/film; (4) pengelolaan
manajemen pementasan yang profesional.
Adapun langkah-langkah strategis antisipatif untuk mewujudkan
kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pengembangan
pariwisata budaya di Surakarta adalah: (1) mengemas kesenian
tradisi menjadi tontonan ringkas dan padat tetapi memikat; (2)
menghadirkan bintang tamu dalam pementasan pada even-even
tertentu; (3) peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihak-
pihak terkait; (4) dilakukan sarasehan bersama antar-berbagai pihak
terkait guna merealisasikan kesenian tradisi menjadi aset unggulan
dalam menunjang pariwisata budaya.
DAFTAR PUSTAKA
329
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, or Contemporere: A Study of the Javanese
Performing Arts. Ph. D. Dissertation, University of Sydney.
Sayid, R.M. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta: Pradnya Paramita.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Singarimbun, Masri (Ed.). 198 5. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Supanggah, Rahayu, 1991. “Karawitan Anak-Anak: Gejala Perkembangan
Karawitan Jawa yang Memprihatinkan”dalam Jurnal Seni Pertunjukan
Indonesia Edisi Th. II/1991.
Yoeti, Oka. 1985. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Ismail, 1990. Wawasan Jati Diri dalam Pembangunan Jawa Tengah. Semarang:
Effhar dan Bahara Prize.
330
PEMBUATAN FILM DOKUMENTER:
Flora Dalam Budaya Sunda
Pendahuluan
331
hias import yang dewasa ini sangat digemari semakin menggeser
kedudukan dan kelestarian tanaman lokal. Diperlukan berbagai upaya
sistematik untuk menyelamatkan kekayaan flora di Tatar Sunda.
Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologi (Keraf, 2002 dalam Isnendes, 2009; 2010). Seluruh
kearifan tradisional ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus
membentuk pola prilaku manusia sehari-hari.
Kearifan tradisional semakin langka saja, apalagi pada generasi
muda yang notabene tidak mengenal kehidupan natural. Hal tersebut
karena pergeseran budaya dan sosial ke arah konsumerisme dan
teknologi (sains) yang salah kaprah. Masyarakat sosial, terutama
generasi muda mengetahui alam (komunitas ekologis) sebagai
pengetahuan kiranya hanya di lembaga-lembaga pendidikan saja. Itu
pun apabila gurunya membelajarkannya. Apabila tidak dibelajarkan
maka semakin jauhlah jarak pengetahuan mereka tentang alam.
Bahkan kemungkinan mereka mempunyai sikap yang apatis dan tidak
peduli pada kehidupan komunitas ekologis di sekelilingnya.
Pembelajaran sains dewasa ini kurang memberi wawasan berpikir
termasuk untuk memelihara lingkungan. Pembelajaran sains kurang
memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup warganegara. Padahal
pembelajaran sains semestinya dapat mengembangkan kepekaan
terhadap lingkungan dan wawasan berpikir untuk kehidupan masa
depan yang baik (Rutherford & Ahlgren, 1990; Rustaman, 2005).
Kurikulum dewasa ini semestinya lebih berorientasi pada
strategi mempersiapkan warga negara yang produktif (Rustaman,
2006). Apabila mengacu pada NRC (1996) rendahnya kontribusi
pembelajaran sains terhadap kelulushidupan warga negara mungkin
disebabkan karena terlepasnya pembelajaran sains dari konteks sosial;
hanya menitik beratkan pada penguasaan materi; dan penggunaan
asesmen yang tidak tepat sehingga warga negara hanya dipersiapkan
untuk menguasai pengetahuan.
Sebagai bahan pembelajaran, keanekaragaman hayati flora Sunda
bisa dijadikan bahan dan tema dalam pembelajaran mata pelajaran-
mata pelajaran atau mata kuliah-mata kuliah tertentu, misalnya:
Biologi, Lingkungan Hidup, Bahasa Daerah, Seni, dan Budaya, atau
pada mata pelajaran akumulatif pertanian di sekolah menengah
kejuruan. Bahkan di Perguruan Tinggi, keanekaragaman hayati flora
Sunda bisa dikemas dan dijual pada mata kuliah tertentu, seperti
332
boga, busana, leisure and resort, dsb. Yang terpenting dari semuanya
adalah mata pelajaran-mata pelajaran tersebut peka alam dan budaya,
tidak terasing dan mengasingkan diri dari kondisi kontekstual alam
semesta.
Pengenalan peserta didik pada flora Sunda idealnya terjadi
di lapangan sebagai bagian dari investigasi atau observasi
pembelajarannya. Tetapi, apabila hal tersebut tidak dimungkinkan,
maka media menjadi hal penting dalam menghadirkan materi flora
Sunda.
Penghadiran gambar pada media film adalah masalah yang akan
diangkat dalam penelitian ini. Gambar atau film adalah media penting,
baik dalam pembelajaran atau pun dalam mediasi flora Sunda. Hal itu
karena media film bisa dijadikan alat dokumenter dalam menyimpan
warisan alam semesta; flora Sunda yang masih hidup dan yang
diambang kepunahan.
Media gambar merupakan media penting yang dapat digunakan
untuk mensosialisaikan keanekaragaman hayati flora Sunda. Media
tersebut dapat dijadikan sebagai sarana persuatif untuk melibatkan
masyarakat Sunda dan dunia dalam upaya menjaga kelestarian flora di
alam semesta. Keanekaragaman bunga, buah, daun, dan batang yang
terdapat pada flora Sunda dapat diperkenalkan kepada masyarakat
dunia. Penyusunan bahan untuk media gambar akan memediasi
upaya-upaya investigasi dan inventarisasi flora-flora Sunda.
Masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana mengangkat flora
Sunda menjadi media gambar hidup tiga dimensi (film dokumenter)
yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sunda?
Tinjauan Pustaka
Alam dan Budaya Sunda
Alam dan budaya Sunda merujuk pada pemaknaan fisiografi dan
kultural tentang alam dan budaya yang terdapat di wilayah Banten,
Jawa Barat, dan Cirebon. Secara fisiografi, wilayahnya berwujud
dataran rendah alluvial di baguan utara dan pegunungan di bagian
selatan. Perbandingan antara dataran rendah dan bagian pegunungan
adalah 1:3. Ini membuktikan bahawa alam Jawa Barat lebih luas bagian
pegunungan daripada bagian dataran rendahnya. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa Barat, yaitu sekira 30
gunung.
Kekayaan tambang yang terdapat pada alam Jawa Barat di
antaranya: emas, mangan, belerang, minyak bumi, dan gas bumi.
Kekayaan hayati tidak perlu diragukan lagi, apalagi didukung dengan
333
fakta sebagai wilayah yang dilalui garis katulistiwa menyebabkan
Jawa Barat menjadi daerah tropis. Suatu daerah yang sangat nyaman
dihuni oleh makhluk hidup, terutama flora dan fauna.
Selain itu, lapisan tanah di wilayah Jawa Barat banyak mengandung
endapan vulkanis dan alluvial yang berasal dari letusan gunung
berapi, hal ini menyebabkan kesuburan tanahnya menumbuhkan
aneka macam tanaman, baik tanaman liar berupa hutan, maupun
tanaman peliharaan melalui usaha pertanian.
Alffred Russel Wallace (yang namanya diabadikan menjadi
garis Wallace), melakukan perjalanan ke puncak Gunung Pangrango
dan Gunung Gede untuk mengobservasi dan mengumpulkan segala
jenis flora dan fauna yang dijumpainya, menyaksikan sendiri adanya
berbagai jenis tanaman yang biasa tumbuh di daerah tropis sampai
yang biasa tumbuh di daerah dingin seperti di Eropa, bisa tumbuh
di wilayah tersebut. Kebun Raya Bogor menjadi saksi bahwa hampir
semua tanaman tropis dapat tumbuh di bumi Jawa Barat.
Hutan lebat ditumbuhi aneka jenis pohon, mulai dari lumut,
anggrek, hingga pohonan keras dan meraksasa; beringin; rasamala.
Pohonan tersebut bisa tumbuh di dataran rendah sampai di dataran
tinggi; puncak gunung pada ketinggian 8000 kaki lebih. Di sekitar
puncak Gunung Gede saja, tidak kurang dari 3000 jenis tanaman
tumbuh dengan suburnya (Wallace, 1902: 85, 89-90).
Areal hutan di wilayah Jawa Barat semakin lama semakin
berkurang. Pengurangan luas areal hutan itu makin lama makin luas
sejak diperlukan untuk lahan perkebunan, pertanian (sawah dan
ladang), pemukiman, dan industri, serta diperlukan kayunya untuk
bahan bangunan dan lain-lain.
Apabila tahun 1973, area hutan sekira 1.035.055,3 ha dengan
hitungan 468.018,7 ha untuk hutan lebat dan 567.036,6 ha untuk hutan
sejenis dan hutan belukar (Direktorat Tata Guna Lahan 1973:7-8),
maka sekarang (tahun 2003) menurut Dewan Pemerhati Kehutanan
dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) hutan negara secara hitungan
normatif adalah 816.603 ha saja (Pusat Studi Sunda, 2007:6). Artinya,
dalam kurun waktu 30 tahun, hutan di Jawa Barat berkurang seluas
218.452,3 ha.
Kelenyapan hutan seluas itu, tentu berpengaruh terhadap lini
kehidupan: ekosistem, flora, fauna, tambang, mineral, mengubah
tatanan fisik dan psikis komunitas masyarakat tradisional atau
masyarakat adat, juga pada akhirnya: budaya Sunda secara
keseluruhan.
Unsur-unsur universal dalam satu budaya, menurut
334
Koentjaraningrat (1993 cet ke-16:2) ada tujuh macam, yaitu: 1) sistem
religi dan kepercayaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3)
sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian
hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.
Ketika komunitas hutan hilang, dengan sendirinya keselarasan
manusia dengan alamnya pun hilang. Ketujuh unsur budaya pun
terkena dampaknya. Dampak negatif yang terparah adalah musnah
atau punahnya sub unsur yang ada pada tiap unsur budaya tadi.
Untungnya, sistem pengetahuan dalam budaya manusia
dapat menyelamatkan atau meminimalisir kepunahan tersebut.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut bisa diawetkan dengan unsur
bahasa. Bahasa menjadi media untuk mengkomunikasikan dan
merelasikan pengetahuan tersebut. Bahasa juga dapat menyimpan
kekayaan enam unsur budaya lainnya.
Bahasa Sunda adalah kekayaan orang Jawa Barat, khususnya
orang Sunda, selain bahasa daerah lainnya. Bahasa Sunda menyimpan
kekayaan budaya Sunda yang tak terkira harganya. Bagaimana
tidak, selain bahasa berfungsi sebagai alat; media komunikasi yang
berkembang dan dipakai untuk mengeluarkan perasaan-perasaan,
pikiran, dan keinginan masyarakat penuturnya, juga secara hakikat
bahasa mempunyai kemampuan sebagai menumbuhkembangkan
tradisi dan budaya masyarakatnya. Dalam hal ini budaya Sunda, yang
diakui sebagai bagian dari budaya daerah pendukung kebudayaan
nasional bangsa Indonesia.
Pada sastra lisan Sunda --yang kemudian dituliskan, hidup
kekayaan budaya manusia Sunda: terutama pengetahuan yang
menjadi kekayaan mengenai alam sekitar tempat yang pernah manusia
Sunda diami dan berinteraksi dengannya. Pengetahuan-pengetahuan
tersebut mengendap dalam ragam sastra lisan. Terutama kekayaan
flora Sunda.
Flora Sunda
Dalam sejarah Jawa Barat (ilmu sejarah, artinya pada tataran fakta
empirik, fakta primer) tercatat jenis-jenis tanaman yang telah lekat
dengan kehidupan masyarakatnya. Tanaman tarum (indigo), telah
ditemukan dalam tataran sejarah Kerajaan Sunda dan Pajajaran, sebagai
bahan pewarna yang dijualbelikan. Tidak heran bila kemudian ada
sungai bernama Citarum atau Kerajaan Tarumanagara. Demikian juga
dengan lada, padi, tamanan tersebut sudah disiarkan keberadaannya
hingga abad ke-17. Bahkan buah lada disebut sebagai buah yang nilai
ekonominya tinggi karena dijadikan alat penukar kebutuhan pokok
335
masyarakat Sunda ketika itu, dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dan luar Nusantara; diantaranya dengan pemerintahan Portugis.
Hingga pada abad ke-20, tamanan yang tercatat dalam sejarah
Sunda adalah kopi, kina, teh, karet, tebu, kelapa, jarak. Tanaman-
tanaman tersebut berhubungan dengan perkebunan dan kisah
penjajahan yang pahit dan kelabu (Haryoto Kunto, 1983). Berbeda
dengan pada abad ke-21, dewasa ini, jenis tanaman padi, teh, karet,
kelapa sawit, coklat, tebu, dan sejumlah sayuran mempunyai nilai
tinggi. Demikian pula dengan tanaman keras, dimanfaatkan kayunya
karena berkualitas tinggi dan bernilai ekonomis. Kayu-kayu tersebut
tumbuh dari masa lalu dan berumur puluhan bahkan ratusan tahun.
Tanaman-tanaman keras tersebut tumbuh di hutan-hutan di seluruh
Jawa Barat.
Selain tanaman-tanaman yang diketahui secara fakta empirik, ilmu
biologi, dan ilmu sejarah, ragam kekayaan tanaman pada masyarakat
Sunda juga tersimpan secara permanen dalam sastra dan folklore.
Sastra lisan Sunda mewadahi kreativitas manusia Sunda yang erat
berinteraksi dengan alam sekitarnya. Dalam idiom-idiom, peribahasa,
sisindiran ’pantun’, cerita rakyat, guguritan, lelucon, nyayian anak-
anak, flora Sunda hidup diawetkan. Dalam folklor demikian juga;
dalam permainan, kepercayaan, pengobatan tradisional, perundagian
(arsitektur tradisional), tatarias, tataboga, tatabusana, dsb., flora Sunda
adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya.
Tinjauan flora Sunda secara ilmiah populer telah ditulis
oleh H. Unus Suriawiria, pengajar di Jurusan Biologi ITB. Beliau
mengkhususkan diri menulis tentang lalab ’lalap’ pada budaya Sunda.
Judul tulisannya adalah Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat
Sunda (1981) dan Lalab untuk Kesehatan dan Kebugaran (1994). Isi dari
tulisannya adalah: 1) menggali kebiasan memakan lalab orang Sunda,
2) sekilas dibahas korelasi antara kepercayaan, khasiat, dan nilai gizi
yang terkandung dalam lalab, dan 3) jenis-jenis lalab yang dimakan
orang Sunda.
Tinjauan lain adalah berupa makalah PKMPI (Program Kreativitas
Mahasiswa-Penulisan Ilmiah) yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa daerah FPBS UPI. Makalah tersebut berjudul ”Flora
Sunda: Tafsir Culture Studies Idiom dan Peribahasa Sunda” (2006) dan
“Tanaman Obat Keluarga (Toga): Tafsir Back to Nature pada Babasan
dan Paribahasa (Idiom) Sunda” (2008). Makalah tersebut didanai
DIKTI sebesar dua dan tiga juta rupiah dan menembus PIMMAS di
Malang dan Semarang. Dosen pembimbing pada kegiatan tersebut
adalah penulis sendiri, Retty Isnendes, S.Pd., M.Hum. Isi dari PKMPI
336
tersebut adalah 1) mendeskripsikan flora Sunda dalam idiom dan
peribahasa, dan 2) konstruksi budaya yang berkaitan dengannya, 3)
tafsir back to nature terhadap flora Sunda. Sumber yang digunakan
adalah tiga buku tentang idiom dan peribahasa Sunda, dan terdapat
37 idiom dan peribahasa Sunda yang mencatat nama flora. Ke-37 nama
flora itulah yang dikaji oleh kelompok.
Selain dua tinjauan di atas, penulis tidak menemukan lagi kajian
mengenai flora yang berhubungan dengan budaya Sunda apalagi
dengan mediasinya, baik berupa hasil penelitian atau berupa buku
populer. Dengan demikian, kajian ini lebih luas dan dalam dengan
luaran yang kongkrit berupa pemediasian terhadap flora Sunda dari
dua tinjauan yang ada.
Media
Media pembelajaran adalah media yang penggunaannya
diintegrasikan dengan tujuan dan isi pembelajaran, dan biasanya
dituangkan dalam GBPP dan dimaksudkan untuk mempertinggi
mutu kegiatan belajar-mengajar (Santoso S. Hamidjojo dalam Nuryani
(2005: 115).
Jenis-jenis media bermacam-macam, yaitu: 1) bahan publikasi,
2) bahan bergambar, 3) bahan pameran, 4) bahan proyeksi, 5) bahan
rekaman audio, 6) bahan produksi, 6) bahan siaran, 7) bahan pandang
dengar, 8) bahan model/benda tiruan.
Foto termasuk pada real material and person menurut Gerlach&Elly
dalam Suryani (2005: 118). Foto dalam kegiatan pembelajaran termasuk
pada media grafis. Sedangkan fungsi media adalah sebagai berikut.
1) Memperjelas dan memperkaya atau melengkapi informasi yang
diberikan secara verbal.
2) Meningkatkan motivasi dan perhatian siswa untuk belajar.
3) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyampaian informasi.
4) Menambah variasi penyajian materi.
5) Pemilihan media yang tepat akan menimbulkan semangat, gairah,
dan mencegah kebosanan peserta didik.
6) Mudah dicerna dan lebih membekas, sehingga tidak mudah
dilupakan siswa.
7) Memberikan pengalaman yang lebih kongkret bagi hal yang
mungkin abstrak.
8) Meningkatkan keingintahuan peserta didik.
9) Memberikan stimulus dan mendorong respon peserta didik.
Adapun peranan media dalam pembelajaran adalah sebagi
berikut.
337
1) Mengatasi masalah keterbatasan ruang kelas.
2) Mengatasi masalah letak geografis.
3) Mengatasi gerak benda yang terlalu cepat dalam realitas.
Film
Film dipercaya sebagai media yang paling besar pengaruhnya
di masyarakat. Film bukan saja sebagai pengingat yang menyentuh
memori manusia pada kehidupan, tetapi juga bisa sebagai alat
pengingat terhadap perubahan-perubahan kehidupan. Dengan
demikian, film selain berpengaruh terhadap bagaimana melakoni
kehidupan, film juga sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia.
Film bisa membawa kita pada kehidupan yang pernah dilewati oleh
manusia, juga bisa membawa kita masuk dan mengerti pada budaya
yang berbeda. Selain itu, film menambah pengalaman estetis lewat
keindahan yang disuguhkannya.
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang memanfaatkan
media komunikasi massa pandang-dengar. Film yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan cara direkam dina pita
seluloid, pita video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya
(digitalisasi) dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melewati proses
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, memakai atau tak
memakai suara, yang bisa ditayangkan melalui sistem proyeksi
mekanik, elektronik, dan lainnya.
Pengertian film, selain pengertian di atas adalah gambar hidup
atau sering disebut movie. Secara kolektif, film disebut sinema. Gambar
hidup adalah bentuk manifestasi seni, bentuk populer dari hiburan,
dan bisnis. Film dihasilkan oleh rekaman manusia dan peralatan
(termasuk fantasi dan figur palsu) melalui kamera atau animasi (http://
www.wikipedia.org/encyclopedia.)
Dalam penelitian ini akan dibuat film dokumenter. Film
dokumenter adalah film yang menyajikan realita melalui cara-cara
yang dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Film dokumenter dibuat tidak lepas dari meluasnya informasi
pendidikan dan propaganda. Contoh film dokumenter yang sangat
bermutu adalah yang ditayangkan melalui program National Geografic
dan Animal Planet.
Unsur-unsur dalam pembuatan film adalah: kamera, skenario,
dialog, musik, latar atau setting, mutu pertunjukan, credit tile, angle
kamera dan akting, warna, teknik editing (gambar, musik, suara,
pencahayaan), dan sistem kontinuitas dalam editing.
Beraneka ragamnya bahan tersebut dapat dilihat dari mulai yang
338
sederhana sampai yang kompleks mempunyai karakteristik tertentu.
Setiap media mempunyai kelebihan dan kelemahannya.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengisyaratkan metode
kualitatif. Metode kualitatif pada penelitian ini menekankan pada:
(1) latar alamiah, (2) manusia sebagai instrumen, (3) adanya (analisis)
deskriptif, (4) pentingnya proses, (5) desain yang terus disesuaikan
dengan kenyataan lapangan, dan (6) hasil penelitian disepakati
bersama. Metode kualitatif adalah juga sebuah prosedur penelitian
yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-
kata tertulis (atau lisan yang ditulis).
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pendokumentasian dan mediasi.
Teknik pendokumentasian dalam penelitian ini bertujuan
pengarsipan dan pendokumentasian yang bersifat penelitian di
lapangan (field work). Tahapan yang dilakukan adalah
1) prapenelitian di lapangan. Dalam tahap ini, peneliti akan membuat
perencanan sematang mungkin tentang:
a. jenis fakta empirik biologi tentang flora Sunda;
b. wilayah kerja (lapangan) yang dianggap lengkap
dalam penyediaan data penelitian, perbandingkan, dan
pengambilan gambar flora Wilayah kerja penelitian ini
adalah provinsi Banten dan Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur,
Bandung, Jatinangor, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Cirebon);
c. Menyiapkan instrumen penelitian untuk pemupuan data,
atau teks wawancara untuk pembuatan gambar.
d. alat-alat yang digunakan dalam pendokumentasian (alat
tulis, kamera, handy camp, tape recorder, dll).
1) Penelitian di lapangan. Pada tahap ini digunakan langkah
a. pengamatan,
b. observasi lapangan,
c. wawancara,
d. pupuan data.
Pada pelaksanaan pupuan data dilakukan pencatatan data dan
pengambilan gambar film flora secara parsial (perbagian flora).
2) Pembuatan film. Dalam tahap ini flora Sunda diambil gambarnya
dan diinterpretasi ulang keberadaannya. Setelah data diperoleh,
kemudian data film dikumpulkan dan disusun menjadi film
dokumenter yang lengkap setelah proses editing film.
339
Teknik mediasi dalam penelitian ini adalah bagaimana teks
ditransformasi dari berupa kata-kata ke medium yang berupa gambar
tiga dimensi, khususnya mengetengahkan flora Sunda yang digunakan
dan dimanfaatkan oleh masyarakat Sunda dalam gambar hidup yang
bersifat dokumenter.
a. Ide Cerita
Ide cerita dalam film dokumenter ini adalah mendokumentasikan
flora Sunda yang menjadi latar alam kehidupan manusia Sunda,
menjadi kebutuhan dalam kehidupannya, dan menjadi budaya
Sunda yang memancar dari unsur-unsur kebudayaan yang
ditawarkan oleh Koentjaraningrat.
b. Riset
Riset yang dilakukan adalah riset pustaka dan riset visual/lapangan.
Pada riset visual, membuat film dokumenter dihadapkan pada: (1)
melakukan pengumpulan data-data yang sesuai dengan ide cerita,
340
juga mewawancarai orang-orang yang relevan dengan ide film, (2)
mencari dan melakukan seleksi tokoh yang nanti akan menjadi juru
tutur dalam film, (3) menghitung lokasi shooting, untuk kebutuhan
teknis gambar dan suara, dan (4) menghitung kemungkinan lama
waktu shooting.
341
secara khusus untuk menjadi model membelajarkan flora pada
peserta didik, baik dalam mata pelajaran (B. Sunda, Biologi, PLH,
dll), ataupun mata kuliah (Budaya Sunda, Folklor, Tradisi Lisan,
dll) yang bisa mengambil manfaat daripadanya. Kemudian film
ditutup dengan sebuah pertanyaan: Bila para pendahulu kita telah
mewariskan kearifan lokal yang begitu luar biasa mengenai hubungan
lahir-batin antara alam dan harmoni hidup dari tumbuhan-tumbuhan di
sekitarnya, bagaimana generasi sekarang dan akan datang bisa menapaki
hidup pada kondisi alam yang rusak dan hancur?
Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan
antara alam dan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai bagian dari
ekosistem alam ini mempunyai peranan penting dalam kelestarian
alam tersebut. Penelitian pembuatan film dokumenter flora Sunda ini
merupakan salah satu upaya pengenalan kearifan lokal budaya Sunda
yang tersirat dalam ungkapan dan peribahasa Sunda kepada peserta
didik pada khususnya dan kepada masyarakat luas pada umumnya.
Pengenalan peserta didik pada flora Sunda idealnya terjadi
di lapangan sebagai bagian dari investigasi atau observasi
pembelajarannya. Tetapi, apabila hal tersebut tidak dimungkinkan,
maka media menjadi hal penting dalam menghadirkan materi flora
Sunda.
Media yang paling efektif adalah gambar dua dimensi yang
berupa ilustrasi atau foto. Selain itu, adalah media gambar tiga
dimensi (film). Penghadiran gambar pada media film adalah masalah
yang akan diangkat dalam penelitian ini. Gambar atau film adalah
media penting, baik dalam pembelajaran atau pun dalam mediasi
flora Sunda. Hal itu karena media film bisa dijadikan alat dokumenter
dalam menyimpan warisan alam semesta; flora Sunda yang masih
hidup dan yang diambang kepunahan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempermudah peserta didik
dalam mengenal flora Sunda. Selain itu, dapat menumbuhkembangkan
kecintaan peserta didik terhadap kearifan budaya lokal yang tersirat
dalam ungkapan dan peribahasa mengisyaratkan flora Sunda.
342
Saran
Diharapkan ada penelitian lanjutan yang lebih mendalam tentang
pembuatan media film dokumenter sebagai bahan media pembelajaran.
Selain itu, penelitian ini menghadapi kendala keterbatasan dana
penelitian. Untuk hasil yang lebih optimal diharapkan adanya
peningkatan dana penelitian untuk penelitian sejenis.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Aditia, dkk. 2006. ”Flora Sunda: Tafsir Culture Studies Idiom dan
Peribahasa Sunda” (Makalah PKMPI). Bandung: Jurusan Pendidikan
Bahasa Daerah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.
http://www.wikipedia.org/encyclopedia.
Isnendes, Retty, dkk. 2009-2010. Ekspedisi Alam dan Budaya: Inventarisasi,
Interpretasi Budaya, serta Mediasi Gambar dan Film Flora Sunda (Akar, Umbi,
Batang, Daun, Bunga, Buah (Penelitian DIKTI). Bandung: UPI.
Kartawinata, K. & Qunli, H. (2005). “Unesco dan Pengembangan Taxonomi
di Indonesia.” Lokakarya, Seminar nasional dan Kongres Penggalang
taksonomi Tumbuhan Indonesia, 17-19 November.
Kunto, Haryoto. 1983. Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia.
Koentjaraningrat. 1993 (cet ke-16). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Nuryani R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri
Malang.
NRC (National Research Council). (1996). National Science Education Standards.
Washington: National Academy Press.
Rustaman, N. Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri
dalam Pendidikan Sains. Makalah Seminar Nasional II HISPIPAI. Bandung,
22-23 Juli.
Rustaman, N. Y. (2006). Penilaian Otentik (Authentic Assessment) dan
Penerapannya dalam Pendidikan sains. Makalah
Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans: Scientific Literacy.
New York: Oxford University Press.
Tim. 2007. Sundalana 6 (Jurnal): Menyelamatkan Alam Sunda. Pusat Studi
Sunda.
WRI, IUCN, & UNEP. (1995). Strategi Keanekaragaman hayati Global. Jakarta:
Gramedia.
343
UDYOGAPARWA:
RESEPSI DAN TRANSFORMASI TEKS
Darmoko
Universitas Indonesia, Jakarta
A. PENDAHULUAN
344
membantu Sugriwa untuk memperoleh kerajaan dan isterinya.
Kiskinda digempur , Walin terbunuh, Sugriwa menjadi raja dan
Anggada anaknya menjadi putra mahkota.
Sundarakanda Anoman mendaki gunung mahendra,
menyeberang lautan, dan tiba di Langka. Ia menemukan Sita, dan
mengabarkan Rama akan datang. Ia membakar kota.
Utarakanda=Sepertiga lanjutan kisah Rama, untuk memberikan
contoh yang sempurna Sita diusir dari istana. Sita tiba di pertapaan
Walmiki. Di pertapaan Sita melahirkan Kusa dan Lawa. Rama
mengadakan aswameda hadirlah Kusa dan Lawa. Walmiki
mengantarkan Sita ke istana, jika tidak suci raganya jangan diterima
bumi, buni trerbelah dan muncul Dewi Pertiwi di atas singgasana
emas didukung ular naga. Sita dipeluk dan dibawa ke dalam bumi.
Kitab ini terdiri dari 18 jilid (parwa) yang digubah dalam bentuk
syair sebanyak 100000 sloka, cerita pokoknya terdiri dari 24000 sloka
menceritakan peperangan sengit selama 18 hari antara Pandawa dan
Kurawa. Kitab ini dikarang oleh Wyasa Krsna Dwaipayana hidup
pada zaman brahnmana dan dikumpulkan sejak 400 SM sampai 400
Sesud M.
Adiparwa=Raja Santanu mempunyai anak laki-laki bernama
Bhisma, jatuh cinta kepada Satyawati, dan mau dikawin kalau anak dari
keturunannya menjadi raja. Bhisma melepaskan haknya sebagai raja
dan bersumpah tdk akan beristri. Perkawinan Santanu dan Satyawati
melahirkan Citranggada (mati muda) dan Wicitrawirya (menggantikan
Santanu sbg raja Hastina). Wicitrawirya mati tanpa mempunyai anak.
Satyawati minta Bhisma mengawini janda Wicitrawirya, Ambika dan
Ambalika. Satyawati pernah kawin dengan Parasara, dan punya anak
bernama Wyasa. Wyasa mengawini dua janda Wicitrawirya. Dari
ambika, Wyasa berputra Destrarastra yang buta, dan dari Ambalika
berputra Pandu. Karena Destarastra buta, Pandulah yang bertahta
di Hastina. Destarastra kawin dengan Gandhari berputra 100 orang,
yang tertua Duryodhana, mereka keturunan Kuru disebut Kaurawa/
Kurawa. Pandu kawin dengan Kunti, berputra Yudhistira, Bhima,
dan Arjuna; dan kawin dengan Madri berputra Nakula dan Sadewa.
Kelima putra Pandu disebut Pandawa. Pandu meninggal Destarastra
terpaksa meraja. Kaurawa dan Pandawa serta Aswatama dan Karna
diasuh bersama di Hastina dibawah dua pendeta Krpa dan Drona.
Destarastra menenrtuan Yudhistira sebagai calon raja, karena unggul
segalanya. Kaurawa iri hati maka berusaha mengadakan tipu muslihat
membunuh para Pandawa, namun usaha itu gagal. Pandawa berhasil
mendapatkan Drupadi, anak raja Drupada dari pancala dalam sebuah
345
swayamwara, ini menambah iri hati para Kaurawa. Kaurawa bersedia
memberikan separo negeri yang tandus . Pandawa membuat istana
baru disebut Indraprastha.
Sabhaparwa=Kaurawa selalu mencari akal untuk membinasakan
Pandawa. Kaurawa mengundang Pandawa bermain dadu, Yudhistira
kalah sampai dirinya sendiri ditaruhkan. Atas usaha Destarastra
Pandawa bebas. Kedua kali Pandawa diundang bermain dadu. Yang
kalah diasingkan 12 tahun tahun ke-13 kembali ke masyarakat tetapi
tidak boleh dikenal orang, tahun ke-14 kembali ke istana. Pandawa
kalah lagi, 13 tahun menjakani pembuangan, Draupadi turut serta.
Wanaparwa=Pengalam Pandawa selama 12 tahun di tengah hutan.
Wyasa memberi saran agar arjuna bertapa di Himalaya, memohon
senjata dewata menghadapi Kaurawa kelak (Arjunawiwaha).
Wirataparwa=Tahun ke-13 Pandawa keluar dari hutan, di kerajaan
Wirata, diterima bekerja di istana raja Drupada, Yudhistira ahli dadu,
Bhima juru masak, Arjuna guru tari, Nakula penjunak kuda, Sahadewa
sebagai gembala, dan Drupadi juru rias.
346
Sauptikaparwa=Aswattama tidak dapat menahan dendamnya
terhadap tentara Pancala, ia menyusup pada malam hari untuk
bertempur (hari ke-18), Dhrstadyumna berhasil dibunuhnya beserta
banyak tentara Pancala. Esokharinya ia terkejar oleh Arjuna, bertempur,
Wyasa dan Arjuna menyelesaikan pertempuran itu, Aswattama
menyerahkan senjata dan kesaktiannya lalu mengundurkan diri
sebagai pertapa.
Striparwa=Bermacam cerita dirangkai sebagai wejangan tentang
kebatinan dan kewajiban raja ditujukan kepada Yudhistira.
Santiparwa=Bermacam cerita dirangkai sebagai wejangan tentang
kebatinan dan kewajiban raja ditujukan kepada Yudhistira.
Anusasanaparwa=Yudhistira melaksanakan Aswamedha, seekor
kuda dilepaskan diikuti oleh Arjuna dan sepasukan tentara, selama
satu tahun kuda mengembara, tiap jengkal tanah menjadi kekuasaan
Yudhistira. Banyak raja yang menentang, mereka ditaklukkan oleh
Arjuna.
Aswamedikaparwa=Dhrstarastra dan istri beserta Kunti menarik
diri ke tengah hutan menjadi pertapa. Tiga tahun kemudian mereka
mati terbakar oleh api saji Dhrtarastra.
Asramawasikaparwa=Musnahnya kerajaan Krsna akibat perang
saudara di antara kaum yadawa, rakyat Krsna. Baladewa mati dan
Krsna menarik diri ke dalam hutan dan mati terbunuh tidak sengaja
oleh seorang pemburu.
Mausalaparwa=Musnahnya kerajaan Krsna akibat perang
saudara di antara kaum yadawa, rakyat Krsna. Baladewa mati dan
Krsna menarik diri ke dalam hutan dan mati terbunuh tidak sengaja
oleh seorang pemburu.
Mahaprasthanikaparwa=Pandawa mengundurkan diri dari
dunia ramai, setelah mahkota diserahkan Pariksit, anak Abhimanyu.
Pengembaraan di hutan, draupadi meninggal, Sahadewa, Nakula,
arjuna, Bhima. Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang mengikuti
Pandawa dalam pengembaraan. Dewa Indra menjemput Yudhistira ke
surga. Yudhistira menolak kalau anjing tidak diikutsertakan. Anjing
berubah menjadi dewa Dharma, Yudhistira dibawa ke Indraloka.
Swargarohanaparwa=Pandawa setelah mengalami pembersihan
jiwa di neraka untuk beberapa lama, kemudian ke surga. Para Kurawa
semula di surga dan berganti dimasukkan di neraka untuk masa yang
tidak tertentu.
Telah disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna, Ramayana pada akhir
abad ke-9 dalam bentuk kakawin dengan bahasa yang sangat indah,
Mahabharata pada akhir abad ke-10 dalam bentuk gancaran yang
347
diringkas. Dari sekian parwa hanya beberapa sampai kepada kita,
diantaranya menyebut nama Dharmawangsa (996 M)= wirataparwa.
348
yang dimaksud dengan transformasi teks yaitu perubahan bentuk
maupun nilai dari yang lama menjadi yang baru. Kitab Udyogaparwa
telah diresepsi oleh berbagai pengarang sehingga dalam perjalanan
teks ia mengalami perubahan, baik bentuk maupun nilai. Di dalam
khazanah perwayangan dan pedalangan terdapat lakon Kresna Gugah
dan Kresna Duta (lihat lampiran). Pada proses terbentuknya teks baru
Udyogaparwa mengalami resepsi yang mengakibatkan transformasi
teks. Untukj mendapatkan pemahaman mengapa terjadi teks yang
baru maka perlu mengadakan intertekstualitas (membandingkan
teks lama dengan yang baru) baik dalam kerangka sinkronis maupun
diakronis/ teks yang sezaman atau antar zaman.
Di sini dapat diamati kutipan dari P.J. Zoetmulder tentang
Udyogaparwa edisi Jawa kuno apa bila dibandingkan dengan teks-
teks Jawa Baru dari Subalidinata dan lain-lain. Perubahan terjadi dari
satu naskah prosa Jawa Kuno menjadi dua lakon/ cerita yaitu Kresna
Gugah dan Kresna Duta. Proses penggubahan teks dari udyogaparwa
ke dalam bentuk yang baru menjadi lakon balungan maupun lakon
jangkep, baik lakon pokok maupun lakon carangan.
Pengarang Kresna Gugah dan kresna Duta sudah barang tentu
mengadakan proses pembacaan dan pemahaman terhadap teks lama
yang ada. Sejauh mana pemahaman itu tergantung dari pengalaman
intelektual selama ini dan latar belakang kebudayaan yang dikuasai dan
dialami. Misalnya apakah suatu sistem nilai lama akan dipertahankan
atau tidak, bentuk mungkin huruf dan bahasa juga merupakan aspek
yang menjadi perhatian reseptor. Sengaja akan diubah atau terdapat
kesalahan baca, karena kurangnya wawasan budaya dan intelektualm
tersebut.
Proses penyesuaian nilai-nilai budaya terjadi jika nilai-nilai
budaya lama sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Kecerdasan
lokal perlu dihargai sebagai suatu usaha untuk menggarap atau
menggubah karya sastra baru berdasarkan karya sastra yang telah
ada pada masa lalu. Nilai-nilai kekinian juga terlihat dikembangkan
pada usaha masyarakat untuk menggubah ke dalam wahana yang
baru (alih wahana). Kasus pementasan Kresna Duta pada Dies Natalis
UI 2007 dengan mementaskan wayang lakon Kresna Duta berbahasa
Indonesia, sebagai usaha untuk menyelaraskan dengan keadaan
sekarang. Reaktualisasi dan usaha relevansi pola pikir yang dinamis,
efisien, dan efektif merupakan perubahan dari masyarakat yang
tadinya memiliki pola pikir tradisional agraris.
Nilai-nilai lama yang dipertahankan pada kasus Udyogaparwa,
antara lain konsep mengenai triwikrama dan peristiwa perebutan
349
Kresna oleh Duryudana dan Arjuna. Tetapi pada wayang terlihat
beberapa kreativitas pengarang muncul seperti konsep mengenai
ngraga sukma atau pecat sukma tinggal raga. Pada lakon Kresna Gugah,
sukma Kresna menghadap Batara Guru dan sukma Arjuna menyusul
kakaknya Kresna itu ke Kahyangan.
Pada Udyogaparwa disinggung juga mengenai Prabu drupada
yang diutus Pandawa agar keduabelah pihak anatara Pandawa dan
Kurawa berdamai. Di dalam perjalanan teks berikutnya kecuali
tumbuh berkembang lakon Drupada Duta, juga Kunti Duta, namun
pada Udyogaparwa tidak demikian kentara.
Kresna Duta disebutkan baik pada Udyogaparwa maupun
lakon-lakon maupun kisah-kisah pada masa Jawa Baru. Alih wahana
dari udyogaparwa yang prosa Jawa Kuno itu ke dalam lakon wayang
orang (Sekar Budaya Nusantara).
C. Simpulan
Proses resepsi teks memunculkan transformasi teks. Proses
resepsi dilakukan oleh para pujangga, sastrawan, maupun dengan
melakukan pembacaan (understanding) terhadap teks-teks yang sudah
ada, baik secara sinkronis maupun diakronis dan di dalam pembacaan
itu terdapat interpretasi terhadap isi teks (etika dan estetika) sehingga
muncullah teks dalam bentuk gubahan baru. Munculnya teks dalam
bentuk gubahan baru itu membuktikan adanya transformasi budaya
(kasus pada Udyogaparwa). Udyogaparwa telah diresepsi oleh para
pujangga/ pengarang Jawa Baru, sehingga terjadilah penafsiran baru
dan muncullah karya baru seperti lakon/kisah Kresna Gugah dan
Kresna Duta, dalam berbagai teks dan wahana.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Cipto Prawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Darmoko. 1998. Wahyu dalam Lakon Wayang Kulit Purwa. Depok: FSUI.
...............1999. Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: FSUI
Feinstein, Alan, dkk. 1985. Lakon Carangan dalam Wayang Kulit Jawa. Yogyakarta:
Javanologi.
Hazeu, G.A.J. 1979. Kawruh Asal-Usulipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan
Agami Ing Jaman Kina. Jakarta: Departemen P dan K.
Grounendael, Clara van V.M, 1974. Dalang Dibalik Wayang. Jakarta: PN Balai
Pustaka
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kepribadian Indonesia dan Pancasila. Jakarta:
350
UI Press.
Hardjowirogo, 1965. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta PN Balai Pustaka.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau. Jakarta: Gunung Agung.
Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta:
Gunung agung.
...................... 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan.
Seno Sasto Amidjojo, R.A. 1964. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit.
Jakarta: Kinta.
Soebadio, Haryati. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Penyunting
Ayatrohaedi. Jakarta Dunia Pustaka Jaya.
Suseno, Franz Magnis. 1982. Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang
Pembangunan Nasional.
Sukmono, R. 1993. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid II. Jakarta: Kanisius.
Wibisono, Singgih. 1983. “Wayang Sebagai Sarana Komunikasi” dalam Seni
dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Subalidinata, RS. 2010. Jati Diri Kepemimpinan Kresna. Oleh wayang dalam Jati diri
Kresna.
351
DANG HYANG NIRARTHA DALAM TEKS
LONTAR PANITI GAMA TIRTHA PAWITRA
ANALISIS RESEPSI
1.Pendahuluan
352
yaitu: weda/puja (mantram suci), adnyana (kekuatan batin), banten
(sarana upacara), dan tirtha (air suci).
Sebagaimana kita maklumi, pustaka lontar yang mengisahkan
perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dalam mengemban dan
menyelamtkan agama Hindu jamak kita ketahui dalam model pustaka
lontar Dwijendra Tattwa. Pustaka lontar Dwijendra Tattwa dengan kisah
utamanya, menjelaskan perjalanan keibadatan untuk tugas suci
keagamaan (dharmayatra) tokoh religio-magis Dang Hyang Dwijendra
pada zamannya. Banyak karya monumental yang dihasilkan oleh Dang
Hyang (guru suci) Dwijendra (raja pendeta/pendeta agung) untuk
membina umat-Nya, seperti bangunan suci (pura) yang tersebar luas
di Pulau Bali, Lombok, dan hingga ke Sumbawa. Dang Hyang Nirartha
juga pencipta karya-karya sastra, filsafat-keagamaan, pertanian,
keamanan, diplomasi politik, dan yang lainnya yang diajarkan pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460--1550M). Teks
Dwijwndra Tattwa mengungkap latar belakang sejarah pendirian pura-
pura dang kahyangan di Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa, hasil karya
sastra Bali tradisional beserta nama-nama pangawi atau pengarangnya,
demikian pula nilai-nilai religiusitas, kehidupan sosial, pertanian, dan
kemanusiaan lainnya yang sangat relevan, bukan saja pada zamannya,
melainkan juga pada zaman ini.
Teori Resepsi memberi penampang historik horizon harapan
atau ruang pemahaman pembaca yang lebih luas dan terbuka untuk
menjelaskan keberadaan Dang Hyang Nirartha. Horison harapan yang
dibangun atas pembacaan terhadap teks-teks, setelah terakumulasi
secara lengkap memberi tingkat persepsi pembacaan yang lebih baik
dan lebih tinggi. Kisah Dang Hyang Nirartha tidak berhenti pada
teks Dwijendra Tattwa semata, tetapi masuk pada beragam teks karya-
karya tulis penyambutnya. Karya-karya tulis sebagai teks penyambut
yang mewakli ruang pembaca ini, sejalan dengan ketujuh tesis teori
estetika resepsi sastra Jaus (1983:20--23). Dalam konteks inilah penulis
menghadirkan teks lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, sebagai salah
satu lontar penyambut dharmayatra Dang Hyang Nirartha dalam
menjalankan dharma seorang guru suci (dang hyang) di Nusantara,
khususnya dari Jawa ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Latar belakang
masalah yang diketengahkan, menyambut pertanyaan: 1) Siapa itu
Dang Hyang Nirartha itu ?; dan 2) bagaimana teks lontar Paniti Gama
Tirtha Pawitra memaknai dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang
Nirartha sebagai guru suci ?
353
2. Dang Hyang Nirartha Keturunan Purohita Majapahit
Dalam konteks sejarah sosial dan peradaban nusantara, sejarahwan
Soekmono mencatat bahwa Dang Hyang Mpu Pradah, kakek buyut
Dang Hyang Nirartha adalah purohita (bagawanta/pendeta kerajaan) Raja
Airlangga (Sri Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramatunggadewa) di Jawa Timur tahun 1019--1042 Masehi.
Dang Hyang Mpu Pradah di samping berhasil mengarang Kakawin
Bomakawya beliau juga berhasil mencegah perseteruan putra raja
Airlangga dengan membagi kerajaan pada tahun 1041 Masehi menjadi
dua, yaitu Jenggala (Singhasari) dengan ibu kotanya Kahuripan dan
Panjalu (Kadiri) dengan ibu kotanya Daha (1981:57). Dang Hyang Mpu
Pradah dalam Babad Brahmanawangsa Tattwa (13b) dan Piagem Mpu
Pradah (7a) disebut-sebut sebagai pendeta sakti dan menjadi penerang
kehidupan kerajaan dan masyarakat luas. Mpu Pradah adalah seorang
purohita kerajaan yang memiliki pengetahuan dan kecakapan lebih.
Dang Hyang Mpu Pradah dalam Babad Brahmanawangsa Tattwa juga
diberi gelar Sri Pradah atau Dang Hyang Mpu Srangan (14a).
Kepuruhitaan Dang Hyang Mpu Pradah dilanjutkan oleh
putranya, yaitu Dang Hyang Mpu Bahula dengan gelar Sri Bahula
Candra. Sang Pendeta ini disebut-sebut memiliki ilmu pengetahuan
yang utama. Bahula artinya ‘utama’. Kecakapan Mpu Bahula sama
dengan kecakapan ayahandanya. Bersama dengan Dang Hyang
Mpu Pradah berhasil mengusir dan mengalahkan anasir jahat yang
disebarluaskan oleh Walu Nateng Dirah di Daha dan Kahuripan. Dang
Hyang Mpu Bahula Candra pada waktu mudanya bernama Sang Kula
Wana (Babad Brahmanawangsa Tatwa, l0a).
Putra Dang Hyang Bahula Candra adalah Dang Hyang Mpu
Tantular. Beliau juga bergelar Dang Hyang Angsoka Natha atau Sri
Angsoka Natha. Babad Brahmanawangsa Tattwa (I0b), Piagem Dang
Hyang Nirartha (12a), dan Babad Dalem (3b) menyebut-nyebut bahwa
kepandaian dan kecakapan Dang Hyang Mpu Tantular tidak ada
yang mampu menirunya: putus ing sarwwa ajnyana, tan tularen putus
ing kapandhitan ira. Wagmi maya sira, inaranan Dang Hyang Mpu
Tantular, apan tan keneng tiniru kaparamarthan ing ajnyanan ira (Babad
Dalem, 3b), pandai dalam segala ilmu pengetahuan, tidak tertirukan
keahlian beliau dalam ilmu kependetaan, perkataannya sangat
bertuah, diberi nama Dang Hyang Mpu Tantular di masyarakat,
sebab tidak tertirukan keluhuran budi dan batin beliau. Babad Dalem
(3b) menyatakan bahwa kemasyuran Dang Hyang Mpu Tantular di
masyarakat tak terkatakan dan beliau sangat terampil: tan wuwusen
kasteswaryyanira ring loka, ginakara. Dang Hyang Mpu Tantular telah
354
berhasil mengarang Kakawin Sutasoma yang terkenal, Kakawin Arjuna
Wijaya yang indah, dan Kidung Kaki Twa yang filosofis. Beliau adalah
padiksyan (pendeta kerajaan) di kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit dalam karya susastra kawi dikenal dengan
nama Wilwatikta berdiri megah. Kepurohitaan Dang Hyang Mpu
Tantular di Majapahit dilanjutkan oleh putranya, yaitu Dang Hyang
Asmaranatha. Dang Hyang Asmaranatha disebukan sebagai dedukun
(membidani) saat Hayam Wuruk lahir dari rahim Ibunda Ratu
Kusuma Wardani dan beliau sendiri juga padiksyan (bagawanta) ketika
Sri Hayam Wuruk berada di atas kemegahan singgasana kerajaannya
(Babad Brahmanawangsa Tattwa, 11b). Beliau berputra dua orang, yaitu
Dang Hyang Angsoka dan Dang Hyang Nirartha (Dwijendra). Kedua
putra inilah yang melanjutkan tradisi keagamaan Siwa-Budha. Putra
Dang Hyang Angsoka, yaitu Dang Hyang Astapaka melanjutkan tradisi
Budha Bajrayana (Sogata) dan Dang Hyang Dwijendra terutama para
putranya meneruskan tradisi Siwa Sidantha dari Jawa ke Bali.
Babad Bahmana Wangsa Tattwa (l0b) menyebutkan bahwa sira
Dang Hyang Nirartha, hari Mpu Angsoka, hatisaya kamahatmiatning
kasteswaryanira, wus kalumbrah prabawanira ring loka; `beliau Dang Hyang
Nirartha, adik Mpu Angsoka, luar biasa wibawa dan keluhuran bathin
beliau, sudah terkenal kemuliaan beliau di dunia`. Keluhuran dan
kemuliaan bathin Dang Hyang Nirartha dikenal luas oleh masyarakat
pada zamannya. Babad Dalem (28b) menyebutkan bahwa kesucian
batin Dang Hyang Nirartha disetarakan dengan kesucian bathin Mpu
Lohgawe, kalumbrah sang pandhya maring Gelgel, yan hana wiku sakti
kadi Lohgawe. Berkat kebesaran dan kesucian bathin ini, Dang Hyang
Dwijendra dijuluki dengan banyak nama, antara lain Mpu Nirartha,
Batara Parama Nirartha, Pranda Sakti Wawu Rawuh, Batara Sakti
Wawu Dateng, Bagawan Dwijendra, Dang Hyang Dwijendra, Pangeran
Sangupati, Tuan Semeru, Mpu Kupa (Supa), dan Mpu Arthati (Babad
Brahmana Wangsa Tattwa, 14a).
Keesaan filsafat Siwa-Budha sebagai kesadaran purba terhadap
adanya multikulturalisme, sesungguhnya telah dianut oleh kakek
Dang Hyang Nirartha, yaitu Dang Hyang Mpu Tantular, sebagaimana
diajarkan dalam mahakawinya, Kakawin Sutasoma. Hyang Buddha tan
pahi Siwa rajadewa. Rwaneka dhatu winuwus, wara Buddha wiswa, bhinneki
rakwa ring apan kena parwwa nosen, mangka jinatwa lawan siwatatwa
tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (120a). ‘Tuhan
Buddha tidak berbeda dengan Tuhan Siwa, Mahadewa di antara para
dewata. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur, Buddha
yang mulia adalah kesemestaan. Bagaimana beliau yang boleh
355
dikatakan tak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua
sebab jiwa Jina dan Siwa adalah satu, memiliki ciri berlainan, tetapi
adalah satu. Dalam hukum agama tidak ada yang dualisme’.
Dwijendra Tattwa, Babad Dharma Yatra Dang Hyang Dwijendra,
dan Babad Brahmanawangsa Tatwa secara seragam menjelaskan situasi
zaman pada masa kehidupan Dang Hyang Nirartha. Pada saat Dang
Hyang Nirartha tinggal di Greha Mas Daha, Pulau Jawa diberitakan
mengalami kekacauan. Di sana-sini terjadi perkelahian dan
pembunuhan. Setiap orang yang mendengar bunyi suwung-suwung
(sunyi) seketika mati. Pada masa itu agama Islam masuk dan mulai
berkuasa di Pulau Jawa. Orang Jawa yang masih taat pada agama
lamanya, yaitu orang Majapahit banyak yang pindah ke Pasuruhan,
Tengger, dan Blambangan, kemudian ada yang menyeberang ke Bali.
Bersamaan dengan situasi itulah Dang Hyang Dwijendra pindah ke
Daha untuk menyelamatkan agama Hindu-Majapahit yang diikuti
oleh para putranya (Dwijendra Tattwa,2b).
Prakampan jaga, yaitu perubahan besar-besaran dan sangat
mendasar terjadi atas Pulau Jawa. Agama Hindu Jawa Majapahit
terdesak oleh agama Islam yang dibawa oleh orang Tionghoa dari
daerah Yunan pada masa dinasti Ming di daratan Tiongkok. Perlahan
namun pasti, akhirnya, kerajaan Majapahit dijatuhkan dari dalam
dan diserang dengan kekuatan senjata oleh Kerajaan Demak Islam di
bawah raja Jin Bun (Raden Patah) yang berdarah campuran Majapahit
(Wirabhumi) dengan Muslim Tionghoa, putri Babah Bantong (Slamet
Mulyana, 2006:189). Peristiwa jatuhnya Majapahit terjadi pada tahun
1478 M, sedangkan lenyapnya Kerajaan Majapahit dari peta sejarah
terjadi pada tahun 1527. Peristiwa musnahnya kerajaan Majapahit dari
permukaan bumi, menurut Slamet Mulyana, dibumihanguskan oleh
tentara Demak di bawah pimpinan Toh A Bo, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarif Hidayatullah karena Ranawijaya Girindrawardhana, raja
terakhir kerajaan Majapahit, mengadakan hubungan dagang dengan
orang-orang Portugis, musuh utama Kerajaan Islam Demak. Semenjak
itu Kerajaan Majapahit terpendam dalam abu sejarah (2006:189--192).
Semenjak kejatuhan Kerajaan Majapahit, sekitar tahun 1478
Masehi, banyak masyarakat Majapahit yang menyingkir ke tempat-
tempat yang dianggap aman. Ada yang menyingkir ke pegunungan
Tengger dan ada juga yang menyeberang ke Pulau Bali. Dari sejumlah
masyarakat yang menyingkir, terdapat juga pendeta kerajaan
Majapahit. Seorang pendeta kerajaan Majapahit yang menyingkir
ke Pulau Bali pada kurun waktu kejatuhan Majapahit adalah Dang
Hyang Nirartha. Beliau tiba dengan menginjakkan kaki pertama
356
di pantai Kapurancak. Kisah sejarah ini tercatat dalam Babad Dalem
(27b), yaitu pada tahun saka 1411 (eka tunggal catur bumi) atau tahun
1489 M. Buku Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali menerangkan
bahwa Dang Hyang Dwijendra berasal dari Daha (Kediri) Jawa Timur,
kemudian pindah ke Majapahit. Beliau hidup pada zaman Majapahit
akhir ketika pemerintahan Girindra Wardhana (1474--1519). Setelah
kerajaan Majapahit runtuh, Dang Hyang Dwijendra pindah menuju
Pasuruan terus pindah ke Blambangan, kemudian dari Blambangan
menuju Bali, turun di pantai Purancak (Ardana, 1987:68). Pustaka Raja
Purwa mencatat perpindahan Dang Hyang Dwijendra (Mpu Arthati)
ke pulau Bali setelah Majapahit jatuh ke tangan kerajaan Demak Islam
dengan membawa sejumlah karya susastra, termasuk karya yang
sedang dikarang (Simpen, 1987:57).
Peristiwa perubahan kehidupan di Jawa dari Hindu menjadi
Islam membuat pergolakan hebat di tengah masyarakat Jawa-
Majapahit. Ada masyarakat ikut raja menjadi penganut Agama
Islam yang taat, ada masyarakat memedomani ajaran kejawen, ada
yang menyusul leluhurnya ke pegunungan Tengger, dan ada yang
menyeberang ke Bali. Orang Majapahit yang tidak mau berubah
agama, banyak yang menjauhkan diri dari pusat-pusat persebaran
Islam, di antaranya terdapat juga para pendeta Majapahit. Salah satu
pendeta yang menjauhi kekuasaan kerajaan Islam Demak di bawah
raja Raden Patah (Raden Jinbun) itu adalah Dang Hyang Nirartha.
Peristiwa menjauhi pusat pemerintahan Islam Demak dan dharmaytara
Dang Hyang Nirartha ke Bali, Lombok, dan Sumbawa adalah langkah
penyelamatan Hindu Nusantara. Peristiwa kejatuhan Majapahit dan
pergantian keyakinan keagamaan di tanah Jawa terekam dalam teks
Dwijendra Tattwa (1b--2a).
Di sisi yang lain, perpindahan Dang Hyang Nirartha dari Jawa
ke Bali terdapat juga dalam kisah perumpamaan dari teks Dwijendra
Tattwa. Dikatakan bahwa Dang Hyang Nirartha berselisih paham
dengan Sri Dalem Juru yang sudah kena pengaruh dan masuk
agama Islam. Dikisahkan pula bahwa Dang Hyang Nirartha terkenal
memiliki bahu badan yang harum seperti keharuman bunga mawar.
Hal ini berkat kesucian dan ketinggian olah batin serta ketaatannya
pada pantangan-pantangan dalam makanan (bebratan). Bau harum
Sang Pendeta dapat mengharumkan bau tidak sedap orang lain
yang duduk bersebelahan dengan beliau. Hal ini dianggap oleh raja
Blambangan sebagai usaha Sang Pendeta mengguna-gunai orang lain,
terlebih lagi saudara perempuan raja. Dang Hyang Nirartha pun tak
mau berselisih paham terlalu lama. Karena sudah takdir, beliau pun
357
meninggalkan Blambangan dan menyeberang ke Bali bersama dengan
semua putra dan putrinya serta seorang istri, yaitu Sri Patni Keniten
(Dwijendra Tattwa, 3b--4a).
358
dulu Bendesa Mas menantikan seorang pendeta utama datang ke
Bali, saatnya terdengar berita bahwa seorang pendeta sakti baru
datang. Itu sebabnya dengan senang hati beliau bergegas berangkat
menuju desa Gading Wani menghadap Dang Hyang Nirartha. Tidak
dikisahkan perjalanan beliau di sepanjang jalan, telah sampai beliau di
desa Gading Wani yang ditujunya.
Dikisahkan Dang Hyang Nirartha sedang di hadap oleh para
putranya dan murid-muridnya, tidak ketinggalan Bendesa Gading
Wani, sujud bakti menghadap di bawah beliau Dang Hyang Nirartha.
Setelah datang Bendesa Mas beserta pengiringnya, sepuluh orang
jumlahnya berdatang sembah ke hadapan Dang Hyang Nirartha, yang
ketika itu Sang Pendeta di hadap oleh murid-murid beliau di luar
gedong.
Dang Hyang Nirartha menyapa kepada yang baru datang,
”Wahai kamu dari mana asalmu baru datang kepadaku? Katakan
kepadaku agar aku tahu mengenai kedatanganmu”. Segera menyaut
beliau yang ditanya, yaitu Bendesa Mas. ”Duhai Sang Pendeta Utama
junjungan hamba (Kakawin Dwijwndra Tattwa, 20b). Tiada lain hamba
yang tuan pendeta sapa ini adalah dari desa Mas. Kedatangan hamba
ke sini menghadap Tuan pendeta tiada lain, mohon Tuan Pendeta
untuk berkenan datang ke desa Mas. Ikhwalnya bahwa dari sejak
dulu hamba mengharap-harapkan, memohon kepada leluhur kami
agar didatangi orang seperti paduka pendeta, seluruh jiwa raga kami
serahkan kepada Tuan pendeta. Demikian hatur Bendesa Mas, suka
cita hati Dang Hyang Nirartha mendengarkan pengutaraan Bendesa
Mas yang tiada hentinya menghaturkan sujud bakti. Saat itu Sang
Pendeta menganugerahinya. Pada saat itu pula Dang Hyang Nirartha
mengutarakan mengenai keberadaan Bendesa Gading Wani, kata
beliau, ”Itu muridku Ki bendesa Gading Wani dengarkan permintaanku
sekarang. Sekarang kamu bersama aku minta memelihara parhyangan
Batari Uma Parwati (Kakawin Dwijwndra Tattwa,21a.) yang bersemayam
di Pulaki, semua Paman yang ada ini ikut menyungsung putraku,
Dewi Wiraga di Pulaki menjadi Dewi Melanting.
Perhatikan juga perkataanku ini, ada delapan ribu orang,
penjelmaan mahkluk hina, dahulu yang telah aku ruwat menjadi
manusia, semuanya itu menjunjung putriku di Pulaki, sekarang
kamu paman Bendesa aku minta mengaturnya. Sekarang semuanya
akan aku musnahkan akan tidak kelihatan. Orang desa Pangametan
namanya sekarang, demikian petunjuk dari putra Dang Hyang
Samaranatha purohita Kerajaan Majapahit ini. Ki Bendesa menyembah
dan mengikuti segala permintaan Dang Hyang Nirartha.
359
Segeralah Dang Hyang Nirartha memusnahkan penduduk
desa Gading Wani, segera musnah tiada kelihatan wujudnya. Terasa
sunyi senyap hanya tampak tegalan yang dilihat oleh Ki Bendesa
Mas. Demikian mula kejadian itu disaksikan oleh semua pengiring
Ki Bendesa Mas. Setelah semua orang desa Gading Wani musnah,
kemudian Dang Hyang Nirartha berangkat menuju desa Mas
bersama semua putranya, diiringikan oleh Ki Bendesa Mas bersama
semua pengikutnya. Tiba-tiba di tengah perjalanan menjumpai kilat
berkilauan menyamba-nyambar di angkasa (21b) Suara guntur di langit
Utara hingga ke Selatan bergemuruh, hujan gerimis turun, disertai
hujan bunga yang mengeluarkan bau harum, suara samar-samar
didengar oleh Dang Hyang Nirartha. ”Cucuku sang putra Dang Hyang
Smaranatha dengarkan kataku ini. Aku ini Sang Hyang Dwijendra
bersabda kepadamu cucuku, baik-baiklah mendengarkannya. Sudah
tepat kedatanga cucuku ke Pulau Bali bersama keluarga, pertama-
tama anugerah dari Sang Hyang Mahadewa, keturunan dari Budha
(Jinakula) semula Ananda, sekarang Ananda menjadi penganut
Siwa (Bregu Wangsa) bersintesa dengan paham Budha (majinakula).
Sejatinya cucuku Siwa-Budha Dwijendra Siwa-Ludra, yang manakah
kewajiban Bregu (Siwa) adalah swadarma Bapak di langit (purusa/
bapa akasa) di langit, yaitu tiada tercemar, selalu mencipta keselamatan
dan kesucian, swadarma Buddha di bawah adalah ibu (pradana/meme
pretiwi) keutamaan purusa (pewaris/poros utama) sesungguhnya.
Karena penganut paham Siwa Budha, kini cucuku bernama Dwijendra.
Satu sebagaimana aku, kemudian mulai kini dan seterusnya disebut
Dang Hyang Dwijendra, demikian panugerahanku ketika berada
di kerajaan Bali. Menjadi Siwaning Bwana (guru rohaniah di dunia)
yang memberikan air kehidupan yang utama” (Kakawin Dwijwndra
Tattwa,22a.)
Demkian sabda Sang Hyang Dwijendra bergema di angkasa.
Dang Hyang Nirartha menghaturkan rasa syukur dan sembah bakti
ke hadapan-Nya. Sementara itu, keadaan langit kembali sepi tanpa
ada penyebabnya. Bersamaan dengan itu, Dang Hyang Nirartha
meneruskan perjalanan (Kakawin Dwijwndra Tattwa, 19b--22a).
Dalam buku Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, Perjalanan
Spiriual Menelisik Jejak Satrio Piningit, (2007) karangan Tri Budhi
Marhaen Darmawan-Nurahmad, sebuah karya mengkaji masalah-
masalah spiritual karya warisan leluhur Nusantara, Ramalan Joyoboyo,
Ramalan Ronggowarsito, Ramalan Sabda Palon Noyo Genggong, Serat
Darmogandul, dan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam buku ini jelas-jelas
ditunjuk dan disebut Dang Hyang Nirartha sejatinya adalah Sabda
360
Palon (Ismoyo) atau Batara Siwa yang menghidupi dan memberikan
jiwa kepada agama Siwa-Budha di Nusantara. Secara panjang lebar,
Nurahmad menjelaskan dan meyakinkan kepada pembacanya
bahwa tokoh Sabdo Palon itu adalah Dang Hyang Nirartha (60--79)
yang keberadaannya telah atau sedang mempersiapkan waktu turun
(ngawatara) kembali ke dunia untuk mahasemaya, perjanjian besarnya
itu. Sabda Palon tidak berkenan berganti agama menjadi agama
Islam.
Bait-bait teks Naskah Sabda Palon menjelaskan bahwa Sabda
Palon (Ismoyo) berpisah dengan Prabu Brawijaya untuk kembali ke
asal mulanya, Siwa Loka. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh
Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo.
Sabda Palon kembali ke asalnya, yaitu berwujud kultipasi Dewata, Sang
Hyang Siwa (Ismaya). Lamanya beliau berkultipasi 500 tahun. Sabda
Palon menyatakan bahwa janjinya akan datang lagi (ngawatara) ke
dunia (tanah Jawa penataran Nusantara) dengan tanda-tanda tertentu.
Dijelaskan tanda yang utama berupa muntahan lahar Gunung Merapi
ke arah Barat Daya. Baunya tidak sedap, kemudian diikuti berbagai
bencana lainnya. Itulah tanda Sabda Palon telah datang.
Pikiran Nurahmad seakan mengalir begitu saja, menjelaskan
kesejatian dan tanda-tanda kehadiran Sabda Palon ke dunia. Dinyatakan
bahwa setelah ia bersama gurunya menekuni dan memahami aneka
bacaan warisan leluhur Nusantara sebagai apa mereka sebut wangsit,
sampailah pada puncak penulisannya. Dari wangsit yang diterima
oleh bapak Budi Marhaen, Nurahmad menyebut sejatinya Sabda Palon
adalah seorang pendeta panasihat kerajaan Majapahit (Bagawanta/
Purohita), Prabu Brawijaya yang sakti mandra guna. Beliau tiada lain
adalah sejatinya Dang Hyang Nirartha/Mpu Dwijendra/Pedanda Sakti
Wawu Rawuh/Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu
(2007: 64 – 69).
Buku ”Menelisisk Jejak Satrio Piningit” menjelaskan pula bahwa
Dang Hyang Nirartha (Sabdo Palon) di kerajaan Majapahit adalah
putra Dang Hyang Asmaranatha dan cucu Mpu Tantular (Dang
Hyang Angsoka Natha). Mpu Tantularlah yang menyusun kakawin
Sutasoma yang di dalamnya tercantum kalimat ”Bhinneka Tunggal
Ika”. Dang Hyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha, kemudian
beralih menjadi pendeta Siwa. Beliau juga bernama Dang Hyang Mpu
Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang dikenal
sebagai seorang sastrawan yang agung (wiku pandita).
Nurahmad sebagai seorang sufi memetik teks Dwijendra Tattwa
karya IG.B. Sugriwa. Di dalam bukunya dijelaskan bahwa pada masa
361
kerajaan Majapahit di Jawa Timur ada seorang bagawan yang bernama
Dang Hyang Dwijendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang
sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual,
peningkatan kemakmuran, dan menanggulangan masalah-masalah
kehidupan. Beliau dikenal sebagai penyebar dan penyebaran ajaran
agama Hindu dengan nama Dharmayatra. Di Lombok beliau diberi
nama Tuan Semeru atau guru suci dari Semeru (nama sebuah gunung
di Jawa Timur).
Dengan kemampuan supranatural dan mata batinnya, beliau
melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa.
Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, tetapi tidak
mampu melawan kehendak Sang Pencipta yang ditandai dengan
berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam
runtuhnya kerajaan Majapahit, salah satunya adalah bencana alam
Pegunungan Anyar. Akhirnya, beliau mendapat petunjuk untuk
hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit,
yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah
ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan, kemudian pergi ke Blambangan.
Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari
Blambangan sekitar tahun saka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali
Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu
di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham
tripurusa, yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirartha
dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai
kemampuan supranatural yang membuat Dalem Waturenggong
sangat kagum sehingga Beliau diangkat menjadi bhagawanta (pendeta
kerajaan). Ketika Bali Dwipa mencapai zaman keemasan, semua
bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para
bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan,
prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/
klan disusun. Awig-awig desa pakraman dibuat, organisasi subak
ditumbuhkembangkan, dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain
itu, beliau mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung ataupun kakawin. Kini
karya-karya sastra yang bermutu tinggi itu masih tetap lestari dan
digunakan sebagai materi yang ditembangkan di masyarakat.
362
Melalui tuntunan pustaka-pustaka suci sebagai dasar monisme
relegiusitasnya, masyarakat Bali memperoleh impirasi yang tinggi
untuk mengolah hidup dan kehidupannya sehingga tercipta peradaban
luhur yang terwariskan dari generasi ke generasi. Inti kehidupan yang
hendak didambakan dalam lingkup penciptaan peradabannya itu
dimaknai agar lahir, hidup, dan matinya kelak dapat membuka jagat
lawangan, yaitu balik ke asal kembali kejati diri yang asli, menyatu
dengan Batara Siwa, yaitu Tuhan orang Bali sendiri.
Inilah cita-cita mulia manusia Bali itu. Ini pula yang membuat Bali
berbeda dengan dunia yang lainnya. Para pendeta dan kaum cerdik
pandai di Bali senantiasa mengabdi pada jalan peradaban adiluhung
ini. Tiada pernah absen memerhatikan, menghayati tanda-tanda
alam yang terjadi dan memaknainya secara lahir dan batin, mahayu-
hayuning buana, yaitu berperilaku mulia. Usaha secara sekala (nyata)
dan niskala (tak nyata) dikerjakan, diberikan korban suci, agar alam
sekala dan niskala berjalan harmonis yang pada gilirannya memberikan
kerahayuan jagat beserta isinya.
Sedari awal Bali terkenal karena kebudayaan. Selain itu, Bali
telah dikenal dari dulu sebagai tempat penyelamatan pembedaharaan
budaya lama, tempat susastra klasik itu tumbuh dan berkembang.
Peninggalan budaya dan warisan pustaka yang berupa lontar
kesusastraan, misalnya, tidak terwariskan begitu saja atau
”membeku” di musim dingin atau ”kekeringan” di musim kemarau.
Karya peninggalan nenek moyang itu dipelihara dan dikembangkan
agar memberi manfaat hidup. Karya-karya itu dibaca, dilagukan,
didiskusikan, dan dimaknai, kemudian dijadikan panduan nilai dalam
tatanan kehidupan sehari-hari. .
Masyarakat Bali yang senang dan pandai dalam tulis-menulis
di atas daun lontar, banyak dijumpai. Demikian pula sekaa pasantian,
pepaosan, dan sekaa kidung amatlah banyak jumlahnya hingga tidak
dapat dihitung jumlahnya yang pasti. Semua yang dijelaskan ini adalah
kondisi yang sangat baik untuk melestarikan dan mengembangkan
bahasa, aksara, sastra, atau peradaban Bali secara keseluruhan.
Seperti dipahaami susastra Bali telah hidup dan tumbuh sedari
masa pemerintahan Prabu Darmodayana Warmadewa tahun 990
Masehi. Sang raja inilah yang mengadakan ikatan persaudaraan
dengan para raja di tanah Jawa. Pada masa pemerintahan Prabu
Udayana bersama dengan permaisuruinya, yaitu Ratu Gunapriya
Dharmapatni (Mahendradatta) susastra Kawi sudah mulai dikenal di
Bali. Suatu karya susastra yang mendapat tempat terhormat, dijadikan
makuta mandita (mahkota budaya) yang selanjutnya mengantar pada
363
pertumbuhan susastra Bali klasik masa-masa berikutnya.
Pada masa pemerintahan yang berpusat di Gelgel, terutama pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460--1550), kesusastraan
Bali mengalami masa puncak kejayaannya. Masa-masa itu biasa pula
disebut masa-masa keemasan kerajaan Bali. Pada masa itu banyak
para pengarang atau pujanggga rakawi yang menciptakan karya-
karya sastra orisinal Bali Klasik. Dang Hyang Nirartha/Dwijendra
yang mengalih dari Pulau Jawa/Majapahit (1486 M) sedari awal
kedatangan beliau menapak tanah Purancak (kakisiking Bali Kulon)
telah mencipta peradaban, utamanya karya susastra. Demikian
pula, setelah dinobatkan sebagai bagawanta /purohita (pendeta
kerajaan), beliau banyak melahirkan karya-karya bermanfaat tinggi,
seperti karya puja pangastawa mantram pengantar upacara korban
suci dalam agama Hindu di Bali, mencipta sarana upacara/upakara,
menulis berbagai ajaran filsafat ketuhanan, mengarang berbagai
sangre susastra, seperti kidung dan kekawin. Banyak murid beliau
yang juga ikut memperkaya perbendaraan satra Bali Klasik itu, seperti
Kyayi Dawuh Bale Agung, Ki Gusti Pande Bhasa, Pangeran Telaga/Ida
Sakti Telaga/Ida Ender (putra Dang Hyang Nirartha yang lahir dari
ibu Patni Keniten, Blambangamn) dan yang lainnya.
Sebagai pribadi yang agung Dang Hyang Nirartha memiliki
persepsi dan kesucian yang tinggi dalam mengembangkan dan
menciptakan peradaban adiluhung atas Pulau Bali. Karya penting
yang terwariskan dan dijadikan umat mencari kedamaian hidup adalah
bangungan suci, yaitu banyak pura Dang Kahyangan yang didirikan
oleh Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali hingga ke Lombok dan
Sumbawa. Beliau adalah pengarang puja-puja prakirtanam, yaitu puja
pangastawa (memuliakan Tuhan dengan segala kebesarannya) beserta
sarana upakara (banten) korban suci yang disebut mahapancayajña.
Ringkasnya, dengan bukti karya beliau baik yang nyata, seperti
bangunan fisik maupun yang tidak nyata, seperti bangunan rohani
keagamaan, itulah yang menyebabkan dharmayatra, loka palasraya, loka
pala suci beliau terwariskan hingga hari ini. Masyarakat Bali, terlebih
para pedanda sangat menyucikan dan menghormatinya. Dengan
segenap kemampuannya para pedanda berusaha mengikuti jejak-jejak
Dang Hyang Nirartha dari dahulu hingga sekarang.
Secara singkat, dalam teks lontar Paniti Gama Tirta Pawitra
digambarkan bahwa Dang Hyang Nirartha pengemban pribadi
agung dari Batara Siwa di dunia. Beliau adalah tokoh sejarah yang
karismatik, sosok religius-magis, legenda kehidupan para pendeta
(pedanda) di Bali dan Lombok. Dang Hyang Nirartha sebagai tokoh
364
religio-magis yang banyak memberikan inspirasi terciptanya berbagai
simbol-simbol upacara agama yang menata kehidupan masyarakat
Bali dalam menjalani dunia fana dan tujuan akhir di akhirat.
Ajaran pokok Dang Hyang Nirartha di Bali adalah siwasidhanta,
yaitu memuja satu Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi/Parama Siwa) dalam
berbagai manifestasi-Nya. Formulasi keesaan Ida Sang Hyang Widi
berstana pada padma buana (bunga teratai tahta dunia semesta alam)
diwujudkan dalam bangunan padmasana yang terdapat di banyak pura
besar di Bali.
365
kaparabin Ida Twan Sumeru. Antuk i wong Arab kaparabin Imam Madhi. Yan
cara Cina kasambat Ida Wong Hundu. Yan di tanah Hindu Ida Sang Aji Saka.
Yan cara Belanda kaucapang Ida Hangsap Syasi. Krana di Bali Ida Kaparabin
Pedanda Wawu Rawuh, apan Ida panemben wikune, turun saking Swarga
ke Dunia memuat mreta urip jagate, tekaning ngrajegang. Wireh Ida dogen
wikune ane kalugraha lunga teka maring Swarga, krana ida sinanggeh kawitan,
ane kaastawa olih para wikune makejang di Bali. Di Sasak Ida kaparabin Mpu
Sangupati, apan Ida ngamong sangun jagate, asung urip muang kapatian jagate.
Yan ring Sum (50b) bawa/ Ida Tuwan Sumeru, apan Ida Sinanggeh meme
bapa dijagate, ane ngempuang saisin jagate, maka paraning sembah jagate.
Yan ring tanah Jawa, Ida Sang Hyang Nilartha, apan Ida anilar Kadewatan,
turun ka Martyaloka, kasiwi dening manusa loka makejang. Di tanah Arab
kasambatang Ida Imam Madhi, apan Ida manggeh sasakaning gumi, makadinne
maraga sangkan paran gumine makejang, mangrahayuan jagat makejang. Yan
ring Belanda maparab Hangsap Syasi apan Ida manggeh sasakaning gumi,
makadinne maraga sangkan paran gumine makejang. Di tanah Cina Ida inucap
Wong Hundhu, dening Ida magawe suka-duka di jagate, muang satata tan kena
turu muah rayunan, Ida ane suka wareg satata. Kalingane Ida ane jati luwih
nirmala suksma paramartha licin, /(51a) sing sidha pandeng swabhawan Idane
olih mata. Sabdan Ida tan sidha karungu dening koping, gandan Ida tan sidha
kaambu dening grana, tan sidha sambatang dening cangkem, pangadeg muang
rupa warnan Idane tan kena tuduhang dening tangan, maka palinggih Idane
apan kapituwiane dong ja Ida maangga manusa, sing ja dewa, dewata, dong ja
Batara, hyang, sing ja kala, bhuta, raksasa, pisaca, danawa, jim, setan, nora sato,
mina, manuk, taru, buku, trena, lata, gulma, sthawara janggama, dong ja Ida
bayu, sabda idhep, dong ja api yeh angin, dong ja tanah, langit, surya, lintang,
candra, tan rasa tan urip tan pati, Ida sing ja nyeneng sing ja seda. Nanging
yan awasang di pangisin jagate makejang, adanne ento sarwa endah, karungu,
karasa, kanten, kambu, ento makejang manyihnayang Ida ada ditu. Mungguing
Ida tuah jenek malinggih sik genah Idane kasi/ 51b) wi baan jagate makejang,
wireh Ida Siwan jagate makejang, wireh ujar sang putus, Ida tuah satata kairing
tur kaayahin baan manusane makejang tekaning sarwa tumitahe, sajagat Ida
nirthain setata karyan Ida nglukat, mresihin, mangentas, sane ngletuhin jagate
makejang, apanga pada maan karahayuan, ane idup tekaning ane mati, yadin
manusane ane tuara nawang Ida, yadin tan lingan teken Ida, masih pageh Ida
nirtain, asung pamretaning urip, sakewala jalmane ane tusing rungu teken Ida,
kasisipang salampah lakune amikul dosa, tur kapastu antuk Ida, matinnyane
dadi butha cuil, dadi reregeding gumi. Ento makasinah manusane sajagat
kawengku baan Gama Tirtha, kewala marasa teken kosinge, sara ja ditu.
Artinya:
Agama itu, itu sebenarnya sudah berada dalam diri, Tirtha adalah air,
tetapi tidaklah air yang diminum dan yang dipakai mandi. Tidaklah air
yang dipakai mandi. Tidaklah yang di sungai atau di pancuran. Tidaklah
air danau, tidaklah air laut, tidaklah air hujan, tidaklah air embun,
tidaklah itu adanya. Sebenarnya adalah tirthamretha, air kehidupan yang
dibawa turun yang dimanfaatkan sampai kelak kemudian hari, oleh
beliau Batara Wawu Rawuh yang disebut Ida Pedanda Wawu Rawuh
diutus oleh Batara Jagatnatha, Siwa, disebarkan dan dibagikan kepada
366
seluruh mahluk hidup agar semuanya menyongsong dan memuliakan
Tirtha itu menjadi penghilang segala kotoran di dunia nyata dan juga
menjadi saran kehidupan di bumi yang dibuat dan dipuja oleh semua
pendeta. Sebabnya Ida Pedanda membuat tirtha, sebab dari agama
adanya, sebab Ida Batara Wawu Rawuh sebagai wiku yang suci bersih,
tidak ada yang menyamai, beliau seorang raja wiku yang dibolehkan
turun dari Sorga. Itulah sebabnya di Bali disebut Padanda Wawu rawuh,
yaitu Tuhan yang baru datang. Kalau di Pulau Jawa beliau disebut Hyang
Nirlartha. Kalau di Sasak/Lombok beliau disebut Mpu Sangupati. Kalau
di Sumbawa beliau bergelar Tuwan Sumeru. Oleh orang Arab diberi
gelar Imam Madhi. Kalau cara Cina beliau disebut Wong Hundu. Kalau
di tanah Hindu, India beliau disebut Sang Aji Saka. Kalau cara Belanda
beliau disebut Hansap Syasi. Sebabnya di Bali beliau diberi gelar
Pedanda Wawu Rawuh, sebab beliau permulaan adanya pendeta turun
dari Sorga (Siwaloka) ke dunia membawa Amertha sebagai kehidupan di
dunia dan sampai mengukuhkan. Sebab beliau raja pendeta yang diberi
anugerah datang dan pergi ke sorga. Sebab beliau disebut asal mula
yang dimuliakan oleh para wiku di Bali. Di Sasak, Lombok Beliau diberi
gelar Pangeran Sangupati, sebab beliau memegang sangunya dunia,
memberi kehidupan dan kematian di bumi. Kalau di Sumbawa beliau
disebut Tuwan Sumeru, sebab beliau dianggap Ibu-Bapak di dunia, yang
mengasuh seisi dunia, sebab tujuan makhluk untuk menghaturkan
sembah bakti. Kalau di Pulau Jawa beliau disebut Sang Hyang Nilartha,
sebab beliau berpindah dari sorga turun ke bumi, dipuja oleh semua
manusia di bumi. Di tanah Arab beliau disebut Imam Madhi, sebab
beliau sebagai kekuatannya bumi, yaitu sebagai asal dan perginya segala
yang ada di bumi, karena beliau dengan ikhlas memberi kesejahteraan
di seluruh dunia. Kalau di Belanda, Beliau bernama Hansap Syasi,
sebab beliau ditetapkan sebagai kekuatan bumi, yaitu sebagai datang
dan perginya seluruh dunia. Di negeri Cina, belaiu disebut Wong
Hundhu, sebab beliau mengadakan suka dan duka di dunia, dan tidak
kena kantuk dan juga makanan, beliau yang selalu senang dan kenyang.
Kesimpulannya beliau yang benar-benar utama suci sunyi tercapai
tujuan yang utama tak dapat dirasakan, tidak dapat diwaspadai wajah
beliau dengan mata. Suara beliau tak sanggup didengar oleh telinga,
bau beliau tidak dapat dicium dengan hidung, tidak dapat diucapkan
dengan mulut, bentuk tubuh dan rupa warna beliau tidak dapat disentuh
dengan tangan, demikianlah bentuk beliau, sebenarnya beliau bukan
berwujud manusia, tidak juga dewa, dewata, tidak juga bhatara, Hyang,
tidak juga kala, bhuta, raksasa, pisaca, danawa, jin, setan, tidak binatang,
ikan, burung, pohon yang beruas, rumput, tumbuhan menjalar, semak
belukar, mineral, parasit. Beliau tidaklah tenaga, pikiran, tidak juga api,
air, angin, tidak juga tanah, langit, matahari bintang, bulan, tidak rasa,
tidaklah kehidupan dan kematian, Beliau tidak hidup juga tidak mati.
Akan tetapi, kalau diwaspadai dalam isinya seluruh bumi, adanya itu
adalah beraneka macam, yang dapat dilihat, dirasakan, terlihat, dihirup.
Itu semua sebagai ciri beliau ada di sana. Tentang beliau hanya diam dan
duduk pada diri-Nya dipuja oleh semua orang di bumi, sebab beliau
sebagai junjungan seluruh dunia. Sebab dikatakan oleh orang suci, Beliau
367
selalu diantar dan dilayani oleh manusia semua, sampai dengan segala
makhluk. Di seluruh dunia beliau yang memberi tirtha, air suci, kerja
beliau selalu ngulukat (meruwat), mresihin (membersihkan), mangentas
(memberikan tirtha untuk kematian), yang mengotori seluruh dunia,
supaya mendapatkan keselamatan, yang masih hidup ataupun yang
meninggal. Walaupun manusia yang tidak tahu dengan beliau, walaupun
tidak pernah ingat dengan beliau, juga sangat setia beliau memberikan
tirtha, dengan ikhlas memberikan air kehidupan. Akan tetapi, manusia
yang tidak hirau kepada beliau, disalahkan segala gerak-geriknya dan
pelaksanaannya memikul dosa, lagi pula dikutuk oleh beliau. Setelah
ia meninggal akan menjadi butha cuil (setan gentayangan), menjadi
kotoran dunia. Itulah sebabnya manusia diperintah oleh agama Tirtha,
tetapi merasa atau tidak, terserah di sana.
6. Kesimpulan
Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, adalah lontar yang menjelaskan
tata itiket melakukan dharma agama Siwa-Budha dalam model
pemaham peradaban relegi keagamaan di Bali pada zaman Gelgel.
Zaman di mana tumbuh dan berkembangnya peradaban Bali pada
puncak-puncak keemasannya. Semua segi kehidupan ditata dan
dikembangkan berdasarkan perspektif Bali. Istilah yang muncul
untuk peradaban ini adalah Kawi Bali, yaitu terciptanya bahasa supra
yang digunakan masyarakat beradab (rakawi) membahasakan satyam,
Siwam, Sundaram, yaitu ilmu pengetahuan, keagamaan, dan seni dalam
kehidupan lahir dan batin. Istilah yang sejalan dengan Kawi Bali,
yaitu Pa-Bali, titik balik dari pemahaman dan persepsi Bali, ilmu-ilmu
Bali. Peradaban yang ada di luarnya (dunia) disambut dan dicerna
mendalam dan dimaknai dengan persepsi yang tinggi dari perspektif
Bali yang maha surgawi. Penciptaan-demi penciptaan terjadi mengukiti
proses krativitas bangsa yang mahardika. Jiwa-jiwa mulia yang mulai
tumbuh dan bertumbuh, mencipta dan menciptakan aneka peradaban
yang dapat memenuhi jagat pikayunan, jagat pemikiran masyarakat
seutuhnya dan berkembang dalam aneka ranah kehidupan, lahir
dan bathin. Sebelum istilah Hindu diperkenalkan sebagai sebutan
agama Hindu, sebelumnya dipergunakan leksikon Gama Tirtha, yaitu
sebagaimana diamanatkan dalam lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra.
Teks Paniti Gama Tirtha Pawitra, berisikan ajaran keagamaan dari
guru suci Dang Hyang Nirartha/Dwijendra yang disarikan oleh para
kerohanian yang terwariskan sebagai sistem keagamaan Siwa-Budha
(Hindu Dharma) dalam perspektif Bali yang maha surgawi. Sistem
keagamaan yang suci murni, berlandaskan pada empat esensi sarana,
yaitu: weda/puja (mantram suci), adnyana (kekuatan batin), banten
(sarana upacara), dan tirtha (air suci).
368
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1953. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory The Critical
tradition. Ithaca New York: Cornell University.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Terjemahan oleh
Nurhadi dari Cultural Studies, Theory and Practice (2000). Yogyakarta:
Kreasi Wacana Yogyakarta.
Barthes, Roland. 1973. Mythologies. Paris: Paladin Frogmore, St Albans.
Barthes, Roland. 2003. Mitologi. Terjemahan oleh Christian Ly dari
Mythologies. Padang: Dian Aksara Press.
Berg, Cornelis Christian. 1927. De Middeljavaanche Historische Traditie.
(disertasi) Rotterdam: Mees-Santpoort.
........ 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.
Darmawan, Tri Budi Marhaen dan Nurahmad. 2007. Jalan Setapak Menuju
Nusantara Jaya, Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit.
Semarang: Cipta karya Multimedia.
Eco, Umberco. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana
University Press.
Fokkema, D.W dan Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in
the Twentiet Century: Structuralism Marxism Aeistheticsof Reception
Semiotics. C. Hurst & Company: London.
Gourdriaan T. dan C. Hooykaas. 2001. Stuti dan Stava: Mantra Para Pandita
Hindu di Bali (Bauddha, Śaiva dan Vaişņava). Terjemahan oleh I Made
Titibdari Stuti And Stava (Bauddha, Śaiva and Vaişņava) of Balinese
Brahman Priests.Denpasar: Pāramita.
Granoka, Ida Wayan Oka. Reinkarnasi Budaya. Pa-Bali, Titik Balik Memandang
Dunia Perspektif Bali Masa Depan. Denpasar: Mabhakti.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response.
The John Hopskin University Press: Baltimore London.
Jauss, Hans Robert.1983. Toward an Aesthetic of Reception. University
Minnesotta Press. Minneaspolis.
Kartodirdjo, Sartono. 1969. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.
........... 2001. Indonesian Historiography. Yogyakarta: Kanisius.
Kawuryan, Megandaru W. 2004. Tata Pemerintahan Negara Kertagama
Keraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka.
Kern, JHC dan Rassers, WH. 1982. Ciwa dan Buddha. Terjemahan oleh
Tim KITLV dan LIPI dari Ciwa En Boeddha in den Indischen Archiplel
(1926). Jakarta: Djambatan.
Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. Kakawin Usana Bali Karya Danghyang
Nirartha. Kuta Bali: Pustaka Larasan.
Mantra, I. B. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma
Sastra.
Matejka, Ladislav. 1976. Semiotics Of Art. Cambridge: Mass.
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan
Majapahit. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
........ 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara
Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Mulkham, Abdul Munir. 2002. Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa.
369
Jogyakarta: Bentang Budaya.
Pierce, Charles Sanders. 1940. The Philosophy of Pierce: Selected Writings.
(J. Buchler, editor). New York: Harcout.
Putra, Ida Bagus Rai. 1987. “Babad Dalem: Suatu Tinjauan Struktur-
Intertekstualitas”.(Sekripsi) Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
........ 2000. “Parama Dharma Dang Hyang Nirartha”, dalam Kusumanjali
Persembahan Kepada Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Yayasan
Dharmopadesa
........ 2000. “Dang Hyang Nirartha: Rakawi Zaman Keemasan Kraton
Gelgel di Bali”, dalam Kusumanjali Persembahan Kepada Dang Hyang
Nirartha. Denpasar: Yayaan Dharmopadesa.
........ 2006. “Rakawi Dang Hyang Dwijendra Sajroning Susastra Bali”.
Makalah Kongres Bahasa Bali VI. Denpasar: Panitia Pasamuhan
Agung Basa Bali VI, Oktober 2006.
........ 2007. “Bahasa Kawi Bali dalam Tekstualitas Dharmayatra Dang
Hyang Dwijendra”. Denpasar: Universitas Udayana.
Riffaterre, Michal. 1983. Semiotique de la poesie. Paris: Seuil.
Soedjatmoko, dkk. 1995. Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar.
(ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Tim Penyusun Sejarah Bali. 1985. “ Sejarah Bali”. Denpasar: Pemda Tk.
I Bali.
Tuuk H.N. van der. 1901. Kawi-Batineesch-Nederlandsch Woordenboek. 4
jilid. Mid 1 (1897); jilid 2 (1899); jilid 3 (1901) jilid 4 (1912). Batavia:
Landsdrukkerij.
Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan
Perkembangnya. Denpasar: Program Magiser Ilmu Agama dan
Kebudayaan Kerja sama dengan Penerbit Widya Dharma.
Sura, I Gde, dkk. 2005. Siwatattwa. Denpasar: Pengadaan Buku Penuntun
Agama Hindu, Provinsi Bali.
Vrede, Frans. 1979. “Pengantar Hakikat Filsafat Hindu Yang Abadi”.
Stensilan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. (2 jilid).
Grabenhage: Martinus Nihoff.
370
KAJIAN KAKAWIN NITICASTRA SEBAGAI
SALAH SATU SUMBER KEARIFAN LOKAL
DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
KARAKTER
Sang Ayu Putra Sriasih
Undiksha Singaraja
1. Pendahuluan
371
Aplikasi prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran
paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke
paradigma pembelajaran. Prinsip ini perlu diaktualisasikan di
masyarakat. Paradigma pembelajaran memberikan peran lebih banyak
bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas
dirinya dalam rangka membentuk manusia yang mempunyai
kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani,
serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan
paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar pendidikan yang meliputi
acuan filosofis, maupun acuan normatif baik yang bersifat kultural
maupun lingkungan strategis (Undang-Undang Sisdiknas No.20
tahun 2003).
Salah satu acuan yang berbasis budaya yang dapat digunakan
sebagai landasan pendidikan karakter terdapat pada kakawin
Niticastra, yang tidak asing lagi bagi penikmat sastra daerah di Bali
pada umumnya. Niticastra merupakan potret pandangan dan pedoman
hidup yang sangat universal dalam bersikap dan berperilaku.
Keuniversalan nilai-nilai ini perlu dikuak dalam meningkatkan
pendidikan karakater bangsa, terutama bagi peserta didik yang akan
menjadi penerus bangsa pada garda terdepan.
372
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber
daya manusianya. Usaha peningkatan sumber daya manusia merupakan
tanggung jawab pendidikan, baik formal maupun nonformal (Parmiti
dalam Tegeh, 2010). Pendidikan pada dasarnya adalah upaya untuk
mempersiapkan atau membekali sumber daya manusia yang memiliki
keahlian dan keterampilan sesuai dengan tuntutan pembangunan
bangsa (Sudiana dalam Tegeh, 2010). Jepang pun setelah Nagasaki
dan Hirosyima dibom atom segera bangkit kembali lewat pendidikan,
meskipun armada pertahanannya dalam hal ini para tentara banyak
yang tewas. Akan tetapi, jika guru masih ada maka dalam waktu
singkat mereka dapat berbenah diri. Dengan demikian, pembangunan
pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang handal
merupakan harga paten dan pemerintah telah bersungguh-sungguh
melakukannya. Dalam Tujuan Pendidikan Nasional dirumuskan
bahwa pendidikan bertujuan meninggatkan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Di samping itu,
pendidikan diharapkan mampu menanamkan sendi-sendi kehidupan
sehingga melahirkan manusia-manusia terdidik yang memiliki
kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial, dan kecerdasan secara
sosial, juga memiliki keterampilan, dan lain-lainnya.
Karakter dalam KBBI (2008:623) adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dengan orang
lain; sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris, Echols and Shadily
(1992:107), ”character” secara semantis berarti watak, karakter,
sifat. Pendapat lainnya, Amri, dkk. (2011:3) mengutip Depdiknas
menyatakan bahwa karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.
Dengan demikian, karakter merupakan penggambaran secara total
tentang sikap, perilaku, budi pekerti, kepribadian, personal seseorang
dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang menyangkut baik
maupun buruk.
Pendidikan karakter merupakan upaya mewujudkan amanat
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang dilatarbelakangi realitas
permasalahan kebangsaan yang carut-marut saat ini, seperti disorientasi
dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila. Di sisi lain, terdapat
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-
nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya
bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian
373
bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Karakter Bangsa 2010-
2025). Dengan demikian, pendidikan ternyata bukan hanya
membuat manusia pintar/cerdas tetapi yang lebih penting adalah
terwujudnya manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan
penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000:14,
yang di-posted, 8 November 2008) bahwa tujuan pendidikan bukan
hanya terbentuknya manusia yang terpelajar tetapi lebih daripada
itu, yakni manusia yang berbudaya (educated and civized human being)
dalam arti luas. Manusia berbudaya, dalam arti luas inilah yang
sesungguhnya merupakan produk dari pendidikan berkarakter yang
menjadi dambaan bangsa Indonesia di tengah-tengah terjangkitnya
berbagai krisis mulitidemensional. Lickona (dalam Trianto, 2010)
menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan
budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga itu pendidikan
karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus sistematis
dan berkelanjutan. Dari konsep itu, fungsi pendidikan karakter
sebenarnya dapat dirumuskan sbb. (1) mengembangkan potensi dasar
peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berprilaku baik;
(2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
dan saling menghormati; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang
kompetitif dalam pergaulan dunia.
Dari uraian di atas, pendidikan karakter sesungguhnya memiliki
skope yang sangat luas yakni mencakup segala pikiran, ucapan,
perilaku, sifat, kepribadian, moral yang mengarah pada kebaikan
dirinya dan kebaikan pada orang lain. Pendidikan karakter merupakan
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Jadi, konsep pendidikan karakter sangat-sangat ideal bila diterapkan
dalam mengantisipasi perkembangan global dan pembinaan mental
spriritual manusia Indonesia yang kian memudar.
374
antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain, atau intern
dimensi itu sendiri. Salah satu dimensi yang merupakan ujung tombak
manajerial pemberdayaan kehidupan adalah sumber daya manusia
(SDM). SDM masyarakat Indonesia inilah yang harus ditingkatkan
keimanannya dan perilaku baiknya sehingga dapat menumbuhkan
harmonisasi dalam era kesejagatan saat ini. Keragaman bangsa
Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lain-lainnya sejatinya juga
merujuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama,
kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa
lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan
menapaki kehidupan mereka (OPINI, Kompas, 17-12- 2011.
Kearifan lokal atau yang dalam bahasa Inggris dikonsepsikan
sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) merupakan pandangan,
pengetahuan, dan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh suatu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidup suatu masyarakat. (Kompas, 17-12-2011). Dalam Kompas
juga dipaparkan bahwa pembangunan yang cenderung mengejar
pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya mengakibatkan keajegan
kearifan lokal sebagai produk budaya yang telah sekian lama terbukti
efektif menjadi terabaikannya. Banyak bukti yang mendukung bahwa
kearifan lokal saat ini kurang memperhatikan kepentingan urgen yang
berpihak pada publik. Hal ini tercermin dari perilaku para pemegang
otoritas. Dalam implementasi kearifan lokal, yang dibutuhkan
sebenarnya adalah ’kepemimpinan dan keteladanan’. Hal ini sejalan
dengan pendapat Wahid, anggota DPR RI Komisi X dari FPKB
yang menegaskan bahwa sistem penanaman nilai yang ada dalam
pendidikan karakter itu tercermin dalam setiap langkah pemimpin
kita. Keteladanan pemimpin ini—dalam berbagai lini dan jenjang—
perlu juga secara integratif dipolakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan karakter. Para pemimpin ini perlu
menunjukkan eksistensi dirinya bahwa mereka mempunyai nilai-nilai
kearifan lokal yang dijadikan cermin oleh masyarakat dan itu perlu
diwujudkan dalam bentuk aksi bukan sekadar wacana/ life service.
Contoh: ungkapan/istilah Ajeg Bali, penerapannya tidak sejalan dengan
ucapannya. Di samping itu, kepentingan yang mengutamakan diri
sendiri, golongan tertentu, atau sekelompok orang dengan cara-cara
biadab bukan beradab merupakan pengingkaran terhadap kebenaran
nilai-nilai kearifan lokal, sehingga kerap memunculkan disharmonisasi
dalam proses pembangunan yang pada akhirnya menambah biaya
sosial (social cost) yang jauh lebih besar.
375
4. Kakawin sebagai Sebuah Aktivitas Seni
Bali banyak mewarisi khasanah budaya Jawa, terutama yang
terkait budaya sastra lisan maupun tulis. Budaya sastra lisan-tulis ini
tampak pada aneka budaya adiluhung, yakni aneka kakawin. Kakawin–
makakawin merupakan aktivitas membaca dengan melagukan teks
yang berbahasa kawi/Jawa Kuno yang disertai dengan penyampaian
artinya. Di samping itu, terdapat tembang-tembang (pupuh/macapat/
mocopat) yang sampai sekarang sangat eksis di seantero masyarakat
Bali yang juga sumbernya dari Jawa. Kakawin dan pupuh itu dalam
perkembangan selanjutnya telah termodifikasi sedemikian rupa
sesuai kepentingan dan kebutuhan masyarakat Bali (Hindu) tanpa
meninggalkan kaidah aslinya. Kakawin merupakan salah satu wujud
berkesenian. Jika ditengok sejarah, di Buleleng telah ditemukan prasasti
Bebetin berangka tahun 896 Masehi, yang ditulis ketika pemerintahan
Raja Ugrasena di Bali, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa
seni pertunjukan. Salah satunya adalah yang disebut pagending
(biduan) (Bandem, 1996:53). Dalam hal ini, yang dimaksudkan biduan
adalah orang yang menyanyikan lagu atau tembang yang diminati
masyarakat saat itu. Dengan berbagai aktivitas seni yang dilakoni oleh
masyarakat Bali, Bali juga dikenal dengan small is beautifull.
Di antara sekian banyak kakawin yang berasal dari tanah Jawa,
menurut hemat penulis, Niticastra merupakan kakawin yang sarat
akan petuah-petuah, keteladanan dalam berbagai dimensi kehidupan.
Melaksanakan aktivitas kakawin dengan membaca dan melagukan
bait-bait kakawin merupakan aktivitas yang menyenangkan. Hampir
semua penekun kakawin merasakan ketenangan, kedamaian,
dan kebahagiaan. Hal ini disebabkan bahwa seni makakawin akan
membentuk pribadi yang tunduk, yakni tunduk pada sesama, pada
lingkungan, lebih-lebih tunduk atas kebesaran Yang Kuasa (Tuhan).
Kenyataan ini tidak terlepas dari substansi materi kakawin yang
secara umum memang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang
terkait dengan kebenaran, kebaikan, kasih sayang, pendidikan, dll
yang konotasinya positif. Sejalan dengan itu (Rai dalam Bali Post,
rubrik Figur, 4/12-2012) menyatakan bahwa seni memiliki peran
strategis dalam upaya pembentukan karakter bangsa. Melalui seni,
generasi muda akan mendapat asupan nilai yang dapat membentuk
akhlak mulia. Kakawin sebagai salah satu unsur seni memiliki peran
strategis dalam penajaman nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai strategis
yang terdapat dalam Niticastra perlu dikaji dan diimplementasikan.
Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai kakawin Niticastra dalam
kehidupan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya:
376
mempelajari sendiri untuk kebutuhan transfer ilmu, mempelajari
secara berkelompok untuk kepentingan bersama dan mengamalkannya
dalam berbagai ritual di masyarakat sesuai tujuan kelompok, dan
sebagainya.
Pelaksanaan aktivitas seni di Bali sesungguhnya merupakan suatu
proses yang sangat unik, yang memiliki tahapan-tahapan. Demikian
pula aktivitas seni makakawin. Contoh: dalam pelaksanaan aktivitas
kakawin secara berkelompok pasti dilakukan dengan didahului doa
pembuka, menghaturkan canang (minimal), sembahyang, nunas tirta
(air suci), lanjut proses pembacaan. Menjelang berakhir, dilakukan
doa penutup, dan parama santih. Cara-cara yang ditempuh seperti itu
mengingatkan dan meningkatkan rasa bakti manusia terhadap kebesaran
Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) lewat doa-doa yang dilantumkan dan
ini merupakan muatan nilai spiritual yang bisa menjadi landasan
kearifan lokal. Menghaturkan canang merupakan persembahan kecil
yang penuh makna filosofis. Canang memuat simbul-simbul tertentu
tentang kebesaran Tuhan. Sembahyang merupakan perilaku memuja
kebesaran Tuhan serta kita berdoa untuk keselamatan diri sendiri
dan keharmonisan alam semesta. Nunas tirta memohon berkahnya
berupa air suci sebagai lambang kesuburan untuk kedamaian dalam
beraktivitas. Dalam proses pembacaan juga perlu diperhatikan buku
kakawin yang dibaca tidak boleh ditaruh secara sembarang/pakai
alas dulang. Terakhir melakukan doa penutup dengan menghaturkan
parama cantih ’Om Cantih, Cantih, Cantih Om, sebagai akhir kegiatan.
Parama cantih merupakan doa yang isinya mohon kedamaian pada
Tuhan untuk diri sendiri, kedamaian lingkungan alam semesta, serta
lingkungan alam yang tidak terpantau oleh mata, telinga, pikiran/
alam sana.... Semua aktivitas yang tergambar secara sederhana di atas
penuh dengan muatan kearifan lokal. Pembentukan karakter-karakter
positif tercermin pada setiap tahapan kegiatan tersebut. Andaikan
25% saja masyarakat Bali melakukan kegiatan seperti ini setiap hari,
betapa damainya dunia ini.
377
Bali pula, dan (c) ada dengan menggunakan Aksara Bali, di bawahnya
disalin dengan aksara Latin dan terjemahannya dengan menggunakan
Akasara Bali, yang di bawahnya (terjemahannya) menggunakan
huruf Latin berbahasa Indonesia (Gautama, 1990). Model c dilakukan
bertujuan agar masyarakat dapat membaca dengan mudah, serta
memahami, dan menguasai nilai-nilai yang ada dengan baik. Versi
yang digunakan sebagai rujukan dalam makalah ini adalah butir c,
yang ditulis oleh Gautama. Karena keterbatasan penulis, nilai-nilai
yang diungkapkan dalam konteks ini adalah nilai-nilai yang besifat
umum.
Bila dicermati dalam Kakawin Niticastra terdapat 10 jenis wirama:
Sardulawikridita, Wangsapatra patita, Kalengengan, Ragakusuma,
Kusumawicitra, Aswalalita, Brhamara wilacita, Smaradahana, Prawira
lalita, dan Wasantatilaka (Gautama, 1990). Nilai-nilai yang ada secara
singkat dipaparkan berikut ini.
Nilai spritual
Bait 1 diawali dengan pemujaan seorang penulis terhadap kebesaran
Tuhan. Pemujaan ini terkait dengan keiklasan jiwa/rohani sang
penulis. Penulis (pengawi) pertama-tama mempersembahkan rasa
bakti/hormatnya kepada Tuhan yang dalam hal ini disimbolkan
sebagai Dewa Wisnu, yang merupakan jiwa alam yang selalu
bersemayam di hati. Juga segala sembah bakti penulis ditujukan
kepada Dewa Surya yang selalu bersinar menerangi alam jagat raya
tanpa mengenal lelah sehingga segala niat baik dapat terwujud, di
antaranya terwujudnya sebuah tuntunan hidup yang diberi nama
Niticastra dalam bentuk kakawin. Pengagungan kebesaran Tuhan
diibaratkan sebagai rasa syukur atas segala kemudahan yang
dilimpahkan. Hal ini menunjukkan kecerdasan dan sopan santun
seorang anak manusia.
378
kita, (i) kriteria kebaikan dan kenikmatan, (j) pentingnya berbagi,
(k) menghindari ketegangan, (l) keutamaan seorang putra, (m)
menghindari mencela, (n) waspada terhadap zaman kaliyuga), (o)
tahapan penanaman disiplin pada anak, sastra, guru, (p) menjaga
diri menuju kedewasaan, (q) memilih wanita yang layak dan yang
tidak, (r) beramal secara tepat dan jujur, (s) kebohongan dalam
kehidupan, (t) pentingnya posisi kepala saat tidur, (u) keutamaan
pendeta, keutamaan raja, keutamaan pejabat negara, (v) kekuatan
makanan, (w) keutamaan anak dan pendidikannya, (z) wanita (citra,
kemapanan, dan perlakuan terhadapnya), dan lain-lain.
Berdasarkan kajian sekilas, nilai-nilai yang ada amat universal.
Bila dikaitkan dengan falsafah, pedoman hidup, demikian pula
keyakinan dalam sebuah agama, tampaknya agama mana pun ajaran-
ajarannya tidak terlalu jauh dari nilai-nilai tersebut. Masalahnya
adakah kejujuran di antara kita bahwa nilai-nilai tersebut sangat
universal?
379
termasuk juga di Indonesia kitab-kitab Niticastra adalah kitab-kitab
yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum
(Daluang, 2012). Jika keteladanan ini sudah diawali oleh para pemimpin
dan para tokoh, secara perlahan menurun ke lembaga pendidikan dan
terjadi alur yang sejalan.
7. Penutup
Berdasarkan paparan di atas, pendidikan karakter sangat
penting diberikan di lembaga pendidikan dalam kehidupan masa
kini karena dalam pendidikan karakter yang berbasis pada kebijakan
lokal seperti pengimplementasian nilai-nilai Niticastra sebenarnya
terdapat kandungan ajaran pendidikan moral (moralitik-didaktik) dan
keteladanan. Implementasi ajaran ini mampu (a) mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar berhati baik, berpikiran baik, dan
berprilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang
multikultur dan saling menghormati; (3) meningkatkan peradaban
bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter
jangkauannya sangat luas yakni terkait dengan kecerdasan berpikir,
emosional, sosial, dan spiritual, yang mengarah pada kebaikan dirinya
dan kebaikan pada orang lain. Pendidikan karakter merupakan suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah maupun
luar sekolah yang meliputi komponen-komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut. Jadi, konsep pendidikan karakter sangat-sangat ideal
bila diterapkan dalam mengantisipasi perkembangan global dan
pembinaan mental spriritual manusia Indonesia yang kian memudar.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan, dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran.
Jakarta: Prestasi Pusaka.
Bali Post. 2012, 4 Desember. Kolom Figur: Pembentukan Karakter.
Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Dantes, Nyoman. Pendidikan Profesi Guru dan Kompetensi Program
Akademik (S1) pada Universitas Perluasan Mandat. Makalah dalam
Workshop Pengembangan Kurikulum Pendidikan Profesi Guru (PPG)
Prajabatan 13-14 Maret 2009.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Echols, John and Shadily, Hassan. 1992. Kamus Inggris-Indonesia ‘An English-
Indonesian Dictionary’. Jakarta: PT Gramedia.
Gautama, Wayan Budha. 1990. ‘Kakawin Niticastra’. Tt. penerbit.
Hakikat dan Pengertian Pendidikan Posted on 8 November 2008. Diambil dan
Adaptasi dari: Tata Abdulah. 2004.
380
Pustaka Daluang. Saturday, January 7, 2012. Merunut kembali helai per helai
lembaran kelam masa silam. Nitisastra.
Kompas. Opini, 17-12-2011 Rejuvenasi Kearifan Lokal
Pitoyo, Joko. Ajaran Moral dalam Serat Nitisastra. Dalam Internet.
Tegeh, I Made. 2010. Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi
Menuju Pribadi yang Unggul. Orasi dalam Rangka Dies Natalis ke-IV
Undiksha Singaraja.
Trianto. 2010. Mengembangkan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Wahid, Abdul Hamid. Perlu Konsensus Nasional Nilai-nilai Pendidikan Karakter.
Diunggah oleh Administrator pada Senin 23 Mei 2011.
pustaka daluang
Merunut kembali helai per helai lembaran kelam masa silam.. Semoga kian
ke hari memberi makna dan semangat bagi insan bhumi pertiwi
381
MENGENALI KEBERADAAN BAHASA
DAERAH SAAT INI DAN CIRI
PEMANGKUNYA
I Nengah Martha
Undiksha Singaraja
1. Pendahuluan
382
dikuasai penutur pada dasarnya adalah menurut keperluan.
Untuk komunikasi sesama etnik dipakai bahasa yang lama
(bahasa etnik itu), dan untuk berkomunikasi antaretnik digunakan
bahasa yang baru.
3) Lama-lama timbul preferensi (pemilihan) penggunaan bahasa.
Bahasa yang dianggap lebih “bergengsi” mereka gunakan
untuk ranah tinggi (misalnya: pemerintahan, politik, ekonomi,
pendidikan, ilmiah). Sementara itu, bahasa yang dianggap “biasa”
digunakan untuk ranah rendah (misalnya: rumah tangga, santai,
pergaulan, kekerabatan).
4) Kemudian terjadi kebocoran diglosia. Artinya, bahasa yang
dahulu dipergunakan untuk ranah tinggi juga dipakai untuk
ranah rendah (misalnya: rumah tangga).
5) Akhirnya bahasa yang digunakan untuk ranah rendah kehabisan
penutur, dan bahasa tersebut dengan sendirinya akan menjadi
punah atau mati. Di sini biasanya sudah terjadi pergeseran
bahasa (code switching). Artinya bahasa yang lama (daerah) sudah
tergantikan oleh bahasa yang baru (disarikan dari Gunarwan,
2007).
Selain pengalihan (dengan sadar ?) pemakaian bahasa Bali
di dalam keluarga, ciri-ciri anak sebagai pewaris/pemangku bahasa
daerah, juga tidak kalah mengkhawatirkan, terutama dilihat dari sudut
pandang: 1) pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning) bahasa
anak, 2) ciri usia anak, 3) ciri gaya kognitif (cognitive style) anak, dan 4)
ciri afektif anak. Keempat ciri yang juga tidak kalah mengkhawatirkan
terhadap eksistensi bahasa daerah tersebut, akan dipaparkan berikut
ini.
383
memperoleh pajanan (exposure) yang terus-menerus tentang
bahasa itu.
2) Penguasaan bahasa akan lebih mudah jika dilakukan dalam
lingkungan bahasa dan lingkungan budaya dari bahasa yang
hendak dikuasai.
3) Anak akan memahami bahasa dan budayanya lebih baik, karena
mereka ada dalam lingkungan bahasa dan budaya yang hendak
dikuasai.
4) Penguasaan bahasa kedua (B2) tidak seberhasil penguasaan
bahasa daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama, jika bahasa
daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama digunakan dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
5) Anak mendapatkan penguasaan bahasa tanpa sadar melalui
berinteraksi dengan penutur asli (native speaker).
6) Penguasaan bahasa diperoleh secara spontan/serta merta,
karena lingkungan memungkinkan bila bahasa daerah tersebut
digunakan dalam keluarga.
Jadi, dalam situasi pemerolehan (acquisition), anak akan
mendapatkan pajanan pemakaian bahasa setiap saat, sehingga setiap saat
mereka memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuan
berbahasa mereka. Lingkungan informal dalam penguasaan bahasa
ini, ternyata dapat membantu anak dalam penguasaan bahasa ibunya
(Krashen, 1983). Namun dalam kasus di atas, orang tua anak sudah
menghilangkan lingkungan informal penguasaan bahasa Bali ini,
dengan menggantikannya pada pemakaian bahasa Indonesia.
Jika penguasaan bahasa daerah dilakukan dalam setting
sekolah, artinya dilakukan melalui pembelajaran (learning); maka
penguasaan bahasa hanya bisa dilakukan dalam satuan: isi (content),
waktu, dan pertemuan. Hal ini tentu tidak memadai untuk maksud
penguasaan bahasa secara komprehensif. Diperlukan isi pelajaran
dan waktu yang cukup untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan untuk
pergiliran latihan (practise). Sementara itu, pengajaran bahasa Bali di
sekolah hanya dilakukan dalam waktu 2 jam pelajaran (35 menit x 2 di
tingkat SD). Ini tentu tidak cukup untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan
untuk pergiliran latihan (practise) dalam rangka penguasaan bahasa
Bali yang komprehensif. Hanya dalam beberapa aspek keterampilan
berbahasa tertentu saja (morfologi, sintaksis), lingkungan formal
penguasaan bahasa ini (sekolah) dapat meningkatkan kemampuan
berbahasa anak (Ellis, 1986).
384
2.2 Ciri Usia Anak
Ada usia optimal/periode kritis atau periode sensitif dalam
penguasaan bahasa (Lenneberg, 1969 dalam Purwo, 1985 ). Penguasaan
bahasa secara alamiah dapat terjadi hanya selama periode kritis.
Kemampuan anak yang lebih besar dalam penguasaan bahasa dapat
dijelaskan dari plastisitas yang lebih besar dari otak anak itu. Rusak
pada bidang ujaran anak, masih bisa menguasai bahasa kembali. Bagi
anak-anak, hemisferektomi kiri/kanan untuk luka yang diperoleh
sebelum usia 10 tahun tidak mengakibatkan afasia. Krashen (1983)
juga menyatakan bahwa, kasus hemisferektomi kiri yang terjadi pada
anak-anak yang berumur 5 tahun, tidak mengakibatkan gangguan
ujaran.
Dalam kaitan usia peka bahasa, Lenneberg (1969, dalam
Purwo, 1985 ) mengajukan istilah “laterasisasi”. Lateralisasi adalah
pertumbuhan pada otak anak yang terjadi secara perlahan yang
dimulai dari usia 2 tahun sampai menjelang masa pubertas (15 tahun).
Pada masa ini terjadi pengkhususan fungsi otak kanan dan otak kiri.
Otak kiri berfungsi memeroses input bahasa. Pada usia ini, otak anak
sangat lentur. Karena itu, kepekaan bahasa mereka sangat tinggi.
Anak-anak pada usia ini amat mudah menguasai bahasa yang ada
dalam lingkungannya sebagai pajanan (lingkungan keluarga).
Dengan pemajanan (exposure) dalam lingkungan pemakaian
bahasa dan tanpa bimbingan secara khusus, anak-anak akan dapat
menguasai bahasa tersebut dengan baik seperti penutur asli. Setelah
masa pubertas, terjadi penyebelahan fungsi otak. Pada waktu itu, otak
sebelah kiri dikhususkan sebagai pengolah bahasa. Dengan demikian,
otak sudah tidak lentur lagi dan kepekaan bahasa sudah berkurang.
Oleh karena itu hasil penguasaan bahasa setelah masa pubertas tidak
sebaik seperti sebelum masa pubertas (Purwo, 1985).
Dalam kaitannya dengan kecepatan anak dalam penguasaan
bahasa sebelum masa pubertas, Asher dan Garcia (1969) menyatakan
bahwa, anak-anak kelihatan lebih mudah dalam mencapai aksen
seperti penutur asli (native speaker).
Jadi, bila orang tua anak sudah menggantikan pajanan bahasa
daerah (Bali) dengan bahasa Indonesia di rumah tangga, berarti
anak kehilangan periode kritisnya atau masa peka bahasanya untuk
menguasai bahasa daerahnya. Boleh dikatakan bahwa modus
ini merupakan upaya sengaja dari orang tua untuk mengurangi
kemampuan anak dalam menguasai bahasa daerahnya.
385
2.3 Ciri Gaya Kognitif (Cognitive Style) Anak
Gaya kognitif adalah perbedaan individu dalam
mengorganisasikan dan memungsikan kognitifnya. Jadi anak memiliki
kecenderungan yang khas bagaimana ia mempersepsi lingkungannya
dan memaknai sesuatu sebagai landasan dalam mengorganisasikan
dan memeroses informasi ketika ia belajar.
Ada tiga kelompok gaya kognitif dalam kaitan penguasaan
bahasa, yakni: 1) independen dan dependen konteks, 2) refleksivitas
dan impulsivitas, dan 3) keluasan kategori : luas dan sempit.
1) Independen dan Dependen Konteks
Anak yang memiliki gaya kognitif independen konteks,
cenderung mencicil pengenalan dan pemahaman unsur lingualnya
(misalnya: kosakata). Anak sering menanyakan “Apa ini Bu?”, “Apa
itu Pa?”, “Ini apa namanya?”, “Itu apa namanya?” Jawabnya akan
menjadi satu kata, satu kata. Anak tidak melihat kata itu dengan
kata lain dalam struktur bahasa yang lebih besar (misalnya: wacana
singkat). Sementara itu, anak yang memiliki gaya kognitif dependen
konteks akan mengenali dan memahami unsur lingual itu dalam
konteks yang lebih luas atau konteks pemakaiannya. Pertanyaan anak
yang sering muncul, misalnya: “Pisang goreng itu apa, bagaimana
cara membuatnya”?, “Kuda itu kakinya berapa, mengapa dipakai
menarik pedati?” Jawabnya akan berupa uraian atau narasi yang lebih
panjang.
Anak yang memiliki gaya kognitif independen cenderung memiliki
orientasi sosial, empati, dan persepsi yang lebih besar (Brown, 1980).
Pada tahap awal penguasaan bahasa ibu, anak golongan ini akan lebih
baik, karena ia akan memusatkan perhatiannya pada unsur lingual
yang dianggapnya relevan saja. Sementara itu, anak yang memiliki
gaya kognitif dependen, lebih menunjukkan kemampuan bahasanya
pada aspek-aspek yang bersifat komunikatif, karena perhatiannya
pada bahasa bersifat global. Kedua gaya ini diperlukan pada tahap
awal pembelajaran dan penguasaan bahasa ibu anak.
386
merusak penguasaan bahasa. Karena itu, anak yang memiliki gaya
impulsif perlu dikendalikan dalam belajar dan penguasaan bahasanya.
Sementara itu, anak yang bergaya reflektif cenderung lebih awas
terhadap kualitas performansinya. Karena itu penampilan bahasanya
lebih tepat dan lebih baik. Kedua gaya ini juga diperlukan pada tahap
awal pembelajaran dan penguasaan bahasa ibu anak.
387
bergaul (siciable). Karena cirinya yang demikian, anak ekstrovet
yang ditangani sejak dini dalam pemerolehan bahasa ibunya, maka
ia akan menjadi pemakai bahasa yang amat berhasil (Brown, 1973).
Tucker (dalam Brown, 1973) melaporkan, ada korelasi positif anak
yang berkepribadian ekstrovet dengan kemampuan menyimak
dan bicaranya dalam komunikasi interpersonal. Busch (1982) juga
melaporkan terdapat korelasi positif antara ekstroversi dengan
kemampuan komunikatif dalam bahasa Inggris. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa, keberhasilan dalam kemampuan berkomunikasi lisan
(simak – bicara) ini disebabkan oleh karena anak yang ekstrovet
tersebut sensitive, banyak bicara (talkactive), dan suka bergaul (siciable),
sehingga ia akan mempraktikkan bahasa yang ada di lingkungannya.
Oleh sebab itu, anak yang berkepribadian ekstrovet ini perlu ditangan
dengan baik oleh orang tuanya, agar kemahiran berbahasa ibunya
berkembang dengan sempurna.
Empati didefinisikan sebagai “the ability to put oneself in another’s
shoes” (kemampuan untuk menempatkan diri dalam diri orang lain).
Jadi, empati merujuk kepada proyeksi kepribadian diri sendiri ke dalam
kepribadian orang lain agar dapat memahaminya lebih baik (Brown,
1973). Karena sifat empatiknya yang tinggi dan keingintahuannya yang
tinggi tentang keadaan orang lain sambil mencecar dengan pertanyaan-
pertanyaan, maka anak yang memiliki kepribadian empatik ini akan
memiliki kemampuan menguasai bahasa sangat baik, khususnya
dalam pengucapan. Kelompok studi tentang empati, yakni Standard
Thai Procedure = STP juga melaporkan bahwa, hubungan antara empati
dengan kemampuan pengucapan memang ada. Kapasitas empatik ini
akan makin menghilang dalam proses pendewasaan. Jadi, harusnya
orang tua jangan sampai kehilangan masa/periode empati ini dalam
mengembangkan kemampuan berbahasa ibu anak, dengan cara tidak
menggantikan bahasa ibu anak dengan bahasa lain dalam keluarga.
3. Penutup
Menggantikan pemakaian bahasa daerah dalam keluarga untuk
anak-anak, membawa konsekuensi bagi kelestarian bahasa daerah itu.
Pro – kontra tentang hal ini telah muncul sejak lama dalam seminar-
seminar. Mereka yang pro membawa alasannya sendiri, demikian
pula yang kontra. Namun jika kita melihat dari bagaimana anak
mendapatkan/memperoleh bahasanya dan jati diri (eksistensi) anak
sebagai pemangku/pewaris bahasa daerah dan juga budaya, kita
akan melihat adanyanya potensi yang terabaikan dalam upaya kita
memahirkan anak menggunakan bahasa daerahnya. Potensi yang
388
diabaikan atau tidak dimanfaatkan oleh orang tua tersebut adalah:
1) pajanan (exposure) bahasa daerah, karena bahasa daerah sudah
digantikan dengan bahasa lain,
2) periode kritis atau masa sensitif dalam penguasaan bahasa
daerah anak,
3) gaya kognitif anak dalam belajar dan menguasai bahasa
daerahnya, karena gaya kognitif anak pada usia muda sedang
bertumbuh dengan sangat baik,
4) ciri ekstrovet dan empati anak yang sangat membantu dalam
menguasai bahasa daerahnya.
Jadi, apabila pengalihan penggunaan bahasa daerah itu
dilakukan secara terus-menerus dan berdegenerasi, maka kita tidak
hanya akan kehilangan bahasa daerah, tetapi juga budaya, sebab
bahasa inheren dengan budaya. Kepunahan budaya secara umum,
juga tidak jauh berbeda dengan kepunahan bahasa, yakni:
1) Awalnya, masyarakat primordial mengenal satu budaya
yang menjadi pedoman normal (lumrah, umum) prilaku
masyarakatnya.
2) Lama-lama terjadi kontak budaya. Masyarakat yang dulunya
monokultural menjadi bikultural atau multikultural.
3) Akhirnya kedua sistem kebudayaan itu terpolarisasi. Artinya,
ada budaya yang dijadikan pedoman prilaku tinggi, dan ada
budaya yang dijadikan pedoman prilaku rendah.
4) Sejajar dengan istilah diglosia dalam pemakaian bahasa, di
dalam kajian budaya terdapat istilah dinomia, yaitu situasi yang
melibatkan dua sistem budaya, yang satu berfungsi sebagai
pedoman prilaku tinggi, dan yang lain berfungsi sebagai
pedoman prilaku rendah.
5) Sebagaimana di dalam diglosia terjadi kebocoran/ketirisan, di
dalam dinomia juga terjadi kebocoran/ketirisan. Hal ini terjadi
jika dan bila prilaku yang dahulunya dipakai budaya lama
sebagai pedoman, sekarang atau kemudian digunakan budaya
yang baru sebagai pedoman. Seperti juga kebocoran/ketirisan
diglosia yang mengisyaratkan kepunahan bahasa, kebocoran
dinomia mengisyaratkan kepunahan budaya.
4. Rujukan
Asher, J. and R. Garcia. 1969. The Optimal Age to Learn a Foreign Language.
The Modern Language Journal. Vol. 53, 1969, p. 34 – 41.
Brown, H. 1980. Principles of Language Learning and Teaching. London:
Englewood Cliffs.
Brown, H. Affective Variables in Language Acquisition. Language Learning.
389
Vol. 23, 1973, p. 31 – 44.
Busch, D. Introversion – Extroversion and EFL Proficiency of Japanese
Students. Language Learning. Vol. 32, 1982, p. 19 – 32.
Ellis, R. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford
University Press.
Gunarwan, A. 2007. “Dampak Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah terhadap
Nasionisme dan Nasionalisme: Tinjauan Sosiologi Bahasa” Makalah
Kongres Linguistik Nasional XII, Surakarta, 3 – 6 September 2007.
Krashen. S. 1983. Second Language Acquisition and Second Language Learning.
Oxford: Pergamon Press.
Purwo, K. B. Ancangan Psikolinguistik: Sebuah Sumbangan Pikiran bagi
Penyusunan Bahan Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.
Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, No. 4, Th. 6, Desember 1985, hal.
240 -246.
390
THE KAROOSHI PHENOMENON IN JAPAN
A. Background
391
master the skills which needed within the company. Demands from
the company to the Japanese is actually not that difficult to implement
considering that they have a variety of basic ethical, moral, character,
thought, and even the spirit of hard work.
Bushido ethics, which consists of three main elements of the
Japanese philosophy, Shintoo, Buddhism, and Confucianism, which
previously honored by the samurai (knights of feudal Japan) is still
applied in the world of work by the Japanese.
In addition to this concept of ethics, the Japanese people also tend
to maintain their prestige in various occasions. This makes them not
want to just give in and lose face, they will continue to strive to be the
preserve of the things they are proud of. Most Japanese still hold the
belief that they are descendants of the god Amaterasu, the supreme
god in their beliefs. Human pride as descendants of the gods is coupled
with the defeat of the Mongols in the event that occurred twice in 1174
and 1180. The Japanese regard this as a relief from the gods because
the gods of wind (kamikaze) has brought a storm to protect them from
the invasion of the Mongols.
Followed later by the arrival of the Europeans who in the eyes
of Japanese society, are big, hairy, and acting-abusive behavior. A
barbarian who does not have the decency and the smooth and orderly
behavior. The pride of Japan was collapse as they suffered defeat
in World War II. They are defeated and lose face in the eyes of the
world. However, ten years later they rediscovered their pride through
economic development and rapid technological and became the top
country in Asia.
The thrust of the company was no less harsh. Through the
company’s management system, these employees continue to be
given the pressures to boost their morale in the work. Start from their
graduation from the educational program, recruited by the company
with certain systems such as for example, the recommendation of
seniors who have worked in the company.
Instilled in them the purpose and philosophy of the company with
a variety of activities, so they work in a room that is arranged in such a
way (in one big room) so that the contact between super ordinates and
subordinates is still maintained. With this management, workers were
controlled strictly.
With a variety of ethics and the concept of Japanese employees
who do not feel overwhelmed when they have to do the heavy work in
the long term, the problems that arise later is in terms of psychological
and health of these employees. They have a wide range of health and
392
psychological problems related to the quality and quantity of their
work. Many of those are stressed or even die in their productive age.
Young employees continue to be pressed to achieve the desired target.
However, on the other hand they are not aware of the consequences
they will endure.
393
the changing patterns of employment, karooshi not just attack full
time regular workers, but also attacked the part-timer (Kooji, 2004: 7).
Most cases are caused by heart disease and stroke. Diseases that
are a factor of karooshi according to a study released in 1997 was
subarachnoid hemorrhage (blood circulation to the brain disorder) as
much as 18.4%, cerebral hemorrhage (circulatory disorders of the brain)
reached 17.2%, cerebral thrombosis or infarction (brain damage due
to lack of blood supply) of 6.8%, myocardial infarction (heart muscle
damage due to lack of blood supply) reached 9.8%, heart failure (heart
failure) as much as 18.7%, and for other reasons as much as 29.1%.
Along with public awareness of the event, then the Japanese
Ministry of labor began to publish first karooshi statistics on 1987.
Meanwhile, the diseases associated with karooshi recorded and
published as in the following table:
394
The increasing number of cases occurred in 2001 karooshi of
which 96 cases were recognized as karooshi. Increase in the
number of cases is recognized and compensated result of changes
in the criteria used to identify cases karooshi government.
Karooshi victims’s heirs can get compensation from the
government and the company where they worked. They could receive
compensation around U.S. $ 20 thousand per year from the government
and even sometimes there are some companies that are willing to pay
up to U.S. $ 1 million. Perhaps because of the compensation for it, since
the early 1980s karooshi deaths that claimed the government continues
to increase so that some had been rejected by the court. In 1988 claims
paid by the government to the heirs of karoshi reach 4 percent. The
figure was later increased to 40 percent in 2005 (the "Jobs for life", The
Economist, and December 19, 2007 inhttp://www.stockxpert.com/
browse.phtml?f=view&id=7659251).
To identify karooshi cases and patients who can get the
compensation, the Japanese government issued the “Standards to
identify the heart and brain disease” which was amended in 1995. In
2000, the criteria used to identify the diseases which trigger karooshi
has changed. At first, one thing to consider is the working conditions
of employees a month before the initial symptoms of heart disease
and brain were detected. In February 2000, the identification period is
extended to six months before the initial symptoms are identified.
Now many Japanese companies are overwhelmed by Karoshi.
Late November, the petition claims of Karoshi from Kenichi,
Uchino’s wife who works in Toyota granted by the Nagoya District
Court. Uchino found dead at 4 am on one day in 2002 at the age of
30 years. He left two children aged three years and one year. Since
the six months before he died, Uchino has spent more than 80 hours
to work overtime every month. “One thing that makes me happy is
when I can sleep,” says Uchino told his wife, a week before he died.
395
Sleeping less than 5 hours
Eat a lot of fatty foods
Travel to / from the office spent more than two hours
Rarely exercise
Suffering from obesity
Tired quickly
Often suffered sudden headache
5. Conclusions
The ability of an employee in his work is focused on the impact
of various factors, both internal and external. Most of the external
factors that encourage them to work harder are from policies issued
by the company. Companies around the world would want a good
performance of the employee by financial or nonfinancial reason.
An impulse provided by the company and the work environment is
impacting on employee who in turn spends their best times to raise a
company.
The company implemented a variety of methods such as recruiting
fresh graduate employees in order to manipulate their ideology to fit the
vision and mission of the company or the use of lifetime employment
contract to bind the employee to provide a wide range of bonuses to
stimulate their morale. All the strategies that companies use is a useless
plan if it does not pay attention to employees’ health conditions.
Japanese companies are companies in the world who are lucky enough
to get their human resources as people who are resilient and dedicated.
Supported by the strategies they have, as well as the social conditions,
it is make the company can easily get the best human resources that
can work very well.
Bad effects gradually felt by Japanese workers. Their ability
to focus their work is ended up with their physical sacrifice. At the
productive ages, they are attacked by a disease that primarily affects
the elderly. Pressures they received from a job has get them blood
circulation problem. Stress and fatigue that they ignore gradually
accumulate and affect their health. All of this health problem is in
order to achieve the targets that they expect.
Bad impacts of health and stress they experience when entering the
world of regular employment ultimately lead to greater interest in
non-regular works. Part-timer and Freeter keep continue to increase at
the end of the twentieth century. At 90’s it is a turning point for these
workers to change their direction to cultivate a more flexible world.
396
But in fact, even though the people who enter the non-regular work
continue to increase, regular job applicants number is still very high.
There are many reasons why they are still interested in regular
employment. Predictable financial security is one reason that pops
up. The condition of external and internal factors of an employee is
ultimately encouraging employees to work harder. Employees are able
to focus their work and achieve its goals to forget about their physical
condition. Karooshi cases are still happening. Fears of self, family or
the environment against attacks karooshi still quite high when viewed
from the number of consultations who consultate on the karoshi
hotline.
BIBLIOGRAPHY
Cole, Robert E. 1971. Japanese Blue Collar: The Changing Tradition, California:
University Of California Press.
Gill, Tom. 2001.Men of Uncertainty. New York: State University of New York
Press.
Henshall, Kenneth G. 2002. Dimensions of Japanese Society: Gender, Margins, and
Mainstream. New York: Palgrave Macmillan.
Henslin, James M. 2008. Sociology: A Down-to-earth-approach. USA: Pearson.
and AB.
Plath, David W. 1983 . Work and Life course in Japan. New York: State University
of New York Press.
Website: Www. karoshi.jp http://www.apmforum.com/columns/boye51.htm
http://rusdimathari.wordpress.com/2007/12/26/karoshi-alias
%E2%80%9Cbunuh-diri%E2%80%9D-untuk-perusahan/
www.stat.go.jp/english
397
MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE
IN DENPASAR SOCIETY
I Wayan Adnyana
IKIP PGRI BALI
INTRODUCTION
398
Southeast Asia. This can be seen from the low level of private savings.
Consumerism is often defined as lavish consumption.
Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly
experiencing a numerous variety of social, cultural and economic
developments. To meet the needs of society, with economic activity
of nearly 24 hours a day, in which the consumer has changed from
buying products to buying the image of the product, it is certainly
the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a
minimarket. With instan standard products and services. Consumption
process is now dominated by the pleasure principle, in which the
essential meaning is no longer that important. A commodity became
popular is not because for whom the goods were producted, but rather
due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity,
which is determined in the socio-economic process.
Table 1
The Spread of Modern Store in Denpasar
From the table above can be seen that Southern Denpasar district has
the biggest number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the
reason why Southern Denpasar chosed as the research area.
399
Table 2
Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the
store)
400
On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises,
are all included in the category of small businesses. Small businesses
are economically productive, conducted by an individual or business
entity that is not a subsidiary or branch of a company and also not
owned, controlled, or a part, either directly or indirectly from
medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9
of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by
small businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million
rupiah) up to a maximum of Rp 500 million, - (five hundred million
rupiah) excluding the value of land and building where the business
conducted.
On the other hands, the definition of Modern store is store with
independent way of payment, such as Minimarket, Supermarket,
Department Store, Hypermarket. The network manager is a
businessman who do business in the field of Minimarket, through a
system of unified management and distribution of goods to a network
outlet.
The presence of minimarket encourage consumerism. The
community is no longer think rationally to meet his needs, as they
already persuade by the media which advertising it widely, so that
consumers continue to be influenced by the not only psychological
interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21).
”Discipline mall” (a term used to describe the shopping centre
condition is very persuading customer to be consumptive, which starts
from arrival at a mall that begin with take the trolley, often called a
stroller that serves as a shopping bag, then select the item and put it on a
trolley, which filled “properly” by the customer, as full as possible. The
full contents of the trolley looks “wow”, and when arrived at cashier
counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On
the monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the
number, the bigger pride for the customer.
For the young urban, the cool image of minimarket is attached,
so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in
small stalls or traditional markets because the image will not be look
“cool”, and prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because
they felt a pleasure in an objective and subjective way, as it can boost
the image of themselves, that they have became contemporary society.
As a consequence, small scale enterprise can not win the competition
and some even have to close their enterprise.
Research conducted by global companies Meadwestvaco in
2000 at 12 K-Mart stores with the title “Display of merchandise affect
401
sales.” K-Mart is the main outlet for your writing tools. An experiment
was designed in which 12 K-Mart store. Six stores were randomized
assigned to implement the new system in the display of merchandise,
while six other stores displaying merchandise with the old way. The
experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of
products that implement the new system has a 7% higher sales than
the sales of stores that use the old system (Malhotra, 2005: 101).
The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2
mentioned about brand awareness and image impact on satisfaction
and trust to increase future sales. This would appear to: (1) brand
awareness has a positive effect on current purchase (2) brand image
has a positive efeect on current purchase (3) brand awareness has a
positive efeect on future purchase and (4) brand image has a positive
effect on future purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al,
2006 :98-105).
In European Journal of Marketing Vol.40 No. ½, stated that one
thing that is important to foster relationships between the seller and the
buyer is “trust” (trust). Confidence arising from a long training process
until both parties trust each other. Both party will be honest, fair and
reliable in carrying out activities in the future. In this connection the
high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1) increase
commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4)
reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145).
Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City
Lifestyle Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle
changes, especially in big cities, suppose to make the traditional stores
change the old pattern of their business smartly. Development of the
convenience store and mini market not only requires adjustment of the
operating hours, but also the adjustment and payment of merchandise.
Application of the supply chain as an alternative. Traditional store
merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1%
for <20 product number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5%
for > 25 products (Jawa Post, 2010). This study provides the basis of
marketing strategy for the minimarket.
In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about
culture in three broad definitions, namely (1) a general process of
intellectual, spiritual, and aesthetic development, (2) a special way
of life for people, a period , or a group, called the lived cultures or
cultural practice, and (3) the works and practices primarily aesthetic
and intellectual activity, called the signifying practices. The concept
of culture written above is the recognition of various modern human
402
activities in various forms including the consumption or even
consumerism.
Minimarket is present in the middle of a large urban community
to meet the needs of the community that felt as “emergency” in the
middle of the night. Customer segments are employees, students
and people who work until late at night or traveling at night which
classified as middle-up. In running the retail business, integrated retail
concept applied, CARE, implying a deep perspective. This perspective
departs from a focus on customer needs, coordinating the activities
which affect the consumer, and make a profit by building relationships
with consumers in the long run based on customer satisfaction and
value (Lynda and Cynthia, 2001: 7).
The operation of minimarket which operate for 24 hours a day,
helps to increase consumers number especially among younger
consumers. Circle K minimarket imaged as a hip minimarket and
they serve drinks that are complete enough, an option preferred by
Indonesian youth of today. Buyers of the stores were also allowed to
sit in front of the minimarket while enjoying what they had bought,
and that indirectly lead to made circle k as the youth gathering place
in the evening time.
Shopping in minimarket is seen as a lifestyle or life style can be
defined as a pattern of space, time, and the certain goods of social groups
usage. Lifestyle, then, is how certain social groups use the space, time,
and goods, with the pattern, style, or habit, which is done repeatedly
in the certain space-time. When associated with the geography-time,
the lifestyle is how the patterns, habits, and style of a particular social
group in the routine of everyday social practices within the space-time
(Filiang, 2004: 60). By understanding the customer is one of the keys to
make minimarket succeed. Here are the pictures of minimarket, Circle
K.
403
Shopping at the minimarket create a memorable shopping
experience through a selection of goods and creative promotional
activities and create a shopping environment that is safe, comfortable
and enjoyable. Minimarket Circle K is open 24 hours, appears in the
following figure;
404
services and a pleasant store atmosphere. added with the facility
of free wifi or internet that is intended for those who like to surf in
cyberspace, which attracted a lot of customer.
Here’s a comment or response from some of the mini-circle K of
visitors,:
“Agus Damadi found shopping at Circle K is very satisfactory, as it also
comfortable and clean place, comfort is also important when shopping,
the products are sold well equipped, almost everything I need is available,
although the price is more expensive. Circle K also often give a bonus if
you buy a particular product and not all kiosks provide a facility like
this“.
405
the attitudes, values and norms of a particular social group. Lifestyle
as a way of life includes a set of habits, views, and patterns of response
to life, and especially the equipment for a living. The way is not
something natural, but it was found, adopted or created, developed,
and used to show action in order to achieve certain goals (of calendar,
2006: 36-39).
Conclusion
Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it
can be said to be poorly controlled and have marginalized the small
merchants who sell on traditional markets and stalls, need to get
special attention from economic actors and governments. It should be
understood that the minimarket as a modern store that can provide a
variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially
for urban communities. Minimarket are heavily promoted by the
advertising media, which is recognized by the consumer that has built
a variety of imaging which is the urban lifestyle.
In this research, there is a purpose to understand and transform
structures of domination in capitalist society, which in this case
represented by the minimarket. Industrialization has rise the
production of goods and services in a very large amount, that must
be combined with high number of consumers. That is the reason why
consumer culture on society should be examined critically.
REFERENCES
Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta:
Jala Sutra
Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana
Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah
Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra.
Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006.
An Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial Buyer-
Seller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40 No. 1/2
Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail
Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara
Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT
Indeks
Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta:
Relief
406
Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga:
Merdeka.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi.
Yogyakarta : Universitas Atmajaya
Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are
brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and
future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2
Takwin, Bagus.2006.” Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup”.
Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi
Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.: 35-54.
Document and electronic sources
Camat Denpasar Selatan, 2010. ”Monografi Kecamatan Denpasar Selatan”
Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. ”Peraturan Wali Kota Denpasar
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan pembinaan pasar tradisional,
Pusat pembelanjaan, dan Toko modern
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008.
”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang
usaha mikro, kecil dan menengah
Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. “Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat”. Dalam
Radar Bali, 16 Juni 2010.
Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. “Pemkot Segel Tujuh Minimarket”. Dalam Jawa
Pos, 13 Juli 2010.
Tim Redaksi Radar Bali 2011c. “Ijin Toko Modern Distop”. Dalam Radar Bali,
8 April 2011
www.circlek.com
407
MENGUNGKAP NILAI-NILAI LUHUR I
LA GALIGO SEBAGAI RUJUKAN DALAM
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
“EPISODE PELAYARAN SAWERIGADING KE
TANAH CINA”
1. Pendahuluan
2. Nilai-Nilai Luhur
Batasan mengenai pemaknaan nilai kita bisa mengacu, antara
lain ke definisi James P.Spradley and David W. McCurdy (1980: 283)
408
“A value is any concept referring to a desirable or undesirable state of affairs”
(Nilai adalah konsep yang mengacu kepada sesuatu yang diinginkan
atau sesuatu tidak diinginkan). Jadi nilai tidak hanya sesuatu yang
diinginkan, tetapi dapat juga sesuatu yang tidak diinginkan. Definisi
lain menyatakan bahwa nilai budaya adalah suatu konsepsi abstrak
yang dianggap baik dan yang amat bernilai dalam hidup, yang menjadi
pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat
(Junus Melalatoa, 1997:6).
Berbagai nilai yang termuat dalam naskah karya I La Galigo,
khususnya episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, akan tetapi
karena keterbatasan waktu hanya akan menguraikan lima nilai, antara
lain sebagai berikut: 1) Mengutamakan Kepentingan Rakyat; 2)Peranan
Perempuan; 3)Tangguh Meraih Cita dan Cinta; 4) Musyawarah dan
Dialog; 5) Bercermin Menata diri. Di bawah ini akan diuraikan satu
persatu:
409
rukun bersama putra-putrinya. Demi negrinya pula ia rela melepaskan
kepergian putra mahkotanya yang akan mewarisi kerajaannya
kelak dan tak akan kembali lagi. Dan demi rakyatnya yang sangat
dicintainya, ia rela menjalani kehidupan ibarat orang yang mandul
karena kedua anaknya harus meninggalkannya.
Peranan Perempuan
Peranan perempuan dalam episode ini tergambar ketika
Sawerigading merajuk karena tidak dituruti kemauannya. Ia
berbaring menutupi dirinya di dalam sarungnya dan tidak mau
makan selama beberapa hari. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
membujuknya. Bahkan kata-kata La Pananrang kakak sepupuya
yang selalu didengarkan nasehatnya itu pun tak digubrisnya. Di
tengah kegalauan dan kekalutan hati Batara Lattuk sang ayah dan We
Datu Sengngeng ibundanya melihat keadaan sang putra mahkota,
dipanggillah We Tenriabeng keluar dari persembunyiannya untuk
membujuk Sawerigading.
We Tenriabeng berusaha membujuk kakaknya yang sudah
kehilangan akal sehatnya karena cintanya kepada adik kandungnya
sendiri itu agar mau menerima kehendak Patotoe. Mereka berdua
tidak akan mungkin hidup sebagai suami istri, sebab mereka
bersaudara kandung seibu dan sebapak. Dengan berbagai bujuk
rayu Sawerigading berusaha meyakinkan We Tenriabeng, namun We
Tenriabeng itu tetap pada pendiriannya. Ia tidak akan membiarkan
malapetaka menimpa negerinya dan menyengsarakan orang banyak
yang tidak berdosa akibat perjodohan tersebut.
Melalui perdebatan yang panjang, akhirnya We Tenriabeng
berhasil mengalihkan perhatian kakaknya dengan memperlihatkan
kepadanya I We Cudai dalam mimpinya. Setelah melihatnya,
Sawerigading ingin segera menemuinya, meskipun hasrat
keinginannya kepada adik kembar emasnya tidak dilupakannya.
I We Cudai adalah putri Opunna Cina yang kecantikan dan postur
tubuhnya sangat mirip dengan We Tenriabeng, sebab keduanya lahir
dalam satu ukuran. Untuk menempuh perjalanan ke tanah Cina We
Tenriabeng memberikan petunjuk untuk membuat perahu dari pohon
welenrennge yang sangat besar dan tinggi.
Ketegaran dan keteguhan hati We Tenriabeng yang berusaha
menyadarkan kakaknya yang sudah kehilangan akal sehat adalah
gambaran sosok seorang perempuan yang mampu mengendalikan
emosi dan kekerasan hati seorang laki-laki. Peran We Tenriabeng dalam
episode ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan Sawerigading.
410
Hanya We Tenriabenglah yang dapat meyakinkan Sawerigading,
bahwa apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan adat dan
norma yang berlaku di tengah masyarakat. Sikap dan watak We
Tenriabeng yang sangat teguh memegang prinsip dan keyakinan, serta
kelebihannya melihat masa depan, membuat dirinya selalu dimintai
saran dan pendapat untuk melakukan sesuatu.
Peran We Tenriabeng juga sangat membantu ketika pasukan
Sawerigading kewalahan melawan La Tenriyiwik yang dibantu oleh
Oropasakka dari Positana. Ketika itu pasukan kakaknya hampir
terkalahkan, namun Sawerigading segera meminta bantuannya yang
pada saat itu sudah berada di Bottillangi. We Tenriabeng lalu meminta
kepada suaminya agar segera turun ke bumi membantu kakaknya
yang kewalahan menghadapi pasukan La Tenrinyiwik. Dengan tegas
ia mengatakan, jika sang suami tidak mau membantunya maka ia
akan menceraikannya. Akhirnya berkat bantuan sang adik, pasukan
Sawerigading dapat memukul mundur pasukan La Tenrinyiwik.
Ketika harta lamaran Saweriagding dikembalikan oleh I We Cudai
karena I We Cudai tidak mau menikah dengannya, Sawerigading pun
membuat perhitungan dengan peperangan yang membuat Tana Wugi
menyerah kalah. Namun kekerasan hati I We Cudai yang tidak ingin
tunduk dan menyerahkan dirinya kepada Sawerigading mengajukan
syarat-syarat yang membuat Sawerigading resah. Ia lalu menemui
adiknya We Tenriabeng di Bottillangi dan meminta petunjuknya dalam
menghadapi masalahnya itu. Situasi tersebut semakin memperjelas
peran perempuan yang terdapat di dalam episode ini. Sawerigading
selalu mengandalkan adik perempuannya dalam menghadapi masalah
yang sangat rumit. Ia yakin betul sang adik dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang sangat sulit ditemukan jalan keluarnya.
411
Banynyaq Paguling tewas dan kepalanya dipenggal dan dijadikan
hiasan welenrennge, sedangkan para pasukannya menyerah. Perang
selanjutnya melawan La Tuppusolok To Apunnge yang juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan Sawerigading. Kepalanya pun dipenggal
untuk dipasang di Welenrennge.
Beberapa malam setelah mengalahkan La Tuppusolok dan
pasukannya, Sawerigading kembali dihadang oleh La Tuppugellang
dari Jawa Timur, seorang raja yang putus asa dan sangat ingin menyusul
istrinya ke alam baka. Ia dikalahkan oleh pasukan Sawerigading dan
kepalanya juga dipenggal untuk dipasang di Welenrennge. Selanjutnya
mereka dihalangi oleh La Togektana Pajulimpoe Seseuraik yang juga
berhasil dikalahkan dan semua perahunya dirampas, sedangkan
kepalanya bernasib sama.
Peperangan belum berhenti sampai di situ, setelah mengalahkan
La Togektana, mereka kembali dihadang oleh perompak La Tenripula
dari Jawa Barat. Raja perompak yang sudah tua renta dan sangat
sombong itu juga berhasil dipenggal kepalanya oleh La Massaguni
tanpa peperangan terlebih dahulu. Belum jauh mereka berlayar,
mereka kembali dihadang oleh pasukan La Tenrinyiwik Langirisompa,
raja perompak dari Malaka. Ia dan Sawerigading masih satu
keturunan dari Patotoe yang membuat La Pananrang merasa segan
untuk melawannya. Namun akhirnya perang tak dapat dielakkan dan
tewaslah La Tenrinyiwik di tangan La Massaguni. Semua pasukannya
menyerah, sedangkan istri dan wakkatananya yang megah itu
dirampas
Rintangan-rintangan tersebut tidak membuat nyalinya surut dan
berbalik haluan, sebab ia yakin akan kebenaran kata-kata adiknya,
bahwa I We Cudai adalah jodohnya yang harus dicarinya di tanah Cina.
Keinginan Sawerigading yang sangat kuat untuk membuktikan kata-
kata adiknya itulah yang mendorongnya tetap melanjutkan pelayaran
dan tidak putus asa.
Peperangan terakhir yang dilalui oleh Sawerigading sebelum
sampai ke tanah Cina adalah perang melawan Settiyabonga
Lompengrijawa Wulio tunangan I We Cudai yang berakhir dengan
kekalahan Settiyabonga yang menyerah kepada Sawerigading.
Kegigihan seorang Sawerigading yang rela menghadapi berbagai
rintangan yang menghadang dalam pelayarannya dan tidak berubah
haluan itu, merupakan nilai yang sangat berharga untuk dijadikan
inspirasi dalam menggapai cita dan cinta. Rintangan sebesar apapun
dapat dihadapi jika apa yang dicita-citakan ingin dicapai. Jiwa
bahari yang telah tertanam di dalam diri Sawerigading yang senang
412
mengembara mengarungi lautan itu, hampir terkalahkan oleh
rintangan yang bertubi-tubi datang mengahadang. Rintangan yang
cukup unik dan menggoda adalah ketika La Pananrang mengusulkan
kepada Sawerigading agar memperisteri saja Tenrilennareng isteri
dari La Tenrinyiwiq yang baru saja dikalahkan dan dipotong
kepalanya. La Pananrang menegaskan bahwa Tenrilennareng hampir
sama dengan adik kita We Tenriabeng. Akan tetapi Sawerigading
sudah mempunyai tekad yang bulat dalam meraih cita-cita dan cinta,
sehingga ia menegaskan bahwa:
“Aku telah menghancurkan sirih, telah memecah campuran sirih, tak
enak hatinya bila kuambil isteri … tak mungkin juga aku pulang ke
Luwuq sebab aku telah bersumpah pada kemuliaan atas langitku”
413
wanita yang sangat mirip dengan istrinya yaitu We Sawease dan We
Panangngareng, seketika itu ia teringat pada kedua istrinya tersebut.
Namun bayangan tersebut dapat ditepisnya. Hati Sawerigading tetap
tegar menghadapi berbagai macam ujian yang ditimpakan kepadanya
meskipun itu sangat menyakitkan dan mengoyak-ngoyak harga
dirinya.
Cobaan yang sangat menyakitkan tersebut ketika I We Cudai
menghinanya habis-habisan. Bahkan cobaan yang membuatnya
sangat terpukul ketika I We Cudai mengembalikan semua mahar
yang telah diberikan kepadanya. I We Cudai orang yang membuatnya
berlayar mengarungi lautan luas dengan berbagai rintangan, tiba-tiba
menolak dinikahkan dengan Sawerigading karena mendengar bisikan
yang membuatnya sangat ketakutan. Akhirnya peperangan kembali
berkobar dan tak dapat dihindari lagi. Kekalahan di pihak Cina tidak
membuat I We Cudai tunduk kepadanya. Namun Sawerigading tetap
mengikuti kemauan I We Cudai demi mendapatkan cintanya.
Setelah menyetujui semua persyaratan yang diajukan, I We
Cudai pun tidak membuatnya merasakan kebahagiaan, sebab setelah
berhari-hari menjumpai istrinya mereka berdua belum pernah bertatap
muka bahkan mereka belum pernah saling bersentuhan. Namun
tingkah laku I We Cudai yang sangat menyakitkan itu diterimanya
dengan lapang dada, demi kesetiaannya kepada janji adiknya.
Meskipun pada akhirnya karena kegigihan usahanya, ia berhasil
membuat I We Cudai terlena dalam pelukannya, namun sikap I We
Cudai yang angkuh itu tidak berubah kepadanya. Bahkan setelah
hamil pun sampai melahirkan seorang putra, I We Cudai tidak pernah
menampakkan sikap yang menyenangkan di mata Sawerigading.
Sifat yang sangat bertolak belakang dengan sifat para istrinya yang
telah ditinggalkannya demi mendapatkannya. Namun sawerigading
tidak pernah menyesali apa yang telah diputuskannya. Ketika I We
Cudai menolak putranya pun karena ia keturunan orang Luwuk,
tidak membuatnya marah dan sakit hati. Semua perlakuan I We Cudai
itu tak membuatnya ingin kembali ke kampung halamannya, sebab
ia telah berjanji tidak akan kembali ke tanah Luwuk apa pun yang
terjadi.
Musyawarah dan Dialog
Berbagai aktivitas musyawarah dan dialog terlukis dalam
ceritera episode ini. Peperangan demi peperangan dilaluinya selama
dalam pelayaran Sawerigading ke tanah Cina. Setiap dihadang oleh
musuh di tengah laut, La Pananrang sebagai penasehat dan jurubicara
414
Sawerigading senantiasa membangun dialog, komunikasi baik dengan
para pasukannya mau pun dengan musuh. Penghadang pertama
Sawerigading di tengah laut adalah Banynyaq Paguling yang terkenal
sebagai tukang penghadang di laut yang sangat kuat dan belum ada
yang mengalahkan pasukannya. Ketika La Pananrang melihat dari
jauh pasukan Banynyaq Paguling, maka ia segera mengkomunikasikan
kepada seluruh pasukan agar seluruh anggota mempersiapkan diri dan
menjalankan tugas sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam kisah ini, pada keesokan paginya ketika mentari mulai
bersinar berpapasanlah perahu Walenrengnge yang ditumpangi
Sawerigading dengan perahu Banynyaq Paguling. Tujuh kali perahu
Sawerigading menghindar ke kiri dan tujuh kali menghindar ke kanan,
akan tetapi Banynyaq Paguling tetap berkeinginan untuk berhadap-
hadapan dengan pasukan Sawerigading. Kedua perahu sudah sangat
berdekatan dan hampir bertabrakan. Pada waktu ini lah terjadi dialog
yang sangat indah dan mengagumkan serta dapat dijadikan pelajaran
bagi mereka yang menginginkan kesuksesan dan kemenangan. Seperti
terungkap dalam juplikan naskah di bawah ini.
“Sayalah Banynyaq Paguling dari Manynyapaiq yang biasa menawan di
tengah laut lawan kutangkap kawan kutawan tak satupun di tolak keris
perlindunganku di tengah laut. Telah lama kuinginkan Sawerigading
kulayarkan perahu aku berlayar ke Ale Luwuq karena memang aku mau
menentukan keributan besar sebab tak henti-hentinya disebut-sebut
di kampung halamanku; Sawerigading di Ale Luwuq tak ada duanya
disembah….” (Salim, 1993).
415
Terjadilah peperangan yang dahsyat dan akhirnya dimenangkan
oleh Sawerigading. Tujuh kali Sawerigading dihadang dan berperang
di tengah laut selama pelayaran ke tanah Cina. Setiap dihadang ia
selalu menghindar, perahunya senantiasa di arahkan tujuh kali ke kiri
dan tujuh kali ke kanan. Dalam menghadapi musuh La Pananrang
sebagai jurubicara Sawerigading senantiasa membangun dialog dan
komunikasi yang santun dan sopan. Dalam kisah ini terlihat sudah
terformat dan standar tahapan-tahapan strategi menghadapi lawan.
Hal ini berulang tujuh kali dan pemenangnya adalah Sawerigading.
Dalam kisah ini berbagai permasalahan diselesaikan dengan jalan
musyawarah. Dalam menghadapi permasalahan ini Batara Lattuk
mengumpulkan seluruh orang tua di Ale Luwuk dan Watamparek,
bahkan yang sudah tidak bisa berjalan sekalipun dihadirkan. Mereka
dimintai pendapat dalam memusyawarakan keinginan putranya itu,
namun jawaban mereka sama dengan pantangan kakeknya.
Ceritera tersebut menggambarkan sikap demokratis Batara
Lattuk, ayah Sawerigading yang sangat mencintai putranya. Meskipun
ia seorang raja, namun ia tidak mengambil keputusan seorang diri
untuk mengatasi masalah sang putra. Dengan memusyawarahkan
masalah putranya, ia telah memberi pemahaman kepadanya bahwa
apa yang disampaikan kepadanya bukanlah pendapatnya sendiri,
melainkan pendapat orang banyak. Bahkan salah seorang yang
paling tua diantara mereka dan paling banyak pengalaman hidupnya
mengatakan selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan dua
orang bersaudara menikah.
Sikap demokratis yang dilakukan oleh Batara Lattuk sebagai
seorang raja, yang pada masa itu perkataan seorang raja adalah mutlak
tak dapat diganggu gugat, merupakan sikap yang sangat mulia. Sikap
demokrasi seperti itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,
baik di tengah-tengah masyarakat maupun di dalam ruang lingkup
keluarga. Memaksakan kehendak kepada orang lain adalah sikap yang
dapat merusak sendi-sendi pergaulan baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan masyarakat. Pemimpin yang selalu meminta
pendapat bawahannya dalam setiap keputusan adalah peminpin yang
bijak dan disegani oleh rakyatnya.
Sikap demokratis juga ditunjukkan dalam pelayaran Sawerigading
ke tanah Cina yaitu setiap akhir peperangan yang dimenangkannya
semua pasukan yang rajanya telah terbunuh diberi pilihan menyerah
atau ingin melanjutkan peperangan. Sawerigading dan pasukannya
tidak langsung memvonis mereka kalah dan menyerah. Setelah
mereka menyatakan memilih menyerah barulah mereka dipulangkan
416
ke negeri mereka tanpa kekerasan.
417
dapat mengeksperikan hal-hal lahiriah, misalnya kebersihan dan
kegagahan seseorang. Selain itu, muka juga dapat mengkongretkan
hal-hal yang bersifat psikis, misalnya keberanian, kharismatik, dan
kepintaran, serta kecerdasan seseorang. Bagian tubuh ini menjadi
sangat berharga bagi tokoh Sawerigading sehingga untuk mencucinya
pun harus menggunakan wadah yang berharga dan bersih seperti
“mangkuk putih”.
Wadah “mangkuk putih” menyimbolkan kesempurnaan
penataan diri tokoh Sawerigading. Hal ini mengisyaratkan kebersihan
dan kesucian secara lahiriah dan secara batiniah. Kebiasaan ini
menggambarkan kebaikan dan kemuliaan tokoh tersebut dan sekaligus
mampu memantulkannya kepada orang lain tanpa merusak yang
bersangkutan. Wadah itu juga menjelaskan bahwa penataan diri itu
harus menggunakan peralatan dan bahan-bahan yang bernilai tinggi
guna mewujudkan segala kebaikan pula. Dengan kata lain, penataan
diri yang baik akan mampu melahirkan kebaikan pula.
Penataan diri tokoh Sawerigading merupakan model dan suri
teladan bagi masyarakat pendukungnya. Betapa tidak, tokoh tersebut
memberi contoh kepada masyarakat pendukungnya dalam penataan
diri dan sekaligus menanamkan, serta meyakinkan pentingnya hal
itu guna meraih kesuksesan di daratan dan di lautan, bahkan di
negeri Akhirat. Penataan diri dapat menjadi petunjuk dan pembuka
jalan untuk melakukan hubungan persahabatan, kemitraan, bahkan
hubungan perkawinan dengan masyarakat dan bangsa lain. Selain itu,
dengan menata diri, tokoh Sawerigading dapat mempengaruhi orang
lain dan sekaligus memotifasinya untuk menerima dan melakukan
sesuatu yang sesuai dengan perintah, kemauan, dan visi-misi
pelayarannya. Tokoh Sawerigading mewasiatkan hakikat penataan diri
ini sebagai warisan dan mukjizat yang berguna untuk mengantarkan
manusia guna mencapai kesempurnaan hidup di daratan, di lautan,
dan bahkan di negeri akhirat.
Tokoh Sawerigading melakonkan proses penataan diri itu
berlanjut ke tahap,”menata diri di depan cermin. Prilaku ini
menjelaskan, penataan diri itu berlangsung secara berulang kali,
berterima, dan bersesuai dengan mimetiknya. Penataan diri itu berhasil
baik atau tidak berhasil baik, berkecocokan atau tidak berkecocokan,
bahkan berestetika atau tidak berestetika sangat bergantung pada
kepintaran dan kecerdasan seseorang menggunakan cermin guna
memahami, menganalisis, dan menyimpulkan dirinya. Tokoh
Sawerigading sebelum melakukan pekerjaan, menerima tamu, dan
melakukan perjalanan atau pelayaran selalu menata dirinya di depan
418
cermin. Tampaknya, cermin baginya merupakan benda ajaib yang
dapat memperindah sosoknya dan menjelaskan kepribadiannya, baik
kepada dirinya sendiri, maupun kepada orang lain. Bahkan benda itu
baginya sangat berpengaruh untuk mencapai kesusksesan di daratan
dan di lautan, serta untuk mencapai kesempurnaan penampilannya
sebagai penguasa di lautan.
penataan diri itu berakhir pada tahap, ”menenangkan hatinya”.
Tahap ini mengkongkretkan pengalaman di bawah sadar atau
menyatakan sesuatu yang abstrak yang dapat mempengaruhi atau
yang dapat mendorong untuk melakukan perbuatan nyata. Tahap ini
merupakan tahap penyesuaian pengalaman batiniah dan pengalaman
lahiriah guna mencapai harmonisasi yang dapat melahirkan satu kata
dalam perbuatan. Hal ini memungkinkan, “hati” itu merupakan
wadah yang didalamnya juga terdapat hal-hal yang bersifat negatif,
misalnya rasa was-was, takut, dengki, iri, bahkan sombong yang
kesemuanya dapat mewarnai dan mempengaruhi perbuatan nyata.
Tokoh Sawerigading sebelum melakukan pekerjaan, menerima tamu,
dan berlayar selalu memulainya dengan menenangkan hatinya.
Bahkan ketika menghadapi bencana, peperangan, dan berdoa,
tokoh tersebut senantiasa memulai dengan menenangkan hatinya.
Hal ini membuktikan bahwa penataan diri atau ekspresi diri tokoh
Sawerigading dapat mencapai kesempurnaan sangat bergantung pada
kemampuannya untuk menenangkan hatinya. Akhirnya, dengan
ketenangan hati, kecerdasan hati, kemauan hati, dan kekuatan hati,
tokoh Sawerigading berhasil untuk menguasai daratan, lautan, negeri
akhirat, serta berhasil menikahi I We Cudai di tanah Cina.
sampai pada uraian di atas, tampaknya penataan diri itu
merupakan salah satu nilai luhur. Tokoh Sawerigading berusaha
untuk meyakinkan dan sekaligus mewariskan kepada masyarakat
pendukungnya guna mencapai kesuksesan dan kesempurnaan
sebagai manusia di dunia dan di negeri akhirat. Penataan diri itu harus
berlangsung secara sadar dengan selalu bercermin dan menenangkan
hati sebelum beraktivitas, baik yang berhubungan dengan aktivitas
dunia, maupun yang berkaitan dengan aktivitas akhirat. Dengan
memahami, memiliki, mengikuti, dan mengaplikasikan tahapan
penataan diri tersebut, seseorang dapat mencapai kesempurnaan dan
kesuksesan hidup.
3. Kesimpulan
Pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, sebagai salah satu episode
yang termuat dalam karya panjang I La Galigo, memiliki sejumlah pesan
419
dan nilai kebudayaan yang dapat menjadi pijakan dewasa ini dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai kebudayaan Bugis yang terkandung
dalam episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina dikemas dalam
sistem simbol yang jelas; semua unsur yang terkait dengan pelayaran
itu melakonkan perannya masing-masing.
Dalam episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, ditemukan
sejumlah nilai-nilai luhur dan nilai-nilai ini berkemungkinan
untuk dapat diaplikasikan dan dirujuk dalam pembinaan dan
pengembangan karakter bangsa. Ada pun nilai-nilai luhur itu antara
lain: 1) Mengutamakan Kepentingan Rakyat; 2)Peranan Perempuan;
3)Tangguh Meraih Cita dan Cinta; 4) Musyawarah dan Dialog; 5)
Bercermin Menata diri.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1990. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Hasanuddin Universiti Press.
Ahimsa Putra Heddy Shri 1988. Minawang, hubungan patron-klien di Sulawesi
Selatan. yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ambo Enre, F. 1999. Ritumpanna Welenrennge Sebuah Episode Sastra Bugis
Klasik
Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mattulada. 1995. Latoa, satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang
Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Mattulada. 1998. Sejarah, masyarakat dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar:
Universiti Hasanuddin.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama Forum
Jakarta-Paris.
Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina (Episode
Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina). Progran Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Salim, Muhammad. 1993. Transliterasi dan Terjemahan I La Galigo jilid
1—12.
Spradley, J.P. and D.WMc Curdy 1980. The Cultural Perspective. New York:
John Wiley and Sons.
420
LAMPIRAN: SINOPSIS
EPISODE PELAYARAN SAWERIGADING KE TANAH CINA
421
Ia akan dibawa ke luar dari Luwuk untuk meluluskan hasratnya agar negeri
mereka terlepas dari kutukan. Namun dengan pemikiran yang matang, We
Tenriabeng menyatakan tetap menolak, sebab di mana pun mereka berada,
kutukan itu akan tetap terjadi, sebab itulah kehendak sang Patotoe yang tak
seorang pun dapat mengubahnya. Berbagai usaha dilakukan Sawerigading
agar apa yang diinginkannya dapat terwujud, yaitu menikahi We Tenriabeng,
namun dengan segala upaya We Tenriabeng pun berusaha menyadarkannya
agar negeri mereka tidak terkena kutukan Patotoe.
Di tengah keinginan Sawerigading yang menggebu-gebu ingin
mengajaknya menikah, We Tenriabeng teringat akan seorang putri yang
parasnya sangat mirip dengan kecantikan parasnya, sebab mereka berdua
dilahirkan dalam satu ukuran. Putri yang dimaksud adalah I We Cudai, putri
Opunna Cina. We Tenriabeng menyarankan kepada sang kakak agar berlayar
ke Tanah Cina melamar I We Cudai, dan tebanglah pohon welenrennge untuk
dijadikan perahu. Pohon welenrennge adalah pohon raksasa yang sangat
besar dan tingginya mencapai langit.
Untuk meyakinkan sang kakak, We Tenriabeng lalu memperlihatkan
di dalam mimpinya paras I We Cudai yang cantik jelita itu. Bahkan We
Tenriabeng bersumpah, jika apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa
yang dilihatnya di Tanah Cina kelak, ia bersedia melanggar ketentuan Patotoe
dan menikah dengan Sawerigading. Sumpah adiknya itulah yang membuat
Sawerigading bersemangat untuk segera berangkat ke tanah Cina untuk
segera membuktikannya.
Dalam perjalanan ke tanah Cina, Sawerigding dan para pengiringnya
menghadapi tujuh kali peperangan. Peperangan pertama yang dihadapi
melawan Bannyakpaguling dari Mancapai yang dikenal gemar mengganggu
dan memerangi perahu yang dilihatnya (perompak) di tengah laut. Dalam
peperangan tersebut, Bannyak Paguling tewas dan kepalanya dipenggal
dan dijadikan hiasan welenrennge, sedangkan para pasukannya menyerah.
perang selanjutnya melawan La Tuppusolok To Apunnge yang juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan Sawerigading. Kepalanya pun dipenggal untuk
hiasan welenrennge.
Beberapa malam setelah mengalahkan La Tuppusolok dan pasukannya,
mereka kembali dihadang oleh La Tuppgellang dari Jawa Timur, seorang raja
yang putus asa dan sangat ingin menyusul istrinya ke alam baka. Ia dikalahkan
oleh pasukan Sawerigading dan kepalanya juga dipenggal untuk menghiasi
welenrennge. Selanjutnya mereka dihalangi oleh La Togektana Pajulimpoe
Seseuraik yang juga berhasil dikalahkan dan semua perahunya dirampas,
sedangkan kepalanya juga dijadikan hiasan welenrennge.
Peperangan belum berhenti sampai di situ, setelah mengalahkan La
Togektana, mereka kembali dihadang oleh perompak La Tenripula dari
Jawa Barat. Raja perompak yang suda tua renta dan sangat sombong itu juga
berhasil dipenggal kepalanya oleh La Massaguni tanpa peperangan terlebih
dahulu, dan menggantungnya di welenrennge sebagai hiasan. Belum jauh
mereka berlayar, mereka kembali dihadang oleh pasukan La Tenrinyiwik
Langirisompa, raja perompak dari Malaka. Ia dan Sawerigading masih satu
keturunan dari Patotoe yang membuat La Pananrang merasa segan untuk
melawannya. Namun akhirnya perang tak dapat dielakkan dan tewaslah La
Tenrinyiwik di tangan La Massaguni. Semua pasukannya meyerah, sedangkan
422
istri dan wakkatananya yang megah itu dirampas.
Peperangan terakhir yang dihadapi sebelum sampai ke tanah Cina
adalah perang melawan Settiyabonga tunangan I We Cudai dari Jawa Timur.
Namun Settiyabonga selamat dari tebasan pedang La Massaguni, sebab ia
menyerah dan dipulangkan kembali ke negerinya. Setibanya di Tanah Cina,
Sawerigading menyamar menjadi Oro Kelling yang menjajakan dagangannya
berkeliling di lingkungan istana. Penyamaran itu dilakukan dengan tujuan
mengintai keadaan sekitar istana dan kemungkinannya dapat menyaksikan
I We Cudai secara langsung. Berhari-hari penyamaran tersebut dilakoninya
yang membuat para sepupunya khawatir jika penyamaran tersebut ketahuan.
Pada suatu hari ia kembali menjajakan dagangannya di sekitar istana,
ia sangat terkejut melihat seorang gadis calon pembeli dagangannya yang
wajahnya sangat mirip dengan wajah We Sawease dan We Panangngareng
istrinya. Kenyataan tersebut membuatnya sangat terpukul dan sangat sedih.
Ia pulang dengan tubuh lunglai dan deraian air mata, kerinduannya kepada
sang istri tiba-tiba terusik. Ia mengutuki dirinya yang tak henti-hentinya diberi
cobaan oleh Patotoe. Namun dengan penuh kebijakan Panritawugi yang
selalu menemaninya berkeliling menjajakan dagangannya mengingatkannya
agar tidak terganggu dengan keadaan itu. Hal tersebut hanya akan menjadi
penyakit dalam dirinya, sebab kepergian mereka ke Tanah Cina ibarat berlayar
ke alam baka, mereka tak akan mungkin lagi kembali ke tanah Luwuk.
Setelah kejadian itu, Sawerigading kembali menjajakan dagangannya
di sekitar istana. salah seorang penghuni istana akhirnya memanggilnya
dan menawar dagangannya. Hal tersebut diketahui oleh Opunna Cina, ia
lalu menyuruh pelayan untuk memanggilnya naik ke istana. Ketika berada
di istana, Sawerigading kembali teringat akan istananya di Watamparek dan
keadaan istananya di tanah Luwuk. Kesedihanpun kembali menghinggapi
perasaannya. Ketika ia mengeluarkan semua barang dagangannya, We
Tenriabang ibunda I We Cudai memerintahkan We Majang untuk memanggil
kedua putrinya keluar melihat barang dagangan tersebut.
Ketika We Tenriesang keluar dari biliknya dan duduk di hadapannya,
Sawerigading yang mengira ia adalah I We Cudai, ia tak tertarik sedikit pun
melihat kecantikannya. Ia berkata di dalam hatinya kata-kata We Tenriabeng
adiknya ternyata bohong belaka. Apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan
apa yang dilihatnya. Namun ketika I We Cudai keluar dari biliknya dan duduk
di hadapannya, betapa terkejutnya Sawerigading menyaksikan kecantikannya
yang bagai pinang dibelah dua dengan kecantikan We Tenriabeng. Seketika
ia merasa lunglai dan hilang kesadaran. Ia terkulai di sisi Panritaugi yang
membuat Opunna Cina bertanya-tanya.
Sawerigading segera memerintahkan para sepupunya untuk segera
mengajukan lamaran ke Opunna Cina.
Namun ujian untuk Sawerigading belum berakhir sampai di situ,
ketika mengajukan lamaran ke Opunna Cina, mahar yag diminta sebagai mas
kawin adalah sebanyak helai bulu-bulu kucing kesayangan istana dan mahar
tersebut harus diangkut selama tiga bulan setiap hari tanpa henti. Dengan
ketinggian derajat dan kemuliaannya, semua syarat yang diajukan disanggupi
oleh Sawerigading. Setelah semua mahar diangkut ke istana La Tanete, karena
mendengar bisik-bisik yang mengatakan ia akan celaka jika dimiliki oleh
orang Luwuk dan dibaringi orag Bajo.
423
Bisikan tersebut membuat I We Cudai sangat ketakutan, ia lalu
memerintahkan agar semua mahar yag telah diterima dikembalikan ke tempat
asalnya sebab ia tak ingin menikah dengan Sawerigading. Perubahan sikap I
We Cudai itu membuat Opunna Cina dan permaisurinya terkejut. Terlebih lagi
ketika I We Cuadai mengatakan ia lebih suka dibuang ke tempat yang jauh
atau dibunuh sekalipun dari pada menikah dengan Sawerigading. Dengan
terpaksa harta pemberian sebagai mahar untuk I We Cudai dari Sawerigading
dikembalikan ke wangkangnya. Walaupun kedua kakak I We Cudai telah
menghalanginya, sebab ia tahu dengan mengembalikan mahar tersebut berarti
membunyikan genderang perang.
Betapa hancur hati Sawerigading mengetahui harta pemberiannya
dikembalikan. Seluruh harta lamaran yang diangkut selama tiga bulan
ke istana La Tanete itu dalam waktu semalam telah dikembalikan semua,
tak selembar benang pun yang tersisa di Tana Wugi. Apa hendak dikata,
peperangan tak dapat dihindarkan lagi. Genderang perang pun ditabuh
sebagai tanda peperangan segera berkobar. Para pengikut Sawerigading pun
berikrar akan berjuang sekuat tenaga sampai tetes darah penghabisan untuk
membela kehormatan mereka. Mereka akan menyerang habis-habisan karena
telah melecehkan kehormatan mereka.
Peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Sawerigading itu, tidak
serta merta membuat I We Cudai menyerahkan diri kepadanya. Ketika situasi
semakin genting, seluruh penghui istana dan saudara-saudara I We Cudai
memerintahkan kepadanya agar maju melawan orang Luwuk itu, sebab
semua kehancuran itu disebabkan oleh kesombongannya yang menganggap
dirinya terlalu tinggi untuk menikah dengan Sawerigading. Atas desakan para
penghuni istana, akhirnya We Tenriabang ibunda I We Cudai menghadap
Sawerigading dengan membawa persembahan agar Opunna Warek itu
menghentikan peperangan, sebab Tanah Wugi sudah menyerah dan tunduk
kepada panji perang Sawerigading.
Sawerigading lalu mengutus kakak laki-laki I We Cudai La Tenriranreng
dan La Makkasau untuk menasehati adiknya agar mau menyempurnakan
perkawinannya dengan dirinya. Namun I We Cudai yang sombong itu
mengajukan syarat, ia akan menyempurnakan pernikahan itu jika La Tuppucina
dan La Tuppugellang inang pengasuhnya dihidupkan kembali. sawerigading
memberi kesempatan kepada I We Cudai jika ia masih ingin menambah
persyaratannya. I We Cudai pun mengajukan syarat lagi pernikahan mereka
tidak diupacarakan. Sawerigading hanya boleh datang kepadanya pada
waktu malam saja, ketika obor sudah dipadamkan tanpa iringan upacara adat
kerajaan, dan tanpa sambutan Puang Matoa meresmikan pernikahan mereka.
Syarat yang diajukan I We Cudai belum lengkap sampai di situ, ia lalu
menambahkan, ia harus ditempatkan di dalam bilik yang berlapis tujuh dinding
yang palangnya semua tertutup mati. Ia juga minta dibuatkan kelambu tujuh
lapis yang sudah terjahit di bagian bawahnya. Dan yang terakhir, ia juga akan
mengenakan baju tujuh lapis dengan ujung sarung yang sudah dijahit dan
penutup kepala yang diikat.
Sawerigading tunduk dan bersedia pada persyaratan yang diajukan
oleh I We Cudai demi mendapatkan cintanya. Sawerigading naik ke Bottillangi
untuk melaporkan kejadian yang menimpanya di Tana Wugi itu kepada
adiknya We Tenriabeng. We Tenriabeng lalu menyuruhnya turun ke bumi,
424
kelak ia akan diberi jalan keluarnya.
Ketika Sawerigading tiba di bumi, dinding tujuh lapis yang diinginkan
I We Cudai sudah rampung. Pada suatu malam, ketika Sawerigading sedang
tertidur lelap, ujung sarungnya tertarik-tarik oleh hembusan angin yang akan
membawanya terbang ke istana Latanete. Ketika ia tiba di layangan puncak
istana, ia disambut oleh dua ekor kucing mikomiko dan meompalo. Kedua
kucig tersebut menuntunnya masuk ke dalam bilik I We Cudai. Sawerigading
segera menekan tubuh I We Cudai dan mendapatkan ujung sarungnya yang
terjahit. Semalaman Sawerigading merayu I We Cudai dengan harta yang
banyak, namun ia tak bergeming sedikit pun. Ia tetap tak mau tunduk kepada
Sawerigading.
Selama tujuh malam Sawerigading diantarkan oleh angin menemui
I We Cudai yang dikenal dengan “Botting Ranenring” (perkawinan-angin).
Sudah habis harta yang dijadikan hadiah dan pemberian, namun wajah I We
Cudai belum terlihat dan tubuhnya belum tersentuh olehnya. Mengetahui
keadaan kakaknya tersebut, We Tenriabeng lalu menurunkan sebuah istana
yang lengkap dengan isinya untuk kakaknya yang malang itu, sebab perahu-
perahu Sawerigading sudah tak layak lagi ditempati banyak barang. Istana
tersebut diberi nama istana Mallimongen. Atas saran orang tua I We Cudai,
Sawerigading menikahi I We Cimpau sambil menuggu luluhnya hati I
We Cudai. Sejak saat itu Sawerigading dan I We Cimpau tinggal di istana
Mallimongen bersama para pengikutnya.
Pada suatu malam, ketika sedang nyenyak tidurnya, Sawerigading
dibangunkan oleh angin yang membawa pesan dari adik kembarnya di
Bottillangi. We Tenriabeng menegur Sawerigading yang terlena dalam pelukan
I We Cimpau, padahal bukan dia yang membuatnya berlayar mengarungi
lautan dan meninggalkan negeri dan kedua orang tua mereka dalam keadaan
merana. Sekaranglah saatnya yang tepat mengunjungi I We Cudai yang
sedang tertidur lelap tanpa menghiraukan lagi pasangan kelambunya dan
tidak memerintahkan lagi memalang pintu biliknya. Setelah mendengarkan
pesan adiknya tersebut melalui bisikan angin, Sawerigading segera berangkat
ke istana La Tanete menjumpai I We Cudai di biliknya tanpa diketahui oleh
orang lain.
Semalaman Sawerigading terus merayunya dengan harta yang banyak,
namun telah habis harta yang diberikan, demikian pula kekuasaannya, I
We Cudai tak juga mau menyerahkan dirinya ke pelukan Sawerigading.
Sawerigading mulai merasa gelisah dengan kekerasan hati I We Cudai.
Sawerigading teringat akan Orosada yang berkepala dua dan ujung dahinya
bertolak belakang, ia lalu berjanji akan memberikannya kepada I We Cudai
yang membuat I We Cudai merasa geli. Ia merasa Sawerigading sedang
mempermainkannya sebab ia tak mungkin memiliki Orosada berkepala dua
tersebut. Setelah Sawerigading membuktikan janjinya, barulah I We Cudai
berpaling.
Malam itu, untuk pertama kalinya Sawerigading merasakan sesarung
dengan I We Cudai. Terbesit penyesalan di dalam diri I We Cudai setelah
menyentuh tubuh Sawerigading yang selama ini disangkanya pengawalnya
yang telah membisikkan kata-kata yang menakutkan itu. Ternyata menyentuh
tubuhnya bagaikan menyentuh kain sutra yang halus dan tidak lusuh. Sudah
hampir dua bulan Sawerigading menjalankan tugas seperti suami dewa yang
425
berangkat malam dan pulang sebelum pagi. Setiap malam ia berangkat ke
istana La Tanete ditemani oleh La Pananrang yang setia menunggunya di luar
ketika ia sedang bercengkerama di dalam bilik I We Cudai.
Sawerigading sangat bahagia melihat perubahan sikap I We Cudai
kepadanya. Namun ketika Sawerigading meminta agar ia mengizinkannya
tinggal terus di La Tanete, I We Cudai tidak mengiakannya. Ia merasa malu
karena sudah terlanjur mengatakan tidak mau ditiduri oleh orang Luwuk.
Ketika I We Cimpau mulai hamil, Sawerigading tak pernah lagi menjumpai
I We Cudai di istananya, sebab ia tidak tega meninggalkan I We Cimpau
seorang diri dalam keadaan mengidam. Pada saat yang bersamaan ternyata I
We Cudai juga mulai hamil dan lahir lah putranya diberi nama I La Galigo.
Lima tahun setelah kelahirannya di atas tikar emas, paman-pamannya
La Pananrang dan La Massaguni mengajarinya menyabung ayam pada
sabungan emas, sehingga ia pun mulai megadakan sabungan bersama teman
sebayanya. Ketika diadakan upacara naik raga I La Galigo, para kerabat
Sawerigading yang berasal dari seberang lautan berdatangan ke tana Wugi
untuk meramaikannya. Raja-raja di Cina sangat kagum akan kebesaran raja-
raja kerabat Sawerigading.
Atas saran kakak sepupunya We Tepperena, I We Cudai mengadakan
acara sabungan ayam dan mengundang seluruh penyabung di sekitar Cina
seputar Sabbang yang berbatasan dengan Tanah Wugi. Tujuan sabungan itu
adalah agar I We Cudai dapat melihat putranya yang konon kabarnya sudah
pandai menyabung. Para penyabung pun mulai berdatangan, tak ketinggalan
pula Sawerigading yang datang bersama putranya I La Galigo.
Ketika para penghuni bilik melihat kegagahan Sawerigading, mereka
mencerca kedunguan tuan putrinya I We Cudai yang telah menghina dan
menolaknya dan betapa beruntungnya I We Cimpau yang menikahinya dan
bersesarung dengannya, orang yang begitu sempurna di Alelino dan susah
ditemukan. Mendengar ucapan para pelayannya, I We Cudai segera menjenguk
keluar jendela. Ia melihat Sawerigading yang sedang dipayungi payung
emas bersama putranya I La Galigo yang sedang menari Maloku mengayun-
ayunkan destarnya, dan melenggang lenggokkan pangkal lengannya, serta
memencak-mencakkan jari tangannya.
Setelah berbicara dengan Sawerigading menantunya, Opunna Cina pun
segera menggendong cucunya naik ke istana La tanete yang disambut taburan
bertih keemasan oleh ibunda yang telah membuangnya. Ketika Sawerigading
melihat I We Cudai tunduk menjemput putranya dan menggendongnya di
pinggangnya, ia kembali dimabukkan oleh kecantikan dan kebaikan I We
Cudai.
426
BALINESE IN MINORITY SPEECH
COMMUNIITY
427
whom they communicate with. Those from Sudra cast will use higher
level to address those who are from higher social status. BB with its
speech level is not commonly used as media of interaction by Balinese
(in this case is Hindu people) only, but also other religion’s followers
who were born and have been being involved with Balinese society for
decades.
The people of Kampung Sindu sub village at Sinduwati village,
Sidemen district, Karangasem regency are one of group of people
who are accustomed to BB. They are entirely Moslem. There are
two mosques in which member of community do religious activity.
The people base their daily activities on Moslem religious concepts,
such as educational, social duties, and traditional obligation. Moslem
education is included in the curriculum. The elementary school is
called Madrasah, a Moslem school under Almajid foundation.
This sub village is geographically considered exclusive since
it is surrounded by sub villages resided by Hindu community in
majority. Nevertheless, the community of Sindu Islam is considered
obedient Moslem follower. It can be seen from their daily behavior,
such as doing a five time-prayer, fasting on Ramadhan, and goodwill
to their neighbor, and other certain religious activities. Islam is unique
politically, traditionally, and religiously. The community is considered
a minor Moslem group in Bali, but they claim to be one of majority
Moslem. For them, Moslem is a religion of heritage not only as a belief
having abstract value but also as an attribute or symbol of culture which
differentiates Moslem community of Sindu Islam from other Moslem
community, or from Hindu community at its borders. The situation
influences them to identify their group to find their identity. The case
leads in an implication to some aspects, such as social, culture, as well
as language use either for needs of internal communication within the
community or external communication including Hindu community
at its surrounding.
The study was initiated with an empirical study throw observation,
interview, and questioner. Throw the initiating observation it was
found that the community of Sindu Islam is a bilingual or even
multilingual community. It was signalized that there is a different
pattern of bilingualism which is relatively different from other speech
community, particularly when their bilingualism interacting pattern is
viewed from some social factors, such as difference in age, gender, and
social status of the community. Pursuant to the prior observation, it
was found that they use BB as their daily media for communication.
Obviously, BB is known to have a complex speech rule which
428
drives a diglossic speech situation. The phenomenon is resulted by
the existence of birth status; whether one was born in the family of
triwangsa (three high casts) or jaba (the lowest cast). The dichotomy
between the triwangsa and jaba is not absolutely found in Sindu Islam
community however, they have to be alert with the system since they
have to interact daily with people from the two casts at their neighboring
areas. This is one of problems that need to be further observed. Is there
a diglossic language situation, if so what is the situation like?
The same case on language situation as explained above is
assumed to happen in residences which residents are majority non
Balinese, like in Sindu Islam. In this area BB is used as vernacular,
language for daily interacting media.
Considering the salient case, the research is focused on studying
the choice and use of code by Sinduwati Moslem speech community.
The research is undertaken by virtue of sociolinguistic perspective
since backgrounds of history, religion, culture, and language situation
found in Sinduwati is considered typical.
2. Statement of Problem
Pursuant to the background explained in advance, the main
problem of this study is the use of code by Sinduwati Moslem speech
community. The problem is detailed as follows; 1) What codes are
spoken by the speech community of Sinduwati, and which code is
dominantly chosen as their daily media for communication?, 2) Is
there different use of code associated with the domains?
429
life associated with each domain, their responses related to reasons
why they choose and use the code in each domain.
Some techniques, a set of more operational way of collecting
data (Sumarsono, 1990), are used in this research, such as interview
and observation, elicitation, taking note, and recording technique.
Interview, note taking, and elicitation was done in accordance with
questionnaire to obtain non verbal data, while observation and
recording was incidentally to get real data.
4. Some Concepts
4.1 Code
Holms (1997) proposed that code refers to any set of linguistic
form which patterns according to social factors. It is a set of linguistic
term referring to language in context. A code or variety is a set of
linguistic form used under specific social circumstances, i.e. with
a distinctive social distribution. Code is therefore a broad of term
which includes different accents, different linguistic style, different
dialects and even different languages which contrast with each other
for social reasons. This term (code) is linguistically neutral because it
covers all the different realization of the abstract concept ‘language’
in different social contexts’ (Holmes, 1997:9). This definition is in line
with Wardhaugh’s (1986) idea, ‘any kind of system that two or more
people employ for communication’. This broad notion includes not
only language or the standard language but also varieties of language,
such as dialect, style, low standard language, pidgin, Creole, patois,
vernacular, as well as lingua franca (Wardhaugh, 1986:86).
The definitions signalize that code is a set of linguistic form
which patterns usage depends on social context and a number of social
factors. In other words, code is used under specific social circumstances
(Sumarsono, 1990:84-85; Hudson:24). This term is used in this research
since it is neutral linguistically since it refers not only language but
also accent, style, register, and variety of language.
By virtue of this clear cut, the community of Sinduwati has been
employing some codes used interchangeably. There are three standard
languages as a means by which they interact in their daily lives. BB is
used more widely than BI, such as interaction between family members,
between people around their neighbor, between colleagues at market,
between people at farming areas, between relatives or community
members when involving in any traditional and social activity. BI
is exclusively used for interaction between students and teachers at
430
school and in the case when they serve friends or guests who speak BI.
B Ing., however, is used in more specifically occasion, such as between
English teachers at school or in classes at school which subject taught is
English. In addition, it is mainly used to communicate with foreigners
visiting this village for certain purposes.
Apart from the main means of communication, Arabic and
Malay (the old version of BI) are used specifically in a religious
domain officiated at mosque. These two codes are frequently used
as communicating media on preaching or mebebasan. This activity is
usually undertaken a day before Moslem holidays, such as Ramadhan,
Israk Mi’raj, and other special days. At this occasion, the person in
charge to read the text called amir reads the Arabic text in Malay using
melody of sacred song. Since the text is built of paragraphs, amir reads
paragraph by paragraph. A priest translates the paragraph after being
read in BB. The translation is uttered in such away in BB so that it is
comprehensible for the participants. In addition to this practice, Arabic
is also used in other circumstances, for instance when priest or leader
of Mosque open meeting on a religious or traditional activity, like
prayer, giving speech on wedding ceremony, anniversary of Mosque,
celebration officiated at Mosque, as well as in an Arabic subject class
at school.
431
proof, they reside the areas lower than those of the triwangsa.
The lasting heritage can all time be viewed in the form of
their behavior, sense of integration, solidarity, and coherence to
the triwangsa who are believed to be descendent of royal family of
Karangasem kingdom. They solely dedicate themselves to take parts
to cooperate with the triwangsa when there is a religious, social, or
traditional activity at triwangsa families, such as cremation ceremony,
mutual work, and others. The Moslem people find that it is a part of
their duties to enhance harmonious live with each other.
432
whoa are at the same ages acting as friends or colleagues. This
domain is characterized with relax situation, and the verbal
interaction occurs at uncertain sites like street, lane, rice field,
or farm. The topics discussed are those in accordance with their
interest, concern, including their concern on parents, fashion, TV
program, games, and others.
3. Neighbor domain. The interlocutors involved in this domain
are relatives, friends, and neighbor living side by side with the
speakers. The topics talked in this case are general ones, such as
gossip, fashion, entertainment, and other social problems.
4. Education domain takes place at school but not in class room or
study room, such as school yard, square, canteen, teacher’s or
staff room. This is based on an assumption verbal communication
in learning process is done in BI. They are asked to determine
language choice they most intensively use when they do
interaction with friends, teachers, staff, and cleaning service.
The topics discussed are things related to school either directly
or indirectly, including teacher, class mate, teaching-learning
situation, and test.
5. Government Domain. This domain involves the use of language
when participants deal with things in formal situation, such as in
village administration office or government offices.
6. Transaction domain includes activities like goods or service
trading transaction, especially that of bargaining at traditional
market, stall, and other transaction sites.
7. Religion domain includes discussion or talk concerning things
related to religion (Moslem) between priest, ustad, amir, haji and
members of prayer at mosque, boarding (pesantren), and other
boarding sites.
4.4 Recording and Questionnaire
Recording and questionnaire techniques as devices to obtain the
primary and secondary data respectively were used as the most device in
this stage. Questionnaire contains a number of questions or statements
pursuant to which respondents have to make a short dialogue built up
of at least two sentences. To make it representative for nearly all types
of common question or sentence respondents usually include in their
daily talks, there are a number of language functions based on which
their sentences are constructed. The language functions include asking
thing, requesting, commanding, saying compliment, accepting invitations,
complaining, telling information, refusing invitation, inviting, and offering
433
things.
Recording, on the other hand, is undertaken to obtain real data on
code used by the community. In this case, a number of speech situations
or dialogues in the seven domain ware recorded. The recording
was done in with a secret method in order for them to perfume the
communication in a real life situation.
5. Analysis
There were some questions to respond up on the field observation
through recording and interview with questionnaire, namely 1) the
code spoken by Moslem community of Sinduwati, 2) the use of code
associated with different domains, and 3) speech level used in relation
to those domains.
434
BB when they speak with those from the same age, older or younger
than them, those having higher or lower social status. As it had been
explained in advance, there were seven domains each of which is
differently determined to pursue reliable data.
a. Family Domain
This domain is considered to be the most domains in which
BB is eternally used since there are three different age-based speech
community involved, such as old people (parents), adults, and young
people. Parents are those who are married and / or have children. They
are normally one parents in one house counted as one family to be
recorded at sub village administration. Basically, there are 150 (one
hundred fifty) families at Sindu Islam sub village. However, not all of
them are residing at this village. Many of them live out side the area,
out side Karangasem regency, or even out side Bali to earn living.
Adults are unmarried people who are upper seventeen. Each
family usually has at least one child who may be adult or youngsters.
They are mostly, even thought many of them are employees, students
of senior high school and university. And young people on the
other hand are those who are younger than adult. They are mostly
elementary school and junior high school students. Although some of
young people and adults of the sub village live out side there are still
many who live for school or work at the area from whom the data were
gained.
The three aged-based groups of pure respondents are always
involved in the speech event in balanced. The speech event does not
only occur intra the same-aged participants but also inter participants
who are from different groups. This case is also a part of the research
point since there is possibility of difference in code used by the
participants.
Old people are considered more static than the rest two age
groups of people since they are less tolerant toward interference and
new ideas. The interference can be linguistic and non linguistic which
dominantly result in changes in the way they communicate with the
language. The more tolerant they are with such interferences the more
language phenomena they will be committed in, such as code mixing,
code switching, or code borrowing (Wardhaugh,1986:86 ). As the result,
there will also be process of convergence, a phenomenon in which
they accept and try to use their interlocutor language for the sake of
maintaining communication to avoid conversation break down.
In the real life situation, old people of Sindu Islam sub village
435
mostly have and use one language (BB) for their daily interaction. They
do not, even though know Indonesian from some mass media like TV,
radio, or the papers, use BI or other languages to hold interaction with
each others.
Based on the recorded data and that obtained with questionnaire
there are 10 (ten) language function-based items of question to be
responded by the old-aged participant name M. Amin with his wife
as the interlocutor.
Having seen the BB spoken by respondent in this domain, the
lowest level of BB (Kepara) seems to dominate the language. They even
never used the higher levels of BB which is a lot more honorific (like
Madya and Singih). According to the respondent there are two main
reasons by virtue of what they are committed to using such level of
BB; (1) they are alert to be common people; (2) BB Kepara is suited with
such speech situation.
According to social stratification, Moslem people do not have
casts based on which Balinese (in this case Hindu community) live in
society. They live as other religion followers (except Hindu) do. Hence,
they also use one means of communication to generalize and simplify
their way of interaction. As the result this brings on a good harmony
among them. In addition to this, BB kepara fits with the domain and
situation under which both speaker and interlocutor interact. This is
in line with Hyme’s (1973) perspective Ethnography of Communication
proposing parameter pursuant to which speakers usually decide what
code to use during interaction. It is explained that communicators and
communicants tend to consider the eight components of parameters
during the communication, called SPEAKING, including Scene,
Participant, End, Act sequence, Key, instrument, Norm, and Genre.
Data 1 “Nu sakit sirahe, Bah?” is a common expression to ask whether
some one still gets headache or not. Since the talk occurs at family
domain between spouses they do not use the more honorific levels (BBM
or madya or even BBS or singgih) otherwise it sounds strange or odd, like
“Kantun sungkan duwure?” or “Napi kantun sungkan prabu retune?”.
436
seem to feel that there is no border raising a gap in using BB. This
code is considered a common means of communication by which they
communicate their ideas of any kind. However, to show their being
absolutely familiar, old people do not infrequently use BBK with lower
type of addressing system.
The expression in data 3 “Cai nake ngateh memene ke peken!” is very
salient to show how relationship between the speaker and interlocutor
is made very closely. The word “cai” meaning “you” emphasizes that
the speaker uttering this expression feels that there is no border existing
between them. This is, even though not found in all family members,
especially those living away from their origin” very common done by
local family who has been residing at this area.
The lower class of BBK spoken by the old people to adults in data
3 is not constant. It depends mostly on whom (adult people) they speak
to and when the dialog takes place. If the speaker speaks with adults
who are from higher cast of people who have higher social status their
sentence choice will certainly be different.
There is then a bit different fact drawn by old people to young
people’ utterance. In addition to the use of BBK, BI is also frequently
used since it seems to be a common media. The expression (in data 4),
“Memene ada jumah, Luh?” is an obvious evidence of the use of BBK.
This expression is commonly expressed by old people to young people
whose mother tongue is BB. However, data 5 “Ma, diam nake Ima?”
is uttered by an old people talking with her grand daughter whose
mother is from Bandung. Regardless of the use of totally BI or mixed
BB and BI, this case usually happens in the case that the children are
from families whose mother or father is from other Moslem community
like Java, Lombok, Madura, Bandung, or other non Balinese speaking
regions. This is caused by the fact that BI is commonly used by the
parents who share different mother tongues.
Generally, BB is used for interaction between old and young
people in this domain. They tend to used BBK which is a common
means of interaction among them. However, BI is also sometimes
used by old people to talk with young people whose father or mother
is from out side Sindu Islam sub village, for example Java, Sumatra,
Sulawesi, or other origins.
b. Friendship Domain
BB, even though not entirely, is dominantly used as the language
for communication among people of different ages at friendship
domain. The main reason is basically the participants and scene
437
perspective, i.e. who is being involved and when or where does the
speech take place. The following data draws how BB is used in this
domain.
Data 6 “Sing nyidaang, legaang malu”
Data 7 “Dija mesekolah jani, Tut?”
Data 8 “Nyen meliang sepatu luwung ne, De?”
The three expressions above were spoken by old people. They are
uttered to three differently-aged participants; they were old, adult, and
young people respectively. Obviously, the expression is not different
one another in term of the type of BB used. There is no speech level
applied by the speaker therefore, it sounds common and standard.
The speaker did not see that he should use different types of BB (BBM
or BBS) since the participants were people he knows very closely and
speech situation under which the event occurred was eligible to do
so.
The following three data, however, was spoken by an adult
speaker to three different participants. Despite of using BBK the BBM
was also used as one of the participant being involved in the speech
event was a priest whom the society usually respects for his religious
and social duty. This case can be seen in the data 9 “Tan ada acara napi
ring Masjid?” The adult speaker in this case used BBM even though
in a simpler way. His being not very familiar with BBM made him
use BBM doubtfully. As the result he inserted some terms in BBK to
compose a BBM expression. The words “tan”, “acara”, “napi”, “ring”
belong to BBM while “ada” belongs to BBK.
In the data 10 “Nyanan SMS gen raga nah?” and data 11 “Cobak
loking pulpen ne, dija meli pulpen ne?” the speaker used BBK entirely
to show his being very close to participants. In daily life people
normally show their friendship with some signals, such kinesthetic,
facial expression, and language. The use of non formal language in
an interaction can signalize that speakers and interlocutors have
good friendship. The speaker, in this occasion, tries to show that his
relationship with adult speaker (in data 10) as well as with young
speaker (in data 11) are the same.
Young people also show totally the same circumstances on the
use of BB in their interaction. Since this domain is grouped into less
formal one it then influences the language use. In data 12, “Ha ha,
ngeling ya pak”, the speaker uses BBM to show his being closed to
the interlocutor. The next two utterances from the young speaker,
such as data 13 “Gas ibi sing solat ya, gas puan sing solat ya” and
438
data 14. “Kuda meli?” are the salient examples on how BB is used in
interaction.
c. Neighborhood Domain
Like domain of friendship, family, transactional, and religious
which implicate non formal situation, neighborhood domain also
involves BBK since it is the setting considered to be non formal one.
Even though, there is code-switching occasionally occurs, depending
on whom the speaker speak to, BBK is still the main chosen media of
interaction among the society. The following data is best to describe
the phenomenon. Data 15 “Da ja kenten napi”, Data 16 “Ten ngalih TV
pak AJi?, niki ampun wenten nak ngadep”, data 17 “Jemak ketone”,
data 18 “Niki ujan-ujan, apang angetan, wedangin dumum”, Data
19 Ngajeng malu de?” are that using BB both “madya” and “kepara”
level since neighborhood is the second most familiar domain after
family domain to which society are closely involved. In other word,
it is the first environment people usually communicate with up on
their leaving their family. Similarly, in accordance with Balinese social
activities and traditional and religious obligation, neighbor is the first
party we have to cooperate or to discuss with when we have such
activity or event as death, wedding ceremony or others. T h e r e f o r e ,
BBK is mostly used for the media of interaction. As we can see, data
17 and 19 use BBK since speech participants involved are those who
are from “sudra” level. However, the words choices do not meet its
function when they communicate with people from upper level or “tri
wangsa”.
Data 15, 16, 18 above show, although not totally BBM, how words
are set and chosen in order for speech to be in accordance with higher
level of people, the “tri wangsa” group. However, they still apply some
BBK words in stead of BBM for some reasons. They use “de ja” instead
of “sampunang ja”, Ngalih” instead of “ngerereh”, “nak” instead of
“sane”, “ngadep” instead of “ngadol” “ujan-ujan” instead of “sabeh”
and apang “instead of “mangda”. This is done as the speakers feel
that they are well acquainted with their interlocutors yet still intend to
respect them.
Data 20 “Sana tunggu di luar dulu”, however, is the one which
is apart from the means of communication above. This case occurs
occasionally, particularly when the interlocutors do not know or are not
familiar with Balinese. This treatment is usually given to children born
up to intermarried spouse, which one of them come from out side Bali
or Sindu Islam, such as Lombok, Java, Bandung, Jakarta, or Sumatra.
439
The speaker will use BI the language which is firstly transferred by
their parents to their children, to avoid communication brake down.
d. Educational Domain
Despite the formal situation, BB is still the main means of
communication among members of speech community at school. BBK
is the most language spoken by the participants at this domain. The
following three utterances expressed by old people (a teacher and the
school head) use BBK. Data 21. “Iyang mara masuk suba maan DP,
orahin nyemak hadiah”. Data 22. Kene ceritane, waktu rapat-rapat
tujuine I raga jak bu agama…”, data 23. Ngih tiyang ke bawah dumun,
masalah uang niki”. BBK is dominantly used for communication at
school by teachers. It is obvious that the speaker of data 21’s utterance
tried to use BB words totally since he is an old man whose language of
interaction is BB in his every day life. However, in data 22 and 23, he
inserted some words of BI since he spoke with the school head whose
position is higher than his in the institution. Some words of BI were
applied in order for his to make more clear sentences in accordance
with the context of situation.
Similarly, the adult speaker at school also tends to use BBK with
some code-switching to BI when doing interaction. Data 24 “Sareng
bu Dayu, bu Dayu kan ditelpon di sekarang katanya oke. Langsung
ngerereh contoh blanko ...kenten.. langsung ngerereh contoh blanko
..kenten..alngsung ngaryanin langsung dikirim”, data 25. “pak dados
langsung kenten dumun” both contain code-switching from BB to
BI, and data 26 “blangko nika meanggen sampun dikirim” factually
draw how adult speakers constructed expressions in this domain.
Apparently, adult speaker who gets used to using BI in his daily life
tends to insert BI words more than old people do.
Nevertheless, young people intensively use BB at school to
communicate with their colleagues. In the following data, it can be
clearly seen that they construct their BBK sentences with insertion of BI
sometimes. Data 27 “sajan iraga gen kene ajak jaja, ane muani-muani
tileh jajane” and Data 29 “Bungkusin nake” were uttered with totally
in BBK, while data 30 “Nak pak guru nyedekahang pis, langsung bagi
raga ajak dadua” still inserted mixed BI and BB and pure BI words,
such as “nyedekahang” and “langsung” respectively.
e. Governmental Domain
Governmental domain focused in this research is that related
to Sinduwati village administration, especially Kampung Sindu sub
440
village. Unlike other domain where BBK is involved totally, this
domain is that where bilingualism is applied. Therefore, BI is a bit
more commonly and widely used since communication does not only
involve local people but also outsiders. In addition, topic of speech
also extends more widely to other topics which enable speakers and
interlocutors to use BI. The data beneath which are uttered by adult
and old people overtly clarify how the language(s) and itys variety are
used.
Data 31 ”Ada teka pak Kades ibi?”
Data 32 “Tolong info teman-teman tentang cuti bersama, nah!”
Data 33 “Dusun Kampung Sindu mula konden ngelah bale banjar”
Data 34 “Masyarakat driki nak sampun baur saking dumun,
tan wenten gap,
Data 35 “Tanah nika wantah pican griya, makane semeton muslim driki
sering ngayah ke griya yening wenten karya.
Data 36 “Jumat hari pendek kantor tutup jam sebelas nika”
Obviously, BBK is used in data 31 and 33. The speakers are aware
that their interlocutors are local people who feel more convenient if
they use BBK in that setting and scene. In addition, the speech situation
is also considered non formal, i.e. at the parking area of the village
office. However, 32 and 36 draw how dialogue occurred in a formal
situation. The speaker in this case used BI to communicate with her
interlocutor (her colleague) pursuant to office-related topic. In data 36,
speaker also tried to use BI to respond to an interlocutor’s questions
who is not a part of their colleagues. On the other hand, data 34 and 35
involved BBM to show speaker’s courtesy to the interlocutor.
f. Transactional Domain
This domain put forward traditional market as a setting in which
BBK is used for communication. The interacting media shared by
speakers basically similar to that of other domain. However, some
language functions used by both speakers and interlocutors have
special embedded expressions which make them sound different from
that used in other domain. But the analysis will highlight it as the main
focus in this study.
The following expressions are spoken by both old people and
adults. Data 37. “Ento buin mudahan, ento kone ji solase”, Data 38.
“Ji dasa, ji dasane, sing ji siane”, Data 39. “Oh, potong orange. Kaden
nak ji solase, kaden nak ji telung atak”, Data 40. “Pindang ane cenikan
to bang”, Data 41. ”Nika tan wenten, lamen kun wenten nika” all
441
use BBK as the most common means of communication at market.
Clearly, the variety of BB used commonly in market is that used by
community member in other domains, i.e. BBK. It can be seen from the
linguistic items used in terms of vocabulary, grammar and structure.
All vocabularies by which sentences in data 37, 38, 39, 40, and 41 are
built up of are derived from BBK. However, some of those words, as
in some cases of other domains are pronounced shorter than their full
forms. The words “ji , nak, atak, ane, to” are actually from the full
forms of “aji, anak, satak, sane, and ento” respectively.
g. Religious Domain
Religious domain covers some activities such as those carried
out in mosque, wedding site and other related setting. Speech event
taking places at mosque particularly involved speech event involving
BBM, the middle class BB usually used to interact with people from
ksatria cast. In this case the setting was at mebebasan, reading a religious
text written in Arabic language using Malay language and translated
into BB. Since the situation of the speech is formal and religious and
viewed by Moslem devotees, BB is used as the media of translating the
text is BBM. Look at the following data. Data 42 “Di sampune weneten
titah dane Allah Sbahana Wata Allah mangkin malaikat Jibrail sareng
malaikat Bikail rauh ke surga ngambil Burak sane keliwat jegeg”,
data 43 “Nah, disampune keambil, burake niki raris tedun ke dunia,
kenten”, data 44 “Mangkin wenten titah ida Allah Uta Allah, perintah
ida Allah Uta Allah dalam Israk Mi’raj niki taler wenten firman ring
Alqur’an.
The three data of the translation of Moslem religious text use
BBM. Basically, the speech involved BB based on variety of language
people use in daily life. Since the speech situation was considered
more honorific, the interpreter decided to use BBM to be respectful
to the participants. This can be proven that all words in the sentences
used BBM except those related to Moslem terms such as, Allah, Uta
Allah, Sbahana Wata Allah. Apart from this there is also Indonesian
word used, like “dalam”. The salient fact successfully proves that BB
is still the main media of communication for Moslem community of
Sinduwati in religious domain.
Od, educational, governmental,
6. Conclusion
Up on the analysis, there was two conclusions can be drawn, as
follows; (1) Moslem speech community use BB as the main means of
442
communication among their colleagues. This language is used in all
domains observed during the research, including family, friendship,
neighborhood, educational, governmental, transactional, and religious
domain. (2) There is speech level applied by Moslem speech community.
The case is applied depending on scene, participant, end, act sequence,
key, instrument, norm, and genre.
BIBLIOGRAPHY
443
ESENSI PITUTUR YANG
BER- CHARACTER EDUCATION SEBAGAI
LOCAL WISDOM DI BALI
Latar Belakang
444
mengarah atau mencapai relevansi efektifitas dan efisiensi.
Maknanya jelas bahwa pendidikan sangat dibutuhkan bagi
setiap daerah, dan semua arahnya itu sangat bagus oleh karena itu
perlu adanya kebijakan untuk mengembangkannya. Hal itu tidak
mudah perlu kebijakan dari semua unsur baik dari keluarga, sekolah,
hingga pemerintah negara. Unsur yang paling dekat dengan mudah
dikenalnya adalah dari keluarga. Keluarga satu-satunya alat berpijak
yang paling kuat dalam rangka mengendalikan dan membina segala
bentuk perkembangan hingga pendidikan generasi muda untuk
mencapai cita-cita luhur. Dasarnya dari lingkungan keluarga terlebih
dahulu dengan nasihat yang patut didengar dari orang tuanya. Jika
keluarga turut mendukung keberhasilan generasinya maka akan
semakin cepat untuk meningkatkan sumber daya itu. Namun jika
keluarga tidak mendukung bagaimanapun arah kebijakannya tidak
akan mampu untuk diaplikasikan selanjutnya.
Selain harus selalu tekun sembahyang sehari-hari generasi muda
harus selalu dikendalikan dengan penuh bijaksana melalui nasehat
atau pitutur (istilah Bali). Budaya memberi pitutur terhadapnya sudah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penduduk Bali sejak masa
lampau. Untuk itu hingga kini ajaran tersebut tidak terlepas dari benak
setiap orang tua untuk harapan masa depannya untuk bisa menjalani
hidup yang lebih baik. Dasar memberi ajaran kepadanya dilandasi
oleh naskah (lontar) yang mengandung nasehat. Dari latar belakang
tersebut ada beberapa hal menjadi rumusan masalah yang perlu dibahas
sebagai berikut. 1). Bagaimanakah esensi pitutur yang didasarkan atas
naskah (lontar) Kumara Tattwa? ; 2). Bagaimanakah esensi pitutur yang
didasarkan atas naskah (lontar) Jatiswara? Untuk lebih jelas, bahwa
tulisan ini mempunyai tujuan agar mendapatkan pemahaman yang
luas serta menemukan titik terang ketika permasalahan tersebut
muncul dan dapat disikapi dengan penuh bijaksana oleh orang tua
ataupun yang mengasuhnya.
Untuk memahami isi kedua naskah itu, perlu adanya pemahaman
secara mendalam, serta dapat menginterpretasi maknanya. Disamping
itu agar bermanfaat pula dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan
sebagai pengkaji budaya yang memfokuskan perhatiannya terhadap
keselamatan dan kebahagiaan generasi muda melalui pemahaman
naskah (lontar) dan ajaran tersebut yang layak untuk dikaji. Tulisan
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap orang
tua untuk bisa mengevaluasi gerak gerik keturunannya ataupun
membantu mencari jalan keluar dalam menghadapi permasalahannya
dan membuatnya menjadi lebih berdaya dan berhasil guna dalam
445
mengembangkan kehidupannya di masa yang akan datang.
Pembahasan
Yang menjadi konsep dasar pemahaman ini adalah esensi
pitutur, character education, serta lokal wisdom. Kata pitutur menurut
Zoetmulder (2006 : 1308) mengandung arti peringatan, nasihat,
teguran, dan amanat. Jadi pitutur benar-benar digunakan sebagai
petunjuk bagi setiap anak-anak di Bali sebagai peringatan orang tua
agar anaknya memperoleh keselamatan lahir batin dalam menjalankan
hidup ini. Pitutur kadangkala susah untuk dicerna tetapi hal itu pasti
ada solusinya dengan cara merangkaikan dengan kisah-kisah cerita
rakyat serta memberi nasehat di saat-saat waktu yang senggang seperti
saat santai bersama keluarga, juga baik saat mengeloninya menjelang
tidur karena hal itu terbukti mau didengar dan dimengertinya.
Yang menjadi esensi pitutur ini adalah hal yang menjadi inti
pokok untuk dapat dengan mudah dpahami lewat nasihat yang
dipaparkan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk memberi pitutur
lewat naskah (lontar) – naskah (lontar) yang berisikan hal – hal yang
mengandung petunjuk secara praktis dan menjadi inti pada naskah
(lontar) itu untuk dipahami lebih mendalam. Ada disebut pula
tentang character education. Tentu saja kata tersebut tidak diabaikan
begitu saja karena mengandung makna pendidikan yang berkarakter
atu bercirikan atau mempunyai suatu ciri – ciri pendidikan. Dalam
hal ini pitutur mempunyai ciri khas yang dipandang sebagai suatu hal
untuk dikagumi dan menjadi pelita dalam menjalani hidup bagi anak-
anak tersebut. Terkait dengan lokal wisdom, pitutur ini telah menjadi
trend dari masa lalu hingga kini yang tidak mudah untuk dihapus
begitu saja. Hal ini merupakan suatu kebijakan lokal para leluhur di
Bali untuk selalu memberi nasihat kepada keturunannya, sehingga
mampu menjadi tauladan di masa depan. Untuk memahaminya,
beberapa jenis pitutur yang penulis dapat dan telah dipilah dengan baik
akan dipaparkan dalam pembahasan di bawah ini sebagai berikut.
446
Kirthya Singaraja yang berisi kode katalogus K 2322. Naskah ini di
simpan pula di Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Lor
10.249 (Haryati Soebadio, 1985 ; 4).
Tutur Kumaratattwa merupakan satu dari beribu-ribu naskah yang
diwarisi masyarakat Bali hingga kini. Tutur Kumarattatwa mengandung
nilai-nilai luhur yang berisikan mengapa manusia menderita dan
bagaimana manusia melepaskan diri dari penderitaan itu. Adapun
sumber penderitaan manusia adalah dasendriya (sepuluh nafsu).
Intinya manusia harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan
dasendriya, ibarat penggembala menggembalakan gembalaannya,
dengan cara mengenali, dan memahami kejatidirinya sehingga
manusia dapat mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam
dirinya.
Jika dikaitkan dengan kehidupan di masa kini, maka naskah
ini sangat berperan sesungguhnya untuk mengarahkan pikiran para
generasi penerus bangsa guna mampu untuk menghindari dari
segala emosi jiwa yang tanpa kendali seperti adanya pembunuhan,
pemerkosaan, penculikan, pembakaran, dan masih banyak lagi hal
lain yang perlu diantisipasi lebih awal dengan mendalami tutur dari
naskah ini. Sehingga para generasi tersebut mampu menahan diri dari
gejolak baik itu dari dirinya sendiri, pengaruh lingkungan maupun
dari faktor keturunan.
Menurut Anonim (2003 : 30) Bhatara Guru mengatakan ada
seratus bentuk perwujudan dari sepuluh nafsu (dasendriya), ada juga
perwujudan tri guna (satwam, rajas, tamas) yang dinamakan ganitri,
digelar ditiga dunia. Karena itu manusia tidak mampu menghadapi
pancamahabhuta yang galak siang malam, pada setiap delapan
jam. Itulah sebabnya biji ganitri berjumlah seratus delapan. Yang
menimbulkan kepapaan menguasai sorga neraka, adalah astadewi atau
pracanamaya karena lahir dari Bhatari Parwati sebagai perwujudan
Bhatari Parameswari terdiri atas.
Jayasidhi, pikiran yang bersikukuh pada kemampuan diri, senang
dipuji dan tidak mau mengalah;
Caturasini, mengumbar pikiran, suka mencela orang, suka
menghina orang tua, tidak mengenal tata krama pergaulan
dalam menciptakan kebahagiaan dunia;
Namadewi, suka mengaku-ngaku, suka mengutuk, berlagak
kuasa;
Mahakroda, suka marah, suka berbohong, selalu bhuta hati dan
tatapan matanya galak, tidak pernah berkata jujur;
Camundi, suka berkata yang berbelit-belit, budinya goyah, tidak
447
berbakti, tidak ada yang dipuji, suka menindih tetapi tidak suka
ditindih, suka marah matanya galak;
Durgadewi, pikiran selalu ditimpa kesulitan tanpa disadari,
tidak tahu bahaya, tidak mengenal dosa, selalu berprilaku jahat,
harapannya tiada terbatas;
Sirni, selalu senang batinnya hampa, tidak mau berpulang pada
diri sendiri, suka mengaku-aku;
Wigna, nafsu asmara memenuhi dirinya berpadu dengan lubuk
hatinya, suka berkata melambung tinggi.
448
2. Naskah (lontar) Tutur Jatiswara
Naskah ini merupakan dokumentasi dinas Kebudayaan Provinsi Bali
karangan Ida surya Agung Adriya, berisikan uraian tentang.
- Wejangan atau nasihat seorang ayah kepada anaknya dengan mengingat
pengalaman yang dialaminya pada masa anak-anak, bila ingin
menghadap orang tua untuk minta nasihat, tingkah laku yang baik patut
dilaksanakan di dunia dan akhirat. Nasihat itu yang dapat dipakai bekal
dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
Nasihat orang tua seberapapun itu patut didengar karena hal itu
merupakan tantangan sebagai anak untuk menghadapi jalannya
kehidupan di dunia. Wejangan atau nasihat itu adalah bekal yang tak
ternilai harganya dari pada segudang uang. Karena itu merupakan
tuntunan untuk mencapai kesuksesan hidup. Oleh karena itu sudah
sepatutnyalah rasa hormat dan sujud dihaturkan sebagai rasa bakti yang
tulus dari seorang anak pada orang tuanya.
- Sang Hyang Jiwa, jiwa yang menyebabkan manusia bisa hidup. Jiwa
berasal dari Ida SangHyang Widhi dan patut disembah. Segala mahluk
hidup di dunia ini dihidupkan oleh adanya jiwa. Kita harus sujud bakti
kepada jiwa sehingga akan mendapatkan kebahagiaan.
’Segala yang ada di dunia ini apabila dijiwai oleh Sang Hyang Jiwa
(hidup) seharusnya dijunjung serta dipuja oleh semua mahluk hidup,
namun sesuaikan sikap menjunjung serta memuja dengan keadaan diri
yang dihidupkan oleh Sang Hyang Jiwa.’
Dijelaskan bahwa.
Apapun yang ada di dunia ini dikuasai oleh Sang Hyang Jiwa, karena
hal itu yang menyebabkan hidup. Segala sesuatu yang digunakan untuk
memuja, harus disesuaikan dengan kemampuan. Apabila kemampuan
terbatas, jangan memaksakan diri. Jadi memuja dengan melihat situasi
dan kondisi dari kemampuan umat untuk melakukan pemujaan.
”Sahana ning laksana, tusing ada kewehan teken laksanane bhakti nyungsung
sarwa mahurip. Keto masih paolih-olihane, tusing ada lewihan teken paolih-
olihan bhakti nyungsung sarwa mahurip.”
’Segala perbuatan tidak ada yang lebih sukar dari hormat dan tunduk
kepada mahluk hidup. Demikian pula hasilnya, tidak ada yang
menyamai pahala dari bakti dan menjunjung semua makhluk hidup.’
449
Dijelaskan bahwa.
Sebagai umat yang berjiwa hormat tentunya tidak membedakan
semua makhluk hidup. Hidup berdampingan saling membantu, tidak
membunuh hewan sembarangan, serta menata pepohonan disekitar,
itu sudah mencerminkan hormat dan bakti kepada semua makhluk
hidup.
”Awanan sang prajnyan pageh gati ngalaksanayang laksana keto, kandugi
patuhan ida solah Idane bhakti nyungsung ragane teken padewekan anake
elenan, solahe keto maadan laksana dharma.”
Dijelaskan bahwa.
Inilah sesungguhnya orang yang pandai menempatkan diri
dengan menunjukkan ciri khas pendidikan yang mempunyai
keteguhan diri dengan menjunjung tinggi rasa hormat dan tunduk
pada diri sendiri dalam menghadapi semua orang dengan tidak
membedakan posisi atau pun kedudukan.
- Laksana Dharma, tiada perbuatan yang lebih utama dari pada
berbuat dharma, namun sangat sulit agar mampu berbuat
dharma. Bila berbuat dharma berupa dana kepada yang miskin
dengan harapan imbalan maka tidak akan jadi berdharma. Orang
yang budiman akan selalu kukuh teguh melaksanakan dharma
karena itu sudah tersirat dalam sastra agama.
- Sang Hyang Pati (Kalamretyu), Yang menyebabkan mahluk
mati. Tetapi yang mati itu raganya bukan jiwanya. Jiwa ini akan
hidup di alam niskala dengan membawa hasil perbuatan selama
hidupnya. Melaksanakan upacara yang besar tidak akan dapat
mengubah hasil perbuatan. Disarankan berbuat yang baik selagi
hidup.
Disebutkan dalam hal ini.
”Yan melah laksanane dugase hidup, melah tampina paolih-olihe teken
atmane,
dadi melah atmane (swargane) nanging yan jele laksanane dugase idup,
jele polih- polihe tampina teken atmane, dadi jele atmane (naraka)”
”Yuadin buka apa baan ngedenang pangupakarane, apang mangdane
sida buung naraka, sinah tusing dadi. Umpama : cening malaksana jele
(mamaling) tur patut sisip.”
’Bila baik perbuatannya semasih hidup, pahala yang baik akan diterima
oleh atmanya, mendapat tempat yang baik atmanya (surga), namun
450
jika tidak baik perbuatannya saat hidup, tidak baik juga pahala yang
akan diterima oleh atmanya, mendapat tempat yang tidak baik atmanya
(neraka).’
’Walau sebesar apapun upacara (yang dibuatkan) untuk membatalkan
mendapat neraka, tentu tidak akan bisa, umpama : jika anakku berbuat
tidak baik (mencuri) pasti disalahkan. Walau sebesar apa pun ayah
membuat upacara agar bisa anakku tidak salah, pasti itu tidak akan
mungkin.
Jadi upacara tidak akan mampu untuk membatalkan hasil dari perbuatan
seseorang di alam sana. Oleh karena itu selagi hidup diushakan untuk
selalu berbuat yang terbaik sehingga tidak ada kesalahan yang ditebus
kemudian, dan kebahagiaan akan terwujud hingga mampu untuk
bertemu sang pencipta dan menuju asal semua yang ada di dunia ini.
”Buwina yan suba sida bahan ngundukang laksana kenehe sinah ngaranayang
lantang tuwuh, dening kapah nepukin pakeweh (pangring), laksanane satata
melah ngranayang nepukin rahayu, pageh salwiring gaenin, nyidayang asing
kenehang magoba sakti, krana yuahna kapatutane wiadin kasugihanne buka
tangan teken anake ane nyidayang ngundukan laksanan kenehe.”
451
Laksanayang bahan munyi patpat bacakane :
1. Munyi jele ngranayang nyakitin keneh
2. Munyi bangras
3. Munyi mamisuna
4. Munyi bobab (mokak) mrekak sekak
Laksana
1. Ngamati-mati, ngamatiyang ane tuara patut matiyang.
2. Ngodag-ngodag, ngodagang ane tuara patut kodagang.
3. Parikosa, maksa ane tusing patut paksa.
”Ento maka tatelu eda pesan laksayanganga teken ane kagedegang,
yuadin teken
asing-asing anak, dening laksanane, kenehe, munyine, ngranayang
anake demen,
tuara demen teken anak, awanan laksanane melah stata laksanayang
dikalane
melaksana makeneh yuadin mamunyi.”
”Sawireh keneh angranayang payu malaksana, mamunyi yuadin
makeneh kene keto, awanan kenehe madewek wisesa.”
452
Dari perbuatan.
1. Membunuh, membunuh sesuatu yang tidak pantasnya dibunuh.
2. Mencuri, mencuri segala yang tidak patut dicuri.
3. Memperkosa, memaksa yang tidak patut dipaksa.
Ketiga hal tersebut jangan diperbuat terhadap orang yang tidak
disenangi, demikian pula terhadap orang lain, karena (kelakuan)
perbuatan, perkataan dan pikiran yang membuat orang senang,
sebabnya perbuatan baik selalu dilaksanakan, (disamping) berkata
dan berpikir.
Karena keinginan yang menyebabkan mampu berbuat, berkata
dan berpikir itu, maka keinginan yang paling berkuasa. Jadi segala
hal yang terkait dengan perkataan dan perbuatan hendaklah
dipikirkan masak-masak terlebih dahulu agar tidak menimbulkan
ketersinggungan walau kelihatannya amat sepele. Walau rambut
sama hitam tetapi pikiran pasti tidak sama, setiap detik selalu
berubah. Hendaknya segala perkataan dan sikap hendaknya dijaga
guna terciptanya kebahagiaan dan kesenangan dalam pergaulan.
Oleh karena itu di depan sudah disinggung bahwa sikap hormat dan
tunduk hati mendominasi dalam pergaulan sehingga mampu menjadi
penetral diantara yang tidak netral.
- Menjelma, tidak ada yang lebih baik dari menjelma menjadi
manusia. Berbahagialah menjelma menjadi manusia walau nista
sekalipun. Sangat adil mendapatkannya. Penjelmaan menjadi
manusia sebagai tangga untuk naik menuju taraf kehidupan
bersatu dengan asalnya.
Disebutkan bahwa.
’Semua penjelmaan baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, hanya
penjelmaan sebagai manusia saja yang paling baik atau utama, karena
hanya manusia saja yang dapat berbuat baik maupun buruk, demikian
pula hanya manusia saja yang dapat memperbaiki perbuatan yang tidak
baik dengan perbuatan yang baik.’
’Demikian keutamaan menjelma menjadi manusia dbandingkan dengan
penjelmaan yang lainnya dari manusia karenanya tidak sepantasnya
manusia menyesalkan penjelmaannya walaupun keadaannya miskin
sekalipun, karena sangat sulit untuk dapat menjelma menjadi manusia.’
453
membahagiakan orang tuanya walau keadaan miskin sekalipun,
jangan pernah menyesal karena masih beruntung menjadi manusia.
Disebutkan pula.
” Keto adan laksanane ane anggon ngalih karahayuan (nepukin suarga) awanan
yang manbuatang ngalih daging yuadin kalegan; dharma malu laksanayang
sinah prajani bakat daginge yuadin kalegane.”
454
Selain dari pitutur yang berasal dari tutur secara tertulis di atas,
ada juga yang telah mentradisi secara lisan yang terucap tatkala ada
seseorang menilai dirinya dan merasa lebih mampu dari yang lain,
dengan ucapan kalimat.
”Eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin....”.
’Jangan menilai dirimu bisa biarkanlah orang yang akan menilai atau
menyebutkan....’
Dan ketika adanya pertanyaan dari penjelasan orang tua kepada anaknya,
karena pengetahuan orang tuanya terbatas, maka hanya dijawab.
”Anak mula keto”
’Memang begitu’
Hal-hal semacam itu sudah biasa dalam lokal wisdom di Bali. Hal
itu bermakna bahwa agar menjadi manusia tidak bersikap sombong,
intinya rendah hati, seberapapun kepintarannya dari yang lain. Serta
hal lain kemungkinan karena terbatasnya pendidikan maka hanya
dijawab ”memang begitu.” Padahal masih ada jawaban yang lebih
berbobot atau mengandung filsafat. Perlu disadari itulah keterbatasan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Demikianlah kedua naskah lontar yang dijadikan acuan untuk
bersikap bagi setiap generasi muda untuk memahami hakikat hidup
ini sehingga mampu untuk menghidupkan wiweka jnana (mampu
untuk menentukan mana hal yang baik dan yang buruk) sehingga
akan menjadi putra suputra yaitu anak yang mamou menyeberangkan
roh orang tuanya ke alam yang indah yaitu surga dan alam rohani.
DAFTAR PUSTAKA
455
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
PERSPEKTIF PELAJARAN BAHASA BALI
I Nyoman Suwija
IKIP PGRI BALI, Denpasar
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang dan Masalah
456
mengedepankan lima hal penting, yaitu:
(1) Manusia Indonesia hendaknya sungguh-sungguh bermoral,
berakhlak, dan berperilaku baik. Oleh karena itu, masyarakat
harus berwatak religius, beradab, dan anti kekerasan
(2) Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang cerdas dan rasional,
memiliki daya nalar yang tinggi, punya visi dan punya ide untuk
membangun masa depan yang lebih baik
(3) Manusia Indonesia ke depan harus semakin kreatif dan inovatif.
Bekerja keras mengejar kemajuan untuk mengubah keadaan
menjadi lebih baik
(4) Bangsa Indonesia harus memperkuat semangat “Harus Bisa” (can
do spirit), artinya, pantang menyerah, selalu berupaya mencari
solusi dan akhirnya melaksanakan solusi tersebut
(5) Semua anak negeri ini dari Sabang sampai Merauke harus menjadi
patriot sejati yang mencintai bangsanya, negaranya, dan tanah
airnya. Sekarang ini, kita tidak ingin menganut nasionalisme
yang sempit (narrow nationalism), tetapi nasionalisme yang cerdas
dan patriot yang sejati.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Mohammad
Nuh (2011:8-9) menyatakan bahwa kebangkitan suatu bangsa tidak
dapat dilepaskan dari sektor pendidikannya. Karakter pribadi
seseorang sebagian besar dibentuk melalui proses pendidikan. Oleh
karena itu, untuk membentuk pribadi yang terdidik dan bertanggung
jawab, mutlak dibutuhkan pendidikan yang berkualitas. Mohammad
Nuh sangat gencar mengampanyekan pendidikan untuk membentuk
karakter bangsa. Dikatakannya bahwa kultur sekolah perlu dibangun
karena kepribadian itu tidak hanya dibangun di dalam kelas, tetapi
dipengaruhi oleh berbagai macam interaksi. Karakter unggullah yang
akan dapat membangkitkan sebuah bangsa. Lebih jauh dikatakan
bahwa pendidikan kita secara imperatif harus mampu membangun
kembali karakter orisinil sebagai bangsa pejuang, tangguh, cerdas,
cinta tanah air, santun, dan penuh kasih sayang.
Menurut Mohammad Nuh (Diknas:8), dalam kaitan dengan
pendidikan karakter bangsa, ada tiga lapis (layer) yang patut mendapat
perhatian yaitu:
(1) Tumbuhkan kesadaran bersama bahwa kita adalah mahluk
Tuhan sehingga tidak boleh sombong, tidak boleh merasa
paling super, dan akhirnya harus saling percayai dan saling
menghargai
(2) Membangun dan menumbuhkan karakter keilmuan yang
sangat ditentukan oleh kepenasaran intelektual. Dari sinilah
457
akan muncul kreativitas dan produktivitas dan inovasi yang
sangat menenmtukan daya saing bangsa
(3) Pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter kecintaan
dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kecintaan
dibangun melalui rasa memilikii NKRI dan kebanggaan
dibangun melalui sikap menumbuhkan tradisi budaya
berprestasi (kontributif-positif).
Menyinggung aplikasi dari konsep-konsep tadi, muncullah
seruan Mendiknas kepada para guru untuk berkenan menjadi aktor
tauladan dalam berbagai disiplin ilmu yang diampunya. Terkait
dengan hal itu maka dalam sekolah formal ada empat faktor yang
perlu disempurnakan yaitu (1) materi ajar, (2) metode pembelajaran,
(3) guru, dan (3) kultur budaya sekolah.
Berbagai seruan dari kementerian pendidikan tersebut muncul
karena bangsa ini sedang mengalami masalah yang cukup serius.
Persoalannya sekarang adalah: (1) Mampukah bangsa ini mengatasi
persoalan negeri ini jika kembali pada jati dirinya? (2)
Benarkah keterpurukan negeri ini disebabkan oleh rendaknya
pendidikan karakter bangsa di kalangan pelajar? (3) Bagaimanakah
caranya menerapkan pendidikan karakter bangsa itu? (4) Apakah
masing-masing mata pelajaran termasuk Bahasa Daerah Bali dapat
diperankan untuk menyampaikan nilai-nilai karakter bangsa?
458
menyamakan dengan kebiasaan dan ada juga yang menghubungkan
dengan keyakinan atau akhlak. Dari pengertian tersebut maka jelaslah
karakter terkait dengan masalah kejiwaan. Karenanya, karakter
merupakan sistem keyakinan dan kebiasaan yang ada dalam diri
seseorang yang mengarahkannya dalam bertingkah laku.
Di manakah letak karekter itu dalam diri seseorang? Jawabannya,
Pikiran menghasilkan ucapan; ucapan mempengaruhi tindakan;
tindakan akan menghasilkan kebiasaan; kebiasaan membentuk
karakter; dan karakter menentukan nasib. Jadi pikiran merupakan
sumber sentral karakter seseorang. Pikiran yang baik akan
menghasilkan perbuatan yang baik dan sebaliknya pikiran yang
buruk melahirkan karakter yang buruk pula. Ini identik dengan ajaran
Tri Kaya Parisudha umat Hindu, makanya tugas kita semua adalah
mengendalikan pikiran agar menjadi perilaku yang baik.
Pendapat Ibnu Hamad di atas melahirkan empat pilar nilai-nilai
pendidikan karakter yaitu (1) olah pikir, (2) olah hati, (3) olah raga,
dan (4) olah rasa/karsa.
1) Olah pikir, bermakna cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu,
berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif.
2) Olah hati, bermakna beriman dan bertaqwa, jujur, adil,
bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang
menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
3) Olah raga, bermakna bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh,
handal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetitif, ceria,
dan gigih.
4) Olah rasa/karsa, bermakna ramah, saling menghargai, toleran,
peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, mengutamakan
kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Bambang Indriyanto, Sektetaris Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar (2011:24) menegaskan bahwa pembangunan karakter
merupakan hal yang sangat penting karena ia menyangkut kualitas
sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Kemajuan dan perkembangan
pembangunan akan berjalan timpang jika tidak didukung oleh
SDM yang berkualitas dan berkarakter. Dasar hukum pendidikan
berkarakter sudah jelas. Dalam UU RI No. 20 2003: Sistem Pendidikan
Nasional, Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratrius serta bertanggung jawab. Tujuan
pendidikan nasional ini jelas-jelas menyasar karakter bangsa yang
ideal. Hal inilah yang patut dipahami oleh para guru agar sanggup
mengembangkan pesan-pesan pendidikan karekter melalui materi
459
ajar yang disusun dan disajikannya.
460
pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata
lain karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik.
Aplikasi Pendidikan karakter bangsa tidak harus dengan
menambah program tersendiri, melainkan bisa melalui transformasi
budaya dan kehidupan di lingkungan sekolah. Melalui pendidikan
karekter, semuanya komit untuk mengembangkan peserta didik
menjadi pribadi yang utuh yang menginternalisasi kebajikan (tahu,
mau), serta terbiasa mewujudkan kebajikan dalam kehidupan sehari-
hari. Jadi, melalui pencana-ngan gerakan pendidikan karakter yang
dilakukan pada puncak Hardiknas 2011, ingin dipertegas bahwa
pendidikan karakter sangat penting, merupakan kebutuhan mutlak
dalam hal membangun peradaban yang utuh dan unggul yaitu
peradaban yang didasarkan pada nilai-nilai keilmuan dan kemuliaan
kepribadian. Kata kuncinya adalah karakter itu ibarat ”ruh” dari
manusia, jika karakternya tidak benar, maka perilakunya juga tidak
benar.
Ditambahkan juga bahwa ada tiga kelompok pendidikan karakter
yaitu (1) pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai
mahluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (2) pendidikan karakter
yang terkait dengan keimuan, dan (3) pendidikan karakter yang
menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi masyarakat /orang
Indonesia.
Dalam hal pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan,
metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya
kepenasaran intelektual (ntelelectual curiosity) harus lebih ditonjolkan
untuk membangun pola pikir, tradisi, dan budaya keilmuan yang
memunculkan daya kreativitas dan inovasi. Di sini, peran guru
menjadi sangat vital untuk mengelola bidang ilmunya sehiungga
menjadi bahan konsumsi yang menarik dan secara sadar menyiratkan
nilai-nilai karakter yang positif. Di sini pulalah guru harus mengerti
bahwa pada setiap materi pembelajaran diupayakan ada ruang untuk
menyelipkan pendidikan karakter.
Yudhimulyanto, Kadis Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2011:15)
mengatakan pendidikan karakter dapat berkembang sangat kuat
asalkan ditangani secara terencana dan bersinambungan. Bentuknya
dapat bervariasi. Pendidikan karakter untuk seorang pelajar haruslah
disesuaikan dengan peran dia sebagai pelajar. Dia dapat ditanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dari kesehariannya di sekolah, di
rumah tangga, dan di lingkungan masyarakat. Dia harus dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu dan harus mampu
menjaga etika kehidupan, bersikap sopan dan santun kepada teman
461
dan para gurunya, serta memiliki rasa percaya diri yang kuat bahwa
dia adalah mahluk Tuhan yang tidak henti-hentinya untuk belajar.
462
SLTA.
Amanah ini tentunya patut dijaga oleh para guru bahasa daerah
Bali. Tidak berlebihan bila dalam pencanangan pendidikan yang
berbasis karanter bangsa ini untuk bersama-sama menggali nilai-
nilai karakter bangsa yang tersirat di dalam materi pembelajaran
bahasa Bali. Sudah tentu hal ini akan sangat berdampak potitif bagi
kepentingan pembinaan etika dan moral para generasi muda kita di
masa mendatang. Saya sebagai praktisi bahasa Bali sekaligus akademisi
yang menekuni pembelajaran bahasa daerah Bali memiliki pandangan
yang cukup baik bahwa sangat banyak nilai-nilai karakter bangsa
yang dapat digali dari materi pembelajaran Bahasa Bali. Namun di
dalam makalah ini hanya akan diungkap beberapa hal saja sebagai
contoh yang tentunya diharapkan menjadi inspirasi bagi para guru
pada setiap menyampaikan materi kepada anak didiknya dio sekolah
masing-masing.
463
Di dalam dua bait teks lagu Bali (tembang rare) ini ada nilai
karakter yang ditanamkan oleh seorang ibu kepada anaknya, Ibunya
berpesan kepada sang anak agar menunggu rumah karena akan
ditinggal pergi ke pasar. Etika yang telah ditanamkan kepada anak-
anak di Bali tidak boleh melawan atau mengingkari perintah orang
tua. Orang-orang yang berani melanggar perintah orang tua, sering
melawan orang tua, membenci orang tuanya, tidak setia atau tidak
menghormati orang tua disebut alpaka guru rupaka dan dosanya sangat
besar. Orang Bali mengatakan bahwa orang tua terutama si ibu adalah
Dewa Sekala ’Dewa Nyata’ dalam kehidupan ini.
2) Pupuh Ginanti
Pupuh Ginanti adalah salah satu dari sepuluh pupuh dalam
kesusastraan tembang Bali tradisional. Pupuh-pupuh ini merupakan
bait-bait puisi yang disusun sesuai ketentuan pola atau struktur
tembangnya masing-masing dan biasanya digunakan untuk
membangun sebuah karya sastra puisi naratif yang disebut geguritan.
Berikut disajikan satu bait Pupuh Ginanti yang sarat dengan nilai
pendidikan karakter untuk para pelajar.
Saking tuhu manah guru,
mituturin cening jani,
kawruhane luir senjata,
ne dadi prabotang sai,
kaanggen ngaruruh merta,
saenun ceninge urip.
Terjemahannya:
Dengan serius pikiran seorang guru,
menasihati nanda sekarang,
pengetahuan itu bagaikan senjata,
yang bisa dipat diperalat sehari-hari,
dipakai mencari nafkah,
selagi ayat dikandung badan.
Teks Pupuh Ginanti ini mengajarkan kepada anak-anak bahwa
pengetahuan itu maha penting, bagaikan senjata dalam hidup ini, yang
dapat dipakai mencari nafkah. Jika diandaikan dia sebagai pancing,
maka setiap hari pancing itu dapat dipakai mengail atau menangkap
ikan. Oleh karena itu, lagu ini mengajarkan semuanya rajin belajar agar
nantinya memiliki pengetahuan yang cukup untuk bekal kehidupan.
Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tak obahnya denmgan
orang buta. Dengan demikian, kebodohan adalah musuh manusia
yang paling utama dan harus diperangi.
2) Pupuh Ginada
Tidak jauh berbeda dengan Pupuh Ginanti, Pupuh Ginada ini
464
juga salah satu dari sepuluh pupuh dalam kesusastraan tembang Bali
tradisional. Yang berbeda hanya padalingsanya dan tembangnya.
Yang dimaksud padalingsa adalah jumlah baris dalam satu bait,
jumlah suku kata pada masing-masing barus, dan suaru (vokal)
akhir masing-masing bait. Dengan sendirinya tembang atau lagunya
yang berbeda. Pupuh-pupuh Ginada juga merupakan bait-bait puisi
yang biasa digunakan untuk membangun sebuah karya sastra puisi
naratif yang disebut geguritan. Berikut disajikan satu bait Pupuh Ginada
yang banyak dikenal masyarakat Bali dan sarat dengan pendidikan
karakter.
Eda ngadén awak bisa,
depang anaké ngadanin,
geginané buka nyampat,
anak sai tumbuh luhu,
ilang luhu buké katah,
yadin ririh,
liu enu paplajahan.
Terjemahan:
Jangan menganggap diri pintar,
biarkanlah orang lain yang menamai,
kehidupan ini bagaikan orang menyapu,
akan sering tumbuh kotoran,
habis sampah masih banyak debu,
walaupun pintar,
masih banyak yang perlu dipelajari.
465
banyak jenis irama (tembang). Pupuh Sinom juga banyak dipakai
dalam pembelajaran tembang Bali di sekolah-sekolah. Berikut ini
dikutip satu bait Pupuh Sinom yang diambil dari Geguritan Tamtam
yang kebetulan mengandung nilai pendidikan karakter.
Dabdabang déwa dabdabang,
mungpung déwa kari alit,
malajah ningkahang awak,
dharma patuté gugonin,
eda pati iri ati,
duleg kapin anak lacur,
eda bonggan tekening awak,
laguté kaucap ririh,
eda ndén sumbung,
mangunggulang awak bisa.
Terjemahan:
Hati-hatilah nak, hati-hatilah!
berhubung nanda masih kecil,
belajarlah bertingkah laku,
dharma kebenaran itulah yang dikukuhkan,
jangan sering irihati,
meremehkan orang miskin,
jangan terlalu membanggakan diri,
walaupun disebut pintar,
janganlah sombong,
mengunggulkan diri pintar.
Arti dan makna satu bait Pupuh Sinom ini ada kemiripan dengan
Pupuh Ginada tadi. Di sini ditegaskan kembali bahwa seorang anak
harus memiliki etika pergaulan yang santun. Setiap saat hendaknya
berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, serta selalu mengkuhkan
ajaran dharma. Tidak boleh irihati, tidak boleh meremehkan orang-
orang yang tidak mampu, walaupun pintar tidak boleh terlalu
membanggakan diri dan juga tidak sombong walaupun sudah
tergolong orang-orang terdidik.
466
Kalau menjadi orang bujang, tak obahnya bunga pucuk sedang mekar,
Kalau dia sudah layu, tak ada yang memperhatikan dan terbuang.
Berbuatlah yang baik, janganlah menjadi bunga kembang bintang,
tumbuh di jalanan, semuanya memetik lalu dibuang.
Itulah si bunga sandat, sampai layu dia tetap harum,
itulah yang patut ditiru, semasa hidupnya berbuat baik
Para muda-mudi supaya saling asah, asih, dan asuh,
Kehidupan manyama beraya dikukuhkan, akan menemui keselamatan.
Pesan karakter bangsa yang penting di dalam teks lagu pop Bali
Bungan Sandat ini adalah tata cara hidup menjadi remaja atau pemuda.
Sedapat mungkin diserukan untuk meniru si bunga Sandat, bukan si
bunga Kembang Bintang. Bunga Sandat itu selalu diminati banyak orang
untuk kebutuhan menghoasi sesajen dan walaupun sudah layu, baunya
masih tetap harum. Sementara si kembang bintang adalah jenis bunga
yang tumbuh di pinggir jalan, tidak pernah dipakai bahan sesajen,
paling banter dipetik oleh sembarang orang, lalu dibuangnya.
Di samping itu, ada petunjuk kepada para generasi muda untuk
hidup saling asah (saling berbagi pengetahuan dan pengalaman
untuk kebaikan), saling asih (saling menyayangi), dan saling asuh
(menumbuhkan sikap saling membantu atau tolong-menolong).
Ditambahkan pula bahwa kalau ingin hidup selamat dan lebih
sejahtera, hendaknya mengukuhkan kehidupan manyama beraya
(menjaga hubungan baik dengan sanak saudara, keluarga besar, dan
masyarakat sekitarnya).
467
nginep di umahné Méng Kuuk.
Ditu Méng Kuuk ngéka daya apang sida ngamah panak-panakné Mén Siap
Selem. Sasubané nyaluk peteng, Mén Siap Selem ajaka panakné nenem, suba
makeber sakaukud. Enu I Ulagan medem di sampingan batuné. Teka Méng
Kuuk, jeg sépanan nyaplok batuné kadéna ento panak siap. Méng Kuuk ngeling
sengi-sengi sawiréh giginé pungak nyagrep batu.
Satua Men Siap Selem ini mengisahkan dua tokoh yang berbeda
karakter. Men Siap Selem dikisahkan sebagai sosok individu yang
berkarakter baik-baik, sedangkan Meng Kuuk sebagai tokoh jahat.
Pada akhirnya Meng Kuuk yang berniat jahat ingin memangsa semua
anak Men Siap Selem mendapatkan malapetaka, giginya rontok
akibat menyergap batu yang dikira anak-anak ayam. Jadi satua ini
bertema ajaran Karma Phala. Barang siapa berbuat baik akan memetik
pahala yang baik, sementara yang menanam kejahatan akan memetik
buah karma yang tidak baik. Guru dapat memakai satua ini untuk
mendidikan anak-nak untuk selalu berbuat kebajikan tidak punya
keinginan untuk menyengsarakan orang lain.
468
tiada hari tanpa belajar.
469
3.3.1 Seseonggan
Seseonggan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali
yang dipakai mengungkap keadaan atau tingkahlaku manusia dengan
perbandingan binatang atau barang. Misalnya:
1) Payuk prungpung misi berem
Tegesnyane, kabaosang ring anake sane rupanipun kaon, nanging daging
manah ipune utama pisan.
Jika seseorang memiliki wajah yang tidak cantik atau tidak tampan,
maka dia akan menjadi orang yang terhormat atau disegani
bilamana perilakunya, isi hatinya, dan pemikirannya selalu baik-
baik.
2) Sapuntul-puntulan besine, yen suba sangih pedas dadi mangan.
Tegesipun, lamunapi ja belog/tambet anake, yening sampun jemet
malajah, janten pacang dados anak dueg/wikan.
Makna atau kandungan pendidikan karakter sasonggan ini adalah
mengajak para siswa untuk selalu rajin belajar, karena jika rajin
belajar, yang bodoh pun akan menjadi pintar. Dan yang sudah
pintar tentu bertambah pintar lagi.
3.3.2 Sesenggakan
Sesenggakan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali
yang dipakai mengungkap keadaan manusia dengan perbendingan
binatang atau barang. Bedanya dengan sasonggan terletak pada bentuk
(struktur) luarnya. Sesenggakan menggunakan atau diaawali dengan
kata buka, kadi, luir Misalnya:
1) Buka sandate di teba, bungane alap, punyane kiladin.
‘Bagaikan pohon sandat di teba (belakang rumah), bunganya
dipetik dan pohonnya diolesi kotoran’
Ada kalanya seorang laki-laki atau perempuan yang tidak bisa
menghormati mertua. Ketika dia sudah berhasil mengambil anak
orang dijadikan istri/suami, dia merasa bahwa pasangannya itu
sudah mutlak menjadi miliknya. Hal inilah yang menyebabkan
dia tidak bisa menaruh perhatian atau tidak hormat terhadap
mertiuanya. Perilaku ini tentu sangat keliru.
2) Buka naar krupuke gedenan kroakan
’Bagaikan orang yang makan krupuk, hanya suaranya yang besar’.
Dalam bahasa Indonesia juga ada ’Air beriak tanda tak dalam’.
Makna ungkapan ini mengandung pendidikan karakter yang
mengajarkan tidak baik jadi orang yang banyak berbicara namun
tidak terbukti dia memiliki kemampuan atau kelebihan. Lebih
baik sedikit bicara banyak bekerja daripada banyak bicara namun
470
tidak berbuat apa-apa.
3.3.3 Sloka
Paribasa Bali yang tergolong jenis sloka juga tidak jauh berbeda
dengan dua paribasa sebelumnya. Bedanya hanya dimukanya
dibubuhi ucapan buka slokane, kadi slokan jagate, atau buka slokan gumine,
Perhatikan contoh berikut!
1) Buka slokane, Suarga tumut papa mangsul
Disebutkan dalam sloka ’Bahagia diam, menderita kembali’
Sloka ini mengandung makna bahwa ada orang yang ketika dia
menggapai kebahagiaan dia tidak hirau siapa-siapa, diam saja,
tetapi ketika dia menemui kesengsaraan, baru kemudian dia ribut
minta belas kasihan.
2) Buka slokane, Tusing ada lemete elung.
Disebutkan dalam sloka ’Tidak ada yang lemas itu patah’
Di dalam sloka ini dapat dipetik petuah karakter bangsa yang
dalam bahasa Indonesia dikenal ”Mengalah demi menang”. Jadi,
seseorang yang santun, lemah lembut, tidak suka bersitegang,
mau mengakui kekurangan diri, pada akhirnya akan mencapai
keselamatan. Jarang yang demikian menemui akibat yang patal.
Sedangkan tidak jarang orang yang bersikap kasar atau kaku,
kurang menerima atau mengakui kelebihan orang lain akan
menemui jalan buntu.
471
sekaligus berfungsi untuk menuntun perilaku santun orang Bali.
Jika ada seorang keturunan orang kebanyakan (wangsa
Jaba) membicarakan orang lain yang keturunan Brahmana misalnya,
orang tersebut akan memilih kata-kata bahasa Bali alus singgih untuk
menyebut keadaan, milik, atau perilaku brahmana yang dibicarakan.
Misalnya:
1. Ida Bagus Aji nenten jagi durus mabebaosan rahinane mangkin. (Asi)
’Ida Bagus Aji tidak akan jadi berbicara hari ini’.
Bandingkan dengan,
2. Bapak Made tusing payu lakar ngraos dinane jani. (Andap)
’Bapak Made tidakakan jadi berbicara hari ini’.
Kalimat (1) tergolong jenis kalimat Asi (Alus Singgih). Kalimat
tersebut digunakan untuk menceritakan keadaan seorang Triwangsa
(Ida Bagus Aji) yang dari segi lapisan masyarakat tradisional disebut
sang singgih (golongan atas). Sementara kalimat (2) adalah kalimat
Andap yang nilai rasanya biasa atau lepas hormat karena dipakai
membicarakan Bapak Made yang terlahir sebagai masyarakat golongan
bawah (wangsa Jaba).
Walaupun demikian, perlu diingat bahwa tidak selamnya Bapak
Made mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana halnya jika Bapak
Made berstatus seorang pejabat fungsional dosen yang senior dan
patut dihormati? Seorang mahasiswa yang akan datang ke rumah Pak
Made dan menggunakan bahasa Bali akan menggunakan kalimat-
kalimat Alus Singgih. Walaupun misalnya mahasiswa tersebut berasal
dari keturunan bangsawan (triwangsa).
Misalmnya:
3) Ampura Pak Made, bapak wenten ring jero mangkin, titiang jadi
parek nunas tanda tangan.
Kalimat (3) ini menandai bahwa status sosial Pak Made dari
wangsa Jaba yang kemudian menjadi pejabat fungsional dosen
menyebabkan mahasiswanya mengubah bahasa dari basa andap ke
basa alus. Mahasiswa menyebut rumah Pak Made menjadi jero (Asi).
Demikian seterusnya. Nilai-nilai sosial dalam berbasa Bali ini dapat
diangkat untuk memperkaya pendidikan karakter.
472
setiap kesempatan untuk menjaga stabilitas bangsa, sekaligus untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional.
Aplikasi pendidikan karakter bangsa tidak perlu melalui bidang
studi khusus, melainkan dapat dilakukan oleh berbagai elemen bangsa,
baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Dalam
pendidikan formal semua guru hendaknya memiliki pengertian bahwa
materi pembelajarannya memang mengandung dan atau memiliki
peluang untuk disisipi pendidikan karakter bangsa.
Materi pembelajaran bahasa Bali yang sangat kental dengan
nilai-nilai budaya Bali dan agama Hindu sangat banyak mengandung
nilai-nilai karakter bangsa. Dengan demikian peran para guru bahasa
Bali menjadi sangat strategis dalam penanaman nilai-nilai pendidikan
karakter.
4.2 Saran
Memahami banyaknya peluang guru bahasa Bali untuk
menyampaikan pesan-pesan pendidikan karakter melalui materi
pelajarannya, maka mau tidak mau para guru harus sanggup
meenggali dan membumbui materi pembelajarannya untuk dijadikan
media dalam pendidikan karekter. Penyusunan buku-buku pelajaran
pun hendaknya selalu mempertimbangkan hal itu.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pendidikan Provinsi Bali. 2006. Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah
Bali untuk SMA/SMK. Denpasar.
Hamad, Ibnu. 2011. ”Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal” Majalah
Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Indriyanto, Bambang. 2011. ”Pembangunan Karakter Tugas Besar Sekolah
dan Masyarakat” Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI
Jakarta.
Kementerian Pendidikan Nasional RI. 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter.
Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Maryani, Yeyen. 2011. ”Bangkitkan Karakter Berbahasa Indonesia” Majalah
Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Naryana, Ida Bagus. Udara. 1983. Anggah-ungguhing Basa Bali dan Peranannya
Sebagai Alat Komunikasi Bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Fak Sastra
Universitas Udayana.
Nuh, Mohammad. 2011. ”Karakter Unggul untuk Menggapai Kebangkitan
Bangsa” Majalah Diknas: Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Simpen AB, 1980. Basita Parihasa. Denpasar.
Sukemi. 2011. ”Mencanagkan Gerakan Pendidikan Karakter” Majalah Diknas,
Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Suwija, 2011. Sari Kuliah Mabaos Bali 1”. Materi Kuliah Berbicara Bahasa Bali,
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Semni, IKIP PGRI Bali: Denpasar.
473
Suyanto. 2011. ”Pendidikan Karakter di Sekolah Perlu Direvitalisasi” Majalah
Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Yudhimulyanto, Taufik. 2011. ”Kembangkan Pendidikan Karakter yang
Aplikatif” Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI
Jakarta.
Yudhoyono, Soesilo Bambang. 2011. ”Mari Kita Kerja Keras Melalui jalur
Pendidikan” Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI
Jakarta.
474
POLA PERUBAHAN PENGGARAPAN
PERTANIAN PADA MASYARAKAT DESA
TIRTASARI: Kajian Berdasarkan
Pendekatan Postmodern
Ketut Yarsama
IKIP PGRI BALI, Denpasar
1. Pendahuluan
475
tetapi unik. Namun karena pembangunan itu merupakan kebutuhan
dan tuntutan masyarakat masa depan yang makin berkembang maju,
tradisionalisme itu bukan menjadi hambatan.
Konsekuensi pergeseran nilai adalah hal yang Iumrah di dalam
setiap “event” perubahan masyarakat. Hanya saja perubahan yang
terjadi itu tidak bersifat baku hantam. Pembongkaran tradisionalisme
hendaknya bersifat selektif, karena tidak seluruhnya usang, bahkan
sebaliknya banyak yang perlu dipelihara dan dilestarikan (Kumara,
1995: 19).
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup petani, memperluas lapangan kerja, dan
meningkatkan eksport. Untuk itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan
usaha-usaha diversifikasi, intensifikasi, dan rehabilitasi pertanian
yang dilaksanakan secara terpadu (GBHN, 1988).
Secara umum telah diketahui beras adalah bahan makanan
pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga beras
tidak saja merupakan komoditi ekonomi dan sosial, tetapi juga dapat
mempengaruhi kondisi politik (Lana, 1994: 2).
Upaya pelestarian swasembada beras menghadapi tantangan
karena makin menciutnya lahan pertanian dan tahun ke tahun. Menurut
Sunaryo, dalam Taher (1990), penyusutan areal sawah produktif di
Indonesia berkisar antara 10.000-20.000 ha per tahun. Di lain pihak
jumlah penduduk yang membutuhkan beras terus meningkat. Untuk
memecahkan masalah ini salah satu persoalan perlu dipecahkan adalah
bagaimanakah cara meningkatkan produktivitas tanaman padi?
Untuk mengatasi atau menjawab persoalan tersebut, masyarakat
Desa Tirtasari sebagai salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Banjar, Kabupaten Tingkat II Buleleng ikut juga berpartisipasi
mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, program pemerintah
untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi bukan hanya
dilakukan oleh masyarakat yang ada di kota, melainkan juga
masyarakat di desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kumara (1995:
20), perubahan-perubahan pola kehidupan masyarakat tidak hanya
terjadi di daerah perkotaan saja, tetapi juga terjadi di daerah pedesaan.
Dengan mencermati pendapat di atas, ternyata perubahan budaya
bukan hanya terjadi di daerah perkotaan melainkan juga di pedesaan.
Hanya saja intensitas perubahan yang terjadi berbeda. Bisa saja pada
masyarakat perkotaan perubahan budaya itu berjalan dengan cepat
bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Perubahan budaya
diakibatkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor penyebabnya
adalah faktor lingkungan. Penulis sangat setuju dengan pendapat
476
Sukardja, yakni kebudayaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Contoh, masyarakat yang tinggal di pantai akan terbentuk budaya
pantai, masyarakat yang tinggal di dataran akan terbentuk budaya
kota, masyarakat yang tmggal di pegunungan akan terbentuk budaya
petani, dan sebagainya. Terkait dengan contoh yang dikemukakan
oleh Sukardja, tersebut maka masyarakat Desa Tirtasari, yang letaknya
di daerah pegunungan, sebagian besar penduduknya sebagai petani,
dengan sendirinya muncul budaya petani.
Penduduk atau masyarakat Desa Tirtasari di samping sebagian
besar mata pencahariannya sebagai petani, juga sebagian besar
beragama Hindu. Sebagai umat yang beragama Hindu maka di desa
tersebut dibangun Pura Puseh/Pura Desa, Pura Subak, dan Pura Dalem.
Ketiga pura tersebut disungsung oleh semua anggota masyarakat
Desa Tirtasari, baik anggota masyarakat yang berada di Banjar Dangin
Margi maupun Dauh Margi.
Di samping ada pura, masing-masing banjar tersebut mempunyai
juga tempat pemujaan/bangunan suci yang disebut “Sanggah”.
Masing-masing “Sanggah” disungsung oleh keluarga “Sanggah” yang
bersangkutan. Di Banjar Dangin Margi ada tiga sekeha “Sanggah”,
sedangkan di Banjar Dauh Margi ada tujuh sekeha “Sanggah”, Upacara
keagamaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat Desa Tirtasari
berjalan sesuai dengan kaidah atau norma agama Hindu.
Di samping anggota masyarakat Desa Tirtasari melaksanakan
upacara keagamaan, mereka juga tidak lupa untuk bekerja, karena
sebagian besar anggota masyarakat (penduduk) Desa Tirtasari bermata
pencaharian sebagai petani maka mereka sudah tentu mengerjakan
sawah, ada juga anggota masyarakat yang mengerjakan kebun, dan
ada pula beberapa orang yang mengerjakan sawah dan kebun. Dalam
tulisan ini akan diulas atau diuraikan pola penggarapan tanah sawah
bukan penggarapan kebunnya. Bagaimanakah pola penggarapan
tanah sawah oleh petani yang ada di masyarakat Desa Tirtasari?
Untuk memecahkan atau menjawab pertanyaan tersebut dipandang
perlu diadakan penelitian lapangan. Adapun alasan penulis untuk
membahas persoalan ini adalah sebagai berikut:
a. Penulis sendiri adalah anak seorang petani yang dilahirkan
dan dibesarkan di Desa Tirtasari.
b. Penulis melihat adanya perubahan pola penggarapan tanah
sawah oleh petani yang ada di Desa Tirtasari.
c. Dewasa ini, pemerintah sudah menaruh perhatian yang baik
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang perlu
477
dipecahkan adalah bagaimanakah pola perubahan penggarapan
pertanian pada masyarakat Desa Tirtasari?
Supaya arah yang ditempuh semakin pasti, sudah tentu
diperlukan tujuan yang jelas pula. Dengan tujuan yang jelas maka
sasaran yang ingin dicapai lebih terarah.
Bertitik tolak pada latar belakang dan rumusan masalah di atas,
tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui atau memperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai pola perubahan penggarapan
pertanian pada masyarakat Desa Tirtasari.
Untuk memecahkan masalah yang telah diuraikan di atas maka
diperlukan suatu metode. Metode mempunyai peranan yang sangat
vital untuk memecahkan objek yang dikaji.
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan di atas, metode
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi,
interview (wawancara), dan kepustakaan. Menurut Hadi (1992: 136),
metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematis
fenornena-fenomena yang diselidiki. Metode observasi dipakai karena
penulis langsung mengadakan pengamatan ke lapangan yaitu ke areal
tanah sawah petani di Desa Tirtasari. Penulis juga mewawancarai
sejumlah petani yang berkaitan dengan cara dan upaya yang mereka
lakukan untuk memperoleh hasil/panen padi yang baik. Di samping
itu, penulis menggunakan metode kepustakaan. Dengan metode ini,
penulis mencari sumber-sumber atau bahan-bahan pustaka yang
relevan dengan masalah yang dikaji. Dengan menerapkan ketiga
metode pengumpulan data tersebut diharapkan data yang diperoleh
valid.
Metode pengolahan data yang digunakan dalam kajian ini
adalah metode analisis deskriptif. Penulis mengadakan pengkajian
atau penganalisisan setiap fenomena yang muncul, selanjutnya data
disusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan
umum.
Pengkajian hasil analisis data dengan memaparkan pola
perubahan penggarapan pertanian. Pola perubahan penggarapan
pertanian tersebut dipaparkan dengan metode informal, yaitu paparan
yang menggunakan rumusan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1988: 144).
2. Pembahasan
2.1 Sistem Religi
Marret dalam Sukardja (2000) mengatakan bahwa manusia
dalam hidupnya sering kagum akan hal-hal serta peristiwa yang
gaib dan luar biasa dan tidak dapat diterangkan dengan akal realitas.
478
Dengan demikian, timbul keyakinan bahwa kekuatan gaib itu ada
dalam segala hal yang sifatnya luar biasa (pada manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, gejala alam, dan benda-benda lainnya) – Muncul
“keyakinan” dan emosi keagamaan – “tingkah laku upacara” untuk
menetralisir gejala yang dianggap merugikan dan kalau mungkin
diubah agar bisa menguntungkan.
Menurut Koentjaraningrat, ada tiga teori dalam sistem religi ini
yaitu (1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada
keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi
kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang l ; dan (3)
teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara
religi (1987 : 58).
Tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan pertama antara
lain : A. Lang, R.R. Marret, dan A.C. Kruyt. Seorang tokoh yang
mempergunakan pendekatan yang kedua adalah R. Otto, sedangkan
tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan yang ketiga adalah W.
Robertson Smith, K.Th. Preusz, R. Herz, dan A van Gennep. Seorang
tokoh yang mempergunakan pendekatan yang mengkombinasikan
ketiga orientasi tersebut adalah N. Soderblom.
479
yakin akan adanya suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan
gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini.
480
seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa kemudian memakan
sendiri sisa daging dan darahnya. Fungsinya untuk mendorong rasa
solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal ini dewa atau para
dewa dipandang sebagai warga komunitas, walaupun sebagian warga
yang istimewa.
K.T. Preusz dalam Koentjaraningrat (1987 : 68) mengatakan bahwa
wujud religi yang tertua berupa tindakan-tindakan manusia untuk
mengadakan keperluan-keperluan hidunya yang tidak dicapai secara
naluri atau akalnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pusat dan setiap
sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara.
481
Komponen kelima dan sistem religi adalah umatnya
atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang
melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Secara antropologi dan
sosiologi, kesatuan sosial yang bersifat umat agama dapat berwujud:
(1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2)
kelompok kekerabatan yang lebih besar; (3) kesatuan kornunitas; (4)
organisasi atau gerakan religi seperti organisasi penyiaran agama.
482
2.5 Latar Belakang Teoritis Postmodernisme
Pemikiran atau ide tentang postmodernisrne dimulai dengan
adanya diskusi-diskusi baik lewat media massa maupun seminar pada
tahun 1993. Diskusi yang dilakukan bukan berhenti pada tahun itu
saja, melainkan masih berlanjut.
Masyarakat umum merasakan bahwa postmodernisme
memberikan hal-hal baru yang menyegarkan dan membebaskan kita
dan belenggu formalisme teoritis modernis. Postmodernisme bukanlah
sebuah teori yang begitu saja jatuh dan langit. Benih filosofisnya sudah
ada pada filsafat Nietzsche akhir abad ke-19 dan aspek fisika sudah
dimulai oleh Thomas Khun. Thomas Khun mempunyai andil terbesar
terhadap dasar perkembangan teori postmodemisme.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari teori paradigma
dalam hubungannya dengan postmodernisme, yaitu (1) istilah
paradig sendiri dan konsekuensinya, (2) ketidakpastian kebenaran,
dan (3) kebenaran menurut konvensi. Paradigma adalah keseluruhan
konstelasi baik dari teknik-teknik rasional maupun sistem-sistem
kepercayaan yang ada tidak atau dapat diberlakukan sebagai sebuah
pedoman riset (Suyoto, dkk., 1994 : 4). Pandangan panadigmatis ini
dijadikan pijakan teoritis postmodernisme yang memandang bahwa
tidak ada hubungan vertikal atau subordinat antara dunia rasional
dan irasional di dalam realitas.
Menurut Jean Francois Lyotard dalam Suyoto, dkk. Edit
(1994: 5), ilmu pengetahuan telah kehilangan narasi besarnya (grand
narrative) yaitu argumentasi rasionalitasnya, sehingga kepastian
kebenaranpun telah kehilangan legitimasi. Lebih lanjut dikatakan di
dalam masyarakat maju, yaitu masyarakat yang serba komputerisasi
hidupnya, ilmu pengetahuan tidak lagi mendapat kredibilitas pada
kebenarannya melainkan pada sifat gunanya, sehingga ia tidak lepas
dari jarring-jaring perdagangan dan kekuasaan yang ada di dalam
masyarakat itu.
Transformasi besar dalam teori paradigma Kuhn memiliki
konsekuensi besar bagi teori postmodernisme di dalam memahami
sejarah.
Postmodemisme mempersoalkan kembali nilai-nilai irasionalitas
tradisional dan menganggap rasionalitas modernisme hanyalah
mistifikasi represif belaka, demi efesiensi sebuah status-quo.
Postmodernisme bukanlah sebuah teori yang original, tetapi lahir dari
latar belakang historis tertentu dan dipengaruhi oleh teorii-teori yang
relevan.
483
2.6 Pengertian Postmodernisme
Keyakinan akan kemampuan untuk menemukan kebenaran
merupakan salah satu cara dunia yang sering disebut dunia yang
“modern” Progress, kemajuan, rasionalitas, dan teknologi adalah hal
yang menjadi ideologi mereka yang menganggap dirinya modern.
Goenawan Mohammad dalam Suyoto, dkk. Edit (1994 : 10)
menyebut era postmodern sebagai era kebutuhan, malah ia mengaitkan
ide postmodern (khususnya Heidegger) sebagai upaya memberi
legitimasi pada gerakan-gerakan kaum Nazi.
Arief Budiman dalam Suyoto, dkk. Edit, (1994: 10) meminjam
argumen Pauline Marie Rosenan, membedakan antara postmodern
yang skeptis (yang menggaris bawahi kontrakdiksi dalam setiap teori)
serta post modern yang afirmatif (yang mempertanyakan kebenaran
teori besar untuk kemudian menuju teori yang lebih kecil).
Menurut Jean-Francois Lyotard dalam Suyoto, dkk. Edit. (1994
: 11), postmodernisme berarti pencarian ketidakstabilan (instabilities).
Kalau pengetahuan modern mencari kestabilan melalui metodologi
dengan kebenaran sebagai titik akhir pencarian, pengetahuan
postmodern meminjam argumen Lyotard ditandai oleh runtuhnya
kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas. Prinsip dasarnya bukan
benar-salah, tetapi apa yang oleh Lyotard disebut dengan paralogy,
membiarkan segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif
terhadap perbedaan-perbedaan.
Stabilitas dan kebenaran menjadi problematik dalam pengetahuan
postmodern, karena bahasa dan benak manusia tidak bebas dan
distorsi. Di pihak lain realitas sosial selalu muncul dalam bentuknya
yang serba tercampur.
Sebagai epistemologi, ide-ide postmodern juga memiliki
sejumlah paralel (untuk tidak mengatakan sama) dengan ide kaum
poststrukturalis, seperti Jacques Derrida dan Michell Foucault.
Bagi kita di Indonesia, paseamodernisme sebagai “konsep” memang
suatu hal baru. Tetapi, seperti gejala pemikiran, pascamodernisme bisa
dilihat dan dicari gejalanya dalam perkembangan intelektual. Kita
sebenamya sudah lama mengalami masa modern, walaupun proses
modemisasi yang direkayasa, baru terjadi secara nyata pada dasa
warsa 70-an. Masa modern itu bisa diirnerpretasikan sudah terjadi di
Indonesia sejak zaman kolonial.
Post-Modernisme (Posmo) adalah aliran pemikiran yang
sekaligus menjadi gerakan yang bereaksi terhadap kegagalan manusia
menciptakan dunia yang lebih baik. Bagi penganut Posmo, manusia
tidak akan mengetahui realitas yang objektil dan benar. Yang diketahui
484
manusia hanyalah sebuah versi dan realitas.
Gerakan Posmo, seperti dinyatakan oleh Pauline Marie Rosenan
dalam Suyoto, dkk. Edit, (1994 22), terpecah menjadi dua kelompok
besar, yaitu Posmo yang skeptis (PS) dan Posmo Afirmatif (PA).
PS berhenti pada perdebatan epistemologi tentang pengertian
manusia. Melalui metode dekonstruksi, yakni melakukan analisisi
kritis, mereka menunjukkan adanya kontradiksi dalam teori apa pun.
Tetapi kelompok PS tidak memberikan alternatif. Oleh karena itu,
timbul kesan yang kuat bahwa aliran PS cendrung larut dalarn aliran
pemikiran nihilisme.
PA melangkah lebih jauh Mereka juga tidak percaya path
kebenara teori yang ada, terutama teori besar. Kian besar sebuah teori
yang kebenarannya mencakup ruang dan waktu yang bias, kian lemah.
Sebab teori itu menjadi makin absthk dan makin jauh dan yang mau
direpresentasikannya.
485
yang ahistoris dan netral atas konsep modernitas itu. Habennas
menganggap postmodern termasuk dalam modernitas. Dengan
demikian, postmodern sebagai istilah yang baru masih memuncukan
suatu problem atau masalah yang perlu sebagai istilah yang baru
masih memunculkan suatu problem atau masalah yang perlu dikaji
dan diseskripsikan lebih intensif lagi.
Di kalangan sebagian intelektual kaum muda di tanah air,
postmodernisme menjadi kosa kata barn yang penuh daya tank.
Mereka mendiskusikan postmodemisme dalam hubungannya dengan
agama, sastra, politik, atau pun kultur dalam pengertian yang luas.
Di negara Eropa dan Amerika Serikat unsur-unsur modernitas telah
mengalami kematangan dan bahkan menjadi ekses. Postmodernisme
menjadi semacam respon kreatif atas ekses modernitas itu.
Namun, kenyataan sosial di Indonesia sangatlah berbeda. Unsur-
unsur modernitas bukan saja belum mencapai ekses, bahkan belum
sampai pada tingkat kematangannya. Mengambil postmodemisme
sebagai sikap intelektual dan model berpikir, terasa sebagai kegenitan
yang terlepas dan situasi masyarakat kita sendiri. Postmodernisme
hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dikaitkan dengan
modernitas. Modernitas bersandar pada tiga unsur, yaitu akal budi,
ilmu pengetahuan, dan antroposentnisme. Ketiga unsur tersebut
bergabung menjadi satu dan membentuk paham modernitas.
Di Indonesia, ketiga unsur modernitas itu baru tumbuh dan
justru harus didukung ui4uk sampai pada tingkat kematangannya.
Mengambil postmodemisme adalah sikap melompat.
Kita dapat mencontohkan kegiatan menanak nasi sebagai analog,
di dunia Barat, nasi sudah matang, dengan sendirinya api harus
dikecilkan agar nasi tiak Sedangkan kita di sini, nasi belumlah matang,
mengapa pula ap harus dikecilkan.
486
akan - kebesaran Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi).Prinsip yang mereka
pegang adalah berdoa, bekerja, dan berniasyarakat. Prinsip berdoa yang
dimaksud yakni anggota masyarakat mendahulukan sujud atau bakti
kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) sebelum melakukan pekerjaan
atau aktifitas. Prinsip bekerja, maksudnya mereka melaksanakan
pekerjaan/aktifitas dengan tekun dan ulet. Bennasyarakat artinya
anggota masyarakat Desa Tirtasari di dalam kehidupan sehari-hari
mencerminkan sikap saling menghormati, menghargai, dan menolong
antar sesama warga.
Ketiga prinsip di atas dipegang oleh semua anggota masyarakat
Desa Tirtasari dan berbagai profesilpekerjaan. Apakah ia seorang
petani, pegawai negeri atau swasta, atau sebagai pengusaha. Karena
ketiga prinsip itu dilaksanakan dengan baik maka sampai sekarang ini
(ketika tulisan ini dibuat) tidak ada seorang warga yang “kesepekang”.
“Kesepekang” maksudnya dikucilkan atau dijauhkan dan kehidupan
masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kasus adat tidak
pemah terjadi di Desa Tirtasari.
Seperti yang telah diunaikan di atas, anggota masyarakat Desa
Tirtasari sebagian besar sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani
sudah tentu tugas pokoknya adalah mengerjakan tanah persawahan
dengan baik agan produktifitas tanaman padi dapat mencapai hasil
yang optimal. Pam petani selain memilih hari yang baik (ayuning
dewasa) yang berhubungan pertanian juga memilih cocoknya tanah,
bibit, musim, serta pemeliharaan sebaik-baiknya. Supaya produktifitas
tanaman padi mencapai hasil yang maksimal maka semua komponen
tersebut mendapat perhatian dan petani di Desa Tirtasari.
Kegiatan awal petani yakni memilih bibit padi yang unggul. Mulai
mewinih (membibit padi) juga mencari hari yang baik. Tujuannya adalah
agar bibit padi yang ditanam nantinya dapat hidup subur. Setelah
membibit padi, petani mencangkul tanah. Di dalam mencangkul tanah
sawah, petani bukan bekerja sendirian. Sebelum tahun 90-an seorang
petani di dalam menggarap tanah sawah dengan pola penggarapan
“ngajak”. “Ngajak” maksudnya suatu kegiatan yang dilaksanakan
secara bersama-sama tanpa memperoleh imbalan/jasa yang berupa
uang. Seorang petani, yang bernama, Pan Sudeken menceritakan
pengalamannya menggarap sawah miliknya. Dia mengatakan, dulu
sebelum tahun 90-an dalam mencangkul tanah sawah digarap atau
dikerjakan dengan sistem “ngajak”. Pan Sudeken memberitahukan
warga yang lain, misalnya Pan Taman, Pan Suwini, Pan Suwela, Pan
Kariam, dan Pan Jumu bahwa lagi tiga hari akan “ngajak numbeg”.
Kelima orang yang diberitahu itu pun menyanggupi. Pan Sudeken
487
dan Men Sudeken hanya mempersiapkan minuman yaitu minuman
kopi dan makanan. Satu hari sebelum hari H-nya, Pan Sudekin Men
Sudeken sibuk mempersiapkan makanan dan minuman. Pada hari
H-nya kelima orang itu datang ke tanah sawah milik Pan Sudeken.
Mereka bekerja dengan tekun dan ulet. Kira kira pukul 10.00 Wita
datanglah Men Sudeken ke sawah untuk membawakan makanan dan
minuman. Mereka berhenti bekerja lalu makan bersama-sama. Sambil
makan mereka bercakap-cakap tentang cam mengeijakan sawah yang
baik sehingga hasil padinya banyak. Sesudah makan dan minum
mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Penggarapan tanah sawah selanjutnya seperti malikang, melasah,
memula juga digarap secara “ngajak”. Malikang maksudnya tanah yang
sudah dicangkul pada tahap awal, kembali dicangkul lagi. Melasah
maksudnya tanah yang sudah kembali dicangkul lalu diratakan,
sehingga keadaan tanah sawah posisinya datar dan rata. Memula
artinya menanam bibit padi.
Sebelum padi itu ditanam, Men Sudeken melaksanakan upacara
persembahyangan dengan tujuan memohon kehadapan Dewi Sri
agar padi yang ia tanam tumbuh subur dan terhindar dan ganguan
penyakit.
Setelah tanaman padi itu berumur kira-kira satu bulan, Pan
Sudeken memberi pupuk tanaman padi tersebut. Demikian juga
dengan pengairan dilakukan secara teratur.Kira-kira padi itu sudah
berumur empat bulan maka sudah siap untuk dipanen. Warga
masyarakat yang lain melaksanakan pekerjaan menuai padi dengan
mendapatkan imbalan yang berupa gabah. Sebelum padi itu dipanen,
Men Sudeken juga melakukan upacara persembahyangan di tempat
pemujaan Dewi Sri sebagai upcara bersyukur karena padinya dapat
hidup dengan subur dan buah yang jelih. Jell artinya buah padi itu
kualitasnya baik.
Kepercayaan atau keyakinan para petani terhadap keagungan Ida
Sang Hyang Widhi (Tuhan) sangat besar. Hal ini terbukti pengamatan
penulis terhadap setiap tanah sawah yang dikerjakan oleh setiap petani
ada tempat pemujaan (sejenis pelinggih / tempat suci).
Penggarai? tanah sawah seperti yang dikerjakan oleh Pan Sudeken
ternyata juga dilakukan oleh petani yang lain. Penulis langsung
mewawancarai lima orang petani, yaitu Pan Narmi, Pan Suta, Pan
Resten, Pan cerana, dan Pan Kasta. Kelima petani itu mengatakan
bahwa penggarapan tanah sawah yang dikerjakan dengan sistem
“ngajak”.
Pola penggarapan tanah sawah dengan sistem “ngajakang” itu
488
hanya terjadi sampai tahun 1990. Mulai tahun 1991 sampai sekarang
temyata penggarapan tanah sawah bukan lagi digarap dengan pola
“ngajak’ melainkan dengan pola “ngupahang”. “Ngupahang”
artinya menyuruh orang lain untuk menggarap tanah sawah dengan
memberikan upah/imbalan berupa uang. Sistem “ngupahang” ada dua
jenis, yaitu dengan gaji harian dan borongan. Gaji harian rnaksudnya
mereka sudah membuat kesepakatan untuk menggaji mereka sehari
misalnya Rp.15.000,00 (lima belas ribu rupiah). Jadi, upah dalam
satu hari kerja sudah dipastikan. Sedangkan upah dengan sistem
“borongan” maksudnya upah atau gaji yang diterima bukan dihitung
harian, melainkan ditentukan berapa luas tanah yang digarap dengan
upah yang telah disepakati. Misalnya, upah numbeg ‘mencangkul’
seluas tanah 10 are diberikan upah borongan Rp..500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah). Berapa hari dia mencangkul tanah seluas 10 are itu maka
ia tetap menerima upah Rp500.000,00. Penggarapan tanah sawah yang
berikutnya seperti malikang, melasah, dan memula juga dengan sistem
“ngupahang”. Penggarapan yang masih berlaku sampai sekarang
ini adalah menuai padi. Pada saat menuai padi, orang yang menuai
bukan mendapat upah/gaji berupa uang, melainkan dalam bentuk
gabah. Misalnya, orang yang menuai padi (memanyi atau mederep)
memperoleh gabah lima ember. Orang yang memiliki tanah tersebut
memperoleh empat ember sedangkan orang yang menuai (mederep)
mendapat satu ember. Pola penggarapan tanah sawah oleh petani yang
ada di Desa Tirtasari masih bersifat tradisional. Dikatakan tradisional
karena penggarapan tanah sawah belum menggunakan alat-alat yang
modem seperti traktor.
3. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masyarakat Desa Tirtasari pada umuninya dan petani pada
khususnya mempunyai keyakinan atau kepercayaan yang kuat
terhadap Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Hal ini dibuktikan dengan
dibangun Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Subak dan diadakan
upacara (yadnya), yakni Panca Yadnya secara teratur. Setiap tanah
sawah yang digarap petani ternyata ada tempat suci sebagai tempat
pemujaan Dewi Sri.
Pola penggarapan tanah sawah oleh petani di Desa Tirtasari
sebelum tahun 1990 sebagian besar dengan sistem “ngajak”. Mulai tahun
1991 sampai sekarang pola penggarapan tanah sawah dengan sistem
“ngupahang”. Dengan demikian ada pola perubahan penggarapan
pertanian dan sistem “ngajakang” ke sistem “ngupahang”. Penggarapan
489
pertanian yang masih bertahan yakni penggarapan menua (“memanyi
atau mederep”). Dan dulu sampai sekarang, upah yang mereka terima
adalah dalam bentuk gabah bukan berupa uang.
DAFTAR PUSTAKA
490
PESAN TIPIKAL “DRIJI”
DALAM BUDAYA JAWA
1. Pengantar
491
tersebut akan diungkap dengan analisis semiotis model Peirce.
Pemaknaan perilaku nonverbal “isyarat driji” dalam konteks kultural
dapat mengidentifikasi ciri-ciri dasar tanda di balik perilaku teramati.
Hal ini pada gilirannya memberikan kontribusi pada pembentukan
karakter yang merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dikatakan oleh Peirce (1960: 122-124) bahwa tanda-tanda
berfungsi sebagai mediator antara dunia eksternal dan dunia ide.
Peirce menyebut tanda sebagai representamen, dan konsep, benda,
gagasan yang diacunya sebagai objek. Makna yang diperoleh dari
sebuah tanda dinamakan interpretan. Tanda adalah representasi
mental dari objek, dan objek dapat dikenali dari persepsi tandanya.
Peirce mendefinisikan semiosis sebagai proses representasi fungsi
objek sebagai tanda (sign) (Hoed, 2001: 199). Sebuah tanda mengacu
pada sesuatu di luar dirinya sendiri, yaitu objek yang dipahami oleh
seseorang; dan objek memiliki efek bagi interpretan (Noth, 1990: 42).
Proses pemaknaan dari tanda, objek, dan interpretan yang disebut
semiosis terjadi dengan sangat cepat dalam pikiran manusia (Hoed,
2001:118). Menurut Peirce (via Noth, 1990: 42) semiosis merupakan
hubungan antara tanda, petanda, dan kognisi yang dihasilkan dalam
minda. Karena yang ada di indera sebenanya adalah representamen,
maka sering disebut tanda. Dan tidak satupun dapat disebut tanda
kecuali tanda itu diinterpretasikan sebagai tanda. Peirce melihat
semiosis tersebut sebagai suatu proses yang secara teoritis berlajut
tanpa akhir, karena manusia akan terus berpikir (Hoed, 2001: 200).
492
Gambar 1. Jempol kanan mengarah ke atas
Proses semiosis 1
Jempol distilir
Proses semiosis 2
Jempol mengarah
ke atas
bukan sembarang jempol pujian, baik, hebat, setuju
jempol diacungkan
493
Proses semiosis 1
Jempol distilir
bukan sembarang jempol hormat, mempersilahkan
jempol diacungkan menunjuk
Proses semiosis 1
Panuduh distilir
Proses semiosis 2
panuduh mengarah
ke atas
494
Gambar 4 Panuduh kanan diacungkan mengarah miring ke depan
Proses semiosis 1
panuduh distilir
Proses semiosis 2
panuduh mengarah
miring ke depan
bukan sembarang panuduh peringatan, larangan
panuduh diacungkan
495
Gambar 5. Tanda driji
melakukan gerakan
pingsut
(Sumber: wikipedia.org.
id)
Tanda
Driji dalam Permainan Objek Interpretan
Anak
1. jempol ‘ibu jari’ dan jempol diadu Gajah melawan manusia, gajah
panuduh ‘telunjuk’ dengan panuduh lebih besar menang dan manusia
kalah
2. panuduh ‘telunjuk’ dan panuduh diadu Manusia melawan semut,
jenthik ‘kelingking’ dengan jenthik manusia lebih besar menang dan
semut kalah
3. jenthik ‘kelingking’ jenthik diadu Semut melawan gajah, semut
dan jempol ‘ibu dengan jempol lebih kecil tapi bias mengalahkan
jari’ si gajah dengan cara masuk
telinga gajah, gajah kesakitan
dan mati, semut menang dan
gajah kalah.
Pesan yang tersirat dalam pingsut bahwa tidak selalu yang besar itu
selalu menang. Gajah lebih besar daripada manusia, manusia lebih
besar daripada semut. Gajah dan manusia menang karena lebih
besar. Namun, semut yang lebih kecil daripada gajah ternyata dapat
496
mengalahkan gajah dengan strategi yang dimiliki.
497
jangan dik saudara tua mencelakai’; dan terakhir jempol berkata Ya
bener ya bener tai laler enak seger ‘ya betul ya betul tahi lalat enak segar’.
Secara lengkap lirik lagu tersebut seperti urutan berikut ini.
Enthik-enthik patenana si temunggul
Temunggul dosane apa
Dosane ngungkul-ungkuli
Aja dhi aja dhi sedulur tuwa malati
Ya bener ya bener tai laler enak seger
(Overback, 1935)
498
Tabel 2. Pemaknaan dolanan driji
Tanda
Driji dalam Objek Interpretan
Permainan Anak
1. Panunggul ‘jari Panunggul ‘jari tengah’ Personifikasi. Secara fisik orang
tengah’ yang ditunjuk oleh yang punya badan paling besar.
telunjuk kanan Anak tertua. Menang. Malati.
Orang yang sombong dan
merasa paling hebat.
2. jenthik manis ‘jari jenthik manis ‘jari manis’ Personifikasi. Secara fisik orang
manis’ yang ditunjuk oleh yang lebih kecil. Lebih muda.
telunjuk kanan Kuwalat. Kalah. Orang yang iri
dan berniat jahat.
3 . j e n t h i k jenthik ‘kelingking’ yang Personifikasi. Secara fisik orang
‘kelingking’ ditunjuk oleh telunjuk yang lebih kecil . Lebih muda.
kanan Kuwalat. Kalah. Orang yang
diajak berniat jahat .
4.panuduh ‘telunjuk’ panuduh ‘telunjuk’ yang Personifikasi. Orang yang
ditunjuk oleh telunjuk mengingatkan dan melarang
kanan
5. jempol ‘ibu jari’ jempol ‘ibu jari’ yang Personifikasi. Orang yang
ditunjuk oleh telunjuk bijaksana, menyetujui untuk hal
kanan yang baik dan mengarahkan.
Lagu dolanan driji akan lebih lengkap bila dikaji mengikuti analisis
Roland Barthes (1967) yang mengelompokkan tanda atau yang disebut
oleh Jakobson sebagai sistem kode, menjadi lima kisi-kisi kode, di
antaranya kode narasi dan kode kebudayaan.
Kode narasi yaitu kode yang mengandung cerita atau narasi,
Secara singkat isi lagu tersebut menggambarkan keributan driji ‘jari’
yang saling bertengkar tidak rukun. Keributan dimulai ketika jethik
manis ‘jari manis’ merasa iri karena badannya tidak setinggi driji tengah
‘jari tengah’ utawa panunggul ‘jari tengah’. Terbawa rasa iri, jenthik
manis ‘jari manis’ menyuruh jenthik ‘kelingking’ supaya membunuh
panunggul ‘jari tengah’. Jenthik ‘kelingking’ yang tidak merasa punya
masalah apa-apa dengan panunggul ‘jari tengah’ bertanya, mengapa
panunggul ‘jari tengah’ harus dibunuh? Pertanyaan ini dijawab oleh
driji manis, ‘jari manis’ bahwa dosa panunggul adalah karena tingginya
melebihi driji manis, ‘jari manis’. Pada waktu terjadi pembicaraan
antara driji manis ‘jari manis’ dan jenthik, ‘kelingking’ terdengar oleh
499
panuduh ‘telunjuk’. Walaupun pada kenyataannya tinggi panuduh
juga kalah dengan panunggul ‘jari tengah, tapi panuduh tidak iri dan
dia melarang driji manis ‘jari manis’ dan jenthik, ‘kelingking’ untuk
tidak membunuh. jempol ‘ibu jari’ membenarkan apa yang dikatakan
panuduh ‘telunjuk’.
Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat
kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan,
sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda. Lagu dolanan driji
menggunakan kode kebudayaan, khususnya mitos dan moral.
Dolanan driji merupakan gambaran keadaan manusia di dunia. Di
dalam budaya Jawa, tua muda menempati tempatnya masing-masing.
Posisi orang tua itu nuwasi-malati. Artinya, orang yang muda harus
menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Jika tidak, akan
kuwalat, hidupnya akan menderita. Orang yang lebih tua tidak boleh
diremehkan, diejek, apa lagi dipermalukan. Sebaliknya, orang yang
lebih tua tidak boleh semena-mena, gampang mengumbar kemarahan,
sombong, merasa berkuasa.
4. Penutup
Dengan menggunakan analisis semiosis model Peirce pada
masing-masing penggunaan driji ‘jari’ di atas, pada pemakaian sehari-
hari, permainan anak, dan lagu dolanan driji ‘permainan jari’, nampak
adanya keterkaitan penggunaan tanda dan interpretan dari ketiganya.
Hal tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut.
Pertama, pada pemakaian sehari-hari, jempol ‘ibu jari’ punya
interpretan baik, bagus, hebat, setuju, dan juga menunjuk, sementara
itu pada dolanan driji ‘permainan jari’ punya interpretan sebagai orang
yang bijaksana, selalu mengarahkan, menyetujui hal yang baik.
Kedua, pada pemakaian sehari-hari panuduh ‘telunjuk’ punya
interpretan memperingatkan dan melarang, sementara pada dolanan
driji ‘perminan jari’ punya interpretan orang yang mengingatkan dan
melarang.
Ketiga, secara umum pada permainan anak pingsut, punya
interpretan besar dan kecil, kalah dan menang. Sementara secara
umum interpretan pada dolanan driji ‘permainan jari’ adalah orang
yang secara fisik lebih besar dan lebih kecil, dan yang lebih besar
ngungkuli ‘merasa lebih (menang)’.
***
500
DAFTAR PUSTAKA
501
REDEFINISI KETENANGAN HIDUP ABDI
DALEM DI TENGAH DUNIA MODERN
Studi Keseharian Juru Kunci Makam Imogiri
dalam Menyikapi Perubahan Zaman
A. PENGANTAR
502
seorang abdi dalem. Sebagai keluarga Jawa, seorang abdi dalem
umumnya juga berperan sebagai kepala keluarga atau rumah tangga.
Abdi dalem, yang bisa dikatakan merepresentasikan sosok orang Jawa
yang masih menghayati nilai-nilai tradisional, juga tak luput dari
gerusan modernitas. Melihat kondisi itu, muncul pertanyaan besar
yang ingin dicari jawabannya, yaitu apakah benar menjadi abdi dalem
bukan sekedar perkara mencari uang untuk kehidupan, namun untuk
menemukan kehidupan yang tenang? Kalau memang demikian, lalu
bagaimana mereka menyelaraskan nilai-nilai filosofis Jawa yang penuh
dengan nilai spiritual dengan perubahan zaman yang mengusung nilai
material? Mampukah filosofi ‘ketenangan hidup’ meredam gempuran
citra kehidupan modern yang ada?
Untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut di atas, maka
penelitian ini mencoba menelusurinya melalui tiga pertanyaan besar,
bagaimana abdi dalem mengenal simbol-simbol modernitas, sejauh
mana modernitas mempengaruhi rumah tangga abdi dalem, dan
bagaimana abdi dalem menyikapi perubahan zaman yang terjadi di
sekelilingnya dan mengapa abdi dalem menyikapinya.
Sejauh pengamatan peneliti, topik mengenai gaya hidup
keseharian juru kunci dalam menyikapi dunia modern belum
diperoleh. Wishnu (1994) menjelaskan bahwa profesi sebagai abdi
dalem dipilih dikarenakan adanya keyakinan dengan menjadi abdi
dalem akan memperoleh ketentraman batin, memperoleh gelar sebagai
bangsawan yang dapat menjamin kehormatan seseorang karena
dengan mengabdi pada keraton akan memperoleh berkah dari raja
yang menyebabkan ketentraman batin, walaupun dalam segi materi
tidak menjanjikan.
Rulanto (1986) mengungkapkan bahwa Makam Imogiri sebagai
makam raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
perlu dijaga dan dipelihara. Untuk tugas itu keraton mengangkat abdi
dalem juru kunci. Bagi mereka, walaupun jabatan itu hanya sebagai
tenaga rendahan tetapi tujuan utamanya adalah martabatnya akan
naik. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan diperolehnya nama dan
gelar dari keraton memperoleh kesempatan bergaul dengan para
bangsawan, dan memperoleh perlakuan yang lebih terhormat bila
dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya.
Salah satu faktor yang mendorong seseorang menjadi abdi dalem
sebagaimana diungkapkan Rostiati (1987) adalah kharisma raja sebagai
tokoh yang sakral. Kesakralan ini dianggap akan mendatangkan
berkah tersendiri bagi seorang abdi dalem sehingga ngalap berkah
menunjukkan keloyalan mereka pada sang raja.
503
Menjadi abdi dalem adalah sebuah kebanggaan karena dengan
menjadi abdi dalem, seseorang bisa memperoleh posisi yang cukup
istimewa baik dengan adanya tambahan gelar keningratan ataupun
peran-peran khusus yang dipercayakan langsung dari sultan (Guinness,
1986; Soelist, 1991; Soelist dan Kustara, 1995; dan Rustopo, 2007).
Terkait dengan gelar-gelar keningratan, Kuntowijoyo (2003)
menjelaskan bahwa keberadaan para abdi dalem pada akhirnya
menciptakan semacam kelas sosial baru yaitu kelas priyayi yang
berasal dari kelompok abdi dalem. Proses menjadi ’priyayi’ bagi para
abdi dalem tidaklah mudah, sehingga para abdi dalem yang berhasil
memenuhi kriteria sebagai ’priyayi luhur’ adalah orang-orang yang
memang terpilih. Terjadi tarik menarik antara semangat pengabdian
(caos bekti) dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsistensi.
Meskipun demikian, belum ada yang secara khusus mengkaji
dinamika yang terjadi dalam kehidupan seorang abdi dalem, terkait
dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsistensi tersebut.
Mengacu pada Smelser (1973:265), modern diartikan sebagai
bagian dari sebuah proses umum dari diferensiasi yang di dalamnya
mengimplikasikan adanya pertumbuhan struktur produksi yang bebas
dan perubahan fungsi-fungsi. Simbol modern bercirikan: (1) revolusi
demografis, tingkat natalitas maupun mortalitas yang menurun drastis;
(2) peningkatan ukuran, cakupan, dan jaringan dalam keluarga, (3)
sistem stratifikasi yang semakin terbuka menuju tingkat mobilitas
yang lebih tinggi, (4) transisi dari struktur masyarakat kesukuan
atau feodal ke dalam tipe birokrasi yang demokratis atau totaliter,
(5) berkurangnya pengaruh agama, (6) pemisahan pendidikan dari
keluarga atau komunitas dalam proses pendidikan yang lebih terbuka,
proses pendidikan yang semakin panjang, kompleks dan menyebar,
(7) pertumbuhan budaya massa yang diperkaya oleh pendidikan dan
perkembangan media komunikasi massa, (8) munculnya ekonomi
pasar, dan yang lebih penting lagi adalah industrialisasi.
Modernitas pada kenyataannya menandai sebuah pola organisasi
produksi yang baru, yang secara tidak langsung memaksa penyesuaian
nilai dan norma dalam masyarakat (Abdullah, 2006:154). Masuknya
pasar menyebabkan terjadinya integrasi pasar serta ekspansi pasar
sehingga menegaskan suatu masyarakat telah bergeser dari tatanan
lama. Suatu tatanan baru yang lahir tidak hanya merupakan suatu
bentuk dan gaya baru yang dianut masyarakat, tetapi juga suatu cara
baru di dalam melihat diri sendiri dan orang lain di dalam konteks
yang berbeda.
Modernitas ini pada tahap selanjutnya melahirkan tuntutan-
504
tuntutan yang menjadi ancaman cukup serius bagi keberlangsungan
simbol-simbol kultural tradisional. Kehidupan modern menciptakan
’experince of rupture’ (Miller, 1995). Di sinilah konsumsi menjadi ide
utama yang muncul. Konsumsi massa pada produk menjadi titik
superordinat baru dari identitas sehingga menciptakan sebuah
homogenisasi global.
Tulisan ini berusaha mengungkapkan makna, maka metode
penelitian kualitatif yang mensyaratkan kerja lapangan menjadi
metode utama. Sementara, untuk memperkuat konteks penafsiran atas
temuan lapangan akan digunakan data sekunder atau literatur yang
terkait dengan tema penelitian ini. Adapun fokus penelitian pada unit-
unit rumah tangga keluarga abdi dalem juru kunci Makam Pajimatan,
Imogiri. Unit rumah tangga dipilih sebagai fokus penelitian karena
pada dasarnya citra kehidupan modern tidak hanya dapat dirasakan
dalam dunia publik tetapi juga kuat pengaruhnya pada tataran privat
atau domestik.
“Di era modern ini, kita membutuhkan seorang “ratu” yang benar-benar
dapat menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah dengan cepat dan
mampu mengimbanginya,” 3
505
tidak, sudah menjadi bagian dari perubahan yang membawa keraton
meninggalkan kejayaan masa lalunya. Bagi masyarakat Jawa khususnya
Yogyakarta, keraton merupakan pusat budaya terutama budaya adi
luhung (elite culture). Keraton merupakan pusat kekuatan, terutama
yang berhubungan dengan kekuatan spiritual. Keraton memiliki dan
mengkreasi budaya adi luhung yang secara khusus diperuntukkan bagi
kalangan bangsawan keraton. Demikian pula dalam kekuasaan dan
politik, keraton menduduki hierarki tertinggi. Dengan demikian, terjadi
kesejajaran antara kedudukan tertinggi dengan peran budaya yang
dimilikinya (Suhartono, 1997). Dalam posisi ini, keraton merupakan
simbol, pusat, dan sekaligus penjaga nilai-nilai budaya tradisional.
Seiring dengan zaman yang mulai berubah, keraton pun telah
berbeda dengan keraton pada masa Kerajaan Mataram. Dahulu,
keraton mempunyai pengaruh penuh karena kekuasaannya sebagai
sebuah kerajaan untuk mengatur pemerintahan dan rakyatnya,
meskipun ketika itu terdapat pemerintahan Hindia Belanda. Akan
tetapi, justru melalui birokrasi kolonial inilah budaya keraton
dirembeskan ke masyarakat. Kini, keraton bukan lagi ibukota kerajaan
tetapi hanya merupakan warisan budaya (cultural heritage). Sebagai
sebuah cultural heritage, keraton sangat terbatas untuk menyebarkan
budayanya di tengah-tengah masyarakat yang semakin heterogen
dan kompleks. Keraton masa kini pun mempunyai persoalan intern
dan ekstern. Intern terkait dengan pendukung budaya internal dan
pemeliharaannya, mengalami kesulitan untuk mencukupinya. Ekstern
karena keraton tidak lagi mempunyai kekuasaan dan kewenangan
terhadap lingkungan di luar keraton sekalipun pada awalnya seluruh
tanah kerajaan dari negaragung, kotanegara hingga mancanegara adalah
milik raja.
Keraton sedang dan terus mengalami gempuran penyesuaian
dengan kehidupan modern. Rencana pembangunan parkir bawah
tanah di kawasan alun-alun utara adalah salah satu bagian dari
sekian tuntutan kebutuhan masa kini yang mengejar segala macam
tuntutan kepraktisan dan pundi-pundi rupiah. Seperti dicatat dalam
situs Heritage of Java (2009), keraton Yogyakarta sebenarnya sudah
mulai memasuki masa transisi menuju modernisasi sejak masa
kepemimpinan Sultan HB VII pada tahun 1900-an. Modernitas pada
masa ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah modern serta
keharusan bagi putra-putri sultan untuk mengenyam pendidikan
modern bahkan sampai ke negeri seberang (Belanda). Budaya belajar di
sekolah-sekolah modern ini berlanjut hingga masa kepemimpinan HB
VIII, HB IX, dan HB X. Transisi pendidikan modern yang diadopsi oleh
506
sultan dan keluarganya menjadi salah satu dari sekian bukti konkrit
yang memberikan gambaran bahwa keraton tidak menutup mata
pada pengaruh-pengaruh modernitas. Sultan dan kerabatnya tidak
lagi hadir dengan ikon kebangsawanan masa lalu dengan mahkota,
sanggul, pakaian kebesaran dan kereta kudanya, tetapi mulai tampil
dengan gaya modernnya bercelana jeans dan mengendarai mobil.
Tak hanya keraton dan Sultan Yogya yang mulai berubah, keraton
Surakarta yang juga menaungi sebagian abdi dalem Pajimatan juga
mengalami hal serupa. Tavarez (2004), mengistilahkan kondisi keraton
Surakarta sekarang dengan sebutan ”mati suri”. Setelah kehilangan
hampir seluruh aset ekonomi peninggalan Dinasti Paku Buwono pada
akhir revolusi fisik, berawal dengan dikeluarkannya surat keputusan
pemerintah pada 1946, yang mengambil alih kekuasaan keraton dan
menjadikannya sebagai wilayah karesidenan, Keraton Surakarta
praktis tidak lagi menjadi pusat kekuasaan yang bisa dijadikan rujukan
politis.
507
memiliki kawasan wisata lain seperti Makam Banyusumurup6 dan
Makam Giriloyo.7 Seperti dituturkan Mas Ngabehi Rekso Sumarto
(74), Imogiri mulai ramai sejak makam raja-raja yang ada, resmi dibuka
sebagai kawasan wisata religius pada tahun 50-an: “Nggih, sakbibaripun
tahun 50 menika, bibaripun landi kesah menika, ha menika lak Imogiri ki
saiki tempat pariwisata, pariwisata religius.” (Ya, sesudah tahun 50 itu,
setelah Belanda pergi, Imogiri sekarang menjadi tempat pariwisata,
pariwisata religius).
Sejak dibuka sebagai kawasan wisata religius, makam yang
semula hanya bisa dikunjungi oleh kerabat raja kini mulai dibuka
untuk pengunjung umum. Sejak itu banyak warga perempuan yang
semula mengandalkan kegiatan membatik sebagai mata pencaharian,
kemudian beralih pada beragam profesi seperti penjual bunga, penjual
cenderamata, guide, juru foto, persewaan busana jawa, penjaga parkir,
serta penjual makanan dan minuman.
Imogiri yang semula hanya khusus buka pada hari Senin dan
Jumat, akhirnya ditambah satu hari buka yaitu hari Minggu. Tambahan
hari buka ini, bisa menjadi tolok ukur bahwa pembukaan kawasan
Imogiri sebagai tujuan wisata religi cukup berhasil. Ikon Imogiri sebagai
kawasan wisata religius mulai terlihat dari plang-plang penunjuk jalan
yang terpasang di sepanjang jalan menuju Imogiri. Tanda panah serta
tulisan Imogiri-makam raja-raja, seolah menjadi simbol kebanggaan
tersendiri bagi kawasan ini. Para penjual wedang uwuh dan pusat
oleh-oleh bertebaran, dari mulai kawasan terminal menuju kawasan
makam dan di sepanjang tangga masuk menuju makam.
Berkah pariwisata tak hanya memasyurkan wilayah Imogiri,
tetapi juga memberikan berkah tersendiri bagi puluhan abdi dalem
juru kunci makam. Sejak dibuka sebagai kawasan wisata, kawasan
makam banyak dijadikan sebagai sandaran kehidupan. Ada banyak
peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para abdi dalem untuk
“nyambi” di antaranya dengan menjadi guide, tukang parkir, ataupun
pelantar. Banyaknya jumlah pengunjung yang datang juga menjadi
berkah tersendiri. Abdi dalem dapat memperoleh masukan tambahan
508
dari sumbangan sukarela yang sering disebut juga ‘tambahan pandonga’
(tambahan doa), dana saeklasipun (sukarela), baik dari para pengunjung
makam maupun bledug (tips) dari para pengunjung seperti dituturkan
kembali oleh Dono Puspoko (60 tahun): “Kathah ingkang nyuwun
pangestu sowan mlebet kaliyan anu doa, menika tahlil menika yen caleg-caleg
wonten pinten mriki.” (Banyak yang meminta restu berziarah berdoa,
tahlil, demikian caleg-caleg ada beberapa ke sini).
C. ABDI DALEM
Abdi dalem adalah pegawai keraton yang kerapkali dianggap
sebagai fenomena yang kontradiktif di era kehidupan modern, seperti
dapat dilihat berikut ini:
“Penampilan mereka mudah dikenali dengan ikat kepala blangkon,
berbaju kain pranakan biasanya berwarna biru tua bergaris vertikal 3 dan
4 (telupat). Mereka juga mengenakan kain dan sebilah keris terselip di
pinggang belakangnya. Kaki mengenakan selop, namun banyak juga
di antara mereka yang tidak beralas kaki. Ada nuansa fantastis melihat
keteguhan mereka menjalani profesinya yang begitu tenang, seolah
berlawanan dengan derasnya dinamika era globalisasi. Hal lain yang
lebih fantastis dari rutinitas kehidupan mereka, adalah masalah gaji
mereka”8
509
kompleks makam raja-raja Mataram.
510
Jagasara (66 tahun) adalah zaman yang semakin hancur dan serba
tidak jelas. Zaman di mana orang-orang semakin ”sapenak udele dhewe”
ini dianggap sebagai biang dari semua kesulitan. Zaman sekarang
segala hal sudah maju sehingga mau membuka usaha atau kerja pun
tantangannya menjadi lebih berat. Sebenarnya, bisa saja orang tetap
makan ubi dan membeli pakaian sekali dalam satu tahun. Namun,
kenyataan ini tidak mungkin terjadi di zaman sekarang, “Tuntutan
zaman sekarang kita akan menyamai negara maju. Ya kan dulu prinsipnya
itu, saiki aku arep padha Amerika, arep padha karo Singapura.” Sekarang ini
hidup memberikan banyak sekali tuntutan. Orang harus berpakaian
bagus ketika menghadiri suatu acara pernikahan, orang tidak mau
lagi kalau hanya sekedar makan ubi, orang harus sekolah di sekolah
yang bagus, setiap orang harus jadi anak yang pintar.
Inilah kenyataan yang muncul di zaman sekarang, tidak hanya
kebutuhan perut saja yang harus dipikirkan, tetapi juga kebutuhan
lain yang semakin hari semakin banyak jenisnya, mulai dari biaya
sosial seperti sumbangan untuk hajatan, biaya pendidikan anak-anak,
sampai keinginan untuk naik haji.
511
rasanya seperti thiwul. Kenyataan ini membuat Mas Dono Puspoko
harus menerapkan konsep hidup prihatin untuk seluruh keluarganya.
Anak-anak diharuskan untuk selalu mematuhi orang tua dan tidak
pernah diberi uang saku. ‘Tidak ada uang, asal perut tetap kenyang’,
adalah upaya yang dilakukannya untuk membiasakan anak-anaknya
hidup apa adanya. Tidak ada jajan dan belanja, perut kenyang dalam hal
ini dimaknai dengan makan seadanya di rumah. ‘Lugu’ adalah istilah
yang digunakan Mas Dono Puspoko untuk menggambarkan betapa
anak-anaknya pun begitu penurut dan tidak pernah memberontak.
Mereka adalah bagian dari generasi masa lalu yang bagi dirinya adalah
teladan orang-orang yang bisa hidup di masa yang serba sulit.
512
tebal segera duduk bersila di pendapa dekat masjid, sambil sesekali
membetulkan kacamata dan mulai sibuk menekuni bukunya.
Suasana yang tidak jauh berbeda juga dijumpai di pendapa
utama. Minimnya pengunjung tampaknya membuat abdi dalem lebih
santai. Mereka terlihat lebih santai dengan kaos oblongnya. Guyonan
dan celetukan-celetukan pun sempat muncul juga dari beberapa abdi
dalem. Hal ini menggambarkan sebuah kelonggaran aturan yang
begitu mereka nikmati. Memakai surjan lengkap dengan blangkon
mungkin memang tidak cocok di siang yang terik itu. Kacamata hitam
dan kaos oblong terasa lebih nyaman, apalagi ditambah dengan tidur-
tiduran di lantai pendapa yang dingin, tentu mak nyess… rasanya.
513
serupa. Rumah bergaya limasan dengan lantai keramik ini dilengkapi
dengan mushola pribadi, ayunan, dan meja tenis.
Tak hanya rumah dan segala macam perlengkapannya, kendaraan
bermotor sebagai ikon modernitas pun juga dengan mudah didapati
di rumah abdi dalem. Mas Dono Puspoko (60) yang awalnya lebih
memilih bepergian naik sepeda onthelnya, lambat laun menyadari
bahwa ternyata menggunakan sepeda motor lebih praktis dan bisa
menghemat waktu. Naik sepeda sekarang hanya sekedar menjadi
kegiatan pengisi waktu dan alternatif berolahraga di pagi hari.
514
Tidak hanya bahasa Indonesia yang menjadi salah satu bahasa yang
dibutuhkan oleh abdi-abdi dalem juru kunci makam, penguasaan
bahasa Inggris pun disarankan. Hal ini tidak lain adalah untuk
mengantisipasi kunjungan turis yang dalam hal ini pula bisa dilihat
sebagai rembesan dari pengaruh modernisasi dalam melihat makam
yang tidak lagi sebagai tempat ziarah, tetapi juga tempat berwisata.
515
D.1 Filosofi Hidup ‘Cukup’
Hidup di zaman modern atau di zaman sekarang ini menawarkan
begitu banyak kenikmatan hidup. Manusia dimudahkan dengan
berbagai fasilitas sehingga tidak lagi harus berhadapan dengan masa-
masa rawan pangan seperti zaman dulu. Di sinilah kemudian disadari
oleh abdi dalem bahwa pada dasarnya kebutuhan dan keinginan
manusia itu tidak mengenal batas. Orang seringkali melihat milik orang
lain dan membandingkannya dengan apa yang sudah dimiliki. Istilah
sawang-sinawang, menjadi salah satu rasionalitas seperti dituturkan
oleh Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74): “dados menika pribadinipun
piyambak, wonten ta jane wah kae ki ya nganu gajine ya gedhe, pensiune ya
gedhe, ning kok isih golek anu…”. Orang kerapkali melihat orang lain
lebih dalam segala hal atau yang bisa diistilahkan dengan ‘rumput
tetangga selalu tampak lebih hijau’. Kenyataan ini kerapkali dihadapi
manusia zaman sekarang.
Zaman modern menghadirkan tuntutan dan kebutuhan yang
semakin tinggi sekaligus juga menawarkan pilihan pemenuhan yang
beragam. Hal inilah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan. Untuk
bisa mengendalikan diri dan menjaga diri agar tidak ikut terhanyut
dalam situasi semacam ini adalah dengan menerapkan filosofi hidup
‘cukup’. Cukup dalam hal ini dimaknai dengan selalu bersyukur,
menerima semua yang diberikan tanpa harus mengeluh.
Waseludin Jagasara (66) menyebut filosofi hidup cukup ini
dengan istilah ‘tidak nggaya’. Hidup seharusnya bisa dijalani apa
adanya, tidak perlu memaksakan diri. Satu hal terpenting yang harus
dilakukan agar bisa merasa ‘cukup’ adalah dengan menerapkan pola
hidup sederhana. Hidup yang baik adalah ‘samadya’, tidak berlebihan
juga tidak berkekurangan. Dalam hal ini perlu sekali lagi ditekankan
bahwa zaman hidup prihatin yang pernah dialami pada masa lalu
adalah sebuah pengalaman yang membuat abdi dalem bisa melihat
bahwa zaman modern sudah jauh lebih baik dan banyak membawa
kebaikan. Kebaikan-kebaikan ini sudah seharusnya tidak dikalahkan
dengan gaya hidup zaman sekarang yang seringkali lalai untuk bisa
hidup samadya.
Hidup sekarang ini dirasa sudah ‘cukup’, demikianlah yang
rata-rata disampaikan. Rasa ‘cukup’ ini terlihat dari tidak adanya
keinginan mengejar materi oleh abdi dalem. Keinginan yang menonjol
lebih banyak ditujukan untuk memperoleh ketenangan hidup. Mas
Ngabehi Rekso Sumarto (74) menuturkan bahwa hidupnya sekarang
sudah ‘entheng’. Kebahagiaan dan kebanggaan terlihat jelas dari raut
mukanya ketika menceritakan anak-anaknya yang sudah mentas
516
semua. Hal serupa juga dituturkan Mas Dono Puspoko (60), hidup
yang terpenting baginya adalah melihat putri tunggal dan istrinya
bahagia. Seperti Mas Ngabehi Rekso Sumarto dan Mas Dono
Puspoko, Jogo Sukismo juga menuturkan bahwa sejak kecil dirinya
sudah berlatih untuk tidak hidup bermewah-mewah.
517
muncul di zaman modern ini. Sikap pasrah mereka menjalani hidup
yang diberikan oleh Sang Pencipta terpancar dari roman muka yang
terlihat jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya.
SIMPULAN
Keberadaan abdi dalem adalah sebuah fenomena yang kerapkali
dipandang kontradiktif ketika disandingkan dengan realitas
kehidupan modern. Tentu saja karena tolok ukur yang dipakai semata
adalah materi yaitu ‘gaji’. Sebagai punggawa yang menjadi garda
depan penjaga keadiluhungan budaya Jawa yang masyur, abdi dalem
pada kenyataannya juga tidak menutup diri pada perubahan zaman
yang kemudian disebut sebagai zaman modern. Mereka menandai
modernitas sebagai satu titik yang berbeda dengan kehidupan di masa
lalu,\ dengan menyebutnya dalam istilah ‘zaman memperturutkan
keinginan’ dan ‘zaman hidup prihatin’.
Gelombang modernitas pun tidak lepas dari keseharian abdi
dalem. Hal ini terlihat nyata dari kenyamanan dan kenikmatan
hidup yang juga menjadi bagian dari keseharian mereka. Budaya-
budaya yang bersifat fisik seperti penampilan, penggunaan fasilitas
hidup modern, perilaku, serta bahasa adalah beberapa wujud citra
kehidupan modern yang muncul dalam sosok abdi dalem. Kehidupan
modern dipahami sebagai sebuah kehidupan yang menawarkan
kepraktisan dan kenyamanan yang sangat berbeda dengan kehidupan
yang dialami abdi dalem pada masa-masa sulit zaman dulu.
Berkah yang dibawa kehidupan modern bukan berarti menggerus
filosofi ketenangan hidup yang dimiliki oleh abdi dalem. Pengabdian
di tengah segala kebersahajaan dan keterbatasan materi, ibarat sebuah
pelajaran hidup yang telah membangun sebuah kepasrahan hidup dan
kepercayaan yang tinggi terhadap kuasa di luar dirinya. Ketenangan
hidup dan ketentraman hati menjadi obat dan penghiburan tersendiri
untuk menapaki kehidupan ala zaman sekarang.
Citra kehidupan modern yang menawarkan begitu banyak
kenyamanan, kemudahan, dan kenikmatan tidak harus dimusuhi,
begitu pun sebaliknya dengan pilihan kebersahajaan dan pengabdian
mereka melalui profesi abdi dalem bukanlah sesuatu yang kemudian
menjadi ketinggalan zaman. Citra kehidupan modern dan tradisional
disandingkan secara arif dalam sikap kepasrahan yang tinggi terhadap
kuasa ilahiah. Hidup berjalan dan terus berganti dari generasi ke
generasi, tetapi perubahan ini dinegosiasikan dalam keseharian abdi
dalem melalui konsep hidup ‘cukup’.
518
DAFTAR RUJUKAN
519
Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara.
Wishnu, R.M.A. 1994. ”Abdi Dalem Keraton Yogyakarta: Studi tentang
Kegiatan dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi”. Skripsi. Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tavarez, Antonio. “Relevansi Keraton Surakarta dalam Konteks Kekinian
Indonesia”. www.suaramerdeka.co.id. Diakses 26 Juni 2009.
www.antara.co.id. Abdi Dalem Makam Raja yang Selalu Ayem. Diakses 30
Januari 2009.
www.batampos.co.id. ”Tahan Hadapi Krisis ala Abdi Dalem Keraton Jogja”.
Diakses 30 Januari 2009.
www.heritageofjava.com. Diakses 26 Juni 2009.
www.kompas.com. “Forum Bela Raos Abdi dalem Kehendaki Sinuhun yang
Berkualitas. Diakses 25 Juni 2009.
www2.kompas.com. “Dua Abdi dalem Ex Officio. Sabtu, 03 Desember 2005.
Diakses 30 Januari 2009.
www.majalah.tempointeraktif.com. Barisan caos bekti. 33/XXI 12 Oktober
1991 Diakses 30 Januari 2009
520
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM
DIAH SAWITRI:
Model Untuk Eksistensi Diri pada Era
Globalisasi
Ni Nyoman Karmini
IKIP Saraswati Tabanan
I. PENDAHULUAN
521
ciptaan yang baik dan indah (1984:23). Senada pula dengan pernyataan
Kutha Ratna, yakni kandungan isi karya sastra dapat menggugah
dan memberi inspirasi dalam menghadapi kehidupan, sebab karya
sastra mengandung nilai-nilai yang berfungsi untuk meningkatkan
kehidupan (2005:9).
Diah Sawitri adalah sebuah kisah yang diambil dari sebuah
geguritan. Geguritan termasuk sastra tradisional Bali (Bali Purwa).
Geguritan dikelompokkan ke dalam tutur/tatwa/filsafat atau itihasa,
karena masalah yang diungkapkan di dalamnya berupa nasihat-
nasihat dan pedoman-pedoman tentang hidup dan kehidupan
manusia sesuai ajaran agama Hindu (dalam Karmini, 2008:75).
Geguritan termasuk karya sastra yang berbentuk puisi (tembang) yang
dibentuk oleh pupuh-pupuh. Geguritan mengikuti persyaratan yang
disebut padalingsa, dan biasanya menggunakan tembang macapat atau
sekar alit dalam penyampaiannya. Padalingsa meliputi: sejumlah silabel
atau suku kata dalam tiap-tiap baris (carik); jumlah baris pada tiap-tiap
bait (pada); dan bunyi akhir tiap-tiap baris (Agastia, 1987:13; Warna,
1990:557; Tinggen, 1994:31; Hasan Alwi, 1996:799; Medera, 1997: 34).
Geguritan sebagai karya sastra masih berkembang pada
masyarakat Bali dalam arti masih dihayati, dan pembacaannya
disampaikan lewat tembang. Tradisi matembang di Bali dapat dilakukan
oleh perorangan dan dapat pula oleh kelompok santi (sekaa santi). Dalam
pasantian, sekaa santi sering melakukan apresiasi sastra yang disebut
mabebasan. Geguritan sarat dengan pedoman-pedoman kehidupan,
tentang etika, dan moral. Pedoman-pedoman kehidupan yang termuat
di dalamnya dapat dipahami oleh pembaca lewat pembacaan biasa,
tetapi menjadi semakin mudah diresapi oleh pendengarnya apabila
disampaikan lewat tembang (dinyanyikan). Kebiasaan matembang
melahirkan konsep “malajah sambilang magending, magending sambilang
malajah” (belajar sambil menyanyi, menyanyi sambil belajar).
Setelah cerita Diah Sawitri dikaji secara mendalam, ternyata di
dalamnya termuat banyak hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kearifan
lokal. Nilai-nilai kearifan lokal dimaksud, sangat penting dikaji dan
diangkat kepermukaan, sebab nilai-nilai kearifan lokal yang dimuat di
dalamnya masih sangat relevan untuk menghadapi kehidupan masa
kini dalam era globalisasi. Nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita Diah
Sawitri menjadi model yang dapat memberi inspirasi kepada seseorang
yang menikmati dan menghayatinya, sehingga sangat menbantu dan
sangat mendukung eksistensi diri dalam menghadapi era globalisasi.
Nilai-nilai kearifan lokal yang termuat dalam cerita Diah Sawitri itulah
yang memotori sang tokoh sehingga dapat melakukan hal-hal luar
522
biasa dalam hidupnya.
Diah Sawitri adalah seorang tokoh yang memerankan peran
perempuan yang luar biasa, yang mampu menunjukkan bahwa ia
menjadi subjek, menjadi diri, dibutuhkan, serta mampu menunjukkan
keperempuanannya. Ia menjadi penyebab kebahagiaan suaminya dan
mampu menghindarkan suaminya dari kematian dalam usia muda,
berkat perilaku, tapa brata dan segala usahanya. Sawitri juga menjadi
penyebab kebahagiaan mertuanya, kebahagiaan orang tuanya, dan
keturunannya selanjutnya.
Mengingat nilai-nilai kearifan lokal yang memotori perilaku sang
tokoh cerita, maka yang menjadi permasalahannya adalah nilai-nilai
kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam Geguritan Diah Sawitri
yang dapat menjadi model untuk eksistensi diri di era globalisasi.
Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan
lokal yang dapat dijadikan model dalam menjalankan kehidupan di
era globalisasi.
II. PEMBAHASAN
1. Sinopsis
Sejak pertemuan itu, Sawitri memutuskan memilih Satyawan
sebagai calon suaminya walaupun ia dilarang oleh Hyang Narada
karena usia Satyawan hanya setahun lagi. Setelah menjadi istri
Satyawan, Sawitri tidak pernah lupa hari kematian suaminya. Singkat
cerita, Satyawan akan meninggal empat hari lagi. Sawitri telah siap
melakukan tapa brata triratra, yakni tapa yang dilakukan tiga hari tiga
malam. Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Sawitri melaksanakan
upacara homa untuk Hyang Ageni.
Satyawan merasakan sakit luar biasa di kepalanya, seperti ditusuk
panah. Satyawan lalu dibaringkan di pangkuan Sawitri. Saat itu pula,
Sawitri melihat sosok yang sangat menakutkan datang berdiri di dekat
Satyawan, yang ternyata adalah Sang Hyang Yama (Dewa Pencabut
nyawa). Sawitri dapat melihat dan berbicara dengan Sang Hyang Yama
karena ia satia, patibrata, dan berhasil melaksanakan tapa brata.
Setelah nyawa Satyawan diambil, Sang Hyang Yama berjalan ke
arah Selatan. Dengan dasar tapa brata, melaksanakan ajaran agama,
hormat kepada orang tua, patibrata, bakti kepada orang yang dipuja,
dan seizin Hyang Yama, Sawitri pun dapat mengikuti perjalanan Sang
Hyang Yama, yang membawa roh Satyawan. Dalam perjalanan itu,
Sawitri menyampaikan hal-hal tentang kebaikan, tentang persahabatan
sejati, tentang perilaku sadhu budi, tentang sang darmika, sehingga Sang
Hyang Yama sangat suka dan menyuruh Sawitri memohon anugerah,
523
kecuali roh Satyawan.
Berkali-kali Sang Hyang Yama menasihati Sawitri supaya tidak
menyiksa diri, dan berkali-kali pula menyuruh Sawitri pulang untuk
membakar mayat suaminya, tetapi Sawitri tetap teguh imannya, tetap
menolak membakar mayat suaminya, serta tetap mengikuti perjalanan
Sang Hyang Yama yang membawa roh suaminya. Betapa pun sulitnya
perjalanan itu, Sawitri tetap berjalan sambil selalu membicarakan
hal-hal kebaikan, sehingga akhirnya Sang Hyang Yama luluh hatinya
dan memberikan lima anugerah kepada Sawitri. Anugerah pertama,
kesembuhan mata bagi mertuanya; kedua, kerajaan mertuanya kembali;
ketiga, orang tua kandungnya memperoleh keturunan; keempat,
Sawitri mempunyai keturunan; setelah suaminya dihidupkan kembali
(kelima). Sawitri dan orang-orang yang dicintainya beserta semua
keturunannya hidup berbahagia dan terhormat.
524
Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia bersama bakti
persembahannya dan berkata, “dengan ini engkau akan berkembang
biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu”.
Kaler (dalam Dharmayudha, 1996:6), menyatakan tri hita
karana terdiri atas kata tri yang artinya ‘tiga’, hita artinya ‘baik,
senang, gembira, lestari’, dan karana artinya ‘sebab-musabab’ atau
‘sumbernya sebab’. Dengan demikian, tri hita karana berarti ‘tiga
buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan
timbulnya kebaikan’. Sudharma (dalam Dharmayudha, 1996:7),
menyatakan unsur-unsur tri hita karana adalah (1) Sang Hyang Widhi,
yang merupakan super natural power, (2) bhuwana, yang merupakan
macrocosmos, (3) manusia, yang merupakan microcosmos. Ketiga unsur
tersebut tidak dapat dipisahkan dalam tata hidup masyarakat Hindu
di Bali. Ketiga unsur tersebut senantiasa diterapkan dan dilaksanakan
pada setiap aspek kehidupan secara harmonis dan dinamis.
Tri hita karana mengajarkan pola hidup seimbang di antara ketiga
sumber kesejahteraan dan kedamaian hidup. Manusia selalu berusaha
untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara ketiga unsur
dimaksud, yaitu (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) hubungan
manusia dengan alam, (3) hubungan manusia dengan manusia
(Dharmayudha, 1996:8).
Dalam pandangan masyarakat Hindu, hubungan manusia
dengan Tuhan dikonsepsikan sebagai kaula (yang dikuasai) dan gusti
(yang menguasai). Hubungan ini melahirkan paham ‘Tuhan sebagai
Sang sangkan paraning dumadi’ atau ‘Tuhan sebagai asal dan tujuan
hidup manusia’. Dari hubungan tersebut muncul kesadaran untuk
bhakti yang menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Rasa bhakti
masyarakat Hindu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan
kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam hubungan manusia dengan alam, manusia membedakan
alam menjadi dua, yakni alam nyata dan alam tidak nyata/alam gaib.
Paham subjektif masyarakat Hindu tampak dari konsepsi bhuana
agung dan bhuana alit. Konsepsi ini didasari oleh ide dasar, yaitu ‘ide
kesatuan’. Manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara
serasi, selaras, dan seimbang. Alam semesta disebut bhuana agung dan
diri manusia disebut bhuana alit. Sifat tersebut identik yang terlihat pada
dikotomis manusia ada unsur purusa (Atman) yang merupakan unsur
aktif dan unsur prakerti (pradana), yaitu badan wadah yang merupakan
unsur pasif. Pada alam semesta ada unsur Paramatman (Tuhan) sebagai
purusa, yaitu unsur aktif dan bumi sebagai unsur prakerti, yaitu unsur
pasif. Atman dan Paramatman kualitasnya sama yang ditunjukkan
dengan ucapan ‘Brahman Atman Aikyam’ (Dharmayudha, 1996:12).
525
Dalam hubungan antara manusia dengan manusia, kehidupan
masyarakat Hindu di Bali didasarkan atas asas yang disebut tat twam
asi. Secara harfiah tat artinya ‘itu’ (ia), twam artinya ‘kamu’ dan asi
artinya ‘adalah’. Jadi, tat twam asi artinya ‘itu (ia) adalah kamu’. Tat
twam asi mengandung makna yang luas dan dalam. Di dalamnya
terkandung suatu ajaran dan dasar kesusilaan untuk dikembangkan
dalam pergaulan hidup antarsesama makhluk. Prinsip dasar tat
twam asi dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali dikonsepsikan
ke dalam asas: suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, dan asas
saling asih, saling asuh, saling asah (Dharmayudha, 1996:24).
Setelah cerita Diah Sawitri dicermati, dapat dikatakan memuat
makna dari konsep tri hita karana, yakni menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam (lingkungan),
dan hubungan manusia dengan manusia. Hal ini tercermin dalam
tujuan hidup para tokoh cerita, yakni moksartham jagathitaya ca iti
dharmah, maksudnya adalah tujuan dharma adalah untuk mencapai
kesejahteraan di dunia ini dan di dunia lain.
(2) Panca çrada
Panca çradha meliputi: percaya adanya Sang Hyang Widhi (Tuhan
Yang Mahaesa); percaya adanya Atma; percaya adanya hukum karma
phala; percaya adanya samsara (punarbhawa); percaya adanya moksa
(Parisada Hindu Dharma, 1967:9).
Kepercayaan yang diyakini oleh umat Hindu (panca çradha)
tercermin dalam geguritan yang diteliti, seperti yang dipaparkan
berikut ini.
(a) Percaya adanya Sang Hyang Widhi
Percaya pada Sang Hyang Widhi tersurat dan tercermin atau
tersirat dalam cerita Diah Sawitri yakni saat roh Satyawan diambil
oleh Sang Hyang Yama. Sang Hyang Yama merupakan manifestasi Sang
Hyang Widhi (Tuhan) dalam tugasnya mengambil roh manusia. Hal ini
tersurat pada bait 69–104. Berikut hanya dicontohkan bait 69 dan 72
pupuh Ginada.
69. Bapa wantah Sang Hyang Yama, 69. Bapa adalah Sang Hyang Yama,
Sang Satyawan swamin cening, Sang Satyawan suamimu,
sangkukalannya wus prapta, waktunya telah tiba, itu sebabnya
awanan ya Bapa rawuh, ngambil Bapa datang, men-cabut jiwa Sang
atman Sang Satyawan, kal talinin, Satyawan, akan diikat, begitulah
keto dewa apang tatas. dewa (anakku supaya diketahui
72.Puput nabda sapunika, Sang Hyang 72. Selesai berkata demikian, Sang
Yama nuli gelis, nyabud jiwatman Hyang Yama segera, mencabut
Satyawan, kasidan sampun kategul, roh Satyawan, sudah diikat, tubuh
angga stulan Sang Satyawan, pra- Sang Satyawan segera kaku tidak
mangkin, nenten pateja mamantang. bersinar.
526
(b) Percaya adanya Atma
Atma adalah merupakan percikan-percikan dari Paramatman
yaitu Sang Hyang Widhi. Manusia dihidupkan oleh Atma. Atma dan
badan ini ibarat kusir dengan kereta (Parisada Hindu Dharma,
1967:19).
Percaya pada adanya Atma tersurat dan tersirat dalam cerita
Diah Sawitri pada bait 69 sampai bait 75 pupuh Ginada, bait 76 sampai
87 pupuh Sinom, bait 88 sampai bait 95 pupuh Smarandana, bait 96
sampai 104 pupuh Ginada. Bait-bait dimaksud melukiskan tentang
Atma Satyawan yang diambil oleh Hyang Yama.
Sebagai contoh dikutip bait 104 pupuh Ginada.
104.Sang Hyang Yama mangandika, Bapa 104 Sang Hyang Yama berkata,
ngalugrahin cening, atman Satyawan Bapa menganugrahi anakku, roh
linepas, sinambi malih mawuwus, Satyawan dilepaskan, sambil
mogi cening manggih sadia, istri berkata lagi, semoga anakku
lewih, sadhu budhi patibrata. bahagia, perempuan utama, luhur
budhi patibrata.
527
105.Sang Satyawan ater budal, cening 105 Sang Satyawan diantar pulang,
karwa suka trepti, samas warsa anakku berdua supaya damai dan
punang yusa, wibhuh prajnyan damai, em-pat ratus tahun usiamu,
tan patanding, phalan yajnyane besar pandai tiada tandingan, pahala
kinardi, tur maderbe putra satus, dari yadnya yang dibangun, dan
maka sami dados raja, rawuh mempunyai anak seratus, semuanya
putun cening malih, kasub nerus, menjadi raja sampai cucu nanti,
kertin ceninge ngawinang. terkenal terus, perbuatan anakku
yang menyebabkan.
106. Diah Malawi biang i dewa, 106 Diah Malawi ibumu, mempunyai
maputra ya satus diri, nglanturang anak serartus orang, melanjutkan
Malawa wangsa, kesatrya pilih bangsa Malawa, kesatria pilih
tanding, kadi dewa nenten pahi, tanding, tidak bedanya dengan dewa,
kasub nerus tekeng putu, sapupute terkenal terus sampai cucu, selesai
mangandika, Sang Hyang Yama berbicara, Sang Hyang Yama segera
glis mawali, jaga mantuk, mawali pergi, kembali ke Surgaloa.
ka swargaloka.
528
di dunia ini. Moksa di dunia hanya dapat dicapai jika sudah bebas dari
ikatan-ikatan duniawi yang disebut dengan jiwan mukti (moksa semasih
hidup). Cara mencapai moksa di dunia adalah dengan jalan berbakti
kepada dharma dalam arti seluas-luasnya (Parisada Hindu Dharma,
1967:25).
Moksa di dunia tersurat dan tersirat dalam cerita Diah Sawitri.
Dikatakan demikian karena semua tokoh cerita berbakti kepada
dharma.
2) Etika
Etika atau susila adalah ajaran tentang tingkah laku. Tingkah
laku dapat dikategorikan ke dalam tingkah laku yang baik (subha
karma) dan tingkah laku yang tidak baik (ashuba karma). Tingkah laku
yang baik (subha karma), meliputi: tat twam asi, tri kaya parisuda, dasa
nyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan tingkah laku yang tidak
baik (asubha karma/asusila), meliputi: sad ripu, sapta timira, sad tatayi.
(1) Tingkah laku baik atau subha karma
(a) Tat twam asi
Tat twam asi sebagai salah satu ajaran subha karma berarti “aku
adalah engkau, engkau adalah aku”. Kalimat ini berarti bahwa kita
wajib mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri sendiri. Hal ini
sebagai dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang santi (damai)
dan kerta (makmur). Karena itu, tat twam asi harus dilaksanakan dengan
cinta kasih, bakti dan rela berkorban (Adia Wiratmadja, 1988:19).
Ajaran tat twam asi tersurat dan tersirat pada seluruh cerita Diah
Sawitri. Sebagai contoh dikutip bait 49 pupuh Sinom.
49. Uning ring indik punika, 49. Mengetahui hal itu, Dyumatsena
Dyumatsena nabda aris, uduh berkata, wahai anak menantu,
cening mantun bapa, bratan bratamu berat sekali, selama tiga hari
cening berat yukti, sajeroning brata dijalankan, Sawitri lalu berkata,
tigang wengi, upawasane linaku, pasti ayah merasa ragu di hati.
mireng bawos matuan ida, Sawitri
mahatur aris, keni sampun, Ratu
sangsaya ring arsa.
529
orang lain, tidak berkata kasar walaupun benar atau sebaliknya tidak
berkata lembut tetapi dusta, tidak memfitnah, dan tidak ingkar janji.
Manacika merupakan tiga macam pengendalian diri melalui pikiran,
yakni tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikir
buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari hukum karma phala
(Parisada Hindu Dharma, 1967:50-51, Adia Wiratmadja, 1988: 21-23).
Ajaran tri kaya parisudha tersurat dan tersirat pada cerita Diah
Sawitri. Ajaran ini tercermin pada perilaku semua tokoh atau pelaku
cerita. Sebagai contoh dikutip bait yang melukiskan tidak ingkar
janji (wacika) bagian dari tri kaya. Sawitri telah berjanji dalam hati
untuk memilih Satyawan sebagai suaminya walaupun ia mengetahui
Satyawan usianya sangat pendek.
31. Taler ya wantah apisan, bebawose 31. Juga perkataan hanya sekali ke
kengin mijil, pacang manyerahang luarnya, untuk menyerahkan diri,
angga, maring onengin ring kayun, kepada yang berkenan di hati,
maka tetiga punika, tan mindowin, ketiganya itu (tri kaya), tidak
wantah apisan punika. mendua lagi, hanya sekali.
32. Napi ida Sang Satyawan, cendek yusa 32. Sang Satyawan panjang umur
dirgha nawi, napi becik napi kawon, atau tidak, baik atau tidak, tetap
durus dados swami ingsun, sane jadi suami pilihan, tidak dua kali
sampun pilih titiang, tan mindowin, memilih
pacang niwakang pilihan.
33. Napi sane pilih titiang, matiti manahe 33. Yang dipilih, berdasarkan
tiling, wedar titiang antuk sabda, keinginan, diucapkan sesuai kata,
punika margiang ingsun, sajeroning itulah yang dilaksanakan, dalam
malaksana, sri nrepti, sapunika setiap berperilaku ayahanda,
manah titiang. begitulah keinginanku.
530
13. Pamarginnya nyusup alas adoh 13. Perjalanan mereka masuk-masuk
pisan, pasramane kaparanin, sinambi hu-tan, pasraman disinggahi
mapunia, sapupute raris lunga, dan mapu-nia (bersedekah), lalu
pasraman liyan paranin, kudang berangkat lagi dan singgah lagi di
dina, pamargine mrika-mriki. pasraman lainnya, entah beberapa
hari lamanya perjalanan itu.
48. Dinan ida Sang Satyawan, pacang 48. Hari kematian suaminya selalu
ninggal jagat iki, nenten mari diingat, dan dihitung-hitung di
kaelingang, kapetek jeroning ati, hati, singkat cerita empat hari lagi,
crita petang dina malih, Sang Satyawan akan meninggal, Sawitri
Satyawan pacang lampus, Diyah bersiap-siap melakukan tapa brata,
Sawitri sayaga, nangun brata dahat yang disebut Brata Triratra.
siddhi, wastan ipun, Brata Triratra
tan liyan.
101.Sang Hyang Yama mangandika, 101 Sang Hyang Yama berkata, semakin
sayan akeh atur cening, lewih tan banyak perkataan anakku, utama
pendah amreta, sane patut ya pituhu, seperti amreta, yang sebaiknya
duh dewa sang patibrata, durus ditaati, wahai dewa sang patibrata,
cening, malih nunas waranugra. silakan anakku memohon lagi.
104.Sang Hyang Yama mangandika, 104 Sang Hyang Yama berkata,
Bapa ngalugrahin cening, atman Bapa menganugrahi anakku, roh
Satyawan linepas, sinambi malih Satyawan dilepaskan, sambil
mawuwus, mogi cening manggih berkata lagi, semoga anakku
sadia, istri lewih, sadhu budhi bahagia, perempuan utama, luhur
patibrata. budhi patibrata.
3) Ritual (Upacara)
Ritual adalah cara-cara melakukan hubungan antara Atman
dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi serta semua
manifestasi-Nya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa.
531
Dalam upacara digunakanlah upakara sebagai alat penolong untuk
memudahkan manusia menghubungkan diri dengan Hyang Widhi dan
manifestasi-Nya (Parisada Hindu Dharma, 1967:5).
Upacara keagamaan yang terbesar dalam agama Hindu dapat
dibedakan menjadi lima, yang disebut dengan panca yadnya. Panca
Yadnya, meliputi: (1) Dewa yadnya, yaitu upacara yang ditujukan
kepada Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya; (2) pitra yadnya, yaitu
upacara yang ditujukan untuk mengembalikan Atman dari bhuh loka
(bumi) dan buah loka (alam pitara) ke swah loka (Sorga atau alam Hyang
Widhi); (3) Rsi yadnya, yaitu pengorbanan suci untuk Rsi-rsi atau orang
suci; (4) Bhuta yadnya, yaitu pengorbanan suci kepada semua makhluk
dan kepada alam semesta untuk memperkuat keharmonisan hidup;
(5) manusa yadnya, yaitu pengorbanan suci yang ditujukan untuk
kesempurnaan hidup manusia. Upacara manusa yadnya dilakukan sejak
bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi berumur 42 hari (tutug
kambuhan), bayi berumur 3 bulan, bayi berumur 6 bulan (oton), anak
meningkat dewasa (rajasewala), potong gigi, dan menikah (Parisada
Hindu Dharma, 1967:55–59).
Dalam cerita Diah Sawitri tercermin upacara Dewa yadnya, Rsi
yadnya dan Manusa yadnya. Upacara Dewa yadnya tersurat pada bait
2–6 pupuh Sinom, yakni saat-saat Prabhu Madra (Sang Aswapati)
melakukan tapa brata dan agnihotra dalam rangka supaya memperoleh
keturunan. Sebagai contoh hanya dikutip bait 3.
532
51. Crita mangkin dalu kala, benjang 51. Dikisahkan telah tengah
Sang Satyawan mati, tumuli sang malam, dan keesokan harinya
patibrata, nincapang bratane lewih, Satyawan akan me-ninggal,
benjang pasemengan raris, suryane Sang patibrata meningkatkan
sampun umetu, nuli ida nangun homa, bratanya lagi, pagi-pagi sekali
katur maring Hyang Ageni, sampun saat matahari terbit, Sawitri
puput, raris nunas pangastutiya. mengadakan upacara (homa)
dipersembahkan kepa-da Hyang
Agni, lalu meminta pemujaan.
533
melukiskan sebuah “dunia dalam kata” lewat rangkaian peristiwa
sebuah cerita (plot), penokohan, latar serta gaya bahasa yang indah
dan menarik. Tujuan hidup sang tokoh cerita yang dilukiskan oleh
pengarang adalah kebahagiaan dan kedamaian bagi orang-orang yang
dicintainya (moksartham jagathitaya ca iti dharmah). Tujuan hidup sang
tokoh cerita tercapai berkat perilakunya yang satya, patibrata, dan subha
karma, serta didukung oleh tekad dan kemauan keras untuk mencapai
tujuan hidupnya.
Manusia diciptakan oleh Tuhan telah dilengkapi dengan
akal-pikiran. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk pribadi
dan sekaligus makhluk sosial, yang pada dirinya terdapat dorongan
untuk bergaul, dan hasrat untuk meniru. Manusia mempunyai tiga
kemampuan yang disebut tri sakti, yaitu iccha-sakti (kemauan), krya-
sakti (prana/kekuatan) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut
cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep.
Untuk dapat mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih
baik dan dapat mewujudkan kebahagiaan, manusia harus taat pada
hukum dan peraturan-peraturan kehidupan sesuai agama yang
dianutnya. Manusia harus mencari dan membina kebahagiaannya
sendiri, sebab hal itu datangnya dari dalam diri manusia sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk termulia
derajat dan martabatnya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya.
Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga mengatasi
dunia. Manusia sadar akan perbuatannya dan juga sadar akan
caranya berbuat. Manusia dapat menentukan dan mengatur hidupnya
karena manusia menggunakan akal-pikiran untuk mengelola alam
ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia
menggunakan akal-pikirannya untuk senantiasa menciptakan sesuatu
yang dapat meringankan beban hidup dan menyenangkan dirinya.
Dalam kenyataan hidup ini, kehidupan mempunyai hubungan timbal
balik dengan agama. Hubungan dimaksud bersifat dinamis. Manusia
harus insaf terhadap panggilan dan tanggung jawabnya kepada
kehidupan ini. Setiap kegiatan dalam kehidupan selalu membutuhkan
anugerah Tuhan. Pada dasarnya manusia mempunyai kekuatan,
daya/tenaga yang harus diwujudkan dan disempurnakan. Misalnya,
kekuatan pikiran dapat menciptakan pengetahuan, teknik, filsafat.
Kekuatan kehendak apabila disalurkan ke jalan yang benar dapat
menimbulkan tata susila. Dan, manusia sendiri mempunyai kerinduan,
yaitu kerinduan kepada sesama manusia dan kepada Hyang Widhi
(Tuhan). Jika kerinduan terhadap sesama manusia diwujudkan dapat
melahirkan kehidupan yang bahagia, adat istiadat, bangsa dan negara.
534
Bila kerinduan terhadap Tuhan disempurnakan dapat menimbulkan
sembahyang, iman (sradha) dan dharma sedana sesama manusia dan
bakti kepada Hyang Widhi.
Kehidupan yang digambarkan dalam cerita Diah Sawitri masih
relevan dengan kehidupan orang-orang yang beragama Hindu di
Bali khususnya dan orang-orang di jagat raya secara umum dalam
kenyataan. Masyarakat Bali Hindu selalu mulat sarira/melakukan
pembenahan diri ke arah yang lebih baik, demi harga diri, jati diri dan
martabat keluarga, namun tetap berdasarkan swadharma. Masyarakat
Bali Hindu sangat percaya pada ajaran agama Hindu yang meliputi
filsafat, etika dan ritual. Dalam menempuh perjalanan kehidupan
ini, lima kepercayaan (panca çrada) dijadikan landasan berpijak oleh
masyarakat Bali Hindu. Segala tindakan dan perilaku tokoh cerita
dalam menghadapi permasalahan kehidupannya ada relevansinya
dengan tindakan dan perilaku yang dilakukan masyarakat Bali Hindu
dalam kehidupan nyata. Hanya saja tindakan yang dilakukan tidak
persis sama seperti dalam teks. Yang relevan adalah adanya suatu
“usaha” dan “tekad” untuk mengatasi permasalahan kehidupan.
Sebagai manusia biasa, yang memiliki keterbatasan kemampuan,
masalah “hasil” dari sebuah usaha, sepenuhnya dipasrahkan kepada
Tuhan, sebab manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan keputusan
akhir ada pada Tuhan. Dengan membaca dan memahami cerita
Diah Sawitri, masyarakat Bali Hindu yang telah memiliki keyakian
terhadap ajaran agamanya lebih terinspirasi lagi untuk selalu mulat
sarira/melakukan pembenahan diri ke arah yang lebih baik dalam
menghadapi kehidupan di era globalisasi ini.
III. SIMPULAN
Cerita Diah Sawitri merupakan sebuah karya sastra geguritan, yang
dapat dijadikan model kehidupan. Model kehidupan yang terlukiskan
di dalamnya dapat memberi inspirasi bagi pembaca berkaitan dengan
eksistensi dirinya dalam era globalisasi. Di dalamnya terkandung
nilai-nilai kearifan lokal, baik yang tersurat maupun tersirat. Nilai-
nilai kearifan lokal dimaksud berkaitan dengan ajaran agama Hindu,
yang meliputi filsafat/tatwa, etika/susila dan ritual. Filsafat/tatwa yang
termuat dalam Geguritan Diah Sawitri meliputi: filsafat tri hita karana
dan panca çrada. Etika yang dilukiskan dalam geguritan dimaksud
hanyalah tingkah laku subha karma, yang meliputi: tat twam asi, tri kaya
parisuda, dasa niyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan ritual yang
dilukiskan di dalamnya meliputi: dewa yadnya, rsi yadnya dan manusa
yadnya.
535
DAFTAR PUSTAKA
536
“Pendidikan yang berkarakter Nusantara
mendesak untuk dirumuskan! Perumusan itu
hendaknya dilakukan oleh segenap komponen
bangsa yang memangku kepentingan di bidang
pendidikan dan yang berminat untuk itu. Isi
pendidikan yang berkarakter se-Nusantara
diambil dari nilai-nilai luhur budaya daerah yang
ada di Nusantara.”
ISBN 979379077-6
9 789793 790770