Anda di halaman 1dari 546

Buku Prosiding

Konferensi Internasional
Budaya Daerah Ke-2
(KIBD-II)
Denpasar, Bali
22-23 Februari 2012

Penyunting
I Wayan Suardian
Nyoman Astawan
KEARIFAN LOKAL DAN
PENDIDIKAN KARAKTER

Buku Prosiding
Konferensi Internasional Budaya Daerah Ke-2 (KIBD II)
Denpasar, 22-23 Februari 2012

Penyunting
I Wayan Suardiana
Nyoman Astawan

Pustaka Larasan
Bekerja sama dengan
IKIP PGRI BALI dan IKADBUDI
KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Penyunting
I Wayan Suardiana
Nyoman Astawan

Pracetak
Slamat Trisila

Penerbit
Pustaka Larasan
Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B
Denpasar, Bali
Telepon: 0361-2163433
Ponsel: 0817353433
Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id
Laman: www.pustaka-larasan.com

Bekerja sama dengan


IKIP PGRI BALI dan IKADBUDI

Cetakan Pertama: Februari 2012

Perpustakaan Nasional: Katalag Dalam Terbitan (KTD)


Denpasar: Pustaka Larasan, 2012
x + 536 halaman; Ukuran: 23 x 15.5 cm
ISBN: 978-797-3790-77-0

ii
SAMBUTAN
Rektor IKIP PGRI BALI

P embangunan bangsa yang berkarakter se-Nusantara penting


kita rumuskan demi terwujudnya harmonisasi komponen
bangsa dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara
secara berkesinambungan. Agar terhimpunnya materi sebagai dasar
mengembangkan pendidikan yang berkarekter mendesak untuk
diadakan. Langkah menuju hal tersebut, akan kita diskusikan untuk
selanjutkan dirumuskan dalam seminar yang bertema “Kearifan Lokal
dan Pendidikan Karakter” sesuai dengan judul-judul makalah yang
telah masuk ke Panitia.
Seminar dan Konferensi Ikatan Dosen Budaya Daerah (KIDBD
II) kali ini merupakan lanjutan dari “International Conference on
Traditional Culture and “Rancage” Award 2010 “ yang diadakan di
Yogyakarta. Sebagai penghimpun dan penggerak organisasi Ikatan
Dosen Budaya Daerah Indonesia (Ikadbudi), pada kesempatan ini
Saya secara pribadi dan atas nama lembaga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Drs. Sutrisna Wibawa, M.Pd. selaku Ketua
Ikadbudi Pusat atas kepercayaannya kepada IKIP PGRI Bali untuk
menyelenggarakan acara ini.
Penyelenggaraan acara ini diharapkan menghasilkan rumusan
yang komprehensif tentang kearifan lokal khususnya yang berkaitan
dengan materi-materi yang memuat nilai-nilai pendidikan yang
berkarakter Nusantara. Karakter bangsa Indonesia menjadi penting
untuk dirumuskan, lebih-lebih dalam situasi berbangsa, kita berada
dalam kehidupan yang multikultur. Saya menyambut baik atas
terhimpunnya makalah dalam Konferensi ini dalam satu kumpulan
buku agar pemikiran-pemikiran yang menyangkut masalah pendidi-
kan yang berkarakter se-Nusantara lebih mudah dirumuskan.
Konferensi kali kedua di IKIP PGRI Bali ini diharapkan pula
dapat menghimpun anggota IKadbudi secara kuantitas lebih tersebar
sampai ke pelosok tanah air. Sebagai salah satu organisasi profesi
di Indonesia, IKADBUDI memiliki posisi yang strategis dalam
merumusakan kearifan lokal khususnya yang menyangkut nilai-
nilai karakter bangsa. Untuk itu, melalui prosiding ini diharapkan
kita memiliki arsip yang valid tentang data-data awal mengenai
kearifan lokal. Mengingat, hanya dalam bentuk buku yang baik kita
akan dapat menyimak gagasan dan pemikiran, kritik dan saran dari
para cendekiawan untuk dijadikan bahan diskusi, renungan dalam

iii
menyusun rumusan-rumusan berikutnya tentang kearifan lokal.
Akhirnya, selamat membaca semua pemikiran yang ada
dalam prosiding ini semoga ada manfaatnya untuk menggali nilai-
nilai kearifan Nusantara demi merumuskan pendidikan karakter yang
bersumber dari kearifan lokal Nusantara!

Denpasar, 17 Februari 2010
Rektor IKIP PGRI BALI

Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.

iv
PENGANTAR PENYUNTING

P rosiding ini memuat kumpulan makalah yang diseminarkan


dalam “Konferensi Internasional Budaya Daerah II (KIBD-
II)” yang diselenggarakan antara Ikatan Dosen Budaya Daerah
Indonesia (IKADBUDI) Pusat bekerjasama dengan IKIP PGRI Bali.
Penyelenggaraan acara ini berlangsung selama dua hari, mulai dari
hari Rabu – Kamis, tanggal 22 -- 23 Februari 2012 bertempat di
Auditorium IKIP PGRI Bali. Acara ini merupakan pertemuan para
pakar yang seprofesi di Indonesia menyangkut tentang kearifan lokal
(local wisdom) terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter
(character education).
Diangkatnya tema “Kearifan Lokal dan Pendidikan Karakter” ini
erat kaitannya dengan situasi bangsa Indonesia kini yang diterangai
menafikan nilai-nilai kearifan lokal sehingga adanya degradasi moral
yang menyelimuti bangsa yang besar ini. Kisah pilu anak-anak Sekolah
Dasar (SD) yang melakukan contek massal dan kegalauan orang tua
murid ketika anak-anak mereka akan menempuh Ujian Nasional, salah
satu misal, adalah contoh tiadanya pondasi karakter yang kuat bagi
komponen bangsa untuk menghadapi tantangan zaman saat ini pun
ke depan. Untuk itu, membangun karakter bangsa melalui langkah
merunut kearifan lokal se-Nusantara mendesak untuk dilakukan.
Salah satu jalan menuju ke arah tersebut adalah dengan melaksanakan
seminar seperti ini.
Seminar dan Konferensi Budaya Daerah kali kedua ini
menyarikan empat puluh lima makalah dari dosen, karya siswa, dan
guru dari UI (Jakarta), UPI (Bandung), FKIP Muhamadiah (Solo),
UNY (Yogyakarta), UGM (Yogyakarta), Unhas (Makassar), dan dari
Bali sendiri seperti Unud, IKIP PGRI, IHDN, Poltek, IKIP Saraswati
Tabanan, dan Undiksha. Semua makalah yang terhimpun dalam
Prosiding ini merupakan hasil pemikiran dari penulisnya tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan kearifan lokal yang ada di masing-
masing daerahnya. Kearifan lokal itu umumnya disarikan dari teks
lisan (tersirat) maupun dari teks tulis (tersurat) dalam berbagai aspek
kajian.
Sesuai dengan tema sentral dari seminar, aspek-aspek karakter
bangsa khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter

v
ditawarkan paling banyak dalam makalah yang ada di dalam prosiding
ini. Tampaknya, dalam konteks Nusantara, ada benang merah yang
cukup signifikan bahwa kita di Indonesia memiliki akar yang sama
khususnya menyangkut nilai-nilai budi pekerti yang adiluhung itu.
Nilai-nilai itu tercermin dalam karya-karya tradisi seperti pribahasa,
folklor (dalam tataran lisan) dan Guguritan (Sunda), Geguritan (Bali),
Serat (Jawa), I La Galigo (Makassar) (dalam tataran tulis). Semua nilai-
nilai yang masih ‘berserakan’ itulah nantinya penting dirumuskan
untuk dijadikan acuan sebagai bahan ajar bagi anak didik bangsa
Indonesia agar memiliki dasar pijakan untuk membentuk karakter
anak bangsa yang siap bersaing di tingkat global.

Denpasar, 17 Februari 2012

Penyunting
I Wayan Suardiana
Nyoman Astawan

vi
DAFTAR ISI

Sambutan Rektor IKIP PGRI Bali ~ iii


Kata Pengantar Penyunting ~ v

I Made Suarta ~ 1
Membangun Pendidikan yang Berkarakter Kearifan Lokal

I Nyoman Darma Putra ~ 9


More Than Just ‘Numpang Nampang’ The Participation of Women in Textual
Singing and the Interpretation of Balinese Literature on Radio and Television
Programs

Natalia Theodoridou ~ 24
How do we approach a foreign culture? the problems of representation

Kim Geung Seob ~ 35


Komunikasi Antar Budaya Korea dan Indonesia: Kajian tentang Prilaku
Masyarakat Korea dan Jawa

Christoper Allen Woodrich ~ 51


Free and Cyber Sex in MIRC Viewed from Javanese Sexual Norms

H. Rahman ~ 63
Revitalisasi Kompetensi Pedagogi dalam Konteks Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Budaya Daerah

Hj. Nunuy Nurjanah ~ 69


Cara Mendidik Anak dalam Perspektif Etika Sunda

Ruhaliah ~ 79
Pendidikan Karakter dalam Peribahasa dan Permainan Anak Sunda

I Wayan Gede Wisnu ~ 90


Rengganis Repertoar: Pemanfaatan Kesenian Lokal dalam Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Bali

Ery Iswary ~ 96
Orientasi Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Makassar: Penguatan
Peran Bahasa Ibu Menuju Good Society

vii
H. Yayat Sudaryat ~ 105
Nilai Kearifan Lokal Ungkapan Tradisional dalam Membangun Pendidikan
Karakter

Ida Ayu Putu Purnami ~ 116


Geguritan Maniguna: Transformasi Feminisme dalam Membangun
Pendidikan Karakter

Sri Harti Widyastuti ~ 126


Inferensi Ungkapan Tradisional Jawa Bentuk Penjaga Karakter Bangsa

Farida Nugrahani ~ 135
Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa Dalam Rangka Pendidikan Karakter
Bangsa

Ida Bagus Manik Putra Ariana ~ 149


Pendidikan Seks untuk Pasangan Suami Istri dalam Teks Resi Sembina Grya
Jungutan, Bungaya-Karangasem

Ai Sumiati Rahman ~ 165


Komunikasi Interpersonal Budaya Daerah dalam Konteks Hubungan Antara
Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Guru

Nunuy Nurjanah, Dingding Haerudin, Ruhaliah ~ 176


Dampak Sertifikasi Guru dalam Menumbuhkembangkan Kemampuan
Profesional Guru Muatan Lokal di SMP Jawa Barat

D.B. Putut Setiyadi ~ 185


Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam Tembang Macapat dan
Pemanfaatannya sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Bangsa

Avi Meilawati ~ 204


Cerita Dewi Seri sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan Berkeluarga

Nanny Sri Lestari ~ 212


Legenda Arif Muhamad: Sebuah Kekayaan Tradisional yang Dapat Digunakan
untuk Membangun Wisata Budaya di Daerah Candi Cangkuang

Dian Hendrayana ~ 220


Dari Puisi Guguritan Hingga Tembang yang Beranak Pinak

Dede Kosasih ~ 228


Nilai-nilai yang Terkandung dalam Kakawihan Barudak Sunda: Persepsi dan
Realisasi Kebahasaan

viii
I Nyoman Darsana ~ 244
Refleksi Budaya dalam Retorika Bahasa Politik Elite Indonesia

Afendy Widayat ~ 259


Makna Laku dalam Budaya Jawa

Purwadi ~ 269
Sastra dan Budaya Jawa Pada Masa Kraton Kartasura

Turita Indah Setyani ~ 282


Sembah Catur dalam Serat Wedhatama Merupakan Dasar Perilaku Berbangsa
dan Bernegara

Suwarna ~ 293
Kearifan Lokal dalam Upacara Tuk Si Bedug Membentuk Karakter Masyarakat
Mranggen Kab. Sleman

Retty Isnende ~ 303


Upacara “Ngelaksa” di Kabupaten Sumedang Sebuah Kearifan Lokal dari
Tatar Sunda

Ali Imron A-Ma’ruf ~ 317


Revitalisasi Kesenian Tradisi dalam Pengembangan Pariwisata Budaya: Studi
Kasus di Surakarta

Retty Isnendes, Asep Sutiadi, dan Hernawan ~ 331


Pembuatan Film Dokumenter: Flora dalam Budaya Sunda

Darmoko ~ 344
Udyoga Parwa: Resepsi dan Transformasi Teks

Ida Bagus Rai Putra ~ 352


Danghyang Nirartha dalam Teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra: Analisis
Resepsi

Sang Ayu Putra Sriasih ~ 371


Kajian Kakawin Nitisastra sebagai Salah Satu Sumber Kearifan Lokal dalam
Pengembangan Pendidikan Karakter

I Nengah Martha ~ 382


Mengenali Keberadaan Bahasa Daerah Saat Ini dan Ciri Pemangkunya

Kadek Eva Krishna Adnyani ~ 391


The Karooshi Phenomenon in Japan

ix
I Wayan Adnyana ~ 398
Minimarket and Consumer Cultural in Denpasar Society

AB. Takko Bandung ~ 408


Mengungkap Nilai-nilai Luhur I La Galigo sebagai Rujukan dalam Pendidikan
Karakter Bangsa “Ipisode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina

I Made Rai Jaya Widanda & Luh Nyoman Chandra Handayani ~ 427
Balinese in Minority Speech Community

Pande Wayan Renawati ~ 444


Esensi Pitutur yang Ber-Character Education sebagai Local Wisdom di Bali

I Nyoman Suwija ~ 456


Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pelajaran Bahasa Bali

I Ketut Yarsama ~ 475


Pola Perubahan Penggarapan Pertanian pada Masyarakat DesaTirtasari:
Kajian Berdasarkan Pendekatan Postmodern

Daru Winarti dan Sulistyowati ~ 491


Pesan Tipikal “Driji” dalam Budaya Jawa

Sulistyowati dan Slamet Pinardi ~ 502


Redefinisi Ketenangan Hidup Abdi Dalem di Tengah Dunia Modern Studi
Keseharian Juru Kunci Makam Imogiri dalam Menyikapi Perubahan Zaman

Ni Nyoman Karmini ~ 521


Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Diah Sawitri: Model Eksistensi Diri pada
Era Globalisasi

x
MEMBANGUN PENDIDIKAN YANG
BERKARAKTER KEARIFAN LOKAL

I Madé Suarta
IKIP PGRI Bali

1. Pendahuluan

I nstitusi pendidikan di Indonesia sesuai dengan UU Pendidikan No. 20


Tahun 2003 mengisyarakatkan bahwa Perguruan Tinggi diharapkan
untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berkarakter. Dalam
Bab II pasal 3 dijelaskan hal sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. (Diunduh dari Google, 22 Januari
2012)

Karakter (watak) generasi muda bangsa sangat mendesak untuk


dibentuk agar bangsa kita memiliki karakter yang khas Nusantara.
Sudah tentu dalam mewujudkan tujuan tersebut penting untuk
dirumuskan dahulu apa itu karakter bagi dunia pendidikan tinggi?
Persoalan ini akan mampu dijawab dengan baik apabila kita telah
mampu merumuskan definisi dari karakter dalam dunia pendidikan.
Sebab, dalam konteks Indonesia, kita terdiri dari beragam etnis dan
sudah tentu pula ada beragam budaya di dalamnya.
Keberagaman budaya itu sesungguhnya merupakan modal
utama kita dalam merumuskan konsep pendidikan yang berkarakter.
Pertanyaan muncul dari manakah kita mesti mulai? Lokal atau
Nasional? Untuk menjawab persoalan tersebut, menurut pemikiran
Saya kita harus membangunnya dari lokal dahulu. Setelah nilai-nilai
kelokalan se-Nusantara (pinjam istilah Rusyana, 1997) yang kita miliki
itu dapat dirumuskan barulah kita cari benang merahnya untuk
digunakan sebagai penyokong ideologi bangsa.
Kesatuan konsep karakter kelokalan dalam pendidikan se-
Nusantara penting dirumuskan secara bersungguh-sungguh
untuk menemukan jati diri bangsa dalam konteks global. Ciri khas
kebhinekaan kita se-Nusantara harus dimaknai dengan memunculkan

1
karakter kelokalan, namun harus bernilai universal yang tidak akan
lapuk di makan zaman. Rumusan dari nilai-nilai karakter lokal itu
secara umum se-Nusantara pasti ada garis merahnya. Kesamaan-
kesamaannya demikian pula sebaliknya perbedaan-perbedaan yang
ada mari kita petakan, kumpulkan, untuk selanjutnya dirangkum
menjadi satu pemikiran yang padu!

2. Sumber Nilai-nilai Kearifan Lokal Bali


Masyarakat Bali memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang beragam.
Dalam tataran lisan, ada ungkapan tradisional yang dikenal dengan
sebutan Paribasa (Pribahasa). Selain itu, masih dalam tataran lisan, satua
(folklor) Bali juga memiliki tema-tema yang beragam. Keberagaman
tema-tema itu mesti dirumuskan dalam konteks se-Nusantara.
Dalam tataran tulis, teks-teks tradisional yang bersifat susastra (belles
letters) seperti Geguritan, Kakawin, Kidung, bahkan sampai Parwa
menorehkan beragam kearifan lokal yang mesti segera disarikan untuk
selanjutnya kita inventarisasi sebagai nilai-nilai budaya bangsa!
Paribasa (Pribahasa)sebagai ungkapan lisan yang beberapa di
antaranya telah ditulis dalam bentuk buku (Ginarsa, 1984; Bagus,
dkk., 1979/1980; Simpen, 2004; Tinggen, 1988; Budha Gautama, 2004).
Berdasarkan catatan dari masing-masing penulis di atas, dan setelah
disarikan kembali oleh Tim Penyusun yang dibentuk oleh Badan
Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali Tahun 2006
ditemukan ada enam belas bentuk pribahasa lokal Bali yang sarat
dengan nilai-nilai. Bentuk-bentuk itu seperti: (1) Sesonggan (Pepatah),
(2) Sesenggakan (Ibarat), (3) Wewangsalan (Tamsil), (4) Sloka (Bidal), (5)
Bebladbadan (Metafora), (6) Peparikan (Pantun/ Madah), (7) Pepindan
(Perumpamaan), (8) Sesawangan (Perumpamaan), (9) Cecimpedan (Teka-
teki), (10) Cecangkriman (Syair teka-teki), (11) Cecangkitan (Olok-olok),
(12) Raos Ngémpélin (Kata-kata mendua arti/pelawak), (13) Sesimbing
(Sindiran), (14) Sesemon (Sindiran halus), (15) Sipta (Alamat/Pertanda),
dan (16) Sesapan (Do’a). Belakangan, dikumpulkan lagi dua bentuk
baru yang kemungkinan masuk dalam kelompok pribahasa, namun
lebih bersifat personalistik seperti (17) Gigihan (Bahasa spontan yang
muncul ketika seseorang terkejut) dan (18) Basa Jumbuh (Bahasa
kesombongan individu ketika ingin mengungkapkan kebanggaan
diri) (Suardiana, 2007: 3).
Selain dari ungkapan lisan, teks-teks tulis yang bersifat susastra
sebagaimana telah diungkapkan di atas sangat banyak memiliki nilai-
nilai pendidikan yang berakar se-Nusantara. Teks-teks itu umumnya
disitir hanya bagian-bagian tertentu saja untuk dijadikan bahan ajar

2
sesuai keperluan sesuai tema yang diajarkan. Namun, di Bali ada teks
yang khusus membicarakan masalah ajaran yang digolongkan ke
dalam kelompok teks “Tutur”.
Secara keseluruhan, baik teks yang bersumber dari ranah lisan
maupun tulis, di Bali, secara lisan lalu dituturkan kembali dari mulut
ke mulut, meskipun dalam penyampaiannya ada yang diucapkan
sesuai kemampuan penutur bukan pada kebenaran. Sebagai misal,
menyebut Sesonggan (Pepatah), sering diucapkan Sinonggan. Budaya
“tutut” itulah yang menjadi kegiatan inti untuk meneruskan nilai-
nilai dalam dunia pendidikan di Bali yang mungkin juga layak untuk
ditirukan di tingkan Nasional.

3. Pendidikan yang Berkarakter Kearifan Lokal Bali


Kemajuan dunia tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Namun,
selain mengejar teknologi kita juga tidak melupakan tradisi. Tradisi
dimaknai sebagai adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang)
yang masih dijalankan di masyarakat (Alwi, 2005: 1208). Sebagai
warisan leluhur bangsa, tradisi harus kita maknai sebagai kaki
peradaban, sedangkan teknologi adalah kepala. Tanpa kaki (tradisi)
yang kuat sebagai penyangga, kita tidak memiliki kepala yang kuat
pula. Untuk itu, mensinergikan kekuatan tradisi dan teknologi
mendesak untuk kita rumuskan dalam sistem pendidikan kita!
Berkarakter tidaknya pendidikan kita dapat kita lihat dari
out put (luaran) yang dihasilkan oleh dunia pendidikan itu sendiri.
Bila kita tonton tayangan TV, kita saksikan adegan sinetron yang
ditayangkan, sudahkan mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat
Indonesia? Seberapa prosen banyak kisah-kisah yang ditayangkan di
TV mengangkat tema-tema kearifan lokal dengan dialog-dialog yang
betul-betul menyampaikan pesan moral tradisi Nusantara? Saya yakin
kita jarang menemukan cerita-cerita yang berlatar belakang kelokalan.
Kebanyakan dari tayangan itu melukiskan setting kekinian, zaman
global, bukan tradisi leluhur yang patut kita suri tauladani.
Usaha-usaha untuk mengisi kekosongan tema-tema yang
mengangkat nilai-nilai tradisi se-Nusantara sebagai bahan ajar di
sekolah-sekolah patut dipertimbangkan ungkapan-ungkapan tradisi
seperti yang telah dimuat dalam Paribasa (Pribahasa) itu.

3.1 Rendah Hati, namun Terampil Bekerja


Pendidikan yang berkarakter ketika kita mampu membangun
manusia Indonesia yang rendah budi namun cerdas logika dan pikir.
Ungkapan yang cocok digunakan sebagai dasar pijakan berpikir dan

3
berprilaku dalam konteks Bali adalah ungkapan sebagaimana yang
diungkapkan dalam Sesonggan (Pepatah) berikut ini.
“Payuk prungpung misi berem”

Terjemahannya:
Priuk compang-camping isinya beram.

Ungkapan di atas dimaksudkan, kita mesti meniru si periuk,


meskipun bentuknya jelek (compang-camping) namun karena isinya
benda yang memiliki fungsi yang banyak (beram) maka akan banyak
manfaatnya bagi kehidupan. Di Bali, beram itu memiliki manfaat untuk
minuman sebagai penghangat tubuh dan juga sebagai persembahan.
Tampilan luar tidak mesti terlalu mentereng yang penting isinya
(kualitas diri) manusia Indonesia harus mampu bersaing dengan
Sumber Daya Manusia (SDM) di belahan dunia mana pun. Bukan
sebaliknya, tampilan luar mentereng, namun tidak mampu menguasai
keterampilan dengan baik sehingga kalah bersaing di dunia global.
Ungkapan di atas disuratkan dengan apik oleh pengarang Bali
yang bernama Ki Dalang Tangsub. Lewat tokoh I Nyoman Karang
dalam Geguritan Basur ditandaskan bahwa sebagai manusia janganlah
terlalu sombong. Agar memiliki sifat yang rendah budi, I Nyoman
Karang menasihati kedua putrinya, Ni Sokasti dan Ni Rijasa dengan
petuah-petuah sebagai berikut.
“Eda ngadén awak bisa,
depang anaké ngadanin,
geginanné buka nyampat,
anak sahi tumbuh luhu,
ilang luhu ebuk katah,
yadin ririh,
liu enu paplajahan!” (Pupuh Ginada, Geguritan Basur)
Terjemahannya:
“Janganlah menganggap dirimu mampu,
biarlah orang lain yang menilai,
ibarat seperti orang menyapu,
akan senantiasa ada kekotoran,
hilang sampah, debunya banyak,
meskipun pintar,
masih banyak yang perlu dipelajari!”

Sikap rendah hati, rendah budi harus ditanamkan sejak dini di


hati anak didik kita agar mereka hormat dengan Catur Guru, yakni (1)
Guru Rupaka (orang tua), (2) Guru Pangajian (Guru pengajar), (3) Guru
Wisésa (Pemerintah), dan (4) Guru Swadiaya (Tuhan). Sikap hormat yang
dibarengi dengan etos kerja yang tinggi, mengingat uangkapan “Eda

4
ngadén awak bisa” itu akan membuat individu Bali giat bekerja, giat
belajar demi mengisi diri agar mampu menjadi pribadi yang santun
namun dapat menguasai banyak ketrampilan sebagai bekal hidup!

3.2 Menghargai Perbedaan di Tengah Kemajemukan


Indonesia kita ketahui terdiri atas beragam kepercayaan dan
suku dengan aneka peradabannya. Agar mampu meminimalkan
gesekan antar sesama penting dirumuskan ungkapan yang memiliki
nilai keuniversalan.
Wewangsalan (Tamsil) yang berbunyi:
Clebingkah batan biu, Jlema ngéndah ajak liu.

Terjemahannya:
Kepingan periuk tanah di bawah pohon pisang, manusia berkarakter
majemuk karena (hidup) berbanyak.

Agar kita dapat menerima perbedaan, dapat memahami beraneka


budaya dan karakter masyarakat Indonesia, dalam bergaul kita harus
memaknai ungkapan “Clebingkah batan biu, Jlema ngéndah ajak liu” itu
agar terhindar dari gesekan. Dengan paham karakter dan budaya
orang lain kita akan mampu bersosialisasi dengan baik! Kita paham
hidup di dunia ini tidak bisa sendirian. Berdasarkan fakta tersebut
mau-tidak mau kita harus hidup selaras secara berdampingan, dan
saling menghargai. Agar mampu menumbuhkan pikiran, ucapan,
serta sikap dan prilaku yang menjunjung nilai-nilai kemajemukan,
ungkapan “Clebingkah batan biu, Jlema ngéndah ajak liu patut selalu
diingat!
Ungkapan “Clebingkah batan biu, Jlema ngéndah ajak liu” tersebut
dipertegas lagi dengan ungkapan dalam bentuk Wewangsalan (Tamsil)
yang berbunyi:
Punyan dagdag lusuh-lusuh, awak degag ngelah musuh

Terjemahannya:
Pohon dagdag 1(*)subur gemulai, diri congkak (banyak) memiliki musuh.

Apabila kita dalam melakoni kehidupan congkak, sombong,
sudah pasti banyak memiliki musuh karena prilaku congkak,
sombong akan membuat orang menjauh dari diri kita. Hidup dalam
keberagaman akan dapat berjalan dengan harmonis bila kita mampu
menerima perbedaan itu dan tidak sombong serta saling menghargai

(*)
Dagdag adalah salah satu pohon yang di Bali daunnya lazim dipakai sebagai pakan
ternak terutama ternak babi.

5
satu sama lain tanpa memandang suku, agama, dan adat istiadat.

4. Simpulan
Pendidikan yang berkarakter Nusantara mendesak untuk
dirumuskan! Perumusan itu hendaknya dilakukan oleh segenap
komponen bangsa yang memangku kepentingan di bidang pendidikan
dan yang berminat untuk itu. Isi pendidikan yang berkarakter se-
Nusantara diambil dari nilai-nilai luhur budaya daerah yang ada
di Nusantara. Konteks Bali, selain kedua hal di atas, masih banyak
nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur kita yang dapat diaplikasikan
dalam dunia pendidikan.
Merumuskan nilai-nilai pendidikan bangsa Indonesia yang
berkarakter dimulai dari mengisi budi (pikiran) anak didik dengan
mengajarkan sikap yang rendah budi atau rendah hati namun memiliki
cita-cita tinggi untuk mengejar kemajuan (teknologi) agar mampu
bersaing di dunia global. Selebihnya, dalam konteks Nusantara, nilai-
nilai multikultur mendesak pula untuk dirumuskan sebagai piranti
meredam konflik yang terjadi akhir-akhir ini di Republik yang kita
cintai!

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.
Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1979/1980. Peribahasa dalam Bahasa Bali.
Singaraja: FKIP Universitas Udayana.
Gautama, Budha, Wayan. 2004. Pralambang Basa Bali. Denpasar. CV.
Kayumas Agung.
Ginarsa, Ketut. 1984. Paribasa Bali. Balai Penelitian Bahasa Singaraja-
Bali.
Rusyana, Yus. “Cerita-cerita Nusantara tentang Padi” Paper
dibawakan dalam Temu Ilmiah Kedua Ilmu-ilmu Sastra Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran di Hotel Panghegar Jalan
Merdeka Bandung.
Simpen, W. AB. 1988. Kidung Prémbon. Denpasar: Cempaka-2.
Simpen, W. AB. 2004. Basita Baribasa. Denpasar: Upada Sastra.
Tim Penyusun. 2006. Paribasa Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan
Provinsi Bali, Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali
Privinsi Bali.
Tinggen, I Nengah. 1988. Aneka Rupa Paribasa Bali. Singaraja: Percetakan
Rhika Dewata.
Suardiana, I Wayan. 2007. “Paribasa Bali” Paper dalam Lokakarya
Bahasa Bali bagi Guru-guru SD s.d. SMA se-Kodya Denpasar.

6
MORE THAN JUST ‘NUMPANG NAMPANG’
The Participation of Women in Textual Singing
and the Interpretation of Balinese Literature on
Radio and Television Programs1

I Nyoman Darma Putra


Udayana University, Bali

T he singing and interpretation of traditional Balinese texts, known


as mabebasan or makidung, has always been a predominantly male
activity. Makidung has customarily been carried out either to accompany
religious rituals or for pleasure but has rarely involved the participation
of female literary enthusiasts. In the Balinese ritual context, women are
assigned to deal with offerings and other preparations related to the
ceremony. However, during the last decade, when makidung began to
become a popular interactive pastime on radio and television programs,
many adult women have started to join their male counterparts in this
form of literary activity.
This paper examines the recent growth in the participation of
Balinese women in makidung by focusing on its social and cultural
background and its significance in enlivening the development and
appreciation of literature. It does not share the skeptical attitude that
views the public’s enthusiasm for taking part in radio and television
makidung programs as chiefly motivated by numpang nampang
(exhibiting one’s face), as stated by Kadek Suartaya in an article in the
Bali Post (2/3/2003). But, it will argue that such participation plays an
important role in reviving the makidung tradition in a novel way and
may also begin to enhance gender equality in what has been a male
dominated activity within the Balinese literary world.
The paper will first briefly outline the development of textual
singing and interpreting activities in electronic mass media. We have
followed mabebasan on radio intermittently since the late 1990s, and
then from early 2000 followed the interactive mabebasan program
1
Materials for this paper are collected from a larger project entitled Textual Traditions, Identity
and Media in Contemporary Bali carried out collaboratively by A/Prof Helen Creese (The Uni-
versity of Queensland) and myself (University of Udayana). This project was funded by Austra-
lian Research Council for the period of three years, 2010-2013. Thanks to our research assistant
teams I Wayan Lamopia, I Wayan Suardiana, IDG Windhu Sancaya, for their help in preparing
and identifying some materials for this paper.

9
when it appeared on local television in Bali. We have collected almost
one hundred hours of recordings of a television program from Bali
TV, and use this recording to see how Balinese women participate
in the program, both as part of a group that appears in the studio or
those taking part in the interactive program. Interviews with active
participants were held in order to gain insight into the motivation of
women in mabebasan activities. The paper then examines how gender
related issues are discussed during the textual interpretation exchange
by analysing a sample of text used during the interactive TV program
and the way it was interpreted so as to negotiate gender issues.
Apart from aiming at understanding the enthusiasm of Balinese
women in taking part in mabebasan programs on electronic mass media in
Bali, previous studies also aim to contribute to the literature of research
on media studies in Indonesia, especially to the new interactive form of
programs. Jurriesn (2006; 2007) has studied the role of interactive radio
programs in Bali in the context of freedom of expression, while Creese
(2009) and Putra (2009) look at how mabebasan radio and TV interactive
programs play a role in revitalising the Balinese literary tradition, and
hence the Balinese cultural identity. The current study investigates
specifically the enthusiasm of Balinese women in mabebasan activities
on radio and TV programs, something yet unexplored.
As shown in several studies, radio and TV have played a
significant role in promoting local arts and culture trhough artistic
performance (Lindsay 1997; Hobart 1999; 2000; Creese 2003; Aprs 2003;
Suryadi 2005). Radio and TV are often accused as a form of mass media
which promote global culture and provide little space to promote local
culutre, but there is substantial evidence that radio and TV programs
in Indonesia have been proud to promote local arts and culture. This
paper is one attempt to contribute to the acknowledgement of the role
of electronic mass media to encourage the preservation of regional arts
and culture, hence regional and cultural identities.

From Ritual to Electronic Mass Media


There has been a new phenomenon in mabebasan activities in
Bali. What used to be performed to accompany rituals and as a form
of literary appreciation by predominantly male literary enthusiasts
(Rubinstein 1993), mabebasan now is also performed chiefly for pleasure
and entertainment on electronic mass media like radio and television
programs. In its new form of presentation, mabebasan activities have
attracted a high number of female participants. School age kids or
teenagers have also shown an interest in taking part in performing
mabebasan on television.

10
The appearance of mabebasan on radio and television programs is
closely related to social and political changes in Indonesia. During the
New Order between 1996-1998, the government tightly controlled the
press. Many newspaper outlets were banned or shut down just because
they criticised government performance. In 1994, for example, New
Order closed three media outlets including Tempo, Editor, and Detik.
Through licensing regulation, the New Order government put the
mass media under a regime of strong oppression. Only state radio and
television, RRI and TVRI, were allowed to produce news and current
affairs, while private channels had to relay it. Toward the end of the
New Order, new TV stations, like RCTI and SCTV which are owned
by President Soeharto’s family or chronie, were given permission
to produce news, but they were tightly monitored (Kitley 2000; Sen
2003).
After the fall of Suharto, media have been mushrooming in
Indonesia, especially after Suharto’s successor President Habibie
revoked the press licensing. New print and electronic mass media
appeared throughout the country. After a few years, many of those have
collapsed because of financial reasons and their inability to cope with
the harsh media competition. For electronic media, the newly-found
freedom of press allowed them to produce news and current affairs.
In addition many of them broadcast talk back or interactive programs,
allowing people to express their social and political concerns.
In Bali, according to data by the Bali broadcasting Commission,
as of 2011, there are 71 radio stations, some of which still having their
license processed, and around 20 stations are in preparation to apply
for licenses. In 2002, there were only 29 radio stations in Bali, increased
to 63 in 2008. If they all got their licenses approved, there would be
around 91 radio stations in Bali. There have also been some interesting
developments concerning the number of TV stations as well. Until 2002,
there was practically only one state TV station in Bali, whereas in 2011
there are 12 stations, though only a couple of them have permanent
license, while other still have their license applications processed.
Many television stations broadcast interactive mabebasan programs,
including Bali TV, TVRI Bali, and Dewata TV either pre-recorded or
live interactive (see Table 1).

11
Tabel 1: Kidung Interaktif program on radios and TV stations in Bali

Station Program Days/ Time


Bali TV Kidung Interaktif * Thurs, 14.30-15.30
Gita Santi (pre-recorded) Mon-Wed, 15.30-
16.00;Thurs, 16.00-16.30
Dewata TV Tembang Guntang (pre- Wednesday, (pre recorded)
recorded) Thursday, 17.30-18.00
Kidung Dewata (live)
TVRI Bali Gegirang * Wed, 19.00-20.00
RRI Denpasar Dagang Gantal * Mon-Fri, 10.00-12.00
Taman Penasar (live) Saturday, 10.00-12.00
Tembang Warga* Tues, Thurs, Sat, 18.00-
19.00
RRI Singaraja Sudang Lepet Jukut Undis * Mon-Fri, 10.30-11.45
Penglipur Sore * Mon-Fri, 17.00-18.00
Widia Sabha * Sat, Sun, 10.30-11.45
Radio Pesona Bali (Singaraja) Manah Egar* Wed, 9.00-10.00
Shanty Sewa Kosala Thurs, 9.00-10.00
Gita Jaya Santi Sat, 9.00-10.00
Radio Singaraja FM Dharma Gita * Mon-Sat, 18.00-19.00
Radio Genta Bali (Denpasar) Warung Bali * Mon-Sat, 16.00-17.00
Darma Kanti (Pesantian) Mon-Sat, 19.00-20.00
Gegitaan (Lesson of Sun, 19.00-20.00
Mewirama)
Radio Besakih Karangasem Salak Bali * Mon-Sun, 16.00-17.00
Radio Yuda Denpasar Gegitaan * Daily, 13.00-15.00 and
17.00-19.00
Radio Dipa Cantik Denpasar Sancita Dipa * Mon-Sat 11.00-13.00
Dipa Santi (Live, Group) Mon-Sun 19.00-21.00
Radio Pemkot Denpasar Gita Sancaya (Pre-recorded) Sun, 16.00-18.00
Radio Mega Nada Tabanan Mega Nada Gita Santi * Mon-Fri, 15.00-17.00
Radio Global (Tabanan) Darma Kanti (Live, Group) Mon-Wed, Fri, Sun, 18.00-
19.00
Radio Gelora Gianyar Panglila Cita * Mon-Fri, 10.00-12.00
Radio Jegeg Bali Gianyar Gita Santi * Thurs-Sat, 14.00-17.00
Parade Pesantian (Live Group) Sun-Wed, 15.00-17.00
*
(During full moon and new
moon time slot is used for
makakawin).
Radio Mandala Gianyar Lila Cita * Daily, 15-17.00
Radio Dunia Bokasih, Budaya Bali * Daily except Thursday,
Klungkung/Bangli 18.00-20.00
*) = Interactive program.
Note: The table need updated. A number of radio stations in Bali were closed
temporarily until they are able to fulfill new license requirements. In Gianyar,
for example, only Radio Mandala is still on operation, while other stations
including Radio Jegeg Bali FM, Hert line Fm, and Radio Gelora FM (owned by
District Government) are temporarily closed.

12
Mabebasan began to be broadcast occasionally on government radio
stations in the 1970s. This was an initiative taken by the Consultative
Council for Promoting Cultural Affairs or Listibiya (Rubinstein 1993:
105). This organisation had its branches at every district level and
they organised mabebasan groups in their area to perform on air on
the government-run local radio stations. The programmes were akin
to conventional mabebasan, in that the participants came to the studio
while the listeners simply listened and could have no input.
Interactive mabebasan, in its earliest form, was first broadcast in
the 1980s on limited frequencies between short-wave radio users in
south and west Bali (Manda 2002; Rai Putra 2002). Unlike mabebasan
broadcast on conventional radio stations where participants are sitting
around together, users of this form of mabebasan were not in direct
personal contact, but did engage in interactivity. The vocaliser sang
a poem from one end, while one or more interpreters gave their
interpretation from the other end. Participation in this activity was
limited to those who owned a short-wave radio communicator known
in Indonesia as a handy talky (HT). Although these devices can have
coverage of up to 45 km, ordinary people who did not have the correct
equipment could not listen to it.
Since the mid 1980s, mabebasan enthusiasts in Jembrana have been
using a type of cable communication, called kontek, in order to do textual
singing between the group members. The participants are limited to
those who have access to kontek equipment at home or elsewhere, like
their workplace or shops. There are currently more than eight kontek
groups in Jembrana, each numbering between 30-70 people. In addition
to the Kontek, they also have handy talky to achieve wider coverage
of communication for performing and listening to mabebasan. No other
region in Bali uses Kontek like Jembrana. This can be accounted for by
the fact that Jembrana as a region has a limited number of radio stations,
and consequently lacks continuous broadcasting of interactive kidung,
thus making Kontek a chief alternative for mabebasan enthusiasts in the
region.
In early 1991, RRI radio station began the first interactive
mabebasan program and was soon followed by private radio stations
like Yudha Bali. The programs soon became popular throughout Bali,
attracting thousands of active participants and passive listeners. What
is meant by active participants is people who joined the interactive
program by calling from home, or came to the studio to take part in the
textual singing, while passive participants do neither. But, they also
actively listen and enjoy the program in various ways (the study of

13
which would require extensive ethnographic research). The programs
became more popular after Bali TV, TVRI Bali, and Dewata TV also
started broadcasting mabebasan either on weekdays or on a weekly
basis.
The Mabebasan tradition, which was almost defunct, has now
become lively. In the past, only elaborate rituals used to be accompanied
by mabebasan activities, now almost no ritual, small or big, is held
without mabebasan. Groups of mabebasan are also mushrooming, usually
attached to or based in villages. In Bali today, there are 1485 village
institutions (Desa Pakraman), each of which has roughly five groups
of mabebasan scattered throughout its ward level (banjar). There are also
many mabebasan groups set up at schools, government offices, hotels,
banks, and a petrol station company, thus it is estimated that there are
more than 8000 mabebasan groups in Bali. Most of the organisastions
and their members are active either in performing mabebasan to
accompany rituals or performing for entertainment on TV. These
numbers are unprecedented in the history of Balinese mabebasan. Not
only does this enliven the entire literary tradition in Bali, it also infuses
tradition into popular culture, as it is actively present on radio and
television stations.
There are also loosely organised mabebasan groups set up by
each radio station, populated by the radio station’s followers and
enthusiasts. Like village groups, these groups also regularly volunteer
to perform mabebasan activities at festivals of major temples in Bali like
Besakih, Batur, Samuan Tiga, and also at Semeru temple in East Java.

Women’s Participation
The lively participation of women in mabebasan activities is a
phenomenon of considerable importance since the tradition was
previously dominated by men. In Balinese ritual activities, women are
assigned to kitchen work and the preparation of offerings. There was
little chance for them to take part in textual singing and interpretation.
But, since the popularisation of mabebasan on radio and TV programs,
many middle age women, who have more leisure time at home during
the day or after selling goods at the local market, have a chance to
enjoy interactive kidung through radio or TV. Some of them start
learning how to sing by taking part in the interactive program. Being
generally shy, interacting through radio could give them an arena to
build confidence while not being as exposed.
Many women who are new comers to mabebasan activities said
they learn how to sing through the radio and are grateful that radio
or TV presenters guide them when they encounter difficulties while

14
singing.
Sometimes after acquiring some confidence, they become addicted
to interactive textual singing. They feel incomplete if they are unable
to participate in the interactive program. The participants were slowly
getting to know each other virtually. This is when they start to join or
be invited to join a group of mabebasan where they can continue to learn
more types of tembang or pupuh and exchange copies of literary works.
Their groups often volunteered to accompany rituals in temples or
appeared on television. Performing on TV often becomes an immediate
goal for new groups. It motivates them to learn and practice, as they
try to perfect their appearance. Groups also need to provide uniforms
and other ancillary preparations for a TV performance.
For our project, we have close to 200 hours of recordings of
Kidung Interaktif from Bali TV including some from TVRI Bali and
pre-recorded mabebasan from Dewata TV. They were broadcast from
2004-2011. The same amount of hours from Dagang Gantal program
of RRI Denpasar. We continue to collect and record interactive kidung
programs. On general observation, the participation of women in
interactive programs has been considerably high, either in the studio
or as listeners, and they have been active in interactive activities by
making phone calls to sing from home.
In this paper, I randomly looked at 60 programs, around one
third of the collection, of Kidung Interaktif Bali TV. Out of the program
there are a couple of all-women groups pesantian, and there are almost
none which comprise only of men. Each group comprised five to ten
members, excluding the TV presenter. Groups are also accompanied
by a gugantangan gamelan group, comprised of around ten players,
mostly men, including teenagers. From the 60 groups of mabebasan
who made an appearance on Bali TV between 2004-2008, there were
423 members of mabebasan, out of which 232 were women, i.e. 54.8%.
Meanwhile, there were 191 men, which made up the remaining 45.15%.
The time slot for kidung interaktif is 60 minutes. The first half of it is for
the performance of the group who is coming to the studio, while the
second half is for quizzes and interaction. The number of women who
participated in the interactive part was 147 or 62.5%, while men callers
counted for only 36.4%, almost half of the women callers. When the
number of performers and callers were summed up, there were 379
female participants (57.5%) compared to 279 male participants (42.4%),
see Table 2.

15
Table 2: Participants of Women in 60 Programs of Kidung Interaktif 2004-
2008.

Mabebasan Group Number of Interactive Grand Total


Member Participant
Female Male Total Female Male Total Female Male Total
232 191 423 147 88 235 379 279 658
54.8% 45.15% 100% 62.5% 36.4% 100% 57,5% 42.4% 1005

The significantly high number of women participating in mabebasan


activities on electronic mass media is inseparable from a similar tendency
in other artistic practices. There has been a tendency of emancipation
for Balinese women being accepted to get involved in various Balinese
artistic practices such as visual arts, gamelan orchestras, and as arts
directors. Previously, it had been hard to find women painters, women
playing gamelan, or women becoming artistic directors, or even as
mask-dancers. Balinese women have also come forward as dance
coreographer, which was another role dominated by men. Recently,
the annual Bali Arts Festival showcased women gong kebyar gamelan
orchestra on top of men or teenagers male gamelan orchestra. This
tendency comes about the same time as the participation of women in
mabebasan activities, with an even greater involvement of women.
Two popular presenters of kidung interactive are women. Luh
Nengah Suciati works as presenter for Bali TV Kidung Interactive and
Radio Global Dharma Kanthi, while Jero Murniasih has been one of the
presenters of Dagang Gantal since the program was introduced first in
1991. Both Suciati and Murniasih have a background as performers
before becoming radio and TV presenters. Murniasih known as
Mbok Luh Camplung (her nickname) receives regular performance
commissions as she became popular as a radio announcer. Or, her
popularity as performer increases her charisma as a radio presenter.
Suciati works as a junior high school teacher, while Murniasih works
at RRI Denpasar with her main job being a kidung interactive presenter
with her duo I Gusti Ngurah Sandiyasa aka Gde Tomat. Other radio
stations with kidung interaktif programs also have women presenters,
though not as popular as Suciati and Murniasih.
Female presenters, like Suciati and Murniasih, have played
a significant role in encouraging women to take part in mabebasan
activities. Luh Suciati said she often encourages women to come
forward and leave behind shyness in learning our tradition. Her
profession as teacher gives her a didactic method in encouraging

16
new learners of mabebasan. A number of women active in mabebasan
activities said that they feel more confident in taking part in the radio
interactive mabebasan for two reasons. One, as new learners and mature
people they need not feel shame because on radio their face will not be
seen. Two, they found that radio and TV presenters kindly guide and
assist them when they have difficulty in singing a verse. Often novice
women callers asked for guidance from the presenter when they were
on-air on interactive program. The phrase they often used was ‘please
take my hand if I tremble (tolong kedetin yen tyang srandang-srendeng). In
an interview, Murniasih said the fact that there are now more women
textual singers than before proves that learning matembang is not as
difficult as imagined. Murniasih feels proud to see that there are now
more women able to makidung than men. However, since many of them
learn how to sing, there is a lack of women being skilled interpreters,
as if interpretation has become the job of men.

Motivation
Women interested in learning mabebasan are motivated by a
combination of personal and social reasons. There are many young
women, school aged students, learning mabebasan at school or for
competition at the village level. But, those active in radio interactive
programs are mostly middle aged women, aged around fifty years
or more. They either stay at home looking after their grandchildren,
or having their own small business, or have enough spare time for
entertainment. Personal motivation means having a personal reason
that motivates one to start learning or re-start learning singing because
now they have more time for themselves to enjoy. When they were
young, they were busy with working for income, but now that their
children are grown or married, their responsibility to work hard for
their families has been taken over by the next generation. It is time for
them to enjoy themselves on an affordable entertainment and pleasure.
Ni Nyoman Sampreg (60), a self-employed rice seller, said that she
joined mabebasan activities for entertainment and finding new friends.
She said:
What else do I need to do. I worked hard to raise my son and daughter.
I did it without my husband, who died a long time ago. Both of our
children got married and they have their own life. They do not need my
support anymore, and I am unable to do so as I am getting old. Working
hard will not make me rich. I just work for enough to eat, and enjoy the
rest of my life (6 June 2011).

Enjoying life, having a form of personal entertainment, and finding new


friends were shared by many others. When she was young, Sampreg

17
joined a janger dance group which involves a lot of singing. She had
every confidence to sing a song, and quickly learnt a couple of tembang
with basic rhythms she needs to take part in interactive mabebasan.
Learning literary values, moral teachings, religious values are among
other personal reasons given by women learning makidung. For them
getting old means a time to learn more about religious teaching, advice
from literary works, and other moral teachings.
Another example of a personal reason to learn and take part in
mabebasan activities is given by Wayan Darsi (45), a souvenir seller at
Sukawati Arts Market, Gianyar. She was born in an artistic family, her
grandfather and mother are dancers. She was interested in matembang
since she was a kid, but became serious about singing traditional poems
when she was 35. At that time, she suffered from a respiratory problem
(sesak nafas). She was encouraged by her family and friends to practise
matembang as a way of breathing exercise (olah vokal). It worked well
and her breathing problem was solved. Being healthy is important for
Darsi, and performing mabebasan in a ritual provides no financial
benefit at all. Only occasionally, she receives Rp 50,000 (AUD$ 5,5)
when performing makidung at a hotel ritual.
Ni Wayan Kawan aka Dadong Edi (55), an unemployed woman
from Batubulan, said that she found herself to be able to read again after
not having done so for decades. She looks after her grandchildren every
day at home. Radio programs, especially kidung interaktif programs, are
the only means for her to get entertained. She is interested in learning
matembang after sometimes following the kidung interaktif radio
programs, broadcast from Denpasar or Gianyar. Sometime last year
she started to phone in to Gianyar-based Jegeg Bali radio station and
singing via phone. She was grateful to sing guided by the presenters.
It gave her every confidence to sing and make regular phone calls from
then on, and became an active participant in kidung interactive. She
is learning makidung exclusively from radio. As mentioned earlier,
Dadong Edi once was able to read basic stuff, but had forgotten and
become illiterate since she had no job that required reading. She
only studied for three years at elementary school, but since learning
makidung, her eagerness to learn the alphabet was rekindled and now
she is no longer illiterate. As she was getting known by others, she was
invited to join a mabebasan group, and was given copies of literary texts
by new friends. The most important thing for her is that she is now
being able to read again.
Voluntary performances of makidung at rituals or ngayah is an
example of social motivation. This source of motivation came after the

18
personal one. Most female participants in interactive programs make
new friends, get involved in a new social network, and then join or
are asked to join a mabebasan group. Each radio station, like Jegeg Bali,
Yudha Bali, Radio Global, RRI Denpasar, established a loose group of
their followers and organised a program to ngayah at various important
temples in Bali and Java. Doing ngayah provides them nothing but
happiness, and this is an important aspect of makidung. Many of the
women interviewed said that by participating in makidung either at
rituals or on electronic interactive, are a way of relieving stress or
feelings of anxiety.
Luh Suciati summarises that whatever the motivation of women
participating in kidung interactive and pesantian groups, they play
an important role in preserving and revitalising the Balinese literary
tradition. Jero Murniasih added that, with the growing number of
women in participating in kidung, it is much easier now to find textual
singers (aluh ngerereh tukang gending), or pesantian group should they
be required to accompany rituals. Both shared the view that mass
media and women help to revive Balinese tradition in the modern
era.

Texts Read and Women Issues


There is a huge corpus of traditional Balinese poetry, comprising
various poetic genres including kekawin, kidung and geguritan from
which readings for mabebasan can be selected (Robson 1972; Rubinstein
2000). But, since a kidung interactive programme has time constraints
and the number of people who want to take part generally exceeds
the available time, participants are only able to read one or two short
stanzas selected from either the traditional corpus or specifically
written for the occasion. There is not enough time to read a full text
or present a whole story. In one hour of kidung interaktif, there could
be opportunities for up to 12 people to sing, depending on time lost
to commercial breaks. The presenter always uses the time available
to try and maximise the number of participants and often politely
encourages the singing of a short poem.
The texts read in kidung interaktif are usually taken from classic
or familiar works. These include extracts from religious texts such
as the Bhagawadgita and Sarasamuscaya, classic stories like Kekawin
Ramayana, Kekawin Mahabharata, Sutasoma, and Kekawin Siwaratrikalpa
and familiar works including Gaguritan Basur, Sampik Ing Tay and
Jayaprana. But, since radio and television, like other mass media, work
within a framework of actuality and topicality, presenters, participants
and active audiences always try to include topical items either by

19
selecting a relevant stanza from available works or by creating new
poems that comment on current issues. A survey of programmes from
RRI Denpasar, RRI Singaraja, Bali TV and TVRI Bali, shows that the
works read are dominated by the categories of the classic and familiar,
while specifically created poems, although not as numerous, continue
to be viable.
Parallel to the growing number of women taking part in
mabebasan activities, either on interactive mode or in ritual activities,
the discussion of gender issues began to flourish. There are many
works which have potential themes of gender-related concerns, which
are often selected and discussed by mabebasan members. In Indonesia,
Bali not being exceptional in this case, there are at least two days in
one year when public and media discourse is dominated by news
on women issues, these being Kartini Day (21), the celebration of the
Indonesian feminist hero, and on the celebration of Mother Day or
Hari Ibu (22 December). Activities like seminars and other ancillary
events, such as cooking competitions for men, are only held to mark
these anniversaries. The spirit of such celebrations and women-related
issues are occasionally also echoed on the kidung interaktif programs.
On its program broadcast on 25 December 2008, for example,
Kidung Interaktif Bali Tv dedicated their program to raise, sing, and
discuss women’s issues. The mabebasan group appearing on that day
was Seka Shanti Sanggar Seni Giri Lango from Gianyar. They started the
program by mentioning the Mother Day and also Christmas, and New
Year 2009. Moderated by presenter Luh Suciati, two male members
of the group came up with a joke and a pun to discuss the important
position of women in the family, society, and the nation. Women, one
said, are like madu (honey) and wisia (poison), so it is the obligation of
the member of each family, society, and nation to respect and ensure
the appropriate position of women in order to ensure the prosperity
and harmony of the family, society, and the nation. One member said
that the war in Ramayana was caused by women. It appears that he
refers to Dewi Sita, the wife of Rama who was kidnapped by the demon
Rahwana. An unavoidable bloody war occurs between Rama and
Rowena because of the dishonouring of the woman. The word used
in referring to the women here is ‘Ibu’ (mother), and from this word,
another man reminds us of the importance of paying our respects to our
Ibu like Ibu Kartini and through the celebration of Hari Ibu. By using
the word Ibu, he goes on to make a pun by saying that women should
never become ‘Ibuduh’, in Balinese mean ‘she who is crazy’. During the
interactive activities, the topic of song and discussion went on to other

20
issues, thus women’s issues quickly faded from the program.
On another program, which featured an all-women pesantian
group, women-related issues take centre stage. The group is called
Ganda Nadhi Umbara from Belayu, Tabanan, comprises five members
plus one women presenter, Luh Suciati. In her introduction, Suciati
expresses her pride to the group, although they were still on early stage
of learning, these women were daring enough to perform and share
their readings and singing of literary and religious values. Should
they make any mistake, wise audience members were expected to give
advice for improvement in the attempt of reviving Balinese arts and
literary traditional.
The group picks up the love story between Wayan Mudita and
Kusumasari, part of the Geguritan Dukuh Siladri. This geguritan poem
depicts several issues around love, loyalty, magic and power. Wayan
Mudita and Kusumasari are cousins but they are not aware of their
realtionship, thus they almost fall in love with each other. A third
woman steps into their realtionship and falls in love with Mudita,
which results in conflict involving power and black magic to win love.
Interestingly, a caller, called Ibu Kadek from Tabanan also sang a verse
with the same theme. In the geguritan, Mudita is depicted as having a
good character, being a responsible person, but in Ibu Kadek’s verse,
the male character is presented as a disloyal person who does not keep
his promise.

Ulung bulanè di langit Falling flower of the sky


Uli pidan baan ngarsayang I’d long been expecting
Janjin belinè nguni Your old promise my brother
Munyin belinè memanesin Your promise caused me suffering
Ngaku tresna kanti lampus It confessed you would love me till you died
Munyin beli tanpa guna Your promise was meaningless
Ngedegin basang sesai It made me angry everyday
Nuukin kayun You only follow your will
Sakitan belinè majalan Going wherever you like

(Bali TV, 10/07/2008)

The interpretation was given by the presenter, Suciati. The role of


interpreter is important in giving and expanding on the meanings of
the song. The interpreter often makes jokes, puns, and illustrations
to emphasise the meaning as they like. Sometimes the illustrations
given are too far, but still relevant to the text and context. When giving
interpretation for the line ‘Ngaku tresna kanti lampus’ (It confesses you
would love me until you die), the interpreter (pangartos) said in the
Balinese language:

21
Beli janji tinggal janji, pih bulan You, my brother, keep promising me,
maduan ke luar negeri, nganti mati saying to take me on honeymoon
nyen konè tresnan belinè, sakewala overseas, stating that you love me until
kondèn maan men apa, suba beli you die, but nothing happened yet you
ilang, buin kija kadèn had disappeared again, gone without
notice.

There is nothing in the text to suggest a ‘honeymoon overseas’, but


the interpreter freely adds to it as an illustration of how meaningless
the promise of the man can be. It causes the girl to feel disrespected.
When interpreting the last line of the text, the interpreter continues
to express criticism to the irresponsible man. In making that criticism
even stronger yet popular, the interpreter uses an English expression
by accusing him of being ‘a playboy’.
More close studies of verses sang and interpreted in makidung
or mabebasan activities by female participants are required in order
to achieve a better understanding of their spirit and seriousnessin
discussing women’s or gender issues. But, as the examples above have
illustrated, mabebasan activities have shown how female participants
(singers and presenter) openly expressed their concern toward men’s
attitudes through electronic mass media. In some other cases, women
also express their comments on various general issues, making women’s
aspirations and voices heard in the public arena. Hence, it showcases
the courage of women to negotiate their position imaginatively in a
male dominated society.

Conclusion
It has been rather unpredictable that the mabebasan tradition,
which was almost defunct, was given a new form by electronic mass
media, especially radio and television. Interactive textual singing
programs that radio and TV in Bali provided, increased the number of
people to take part in mabebasan activities. Interestingly, the number
of women surpassed the number of men in what used to be male
dominated literary tradition.
The participation of women in kidung interaktif programs and
also in accompanying rituals has significant meaning in revitalising
the literary tradition. While the willingness of women in making use
of the mabebasan interactive programs to raise and discuss women’s
issues and to negotiate their position in the public arena, the increased
participation of women in mabebasan activities on and off air does give
a sense of emancipation or of a democratization of Balinese arts and
tradition. Thus, their appearance on radio and on TV is much more
than just numpang nampang.

22
Bibliography

Arps, Bernard. 2003. ‘Letters on air in Banyuwangi (and beyond): Radio and
phatic Performance’, Indonesia and the Malay World 31, no. 91: 301–16.
Creese, Helen. 2000. “Balinese Television Histories: broadcasting historical
discourses in late New Order Indonesia” Review of Indonesia and
Malaysian Affairs, 34 (1) Winter 2000, pp.39-81.
Creese, Helen. 2009 ‘Singing the text: On-Air textual interpretation in Bali.’ in
J. Van der Putten and M. K. Cody, eds. Lost times and untold tales from the
Malay world, pp. 210-226. Singapore: Singapore University Press.
Jurriëns, Edwin.2006. ‘Radio awards and the dialogic contestation of Indonesian
journalism’, Indonesia and the Malay World Vol. 34, No. 99 July 2006, pp.
119–149.
Jurriëns, Edwin.2007.‘Indonesian radio culture: modes of address, fields of
action’, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 41, no. 1 (2007),
pp. 33–70.
Kitley, Philip. 2000. Television, nation, and culture in Indonesia. Athens OH: Ohio
University Press.
Lindsay, Jennifer.1997. ‘Making Waves: Private Radio and Local Identities in
Indonesia,’Indonesia, Vol. 64, (Oct., 1997), pp. 105-123.
Manda, I Nyoman. 2002. ‘Basa Bali Pinaka Sarana Ngawerdiang Sastra Baline’
Ida Bagus Darmasuta et al (eds), Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali
V, pp 184-200. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Putra, I Nyoman Darma. ‘‘Kidung Interaktif’ Vocalising and interpreting
traditional literature through electronic mass media in Bali’, Indonesia
and the Malay World, 37:109, pp. 249-276.
Rai Putra, Ida Bagus. 2002. ‘Susastra Bali miwah Kahananipun’, in Ida Bagus
Darmasuta et al (eds) Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V, pp 264-
75. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Robson, Stuart. 1972. ‘The Kawi classics in Bali’, BKI, 128 (2/3):308-329.
Rubinstein, Raechelle. 1993.‘Pepaosan: challenges and change”, in Danker
Schaareman (ed), Balinese music in context: A sixty-fifth birthday tribute to
Hans Oesch, pp. 85-113. Winterthur: Amadeus Verslag.
Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses; The Balinese ritual of
kekawin composition. Leiden: KITLV.
Sen, Krishna. 2003. ‘Radio days: media-politics in Indonesia’, Pacific Review 16
(4): 573–89.
Suartaya, Kadek. 2003. “Ketika Menembang Menumpang ‘’Nampang’’ “, Bali
Post, Minggu Paing, 2 Maret 2003.
Suryadi. 2005.’Identity, Media and the Margins: Radio in Pekanbaru, Riau
(Indonesia)’, Journal of Southeast Asian Studies, 36 (1), pp 131–151
February 2005.

23
HOW DO WE APPROACH A FOREIGN
CULTURE? THE PROBLEMS OF
REPRESENTATION
Natalia Theodoridou
School of Oriental and African Studies (SOAS),
University of London

W hile attempting to write a paper on regional culture, one


question seemed pressing: What is the place of a foreign research
student in a conference about regional culture and local wisdom? Was
I planning to talk to you about your own knowledge, to teach you
about your own culture? I think this would be inappropriate, let alone
impossible. So in this paper, I would like to talk about my current
research project and, while doing so, to address a few questions that
may be important: How do we understand other people’s culture?
How do we approach this kind of outsider research methodologically?
In fact, how has Bali been studied and represented in the past, and
what can we do differently today?

What the project is about


My project is about Balinese theatre, both live and televised, and
its representations. But why theatre and why Bali? Balinese theatre has
haunted European imagination, as well as practitioners and scholars
of theatre for almost a century, while Bali has been haunted in return
by a vast number of academics and artists interested in its theatre. In
addition, the metaphor of the whole of Balinese existence as a sustained
theatrical performance has been predominant in European and
American representations of the island. The first representations of the
people of the island, before the colonisation by the Dutch, depict them
as aggressive and poorly governed, while soon after Bali comes to be
the paradise island, where every native is an artist. Boon explains this
transition as an economically manufactured one: Since ‘there were no
commodities of trade for colonial enterprises; tourism alone promised
to yield significant profits’ (Boon 20).1 And a fundamental aspect of
life on this vision of Bali was a double theatricality: not only did the

1 Of course, things are always more complicated than this. Space does not permit to
go into great depth here. Suffice it to say that neither does the commercialization of
performance cover the entirety of Balinese performance practices, nor can the motiva-
tion of Balinese to create art be limited to economic reasons.

24
Balinese love theatre per se, with a variety of presumably ‘ancient’
genres ranging from shadow theatre to dance and opera, their very
existence came to be understood as a constant theatrical performance.
However, very few people have taken into account Balinese ideas of
what foreigners have identified and studied as theatre, often reducing
the subjects and object of study to preconceived models and theories.
I argue that, in order to access the missing object of study, one would
have to shift the focus to Balinese accounts of their practices, because
any analysis of theatre cannot rely solely on accepting received
accounts.
Theatre as practice, however, cannot be limited to what actors
alone do or have to say about what they do; it is a relationship, the
unscripted interaction between performer and spectator, that makes
up a large part of the event, even more so in improvised genres, as is
the case for much of theatre in Bali. It is therefore necessary to look
at both actors’ and audiences’ ideas about theatre. However, since
the popularization of television in Indonesia, making and watching
televised theatre has been a widespread activity which introduces a new
set of issues regarding the relationship between actor and spectator and
changes the landscape in unexpected ways (80% of theatre companies
in Bali disappeared because people wanted to go see only the very
best of them ‘as seen on TV’ [Hobart 1999:3]). Moreover, television
audiences have turned out to be an exceptionally elusive object in
media studies–both shining in their absence and unknowability, and
subject to representation and articulation by a variety of, usually
complex, agents. Therefore the purpose of my research is to engage
in a detailed study of audiences in Bali. This involves audiences of
both live and televised theatre, as well as, if not predominantly, their
representations by actors and producers. I propose to investigate the
different representations and imaginings of audiences as they arise in
theatre productions on Balinese television (both national and local),
film (ethnographic, documentary, and development), as well as live
performance. By de-positivizing and de-essentializing audiences in
this way, I hope to draw attention to the conditions under which and
the purposes for which different kinds of audiences are constructed,
finalized, and hegemonized, in other words to the business of
proclaiming there to be a unitary essence to audiences (and to Bali by
extension).

Theoretical framework
Margaret Mead and Gregory Bateson, the famous 20th century

25
anthropologists, in their study of Balinese character, pronounced that
‘Balinese culture is in many ways less like our own than any other which
has yet been recorded’ (1942: xvi). And they weren’t the only ones to
remark on the extreme otherness of the Balinese. However, there is one
aspect of Bali that scholars from Europe and the Americas have had no
trouble describing in familiar western categories: and that is theatre.
‘Western’ dramaturgical models are readily exportable for the analysis
of what those doing the analyzing take to be their Balinese counterparts.
It is very easy to do so because theatre and performance studies is now
a well-developed and prolific discipline (even in a Foucauldian sense
of practices in which people discipline themselves and discipline other
people), with an extremely sophisticated, institutionalized apparatus,
while, as I mentioned earlier, the association of Bali with theatre is more
than well-established in European imagination. So the Euro-american
reasoning is this: Of course other people’s theatre is different, but it
is still theatre,2 is it not? And if this is so, we can talk about it using
the familiar concepts of actor, stage, audience, rehearsal, performance,
improvisation, training etc. We just need to be aware of the cultural
translation that is required to make sense of certain things—we can, for
example, go so far as to acknowledge that theatre in Bali is inextricable
from dance and talk about ‘dance dramas.’ But this is missing the
point, as it basically presents a problem of apriorism, of knowing
things before going out to investigate them. We already know what
theatre is, we come to Bali, identify as theatre what we have already
decided theatre is, and then we are happy when we find out that this
theatre is like our own theatre in so many ways! While, of course, we
are ignoring a whole other range of practices that our subjects of study
may find equally, or more, important, in the meantime.
It is not just a problem of translation, of English having grown
into an enunciative language that interprets at the same time as it
translates. The problem is how things are represented, by whom, on
what occasion, for what purpose. As Balinese say, what is important is
Desa, Kala, Patra.
But what do I mean by representation? As is implied in the word
itself, re-presentation presupposes the absence of the thing represented.
As Nelson Goodman has shown and Mark Hobart has elaborated,

2 And to what extent does this class-term do justice to Balinese practices, given that
there is no equivalent term in Basa Bali? In my experience, Balinese refrain from refer-
ring to such general things as ‘theatre’ (the most common translation for terms such
as igel-igelan, sasolahan or balih-balihan) and prefer to refer instead to specific genre
such as Arja, Calonarang, Topéng, and their particular context.

26
one can never represent something as itself; one can only represent
something as something else, on an occasion, for a purpose, and with
an outcome (Goodman 1976:27-31; Hobart 2008:12-13). Representation
is, therefore, a transformational act.
But how should one approach these practices and their
representations? Following Goodman’s re-conceptualization of the
question ‘what is art?’ as ‘when is art’ (1978:66-67), I would suggest
that the first step would be to ask ‘when is theatre,’ ‘when is the
audience’ and so on, and according to whom. This situates the objects
of study in their historical contingency and also highlights the idea of
representation.
In addition, I draw particular attention to acts of commentary,
especially by actors, members of the audience in live performances,
and the media industry, not in an attempt to get to the ‘authentic
native voice’ but to recognize the practices involved in their plurality
and underdetermination.
Finally, rather than recycling the standard position of the scholar
as disinterested observer, I would tend to think of ethnography as a
practice in a way that refuses to hierarchize the researcher and the
subjects of study and at the same time avoids to treat them as merely
‘other.’ Following a Wittgensteinian line, the point is not to find a
middle ground between ‘our theatre’ and ‘their practices,’ but to have
an appreciation of what the project involves in order to go on.
In order to illustrate the theoretical problems that I outlined here,
I would like to draw on some historical examples.

How has Bali been represented, and what are the problems of
representation?

Figure 1. Bali as a place to be colonized.

27
Figure 2. Bali as part of Indonesia.

Figure 3. Bali, the Ultimate Island.

Figure 4. Bali as a playground.

28
Maps, precisely because they are supposed to be accurate
descriptions of the world, illustrate rather neatly the point that I want
to make. Who makes the map of Bali? Who is a map for? What is it for?
It is easy to forget that cartography is a matter of representation and
imagining, in the case of Bali largely as part of colonial practices. If
something as presumably concrete as geography can change so much
overtime, what happens when the object of study is something as
discursively constructed and fleeting as, for instance, audiences?
Furthermore, writing about geography can prove rich in
metaphors that reveal far more about the agents of representation
than the thing represented. For instance, the presumed theatricality of
Bali seems manifested even geographically: the island is ‘dramatically
mountainous,’3 ‘a snug little amphitheatre’ (Pringle 2004:1), likened
to ‘a flattened diamond’ (Pringle 2004:1) belonging to the ‘necklace
of equatorial emeralds’ that is Indonesia.4 The latter echoes earlier
representations almost verbatim: The Miracle of Bali, a 1969 BBC
narrated by David Attenborough, described it as ‘a tiny bead on the
necklace of islands that stretches from west of Malaysia to New Guinea
and Australia.’
As might be expected, cultural examples are even more
complicated. I would like to look briefly at a couple of documentaries:
Mead and Bateson’s Trance and Dance in Bali and The Miracle of Bali,
mentioned above.
There is so much that can be, and has been, said about ethnographic
film in general and Trance and Dance in Bali, filmed in 1937 in Pagutan, in
particular. Here, I would like to focus on the historical contextualization
of the film and the effect of its technique/technology/mise en scene on
the way Bali, the Balinese, and theatre are represented
The genesis of ethnographic film can be searched as far back as 1895
with the first travelogues made by travelling agents and journeying
filmmakers. In its early stages ethnographic film had strong affinities
with salvage operations and a taxidermic approach to the non-Western
and the non-urban.
The first attempts at full-blown ethnographic films, like Curtis’s
In the Land of the Headhunters (1914) and Flaherty’s Nanook of the North
(1922) had such a strong more or less fictional narrative element that can
by today’s standards hardly be considered ethnographic at all. Mead

3 ‘Bali-Geography’ <http://www.marimari.com/content/bali/general_info/geography.
html> [Accessed 30/10/2010].
4 ‘Bali & Indonesia on the Net’ <http://www.indo.com/indonesia/archipelago.html>
[Accessed 11/01/2009].

29
and Bateson’s attempts were among the first by trained anthropologists
that tried to maintain a level of scientific vigour.
The film was sponsored by the Committee for Research in
Dementia Praecox, as schizophrenia was then known. This is because
their study of Balinese culture was actually framed by a concern for
the American national character. This film is only part of a massive
collection of data concerning ‘the Balinese character’ (Bateson & Mead
1942), which they saw as one ‘in which the ordinary adjustment of the
individual approximates in form the sort of adjustment which, in our
own cultural setting, we call schizoid.’ Therefore understanding how
they cope with the condition could lead to methods of child-rearing in
America that would help avoid raising schizoid children.
Funds were also provided by the American Museum of Natural
History. This, I think, is also significant, because it stresses not only the
scientific aspirations of the filmmakers but also the supposedly by then
overcome taxidermic tendencies.
After the credits, there is a set of intertitles summarizing the
storyline of the ‘theatrical ceremony’ that we are going to watch. Briefly,
it explains that Rangda the Witch is angry because no husband wants
to marry her daughter and order her pupils to bring plague upon the
people of the village. The only one who can stand up against her is
Barong, the guardian spirit of the village. His followers attack her but
they fail and fall into trance, which involves turning ceremonial daggers
(kris) against themselves without causing injury. Then Barong and
Rangda fight but there is no resolution, nobody wins. The explanation
of the action after the intertitles is taken up by Mead’s narration.
The whole film is about twenty minutes. This means that they
have condensed a performance that normally lasts several hours.
Also, performances of this sort usually take place at night—this was
remedied for the purposes of filming. The performances themselves
were commissioned by the anthropologists for Margaret Mead’s
birthday. They even asked that two different plays be combined so
that they could shoot both men and women in trance. However some
shots are not even from this performance—part of it was filmed by
Jane Belo, Mead’s former student, in 1939.
The film was shot with a hand-held and hand-wound Movikon
camera which only allows 3-minute takes. However most takes are
much shorter than that, creating very disjunctive and often disorienting
sequences. The camera is constantly moving and changing angles
to get the best possible shots of the individual dancers, especially in
the trance-scenes. Therefore what lends continuity to the material is

30
Mead’s voice-over narrative; her voice is what articulates the otherwise
fragmented footage and creates something that never was. The images
end up supplementing the narration, rather than the other way around.
Their excess is tamed, repackaged and rendered in terms appropriate
for a Western viewer. This is particularly pronounced, I think, when
the dancers fall into trance. Because altered states of consciousness are
empirically inaccessible to the viewer, the ethnographer undertakes
the task of translating them for us.
Balinese spectators of these performances are not absent, but
they populate the margins of the frame. In other words, they are not
represented. They are the ones who get disarticulated by Mead’s
articulation. This I think has to do with the fact that audience practices
were irrelevant to the fixation of meaning that Mead and Bateson were
attempting as well as to the purposes of their study. They set out to look
for schizoid personalities in Bali, they studied what they conceived
as schizoid behavior and then considered this to be fundamental of
the Balinese character. People casually passing by or looking on with
varying degrees of attention were not part of the model and were
therefore overlooked. They may have been in the frame, but they were
narrated into silence.
However, Mead and Bateson were impressively ahead of their
time in anticipating more recent reflexive methodologies. For instance,
they projected some of their footage to their subjects. However, the
Balinese were then asked to comment on ‘whether or not they believed
that a trance dancer was “in trance”’–the framing of the question, in
other words, negated the possibility of commentary and incorporated
it back into the grand narrative.
Another example of almost conscious representation of Bali as
theatre comes from The Miracle of Bali documentary mentioned earlier.
In the opening scenes, while presenting the home of the leader of a
world-famous gamelan orchestra, the camera smoothly travels in front
of what comes across as a series of tableaux vivants: people of all ages,
seemingly oblivious to the presence of the camera or the crew, are
displayed side by side with intriguing murals, instruments, trees and
a cockatoo, carrying out happily, harmoniously, and, above all with
grace the theatre of everyday life.
And then came academics such as Clifford Geertz who showed
that in fact it has always been so: Bali was a theatre state already from
the 19th century, long before it succumbed to the Dutch (1980). In fact,
the argument is that this empty theatricality of kingship, with kings
being not powerful agents but mere symbols of power, was the reason

31
why Bali was finally conquered—the counter argument of course
being that this is precisely the colonial rationale by which the Dutch
attempted to suture over what actually went on and that this state of
affairs more accurately described kings after the conquest, when they
were indeed limited to pomp and ritual, stripped as they were from
their political power.
This business of imagining Bali as paradise was not solely carried
out by Europeans, or soon after American who were lured to the
island—Bali soon became a paradise for Indians (with Nehru, the
first prime-minister of India, calling Bali ‘the morning of the world’),
Japanese and Indonesians alike: Bali in the 1950s became a tourist
destination for many Indonesians with President Sukarno focusing his
attention on Balinese art and culture (Vickers 3-4).
In sum, what I want to argue is this: presenting the historical
and geographical background, or indeed any ‘facts’ about the area
of research is supposedly a straightforward task. However, several
historiographical approaches have shown ‘history’ taken as the totality
of events and the raw material of lived experience in a past period of
time to be largely inaccessible, and have focused instead on history as
a narrative (Collingwood [1946] 2005; White 1973). As such, history
cannot be neutral. Moreover, an attempt to present ‘the historical
background’ is misleading from the outset as it suggests that history is
background rather than a site of contestationor a series of antagonistic
monologues.
Of course there are dozens of other ways that Bali has been
represented, with its whole culture equated with music or religion
etc., but I chose to focus on theatre because this is my background and
because it does make the point about the problems of representation
rather clear. So what is the solution?

Dialogue
It is the dialogue around the practices we are researching that
should become the centre of attention. I am using the term ‘dialogue’
here in its Bakhtinian sense. To put it (perhaps too) simply, dialogue is
the ongoing process of communication (Morson & Emmerson 1990:50).
According to Bakhtin, existing epistemologies monologize knowledge
by transforming the open-endedness of dialogue into a monologic
summary of the world’s contents that inevitably misrepresents ‘its
unfinilizable spirit’ (Morson & Emmerson 1990:60).
One representative of a massively monologic form of knowledge
is the kind of apriorism I described before, which is so often found

32
in the thought of theatre scholars and anthropologists. Anthropology
is the business of studying other people’s culture, which is almost
always incommensurable and irreducible to the researcher’s own.
Mark Hobart argues that culture, like ‘society,’ is a retrospective and
nostalgic notion, a particular Euro-American holistic category that
glosses over the unfinalizability and contingency of people’s practices
(2000). And thinking about practices also involves a set of practices.
Society and culture, as massive suturing operations, were the necessary
conditions of epistemological supremacy over our subjects of study.
Cultural studies fares better than anthropology in this respect: it has
taken culture as the conditions under which social divisions like
class, gender and race are articulated, naturalised, represented and
contested.
As I have mentioned before when talking about representation,
it is a transformational act, undertaken by someone, for someone, on
an occasion, for a purpose, with an outcome. In addition, as Laclau
has argued for the case of society, (and I think this may be true of
audiences as well): the act of representation is the very condition of
intelligibility for that which it claims merely to express (1990).

Conclusion
The discussion so far can be summed up as follows:
A researcher should not approach the object of study from above,
using pre-conceived notions and ideas that might be incompatible with
the subject matter. Paying attention not only to what people say, but
how they say it and in what capacity is of primary importance, because
representation is never innocent. We should therefore look at who is
representing whom as what, on what occasion, for what purpose.
Coming to a close, one point seems critical. The examples I
presented here should not be dismissed as mere figures of speech that
do nothing. Linguistic and pictorial representations naturalize Bali
as theatre/jewel/paradise. A number of scholars have argued, from
various angles, that language is not a means to describe the natural
world but a tool people do things with (Wittgenstein 1958, Austin
1962, Feyerabend 1975, Goodman 1976, Butler 1997). The question then
becomes, what have the various naturalizing metaphors of ‘Bali as…’
done, and what has been disarticulated in the process?

Bibliography
Austin, J. L. 1962. How to Do things With Words. Oxford: Clarendon.

33
Bateson, G. & Mead, M. 1942. Balinese character: a photographic analysis.
New York: Academy of Sciences.
Boon, J.A. 1977. The Anthropological Romance of Bali 1597-1972: Dynamic
Perspectives in Marriage & Caste, Politics & Religion. Cambridge:
University Press.
Butler, J. 1997. Excitable Speech: A Politics of the Performative. London
and New York: Routledge.
Collingwood, R. G. [1946] 2005. The Idea of History. Oxford: University
Press.
Feyerabend, P. 1975. Against method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge. London: Verso.
Geertz, C. 1980. Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali.
Princeton, N.J.: University Press.
Goodman, N. 1976. Languages of art. Indianapolis: Hackett.
Goodman, N. 1978. Ways of Worldmaking. Indianapolis: Hackett.
Hobart, M. 1999. ‘The End of the World News: Television and a
Problem of Articulation in Bali.’ International Journal of Cultural
Studies 3.1: 79-102.
Hobart, M. 2000. After Culture: Anthropology as Radical Metaphysical
Critique. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Hobart, M. 2008. ‘Bali is a Brand: a Critical Approach.’ Paper presented
at Kongres Kebudayaan Bali. ISI, Denpasar. June 2008.
Laclau, E. 1990. New Reflections on the Revolution of our Time. London:
Verso.
Morson, G.S. & Emerson, C. 1990. Mikhail Bakhtin: Creation of a
Prosaics. Stanford, California: Stanford University Press.
Pringle, R. 2004. A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Crows
Nest, Australia: Allen & Unwin.
The Miracle of Bali. 1969. Film. Narrated by Attenborough, D. BBC.
Trance and Dance in Bali. 1951. Film. Filmed by Bateson, G. & Mead,
M. Narrated by Mead, M. USA: Pennsylvania State University.
Vickers, A. 1997. Bali: a Paradise Created. Berkeley & Singapore:
Periplus.
White, H. 1973. Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-
Century Europe. Baltimore & London: Johns Hopkins University
Press.
Wittgenstein, L. 1958. Philosophical investigations. 2nd. ed. Oxford:
Blackwell.

34
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
KOREA DAN INDONESIA:
Kajian tentang Perilaku Masyarakat
Korea dan Jawa

Kim Geung Seob


Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

I. Pendahuluan

K omunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan


latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini
jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan
situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa
yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi
yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal.
Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional,
dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak
sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang
dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A.
and Richard E. Porter: 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku
kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik
perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain.
Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena
kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku
nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit
bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak
nyaman.
Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial
keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam
percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen
verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray
L. Birdwhistell: 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang
komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara
tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa
mencakup bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada
semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut.
Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing
sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.

35
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan
asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung
melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin
banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya
perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka
sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut
orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi
wajah adalah sesuatu yang universal.
Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna
universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan
menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa
bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana
mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan
sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia
memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang
berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda
dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J.: 1998).
Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Jawa
dan Korea ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat di Jawa dan Korea. Makalah ini tidak
hanya menekankan bagaimana orang Jawa dan Korea berbeda
dalam berbicara tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang
dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang
mengatur perilaku anggota masyrakat.

II. Dimensi Ragam Budaya


Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman
akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya
yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan
karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal
maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama
besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang
antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara
untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin
timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan
dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman
dalam dimensi-dimensi berikut ini.

2.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan


Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan
mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk

36
berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan
daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh
tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak
yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan
atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak”
karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan
dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang
rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.
Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di
negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-
negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab,
Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Jawa. Negara-negara
dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang,
dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani:
1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi
hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim
hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan
orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik
lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.

2.2 Individualisme dan Kolektivisme


Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan
budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi
ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai
mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang
individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling
individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris,
Kanada, dan Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara
yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela,
Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur
atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan
ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik
atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal
budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya
individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak
yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling
tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan
tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat
industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti,
dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka

37
(Hofstedet: 1980).
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering
tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung
ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan
bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka
dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-
orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-
norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal
sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif
dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang
negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena
menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang
dalam budaya individualistik didorong untuk mengungkapkan emosi
karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai
hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya
individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang
dalam budaya kolektif.

2.3 Feminin dan Maskulin


Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan.
Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan
kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri
khas feminin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan
emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan
diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun
ada variasi yang cukup banyak dari negara yang satu dengan yang
lain (Hall: 1976).
Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan,
sedangkan budaya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan
perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu budaya dihubungkan
secara negatif dengan persentase wanita dalam pekerjaan teknis dan
profesional serta dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua
jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan maskulinitas
tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali
Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan
Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas terendah adalah Swedia,
Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara
Skandinavia atau Amerika Selatan kecuali Thailand. Indonesia
ditempatkan ke-30 dan Korea berurutan ke-41.

38
2.4 Kesenjangan Kekuasaan
Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya
adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur
dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan
(IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mempunyai kekuasaan dan
pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada
terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat
berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah
Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara
tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali
Perancis. Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang paling rendah)
adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam
hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi dan Korea
berurutan ke-27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga
menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda
kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak
sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa
garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk
budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel
yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang
lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana
anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih banyak
belajar dari orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.
Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan
kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas
status-status individu (Alo Liliweri: 2001). Senyum yang terus menerus
yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk
menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan sosial yang lebih
mulus; mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-
IKK tinggi.

2.5 Konteks Tinggi dan Rendah


Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah
konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan
rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi
(KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya
dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan
sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “diatur,
eksplisit, dan disampaikan”. Teman yang sudah lama saling kenal
sering menggunakan KT atau pesan-pesan implisit yang hampir
tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, senyuman,

39
atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan.
Dalam situasi atau budaya KT, informasi merupakan gabungan
dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal
yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa didapatkan
dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah
merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi
disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus
diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak
seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT,
institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau
bahasa komputer menuntut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada
yang bisa diterima begitu saja.
Budaya konteks tertinggi ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan
Korea merupakan budaya-budaya berkonteks sangat tinggi. Bahasa
merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eksplisit,
namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit.
Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang
tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal
dalam memahami bahwa budaya KT harus memberikan konteks dan
latar dan membiarkan pokok masalah itu berkembang (Hall, .: 1984).
Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR.
Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih
tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-
orang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-
ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari
budaya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan
misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal
seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap
lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang kurang banyak
bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya
berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan
komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR,
dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak dapat merasakan
komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi
nonverbal memberikan konteks untuk semua komunikasi, tetapi orang-
orang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat kontekstual.
Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan
interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal
lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi
orang-orang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari
budaya KT mengharapkan lebih banyak komunikasi nonverbal

40
dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari
budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami
perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan
isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang
dari budaya KR.

III. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Korea dan Jawa


Korea dalam sepanjang sejarahnya sangat penting artinya dari
sudut strategi geografis. Hal tersebut dikarenakan semenanjung
Korea terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan
Rusia. Selain itu, sampai akhir masa abad ke-19 semenanjung Korea
sudah lama menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan,
politik, sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan kepulauan
Jepang. Letak geopolitik kerajaan Korea sebagai sebuah semenanjung
yang berfungsi sebagai jembatan penghubung itu telah memberikan
keuntungan dan kerugian. D isatu sisi kerajaan Korea dapat dengan
mudah menyerap seni budaya dari negara tetangga, tetapi sebaliknya
senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga yang agresif
Salah satu yang berhasil diserap Korea adalah ajaran
konfusianisme. Ajaran konfusianisme yang berasal dari Cina ini
disampaikan ke Jepang melalui semenanjung Korea. Namun anehnya
justru ajaran konfusianisme ini tidak berkembang di Cina, namun
sangat berkembang di Korea dan Jepang. Ajaran konfusianisme ini
diajarkan oleh seorang bijak dari Cina, yang bernama Kong Zui. Beliau
mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan membangun
hubungan dalam keluarga dan negara dalam kesatuan yang harmonis.
Kong Zui yang diperkirakan hidup pada abad 6 Sebelum Masehi
mengungkapkan hubungan tersebut pada dasarnya adalah sebuah
sistem subordinasi dari hubungan :
1. Ayah dan anak orang tua dan anak
2. Yang tua dan yang muda
3. Suami dan istri
4. Pertemanan
5. Penguasa dan Masyarakat
Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan kesetiaan kepada
raja dan kerajaan (negara), moral, dan pembaktian kepada orang tua. Di
samping itu menekankan pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara bermasyarakat dan cara
mendidik. Bahkan untuk tata cara bermasyarakat yang sangat tinggi.
Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar masyarakat Korea dengan
sebutan the country of eastern decorum atau orang ramah dari timur. Hal

41
tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata
nilai yang ada dalam masyarakat Korea.
Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah
Indonesia, khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal
dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan santun.
Meskipun ada sebagian yang berasal dari Jawa Timur yang dipandang
“kurang memenuhi syarat“ sebagai orang Jawa, namun suku Jawa
tetap merupakan suku yang terkenal dengan keramahannya. Karena
biasanya yang dipandang orang Jawa adalah orang Jawa yang
bertempat tinggal di bagian tengah Jawa (Jawa Tengah - Surakarta) dan
Jogjakarta. Ada begitu banyak kesamaan dalam tata nilai masyarakat,
di antaranya selalu menempatkan orang lain sesuai dengan usianya,
kedudukan sosial/strata sosialnya, atau dengan kata lain pola
hubungan yang berlaku lebih cenderung vertikal daripada horizontal.
Di samping itu masyarakat konfusianis Korea dan masyarakat Jawa
sangat mementingkan kekeluargaan. Walaupun dalam keadaaan
tidak mampu, mereka tidak dapat melupakan rasa bakti mereka
terhadap orang tua. Baik di saat orang tua hidup maupun ketika
sudah meninggal. Begitu dekatnya hubungan kekerabatan sampai
ada peribahasa Jawa yang menyatakan “mangan ra mangan ngumpul”
yang berarti susah senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di
sini adalah rasa kebersamaan dalam menghadapi segala persoalan
hidup.
Namun demikian ada kesamaan nilai-nilai yang sekarang
dipandang tidak menghargai harkat perempuan. Yaitu hubungan
keluarga pada masyarakat Konfusianis Korea lebih berarti daripada
hubungan suami istri. Dapat dikatakan bahwa suami lebih mendengar
perkataan ibunya daripada istrinya sendiri. Bahkan ada peribahasa
Korea yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih kental
daripada air. Jadi untuk masyarakat Konfusianis Korea, istri masih
dianggap sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Jawa menganggap
istri hanya sebagai “konco wingking” atau teman belakang.
Sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara masyarakat Konfusianis
Korea dan masyarakat Jawa, yaitu :
1 Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal
ini tidak terdapat dalam masyarakat Jawa, karena hubungan
kekerabatan masyarakat Jawa dihitung dari pihak maternal
dan paternal, atau dengan kata lain bersifat “bilateral descend”.
Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Korea bersifat
paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai
tercermin dalam “prefiks” bahasa Korea.

42
2 Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar
klan darahnya. Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti
Korea. Namun pada masyarakat Jawa kuno, perkawinan justru
diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka. Hal tersebut
dimaksudkan untuk mengumpulkan “tulang” yang tercerai berai
agar utuh kembali.
3 Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang
ada. Prinsip ini biasanya merupakan salah satu tujuan dari
pernikahan selain membentuk keluarga baru. Namun pada
masyarakat konfusianis Korea lama atau kuno secara tegas
berprinsip bahwa kehadiran suatu pernikahan hanya untuk
satu tujuan pokok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai
penerus keluarga. Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama
dalam ajaran konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi
suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa tidak ada
ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal
marga atau klan seperti masyarakat konfusius Korea, namun
memang sangat dihargai bila “si sulung” merupakan anak laki-
laki, yang nantinya diharapkan mampu mengangkat harkat dan
martabat keluarga.
4 Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri. Perceraian
dapat disebabkan beberapa macam, namun yang berbeda bagi
masyarakat Jawa adalah perceraian dapat “dilakukan” oleh selain
suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini adalah inisiatif perceraian
dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada
jaman Korea lama. Hal tersebut jarang terjadi pada masyarakat
Jawa, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak
“yang sok berkuasa” .
5 Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan.
Bila mendambakan seorang anak laki-laki untuk meneruskan
usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat Jawa
adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya pernikahan
baru tersebut diharapkan “isteri muda” dapat dipersembahkan
“sang penerus keluarga”. Namun berbeda dengan masyarakat
Konfusius Korea yang melakukan upaya adopsi untuk mencari
penerus keluarga. Namun adopsi yang dilakukan pun berbeda,
hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang
mempunyai anak laki-laki pada jaman Korea lama pula.

IV. Sopan Santun dan Kebiasaan di Korea dan Jawa


Sopan santun merupakan jalan bagaimana seseorang dapat

43
mendisiplinkan diri mereka dan bagaimana dapat diterima dalam
menjalin suatu hubungan. Di Korea, rasa hormat dan sopan santun
menjadi aspek penting dalam kehidupan. Di Jawa kerukunan dan
kehormatan menjadi aspek penting dalam pergaulan. Seseorang
diharapkan agar tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara
berbicara serta membawa diri dituntut untuk selalu menunjukan sikap
hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Orang Korea menjunjung tinggi senioritas, sedangkan di Jawa lebih
menekankan status. Baik di Korea maupun di Jawa mengetahui
secara rinci mengenai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam
pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status lawan
bicara dan bagaimana kita bersikap. Menolak untuk memberi jawaban
juga bukan merupakan hal yang tidak sopan jika kita melakukannya
dengan sikap sopan pula. Orang Korea dan orang Jawa pada dasarnya
adalah orang yang ramah. Akan tetapi, orang Korea tidak begitu mudah
mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi kontak fisik.
Ketika bertemu dengan seseorang, orang Korea hanya mengangguk
secara sopan atau berjabat tangan. Berjabat tangan dengan wanita
bukanlah hal yang biasa sedangkan di Jawa hal ini biasa terjadi. Akan
tetapi, bila seseorang telah mengenal orang Korea dengan dekat, rasa
kekeluargaan akan lebih terasa, dan akan lebih sering terjadi kontak
fisik antarteman atau antarkenalan.

4.1 Sopan Santun di Muka Umum


Membuang ingus di tempat umum, adalah hal yang tidak sopan
di Korea. Tetapi, bersendawa, masih bisa diterima. Di Jawa, baik
membuang ingus maupun bersendawa di depan umum adalah hal
yang tidak sopan. Di Korea, mendorong-dorong dari belakang ketika
berada di tempat ramai adalah hal yang biasa. Akan tetapi, bila ini
dilakukan di Jawa, kadang bisa menyulut keributan. Apabila seseorang
bermaksud untuk lewat atau terburu-buru, perlu untuk mengucapkan
kata “Nuwun sewu” atau “Permisi”.
Di Korea terdapat fenomena yang dianggap wajar jika laki-laki
saling berangkulan atau wanita saling bergandengan tangan. Hal
ini merupakan ekspresi keakraban atau bila melihat dua orang pria
dewasa berjalan sambil berangkulan. Adapun, wanita yang berjalan
bersama sambil bergandengan tangan adalah hal yang biasa. Baik di
Korea maupun di Jawa, bila ada sepasang kekasih berpelukan atau
berciuman di depan umum dianggap tidak sopan.

44
4.2 Sopan Santun di Meja Makan
Pada umumnya sopan santun di meja makan antara orang Jawa
dan Korea dapat dikatakan hampir sama. Ketika sedang makan, kita
tidak boleh bercakap terlalu banyak, tidak boleh mengunyah hingga
menimbulkan suara, dan berusaha jangan sampai ada makanan
yang tercecer. Tunggulah orang yang lebih tua untuk duduk terlebih
dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua ketika
makan. Akan tetapi, di Jawa, tuan rumah biasanya mempersilahkan
tamu untuk memulai hidangan terlebih dahulu. Apalagi jika tamu
adalah orang yang lebih tua atau dihormati.
Tidak seperti di Jepang dan Cina, negara tetangga Korea, yang
menggunakan sendok untuk makan nasi dan sup, dan sumpit hanya
digunakan untuk mengambil hidangan sampingan atau lauk pauk
lainnya yang tersedia. Ketika makan, orang Korea tidak mengangkat
mangkuk tempat sup atau nasi seperti orang Jepang. Orang Korea
tidak mengayun-ayunkan sumpit, dan tidak menancapkan sendok
atau sumpit di atas nasi karena dianggap seperti memberi makan
orang mati. Jika hal ini dilakukan tamu, dianggap mempermalukan
orang yang menjamunya. Bila selesai makan, sendok dan sumpit
diletakkan secara rapi di samping mangkuk, jika sendok dan sumpit
diletakkan di mangkuk nasi atau sup, dianggap belum selesai makan.
Orang Jawa makan dengan dua cara. Ada yang menggunakan sendok,
dan ada pula yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan
sendok sama seperti kebiasaan orang barat, hanya saja peralatannya
lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan garpu saja.

4.3 Kebiasaan yang Berhubungan dengan Senior


Baik orang Jawa maupun Korea, sangat menghormati orang tua.
Kita tidak boleh berbicara sambil membelakangi atau menatap mata
mereka ketika berbicara, karena hal ini tidak sopan. Bila menerima
atau memberikan sesuatu kepada orang tua, kita harus menggunakan
kedua tangan kita. Di Korea, dalam hal berjabat tangan orang muda
harus menunggu ajakan orang yang lebih tua, sedangkan di Jawa
kebalikannya, orang yang lebih mudalah yang mengajak berjabat tangan.
Kemudian, orang Jawa bila berjalan di hadapan orang yang lebih tua
akan membungkukkan badan, sedangkan di Korea tidak perlu.
Saat minum, di Korea orang yang lebih muda harus memiringkan
tubuhnya ketika minum agar tidak dilihat secara langsung oleh orang
yang lebih tua. Akan tetapi jika berhadapan dengan orang yang
beda usianya tidak terlalu jauh, mereka tidak perlu melakukannya.
Sedangkan di Jawa, hal ini tidak perlu dilakukan.

45
4.4 Kebiasaan Bertamu dan Mengundang
Saat berkunjung ke rumah orang Korea, pengunjung perlu untuk
membuka alas kaki dan sebaiknya tamu menggunakan kaos kaki atau
stoking karena bertelanjang kaki di hadapan orang tua dianggap tidak
sopan. Di Korea juga terdapat kebiasaan untuk membawa bingkisan
bila berkunjung ke rumah seseorang. Di Jawa juga ada kebiasaan
melepas alas kaki bila berkunjung ke rumah seseorang, tetapi
bertelanjang kaki di hadapan orang tua tidak menjadi suatu masalah
yang dianggap serius.
Di Korea tidak ada kebiasaan “go Dutch” atau membayar sendiri-
sendiri seperti di Jepang tetangganya. Apabila kita berada di Korea,
kita harus siap untuk menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada
kebiasaan bahwa orang yang lebih tua yang akan menjamu yang lebih
muda, karena mereka merasa bertanggung jawab kepada yang lebih
muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih muda. Di Jawa
juga tidak dikenal budaya “go Dutch”, yang mengundang atau yang
mengajak adalah yang berkewajiban untuk membayar atau menjamu.

4.5 Kebiasaan Lain


Di Korea, orang tidak menulis dengan tinta merah ketika
memberikan alamat, atau pesan kepada seseorang. Tinta merah
memiliki arti kemarahan atau ketidakramahan. Bagi orang Korea,
angka 4 adalah angka sial. Angka ini berarti “mati”. Oleh karena itu,
bila kita mengundang tamu orang Korea, jangan memesan kamar no 4
atau kamar yang berada di lantai 4. Bagi orang Jawa, tidak ada angka
sial, tetapi mungkin karena adanya pengaruh barat, ada orang Jawa
yang menganggap angka 13 sebagai angka sial. Akan tetapi, orang
Jawa menganggap hari-hari tertentu sebagai hari keramat, seperti
Jumat dan Selasa Kliwon, serta malam 1 Suro. 1 Suro dianggap sebagai
hari para raja, karena itu biasanya pada hari-hari itu orang Jawa tidak
mengadakan pesta pernikahan atau syukuran.

V. Perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea


5.1 Bentuk Ekspresi
Metode hubungan sosial orang Indonesia dan Korea di mana
orang berpura-pura menyukai sesuatu walaupun jelek dan berpura-
pura tidak menyukai sesuatu walaupun bagus, tentunya mempunyai
implikasi yang berbeda dengan metode orang Amerika yang
membedakan dan menganalisa semua hal di muka umum. Orang
Indonesia cenderung bergerak dari hal-hal yang khusus dan kecil
ke hal-hal yang umum dan lebih besar. Mereka mulai dari masalah-

46
masalah pribadi dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang
menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cenderung
melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk memulai dari
bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke fakta-
fakta yang khusus. Orang Korea menulis alamat mulai dari nama
negara, propinsi, kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor
rumah dan nama orang. Namun di Indonesia, mulai dari nama orang,
nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara. Dalam nama
pun, orang Korea meletakkan nama keluarganya lebih dulu dan baru
diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya.
Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea menjawab
“ya”, ini tidak selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti “saya
mengerti keadaanmu, silakan lanjutkan...”, tidak berarti persetujuan
atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima
jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda persetujuan,
sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum
cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu
seseorang mengatakan “Anda tidak perlu melakukan ini” atau
“Silahkan terima hadiah ini” ketika ada orang lain yang membawakan
hadiah atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu saja
hadiah itu, dia dianggap tidak sopan.
Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan tentang cara
berpikir yang lebih cenderung ke emosional dibandingkan rasional.
Orang Indonesia dan Korea memecahkan masalah berdasarkan emosi.
Ketika orang minta tolong pada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa
orang yang dimintai tolong harus memecahkan persoalan tersebut
walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya, walaupun
orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal itu tidak sah atau
bertentangan dengan aturan masyarakat, dia mengharapkan masalah
atau kesulitan itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan
menggunakan ‘alfa’-nya. Dalam hal ini, orang berorientasi rasional
mungkin menolak dengan mengatakan hal itu tidak sah atau mustahil,
tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Korea, seseorang mungkin
berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah,
dan biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan
dengan cara atau metode ‘alfa’-nya.
Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri
manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat
manusia. Namun sebaliknya dengan orang Indonesia dan Korea.
Sebagai contoh, dalam lukisan Renaissance sumber dari sebagian seni
Barat, alam adalah latar belakang yang kabur bagi manusia di masa

47
mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea atau
Indonesia mengalamkan manusia. Hampir semua sampul majalah
Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah
Korea bergambar alam tanpa manusia di latar belakangnya.
Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep persamaan di
antara orang Indonesia dan Korea. Hubungan lebih cenderung vertikal
daripada horisontal. Tiap orang relatif lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam keluarga pun semua dalam hubungan vertikal: kakak laki-laki
terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap adik perempuan.
Bahkan anak kembar pun tidak sederajat, yang lahir lebih dulu
adalah kakaknya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada yang lahir
kemudian. Di dalam kedua masyarakat tiap orang dianggap sebagai
individu yang memiliki seluruh hubungan manusia mirip dengan
hubungan keluarga. Hal itu dapat dicontohkan dengan memanggil
orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman, atau bibi, dan
mereka memanggil orang yang lebih muda adik.

5.2 Bentuk Perilaku Nonverbal


Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat Korea dan
Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dirinci
sebagai berikut.
- Orang Indonesia maupun orang Korea menganggap kontak mata
sebagai tantangan dan tidak boleh dilakukan kepada orang yang
dihormati atau lebih tua.
- Di Indonesia, acungan jempol berarti ‘bagus’ atau ‘oke’ dan
mengacungkan jempol ke arah bawah berarti ‘jelek’ atau
‘merendahkan’, sedangkan di Korea acungan jempol berarti ‘yang
terbaik’, ‘nomor satu’ atau ‘bos’.
- Orang Korea menghitung dengan melipat jarinya dari ibu jari
berurutan ke arah kelingking dengan satu tangan, sedang orang
Indonesia dengan cara membuka tangan dari ibu jari berurutan ke
arah kelingking dengan dua tangan.
- Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Korea dalam
menggunakan jari dan tangan. Di Indonesia, tabu untuk menunjuk
dengan jari tengah. Di Korea, meletakkan ibu jari di antara telunjuk
dan jari tengah pada tangan yang sama atau menggosokkan telapak
tangan yang terbuka di atas kepalan tangan yang lain berarti
hubungan seksual.
- Di Korea, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk berarti
‘uang’, sedang di Indonesia, ini berarti ‘beres’. Adapun melambaikan
tangan dengan telapak menghadap keluar dan gerakan vertikal

48
berarti ‘selamat jalan’.
- Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan
(menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua) menggunakan
ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk sesuatu dilakukan dengan
jari telunjuk.
- Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel di jidat
menyatakan ‘gila’, sedangkan di Korea hal itu dinyatakan dengan
membuat lingkaran berkali-kali dengan jari telunjuk di jidat.
- Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya
dengan jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada
dirinya sendiri menepuk atau menunjuk pada dadanya.
- Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea menyatukan
jempol dan telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang
Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan bahwa orang
yang melakukan hal tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau
menganggap sesuatu itu mudah sekali.
- Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya
uang, cukup dengan menggabungkan jempolnya dengan telunjuk
dan kemudian digerak-gerakkan.
- Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar dengan
gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’ di Indonesia, sedang di
Korea itu berarti mengundang orang untuk mendekat.
- Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun Indonesia
menggunakan telapak tangannya untuk menulis.
- Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih
tua dengan sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan
melewati orang yang lebih tua, sedangkan di Korea tidak terdapat
hal seperti itu.
- Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti ‘uang’,
sedangkan di Korea ‘uang’ ditunjukkan dengan membentuk
lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk.
- Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia menggunakan
jabat tangan dan cium pipi, sedangkan di Korea membungkukkan
badan dan jabat tangan. Dalam hal jabat tangan terdapat perbedaan
pula antara Indonesia dan Korea. Di Indonesia umumnya yang
muda mengajak jabat tangan, sedangkan di Korea yang muda
menunggu ajakan jabat tangan dari yang tua.

VI. Penutup
Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan
atau mengingkari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka

49
belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi.
Telah dibahas bahwa kedua negara mempunyai cara pikir dan adat
kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula
bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua negara itu
mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang
lain aneh dan lebih rendah. Namun, tidak akan ada budaya standar,
juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal
yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut
bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan
kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah,
dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi
berusaha memahami satu sama lain, karena kebanyakan masalah ini
timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang
budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan
kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara
yang dimaksud.

DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication
Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.
Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday
Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden
City, N.Y.: Anchor Press
Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in Work-
Related Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications
Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan
Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of
Pennsylvania Press
Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A
Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication
Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing
Company.
Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah
Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

50
FREE AND CYBER SEX IN mIRC
VIEWED FROM JAVANESE SEXUAL NORMS

Christopher Allen Woodrich


Windsor, Ontario, Canada

Introduction

C hanging times have historically led to changing mores in traditional


societies. With the advent of the modern information society,
complete with new forms of social interaction, this is leading to changes
in how people relate to one another, including through sex. It is also
leading to a change in how we define key aspects of sexual relations.
For example, research by Fritz H.S. Damanik, assistant lecturer at the
department of sociology at the University of North Sumatra, indicates
that young women are generally viewing virginity as a burden, an
obligation, or a choice; traditionally, the Islam-influenced cultures in
the archipelago have only seen virginity as an obligation.1
With time for interpersonal mingling on the decline and the
Indonesian population increasingly computer-literate, the internet
has become an increasingly important tool to facilitate interactions
between the sexes. Dating sites for certain groups, including sites
exclusively for Muslims or exclusively for certain ethnic groups, have
become increasingly common. Others who are less tradition-oriented
use the internet to find partners for casual sex or even prostitution.
This paper intends to outline how residents of the city of
Yogyakarta use the internet relay chatting channel mIRC to find sexual
partners and then describe how the program could be better used,
in accordance with traditional Javanese sexual norms, to both keep
families together and create new ones.

Definitions
mIRC
mIRC is a stand-alone internet relay chatting program invented
by English-Jordanian Khaled Mardam-Bey in 1995.2 One of the most

1 Damanik, Fritz H.S. “Menguak Makna Keperawanan Bagi Siswi SMA (Sekolah
Menengah Atas)”. 2006. Jurnal Harmoni Sosial. Vol. I., No. 1., P. 34.
2 “Frequently asked questions”. 7 March 2011. mIRC. Downloaded 25 August 2011.
http://www.mirc.com/faq.html.

51
popular programs of 2003,3 mIRC continues to be used today and has
been downloaded almost 35 million times.4 The program consists of
several channels run through a single server. Upon booting up the
program, the user is required to input a screen name of his or her
choosing as well as a channel starting with a hash key (#). Chatting can
be done in two manners, firstly through a central room in which all
users on the channel can read what is being said, or in private rooms
opened in separate windows by clicking on the name the user who is
to be spoken to. Data intensive communications, such as webcam use,
are not supported.

Free sex
Free sex or promiscuity is the state of having sexual relations with
no commitment between partners, often in large numbers.5 According
to Finnish sexologist Edvard Westermark, historically there have been
two main theories as to the rise of free sex in human society. The first
is that human culture is inherently promiscuous, dating back from
prehistoric times.6 Men are believed to be evolutionarily driven to
propagate their sperm as far as possible, while women have a drive
to receive the sperm of many partners; according to said theory, these
drives result in greater genetic diversity.7 An opposing view is that free
sex culture is a social construct.8
Aspects of free sex culture have been evident in Indonesia for
hundreds of years, when the kings of Java would keep concubines
from conquered nations as symbols of their power and the kings of Bali
exercised the power to force widows into prostitution.9 The belief held
then, that the sexual prowess of the king reflected his political control,

3 “Traffic patterns of September 2003”. 22 October 2011. Internetnews.com. Down-


loaded 25 August 2011. http://www.internetnews.com/stats/article.php/3096631.
4 “mIRC”. 9 March 2011. Cnet. Downloaded 25 August 2011. http://download.cnet.
com/mIRC/3000-2150_4-10001733.html.
5 “Promiscuity” in Sex and Society. Volume 3. 2010. Marshall Cavendish: New York.
Pp. 667 – 690.
6 Westermarck, Edvard. The History of Marriage. 1903. Macmillan & Co.: London. P.
103.
7 Lehrman, Sally. “The Virtues of Promiscuity”. 22 July 2002. AlterNet. Downloaded
4 September 2011. http://www.alternet.org/story/13648/.
8 Westermarck, Edvard. Op. Cit. P. 103.
9 Cribb, Robert, and Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. 2004. Lan-
ham, Maryland: Scarecrow Press. P. 357.

52
continued into the time of President Sukarno.10 With globalization
bringing the after-effects of the American sexual revolution – which led
to the average American man having seven partners over his lifetime,
with women averaging four11 – to Indonesia, there is increasing concern
that the sexual activity in teenagers is ruining traditional mores and
leading to an increase in HIV / AIDS cases throughout the country.

Javanese sexual mores


Sexuality is a common theme in traditional Javanese tales,
from the rape of Dewi Uma (resulting in the birth of Batara Kala, the
destroyer)12 to the kidnapping of Shinta for Prabu Rahwana to have
carnal knowledge of her in the Ramayana.13 These legends reflect
the Javanese understanding of sexuality as a symbol of power, with
the most powerful men allowed to have relations with whomever
they wish. However, people in general are expected to have a single
partner.
This expectation reflects how sacredly the Javanese view
intercourse between a husband and wife; in Javanese culture, the best
sex builds a healthy mind and body and can lead to the wife becoming
pregnant.14 As such, traditionally Javanese have viewed sexual
intercourse as something that cannot be rushed, but must be planned
and done at the right time and place: in bed, with the lights out and the
consent of both participants, while the other members of the household
are sleeping. Sexual relationships outside of this norm are considered
nistha, or an affront to nature, and are believed to be able to affect the
resulting child; for example, the child may be cursed to lead an unlucky
life, or become undisciplined and a troublemaker.15
Different sexual practices have differing levels of acceptability
in Javanese culture. Intimate kisses and the mercenary position
(known as the “closed pail” or wadah tutup) are standard, although
other positions are allowed.16 However, some activities are forbidden
or frowned upon. The standing position, for example, is thought to

10 The revolutionary hero was a noted womanizer. Ibid. P. 387.


11 “Promiscuity” Op. Cit. P. 667.
12 Endraswara, Suwardi. Seksologi Jawa. 2002. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. P.
123.
13 Ibid. p. 3.
14 Ibid. p. 83.
15 Ibid. pp. 86 – 88.
16 Ibid. p. 83.

53
result in children who are prone to illness.17 Masturbation, bestiality,
necrophilia, group sex, and voyeurism are forbidden.18
Research by Pieternella van Doorn-Harder of the University
of Illinois indicates that Muslim Javanese men generally consider it
their right that their wives have intercourse only with them, and that
said men believe women should not show any libido of their own; they
should only please their husband. This belief is accepted by women as
well.19 Similar beliefs are held traditionally as well, that women should
cook, be made-up, and bear children; they should work to satisfy their
husbands.20 Adultery is traditionally forbidden.
Virginity, in Javanese culture, is considered a measure of self-
worth, with young women who do not bleed the first time they have
intercourse after marriage considered stained; other traditional signs
of female virginity include small, firm breasts, small hips, and a flat
stomach. Males are traditionally thought to have already had sex if
they have a firm understanding of intercourse and a smooth glans.21

Research Method
The data in this paper was collected using observation and
interviews from the period of 1 to 22 September 2011. The researcher
logged into the #Yogyakarta channel on mIRC using the screen name
co_bule_tampan_cr_ce_indo (‘handsome white male looking for an
Indo[nesian] girl’) at various times of the day, with a focus on the
evening. The screen name and channel were selected to ensure that
the greatest possible number of respondents would be able to answer
questions necessary for the successful completion of this research.
Meanwhile, the timeframe was chosen to ensure a fuller understanding
of the mIRC subculture, including when the most users interested in
casual sexual relationships are online.
The initial stage of research was done through observations of
the main chat room for the channel. When the observations were
complete, the researcher selected screen names with a high likelihood
of belonging to seekers of casual sex, such as ce_pengen (‘girl who
wants [something]’), from a list of chat room members and invited

17 Endraswara, Suwardi. Sampyuh: Seks Jawa Agung. 2009. Yogyakarta: Kuntul Press.
Pp. 112 – 115.
18 Ibid. p. 5, 13.
19 Van Doorn-Harder, Pieternella. Women Shaping Islam: Indonesian Women Reading
the Qu’ran. 2006. Urbana: University of Illinois Press. p. 247.
20 Endraswara, Suwardi. 2002. Op. Cit. p. 69.
21 Ibid. pp. 62 – 64.

54
said person to a private chat. After a period of making conversation,
the researcher began to write in a more sexually explicit manner; if
and when the prospective respondent replied in a similar manner,
the researcher invited the respondent to meet face to face at a hotel in
Yogyakarta after a short session of cybersex.
Once at the hotel, the researcher revealed his goal, namely to
study the free sex culture on mIRC. Those respondents willing to be
interviewed afterwards were remunerated at their request, while those
unwilling to be interviewed were allowed to leave. A total of four
respondents agreed to be interviewed, as shown below. Names have
been changed to protect privacy.

Bunga
Bunga is a 35-year-old woman of mixed Javanese and Chinese
heritage who was met on mIRC on 2 September while she was using the
screen name ce_sepi (“lonely woman”). The following day, the subject
was met at Wilis Hotel in central Yogyakarta, where she agreed to be
interviewed. Through the resulting interview, Bunga revealed that
she is a headscarf-wearing Muslim appraiser in the city of Semarang
who began looking for a partner on mIRC after her husband slept with
a karaoke bar waitress from the Grand Candi Hotel in Semarang; as
such, she was driven by revenge. She used the #Yogyakarta channel to
avoid being seen in public in Semarang with a man who was not her
husband.
Regarding her feelings about meeting people for casual sex,
Bunga said that she felt it was shameful and a sin; this was mainly
influenced by her religion, and not her ethnicity. However, she was
curious regarding sexual acts which she had seen in pornographic
films, such as group sex. Although she said that she had never met a
man for sex via mIRC beforehand, she has had cybersex, using Yahoo!
messenger to exchange webcam feed.

Sekar
Sekar is a 25-year-old woman of mixed Javanese and Dutch
descent who holds a degree in information technology. Using the screen
name ce_pengen, on 5 September she agreed to meet the researcher at
Malioboro Street after doing cybersex on mIRC. From Malioboro, the
researcher and Sekar went to nearby Peti Mas Hotel for the interview.
According to Sekar, after graduating from an academy in
Semarang she moved to Yogyakarta to be free from her parents. She
often practices casual sex with both men and women, meeting them

55
online or at the bar of Phoenix Hotel; whenever she has sex with a
man, she insists that he wear a condom to protect her from sexually
transmitted diseases. When asked about her feelings regarding casual
sex, Sekar said that things such as sin and guilt did not match the spirit
of the modern world. Although she would prefer to be in a relationship,
she does not mind casual pairings and enjoys experimenting.

Rosa
Rosa is a 24-year-old university student of mixed Javanese,
Chinese, and Papuan descent. Met on 8 September, she was using
the screen name ce_cr_co (“woman seeks man”). After a chat, she
requested that the researcher meet her at a 24-hour dining kiosk in
Paingan, Sleman; after a late dinner she brought the researcher to her
boarding house.
According to Rosa, she is originally from Wonosobo but is
in Yogyakarta to study at YKPN. She often changes boyfriends and
casual sex partners and has been pregnant once before; the pregnancy
was terminated. She says that she is allergic to birth control pills and
instead insists that her partner wear a condom. Regarding her feelings
about casual sex, Rosa says that she enjoys it and finds it relaxing.
However, she hides her activities from her parents as she thinks that
they would bring her back to Wonosobo.

Fleur
Fleur is a 25-year-old Javanese woman from the city of Ambarawa.
When she was met on 13 September, she was using the screen name
ce_cr_co. After cybersex, she asked the researcher to pick her up at the
web café where she was chatting. From there, the researcher and subject
went to Pura Puspa Rosa Hotel in Papringan for the interview.
According to Fleur, she and her boyfriend in Ambarawa are in
an open relationship, allowing both to freely choose sex partners. As
Fleur considers herself difficult to please, she enjoys the arrangement;
she uses mIRC to find partners if she is feeling lustful and at a web
café. Regarding her feelings about casual sex, Fleur said that she was
not worried about it – so long as she met the person in a public place
first and her partner wears a condom. As for the open relationship, she
considers it good for the two of them. However, she does not discuss
her sexual relationships with her family.

Results
Not everyone on mIRC is looking for a casual sex partner or

56
cybersex, at least in the #Yogyakarta channel. In the main chat room,
mIRC users run a bot or similar program to play a game similar to
Hangman. The computer gives a total number and layout of characters,
as well as a clue; users then try and guess the word(s). For example, a
clue may read “Suatu provinsi di Indonesia ---- -----“ (“A province in
Indonesia ---- ----“), with the lines indicating the total number of letters;
in this case, the answer is “Jawa Barat” (“West Java”). Discussion of
free sex and cybersex generally does not occur in the group room.
Those persons looking for partners generally use a certain type
of user name, indicative of their purpose. For example, a male user
may use user names such as “co_cr_ce_bispak” (“male looking for
female willing to have sex for free”), “co_gd_cr_ce” (“large male
seeking female”), or “co_mau” (“male wants [something]”). Female
users may use names such as “ce_sk_duit” (“female likes money”,
for one willing to have sex for money) or “ce_imut_pgn” (“cute girl
wants [something]”). Transsexuals and cross-dressers also participate
in the free / cybersex culture on mIRC, generally by indicating
their orientation in their screen names, such as waria_lucu (“funny
transsexual”) and wr_cr_co (“transsexual seeking male”). On the other
hand, those seeking casual conversation or life partners will use more
neutral names, such as rizka_manis (“sweet Rizka”) and anak_stece
(“student of Stece”, a senior high school in Yogyakarta).
When in private chat rooms, there are different activities that
can be done. Most conversations start with the initiating user saying
“ASL?” (“age, sex, location?”) or something similar. Users uninterested
in chatting with the initiator of the conversation can close the chat
window immediately; if interested, they reply with the answer
followed by “u?”, “kamu?” (both meaning “you?”) or “ASL?”. In
response, the initiator of the conversation can close the window if no
longer interested, for example if the person is too young or too old,
or the initiator can reply with his/her information. From this initial
icebreaker, the conversation can diverge into any topic.
Generally both participants then exchange links to their Facebook
profiles (or other social media, if relevant). For people looking for casual
sex or cybersex partners, this is meant to ensure that they can see their
prospective partners before doing anything; among other users, it is
seen as an easier way to know more about their conversation partner
than talking to said person. However, these profiles can be faked. For
example, while conducting this study the researcher met a user with the
screen name “tante_girang” (“older woman who likes younger men”,
equivalent to the American slang word “cougar”). “Tante_girang” used

57
the picture of an Indonesian celebrity as his/her profile picture, and all
posts on the user’s Facebook wall were about sex; the lack of regular
status posts and other daily issues indicated that the profile was a fake,
created exclusively for mIRC and other online chat forums.
After exchanging Facebook profiles, both participants may have
a conversation on a neutral topic as more in-depth icebreaker. When
this is complete, or if one of the participants wishes to be direct, the
conversation will become increasingly oriented towards sex and
innuendo. This may involve statements which can be understood
sexually, such as “q dah lama ga ada ce” (“I haven’t had a girl[friend]
in a long time”), or explicit questions like “lo suka seks?” (“Do you like
sex?”). At this point, people not interested in pursuing sexual relations
or cybersex will close the chat window or try to change the topic.
However, those interested in sex or cybersex, or those intent on
toying with the other participant, will continue the conversation. Often
this leads up to cybersex, which on mIRC takes the form of a sexually
themed story written by one or both participants. If both participants
wish to exchange webcam feed to increase their arousal, they will
switch to Yahoo! messenger. This video feed can simply consist of
the participants’ faces, or show them masturbating. An example of
cybersex done during the course of this study is as follows:
Researcher: Aku buka bajumu, membelai dadamu
yang mulus. Pentilmu semakin keras
dengan sentuhanku.
Subject: ah… don’t stop
Researcher: Kudekati pentilmu dengan lidahku…
kujilat. Enak gak?
Subject: Ahhh…. Enak. Gw buka celana lu. Gw
tarik… wah gede juga, mau isap
Researcher: Boleh say

Or, translated:
Researcher: I take off your shirt and caress your
smooth chest. Your nipples harden under
my touch.
Subject: ah… don’t stop
Researcher: My tongue approaches your nipples… I
lick them. Do you like it?
Subject: Ahhh…. Love it. I unzip your pants. I
tug… ah, it’s so big. I want to suck on it.
Researcher: Go ahead dear

This cybersex continues until both participants are satisfied.


During the course of this research, when this is done while one or both

58
participants are masturbating and reach an orgasm, a meeting did not
follow as the prospective subject no longer felt the need. Participants
are also able and at times willing to meet face-to-face after their
conversation or cybersex; in these situations, the cybersex serves as a
form of foreplay. During this study, all participants asked to meet in
public places, such as hotels and internet cafes. None asked to meet at
their homes or boarding houses, possibly for safety concerns.

Analysis
As noted above, casual sex is not accepted in traditional Javanese
culture. Coitus is considered something that is for two people who
are married, and may only be done with one’s spouse(s). Pre-marital
sex, adultery, and group sex are all considered to be against cultural
norms. As such, sexuality on mIRC, insofar as face-to-face meetings
are concerned, generally goes against Javanese sexual mores. Users of
the program meet and, when possible, engage in coitus with people
whom they have never met, are not married to, and are unlikely to
see again. Some, such as Bunga, are already married and as such are
committing adultery.
Users interviewed all indicated some understanding that their
activities on mIRC are not in accordance with traditional sexual mores.
Bunga, who most openly indicated that she felt guilt over what she was
doing, indicated her religious background played a role in how she felt;
said influence was also displayed subconsciously, when she used the
word ‘sin’ to describe her intended activities. Other users interviewed
demonstrated an implicit understanding that their families would not
approve of their activities on mIRC and acted on said knowledge by
partaking in sexual-oriented activities on mIRC in an environment
where their families would not be able to interfere. As such, traditional
values are still felt by these mIRC users.
An interesting phenomenon which may warrant further study is
that respondents, whose participation in a free sex culture on mIRC
deviated from Javanese sexual mores, were more likely to be involved
in other activities considered deviant by the dominant culture. Bunga
is intent on committing adultery, Sekar is a bisexual who occasionally
participates in group sex, Rosa has had an abortion, and Fleur is in an
open relationship. All of these activities are considered to be against
the prevailing mores in Java.
However, the use of mIRC for cybersex is not as clear-cut, caused
in part by the technology itself being too new for traditional culture to
provide feedback. In Javanese culture, sex requires physical contact; if

59
there is no physical contact during cybersex, then the actions committed
do not fall afoul of traditional mores. Admittedly, other activities that
can be partaken in during cybersex, such as masturbation, do fall afoul
of said mores. As such, the following analysis will deal exclusively with
pure cybersex, defined as the exchange of sexually-charged dialogue
and narrative between two partners through the internet.
If participants are not married, the traditional views of premarital
sex are liable to weigh heavily on how cybersex is received by the wider
community. Despite participants not having physical contact, they
are still expressing sexual urges and partaking in sexually-charged
activities with people who are not their spouses. Said activities are
liable to be poorly received by the traditional community, especially
considering that cybersex in some aspects resembles pornography: it
features a frank depiction of sexual relations between two people and
is meant to cause sexual excitement.22
However, there is no pre-existing condemnation of sexual
activities between married couples; as such, the moral value of
cybersex between married couples must be judged solely on the
activity itself. Although, as noted above, in some aspects cybersex
resembles pornography – and as such could face heavy resistance from
traditionalists – the fact that cybersex can be done over great distances
could serve as a mitigating factor. In modern society, with growing
numbers of spouses working in different cities or travelling abroad for
business, some couples have greater emotional distance. As a result of
the increased loneliness and isolation, there are greater opportunities
and motives to commit adultery; in fact, it is common to hear tales
of married businessmen travelling to Bangkok and returning with a
sexually transmitted disease caught from a prostitute there. If more
couples are willing to perform cybersex during period of prolonged
absence, adultery rates could be reduced.

Conclusion and Suggestions for Further Action


As shown in the above analysis, there are two issues related
to casual sex and cybersex as facilitated by mIRC. The first is that
traditional morals, which forbid casual and premarital sex, have only
a minor influence on the participants of free sex culture on mIRC.
The second is that cybersex, as a relatively new social behaviour,
requires socialization of its positive and negative aspects, preferably in
accordance with traditional mores.

22 As noted above, voyeurism is not considered a moral act in Javanese culture; this
extends to pornography as well, which has a heated history throughout the archipelago.

60
The ideal approach is to deal with each issue separately, to avoid
overcomplicating the issues. Firstly, to deal with free sex and cybersex
issues as they apply to unmarried persons a two-fold approach could
be introduced. Firstly, children could be raised in an environment
conductive to understanding and respecting traditional mores. This
intrinsically involves the parents, as children are liable to emulate what
they observe their parents doing; as such, if parents want their child to
keep in accordance with traditional mores and values, they themselves
must do so. Secondly, parents must understand that traditional values
cannot be applied to every single situation in the modern world –
situations which could not be imagined even a hundred years ago
– and be willing to teach children responsibility. It is not enough to
simply address current issues - the march of technology goes on at an
increasing pace, and the challenges faced by young adults in 2025 may
be entirely different than what they face now. As such, they must have
an instinctive understanding of how to responsibly handle unfamiliar
technologies.
For those already married, or soon to be married, the issue
becomes how to apply the technology to their relationship. This cannot
be adequately dealt with without a greater discourse on the place of
technology in traditional Javanese society; although admittedly there
could be resistance to the practice of cybersex, it may find acceptance
in general society due to its ability to draw married couples closer
emotionally when living apart. If the practice of cybersex is accepted by
the community in general, then spouses may require an introduction
to cybersex and ways in which it can be done which do not go against
traditional mores, such as by not masturbating during cybersex.
To ensure greater understanding of the influence of technology
in the sexuality of Javanese culture, further research of how other
technologies are used by people seeking sexual satisfaction is necessary.
With the number of cellular phone users in Indonesia now over 100
million, and an increasing amount of said phones having cameras, the
practice of sexting (the sending of sexually explicit text messages, often
accompanied by photographs) warrants study. Sexuality through other
commonly-used technologies, such as the aforementioned Yahoo!
messenger, also warrants study. Through these studies it is hoped that
the role of technology in the sexual activities of Indonesians, especially
the Javanese, can become more readily apparent and be addressed in
accordance with traditional mores.

61
Bibliography

Damanik, Fritz H.S. “Menguak Makna Keperawanan Bagi Siswi SMA (Sekolah
Menengah Atas)”. 2006. Jurnal Harmoni Sosial. Vol. I., No. 1., Pp. 28 – 35.
Endraswara, Suwardi. Seksologi Jawa. 2002. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Endraswara, Suwardi. Sampyuh: Seks Jawa Agung. 2009. Yogyakarta: Kuntul
Press.
“Frequently asked questions”. 7 March 2011. mIRC. Downloaded 25 August
2011. http://www.mirc.com/faq.html.
Lehrman, Sally. “The Virtues of Promiscuity”. 22 July 2002. AlterNet.
Downloaded 4 September 2011. http://www.alternet.org/story/13648/.
“mIRC”. 9 March 2011. Cnet. Downloaded 25 August 2011. http://download.
cnet.com/mIRC/3000-2150_4-10001733.html.
“Promiscuity” in Sex and Society. Volume 3. 2010. Marshall Cavendish: New
York. Pp. 667 – 690.
“Traffic patterns of September 2003”. 22 October 2011. Internetnews.com.
Downloaded 25 August 2011. http://www.internetnews.com/stats/
article.php/3096631.
Van Doorn-Harder, Pieternella. Women Shaping Islam: Indonesian Women
Reading the Qu’ran. 2006. Urbana: University of Illinois Press.
Westermarck, Edvard. The History of Marriage. 1903. Macmillan & Co.:
London

62
REVITALISASI KOMPETENSI PEDAGOGI
DALAM KONTEKS PENINGKATAN
KUALITAS PEMBELAJARAN BUDAYA
DAERAH

H. RAHMAN
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Pendahuluan

K ajian pedagogi di antaranya menelaah model pembelajaran.


Model pembelajaran merupakan pedoman bagi guru dan murid
dalam pelaksanan proses belajar-mengajar. Model pembelajaran
(model of teaching) adalah suatu perencanaan yang digunakan dalam
menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi
petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran ataupun
setting lainnya. Models of teaching is plan or pattern that can be used to
shape a curriculums (long-term courses of studies), to design instructional
materials, and to guide instruction in the classroom and other setings (Joyce
& Weil, 1980:1).
Pernyataan Joyce & Weil di atas, sejalan dengan pendapat Kemp
(1977) yang mengartikan bahwa model pembelajaran merupakan
suatu perencanaan pembelajaran (desain instrucsional) yang
digunakan dalam menentukan maksud dan tujuan setiap topik/
popok bahasan (goals topics, and purposes), menganalisis karakteristik
warga belajar (leaner characteristics), menyusun tujuan instruksional
khusus (learning objectives), memilih isi pembelajaran (subject content),
melakukan prates (pre assesment), melaksanakan kegiatan belajar
mengajar/sumber pembelajaran (teaching learning activities/resources),
mengadakan dukungan pelayanan (suport services), melaksanakan
evaluasi (evaluation), dan membuat revisi (revise).
Baik Joyce & Weil (1980) maupun Kemp (1977) sependapat,
bahwa model pembelajaran merupakan suatu pola perencanaan
pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar-mengajar.
Rumpun model pembelajaran ada empat macam (Joyce & Weil
1980:ix-xvii, Dahlan, dkk.,1984:24-25, Rahman, 2011:8), yakni sebgai
berikut.
1) Model pemrosesan informasi (the information processing family),
yaitu model pembelajaran yang menjelaskan cara individu

63
memberi respons rangsangan dari lingkungannya dengan
cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah,
membangun konsep dan merencanakan pemecahan masalah,
serta menggunakan simbol-simbol verbal dan nonverbal.
2) Model pribadi (the personal family), yaitu model pembelajaran
yang berorientasi pada perkembangan diri individu.
3) Model interaksi sosial (the social family), yaitu model pembelajaran
yang mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau
orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses realitas
yang ada dan dipandang sebagai negosiasi sosial.
4) Model prilaku (the behavioral models), yaitu model pembelajaran
yang dibangun atas dasar teori yang umum, yakni teori perilaku.

Model pemrosesan informasi (the information processing family)


dijadikan rujukan dalam tulisan ini, karena model pembelajaran
tersebut sejalan dengan kegiatan murid merespons informasi dalam
kegaiatan belajar-mengajar budaya daerah.

Tinjauan Pustaka
Berbagai model pembelajaran dapat digunakan dalam
pelaksanaan pembelajaran, di antaranya adalah model Cooperative
Integrated Reading and Compotion (CIRC) dalam pembelajaran unsur
intrinsik dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem. Teoretis dan
penerapan model tersebut sebgai berikut.
1. Guru membentuk kelompok beranggota tiga/empat orang siswa yang
heterogen
Para siswa dina ieu pangajaran, hidep baris dibagi jadi sababaraha
kelompok. Unggal kelompok jumlahna tilu/opat siswa. Angggota
kelompok henteu dipilih, pokona unggal kelompok aya tilu/opat
siswa. Upama aya kelompok nu anggotana kurang ti tiluan, eta
anggota kelompok teh ngagabung jeung kelompok sejen. Jumlah
anggota kelompok teu leuwih ti opat siswa

2. Guru memberikan wacana/teks sesuai dengan bahan pembelajaran


Hidep unggal kelompok dibagi wacana/teks sempalan Dongéng
Syéh Kuro jeung Syéh Darugem. Ieu teksna.

SYÉH KURO JEUNG SYÉH DARUGEM


Kacaturkeun di Nagara Bagdad aya syéh anu sakti. Ngaranna Syéh
Darugem. Ceuk ujaring carita, Syéh Darugem téh rundayan ti Syéh
Magribi anu kaceluk jembar pangabisana.

64
Hiji poé, Syéh Darugem nampa béja majar di Pulo Jawa aya syéh
sakti anu kaceluk ka awun-awun ka koncara ka janapria. Ceuk béja, éta
Syéh téh lian ti loba santrina ogé jadi pananyaan jalam réa ti suklakna
ti siklukna. Malah cenah santrina datang ti mana-mendi teu saeutik
nu ngahaja datang ti séjén nagri. Demi ngaran éta syéh, ceuk béja anu
katarima ku manéhna, nya éta Syéh Kuro.
“ ladalah, nya syéh modél naon atuh manéhna téh, nepi ka jadi catur
salembur, éar sajagat. Panasaran teuing haté aing, nya kumaha kasaktian
jeung pangabisa manéhna téh nepi ka pada muji ku sanagri,” kitu
gerendengna Syéh Darugem téh.
“Dina hate leutik mah, Syéh Darugem téh asa katitih. Katitih ku béja
anu can puguh bukurna. Anu matak, haténa beuki panasaran baé, hayang
ngabuktikeun béja téa. Hayang nyaksian ku panon sorangan mun aya di
Pulo Jawa aya syéh anu sakti mandraguna, anu jembar pangabisana.
Tuluy baé Syéh Darugem téh bebekelan, seja miang ka tanah Jawa.
Lain baé bekel lahir, tapi pangpangna mah bekel batin. Sagala eusi kitab
ku manéhna dilalab. Kitab Kaagamaan, Kitab Kasantikaan, dideres
beurang peuting pikeun nambahan élmu jeung ngandelan pangabisa.
Geus ngarasa masagi mah, Syéh Darugem tuluy balayar ngajugjug
Tanah Jawa.
Kacaturkeun Syéh Darugem geus nepi ka Pasantrén Kuro. Syéh Kuro
dibagéakeun sakumaha tatamu umumna. Ngan heunteu apaleun Syéh
Darugem téh, lamun Syéh Kuro geus apaleun naon maksud manéhna
datang ka Tanah Jawa. Bubuhan apal Syéh Kuro mah jalama anu
sadurung winarah téa. Ti anggalna ogé geus bisa neguh, naon maksud
sabenerna Syéh Darugem nepungan manéhna. Ngan hal éta disidem waé
ku Syéh Kuro téh. Kitu deui Syéh Darugem, teu wani balaka mimitina
mah.
Hiji poé Syéh Darugem diajak leuleumpangan ku Syéh Kuro.
Laleumpangna laju ngalér bari ngobrol ngalér ngidul. Uplek pisan
ngobrolna téh. Bubuhan duanana ogé jalma anu laluhung élmuna,
jalembar pangabisa. Atuh dina ngadu catur gé papada pinter nyarita,
tara béakeun piomongeun.
Barang ngaliwat ka hiji tempat, nyampak aya tangkal buah anu kacida
leubeutna. Ngan hanjakal parentil jeung ngarora kénéh. Kaciptana téh
keur sumedeng hahaseumna. Tapi Syéh Kuro tuluy ngala hiji. Kitu
deui Syéh Darugem. Barang diasaan ku Syéh Darugem, puguh baé
manéhna elél-elélan bakat teu kuat ku haseum. Tapi anéh, Syéh Kuro
mah ngadaharna bangun nu ngeunah pisan.
“Naha bet beuki nu haseum-haseum, Syéh?” ceuk Syéh Darugem
héran.
“Éh, da buah nu kami mah asak. Rasana amis kacida. Matak seger
didaharna,” tembal Syéh Kuro. Barang diilikan ku Syéh Darugem, enya
baé, buah nu diala ku Syéh Kuro mah bet asak. Warnana konéng semu
beuereum. Atuh manéhna milu ngasaan, enya baé amis meni kareueut.
Syéh Darugem bari gogodg lantaran héran.
Sanggeus buahna didahar, pelokna ku Syéh Kuro dialungkeun.
Dadak sakala, pelok buah téh tuluy jadi. Nagcambah, tuluy nonghol
daunna. Heuleut memenitan, éta pelok téh geus jadi tangkal buah

65
anyar anu kacida subur jeung ngémplohna.
Syéh Darugem anu nyaksian éta kajadian, beuki kerung baé tarangna.
Pok nannya ka Syéh Kuro, “Diajar élmu sihir di mana Syéh téh?”
“Kami mah teu boga élmu sihir,” témbal Syéh Kuro, “Éta mah ngan
lantaran Kakawasaan Gusti Alloh baé. Mun Alloh ngidinan, sagala rupa
ogé tangtu bakal kajadian.
Syéh Darugem unggut-unggutan.
Duanana laleumpang deui, beuki jauh ka kalérkeun. Jog anjog ka
daérah nu loba rawa-rawana. Geus wanci lohor harita téh, duanana
kudu sarolat. Tapi di dinya téh bet hésé cai beresih. Cai anu aya, sajaba
ti kotor téh barau deuih. Keur bingung kitu, Syéh Kuro tuluy ngala awi
saleunjeur.
Pokna ka Syéh Darugem, “Sok geura wudu,” cenah.
Puguh wé Syéh Darugem téh bingung, “Wudu di mana ari Syéh?
Piraku kudu wudu ku cai kotor jeung bau mah.”
Syéh Kuro ngan imut baé ngadéngé kitu téh. Kék baé cangkéng Syéh
Darugem dicekel, tuluy dijungjungkeun, sarta tuluy diasupkeun kana
awi. Ku kasaktian Syéh Kuro, awak Syéh Darugem anu sakitu harelung
jangkung, dikersakeun ngaleutikan sarta bisa asup kana liang awi.
Sanggeus aya di jero awi, Syéh Darugem teu kira-kira kagétna.
Lantaran di dinya aya talaga anu sakitu liuhna. Caina cenembrang
hérang, tiis matak seger kana awak. Anginna ngahiliwir, tempatna
pikabeutaheun. Clom baé, manéhna abdas di dinya.
Pasosoré, kakara manéhna baralik deui ka Pasantrén.
Ayeuna mah Syéh Darugem téh teu loba nyarita, da rumasa geus
katétér pangabisa. Kabuktian omongan batur téh, Syéh Kuro téh
singhoréng enya saktina. Lain baé jembar élmuna agamana, tapi luhung
ogé kasaktianana. Kituna téh bari henteu kudu sombong jeung hohoak
yén aing jalma sakti. Tapi geus kabuktian apan, salila di perjalanan
manéhna teu nginjeum sirah teu nginjeum panon, nyaksian pisan
kumaha saktina Syéh Kuro.
Ti harita Syéh Darugem ngaku guru ka Syéh Kuro. Manéhna teu
balik deui ka Nagri Bagdad, kalah tuluy mondok di Pasantrén Kuro,
neuleuman deui élmuning agama ka Syéh Kuro. Malah tuluyna mah jadi
bentong (pangiring) Syéh Kuro, sarta ku balaréa dilandi Syéh Bentong.
Ka mana baé Syéh Kuro indit, Syéh Bentong salawasna nunutur jadi
pangiringna.
Sababada pupus, Syéh Kuro dikurebkeun di Pulo Kalapa. Ari Syéh
Bentong, dimakamkeunana téh di Pulo Masigit, teu jauh ti makam
guruna.

3. Siswa saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberikan


tanggapan terhadap wacana/teks yang ditulis pada lembar jawaban
Wacana/teks sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem
bieu, ayeuna baca nepi ka tamat. Sarengsena tamat maca, hidep
kudu nulis unsur intrinsik tina eta dongéng, nya éta:
1) Saha palaku utama sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh
Darugem di luhur?

66
2) Di mana tempatna eta sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung
Syéh Darugem di luhur?
3) Iraha waktu kajadianna eta sempalan Dongéng Syéh Kuro
jeung Syéh Darugem di luhur?
4) Kumaha jalan carita sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh
Darugem di luhur?
5) Naon tema sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem
di luhur?
6) Naon amanat sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh
Darugem di luhur?

4. Murid membacakan hasil kerja kelompok


Ayeuna bacakeun tulisan 6 jawaban patalekan tadi (Saha palaku
utama sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem di
luhur? Saha palaku tambahan sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung
Syéh Darugem di luhur? Di mana tempatna eta sempalan Dongéng
Syéh Kuro jeung Syéh Darugem di luhur? Iraha waktu kajadianna
eta sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem di luhur?
Kumaha jalan carita sempalan Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh
Darugem di luhur? Naon tema sempalan Dongéng Syéh Kuro
jeung Syéh Darugem di luhur? Jeung Naon amanat sempalan
Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem di luhur?

5. Guru membuat kesimpulan bersama murid


Sarengsena siswa macakeun hasil diskusi (bagilir unggal kelompok)
nu ngahasilkeun 6 jawaban unsur instrinsik, ayeuna guru jeung
siswa nyaruakeun (nycogkeun) jawaban 6 unsur intrinsik Dongéng
Syéh Kuro jeung Syéh Darugem.

6. Guru membacakan kesimpulan


Sarengsena nyocogkeun jawaban siswa jeung konci jawaban nu aya
di guru, guru macakeun kacindekan jawaban 6 patalekan unsur
intrinsik Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem.

Panutup
Berbagai model mengajar dapat dijadikan alternatif dalam
peningkatan kualitas pedagogi pembelajaran budaya daerah. Salah
satu model adalah model CIRC yang digunakan dalam pembelajaran
menulis unsur intrinsik Dongéng Syéh Kuro jeung Syéh Darugem.
Dari enam langkah model CIRC, lima langkah (langkah satu sampai
dengan langkah lima) menggambarkan pembelajaran siswa aktif,

67
kreatif mencari jawaban, efektif mencari jawaban dari teks dengan
cara bekerja kelompok, menyenangkan dalam mencari jawaban dari
teks yang sudah disediakan, dan inovatif, karena siswa mencari
bersama-sama dalam kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Attalib, Hilsham (1992) dalam Training Guide for Islamic Worker’s. Malaysia
Harmer, Jeremy. (1992). The Practice of English Language Teaching. London and
New York: Longman.
Heaton, J. B. (1995). Writing English Language Tests. London and New York:
Longman.
Joyce, Bruce & Marsha Weil. (1980). Models of Teaching. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.
Rahman. (2000). Bunga Rampai Perencanaan Pengajaran Bahasa. Bandung: FPBS
UPI.
Rahman (2005). Desain Instruksional Bahasa. Bandung: Alqo Print.
Rahman, dkk. (2006). Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan. Bandung: Alqo Print.
Rahman (2006). Alternatif Model Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: LPMP.
Rahman (2011). Model-model Pembelejaran dan Bahan Pembelajaran(Cetakan
ke-5). Bandung: Alqo Print.

68
CARA MENDIDIK ANAK DALAM
PERSFEKTIF ETIKA SUNDA
Nunuy Nurjanah
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Kisi-kisinya adalah sebagai berikut.


1. Etika Sunda dalam mendidik anak.
2. Cara orang tua zaman dahulu dan zaman sekarang dalam
mendidik anak.
3. Pengaruh bahasa (tatakrama bahasa, ungkapan, dan
peribahasa) dalam mendidik anak.
4. Peran ibu dalam mendidik anak.
5. Cara menumbuhkan nilai-nilai ke-Sundaan terhadap anak
pada zaman sekarang.

Sebelum membahas materi (lima kisi-kisi yang pertama) tersebut,


akan disampaikan dahulu konsep ka-Sunda-an.
Kata ka-Sunda-an asalnya dari kata Sunda. Kata Sunda asalnya
dari bahasa Sansakerta yang akar katanya ’sund’ berarti ’bercahaya
terang benderang; dari bahasa Kawi ’Sunda’ berarti’air’; dari bahasa
Jawa ’Sunda” berarti ’tersusun, merangkap, menyatu’; dari bahasa
Sunda, Sunda berarti ’indah, molek’. Sunda artinya penamaan
wilayah baratlaut dari India Timur yang dikelilingi sistem Gunung
Sunda sepanjang 7.000 km, mulai dari kepulauan Filipina, Formosa,
sampai lembah Brahmaputera India. Sunda Besar adalah himpunan
pulau-pulau besar di wilayah Indonesia: Sumatra, Jawa, Madura, dan
Kalimantan. Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara (NTT dan NTB),
dan Timor (Suryala, 2003:54). Ka-Sunda-an artinya (1) adalah keadaan
manusia yang selalu mendapat pancaran pencerahan cahaya (nur)
Ilahi, sehingga paham akan perjalanan hidupnya. kehidupannya akan
menjadi cahaya penerang dan pemberi tenaga kehidupan makhluk
yang lainnya; (2) kesadaran untuk memelihara keseimbangan dan
kelestarian lingkungan hidup, baik sumber daya manusia maupun
lingkungan hidupnya; (3) karaker yang menunjukkan emangat hidup
bergelora, beretos kerja tinggi, beretika, berani membela keadilan, serta
mempunyai loyalitas tinggi terhadap bangsa, negara, dan keyakinan

69
dirinya; (4) sifat manusia yang proaktif, percaya diri, berwawasan
wiraswasta, serta mampu memanfaatkan waktu; (5) watak manusia
yang hatinya suci bersih, menjauhkan diri dari memperdayai dan
mencelakai orang lain, logikanya seimbang, serta selalu mempererat
ikatan silaturahim dengan siapa pun juga; (6) manusia yang paham
akan dirinya sebagai makhluk ciptaan Allh SWT serta mampu
meningkatkan kualitas spiritual rawayan jatinya ke arah kualitas
manusia yang selalu sadar untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaannya; (7) manusia yang keberadaan hidupnys bermanfaat
bagi diri maupun lingkungannya. Teguh pendirian dalam mencapai
maksud dan tujuan hidupnya. sadar akan visi dan misi keberadaannya
di dunia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT; (8) manusia yang
berkecukupan, baik kekayaan lahiriah maupun batiniah; (9) manusia
yang mempunyai kualitas diri sebagai hasil dari perjuangan hidupnya
dan kesadaran dirinya; (10) manusia yang hidupnya selalu berhati-
hati, menggunakan akal pikiran dan perasaan secara seimbang dan
mampu memprediksi keadaan; (11) keadaan yang beres ertib sesuai
dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Posisional, proporsional,
dan prefesional; (12) kemampuan untuk menyelaraskan kehidupan
lahir batih serta kesediaan untuk berbagi kasih, saling asah-asih
dan asuh dengan sesama makhluk; (13) kesadaran sebagai makhluk
yang harus mampu mengarungi kehidupan ini, baik dalam keadaan
senang maupun susah; (14) manusia yang mampu meningkatkan
kualitas SDM-nya dalam keadaan aspek; (15) kemampuan untuk
mengakselerasikan dan memotivasi hidup sehingga mencapai
kualitas optimal sebagai manusia yang bermartabat; (16) kualitas
kehidupan yang beretika, bermoral, berakhlak, serta berestetika yang
menyiratkan citarasa keindahan yang luhur serta bermanfaat bagi
kemanusiaan yang bermartabat; (17) semangat untuk berprestasi
dalam mencapai kualitas yang lebih unggul. Sanggup berkompetisi
dalam kebaikan; (18) manusia yangmampu bertawakal dan bersyukur
dalam menapaki perjalanan hidupnya; (19) manusia yang mampu
mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri; (20) kemampuan
berprilaku, bertatakrama, dan beretika dalam kehidupan di masyarakat;
(21) keadaan fisik laki-laki yang sehat dan beroman muka yang
menimbulkan rasa simpatik orang lain dan berkarakter maskulinitas
yang tangguh; (22) keadaan wanita yang cantik secara fisik juga jelita
batiniah ruhaniahnya; (23) kesadaran terhadap lingkungan hidup yng

70
tertata dengan baik; (24) manusia yang mampu menebarkan rasa kasih
sayang, saling menghargai antara sesama insan, mencintai lingkungan
hidupnya, menjaga harmoni yang selaras dan serasi, mengutamakan
ketentraman dan kedamaian, serta tunduk berserah diri kepada Yang
Maha Pencipta; (25) keadaan kualitas insan yang unggul secara fisikal
maupun psikhis, baik lahiriah maupun batiniah yaitu pada tataran
(a) IQ—luhung elmuna, (b) EQ—jembar budayana, (c) SQ—pengkuh
agamana, dan (d) AQ—rancage gawena (Suryalaga, 2003: 58—78).
Sunda—’nu nyusun jeroning dada’ (yang tersusun dalam dada,
diartikan keimanan dan ketaqwaan yang kuat). Numutkeun ka-Sunda-
an mah maranehna teh kedah kitu...” (Menurut pandangan hidup
orang Sunda sudah sepantasnya seperti itu...).
Sunda dengan ka-Sunda-an adalah kesadaran hidup yang
universal. Dengan demikian, ka-Sunda-an tidak hanya menjadi
penanda bagi orang Sunda saja, tetapi jauh lebih luas bisa dijadikan
penanda bagi siapa pun, etnis mana pun, bangsa apa pun, asal
mempunyai sifat, karakter, perilaku ka-Sunda-an, dia adalah manusia
Sunda. Walau demikian jangan sampai terabaikan, peran orang
Sunda sebagai etnis yang ditakdirkan hidup dan ditugasi untuk
menyejahterakan tatar Sunda sebagai tugas suci Ilahiah.
Selanjutnya, dalam tulisan ini yang dimaksud ka-Sunda-an
adalah pandangan hidup orang Sunda.

1. Bagaimana etika Sunda dalam mendidik anak?


Etika yang dipakai oleh tiap etnik akan tercermin dalam perilaku
kehidupannya sehari-hari.Dengan demikian, kita mengenal etika
Sunda, etika Jawa, etika Bali, etika Batak, dste. dengan memperhatikan
pola kehidupan mereka sehari-hari.
Suku bangsa Sunda mempunyai tata cara hidup, adat kebiasaan,
dan budaya yang merupakan akulturasi dan integrasi dengan budaya
lain yang datang dari luar. Misalnya, di masyarakat dikenal upacara
selamatan netes, upacara selamatan kandungan, upacara selamatan
bayi, upacara selamatan turun tanah, upacara selamatan mencukur
rambut, upacara selamatan khitan dan gusar, dste. Hal ini jelas
merupakan sisa-sisa agama kultur. Untuk itu, sebagai seorang Sunda
muslim, saya tidak mengikuti budaya yang tidak sesuai dengan
tuntunan Al-Islam dan insya-Allah saya akan berusaha meluruskan
pemahaman masyarakat agar tidak mengikuti segala sesuatu yang

71
diada-adakan.
Kita harus ingat bahwa perkataan yang paling benar adalah
kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW.
Seburuk-buruk masalah adalah masalah yang baru, semua yang baru
adalah bid’ah, semua yang bid’ah menyesatkan, dan semua yang
menyesatkan akan membawa ke neraka.
Allah SWT berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar, niscaya Allah
akan memperbaiki perbuatanmu serta mengampuni dosa-dosamu.
Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya maka ia sungguh akan
berbahagia dengan kebahagiaan yang agung” (Al-Ahzab:70-71).

2. Bagaimana cara orang tua zaman dahulu dan zaman sekarang


dalam mendidik anak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya kemukakan cara orang
tua saya mendidik saya. Yang kuiingat adalah kerja keras ibuku
setiap hari. Ibuku selalu mengerjakan semua pekerjaannya tanpa
ada pembantu. Waktu itu aku masih duduk di SD kelas 2. Adikku
sudah ada tiga, karena ibuku melahirkan hampir selisih dua tahun
sekali.
Namun, menjelang tidur, ibuku masih sempat meninabobokan
aku dan adik-adikku dengan sebuah cerita ”dongeng Sunda”.
Kemudian, aku dan adik-adikku selalu diajari ibuku untuk
mengaji Al-Quran setiap ba’da Magrib. Dari cara inilah aku dan
adik-adikku tumbuh.
Kalau liburan sekolah, ayahku suka membawaku ke Situ Gede
yang tempatnya kurang lebih 1,5 km. Aku selalu berjalan kaki
mengikuti jejak kaki ayahku yang kadang-kadang aku setengah
berlari mengejarnya. Perjalanan ke situ dengan menyusuri
sawah, hutan, dan kadang-kadang melompati sungai-sungai
kecil. Aku semakin terlatih untuk bisa berjalan cepat, melompat
dengan terampil supaya pas ke pematang sana. Di situ aku harus
terampil juga menangkap ikan-ikan yang dijaring oleh kecrik
ayah. Aku harus segera memindahkan ikan-ikan itu sebelum hasil
jaringan ikan-ikan berikutnya tiba, karena ayahku terampil sekali
melingkarkan kecrik ke air dan mendaratkannya di hadapanku.
Secara langsung aku dilatih untuk memecahkan segala
masalah yang dihadapi, baik oleh ibuku maupun oleh bapakku.

72
Ibuku dengan kelembutannya mengajarkanku kepekaan
hidup, jiwa sosial menghadapi sesama, dll. Ayahku melatih
keberaniannku untuk bisa tegar mengarungi hidup ini. Itulah
sekilas cara pendidikan ibu dan bapakku yang kalau diceritakan
tidak akan tamat-tamat seiring dengan pembalasanku pada jasa
keduanya yang tidak mungkin terbalaskan. Jazakumullaahu
khairan Ema sareng Apa. Abdi mung tiasa nyanggakeun ieu do’a,
”Allaahummagfirlii wali-walidayya warhamhumaa kamaa
rabbayaani shaghiiraa. Aamiiin Ya Rabbal ’aalamiin”.

3. Bagaimana pengaruh bahasa Sunda—’tatakrama basa, babasan,


jeung paribasa’—dalam mendidik anak?
Dalam bahasa Sunda dikenal adanya tatakrama basa atau
undak usuk basa Sunda. Tatakrama (tata=aturan, norma, adat;
krama=sopan, hormat, perilaku) atau undak usuk bahasa bertujuan
untuk saling menghormati, saling menghargai di antara sesama
anggota masyarakat, supaya masyarakat bisa hidup tenang dan
tentram menuju masyarakat bahagia lahir dan batin. Undak usuk
basa Sunda sekarang meliputi (1) kecap ragam loma (2) kecap
ragam hormat keur ka sorangan, dan (3) kecap ragam hormat
keur ka batur.
Contoh:
(a) Ieu buku keur maneh (”Ini buku untukmu).
(b) Nu hiji deui mah kangge abdi. (”Yang satu lagi untukku”).
(c) Nu ieu mah haturan Pa Ustad Ade (”Yang ini untuk Pak Ustad
Ade”).

Babasan atau ungkapan adalah gabungan kata yang maknanya


tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Moeliono
(peny.), 1990:991).
Paribasa ”peribahasa” merupakan (1) kelompok kata atau kalimat
yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan maksud tertentu
(dll. peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan) atau
(2) ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas, padat berisi perbandingan,
perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku
(Moeliono (peny.), 1990:671).
Peribahasa merupakan cerminan cara mendidik anak dalam
persfektif ka-Sunda-an, terutama peribahasa yangberisi perintah

73
untuk berbuat baik dan larangan berbuat salah. Menurut Rusyana
(1981:4-35) bahwa isi peribahasa itu terbagi tiga: (1) wawaran luang,
(2) pangjurung laku alus, dan (3) panyaram lampah salah.

Contoh peribahasa yang berisi (1) wawaran luang, (2) pangjurung


laku alus, dan (3) panyaram lampah salah.

A. Wawaran Luwang
1. Asa ditonjok congcot (=menerima sesuatu yang sudah lama
diidamkan tanpa disangka-sangka, sehingga dia menjadi sangat
berbahagia).
2. Asa kagunturan madu (=mendapat rizqi besar; sangat berbahagia) .
3. Ati mungkir beungeut nyanghareup (=melakukan sesuatu dengan
terpaksa).
4. Balungbang timur, caang bulan opat welas, jalan gede sasapuan
(=keadaan hati yang bersih; tanpa dendam).
5. Banda tatalang raga(=jangan terlalu sayang pada harta kita kalau
untuk keselamatan jiwa) .
6. Batah kapok anggur gawok (=dalam berbuat kebaikan kita tidak
boleh kapok, tapi harus bersungguh-sungguh) .
7. Batok bulu eusi madu(=sesuatu yang di luarnya sederhana, tapi di
dalamnya sangat bagus) .
8. Beja mah beje(=harus hati-hati kalau menerima berita yang belum
tentu kebenarannya) .
9. Bedog mintul mun diasah, laun-laun jadi seukeut (=meskipun
pada awalnya tidak paham, tapi kalau rajin belajar mesti akan
ada hasilnya).
10. Bonteng ngalawan kadu (=tidak seimbang; yang lemah melawan
yang kuat).
11. Buruk-buruk papan jati (=sejelek-jeleknya dengan saudara tidak
akan terlalu jelek) .
12. Hade ku omong goreng ku omong (perkataan itu bisa
menimbulkan kebaikan atau keburukan; maka berhati-hatilah).
13. Halodo sataun lantis ku hujan sapoe(=kebaikan yang sudah
tertanam lama bisa hilang sama sekali disebabkan perbuatan
yang jelek satu kali) .
14. Hunyur mandean gunung(=ingin menyerupai orang yang lebih
kaya atau lebih tinggi pangkatnya) .

74
15. Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat (=orang tuayang
menjadi penyebab keselamatan dan kemulyaan anaknya) .
16. Kabeureuyan mah tara ku tulang munding (=jangan semberono;
manusia celaka umumnya karena hal kecil-kecil; bukan oleh
perkara besar).
17. Kaduhung tara ti heula(=sebelem bekerja pikirkanlah matang-
matang; jangan menyesal kemudian) .
18. Kujang dua pangadekna (=perkataan atau perbuatan yang dua
rupa maksudnya) .
19. Lamun keyeng tangtu pareng (=kalau kita rajin, pasti berhasil).
20. Leutik-leutik ngagalatik (=meskipun kecil tapi berani dan
pekerjaannya bagus) .
21. Lodong kosong ngelengtrung (=orang yang kurang
pengetahuannya biasanya hanga ngomong doang).
22. Manuk hiber ku jangjangna (=orang hidup harus menggunakan
akalnya) .
23. Milik teu pahili-hili, bagja teu paala-ala (=setiap manusia sudah
punya rizki masing-masing; yang penting dia mau bekerja keras)
.
24. Mun teu ugakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih
(=kalau tidak berusaha, tidak akan ada hasil).

B. Pangjurung Laku Alus


25. Ari diarah supana, kudu dipiara catangna (=kalau mau hasilnya,
harus memelihara yang menghasilkan itu) .
26. Elmu tungtut dunya siar (=jangan terlewat untuk mencari ilmu
dan harta kekayaan) .
27. Kudu babalik pikir (=harus berubah; dari berperilaku jelek menjadi
berprilaku baik).
28. Kudu bibilintik ti leuleutik, babanda ti bubudak (=harus
rajin menabung sejak kecil; kalau sudah dewasa, kita bisa
meni’matinya) .
29. Kudu bodo alewoh (=kalau tidak tahu atau tidak paham,us
bertanya) .
30. Kudu dibeuweung diutahkeun (=sebelum melakukan sesuatu
harus dipikirkan matang-matang, supaya selamat).
31. Kudu dipikir pait peuheurna (=harus ingat pada resikonya) .
32. Kudu hade gogog hade tagog (=baik berbicara maupun
berperilaku harus baik).
75
33. Kudu ka bala ka bale (=harus cekatan, baik bekerja yang kasar
maupun yang ringan-ringan) .
34. Kudu leuleus jeujeur liat tali (=harus bijaksana; lemah lembut) .
35. Kudu ngadek sacekna nilas saplasna (=harus berbicara
sebenarnya dan seperlunya) .
36. Kudu beak dengkak (=harus berusaha semaksimal mungkin) .

C. Panyaram Lampah Salah


37. Ulah bahe carek langsung saur (=harus bisa menahan diri dalam
perkataa; berbicara sebenarnya dan seperlunya) .
38. Ulah bengkung bekas nyalahan (=jangan sampai terjadi; waktu
kecil baik, sudah besar jelek perangainya) .
39. Ulah bentik curuk balas nunjuk ( =jangan memerintah saja, tapi
harus mulai melakukan sendiri) .
40. Ulah biwir nyiru rombengeun (=jangan suka membicarakan
kejelekan orang lain) .
41. Ulah geledug ces (=jangan ribut awalnya saja; tapi tidak ada
buktinya) .
42. Ulah gindi pikir belang bayah (=jangan berprasangka jelek) .
43. Ulah haripeut ku teuteureuyeun (=jangan sampai tergoda oleh
makanan dan keuntungan yang belum tentu sehingga lupa
untuk mempertimbangkan baik buruknya) .
44. Ulah jati kasilih ku junti (=pribumi jangan terkalahkan oleh
pendatang) .
45. Ulah kabawa ku sakaba-kaba (=jangan terbawa arus yang tidak
baik) .
46. Ulah kawas cai dina daun taleus (=nasihat atau pengajaran harus
benar-benar dicamkan, jangan lewat begitu saja) .
47. Ulah kawas seuneu jeung injuk (=jangan cepat bertengkar setiap
kali bertemu) .
48. Ulah marebutkeun paisan kosong (= jangan memperebutkan
yang tidak ada manfaatnya).
49. Ulah sok beurat birit (=jangan susah kalau diperintah) .
50. Ulah sok elmu ajug (=jangan hanya bisa mengajari orang lain
sedangkan diri kita sendiri berbuat tidak senonoh).

4. Bagaimana peran ’indung’ dalam mendidik anak?

76
Orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan
cara mendidik, membersihkan pekerti, dan mengajarinya akhlaq-
akhlaq yang mulia, serta menghindarkannya dari teman-teman yang
berpekerti buruk. Orang tuanyalah yang membuat anaknya cenderung
untuk menerima kebaikan atau keburukan, karena seorang anak itu
dilahirkan menurut fitrahnya.
Perhatian seorang ibu terhadap anaknya dimulai sejak anaknya
masih dalam kandungan. Seorang ibu harus memperhatikan
makanan yang dikonsumsinya selama ia mengandung, yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang sesuai untuk dirinya dan bayi dalam
kandungannya. Dia tidak boleh melalaikan gizi yang diperlukan oleh
dirinya yang akibatnya akan membahayakan bayi yang ada dalam
kandungannya.
Ketika bayi telah keluar dari rahim sang ibu, maka secara otomatis
suplai gizi alaminya itu terputus, dan menjadi kewajiban bagi kedua
orang tua bayilah untuk menangani penyusuannya. Sang ibu menyusui
bayinya dari air susu yang telah diciptakan oleh Allah pada teteknya,
sehingga bayi mudah mencernanya. Adapun sang ayah berkewajiban
memberi nafkah kepada si ibu dan mencukupi semua keperluannya.
Setiap ibu berkewajiban untuk menyusui bayinya, suka atau tidak
suka. Seorang ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya,
terkecuali bila ia dalam keadaan telah diceraikan. Ia tidak boleh
dipaksa untuk menyusui bayinya dari suami yang menceraikannya,
terkecuali atas kemauan sendiri.
Selanjutnya ibu bersama bapaknya berkewajiban mendidik dan
memberi tuntunan kepada anaknya hingga dewasa. Mendidik dan
memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah dan perhiasan
ynag diberikan oleh orang tua kepada anaknya dengan nilai yang jauh
lebih baik daripada dunia dan segala isinya.

5. Bagaimana cara menumbuhkan ka-Sunda-an terhadap anak zaman


sekarang?
Untuk menumbuhkan ka-Sunda-an terhadap anak zaman
sekarang juga tertumpu pada peran orang tua. Orang tualah yang
akan mewarnai kehidupan anak-anaknya. Untuk itulah, suri teladan
orang tua sangat besar artinya dalam menumbuhkan ka-Sunda-an.
DAFTAR PUSTAKA

77
Lembaga Basa jeung Sastra Sunda. 2007. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung:
CV Geger Sunten.
Nurihsan, A. Juntika. 2006. Akhlak Mulia dalam Persektif Bimbingan dan
Konseling Islami. Bandung: Rizqi Press.
Rosidi, Ajip. 2005. Babasan&Paribasa. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Rusyana, Yus. 1984. Pedaran Paribasa Sunda. Bandung: Gunung Larang.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan sastra Sunda dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:
CV Diponegoro.
Suryalaga, R. Hidayat. 1993. Etika jeung Tatakrama. Bandung: VC Geger
Sunten..
Suryalaga, R.Hidayat. 2003. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Wahana Raksa
Sunda.

78
PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PERIBAHASA DAN PERMAINAN
ANAK SUNDA
Ruhaliah
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

1. Pengantar

R evolusi budaya global sangat mudah mempengaruhi budaya


lokal. Televisi, internet, HP, merupakan media yang dikenal oleh
seluruh lapisan masyarakat sehingga budaya global pun dengan
mudahnya mempengaruhi perilaku masyarakat. Semua peristiwa baik
di dalam maupun di luar negeri akan dapat diketahui dengan cepat,
baik yang positif maupun negatif, sehingga kadang-kadang dengan
mudahnya ditiru masyarakat tanpa mempertimbangkan segi positif
dan negatifnya. Banyak segi positif yang dapat dijadikan contoh tetapi
tidak sedikit yang harus dihindari. Film perang, sindikat narkoba,
teorisme, demo, perampokan, geng motor, dan lain-lain, kadang
menarik untuk ditonton dan tanpa sengaja dijadikan guru oleh pihak-
pihak yang menyalahgunakannya. Bahkan pembunuhan terhadap
presiden pun menjadi tontonan yang dianggap menarik dan layak
diperbincangkan. Karena seringnya menonton hal-hal yang kurang
baik maka perilaku kurang baik tersebut menjadi dianggap biasa.
Perubahan anggapan tersebut akan menimbulkan perubahan perilaku
di masyarakat. Hal ini menyebabkan beban pendidikan semakin berat,
baik di rumah maupun di sekolah. Tetapi berbagai masalah tersebut
bisa diminimalisir apabila generasi muda dipersiapkan dengan baik
melalui pengenalan budaya yang ada di daerahnya. Bagi masyarakat
Sunda misalnya, budaya Sunda merupakan salah satu alternatif untuk
mempersiapkan manusia Sunda menjadi manusia Indonesia yang
berkarakter dan berakhlak baik, sehingga bisa memilih mana yang
bisa diikuti dan mana yang tidak.

2. Pembahasan
Pada era globalisasi saat ini semua hal menjadi lebih mudah
dibandingkan dengan ketika belum merambahnya teknologi informasi.
Berbincang dengan teman, menonton peristiwa, berdiskusi, segala
sesuatu bisa dilakukan dengan siapapun, bahkan dengan orang yang
berada di lain negara. Bahkan seminarpun dapat dilakukan tanpa

79
berkumpul di suatu tempat. Dengan adanya tele-conference misalnya,
kita dapat berbincang secara langsung seakan-akan kita berhadapan
langsung. Walaupun jaraknya ribuan kilometer seakan-akan ada di
hadapan kita.
Berbagai kemudahan yang didapat dari media elektronik
ternyata tidak berdiri sendiri. Ada segi lain yang mengikutinya, yaitu
akibat negatifnya. Berbagai keburukanpun dapat dengan seketika
berada di hadapan kita, bahkan di hadapan bayi yang baru lahir.
Berita mengenai kejadian tertentu di negara tertentu, gosip, hiburan,
dan lain-lain merupakan sesuatu yang dapat didapat dengan mudah
dan murah. Tetapi berbagai acara tersebut bila tidak disaring, dipilih
dan dipilah, akan dengan mudahnya menimbulkan pengaruh negatif,
baik disadari maupun tidak. Film kartun, komedi, sinetron, dan lain-
lain merupakan hiburan yang kadang tanpa sengaja mengenalkan
kekerasan, dan membentuk karakter yang tidak diinginkan. Misalnya
kartun “Happy Three Friends”, rekaman di berbagai situs di interrnet,
film di handphone, acara komedi di televisi, iklan di televisi, merupakan
sedikit contoh di antara sekian banyak yang kemungkinan dapat
berakibat negatif apabila tidak disaring terlebih dahulu. Keadaan
ini terus berlangsung hingga tanpa disadari membentuk karakter
penontonnya.
Film kartun “Happy Three Friends” misalnya, disajikan dengan
musik yang menarik, gambar yang bagus, seolah-olah disajikan untuk
anak kecil. Tetapi apabila diperhatikan dengan seksama, di dalamnya
terdapat kekerasan dan kriminalitas yang sangat tinggi.

2.1 Pendidikan Karakter


Banyak sarana yang bisa mempengaruhi kepribadian seseorang,
sejak dalam kandungan, ketika lahir, keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Apa yang terlihat di sekelilingnya akan terekam dengan baik dalam
ingatannya. Rekaman tersebut merupakan bekal dalam membentuk
kepribadian. Pendidikan berlangsung sejak dalam kandungan hingga
mendekati liang lahat. Prosesnya panjang dan melibatkan banyak
pihak sehingga terbentuklah pribadi tertentu.
Semua masyarakat tentu menginginkan generasi yang baik
bukan generasi yang buruk. Tetapi kadang-kadang kenyataan tidak
sesuai dengan harapan, akibat dari berbagai unsur negatif yang tanpa
disadari menjadi unsur pembentuk kepribadian, karakter, dan akhlak
manusia. Bahkan nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Artinya akhlak (karakter) itu merupakan kunci pembentukan pribadi
dari generasi ke generasi.

80
Di dalam berbagai budaya setiap suku bangsa dan bangsa
tentu telah dipersiapkan bentuk-bentuk pendidikan yang akan
membentuk manusianya menjadi manusia yang terhormat. Tetapi
akibat kurangnya pengenalan terhadap budaya tersebut, dan karena
generasi sekarang lebih banyak dikenalkan dengan media elektronik
yang serba instan, pembentukan karakter dalam kehidupan sehari-hari
menjadi sangat berkurang. Rasa toleransi, kebersamaan, kejujuran,
kreativitas, semangat, dan nilai-nilai pendidikan lainnya semakin
tidak tersampaikan. Ketika semakin lama generasi muda semakin
mangkhawatirkan, maka disusunlah pendidikan karakter, yang harus
diintegrasikan ke dalam berbagai bidang studi.
Di dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003, disebutkan
bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Selanjutnya pada Pasal 3 dikemukakan bahwa:


“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Jadi masalah karakter sudah dipersiapkan sejak dini baik oleh


agama maupun negara. Tetapi kadang-kadang masyarakat lupa bahwa
di dalam budaya daerah hal tersebut sudah tersedia. Berbagai kelompok
manusia telah menyiapkan pendidikan bagi generasi mudanya. Begitu
pula dengan masyarakat Sunda. Berbagai unsur budaya di tatar Sunda
merupakan media pembentukan karakter manusia Sunda. Ungkapan
dan peribahasa, pantun, pantrangan, permainan anak, dongeng,
tradisi lisan, berbagai upacara, merupakan bentuk-bentuk bagian dari
budaya yang di dalamnya terkandung pendidikan nilai yang harus
ditanamkan kepada anak agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh
pengaruh negatif globalisasi.
Kemdiknas menyiapkan 18 butir pendidikan karakter yang
dapat digabungkan dalam berbagai bidang studi, termasuk bahasa
daerah, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/

81
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung-jawab. Butir-butir tersebut sesungguhnya
sudah tersirat di dalam budaya daerah, walaupun tidak langsung
disebutkan.

2.2 Pendidikan Karakter dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda


Pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang,
baik disadari maupun tidak. Pada semua masyarakat, pendidikan
sudah dimulai ketika bayi dalam kandungan. Ketika masyarakat
masih menggunakan tradisi lisan sebagai alat berkomunikasi, berbagai
ungkapan dan peribahasa akan didengar, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Bila si pendengar dalam bentuk kelompok
maka kelompok pendengar itu menjadi perekam dan kemudian
menjadi pewaris ungkapan tersebut. Tetapi setelah komunikasi banyak
dilakukan dalam bentuk tertulis, maka ungkapan dan peribahasa itu
hanya ada dalam tulisan, dan yang mengetahuinya hanya si pembaca.
Padahal sesuatu yang didengar dan dilaksanakan akan lebih mudah
menyerap dibandingkan dengan hanya berbentuk teks bacaan. Bila
melihat sesuatu yang negatif seorang ibu mengusap-usap perutnya
sambil berkata, misalnya:
- Utun, Inji, ulah sok saturut-turutna.”
Ketika melahirkan bayi masih dibantu olah dukun beranak (paraji),
maka ketika baru lahir seorang bayi sudah dinasihati:
- Ulah sok sadenge-dengena lamun lain dengekeuneunana;
(Jangan sembarang mendengar apabila tidak layak untuk
didengar)
- Ulah sok sacokot-cokotna lamun lain cokoteunana;
(Jangan sembarang ambil apabila tidak berhak untuk diambil);
- dan sebagainya.
Contoh ungkapan tersebut merupakan pendidikan karakter sejak dini.
Tetapi ketika melahirkan sudah tidak dibantu oleh dukun beranak
maka kalimat itupun sekarang sudah sangat langka didengar.
Berikut ini contoh ungkapan dan peribahasa, yang mungkin
masih harus dipertahankan, diubah, atau ditinggalkan.
a) Cageur bageur bener pinter
Kalimat ini merupakan ungkapan bahwa yang utama adalah
kesehatan, fisik dan mental. Peribahasa ini juga berkaitan dengan
ungkapan orang Sunda: “Kumaha damang?”
Apabila seseorang dinyatakan sehat baik fisik maupun mentalnya
maka bageur, bener, dan pinter akan mudah didapat. Tetapi apabila
yang diutamakan pinter dulu maka orang tersebut belum tentu cageur

82
dan bageur, karena banyak orang cerdas yang menyalahgunakan
kecerdasannya.
b) Someah hade ka semah
Ungkapan ini menyarankan agar masyarakat Sunda bersikap ramah
kepada tamu. Di dalam agamapun dikemukakan bahwa salah satu
ciri orang beriman adalah yang menghormati tamunya. Tetapi saat
ini mungkin harus dipertimbangkan lagi, karena tidak semua tamu
layak untuk diperlakukan dengan ramah, karena ada juga tamu yang
bertujuan kurang baik.
c) Hade ku omong goreng ku omong
Peribahasa ini merupakan jalan keluar ketika menghadapi sesuatu
yang harus dirundingkan. Bahwa musyawarah akan lebih baik
dibandingkan dengan diselesaikan sendiri.
d) Caina herang laukna beunang
Proses merupakan hal penting di dalam mencapai tujuan. Dan
pencapaian tujuan itu lebih baik dengan proses yang baik. Tidak hanya
kepentingan pribadi tetapi juga sebaiknya menyenangkan orang lain
e) Indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat
Peribahasa ini merupakan pedoman karakter, bahwa menghormati
ibu dan ayah merupakan kewajiban seorang anak, karena dengan
restu orang tua semua cita-cita bisa terlaksana. Hal ini juga sesuai
dengan ajaran agama.
f) Saur kudu diukur sabda kudu diungang
Kehati-hatian di dalam berbicara merupakan sebuah keharusan
bagi siapapun. Karena ucapan yang tidak layak bisa kenyakiti orang
lain dan mencelakakan diri sendiri. Di dalam bahasa Indonesia ada
ungkapan “mulutmu harimaumu”, sedangkan di dalam agama Islam
“salamatulinsan fi hifdzillisan”.
g) Hade gogog hade tagog
Masalah penampilan sudah dipikirkan oleh masyarakat Sunda sejak
dulu, karena itu muncullah peribahasa tersebut. Ucapan dan perilaku
harus menggambarkan pribadi yang santun, Pada tingkat nasional
juga hal ini menjadi pertimbangan sehingga muncullah sekolah-
sekolah kepribadian, misalnya Sekolah Kepribadian John Robert
Power. Walaupun pada saat ini orang yang berpenampilan baik belum
tentu bertujuan baik.
h) Silih asih silih asah silih asuh
Saling menyayangi merupakan langkah awal dalam berkomunikasi.
Bila segala sesuatu, termasuk pendidikan, dilakukan dengan rasa
saling menyayangi, maka hasilnya pasti akan sangat memuaskan.
Setelah saling menyayangi dilanjutkan dengan saling mencerdaskan

83
dan saling mengayomi. Bila peribahasa ini dilaksanakan dalam
berbagai kegiatan oleh berbagai pihak, maka kriminalitas tidak akan
ada.
i) Bobot pangayon timbang taraju
Di dalam membuat keputusan diperlukan berbagai pertimbangan
agar dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan tidak merugikan
suatu pihak. Apalagi pembuatan keputusan itu dilakukan oleh
pimpinan. Apabila dibuat keputusan tanpa pertimbangan maka bisa
jadi ada masalah lain yang tidak diharapkan. Karena itu kebijaksanaan
sagat diperlukan dalam pembuatan keputusan.
j) Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok
Peribahasa ini merupakan ungkapa bahwa ketekunan itu sangat
diperlukan dalam mencapai tujuan. Seberat apapun pekerjaan yang
harus dihadapi, apabila dilakukan dengan tekun dan teliti, maka
hasilnya akan menggembirakan. Ketekunan itu bagaikan air yang
menetes tiada henti ke atas batu, sekeras apapun batunya akan menjadi
berlubang karena tetesan air tersebut.
k) Paheuyeuk-heuyeuk leungeun
Paheuyeuk-heuyeuk leungeun artinya bergandengan tangan, yaitu
bergotong-royong dalam mengerjakan sesuatu. Dengan bergotong-
royong pekerjaan akan menjadi lebih cepat terselesaikan.
l) Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng
Hasil itu bergantung dari pekerjaan yang dilakukan. Bila pekerjaan
baik akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bila mengerjakan hal
yang buruk maka akan menghasilkan hal yang buruk. Karena itu orang
baik akan mengerjakan hal yang baik agar hasilnya menjadi baik.
m) Manuk hirup ku jangjangna jalma hirup ku akalna
Manusia diberi akal oleh Sang Pencipta. Karena itu manusia tidak
boleh mudah putus asa dalam menghadapi kehidupan. Burung
akan terbang mencari makanan di manapun berada, sedangkan
manusia bukan hanya mencari makanan. Karena itu manusia harus
menggunakan akalnya dalam berbagai kegiatan.
n) Nimu luang tina burang;
Nimu luang tina baruang;
Nimu luang tina bincurang;
Nimu luang tina daluang;
Nimu luang tina papada urang.
Menuntut ilmu harus dilakukan sepanjang hayat, dalam
situasi apapun. Proses pendidikan ini bisa berasal dari hal-hal yang
pahit dan menyakitkan (burang), bisa dari hal yang mencelakakan
(baruang), bisa berasal dari perselisihan (bincurang), bisa berasal dari

84
buku/tulisan (daluang), dan bisa berasal dari sesama manusia (papada
urang). Tentu saja hal yang terbaik adalah yang berasal dari buku dan
sesama manusia.

o) Hade ku omong goreng ku omong;


Keterbukaan adalah hal penting dalam menyampaikan pendapat. Baik
ataupun buruk, harus disampaikan agar orang lain tidak berprasangka.
Maka masyarakat Sunda harus bisa menyampaikan apa yang harus
disampaikan. “Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit”. Ungkapan
itu yang diajarkan di dalam agama Islam supaya masyarakat bisa
menyampaikan sesuatu dengan benar.

p) Ati putih badan bodas


Keiklasan merupakan perilaku yang harus dibiasakan. Manusia tidak
boleh menjadi pendendam, pembohong, dan lain-lain. Peribahasa ini
merupakan kebalikan dari “Beungeut nyanghareup ati mungkir”,
artinya munafik. Padahal munafik itu sangat dilarang karena akan
meragukan dan mencelakakan.

q) Ka bala ka bale
Sifat dinamis sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,
jadi harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi. Orang yang dinamis akan mudah bergaul dan mendapatkan
apa yang diinginkannya. Karena orang lain akan merasa nyaman atas
keberadaannya.

r) Gurat batu
Ungkapan ini mempunyai arti yang sama dengan “Teu unggut
kalinduan teu gedag kaanginan”. Artinya tetap kukuh dalam pendirian
selama mempertahankan kebenaran. Jadi tidak tergoda oleh sesuatu
yang mencelakakan.

s) Ka hareup ngala sajeujeuh ka tukang ngala salengkah


Tidak boleh berlebihan dalam segala hal. Harus ada pertimbangan
kurang lebihnya, ke depan atau belakangnya, baik-buruknya, dan
sebagainya. Orang yang bijaksana adalah orang yang tidak asal
melangkah tanpa memikirkan resikonya.

Selain dari ungkapan dan peribahasa yang telah dikemukakan


tersebut, masih ada ratusan peribahasa lainnya, baik yang langsung
berkaitan dengan pendidikan maupun tidak. Tetapi bagaimanapun

85
ungkapan dan peribahasa tersebut merupakan sebuah proses
pendidikan di masyarakat baik langsung maupun tidak. Ungkapan
dan peribahasa merupakan kontrol sosial sehingga masyarakat
pemakainya memiliki pertimbangan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu pekerjaan.
Bentuk ungkapan yang disampaikan secara negatif misalnya
1) Adigung adiguna, 2) Ngagulkeun payung butut; 3) Ngaliarkeun taleus
ateul; 4) Muragkeun duwegan ti luhur, 5) Gede cahak manan cohok; dan
sebagainya. Untuk menegaskan bahwa hal tersebut tidak boleh
dilakukan maka di awal ungkapan dituliskan kata /ulah/ (jangan).

1.3 Pendidikan Karakter dalam Permainan Anak


Permainan anak terdiri dari bermacam ragam. Ada yang
menggunakan alat, gerak, lagu, dan ada yang tidak. Jadi ada yang
disebut kakawihan dan ada yang disebut kaulinan. Permainan
(kaulinan) ini merupakan salah satu sarana pembelajaran dan rekreasi.
Tetapi di samping itu juga ada olah raga, seni gerak, seni suara, seni tari,
dan lain-lain. Bahkan banyak di antara permainan yang mengandung
filsafat dan data sejarah. Dengan bermain anak akan menjadi gembira,
kreativitasnya terlatih dengan baik, dan secara tidak langsung
mengenali sejarah dan filsafat masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Di masyarakat Sunda terdapat ratusan permainan anak. Ada
yang hanya lagu, ada yang hanya gerak, dan ada yang merupakan
gabungan dari keduanya. Ada yang hanya kesenian, ada yang berupa
kesenian dan olah raga, dan ada yang hanya olah raga. Permainan yang
mengandung unsur olah raga upamanya Gatrik, Loncat Tinggi, Sondah,
Cungkelik Cungkedang, matematika upamanya Congklak, Sondah, Gatrik,
Langlayangan, dan lain-lain. Selain unsur-unsur tersebut, pendidikan
karakter terus berlangsung dalam permainan dan nyanyian anak-anak
ini. Kerja sama, kejujuran, bertanggung jawab, introspeksi diri, kerja
keras, mandiri, cinta damai, peduli lingkungan merupakan unsur
karakter yang ada dalam permainan anak. Karena bila anak tidak
jujur akan dikucilkan oleh temannya. Begitu pula jika malas, tidak
bertanggung jawab, tentu menjadi beban bagi teman bermainnya.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh permainan, yang di dalamnya
tampak jelas mengandung unsur pendidikan karakter dan nilai.
Permainan dan lagu ini ada yang bebentuk monolog dan ada
yang berbentuk dialog. Tetapi ada juga yang dapat dilakukan dengan
bentuk keduanya. Nyanyian yang berbentuk monolog di antaranya:
“Aanyaman”, “Babagongan”, “Beber Layar”, “Blungblong”,
“Bulantok”, “Cacag Gurame”, “Carecet Murag”, “Cingcangkeling”,

86
“Cing Ciripit”, “Dog Celentong”, “Dudukuy Pelentung”, “Dukduk
Dalikduk”, “Dutdut Colotok”, “Enjot-enjotan”, “Eundeuk-eundeukan
Tuan Seh”, “Eureuleu”, “Galah Ginder”, “Gere-gere Tong”, “Gobang
Gojir’, “Gugunungan”, “Haphap Dagoan”, “Hatiku Jang Wawan”,
“Hethet Embe Janggotan”, “Hihid Aing”, “Hitut”, “Hompimpah”,
“Jaleuleu”, “Jing Duang Deong”, “Jongjang”, “Jung Jae”, “Kacang
Buncis”, “Kalong”, “Kelenang Keleneng”, “Kingkilikan”, “Kukudaan”,
“Ma Ijah”, “Mars Siliwangi”, “Maung Lapar”, “Menta Angin”,
“Meuncit Manuk”, “Meuncit Reungit”, “Milang Jawa”, “Milang
Kadaharan”, “Moncor Pager”, “Ngawuluku”, “Neng Prasa”, “Ngadu
Hayam”, “Ngadu Panggal”, “Ngambat Papatong”, “Ngokok”,
“Ningningnang-ningningnong”, “Ni Ongo”, “Oet-oetan”, “Ojok-ojok
Uang-aung”, “Ole-ole Ogong”, “Oyong-oyong Bangkong”, “Pacici-cici
Putri”, “Paciwit-ciwit Lutung”, “Pacublek-cublek Uang”, “Pakaleng-
kaleng Agung”, “Papanting”, “Paparahuan”, “Papatong Diambat”,
“Papatong Eunteup”, “Papatungan”, “Pat Lapat”, “Pom Pilep”, “Prang
Pring”, “Sakentrung Taligung”, “Salam Sereh”, “Samagaha”, “Sang
Nata”, “Sapedah Mini”, “Sasalimpetan”, “Suling Aing”, “Sur Gutuk”,
“Surser”, “Susupaan”, “Tek Kotek Kotek”, “Tilil”, “Ting Kolanding”,
“Tokecang”, “Tong Maliatong”, “Trang Trang Kolentrang”, “Tuk
Taligu”, “Tuk Tuk Brung”, “Tukang Kaleng”, “Turaes”, “Tutunjuk”,
“Ucang Angge”, “Ucing jeung Anjing”, “Uga”, “Ula Elo Heursah”, “Ula
Elo Kembang”, dan “Waru Doyong”. Sedangkan teks yang berbentuk
diaqlog di antaranya “Ambil-ambilan”, “Baju Beureum”, “Bolu
Bogem”, “Cir Kupek”, “Eundeuk-eundeukan Caladi”, “Eundeuk-
eundeukan Lagoni”, “Gobang Kalima Gobang”, “Kali-kali Jahe”,
“Nanangkaan”, “Ngala Hui”, “Oray-orayan”, “Punten Mangga”,
“Si Jendil”, “Tongtolang Nangka”, dan “Wek Wek Dor”. Berikut ini
disajikan contoh teks kakawihan.
a. Kakawihan “Tat Tit Tut”
Tat tit tut daun sampeu
saha nu hitut saha nu ngambeu.

Teks ini sangat pendek tetapi dengan tegas menyebutkan


bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kelakuannya. Atau apa
yang dikerjakannya akan berakibat kepada orang lain. “Siapa yang
ketut ialah yang menciumnya”. Itulah akibat dari pekerjaannya.

b. Kakawihan “Perepet Jengkol”
Perepat jengkol jajahean
Si ... ngompol jejeretean.

87
Teks ini dinyanyikan sambil diikuti gerakan. Dilihat dari segi
teksnya permainan ini mungkin tidak begitu menarik, tetapi gerakannya
sungguh-sungguh menyajikan unsur pendidikan seperti kerja sama,
tanggung jawab, dan lain-lain. Sekurang-kurangnya tiga orang anak
membentuk lingkaran tetapi saling membelakangi. Masing-masing
sebelah kaki mereka dikaitkan
kepada kaki temannya, sehingga
bila satu orang terjatuh maka
yang lainpun akan terlepas.
Jadi di dalam permainan ini
keseimbangan dan kerja sama
merupakan hal yang sangat
penting.
Perepet Jengkol

c. Permainan dengan Lagu dan Gerak


Banyak permainan yang diiiringi lagu dan gerak tetapi alat yang
digunakan hanya anggota badan seperti tangan dan kaki. Permainan
bentuk ini misalnya “Paciwit-ciwit Lutung”, Ayang-ayang Gung. Di
dalam permainan ini semua
anak membiasakan diri untuk
mengantri, tidak boleh ada
yang berebut. Orang yang
berada pada posisi paling
bawah bisa menjadi paling
atas, begitu juga sebaliknya,
tetapi dengan berurutan, tanpa
harus merebut kesempatan
orang lain.
Pacublek-cublek Uang

d. Permainan tanpa Lagu


Permainan tanpa lagu ada yang menggunakan alat dan ada yang
tidak. Alat yang digunakan
sangat beragam, tergantung
daerahnya. Ada yang
mengguakan bambu, kayu,
kaleng, karet, tali, bata, dan
lain-lain. Pada saat ini beberapa

Permainan Egrang (Jajangkungan)

88
permainan sudah tidak dimainkan lagi oleh anak-anak karena lahan
untuk bermain semakin tidak ada. Tetapi pada kelopok tertentu
dijadikan ajang rekreasi dan lomba olah raga tradisional, seperti pada
gambar berikut ini.

3. Penutup
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan dapat dilakukan
oleh semua orang. Pendidikan adalah proses yang berlangsung lama
dengan berbagai cara. Dan jenis pendidikan yang paling meresap
adalah yang dilakukan sejak masa kanak-kanak dan tanpa disengaja.
Karena yang terjadi di masa kanak-kanak seringkali mempengaruhi
karakter dan karakter anak tersebut ketika dewasa. Tetapi seiring
dengan perkembangan teknologi, beberapa jenis pendidikan semakin
berkurang. Selain dari tempat, waktu, sarana juga sangat berpengaruh.
Ketika masih menggunakan teknologi lokal unsur kreativitas seseorang
sangat terlatih. Tetapi ketika semua dikerjakan dengan teknologi barat,
maka kreativitas tersebut menjadi sangat berkurang. Pola dan proses
ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Akibat
adanya game tertentu maka anak menjadi sering mengisolasi diri,
asyik dengan dirinya sendiri, sehingga rasa sosialnya berkurang dan
kemudian rasa toleransi semakin menghilang. Lama-kelamaan yang
terbentuk adalah kebiasaan mementingkan diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Zulfikri. 2011.” Pembangunan Karakter Melalui Kearifan Lokal”


makalah pada Seminar Nasional Tradisi Lisan dalam Pengembangan
Kurikulum, UPI, 23 September 2011.
Hasan, Said Hamid dkk. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Badan Litbang
Puskur.
Lubis, Mochtar. 1993. Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Natawisastra, Mas. 1979. Saratus Paribasa jeung Babasan (Jilid I-V). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Bacaan
dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Ringkasan Eksekutif Seminar Nasional Pendidikan. 2010. Badan Penelitian
Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional.
Ruhaliah. 1996. Kakawihan Tradisional Masyarakat Sunda. Jakarta: Asosiasi
Tradisi Lisan.
700 Paribasa Sunda. Bandung: Tarate.

89
RENGGANIS REPERTOAR:
Pemanfaatan Kesenian Lokal Dalam
Pembelajaran bahasa dan Sastra Bali

I Wayan Gede Wisnu


Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

I. Pendahuluan

P ada dasarnya, pembelajaran bahasa Bali dapat dilakukan pada tiga


ranah yang potensial, yaitu agama, pendidikan, dan kebudayaan
(Bagus, 2001 : 11). Ranah agama dimaksudkan pada aktivitas agama
Hindu di Bali, yang di dalamnya banyak menggunakan bahasa Bali.
Ranah pendidikan dimaksudkan sebagai ruang formal, informal,
maupun nonformal dalam pembelajaran bahasa Bali. Ranah budaya
dimaksudkan sebagai ruang sosial budaya masyarakat Bali yang
menaungi penggunaan bahasa Bali.
Ketiga ranah tersebut memang terbukti efektif dalam
pembelajaran, pembinaan, maupun pengembangan bahasa Bali hingga
saat ini. Masing-masing ranah tersebut memberikan suatu ruang yang
kompleks dalam menciptakan fenomena-fenomena pembelajaran
bahasa Bali sebagai bagian dari pembinaan maupun pengembangan
bahasa Bali. Dalam keagamaan, seperti terlihat pada maraknya dharma
wacana pada saat ini, telah mampu menempatkan bahasa Bali sebagai
bagian yang penting di dalamnya. Dalam pendidikan, khususnya
pendidikan formal, masuknya mata pelajaran bahasa Bali dalam
kurikulum pendidikan nasional melalui muatan lokal, telah mampu
memberikan ruang legislasi eksistensi bagi bahasa Bali dalam ruang
formal. Begitu juga dalam kebudayaan, seperti hadirnya seni inovatif
saat ini dengan ikon wayang cenk blonk, juga mampu mengusung
bahasa Bali pada ranah populer.
Dalam perkembangannya hingga saat ini, ketiga ranah tersebut
dapat bersinergi untuk saling mendukung antara ranah yang satu
dengan yang lain. Hal ini cenderung hanya terjadi antara ranah agama
dan budaya karena ikatan tehadap kedua ranah tersebut sangat kuat di
Bali. Agama Hindu seringkali dianggap sebagai roh dari kebudayaan
Bali, sebaliknya, kebudayaan Bali dipandang sebagai manifestasi
dari agama Hindu di Bali. Dengan demikian, fenomena keagamaan
dan kebudayaan terjalin sebagai satu kesatuan dalam pelbagai aspek

90
kehidupan masyarakat Bali, sedangkan pendidikan cenderung
dipandang sebagai sesuatu yang formal, ilmiah, dan tanpa rasa, yang
seolah-olah sulit dipertemukan dengan agama dan budaya.
Kondisi tersebut cenderung menempatkan ranah pendidikan,
khususnya pendidikan formal, pada posisi yang kurang bersinergi
dengan aspek agama maupun budaya di Bali. Terkait dengan wacana
pendidikan karakter (character education) saat ini, kehadiran agama dan
budaya sangat diperlukan. Agama dan budaya merupakan sumber-
sumber kearifan lokal yang mampu memberikan kontribusi dalam
memformulasikan substansi dalam pendidikan karakter tersebut.
Upaya-upaya untuk menginternalisasi aspek agama dan budaya
dalam pendidikan tentunya sudah banyak dilakukan. Adanya hajatan
Porsenijar secara rutin setiap tahun, secara tidak langsung mampu
menginternalisasi aspek-aspek budaya maupun agama di Bali dalam
pembelajaran, seperti lomba nyurat lontar, tari maupun tembang
klasik, dan karawitan. Upaya tersebut perlu dilakukan dengan
berkesinambungan dan dikembangkan secara kreatif dan inovatif.
Salah satu upaya dalam memadukan antara aspek pendidikan,
keagamaan, maupun kebudayaan terkait dengan pembelajaran
bahasa Bali, telah dilakukan oleh mahasiswa pendidikan bahasa
Bali Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja dengan
olah kreatif dan inovatif dalam menciptakan kesenian Rengganis
Repertoar. Kesenian ini merupakan perpaduan dari aspek ilmiah
dalam pendidikan formal dengan salah satu bentuk kearifan lokal
masyarakat Bali Utara, yaitu perpaduan antara seni drama modern
dengan kesenian rengganis, sebagai salah satu kesenian khas Bali Utara.
Perpaduan ini menghasilkan suatu bentuk drama moderen berbahasa
Bali dengan iringan musik melalui alunan oral musik (paduan suara)
rengganis. Dalam hal ini, telah tercipta teater Bali moderen yang tetap
dikemas secara tradisi.
Secara tidak langsung, seni drama ini dapat memberikan ruang
pembelajaran bahasa Bali, baik bagi mahasiswa yang menggarapnya
maupun bagi audien yang menikmatinya. Upaya ini merupakan suatu
kontribusi yang positif dalam mendukung upaya pembinaan dan
pengembangan bahasa Bali. Hal ini sejalan dengan pandangan Bagus
(2001: 12) bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga
kelangsungan hidup bahasa Bali adalah menciptakan kreativitas
kehidupan moderen di Bali, seperti pada lagu pop daerah, nanyian
tradisional, maupun dagelan. Dalam tulisan ini ingin diungkapkan
aspek-aspek pembelajaran bahasa Bali melalui kesenian Rengganis
repertoar tersebut sebagai suatu inovasi dalam pemanfaat kerarifan

91
lokal dalam pendidikan formal.

II. Pembahasan
II.1. Sejarah Rengganis dan Terbentuknya Rengganis Repertoar
Rengganis merupakan suatu bentuk seni paduan suara yang
tercipta tahun 1940-an di desa Panglatan, Kabupaten Buleleng. Pencipta
kesenian ini adalah I Gusti Made Alit beserta rekannya, yaitu I Ketut
Sridana dan I Ketut Widra. Inspirasi kesenian ini muncul ketika I Gusti
Made Alit sedang beraktivitas di sawah pada malam hari. Ketika itu,
beliau menembangkan pupuh dangdang gula untuk mengisi kesepiannya.
Alam pun menyambut tembang yang dilantunkan melalui suara katak
yang bersahut-sahutan. Fenomena alam inilah yang kemudian diolah
bersama rekan beliau tersebut hingga melahirkan suatu bentuk seni
paduan suara yang kemudian dinamai rengganis. Istilah rengganis
tersebut dapat dimaknai sebagai suatu lantunan suara yang manis,
yaitu dari kata reng ‘nada,suara’ dan nis ‘manis’, serta dapat juga
dimaknai sebagai suara-suara di keheningan (alam maya), yaitu dari
kata reng ‘suara’ dan nis ‘niskala, alam maya’.
Kesenian ini mengembangkan pupuh dangdang gula melalui
penambahan alunan oral musik enam orang pemain pendukungnya.
Pemain-pemain tersebut memiliki peran sebagai seorang kejur (sebagai
gong), seorang pangugal (sebagai pemimpin lagu), dua orang pangiing
(pemberi suara 1 atau nada dasar), dan dua orang panyandet (pemberi
suara 2 atau nada perangkai). Peran tersebut lazim dijumpai dalam
karawitan, namun pada kesenian ini, peran tersebut dilakukan secara
oral dengan pola yang serupa dalam karawitan. Pelantunan syair pada
peran tersebut terdengar seperti alunan suara katak yang berdendang
di tengah sawah. Hal inilah yang ditonjolkan sebagai suatu estetika
nada suara dalam mengembangkan pupuh dangdang gula pada kesenian
rengganis tersebut.
Kesenian ini telah didokumentasikan oleh Putu Satria dalam
bentuk film dokumenter. Film tersebut menjadi inspirasi bagi pengasuh
mata kuliah drama pada jurusan pendidikan Bahasa Bali Undiksha
(I Wayan Artika) untuk menginternalisasi kesenian rengganis dalam
mendesain suatu model drama moderen berbahasa Bali. Dalam hal
ini, rengganis diposisikan sebagai (1) musik pengiring dan (2) media
penyampaian narasi-narasi dalam drama. Sebagai musik pengiring,
rengganis mengawali, mengakhiri, dan menyelingi insiden maupun
babak dalam drama yang ditampilkan. Sebagai media penyampaian
narasi, rengganis selalu menyampaikan gambaran peristiwa cerita
dalam drama melalui teks-teks yang dilantunkan.

92
Pembelajaran drama dalam perkuliahan tersebut pada
dasarnya mengenalkan drama moderen dengan pola Barat pada
mahasiswa. Terkait dengan jurusan bahasa Bali, mahasiswa pun
dituntut untuk menampilkan “corak Bali” dalam garapan drama yang
hendak dipentaskan sebagai ujian akhir semester. Kehadiran rengganis
dalam drama tersebut dapat memberikan kemasan yang “bernuansa
Bali”, apalagi cerita yang ditampilkan diadopsi dari karya-karya sastra
Bali (Geguritan Sampik dan Geguritan Jayaprana). Perpaduan antara
drama modern dengan kesenian rengganis dalam membentuk drama
moderen bahasa Bali selanjutnya disebut sebagai Rengganis Repertoar.
Pada satu sisi, hal ini dapat (1) melestarikan dan mengembangkan
rengganis, sebagai suatu warisan budaya lokal Bali Utara, dan (2) pada
sisi lain, hal ini juga dapat menciptakan suatu bentuk drama moderen
berbahasa Bali yang sekaligus sebagai model dalam pembelajaran
drama Bali moderen pada ranah pendidikan formal.

II.2. Rengganis Repertoar Dalam Pembelajaran Bahasa Bali


Sebagai suatu karya mahasiswa (akademik), Rengganis Repertoar
merupakan salah satu media yang strategis dalam pembelajaran
bahasa Bali sebagai bagian dari upaya pembinaan maupun pelestarian
bahasa dan sastra Bali saat ini. Kesenian ini dapat memberikan suatu
ruang pragmatis dalam apresiasi, interaksi, kritik, maupun inovasi,
terkait dengan pembelajaran bahasa dan sastra Bali. Pemahaman
tentang teori maupun konsepsi tentang bahasa dan sastra Bali yang
telah dikenal sebelumnya dapat diapresiasikan dalam kesenian ini.
Kesenian ini dapat memberikan ruang guna memperluas
ranah penggunaan bahasa Bali. Bahasa yang digunakan dalam
menyusun syair-syair dalam rengganis adalah bahasa Bali. Hal ini
dapat memperluas penggunaan bahasa Bali, khususnya dalam karya
seni. Sang penyair tentu dituntut dalam pengetahuan dan wawasan
tentang kosakata bahasa Bali yang memadai. Syair-syair yang tercipta
selanjutnya dapat menjadi refren dalam memperluas cakrawala
kosakata bahasa Bali. Hal ini semakin tampak pada penggunaan bahasa
Bali sebagai bahasa komunikasi pada percakapan tokoh-tokoh dalam
drama rengganis repertoar tersebut. Aneka ragam bahasa Bali yang
baik dan benar terakumulasi secara sinergis dalam teks penokohan
yang dirancang dalam drama. Kondisi tersebut menunjukkan ruang-
ruang yang kian terbuka dalam penggunaan bahasa Bali.
Begitu juga dengan sastra Bali, kesenian ini dapat menjadi media
dalam transfomasi dan apresiasi karya-sastra Bali ke dalam seni
pertunjukan, khususnya dalam bentuk drama moderen berbahasa

93
Bali. Penggunaan karya-karya sastra Bali sebagai sumber cerita dalam
kesenian ini dapat menjadi suatu upaya untuk lebih mengenal dan
memahami karya-karya sastra Bali, yang di dalamnya menyelipkan
nilai-nilai budaya Bali, sebagai refleksi dari kearifan lokal masyarakat
Bali. Hal ini serupa dengan munculnya fenomena wayang kulit inovatif
yang sedang populer di Bali saat ini, seperti Wayang Kulit Cenk Blonk.
Di samping dapat mengeksiskan karya-karya sastra Bali, kesenian
inovatif ini juga dapat menjadi media dalam pembelajaran karya-
karya sastra Bali, khususnya dalam memahami nilai-nilai budaya Bali
yang terdapat di dalamnya.

II.3. Rengganis Repertoar : Kasus Pada Drama Rengganis Repertoar


Lakon Sampik Ingatai dan Jayaprana Garapan Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Bali Undiksha
Rengganis repertoar adalah sebuah rintisan yang telah digarap
oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Bali Undiksha Singaraja terkait
dengan pengambilan mata kuliah drama pada semester V (September –
Desember 2011). Mahasiswa tersebut terdiri atas dua kelas (kelas A dan
Kelas B) yang masing-masing diminta menggarap drama berbahasa
Bali dengan pola rengganis repertoar dengan tema yang berbeda.
Kelas A menggarap tema Jayaprana, sedangkan kelas B dengan tema
Sampik Ingtai. Drama ini mulai digarap pada akhir Oktober 2011.
Drama Sampik Ingtai dipentaskan hari Kamis, 12 Januari 2011
di Open Stage desa Anturan, sedangkan drama Jayaprana dipentaskan
sehari kemudian (Jumat, 13 Januari 2011) di wantilan desa Dharma
Jati Tukad Mungga. Tampilan drama mahasiswa ini sekaligus sebagai
ujian akhir semester pada mata kuliah drama tersebut. Kedua
penampilan tersebut memperoleh simpati dari penonton, baik dari
para dosen, mahasiswa, masyarakat, maupun pelatih Rengganis (I
Wayan Sukerena) dari desa Panglatan. Hal ini menghantarkan mereka
pada pemerolehan nilai maksimal pada mata kuliah tersebut.
Di samping kesuksesan mereka dalam mementaskan drama
rengganis repertoar yang telah digarapnya, secara tidak langsung
meraka telah melaksanakan suatu proses pembelajaan bahasa dan
sastra Bali secara efektif, komunikatif, dan komprehensif. Syair-syair
rengganis menguatkan pemahaman mereka tentang bahasa Bali
ragam sastra (puisi). Bahasa Bali ragam ini penuh dengan diksi guna
pencapaian estetika bahasa dalam fiksi. Terlebih lagi dalam narasi
maupun dialog para tokoh drama, mereka diarahkan pada upaya
pragmatis dalam memahami bahasa Bali yang baik dan benar.
Dengan mendramatisasi kisah fiksi tentang “percintaan tragis”

94
pada kedua karya sastra tersebut, mereka dapat lebih mengenal,
memahami, maupun mengapresiasi karya sastra yang telah hidup dan
berkembang dalam masyarakat Bali. Kisah yang sebelumnya sempat
didengar, dibaca, dianalisa, dan didiskusikan, selanjutnya dapat lebih
dirasakan fibrasi fiksi yang terkandung di dalamnya. sesuatu yang
sebelumnya hanya sebuah kisah, kini telah menjadi desah dalam nafas
mereka. Nilai-nilai budaya yang terselip dalam dua kisah tersebut
tentu akan semakin menancap dalam hati sanubari mereka.

III. Kesimpulan dan Saran


Tulisan ini membicarakan tentang proses pembelajaran bahasa
dan sastra Bali saat ini melalui kesenian inovatif, yang dalam hal ini
berupa kesenian rengganis repertoar. Kesenian ini merupakan olah
kreatif dalam dalam memadukan antara rengganis, yaitu suatu seni
paduan suara tradisional yang tercipta di Bali Utara, dengan seni
drama moderen untuk menciptakan suatu bentuk drama moderen
berbahasa Bali. Pada satu sisi, kesenian ini dapat melestarikan dan
mengembangkan salah satu warisan budaya ataupun kearifan
lokal masyarakat Bali utara dan pada sisi lain, kesenian ini dapat
menciptakan suatu bentuk drama modern berbahasa Bali. Kesenian
ini dapat memberikan ruang dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Bali.
Kesenian rengganis repertoar ini adalah sebuah rintisan yang
memerlukan upaya-upaya penyempurnaan untuk mencapai suatu
bentuk dan tampilan yang ideal sebagai suatu model drama moderen
berbahasa Bali. Sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
menciptakan nuansa progresivitas seperti pada kesenian-kesenian
inovatif saat ini. Begitu juga dengan sentuhan aspek-aspek budaya
lokal (kearifan lokal) dapat menciptakan nuansa represivitas seperti
pada kultur masyarakat Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, I Gusti Ngurah. 2001. “Tantangan, Potensi, serta Peluang Bahasa Bali Di
Tengah Peradaban Globalisasi” (makalah). Dinas Kebudayaan Provinsi
Bali.
Hobsbawam, Eric. 1998. “I.Introduction : Inventing Tradition”. Dalam The
Invention of Tradition. Penyunting : E. Hobsbawam dan T. Ranger.
Cambridge : Cambridge University Press.
Soebadio, Haryati. 1986. “Kepeibadian Budaya Bangsa”. Dalam Keperibadian
Budaya Bangsa (local genius). Editor : Ayatrohadi. Jakarta : Pustaka Jaya.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsif-prinsif Dasar Sastra. Bandung : angkasa.

95
ORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS KEARIFAN LOKAL MAKASSAR:
Penguatan Peran Bahasa Ibu Menuju Good
Society

Ery Iswary
Universitas Hasanuddin, Makassar

Pendahuluan

M asalah pendidikan karakter akhir-akhir ini menjadi topik


yang sangat menarik diperbincangkan oleh karena kondisi
masyarakat yang semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya
pada aspek hubungan sosial (sesama manusia). Fenomena
memburuknya hubungan antara sesama manusia dalam kondisi
tertentu (saling menuding dan menghujat), semakin ramainya pejabat
dan para petinggi pemerintahan melakukan korupsi, dekadensi moral
di kalangan remaja berbentuk tawuran, penggunaan narkoba dan
sex bebas, membuat pemerintah kembali menggiatkan pendidikan
karakter sejak belia hingga perguruan tinggi.
Isu pendidikan karakter dicanangkan kembali secara resmi
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2 Mei 2010. Substansinya adalah pemerintah
ingin memperoleh dukungan sepenuhnya dari rakyat Indonesia yang
menjadikan pengembangan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.Pernyataan
Presiden ini tentu saja perlu direspons secara serius khususnya dari
lembaga pendidikan agar pendidikan karakter menjadi bagian dari
isi kurikulum dan menjadi bagian dari proses pembelajaran di dalam
kelas.
Proses pendidikan yang telah dijalani seorang individu sejak dini
hingga dewasa diharapkan dapat membentuk dan menginternalisasi
karakter positif yang diperolehnya. Tetapi kenyataannya, pendidikan
formal semata tidaklah cukup untuk membentuk pribadi seseorang
mempunyai karakter positif. Orientasi pembentukan karakter positif
sejak dini di kalangan anak-anak dan pendidikan karakter yang
kontinyu pada setiap jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi
diharapkan dapat memberikan penyadaran, khususnya kepada
generasi muda tentang etika berperilaku baik di dalam keluarga,

96
masyarakat, dan terhadap lingkungan.
Di era golbalisasi ini konsep pendidikan karakter yang berbasis
bahasa ibu yang berisi kearifan lokal diharapkan dapat memberikan
kontribusi tersendiri dalam membentuk karakter seseorang sejak
dini. Bahasa ibu yang biasanya bahasa daerah adalah bahasa yang
pertama kali diajarkan ibu kepada anaknya sejak kecil, baik saat
mengajarkan berbicara maupun pada saat menceritakan dongeng
lokal. Etika berbicara yang baik biasanya telah ditanamkan seorang
ibu kepada anaknya sejak dini melalui cara bertutur, dan ajaran moral
diajarkan berdasarkan substansi norma budaya yang berlaku dalam
masyarakatnya, yang dapat dilakukan melalui dongeng atau petuah-
petuah.

RUMUSAN MASALAH
Kertas kerja ini mencoba menyorot dua hal yang menarik untuk
diperbincangkan, yaitu :
1. Bagaimana konsep kearifan lokal Makassar mengajarkan
pendidikan karakter kepada masyarakatnya melalui media
bahasa ibu?
2. Jenis-jenis pendidikan karakter apa saja yang dapat ditemukan
dalam manuskrip Makassar yang berupa “pappasang” (pesan/
wasiat)?

Teori Pendidikan Karakter dan Bahasa Ibu


Koesoema (2010) berpendapat bahwa karakter sama dengan
kepribadian, yang mana kepribadian itu sebagai ciri, karakteristik,
gaya, sifat khas dari seseorang yang bersumber dari lingkungan
dan keluarga pada masa kecil, yang selanjutnya membentuk
kepribadiannya. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa
karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat tempatnya bersosialisasi sejak kecil hingga
dewasa, yang selanjutnya membentuk kepribadiannya.
Sehubungan dengan pilar karakter, Muin (2011:211) berpendapat
bahwa ada 6 pilar yang saling berkaitan dengan karakter manusia yaitu
penghormatan, tanggung jawab, kesadaran berwarganegara, keadilan
dan kejujuran, kepedulian dan kemauan berbagi, serta kepercayaan.
Untuk menegakkan pilar-pilar ini dapat diperoleh melalui pesan atau
petuah berbasis budaya lokal yang ada dalam budaya masing-masing
etnik. Penguatan peran bahasa ibu dan pemertahanannya juga dapat
berfungsi jika bahasa-bahasa lokal juga difungsikan secara realistis
dalam bentuk pendidikan karakter.

97
Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim
didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain, untuk (1)
mewujudkan diversitas kultural, (2) memelihara identitas etnis, (3)
memungkinkan adaptabilitas sosial, (4) secara psikologis menambah
rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistis
(Crystal, 1997). Salah satu bentuk pemertahanan bahasa ibu adalah
dengan mengeksplorasi nilai-ilai kearifan lokal yang dimiliki oleh
bahasa yang bersangkutan, baik yang masih berupa manuskrip maupun
bahan tertulis lainya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut khususnya
yang menyangkut pendidikan karakter positif disosialisaikan kepada
masyarakat agar dapat dijadikan pedoman untuk mendidik anak yang
lebih berkarakter.
Pendidikan karakter sejak dini utamanya berbasis bahasa dan
budaya lokal diharapkan dapat melahirkan generasi yang lebih beretika
dan lebih santun. Jika anggota masyarakat adalah para generasi yang
beretika, saling menghargai keberagaman dan perbedaan, maka
konflik antar etnik otomatis dapat terhindar yang pada gilirannya
dapat menciptakan good society.
Revitalisasi bahasa dan budaya lokal selalu didengungkan oleh
karena menjad identitas etnik pemiliknya. Bahasa lokal diharapkan
juga menjadi sumber kekayaan nilai kearifan lokal sehingga perlu
dipelihara. Adapun tujuan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara
daerah adalah:
a. Memantapkan keberadaan dan kesinambungan penggunaan
bahasa, sastra dan aksara daerah sehingga menjadi faktor
pendukung bagi tumbuhnya jati diri dan kebanggaan daerah;
b. Memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa, sastra, dan aksara
daerah;
c. Melindungi, mengembangkan, memberdayakan, dan
memanfaatkan bahasa, sastra dan aksara daerah yang merupakan
unsur utama kebudayaan daerah yang pada gilirannya menunjang
kebudayaan nasional;
d. Meningkatkan mutu penggunaan potensi bahasa, sastra dan aksara
daerah.

Konsep Pendidikan Karakter Berdasarkan Kearifan Lokal dalam
Pappasang Bahasa Makassar
Isi pappasang yang berbentuk manuskrip berbahasa Makassar
antara lain adalah pemberian tuntunan kepada masyarakat agar
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, rasa dan karsa; baik sebagai pemimpin maupun anggota

98
masyarakat. Untuk menjadi manusia berkarakter perlu diupayakan
untuk mempunyai sifat-sifat tertentu. Misalnya, untuk menjadi
pemimpin berkarakter berdasarkan pappasang Makassar harus
memenuhi beberapa kriteria, seperti tercantuk dalam teks berikut:
1. Nikanaya karaeng panrita
‘yang dikatakan raja harus ahli’
Persyaratan untuk jadi pemimpin (raja) haruslah ahli dalam
kepemimpinan agar nantinya dapat mengorganisir pemerintahannya
secara baik; ahli dalam manajemen maupun ahli dalam berbicara.
2. Nikanaya karaeng, ia naparek poktahannya.o mallaka ri Allah taala laherek
bateng
‘yang dikatakan raja yang dijadikan pegangan haruslah takut pada
Allah lahir batin’
Seorang pemimpin diisyaratkan agar takut kepada Allah secara
lahir batin agar dalam menjalankan roda pemerintahannya tidaklah
sewenang-wenang dan harus merasa bahwa ada yang melihat segala
macam perbuatan yang dilakukannya. Sifat ini sebagai sifat pengontrol
sang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya.
3. Baranipi ‘harus berani’
Sifat berani haruslah dimiliki seorang pemimpin agar tak gentar
menghadapi berbagai masalah dan sanggup bertindak untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa pernah merasa takut
selama berada dalam kebenaran, baik secara agama maupun adat.
4. Malambusukpi rilarrona siagang ritamalarrona
‘harus jujur baik dalam keadaan marah maupun tidak marah’
Sifat jujur dalam keadaan apapun menjadi suatu persyaratan agar
keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin harus adil, sehingga
tidak akan merugikan rakyat dan dirinya sendiri. Kondisi marah tidak
bisa mempengaruhi sikap dan tindakan seorang pemimpin dalam
pengambilan keputusan maupun dalam bersikap terhadap sesama
(rakyatnya).
5. Matattappi ribicaranna
‘dapat dipercaya perkataannya’
6. Mammempopi ripassimbangenna mappakamallak-mallaka namappakabuyu-
buyua.
‘Harus duduk di antara hal yang menakutkan dan yang
mempesonakan’
Filosofi dari pesan ini bahwa seorang pemimpin tidak boleh takut
menghadapi segala macam tantangan dalam bentuk apapun; dan juga
tidak boleh terpesona oleh hal-hal yang bisa membuat pemimpin tidak
adil dalam mengambil keputusan dan bersikap.
7. Napabutapi matanna nanapatongoli tompi tolinna
‘harus membutakan matanya dan menulikan telinganya’
Filosofinya bahwa seorang pemimpin harus dapat melihat hal-hal dan

99
masalah secara proporsional, dan tidak boleh mendengarkan kabar
angin atau kabar yang tak jelas duduk perkaranya.
8. Majaiampi panngamaseang pakmaikna nasipak malabona.
‘Mempunyai rasa belas kasihan (rasa simpati) yang besar daripada
sifat pemurah’.
Pesan ini mengingatkan para pemimpin agar tidak kikir dan
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyatnya. Pemimpinpun
diharapkan agar mempunyai rasa simpati yang tinggi terhadap nasib
rakyat yang diperintahnya.
Di samping pesan/petuah kriteria untuk memilih seorang
pemimpin, dipesankan pula jika seorang pemimpin ingin
masyarakatnya makmur dan langgeng dalam kepemimpinannya
(pemerintahannya) haruslah mengikuti wasiat seperti berikut:
1. Malambusukpi ri karaeng se’rea [jujur kepada Tuhan yang Maha Esa],
malambusukpi ri paranna karaeng [jujur kepada sesama raja],
malambusukpi ri pakrasanganna [jujur kepada negeri tetangganya],
mamlambusukpi ri tau jaina [jujur kepada rakyatnya],
malambusukpi ri kalenna siagang bone ballakna [jujur pada diri sendiri
dan seisi rumahnya],
malambusuki mange risikamma nacinika mata nalanngereka toli [jujur
kepada seluruh yang dilihat mata dan yang didengarkan telinga].
Berdasarkan pesan di atas, kejujuran merupan sifat yang sangat
penting dilakukan dalam segala aspek kehidupan jika ingin menjadi
pemimpin yang sukses dan disenangi rakyatnya.Sifat jujur harus
dimulai dari diri sendiri, sesama, lingkungan/tetangga, hingga jujur
kepada Allah.
2. Apa-apa erok nagaukang, eroko nakanang, nacinippi dallekanna, nakira-
kira bokona, appatangarakpi ripakbicaranna, nasabak sibajik-bajikna gauka
iyamintu gauk nipassamaturukiya
‘apa yang ingin dilakukan, ingin diucapkan, maka seorang pemimpin
harus melihat sebabnya dan memperhitungkan akibatnya, meminta
pendapat dari pemangku adat, sebab sebaik-baik perbuatan adalah
perbuatan yang telah disepakati bersama’.
Pesan ini mengisyaratkan agar sebelum memutuskan perkara perlu
mempertimbangkan secara matang, dan selayaknya keputusan itu
merupakan keputusan bersama bukan keputusan pribadi. Hal ini
diisyaratkan agar nantinya tidak ada pribadi yang dituding menjadi
sumber kegagalan jika ada masalah yang muncul di kemudian hari.
Jika menuai keberhasilan maka yang berhasil bukan pribadi tetapi atas
nama kebersamaan.
3. Malompo panngamaseampi siagang malompo pannulungpi ritaujaina.
‘Harus besar rasa kasihsayangnya dan jiwa penolongnya kepada
rakyatnya’
Seorang pemimpin hendaklah mempunyai rasa simpati dan empati
kepada nasib rakyat, dan perlu terus dijaga agar terhindar dari

100
kesengsaraan dan musibah.
4. Jarreki rijanji namalukmu kana-kana siagang mabajik pannggaukang
risesena adaka siagang saraka.
‘memegang teguh janjinya dan lembut perkataan serta berperilaku
baik sesuai adat dan sara’.
Manusia yang dapat dipercaya adalah manusia yang dapat dipegang
kata-katanya termasuk janjinya. Utamanya kepada para pemimpin
agar bukan hanya mengiming-imingi rakyat dengan janji tapi perlu
pembuktian. Siapa yang berperilaku baik akan menuai kebaikan
dan prinsip ini sangat penting bagi pemimpin yang ingin langgeng
kekuasaannya.
5. Baranipi rigauk kuntu tojeng.
‘berani bertindak berdasarkan kebenaran’
Pesan ini mengisyaratkan agar jangan pernah merasa takut dalam
memimpin atau bertindak selama berada dalam rel kebenaran.
Kebenaran merupakan pedoman dalam melakukan semua tindakan
dalam menjalankan kepemimpinan.

Selain pesan di atas, juga ada jenis pesan yang khusus


diperuntukkan guna menjaga serta mengontrol panca indera dan
pikiran agar terhindar dari hal-hal yang tak dinginkan. Pesan tersebut
menyatakan bahwa ada 3 pasal untuk menjaga diri dari pikiran kotor,
yaitu:
1. Tangaraki gauknu naiya nualle anrongguru
‘amatilah perbuatanmu, jadikanlah pelajaran’
Filosofi dari pesan ini bahwa dalam bertingkahlaku haruslah dapat
mengontrol diri dan tingkah laku kita dapat menjadi cermin untuk
introspeksi. Tingkah laku yang baik dapat dijadikan pelajaran untuk
berbuat lebih baik dan perilaku yang dianggap kurang baik harus
dihindari.
2. Allei bajika nanutantangi kodia
‘ambil yang baik dan hindarkan keburukan’
Pesan ini mengisyaratkan bahwa sebagai manusia harus mempunyai
filter diri dalam berperilaku. Evaluasi dan monitoring secara internal
dalam berperilaku lebih diutamakan dalam menjalani kehidupan.
3. Nasabak antu kanaya siballaki antu bajika siagang kodiya, kamma tonji antu
nawa-nawaya.
‘ucapan itu tempatnya bersatu antara kebaikan dan keburukan, sama
halnya dengan pikiran’.
‘Pesan ini juga menuntut seorang individu agar dapat membedakan
hal-hal baik dan buruk dalam berucap dan berpikir. Menurut pesan
ini ucapan dan pikiran terdiri atas campuran hal-hal yang baik dan
buruk, sehingga sebagai manusia diharapkan dapat memilah-milah
secara intuitif dan normatif untuk menjalankannya.

101
Pesan lainnya adalah pesan untuk hati, dan dinyatakan seperti
berikut :
Jagai bajiki pandallekanna atinnu
‘jagalah dengan baik haluan hatimu’
Napunna bajik pandallekanna atinnu
‘karena jika haluan hatimu baik’

Bajik tongi ampe-ampenu ri karaenga siagang riparannu dipakjari


‘akan baik juga tingkah lakumu kepada Allah yang menciptakanmu’
Napunna kodi pandalekanna atinnu
‘tetapi jika haluan hatimu tidak baik’
Kodi tongi antu panngapetta rikaraenga siagang ripanrita tunipakjari
‘akan tidak baik pula pengaruhnya terhadap Allah yang
menciptakanmu dan sesama ciptaanNya’

Adapun substansi pesan di atas khususnya untuk hati agar dijaga


haluannya tetap baik, karena sifat dan perilaku manusia bersumber
dari hati. Manifestasi tingkah laku manusia juga merupakan cermin
suasananya hatinya. Seseorang yang baik hati (inner beauty) akan
tampak mempunyai wajah yang cerah dan menarik dalam berperilaku.

Adapun macam-macam pikiran yang dideskripsikan dalam


‘pappasang” (pesan) Makassar ada 4 macam. Keempat macam pikiran
ini berorientasi kepada 4 unsur pembentuk bumi, yaitu angin, api, air,
tanah. Adapun jenis-jenis pikiran tersebut dideskripsi sebagai berikut:
1. Naiya nawa-nawa anginga kuasa magassingi nateyai lambusuk
‘Adapun pikiran angin sangat kuat tetapi tidak bisa jujur’
2. Naiya nawa-nawa pepeka kuasa malompoi natanacinikai bokona
‘Adapun pikiran api sangat besar kuasanya tetapi tidak melihat
akibatnya
3. Nawa-nawa jeknek carakdeki apparek nateyai bajik nakimbolong
‘Pikiran air pintar berbuat tetapi tidak mengandung kebaikan’
4. Anjo nawa-nawa buttaya carakdeki nalambusuk
‘Pikiran tanah itu pintar dan jujur’
Macam-macam pikiran di atas beranalogi dengan sifat unsur yang
diacunya. Pikiran “angin” beranalogi kepada sifat angin yang dapat
menghancurkan bumi dengan kekuatannya dan bersifat fleksibel tanpa
pendirian; akibat yang akan ditimbulkannya pun tidak diperhitungkan.
Adapun pikiran “api” juga beranalogi dengan sifat api yang bersifat
panas (emosi) tanpa perhitungan ; pikiran api mudah tersulut oleh
hasutan orang sekelilingnya tanpa memperhitungkan akibatnya.
Pikiran “air” meskipun tampak sejuk dan tenang tetapi tampak tidak
mempunyai pendirian; bersifat labil mengikuti lingkungan tempatnya
berada (ibarat air mengikuti bentuk wadahnya). Sedangkan pikiran
“tanah” dianalogikan dengan kecerdasan dan kejujuran karena
senantiasa stabil dan produktif.

102
Konsep ini dapat memberikan pencerahan untuk mencoba
mengarahkan pikiran agar berorientasi pada macam pikiran yang
bersifat tanah yaitu pintar dan jujur serta bersifat produktif. Seperti
diketahui bahwa tanah mempunyai sifat fertilitas dan tempat
tumbuhnya segala macam makhluk hidup.
Pesan-pesan yang terdapat dalam manuskrip berbahasa makassar perlu
diresosialisasikan kepada masyarakat yang empunya budaya, agar
masing-masing individu dapat menghayati dan menginternalisasikan
dalam kehidupannya. Selanjutnya, para orang tua dapat mewariskan
nilai-nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter
anak-anak mereka sejak dini
Jenis-jenis pesan yang bersumber dari kearifan lokal Makassar
sangatlah kaya akan nuansa pendidikan, khususnya pendidikan
manusia yang lebih berkarakter, misalnya pesan untuk menjadi
pemimpin yang baik, cara menjaga hati dan etika yang baik, kejujuran
dalam berbagai aspek kehidupan, bagaimana memfungsikan pikiran
agar senantiasa berpikir positif.

PENUTUP
Konsep pendidikan karakter dalam masyarakat Makassar
berorientasi kepada pemberian tuntunan kepada masyarakat agar
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, rasa dan karsa; baik sebagai pemimpin maupun anggota
masyarakat. Konsep karakter yang diajarkan antara lain adalah
bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan disenangi rakyatnya
sehingga dapat menciptakan stabilitas kehidupan untuk menuju
masyarakat yang lebih damai (good society). Isi pesannya menjelaskan
bahwa ada beberapa kriteria seorang pemimpin yang berhasil
antara lain seorang pemimpin harus pintar dan berani; bertaqwa
kepada Allah; memiliki keberanian untuk berbuat/bertindak untuk
kepentingan orang banyak; jujur dalam situasi apapun; harus buta
dan tuli terhadap apa yang dilihat dan didengarnya;serta rasa belas
kasih kepada rakyat. Pendidikan karakter lainnya adalah tentang
jenis-jenis pikiran yaitu pikiran bersifat angin, air, api, dan udara, yang
dimiliki oleh manusia, sehingga mempengaruhi karakternya dalam
berperilaku. Pikiran hendaklah diorientasikan kepada sifat tanah
yang bersifat stabil dan produktif, dan menjadi tempat bersemainya
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Pencitraan positif terhadap bahasa daerah melalui penguatan
peran bahasa ibu dan pemahaman tentang bahasa daerah masing-
masing akan lebih mempermudah pemahaman tentang kearifan lokal.

103
Orientasi kepada pembentukan karakter positif di kalangan generasi
muda (mahasiswa) diharapkan dapat melahirkan apresiasi terhadap
bahasa ibu,yang bermuara kepada pembentukan komunitas cinta
damai (good society) dan tetap berprinsip “Bertindak lokal berpikir
global”.

DAFTAR PUSATAKA

Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Azza, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia.
Yogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Bantang, Siradjuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Refleksi.
Diknas. 28 Desember 2010. Konsep Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di
Kelas.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/.   
Febriandy, Stevent. 05 /10/2009. Pendidikan Sulawesi Selatan. http://www.
depdiknas.go.id
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan
Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT. Refika Aditama.
Masnur, Muslich dan Oka .2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana (ed). 2008. Pembelajaran Bahasa dan Sasra Daerah dalam Kerangka
Budaya. Yogjakarta: Tiara Wacana.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Munthe, Bermawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yogjakarta: CTSD UIN Sunan
Kalijaga.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sarkawi. 9 Agustus 2007. Dari Huruf Lontara ke Latin. Pergeseran Pendidikan
Tradisional ke Kolonial di Makassar. http://www.depdiknas.go.id
Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo.
Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoretik dan Praktik.
Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumarsono.2008. Sosiolinguistik. Yogjakarta: SABDA.

104
NILAI KEARIFAN LOKAL UNGKAPAN
TRADISIONAL DALAM MEMBANGUN
PENDIDIKAN KARAKTER

H. Yayat Sudaryat
Univeritas Pendidikan Indonesia, Bandung

Prawacana

B angsa Indonesia memiliki kekayaan dan keragaman budaya


daerah. Salah satu unsur dan sekaligus sebagai alat kebudayaan
adalah bahasa. Bahasa akan menggambarkan budaya. Basa teh ciciren
bangsa ‘Bahasa menunjukkan bangsa. Unsur-unsur budaya seperti
sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem teknologi dan
peralatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem agama dan kepercayaan,
seni, serta bahasa itu sendiri akan tercermin dalam bahasa.
Salah satu bahasa daerah di Indonesia adalah bahasa Sunda.
Jumlah penuturnya termasuk terbesar kedua di Indonesia setelah
bahasa Jawa. Bahasa Sunda diekspresikan dalam berbagai bentuk,
antara lain, berupa ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional dapat
berupa babasan dan paribasa yang merupakan susunan kata-kata yang
relatif tetap dengan makna yang tertentu pula, biasanya mengandung
makna kiasan dan perbandingan sebagai lambang kehidupan
kebudayaan masyarakat pemakainya. Misalnya, peribahasa kudu
paheuyeuk-heuyeuk leungeun yang bermakna ‘harus bergotong royong’
mengacu kepada karakter bermasyarakat.
Tulisan ini menyajikan nilai kearifan lokal pendidikan karakter
dalam ungkapan tradisional Sunda. Ada lima hal yang disajikan
dalam tulisan ini, yakni (1) pendidikan karakter, (2) hasil pendidikan
karakter, (3) nilai ilmu pengetahuan, (4) empat pilar pendidikan, dan
(5) ranah kompetensi pendidikan.

Pendidikan Karakter
Istilah karakter (Inggris: character) yang bermakna watak atau
sifat (Echols & Shadily, 1996:107). Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Karakter disebut juga watak dan tabiat (KBBI, 1988:389). Istilah
karakter dapat disamakan dengan nilai, budi pekerti, moral, watak,
atau akhlakul karimah.

105
Karakter bangsa dapat diwariskan dan ditumbuhkan melalui
pendidikan. Pentingnya pendidikan karakter tersurat dan tersirat
dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional (Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3), yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis


yang mencakup seluruh potensi individu manusia (ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam
konteks interaksi keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat
(Kemendiknas, 2011:8) yang berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dapat dibedakan atas empat kelompok, yang disebut sebagai
catur tunggal watak, yakni (1) olah hati, (2) olah pikir, (3) olah raga
dan kinestetik, serta (4) olah rasa dan karsa.
Pertama, karakter olah hati (spiritual and emotional development)
melingkupi perilaku beriman, bertakwa, jujur, amanah, adil,
bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang
menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Misalnya: Teu unggut
kalinduan teu gedag kaanginan ‘tangguh dan pantang menyerah’.
Kedua, karakter olah pikir (intellectal development) mencakup
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif,
berorientasi ipteks, dan reflektif. Misalnya: Kudu bodo alewoh ‘kalau
tidak tahu harus banyak bertanya’.
Ketiga, karakter olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic
development) mencakup karakter perilaku bersih dan sehat, disiplin,
sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif,
determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Misalnya: Ka cai jadi saleuwi
ka darat jadi salebak ‘rukun dan seia sekata’.
Keempat, karakter olah rasa dan karsa (affective and creativity
development) meliputi karakter perilaku ramah, saling menghargai,
toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit,
mengutamakan kepentingan umum, mencintai tanah air dan bangsa
(termasuk bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia),
dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Misalnya: Bengkung ngariung
bongkok ngaronyok ‘bersama-sama dalam suka dan duka’; Kudu inget ka

106
bali geusan ngajadi ‘ingat kepada tanah kelahiran’.

Hasil Pendidikan Karakter


Hasil pendidikan dapat berupa hasil akhir dan dampak
pendidikan. Hasil akhir atau output pendidikan merupakan capaian
pendidikan oleh peserta didik. Hasil akhir ini diperoleh melalui
penilaian pendidikan. Orang Sunda berpandangan bahwa pendidikan
itu harus mampu menciptakan orang yang serba bisa atau piawai
dalam berbagai hal, yang disebut jelema masagi ‘manusia paripurna’
dan orang yang banyak pengalaman: Legok tapak genténg kadék. Di
samping itu, tujuan akhir perjalanan setiap insan adalah menuju
kehidupan yang tertib, beres dan sejahtera lahir batin: Hirup kudu alus
tungtung, bérés pancén dipigawé, tutas tugas dipilampah ‘Akhir kehidupan
harus tertib, beres, dan sejahtera lahir batin.
Dampak atau outcome pendidikan merupakan perwujudan
akhir pendidikan yang terlihat dalam praktek kehidupan sehari-
hari. Dampak pendidikan adalah peserta didik diharapkan mampu
memasuki “Gapura Panca waluya” (gerbang lima kesempurnaan
hidup), yakni kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Dalam
hal ini, terbentuk insan yang nyunda, nyantri, nyakola ‘berbudaya,
agamis, akademis’ dan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) unggul
(paripurna) dengan lima penanda utamanya “Panca Rawayan” (lima
jembatan) yang indikatornya berupa keadaan: Cageur, Bageur, Bener,
Pinter, Singer.
a) CAGEUR, yaitu sehat lahir-batin, jasmani dan rohani dan
sehat dalam berinteraksi sosial atau kesalihan sosial.
b) BAGEUR, yaitu bermoral, baik hati, ta’at kepada hukum
agama, hukum nurani, hukum positif dan hukum adat.
c) BENER, yaitu beriman, jujur, adil, jelas serta lurus visi dan
misi hidupnya.
d) PINTER, yaitu mampu mengatasi masalah dan tantangan
hidup; proaktif, beretos kerja tinggi, dan berprestasi; dan
e) SINGER, yaitu terampil, mahir, atau piawai dalam bergaulan
dan wanter (berani) menjalani hidup.
Panca rawayan yang menjadi indikator SDM yang unggul
tersebut harus dibarengi dengan karakteristik atau watak:
f) PANGGER, yaitu teger (tegar), cangker (kuat), dan kukuh dalam
segala aspek kehidupan, serta taat pada hukum.

107
Nilai Ilmu Pengetahuan
Isi dari pembicaraan sistem ilmu pengetahuan dalam suatu
kebudayaan adalah uraian mengenai cabang-cabang pengetahuan,
misalnya pengetahuan tentang alam, benda, tumbuh-tumbuhan,
binatang, ruang, dan waktu.
Masyarakat Sunda berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu
merupakan ciri manusia untuk membedakannya dari binatang: Sato
busana daging, jalma busana élmu ‘Ciri manusia itu berilmu tidak hanya
makan seperti binatang’. Ilmu dan harta harus dicari: Elmu tungtut
dunya siar. Oleh karena itu, harus belajar sejak dini sehingga setelah
dewasa tinggal memanfaatkannya: Guguru ti lelembut, diajar ti bubudak,
ngulik pangarti ti leuleutik, geus gedé kari makéna.
Ilmu itu merupakan pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman yang baik maupun buruk, dari buku, dan dari sesama
kita, baik secara langsung maupun tidak langsung: Meunang luang
tina burang ‘mendapat pengetahuan dari musibah’; Diajar ti papada
urang ‘Belajar dari orang lain’; dan Kabisa mah tina luang jeung daluang
‘Pengetahuan itu didapat dari pengalaman dan membaca’.
Siapa pun berharap agar dirinya pintar, jangan bodoh. Ulah bodo
katotoloyoh ‘Jangan seperti orang yang bodoh’; Teu nyaho dialip bingkeng-
bingkeng acan ‘Tidak tahu apa-apa sama sekali’; Miyuni hurang, tai ka
hulu-hulu ‘Orang yang sangat bodoh, tidak tahu apa-apa’; Kolot dina
kolotok munding ‘Sudah tua tetapi kurang berpengalaman’; apalagi
masih kecil janganlah berperilaku seperti orang dewasa: Ulah kokolot
begog ‘Anak kecil jangan berbuat seperti orang dewasa’.
Masyarakat Sunda menyadari betul bahwa di dunia ini tidak
ada orang yang bodoh. Semua orang diberi kemampuan untuk belajar
dan memperoleh ilmu pengetahuan asalkan rajin atau tidak malas.
Matih tuman batan tumbal ‘Bisa karena biasa’. Betapa pun bodohnya,
kalau mau belajar, lambat laun akan pandai. Bedog mintul mun diasah
laun-laun jadi seukeut. ‘Meskipun bodoh, kalau mau belajar pasti lama-
lama akan bisa’. Kita diharuskan rajin belajar: Cikaracak ninggang batu
laun-laun jadi legok. ‘Harus rajin, kelak kemudian akan berhasil yang
dimaksud’; Suluh besem ogé ari diasur-asur mah hurung ‘Kalau rajin,
lama-kelamaan akan bisa juga’.
Apabila merasa bodoh atau tidak tahu, kita harus rajin bertanya
kepada orang lain: Kudu bodo aléwoh ‘Sungguhpun bodoh jika suka
bertanya akan tahu juga’. Janganlah membiarkan diri terbelunggu

108
oleh ketidaktahuan karena akan merugikan diri sendiri: Kawas monyét
ngagugulung kalapa .‘Seperti orang yang memegang benda, tetapi tidak
tahu cara memanfaatkannya’.
Pengetahuan dan pendidikan itu harus diperoleh sebanyak-
banyaknya, jangan sampai kurang. Dengan memiliki pengatahuan
yang memadai, kita dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Orang
yang berpengetahuan kurang akan dianggap tidak bersekolah: Siga
teu nyakola. ‘Seperti tidak pernah belajar atau sekolah saja’ dan seperti
anak kecil Budak bau kénéh jaringao ‘Anak kecil yang masih kurang
pengalaman’.
Orang yang sudah memperoleh dan mempunyai ilmu yang
tinggi itu dianggap orang yang serba bisa: Luhur ku élmu jembar ku
pangabisa sugih ku pangarti. ‘Banyak ilmu pengetahuannya’ dan banyak
pengalaman Legok tapak genténg kadék ‘Banyak pengalamannya’. Orang
yang demikian dikatakan Geus masagi ‘Serba bisa dan serba tahu’.
Apabila sudah berilmu tinggi, janganlah sombong. Setinggi
apapun ilmu manusia akan memiliki kelemaham karena tidak akan
setinggi ilmu Tuhan. Tidak akan terserap semuanya ilmu yang diberikan
Tuhan itu. Jika air laut digunakan sebagai tintanya dan tumbuh-
tumbuhan sebagai penanya, tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu
dari Tuhan. Oleh karena itu, orang yang baik semakin tinggi ilmunya
semakin menyadari kelemahan dirinya. Kudu kawas élmu paré ‘Makin
berilmu makin bijaksana, tidak sombong’.
Orang tua sering memberikan pepatah bahwa lebih baik memiliki
ilmu daripada memiliki harta. Ilmu tidak berat membawanya: Elmu
mah teu beurat mamawana ‘Ilmu tidak akan ada habisnya jika diamalkan’.
Dengan ilmu kita akan mudah memperoleh harta, tetapi memiliki
harta suatu waktu akan habis atau musnah. Uncal teu ridueun ku tanduk
‘Ilmu tidak akan ada habisnya jika diamalkan’.
Dalam memberikan dan menerima ilmu, terdapat berbagai cara.
Orang Sunda beranggapan bahwa ilmu itu janganlah dipamerkan,
apalagi mengajari orang tua: Nyiduh ka langit ‘mengajari orang yang
lebih tua’. Karena itu, dalam beberapa hal orang Sunda suka rendah
hati sehingga dianggap kurang baik apabila memberitahu orang
yang sudah tahu: Ngebéjaan bulu tuur ‘Mengajari orang yang sudah
mengetahuinya’; Mapatahan ngojay ka meri atau Mapatahan naék ka
monyét ‘Mengajari orang yang sudah mengatahuinya’.
Dalam mencari limu, kemampuan seseorang itu berbeda-beda,

109
ada yang lamban (bodoh) dan ada yang cepat (pintar). Orang Sunda
berharap bahwa orang yang belajar itu memiliki otak yang encer: Encér
uteuk ‘mudah memahami sesuatu’. Pelajaran yang diterima itu harus
berbekas: Ulah kawas cai dina daun taleus; atau Ulah kawas cai dina daun
bolang ‘Belajar tetapi tidak berbekas’.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda ada anggapan bahwa
seorang murid tidak akan melebihi gurunya, terutama dalam hal umur
dan pengalaman. Taktak moal ngaluhuran sirah ‘pengalaman anak tidak
akan melebihi orang tuanya’. Meskipun begitu, dalam kenyataannya
seorang murid dapat lebih pintar dari gurunya. Memang seorang
murid harus terus mencari sehingga ilmu dan pengalamannya terus
bertambah. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika ada: Sirung
ngaluhuran tangkal ‘murid melebihi gurunya’ sehingga tidak menutup
kemungkinan, orang yang berusia muda, tetapi ilmunya sudah tinggi:
Leutik-leutik ngagalitik; atau Leutik-leutik gé cabé rawit ‘Meskipun masih
muda, tetapi memiliki kepintaran’.

Empat Pilar Pendidikan
Untuk mencapai catur diri insan, peserta didik harus memiliki
empat pilar pendidikan dari UNESCO, yakni (1) belajar mengetahui
(learning to know), (2) belajar mengerjakan (learning to do), (3) belajar
memiliki (learning to be), dan (4) belajar hidup bersama (learning to live
together).
Pilar pertama, belajar mengetahui (learning to know) mengkondisikan
peserta didik mendapat pengalaman belajar yang menyenangkan dan
berbudi pekerti (beretika) luhur. Perhatikan pupuh Maskumambang
yang menggambarkan ‘percakapan hati dan pikiran’: Hé barudak
kudu mikir ti leuleutik, manéh kahutangan, ku kolot ti barang lahir, nepi ka
ayeuna pisan. ‘[Hai anak-anak haruslah berpikir sejak kecil, Kamu telah
berhutang, Kepada orang tuamu sejak lahir, Sampai masa sekarang
ini.]’
Pilar kedua, belajar mengerjakan (learning to do) menunjukkan
bahwa belajar tidak hanya INGAT saja, tetapi harus MENGERTI,
surti, bahkan terampil baik verbal maupun non-verbal. Bukan belajar
tatabahasa (gramatika), tetapi langsung berkomunikasi. Anak-anak
harus “cas-cés-cos” (piawai berbahasa), serta ditugasi supaya “pok-
pék-prak” (langsung praktek berbahasa).
Pilar ketiga, belajar memiliki (learning to be) menjelaskan bahwa

110
kemampuan atau keterampilan lahir dan batin harus menjadi milik
pribadi peserta didik. Peserta didik membentuk pemahamannya
sendiri (students learn best by actively constructing their own understanding).
Dengan cara begitu, peserta didik diharapkan mampu memasuki
“Gapura Panca waluya” (gerbang lima kesempurnaan hidup), yakni
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Terbentuk insan yang
nyunda, nyantri, dan nyantika, menjadi Sumber Daya Manusia (SDM)
unggul dengan lima penanda utamanya disebut “Panca Rawayan” yang
indikatornya berupa keadaan “Cageur-Bageur-Bener-Pinter-Singer”.
Pilar keempat, belajar hidup bersama (learning to live together)
mengacu kepada belajar berkelompok. Dengan cara berkelompok,
peserta didik bekerja bersama-sama (rempug jukung sauyunan; ka cai
jadi saleuwi ka darat jadi salebak), belajar saling mengisi atau ‘silih élédan’
(sharing). Inilah kunci utama “Tri-SILAS atau silih asih—silih asah—
silih asuh). Silih asih merupakan tingkah laku yang memperlihatkan
rasa kasih sayang yang tulus. Dengan maksud mewujudkan suatu
kebahagiaan di antara mereka. Asih menuntut kejujuran, dedikasi,
kemampuan berdisiplin, kesabaran, ekspresi diri, dan ekspresi rasa
keindahan. Substansi silih asih cenderung kepada kualitas intrinsik
yang berada dalam batiniah seseorang. Bila rasa asih telah bersemayam
dalam batiniah setiap pendidik, maka hubungan sosial kelas pun akan
selalu dilandasi dengan getaran-getaran keindahan nilai manusiawi
yang selaras dan harmonis, yang berakhir pada kebahagiaan bersama
sebagaimana tertuang dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian
yang berbunyi “Ngertakeun bumi lamba” yakni mensejahterakan
alam dunia.
Silih asah adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu
pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalaman lahir batin
untuk peningkatan kualitas kemanusiaan dalam segala aspeknya, baik
pada tataran kognisi, afeksi, spiritual, maupun psikomotor. Silih asah
bertujuan mempersiapkan SDM agar mampu mengatasi tantangan
dan masalah yang dihadapinya. Hal ini sangat penting bagi seorang
pendidik agar terjalin komunikasi dan adanya pentransferan yang baik
dan lancar antara pendidik dan peserta didik. Silih asah merupakan
proses aktivitas antara dua pihak, ada yang berperan sebagai pemberi
dan penerima pengetahuan. Asah berarti memiliki visi dan misi,
pengendalian diri, alat ukur dalam mencapai tujuan, menuntut
kesabaran, memerlukan keterbukaan, memiliki sistem keteraturan,

111
kemampuan mengelola, inovatif, proaktif, pandai berkomunikasi dan
bersinergi.
Silih asuh mengandung makna membimbing, menjaga,
mengayomi, memperhatikan, mengarahkan, dan membina secara
saksama dengan harapan agar selamat lahir batin dan bahagia dunia
akhirat. Asuh adalah kesederajatan, mampu menghargai, adil, bersifat
satria, kebeningan hati, menuntut tanggung jawab dan kebersamaan.
Andaikata dicerna secara saksama, makna kearifan lokal yang
terkandung dalam silih asih, silih asah, dan silih asuh ternyata sarat
dengan nilai kemanusiaan yang universal. Sehubungan dengan proses
pendidikan, silih asih dimaknai sebagai mengasihi dengan segenap
kebeningan hati, silih asah bermakna saling mencerdaskan kualitas
kemanusiaan, sedangkan silih asuh adalah kehidupan yang penuh
harmoni. Yargon silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan sistem
berinteraksi dalam masyarakat yang mengandung kebersamaan dalam
kemitraan dan keterlibatan yang bertanggung jawab. Sikap moral ini
harus dimiliki oleh seorang pendidik yang ideal. Seorang pendidik
dikatakan baik dan ideal jika telah mampu mensejahterakan peserta
didiknya melalui berbagai metode pendidikannya. Akhirnya, tercipta
suasana masyarakat tata tengtrem kerta raharja ‘damai dan sejahtera’
(Suryalaga, 2003:87-106).
Berkaitan dengan karakter silih asih, silih asah, dan silih asuh
tersebut terdapat pupuh Pucung yang berbunyi: Utamana jalma kudu
réa batur, Keur silih tulungan, Silih titipkeun nya diri, Budi akal ngan ukur
ti pada jalma. ‘[Yang utama orang harus banyak kawan, U n t u k
tolong-menolong, Saling meninitipkan diri, Budi akal hanya berasal
dari sesama orang]’.
Berdasarkan empat pilar pendidikan tersebut, peserta didik
dikondisikan agar menjadi “teuneung jeung ludeung” (berani berbuat
berani bertanggung jawab) dalam mengarungi kehidupan. Sikapnya
berubah dari “sawios abdi mah di pengker” (biarlah saya ini di belakang),
menjadi berani di barisan terdepan. Sikap acuh tak acuh terhadap
belajar disebabkan “teu gaduh buku margi teu gaduh artos” (tidak punya
buku karena tidak punya uang), harus diubah menjadi “najan teu
gaduh artos, buku tetep ngagaleuh” (meskipun tak punya uang, buku
tetap terbeli).
Hasilnya akan memberi warna kepada seluruh aspek kehidupan
masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berakhlakulkarimah.

112
Masyarakat Indonesia yang berkualitas ditandai dengan enam aspek
karakter atau Moral Manusia sebagai berikut.
(1) MMT, yakni Moral Manusia terhadap Tuhan, yang ditandai
dengan kualitas iman dan taqwa (IMTAQ).
(2) MMP, yakni Moral Manusia terhadap Pribadi, yang ditandai
dengan kualitas sumber daya manusia (SDM).
(3) MMM, yakni Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, yang
ditandai dengan kesadaran akan adanya masyarakat yang
multi-religi, muliti-etnis dan multikultur.
(4) MMA, yakni Moral Manusia terhadap Alam, yang ditandai
dengan kesadaran ekologi/ekosistem dan geopolitis/
kewilayahan.
(5) MMW, yakni Moral Manusia terhadap Waktu, yang ditandai
dengan kesadaran akan adanya waktu linear, waktu cyclis,
dan waktu baqa.
(6) MMLB, yakni Moral Manusia dalam mencapai kesejahteraan
Lahir Batin, yang ditandai dengan kesadaran Etika dan
Estetika.
Hubungan empat pilar pendidikan dari Unesco dengan
pendidikan karakter Sunda terlihat dari empat hal, yakni:
(1) learning to know berkaitan dengan karakter pinter,
(2) learning to do berkaitan dengan karakter singer,
(3) learning to be berkaitan dengan karakter pangger, dan
(4) learning to live together berkaitan dengan karakter cageur, bageur, dan
bener.
Hasil pendidikan tersebut dapat dicapai apabila dilakukan
melalui proses pembelajaran yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah,
jeung silih asuh.

Ranah Kompetensi Pendidikan


Kompetensi yang dihasilkan melalui pendidikan meliputi tiga
ranah (domain), yakni (1) ranah kognitif, (2) ranah afektif, dan (3) ranah
psikomotor. Ketiga ranah kompetensi tersebut dapat dikaitkan dengan
pendidikan karakter Sunda jelema masagi, yang mampu memasuki
gapura panca waluya, yakni jelema anu cageur, bageur, bener, pinter, tur
singer, diikuti dengan karakter pangger. Apabila gapura panca waluya
dihubungkan dengan tiga ranah kompetensi akan tampak bahwa (1)
ranah kognitif berkaitan dengan karakter pinter (pintar); (2) ranah

113
psikomotor berkaitan dengan karakter singer (terampil); dan (3) ranah
afektif berkaitan dengan karakter cageur, bageur, bener, tur pangger
(sehat, baik hati, benar, dan kukuh).
Ketiga ranah kompetensi pendidikan (kognitif, afektif, dan
psikomotor) yang menghasilkan jelema masagi, yakni jelema anu cageur,
bageur, bener, pinter, tur singer tersebut, harus dilakukan melalui proses
pembelajaran yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Orang Sunda tidak mengharapkan pendidikan itu menghasilkan
peserta didik yang pandai tetapi berbuat seperti orang bodoh. Ulah
pinter aling-aling bodo ‘Orang pandai berbuat seperti orang bodoh’,
tetapi menghasilkan jelema masagi ‘manusia paripurna’.

Pascawacana
Ungkapan tradisional mengandung nilai kearifan lokal seperti
nilai karakter bangsa. Nilai kearifan lokal harus dijaga, diwariskan,
dan dilestarikan. Upaya mewariskan kearifan lokal dapat dilakukan
melalui proses pendidikan. Melalui proses pendidikan diharapkan
tercipta jelema masagi ‘manusia paripurna’ yang cageur, bageur, bener,
pinter, singer, tur panger ‘sehat, baik hati, benar, pintar, terampil, dan
kukuh’. Upaya itu dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang
tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, dan silih asuh. Antara pendidik dan
peserta didik terjadi hubungan yang harmonis (sauyunan), sehingga
berlangsung pendidikan yang menyenangkan: ka cai jadi saleuwi ka darat
jadi salebak atau sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan
‘seia sekata dalam ucapan dan tindakan’.

DAFTAR PUSTAKA

Dananjaya, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.


Djajawiguna, H.I. Buldan & Kadarisman. 1982. Babasan jeung Paribasa Sunda.
Bandung: Pustaka Buana.
Sudaryat, Yayat dkk. 2004. “Manifestasi Unsur-unsur Budaya dalam Ungkapan
Tradisional Sunda”. Bandung: Lemlit IKIP.
Sudaryat, Yayat. 1994. Ulikan Semantik Sunda. Bandung: Geger Sunten.
Sudaryat, Yayat. 2007. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.
Suryalaga, Hidayat. 2003. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Wahana Raksa
Sunda.
Suryalaga, Hidayat. 2010. Filsafat Sunda. Bandung: Yayasan Nur Hidayah.
Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda. Bandung:
Sundanologi.

114
LAMPIRAN

Kesesuaian antara empat pilar pendidikan Unesco dan pendidikan


karakter Sunda dapat digambarkan pada bagan berikut.

Bagan 1: Kesesuaian Karakter dengan Empat Pilar Pendidikan


Unesco

Jelema masagi

Learning to know Pinter

Learning to do Singer

Learning to be Silih asih Pangger


Silih asah
Afektif Cageur,
Silih asuh
Bageur,

Kesesuaian antara ranah kompetensi dengan pendidikan karakter


Sunda tampak pada bagan berikut.
Bagan 2: Kesesuaian Karakter dengan Ranah Kompetensi

Ranah Kompetensi
Jelema masagi

Kognitif Pinter

Psikomotor Silih asih Singer, rapekan


Silih asah

Silih asuh Cageur,


Afektif Bageur,
Bener,
Pangger

115
GEGURITAN MANIGUNA :
Transformasi Feminisme dalam Membangun
Pendidikan Karakter

Ida Ayu Putu Purnami


Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Pendahuluan

S ecara umum sastra Bali dapat dibedakan menjadi dua kelompok,


yaitu: sastra Bali Purwa dan sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa
adalah warisan sastra Bali yang mengandung nilai-nilai tradisional
masyarakat pendukungnya, contohnya: geguritan, kakawin, kidung.
Sastra Bali Anyar adalah sastra yang mengandung unsur-unsur
masukan yang baru dari kebudayaan (sastra) modern, contohnya:
cerpen, novel, cerber, novelat (Granoka, 1981 : 3).
Bali adalah salah satu daerah yang banyak menyimpan naskah-
naskah lama. Naskah tersebut bisaanya disimpan di tempat-tempat
formal, seperti : Gedong Kirtya Singaraja, Kantor Dokumentasi Budaya
Bali, Perpustidakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana,
Perpustidakaan Dwijendra, Museum Bali, Perpustidakaan Institut
Hindu Dharma Denpasar dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang
disimpan pada tempat informal, yakni pada rumah-rumah penduduk,
geria, jero, maupun puri, sebagai koleksi pribadi.
Naskah-naskah tersebut memuat berbagai macam nilai yang
luhur dan berharga yang dapat dijadikan cerminan atau pedoman
pada masyarakat sekarang ini. Memperhatikan banyak dan
beragamnya isi naskah Bali, para pakar kemudian mengklasifikasikan
menjadi beberapa jenis. Friederich (dalam Agastia, 1985:2) membagi
Kesusastraan Bali menjadi 3 golongan, yaitu: (1) Karangan Sanskrit, (2)
Karangan-Karangan Kawi, dan (3) Karangan-Karangan Jawa Bali.
Geguritan sebagai salah satu kesusastraan Bali tradisional
merupakan suatu bentuk karya sastra yang dibentuk oleh pupuh-
pupuh. Pupuh-pupuh tersebut diikat oleh beberapa syarat yang bisaa
disebut padalingsa, yang meliputi banyaknya baris dalam tiap-tiap bait
(pada), banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi
akhir tiap-tiap barisnya (Agastia, 1980 : 17). Geguritan merupakan
sebuah puisi naratif, karena di lihatdari segi bentuk adalah puisi
sedangkan dari segi isinya adalah bercerita (naratif). Ditinjau dari segi
isi cerita amatlah beragam, bahkan sering dipakai lakon dalam seni-

116
seni pertunjukan.
Adapun salah satu karya sastra geguritan yang sangat menarik
untuk di kaji dari nilai-nilai feminisme adalah “Geguritan Maniguna”.
Geguritan Maniguna merupakan sebuah karya sastra Bali tradisional
yang dibangun oleh pupuh-pupuh dalam bentuk variatif. Geguritan
Maniguna memiliki keunikan tersendiri dibandingkan geguritan-
geguritan yang lain yakni terletidak pada struktur ceritanya, dimana
tokoh wanita yang bernama Diah Arini sangat berperan dalam cerita
ini, bukan Maniguna yang menjadi pusat cerita. Meskipun pada judul
itu terlihat nama Maniguna, namun pada ceritanya justru Diah Arini
yang memegang peranan penting dalam cerita ini. Dimana cerita
geguritan ini mengisahkan tentang emansipasi wanita, sosok wanita
lebih ditonjolkan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam
geguritan ini.
Adapun nilai-nilai feminisme yang terdapat pada geguritan
Maniguna adalah wanita sebagai yaitu wanita sebagai pujaan, dimana
wanita sering di puja-puja dan didambakan oleh seorang pria. Wanita
sebagai istri yang setia, dimana kesetiaan wanita terhadap suami sudah
menjadi suatu ajaran, sudah merupakan etos yang ditanamkan pada
wanita melalui pendidikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Bali. Selain itu aspek lain yang tercermin dalam geguritan
ini adalah wanita sebagai perebutan kaum pria, dalam konteks seorang
wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh laki-laki
lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Selanjutnya
aspek wanita sebagai penyelamat atau pelindung, dimana wanita
sering dilukiskan sebagai sosok yang anggun dan lemah lembut,
namun dibalik keanggunan dan wanita memiliki jiwa pemberani
yang dapat menyelamatkan dan melindungi dirinya sendiri, keluarga
maupun orang lain. Adapun nilai-nilai tersebut masih tercermin pada
era sekarang ini.
Dalam tulisan ini akan dicoba menyajikan nilai-nilai feminisme
yang terdapat pada geguritan Maniguna serta transformasi nilai-
nilai feminisme dalam membangun pendidikan karakter siswa
atau mahasiswa pada jaman sekarang ini. Sajian ini tentunya dapat
dijadikan pedoman pada masyarakat, para siswa atau mahasiswa pada
khususnya, agar senantiasa mampu menjadi panutan, bertingkah laku
sesuai dengan norma agama.

Pembahasan
Dalam uraian ini akan dideskripsikaan tentang nilai-nilai
feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna yakni (1)

117
wanita sebagai pujaan, (2) wanita sebagai istri yang setia, (3) wanita
sebagai perebutan kaum pria dan (4) wanita sebagai penyelamat atau
pelindung. Selain itu juga akan dibahas transformasi nilai feminisme
dalam membangun pendidikan karakter, di mana nilai-nilai feminisme
yang terdapat dalam geguritan Maniguna dikaitkan dengan perilaku
siswa atau mahasiswa pada jaman sekarang.

Nilai-Nilai Feminisme dalam Geguritan Maniguna


Adapun nilai-nilai feminisme yang terdapat pada geguritan Maniguna
adalah
1. Wanita sebagai pujaan
Wanita sebagai pujaan, dimana sosok wanita sangat didambakan
dan dimimpikan kehadirannya oleh seorang pria. Tidak sedikit dari
seorang pria mampu melakukan segala cara untuk dapat menaklukkan
hati wanita pujaannya untuk dijadikan pujaan hati maupun tambatan
hati. Wanita dianugrahi ragawi yang indah yang tidak dimiliki oleh
seorang pria. Dalam geguritan ini diceritidakan tokoh utama wanita
yang bernama Diah Arini memiliki wajah yang cantik, kecantikannya
tiada tara sehingga mampu menaklukkan hati para pria yang
melihatnya. Selain kecantikan ragawi yang dimilikinya, Diah Arini
juga dilukiskan sebagai wanita yang cerdas. Sangat sempurna jika kita
melihat sosok dari Diah Arini, sehingga banyak pria yang terpesona
dengan kecantikannya dan jatuh hati kepadanya. Hal ini tampak
ketika Maniguna jatuh hati kepadanya, Maniguna melakukan segala
cara untuk dapat menaklukkan hati pujaan hatinya. Selain itu, para
raja pun terpesona dengan kecantikan dari Diah Arini. Mereka ikut
berebut dan menggunakan berbagai cara untuk dapat memperistri
Diah Arini.

2. Wanita sebagai istri yang setia


Citra wanita sebagai istri yang setia boleh dikatidakan menjadi tema
yang umum dalam kesusastraan Bali. Kesetiaan wanita terhadap suami
sudah menjadi suatu ajaran, sudah merupakan etos yang ditanamkan
pada wanita melalui pendidikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Bali, yang proses internalisasinya (pendalaman nilai
budaya) dilakukan melalui karya sastra. Dalam geguritan Maniguna
kesetiaan seorang wanita terhadap suaminya terlihat ketika Diah
Arini yang ditinggal pergi oleh suaminya, kemudian ada seorang
raja bernama Raja Nandana yang hendak menjadikannya istri. Sang
raja sanggup memberikan segala kemewahan yang ada di istana,
namun Diah Arini tidak tergoda dengan kemewahan yang ada. Dia

118
tetap setia terhadap suaminya, dan pada waktu suaminya (Maniguna)
meninggal karena dibunuh oleh Raja Nandana, Diah Arini tetap setia
menemani dan mengobati suaminya. Sikap Diah Arini mencerminkan
sosok wanita yang memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap suaminya,
walaupun suaminya telah meninggal tetapi dia tetap ingin bersama.

3. Wanita sebagai perebutan kaum pria


Wanita sering yang menjadi korban kekerasan dan kekuasaan,
apakah kekuasaan dalam arti lembaga pemerintahan ataupun
kekuasaan laki-laki sering menjadi tema dalam karya-karya satra
Bali tradisional. Dalam konteks tersebut wanita sering ditampilkan
sebagai makhluk yang sering diperebutkan oleh kaum pria, yang
dimaksudkan diperebutkan di sini adalah seorang wanita yang sudah
jelas menikah kemudian diinginkan oleh laki-laki lain dengan cara
tipu dayanya atau dengan kekerasan. Pada geguritan Maniguna, Diah
Arini menjadi tokoh yang diperebutkan oleh para raja. Diah Arini
sudah syah menjadi istri dari Maniguna, namun karena kecantikannya
yang sangat mempesona, Raja Nandana jatuh hati kepada Diah Arini.
Sang raja sangat marah ketika mengetahui Maniguna adalah suami
dari Diah Arini, dan sang raja pun memerintahkan pengawalnya
untuk membunuh Maniguna serta membawa kabur Diah Arini ke
istana untuk dijadikan istri. Diah Arini kembali menjadi korban
perebutan kaum pria, diawali dengan Raja Canda yang tertarik
melihat kecantikan Diah Arini. Sang raja berusaha memisahkan Diah
Arini dengan suaminya yaitu dengan cara membuang Maniguna ke
tengah lautan, setelah itu sang raja lalu membawa Diah Arini ke istana
untuk dijadikan istrinya.

4. Wanita sebagai penyelamat atau pelindung


Ada sesuatu yang unik yang ditampilkan oleh pengarang pada
cerita geguritan Maniguna ini, dimana seorang wanita memiliki jiwa
pemberani yang mampu membunuh musuh-musuhnya. Wanita sering
dilukiskan sebagai sosok yang anggun dan lemah lembut, namun dibalik
keanggunan dan kelemah lembutannya tidak jarang wanita memiliki
jiwa pemberani yang dapat menyelamatkan dan melindungi dirinya
sendiri, keluarga maupun orang lain. Diah Arini yang merupakan
tokoh utama dari geguritan Maniguna mempunyai jiwa pemberani
untuk menyelamatkan dirinya sendiri maupun suaminya. Diawali
dengan kematian suaminya yang dibunuh sangat kejam oleh para raja
yang ingin memperistri dirinya. Dengan berbekal rasa sakit hati dan

119
rasa cinta terhadap suaminya, Diah Arini berusaha menyelamatkan
hidupnya dari paksaan sang raja yang ingin memperistrinya. Diah
Arini memanfaatkan ragawi yang dimilikinya, dengan kecerdasan
dan kecantikan yang dimilikinya, Diah Arini akhirnya berhasil
membunuh Raja Nandana. Serta dengan tipu dayanya Diah Arini
berhasil mencari tahu kelemahan dari sang raja, dan akhirnya Diah
Arini berhasil membunuh Raja Canda. Selain dapat menyelamatkan
dirinya dari para raja yang hendak memperistrinya, Diah Arini juga
dapat menyelamatkan suaminya. Dengan berbekal petunjuk dari
Tuhan, Diah Arini dapat menghidupkan kembali suaminya yang telah
dibunuh oleh Raja Nandana dan Raja Canda.

Transformasi Nilai Feminisme dalam Membangun Pendidikan


Karakter
Adapun yang menjadi sasaran di dalam membangun pendidikan
karakter di sini adalah siswa atau mahasiswa. Seperti yang kita ketahui,
pada jaman sekarang ini ada beberapa perilaku siswa atau mahasiswa
yang tidak sesuai dengan norma agama. Pada kesempatan ini akan
di bahas seperti apa nilai feminisme yang terdapat pada geguritan
Maniguna jika dikaitkan dengan perilaku siswa atau mahasiswa pada
jaman sekarang.
Wanita sebagai pujaan, di mana seorang wanita yang memiliki
kecantikan ragawi akan di puja-puja oleh kaum pria. Seorang pria
akan melakukan segala cara untuk dapat menaklukkan hati wanita
yang di sukainya. Dalam geguritan Maniguna di ceritidakan, Diah
Arini dilukiskan sebagai wanita yang sangat cantik dan menjadi
pujaan kaum pria, banyak pria yang jatuh hati karena kecantikannya,
tidak hanya dari rakyat bisaa, kaum bangsawan seperti raja pun sangat
mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh Diah Arini. Namun Diah
Arini masih tetap bisa membawa dirinya, dia tidak memanfaatkan
kecantikan yang dimiliki untuk memanfaatkan seorang pria. Dia tetap
memilih pria yang pas menurut kata hatinya, tidak memandang pria
itu berasal dari keturunan bangsawan atau rakyat bisaa, miskin atau
kaya, tampan atau jelek. Namun jika di lihat pada jaman sekarang ada
beberapa perilaku siswa atau mahasiswa yang tidak sesuai dengan
norma agama. Mereka memanfaatkan kecantikan yang di milikinya
untuk menaklukkan pria yang berduit. Tidak jarang dari mereka rela
di jadikan sebagai wanita simpanan, asalkan kebutuhan hidup mereka
terjamin. Ada juga yang memanfaatkan kecantikannya untuk menipu
maupun mencuri demi mendapatkan uang agar bisa berpoya-poya
membeli kebutuhan mereka. Sungguh di sayangkan perilaku siswa

120
atau mahasiswa seperti itu, alangkah baiknya kecantikan yang di
miliki tidak di salah gunakan dan harus di imbangi dengan kecantikan
dari dalam yaitu memiliki moral yang bagus. Namun tidak sedikit dari
siswa atau mahasiswa yang memanfaatkan kelebihan ragawi yang di
miliki untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat seperti ikut dalam
pemilihan putra-putri kampus, putri Indonesia, ataupun kegiatan
lainnya.
Wanita sebagai istri yang setia, dimana setiap wanita harus
mempunyai pemikiran untuk setia terhadap pasangannya. Dalam
geguritan Maniguna di ceritakan, Diah Arini adalah seorang wanita
yang sangat menjungjung kesetiaan terhadap pasangannya. Meskipun
banyak pria yang ingin menjadikannya istri, namun Diah Arini tetap
memilih Maniguna sebagai pasangan hidupnya. Seberapa besar
cobaan yang datang kepada mereka, dengan ketulusan hatinya
Diah Arini tetap mendampingi suaminya, ia tidak pernah mengeluh
terhadap cobaan yang menimpa rumah tangganya. Jika di lihat
perilaku siswa atau mahasiswa sekarang, tidak sedikit dari mereka
yang mulai mengindahkan kesetiaan. Hal ini dapat di lihat dari siswa
atau mahaasiswa yang memiliki pasangan lebih dari satu. Tidak
jarang dari mereka justru merasa bangga karena memiliki banyak
pasangan, karena merasa paling cantik atau paling terkenal di sekolah
atau kampus bahkan di masyarakat. Memiliki banyak pasangan
bagi sebagian siswa atau mahasiswa menjadi prestise tersendiri bagi
mereka. Ada beberapa Terlebih lagi untuk pasangan remaja yang
terhalang oleh jarak yang memisahkan mereka, kesetiaan itu hanya
sebatas wacana. Mereka akan melakukan perselingkuhan dengan
alasan yang tidak masuk di akal. Kecanggihan teknologi seakan tidak
ada artinya lagi, padahal dengan teknologi canggih seperti sekarang,
jarak seakan tidak menjadi penghalang pada sebuah hubungan. Gonta-
ganti pasangan apalagi mengarah pada pergaulan bebas, tentu sangat
berbahaya. Tidak sedikit dari siswa atau mahasiswa yang terpaksa
berhenti sekolah ataupun kuliah karena hamil. Ada juga beberapa
kasus di mana para siswa atau mahasiswa melahirkan anak tanpa di
akui kehamilannya oleh seorang pria dengan berbagai alasan. Kalau
sudah seperti ini tentu wanita yang menjadi korban, oleh sebab itu
sebagai seorang wanita hendaknya pintar-pintarlah membawa diri agar
jangan salah pergaulan. Kesetiaan harus mulai di tanamkan sejak dini
pada siswa atau mahasiswa, karena akan berdampak pada kehidupan
rumah tangga mereka kelak. Namun di balik permasalahan ini, tentu
masih ada perilaku siswa atau mahasiswa yang masih menjungjung
nilai kesetiaan, tidak sedikit dari mereka yang menjalin hubungan

121
hanya pada satu orang saja selama hidupnya.
Wanita sebagai perebutan kaum pria, dalam konteks tersebut
wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang sering diperebutkan
oleh kaum pria, yang dimaksudkan diperebutkan di sini adalah
seorang wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh
laki-laki lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Pada
geguritan Maniguna, Diah Arini menjadi tokoh yang diperebutkan
oleh para raja. Meskipun status Diah Arini sudah jelas menjadi istri
dari Maniguna, namun karena kecantikannya yang sangat mempesona,
Raja Nandana jatuh hati kepada Diah Arini. Sang raja sangat marah
ketika mengetahui Maniguna adalah suami dari Diah Arini, dan sang
raja pun memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Maniguna
serta membawa kabur Diah Arini ke istana untuk dijadikan istri. Diah
Arini kembali menjadi korban perebutan kaum pria, diawali dengan
Raja Canda yang tertarik melihat kecantikan Diah Arini. Sang raja
berusaha memisahkan Diah Arini dengan suaminya yaitu dengan
cara membuang Maniguna ke tengah lautan, setelah itu sang raja lalu
membawa Diah Arini ke istana untuk dijadikan istrinya. Jika kita melihat
pada masa sekarang, para siswa atau mahasiswa banyak yang terlibat
perkelahian bahkan tidak sedikit dari mereka yang terlibat perkelahian
yang mengarah pada tawuran antar geng, antar desa, antar banjar (di
Bali), dimana akar permasalahannya adalah memperebutkan wanita.
Kehadiran wanita bisa menjadi penyejuk dalam kehidupan seseorang
dan kehadirannya dapat pula menjadi masalah bagi sebagian orang.
Sebagai generasi muda yang hidup di jaman globalisasi, hendaknya
para siswa atau mahasiswa mampu menjaga perilaku agar tidak
melanggar dari norma agama. Agar kehadiran seorang wanita tidak
danggap sebagai pengacau ataupun penghancur dalam kehidupan
kaum pria. Kekuasaan dan harta menjadi modal yang kuat untuk
melakukan kekerasan terhadap wanita. tidak sedikit dari para siswa
dan mahasiswa menjadi korban kekerasan seorang pria. Para pria
tidak segan-segan melukai pasangannya hanya karena masalah kecil,
banyak juga dari kaum wanita yang enggan melaporkan perbuatan
pasangannya karena alasan cinta. Inilah yang menjadi boomerang,
mengapa kaum pria tidak sedikit yang lolos dari jeratan hokum akibat
penganiyayaan maupun kekerasan terhadap wanita. Di harapkan
para siswa atau mahasiswa sekarang bisa membedakan antara
perasaan dengan logika, mereka dapat menegakkan keadilan dan
mampu mengambil sikap tegas jika mendapatkan perlakuan kasar
dari pasangannya.
Wanita sebagai penyelamat atau pelindung, adapun pengertian

122
sebagai penyelamat atau pelindung adalah di mana seorang wanita
mampu menjadi penyelamat pasangannya dari perbuatan yang
melanggar norma agama, sebagai pelindung keluarganya. Pada
geguritan Maniguna, diceritidakan bahwa Diah Arini mampu
menjadi penyelamat maupun pelindung suaminya dari perilaku
kejam sang raja. Berbekal kecerdasan dan kecantikan yang di miliki
oleh Diah Arini, ia berhasil memperdayai raja hingga raja-raja tersebut
meninggal. Selain itu diceritidakan juga bagaimana perjuangan Diah
Arini untuk menyelamatkan suaminya dari kematian, berbekal tekad
yang kuat dan rasa cinta yang tulus terhadap suami, Diah Arini
berhasil menyelamatkan suaminya dari kematian. Jika kita melihat
cerminan nilai tersebut pada jaman sekarang, tentu ada beberapa yang
sudah mengalami pergeseran. Tidak sedikit dari perilaku siswa atau
mahasiswa yang justru menjerumuskan pasangannya ke hal-hal yang
bersifat negative seperti mengkonsumsi narkoba, mabuk-mabukan,
serta pergi ke tempat-tempat hiburan malam sehingga pelajaran atau
kuliah mereka terlantar. Mereka seakan tidak mementingkan masa
depan, karena prinsip hidup mereka, hidup cuma sekali jadi harus di
nikmati dan di pakai untuk bersenang-senang. Yang lebih parah jika
perilaku mereka tidak di awasi oleh orang tua, karena alasan sibuk
berkarir, para orang tua sering memanjakan anak dengan materi. Hal
inilah yang menjadi permasalahan mengapa kenakalan remaja sering
terjadi, karena lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak
mereka. Terlepas dari kasus tersebut, tidak sedikit dari para siswa atau
pun mahasiswa yang justru bisa menjadi penyelamat atau pelindung
bagi keluarga dan pasangannya. Tidak sedikit dari mereka yang
berusaha membantu menjadi tulang punggung di keluarga. Bekerja
keras demi dapat menyelesaikan pendidikan, bekerja keras demi
menolong orang tua yang sakit dan lainnya. Bagi siswa atau mahasiswa
yang mempunyai pasangan pecandu narkoba, pemabuk, perokok,
penjudi, mereka mampu berperan sebagai penyelamat dengan
menyadarkan pasangan mereka untuk dapat terlepas dari obat-obatan
terlarang, minum-minuman keras, rokok dan judi. Tidak sedikit dari
mereka yang berhasil mengarahkan pasangannya menuju jalan yang
benar, memikirkan masa depan dan mewujudkan cita-cita mereka.
Dalam hal pendidikan, tidak sedikit dari para siswa atau mahasiswa
yang membantu pasangannya dalam hal pendidikan. Membantu
pasangannya dari segi moril, membantu mengajarkan materi pelajaran
atau perkuliahan yang tidak di mengerti oleh pasangannya, agar
mendapatkan nilai ujian yang memuaskan. Keberhasilan seorang
siswa atau mahasiswa mengarahkan pasangannya untuk lulus dalam

123
ujian nasional, menyelesaikan skripsi atau tesis tepat waktu. Peran
wanita sangat besar dalam hal ini, ada pepatah yang menyebutkan
suksesnya seorang pria karena wanita, hancurnya seorang pria pun
karena seorang wanita.

Penutup
Berdasarkan apa yang sudah di paparkan di atas, banyak sekali
nilai-nilai feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna
dapat di jadikan dasar dalam bersikap serta bertingkah laku sesuai
dengan ajaran agama. Nilai-nilai feminisme tersebut antara lain,
wanita sebagai pujaan, wanita sebagai istri yang setia, wanita sebagai
perebutan kaum pria dan wanita sebagai penyelamat atau pelindung.
Seperti halnya wanita sebagai pujaan, di mana seorang wanita mampu
memanfaatkan kecantikan yang mereka miliki untuk hal-hal bersifat
positif. Wanita sebagai istri yang setia, di mana seorang wanita harus
mampu menjungjung tinggi kesetiaan terhadap pasangannya, itu
menjadi modal yang kuat dalam membangun kehidupan rumah
tangga yang bahagia dan harmonis. Wanita sebagai perebutan kaum
pria, di mana dengan kelebihan yang di miliki oleh seorang wanita
mampu menyelamatkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat.
Wanita sebagai penyelamat atau pelindung, di mana kehadiran
seorang wanita mampu melindungi keluarga, teman, pasangan serta
orang-orang di sekitarnya.
Transformasi nilai feminisme dalam membangun pendidikan
karakter, dikaitkan dengan perilaku siswa atau mahasiswa pada
jaman sekarang. Tak sedikit dari mereka yang mulai berjalan di
jalan yang salah, namun tak sedikit juga dari mereka yang masih
mampu memepertahankan nilai-nilai feminisme tersebut. Harapan ke
depannya, melalui nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya
sastra, para siswa atau mahasiswa mampu mengamalkan nilai-nilai
yang bermanfaat dan dijadikan dasar untuk berperilaku sesuai dengan
ajaran agama. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya sastra
tersebut dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
dapat mencetak sumber daya manusia yang memiliki moral yang
bagus, memiliki sopan santun dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA

Agastia,Ida Bagus Gede.1980. “Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”.


Untuk Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2, 9 Juli 1980.

124
__________.1985. “Keadaan dan Jenis-jenis Naskah Bali”. Yogyakarta:
Makalah Untuk Seminar Bahasa, Sastra, Etika, dan Seni Jawa, Bali dan
Sunda. Proyek Javanologi departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Kebudayaan.
Bandel, Katrin. 2009. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
INSISTPress.
Putra, I Nyoman Darma. 2007. Wanita Bali Tempo Doeloe. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia Dalam Bahasa
dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa
Bandung

125
INFERENSI UNGKAPAN TRADISIONAL
JAWA BENTUK PENJAGA KARAKTER
BANGSA

Sri Harti Widyastuti


Universitas Veteran Bantara Suharti

A. Latar Belakang Masalah

D ewasa ini, persoalan karakter bangsa mengemukakan kembali


seiring bermunculannya aneka persoalan yang berkaitan dengan
perilaku para pemimpin. Pemimpin yang seharusnya mengemban
amanah rakyat dan menjadi panutan setelah didukung oleh rakyat
dengan semangat dan kesetiaan yang tak berbatas pada satuan proses
pemilihannya. Justru setelah jadi pemimpin tidak menunjukkan
karakter pemimpin tetapi justru mengecewakan rakyat. Perjuangan
rakyat sudah diabaikan dan tidak ada bekasnya. Dengan cepat
sebagian pemimpin justru terlena pada kekuasaan dan ingin cepat-
cepat mencari biaya yang telah dikeluarkan. Untuk menutupnya
adalah dengan mengambil keuntungan dengan cara cepat, bahkan
uang rakyat pun tanpa sadar ikut diambilnya.
Fenomena yang terjadi di negara ini terjadi karena lemahnya
karakter, baik yang dimiliki oleh para pemimpin di pusat maupun di
daerah. Karakter sebagai pemimpin sudah tidak muncul lagi karena
tertutupi dengan nafsu ingin segera hidup enak dalam lingkup
industrialis. Nilai-nilai kearifan lokal untuk hidup harmoni dengan
memperhatikan pola-pola keseimbangan dengan alam terhadap
sesama dengan rambu-rambu nilai-nilai kearifan lokal sebagai penjaga
karakter sudah menipis.
Menurut berbagai penelitian disimpulkan bahwa kearifan lokal
adalah pandangan masyarakat tentang berbagai sudut kehidupan
yang sudah mengalami pengujian melalui pengamatan yang terus-
menerus selama beberapa generasi. Pandangan tersebut terdeskripsi
menjadi kumpulan pengetahuan tentang berbagai hal seperti
misalnya ungkapan tradisional, lagu dolanan, upacara tradisi, pola-pola
perlakuan terhadap berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan
anak usia dini, perlakuan terhadap lingkungan alam, pola-pola dalam
menjalankan kehidupan melalui profesinya masing-masing seperti
cara memasak tradisional yang berkembang pada tradisi tertentu,

126
menanam padi secara tradisional yang masih dilangsungkan sampai
saat ini, mengolah tanah pekarangan sesuai dengan peruntukan dan
fungsinya yang kemudian menjadi tradisi, dan seterusnya.
Kearifan lokal mempunyai fungsi yang sangat besar dalam rangka
pembentukan dan penjagaan karakter bangsa. Hal ini disebabkan
kearifan lokal sesungguhnya merupakan penjaga harmoni jagad gedhe
dan jagad cilik. Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih hidup
adalah ungkapan tradisional Jawa. Adapun pengertian ungkapan
tradisiomal menurut Alan Dundes (dalam Dananjaya, 1982:28) adalah
peribahasa dalam bahasa Jawa disebut paribasan yaitu kalimat atau
kelompok kata yang tetap susunannya dan mengiaskan suatu maksud
tertentu. Padmosoekotjo (1960:13) membedakan paribasan dengan
istilah bebasan, paribasan, dan saloka.
Larvandes (dalam Dananjaya, 1982:281), menyebut peribahasa
adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang,
sedangkan Berhand Russer (dalam Dananjaya, 1982:28) menuliskan
bahwa paribasan adalah kebijaksanaan orang banyak yang merupakan
kecerdasan seseorang. Sumarti Suprayitno (1986:449) menyebut
bahwa paribasan adalah ungkapan tradisional yang mempunyai
makna apa adanya tidak bermakna kias. Bebasan adalah ungkapan
yang bermakna kias. Saloka adalah ungkapan yang mempunyai arti
berbalikan. Selanjutnya dalam percakapan sehari-hari ketiga jenis
tersebut disebut paribasan.
Ungkapan tradisional adalah sarana berbahasa untuk
mengungkapkan maksud yang telah dibalut dengan etika dan estetika
sehingga makna yang dihasilkan adalah makna yang halus, bila itu
digunakan untuk menasehati atau menegur maka hal itu tidak kentara
sebagai sebuah teguran. Ungkapan tradisional menunjukkan etika
berbahasa masyarakat Jawa. (Hendrokumoro, 2010:3), menyebutkan
ajaran etika sama dengan pepali, unggah-ungguh, subasita, tata krama,
tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, paranatan, pituduh,
pitutur, wejangan, wulangan, warsita, wewarah, duga prayoga, wewalir, dan
pitungkas. Dalam masyarakat Jawa terdapat pandangan bahwa orang
Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan
papan, dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar
alusing rasa, dan juga genturing tapa (Hendrokumoro, 2010:3).

B. Pendidikan Karakter
Pada masa lalu dikenal istilah pendidikan budi pekerti. Masyarakat
Jawa sangat menjunjung tinggi pengolahan budi pekerti, terbukti
munculnya genre piwulang dan niti dalam karya sastra Jawa. Karya

127
sastra yang berjenis niti dan piwulang ini dalam karya sastra Jawa ditulis
dengan tulisan tangan yang kemudian sering dikenal sebagai naskah
dalam istilah filologi. Adapun piwulang yang banyak dituliskan adalah
piwulang kepada manusia, agar supaya selamat di dunia dan akherat.
Demikian pula naskah Jawa membicarakan piwulang yang mengandung
pesan moral agar berterima di lingkungan sosial, menjadi ayah atau
suami yang baik, menjadi istri atau ibu yang baik, menjadi abdi yang
baik, bagaimana mendidik anak dan piwulang tentang sangkan paraning
dumadi. Bila dicermati pendidikan budi pekerti ini adalah sama dengan
pendidikan karakter.Para pakar yang kemudian mengolah peristilahan
tersebut sehingga dewasa ini isu tentang pendidikan karakter menjadi
topik hangat di berbagai lembaga pendidikan. Adapun pengertian
pendidikan karakter dijabarkan sebagai berikut.
Menurut Ditjen Dikdasmen (2000:5) dan Lebranc (2009:13)
menyebut bahwa pendidikan karakter sama dengan pendidikan afektif,
karena esensi pendidikan budi pekerti identik dengan pendidikan
karakter. Lebih lanjut Hill (dalam Suwarna, 2011:7), menyebut
bahwa pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan
perilaku. Karakter yang baik merupakan motivasi untuk berbuat baik,
setuju terhadap perilaku berbudi luhur dalam setiap situasi.
Menurut Leblanc (dalam Suwarna, 2011:8), pendidikan karakter
meliputi aspek pendidikan: 1) respect (sikap hormat); 2) honesty
(ketulusan); 3) self control (disiplin); 4) integrity (integritas, jujur dan
dapat dipercaya); 5) perseverance (kegigihan); 6) empathy (empati, dapat
merasakan perasaan orang lain); 7) forgiveness (pemaaf); 8) tolerance
(toleransi); 9) politeness (kesantunan); 10) sportiveness (sportif, mentaati
aturan); dan 11) humility (rendah hati).
Lebih lanjut Leblanc (dalam Suwarna, 2011:8) menyebut The Six
Pillars of Character yakni 1) trust wordhiness (keterpercayaan/ dapat
dipercaya), yang merupakan bentuk karakter yang membuat seseorang
menjadi berintegritas, jujur, dan loyal. 2) fairness (kejujuran), bentuk
karakter yang membuat seseorang memiliki sikap terbuka serta tidak
suka memanfaatkan orang lain. 3) caring (kepedulian), bentuk karakter
yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian pada
orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar. 4) respect
(menghormati), bentuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai dan menghormati orang lain. 5) citizenskip (sadar hukum),
bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan
serta peduli terhadap lingkungan alam. 6) responsibility (bertanggung
jawab), bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab,
disiplin dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.

128
Tanggung jawab mengandung dan mencakup muatan kelima pilar
sebelumnya.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter berujung pada terbentuknya manusia
yang mempunyai karakter yang dapat dipercaya, jujur, peduli
terhadap sesama dan lingkungan, mempunyai sikap menghormati
dan menghargai orang lain, sadar dan taat pada peraturan, dan
bertanggung jawab.

3. Ungkapan Tradisional sebagai Penjaga Karakter Bangsa


Sebagai suatu kearifan lokal yang berasal dari pandangan
hidup dan sudah menjadi tradisi turun temurun, maka kearifan lokal
dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa mempunyai fungsi-
fungsi. Agar fungsi tersebut dapat maksimal, maka makna dalam
ungkapan tradisional tersebut perlu diinferensi agar selaras dengan
perkembangan zaman. Pemaksimalan makna akan mengembangkan
fungsi kearifan lokal sebagai penjaga karakter bangsa. Adapun fungsi
ungkapan tradisional tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Mengingatkan untuk tetap menjaga integritas dan loyalitas
serta kejujuran, sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya.
Di bawah ini adalah ungkapan yang mempunyai maksud agar
seseorang mempunyai pribadi yang selalu menjaga integritas,
memegang komitmen serta menjaga kejujuran.
a. Becik ketitik ala ketara
Perbuatan baik dan buruk pasti suatu ketika akan dapat
diketahui. Oleh karena itu harus tetap menjaga kejujuran,
kesetiaan, dan integritas sehingga dapat dipercaya. Apa
gunanya tindakan manipulasi, karena pada dasarnya
kelicikan, keburukan dan ketidakjujuran suatu ketika pasti
akan terbuka. Ungkapan tersebut dapat diinferensi bahwa
walaupun tidak diawasi, dimonitor namun secara alami,
perbuatan baik pasti akan terbuka dan perbuatan buruk
akan diketahui. Oleh karena itu, bahwa semua tindakan
menyimpang seperti manipulasi, korupsi, KKN, dan
menjatuhkan orang lain karena kecemburuan status pasti
suatu ketika akan diketahui. Ungkapan ini dapat menjadi
penjaga agar orang hati-hati dalam bertindak, agar orang
lain percaya pada loyalitas dan integritasnya.
b. Bawa leksana
Yang berarti menepati kata-kata, lebih jauh dapat diberi
makna bahwa orang Jawa mengajarkan agar manusia

129
menepati janji yang telah terucap dan menjalankan
komitmennya.Oleh karena itu para pemimpin hendaknya
mempunyai sikap seperti itu, jangan hanya menjadi Lanang
kemangi, ibarat laki-laki yang penampilannya bagus tapi
tindakan dan komitmen tidak terjaga karena tidak punya
kemampuan.
c. Aja nggege mangsa
Jangan mempercepat waktu. Ungkapan tersebut
mengandung makna bahwa manusia harus menjaga tertib
religi, sosial, dan kosmos agar segalanya berjalan melalui
proses. Dewasa ini, manusia ingin segala sesuatu berjalan
cepat dan instan. Untuk menggapai jalan kesuksesan
banyak yang melalui jalan pintas. Tentu untuk itu, maka
kejujuran diabaikan. Banyak orang dikorbankan untuk
tercapainya kepentingannya. Maka ungkapan aja nggege
mangsa merupakan pernyataan dari masyarakat agar
dalam hidup tetap memperhatikan proses.

2. Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan


a. Memayu hayuning bawana
Yang artinya adalah menjaga dunia. Secara luas ungkapan
tersebut bermakna mewujudkan kesejahteraan dunia.
Untuk mewujudkan hal itu, maka harmoni perlu dijaga.
Pada tingkat hubungan antar manusia maka harmoni
hubungan antara manusia dijaga melalui penjagaan
tingkah laku, unggah-ungguh, pengendalian diri agar
tidak ada yang tersakiti. Harmoni manusia dengan alam
juga perlu dijaga agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan,
sehingga merusak keseimbangan alam. Manusia berusaha
menjaga dan hati-hati ketika memanfaatkan sumber daya
alam, tanaman untuk kepentingannya.
b. Manunggaling kawula Gusti
Dalam konteks ini, ungkapan tersebut mengandung makna
bersatunya raja dengan rakyat. Hal itu menggambarkan
kepedulian yang harus dimiliki oleh pemimpin,
sehingga pemimpin tersebut dekat dengan rakyat atau
masyarakatnya. Kedekatan tersebut akan membawa
dampak kebaikan bagi institusi yang dipimpinnya, karena
pemimpin sangat tahu persoalan rakyat atau bawahannya,
sehingga mudah untuk mengatasi, supaya pemimpin
bisa diterima di hati rakyat maka pemimpin harus peduli

130
terhadap kebutuhan, persoalan, dan kesiapan rakyat.
Tentu hal ini berdampak untuk meminimalisir kerusakan
lingkungan.
c. Dinunuti wiku manik retno adi
Yang artinya orang pandai yang tidak mau mengajari
orang lain. Adalah bentuk ungkapan yang bermakna kias
berbalikan. Bahwa orang pandai harus peduli dan mau
memberikan ilmunya pada orang lain.
d. Aja mung milik gebyar
Artinya jangan hanya menginginkan segala sesuatu yang
serba kemilau. Ungkapan ini mengandung makna bahwa
orang harus peduli pada orang lain, lingkungan yang
tidak hanya bernuansa material dan kekayaan, namun
harus peduli pula pada orang kecil, dan juga situasi yang
lebih sederhana karena belum tentu segala sesuatu yang
bernuansa megah, mewah, terhormat membuat nyaman
dan tenteram hidupnya.

3. Menghormati orang lain


a) Aja rumangsa bisa sing bisa rumangsa
Ungkapan tersebut mengandung arti lugas, bahwa
janganlah merasa mampu tanpa diimbangi dengan
memahami dibalik yang dikerjakan tersebut. Inferensi
dari arti tersebut adalah orang menjadi arogan dan
sombong karena merasa diri hebat bisa melakukan segala
galanya, Orang yang demikian tersebut cenderung untuk
mengabaikan orang lain, tidak menghormati pemikiran
dan sikap orang lain, karena merasa diri serba bisa.
Orang tersebut sesungguhnya tidak mengetahui apa yang
seharusnya dilaksanakan dan dilakukan.
b) Giri lusi janma tan kena ingina
Yang artinya tidak boleh menghina sesama (menghormati
orang lain), sebab selagi cacing merangkak, akhirnya bisa
mencapai puncak gunung juga. Apalagi manusia tidak
boleh dihina.
Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa manusia
harus saling menghormati. Dengan demikian, tidak akan
terjadi pertikaian, permusuhan. Masyarakat Jawa sangat
menomorsatukan hal hormat-menghormati orang lain,
anak, orang muda, siswa menghormati orang tua, orang
yang lebih tua, dan gurunya. Demikian sebaliknya,

131
sehingga muncul undha usuk basa dalam bahasa Jawa.

4. Sadar Hukum
a) Negara mawa tata, desa mawa cara
Ungkapan tradisional tersebut berarti negara mempunyai
peraturan adat istiadat dan kebiasaan masing masing
yang mungkin sudah menjadi tradisi, Inferensi makna
tersebut adalah bahwa setiap anggota masyarakat harus
memahami, menghormati adat istiadat masing masing
agar terjadi keharmonisan, tidak saling bermusuhan
maupun bertengkar. Adanya kefahaman perbedaan
didasari oleh adanya kesadaran hukum yang tinggi oleh
anggota masyarakat untuk menghormati perbedaan. Hal
ini sesungguhnya menjadi konsep multikultur yang cocok
dengan keadaan negara Indonesia.
b) Aja Nggege Mangsa
Ungkapan tersebut berarti jangan mempercepat waktu,
memotong waktu sementara proses belum selesai.
Inferensi makna selanjutnya adalah manusia Jawa
sesungguhnya menjunjung tinggi tertib kosmos dan
tertib religi. Dalam menjalani kehidupan manusia seperti
melakukan perjalanan atau sulu sehingga memnbutuhkan
waktu. Kecenderungan masyarakat sekarang banyak
yang melakukan jalan pintas atau bersifat instan untuk
mencapai sesuatu, oleh karena itu banyak dilakukan
pelanggaran hukum.
c) Srengenge pine , banyu kinum, bumi pinendhem
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai arti lugas
matahari dijemur, air direndam bumi dikubur. Semula
ungkapan tersebut untuk lingkup pengadilan. Matahari
diibaratkan sebagai raja, Banyu diibaratkan sebagai patih
dan bumi diibaratkan sebgai jaksa. Masing masing unsur
bekerja dengan kesadaran hukum yang tinggi sehingga
pada saat mengadili suatu perkara maka pemeriksaannya
harus jelas seperti terangnya matahari, putusannya adil
seperti jernihnya air dalam gelas. Semua itu dilalui setelah
melalui penyelidikan yang teliti dan seksama.

5. Bertanggung Jawab
Ungkapan ungkapan yang menyatakan tentang tanggung jawab
adalah:

132
a) Anak polah bapa kepradah
Ungkapan tersebut mempunyai makna bahwa perilaku
anak menjadi tanggung jawab orang tua. Bila anak
mempunyai kelakukan yang kurang baik maka orang tua
akan merasa bahwa dididikannya tidak baik. Orang tua
bertanggung jawab terhadap perilaku anaknya.
b) Mikul dhuwur mendhem jero
Ungkapan tersebut berarti orang harus bisa menghormati
dan mengenang jasa jasa para pemimpin terdahulu,
demikian pula meneruskan yang baik dan mengubur
yang buruk sebagai bagian tanggung jawab sebagai
penerusnya.
Semua itu tidak terlepas dari pemikiran bahwa pemimpin
tersebut adalah juga manusia yang tidak bisa lepas dari
kealpaan. Apa yang dianggap tidak benar harus dilihat
pada konteksnya, sehingga penggantinya bisa meneruskan
langkah dengan baik, bertanggung jawab sebagai generasi
penerus yang mempunyai kearifan.

4. Kesimpulan
Ungkapan-ungkapan tradisional yang merupakan mutiara
kata dari nenek moyang mengandung pesan moral yang dapat
berlaku sepanjang jaman. Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut
dibuat sebagai petuah, nasehat yang disampaikan secara tersirat
dengan memperhatikan estetika bahasa yang tinggi. Seiring dengan
tergerusnya akar budaya maka perlu adanya penguatan karakter
bangsa. Lebih lanjut karakter bangsa perlu dijaga agar tetap terjaga.
Karakter-karakter yang tampak kental pada ungkapan tradisional
Jawa adalah pembentukan karakter jujur, menjaga integritas, loyal
sehingga dapat dipercaya, mempunyai kepedulian tinggi terhadap
sesama, dan lingkungan, menghormati orang lain, sadar hukum dan
bertanggung jawab.
Untuk memahami ungkapan tradisional tersebut perlu
dilakukan inferensi supaya pengembangan makna sesuai dengan
konteks dapat maksimal, lebih lanjut masyarakat dapat menerima dan
mengaplikasikan dalam tutur dan tindak untuk pembelajaran karakter
baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

133
DAFTAR PUSTAKA

Dananjaya, James. 1982. Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers.


Ditjen Dikdasmen. 2000. Pesoman Umum dan Nilai Budi Pekerti untuk Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta:: Ditjen Dikmenum.
Leblanc, Patrice R & Gallava, Nancy P. 2009. Affective Teacher Education. New
York: Association of Teacher Educattors.
Padmosoekatja. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Yogyakarta: Hien Hoo
Sing.
Pasya, Lukman. 2011. Butir-butir Kearifan Jawa. Yogyakarta: IN A2 Na Books.
Soedarsono. 1986. Kesenian, Bahasa dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara: Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Suwarna. 2011. Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Media Pendidikan Karakter di
Sekolah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

134
REAKTUALISASI TEMBANG DOLANAN
JAWA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN
KARAKTER BANGSA (KAJIAN SEMIOTIK)

Farida Nugrahani
Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun
Nusantara Sukoharjo

I. Pendahuluan

K emajuan ipteks dewasa ini terlihat tidak lagi berkorelasi


positif bahkan berbanding terbalik dengan tingginya perilaku
menyimpang yang merupakan pelanggaran etika sosial masyarakat,
dan tata karma pergaulan yang bersumber pada nila-nilai luhur
budaya bangsa. Perilaku menyimpang yang banyak dijumpai di
tengah-tengah masyarakat antara lain maraknya tindakan anarkis
dan main hakim sendiri, merajalelanya praktik korupsi, lumrahnya
perilaku asusila, dan pelanggaran etika --yang lebih sederhana-- yaitu
ketidaksantunan dalam berbahasa.
Dari berbagai pelanggaran etika sosial masyarakat tersebut,
semakin mempertegas dugaan bahwa bangsa ini telah mulai kehilangan
jati diri, yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai kemanusiaan,
keagamaan serta kemampuan masyarakat dalam pengendalian diri
dan membina kebersamaan. Masyarakat mulai mengabaikan nilai-
nilai kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang dalam
berinteraksi dan bersosialilasi dengan lingkungannya. Disinyalir hal
itu merupakan dampak dari ketidaksiapan masyarakat ketika harus
berhadapan dengan era global dengan perkembangan peradaban
yang semakin kompleks (Nugrahani, 2008:16).
Spradley (2007:15) menyampaikan bahwa dalam perkembangan
peradaban dunia yang semakin maju, seseorang dapat mengalami
peristiwa ’kebanjiran budaya’ (culturally overnhelmed) yaitu munculnya
pengaruh dari dua budaya atau lebih sekaligus, atau bersama-
sama. Dalam kasus ini, bagi generasi muda yang belum menguasai
budayanya sendiri, sementara sudah harus berhadapan dengan
pengaruh berbagai budaya asing ---sebagai dampak dari canggihnya
teknologi informasi---, maka mereka akan mengalami kebingungan.
Dalam dirinya belum terbentuk filter yang mampu membedakan
budaya yang baik, dan cocok bagi dirinya. Akibatnya, dengan mudah
seseorang (utamanya generasi muda) akan mengalami peristiwa

135
ketercerabutan budaya sehingga menciptakan budayanya sendiri.
Hal itu terjadi karena selain tidak lagi mengenal budaya asli nenek
moyangnya, juga belum mampu ’memilih dan memilah’, mana budaya
yang baik sesuai karakter bangsanya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral (akhlak)
yang digariskan dalam ajaran agama dewasa ini mulai diabaikan atau
(sengaja) dikaburkan. Nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti luhur
yang diwariskan nenek moyang juga semakin memudar, bahkan
menjadi asing di negeri sendiri. Sementara itu, para pemimpin bangsa
yang seharusnya berperan sebagai contoh ‘panutan’ juga tidak lagi
mampu menempatkan dirinya dengan benar (Nugrahani, 2011:2). Bila
demikian keadaannya, kemana karakter bangsa ini akan berpijak?
Bagaimana pembentukan karakter generasi muda dapat dilakukan?
Pertanyaan besar itulah yang perlu mendapatkan jawabannya, bila
bangsa ini ingin tetap eksis sebagai bangsa yang memiliki jatidiri dan
karakter yang kuat dalam percaturan dunia.
Stereotipe bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang ramah,
santun, andhap-asor, lembah-manah, suka bergotong royong, dan religius,
yang selama ini selalu dibangga-banggakan sebagai pembanding
kontras dengan ciri kepribadian bangsa Barat yang serba bebas,
individualis, sekuler, materialis dan kapitalis, tampaknya tinggalah
mitos belaka.
Menurut Poernomosidi (2006:1) kebiasaan latah masyarakat
Indonesia yang suka meninggalkan budayanya sendiri dan lebih
tertarik mengikuti arus budaya global secara primordial tidak hanya
menimpa pada generasi muda saja, tetapi juga pada seluruh generasi
bangsa. Oleh sebab itu secara nasional karakter bangsa ini dalam
pertaruhan yang membawanya ke dalam kondisi kritis.
Melunturnya kebanggaan masyarakat terhadap budayanya
sendiri mengakibatkan terputusnya estafet pewarisan nilai-nilai
kearifan lokal kepada generasi penerusnya. Hal ini merupakan
masalah besar yang tidak boleh dibiarkan. Segala upaya dari sejak dini
perlu dilakukan, agar generasi penerus bangsa dapat tumbuh menjadi
manusia yang berkarakter baik dan terpuji. Upaya tersebut dapat
dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pembiasaan anak untuk
bermain dan menyanyikan lagu-lagu (tembang) dolanan Jawa, yang
banyak mengandung nilai-nilai didaktis yang bersumber pada filsafat
budaya Jawa yang adiluhung, yang mengajarkan nila-nilai kebaikan,
dan akhlak/budi pekerti luhur dan mulia.
Berkaitan dengan upaya pembentukan karakter bangsa itulah,
maka disampaikan hasil penelitian ini, yang membahas tentang

136
“Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka Pembentukan
Karakter Bangsa (Kajian Semiotik).” Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsilan (1) makna tembang dolanan Jawa; (2) nilai-
nilai kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam tembang
dolanan Jawa; dan (3) pentingnya reaktualisasi tembang dolanan Jawa
dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui hasil penelitian yang
sedehana ini diharapkan dapat ditemukan alternatif solusi dalam
upaya pembentukan karakter generasi muda (Jawa) sebagai penerus
cita-cita bangsa (Indonesia), sebagaimana konsep pendidikan karakter
yang sedang digalakkan oleh pemerintah dewasa ini.

II. Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif.
Alasannya, karena metode ini (1) mampu menggambarkan proses
dari waktu ke waktu dalam situasi yang alami tanpa rekayasa
peneliti; (2) memungkinkan untuk dilakukan analisis induktif, yang
berorientasi pada eksplorasi, penemuan dan logika induktif, sehingga
teori yang dihasilkan didasarkan pada pola dalam kenyataannya; dan
(3) memungkinkan pendeskripsian perilaku manusia dalam konteks
natural (Sutopo, 2003:2).
Data penelitian ini dikumpulkan melalui teknik kajian pustaka
(content analysis), wawancara mendalam (in-depth interviewing), dan
observasi (observation). Kajian pustaka dilakukan dengan sumber
data teks/dokumen yang berkaitan dengan tembang dolanan Jawa
dan budaya Jawa pada umumnya. Wawancara mendalam dilakukan
dengan narasumber (informant) para pakar budaya Jawa, sesepuh dan
pinisepuh, serta generasi muda (etnis Jawa) dan guru bahasa Jawa.
Sementara itu, observasi dilakukan dengan sumber data aktivitas
kehidupan sehari-hari masyarakat (Jawa) dalam kondisi yang alami,
tanpa rekayasa peneliti.
Validitas data penelitian ini diuji melalui trianggulasi sumber dan
trianggulasi metode. Trianggulasi sumber ditempuh melalui wawancara
mendalam kepada para informant dari status dan peran yang berbeda.
Trianggulasi metode ditempuh dengan cara menggali data yang sejenis
dengan metode yang berbeda (Sutopo, 2002: 80). Data yang diperoleh
melalui wawancara dibandingkan dengan hasil pengamatan tentang
aktivitas subjek yang menggambarkan perilakunya melalui observasi.
Sementara itu, reliabilitas data diwujudkan melalui pelaksanaan
penelitian yang dapat diinterpretasikan dengan hasil yang sama (Yin,
2000:38). Reliabilitas data diusahakan untuk meminimalkan kekhilafan
(error) dan penyimpangan (bias) dalam penelitian.

137
Analisis data penelitian ini dilakukan di lapangan bersama dengan
proses pengumpulan data. Pada waktu data dikumpulkan, proses
analisis dimulai dengan penyusunan refleksi peneliti, yang merupakan
kerangka berpikir, gagasan, dan kepedulian peneliti terhadap data
yang ditemukan (Bodgan & Biklen, 1982:84-89). Analisisnya dilakukan
secara interaktif, dalam bentuk siklus. Setiap data yang diperoleh
dikomparasikan dengan data lain secara berkelanjutan, dengan model
analisis interaktif. Komponennya meliputi reduksi data, sajian data,
dan penarikan simpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 1984:23).
Ketiganya dilakukan ketika proses pengumpulan data berlangsung,
seperti dalam gambar berikut.

Data
Data
collection
Data display
Conclusions
Reduction Drawing/ Verifying
Components of Data Analysis: Interactive Model

Selanjutnya untuk pemaknaan tembang dolanan Jawa digunakan


metode pembacaan model semiotik yang terdiri atas pembacaan
heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:39).
Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang cermat dalam tataran
satuan linguistik pada teks tembang dolanan Jawa. Adapun pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan bolak-balik antara teks tembang
dolanan Jawa dengan referensi di luar teks atau realitas sosial budaya
masyarakat Jawa yang menjadi latar social dalam tembang dolanan
Jawa tersebut.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan


A. Makna Tembang Dolanan Jawa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) tembang diartikan
sebagai ragam suara yang berirama. Irama tersebut berupa rangkaian
tangga nada yang tersusun secara urut dan harmonis sehingga
menghasilkan bunyi-bunyian yang mengandung unsur-unsur
keindahan atau estetik. Dalam istilah bahasa Jawa tembang berarti lagu.
Tembang juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang
berasal dari kata kembang yang mempunyai persamaan makna dengan
kata sekar, atau bunga.
Tembang sebagai ekspresi estetik mengandung ciri-ciri utama
seperti: bersifat kontemplatif-transedental, bersifat simbolik, dan

138
bermakna filosofis. Sebagai ekspresi esetik, tembang dapat menimbulkan
multi tafsir, karena merupakan bagian dari karya sastra yang bersifat
multiinterpretable. Pemaknaannya bergantung pada horison harapan
pembacanya (Jauss, 1974).
Dalam masyarakat Jawa tembang sudah ada sejak semula, bahkan
sebagian besar warisan budaya nenek moyang (Jawa) dikemas dalam
bentuk kidung atau tembang. Salah satu warisan budaya yang dahulu
digemari oleh anak-anak (Jawa) adalah tembang dolanan. Tembang
dolanan ini bukan hanya berfungsi sebagai lagu yang biasanya
dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan
lingkungannya, atau lagu sekedar hiburan semata-mata. Lebih dari itu
tembang dolanan merupakan karya seni yang sangat menarik karena
di dalamnya terkandung makna tang tersirat, berisi pesan-pesan
moral yang penting sebagai pembentuk karakter yang baik bagi anak
bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada
anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius,
mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan
dengan orang lain. Tidak malas atau sombong, rukun dengan sesama,
dan senang membantu orang lain.

B. Nilai Local Wisdom dalam Tembang Dolanan Jawa sebagai


Pembentuk Karakter Bangsa
Ada sembilan pilar karakter, yang penting untuk ditanamkan
dalam pembentukan kepribadian anak. Berbagai pilar karakter tersebut
sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai
luhur universal, meliputi: (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta
beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3)
kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian,
dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati,
(9) toleransi, cinta damai, dan persatuan (Megawangi dalam Indrawati-
Rudy, 2010:717). Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam
tembang dolanan Jawa itu, perlu dikembangkan dalam pendidikan
karakter bagi generasi muda penerus bangsa.
Berikut ini disampaikan beberapa nilai kearifan local (local
wisdom) yang tersirat di dalam tembang dolanan Jawa.
(1) ILIR-ILIR
Lir ilir, lir ilir, tanduré wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar
Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi
Lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir

139
Dondomana j’rumatana kanggo séba mengko soré
Mumpung padhang rembulané, mumpung jembar kalangané.
Yo surako surak hiyo.

(Bangunlah, bangunlah! tanaman sudah bersemi 


Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu!
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak dibagian samping 
Jahitlah, benahilah! untuk menghadap nanti sore 
Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang
Bersoraklah dengan sorakan Iya!)

Syair tembang dolanan yang berjudul “Ilir-Ilir” mengandung


pesan moral yang sarat dengan nilai-nilai religius, tanggung jawab,
kedisiplinan, kerja keras, dan pantang menyerah. Tembang tersebut
menyiratkan pesan bahwa kita sebagai umat manusia diminta untuk
mampu bangkit (bangun) dari keterpurukan, dengan mempertebal
iman dan berjuang demi mendapatkan kebahagiaan (sebagaimana
pasangan pengantin baru). Buah belimbing yang dipetik si anak
gembala (dengan susah payah) itu merupakan ibarat dari perintah
Allah untuk melaksanakan sholat lima waktu. Meskipun berat
(banyak rintangan) dalam menjalankannya (diibaratkan pakaiannya
sampai terkoyak sobek), harus tetap dikerjakan. Dengan senantiasa
taat menjalankan perintah Allah, terbuka harapan bagi umat manusia
untuk memperbaiki diri agar nanti siap ketika waktunya tiba untuk
menghadap, memenuhi panggilan Illahi.
(2) SLUKU-SLUKU BATOK
Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo
Si Rama menyang Sala, oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah, nek urip goleka dhuwit.

(Ayun-ayun kepala, kepalanya geleng geleng


Si bapak pergi ke Sala, oleh-olehnya payung mutha
Secara tiba-tiba begerak, orang mati tidak bergerak
Kalau bergerak menakuti orang, kalau hidup carilah uang)

Tembang “Sluku-Sluku Bathok” mengajarkan kepada kita nilai-


nilai untuk cinta kepada Tuhan dan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap kehidupan yang dijalani, kedisiplinan, serta kemandirian
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam menjalani
kehidupan. Makna yang tersirat dalam tembang tersebut bahwa
manusia hendaklah senantiasa membersihkan batinnya dengan
berdzikir atau mengingat Asma Allah dengan menggeleng-gelengkan

140
kapala (ela-elo) dengan mengucapkan “Laa illa ha illallah” (=tidak ada
Tuhan selain Allah) baik pada saat gembira maupun sedih, baik ketika
mendapatkan kenikmatan maupun musibah. Semuanya dilakukan
atas kesadaran bahwa hidup dan mati manusia ada di tangan Allah
semata. Ketika masih berkesempatan hidup, hendaklah rajin beribadah
dan mencari nafkah atas ridha Allah, karena ketika sewaktu-waktu
dipanggil menghadap-Nya, kita tidak lagi mampu melakukan apa
pun.
(3) PADHANG BULAN
Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré

(Ayo teman-teman bermain diluar


Cahaya bulan yang terang benderang
Rembulan yang seakan-akan melambaikan tangan
Mengingatkan kepada kita untuk tidak tidur  sore-sore)

Tembang dolanan yang berjudul “Padang Bulan” itu mengajarkan


kepada kita untuk cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta
isinya sebagai ciptaan-Nya. Selain itu tembang dolanan Jawa tersebut
juga mengajarkan sifat kasih sayang, kepedulian, dan kebersamaan
terhadap sesama manusia. Syair dalam tembang dolanan tersebut
mengandung pesan hendaknya manusia bersyukur kepada Allah Swt.
dengan menikmati keindahan alam ciptaan-Nya. Untuk menunjukkan
rasa syukur itu kita diharapkan tidak hanya menghabiskan waktu
malam untuk tidur (terlalu awal), namun sebaiknya memanfaatkan
waktu untuk bersilaturrahim, dan dan juga melaksanakan ibadah
(shalat malam) kepada Allah Swt.

(4) JARANAN
Jaranan-jaranan… jarane jaran teji
sing numpak ndara bei, sing ngiring para mantri
jeg jeg nong..jeg jeg gung, prok prok turut lurung
gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher

(Berkuda, berkuda, kudanya teji (tinggi besar)


yang naik Tuan Bei, yang mengiring para menteri
Jeg-jeg nong, jeg-jeg gung, prok prok menyusuri jalanan
Gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher)

Tembang dolanan “Jaranan” mengajarkan nilai-nilai untuk


hormat dan santun kepada atasan, orang yang lebih tua, atau
berkedudukan lebih tinggi. Selain itu juga mengajarkan sifat kasih

141
sayang, kepedulian, dan kerja sama dengan orang lain. Syair dalam
tembang tersebut menyiratkan pesan akan pentingnya kebersamaan,
karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan. Orang
yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang
lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Bagi yang berkedudukan
tinggi (ndara Bei) membutuhkan pengawalan bawahannya (para
menteri) dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, bagi yang
mempunyai kedudukan lebih rendah harus menghormati orang yang
berkedudukan lebih tinggi. Ndara Bei merupakan perlambang orang
yang berkedudukan tinggi dan/atau keturunan ningrat yang berpunya
(kaya) karena tunggangan-nya (hewan sebagai kendaraan) adalah kuda
yang tinggi besar (jaran teji) sehingga berjalannya pun harus diiringi
oleh bawahannya (para menteri). 

(5) MENTHOK-MENTHOK
Menthok-menthok tak kandhani, mung solahmu angisin-isini
Bokya aja ndheprok, ana kandhang wae
Enak-enak ngorok, ora nyambut gawe
Methok-menthok, mung lakumu megal-megol gawe guyu

(Menthok-menthok aku nasehati, perilakumu memalukan


Jangan hanya diam dan duduk, di kandang saja
Enak-enak mendengkur, tidak bekerja
Menthok-menthok, jalanmu meggoyangkan pantat membuat
orang  tertawa)

Syair tembang dolanan ‘Menthok-Menthok’ mengandung makna


bahwa seseorang itu perlu memiliki sikap rendah hati, dan mau
instrospeksi diri. Sebagai umat manusia kita tidak boleh sombong,
dan harus tetap menghargai orang lain. Sebab, semua ciptaan Allah
memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ibarat
‘menthok’, binatang yang penampilannya jelek, tidak menarik, suka
tidur, dan malas-malasan pun masih bermanfaat bagi orang lain,
karena mampu membuat orang lain tertawa atas kelucuan tingkahnya.
Karena itu, sebaiknya kita jangan segan untuk melihat kekurangan diri
sendiri dan tidak mudah merendahkan orang lain atas kekurangannya.
Tembang ini juga menyampaikan pesan bahwa sebaiknya kita tidak
bermalas-malasan (banyak tidur), karena itu bukan sifat yang baik.

(6) GUNDHUL PACUL


Gundhul gundhul pacul cul, gemblèlengan
nyunggi nyunggi wakul kul, gemblèlengan

142
wakul ngglimpang, segané dadi sak ratan
wakul ngglimpang, segané dadi sak rattan

(Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul, besar kepala (sombong,


angkuh)
membawa bakul, dengan gayanya yang besar kepala (sombong,
angkuh)
bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan tidak bermanfaat
lagi)

Syair tembang dolanan “Gundul-Gundul Pacul” menggambarkan


sifat seorang anak yang berpenampilan jelek, sombong (gemblelengan),
dan berperilaku tidak bertanggung jawab. Dari sifat dan perilakunya
yang buruk itu, telah menyebabkan dirinya tidak mampu bekerja
dengan baik, sehingga melakukan hal yang sia-sia (tidak bermanfaat).
Tembang itu mengandung pesan bahwa menjadi orang tidak boleh
merasa dirinya paling pintar, paling hebat, sehingga membuatnya
bersikap sombong, serta ceroboh. Sifat yang demikian itu hanya akan
menyebabkan kegagalan, dan kesia-siaan, sebab orang yang sombong,
serta ceroboh tidak akan mampu mengemban amanah yang menjadi
tanggung jawabnya dengan baik. 

(7) DHONDHONG APA SALAK


Dhondhong apa salak, dhuku cilik-cilik
Andhong apa mbecak, mlaku dimik-dimik

(Dhondhong apa salak, dhuku kecil-kecil


Naik delman apa naik becak, jalan pelan-pelan)

Syair tembang dolanan “Dhondhong Apa Salak” ini mengajarkan


kepada kita untuk senantiasa berbuat baik, dan tidak menyakiti orang
lain baik secara lahir maupun batin. Selain itu mengajarkan untuk
memiliki sifat kemandirian, tidak senang bergantung pada bantuan
orang lain, bagaimanapun lemahnya kemampuan kita.
Dari berbagai pesan yang disampaikan dalam tembang dolanan
Jawa yang telah diuraikan di atas, dapat disampaikan bahwa tembang
dolanan Jawa pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)
bahasanya sederhana, (2) mengandung nilai-nilai estetis, (3) jumlah
barisnya terbatas, (4) berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan anak,
(5) lirik dalam lagu dolanan menyiratkan makna religius, kebersamaan,
kemandirian, tanggung jawab, rendah hati, dan nilai-nilai sosial
lainnya. Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut, tidak diragukan lagi
apabila tembang dolanan Jawa itu pantas untuk dikonsumsi anak-anak,
karena banyak nilai-nilai positifnya. Secara umum dapat disampaikan

143
bahwa semua tembang dolanan tersebut mengarah pada aspek cerminan
pandangan, falsafah hidup, dan nilai moral yang dibangun dalam
masyarakat Jawa, yang pantas untuk digunakan sebagai pembentuk
karakter generasi muda (Jawa) penerus bangsa.

C. Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka Pembentukan


Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran Bahasa Jawa (Muatan Lokal)
di Sekolah
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki berbagai
suku bangsa dengan keragaman budaya tradisinya. Berbagai macam
budaya tradisi yang dimiliki itu merupakan suatu kebanggaan dan
aset kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Sebagai warga
bangsa yang bangga terhadap kebudayaannya, sudah selayaknya
apabila selalu berupaya untuk ikut menjaga dan mempertahankan
budayanya, karena kekayaan budaya itu merupakan identitas suatu
bangsa, dalam mengekspresikan jati dirinya.
Dewasa ini, perubahan dan perkembangan  zaman berlangsung
dengan pesat, terutama ditandai dengan semakin canggihnya teknologi
informasi berbasis komputer sehingga memungkinkan terjadinya
komunikasi dan interaksi antarmasyarakat dunia. Di satu sisi teknologi
canggih itu telah memberikan manfaat dan banyak kemudahan yang
luar biasa kepada semua orang yang memanfaatkannya. Namun di
sisi lain, proses interaksi antarbangsa di dunia itu juga berdampak
negatif utamanya bagi terkikisnya kebudayaan tradisi, sebagai
warisan nenek moyang yang menyimpan nilai-nilai luhur budaya
suatu bangsa. Kebudayaan tradisi yang terancam oleh budaya global
dan dikhawatirkan mencapai kepunahan, antara lain adalah: bahasa
daerah, adat-istiadat, dan berbagai macam kesenian daerah (dalam
konteks ini, adalah tembang dolanan Jawa).
Tembang dolanan Jawa itu merupakan salah satu sarana
komunikasi dan sosialisasi anak-anak (Jawa) dengan lingkungannya.
Melalui tembang dolanan itu, anak-anak dapat bergembira, bermain
dan bersenang-senang dalam mengisi waktu luang. Tembang dolanan
merupakan suatu  hal yang menarik bagi anak. Meskipun sarat dengan
pesan moral yang mendidik, tembang dolanan Jawa disampaikan
dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dihafal dan dicerna
sesuai dengan tingkat kematangan psikologis atau perkembangan jiwa
anak yang masih suka bermain. Pesan atau ajaran-ajaran dan nilai-
nilai moral budi pekerti dalam tembang dolanan tersebut, disampaikan
melalui perumpamaan-perumpamaan dan analogi, yang dikemas
dalam bahasa yang sederhana namun tetap indah (estetis).

144
Patut disayangkan karena dewasa ini tembang dolanan sudah jarang
didendangkan ketika anak-anak (Jawa) bermain dengan sebayanya.
Mereka, (utamanya) yang tinggal di perkotaan lebih cenderung untuk
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa
pengantar sehari-hari.  Akibatnya mereka kurang mengenal bahasa
Jawa, dan tentunya juga kurang akrab dengan budaya Jawa, termasuk
tembang dolanan Jawa yang merupakan salah satu bagian dari seni
budaya tradisi warisan nenek moyangnya.
Menurut Soetomo (2000:27) sistem budaya terdiri atas empat
kelompok lambang, yakni (1) konstitusi (keagamaan/kepercayaan);
(2) kognisi (ilmu pengetahuan); (3) evaluasi (etika); dan (4) ekspresi
(estetika). Sistem budaya dapat diturunkan atau diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya, apabila terdapat alat komunikasi
antarmanusia, dan antargenerasi, yakni bahasa.
Fungsi bahasa selain sebagai sarana pengembangan kebudayaan
juga penerus kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan bagian
dari kehidupan manusia yang tidak terpisahkan dari eksistensinya
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu
terlibat dengan bahasa karena bahasa merupakan alat komunikasi
utama dengan orang lain. Demikian pula halnya dengan kebudayaan,
ia merupakan bagian dari hidup manusia yang tak terpisahkan. Di
mana ada manusia di sana ada kebudayaan. Tidak ada manusia yang
hidup tanpa kebudayaan, sebaliknya tidak ada kebudayaan yang lahir
tanpa manusia, karena kebudayaan merupakan pengetahuan yang
diperoleh dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman
dan melahirkan tingkah laku sosial bagi masyarakat pemiliknya
(Spradley, 2007:5).
Dari uraian yang disampaikan, dapat digarisbawahi bahwa
pelestarian tembang dolanan Jawa sangat penting bagi generasi penerus
bangsa. Namun demikian kendala utamanya adalah telah tergesernya
kedudukan dan fungsi bahasa daerah (Jawa) oleh bahasa nasional
(Indonesia). Kini generasi muda (Jawa) mayoritas tidak lagi mengenal
bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Fungsi bahasa daerah (Jawa)
telah tergantikan oleh bahasa Indonesia. Padahal menurut teori, sulit
bagi seseorang untuk memahami budaya tanpa mengenal bahasanya,
seperti pendapat Linguis besar Wilhelm von Humbolt (1835) dan Antoine
Meilet (1857), bahwa begitu dekatnya hubungan antara budaya dan
bahasa, sehingga budaya itu tidak seharusnya dipandang sebagai
sesuatu yang tidak tergantung pada masyarakat tempat bahasa itu
digunakan (language est eminemment un fait social). Bahasa merupakan
cermin budaya masyarakat pemakainya, oleh sebab itu penting sekali

145
untuk tetap mempertahankan bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa
Ibu, dalam rangka pelestarian budaya (termasuk tembang dolanan
Jawa) sebagai aset kekayaan budaya bangsa.
Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi tembang
dolanan Jawa diharapkan usaha pelestarian budaya tradisional Jawa
dapat berlangsung dengan baik. Melalui bimbingan gurunya dalam
pembelajaran Bahasa Jawa anak-anak dapat mengapresiasi tembang
dolanan Jawa yang sarat akan nilai-nilai luhur sebagai pembentuk
karakternya. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan bahwa
melalui pembelajaran yang dilaksanakan anak-anak dapat tumbuh
menjadi manusia yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan
diri dengan potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya,
memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, dan berkarakter
kuat, sehingga peka terhadap masalah sosial pada bangsanya.

IV Simpulan
Berdasarkan analisis nilai-nilai dalam tembang dolanan Jawa di
atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
Pertama, tembang dolanan Jawa bukan hanya lagu biasa yang
berfungsi sebagai hiburan untuk dinyanyikan oleh anak-anak
ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lebih dari
itu tembang dolanan merupakan karya seni yang menarik karena di
dalamnya tersirat makna yang penting bagi hidupan manusia. Tembang
dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan
karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang
dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk
memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan
kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain,
tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan dapat menghargai
orang lain.
Kedua, nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tembang
dolanan Jawa pada dasarnya sejalan dengan sembilan pilar karakter
yang mengandung nilai-nilai luhur universal. Sembilan pilar karakter
tersebut adalah (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya,
(2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4)
hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja
sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7)
keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi,
cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai luhur universal yang terdapat
dalam tembang dolanan Jawa, yang sesuai dengan Sembilan pilar
karakter itu perlu dikembangkan dalam pembentukan karakter

146
generasi muda penerus bangsa.
Ketiga, mengingat tembang dolanan Jawa yang sarat dengan nilai-
nilai kehidupan dan pesan-pesan moral, maka tembang dolanan Jawa
itu dipandang perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi
muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa
yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa.
Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi apresiasi tembang
dolanan Jawa diharapkan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia
yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri dengan
potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya, memiliki
wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, berkarakter kuat, sehingga
peka terhadap masalah sosial pada bangsanya.

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education:
An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Challenge to literary Theory”
dalam Rapl Cohen (ed). New Directions in Literary. London:
Routdlege & Kegankaul
Kartini, Yuyun. 2010. “Tembang Dolanan Anak-Anak Berbahasa Jawa Sumber
Pembentukan Watak dan Budi Pekerti”. dalam: Http://Kentruk.
Com/?P=286april 22nd, 2010. (Diakses 8 Februari 2012)
Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of
New Methods. Beverly Hills: Sage Publication.
Nugrahani, Farida. 2008. “Reaktualisai Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa
dalam Konteks Multikultural” dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Daerah dalam Kerangka Budaya. Mulyana (Ed). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
-------. 2011. “Penanaman Nilai-Nilai Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran
“Unggah-Ungguhing Basa” dalam Upaya Pembentukan Karakter
Generasi Muda”. dalam Proseding Seminar Nasional Pengembangan
Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di Universitas
Muhammadiyah Malang, 30 April 2011.
Poernomosidi, Begug. 2006. “Nilai-nilai Budaya Jawa dan Pembangunan
Karakter Bangsa”. Makalah dalam Seminar Nasional Pembangunan
Karakter Generasi Muda di PBSJ FKIP Universitas Veteran bangun
Nusantara Sukoharjo.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana of University
Press.
Rudy, Rita Indrawati. 2010. Ideosinkrasi Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan
Sastra. Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia
FPBS Universitas Negeri Jakarta dan Kepel Yogyakarta.
Soetomo, Istiati. 2000. “Ilmu-ilmu antar-Bidang untuk Sosilolinguistik Abad
Mendatang” Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Sastra

147
Universitas Diponegoro Semarang.
Spradley, James. P. 2007. The Etnographic Interview. (Edisi terjemahan Misbah
Zulfa Eliza).Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Sutopo, H.B. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret Press.
Yin, Robert K. 2000. Case Study Research: Design and Methods (Studi Kasus:
Desain dan Metode). Terjemahan M. Djauzi Mudzakir. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

148
PENDIDIKAN SEKS UNTUK PASANGAN
SUAMI ISTRI DALAM TEKS RESI SAMBINA
GRYA JUNGUTAN BUNGAYA

Ida Bagus Manik Putra Ariana


Undiksha Singaraja

Latar Belakang

Z aman boleh berubah, modernisasi boleh menyusup ke desa-desa,


namun tidak menjamin terjadinya perubahan pada semua bidang
kehidupan manusia menuju kearah yang lebih baik. Modernisasi
adalah transformasi masyarakat dari keadaan yang kurang maju
menuju keadaan yang lebih baik dan maju dalam tatanan pendidikan,
ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi dll.
Modernisasi sulit dan bahkan tidak mungkin dibendung, disuatu
tempat ia layaknya air bah yang dengan segera dapat mengantikan nilai-
nilai lama kedalam nilai-nilai baru, ditempat lain ia bergerak lambat
seperti tetesan-tetesan air yang menimpa batu, namun dalam kurun
waktu tertentu dapat dipastikan ia akan berhasil menembus kekerasan
batu sekalipun. Intinya cepat atau lambat masyarakat dunia mau tidak
mau, suka atau tidak suka akan memasuki era modernisasi.
Modernisasi pada bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan
mengajak manusia bergerak dari tata nilai irasional menuju rasional,
modernisasi ekonomi menyebabkan semakin meratanya kesejahteraan
ekonomi masyarakat, modernisasi pada bidang tekhnologi membuat
manusia semakin mudah mendapatkan informasi, berkomunikasi,
memperoleh hiburan dll.
Suksesnya modernisasi menembus pelosok-pelosok desa hingga
mencapai beranda-beranda masyarakat dusun terpencil melalui radio,
TV, Internet dll mungkin mengembirakan bagi sebagian orang yang
mencermati modernisasi dari sisi positifnya, namun tidak demikian
dengan orang-orang yang melihat dan mencermati adanya faktor-
faktor “membahayakan” sebagai wujud lain modernisasi.
Pola hidup konsumtif, kehidupan yang semakin individualistic,
kesenjangan sosial, kriminalitas, dan pola hidup seks bebas adalah
acaman nyata modernisasi bagi umat agama dan masyarakat dengan
budaya ketimuran. Hal seperti ini tentunya menghawatirkan bagi para
pemerhati efek negative modernisasi bagi kehidupan umat manusia.
Hanya dengan memasukkan kata kunci pada mesin pencarian

149
seperti google, yahoo, opera, mozila dll, pengguna dapat dengan
mudah menampilkan situs-situs porno dan “syur”, masyarakat
penikmat modernitas internet bisa berjam-jam menikmati tayangan-
tayangan tanpa sensor dari film XXX-Vidio profesional, artis mesum,
hingga tayangan ‘bokep’ amatiran pemuda kampung dengan gadis
lugu, tersaji luas dan tanpa batas di dunia maya tersebut. Tayangan
seperti ini tentunya sangat membahayakan untuk ditonton oleh
kalangan remaja.
Tontonan-tontonan seperti itu cenderung menggiring
penikmatnya untuk memasuki sepenuhnya dunia birahi dan
hubungan kelamin semata, sementara komunikasi, kasih sayang, dan
cinta terabaikan sama sekali. Tayangan-tayangan seperti ini tentunya
dapat menggiring penikmatnya terutama mereka yang tergolong tipis
sradha/imannya untuk berfantasi lebih kearah pengumbaran nafsu
dan kenikmatan kelamin semata, hingga moralitas tanpa disadari
akan semakin menipis lalu akhirnya berujung pada pelanggaran-
pelanggaran etika dan adat ketimuran yang berlaku di masyarakat
Indonesia.
Acaman bagi moralitas dan etika ketimuran seperti ini tentunya
telah disiapkan antisipasinya berupa pendidikan seks/seks edukasi
bagi masyarakat. Sepanjang tahun 2010-2011 media masa Bali Post
online dan Metro Bali online, memberitakan telah dilaksanakannya
seminar seks, diataranya: 1) Pada tanggal 14 November 2010 Media
Bali Post (berita Kota) memberitakan bahwa menjelang HUT III, RS
BaliMed Gelar Seminar Seks Pada Remaja pada tanggal 13 November
2010 bertempat di RS BaliMed. Acara ini dihadiri oleh siswa SMP dan
SMU sedenpasar dengan dua orang pembicara, yakni: dr. Komang
Tonika, Sp.OG dari rumah sakit BaliMed dan dr.IGN Prameswara
yang juga kordinator Klinik Remaja Kisara. (http://www.balipost.
co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=44676;);
Selanjutnya 2) pada tahun 2011 radio “SWiB FM Bali (Karangasem)
pada tanggal 21/4/2011 mengelar seminar seks pranikah yang
silenggarakan pada tanggal 25 April 2011. (http://www.balipost.
co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=50755); dan
Metro Bali juga memberitakan 3) dalam rangka menyongsong HUT
Mangupura yang ke-2, Kabupaten Badung menggelar seminar dengan
mengambil tema “ Seks Tabu Remaja dan Permasalahannya “ seminar
ini diselenggarakan pada tanggal 31/10/2011 bertempat di Wantilan
Kantor DPRD Badung, dengan Narasumber dr.Pramesemara S,Ked
Staf Bagian Andrologi dan Sosiologi FK Unud dan Koordinator Klinik
Remaja Kisara Daerah Bali. (http://metrobali.com/?p=2638).

150
Modernisasi Pendidikan khususnya dalam ranah seks, memberi
peluang seluas-luasnya bagi penyelenggaraan seminar-seminar seks
edukasi untuk para remaja yang pada masa lampau hal seperti ini
adalah ‘barang’ tabu, kenyataan ini dapat dipandang sebagai bukti
nyata dari dampak positif modernisasi di Indonesia; namun anehnya
pendidikan seks bagi pasangan menikah (suami-istri) di Indonesia
malah tak ada gaungnya sama sekali, perhatian pemerintah dan
masyarakat hanya tertuju pada pendidikan seks remaja saja, dan
seolah-olah menganggap pendidikan seks pada pasangan menikah
adalah sesautu hal yang kurang penting bahkan terkesan “sama sekali
tidak penting”.
Apabila dicermati seolah-olah ada paradigma terbalik dalam
masyarakat Indonesia dulu dan kini, hingga keluarlah ungkapan
dalam masyarakat sebagai berikut “dulu pendidikan seks bagi
remaja adalah tabu, pendidikan seks bagi pasangan menikah wajar;
kini pendidikan seks untuk suami istri ditabukan, pendidikan seks
untuk remaja diwajarkan”. Walau pun ungkapan tersebut tidaklah
sepenuhnya benar namun merujuk sedikitnya perhatian pemerintah
dan instansi terkait menyasar pendidikan seks bagi pasangan menikah
hal seperti ini juga tidak dapat dianggap sepenuhnya salah.
Tujuan pendidikan seks untuk remaja adalah untuk mencegah
terjadinya penyimpangan seksual pada remaja, sedangkan pendidikan
seks bagi pasangan menikah adalah untuk mencegah terjadinya
perselingkuhan dan lepas tanggung jawab pada keluarga. Mencegah
penyimpangan seks pada remaja dan mencegah perselingkuhan pada
pasangan suami istri sama pentingnya dan hendaknya keduanya
mendapatkan perhatian dan porsi yang sama.
Kurangya pendidikan seks yang diperuntukan bagi pasangan
menikah di Indonesia terutama Bali, menyebabkan mereka mencari
informasi tersebut pada situs-situs porno dunia maya. Celakanya
informasi yang didapatkan hanyalah sepotong-sepotong dan tidak
komprehensif. Sebagian besar informasi yang didapatkan hanya
berupa instruksi bercinta dan gaya-gaya ‘akrobatik’ tanpa adanya
sentuhan-sentuhan folosofis theologies dalam menikmati hubungan
seks. Tayangan-tayangan video seks dari situs-situs porno yang tersaji
di dunia maya tersebut sebagian besar menyajikan adegan mengumbar
birahi semata, tanpa adanya sentuhan cinta dan kasih sayang seperti
seharusnya sanggama suami istri dilakukan.
Hal yang sangat mengejutkan adalah hasil survei yang diadakan
oleh produsen alat kontrasepsi ternama Durex yang bertajuk “Sexual
Wellbeing Global Survey” yang menunjukkan 13% pria dan 6% wanita

151
Indonesia tidak setia pada pasangan atau memiliki lebih dari satu
pasangan seks, “Ini berarti lebih tinggi dibandingkan pria dan wanita
di Amerika Serikat yaitu 10% dan Inggris sebanyak 8%. Padahal,
negara-negara Barat terkenal lebih bebas dan liberal dibandingkan
negara Timur, seperti Indonesia (http://bataviase.co.id/node/901615).
Penyebab tingginya angka ketidaksetiaan pasangan ini
mengindikasikan masih kurangnya diberikan pemahaman seks yang
baik dan benar pada pasangan-pasangan menikah di Indonesia, hingga
sangatlah dipandang perlu dan mendesak agar Pemerintah, jajaran
terkait dan masyarakat yang perduli mengusahakan dan menggiatkan
pendidikan seks bagi pasangan menikah (suami istri) guna mencegah
terjadinya disharmonis dan perceraian dalam membina rumah tangga
hingga kedepan prosentase ketidaksetiaan pasangan dapat ditekan
seminimal mungkin.
Pendidikan seks bagi pasangan menikah penting diberikan, agar
mereka dapat memahami pengertian seks dalam semua manifestasi
dan variasinya, dapat memahami nilai penting moral dan etika
sebagai aturan dalam menikmati seks sebagai salah satu kenikmatan
anugerah Tuhan, dapat memahami bahwa hubungan manusia yang
menikah seharusnya memberikan kepuasan pada individu-individu
dalam berkeluarga, dapat memahami penyimpangan-penyimpangan
seksual yang membahayakan kesehatan fisik dan mental, serta
mereka dapat menjauhkan diri dari eksplorasi seks yang berlebihan
serta mampu memahami bahwa masing-masing individu yang telah
menikah dalam melakukan aktivitas seksual dapat lebih efektif dan
kreatif dalam berbagai peran, sebagai suami atau istri, sebagai orang
tua dan anggota masyarakat.
Pendidikan seks bagi calon pengantin belum menjadi sebuah
kewajiban di Negara Indonesia. Pembekalan pranikah yang ada
selama ini biasanya lebih bersifat rohani, itupun bukan merupakan
program pemerintah sehingga tidak wajib dilakukan oleh pasangan
yang mau menikah, sedangkan di Negara Iran, pasangan suami istri
yang menikah dan hendak tanda tangan di masjid mereka diharuskan
untuk mengikuti pendidikan seks (http://sosbud.kompasiana.
com/2011/09/18/sex-educationmutlak-perlu/). Karena tidak diwajibkan
oleh pemerintah, mau tidak mau pasangan suami istri harus mencari
literature-literatur yang dapat memberikan pendidikan seks secara
komprehensip dan memadai dalam membina hubungan pernikahan
yang sehat dan langgeng sampai akhir hayat.
Nun jauh terpencil disebuah desa di gunung kidul menurut
Sunarno Mantingan, masih ada sebuah tradisi sapihan atau sengkeran.

152
Pasangan suami-istri yang baru saja sah menikah tidak boleh langsung
“berkumpul” atau berhubungan intim sebagaimana seharusnya
pasangan suami-istri. Dalam masa “sapihan atau sengkeran” ini
mempelai perempuan dikeloni oleh orangtua atau mertua perempuan
untuk lama waktu yang sangat relatif (http://sosbud.kompasiana.
com/2011/08/09/persimpangan-jalan-pendidikan-seks/). Hal seperti
ini dipandang sebagai proses transformasi nilai dari pihak orang tua
kepada pasangan mempelai wanita guna kesiapannya dalam berbagai
hal kehidupan dan tentunya juga seks.
Dalam budaya Bali hal serupa juga masih ada dilaksanakan,
walaupun kini tradisi “ngekeb” di Bali waktunya semakin dipersingkat
dan semakin kehilangan arah dan tujuannya semula. “ngekeb” adalah
prosesi isolasi menjelang pernikahan guna mempersiapkan pengantin
menuju kesiapan mental dan spiritual guna memasuki jenjang
pernikahan. Dalam masa isolasi ini, mempelai pria dan wanita di
bekali berbagai bekal ilmu yang nantinya berguna untuk kehidupan
rumah tangganya ke depan, prosesi isolasi ini biasanya dilaksanakan
selama tiga hari tiga malam, dalam masa ini pengantin diberikan
pemahaman tentang berbagai hal dan juga seks oleh “sang widagdeng
smara” orang yang memahami ilmu seks, pada hari ketiga setelah masa
isolasi selesai, selanjutnya dilakukan prosesi upacara yang bernama
“makekalan”, setelah upacara makekalan selesai, barulah pasangan
yang menikah boleh melakukan hubungan seks dan dianggap sah
secara agama Hindu dan budaya Bali.
Teori pentingnya pendidikan seks bagi pasangan manusia yang
telah menikah bukan barang baru dalam khasanah naskah Bali, di
perpustakaan-perpustakaan formal seperti Gedong Kirtya, PUSDOK,
perpustakaan lontar UNUD dll; demikian juga di perpustakaan
informal Grya dan Puri, teks-teks tentang seks bagi pasangan
suami istri dapat kita jumpai, seperti misalnya Rahasyasanggama,
Smarakridhalaksana, usaddha lara kamatus, panglanang, Resi Sambina
dll, teks-teks inilah yang menjadi acuan bagi kehidupan seks pasangan
menikah masyarakat tradisional Bali yang juga menjadi acuan bagi
“sang widagdeng smara”.guna memberikan pelajaran seks kepada
pasangan pengantin Hindu di Bali. Sayangnya untuk masa sekarang
ini, sangat jarang masyarakat Bali yang mengetahui dan masih perduli
akan kearifan budayanya dalam “menyucikan” seks.
Teks Resi Sambina Grya Jungutan Bungaya misalnya, secara
sangat jelas menyatakan bahwa pendidikan seks itu sangat penting
diberikan kepada pasangan menikah dan hendaknya dijadikan bekal
dalam kehidupan rumah tangga kedepan “yapwan matuha ya, ikang

153
prayoga magelis kayunnya yan mangkana”, jika sudah menikah yoga (yoga
seks=pendidikan seks) itulah yang mendesak untuk diketahuinya;
hinga pentingnya pendidikan seks bagi pasangan menikah adalah hal
yang mendesak diberikan.

Naskah Resi Sambina


Naskah asli Resi Sambina adalah pustaka warisan temurun dari
Ida Ketut Rai dari Grya Jungutan Bungaya kabupaten Karangasem,
naskah aslinya beliau warisi dari Ida Pedanda Gede Ketut Kekeran.
Pada tahun 2005 penulis diberikan naskah alih aksara Resi Sambina
dari Bali ke Latin dalam bentuk foto copy langsung oleh pewaris sah
pustaka tersebut. Naskah alih aksara yang diberikan ternyata adalah
hasil ketikan dari Drs. Laura J. Bellows, MA dari Universitas Virginia
Amerika Serikat melalui pembacaan dan terjemahan langsung naskah
Resi Sambina oleh Ida Ketut Rai bertanggal 31 Maret 2000. Naskah
yang menjadi acuan dari tulisan ini adalah naskah salinan hasil
wawancara tersebut di atas dengan jumlah halaman 10 lembar kertas
folio. Ida Ketut Rai tidak tahu siapa sesungguhnya yang mengarang
naskah Resi Sambina ini, jadi kajian kepengarangan karya satra ini
hanya bisa ditumpukan pada keterangan naskahnya.
Ratna Candra adalah sebuah nama yang mengaku telah
menuliskan apa yang ia pelajari dari gurunya, sayangnya Ratna Candra
tidak menjelaskan secara jelas siapa nama gurunya “Lawan prayoga
ngkana ri kama sastra, anung pawarah sang guru, yeka kinawruhan sang
sang ratna candra, telas niweruh, ginaweta ng sastra cara, denira sang maha
widagda” (lembar 3). “Istruksi seks dalam kama satra, adalah ajaran
dari sang guru, itulah yang dipelajari oleh sang Ratna Candra, setelah
dia paham, dibuatnyalah tulisan, hasil penjelasan dari dia yang maha
ahli”. Dalam paragraph ini Ratna Candra hanya menunjuk gurunya
sebagai Ia yang ahli tanpa menjelaskan namanya.
Pertanyaan berikutnya adalah siapakah guru ratna candra yang
dipujinya maha ahli dalam ilmu seks? Satu-satunya keterangan yang
dapat kita kait-kaitkan hanyalah pada wacana terakhir naskah ini yang
menyebut sebuah nama Resi Sambina. “Nihanta kunang kawruhakna
denira sang mangega kama sastra, lwirning baga laksana, Ra, Si, Sa, mbi,
Na. RA purwa, Si daksina, sa pascima, Mbi utara, Na madia” (9-10) “Inilah
ilmu pengetahuan seks yang hendaknya dipelajari oleh orang yang
mau menerimanya, perihal pendidikan seks, ialah Ra (dibaca Re), si,
sa, mbi, na. Ra letaknya di timur, Si letaknya di selatan, Sa letaknya
di barat, Mbi letaknya di utara, Na letaknya di tengah”. Nama Resi
Sambina diterangkan oleh Ratna Candra dengan demikian hormat

154
dan juga dengan menyertakan arti dari suku kata-suku kata yang
membangun nama tersebut. Ra dalam pembacaan aksara bali di baca
re seperti pada restu, Ra adalah penguasaan pada wilayah timur, Si
adalah penguasaan pada wilayah selatan, Sa penguasaan pada wilayah
barat, Mbi penguasaan pada wilayah utara, dan Na penguasaan pada
wilayah tengah; di sini Ratna Candra hendak memuji kehebatan
Gurunya yang bernama Resi Sambina dalam penguasaan berbagai
bidang ilmu dan pengetahuan penting pada zamannya.
Menurut kamus Jawa Kuna kata “rsi”, “resi” artinya guru atu
orang bijaksana (kamus Jawa Kuna, 200:945) sedangkan kata Sambina
ini tak ada satu pun kata yang dapat menerangkannya, kecuali kita
kaitkan dengan kata Sambinya yang artinya sambil, pada waktu yang
sama. (Kamus Jawa Kuna, 200:1002). Jika kedua kata tersebut dikait-
kaitkan agar memiliki makna, resi sambinya jadinya akan bermakna
Seorang guru atau orang bijaksana yang secara bersamaan juga
memahami ilmu seks. Karena tidak adanya kata Sambina sebaiknya
makna kata di atas dimaknai sebagai guru atau orang bijaksana yang
bernama Sambina yang menguasai berbagi macam ilmu penting pada
zamannya dan juga ilmu seks.
Pendidikan seks secara terbuka, seperti bentuk seminar era
sekarang, pada zaman itu ternyata masih sangat ditabukan; namun
walau secara umum ditabukan, ternyata dikalangan tertutup pelajaran
seks ini diakui sangat bermanfaat dan penting untuk di kuasai.
“Ikanang prayoga nung tan winarahaken sang widagda ring wwang len,
rahasya ya de nira, yateka winarahakenku, sarasaning ananga sastra, teki
prayoga winarahakenku, ikanang yogya gawean de sang widagda (lembar2).
“Pengetahuan ini tidak diceritakan oleh para ahli kepada orang lain,
dirahasiakan olehnya, ajaran inilah yang aku bicarakan, pengetahuan
akan hakekat seks, inilah teorinya sekarang aku bicarakan, yang
hendaknya dipraktekkan oleh para ahli. Wacana di atas menjelaskan
jika Ratna Candra menyadari jika pendidikan seks pada zamannya
masih sangat tertutup dan hanya untuk kalangan terbatas saja, hingga
dengan tegas dikatakannya jika orang ahli sekalipun akan sangat
merahasiakan pengetahuan tersebut. Pabila di cermati Ratna Candra
adalah sosok mendobrak tradisi tabu pada zamannya, ia menyatakan
bahwa ajaran rahasia inilah yang sekarang akan ia bicarakan kepada
orang-orang yang bijaksana, orang-orang yang berpikir cerdas
mengetahui arti penting seks bagi harmonisasi kehidupan manusia
dan mereka tidak menolaknya seperti masyarakat kebanyakan.
Ratna candra dengan sangat tegas mengatakan bahwa seks yang
ia pelajari dengan tekun telah mampu membuatnya mahir dalam

155
bercinta dan ia telah pula dapat memahami hakekat dari seks itu sendiri
bagi kehidupan manusia, walau bagi para ahli lainnya ilmu seperti
ini tetap dirahasiakan. “Kadyangganing prayoga ya teka kinaweruhakenku
paramarthanya, matanghyan wihikan, rin gelemku mangabyasa, rinahasya
teki denira sang kawi waneh” (2-3). “Prihal berhubungan seks itulah
aku pelajari hakekatnya, hingga menjadi pandai, karena tekunku
mempelajarinya, ilmu yang dirahasiakan oleh para ilmuwan”.

1. Manfaat Pendidikan Seks


Pendidikan seks dalam pandangan Ratna Candra sangat layak
diberikan kepada sepasang kekasih menjelang pernikahannya namun
tentunya belum boleh dipraktekkan langsung, dengan harapan saat
mereka menikah dan membentuk keluarga, pasangan suami istri
tersebut sudah dapat mempraktekkan seks yang baik dan benar,
yang dapat mengantar mereka pada kebahagiaan rohani jasmani dan
biologis. “ikang kama sastra ngarania, ajining rare mwang matuha teka,
yapwan tan wruh ikang wwang ring kama tattwa yeka tan maha purusa
ngarannia. (3).Pendidikan seks, adalah ilmu pengetahuan bagi orang
yang menjelang menikah, apabila ia tidak mendapatkan pendidikan
seks, ia tidak layak disebut pria utama. Bagi Ratna Candra pasangan
menikah terutama suami apabila belum mendapatkan pendidikan
seks mereka ini belum layak menyandang gelar “maha Purusa” atau
pria utama; barulah setelah mendapatkan pendidikan seks, seorang
pria layak menyandang gelar pria utama (maha purusa).
Orang pintar hendaknya selektif dalam memberikan ilmu seks
ini, sesuaikanlah kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia dengan
fase umurnya. Anak-anak dan remaja lebih membutuhkan busana dan
perhiasan, apabila sudah dewasa mereka membutuhkan pengakuan
akan kedewasaannya melalui ritus ngaraja swala/ngaraja singa dan
matatah, apabila mereka sudah menikah pendidikan sekslah yang
paling dibutuhkannya. “Ring anwam pangan inum pawehannira yaning
rare kunang. Yaning stri yowana sedeng wayahnya, wehen wibhusana
denira, yapwan tengah tuwuh wayah nikang stri, upacara paminton sang
maha widagdha iri ya, yapwan matuha ya, ikang prayoga maglis kahyunnya
yan mangkana” (lembar 3). “Bagi para remaja dan anak-anak makanan
dan minumanlah yang diberikan oleh para ahli, apa bila wanita sudah
memasuki usia remaja diberikan pakaian dan perhiasan yang indah
oleh para ahli, apabila ia sudah menengah umurnya (umur pantas
menikah), pengakuan akan kematangannyalah yang diberikan para
ahli, apabila sudah menikah, pendidikan seks itulah yang paling
diinginkannya”.

156
Ratna Candra meyakini bahwa orang yang telah mempelajari
ilmu seks “kama tattwa” secara otomatis mereka akan memperoleh
apa yang disebut dengan “tri warga” yakni dharma, artha, dan kama.
Dharma adalah kebajikan, kebaikan, sopan santun; artha adalah harta
benda, kekayaan, uang; kama adalah cinta, kasih sayang, kesenangan
(Kamus Jawa Kuna, 2000: 197, 64,448);.”ikang wwang yadiapin daridra
lawan wirupa kunang, yan ilu ya mamicara kama tattwa, yeka wwang manemu
triwarga dharma artha kama, muang sapala dadinia wih, ya lituh, ya susila,
ya wruh mawus, ngaranikang wwang yan mangkana, yan lana mamicara
kama tattwa” (halaman 1). “manusia biarpun miskin dan buruk rupa,
jika ia ikut mempelajari kama tattwa (hakekat seks), ialah orang yang
memperoleh tiga hal pokok (tri warga), kebenaran, kekayaan, dan
kesenangan, serta hakekat kehidupan lainnya, dia akan tampan, dia
akan berbudi baik, dia akan pintar beretorika, demikianlah perubahan
yang akan didapatinya, jika ia tekun mempelajari ilmu seks”.
Adapun mereka yang merasa jijik dengan ilmu seks ini, mereka
sesungguhnya adalah orang bodoh yang tidak akan pernah mengetahui
simpul saraf-simpul saraf seks yang dapat memuaskan diri sendiri dan
pasangan dalam penikmatan seksnya. Ratna Candra mengandaikan
orang yang bodoh ini berkeadaan persis seperti ember bocor yang
di tuangi air, ratna candra menganggap tak ada gunanya mengajari
mereka yang jijik dan berpandangan tabu akan pendidikan seks.
“Dadinikang wwang mapunggung tan weruh rikanang nadi, winarah twi tan
wruh atah, apan wwang apunggung, pamulangin diun lunga paramartanya”
(lembar 3). Mereka yang bodoh tidak akan pernah tahu simpul saraf
utama seks, diberitahu mereka tidak mau memahami, sebab manusia
yang bodoh berkeadaan seperti kuali bocor di isi air.
Siapapun suami yang telah mempelajari ilmu seks, hendaknya
dimanfaatkan untuk memuaskan kebutuhan biologis istrinya, hal ini
nantinya akan berefek pada semakin membaiknya prilaku istri secara
etik dan akan menekan nafsu seks yang menyimpang dan sesat yang
kemungkinan bisa timbul dari ketidak puasan istri secara biologis.
“Matanghyan darsana ng kana, ya ta dadi aken kapahenaken ambek anakbi,
dumehnya dadi inak ambeknya, ilang raganya (6) “Pendidikan seks,
jadikanlah alat untuk menyenangkan istri, manfaatnya akan membuat
baik etikanya, hilang nafsu sesatnya”.

2. Instruksi dan Seni Bercinta


Ini adalah salah satu saja dari instruski dan seni bercinta yang di
sajikan Oleh Ratna Candra dalam kitabnya. Untuk mengawali bercinta
Ratna Candra menyarankan seorang suami hendaknya memegang

157
mesra leher istrinya, kemudian diraba dan dielus dengan penuh kasih,
berikutnya suami hendaknya mencium dengan lembut bibir si istri,
berikutnya barulah dilakukan rangsangan-rangsangan khusus pada
istri menurut warna kulitnya. Apabila istri berkulit cenderung kuning
hendaknya suami memfokuskan rangsangan, baik dengan sentuhan,
rabaan, pijitan, jilatan, hisapan, dan kulumannya pada tubuh bagian
atas istri, maksudnya di atas pusar, meliputi daerah payudara, leher,
tengkuk, dll oleh Ratna Candra, wanita berkulit kuning dinamakannya
Singha Wikranta (wanita Singa). Apabila kulit istri cenderung
berwarna kemerahan disebut dengan Padma Prasita (wanita Lotus),
suami hendaknya lebif focus merangsang tubuh bagian kanan dari
istri. Apabila berkulit kehijauan Rata Wahana, suami hendaknya
lebih memfokuskan rangsangan pada tubuh bagian kiri. Sedangkan
istri yang berkulit cenderung gelap “Sarpa Nuyapana (wanita ular)
suami hendaknya lebih focus merangsang tubuh bagian bawahnya.
Lebih jauh dikatakan seorang suami dengan istri yang berkulit semu
kuning, hendaknya memasukkan dan memainkan kira-kira 3cm
penisnya terlebih dahulu sebelum melakukan koitus penuh, yang
berkulit semu merah kira-kira 6cm, yang berkulit semu hijau kira-
kira 9cm, sedangkan yang berkulit semu hitam 12 centi dimasukkan.
“Ikang tambian kinolahaken ikang gulunya, ring kaping rwa rekhana, ring
kaping tiga sesepin lambenya, telas ring kaping pat ika mengenakaken ta
sira purusa widagdha, yan akuning ikang stri I ruhur unggwaning raganya,
yan bang-bang ring tengenan unggwaning ragania, yan makiris ahijo ring
kiwa unggwaning raganya, yan ahireng ring sor unggwaning raganya. Yan
akuning ikang stri eka anguli tam akna, bang-bang awak pwaya rwanguli tam
akna, yan makiris ahijo telung guli tam akna, yan ahireng pwaya petang guli
tam akna” (4). “Pertama kali peganglah lehernya, kedua raba, ketiga
isap bibirnya, ke empat dilanjutkan dengan tindakan khusus pria
ahli, apabila istri berkulit semu kuning rangsangannya terletak pada
tubuh bagian atas, apabila berkulit semu merah letak rangsangannya
ada ditubuh bagian kanan, apabuila agak kurus semu hijau letak
rangsangannya ada ditubuh bagian kiri, apabila berkulit semu hitam
letak rangsangannya ada ditubuh bagian bawah. Apabila istri berkulit
semu kuning masukkan penis sedalam tiga senti (eka anguli), pabila
berkulit semu merah masukkan penis dua kali tiga senti (rwanguli),
apabila kurus bersemu hijau tiga kali tiga senti dimasukkan, apabila
berkulit hitam empat kali tiga senti dimasukkan (petang guli)”.
Secara umum Ratna Candra menunjukkan daerah-daerah
sensitive rangsangan seks bagi semua tipe wanita, hal ini hendaknya
dipahami oleh para suami, daerah sensitive berikut hendaknya di

158
ciumi, dijilati, dan dikulum; diataranya: bibir atas dan bawah, pipi,
daerah dagu dan leher, lidah, dan payudaranya. “nihan tawak nikang
stri anung sauten, lambe iruhur isor, pipi, jangut, ilat, susunia. Nahan ta
ya sahuten de sang maha widagda (lembar 5). “Inilah bagian tubuh istri
yang bisa kamu isap, bibir atas dan bawah, pipi, dagu/leher, lidah, dan
susunya. Itulah yang disap oleh lelaki ahli”.

3. Penemuan-Penemuan Jaringan G-Spot yang Canggih pada Masanya


Ratna Candra menunjuk adanya gelendutan daging pada
vagina yang di umpamakannya seperti bulan purnama “purna
sasangka”, seorang suami harus tahu posisi dan manfaatnya dalam
membangkitkan hasrat biologis istri; bahkan Ratna Candra menyatakan
“si bulan purnama” itulah duta dari hadirnya “sang ananga” yang
adalah nama lain dari dewa asmara. Jadi seorang suami wajib tahu
organ ini dan bisa merangsangnya dengan sentuhan. “ikang purna
sasangka, ya inasparsanira, rikanang ananga duta (lembar 1) yang seperti
bulan purnama itu di raba, dipakai sebagai duta asmara seks”
Bagi suami yang belum paham dan masih kebingungan mencari
organ seks ini Ratna Candra menegaskan secara lebih terperinci.
“iluhuring pundak ikang baga ya ina sparsa nira, ina sparsa tekang purna
sasangka (lembar 2). “di atas bahu vagina, itulah yang dirabanya,
rabalah yang seperti bulan purnama itu”. Jadi ketika kita melihat utuh
vagina layaknya manusia, bagian di atas dari bahu (kepala) vagina
itulah “Purna Sasangka”. Secara umum dalam dunia medis “purna
sasangka ini dikenal dengan nama Klitoris. Klitoris adalah organ bulat
kecil di bibir bagian atas vagina yang merupakan sebuah kelenjar
sensitive dengan demikian banyak ujung saraf didalamnya, dan
sangat sensitive terhadap sentuhan atau tekanan langsung dan tidak
langsung. Klitoris ini dapat membesar karena batang klitoris akan
teraliri darah apabila menerima rangsangan. Menurut Ajen Janawati,
dalam bukunya Pendidikan Seks Untuk Remaja, klitoris atau kelentit
adalah organ yang terletak di atas ujung labia minora. Jika bibir vagina
dibuka akan terlihat benjolan kecil sebesar kacang polong, inilah yang
disebut klitoris (2006:43)
Setelah menguraikan letak dan fungsi “purna sasangka” (klitoris),
selanjutnya Ratna Candra menunjuk lagi satu bagian sensitive
rangsangan seks pada vagina istri, yang disebutnya dengan “Nari
Wisesa”. “hana pwangkana ri wisesa ring baga mandala, ya ta sparsan
denira, itengahning baga mandala, hana ta mangsa mangadeg, ri tengahning
mangsa ya teka windu, hana liang mahet, ngkana tonggwaning nari wisesa,
ikang nadi munggwakna tan ring yawa tan ring dalem, tengahning sawuku

159
pramananya, yateka sparsan de sang maha purusa widagda (8). “Adalah
sesuatu yang hebat di bagian vagina, itulah yang diraba olehnya (ahli
seks), didalam liang vagina, adalah daging bergelendut, ditengah
daging itu ada titik bulat, ada lobang kecil, disanalah letak dari
kehebatan seks perempuan, simpul saraf ini letaknya tidak diluar dan
tidak didalam, setengah jari letaknya, itulah yang diraba oleh pria ahli
seks”.
Organ yang juga merupakan jaringan saraf seks selain klitoris ini
letaknya di liang vagina, tidak terlalu didalam dan tidak menyembul
keluar, jika diukur dengan jari tangan ketika bibir vagina dibuka,
letaknya hanya setengah jari tengah dikedalaman liang vagina di
dinding bagian depannya. Seorang suami yang mengetahui dengan
fasih tempat ini akan dengan mudah memuaskan istrinya di ranjang.
Ratna Candra menamakan jaringan ini sebagai “Nari Wisesa”
kekuatan wanita. Senada dengan petunjuk Ratna Candra dalam Resi
Sambinanya, adalah seorang ahli kebidanan dan ginekologi dari Jerman
Ernst Grafenberg bekerja sama dengan ahli kebidanan dan ginekologi
Amerika yang ternama bernama Robert L. Dikinson, M.D, pada
tahun 1950 menulis “suatu zona erotis selalu bisa ditunjukkan pada
dinding depan vagina disepanjang saluran uretra… (yang) tampak
dikelilingi oleh jaringan erektil seperti corpora convernosa (jaringan
pada penis)… bila mendapatkan rangsangan seksual, uretra wanita
ini mulai membesar dan dengan mudah dapat dirasakan. Daerah ini
membengkak semakin besar pada akhir orgasme. Bagian yang paling
merangsang itu terletak di uretra belakang, dimana dia muncul dari
leher kandung kemih”. Jaringan seksual ini kemudian dinamakan
dengan G-Spot/Granfenberg-Spot (Alice Khan Ladas, Beverly Whipple
& Jhon D. Perry, 2000:45). Dari paparan di atas, fungsi organ seksual
dalam vagina wanita berupa Klitoris dan G-spot telah dikenal secara
fasih oleh Ratna Candra dalam karyanya yang berjudul Resi Sambina.

4. Manfaat Daya Seks Bagi Kesehatan Manusia


Ratna Candra menyatakan bahwa seks adalah obat “madhosadha”
yang dapat membuat pasangan menikah memperoleh kesehatan fisik
dan mental. Kata “madhosadha” adalah gabungan dari kata madhu
dan usadha; madhu artinya madu, minuman madu, air gula 625 dan
usadha yang artinya obat (zoetmulder, 2000:625,1350). Pasangan
menikah yang bisa memperoleh ejakulasi dan orgasme dan rutin
melakukan seks dalam kehidupan pernikahannya akan mampu
menghilangkan berbagai macam penyakit. Seorang suami hendaknya
memanfaatkan klitoris dengan baik agar istri dapat mencapai orgasme,

160
karena orgasme istri adalah obat bagi berbagai macam penyakit. “ikang
purna sasangka, ya inasparsanira, rikanang ananga duta, smarosada
kunang, asing atah ingkana anung sinangguh madhosada, ikang
pasida tumungkula, kedik-kedik wineh kadi ardha candra (1-2) “yang
seperti bulan purnama, itulah yang dirabanya, dipakai perantara nafsu
asmara, dijadikan obat seks, semua yang ada disana disebut madu/
sari patinya obat, yang akan mampu menundukkan penyakit, sedikit-
sedikit diberikan seperti fase bulan.
Lebih jauh Ratna Candra menyatakan wanita/istri memiliki
delapan dewata penjaga yang berstana di delapan penjuru tubuh istri,
delapan dewata inilah yang berwenang membebaskan istri dari segala
jenis kesengsaraannya. “Wolu ikang dewata mangastula ri awak nikang stri,
sira ta wenang manglepasaken papa nikang stri, ndya ta ya, nihan lwir nika
Sang Hyang angastula ri awak nikang stri. Ada delapan dewa yang berstana
dalam tubuh istri, beliaulah yang berkewenangan membebaskan
kesengsaraan, siapah dia, inilah Dewa yang bersemayam didalam diri
istri (lembar 8). Ratna Candra memerincinya sebagi berikut: 1) Dewa
Brahma berstana di tubuh bagian bawah, Dewa Wisnu berstana di
barat laut, Dewa Indra di utara, Apsari di timur laut, Uma di tubuh
istri bagian atas, Sita menyatu dengan tubuh istri, Arjuna di selatan,
dan Dewa Iswara di barat daya.
Manfaat seks bagi kesehatan terbukti ilmiah dan sahih secara
medis, berikut delapan manfaat seks bagi kesehatan menurut Dr Gloria
G. Bramer dalam bukunya ‘The Better Sex Guide to Extraordinary
Love Making’ yang dikutif oleh Vivanews (http://kosmo.vivanews.
com/news/read/228981-manfaat-seks-untuk-kesehatan):
1. Mencegah kanker prostat pada pria. Bramer mengatakan,
berhubungan seks tidak hanya sekedar menunjang kedekatan
fisik antara pasangan suami istri. Para suami yang sering
merasakan nikmatnya orgasme bersama pasangan terbukti
mampu menurunkan risiko kanker prostat dan meningkatkan
sistem kekebalan tubuh mereka.
2. Meningkatkan kesehatan jantung. Ingin merasa terlihat bugar
di dalam dan di luar? Berhubungan seks akan meningkatkan
kebugaran kardiovaskular, mengurangi stres, dan merangsang
peningkatan perasaan bahagia secara alami. Hal positif lainnya,
otot-otot panggul akan makin kencang.
3. Berhubungan seks melibatkan seluruh tubuh. Berolahraga tentu
melibatkan seluruh tubuh Anda. Sama halnya ketika Anda
melakukan hubungan seks. “Seluruh tubuh ikut bergerak,” kata
Fulbright. “Otak Anda merasa lebih rileks, menenangkan dan

161
menghilangkan stres.
4. Seks memperlancar aliran darah. Sirkulasi oksigen dalam otak
berjalan lancar. Hal ini pada gilirannya juga mempengaruhi
organ-organ reproduksi dan jantung Anda, membuat mereka
sehat, kuat, dan meningkatkan fungsionalitas,’ ucapnya.
5. Bercinta membuat tubuh lebih lentur. “Seks juga menurunkan
hormon testosteron, sehingga otot bekerja dan membuat Anda
lentur. Pada dasarnya melakukan hubungan seks seperti
menggabungkan manfaat dari berjalan dan yoga ke dalam satu
kegiatan,” kata Fulbright.
6. Menghilangkan selulit. Seks dapat membantu menangkal
timbulnya selulit di kaki dan paha. Meski tidak bisa menghilangkan
secara sempurna, hubungan intim secara teratur mampu
menyamarkan tampilan selulit yang ada. Karena berhubungan
seks bisa melunturkan lemak tubuh.
7. Seks meningkatkan hubungan pasangan. Sebagai kegiatan fisik
yang paling sering dilakukan oleh pasangan suami istri, seks
akan mendekatkan pasangan. Ini berarti semakin sering bercinta
dengan pasangan, koordinasi atau komunikasi yang terjalin
antara Anda dan suami akan lebih baik.
8. Pembangkit energy. Berolahraga bisa meningkatkan energi dan
stamina. Sama halnya jika semakin banyak Anda melakukan
hubungan seks, semakin Anda merasakan adanya peningkatan
energi dan stamina. Tidak hanya di kamar tidur, hubungan intim
yang rutin juga bisa meningkatkan semangat kerja Anda.

5. Seks Sebagai Kegiatan Suci Pasangan Suami-Istri Melalui Ritus


Agama
Perkawinan dalam agama hindu adalah bentuk sakralisasi seks,
orang yang sudah melalui prosesi ini akan dinyatakan sah untuk
melakukan hubungan seks dan berkewajiban untuk melanjutklan
keturunannya. Manawa Dharma Sastra III.2 menyatakan “wedanadhitya
wedau wa wedamwapi yathakra mam, awipluta brahmacaryo grihastasrama
mawaset”. “Seorang murid yang sudah mempelajari ke tiga weda, dua
ataupun satu saja tanpa melanggar peraturan-peraturan untuk murid
itu, (ia) akan memasuki ketingkat sebagai kepala rumah tangga”
(Manawa Dharmasastra, 1995:130). Artinya seorang pemuda yang
telah dengan tekun dan taat mempelajari minimal satu saja dari kitab
veda di pasraman hingga tamat, ia telah diperkenankan memasuki
masa membina rumah tangga “grehastin”.
Geoffrey Parinder (2005:25) menyatakan bahwa dalam tradisi

162
Hindu “upacara perkawinan menjadi persembahan rumah tangga yang
paling terperinci mengenai pengorbanan rumah tangga kendatipun
hanya sedikit ritual-ritual berikutnya yang bisa dilacak ke periode
weda. Perkawinan dianggap sebagai persembahan itu sendiri dan
laki-laki yang tidak kawin disebut “orang yang tanpa persembahan”.
Ratna Candra menambahkan, walaupun telah menikah, seorang
suami yang baik, bijaksana, dan mahir dalam ilmu seks, belum cukup
mensakralisasi hubungannya hanya dengan ritual pernikahan itu
saja, ia masih harus mempelajari Kama Tattwa (hakekat seks). Pabila
berkenan memilih teks Resi Sambina sebagai acuan pendidikan seksnya
seorang saumi oleh Ratna Candra diwajibkan menghafal mantra-
mantra senggama, karena kenikmatan seks adalah sarana utama yang
akan mengantar istri untuk mencapai alam moksha “ika punian sang
widagda maha purusha mangkana, ya ta dumeh sira tumemwaken kamoksha
padan” (lembar7). Itulah pemberian dari orang yang sangat ahli seks,
itulah yang diberikannya hingga (istri!) mencapai alam pembebasan
“moksha”.
Berikut adalah mantranya: “Apan kama tattwa pinaka marga,
nihanta ng mantra kena-kena de sang maha widagda purusa, ri awakning
anakbi kalaning sanggama lingnya: Syang mantraning susu karwa, Ang
mantraning puser, Tang ring hati, Ong ring ulu, Ong mantraning ngaran,
Byang ring walakang, Ung mantraning tangan kiwa Ang mantraning tangan
tengen, Nyang bahu ring tengen, Yang bahu kiwa, Pang ring pundak, yateka
laksanakna ri kalaning masanggama lawan stri” (lembar 9). “Apabila
hakekat seks “kama Tattwa dijadikan jalan, inilah mantra yang
hendaknya dipahami oleh para ahli seks, saat bersenggama dengan
istri: Syang adalah mantra saat memegang kedua susu, Ang saat
menyentuh pusar, Tang saat menyentuh ulu hati, Ong saat menyentuh
kepala/leher, Ong kala mengingat nama istri, Byang saat menyentuh
punggung dan bagian belakang tubuh, Ung mantra saat menyentuh
tangan kiri, Ang mantra saat menyentuh tangan kanan, Nyang saat
menyentuh bahu kanan, Yang saat menyentuh bahu kiri, Pang mantra
saat menyentuh Pundak, itulah yang hendaknya dirapalkan saat
bersenggama dengan istri.
Dari wacana Ratna Candra di atas, mantra yang wajib dirapalkan
tatkala suami memegang, mengelus, memijat, mencium, menjilati
dan mengulum payudara adalah Syang; saat rangsangan yang sama
dilakukan pada daerah pusar mantranya Ang; saat suami merangsang
daerah ulu hati mantranya Tang; saat suami merangsang daerah
kepala hingga leher mantranya Ong demikian juga mantra ini dipakai
saat mengingat nama istri; Saat suami merangsang bagian punggung

163
hingga bagian belakang tubuhnya mantra yang diucapkan adalah
Byang; Ung dipakai saat merangsang tangan kiri dan Ang untuk
tangan kanan; Ketika suami merangsang bahu kanan mantranya
adalah Nyang, sedangkan untuk yang kiri mantranya Yang; saat
suami merangsang bahu istrinya mantra yang dirapalkan adalah Pang.
Mereka yang memahami Pendidikan seks akan mengantar istrinya
mencapai alam pembebasan.
Demikianlah “selayang pandang” dari pendidikan seks bagi
pasangan menikah menurut Ratna Candra dalam karyanya Resi
Sambina. Tentunya apa yang disajikan di sini masih dalam tataran
permukaan saja, hingga studi lanjut atas topik ini akan dilanjutkan
dilain waktu dan kesempatan.

DAFTAR PUSTAKA

Alica Kahn Ladas, Beverly Whipple & John D. Perry, 2000. “G-Spot”, Titik
kenikmatan & penemuan mutakhir lainnya tentang seksualitas manusia.
Mitra Media Publisher: tanpa nama kota.
Ajen Dianawati, 2006. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Kawan Pustaka :
Depok
Maswinara, I Wayan, 1997. Kama Sutra. Paramita : Surabaya.
Geoffrey Parinder, 2005. Teologi Seksual. PT LKiS Pelangi Aksara :
Yogyakarta.
Zoetmulder P.J. & S.O Robson, 2000. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. PT
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Semadi Astra, I Gede, Dkk, 2001. Kamus Sanskerta-Indonesia. Pemprop Bali
: Denpasar.
Team Penyusun Kamus, 1991. Kamus Bahasa Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan
Dasar Propinsi Dati Bali : Denpasar.
Team Redaksi KBBI III, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga.
Balai Pustaka : Jakarta.

164
KOMUNIKASI INTERPERSONAL BUDAYA
DAERAH DALAM KONTEKS HUBUNGAN
ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA
SEKOLAH DAN KEPUASAN KERJA GURU

Ai Sumiati Rahman
IKIP Sukabumi

Pendahuluhan

B ahasa ibu merupakan salah alat komunikasi interpersonal


dalam melaksanakan usaha pendidikan untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidup.
Pemerintah sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan
telah banyak melakukan berbagai kebijaksanaan dalam usahanya
untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Hal ini dapat dilihat
dari bermacam perbaikan yang dilaksanakan mulai dari perbaikan
kurikulum, pengadaan buku, pengadaan gedung dan peralatan,
peningkatan kualitas guru, baik untuk tingkat daerah maupun pusat.
Akan tetapi kualitas pendidikan seperti yang diharapkan masih belum
tercapai. Oleh sebab itu penelitian tentang hal di atas terus diadakan,
agar masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia dapat
diatasi, sehingga pada akhirnya akan merupakan alternatif untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Sekolah dalam hal ini guru SD Se-Kecamatan Cikakak,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sebagai organisasi harus memiliki
seorang pemimpin yang bertanggung jawab bagi terselenggaranya
segala kegiatan di dalam organisasi tersebut untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Tanggung jawab pokok pemimpin
adalah memberi arah pada semua kegiatan dalam organisasi agar
tertuju kepada pencapaian tujuan yang diinginkan meskipun tanpa
kehadiran pemimpin organisasi yang tidak mendapatkan arahan dari
pimpinannya diperkirakan kegiatan-kegiatan berjalan tanpa arah atau
tidak terkoordinasi, sehingga tidak akan dapat mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
Untuk menjalankan tugas tersebut, kepala sekolah SD se-
Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat perlu senantiasa
meningkatkan kemampuan berkomunikasi interpersonal budaya

165
daerah, pengabdian dan kreativitasnya agar dapat melaksanakan
tugas secara profesional sehingga kualitas kepemimpinan kepala
sekolah signifikan bagi keberh
Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
kepuasan kerja seorang guru dalam suatu organisasi antara lain
komunikasi interpersonal, dan gaya kepemimpinan kepala sekolah .

Tinjauan Pustaka
A. Teori Komunikasi Interpersonal Budaya Daerah
Komunikasi interpersonal budaya daerah memiliki arti yang
sangat penting bagi manusia, karena tanpa komunikasi budaya
daerah tidak akan terjadi interaksi dan tidak akan terjadi saling tukar
pengetahuan dan pengalaman apalagi untuk melakukan kerja sama
dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sifat menyampaikan informasi, sistem informasi, komunikasi juga
dikatakan perilaku informatif yang merupakan produk dari proses
sosialisasi di mana individu berperilaku dengan stimuli yang diterima,
informasi kognitif yang bersifat menyampaikan pesan administrasi
tentang cara-cara membuat surat seperti permohonan cuti yang baik,
pengisian kartu rencana studi, pindah jurusan dan lain-lain.
Dengan komunikasi seseorang dapat memperoleh berbagai
informasi yang diperlukan untuk melaksanakan sesuatu, mulai dari
tujuan, persyaratan kerja, waktu pelaksanaan kerja dan personil yang
melaksanakannya. Hal ini dapat dipahami dari definisi komunikasi
yang disampaikan oleh Taylor. Menurut Taylor, “Communication may
be definded, as giving, receiving or exchanging information, opinions or
ideas by writing, speech or visual means, so that the material communicated
is completely understood by everyone concerned”. Artinya, komunikasi
dapat didefinisikan sebagai pemberian, pengiriman atau pertukaran
informasi, pendapat atau gagasan secara tertulis, lisan atau dengan alat
visual, sehingga materi yang dikomunikasikan dapat dipahami dengan
lengkap oleh orang-orang yang berkepentingan. Dengan memilah
substansi yang terdapat di dalam definisi ini, maka komunikasi
mengandung elemen pengirim informasi, materi informasi, media
informasi, dan penerima informasi. Pengirim informasi adalah
orang yang memiliki gagasan atau pendapat yang akan dikirimkan/
disampaikan; materi informasi adalah gagasan atau ide yang akan
dikirimkan; media informasi adalah penyampaian lisan (langsung/
pertelepon), tulisan (surat, memo dan pengumuman), alat visual
(televisi, proyektor, dan lain-lain); dan penerima informasi adalah
orang yang menerima informasi yang dikirimkan.

166
Komunikasi interpersonal budaya daerah adalah antara
dua orang, biasanya berhadapan muka, walaupun orang dapat
menggunakan media komunikasi (seperti pesawat telepon) untuk
berkomunikasi secara pribadi tanpa kehadiran mereka secara bersama-
sama. Satu hal yang terpenting dari hasil hubungan interpersonal
ini adalah perkembangan hubungan manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa komunikasi interpersonal dapat membangun hubungan
sosial yang baik di antara individu organisasi/perusahaan. Dengan
hubungan personal yang baik ini, tugas-tugas koordinasi kerja dapat
dilaksanakan dengan baik, dalam menjalin kerjasama untuk mencapai
tujuan perusahaan.
Ada tiga elemen komunikasi interpersonal yaitu sumber/encoding,
signal dekoding/tujuan. Pengertian sumber atau encoding adalah orang
yang menyediakan informasi yang akan disebarkan kepada orang lain.
Enkoding adalah meletakkan informasi ke dalam bentuk yang dapat
diterima atau dipahami orang lain. Signal adalah informasi yang sudah
dienkodekan sebagai sumber yang hendak dibagikan menyusun suatu
pesan. Dekoder/tujuan adalah orang yang mendapatkan informasi.
Pengkodean adalah proses pengubahan kembali signal menjadi
informasi. Elemen komunikasi yang terdiri dari 3 bagian ini diperluas
oleh Shaw dan Onkvisit yang mengatakan bahwa, “Communication is
basically a five-stage process consisting of source, information, decoding, and
destination”. Artinya, pada dasarnya komunikasi memiliki lima langkah
proses yang terdiri dari sumber, pengkodean, informasi, dan tujuan.
Pembentukan simbol atau dekode dan pemberian arti simbol yang
disebut dengan dekode, dan penyampaian umpan balik pengertian
pesan oleh si penerima pesan kepada si pemberi pesan merupakan
suatu proses pemindahan pesan.
Proses komunikasi dapat berlangsung di antara pengirim dan
penerima pesan, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu komunikasi
interpersonal dan komunikasi impersonal. Komunikasi interpersonal
dapat berlangsung dari satu individu ke individu lain, sedangkan
komunikasi impersonal dapat berlangsung dari satu individu ke suatu
kelompok individu atau masyarakat luas.
Ada dua bentuk komunikasi, oral dan tertulis. Komunikasi oral
disebut juga komunikasi lisan, di mana berlangsung percakapan
tatap muka, diskusi kelompok, panggilan telepon, dan hal lain.
Media komunikasi dalam pembicaraan tatap muka ini adalah kata-
kata langsung yang dinyatakan isi komunikasi dalam tulisan seperti
memo, surat, laporan, catatan dan lainnya dimana kata-kata dituliskan
untuk menyampaikan arti. Komunikasi interpersonal secara tertulis

167
memberikan sebuah catatan tetap, merupakan yang terbaik, ekonomis,
dan mudah didistribusikan, namun, komunikasi tertulis ini lebih kaku
bila dibandingkan komunikasi lisan.
Dilihat dari segi arus komunikasi, maka komunikasi dari atas ke
bawah adalah jalur komunikasi antara manajer, penyelia, dan bawahan.
Komunikasi dari bawah ke atas berisi dari saran-saran dari bawahan
kepada atasan. Sedangkan komunikasi horizontal adalah komunikasi
di antara bawahan atau sesama setingkat/sederajad, teman sejawat dan
sahabat. Grapevine adalah komunikasi yang diabaikan para manajer
tetapi ada dalam organisasi, biasanya gosip yang kebenarannya
kurang akurat. Jaringan adalah sistem komunikasi informal kedua
yang menggambarkan pandangan kelompok/group terhadap atasan
dan lainnya.
Komunikasi grapevine dan jaringan ini merupakan komunikasi
informal yang berlangsung dalam praktek kehidupan sehari pegawai
yang diantaranya adalah diskusi pribadi, percakapan setelah makan
siang, gosip di lift, pembicaraan di telepon, kesempatan pertemuan
di koridor, pertemuan informal karyawan, memerintahkan bawahan,
berhubungan dengan pelanggan, pertemuan resmi, wawancara, sesi
pelatihan, memberikan materi presentasi, seminar. Semua komunikasi
ini bertujuan untuk menyebarkan informasi atau memperoleh
informasi baik berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
pekerjaannya.
Komunikasi interpersonal yang menjadi komunikasi organisasi,
berlangsung secara formal menuruti struktur organisasi yang
ada, sedangkan komunikasi interpersonal informal berlangsung
dalam aktivitas luar organisasi baik yang mempengaruhi atau tidak
mempengaruhi pekerjaan masing-masing individu yang terlibat dalam
komunikasi. Bagan atau struktur organisasi mempermudah seseorang
melihat bagaimana komunikasi berlangsung secara vertikal (antar
tingkat), horizontal (antar bagian), dan diagonal antara bagian dan
tingkat. Tiap aktivitas pekerjaan menuntut komunikasi interpersonal
baik secara vertikal dengan atasan tentang hal-hal seperti prosedur,
target dan program kerja, atau secara horizontal tentang hal-hal seperti
penyamaan pandangan tentang prosedur kerja yang harus diikuti.
Proses komunikasi dikatakan berhasil jika penerima pesan
mengerti pesan sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan.
Kunci utama keberhasilan komunikasi interpersonal adalah kesamaan
pengertian antara penerima dan pengirim pesan atas pesan yang
dikomunikasikan. Oleh karena itu, agar komunikasi interpersonal
dapat berjalan efektif, para komunikan harus memahami kendala-

168
kendala yang akan mengganggu mereka dalam berkomunikasi.

B. Teori Kepuasan Kerja


Pekerjaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam
kehidupan manusia, sebagai aspek kehidupan yang memberikan status
seseorang di dalam masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerja
merupakan aspek yang paling mendasar dari kehidupan manusia,
karena akan memberikan status bagi semua anggota masyarakat.
Kemudian berbeda dengan uraian di atas, terdapat pengertian
pekerjaan yang dikaitkan dengan lima macam kemampuan dalam
melakukan suatu pekerjaan, yaitu muscular, sensory, mental, social, dan
conceptual. Pekerjaan diartikan sebagai kegiatan yang membutuhkan
berbagai persyaratan kemampuan dan untuk itu biasanya yang
pelakunya mendapatkan balas jasa dan kepuasan.
Dari pengertian di atas, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan,
yakni kemampuan, balas jasa dan kepuasan. Dengan demikian untuk
melakukan suatu pekerjaan diperlukan kemampuan tertentu, berupa
muscular, sensory, mental, social dan conceptual (imaginative).
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan sesuatu yang bersifat
individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-
beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya.
Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan
keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap
kegiatan tersebut.
Kepuasan kerja merupakan respon sikap atau emosional
orang terhadap kondisi pekerjaannya saat ini. Dalam pengertian
ini kepuasan kerja diartikan sebagai sesuatu konstruk yang
unidimensional yakni kita sering memutuskan bahwa pekerjaan kita
memuaskan atau tidak memuaskan.
Dari uraian di atas berarti kepuasan kerja yang timbul pada diri
guru tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan banyak
faktor yang turut mempengaruhinya, seperti
a. Faktor hubungan antar guru, b. Faktor individual, c.
Faktor-faktor luar. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang
dapat menimbulkan kepuasan kerja sebagai berikut; a) kedudukan, b)
pangkat jabatan, c) umur, d) jaminan finansial dan jaminan sosial, dan
e) mutu pengawasan
Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang
diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun
terdapat perbedaan, tetapi merupakan perbedaan yang positif.
Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar

169
minimum akan menjadi perbedaan yang negatif, maka makin besar
pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya.
Kepuasan khusus merupakan bagian dari kepuasan umum yaitu
sebagai hubungan antara dari aspek situasi dan reaksi pekerja. Seorang
guru yang masuk dan bergabung dengan suatu organisasi mempunyai
seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu
yang menyatu membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat
dipenuhi oleh organisasi dan atasannya
.
D. Teori Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto,
“Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
orang lain sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana yang
dikehendaki pemimpin tersebut.”
Menurut Charles Z. Keating terjemahan A.M. Mangunhardjana,
“Kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara
mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk mencapai
tujuan bersama.” Sedangkan McFarland dalam tulisan Soewarno
Handayaningrat memberikan definisi kepemimpinan sebagai suatu
proses dimana pimpinan digambarkan akan memberikan perintah
atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang
lain dalam memilih atau mencapai tujuan yang ditetapkan.
Di pihak lain Moenir memberikan definisi tentang kepemimpinan
sebagai sifat, kemauan, proses atau konsep yang dimiliki seseorang
sedemikian rupa sehingga telah diikuti, dipatuhi dan dihormati
serta disayangi oleh orang lain itu sehingga bersedia dengan penuh
keikhlasan melakukan kegiatan atau perbuatan yang dikehendaki
seseorang tersebut.
Dalam mempelajari masalah kepemimpinan para ahli
menggunakan beberapa pendekatan. Stoner seperti dikutip Purwanto
mengemukakan bahwa, ”pendekatan kepemimpinan dibedakan
menjadi lima macam, yaitu pendekatan sifat, perilaku, kontingensi,
path goal, dan teori kepemimpinan situasional.” Sedangkan Carrol dan
Tossi merangkum menjadi tiga macam pendekatan yaitu, “Pendekatan
kesifatan, pendekatan perilaku, pendekatan situasional.”
Pendapat Carrol dan Tossi ini sejalan dengan pendapat Handoko
bahwa penelitian teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan
menjadi, “Pendekatan kesifatan, pendekata
perilaku, pendekatan situasional.” Pendekatan “kesifatan”
memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sikap-sikap

170
kepemimpinan yang tampak. Pendekatan “perilaku” bermaksud
mengidentifikasikan perilaku-perilaku (behavior) pribadi yang
berhubungan dengan kepemimpinan efektif, sedangkan pendekatan
“situasional” menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektivitas
kepemimpinan dengan situasi tertentu.
Pengertian perilaku kepemimpinan mengacu kepada pendekatan
perilaku, yakni pendekatan yang berlandaskan pemikiran bahwa
keberhasilan dan kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap
dan bertindak yang bersangkutan.
Gaya bersikap dan bertindak akan nampak dari cara memberi
tugas, cara memberi perintah, berkomunikasi, membuat keputusan,
cara mendorong semangat bawahan, menegakkan disiplin, cara
mengawasi. Sedangkan Hersey mengatakan, “Tingkah laku pemimpin
adalah apa yang dikatakan dan dilakukan seorang pemimpin.”
Pendekatan inilah yang melahirkan berbagai teori kepemimpinan,
salah satunya perilaku kepemimpinan yang dikemukakan oleh
para peneliti Universitas Ohio Staff peneliti dari Universitas Ohio
merumuskan kepemimpinan sebagai suatu perilaku seorang
individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu group ke arah
pencapaian tujuan tertentu. Menurut hasil penelitian yang mereka
lakukan dapat dibedakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan,
yaitu “Initiating Structure (struktur tugas) dan Consideration (tenggang
rasa).”
Pusat penelitian Universitas Michigan melakukan penelitian
untuk mempelajari masalah kepemimpinan. Dari penelitiannya
ditemukan adanya dua macam perilaku kepemimpinan, yaitu “The Job
centered (terpusat pada pekerjaan) dan the Employee Centered (terpusat
pada guru).”
Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok atau dapat disebut
ekstrim ada tiga, yaitu Otokratis, Laissez faire, Demokratis.
a. Otokratis.
Dalam kepemimpinan otokratis pemimpin bertindak sebagai
diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin
adalah menggerakkan dan memaksakan kelompok, penafsirannya
sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberi
perintah, kewajiban anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan,
tidak boleh membantah dan mengajukan saran.
Kekuasaan yang demikian ini akan dapat menimbulkan sikap
menyerah tanpa kritik, sikap “asal bapak senang” atau sikap “sendiko
dawuh” terhadap pemimpin dan cenderung untuk mengabaikan
perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan langsung. Dominasi

171
yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi terhadap pemimpin
atau menimbulkan sifat-sifat agresif pada anggota kelompok terhadap
pemimpinnya.
b. Laissez Faire
Dalam kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan
pimpinan. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat
sekehendak hatinya. Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol
atau koreksi terhadap anggota-anggota kelompok.
Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya
semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa
anggota kelompok dan bukan pengaruh dari pimpinannya.
c. Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama
dan terpenting dalam setiap kelompok atau organisasi. Kepemimpinan
ini diwujudkan dalam dominasi perilaku sebagai pelindung,
penyelamat serta cenderung memajukan dan mengembangkan
organisasi, diwarnai dengan usaha mewujudkan hubungan manusiawi
yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati, menghargai satu
dengan yang lain. Tidak ada rasa tertekan atau takut, namun pemimpin
selalu dihormati dan disegani secara wajar sebagai anggota biasa,
dia tidak pernah memberikan perintah tanpa alasan yang jelas atau
menjelaskan pentingnya masalah, juga selalu mendiskusikan semua
masalah dengan kelompoknya serta memperlakukan bawahannya
sebagai kawan kerja.
Menurut Robert Tannembaum dan Warren A. Schmid yang
dikutip oleh Thoha mengatakan bahwa “Kepemimpinan yang
otokratis tekanan orientasinya diarahkan pada tugas, sedangkan
kepemimpinan yang demokratis tekanan orientasinya diarahkan pada
hubungan pemimpin dengan yang dipimpinnya.
Dengan demikian kepemimpinan yang demokratis adalah
cenderung berorientasi bawahan atau sama dengan perilaku perhatian
(konsiderasi). Perilaku kepemimpinan berorientasi bawahan atau
demokratis menimbulkan situasi kerja yang kekeluargaan dan
kondusif. Disiplin yang tinggi bukan disebabkan oleh ancaman atau
sanksi, tetapi bersumber dari kesadaran masing-masing yang secara
positif menunjang pada peningkatan kualitas dalam bekerja atau
melaksanakan kegiatan. Bila kesadaran ada maka setiap perintah atau
instruksi yang diberikan terasa sebagai ajakan untuk berbuat suatu
bagi kepentingan bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartini
Kartono, “Di bawah kepemimpinan yang demokratis terdapat disiplin
kerja dan ketepatan kerja yang lebih tinggi.”

172
Usaha menciptakan disiplin kerja dapat dilakukan melalui
perhatian dan kerja sama dari pemimpin, yaitu perilaku kepemimpinan
yang menciptakan hubungan kerja dengan guru yang didasari rasa
saling menghormati dan menghargai. Siagian menyatakan, “Setiap
orang dalam organisasi bagaimana pun rendahnya pendidikan.

Simpulan
Pertama, terdapat hubungan positif antara komunikasi
interpersonal budaya daerah dengan kepuasan kerja guru se-
Kecamatan Cikakak Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Ini berarti
bahwa makin baik komunikasi interpersonal seorang guru pada
organisasi, akan makin tinggi kepuasan kerja guru tersebut. Demikian
pula sebaliknya, makin kurang baik komunikasi interpersonal seorang
guru pada organisasi, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut.
Oleh karena itu komunikasi interpersonal merupakan variabel yang
penting untuk diperhatikan di dalam memprediksi kepuasan kerja
guru.
Meskipun secara statistik berhasil diuji terdapat hubungan
yang positif antara kedua variabel, peneliti menyadari bahwa
faktor komunikasi interpersonal bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja guru. Masih ada faktor
lain yang mungkin berperan terhadap kepuasan kerja seperti gaya
kepemimpinan kepala sekolah, aktualisasi diri, disiplin kerja, promosi
jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, dan faktor lainnya
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Kedua, terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan
kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru se-Kecamatan Cikakak,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini berarti bahwa makin baik
gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru makin tinggi pula
kepuasan kerja guru tersebut. Demikian pula sebaliknya, makin
kurang baik gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru, makin
rendah pula kepuasan kerja guru tersebut. Oleh karena itu gaya
kepemimpinan kepala sekolah merupakan variabel yang penting
untuk diperhatikan dalam memprediksi kepuasan kerja guru.
Meskipun secara statistik berhasil diuji terdapat hubungan yang
positif antara kedua variabel, peneliti menyadari bahwa faktor gaya
kepemimpinan kepala sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja guru. Masih ada
faktor lain yang mungkin berperan terhadap kepuasan kerja seperti
komunikasi interpersonal, aktualisasi diri, disiplin kerja, promosi
jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, dan faktor lainnya

173
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Ketiga, terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan
kepala sekolah dan komunikasi interpersonal secara bersama-sama
dengan kepuasan kerja guru se-Kecamatan Cikakak Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat. Dengan demikian berarti bahwa makin baik
gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru dan makin baik
komunikasi interpersonalnya, makin tinggi pula kepuasan kerja
guru tersebut. Sebaliknya makin kurang baik gaya kepemimpinan
kepala sekolah seorang guru dan makin kurang baik komunikasi
interpersonalnya, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut.
Kondisi ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah
dan komunikasi interpersonal, merupakan dua variabel yang penting
untuk diperhatikan dalam menjelaskan peningkatan kepuasan kerja
seorang guru.

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, Panji. 2005. Perilaku Keorganisasian. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.


Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1997. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Bernandin and Russel dalam Foustino Cordoso Gomez. 2004. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Cribbin, James J. 2000. Kepemimpinan: Mengefektifkan Strategi Organisasi.
Jakarta: Pustaka Binaman Presindo.
Gasperz, Vincent. 1998. Manajemen Produktivitas Total: Strategi Peningkatan
Produktivitas Bisnis Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gibson, Ivancevich & Donnely. 2003. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses.
Alih bahasa: Agus Dharma, Jakarta: Erlangga.
Gomes, Cardoso. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi
Offset.
Gordon, Thomas. 2005. Menjadi Pimpinan Efektif. Jakarta: PT Gramedia.
Greech, Bill. 2006. Manajemen Mutu Terpadu. Terjemahan Alexander Sudiro.
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Handayaningrat, Soewarno. 2000. Pengantar Studi Administrasi dan
Manajemen. Jakarta: Gunung Agung.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, Malayu S.P. 2006. Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan
Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.
Hersey, Paul. 2004. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Terjemahan Budiono.
Jakarta: Delaprasta.
Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali
Press.
Kussriyanto, Bambang. 2001. Peningkatan Produktivitas Karyawan. Jakarta:
Pustaka Binaman Pressindo.
Mangunhardjana, A.M. 2002. Manajemen Kepemimpinan. Yogyakarta:

174
BPFE.
Moenir, A.S. 1998. Kepemimpinan Kerja Teknik dan Keberhasilannya. Jakarta:
Bina Aksara.
Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Nitisamito, Alex S. 2002. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung:
Remadja Karya.
Reksohadiprodjo, Sukanto dan T. Hani Handoko. 2000. Organisasi Perusahaan.
Yogyakarta: BPFE.
Robbins, Stephen P. 2000. Organization Theory, Structure, Design and
Application. California: International Inc.
Siagian, Sondang P. 1999. Bunga Rampai Manajemen Modern. Jakarta: Gunung
Agung.
---------------------------. 2002. Manajemen dalam Pemerintahan. Jakarta: LAN-RI.
---------------------------. 2006. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit UI.
Sutarto. 2001. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Thoha, Miftah. 1998. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Radjawali Press.
Wahjosumidjo. 2004. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wayong J. 1999. Fungsi Administrasi Negara. Jakarta: LAN-RI.
Yuwono, S. 2003. Kepemimpinan dalam Organisasi Aparatur Pemerintah.
Yogyakarta: Liberty.

175
DAMPAK SERTIFIKASI GURU DALAM
MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN
PROFESIONALITAS GURU MUATAN
LOKAL SMP DI JAWA BARAT

Nunuy Nurjanah, Dingding Haerudin, dan Ruhaliah


Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

LATAR BELAKANG

U ntuk dapat menjadi guru yang profesional dalam mengelola


pembelajaran, guru atau calon guru dituntut memiliki penguasaan
bidang studi, pemahaman tentang peserta didik, penguasaan
pembelajaran yang mendidik, dan pengembangan kepribadian dan
keprofesionalan (Depdiknas, 2004; Mukhadis, 2004).
Pasal 46 Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2008 menyatakan
guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan
Kualifikasi Akademis dan kompetensinnya, serta untuk memperoleh
pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya. Tugas
pengembangan profesional utamanya merupakan tanggung jawab
guru secara individual. Oleh karena itu, seperti halnya tenaga
profesional lainnya, guru diharapkan selalu mengikuti dan melakukan
pengembangan profesional. Pengembangan profesional penting bagi
guru sejalan dengan perubahan pada tempat kerja (Brown, 2000) dan
perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan peserta didik
(NRC, 1988:55-56).
Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam bentuk diklat tidak
dapat dibiarkan begitu saja, maka setelah selesai kegiatan perlu
dilakukan tindak lanjut tentang keadaan yang sesungguhnya di
lapangan. Materi yang diberikan melalui diklat telah menyesuaikan
dengan kebutuhan lapangan, dimana sebelumnya beberapa guru
dimintai secara acak pendapatnya mengenai kesulitan yang dialami
guru di lapangan.
Kegiatan tindak lanjut guru di lapangan dalam pemberdayaan
kompetensinya harus dilakukan dalam proses belajar dan mengajar.
Namun demikian, guru tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya
dukungan dan hubungan kerja dengan pihak lain yang ada
disekitarnya. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya konsultasi
dengan kepala sekolah dan pengawasnya, koordinasi dengan guru

176
dan tenaga staf lainnya serta mengadakan komunikasi dengan siswa
dan orang tua serta masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan diklat yang telah dilaksanakan, dipandang perlu
adanya kegiatan yang dapat melihat secara dekat tentang aktivitas
guru pasca diklat dimana dapat diperoleh informasi di antaranya
mengenai korelasi materi yang diberikan dengan aktivitas guru
di lapangan. Ada pihak lain yang perlu dilihat yakni kemanfaatan
dari diklat terhadap lingkungannya yakni bagaimana dampaknya
terhadap kinerja sekolah, kepala sekolah, guru teman sejawat, siswa
dan masyarakat orang tua siswa.

TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
dampak sertifikasi guru melalui PLPG terhadap:
1. peningkatan sikap kerja/kreativitasnya bgai guru bidang studi
mulok mata pelajaran bahasa Sunda.
2. peningkatan persiapan kegiatan belajar mengajar guru mulok
bahasa Sunda.
3. peningkatan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru
mulok bahasa Sunda.
4. peningkatan penilaian kegiatan belajar mengajar guru mulok
bahasa Sunda.
5. deseminasi atau penulararan hasil program sertifikasi guru
muatan lokal bahasa Sunda di sekolah.
6. peningkatan pengembangan profesi guru mulok mata
pelajaran bahasa Sunda.
7. kontribusi/kebermanfaatan kinerja guru mulok mata pelajaran
bahasa Sunda.

TINJAUAN PUSTAKA
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan bahwa
sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi
untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut
dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan
pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian
terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi
guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi
akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4)
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan
dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi,
(8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di

177
bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan
dengan bidang pendidikan.
Guru peserta program sertifikasi yang belum lulus pada penilaian
portofolio dan direkomendasikan oleh LPTK untuk mengikuti Diklat
Profesi Guru (DPG) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi
guru sesuai dengan persyaratan sebagai guru profesional yang
ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang
peningkatan profesionalitas guru.

1. Peningkatan Profesionalitas Guru Muatan Lokal Bahasa Sunda


di Lapangan
Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 Tentang Guru dan Dosen, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 19 Tahun 2007 tentang Guru. Dalam PP
tersebut dinyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dirailiki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan
oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan yang meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan
profesi.
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam
pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya
meliputi: 1). pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; 2)
pemahaman terhadap peserta didik; 3) pengembangan kurikulum/
silabus; 4) perancangan pembelajaran; 5) pelaksanaan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis; 6) pemanfaatan teknologi pembelajaran;
7) evaluasi hasil belajar; dan 8) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan guru dalam
pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya
mencakup kepribadian yang: 1) beriman dan bertakwa; 2) berakhlak
mulia; 3) arif dan bijaksana; 4) demokratis; 5) mantap; 6) berwibawa; 7)
stabil; 8) dewasa; 9) jujur; 10) sportif; 11) menjadi teladan bagi peserta
didik dan masyarakat; 12) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri;

178
dan 13) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai
bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi
kompetensi untuk: 1) berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat
secara santun; 2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi
secara fimgsional; 3) bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan,
orangtua/wali peserta didik; 4) bergaul secara santun dengan
masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai
yang berlaku; dan 5) menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati
dan semangat kebersamaan.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam
menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknoiogi, dan/atau seni yang
diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: 1) materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang
akan diampu; dan 2) konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan,
teknoiogi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi
atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran,
dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.

2. Diklat Profesi Guru (DPG)


Tujuan Diklat Profesi Guru
Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (Diklat Profesi
Guru atau DPG) untuk meningkatkan kompetensi guru sesuai dengan
persyaratan sebagai guru profesional yang ditetapkan dalam undang-
undang.

Peserta DPG
Peserta DPG adalah guru peserta program sertifikasi yang
belum lulus pada penilaian portofolio dan direkomendasikan oleh
LPTK penyelenggara sertifikasi untuk mengikuti DPG.

Tipe DPG
DPG terdiri atas dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B. Penentuan
tipe DPG bagi peserta yang belum lulus didasarkan pada pencapaian
hasil skor penilaian portofolio.

Mekanisme Kerja DPG


a) Penentuan peserta DPG oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi
Guru.

179
b) DPG diselenggarakan oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi
Guru.
c) DPG diakhiri dengan uji kompetensi guru yang dilakukan
oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru.
d) Peserta yang lulus mendapat sertifikat pendidik, sedangkan
yang tidak lulus diberi kesempatan untuk mengikuti ujian
ulang di LPTK sebanyak dua kali dengan tenggang waktu se
kurang-kurangnya dua minggu sejak tanggal pengumuman.
e) Peserta yang telah mengukuti ujian ulang sebanyak dua kali
namun masih belum lulus, maka diserahkan kembali ke dinas
pendidikan kabupaten/kota untuk dibina lebih lanjut.

Materi DPG
Materi DPG mencakup empat kompetensi guru, yaitu: (1)
pedagogik, (2) sosial, (3) kepribadian, dan (4) profesional. Jabaran rinci
materi DPG ditentukan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian ini secara umum menggunakan pendekatan
A dominant-less dominant (Creswell, 1994), yakni paradigma kuantitatif
sebagai pendekatan utama, ditambah dengan penggunaan paradigma
kualitatif untuk menelusuri kasus-kasus tertentu yang berkaitan
dengan tanggapan, sikap, dan motivasi peserta. Penelitian ini
merupakan objective-based study sehingga secara umum menggunakan
desain kuasi evaluasi dampak (Stufflebeam dan Shinkfield, 1988)
dengan single group after project assessment design dan single group after
project assessment design (FYA & Sharp, 2000).

Metode Penelitian
`Metode yang digunakan adalah deskriptip kuntitatif, yaitu
pengumpulan informasi dengan instrumen tes untuk kemampuan
akademik, tes produk, dan kuesioner untuk menjaring deseminasi atau
penularan hasil sertifikasi atau diklat sertifikasi, kompetensi secara
umum guru tamatan diklat, pengelolaan kegiatan belajar mengajar,
penelitian, dan pengembangan karir.

1. Instrumen
Instrumen yang dipakai untuk menjaring data yang digunakan
adalah tes kemampuan akademik bidang studi dan kuesioner isian.

180
Untuk lebih jelasnya, instrumen yang digunakan dapat dilihat tabel
sebagai berikut:
2. Pengolahan Data
Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan
statistik deskriptif dengan cara (1) dikompilasi, (2) ditabulasi, (3) diberi
skor dan dipresentasi, dan (4) diinterpretasi.

3. Klasifikasi dan Kriteria Penilaian


Pada analisis deskriptif, data kuantitatif yang diperoleh
melalui instrumen penilaian dicari skor reratanya kemudian
dikonfersikan ke data kualitatif dengan skala 5 serta skornya
dideskripsikan. Deskripsi tersebut akan dijadikan dasar untuk
menentukan dampak evaluasi sertifikasi guru muatan lokal bahasa
Sunda berdasarkan panduan dan perangkatnya. Konfersi tersebut
dengan skala 5 dikembangkan oleh Sudijono (2003) Sebagai
pedoman dalam penilaian evaluasi dampak diklat digunakan tabel
sebagai berikut:
Klasifikasi Hasil Penilaian Monitoring dan Evaluasi Pasca Diklat
No Klasifikasi Rentang Nilai Keterangan
1 Sangat Berdampak 4,00 s.d. 5,00 Tidak memerlukan perbaikan

2 Berdampak 3,00 s.d. 3,99 Memerlukan perbaikan ringan


3 Cukup Berdampak 2,00 s.d. 2.99 Memerlukan penyempurnaan
4 Kurang Berdampak 1,00 s.d. 1,99 Sangat memerlukan
penyempurnaan

4. Sasaran
Sasaran kegiatan penelitian dari masing-masing daerah adalah
5 orang guru tamatan diklat PLPG Muatan Lokal Bahasa Daerah, 5
Kepala Sekolah, 5 Pengawas, dan 5 orang siswa dari 1 orang guru
tamatan diklat PLPG tersebut. Adapun daerah sampel yang diteliti
adalah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kota
Tasikmalaya, dan Kabupaten Tasikmalaya.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil pengolahan data instrumen penelitian
evaluasi pascadiklat yang diperoleh dari instrumen, maka diambil
interpretasi seperti pada tabel berikut.

181
Tabel Hasil Penelitian Evaluasi PascaPLPG di Jawa Barat
Kota Kab. Kab. Kab. Kota Rata-
No Aspek Kompetensi Bandung Bandung Garut Tasik Tasik rata
Peningkatan Kegiatan
1 Persiapan Pembelajaran 4,03 4,02 4,28 4,04 3,81 4,036
Peningkatan kegiatan
Pelaksanaan
2 Pembelajaran 4,08 3,92 4,26 4,06 3,92 4,048
Peningkatan Kegiatan
3 Penilaian 4,34 4,02 4,42 4,2 3,92 4,18
Peningkatan Pengalaman
Menjadi Instruktur/
4 Pengimbahasan 2,58 2,35 2,39 2,04 2,88 2,448
Peningkatan
5 Pengembangan Profesi            
a. Mengikuti Seminar/
  Lokakarya/Workshop 3,03 3,1 2,15 2,82 2,98 2,816
b. Penelitian Tindakan
  Kelas 3,37 2,96 3,17 3,3 2,95 3,15
c. Studi Banding
  (Benchmarking) 2,28 2,18 1,69 1,8 1,77 1,944
  d. Menulis Buku 2,9 1,66 1,49 1,39 2,13 1,914
  e. Menulis Artikel Ilmiah 1,85 1,83 1,12 1,37 1,99 1,632
Peningkatan Sikap Kerja/
6 Kreativitas 4,03 3,97 4,53 2,14 3,95 3,724
  Rata-rata 3,249 3,001 2,95 2,716 3,03  

Dari tabel tersebut, ternyata hanya tiga aspek (30%) saja


yang menyatakan bahwa diklat PLPG kurang berdampak terhadap
kemampuan guru dalam (1) menulis artikel ilmiah, (2) menulis
buku, dan (3) studi banding/benchmarking, sedangkan pada yang
lainnya (70%) dinyatakan cukup berdampak, berdampak, bahkan
sangat berdampak. Hal ini cocok sekali dengan usaha pemerintah
untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menulis artikel
ilmiah dan menulis buku, yaitu dengan adanya kewajiban guru
untuk mengumpulkan Angka Kredit Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (AKPKB) bagi Guru yang mau naik pangkat mulai dari
golongan III/b ke III/c sebesar 4 kumulatif dari publikasi ilmiah atau
karya inovatif. Angka tersebut terus bertambah sampai 20 kumulatif
bagi guru yang mengajukan dari golongan IV/d ke IV/e. Ketentuan
ini tercantum dalam Permenneg PAN&RB No.16/2009 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

182
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dikumpulkan
dengan menggunakan instrumen monitoring dan evaluasi pascadiklat
di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, kabupaten Garut, Kabupaten
Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Berturut-turut disebutkan dari yang terbesar ke yang terkecil
adanya pengaruh diklat PLPG Muatan Lokal Rayon 10 terhadap (1)
peningkatan kegiatan penilaian( 4,18); (2) peningkatan sikap kerja/
kreativitas (4,09); (3) peningkatan kegiatan persiapan pembelajaran
(4.03); (4) peningkatan kegiatan pelaksanaan pembelajaran (4,02);
(5) peningkatan pengalaman menjadi instruktur/pengimbahasan
(2,38); dan (6) peningkatan pengembangan profesi (2,28).
2. Secara umum menunjukkan bahwa yang dampaknya paling kecil
berturut-turut disebutkan (1) studi banding (1,92), menulis buku
(2,14), PTK (2,34), menulis artikel ilmiah (2,36), dan mengikuti
seminarlokakarya/workshop (2,66).
3. Kinerja guru alumni diklat dapat meningkatkan kemampuannya
dalam peningkatan kegiatan penilaian, peningkatan sikap kerja/
kreativitas, peningkatan kegiatan persiapan pembelajaran, dan
peningkatan kegiatan pelaksanaan pembelajaran bahasa daerah
(bahasa Sunda) di masing-masing sekolahnya akan tetapi kurang
maksimal dalam meningkatkan kemampuan mereka dalam
menulis artikel ilmiah, menyusun PTK, melakukan studi banding,
dan menulis buku pelajaran.
4. Hendaknya PLPG lebih meningkatkan program pengembangan
profesi guru, sehingga guru-guru dapat mengembangkan
kemampuannya dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiah
dan menghasilkan berbagai tulisan/karya ilmiah.
5. UPI perlu mengadakan pemantauan yang kontinu dan memberikan
pembinaan yang terus-menerus terhadap alumni diklat PLPG.

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John W. (1994). Research Design – Qualitative and Quantitative Approach.


Thousand Oaks: SAGE Publication.
Direktorat PSMP (2007) Laporan Pelaksanaan Workshop ToT Bimbingan Teknis
KTSP SMP untuk Tim Pengembang Kurikulum Dinas Pendidikan Kabupaten/
Kota Region Bandung Angkatan 2, Tanggal 17 – 23 Mei 2007. Tidak
Diterbitkan.
Dirjendikti. (2007). Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

183
Dirjendikti. 2010. Panduan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Stufflebeam, D. L. & Shinklfied, A. J. (1988). Systematic Evaluation. Boston:
Kluwer-Nijholl Publishing.
The Foundation of Young Australian (FYA) & Sharp, C. (2000). Start Do It
Yourself: Evaluation Manual. Tersedia: http://www.youngaustralians.
org. [8 Pebruari 2008].
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas).Bandung: Nuansa Aulia.
Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta:
Wacana: Intelektual.

184
PEMAHAMAN KEMBALI LOCAL WISDOM
ETNIK JAWA DALAM TEMBANG MACAPAT
DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BANGSA

D.B. Putut Setiyadi


Universitas Widya Dharma, Klaten

I. Pendahuluan

D i kalangan masyarakat Jawa, tembang macapat telah dikenal


sejak pengaruh Islam berkembang di pesisir kian meluas.
Hal itu diperkirakan terjadi pada abad XV1 dan sampai saat ini
masih tetap hidup. Tembang macapat merupakan genre sastra Jawa
yang berbentuk puisi dan dipakai sebagai media pendidikan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Banyak tulisan para pujangga
atau raja Jawa yang digubah dalam bentuk tembang macapat, seperti
yang tersebut dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I yang
berisi naskah-naskah yang ada di Museum Sono Budoyo Yogyakarta
(Behrend, 1990) antara lain yang berisi sejarah, silsilah, hukum, ajaran,
primbon, adat-istiadat, sastra wayang, dan sebagainya.
Sebagai salah satu hasil kebudayaan masyarakat Jawa, tembang
macapat memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa. Tembang itu begitu sederhana sehingga
banyak orang Jawa dapat melantunkan tembang macapat itu pada
zaman tembang itu populer. Oleh karena itu, banyak pujangga
ataupun para raja memilih media berupa wacana tembang ini sebagai
sarana pendidikan atau pesan bagi masyarakat Jawa pada zaman
keraton Kasunananan Surakarta atau Mangkunegaran khususnya.
Pendidikan atau pesan yang digubah dalam bentuk tembang tersebut
antara lain berkaitan dengan pembentukan watak, moral, atau budi
pekerti luhur bangsa dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini agaknya mencontoh para
wali dalam rangka penyebaran agama Islam2. Sebagai contoh karya
pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita yang berjudul Sêrat Jākā Lodang,

1 Saputra (2001:21) menyebutkan munculnya tembang macapat antara pertengahan


abad XV sampai pertengahan abad XVI Masehi.
2 Macapat tidak hanya diciptakan oleh seseorang, tetapi oleh beberapa orang wali dan
bangsawan (Arps, 1992:63; Laginem, dkk., 1996: 27)

185
Sêrat Sabdā Jati, Sêrat Kālātidhā, Sêrat Sabdā Tāmā. Wulangrèh, Wulang
Sunu, Wulang Èstri karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV. Tripāmā,
Wedātāmā, Wirāwiyātā karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV. Karya
ketiga tokoh itu banyak dikenal di tengah masyarakat. Sampai-sampai
banyak orang hafal akan lari-larik dari tembang itu. Pada era modern
ini pun tembang macapat masih ditulis atau diciptakan dengan
disisipi pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan pengembangan
budi pekerti luhur bangsa.
Têmbang (sêkar) macapat3 merupakan salah satu jenis puisi di
dalam bahasa Jawa yang disebut juga têmbang cilik atau sêkar alit,
atau têmbang lumrah4 (Laginem, dkk., 1996:26). Disebut tembang
karena dalam membawakannya sebenarnya harus dilagukan atau
dinyanyikan (Marsono, 1992:77). Hal itu juga dikatakan oleh Arps
(1992:14) bahwa tembang macapat merupakan puisi tradisional tertulis
yang biasanya dibaca dalam bentuk nyanyian. Cara membaca yang
harus dinyanyikan ini merupakan salah satu keunikan dari bentuk
puisi dalam bahasa Jawa.
Tembang macapat merupakan corak kesenian dalam budaya
tradisional yang secara kolektif dimiliki, dikenal, dan banyak
mengandung pengetahuan, serta kearifan lokal (local wisdom)
masyarakatnya. Selain itu, juga sarat dengan kaidah, serta berisi petuah,
nasihat, dan berbagai kearifan pandangan hidup Jawa. Tembang
macapat adalah salah satu jenis kesenian yang memadukan antara
puisi dengan musik, baik musik tradisional maupun modern. Pilihan
bentuk perpaduan antara tembang dengan musik itu tidak lepas dari
kesenangan nenek moyang etnik Jawa untuk melantunkan tembang.
Ini terbukti pula dengan adanya berbagai alat musik tradisional Jawa
yang telah diciptakan olehnya.
Keindahan tembang saat dilantunkan menyebabkan orang
mudah menghafal dan menyimpan dalam hati pesan-pesan yang
disisipkan dalam tembang itu. Selanjutnya dapat diajak dengan mudah
untuk melaksanakan pesan-pesan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Jika pesan-pesan itu diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari, maka pesan itu dapat membentuk cita rasa keindahan
dan kehalusan budi suatu masyarakat. Hal ini sesuai pendapat
Tedjohadisumarto (1958) bahwa tembang juga dapat dipakai

3 Macapat (Jw.mācāpat, telah diindonesiakan macapat) secara tradisional dis-


ebut tembang (sêkar) macapat. Istilah macapat sinonim dengan tembang maca-
pat atau sêkar macapat. Sêkar merupakan bentuk krama dari kata tembang
(Poerwadarminta,1939:600; Darusuprapta, 1989:19; Arps, 1992:57; Saputra, 2001).
4 Bandingkan dengan Subalidinata (1994); (Moeliono, 1997); Saputra (2001).

186
sebagai sarana membangun kehalusan budi dan cita rasa keindahan.
Hal lain yang menarik dari tembang macapat adalah adanya
wujud salah satu anasir budaya Jawa yang bersifat khas karena isinya
mengandung sapaan, amanat, atau pesan bagi seseorang yang menjadi
anggota masyarakat etniknya. Tembang macapat dihiasi pula dengan
aneka simbol di dalamnya yang harus ditafsirkan maknanya. Hal ini
selaras dengan pendapat Casson (1981) bahwa kebudayaan adalah
sistem arti yang bersifat simbolik dan bahasa merupakan sistem tanda
yang berfungsi sebagai simbol. Simbol-simbol itu dapat diidentifikasi
antara lain melalui kespesifikan bahasa yang digunakan dan ritme
suara yang lazim dilantunkan. Sebagai contoh, simbol seperti tersirat
dalam larik tembang macapat karya Ranggawarsita dalam Sêrat
Kalatidha berikut ini.
Amênangi jaman edan, ‘Menyaksikan zaman edan,
ewuh āyā ing pambudi, serba salah dalam menyiasati,
mèlu edan nora tahan ikut gila tidak tahan,
yèn tan mèlu anglakoni, kalau tidak ikut melakukan,
boyā kaduman melik, tidak akan kebagian,
kalirên wêkasanipun, kelaparan akhirnya,
dilalah karsā Allah, kalau sudah dikehendaki Allah,
begjā-begjane kang lali, seberuntung apa pun yang lupa daratan,
luwih begjā kang eling lebih beruntung yang sadar diri dan
lawan waspādā. ``waspada.’

Dalam salah satu bait dari Sêrat Kalatidha5 di atas mengandung


pepatah dan piwulang yang ditujukan kepada anggota masyarakat
yang mengenalnya dan menjadi pemilik budayanya. Piwulang ‘ajaran,
pendidikan’ yang terkandung dalam bait (pādā6) itu disampaikan
dalam simbol bahasa yang menyiratkan makna konteks yang
mengacu kepada pola pikir orang Jawa. Etnik Jawa diharapkan
selalu éling ‘teringat atau sadar diri akan keberadaan Tuhan’ serta
waspādā ‘waspada’ dalam setiap perilaku hidupnya walaupun diberi
kenikmatan yang memabukkan. Orang yang eling dan waspādā tidak
akan terseret arus keadaan yang dialaminya. Ia senantiasa dapat
mengontrol diri agar tetap berjalan di atas rel kebenaran, kepositifan

5 Diambil dari Kamajaya (2000)


6 Pādā inggih punika satunggal sêkar ingkang kadadosan saking sawatawis gātrā
(umpaminipun sêkar Kinanti 6 gātrā)’pādā adalah satu tembang yang terjadi dari
beberapa baris (misalnya tembang Kinanti enam baris/larik’. Pupuh inggih punikā
gegolonganing sêkar ingkang sami, ingkang kadadosan saking sawatawis pādā ‘Pu-
puh adalah sekelompok tembang yang sama, yang terjadi dari beberapa bait’.

187
(kebaikan), laku utāmā atau ke budi pêkêrti luhur7 karena sadar sebagai
makhluk Tuhan. Dengan demikian, orang yang selalu berbuat eling
dapat terhindar dari perbuatan yang negatif dan mendapatkan
pahala dari Allah. Karena itulah disebutkan orang itu lebih beruntung
daripada orang yang mengikuti keangkaramurkaan karena terseret
arus zaman edan. Ungkapan eling dan waspādā memiliki implikatur
imperatif permintaan dari penulis kepada O2 agar di dalam kehidupan
sehari-hari, konsep itu selalu diingat dan dipakai sebagai peringatan
apabila O2 mengalami hal-hal yang mengharuskan ia memutuskan
untuk berbuat angkara murka atau tidak.
lihat kutipan di atas, larik-larik dalam wacana tembang ternyata
mengandung ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan
filsafat hidup dan menjadi pendidikan bagi orang Jawa. Makna yang
terkandung di dalamnya harus ditafsirkan sendiri oleh anggota
masyarakat. Dalam menafsirkan makna, seseorang harus memiliki
skemata atau knowledge of the world tentang sesuatu yang disasmitakan
itu. Sebagai contoh ungkapan ilmu iku tinêmune kanthi laku8 ‘ilmu itu
diperoleh dengan perbuatan prihatin9’. Diperolehnya ilmu, menurut
ungkapan di atas harus disertai laku yang secara harafiah berarti
’perbuatan’. Pemahaman kata laku tidak hanya sampai pada makna
harafiah saja. Ada makna lain yang harus dipahami dengan cara
menerapkan konsep itu di dalam kehidupan sehari-hari. Kata laku
di samping memiliki makna dasar ’perbuatan’ yang bersifat lahiriah
juga memiliki makna tambahan yang lain, yaitu diikuti oleh adanya
perbuatan yang bersifat batiniah, misalnya puasa, berdoa atau berdzikir,
dan sebagainya. Dengan cara itu, seseorang baru dapat menemukan
konsep dan implikatur dari kata laku serta memahaminya.
Pada kesempatan ini pembahasan hanya dibatasi pada Tripāmā,
Wulangrèh, dan Kālātidhā yang masing-masing mewakili karya dari
keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan dari pujangga. Agar
masalah dapat lebih terfokus, masalah-masalah yang dibahas dalam
pembahasan ini dirumuskan sebagai berikut.
(1) Apa urgensi pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa

7 Budi pekerti luhur atau sifat akhlakul karimah adalah watak dan perbuatan yang mu-
lia. Budi pekerti luhur pada dasarnya merupakan sikap atau perilaku yang dilandasi
pertimbangan baik buruk, kemudian memilih ke hal yang baik untuk dilakukannya
(Endraswara (2003:3).
8 Lihat Wedhātāmā karya KGPAA Mangkunagara IV
9 Ilmu yang dimaksud adalah sains, tetapi apabila ilmu yang dimaksud adalah ilmu
metafisika, laku di situ mempunyai arti lain, yakni bertapa atau berpuasa atau
tindakan spiritual lain yang dapat meraih tercapainya ilmu itu.

188
dalam tembang macapat?
(2) Dapatkah kearifan lokal etnik Jawa yang terdapat dalam tembang-
tembang macapat itu dimanfaatkan sebagai media pendidikan
budi pekerti luhur bangsa Indonesia?
2. Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa adalah “symbolic meaning system” ‘bahasa adalah sistem
makna yang simbolis’, begitu pula halnya dengan kebudayaan yang
dikatakan sebagai “symbolic meaning system” (Casson, 1981:11-17).
Lebih jauh ahli ini menyatakan sebagai berikut.
“Like language, it is a semiotic system10 in which symbols function to communicate
meaning from one mind to another. Cultural like symbols, like linguistic symbols,
encode a connection between a signifying form and a signaled meaning”, ‘Seperti
bahasa, kebudayaan adalah sistem tanda yang merupakan simbol yang
berfungsi untuk mengkomunikasikan makna dari satu konsep pikiran
ke yang lain. Simbol-simbol yang terdapat dalam kebudayaan, seperti
halnya simbol-simbol linguistik, mengkodekan hubungan antara bentuk
yang menandai dan makna yang ditandai’.

Dari pernyataan itu tampak lebih jelas lagi bahwa bahasa merupakan
sistem tanda yang berfungsi sebagi simbol dalam mengkomunikasikan
makna dari seseorang kepada yang lain. Kebudayaan juga simbol,
seperti simbol bahasa, yang merupakan penanda dan petanda11. Senada
dengan itu Sapir (1960:70) juga mengatakan bahwa bahasa merupakan
petunjuk yang sifatnya simbolis terhadap budaya. Jadi, bahasa sebagai
hasil kebudayaan manusia merupakan simbol makna yang diciptakan
untuk keperluan manusia dalam berkomunikasi. Halliday dan Hassan
(1992:4) mengatakan bahwa budaya sebagai seperangkat sistem
semiotik, sebagai seperangkat sistem makna, yang semuanya saling
berhubungan. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna
yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.
Secara garis besar Levi-Strauss12 (1963:68) membedakan tiga
macam pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan
sebagai berikut.
(1) Bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai
refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
(2) Bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan
salah satu unsur dari kebudayaan.
(3) Bahasa merupakan kondisi kebudayaan.
Kaitan antara bahasa dan kebudayaan ini kemudian dikaji

10 Bandingkan dengan Halliday dan Hassan (1992)


11 Bandingkan Saussure (1988:145)
12 Bandingkan dengan Ahimsa-Putra (2001: 24); Levi-Strauss (2005:92).

189
dalam bidang ilmu yang disebut etnolinguistik atau antropolinguistik
(Levi-Strauss, 1963:359). Penelitian yang berkaitan dengan bidang ini
awalnya dilakukan oleh Franz Boas yang meneliti orang-orang Indian
dan Eskimo. Penelitian Boas beserta metodenya mengenai orang
Indian tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir
(Samsuri, 1988:50).
Pandangan Sapir itu kemudian dikembangkan oleh Benjamin
L. Whorf. Bagi Whorf cara memandang, cara memahami, serta
menjelaskan berbagai macam gejala atau peristiwa yang dihadapinya,
sangat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakannya. Pandangan ini
kemudian terkenal dengan sebutan “Sapir-Whorf Hypothesis” (Ahimsa-
Putra, 1996:3). Dalam hipotesis tersebut disebutkan bahwa bahasa
menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran
yang berbeda pula. Dengan kata lain suatu bangsa yang berbeda
bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan pikiran yang
berbeda pula (Anwar, 1990: 86).

3. Kearifan Lokal dan Wujudnya


Istilah “kearifan lokal” itu terjemahan dari “local genius” yang
diperkenalkan pertama oleh Quaritch Wales (1948-1949) dengan
arti “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi
pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan tersebut
berhubungan (Rosidi, 2010:1). Pendapat lain dari Ahimsa-Putra
(t.t.:5) mendefinisikan kearifan lokal adalah perangkat pengetahuan
dan praktek-praktek pada suatu komunitas – baik yang berasal
dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamanya
berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya – untuk
menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan
yang dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun
tidak.
Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genius) juga
didefinisikan sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka (Rajab dalam http://www.depsos.
go.id/).
Menurut Ridwan (2010:2) kearifan lokal atau sering disebut local
wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan
akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,
objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Selanjutnya
dikatakan bahwa wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang

190
dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap
sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
“kearifan/kebijaksanaan”. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.
Tim Wacana Nusantara (2009:1) menyatakan bawa kearifan lokal
merupakan adat dan kebiasan  yang telah mentradisi dilakukan oleh
sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini
masih dipertahankan keberadaannya oleh   masyarakat hukum adat
tertentu di daerah tertentu. Kearifan lokal tersebut terpelihara dengan
baik meskipun telah terjadi interaksi dengan dunia luar dan mengalami
akulturasi budaya denga kebudayan di luar kebudayaan mereka.
Menurut Ridwan (2010:3) kearifan-kearifan lokal dalam
masyarakat kita dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah,
semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
hari. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik
yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut,
misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe
rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiaine
manfaat ilmune, patuh gurune barokah uripe (masyarakat pesantren), dan
sebagainya.
Menurut Marsono (2007:182) dalam masing-masing etnik Nusantara
banyak terdapat kearifan lokal. Sewaktu bangsa Nusantara belum bisa
tulis-menulis kearifan lokal yang memuat amanat pembentukan budi
luhur dituangkan dalam bentuk upacara-upacara tradisional, legenda-
legenda/ cerita rakyat/ dongeng, ungkapan-ungkapan, dan relief.
Setelah bangsa ini mampu tulis-menulis maka sarana yang dipakai
lewat bentuk tulis.

4. Pembahasan
4.1 Urgensi Pemahaman Kembali Kearifan Lokal Etnik Jawa Melalui
Tembang Macapat
Dari hasil telaah dan pemahaman kembali terhadap tembang
macapat Tripāmā, Wulangrèh, dan Kālātidhā (selanjutnya disingkat
T, W, dan K) dapat dikatakan bahwa ketiga tembang macapat itu
mengandung bermacam-macam piwulang/ ajaran yang berkaitan
dengan budi pekerti manusia hidup di dunia. Wujud piwulang itu
berupa ungkapan-ungkapan yang disisipkan di dalam tembang
macapat itu. Penggubah tembang (O1) bermaksud memberikan
piwulang itu kepada para keturunan raja, para abdi keraton, dan juga
masyarakat etnik Jawa (O2).

191
Penyampaian pesan berupa piwulang yang dibungkus melalui
tembang itu sangat efektif, sehingga mampu menjangkau masyarakat
etnik Jawa secara luas. Dengan cara memasyarakatkan tembang
macapat di kalangan etnik Jawa, pesan-pesan raja sampai kepada O2
secara perlahan namun pasti. Masyarakat diajak nembang dengan
berbagai metrum yang berbeda. Dari kebiasaan nembang itulah
pesan-pesan itu dengan tidak disadari telah dihafal oleh masyarakat
etnik Jawa dan meresap ke dalam hati sanubari mereka. Kemudian
dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis melaksanakan pesan-
pesan itu.
Dengan demikian O1 secara tidak langsung telah mempengaruhi
O2 agar melaksanakan pesan-pesan tersebut. Apa yang dilakukan
oleh O1 dapat pula dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal yang
dilakukan oleh O1 atau para leluhur etnik Jawa. Dikatakan demikian
karena para leluhur berusaha membentuk budi pekerti masyarakat
etnik Jawa melalui tembang. Leluhur etnik Jawa juga menciptakan
tradisi yang menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Jawa dalam
kehidupannya. Tradisi itu dipelihara secara turun-temurun dan hingga
saat ini masih dipertahnkan keberadaannya. Dengan demikian, dapat
pula dikatakan bahwa tembang macapat merupakan sumber kearifan
lokal etnik Jawa di dalam hal piwulang budi pekerti atau watak yang
patut diteladani.
Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang tersebut, ditemukan
kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan budi pekerti
luhur etnik Jawa. Pesan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis,
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, raja/ pemimpin/ negara, dan
dengan manusia lain. Hubungan manusia dengan alam diintegrasikan
dengan ketiga hubungan tersebut. Berikut ini pembicaraan secara
singkat mengenai hal itu.
(1) Piwulang yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan
Kearifan lokal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
Tuhan yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dibahas tersebut
antara lain agar O2 memahami kesempurnaan Tuhan. Kesempurnaan
itu terbukti dari penyebutan terhadap Tuhan seperti Hjang Agung
‘Yang Agung’ (W, 309, 516, 521, 836), Gusti Kang Murbā ‘Tuhan Yang
Maha Menguasai’ (W, 448), Hyang Widdhi atau Allah (K,69, 99), dan
sebagainya.
Piwulang yang lain adalah agar O2 memahami ajaran Islam
beserta kitab suci Al-Quran karena merupakan kitab yang isinya
berupa tuntunan kehidupan yang sempurna (W, 21), kalau perlu bisa
dilakukan dengan cara berguru untuk mempelajari kitab suci tersebut.

192
Namun, tidak sembarang guru bisa dipilih, harus ada kriteria tertentu
(W, 31 – 38). Setelah itu hendaklah menjalankan rukun Islam dan
syariat agama yang lain (W,1092). Dalam menjalankan rukun Islam
itu hendaklah selalu berdzikir dan berdoa (W, 1181 – 1187). Tidak
lupa pula berupaya mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa (W,
1400 –1408) dengan cara selalu mengolah batin (W, 81–86), selalu
bersyukur dan ikhlas dalam menjalankan ibadah (1177 –1180 dan
1224 – 1225); serta jangan terlena karena hidup hanya diibaratkan
mung mampir ngombe (W, 1126 – 1132), setiap saat manusia dipanggil
menghadap-Nya karena memenuhi takdirnya ((T, 20, 40, dan 59; K,
55 –62). Selain itu, ajaran agar O2 tidak sêmbrānā (W, 1112 – 1118) di
dalam menjalankan perintah agama.
Pendekatan diri kepada Tuhan biasa dilakukan oleh etnik Jawa,
baik melalui cara kejawen atau agama. Jika melalui kejawen proses
pendekatan diri kepada Tuhan biasanya dilakukan dengan cara semedi
‘berdoa secara khusyuk’, nglakoni ‘meninggalkan hal-hal yang bersifat
duniawi’, atau tāpā brātā ‘bertapa’ dalam suatu tempat tertentu. Dalam
agama Islam hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan rukun
Islam disertai berdoa secara khusyuk atau melakukan ritual agama
Islam secara khusus seperti shalat malam atau berdzikir. Selain itu ada
empat tahap proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan tingkatan
makin tinggi semakin memperoleh kemungkinan untuk bisa dekat
dengan Tuhan. Empat tahapan itu adalah syariat, tarekat, hakikat,
dan makrifat. Tahapan syariat adalah tahapan paling rendah, diikuti
tahapan berikutnya makin tinggi tatarannya.
Dari pengetahuan tentang kedekatan diri dengan Tuhan itu dalam
budaya Jawa muncul kearifan lokal yang berupa ungkapan sêmbah rāgā
sebagai padanan tingkat syariat, sêmbah ciptā padanan tahap tarekat,
sêmbah jiwā sebagai padanan hakikat, sêmbah rāsā padanan makrifat.
Sêmbah rāsā merupakan tataran tertinggi dalam tahapan kedekatan
antara manusia dengan Tuhannya. Dalam budaya Jawa tingkat
makrifat atau sêmbah rāsā dapat disamakan dengan manunggaling
Gusti-kawulā. Ada kepercayaan di dalam sistem religi etnik Jawa
bahwa antara seseorang dengan Tuhannya bisa menyatu yang disebut
manunggale Gusti-kawulā. Persatuan ini diibaratkan permata atau emas
dengan tembaga yang menyatu menjadi suasa. Persatuan itu juga
harus bersih, tidak ada nafsu aluamah dan amarah, suci lahir-batin.
Itu semua harus disertai dengan kesabaran, tidak boleh tergesa-gesa
atau nggege mangsa. Kalau telaten akan tercapai kemanunggalan itu.
Di dalam masyarakat etnik Jawa kepercayaan ini saat ini masih ada
dan dilakukan di dalam masyarakat etnik Jawa, walaupun agama

193
Islam telah mendalam di masyarakat etnik Jawa. Konsep persatuan
tersebut memiliki padanan atau disimbolkan dengan konsep curigā
manjing warāngkā ‘keris yang masuk ke dalam wadahnya’.
Kedekatan manusia dengan Tuhannya diibaratkan pula dengan
ungkapan cêdhak tanpā senggolan, adoh tanpā wangênan ‘dekat tidak
bersenggolan, jauh tidak tanpa batasan atau tanpa jarak’. Itulah
perumpamaan hubungan manusia dengan Tuhan yang telah mencapai
tataran tertinggi di dalam sistem religi etnik Jawa.
Untuk mencapai tataran manunggale Gusti-kawulā etnik Jawa
harus mêsu ciptā mati rāgā ‘mengheningkan cipta dan mematikan raga’
yang menjadi sikap laku prihatin. Sikap ini bisa dipadankan dengan
ngungkurke kadonyan ‘menjauhi keduniawian’ yang dilakukan dengan
cara semadi ‘melakukan doa secara khusyuk’ dan harus mematikan
pancaindera atau nutupi babahan hawā sāngā ‘sembilan lubang yang
ada pada tubuh manusia’. Babahan hawā sāngā adalah konsep yang
dipercaya oleh etnik Jawa merupakan sumber keduniawian manusia,
yakni munculnya nafsu yang ada pada diri manusia. Sembilan lubang
yang dimiliki manusia, yaitu hidung, telinga, mata, mulut, payudara,
dan lubang seksual. Orang yang berlaku mêsu ciptā mati rāgā menutup
semua lubang itu dalam arti khusuk berpusat pada doa. Begitulah etnik
Jawa menyikapi hubungan antara dirinya dengan Sang Pencipta.
Etnik Jawa memiliki kearifan lokal berupa ungkapan yang
menyatakan bahwa takdir merupakan garising pêpêsthèn ‘garis takdir’
atau garising kodrat ‘kepastian kodrat’. Segala sesuatu kalau sudah
takdir tan kênā owah gingsir ‘tidak bisa berubah lagi’. Dalam ungkapan-
ungkapan yang lain muncul ungkapan-ungkapan pula seperti pasrah
‘pasrah’, sumarah karsaning Gusti berserah diri kepada Tuhan’, wis
ginaris ing Gusti ‘telah ditakdirkan oleh Tuhan’, mupus pêpêsthening
takdir ‘menyerah dengan adanya takdir’. Orang tidak bisa menghindar
dari takdir buruk yang datang yang diungkapkan kabêntus ing tawang,
kêsandhung ing rātā ‘menabrak angkasa, tersandung di jalan yang rata’.
Ungkapan itu merupakan kiasan untuk menggambarkan sesuatu
yang sebenarnya tidak mungkin terjadi, namun manusia tidak bisa
menghindarkan diri dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan
Ungkapan-ungkapan itu dimanfaatkan untuk bangkit dari
kesedihan dan menimbulkan semangat ketika menghadapi takdir
yang berhubungan dengan kesedihan. Yang berkaitan dengan takdir
muncul pula ungkapan siji pati ‘satu, kematian’, loro jodho ‘dua, jodoh’,
têlu tibaning wahyu ‘tiga, jatuhnya wahyu Illahi’. Ungkapan lain lagi
yang muncul berkaitan dengan takdir adalah bêjā-cilākā ‘beruntung-
celaka’, lārā kêpenak ‘sakit-sehat’, sugih mlarat ‘kāyā-miskin’ itu sudah

194
takdir. Etnik Jawa percaya bahwa mênungsā mung sakdrêmā nglakoni
‘manusia hanya sekedar menjalankan apa yang menjadi takdir Tuhan’.
Ungkapan lain kridaning ati ora bisā mbêdhah kutaning pasti; budi dayaning
manungsā ora bisā ngungkuli garesang kuwāsā ‘tidak setiap keinginan
manusia dapat dipenuhi, budi daya manusia tidak bisa melebihi
kekuasaan atau apa yang ditakdirkan Tuhan’.

(2) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan Raja/


Pemimpin/ Negara
Piwulang yang berkaitan dengan hubungan manusia sebagai abdi
kepada raja/ pemimpin/ negara yang ditemukan dalam ketiga tembaang
yang ditelaah, mencakup perilaku agar O2 selalu menunjukkan guna,
kāyā, dan purun kepada raja (T, 1—10); meneladani sikap nasionalisme,
bela negara, dan kepahlawanan; memiliki rasa balas budi kepada negara
(T, 1 –10, 21 – 24, 41 – 60); tidak melupakan tanah tumpah darah (T, 31
–40) marsudi ing kotaman (T, 61 – 70); taat hukum (W, 455 – 458);
Kearifan lokal yang dapat diambil dari pengetahuan ini adalah
sikap yang harus dilakukan oleh rakyat apabila ingin mengabdi
kepada raja. Seseorang harus memiliki gunā ‘kepandaian’. Gunā
disimbolkan kepandaian atau kesaktian Patih Suwanda dalam
memenangkan sayembara yang diadakan oleh Raja Magada. Kāyā
adalah keberhasilan Patih Suwanda dalam menaklukkan raja-raja lain
dalam mengikuti sayembara, sehingga ia dapat memperoleh harta
rampasan dan upeti dari raja-raja yang ditaklukkan. Purun adalah
kesetiaan Sang patih di dalam melaksanakan tugas negara yang tanpā
pamrih, bahkan nyawanya sebagai taruhannya. Ia hanya melaksanakan
tugas sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh raja. Apa yang ia bawa
tidak sedikitpun dikorupsi. Jadi, pengabdian yang total diharapkan
dilakukan oleh mereka yang mengabdi.
Kearifan lokal yang dapat diperoleh dari pola berpikir di atas
adalah munculnya ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati
‘sedikit saja dahi (wajah istri) dipegang (dilecehkan), atau tanah
sejengkal saja apabila diganggu, maka harus dibela dengan taruhan
nyawa’. Dalam pandangan etnik Jawa, (istri dan) tanah merupakan
lambang harga diri. Sebuah negara, bahkan hanya sejengkal tanah
saja, harus dibela sampai mati apabila itu diganggu atau diduduki
negara (orang) lain. .
Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa
berkaitan dengan hal di atas adalah munculnya ungkapan mikul dhuwur
mêndhêm jêro ‘memikul tinggi, memendam yang dalam’. Ungkapan ini
mengandung maksud agar O2 menghormati orang tuanya/ leluhur/

195
pemimpin setinggi-tingginya dan menghargainya. Dengan demikian
O2 telah melakukan laku utāmā . Sikap ini merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh seorang anak atau generasi muda kepada orang
tua/ leluhur/ pemimpin yang telah memberikan segala keperluan
kita.
Temuan lain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
raja/ pemimpin/ negara adalah agar O2 sebagai seorang abdi negara
hendaklah gemi , nastiti ‘cermat’, dan ngati-ati ‘hati-hati’ (W, 499 – 502);
bersikap mantep ‘teguh’ dan setya tuhu ’loyal’ terhadap raja (W, 511
– 515); mematuhi semua perintah raja (W,516 – 520, dan 556 – 560);
melaksanakan kewajiban sesuai tugasnya (W, 562 – 570); menghormati
(menyembah) raja, karena raja merupakan wakil Tuhan (W, 516 – 520);
ikhlas lahir-batin (W, 521 – 525); seorang perwira bersikap ksatria,
santun, dan teliti dalam berperilaku (W, 937 – 941); menerima dan
menikmati semua pemberian raja (W, 965 – 976); meniru hal yang
positif dari raja W, 1562, 1566, 1568, 1573 – 1575, 1656, 1669, 1674, 1682,
1685).
Selain meminta, O1 juga melarang kepada O2 sebagai abdi negara
agar tidak absen dalam pisowanan (W, 471 – 478); tidak menggampangkan
dan membuka rahasia raja (W, 501 – 506); tidak menolak keingin raja
(W, 471, dan 1030 – 1041); tidak melanggar wêwalêr atau hal yang tabu
W, 1553 – 1561); tidak bosan berdialog dengan ulama (W, 1605 – 1608);
tidak menolak buku-buku yang berisi ajaran (W, 1625 – 1632).
Yang berkaitan dengan sikap seorang pemimpin, dalam ketiga
tembang itu ditemukan ajaran yang ditujukan kepada O2, hendaklah
jika menjadi raja/ pemimpin negara bisa mempertimbangkan baik dan
buruk (K, 10 –18); memiliki kemampuan lebih (K, 19 – 27); menjadi
teladan bagi yang dipimpin (K, 72–80); mengetahui bahwa semua yang
dilakukan atau dikatakan raja adalah benar adanya (W, 491—494);
menjaga kehormatannya (W, 1151 – 1153); bijaksana dan adil (W, 1161
– 1174); melestarikan tradisi (desa tetap ramai dan rakyat bekerja)
W, 1231 – 1237); luas pengetahuannya (W, 1610 – 1633); mampu
memberantas keangkaramurkaan (K, 19 – 27); menciptakan kedamaian
dan kesejahteraan pemerintahan dan rakyatnya (K, 90 –98); bisa mati
sajroning urip (K, 108 –116); tidak adigang. adigung, dan adigunā (W, 186
– 195); tidak membuat kesalahan (K, 37 – 45); tidak beriman lemah (T,
37 –45); tidak terseret zaman edan dan melakukan aji mumpung (K, 64
– 71); tidak mengikuti arus keangkaramurkaan (K, 37 –45).
Apa yang diuraikan di atas dapat diberikan penjelasan beberapa
bagian sebagai contoh. Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas
etnik Jawa berkaitan dengan (K, 10 –18) di atas adalah munculnya

196
ungkapan becik kêtitik ālā kêtārā ’baik dapat dikenali, buruk akan
ketahuan’. Ungkapan ini untuk menyebut orang yang berperilaku
baik akan dikenali dan dikenang orang, tetapi jika berperilaku buruk
meskipun disembunyikan rapat-rapat akan ketahuan juga. Selain itu
seorang pemimpin dalam menjalankan roda kepemimpinan hendaklah
berpegang teguh pada ajaran sastrā jendrā hayuningrat pangruwating
diyu ‘ilmu rahasia yang dimiliki seorang raja dalam menciptakan
keselamatan dunia, dan dapat menghancurkan keangkaramurkaan’.
Kearifan lokal yang muncul di kalangan masyarakat Jawa
berkaitan dengan apa yang diungkapkan dalam (K, 72–80) adalah
ungkapan ing ngarsā sung tulādhā, ing madyā mangun karsā, tut wuri
handayani ‘di depan memberi keteladanan, di tengah memberikan
dorongan kehendak yang dipimpin, dan mengikuti dari belakang
untuk kebaikan dan keselamatan’. Raja atau pemimpin hendaklah
memiliki sikap ini untuk menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
Dengan sikap ini bawahan akan segan dan menghormati.
Kearifan lokal yang diperoleh dari (W, 1151 – 1153) adalah
munculnya ungkapan êmpan papan ‘dapat menempatkan diri di
mana pun’. Di manapun dan kapan pun seorang pemimpin harus
dapat menjaga kehormatan dan martabatnya. Dengan menerapkan
konsep empan papan seorang pemimpin dapat menyesuaikan diri
di manapun ia berada. Orang akan dikatakan ora ngêrti tātā krāmā
‘tidak tahu tata krama atau norma-normaa kehidupan’ apabila dia
tidak bisa menerapkan konsep êmpan papan. Akibat ketidaktahuan
ini orang tersebut akan menjadi orang yang wirang karena tidak
bisa menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi. Seorang
pemimpin juga harus mengetahui ungkapan ajining diri dumunung ing
kêdaling lathi ‘kehormatan seseorang tergantung dari ucapannya’. Orang
yang tidak pernah menepati janjinya dia akan dikatakan pembohong
sehingga kehormatannya menjadi turun. Sosok pemimpin harus
mengetahui ajining sarirā dumunung ing busānā ‘harga diri seseorang
terletak pada cara ia berpakaian’. Jadi, seorang pemimpin juga wajib
menjaga kata-kata dan penampilannya.
Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa
berkaitan dengan (K, 90 –98) adalah munculnya ungkapan mburu
sênênge dhewe ‘mengejar nafsu kesenangan pribadi’ yang dikenakan
kepada pejabat yang tidak memikirkan kesejahteraan rakyat. Pejabat
model ini hanya mencari keuntungan diri sendiri, keluarga, dan
golongannya. Watak pejabat yang demikian merupakan watak yang
tidak baik dan tidak patut diteladani, dia memiliki sifat angkara murkā
budi candhālā ‘angkara murka, dan budi pekerti yang jelek’, dan

197
sebagainya.
(3) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain
Piwulang yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
manusia lain yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dianalisis,
dapat dkelompokkan menjadi dua, yaitu yang berupa permintaan dan
yang berupa larangan.
Yang berupa permintaan adalah hendaklah menjaga
keprofesionalan (W, 71 – 80); berusaha keras dalam meraih cita-cita (W,
81 – 86); agar selektif dalam berteman (W, 95 – 98); agar menghormati,
patuh, selalu mengingat ajaran orang tua/ leluhur, dan berperilaku
baik(W, 166 – 171); tabêri ‘rajin dan teliti’ (W, 142 –147); meniru ajaran
yang benar walaupun datangnya dari kaum sudra (W, 182 –186); rèrèh
‘sabar’, ririh ‘halus, lembut’, ngati-ati ‘hati-hati’, atau cermat (W, 213 –
216); dapat mempertimbangkan yang baik dan yang buruk, adat dan
tatanan, tata krama (sopan santun), serta musyawarah untuk perkara
yang kecil maupun besar (W, 257 – 263); mengenali watak manusia
(W, 284 – 295); melakukan sêmbah limā W, 403 – 414); mengurangi
makan, tidur, dan nafsu yang membara (W, 601 – 607); menyadari
bahwa benar-salah, baik-buruk, untung-celaka disebabkaan oleh
ulah sendiri (W,615 – 621); hati-hati berbicara (W, 697 – 708); satu
saudara kandung bersatu dan tidak individual (W, 516 – 522); tidak
pilih kasih (W, 871 – 874); saling menghormati dan saling menghargai
(W, 875 – 878); tahu asal-usul (W, 977 – 982); senang menimba ilmu
atau belajar tekun (W, 1067 – 1072); selalu bertakwa (W, 1091 – 1097);
bersikap narimā ‘menerima’ (W, 953 – 958); banyak mendengarkan
atau membaca cerita dan senang nembang (W, 1266 – 1272); berbudi
pekerti luhur (W,1436 – 1444); berhati-hati menentukan sikap (W, 1381
– 1390); generasi muda lebih baik daripada pendahulunya (W, 1658
– 1665); mencari kesempurnaan hidup (W, 1730 – 1737); mendoakan
keturunannya (W, 1666 – 1673); mawas diri (K, 72 – 80).
Yang berupa larangan adalah agar O2 tidak berlebihan tidur dan
makan (W, 87 – 92); tidak sombong, angkuh, dan congkak (W, 93 – 94);
tidak banyak bicara (W, 153 – 158); tidak kêpatuh (W, 171 – 175); tidak
suka disanjung dan disuap maupun menyuap (W, 226 – 235); tidak
suka mengobral janji (W, 246 – 250); tidak dekat orang yang bersikap
dêgsurā (W, 277 – 283); tidak bersikap drêngki, srèi, dorā, irèn, mèrèn,
panastèn, kumingsun, jail, mutakil, dan basiwit (W, 312 – 318); tidak
bersikap lunyu, lèmèr(an), genjah, angrong prasanakan, nyumur gumuling,
dan ambuntut arit (W, 347 – 353); tidak mengikuti ajaran yang diberikan
oleh orang tua atau saudara jika dirasa hal itu tidak baik (W, 379 –
386); tidak berani kepada orang tua (W, 395 – 398); tidak melakukan

198
tiga hal, yaitu nggunggung ‘menyanjung’, nacat ‘mencacat orang lain’,
dan maoni ‘tidak mempercayai semua orang’ (W, 625– 629); tidak suka
ngrasani (W, 678 – 684); tidak mengumpat atau berkata-kata kotor (W,
709 – 714); jangan mengambil janda saudara, abdi, dan teman bekerja
(W, 721 – 726); jangan mengonsumsi opium atau narkoba, bertaruh,
menjadi penjahat, dan berhati saudagar, dan pemabok (W, 739 –
744); tidak bergaul dengan wanita yang buruk tabiatnya, serta tidak
membuka rahasia di depan wanita (W, 829 – 834); tidak angkuh, bêngis,
lêngus, lanas, calak, lancang, langar, ladak, sumalonong, ngidak, ngêpak,
dan siyā-siyā (W, 1133 – 1139); tidak sêmbrānā ‘teledor’, bersikap tidak
menerima, tidak mudah bosan berdialog dengan orang tua (W, 1161 –
1167); tidak mengabaikan wulang (W, 1594 – 1601).
Ungkapan-ungkapan yang disisipkan dalam tembang macapat
dalam hal berhubungan antara manusia dengan manusia yang
lain atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakaat yang
lain di atas merupakan ajaran yang disampaikan O1 kepada O2. Isi
ajaran tersebut ada yang berupa sebuah permintaan dan ada pula
yang berupa larangan. Permintaan tersebut pada umumnya berupa
permintaan dari O1 kepada O2 agar melakukannya, sedangkan yang
berupa ajaran mengenai perilaku buruk berupa larangan agar O2
tidak melakukannya. Semua ajaran itu menjadi kearifan lokal etnik
Jawa yang hidup dan menjadi tradisi bagi etnik Jawa sampai saat ini.
Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang di atas dapat
dikatakan bahwa pemanfaatan kembali terhadap kearifan lokal
etnik Jawa yang terdapat dalam tembang macapat sangat urgen jika
dikaitkan dengan upaya pembentukan budi pekerti luhur bangsa
Indonesia.

4.2 Pemanfaatan Tembang Macapat sebagai Media Pendidikan Budi


Pekerti Luhur Bangsa Indonesia
Berdasarkan pembahasan tentang tembang macapat Tripāmā,
Wulangrèh, dan Kālātidhā sebagai sumber kearifan lokal bagi etnik
Jawa diketahui bahwa ketiga tembang itu berisi pendidikan, piwulang,
atau ajaran. Adapun ajaran itu berisi hal-hal yang menyangkut budi
pekerti luhur yang berkaitan dengan budi pekerti manusia yang
meliputi sikap nasionalisme, kepahlawanan, agama, etika, moral, dan
perilaku hidup sehari-hari, serta perilaku dalam pemerintahan. Ajaran
itu tidak hanya mengenai hal-hal yang baik, namun juga mencakup
hal-hal yang buruk. Keduanya diajarkan agar O2 dapat membedakan
budi pekerti yang baik dan sifat-sifat buruk. Pendidikan yang baik
wajib diteladani, sedangkan sifat-sifat yang buruk ditinggalkan dan

199
disimpan sebagai pengetahuan jika suatu saat menghadapi hal yang
buruk itu.
Ungkapan-ungkapan yang ada di dalam tembang itu merupakan
kearifan lokal dan kekayaan kebudayaan yang dimiliki etnik Jawa.
Ungkapan-ungkapan yang diidentifikasi sebagai ajaran tentang budi
pekerti itu selanjutnya menjadi pola pikir dan pandangan hidup
etnik Jawa yang terselip di dalam larik-larik tembang. Penyebaran ke
berbagai komunitas etnik Jawa itu terjadi melalui nyanyian yang sering
dilakukan oleh masyarakat etnik Jawa. Dengan cara menyanyikan
mereka akhirnya hafal ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam
tembang itu. Dengan menyanyikan tembang itu mereka juga tidak
sadar telah merefleksi makna ungkapan-ungkapan yang ada di dalam
tembang itu. Dengan demikian secara otomatis ungkapan-ungkapan
itu lalu memasyarakat dan menjadi kearifan yang dimiliki oleh etnik
Jawa. Dengan demikian akhirnya ungkapan-ungkapan itu lalu menjadi
kearifan lokal yang dimiliki oleh etnik Jawa. Ungkapan-ungkapan itu
dikatakan sebagai kearifan lokal etnik Jawa karena hanya etnik Jawa
saja yang memahami makna atau sasmita dari ungkapan-ungkapan
melalui proses refleksi dalam kurun waktu yang lama.
Dari ungkapan yang ada di dalam tembang kemudian etnik
Jawa melengkapi dengan ungkapan-ungkapan lain yang diciptakan
untuk menghadapi permasalahan-permasalah yang muncul di dalam
kehidupan sehari-hari. Ungkapan lain itu merupakan ungkapan-
ungkapan yang mengandung daya sugesti bagi etnik Jawa, sehingga
etnik Jawa mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebagai
contoh: ada ungkapan adiguna, adigang, adigung menyebabkan
munculnya ungkapan aja dumeh sebagai langkah untuk menanggulangi
agar orang tidak melakukan perbuatan adiguna, adigang, adigung.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa dalam ketiga wacana
tembang macapat itu terkandung konsep pemikiran atau cara
memandang masyarakat etnik Jawa terhadap Tuhan, negara/ raja, dan
manusia lain. Konsep itu lalu dituangkan dalam bentuk tulisan yang
berupa tembang macapat. Setelah itu, tembang beredar di masyarakat
etnik Jawa dan apa yang tertulis di dalam larik-larik itu menjadi sistem
kognisi atau sistem pengetahuan bagi etnik Jawa. Sistem pengetahuan
yang berupa cara pandang etnik Jawa itu dapat dipahami oleh etnik
Jawa secara turun-temurun dan direfleksi secara tidak langsung
melalui nyanyian dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan ini
kemudian menjadi strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan masyarakat etnik Jawa dalam menyelesaikan berbagai
persoalan atau masalah yang muncul di kalangan mereka. Dengan

200
demikian ungkapan-ungkapan itu telah menjadi kearifan lokal dan
kekayaan kebudayaan bagi etnik Jawa dan dimiliki secara turun-
temurun.
Cara menanamkan ungkapan-ungkapan yang mengandung
pendidikan, piwulang, atau ajaran kepada generasi selanjutnya
melalui tembang dan tulisan itu sangat baik dilestarikan karena
dengan tembang pesan-pesan mudah masuk ke dalam hati sanubari.
Walaupun ada pula ungkapan-ungkapan yang saat ini tidak relevan
karena kemajuan zaman, namun kearifan ini perlu pula dipakai sebagai
model bagi penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur bagi
generasi muda.

5. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa dalam tembang macapat
sangat urgen dalam rangka pembentukan budi pekerti luhur bangsa
Indonesia. Dikatakan demikian karena tembang macapat mengandung
ajaran budi pekerti luhur bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Jika masyarakat melaksanakan pendidikan, piwulang,
atau ajaran tersebut, dapat diprediksikan terciptanya kehidupan yang
harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, pemimpin,
dan manusia yang lain, termask di dalamnya alam semesta.
Kearifan lokal etnik Jawa yang berupa ajaran yang bersumber
dari tembang macapat itu dapat dimanfaatkan sebagai model dalam
menanamkan budi pekerti bagi bangsa Indonesia. Penanaman
budi pekerti melalui tembang tersebut dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat masing-masing.
Jenis tembang yang dipilih menyesuaikan dengan cita rasa tembang
masyarakat daerah masing-masing. Misalnya di Jawa menggunakan
media tembang macapat. Di Bali dan Sunda juga ada macapat, mungkin
di Betawi dengan tembang yang dibungkus gambang kromong. Di
Sumatra atau daerah lain dengan lagu daerahnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Hedi Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya


Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
_______. 1996. Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian. Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa.
_______. 1994. “Model-model Linguistik dan Sastra dalam Antropologi”.
Bulletin Antropologi. Th. IX.

201
_______. tt . ”Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia”. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Anwar, Khaidir.1990. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of
Javanese Literature. London: University of London.
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Museum Sonobudoyo
Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan
Publishing Co., Inc.
Darusuprapta. 1989. “Macapat dan Santiswara” dalam Humaniora No. 1.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
_______. 1985. Serat Wulang Reh. Surabaya: CV Citra Jaya.
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT
Hanindita Graha Widya.
Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks:   Aspek-
aspek  Bahasa  dalam  Pandangan   Semiotik Sosial   (terjemahan Asruddin
Barori Tou).  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kamajaya. 2000. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartomihardjo, Soeseno. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya  pada
  Beberapa  Wacana”.  PELBA  6 , hal. 21–58.  Jakarta: Lembaga Bahasa
Unika Atma Jaya dan Kanisius.
_______. 2000. ”Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa”. Jurnal  Ilmiah
Masyarakat Linguistik  Indonesia,  Tahun 18, Nomor 1, hal. 123–140.
Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya.
_______. 1993. Sasmita a Shared Knowledge of The World among Javanese. Paper
in Second International Symposium on Humanities: Linguistics and
History. Yogyakarta: Faculty of Letters.
Laginem, Slamet Riyadi, Prapti Rahayu, Sri Haryatmo. 1996. Macapat Tradisional
dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books,
Inc., Publishers.
_______. 2005. Antropologi Struktural (terjemahan Ninik Rochani Sjams).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Marsono. 1996. “Lokajaya: Suntingan Teks, Terjemahan Struktur Teks, Analisis
Intertekstual, dan Semiotik”. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.
_______.2007. “Revitalisasi Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Masyarakat
Sejahtera” dalam Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta: LPPM UGM.
Marsono; Waridi Hendrosaputro (Penyunting). 1999/2000. Ensiklopedi
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa-Lembaga Studi Jawa.
Poerwadarminta, W.J.S. 1953. Sarining Paramasastra Djawa. Jakarta: Noordhoff-
Kolff N.V.
________. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij
NV.
Putut Setiyadi, Dwi Bambang. 2004. “Wacana dalam Tembang Macapat
Wulangreh: Kajian Pragmatik” dalam Jurnal Terakreditasi Fenolingua,

202
Nomor 1, Tahun 13, hal. 85–107. Klaten: Universitas Widya Dharma.
_______. 2009. Wacana Tembang Macapat sebagai Pengungkap Sistem Kognisi
dan Kearifan Lokal Etnik Jawa serta Dasar Pembentukan Kepribadian Bangsa.
Hibah Penelitian untuk Mahasiswa Program Doktor Tahun Anggaran
2009. Yogyakarta: LPPM Universitas Gadjah Mada.
Rajab. 2007. Kearifan Lokal. http://www.depsos.go.id/
Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ridwan, Nurma Ali. 2010. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. http:// www.
nusantara-online.com.
Riyadi, Slamet. 1988. Macapat: Kajian Unsur dan Sejarah. Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa.
Rosidi, Ajip. 2010. “Kearifan Lokal dan Pembangunan Bangsa” dalam
International Conference Proceedings on Traditional Culture and Rancage
Award 2010, hal. 28–35. Yogyakarta: Faculty of Language and Arts,
Yogyakarta State University.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdikbud.
Sapir. Edward. 1960. Culture, Language, and Personality. USA: University of
California Press.
Saputra, Karsono H. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Lingustik Umum (terjemahan Rahayu
S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soesilo. 2002. Ajaran Kejawen: Filosofi dan Perilaku. Jakarta: Yayasan “Yusula”.
_______. 2003. 80 Ajaran Ungkapan Orang Jawa. Jakarta: Yayasan “Yusula”.
Soetrisno, R. 2004a. Nilai Filosofis Kidung Pakeliran. Yogyakarta: Adita
Pressindoesti.
_______. 2004b. “Dimensi Moral dalam SyairTembang pada Pagelaran Wayang
Purwa”. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.
Sri Susuhunan Pakubuwana IV. TT. Wulangreh. Sukoharjo: Cendrawasih.
Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama.
Sudaryanto dan Pranowo (Ed.). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta:
Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa.
Tedjohadisumarto, R. 1958. Mbombong Manah 1. Jakarta: Djambatan.
Tim Penyusun Kamus. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Tim Wacana Nusantara. 2009. “Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik”
http:// www.nusantara-online.com
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Winter Sr. C.F. dan Ranggawarsita, R.Ng. 1994. Kamus Kawi – Jawa. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
_______. 1994. Kalangwan (Terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Djambatan.

203
CERITA DEWI SRI SEBAGAI SUMBER
KEARIFAN DALAM KEHIDUPAN
BERKELUARGA

Avi Meilawati
Universitas Negeri Yogyakarta

Pendahuluan

I ndonesia pada masa kini menuju kehidupan global. Segala aspek


kehidupan memperlihatkan keterbukaannya, baik dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kecarutmarutan yang ada
semakin vulgar tidak tertutupi. Tanpa malu, tanpa tedheng aling-aling
menunjukkan sikap yang tidak dapat dijadikan teladan. Pemimpin
yang tidak dapat dijadikan panutan oleh bawahannya. Guru yang
tidak dapat dijadikan acuan oleh muridnya. Ulama yang mengingkari
perintah agama. Penegak hukum yang tidak menegakkan hukum.
Fenomena global ini menunjukkan moralitas yang mengalami
degradasi.
Keprihatinan sosial ini muncul karena pihak-pihak yang
seharusnya dapat dijadikan teladan tidak menjalankan kewajiban
dan tanggungjawabnya masing-masing sesuai perannya. Sebelum
membahana sebagai figur publik yang besar, masing-masing individu
mendapatkan pembelajaran dalam keluarga. Keluarga merupakan
tempat pertama dan utama penanaman pilar budi pekerti dan
karakter yang membentuk kepribadian seseorang. Jika seseorang
sudah memperoleh karakter yang kuat di keluarga, maka pengaruh
lingkungan yang negatif akan dapat dihindari dan ditanggulangi.
Perwujudan sebuah keluarga yang harmonis memerlukan
partisipasi dari semua pihak keluarga. Perlu dijalin komunikasi yang
baik antara suami-istri, antara orang tua dengan anak, dan antara
anak yang satu dengan anak yang lain. Kesemuanya merupakan satu
kesatuan yang utuh. Jika ada salah satu saja dari ketiga hubungan
tersebut mengalami masalah maka akan mengganggu kestabilan
rumah tangga. Keharmonisan tidak dapat terwujud.
Penulis mengambil cerita Dewi Sri sebagai bahan renungan, bahwa
dalam keluarga pasti pernah mengalami konflik. Dari konflik yang ada,
hendaknya dapat dijadikan hikmah dan renungan agar konflik tidak
membesar. Bagaimana seharusnya bersikap agar tidak terjadi konflik.

204
Dalam makalah ini disajikan nilai luhur yang ditinggalkan Dewi Sri
sebagai pedoman hidup berkeluarga, yang nantinya dapat dijadikan
acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Asal-usul Dewi Sri


Dewi Sri merupakan dewining sandhang pangan. Di tanah
Jawa, dewi Sri dianggap sebagai dewi sumber rejeki, dewi teman para
petani. Kata sri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti cahaya dan
yang indah sekali. Dewi Sri terjadi dari Retnodumilah di Kayangan.
Dewi Sri mempunyai satu jiwa bertiga dengan dua dewi lainnya, yaitu
Dewi Widowati atau Tisnawati dan Dewi Lokati atau Rumingrat yang
kemudian disebut Hapsari Triwati. Dewi Sri merupakan putri dari
Dewi Brahmaniati dengan Raden Srigati, raja di negara Purwacarita
yang bergelar Prabu Sri Mahapunggung. Dewi Sri memiliki adik
kembar yang bernama Raden Sadana.
Pada suatu hari, Raden Sadana dijodohkan dengan Dewi Panitra,
putri Hyang Pancaresi. Raden Sadana menolak dengan alasan tidak
mau melangkahi kakak perempuannya. Kedua orang tuanya marah,
akhirnya Raden Sadana memutuskan untuk pergi meninggalkan
Keraton. Mendengar adiknya pergi, akhirnya Dewi Sri turut pergi
meninggalkan keraton. Pada suatu hari dalam perjalanan, Dewi
Sri mendengar keluh-kesah Buyut Soma dan Nyi Samini tentang
ketidakharmonisan keluarga dan keadaan serba kekurangan dalam
menjalani hidup. Dewi Sri mananyakan tentang kehidupan pasangan
tersebut selama ini, dan menyimpulkan bahwa Buyut Soma dan
istrinya banyak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma
kehidupan dalam berumahtangga.
Jalan keluar untuk dapat menjalani kehidupan rumah tangga
yang harmonis adalah melakukan empat aturan yang harus dilakukan
dalam berumahtangga. Setelah selesai memberikan nasihat, kemudian
ia bersedhi dan paginya meneruskan perjalanan. Saat bersemedi, Dewi
Sri diberikan lebu pratalaretna oleh Sang Hyang Jagat Nata.
Pada suatu hari, Dewi Sri dikejar oleh Ditya Kalandaru dan
terkepung, akhirnya Dewi Sri menaburkan lebu pratalaretna yang
membutakan mata Ditya Kalandaru. Lepas dari Ditya Kalandaru, Dewi
Sri tertangkap oleh Garudayaksa Wilmuka. Hal itu diketahui oleh
Garuda Winanteja, kemudian Garuda Winanteja bertarung dengan
Garudayaksa Wilmuka. Ketika Dewi Sri lepas dari cengkeraman
Garudayaksa Wilmuka, tubuhnya hancur terhempas ke tanah.
Mendengar kabar tersebut, orang tua Dewi Sri murka dan
mengutuk Dewi Sri menjadi ular, juga mengutuk Raden Sadana

205
menjadi burung Sriti. Di lain tempat, wujud Dewi Sri yang sudah
ditabur oleh Sang Hyang Jagatnata berubah menjadi ular. Dan Raden
Sadana berubah menjadi burung Sriti. Akhirnya Dewi Sri pun moksa
dan Raden Sadana melanglang buana ke tanah Hindustan.

Nilai luhur dalam Cerita Dewi Sri


Cerita Dewi Sri mengandung nilai luhur yang dapat dijadikan
sumber pembelajaran bagi keluarga di masa sekarang. Selain itu juga
disajikan kasus-kasus yang seharusnya dihindari dalam kehidupan
berkeluarga, yang dapat memicu ketidakharmonisan. Nilai tersebut
meliputi hubungan antara suami-istri, antara anak dengan orang tua,
dan hubungan antar saudara.
1. Hubungan antara suami istri
Diceritakan bahwa Dewi Sri dalam perjalanannya keluar-
masuk desa, mendengarkan sepasang suami-istri yang sudah
tua. Buyut Soma & Nyi Samini mengeluh bahwa hidup mereka
tidak harmonis dan serba kekurangan. Setelah bertanya tentang
sebabnya, Dewi Sri berkesimpulan bahwa pasangan suami-istri
itu banyak menerjang norma. Dewi Sri menasehati empat perkara
yang harus dijalankan oleh keduanya. Empat perkara tersebut
masih relevan dengan masa sekarang dan dengan kehidupan
beragama yang berkembang di Indonesia.
(1) kudu tetep rukun mong-kinemong anggone salaki rabi
Rukun itu memerlukan pengorbanan, karena prinsip rukun
dalam masyarakat Jawa menimbulkan kesadaran bahkan
mengalahkan kepentingan pribadi demi mencapai kesepakatan
bersama (Hadiatmadja, 2011: 37). Jika ada masalah muncul,
solusinya adalah musyawarah untuk mufakat. Melihat kewajiban
masing-masing, suami istri pelu menyadari bahwa pernikahan
adalah penyatuan dua manusia berbeda. Diharapkan, dengan
perbedaan yang ada dapat saling memahami dan semakin
mendewasakan satu sama lain. Hendaknya suami-istri saling
menghormati agar kerukunan di antara keduanya tetap terjaga. Di
mana dianjurkan di antara keduanya saling menjaga kehormatan
pasangan masing-masing, sebagaimana disyariatkan dalam Islam
bahwa diantara kewajiban istri terhadap suami adalah termasuk
menjaga kehormatan dirinya serta kehormatan suaminya.
Dalam ajaran Islam juga dikemukakan Hadis Tirmidzi
bahwa ”Mukmin yang sempurna imannya adalah yang sebaik-
baik pribadinya, dan sebaik-baik pribadi adalah orang yang
sebaik-baiknya terhadap istrinya (Rasjid, 1992: 370). Hal tersebut

206
memerintahkan agar suami dapat berbuat baik kepada istrinya,
menyayangi, mengasihi, dan menghormati. Istri tidak hanya
sebagai kanca wingking yang tidak boleh tahu apa-apa, namun
sebagai partner dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Semua permasalahan dapat dikomunikasikan dan dicari jalan
keluarnya bersama-sama. Selanjutnya, dari Ummu Salamah
“sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: barang siapa diantara
perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka kepadanya
maka perempuan itu akan masuk surga (Rasjid, 1992: 371). Hadis
itu menunjukkan bahwa istri harus berbakti kepada suami. Bakti
yang dilakukan adalah sesuai dengan aturan yang ada, baik
norma sosial maupun norma agama.
Sedangkan dasar filsafat masyarakat Jawa sejak jaman dahulu
sudah akrab dengan pepatah rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.
Konsep kerukunan tersebut muncul sebagai alat pengendali
emosi diri. Manusia Jawa hendaknya dapat mengendalikan emosi,
tidak mudah terpancing dengan lingkungan negatif. Menurut
Hadiatmadja (2011: 43), ada beberapa ungkapan tradisional yang
dapat dijadikan pedoman untuk menjaga kerukunan, antara lain:
ana bapang sumimpang, ana catur mungkur (jika ada orang sedang
marah maka lebih baik menyingkir, dan jika ada orang bergunjing
sebaiknya menjauhi); suradira jayaningrat lebur dening pangastuti
(kemurkaan dapat dikalahkan oleh kebijaksanaan); aja dhemen
metani alaning liyan (jangan suka mencari keburukan orang lain);
aja dhemen ngetung becike dhewe (jangan suka menghitung kebaikan
sendiri); aja ngewak-ewakke (jangan memamerkan kelebihan
sendiri); aja adigang-adigung-adiguna (jangan menonjolkan
kekuasaan, kebesaran, dan kepandaian); dan ana rembug becik
dirembug (jika ada masalah lebih baik dimusyawarahkan).
Pengendalian diri disertai dengan kesadaran kebijaksanaan akan
menghasilkan jiwa yang welas asih dan dapat lebih menerima
dan memahami orang lain.
(2) tansah ngluluri para leluhure tuwin ajeg sembah-Hyang
Hendaknya pasangan suami-istri juga meluangkan waktu
mengingat leluhurnya, dan mengambil hikmah dari apa
yang pernah diajarkan oleh orang tua sebelumnya termasuk
mendo’akan mereka. Dalam ajaran Islam pun terdapat perintah
untuk mendoakan orang tua. Serta amalan yang abadi, salah
satunya adalah doa anak kepada orang tua. Mengenal leluhur,
sama artinya berusaha mengenal diri sendiri. Mengetahui dari
mana asal diri. Dalam Serat Wulang Reh pun dikenal ajaran

207
sembah lima yang salah satunya adalah orang tua. Orang tua
merupakan lantaran manusia dapat dilahirkan di dunia dan
dapat merasakan kenikmatan hidup. Ada wewaler aja lali marang
asale (jangan melupakan asal-usul). Silsilah keturunan yang ada
secara vertikal meliputi sepuluh tingkatan, yaitu anak, putu, buyut,
canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, grobag senthe, debog
bosok dan galih asem.
Sembah Hyang merupakan hubungan antara manusia dengan
Tuhan penciptanya. Konteks yang muncul dari makna sembah
hyang adalah prinsip eling, waspada, percaya, mituhu (Hadiatmadja,
2011: 24). Eling bermakna manusia harus selalu ingat akan
keberadaan dan kedudukan dirinya. Manusia diciptakan oleh
Tuhan untuk mengabdi kepada Tuhan. Waspada merupakan
sikap yang selalu berhati-hati dari godaan nafsu-nafsu yang ada
pada diri manusia itu sendiri, yaitu nafsu luamah, supiyah, dan
nafsu amarah. Percaya yang dimaksud adalah keimanan yang
kuat bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan semua akan
kembali kepada Tuhan. Mituhu adalah konsep kepatuhan kepada
Tuhan, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
Tuhan. Dari empat konsep tersebut, maka kegiatan sembah
Hyang dapat dilaksanakan secara sadar dan benar. Sembah
Hyang merupakan perwujudan dari empat konsep, terutama
menjalankan salah satu perintah. Menghamba kepada Tuhan.
Manusia hendaknya berusaha, melakukan yang terbaik, dan hasil
akhir diserahkan kepada Tuhan.
(3) taberi mimikir lan nyambut gawe, tangi luwih esuk, reresik pekarangan,
bale omah sapirantine, ngengakake lawang-lawang, adus reresik badan
lan ajeg ngaturake pujamantra; sore sarampunge nyambut gawe uga
banjur adus lan ngaturake pudjamantra ajeg, mapan turu yen wanci
lingsir sore.
Hendaknyalah setiap pasangan suami-istri fokus pada
pekerjaannya masing-masing. Dalam keseharian selalu bangun
pagi menyambut hari, membersihkan rumah dan pekarangan,
termasuk perkakas di dalamnya, membuka pintu, mandi
membersihkan diri dan berdo’a. Sore selesai bekerja juga segera
membersihkan diri, berdo’a dan beristirahat ketika malam
menjelang. Ada istilah kebersihan merupakan sebagian dari iman.
Dengan menjadikan suasana bersih, maka akan sedap dipandang,
membuat pasangan suami istri betah di rumah.
(4) gemi, nastiti, ngati-ati, sabar, narima lan waspada, ora lirwa ing
budidaya

208
Suami harus memberikan nafkah kepada istrinya. Dalam Islam
juga diajarkan seperti dalam surat Thalaq ayat 7 “orang yang
mempunyai kemampuan hendaklah memberi nafkah menurut
kemampuannya”. Sementara istri dalam mengelola pemberian
suami harus hati-hati, tidak boros. Memanajemen keuangan
keluarga sesuai kebutuhan, hidup tidak berlebih-lebihan, tidak
begitu saja mengikuti tren yang berlaku.
Dalam pepatah Jawa ada ungkapan ana sethithik didum sethithik
ana akeh didum akeh dan cecengilan iku ngedohake rejeki. Maksudnya
adalah, suami dalam membagi rejeki harus adil. Suami harus
dapat mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Jika
istri bekerja, maka kembali pada konsep awal bahwa segala
manajemen perekonomian keluarga harus dimusyawarahkan
agar tidak menjadikan masalah. Sementara dari pihak istri, istri
harus dapat mengatur pengeluaran keluarga sesuai dengan apa
yang diperoleh suami. Istri harus dapat bersikap gemi, berhati-
hati, tidak boros.
2. Hubungan antara anak dengan orang tua
Dewi Sri disayangi dan dirawat orang tua sejak kecil. Hubungan
keduanya baik dan harmonis. Orang tua menyayangi anak, anak
berbakti, menghormati, dan patuh kepada orang tua. Hingga
suatu hari, orang tua memberi dhawuh kepada anak lelakinya,
R. Saddana untuk menikah. Raja dan ratu sudah merasa cukup
mempertimbangkan, memikirkan masak-masak hingga meminta
pertimbangan para dwija dan brahmana di negeri itu. Namun R.
Sadana merasa tidak sampai hati karena harus melangkahi saudara
tuanya, Dewi Sri. Karena tidak berani menolak permintaan orang
tua, sekaligus tidak mau menyinggung kakaknya, R. Sadana memilih
untuk meninggalkan istana. Raja marah dan menuduh R. Sadana
sebagai anak durhaka. Raja juga menuduh Dewi Sri telah mengetahui
dan mengijinkan adiknya pergi meninggalkan istana. Sikap orang
tua tersebut kurang bijak karena terlalu memaksakan keinginan
terhadap anaknya tanpa meminta persetujuan anak tersebut, untuk
menyelesaikan permasalahan keluarga sebaiknya dikomunikasikan
dahulu dengan musyawarah. Kedua pihak tidak boleh memaksakan
kehendak masing-masing. Dalam cerita Dewi sri, kejadian Dewi Sri
menjadi ular dan raden sadana menjadi burung sriti adalah akibat
kutukan ayahnya.
he putraku Saddana, teka banget-banget anggonmu wangkal ambadal pitutur
becik lan sihing wong tuwa, milalu kalambrangan lunga saparan-paran,
nunusuh saenggon-enggon kaya pratingkahe manuk. Sarta anggegendeng gawe
kasangsaraning sadulur wadon. Anakku nini Dewi Sri, putri nata malah milalu

209
lunga saparan-paran, tansah tlusuban wedhi kapethuk wong nagara, nganti
kaya pratingkahe ula.

Kemarahan orang tua Dewi Sri memuncak ketika mendengar


perjalanan kedua anaknya. Ayah Dewi Sri mengucap kutukan, didengar
oleh Dewa dan terjadilah kutukan tersebut. Orang tua hendaknya
menjaga lisannya, karena do’a orang tua manjur. Perintah orang tua
merupakan hal yang harus dilaksanakan. Namun orang tua sendiri
hendaknya bijaksana dalam menjaga lisan, karena kata-kata adalah
doa. Dan doa orang tua biasanya dikabulkan oleh Tuhan. Sebagai
orangtua hendaknya dapat lebih bijaksana dalam mengendalikan
emosi, meredam amarah dan menyelesaikan persoalan karena orang
tua adalah teladan bagi anaknya.
Sebaliknya pun demikian. Hubungan anak terhadap orang tua
hendaknya berbakti dan berlaku sopan, sesuai dengan Al-Qur’an, surah
Luqman ayat 15: “bergaulah dengan keduanya (ibu-bapak) dalam
dunia dengan sebaik-baiknya”. Berbakti kepada orang tua merupakan
kewajiban. Orang tua merupakan lantaran keberadaan seseorang
di dunia, maka harus disembah. Selain itu, kewajiban seorang anak
kepada orang tua adalah mikul dhuwur mendhem jero, anak harus
dapat menjunjung tinggi kebaikan orang tua dan dapat menutupi aib
kekurangannya sehingga nama baik keluarga di masyarakat dapat
terjaga. Jangan sampai terjadi anak polah bapa kepradah (karena ulah
anak, ayah yang menanggung resiko). Anak yang tidak dapat menjaga
nama diri dan martabat orang tua, maka orang tualah yang harus
menanggung malu dan mempertanggungjawabkan perbuatan negatif
anaknya.

3. Hubungan antara saudara


Dewi Sri dan Raden Sadana merupakan saudara kembar yang
saling mengasihi dan menyayangi. Keduanya saling menghormati.
Atas dasar rasa hormat kepada sang kakak, Raden sadana menolak
untuk dijodohkan dengan Dewi Panitra. Hubungan kekeluargaan
pada masyarakat Jawa amat erat.
a) Bacin-bacin iwak, ala-ala sanak (meskipun kelakuannya tidak
baik tatapi masih saudara);
b) Mambu-mambu yen sega (meskipun kelakuannya tidak baik
tatapi masih saudara);
Kedua peribahasa tersebut menggambarkan bahwa meskipun
keluakuan saudaranya buruk, tetap dianggap sebagai saudara
karena memang mempunyai pertalian darah.
c) Tega larane ora tega patine (jika sakit mungkin tidak dipedulikan,

210
tetapi kalau meninggal merasa kehilangan);
d) Mangan ora mangan kumpul (persaudaraan yang kokoh).
Dalam menjaga hubungan keluarga, orang Jawa mendidik
anak menjadi orang yang patuh dan menghormati orang yang lebih
tua. Sedangkan orang yang lebih tua dapat lebih bijaksana daripada
yang lebih muda (Hadiatmadja, 2011: 26). Kesemua petuah tersebut
menandakan betapa hubungan persaudaraan pada masyarakat Jawa
berlangsung erat. Antar saudara diharapkan saling bergotong-royong,
saling menghormati, saling mengasihi, dan saling menjaga. Musibah
bagi salah satu anggota keluarga biasanya merupakan kesedihan
bagi yang lain, sehingga bahu-membahu mengatasi musibah tersebut
bersama-sama. Asas kebersamaan dalam persaudaraan memunculkan
karakter reponsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), fairness
(keadilan), dan caring (peduli).

Penutup
Cerita Dewi Sri mengandung nilai yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sekarang. Nilai-nilai tersebut antara lain mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan diri-
sendiri, dan manusia dengan manusia lain. Dalam kehidupan
berkeluarga, asas kerukunan dan saling menghormati harus dijaga
untuk menjaga keharmonisan keluarga. Kerukunan dan saling
menghormati diterapkan pada hubungan antara suami dengan
istri, hubungan antara orang tua dan anak, serta hubungan antar
saudara. Pembinaan sikap dasar tersebut, kedepannya dapat sebagai
pembelajaran pembentukan karakter pada tingkat keluarga, yang
meliputi : 1) reponsibility (tanggung jawab), 2) respect (rasa hormat), 3)
fairness (keadilan), 4) courage (keberanian), 5) honesty (kejujuran), 6)
citizenship (kewarganegaraan), 7) self-diciplene (disiplin diri), 8) caring
(peduli), dan 9) perseverance (ketekunan).

DAFTAR PUSTAKA

Hadiatmadja, Sarjana. 2011. Etika Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah.


_______. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Kamadjaja. 1971. Almenak Dewi Sri. Jogja: UP Indonesia.
Rasjid, Sulaiman. 1992. Fiqh Islam. Bandung: Sinar baru.
Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia

211
LEGENDA ARIF MUHAMAD:
Sebuah kekayaan tradisional yang dapat
digunakan untuk membangun wisata budaya
di daerah candi Cangkuang

Nanny Sri Lestari


Universitas Indonesia, Jakarta

1. Pendahuluan

M asyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat


heterogen.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa
di Indonesia.Suku bangsa tersebut memiliki latar belakang budaya
yang berbeda-beda.Setiap suku bangsa memiliki kekayaan budaya
yang berbeda.Kekayaan budaya tersebut menjadi ciri khas yang
unik dari setiap suku bangsa terseut.Kekayaan budaya tersebut jika
diperhatikan dengan seksama menjadi sebuah rangkaian budaya.Satu
dari sekian banyak peninggalan budaya masyarakat Indonesia adalah
bangunan candi yang tersebar di seluruh Indonesia.Bangunan candi
merupakan kekayaan fisik yang menunjukkan adanya aktifitas sosial
budaya masyarakat pada jamannya.Akftifitas social budaya tersebut
mencerminkan adanya kegiatan yang berkait dengan kreatifitas seni.
Entah itu berupa seni arsitektur ataupun seni yang lain. Kreatifitas
seni dalam arsitektur bangunan ini dikolaborasikan dengan situasi
keagamaan yang ada pada masanya.Bangunan-bangunan candi ini
didirikan selalu dengan tatanan lanskap yang popular pada jamannya.
Seperti pada pola gambar di bawah ini,

Gambar1: lukisan lanskap masa lalu

212
Perhatikan gambar di atas, bangunan candi selalu berlatar
belakang gunung atau perbukitan lalu ada danau atau air di sekitarnya
serta tanaman penghias diperbukitan dan tanaman penghias di air.
Situasi seperti ini juga terjadi pada satu candi di Jawa barat.
Di Jawa barat tepatnya di daerah Garut terdapat satu daerah
yang dikenal sebagai daerah candi Cangkuang.Daerah ini dikenal
dengan sebutan desa Cangkuang atau situ Cangkuang karena
memamang di daerah tersebut terdapat situ atau danau yang disebut
situ Cangkuang.Berdasarkan penelitian arkeologi candi Cangkuang
candi ini ditemukan dalam bentuk sisa bangunan berupa bebatuan
sisa candi yang jumlahnya 40%.Penemuan didasarkan petunjuk dari
tulisan arkeolog Belanda 1893 yang bernama Voldermann. Voldermann
menulis laporan tentang situ dan candi kecil di desa Cangkuang
ini dalam Bataviaasch Genootschap.Secara teknis posisi candi kecil
ini berada pada ketinggi 700 m di atas permukaan laut.Daerah situ
Cangkuang ini berada di tengah sebuah cekungan yang bagian
utara terdapat gunung Haruman sedangkan di bagian barat berjajar
mengelilingi agak ke arah timur adalah pegunungan Mandalawangi.
Di sisi lain terdapat perbukitan gunung Guntur. Untuk mencapai desa
Cangkuan harus menempuh jarak sekita 500 m dengan menggunakan
rakit bambu.
Dalam usaha menata ulang bangunan candi Cangkuang ini, para
arkeolog mengambil perkiraan bahwa candi ini mirip dengan candi

Gambar 2: Keterangan tentang pemugaran candi Cangkuang

213
Hindu yang ada di Jawa Tengah.Situs candi Cangkuang ini ditemukan
pertama kali pada tanggal 29 Desember 1966 oleh seorang ahli arkeolog
yang bernama Dr.Uka Tjandra Sasmtra. Diperkirakan candi ini berdiri
abad 7-8 Masehi dengan besaran candi panjang 4,5 m tinggi 8,5 m.
Candi ini dipugar tahun 1970-1076.Di dalam candi Cangkuang ini
ditemukan arca dewa Siwa.
Menurut keterangan penduduk di sekitar lingkungan candi
tidak ada nama khusus untuk candi ini masyarakat sekitar menyebut
candi ini sebagai candi Cangkuang karena terletak di desa Cangkuang.
Desa Cangkuang terletak
terletak di tengah danau.
Lingkungan masyarakat
yang tinggal di tengah
desa itu disebut sebagai
masyarakat kampong pulo.
Perumahan di kampung
Pulo hanya 6 rumah
dan semuanya memiliki
bentuk yang sama.
Gambar 3: Rumah adat di kampong Pulo

Menurut keterangan lisan yang diperoleh dari masyarakat sekitar


daerah tersebut disebut desa dan situ Cangkuang karena ketika
pertama kali ditemukan daerah itu banyak ditemukan tanaman
cangkuang.Pohon Cangkuang atau
daam bahasa Latinnya Pandanus
Furtacus Roxb ini memiliki banyak
manfaat bagi masyarakat sekitar.
Menurut keterangan
mereka buahnya dapat dimakan,
sedangkan daun pohon cangkuang
dapat digunakan untuk membuat
anyaman tikar dan untuk
pembungkus gula aren.
Hal lain yang menarik dari
candi Cangkuang dan kampong
pulo ini adalah adanya peninggalan
naskah kuno.Setelah pemugaran
situs candi pemerintah daerah
setempat membanun sebuah
Gambar 3: Pohon Cangkuang mesium kecil yang menyimpan 6
atau Pandanus Furtacus Roxb. buah koleksi naskah.Manuskrip

214
yang tersimpan di
ataranya adalah
sejumlah naskah yang
berisi khutbah hari
Jum’at dari seorang
pemuka agama,
naskah tentang fikih,
naskah khutbah idhul
fitri yang terpanjang
di Indonesia dan Al
Qur’an nul Karim.

Gambar 4: Naskah yang terdapat di meseum


candi Cangkuang

Satu hal yang menarik adalah


naskah tersebut di buat di atas kertas
tradisional atau masyarakat setempat
menyebutnya sebagai kertas Saeh
atau dengan nama Latin Brousonettia
Papyrifera Vent.
Menurut keterangan masyarakat
setempat tanaman ini digunakan untuk
membuat kertas tradisional, melalui
kertas tradisional inilah warisan
pemikiran diabadikan sehingga dapat
dibaca dari generasi ke generasi.

Gambar 5: Pohon Saih/Saeh


Atau Brousonettia Papyrifera Vent

2. Legenda di sekitar candi Cangkuang


Selain terdapat bangunan candi yang berada berdampingan
dengan makam seorang penganut agama Islam, di sekitar daerah candi
Cangkuang beredar satu cerita yang sangat terkenal yaitu legenda
mbah Dalem Arif Muhamad. Legenda ini menarik karena memiliki
sebuah keunikan budaya.Dia dipercaya oleh masyarakat setempat
sebagai penyebar agama Islam di sekitar tempat tersebut.Menurut
keterangan penduduk mbah dalem Arif Muhamad adalah seorang

215
tokoh cerita.Beliau adalah
seorang penyebar agama
Islam yang sangat terkenal
di daerah tersebut, tetapi
petilasannya merupakan
sebuah candi yaitu bangunan
pemujaan yang menganut
agama Hindu dan makamnya
sendiri.

Gambar 6: Makam mbah dalem Arif Muhamad yang terletak di samping candi
Cangkuang

Dalam cerita masyarakat setempat, sebagai tokoh masyarakat


beliau banyak mengajarkan tentang agama Islam dan cara hidup
yang baik.Bagi masyarakat sekitar candi mbah dalem Arif Muhamad
selain dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam, dia juga
memperkenalkan tata nilai kehidupan yang baru yaitu tatacara
pewarisan budaya.Di lingkungan kampung Pulo rumah-rumah adat
hanya dapat dihuni oleh keturunan perempuan.Keturunan laki-laki
justru tidak tinggal di lingkungan ini.Kondisi ini sangat berbeda
dengan daerah-daerah lain yang pada umumnya mewariskan harta
warisan kepada katurunan laki-laki.

3. Permasalahan makna warisan budaya


Candi Cangkuang merupakan satu dari sekian banyak monument
warisan budaya yang luar biasa.Apa artinya warisan ini? Apa
maksudnya nenek moyang bangsa ini mewariskan sebuah monument
budaya yang sangat unik seperti ini? Apa makna dibalik semua ini?
Rangkaian pertanyaan menantang saya untuk memahami makna
peninggalan ini.

4. Warisan budaya bangsa dalam arti dan makna.


Di atas tadi telah dibicarakan bahwa secara arsitektur lingkungan
atau lanskap lokasi ini sangat indah sekali. Ada rangakaian pegunungan
yang menglilingi candi, ada danau yang berada di sekitar candi, dan
ada alat transportasi khusus untuk mencapai candi.Hal yang tak kalah
penting adalah tempat ini jauh dari keramaian atau terpencil.Mungkin
pada jaman dahulu tempat ini sangat sepi.Untuk mencapai tempat
ini harus melalui perkampungan penduduk lokal, sungai, hutan dan
danau.Dalam pemikiran saat ini membangun sesuatu di tempat yang
sangat terpencil bukan hal yang udah.Pasti ada sesuatu yang ingin

216
disampaikan melalui situasi ini.

4.1 Arti, maksud dan makna fisik tata letak candi


Jika dilihat dari posisi letak geografis bangunan sekitar candi, maka
dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang arsitektur lingkungan pada
masa itu sudah sangat maju.Seperti yang digambarkan sebelumnya.
Bahwa di atas bukit yang dikelilingi pegunungan ada danau dan di
tengah danau ada daratan kecil berbentuk bukit dan di atas bukit ada
bangunan pemujaan.Sebuah lanskap pemandangan yang sangat indah
dan sudah dipikirkan sejak jaman dahulu. Maksud dari tata letak
lokasi candi yang sangat jauh dari kebisingan kehidupan masyarakat
adalah untuk membuat para penganut agama dapat berdoa dengan
khusuk, tidak terganggu oleh hiruk pikuk kehidupan kota yang sangat
duniawi. Makna dari letak candi tersebut adalah hubungan manusia
dengan tuhan adalah di atas segala kepentingan hidup. Hubungan
manusia dengan tuhan harus dilakukan dengan cara yang khusuk,
bukan sambil lalu saja.

4.2 Arti, maksud dan makna candi sebagai peninggalan orangtua


Jika kita berfikir logis setiap orangtua pasti ingin mewariskan
sesuatu kepada keterunannya.Warisan tersebut tidak hanya harta
benda yang dapat dilihat, diraba dan diterawang, tetapi juga warisan
pemikiran atau warisan pengetahuan. Pengetahuan apa saja yang
dapat menjadi bekal bagi kehidupan keturunannya di masa depan.
Jika kita melihat pada tata letak candi Cangkuang maka mungkin
yang ungin diwariskan adalah pengetahuan yang terintegrasi. Artinya
pengetahuan yang tidak hanya fisik yaitu pengetahuan tentang tata
letak, alam dan keindahan tetapi juga pengetahuan tetang rohani
atau kejiwaan.Maksudnya manusia hidup di dunia ini tidak hanya
membutuhkan kebutuhan jasmani saja tetapi juga kebutuhan rohani.
Bagi manusia memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari itu penting
tetapi memenuhi kebutuhan rohani juga penting.Maknanya hidup
tidak hanya bekerja secara fisik tetapi juga harus bekerja didalam
rohani manusia tersebut. Harus dipahami baik kepercayaan kuno
maupun kepercayaan yang baru semuanya menyatakan bahwa ada
kehidupan lain setelah kehidupan jasmani di muka bumi ini.

4.3 Arti, maksud dan makna candi sebagai warisan budaya


Melihat tata letak dan perjalanan sejarah masyarakat yang berada
di sekitar candi, dapat dilihat bahwa kehidupan dimuka bumi ini sangat
dinamis. Anggota masyarakat saling berinteraksi satu sama lain dalam

217
kehidupan ini. Anggota masyarakat saling membutuhkan dan harus
dapat saling mengisi keperluan hidup satu sama lain. Ini menujukan
bahwa kehidupan terus berlangsung dari generasi ke generasi
selanjutnya.Mbah dalem Arif Muhamad menanamkan satu pemikiran
yang unik bahwa anak perempuan atau keturunan perempuan
harus tinggal di dalam kampung pulo sedangkan anak laki-laki atau
keturunan laki-laki dianjurkan untuk keluar dari kampung pulo.
Artinya anak perempuan atau keturunan perempuan diminta untuk
menjaga, merawat dan melestarikan budaya yang ada, sedangkan anak
laki- laki atau keturunan laki-laki diminta untuk menyebar luaskan
pemikiran yang baru ke generasi yang baru.Orangtua selalu berfikir
tentang kedamaian, karena generasi saat ini tidak muncul begitu saja
tetapi berasal dari generasi sebelumnya.Maksud utama dari pemikiran
yang unik adalah untuk menunjukkan bahwa ada pertalian yang
nyata tetapi ada juga pertalian yang tidak nyata.Pertalian yang nyata
adalah terbentuk satu keluarga yang kemudian merambah menjadi
masyarakat.Pertalian yang tidak nyata adalah para keturunan yang
sudah jauh dari keluarga inti di jaman dahulu atau nenek moyangnya
diharapkan masih dapat menjadi tulangpunggung persaudaraan.
Sebuah strategi kekerabatan yang cukup unik.
Dari situasi ini membutikan bahwa warisan adalah sesuatu yang
sangat berharga.Maknanya warisan tidak hanya warisan fisik tetapi
juga warisan budaya.Warisan budaya dapat menunjukkan kekayaan
fisik sekaligus kekayaan jiwa. Maknanya warisan harus bias menjadi
jembatan bagi kesadaran hidup bersama dalam bermasyarakat.

5. Warisan kekayaan tradisional dapat digunakan untuk membangun


wisata budaya
Melihat warisan masa lalu kita akan berfikir bahawa kehidupan di
masa lalu sebenarnya tidak banyak berbeda dengan masa kini.Warisan
masa lalu memberikan sebuah gambaran yang begitu konkrit tentang
kehidupan masa lalu. Tali kekeluargaan yang dikembangkan oleh mbah
dalem Arif Muhamad merupakan satu konsep meperluaskan interaksi
kehidupan dan membangun satu masyarakat yang baik. Tata nilai yang
dikembangkan memberikan sebuah gambaran tentang kesetaraan
kehidupan manusia di bumi.Konsep kesetaraan dan keseimbangan
ini ditumbuhkan sejak lama untuk menghindari benturan pandangan.
Dalam pandangan tradisional yang dikembangkan adalah perempuan
dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam rangkaian
membangun masyarakat yang damai. Dengan membangun nilai
tersebut diharapkan terjadi keseimbangan kehidupan bermasyarakat.

218
Warisan kekayaan tradisional yang seperti ini sebaiknya dipelihara
dengan baik.Dengan memelihara warisan budaya diharapkan
masyarakat saat ini dapat mengambil manfaat yang cukup banyak.
Tidak hanya manfaat materi atau duniawi tetapi juga dapat memberi
manfaat rohani

6. Kesimpulan
Candi Cangkuang dan Legenda mbah dalem Arif Muhamad
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Secara fisik
saat ini yang dapat dilihat adalah lokasi tempat candi ini dibangun
merupakan tempat yang memang sengaja dipilih dengan alasan
tertentu.Lokasi candi yang memang khusus ini memberikan kesempatan
bagi masyarakat pada masa sekarang untuk memanfaatkan sebagai
lokasi wisata budaya. Legenda mbah dalem Arif Muhamad yang juga
memiliki petilasan pemakaman di samping candi Cangkuang menjadi
monument wisata budaya yang menarikuntuk direnungkan. Hal
lain yang menarik diperhatikan adalah mbah dalem Arif Muhamad
juga memperkenalkan huruf Arab berbahasa Jawa atau pegon.Ini
menunjukkan adanya kebersamaan dalam membina kerukunan
kehidupan bersama. Masyarakat dapat memanfaatkan semua
peninggalan ini tidak hanya sebagai wisata budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Astri, Istianah , (2004), Makna, Simbol bagi Masyarakat Tradisional, Aneka


Warta, Semarang.
Bajur,Slamet , (2002) , Religi bagi Masyarakat Tradisional. Sumber
Pengetahuan Yogyakarta.
Bagus Jima’at ,(2001), Keindahan Wisata Ziarahdi Jawa Tengah, Aneka Warta,
Semarang.
Sukardi, Ahmad,(1998), Menikmati Wisata Tradisional, CV Jaya Indah, Garut,
Jawa barat.
Sujana, Adi, (2000), Wisata Candi di Indonesia, Triraya Bumi, Bandung, Jawa
Barat
Suhadi, Imam , (2000), Wisata Candi di Jawa Timur, Barimurti Adi, Surabaya,
Jawatimur.
Rastri, Rustiana , (2003), Ayo Kunjungi Indonesia: menyambut tahun kunjungan
Indonesia, Brosur Wisata di Candi Prambanan Jawa Tengah.

219
DARI PUISI GUGURITAN HINGGA
TEMBANG YANG BERANAK-PINAK

Dian Hendrayana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Latar Belakang Guguritan

G uguritan adalah sebentuk puisi yang terikat dengan guru gatra


(jumlah baris dalam satu bait), guru wilangan (jumlah suku kata
dalam satu baris), serta guru lagu (bunyi pada suku kata terakhir dalam
satu baris). Dalam khazanah kesusastraan Sunda, formula guguritan
ini disebut sebagai pupuh (aturan menulis guguritan). Guguritan ini
digolongkan ke dalam puisi buhun atau puisi lama. Istilah ‘lama’ di
sini bertalian erat dengan usia atau kelahiran bentuk puisi tersebut,
yakni sekitar pertengahan abad XVII.
Guguritan yang berkembang di tatar Sunda terdiri atas 17 (tujuh
belas) macam. Ketujuh belas guguritan tersebut yakni Asmarandana,
Kinanti, Sinom, Dangdanggula, Gambuh, Jurudemung, Magatru,
Pucung, Wirangrong, Durma, Gurisa, Pangkur, Lambang, Ladrang,
Balakbak, Mijil, dan Maskumambang. Menurut para ahli karawitan
Sunda, dari ketujuhbelas guguritan tersebut, dua guguritan yakni
’Lambang’ dan’Ladrang’ bukan merupakan ’kiriman’ dari Mataram,
melainkan hasil dari kreativitas bujangga Sunda (Wibisana, 2000:562).
Rosidi (1966:55) menyebutkan masuknya guguritan ke tatar Sunda
ditengarai sebagai imbas dari invansi Mataram ke tatar Sunda sekitar
abad XVII. Dalam prakteknya, boleh jadi, datangnya Mataram ke
tatar Sunda membawa pengaruh budaya termasuk materi sastra yang
kemudian dikenal oleh masyarakat Sunda sebagai puisi guguritan. Di
samping pengaruh Mataram yang kemudian tersebar di masyarakat
Sunda, keberadaan guguritan pun datang setelah masyarakat Sunda
terbiasa mengirim upeti ke tanah Jawa pada zaman Sultan Agung
(1613-1625 M). Saat berada di tanah Jawa itulah, orang Sunda para
pengirim upeti tersebut banyak menimba dan mempelajari budaya
Jawa, termasuk materi guguritan. Dan budaya itulah yang kemudian
dibawa pulang ke tanah Sunda, lalu diterapkan dan dikembangkan
secara kreatif dalam kehidupan sehari-hari di tatar Sunda.
Bagi masyarakat Sunda sendiri materi guguritan tidak saja
dikenal sebagai materi sastra, melainkan juga materi lagu. Terhadap
lagu dari guguritan tersebut masyarakat Sunda menyebutnya sebagai

220
seni tembang (dari bahasa Jawa juga thembang), yakni berupa tembang
rancag dengan irama merdeka (bebas) tanpa mengenal ketukan. Sekitar
abad XVIII-XIX materi seni tembang menjadi sebentuk seni vokal yang
baru. Dikatakan ‘baru’ karena sebelumnya masyarakat Sunda telah
terlebih dahulu mengenal seni vokal Sunda seperti kakawihan, beluk,
pupujian, sisindiran, kawih pantun, dan sebagainya (Sukanda, 1984:9).
Seni vokal Sunda semacam ini dirangkum dalam sebuah istilah yang
dikenal masyarakat Sunda sebagai kawih. Keberadaan materi kawih
dapat ditelusuri pada naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan
(1518 M), yang berbunyi:
Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha, kawih panjang,
kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan,
bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan,
kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma,
paraguna tanya.
(Jika ingin mengetahui segala macam lagu batuha, kawih panjang, kawih
lalaguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan,
kawih bongbongkaso, perane, porod eurih, kawih babahanan, kawih
bangbarongan, kawih tangtung, kawih sasambatan, kawih igel-igelan,
maka tanyalah paraguna/akhli karawitan).

Adapun materi kawih yang berkembang di tatar Sunda memiliki


teks berupa sajak bebas dan tidak terikat dengan aturan pupuh seperti
yang berlaku dalam guguritan. Fungsi kawih tersebut pada umumnya
biasa digunakan dalam upacara, bekerja (membajak sawah, berladang),
serta bermain (lagu anak-anak).

Perkembangan Guguritan
Pada awalnya, (seperti juga pada tradisi di Jawa) materi guguritan
di masyarakat Sunda dikembangkan ke dalam karya sastra berbentuk
wawacan. Penyebarannya pertama-tama dilakukan di lingkungan
pesantren, yakni di daerah Priangan Timur, terutama di daerah
Garut dan Tasikmalaya. Di daerah itu pulalah kemudian muncul seni
Tembang Cigawiran (di daerah Limbangan Garut) dan seni Tembang
Ciawian (Pagerageung, Tasikmalaya). Karena perkembangan wawacan
tersebut bermula dari lingkungan pesantren, maka seni tembang
Cigawiran dan seni tembang Ciawian berisi dan bernuansakan materi
keislaman, baik berbentuk kisah Islam maupun bentuk ajaran agama
Islam.
Dalam perkembangan kemudian, wawacan ditulis dan menyebar
di lingkungan bangsawan dan lingkungan pendidikan. Pada masa
itulah banyak sastrawan Sunda, guru, serta petinggi di kepemerintahan
yang menuliskan cerita dalam bentuk wawacan. Adapun para

221
bujangga yang bisa dicatat di sini di antaranya R. Muhamad Moesa, R.
Bratawidjaja, R. Suriadiredja, Abdussalam, R. Satjadibrata, R. Memed
Sastrahadiprawira, serta MA Salmun.
Wawacan yang menyebar di lingkungan pesantren umumnya
ditulis dalam huruf pegon (huruf Arab), sedangkan wawacan yang
ditulis oleh para bangsawan atau pendidik lebih banyak menggunakan
aksara Jawa-Sunda. Namun, setelah masyarakat Sunda mengenal
budaya menulis huruf latin yang disebarkan oleh Belanda, terutama
lewat sekolah-sekolah, maka wawacan pun ditulis dalam huruf latin.
Kadang-kadang pemerintah Belanda mencetak wawacan dalam dua
huruf yakni aksara latin dan aksara Jawa.
Jika dilihat darisumber dan karakterisasinya, seperti yang dicatat
Wibisana (2000:768) wawacan yang bersumber pada sastra Arab atau
pengaruh Islam di antaranya Hayatipinus, Bidayatussalik, Carios Para
Nabi, Abdurahman jeung Abdurahim, Amir Hamzah, Ratu Sep Malik bin
Diazin, serta Iman Elmu Reujeung Amal; wawacan yang bersumber dari
sastra Jawa di antaranya Wawacan Rengganis, Angling Darma, Sekar Taji,
Piwulang Batara Sunu; wawacan yang bersumber babad lokal Sunda
di antaranya Wawacan Kanjeng Pangeran Sumedang, Dipati Imbanagara,
Dipati Ukur, Babad Sukapura, Kidung Sunda, Banten Girang; wawacan
yang bersumber dari cerita pantun di antaranya Wawacan Sulanjana,
Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Sri Dangdayang Trisna
Pohaci, Rangga Wulung.
Masih dalam catatan Wibisana, setelah sastra Sunda dipengaruhi
oleh Barat, banyak bentuk wawacan yang meniru bentuk roman,
dengan tokoh cerita manusia biasa yang tidak memiliki kesaktian
seperti halnya tokoh dalam sastra lama. Wawacan yang dimaksud
di antaranya Wawacan Rusiah Nu Kasep (Ny. R. Hadijah Machtum),
Enden Saribanon (R. Memed Sastra Hadiprawira), Juag Tati (R. Hasan
Soemadipura).
Memasuki paruh waktu akhir abad XIX, ekspresi guguritan banyak
ditulis dalam bentuk dangding. Bentuk dangding ini merupakan karya
puisi liris yang ditulis dalam bentuk puisi guguritan yang terdiri atas
beberapa bait saja; tidak berkisah seperti halnya dalam wawacan. Puisi
guguritan dalam bentuk dangding ini banyak ditulis terutama di awal
abad XX hingga periode sebelum Perang dunia II (Rusyana,1980:1).
Para penulis dangding merupakan sastrawan yang berlatar belakang
pendidikan dan keagamaan seperti halnya RA. Bratawidjaja
(Asmarandana Lahir Batin), R. Memed Sastra Hadiprawira (Di Jalan
Tasik Garut), Haji Hasan Mustapa (Kinanti Jung Indung Turun), R.
Haji Muhamad Moesa (Wulang Krama), R. Ece Majid (Guguritan Laut

222
Kidul), dan MA Salmun (Ngalayung ka Tungtung Lembur).
Puisi dangding seperti ini begitu populer hingga tahun 30-
an. Bahkan pada satu periode, dalam khazanah sastra Sunda pernah
ada kredo bahwa penulisan puisi yang bagus adalah penulisan
dangding, maka jika menulis puisi tidak menuliskan dangding maka
puisi itu tidak termasuk puisi yang baik (Rosidi, 1966:56). Kondisi ini
dibenarkan oleh Moriyama (2005:55) yang mengatakan bahwa puisi
dangding bagi masyarakat Sunda adalah bentuk puisi yang sangat
digandrungi dan mampu mengangkat derajat seseorang dalam status
masyarakat.
Karya dangding ini pulalah yang kemudian banyak dipergunakan
oleh para seniman tembang Sunda Cianjuran pada periode 1900-
1930 dalam menggubah lagu ’kreasi baru’. Terkadang para seniman
tembang Cianjuran menulis sendiri dangding untuk keperluan
penggubahan lagu tembang. Yang dimaksud lagu tembang kreasi baru
adalah lagu gubahan baru hasil olah kreasi seniman padaleman saat
itu terhadap materi tembang dari lagu tembang buhun yang berupa
tembang rancag. Lagu tembang baru tersebut kemudian dikenal
sebagai tembang Cianjuran. Sebagai contoh, jika pada tembang buhun
terdapat hanya satu lagu pupuh Sinom, maka dalam lagu kreasi baru
pupuh sinom tersebut berkembang menjadi lagu Sekar Gambir, Sinom
Ela, Liwung, Sinom Degung, Setra, Satria, dan sebagainya. Demikian
pula yang terjadi pada pupuh Dangdanggula yang kemudian
beranak pinak menjadi Bayubud, Mangari, Kentar Cisaat, Kentar Ajun,
Erangbarong, Dangdanggula Degung, dan sebagainya.

Tembang Sunda
Dalam kamus bahasa Sunda, ‘tembang’ berarti melagukan
guguritan. Artinya, seni suara yang bermaterikan guguritan, otomatis
disebut tembang. Dalam masyarakat Sunda, materi tembang atau
materi seni suara yang menggunakan teks guguritan terdiri atas
tembang wawacan, tembang Cigawiran, tembang Ciawian, serta
tembang Cianjuran.
Tembang wawacan adalah seni menembang dengan teks
berbentuk wawacan. Bentuk musikalitas tembang wawacan
berorientasi kepada bentuk tembang rancag buhun, yakni nyanyian
atas teks guguritan yang disinyalir sebagai bentuk asli ‘kiriman’ dari
Mataram. Melodi lagu tersebut cukup sederhana, tanpa polesan vibrasi
yang rumit. Biasanya setiap harga satu suku kata hanya memiliki harga
satu nada. Namun dalam perkembangannya, seni tembang wawacan
kerap ‘dipercantik’ atau dipoles dengan seni beluk (Sukanda, 1984:32).

223
Seni beluk sendiri adalah seni kawih tanpa kata-kata dengan melodi
yang dinamis dan beroktaf tinggi. Seni beluk biasa digunakan saat
masyarakat Sunda menunaikan pekerjaan di hutan, di saat menggarap
huma (ladang). Alhasil, tembang wawacan yang semula bermelodi
sederhana, selanjutnya menjadi senandung tembang yang memiliki
dinamika melodi yang cukup rumit dan penuh improvisasi bergaya
seni beluk. Karena itulah, tak jarang masyarakat Sunda kini menyebut
seni tembang wawacan sebagai seni beluk.
Seni Cigawiran dan Ciawian adalah seni suara Sunda yang
menggunakan teks guguritan (wawacan) yang berkembang di
pesantren (Sueb, 1997:64). Seni tembang Cigawiran berasal dari daerah
Limbangan Garut (sekitar 30 km ke arah tenggara dari Bandung),
sedangkan Ciawian berasal dari daerah Ciawi Tasikmalaya (sekitar
60 km ke arah Selatan dari Bandung). Kedua seni ini berkembang di
lingkungan pesantren. Karena itu, naskah yang ditembangkannya
pun berisikan ajaran serta cerita keislaman atau seputar hakikat
hidup berdasarkan cara pandang Islam yang ditulis dalam bentuk
wawacan. Sayangnya, baik seni tembang Cigawiran maupun seni
tembang Ciawian tidak terlembagakan dengan baik. Akibatnya, seni
tembang Cigawiran dan seni tembang Ciawian kini tidak banyak lagi
dilantunkan karena regenerasi senimannya tidak berjalan dengan
baik.
Seni Tembang Cianjuran adalah seni suara yang berasal dari
daerah Cianjur (sekitar 50 km ke arah barat dari Bandung). Berbeda
dari Tembang Cigawiran dan Tembang Ciawian yang berasal dari
kalangan pesantren, seni tembang Cianjuran berasal dari lingkungan
kadaleman, bangsawan. Jika tembang Cigawiran dan tembang Ciawian
tidak berkembang dengan baik, maka Tembang Cianjuran hingga kini
masih mendapat tempat yang cukup tinggi di masyarakat (Apung SW,
1994:46). Hingga sekarang, menurut catatan dari Dinas Pariwisata,
di kota Bandung saja sedikitnya terdapat sekitar 200 perguruan seni
tembang Sunda Cianjuran (2002).
Eksistensi tembang Sunda Cianjuran yang telah berusia lebih
dari satu abad ini ditopang dengan pengorganisasian yang cukup
baik. Sedikitnya ada tiga lembaga yang mengurusi tembang Cianjuran
yakni Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), yang mengurusi pasanggiri
(lomba) tembang Sunda Cianjuran; Panglawungan Pamager Asih yang
mengurusi pergelaran tembang Sunda Cianjuran; Yayasan Pancaniti
yang mengurusi pengkajian dan pengembangan. Ketiga lembaga ini
satu sama lainnya bekerja menurut aturan kerjanya masing-masing
namun memiliki sinerji yang cukup harmonis.

224
Sejak perang kemerdekaan hingga sekarang, masih berlangsung
kegiatan pasanggiri (lomba) tembang Sunda Cianjuran dengan agenda
tiga tahunan Terakhir, tahun 2009 merupakan Pasanggiri Tembang
Sunda Cianjuran ke-20 yang diselenggaraan oleh DAMAS. Kegiatan
tembang Cianjuran sempat vakum ketika terjadi revolusi di tahun
1947-1950, serta Gerakan 30 September/PKI di tahun 1965. Namun
kegiatan pasanggiri tersebut bisa kembali terlaksana pada tahun 1969,
hingga sekarang.
Di samping keberadaan tiga lembaga tadi, kepedulian pemerintah,
baik provinsi maupun tingkat kota dan kabupaten pada beberapa
daerah di Jawa Barat cukup memberikan perhatian yang cukup tinggi,
seperti halnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Bandung Barat, Cimahi, Sumedang, Garut, Purwakarta, Subang,
Tasikmalaya, dan tentu saja Cianjur. Di kabupaten dan kota yang
disebutkan tadi, terdapat beberapa sanggar yang mengkhususkan diri
menggarap dan memelihara seni tembang Sunda Cianjuran.

Guguritan dan Tembang Sunda Cianjuran


Keberadaan dangding (guguritan) dengan Tembang Sunda
Cianjuran merupakan sisi mata uang, di mana sisi yang satu sangat
membutuhkan sisi yang lain. Lagu-lagu tembang Sunda gubahan baru
(1960-1990) banyak menggunakan teks berbentuk dangding. Teks-teks
tersebut diambil dari dangding yang ditulis dan tersebar di media
massa seperti Mangle, Cupumanik, Galura, atau Sunda Midang. Bahkan
sekarang, tradisi penulisan dangding di majalah-majalah berbahasa
Sunda masih terus dilakukan. Para penulis dangding tersebut di
antaranya Wahyu Wibisana, Deddy Windyagiri, Etti RS, Apung SW,
serta Dian Hendrayana.
Karya puisi dangding yang pernah dimuat di media massa
tersebut pada setiap tahunnya senantiasa dijadikan materi untuk
penilaian sastra LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda) di samping
penilaian terhadap prosa (carpon) dan essey. Dengan adanya tradisi
hadiah sastra Sunda dari LBSS tersebut, maka gairah penulisan
dangding pun seolah tidak pernah mati. Selain dari media massa,
teks dangding juga kerap dipetik dari buku karya Wahyu Wibisana
(Riring-riring Ciawaking), Yus Rusyana (Guguritan Munggah Haji),
Deddy Windyagiri (Jamparing Hariring), dan Dyah Padmini (Jaladri
Tingtrim).
Sebagai sebuah produk seni yang banyak digandrungi masyarakat,
materi Tembang Cianjuran kerap digunakan dalam beberapa sendi
kebudayaan. Dalam rangkaian upacara pernikahan seperti Ngaras,

225
Siraman, Ngeuyeuk Seureuh, Sawer, Buka Pintu, di sebagian besar
daerah di Jawa Barat senantiasa menggunakan materi seni tembang
Cianjuran di mana teksnya berupa puisi dangding. Demikian pula
dalam acara peresmian, ulang tahun, acara kepemerintahan seperti
sertijab, penyambutan tamu kehormatan, seringkali menggunakan
materi seni tembang Cianjuran.
Di samping penggunakan materi tembang Cianjuran dalam
berbagai acara ritual serta acara resmi kepemerintahan, seni tembang
Cianjuran senantiasa digunakan dalam pertunjukan gending karesmen.
Pertunjukan ini berupa pagelaran drama di mana dialognya
menggunakan tembang Sunda Cianjuran. Pertunjukan ini kerap
dipertontonkan di lingkungan kadaleman sejak jaman sebelum Perang
Dunia II. Dan sekarang pertunjukan gending karesmen masih sering
dipentaskan, terutama di Kota Bandung.

Kesimpulan
Puisi guguritan di masyarakat Sunda begitu lekat dan dikenal
secara luas. Bahkan di sekolah-sekolah, materi guguritan dijadikan
bagian dari mata pelajaran Bahasa Sunda setiap tingkatan. Materi
tersebut tidak saja sebagai materi sastra ansich, melainkan juga sebagai
materi seni suara.
Hingga sekarang, keberadaan puisi guguritan masih tetap hidup
dan berkembang. Keberadaan yang masih eksis tersebut didukung
karena adanya media ekspresi dalam bentuk seni suara yakni tembang
Sunda (terutama tembang Sunda Cianjuran) yang hingga sekarang
masih hidup dengan subur di masyarakat Sunda. Puisi guguritan
pun tetap bertahan karena masih ditulis oleh para pengarang untuk
dipublikasikan pada media massa terutama majalah.
Di samping pelembagan dalam media seni suara dan media
cetak, kehidupan guguritan ditopang pula dengan tradisi pasanggiri
menulis dangding yang biasa dilaksanakan oleh Paguyuban Pasuhdan
serta hadiah sastra yang saban taun diberikan oleh Lembaga Basa dan
Sastra Sunda (LBSS). Tentu saja, kondisi yang demikian kondusif
tersebut menggiring gairan penulisan dan pemuliaan guguritan terus
berjalan seperti tak pernah terhenti.***

DAFTAR PUSTAKA

Apung SW. 1994. Pamanggih jeung Papanggihan. Bandung: Kencana Press


Moriyama, Mikihiro. 2005. Semangat Baru. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).

226
Rawayan. 2002. Bandung: Sanggar dan Lingkung Seni Sunda. Bandung: Dinas
Pariwisata
Rosidi, Ajip. 1966. Kesusatraan Sunda Dewasa Ini. Jakarta: Tjupumanik
---. 1982. Ngalanglang Kasusatraan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
Rusyana, Yus. 1980. Puisi Guguritan Sunda.Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen dan Kebudayaan
Suéb, Acé Hasan. 1997. Wawasan Tembang Sunda. Bandung: CV Geger Sunten
Sukanda, Enip. 1984. Tembang Sunda Cianjuran: Sekitar Pembentukan dan
Pengembangannya. Bandung: Proyek Pengembangan Institut Kesenian
Indonesia Subproyek Akademi Seni Tari Indonesia Bandung.
Wibisana, Wahyu, dkk. 2000. Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: CV. Geger
Sunten.

227
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM
KAKAWIHAN BARUDAK SUNDA:
Persepsi dan Realisasi Kebahasaan

Dede Kosasih
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

1. Pendahuluan

A rus globalisasi dewasa ini terasa semakin menguat, dan


pengaruhnya semakin menyebar ke berbagai ranah kehidupan.
Kondisi ini sejauh tertentu mendesak nilai-nilai budaya lokal yang telah
hidup selama berabad-abad dan diwariskan secara turun-temurun.
Pewarisan ini dapat terganggu (bahkan terputus) oleh masuknya unsur
budaya asing, apabila unsur baru tersebut lebih disukai dibanding
unsur asli. Yang perlu diwaspadai, tidak semua pengaruh dari luar
bersifat positif, dan kekhawatiran akan ekses negatif dari pengaruh
luar tersebut telah dikemukakan banyak kalangan, seperti pendidik,
orang tua, dan pemerhati dunia anak. Namun di tengah gencarnya
arus globalisasi terbersit sebuah optimisme. Futurolog Naisbitt &
Aburdene (1995) memprediksi bahwa di tengah terpaan peradaban
global, kecintaan pada budaya lokal untuk menunjukkan jati diri akan
semakin menguat. Tentu prediksi ini perlu dijawab dengan upaya
sadar untuk membangun peradaban tanpa meninggalkan nilai-nilai
lokal.
Dalam konteks tarik ulur global-lokal ini, salah satu area yang
layak disoroti adalah dunia anak, karena anak merupakan generasi
pewaris sebuah sistem budaya. Salah satu unsur dari dunia anak
adalah permainan. Karena dunia anak adalah dunia bermain
dan imajinasi (lihat Mustapha 1997), maka permainan anak perlu
mendapat perhatian yang serius, karena turut membentuk karakter
anak yang pada gilirannya akan membentuk kepribadiannya ketika
dewasa. Permainan anak telah berkembang demikian pesat seiring
dengan perkembangan sosial dan teknologi. Permainan anak sekarang
ini (sebagian ‘impor’) ditenggarai banyak mengarah ke pembentukan
sikap konsumtif dan individualistis. Adapun permainan tradisional
dipercaya lebih dapat membangkitkan kreativitas dan kepedulian
pada lingkungan (sosial dan alam). Sayangnya, permainan tradisional
tampaknya semakin banyak ditinggalkan.
Salah satu unsur pembentuk permainan anak adalah lagu.
Permainan oray-orayan (ular-ularan) dalam budaya Sunda, misalnya,

228
biasanya disertai lagu Oray-orayan. Lagu anak dalam masyarakat
Sunda dikenal dengan istilah kakawihan barudak. Dalam kakawihan
tersebut terkandung potensi pengaruh positif: selain kegembiraan
yang didapat, terpupuk juga sifat kebersamaan, kreativitas, ataupun
kecintaan terhadap alam.
Dapat dikatakan, kakawihan barudak ini merupakan salah satu
wujud dari kearifan lokal masyarakat atau etnik Sunda. Penelusuran
literatur menunjukkan bahwa kajian tentang kearifan lokal telah banyak
dilakukan, menyoroti berbagai bidang kehidupan dan dilakukan di
berbagai belahan dunia. Di antaranya, terdapat kajian kearifan lokal
yang mengangkat nilai lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
(misalnya Kongsat et al. 2009; Channuan et al. 2009). Terdapat juga
kajian yang mengeksplorasi penerapan nilai lokal dalam bidang
rekayasa (misalnya Yukimatsu et al. 2008; Gertler & Vinodrai 2009),
dan dalam upaya pelayanan kesehatan atau pengobatan (misalnya
Chakravorty et al. 2011; Zhang & Pan 2008). Terkait ranah sosial-
politik, muncul berbagai kajian kearifan lokal dalam kaitannya dengan
bidang hukum (misalnya LaFrance & Allen 2010; Schragger 2009),
dengan proses kemasyarakatan (misalnya Hubert 2005; Craw 2006),
dengan bidang sosial-ekonomi (misalnya Ong 2009; Baker & Coulter
2007), dan dengan bidang pendidikan (misalnya Meyers & Willhauck
2003; Jules 1994).
Dalam konteks ini belum teridentifikasi adanya kajian ilmiah yang
khusus membahas lagu tradisional anak. Kajian ini mengeksplorasi
nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan menurut persepsi
orang Sunda dan realisasi kebahasaan yang berpotensi mendukung
kandungan nilai-nilai tersebut.

2. Tinjauan Pustaka
Seperti diungkap secara singkat pada bagian pendahuluan,
kakawihan barudak Sunda akan dieksplorasi dalam konteks kajian
kearifan lokal. Meskipun kajian tentang kearifan lokal telah cukup
banyak dilakukan dalam berbagai bidang, kajian yang berfokus pada
lagu tradisional, apalagi lagu tradisional anak-anak (kakawihan barudak),
belum teridentifikasi pada literatur. Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan menjadi penelitian perintis dalam bidang ini.
Namun demikian telah terdapat bahasan umum di mana kakawihan
barudak dapat ditempatkan. Dalam hal ini, konsep kakawihan barudak
dapat dikaji minimal dari tiga perspektif, yakni budaya secara umum,
teori folklore, dan teori kebahasaan yang mengacu pada penggunaan
bahasa dalam konteks kemasyarakatan.

229
Istilah kakawihan berasal dari kata kawih yang artinya lagu
atau nyanyian. Dan istilah kawih ini telah lama sekali dikenal dan
dipergunakan oleh masyarakat Sunda, bahkan sudah teridentifikasi
dalam naskah Sunda Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada tahun
1581 M (Danasasmita dkk. 1987). Dalam budaya Sunda juga dikenal
kesenian sejenis yang disebut tembang, namun ini muncul belakangan
setelah budaya Sunda memperoleh pengaruh budaya Jawa pada abad
ke-17 (lihat Rosidi 1984, 1996). Dengan demikian, kawih merupakan
tradisi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi selama
berabad-abad.
Dari perspektif budaya secara umum, Keesing (dikutip Damono
1979:4) mengemukakan bahwa melalui kebudayaan manusia membina
interaksi dengan sesamanya dan dengan alam, serta mewariskan nilai-
nilai yang dianggap bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka dari
generasi ke generasi. Dengan demikian, kebudayaan secara langsung
ataupun tidak langsung mampu memberikan identitas tertentu bagi
individu dan masyarakat pendukungnya. Dalam konteks ini kakawihan
barudak merupakan wahana interaksi bagi anak-anak, dalam rangka
memupuk keterampilan sosialnya. Permainan seperti ini akan turut
membentuk karakternya di masa mendatang.
Dari perspektif folklore, kakawihan dapat dikategorikan ke dalam
bentuk puisi nyanyian (lihat Rusyana 1981; Dananjaya 1994). Kakawihan
sebagai puisi rakyat (sajak rakyat) dibagi menjadi tiga kategori yaitu
sajak untuk anak-anak atau nursery rhyme; sajak permainan atau play
rhyme; dan sajak untuk menentukan siapa yang ’jadi’ dalam suatu
permainan atau tuduhan atau counting out rhyme (Dundes, 1968).
Menurut Bascom (dalam Dananjaya, 1994), terdapat empat fungsi
folklore, yaitu (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni
sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai
alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan,
(c) sebagai alat pendidikan (pedagogical device), dan (d) sebagai alat
pemaksa dan pengawasan agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuhi anggota kolektifnya. Kakawihan barudak Sunda tampaknya
minimal memenuhi fungsi (a), yakni sebagai pencerminan nilai-nilai
yang dianut masyarakat Sunda, misalnya bahwa dunia anak-anak itu
harus berupa dunia yang menyenangkan, juga fungsi (c), misalnya
sebagai sarana bagi anak-anak untuk belajar bekerja sama dan
menghormati aturan main.
Dari perspektif teori bahasa, kakawihan barudak dapat ditinjau
di antaranya lewat teori genre sebagai bagian dari teori tatabahasa
sistemik-fungsional (lihat Halliday 1994; Eggins 2004). Dalam hal ini,

230
kakawihan merupakan sebuah genre lisan, dan seperti genre lainnya
memiliki tiga unsur utama, yakni fungsi sosial, struktur skematik,
juga fitur-fitur linguistik tertentu. Eksplorasi lanjutan terhadap fitur
linguistik dapat dilakukan lewat analisis bahasa figuratif, seperti yang
dipaparkan di antaranya oleh Holman (1992) dan Frost (2006). Holman
(1992) membagi bahasa figuratif menjadi dua kelompok utama, yaitu
schemes, yang lebih berpijak pada unsur bentuk, dan tropes, yang lebih
berbasis makna.

3. Metode Kajian
Kajian ini mengeksplorasi nilai-nilai yang terkandung dalam
kakawihan barudak serta realisasi kebahasaannya terutama dengan
menggunakan prosedur kualitatif-deskriptif. Kajian ini dilaksanakan
di wilayah Bandung Raya, yang secara administratif meliputi Kota
Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung
Barat. Penelitian ini melibatkan anak-anak Sunda dan orang Sunda
dewasa yang tinggal di wilayah Bandung Raya. Mereka diseleksi
secara purposif dan dilibatkan terutama untuk menggali persepsi
mereka tentang kakawihan barudak.
Prosedur pengumpulan data ditetapkan berdasarkan jenis data
yang diperlukan. Data jenis pertama adalah kakawihan barudak itu
sendiri, yang diambil dengan cara studi dokumen (buku, artikel) dan
observasi ke lapangan serta media massa untuk mengidentifikasi
keberadaan kakawihan. Data jenis kedua adalah persepsi anak-anak
dan orang dewasa terhadap kakawihan, yang diambil lewat wawancara
dengan responden. Data kakawihan dianalisis secara kualitatif
untuk mengidentifikasi fitur-fitur pembentuknya. Data wawancara
digunakan untuk mengidentifikasi pandangan responden terkait
nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan.
4. Temuan dan Pembahasan
Paparan berikut membahas dua hal, yakni nilai-nilai yang
terkandung dalam kakawihan menurut responden serta bahasan
lanjutannya, serta unsur kebahasaan yang mendukung perwujudan
nilai-nilai tersebut.

4.1 Nilai-nilai dalam kakawihan

4.1.1 Persepsi responden akan nilai-nilai kakawihan


Nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan diungkapkan oleh
tiga kelompok responden yaitu anak-anak, orang dewasa, dan guru.
Nilai-nilai yang tergali disajikan dalam Tabel 1 berikut. Dalam konteks

231
ini seorang responden dapat mengungkapkan lebih dari satu nilai yang
dianggap relevan dengan kakawihan; dengan demikian, jumlah nilai
yang disebutkan tidak mencerminkan jumlah responden, melainkan
jumlah keseluruhan nilai yang diungkapkan oleh seluruh responden.

Tabel 1: Nilai dari kakawihan yang diungkapkan responden

Anak-anak Dewasa Guru


Nilai yang terungkap
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Rekreatif 17 50 19 38 9 29
Edukatif 4 12 15 30 10 32
Kebersamaan 8 24 9 18 6 19
Konservasi 3 9 5 10 3 10
Ekonomis 2 4
Kepedulian sosial 2 6
Kedisiplinan 1 3
Ignorance 2 6
Jumlah 34   50 31

Tabel 1 menunjukkan bahwa para responden, dalam bahasanya


sendiri, mengungkapkan sejumlah nilai yang terdapat dalam kakawihan,
yakni nilai rekreatif, edukatif, kebersamaan, konservasi, ekonomis,
kepedulian sosial, dan kedisiplinan. Bahkan terdapat 2 kemunculan
ungkapan ketidakpedulian terhadap kakawihan oleh responden anak-
anak.
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa tiga buah nilai, yakni
rekreatif, edukatif, dan kebersamaan, diungkapkan oleh semua
responden dalam urutan tiga teratas. Dengan demikian, ketiga nilai
ini dianggap nilai yang paling pokok oleh seluruh responden. Ketiga
nilai ini akan dieksplorasi lebih lanjut di bawah ini.

4.1.2 Nilai rekreatif


Dapat dikatakan bahwa fungsi yang paling pokok dari kakawihan
barudak adalah fungsi rekreatifnya. Kakawihan dimaksudkan sebagai
hiburan yang kontekstual, apalagi sebagian dari kakawihan tersebut
merupakan bagian dari permainan anak-anak. Aspek yang menjadi
pembentuk fungsi rekreatif mencakup di antaranya unsur kebahasaan,
seperti akan dibahas pada Bagian 4.2. Dalam hal ini lagu anak-anak
secara kebahasaan mengandung sejumlah bahasa figuratif, baik
yang berupa permainan bentuk maupun permainan makna, yang

232
mendukung nilai hiburan dari kakawihan. Aspek transitivitas dan
progresi tema juga turut mendukung nuansa rekreatif dari kakawihan.
Dengan memiliki dimensi rekreatif, kakawihan bermanfaat untuk
menciptakan kegembiraan di kalangan anak-anak. Dalam suasana
gembira ini tentu berbagai nilai lain yang positif dapat diinternalisasi
secara maksimal. Selain itu, kebahagiaan ini dapat menjadi sumber
untuk gairah dan daya hidup yang dapat mendorong mereka untuk
berkreasi. Kesempatan untuk mendapat kegembiraan seperti ini tentu
relevan dengan konteks Indonesia, di mana anak-anak mendapat
beban kurikulum yang besar, yang cenderung menggiring mereka ke
arah rutinitas.
Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan (atau ketidakbahagiaan)
masa kecil merupakan unsur yang turut mempengaruhi pembentukan
karakter seseorang. Jika kepribadian seorang manusia dipahami
sebagai hasil dari sebuah proses, maka bahan dasarnya adalah dunia
anak-anak ini. Bagaimana format yang akan terbentuk nanti sangatlah
bergantung pada bahan dasarnya yang dibentuk pada masa kecil.

4.1.3 Nilai kebersamaan
Kakawihan sarat dengan nilai kebersamaan karena kakawihan
berikut konteks kemunculannya (dapat berbentuk permainan) pada
umumnya diperagakan secara bersama-sama. Misalnya, kakawihan
Oray-orayan dinyanyikan bersama-sama dalam rangka membentuk
permainan Oray-orayan, yang melibatkan cukup banyak anak untuk
membentuk baris yang panjang supaya tampak seperti oray ’ular’.
Pada permainan ini sejumlah anak berkumpul di tempat
yang cukup luas. Untuk menentukan siapa yang menjadi kepala
ular, biasanya dilakukan undian dengan menggunakan kakawihan
Hompimpah atau Cingciripit. Setelah kepala terpilih, anak lainnya
berebutan untuk berada di belakangnya. Mereka berbaris sambil
berpegangan pada teman di depannya dan berjalan meliuk-liuk
sambil mendendangkan lagu ”Oray-orayan. Orang naon? Orang bungka!
Bungka naon? Bungka Laut! Laut naon? Laut dipa! Dipa naon? Di pandeuri!
ri...riiii...riiii...! Setelah lagu berakhir, anak-anak biasanya riuh rendah,
karena si kepala ular harus menangkap ekornya atau anak yang berada
paling belakang.
Walaupun bentuknya tampak sederhana, permainan ini
mengandung unsur yang sangat berguna bagi pemupukan sikap
mental anak-anak terutama dalam hal kebersamaan. Dengan
permainan tersebut, anak-anak bisa mendapatkan kegembiraan
hidup tanpa harus dibeli dengan uang. Selain itu, nampak pula rasa

233
solidaritas anak-anak dalam bermain, karena bila jumlah pemainnya
kurang banyak maka permainan tersebut kurang seru.

4.1.4 Nilai dalam konteks edukatif


Kakawihan sarat dengan nuansa edukatif karena lewat keterlibatan
dengan kakawihan anak-anak mendapatkan pengalaman yang turut
membentuk karakter mereka. Fungsi edukatif dari kakawihan ini
dibangun oleh berbagai nilai. Misalnya, nilai rekreatif dan kebersamaan
yang dipaparkan di atas dapat membentuk karakter anak yang ceria
sekaligus memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Nilai-nilai lainnya
(seperti kecintaan budaya, kepedulian sosial, kehematan, kedisiplinan,
apresiasi, dan kesadaran akan aturan) juga perlu dieksplorasi dalam
proses pendidikan.
Nuansa edukatif dari kakawihan ini dapat terlihat dari kehidupan
anak-anak tempo dulu. Karena belum banyak terpengaruh oleh dunia
luar, mereka sangat dekat dengan alam sebagai lingkungan hidup
mereka. Mereka memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya untuk
menjawab berbagai tantangan, baik yang bersifat personal, sosial,
maupun natural. Sebagai akibatnya, mereka harus kreatif dalam
menghadapi tantangan yang muncul. Misalnya, ketika menginginkan
satu jenis mainan, mereka harus mengkreasinya sendiri dengan
memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka. Dalam konteks inilah
tampaknya akan-anak secara bersama-sama tumbuh subur dengan
penuh kegembiraan dan menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang
beredar di sekitarnya.
Sebaliknya, dunia anak-anak sekarang tampaknya lebih
bernuansa individual dan pasif. Sebagian waktu senggang mereka
dihabiskan dengan menonton TV atau melakukan permainan yang
cenderung bersifat individual, seperti play station. Mereka juga
tampaknya tidak tertantang untuk menciptakan permainan sendiri
(pasif) karena berbagai bentuk permainan telah tersedia, sehingga
mereka merupakan objek dari perkembangan teknologi, di mana
mereka hanya menjadi pemakainya.
Dalam konteks edukatif, nilai-nilai lama yang positif perlu
diupayakan untuk dapat diinternalisasi oleh generasi berikutnya,
namun tampaknya tidak dalam bentuk sebelumnya karena sudah
tidak kontekstual dengan kehidupan sekarang. Dengan demikian,
transformasi kakawihan berikut permainan yang menyertainya
merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak: sajikan dalam bentuk
baru yang mampu menggaet perhatian anak-anak yang dibesarkan
pada zamannya. Transformasi ini bagaimanapun merupakan pilihan

234
bijak dibanding tersisihnya nilai lokal oleh nilai luar yang terus masuk
dan belum tentu bersifat positif.

4.2 Realisasi kebahasaan


Nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan di atas, terutama
nilai rekreatif, dibentuk di antaranya oleh aspek linguistik. Ini dapat
dilihat di antaranya dari penggunaan bahasa figuratif (schemes dan
tropes), penggunaan proses, dan progresi tematis.

4.2.1 Bahasa figuratif: schemes


Bahasa figuratif yang masuk kedalam kategori scheme berpijak
pada unsur bentuk, baik bunyi, kata, maupun struktur sintaksis
(lihat Holman 1992). Bahasa figuratif jenis ini yang digunakan dalam
kakawihan adalah aliterasi, asonansi, anadiplosis, epizeuxis, anafora, dan
end rhyme.
Gaya bahasa aliterasi direalisasikan lewat pengulangan bunyi
konsonan dalam satu kalimat untuk menciptakan untaian bunyi yang
enak didengar, seperti terilustrasikan pada kakawihan Ambil-Ambilan
di bawah ini. Pada baris kedua dari kakawihan tersebut, terdapat
pengulangan konsonan /t/ hingga tiga kali. Pengulangan konsonan
ini menciptakan efek bunyi tertentu yang dapat membuat pendengar
menjadi terfokus pada kata-kata yang terucap dan sekaligus berpotensi
mengikat perhatian pendengar pada apa yang diucapkan.
Ambil-ambilan
Turugtug hayam samantu
……

Gaya bahasa asonansi direalisasikan lewat pengulangan bunyi


vokal dalam satu kalimat, seperti terilustrasikan pada kakawihan
Cingcangkeling berikut ini. Pada baris pertama dari kakawihan tersebut
terdapat pengulangan vokal /i/ hingga empat kali. Seperti halnya
pada pengulangan bunyi konsonan, pengulangan bunyi vokal juga
menciptakan efek bunyi tertentu yang dapat membuat pendengar
menjadi terfokus pada kata-kata yang terucap dan sekaligus terikat
perhatiannya pada apa yang diucapkan.
Cingcangkeling manuk cingkleung cindeten
......

Dalam gaya bahasa anadiplosis kata atau frase yang muncul di akhir
baris diulang pada awal baris berikutnya, seperti terilustrasikan pada
kakawihan Cacag Gurame berikut ini. Kata gurame yang muncul pada
ujung baris pertama diulang pada awal baris kedua. Hal yang sama

235
terjadi pada kata gobang, yang diulang pada awal baris berikutnya.
Efek pengulangan kata tadi adalah nuansa keterkaitan antar elemen,
dan berpotensi menimbulkan keindahan dan semangat pada yang
meyanyikannya.
Cacag gurame
Gurame tali gobang
Gobang pancar rame
……

Dalam gaya bahasa epizeuxis dilakukan pengulangan kata untuk


penekanan atau aksentuasi, seperti pada kakawihan Het-het Embe
Janggotan di bawah ini. Pada kakawihan ini, kata lauk diulangi pada frase
yang sama, menjadi laukna lauk bilatung. Selanjutnya, kata kejo diulang
pada frase kejona kejo gandrung. Pengulangan ini menimbulkan efek
penekanan atau penguatan, yang dapat membuat kakawihan menjadi
lebih dinamis.
Het-het embe janggotan
Pa kuwu kariaan
Laukna lauk bilatung
Kejona kejo gandrung
Prang prung bedog buntung

Anafora adalah gaya bahasa yang direalisasikan dengan cara


mengulangi kata yang sama pada awal frase, klausa, atau kalimat agar
mendapat efek paralel dan klimaks tertentu. Contohnya terdapat pada
kakawihan “Nanangkaan” berikut ini.
Nangkana ge karék dipelak
Nangkana kakara jadi
Nangkana kakara jadi tongtolang
Nangkana kakara gumading
Ayeuna geus asak

Terdapat juga kakawihan yang bercirikan bunyi yang sama pada


ujung-ujung kalimat atau baris (end rhymes), seperti dapat diamati
pada kakawihan Dudukuy Pelentung di bawah ini. Pada kakawihan ini
terjadi pengulangan bunyi /u/ pada ujung setiap baris.
Ka mana jalan ka gintung
Ka gintung ngalangkung gunung
Ka saha abdi nyalindung
Upami sanes ka indung

4.2.2 Bahasa figuratif: tropes


Bahasa figuratif yang masuk kedalam kategori trope berpijak
pada unsur makna (lihat Holman 1992). Bahasa figuratif jenis ini yang
digunakan dalam kakawihan di antaranya adalah metafora, metonimi,

236
paradoks, dan personifikasi.
Dalam gaya bertutur yang metaforis, satu hal dibandingkan
dengan hal lainnya tanpa menggunakan lagi kata penghubung
‘seperti’, ‘laksana’, dan yang sejenisnya. Gaya bahasa metafora ini
terilustrasikan pada kakawihan Aanyaman (Anyaman) berikut. Dalam
kakawihan ini, kaki yang saling berkait diibaratkan anyaman. Pada
anyaman, material yang pipih dan tipis dijalin saling bertumpang
untuk membentuk satu kesatuan sehingga tercipta sebuah produk
yang mempunyai fungsi tertentu, seperti keranjang. Dalam hal ini,
kaki yang saling berkait diibaratkan anyaman yang berfungsi untuk
membentuk sebuah permainan.
Pakait-kait suku
Bitisna patumpang-tumpang
Anyaman masing pageuh
Tacan lesot ulah reureuh

(Kaki berkait
Betisnya saling tumpang
Anyaman harus kuat
Belum lepas jangan berhenti)

Metonimia adalah gaya bahasa yang menyebutkan sesuatu


dengan tidak langsung, seperti tercermin pada kakawihan Ayang-ayang
Gung di bawah ini. Kata ‘Batawi’ pada kakawihan ini adalah sebutan
lokal untuk kota Batavia atau Jakarta, yang sejak zaman kolonial
Belanda menjadi pusat pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian,
kata ‘Batawi’ merujuk pada pemerintah pusat. Kakawihan ini bernada
sindiran, bercerita tentang orang yang gila pangkat dan kekuasaan.
……
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong

Dalam gaya bahasa paradoks, digunakan dua ungkapan yang


artinya bertentangan. Gaya bertutur ini terlihat pada kakawihan
Dudukuy Pelentung berikut. Pada Pada kakawihan ini diceritakan
seseorang yang oleh ibunya ditundung ‘dimarahi/diusir’, sementara
oleh ayahnya diceungceurikan ‘ditangisi/disayangi’.
Dudukuy pelentung digantung
Digantung di kakaitan
Ku indung abdi ditundung
Ku bapa diceungceurikan

Pada gaya bahasa personifikasi benda mati ataupun binatang

237
dianggap sebagai manusia, sehingga bertingkah laku seperti manusia.
Gaya bahasa tersebut dapat diamati pada kakawihan Haphap Dagoan
di bawah ini. Haphap adalah sejenis bunglon yang bisa meloncat seperti
terbang. Dalam konteks ini si bunglon terbang dianggap memiliki
carecet ‘saputangan’, seperti manusia, karena ketika terbang terlihat
seperti sedang membawa sebuah saputangan yang dibentangkan,
yang sebetulnya adalah selaput yang berfungsi sebagai sayap.
Haphap dagoan
Carecet sia tinggaleun

4.2.3 Sistem Transitivitas


Pada kakawihan yang diidentifikasi dalam penelitian ini ditemukan
sejumlah proses yang mendukung representasi kakawihan Sunda.
Proses yang teridentifikasi paling banyak muncul ialah proses material
(62,5%) diikuti oleh proses relasional (22,3%).
Proses material sebagai proses fisik ditemukan misalnya pada
potongan kakawihan Aanyaman di bawah ini. Dalam kakawihan tersebut
digunakan kata kerja pakait-kait ‘saling berkait’ dan patumpang-
tumpang ‘berjalin/bertumpuk’. Ditemukannya proses material dalam
porsi yang paling banyak menunjukkan adanya kecenderungan untuk
melibatkan pelaku kawih secara aktif-dinamik mencipta gerak yang
selaras dengan isi kakawihan.
Pakait-kait suku
bitisna patumpang-tumpang

Proses relasional merupakan proses yang menjelaskan atribut


atau identifikasi mengenai entitas tertentu. Proses relasional yang
menunjukkan atribut dan identifikasi terdapat dalam potongan
kakawihan Gobang Gocir berikut ini. Kata lada ‘pedas’ menunjukkan
proses relasional atributif, di mana pedas merupakan atribut dari
cabe beureum ‘cabe merah’. Di sisi lain, kata randa menunjukkan
proses relasional identifikasi karena randa ‘janda’ merupakan value
dari baju beureum ‘yang berbaju merah’. Banyaknya proses relasional
yang muncul menunjukkan kecenderungan para pencipta kakawihan
untuk memberikan atribut atau definisi kepada entitas yang disebut
dalam kakawihan, agar entitas tersebut tergambarkan seperti yang
diharapkan.
Jir gobang gojir
cabe beureum lada
cing geura taksir
baju beureum randa

238
4.2.4 Progresi tematis
Setiap bagian pada kakawihan Sunda dikembangkan dengan alur
yang berbeda-beda. Teridentifikasi adanya progresi tematis linier
(zigzag), paralel, dan turunan, serta campuran progresi. Progresi
paralel digunakan dalam jumlah paling panyak.
Alur pengembangan kakawihan berprogresi linier ditemukan
misalnya dalam kakawihan Cacag Gurame berikut ini. Pada contoh ini,
kata yang menjadi rheme pada satu klausa menjadi theme pada klausa
berikutnya. Pada baris pertama gurame menjadi rheme, dan berubah
menjadi theme pada baris kedua. Pada baris kedua gobang menjadi
rheme, dan berubah menjadi theme pada baris ketiga.

Cacag gurame

Gurame tali gobang

Gobang pancar rame


dst.

Selanjutnya ditemukan juga progresi semi-linier, yakni bahwa


perubahan dari rheme menjadi theme hanya berlaku pada suku kata
terakhir dari suatu kata atau baris. Ini ditemukan misalnya pada
kakawihan Ayang-ayang Gung sebagai berikut. Pada kakawihan ini
bunyi pada akhir baris pertama yaitu gung menjadi awal bunyi kata
pertama pada baris kedua yaitu gung. Demikian halnya dengan bunyi
pada akhir baris kedua -mé menjadi bunyi awal pada kata pertama
pada baris ketiga ménak. Demikian seterusnya, sehingga bunyi pada
baris sesudahnya mengulang bunyi pada baris sebelumnya.
[Ayang-ayang Gung]

Ayang-ayang gung

Gung goongna ramé

Ménak Ki Mas Tanu


Nu jadi wadana
Naha mani kitu
dst.

Alur pengembangan kakawihan dengan progresi paralel digunakan


misalnya dalam kakawihan Baju Beureum berikut. Kakawihan ini
didominasi oleh progresi paralel, yang ditunjukkan oleh penggunaan
kata ari pada awal baris ketiga yang merupakan pengulangan dari kata
pertama pada baris kedua. Kata ari terus digunakan secara berulang

239
pada baris-baris setelahnya sampai dengan baris terakhir.
Baju beureum sombong
Ari bong bongkar mobil

Ari bil bil salamet

Ari met metik cabe


Ari be beas ketan
Ari tan tanteu girang
dst.
Progresi turunan terilustrasikan pada kakawihan Suling Aing
sebagai berikut. Pada kakawihan ini kata pertama pada baris kedua
yaitu suling dijelaskan proses pembuatannya pada klausa/baris ketiga
(diliangan ku bangbara), klausa keempat (ditoktrokan ku caladi), dan
klausa kelima (dipasieup ku sireupeun).
Torotot heong, torotot heong
Suling aing tulang maung
Diliangan ku bangbara
Ditoktrokan ku caladi
Dipasieup ku sireupen
Torotot heong, torotot heong

Perlu dicatat bahwa sebuah kakawihan dapat mengandung lebih


dari satu progresi tematis, seperti terilustrasikan pada kakawihan Baju
Beureum berikut, yang mengandung progresi paralel dan semi-linier
(zigzag). Progresi paralel terlihat dari pengulangan kata ari di awal
baris, sejak baris kedua. Progresi semi-linier terlihat dari pengulangan
suku kata terakhir setiap baris, yang diulang di awal setiap baris
berikutnya, setelah kemunculan kata ari. Digunakannya gabungan
progresi ini membuat kakawihan ini tampak lebih hidup.

Baju beureum sombong

Ari bong bongkar mobil

Ari bil bil salamet

Ari met metik cabé


Ari bé béas ketan
Ari tan tanteu girang
dst.

5. Kesimpulan
Kajian ini mengeksplorasi permasalahan yang terkait dengan lagu
tradisional anak-anak (kakawihan barudak) dalam masyarakat Sunda,
yakni nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan dan bagaimana

240
nilai-nilai tersebut terealisasikan secara kebahasaan. Ditemukan
bahwa nilai yang terungkap berkaitan erat dengan dengan realisasi
kebahasaannya.
Teridentifikasi sejumlah nilai yang tekandung dalam kakawihan,
seperti diungkapkan oleh para responden. Semua kelompok responden
menempatkan dalam urutan tiga besar tiga buah nilai, yakni rekreatif,
kebersamaan, dan edukatif. Dapat dikatakan bahwa dari ketiga
nilai ini, nilai rekreatif adalah nilai yang pertama dan utama dari
kakawihan, karena fungsi pokok kakawihan adalah untuk menciptakan
kegembiraan. Selanjutnya, nilai kebersamaan pun tidak dapat
dikesampingkan karena kakawihan biasanya dilakukan dalam format
kebersamaan. Kedua nilai ini, beserta nilai-nilai lainnya, selanjutnya
mendukung fungsi edukatif dari kakawihan, yakni untuk menciptakan
manusia yang memiliki karakter positif.
Nilai rekreatif dari kakawihan ternyata sejauh tertentu didukung
oleh realisasi kebahasannya. Dalam hal ini banyak muncul bahasa
figuratif baik dari jenis schemes maupun tropes. Penggunaan bahasa
figuratif ini membuat kakawihan menjadi menarik dan enak didengar.
Secara transitivitas, representasi banyak dilakukan terutama lewat
proses material, diikuti oleh proses relasional. Proses material dapat
melibatkan pelaku kawih secara aktif-dinamik mencipta gerak yang
selaras dengan isi kakawihan, dan proses relasional memberikan atribut
atau definisi kepada entitas yang disebut dalam kakawihan. Terakhir
progresi tematis yang digunakan cukup bervariasi. Progresi yang
paling banyak muncul adalah progresi paralel, yang memungkinkan
terjadinya pengulangan sebuah ungkapan yang membuatnya menjadi
terus diingat. Terdapat juga campuran progresi tematis, seperti
progresi paralel dan linier. Campuran progresi ini membuat kakawihan
menjadi lebih hidup.
Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat dikatakan bahwa
kakawihan menjadi salah satu sumber nilai yang dapat dieksplorasi lalu
diangkat untuk menciptakan sistem pendidikan yang berlandaskan
nilai-nilai lokal, terutama pada pendidikan tahap awal (SD dan
SLTP). Lewat praktek seperti ini diharapkan orang Indonesia dapat
menemukan dan menegaskan karakternya sebagai entitas yang berjati
diri lokal namun tetap berperan aktif dan ikut mewarnai pergaulan
global (lihat Alwasilah et al. 2009).

241
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan


praktek pendidikan dan pendidikan guru. Kiblat Buku Utama, Bandung.
Baker, Kathleen and Alex Coulter. 2007. Terrorism and tourism: the vulnerability
of beach vendors’ livelihoods in Bali. Journal of Sustainable Tourism,
Vol. 15/3, hal. 249-265.
Chakravorty, Jharna; Sampat Ghosh; Victor Benno Meyer-Rochow. 2011.
Practices of etnomophagy and etnotherapy by members of the Nyishi
and Galo tribes, two ethnic groups of the state of Arunachal Pradesh
(North-East India). Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, Vol. 7/5,
hal. 1-14.
Channuan, Prathip; Subunn Ieamvijarn; Budsakorn Saenyabud; Prasopsuk
Rittidet. 2009. Appropriate technological development guidelines for
rubber plantation for community economic development using local
wisdom in Northeastern Thailand. Journal of Social Sciences, Vol. 5/3,
hal 216-218.
Craw, Michael Craw. 2006. Overcoming city limits: vertical and horizontal
models of local redistributive policy making. Social Science Quarterly,
Vol. 87/2, June 2006, hal. 361-379.
Damono, Sapardi J. 1979. Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti Pers
Danasasmita, Saléh dkk. 1987. Séwaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian
Proyék Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Dundes, Alan. 1968. The Form of Folklore: Definition on Theories of Folklore,
Proverb, Riddle, Superstition, Gesture, Blason Populaire, Folk Speech,
Written Forms, Folktale, Legend, Myth, Drama, Folk Music. Berkeley Calif.
Fybate Lecture Notes.
Eggins, Suzanne. 2004. An Introduction to Systemic Functional Linguistics, edisi
ke-2. London: Continuum.
Gertler, Meric s. dan Tara Vinodrai. 2009. Life sciences and regional innovation:
one path or many? European Planning Studies, Vol. 17/2, hal. 235-261.
Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-2.
London: Arnold.
Hubert, J. Z. 2005. Replacing mythos by logos: an analysis of conditions and
possibilities in the light of information-thermodynamic principles of
social synergetics and of their normative implications. Dialogue and
Universalism. Vol. 1/2, hal. 93-104.
Jules, Didacus. 1994. Adult education policy in mocro-states: the case of the
Carribean. Policy Studies Review, 13:3/4, hal. 415-432.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kongsat, Surapong; Anongrit Kangrang; Kitti Srisa-Ard. 2009. An applied
local wisdom to manage water for developing riverside community:
a case study of the Lam Ta Kong river basin. Journal of Social Sciences,

242
Vol. 5/2, hal. 134-138.
LaFrance, Casey dan Jennifer M. Allen. 2010. An exploration of the juxtaposition
of professional and politican accountability in local law enforcement
management. International Journal of Police Science and Management,
Vol. 12/1, hal. 90-118.
Meyers, Patty dan Susan Willhauck. 2003. Thelma and Louise do religious
education: a dialogue from the edge for leading with hope. Religious
Education, Vol. 98/3, hal. 382-398.
Mustapha, Abdullah. 1997. Dunia anak-anak kita yang sedang terancam.
Pikiran Rakyat, Kamis, 24 April 1997.
Naisbitt, John, & Patricia Aburdene 1990, Megatrend 2000: Ten New Directions
for the 1990’s, New York: Morrow.
Ong, Lynette. 2009. The Communist Party and financial institutions:
institutional design of China’s post-reform rural credit cooperatives.
Pacific Affairs, Vol. 82/2, hal. 251-278.
Rosidi, A. (2009). Manusia Sunda. Kiblat Buku Utama, Bandung.
Rosidi, Ajip. 1984. Ciri-ciri manusia dan kebudayaan Sunda. Dalam Edi S. Ekadjati
(ed.) Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka,
hal. 125-161.
Rosidi, Ajip. 1996. Pancakaki. Bandung: Girimukti Pasaka.
Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara. Bandung: Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Seni IKIP Bandung.
Schragger, Richard C. 2009. Mobile capital, local economic regulation, and the
democratic city. Harvard Law Review, Vol. 123:482, hal. 483-540.
Stigler, W. S., & Hiebert, J. (1999). The teaching gap: Best ideas from the world’s
teachers for improving education in the classroom. The Free Press, New
York.
Yukimatsu, Keiko; Songkoon Chantachon; Souneth Pothisane; Wissanu
Kobsiriphat. 2008. Comparing local silk textiles: the Thai-Lao Matmii
and the Japanese Tumugi Kasuri. SOJOURN: Journal of Social Issues in
Southeast Asia, Vol. 23/2, hal.234-251.
Zhang, Letian dan Tianshu Pan. 2008. Surviving the crisis: Adaptive wisdom,
coping mechanisms and local responses to avian influenza threats in
Haining, China. Anthropology & Medicine, Vol. 15/1, hal.19-30.

243
REFLEKSI BUDAYA DALAM RETORIKA
BAHASA POLITIK ELITE INDONESIA

I Nyoman Darsana
Universitas Udayana, Bali

1. Latar Belakang

B ahasa, budaya, dan politik adalah tiga hal yang saling terkait
dan menarik untuk dibicarakan. Melalui bahasa akan tercermin
gambaran budaya suatu masyarakat. Demikian juga melalui bahasa
akan dapat dicermati fenomena politik yang di dalamnya terdapat
perilaku yang secara terus menerus mempengaruhi dan menampakkan
dominasi suatu kelompok. Bertolak dari kenyataan itu, tulisan ini
mencoba melihat bagaimana keterkaitan serta refleksi budaya dan
politik suatu masyarakat melalui bahasa yang dipakainya. Di sisi lain,
tulisan ini juga dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa fenomena
bahasa dalam wacana politik semakin menggejala di tengah-tengah
masyarakat saat ini. Hal itu setidak-tidaknya diamati dari berbagai
bentuk pemakaian bahasa seperti terlihat pada Pesan Kemerdekaan
Era Reformasi, Nurcholis Madjid pada Kompas Minggu tanggal 17
Agustus 2003, halaman 11 memuat yang berbunyi sebagai berikut:
“Kini saatnya, bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan
yang dicita-citakan
Merdeka dari penyelewengan
Merdeka dari kesengsaraan
Merdeka dari keserakahan
Merdeka dari rasa dendam
Merdeka dari kesewenangan
Merdeka dari ketakutan
Merdeka dari keterbelakangan
Merdeka dari penyelewengan
Demi masa depan yang lebih bermertabat”
(Nurcholis Madjid pada Kompas Minggu tanggal 17 Agustus
2003)
Bentuk-bentuk bahasa seperti di atas bukanlah hanya sekadar
sebatas ungkapan biasa. Di dalamnya sarat dengan makna. Di satu
pihak bentuk tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan
sederhana, tetapi cukup menggelitik. Penggunaan bentuk tersebut
tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi lebih

244
merupakan pengungkapan diri dan penampakan aspek filososfis dan
budaya.

2. Refleksi Budaya dalam Retorika Bahasa Politik Elit Indonesia


pada Harian Umum Kompas

2.1 Bahasa, Budaya, dan Politik


Bahasa, budaya dan politik adalah istilah yang pada dasarnya
saling berkaitan. Koentjaraningrat (1974:11) memasukkan bahasa ke
dalam salah satu kriteria dari tujuh isi budaya yang ada. Hal tersebut
dapat diterima karena bila dicermati lebih jauh wujud kebudayaan itu
sendiri dinyatakan antara lain dalam bentuk ide, nilai, gagasan, norma
dan aturan, perilaku dalam masyarakat, wujud dalam bentuk benda.
Secara kritis dapat ditelusuri bahwa sebenarnya wujud kebudayaan
itu dapat diungkapkan dan disosialisasikan satu sama lain dalam
masyarakat melalui bahasa.
Begitu eratnya hubungan antara bahasa dan budaya, maka
“kekayaan dan kemisikinan” suatu budaya dapat ditelusuri melalui
bahasanya, demikian juga sebaliknya. Hal itu setidaknya dapat
dilakukan dengan membandingkan kata-kata berikut.
(5) BI : padi, beras, nasi, gabah
BING : rice

Data (5) menunjukkan bahwa antara budaya Indonesia dan Inggris


terdapat perbedaan dalam pengungkapan suatu objek. Di samping
itu, ada kecenderungan benda budaya tersebut tidak dimililiki oleh
penutur bahasa Inggris. Ini dapat dibuktikan berdasarkan eksistensi
bentuk bahasa tersebut pada masing-masing masyarakat pendukung
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Fenomena di atas didukung oleh hipotesis yang dikemukakan
dalam hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa
menentukan kondisi manusia sehingga ia memandang suatu realitas
dengan cara tertentu dan pada akhirnya wujud budaya dari suatu
masyarakat ke masyarakat lainnya akan berbeda.
Bahasa dengan politik juga sangat erat kaitannya. Hal itu
setidaknya tercermin dari kutipan yang menyatakan bahwa “language
is also a medium of domination and power (Jurgen Habermas, 1967:287)”.
Dominasi dan kekuasaan adalah kosa kata yang muncul dalam
wacana politik. Keduanya akan diperankan melalui “permainan”
bahasa sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikut ini.

245
2.2 Bahasa sebagai Alat Dominasi dan Kekuasaan
Pergeseran Orde Lama ke Orde Baru tidak saja mengakibatkan
terjadinya pergeseran ideologi, tetapi juga diikuti oleh pergeseran
bahasa. Pergeseran bahasa dapat dilihat pada tataran leksikon dan
pergeseran makna kata. Sejumlah kata yang digunakan pada masa
Orde lama tidak lagi kedengaran pada masa Orde Baru. Demikian
juga kata-kata yang digunakan pada masa Orde Baru tidak pernah
muncul pada masa Orde Lama. Sejumlah kata atau ungkapan yang
muncul pada masa Orde Lama dapat dilihat pada data berikut.
(6) revolusi
(7) nekolim
(8) kapitalis
(9) nasakom (W)komunisme
(11) indokrinasi, dll. (Latif 1996)

Sedangkan sejumlah kata atau ungkapan yang muncul pada era


Orde Baru antara lain adalah sebagai berikut.
(12) bapak pembangunan
(13) anti-pembangunan
(14) gerakan pengacau keamanan
(15) era tinggal landas
(16) stabilitas nasional, dll.
(Harian Kompas, Oktober-Desember 1998)

Penggunaan kata atau ungkapan tersebut setidaknya


menggambarkan tiga hal, yaitu pertama, ideologi kepemimpinan elit
politik, kedua distribusi kekuasaan, dan ketiga, tipe kepemimpinan
elit politik. Kosa kata Orde Lama (Orla) berpusat pada revolusi. Hal
ini menggambarkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar
dari orde lama (Orla) ke Orde Baru (Orba). Umumnya kosa kata
seperti itu lebih banyak dimunculkan oleh Presiden Ir. Soekarno. Ia
menciptakan kata-kata secara kreatif. Ini juga sebagai pertanda bahwa
kekuasaan berpusat di tangan Presiden. Di sini benar-benar tergambar
bahwa bahasa merupakan alat dominasi dan kekuasaan, dan semakin
membuktikan keeratan hubungan bahasa dengan politik.
Fenomena seperti di atas muncul karena tujuan utama penguasa
adalah memperkuat dan memperluas kekuasaannya. Hal itu akan
dilakukan dengan berbagai cara termasuk melalui rekayasa bahasa.
Suroso (1998) mengemukakan bahwa penggunaan bahasa yang
bernuansa politis memiliki empat sasaran. Pertama, penguasa Orde
Baru menciptakan simbol-simbol ancaman persatuan dan kesatuan

246
yang berdampak psikologis untuk menghantam kekuatan kritis.
Kedua, penguasa Orde Baru melakukan konsolidasi kekuatan melalui
penghalusan (eufemisme) bahasa yang Umar Khayam menyebutnya
dengan “kembang bahasa” atau “bahasa topeng” (Marian Kompas,
27 Oktober 1998), memperalat bahasa untuk menyudutkan kekuatan
oposisi, memproduksi kata-kata yang dapat mengerem emosi rakyat
seperti ungkapan “Soeharto itukan juga pendiri bangsa, mengapa tidak
diizinkan ikut dalam Dialog Nasional” (Gus Dur, Marian Kompas, Desember
1998). Ungkapan Gus Dur di atas menurut beberapa pengamat politik
selain memiliki visi tersembunyi, juga mensinyalir penggunaan
bahasa untuk meredam emosi masyarakat Indonesia. Fenomena
lingual seperti itu senada dengan ungkapan Soeharto pada Harian
Kompas, 7 September 1998 “Buktikan jika saya punya kekayaan di
luar negeri”. Ungkapan tersebut merupakan salah satu gejala bahasa
yang orientasinya untuk meredam emosi masyarakat Indonesia.
Ketiga, penguasa mencaplok surat kabar untuk mengkomunikasikan
propaganda. Keempat, penguasa Orde Baru menggunakan eufemisme
untuk memantapkan citra.

2.2.1 Penciptaan simbol-simbol untuk menyudutkan kekuatan kritis


Di atas telah dikemukakan bahwa bahasa juga merupakan alat
dominasi dan kekuasaan. Ini berarti bahwa melalui bahasa anggota
masyarakat menunjukkan dominasi dan kekuasaannya terhadap
anggota masyarakat lainnya. Fenomena seperti itu dapat diamati pada
data berikut.
(17) anti-pembangunan
(18) GPK
(19) OTB
(20) mempermalukan bangsa
(21) subversi
(22) inkonstitusional
(23) provokator
(24) mendalangi
(25) adu domba
(26) makar
Pada dasarnya bila ditelusuri fitur-fitur makna masing-masing
kata diatas, semuanya memiliki medan makna yang bernuansa
negatif. Pada data (17) anti-pembangunan dapat diartikan seseorang
atau sekelompok masyarakat yang mencoba menentang dan tidak
menyukai segala sesuatu yang digagaskan, diperintahkan, dan
dibangun oleh pemerintah.

247
Pada data (1.8), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) diartikan
suatu gerakan yang mencoba mengganggu dan merongrong
keamanan negara. Istilah ini diluncurkan oleh pemerintah Orde Baru
terutama sekali kepada sekelompok orang yang mencoba mengajukan
argumentasi kepada pemerintah temtama sekali mereka yang berada
di Aceh, Irian Jaya, dan Timor-Timur.
Pada data (19), OTB dapat diartikan suatu Organisasi Tanpa
Bentuk atau bentuk organisasinya tidak diumumkan secara resmi.
Istilah ini muncul dan membingungkan karena sebenarnya tidak ada
organisasi yang dibuat tanpa bentuk. Istilah ini dimunculkan untuk
menetang PRO (Partai Rakyat Demokrasi), yaitu sebuah organisasi
politik yang berdiri pada masa Orde Baru.
Pada data (20), mempermalukan bangsa dapat diartikan
membeberkan kejelekan yang mempermalukan bangsa sendiri dan
dimunculkan ketika Sri Bintang Pamungkas memberikan ceramah
di Jerman, terutama berkaitan dengan kebijakan Orba yang tidak
disukainya.
Pada data (21), subversi dilontarkan kepada siapa saja yang
mencoba menentang pemerintah. Pada data (22), inskonstitusional
adalah isti]ah yang dipakai untuk segala tindakan yang tidak sejalan
dengan undang-undang. Pada data (23), provokator adalah istilah
yang dipakai untuk siapa saja yang mencoba memancing terjadinya
kekacauan. Pada data (24), mendalangi adalah istilah yang dipakai
untuk orang yang berada dibalik suatu peristiwa atau kekacauan.
Pada data (25), adu domba digunakan untuk orang-orang yang
mencoba mengadu antar sesama. Pada data (26), mahar adalah istilah
yang dilontarkan untuk sekelompok orang (Barisan Nasional) yang
mencoba menentang pemerintah.
Bila dicermati secara lebih mendalam latar pemunculaii kata
dan ungkapan tersebut, dan kepada siapa ditujukan, pemakaiannya
cenderung menyimpang dari makna yang dimaksudkan oleh kata-
kata tersebut. Kata-kata tersebut dimaknai secara seram dan ditujukan
kepada siapa saja yang mencoba menentang pemerintah dalam arti
untuk mendominasi dan menunjukkan kekuasaan sebagaimana yang
dinyatakan oleh Jurgen Habermas (1967:287). Sebagai contoh, kata
mahar, didefinisikan sebagai suatu perbuatan untuk menggulingkan
pemerintahan yang syah. Namun, dalam pemakaiannya sangat
menyimpang dari maksud tersebut. Dikatakan demikian karena
kata makar tidak digunakan kepada orang-orang yang mencoba
menggulingkan pemerintahan Soeharto yang syah pada bulan Mei
1998. Di sini terlihat bahwa makar bukanlah diartikan makar dalam

248
arti sesungguhnya, tetapi hanya sebagai alat untuk membentengi
pemerintah dan memojokkan pihak-pihak yang menentang dengan
kritis.
Hal yang sama juga berlaku untuk istilah PRD (Partai Rakyat
Demokrasi). Segala bentuk yang mencoba menentang pemerintah
pada saat PRD muncul, akan dicap sebagai PRD, walaupun sama
sekali tidak bersinggungan dengan PRD. Pihak penguasa berusaha
menciptakan kesan yang menyeramkan tentang PRD sehingga istilah
itu tidak lagi dimaknai menurut yang sebenarnya. Ada kesan pihak
yang mendominasi memaknai suatu ungkapan menurut keinginannya.
Pada intinya fenomena seperti ini memiliki dua tujuan, yaitu untuk
memperkokoh keberadaannya dan mendeskreditkan pihak yang
didominasi. Hal itupun kelihatannya sejalan dengan fungsi bahasa
sebagai alat untuk mengendalikan pihak lain.
Pemaknaan bentuk-bentuk bahasa sedermkian rupa menurut
keinginan penguasa kelihatannya sangat berdampak kepada
masyarakat secara luas. Hal ini bisa terjadi karena bahasa juga
merupakan alat untuk membentuk opini. Dengan dimaknai sedemikian
rupa, sebagian masyarakat akan mempunyai kesan yang jelek tentang
makar, PRD dan lain-lainnya.

2.2.2 Konsolidasi Kekuatan Melalui Penghalusan dan Penyeraman


Bahasa
Bahasa juga cenderung digunakan sebagai konsolidasi kekuatan.
Konsolidasi kekuatan umumnya dilakukan melalui penghalusan,
penyeraman bahasa dan penciptaan istilah dan simbol-simbol tertentu.
Fenomena seperti itu dapat diamati pada data berikut ini.
(27) Golkar, Partai Wong Cilik
(28) Single Majority
(29) Temu Kader
(30) Siapa melawan, digebuk saja

Bila dicermati data di atas, penggunaan ungkapan Golkar Partai


Wong Cilik, nampaknya tidak hanya sekedar merupakan pernyataan
(statement) bahwa Golkar adalah partainya orang kecil (wong cilik).
Dari segi bentuk, ungkapan tersebut sepintas lalu kelihatannya
merupakan statemen. Tetapi bila ditinjau dari fungsi politis bahasa,
maknanya sudah menyimpang dari fitur-fitur semantis yang
sebenarnya terkandung dalam suatu bentuk statement. Hal itu setidak-
tidaknya dapat diukur berdasarkan latar dan waktu pemunculan
ungkapan tersebut.

249
Dengan berpedoman kepada konteks, dapat diinterpretasi bahwa
ungkapan tersebut digunakan untuk membentuk suatu opini dan
membangun suatu kesan seolah-olah Golkar itu memang merupakan
partai orang kecil. Namun, yang paling mendasar dari tujun
penggunaan bentuk ungkapan seperti itu adalah untuk merangkul
kelompok lapisan bawah yang jumlahnya cukup banyak di seluruh
Indonesia. Dalam kenyataannya, kelompok masyarakat yang disasar
oleh Golkar tidak hanya masyarakat lapisan bawah (wong cilik),
tetapi adalah semua kalangan. Dengan demikian, ungkapan tersebut
tidak lebih hanya sekedar alat untuk mengumpulkan massa yang ada
akhirnya memperkuat suatu kelompok.
Ungkapan single majority (mayoritas tunggal) secara harfiah
dalam bahasa Indonesia adalah mayoritas tunggal, memiliki
makna yang cukup sulit diukur. Frase tersebut dimunculkan untuk
menggambarkan suatu partai dengan pengikut yang sangat banyak, dan
tidak bisa ditandingi oleh partai lain. Dari sisi pemaknaan kelihatannya
frase tersebut dimaknai sedemikian rupa sehingga baik pencipta istilah
tersebut maupun anggota masyarakat yang menerimanya merasakan
suatu kesan yang positif. Ada semacam citra baik sehingga orang
berbondong-bondong menjadi pengikut partai tersebut. Namun, fakta
bahwa bentuk tersebut mengandung makna yang sangat bernuansa
politis dapat diuji dengan realitas yang diacu. Sesungguhnya, dalam
suatu wacana politik yang mengenal adanya istilah demokrasi tidak
dikenal adanya istilah single mayority. Berdasarkan ciri semantis bila
ditelusuri berdasarkan analisis komponen makna (Leech, 1981: 90-94),
komponen makna single majority bertentangan dengan democracy. Di
pihak lain, single majority tidak memberi peluang kepada pihak lain
untuk mengajukan pilihan lain. Jadi, kesan atau opini yang hendak
dibentuk menjadi bertentangan dengan makna yang dibawa oleh
bentuk tersebut.
Fenomena yang sama juga berlaku untuk istilah temu kader.
Istilah ini dimunculkan pada saat tokoh-tokoh Golkar turun ke
lapangan. Bila dicermati sepintas lalu, frase temu kader mengandung
makna yang bemuansa positif. Secara harfiah, frase tersebut dapat
diartikan, parah tokoh Golkar turun ke lapangan menemui para
kadernya. Namun demikian, bila dihubungkan dengan realitas yang
diacu dan diselaraskan dengan dunia realitasnya, bentuk tersebut
mengandung makna tidak hanya sebatas menemui kader, tetapi lebih
mengacu kepada penggalangan kekuatan. Hanya saja di sini cara yang
dilakukan adalah melalui perekayasaan makna dari bentuk-bentuk
bahasa.

250
Kelihatannya berdasarkan uraian di atas, Golkar, Partai Wong
Cilik, Single Majority, dan Temu Kader, dari segi bentuk kelihatannya
memang berbeda. Akan tetapi, disamping kekhususan makna yang
dimiliki oleh masing-masingnya, ketiganya memiliki medan makna
yang secara umum relatif sama. Pemakaian ketiganya memiliki tujuan
yang sama yaitu untuk mempengaruhi dan mendominasi khalayak
ramai. Ini tampaknya sejalan dengan fungsi bahasa sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu yaitu tujuan politis. Pernyataan ini didukung
oleh pendapat yang mengemukakan bahwa manipulasi bahasa terjadi
dalam semua konteks politik di semua negara, dan kediktatoran
cenderung berjalan secara sistematis dalam mekanisme seperti itu
Evert Vendung dalam Latif, 1996:15).
Refleksi melalui pemakaian bahasa setidaknya tercermin
dari ungkapan siapa melawan, digebuk saja. Ada beberapa alasan
yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa makna kediktatoran
terkandung pada bentuk tersebut. Pertama, secara teoritis, makna
adalah pemakaian bentuk dalam berbahasa (Chase, 1938). Pemunculan
makna tersebut erat kaitannya dengan setting, partisipant, end, act
sequence, key, instrumental, norm, and genre (Hymes dalam Jendra,
1991:59). Klausa tersebut menjadi bermakna yang mengandung unsur
kediktatoran karena dilontarkan oleh pejabat tinggi pemerintah
terhadap orang yang mencoba menentang berbagai kebijakan yang
dikeluarkan. Sebenarnya, klausa tersebut akan bermakna netral apabila
diucapkan oleh orang yang bukan pejabat pemerintah dan tidak dalam
suatu konteks wacana politik. Apabila klausa tersebut diungkapkan
oleh seorang ayah kepada anaknya yang mungkin sedang diganggu
orang, maknanya mungkin hanya sebatas perintah biasa. Demikian
juga pilihan leksikon, digebuk, tidak mencerminkan bahasa seorang
elit politik.
Klausa siapa melawan, digebuk saja, dari segi bentuk atau makna
berbeda dari jargon-jargon politik pada data (27), (28), dan (29). Akan
tetapi, keempatnya memiliki makna politis yang sama dan digunakan
untuk menggalang kekuatan. Hanya saja di sini, untuk data (30)
pemaknaannya lebih diseramkan. Dikatakan demikian karena dalam
konteks politik Indonesia, partai berkuasa (Golkar) sulit dipisahkan
dari ABRI, di mana salah seorang mantan Pangab dan mantan Presiden
Soeharto sendiri melontarkan pernyataan, siapa melawan digebuk
saja.

2.2.3 Penggunaan Eufemisme Untuk Memantapkan Citra


Eufemisme secara sederhana dapat dikatakan penggunaan

251
ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang
dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan
(Kawulusan, 1998:1-6; lihat pula Latief, 1996). Dari definisi tersebut,
kita dapat mengatakan bahwa eufemisme termasuk salah satu unsur
kreatifitas berbahasa. Penggunaan eufemisme secara lebih luas dapat
dicermati pada data berikut ini.
(31) kelaparan dikatakan kekurangan pangan
(32) ditangkap untuk pengusutan dikatakan diamankan
(33) keluarga miskin dikatakan keluarga prasejahtera
(34) harga dinaikkan dikatakan harga disesuaikan
(35) korupsi dikatakan salah prosedur
(36) diperiksa dikatakan diklarifikasi

Sebenarnya bila dihubungkan dengan rumusan makna yang


dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923) bahwa makna adalah
hubungan antara bahasa (simbol/lambang berupa kata, frase atau
klausa) dengan objek/peristiwa yang diacu yang disebut referen.
Dengan demikian, kata-kata yang berada di sebelah kiri dan disebelah
kanan mengacu ke objek atau peristiwa yang sama.
Ungkapan, kelaparan/kekurangan pangan mengacu ke seseorang
atau sekelompok orang yang kelaparan karena kekurangan pangan,
ditangkap untuk pengusutan/diamankan mengacu ke suatu peristiwa di
mana seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kesalahan
ditangkap untuk dimintai pertanggungjawabannya, keluarga miskin/
keluarga prasejahtera mengacu ke suatu keluarga yang miskin dan
tidak memiliki apa-apa, harga dinaikkan/harga disesuaikan mengacu ke
suatu kondisi dimana harga akan dinaikkan dari biasanya, korupsi/
salah prosedur mengacu ke suatu penyelewengan atau penggelapan
uang negara untuk keuntungan pribadi, diperiksa/diklarifikasi mengacu
ke suatu perbuatan penangkapan seseorang karena melakukan suatu
tindakan kejahatan untuk dimintai pertanggungjawabannya. Akan
tetapi, pada konteks ini, objek yang diacu juga dibedakan, yaitu untuk
seseorang dengan status tertentu.
Walaupun secara denotatif, bentuk-bentuk bahasa di atas dapat
dikatakan bermakna sama, bila kita bertolak dari konsep bahwa tidak
ada sinonim yang persis sama dalam suatu bahasa (Leech, 1981),
masing-masing kata yang berpadanan tersebut memiliki kadar makna
yang berbeda. Kata-kata yang terletak di sebelah kiri memiliki makna
yang lebih kasar bila dibandingkan dengan kata-kata yang terletak di
sebelah kanan.
Bila dihubungkan dengan definisi eufemisme yang dikemukakan

252
di atas, yang menyatakan sebagai pengganti ungkapan yang kasar
yang dianggap merugikan, ada kecenderungan penggunaan
eufemisme pada data (31) sampai dengan (36) menyimpang dari
definisi yang dikemukakan. Penggunaan eufemisme kelihatannya
tidak dimaksudkan untuk mengganti ungkapan kasar yang dirasa
merugikan, tetapi untuk menutupi kelemahan dan kekuasaan yang
ada pada pemerintah.
Dikatakan demikian karena apabila dipakai kata kelaparan,
akan tercermin ketidakmampuan dan kegagalan pemerintah
dalam menangani pangan. Akan tetapi, penggunaan ungkapan
kekurangan pangan dianggap dapat menyembunyikan kelemahan itu.
Demikian juga dengan ungkapan, ditangkap untuk pengusutan akan
mencerminkan kekerasan yang ada pada pemerintah dalam menangani
suatu masalah, dan cara seperti itu akan dapat disembunyikan melalui
ungkapan diamankan. Fenomena yang sama juga berlaku untuk data
(33) sampai dengan data (36).
Bila dicermati data di atas, sasaran lain yang ingin dicapai
kelihatannya adalah untuk meredam emosi pihak-pihak yang
dikuasai. Dengan munculnya istilah-istilah seperti penyesuaian harga,
diamankan, salah prosedur, keluarga prasejahtera, kekurangan
pangan, dan lain-lainnya, akan terbentuk suatu kesan dalam pikiran
masyarakat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik. Namun,
persoalan lain juga bisa muncul. Tidak semua lapisan masyarakat
dapat berpengaruh dan membentuk suatu opini melalui rekayasa
bahasa seperti itu.

2.2.4 Penciptaan istilah-istlah tertentu untuk membangun citra


Bentuk lain penggunaan bahasa sebagai medium dominasi dan
kekuasaan adalah penciptaan istilah-istilah tertentu. Istilah-istilah
tersebut dapat diamati pada data berikut ini.
(37) Sapta Pesona
(38) Jakarta Tegar Beriman
(39) Semarang Kota Atlas
(40) Jambi Kota Beradat
(41) Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum)
(42) NKKS (Norma Keluarga Kecil Sejahtera)
(43) Padang Kota Tercinta
(44) Bapak Pembangunan
(45) Kelompencapir
(46) Doa Politik (Harian Kompas, 1997)
Bentuk-bentuk bahasa pada data (37-46) dapat dikategorikan

253
sebagai bentuk yang mengandung makna yang bernuansa positif,
Bentuk-bentuk tersebut dimunculkan sehingga menggambarkan suatu
kesan menyejukkan dari apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah.
Merujuk kepada rumusan makna yang dikemukakan oleh
Ullmann (1977) bahwa segenap informasi yang dibawa oleh nama atau
simbol-simbol kebahasaan, maka sapta pesona, dapat diartikan tujuh
hal yang mempesonakan terutama sekali dalam bidang pariwisata.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) mempesona adalah
sesuatu yang menarik perhatian dan mengagumkan. Ketujuh hal
tersebut adalah apa yang dibangun oleh pemerintah sehingga terkesan
bahwa pemerintah tidak sembarangan berusaha untuk mewujudkaan
pembangunan di bidang pariwisata yang pada akhirnya untuk
kepentingan rakyat banyak.
Ungkapan, Jakarta Tegar Beriman, Semarang Kota Atlas, Jambi
Kota Beradat, dan Padang Kota Tercinta ada julukan khas yang
diberikan untuk nama-nama daerah hampir di seluruh Indonesia.
Kelihatannya pemberian julukan seperti itu lebih dimaksudkan untuk
menciptakan suatu kesan kenyamanan, kedamaian, dan ketaatan suatu
daerah atau kota. Pemberian julukan seperti pada hakikatnya juga
akan memberikan citra baik tidak saja kepada warga kota tersebut,
tetapi juga pada pemerintah.
Dengan munculnya julukan-julukan seperti itu, kesan negatif
yang mungkin terdapat pada suatu daerah dengan sendirinya akan
tertutupi. Di sini lain, pemberian julukan itu juga akan menggambarkan
kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing kota. Sebagai contoh,
Jakarta akan menjadi khas dengan predikat berimannya, Jambi
menjadi khas dengan julukan Kota Beradat, Semarang menjadi khas
dengan julukan Kota Atlas.
Namun demikian, pemberian julukan seperti itu secara politis
juga memiliki efek negatif. Dengan adanya julukan-julukan yang
sangat bernuansa positif seperti itu, sesuatu yang jelek yang mungkin
merugikan pihak lain, atau sesuatu yang berkonotasi negatif yang
terjadi pada daerah atau kota yang diberi predikat seperti itu akan
termanipulasi. Ada kalanya, orang menjadi terbuai dengan konsep-
konsep yang diluncurkan terutama karena di dalamnya terkandung
suatu kesan yang positif. Hal seperti itu wajar terjadi karena
sebenarnya simbol-simbol bahasa dimunculkan oleh pemakainya
untuk membangun suatu kesan (image) atau membentuk opini.
Ungkapan, Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum), adalah jargon
yang juga mengandung makna yang bernuansa positif. Bentuk tersebut
menggambarkan suatu keluarga yang menyadari keberadaan hukum.

254
Menyadari hukum dalam konteks ini secara rinci dapat dikatakan sadar
dalam arti mematuhi dan tidak melakukan apa saja yang mungkin
bertentangan dengan hukum, Istilah ini dimunculkan tampaknya
dalam rangka memasyarakatkan kepatuhan terhadap hukum terutama
kepada keluarga yang pada akhirnya akan berdampak kepada
masyarakat. Istilah ini menjadi bermuatan politis apabila ditinjau
dari konteks pemunculannya dan dari segi realisasinya. Dikatakan
demikian karena, dalam wacana politik Indonesia himbauan seperti
ini diperntukkan kepada rakyat, sementara realisasinya tidak berlaku
secara menyeluruh.
NKKS (Norma Keluarga Kecil Sejahtera), adalah istilah yang
menggambarkan suatu keluarga kecil, yang bahagia dan sejatera.
Istilah ini muncul dalam rangka mensosialisasikan program keluarga
berencana di Indonesia. Dengan mengikuti program keluarga
berencana, yaitu dengan membatasi kelahiran bayi, keluarga kecil
yang sejahtera akan tercipta. Dengan jumlah anggota keluarga yang
sedikit, kesejahteraan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan akan
dapat dicapai dengan mudah.
Ungkapan, Bapak Pembangunan, merupakan gelar yang
diberikan kepada seseorang yang sangat berjasa dalam membangun
di berbagai bidang. Ungkapan ini diberikan kepada Soeharto
ketika masih menjadi presiden. Secara denotatif, ungkapan ini
sebenamya mengandung makna yang bernuansa positif. Namun, bila
dihubungkan dengan konteks pemakaiannya, maknanya menjadi
membias. Dikatakan membias karena makna yang terkandung di
dalamnya telah dimanipulasi sedemikian rapa sehingga terkesan
mengkultuskan seseorang. Dalam kenyataannya, orang yang berjasa
dibidang pembangunan bukanlah hanya seorang diri.
Sama seperti ungkapan-ungkapan di atas, ungkapan
Kelompencapir, adalah bentuk-bentuk bahasa yang digunakan
sebagai alat untuk menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah. Istilah, kelompencapir (kelompok pendengar dan pemirsa)
merupakan kelompok anggota masyarakat yang dihimpun untuk
menerima dan menjalankan program-program pemerintah. Istilah ini
dipakai terutama untuk masyarakat pedesaan.
Doa Politik adalah ungkapan yang agak sulit dideskripsikan
pengertiannya. Namun demikian, istilah ini dimunculkan terutama sekali
untuk menopang berbagai bentuk perencanaan politis. Pemunculan
istilah ini tidak bisa dipisahkan dan kenyataan bahwa lembaga-lembaga
agama termasuk yang dapat dipengaruhi untuk memperkokoh
keberadaan penguasa. Keterlibatan lembaga agama kelihatannya

255
cukup berdampak dalam mempengaruhi publik dan mengangkat citra
pemerintah. Hal ini tampak jelas pada era Orde Baru.

2.2.5 Penggunaan Bentuk-Bentuk Bahasa yang Menentang Kekuasaan


Di atas telah diuraikan bentuk-bentuk rekayasa bahasa yang
digunakan oleh penguasa untuk berbagai tujuannya. Kelihatannya,
dominasi dan kekuasaan tidak berlangsung begitu saja. Bentuk-bentuk
perlawanan melalui manipulasi pemakaian bahasa juga bermunculan.
Bentuk-bentuk seperti itu dapat diamati pada data berikut.
(47) ABRI : Aksi Bersama Rakyat Indonesia
(spanduk demonstran)
(48) HarMoKo : Hari-Hari Omong Kosong (spanduk
demonstrari)
(49) KKN : Korupsi, Kolusi, Nepotisme (spanduk
demonstran dan surat kabar)
(50) Usut Harto Cendana (spanduk demonstrari)
(51) Habibie + Wiranto = Soeharto (spanduk demonstran)
Ungkapan pada data (47) sampai dengan (51) adalah bentuk
ungkapan yang diciptakan oleh oposisi pemerintah. Bila dicermati,
ungkapan ini dimunculkan dan dimaknai sendiri dengan tujuan untuk
menandingi jargon-jargon yang dilontarkan oleh pemerintah dan juga
sebagai pertanda bahwa pihak oposisi tidak mau didominasi begitu
saja dan mereka juga ingin menunjukkan kekuatannya.
Pada data (47), ABRI, yang secara resmi memiliki kepanjangan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, diplesetkan menjadi Aksi
Bersama Rakyat Indonesia (spanduk demonstran). Bila dihubungkan
dengan konteks yang melatari munculnya istilah seperti itu, ada
kecenderungan kelompok masyarakat melawan ABRI. Hal itu terjadi
karena kelompok masyarakat dibuat tidak senang oleh berbagai
tindakan yang dilakukan ABRI. Dengan munculnya istilah Aksi
Bersama Rakyat Indonesia, dapat diinterpretasi bahwa mereka tidak lagi
perlu ABRI dalam arti yang sesungguhnya.
Pada data (48), HarMoKo adalah nama seseorang yang diplesetkan
sehingga mengubah maknanya. Fenomena ini muncul juga sebagai
perlawanan terhadap dominasi dan kekuasaan yang dimunculkan
oleh seseorang atau sekelompok orang.
Sedangkan istilah KKN pada data (49) mulanya dipakai di
kalangan Perguruan Tinggi dengan kepanjangan Kuliah Kerja Nyata.
Akan tetapi istilah itu dimaknai sendiri sesuai dengan dunia realitas
yang diacu sehingga bergeser dari makna semula. Perlawanan
yang dimunculkan oleh pihak oposisi melalui rekayasa makna juga

256
bermunculan pada liflet-liflet yang dipakai pada saat demonstrasi.
Data (50), Usut Harto Cendana, memiliki makna yang ambigu. Di
satu sisi, ungkapan tersebut dapat diinterpretasi, usut Soeharto yang
tinggal di Cendana. Ini berarti tertuju kepada seseorang. Di sisi lain,
Harto, dapat berarti harta (bahasa Minangkabau). Secara keseluruhan
ungkapan tersebut dapat diinterpretasi, usut harta Cendana. Ini tidak
saja tertuju kepada seseorang, tetapi jangkauannya lebih luas.
Ungkapan pada data (51), Habibie + Wiranto = Soeharto,
memiliki pengertian yang sangat kompleks. Kompleks dalam
pengertian Soeharto dimaknai sedemikian rupa sesuai dengan fitur-
fitur dan perilakunya. Akan tetapi, Wiranto dan Habibie diharapkan
tidak seperti Soeharto. Dalam kenyataannya tidak demikian, sehingga
keduanya disamakan dengan Soeharto.
Bila diamati secara umum dan terlepas dari rincian-rincian makna
yang diuraikan di atas, kesemua ungkapan itu merupakan bentuk
perlawanan serta kritik yang dilontarkan oleh pihak oposisi. Mereka
memaknai sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah.

III. Simpulan
Berdasarkan analisis data di atas, ketiga pemasalahan yang
diajukan pada awal tulisan ini dapat dijawab sebagai berikut:
1) Analisis data memperlihatkan bahwa bahasa memiliki kaitan
yang erat dengan budaya dan politik. Dikatakan demikian karena
budaya dan perilaku politik suatu masyarakat tergambar dari
bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya. Hal itu dapat dibuktikan
dengan muncuhiya bermacam-macam jargon politik yang pada
dasarnya menampakkan fungsi bahasa sebagai medium dominasi,
kekuasaan, dan hegemoni budaya.
2) Berbagai makna yang mencerminkan perilaku politis itu
diungkapkan dengan bentuk-bentuk bahasa yang singkat dan
sarat makna. Bentuk cenderung tidak selaras dengan makna atau
dengan kata lain, bentuk statement cenderung bermakna anjuran
atau perintah. Slogan-slogan cenderung dalam bentuk kata-kata
ringkas atau hanya sebatas frase.
3) Adapun tipe-tipe makna yang dikemas melalui bentuk-bentuk
bahasa yang dikategorikan sebagai ungkapan politis antara lain
selain makna denotatif yang bersifat informatif juga tipe makna
yang telah dibiaskan melalui eufemisme dan penyeraman suatu
makna sehingga terkesan membahayakan. Tipe makna seperti
itu selain untuk menunjukkan dominasi dan kekuasaan juga
untuk mensosialisasikan program pemerintah. Pemakaian

257
eufemisme kelihatannya salah tempat. Artinya bukan lagi sekedar
penghalusan, tetapi lebih merupakan penyembunyian perilaku
jelek.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1990. How To Do Things With Words. New York: Oxford University
Press.
Chase, Stuart. 1938. The Tyranny of Words. New York: Harcourt, Brace.
Jovanovich.
Oumperz, Jhon J. 1982. Discourse Strategies. America: Cambridge University
Press.
Haviland, William A. 1985. Anthropology. Berlington. CBS. College
Publishing.
Hodge Robert dan Gunther Rress. 1991. Social Semiotics. America: Cambridge
University Press.
Jendra, I Wayan. 1991. Dasar-dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kawuksan, Hans E. 1998. “Bahasa Politik dalam Bahasa Indonesia”. Kongres
Bahasa Indonesia VII, Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Latif, Yudi, dkk. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Politik Wacana di Panggung Orde
Baru. Bandung: Mizan Pustaka.
Leech Geoffrey. 1981. Semantics. The Study of Meaning. New Zealand: Penguin
Books.
Manners A, et al. 1979. Theory in Anthropology. New York.: Aldine Publishing
Company.
Moeliono, Anton. M, dkk. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ogden, C.K. dan Richards. I. 1923. The Meaning of Meaning. London: Roufedge
& Kegan Paul; 8 th editon, 1946.
Subroto, H.D. Edi. 1998. “Eufemisme dalam Bahasa Indonesia”: Kajian
Manipulasi Semantik Untuk Kekuasaan. Yokyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Suroso. 1998. “Ragam Bahasa Propaganda”. Rejim Orde Baru: Makalah Seminar
Internasional. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada.

258
MAKNA LAKU DALAM BUDAYA JAWA

Afendy Widayat
Universitas Negeri Yogyakarta

A. Pendahuluan

D alam banyak budaya, berbagai sikap dan pandangan hidupnya


terformulasikan dalam bahasa dan system kebahasaannya, baik
dalam bentuk kata-kata tertentu, idiom-idiom atau pepatah-petitih,
atau system kebahasaan lainnya. Dalam budaya Jawa, hal yang
demikian itu juga berlaku, yakni dalam bentuk kata-kata tertentu,
peribahasa dan idiom lainnya, serta dalam system undha-usuk basa
(tingkat tutur bahasa Jawa). Bahkan, dalam salah satu peribahasanya,
tercermin bahwa harga diri seseorang itu disebabkan oleh ucapannya
atau bahasanya, yakni dalam peribahasa ajining dhiri amarga saka lathi.
Dalam keilmuan etimologi, pemaknaan istilah tertentu dapat
dirunut dari asal-usul kata dalam istilah tersebut. Kata laku dalam
bahasa Jawa, merupakan kata dasar yang memiliki makna sebagai
kata yang sangat penting, dalam hubungannya dengan kebudayaan
Jawa secara umum dan khususnya dalam pandangan hidup Jawa.
Berbagai derivasi dari kata laku, yakni kata lakon, dilakoni, nglakoni, dan
lelaku, juga dapat dianggap sebagai kata kunci untuk mengungkapkan
sikap dan pandangan hidup Jawa tersebut. Bahkan dalam suatu
bentuk tembang Pucung, terungkap bahwa laku, merupakan kata yang
menjadi dasar terlaksananya apa yang disebut ngelmu dalam budaya
Jawa. Tentu saja hal yang demikian ini tidak terlepas dari pandangan
hidupnya yang merupakan acuan nilai filosofis bagi masyarakat Jawa
itu sendiri.
Nilai filosofis Jawa bertumpu pada rasa, yang dipercayai di
dalamnya sudah terkandung akal budi. Dikatakan demikian karena
filsafat Jawa lebih menekankan panduan praksis hidup, daripada
sebagai olah nalar intelektual semata-mata (bdk. Sudarminta, 1991:
170-172). Menurut Ciptoprawiro (1986: 25), filsafat Jawa bercirikan
berpikir-menggalih, yang totalistis –holistis, bukan berpikir radikal
yang analitis seperti filsafat Barat. Berpikir-menggalih ini dimungkinkan
oleh rasa sejati atau rasa budi, sedang berpikir radikal seperti filsafat
Barat dimungkinkan oleh akal pikiran. Tidak seperti filsafat Barat,
yang memilah-milah antara yang rasional dan yang bukan rasional,
filsafat Jawa tidak memilah secara tegas mana yang rasional dan mana
yang bukan rasional. Menurut Saryono (2011: 73) filsafat Jawa bukan

259
sekedar mencari bener (benar), tetapi sekaligus mencari pener, yakni
tepat benar dalam tataran praksis. Di Jawa yang bener belum tentu
diterima bila tidak pener, hal ini terungkap pada istilah bener ning ora
pener.
Yang menarik untuk dicermati lebih lanjut adalah dalam
hubungannya dengan pandangan hidup Jawa yakni filsafat Jawa
apakah sesungguhnya laku itu. Di bawah ini akan dicoba untuk
mengungkapkan metafisika kata laku itu ditinjau dari berbagai
formulasi bahasa Jawa, yakni yang menyangkut sikap dan pandangan
hidup Jawa yang berhubungan dengan kata laku itu sendiri.

B. Laku sebagai Syarat Terlaksananya Ilmu


Istilah laku, dalam hubungannya dengan hal ilmu, dalam tembang
Jawa, yakni tembang Pucung, terdapat ungkapan sebagai berikut.
Ngelmu iku / kelakone kanthi laku / lekase lawan kas / tegese kas
nyantosani / setya budya pangekese dur angkara (ilmu itu / terlaksananya
dengan laku / berawal dengan kesungguhan / artinya kesungguhan
yang menguatkan / yakni setia mengusahakan hilangnya angkara
murka)
Dalam tembang Pucung di atas, ngelmu iku kelakone kanthi laku,
maksudnya bahwa terlaksananya ngelmu itu harus disertai dengan
laku. Kata kanthi dapat berarti syarat atau serta atau bersama. Jadi,
syarat ilmu kelakone kanthi laku (terlaksananya disertai atau bersama
langkah, suatu proses yang wajib dijalani). Dengan demikian, ngelmu
dalam budaya Jawa tidak dapat berdiri sendiri, dapat terlaksana
hanya bila dengan laku atau dijalani. Dengan kata lain proses ilmu itu
juga proses amaliah.
Bagi keilmuan formal, laku yang harus dijalani adalah rajin atau
tekun belajar tekun memikirkan, atau tlaten (rajin) dan titen (berpikir
dan mengingat-ingat). Laku yang harus dijalani lebih bersifat pemikiran
akali. Adapun bagi keilmuan kebatinan, disamping harus tekun juga
harus percaya dan melaksanakan perintah guru dengan sungguh-
sungguh, atau dengan istilah ngestokaken (mengiyakan) dengan ngandel
(percaya) dan kumandel (melaksanakan dengan berpegang teguh pada
guru). Dalam hal ini laku yang harus dijalani, di samping fisik, lebih
ditekanan pada rasa dan doa, yakni melalui cegah dhahar lawan guling
atau berpuasa, bahkan bertapa menekan segala bentuk nafsu manusia,
atau disertai pembacaan doa-doa tertentu.
Hasil olah keilmuan yang dapat diraih setelah dengan proses
laku, dalam bahasa Jawa disebut wasis yakni lebih bersifat kognitif,
limpad lebih bersifat psiko-motorik (bela diri katosan-kanoragan dan

260
sebagainya), atau lantip yang lebih bersifat afektif. Meskipun demikian,
klasifikasi tersebut tidak dapat terpisahkan betul, karena pada dasarnya
ngelmu dalam kehidupan masyarakat Jawa memang bersifat lahir
dan batin. Hal yang lebih tampak membuktikan itu ialah pada kata
pinter dalam istilah wong pinter. Wong pinter dapat bermakna orang
yang pandai dalam arti pandai dalam hubungannya dengan sekolah
formal, namun wong pinter juga menunjukkan dalam hubungannya
dengan kepandaian pada hal-hal yang bersifat supranatural, seperti
dukun-dukun yang pandai mengobati penyakit non-medis.
Bagi orang Jawa, istilah ngelmu itu berarti ilmu yang menyangkut,
baik ilmu yang menyangkut segala ilmu logika yang bersifat empiric,
maupun ilmu yang menyangkut berbagai keilmuan yang bersifat
supranatural. Ngelmu dapat berarti berbagai keilmuan yang dapat
dipikirkan dan dibuktikan secara akal, yakni berbagai keilmuan yang
diajarkan di sekolah-sekolah formal. Ilmu semacam ini lebih bersifat
lahiriah. Lebih dari itu, ngelmu juga dapat berarti berbagai keilmuan
batiniah, yakni berbagai ilmu yang hanya dapat dirasakan dan diimani,
tidak dapat dirumuskan dan dibuktikan secara akal sehat, dan bersifat
supranatural. Ilmu yang terakhir ini tidak diajarkan dalam sekolah-
sekolah formal, tetapi hanya diajarkan di paguron-paguron (perguruan)
bela diri tertentu dan keilmuan kasepuhan (bagi orang-orang tua), yang
bersifat kebatinan. Salah satu hasil dari keilmuan ini disebut aji-aji.
Kata aji, di samping berarti nilai, berarti raja, juga berarti ilmu. Baik
nilai, raja atau pun ilmu, ketiganya merupakan hal yang sangat diaji-aji
atau dihormati bagi masyarakat Jawa.
Orang yang tamat dalam berguru sehingga mendapatkan aji-aji
tertentu akan dianggap sakti. Adapun orang Jawa yang berguru dalam
hal kebatinan, harus mengembangkan kedewasaan jiwa dengan cara
olah rasa atau olah budi (Saryono, 2011: 105) yang hingga pada tingkat
tertentu akan menjadi manusia yang wicaksana (bijaksana) dan dapat
juga menjadi ngerti sadurunge winarah atau tahu sebelum diberi tahu
atau tahu sebelum sesuatu terjadi.
Secara umum, bagi orang Jawa sebenarnya berpikir itu sekaligus
merasakan, artinya berpikir bagi orang Jawa itu terjadi, baik secara
lahiriah maupun batiniah. Dalam istilah Jawa halus (krama) kata mikir
yang berarti berpikir itu disebut manah atau menggalih. Baik kata manah
atau menggalih, keduanya berhubungan dengan rasa atau berhubungan
dengan hati. Kata manah berasal dari kata panah, sehingga kata manah
dapat berarti memanah, dan juga dapat berarti hati atau merasakan
dalam hati. Agaknya kedua makna tersebut memang berhubungan,
yakni memikirkan dan merasakan dengan tajam pada sesuatu objek

261
yang dituju. Adapun kata menggalih, berasal dari kata galih, yang
disamping berart hati, juga berarti bagian terdalam yang sangat keras
(untuk kayu dan sebagainya) atau berarti inti sari sesuatu. Jadi kata
menggalih bermakna berpikir dan merasakan secara dalam. Dengan
demikian, baik manah maupun menggalih merupakan proses berpikir
atau merasakan yang menyangkut aktivitas lahir dan batin.
Istilah lain yang juga kadang dipergunakan dan maknanya tidak
jauh berbeda, adalah bawa rasa. Kata bawa berarti dalam pengaruh
atau dalam keadaan. Adapun kata rasa menyangkut perasaan.
Istilah bawa rasa ini dapat bermakna berpikir sekaligus merasakan
atau merenungkan. Istilah ini lebih sering dipergunakan dalam
hubungannya dengan olah pikir tentang ilmu kebatinan atau ilmu
kasepuhan. Menurut Magnis-Suseno (1984: 130), rasa merupakan kata
kunci Jawa, rasa berarti merasakan dalam segala dimensi. Dalam rasa,
orang Jawa mencapai kawruh (kata lain dari ngelmu), bahkan sampai
kawruh sangkan paraning dumadi, penertian tentang asal dan tujuan
segala makhluk.
Istilah lain lagi, yang lebih menekankan makna lahir dan batin
atau berpikir sekaligus merasakan, adalah istilah digelar-digulung.
Istilah digelar artinya adalah dibentangkan, sedang kata digulung
berarti digulung kembali. Jadi diuraikan lalu disimpulkan secara
berulang-ulang baik melalui pikiran maupun perasaan. Istilah digelar-
digulung tampak menggambarkan suatu proses dari dipikirkan lalu
dirasakan, atau melalui pikiran lalu melalui hati, secara berulang-
ulang. Kusumawicitra (dalam Damarjati, 2001: 70), menyatakan bahwa
menurut para sarjana Jawa, antara lahir dan batin itu sesungguhnya
satu, lahir itu hanyalah utusan batin, lahir batin itu tidak pisah, tarik
menarik dan saling mendampingi (wengku-winengku). Lahir dan batin
itu bagaikan kawula dan Gusti.
Bila dicermati lebih lanjut, laku yang bermakna proses kehidupan,
selalu menyertai setiap waktu, setiap tempat dan setiap keadaan.
Ngelmu yang telah diuraikan di atas, sesungguhnya sekaligus juga
merupakan laku. Tidak berlebihan bila dipilih kata penyertanya yakni
kanthi, yang berarti bersama. Jadi ngelmu itu bersama dengan laku,
ngelmu itu sendiri juga bersifat laku dalam lelakoning urip (kejadian
kehidupan). Pada tembang Pucung di atas, hal itu tercermin pada
kata lekase dalam baris lekase lawan kas, yang bermakna sebagai proses,
yakni awalnya dimulai dengan kesungguhan. Hal itu lebih ditegaskan
dengan baris setya budya pangekese dur angkara, yang maknanya juga
sebagai proses, yakni selalu setia mengusahakan hilangnya angkara
murka.

262
C. Laku sebagai Proses Hidup
Dalam pandangan hidup Jawa, hidup itu mengalir seperti
aliran air sungai dari waktu ke waktu, dari hari ke hari, yang dapat
menghanyutkan. Bagi orang Jawa, hidup ini boleh saja berjalan
mengikuti arus, namun jangan sampai hal itu karena tidak disadari.
Dalam hubungannya dengan kata laku, aliran air tersebut bagaikan
lelakoning urip atau aliran kejadian dalam kehidupan setiap manusia
yang masing-masing berbeda. Hal ini antara lain tercermin dalam
geguritan (puisi Jawa Modern) karya Sumono Sandy Asmoro (Surabaya,
2000: 43) sebagai berikut.
Jroning Laku (Di dalam Laku)
Angin sing nglimpekake laku (angin yang diam-diam meninggalkan
laku)
Nglungguhake aku lan kowe (mendudukkan aku dan engkau)
Runtut kaya wayang simpingan (urut seperti wayang yang ditata di
samping layar)
Sangarepe dhalang (di depan dalang)
Pindhane ukara banjur dipantha-pantha (seperti kalimat lalu dibagi-
bagi)
Jejer lesan lan wasesa (subjek predikat dan objek)
Adhuh mitra, aku lan kowe (aduh kawan aku dan engkau)
Jebul nate ngombe banyu (ternyata pernah minum air)
Sing padha segere (yang sama segarnya)
Lungguh ing klasa (duduk di tikar)
Sing padha jembare (yang sama luasnya)
Liwat dalan sing padha lempenge (melewati jalan yang sama lurusnya)
Senajan seje mangsane (walaupun berbeda saatnya)
Angin sing ngampirakelaku (angin yang membuat laku mampir)
Nglungguhake aku lan kowe (mendudukkan aku dan engkau)
Bawa rasa sawatara ngonceki cangkriman ketiga (memikirkan dan
merasakan ketika mengupas teka-teki musim kemarau)
Sadurunge bebarengan ngeli turut lakuning dina (sebelum bersama
menghanyutkan diri mengikuti jalannya hari)
Sing nggawa werna-werna patembaya (yang membawa berbagai macam
sayembara).

Puisi di atas menunjukkan bahwa lelakon atau kejadian kehidupan


manusia bagaikan kejadian dalam lakon pertunjukan wayang purwa,
setiap manusia ditata secara urut di samping layar, lalu bila saatnya
tiba ia akan dimainkan seorang dalang pada layar. Mereka bagaikan
kalimat yang memiliki peran masing-masing, seperti subjek, predikat
atau objek. Setiap manusia akan mengalami perjalanan hidup, makan-
minum, kedudukan dan lainnya, meskipun saatnya berbeda-beda,
yang penuh teka-teki yang sering kali dirasakan atau dipikirkan, yang
bagaikan penuh dengan sayembara. Setiap orang harus mengikuti

263
arus (ngeli) dalam kehidupan itu.
Dalam hubungannya dengan puisi di atas, dalam peribahasa
Jawa terdapat istilah ngeli ning aja nganti keli. Kata ngeli berasal dari
kata ili yang berarti aliran, lalu mendapat awalan ka- menjadi keli
yang berarti dalam keadaan hanyut atau terhanyut. Orang yang keli
(terhanyut) dan tidak menyadari, bahkan tidak memiliki kemampuan
untuk berenang dan berusaha keluar dari aliran air itu, ia akan celaka
bahkan dapat mati. Adapun kata ngeli merupakan aktivisasi dari kata
ili atau keli, sehingga secara aktif atau sadar bahkan dengan sengaja ia
menghanyutkan diri. Aja nganti keli maksudnya, setiap manusia harus
menyadari diri ia berkedudukan di mana dan bagaimana setiap saat
ketika ia berada dalam arus kehidupan itu. Ia harus menjalankan laku
atau langkah atau proses hidupnya, atau dengan kata lain hidup ini
harus dilakoni atau disikapi dengan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanan hidup manusia, pengetahuan yang satu akan
menjadi dasar pada pengetahuan yang lainnya, sedikit demi sedikit
terus berproses berkembang sesuai dengan pengalamannya masing-
masing, oleh karena itu, di Jawa juga terdapat istilah ngelmu titen, yakni
yang didasari oleh memperhatikan kejadian dan mengingat-ingat
untuk kemudian dimanfaatkan pada kejadian-kejadian selanjutnya.
Tidak berlebihan bila Soedjonoredjo (dalam Supadjar, 2001: 70)
menuliskan dalam hal proses hidup harus mencari ilmu kenyataan
sebagai berikut.
Benere wong urip, eling marang uripe……benere wong lali, ngudi kawruh
kasunyatan……wajibe wong urip, rumeksa ing uripe……..asaling pangudi,
rumasa, …….wong urip kudu rumasa kawula (Benarnya orang hidup, ingat
akan hidupnya……….benarnya orang lupa, mencari ilmu kenyataan……
kewajiban orang hidup, menjaga hidupnya……asal pencarian adalah
merasa ……..orang hidup harus merasa sebagai makhluk)

Pernyataan Soedjonoredjo di atas, pada intinya orang hidup


harus eling marang uripe (sadar akan hidupnya), harus ngudi kawruh
kasunyatan ( mencari ilmu kenyataan), harus rumeksa ing uripe (harus
menjaga hidupnya), dan harus rumasa kawula (harus merasa sebagai
makhluk Tuhan). Dalam istilah lain, hal tersebut sering diistilahkan
dengan eneng (tenang), ening (jernih), awas (melihat dan mengetahui
dengan baik), eling (ingat). Eneng (tenang) maksudnya tidak banyak
bertingkah yang tidak semestinya, harus mampu melawan getaran
kehendak jahat. Ening (jernih) maksudnya jernih dalam pikiran dan
perasaannya, jangan sampai terkotori oleh nafsu. Awas (melihat dan
mengetahui dengan baik) maksudnya melihat keadaan sekitarnya dan
mengetahui kenyataannya hingga kemungkinan-kemungkinannya.

264
Adapun eling (ingat) adalah ingat bahwa dirinya hanyalah makhluk
Tuhan Yang Maha Kuasa (bdk. Mulyono, 1982: 58).

D. Hidup Ini Juga Merupakan Laku


Laku merupakan proses dalam hidup manusia Jawa. Hidup
itu sendiri juga merupakan laku, oleh karena itu sifatnya hanyalah
sementara. Hidup yang sementara digambarkan dengan istilah Urip
mung mampir ngombe (hidup ini hanyalah tinggal sementara untuk
minum). Kata mampir mempunyai makna hanya sementara dan
tempat untuk mampir bukanlah tujuan akhir, masih ada tempat lain
yang dituju. Hidup yang hanya sementara ini, bagi manusia, ia sekedar
menjalani (mung saderma nglakoni).
Tidak jauh berbeda, dalam idiom lain dikenal istilah urip iki mung
saderma nglakoni (hidup ini hanya sekedar menjalani). Kata saderma
atau sadarma berasal dari kata darma yang bermakna kewajiban
sebagaimana mestinya seperti kedudukan masing-masing. Adapun
sa- atau sak- di depannya bermakna seukuran. Jadi, kata saderma dapat
berarti sesuai dengan kedudukan dan tugas kewajiban masing-masing.
Di sisi lain, saderma nglakoni artinya hidup itu sendiri bukanlah menjadi
kewenangan dan kemampuan manusia, baik dalam rangka mencipta
hidup atau menjadi hidup itu sendiri. Dalam hubungannya dengan
ngeli ning aja nganti keli, manusia tinggal menerima hifdup ini, tetapi
sekaligus harus dapat menyikapi atau mengisi hidup yang sekedar
menjalani itu dengan sesadar-sadarnya dan dengan sebaik-baiknya.
Dalam hubungannya dengan laku, yakni langkah menyikapi
hidup itu, ketika orang Jawa itu merasa tidak mampu, kemudian
bunuh diri, orang Jawa memiliki kata dalam hubungannya dengan
kata ngeli tersebut, yakni kata nganyut tuwuh yang berarti bunuh
diri. Kata nganyut berarti mengahanyutkan diri. Adapun kata tuwuh
berarti hidup atau tumbuh. Dengan demikian kata nganyut tuwuh
berarti secara sadar menghanyutkan diri dalam hidup atau kehidupan
selanjutnya.
Istilah lain dalam bahasa Jawa untuk nganyut tuwuh yakni kata
nglalu. Kata nglalu berasal dari kata dasar lalu yang juga berarti jalan
dan mendapat awalan Nasal (ng- )yang bermakna aktif. Kata nglalu
berarti secara aktif berjalan, yakni berjalan menuju arus selanjutnya
atau kehidupan selanjutnya. Dengan demikian bunuh diri termasuk
dalam kategori laku, yakni proses kehidupan menuju proses kehidupan
selanjutnya.
Kata laku, kata lalu, keli dan ngeli atau nganyut berhubungan
dengan makna suatu perjalanan, yakni proses perjalanan hidup. Hal

265
ini juga berhubungan dengan kata Jawa lelaku. Kata lelaku juga berasal
dari kata dasar laku yang kemudian diulang suku kata depannya
tetapi mengalami perubahan bunyi (proses kebahasaan yang disebut
dwipurwa salin suwara). Kata lelaku bermakna sakaratul maut, atau
sekarat, yakni keadaan manusia sesaat sebelum ia meninggal atau
proses sesaat sebelum meninggal dunia. Dengan demikian kematian
dalam pandangan hidup Jawa memang dianggap sebagai proses
perjalanan menuju kehidupan selanjutnya.
Dalam hubungannya dengan idiom lain, dinyatakan urip iki
manggung dadi lakon (manggung atau di panggung dan sedang menjadi
tokoh utama). Dunia sebagai tempat hidup manusia tidak ubahnya
seperti panggung sandiwara. Hal ini tidak berlebihan, terbukti dalam
suatu lagu pop berbahasa Indonesia juga dinyatakan bahwa dunia
ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Dalam konteks
ceritanya mudah berubah, juga mengandung makna bahwa hidup
ini hanya sementara. Kesemenraraan ini juga tercermin pada istilah
manggung dadi lakon. Dalam konteks tertentu sering menjadi lagi
manggung dadi lakon (sedang di panggung atau manggung).
Kata manggung, kata dasarnya adalah anggung, yakni bunyi
burung-burung (kukila) tertentu terutama burung perkutut. Bagi orang
Jawa burung perkutut merupakan salah satu (di samping wisma yakni
rumah, turangga yakni kuda, dan curiga yakni keris) symbol kamulyan,
yakni hidup dengan tenteram dan sejahtera sekaligus mulia. Orang Jawa
yang memiliki burung perkutut, dia seakan telah mampu menggenapi
idealisme hidupnya, terutama bila anggung atau bunyi perkutut
miliknya memenuhi kriteria bunyi perkutut yang bagus. Burung
perkutut yang bunyinya bagus, akan menjadi pusat perhatian orang-
orang di sekitarnya. Bunyi yang bagus sebagai symbol keharmonisan,
ketenteraman, kesejahteraan, dan kemuliaan. Demikian pula halnya
dengan orang yang sedang berada di panggung, setiap gerak dan
ucapannya akan selalu disoroti oleh orang-orang di sekitarnya. Lakon,
sebagai tokoh utama di panggung akan menjadi pusat perhatian. Ia
akan menjadi Pancer atau pusat dari segala arah yang disebut kiblat
papat (empat penjuru) atau kanan, kiri, muka dan belakang.
Kata lakon berasal dari kata dasar laku yang mendapat akhiran -an.
Kata lakon dalam bahasa Jawa dapat berarti cerita, judul cerita, tokoh
utama, atau pentas terutama pentas wayang purwa. Lakon yang berarti
pentas wayang purwa, prosesnya selalu dimulai dari dibunyikannya
gamelan yang disebut tetalu, kemudian gamelan pathet nem, pathet sanga,
pathet manyura, hingga perang brubuh dan tarian Bima atau tokoh lain
yang merupakan saudara tunggal bayu. Urutan proses pentas wayang

266
purwa itu juga merupakan symbol dari prosesi kehidupan manusia,
sejak diturunkannya benih manusia, masa kanak-kanak, masa remaja,
masa tua, hingga menjelang ajal (Mulyono, 1979: 106-114).
Bila dihubungkan dengan geguritan (puisi Jawa) karya Sumono
Sandy Asmoro di atas, dalam proses tersebut, wayang sebagai
symbol manusia hanya ditata menurut urutan masing-masing untuk
ditampilkan yakni manggung dadi lakon. Meskipun demikian, dalam
rangka manggung itu segala anggung-annya, yakni segala gerak,
tindakan dan ucapannya, harus dipertanggung-jawabkan, haruslah
disadari dan diarahkan menuju yang baik, sehingga para penonton
wayang, yakni masyarakat sekitarnya akan menjadi senang atau puas
karenanya. Semuannya ini tidak berhenti hanya dalam kehidupan di
dunia ini, namun juga diarahkan pada kehidupan selanjutnya setelah
manusia mati. Dalam hal ini proses laku manusia adalah menyadari
sepenuhnya akan sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan hidup
di dunia ini, yakni berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa dan akan
kembali kepada-Nya.

E. Simpulan
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa laku dalam filsafat Jawa
merupakan proses yang harus ada, harus disadari keberadaannya,
dan bahkan harus diadakan sebagai proses perbaikan kualitas hidup
dan kehidupan secara terus menerus. Laku merupakan kata kunci yang
harus disadari setiap saat baik dalam hubungannya dengan proses
hidup sementara di dunia ini, maupun dalam rangka proses hidup
selanjutnya, yakni setelah manusia meninggal dunia.
Hidup ini sesungguhnya juga merupakan laku, yakni proses
menuju hidup setelah manusia meninggal dunia. Orang hidup harus
menyadari akan hidupnya, oleh karena itu ia harus mengetahui akan
dirinya dan segala sesuatu di luar dirinya. Untuk itu manusia harus
berpengetahuan. Dalam hal mencari pengetahuan secara luas (ngelmu),
manusia juga harus melaksanakan dengan laku. Pengetahuan yang
satu menjadi dasar pengetahuan lainnya, itu semua merupakan laku,
yakni proses hidup dari waktu ke waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Asmoro, Sumono Sandy. 2000. Antologi Geguritan Layang Panantang. Surabaya:
Balai Bahasa
Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Mulyono, Sri. 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: GUnung
Agung

267
__________. 1982. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung
Saryono, Djoko. 2011. Sosok Nilai Budaya Jawa: Rekonstruksi Normatif idealistis.
Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Sudarminta. 1991. Filsafat Proses, Sebuah Pengantar Sistematis Filsafat Alphed
Warth.-Whitehead
Supadjar, Damardjati. 2001. Cet. II. Nawangsari: Butir-butir Renungan Agama,
Spiritualitas, Budaya. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

268
SASTRA DAN BUDAYA JAWA
PADA MASA KRATON KARTASURA

Purwadi
Universitas Negeri Yogyakarta

1. Pendahuluan

P erkembangan sastra dan budaya Jawa sampai memperoleh


bentuknya seperti sekarang, terjadi dalam abad ke-17, bersamaan
dengan perkembangan kerajaan Mataram. Pada mulanya yang
menjadi pedoman unggah ungguhing basa yang harus dipakai oleh
seorang pembicara ialah hubungan kekeluargaan, umur, status sosial
atau tingkat kebangsawanannya terhadap orang mitra berbicara.
Seseorang anak berbicara dalam bahasa krama dengan orang tuanya,
paman atau kakeknya.
Penguasa-penguasa Mataram, seperti Senapati, Krapyak,
dan bahkan Sultan Agung, berbicara dalam tataran krama dengan
Jurumartani, adik sepupu dan ipar Pemanahan. Sebaliknya Jurumartani
berbicara dalam bahasa ngoko dengan para pengusa Mataram, yang
terhadapnya masing-masing adalah kemenakan, cucu kemenakan
dan cicit kemenakan. Di kemudian hari, keadaan berubah, setelah
Jurumartani meninggal dan setelah beberapa tahun Sultan Agung
memerintah, hubungan keluargaan, umur dan tingkat kebangsawanan
seseorang tidak lebih penting dalam penentuan tataran bahasa yang
harus dipakai oleh seeorang dalam berbicara dengan orang lain.
Panembahan Purbaya, misalnya, seorang uwa (bapak besar) Sultan
Agung, seorang kakek tua Amangkurat I, berbicara dalam tataran
krama dengan kedua raja Mataram itu (Moedjanto, 1994: 62). Hal yang
semacam terjadi juga dalam percakapan antara Pekik dan Ratu Pandan
berbicara dalam bahasa krama dengan Amangkurat I, padahal Pekik
adalah paman ipar dan mertua Amangkurat I, sedang Ratu Pandan
adalah bibinya. Dalam makalah ini hendak diuraikan tentang seluk
beluk keberadaan sastra dan budaya pada masa keraton Kartasura.

2. Kartasura Ibukota Mataram


Sunan Amangkurat II selanjutnya menjadi raja di Kraton Mataram
yang beribukota di Kartasura. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan
silsilah Sunan Amangkurat II. Kutipan dalam bahasa Jawa secara

269
lengkap adalah sebagai berikut : Putra dalem Ingkang Sinuwun
Prabu Hamengkurat Agung, ingkang nomer 1, miyos saking garwa
GKR Putrinya Pangeran Pekik Surabaia patutanipun kaliyan. GKR
Wandhansari. Rayi dalem Ingkang Sinuwun Sultan Agung Prabu
Hanyakrakusuma. Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Amral asma
Raden Mas Rahmat Kuning. Asalsilahipun Ingkang Sinuwun Prabu
Amangkurat II Amral Saking Ibu dalem GKR Pambayun.
1. Sunan Ampel Denta, peputra:
2. Pangeran. Surabaiat peputra:
3. Pengeran Pekik Surabaik, peputra:
4. GKR Pambayun GKR Kulon, Permaisuri beliau Ingkang Sinuwun
Prabu Amangkurat Agung, peputra:
5. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral.
Raden Mas Ning.
Ingkang Sinuwun mindhahaken Kraton Pleret dhumateng
Wonokerto, awit sampun risak. Wonokerto kanamekaken Kartasura
Hadiningrat, ing dinten Rabu Pon tanggal. 27 Ruwah Alip 1603 Jawi.
Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral boten nurunaken
nata (Bratadiningrat, 1990). Untuk mendukung keterangan di atas
dapat dikemukakan juga komunikasi antara panembahan Adilangu,
keturunan kelima Sunan Kalijaga, dengan Amangkurat II. Babad
menerangkan hal tersebut berkenan dengan penaklukan Giri oleh
Amangkurat II. Dalam penaklukan itu Adilangu berhasil mengalahkan
Pangeran Singasari, salah seorang panglima Giri. Dalam peristiwa itu
tidak diketemukan percakapan langsung antaraa Adilangu dengan
Amangkurat II, akan tetapi penggunan beberapa kata untuk mereka
dalam komunikasi itu cukup memperlihatkan unggah ungguhing basa
yang mereka pakai.
Pada waktu Amangkurat II berusaha memadamkan
pemberontakan Trunajaya, ialah singgah di Adilangu dan dikatakan
babad, nimbali Panembahan Natapraja dan Adilangu, yang dikatakan
babad kemudian sowan ke hadapan Amangkurat II (Meinsma,1941:
190) Ketika untuk mengalahkan Giri dikatakan Natapraja memerlukan
pusaka Mataram, Amangkurat II tidak keberatan, tertulis dalam babad
bahwa pusaka itu oleh Amangkurat II pinarengaken.
Kata Nimbali dan pinarengaken yang diucapkan Amangkurat
II terhadap Panembahan Natapraja, yang keturunan ke-5 dari Wali
Kalijaga, yang dulu sangat dihormati oleh keluarga Mataram, dapatlah
disimpulkan bahwa keturunan para wali sudah diungguli oleh
keagungan raja Mataram. Sehingga nampak terdapat hubungan antara
unggah unguhing basa dengan kekuasaan dinasti Mataram. Begitu

270
juga dengan penggunaan kata sowan untuk Panembahan Natapraja.
Rehning Kraton dalem Pleret risak dening perang Trunojaya, pramila
lajeng pindhah dhateng Wonokerto. Kadhaton enggal kanamekaken
Kraton KartaSura. Pindhahipun nyarengi dinten Rabu Pon 27 Ruwah
Alip 1603. Negari dalem kaparingan nama Kartasura Hadiningrat.
Dhandhanggula
Sang Aprabu prapteng Wanakarti
Gumarudug sawadya balane
Kawula lan sentanane
Kadya sinebut sebut
Katon sunya hangrasa wani
Ya sinangkalaning candra
Ri Buda Pon nuju
Kaping pitulikur Ruwah
Alip sewu nenemhatus telu dadi
Kartasura Diningrat.
Terjemahan :
Sang Prabu tiba di Wanakarti
Gemuruh suara balatentara
Kawula dan para sentana
Seperti bersorak-sorai
Tampak gembira semangat menyala
Jika dibuat candra sengkala
Yakni Ri Buda Pon
Tanggal dua tujuh Ruwah
Alip seribu enam ratus tiga
Kartasura Hadiningrat.

Sunan Amangkurat III menggantikan pemerintahan Amangkurat


II di Mataram. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan
Amangkurat III. Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah
sebagai berikut : Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Amengkurat
III (1703-1705) putra dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat
II ing Kartasura. Nama BRMGusti Sutikno.. Nalika jaman semanten
punika manawi jumenengan nata tamtu kedah wonten sesepuh.
Ingkang mbotohi ingkang majeng manawi wonten bot repotipun
Panjenengan dalem Nata. Nalika semanten Adipati Puger, ngendika
dhumateng Ingkang Sinuwun Prabu mangkurat III surangga wedaling
pangandika,
Yen Kangmas Pangeran Adipati nggenteni jumeneng Nata, aku sudik mulih.
Wis mesthi jagad bakal retu, karana Kangmas Dipati iku budine banget ala awit
kegawa saka biyunge dudu turun Mataram. Wis dilalah, swargi uwa Prabu ora
peputra karo garwane kang padha turun Mataram. Kangmas Dipati dhewe iya
wis dilalah nggone jejodhoan karo sedulurku ora tutug. Iku mratandhani yen
bakal sirna wijine. Luwih becik aku jumeneng nata dhewe.

271
Awit punika, rama dalem KGPAdipati Puger dipunkunjara.
Jumeneng dalem Nata Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat III
namung 2 warsa (Bratadiningrat, 1990). Pada masa pemerintahan
Amangkurat II, banyak terjadi huru-hara yang menyebabkan
stabilitas kerajaan Mataram terganggu. Oleh karena itu Amangkurat
II memindahkan ibukota Mataram ke daerah Kartasura. Ibukota baru
ini diyakini akan membawa ketenteraman dan kedamaian kerajaan.
(Moedjanto, 1994: 93). Para raja yang pernah memerintah kerajaan
Mataram Kartasura yaitu :
1. Amangkurat II (1677 - 1703)
2. Amangkurat III (1703 - 1708)
3. Paku Buwana I (1704 - 1719)
4. Amangkurat IV (1719 - 1726)

3. Serat Menak
Serat Menak merupakan karya sastra sebagai wahana dakwah
Islamiyah. Kitab ini dibuat tahun 1639 tahun Jawa, atas perintah
Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sinuwun Paku Buwana I atau
Pangeran Puger di kraton Kartasura (Poerbatjaraka, 1957: 105). Cerita
Menak ini berasal dari negeri Persia dan dalam bahasa Melayu disebut
Hikayat Amir Hamzah. Serat Menak digubah ke dalam bahasa Jawa
bersamaan dengan berkembangnya agama Islam. Salah satu cabang
cerita Menak yang terkenal adalah cerita Rengganis. Cerita ini dibuat
oleh Rangga Janur, pujangga Kraton Kartasura (Poerbatjaraka, 1957:
112). Serat Rengganis mengisahkan percintaan antara Pangeran Kelan
dengan Dewi Rengganis dan Dewi Kadarmanik.
Karya sastra yang dibuat pada masa Kraton Kartasura yang
lainnya adalah Serat Manikmaya. Penciptanya yaitu Kartamursadah
dari Tanah Pasundan. Para bangsawan Priangan sering mengirim
putra-putrinya ke Kerajaan Mataram untuk belajar sastra dan budaya
(Poerbatjaraka, 1957: 114). Serat Manikmaya sebagian menceritakan
kisah-kisah yang sudah diungkapkan dalam Serat Tantu Panggelaran.
Seangkatan dengan Serat Manikmaya, yaitu Serat Ambiya dan Serat
Kandha. Keduanya juga terbit pada zaman kraton Kartasura. Serat
Ambiya yang terpengaruh agama Islam ini menceritakan kisah awal
penciptaan dunia serta cerita sejak adanya Nabi Adam. Serat Kandha
menggabungkan antara unsur Hindu, Islam, dan Jawa. Di sana
dijumpai kisah para Nabi yang dikemas sedemikian rupa, sehingga
menjadi keunikan khas kreativitas pujangga Jawa.
Paku Buwana III memerintah di kraton Surakarta pada tahun
1749-1788. Ibukota Mataram dipindahkan oleh Paku Buwana II dari

272
Kartasura ke Surakarta tahun 1743 (De Graaf, 1984: 264). Saat itu
kerajaan Kartasura penuh dengan konflik keras yang terjadi antar
keluarga istana.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana III terjadi proses sejarah
Palihan Negari pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan
Yogyakarta pada tahun 1755. Babad Giyanti secara cermat melukiskan
peristiwa historis itu (Ricklefs, 1995: 84). Sinuwun Paku Buwana III aktif
dalam mengembangkan sastra dan budaya. Karya Paku Buwana III yaitu
Serat Wiwaha Jarwa dengan sengkalan: tasik sonya giri juga yang berarti
tahun 1704 Jawa atau 1778 tahun Masehi. Di samping itu, Paku Buwana
III juga ikut menyempurnakan Serat Iskandar dengan wajah baru.

4. Wahyu dan Budaya Kraton


Wahyu dan legitimasi kekuasaan sangat berkaitan erat dalam
kehidupan di kraton Jawa. Dalam pewayangan, lakon yang menceritakan
pulung kepemimpinan dilukiskan dengan memperoleh wahyu
cakraningrat. Siapa saja yang memperoleh wahyu cakraningrat, maka
dia dan keturunannya akan berhak menduduki tahta kepemimpinan.
Tiga pangeran putra mahkota dalam pewayangan yaitu Lesmana dari
Hastina, Samba dari Dwarawati, dan Abimanyu dari Amarta bersaing
sengit dalam memperebutkan wahyu cakraningrat agar tergenggam
di tangannya. Karena Lesmana dan Samba tidak kuat menerima
cobaan berupa wanita cantik, maka hanya Abimanyu yang kemudian
berhasil memperolehnya. Akhirnya memang hanya Abimanyu yang
bisa menurunkan raja di Hastina, yaitu Prabu Parikesit.
Lakon wahyu cakraningrat ini di masyarakat Jawa sangat populer.
Lurah, camat, bupati yang terpilih seringkali menanggap wayang
dengan lakon tersebut. Harapannya mereka akan memerintah dan
menerapkan kepemimpinan mirip Prabu Parikesit yang terkenal
berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan. Sedangkan
buat masyarakat yang diperintah akan mengakui eksistensi
kepemimpinannya. Agaknya wahyu cakraningrat merupakan salah satu
sarana yang ampuh sebagai sumber legitimasi kepemimpinan.
Mengungkap permasalahan kehidupan kraton tidak dapat
dipisahkan dari permasalahan sumber legitimasi kekuasaan raja.
Pembahasan tentang hal ini haruslah melihat wujud kekuasaan
tradisional Jawa dengan sejumlah konsep yang ada dalam kekuasaan
itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan politik mereka. Konsep negara
gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan
manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan
bagaimana legitimasi kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat

273
dan rakyatnya. Suatu cerminan hubungan patron client relationship
yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling
kawula Gusti, (Ricklefs, 1974). Konsep seperti itu akan selalu muncul saat
mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu
pada masa kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755
Mataram telah terbagi dua (Mari, 1995).
Kerajaan tradisional Jawa yang disebut Mataram, dalam konsep
politiknya mengakui bahwa raja merupakan penguasa yang memiliki
dasar sebagai dewa raja atau kalifatullah. Raja sebagai orang yang
dinilai mempunyai kharisma serta kekuatan melebihi manusia biasa,
memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap kerabat dan rakyatnya.
Adanya konsep dewa raja pada masa Hindu Jawa yang memandang raja
sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam dalam pengertian
kalifatullah. Menurut Soemarsaid Moertono (1985), kenyataan ini
semakin memperkokoh kedudukan raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi di kerajaan (Mari, 1995). Kepemimpinan dalam pandangan
budaya desa di Yogyakarta diperoleh melalui proses turunnya wahyu,
pulung atau ndaru. Di desa-desa sewaktu terjadi pemilihan kepala desa,
para calon kades itu biasanya saling berebut pulung. Mereka datang ke
orang yang dianggap pintar, atau tempat keramat semacam kuburan
leluhur hanya demi mewujudkan impiannya untuk mendapatkan
pulung kepemimpinan tersebut.
Kedudukannya sebagai wakil Tuhan di dunia, memungkinkan
seorang raja untuk menuntut pengakuan bahwa dirinya adalah
penguasa tunggal yang mempunyai kekuasaan terhadap kesetiaan
dan ketaatan penuh dari bawahannya. Institusi yang berhubungan
dengan ketaatan, kesetiaan, kewibawaan, serta keagungan, cukup
memperlihatkan fungsinya bagi budaya kehidupan masyarakat Jawa.
Mendapat perintah raja atau ngemban dhawuh dalem merupakan
kebanggaan tersendiri, sehingga rakyat dapat menerimanya dengan
senang hati (Mari, 1995). Melihat kenyataan dari alam pikiran tersebut,
tentu saja prinsip dan pandangan hidup sangat berpengaruh bagi
kehidupan lingkungannya. Seorang raja yang memerintah kerajaan
Jawa, selalu digambarkan bahwa ia tidak hanya memiliki kekuasaan
terhadap negara dan harta benda, melainkan juga terhadap para
kawula dengan segala kehidupan pribadinya.
Dalam alam kebudayaan Jawa (Soemarsaid, 1985), kekuasaan raja
digambarkan wenang misesa ing sanagari atau memegang kekuasaan
tertinggi di seluruh negeri. Kekuasaan itu digambarkan juga dalam
ungkapan mbaudendha nyakrawati atau berwenang menghukum dan
berkuasa memerintah dunia (Mari, 1995).

274
Ratu binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah,
wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu
nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan,
wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan
wewenang murbamisesa, kedudukannya sebagai Sang Murbawisesa,
atau Penguasa Tertinggi ini, mengakibatkan raja memiliki kekuasaan
tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena
dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi
dua macam wahyu yang telah disebutkan di atas, mendudukkan raja
sebagai yang berkuasa untuk memberi pandam pangauban, artinya
memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya (Darsiti,
2000).
Masih banyak berbagai ungkapan yang memperlihatkan betapa
berkuasanya seorang raja sehingga ia memiliki kekuasaan memerintah,
mengatur, menghukum, menguasai daerah-daerah lain, menguasai
militer, dan bahkan mengatur agama seperti yang terungkap dalam
Senapati Ingalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama. Menurut
Moedjanta (1978), dalam segala permasalahan maka raja memiliki
kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik
tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tiada
yang mampu menandingi. Kenyataan itu diungkapkan melalui bahasa
Jawa yang amat plastis, yang berbunyi endi ana surya kembar, berarti
tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengan
dirinya (Mari, 1995).
Wewenang atau kepemimpinan yang bersumber dari pulung atau
wahyu itulah yang menyebabkan kepemimpinan berubah menjadi
magis, wingit, angker, gaib dan serba supranatural. Salah satu bukti
pusat kepemimpinan yang berwajah wingit adalah sebagian besar
pendopo kabupaten di Jawa. Di sana akan kita temukan beberapa
simbol yang mendukung sifat keangkerannya, misalnya lampu yang
sengaja dipasang nyala redup dan suram, pajangan pusaka tombak,
keris, songsong gilap payung agung, patung Dwarapala dan sebagainya.
Dari sejumlah konsep tentang kekuasaan, sebenarnya masih
ada konsep lain yang mendampingi konsep kekuasaan itu, sehingga
seorang raja tidak bisa bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahannya. Konsep yang mendampinginya adalah ungkapan
bahwa seorang raja haruslah berbudi bawa lekasana ambeg adil para
marta. Konsep ini juga menyiratkan bahwa seorang raja harus dapat
menciptakan ketertiban dan keamanan rakyat serta negara, seperti
dinyatakan J.B. Meinsma (1941) dalam ungkapan anjaga tata titi tentreming
praja. Dengan demikian seharusnya seorang raja tidak saja menjadi

275
penghukum akan tetapi juga sebagai penegak hukum, yang merupakan
manifestasi dari upaya menegakkan keadilan. Berpegang pada konsep
semacam ini maka seorang raja harus wicaksana atau bijaksana dalam
menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu sering
digambarkan sebagai pandai mengambil keputusan yang tepat dalam
menghadapi situasi (Mari, 1995).
Dengan perkataan lain, kekuasaan raja yang tidak terbatas itu
harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada
rakyatnya. Hal ini dapat diumpamakan sebagai dalang-dalang itu tidak
boleh melupakan peranan blencong, yang memberi penerangan pada
layar permainan wayang itu. Bagi raja, hukum merupakan petunjuk
agar ia dapat menjadi tempat berlindung bagi rakyatnya (Darsiti,
2000). Di dalam Serat Wulangreh disebutkan, bahwa raja berkedudukan
sebagai wakil Tuhan dan memerintah berdasarkan hukum keadilan,
oleh sebab itu rakyat wajib mengikutinya.
Orang yang tidak mengikuti raja atau menolak perintahnya
berarti ia menentang kehendak Tuhan. Di samping tiga macam wahyu
tersebut di atas, dikenal pula istilah wahyu kraton,yang juga disebut
dengan istilah wahyu kedhaton atau wahyu cakraningrat. Seorang yang
mendapat wahyu kraton itu akan menjadi raja (Darsiti, 2000). Sebutan
gung binathara menyatakan bahwa seorang raja harus berwatak mulia,
adil, pembela kebenaran dan pelindung bagi rakyatnya. Menurut Van
den Berg (1901) yang pernah mengulas masalah kedudukan para raja
Islam di Indonesia, menyatakan bahwa dalam pengertian ajaran Islam
raja adalah manusia biasa yang oleh Tuhan diberi tugas mengatur
orang lain sesuai dengan ketentuan Syari’ah. Akan tetapi para raja
Mataram telah menganggap dirinya berada di atas manusia biasa
(Mari, 1995). Tradisi kritik terhadap kepemimpinan yang dilakukan
secara terang-terangan dalam budaya Jawa dinilai terlalu banyak
menanggung resiko. Pancaran kepemimpinan diibaratkan dengan
cahaya matahari. Orang yang mengritik secara vulgar dan konfrontatif
sama halnya dengan ngidoni srengenge ‘meludahi matahari’. Sudah
pasti ludahnya akan hanya mengenai muka sendiri.
Memang dalam budaya desa di Yogyakarta dikenal tradisi pepe
‘berjemur’ di alun-alun antara dua ringin kembar. Tetapi itu bukan
bersifat kritikan. Pepe hanya salah satu usaha permintaan keadilan
warga kerajaan yang teraniaya oleh aparat bawahan raja. Beruntung
jika raja memiliki belas kasihan, jika tidak, bukan menjadi tanggungan
berat bagi raja. Konsep tentang kekuasaan besar raja terhadap
rakyatnya tercermin dalam sejumlah serat, seperti Serat Niti Praja,
Serat Niti Sastra, dan Serat Wulang Reh. Dalam Serat Niti Praja, posisi

276
seorang raja disamakan dengan posisi seorang dalang, sedangkan
rakyat disamakan dengan wayang. Melalui perbandingan semacam
itu seorang raja akan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Dalam Serat Wulang Reh (Paku Buwana IV, 1925) ditekankan bahwa
apa yang diperintahkan oleh seorang raja haruslah ditaati, sebab raja
adalah wakil Tuhan seperti yang terlihat dalam kutipan:
Ratu kinarya wakil Hyang Agung,
merentahaken hukum adil,
pramila wajibe den enut,
sapa tan anut ing Gusti,
mring parentahe Sang Katong.

Aprasasat batali karsa Hyang Agung,


mulane babo wong urip,
saparsa suwiteng Ratu,
kudu eklas lair batin,
aja nganti nemu ewuh.
(Serat Wulangreh)

Terjemahan
Raja adalah wakil Tuhan,
sebagai pemegang hukum,
maka wajib diturut,
siapa tidak menurut perintah raja.

Sama dengan menentang kehendak Tuhan,


seorang yang mengabdi kepada raja,
harus iklas lahir batin,
jangan sampai mendapat kesulitan.

Penegasan tentang hal itu dilanjutkan dengan Samubarang


ing karsanira Sang Prabu, sayekti kudu nglakoni …(Semua kehendak
raja, harus dijalankan …) (Mari, 1995). Pulung sebagai sumber
kepemimpinan diyakini hanya melekat pada satu orang. Pulung atau
wahyu tidak terbagi-bagi dan tetap utuh wujudnya. Dengan demikian
seseorang yang telah mendapatkan pulung kepemimpinan itu tidak
mempunyai kewajiban moral bagi dirinya untuk mengadakan
distribusi wewenang. Mereka percaya bahwa kepemimpinan yang
terbagi-bagi akan mengganggu harmoni alam. Kepemimpinan yang
otoriter diperkenankan asal tetap pada landasan ambeg adil paramarta,
memayu hayuning bawana.
Ambil contoh, kisah Ken Arok. Dia mendapatkan legitimasi
kekuasaan dari sinar yang terpancar lewat betis Ken Dedes. Untuk
mendapatkan sinar kekuasaan itu, maka Ken Dedes dijadikan
istri. Sejak itu Ken Arok sah menjadi penguasa di Kraton Singasari.

277
Demikian pula Pengeran Puger, beliau menjadi raja Mataram dengan
gelar Sunan Paku Buwana I, setelah menghisap sinar yang terpancar
lewat kemaluan Sunan Amangkurat III. Suksesi seperti ini menjadi
legenda yang diwariskan secara turun-temurun.

5. Kanjeng Ratu Mas Balitar


Selanjutnya yang menjadi raja di Mataram adalah Sunan Paku
Buwana I. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Paku
Buwana I. Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai
berikut : Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku
Buwana Senapati Ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panata Gama
Kalifatullah Ingkang Kaping I Ing Nagari Kartasura Hadiningrat.
Jumeneng nata nomer 1 ing Mataram tahun 1660, boyong dhateng
Kartasura tahun 1705. Surud dalem ing tahun 1719.
Putra dalem Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu
Amangkurat Agung ing Mataram, miyos saking Permaisuri nomer 2,
GKR Wetan. Putrinya Panembahan Radin ing Pajang, nama BRMG.
Darajat. Asalsilahipun Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku
Buwana I Saking Ibu dalem GKR Wetan.
1. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Sultan Hadiwijaya ing
Pajang, peputra.
2. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Sultan Prabu Wijaya (Benawa)
ing Pajang, peputra.
3. Panembahan Raden ing Pajang, peputra.
4. GKR Wetan permaisuri beliau Sampeyan dalem Prabu Amangkurat
Agung nomer 2, peputra.
5. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana kaping I ing
Kartasura. BRMG. Darajat.
Permaisuri beliau putrinya RT Balitar. Putra-putri dalem :
1. Gusti Raden Ajeng Lembah, Permaisuri Amangkurat Kencet.
2. GPH Hangabehi.
3. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa,
BRMG. Suryaputra.
4. Gusti Raden Ayu Mangkubumi.
5. GPH Prangwadana
6. GPH Herucakra ing Madiun
7. GPH Ngalogo.
8. GPH Pamot
9. Gusti Raden Ayu Adip. Sindurejo
10. G.P. panembahan Puruboyo, ing Lamongan.
11. Mios saking Permaisuri GKR Paku Buwana.

278
12. GPH Balitar
13. GK Ratu Ayunan, garwanipun Panembahan Cakraningrat. miyos
saking Permaisuri Dalem.
Kanjeng Ratu Mas Balitar adalah garwa dalem sinuwun Paku
Buwana I. Gelar Ratu Balitar lainnya adalah Kanjeng Ratu Ibu atau
Sang Aprabu Nini. Berhubung kepribadiannya yang luhur dan agung,
Ratu Balitar dihormati sebagai Putri amardika jimate wong nusa Jawa
(Sudewa, 1995: 245). Sikap Ratu Balitar yang bijak bestari ini mampu
meredakan krisis politik yang selalu bergolak pada masa awal kerajaan
Kartasura dan Surakarta. Hal ini bukan suatu kebetulan, karena beliau
adalah seorang tokoh putri yang gemar akan ilmu pengetahuan.
Ratu Balitar terlibat dalam pembuatan karya sastra yang berjudul
Serat Iskandar, Serat Menak, dan Serat Yusuf. Serat Iskandar masih
berkaitan dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain berbahasa Melayu
yang pernah dianalisis oleh Siti Chamamah Soeratno (1991) dalam
bentuk disertasi. Serat Menak dan Serat Jusuf ini dibuat oleh Ratu
Balitar di samping untuk syiar Islam juga demi kemajuan pendidikan
masyarakat saat itu yang selalu menghadapi pergolakan politik. Bagi
kebanyakan para putri sekarang, kiranya patut apabila mau meniru
kebijaksanaan dan kepandaian Kanjeng Ratu Mas Balitar dalam
menyikapi perubahan dan pergolakan di pentas kenegaraan.
Sunan Amangkurat IV selanjutnya memerintah Kraton Mataram.
Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Amangkurat IV.
Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai berikut
:Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu
Amangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin
Panata Gama Kalifatullah Ingkang Kaping IV Ing Nagari Kartasura
Hadiningrat 1719-1727. Putra dalem Sampeyan dalem Ingkang
Sinuwun Paku Buwana I miyos saking Permaisuri beliau GKR Paku
Buwana putrinya Raden Tumenggung Balitar. Nama Bandara Raden
Mas Gusti Suryaputra. Asalsilahipun Sampeyan dalem Ingkang
Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa Saking Ibu dalem GKR Paku
Buwana : Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Demak Bintara III, Kanjeng
Panembahan Mas ing Madiun, GK Ratu Retnadumilah, Permaisuri
beliau Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Panembahan Senapati
ing Ngalaga, Panembahan Juminah ing Madiun, Pangeran Adipati
Balitar, Ki Tumenggung Balitar, GKR Paku Buwana, Sampeyan
dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa ing Kartasura, BRM
Gusti Suryaputra.
Permaisuri beliau GKR Kencana, putrinya Raden Tumenggung
Tirtakusuma, ing Kudus. Putra-Putri dalem sedaya GPH

279
Mangkunegara Kartasura, Gusti Raden Ayu Suraloyo ing Brebes, Gusti
Raden Ayu Wirodigdo, GPH Hangabei, GPH Pamot, GPH Dipanegara,
GPH Danupoyo, Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana
II, BRMG. Prabasuyoso, GPH Hadinegara, GKR Maduretna, garwa
KPH Hindranata, Gusti Raden Ajeng Kacihin, GPH Hadiwijaya, GRM
Subronto, GPH Mangkubumi Sultan Yogyakarta, GPH Buminata,
Dandung Martengsari, Gusti Raden Ayu Megatsari, Gusti Raden Ayu
Puruboyo, Gusti Raden Ayu Pakuningrat, GPH Cakranegara, GPH
Silarong, GPH Prangwadana, Gusti Raden Ayu Suryawinata, GPH
Panular, GPH Mangkukusuma, Gusti Raden Ayu Sujonopuro, GPH
Dipawinata, Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I.
Amangkurat IV adalah ayah Paku Buwana II, Hamengku
Buwana I dan kakek Mangkunegara I. Dengan demikian, beliau telah
menurunkan tiga dinasti besar kerajaan Jawa. GPH Mangkunegara
ing Kartasura, peputra Raden Mas Sahid, jumeneng Mangkunegara
I Sambernyawa ing Surakarta. GPH Mangkubumi, jumeneng Sultan
Hamengku Buwana I ing Yogyakarta Hadiningrat. Jaman jumenengipun
Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku
Buwana III. Perjanjian Giyanti 1755. Dipun tapakastani Sampeyan
dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III
(Bratadiningrat, 1990).
GPH Mangkunegara, ayah Mas Sahid ini sangat anti pada
VOC. Dia tidak rwela bila penjajah ikut campur terhadap masalah
internal keluarga Mataram. Begitu gigih perjuangannya, pada suatu
saat akhirnya beliau ditawan oleh VOC ke Batavia. Dari Batavia ini
kemudian beliau diasingkan ke Negeri Srilangka. Hati beliau tidak
lunak juga. Bahkan rasa nasionalisme semakin berkobar. Terakhir
beliau dbuang ke Tanjung Harapan. Cita-cita beliau ini dilanjutkan
oleh putranya, yaitu RM Sahid atau Pangeran Sambernyawa. Kelak,
RM Sahid inilah yang menjadi pendiri dinasti Mangkunegaran dengan
gelar KGPAA Mangkunegara I.

6. Penutup
Karya sastra dan budaya warisan kraton Kartasura tetap berlanjut
pada periode sesudahnya. Kraton Surakarta merupakan kelanjutan dari
kraton Mataram yang beribukota di Kartasura. Dengan demikian para
raja Surakarta masih keturunan langsung Panembahan Senapati. Kraton
Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu puncak warisan budaya
Jawa. Kraton ini pernah menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan,
kesenian, perekonomian, tata nilai, tuntunan hidup keagamaan dan
merupakan representasi kosmologi Jawa pada jamannya.

280
Keberadaan kraton ini adalah hasil dari proses perjalanan politik
yang panjang sebagai pewaris kejayaan Kraton Mataram. Persoalan
sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah
melihat wujud kekuasaan tradisional Jawa dengan sejumlah konsep
yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan
politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai
pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan
subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi
kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Suatu
cerminan patron client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan
Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti (Ricklefs, 1974).
Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat
kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa
kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755 Mataram telah
terbagi dua (Mari, 1995). Kraton Surakarta telah melahirkan para raja
yang aktif sekali dalam mengembangkan sastra dan budaya. Bahkan
raja sendiri terjun langsung dalam dunia karang mengarang, sehingga
para raja ini mendapat julukan satria pinandhita. Para raja Surakarta
sungguh ahli dan produktif dalam menyebarkan gagasannya lewat
karya sastra yang bermutu tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bratadiningrat, 1990, Asalsilah Warna Warni, Surakarta.


Chamamah Soeratno, 1992, Hikayat Iskandar Zulkarnaen, Jakarta : Djambatan.
Darsiti Soeratman, 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1939.
Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.
Graaf, 1984. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta:
Grafiti Pers.
Mari S Condronegoro, 1996, Busana Gaya Kraton Yogyakarta, Yogyakarta:
Andi Offset.
Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing
Tahun 1647. S’Gravenhage
Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram.
Yogyakarta: Kanisius.
Paku Buwana IV. 1925. Serat Wulangreh. Kediri: Tresna.
Poerbatjaraka, 1964. Kapustakan Jawi, Jakarta : Djambatan.
Ricklefs, 1995. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemarsaid Moertono, 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau,
Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Sudewa, 1995. Dari Kartasura ke Surakarta, Studi Kasus Serat Iskandar. Yogyakarta:
Lembaga Studi Asia.

281
SEMBAH CATUR DALAM SERAT
WEDHATAMA MERUPAKAN DASAR
PERILAKU BERBANGSA DAN BERNEGARA

Turita Indah Setyani


Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan

B angsa dan negara merupakan kelompok masyarakat tertentu


dan batas wilayah yang memiliki kekhasan budaya sebagai
wujud identitas kebudayaannya. Perwujudan tersebut dapat terlihat
dari perilaku yang terimplementasi dalam segala tindakan dan
pemikiran masyarakatnya. Tindakan dan pemikiran masyarakat
merepresentasikan nilai-nilai budaya yang melingkupinya. Nilai-
nilai budaya yang paling umum bagi suatu bangsa dan negara terkait
dengan nilai etis, estetis, dan religius. Representasi nilai-nilai tersebut
tertuang dalam berbagai segi kehidupan dan bentuk karya-karya
seninya, antara lain karya tulis, karya lukis, dan seni tari.
Oleh karena itu, untuk mengetahui bahwa suatu bangsa
dan negara memiliki nilai-nilai tinggi (adiluhung) dan memiliki
keberadaban, dapat dilihat dari perilaku sehari-hari dan pemikiran
masyarakat yang terimplementasi dalam bentuk-bentuk karyanya.
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki karakter
budaya dengan nilai-nilai keadiluhungannya. Karakter tersebut
terwujud dalam perilaku bangsanya disertai peninggalan karya-karya
seni yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Salah satu wujud
budaya yang membudaya dan dibudayakan dalam masyarakat di
Nusantara adalah perilaku sembah.
Secara etimologi, arti kata sembah dalam KBBI jilid tiga (2008: )
merupakan pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dengan cara
menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh, lalu
mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dengan menyentuhkan
ibu jari ke hidung). Misalnya mengangkat sembah berarti menghormat
dengan sembah. Selain itu, kata sembah atau perkataan sembah
ditujukan kepada orang yang dimuliakan, contohnya: “demikianlah
sembah Hang Tuah”; “berdatang sembah” yang berarti datang seraya
berkata dengan hormatnya;  “sembah simpuh”:  hormat dengan
penuh takzim; “sembah  sujud”:  hormat dan khidmat atau memberi
penghormatan; “sembah  sungkem”:  perlakuan sembah seraya

282
bersujud, misalnya ‘ia melakukan sembah sungkem sambil menangis di
hadapan orang tuanya’, dan seterusnya.
Implementasi perilaku sembah tersebut sudah terlihat dalam
wujud realitas kehidupan masyarakat di Nusantara, antara lain sebagai
berikut:
− sikap saling hormat menghormati dan harga menghargai,
− sikap saling mencintai sesama manusia,
− mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan,
− sikap saling tenggang rasa dan tepa selira,
− bekerjasama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
− Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama dengan semangat kekeluargaan,
− membina kerukunan beragama,
− membela kebenaran dan keadilan,
− mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan
dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama
di atas kepentingan pribadi dan golongan,
− mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa, serta
− sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
apabila diperlukan.
Secara keseluruhan sikap-sikap dan nilai-nilai tersebut telah
meresap di lubuk sanubari masyarakat Indonesia, sehingga terwujud
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perwujudan tersebut tentunya
tidak sekonyong-konyong dapat terjadi apabila tidak ditanamkan
sejak kelahiran seorang anak manusia. Penanaman sikap dan nilai-
nilai adiluhung yang teresapkan itu membutuhkan proses panjang
yang secara tidak langsung telah mentradisi dalam kehidupan di bumi
Nusantara, khususnya Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa dikenal konsep Manunggaling
Kawula Gusti dan Kasampurnaning Urip. Konsep tersebut saling berkait
erat sebagai tujuan hidup manusia Jawa, yaitu kesempurnaan, di
mana akan terjelma sifat ilalhi, dengan tercapainya Manunggaling
kawula-Gusti, maka pertentangan baik-buruk akan diatasi dengan
peningkatan kesadaran, yang disebut kadewasan jiwa ‘kedewasaan
jiwa manusia’. (Ciptoprawiro, Abdullah. Filsafat Jawa. 1980: 26)
Pencapaian kesempurnaan dalam pandangan hidup Jawa tercermin
pada keseimbangan hidup di berbagai segi kehidupan, baik manusia
(mikrokosmos) maupun alam semesta (makrokosmos). Keseimbangan
tersebut merupakan tolok ukur sebagai dasar tindakan manusia
yang telah manunggal, yaitu kemanunggalan/satu kesatuan antara

283
mikrokosmos dan makrokosmos dari suatu keseluruhan yang saling
mempengaruhi. Zoetmulder (1983: 268-269) menyatakan bahwa:
Satu kesatuan alam semesta dan semua makhluk di dalamnya dengan
segala bentuknya selalu dipandang sebagai manifestasi dari Yang
Mutlak dan sebagai representasi sebuah kesempurnaan. Alam tidak
hanya dapat dipersonifikasikan dengan sifat-sifat dan bentuk-bentuk
manusiawi, akan tetapi juga memberi reaksi dengan cara manusiawi,
turut ambil bagian dalam perasaan manusia yang bergerak di tengah-
tengah alam itu (Setyani, 2011: 6).

Oleh karena itu segala tindakan yang dilakukan manusia Jawa


merepresentasikan keadaan batin mereka secara individu sebagai
konsentrasi diri untuk menuju kesempurnaan. Salah satu cara
penyempurnaan dalam kehidupan manusia Jawa diajarkan oleh para
leluhurnya, baik langsung maupun tidak langsung. Karya sastra
merupakan wahana penyampaian ajaran secara tidak langsung. Serat
Wedhatama memberikan gambaran manusia mencapai kehidupan
sempurna, yaitu dengan menjalankan sembah catur. Arti kata sembah
dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu menghormati, menyayangi, memohon,
menyerahkan diri dan menyatukan diri. Dengan kata lain, sembah catur
merupakan ajaran yang disampaikan agar manusia dapat mencapai
kesempurnaannya. Pada larik-larik tembang pucung pupuh tiga dari
Serat Wedhatama ditegaskan bahwa:

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,


lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani,
setya budya pangekese dur angkara.

Tembang tersebut bermakna bahwa ilmu atau pengetahuan


yang dimiliki dapat bermanfaat apabila dijalankan, tidak sekadar
diketahui, dipahami, atau dihayati. Hal itu dapat terimplementasi
dalam kehidupan sehari-hari dan senantiasa merupakan tindakan
yang mengalir dalam setiap sendi untuk dilangkahkan. Bagi setiap
manusia yang memiliki tujuan hidup mencapai kesempurnaan, akan
bertindak untuk kepentingan masyarakat atau lingkungan, bahkan
lebih luas bagi bangsa dan negara dengan caranya masing-masing.
Dalam masyarakat Jawa dikenal konsep memayu hayuning bawana.
Budya Pradipta (2004: v) mengemukakan terjemahan bebas memayu
hayuning bawana yaitu mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan
kesejahteraan hidup di dunia. Konsep tersebut dapat dilaksanakan
oleh setiap manusia yang memiliki jiwa berbangsa dan bernegara di
dalam dirinya. Hal itu dapat terlaksana apabila manusia menyadari

284
dan memahami dengan bersungguh-sungguh bahwa ilmu (hakikat)
di mana pun keberadaannya tidak berbeda, seperti terungkap dalam
pupuh pucung bait 8 beriktu:
Nora weruh
rosing rasa kang rinuruh
lumeketing angga
anggere padha marsudi
kana kene kaanane nora beda

Terjemahan:
Tidak mengetahui,
inti ilmu (hakekat) yang dicari,
sesungguhnya ada di dalam diri,
asalkan mau berusaha,
sana sini keadaan (ilmu)-nya tidak berbeda.

Dengan kata lain, segalanya berawal dari dalam diri manusia


pribadi sebagai mikrokosmos yang kemudian memancar keluar
(makrokosmos) hingga terjadi hubungan timbal balik di antara
keduanya (satu kesatuan).
Kesempurnaan ilmu (hakikat) dalam Serat Wedhatama dapat
dilaksanakan dengan menjalankan sembah catur atau empat sembah.
Sembah catur disebutkan pada pupuh keempat, tembang gambuh, bait
pertama dengan tuturan larik-lariknya sebagai berikut:

Samengko ingsun tutur,


sembah catur supaya lumuntur,
dhihin raga cipta jiwa rasa kaki,
ing kono lamun tinemu,
tandha nugrahaning Manon.

Terjemahan:
Saya sampaikan sekarang,
empat jenis sembah supaya dipahami,
pertama raga, (selanjutnya) cipta, jiwa, (dan) rasa anakku,
di situ hanya ditemukan,
tanda-tanda anugerah dari Yang Maha Mengetahui.

Keempat jenis sembah (sembah catur) itu diharapkan dapat


dipahami oleh kaum muda (tersirat dari kata anakku), dan dinyatakan
pula bahwa sembah catur merupakan jalan untuk memperoleh
anugerah dari Hyang Manon (Yang Maha Mengetahui). Penulis Serat
Wedhatama seolah berharap bahwa keempat sembah tersebut dapat
dijadikan sebagai pijakan perilaku dalam berkehidupan, terutama bagi
kaum muda. Pada larik-larik berikutnya, keempat sembah tersebut
dijabarkan secara rinci bagaimana seharusnya pelaksanaan sembah
catur menjadi satu kesatuan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

285
Maknawi Sembah Catur
Masing-masing sembah catur tersebut apabila dipandang dalam
sebuah tataran laku, merupakan tingkatan perjalanan pengenalan diri
manusia secara pribadi (pakartine wong amagang laku). Tingkatan laku
dalam wujud realitas sembah raga sebagai tingkat perjalan awal adalah
membersihkan diri dengan menggunakan sarana air (Susucine asarana
saking warih; gambuh: bait 2). Raga merupakan jasad yang senantiasa
harus dijaga dan dirawat demi kesehatannya (lahir maupun batin)
sehingga dapat bekerja dan melaksanakan tugas-tugasnya di dunia
dengan baik. Apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
maka akan mencapai keberhasilan dan memperoleh anugerah watak
pemimpin (sing sapa temen tinemu, nugraha geming kaprabon; gambuh:
bait 10).
Pada tingkatan berikutnya adalah sembah cipta atau sembah
kalbu. Sembah ini masih berkaitan dengan jasad, namun bentuk
penyucian yang dilakukan lebih pada kesadaran akan hawa nafsu
atau keinginan jasad dan tidak lagi menggunakan air (sucine tanpa
banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu; gambuh: bait 12). Dalam
bekerja menyampaikan apa yang ada diciptanya dengan niat dan
dilaksanakan dengan cermat, berhati-hati, tekun, serta ulet, tidak
mudah tergoda, dan penuh kewaspadaan hingga menjadi watak
dasar pribadi (pambukane tata titi ngati-ati, atetep telaten atul, tuladan
marang waspaos; gambuh: bait 12). Apabila tingkatan ini dijalankan
secara teratur dan berkesinambungan merupakan jalan menuju olah
spiritual tingkat tinggi yang dimiliki seorang raja (yen lumintu uga dadi
laku, laku agung kang kagungan Narapati; gambuh: bait 11). Sebab itu
merupakan tujuan dari ajaran ilmu ini, agar dapat mengetahui dan
mengenal terhadap yang mengasuh diri pribadinya, yaitu guru sejati
(patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong; gambuh: bait 11).
Pembersihan diri pada tingkat sembah kalbu tersebut dengan
menggunakan mata hati atau penglihatan sejati hingga mencapai
tujuan dengan cara yang benar (mring jatining pandulu, panduk ing
ndon dadalan satuhu; gambuh: bait 13). Pelaksanaan dilakukan dengan
memusatkan perhatian atau konsentrasi tinggi terhadap gejala-gejala
batin, sehingga rahasia alam dapat terkuak (lamun lugu legutaning
reh maligi, lagehane tumalawung, wenganing alam kinaot; gambuh: bait
13). Bahkan jika tingkatan ini telah tercapai (yen wis kambah kadyeku;
gambuh: bait 14), maka akan menemukan keadilan Tuhan Yang Maha
Mengetahui (kono adile Hyang Manon; gambuh: bait 14).
Berikutnya adalah sembah jiwa yang memiliki tingkatan lebih
dalam dan terlepas dari urusan jasad. Dalam tataran ini manusia dapat

286
memahami hakikat kehidupan terhadap apa yang dilakukannya, bahwa
kehidupan ini mengalir mengikuti/berselaras dengan alam semesta
dan disebut sebagai ujung jalan spiritual (ingaranan pepuntoning laku;
gambuh: bait 17). Segala sesuatu yang dilakukan dalam ketenangan,
ketentraman, kedamain, kebahagiaan dengan kesungguhan batin
dan cara menyucikan diri senantiasa selalu memiliki kewaspadaan
dan kesadaran terhadap alam atau dunia abadi (kalakuwan tumrap
kang bangsaning batin, sucine lan awas emut, mring alaming lama amot;
gambuh: bait 17).
Keberhasilan mencapai perjalanan sembah jiwa ini ditandai oleh
pertemuan diri dengan pribadinya sebagai petunjuk (tarlen mung
pribadinipun, kang katon tinonton kono; gambuh: bait 20). Gambaran
petunjuk yang disampaikan adalah munculnya cahaya sejati sebagai
energi penunjuk jalan yang akan membimbing atau menggerakkan
akal budi (kono ana sejatining urub, yeku urub pangarep uriping budi;
gambuh: bait 21). Di situlah letak dimensi kedalaman hati yang
menguakan rahasia penyatuan kekuasaan (kuasa-menguasai) alam
semesta dalam diri pribadi ditandai oleh cahaya bagaikan bintang
yang bersinar terang (yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku
winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku,
mring kang pindha kartika byor; gambuh: bait 22).
Petunujuk tersebut memberikan gambaran bahwa keselarasan
mikrokosmos dan makrokosmos senantiasa menjadikan diri tersamar
dalam wujud jasad yang membalutnya. Akan tetapi jiwa menuntun
keadaan dan keberadaan jasad dalam satu kesatuan yang mandiri,
sehingga mempengaruhi perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tingkatan keempat, sembah rasa merupakan tataran tertinggi
atau yang terdalam atau halus. Rasa menempati kesadaran hakiki
di luar jasad diri dan berada pada inti diri yang terdalam/tertinggi.
Perjalanan yang dilaksanakan tidak membutuhkan petunjuk (dadine
wis tanpa tuduh: gambuh: bait 23), karena telah menyatu dengan rasa
hidup atau manunggal dalam satu wujud Tuhan yang terhampar
di alam semesta (rasaning urip iku, krana momor pamoring sawujud,
wujudollah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, gambuh:
bait 29).
Apabila telah memahami dan menghayati gambaran itu, mengerti
sabdaNya, segala hakikat kehidupan menjadi tampak nyata baik lahir
maupun batin (yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamoaning hebing
kang Mahasuci, kasat mata lair batos; gambuh: 30). Pencapaian tersebut
memunculkan tindakan apa adanya, segala yang dijalani adalah
merupakan kehendak Allah/kersaning Gusti, sehingga manusia hanya

287
sekadar mensyukuri.
Ciri orang yang sudah mencapai tataran sembah rasa ini antara
lain:
− Memiliki rasa kasih yang dalam dan dapat menyesuaikan sikap
berdasarkan saat dan tempat yang tepat (widadaning budi sadu,
pandak panduking liru nggon; gambuh: bait 31).
− Berkata benar dan tepat, karena ucapannya bukanlah sepenuhnya
atas kehendak diri pribadinya (ing kono yekti karasa, dudu ucape
pribadi; kinanthi: 5).
− Tidak suka omong kosong dan mencampuri urusan orang lain
(tan dahwen pati-openan; kinanthi: bait 12).
− Tidak suka iri hati dan berbuat jahil (tan panasten nora jail; kinanthi:
bait 12).
− Memiliki sikap yang tenang untuk mencapai keheningan jiwa
(among eneng mamrih ening; kinanthi: bait 12).
− Terkenal memiliki budi pekerti luhur dan pandai menyesuaikan
diri (kaunang ing budi luhur, bangkit ajur-ajer; kinanthi: bait 13)
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Serat Wedhatama
karya Mangkunegara IV tersebut sebagai ajaran menyampaikan
sembah catur yang masih sangat relevan hingga saat ini. Bagi yang telah
diberi dan melaksanakan ajaran tersebut akan menjadi manusia utama
(supadya dadya utami; kinanthi: bait 2), mampu melenyapkan segala
rintangan (pasah wukir reksamuka, kekes srabedaning budi; kinanthi, bait
3), bahkan apabila senantiasa dapat menjaga kesadaran laku sembah
catur semakin bertambah anugerah sabda dari Yang Maha Suci (yen
yuwana ing salami, marga wimbuhing nugraha, saking Heb Kang Maha
Suci; kinanthi: bait 15).
Dengan kata lain, seseorang yang sudah menguasai sembah catur,
ia dapat memanusiakan diri pribadinya. Secara tidak langsung dalam
berkehidupan ia mengimplementasikannya sebagai dasar perilaku
berbangsa dan bernegara.
Sesungguhnya keempat jenis sembah tersebut telah dilakukan
dalam wujud realitas kehidupan sehari-hari di berbagai daerah di
Nusantara sesuai dengan kebudayaan yang melingkupinya. Budaya
dari suatu negeri melambangkan suatu bangsa. Keberadaban bangsa
dapat terlihat dari aplikasi budaya yang terdapat dalam kehidupan
masyarakatnya. Tindakan sembah sebagai salah satu yang mewujudkan
nilai-nilai etis, estetis, sekaligus religius itu merepresentasikan budaya
setempat. Baik dalam ritual keagamaan, praktik-praktik laku, bentuk-
bentuk kesenian (terutama tari-tarian) maupun sikap dan perilaku
dalam berkehidupan, Berikut dapat terlihat implementasinya dalam

288
wujud realitas tersebut.

Implementasi Sembah Catur Dalam Wujud Realitas


Dalam ritual keagamaan di berbagai daerah Nusantara tindakan
sembah merupakan perilaku inti dan paling diutamakan. Dua contoh
yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu perilaku sembah
umat Hindu di Bali dengan panca sembah-nya dan istilah munjung
dalam konsep sembah di Jawa Barat.
Ritual sembah bagi umat Hindu di Bali diuraikan dalam lontar
Panca Sembah yang dilaksanakan sebagai tradisi sembah yang terdiri
dari lima jenis sembah, yaitu sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke
dewa dan Hyang Widhi. Menyembah bhuta atau alam semesta dengan
cara tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk
mencurahkan kasih sayang pada alam untuk menjaga kelestariannya.
Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah
seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. Menyembah

289
dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas
mata. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap
anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita
serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati.
Tradisi perilaku panca sembah merupakan bagian dari serangkaian
upacara di Bali yang dimaksudkan untuk memberi pemujaan sesuai
dengan jenis tindakan sembah yang dilakukan. Tidak berbeda jauh
dengan tindakan sembah munjung. Hanya saja munjung secara khusus
dilakukan sebagai rasa penghormatan.
Secara etimologis kata Munjung  mengandung arti menjunjung
atau meninggikan derajat atau penghormatan sangat tinggi.
Sikap  munjung  adalah cara atau tata-krama menghaturkan hormat
bangsa Nusantara kepada sesuatu yang dituju, yaitu dengan cara
merapatkan kedua telapak tangan di depan wajah. Sikap ini merupakan
ungkapan rasa hormat yang sangat tinggi.
Dalam suatu acara perhelatan sikap  munjung selalu digunakan
sebagai pembuka dan penutup sebagai rasa penghormatan
(menyembah). Jadi, bangsa Nusantara tidak melakukan sembah
dengan cara  bersujud. Menghormat dan menjunjung tinggi dengan
sikap munjung merupakan bentuk penghormatan yang sangat dalam
dan agung.  Dalam konsep Jawa, sembahan jengkeng  kepada Sultan
sebagai penguasa keraton dimaksudkan untuk menghormati dan
tunduk takluk atas kekuasaannya.
Perilaku munjungan secara umum masih dilakukan oleh hampir
seluruh bangsa Indonesia yang masih memegang adab tata-krama
(sopan-santun), seperti munjung kepada orang yang dituakan ataupun
kepada orang tua sendiri. Selain itu sikap munjungan juga digunakan
bagi penghormatan kepada para leluhur yang sudah meninggal dunia
dan kepada para Hyang serta Yang Maha Kuasa1.
Selain itu, tindakan sembah pun sering terlihat pada pertunjukan-
pertunjukan seni tari dari berbagai daerah, Jawa dan Lampung misalnya.
Dalam tarian Bedhaya Ketawang, posisi sembahan dimaksudkan untuk
melambangkan bahwa manusia harus menghormati Tuhan sebagai
Sang Pencipta.
Di Provinsi Lampung, salah satu jenis tarian yang terkenal
adalah Tari Sembah atau disebut pula Sigeh Penguten. Oleh masyarakat
lampung, ritual tari sembah biasanya diadakan untuk menyambut dan
memberikan penghormatan kepada para tamu atau undangan yang

1 http://cahyadiargo.tumblr.com/post/1081307117/cara-menghormat-bangsa-nu-
santara

290
datang pada acara begawi (hajatan adat), seminar, kunjungan tokoh
masyarakat, dan lain-lain.
Akan tetapi saat ini tari Sigeh Penguten sudah seperti tarian wajib
di berbagai acara sebagai tarian ritual penyambutan. Selain sebagai
ritual penyambutan, tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam
upacara adat pernikahan masyarakat Lampung. Selain itu juga untuk
menjaga keharmonisan dalam kehidupan. Dianggap pula sebagai
pemersatu antara Lampung Pepadun dan Lampung Peminggir
(Pesisir) untuk mengokohkan identitas Provinsi Lampung2.
Dengan demikian tindakan sembah sudah menjadi tradisi yang
dilaksanakan di berbagai daerah di Nusantara. Perilaku tersebut
memuat nilai-nilai etis, estetis, dan religius yang terangkum dalam
nilai-nilai sosial. Bahkan hingga saat ini perilaku sembah merupakan
sikap yang senantiasa dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan. Secara
tidak langsung tindakan tersebut menjadi ciri perilaku berbangsa dan
bernegara bagi masyarakat Indonesia. Manfaat lebih dalam terjelaskan
dari ajaran sembah catur yang termuat dalam Serat Wedhatama. Bagi yang
telah menguasai ajaran tersebut dan berhasil melaksanakan dengan
penuh kesadaran secara berkesinambungan dalam kehidupannya
sehari-hari, ia merupakan manusia yang memiliki dasar perilaku
berbangsa dan bernegara, khususnya Indonesia.

Kesimpulan
Sembah Catur merupakan ajaran yang disampaikan kepada kaum
muda agar senantiasa menguasai ilmu (hakikat) sebagai bekal dalam
kesempurnaan hidupnya. Bagi masyarakat Jawa, kesempurnaan
hidup merupakan keseimbangan antara mikrokosmos (manusia) dan
makrokosmos (alam semesta) dalam hubungan keilahian. Manusia yang
menguasai sembah catur dapat menjadi teladan yang memanifestasikan
diri pribadi untuk memancarkan cahaya Ketuhanan sebagai inti
ilahiah. Oleh sebab itu, ajaran sembah catur dapat dijadikan pedoman
dan pengamalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa Sembah
Catur dalam Serat Wedhatama apabila dipelajari, dipahami, dihayati
secara mendalam dapat diamalkan, bahkan dijadikan sebagai pedoman
dasar perilaku atau tindakan manusia berbangsa dan bernegara,
khususnya bangsa dan negara Indonesia.

2 Sinar Harapan, sabtu, 20 November 2010

291
DAFTAR PUSTAKA

Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.


Fatchurrohman. 2003. KGPAA Mangkunagara IV, Wedhatama dan Tafsir
Terjemahan. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Setyani, Turita Indah. 2011. Tantu Panggelaran Representasi Ruang Simbolik
Dalam Konsep Kesempurnaan Dunia Jawa. Tesis. Program Studi
Ilmu Susastra, FIB UI.
Setyodarmodjo, Soenarko dkk. 2007. Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafati tetang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Zaehner, R.C. 2004. Mistisisme Hindu Muslim. Terjemahan dari Hindu and
Musllim Mysticism. Penerjemah: Suhadi. Yogyakarta: LKiS.
Zoetmulder, PJ. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan.

292
KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA
TUK SI BEDUG MEMBENTUK KARAKTER
MASYARAKAT MRANGGEN, SLEMAN

Suwarna
Universitas Negeri Yogyakarta

1. Pendahuluan

M enjadi pusat kebudayaan terkemuka pada tahun 2020 merupakan


visi kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sri Suwito,
2008). Visi ini sangat tepat karena Yogyakarata memiliki unggulan
yang dapat menjadi icon yakni keunggulan budaya. Itulah sebabnya
Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya, selain sebutan lainnya
seperti kota pelajar dan perjuangan. Para wisatawan, baik domestik
maupun mancanegara telah mengenal bahwa Yogyakarta memiliki
kebudayaan yang unik dan menarik untuk menjadi tujuan wisata.
Namun patut disayangkan tujuan wisata tersebut masih terpusat di
kota Yogyakarta, baik haritage yang bersifat tengible maupun intangible
padahal masih banyak potensi lokal (di luar kota Yogyakarta) yang
potensial. Oleh karena itu, perlu digali dan dikajikembangkan berbagai
potensi lokal lainnya yangberada di luar perkotaan Yogyakarta.
Akibatnya perputaran berbagai hal yang terkait dengan wisata
(ekonomi, income, PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya terpusat di
kota dan kurang menjangkau daerah-daerah yang memiliki potensi
seni budaya yang layak atau patut menjadi aset wisata di Yogyakarta.
Selain itu tujuan wisata terpusat pada icon-icon besar saja seperti
Malioboro, Kraton, pantai, kerajinan perak, kerajinan baik, dan
sebagainya. Potensi seni dan budaya (baik tangible dan intangible)
belum tergarap dengan baik.
Potensi wisata di luar perkotaan Yogyakarta banyak tersebar di
empat kabupaten lainnya, salah satunya adalah Kabupaten Sleman.
Banyak potensi wisata di Kabupaten Sleman yang dapat bertahan
hingga kini dari ratusan tahun silam, yakni zaman Demak. Berbagai
upacara tradisi masih lestari. Suatu tradisi yang sudah berlangsung
ratusan tahun dan bertahan hingga kini dipastikan memiliki
keunggulan sehingga dapat bertahan hingga kini. Walaupun zaman
sudah maju dan canggih, namun tradisi lokal masih tetap bertahan.
Gempuran zaman, desakan globalisasi tidak mengikis kearifan lokal

293
yang diyakini oleh masyarakat pendukung tradisi.
Salah satu upacara tradisi di Kabupaten Sleman adalah upacara
tradisi Tuk si Bedug. Upacara tradisi Tuk si Bedug berada di Desa
Mranggen, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.Upacara selalu diakhiridengan puncak acara Jumat
Kliwon.Jumat pada setiap tahunnya berkisar antara bulan Juni akhir
hingga awal Juni. Ada berbagai acara pada setiap upacara tradisi,
yakniacara hiburan seperti pasar malam yang berlangsung minimal
dua minggu sebelum pelaksanaan upacara Tuk si Bedug, kesenian
seperti ketoprak, karawitan, wayang kulit, macapatan, kubrasiswa,
angguk (jatilan wanita), dan kesenian lainnya seperti drama, teater,
pentas tari, dan kirab yang diakhiri dengan fragmen terjadinya Tuk
si Bedug. Ini merupakan agenda
rutin setiap tahun di antara
bulan Juni-Juli.Upacara tradisi
yang dilasanakan secara turun-
temurun ini cenderung semakin
berkembang dari berbagai segi
seperti performansi, agenda
acara, penonton selalu bertambah,
berbagai stand kuliner, bahkan
sandang, pangan, hingga stand
motor.

Kirab Kanjeng Sunan Kalijaga


(Koleksi KKN PPM UNY)

2. Kearifan Lokal Upacara Tuk Si Bedug


2.1 Cerita Tuk si Bedug
Upacara tradisi Tuk si Bedug bermula dari cerita Sunan Kalijaga.
Dikisahkan Sunan Kalijaga berdakwah hingga di suatu wilayah
yang disebut Desa Mranggen. Pada saat akan melaksanakan sholat
dhuhur tidak ada air. Kemudian dengan izin Allah, Sunan Kalijaga
menancapkan tongkatkan dan keluarlah air dari tancapan tongkat
tersebut. Karena kejadian itu pas tengah hari (bedhug: Jawa), tempat
keluarnya air disebut Tuk si Bedug atau mataair yang keluar pada saat
tengah hari. Air itu digunakan untuk wudlu sholat dhuhur.
Suatu hari Sunan Kalijaga memotong kuku dan menyisir rambut.
Saat menyisir rambut banyak rambut yang rontok.Sunan Kalijaga
terhegar hati mengapa banyak rambut yang rontok. Tangan yang
memegang rambut pun gemetar (nggregeli: Jawa) sehingga rambut

294
pada jatuh. Oleh muridnya yang bernama Bagus Mukmin, rambut
dan potongan kuku dikubur untuk menghormati sang guru. Tempat
menguburkan rambut dan kuku tersebut sekarang masih terpelihara
dengan nama petilasan Ketandhan. Lokasi mataair pun samih terhaga
hingga sekarang dan didirikan masjid di Dusun Mranggen tersebut.
Hingga kini peristiwa tersebut dikenang dengan pelaksanaan upacara
Tuk si Bedug.

2.2 Kearifan Religi


Cerita Tuk si Bedug yang berakar dan berawal dari syiar agama
Islam yang dilakukan oleh wali yang paling tersohor di Tanah Jawa
(Sunan Kalijaga) hingga kini masih tetap terpelihara, baik dari segi
cerita religi maupun dalam pelaksanaan kegiatan relegius, yakni
beribadah agama Islam. Agama yang telah tertanam pada jiwa
penganutnya tidak mudah tergoyahkan seperti pepatah lekang kena
panas, tak mudah luntur kena hujan.Kearifan agama ini telah merasuk
ke hati sanubari pada warga Desa Mranggen Sleman dan menjadi
dasar perilaku religius dalam kehidupan beragama dan kehidupan
sehari-hari.Upacara Tuk Si Bedug dipastikan dilaksankaan pada
hari Jumat Kliwon memiliki religi sinkretis.Religi ditandai dengan
hari Jumat.Hari Jumat menurut orang Islam merupakan hari terbaik.
Sinkretis ditengarai oleh hari pasaran kliwon.Pasaran kliwon apabila
jatuh pada hari Jumat atau Selasa sehingga menjadi Jumat Kliwon
atau Selasa Kliwon merupakan hari yang istimewa bagi masyarakat
Jawa.hari itu dipercaya memiliki tuah, hari yang gawat (wingit), hari
yang memiliki daya magis, dan hari untuk mencari keberuntungan,
dan sebagainya.
Berbagai seni yang ditampilkan pada upacara tradisi Tuk Si
Bedug yaknikesenian seperti ketoprak, karawitan, wayang kulit,
macapatan, kubrasiswa, angguk (jatilan wanita), dan kesenian lainnya
seperti drama, teater, pentas tari, dan kirab yang diakhiri dengan
fragmen terjadinya Tuk si Bedug.Kesenian ini berlangsung beberapa
hari (kurang lebih 5 hari hingga kirab tekahir).

2.3 Kearifan Estetis


Secara filosofi seni adalah keindahan.Seni yang ditampilan dalam
upacara Tuk si Bedug memiliki berbagai keindahan. Keindahan itu
antara lain (1) keindahan cerita dari segi alur, masalah, klimak, dan
antiklimak, (2) keindahan busananya, (3) keindahan penampilannya
(seni panggung), (4) keindahan suara, baik musik pengiring maupun
suara lagu dari para pemain/tokohnya (seni suara), dan (5) keindahan

295
seni rupa tatah sungging
(seperti wayang).

Pagelaran wayang kulit

2.4 Karifan Dedaktis


Kearifan juga terdapat dalam ajaran (dedaktis) pada setiap
rangkaian upacara. yang terdapat di dalamnya, baik yang berada
dalam cerita ketoprak, wayang kulit, macapatan, tarian kubrasiswa,
angguk, jatilan, drama, teater, tari, dan kirab. Ajaran baik pasti
dapat mengalahkan yang buruk ‘suradira jayaningrat lebur dening
pangastutiterdapat dalam ketoprak, wayang, drama, teater. Berbagai
ajaran kehidupan agama, rumah tangga, bermasyarakat, pemerintahan,
polittik, terdapat dalam berbagai buku yang digunakan dalam
macapatan.Tari kubrasiswa (bernafaskan Islam) dan angguk sesungguh
tari latihan persiapan perang pada zaman penjajahan.Agar latihan itu
tidak dilarang oleh penjajah, maka perlu dikemas secara tersembunyi
dalam bentuk tarian.Sekarang tari ini murni berperformansi seni. Seni
drama dan teater berisi tentang ajaran untuk kawula muda, dengan
berbagai cerita seperti tema anti narkoba, antipergaulan bebas,
marih cita-cita tinggi, tidak pernah putus asa, membangun desa, dan
sebagainya.

2.5 Kearifan terhadap alam


Dalam upacara kirab, kirabkan gunungan yang berisi berbagai
hasil bumi seperti buah-buahan, kacang-kacangan, berbagai hasil
panen mentimun, wortel, ketela, gembili, ubi, buah-buahan, jajan
pasar dan sebagainya. Jumlah gunungan tidak ditentukan tergantung
dari hasil panen.Kirab terbesar terjadi tahun 2009 dengan didukung
17 kelompok kirab dari desa-desa yangberada di Kecamatan Seyegan
Sleman. Ini merupakan keberhasilan mahasiswa Universitas Negeri
Yogyakarta (penulis sebagai pembimbingnya/dosen pembimbing
lapangan/DPL) ketika KKN di wilayah Kecamatan Seyegan.Gubungan
dipikul dan diarak sepanjang jalan dan berakhir di temapt fragmen
penancapan tongkat Sunan Kalijaga.
Berbagai hasil bumi merupakan refleksi agar manusia dapat
menghargai dan mengolah alam sehingga dapat menghasilkan bahan

296
Gunungan dan Kirab Tuk si Bedug
(Koleksi KKN PPM UNY)

makanan yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri.Semakin manusia


dapat bekerjasama dengan alam semakin baik alam dengan manusia,
yakni dengan memberikan berbagai manfaat bahan sandang dan
pangan.Selain itu kirab berbagai hasil bumi juga merupakan tanda
syukur kepada Tuhan atas karunia-Nya.

2.6 Kearifan Pengabdian kepada Kraton


Setiap kirab busana peserta kirab senantiasa berkiblat pada
busana kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Ini adalah wujud
kesetiaan, pengabdian, dan kepatuhan rakyat Yogyakarta kepada
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Aura dan kewibawaan raja masih
kental bagi warga desa di wilayah Yogyakarta. Banyak warga yang
menjadi abdi dalem kraton dengan setia.Sebagai abdi dalem hanya
berharap atas berkah kewibawaan sultan, tidak berharap atas imbalan.
Kirab tidak hanya terdiri prajurit kraton, tetapi juga para gadis, ibu-
ibu petani dengan membawa berbagai hasil panenan.

297
Mahasiswa KKN Kirab busana prajurit
menjadi pemimpin kirab

2.7 Kreativitas
Walaupun setiap tahuan upacara Tuk si Bedug dilaksanakan
dengan acara rekatif sama, namun setiap tahun muatannya selalu
berganti atau baru. Jika tidak diperbaharui, tidak mungkin akan
lestari hingga ratusan tahun. Jika tidak diperbaharui setip tampilan,
orang pasti akan bosan. Di sinilah seni kreasi dari pada seniman dan
panitia penyelenggara.Contoh tahun 2009 masyarakat bersama dengan
mahasiswa UNY membuat lakon ketoprak yang menceriterakan
terjadinya Tuk si Bedug.Lakon ini telah dibukukan dan menjadi salah
satu kekayaan lakon.Sebelumnya tidak ada karena tidak ada yang
membuat lakon tersebut. Tahun-tahun sebelumnya pentas ketoprak
senantiasa melakonkan lakon-lakon umum seperti Minakjingga, Hariya
Penangsang, Jaka Umbaran, Sultan Agung, Pangeran Sambernyawa,
dan lakon-lakon carangan (kreasi baru) lainnya.

2.8 Kearifan Ekonomis


Sebelum upacara utama kirab dan penancapan tongkat
berlangsung, telah ada pasar malam hiburan rakyat. Selain itu tradisi
Tuk si bedug juga berlangsung selama rata-rata lima hari. Selama
pelaksanaan tersebut geliat ekonomi begitu tampak, baik para penjual
kuliner, hasil bumi, sandang, bahkan berbagai dealer motor pun ikut
berjualan (mamasang stand).Dengan demikian perputaran ekonomi
dapat terjadi. Para penduduk setempat jug dapat memanfaatkan
situasi tersebut untuk menciptakan keuntungan. Banyak wisatawan
yang berkunjung sehingga memacu usaha barang-barang kebutuhan
primer maupun sekunder.

298
2.9 Potensi Wisata
Upacara Tuk si Bedug merupakan salah satu agenda wisata di
Kabupaten Sleman.Upacara ini juga menjadi binaan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Sleman.Binaan ini cukup berhasil.Menurut
Baskara Aji (Kabid Kebudayaan Sleman) pelaksanaan upacara Tuk
si Bedug selalu meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi materi
upacara, pengunjung, geliat ekonomi, maupun kualitas penampilan.
Hal ini menjadi daya tarik wisata di Kabupaten Sleman. Kondisi
demikian membuat Disbudpar Sleman berani mem-publish-kan
upacara Tuk si Bedug ke dunia maya sehingga akan dikenal secara
global. Potensi lokal dapat diangkat globalkan dengan berbagai
pendekatan salah satunya teknologi informasi (Chang, 2010). Itulah
ssebabnya mahasiswa KKN UNY berusaha mengembangkan web
untuk Upacara Tuk si Bedug. Hanya saying oleh pemerintah yang
terkait belum dapat dtindaklanjuti secara maksimal.

2.10 Kearifan Kultural


Upacara Tuk si Bedug merupakan salah satu kekayaan budaya
di Sleman.Kultural mengacu pada pengertian budaya.Budaya adalah
semua hasil karya manusia (budi dan daya).Masyarakat Mranggen
merupakan pemangku budaya upacara Tuk si Bedug. Tuk si Beduh
merupakan seni tradisi yang perlu dilestarikan karena di dalamnya
terdapat berbagai muatan karakter ataubudi pekerti seperti (a)
kebersamaan mangan ora mangan ngumpul (oleh Paku Buwono IV) atau
golog gilig (Sri Suwito, 2011), (b) kejujuran, (c) tanggung jawab, (d)
kediplinan, (e) kepercayaan, (f) musyawarah, (g) berbagi bersama, (h)
gotong royong ‘gugur gunung’. Hal tersebut sesuai denganklasifikasi
Character Counts! Coalition ( a project of The Joseph Institute of Ethics)
yang mengeluarkan The Six Pillars of Character, yakni (1) trustworthiness
(keterpercayaan/dapat dipercaya) bentuk karakter yang membuat
seseorang menjadi: berintegritas, jujur, dan loyal, (2) fairness
(kejujuran), bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki
pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain, (3) caring
(kepedulian), bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki
sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi
sosial lingkungan sekitar, (4) respect (menghormati), bentuk karakter
yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang
lain, (5) citizenship (sadar hukum), bentuk karakter yang membuat
seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap
lingkungan alam, dan (6) responsibility (bertanggung jawab), bentuk
karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan

299
selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Tanggung jawab
mengandung/mencakup muatan kelima pilar sebelumnya. Thomas
Lickona (1991) merangkum ajaran karakter tersebut menjadi empat
yakni“knowledge, feeling, loving, dan acting”. Berikut lirik Gugur
Gunung salah satu kearifan lokal karakter orang Jawa pada umumnya
yang dilakukan oleh masyarakat Mranggen, Sleman, Derah Ismiewa
Yogyakarta.

GUGUR GUNUNG
Ayo kanca, ayo kanca ngayahi karyaning praja,
kene, kene, kene, kene gugur gunung tandang gawe,
sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane,
lila lan legawa kanggo mulyaning negara,
siji loro telu papat,
maju papat-papat diulang-ulungake mesthi enggal rampunge,
holobis kontul baris, holobis kontul baris,
holobis kontul baris, holobis kontul baris, (Karya Ki Narto Sabdo)

‘Mari kawan, mari kawan melaksanakan tugas,


Mari, mari, mari, mari bergotong royong,
Seia sekata bekerja bersama teman-teman,
Iklas untuk kemuliaan Negara,
Satu, dua, tiga, empat,
Bekerja empat-empat secara berantai pasti segera selesai,
holobis kontul baris, holobis kontul baris,
holobis kontul baris, holobis kontul baris,

2.11 Kearifan Bahasa


Pelaksanaan upacara Tuk si Bedug menggunakan bahasa Jawa
krama sebagai pengantarnya. Dalam stratifikasi bahasa Jawa (unggah-
ungguh basa Jawa), bahasa Jawa krama memiliki kelebihan, yakni
(a) sangat menghargai mitra bicara, (b) mengandung honorifik
(penghormatan), (c) memperhalus budi pekerti, (d) memiliki etika, (e)
memiliki estetika. Telah dikatakan oleh Saphif Whorf bahwa bahasa
mengemas budaya. Budaya akan dapat terekspresikan dan terlestarikan
jika para masyarakat pendukungnya menggunakan bahasa itu dalam
berbagai kepentingan komunikasi karena bahasa pengemas budaya
(Rahardi, 2009).

3. Karakter Karena Kearifan Lokal


Kearifan lokal belum tentu disadari dan dipahami oleh masyarakat
Mranggen, Sleman, DIY karena mereka memang tidak mengerti dan
memahami akan kearifan lokal yang terdapat pada upacara Tuk si
Bedug. Mereka pun belum tentu ingin tahu dan ingin paham.Itu tidak

300
penting bagi mereka.Yang penting secara turun-temurun mereka
melaksanakan upacara Tuk di Bedug.Kearifan lokal membentuk
karakter warga Desa Mranggen merupakan suatu kunci (Dimermen,
2009) untuk melestarikan upacara tradisi Tuk si Bedug.
Walaupun tidak menyadari dan memahami terhadap esensi
kearifan lokal upacara Tuk si Bedug, tetapi mereka telah mengamalkan
secara langsung (pragmatis). Pelaksanaan ini konsisten dan terus
menerus sehingga membentuk kristalisasi kearifan lokal dalam jiwa
pelaku. Terbentuknya jiwa kearifan lokal pun belum tentu disadari oleh
masyarakat Mranggen.Itulah kehebatan masyarakat pragmatis.Mereka
tidak membutuhkan teori, mereka telah langsung mempraktikkannya
sehingga membentuk karakter dalam membela budayanya.
Karakter bersifat abstrak (tidak dapat dilihat, datan kasat mripat).
Karakter tampak dari perilakunya sebagai gejala jiwa/karakternya .
Karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku. Hill (2002)
berkata “Character determines someone’s private thoughts and someone’s
actions done. Good character is the inward motivation to do what is right,
according to the highest standard of behaviour, in every situation”. Karakter
yang baik merupakan motivasi untuk berbuat baik, bersetuju terhadap
perilaku berbudi luhur dalam setiap situasi.Karakter yang demikian
menjadi suatu kebiasaan dalam bertindak atau berperilaku.
Kebiasaan dan pembiasaan upacara Tuk si Bedug dengan
berbagai acara, peristiwa, tugas, kehidupan bermasyarakat membentuk
kristalisasi kearifan lokal. Mereka langsung mempraktikkan kearifan
religius, estetika, etika, didaktis, ekonomis, pariwisata, kultural,
kreattivitas, pengabdian pada kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
dan sebagainya secara konsisten, ikhlas, dan mulia. Kearifan lokal
ini secara turun-temurun telah diturunkan oleh generasi sebelumnya
ke generasi berikutnya.Teknik pewarisannya dengan melaksanakan
aktivitas secara langsung.Ini cukup demokratis, tidak ada pemaksaan,
tidak ada indoktrinasi, dan tidak ada pembelajaran.Yang ada infiltrasi
budaya yang masuk secara perlahan ke generasi berikutnya. Tongkat
estafet tersebut terbukti sangat efektif dan ampuh hingga upacara
yang telah berlangsung ratusan tahun namun tetap lestari hingga
kini. Ini implementasi semboyan yang dicetuskan oleh Pangeran
Sambernyawa dari Kraton Surakarta rumangsa handarbeni, melu
hangrungkebi, mulat sarira,hangrasawani ‘ikut merasa memiliki, ikut
membela/mengkajikembangkan, introspeksi, dan bertanggung jawab
atau filosofi orang Ngayogyakarta Hadiningrat greget, sengguh, ora
mingkuh ‘semangat, dengan cermat/ pertitungan, dan bertanggung
jawab (Sri Suwito, 2011).

301
Alangkah lebih indahnya jika materi tradisi Tuk si Bedug
yang bermuatan kearifan lokal juga menjadi bagian materi pada
pembelajaran afektif sesuai dengan pendapat Leblanc dan Galava
(2009). Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan).KTSP ini peka lingkungan sehingga yang
diajarkan memang kontekstual seseuai dengan lingkungan kehidupan
siswa.Dapat pula dimasukkan di materi muatan lokal bahasa Jawa
atau pelajaran seni budaya.

4. Penutup
Masyarakat merupakan pemangku budaya.Kearifan lokalyang
telah menyatu dengan karakter masyarakat pemangkunya dapat
terus lestari dan berkembang.Kearifan lokal telah menyatu dengan
kepribadiannya hingga membetuk suatu karakter.Karakter masyarakat
ditentukan oleh interaksi individu dengan masyarakat budaya di
sekelilingnya. Secara umum pelestarian kearifan lokal dilakukan secara
infiltrasi konvensional, yakni dilakukan secara perlahan dengan langsung
mempraktikkan (pragmatis) dan secara tradisi turun-temurun.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, Yin Cheong. 2005. New Paradigm for Re-engineering Education.
Dorddrecht: Springer.
Dimermen, Sara. 2009. Character is The Key. Canada: Wiley.
Hill, T.A., 2005. Character First! Kimray Inc., http://www.charactercities.org/
downloads/publications/Whatischaracter.pdf.
Leblanc, Patrice R & Gallava, Nancy P. 2009.Affective Teacher Education. New
York: Association of Teacher Educattors.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, & Lewis, Catgerine. 1998. “Eleven Principles of
Effective Character Education” In Scholastic Early Childhood Today,
Nov/Dec 1998., 13; 3; . ProQuest Eduation Journals pg 53-55.
Rahardi, R. Kunjana. 2009. Bahasa prevoir Budaya. Yogyakarta: Pinus.
Sri Suwito, Yuwono. 2008. Eksistensi dan Kinerja Dewan Kebudayaan Propinsi
DIY. Yogyakarta: Disbudpar.
_________. 2010. Tata Nilai Budaya Jawa Yogyakarta. Makalah Seminar Centre of
Exellence Budaya Lokal. Yogyakarta: Hotel Shapir.

302
UPACARA “NGALAKSA” DI KABUPATEN
SUMEDANG SEBUAH KEARIFAN LOKAL
DARI TATAR SUNDA

Retty Isnendes
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Pendahuluan

U pacara adat yang hidup dan berkembang di tatar Sunda sangat


banyak. Salah satunya adalah upacara yang menjadi ritual
masyarakat Sunda di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang
yang disebut dengan upacara Ngalaksa. Mengenai upacara ini, sudah
lama diberitakan dan sudah banyak diinformasikan keberadaannya,
tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, baru pada bulan Juli
2011 observasi dilaksanakan.
Upacara Ngalaksa yang dilakukan bulan Juli 2011, dilaksanakan
selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut dari tanggal 4 s.d. 10
Juli 2011, sama seperti pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya1.
Upacara ini dilaksanakan dengan khidmat dan wajib diikuti oleh
segenap lapisan masyarakat, terutama warga desa dan para keturunan
dari leluhur yang berasal dan menetap di daerah tersebut. Pada
waktu observasi, yang bertugas menampilkan seni tarawangsa dan
mengiringi kegiatan upacara Ngalaksa adalah komunitas dari Desa
Cikeusik Kecamatan Rancakalong.
Ngalaksa dilaksanakan dengan maksud menghormati arwah
leluhur yang telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit
padi, juga sebagai rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang
dilimpahkan dalam kehidupan para petani. Menurut Kartikasari, dkk
(1991:22), ngalaksa adalah: 1) ada hubungannya dengan perubahan
cara bertani dari sistem perladangan pada sistem pertanian di sawah,
sekaligus mengembangkan sistem perairan dan sawah-sawah berteras,
2) pengungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada tuhan YME
melalui Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah melimpahkan kesuburan dan
keberhasilan panen pada penduduk. Upacara itu sekaligus sebagai
prasarana pemuas keinginan berkomunikasi manusia dengan khalik
yang dipuja sebagai kekuatan adikodrati tertinggi.

1 Wawancara dengan Apa Sukarma, 04 Juli 2011 jam 21.00 di rumahnya di Desa
rancakalong Kecamatan Rancakalong.

303
Upacara Ngalaksa yang sebelumnya dilaksanakan tiga atau
empat tahun sekali (Kartikasari, dkk, 1991:22), sekarang dilaksanakan
satu tahun sekali (Nugraha, 2010)2. Hal ini berhubungan dengan
pengelolaan pemerintah Kabupaten Sumedang, dibawah Bupati H.
Yon Murdono yang menjadikan Ngalaksa sebagai aset perintah daerah
dalam hal kepariwisataan yang bisa mendatangkan devisa. Upacara
tradisional yang dilaksanakan setelah panen ini, diwujudkan dalam
budaya yang nampak yaitu berupa pembuatan laksa3 oleh kaum wanita
dan dibantu oleh kaum laki-laki dari daerah yang bersangkutan.
Upacara ini memang sangat menarik bila dilihat dari segi struktur
dan isi, juga keunikan namanya, sehingga pada laman di dunia
maya terdapat sekira 5.620 laman dari hasil penelusuran. Tetapi bila
diperhatikan lebih mendetail, jumlah tersebut terus bertambah dan
ternyata bercampur dengan kata ‘Ngalaksa’ yang dilaksanakan oleh
masyarakat adat Baduy (Kanekes). Walaupun ada dua upacara dengan
nama yang sama (Ngalaksa), dalam pelaksanaannya jauh berbeda.4
Populernya upacara Ngalaksa di tataran praktis tidak berbanding
lurus dengan tataran akademis, terutama sebagai tulisan hasil
penelitian. Sementara ini hanya beberapa yang didapatkan. Di KITLV
Leiden-Belanda, terdapat satu buku yang berjudul Pengukuhan Nilai-
nilai Budaya Melalui Upacara Tradisional: Upacara Kesuburan Tanah
“Ngalaksa” dan Upacara Bersih Desa “Syaparan” (Tatiek Kartikasari,
1991). Selain itu terdapat satu judul skripsi dalam bahasa Sunda
Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa di Desa Rancakalong
Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun Bahan Pangajaran
Maca di SMA Kls XII (Ikhsan Nugraha, 2010). Penelitian lainnya
belum ada ditemukan, apalagi yang ditulis oleh peneliti asing (non
Indonesia). Mengapakah sampai demikian? Tentunya ini menjadi
keuntungan akademik bagi peneliti yang berminat meneliti upacara
ini, karena merupakan objek material yang sangat menarik. Tapi di
sisi lain ini adalah kerugian akademik, karena pendokumentasian,
analisis, interpretasi, serta revitalisasi terhadapnya sangat kurang.
Padahal dari hasil pengamatan Juli 2011, penelusuran laman di
dunia maya, dan dari hasil pembacaan dua karya penelitian tentang
Ngalaksa tersebut, ditafsirkan terdapat nilai-nilai pendidikan,

2 Demikian juga yang dikatakan oleh Apa Sukarma.


3 Sejenis leupeut/lepat yang dibungkus oleh daun congkok. Bahan laksa ini adalah
tepung beras yang ditumbuk bersama-sama dalam kegiatan Ngalaksa.
4 Ngalaksa pada masyarakat Baduy dilaksanakan satu hari tiap satu tahun sekali, den-
gan tata cara pelaksanaan yang berbeda.

304
khususnya pendidikan karakter pada upacara tersebut. Hal ini
dikarenakan pada Ngalaksa ada kearifan lokal dan bisa menjadi pola
pendidikan informal yang bisa diimplementasikan pada pendidikan
formal.

Arti dan Struktur Upacara Ngalaksa


Sejatinya, upacara Ngalaksa pada observasi pertama yang saya
lakukan, saya mengikuti tiga struktur saja, yaitu: mera, meuseul, dan
lekasan. Tetapi dari pembacaan referensi dari tugas akhir mahasiswa,
buku yang didapatkan di KITLV Leiden, dan sumber internet,
keseluruhan upacara ini sangat unik dan menarik hati dan saya
merumuskannya pada tulisan di bawah ini.
Ngalaksa bisa artikan sebagai berikut: satu prosesi tradisional
memuliakan padi dengan kegiatan utama membuat laksa sebagai tanda
salametan dan rasa syukur setelah musim panen. Kegiatan tersebut
memakan waktu satu bulan penuh mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan, dan penutupan, dan diselenggarakan di Kecamatan
Rancakalong Kabupaten Sumedang.
Laksa adalah sejenis leupeut/lepat yang dibungkus oleh daun
congkok. Bahan laksa ini adalah tepung beras dari padi yang ditumbuk
bersama-sama pada prosesi Ngalaksa. Pembuatan laksa-nya
dilaksanakan oleh kaum perempuan dan dibantu oleh kaum laki-laki
dari daerah yang bersangkutan.
Ngalaksa dilaksanakan dengan maksud menghormati arwah
leluhur yang telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit
padi, juga sebagai rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang
dilimpahkan dalam kehidupan para petani. Menurut Kartikasari, dkk
(1991:22), ngalaksa adalah: 1) ada hubungannya dengan perubahan
cara bertani dari sistem perladangan pada sistem pertanian di sawah,
sekaligus mengembangkan sistem perairan dan sawah-sawah berteras,
2) pengungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada tuhan YME
melalui Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah melimpahkan kesuburan dan
keberhasilan panen pada penduduk. Upacara itu sekaligus sebagai
prasarana pemuas keinginan berkomunikasi manusia dengan khalik
yang dipuja sebagai kekuatan adikodrati tertinggi.
Secara struktur, upacara ini terbagi dalam sembilan tahapan
besar. Tahapan besar itu adalah: 1) Babadantenan (perundingan;
tahap persiapan), 2) Bewara (mengumumkan hal-hal penting), 3) Ijab-
kabul, 4) Ngalungsurkeun (menurumkan bibit padi), 5) Nginebkeun
(menginapkan bibit padi), 6) Hiburan, 7) Mera (pembagian bibit padi),
8) Meuseul (memijit; menumbuk padi), dan 9) Lekasan (berakhir).

305
Sebenarnya sembilan tahap besar ini setiap tahapnya bertahap lagi,
tapi tidak saya kemukakan di sini. Demikian keterangan tahap-tahap
besar tersebut.
1) Babadantenan (perundingan; musyawarah; tahap persiapan),
Pada tahap ini dilakukan perundingan atau musyawah sebagai tanda
mempersiapkan upacara. Hal-hal penting dibicarakan oleh anggota
masyarakat; alat dan bahan; biaya; personel; tempat; desa yang
bertanggung jawab, dan semua hal-hal penting bagi pelaksanaan
upacara.
2) Bewara (mengumumkan hal-hal penting)
Pada tahapan ini dilakukan pengumuman penting hasil musyawarah.
Pada pelakanaannya harus dihadiri oleh perwakilan desa dan
babakan, para tetua yang dianggap bertanggung jawab. Semua yang
dibicarakan dan pembagian tugaspun diumumkan. Terutama pula tim
kesenian jentreng yang akan mengiringi selama upacara berlangsung.
Pada kegiatan bewara pula, diingatkan untuk mempersiapkan fisik dan
batin pada waktunya.
3) Ijab-Kabul
Tahap ini adalah tahap ‘menjadikan’ kegiatan atau tanda
bahwa Ngalaksa akan dilaksanakan. Setelah penjelasan
mengenai rencana pelaksanaan Ngalaksa selesai disampaikan
oleh sesepuh senior, maka acara dilanjutkan dengan
mempersilakan juru ijab, yaitu salah seorang tokoh agama,
untuk membacakan ijab dan kabul, lalu diakhiri dengan
pembacaan doa. Isi ljab dan kabul ini adalah rajah atau mantra
pembuka kegiatan.
4) Ngalungsurkeun
Tahap ini adalah tahapan dimana para wanita membawa padi
bibit untuk bahan Ngalaksa. Padi-padi tersebut dikumpulkan,
tetapi sebelumnya ada padi bibit diisimpan dari goah
dikeluarkan; diturunkan (dilungsurkeun) dan dikukusi dengan
kemenyan. Bibit padi tersebut nanti akan disebarkan di
persemaian dan merupakan benih padi yang diharapkan akan
membawa kesuburan kepada yang lainnya. Wanita-wanita
yang memegang wadah-wadah padi menari diiringi lagu
dari jentreng dan berkeliling dengan gerak mengayun seperti
sedang menggendong bayi yang baru lahir. Jika sebuah lagu
sudah berakhir, maka mereka duduk sambil tetap memangku
benih padinya. Kemudian satu persatu dikukusi dan disimpan
berderet dekat pedupaan.

306
5) Nginebkeun
Setelah padi-padi tersebut dimasukkan dan disimpan di
goah, padi-padi tersebbut dianggap ngineb; nginep; masuk ke
kamar. Dan dibiarkan di dalam goah sampai waktunya mera.
6) Hiburan
Padi-padi yang beristirahat di kamar tersebut dihibur terus-menerus
dengan jentreng (kacapi) (bunyi kawat kecapi, treng-treng-treng menjadi
jentreng) yang dikolaborasi dengan tarawangsa (rebab; biola yang
digesek dengan posisi berdiri, warga sekitar menyebutnya ngek-ngek,
karena bunyinya yang ngek-ngekkan). Dua nama pekakas seni tersebut
menjadi nama keseniannya sendiri yang mengiringi upacara Ngalaksa
terus-menerus tanpa henti. Sehingga orang-orang menyebutnya
sebagai ‘kesenian jentreng’ dan sebagian lagi menyebutnya ‘kesenian
tarawangsa’. dan lagu-lagu tanpa syair pun digesek melalui dua alat
tersebut yang menjadi nama kesenian yang mengiringi Ngalaksa
tersebut. Kesenian tersebut dilengkapi dengan tarian yang berpola
mengayun (mengayun-ayun Nyi Pohaci).
7) Mera (pembagian padi bibit)
Pada tahap ini padi bibit (padi khusus) yang akan digunakan sebagai
bahan laksa dibagikan. Pada waktunya pembagian, kesenian jentreng
atau tarawangsa mengiringinya.
8) Meuseul (memijit; menumbuk padi),
Meuseul dari kata mencet yaitu memijit dalam konotasi kasar. Meuseul
sangat halus digunakan sebagai pengganti kata menumbuk, karena
padi adalah jelmaan Nyi Pohaci Sri yang harus dipijat bukan ditumbuk.
Hasil meuseul adalah beras yang disimpan di ruangan khusus.
Sebelum padi disimpan, padi di’mandikan’ dahulu atau dicuci, baru
setelah itu disimpan supaya rineh ‘santai’ beberapa malam.
9) Lekasan (berakhir).
Lekasan atau berakhirnya kegiatan adalah acara puncak dalam
pembuatan laksa. Dalam kegiatan ini terdapat tahap-tahap lagi, dari
mulai mengeluarkan padi dari ruangan, meuseul menjadi tepung,
membuat adonan laksa, membungkusnya dengan daun congkok,
menggodog hasil laksa yang telah dibungkusi, dan membagikan pada
seluruh kampung. Setelah itu upacarapun diakhiri, baik secara tradisi
maupun secara seremoni.

Fungsi Ngalaksa
Dari pengamatan dan wawancara, serta penelusuran referens,
fungsi upacara Ngalaksa adalah sebagai berikut:
1) melaksanakan syukuran atau salametan pada Maha Pencipta karena

307
dengan kemurahanNya panen telah berhasil5,
2) melaksanakan tali paranti karuhun ‘leluhur’ memuliakan padi sebagai
makanan pokok6,
3) melaksanakan penghormatan terhadap padi yang bagaikan jelmaan
perempuan (Nyi Pohaci) dan pasangan yang selalu membelanya
(Sulanjana)7,
4) sebagai pengharapan terhadap kelimpahan rejeki pada tahun-tahun
mendatang karena dengan bersyukur, rejeki diyakini akan datang
berlimpah-limpah (interpretasi Al-Qur’an).
5) melaksanakan tepung lawung silaturahmi antara dulur, wargi, karib-
kerabat, dan ikatan-ikatan emosional lainnya dalam tatanan sosial
masyarakat di desa-desa di Kecamatan Rancakalong.

Sastra pada Ngalaksa


Pada upacara Ngalaksa ini, sastra adalah salah satu bagian
penting yang tidak bisa lepas dari ritual tersebut. Sastra yang dimaksud
adalah sastra lisan yang memancar pada upacara, baik yang langsung
menjadi bagian upacara, baik yang tak langsung. Sastra yang langsung
adalah sastra yang digunakan dan dipakai ketika upacara berlangsung,
sedangkan sastra yang tak langsung adalah sastra yang mengiringi di
luar upacara atau menjadi konteks pada kegiatan tersebut.
Sastra yang langsung digunakan pada upacara Ngalaksa adalah:
teks pidato adat, teks puisi mantra, teks ungkapan-ungkapan bahasa
yang bermakna, dan teks istilah-istilah yang dimaknai konotatif
dalam Ngalaksa. Sastra yang tidak langsung biasanya dihasilkan
dari wawancara di luar Ngalaksa, misalnya cerita tradisional tentang
sasakala mengapa ada upacara Ngalaksa atau cerita mengapa harus
ada daun congkok sebagai pembukus lepatnya.
Contoh teks sastra yang berhubungan dengan kegiatan tandur8
adalah teks puisi mantra rajah. Teks ini dibacakan ketika mengalirkan
air dari bendungan supaya cai ngamplang ‘memenuhi’ kotakan sawah.

5 Kartikasari, dkk (1991) & Apa-Ema Sukarma (Juli, 2011)


6 Apa Sukarma (Juli, 2011)
7 Seperti terlihat dalam simbolisasi patung kepala Nyi Pohaci & Sulanjana yang
disimpan di depan para penabuh tarawangsa/jentreng, bersama-sama dengan sesaji
lainnya.
8 Tandur adalah kegiatan menanam benih padi, ketika para penandur memasukkan
benih padi pada lumpur sawah yang sudah diberi garis-garis biasanya dilakukan den-
gan mundur dan serentak. Kegiatan ini adalah salah satu kegiatan penting dalam melak-
sanakan tali paranti pare, terutama padi yang nanti akan dipanen dan dianggap cikal;
pare puhun (dibibitkan lagi) dan padi yang akan jadi bahan dalam membuat laksa.

308
Demikian teksnya.
Titip ka luhur ka susuhunan rama ka nu ngayuga
Titip ka handap ka susuhunan ibu anu ngandung
Ka luhur ka langit ka handap ka bumi
Poma ulah aya gangguan
Nyuhunkeun mulus banglus

Terjemahan:
(Saya) titipkan ke atas ke susuhunan rama yang memberikan benih
(Saya) titip ke bawah ke susuhunan ibu yang mengandung
Ke atas ke langit ke bawah ke bumi
Mudah-mudahan tidak ada gangguan
Minta mulus selamat

Contoh sastra lainnya adalah kidung sawer yang ditembangkan


oleh perempuan pada kegiatan meuseul-kidung ini ditembangkan
ketika mengeluarkan padi yang akan dipeuseul. Demikian teksnya.
Assalamu ‘alaikum wa’alaikum salam
Pun sampun ka paralun
ka luhur ka sang rumuhun
ka handap ka sang nugraha
deudeuh nyai,
mangsa cundukan bayu ti kidul
suruping atina ti jenggi,
nu hurung nangtung di luhur gunung,
siang leumpang di karacang
sidengdang di awang-awang,
nu herang kolot ngalenggang,
ngalenggang di panon holang,
ashaduallailahaillallah,
waashaduanna Muhammadarrasululoh
tohid Muhammad rasul rohid alekum amana
badan sanyawa rasa Allah ka baitullah laillahaillallah
Assalamu ‘alaikum wa’alaikum salam

Terjemahan:
Assalamualaikum waalaikumsalam
Pun sampun ke paralun
ke atas kepada sang rumuhun
ke bawah kepada sang nugraha
Sayangku Nyai,
silahkan datangkan angin dari selatan
masuk ke hatinya dari jenggi
yang datang bercahaya dari puncak gunung,
yang berkilauan dari karancang,
duduk bertopang di atas awan,
yang tua gagah datang melenggang,
melenggang di mata holang,

309
ashaduallailahaillallah,
waashaduanna Muhammadarrasululoh,
tohid Muhammad rasul rohid alekum amana,
badan sanyawa rasa Allah ka baitullah laillahaillallah,
Assalamu ‘alaikum wa’alaikum salam.

Musik pada Ngalaksa


Musik yang mengiringi ritual ini adalah seperti yang disebutkan
sebelumnya, yaitu jentreng atau tarawangsa yang pengertiannya
merujuk pada seni musik yang dihasilkan oleh dua alat musiknya,
yaitu jentreng dan tarawangsa.
Perhatikan alat musik pada foto di samping. Alat musik utama
adalah kecapi kecil dengan tujuh (7) kawat, yang dipetik menggunakan
jari-jari tangan. Warga
sekitar menyebutnya
jentreng karena bunyi
yang dihasilkannya ­treng-
trengan. Alat musik kedua
yang digesek adalah
tarawangsa atau sejenis
rebab dengan dua (2)
kawat dan digesek dengan
gesekan yang talinya dari
surai kuda. Warga sekitar
menyebut alat ini sebagai
ngek-ngek, karena bunyinya yang ngek-ngekkan. Memang, pengertian
kata ‘tarawangsa’ sendiri adalah sejenis alat musik yang bentuk
badannya seperti biola (Danadibrata, 2006:682), sedangkan ngek-ngek
seperti rebab yang badannya tidak ber’pinggang’.
Dari dua alat musik ini disebutlah seni jentreng pada Ngalaksa
atau seni tarawangsa pada Ngalaksa. Dua alat musik sederhana
ini menghasilkan lagu tanpa syair yang sangat merdu mendayu,
kadang menantang bersemangat, lalu khidmat mendirikan bulu
roma, kemudian memilukan-mengharukan, dan juga menerbangkan
kesadaran hingga para penari menjadi trans. Sungguh sangat luar
biasa!
Lagu-lagu yang dihadirkan pun mempunyai judul-judul
dengan kata yang indah, arkhaik, dan konotatif. Setiap satu judul
lagu, dibawakan hampir 30-45 menit. Dengan demikian satu hari
satu malam dikurangi sholat dan istirahat, lagu yang dibawakan bisa
mencapai 10-20 lagu. Selama tujuh hari tujuh malam, jentreng terus
ditabuh, lagu-lagu tersebut terus diulang-ulang tanpa henti. Tentu saja

310
penabuhnya para tua-tua yang mempunyai kemampuan secara fisik
dan batin. Mereka secara bergiliran menjalankan tugasnya dengan
sabar dan khidmat.
Judul-judul lagu jentreng yang buhun atau kuno ada tujuh (7)
judul, yaitu: Pangapungan, Pamapag, Paminang, Angin-anginan, Sirna
Galih, Tongeret, Limbangan, dan Badud. Judul-judul lain yang ditabuh
yang hampir 15-20-an judul adalah inovasi dan pengayaan sejak tahun
80-an dari judul-judul buhun tersebut.
Judul-judul lagu buhun dan yang lainnya mengandung
muatan sastra karena mengandung makna konotatif dan filosofis yang
tidak bisa diartikan secara saklek lewat unsur denotatif bahasa saja.
Mungkin pada masyarakat modern dan kaum puritan, lagu-
lagu yang panjang dan konstan dianggap bosan dan membosankan,
juga membisingkan tak berfaedah. Tetapi bagi masyarakat pelaku
ritual, hal tersebut adalah jiwa yang membangkitkan pengertian akan
keseimbangan alam dan kehidupan. Mereka tetap bekerja seperti
biasa, sedangkan yang bertanggung jawab akan kegiatan tersebut
menunaikan tugasnya dengan khidmatnya.
Lagu-lagu jentreng sepanjang upacara berlangsung membahana
melingkupi Kampung Cijere Desa Nagarawangi, suaranya lambat-
lambat merayapi celah angin terdengar ke seluruh pelosok Kecamatan
Rancakalong. Suaranya dibawa hembusan angin mengiringi aktivitas
manusia dan pucuk-pucuk padi di sawah yang melambai seolah jari
jemari Nyi Pohaci yang indah, serta pohonan dan satwa yang secara
spiritual menggenapi keseimbangan jagat alit di bumi Rancakalong.

Tali Paranti Ngalaksa sebagai Kearifan Lokal


Ngalaksa adalah bagian dari tali paranti orang Sunda yang
dilaksanakan di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.
Tali paranti adalah tali kendali atau tali pegangan yang dibuat oleh
manusia Sunda sebagai usahanya dalam mewujudkan harmonisasi
kehidupan di marcapada. Tali paranti berhubungan dengan alam dan
kosmos. Manusia Sunda kecuali menyandingkan dirinya pada mikro
dan makro kosmos, juga percaya pada ‘alam nyata’ dan ‘alam tidak
nyata (gaib)’. Untuk menjaga harmonisasi atau keseimbangannya,
segala prilaku manusia Sunda harus tertib dan runut. Oleh karena itu,
hasil dari pengolahan akal budi terwujudlah tali paranti yang menjadi
pegangan yang bisa menjadi tuntunan dan kendali dalam kehidupan
masyarakat Sunda (Isnendes, 2011).
Tali paranti dalam masyarakat Sunda berwujud aktivitas bahasa
dan prilaku sebagai realisasi pemikiran dan gagasannya. Aktivitas

311
tersebut tentu saja dilengkapi dengan benda-benda yang menyertainya
sebagai bagian dari budayanya. Wujud tali paranti masyarakat Sunda
dalam bahasa misalnya saja berupa suruhan; keharusan; anjuran;
pujian (kudu...ngarah ‘harus’...’supaya’), larangan; celaan (ulah; pamali;
teu meunang), dan ungkapan-ungkapan. Wujud aktivitasnya berupa
ritual-ritual; upacara-upacara; inisiasi-inisiasi yang dianggapnya
bisa menyelamatkeun kosmos dan sebagai tanda syukur pada segala
nikmat yang telah diberikan Pangéran Nu Murbéng Alam atau Gusti Nu
Maha Kawasa (Isnendes, 2011).
Tali paranti pada masyarakat Sunda, bukan hanya untuk manusia
tapi juga untuk tumbuhan, terutama padi. Cara-cara masyarakat Sunda
memperlakukan padi dianggap sebagai kegiatan pemuliaan terhadap
perempuan. Hal itu dikarenakan dalam kosmos agraris Sunda
terdapat mitos mengenai asal-muasal padi yaitu yang menceritakan
bahwa padi tercipta dari jasad perempuan yang bernama Nyi Pohaci;
Dewi Sri; Sanghyang Sari Pohaci. Lengkapnya mite ini bisa dibaca dari
karya sastra Sunda yang berupa internalisasi pandangan dan orientasi
hidup masyarakat agraris Sunda9. Hal ini terbuktikan dengan adanya
kegiatan upacara Ngalaksa yang berupa tali paranti yang memuliakan
padi di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.
Dari observasi pertama, tali paranti masyarakat Sunda di
Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang ini, saya tak meragukan
lagi bahwa upacara Ngalaksa ini adalah kearifan lokal yang harus
dihormati dan disosialisasikan keberadaannya tanpa merusak tatanan
yang sudah ada.
Kearifan lokal berasal dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Echols dan Syadily (1998) menyebutkan bahwa, local
berarti setempat, sedangkan wisdom berarti kearifan atau sama dengan
kebijaksanaan.
Sementara itu, Ayatrohaedi mengutip Moendardjito yang
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius
karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-cirinya adalah: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar, 2)
memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, 3)
mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli, 4) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan

9 Baca Wawatjan Soelandjana, keluaran Bale Poestaka (1931) yang dikarang lagi oleh
R. Satjadibrata, Wawatjan Suladjana: Samboengan Tina Kidung Njai Sri Puhatji yang
ditulis oleh Madnasan (1957); Wawacan Sulanjana yang ditulis oleh Jus Rusjamsi
(1964) atau Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana pantun Sunda yang dipantunkan oleh
Ki Atjeng Tamadipura dan diusahakan oleh Ajip Rosidi (1970).

312
5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya (Sartini, 2004).
Kearifan lokal ditafsirkan sebagai perpaduan antara nilai-nilai
suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya
dianggap sangat universal.
Contoh-contoh kearifan lokal di antaranya adalah: nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat-istiadat –termasuk upacara tradisioanal,
hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang
bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat
maka fungsinya menjadi bermacam-macam, yaitu: 1) berfungsi untuk
konservasi dan pelestarian sumber daya alam, 2) berfungsi untuk
pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan
upacara daur hidup (misalnya konsep cageur-bageur-bener-pinter), 3)
berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya folklor, 4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan
pantangan, 5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/
kerabat, rasulan, pancakaki, marhabaan, 6) bermakna sosial, misalnya
pada upacara daur pertanian, 7) bermakna etika dan moral, yang
terwujud dalam upacara keagamaan, 8) bermakna politik, misalnya
upacara seba dan kekuasaan patron-klien (www.balipos.co.id. dengan
beberapa penyesuaian).
Kearifan lokal yang sarat nilai dan makna ini ketika dihubungkan
dengan kurikulum pendidikan karakter sangat relevan sebagai dasar
karakter baik di tengah carut marut persoalan sosial di Indonesia.
Relevansinya dikarenakan pada orang Sunda terdapat pandangan
hidup. Pandangan hidup ini adalah dasar perilaku masyarakat Sunda
dalam memegang tali paranti yang kemudian memancar menjadi
kearifan lokal.
Warnaen dkk (1987) mengkategorikan pandangan hidup orang
Sunda ke dalam lima kategori, yaitu: 1) manusia sebagai pribadi, 2)
manusia sebagai bagian dari lingkungan masyarakat, 3) manusia
dengan alam, 4) manusia dengan Tuhan, 5) manusia dalam mengejar
kemajuan lahiriah, 6) manusia dalam mengejar kepuasan batiniah.
Disebutkan Warnaen bahwa pandangan hidup sebagai akar
kehidupan orang Sunda yang bisa dimanfaatkan dalam kehidupannya,
terlebih lagi bagi mereka yang mengalami kekaburan nilai yang
dianutnya untuk mendapatkan pegangan yang lebih kokoh dengan
jalan menemukan kembali nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya

313
dan dianggp masih efektif dalam menghadapi tantangan hidup pada
saat ini (1987:2).
Selain fungsi Ngalaksa yang sarat nilai, kegiatannya pun
memancarkan nilai-nilai positif, yaitu:
1) nilai gotong royong
2) nilai musyawah
3) nilai persatuan, kesatuan, dan kesetiakawanan
4) nilai pengendali sosial (Kartikasari, 1991), selain itu patut
ditambahkan nilai-nilai di bawah ini:
5) nilai religius: keseimbangan spiritual dan emosional
6) nilai tanggung jawab
7) nilai seni
8) nilai cinta pada alam yang menghidupi.
Bila dihubungkan dengan sembilan (9) pilar karakter yang
berasal dari nilai-nilai luhur universal10, yaitu: pertama, karakter
cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan
tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat,
hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan
gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras;
ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah
hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan,
nilai-nilai dalam upacara Ngalaksa patut diteliti lebih lanjut karena
nilai-nilai karakter sembilan pilar tersebut diasumsikan terdapat
didalamnya. Akan tetapi, belum dikategorikan secara khusus dan
mendetail, kecuali delapan nilai yang disebutkan penulis di atas.
Dari nilai-nilai tersebut, Ngalaksa sebagai kearifan lokal yang
dilaksanakan sebagai bagian dari tali paranti Sunda, pada dasarnya
mengandung pandangan hidup yang berupa nilai-nilai sarat makna,
sangat relevan dengan tujuan pendidikan karakter saat ini yang sedang
digembar-gemborkan pemerintah.
Akan tetapi, ada asumsi bahwa memaknai pendidikan karakter
yang sedang trend ini seolah melangit dan berbusa-busa, padahal
apa yang sudah ada dalam tali paranti orang Sunda dan kebiasaan-
kebiasaan serta nilai-nilai baik yang diyakini masyarakat tradisional
Indonesia pada suku bangsa apapun, itulah yang disebut karakter11.

10 Sembilan (9) pilar karakter ini ditawarkan oleh Ratna Megawangi, Ph. D, dan diso-
sialisasikan oleh ditjen pendidikan Indonesia
11 Pengertian ini diambil ketika berdialog dengan Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd.
guru besar pada Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Rabu, 18 Januari 2012 jam 12.30
di UPI. Selaras dengan itu, Prof. Dr. H. Yus Rusyana juga memaknai pendidikan karak-
ter sebagai sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh suku bangsa di Indonesia sebagaima-

314
Pada kenyataannya, masyarakat suku bangsa di Indonesia
sebenarnya sudah mempunyai karakternya tersendiri di samping
pola sembilar (9) pilar pendidikan karakter yang disebut di atas, atau
pola-pola yang banyak ditawarkan oleh beberapa ahli dan penulis
pendidikan karakter.
Adapun hal-hal negatif yang menjadi carut-marut sosial
pada masyarakat sekarang ini dianggap berupa penyimpangan-
penyimpangan karakter yang disebabkan cara pandangan politik
pembangunan Indonesia yang instan dan diadopsinya paham
liberalisme, materialisme, dan kapitalisme dalam setiap lini kehidupan,
termasuk pendidikan.
Ukuran keberhasilan pembangunan, juga di bidang pendidikan di
Indonesia saat ini selalu diukur dengan angka dan paham positivistik
yang rasionalis, bukan fenomenologis. Sekarang dikenal adanya angka
partisipasi sekolah, tingkat kelulusan, angka minimal kelulusan,
jumlah gedung sekolah, rasio guru dan murid, jumlah angka putus
sekolah, dan sebagainya, tetapi banyak hal yang tidak terukur dan
dilupakan yakni: kemerosotan moral, sopan-santun, lemahnya kohesi
sosial, tumbuhnya sikap individualistik, melemahnya sikap pluralistik,
dan yang berbahaya teralienasi (terasing) dari budaya sendiri atau
mengalienasi dari budaya sendiri. Menurut Budiyono (2007:130) hal
ini dikarenakan konsep pendidikan di Indonesia yang menganut
sistem liberal, rasionalistik-individualistik, dan anti sosial.
Permasalahan tersebut melahirkan konsep pendidikan yang
tidak mengacuhkan bahkan membunuh konsep irrasional dan
suprarasional. Padahal, pada masyarakat Indonesia dan suku-suku
bangsanya telah berkembang kearifan lokal sebagai upaya pemecahan
masalah dan adaptasi lingkungan sosial budaya dan alam sekitarnya.
Dalam menemukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan kearifan
ini, masyarakat Indonesia hampir tidak menempuh metode-metode
rasional sebagaimana yang dikembangkan di Barat. Masyarakat
cenderung menggunakan rasionalitas khasnya yang kalau diukur
dengan rasionalitas Barat termasuk dalam ketegori irrasional dan
suprarasional. Padahal itulah rasionalitas negeri ini yang berbeda
dengan filsafat Barat (band. dengan Budiyono, 2007: 131).
Untuk itulah perlunya mensosialisasikan penguatan pendidikan
berbasis budaya dengan nilai-nilai budaya dari kearifan-kearifan
lokal seperti Ngalaksa ini guna mengembalikan bentuk karakter baik
bangsa ini.

na adanya nilai-nilai positif yang berkembang di masyarakat, terutama yang memancar


dari pendidikan sastra, Jumat, 3 Februari 2012 jam 10.00 di kediamannya.

315
Penutup
Dari bahasan tentang upacara Ngalaksa di Kecamatan
Rancakalong Kabupaten Sumedang, terangkum mengenai struktur,
fungsi, dan kearifan lokal upacara tersebut. Mengenai kearifan lokal
upacara Ngalaksa yang relevan dengan pendidikan karakter yang
dewasa ini sedang menjadi mode dan trend dalam bidang pendidikan
di Indonesia, patutlah kiranya ada penelitian yang membahas aspek-
aspek tersebut sehingga dapat mewujud pola atau konsep alternatif
pendidikan karakter dari kearifan lokal khas Kecamatan Rancakalong
Kabupaten Sumedang ini, terutama dalam hal menjaga keseimbangan
alam dan pembentukan kembali ide dan aktivitas positif pada insan
pendidikan di Jawa Barat pada khususnya, dan pada masyarakat Jawa
Barat dan Indonesia pada umumnya.*

DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, 2007. “Pendidikan dalam Penguatan Basis Budaya” dalam buku


Indonesia Belajarlah hal 128-137. Semarang: FIP UNES.
Danadibrata, R.A. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1989. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia.
Isnendes, Retty. 2011. “Tali Paranti”. Leiden: artikel belum diterbitkan.
Kartikasari, Tatiek, dkk. 1991. Pengukuhan Nilai-nilai Budaya Melalui Upacara
Tradisional (Upacara Kesuburan Tanah “Ngalaksa” dan Upacara Bersih Desa
“Syaparan”). Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan.
Nugraha, Ikhsan. 2010. “Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa
di Desa Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang
pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA Kls XII” (Skripsi). Bandung:
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah-FPBS-UPI.
Sartini. 2004. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati”
pada Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: UGM
diunduh dari www.jurnal.filsafat.ugm.ac.id.
Warnaen, Suwarsih, dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin
dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Direktorat Jendral
Kebudayaan.
www.balipos.co.id.
www.google.com.

316
REVITALISASI KESENIAN TRADISI DALAM
PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA:
STUDI KASUS DI SURAKARTA

Ali Imron A-Ma’ruf


Universitas Muhammadiyah Surakarta

I. Pendahuluan

S urakarta adalah salah satu pusat kebudayaan Jawa di samping


Yogyakarta. Berbagai bentuk kesenian tradisi Jawa dan kesenian
klasik dengan karya adiluhung berkembang di daerah ini. Oleh karena
itu, nuansa budaya Jawa terasa kenthal dalam kehidupan masyarakat.
Corak dasar kebudayaan Jawa yang masih hidup dalam masyarakat
yang bersumber dari budaya kraton merupakan indikasi hal itu.
Sebagai salah satu pewaris dinasti kerajaan Mataram,
Surakarta memiliki dua kraton yakni Kraton Kasunanan dan Pura
Mangkunegaran. Kraton memiliki ragam kesenian klasik yang
dikenal adiluhung, seperti tari “Bedaya Ketawang”, “Bedaya Anglir
Mendhung”, Tari “Gambyong”, wayang orang, dan karawitan dengan
gendhing khusus. Di luar tembok istana berkembang juga jenis kesenian
semacam yang kemudian dikenal sebagai kesenian rakyat, yang
bersumber dari kraton (lihat Hersapandi, 1994:41; Lindsay, 1990:82)
yang juga dikenal sebagai kesenian tradisi atau daerah (Sedyawati,
1983:39; Kayam, 1985:60). Karena itu, kiranya cukup beralasan jika
berbagai kesenian tradisi tersebut diberdayakan menjadi aset potensial
bagi pengembangan wisata budaya di Surakarta.
Kesenian merupakan hasil kebudayaan sebagai materi hasil
karya manusia (Koentjaraningrat, 1987:5). Karena merupakan
keseluruhan hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya manusia
dalam masyarakat, sifat kebudayaan cukup kongkret berupa benda-
benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.
Sebagai hasil kebudayaan, wajar jika kesenian kemudian menjadi aset
masyarakat pemiliknya dan dimungkinkan untuk dikembangkan
sesuai dengan dinamika zaman.
Di pihak lain, masuknya produk-produk budaya Barat sebagai
dampak globalisasi dunia merupakan tantangan tersendiri bagi
upaya pengembangan kesenian tradisi. Kesenian Barat seperti: musik
populer, musik rock, tari balet, dan membanjirnya media komunikasi

317
elektronik seperti: video compact disc (VCD), digital video disc (DVD), home
theatre, televisi (TV) asing, ponsel, dan internet, membuat perhatian
masyarakat terhadap kesenian tradisi menjadi berkurang. Akhir-akhir
ini kesenian tradisi Jawa mengalami masa-masa sulit. Masyarakat
terlebih kawula muda banyak yang tidak lagi mempunyai rasa
memiliki (sense of belonging) atas kesenian tradisi, bahkan sebagiannya
sudah tidak mengenalnya lagi.
Ironis memang ketika banyak universitas besar di negara-negara
Barat sejak beberapa dekade yang lalu mempelajari kesenian tradisi
Jawa seperti karawitan, wayang orang dan kethoprak, serta tarian
Jawa dan Bali, misalnya, kini masyarakat kita mulai ‘memandang
sebelah mata’ atas kesenian tradisi dan cenderung kepada kesenian
Barat. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat terutama komunitas
mudanya mulai melirik kesenian Barat, di antaranya kesenian dari
Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, variatif,
dan praktis. Hal ini berkaitan dengan pola hidup masyarakat modern
yang cenderung ke pola pragmatis, termasuk dalam mencari hiburan
dan rekreasi.
Beberapa hal di atas diduga mengakibatkan menyusutnya
jumlah penonton pada pementasannya. Padahal, kesenian tradisi
seperti wayang orang dan kethoprak di samping tarian merupakan
aset Kota Surakarta unggulan dalam pengembangan sektor pariwisata
budaya budaya yang dapat mendatangkan penghasilan asli daerah
(PAD). Dalam konteks otonomi daerah hal itu sangatlah penting untuk
diberdayakan.
Pengembangan sektor pariwisata budaya dan sektor informal
dapat menjadi alternatif dalam menambah penghasilan masyarakat
dan pendapatan asli daerah (PAD). Lebih-lebih dalam konteks
otonomi daerah di Kota Surakarta, sesuai dengan Undang-undang
No. 22/ 1999 tentang Otonomi Daerah, maka pariwisata budaya di
Surakarta utamanya wisata budaya, dapat menjadi program unggulan
dalam menambah PAD. Dan, mengingat potensinya, wisata budaya
dengan berbagai kesenian tradisi merupakan peluang yang perlu kita
tangkap.
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk
melakukan revitalisasi kesenian tradisi di Surakarta dewasa ini dalam
rangka mengembangkan pariwisata budaya. Secara khusus ada tiga
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni (1) memaparkan
tantangan yang dihadapi kesenian tradisi Jawa di Surakarta dewasa
ini; (2) mendeskripsikan upaya-upaya kreatif dan antisipatif untuk
mengaktualisasikan kesenian tradisi di Surakarta agar tetap memiliki

318
daya pikat bagi wisatawan selaras dengan dinamika kehidupan; (3)
memaparkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kesenian
tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata
budaya di Surakarta.
Ada beberapa buku atau tulisan yang mengkaji kesenian tradisi
Jawa. Jennifer Lindsay dalam bukunya Klasik, Kitsh or Contemporary:
A. Study of the Javasene Performing Arts (1991), Umar Kayam dalam
Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), dan Rahayu Supanggah (1991) dalam
“Karawitan Anak-anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa
yang Memprihatinkan”. Ketiganya menyatakan kegelisahan dan
keprihatinannya mengenai kesenian tradisi yang semakin redup,
padahal memiliki potensi untuk dikembangkan. Bahkan, secara
ekstrem Kunt (dalam Lindsay 1991) menyatakan bahwa masa depan
kesenian tradisi Indonesia sekarang tetap merupakan hal yang
menggelisahkan di Indonesia, bahkan sudah terasa sejak dekade 1930-
an pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Edi Sedyawati dalam Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981), jurnal
Seni Pertunjukan Indonesia dalam beberapa edisinya juga membahas
berbagai perkembangan kesenian tradisi Jawa. Hersapandi dalam
“Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial Suatu Kajian
Sosio-Historis” (1994) dan Sumanta dalam “Wayang Madya Salah Satu
Sarana Pengukuh Mangkunagara IV” (1994) juga membahas seputar
kesenian tradisi Jawa.
Koentjaraningrat (1979: 205) membagi kebudayaan menjadi
tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan; sistem dan
organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian;
sistem mata pencaharian hidup serta sistem teknologi dan peralatan.
Demikianlah ketujuh unsur kebudayaan universal mencakup seluruh
manusia dalam kehidupannya.
Kesenian tradisi merupakan bagian dari jagat kesenian Indonesia.
Pada umumnya, ia hidup dalam dua lingkungan dua alam budaya. Di
satu pihak ia lahir dari suatu kebudayaan daerah tertentu yang memiliki
sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi daerah tertentu,
dan di pihak lain ia disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan
suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas, yakni Indonesia (lihat
Sedyawati, 1981: 39).
Kesenian tradisi kini telah mengalami pergeseran pemilikan. Jika
semula ia hanya menjadi milik masyarakat pendukung kebudayaan
daerah tertentu, kini masyarakat daerah lain pun merasa memilikinya.
Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa kebudayaan Indonesia
adalah keseluruhan kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena itu,

319
kesenian tradisi dari kebudayaan daerah tertentu dapat memperoleh
masukan cita rasa ataupun konsep-konsep kebudayaan daerah lain.
Bahkan, terbuka lebar bagi kesenian tradisi akan masuknya gagasan
dan cita rasa negara lain (Sedyawati, 1981: 39). .
Wayang orang dan wayang kulit yang mengangkat cerita dari
mahakarya Mahabharata dan Ramayana misalnya, kini tidak hanya
menjadi milik masyarakat pendukung aslinya melainkan sudah
menjadi milik daerah atau suku lain. Fenomena ini, menurut Kayam
(1981: 66; lihat Sedyawati, 1981: 39), barangkali merupakan bagian dari
proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi kesenian termasuk cita-
rasa daerah lain, bahkan dimungkinkan pula masuknya unsur-unsur
dari mancanegara.
Semakin berkembangnya nasionalisme dalam masyarakat kita,
maka fanatisme kedaerahan berangsur-angsur menipis menuju
semangat keindonesiaan. Hal itu juga mendorong adanya perubahan
konsep dan penampilan kesenian tradisi yang lebih bersifat bikultural.
Dalam penampilannya, kesenian tradisi sering pula memasukkan
unsur-unsur budaya daerah lain dan nuansa yang lebih ‘Indonesia’.
Bahkan, cita rasa ‘universal’ mulai terasa dalam penampilan kesenian
tradisi.
Kesenian tradisi sering pula diartikan dengan ‘kesenian rakyat’,
‘kesenian daerah’ atau ‘kesenian klasik’. (lihat Kayam, 1981: 61).
Namun, dalam makalah ini digunakan istilah ‘kesenian tradisi’,
bukan ‘kesenian rakyat’ atau ‘kesenian daerah’. Sebab, kata ’rakyat’
dapat merupakan lawan dari kata feodal atau istana, sedangkan kata
‘daerah’ dapat diartikan berlawanan dengan ‘nasional’. Meskipun
istilah ‘seni-tradisi-rakyat’’ dan ‘seni-tradisi-klasik’ ada semacam
perkembangan, pada dasarnya keduanya masih memiliki sifat yang
mirip (Kayam, 1981: 61). Karena itu, dalam tulisan ini dipakai istilah
kesenian tradisi.
Sebagai sebuah genre karya seni, kesenian tradisi memiliki
beberapa ciri khas, antara lain: (1) ia memiliki jangkauan terbatas pada
lingkungan kultur yang menunjangnya, (2) ia merupakan pencerminan
dari sebuah kultur yang berkembang sangat lamban, karena dinamika
masyarakat pendukungya memang demikian, (3) ia merupakan
bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-
bagi dalam pengkotakan spesialisasi, dan (4) ia bukan merupakan
hasil kreativitas individu melainkan tercipta secara anonim bersama
dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya (Kayam,
1981:60).
Kesenian tradisi adalah suatu karya budaya berupa seni budaya

320
yang sejak lama turun-temurun tetap hidup dan berkembang pada
suatu daerah (Yoeti, 1985:2). Itu sebabnya kesenian itu disebut juga
kesenian daerah. Beberapa bentuk kesenian tradisi Jawa meliputi
wayang kulit, wayang wong (orang), ketoprak, ludruk, kentrung,
jathilan, reog, dhagelan, karawitan, tarian klasik dan modern.
Lahirnya ‘wayang orang panggung komersial’ menunjukkan
adanya pergeseran nilai seni dan formalitas budaya kraton, yakni
terjadi perubahan bentuk dan sifat kelembagaan dari patron-client
dan patrimonial ke produsen-konsumen dan kapitalis. Kuntowijoyo
(1987:28) menyatakan bahwa dalam kebudayaan baru yang ditandai
dengan lahirnya budayawan, golongan intelegensia, dan seniman,
profesionalisme dalam budaya baru berbeda dengan profesionalisme
budaya lama. Singkatnya, hubungan patron-client dalam budaya lama
digantikan oleh hubungan produsen-konsumen dalam budaya baru,
sifat hubungan vertikal diganti menjadi hubungan horisontal.
Adapun jenis dan bentuk kesenian tradisi Jawa di Surakarta
banyak ragamnya, di antaranya: Wayang Kulit/Purwa, Wayang Orang
(Wayang Wong), Ketoprak, Dhagelan, tari-tarian, reog, dan karawitan.
Wayang kulit adalah pagelaran wayang yang ceritanya (reportair)
bersumber pada Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India (Satoto,
1990:133) dengan menggunakan media wayang (boneka dari kulit).
Adapun Wayang Orang merupakan suatu jenis wayang yang tokoh
ceritanya diperankan oleh manusia menggantikan boneka-boneka
wayang yang merupakan pertunjukan dengan gaya tersendiri, sedang
sumber ceritanya juga Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India
(Satoto, 1990:190).
Ditinjau dari potensinya, sektor pariwisata budaya yang
paling dapat diandalkan di Surakarta adalah wisata budaya. Wisata
budaya adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata budaya dengan
memanfaatkan potensi dan kekayaan budaya untuk menunjang
peningkatan pembangunan nasional dengan menyejahterakan
masyarakat tanpa melupakan upaya pelestarian dan pengembangannya
(SKB Menparpostel, Mendikbud dan Mendagri, Tanpa Tahun).
Adapun maksud dan tujuan pariwisata budaya yakni meningkatkan,
mengembangkan, dan melestarikan objek wisata budaya sebagai
bagian dari kebudayaan bangsa guna terwujudnya pengembangan
kepariwisata budaya yang berdaya guna dan berhasil guna (Dinas
Pariwisata budaya Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, 1990).
Dengan sejumlah potensi yang ada, maka pengembangan
kesenian tradisi Jawa di Surakarta dapat menjadi salah satu primadona
dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata budaya. Pada

321
gilirannya, mengingat potensi dan sarana pendukungya, pariwisata
budaya di Surakarta tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi
“wajah” wisata budaya di tingkat nasional.
Banyak sekali ragam kesenian tradisi di Surakarta. Dalam
penelitian ini, mengingat berbagai keterbatasan, maka dikaji lima
kesenian tradisi saja yakni: wayang purwa (kulit), wayang orang,
kethoprak, karawitan, dan tari. Hal itu berdasarkan alasan bahwa
bentuk-bentuk kesenian tradisi Jawa tersebut dipandang representatif
dan berhubungan secara signifikan dengan permasalahan penelitian.
Selain itu, lima kesenian tradisi tersebut dipandang relevan dan
memiliki daya jual (marketable) dari sektor pariwisata budaya.

II. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Bentuk
penelitian ini dipandang mampu menuangkan berbagai informasi
kualitatif yang penuh nuansa. Dalam penelitian ini digunakan
strategi survai yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan sejumlah besar variabel mengenai sejumlah besar
individu melalui alat pengukur wawancara. Termasuk di dalam
penelitian survai yaitu ciri-ciri demografis dari masyarakat, lingkungan
sosial, aktivitas, pendapat dan sikap mereka (Moses dalam Masri
Singarimbun, 1985:8).
Sumber data dalam penelitian ini meliputi: (1) pustaka mengenai
kesenian tradisi Jawa di Surakarta dan masalah kepariwisata budayaan,
serta monografi Surakarta; (2) informan, yang terdiri dari pihak-pihak
terkait meliputi: Dinas Pariwisata budaya, seniman, budayawan, dan
tokoh masyarakat yang memahami kesenian tradisi di Surakarta dan
sejumlah wisatawan; (3) rekaman peristiwa atau catatan hasil observasi
pada lokasi pagelaran kesenian tradisi dan lingkungannya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah (1) teknik pustaka dengan content analysis berupa cuplikan
dengan criterion based selection; (2) wawancara mendalam (in-depth
interviewing) dengan mengajukan pertanyaan kepada informan yang
bersifat terbuka (open-ended) dan tidak terstruktur yang mengarah
pada kedalaman informasi guna menggali informasi yang mendalam
mengenai objek penelitian (3) Observasi, dilakukan dengan
menyaksikan pementasan kesenian tradisi pada beberapa even dan
tempat guna memperoleh data yang akurat.
Analisis data dilakukan melalui analisis kualitatif dengan model
analisis interaktif. Dalam model ini tiga komponen analisis yaitu
reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi,

322
aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data sebagai suatu proses siklus (Miles and Huberman
dalam Soetopo, 2002: 93-100). Pada model ini peneliti tetap bergerak
di antara empat komponen (termasuk proses pengumpulan data),
selama proses pengumpulan data ber-langsung.. Skema berikut
menggambarkan proses analisis data model interaktif.

Pengumpulan
data Sajian
data

Reduksi
Penarikan
data
Kesimpulan
Verifikasi
Model Analisis Interaktif

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tantangan yang Dihadapi dalam Revitalisasi Kesenian Tradisi
Kehidupan teater tradisi di tengah-tengah membanjirnya
produk budaya Barat di masyarakat menghadapi tantangan yang cukup
berat. Ada fenomena bahwa masyarakat mulai ‘mengesampingkan’
kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat dengan alasan
antara lain: kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah
dinikmati, dinamis, praktis, dan ‘prestisius’. Pada masa kini dalam
mencari hiburan orang sering bertindak pragmatis, sejalan dengan
pola hidupnya yang pragmatis pula.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh temuan, bahwa
sepinya penonton pada pementasan wayang orang dan Kethopark di
Surakarta sudah agak lama terjadi yakni sejak akhir dekade 1980-an
karena adanya paling tidak empat faktor. Keempat faktor itu antara
lain:
Pertama, aspek kesenian tradisi itu sendiri --menyangkut cerita
(aspek literernya), penggarapan teatrikalnya, teknologi pementasan,
dan manajemen pementasannya--. Dari segi ceritanya, wayang orang
dan kethoprak misalnya, biasanya menyajikan tema-tema yang
itu-itu saja tanpa banyak variasi, sehingga terkesan monoton. Segi
penggarapan teatrikalnya kurang greget dan tidak mengesankan.
Akibatnya, penonton bosan melihatnya. Hal ini berbeda jauh dengan

323
ketika masih berkiprahnya seniman legendaris Rusman, Darsih, dan
tokoh-tokoh seangkatannya yang bermain total dan sangat popular
pada zamannya.
Dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi di Surakarta
masih menggunakan media yang konvensional sifatnya, kurang
ada inovasi. Panggung dan back ground (geber) yang terlihat kumal
bahkan ada yang sudah berlubang merupakan ilustrasi hal itu. Ini
menyebabkan pementasan menjadi kurang menarik. Segi manajemen
pementasan pun tampak kurang profesional. Pengelola kurang sigap
melakukan gebrakan-gebrakan dalam pemasaran, misalnya menjalin
kerja sama dengan relasi dan instansi atau institusi terkait seperti hotel
dan lembaga pendidikan. Penjaringan penonton melalui publikasi dan
iklan pun terkesan kurang optimal.
Kedua, kurang adanya proses pewarisan nilai-nilai budaya
tradisi secara terprogram, sistematis, dan terpadu bagi generasi muda
melalui lembaga pendidikan. Sejak paroh dekade 1970-an, kesenian
daerah, termasuk sastra daerah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang
‘terpandang’. Beberapa tahun terakhir bahkan kesenian, bahasa, dan
sastra daerah di sekolah boleh dikatakan hanya dipandang ‘sebelah
mata’, sekedar menjadi muatan lokal (mulok), yang sama sekali ‘tidak
prestisius’. Karena itu, motivasi siswa untuk mendalami kesenian
tradisi pun kurang. Jika para siswa SD, SMTP dan SMTA dulu (dekade
1960-1970-an) memahami cerita Mahabharata dan Ramayana serta cerita-
cerita rakyat, sejak era 1980-an kebanyakan pelajar di Jawa Tengah dan
Yogyakarta tidak memahaminya, terlebih mengapresiasinya.
Ketiga, membanjirnya produk teknologi komunikasi media
massa turut menjauhkan masyarakat dari kesenian tradisi. Munculnya
beberapa televisi swasta di Indonesia sejak tahun 1989 yakni RCTI
dan SCTV hingga Metro TV, TV Global, dan entah apa lagi, lalu TV
mancanegara seperti CNN Amerika, NHK Jepang, Star TV Hong Kong,
dan sejumlah TV Eropa melalui antena parabola, dengan tayangan
acara yang menarik, baik olah raga, kesenian, musik, maupun filmnya
menyedot perhatian masyarakat (penonton). Terjadilah semacam
euforia TV swasta dan TV asing.
Belum usai euforia tersebut, menjamur pula produk-produk
elektronik seperti home theatre, VCD, DVD, dan internet dengan dunia
mayanya yang meluas sejak 1990-an. Kini masyarakat ‘dimanjakan’
betul oleh berbagai fasilitas media dengan tontonan yang variatif
dan menarik. Mereka dapat menikmati tontotan bagus sambil
bercengkerama dengan anak dan istri/suami. Akibatnya, mereka
enggan menonton hiburan di luar rumah, termasuk kesenian tradisi.

324
Keempat, pergeseran nilai akibat berlangsungnya transformasi
sosial budaya dalam masyarakat seiring dengan era globalisasi. Sejalan
globalisasi, terjadilah transformasi sosial budaya yang berimplikasi pada
bergesernya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Kini masyarakat
berada dalam tegangan dua kultur, di satu sisi tetap memegang nilai
tradisi (lama) dan di sisi lain harus menerima nilai modern (baru) dari
kultur asing yang mendunia. Akibatnya, masyarakat terlebih kaum
muda kini cenderung memilih seni budaya massa (kitsch) daripada
budaya lokal, termasuk kesenian tradisi (Al-Ma’ruf, 2002: 45).

3.2 Reaktualisasi Kesenian Tradisi untuk Menarik Wisatawan


Adanya tantangan yang dihadapi dalam revitalisasi kesenian
tradisi, diperlukan upaya-upaya reaktualisasi kesenian tradisi agar
dalam pementasannya dapat memiliki daya pikat bagi penonton.
Dalam bahasa populernya, bagaimana agar kesenian tradisi itu dapat
menarik selera pasar (marketable), dalam hal ini wisatawan.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya
kreatif dan inovatif dari kesenian tradisi itu sendiri, dari unsur cerita
(literernya), penggarapan kreatifnya, peningkatan profesionalitas
pemain, penataan musik (arranger), penata tari (koreografer), teknologi
pementasannaya seperti: tata panggung (setting), tata cahaya, tata
suara (back ground), hingga manajemen pementasannya.
Pertama, cerita (aspek literer) kesenian tradisi. Sudah selayaknya
kesenian tradisi tetap memegang konvensi tertentu. Wayang orang
misalnya, cerita yang dilakonkan tetap bersumber pada Mahabharata
dan Ramayana. Namun, tanpa mengurangi nilai literernya, dalam
pementasan di panggung melalui dialog para pemain terutama
para punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dapat
diangkat masalah-masalah aktual dan kontekstual dalam kehidupan
masyarakat.
Untuk itu, memang diperlukan usaha ekstra bagi para pekerja
seni tradisi untuk memperluas wawasannya. Pemahaman tentang
masalah sosial, politik, ekonomi, budaya modern, dan hal-hal lain yang
sedang ngetrend di masyarakat harus dimiliki. Barangkali kita dapat
belajar dari Miing, dedengkot kelompok pelawak intelek Bagito Group
dan anggota lainnya. Sebelum melawak, mereka sering mengikuti
berbagai seminar guna menimba pengetahuan dan menggali persoalan
aktual dalam masyarakat. Wajar jika lawakannya selalau up to date dan
kontekstual dengan irama zaman.
Kedua, dari segi penggarapan teatrikal juga harus ditingkatkan
profesionalisme SDM-nya. Segi teatrikal berkaitan dengan kemampuan

325
acting pemain dalam membawakan tokoh cerita dengan penuh
improvisasi dan atraktif.
Totalitas keterlibatan para pekerja seni tradisi dalam dunia
panggung agaknya perlu diperhatikan. Pada masa emas kesenian tradisi
Surakarta ketika Rusman, Darsih, dan rekan-rekan seangkatannya
berjaya (1960-an hingga 1980-an), mereka terlibat secara total dalam
dunia kesenian tradisi itu. Mereka mendedikasikan hidupnya pada
kesenian tradisi tersebut. Dalam masa sekarang, banyak pemain
terjun ke dunia kesenian tradisi sekedar ‘sambilan’. Akibatnya, sulit
diharapkan mereka dapat terjun secara total.
Ketiga, dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi juga
perlu dilakukan inovasi dan rekonstruksi. Guna menambah daya tarik
pementasan kesenian tradisi, para pekerja seni dapat mengadopsi
teknologi komunikasi dan media seperti dalam sinema sehingga lebih
berdaya jual. Cerita tetap bersumber dari pakem, tetapi teknologi
mesti mengikuti perkembangan zaman.
Dari aspek tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata musik,
perlu ditunjang dengan teknologi canggih. Panggung misalnya, kiranya
dapat diusahakan agar nampak lebih hidup dengan menggunakan
teknologi sinema sehingga latar (setting) akan terlihat lebih hidup dan
atraktif. Dalam hal-hal tertentu, kelompok kethoprak Siswa Budaya
dari Jawa Timur sudah memanfaatkan teknologi itu.
Keempat, dari segi manajemen pementasan, kesenian tradisi perlu
lebih profesional. Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu
bentuk hiburan yang dijajakan untuk para wisatawan/masyarakat,
maka pementasan kesenian tradisi dalam konteks pengembangan
pariwisata budaya harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis
hiburan (entertainment). Dari perencanaan program, termasuk
pemasaran (marketting) melalui publikasi dan promosi yang memadai
dengan berbagai cara: media elektronik (radio, TV), media cetak surat
kabar, pamflet di berbagai tempat strategis dan lembaga-lembaga
pendidikan, selebaran, mobil keliling, dan seterusnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah manajemen keuangan. Keuangan
harus dikelola dengan penuh disiplin. Dengan harga tiket masuk
(HTM) yang relatif ringan (Rp 5000,00 – Rp 10.000,00), penjualan tiket
masuk harus benar-benar ketat. Di lapangan ditemukan data bahwa
banyak penonton yang dapat masuk ke gedung kesenian/ arena tanpa
membayar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen
bisnis hiburan. Terlebih jika wisata budaya ini dikembangkan dalam
kerangka mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD).

326
3.3 Langkah Strategis untuk Mewujudkan Kesenian Tradisi sebagai
Produk Unggulan dalam Menunjang Pariwisata budaya di Surakarta
Dari wawancara dengan berbagai kalanagan diperoleh temuan,
bahwa jika kesenian tradisi akan diberdayakan menjadi produk
unggulan dalam wisata budaya, maka perlu dilakukan langkah-
langkah strategis sebagai berikut.
Pertama, mengemas kesenian tradisi menjadi sebuah suguhan
kesenian yang memikat, namun efisien waktu. Untuk keperluan
wisatawan –terlebih wisatawan asing yang memiliki waktu relatif
sedikit--, maka perlu dilakukan kreasi ‘baru’ yang lebih simpel, tanpa
harus mengurangi nilai estetiknya. Pementasan kesenian tradisi
dapat dikemas menjadi sebuah sajian yang ringkas, padat, namun
tetap atraktif. Alur ceritanya tetap dapat diikuti oleh penonton, tetapi
disajikan dalam bentuk ringkas dan padat (simpel).
Adapun untuk suguhan bagi wisatawan asing yang memiliki
keterbatasan waktu, maka pementasan kesenian tradisi dapat
dilakukan juga di hotel-hotel –selain di Taman Sriwedari, auditorium
RRI, dan Balaikambang--. Sebagai perbandingan, kita dapat belajar dari
pementasan seni drama tari (sendratari) Ramayana di Candi Prambanan
atau tari Kecak di Student Centre Bali. Keduanya digarap sedemikian
atraktif dan memikat meskipun singkat.
Kedua, untuk meningkatkan daya jual (marketable), pada
even-even tertentu pihak pengelola perlu mendatangkan bintang-
bintang tamu dalam pementasan kesenian tradisi. Guna memancing
masyarakat datang menyaksikan pementasan kesenian tradisi, perlu
dihadirkan bintang tamu yang namanya dapat menjadi daya magnetik
bagi penonton. Diperoleh data di lapangan, bahwa banyak penonton
membanjiri Auditorium RRI Surakarta dan gedung kesenian Sriwedari
karena ingin menyaksikan bintang tamu Basuki (alm.), Ki Manteb, dan
Yati Pesek, yang ikut bermain kethoprak dan wayang orang.
Sekedar ilustrasi, ketika dipentaskan kethoprak dengan lakon
“Arya Penangsang” di auditorim RRI Surakarta dengan menghadirkan
bintang-bintang kondang seperti Ki Mantep Sudarsono, Ki Gati
(saudara kembar Ki Gito (Alm.) dari Yogyakarta), Timbul, Basuki
(alm.), dan Nunung (Srimulat), dan lain-lain, ternyata penonton
datang berduyun-duyun memenuhi arena pertunjukan.
Demikian pula ketika di gedung Sriwedari digelar Wayang Orang
yang diproduksi oleh para seniman muda yang tergabung dalam
Paguyuban Seniman Wayang Orang Surakarta (STSI Surakarta, SMK
Karawitan, sanggar-sanggar kesenian, dan para siswa dari berbagai
sekolah di Surakarta yang menggeluti kesenian tradisi itu), penonton

327
pun membludak.
Ketiga, perlu dilakukan kerja sama secara sinergis dengan
institusi terkait. Dalam upaya lebih membumikan kesenian tradisi
sebagai aset wisata budaya yang dapat mendatangkan pendapatan
asli daerah (PAD) sekaligus upaya pelestarian dan pewarisan seni
budaya tradisi, perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga
terkait seperti: sanggar kesenian, lembaga pendidikan (sekolah dan
perguruan tinggi), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI),
Taman Budaya Surakarta (TBS), Gabungan Seniman Wayang Orang
Surakarta, biro perjalanan wisata, dan hotel. Komunitas seni budaya
perlu diajak kerja sama dalam penggarapan kesenian tradisi.
Sekolah dan perguruan tinggi dapat diajak untuk menanamkan
nilai-nilai budaya adiluhung dengan memberikan dasar-dasar apresiasi
kesenian tradisi melalui proses pembelajaran di kelas, sanggar-
sanggar seni sekolah (ekstrakurikuler), dan menyaksikan pementasan
kesenian tradisi. Dengan demikian, niscaya para siswa akan memiliki
rasa memiliki (handarbeni) atas budaya warisan leluhur.
Keempat, perlu retrospeksi berbagai pihak terkait untuk mengkaji
revitalisasi kesenian tradisi. Melalui diskusi dan sarasehan akan dapat
ditemukan berbagai permasalahan yang bergayut dengan upaya
revitalisasi kesenian tradisi guna menunjang pariwisata budaya.

4. Simpulan
Secara umum pementasan kesenian tradisi seperti wayang
orang dan kethoprak di gedung kesenian Sriwedari, auditorium
RRI Surakarta, dan Balaikambang, perlu penggarapan yang lebih
kreatif dari aspek teatrikalnya dan modernisasi sarana pendukung
pementasannya.
Dengan pengelolaan secara terpadu dan manajemen profesional
serta adanya kerja sama secara sinergis dengan pihak terkait yakni
seniman/budayawan, akademisi dan pengamat budaya, Dinas
Pariwisata budaya, Biro Jasa Wisata (pengusaha industri pariwisata
budaya) dan pihak perhotelan, kesenian tradisi akan dapat eksis
sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata budaya budaya
di Surakarta.
Tantangan yang dihadapi dalam upaya revitalisasi kesenian
tradisi meliputi empat aspek yakni: (1) penggarapan kesenian tradisi
yang meliputi: segi cerita yang terkesan monoton, penggarapan aspek
teatrikal kurang kreatif dan atraktif, teknologi pementasan masih
konvensional, dan manajemen pementasan yang tidak profesional; (2)
proses pewarisan nilai budaya tradisi dalam masyarakat tidak berjalan

328
dengan baik sehingga tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian
tradisi menurun; (3) membanjirnya berbagai produk teknologi
komunikasi dan media massa mempengaruhi menurunnya minat
masyarakat atas kesenian tradisi; (4) perubahan nilai-nilai kehidupan
akibat globalisasi berdampak pada bergesernya respons dan apresiasi
masyarakat atas seni budaya; kini kecenderungan masyarakat lebih
kepada seni budaya modern..
Adapun upaya revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan
melalui reaktualisasi agar sesuai dengan dinamika kehidupan.
Upaya itu meliputi: (1) penggarapan cerita yang lebih variatif dan
mengangkat masalah aktual; (2) penggarapan teatrikalnya yang lebih
kreatif dan atraktif; (3) perlu inovasi dalam teknologi pementasan
misalnya dengan mengadopsi teknologi sinema/film; (4) pengelolaan
manajemen pementasan yang profesional.
Adapun langkah-langkah strategis antisipatif untuk mewujudkan
kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pengembangan
pariwisata budaya di Surakarta adalah: (1) mengemas kesenian
tradisi menjadi tontonan ringkas dan padat tetapi memikat; (2)
menghadirkan bintang tamu dalam pementasan pada even-even
tertentu; (3) peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihak-
pihak terkait; (4) dilakukan sarasehan bersama antar-berbagai pihak
terkait guna merealisasikan kesenian tradisi menjadi aset unggulan
dalam menunjang pariwisata budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massachussets:


Harvard University Press.
Clara van Groenenael, Victoria M. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta:
Temprint.
Deparpostel. TT. Pariwisata dan Sapta Pesona. Jakarta: Dirjen Pariwisata
Deparpostel.
Hersapandi. 1994. “Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial”
dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. V/1994.
Kartodirjo, Suyatno. 1990. “Mencari Budaya yang Relevan sebagai Potensi
Pengembangan Pariwisata”, Makalah Seminar Pariwisata budaya
Budaya se-Jawa Bali di SEMA Fakultas Sastra Universitas Sebelas
Maret.
Kayam, Umar. 1983. Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.
Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

329
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, or Contemporere: A Study of the Javanese
Performing Arts. Ph. D. Dissertation, University of Sydney.
Sayid, R.M. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta: Pradnya Paramita.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Singarimbun, Masri (Ed.). 198 5. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Supanggah, Rahayu, 1991. “Karawitan Anak-Anak: Gejala Perkembangan
Karawitan Jawa yang Memprihatinkan”dalam Jurnal Seni Pertunjukan
Indonesia Edisi Th. II/1991.
Yoeti, Oka. 1985. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Ismail, 1990. Wawasan Jati Diri dalam Pembangunan Jawa Tengah. Semarang:
Effhar dan Bahara Prize.

330
PEMBUATAN FILM DOKUMENTER:
Flora Dalam Budaya Sunda

Retty Isnendes, Asep Sutiadi, dan Hernawan


Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Pendahuluan

E ksploitasi terhadap keanekaragaman hayati untuk keperluan


bisnis dan industri dilakukan pialang-pialang
tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan aspek
besar

keberlanjutannya (The World Conservation Union, Kehati, 2003).


Beberapa data telah menunjukkan tentang kecenderungan penurunan
keanekaragaman hayati di Indonesia. Sekitar 600 spesies tumbuhan
diketahui telah punah pada abad ke-17. Padahal Indonesia bahkan
belum sempat mendatanya (Keogh; Rustaman, 2005). Kegiatan
manusia meningkatkan kepunahan spesies tumbuhan sebanyak seribu
kali lipatnya. Kegiatan manusia pula yang merusak keseimbangan
alam di dunia ini.
Budaya masyarakat yang selaras dengan kehidupan alam
sekitarnya semakin tidak dapat dipertahankan dan kemungkinan
terbesarnya hilang atau punah. Padahal, keselarasan budaya dengan
alam hanya akan mungkin terjadi apabila hutannya masih terjaga
dan terpelihara. Sudah saatnya semua pihak harus menunjukkan
kepedulian akan pentingnya konservasi alam hayati dan budaya.
Kepedulian tersebut bukan hanya pada tataran menjaga secara materi
tetapi juga secara immateri.
Kepedulian akademis ditunjukkan dengan, di antaranya, berbagai
penelitian untuk mengkaji tentang hubungan antara pengetahuan
masyarakat tradisional Sunda dengan biologi, khususnya kekayaan
flora di Tatar Sunda. Keanekaragaman hayati flora di Tatar Sunda
merupakan aset kekayaan bangsa yang dapat menjamin kelangsungan
hidup masyarakat Sunda pada khususnya dan masyarakat Indonesia
umumnya. Kekayaan dan keanekaragaman akar, umbi, batang,
daun, bunga, buah di Tatar Sunda belum teridentifikasi dengan baik.
Beberapa flora khas di Tatar Sunda juga mulai mengalami kelangkaan.
Hal tersebut disebabkan karena pergeseran budaya dan berkurangnya
kearifan lokal di masyarakat. Masyarakat kurang menyadari lagi
pentingnya menanami pekarangan dengan tanaman lokal demi
kelestarian tananaman tersebut. Banyaknya spesies-spesies tanaman

331
hias import yang dewasa ini sangat digemari semakin menggeser
kedudukan dan kelestarian tanaman lokal. Diperlukan berbagai upaya
sistematik untuk menyelamatkan kekayaan flora di Tatar Sunda.
Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologi (Keraf, 2002 dalam Isnendes, 2009; 2010). Seluruh
kearifan tradisional ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus
membentuk pola prilaku manusia sehari-hari.
Kearifan tradisional semakin langka saja, apalagi pada generasi
muda yang notabene tidak mengenal kehidupan natural. Hal tersebut
karena pergeseran budaya dan sosial ke arah konsumerisme dan
teknologi (sains) yang salah kaprah. Masyarakat sosial, terutama
generasi muda mengetahui alam (komunitas ekologis) sebagai
pengetahuan kiranya hanya di lembaga-lembaga pendidikan saja. Itu
pun apabila gurunya membelajarkannya. Apabila tidak dibelajarkan
maka semakin jauhlah jarak pengetahuan mereka tentang alam.
Bahkan kemungkinan mereka mempunyai sikap yang apatis dan tidak
peduli pada kehidupan komunitas ekologis di sekelilingnya.
Pembelajaran sains dewasa ini kurang memberi wawasan berpikir
termasuk untuk memelihara lingkungan. Pembelajaran sains kurang
memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup warganegara. Padahal
pembelajaran sains semestinya dapat mengembangkan kepekaan
terhadap lingkungan dan wawasan berpikir untuk kehidupan masa
depan yang baik (Rutherford & Ahlgren, 1990; Rustaman, 2005).
Kurikulum dewasa ini semestinya lebih berorientasi pada
strategi mempersiapkan warga negara yang produktif (Rustaman,
2006). Apabila mengacu pada NRC (1996) rendahnya kontribusi
pembelajaran sains terhadap kelulushidupan warga negara mungkin
disebabkan karena terlepasnya pembelajaran sains dari konteks sosial;
hanya menitik beratkan pada penguasaan materi; dan penggunaan
asesmen yang tidak tepat sehingga warga negara hanya dipersiapkan
untuk menguasai pengetahuan.
Sebagai bahan pembelajaran, keanekaragaman hayati flora Sunda
bisa dijadikan bahan dan tema dalam pembelajaran mata pelajaran-
mata pelajaran atau mata kuliah-mata kuliah tertentu, misalnya:
Biologi, Lingkungan Hidup, Bahasa Daerah, Seni, dan Budaya, atau
pada mata pelajaran akumulatif pertanian di sekolah menengah
kejuruan. Bahkan di Perguruan Tinggi, keanekaragaman hayati flora
Sunda bisa dikemas dan dijual pada mata kuliah tertentu, seperti

332
boga, busana, leisure and resort, dsb. Yang terpenting dari semuanya
adalah mata pelajaran-mata pelajaran tersebut peka alam dan budaya,
tidak terasing dan mengasingkan diri dari kondisi kontekstual alam
semesta.
Pengenalan peserta didik pada flora Sunda idealnya terjadi
di lapangan sebagai bagian dari investigasi atau observasi
pembelajarannya. Tetapi, apabila hal tersebut tidak dimungkinkan,
maka media menjadi hal penting dalam menghadirkan materi flora
Sunda.
Penghadiran gambar pada media film adalah masalah yang akan
diangkat dalam penelitian ini. Gambar atau film adalah media penting,
baik dalam pembelajaran atau pun dalam mediasi flora Sunda. Hal itu
karena media film bisa dijadikan alat dokumenter dalam menyimpan
warisan alam semesta; flora Sunda yang masih hidup dan yang
diambang kepunahan.
Media gambar merupakan media penting yang dapat digunakan
untuk mensosialisaikan keanekaragaman hayati flora Sunda. Media
tersebut dapat dijadikan sebagai sarana persuatif untuk melibatkan
masyarakat Sunda dan dunia dalam upaya menjaga kelestarian flora di
alam semesta. Keanekaragaman bunga, buah, daun, dan batang yang
terdapat pada flora Sunda dapat diperkenalkan kepada masyarakat
dunia. Penyusunan bahan untuk media gambar akan memediasi
upaya-upaya investigasi dan inventarisasi flora-flora Sunda.
Masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana mengangkat flora
Sunda menjadi media gambar hidup tiga dimensi (film dokumenter)
yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sunda?

Tinjauan Pustaka
Alam dan Budaya Sunda
Alam dan budaya Sunda merujuk pada pemaknaan fisiografi dan
kultural tentang alam dan budaya yang terdapat di wilayah Banten,
Jawa Barat, dan Cirebon. Secara fisiografi, wilayahnya berwujud
dataran rendah alluvial di baguan utara dan pegunungan di bagian
selatan. Perbandingan antara dataran rendah dan bagian pegunungan
adalah 1:3. Ini membuktikan bahawa alam Jawa Barat lebih luas bagian
pegunungan daripada bagian dataran rendahnya. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa Barat, yaitu sekira 30
gunung.
Kekayaan tambang yang terdapat pada alam Jawa Barat di
antaranya: emas, mangan, belerang, minyak bumi, dan gas bumi.
Kekayaan hayati tidak perlu diragukan lagi, apalagi didukung dengan

333
fakta sebagai wilayah yang dilalui garis katulistiwa menyebabkan
Jawa Barat menjadi daerah tropis. Suatu daerah yang sangat nyaman
dihuni oleh makhluk hidup, terutama flora dan fauna.
Selain itu, lapisan tanah di wilayah Jawa Barat banyak mengandung
endapan vulkanis dan alluvial yang berasal dari letusan gunung
berapi, hal ini menyebabkan kesuburan tanahnya menumbuhkan
aneka macam tanaman, baik tanaman liar berupa hutan, maupun
tanaman peliharaan melalui usaha pertanian.
Alffred Russel Wallace (yang namanya diabadikan menjadi
garis Wallace), melakukan perjalanan ke puncak Gunung Pangrango
dan Gunung Gede untuk mengobservasi dan mengumpulkan segala
jenis flora dan fauna yang dijumpainya, menyaksikan sendiri adanya
berbagai jenis tanaman yang biasa tumbuh di daerah tropis sampai
yang biasa tumbuh di daerah dingin seperti di Eropa, bisa tumbuh
di wilayah tersebut. Kebun Raya Bogor menjadi saksi bahwa hampir
semua tanaman tropis dapat tumbuh di bumi Jawa Barat.
Hutan lebat ditumbuhi aneka jenis pohon, mulai dari lumut,
anggrek, hingga pohonan keras dan meraksasa; beringin; rasamala.
Pohonan tersebut bisa tumbuh di dataran rendah sampai di dataran
tinggi; puncak gunung pada ketinggian 8000 kaki lebih. Di sekitar
puncak Gunung Gede saja, tidak kurang dari 3000 jenis tanaman
tumbuh dengan suburnya (Wallace, 1902: 85, 89-90).
Areal hutan di wilayah Jawa Barat semakin lama semakin
berkurang. Pengurangan luas areal hutan itu makin lama makin luas
sejak diperlukan untuk lahan perkebunan, pertanian (sawah dan
ladang), pemukiman, dan industri, serta diperlukan kayunya untuk
bahan bangunan dan lain-lain.
Apabila tahun 1973, area hutan sekira 1.035.055,3 ha dengan
hitungan 468.018,7 ha untuk hutan lebat dan 567.036,6 ha untuk hutan
sejenis dan hutan belukar (Direktorat Tata Guna Lahan 1973:7-8),
maka sekarang (tahun 2003) menurut Dewan Pemerhati Kehutanan
dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) hutan negara secara hitungan
normatif adalah 816.603 ha saja (Pusat Studi Sunda, 2007:6). Artinya,
dalam kurun waktu 30 tahun, hutan di Jawa Barat berkurang seluas
218.452,3 ha.
Kelenyapan hutan seluas itu, tentu berpengaruh terhadap lini
kehidupan: ekosistem, flora, fauna, tambang, mineral, mengubah
tatanan fisik dan psikis komunitas masyarakat tradisional atau
masyarakat adat, juga pada akhirnya: budaya Sunda secara
keseluruhan.
Unsur-unsur universal dalam satu budaya, menurut

334
Koentjaraningrat (1993 cet ke-16:2) ada tujuh macam, yaitu: 1) sistem
religi dan kepercayaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3)
sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian
hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.
Ketika komunitas hutan hilang, dengan sendirinya keselarasan
manusia dengan alamnya pun hilang. Ketujuh unsur budaya pun
terkena dampaknya. Dampak negatif yang terparah adalah musnah
atau punahnya sub unsur yang ada pada tiap unsur budaya tadi.
Untungnya, sistem pengetahuan dalam budaya manusia
dapat menyelamatkan atau meminimalisir kepunahan tersebut.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut bisa diawetkan dengan unsur
bahasa. Bahasa menjadi media untuk mengkomunikasikan dan
merelasikan pengetahuan tersebut. Bahasa juga dapat menyimpan
kekayaan enam unsur budaya lainnya.
Bahasa Sunda adalah kekayaan orang Jawa Barat, khususnya
orang Sunda, selain bahasa daerah lainnya. Bahasa Sunda menyimpan
kekayaan budaya Sunda yang tak terkira harganya. Bagaimana
tidak, selain bahasa berfungsi sebagai alat; media komunikasi yang
berkembang dan dipakai untuk mengeluarkan perasaan-perasaan,
pikiran, dan keinginan masyarakat penuturnya, juga secara hakikat
bahasa mempunyai kemampuan sebagai menumbuhkembangkan
tradisi dan budaya masyarakatnya. Dalam hal ini budaya Sunda, yang
diakui sebagai bagian dari budaya daerah pendukung kebudayaan
nasional bangsa Indonesia.
Pada sastra lisan Sunda --yang kemudian dituliskan, hidup
kekayaan budaya manusia Sunda: terutama pengetahuan yang
menjadi kekayaan mengenai alam sekitar tempat yang pernah manusia
Sunda diami dan berinteraksi dengannya. Pengetahuan-pengetahuan
tersebut mengendap dalam ragam sastra lisan. Terutama kekayaan
flora Sunda.

Flora Sunda
Dalam sejarah Jawa Barat (ilmu sejarah, artinya pada tataran fakta
empirik, fakta primer) tercatat jenis-jenis tanaman yang telah lekat
dengan kehidupan masyarakatnya. Tanaman tarum (indigo), telah
ditemukan dalam tataran sejarah Kerajaan Sunda dan Pajajaran, sebagai
bahan pewarna yang dijualbelikan. Tidak heran bila kemudian ada
sungai bernama Citarum atau Kerajaan Tarumanagara. Demikian juga
dengan lada, padi, tamanan tersebut sudah disiarkan keberadaannya
hingga abad ke-17. Bahkan buah lada disebut sebagai buah yang nilai
ekonominya tinggi karena dijadikan alat penukar kebutuhan pokok

335
masyarakat Sunda ketika itu, dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dan luar Nusantara; diantaranya dengan pemerintahan Portugis.
Hingga pada abad ke-20, tamanan yang tercatat dalam sejarah
Sunda adalah kopi, kina, teh, karet, tebu, kelapa, jarak. Tanaman-
tanaman tersebut berhubungan dengan perkebunan dan kisah
penjajahan yang pahit dan kelabu (Haryoto Kunto, 1983). Berbeda
dengan pada abad ke-21, dewasa ini, jenis tanaman padi, teh, karet,
kelapa sawit, coklat, tebu, dan sejumlah sayuran mempunyai nilai
tinggi. Demikian pula dengan tanaman keras, dimanfaatkan kayunya
karena berkualitas tinggi dan bernilai ekonomis. Kayu-kayu tersebut
tumbuh dari masa lalu dan berumur puluhan bahkan ratusan tahun.
Tanaman-tanaman keras tersebut tumbuh di hutan-hutan di seluruh
Jawa Barat.
Selain tanaman-tanaman yang diketahui secara fakta empirik, ilmu
biologi, dan ilmu sejarah, ragam kekayaan tanaman pada masyarakat
Sunda juga tersimpan secara permanen dalam sastra dan folklore.
Sastra lisan Sunda mewadahi kreativitas manusia Sunda yang erat
berinteraksi dengan alam sekitarnya. Dalam idiom-idiom, peribahasa,
sisindiran ’pantun’, cerita rakyat, guguritan, lelucon, nyayian anak-
anak, flora Sunda hidup diawetkan. Dalam folklor demikian juga;
dalam permainan, kepercayaan, pengobatan tradisional, perundagian
(arsitektur tradisional), tatarias, tataboga, tatabusana, dsb., flora Sunda
adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya.
Tinjauan flora Sunda secara ilmiah populer telah ditulis
oleh H. Unus Suriawiria, pengajar di Jurusan Biologi ITB. Beliau
mengkhususkan diri menulis tentang lalab ’lalap’ pada budaya Sunda.
Judul tulisannya adalah Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat
Sunda (1981) dan Lalab untuk Kesehatan dan Kebugaran (1994). Isi dari
tulisannya adalah: 1) menggali kebiasan memakan lalab orang Sunda,
2) sekilas dibahas korelasi antara kepercayaan, khasiat, dan nilai gizi
yang terkandung dalam lalab, dan 3) jenis-jenis lalab yang dimakan
orang Sunda.
Tinjauan lain adalah berupa makalah PKMPI (Program Kreativitas
Mahasiswa-Penulisan Ilmiah) yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa daerah FPBS UPI. Makalah tersebut berjudul ”Flora
Sunda: Tafsir Culture Studies Idiom dan Peribahasa Sunda” (2006) dan
“Tanaman Obat Keluarga (Toga): Tafsir Back to Nature pada Babasan
dan Paribahasa (Idiom) Sunda” (2008). Makalah tersebut didanai
DIKTI sebesar dua dan tiga juta rupiah dan menembus PIMMAS di
Malang dan Semarang. Dosen pembimbing pada kegiatan tersebut
adalah penulis sendiri, Retty Isnendes, S.Pd., M.Hum. Isi dari PKMPI

336
tersebut adalah 1) mendeskripsikan flora Sunda dalam idiom dan
peribahasa, dan 2) konstruksi budaya yang berkaitan dengannya, 3)
tafsir back to nature terhadap flora Sunda. Sumber yang digunakan
adalah tiga buku tentang idiom dan peribahasa Sunda, dan terdapat
37 idiom dan peribahasa Sunda yang mencatat nama flora. Ke-37 nama
flora itulah yang dikaji oleh kelompok.
Selain dua tinjauan di atas, penulis tidak menemukan lagi kajian
mengenai flora yang berhubungan dengan budaya Sunda apalagi
dengan mediasinya, baik berupa hasil penelitian atau berupa buku
populer. Dengan demikian, kajian ini lebih luas dan dalam dengan
luaran yang kongkrit berupa pemediasian terhadap flora Sunda dari
dua tinjauan yang ada.

Media
Media pembelajaran adalah media yang penggunaannya
diintegrasikan dengan tujuan dan isi pembelajaran, dan biasanya
dituangkan dalam GBPP dan dimaksudkan untuk mempertinggi
mutu kegiatan belajar-mengajar (Santoso S. Hamidjojo dalam Nuryani
(2005: 115).
Jenis-jenis media bermacam-macam, yaitu: 1) bahan publikasi,
2) bahan bergambar, 3) bahan pameran, 4) bahan proyeksi, 5) bahan
rekaman audio, 6) bahan produksi, 6) bahan siaran, 7) bahan pandang
dengar, 8) bahan model/benda tiruan.
Foto termasuk pada real material and person menurut Gerlach&Elly
dalam Suryani (2005: 118). Foto dalam kegiatan pembelajaran termasuk
pada media grafis. Sedangkan fungsi media adalah sebagai berikut.
1) Memperjelas dan memperkaya atau melengkapi informasi yang
diberikan secara verbal.
2) Meningkatkan motivasi dan perhatian siswa untuk belajar.
3) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyampaian informasi.
4) Menambah variasi penyajian materi.
5) Pemilihan media yang tepat akan menimbulkan semangat, gairah,
dan mencegah kebosanan peserta didik.
6) Mudah dicerna dan lebih membekas, sehingga tidak mudah
dilupakan siswa.
7) Memberikan pengalaman yang lebih kongkret bagi hal yang
mungkin abstrak.
8) Meningkatkan keingintahuan peserta didik.
9) Memberikan stimulus dan mendorong respon peserta didik.
Adapun peranan media dalam pembelajaran adalah sebagi
berikut.

337
1) Mengatasi masalah keterbatasan ruang kelas.
2) Mengatasi masalah letak geografis.
3) Mengatasi gerak benda yang terlalu cepat dalam realitas.

Film
Film dipercaya sebagai media yang paling besar pengaruhnya
di masyarakat. Film bukan saja sebagai pengingat yang menyentuh
memori manusia pada kehidupan, tetapi juga bisa sebagai alat
pengingat terhadap perubahan-perubahan kehidupan. Dengan
demikian, film selain berpengaruh terhadap bagaimana melakoni
kehidupan, film juga sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia.
Film bisa membawa kita pada kehidupan yang pernah dilewati oleh
manusia, juga bisa membawa kita masuk dan mengerti pada budaya
yang berbeda. Selain itu, film menambah pengalaman estetis lewat
keindahan yang disuguhkannya.
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang memanfaatkan
media komunikasi massa pandang-dengar. Film yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan cara direkam dina pita
seluloid, pita video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya
(digitalisasi) dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melewati proses
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, memakai atau tak
memakai suara, yang bisa ditayangkan melalui sistem proyeksi
mekanik, elektronik, dan lainnya.
Pengertian film, selain pengertian di atas adalah gambar hidup
atau sering disebut movie. Secara kolektif, film disebut sinema. Gambar
hidup adalah bentuk manifestasi seni, bentuk populer dari hiburan,
dan bisnis. Film dihasilkan oleh rekaman manusia dan peralatan
(termasuk fantasi dan figur palsu) melalui kamera atau animasi (http://
www.wikipedia.org/encyclopedia.)
Dalam penelitian ini akan dibuat film dokumenter. Film
dokumenter adalah film yang menyajikan realita melalui cara-cara
yang dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Film dokumenter dibuat tidak lepas dari meluasnya informasi
pendidikan dan propaganda. Contoh film dokumenter yang sangat
bermutu adalah yang ditayangkan melalui program National Geografic
dan Animal Planet.
Unsur-unsur dalam pembuatan film adalah: kamera, skenario,
dialog, musik, latar atau setting, mutu pertunjukan, credit tile, angle
kamera dan akting, warna, teknik editing (gambar, musik, suara,
pencahayaan), dan sistem kontinuitas dalam editing.
Beraneka ragamnya bahan tersebut dapat dilihat dari mulai yang

338
sederhana sampai yang kompleks mempunyai karakteristik tertentu.
Setiap media mempunyai kelebihan dan kelemahannya.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengisyaratkan metode
kualitatif. Metode kualitatif pada penelitian ini menekankan pada:
(1) latar alamiah, (2) manusia sebagai instrumen, (3) adanya (analisis)
deskriptif, (4) pentingnya proses, (5) desain yang terus disesuaikan
dengan kenyataan lapangan, dan (6) hasil penelitian disepakati
bersama. Metode kualitatif adalah juga sebuah prosedur penelitian
yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-
kata tertulis (atau lisan yang ditulis).
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pendokumentasian dan mediasi.
Teknik pendokumentasian dalam penelitian ini bertujuan
pengarsipan dan pendokumentasian yang bersifat penelitian di
lapangan (field work). Tahapan yang dilakukan adalah
1) prapenelitian di lapangan. Dalam tahap ini, peneliti akan membuat
perencanan sematang mungkin tentang:
a. jenis fakta empirik biologi tentang flora Sunda;
b. wilayah kerja (lapangan) yang dianggap lengkap
dalam penyediaan data penelitian, perbandingkan, dan
pengambilan gambar flora Wilayah kerja penelitian ini
adalah provinsi Banten dan Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur,
Bandung, Jatinangor, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Cirebon);
c. Menyiapkan instrumen penelitian untuk pemupuan data,
atau teks wawancara untuk pembuatan gambar.
d. alat-alat yang digunakan dalam pendokumentasian (alat
tulis, kamera, handy camp, tape recorder, dll).
1) Penelitian di lapangan. Pada tahap ini digunakan langkah
a. pengamatan,
b. observasi lapangan,
c. wawancara,
d. pupuan data.
Pada pelaksanaan pupuan data dilakukan pencatatan data dan
pengambilan gambar film flora secara parsial (perbagian flora).
2) Pembuatan film. Dalam tahap ini flora Sunda diambil gambarnya
dan diinterpretasi ulang keberadaannya. Setelah data diperoleh,
kemudian data film dikumpulkan dan disusun menjadi film
dokumenter yang lengkap setelah proses editing film.

339
Teknik mediasi dalam penelitian ini adalah bagaimana teks
ditransformasi dari berupa kata-kata ke medium yang berupa gambar
tiga dimensi, khususnya mengetengahkan flora Sunda yang digunakan
dan dimanfaatkan oleh masyarakat Sunda dalam gambar hidup yang
bersifat dokumenter.

Pembahasan Hasil Penelitian


1) Proses Pemilihan Data
Data dalam pembuatan film ini adalah semua flora yang telah
terpilih bagi kepentingan film itu sendiri. Dari hasil penelitian
sebelumnya dan dari hasil penelitian mahasiswa Sunda, ditemukan
flora dalam idiom dan peribahasa Sunda. Idiom dan peribahasa yang
menggunakan flora sebagai bahannya memperlihatkan bagaimana
eratnya flora dengan manusia Sunda. Manusia Sunda secara sadar dan
bertransendental menggunakan flora sebagai kiasan terhadap sesuatu
yang dianggap mungkin menggambarkan apa yang dimaksudnya.
Dari ke-36 data yang diperoleh, dipilih idiom dan peribahasa
yang mungkin dihadirkan pada film. Selain itu dilakukan juga data
wawancara dengan seseorang yang dianggap ahli pada bidangnya.

2) Skenario Film Flora pada Budaya Sunda


Film yang diproduksi adalah film dokumenter. Film dokumenter
berangkat dari satu gagasan yang menjadi sumber lahirnya film
tersebut. Membuat film dokumenter adalah mengkomunikasikan
ide-ide lewat paduan gambar dan suara. Membuat film dokumenter
adalah memberikan sebuah peyakinan kepada penonton tentang apa
yang direkam.
Hal-hal penting dalam pembuatan film dokumenter ini adalah:
ide cerita, riset, menentukan alur cerita, menulis script film.

a. Ide Cerita
Ide cerita dalam film dokumenter ini adalah mendokumentasikan
flora Sunda yang menjadi latar alam kehidupan manusia Sunda,
menjadi kebutuhan dalam kehidupannya, dan menjadi budaya
Sunda yang memancar dari unsur-unsur kebudayaan yang
ditawarkan oleh Koentjaraningrat.

b. Riset
Riset yang dilakukan adalah riset pustaka dan riset visual/lapangan.
Pada riset visual, membuat film dokumenter dihadapkan pada: (1)
melakukan pengumpulan data-data yang sesuai dengan ide cerita,

340
juga mewawancarai orang-orang yang relevan dengan ide film, (2)
mencari dan melakukan seleksi tokoh yang nanti akan menjadi juru
tutur dalam film, (3) menghitung lokasi shooting, untuk kebutuhan
teknis gambar dan suara, dan (4) menghitung kemungkinan lama
waktu shooting.

c. Menentukan Alur Cerita


Alur cerita film tersebut terdiri atas, (1) awal, (2) tengah, dan (3)
penutup.
(1) Awal
Film ini dibuka dengan gambar: kerusakan hutan. Bagaimana
manusia mengeksploitasi hutan, menumbangkan pohon, kebakaran
hutan, akibat dari pembukaan hutan; banjir, tandus, kemiskinan,
dan lain-lain, mendirikan bangunan tanpa melihat lingkungan
sekitar, dll.
(2) Tengah
Gambar beralih pada pemandangan yang menyejukan mata,
di antaranya hutan yang rimbun, kehijauan tumbuhan, sawah
yang luas, kebun, tegalan, taman kota, tumbuhan sekitar, semak
belukar, tumbuhan di sekeliling rumah; pada keseharian hidup,
bunga-bunga, buah-buahan, jenis-jenis pohon yang dikenal oleh
orang Sunda. Pada bagian ini pula, gambar kemudian beralih ke
kampus UPI, mendokumentasikan laboratorium alam UPI, melihat
dari dekat pohon-pohon kampus, lalu naik ke taman botani UPI.
Menyorot tumbuh-tumbuhan langka dan tumbuh-tumbuhan yang
ada di sekitarnya. Kemudian wawancara dilakukan dengan Bapak
Drs. H. Eman Abdurrahman tentang sejarah dan jenis-jenis pohon
yang ada serta kemanfaatan dan kepentingannya.
Gambar kemudian beralih pada sisi budaya yang melibatkan flora
atau tumbuhan oleh manusia Sunda. Gambar memperlihatkan
cuplikan-cuplikan kegiatan adat/budaya yang memanfaatkan
tumbuhan pada kegiatannya. Ada beberapa upacara adat yang
direkam. Ada rekaman wawancara dengan Drs. Dede Kosasih,
M.Si tentang hubungan flora dengan penamaan tempat/wilayah
(toponimi). Ada wawancara dengan Chye Retty Isnendes, pemerhati
flora dalam upacara adat Sunda.
(3) Penutup
Gambar kemudian difokuskan pada pengangkatan idiom dan
peribahasa Sunda yang menggunakan unsur flora di dalamnya.
Pada bagian ini diperlihatkan tulisan jenis idiom atau peribahasanya,
lalu penayangan gambar tumbuhannya. Gambar ini diketengahkan

341
secara khusus untuk menjadi model membelajarkan flora pada
peserta didik, baik dalam mata pelajaran (B. Sunda, Biologi, PLH,
dll), ataupun mata kuliah (Budaya Sunda, Folklor, Tradisi Lisan,
dll) yang bisa mengambil manfaat daripadanya. Kemudian film
ditutup dengan sebuah pertanyaan: Bila para pendahulu kita telah
mewariskan kearifan lokal yang begitu luar biasa mengenai hubungan
lahir-batin antara alam dan harmoni hidup dari tumbuhan-tumbuhan di
sekitarnya, bagaimana generasi sekarang dan akan datang bisa menapaki
hidup pada kondisi alam yang rusak dan hancur?

4) Menulis Script Film


Bagian terakhir adalah menulis script film mengenai flora
dalam budaya Sunda. Bagian ini adalah bagian tersulit karena harus
menentukan detil scene, gambar visual, waktu, dan audio.

Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan
antara alam dan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai bagian dari
ekosistem alam ini mempunyai peranan penting dalam kelestarian
alam tersebut. Penelitian pembuatan film dokumenter flora Sunda ini
merupakan salah satu upaya pengenalan kearifan lokal budaya Sunda
yang tersirat dalam ungkapan dan peribahasa Sunda kepada peserta
didik pada khususnya dan kepada masyarakat luas pada umumnya.
Pengenalan peserta didik pada flora Sunda idealnya terjadi
di lapangan sebagai bagian dari investigasi atau observasi
pembelajarannya. Tetapi, apabila hal tersebut tidak dimungkinkan,
maka media menjadi hal penting dalam menghadirkan materi flora
Sunda.
Media yang paling efektif adalah gambar dua dimensi yang
berupa ilustrasi atau foto. Selain itu, adalah media gambar tiga
dimensi (film). Penghadiran gambar pada media film adalah masalah
yang akan diangkat dalam penelitian ini. Gambar atau film adalah
media penting, baik dalam pembelajaran atau pun dalam mediasi
flora Sunda. Hal itu karena media film bisa dijadikan alat dokumenter
dalam menyimpan warisan alam semesta; flora Sunda yang masih
hidup dan yang diambang kepunahan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempermudah peserta didik
dalam mengenal flora Sunda. Selain itu, dapat menumbuhkembangkan
kecintaan peserta didik terhadap kearifan budaya lokal yang tersirat
dalam ungkapan dan peribahasa mengisyaratkan flora Sunda.

342
Saran
Diharapkan ada penelitian lanjutan yang lebih mendalam tentang
pembuatan media film dokumenter sebagai bahan media pembelajaran.
Selain itu, penelitian ini menghadapi kendala keterbatasan dana
penelitian. Untuk hasil yang lebih optimal diharapkan adanya
peningkatan dana penelitian untuk penelitian sejenis.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Aditia, dkk. 2006. ”Flora Sunda: Tafsir Culture Studies Idiom dan
Peribahasa Sunda” (Makalah PKMPI). Bandung: Jurusan Pendidikan
Bahasa Daerah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.
http://www.wikipedia.org/encyclopedia.
Isnendes, Retty, dkk. 2009-2010. Ekspedisi Alam dan Budaya: Inventarisasi,
Interpretasi Budaya, serta Mediasi Gambar dan Film Flora Sunda (Akar, Umbi,
Batang, Daun, Bunga, Buah (Penelitian DIKTI). Bandung: UPI.
Kartawinata, K. & Qunli, H. (2005). “Unesco dan Pengembangan Taxonomi
di Indonesia.” Lokakarya, Seminar nasional dan Kongres Penggalang
taksonomi Tumbuhan Indonesia, 17-19 November.
Kunto, Haryoto. 1983. Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia.
Koentjaraningrat. 1993 (cet ke-16). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Nuryani R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri
Malang.
NRC (National Research Council). (1996). National Science Education Standards.
Washington: National Academy Press.
Rustaman, N. Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri
dalam Pendidikan Sains. Makalah Seminar Nasional II HISPIPAI. Bandung,
22-23 Juli.
Rustaman, N. Y. (2006). Penilaian Otentik (Authentic Assessment) dan
Penerapannya dalam Pendidikan sains. Makalah
Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans: Scientific Literacy.
New York: Oxford University Press.
Tim. 2007. Sundalana 6 (Jurnal): Menyelamatkan Alam Sunda. Pusat Studi
Sunda.
WRI, IUCN, & UNEP. (1995). Strategi Keanekaragaman hayati Global. Jakarta:
Gramedia.

343
UDYOGAPARWA:
RESEPSI DAN TRANSFORMASI TEKS

Darmoko
Universitas Indonesia, Jakarta

A. PENDAHULUAN

K itab Udyogaparwa merupakan salah satu kitab parwa hasil karya


sastra masa Jawa Kuno yang tergolong tua usianya. Kitab-kitab
parwa terdiri dari delapan belas parwa, yaitu Adiparwa, Sabhapawa,
Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa,
Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa,
Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa,
Mausalaparwa, Mahaprasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.
Dalam versi Sanskerta dapat diuraikan sebagai berikut:
Sastra wayang yang populer dalam berbagai lakon
mendapat inspirasi dari kesusasteraan Sansekerta (Ramayana dan
Mahabharata).
Ramayana dikarang oleh walmiki permulaan tarikh Masehi,
terdiri dari 7 jilid (kanda) digubah dalam bentuk syair sebanyak
24000 sloka (Balakanda, Ayodyakanda, Aranyakanda, Kiskindakanda,
Sundarakanda, Yudakanda, Utarakanda).
Balakanda= Negara Kosala ibokatanya Ayodya yang memerintah
raja Dasarata beristri tiga (Kausalya berputra Rama, Kaikeyi berputra
Bharata, dan Sumitra berputra Laksamana dan Satrugna).
Ayodyakanda=Dasarata menyerahkan kekuasaan kepada
Rama. Kaikeyi berhak anaknya bertahta (Bharata). Rama melepaskan
kekuasaannya pergi ke hutan 14 tahun.
Aranyakanda=rama membanrtu pertapa krn diganggu raksasa.
Laksmana memotong telinga dan idung Sarpanaka, ia diadukan kpd
Rahwana, raja Langka. Marica diutus Rahwana ke hutan berubah
menjadi kijang kencana menggoda Rama dan Laksamana. Kijang
dipanah Rama berubah mjd raksasa dan menjerit, jeritan dikira Rama,
Sita mengurtus Laksmana agar memberikan pertolonbgan. Seorang
brahmana (Rahwana) mendatangi Sita. Sita mengulurkan tangan shg
dibawa kabur oleh Rahwana.
Kiskindakanda=Rama berjumpa dng Sugriwa (raja kera),
kerajaannya direbut oleh saudaranya sendiri Walin (Subali). Rama

344
membantu Sugriwa untuk memperoleh kerajaan dan isterinya.
Kiskinda digempur , Walin terbunuh, Sugriwa menjadi raja dan
Anggada anaknya menjadi putra mahkota.
Sundarakanda Anoman mendaki gunung mahendra,
menyeberang lautan, dan tiba di Langka. Ia menemukan Sita, dan
mengabarkan Rama akan datang. Ia membakar kota.
Utarakanda=Sepertiga lanjutan kisah Rama, untuk memberikan
contoh yang sempurna Sita diusir dari istana. Sita tiba di pertapaan
Walmiki. Di pertapaan Sita melahirkan Kusa dan Lawa. Rama
mengadakan aswameda hadirlah Kusa dan Lawa. Walmiki
mengantarkan Sita ke istana, jika tidak suci raganya jangan diterima
bumi, buni trerbelah dan muncul Dewi Pertiwi di atas singgasana
emas didukung ular naga. Sita dipeluk dan dibawa ke dalam bumi.
Kitab ini terdiri dari 18 jilid (parwa) yang digubah dalam bentuk
syair sebanyak 100000 sloka, cerita pokoknya terdiri dari 24000 sloka
menceritakan peperangan sengit selama 18 hari antara Pandawa dan
Kurawa. Kitab ini dikarang oleh Wyasa Krsna Dwaipayana hidup
pada zaman brahnmana dan dikumpulkan sejak 400 SM sampai 400
Sesud M.
Adiparwa=Raja Santanu mempunyai anak laki-laki bernama
Bhisma, jatuh cinta kepada Satyawati, dan mau dikawin kalau anak dari
keturunannya menjadi raja. Bhisma melepaskan haknya sebagai raja
dan bersumpah tdk akan beristri. Perkawinan Santanu dan Satyawati
melahirkan Citranggada (mati muda) dan Wicitrawirya (menggantikan
Santanu sbg raja Hastina). Wicitrawirya mati tanpa mempunyai anak.
Satyawati minta Bhisma mengawini janda Wicitrawirya, Ambika dan
Ambalika. Satyawati pernah kawin dengan Parasara, dan punya anak
bernama Wyasa. Wyasa mengawini dua janda Wicitrawirya. Dari
ambika, Wyasa berputra Destrarastra yang buta, dan dari Ambalika
berputra Pandu. Karena Destarastra buta, Pandulah yang bertahta
di Hastina. Destarastra kawin dengan Gandhari berputra 100 orang,
yang tertua Duryodhana, mereka keturunan Kuru disebut Kaurawa/
Kurawa. Pandu kawin dengan Kunti, berputra Yudhistira, Bhima,
dan Arjuna; dan kawin dengan Madri berputra Nakula dan Sadewa.
Kelima putra Pandu disebut Pandawa. Pandu meninggal Destarastra
terpaksa meraja. Kaurawa dan Pandawa serta Aswatama dan Karna
diasuh bersama di Hastina dibawah dua pendeta Krpa dan Drona.
Destarastra menenrtuan Yudhistira sebagai calon raja, karena unggul
segalanya. Kaurawa iri hati maka berusaha mengadakan tipu muslihat
membunuh para Pandawa, namun usaha itu gagal. Pandawa berhasil
mendapatkan Drupadi, anak raja Drupada dari pancala dalam sebuah

345
swayamwara, ini menambah iri hati para Kaurawa. Kaurawa bersedia
memberikan separo negeri yang tandus . Pandawa membuat istana
baru disebut Indraprastha.
Sabhaparwa=Kaurawa selalu mencari akal untuk membinasakan
Pandawa. Kaurawa mengundang Pandawa bermain dadu, Yudhistira
kalah sampai dirinya sendiri ditaruhkan. Atas usaha Destarastra
Pandawa bebas. Kedua kali Pandawa diundang bermain dadu. Yang
kalah diasingkan 12 tahun tahun ke-13 kembali ke masyarakat tetapi
tidak boleh dikenal orang, tahun ke-14 kembali ke istana. Pandawa
kalah lagi, 13 tahun menjakani pembuangan, Draupadi turut serta.
Wanaparwa=Pengalam Pandawa selama 12 tahun di tengah hutan.
Wyasa memberi saran agar arjuna bertapa di Himalaya, memohon
senjata dewata menghadapi Kaurawa kelak (Arjunawiwaha).
Wirataparwa=Tahun ke-13 Pandawa keluar dari hutan, di kerajaan
Wirata, diterima bekerja di istana raja Drupada, Yudhistira ahli dadu,
Bhima juru masak, Arjuna guru tari, Nakula penjunak kuda, Sahadewa
sebagai gembala, dan Drupadi juru rias.

Udyogaparwa=Tahun ke-14 Pandawa ke Indraprastha, Krsna sebagai


juru runding status Pandawa. Kaurawa tidak mau mengembalikan
separuh Hastina, kedua pihak bersiap perang.
Bhismaparwa=Bhisma sebagai panglima Kaurawa dan
Dhrstadyumna (kakak Drupadi) memimpin Pandawa. Krsna
tidak turut berperang, menjadi kusir kereta Arjuna. Dimulailah
mahabharatayuddha. Arjuna bimbang karena karena yang dilawan
saudara-saudara sendiri dan orang tua yang disegani, Bhisma dan
drona. Krsna memberi wejangan kpd Arjuna tentang hakekat dan
kewajuban manusia (Bhagawadgita=nyanyian Tuhan). Bhisma gugur.
Dronaparwa=Drona sebagai panglima perang Kaurawa. Karna
ditandingi Gathotkaca, Abimanyu gugur oleh Dussasana. Drupada
gugur. Drona gugur ditangan Dhrstadyumna hari ke-15.
Karnaparwa=Gugurnya Gathotkaca dan Abimnanyu, Bhima
dan Arjuna mengamuk. Bhima berhasil membunuh Dussasana dng
cara kejam, dirobek dada Dussasana dan diminum darahnya. Arjuna
berhasil membunuh karna (hari ke-17) dengan panahnya diperoleh
waktu tapa.
Salyaparwa=Salya sebagai panglima Kaurawa, ia gugur hari
ke-18. Duryodhana ditinggalkan saudara-saudaranya, ia akan
meninggalkan dunia ramai. Sikapnya menjadi ejekan para Pandawa,
ia tampil ke medan perang menghadapi Bhima. Duryodhana gugur
sempat mengangkat Aswattama sebagai panglima.

346
Sauptikaparwa=Aswattama tidak dapat menahan dendamnya
terhadap tentara Pancala, ia menyusup pada malam hari untuk
bertempur (hari ke-18), Dhrstadyumna berhasil dibunuhnya beserta
banyak tentara Pancala. Esokharinya ia terkejar oleh Arjuna, bertempur,
Wyasa dan Arjuna menyelesaikan pertempuran itu, Aswattama
menyerahkan senjata dan kesaktiannya lalu mengundurkan diri
sebagai pertapa.
Striparwa=Bermacam cerita dirangkai sebagai wejangan tentang
kebatinan dan kewajiban raja ditujukan kepada Yudhistira.
Santiparwa=Bermacam cerita dirangkai sebagai wejangan tentang
kebatinan dan kewajiban raja ditujukan kepada Yudhistira.
Anusasanaparwa=Yudhistira melaksanakan Aswamedha, seekor
kuda dilepaskan diikuti oleh Arjuna dan sepasukan tentara, selama
satu tahun kuda mengembara, tiap jengkal tanah menjadi kekuasaan
Yudhistira. Banyak raja yang menentang, mereka ditaklukkan oleh
Arjuna.
Aswamedikaparwa=Dhrstarastra dan istri beserta Kunti menarik
diri ke tengah hutan menjadi pertapa. Tiga tahun kemudian mereka
mati terbakar oleh api saji Dhrtarastra.
Asramawasikaparwa=Musnahnya kerajaan Krsna akibat perang
saudara di antara kaum yadawa, rakyat Krsna. Baladewa mati dan
Krsna menarik diri ke dalam hutan dan mati terbunuh tidak sengaja
oleh seorang pemburu.
Mausalaparwa=Musnahnya kerajaan Krsna akibat perang
saudara di antara kaum yadawa, rakyat Krsna. Baladewa mati dan
Krsna menarik diri ke dalam hutan dan mati terbunuh tidak sengaja
oleh seorang pemburu.
Mahaprasthanikaparwa=Pandawa mengundurkan diri dari
dunia ramai, setelah mahkota diserahkan Pariksit, anak Abhimanyu.
Pengembaraan di hutan, draupadi meninggal, Sahadewa, Nakula,
arjuna, Bhima. Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang mengikuti
Pandawa dalam pengembaraan. Dewa Indra menjemput Yudhistira ke
surga. Yudhistira menolak kalau anjing tidak diikutsertakan. Anjing
berubah menjadi dewa Dharma, Yudhistira dibawa ke Indraloka.
Swargarohanaparwa=Pandawa setelah mengalami pembersihan
jiwa di neraka untuk beberapa lama, kemudian ke surga. Para Kurawa
semula di surga dan berganti dimasukkan di neraka untuk masa yang
tidak tertentu.
Telah disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna, Ramayana pada akhir
abad ke-9 dalam bentuk kakawin dengan bahasa yang sangat indah,
Mahabharata pada akhir abad ke-10 dalam bentuk gancaran yang

347
diringkas. Dari sekian parwa hanya beberapa sampai kepada kita,
diantaranya menyebut nama Dharmawangsa (996 M)= wirataparwa.

B. Resepsi dan Transformasi Teks


Sastra wayang yang tumbuh berkembang di Indonesia sedikit banyak
mendapat inspirasi dari sastra India berbahasa Sansekerta. Karya-
karya sastra Sansekerta telah digubah kembali menjadi edisi Jawa
Kunonya pada abad ke-10 M. Pada raja Dharmawangsa Tguh Ananta
Wikrama Tungga Dewa di jawa Timur pra Kadiri. Kitab-kitab parwa
Sansekerta menjadi kitab-kitab parwa Jawa Kuno. Dari semula berupa
puisi menjadi prosa Jawa Kuno. Seiring dengan perjalanan teks,
karya sastra Jawa Kuno diresepsi oleh para pengarang Jawa baru
seperti R.Ng. Yasadipura dan R.Ng. Ronggowarsito, dan KGPAA
Mangkunagara VII. Misalnya dari teks Bharatayuda Kakawin menjadi
Serat Bharatayuda, dari ramayana Kakawin menjadi Serat Rama,
dan dari Arjunawiwaha Kakawin menjadi Wiwaha Jarwa/ Begawan
Ciptaning. Menurut Hazim Amir di dalam wayang dikandung nilai-
nilai etis, seperti nilai kebenaran sejati dan sebagainya. Sedangkan
V.M Clara van Grounendael membagi wayang menjadi beberapa
pengertian, yaitu sesuatu yang terkait dengan sastra, boneka, penari,
dan pertunjukan. Di dalam wayang pun di kandung filsafat kehidupan
manusia, dikatakan oleh, Abdullah Cipto Prawiro bahwa di dalam
wayang yang merupakan gambaran hidup manusia dikandung
filsafat hidup manusia Jawa sebagai ngudi kasampurnaning urip. Untuk
dapat menuju kasampurnaning urip diperlukan laku, seperti tapa
brata, lelana brata, tarak brata, dan sebagainya (lihat Darmoko, Wahyu
dalam Lakon wayang kulit Purwa). Pandam Guritno membahas
wayang terutama dari sisi kepribadian dan Pancasila. Adapun
apabila dihubungkan dengan silsilah atau sejarah wayang, maka
kisah wayang tersebut mengandung genealogi atau silsilah (sejarah).
Sehingga dengan demikian dapat dipahami sebagai sesuatu pohon
sejarah (Harjowirogo). Bagaimana eksistensinya wayang berkembang
di khsuusnya di Jawa dan fungsinya dalam masyarakat, secara
antropologi Koentjaraningrat membahasa dalam Kebudayaan Jawa.
Soemarsaid Moertono mengetengahkan pandangannya hubungan
antara wayang dan negara.
Apakah yang dimaksud resepsi?. Yang dimaksud resepsi yaitu
tanggapan yang dilakukan oleh seseorang (pujangga, pengarang,
penulis, atau sutradara) terhadap karya sastra lama yang sebelumnya
telah ada. Resepsi juga dapat dilakukan oleh masyarakat. Dalam
kajian ini dititikberatkan pada resepsi kepengarangan. Sedangkan

348
yang dimaksud dengan transformasi teks yaitu perubahan bentuk
maupun nilai dari yang lama menjadi yang baru. Kitab Udyogaparwa
telah diresepsi oleh berbagai pengarang sehingga dalam perjalanan
teks ia mengalami perubahan, baik bentuk maupun nilai. Di dalam
khazanah perwayangan dan pedalangan terdapat lakon Kresna Gugah
dan Kresna Duta (lihat lampiran). Pada proses terbentuknya teks baru
Udyogaparwa mengalami resepsi yang mengakibatkan transformasi
teks. Untukj mendapatkan pemahaman mengapa terjadi teks yang
baru maka perlu mengadakan intertekstualitas (membandingkan
teks lama dengan yang baru) baik dalam kerangka sinkronis maupun
diakronis/ teks yang sezaman atau antar zaman.
Di sini dapat diamati kutipan dari P.J. Zoetmulder tentang
Udyogaparwa edisi Jawa kuno apa bila dibandingkan dengan teks-
teks Jawa Baru dari Subalidinata dan lain-lain. Perubahan terjadi dari
satu naskah prosa Jawa Kuno menjadi dua lakon/ cerita yaitu Kresna
Gugah dan Kresna Duta. Proses penggubahan teks dari udyogaparwa
ke dalam bentuk yang baru menjadi lakon balungan maupun lakon
jangkep, baik lakon pokok maupun lakon carangan.
Pengarang Kresna Gugah dan kresna Duta sudah barang tentu
mengadakan proses pembacaan dan pemahaman terhadap teks lama
yang ada. Sejauh mana pemahaman itu tergantung dari pengalaman
intelektual selama ini dan latar belakang kebudayaan yang dikuasai dan
dialami. Misalnya apakah suatu sistem nilai lama akan dipertahankan
atau tidak, bentuk mungkin huruf dan bahasa juga merupakan aspek
yang menjadi perhatian reseptor. Sengaja akan diubah atau terdapat
kesalahan baca, karena kurangnya wawasan budaya dan intelektualm
tersebut.
Proses penyesuaian nilai-nilai budaya terjadi jika nilai-nilai
budaya lama sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Kecerdasan
lokal perlu dihargai sebagai suatu usaha untuk menggarap atau
menggubah karya sastra baru berdasarkan karya sastra yang telah
ada pada masa lalu. Nilai-nilai kekinian juga terlihat dikembangkan
pada usaha masyarakat untuk menggubah ke dalam wahana yang
baru (alih wahana). Kasus pementasan Kresna Duta pada Dies Natalis
UI 2007 dengan mementaskan wayang lakon Kresna Duta berbahasa
Indonesia, sebagai usaha untuk menyelaraskan dengan keadaan
sekarang. Reaktualisasi dan usaha relevansi pola pikir yang dinamis,
efisien, dan efektif merupakan perubahan dari masyarakat yang
tadinya memiliki pola pikir tradisional agraris.
Nilai-nilai lama yang dipertahankan pada kasus Udyogaparwa,
antara lain konsep mengenai triwikrama dan peristiwa perebutan

349
Kresna oleh Duryudana dan Arjuna. Tetapi pada wayang terlihat
beberapa kreativitas pengarang muncul seperti konsep mengenai
ngraga sukma atau pecat sukma tinggal raga. Pada lakon Kresna Gugah,
sukma Kresna menghadap Batara Guru dan sukma Arjuna menyusul
kakaknya Kresna itu ke Kahyangan.
Pada Udyogaparwa disinggung juga mengenai Prabu drupada
yang diutus Pandawa agar keduabelah pihak anatara Pandawa dan
Kurawa berdamai. Di dalam perjalanan teks berikutnya kecuali
tumbuh berkembang lakon Drupada Duta, juga Kunti Duta, namun
pada Udyogaparwa tidak demikian kentara.
Kresna Duta disebutkan baik pada Udyogaparwa maupun
lakon-lakon maupun kisah-kisah pada masa Jawa Baru. Alih wahana
dari udyogaparwa yang prosa Jawa Kuno itu ke dalam lakon wayang
orang (Sekar Budaya Nusantara).

C. Simpulan
Proses resepsi teks memunculkan transformasi teks. Proses
resepsi dilakukan oleh para pujangga, sastrawan, maupun dengan
melakukan pembacaan (understanding) terhadap teks-teks yang sudah
ada, baik secara sinkronis maupun diakronis dan di dalam pembacaan
itu terdapat interpretasi terhadap isi teks (etika dan estetika) sehingga
muncullah teks dalam bentuk gubahan baru. Munculnya teks dalam
bentuk gubahan baru itu membuktikan adanya transformasi budaya
(kasus pada Udyogaparwa). Udyogaparwa telah diresepsi oleh para
pujangga/ pengarang Jawa Baru, sehingga terjadilah penafsiran baru
dan muncullah karya baru seperti lakon/kisah Kresna Gugah dan
Kresna Duta, dalam berbagai teks dan wahana.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Cipto Prawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Darmoko. 1998. Wahyu dalam Lakon Wayang Kulit Purwa. Depok: FSUI.
...............1999. Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: FSUI
Feinstein, Alan, dkk. 1985. Lakon Carangan dalam Wayang Kulit Jawa. Yogyakarta:
Javanologi.
Hazeu, G.A.J. 1979. Kawruh Asal-Usulipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan
Agami Ing Jaman Kina. Jakarta: Departemen P dan K.
Grounendael, Clara van V.M, 1974. Dalang Dibalik Wayang. Jakarta: PN Balai
Pustaka
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kepribadian Indonesia dan Pancasila. Jakarta:

350
UI Press.
Hardjowirogo, 1965. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta PN Balai Pustaka.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau. Jakarta: Gunung Agung.
Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta:
Gunung agung.
...................... 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan.
Seno Sasto Amidjojo, R.A. 1964. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit.
Jakarta: Kinta.
Soebadio, Haryati. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Penyunting
Ayatrohaedi. Jakarta Dunia Pustaka Jaya.
Suseno, Franz Magnis. 1982. Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang
Pembangunan Nasional.
Sukmono, R. 1993. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid II. Jakarta: Kanisius.
Wibisono, Singgih. 1983. “Wayang Sebagai Sarana Komunikasi” dalam Seni
dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Subalidinata, RS. 2010. Jati Diri Kepemimpinan Kresna. Oleh wayang dalam Jati diri
Kresna.

351
DANG HYANG NIRARTHA DALAM TEKS
LONTAR PANITI GAMA TIRTHA PAWITRA
ANALISIS RESEPSI

Ida Bagus Rai Putra


Universitas Udayana, Bali


1.Pendahuluan

L ontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, adalah lontar yang menjelaskan


tata itiket melakukan dharma agama Siwa-Budha dalam model
pemaham peradaban relegi keagamaan di Bali pada zaman Gelgel.
Zaman di mana tumbuh dan berkembangnya peradaban Bali pada
puncak-puncak keemasannya. Semua segi kehidupan ditata dan
dikembangkan berdasarkan perspektif Bali. Istilah yang muncul
untuk peradaban ini adalah Kawi Bali, yaitu terciptanya bahasa
supra yang digunakan masyarakat beradab (rakawi) membahasakan
satyam, Siwam, Sundaram, yaitu ilmu pengetahuan, keagamaan, dan
seni dalam kehidupan lahir dan batin. Istilah yang sejalan dengan
Kawi Bali, yaitu Pa-Bali, titik balik dari pemahaman dan persepsi Bali,
ilmu-ilmu Bali. Peradaban yang ada di luarnya (dunia) disambut dan
dicerna mendalam dan dimaknai dengan persepsi yang tinggi dari
perspektif Bali surgawi. Penciptaan-demi penciptaan terjadi mengukiti
proses kreativitas bangsa yang mahardika. Jiwa-jiwa mulia yang mulai
tumbuh dan bertumbuh, mencipta dan menciptakan aneka peradaban
yang dapat memenuhi jagat pikayunan, jagat pemikiran masyarakat
seutuhnya dan berkembang dalam aneka ranah kehidupan, lahir
dan bathin. Pada masa-masa inilah mulai diperkenalkan ranah relegi
Bali, Gama Tirtha, yaitu tata keagamaan yang suci, bersih, dan mulia
berlandaskan tirtha amertha, air suci kehidupan. Sebelum istilah Hindu
diperkenalkan sebagai sebutan agama Hindu atau Hindu Dharma
(Siwa-Budha), leksikon Gama Tirtha inilah yang menandai relegi
kehidupan masyarakat Bali sebagaimana diamanatkan dalam lontar
Paniti Gama Tirtha Pawitra.
Teks Paniti Gama Tirtha Pawitra, berisikan ajaran keagamaan
dari guru suci Dang Hyang Nirartha/Dwijendra yang disarikan oleh
para putra, cucu, cicit, dan murid kerohanian yang secara nyata kita
wariskan sebagai sistem keagamaan Siwa-Budha (Hindu Dharma)
dalam perspektif Bali yang maha surgawi. Sistem keagamaan yang
suci murni, berlandaskan pada empat esensi sarana keagamanan,

352
yaitu: weda/puja (mantram suci), adnyana (kekuatan batin), banten
(sarana upacara), dan tirtha (air suci).
Sebagaimana kita maklumi, pustaka lontar yang mengisahkan
perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dalam mengemban dan
menyelamtkan agama Hindu jamak kita ketahui dalam model pustaka
lontar Dwijendra Tattwa. Pustaka lontar Dwijendra Tattwa dengan kisah
utamanya, menjelaskan perjalanan keibadatan untuk tugas suci
keagamaan (dharmayatra) tokoh religio-magis Dang Hyang Dwijendra
pada zamannya. Banyak karya monumental yang dihasilkan oleh Dang
Hyang (guru suci) Dwijendra (raja pendeta/pendeta agung) untuk
membina umat-Nya, seperti bangunan suci (pura) yang tersebar luas
di Pulau Bali, Lombok, dan hingga ke Sumbawa. Dang Hyang Nirartha
juga pencipta karya-karya sastra, filsafat-keagamaan, pertanian,
keamanan, diplomasi politik, dan yang lainnya yang diajarkan pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460--1550M). Teks
Dwijwndra Tattwa mengungkap latar belakang sejarah pendirian pura-
pura dang kahyangan di Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa, hasil karya
sastra Bali tradisional beserta nama-nama pangawi atau pengarangnya,
demikian pula nilai-nilai religiusitas, kehidupan sosial, pertanian, dan
kemanusiaan lainnya yang sangat relevan, bukan saja pada zamannya,
melainkan juga pada zaman ini.
Teori Resepsi memberi penampang historik horizon harapan
atau ruang pemahaman pembaca yang lebih luas dan terbuka untuk
menjelaskan keberadaan Dang Hyang Nirartha. Horison harapan yang
dibangun atas pembacaan terhadap teks-teks, setelah terakumulasi
secara lengkap memberi tingkat persepsi pembacaan yang lebih baik
dan lebih tinggi. Kisah Dang Hyang Nirartha tidak berhenti pada
teks Dwijendra Tattwa semata, tetapi masuk pada beragam teks karya-
karya tulis penyambutnya. Karya-karya tulis sebagai teks penyambut
yang mewakli ruang pembaca ini, sejalan dengan ketujuh tesis teori
estetika resepsi sastra Jaus (1983:20--23). Dalam konteks inilah penulis
menghadirkan teks lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, sebagai salah
satu lontar penyambut dharmayatra Dang Hyang Nirartha dalam
menjalankan dharma seorang guru suci (dang hyang) di Nusantara,
khususnya dari Jawa ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Latar belakang
masalah yang diketengahkan, menyambut pertanyaan: 1) Siapa itu
Dang Hyang Nirartha itu ?; dan 2) bagaimana teks lontar Paniti Gama
Tirtha Pawitra memaknai dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang
Nirartha sebagai guru suci ?

353
2. Dang Hyang Nirartha Keturunan Purohita Majapahit
Dalam konteks sejarah sosial dan peradaban nusantara, sejarahwan
Soekmono mencatat bahwa Dang Hyang Mpu Pradah, kakek buyut
Dang Hyang Nirartha adalah purohita (bagawanta/pendeta kerajaan) Raja
Airlangga (Sri Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramatunggadewa) di Jawa Timur tahun 1019--1042 Masehi.
Dang Hyang Mpu Pradah di samping berhasil mengarang Kakawin
Bomakawya beliau juga berhasil mencegah perseteruan putra raja
Airlangga dengan membagi kerajaan pada tahun 1041 Masehi menjadi
dua, yaitu Jenggala (Singhasari) dengan ibu kotanya Kahuripan dan
Panjalu (Kadiri) dengan ibu kotanya Daha (1981:57). Dang Hyang Mpu
Pradah dalam Babad Brahmanawangsa Tattwa (13b) dan Piagem Mpu
Pradah (7a) disebut-sebut sebagai pendeta sakti dan menjadi penerang
kehidupan kerajaan dan masyarakat luas. Mpu Pradah adalah seorang
purohita kerajaan yang memiliki pengetahuan dan kecakapan lebih.
Dang Hyang Mpu Pradah dalam Babad Brahmanawangsa Tattwa juga
diberi gelar Sri Pradah atau Dang Hyang Mpu Srangan (14a).
Kepuruhitaan Dang Hyang Mpu Pradah dilanjutkan oleh
putranya, yaitu Dang Hyang Mpu Bahula dengan gelar Sri Bahula
Candra. Sang Pendeta ini disebut-sebut memiliki ilmu pengetahuan
yang utama. Bahula artinya ‘utama’. Kecakapan Mpu Bahula sama
dengan kecakapan ayahandanya. Bersama dengan Dang Hyang
Mpu Pradah berhasil mengusir dan mengalahkan anasir jahat yang
disebarluaskan oleh Walu Nateng Dirah di Daha dan Kahuripan. Dang
Hyang Mpu Bahula Candra pada waktu mudanya bernama Sang Kula
Wana (Babad Brahmanawangsa Tatwa, l0a).
Putra Dang Hyang Bahula Candra adalah Dang Hyang Mpu
Tantular. Beliau juga bergelar Dang Hyang Angsoka Natha atau Sri
Angsoka Natha. Babad Brahmanawangsa Tattwa (I0b), Piagem Dang
Hyang Nirartha (12a), dan Babad Dalem (3b) menyebut-nyebut bahwa
kepandaian dan kecakapan Dang Hyang Mpu Tantular tidak ada
yang mampu menirunya: putus ing sarwwa ajnyana, tan tularen putus
ing kapandhitan ira. Wagmi maya sira, inaranan Dang Hyang Mpu
Tantular, apan tan keneng tiniru kaparamarthan ing ajnyanan ira (Babad
Dalem, 3b), pandai dalam segala ilmu pengetahuan, tidak tertirukan
keahlian beliau dalam ilmu kependetaan, perkataannya sangat
bertuah, diberi nama Dang Hyang Mpu Tantular di masyarakat,
sebab tidak tertirukan keluhuran budi dan batin beliau. Babad Dalem
(3b) menyatakan bahwa kemasyuran Dang Hyang Mpu Tantular di
masyarakat tak terkatakan dan beliau sangat terampil: tan wuwusen
kasteswaryyanira ring loka, ginakara. Dang Hyang Mpu Tantular telah

354
berhasil mengarang Kakawin Sutasoma yang terkenal, Kakawin Arjuna
Wijaya yang indah, dan Kidung Kaki Twa yang filosofis. Beliau adalah
padiksyan (pendeta kerajaan) di kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit dalam karya susastra kawi dikenal dengan
nama Wilwatikta berdiri megah. Kepurohitaan Dang Hyang Mpu
Tantular di Majapahit dilanjutkan oleh putranya, yaitu Dang Hyang
Asmaranatha. Dang Hyang Asmaranatha disebukan sebagai dedukun
(membidani) saat Hayam Wuruk lahir dari rahim Ibunda Ratu
Kusuma Wardani dan beliau sendiri juga padiksyan (bagawanta) ketika
Sri Hayam Wuruk berada di atas kemegahan singgasana kerajaannya
(Babad Brahmanawangsa Tattwa, 11b). Beliau berputra dua orang, yaitu
Dang Hyang Angsoka dan Dang Hyang Nirartha (Dwijendra). Kedua
putra inilah yang melanjutkan tradisi keagamaan Siwa-Budha. Putra
Dang Hyang Angsoka, yaitu Dang Hyang Astapaka melanjutkan tradisi
Budha Bajrayana (Sogata) dan Dang Hyang Dwijendra terutama para
putranya meneruskan tradisi Siwa Sidantha dari Jawa ke Bali.
Babad Bahmana Wangsa Tattwa (l0b) menyebutkan bahwa sira
Dang Hyang Nirartha, hari Mpu Angsoka, hatisaya kamahatmiatning
kasteswaryanira, wus kalumbrah prabawanira ring loka; `beliau Dang Hyang
Nirartha, adik Mpu Angsoka, luar biasa wibawa dan keluhuran bathin
beliau, sudah terkenal kemuliaan beliau di dunia`. Keluhuran dan
kemuliaan bathin Dang Hyang Nirartha dikenal luas oleh masyarakat
pada zamannya. Babad Dalem (28b) menyebutkan bahwa kesucian
batin Dang Hyang Nirartha disetarakan dengan kesucian bathin Mpu
Lohgawe, kalumbrah sang pandhya maring Gelgel, yan hana wiku sakti
kadi Lohgawe. Berkat kebesaran dan kesucian bathin ini, Dang Hyang
Dwijendra dijuluki dengan banyak nama, antara lain Mpu Nirartha,
Batara Parama Nirartha, Pranda Sakti Wawu Rawuh, Batara Sakti
Wawu Dateng, Bagawan Dwijendra, Dang Hyang Dwijendra, Pangeran
Sangupati, Tuan Semeru, Mpu Kupa (Supa), dan Mpu Arthati (Babad
Brahmana Wangsa Tattwa, 14a).
Keesaan filsafat Siwa-Budha sebagai kesadaran purba terhadap
adanya multikulturalisme, sesungguhnya telah dianut oleh kakek
Dang Hyang Nirartha, yaitu Dang Hyang Mpu Tantular, sebagaimana
diajarkan dalam mahakawinya, Kakawin Sutasoma. Hyang Buddha tan
pahi Siwa rajadewa. Rwaneka dhatu winuwus, wara Buddha wiswa, bhinneki
rakwa ring apan kena parwwa nosen, mangka jinatwa lawan siwatatwa
tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (120a). ‘Tuhan
Buddha tidak berbeda dengan Tuhan Siwa, Mahadewa di antara para
dewata. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur, Buddha
yang mulia adalah kesemestaan. Bagaimana beliau yang boleh

355
dikatakan tak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua
sebab jiwa Jina dan Siwa adalah satu, memiliki ciri berlainan, tetapi
adalah satu. Dalam hukum agama tidak ada yang dualisme’.
Dwijendra Tattwa, Babad Dharma Yatra Dang Hyang Dwijendra,
dan Babad Brahmanawangsa Tatwa secara seragam menjelaskan situasi
zaman pada masa kehidupan Dang Hyang Nirartha. Pada saat Dang
Hyang Nirartha tinggal di Greha Mas Daha, Pulau Jawa diberitakan
mengalami kekacauan. Di sana-sini terjadi perkelahian dan
pembunuhan. Setiap orang yang mendengar bunyi suwung-suwung
(sunyi) seketika mati. Pada masa itu agama Islam masuk dan mulai
berkuasa di Pulau Jawa. Orang Jawa yang masih taat pada agama
lamanya, yaitu orang Majapahit banyak yang pindah ke Pasuruhan,
Tengger, dan Blambangan, kemudian ada yang menyeberang ke Bali.
Bersamaan dengan situasi itulah Dang Hyang Dwijendra pindah ke
Daha untuk menyelamatkan agama Hindu-Majapahit yang diikuti
oleh para putranya (Dwijendra Tattwa,2b).
Prakampan jaga, yaitu perubahan besar-besaran dan sangat
mendasar terjadi atas Pulau Jawa. Agama Hindu Jawa Majapahit
terdesak oleh agama Islam yang dibawa oleh orang Tionghoa dari
daerah Yunan pada masa dinasti Ming di daratan Tiongkok. Perlahan
namun pasti, akhirnya, kerajaan Majapahit dijatuhkan dari dalam
dan diserang dengan kekuatan senjata oleh Kerajaan Demak Islam di
bawah raja Jin Bun (Raden Patah) yang berdarah campuran Majapahit
(Wirabhumi) dengan Muslim Tionghoa, putri Babah Bantong (Slamet
Mulyana, 2006:189). Peristiwa jatuhnya Majapahit terjadi pada tahun
1478 M, sedangkan lenyapnya Kerajaan Majapahit dari peta sejarah
terjadi pada tahun 1527. Peristiwa musnahnya kerajaan Majapahit dari
permukaan bumi, menurut Slamet Mulyana, dibumihanguskan oleh
tentara Demak di bawah pimpinan Toh A Bo, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarif Hidayatullah karena Ranawijaya Girindrawardhana, raja
terakhir kerajaan Majapahit, mengadakan hubungan dagang dengan
orang-orang Portugis, musuh utama Kerajaan Islam Demak. Semenjak
itu Kerajaan Majapahit terpendam dalam abu sejarah (2006:189--192).
Semenjak kejatuhan Kerajaan Majapahit, sekitar tahun 1478
Masehi, banyak masyarakat Majapahit yang menyingkir ke tempat-
tempat yang dianggap aman. Ada yang menyingkir ke pegunungan
Tengger dan ada juga yang menyeberang ke Pulau Bali. Dari sejumlah
masyarakat yang menyingkir, terdapat juga pendeta kerajaan
Majapahit. Seorang pendeta kerajaan Majapahit yang menyingkir
ke Pulau Bali pada kurun waktu kejatuhan Majapahit adalah Dang
Hyang Nirartha. Beliau tiba dengan menginjakkan kaki pertama

356
di pantai Kapurancak. Kisah sejarah ini tercatat dalam Babad Dalem
(27b), yaitu pada tahun saka 1411 (eka tunggal catur bumi) atau tahun
1489 M. Buku Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali menerangkan
bahwa Dang Hyang Dwijendra berasal dari Daha (Kediri) Jawa Timur,
kemudian pindah ke Majapahit. Beliau hidup pada zaman Majapahit
akhir ketika pemerintahan Girindra Wardhana (1474--1519). Setelah
kerajaan Majapahit runtuh, Dang Hyang Dwijendra pindah menuju
Pasuruan terus pindah ke Blambangan, kemudian dari Blambangan
menuju Bali, turun di pantai Purancak (Ardana, 1987:68). Pustaka Raja
Purwa mencatat perpindahan Dang Hyang Dwijendra (Mpu Arthati)
ke pulau Bali setelah Majapahit jatuh ke tangan kerajaan Demak Islam
dengan membawa sejumlah karya susastra, termasuk karya yang
sedang dikarang (Simpen, 1987:57).
Peristiwa perubahan kehidupan di Jawa dari Hindu menjadi
Islam membuat pergolakan hebat di tengah masyarakat Jawa-
Majapahit. Ada masyarakat ikut raja menjadi penganut Agama
Islam yang taat, ada masyarakat memedomani ajaran kejawen, ada
yang menyusul leluhurnya ke pegunungan Tengger, dan ada yang
menyeberang ke Bali. Orang Majapahit yang tidak mau berubah
agama, banyak yang menjauhkan diri dari pusat-pusat persebaran
Islam, di antaranya terdapat juga para pendeta Majapahit. Salah satu
pendeta yang menjauhi kekuasaan kerajaan Islam Demak di bawah
raja Raden Patah (Raden Jinbun) itu adalah Dang Hyang Nirartha.
Peristiwa menjauhi pusat pemerintahan Islam Demak dan dharmaytara
Dang Hyang Nirartha ke Bali, Lombok, dan Sumbawa adalah langkah
penyelamatan Hindu Nusantara. Peristiwa kejatuhan Majapahit dan
pergantian keyakinan keagamaan di tanah Jawa terekam dalam teks
Dwijendra Tattwa (1b--2a).
Di sisi yang lain, perpindahan Dang Hyang Nirartha dari Jawa
ke Bali terdapat juga dalam kisah perumpamaan dari teks Dwijendra
Tattwa. Dikatakan bahwa Dang Hyang Nirartha berselisih paham
dengan Sri Dalem Juru yang sudah kena pengaruh dan masuk
agama Islam. Dikisahkan pula bahwa Dang Hyang Nirartha terkenal
memiliki bahu badan yang harum seperti keharuman bunga mawar.
Hal ini berkat kesucian dan ketinggian olah batin serta ketaatannya
pada pantangan-pantangan dalam makanan (bebratan). Bau harum
Sang Pendeta dapat mengharumkan bau tidak sedap orang lain
yang duduk bersebelahan dengan beliau. Hal ini dianggap oleh raja
Blambangan sebagai usaha Sang Pendeta mengguna-gunai orang lain,
terlebih lagi saudara perempuan raja. Dang Hyang Nirartha pun tak
mau berselisih paham terlalu lama. Karena sudah takdir, beliau pun

357
meninggalkan Blambangan dan menyeberang ke Bali bersama dengan
semua putra dan putrinya serta seorang istri, yaitu Sri Patni Keniten
(Dwijendra Tattwa, 3b--4a).

3. Dang Hyang Nirartha dan Peradaban Nusantara


Dalam Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra disebutkan bahwa
Dang Hyang Nirartha diberikan julukan Nilartha yang bermakna
Beliau meninggalkan jagat Siwa Loka (Nilartha) menuju dunia
untuk menyelamatkan alam semesta dengan mencipta dunia baru
dan mengisinya dengan agama Siwa-Bhuda, yang semula oleh para
tetua di Bali menyebut Gama Tirtha, yang kemudian sebagai bentuk
terjemahan dari Siwa-Budha disebut Hindu Dharma yang kita warisi
sampai hari ini.
Dalam Lontar Kakawin Dwijendra Tattwa disebutkan bahwa sebutan
Dang Hyang Dwijendra terhadap Dang Hyang Nirartha diberikan
setelah Beliau sampai di Bali, setelah memberi rahasia suci kepada
putrinya, Ida Swabawa (Bhatari Malanting). Gelar ini adalah atas
anugerah dewata di Bali yang begitu merasa senang dengan kehadiran
Beliau di Bali. Sang Hyang Mahadewa dewata tertinggi di Pulau
Bali yang disebutkan sebagai Batara Toklangkir yang bersemayam
di pucak Gunung Agung mengutus Sang Hyang Dwijendra untuk
menyampaikan bahwa para dewata di Balilah yang meminta Ida
Swabawa menjadi dewanya para lelembut untuk menjaga alam
Bali hingga kelak kemudian hari. Kemudian, Dang Hyang Nirartha
dengan tulus ikhlas mengabulkan pemohonan putrinya agar tetap
menghuni alam lelembut yang tidak dibatasi umur dan kematian (tan
kneng tuwa pati). Oleh Sang Hyang Mahadewa, karena memerhatikan
Dang Hyang Nirartha adalah pribadi keesaan, Siwa-Budha Dwijendra
Siwa-Ludra, beliaupun mendapat julukan Dang Hyang Dwijendra.
Pimpinan lelembut itu disebut Mekele Gde Gamang, bersama 8000
lelembut lainnya diberi tugas oleh Dang Hyang Nirartha menjaga
kahyangan Bhatari Mlanting dan Pulaki, agar kerahayuan alam Bali
beserta isinya tetap terjaga. Karena di Pulaki (Pulo Iki, maksudnya
Pulau Bali ini) harapan terakhir dan taruhan mendasar dari Dang
Hyang Nirartha saat pertama kali menginjakkan kaki menyelamatkan
sejumlah pancadattu yang dibawanya dari tanah jawa. Inilah belakangan
hari yang biasanya disebut-sebut wahyu Nusantara itu.
Tersiar berita mencengangkan yang kemudian didengar oleh
Bendesa Mas akan kedatangan pendeta utama yang baru datang,
tinggal di desa Gading Wani, luar biasa saktinya bagaikan Sang
Hyang Widi senyatanya beliau (Dwijwndra Tattwa, 20a). Sejak dari

358
dulu Bendesa Mas menantikan seorang pendeta utama datang ke
Bali, saatnya terdengar berita bahwa seorang pendeta sakti baru
datang. Itu sebabnya dengan senang hati beliau bergegas berangkat
menuju desa Gading Wani menghadap Dang Hyang Nirartha. Tidak
dikisahkan perjalanan beliau di sepanjang jalan, telah sampai beliau di
desa Gading Wani yang ditujunya.
Dikisahkan Dang Hyang Nirartha sedang di hadap oleh para
putranya dan murid-muridnya, tidak ketinggalan Bendesa Gading
Wani, sujud bakti menghadap di bawah beliau Dang Hyang Nirartha.
Setelah datang Bendesa Mas beserta pengiringnya, sepuluh orang
jumlahnya berdatang sembah ke hadapan Dang Hyang Nirartha, yang
ketika itu Sang Pendeta di hadap oleh murid-murid beliau di luar
gedong.
Dang Hyang Nirartha menyapa kepada yang baru datang,
”Wahai kamu dari mana asalmu baru datang kepadaku? Katakan
kepadaku agar aku tahu mengenai kedatanganmu”. Segera menyaut
beliau yang ditanya, yaitu Bendesa Mas. ”Duhai Sang Pendeta Utama
junjungan hamba (Kakawin Dwijwndra Tattwa, 20b). Tiada lain hamba
yang tuan pendeta sapa ini adalah dari desa Mas. Kedatangan hamba
ke sini menghadap Tuan pendeta tiada lain, mohon Tuan Pendeta
untuk berkenan datang ke desa Mas. Ikhwalnya bahwa dari sejak
dulu hamba mengharap-harapkan, memohon kepada leluhur kami
agar didatangi orang seperti paduka pendeta, seluruh jiwa raga kami
serahkan kepada Tuan pendeta. Demikian hatur Bendesa Mas, suka
cita hati Dang Hyang Nirartha mendengarkan pengutaraan Bendesa
Mas yang tiada hentinya menghaturkan sujud bakti. Saat itu Sang
Pendeta menganugerahinya. Pada saat itu pula Dang Hyang Nirartha
mengutarakan mengenai keberadaan Bendesa Gading Wani, kata
beliau, ”Itu muridku Ki bendesa Gading Wani dengarkan permintaanku
sekarang. Sekarang kamu bersama aku minta memelihara parhyangan
Batari Uma Parwati (Kakawin Dwijwndra Tattwa,21a.) yang bersemayam
di Pulaki, semua Paman yang ada ini ikut menyungsung putraku,
Dewi Wiraga di Pulaki menjadi Dewi Melanting.
Perhatikan juga perkataanku ini, ada delapan ribu orang,
penjelmaan mahkluk hina, dahulu yang telah aku ruwat menjadi
manusia, semuanya itu menjunjung putriku di Pulaki, sekarang
kamu paman Bendesa aku minta mengaturnya. Sekarang semuanya
akan aku musnahkan akan tidak kelihatan. Orang desa Pangametan
namanya sekarang, demikian petunjuk dari putra Dang Hyang
Samaranatha purohita Kerajaan Majapahit ini. Ki Bendesa menyembah
dan mengikuti segala permintaan Dang Hyang Nirartha.

359
Segeralah Dang Hyang Nirartha memusnahkan penduduk
desa Gading Wani, segera musnah tiada kelihatan wujudnya. Terasa
sunyi senyap hanya tampak tegalan yang dilihat oleh Ki Bendesa
Mas. Demikian mula kejadian itu disaksikan oleh semua pengiring
Ki Bendesa Mas. Setelah semua orang desa Gading Wani musnah,
kemudian Dang Hyang Nirartha berangkat menuju desa Mas
bersama semua putranya, diiringikan oleh Ki Bendesa Mas bersama
semua pengikutnya. Tiba-tiba di tengah perjalanan menjumpai kilat
berkilauan menyamba-nyambar di angkasa (21b) Suara guntur di langit
Utara hingga ke Selatan bergemuruh, hujan gerimis turun, disertai
hujan bunga yang mengeluarkan bau harum, suara samar-samar
didengar oleh Dang Hyang Nirartha. ”Cucuku sang putra Dang Hyang
Smaranatha dengarkan kataku ini. Aku ini Sang Hyang Dwijendra
bersabda kepadamu cucuku, baik-baiklah mendengarkannya. Sudah
tepat kedatanga cucuku ke Pulau Bali bersama keluarga, pertama-
tama anugerah dari Sang Hyang Mahadewa, keturunan dari Budha
(Jinakula) semula Ananda, sekarang Ananda menjadi penganut
Siwa (Bregu Wangsa) bersintesa dengan paham Budha (majinakula).
Sejatinya cucuku Siwa-Budha Dwijendra Siwa-Ludra, yang manakah
kewajiban Bregu (Siwa) adalah swadarma Bapak di langit (purusa/
bapa akasa) di langit, yaitu tiada tercemar, selalu mencipta keselamatan
dan kesucian, swadarma Buddha di bawah adalah ibu (pradana/meme
pretiwi) keutamaan purusa (pewaris/poros utama) sesungguhnya.
Karena penganut paham Siwa Budha, kini cucuku bernama Dwijendra.
Satu sebagaimana aku, kemudian mulai kini dan seterusnya disebut
Dang Hyang Dwijendra, demikian panugerahanku ketika berada
di kerajaan Bali. Menjadi Siwaning Bwana (guru rohaniah di dunia)
yang memberikan air kehidupan yang utama” (Kakawin Dwijwndra
Tattwa,22a.)
Demkian sabda Sang Hyang Dwijendra bergema di angkasa.
Dang Hyang Nirartha menghaturkan rasa syukur dan sembah bakti
ke hadapan-Nya. Sementara itu, keadaan langit kembali sepi tanpa
ada penyebabnya. Bersamaan dengan itu, Dang Hyang Nirartha
meneruskan perjalanan (Kakawin Dwijwndra Tattwa, 19b--22a).
Dalam buku Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, Perjalanan
Spiriual Menelisik Jejak Satrio Piningit, (2007) karangan Tri Budhi
Marhaen Darmawan-Nurahmad, sebuah karya mengkaji masalah-
masalah spiritual karya warisan leluhur Nusantara, Ramalan Joyoboyo,
Ramalan Ronggowarsito, Ramalan Sabda Palon Noyo Genggong, Serat
Darmogandul, dan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam buku ini jelas-jelas
ditunjuk dan disebut Dang Hyang Nirartha sejatinya adalah Sabda

360
Palon (Ismoyo) atau Batara Siwa yang menghidupi dan memberikan
jiwa kepada agama Siwa-Budha di Nusantara. Secara panjang lebar,
Nurahmad menjelaskan dan meyakinkan kepada pembacanya
bahwa tokoh Sabdo Palon itu adalah Dang Hyang Nirartha (60--79)
yang keberadaannya telah atau sedang mempersiapkan waktu turun
(ngawatara) kembali ke dunia untuk mahasemaya, perjanjian besarnya
itu. Sabda Palon tidak berkenan berganti agama menjadi agama
Islam.
Bait-bait teks Naskah Sabda Palon menjelaskan bahwa Sabda
Palon (Ismoyo) berpisah dengan Prabu Brawijaya untuk kembali ke
asal mulanya, Siwa Loka. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh
Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo.
Sabda Palon kembali ke asalnya, yaitu berwujud kultipasi Dewata, Sang
Hyang Siwa (Ismaya). Lamanya beliau berkultipasi 500 tahun. Sabda
Palon menyatakan bahwa janjinya akan datang lagi (ngawatara) ke
dunia (tanah Jawa penataran Nusantara) dengan tanda-tanda tertentu.
Dijelaskan tanda yang utama berupa muntahan lahar Gunung Merapi
ke arah Barat Daya. Baunya tidak sedap, kemudian diikuti berbagai
bencana lainnya. Itulah tanda Sabda Palon telah datang.
Pikiran Nurahmad seakan mengalir begitu saja, menjelaskan
kesejatian dan tanda-tanda kehadiran Sabda Palon ke dunia. Dinyatakan
bahwa setelah ia bersama gurunya menekuni dan memahami aneka
bacaan warisan leluhur Nusantara sebagai apa mereka sebut wangsit,
sampailah pada puncak penulisannya. Dari wangsit yang diterima
oleh bapak Budi Marhaen, Nurahmad menyebut sejatinya Sabda Palon
adalah seorang pendeta panasihat kerajaan Majapahit (Bagawanta/
Purohita), Prabu Brawijaya yang sakti mandra guna. Beliau tiada lain
adalah sejatinya Dang Hyang Nirartha/Mpu Dwijendra/Pedanda Sakti
Wawu Rawuh/Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu
(2007: 64 – 69).
Buku ”Menelisisk Jejak Satrio Piningit” menjelaskan pula bahwa
Dang Hyang Nirartha (Sabdo Palon) di kerajaan Majapahit adalah
putra Dang Hyang Asmaranatha dan cucu Mpu Tantular (Dang
Hyang Angsoka Natha). Mpu Tantularlah yang menyusun kakawin
Sutasoma yang di dalamnya tercantum kalimat ”Bhinneka Tunggal
Ika”. Dang Hyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha, kemudian
beralih menjadi pendeta Siwa. Beliau juga bernama Dang Hyang Mpu
Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang dikenal
sebagai seorang sastrawan yang agung (wiku pandita).
Nurahmad sebagai seorang sufi memetik teks Dwijendra Tattwa
karya IG.B. Sugriwa. Di dalam bukunya dijelaskan bahwa pada masa

361
kerajaan Majapahit di Jawa Timur ada seorang bagawan yang bernama
Dang Hyang Dwijendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang
sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual,
peningkatan kemakmuran, dan menanggulangan masalah-masalah
kehidupan. Beliau dikenal sebagai penyebar dan penyebaran ajaran
agama Hindu dengan nama Dharmayatra. Di Lombok beliau diberi
nama Tuan Semeru atau guru suci dari Semeru (nama sebuah gunung
di Jawa Timur).
Dengan kemampuan supranatural dan mata batinnya, beliau
melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa.
Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, tetapi tidak
mampu melawan kehendak Sang Pencipta yang ditandai dengan
berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam
runtuhnya kerajaan Majapahit, salah satunya adalah bencana alam
Pegunungan Anyar. Akhirnya, beliau mendapat petunjuk untuk
hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit,
yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah
ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan, kemudian pergi ke Blambangan.
Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari
Blambangan sekitar tahun saka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali
Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu
di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham
tripurusa, yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirartha
dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai
kemampuan supranatural yang membuat Dalem Waturenggong
sangat kagum sehingga Beliau diangkat menjadi bhagawanta (pendeta
kerajaan). Ketika Bali Dwipa mencapai zaman keemasan, semua
bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para
bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan,
prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/
klan disusun. Awig-awig desa pakraman dibuat, organisasi subak
ditumbuhkembangkan, dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain
itu, beliau mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung ataupun kakawin. Kini
karya-karya sastra yang bermutu tinggi itu masih tetap lestari dan
digunakan sebagai materi yang ditembangkan di masyarakat.

4. Dang Hyang Nirartha dan Peradaban Bali


Kemasyuran Bali di samping karena keindahan alam
lingkungannya, juga karena daya cipta budi daya masyarakat Bali.

362
Melalui tuntunan pustaka-pustaka suci sebagai dasar monisme
relegiusitasnya, masyarakat Bali memperoleh impirasi yang tinggi
untuk mengolah hidup dan kehidupannya sehingga tercipta peradaban
luhur yang terwariskan dari generasi ke generasi. Inti kehidupan yang
hendak didambakan dalam lingkup penciptaan peradabannya itu
dimaknai agar lahir, hidup, dan matinya kelak dapat membuka jagat
lawangan, yaitu balik ke asal kembali kejati diri yang asli, menyatu
dengan Batara Siwa, yaitu Tuhan orang Bali sendiri.
Inilah cita-cita mulia manusia Bali itu. Ini pula yang membuat Bali
berbeda dengan dunia yang lainnya. Para pendeta dan kaum cerdik
pandai di Bali senantiasa mengabdi pada jalan peradaban adiluhung
ini. Tiada pernah absen memerhatikan, menghayati tanda-tanda
alam yang terjadi dan memaknainya secara lahir dan batin, mahayu-
hayuning buana, yaitu berperilaku mulia. Usaha secara sekala (nyata)
dan niskala (tak nyata) dikerjakan, diberikan korban suci, agar alam
sekala dan niskala berjalan harmonis yang pada gilirannya memberikan
kerahayuan jagat beserta isinya.
Sedari awal Bali terkenal karena kebudayaan. Selain itu, Bali
telah dikenal dari dulu sebagai tempat penyelamatan pembedaharaan
budaya lama, tempat susastra klasik itu tumbuh dan berkembang.
Peninggalan budaya dan warisan pustaka yang berupa lontar
kesusastraan, misalnya, tidak terwariskan begitu saja atau
”membeku” di musim dingin atau ”kekeringan” di musim kemarau.
Karya peninggalan nenek moyang itu dipelihara dan dikembangkan
agar memberi manfaat hidup. Karya-karya itu dibaca, dilagukan,
didiskusikan, dan dimaknai, kemudian dijadikan panduan nilai dalam
tatanan kehidupan sehari-hari. .
Masyarakat Bali yang senang dan pandai dalam tulis-menulis
di atas daun lontar, banyak dijumpai. Demikian pula sekaa pasantian,
pepaosan, dan sekaa kidung amatlah banyak jumlahnya hingga tidak
dapat dihitung jumlahnya yang pasti. Semua yang dijelaskan ini adalah
kondisi yang sangat baik untuk melestarikan dan mengembangkan
bahasa, aksara, sastra, atau peradaban Bali secara keseluruhan.
Seperti dipahaami susastra Bali telah hidup dan tumbuh sedari
masa pemerintahan Prabu Darmodayana Warmadewa tahun 990
Masehi. Sang raja inilah yang mengadakan ikatan persaudaraan
dengan para raja di tanah Jawa. Pada masa pemerintahan Prabu
Udayana bersama dengan permaisuruinya, yaitu Ratu Gunapriya
Dharmapatni (Mahendradatta) susastra Kawi sudah mulai dikenal di
Bali. Suatu karya susastra yang mendapat tempat terhormat, dijadikan
makuta mandita (mahkota budaya) yang selanjutnya mengantar pada

363
pertumbuhan susastra Bali klasik masa-masa berikutnya.
Pada masa pemerintahan yang berpusat di Gelgel, terutama pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460--1550), kesusastraan
Bali mengalami masa puncak kejayaannya. Masa-masa itu biasa pula
disebut masa-masa keemasan kerajaan Bali. Pada masa itu banyak
para pengarang atau pujanggga rakawi yang menciptakan karya-
karya sastra orisinal Bali Klasik. Dang Hyang Nirartha/Dwijendra
yang mengalih dari Pulau Jawa/Majapahit (1486 M) sedari awal
kedatangan beliau menapak tanah Purancak (kakisiking Bali Kulon)
telah mencipta peradaban, utamanya karya susastra. Demikian
pula, setelah dinobatkan sebagai bagawanta /purohita (pendeta
kerajaan), beliau banyak melahirkan karya-karya bermanfaat tinggi,
seperti karya puja pangastawa mantram pengantar upacara korban
suci dalam agama Hindu di Bali, mencipta sarana upacara/upakara,
menulis berbagai ajaran filsafat ketuhanan, mengarang berbagai
sangre susastra, seperti kidung dan kekawin. Banyak murid beliau
yang juga ikut memperkaya perbendaraan satra Bali Klasik itu, seperti
Kyayi Dawuh Bale Agung, Ki Gusti Pande Bhasa, Pangeran Telaga/Ida
Sakti Telaga/Ida Ender (putra Dang Hyang Nirartha yang lahir dari
ibu Patni Keniten, Blambangamn) dan yang lainnya.
Sebagai pribadi yang agung Dang Hyang Nirartha memiliki
persepsi dan kesucian yang tinggi dalam mengembangkan dan
menciptakan peradaban adiluhung atas Pulau Bali. Karya penting
yang terwariskan dan dijadikan umat mencari kedamaian hidup adalah
bangungan suci, yaitu banyak pura Dang Kahyangan yang didirikan
oleh Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali hingga ke Lombok dan
Sumbawa. Beliau adalah pengarang puja-puja prakirtanam, yaitu puja
pangastawa (memuliakan Tuhan dengan segala kebesarannya) beserta
sarana upakara (banten) korban suci yang disebut mahapancayajña.
Ringkasnya, dengan bukti karya beliau baik yang nyata, seperti
bangunan fisik maupun yang tidak nyata, seperti bangunan rohani
keagamaan, itulah yang menyebabkan dharmayatra, loka palasraya, loka
pala suci beliau terwariskan hingga hari ini. Masyarakat Bali, terlebih
para pedanda sangat menyucikan dan menghormatinya. Dengan
segenap kemampuannya para pedanda berusaha mengikuti jejak-jejak
Dang Hyang Nirartha dari dahulu hingga sekarang.
Secara singkat, dalam teks lontar Paniti Gama Tirta Pawitra
digambarkan bahwa Dang Hyang Nirartha pengemban pribadi
agung dari Batara Siwa di dunia. Beliau adalah tokoh sejarah yang
karismatik, sosok religius-magis, legenda kehidupan para pendeta
(pedanda) di Bali dan Lombok. Dang Hyang Nirartha sebagai tokoh

364
religio-magis yang banyak memberikan inspirasi terciptanya berbagai
simbol-simbol upacara agama yang menata kehidupan masyarakat
Bali dalam menjalani dunia fana dan tujuan akhir di akhirat.
Ajaran pokok Dang Hyang Nirartha di Bali adalah siwasidhanta,
yaitu memuja satu Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi/Parama Siwa) dalam
berbagai manifestasi-Nya. Formulasi keesaan Ida Sang Hyang Widi
berstana pada padma buana (bunga teratai tahta dunia semesta alam)
diwujudkan dalam bangunan padmasana yang terdapat di banyak pura
besar di Bali.

5. Dang Hyang Nirartha dalam Teks Lontar paniti Gama Tirtha


Pawitra
Dalam Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra (Koleksi Ida Pedanda
Made Gunung, Griya Kemenuh Purnamawati, Blahbatuh Gianyar)
disebutkan bahwa Dang Hyang Nirartha diberi julukan Nilartha yang
bermakna beliau meninggalkan jagat Siwa Loka (Nilartha) turun ke
dunia untuk menyelamatkan alam dengan menciptakan dunia baru
dan mengisinya dengan agama Siwa-Bhuda. Dalam perjalanan sucinya
itu, beliau selalu menyucikan alam semesta segenap isinya dengan
sarana air suci yang disebut toya atau tirtha. Toya yang dibawa Dang
Hyang Nirartha dari kahyangan ke dunia fana ini adalah anugerah
Sang Hyang Jagatpati (Dewa Siwa). Agama yang diajarkan oleh Dang
Hyang Nirartha oleh para tetua di Bali disebut Gama Tirtha. Agama
Hindu (Gama Tirtha) ini di Jawa lebih dikenal dengan nama agama
Siwa Budha. Kemudian, agama Siwa Budha disebut Hindu Dharma.
Kenapa disebut Gama Tirtha, siapa yang membawanya ke tanah Bali,
dan untuk apa dikembangkan di bumi ini?
Petikan teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra (49b--51b)
menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas sebagaimana petikan
berikut.
Gama Tirtha. Gama, ento kapituian mungguh di deweke, tirtha yeh. Nanging
sing ja yeh ane dadi inem muah ane panjusin. Sing ja yeh ane di tukade wiadin
pancoran. Sing ja yeh danu, sing ja yeh pasih, sing ja yeh ujan, sing ja yeh
damuh, sing eda ia totonan. Tatuianne ia tuah Tirtāmreta, ane kabuat turun-
tumurun antuk Ida Batara Wawu Rawuh, sane sambatang Ida Pedanda
Wawu Rawuh, kautus antuk Batara Jagatnatha, kacacarang teken watek sarwa
dumadine makejang, apang pada nyungsung tirthane ento, dadi pangilang
saluiring letuh digumine sekala, makadinne dadi pamrtaning urip di jagate,
kautpti astitiang antuk para wikune makejang. Krananing kadi Ida Pedanda
makarya tirtha, apan igama wijile, apan Ida Batara Wawu Rawuh (50a) maraga
wiku suci nirmala, / tan pasingsingan, Ida dogen wikune kalugraha tuun saking
swargan, mamundut tirtha nirmala mahamretane ento, krana di Bali kaparabin
Ida Pedanda Wawu Rawuh, yan Batara Wawu Rawuh. Yan di Jawa kasambat Ida
Hyang Nilartha. Yan ring Sasak inucap Ida Mpu Sangupati. Yan ring Sumbawa

365
kaparabin Ida Twan Sumeru. Antuk i wong Arab kaparabin Imam Madhi. Yan
cara Cina kasambat Ida Wong Hundu. Yan di tanah Hindu Ida Sang Aji Saka.
Yan cara Belanda kaucapang Ida Hangsap Syasi. Krana di Bali Ida Kaparabin
Pedanda Wawu Rawuh, apan Ida panemben wikune, turun saking Swarga
ke Dunia memuat mreta urip jagate, tekaning ngrajegang. Wireh Ida dogen
wikune ane kalugraha lunga teka maring Swarga, krana ida sinanggeh kawitan,
ane kaastawa olih para wikune makejang di Bali. Di Sasak Ida kaparabin Mpu
Sangupati, apan Ida ngamong sangun jagate, asung urip muang kapatian jagate.
Yan ring Sum (50b) bawa/ Ida Tuwan Sumeru, apan Ida Sinanggeh meme
bapa dijagate, ane ngempuang saisin jagate, maka paraning sembah jagate.
Yan ring tanah Jawa, Ida Sang Hyang Nilartha, apan Ida anilar Kadewatan,
turun ka Martyaloka, kasiwi dening manusa loka makejang. Di tanah Arab
kasambatang Ida Imam Madhi, apan Ida manggeh sasakaning gumi, makadinne
maraga sangkan paran gumine makejang, mangrahayuan jagat makejang. Yan
ring Belanda maparab Hangsap Syasi apan Ida manggeh sasakaning gumi,
makadinne maraga sangkan paran gumine makejang. Di tanah Cina Ida inucap
Wong Hundhu, dening Ida magawe suka-duka di jagate, muang satata tan kena
turu muah rayunan, Ida ane suka wareg satata. Kalingane Ida ane jati luwih
nirmala suksma paramartha licin, /(51a) sing sidha pandeng swabhawan Idane
olih mata. Sabdan Ida tan sidha karungu dening koping, gandan Ida tan sidha
kaambu dening grana, tan sidha sambatang dening cangkem, pangadeg muang
rupa warnan Idane tan kena tuduhang dening tangan, maka palinggih Idane
apan kapituwiane dong ja Ida maangga manusa, sing ja dewa, dewata, dong ja
Batara, hyang, sing ja kala, bhuta, raksasa, pisaca, danawa, jim, setan, nora sato,
mina, manuk, taru, buku, trena, lata, gulma, sthawara janggama, dong ja Ida
bayu, sabda idhep, dong ja api yeh angin, dong ja tanah, langit, surya, lintang,
candra, tan rasa tan urip tan pati, Ida sing ja nyeneng sing ja seda. Nanging
yan awasang di pangisin jagate makejang, adanne ento sarwa endah, karungu,
karasa, kanten, kambu, ento makejang manyihnayang Ida ada ditu. Mungguing
Ida tuah jenek malinggih sik genah Idane kasi/ 51b) wi baan jagate makejang,
wireh Ida Siwan jagate makejang, wireh ujar sang putus, Ida tuah satata kairing
tur kaayahin baan manusane makejang tekaning sarwa tumitahe, sajagat Ida
nirthain setata karyan Ida nglukat, mresihin, mangentas, sane ngletuhin jagate
makejang, apanga pada maan karahayuan, ane idup tekaning ane mati, yadin
manusane ane tuara nawang Ida, yadin tan lingan teken Ida, masih pageh Ida
nirtain, asung pamretaning urip, sakewala jalmane ane tusing rungu teken Ida,
kasisipang salampah lakune amikul dosa, tur kapastu antuk Ida, matinnyane
dadi butha cuil, dadi reregeding gumi. Ento makasinah manusane sajagat
kawengku baan Gama Tirtha, kewala marasa teken kosinge, sara ja ditu.

Artinya:
Agama itu, itu sebenarnya sudah berada dalam diri, Tirtha adalah air,
tetapi tidaklah air yang diminum dan yang dipakai mandi. Tidaklah air
yang dipakai mandi. Tidaklah yang di sungai atau di pancuran. Tidaklah
air danau, tidaklah air laut, tidaklah air hujan, tidaklah air embun,
tidaklah itu adanya. Sebenarnya adalah tirthamretha, air kehidupan yang
dibawa turun yang dimanfaatkan sampai kelak kemudian hari, oleh
beliau Batara Wawu Rawuh yang disebut Ida Pedanda Wawu Rawuh
diutus oleh Batara Jagatnatha, Siwa, disebarkan dan dibagikan kepada

366
seluruh mahluk hidup agar semuanya menyongsong dan memuliakan
Tirtha itu menjadi penghilang segala kotoran di dunia nyata dan juga
menjadi saran kehidupan di bumi yang dibuat dan dipuja oleh semua
pendeta. Sebabnya Ida Pedanda membuat tirtha, sebab dari agama
adanya, sebab Ida Batara Wawu Rawuh sebagai wiku yang suci bersih,
tidak ada yang menyamai, beliau seorang raja wiku yang dibolehkan
turun dari Sorga. Itulah sebabnya di Bali disebut Padanda Wawu rawuh,
yaitu Tuhan yang baru datang. Kalau di Pulau Jawa beliau disebut Hyang
Nirlartha. Kalau di Sasak/Lombok beliau disebut Mpu Sangupati. Kalau
di Sumbawa beliau bergelar Tuwan Sumeru. Oleh orang Arab diberi
gelar Imam Madhi. Kalau cara Cina beliau disebut Wong Hundu. Kalau
di tanah Hindu, India beliau disebut Sang Aji Saka. Kalau cara Belanda
beliau disebut Hansap Syasi. Sebabnya di Bali beliau diberi gelar
Pedanda Wawu Rawuh, sebab beliau permulaan adanya pendeta turun
dari Sorga (Siwaloka) ke dunia membawa Amertha sebagai kehidupan di
dunia dan sampai mengukuhkan. Sebab beliau raja pendeta yang diberi
anugerah datang dan pergi ke sorga. Sebab beliau disebut asal mula
yang dimuliakan oleh para wiku di Bali. Di Sasak, Lombok Beliau diberi
gelar Pangeran Sangupati, sebab beliau memegang sangunya dunia,
memberi kehidupan dan kematian di bumi. Kalau di Sumbawa beliau
disebut Tuwan Sumeru, sebab beliau dianggap Ibu-Bapak di dunia, yang
mengasuh seisi dunia, sebab tujuan makhluk untuk menghaturkan
sembah bakti. Kalau di Pulau Jawa beliau disebut Sang Hyang Nilartha,
sebab beliau berpindah dari sorga turun ke bumi, dipuja oleh semua
manusia di bumi. Di tanah Arab beliau disebut Imam Madhi, sebab
beliau sebagai kekuatannya bumi, yaitu sebagai asal dan perginya segala
yang ada di bumi, karena beliau dengan ikhlas memberi kesejahteraan
di seluruh dunia. Kalau di Belanda, Beliau bernama Hansap Syasi,
sebab beliau ditetapkan sebagai kekuatan bumi, yaitu sebagai datang
dan perginya seluruh dunia. Di negeri Cina, belaiu disebut Wong
Hundhu, sebab beliau mengadakan suka dan duka di dunia, dan tidak
kena kantuk dan juga makanan, beliau yang selalu senang dan kenyang.
Kesimpulannya beliau yang benar-benar utama suci sunyi tercapai
tujuan yang utama tak dapat dirasakan, tidak dapat diwaspadai wajah
beliau dengan mata. Suara beliau tak sanggup didengar oleh telinga,
bau beliau tidak dapat dicium dengan hidung, tidak dapat diucapkan
dengan mulut, bentuk tubuh dan rupa warna beliau tidak dapat disentuh
dengan tangan, demikianlah bentuk beliau, sebenarnya beliau bukan
berwujud manusia, tidak juga dewa, dewata, tidak juga bhatara, Hyang,
tidak juga kala, bhuta, raksasa, pisaca, danawa, jin, setan, tidak binatang,
ikan, burung, pohon yang beruas, rumput, tumbuhan menjalar, semak
belukar, mineral, parasit. Beliau tidaklah tenaga, pikiran, tidak juga api,
air, angin, tidak juga tanah, langit, matahari bintang, bulan, tidak rasa,
tidaklah kehidupan dan kematian, Beliau tidak hidup juga tidak mati.
Akan tetapi, kalau diwaspadai dalam isinya seluruh bumi, adanya itu
adalah beraneka macam, yang dapat dilihat, dirasakan, terlihat, dihirup.
Itu semua sebagai ciri beliau ada di sana. Tentang beliau hanya diam dan
duduk pada diri-Nya dipuja oleh semua orang di bumi, sebab beliau
sebagai junjungan seluruh dunia. Sebab dikatakan oleh orang suci, Beliau

367
selalu diantar dan dilayani oleh manusia semua, sampai dengan segala
makhluk. Di seluruh dunia beliau yang memberi tirtha, air suci, kerja
beliau selalu ngulukat (meruwat), mresihin (membersihkan), mangentas
(memberikan tirtha untuk kematian), yang mengotori seluruh dunia,
supaya mendapatkan keselamatan, yang masih hidup ataupun yang
meninggal. Walaupun manusia yang tidak tahu dengan beliau, walaupun
tidak pernah ingat dengan beliau, juga sangat setia beliau memberikan
tirtha, dengan ikhlas memberikan air kehidupan. Akan tetapi, manusia
yang tidak hirau kepada beliau, disalahkan segala gerak-geriknya dan
pelaksanaannya memikul dosa, lagi pula dikutuk oleh beliau. Setelah
ia meninggal akan menjadi butha cuil (setan gentayangan), menjadi
kotoran dunia. Itulah sebabnya manusia diperintah oleh agama Tirtha,
tetapi merasa atau tidak, terserah di sana.

6. Kesimpulan
Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, adalah lontar yang menjelaskan
tata itiket melakukan dharma agama Siwa-Budha dalam model
pemaham peradaban relegi keagamaan di Bali pada zaman Gelgel.
Zaman di mana tumbuh dan berkembangnya peradaban Bali pada
puncak-puncak keemasannya. Semua segi kehidupan ditata dan
dikembangkan berdasarkan perspektif Bali. Istilah yang muncul
untuk peradaban ini adalah Kawi Bali, yaitu terciptanya bahasa supra
yang digunakan masyarakat beradab (rakawi) membahasakan satyam,
Siwam, Sundaram, yaitu ilmu pengetahuan, keagamaan, dan seni dalam
kehidupan lahir dan batin. Istilah yang sejalan dengan Kawi Bali,
yaitu Pa-Bali, titik balik dari pemahaman dan persepsi Bali, ilmu-ilmu
Bali. Peradaban yang ada di luarnya (dunia) disambut dan dicerna
mendalam dan dimaknai dengan persepsi yang tinggi dari perspektif
Bali yang maha surgawi. Penciptaan-demi penciptaan terjadi mengukiti
proses krativitas bangsa yang mahardika. Jiwa-jiwa mulia yang mulai
tumbuh dan bertumbuh, mencipta dan menciptakan aneka peradaban
yang dapat memenuhi jagat pikayunan, jagat pemikiran masyarakat
seutuhnya dan berkembang dalam aneka ranah kehidupan, lahir
dan bathin. Sebelum istilah Hindu diperkenalkan sebagai sebutan
agama Hindu, sebelumnya dipergunakan leksikon Gama Tirtha, yaitu
sebagaimana diamanatkan dalam lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra.
Teks Paniti Gama Tirtha Pawitra, berisikan ajaran keagamaan dari
guru suci Dang Hyang Nirartha/Dwijendra yang disarikan oleh para
kerohanian yang terwariskan sebagai sistem keagamaan Siwa-Budha
(Hindu Dharma) dalam perspektif Bali yang maha surgawi. Sistem
keagamaan yang suci murni, berlandaskan pada empat esensi sarana,
yaitu: weda/puja (mantram suci), adnyana (kekuatan batin), banten
(sarana upacara), dan tirtha (air suci).

368
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1953. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory The Critical
tradition. Ithaca New York: Cornell University.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Terjemahan oleh
Nurhadi dari Cultural Studies, Theory and Practice (2000). Yogyakarta:
Kreasi Wacana Yogyakarta.
Barthes, Roland. 1973. Mythologies. Paris: Paladin Frogmore, St Albans.
Barthes, Roland. 2003. Mitologi. Terjemahan oleh Christian Ly dari
Mythologies. Padang: Dian Aksara Press.
Berg, Cornelis Christian. 1927. De Middeljavaanche Historische Traditie.
(disertasi) Rotterdam: Mees-Santpoort.
........ 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.
Darmawan, Tri Budi Marhaen dan Nurahmad. 2007. Jalan Setapak Menuju
Nusantara Jaya, Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit.
Semarang: Cipta karya Multimedia.
Eco, Umberco. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana
University Press.
Fokkema, D.W dan Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in
the Twentiet Century: Structuralism Marxism Aeistheticsof Reception
Semiotics. C. Hurst & Company: London.
Gourdriaan T. dan C. Hooykaas. 2001. Stuti dan Stava: Mantra Para Pandita
Hindu di Bali (Bauddha, Śaiva dan Vaişņava). Terjemahan oleh I Made
Titibdari Stuti And Stava (Bauddha, Śaiva and Vaişņava) of Balinese
Brahman Priests.Denpasar: Pāramita.
Granoka, Ida Wayan Oka. Reinkarnasi Budaya. Pa-Bali, Titik Balik Memandang
Dunia Perspektif Bali Masa Depan. Denpasar: Mabhakti.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response.
The John Hopskin University Press: Baltimore London.
Jauss, Hans Robert.1983. Toward an Aesthetic of Reception. University
Minnesotta Press. Minneaspolis.
Kartodirdjo, Sartono. 1969. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.
........... 2001. Indonesian Historiography. Yogyakarta: Kanisius.
Kawuryan, Megandaru W. 2004. Tata Pemerintahan Negara Kertagama
Keraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka.
Kern, JHC dan Rassers, WH. 1982. Ciwa dan Buddha. Terjemahan oleh
Tim KITLV dan LIPI dari Ciwa En Boeddha in den Indischen Archiplel
(1926). Jakarta: Djambatan.
Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. Kakawin Usana Bali Karya Danghyang
Nirartha. Kuta Bali: Pustaka Larasan.
Mantra, I. B. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma
Sastra.
Matejka, Ladislav. 1976. Semiotics Of Art. Cambridge: Mass.
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan
Majapahit. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
........ 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara
Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Mulkham, Abdul Munir. 2002. Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa.

369
Jogyakarta: Bentang Budaya.
Pierce, Charles Sanders. 1940. The Philosophy of Pierce: Selected Writings.
(J. Buchler, editor). New York: Harcout.
Putra, Ida Bagus Rai. 1987. “Babad Dalem: Suatu Tinjauan Struktur-
Intertekstualitas”.(Sekripsi) Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
........ 2000. “Parama Dharma Dang Hyang Nirartha”, dalam Kusumanjali
Persembahan Kepada Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Yayasan
Dharmopadesa
........ 2000. “Dang Hyang Nirartha: Rakawi Zaman Keemasan Kraton
Gelgel di Bali”, dalam Kusumanjali Persembahan Kepada Dang Hyang
Nirartha. Denpasar: Yayaan Dharmopadesa.
........ 2006. “Rakawi Dang Hyang Dwijendra Sajroning Susastra Bali”.
Makalah Kongres Bahasa Bali VI. Denpasar: Panitia Pasamuhan
Agung Basa Bali VI, Oktober 2006.
........ 2007. “Bahasa Kawi Bali dalam Tekstualitas Dharmayatra Dang
Hyang Dwijendra”. Denpasar: Universitas Udayana.
Riffaterre, Michal. 1983. Semiotique de la poesie. Paris: Seuil.
Soedjatmoko, dkk. 1995. Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar.
(ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Tim Penyusun Sejarah Bali. 1985. “ Sejarah Bali”. Denpasar: Pemda Tk.
I Bali.
Tuuk H.N. van der. 1901. Kawi-Batineesch-Nederlandsch Woordenboek. 4
jilid. Mid 1 (1897); jilid 2 (1899); jilid 3 (1901) jilid 4 (1912). Batavia:
Landsdrukkerij.
Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan
Perkembangnya. Denpasar: Program Magiser Ilmu Agama dan
Kebudayaan Kerja sama dengan Penerbit Widya Dharma.
Sura, I Gde, dkk. 2005. Siwatattwa. Denpasar: Pengadaan Buku Penuntun
Agama Hindu, Provinsi Bali.
Vrede, Frans. 1979. “Pengantar Hakikat Filsafat Hindu Yang Abadi”.
Stensilan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. (2 jilid).
Grabenhage: Martinus Nihoff.

370
KAJIAN KAKAWIN NITICASTRA SEBAGAI
SALAH SATU SUMBER KEARIFAN LOKAL
DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
KARAKTER
Sang Ayu Putra Sriasih
Undiksha Singaraja

1. Pendahuluan

P endidikan merupakan salah satu modal dasar untuk pembangunan


karakter bangsa. Sebagai salah satu modal dasar, pendidikan
harus selalu bersifat inovatif. Dalam pembaharuan sistem pendidikan
nasional telah ditetapkan visi, misi, dan strategi pembangunan
pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia, berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga berkompeten dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi
tersebut, pemerintah telah menetapkan serangkaian prinsip yang
dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.
Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan
diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (Dantes, 2010). Dalam
proses tersebut harus ada pendidikan yang memberikan keteladanan
dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi
dan kreativitas peserta didik. Hal ini penting karena bencana nasional
tentang kemerosotan moral masyarakat Indonesia telah terjadi pada
tataran terendah sampai tertinggi sebagai ancaman serius yang terkait
dengan karakter bangsa saat ini. Betapa tidak, hampir setiap saat
masyarakat mendengar, membaca, dan melihat berbagai perilaku yang
bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia. Perilaku-perilaku itu
diperoleh dalam bentuk: informasi, tulisan, atau tayangan-tayangan
mengenai perampokan, pembantaian, pemboman, tawuran di
kalangan pemuda/ mahasiswa; dekadensi moral seperti: pemerkosaan,
perselingkuhan, penipuan, trifficking, bahkan yang spektakuler adalah
perilaku di luar nalar oleh para pejabat tinggi atau pejabat negara dalam
hal korupsi yang menampakkan perilaku menggila. Kalau ini tidak
segera disadarkan lewat pendidikan maka kehancuran akan terjadi di
depan mata karena tiada teladan yang bisa ditiru oleh generasi muda
maupun bagi publik .

371
Aplikasi prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran
paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke
paradigma pembelajaran. Prinsip ini perlu diaktualisasikan di
masyarakat. Paradigma pembelajaran memberikan peran lebih banyak
bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas
dirinya dalam rangka membentuk manusia yang mempunyai
kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani,
serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan
paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar pendidikan yang meliputi
acuan filosofis, maupun acuan normatif baik yang bersifat kultural
maupun lingkungan strategis (Undang-Undang Sisdiknas No.20
tahun 2003).
Salah satu acuan yang berbasis budaya yang dapat digunakan
sebagai landasan pendidikan karakter terdapat pada kakawin
Niticastra, yang tidak asing lagi bagi penikmat sastra daerah di Bali
pada umumnya. Niticastra merupakan potret pandangan dan pedoman
hidup yang sangat universal dalam bersikap dan berperilaku.
Keuniversalan nilai-nilai ini perlu dikuak dalam meningkatkan
pendidikan karakater bangsa, terutama bagi peserta didik yang akan
menjadi penerus bangsa pada garda terdepan.

2. Konsep Pendidikan Karakter


Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Konsep ini
mengandung suatu idiom yang bermakna sangat dalam yakni usaha
sadar dan memanusiakan manusia. Usaha sadar menyiratkan bahwa
suatu pendidikan direncanakan, dipersiapkan berbagai perangkatnya,
dilaksanakan secara sistematis sesuai dengan perencanaan jadwal,
target, sasaran, dievaluasi, dan seterusnya (sangat kompleks).
Selanjutnya, dilakukan tindak lanjut dan seterusnya. Berbicara tentang
ranah pendidikan, sejak dulu telah dikenal ranah pendidikan informal,
nonformal, dan formal. Di mana pun ketiga ranah itu dilaksanakan
pasti memiliki kontribusi dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan
sikap terhadap pembelajar. Hal ini secara jelas dan permanen telah
dirumuskan dalam (Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003
Bab I) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

372
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber
daya manusianya. Usaha peningkatan sumber daya manusia merupakan
tanggung jawab pendidikan, baik formal maupun nonformal (Parmiti
dalam Tegeh, 2010). Pendidikan pada dasarnya adalah upaya untuk
mempersiapkan atau membekali sumber daya manusia yang memiliki
keahlian dan keterampilan sesuai dengan tuntutan pembangunan
bangsa (Sudiana dalam Tegeh, 2010). Jepang pun setelah Nagasaki
dan Hirosyima dibom atom segera bangkit kembali lewat pendidikan,
meskipun armada pertahanannya dalam hal ini para tentara banyak
yang tewas. Akan tetapi, jika guru masih ada maka dalam waktu
singkat mereka dapat berbenah diri. Dengan demikian, pembangunan
pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang handal
merupakan harga paten dan pemerintah telah bersungguh-sungguh
melakukannya. Dalam Tujuan Pendidikan Nasional dirumuskan
bahwa pendidikan bertujuan meninggatkan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Di samping itu,
pendidikan diharapkan mampu menanamkan sendi-sendi kehidupan
sehingga melahirkan manusia-manusia terdidik yang memiliki
kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial, dan kecerdasan secara
sosial, juga memiliki keterampilan, dan lain-lainnya.
Karakter dalam KBBI (2008:623) adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dengan orang
lain; sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris, Echols and Shadily
(1992:107), ”character” secara semantis berarti watak, karakter,
sifat. Pendapat lainnya, Amri, dkk. (2011:3) mengutip Depdiknas
menyatakan bahwa karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.
Dengan demikian, karakter merupakan penggambaran secara total
tentang sikap, perilaku, budi pekerti, kepribadian, personal seseorang
dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang menyangkut baik
maupun buruk.
Pendidikan karakter merupakan upaya mewujudkan amanat
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang dilatarbelakangi realitas
permasalahan kebangsaan yang carut-marut saat ini, seperti disorientasi
dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila. Di sisi lain, terdapat
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-
nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya
bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian

373
bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Karakter Bangsa 2010-
2025). Dengan demikian, pendidikan ternyata bukan hanya
membuat manusia pintar/cerdas tetapi yang lebih penting adalah
terwujudnya manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan
penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000:14,
yang di-posted, 8 November 2008) bahwa tujuan pendidikan bukan
hanya terbentuknya manusia yang terpelajar tetapi lebih daripada
itu, yakni manusia yang berbudaya (educated and civized human being)
dalam arti luas. Manusia berbudaya, dalam arti luas inilah yang
sesungguhnya merupakan produk dari pendidikan berkarakter yang
menjadi dambaan bangsa Indonesia di tengah-tengah terjangkitnya
berbagai krisis mulitidemensional. Lickona (dalam Trianto, 2010)
menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan
budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga itu pendidikan
karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus sistematis
dan berkelanjutan. Dari konsep itu, fungsi pendidikan karakter
sebenarnya dapat dirumuskan sbb. (1) mengembangkan potensi dasar
peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berprilaku baik;
(2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
dan saling menghormati; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang
kompetitif dalam pergaulan dunia.
Dari uraian di atas, pendidikan karakter sesungguhnya memiliki
skope yang sangat luas yakni mencakup segala pikiran, ucapan,
perilaku, sifat, kepribadian, moral yang mengarah pada kebaikan
dirinya dan kebaikan pada orang lain. Pendidikan karakter merupakan
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Jadi, konsep pendidikan karakter sangat-sangat ideal bila diterapkan
dalam mengantisipasi perkembangan global dan pembinaan mental
spriritual manusia Indonesia yang kian memudar.

3. Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian


Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki
keunikan dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Salah
satu keunikan itu adalah Indonesia merupakan negara majemuk
dalam berbagai dimensi kehidupan seperti: SDA, SDM, etnis, agama,
bahasa, adat-istiadat, kepercayaan, latar belakang kehidupan, dll.,
yang banyak memiliki sisi positif dan negatif. Oleh karena demikian
majemuknya, mau tidak mau pasti akan terjadi sentuhan-sentuhan

374
antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain, atau intern
dimensi itu sendiri. Salah satu dimensi yang merupakan ujung tombak
manajerial pemberdayaan kehidupan adalah sumber daya manusia
(SDM). SDM masyarakat Indonesia inilah yang harus ditingkatkan
keimanannya dan perilaku baiknya sehingga dapat menumbuhkan
harmonisasi dalam era kesejagatan saat ini. Keragaman bangsa
Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lain-lainnya sejatinya juga
merujuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama,
kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa
lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan
menapaki kehidupan mereka (OPINI, Kompas, 17-12- 2011.
Kearifan lokal atau yang dalam bahasa Inggris dikonsepsikan
sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) merupakan pandangan,
pengetahuan, dan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh suatu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidup suatu masyarakat. (Kompas, 17-12-2011). Dalam Kompas
juga dipaparkan bahwa pembangunan yang cenderung mengejar
pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya mengakibatkan keajegan
kearifan lokal sebagai produk budaya yang telah sekian lama terbukti
efektif menjadi terabaikannya. Banyak bukti yang mendukung bahwa
kearifan lokal saat ini kurang memperhatikan kepentingan urgen yang
berpihak pada publik. Hal ini tercermin dari perilaku para pemegang
otoritas. Dalam implementasi kearifan lokal, yang dibutuhkan
sebenarnya adalah ’kepemimpinan dan keteladanan’. Hal ini sejalan
dengan pendapat Wahid, anggota DPR RI Komisi X dari FPKB
yang menegaskan bahwa sistem penanaman nilai yang ada dalam
pendidikan karakter itu tercermin dalam setiap langkah pemimpin
kita. Keteladanan pemimpin ini—dalam berbagai lini dan jenjang—
perlu juga secara integratif dipolakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan karakter. Para pemimpin ini perlu
menunjukkan eksistensi dirinya bahwa mereka mempunyai nilai-nilai
kearifan lokal yang dijadikan cermin oleh masyarakat dan itu perlu
diwujudkan dalam bentuk aksi bukan sekadar wacana/ life service.
Contoh: ungkapan/istilah Ajeg Bali, penerapannya tidak sejalan dengan
ucapannya. Di samping itu, kepentingan yang mengutamakan diri
sendiri, golongan tertentu, atau sekelompok orang dengan cara-cara
biadab bukan beradab merupakan pengingkaran terhadap kebenaran
nilai-nilai kearifan lokal, sehingga kerap memunculkan disharmonisasi
dalam proses pembangunan yang pada akhirnya menambah biaya
sosial (social cost) yang jauh lebih besar.

375
4. Kakawin sebagai Sebuah Aktivitas Seni
Bali banyak mewarisi khasanah budaya Jawa, terutama yang
terkait budaya sastra lisan maupun tulis. Budaya sastra lisan-tulis ini
tampak pada aneka budaya adiluhung, yakni aneka kakawin. Kakawin–
makakawin merupakan aktivitas membaca dengan melagukan teks
yang berbahasa kawi/Jawa Kuno yang disertai dengan penyampaian
artinya. Di samping itu, terdapat tembang-tembang (pupuh/macapat/
mocopat) yang sampai sekarang sangat eksis di seantero masyarakat
Bali yang juga sumbernya dari Jawa. Kakawin dan pupuh itu dalam
perkembangan selanjutnya telah termodifikasi sedemikian rupa
sesuai kepentingan dan kebutuhan masyarakat Bali (Hindu) tanpa
meninggalkan kaidah aslinya. Kakawin merupakan salah satu wujud
berkesenian. Jika ditengok sejarah, di Buleleng telah ditemukan prasasti
Bebetin berangka tahun 896 Masehi, yang ditulis ketika pemerintahan
Raja Ugrasena di Bali, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa
seni pertunjukan. Salah satunya adalah yang disebut pagending
(biduan) (Bandem, 1996:53). Dalam hal ini, yang dimaksudkan biduan
adalah orang yang menyanyikan lagu atau tembang yang diminati
masyarakat saat itu. Dengan berbagai aktivitas seni yang dilakoni oleh
masyarakat Bali, Bali juga dikenal dengan small is beautifull.
Di antara sekian banyak kakawin yang berasal dari tanah Jawa,
menurut hemat penulis, Niticastra merupakan kakawin yang sarat
akan petuah-petuah, keteladanan dalam berbagai dimensi kehidupan.
Melaksanakan aktivitas kakawin dengan membaca dan melagukan
bait-bait kakawin merupakan aktivitas yang menyenangkan. Hampir
semua penekun kakawin merasakan ketenangan, kedamaian,
dan kebahagiaan. Hal ini disebabkan bahwa seni makakawin akan
membentuk pribadi yang tunduk, yakni tunduk pada sesama, pada
lingkungan, lebih-lebih tunduk atas kebesaran Yang Kuasa (Tuhan).
Kenyataan ini tidak terlepas dari substansi materi kakawin yang
secara umum memang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang
terkait dengan kebenaran, kebaikan, kasih sayang, pendidikan, dll
yang konotasinya positif. Sejalan dengan itu (Rai dalam Bali Post,
rubrik Figur, 4/12-2012) menyatakan bahwa seni memiliki peran
strategis dalam upaya pembentukan karakter bangsa. Melalui seni,
generasi muda akan mendapat asupan nilai yang dapat membentuk
akhlak mulia. Kakawin sebagai salah satu unsur seni memiliki peran
strategis dalam penajaman nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai strategis
yang terdapat dalam Niticastra perlu dikaji dan diimplementasikan.
Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai kakawin Niticastra dalam
kehidupan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya:

376
mempelajari sendiri untuk kebutuhan transfer ilmu, mempelajari
secara berkelompok untuk kepentingan bersama dan mengamalkannya
dalam berbagai ritual di masyarakat sesuai tujuan kelompok, dan
sebagainya.
Pelaksanaan aktivitas seni di Bali sesungguhnya merupakan suatu
proses yang sangat unik, yang memiliki tahapan-tahapan. Demikian
pula aktivitas seni makakawin. Contoh: dalam pelaksanaan aktivitas
kakawin secara berkelompok pasti dilakukan dengan didahului doa
pembuka, menghaturkan canang (minimal), sembahyang, nunas tirta
(air suci), lanjut proses pembacaan. Menjelang berakhir, dilakukan
doa penutup, dan parama santih. Cara-cara yang ditempuh seperti itu
mengingatkan dan meningkatkan rasa bakti manusia terhadap kebesaran
Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) lewat doa-doa yang dilantumkan dan
ini merupakan muatan nilai spiritual yang bisa menjadi landasan
kearifan lokal. Menghaturkan canang merupakan persembahan kecil
yang penuh makna filosofis. Canang memuat simbul-simbul tertentu
tentang kebesaran Tuhan. Sembahyang merupakan perilaku memuja
kebesaran Tuhan serta kita berdoa untuk keselamatan diri sendiri
dan keharmonisan alam semesta. Nunas tirta memohon berkahnya
berupa air suci sebagai lambang kesuburan untuk kedamaian dalam
beraktivitas. Dalam proses pembacaan juga perlu diperhatikan buku
kakawin yang dibaca tidak boleh ditaruh secara sembarang/pakai
alas dulang. Terakhir melakukan doa penutup dengan menghaturkan
parama cantih ’Om Cantih, Cantih, Cantih Om, sebagai akhir kegiatan.
Parama cantih merupakan doa yang isinya mohon kedamaian pada
Tuhan untuk diri sendiri, kedamaian lingkungan alam semesta, serta
lingkungan alam yang tidak terpantau oleh mata, telinga, pikiran/
alam sana.... Semua aktivitas yang tergambar secara sederhana di atas
penuh dengan muatan kearifan lokal. Pembentukan karakter-karakter
positif tercermin pada setiap tahapan kegiatan tersebut. Andaikan
25% saja masyarakat Bali melakukan kegiatan seperti ini setiap hari,
betapa damainya dunia ini.

5. Kakawin Niticastra dan Nilai-nilainya


Niticastra karya Raden Mas Ngabei diterbitkan Bale Poestaka-
Batavia tahun 1940 (Pustaka Daluang, posted on 7 January 2012).
Sebagai sebuah kakawin, Niticastra hadir di tengah-tengah masyarakat
Bali dengan berbagai versi tampilan, namun secara substansi tidak
ada perbedaan. Versi-versi yang dimaksud adalah (a) kakawin yang
menggunakan Aksara Bali tanpa disertai arti; (b) kakawin dengan
Aksara Bali yang disertai dengan arti dengan menggunakan Aksara

377
Bali pula, dan (c) ada dengan menggunakan Aksara Bali, di bawahnya
disalin dengan aksara Latin dan terjemahannya dengan menggunakan
Akasara Bali, yang di bawahnya (terjemahannya) menggunakan
huruf Latin berbahasa Indonesia (Gautama, 1990). Model c dilakukan
bertujuan agar masyarakat dapat membaca dengan mudah, serta
memahami, dan menguasai nilai-nilai yang ada dengan baik. Versi
yang digunakan sebagai rujukan dalam makalah ini adalah butir c,
yang ditulis oleh Gautama. Karena keterbatasan penulis, nilai-nilai
yang diungkapkan dalam konteks ini adalah nilai-nilai yang besifat
umum.
Bila dicermati dalam Kakawin Niticastra terdapat 10 jenis wirama:
Sardulawikridita, Wangsapatra patita, Kalengengan, Ragakusuma,
Kusumawicitra, Aswalalita, Brhamara wilacita, Smaradahana, Prawira
lalita, dan Wasantatilaka (Gautama, 1990). Nilai-nilai yang ada secara
singkat dipaparkan berikut ini.

Nilai spritual
Bait 1 diawali dengan pemujaan seorang penulis terhadap kebesaran
Tuhan. Pemujaan ini terkait dengan keiklasan jiwa/rohani sang
penulis. Penulis (pengawi) pertama-tama mempersembahkan rasa
bakti/hormatnya kepada Tuhan yang dalam hal ini disimbolkan
sebagai Dewa Wisnu, yang merupakan jiwa alam yang selalu
bersemayam di hati. Juga segala sembah bakti penulis ditujukan
kepada Dewa Surya yang selalu bersinar menerangi alam jagat raya
tanpa mengenal lelah sehingga segala niat baik dapat terwujud, di
antaranya terwujudnya sebuah tuntunan hidup yang diberi nama
Niticastra dalam bentuk kakawin. Pengagungan kebesaran Tuhan
diibaratkan sebagai rasa syukur atas segala kemudahan yang
dilimpahkan. Hal ini menunjukkan kecerdasan dan sopan santun
seorang anak manusia.

Nilai Pendidikan dan Keteladanan


Kehebatan penulis mencurahkan pikirannya dengan mengasosiasikan
kehidupan dalam berbagai bentuk nilai-nilai yang terkait dengan
pendidikan moral dan keteladanan yang cakupannya sangat luas.
Nilai-nilai tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: (a) keluhuran
budi dan sopan santun, (b) menghindari perbuatan tercela/hina, (c)
kewaspadaan akan racun-racun dalam kehidupan, (d) mencerminkan
kedamaian/ persahabatan, (e) keutamaan harta, kedudukan,
kecerdasan, dan keberanian, (f) menghindari menyalahkan pendeta,
(g) menghindari kemiskinan diri, (h) karma selalu menyertai diri

378
kita, (i) kriteria kebaikan dan kenikmatan, (j) pentingnya berbagi,
(k) menghindari ketegangan, (l) keutamaan seorang putra, (m)
menghindari mencela, (n) waspada terhadap zaman kaliyuga), (o)
tahapan penanaman disiplin pada anak, sastra, guru, (p) menjaga
diri menuju kedewasaan, (q) memilih wanita yang layak dan yang
tidak, (r) beramal secara tepat dan jujur, (s) kebohongan dalam
kehidupan, (t) pentingnya posisi kepala saat tidur, (u) keutamaan
pendeta, keutamaan raja, keutamaan pejabat negara, (v) kekuatan
makanan, (w) keutamaan anak dan pendidikannya, (z) wanita (citra,
kemapanan, dan perlakuan terhadapnya), dan lain-lain.
Berdasarkan kajian sekilas, nilai-nilai yang ada amat universal.
Bila dikaitkan dengan falsafah, pedoman hidup, demikian pula
keyakinan dalam sebuah agama, tampaknya agama mana pun ajaran-
ajarannya tidak terlalu jauh dari nilai-nilai tersebut. Masalahnya
adakah kejujuran di antara kita bahwa nilai-nilai tersebut sangat
universal?

6. Implementasi Nilai-nilai Niticastra dalam Pengembangan


Pendidikan Karakter
Di tengah-tengah carut-marutnya mental dan moral bangsa
ini, penanaman dan pengembangan pendidikan karakter yang
berbasis kearifan lokal mutlak dilakukan. Banyak media yang dapat
dimanfaatkan sebagai sarana dalam pengembangan pendidikan
karakter. Terlalu banyak realitas di depan mata masyarakat tentang
kebobrokan mental dan moralitas bangsa ini. Pakar hukum/praktisi
hukum melanggar hukum, pakar pendidikan tidak mampu mendidik
dirinya, counselor tidak berdaya mengcounseling dirinya, para pejabat
pemegang otoritas bertindak sewenang-wenang: perselingkuhan,
perampokan uang negara, ketidakadilan, penggunaan barang haram
oleh orang-orang yang mesti memberikan teladan, dll. Mengantisipasi
hal itu, pengembangan pendidikan karakter mutlak perlu dilakukan
secara efektif, komprehensif, dan kontinuitas dengan menggunakan
rujukan Niticastra. Hasil penelitian Daniel Goleman menyatakan bahwa
keberhasilan seseorang di masyarakat 80 % dipengaruhi kecerdasan
emosi dan 20 % IQ.
Implementasi ini layaknya dimulai dari para pejabat dengan
menjadikan dirinya sebagai teladan yang dapat ditiru dari pikiran,
ucapan, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan
ini akan terealisasi apabila setiap ucapan dan perilakunya selalu
dicermini oleh nilai-nilai spiritual, pendidikan moral, dan keteladanan
dari Niticastra. Hal ini penting, karena di India pun (India kuna),

379
termasuk juga di Indonesia kitab-kitab Niticastra adalah kitab-kitab
yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum
(Daluang, 2012). Jika keteladanan ini sudah diawali oleh para pemimpin
dan para tokoh, secara perlahan menurun ke lembaga pendidikan dan
terjadi alur yang sejalan.

7. Penutup
Berdasarkan paparan di atas, pendidikan karakter sangat
penting diberikan di lembaga pendidikan dalam kehidupan masa
kini karena dalam pendidikan karakter yang berbasis pada kebijakan
lokal seperti pengimplementasian nilai-nilai Niticastra sebenarnya
terdapat kandungan ajaran pendidikan moral (moralitik-didaktik) dan
keteladanan. Implementasi ajaran ini mampu (a) mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar berhati baik, berpikiran baik, dan
berprilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang
multikultur dan saling menghormati; (3) meningkatkan peradaban
bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter
jangkauannya sangat luas yakni terkait dengan kecerdasan berpikir,
emosional, sosial, dan spiritual, yang mengarah pada kebaikan dirinya
dan kebaikan pada orang lain. Pendidikan karakter merupakan suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah maupun
luar sekolah yang meliputi komponen-komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut. Jadi, konsep pendidikan karakter sangat-sangat ideal
bila diterapkan dalam mengantisipasi perkembangan global dan
pembinaan mental spriritual manusia Indonesia yang kian memudar.

DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan, dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran.
Jakarta: Prestasi Pusaka.
Bali Post. 2012, 4 Desember. Kolom Figur: Pembentukan Karakter.
Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Dantes, Nyoman. Pendidikan Profesi Guru dan Kompetensi Program
Akademik (S1) pada Universitas Perluasan Mandat. Makalah dalam
Workshop Pengembangan Kurikulum Pendidikan Profesi Guru (PPG)
Prajabatan 13-14 Maret 2009.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Echols, John and Shadily, Hassan. 1992. Kamus Inggris-Indonesia ‘An English-
Indonesian Dictionary’. Jakarta: PT Gramedia.
Gautama, Wayan Budha. 1990. ‘Kakawin Niticastra’. Tt. penerbit.
Hakikat dan Pengertian  Pendidikan Posted on 8 November 2008. Diambil dan
Adaptasi dari: Tata Abdulah. 2004.

380
Pustaka Daluang. Saturday, January 7, 2012. Merunut kembali helai per helai
lembaran kelam masa silam. Nitisastra.
Kompas. Opini, 17-12-2011 Rejuvenasi Kearifan Lokal
Pitoyo, Joko. Ajaran Moral dalam Serat Nitisastra. Dalam Internet.
Tegeh, I Made. 2010. Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi
Menuju Pribadi yang Unggul. Orasi dalam Rangka Dies Natalis ke-IV
Undiksha Singaraja.
Trianto. 2010. Mengembangkan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Wahid, Abdul Hamid. Perlu Konsensus Nasional Nilai-nilai Pendidikan Karakter.
Diunggah oleh Administrator pada Senin 23 Mei 2011.

pustaka daluang
Merunut kembali helai per helai lembaran kelam masa silam.. Semoga kian
ke hari memberi makna dan semangat bagi insan bhumi pertiwi

Saturday, January 7, 2012


Nitisastra

Nitisastra karya Raden Mas Ngabei Poerbatjaraka Raden Mas Ngabei


diterbitkan Bale Poestaka- Batavia tahun 1940; Kakawin Nitisastra yang tak
dikenal penggubahnya ini, merupakan kakawin moralistis-didaktis. Kakawin
ini zaman dahulu sangat termasyhur di pulau Jawa dan sekarangpun masih
di Bali. Pada abad ke-18 M ada versi dalam Bahasa Jawa Baru, digubah
dengan judul Serat Panitisastra.
Di India kuna, kitab-kitab Niti-
Sastra adalah kitab-kitab yang
mengandung kebijaksanaan
hidup dan pelajaran secara
umum. Nama ini dengan kata
lain adalah nama umum atau
generik. Dalam bahasa Jawa
kuna, pengertiannya juga mirip.
Jika seseorang membicarakan
Niti-Sastra, belum tentu merujuk
pada kakawin ini.

381
MENGENALI KEBERADAAN BAHASA
DAERAH SAAT INI DAN CIRI
PEMANGKUNYA
I Nengah Martha
Undiksha Singaraja

1. Pendahuluan

A khir-akhir ini di Bali, muncul kecenderungan bahwa, keluarga


dari pasangan baru/muda menggunakan bahasa Indonesia untuk
anak-anak mereka dalam rumah tangga. Hal ini tidak hanya terjadi
pada pasangan yang berbeda etnik, beda kewarganegaraan, dan beda
kasta, tetapi juga pada pasangan yang sama etnik dan sama kasta.
Umumnya, pengalihan pemakaian bahasa Bali ke bahasa Indonesia
ini dilakukan oleh pasangan-pasangan yang tinggal di kota, kaum
urban, berpendidikan lumayan, status ekonomi cukup. Pengalihan
pemakaian bahasa Bali ke bahasa Indonesia mereka lakukan dengan
berbagai alasan, misalnya:
1) untuk memudahkan anak mereka memasuki bangku sekolah,
karena di sekolah digunakan bahasa Indonesia,
2) untuk memudahkan anak mereka melakukan komunikasi dengan
orang yang berbeda etnik,
3) untuk memudahkan anak mereka bisa memahami isi informasi
yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik.
Selain alasan di atas, ada alasan lain yang lebih menyedihkan,
misalnya:
1) untuk memberikan impresi lebih bergengsi,
2) untuk memberikan kesan lebih terdidik,
3) untuk memberikan kesan keberhasilan ekonomi, dan perbedaan
status,
4) untuk memberikan kesan tidak kampungan dan katrok.
Rantai pengalihan pemakaian bahasa ibu (bahasa Bali) ke bahasa
lain (bahasa Indonesia) secara terus-menerus dan berdegerasi ini dapat
mengancam kelestarian bahasa Bali. Sebagaimana diketahui, punah
atau matinya sebuah bahasa, terkait sangat erat dengan punah atau
hilangnya pemakai bahasa bersangkutan. Proses punah atau matinya
sebuah bahasa adalah sebagai berikut.
1) Awalnya terjadi kontak bahasa. Masyarakat yang mulanya
monolingual menjadi bilingual atau multilingual.
2) Kemudian bahasa yang lama (daerah) dan bahasa yang baru itu
hidup berdampingan secara “damai”. Pemilihan bahasa yang

382
dikuasai penutur pada dasarnya adalah menurut keperluan.
Untuk komunikasi sesama etnik dipakai bahasa yang lama
(bahasa etnik itu), dan untuk berkomunikasi antaretnik digunakan
bahasa yang baru.
3) Lama-lama timbul preferensi (pemilihan) penggunaan bahasa.
Bahasa yang dianggap lebih “bergengsi” mereka gunakan
untuk ranah tinggi (misalnya: pemerintahan, politik, ekonomi,
pendidikan, ilmiah). Sementara itu, bahasa yang dianggap “biasa”
digunakan untuk ranah rendah (misalnya: rumah tangga, santai,
pergaulan, kekerabatan).
4) Kemudian terjadi kebocoran diglosia. Artinya, bahasa yang
dahulu dipergunakan untuk ranah tinggi juga dipakai untuk
ranah rendah (misalnya: rumah tangga).
5) Akhirnya bahasa yang digunakan untuk ranah rendah kehabisan
penutur, dan bahasa tersebut dengan sendirinya akan menjadi
punah atau mati. Di sini biasanya sudah terjadi pergeseran
bahasa (code switching). Artinya bahasa yang lama (daerah) sudah
tergantikan oleh bahasa yang baru (disarikan dari Gunarwan,
2007).
Selain pengalihan (dengan sadar ?) pemakaian bahasa Bali
di dalam keluarga, ciri-ciri anak sebagai pewaris/pemangku bahasa
daerah, juga tidak kalah mengkhawatirkan, terutama dilihat dari sudut
pandang: 1) pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning) bahasa
anak, 2) ciri usia anak, 3) ciri gaya kognitif (cognitive style) anak, dan 4)
ciri afektif anak. Keempat ciri yang juga tidak kalah mengkhawatirkan
terhadap eksistensi bahasa daerah tersebut, akan dipaparkan berikut
ini.

2. Ciri-ciri Pemangku Bahasa Daerah yang Mengkhawatirkan


Eksistensi Bahasa Daerah

2.1 Ciri Pemerolehan (Acqusition) dan Belajar (Learning) Bahasa Anak


Dengan dialihkannya penggunaan bahasa daerah di
lingkungan keluarga, maka anak tidak memiliki pajanan (exposure)
sebagai input dalam proses pemorehan bahasa (language acquisition).
Sebagian besar penguasaan bahasa daerah dari anak didapat melalui
proses pemerolehan. Cara penguasaan bahasa melalui proses
pemerolehan ini diyakini memiliki kelebihan daripada melalui
pembelajaran (learning), karena:
1) Jika bahasa daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama digunakan
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, maka anak akan

383
memperoleh pajanan (exposure) yang terus-menerus tentang
bahasa itu.
2) Penguasaan bahasa akan lebih mudah jika dilakukan dalam
lingkungan bahasa dan lingkungan budaya dari bahasa yang
hendak dikuasai.
3) Anak akan memahami bahasa dan budayanya lebih baik, karena
mereka ada dalam lingkungan bahasa dan budaya yang hendak
dikuasai.
4) Penguasaan bahasa kedua (B2) tidak seberhasil penguasaan
bahasa daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama, jika bahasa
daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama digunakan dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
5) Anak mendapatkan penguasaan bahasa tanpa sadar melalui
berinteraksi dengan penutur asli (native speaker).
6) Penguasaan bahasa diperoleh secara spontan/serta merta,
karena lingkungan memungkinkan bila bahasa daerah tersebut
digunakan dalam keluarga.
Jadi, dalam situasi pemerolehan (acquisition), anak akan
mendapatkan pajanan pemakaian bahasa setiap saat, sehingga setiap saat
mereka memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuan
berbahasa mereka. Lingkungan informal dalam penguasaan bahasa
ini, ternyata dapat membantu anak dalam penguasaan bahasa ibunya
(Krashen, 1983). Namun dalam kasus di atas, orang tua anak sudah
menghilangkan lingkungan informal penguasaan bahasa Bali ini,
dengan menggantikannya pada pemakaian bahasa Indonesia.
Jika penguasaan bahasa daerah dilakukan dalam setting
sekolah, artinya dilakukan melalui pembelajaran (learning); maka
penguasaan bahasa hanya bisa dilakukan dalam satuan: isi (content),
waktu, dan pertemuan. Hal ini tentu tidak memadai untuk maksud
penguasaan bahasa secara komprehensif. Diperlukan isi pelajaran
dan waktu yang cukup untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan untuk
pergiliran latihan (practise). Sementara itu, pengajaran bahasa Bali di
sekolah hanya dilakukan dalam waktu 2 jam pelajaran (35 menit x 2 di
tingkat SD). Ini tentu tidak cukup untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan
untuk pergiliran latihan (practise) dalam rangka penguasaan bahasa
Bali yang komprehensif. Hanya dalam beberapa aspek keterampilan
berbahasa tertentu saja (morfologi, sintaksis), lingkungan formal
penguasaan bahasa ini (sekolah) dapat meningkatkan kemampuan
berbahasa anak (Ellis, 1986).

384
2.2 Ciri Usia Anak
Ada usia optimal/periode kritis atau periode sensitif dalam
penguasaan bahasa (Lenneberg, 1969 dalam Purwo, 1985 ). Penguasaan
bahasa secara alamiah dapat terjadi hanya selama periode kritis.
Kemampuan anak yang lebih besar dalam penguasaan bahasa dapat
dijelaskan dari plastisitas yang lebih besar dari otak anak itu. Rusak
pada bidang ujaran anak, masih bisa menguasai bahasa kembali. Bagi
anak-anak, hemisferektomi kiri/kanan untuk luka yang diperoleh
sebelum usia 10 tahun tidak mengakibatkan afasia. Krashen (1983)
juga menyatakan bahwa, kasus hemisferektomi kiri yang terjadi pada
anak-anak yang berumur 5 tahun, tidak mengakibatkan gangguan
ujaran.
Dalam kaitan usia peka bahasa, Lenneberg (1969, dalam
Purwo, 1985 ) mengajukan istilah “laterasisasi”. Lateralisasi adalah
pertumbuhan pada otak anak yang terjadi secara perlahan yang
dimulai dari usia 2 tahun sampai menjelang masa pubertas (15 tahun).
Pada masa ini terjadi pengkhususan fungsi otak kanan dan otak kiri.
Otak kiri berfungsi memeroses input bahasa. Pada usia ini, otak anak
sangat lentur. Karena itu, kepekaan bahasa mereka sangat tinggi.
Anak-anak pada usia ini amat mudah menguasai bahasa yang ada
dalam lingkungannya sebagai pajanan (lingkungan keluarga).
Dengan pemajanan (exposure) dalam lingkungan pemakaian
bahasa dan tanpa bimbingan secara khusus, anak-anak akan dapat
menguasai bahasa tersebut dengan baik seperti penutur asli. Setelah
masa pubertas, terjadi penyebelahan fungsi otak. Pada waktu itu, otak
sebelah kiri dikhususkan sebagai pengolah bahasa. Dengan demikian,
otak sudah tidak lentur lagi dan kepekaan bahasa sudah berkurang.
Oleh karena itu hasil penguasaan bahasa setelah masa pubertas tidak
sebaik seperti sebelum masa pubertas (Purwo, 1985).
Dalam kaitannya dengan kecepatan anak dalam penguasaan
bahasa sebelum masa pubertas, Asher dan Garcia (1969) menyatakan
bahwa, anak-anak kelihatan lebih mudah dalam mencapai aksen
seperti penutur asli (native speaker).
Jadi, bila orang tua anak sudah menggantikan pajanan bahasa
daerah (Bali) dengan bahasa Indonesia di rumah tangga, berarti
anak kehilangan periode kritisnya atau masa peka bahasanya untuk
menguasai bahasa daerahnya. Boleh dikatakan bahwa modus
ini merupakan upaya sengaja dari orang tua untuk mengurangi
kemampuan anak dalam menguasai bahasa daerahnya.

385
2.3 Ciri Gaya Kognitif (Cognitive Style) Anak
Gaya kognitif adalah perbedaan individu dalam
mengorganisasikan dan memungsikan kognitifnya. Jadi anak memiliki
kecenderungan yang khas bagaimana ia mempersepsi lingkungannya
dan memaknai sesuatu sebagai landasan dalam mengorganisasikan
dan memeroses informasi ketika ia belajar.
Ada tiga kelompok gaya kognitif dalam kaitan penguasaan
bahasa, yakni: 1) independen dan dependen konteks, 2) refleksivitas
dan impulsivitas, dan 3) keluasan kategori : luas dan sempit.

1) Independen dan Dependen Konteks
Anak yang memiliki gaya kognitif independen konteks,
cenderung mencicil pengenalan dan pemahaman unsur lingualnya
(misalnya: kosakata). Anak sering menanyakan “Apa ini Bu?”, “Apa
itu Pa?”, “Ini apa namanya?”, “Itu apa namanya?” Jawabnya akan
menjadi satu kata, satu kata. Anak tidak melihat kata itu dengan
kata lain dalam struktur bahasa yang lebih besar (misalnya: wacana
singkat). Sementara itu, anak yang memiliki gaya kognitif dependen
konteks akan mengenali dan memahami unsur lingual itu dalam
konteks yang lebih luas atau konteks pemakaiannya. Pertanyaan anak
yang sering muncul, misalnya: “Pisang goreng itu apa, bagaimana
cara membuatnya”?, “Kuda itu kakinya berapa, mengapa dipakai
menarik pedati?” Jawabnya akan berupa uraian atau narasi yang lebih
panjang.
Anak yang memiliki gaya kognitif independen cenderung memiliki
orientasi sosial, empati, dan persepsi yang lebih besar (Brown, 1980).
Pada tahap awal penguasaan bahasa ibu, anak golongan ini akan lebih
baik, karena ia akan memusatkan perhatiannya pada unsur lingual
yang dianggapnya relevan saja. Sementara itu, anak yang memiliki
gaya kognitif dependen, lebih menunjukkan kemampuan bahasanya
pada aspek-aspek yang bersifat komunikatif, karena perhatiannya
pada bahasa bersifat global. Kedua gaya ini diperlukan pada tahap
awal pembelajaran dan penguasaan bahasa ibu anak.

2) Refleksivitas dan Impulsivitas


Anak yang memiliki gaya impulsif cenderung menanggapi input
bahasa lebih cepat, lebih spontan, dan untung-untungan. Sementara
anak yang memiliki gaya reflektif cenderung merespon lebih lambat
dan lebih diperhitungkan. Anak bergaya impulsif lebih berani dalam
menampilkan kemampuan bahasanya, meskipun apa yang ditampilkan
itu mengandung kesalahan. Tingkat impulsivitas yang tinggi bisa

386
merusak penguasaan bahasa. Karena itu, anak yang memiliki gaya
impulsif perlu dikendalikan dalam belajar dan penguasaan bahasanya.
Sementara itu, anak yang bergaya reflektif cenderung lebih awas
terhadap kualitas performansinya. Karena itu penampilan bahasanya
lebih tepat dan lebih baik. Kedua gaya ini juga diperlukan pada tahap
awal pembelajaran dan penguasaan bahasa ibu anak.

3) Keluasan Kategori : Luas dan Sempit


Bentuk-bentuk lingual memiliki kemungkinan digunakan secara
berulang-ulang dalam pemakaian bahasa, misalnya imbuhan (prefiks,
infiks, sufiks) dan kata. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa itu
memiliki derivasi dan infleksi. Anak yang memiliki gaya kognitif
kategori luas, akan mengembangkan hipotesisnya seperti, “bentuk-
bentuk lingual akan ajeg (konsisten) digunakan seperti itu juga dalam
berderivasi dan berinfleksi”. Dengan demikian ia akan melakukan
analogi dan generalisasi. Oleh karena bahasa itu tidak selalu regular,
tetapi juga ada yang iregular, maka bentukan analogi dan generasisasi
yang ia hasilkan bisa menjadi salah. Kesalahan ini yang disebut
over- generasisasi (over generalization). Namun dalam belajar dan
penguasaan bahasa pada tahap awal, kemampuan melakukan analogi
dan generalisasi ini diperlukan untuk mengembangkan keberanian
dan kemampuan berbahasa anak.
Anak yang memiliki gaya kognitif kategori sempit melihat
wujud lingual dalam bahasa itu butir per butir, kasus per kasus. Ia
berpandangan bahwa, setiap butir lingual pada bahasa itu khas.
Anak kurang berani beranalogi dan membuat geralisasi. Karena itu,
performansi dan pemakaian bahasanya cenderung lebih cermat.
Gaya kognitif kategori luas maupun sempit pada anak, perlu
dikembangkan sejak dini, karena gaya kognitif tertebut menjadi
strategi bagi anak dalam upaya belajar dan menguasai bahasa.
Kesimpulannya, apabila orang tua menggantikan penggunaan
bahasa daerah di dalam keluarga dengan bahasa lain, ini berarti orang
tua merampas kesempatan anak untuk mengembangkan gaya-gaya
kognitifnya, sebagai upaya dan strategi anak dalam menguasai bahasa
ibunya sejak dini.

2.4 Ciri Afektif Anak


Ciri afektif anak yang perlu mendapat perhatian pada awal
pembelajaran dan penguasaan bahasa adalah ekstroversi dan empati.
Anak yang ekstrovet sering dikenali sebagai anak yang ramah
(outgoing), petualang (adventuresome), banyak bicara (talkactive), suka

387
bergaul (siciable). Karena cirinya yang demikian, anak ekstrovet
yang ditangani sejak dini dalam pemerolehan bahasa ibunya, maka
ia akan menjadi pemakai bahasa yang amat berhasil (Brown, 1973).
Tucker (dalam Brown, 1973) melaporkan, ada korelasi positif anak
yang berkepribadian ekstrovet dengan kemampuan menyimak
dan bicaranya dalam komunikasi interpersonal. Busch (1982) juga
melaporkan terdapat korelasi positif antara ekstroversi dengan
kemampuan komunikatif dalam bahasa Inggris. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa, keberhasilan dalam kemampuan berkomunikasi lisan
(simak – bicara) ini disebabkan oleh karena anak yang ekstrovet
tersebut sensitive, banyak bicara (talkactive), dan suka bergaul (siciable),
sehingga ia akan mempraktikkan bahasa yang ada di lingkungannya.
Oleh sebab itu, anak yang berkepribadian ekstrovet ini perlu ditangan
dengan baik oleh orang tuanya, agar kemahiran berbahasa ibunya
berkembang dengan sempurna.
Empati didefinisikan sebagai “the ability to put oneself in another’s
shoes” (kemampuan untuk menempatkan diri dalam diri orang lain).
Jadi, empati merujuk kepada proyeksi kepribadian diri sendiri ke dalam
kepribadian orang lain agar dapat memahaminya lebih baik (Brown,
1973). Karena sifat empatiknya yang tinggi dan keingintahuannya yang
tinggi tentang keadaan orang lain sambil mencecar dengan pertanyaan-
pertanyaan, maka anak yang memiliki kepribadian empatik ini akan
memiliki kemampuan menguasai bahasa sangat baik, khususnya
dalam pengucapan. Kelompok studi tentang empati, yakni Standard
Thai Procedure = STP juga melaporkan bahwa, hubungan antara empati
dengan kemampuan pengucapan memang ada. Kapasitas empatik ini
akan makin menghilang dalam proses pendewasaan. Jadi, harusnya
orang tua jangan sampai kehilangan masa/periode empati ini dalam
mengembangkan kemampuan berbahasa ibu anak, dengan cara tidak
menggantikan bahasa ibu anak dengan bahasa lain dalam keluarga.

3. Penutup
Menggantikan pemakaian bahasa daerah dalam keluarga untuk
anak-anak, membawa konsekuensi bagi kelestarian bahasa daerah itu.
Pro – kontra tentang hal ini telah muncul sejak lama dalam seminar-
seminar. Mereka yang pro membawa alasannya sendiri, demikian
pula yang kontra. Namun jika kita melihat dari bagaimana anak
mendapatkan/memperoleh bahasanya dan jati diri (eksistensi) anak
sebagai pemangku/pewaris bahasa daerah dan juga budaya, kita
akan melihat adanyanya potensi yang terabaikan dalam upaya kita
memahirkan anak menggunakan bahasa daerahnya. Potensi yang

388
diabaikan atau tidak dimanfaatkan oleh orang tua tersebut adalah:
1) pajanan (exposure) bahasa daerah, karena bahasa daerah sudah
digantikan dengan bahasa lain,
2) periode kritis atau masa sensitif dalam penguasaan bahasa
daerah anak,
3) gaya kognitif anak dalam belajar dan menguasai bahasa
daerahnya, karena gaya kognitif anak pada usia muda sedang
bertumbuh dengan sangat baik,
4) ciri ekstrovet dan empati anak yang sangat membantu dalam
menguasai bahasa daerahnya.
Jadi, apabila pengalihan penggunaan bahasa daerah itu
dilakukan secara terus-menerus dan berdegenerasi, maka kita tidak
hanya akan kehilangan bahasa daerah, tetapi juga budaya, sebab
bahasa inheren dengan budaya. Kepunahan budaya secara umum,
juga tidak jauh berbeda dengan kepunahan bahasa, yakni:
1) Awalnya, masyarakat primordial mengenal satu budaya
yang menjadi pedoman normal (lumrah, umum) prilaku
masyarakatnya.
2) Lama-lama terjadi kontak budaya. Masyarakat yang dulunya
monokultural menjadi bikultural atau multikultural.
3) Akhirnya kedua sistem kebudayaan itu terpolarisasi. Artinya,
ada budaya yang dijadikan pedoman prilaku tinggi, dan ada
budaya yang dijadikan pedoman prilaku rendah.
4) Sejajar dengan istilah diglosia dalam pemakaian bahasa, di
dalam kajian budaya terdapat istilah dinomia, yaitu situasi yang
melibatkan dua sistem budaya, yang satu berfungsi sebagai
pedoman prilaku tinggi, dan yang lain berfungsi sebagai
pedoman prilaku rendah.
5) Sebagaimana di dalam diglosia terjadi kebocoran/ketirisan, di
dalam dinomia juga terjadi kebocoran/ketirisan. Hal ini terjadi
jika dan bila prilaku yang dahulunya dipakai budaya lama
sebagai pedoman, sekarang atau kemudian digunakan budaya
yang baru sebagai pedoman. Seperti juga kebocoran/ketirisan
diglosia yang mengisyaratkan kepunahan bahasa, kebocoran
dinomia mengisyaratkan kepunahan budaya.

4. Rujukan
Asher, J. and R. Garcia. 1969. The Optimal Age to Learn a Foreign Language.
The Modern Language Journal. Vol. 53, 1969, p. 34 – 41.
Brown, H. 1980. Principles of Language Learning and Teaching. London:
Englewood Cliffs.
Brown, H. Affective Variables in Language Acquisition. Language Learning.

389
Vol. 23, 1973, p. 31 – 44.
Busch, D. Introversion – Extroversion and EFL Proficiency of Japanese
Students. Language Learning. Vol. 32, 1982, p. 19 – 32.
Ellis, R. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford
University Press.
Gunarwan, A. 2007. “Dampak Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah terhadap
Nasionisme dan Nasionalisme: Tinjauan Sosiologi Bahasa” Makalah
Kongres Linguistik Nasional XII, Surakarta, 3 – 6 September 2007.
Krashen. S. 1983. Second Language Acquisition and Second Language Learning.
Oxford: Pergamon Press.
Purwo, K. B. Ancangan Psikolinguistik: Sebuah Sumbangan Pikiran bagi
Penyusunan Bahan Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.
Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, No. 4, Th. 6, Desember 1985, hal.
240 -246.

390
THE KAROOSHI PHENOMENON IN JAPAN

Kadek Eva Krishna Adnyani


Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

A. Background

E veryone knows Japan. The country which has lack of natural


resources but still grew into economically strong country. In 2004,
Japan’s GDP reached 4588.2 billion U.S. dollars while Average national
income per capita for Japan was 28. 657 U.S. dollars. This value is
almost the same as France (28.297 U.S. dollars) and Germany (28
473 U.S. dollars), but lower than the UK (32 673 U.S. dollars) and the
United States (34 958 U.S. dollars). Japan’s economic growth is quite
stable at 2.3% in 2004 and rose 2.6% in 2005 (Statistics Bureau MIC,
2006 in www.stat.go.jp /English).
Many things must be sacrificed to get the sensational
achievements in the field of economics as practiced by the Japanese.
The Allies as the victors of World War II provide a constraints on Japan,
especially for its military growth. That is the reason why the Japanese
government mainly focused on the development of their economies.
The Japanese work as hard as possible to rebuild the Japanese economy.
Consciously or not, to meet the urgent needs, Japan has to work very
hard to build its economy as soon as possible and in this case means to
impose a heavy work, both on the public mind and in reality.
In some case, it is seems like this economic resurgence wants to
repeat the glory of Meiji Restoration. The difference is in the restoration,
the Japanese tried to face the challenges of the progress of western
civilization, while in the post World War II they tried to get out of the
economic slump. Surprisingly, the result of this economic resurgence
was higher the estimated, as in the mid 1990’s Gross National Product
(GNP) was up to U.S. $ 37.5 billion and its economic position one level
below the Swiss who have the highest GNP in the world. In addition to
Japan’s GNP, standard of living of its people is also fairly high. Japan
has a low rate of inflation and low rate of unemployment. In addition,
their education and health service is also one of the best in the world.
Hence all the people of Japan have been free from illiteracy (http://
www.education-in-japan.info/sub1.html#sub1r3).
To achieve such a high standard of living, the Japanese companies,
demanding that each employee has a strong resistance and are able to

391
master the skills which needed within the company. Demands from
the company to the Japanese is actually not that difficult to implement
considering that they have a variety of basic ethical, moral, character,
thought, and even the spirit of hard work.
Bushido ethics, which consists of three main elements of the
Japanese philosophy, Shintoo, Buddhism, and Confucianism, which
previously honored by the samurai (knights of feudal Japan) is still
applied in the world of work by the Japanese.
In addition to this concept of ethics, the Japanese people also tend
to maintain their prestige in various occasions. This makes them not
want to just give in and lose face, they will continue to strive to be the
preserve of the things they are proud of. Most Japanese still hold the
belief that they are descendants of the god Amaterasu, the supreme
god in their beliefs. Human pride as descendants of the gods is coupled
with the defeat of the Mongols in the event that occurred twice in 1174
and 1180. The Japanese regard this as a relief from the gods because
the gods of wind (kamikaze) has brought a storm to protect them from
the invasion of the Mongols.
Followed later by the arrival of the Europeans who in the eyes
of Japanese society, are big, hairy, and acting-abusive behavior. A
barbarian who does not have the decency and the smooth and orderly
behavior. The pride of Japan was collapse as they suffered defeat
in World War II. They are defeated and lose face in the eyes of the
world. However, ten years later they rediscovered their pride through
economic development and rapid technological and became the top
country in Asia.
The thrust of the company was no less harsh. Through the
company’s management system, these employees continue to be
given the pressures to boost their morale in the work. Start from their
graduation from the educational program, recruited by the company
with certain systems such as for example, the recommendation of
seniors who have worked in the company.
Instilled in them the purpose and philosophy of the company with
a variety of activities, so they work in a room that is arranged in such a
way (in one big room) so that the contact between super ordinates and
subordinates is still maintained. With this management, workers were
controlled strictly.
With a variety of ethics and the concept of Japanese employees
who do not feel overwhelmed when they have to do the heavy work in
the long term, the problems that arise later is in terms of psychological
and health of these employees. They have a wide range of health and

392
psychological problems related to the quality and quantity of their
work. Many of those are stressed or even die in their productive age.
Young employees continue to be pressed to achieve the desired target.
However, on the other hand they are not aware of the consequences
they will endure.

2. The Emergence of Karooshi


In 1969 Japan’s population began to realize the result of over hard
work when they faced the death of a 29-year-old worker at a distribution
company in Japan’s largest newspaper. Later it was discovered that
the worker has to work beyond working hours set by the government.
It was adversely affecting her health, because at a young productive
age, he has died of Coronary Heart Disease (CHD / coronary heart
disease).
As time goes by, the number of victim start to rise. During the
Bubble Economy in the 1980’s, it was known that these victims actually
came from a relatively young employee of top-level executives, who
suddenly died from a disease which usually attack old people. The
media began to highlight them as a new phenomenon and people
immediately gave the title to this event with karooshi. As attention
to the public, Japan’s Ministry of Labor began publishing the first
statistics of karooshi in 1987. In that year recorded twenty-one cases
had risen to twenty-nine cases in 1988, and thirty cases occurred in
1989 (http://www.apmforum.com/columns/boye51.htm).
In 1988 founded the first board of trustees consisting of lawyers
and doctors who take care of the karooshi problem. The council
estimates that more than ten thousand people dying from too much
work in 1990. Subsequent years begin to set up similar institutions
in each prefecture in Japan to receive complaints and consultation
on cases karooshi. There is a hotline phone number to call, making it
easier for people to consult. On the internet there are a lot of forums
that discuss the problem of karoshi in attempt to prevent it.

3. Diseases Associated with Karooshi


Karooshi is a Japanese term to refer to death from exhaustion
due to overwork. From the arrangement of kanji shape 過労死, can
be interpreted that karooshi is death by overwork (Karooshi Jishi
Soudan Center, Uehata Taihyou to no Intabyuu, www.Karooshi.jp).
Karooshi first case occurred in 1969 with the death of a 29-year-old
male worker who works at a distribution company in Japan’s largest
newspaper at that time. As the development of industry in Japan, and

393
the changing patterns of employment, karooshi not just attack full
time regular workers, but also attacked the part-timer (Kooji, 2004: 7).
Most cases are caused by heart disease and stroke. Diseases that
are a factor of karooshi according to a study released in 1997 was
subarachnoid hemorrhage (blood circulation to the brain disorder) as
much as 18.4%, cerebral hemorrhage (circulatory disorders of the brain)
reached 17.2%, cerebral thrombosis or infarction (brain damage due
to lack of blood supply) of 6.8%, myocardial infarction (heart muscle
damage due to lack of blood supply) reached 9.8%, heart failure (heart
failure) as much as 18.7%, and for other reasons as much as 29.1%.
Along with public awareness of the event, then the Japanese
Ministry of labor began to publish first karooshi statistics on 1987.
Meanwhile, the diseases associated with karooshi recorded and
published as in the following table:

Mortality trend tables by Cause of Death 1925-1988


Sources: Health and Welfare Statistics in Japan 1990, Health and Welfare
Statistics Association

It can be seen from the table above, that the amount to a


circulatory disorder of the brain associated with karooshi increase
in the 70’s and started declining in the late 80s. Meanwhile, it
is continued to increase heart attack when entering the 80’s.
The total case reported by Karooshi Hotline National Network,
between 1988 to 1999 is 3501 cases and divided according to the
following reasons:
Impaired blood circulation in the brain: 479 cases (13.7%)
Impaired blood circulation to the brain: 740 cases (15%)
Damage to blood vessels: 214 cases (6.1%)
Heart damage to blood vessels: 358 cases (10.2%)
Heart Failure: 527 cases (15.1%)Μ
Suicide: 330 cases (9.4%)Μ
Others: 1.105 cases (31.6%)Μ

394
The increasing number of cases occurred in 2001 karooshi of
which 96 cases were recognized as karooshi. Increase in the
number of cases is recognized and compensated result of changes
in the criteria used to identify cases karooshi government.
Karooshi victims’s heirs can get compensation from the
government and the company where they worked. They could receive
compensation around U.S. $ 20 thousand per year from the government
and even sometimes there are some companies that are willing to pay
up to U.S. $ 1 million. Perhaps because of the compensation for it, since
the early 1980s karooshi deaths that claimed the government continues
to increase so that some had been rejected by the court. In 1988 claims
paid by the government to the heirs of karoshi reach 4 percent. The
figure was later increased to 40 percent in 2005 (the "Jobs for life", The
Economist, and December 19, 2007 inhttp://www.stockxpert.com/
browse.phtml?f=view&id=7659251).
To identify karooshi cases and patients who can get the
compensation, the Japanese government issued the “Standards to
identify the heart and brain disease” which was amended in 1995. In
2000, the criteria used to identify the diseases which trigger karooshi
has changed. At first, one thing to consider is the working conditions
of employees a month before the initial symptoms of heart disease
and brain were detected. In February 2000, the identification period is
extended to six months before the initial symptoms are identified.
Now many Japanese companies are overwhelmed by Karoshi.
Late November, the petition claims of Karoshi from Kenichi,
Uchino’s wife who works in Toyota granted by the Nagoya District
Court. Uchino found dead at 4 am on one day in 2002 at the age of
30 years. He left two children aged three years and one year. Since
the six months before he died, Uchino has spent more than 80 hours
to work overtime every month. “One thing that makes me happy is
when I can sleep,” says Uchino told his wife, a week before he died.

4. The characteristics of High-Risk Employees Experiencing Karooshi


The following are characteristics of employees who are at high risk
karooshi (www. karoshi.jp):
Working more than 10 hours a day
Keep working during the holidays
Working late into the night or early morning
The relationship is not harmonious with the boss or co-workers
Not married
Smoking
A lot of drinking alcohol
Often skip breakfast in the morning

395
Sleeping less than 5 hours
Eat a lot of fatty foods
Travel to / from the office spent more than two hours
Rarely exercise
Suffering from obesity
Tired quickly
Often suffered sudden headache

5. Conclusions
The ability of an employee in his work is focused on the impact
of various factors, both internal and external. Most of the external
factors that encourage them to work harder are from policies issued
by the company. Companies around the world would want a good
performance of the employee by financial or nonfinancial reason.
An impulse provided by the company and the work environment is
impacting on employee who in turn spends their best times to raise a
company.
The company implemented a variety of methods such as recruiting
fresh graduate employees in order to manipulate their ideology to fit the
vision and mission of the company or the use of lifetime employment
contract to bind the employee to provide a wide range of bonuses to
stimulate their morale. All the strategies that companies use is a useless
plan if it does not pay attention to employees’ health conditions.
Japanese companies are companies in the world who are lucky enough
to get their human resources as people who are resilient and dedicated.
Supported by the strategies they have, as well as the social conditions,
it is make the company can easily get the best human resources that
can work very well.
Bad effects gradually felt by Japanese workers. Their ability
to focus their work is ended up with their physical sacrifice. At the
productive ages, they are attacked by a disease that primarily affects
the elderly. Pressures they received from a job has get them blood
circulation problem. Stress and fatigue that they ignore gradually
accumulate and affect their health. All of this health problem is in
order to achieve the targets that they expect.

Bad impacts of health and stress they experience when entering the
world of regular employment ultimately lead to greater interest in
non-regular works. Part-timer and Freeter keep continue to increase at
the end of the twentieth century. At 90’s it is a turning point for these
workers to change their direction to cultivate a more flexible world.

396
But in fact, even though the people who enter the non-regular work
continue to increase, regular job applicants number is still very high.
There are many reasons why they are still interested in regular
employment. Predictable financial security is one reason that pops
up. The condition of external and internal factors of an employee is
ultimately encouraging employees to work harder. Employees are able
to focus their work and achieve its goals to forget about their physical
condition. Karooshi cases are still happening. Fears of self, family or
the environment against attacks karooshi still quite high when viewed
from the number of consultations who consultate on the karoshi
hotline.

BIBLIOGRAPHY

Cole, Robert E. 1971. Japanese Blue Collar: The Changing Tradition, California:
University Of California Press.
Gill, Tom. 2001.Men of Uncertainty. New York: State University of New York
Press.
Henshall, Kenneth G. 2002. Dimensions of Japanese Society: Gender, Margins, and
Mainstream. New York: Palgrave Macmillan.
Henslin, James M. 2008. Sociology: A Down-to-earth-approach. USA: Pearson.
and AB.
Plath, David W. 1983 . Work and Life course in Japan. New York: State University
of New York Press.
Website: Www. karoshi.jp http://www.apmforum.com/columns/boye51.htm
http://rusdimathari.wordpress.com/2007/12/26/karoshi-alias
%E2%80%9Cbunuh-diri%E2%80%9D-untuk-perusahan/
www.stat.go.jp/english

Suicide Surge Triggered by Overwork in Japan (Oral Presentation Text).


“Prevention of Suicide” Subsection of SAFE COMM-10 . (May 21-23,
2001 Anchorage, Alaska). Secretary General, National Defense Counsel
for Victims of Karoshi. Hiroshi Kawahito
Prevention of Death from Overwork and Remedies for Its Victim. Geneva,Aug. 1991
Etsuro Totsuka, Toshio Ueyanagi

397
MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE
IN DENPASAR SOCIETY
I Wayan Adnyana
IKIP PGRI BALI

INTRODUCTION

C omplexity and changes has become an important feature of


contemporary industrial society. Complexity that permeates all
aspects of life, such as trading systems, global marketing, long-distance
communication via electronic networks are very sophisticated, all
of which make this world more and more narrow. Globalization in
relations to products that will dominate the market, are products that
have quality and global prices. Products that are not served by the
quality and global prices will tend to be abandoned and eliminated
from the market (Revrison Baswir, 1999: 83). Small businesses continue
to experience marginalization, which in turn will create a small society
increasingly driven by efforts that are much more highly capitalized,
with instant service. Socio-economic and cultural transformation is
a very interesting study. The technological revolution of electronic
and communication technologies have a connection with various
parts of the world. As a result, the “consumer culture” trend growth
in the cities. In this process of consumption, it is an important factor
in the change order and the order of symbolic value. In this trend of
identity and subjectivity do transformation, both related to the issue of
integration and nationalism.
Logic of late capitalism no longer needs to produce objects as
much as possible with minimum cost, but produces the need through
the creation of images (image) by advertising agencies. Mass culture
or popular culture is the culture that produced for ordinary people,
ordinary people in this approach is considered as a share of the
market, consumers in a focus group of pop culture described certain
commodities (Adlin, 2006:121).
In today’s consumer society, various new logic of consumption
model developed and that development fundamentally changed the
relationship between the consumer and the object or product. In a
developing society, object is no longer bound to the logic of utility,
functionality and requirements (needs), but on what is called as the
logic of signs (logic of sign) and image logic (logic of image). Indonesia’s
consumptive behavior is excessive compared with the nations of

398
Southeast Asia. This can be seen from the low level of private savings.
Consumerism is often defined as lavish consumption.
Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly
experiencing a numerous variety of social, cultural and economic
developments. To meet the needs of society, with economic activity
of nearly 24 hours a day, in which the consumer has changed from
buying products to buying the image of the product, it is certainly
the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a
minimarket. With instan standard products and services. Consumption
process is now dominated by the pleasure principle, in which the
essential meaning is no longer that important. A commodity became
popular is not because for whom the goods were producted, but rather
due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity,
which is determined in the socio-economic process.

Minimarket And Consumer Culture


Denpasar as a capital city, have numerous mini market,
supermarket and hypermarket stores which are categorized as either
modern or stand-alone franchaising. The distance between one another
is very close, which means a struggle for market share between mini
market and particularly to the “old-fashioned” small traders who
conduct activities in traditional markets and grocery shops. This
competition is certainly will ended up with the glory of modern store
in terms of better management, capital and a range of services and
quality products. The spread of modern shop in Denpasar can be seen
in the following table.

Table 1
The Spread of Modern Store in Denpasar

No. District Minimarket Supermarket Hypermarket Total


1 South Denpasar 121 10 2 133
2 West Denpasar 64 16 - 80
3 East Denpasar 38 1 - 39
4 North Denpasar 48 12 - 60
Total 271 39 2 ) 312
Sources : Department of Trade and Industry Denpasar, 2011

From the table above can be seen that Southern Denpasar district has
the biggest number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the
reason why Southern Denpasar chosed as the research area.

399
Table 2
Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the
store)

No. Minimarket Total


1 Circle K 48
2 Indomaret 33
3 Alfamart 21
4 LotusMart 9
5 Alfa Midi 8
6 Alfa Express 8
7 Mini Mart 6
8 Petto Mart 3
9 Cahaya Minimarket 3
10 Inti Mart 2
Sources : Department of Trade and Industry Denpasar

Type of product which small traders in South Denpasar District sell is


diverse. From the observation, it is founded 10 kinds major product,
which are food and beverage, clothing, fruits, household appliances,
religious ceremony equipment seller, primary needs like rice or
cooking oil, agricultural produts, toys, souvenirs, and eye glasses,
spread almost all over the district especially in village market and
surrounding citizens neighborhood.
Table 3
The Bussiness Area of Small Scale Enterprise
In Southern Denpasar District

No Village Traditional market Shopping Centre Total


1 Pemogan 4 195 199
2 Pedungan 4 264 268
3 Sesetan 3 251 254
4 Serangan 1 119 120
5 Sidakarya 2 138 140
6 Panjer 1 377 378
7 Renon 2 27 29
8 Sanur Kauh 1 248 249
9 Sanur 1 525 526
10 Sanur Kaja 1 102 103
Total 20 2246 2266
Sources : Monografi of Southern Denpasar District, 2009.

400
On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises,
are all included in the category of small businesses. Small businesses
are economically productive, conducted by an individual or business
entity that is not a subsidiary or branch of a company and also not
owned, controlled, or a part, either directly or indirectly from
medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9
of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by
small businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million
rupiah) up to a maximum of Rp 500 million, - (five hundred million
rupiah) excluding the value of land and building where the business
conducted.
On the other hands, the definition of Modern store is store with
independent way of payment, such as Minimarket, Supermarket,
Department Store, Hypermarket. The network manager is a
businessman who do business in the field of Minimarket, through a
system of unified management and distribution of goods to a network
outlet.
The presence of minimarket encourage consumerism. The
community is no longer think rationally to meet his needs, as they
already persuade by the media which advertising it widely, so that
consumers continue to be influenced by the not only psychological
interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21).
”Discipline mall” (a term used to describe the shopping centre
condition is very persuading customer to be consumptive, which starts
from arrival at a mall that begin with take the trolley, often called a
stroller that serves as a shopping bag, then select the item and put it on a
trolley, which filled “properly” by the customer, as full as possible. The
full contents of the trolley looks “wow”, and when arrived at cashier
counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On
the monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the
number, the bigger pride for the customer.
For the young urban, the cool image of minimarket is attached,
so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in
small stalls or traditional markets because the image will not be look
“cool”, and prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because
they felt a pleasure in an objective and subjective way, as it can boost
the image of themselves, that they have became contemporary society.
As a consequence, small scale enterprise can not win the competition
and some even have to close their enterprise.
Research conducted by global companies Meadwestvaco in
2000 at 12 K-Mart stores with the title “Display of merchandise affect

401
sales.” K-Mart is the main outlet for your writing tools. An experiment
was designed in which 12 K-Mart store. Six stores were randomized
assigned to implement the new system in the display of merchandise,
while six other stores displaying merchandise with the old way. The
experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of
products that implement the new system has a 7% higher sales than
the sales of stores that use the old system (Malhotra, 2005: 101).
The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2
mentioned about brand awareness and image impact on satisfaction
and trust to increase future sales. This would appear to: (1) brand
awareness has a positive effect on current purchase (2) brand image
has a positive efeect on current purchase (3) brand awareness has a
positive efeect on future purchase and (4) brand image has a positive
effect on future purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al,
2006 :98-105).
In European Journal of Marketing Vol.40 No. ½, stated that one
thing that is important to foster relationships between the seller and the
buyer is “trust” (trust). Confidence arising from a long training process
until both parties trust each other. Both party will be honest, fair and
reliable in carrying out activities in the future. In this connection the
high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1) increase
commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4)
reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145).
Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City
Lifestyle Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle
changes, especially in big cities, suppose to make the traditional stores
change the old pattern of their business smartly. Development of the
convenience store and mini market not only requires adjustment of the
operating hours, but also the adjustment and payment of merchandise.
Application of the supply chain as an alternative. Traditional store
merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1%
for <20 product number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5%
for > 25 products (Jawa Post, 2010). This study provides the basis of
marketing strategy for the minimarket.
In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about
culture in three broad definitions, namely (1) a general process of
intellectual, spiritual, and aesthetic development, (2) a special way
of life for people, a period , or a group, called the lived cultures or
cultural practice, and (3) the works and practices primarily aesthetic
and intellectual activity, called the signifying practices. The concept
of culture written above is the recognition of various modern human

402
activities in various forms including the consumption or even
consumerism.
Minimarket is present in the middle of a large urban community
to meet the needs of the community that felt as “emergency” in the
middle of the night. Customer segments are employees, students
and people who work until late at night or traveling at night which
classified as middle-up. In running the retail business, integrated retail
concept applied, CARE, implying a deep perspective. This perspective
departs from a focus on customer needs, coordinating the activities
which affect the consumer, and make a profit by building relationships
with consumers in the long run based on customer satisfaction and
value (Lynda and Cynthia, 2001: 7).
The operation of minimarket which operate for 24 hours a day,
helps to increase consumers number especially among younger
consumers. Circle K minimarket imaged as a hip minimarket and
they serve drinks that are complete enough, an option preferred by
Indonesian youth of today. Buyers of the stores were also allowed to
sit in front of the minimarket while enjoying what they had bought,
and that indirectly lead to made circle k as the youth gathering place
in the evening time.
Shopping in minimarket is seen as a lifestyle or life style can be
defined as a pattern of space, time, and the certain goods of social groups
usage. Lifestyle, then, is how certain social groups use the space, time,
and goods, with the pattern, style, or habit, which is done repeatedly
in the certain space-time. When associated with the geography-time,
the lifestyle is how the patterns, habits, and style of a particular social
group in the routine of everyday social practices within the space-time
(Filiang, 2004: 60). By understanding the customer is one of the keys to
make minimarket succeed. Here are the pictures of minimarket, Circle
K.

Picture 1 : Minimarket Circle K

403
Shopping at the minimarket create a memorable shopping
experience through a selection of goods and creative promotional
activities and create a shopping environment that is safe, comfortable
and enjoyable. Minimarket Circle K is open 24 hours, appears in the
following figure;

Picture 2 : Circle K on Evening Time

Minimarket visited by a lot of middle-low housewife to buy


household needed per week or per month. On the other side, the circle
K approached by staff, students, and young middle-up for shopping
needs only at that moment. Selected target consumers as employees
and students because the two segments that havea lot of activity. It
is often that the duty office and school work have to be until late at
night. Circle K applied the special concept of illumination (ligthing)
specifically to give visitors a sense of security when shopping at night
time, good lighting in the store area or in the parking lot.
Store locations are also chosen specially so that it is far from
posssible criminal action, such as train stations or bus terminals. Store
design is also different. Circle K has a attractive modern design, by
offering room and light, shelf or display of products arranged in such
a way that impressed nicely, while the minimarket was designed
simple. In terms of product price, the price at the Circle K is a bit more
expensive than most of the minimarket but this is not an obstacle to the
middle up class to shop. Circle K maximize customer satisfaction with
emphasis on speed of service, cleanliness, store cleanliness, hospitality

404
services and a pleasant store atmosphere. added with the facility
of free wifi or internet that is intended for those who like to surf in
cyberspace, which attracted a lot of customer.
Here’s a comment or response from some of the mini-circle K of
visitors,:
“Agus Damadi found shopping at Circle K is very satisfactory, as it also
comfortable and clean place, comfort is also important when shopping,
the products are sold well equipped, almost everything I need is available,
although the price is more expensive. Circle K also often give a bonus if
you buy a particular product and not all kiosks provide a facility like
this“.

“Aloysius Sanjaya Susel expressed that minimarket is a convenient place


to shop especially at night after work. Not only Circle K is open 24 hours
a day, but also it is located at the side of the highway makes it easy to
find. Circle K is very cool to hang out as he used to surf with friends.
Items are sell well and complete so that we find almost everything here,
which is also very comfortable place. “

The existence of minimarket around us can not be denied as


the people’s needs. A good arrangement of space, comfort, price
information transparent and good service, and the price is just
one hundred rupiah difference with regular stalls in things like
soap and instant noodles. Every comfort is made ​​to make customer
purchased more goods outside of their daily needs so that the culture
of consumerism continues to run. Consumers is as king. Just choose,
take, bring it to the cashier and pay. Member card swipe. Imagine, just
take the card, traveling like a king, choose, calculate, and friction out of
the mini was very stylish and modern. Forget how much money they
spent away.
Lifestyle is the hallmark of a modern world, or who is often called
modernity. The point is that those who live in modern society will use
the notion of lifestyle for themselves and describe the actions of others.
In daily interactions we can apply the idea of ​​a lifestyle without the
need to explain what we mean, and we are really challenged and may
be difficult to find a general description of the things that refer to the
lifestyle. Lifestyles are patterns of action that differentiates one person
to another or life style as a set of practices and attitudes that make
sense in certain contexts (Chaney, 2009: 40-41).
In view of psychology, lifestyle is generally understood as a
procedure or personal habits of individual and unique. But then life
style followed by a group of people so there was a shift towards an
understanding of lifestyle, which is to be the way of life that reflects

405
the attitudes, values ​​and norms of a particular social group. Lifestyle
as a way of life includes a set of habits, views, and patterns of response
to life, and especially the equipment for a living. The way is not
something natural, but it was found, adopted or created, developed,
and used to show action in order to achieve certain goals (of calendar,
2006: 36-39).

Conclusion
Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it
can be said to be poorly controlled and have marginalized the small
merchants who sell on traditional markets and stalls, need to get
special attention from economic actors and governments. It should be
understood that the minimarket as a modern store that can provide a
variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially
for urban communities. Minimarket are heavily promoted by the
advertising media, which is recognized by the consumer that has built
a variety of imaging which is the urban lifestyle.
In this research, there is a purpose to understand and transform
structures of domination in capitalist society, which in this case
represented by the minimarket. Industrialization has rise the
production of goods and services in a very large amount, that must
be combined with high number of consumers. That is the reason why
consumer culture on society should be examined critically.

REFERENCES

Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta:
Jala Sutra
Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana
Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah
Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra.
Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006.
An Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial Buyer-
Seller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40 No. 1/2
Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail
Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara
Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT
Indeks
Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta:
Relief

406
Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga:
Merdeka.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi.
Yogyakarta : Universitas Atmajaya
Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are
brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and
future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2
Takwin, Bagus.2006.” Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup”.
Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi
Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.: 35-54.
Document and electronic sources
Camat Denpasar Selatan, 2010. ”Monografi Kecamatan Denpasar Selatan”
Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. ”Peraturan Wali Kota Denpasar
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan pembinaan pasar tradisional,
Pusat pembelanjaan, dan Toko modern
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008.
”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang
usaha mikro, kecil dan menengah
Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. “Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat”. Dalam
Radar Bali, 16 Juni 2010.
Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. “Pemkot Segel Tujuh Minimarket”. Dalam Jawa
Pos, 13 Juli 2010.
Tim Redaksi Radar Bali 2011c. “Ijin Toko Modern Distop”. Dalam Radar Bali,
8 April 2011
www.circlek.com

407
MENGUNGKAP NILAI-NILAI LUHUR I
LA GALIGO SEBAGAI RUJUKAN DALAM
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
“EPISODE PELAYARAN SAWERIGADING KE
TANAH CINA”

AB. Takko Bandung


Universitas Hasanuddin, Makassar

1. Pendahuluan

P ada tahun 1852, Colliq Pujie Arung Panjana Toa merupakan


seorang perempuan bangsawan Bugis yang pertama menghimpun
kisah I La Galigo atas tugas dari peneliti Belanda yang bernama Dr.
B.F. Mathes. Ia memulai penulisan lontarak dengan melukisakan
komunitas para dewa di dunia atas bekerjasama dengan komunitas
dewa di dunia bawah, mereka memusyawarahkan untuk menurunkan
Batara Guru sebagai cikal bakal manusia pertama di dunia tengah
(bumi).
I La Galigo merupakan naskah warisan budaya orang Bugis-
Makassar. Banyak pakar menyebutnya bahwa karya I La Galigo
adalah karya terpanjang di dunia yang melebihi Mahabrata dari India
dan karangan Homerus dari Yunani. Pada tahun 2004 telah digelar
pementasan I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda,
Perancis dan Amerika, bahkan pada tanggal 23 April 2011 dipentaskan
di Makassar. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat
positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Pementasan I La Galigo
ini dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari
Amerika Serikat.
I La Galigo sebagai karya terpanjang pasti banyak memuat pesan-
pesan kebudayaan, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Karya I La
Galigo terdiri atas beberapa episode, salah satunya adalah episode
pelayaran Sawerigading ke tanah Cina. Episode ini mengandung
sejumlah nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
pengembangan dan pembinaan karakter bangsa.

2. Nilai-Nilai Luhur
Batasan mengenai pemaknaan nilai kita bisa mengacu, antara
lain ke definisi James P.Spradley and David W. McCurdy (1980: 283)

408
“A value is any concept referring to a desirable or undesirable state of affairs”
(Nilai adalah konsep yang mengacu kepada sesuatu yang diinginkan
atau sesuatu tidak diinginkan). Jadi nilai tidak hanya sesuatu yang
diinginkan, tetapi dapat juga sesuatu yang tidak diinginkan. Definisi
lain menyatakan bahwa nilai budaya adalah suatu konsepsi abstrak
yang dianggap baik dan yang amat bernilai dalam hidup, yang menjadi
pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat
(Junus Melalatoa, 1997:6).
Berbagai nilai yang termuat dalam naskah karya I La Galigo,
khususnya episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, akan tetapi
karena keterbatasan waktu hanya akan menguraikan lima nilai, antara
lain sebagai berikut: 1) Mengutamakan Kepentingan Rakyat; 2)Peranan
Perempuan; 3)Tangguh Meraih Cita dan Cinta; 4) Musyawarah dan
Dialog; 5) Bercermin Menata diri. Di bawah ini akan diuraikan satu
persatu:

Mengutamakan Kepentingan Rakyat


Sang ibunda mencoba memberi pengertian kepada Sawerigading,
apa yang mereka lakukan adalah atas kehendak kakeknya Sri Paduka
Manurungnge, yang memantangkan mereka berdua bertemu
pandang untuk menghidari rasa saling jatuh cinta. Jika ia melihat adik
kembarnya dan jatuh cinta kepadanya serta memperisterinya, maka
negeri tanah Luwuk akan ditimpa kesusahan yang berkepanjangan.
Kisah ini memberikan gambaran perjuangan seorang ibu yang rela
membohongi putranya demi meyelamatkan orang banyak. Jika ia
tidak memikirkan rakyatnya, sudah pastilah ia meluluskan permintaan
putranya itu, sebab ia tahu betul Sawerigading sangat pantang ditolak
keinginannya.
Batara Lattuk bisa saja meluluskan permintaan putra
kesayangnannya itu, tanpa menghiraukan kesengsaraan yang akan
dirasakan oleh rakyatnya sehingga masalah yang dihadapinya dapat
teratasi. Sebab jika keinginan Sawerigading dapat terlaksana, ia tak
akan meninggalkan negerinya dan tetap menjaganya melanjutkan
kedudukannya sebagai raja. Ia dan istrinya tidak akan merasakan
penderitaan karena kehilangan dua anak yang membuatnya lebih
sengsara dari orang yang mandul. Namun ia tak melakukannya,
dan lebih memilih kehilangan kedua anaknya dan merana sepanjang
hidupnya dari pada harus mengorbankan rakyatnya.
Pilihan yang ditempuh oleh Batara Lattuk itu, merupakan
keputusan seorang raja yang sangat menyayangi rakyatnya. Demi
ketentraman rakyatnya, ia rela melepaskan kebahagiannya hidup

409
rukun bersama putra-putrinya. Demi negrinya pula ia rela melepaskan
kepergian putra mahkotanya yang akan mewarisi kerajaannya
kelak dan tak akan kembali lagi. Dan demi rakyatnya yang sangat
dicintainya, ia rela menjalani kehidupan ibarat orang yang mandul
karena kedua anaknya harus meninggalkannya.

Peranan Perempuan
Peranan perempuan dalam episode ini tergambar ketika
Sawerigading merajuk karena tidak dituruti kemauannya. Ia
berbaring menutupi dirinya di dalam sarungnya dan tidak mau
makan selama beberapa hari. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
membujuknya. Bahkan kata-kata La Pananrang kakak sepupuya
yang selalu didengarkan nasehatnya itu pun tak digubrisnya. Di
tengah kegalauan dan kekalutan hati Batara Lattuk sang ayah dan We
Datu Sengngeng ibundanya melihat keadaan sang putra mahkota,
dipanggillah We Tenriabeng keluar dari persembunyiannya untuk
membujuk Sawerigading.
We Tenriabeng berusaha membujuk kakaknya yang sudah
kehilangan akal sehatnya karena cintanya kepada adik kandungnya
sendiri itu agar mau menerima kehendak Patotoe. Mereka berdua
tidak akan mungkin hidup sebagai suami istri, sebab mereka
bersaudara kandung seibu dan sebapak. Dengan berbagai bujuk
rayu Sawerigading berusaha meyakinkan We Tenriabeng, namun We
Tenriabeng itu tetap pada pendiriannya. Ia tidak akan membiarkan
malapetaka menimpa negerinya dan menyengsarakan orang banyak
yang tidak berdosa akibat perjodohan tersebut.
Melalui perdebatan yang panjang, akhirnya We Tenriabeng
berhasil mengalihkan perhatian kakaknya dengan memperlihatkan
kepadanya I We Cudai dalam mimpinya. Setelah melihatnya,
Sawerigading ingin segera menemuinya, meskipun hasrat
keinginannya kepada adik kembar emasnya tidak dilupakannya.
I We Cudai adalah putri Opunna Cina yang kecantikan dan postur
tubuhnya sangat mirip dengan We Tenriabeng, sebab keduanya lahir
dalam satu ukuran. Untuk menempuh perjalanan ke tanah Cina We
Tenriabeng memberikan petunjuk untuk membuat perahu dari pohon
welenrennge yang sangat besar dan tinggi.
Ketegaran dan keteguhan hati We Tenriabeng yang berusaha
menyadarkan kakaknya yang sudah kehilangan akal sehat adalah
gambaran sosok seorang perempuan yang mampu mengendalikan
emosi dan kekerasan hati seorang laki-laki. Peran We Tenriabeng dalam
episode ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan Sawerigading.

410
Hanya We Tenriabenglah yang dapat meyakinkan Sawerigading,
bahwa apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan adat dan
norma yang berlaku di tengah masyarakat. Sikap dan watak We
Tenriabeng yang sangat teguh memegang prinsip dan keyakinan, serta
kelebihannya melihat masa depan, membuat dirinya selalu dimintai
saran dan pendapat untuk melakukan sesuatu.
Peran We Tenriabeng juga sangat membantu ketika pasukan
Sawerigading kewalahan melawan La Tenriyiwik yang dibantu oleh
Oropasakka dari Positana. Ketika itu pasukan kakaknya hampir
terkalahkan, namun Sawerigading segera meminta bantuannya yang
pada saat itu sudah berada di Bottillangi. We Tenriabeng lalu meminta
kepada suaminya agar segera turun ke bumi membantu kakaknya
yang kewalahan menghadapi pasukan La Tenrinyiwik. Dengan tegas
ia mengatakan, jika sang suami tidak mau membantunya maka ia
akan menceraikannya. Akhirnya berkat bantuan sang adik, pasukan
Sawerigading dapat memukul mundur pasukan La Tenrinyiwik.
Ketika harta lamaran Saweriagding dikembalikan oleh I We Cudai
karena I We Cudai tidak mau menikah dengannya, Sawerigading pun
membuat perhitungan dengan peperangan yang membuat Tana Wugi
menyerah kalah. Namun kekerasan hati I We Cudai yang tidak ingin
tunduk dan menyerahkan dirinya kepada Sawerigading mengajukan
syarat-syarat yang membuat Sawerigading resah. Ia lalu menemui
adiknya We Tenriabeng di Bottillangi dan meminta petunjuknya dalam
menghadapi masalahnya itu. Situasi tersebut semakin memperjelas
peran perempuan yang terdapat di dalam episode ini. Sawerigading
selalu mengandalkan adik perempuannya dalam menghadapi masalah
yang sangat rumit. Ia yakin betul sang adik dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang sangat sulit ditemukan jalan keluarnya.

Ketangguhan Meraih Cita dan Cinta


Keteguhan hati seorang Sawerigading dalam mencintai seorang
wanita yang menjadi pujaan hatinya mewarnai episode pelayarannya
ke tanah Cina. Demi mendengarkan perkataan wanita pujaannya,
yaitu We Tenriabeng, ia rela menempuh perjalanan yang sangat
panjang untuk memuaskan hatinya. Seorang Sawerigading jika telah
mengucapkan janji, maka sulit baginya untuk tidak menepatinya.
Dalam perjalanan ke tanah Cina, Sawerigading dan para
pengiringnya menghadapi tujuh kali peperangan. Peperangan
pertama yang dihadapi melawan Banynyaq Paguling dari Manynyapai
yang dikenal gemar mengganggu dan memerangi perahu yang
dilihatnya (perompak) di tengah laut. Dalam peperangan tersebut,

411
Banynyaq Paguling tewas dan kepalanya dipenggal dan dijadikan
hiasan welenrennge, sedangkan para pasukannya menyerah. Perang
selanjutnya melawan La Tuppusolok To Apunnge yang juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan Sawerigading. Kepalanya pun dipenggal
untuk dipasang di Welenrennge.
Beberapa malam setelah mengalahkan La Tuppusolok dan
pasukannya, Sawerigading kembali dihadang oleh La Tuppugellang
dari Jawa Timur, seorang raja yang putus asa dan sangat ingin menyusul
istrinya ke alam baka. Ia dikalahkan oleh pasukan Sawerigading dan
kepalanya juga dipenggal untuk dipasang di Welenrennge. Selanjutnya
mereka dihalangi oleh La Togektana Pajulimpoe Seseuraik yang juga
berhasil dikalahkan dan semua perahunya dirampas, sedangkan
kepalanya bernasib sama.
Peperangan belum berhenti sampai di situ, setelah mengalahkan
La Togektana, mereka kembali dihadang oleh perompak La Tenripula
dari Jawa Barat. Raja perompak yang sudah tua renta dan sangat
sombong itu juga berhasil dipenggal kepalanya oleh La Massaguni
tanpa peperangan terlebih dahulu. Belum jauh mereka berlayar,
mereka kembali dihadang oleh pasukan La Tenrinyiwik Langirisompa,
raja perompak dari Malaka. Ia dan Sawerigading masih satu
keturunan dari Patotoe yang membuat La Pananrang merasa segan
untuk melawannya. Namun akhirnya perang tak dapat dielakkan dan
tewaslah La Tenrinyiwik di tangan La Massaguni. Semua pasukannya
menyerah, sedangkan istri dan wakkatananya yang megah itu
dirampas
Rintangan-rintangan tersebut tidak membuat nyalinya surut dan
berbalik haluan, sebab ia yakin akan kebenaran kata-kata adiknya,
bahwa I We Cudai adalah jodohnya yang harus dicarinya di tanah Cina.
Keinginan Sawerigading yang sangat kuat untuk membuktikan kata-
kata adiknya itulah yang mendorongnya tetap melanjutkan pelayaran
dan tidak putus asa.
Peperangan terakhir yang dilalui oleh Sawerigading sebelum
sampai ke tanah Cina adalah perang melawan Settiyabonga
Lompengrijawa Wulio tunangan I We Cudai yang berakhir dengan
kekalahan Settiyabonga yang menyerah kepada Sawerigading.
Kegigihan seorang Sawerigading yang rela menghadapi berbagai
rintangan yang menghadang dalam pelayarannya dan tidak berubah
haluan itu, merupakan nilai yang sangat berharga untuk dijadikan
inspirasi dalam menggapai cita dan cinta. Rintangan sebesar apapun
dapat dihadapi jika apa yang dicita-citakan ingin dicapai. Jiwa
bahari yang telah tertanam di dalam diri Sawerigading yang senang

412
mengembara mengarungi lautan itu, hampir terkalahkan oleh
rintangan yang bertubi-tubi datang mengahadang. Rintangan yang
cukup unik dan menggoda adalah ketika La Pananrang mengusulkan
kepada Sawerigading agar memperisteri saja Tenrilennareng isteri
dari La Tenrinyiwiq yang baru saja dikalahkan dan dipotong
kepalanya. La Pananrang menegaskan bahwa Tenrilennareng hampir
sama dengan adik kita We Tenriabeng. Akan tetapi Sawerigading
sudah mempunyai tekad yang bulat dalam meraih cita-cita dan cinta,
sehingga ia menegaskan bahwa:
“Aku telah menghancurkan sirih, telah memecah campuran sirih, tak
enak hatinya bila kuambil isteri … tak mungkin juga aku pulang ke
Luwuq sebab aku telah bersumpah pada kemuliaan atas langitku”

Hampir saja ia berubah haluan kembali ke Luwuk, jika bukan


karena tekadnya yang sangat kuat untuk membuktikan kata-kata
adiknya itu, dan janji yang sudah terlanjur diucapkannya.
Sawerigading yang dikenal pengagum kecantikan wanita dan
jika melihat wanita cantik ia ingin menikahinya. Namun karena
keteguhannya memegang janji kepada We Tenriabeng, ia menolaknya,
padahal parasnya sangat mirip dengan We Tenriabeng, adik
kandungnya.
Ketegaran dan keteguhan hati Sawerigading yang tetap
memegang teguh janji yang telah diucapkannya, merupakan nilai
yang harus diteladani. Orang yang teguh memegang janji, tidak akan
mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Seperti
Sawerigading yang tetap teguh memegang amanah yang diberikan
oleh sang adik agar ia menjumpai seorang I We Cudai, yang ketika
ditawarkan wanita secantik We Tenriabeng untuk dinikahinya,
ia menolaknya meskipun jika ia menikahi wanita tersebut tidak
membuatnya perjanjiannya batal. Namun ia sangat menghormati
janjinya kepada sang adik.
Ketika sampai di Tanah Cina, Sawerigading rela menyamar
menjadikan dirinya Oro Kelling yang berdagang keliling di sekitar
istana. Penyamaran tersebut membuat para sepupunya iba melihatnya.
Betapa adik sepupunya yang seorang putra mahkota dan memiliki
kedudukan dan kemuliaan yang tinggi itu rela merendahkan dirinya
menjadi seorang pedagang yang direndahkan orang, demi meraih
tujuannya. Ia rela melakukan semua itu untuk dapat masuk ke istana
dan melihat secara langsung I We Cudai.
Dalam penyamaran Sawrigading di tanah Cina sebagai
Oro Kelling dihadapkan oleh godaan yang berkemungkinan untuk
membuat hatinya luluh. Godaan itu muncul ketika ia melihat dua orang

413
wanita yang sangat mirip dengan istrinya yaitu We Sawease dan We
Panangngareng, seketika itu ia teringat pada kedua istrinya tersebut.
Namun bayangan tersebut dapat ditepisnya. Hati Sawerigading tetap
tegar menghadapi berbagai macam ujian yang ditimpakan kepadanya
meskipun itu sangat menyakitkan dan mengoyak-ngoyak harga
dirinya.
Cobaan yang sangat menyakitkan tersebut ketika I We Cudai
menghinanya habis-habisan. Bahkan cobaan yang membuatnya
sangat terpukul ketika I We Cudai mengembalikan semua mahar
yang telah diberikan kepadanya. I We Cudai orang yang membuatnya
berlayar mengarungi lautan luas dengan berbagai rintangan, tiba-tiba
menolak dinikahkan dengan Sawerigading karena mendengar bisikan
yang membuatnya sangat ketakutan. Akhirnya peperangan kembali
berkobar dan tak dapat dihindari lagi. Kekalahan di pihak Cina tidak
membuat I We Cudai tunduk kepadanya. Namun Sawerigading tetap
mengikuti kemauan I We Cudai demi mendapatkan cintanya.
Setelah menyetujui semua persyaratan yang diajukan, I We
Cudai pun tidak membuatnya merasakan kebahagiaan, sebab setelah
berhari-hari menjumpai istrinya mereka berdua belum pernah bertatap
muka bahkan mereka belum pernah saling bersentuhan. Namun
tingkah laku I We Cudai yang sangat menyakitkan itu diterimanya
dengan lapang dada, demi kesetiaannya kepada janji adiknya.
Meskipun pada akhirnya karena kegigihan usahanya, ia berhasil
membuat I We Cudai terlena dalam pelukannya, namun sikap I We
Cudai yang angkuh itu tidak berubah kepadanya. Bahkan setelah
hamil pun sampai melahirkan seorang putra, I We Cudai tidak pernah
menampakkan sikap yang menyenangkan di mata Sawerigading.
Sifat yang sangat bertolak belakang dengan sifat para istrinya yang
telah ditinggalkannya demi mendapatkannya. Namun sawerigading
tidak pernah menyesali apa yang telah diputuskannya. Ketika I We
Cudai menolak putranya pun karena ia keturunan orang Luwuk,
tidak membuatnya marah dan sakit hati. Semua perlakuan I We Cudai
itu tak membuatnya ingin kembali ke kampung halamannya, sebab
ia telah berjanji tidak akan kembali ke tanah Luwuk apa pun yang
terjadi.

Musyawarah dan Dialog
Berbagai aktivitas musyawarah dan dialog terlukis dalam
ceritera episode ini. Peperangan demi peperangan dilaluinya selama
dalam pelayaran Sawerigading ke tanah Cina. Setiap dihadang oleh
musuh di tengah laut, La Pananrang sebagai penasehat dan jurubicara

414
Sawerigading senantiasa membangun dialog, komunikasi baik dengan
para pasukannya mau pun dengan musuh. Penghadang pertama
Sawerigading di tengah laut adalah Banynyaq Paguling yang terkenal
sebagai tukang penghadang di laut yang sangat kuat dan belum ada
yang mengalahkan pasukannya. Ketika La Pananrang melihat dari
jauh pasukan Banynyaq Paguling, maka ia segera mengkomunikasikan
kepada seluruh pasukan agar seluruh anggota mempersiapkan diri dan
menjalankan tugas sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam kisah ini, pada keesokan paginya ketika mentari mulai
bersinar berpapasanlah perahu Walenrengnge yang ditumpangi
Sawerigading dengan perahu Banynyaq Paguling. Tujuh kali perahu
Sawerigading menghindar ke kiri dan tujuh kali menghindar ke kanan,
akan tetapi Banynyaq Paguling tetap berkeinginan untuk berhadap-
hadapan dengan pasukan Sawerigading. Kedua perahu sudah sangat
berdekatan dan hampir bertabrakan. Pada waktu ini lah terjadi dialog
yang sangat indah dan mengagumkan serta dapat dijadikan pelajaran
bagi mereka yang menginginkan kesuksesan dan kemenangan. Seperti
terungkap dalam juplikan naskah di bawah ini.
“Sayalah Banynyaq Paguling dari Manynyapaiq yang biasa menawan di
tengah laut lawan kutangkap kawan kutawan tak satupun di tolak keris
perlindunganku di tengah laut. Telah lama kuinginkan Sawerigading
kulayarkan perahu aku berlayar ke Ale Luwuq karena memang aku mau
menentukan keributan besar sebab tak henti-hentinya disebut-sebut
di kampung halamanku; Sawerigading di Ale Luwuq tak ada duanya
disembah….” (Salim, 1993).

La Pananrang sebagai penasehat dan jurubicara Sawerigading


menjawab:
“Kalau demikian kawanku Sawerigading yang menyebabkan kau
berperahu berlayar maka pindahlah kemari di perahu sesamamu
datu agar disimpankan air dingin dalam tempayan kehormatanmu
agar masukkan di dalam perut hasil tanaman dari Luwuq. Atau harta
bendakah yang kau cari tengadahkanlah takaranmu yang besar kuisi
dengan berlimpah harta benda yang banyak. Atau menyabung yang kau
inginkan biarlah aku kembali ke Luwuq kuupacarai kau dengan bambo
emas kau tinggal di Watang Mpareq kutawarkan isi seluruh bawah
langit atasnya tanah kau duduk bersanding mengngemgam emas di
bawah pohon asam kutanggung semua taruhan judimu. Atau mungkin
jodoh yang kau idamkan berlayar jauh, kucarikan engkau sesamamu
bangsawan aku yang menanggung semua mahar kebesaranmu belanja
yang tak terbilang” (Salim, 1993).

Banynyaq Paguling menjawab:


“Bukan barang makanan bukan pula harta benda, yang kuinginkan
hanya musuh besar yang kuidam-idamkan…” (Salim, 1993)

415
Terjadilah peperangan yang dahsyat dan akhirnya dimenangkan
oleh Sawerigading. Tujuh kali Sawerigading dihadang dan berperang
di tengah laut selama pelayaran ke tanah Cina. Setiap dihadang ia
selalu menghindar, perahunya senantiasa di arahkan tujuh kali ke kiri
dan tujuh kali ke kanan. Dalam menghadapi musuh La Pananrang
sebagai jurubicara Sawerigading senantiasa membangun dialog dan
komunikasi yang santun dan sopan. Dalam kisah ini terlihat sudah
terformat dan standar tahapan-tahapan strategi menghadapi lawan.
Hal ini berulang tujuh kali dan pemenangnya adalah Sawerigading.
Dalam kisah ini berbagai permasalahan diselesaikan dengan jalan
musyawarah. Dalam menghadapi permasalahan ini Batara Lattuk
mengumpulkan seluruh orang tua di Ale Luwuk dan Watamparek,
bahkan yang sudah tidak bisa berjalan sekalipun dihadirkan. Mereka
dimintai pendapat dalam memusyawarakan keinginan putranya itu,
namun jawaban mereka sama dengan pantangan kakeknya.
Ceritera tersebut menggambarkan sikap demokratis Batara
Lattuk, ayah Sawerigading yang sangat mencintai putranya. Meskipun
ia seorang raja, namun ia tidak mengambil keputusan seorang diri
untuk mengatasi masalah sang putra. Dengan memusyawarahkan
masalah putranya, ia telah memberi pemahaman kepadanya bahwa
apa yang disampaikan kepadanya bukanlah pendapatnya sendiri,
melainkan pendapat orang banyak. Bahkan salah seorang yang
paling tua diantara mereka dan paling banyak pengalaman hidupnya
mengatakan selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan dua
orang bersaudara menikah.
Sikap demokratis yang dilakukan oleh Batara Lattuk sebagai
seorang raja, yang pada masa itu perkataan seorang raja adalah mutlak
tak dapat diganggu gugat, merupakan sikap yang sangat mulia. Sikap
demokrasi seperti itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,
baik di tengah-tengah masyarakat maupun di dalam ruang lingkup
keluarga. Memaksakan kehendak kepada orang lain adalah sikap yang
dapat merusak sendi-sendi pergaulan baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan masyarakat. Pemimpin yang selalu meminta
pendapat bawahannya dalam setiap keputusan adalah peminpin yang
bijak dan disegani oleh rakyatnya.
Sikap demokratis juga ditunjukkan dalam pelayaran Sawerigading
ke tanah Cina yaitu setiap akhir peperangan yang dimenangkannya
semua pasukan yang rajanya telah terbunuh diberi pilihan menyerah
atau ingin melanjutkan peperangan. Sawerigading dan pasukannya
tidak langsung memvonis mereka kalah dan menyerah. Setelah
mereka menyatakan memilih menyerah barulah mereka dipulangkan

416
ke negeri mereka tanpa kekerasan.

Bercermin Menata Diri


Penataan diri mewarnai kehidupan tokoh Sawerigading.
Tampaknya hal itu merupakan salah satu cara untuk mewujudkan
kesempurnaan sebagai manusia, baik kesempurnaan fisik,maupun
kesempurnaan psikis. Penataan diri menjadi ukuran berhasil atau
tidak berhasilnya seseorang dalam bergaul, baik bergaul sesama suku,
antar suku, maupun antar bangsa dan negara. Penataan diri menjadi
jalan masuk untuk mengenal orang lain,menjalin hubungan, bahkan
untuk menguasai orang lain. Dengan menata diri, tokoh Sawerigading
dapat menundukkan daratan dan lautan secara bersamaan dan
berkelanjutan.
Tahapan penataan diri Sawerigading seperti terungkap dalam
naskah:
”Sawerigading bangun duduk, mencuci muka pada piring putih,
bercermin menata diri pada kaca, membuka tempat sirih emas lalu
menyirih kemudian memperbaiki desakan nafasnya” (Salim, 1993).

Kebersihan diri secara lahiriah merupakan bagian dari kehidupan


tokoh Sawerigading. Hal ini begitu penting dan sangat strategis untuk
pengembangan keberanian, kepercayaan, dan eksistensi dirinya
sebagai penguasa daratan dan lautan. Kebersihan diri itu dilakukan
dan dijaga sesuai cara-cara tertentu pula. Kebersihan diri itu dimulai
dengan proses, yaitu setiap bangun dari tidur duduk, mencuci muka di
atas mangkuk putih kemudian bercermin menata diri dan dilakukan
secara sadar, serta tidak terburu-buru. Hal ini menjadi syarat dan
sekaligus menjadi ukuran sempurna atau tidaknya kebersihan diri
seseorang.
Tahap berikutnya, kebersihan diri itu berlanjut,”Mencuci muka
di mangkuk putih” Prilaku ini menggambarkan kegiatan tokoh
Sawerigading dalam membersihkan dirinya secara lahiriah dengan
mencuci mukanya. Tampaknya, “muka” merupakan bagian tubuh
yang mendapat perawatan khusus karena prosesnya pun berlangsung
“di Mangkuk putih”. Hal itu memungkinkan, muka itu merupakan
pemandangan utama dan pertama yang dapat menyejukkan atau
merusak pandangan orang lain. Muka dapat mengekspresikan
peristiwa-peristiwa nyata dan sekaligus dapat mengkongkretkan
kejadian-kejadian yang bergejolak di alam bawah sadar.
Kesempurnaan penataan diri itu terpancar pada muka. Untuk itu,
tokoh Sawerigading menempatkan dan memanfaatkan “muka”sebagai
ikon, indeks, bahkan sekaligus menjadi simbol keberadaannya. Muka

417
dapat mengeksperikan hal-hal lahiriah, misalnya kebersihan dan
kegagahan seseorang. Selain itu, muka juga dapat mengkongretkan
hal-hal yang bersifat psikis, misalnya keberanian, kharismatik, dan
kepintaran, serta kecerdasan seseorang. Bagian tubuh ini menjadi
sangat berharga bagi tokoh Sawerigading sehingga untuk mencucinya
pun harus menggunakan wadah yang berharga dan bersih seperti
“mangkuk putih”.
Wadah “mangkuk putih” menyimbolkan kesempurnaan
penataan diri tokoh Sawerigading. Hal ini mengisyaratkan kebersihan
dan kesucian secara lahiriah dan secara batiniah. Kebiasaan ini
menggambarkan kebaikan dan kemuliaan tokoh tersebut dan sekaligus
mampu memantulkannya kepada orang lain tanpa merusak yang
bersangkutan. Wadah itu juga menjelaskan bahwa penataan diri itu
harus menggunakan peralatan dan bahan-bahan yang bernilai tinggi
guna mewujudkan segala kebaikan pula. Dengan kata lain, penataan
diri yang baik akan mampu melahirkan kebaikan pula.
Penataan diri tokoh Sawerigading merupakan model dan suri
teladan bagi masyarakat pendukungnya. Betapa tidak, tokoh tersebut
memberi contoh kepada masyarakat pendukungnya dalam penataan
diri dan sekaligus menanamkan, serta meyakinkan pentingnya hal
itu guna meraih kesuksesan di daratan dan di lautan, bahkan di
negeri Akhirat. Penataan diri dapat menjadi petunjuk dan pembuka
jalan untuk melakukan hubungan persahabatan, kemitraan, bahkan
hubungan perkawinan dengan masyarakat dan bangsa lain. Selain itu,
dengan menata diri, tokoh Sawerigading dapat mempengaruhi orang
lain dan sekaligus memotifasinya untuk menerima dan melakukan
sesuatu yang sesuai dengan perintah, kemauan, dan visi-misi
pelayarannya. Tokoh Sawerigading mewasiatkan hakikat penataan diri
ini sebagai warisan dan mukjizat yang berguna untuk mengantarkan
manusia guna mencapai kesempurnaan hidup di daratan, di lautan,
dan bahkan di negeri akhirat.
Tokoh Sawerigading melakonkan proses penataan diri itu
berlanjut ke tahap,”menata diri di depan cermin. Prilaku ini
menjelaskan, penataan diri itu berlangsung secara berulang kali,
berterima, dan bersesuai dengan mimetiknya. Penataan diri itu berhasil
baik atau tidak berhasil baik, berkecocokan atau tidak berkecocokan,
bahkan berestetika atau tidak berestetika sangat bergantung pada
kepintaran dan kecerdasan seseorang menggunakan cermin guna
memahami, menganalisis, dan menyimpulkan dirinya. Tokoh
Sawerigading sebelum melakukan pekerjaan, menerima tamu, dan
melakukan perjalanan atau pelayaran selalu menata dirinya di depan

418
cermin. Tampaknya, cermin baginya merupakan benda ajaib yang
dapat memperindah sosoknya dan menjelaskan kepribadiannya, baik
kepada dirinya sendiri, maupun kepada orang lain. Bahkan benda itu
baginya sangat berpengaruh untuk mencapai kesusksesan di daratan
dan di lautan, serta untuk mencapai kesempurnaan penampilannya
sebagai penguasa di lautan.
penataan diri itu berakhir pada tahap, ”menenangkan hatinya”.
Tahap ini mengkongkretkan pengalaman di bawah sadar atau
menyatakan sesuatu yang abstrak yang dapat mempengaruhi atau
yang dapat mendorong untuk melakukan perbuatan nyata. Tahap ini
merupakan tahap penyesuaian pengalaman batiniah dan pengalaman
lahiriah guna mencapai harmonisasi yang dapat melahirkan satu kata
dalam perbuatan. Hal ini memungkinkan, “hati” itu merupakan
wadah yang didalamnya juga terdapat hal-hal yang bersifat negatif,
misalnya rasa was-was, takut, dengki, iri, bahkan sombong yang
kesemuanya dapat mewarnai dan mempengaruhi perbuatan nyata.
Tokoh Sawerigading sebelum melakukan pekerjaan, menerima tamu,
dan berlayar selalu memulainya dengan menenangkan hatinya.
Bahkan ketika menghadapi bencana, peperangan, dan berdoa,
tokoh tersebut senantiasa memulai dengan menenangkan hatinya.
Hal ini membuktikan bahwa penataan diri atau ekspresi diri tokoh
Sawerigading dapat mencapai kesempurnaan sangat bergantung pada
kemampuannya untuk menenangkan hatinya. Akhirnya, dengan
ketenangan hati, kecerdasan hati, kemauan hati, dan kekuatan hati,
tokoh Sawerigading berhasil untuk menguasai daratan, lautan, negeri
akhirat, serta berhasil menikahi I We Cudai di tanah Cina.
sampai pada uraian di atas, tampaknya penataan diri itu
merupakan salah satu nilai luhur. Tokoh Sawerigading berusaha
untuk meyakinkan dan sekaligus mewariskan kepada masyarakat
pendukungnya guna mencapai kesuksesan dan kesempurnaan
sebagai manusia di dunia dan di negeri akhirat. Penataan diri itu harus
berlangsung secara sadar dengan selalu bercermin dan menenangkan
hati sebelum beraktivitas, baik yang berhubungan dengan aktivitas
dunia, maupun yang berkaitan dengan aktivitas akhirat. Dengan
memahami, memiliki, mengikuti, dan mengaplikasikan tahapan
penataan diri tersebut, seseorang dapat mencapai kesempurnaan dan
kesuksesan hidup.

3. Kesimpulan
Pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, sebagai salah satu episode
yang termuat dalam karya panjang I La Galigo, memiliki sejumlah pesan

419
dan nilai kebudayaan yang dapat menjadi pijakan dewasa ini dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai kebudayaan Bugis yang terkandung
dalam episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina dikemas dalam
sistem simbol yang jelas; semua unsur yang terkait dengan pelayaran
itu melakonkan perannya masing-masing.
Dalam episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, ditemukan
sejumlah nilai-nilai luhur dan nilai-nilai ini berkemungkinan
untuk dapat diaplikasikan dan dirujuk dalam pembinaan dan
pengembangan karakter bangsa. Ada pun nilai-nilai luhur itu antara
lain: 1) Mengutamakan Kepentingan Rakyat; 2)Peranan Perempuan;
3)Tangguh Meraih Cita dan Cinta; 4) Musyawarah dan Dialog; 5)
Bercermin Menata diri.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1990. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Hasanuddin Universiti Press.
Ahimsa Putra Heddy Shri 1988. Minawang, hubungan patron-klien di Sulawesi
Selatan. yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ambo Enre, F. 1999. Ritumpanna Welenrennge Sebuah Episode Sastra Bugis
Klasik
Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mattulada. 1995. Latoa, satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang
Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Mattulada. 1998. Sejarah, masyarakat dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar:
Universiti Hasanuddin.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama Forum
Jakarta-Paris.
Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina (Episode
Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina). Progran Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Salim, Muhammad. 1993. Transliterasi dan Terjemahan I La Galigo jilid
1—12.
Spradley, J.P. and D.WMc Curdy 1980. The Cultural Perspective. New York:
John Wiley and Sons.

420
LAMPIRAN: SINOPSIS
EPISODE PELAYARAN SAWERIGADING KE TANAH CINA

Dalam kisah I La Galigo episode “Pelayaran Sawerigading ke Tanah


Cina” diawali ketika Sawerigading jatuh cinta kepada We Tenriabeng dan
ingin menikahinya, meskipun We Tenriabeng adalah adik kembarnya sendiri.
Keinginan Sawerigading tersebut membuat resah para penghuni istana, sebab
pernikahan dua bersaudara itu akan membawa malapetaka bagi negeri mereka.
Hal inilah yang ditakutkan oleh Batara Guru, sang kakek, sehingga ketika
lahir keduanya dipisahkan. Bertahun-tahun We Tenriabeng disembunyikan
di dalam sebuah bilik di tengah-tengah istana manurungnge yang disekat.
Namun, ibarat kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat ia akan jatuh
juga, sepandai-pandai mereka menutupi kebohongan pasti ketahuan juga.
Rahasia yang selama ini disembunyikan kepadanya akhirnya terungkap juga.
Rahasia terungkap ketika kakak sepupu Sawerigading yang bernama
La Pallawagauk yang juga dilahirkan kembar emas, secara tidak sengaja
mengatakannya. Sejak saat itu Sawerigading selalu berusaha mencari
kebenaran kata-kata sepupunya itu. Namun semua penghuni istana yang
telah diancam oleh Batara Lattuk, ayahanda Sawerigading berusaha menutup-
nutupinya. Sebab mereka sangat ketakutan akan mati di ujung keris jika berani
buka mulut. Berbagai usaha dilakukan oleh Sawerigading untuk membuktikan
kebenaran kata-kata kakak sepupunya itu. Namun kesetiaan para penghuni
istana kepada Batara Lattuk membuat usahanya belum berhasil.
Pada suatu hari ketika ia sedang berbaring-baring sambil tidur-tiduran
di bawah istana, ia menghitung petak istana manurungnge yang lebih banyak
dibandingkan yang dilihatnya dari atas istana. Secara kebetulan ia juga melihat
busa langir jatuh dari atas istana yang semakin menguatkan kecurigaannya.
Di tengah kebingungannya muncul pemikirannya untuk memanjat di atas
rakkeang istana dan melihat isi bilik yang menurut La Pananrang tempat para
penenun yang menenun kain. Dengan berdalih ingin mengukur tiang sebab
ia ingin membangun istana di Watamparek yang persis istana manurung, ia
berusaha mengintai di atas bilik tersebut dari loteng para-para. Usahanya
tidak sia-sia, ia berhasil melihat seorang gadis berparas sangat cantik yang
sedang bercanda dengan dayang-dayangnya.
Kecantikan We Tenriabeng yang bagaikan sinar bulan purnama itu
telah membuatnya jatuh cinta yang mendalam. Ia berusaha membujuk
ayah bundanya agar mengizinkannya menikahi We Tenriabeng, sebab ia
merasa We Tenriabeng itu bukan saudaranya, sebab sepengetahuannya ayah
bundanya selalu mengatakan ia adalah putra satu-satunya yang mereka
miliki. Permohonan Sawerigading yang tak pernah ditolak keinginannya
itu, membuat sang ayah merasa bimbang mengambil keputusan. Untuk itu ia
mengumpulkan seluruh rakyatnya yang sudah berusia lanjut bermusyawarah.
Namun tak seorang pun diantara mereka yang menyetujui pernikahan
tersebut, sebab belum pernah terjadi di kolong langit dan permukaan bumi.
Bahkan salah seorang yang paling tua renta diantara mereka yang sudah tuli
dan pikun juga tidak membenarkannya.
Sawerigading tak dapat menerima hasil musyawarah, ia tetap
bersikukuh ingin menikahi We Tenriabeng yang telah membuat hidupnya
selalu gelisah. Ia berusaha membujuk We Tenriabeng agar menerima cintanya.

421
Ia akan dibawa ke luar dari Luwuk untuk meluluskan hasratnya agar negeri
mereka terlepas dari kutukan. Namun dengan pemikiran yang matang, We
Tenriabeng menyatakan tetap menolak, sebab di mana pun mereka berada,
kutukan itu akan tetap terjadi, sebab itulah kehendak sang Patotoe yang tak
seorang pun dapat mengubahnya. Berbagai usaha dilakukan Sawerigading
agar apa yang diinginkannya dapat terwujud, yaitu menikahi We Tenriabeng,
namun dengan segala upaya We Tenriabeng pun berusaha menyadarkannya
agar negeri mereka tidak terkena kutukan Patotoe.
Di tengah keinginan Sawerigading yang menggebu-gebu ingin
mengajaknya menikah, We Tenriabeng teringat akan seorang putri yang
parasnya sangat mirip dengan kecantikan parasnya, sebab mereka berdua
dilahirkan dalam satu ukuran. Putri yang dimaksud adalah I We Cudai, putri
Opunna Cina. We Tenriabeng menyarankan kepada sang kakak agar berlayar
ke Tanah Cina melamar I We Cudai, dan tebanglah pohon welenrennge untuk
dijadikan perahu. Pohon welenrennge adalah pohon raksasa yang sangat
besar dan tingginya mencapai langit.
Untuk meyakinkan sang kakak, We Tenriabeng lalu memperlihatkan
di dalam mimpinya paras I We Cudai yang cantik jelita itu. Bahkan We
Tenriabeng bersumpah, jika apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa
yang dilihatnya di Tanah Cina kelak, ia bersedia melanggar ketentuan Patotoe
dan menikah dengan Sawerigading. Sumpah adiknya itulah yang membuat
Sawerigading bersemangat untuk segera berangkat ke tanah Cina untuk
segera membuktikannya.
Dalam perjalanan ke tanah Cina, Sawerigding dan para pengiringnya
menghadapi tujuh kali peperangan. Peperangan pertama yang dihadapi
melawan Bannyakpaguling dari Mancapai yang dikenal gemar mengganggu
dan memerangi perahu yang dilihatnya (perompak) di tengah laut. Dalam
peperangan tersebut, Bannyak Paguling tewas dan kepalanya dipenggal
dan dijadikan hiasan welenrennge, sedangkan para pasukannya menyerah.
perang selanjutnya melawan La Tuppusolok To Apunnge yang juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan Sawerigading. Kepalanya pun dipenggal untuk
hiasan welenrennge.
Beberapa malam setelah mengalahkan La Tuppusolok dan pasukannya,
mereka kembali dihadang oleh La Tuppgellang dari Jawa Timur, seorang raja
yang putus asa dan sangat ingin menyusul istrinya ke alam baka. Ia dikalahkan
oleh pasukan Sawerigading dan kepalanya juga dipenggal untuk menghiasi
welenrennge. Selanjutnya mereka dihalangi oleh La Togektana Pajulimpoe
Seseuraik yang juga berhasil dikalahkan dan semua perahunya dirampas,
sedangkan kepalanya juga dijadikan hiasan welenrennge.
Peperangan belum berhenti sampai di situ, setelah mengalahkan La
Togektana, mereka kembali dihadang oleh perompak La Tenripula dari
Jawa Barat. Raja perompak yang suda tua renta dan sangat sombong itu juga
berhasil dipenggal kepalanya oleh La Massaguni tanpa peperangan terlebih
dahulu, dan menggantungnya di welenrennge sebagai hiasan. Belum jauh
mereka berlayar, mereka kembali dihadang oleh pasukan La Tenrinyiwik
Langirisompa, raja perompak dari Malaka. Ia dan Sawerigading masih satu
keturunan dari Patotoe yang membuat La Pananrang merasa segan untuk
melawannya. Namun akhirnya perang tak dapat dielakkan dan tewaslah La
Tenrinyiwik di tangan La Massaguni. Semua pasukannya meyerah, sedangkan

422
istri dan wakkatananya yang megah itu dirampas.
Peperangan terakhir yang dihadapi sebelum sampai ke tanah Cina
adalah perang melawan Settiyabonga tunangan I We Cudai dari Jawa Timur.
Namun Settiyabonga selamat dari tebasan pedang La Massaguni, sebab ia
menyerah dan dipulangkan kembali ke negerinya. Setibanya di Tanah Cina,
Sawerigading menyamar menjadi Oro Kelling yang menjajakan dagangannya
berkeliling di lingkungan istana. Penyamaran itu dilakukan dengan tujuan
mengintai keadaan sekitar istana dan kemungkinannya dapat menyaksikan
I We Cudai secara langsung. Berhari-hari penyamaran tersebut dilakoninya
yang membuat para sepupunya khawatir jika penyamaran tersebut ketahuan.
Pada suatu hari ia kembali menjajakan dagangannya di sekitar istana,
ia sangat terkejut melihat seorang gadis calon pembeli dagangannya yang
wajahnya sangat mirip dengan wajah We Sawease dan We Panangngareng
istrinya. Kenyataan tersebut membuatnya sangat terpukul dan sangat sedih.
Ia pulang dengan tubuh lunglai dan deraian air mata, kerinduannya kepada
sang istri tiba-tiba terusik. Ia mengutuki dirinya yang tak henti-hentinya diberi
cobaan oleh Patotoe. Namun dengan penuh kebijakan Panritawugi yang
selalu menemaninya berkeliling menjajakan dagangannya mengingatkannya
agar tidak terganggu dengan keadaan itu. Hal tersebut hanya akan menjadi
penyakit dalam dirinya, sebab kepergian mereka ke Tanah Cina ibarat berlayar
ke alam baka, mereka tak akan mungkin lagi kembali ke tanah Luwuk.
Setelah kejadian itu, Sawerigading kembali menjajakan dagangannya
di sekitar istana. salah seorang penghuni istana akhirnya memanggilnya
dan menawar dagangannya. Hal tersebut diketahui oleh Opunna Cina, ia
lalu menyuruh pelayan untuk memanggilnya naik ke istana. Ketika berada
di istana, Sawerigading kembali teringat akan istananya di Watamparek dan
keadaan istananya di tanah Luwuk. Kesedihanpun kembali menghinggapi
perasaannya. Ketika ia mengeluarkan semua barang dagangannya, We
Tenriabang ibunda I We Cudai memerintahkan We Majang untuk memanggil
kedua putrinya keluar melihat barang dagangan tersebut.
Ketika We Tenriesang keluar dari biliknya dan duduk di hadapannya,
Sawerigading yang mengira ia adalah I We Cudai, ia tak tertarik sedikit pun
melihat kecantikannya. Ia berkata di dalam hatinya kata-kata We Tenriabeng
adiknya ternyata bohong belaka. Apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan
apa yang dilihatnya. Namun ketika I We Cudai keluar dari biliknya dan duduk
di hadapannya, betapa terkejutnya Sawerigading menyaksikan kecantikannya
yang bagai pinang dibelah dua dengan kecantikan We Tenriabeng. Seketika
ia merasa lunglai dan hilang kesadaran. Ia terkulai di sisi Panritaugi yang
membuat Opunna Cina bertanya-tanya.
Sawerigading segera memerintahkan para sepupunya untuk segera
mengajukan lamaran ke Opunna Cina.
Namun ujian untuk Sawerigading belum berakhir sampai di situ,
ketika mengajukan lamaran ke Opunna Cina, mahar yag diminta sebagai mas
kawin adalah sebanyak helai bulu-bulu kucing kesayangan istana dan mahar
tersebut harus diangkut selama tiga bulan setiap hari tanpa henti. Dengan
ketinggian derajat dan kemuliaannya, semua syarat yang diajukan disanggupi
oleh Sawerigading. Setelah semua mahar diangkut ke istana La Tanete, karena
mendengar bisik-bisik yang mengatakan ia akan celaka jika dimiliki oleh
orang Luwuk dan dibaringi orag Bajo.

423
Bisikan tersebut membuat I We Cudai sangat ketakutan, ia lalu
memerintahkan agar semua mahar yag telah diterima dikembalikan ke tempat
asalnya sebab ia tak ingin menikah dengan Sawerigading. Perubahan sikap I
We Cudai itu membuat Opunna Cina dan permaisurinya terkejut. Terlebih lagi
ketika I We Cuadai mengatakan ia lebih suka dibuang ke tempat yang jauh
atau dibunuh sekalipun dari pada menikah dengan Sawerigading. Dengan
terpaksa harta pemberian sebagai mahar untuk I We Cudai dari Sawerigading
dikembalikan ke wangkangnya. Walaupun kedua kakak I We Cudai telah
menghalanginya, sebab ia tahu dengan mengembalikan mahar tersebut berarti
membunyikan genderang perang.
Betapa hancur hati Sawerigading mengetahui harta pemberiannya
dikembalikan. Seluruh harta lamaran yang diangkut selama tiga bulan
ke istana La Tanete itu dalam waktu semalam telah dikembalikan semua,
tak selembar benang pun yang tersisa di Tana Wugi. Apa hendak dikata,
peperangan tak dapat dihindarkan lagi. Genderang perang pun ditabuh
sebagai tanda peperangan segera berkobar. Para pengikut Sawerigading pun
berikrar akan berjuang sekuat tenaga sampai tetes darah penghabisan untuk
membela kehormatan mereka. Mereka akan menyerang habis-habisan karena
telah melecehkan kehormatan mereka.
Peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Sawerigading itu, tidak
serta merta membuat I We Cudai menyerahkan diri kepadanya. Ketika situasi
semakin genting, seluruh penghui istana dan saudara-saudara I We Cudai
memerintahkan kepadanya agar maju melawan orang Luwuk itu, sebab
semua kehancuran itu disebabkan oleh kesombongannya yang menganggap
dirinya terlalu tinggi untuk menikah dengan Sawerigading. Atas desakan para
penghuni istana, akhirnya We Tenriabang ibunda I We Cudai menghadap
Sawerigading dengan membawa persembahan agar Opunna Warek itu
menghentikan peperangan, sebab Tanah Wugi sudah menyerah dan tunduk
kepada panji perang Sawerigading.
Sawerigading lalu mengutus kakak laki-laki I We Cudai La Tenriranreng
dan La Makkasau untuk menasehati adiknya agar mau menyempurnakan
perkawinannya dengan dirinya. Namun I We Cudai yang sombong itu
mengajukan syarat, ia akan menyempurnakan pernikahan itu jika La Tuppucina
dan La Tuppugellang inang pengasuhnya dihidupkan kembali. sawerigading
memberi kesempatan kepada I We Cudai jika ia masih ingin menambah
persyaratannya. I We Cudai pun mengajukan syarat lagi pernikahan mereka
tidak diupacarakan. Sawerigading hanya boleh datang kepadanya pada
waktu malam saja, ketika obor sudah dipadamkan tanpa iringan upacara adat
kerajaan, dan tanpa sambutan Puang Matoa meresmikan pernikahan mereka.
Syarat yang diajukan I We Cudai belum lengkap sampai di situ, ia lalu
menambahkan, ia harus ditempatkan di dalam bilik yang berlapis tujuh dinding
yang palangnya semua tertutup mati. Ia juga minta dibuatkan kelambu tujuh
lapis yang sudah terjahit di bagian bawahnya. Dan yang terakhir, ia juga akan
mengenakan baju tujuh lapis dengan ujung sarung yang sudah dijahit dan
penutup kepala yang diikat.
Sawerigading tunduk dan bersedia pada persyaratan yang diajukan
oleh I We Cudai demi mendapatkan cintanya. Sawerigading naik ke Bottillangi
untuk melaporkan kejadian yang menimpanya di Tana Wugi itu kepada
adiknya We Tenriabeng. We Tenriabeng lalu menyuruhnya turun ke bumi,

424
kelak ia akan diberi jalan keluarnya.
Ketika Sawerigading tiba di bumi, dinding tujuh lapis yang diinginkan
I We Cudai sudah rampung. Pada suatu malam, ketika Sawerigading sedang
tertidur lelap, ujung sarungnya tertarik-tarik oleh hembusan angin yang akan
membawanya terbang ke istana Latanete. Ketika ia tiba di layangan puncak
istana, ia disambut oleh dua ekor kucing mikomiko dan meompalo. Kedua
kucig tersebut menuntunnya masuk ke dalam bilik I We Cudai. Sawerigading
segera menekan tubuh I We Cudai dan mendapatkan ujung sarungnya yang
terjahit. Semalaman Sawerigading merayu I We Cudai dengan harta yang
banyak, namun ia tak bergeming sedikit pun. Ia tetap tak mau tunduk kepada
Sawerigading.
Selama tujuh malam Sawerigading diantarkan oleh angin menemui
I We Cudai yang dikenal dengan “Botting Ranenring” (perkawinan-angin).
Sudah habis harta yang dijadikan hadiah dan pemberian, namun wajah I We
Cudai belum terlihat dan tubuhnya belum tersentuh olehnya. Mengetahui
keadaan kakaknya tersebut, We Tenriabeng lalu menurunkan sebuah istana
yang lengkap dengan isinya untuk kakaknya yang malang itu, sebab perahu-
perahu Sawerigading sudah tak layak lagi ditempati banyak barang. Istana
tersebut diberi nama istana Mallimongen. Atas saran orang tua I We Cudai,
Sawerigading menikahi I We Cimpau sambil menuggu luluhnya hati I
We Cudai. Sejak saat itu Sawerigading dan I We Cimpau tinggal di istana
Mallimongen bersama para pengikutnya.
Pada suatu malam, ketika sedang nyenyak tidurnya, Sawerigading
dibangunkan oleh angin yang membawa pesan dari adik kembarnya di
Bottillangi. We Tenriabeng menegur Sawerigading yang terlena dalam pelukan
I We Cimpau, padahal bukan dia yang membuatnya berlayar mengarungi
lautan dan meninggalkan negeri dan kedua orang tua mereka dalam keadaan
merana. Sekaranglah saatnya yang tepat mengunjungi I We Cudai yang
sedang tertidur lelap tanpa menghiraukan lagi pasangan kelambunya dan
tidak memerintahkan lagi memalang pintu biliknya. Setelah mendengarkan
pesan adiknya tersebut melalui bisikan angin, Sawerigading segera berangkat
ke istana La Tanete menjumpai I We Cudai di biliknya tanpa diketahui oleh
orang lain.
Semalaman Sawerigading terus merayunya dengan harta yang banyak,
namun telah habis harta yang diberikan, demikian pula kekuasaannya, I
We Cudai tak juga mau menyerahkan dirinya ke pelukan Sawerigading.
Sawerigading mulai merasa gelisah dengan kekerasan hati I We Cudai.
Sawerigading teringat akan Orosada yang berkepala dua dan ujung dahinya
bertolak belakang, ia lalu berjanji akan memberikannya kepada I We Cudai
yang membuat I We Cudai merasa geli. Ia merasa Sawerigading sedang
mempermainkannya sebab ia tak mungkin memiliki Orosada berkepala dua
tersebut. Setelah Sawerigading membuktikan janjinya, barulah I We Cudai
berpaling.
Malam itu, untuk pertama kalinya Sawerigading merasakan sesarung
dengan I We Cudai. Terbesit penyesalan di dalam diri I We Cudai setelah
menyentuh tubuh Sawerigading yang selama ini disangkanya pengawalnya
yang telah membisikkan kata-kata yang menakutkan itu. Ternyata menyentuh
tubuhnya bagaikan menyentuh kain sutra yang halus dan tidak lusuh. Sudah
hampir dua bulan Sawerigading menjalankan tugas seperti suami dewa yang

425
berangkat malam dan pulang sebelum pagi. Setiap malam ia berangkat ke
istana La Tanete ditemani oleh La Pananrang yang setia menunggunya di luar
ketika ia sedang bercengkerama di dalam bilik I We Cudai.
Sawerigading sangat bahagia melihat perubahan sikap I We Cudai
kepadanya. Namun ketika Sawerigading meminta agar ia mengizinkannya
tinggal terus di La Tanete, I We Cudai tidak mengiakannya. Ia merasa malu
karena sudah terlanjur mengatakan tidak mau ditiduri oleh orang Luwuk.
Ketika I We Cimpau mulai hamil, Sawerigading tak pernah lagi menjumpai
I We Cudai di istananya, sebab ia tidak tega meninggalkan I We Cimpau
seorang diri dalam keadaan mengidam. Pada saat yang bersamaan ternyata I
We Cudai juga mulai hamil dan lahir lah putranya diberi nama I La Galigo.
Lima tahun setelah kelahirannya di atas tikar emas, paman-pamannya
La Pananrang dan La Massaguni mengajarinya menyabung ayam pada
sabungan emas, sehingga ia pun mulai megadakan sabungan bersama teman
sebayanya. Ketika diadakan upacara naik raga I La Galigo, para kerabat
Sawerigading yang berasal dari seberang lautan berdatangan ke tana Wugi
untuk meramaikannya. Raja-raja di Cina sangat kagum akan kebesaran raja-
raja kerabat Sawerigading.
Atas saran kakak sepupunya We Tepperena, I We Cudai mengadakan
acara sabungan ayam dan mengundang seluruh penyabung di sekitar Cina
seputar Sabbang yang berbatasan dengan Tanah Wugi. Tujuan sabungan itu
adalah agar I We Cudai dapat melihat putranya yang konon kabarnya sudah
pandai menyabung. Para penyabung pun mulai berdatangan, tak ketinggalan
pula Sawerigading yang datang bersama putranya I La Galigo.
Ketika para penghuni bilik melihat kegagahan Sawerigading, mereka
mencerca kedunguan tuan putrinya I We Cudai yang telah menghina dan
menolaknya dan betapa beruntungnya I We Cimpau yang menikahinya dan
bersesarung dengannya, orang yang begitu sempurna di Alelino dan susah
ditemukan. Mendengar ucapan para pelayannya, I We Cudai segera menjenguk
keluar jendela. Ia melihat Sawerigading yang sedang dipayungi payung
emas bersama putranya I La Galigo yang sedang menari Maloku mengayun-
ayunkan destarnya, dan melenggang lenggokkan pangkal lengannya, serta
memencak-mencakkan jari tangannya.
Setelah berbicara dengan Sawerigading menantunya, Opunna Cina pun
segera menggendong cucunya naik ke istana La tanete yang disambut taburan
bertih keemasan oleh ibunda yang telah membuangnya. Ketika Sawerigading
melihat I We Cudai tunduk menjemput putranya dan menggendongnya di
pinggangnya, ia kembali dimabukkan oleh kecantikan dan kebaikan I We
Cudai.

426
BALINESE IN MINORITY SPEECH
COMMUNIITY

I Made Rai Jaya Widanta


Luh Nyoman Chandra Handayani
Politeknik Negeri Bali (PNB)

1. Background of the Study

B alinese are considered multilingual community as they have been


engaging with more than two languages or dialect which is in
general called code (Holmes, 1997:9), (Wardhaugh, 1986:86). There are
three most common languages used as their media of communication
in various domains, they are Balinese language or Bahasa Bali (BB),
Indonesian language or Bahasa Indonesia (BI), and English or Bahasa
Inggris (B Ing.). BB is the most dominant media of communication, BI
is the second most language of every day interaction, while B Ing. is the
least one. BB is widely used in all over the Island. BI is the more neutral
language used in more formal situation, like school, office, printings,
and usually used by people from different religion, tribe, or casts and
B Ing is used as supplement language which is not used entirely but
mixed with BB or B Ing.
Apart from those languages, BB also has some varieties based on
different perspective. The varieties require that the speakers should
be able to use the varieties properly in such a way that the addressees
will not be insulted. The situation leads in a diglossic situation
(Eastman, 1983:41). The varieties are grouped into two parts based on
geography and social factors which then contribute to dialects, such
as geographical dialects and social dialect. They are eight regencies in
which people obviously speak BB with different dialect one another.
The difference of the dialects ranges from the close to the farthest in
distance. Badung dialect has slight difference from Gianyar dialect
since the areas are closely located one another. These dialects are very
different from that of Buleleng as they are very distance.
In addition, social dialect is also widely applied by Balinese
living in a place having different social status. There are commonly
four dialects of BB or generally called speech level used as the result
of the existence of four casts, such as Brahmana (the first cast), Ksatria
(the second cast), Waisya (the third cast), and Sudra (the lowest cast). In
its implementation, they will use different speech levels depending on

427
whom they communicate with. Those from Sudra cast will use higher
level to address those who are from higher social status. BB with its
speech level is not commonly used as media of interaction by Balinese
(in this case is Hindu people) only, but also other religion’s followers
who were born and have been being involved with Balinese society for
decades.
The people of Kampung Sindu sub village at Sinduwati village,
Sidemen district, Karangasem regency are one of group of people
who are accustomed to BB. They are entirely Moslem. There are
two mosques in which member of community do religious activity.
The people base their daily activities on Moslem religious concepts,
such as educational, social duties, and traditional obligation. Moslem
education is included in the curriculum. The elementary school is
called Madrasah, a Moslem school under Almajid foundation.
This sub village is geographically considered exclusive since
it is surrounded by sub villages resided by Hindu community in
majority. Nevertheless, the community of Sindu Islam is considered
obedient Moslem follower. It can be seen from their daily behavior,
such as doing a five time-prayer, fasting on Ramadhan, and goodwill
to their neighbor, and other certain religious activities. Islam is unique
politically, traditionally, and religiously. The community is considered
a minor Moslem group in Bali, but they claim to be one of majority
Moslem. For them, Moslem is a religion of heritage not only as a belief
having abstract value but also as an attribute or symbol of culture which
differentiates Moslem community of Sindu Islam from other Moslem
community, or from Hindu community at its borders. The situation
influences them to identify their group to find their identity. The case
leads in an implication to some aspects, such as social, culture, as well
as language use either for needs of internal communication within the
community or external communication including Hindu community
at its surrounding.
The study was initiated with an empirical study throw observation,
interview, and questioner. Throw the initiating observation it was
found that the community of Sindu Islam is a bilingual or even
multilingual community. It was signalized that there is a different
pattern of bilingualism which is relatively different from other speech
community, particularly when their bilingualism interacting pattern is
viewed from some social factors, such as difference in age, gender, and
social status of the community. Pursuant to the prior observation, it
was found that they use BB as their daily media for communication.
Obviously, BB is known to have a complex speech rule which

428
drives a diglossic speech situation. The phenomenon is resulted by
the existence of birth status; whether one was born in the family of
triwangsa (three high casts) or jaba (the lowest cast). The dichotomy
between the triwangsa and jaba is not absolutely found in Sindu Islam
community however, they have to be alert with the system since they
have to interact daily with people from the two casts at their neighboring
areas. This is one of problems that need to be further observed. Is there
a diglossic language situation, if so what is the situation like?
The same case on language situation as explained above is
assumed to happen in residences which residents are majority non
Balinese, like in Sindu Islam. In this area BB is used as vernacular,
language for daily interacting media.
Considering the salient case, the research is focused on studying
the choice and use of code by Sinduwati Moslem speech community.
The research is undertaken by virtue of sociolinguistic perspective
since backgrounds of history, religion, culture, and language situation
found in Sinduwati is considered typical.

2. Statement of Problem
Pursuant to the background explained in advance, the main
problem of this study is the use of code by Sinduwati Moslem speech
community. The problem is detailed as follows; 1) What codes are
spoken by the speech community of Sinduwati, and which code is
dominantly chosen as their daily media for communication?, 2) Is
there different use of code associated with the domains?

3. Data, Data Collecting Method and Technique


Basically, the data required for this study is divided into two,
verbal and nonverbal data. Verbal or primary data is required to draw
the real life condition of the language used by the Moslem speech
community of Kampung Sindu. The study also needs nonverbal or
secondary data obtained with questionnaire to evidence the existence
of the verbal data. In addition, it was intended to find out some
insufficiently obtained verbal data for the needs of analysis. The
questions the questionnaire is built up of are mostly close question
so that respondents do not have other alternate choice. They have to
choose only one answer in stead. There are a number of methods, a set
of research procedures with certain clear and organized stages, used
to collect data in order for the researcher to obtain comprehensive
and objective data. This method is used to get some data, including
respondents’ personal data, type of expression they use in their daily

429
life associated with each domain, their responses related to reasons
why they choose and use the code in each domain.
Some techniques, a set of more operational way of collecting
data (Sumarsono, 1990), are used in this research, such as interview
and observation, elicitation, taking note, and recording technique.
Interview, note taking, and elicitation was done in accordance with
questionnaire to obtain non verbal data, while observation and
recording was incidentally to get real data.

4. Some Concepts

4.1 Code
Holms (1997) proposed that code refers to any set of linguistic
form which patterns according to social factors. It is a set of linguistic
term referring to language in context. A code or variety is a set of
linguistic form used under specific social circumstances, i.e. with
a distinctive social distribution. Code is therefore a broad of term
which includes different accents, different linguistic style, different
dialects and even different languages which contrast with each other
for social reasons. This term (code) is linguistically neutral because it
covers all the different realization of the abstract concept ‘language’
in different social contexts’ (Holmes, 1997:9). This definition is in line
with Wardhaugh’s (1986) idea, ‘any kind of system that two or more
people employ for communication’. This broad notion includes not
only language or the standard language but also varieties of language,
such as dialect, style, low standard language, pidgin, Creole, patois,
vernacular, as well as lingua franca (Wardhaugh, 1986:86).
The definitions signalize that code is a set of linguistic form
which patterns usage depends on social context and a number of social
factors. In other words, code is used under specific social circumstances
(Sumarsono, 1990:84-85; Hudson:24). This term is used in this research
since it is neutral linguistically since it refers not only language but
also accent, style, register, and variety of language.
By virtue of this clear cut, the community of Sinduwati has been
employing some codes used interchangeably. There are three standard
languages as a means by which they interact in their daily lives. BB is
used more widely than BI, such as interaction between family members,
between people around their neighbor, between colleagues at market,
between people at farming areas, between relatives or community
members when involving in any traditional and social activity. BI
is exclusively used for interaction between students and teachers at

430
school and in the case when they serve friends or guests who speak BI.
B Ing., however, is used in more specifically occasion, such as between
English teachers at school or in classes at school which subject taught is
English. In addition, it is mainly used to communicate with foreigners
visiting this village for certain purposes.
Apart from the main means of communication, Arabic and
Malay (the old version of BI) are used specifically in a religious
domain officiated at mosque. These two codes are frequently used
as communicating media on preaching or mebebasan. This activity is
usually undertaken a day before Moslem holidays, such as Ramadhan,
Israk Mi’raj, and other special days. At this occasion, the person in
charge to read the text called amir reads the Arabic text in Malay using
melody of sacred song. Since the text is built of paragraphs, amir reads
paragraph by paragraph. A priest translates the paragraph after being
read in BB. The translation is uttered in such away in BB so that it is
comprehensible for the participants. In addition to this practice, Arabic
is also used in other circumstances, for instance when priest or leader
of Mosque open meeting on a religious or traditional activity, like
prayer, giving speech on wedding ceremony, anniversary of Mosque,
celebration officiated at Mosque, as well as in an Arabic subject class
at school.

4.2 Moslem Speech Community of Sinduwati


Sinduwati is a village built up of four sub villages, namely Kikian,
Iseh, Sindu Bali, Sindu Islam sub village, and Punia sub village. Sindu
Islam is the one which 100 (one hundred) percents of its people are
Moslem. This sub village is considered typical since it is surrounded by
four sub villages which people are Hindu and are constructed (about
20 percents of them) by triwangsa people (including, Brahmana, Ksatria,
Waisya), and the rest eight percents are Sudra. Sindu Islam sub village
is resided by 150 families or around 700 people.
Historically, Moslem people at Sindu Islam were from Makasar
and moved to Lombok. When the King of Karangasem widened his
government to Lombok, there were some exchanges undertaken in
terms of culture, tradition, as well as people. Up on the victory of
Karangasem kingdom some Moslem people were taken to Karangasem
and commanded to be shield at the western of the kingdom against
Klungkung kingdom attack. To handle the order from the king, they
were graced residing site which is now called Sinduwati village
particularly Sindu Islam sub village. Therefore, they live side-by side
with the triwangsa from other sub villages at Sinduwati village. As the

431
proof, they reside the areas lower than those of the triwangsa.
The lasting heritage can all time be viewed in the form of
their behavior, sense of integration, solidarity, and coherence to
the triwangsa who are believed to be descendent of royal family of
Karangasem kingdom. They solely dedicate themselves to take parts
to cooperate with the triwangsa when there is a religious, social, or
traditional activity at triwangsa families, such as cremation ceremony,
mutual work, and others. The Moslem people find that it is a part of
their duties to enhance harmonious live with each other.

4.3 Language Domains


Domain is a cultural concept abstracted from topics of
communication, relation between communicator and communicant,
and setting (the site where a communication takes place) in accordance
with symbols existing in the society (Jaya Putra, 2008:72). Based on
its concept, Language domain is a constellation between participant
(speaker and interlocutor), location, and topic (Somarsono, 1990:197).
According to Bell in Adi Putra (2009) concept of language domain had
been used by researchers on language shift in Germany to know the
use of German being compared to other languages in contact situation.
Schmidt Rohr is the first person who undertook the research to know
entire status of language choice. The proposed domain included family,
recreational places, street, school, church, literature, press, military,
court, and governmental administration. Fishman (1968) stated that the
number of domain used in sociolinguistic research can not absolutely
be determined. He used simple domain including family, neighbor,
work, and religion. Sumarsono (2009) used some domains including
family, intimacy, education, religion, transaction, and government.
In this research, there are seven domains used, including
family, intimacy, neighbor, education, government, transaction, and
religion. The chosen domains are considered to be representative to
sorts of code used by the community. In addition, they are merely
determined to be needed for this research. Each domain is explained
in detail as follows.
1. Family domain. Through questionnaire, respondent is asked to
determine language they usually use for communication at home
between parents, grandparents, brothers and sisters, and other
people like house maid, or other relatives living at the same house.
The topics of talk are things related to daily activities, including
meals, house works, activity, and others.
2. Intimacy domain. Participants involved in this domain are those

432
whoa are at the same ages acting as friends or colleagues. This
domain is characterized with relax situation, and the verbal
interaction occurs at uncertain sites like street, lane, rice field,
or farm. The topics discussed are those in accordance with their
interest, concern, including their concern on parents, fashion, TV
program, games, and others.
3. Neighbor domain. The interlocutors involved in this domain
are relatives, friends, and neighbor living side by side with the
speakers. The topics talked in this case are general ones, such as
gossip, fashion, entertainment, and other social problems.
4. Education domain takes place at school but not in class room or
study room, such as school yard, square, canteen, teacher’s or
staff room. This is based on an assumption verbal communication
in learning process is done in BI. They are asked to determine
language choice they most intensively use when they do
interaction with friends, teachers, staff, and cleaning service.
The topics discussed are things related to school either directly
or indirectly, including teacher, class mate, teaching-learning
situation, and test.
5. Government Domain. This domain involves the use of language
when participants deal with things in formal situation, such as in
village administration office or government offices.
6. Transaction domain includes activities like goods or service
trading transaction, especially that of bargaining at traditional
market, stall, and other transaction sites.
7. Religion domain includes discussion or talk concerning things
related to religion (Moslem) between priest, ustad, amir, haji and
members of prayer at mosque, boarding (pesantren), and other
boarding sites.

4.4 Recording and Questionnaire
Recording and questionnaire techniques as devices to obtain the
primary and secondary data respectively were used as the most device in
this stage. Questionnaire contains a number of questions or statements
pursuant to which respondents have to make a short dialogue built up
of at least two sentences. To make it representative for nearly all types
of common question or sentence respondents usually include in their
daily talks, there are a number of language functions based on which
their sentences are constructed. The language functions include asking
thing, requesting, commanding, saying compliment, accepting invitations,
complaining, telling information, refusing invitation, inviting, and offering

433
things.
Recording, on the other hand, is undertaken to obtain real data on
code used by the community. In this case, a number of speech situations
or dialogues in the seven domain ware recorded. The recording
was done in with a secret method in order for them to perfume the
communication in a real life situation.

5. Analysis
There were some questions to respond up on the field observation
through recording and interview with questionnaire, namely 1) the
code spoken by Moslem community of Sinduwati, 2) the use of code
associated with different domains, and 3) speech level used in relation
to those domains.

5.1 The Code Spoken by Moslem Community of Sinduwati


Fundamentally, BB, no matter which level it is appertained, is
the main language by which the Moslem community of Sinduwati
communicate. This means of communication is widely used to do
interaction with each other at sub village of Sindu Islam or with sub
villagers from the four sub villages, such as Iseh, Punia, Kikian, and
Sindu Bali. This language is utilized by Sindu Islam sub villagers to
communicate with people from the same and different age, gender,
status, and profession. BB is the most language for old people since
they know a little about BI and even do not know Sasak language,
the language used by their original forefathers, Lombok people since
they are parted from their origin for about 400 years or about seven
generation from (according to one of the respondents). However young
people and school students sometimes speak Indonesian particularly
in a formal situation, like school during a lesson or mixed BB and BI
in situation where the speaker and interlocutors want to show their
being modern.
BB is also used to communicate in different language domain
to see how the use of BB is observed not as a part but as the whole
means of interaction. There were seven different domains appointed
to be parameter by which BB can be entirely observed to represent the
language used by Moslem speech community of Sinduwati.

5.2 Code Choice and Its Domains


In spite of the choice of BB for every language domain generally,
there is also difference in the use of it in terms of speech level in
consistence with whom the speakers speak. They use different level of

434
BB when they speak with those from the same age, older or younger
than them, those having higher or lower social status. As it had been
explained in advance, there were seven domains each of which is
differently determined to pursue reliable data.

a. Family Domain
This domain is considered to be the most domains in which
BB is eternally used since there are three different age-based speech
community involved, such as old people (parents), adults, and young
people. Parents are those who are married and / or have children. They
are normally one parents in one house counted as one family to be
recorded at sub village administration. Basically, there are 150 (one
hundred fifty) families at Sindu Islam sub village. However, not all of
them are residing at this village. Many of them live out side the area,
out side Karangasem regency, or even out side Bali to earn living.
Adults are unmarried people who are upper seventeen. Each
family usually has at least one child who may be adult or youngsters.
They are mostly, even thought many of them are employees, students
of senior high school and university. And young people on the
other hand are those who are younger than adult. They are mostly
elementary school and junior high school students. Although some of
young people and adults of the sub village live out side there are still
many who live for school or work at the area from whom the data were
gained.
The three aged-based groups of pure respondents are always
involved in the speech event in balanced. The speech event does not
only occur intra the same-aged participants but also inter participants
who are from different groups. This case is also a part of the research
point since there is possibility of difference in code used by the
participants.
Old people are considered more static than the rest two age
groups of people since they are less tolerant toward interference and
new ideas. The interference can be linguistic and non linguistic which
dominantly result in changes in the way they communicate with the
language. The more tolerant they are with such interferences the more
language phenomena they will be committed in, such as code mixing,
code switching, or code borrowing (Wardhaugh,1986:86 ). As the result,
there will also be process of convergence, a phenomenon in which
they accept and try to use their interlocutor language for the sake of
maintaining communication to avoid conversation break down.
In the real life situation, old people of Sindu Islam sub village

435
mostly have and use one language (BB) for their daily interaction. They
do not, even though know Indonesian from some mass media like TV,
radio, or the papers, use BI or other languages to hold interaction with
each others.
Based on the recorded data and that obtained with questionnaire
there are 10 (ten) language function-based items of question to be
responded by the old-aged participant name M. Amin with his wife
as the interlocutor.
Having seen the BB spoken by respondent in this domain, the
lowest level of BB (Kepara) seems to dominate the language. They even
never used the higher levels of BB which is a lot more honorific (like
Madya and Singih). According to the respondent there are two main
reasons by virtue of what they are committed to using such level of
BB; (1) they are alert to be common people; (2) BB Kepara is suited with
such speech situation.
According to social stratification, Moslem people do not have
casts based on which Balinese (in this case Hindu community) live in
society. They live as other religion followers (except Hindu) do. Hence,
they also use one means of communication to generalize and simplify
their way of interaction. As the result this brings on a good harmony
among them. In addition to this, BB kepara fits with the domain and
situation under which both speaker and interlocutor interact. This is
in line with Hyme’s (1973) perspective Ethnography of Communication
proposing parameter pursuant to which speakers usually decide what
code to use during interaction. It is explained that communicators and
communicants tend to consider the eight components of parameters
during the communication, called SPEAKING, including Scene,
Participant, End, Act sequence, Key, instrument, Norm, and Genre.
Data 1 “Nu sakit sirahe, Bah?” is a common expression to ask whether
some one still gets headache or not. Since the talk occurs at family
domain between spouses they do not use the more honorific levels (BBM
or madya or even BBS or singgih) otherwise it sounds strange or odd, like
“Kantun sungkan duwure?” or “Napi kantun sungkan prabu retune?”.

Data 2 “Bah, gaenang kopi, kejep!” is also a common expression in BB Kepara.


This utterance is normally spoken when speakers are well acquainted one
another. In addition, it sounds funny to utter more honorific expression
to people we get on very well with, otherwise they will be disappointed.
Thus they will not say “Biang, karyanang tiyang wedang ajebos?” (for BBM)
and “Ratu, karyanang titiyang wedang ajebos?” (for BBS).
The case on use of BB by Sindu Islam sub villagers at Sinduwati
above draws entirely the same case as what old people do to adults.
Despite having different age and educational back ground old people

436
seem to feel that there is no border raising a gap in using BB. This
code is considered a common means of communication by which they
communicate their ideas of any kind. However, to show their being
absolutely familiar, old people do not infrequently use BBK with lower
type of addressing system.
The expression in data 3 “Cai nake ngateh memene ke peken!” is very
salient to show how relationship between the speaker and interlocutor
is made very closely. The word “cai” meaning “you” emphasizes that
the speaker uttering this expression feels that there is no border existing
between them. This is, even though not found in all family members,
especially those living away from their origin” very common done by
local family who has been residing at this area.
The lower class of BBK spoken by the old people to adults in data
3 is not constant. It depends mostly on whom (adult people) they speak
to and when the dialog takes place. If the speaker speaks with adults
who are from higher cast of people who have higher social status their
sentence choice will certainly be different.
There is then a bit different fact drawn by old people to young
people’ utterance. In addition to the use of BBK, BI is also frequently
used since it seems to be a common media. The expression (in data 4),
“Memene ada jumah, Luh?” is an obvious evidence of the use of BBK.
This expression is commonly expressed by old people to young people
whose mother tongue is BB. However, data 5 “Ma, diam nake Ima?”
is uttered by an old people talking with her grand daughter whose
mother is from Bandung. Regardless of the use of totally BI or mixed
BB and BI, this case usually happens in the case that the children are
from families whose mother or father is from other Moslem community
like Java, Lombok, Madura, Bandung, or other non Balinese speaking
regions. This is caused by the fact that BI is commonly used by the
parents who share different mother tongues.
Generally, BB is used for interaction between old and young
people in this domain. They tend to used BBK which is a common
means of interaction among them. However, BI is also sometimes
used by old people to talk with young people whose father or mother
is from out side Sindu Islam sub village, for example Java, Sumatra,
Sulawesi, or other origins.

b. Friendship Domain
BB, even though not entirely, is dominantly used as the language
for communication among people of different ages at friendship
domain. The main reason is basically the participants and scene

437
perspective, i.e. who is being involved and when or where does the
speech take place. The following data draws how BB is used in this
domain.
Data 6 “Sing nyidaang, legaang malu”
Data 7 “Dija mesekolah jani, Tut?”
Data 8 “Nyen meliang sepatu luwung ne, De?”

The three expressions above were spoken by old people. They are
uttered to three differently-aged participants; they were old, adult, and
young people respectively. Obviously, the expression is not different
one another in term of the type of BB used. There is no speech level
applied by the speaker therefore, it sounds common and standard.
The speaker did not see that he should use different types of BB (BBM
or BBS) since the participants were people he knows very closely and
speech situation under which the event occurred was eligible to do
so.
The following three data, however, was spoken by an adult
speaker to three different participants. Despite of using BBK the BBM
was also used as one of the participant being involved in the speech
event was a priest whom the society usually respects for his religious
and social duty. This case can be seen in the data 9 “Tan ada acara napi
ring Masjid?” The adult speaker in this case used BBM even though
in a simpler way. His being not very familiar with BBM made him
use BBM doubtfully. As the result he inserted some terms in BBK to
compose a BBM expression. The words “tan”, “acara”, “napi”, “ring”
belong to BBM while “ada” belongs to BBK.
In the data 10 “Nyanan SMS gen raga nah?” and data 11 “Cobak
loking pulpen ne, dija meli pulpen ne?” the speaker used BBK entirely
to show his being very close to participants. In daily life people
normally show their friendship with some signals, such kinesthetic,
facial expression, and language. The use of non formal language in
an interaction can signalize that speakers and interlocutors have
good friendship. The speaker, in this occasion, tries to show that his
relationship with adult speaker (in data 10) as well as with young
speaker (in data 11) are the same.
Young people also show totally the same circumstances on the
use of BB in their interaction. Since this domain is grouped into less
formal one it then influences the language use. In data 12, “Ha ha,
ngeling ya pak”, the speaker uses BBM to show his being closed to
the interlocutor. The next two utterances from the young speaker,
such as data 13 “Gas ibi sing solat ya, gas puan sing solat ya” and

438
data 14. “Kuda meli?” are the salient examples on how BB is used in
interaction.

c. Neighborhood Domain
Like domain of friendship, family, transactional, and religious
which implicate non formal situation, neighborhood domain also
involves BBK since it is the setting considered to be non formal one.
Even though, there is code-switching occasionally occurs, depending
on whom the speaker speak to, BBK is still the main chosen media of
interaction among the society. The following data is best to describe
the phenomenon. Data 15 “Da ja kenten napi”, Data 16 “Ten ngalih TV
pak AJi?, niki ampun wenten nak ngadep”, data 17 “Jemak ketone”,
data 18 “Niki ujan-ujan, apang angetan, wedangin dumum”, Data
19 Ngajeng malu de?” are that using BB both “madya” and “kepara”
level since neighborhood is the second most familiar domain after
family domain to which society are closely involved. In other word,
it is the first environment people usually communicate with up on
their leaving their family. Similarly, in accordance with Balinese social
activities and traditional and religious obligation, neighbor is the first
party we have to cooperate or to discuss with when we have such
activity or event as death, wedding ceremony or others. T h e r e f o r e ,
BBK is mostly used for the media of interaction. As we can see, data
17 and 19 use BBK since speech participants involved are those who
are from “sudra” level. However, the words choices do not meet its
function when they communicate with people from upper level or “tri
wangsa”.
Data 15, 16, 18 above show, although not totally BBM, how words
are set and chosen in order for speech to be in accordance with higher
level of people, the “tri wangsa” group. However, they still apply some
BBK words in stead of BBM for some reasons. They use “de ja” instead
of “sampunang ja”, Ngalih” instead of “ngerereh”, “nak” instead of
“sane”, “ngadep” instead of “ngadol” “ujan-ujan” instead of “sabeh”
and apang “instead of “mangda”. This is done as the speakers feel
that they are well acquainted with their interlocutors yet still intend to
respect them.
Data 20 “Sana tunggu di luar dulu”, however, is the one which
is apart from the means of communication above. This case occurs
occasionally, particularly when the interlocutors do not know or are not
familiar with Balinese. This treatment is usually given to children born
up to intermarried spouse, which one of them come from out side Bali
or Sindu Islam, such as Lombok, Java, Bandung, Jakarta, or Sumatra.

439
The speaker will use BI the language which is firstly transferred by
their parents to their children, to avoid communication brake down.

d. Educational Domain
Despite the formal situation, BB is still the main means of
communication among members of speech community at school. BBK
is the most language spoken by the participants at this domain. The
following three utterances expressed by old people (a teacher and the
school head) use BBK. Data 21. “Iyang mara masuk suba maan DP,
orahin nyemak hadiah”. Data 22. Kene ceritane, waktu rapat-rapat
tujuine I raga jak bu agama…”, data 23. Ngih tiyang ke bawah dumun,
masalah uang niki”. BBK is dominantly used for communication at
school by teachers. It is obvious that the speaker of data 21’s utterance
tried to use BB words totally since he is an old man whose language of
interaction is BB in his every day life. However, in data 22 and 23, he
inserted some words of BI since he spoke with the school head whose
position is higher than his in the institution. Some words of BI were
applied in order for his to make more clear sentences in accordance
with the context of situation.
Similarly, the adult speaker at school also tends to use BBK with
some code-switching to BI when doing interaction. Data 24 “Sareng
bu Dayu, bu Dayu kan ditelpon di sekarang katanya oke. Langsung
ngerereh contoh blanko ...kenten.. langsung ngerereh contoh blanko
..kenten..alngsung ngaryanin langsung dikirim”, data 25. “pak dados
langsung kenten dumun” both contain code-switching from BB to
BI, and data 26 “blangko nika meanggen sampun dikirim” factually
draw how adult speakers constructed expressions in this domain.
Apparently, adult speaker who gets used to using BI in his daily life
tends to insert BI words more than old people do.
Nevertheless, young people intensively use BB at school to
communicate with their colleagues. In the following data, it can be
clearly seen that they construct their BBK sentences with insertion of BI
sometimes. Data 27 “sajan iraga gen kene ajak jaja, ane muani-muani
tileh jajane” and Data 29 “Bungkusin nake” were uttered with totally
in BBK, while data 30 “Nak pak guru nyedekahang pis, langsung bagi
raga ajak dadua” still inserted mixed BI and BB and pure BI words,
such as “nyedekahang” and “langsung” respectively.

e. Governmental Domain
Governmental domain focused in this research is that related
to Sinduwati village administration, especially Kampung Sindu sub

440
village. Unlike other domain where BBK is involved totally, this
domain is that where bilingualism is applied. Therefore, BI is a bit
more commonly and widely used since communication does not only
involve local people but also outsiders. In addition, topic of speech
also extends more widely to other topics which enable speakers and
interlocutors to use BI. The data beneath which are uttered by adult
and old people overtly clarify how the language(s) and itys variety are
used.
Data 31 ”Ada teka pak Kades ibi?”
Data 32 “Tolong info teman-teman tentang cuti bersama, nah!”
Data 33 “Dusun Kampung Sindu mula konden ngelah bale banjar”
Data 34 “Masyarakat driki nak sampun baur saking dumun,
tan wenten gap,
Data 35 “Tanah nika wantah pican griya, makane semeton muslim driki
sering ngayah ke griya yening wenten karya.
Data 36 “Jumat hari pendek kantor tutup jam sebelas nika”

Obviously, BBK is used in data 31 and 33. The speakers are aware
that their interlocutors are local people who feel more convenient if
they use BBK in that setting and scene. In addition, the speech situation
is also considered non formal, i.e. at the parking area of the village
office. However, 32 and 36 draw how dialogue occurred in a formal
situation. The speaker in this case used BI to communicate with her
interlocutor (her colleague) pursuant to office-related topic. In data 36,
speaker also tried to use BI to respond to an interlocutor’s questions
who is not a part of their colleagues. On the other hand, data 34 and 35
involved BBM to show speaker’s courtesy to the interlocutor.

f. Transactional Domain
This domain put forward traditional market as a setting in which
BBK is used for communication. The interacting media shared by
speakers basically similar to that of other domain. However, some
language functions used by both speakers and interlocutors have
special embedded expressions which make them sound different from
that used in other domain. But the analysis will highlight it as the main
focus in this study.
The following expressions are spoken by both old people and
adults. Data 37. “Ento buin mudahan, ento kone ji solase”, Data 38.
“Ji dasa, ji dasane, sing ji siane”, Data 39. “Oh, potong orange. Kaden
nak ji solase, kaden nak ji telung atak”, Data 40. “Pindang ane cenikan
to bang”, Data 41. ”Nika tan wenten, lamen kun wenten nika” all

441
use BBK as the most common means of communication at market.
Clearly, the variety of BB used commonly in market is that used by
community member in other domains, i.e. BBK. It can be seen from the
linguistic items used in terms of vocabulary, grammar and structure.
All vocabularies by which sentences in data 37, 38, 39, 40, and 41 are
built up of are derived from BBK. However, some of those words, as
in some cases of other domains are pronounced shorter than their full
forms. The words “ji , nak, atak, ane, to” are actually from the full
forms of “aji, anak, satak, sane, and ento” respectively.

g. Religious Domain
Religious domain covers some activities such as those carried
out in mosque, wedding site and other related setting. Speech event
taking places at mosque particularly involved speech event involving
BBM, the middle class BB usually used to interact with people from
ksatria cast. In this case the setting was at mebebasan, reading a religious
text written in Arabic language using Malay language and translated
into BB. Since the situation of the speech is formal and religious and
viewed by Moslem devotees, BB is used as the media of translating the
text is BBM. Look at the following data. Data 42 “Di sampune weneten
titah dane Allah Sbahana Wata Allah mangkin malaikat Jibrail sareng
malaikat Bikail rauh ke surga ngambil Burak sane keliwat jegeg”,
data 43 “Nah, disampune keambil, burake niki raris tedun ke dunia,
kenten”, data 44 “Mangkin wenten titah ida Allah Uta Allah, perintah
ida Allah Uta Allah dalam Israk Mi’raj niki taler wenten firman ring
Alqur’an.
The three data of the translation of Moslem religious text use
BBM. Basically, the speech involved BB based on variety of language
people use in daily life. Since the speech situation was considered
more honorific, the interpreter decided to use BBM to be respectful
to the participants. This can be proven that all words in the sentences
used BBM except those related to Moslem terms such as, Allah, Uta
Allah, Sbahana Wata Allah. Apart from this there is also Indonesian
word used, like “dalam”. The salient fact successfully proves that BB
is still the main media of communication for Moslem community of
Sinduwati in religious domain.
Od, educational, governmental,

6. Conclusion
Up on the analysis, there was two conclusions can be drawn, as
follows; (1) Moslem speech community use BB as the main means of

442
communication among their colleagues. This language is used in all
domains observed during the research, including family, friendship,
neighborhood, educational, governmental, transactional, and religious
domain. (2) There is speech level applied by Moslem speech community.
The case is applied depending on scene, participant, end, act sequence,
key, instrument, norm, and genre.

BIBLIOGRAPHY

Eastman, C.M. dan Longyear C. 2005. Linguistics. In Microsoft® Encarta®


Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Press.
Fishman, J. A. 196. Readings in the Sociology of Language. The Hague: Mouton.
Holmes, J. 1997. An Introduction to Sociolinguistics. Addison Wesley Longman
Inc., New York: Longman Group UK Limited.
Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.
Hymes, D. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Philadelphia: University of Pannsylvania Press.
Jaya Putra, Adi. 2008. Desertasi: Penggunaan Kode oleh Masyarakat Tutur
Pegayaman. Denpasar: Udayana
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Proyek
Penelitian dan Pembinaan ahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Jakarta.
Wardhaugh, R. 1986. Introduction to Linguistics. New York: McGraw-Hill Inc.

443
ESENSI PITUTUR YANG
BER- CHARACTER EDUCATION SEBAGAI
LOCAL WISDOM DI BALI

Pande Wayan Renawati


IHDN Denpasar

Latar Belakang

P ada masa globalisasi ini, melihat, menyaksikan prilaku generasi


muda pada umumnya seperti menjauh dari nasehat orang tua.
Orang tua memanggil, menyuruh anaknya untuk melaksanakan
keinginannya terlihat berteriak-teriak seakan-akan sampai habis
suaranya memberi sebuah nasehat malah semakin terabaikan. Ada apa
dengan mereka? Itu menjadi pertanyaan besar dibenak setiap orang
tua yang mengalaminya. Kemajuan informasi dan teknologi pada
berbagai media, serta adanya narasi dari sebuah film atau sinetron
yang mengandung kekerasan, penculikan, pemukulan, hingga
pembunuhan yang cendrung menonjol, disamping digambarkan trik
dan strateginya untuk ke hal yang negatif, serta hanya beberapa persen
ditayangkan dari kisah tersebut yang berisi tentang petunjuk untuk
kebaikan, sepertinya itulah penyebab dari pengaruh yang kuat pada
kisah yang telah ditontonnya. Pengaruh permainan seperti game, yang
memang akan menghiburpara generasi muda, sepertinya tidak bisa
dengan mudah dikendalikan perkembangannya.
Hal – hal tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu ada
pengawasan kuat dari orang tua terkait dengan kemajuan zaman
dan perkembangan arus globalisasi. Sebagaimana diketahui bahwa
generasi muda sebagai penerus, sebagai tiang penyangga negara di
masa depan harus dibina sejak dini.
Menurut Suyanto dalam Nugroho (2008 : 29) mengatakan bahwa
pendidikan memiliki fungsi penting bagi daerah terutama untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM dengan
dana yang memadai dapat dipastikan setelah diberikan kepada
otonomi daerah maka daerah harus mandiri, kreatif dan mampu
mengembangkan daerahnya untuk mewujudkan kesejahteraan.
Arah kebijakan disebutkan Guruge (1996 : 3) menjelaskan
bahwa diagnosa situasi pendidikan sekarang ini yang menunjukkan
kelemahan dan kekurangan-kekurangan perlu dikoreksi, sehingga

444
mengarah atau mencapai relevansi efektifitas dan efisiensi.
Maknanya jelas bahwa pendidikan sangat dibutuhkan bagi
setiap daerah, dan semua arahnya itu sangat bagus oleh karena itu
perlu adanya kebijakan untuk mengembangkannya. Hal itu tidak
mudah perlu kebijakan dari semua unsur baik dari keluarga, sekolah,
hingga pemerintah negara. Unsur yang paling dekat dengan mudah
dikenalnya adalah dari keluarga. Keluarga satu-satunya alat berpijak
yang paling kuat dalam rangka mengendalikan dan membina segala
bentuk perkembangan hingga pendidikan generasi muda untuk
mencapai cita-cita luhur. Dasarnya dari lingkungan keluarga terlebih
dahulu dengan nasihat yang patut didengar dari orang tuanya. Jika
keluarga turut mendukung keberhasilan generasinya maka akan
semakin cepat untuk meningkatkan sumber daya itu. Namun jika
keluarga tidak mendukung bagaimanapun arah kebijakannya tidak
akan mampu untuk diaplikasikan selanjutnya.
Selain harus selalu tekun sembahyang sehari-hari generasi muda
harus selalu dikendalikan dengan penuh bijaksana melalui nasehat
atau pitutur (istilah Bali). Budaya memberi pitutur terhadapnya sudah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penduduk Bali sejak masa
lampau. Untuk itu hingga kini ajaran tersebut tidak terlepas dari benak
setiap orang tua untuk harapan masa depannya untuk bisa menjalani
hidup yang lebih baik. Dasar memberi ajaran kepadanya dilandasi
oleh naskah (lontar) yang mengandung nasehat. Dari latar belakang
tersebut ada beberapa hal menjadi rumusan masalah yang perlu dibahas
sebagai berikut. 1). Bagaimanakah esensi pitutur yang didasarkan atas
naskah (lontar) Kumara Tattwa? ; 2). Bagaimanakah esensi pitutur yang
didasarkan atas naskah (lontar) Jatiswara? Untuk lebih jelas, bahwa
tulisan ini mempunyai tujuan agar mendapatkan pemahaman yang
luas serta menemukan titik terang ketika permasalahan tersebut
muncul dan dapat disikapi dengan penuh bijaksana oleh orang tua
ataupun yang mengasuhnya.
Untuk memahami isi kedua naskah itu, perlu adanya pemahaman
secara mendalam, serta dapat menginterpretasi maknanya. Disamping
itu agar bermanfaat pula dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan
sebagai pengkaji budaya yang memfokuskan perhatiannya terhadap
keselamatan dan kebahagiaan generasi muda melalui pemahaman
naskah (lontar) dan ajaran tersebut yang layak untuk dikaji. Tulisan
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap orang
tua untuk bisa mengevaluasi gerak gerik keturunannya ataupun
membantu mencari jalan keluar dalam menghadapi permasalahannya
dan membuatnya menjadi lebih berdaya dan berhasil guna dalam

445
mengembangkan kehidupannya di masa yang akan datang.

Pembahasan
Yang menjadi konsep dasar pemahaman ini adalah esensi
pitutur, character education, serta lokal wisdom. Kata pitutur menurut
Zoetmulder (2006 : 1308) mengandung arti peringatan, nasihat,
teguran, dan amanat. Jadi pitutur benar-benar digunakan sebagai
petunjuk bagi setiap anak-anak di Bali sebagai peringatan orang tua
agar anaknya memperoleh keselamatan lahir batin dalam menjalankan
hidup ini. Pitutur kadangkala susah untuk dicerna tetapi hal itu pasti
ada solusinya dengan cara merangkaikan dengan kisah-kisah cerita
rakyat serta memberi nasehat di saat-saat waktu yang senggang seperti
saat santai bersama keluarga, juga baik saat mengeloninya menjelang
tidur karena hal itu terbukti mau didengar dan dimengertinya.
Yang menjadi esensi pitutur ini adalah hal yang menjadi inti
pokok untuk dapat dengan mudah dpahami lewat nasihat yang
dipaparkan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk memberi pitutur
lewat naskah (lontar) – naskah (lontar) yang berisikan hal – hal yang
mengandung petunjuk secara praktis dan menjadi inti pada naskah
(lontar) itu untuk dipahami lebih mendalam. Ada disebut pula
tentang character education. Tentu saja kata tersebut tidak diabaikan
begitu saja karena mengandung makna pendidikan yang berkarakter
atu bercirikan atau mempunyai suatu ciri – ciri pendidikan. Dalam
hal ini pitutur mempunyai ciri khas yang dipandang sebagai suatu hal
untuk dikagumi dan menjadi pelita dalam menjalani hidup bagi anak-
anak tersebut. Terkait dengan lokal wisdom, pitutur ini telah menjadi
trend dari masa lalu hingga kini yang tidak mudah untuk dihapus
begitu saja. Hal ini merupakan suatu kebijakan lokal para leluhur di
Bali untuk selalu memberi nasihat kepada keturunannya, sehingga
mampu menjadi tauladan di masa depan. Untuk memahaminya,
beberapa jenis pitutur yang penulis dapat dan telah dipilah dengan baik
akan dipaparkan dalam pembahasan di bawah ini sebagai berikut.

1. Naskah (Lontar) Tutur Kumaratattwa


Naskah (Lontar) Tutur Kumaratattwa merupakan dokumentasi
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, yakni sebuah naskah salinan berupa
hasil transliterasi teks tutur kumaratattwa yang diketik oleh Made
Pardika, seorang petugas Gedong Kirthya Singaraja. Pemilik aslinya
adalah I Made Wirya dari Desa Panji Kecamatan Sukasada Kabupaten
Buleleng. Naskah teks lontar ini diketik ulang oleh I Made Pardika
pada tanggal 15 Februari 2001 dan disimpan di Perpustakaan Gedong

446
Kirthya Singaraja yang berisi kode katalogus K 2322. Naskah ini di
simpan pula di Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Lor
10.249 (Haryati Soebadio, 1985 ; 4).
Tutur Kumaratattwa merupakan satu dari beribu-ribu naskah yang
diwarisi masyarakat Bali hingga kini. Tutur Kumarattatwa mengandung
nilai-nilai luhur yang berisikan mengapa manusia menderita dan
bagaimana manusia melepaskan diri dari penderitaan itu. Adapun
sumber penderitaan manusia adalah dasendriya (sepuluh nafsu).
Intinya manusia harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan
dasendriya, ibarat penggembala menggembalakan gembalaannya,
dengan cara mengenali, dan memahami kejatidirinya sehingga
manusia dapat mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam
dirinya.
Jika dikaitkan dengan kehidupan di masa kini, maka naskah
ini sangat berperan sesungguhnya untuk mengarahkan pikiran para
generasi penerus bangsa guna mampu untuk menghindari dari
segala emosi jiwa yang tanpa kendali seperti adanya pembunuhan,
pemerkosaan, penculikan, pembakaran, dan masih banyak lagi hal
lain yang perlu diantisipasi lebih awal dengan mendalami tutur dari
naskah ini. Sehingga para generasi tersebut mampu menahan diri dari
gejolak baik itu dari dirinya sendiri, pengaruh lingkungan maupun
dari faktor keturunan.
Menurut Anonim (2003 : 30) Bhatara Guru mengatakan ada
seratus bentuk perwujudan dari sepuluh nafsu (dasendriya), ada juga
perwujudan tri guna (satwam, rajas, tamas) yang dinamakan ganitri,
digelar ditiga dunia. Karena itu manusia tidak mampu menghadapi
pancamahabhuta yang galak siang malam, pada setiap delapan
jam. Itulah sebabnya biji ganitri berjumlah seratus delapan. Yang
menimbulkan kepapaan menguasai sorga neraka, adalah astadewi atau
pracanamaya karena lahir dari Bhatari Parwati sebagai perwujudan
Bhatari Parameswari terdiri atas.
 Jayasidhi, pikiran yang bersikukuh pada kemampuan diri, senang
dipuji dan tidak mau mengalah;
 Caturasini, mengumbar pikiran, suka mencela orang, suka
menghina orang tua, tidak mengenal tata krama pergaulan
dalam menciptakan kebahagiaan dunia;
 Namadewi, suka mengaku-ngaku, suka mengutuk, berlagak
kuasa;
 Mahakroda, suka marah, suka berbohong, selalu bhuta hati dan
tatapan matanya galak, tidak pernah berkata jujur;
 Camundi, suka berkata yang berbelit-belit, budinya goyah, tidak

447
berbakti, tidak ada yang dipuji, suka menindih tetapi tidak suka
ditindih, suka marah matanya galak;
 Durgadewi, pikiran selalu ditimpa kesulitan tanpa disadari,
tidak tahu bahaya, tidak mengenal dosa, selalu berprilaku jahat,
harapannya tiada terbatas;
 Sirni, selalu senang batinnya hampa, tidak mau berpulang pada
diri sendiri, suka mengaku-aku;
 Wigna, nafsu asmara memenuhi dirinya berpadu dengan lubuk
hatinya, suka berkata melambung tinggi.

Hal itulah disebut dengan manusia bingung yang terus menerus


berada dalam kekotoran, kepapaan, menghina kebaikan. Jika semua
itu selalu berputar-putar di pikiran maka akan menjadi manusia
yang tidak berbudi dan akibatnya penuh derita. Sehingga untuk
mengalihkan semua itu ke hal-hal yang benar dari keutamaan astadewi
itu dengan cara mengambil ganitri dengan membayangkan astalingga
serta memuja astadewi. Jika tidak ditemui yang diharapkan harus
dipusatkan batin ke astalingga yang terdiri atas.
 Suda, pikiran bening;
 Spatika, pikiran tenang;
 Sunya, pikiran kosong;
 Mahatana, pikiran agung;
Prabaswara, pikiran memenuhi alam semesta;
 Nirawarana, pikiran tiada batas;
 Nirmala, pikiran tak kotor;
 Niskala, pikiran yang tidak bergerak.

Demikianlah dijelaskan tentang hal yang mengalami kepapaan


astadewi serta hal yang menimbulkan kebahagiaan melalui astalingga.
Ajaran ini sangat penting untuk dipahami untuk mampu menahan
diri melalui pengendalian diri. Bhatara Guru menginstruksikan
supaya meniru orang yang berbuat kebaikan, sebagaimana wujud
Sanghyang Kala dulu, betapa tampan tiada bandingnya. Oleh karena
itu jika berbuat jahat, tidak berselang lama pasti akan bertemu Kala.
Sebab Bhatara Guru memberi ganjaran dalam hidupnya, tersisih
maupun menemukan kesuksesan dalam kehidupannya, sama seperti
mahluk lainnya tidak dapat dihindari, yang tanda-tandanya muncul
pada perbuatan yang baik maupun buruk. Ajaran di atas sebagai
dasar dalam bertindak sehingga manusia yang memahami hal itu bisa
menyeberangi lautan derita yang dialaminya untuk mendapatkan
kebahagiaan kemudian.

448
2. Naskah (lontar) Tutur Jatiswara
Naskah ini merupakan dokumentasi dinas Kebudayaan Provinsi Bali
karangan Ida surya Agung Adriya, berisikan uraian tentang.
- Wejangan atau nasihat seorang ayah kepada anaknya dengan mengingat
pengalaman yang dialaminya pada masa anak-anak, bila ingin
menghadap orang tua untuk minta nasihat, tingkah laku yang baik patut
dilaksanakan di dunia dan akhirat. Nasihat itu yang dapat dipakai bekal
dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.

Nasihat orang tua seberapapun itu patut didengar karena hal itu
merupakan tantangan sebagai anak untuk menghadapi jalannya
kehidupan di dunia. Wejangan atau nasihat itu adalah bekal yang tak
ternilai harganya dari pada segudang uang. Karena itu merupakan
tuntunan untuk mencapai kesuksesan hidup. Oleh karena itu sudah
sepatutnyalah rasa hormat dan sujud dihaturkan sebagai rasa bakti yang
tulus dari seorang anak pada orang tuanya.

- Sang Hyang Jiwa, jiwa yang menyebabkan manusia bisa hidup. Jiwa
berasal dari Ida SangHyang Widhi dan patut disembah. Segala mahluk
hidup di dunia ini dihidupkan oleh adanya jiwa. Kita harus sujud bakti
kepada jiwa sehingga akan mendapatkan kebahagiaan.

Petikan naskah menyebutkan bahwa.


”Sahana ning jagate sakewala kalingganan antuk sang Hyang Jiwa (idup) patut
sungsung makadi bhaktinin nanghing undakarayang tingkahe nyungsung
wiadin maktinin nganutin padewekan sang kalingganin bahan Sang Hyang
Jiwa.”

’Segala yang ada di dunia ini apabila dijiwai oleh Sang Hyang Jiwa
(hidup) seharusnya dijunjung serta dipuja oleh semua mahluk hidup,
namun sesuaikan sikap menjunjung serta memuja dengan keadaan diri
yang dihidupkan oleh Sang Hyang Jiwa.’

Dijelaskan bahwa.
Apapun yang ada di dunia ini dikuasai oleh Sang Hyang Jiwa, karena
hal itu yang menyebabkan hidup. Segala sesuatu yang digunakan untuk
memuja, harus disesuaikan dengan kemampuan. Apabila kemampuan
terbatas, jangan memaksakan diri. Jadi memuja dengan melihat situasi
dan kondisi dari kemampuan umat untuk melakukan pemujaan.

”Sahana ning laksana, tusing ada kewehan teken laksanane bhakti nyungsung
sarwa mahurip. Keto masih paolih-olihane, tusing ada lewihan teken paolih-
olihan bhakti nyungsung sarwa mahurip.”

’Segala perbuatan tidak ada yang lebih sukar dari hormat dan tunduk
kepada mahluk hidup. Demikian pula hasilnya, tidak ada yang
menyamai pahala dari bakti dan menjunjung semua makhluk hidup.’

449
Dijelaskan bahwa.
Sebagai umat yang berjiwa hormat tentunya tidak membedakan
semua makhluk hidup. Hidup berdampingan saling membantu, tidak
membunuh hewan sembarangan, serta menata pepohonan disekitar,
itu sudah mencerminkan hormat dan bakti kepada semua makhluk
hidup.
”Awanan sang prajnyan pageh gati ngalaksanayang laksana keto, kandugi
patuhan ida solah Idane bhakti nyungsung ragane teken padewekan anake
elenan, solahe keto maadan laksana dharma.”

’Sebabnya orang pandai sangat teguh melaksanakan perbuatan yang


demikian, sehingga disamakan tingkah laku beliau (seperti) hormat dan
tunduk pada diri sendiri terhadap orang lain, perbuatan itu dinamakan
laksana dharma.

Dijelaskan bahwa.
Inilah sesungguhnya orang yang pandai menempatkan diri
dengan menunjukkan ciri khas pendidikan yang mempunyai
keteguhan diri dengan menjunjung tinggi rasa hormat dan tunduk
pada diri sendiri dalam menghadapi semua orang dengan tidak
membedakan posisi atau pun kedudukan.
- Laksana Dharma, tiada perbuatan yang lebih utama dari pada
berbuat dharma, namun sangat sulit agar mampu berbuat
dharma. Bila berbuat dharma berupa dana kepada yang miskin
dengan harapan imbalan maka tidak akan jadi berdharma. Orang
yang budiman akan selalu kukuh teguh melaksanakan dharma
karena itu sudah tersirat dalam sastra agama.
- Sang Hyang Pati (Kalamretyu), Yang menyebabkan mahluk
mati. Tetapi yang mati itu raganya bukan jiwanya. Jiwa ini akan
hidup di alam niskala dengan membawa hasil perbuatan selama
hidupnya. Melaksanakan upacara yang besar tidak akan dapat
mengubah hasil perbuatan. Disarankan berbuat yang baik selagi
hidup.
Disebutkan dalam hal ini.
”Yan melah laksanane dugase hidup, melah tampina paolih-olihe teken
atmane,
dadi melah atmane (swargane) nanging yan jele laksanane dugase idup,
jele polih- polihe tampina teken atmane, dadi jele atmane (naraka)”
”Yuadin buka apa baan ngedenang pangupakarane, apang mangdane
sida buung naraka, sinah tusing dadi. Umpama : cening malaksana jele
(mamaling) tur patut sisip.”

’Bila baik perbuatannya semasih hidup, pahala yang baik akan diterima
oleh atmanya, mendapat tempat yang baik atmanya (surga), namun

450
jika tidak baik perbuatannya saat hidup, tidak baik juga pahala yang
akan diterima oleh atmanya, mendapat tempat yang tidak baik atmanya
(neraka).’
’Walau sebesar apapun upacara (yang dibuatkan) untuk membatalkan
mendapat neraka, tentu tidak akan bisa, umpama : jika anakku berbuat
tidak baik (mencuri) pasti disalahkan. Walau sebesar apa pun ayah
membuat upacara agar bisa anakku tidak salah, pasti itu tidak akan
mungkin.

Jadi upacara tidak akan mampu untuk membatalkan hasil dari perbuatan
seseorang di alam sana. Oleh karena itu selagi hidup diushakan untuk
selalu berbuat yang terbaik sehingga tidak ada kesalahan yang ditebus
kemudian, dan kebahagiaan akan terwujud hingga mampu untuk
bertemu sang pencipta dan menuju asal semua yang ada di dunia ini.

”Buwina yan suba sida bahan ngundukang laksana kenehe sinah ngaranayang
lantang tuwuh, dening kapah nepukin pakeweh (pangring), laksanane satata
melah ngranayang nepukin rahayu, pageh salwiring gaenin, nyidayang asing
kenehang magoba sakti, krana yuahna kapatutane wiadin kasugihanne buka
tangan teken anake ane nyidayang ngundukan laksanan kenehe.”

’Namun jika sudah berhasil mengendalikan jalannya keinginan akan


menyebabkan panjang umur, karena jarang menemui rintangan,
perbuatan yang selalu baik akan menemui kebahagiaan, teguh
pada prinsip yang akan diperbuat, berhasil segala keinginan berupa
kewibawaan, sebabnya kebenaran dan kekayaan akan ditemui oleh
orang yang mampu mengendalikan keinginan (pikiran).

Intinya pengendalian diri mempunyai kedudukan yang paling


tinggi sebagai pengikat indriya sehingga mampu untuk menekan
segala emosi, ego, ambisi yang mengganggu, menggoda pikiran untuk
menguasai hal-hal tertentu. Sehingga dengan keteguhan pada prinsip
hidup yang akan membawa pada sinar kewibawaan diri karena hal
itu melekat dari ketulusan hati sehingga akan menyempurnakan
keinginan yang diharapkan.
- Karmapata sepuluh macam pengendalian diri, tiga pengendalian
pikiran, empat perbuatan pengendalian pikiran, tiga perbuat
pengendalian tingkah laku.
Disebutkan bahwa.
”Keto adan laksanane ane patut anggon ngundukang laksana kenehe,
tur adasa bacakane. Lwire : laksanane klaksanayang bahan keneh
tatelu bacakane, lwire :
1. Tusing jla irihati teken pagelahan anak.
2. Tusing gemes teken sarwa hidup. Ngugu ada mula paolih-
olihan salwring laksana jele wiadin melah.

451
Laksanayang bahan munyi patpat bacakane :
1. Munyi jele ngranayang nyakitin keneh
2. Munyi bangras
3. Munyi mamisuna
4. Munyi bobab (mokak) mrekak sekak

Laksanane ento makapatpat eda pesan kenehanga lakar


ngamunyiyang, apa buin ngamunyiang, makadi johang pesan uli
dikenehe lakar mamunyi keto.

Laksana
1. Ngamati-mati, ngamatiyang ane tuara patut matiyang.
2. Ngodag-ngodag, ngodagang ane tuara patut kodagang.
3. Parikosa, maksa ane tusing patut paksa.
”Ento maka tatelu eda pesan laksayanganga teken ane kagedegang,
yuadin teken
asing-asing anak, dening laksanane, kenehe, munyine, ngranayang
anake demen,
tuara demen teken anak, awanan laksanane melah stata laksanayang
dikalane
melaksana makeneh yuadin mamunyi.”
”Sawireh keneh angranayang payu malaksana, mamunyi yuadin
makeneh kene keto, awanan kenehe madewek wisesa.”

’Ini namanya perbuatan yang dapat dipakai sebagai pengendali


jalannya keinginan, serta bagiannya ada sepuluh, seperti : perbuatan
yang bersumber dari pikiran ada tiga (pengendalinya) bagian,
seperti:
1. Tidak merasa iri dengan kepunyaan orang lain.
2. Tidak menyakiti makhluk hidup.
3. Percaya dengan adanya karma phala yang merupakan hasil
perbuatan baik dan buruk.

Dari perkataan ada empat (pengendaliannya), yaitu :


1. Berkata yang menyebabkan orang lain sakit hati;
2. Menghardik;
3. Memfitnah;
4. Berkata bohong, sombong.
Keempat hal tersebut hendaknya jangan diperbuat, apa lagi
untuk mengucapkan hal itu, jauhkanlah hal itu dari pikiran untuk
berkata demikian.

452
Dari perbuatan.
1. Membunuh, membunuh sesuatu yang tidak pantasnya dibunuh.
2. Mencuri, mencuri segala yang tidak patut dicuri.
3. Memperkosa, memaksa yang tidak patut dipaksa.
Ketiga hal tersebut jangan diperbuat terhadap orang yang tidak
disenangi, demikian pula terhadap orang lain, karena (kelakuan)
perbuatan, perkataan dan pikiran yang membuat orang senang,
sebabnya perbuatan baik selalu dilaksanakan, (disamping) berkata
dan berpikir.
Karena keinginan yang menyebabkan mampu berbuat, berkata
dan berpikir itu, maka keinginan yang paling berkuasa. Jadi segala
hal yang terkait dengan perkataan dan perbuatan hendaklah
dipikirkan masak-masak terlebih dahulu agar tidak menimbulkan
ketersinggungan walau kelihatannya amat sepele. Walau rambut
sama hitam tetapi pikiran pasti tidak sama, setiap detik selalu
berubah. Hendaknya segala perkataan dan sikap hendaknya dijaga
guna terciptanya kebahagiaan dan kesenangan dalam pergaulan.
Oleh karena itu di depan sudah disinggung bahwa sikap hormat dan
tunduk hati mendominasi dalam pergaulan sehingga mampu menjadi
penetral diantara yang tidak netral.
- Menjelma, tidak ada yang lebih baik dari menjelma menjadi
manusia. Berbahagialah menjelma menjadi manusia walau nista
sekalipun. Sangat adil mendapatkannya. Penjelmaan menjadi
manusia sebagai tangga untuk naik menuju taraf kehidupan
bersatu dengan asalnya.

Disebutkan bahwa.
’Semua penjelmaan baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, hanya
penjelmaan sebagai manusia saja yang paling baik atau utama, karena
hanya manusia saja yang dapat berbuat baik maupun buruk, demikian
pula hanya manusia saja yang dapat memperbaiki perbuatan yang tidak
baik dengan perbuatan yang baik.’

’Demikian keutamaan menjelma menjadi manusia dbandingkan dengan
penjelmaan yang lainnya dari manusia karenanya tidak sepantasnya
manusia menyesalkan penjelmaannya walaupun keadaannya miskin
sekalipun, karena sangat sulit untuk dapat menjelma menjadi manusia.’

Intinya, sebagai manusia hendaknya bersyukur bisa mengetahui


yang mana baik dan mana pula yang buruk. Serta yang
sangat luar biasa adalah hidup sebagai manusia akan mampu
menyeberangkan roh orang tuanya ke alam yang lebih indah
yaitu ke Surga Loka. Oleh karena itu sebagai manusia harus bisa

453
membahagiakan orang tuanya walau keadaan miskin sekalipun,
jangan pernah menyesal karena masih beruntung menjadi manusia.

- Dharma, Perbuatan untuk mendapatkan kebahagiaan baik di


dunia maupun di akhirat. Orang berbuat dharma itu bagai
menggenangi air pada pohon tebu. Tidak tebu saja yang
mendapatkan air, tetapi tumbuhan yang dekat dengannya juga
akan merasakan genangan air itu.

Disebutkan pula.
” Keto adan laksanane ane anggon ngalih karahayuan (nepukin suarga) awanan
yang manbuatang ngalih daging yuadin kalegan; dharma malu laksanayang
sinah prajani bakat daginge yuadin kalegane.”

’Demikian namanya perbuatan yang dipakai sebagai sarana untuk


mencapai kebahagiaan (mencapai surga) karenanya bila ingin mendapat
kekayaan dan kesenangan, dharmalah yang lebih dahulu diperbuat,
pasti akan ketemu kekayaan dan kesenangan itu.’

Intinya, dengan berbuat yang baik maka segala kebahagiaan, kesenangan,


kekayaan akan ditemui dengan segala kemurnian dan kesucian. Jika
tidak dengan kebaikan dilakukan, bisa diperoleh semua itu tetapi terasa
beban yang amt dalam bahkan belum waktunya sdah habis karena
tidak pantas untuk memperolehnya.

- Sang Hyang Agama, bahwa di dunia ini banyak agama tetapi


masing-masingagama mempunyai satu tujuan yaitu untuk
mencari Tuhan.

Disebutkan pula bahwa.


”Keto karana cening buatang gati malajahin Agama, eda pisan maboya teken
anak lingsir, nanging pepesan pesan parek mapinunas, dening tusing karowan
dija-dija tongos dharmane, awanan paliyunin jalane tongos nunasang tur
pepesang mapinunas.”

‘Itu sebabnya anakku, usahakan belajar agama, jangan menentang orang


tua, namun sering-seringlah sujud dan mohon petunjuk, karena kita
tidak akan tahu dimana letak kebaikan itu, karenanya perbanyak jalan
untuk tempat memohon serta sering-seringlah memohon petunjuk.’

Disini diharapkan mengerti kedudukan anak tehadap orang tua, anak


harus rajin sujud bakti pada orang tua karenanya kesuksesan dan
kebahagiaan hidup akan tercapai dengan lebih sempurna, lebih suci
dan lebih bijaksana. Karenanya sinar-sinar kewibawaan akan muncul
dari ketulusan batin dan kebijakan diri dalam mengendalikan segala
indriya.

454
Selain dari pitutur yang berasal dari tutur secara tertulis di atas,
ada juga yang telah mentradisi secara lisan yang terucap tatkala ada
seseorang menilai dirinya dan merasa lebih mampu dari yang lain,
dengan ucapan kalimat.
”Eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin....”.
’Jangan menilai dirimu bisa biarkanlah orang yang akan menilai atau
menyebutkan....’
Dan ketika adanya pertanyaan dari penjelasan orang tua kepada anaknya,
karena pengetahuan orang tuanya terbatas, maka hanya dijawab.
”Anak mula keto”
’Memang begitu’

Hal-hal semacam itu sudah biasa dalam lokal wisdom di Bali. Hal
itu bermakna bahwa agar menjadi manusia tidak bersikap sombong,
intinya rendah hati, seberapapun kepintarannya dari yang lain. Serta
hal lain kemungkinan karena terbatasnya pendidikan maka hanya
dijawab ”memang begitu.” Padahal masih ada jawaban yang lebih
berbobot atau mengandung filsafat. Perlu disadari itulah keterbatasan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Demikianlah kedua naskah lontar yang dijadikan acuan untuk
bersikap bagi setiap generasi muda untuk memahami hakikat hidup
ini sehingga mampu untuk menghidupkan wiweka jnana (mampu
untuk menentukan mana hal yang baik dan yang buruk) sehingga
akan menjadi putra suputra yaitu anak yang mamou menyeberangkan
roh orang tuanya ke alam yang indah yaitu surga dan alam rohani.

DAFTAR PUSTAKA

Guruge, Ananda W.P. Proses Perencanaan Pendidikan. Surabaya : SIC Kerjasama


LPM IKIP Surabaya
Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan Yang unggul. Jogjakarta : Pustaka
Pelajar.
Zoetmulder, P.J Bekerja sama dengan S.O. Robson., 2006. Kamus Jawa Kuna
Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

SALINAN NASKAH / LONTAR

Anonim. 2003. Kajian Naskah Lontar Tutur Kumaratattwa. Denpasar :


Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Anonim. 2004. Kajian Naskah Lontar Tutur Jatiswara. Denpasar : Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali.

455
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
PERSPEKTIF PELAJARAN BAHASA BALI

I Nyoman Suwija
IKIP PGRI BALI, Denpasar

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang dan Masalah

D alam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa,


sektor pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting
mendapatkan perhatian. Hanya melalui pendidikan yang berkualitas
akan dapat melahirkan sumber daya manusia yang handal. Pendidikan
yang baik pada masa pembangunan bangsa yang pelik ini adalah
pendidikan yang melahirkan sumber daya manusia yang memiliki
intelektualitas yang seimbang dengan moralitasnya. Dengan demikian
pembangunan sektor pendidikan hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai
luhur karakter bangsa.
Argumen di atas menghantarkan saya untuk menyepakati ide
atau gagasan para insan pendidikan yang dimotori oleh Kementerian
Pendidikan Nasional RI, yang mengangkat tema perayaan Hari
Pendidikan Nasional tahun 2011, yaitu ”Pendidikan Karakter sebagai
Pilar Kebangkitan Bangsa” dengan subtema ”Raih Prestasi Junjung
Tinggi Budi Pekerti”. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun telah
mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengimplementasikan tema
dan subtema tersebut dengan ucapan ”Kita ingin bangsa Indonesia
memiliki generasi unggul pada peringatan satu abad proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Generasi unggul adalah generasi yang
memiliki karakter yang memenuhi kualifikasi unggul”(2011:6).
Mungkin kita semua setuju bahwa rendahnya martabat bangsa
disebabkan rendahnya karakter bangsa yang dimiliki masyarakatnya.
Manakala para elit politik dan elit pemerintahan sedang dilanda krisis
kepercayaan maka dapat dipastikan akibat dari pergeseran nilai-nilai
luhur yang patut dikedepankan. Dalam rangka membenahi negeri
ini dari ancaman keterpurukan akibat ulah para pemimpin yang
tidak jujur, banyak yang korup serta banyak yang terkena kasus suap
dan sejenisnya yang tentunya banyak merugikan negara, maka mau
tidak mau kita harus kembali ke jati diri bangsa ini, mengedepankan
nilai-nilai luhur Pancasila yang sejak dahulu telah terbukti dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, presiden secara spesifik

456
mengedepankan lima hal penting, yaitu:
(1) Manusia Indonesia hendaknya sungguh-sungguh bermoral,
berakhlak, dan berperilaku baik. Oleh karena itu, masyarakat
harus berwatak religius, beradab, dan anti kekerasan
(2) Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang cerdas dan rasional,
memiliki daya nalar yang tinggi, punya visi dan punya ide untuk
membangun masa depan yang lebih baik
(3) Manusia Indonesia ke depan harus semakin kreatif dan inovatif.
Bekerja keras mengejar kemajuan untuk mengubah keadaan
menjadi lebih baik
(4) Bangsa Indonesia harus memperkuat semangat “Harus Bisa” (can
do spirit), artinya, pantang menyerah, selalu berupaya mencari
solusi dan akhirnya melaksanakan solusi tersebut
(5) Semua anak negeri ini dari Sabang sampai Merauke harus menjadi
patriot sejati yang mencintai bangsanya, negaranya, dan tanah
airnya. Sekarang ini, kita tidak ingin menganut nasionalisme
yang sempit (narrow nationalism), tetapi nasionalisme yang cerdas
dan patriot yang sejati.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Mohammad
Nuh (2011:8-9) menyatakan bahwa kebangkitan suatu bangsa tidak
dapat dilepaskan dari sektor pendidikannya. Karakter pribadi
seseorang sebagian besar dibentuk melalui proses pendidikan. Oleh
karena itu, untuk membentuk pribadi yang terdidik dan bertanggung
jawab, mutlak dibutuhkan pendidikan yang berkualitas. Mohammad
Nuh sangat gencar mengampanyekan pendidikan untuk membentuk
karakter bangsa. Dikatakannya bahwa kultur sekolah perlu dibangun
karena kepribadian itu tidak hanya dibangun di dalam kelas, tetapi
dipengaruhi oleh berbagai macam interaksi. Karakter unggullah yang
akan dapat membangkitkan sebuah bangsa. Lebih jauh dikatakan
bahwa pendidikan kita secara imperatif harus mampu membangun
kembali karakter orisinil sebagai bangsa pejuang, tangguh, cerdas,
cinta tanah air, santun, dan penuh kasih sayang.
Menurut Mohammad Nuh (Diknas:8), dalam kaitan dengan
pendidikan karakter bangsa, ada tiga lapis (layer) yang patut mendapat
perhatian yaitu:
(1) Tumbuhkan kesadaran bersama bahwa kita adalah mahluk
Tuhan sehingga tidak boleh sombong, tidak boleh merasa
paling super, dan akhirnya harus saling percayai dan saling
menghargai
(2) Membangun dan menumbuhkan karakter keilmuan yang
sangat ditentukan oleh kepenasaran intelektual. Dari sinilah

457
akan muncul kreativitas dan produktivitas dan inovasi yang
sangat menenmtukan daya saing bangsa
(3) Pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter kecintaan
dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kecintaan
dibangun melalui rasa memilikii NKRI dan kebanggaan
dibangun melalui sikap menumbuhkan tradisi budaya
berprestasi (kontributif-positif).
Menyinggung aplikasi dari konsep-konsep tadi, muncullah
seruan Mendiknas kepada para guru untuk berkenan menjadi aktor
tauladan dalam berbagai disiplin ilmu yang diampunya. Terkait
dengan hal itu maka dalam sekolah formal ada empat faktor yang
perlu disempurnakan yaitu (1) materi ajar, (2) metode pembelajaran,
(3) guru, dan (3) kultur budaya sekolah.
Berbagai seruan dari kementerian pendidikan tersebut muncul
karena bangsa ini sedang mengalami masalah yang cukup serius.
Persoalannya sekarang adalah: (1) Mampukah bangsa ini mengatasi
persoalan negeri ini jika kembali pada jati dirinya? (2)
Benarkah keterpurukan negeri ini disebabkan oleh rendaknya
pendidikan karakter bangsa di kalangan pelajar? (3) Bagaimanakah
caranya menerapkan pendidikan karakter bangsa itu? (4) Apakah
masing-masing mata pelajaran termasuk Bahasa Daerah Bali dapat
diperankan untuk menyampaikan nilai-nilai karakter bangsa?

1.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
penulis dan peserta seminar tentang pendidikan karakter bangsa dan
memberikan gambaran bahwa pendidikan bahasa daerah Bali memiliki
ruang yang cukup banyak untuk menyelipkan pendidikan karakter
bangsa yang cukup penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh
para generasi muda Bali pada masa mendatang.
Manfaat penelitian ini adalah untuk menjadi bahan masukan
atau referensi bagi para pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan
dan dapat dijadikan acuan oleh para guru mata pelajaran bahasa Bali
untuk menggali lebih jauh nilai-nilai karakter bangsa di dalam materi
pembelajaran bahasa Bali.

2. Konsep dan Aplikasi Pendidikan Karakter


2.1 Konsep Pendidikan Karakter
Ibnu Hamad, Kepala PIH Kemdiknas (2011:18) berpendapat
bahwa tidak ada definisi tunggal untuk pendidikan karekter.
Secara etimologis karekter berarti watak atau tabiat. Ada juga yang

458
menyamakan dengan kebiasaan dan ada juga yang menghubungkan
dengan keyakinan atau akhlak. Dari pengertian tersebut maka jelaslah
karakter terkait dengan masalah kejiwaan. Karenanya, karakter
merupakan sistem keyakinan dan kebiasaan yang ada dalam diri
seseorang yang mengarahkannya dalam bertingkah laku.
Di manakah letak karekter itu dalam diri seseorang? Jawabannya,
Pikiran menghasilkan ucapan; ucapan mempengaruhi tindakan;
tindakan akan menghasilkan kebiasaan; kebiasaan membentuk
karakter; dan karakter menentukan nasib. Jadi pikiran merupakan
sumber sentral karakter seseorang. Pikiran yang baik akan
menghasilkan perbuatan yang baik dan sebaliknya pikiran yang
buruk melahirkan karakter yang buruk pula. Ini identik dengan ajaran
Tri Kaya Parisudha umat Hindu, makanya tugas kita semua adalah
mengendalikan pikiran agar menjadi perilaku yang baik.
Pendapat Ibnu Hamad di atas melahirkan empat pilar nilai-nilai
pendidikan karakter yaitu (1) olah pikir, (2) olah hati, (3) olah raga,
dan (4) olah rasa/karsa.
1) Olah pikir, bermakna cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu,
berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif.
2) Olah hati, bermakna beriman dan bertaqwa, jujur, adil,
bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang
menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
3) Olah raga, bermakna bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh,
handal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetitif, ceria,
dan gigih.
4) Olah rasa/karsa, bermakna ramah, saling menghargai, toleran,
peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, mengutamakan
kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Bambang Indriyanto, Sektetaris Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar (2011:24) menegaskan bahwa pembangunan karakter
merupakan hal yang sangat penting karena ia menyangkut kualitas
sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Kemajuan dan perkembangan
pembangunan akan berjalan timpang jika tidak didukung oleh
SDM yang berkualitas dan berkarakter. Dasar hukum pendidikan
berkarakter sudah jelas. Dalam UU RI No. 20 2003: Sistem Pendidikan
Nasional, Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratrius serta bertanggung jawab. Tujuan
pendidikan nasional ini jelas-jelas menyasar karakter bangsa yang
ideal. Hal inilah yang patut dipahami oleh para guru agar sanggup
mengembangkan pesan-pesan pendidikan karekter melalui materi

459
ajar yang disusun dan disajikannya.

2.2 Aplikasi Pendidikan Karakter


Setiap anak lahir ke dunia dalam keadaan fitrah dan suci.
Proses sosialisasi masa usia dini, masa kanak-kanak dan remaja, lalu
dewasa yang kemudian membentuk seseorang menjadi dirinya. Dulu,
sebagian besar pembentukan kepribadian terjadi di keluarga. Pada
masa sekarang, fungsi keluarga dalam pembentukan karakter anak
dialihkan kepada lembaga sekolah. Para guru pun akhirnya menjadi
tumpuan harapan masyarakat (Diknas, 2011:1).
Para orang tua yang rata-rata sibuk mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya hampir tidak memiliki kesempatan
untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak-anak mereka.
Hal inilah yang disinyalir merupakan ancaman baru dalam menjaga
stabilitas keamanan di negeri tercinta ini. Menyadari akan hal itu, maka
fungsi guru pada semua jenjang pendidikan menjadi teramat penting
untuk dapat menyelipkan pesan-pesan karakter atau kepribadian
kepada para anak didik.
Saya juga ikut bersyukur karena pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemdiknas) belakangan ini memberikan forsi
khusus dalam pendidikan karakter. Hal itu dilakukan sejak pendidikan
usia dini melalui level pendidikan usia dini (PAUD), level pendidikan
menengah, dan juga pendidikan tinggi. Pendidikan karakter pun
menjadi bagian dalam proses pendidikan formal yang diharapkan
dapat melengkapi kualitas lulusan menjadi tidak hanya mampu dalam
aspek kognitif, namun juga aspek afektif, dan psikomotor.
Menurut Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (2011:10),
karakter ada yang universal dan abadi seperti nilai kejujuran dan
disiplin, tetapi ada juga karakter yang mengikuti perkembangan
zaman. Dalam upaya merevitalisasi dan meningkatkan efektivitas
pendidikan karakter, kita perlu terus-menerus berupaya mencari
metodologi dan strategi agar karakter bisa masuk dan tertanam
kuat dalam kepribadian anak-anak. Pendidikan karakter merupakan
proyek besar yang tidak mungkin dituntaskan oleh Kemendiknas
sendiri, melainkan harus terbuka menerima masukan dan saran serta
bantuan dari berbagai kalangan. Pendidikan karakter memerlukan
agen perubahan, salah satunya adalah media.
Sukemi, Staf Khusus bidang Komunikasi Media Kemendiknas
(2011:12) mengatakan, karakter terdiri atas tiga unjuk perilaku yang
saling berkaitan yaitu tahu arti kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata
berbuat baik. Ketiga substansi proses psikologi tersebut bermuara

460
pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata
lain karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik.
Aplikasi Pendidikan karakter bangsa tidak harus dengan
menambah program tersendiri, melainkan bisa melalui transformasi
budaya dan kehidupan di lingkungan sekolah. Melalui pendidikan
karekter, semuanya komit untuk mengembangkan peserta didik
menjadi pribadi yang utuh yang menginternalisasi kebajikan (tahu,
mau), serta terbiasa mewujudkan kebajikan dalam kehidupan sehari-
hari. Jadi, melalui pencana-ngan gerakan pendidikan karakter yang
dilakukan pada puncak Hardiknas 2011, ingin dipertegas bahwa
pendidikan karakter sangat penting, merupakan kebutuhan mutlak
dalam hal membangun peradaban yang utuh dan unggul yaitu
peradaban yang didasarkan pada nilai-nilai keilmuan dan kemuliaan
kepribadian. Kata kuncinya adalah karakter itu ibarat ”ruh” dari
manusia, jika karakternya tidak benar, maka perilakunya juga tidak
benar.
Ditambahkan juga bahwa ada tiga kelompok pendidikan karakter
yaitu (1) pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai
mahluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (2) pendidikan karakter
yang terkait dengan keimuan, dan (3) pendidikan karakter yang
menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi masyarakat /orang
Indonesia.
Dalam hal pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan,
metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya
kepenasaran intelektual (ntelelectual curiosity) harus lebih ditonjolkan
untuk membangun pola pikir, tradisi, dan budaya keilmuan yang
memunculkan daya kreativitas dan inovasi. Di sini, peran guru
menjadi sangat vital untuk mengelola bidang ilmunya sehiungga
menjadi bahan konsumsi yang menarik dan secara sadar menyiratkan
nilai-nilai karakter yang positif. Di sini pulalah guru harus mengerti
bahwa pada setiap materi pembelajaran diupayakan ada ruang untuk
menyelipkan pendidikan karakter.
Yudhimulyanto, Kadis Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2011:15)
mengatakan pendidikan karakter dapat berkembang sangat kuat
asalkan ditangani secara terencana dan bersinambungan. Bentuknya
dapat bervariasi. Pendidikan karakter untuk seorang pelajar haruslah
disesuaikan dengan peran dia sebagai pelajar. Dia dapat ditanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dari kesehariannya di sekolah, di
rumah tangga, dan di lingkungan masyarakat. Dia harus dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu dan harus mampu
menjaga etika kehidupan, bersikap sopan dan santun kepada teman

461
dan para gurunya, serta memiliki rasa percaya diri yang kuat bahwa
dia adalah mahluk Tuhan yang tidak henti-hentinya untuk belajar.

3. Pendidikan Karakter dalam Materi Pelajaran Bahasa Bali


Dalam tulisan yang berjudul Bangkitkan Karakter Berbahasa
Indonesia, Yeyen Martyani, Sekretaris Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kemendiknas RI (2011:20) mengatakan bahwa
dalam perilaku bahasa pun kita punya sejarah penting tentang
kebangkitan karakter bangsa. Bagaimana para pemuda Indonesia
bersumpah untuk berbahasa yang satu pada tahun 2008, nilai-nilainya
patut dipakai landasan untuk bangkit memperbaiki bangsa ini.
Kecintaan anak-anak negeri ini terhadap bahasa Indonesia telah
teracuni oleh sikap xenofilia: kecenderungan perilaku, watak, atau
karakter mengagungkan bahasa bangsa lain; tidak membanggakan
bahasa sendiri. Contoh yang nyata, internasionalisasi standar pendidikan
sering disalahartikan sebagai penggantian bahasa Indonesia dengan
bahasa asing. Kecenderungan sangat kuat, bahwa bahasa Indonesia
lintas-kurikulum di sekolah-sekolah tidak difungsikan secara baik
dan benar. Akibat penyakit xenofilia itu, pengajaran lintas-kurikulum
berbasis bahasa asing dianggap lebih bergengsi dan dijadikan alasan
bagi sekolah untuk menarik biaya lebih besar. Dalam hal itu sudah
ada semacam euforia berbahasa asing di sekolah-sekolah yang berlabel
standar internasi-onal dengan sikap merendahkan bahasa sendiri.
Dalam dunia kerja juga terjadi hal yang serupa. Praktik berbahasa
Indonesia semakin tidak populer. Makin sedikit kepedulian para
pelaku pasar tenaga kerja akan pentingnya bahasa Indonesia sebagai
sarana komunikasi kerja. Banyak tenaga asing yang direkrut bekerja
di Indonesia, tetapi tidak pernah dituntut untuk memenuhi kualifikasi
kompetensi bahasa Indonesia. Sebaliknya, tenaga kerja pribumi yang
dituntut berbahasa asing dengan dalih akan bekerja dengan orang
asing.
Pemaparan Ibu Yeyen Martyani di atas membawa inspirasi tentang
kondisi bahasa daerah Bali bagi masyarakat suku Bali. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi kehidupan ini telah
berdampak negatif terhadap kebanggaan para generasi muda Bali
dalam praktik berbahasa daerah Bali. Di satu sisi pemegang kebijakan
yang merasakan bahwa bahasa Bali sebagai akar budaya Bali yang
patut dipelihara dan dipertahankan masih memiliki komitmen yang
sangat kuat untuk membina dan melestarikan bahasa daerah Bali.
Hal ini terbukti dari keputusan pemeriuntah daerah menerapkan
kurikulum muatan lokal bahasa daerah Bali dari SD sampai dengan

462
SLTA.
Amanah ini tentunya patut dijaga oleh para guru bahasa daerah
Bali. Tidak berlebihan bila dalam pencanangan pendidikan yang
berbasis karanter bangsa ini untuk bersama-sama menggali nilai-
nilai karakter bangsa yang tersirat di dalam materi pembelajaran
bahasa Bali. Sudah tentu hal ini akan sangat berdampak potitif bagi
kepentingan pembinaan etika dan moral para generasi muda kita di
masa mendatang. Saya sebagai praktisi bahasa Bali sekaligus akademisi
yang menekuni pembelajaran bahasa daerah Bali memiliki pandangan
yang cukup baik bahwa sangat banyak nilai-nilai karakter bangsa
yang dapat digali dari materi pembelajaran Bahasa Bali. Namun di
dalam makalah ini hanya akan diungkap beberapa hal saja sebagai
contoh yang tentunya diharapkan menjadi inspirasi bagi para guru
pada setiap menyampaikan materi kepada anak didiknya dio sekolah
masing-masing.

3.1 Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Tembang Bali


Pembelajaran tembang Bali meliputi tembang Bali tradisional
dan tembang Bali moderen. Tembang Bali tradisional meliputi: (1)
gegendingan (gending raré, gending jangér, gending sangiang), (2) sekar
macapat atau sekar alit seperti pupuh-pupuh, (3) sekar madia atau tembang
tengahan seperti kidung, dan (4) sekar agung atau tembang gedé sepertii
wirama. Sedangkan tembang Bali modern adalah lagu-lagu pop Bali.

3.1.1 Pendidikan Karakter dalam Tembang Bali Tradisional


1) Sekar Rare Putri Ayu
Sekar rare ini merupakan bagian dari gegendingan, yaitu jenis
tembang Bali yang bahasanya sederhana diperuntukkan bagi anak-
anak usia dini sampai pada tingkat sekolah dasar. Di sini dicontohkan
salah satunya yang berjudul ”Putri Ayu”.
Putri cening ayu, ngijeng cening jumah,
meme luas malu, ka peken mablanja,
apang ada daarang nasi.
Meme tiang ngiring, ngijeng tiang jumah,
sambilang mangempu, ajak tiang dadua
di mulihne dong gapgapin.
Terjemahannya:
Putri cening ayu, diamlah nanda di rumah,
ibu pergi dahalu, ke pasar berbelanja,
agar ada dimakankan nasi.
Ibu saya sanggup, saya menunggu di rumah,
sambil mengasuh adik, saya berdua,
pulangnya, tolong bawakan oleh-oleh.

463
Di dalam dua bait teks lagu Bali (tembang rare) ini ada nilai
karakter yang ditanamkan oleh seorang ibu kepada anaknya, Ibunya
berpesan kepada sang anak agar menunggu rumah karena akan
ditinggal pergi ke pasar. Etika yang telah ditanamkan kepada anak-
anak di Bali tidak boleh melawan atau mengingkari perintah orang
tua. Orang-orang yang berani melanggar perintah orang tua, sering
melawan orang tua, membenci orang tuanya, tidak setia atau tidak
menghormati orang tua disebut alpaka guru rupaka dan dosanya sangat
besar. Orang Bali mengatakan bahwa orang tua terutama si ibu adalah
Dewa Sekala ’Dewa Nyata’ dalam kehidupan ini.
2) Pupuh Ginanti
Pupuh Ginanti adalah salah satu dari sepuluh pupuh dalam
kesusastraan tembang Bali tradisional. Pupuh-pupuh ini merupakan
bait-bait puisi yang disusun sesuai ketentuan pola atau struktur
tembangnya masing-masing dan biasanya digunakan untuk
membangun sebuah karya sastra puisi naratif yang disebut geguritan.
Berikut disajikan satu bait Pupuh Ginanti yang sarat dengan nilai
pendidikan karakter untuk para pelajar.
Saking tuhu manah guru,
mituturin cening jani,
kawruhane luir senjata,
ne dadi prabotang sai,
kaanggen ngaruruh merta,
saenun ceninge urip.
Terjemahannya:
Dengan serius pikiran seorang guru,
menasihati nanda sekarang,
pengetahuan itu bagaikan senjata,
yang bisa dipat diperalat sehari-hari,
dipakai mencari nafkah,
selagi ayat dikandung badan.
Teks Pupuh Ginanti ini mengajarkan kepada anak-anak bahwa
pengetahuan itu maha penting, bagaikan senjata dalam hidup ini, yang
dapat dipakai mencari nafkah. Jika diandaikan dia sebagai pancing,
maka setiap hari pancing itu dapat dipakai mengail atau menangkap
ikan. Oleh karena itu, lagu ini mengajarkan semuanya rajin belajar agar
nantinya memiliki pengetahuan yang cukup untuk bekal kehidupan.
Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tak obahnya denmgan
orang buta. Dengan demikian, kebodohan adalah musuh manusia
yang paling utama dan harus diperangi.

2) Pupuh Ginada
Tidak jauh berbeda dengan Pupuh Ginanti, Pupuh Ginada ini

464
juga salah satu dari sepuluh pupuh dalam kesusastraan tembang Bali
tradisional. Yang berbeda hanya padalingsanya dan tembangnya.
Yang dimaksud padalingsa adalah jumlah baris dalam satu bait,
jumlah suku kata pada masing-masing barus, dan suaru (vokal)
akhir masing-masing bait. Dengan sendirinya tembang atau lagunya
yang berbeda. Pupuh-pupuh Ginada juga merupakan bait-bait puisi
yang biasa digunakan untuk membangun sebuah karya sastra puisi
naratif yang disebut geguritan. Berikut disajikan satu bait Pupuh Ginada
yang banyak dikenal masyarakat Bali dan sarat dengan pendidikan
karakter.
Eda ngadén awak bisa,
depang anaké ngadanin,
geginané buka nyampat,
anak sai tumbuh luhu,
ilang luhu buké katah,
yadin ririh,
liu enu paplajahan.

Terjemahan:
Jangan menganggap diri pintar,
biarkanlah orang lain yang menamai,
kehidupan ini bagaikan orang menyapu,
akan sering tumbuh kotoran,
habis sampah masih banyak debu,
walaupun pintar,
masih banyak yang perlu dipelajari.

Satu bait Pupuh Ginada ini memberikan pendidikan karakter


tentang tata krama merendahkan diri. Tidak boleh sombong, tidak
boleh merasa diri super dan atau pintar, biarkanlah orang lain yang
memberi merek. Artinya penilaian orang lain akan lebih objektif
daripada penilaian diri-sendiri. Dalam hidup ini kita tidak boleh
takebur karena hidup ini bagaikan orang menyapu, setiap hari akan
ada sampah yang patut disaupu hingga bersih. Jika sampah itu habis,
tentu masih banyak debu yang juga patut dibersihkan. Artinya,
sepintar apa pun seseorang, masih banyak yang patut dipelajari.

3) Pupuh Sinom
Pupuh Sinom merupakan jenis pupuh yang paling panjang, terdiri
atas 10 bait. Pupuh Sinom yang hampir terdapat di berbagai geguritan
di Bali memiliki watak romantis yang dapat dipakai memberikan
nasihat, dipakai berdialog dan sebagainya. Hampir satiap geguritan
yang menggunakan multipupuh memakai Pupuh Sinom. Pupuh Sinom
ini banyak digemari oleh para pecinta tembang Bali karena memiliki

465
banyak jenis irama (tembang). Pupuh Sinom juga banyak dipakai
dalam pembelajaran tembang Bali di sekolah-sekolah. Berikut ini
dikutip satu bait Pupuh Sinom yang diambil dari Geguritan Tamtam
yang kebetulan mengandung nilai pendidikan karakter.
Dabdabang déwa dabdabang,
mungpung déwa kari alit,
malajah ningkahang awak,
dharma patuté gugonin,
eda pati iri ati,
duleg kapin anak lacur,
eda bonggan tekening awak,
laguté kaucap ririh,
eda ndén sumbung,
mangunggulang awak bisa.
Terjemahan:
Hati-hatilah nak, hati-hatilah!
berhubung nanda masih kecil,
belajarlah bertingkah laku,
dharma kebenaran itulah yang dikukuhkan,
jangan sering irihati,
meremehkan orang miskin,
jangan terlalu membanggakan diri,
walaupun disebut pintar,
janganlah sombong,
mengunggulkan diri pintar.

Arti dan makna satu bait Pupuh Sinom ini ada kemiripan dengan
Pupuh Ginada tadi. Di sini ditegaskan kembali bahwa seorang anak
harus memiliki etika pergaulan yang santun. Setiap saat hendaknya
berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, serta selalu mengkuhkan
ajaran dharma. Tidak boleh irihati, tidak boleh meremehkan orang-
orang yang tidak mampu, walaupun pintar tidak boleh terlalu
membanggakan diri dan juga tidak sombong walaupun sudah
tergolong orang-orang terdidik.

3.1.2 Contoh Pendidikan Karakter dalam Lagu Pop Bali


Lagu Pop Bali ”Bungan Sandat”
Yen gumanti bajang, tan bina ya pucuk nedeng kembang,
Di suba ya layu, tan ada ngarunguang ngemasin makutang,
Becik malaksana, eda gumanti dadi kembang bintang,
Mentik di rurunge, makejang mangempok raris kaentungang,
To i bungan sandat, salayu-layu layune miik,
to ya nyandang tulad saurupe malaksana becik
Para truna-truni mangda saling asah asih asuh,
Manyama beraya pakukuhin rahayu kapanggih.
Terjemahannya:

466
Kalau menjadi orang bujang, tak obahnya bunga pucuk sedang mekar,
Kalau dia sudah layu, tak ada yang memperhatikan dan terbuang.
Berbuatlah yang baik, janganlah menjadi bunga kembang bintang,
tumbuh di jalanan, semuanya memetik lalu dibuang.
Itulah si bunga sandat, sampai layu dia tetap harum,
itulah yang patut ditiru, semasa hidupnya berbuat baik
Para muda-mudi supaya saling asah, asih, dan asuh,
Kehidupan manyama beraya dikukuhkan, akan menemui keselamatan.
Pesan karakter bangsa yang penting di dalam teks lagu pop Bali
Bungan Sandat ini adalah tata cara hidup menjadi remaja atau pemuda.
Sedapat mungkin diserukan untuk meniru si bunga Sandat, bukan si
bunga Kembang Bintang. Bunga Sandat itu selalu diminati banyak orang
untuk kebutuhan menghoasi sesajen dan walaupun sudah layu, baunya
masih tetap harum. Sementara si kembang bintang adalah jenis bunga
yang tumbuh di pinggir jalan, tidak pernah dipakai bahan sesajen,
paling banter dipetik oleh sembarang orang, lalu dibuangnya.
Di samping itu, ada petunjuk kepada para generasi muda untuk
hidup saling asah (saling berbagi pengetahuan dan pengalaman
untuk kebaikan), saling asih (saling menyayangi), dan saling asuh
(menumbuhkan sikap saling membantu atau tolong-menolong).
Ditambahkan pula bahwa kalau ingin hidup selamat dan lebih
sejahtera, hendaknya mengukuhkan kehidupan manyama beraya
(menjaga hubungan baik dengan sanak saudara, keluarga besar, dan
masyarakat sekitarnya).

3.2 Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Satua (Dongeng Bali)


Mungkin sama dengan daerah lainnya di Indonesia, di Bali cukup
banyak terdapat cerita rakyat yang diajarkan secara turun temurun
tanpa diketahui siapa pengarangnya. Cerita-cerita tersebut yang di
Bali disebut satua pada dasarnya merupakan alat untuk mendidik
perilaku santun bagi anak-anak pada masa lampau. Banyak kalangan
yang mempercayai bahwa ketika dunia hiburan untuk anak-anak
tidak marak seperti sekarang, satua-satua itu cukup ampuh untuk
mentransfer nilai-nilai kehidupan. Di Bali cukup banyak ada satua
Bali yang sampai saat ini masih digunakan sebagai salah satu materi
pembelajaran bahasa daerah Bali. Perhatikan contoh berikut!

3.2.1 Satua Men Siap Selem


Ada koné katuturan satua Mén Siap Selem. Ngelah koné ia panak
pepitu. Ané paling cerika enu koné ulagan. tusing ngelah bulu. Kacritayang
jani, Mén Siap Selem sedeng ngalih amahan di tengah alasé. Sagét ada angin
nglinus tur ujan bales. Sawiréh tusing nyidang mulih, Mén Siap Selem

467
nginep di umahné Méng Kuuk.
Ditu Méng Kuuk ngéka daya apang sida ngamah panak-panakné Mén Siap
Selem. Sasubané nyaluk peteng, Mén Siap Selem ajaka panakné nenem, suba
makeber sakaukud. Enu I Ulagan medem di sampingan batuné. Teka Méng
Kuuk, jeg sépanan nyaplok batuné kadéna ento panak siap. Méng Kuuk ngeling
sengi-sengi sawiréh giginé pungak nyagrep batu.

Satua Men Siap Selem ini mengisahkan dua tokoh yang berbeda
karakter. Men Siap Selem dikisahkan sebagai sosok individu yang
berkarakter baik-baik, sedangkan Meng Kuuk sebagai tokoh jahat.
Pada akhirnya Meng Kuuk yang berniat jahat ingin memangsa semua
anak Men Siap Selem mendapatkan malapetaka, giginya rontok
akibat menyergap batu yang dikira anak-anak ayam. Jadi satua ini
bertema ajaran Karma Phala. Barang siapa berbuat baik akan memetik
pahala yang baik, sementara yang menanam kejahatan akan memetik
buah karma yang tidak baik. Guru dapat memakai satua ini untuk
mendidikan anak-nak untuk selalu berbuat kebajikan tidak punya
keinginan untuk menyengsarakan orang lain.

3.2.2 Satua I Belog


Ada katuturan anak cerik muani madan I Belog. Ia orahina ka peken
meli bébék ané baat-baat ban méménné. Dimulihné, ulung koné bébéké di
tlabahé. Tengkejut ia ningalin bébéké kambang. Ditu ia marasa uluk-uluka
ban dagangé. Tigtiga bébéké kanti makejang mati, laut ia mulih.
Teked jumahné, méméné ané tengkejut sawiréh ia tusing ngaba bébék. I
Belog nuturang bébékné suba makejang mati katigtig, sawiréh ia suba nagih
bébék baat-baat, nanging baanga bénbék puyung, kambang di tlabahé.
Méménné ngopak tur makaengan ngelah pianak belog buka adané. Ento
awanan cerik-ceriké tusing dadi males, jemetang malajah apang tusing belog.
Manut ajahan agama, belogé ento tuah musuhé ané utama.

Satua I Belog ini dapat dicermati mengandung nilai-nilai


pendidikan karakter bangsa yang pada hakikatnya memberikan
petunjuk bahwa anak-anak harus menjadi orang-orang pintar tidak
menjadi anak-anak yang bodoh seperti I Belog. Untuk menjadi orang
yang pintar tentunya harus bersedia selalu rajin belajar dan rajin
bekerja membantu orang tua. Pendidikan karakter bangsa menyasar
perilaku yang selalu kreatif dan inovatif, cerdas dalam menghadapi
problematika kehidupan. Sangat tidak baik jika pada era ini kita
menjadi orang-orang yang bodoh atau menjadi orang yang buta
aksara dan sama sekali tidak mengerti persoalan kehidupan yang baik.
Kuncinya adalah dengan berupaya selalu mengisi diri dengan slogan

468
tiada hari tanpa belajar.

3.2.3 Wiracarita Bhagawan Domya


Kacarita wénten Sang Pandita, sané maparab Bhagawan Domya, sané
madué sisia tigang diri: Sang Utamanyu, Sang Arunika, miwah Sang Wéda.
Makatiga sisané punika kauji, napi ké sayuakti bhakti ring guru? Tata caran
idané nguji utawi mintonin.
Sang Arunika kandikayang makarya nandur pantun ring cariké.
Sang Utamaniu kandikain ngangonang lembu, Sang Weda makarya ring
parantenan. Makatetiga sisiane punika sampun kapaica kaweruhan mawinan
ri kala ngamargiang swagina soang-soang nenten pisan dados ngidih pitulung
anake tiosan.
Kaceritayang makatetiga sisianidane prasida ngamargiang titah sang
maraga guru antuk becik pisan, mawinan sami kaicenin panugrahan mangda
setata mangguhang kasukan sekala sidhi mantra, sandi ngucap”.

Kisah kehidupan berguru pada cerita Bhagawan Domya ini juga


mengandung nilai pendidikan dan sekaligus pendidikan karakter
bangsa. Kata kunci tema cerita ini adalah kesetiaan atau kesanggupan
murid untuk mentaati sagala ajaran dan petuah serta petunjuk dari
para gurunya. Murid yang taat akan perintah dan ajaran guru pastilah
akan menjadi murid yang sukses menggapai cita-cita. Sang Arunika,
Sang Abimaniu dan Sang Weda adalah contoh sisia atau murid dari
Bhagawan Domya yang taat pada perintah gurunya, ketiganya
memperoleh anugrah yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya.

3.3 Karakter Bangsa dalam Paribasa Bali


Paribasa Bali merupakan jenis-jenis ungkapan berbahasa
Bali yang sengaja sering digunakan oleh penutur bahasa Bali
dengan tujuan untuk menambah greget atau menambah manisnya
penampilan seseorang dalam pembicaraannya. Jadi dapat dikatakan
materi pelajaran ini sering dipakai membumbui pembicaraan yang
sedikit terselubung maknanya tetapi cukup mudah dipahami. Jenis-
jenis ungkapan ini cukup banyak tergolong wacana kearifan lokal
yang dirasakan mengandung nilai-nilai sindiran, cemoohan, pujian,
dan sejenisnya sehingga dapat dirasakan mengandung nuansa
pendidikan karakter bangsa yang patut diketahui oleh para guru. Jika
guru memahami dengan baik makna ungkapan-ungkapan tersebut,
maka setiap saat dapat dipakai untuk menyampaikan ajaran etika dan
moral demi kebaikan. Dari 16 jenis ungkapan paribasa Bali yang ada,
dicontohkan 2 jenis untuk melihat nilai katakter.

469
3.3.1 Seseonggan
Seseonggan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali
yang dipakai mengungkap keadaan atau tingkahlaku manusia dengan
perbandingan binatang atau barang. Misalnya:
1) Payuk prungpung misi berem
Tegesnyane, kabaosang ring anake sane rupanipun kaon, nanging daging
manah ipune utama pisan.
Jika seseorang memiliki wajah yang tidak cantik atau tidak tampan,
maka dia akan menjadi orang yang terhormat atau disegani
bilamana perilakunya, isi hatinya, dan pemikirannya selalu baik-
baik.
2) Sapuntul-puntulan besine, yen suba sangih pedas dadi mangan.
Tegesipun, lamunapi ja belog/tambet anake, yening sampun jemet
malajah, janten pacang dados anak dueg/wikan.
Makna atau kandungan pendidikan karakter sasonggan ini adalah
mengajak para siswa untuk selalu rajin belajar, karena jika rajin
belajar, yang bodoh pun akan menjadi pintar. Dan yang sudah
pintar tentu bertambah pintar lagi.

3.3.2 Sesenggakan
Sesenggakan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali
yang dipakai mengungkap keadaan manusia dengan perbendingan
binatang atau barang. Bedanya dengan sasonggan terletak pada bentuk
(struktur) luarnya. Sesenggakan menggunakan atau diaawali dengan
kata buka, kadi, luir Misalnya:
1) Buka sandate di teba, bungane alap, punyane kiladin.
‘Bagaikan pohon sandat di teba (belakang rumah), bunganya
dipetik dan pohonnya diolesi kotoran’
Ada kalanya seorang laki-laki atau perempuan yang tidak bisa
menghormati mertua. Ketika dia sudah berhasil mengambil anak
orang dijadikan istri/suami, dia merasa bahwa pasangannya itu
sudah mutlak menjadi miliknya. Hal inilah yang menyebabkan
dia tidak bisa menaruh perhatian atau tidak hormat terhadap
mertiuanya. Perilaku ini tentu sangat keliru.
2) Buka naar krupuke gedenan kroakan
’Bagaikan orang yang makan krupuk, hanya suaranya yang besar’.
Dalam bahasa Indonesia juga ada ’Air beriak tanda tak dalam’.
Makna ungkapan ini mengandung pendidikan karakter yang
mengajarkan tidak baik jadi orang yang banyak berbicara namun
tidak terbukti dia memiliki kemampuan atau kelebihan. Lebih
baik sedikit bicara banyak bekerja daripada banyak bicara namun

470
tidak berbuat apa-apa.

3.3.3 Sloka
Paribasa Bali yang tergolong jenis sloka juga tidak jauh berbeda
dengan dua paribasa sebelumnya. Bedanya hanya dimukanya
dibubuhi ucapan buka slokane, kadi slokan jagate, atau buka slokan gumine,
Perhatikan contoh berikut!
1) Buka slokane, Suarga tumut papa mangsul
Disebutkan dalam sloka ’Bahagia diam, menderita kembali’
Sloka ini mengandung makna bahwa ada orang yang ketika dia
menggapai kebahagiaan dia tidak hirau siapa-siapa, diam saja,
tetapi ketika dia menemui kesengsaraan, baru kemudian dia ribut
minta belas kasihan.
2) Buka slokane, Tusing ada lemete elung.
Disebutkan dalam sloka ’Tidak ada yang lemas itu patah’
Di dalam sloka ini dapat dipetik petuah karakter bangsa yang
dalam bahasa Indonesia dikenal ”Mengalah demi menang”. Jadi,
seseorang yang santun, lemah lembut, tidak suka bersitegang,
mau mengakui kekurangan diri, pada akhirnya akan mencapai
keselamatan. Jarang yang demikian menemui akibat yang patal.
Sedangkan tidak jarang orang yang bersikap kasar atau kaku,
kurang menerima atau mengakui kelebihan orang lain akan
menemui jalan buntu.

3.4 Karakter Bangsa dalam Anggah-ungguhing Basa Bali


Berbicara bahasa Bali tidak sama dengan berbahasa Indonesia
dan bahasa asing karena bahasa Bali memiliki sistem anggah-ungguhing
basa Bali (tingkat-tingkatan bicara bahasa Bali). Dalam berbicara, orang
Bali akan menempatkan diri sebagai orang yang patut menghormati
orang lain. Siapa pun sedang berbiacara bahasa Bali wajib hukumnya
untuk merendahkan diri dengan bahasa alus sor dan menghormati
orang lain dengan bahasa alus singgih.
Nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dengan jelas dapat
disimak dalam pembicaraan bahasa Bali Alus. Bahasa Bali Alus adalah
tingkatan bicara bahasa Bali yang menggunakan pilihan kata-kata
basa alus dengan maksud untuk menghormati lawan bicara dan orang
yang dibicarakan. Orang-orang yang dikenai kata-kata tingkatan alus
adalah orang yang berstatus sosial lebih tinggi dari si pembicara.
Lewat bahasa alus ini sesungguhnya masyarakat Bali sudah terdidik
perilakunya untuk menghormati orang yang patut dihormati. Jika
dilihat nilai karakter bangsa di sini, sistem bicara bahasa Bali ini

471
sekaligus berfungsi untuk menuntun perilaku santun orang Bali.
Jika ada seorang keturunan orang kebanyakan (wangsa
Jaba) membicarakan orang lain yang keturunan Brahmana misalnya,
orang tersebut akan memilih kata-kata bahasa Bali alus singgih untuk
menyebut keadaan, milik, atau perilaku brahmana yang dibicarakan.
Misalnya:
1. Ida Bagus Aji nenten jagi durus mabebaosan rahinane mangkin. (Asi)
’Ida Bagus Aji tidak akan jadi berbicara hari ini’.

Bandingkan dengan,
2. Bapak Made tusing payu lakar ngraos dinane jani. (Andap)
’Bapak Made tidakakan jadi berbicara hari ini’.
Kalimat (1) tergolong jenis kalimat Asi (Alus Singgih). Kalimat
tersebut digunakan untuk menceritakan keadaan seorang Triwangsa
(Ida Bagus Aji) yang dari segi lapisan masyarakat tradisional disebut
sang singgih (golongan atas). Sementara kalimat (2) adalah kalimat
Andap yang nilai rasanya biasa atau lepas hormat karena dipakai
membicarakan Bapak Made yang terlahir sebagai masyarakat golongan
bawah (wangsa Jaba).
Walaupun demikian, perlu diingat bahwa tidak selamnya Bapak
Made mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana halnya jika Bapak
Made berstatus seorang pejabat fungsional dosen yang senior dan
patut dihormati? Seorang mahasiswa yang akan datang ke rumah Pak
Made dan menggunakan bahasa Bali akan menggunakan kalimat-
kalimat Alus Singgih. Walaupun misalnya mahasiswa tersebut berasal
dari keturunan bangsawan (triwangsa).
Misalmnya:
3) Ampura Pak Made, bapak wenten ring jero mangkin, titiang jadi
parek nunas tanda tangan.
Kalimat (3) ini menandai bahwa status sosial Pak Made dari
wangsa Jaba yang kemudian menjadi pejabat fungsional dosen
menyebabkan mahasiswanya mengubah bahasa dari basa andap ke
basa alus. Mahasiswa menyebut rumah Pak Made menjadi jero (Asi).
Demikian seterusnya. Nilai-nilai sosial dalam berbasa Bali ini dapat
diangkat untuk memperkaya pendidikan karakter.

4. Simpulan dan Saran


4.1 Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa
pendidikan karakter bangsa telah menjadi wacana nasional yang
patut direvitalisasi bersama-sama untuk dapat disosialisasikan pada

472
setiap kesempatan untuk menjaga stabilitas bangsa, sekaligus untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional.
Aplikasi pendidikan karakter bangsa tidak perlu melalui bidang
studi khusus, melainkan dapat dilakukan oleh berbagai elemen bangsa,
baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Dalam
pendidikan formal semua guru hendaknya memiliki pengertian bahwa
materi pembelajarannya memang mengandung dan atau memiliki
peluang untuk disisipi pendidikan karakter bangsa.
Materi pembelajaran bahasa Bali yang sangat kental dengan
nilai-nilai budaya Bali dan agama Hindu sangat banyak mengandung
nilai-nilai karakter bangsa. Dengan demikian peran para guru bahasa
Bali menjadi sangat strategis dalam penanaman nilai-nilai pendidikan
karakter.

4.2 Saran
Memahami banyaknya peluang guru bahasa Bali untuk
menyampaikan pesan-pesan pendidikan karakter melalui materi
pelajarannya, maka mau tidak mau para guru harus sanggup
meenggali dan membumbui materi pembelajarannya untuk dijadikan
media dalam pendidikan karekter. Penyusunan buku-buku pelajaran
pun hendaknya selalu mempertimbangkan hal itu.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pendidikan Provinsi Bali. 2006. Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah
Bali untuk SMA/SMK. Denpasar.
Hamad, Ibnu. 2011. ”Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal” Majalah
Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Indriyanto, Bambang. 2011. ”Pembangunan Karakter Tugas Besar Sekolah
dan Masyarakat” Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI
Jakarta.
Kementerian Pendidikan Nasional RI. 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter.
Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Maryani, Yeyen. 2011. ”Bangkitkan Karakter Berbahasa Indonesia” Majalah
Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Naryana, Ida Bagus. Udara. 1983. Anggah-ungguhing Basa Bali dan Peranannya
Sebagai Alat Komunikasi Bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Fak Sastra
Universitas Udayana.
Nuh, Mohammad. 2011. ”Karakter Unggul untuk Menggapai Kebangkitan
Bangsa” Majalah Diknas: Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Simpen AB, 1980. Basita Parihasa. Denpasar.
Sukemi. 2011. ”Mencanagkan Gerakan Pendidikan Karakter” Majalah Diknas,
Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Suwija, 2011. Sari Kuliah Mabaos Bali 1”. Materi Kuliah Berbicara Bahasa Bali,
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Semni, IKIP PGRI Bali: Denpasar.

473
Suyanto. 2011. ”Pendidikan Karakter di Sekolah Perlu Direvitalisasi” Majalah
Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.
Yudhimulyanto, Taufik. 2011. ”Kembangkan Pendidikan Karakter yang
Aplikatif” Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI
Jakarta.
Yudhoyono, Soesilo Bambang. 2011. ”Mari Kita Kerja Keras Melalui jalur
Pendidikan” Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI
Jakarta.

474
POLA PERUBAHAN PENGGARAPAN
PERTANIAN PADA MASYARAKAT DESA
TIRTASARI: Kajian Berdasarkan
Pendekatan Postmodern

Ketut Yarsama
IKIP PGRI BALI, Denpasar

1. Pendahuluan

K ebudayaan merupakan alat adaptasi manusia dalam menghadapi


lingkungannya untuk dimanfaatkan, diubah, dijinakkan atau
dilestarikan. Kebudayaan bersifat integratif dan meliputi berbagai
institusi budaya yang dapat bertambah kompleksnya peradaban.
Kebudayaan ialah produk segala kegiatan manusia untuk bertahan
hidup, memperpanjang organ-organ biologisnya, memperluas ruang
dan merentang waktu, serta memperbesar tenaga (T. Jakob, dalam
Bagus, 1995: 2). Salah satu institut S1 adalah ilmu pengetahuan, yang
juga mempelajari kebudayaan sendiri bahkan otak sendiri sebagai alat
pemikir dan pengendali kegiatan.
Menurut Koentjaraningrat (1986: 248), proses akulturasi atau
kontak budaya terjadi dalam berbagai kehidupan social dimana
kelompok manusia dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan sendiri
tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Dari kedua pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai jangkauan
yang kompleks dan sifatnya dinamis.
Bagus (1992: 13) menyatakan bahwa dalam membina dan
mengembangkan secara dinamis unsur budaya pada perspektif
pembangunan yang berkelanjutan harus ditekankan pada
kreativitasnya sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing
budaya di Indonesia dengan berdasarkan ketahanan nasional.
Unsur-unsur budaya asli yang eksistensinya diakui sebagai
bagian dari kebudayaan nasional, merupakan khasanah yang telah
terangkat ke permukaan menjadi puncak-puncak budaya, baik dalam
aspek seni, system nilai maupun aspek kepranataan.
Era sebelum kemerdekaan dan pembangunan nasional seperti
sekarang ini, keaslian wujud budaya dalam dimensi pikir, perilaku,
dan fisik masih nyata sekali menunjukkan bentuk-bentuk tradisional

475
tetapi unik. Namun karena pembangunan itu merupakan kebutuhan
dan tuntutan masyarakat masa depan yang makin berkembang maju,
tradisionalisme itu bukan menjadi hambatan.
Konsekuensi pergeseran nilai adalah hal yang Iumrah di dalam
setiap “event” perubahan masyarakat. Hanya saja perubahan yang
terjadi itu tidak bersifat baku hantam. Pembongkaran tradisionalisme
hendaknya bersifat selektif, karena tidak seluruhnya usang, bahkan
sebaliknya banyak yang perlu dipelihara dan dilestarikan (Kumara,
1995: 19).
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup petani, memperluas lapangan kerja, dan
meningkatkan eksport. Untuk itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan
usaha-usaha diversifikasi, intensifikasi, dan rehabilitasi pertanian
yang dilaksanakan secara terpadu (GBHN, 1988).
Secara umum telah diketahui beras adalah bahan makanan
pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga beras
tidak saja merupakan komoditi ekonomi dan sosial, tetapi juga dapat
mempengaruhi kondisi politik (Lana, 1994: 2).
Upaya pelestarian swasembada beras menghadapi tantangan
karena makin menciutnya lahan pertanian dan tahun ke tahun. Menurut
Sunaryo, dalam Taher (1990), penyusutan areal sawah produktif di
Indonesia berkisar antara 10.000-20.000 ha per tahun. Di lain pihak
jumlah penduduk yang membutuhkan beras terus meningkat. Untuk
memecahkan masalah ini salah satu persoalan perlu dipecahkan adalah
bagaimanakah cara meningkatkan produktivitas tanaman padi?
Untuk mengatasi atau menjawab persoalan tersebut, masyarakat
Desa Tirtasari sebagai salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Banjar, Kabupaten Tingkat II Buleleng ikut juga berpartisipasi
mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, program pemerintah
untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi bukan hanya
dilakukan oleh masyarakat yang ada di kota, melainkan juga
masyarakat di desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kumara (1995:
20), perubahan-perubahan pola kehidupan masyarakat tidak hanya
terjadi di daerah perkotaan saja, tetapi juga terjadi di daerah pedesaan.
Dengan mencermati pendapat di atas, ternyata perubahan budaya
bukan hanya terjadi di daerah perkotaan melainkan juga di pedesaan.
Hanya saja intensitas perubahan yang terjadi berbeda. Bisa saja pada
masyarakat perkotaan perubahan budaya itu berjalan dengan cepat
bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Perubahan budaya
diakibatkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor penyebabnya
adalah faktor lingkungan. Penulis sangat setuju dengan pendapat

476
Sukardja, yakni kebudayaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Contoh, masyarakat yang tinggal di pantai akan terbentuk budaya
pantai, masyarakat yang tinggal di dataran akan terbentuk budaya
kota, masyarakat yang tmggal di pegunungan akan terbentuk budaya
petani, dan sebagainya. Terkait dengan contoh yang dikemukakan
oleh Sukardja, tersebut maka masyarakat Desa Tirtasari, yang letaknya
di daerah pegunungan, sebagian besar penduduknya sebagai petani,
dengan sendirinya muncul budaya petani.
Penduduk atau masyarakat Desa Tirtasari di samping sebagian
besar mata pencahariannya sebagai petani, juga sebagian besar
beragama Hindu. Sebagai umat yang beragama Hindu maka di desa
tersebut dibangun Pura Puseh/Pura Desa, Pura Subak, dan Pura Dalem.
Ketiga pura tersebut disungsung oleh semua anggota masyarakat
Desa Tirtasari, baik anggota masyarakat yang berada di Banjar Dangin
Margi maupun Dauh Margi.
Di samping ada pura, masing-masing banjar tersebut mempunyai
juga tempat pemujaan/bangunan suci yang disebut “Sanggah”.
Masing-masing “Sanggah” disungsung oleh keluarga “Sanggah” yang
bersangkutan. Di Banjar Dangin Margi ada tiga sekeha “Sanggah”,
sedangkan di Banjar Dauh Margi ada tujuh sekeha “Sanggah”, Upacara
keagamaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat Desa Tirtasari
berjalan sesuai dengan kaidah atau norma agama Hindu.
Di samping anggota masyarakat Desa Tirtasari melaksanakan
upacara keagamaan, mereka juga tidak lupa untuk bekerja, karena
sebagian besar anggota masyarakat (penduduk) Desa Tirtasari bermata
pencaharian sebagai petani maka mereka sudah tentu mengerjakan
sawah, ada juga anggota masyarakat yang mengerjakan kebun, dan
ada pula beberapa orang yang mengerjakan sawah dan kebun. Dalam
tulisan ini akan diulas atau diuraikan pola penggarapan tanah sawah
bukan penggarapan kebunnya. Bagaimanakah pola penggarapan
tanah sawah oleh petani yang ada di masyarakat Desa Tirtasari?
Untuk memecahkan atau menjawab pertanyaan tersebut dipandang
perlu diadakan penelitian lapangan. Adapun alasan penulis untuk
membahas persoalan ini adalah sebagai berikut:
a. Penulis sendiri adalah anak seorang petani yang dilahirkan
dan dibesarkan di Desa Tirtasari.
b. Penulis melihat adanya perubahan pola penggarapan tanah
sawah oleh petani yang ada di Desa Tirtasari.
c. Dewasa ini, pemerintah sudah menaruh perhatian yang baik
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang perlu

477
dipecahkan adalah bagaimanakah pola perubahan penggarapan
pertanian pada masyarakat Desa Tirtasari?
Supaya arah yang ditempuh semakin pasti, sudah tentu
diperlukan tujuan yang jelas pula. Dengan tujuan yang jelas maka
sasaran yang ingin dicapai lebih terarah.
Bertitik tolak pada latar belakang dan rumusan masalah di atas,
tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui atau memperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai pola perubahan penggarapan
pertanian pada masyarakat Desa Tirtasari.
Untuk memecahkan masalah yang telah diuraikan di atas maka
diperlukan suatu metode. Metode mempunyai peranan yang sangat
vital untuk memecahkan objek yang dikaji.
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan di atas, metode
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi,
interview (wawancara), dan kepustakaan. Menurut Hadi (1992: 136),
metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematis
fenornena-fenomena yang diselidiki. Metode observasi dipakai karena
penulis langsung mengadakan pengamatan ke lapangan yaitu ke areal
tanah sawah petani di Desa Tirtasari. Penulis juga mewawancarai
sejumlah petani yang berkaitan dengan cara dan upaya yang mereka
lakukan untuk memperoleh hasil/panen padi yang baik. Di samping
itu, penulis menggunakan metode kepustakaan. Dengan metode ini,
penulis mencari sumber-sumber atau bahan-bahan pustaka yang
relevan dengan masalah yang dikaji. Dengan menerapkan ketiga
metode pengumpulan data tersebut diharapkan data yang diperoleh
valid.
Metode pengolahan data yang digunakan dalam kajian ini
adalah metode analisis deskriptif. Penulis mengadakan pengkajian
atau penganalisisan setiap fenomena yang muncul, selanjutnya data
disusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan
umum.
Pengkajian hasil analisis data dengan memaparkan pola
perubahan penggarapan pertanian. Pola perubahan penggarapan
pertanian tersebut dipaparkan dengan metode informal, yaitu paparan
yang menggunakan rumusan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1988: 144).

2. Pembahasan
2.1 Sistem Religi
Marret dalam Sukardja (2000) mengatakan bahwa manusia
dalam hidupnya sering kagum akan hal-hal serta peristiwa yang
gaib dan luar biasa dan tidak dapat diterangkan dengan akal realitas.

478
Dengan demikian, timbul keyakinan bahwa kekuatan gaib itu ada
dalam segala hal yang sifatnya luar biasa (pada manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, gejala alam, dan benda-benda lainnya) – Muncul
“keyakinan” dan emosi keagamaan – “tingkah laku upacara” untuk
menetralisir gejala yang dianggap merugikan dan kalau mungkin
diubah agar bisa menguntungkan.
Menurut Koentjaraningrat, ada tiga teori dalam sistem religi ini
yaitu (1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada
keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi
kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang l ; dan (3)
teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara
religi (1987 : 58).
Tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan pertama antara
lain : A. Lang, R.R. Marret, dan A.C. Kruyt. Seorang tokoh yang
mempergunakan pendekatan yang kedua adalah R. Otto, sedangkan
tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan yang ketiga adalah W.
Robertson Smith, K.Th. Preusz, R. Herz, dan A van Gennep. Seorang
tokoh yang mempergunakan pendekatan yang mengkombinasikan
ketiga orientasi tersebut adalah N. Soderblom.

2.1.1 Teori-Teori yang Berorientasi Kepada Keyakinan Religi


Teori Lang tentang Dewa Tertinggi. Andrew Lang (1844-1912)
adalah seorang sastrawan Inggris yang banyak menulis sajak dan
essei untuk majalah Times. Ada sebuah buku yang mengandung teori
tentang bentuk religi yang kuno, berjudul “The Making of Religion”
(1898). Lang ingin mengecam teori Taylor, ia kemudian menyatakan
bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat
bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia
yang rasional. Lang menemukan tokoh dewa yang oleh suku-suku
bangsa yang bersangkutan dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh
alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.
Marret dalam Koentjaraningrat menyatakan bahwa bentuk religi
yang tertua adalah berdasarkan keyakinan manusia akan adanya
kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa dan yang menjadi sebab
tiinbulnya gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa
(1987: 60).
A.C. Kruyt dalam Koentjaraningrat (1987: 62) mengembangkan
suatu teori mengenai bentuk religi manusia primitif atau manusia
kuno, yang berpusat kepada suatu kekuatan gaib yang serupa dengan
kekuatan mana dan kekuatan supernatural. Lebih lanjut mengatakan
bahwa manusia primitif atau manusia zaman kuno pada umumnya

479
yakin akan adanya suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan
gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini.

2.1.2 Teori yang Berorientasi kepada Sikap Manusia terhadap hal


yang Gaib
Konsepsi mengenai azas religi yang berorientasi kepada sikap
manusia dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang gaib berasal
dari ahli teologi Rudolf Otto.
Menurut Otto dalam Koentjaraningrat (1987 : 65), semua sistem
religi, kepercayaan, dan agama di dunia berpusat kepada suatu
konsep tentang hal yang gaib (mysterius) yang dianggap maha dahsyat
(tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Sifat dan hal yang gaib
serta keramat itu adalah maha abadi, maha dahsyat, maha baik, maha
adil, maha bijaksana, tidak terlihat, tidak berubah, tidak terbatas, dan
sebagainya. Pokoknya, sifatnya pada azasnya sulit dilukiskan dengan
bahasa manusia, “karena hal yang gaib serta keramat” itu memang
memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dicapai oleh
pikiran dan akal manusia.
Unsur penting dalam setiap sistem religi, kepercayaan atau
agama, yaitu suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam,
yang disebabkan karena sikap kagum-terpesona terhadap hal-hal
yang gaib dan keramat.

2.1.3 Teori-Teori yang Berorientasi kepada Upacara Reigi


Teori mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya
dengan cara yang berbeda dengan teori-teori yang diuraikan di atas,
adalah teori Robertson Smith tentang upacara bersaji. Perbedaan itu
terletak pada teoriinya, yang tidak berpangkal pada analisis sistem
keyakinan atau pelajaran doktrin dan religi, tetapi berpangkal pada
upacaranya (Koentjaraningrat, 1987: 67).
Robertson Smith dalam Koentjaraningrat (1987 67-68)
mengemukakan tiga gagasan penting dalam sistem religi dan agama.
Pertama, di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara
merupakan suatu perwujudan religi atau agama yang memerlukan
studi khusus. Dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar
belakang, keyakinan, maksud, dan doktrinnya berubah. Kedua, upacara
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga
masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-
sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas
masyarakat. Ketiga, teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada
pokoknya upacara bersaji, di mana manusia menyajikan sebagian dan

480
seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa kemudian memakan
sendiri sisa daging dan darahnya. Fungsinya untuk mendorong rasa
solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal ini dewa atau para
dewa dipandang sebagai warga komunitas, walaupun sebagian warga
yang istimewa.
K.T. Preusz dalam Koentjaraningrat (1987 : 68) mengatakan bahwa
wujud religi yang tertua berupa tindakan-tindakan manusia untuk
mengadakan keperluan-keperluan hidunya yang tidak dicapai secara
naluri atau akalnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pusat dan setiap
sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara.

2.2 Komponen-Komponen Religi


Menurut Soderbiom dalam Koentjaraningrat (1987 80), ada lima
komponen religi yang mempunyai peranannya sendiri-sendiri, tetapi
sebagai bagian dan suatu sistem berkaitan erat satu dengan yang
lain. Kelima komponen itu, yaitu : (1) emosi keagamaan; (2) sistem
keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara;
(5) umat agama.
Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai
sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa
manusia. Soederblom dalam Koentjaraningrat (1987) menyebutkan
bahwa emosi keagamaan adalah sikap “takut bercampur percaya”
kepada hal yang gaib serta keramat.
Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan
gagasan manusia, yang menyatakan keyakinan dan konsepsi manusia
tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dan alam gaib (kosmologi),
tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang wujud dan
ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh
jahat, makhluk halus lainnya.
Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas
dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap
Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain,
dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan
penghuni dunia gaib lainnya itu. Ritus atau upacara religi itu biasanya
berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau
kadang-kadang saja.
Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-
macam sarana dan peralatan, seperti : tempat atau gedung pemujaan
(mesjid, langgar, gereja, pura, pagoda, stupa, dan lain-lain), patung
dewa, patung orang suci, dan para pelaku upacara sering kali harus
menggunakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci.

481
Komponen kelima dan sistem religi adalah umatnya
atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang
melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Secara antropologi dan
sosiologi, kesatuan sosial yang bersifat umat agama dapat berwujud:
(1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2)
kelompok kekerabatan yang lebih besar; (3) kesatuan kornunitas; (4)
organisasi atau gerakan religi seperti organisasi penyiaran agama.

2.3 Teori Struktural


Menurut Radcliffe Brown dalam Koentjaraningrat (1987: 180),
yang dimaksud struktur sosial adalah sebagai berikut.
1) Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta
sebenarnya terdiri atas serangkaian gejala-gejala yang disebut
gejala sosial.
2) Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu kelas
dan gejala gejala di antara gejala-gejala alam yang lain.
3) Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial
dan suatu sistem sosial rnempunyai struktur.
4) Suatu struktur sosial merupakan total dan janingan hubungan
antara individu individu atau lebih, baik person-person dan
kelompok-kelompok person.
5) “Bentuk dan struktur sosial” adalah tetap dan kalau toh berubah,
proses itu biasanya berjalan lambat, sedangkan “realitas struktur
sosial” atau wujud dan struktur sosial, yaitu person-person atau
kelompok-kelompok yang ada di dalainnya, selalu berubah dan
berganti.
6) Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk
menentukan batas dan suatu sistem sosial atau suatu kesatuan
masyarakat sebagai organisasi.

2.4 Materialisme Budaya


Teori materialisme budaya yang dikemukakan Marvin Harris
(1977) dalam Sukardja, diajukan penafsiran materialisme yang
mengisyaratkan adanya rasionalitas tersembunyi, berupa adaptasi
ekologis, bagi seperangkat praktek kehidupan budaya, yang pada
permukaannya melambangkan ketidakrasionalitasan manusia dalam
selubung budaya. Contoh: ternak suci di India-sapi adalah alat bantu
pertanian dan produsen susu. Korban manusia dan kanibalisme dalam
masyarakat Aztek-sebagai akibat beban jumlah penduduk yang tidak
seimbang dengan lahan pertanian dan binatang buruannya.

482
2.5 Latar Belakang Teoritis Postmodernisme
Pemikiran atau ide tentang postmodernisrne dimulai dengan
adanya diskusi-diskusi baik lewat media massa maupun seminar pada
tahun 1993. Diskusi yang dilakukan bukan berhenti pada tahun itu
saja, melainkan masih berlanjut.
Masyarakat umum merasakan bahwa postmodernisme
memberikan hal-hal baru yang menyegarkan dan membebaskan kita
dan belenggu formalisme teoritis modernis. Postmodernisme bukanlah
sebuah teori yang begitu saja jatuh dan langit. Benih filosofisnya sudah
ada pada filsafat Nietzsche akhir abad ke-19 dan aspek fisika sudah
dimulai oleh Thomas Khun. Thomas Khun mempunyai andil terbesar
terhadap dasar perkembangan teori postmodemisme.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari teori paradigma
dalam hubungannya dengan postmodernisme, yaitu (1) istilah
paradig sendiri dan konsekuensinya, (2) ketidakpastian kebenaran,
dan (3) kebenaran menurut konvensi. Paradigma adalah keseluruhan
konstelasi baik dari teknik-teknik rasional maupun sistem-sistem
kepercayaan yang ada tidak atau dapat diberlakukan sebagai sebuah
pedoman riset (Suyoto, dkk., 1994 : 4). Pandangan panadigmatis ini
dijadikan pijakan teoritis postmodernisme yang memandang bahwa
tidak ada hubungan vertikal atau subordinat antara dunia rasional
dan irasional di dalam realitas.
Menurut Jean Francois Lyotard dalam Suyoto, dkk. Edit
(1994: 5), ilmu pengetahuan telah kehilangan narasi besarnya (grand
narrative) yaitu argumentasi rasionalitasnya, sehingga kepastian
kebenaranpun telah kehilangan legitimasi. Lebih lanjut dikatakan di
dalam masyarakat maju, yaitu masyarakat yang serba komputerisasi
hidupnya, ilmu pengetahuan tidak lagi mendapat kredibilitas pada
kebenarannya melainkan pada sifat gunanya, sehingga ia tidak lepas
dari jarring-jaring perdagangan dan kekuasaan yang ada di dalam
masyarakat itu.
Transformasi besar dalam teori paradigma Kuhn memiliki
konsekuensi besar bagi teori postmodernisme di dalam memahami
sejarah.
Postmodemisme mempersoalkan kembali nilai-nilai irasionalitas
tradisional dan menganggap rasionalitas modernisme hanyalah
mistifikasi represif belaka, demi efesiensi sebuah status-quo.
Postmodernisme bukanlah sebuah teori yang original, tetapi lahir dari
latar belakang historis tertentu dan dipengaruhi oleh teorii-teori yang
relevan.

483
2.6 Pengertian Postmodernisme
Keyakinan akan kemampuan untuk menemukan kebenaran
merupakan salah satu cara dunia yang sering disebut dunia yang
“modern” Progress, kemajuan, rasionalitas, dan teknologi adalah hal
yang menjadi ideologi mereka yang menganggap dirinya modern.
Goenawan Mohammad dalam Suyoto, dkk. Edit (1994 : 10)
menyebut era postmodern sebagai era kebutuhan, malah ia mengaitkan
ide postmodern (khususnya Heidegger) sebagai upaya memberi
legitimasi pada gerakan-gerakan kaum Nazi.
Arief Budiman dalam Suyoto, dkk. Edit, (1994: 10) meminjam
argumen Pauline Marie Rosenan, membedakan antara postmodern
yang skeptis (yang menggaris bawahi kontrakdiksi dalam setiap teori)
serta post modern yang afirmatif (yang mempertanyakan kebenaran
teori besar untuk kemudian menuju teori yang lebih kecil).
Menurut Jean-Francois Lyotard dalam Suyoto, dkk. Edit. (1994
: 11), postmodernisme berarti pencarian ketidakstabilan (instabilities).
Kalau pengetahuan modern mencari kestabilan melalui metodologi
dengan kebenaran sebagai titik akhir pencarian, pengetahuan
postmodern meminjam argumen Lyotard ditandai oleh runtuhnya
kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas. Prinsip dasarnya bukan
benar-salah, tetapi apa yang oleh Lyotard disebut dengan paralogy,
membiarkan segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif
terhadap perbedaan-perbedaan.
Stabilitas dan kebenaran menjadi problematik dalam pengetahuan
postmodern, karena bahasa dan benak manusia tidak bebas dan
distorsi. Di pihak lain realitas sosial selalu muncul dalam bentuknya
yang serba tercampur.
Sebagai epistemologi, ide-ide postmodern juga memiliki
sejumlah paralel (untuk tidak mengatakan sama) dengan ide kaum
poststrukturalis, seperti Jacques Derrida dan Michell Foucault.
Bagi kita di Indonesia, paseamodernisme sebagai “konsep” memang
suatu hal baru. Tetapi, seperti gejala pemikiran, pascamodernisme bisa
dilihat dan dicari gejalanya dalam perkembangan intelektual. Kita
sebenamya sudah lama mengalami masa modern, walaupun proses
modemisasi yang direkayasa, baru terjadi secara nyata pada dasa
warsa 70-an. Masa modern itu bisa diirnerpretasikan sudah terjadi di
Indonesia sejak zaman kolonial.
Post-Modernisme (Posmo) adalah aliran pemikiran yang
sekaligus menjadi gerakan yang bereaksi terhadap kegagalan manusia
menciptakan dunia yang lebih baik. Bagi penganut Posmo, manusia
tidak akan mengetahui realitas yang objektil dan benar. Yang diketahui

484
manusia hanyalah sebuah versi dan realitas.
Gerakan Posmo, seperti dinyatakan oleh Pauline Marie Rosenan
dalam Suyoto, dkk. Edit, (1994 22), terpecah menjadi dua kelompok
besar, yaitu Posmo yang skeptis (PS) dan Posmo Afirmatif (PA).
PS berhenti pada perdebatan epistemologi tentang pengertian
manusia. Melalui metode dekonstruksi, yakni melakukan analisisi
kritis, mereka menunjukkan adanya kontradiksi dalam teori apa pun.
Tetapi kelompok PS tidak memberikan alternatif. Oleh karena itu,
timbul kesan yang kuat bahwa aliran PS cendrung larut dalarn aliran
pemikiran nihilisme.
PA melangkah lebih jauh Mereka juga tidak percaya path
kebenara teori yang ada, terutama teori besar. Kian besar sebuah teori
yang kebenarannya mencakup ruang dan waktu yang bias, kian lemah.
Sebab teori itu menjadi makin absthk dan makin jauh dan yang mau
direpresentasikannya.

2.7 Postmodernisme dan Problematikanya


Kultur Barat kini meniasiJci apa yang sering dikenal dengan era
“postmodern” atau “pascamodern”. Gerakan kultural dan filosofis
ini banyak mengundang reaksi pro-kontra. Kadang ia dianggap
sebagai gejala kemandegan pemikiran Barat, yang tidak mampu
lagi menghasilkan gagasan-gagasan besar. Kadang ia pun dipahami
‘sebagai konsekuensi logis dan rasionalisme yang berlebihan dan
represif.
Istilah postmodernisme konon mulanya muncul dalam arsitektur.
Sejak 1950-an istilah ini populer di dunia sastra-budaya. Di bidang
filsafat dan ilmu ilmu sosial, postmodemisme barn menggema 1970-
an. Tidak ada definisi yang pasti mengenai istilah itu, karena sejak
ia dilabelkan pada berbagai bidang tersebut, terjadi pertentangan
pendapat.
Tentu saja ada yang pro maupunm kontra terhadap pandangan
postmodernisme. Jurgen Habermas, misalnya, menganggap
rasionalisasi (modemisasi) sebagai “proyek pencerahan” belum selesai
(modernity as unfinish protect) di dunia Barat, terlebih-lebih di negara-
negara yang barn merangkak ke modernisasi. Senada dengan Ilabermas,
Giddens dalam Suyoto (1994 28) menolak bahwa era sekarang adalah
era postmodem. Malah ia menyebutnya sebagai “high modernity”.
Habermas dengan sikap kritis dan tajam mengamati tendensi-
tendensi postmodern dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya.
Menurutnya, asal usul konsep “postmodemitas” sendiri layak diteliti.
Kelemahan mendasar pemikiran postmodern adalah pemahamannya

485
yang ahistoris dan netral atas konsep modernitas itu. Habennas
menganggap postmodern termasuk dalam modernitas. Dengan
demikian, postmodern sebagai istilah yang baru masih memuncukan
suatu problem atau masalah yang perlu sebagai istilah yang baru
masih memunculkan suatu problem atau masalah yang perlu dikaji
dan diseskripsikan lebih intensif lagi.
Di kalangan sebagian intelektual kaum muda di tanah air,
postmodernisme menjadi kosa kata barn yang penuh daya tank.
Mereka mendiskusikan postmodemisme dalam hubungannya dengan
agama, sastra, politik, atau pun kultur dalam pengertian yang luas.
Di negara Eropa dan Amerika Serikat unsur-unsur modernitas telah
mengalami kematangan dan bahkan menjadi ekses. Postmodernisme
menjadi semacam respon kreatif atas ekses modernitas itu.
Namun, kenyataan sosial di Indonesia sangatlah berbeda. Unsur-
unsur modernitas bukan saja belum mencapai ekses, bahkan belum
sampai pada tingkat kematangannya. Mengambil postmodemisme
sebagai sikap intelektual dan model berpikir, terasa sebagai kegenitan
yang terlepas dan situasi masyarakat kita sendiri. Postmodernisme
hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dikaitkan dengan
modernitas. Modernitas bersandar pada tiga unsur, yaitu akal budi,
ilmu pengetahuan, dan antroposentnisme. Ketiga unsur tersebut
bergabung menjadi satu dan membentuk paham modernitas.
Di Indonesia, ketiga unsur modernitas itu baru tumbuh dan
justru harus didukung ui4uk sampai pada tingkat kematangannya.
Mengambil postmodemisme adalah sikap melompat.
Kita dapat mencontohkan kegiatan menanak nasi sebagai analog,
di dunia Barat, nasi sudah matang, dengan sendirinya api harus
dikecilkan agar nasi tiak Sedangkan kita di sini, nasi belumlah matang,
mengapa pula ap harus dikecilkan.

2.8 Pola Peuggarapan Pertanian Masyarakat Desa Tirtasari


Penduduk (masyarakat) Desa Tirtasari sebagian besar mata
pencahariannya sebagai petani dan sebagian besar beragama Hindu.
Sebagai umat yang beragama Hindu, upacara keagamaan berjalan
dengan balk. Buktinya setiap enam bulan sekali ada upacara Dewa
Yadnya di Pura Puseh, beberapa bulan benikutnya upacara Dewa
Yadnya juga dilaksanakan di Pura Dalem. Enam bulan berikutnya
dilaksanakan upacara Dewa Yadnya di Pura Subak. Di samping upacara
Dewa Yadnya, masyarakat Desa Tirtasari juga melaksanakan upacara
Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Rsi Yadnya. Dengan
demikian, masyarakat Desa Tirtasari sampai sekarang ini masih yakin

486
akan - kebesaran Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi).Prinsip yang mereka
pegang adalah berdoa, bekerja, dan berniasyarakat. Prinsip berdoa yang
dimaksud yakni anggota masyarakat mendahulukan sujud atau bakti
kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) sebelum melakukan pekerjaan
atau aktifitas. Prinsip bekerja, maksudnya mereka melaksanakan
pekerjaan/aktifitas dengan tekun dan ulet. Bennasyarakat artinya
anggota masyarakat Desa Tirtasari di dalam kehidupan sehari-hari
mencerminkan sikap saling menghormati, menghargai, dan menolong
antar sesama warga.
Ketiga prinsip di atas dipegang oleh semua anggota masyarakat
Desa Tirtasari dan berbagai profesilpekerjaan. Apakah ia seorang
petani, pegawai negeri atau swasta, atau sebagai pengusaha. Karena
ketiga prinsip itu dilaksanakan dengan baik maka sampai sekarang ini
(ketika tulisan ini dibuat) tidak ada seorang warga yang “kesepekang”.
“Kesepekang” maksudnya dikucilkan atau dijauhkan dan kehidupan
masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kasus adat tidak
pemah terjadi di Desa Tirtasari.
Seperti yang telah diunaikan di atas, anggota masyarakat Desa
Tirtasari sebagian besar sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani
sudah tentu tugas pokoknya adalah mengerjakan tanah persawahan
dengan baik agan produktifitas tanaman padi dapat mencapai hasil
yang optimal. Pam petani selain memilih hari yang baik (ayuning
dewasa) yang berhubungan pertanian juga memilih cocoknya tanah,
bibit, musim, serta pemeliharaan sebaik-baiknya. Supaya produktifitas
tanaman padi mencapai hasil yang maksimal maka semua komponen
tersebut mendapat perhatian dan petani di Desa Tirtasari.
Kegiatan awal petani yakni memilih bibit padi yang unggul. Mulai
mewinih (membibit padi) juga mencari hari yang baik. Tujuannya adalah
agar bibit padi yang ditanam nantinya dapat hidup subur. Setelah
membibit padi, petani mencangkul tanah. Di dalam mencangkul tanah
sawah, petani bukan bekerja sendirian. Sebelum tahun 90-an seorang
petani di dalam menggarap tanah sawah dengan pola penggarapan
“ngajak”. “Ngajak” maksudnya suatu kegiatan yang dilaksanakan
secara bersama-sama tanpa memperoleh imbalan/jasa yang berupa
uang. Seorang petani, yang bernama, Pan Sudeken menceritakan
pengalamannya menggarap sawah miliknya. Dia mengatakan, dulu
sebelum tahun 90-an dalam mencangkul tanah sawah digarap atau
dikerjakan dengan sistem “ngajak”. Pan Sudeken memberitahukan
warga yang lain, misalnya Pan Taman, Pan Suwini, Pan Suwela, Pan
Kariam, dan Pan Jumu bahwa lagi tiga hari akan “ngajak numbeg”.
Kelima orang yang diberitahu itu pun menyanggupi. Pan Sudeken

487
dan Men Sudeken hanya mempersiapkan minuman yaitu minuman
kopi dan makanan. Satu hari sebelum hari H-nya, Pan Sudekin Men
Sudeken sibuk mempersiapkan makanan dan minuman. Pada hari
H-nya kelima orang itu datang ke tanah sawah milik Pan Sudeken.
Mereka bekerja dengan tekun dan ulet. Kira kira pukul 10.00 Wita
datanglah Men Sudeken ke sawah untuk membawakan makanan dan
minuman. Mereka berhenti bekerja lalu makan bersama-sama. Sambil
makan mereka bercakap-cakap tentang cam mengeijakan sawah yang
baik sehingga hasil padinya banyak. Sesudah makan dan minum
mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Penggarapan tanah sawah selanjutnya seperti malikang, melasah,
memula juga digarap secara “ngajak”. Malikang maksudnya tanah yang
sudah dicangkul pada tahap awal, kembali dicangkul lagi. Melasah
maksudnya tanah yang sudah kembali dicangkul lalu diratakan,
sehingga keadaan tanah sawah posisinya datar dan rata. Memula
artinya menanam bibit padi.
Sebelum padi itu ditanam, Men Sudeken melaksanakan upacara
persembahyangan dengan tujuan memohon kehadapan Dewi Sri
agar padi yang ia tanam tumbuh subur dan terhindar dan ganguan
penyakit.
Setelah tanaman padi itu berumur kira-kira satu bulan, Pan
Sudeken memberi pupuk tanaman padi tersebut. Demikian juga
dengan pengairan dilakukan secara teratur.Kira-kira padi itu sudah
berumur empat bulan maka sudah siap untuk dipanen. Warga
masyarakat yang lain melaksanakan pekerjaan menuai padi dengan
mendapatkan imbalan yang berupa gabah. Sebelum padi itu dipanen,
Men Sudeken juga melakukan upacara persembahyangan di tempat
pemujaan Dewi Sri sebagai upcara bersyukur karena padinya dapat
hidup dengan subur dan buah yang jelih. Jell artinya buah padi itu
kualitasnya baik.
Kepercayaan atau keyakinan para petani terhadap keagungan Ida
Sang Hyang Widhi (Tuhan) sangat besar. Hal ini terbukti pengamatan
penulis terhadap setiap tanah sawah yang dikerjakan oleh setiap petani
ada tempat pemujaan (sejenis pelinggih / tempat suci).
Penggarai? tanah sawah seperti yang dikerjakan oleh Pan Sudeken
ternyata juga dilakukan oleh petani yang lain. Penulis langsung
mewawancarai lima orang petani, yaitu Pan Narmi, Pan Suta, Pan
Resten, Pan cerana, dan Pan Kasta. Kelima petani itu mengatakan
bahwa penggarapan tanah sawah yang dikerjakan dengan sistem
“ngajak”.
Pola penggarapan tanah sawah dengan sistem “ngajakang” itu

488
hanya terjadi sampai tahun 1990. Mulai tahun 1991 sampai sekarang
temyata penggarapan tanah sawah bukan lagi digarap dengan pola
“ngajak’ melainkan dengan pola “ngupahang”. “Ngupahang”
artinya menyuruh orang lain untuk menggarap tanah sawah dengan
memberikan upah/imbalan berupa uang. Sistem “ngupahang” ada dua
jenis, yaitu dengan gaji harian dan borongan. Gaji harian rnaksudnya
mereka sudah membuat kesepakatan untuk menggaji mereka sehari
misalnya Rp.15.000,00 (lima belas ribu rupiah). Jadi, upah dalam
satu hari kerja sudah dipastikan. Sedangkan upah dengan sistem
“borongan” maksudnya upah atau gaji yang diterima bukan dihitung
harian, melainkan ditentukan berapa luas tanah yang digarap dengan
upah yang telah disepakati. Misalnya, upah numbeg ‘mencangkul’
seluas tanah 10 are diberikan upah borongan Rp..500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah). Berapa hari dia mencangkul tanah seluas 10 are itu maka
ia tetap menerima upah Rp500.000,00. Penggarapan tanah sawah yang
berikutnya seperti malikang, melasah, dan memula juga dengan sistem
“ngupahang”. Penggarapan yang masih berlaku sampai sekarang
ini adalah menuai padi. Pada saat menuai padi, orang yang menuai
bukan mendapat upah/gaji berupa uang, melainkan dalam bentuk
gabah. Misalnya, orang yang menuai padi (memanyi atau mederep)
memperoleh gabah lima ember. Orang yang memiliki tanah tersebut
memperoleh empat ember sedangkan orang yang menuai (mederep)
mendapat satu ember. Pola penggarapan tanah sawah oleh petani yang
ada di Desa Tirtasari masih bersifat tradisional. Dikatakan tradisional
karena penggarapan tanah sawah belum menggunakan alat-alat yang
modem seperti traktor.

3. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masyarakat Desa Tirtasari pada umuninya dan petani pada
khususnya mempunyai keyakinan atau kepercayaan yang kuat
terhadap Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Hal ini dibuktikan dengan
dibangun Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Subak dan diadakan
upacara (yadnya), yakni Panca Yadnya secara teratur. Setiap tanah
sawah yang digarap petani ternyata ada tempat suci sebagai tempat
pemujaan Dewi Sri.
Pola penggarapan tanah sawah oleh petani di Desa Tirtasari
sebelum tahun 1990 sebagian besar dengan sistem “ngajak”. Mulai tahun
1991 sampai sekarang pola penggarapan tanah sawah dengan sistem
“ngupahang”. Dengan demikian ada pola perubahan penggarapan
pertanian dan sistem “ngajakang” ke sistem “ngupahang”. Penggarapan

489
pertanian yang masih bertahan yakni penggarapan menua (“memanyi
atau mederep”). Dan dulu sampai sekarang, upah yang mereka terima
adalah dalam bentuk gabah bukan berupa uang.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, I Gusti Ngurah. 1992. “Hubungan Pariwisata dengan Budaya di Indonesia


Prospek dan Masalahnya”. Dalam Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah
VIII. Tahun ke-4. 2 Mei 1992.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1995. Menumbuhkembangkan Budaya Ilmu di Universitas
Udayana. Denpasar Depdikbud Unud.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Universitas
Indonesia.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Aksara Baru.
Kumara, I Nyoman. 1995. “Kharisma dan Kemampuan Banjar sebagai
Komunitas Tradisional dalam Menangkal Ekses Negatif Perubahan
Sosial di Bali” dalam Majalah Kopertis Wilayah VIII. Tahun ke-7
Oktober 1995.
Lana, Wayan. 1994. “Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Varietas IR-36 dan
IR-64 pada Berbagai Tinggi Penggenangan” dalam Majalah Ilmiah.
Kopertis Wilayah VII Tahun ke-16, I Oktober 1994.
Suastawan, I Nyoman Goya. 1993. “Analisis Perbandingan Penyerapan Tenaga
Kerja dan Pendapatan Antara Tiga Pola Pengelolaan Usaha Tami
Tembakau Virginia” dalam Majalah Ilrniah Kopertis Wilayah VIII. Tahun ke-
15, 2 Mei 1993.
Suyoto, dkk. 1994. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Yogyakarta:
Aditya Media.
Sunaryo, H.S.dkk. 1997. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur Kajian Analisis
Wacana. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Depdikbud.
Tah A. 1990. “Perpaduan Dunia Transmigrasi dan Pengeiolaan Sawah B
Baru di Indonesia” dalam Seminar Fakultas Pertanian Universitas
Ekasakti, Padang.

490
PESAN TIPIKAL “DRIJI”
DALAM BUDAYA JAWA

Daru Winarti dan Sulistyowati


Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

1. Pengantar

M anusia menyampaikan lebih dari duapertiga pesan-pesan


mereka melalui tubuh; 700.000 tanda fisik yang di antaranya
berupa 1.000 postur tubuh yang berbeda-beda, 5.000 isyarat tangan,
dan 250.000 ekspresi wajah (Morris et al. dalam Danesi, 2010).
Pemaknaan manusia terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya bersifat
verbal (semiotika verbal) dan verbal (semiotika nonverbal). Objek-
objek yang menjadi sumber pemaknaan bukan hanya memberikan
suatu informasi namun juga hendak mengkomunikasikan maksud dan
tujuan dari suatu tanda yang digunakan. Tanda sebagai suatu objek
umum dapat dijumpai dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Tanda-tanda tubuh umumnya memiliki fungsi sosial dan mengatur
hubungan diri-liyan (Danesi, 2010).
Dalam budaya Jawa, driji ‘jari’, sebagai salah satu anggota tubuh
dapat mengatur perilaku nonverbal dan mengomunikasikan sesuatu
yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi tertentu. Driji ‘jari’
terdiri atas jempol ‘ibu jari’, panuduh ‘telunjuk’, panunggul ‘jari tengah’,
jenthik manis ‘jari manis’, dan jenthik ‘kelingking’. Dalam budaya Jawa
jari-jari tersebut tidak hanya berfungsi untuk beraktivitas secara fisik,
misalnya untuk muluk ‘aktivitas makan menggunakan jari tangan’,
menggaruk, mencubit, dan sebagainya, tetapi juga berfungsi sebagai
tanda penyampai pesan yang sarat makna simbolik. Isyarat jari
sebagai tanda yang bermakna digunakan dalam berbagai aktivitas, di
antaranya dalam kehidupan sehari-hari, dalam permainan anak-anak,
dan juga dalam lagu dolanan driji ‘permainan jari’.
Dalam kehidupan sehari-hari, jari yang cukup dominan
digunakan sebagai tanda adalah jempol ‘ibu jari’ dan panuduh ‘telunjuk’.
Dalam permainan anak, Jari yang digunakan adalah jempol, ‘ibu jari’,
panuduh ‘telunjuk’, dan jenthik kelingking’. Sementara itu, dalam lagu
dolanan driji ‘permainan jari’ semua jari difungsikan sebagai tanda.
Tanda-tanda jari tersebut merepresentasikan benda-benda di sekitar,
ide, emosi, dan perasaan.
Bagaimana makna masing-masing jari pada budaya Jawa

491
tersebut akan diungkap dengan analisis semiotis model Peirce.
Pemaknaan perilaku nonverbal “isyarat driji” dalam konteks kultural
dapat mengidentifikasi ciri-ciri dasar tanda di balik perilaku teramati.
Hal ini pada gilirannya memberikan kontribusi pada pembentukan
karakter yang merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dikatakan oleh Peirce (1960: 122-124) bahwa tanda-tanda
berfungsi sebagai mediator antara dunia eksternal dan dunia ide.
Peirce menyebut tanda sebagai representamen, dan konsep, benda,
gagasan yang diacunya sebagai objek. Makna yang diperoleh dari
sebuah tanda dinamakan interpretan. Tanda adalah representasi
mental dari objek, dan objek dapat dikenali dari persepsi tandanya.
Peirce mendefinisikan semiosis sebagai proses representasi fungsi
objek sebagai tanda (sign) (Hoed, 2001: 199). Sebuah tanda mengacu
pada sesuatu di luar dirinya sendiri, yaitu objek yang dipahami oleh
seseorang; dan objek memiliki efek bagi interpretan (Noth, 1990: 42).
Proses pemaknaan dari tanda, objek, dan interpretan yang disebut
semiosis terjadi dengan sangat cepat dalam pikiran manusia (Hoed,
2001:118). Menurut Peirce (via Noth, 1990: 42) semiosis merupakan
hubungan antara tanda, petanda, dan kognisi yang dihasilkan dalam
minda. Karena yang ada di indera sebenanya adalah representamen,
maka sering disebut tanda. Dan tidak satupun dapat disebut tanda
kecuali tanda itu diinterpretasikan sebagai tanda. Peirce melihat
semiosis tersebut sebagai suatu proses yang secara teoritis berlajut
tanpa akhir, karena manusia akan terus berpikir (Hoed, 2001: 200).

3. Pesan dalam Tanda Driji


Berikut akan diuraikan bekerjanya proses semiosis Peirce tersebut
dalam implementasinya pada tanda driji ‘jari’ dalam budaya Jawa.
Yang akan dijadikan model di sini yaitu jempol ‘ibu jari’ dan panuduh
‘telunjuk’ yang digunakan dalam ketiga situasi yang menggunakan
driji ‘jari’ seperti yang djelaskan di atas.

3.1 Driji ‘jari’ dalam Kehidupan Sehari-hari


Representasi driji dalam kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari
diwakili oleh jempol ‘ibu jari’ dan panuduh ‘telunjuk’. Jempol ‘ibu jari’
sebagai tanda dapat distilir mengarah lurus ke atas dan mengarah
ke kanan. Sementara panuduh ‘telunjuk’ sebagai tanda dapat distilir
mengarah lurus ke atas dan mengacung agak miring ke depan.

492
Gambar 1. Jempol kanan mengarah ke atas

Proses semiosis 1
Jempol distilir

Jempol (tanda) bukan sembarang


jempol

Proses semiosis 2

Jempol mengarah
ke atas


bukan sembarang jempol pujian, baik, hebat, setuju
jempol diacungkan

Gambar 2. Jempol kanan mengarah ke kanan


493
Proses semiosis 1
Jempol distilir

Jempol bukan sembarang


jempol

Proses semiosis 2
jempol mengarah
ke kanan


bukan sembarang jempol hormat, mempersilahkan
jempol diacungkan menunjuk

Gambar 3. Panuduh ‘telunjuk’ kanan mengarah ke atas

Proses semiosis 1
Panuduh distilir

panuduh bukan sembarang


panuduh

Proses semiosis 2
panuduh mengarah
ke atas

bukan sembarang panuduh merepresentasikan diri


panuduh diacungkan

494
Gambar 4 Panuduh kanan diacungkan mengarah miring ke depan

Proses semiosis 1
panuduh distilir

panuduh bukan sembarang


panuduh

Proses semiosis 2
panuduh mengarah
miring ke depan


bukan sembarang panuduh peringatan, larangan
panuduh diacungkan

Interpretan dari panuduh ‘telunjuk’ ini kemungkinan diadopsi


dari arca Budha yang mempuyai sifat atau tanda yang mirip, yaitu jari
menunjuk ke atas dan mempunyi makna mengajari atau menggurui.

3.2 Driji ‘jari’ dalam Permainan Anak


Dalam memulai permainan, anak-anak Jawa menggunakan
driji ‘jari’, khususnya jempol ‘ibu jari’, panuduh ‘telunjuk’, dan jenthik
‘kelingking’ untuk menentukan siapa pemenangnya, yang akan
memulai permainan terlebih dahulu. Isyarat driji ini dikenal dengan
istilah disebut pingsut, seperti terlihat dalam gambar 5 berikut.

495
Gambar 5. Tanda driji
melakukan gerakan
pingsut
(Sumber: wikipedia.org.
id)

Pemaknaan driji jempol, panuduh, dan jenthik dalam gerakan pingsut


dapat disajikan dalam tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Makna driji pada pingsut

Tanda
Driji dalam Permainan Objek Interpretan
Anak
1. jempol ‘ibu jari’ dan jempol diadu Gajah melawan manusia, gajah
panuduh ‘telunjuk’ dengan panuduh lebih besar menang dan manusia
kalah
2. panuduh ‘telunjuk’ dan panuduh diadu Manusia melawan semut,
jenthik ‘kelingking’ dengan jenthik manusia lebih besar menang dan
semut kalah
3. jenthik ‘kelingking’ jenthik diadu Semut melawan gajah, semut
dan jempol ‘ibu dengan jempol lebih kecil tapi bias mengalahkan
jari’ si gajah dengan cara masuk
telinga gajah, gajah kesakitan
dan mati, semut menang dan
gajah kalah.

Pesan yang tersirat dalam pingsut bahwa tidak selalu yang besar itu
selalu menang. Gajah lebih besar daripada manusia, manusia lebih
besar daripada semut. Gajah dan manusia menang karena lebih
besar. Namun, semut yang lebih kecil daripada gajah ternyata dapat

496
mengalahkan gajah dengan strategi yang dimiliki.

3.3 Driji ‘Jari’ dalam Dolanan Driji ‘Permainan Jari’


Permainan ini biasanya dilakukan oleh seorang ibu atau
seorang kakak perempuan untuk menghibur anaknya atau adiknya.
Permainan ini menggambarkan percakapan antarjari secara bergantian.
Jari yang digunakan adalah jari tangan kiri. Caranya dengan
mengulurkan telapak tangan kiri dihadapkan ke wajah. Jari yang
mendapat giliran berbicara digerak-gerakkan dengan menggunakan
telunjuk tangan kanan. Berbicara yang dimaksud di sini berupa iringan
lagu Enthik. Dengan kata lain, dalam dolanan driji ‘permainan jari’,
selain tanda visual disertai juga dengan tanda verbal yang berupa lirik
lagu. Driji ‘jari’ dalam konteks ini dibaca oleh penutur Jawa sebagai
sebuah bentuk personifikasi benda yang berfungsi sebagai identitas
manusia. Pemakaian driji sebagai identitas manusia dalam dolanan
driji ‘permainan jari’ dengan iringan lagu enthik dimaksudkan sebagai
benda yang sangat dekat dengan anak-anak sehingga lebih mudah
dipahami.

Gambar 6a. Dolanan driji Gambar 6b. Dolanan driji model


model tunjuk jari-jari menempel

Sesuai urutan lirik lagu dolanan driji, permainan dimulai dengan
disentuhnya jenthik manis ‘jari manis’ kiri dengan diringi lirik Enthik-
enthik patenana si temunggul ‘kelingking-kelingking bunuhlah si jari
tengah’; kemudian dijawab oleh jenthik ‘kelingking’ kiri Temunggul
dosane apa ‘apa dosa jari tengah’ jenthik manis ‘jari manis’ kiri menjawab:
Dosane ngungkul-ungkuli ‘dosanya dia melebihi kita’; panuduh
‘telunjuk’ menjawab Aja dhi aja dhi sedulur tuwa amalati ‘jangan dik

497
jangan dik saudara tua mencelakai’; dan terakhir jempol berkata Ya
bener ya bener tai laler enak seger ‘ya betul ya betul tahi lalat enak segar’.
Secara lengkap lirik lagu tersebut seperti urutan berikut ini.
Enthik-enthik patenana si temunggul
Temunggul dosane apa
Dosane ngungkul-ungkuli
Aja dhi aja dhi sedulur tuwa malati
Ya bener ya bener tai laler enak seger
(Overback, 1935)

(Kelingking-kelingking bunuhlah si jari tengah


apa dosa jari tengah
dosanya dia melebihi kita
jangan dhik jangan dhik saudara tua mencelakai
ya betul ya betul tahi lalat enak segar)

Dalam dolanan driji, lagu Enthik memiliki versi lain, seperti


berikut ini.
Enthik-enthik, patenana si panunggul
Aja dhi aja dhi tak kandhani
Sedulur tuwa malati
Bener  bener  aja  mbeler  ndak  keblinger
Sayuk-sayuk soyang-soyang
Rukunena dimen rosa
Ra dha congkrah dadi bubrah
(Katno, 1940)

(Kelingking-kelingking bunuhlah si jari tengah


Jangan Dik,  jangan Dik, saya nasihati
Saudara tua membuat sengsara
Betul betul jangan membantah akan lupa diri
Setuju-setuju hati menjadi tidak tenang
Rukunlah supaya kuat
Jangan bertengkar  menjadi berantakan)

Berkut ini pemaknaan dolanan driji ‘permainan jari’ dan lirik


lagu Enthik.

498
Tabel 2. Pemaknaan dolanan driji

Tanda
Driji dalam Objek Interpretan
Permainan Anak
1. Panunggul ‘jari Panunggul ‘jari tengah’ Personifikasi. Secara fisik orang
tengah’ yang ditunjuk oleh yang punya badan paling besar.
telunjuk kanan Anak tertua. Menang. Malati.
Orang yang sombong dan
merasa paling hebat.
2. jenthik manis ‘jari jenthik manis ‘jari manis’ Personifikasi. Secara fisik orang
manis’ yang ditunjuk oleh yang lebih kecil. Lebih muda.
telunjuk kanan Kuwalat. Kalah. Orang yang iri
dan berniat jahat.
3 . j e n t h i k jenthik ‘kelingking’ yang Personifikasi. Secara fisik orang
‘kelingking’ ditunjuk oleh telunjuk yang lebih kecil . Lebih muda.
kanan Kuwalat. Kalah. Orang yang
diajak berniat jahat .
4.panuduh ‘telunjuk’ panuduh ‘telunjuk’ yang Personifikasi. Orang yang
ditunjuk oleh telunjuk mengingatkan dan melarang
kanan
5. jempol ‘ibu jari’ jempol ‘ibu jari’ yang Personifikasi. Orang yang
ditunjuk oleh telunjuk bijaksana, menyetujui untuk hal
kanan yang baik dan mengarahkan.

Lagu dolanan driji akan lebih lengkap bila dikaji mengikuti analisis
Roland Barthes (1967) yang mengelompokkan tanda atau yang disebut
oleh Jakobson sebagai sistem kode, menjadi lima kisi-kisi kode, di
antaranya kode narasi dan kode kebudayaan.
Kode narasi yaitu kode yang mengandung cerita atau narasi,
Secara singkat isi lagu tersebut menggambarkan keributan driji ‘jari’
yang saling bertengkar tidak rukun. Keributan dimulai ketika jethik
manis ‘jari manis’ merasa iri karena badannya tidak setinggi driji tengah
‘jari tengah’ utawa panunggul ‘jari tengah’. Terbawa rasa iri, jenthik
manis ‘jari manis’ menyuruh jenthik ‘kelingking’ supaya membunuh
panunggul ‘jari tengah’. Jenthik ‘kelingking’ yang tidak merasa punya
masalah apa-apa dengan panunggul ‘jari tengah’ bertanya, mengapa
panunggul ‘jari tengah’ harus dibunuh? Pertanyaan ini dijawab oleh
driji manis, ‘jari manis’ bahwa dosa panunggul adalah karena tingginya
melebihi driji manis, ‘jari manis’. Pada waktu terjadi pembicaraan
antara driji manis ‘jari manis’ dan jenthik, ‘kelingking’ terdengar oleh

499
panuduh ‘telunjuk’. Walaupun pada kenyataannya tinggi panuduh
juga kalah dengan panunggul ‘jari tengah, tapi panuduh tidak iri dan
dia melarang driji manis ‘jari manis’ dan jenthik, ‘kelingking’ untuk
tidak membunuh. jempol ‘ibu jari’ membenarkan apa yang dikatakan
panuduh ‘telunjuk’.
Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat
kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan,
sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda. Lagu dolanan driji
menggunakan kode kebudayaan, khususnya mitos dan moral.
Dolanan driji merupakan gambaran keadaan manusia di dunia. Di
dalam budaya Jawa, tua muda menempati tempatnya masing-masing.
Posisi orang tua itu nuwasi-malati. Artinya, orang yang muda harus
menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Jika tidak, akan
kuwalat, hidupnya akan menderita. Orang yang lebih tua tidak boleh
diremehkan, diejek, apa lagi dipermalukan. Sebaliknya, orang yang
lebih tua tidak boleh semena-mena, gampang mengumbar kemarahan,
sombong, merasa berkuasa.

4. Penutup
Dengan menggunakan analisis semiosis model Peirce pada
masing-masing penggunaan driji ‘jari’ di atas, pada pemakaian sehari-
hari, permainan anak, dan lagu dolanan driji ‘permainan jari’, nampak
adanya keterkaitan penggunaan tanda dan interpretan dari ketiganya.
Hal tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut.
Pertama, pada pemakaian sehari-hari, jempol ‘ibu jari’ punya
interpretan baik, bagus, hebat, setuju, dan juga menunjuk, sementara
itu pada dolanan driji ‘permainan jari’ punya interpretan sebagai orang
yang bijaksana, selalu mengarahkan, menyetujui hal yang baik.
Kedua, pada pemakaian sehari-hari panuduh ‘telunjuk’ punya
interpretan memperingatkan dan melarang, sementara pada dolanan
driji ‘perminan jari’ punya interpretan orang yang mengingatkan dan
melarang.
Ketiga, secara umum pada permainan anak pingsut, punya
interpretan besar dan kecil, kalah dan menang. Sementara secara
umum interpretan pada dolanan driji ‘permainan jari’ adalah orang
yang secara fisik lebih besar dan lebih kecil, dan yang lebih besar
ngungkuli ‘merasa lebih (menang)’.

***

500
DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 1967. Elements of Semiology. London: Jonathan Cape, Ltd


Danesi, Marsel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang: Indonesia
Tera.
Katno. 1940. “Taman Suka”. Mataram.
Nŏth, Winfried. 1990. “Peirce”, dalam Handbook of Semiotics. Bloomington:
Indiana Press.
Overback, H. 1935. Javaache Meisjesspelen en Kinderliedjes. Jogjakarta: Java
Instituut.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
www.wikipedia.org.id

501
REDEFINISI KETENANGAN HIDUP ABDI
DALEM DI TENGAH DUNIA MODERN
Studi Keseharian Juru Kunci Makam Imogiri
dalam Menyikapi Perubahan Zaman

Sulistyowati dan Slamet Pinardi


Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

A. PENGANTAR

S ecara sederhana mungkin akan sulit ditemukan nalar bagaimana


mungkin seorang abdi dalem dapat ”hidup” di zaman sekarang.
Zaman yang mencerminkan kebutuhan hidup bukan sekedar
kebutuhan subsisten namun lebih dari itu. Konsep hidup “prihatin”
bagi orang Jawa mulai terkikis oleh gaya hidup hedonis yang
mengedepankan kepuasan diri berdasarkan materi. Di zaman yang
serba ada seperti sekarang, apapun bisa diperoleh dengan mudah
asalkan ada “uang”. Gaya hidup yang berorientasi pada selera sudah
tidak lagi dimonopoli kelompok leisure class, seperti yang diungkapkan
oleh Veblen (1991:355), tetapi sudah menjadi semacam virus yang
menyebar ke semua lapisan sosial. Kapitalisme menyebabkan benda
bukan sekedar memiliki nilai fungsional namun nilai sosial atau
gengsi bagi penggunanya (Giddens, 1986). Dunia modern dengan
kapitalismenya yang begitu kuat mampu menggeser orientasi hidup
dan seolah sudah menjadi “agama”.1
Dunia modern menawarkan sebuah simulacra2 yang ”memaksa”
setiap orang memasukinya. Modernitas telah menciptakan semacam
habitus baru. Dengan berbasis pada pencapaian standar kehidupan
material yang semakin tinggi, modernitas membawa warna yang
sangat kental pada seluruh aspek kehidupan manusia (Suhartono,
1997)
Nilai-nilai hidup yang sarat filosofis Jawa melingkupi kehidupan

1 Bayang-bayang kapitalisme yang hadir bersama globalisasi telah memberikan


pengaruhnya yang semakin mantap sejak revolusi industri yang terjadi pada awal abad
ke-19 di Eropa.
2 Baudrillard dalam Simulations (1983) menjelaskan bahwa masyarakat simulasi
merupakan perpecahan kualitatif dengan masyarakat yang berdasarkan produksi
material. Simulasi (simulacra) memuat kecenderungan untuk memikirkan hidup
sendiri-sendiri dan melebih-lebihkan kenyataan (Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis.
Yogyakarta: Kreasi Wacana)

502
seorang abdi dalem. Sebagai keluarga Jawa, seorang abdi dalem
umumnya juga berperan sebagai kepala keluarga atau rumah tangga.
Abdi dalem, yang bisa dikatakan merepresentasikan sosok orang Jawa
yang masih menghayati nilai-nilai tradisional, juga tak luput dari
gerusan modernitas. Melihat kondisi itu, muncul pertanyaan besar
yang ingin dicari jawabannya, yaitu apakah benar menjadi abdi dalem
bukan sekedar perkara mencari uang untuk kehidupan, namun untuk
menemukan kehidupan yang tenang? Kalau memang demikian, lalu
bagaimana mereka menyelaraskan nilai-nilai filosofis Jawa yang penuh
dengan nilai spiritual dengan perubahan zaman yang mengusung nilai
material? Mampukah filosofi ‘ketenangan hidup’ meredam gempuran
citra kehidupan modern yang ada?
Untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut di atas, maka
penelitian ini mencoba menelusurinya melalui tiga pertanyaan besar,
bagaimana abdi dalem mengenal simbol-simbol modernitas, sejauh
mana modernitas mempengaruhi rumah tangga abdi dalem, dan
bagaimana abdi dalem menyikapi perubahan zaman yang terjadi di
sekelilingnya dan mengapa abdi dalem menyikapinya.
Sejauh pengamatan peneliti, topik mengenai gaya hidup
keseharian juru kunci dalam menyikapi dunia modern belum
diperoleh. Wishnu (1994) menjelaskan bahwa profesi sebagai abdi
dalem dipilih dikarenakan adanya keyakinan dengan menjadi abdi
dalem akan memperoleh ketentraman batin, memperoleh gelar sebagai
bangsawan yang dapat menjamin kehormatan seseorang karena
dengan mengabdi pada keraton akan memperoleh berkah dari raja
yang menyebabkan ketentraman batin, walaupun dalam segi materi
tidak menjanjikan.
Rulanto (1986) mengungkapkan bahwa Makam Imogiri sebagai
makam raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
perlu dijaga dan dipelihara. Untuk tugas itu keraton mengangkat abdi
dalem juru kunci. Bagi mereka, walaupun jabatan itu hanya sebagai
tenaga rendahan tetapi tujuan utamanya adalah martabatnya akan
naik. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan diperolehnya nama dan
gelar dari keraton memperoleh kesempatan bergaul dengan para
bangsawan, dan memperoleh perlakuan yang lebih terhormat bila
dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya.
Salah satu faktor yang mendorong seseorang menjadi abdi dalem
sebagaimana diungkapkan Rostiati (1987) adalah kharisma raja sebagai
tokoh yang sakral. Kesakralan ini dianggap akan mendatangkan
berkah tersendiri bagi seorang abdi dalem sehingga ngalap berkah
menunjukkan keloyalan mereka pada sang raja.

503
Menjadi abdi dalem adalah sebuah kebanggaan karena dengan
menjadi abdi dalem, seseorang bisa memperoleh posisi yang cukup
istimewa baik dengan adanya tambahan gelar keningratan ataupun
peran-peran khusus yang dipercayakan langsung dari sultan (Guinness,
1986; Soelist, 1991; Soelist dan Kustara, 1995; dan Rustopo, 2007).
Terkait dengan gelar-gelar keningratan, Kuntowijoyo (2003)
menjelaskan bahwa keberadaan para abdi dalem pada akhirnya
menciptakan semacam kelas sosial baru yaitu kelas priyayi yang
berasal dari kelompok abdi dalem. Proses menjadi ’priyayi’ bagi para
abdi dalem tidaklah mudah, sehingga para abdi dalem yang berhasil
memenuhi kriteria sebagai ’priyayi luhur’ adalah orang-orang yang
memang terpilih. Terjadi tarik menarik antara semangat pengabdian
(caos bekti) dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsistensi.
Meskipun demikian, belum ada yang secara khusus mengkaji
dinamika yang terjadi dalam kehidupan seorang abdi dalem, terkait
dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsistensi tersebut.
Mengacu pada Smelser (1973:265), modern diartikan sebagai
bagian dari sebuah proses umum dari diferensiasi yang di dalamnya
mengimplikasikan adanya pertumbuhan struktur produksi yang bebas
dan perubahan fungsi-fungsi. Simbol modern bercirikan: (1) revolusi
demografis, tingkat natalitas maupun mortalitas yang menurun drastis;
(2) peningkatan ukuran, cakupan, dan jaringan dalam keluarga, (3)
sistem stratifikasi yang semakin terbuka menuju tingkat mobilitas
yang lebih tinggi, (4) transisi dari struktur masyarakat kesukuan
atau feodal ke dalam tipe birokrasi yang demokratis atau totaliter,
(5) berkurangnya pengaruh agama, (6) pemisahan pendidikan dari
keluarga atau komunitas dalam proses pendidikan yang lebih terbuka,
proses pendidikan yang semakin panjang, kompleks dan menyebar,
(7) pertumbuhan budaya massa yang diperkaya oleh pendidikan dan
perkembangan media komunikasi massa, (8) munculnya ekonomi
pasar, dan yang lebih penting lagi adalah industrialisasi.
Modernitas pada kenyataannya menandai sebuah pola organisasi
produksi yang baru, yang secara tidak langsung memaksa penyesuaian
nilai dan norma dalam masyarakat (Abdullah, 2006:154). Masuknya
pasar menyebabkan terjadinya integrasi pasar serta ekspansi pasar
sehingga menegaskan suatu masyarakat telah bergeser dari tatanan
lama. Suatu tatanan baru yang lahir tidak hanya merupakan suatu
bentuk dan gaya baru yang dianut masyarakat, tetapi juga suatu cara
baru di dalam melihat diri sendiri dan orang lain di dalam konteks
yang berbeda.
Modernitas ini pada tahap selanjutnya melahirkan tuntutan-

504
tuntutan yang menjadi ancaman cukup serius bagi keberlangsungan
simbol-simbol kultural tradisional. Kehidupan modern menciptakan
’experince of rupture’ (Miller, 1995). Di sinilah konsumsi menjadi ide
utama yang muncul. Konsumsi massa pada produk menjadi titik
superordinat baru dari identitas sehingga menciptakan sebuah
homogenisasi global.
Tulisan ini berusaha mengungkapkan makna, maka metode
penelitian kualitatif yang mensyaratkan kerja lapangan menjadi
metode utama. Sementara, untuk memperkuat konteks penafsiran atas
temuan lapangan akan digunakan data sekunder atau literatur yang
terkait dengan tema penelitian ini. Adapun fokus penelitian pada unit-
unit rumah tangga keluarga abdi dalem juru kunci Makam Pajimatan,
Imogiri. Unit rumah tangga dipilih sebagai fokus penelitian karena
pada dasarnya citra kehidupan modern tidak hanya dapat dirasakan
dalam dunia publik tetapi juga kuat pengaruhnya pada tataran privat
atau domestik.

B. MODERNITAS MASYARAKAT ”JAWA”


”Wong Jawa akan kehilangan jawane”, demikian disampaikan
Suhartono (1997:54) untuk menggambarkan betapa kuatnya gelombang
modernitas yang sedang mengancam eksistensi nilai-nilai dan aspek-
aspek kehidupan tradisional dalam budaya Jawa. Kehidupan para abdi
dalem di makam Pajimatan pun tidak bisa dilepaskan dari dinamika
kehidupan keraton yang selama ini menjadi payung “ketentraman”
yang menaungi dan memberikan nafas pada semangat pengabdian
mereka. Raja dan keraton yang menempati struktur kekuasaan tertinggi
dalam sistem organisasi dan kepangkatan abdi dalem mengalami
hantaman perubahan yang demikian intensif.

B.1 Keraton yang Mulai Berubah

“Di era modern ini, kita membutuhkan seorang “ratu” yang benar-benar
dapat menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah dengan cepat dan
mampu mengimbanginya,” 3

Sebagaimana dapat dicermati dalam kutipan di atas, “seorang


ratu yang bisa menyesuaikan diri” adalah satu bentuk konsekuensi
dari tuntutan-tuntutan zaman modern.4 “Modernitas” tidak bisa

3 Lihat Kompas, 16 Juli 2004


4 Mengacu pada KBBI istilah modern diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta
cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman (2002:751).

505
tidak, sudah menjadi bagian dari perubahan yang membawa keraton
meninggalkan kejayaan masa lalunya. Bagi masyarakat Jawa khususnya
Yogyakarta, keraton merupakan pusat budaya terutama budaya adi
luhung (elite culture). Keraton merupakan pusat kekuatan, terutama
yang berhubungan dengan kekuatan spiritual. Keraton memiliki dan
mengkreasi budaya adi luhung yang secara khusus diperuntukkan bagi
kalangan bangsawan keraton. Demikian pula dalam kekuasaan dan
politik, keraton menduduki hierarki tertinggi. Dengan demikian, terjadi
kesejajaran antara kedudukan tertinggi dengan peran budaya yang
dimilikinya (Suhartono, 1997). Dalam posisi ini, keraton merupakan
simbol, pusat, dan sekaligus penjaga nilai-nilai budaya tradisional.
Seiring dengan zaman yang mulai berubah, keraton pun telah
berbeda dengan keraton pada masa Kerajaan Mataram. Dahulu,
keraton mempunyai pengaruh penuh karena kekuasaannya sebagai
sebuah kerajaan untuk mengatur pemerintahan dan rakyatnya,
meskipun ketika itu terdapat pemerintahan Hindia Belanda. Akan
tetapi, justru melalui birokrasi kolonial inilah budaya keraton
dirembeskan ke masyarakat. Kini, keraton bukan lagi ibukota kerajaan
tetapi hanya merupakan warisan budaya (cultural heritage). Sebagai
sebuah cultural heritage, keraton sangat terbatas untuk menyebarkan
budayanya di tengah-tengah masyarakat yang semakin heterogen
dan kompleks. Keraton masa kini pun mempunyai persoalan intern
dan ekstern. Intern terkait dengan pendukung budaya internal dan
pemeliharaannya, mengalami kesulitan untuk mencukupinya. Ekstern
karena keraton tidak lagi mempunyai kekuasaan dan kewenangan
terhadap lingkungan di luar keraton sekalipun pada awalnya seluruh
tanah kerajaan dari negaragung, kotanegara hingga mancanegara adalah
milik raja.
Keraton sedang dan terus mengalami gempuran penyesuaian
dengan kehidupan modern. Rencana pembangunan parkir bawah
tanah di kawasan alun-alun utara adalah salah satu bagian dari
sekian tuntutan kebutuhan masa kini yang mengejar segala macam
tuntutan kepraktisan dan pundi-pundi rupiah. Seperti dicatat dalam
situs Heritage of Java (2009), keraton Yogyakarta sebenarnya sudah
mulai memasuki masa transisi menuju modernisasi sejak masa
kepemimpinan Sultan HB VII pada tahun 1900-an. Modernitas pada
masa ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah modern serta
keharusan bagi putra-putri sultan untuk mengenyam pendidikan
modern bahkan sampai ke negeri seberang (Belanda). Budaya belajar di
sekolah-sekolah modern ini berlanjut hingga masa kepemimpinan HB
VIII, HB IX, dan HB X. Transisi pendidikan modern yang diadopsi oleh

506
sultan dan keluarganya menjadi salah satu dari sekian bukti konkrit
yang memberikan gambaran bahwa keraton tidak menutup mata
pada pengaruh-pengaruh modernitas. Sultan dan kerabatnya tidak
lagi hadir dengan ikon kebangsawanan masa lalu dengan mahkota,
sanggul, pakaian kebesaran dan kereta kudanya, tetapi mulai tampil
dengan gaya modernnya bercelana jeans dan mengendarai mobil.
Tak hanya keraton dan Sultan Yogya yang mulai berubah, keraton
Surakarta yang juga menaungi sebagian abdi dalem Pajimatan juga
mengalami hal serupa. Tavarez (2004), mengistilahkan kondisi keraton
Surakarta sekarang dengan sebutan ”mati suri”. Setelah kehilangan
hampir seluruh aset ekonomi peninggalan Dinasti Paku Buwono pada
akhir revolusi fisik, berawal dengan dikeluarkannya surat keputusan
pemerintah pada 1946, yang mengambil alih kekuasaan keraton dan
menjadikannya sebagai wilayah karesidenan, Keraton Surakarta
praktis tidak lagi menjadi pusat kekuasaan yang bisa dijadikan rujukan
politis.

B.2 Imogiri Masa Kini


Imogiri adalah salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten
Bantul yang secara administratif berbatasan dengan Kecamatan Jetis
dan Plered di sebelah utara, Kecamatan Dlingo di sebelah timur,
Kecamatan Pundong dan Kecamatan Panggang di sebelah selatan serta
Bambanglipuro di sebelah barat. Seperti halnya keraton, Imogiri pun
tidak luput dari perubahan. Imogiri sebagai sebuah kota kecamatan
kecil dapat dikatakan cukup semarak. Barisan minimarket, toko, dan
warung makan sekilas memberikan gambaran bahwa wilayah ini juga
sedang menggeliat dengan ragam kebutuhan konsumsi warganya.
Kota kecil di pinggiran Yogyakarta ini adalah bagian yang tidak bisa
dilepaskan dari dinamika kota dan keraton. Di tempat inilah tinggal
lebih dari 80 abdi dalem yang mengabdikan hidupnya menjadi juru
kunci makam.
“Sugeng Rawuh ing Pasareyan Dalem Para Nata Pajimatan Girirejo
Imogiri”, demikianlah ucapan selamat datang yang menyambut
setiap pengunjung ke makam Imogiri. Dalam peta daerah tujuan
wisata, Imogiri memang merupakan salah satu pesona unggulan
yang ditawarkan. ”Wedang uwuh” dan nuansa mistis makam adalah
beberapa keistimewaan yang memiliki nilai jual tersendiri sebagai
ikon pariwisata. Selain kompleks makam Pajimatan,5 Imogiri juga

5 Makam Pajimatan adalah makam raja-raja Mataram Islam (Surakarta dan


Yogyakarta)

507
memiliki kawasan wisata lain seperti Makam Banyusumurup6 dan
Makam Giriloyo.7 Seperti dituturkan Mas Ngabehi Rekso Sumarto
(74), Imogiri mulai ramai sejak makam raja-raja yang ada, resmi dibuka
sebagai kawasan wisata religius pada tahun 50-an: “Nggih, sakbibaripun
tahun 50 menika, bibaripun landi kesah menika, ha menika lak Imogiri ki
saiki tempat pariwisata, pariwisata religius.” (Ya, sesudah tahun 50 itu,
setelah Belanda pergi, Imogiri sekarang menjadi tempat pariwisata,
pariwisata religius).
Sejak dibuka sebagai kawasan wisata religius, makam yang
semula hanya bisa dikunjungi oleh kerabat raja kini mulai dibuka
untuk pengunjung umum. Sejak itu banyak warga perempuan yang
semula mengandalkan kegiatan membatik sebagai mata pencaharian,
kemudian beralih pada beragam profesi seperti penjual bunga, penjual
cenderamata, guide, juru foto, persewaan busana jawa, penjaga parkir,
serta penjual makanan dan minuman.
Imogiri yang semula hanya khusus buka pada hari Senin dan
Jumat, akhirnya ditambah satu hari buka yaitu hari Minggu. Tambahan
hari buka ini, bisa menjadi tolok ukur bahwa pembukaan kawasan
Imogiri sebagai tujuan wisata religi cukup berhasil. Ikon Imogiri sebagai
kawasan wisata religius mulai terlihat dari plang-plang penunjuk jalan
yang terpasang di sepanjang jalan menuju Imogiri. Tanda panah serta
tulisan Imogiri-makam raja-raja, seolah menjadi simbol kebanggaan
tersendiri bagi kawasan ini. Para penjual wedang uwuh dan pusat
oleh-oleh bertebaran, dari mulai kawasan terminal menuju kawasan
makam dan di sepanjang tangga masuk menuju makam.
Berkah pariwisata tak hanya memasyurkan wilayah Imogiri,
tetapi juga memberikan berkah tersendiri bagi puluhan abdi dalem
juru kunci makam. Sejak dibuka sebagai kawasan wisata, kawasan
makam banyak dijadikan sebagai sandaran kehidupan. Ada banyak
peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para abdi dalem untuk
“nyambi” di antaranya dengan menjadi guide, tukang parkir, ataupun
pelantar. Banyaknya jumlah pengunjung yang datang juga menjadi
berkah tersendiri. Abdi dalem dapat memperoleh masukan tambahan

6 Makam Banyusumurup adalah tempat dimakamkannya Pangeran Pekik, putra Pan-


geran Purbaya seorang penguasa di Surabaya pada sekitar abad 17 M.
7 Makam Giriloyo adalah tempat dimakamkannya Pangeran Juminah (Paman Sultan
Agung). Pada mulanya makam ini dipersiapkan untuk makam Sultan Agung beserta
keluarganya, akan tetapi karena sang Paman mangkat lebih dahulu dan berkeinginan
untuk dimakamkan di lokasi itu maka Pangeran Juminahlah yang pertama kali di-
makamkan. Atas kejadian itu Sultan Agung membatalkan kemudian rencana makam
untuk dirinya dipindahkan ke makam Pajimatan.

508
dari sumbangan sukarela yang sering disebut juga ‘tambahan pandonga’
(tambahan doa), dana saeklasipun (sukarela), baik dari para pengunjung
makam maupun bledug (tips) dari para pengunjung seperti dituturkan
kembali oleh Dono Puspoko (60 tahun): “Kathah ingkang nyuwun
pangestu sowan mlebet kaliyan anu doa, menika tahlil menika yen caleg-caleg
wonten pinten mriki.” (Banyak yang meminta restu berziarah berdoa,
tahlil, demikian caleg-caleg ada beberapa ke sini).

C. ABDI DALEM
Abdi dalem adalah pegawai keraton yang kerapkali dianggap
sebagai fenomena yang kontradiktif di era kehidupan modern, seperti
dapat dilihat berikut ini:
“Penampilan mereka mudah dikenali dengan ikat kepala blangkon,
berbaju kain pranakan biasanya berwarna biru tua bergaris vertikal 3 dan
4 (telupat). Mereka juga mengenakan kain dan sebilah keris terselip di
pinggang belakangnya. Kaki mengenakan selop, namun banyak juga
di antara mereka yang tidak beralas kaki. Ada nuansa fantastis melihat
keteguhan mereka menjalani profesinya yang begitu tenang, seolah
berlawanan dengan derasnya dinamika era globalisasi. Hal lain yang
lebih fantastis dari rutinitas kehidupan mereka, adalah masalah gaji
mereka”8

Ada yang menganggap bahwa mereka adalah kelompok


masyarakat yang eksklusif, ada juga yang menganggap bahwa mereka
sebagai kelompok yang begitu bersahaja dan yang terakhir ada yang
beranggapan bahwa mereka tidak lebih dari manusia biasa. Keragaman
pandangan ini tidak hanya menjadi wacana di sekitar makam, tetapi
juga pada sebagian orang yang melihat sosok para abdi dalem. Pada
kenyataannya memang tidak semua abdi dalem terbuka, ada beberapa
di antara mereka yang cukup tertutup dan menyimpan rapat riwayat
kehidupannya.
Abdi dalem juru kunci pada dasarnya adalah abdi dalem
keraton yang ditugaskan di kompleks makam. Abdi dalem juru
kunci kebanyakan berasal dari wilayah Imogiri juga. Tempat tinggal
mereka biasanya tidak jauh dari lingkungan makam. Mereka biasanya
memiliki nama tambahan yang khas, yaitu ‘reksa’ dan ‘jaga’. Jumlah
mereka secara keseluruhan sekarang ini sekitar 80 orang, meliputi
abdi dalem Yogyakarta maupun Surakarta.
Para abdi dalem juru kunci bertugas menjaga makam dan
melayani keluarga raja bila berziarah. Dalam perkembangannya
mereka juga melayani masyarakat umum saat melakukan ziarah di

8 Lihat Pudjo (2009:39)

509
kompleks makam raja-raja Mataram.

C.1 Konsep Modernitas bagi Abdi Dalem


Kebudayaan dan juga kesenian rakyat dalam ranah peradaban
modern senantiasa dipandang sebagai sajian yang eksotis begitupun
keberadaan para abdi dalem. Menelusuri kehidupan mereka bak
menengok masa lalu itu. Pada masa kita memasuki ‘invasi’ era
modernisasi dengan hiperkonsumsi sebagai sebuah gaya hidup,
kebersahajaan para abdi dalem tentu bukanlah sebuah romantisasi
terhadap kehidupan yang sudah kekotaan, bukan pula kecintaan
berlebihan pada eksotika. Realitas kehidupan abdi dalem adalah
bagian dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai human, yang bisa
jadi ”tertinggal” di saat kita gandrung pada sesuatu yang ”baru”. Di
sinilah mereka memiliki persepsi sendiri terhadap modernitas.
Konsep modernitas bagi abdi dalem diterjemahkan dengan
membandingkan antara keadaan zaman dahulu dan zaman sekarang.
Zaman modern adalah masa sekarang yang secara umum ditandai
dengan perubahan-perubahan, baik ke arah yang positif maupun
negatif. Zaman yang berubah memang disadari sepenuhnya oleh abdi
dalem. Waktu sudah bergulir demikian cepat dan generasi modern
zaman sekarang bukanlah generasi yang berangkat dengan situasi sosial
yang sama dengan apa yang mereka alami puluhan tahun yang lalu.

Zaman Modern: ‘Zaman Memperturutkan Keinginan’


“Sebetulnya kalau orang bisa memahami dan bisa katakanlah
memanfaatkan kesempatan, semua kesempatan itu enak sekarang”, itulah
penuturan Mas Dono Puspoko (60) ketika memaknai istilah zaman
modern. Zaman modern atau zaman sekarang menawarkan begitu
banyak kesempatan dan kenyamanan hidup. Setiap orang hanya
tinggal berusaha untuk melihat dan memanfaatkan kesempatan
yang ada. Zaman sekarang adalah zaman serba mungkin. Setiap
orang bisa dengan mudah makan di restoran, yang di zaman dulu
kebiasaan serupa ini hanya menjadi kebiasaan para pejabat tinggi
atau tingkatan ‘tamu agung’. Zaman sekarang adalah zaman di mana
orang bisa menuruti keinginannya. Sekarang banyak fasilitas yang
bisa dimanfaatkan. Anak-anak tidak lagi dipaksakan untuk membantu
orang tuanya bekerja. Mereka diberikan otoritas yang lebih besar untuk
menikmati masa kanak-kanaknya dengan mengenyam pendidikan di
bangku sekolah.
Kesulitan yang muncul di zaman modern ini pada dasarnya
karena tuntutan yang semakin tinggi. Zaman modern menurut

510
Jagasara (66 tahun) adalah zaman yang semakin hancur dan serba
tidak jelas. Zaman di mana orang-orang semakin ”sapenak udele dhewe”
ini dianggap sebagai biang dari semua kesulitan. Zaman sekarang
segala hal sudah maju sehingga mau membuka usaha atau kerja pun
tantangannya menjadi lebih berat. Sebenarnya, bisa saja orang tetap
makan ubi dan membeli pakaian sekali dalam satu tahun. Namun,
kenyataan ini tidak mungkin terjadi di zaman sekarang, “Tuntutan
zaman sekarang kita akan menyamai negara maju. Ya kan dulu prinsipnya
itu, saiki aku arep padha Amerika, arep padha karo Singapura.” Sekarang ini
hidup memberikan banyak sekali tuntutan. Orang harus berpakaian
bagus ketika menghadiri suatu acara pernikahan, orang tidak mau
lagi kalau hanya sekedar makan ubi, orang harus sekolah di sekolah
yang bagus, setiap orang harus jadi anak yang pintar.
Inilah kenyataan yang muncul di zaman sekarang, tidak hanya
kebutuhan perut saja yang harus dipikirkan, tetapi juga kebutuhan
lain yang semakin hari semakin banyak jenisnya, mulai dari biaya
sosial seperti sumbangan untuk hajatan, biaya pendidikan anak-anak,
sampai keinginan untuk naik haji.

Zaman Dulu: Masa Generasi Prihatin


Zaman modern adalah kelanjutan dari masa lalu yang disebut
juga ‘zaman mbiyen’. Zaman dulu adalah bagian dari kepahitan hidup
yang dialami oleh abdi dalem. Rawan pangan, kurang sandang, dan
segala hal yang serba terbatas, menciptakan strategi bertahan tersendiri
yang disebut dengan istilah ”prihatin”. Para abdi dalem yang sudah
sepuh-sepuh ini rata-rata mengalami kepahitan hidup masa lalu yang
menempatkan mereka untuk menerapkan pola hidup ”prihatin”. Hal
ini dialami oleh Mas Dono Puspoko (60).
Pengalaman hidup masa lalu dengan segala macam keterbatasan
yang ada, demikian membekas di benak Mas Dono Puspoko. Sebagai
salah satu generasi yang pernah mengalami sendiri masa-masa
kesulitan pangan, diakuinya bahwa zaman dulu memang benar-benar
berbeda dengan zaman modern sekarang ini. Kebutuhan pangan
adalah prioritas utama yang pemenuhannya membutuhkan banyak
pengorbanan. Hari-hari diisi dengan ketidakpastian akan kecukupan
pangan esok hari.
Pengalaman hidup prihatin juga dialami oleh Mas Ngabehi Rekso
Sumarto (74 tahun) seperti disampaikannya: “Nggih rumiyin mriki
ngrekaos sanget, trus dipadoske saking luar negeri menika bulgur, nggih pun
tampi, nggih piye raose kaya thiwul”. Lagi-lagi kebutuhan pangan adalah
prioritas yang utama. Tidak ada beras, yang ada hanyalah bulgur yang

511
rasanya seperti thiwul. Kenyataan ini membuat Mas Dono Puspoko
harus menerapkan konsep hidup prihatin untuk seluruh keluarganya.
Anak-anak diharuskan untuk selalu mematuhi orang tua dan tidak
pernah diberi uang saku. ‘Tidak ada uang, asal perut tetap kenyang’,
adalah upaya yang dilakukannya untuk membiasakan anak-anaknya
hidup apa adanya. Tidak ada jajan dan belanja, perut kenyang dalam hal
ini dimaknai dengan makan seadanya di rumah. ‘Lugu’ adalah istilah
yang digunakan Mas Dono Puspoko untuk menggambarkan betapa
anak-anaknya pun begitu penurut dan tidak pernah memberontak.
Mereka adalah bagian dari generasi masa lalu yang bagi dirinya adalah
teladan orang-orang yang bisa hidup di masa yang serba sulit.

C.2 Abdi Dalem Masa Kini


Santun, kalem, tenang dan bersahaja adalah gambaran umum
sosok seorang abdi dalem. Pengabdian dan kepasrahan kepada raja
sebagai junjungan, tampaknya mengajarkan para sentana dalem ini
mengadaptasi keunggulan-keunggulan dari tata cara, kebiasaan serta
perilaku bendara mereka. Sosok abdi dalem memang meninggalkan
kesan yang cukup eksotis. Dengan blangkon, jarit, keris serta surjan
yang selalu dikenakan, mereka seringkali dianggap sebagai sosok
yang unik di masa sekarang ini. Keunikan ini semakin terlihat nyata
ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa menjadi abdi dalem tidak
menjanjikan keuntungan finansial apapun. Gaji per bulan yang
demikian kecil seringkali membuat orang menggelengkan kepala dan
menganggap bahwa mereka benar-benar sekelompok orang yang tidak
rasional. Meskipun lekat dengan beragam keunikan, sosok abdi dalem
pada kenyataannya tetap memiliki caranya sendiri untuk menikmati
kenyamanan hidup dan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh
kehidupan modern.

Tidak harus Berbusana Adat Lengkap


Selain hari buka, suasana Makam Pajimatan biasanya lengang
karena hanya ada 2-3 pengunjung. Kelengangan ini berbeda 180 derajat
dengan kesibukan seorang guide yang terus berusaha untuk mencari
pengunjung yang berminat menggunakan jasanya. Dalam situasi
seperti ini, dapat saja ”mas-mas” abdi dalem hanya mengenakan surjan
dan celana pendek. Apabila melihat ada beberapa pengunjung yang
memasuki wilayah makam, dengan terburu-buru ia segera mengambil
jarit yang entah dari mana datangnya langsung dibebetkan di bawah
surjan, menutupi celana pendeknya. Dapat terlihat pula seorang abdi
dalem lain yang membawa segelas penuh kopi susu dan sebuah buku

512
tebal segera duduk bersila di pendapa dekat masjid, sambil sesekali
membetulkan kacamata dan mulai sibuk menekuni bukunya.
Suasana yang tidak jauh berbeda juga dijumpai di pendapa
utama. Minimnya pengunjung tampaknya membuat abdi dalem lebih
santai. Mereka terlihat lebih santai dengan kaos oblongnya. Guyonan
dan celetukan-celetukan pun sempat muncul juga dari beberapa abdi
dalem. Hal ini menggambarkan sebuah kelonggaran aturan yang
begitu mereka nikmati. Memakai surjan lengkap dengan blangkon
mungkin memang tidak cocok di siang yang terik itu. Kacamata hitam
dan kaos oblong terasa lebih nyaman, apalagi ditambah dengan tidur-
tiduran di lantai pendapa yang dingin, tentu mak nyess… rasanya.

Tidak Berarti Ketinggalan Teknologi


Zaman modern yang salah satunya disebut sebagai zaman
kemajuan, tampaknya juga tidak lepas dari keseharian abdi dalem.
Ikon modernitas seperti mobile phone adalah wujud yang paling nyata.
Handphone adalah alat komunikasi yang rata-rata dimiliki oleh abdi
dalem. Handphone tampaknya dianggap sebagai alat komunikasi
praktis, baik untuk berkomunikasi dengan keluarga maupun dengan
sesama abdi dalem dan tentu saja tidak terkecuali tamu-tamu yang
berkunjung ke makam.
Mas Dono Puspoko (60 tahun) memanfaatkan handphone untuk
berkomunikasi dengan tamu-tamu yang datang dari jauh. Ia seringkali
diminta secara pribadi untuk mengantarkan tamu-tamu ke makam.
Tak hanya handphone, ikon modernitas lebih kental terlihat dalam
rumah tangga abdi dalem. Meskipun di satu sisi menganggap zaman
modern sebagai zaman yang serba tidak jelas, abdi dalem bukanlah
sosok yang anti dengan ikon-ikon modernitas. Rumah-rumah megah
dengan arsitektur modern, parabola, serta peralatan elektronik serba
modern, semua ini dapat dengan mudah dijumpai di rumah-rumah
abdi dalem. Salah satunya adalah rumah Mas Ngabehi Rekso Sumarto
(74 tahun). Rumah bercat warna terang ini dilengkapi dengan beragam
elektronik sebagai simbol kepraktisan ala kehidupan zaman sekarang.
Tidak ada lagi tungku tradisional yang memakai kayu, yang ada
adalah kompor gas yang ditata dengan apik di sebuah dapur modern
bergaya barat lengkap dengan bak cucinya. Beranjak ke sudut belakang
rumah, tidak dijumpai papan cucian ataupun pancuran, tetapi ada
mesin cuci modern lengkap dengan pengering. Hal serupa juga dapat
dilihat di rumah Mantri Jagasara (66). Desain rumah limasan dengan
lantai keramik berwarna merah mengesankan sebuah rumah megah
nan mewah. Rumah Mas Lurah Jogo Mandolo juga memberikan kesan

513
serupa. Rumah bergaya limasan dengan lantai keramik ini dilengkapi
dengan mushola pribadi, ayunan, dan meja tenis.
Tak hanya rumah dan segala macam perlengkapannya, kendaraan
bermotor sebagai ikon modernitas pun juga dengan mudah didapati
di rumah abdi dalem. Mas Dono Puspoko (60) yang awalnya lebih
memilih bepergian naik sepeda onthelnya, lambat laun menyadari
bahwa ternyata menggunakan sepeda motor lebih praktis dan bisa
menghemat waktu. Naik sepeda sekarang hanya sekedar menjadi
kegiatan pengisi waktu dan alternatif berolahraga di pagi hari.

Tidak Cukup Sekedar Berbahasa Jawa


Tutur kata dalam bahasa Jawa nan halus berulang kali berganti
dengan bahasa Indonesia dan kadang bahasa Jawa ngoko yang
cukup kasar meskipun hanya sekedar gurauan, begitulah gambaran
percakapan para abdi dalem juru kunci makam. Abdi dalem sekarang
memang tidak lagi menyiratkan budaya feodal yang sangat kaku.
Meskipun konon para abdi dalem ini hanya mau dipanggil jika disapa
dengan menggunakan ”den”9, pada kenyataannya mereka tidak
berkeberatan dipanggil dengan bapak ataupun simbah. Mas Dono
Puspoko mengakui bahwa generasi abdi dalem sekarang sudah agak
berbeda dengan generasi pada tahun 90-an seperti dituturkan dari
pengalaman awalnya ketika masuk menjadi abdi dalem:
“Sik kathah nika sepuh-sepuh niku dha ra isa nulis, ra isa bahasa
Indonesia, dados abdi dalem menika ngaten, nem-neman dereng
kathah rumiyin, ming dha isa ngaji, maca Arab, ning nek bahasa
Indonesia ra isa, mengko nek turis ki ya bahasa Inggris ra ketang
ming haha…”

’Kebanyakan yang tua-tua itu tidak bisa menulis, tidak


bisa bahasa Indonesia, jadi begitulah abdi dalem, generasi
muda belum banyak dulu, hanya bisa mengaji, membaca
tulisan Arab, tetapi bahasa Indonesia tidak bisa, nanti
kalau turis ya bahasa Inggris meski hanya haha...’

Mas Dono Puspoko masuk menjadi abdi dalem karena kebetulan


ketika itu, dibutuhkan abdi dalem yang bisa berbahasa Indonesia.
Pada zaman dulu, kebanyakan yang menjadi abdi dalem memang
sudah berumur dan jarang dijumpai abdi dalem yang masih muda.
Abdi dalem tersebut rata-rata fasih berbahasa Jawa dan Arab, tetapi
tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Dengan bahasa Indonesia,
unggah ungguh menjadi lebih cair. Hal ini memperlihatkan bahwa
dalam sistem atau struktur abdi dalem pun sudah mulai terbuka.

9 Bentuk singkat dari raden yang merupakan gelar kebangsawanan

514
Tidak hanya bahasa Indonesia yang menjadi salah satu bahasa yang
dibutuhkan oleh abdi-abdi dalem juru kunci makam, penguasaan
bahasa Inggris pun disarankan. Hal ini tidak lain adalah untuk
mengantisipasi kunjungan turis yang dalam hal ini pula bisa dilihat
sebagai rembesan dari pengaruh modernisasi dalam melihat makam
yang tidak lagi sebagai tempat ziarah, tetapi juga tempat berwisata.

Tidak Harus Macapatan dan Campursari


“Kula mboten remen ningali wayang, kethoprak utawa musik. Kula
namung remen ningali tinju. Menawi ten TV wonten acara tinju…kula
nonton nek mboten nggih mboten, begitulah penuturan Mas Lurah Jogo
Mandolo ketika ditanya tentang kegemarannya. Salah satu citra yang
cukup melekat dalam gaya hidup modern adalah konsep ‘mencari
kesenangan’. Budaya hedon juga dikenal dalam masyarakat Jawa
tradisional dengan menyebutnya sebagai ‘klangenan’.
Cara mencari kesenangan dilakukan abdi dalem dengan
berbagai cara, misalnya menonton tinju, sepakbola, bersepeda, jajan
sate, turu (tidur), mendengarkan langgam, menyanyi, serta karawitan.
Kesenangan pribadi ini diakui seperti sudah menjadi candu. Mas
Dono Puspoko (60) sangat menyukai siaran pertandingan bola di
televisi. Itulah sebabnya di rumah tempat tinggalnya terpasang dua
buah televisi. Satu khusus untuk ibu-ibu bersama anak-anak yang
lebih suka melihat sinetron dan film, sementara satu lagi dijadikan
ajang menonton bola untuknya bersama anak dan menantu laki-
lakinya. Jajan sate juga dilakukan sebagai kesenangan tersendiri.
Klangenan khas para abdi dalem juru kunci Makam Pajimatan
menunjukkan sebuah keragaman yang dinamis. Mereka tidak
hanya menyukai segala sesuatu yang bersifat tradisional tetapi juga
memadukannya dengan yang bersifat modern. Mereka mengenal
waktu luang yang beberapa di antaranya digunakan untuk memenuhi
kesenangannya ini.

D. Abdi Dalem Merespon Modernitas


Citra kehidupan modern pada kenyataannya telah hadir dalam
kehidupan abdi dalem. Kehadiran dunia modern yang penuh dengan
segala macam mimpi yang bernuansa hedonis, memberikan gambaran
betapa setiap individu sedang dihadapkan pada sisi kehidupan yang
telah sedemikian kuat terbungkus oleh euphoria kapitalisme yang
membuat sebuah kehidupan seolah-olah terlihat begitu menawan.
Dalam merespon modernitas, abdi dalem pun memiliki kekhasan cara
seperti berikut ini:

515
D.1 Filosofi Hidup ‘Cukup’
Hidup di zaman modern atau di zaman sekarang ini menawarkan
begitu banyak kenikmatan hidup. Manusia dimudahkan dengan
berbagai fasilitas sehingga tidak lagi harus berhadapan dengan masa-
masa rawan pangan seperti zaman dulu. Di sinilah kemudian disadari
oleh abdi dalem bahwa pada dasarnya kebutuhan dan keinginan
manusia itu tidak mengenal batas. Orang seringkali melihat milik orang
lain dan membandingkannya dengan apa yang sudah dimiliki. Istilah
sawang-sinawang, menjadi salah satu rasionalitas seperti dituturkan
oleh Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74): “dados menika pribadinipun
piyambak, wonten ta jane wah kae ki ya nganu gajine ya gedhe, pensiune ya
gedhe, ning kok isih golek anu…”. Orang kerapkali melihat orang lain
lebih dalam segala hal atau yang bisa diistilahkan dengan ‘rumput
tetangga selalu tampak lebih hijau’. Kenyataan ini kerapkali dihadapi
manusia zaman sekarang.
Zaman modern menghadirkan tuntutan dan kebutuhan yang
semakin tinggi sekaligus juga menawarkan pilihan pemenuhan yang
beragam. Hal inilah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan. Untuk
bisa mengendalikan diri dan menjaga diri agar tidak ikut terhanyut
dalam situasi semacam ini adalah dengan menerapkan filosofi hidup
‘cukup’. Cukup dalam hal ini dimaknai dengan selalu bersyukur,
menerima semua yang diberikan tanpa harus mengeluh.
Waseludin Jagasara (66) menyebut filosofi hidup cukup ini
dengan istilah ‘tidak nggaya’. Hidup seharusnya bisa dijalani apa
adanya, tidak perlu memaksakan diri. Satu hal terpenting yang harus
dilakukan agar bisa merasa ‘cukup’ adalah dengan menerapkan pola
hidup sederhana. Hidup yang baik adalah ‘samadya’, tidak berlebihan
juga tidak berkekurangan. Dalam hal ini perlu sekali lagi ditekankan
bahwa zaman hidup prihatin yang pernah dialami pada masa lalu
adalah sebuah pengalaman yang membuat abdi dalem bisa melihat
bahwa zaman modern sudah jauh lebih baik dan banyak membawa
kebaikan. Kebaikan-kebaikan ini sudah seharusnya tidak dikalahkan
dengan gaya hidup zaman sekarang yang seringkali lalai untuk bisa
hidup samadya.
Hidup sekarang ini dirasa sudah ‘cukup’, demikianlah yang
rata-rata disampaikan. Rasa ‘cukup’ ini terlihat dari tidak adanya
keinginan mengejar materi oleh abdi dalem. Keinginan yang menonjol
lebih banyak ditujukan untuk memperoleh ketenangan hidup. Mas
Ngabehi Rekso Sumarto (74) menuturkan bahwa hidupnya sekarang
sudah ‘entheng’. Kebahagiaan dan kebanggaan terlihat jelas dari raut
mukanya ketika menceritakan anak-anaknya yang sudah mentas

516
semua. Hal serupa juga dituturkan Mas Dono Puspoko (60), hidup
yang terpenting baginya adalah melihat putri tunggal dan istrinya
bahagia. Seperti Mas Ngabehi Rekso Sumarto dan Mas Dono
Puspoko, Jogo Sukismo juga menuturkan bahwa sejak kecil dirinya
sudah berlatih untuk tidak hidup bermewah-mewah.

D.2 Semendhe pada Tuhan


Selain filosofi hidup ‘cukup’, berpasrah diri atau semendhe pada
Tuhan adalah jalan yang juga ditempuh oleh abdi dalem di zaman
modern ini. Sudah seharusnya kalau setiap orang itu harus tetap
tenang, bertawakal dan selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Sikap
berpasrah kepada Tuhan ini yang kemudian memberikan kepercayaan
bagi para abdi dalem bahwa pemenuhan kebutuhan hidup hendaknya
tidak usah terlalu dirisaukan ‘ana dina ana upa’ (jika masih ada hari,
pasti ada rezeki). Yang Kuasa akan mencukupkan semuanya dengan
caranya sendiri. Hal inilah yang selalu memunculkan jawaban sama
ketika ditanya mengenai kenyataan antara gaji yang sangat minim
dengan kebutuhan yang tentu saja banyak. ‘Mangkih mesthi wonten,
saking pundi menika njih mboten mangertos…”. ‘Pasti ada’ adalah
penjelasan yang jamak diberikan. Yang muncul adalah keyakinan
akan tercukupinya segala kebutuhan. “Ra kena dipestheke ning kok nggih
ndilalahipun’ (tidak bisa dipastikan, tapi kok ya ada).
Keyakinan akan kekuasaan Tuhan atas kehidupan pribadi abdi
dalem memang terlihat sangat kuat. Hal inilah yang dituturkan
kembali oleh Mas Dono Puspoko (60),
“Pertama ketika di lingkungan itu penuh dengan doa-doa. Ketika buka
kunci aja harus doa, harus tahlil dulu. Itu yang kenapa saya dulu bismillah
saja, tahlil aja nggak bisa. Agama saya juga Islam. Itu kan berarti sudah
mendapat suatu peningkatan. Bahwa saya ada pendekatan khusus
kepada yang nggawe urip, iman saya sedikit diberikan”

Kedekatan Mas Dono Puspoko kepada Tuhan muncul ketika ia


masuk menjadi abdi dalem. Mas Dono Puspoko yang telah sekian
lama berkutat dengan kebiasaan yang diakuinya kurang baik, pada
akhirnya menemukan pemulihan diri ketika berada bersama abdi
dalem yang lain. Keseharian abdi dalem di makam yang sangat
lekat dengan upaya pendekatan diri pada Tuhan atau ’sing nggawe
urip’ (pencipta kehidupan) yang terus dihidupkan ternyata memang
menjadi kekuatan tersendiri bagi komunitas abdi dalem juru kunci.
Keseharian yang lekat dengan doa-doa adalah satu bagian dari wujud
konkrit dari kepasrahan kepada Yang Kuasa yang pada akhirnya juga
dipakai sebagai sumber penjelasan dari semua ketidakpastian yang

517
muncul di zaman modern ini. Sikap pasrah mereka menjalani hidup
yang diberikan oleh Sang Pencipta terpancar dari roman muka yang
terlihat jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya.

SIMPULAN
Keberadaan abdi dalem adalah sebuah fenomena yang kerapkali
dipandang kontradiktif ketika disandingkan dengan realitas
kehidupan modern. Tentu saja karena tolok ukur yang dipakai semata
adalah materi yaitu ‘gaji’. Sebagai punggawa yang menjadi garda
depan penjaga keadiluhungan budaya Jawa yang masyur, abdi dalem
pada kenyataannya juga tidak menutup diri pada perubahan zaman
yang kemudian disebut sebagai zaman modern. Mereka menandai
modernitas sebagai satu titik yang berbeda dengan kehidupan di masa
lalu,\ dengan menyebutnya dalam istilah ‘zaman memperturutkan
keinginan’ dan ‘zaman hidup prihatin’.
Gelombang modernitas pun tidak lepas dari keseharian abdi
dalem. Hal ini terlihat nyata dari kenyamanan dan kenikmatan
hidup yang juga menjadi bagian dari keseharian mereka. Budaya-
budaya yang bersifat fisik seperti penampilan, penggunaan fasilitas
hidup modern, perilaku, serta bahasa adalah beberapa wujud citra
kehidupan modern yang muncul dalam sosok abdi dalem. Kehidupan
modern dipahami sebagai sebuah kehidupan yang menawarkan
kepraktisan dan kenyamanan yang sangat berbeda dengan kehidupan
yang dialami abdi dalem pada masa-masa sulit zaman dulu.
Berkah yang dibawa kehidupan modern bukan berarti menggerus
filosofi ketenangan hidup yang dimiliki oleh abdi dalem. Pengabdian
di tengah segala kebersahajaan dan keterbatasan materi, ibarat sebuah
pelajaran hidup yang telah membangun sebuah kepasrahan hidup dan
kepercayaan yang tinggi terhadap kuasa di luar dirinya. Ketenangan
hidup dan ketentraman hati menjadi obat dan penghiburan tersendiri
untuk menapaki kehidupan ala zaman sekarang.
Citra kehidupan modern yang menawarkan begitu banyak
kenyamanan, kemudahan, dan kenikmatan tidak harus dimusuhi,
begitu pun sebaliknya dengan pilihan kebersahajaan dan pengabdian
mereka melalui profesi abdi dalem bukanlah sesuatu yang kemudian
menjadi ketinggalan zaman. Citra kehidupan modern dan tradisional
disandingkan secara arif dalam sikap kepasrahan yang tinggi terhadap
kuasa ilahiah. Hidup berjalan dan terus berganti dari generasi ke
generasi, tetapi perubahan ini dinegosiasikan dalam keseharian abdi
dalem melalui konsep hidup ‘cukup’.

518
DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Mazhab Frankfrut, Karl Max, Cultural Studies,
Teori Feminis, Derrida Postmodernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Anonim. 2005. “Makanan dan Globalisasi”. Dalam Laporan Utama. Antar
Budaya. Media Informasi Program Antarbudaya-Antarregional PSAP
UGM.
Darusuprapta. 1982. Serat Wulang Reh: Anggitan Dalaem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Sunan Paku Buwana IV Ing Surakarta. Disalin kembali K.M.T.
Prajasuwasana. KHP Kridhamardawa Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Guinness, Patrick. 1986. Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung. Oxford:
Oxford University Press.
Ignaz Kleden. 1987. Kritik Kebudayaan. Jakarta: Rajawali Press.
Kuntowijoyo. “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi dan Wong Cilik Biasa di
Kasunanan Surakarta”. Dalam Humaniora Vol XV, No.2/2003 hlm 54-55.
Miller, Daniel. 1995. World Apart: Modernity Through the Prism of the Local.
London dan New York: Routledge.
Moertono, Soemarsaid. 1981. Negara dan Usaha Bina - Negara di Jawa Masa
Lampau. Jakara: Yayasan Obor.
Pudjo, Sapto. “Loyalitas Abdi Dalem, Manusia Melayani”. Dalam Warta
Pertamina No.04/Thn XLIV/April 2009 hlm 39-41.
Rostiati, Ani. 1987. ”Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Seseorang Masuk
Menjadi Abdi Dalem Kraton Surakarta.” Skripsi. Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di
Surakarta, 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Sebuah Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media.
Septiani, Evi. 2005. “Abdi Dalem Keparak di Keraton Yogyakarta”. Skripsi.
Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta
Smelser, Neil. “Toward a Theory of Modernization”. Dalam Halevy, Eva
Etzioni and Etzioni, Amitai. 1973. Social Change: Sources, Patterns and
Consequences. New York: Basic Book Inc Publisher.
Soelist, B. “Beli Darah Terhormat Rp. 6000”. Dalam Intisari, No. 335. Juni, 1991
hlm 20-32.
Soelist, B dan Kustara, Heru. “Gugurnya Mitos dan Hilangnya Wangsit”.
Dalam Intisari, No. 378. Januari, 1995 hlm.
Suharto. 1997. “Budaya Materialistik dan Kesenjangan Sosial”. Dalam
Humaniora. Edisi V/ Th. 1997.
Suhartono. 1997. “Budaya Jawa dalam Era Global” dalam Jawa: Majalah Ilmiah
Kebudayaan Volume I, Lembaga Studi Jawa.
Suhartono dan Gayung Kasuma. 2008. ”Korupsi: Penyakit Sosial Manusia
Indonesia: Analisis Kultural (1945-sekarang)” Laporan Hasil Penelitian.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Suparto, Toto. “Asketisisme Intelektual”. Dalam Kompas, Jumat, 21 April
2006.

519
Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara.
Wishnu, R.M.A. 1994. ”Abdi Dalem Keraton Yogyakarta: Studi tentang
Kegiatan dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi”. Skripsi. Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tavarez, Antonio. “Relevansi Keraton Surakarta dalam Konteks Kekinian
Indonesia”. www.suaramerdeka.co.id. Diakses 26 Juni 2009.
www.antara.co.id. Abdi Dalem Makam Raja yang Selalu Ayem. Diakses 30
Januari 2009.
www.batampos.co.id. ”Tahan Hadapi Krisis ala Abdi Dalem Keraton Jogja”.
Diakses 30 Januari 2009.
www.heritageofjava.com. Diakses 26 Juni 2009.
www.kompas.com. “Forum Bela Raos Abdi dalem Kehendaki Sinuhun yang
Berkualitas. Diakses 25 Juni 2009.
www2.kompas.com. “Dua Abdi dalem Ex Officio. Sabtu, 03 Desember 2005.
Diakses 30 Januari 2009.
www.majalah.tempointeraktif.com. Barisan caos bekti. 33/XXI 12 Oktober
1991 Diakses 30 Januari 2009

520
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM
DIAH SAWITRI:
Model Untuk Eksistensi Diri pada Era
Globalisasi

Ni Nyoman Karmini
IKIP Saraswati Tabanan

I. PENDAHULUAN

P ada hakikatnya karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas


manusia yang didasarkan atas imajinasi dan kreativitas emosional
penulisnya, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam
karya sastra dapat diketahui gambaran kehidupan budaya pada
masanya. Aspek budaya yang tercermin pada karya sastra, antara
lain: agama, bahasa, sastra, seni, dan tradisi lingkungan karya
sastra itu diciptakan (Karmini, 2008:1). Pengetahuan yang diperoleh
dari karya sastra daerah dapat membantu untuk mengetahui dan
mempelajari perkembangan budaya Indonesia secara umum, dan
secara khusus dapat membantu untuk mengetahui perkembangan
budaya Bali, terutama sistem nilai, etika, moral, religius, adat istiadat,
dan pendidikan.
Dalam karya sastra daerah terkandung unsur-unsur keindahan
dan memiliki manfaat untuk membimbing manusia ke arah yang
lebih positif. Dengan membaca hasil karya sastra, pembaca dibuat
merenungkan masalah kehidupan, yang pada akhirnya dapat mengasah
batinnya, menjadi lebih peka, berbudaya, serta dapat menghargai apa
yang dimilikinya serta dimiliki oleh orang lain. Dengan membaca hasil
karya sastra, pembaca dapat mempelajari keindahan dalam karya, baik
keindahan bahasa maupun keindahan suatu pemikiran. Melalui karya
sastra, pembaca dapat belajar melalui pengalaman yang dialami sang
tokoh cerita, baik pengalaman yang baik maupun pengalaman yang
buruk. Dengan merenungkan pengalaman-pengalaman sang tokoh
cerita, pembaca dapat menentukan sikap, dapat menentukan pilihan
hidup dan kehidupan yang dicita-citakannya. Hidup ini adalah pilihan
dan tujuan hidup yang telah ditetapkan dalam kehidupan ini pada
hakikatnya adalah hasil pilihan. Apapun pilihan hidup yang dipilih
tentu semua ada resiko kehidupan yang dialami. Uraian di atas, senada
dengan pernyataan Teeuw, bahwa sastra adalah kumpulan alat untuk
mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik dan hasil

521
ciptaan yang baik dan indah (1984:23). Senada pula dengan pernyataan
Kutha Ratna, yakni kandungan isi karya sastra dapat menggugah
dan memberi inspirasi dalam menghadapi kehidupan, sebab karya
sastra mengandung nilai-nilai yang berfungsi untuk meningkatkan
kehidupan (2005:9).
Diah Sawitri adalah sebuah kisah yang diambil dari sebuah
geguritan. Geguritan termasuk sastra tradisional Bali (Bali Purwa).
Geguritan dikelompokkan ke dalam tutur/tatwa/filsafat atau itihasa,
karena masalah yang diungkapkan di dalamnya berupa nasihat-
nasihat dan pedoman-pedoman tentang hidup dan kehidupan
manusia sesuai ajaran agama Hindu (dalam Karmini, 2008:75).
Geguritan termasuk karya sastra yang berbentuk puisi (tembang) yang
dibentuk oleh pupuh-pupuh. Geguritan mengikuti persyaratan yang
disebut padalingsa, dan biasanya menggunakan tembang macapat atau
sekar alit dalam penyampaiannya. Padalingsa meliputi: sejumlah silabel
atau suku kata dalam tiap-tiap baris (carik); jumlah baris pada tiap-tiap
bait (pada); dan bunyi akhir tiap-tiap baris (Agastia, 1987:13; Warna,
1990:557; Tinggen, 1994:31; Hasan Alwi, 1996:799; Medera, 1997: 34).
Geguritan sebagai karya sastra masih berkembang pada
masyarakat Bali dalam arti masih dihayati, dan pembacaannya
disampaikan lewat tembang. Tradisi matembang di Bali dapat dilakukan
oleh perorangan dan dapat pula oleh kelompok santi (sekaa santi). Dalam
pasantian, sekaa santi sering melakukan apresiasi sastra yang disebut
mabebasan. Geguritan sarat dengan pedoman-pedoman kehidupan,
tentang etika, dan moral. Pedoman-pedoman kehidupan yang termuat
di dalamnya dapat dipahami oleh pembaca lewat pembacaan biasa,
tetapi menjadi semakin mudah diresapi oleh pendengarnya apabila
disampaikan lewat tembang (dinyanyikan). Kebiasaan matembang
melahirkan konsep “malajah sambilang magending, magending sambilang
malajah” (belajar sambil menyanyi, menyanyi sambil belajar).
Setelah cerita Diah Sawitri dikaji secara mendalam, ternyata di
dalamnya termuat banyak hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kearifan
lokal. Nilai-nilai kearifan lokal dimaksud, sangat penting dikaji dan
diangkat kepermukaan, sebab nilai-nilai kearifan lokal yang dimuat di
dalamnya masih sangat relevan untuk menghadapi kehidupan masa
kini dalam era globalisasi. Nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita Diah
Sawitri menjadi model yang dapat memberi inspirasi kepada seseorang
yang menikmati dan menghayatinya, sehingga sangat menbantu dan
sangat mendukung eksistensi diri dalam menghadapi era globalisasi.
Nilai-nilai kearifan lokal yang termuat dalam cerita Diah Sawitri itulah
yang memotori sang tokoh sehingga dapat melakukan hal-hal luar

522
biasa dalam hidupnya.
Diah Sawitri adalah seorang tokoh yang memerankan peran
perempuan yang luar biasa, yang mampu menunjukkan bahwa ia
menjadi subjek, menjadi diri, dibutuhkan, serta mampu menunjukkan
keperempuanannya. Ia menjadi penyebab kebahagiaan suaminya dan
mampu menghindarkan suaminya dari kematian dalam usia muda,
berkat perilaku, tapa brata dan segala usahanya. Sawitri juga menjadi
penyebab kebahagiaan mertuanya, kebahagiaan orang tuanya, dan
keturunannya selanjutnya.
Mengingat nilai-nilai kearifan lokal yang memotori perilaku sang
tokoh cerita, maka yang menjadi permasalahannya adalah nilai-nilai
kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam Geguritan Diah Sawitri
yang dapat menjadi model untuk eksistensi diri di era globalisasi.
Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan
lokal yang dapat dijadikan model dalam menjalankan kehidupan di
era globalisasi.

II. PEMBAHASAN
1. Sinopsis
Sejak pertemuan itu, Sawitri memutuskan memilih Satyawan
sebagai calon suaminya walaupun ia dilarang oleh Hyang Narada
karena usia Satyawan hanya setahun lagi. Setelah menjadi istri
Satyawan, Sawitri tidak pernah lupa hari kematian suaminya. Singkat
cerita, Satyawan akan meninggal empat hari lagi. Sawitri telah siap
melakukan tapa brata triratra, yakni tapa yang dilakukan tiga hari tiga
malam. Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Sawitri melaksanakan
upacara homa untuk Hyang Ageni.
Satyawan merasakan sakit luar biasa di kepalanya, seperti ditusuk
panah. Satyawan lalu dibaringkan di pangkuan Sawitri. Saat itu pula,
Sawitri melihat sosok yang sangat menakutkan datang berdiri di dekat
Satyawan, yang ternyata adalah Sang Hyang Yama (Dewa Pencabut
nyawa). Sawitri dapat melihat dan berbicara dengan Sang Hyang Yama
karena ia satia, patibrata, dan berhasil melaksanakan tapa brata.
Setelah nyawa Satyawan diambil, Sang Hyang Yama berjalan ke
arah Selatan. Dengan dasar tapa brata, melaksanakan ajaran agama,
hormat kepada orang tua, patibrata, bakti kepada orang yang dipuja,
dan seizin Hyang Yama, Sawitri pun dapat mengikuti perjalanan Sang
Hyang Yama, yang membawa roh Satyawan. Dalam perjalanan itu,
Sawitri menyampaikan hal-hal tentang kebaikan, tentang persahabatan
sejati, tentang perilaku sadhu budi, tentang sang darmika, sehingga Sang
Hyang Yama sangat suka dan menyuruh Sawitri memohon anugerah,

523
kecuali roh Satyawan.
Berkali-kali Sang Hyang Yama menasihati Sawitri supaya tidak
menyiksa diri, dan berkali-kali pula menyuruh Sawitri pulang untuk
membakar mayat suaminya, tetapi Sawitri tetap teguh imannya, tetap
menolak membakar mayat suaminya, serta tetap mengikuti perjalanan
Sang Hyang Yama yang membawa roh suaminya. Betapa pun sulitnya
perjalanan itu, Sawitri tetap berjalan sambil selalu membicarakan
hal-hal kebaikan, sehingga akhirnya Sang Hyang Yama luluh hatinya
dan memberikan lima anugerah kepada Sawitri. Anugerah pertama,
kesembuhan mata bagi mertuanya; kedua, kerajaan mertuanya kembali;
ketiga, orang tua kandungnya memperoleh keturunan; keempat,
Sawitri mempunyai keturunan; setelah suaminya dihidupkan kembali
(kelima). Sawitri dan orang-orang yang dicintainya beserta semua
keturunannya hidup berbahagia dan terhormat.

2. Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Cerita Diah


Sawitri
Nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita Diah Sawitri tidak dapat
dilepaskan dari fungsi keagamaan, dalam hal ini adalah agama
Hindu. Fungsi keagamaan yang dimaksud di sini adalah kerangka
dasar agama Hindu, yang terdiri atas: tatwa (filsafat), etika (susila), dan
ritual (upacara).
Berdasarkan tatwa-nya agama Hindu mempunyai lima
kepercayaan yang disebut dengan istilah panca çradha. Kerangka dasar
agama Hindu dan lima kepercayaannya (panca çradha) tercermin dalam
cerita Diah Sawitri.
1) Tatwa (filsafat)
(1) Filsafat Tri hita karana
Dalam rangka filsafat atau tatwa, cerita Diah Sawitri mencerminkan
filsafat tri hita karana. Ajaran tri hita karana mendapat inspirasi dari
Bhagawadgita percakapan III dalam ajaran Karma yoga. Dalam hidup ini,
ilmu pengetahuan lebih mulia daripada tindakan (kerja) sebab kerja
merupakan hukum-alam. Bekerja telah diwajibkan dengan kebaktian
dan pengabdian kepada brahman, tanpa mengharap keuntungan
pribadi demi kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia.
Berikut dikutip percakapan III.10 (Pendit, 1989:69), yang slokanya
berbunyi sebagai berikut.
Sahayajnah prajah srishtva
puro ‘vacha prajapatih
anena prasavishya dhvam
esha vo ‘stv istha kamadhuk
Artinya:

524
Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia bersama bakti
persembahannya dan berkata, “dengan ini engkau akan berkembang
biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu”.
Kaler (dalam Dharmayudha, 1996:6), menyatakan tri hita
karana terdiri atas kata tri yang artinya ‘tiga’, hita artinya ‘baik,
senang, gembira, lestari’, dan karana artinya ‘sebab-musabab’ atau
‘sumbernya sebab’. Dengan demikian, tri hita karana berarti ‘tiga
buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan
timbulnya kebaikan’. Sudharma (dalam Dharmayudha, 1996:7),
menyatakan unsur-unsur tri hita karana adalah (1) Sang Hyang Widhi,
yang merupakan super natural power, (2) bhuwana, yang merupakan
macrocosmos, (3) manusia, yang merupakan microcosmos. Ketiga unsur
tersebut tidak dapat dipisahkan dalam tata hidup masyarakat Hindu
di Bali. Ketiga unsur tersebut senantiasa diterapkan dan dilaksanakan
pada setiap aspek kehidupan secara harmonis dan dinamis.
Tri hita karana mengajarkan pola hidup seimbang di antara ketiga
sumber kesejahteraan dan kedamaian hidup. Manusia selalu berusaha
untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara ketiga unsur
dimaksud, yaitu (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) hubungan
manusia dengan alam, (3) hubungan manusia dengan manusia
(Dharmayudha, 1996:8).
Dalam pandangan masyarakat Hindu, hubungan manusia
dengan Tuhan dikonsepsikan sebagai kaula (yang dikuasai) dan gusti
(yang menguasai). Hubungan ini melahirkan paham ‘Tuhan sebagai
Sang sangkan paraning dumadi’ atau ‘Tuhan sebagai asal dan tujuan
hidup manusia’. Dari hubungan tersebut muncul kesadaran untuk
bhakti yang menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Rasa bhakti
masyarakat Hindu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan
kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam hubungan manusia dengan alam, manusia membedakan
alam menjadi dua, yakni alam nyata dan alam tidak nyata/alam gaib.
Paham subjektif masyarakat Hindu tampak dari konsepsi bhuana
agung dan bhuana alit. Konsepsi ini didasari oleh ide dasar, yaitu ‘ide
kesatuan’. Manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara
serasi, selaras, dan seimbang. Alam semesta disebut bhuana agung dan
diri manusia disebut bhuana alit. Sifat tersebut identik yang terlihat pada
dikotomis manusia ada unsur purusa (Atman) yang merupakan unsur
aktif dan unsur prakerti (pradana), yaitu badan wadah yang merupakan
unsur pasif. Pada alam semesta ada unsur Paramatman (Tuhan) sebagai
purusa, yaitu unsur aktif dan bumi sebagai unsur prakerti, yaitu unsur
pasif. Atman dan Paramatman kualitasnya sama yang ditunjukkan
dengan ucapan ‘Brahman Atman Aikyam’ (Dharmayudha, 1996:12).

525
Dalam hubungan antara manusia dengan manusia, kehidupan
masyarakat Hindu di Bali didasarkan atas asas yang disebut tat twam
asi. Secara harfiah tat artinya ‘itu’ (ia), twam artinya ‘kamu’ dan asi
artinya ‘adalah’. Jadi, tat twam asi artinya ‘itu (ia) adalah kamu’. Tat
twam asi mengandung makna yang luas dan dalam. Di dalamnya
terkandung suatu ajaran dan dasar kesusilaan untuk dikembangkan
dalam pergaulan hidup antarsesama makhluk. Prinsip dasar tat
twam asi dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali dikonsepsikan
ke dalam asas: suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, dan asas
saling asih, saling asuh, saling asah (Dharmayudha, 1996:24).
Setelah cerita Diah Sawitri dicermati, dapat dikatakan memuat
makna dari konsep tri hita karana, yakni menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam (lingkungan),
dan hubungan manusia dengan manusia. Hal ini tercermin dalam
tujuan hidup para tokoh cerita, yakni moksartham jagathitaya ca iti
dharmah, maksudnya adalah tujuan dharma adalah untuk mencapai
kesejahteraan di dunia ini dan di dunia lain.
(2) Panca çrada
Panca çradha meliputi: percaya adanya Sang Hyang Widhi (Tuhan
Yang Mahaesa); percaya adanya Atma; percaya adanya hukum karma
phala; percaya adanya samsara (punarbhawa); percaya adanya moksa
(Parisada Hindu Dharma, 1967:9).
Kepercayaan yang diyakini oleh umat Hindu (panca çradha)
tercermin dalam geguritan yang diteliti, seperti yang dipaparkan
berikut ini.
(a) Percaya adanya Sang Hyang Widhi
Percaya pada Sang Hyang Widhi tersurat dan tercermin atau
tersirat dalam cerita Diah Sawitri yakni saat roh Satyawan diambil
oleh Sang Hyang Yama. Sang Hyang Yama merupakan manifestasi Sang
Hyang Widhi (Tuhan) dalam tugasnya mengambil roh manusia. Hal ini
tersurat pada bait 69–104. Berikut hanya dicontohkan bait 69 dan 72
pupuh Ginada.
69. Bapa wantah Sang Hyang Yama, 69. Bapa adalah Sang Hyang Yama,
Sang Satyawan swamin cening, Sang Satyawan suamimu,
sangkukalannya wus prapta, waktunya telah tiba, itu sebabnya
awanan ya Bapa rawuh, ngambil Bapa datang, men-cabut jiwa Sang
atman Sang Satyawan, kal talinin, Satyawan, akan diikat, begitulah
keto dewa apang tatas. dewa (anakku supaya diketahui
72.Puput nabda sapunika, Sang Hyang 72. Selesai berkata demikian, Sang
Yama nuli gelis, nyabud jiwatman Hyang Yama segera, mencabut
Satyawan, kasidan sampun kategul, roh Satyawan, sudah diikat, tubuh
angga stulan Sang Satyawan, pra- Sang Satyawan segera kaku tidak
mangkin, nenten pateja mamantang. bersinar.

526
(b) Percaya adanya Atma
Atma adalah merupakan percikan-percikan dari Paramatman
yaitu Sang Hyang Widhi. Manusia dihidupkan oleh Atma. Atma dan
badan ini ibarat kusir dengan kereta (Parisada Hindu Dharma,
1967:19).
Percaya pada adanya Atma tersurat dan tersirat dalam cerita
Diah Sawitri pada bait 69 sampai bait 75 pupuh Ginada, bait 76 sampai
87 pupuh Sinom, bait 88 sampai bait 95 pupuh Smarandana, bait 96
sampai 104 pupuh Ginada. Bait-bait dimaksud melukiskan tentang
Atma Satyawan yang diambil oleh Hyang Yama.
Sebagai contoh dikutip bait 104 pupuh Ginada.
104.Sang Hyang Yama mangandika, Bapa 104 Sang Hyang Yama berkata,
ngalugrahin cening, atman Satyawan Bapa menganugrahi anakku, roh
linepas, sinambi malih mawuwus, Satyawan dilepaskan, sambil
mogi cening manggih sadia, istri berkata lagi, semoga anakku
lewih, sadhu budhi patibrata. bahagia, perempuan utama, luhur
budhi patibrata.

(c) Percaya adanya hukum karma phala


Karma phala artinya hasil perbuatan. Karma phala dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu sancita, prarabda, dan kriyamana. Sancita
ialah phala dari perbuatan dalam kehidupan dahulu yang belum
habis dinikmati dan merupakan benih yang menentukan kehidupan
sekarang. Prarabda, ialah phala dari perbuatan pada kehidupan ini
tanpa ada sisanya lagi. Kriyamana, ialah hasil perbuatan yang tidak
sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada
kehidupan yang akan datang (Parisada Hindu Dharma, 1967:21).
Dalam cerita Diah Sawitri tercermin adanya hukum karma phala,
yakni prarabda dan kriyamana. Segala perbuatan baik Diah Sawitri
untuk keselamatan suaminya, mertua dan orang tuanya, phalanya
diterima saat itu pula (prarabda) berupa lima macam anugerah dari
Hyang Yama. Hal itu tersurat dan tercermin pada sebagian besar jalan
ceritanya. Phala dari perbuatan baik Diah Sawitri, akan dinikmati pula
oleh seluruh keturunannya (kriyamana). Contoh dapat dilihat pada
kutipan pupuh Sinom di bawah ini.

527
105.Sang Satyawan ater budal, cening 105 Sang Satyawan diantar pulang,
karwa suka trepti, samas warsa anakku berdua supaya damai dan
punang yusa, wibhuh prajnyan damai, em-pat ratus tahun usiamu,
tan patanding, phalan yajnyane besar pandai tiada tandingan, pahala
kinardi, tur maderbe putra satus, dari yadnya yang dibangun, dan
maka sami dados raja, rawuh mempunyai anak seratus, semuanya
putun cening malih, kasub nerus, menjadi raja sampai cucu nanti,
kertin ceninge ngawinang. terkenal terus, perbuatan anakku
yang menyebabkan.
106. Diah Malawi biang i dewa, 106 Diah Malawi ibumu, mempunyai
maputra ya satus diri, nglanturang anak serartus orang, melanjutkan
Malawa wangsa, kesatrya pilih bangsa Malawa, kesatria pilih
tanding, kadi dewa nenten pahi, tanding, tidak bedanya dengan dewa,
kasub nerus tekeng putu, sapupute terkenal terus sampai cucu, selesai
mangandika, Sang Hyang Yama berbicara, Sang Hyang Yama segera
glis mawali, jaga mantuk, mawali pergi, kembali ke Surgaloa.
ka swargaloka.

(d) Percaya adanya samsara (punarbhawa)


Punarbhawa atau samsara ialah kelahiran berulang-ulang, yang
disebut juga dengan penitisan. Penitisan ini membawa akibat suka duka.
Punarbhawa terjadi karena atma masih dipengaruhi oleh kenikmatan
dunia (Parisada Hindu Dharma, 1967:23).
Samsara (punarbhawa) tersurat dan tercermin dalam Geguritan
Diah Sawitri. Contoh hanya dikutip bait 6 pupuh Sinom dan bait 121
pupuh Durma.
6. Hyang Sawitri raris nabda, uduh kita 6. Hyang Sawitri bersabda, wahai
sri nrepti, pinunase kadagingin, kita anak-Ku Raja Madra, permintaanmu
maputra sawiji, istri lewih prajnya dipenuhi, kamu memiliki satu anak,
buddhi, rupa hayu lir sitangsu, perempuan yang pandai berbudi,
waranugran Sang Hyang Brahma, sangat cantik, anugrah Sang
aja kita walang ati, puput muwus, Hyang Brahma, janganlah ragu-
nuli ical tan pamatra. ragu, selesai bersabda lalu Beliau
menghilang.
121. Diah Sawitri yening sampun 121 Diah Sawitri, entah telah beberapa
kudang warsa, maputra ya tahun, mempunyai anak seratus
satus diri, sami sadhu purusa, orang, semua laki-laki dan berbudhi
ngamanggehang Salwa wangsa, luhur, meneruskan bangsa Salwa,
munggwing Prabhu Aswapati, taler sedangkan Raja Aswapati, juga
maputra, satus diri sura sakti. mempunyai anak, seratus orang
semua sakti dan gagah berani.

(e) Percaya adanya moksa


Moksa menjadi tujuan agama (dharma). Moksa berarti kebebasan
dari ikatan keduniawian, bebas dari karma phala, bebas dari samsara.
Moksa tidak hanya dicapai setelah meninggal tetapi dapat pula dicapai

528
di dunia ini. Moksa di dunia hanya dapat dicapai jika sudah bebas dari
ikatan-ikatan duniawi yang disebut dengan jiwan mukti (moksa semasih
hidup). Cara mencapai moksa di dunia adalah dengan jalan berbakti
kepada dharma dalam arti seluas-luasnya (Parisada Hindu Dharma,
1967:25).
Moksa di dunia tersurat dan tersirat dalam cerita Diah Sawitri.
Dikatakan demikian karena semua tokoh cerita berbakti kepada
dharma.

2) Etika
Etika atau susila adalah ajaran tentang tingkah laku. Tingkah
laku dapat dikategorikan ke dalam tingkah laku yang baik (subha
karma) dan tingkah laku yang tidak baik (ashuba karma). Tingkah laku
yang baik (subha karma), meliputi: tat twam asi, tri kaya parisuda, dasa
nyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan tingkah laku yang tidak
baik (asubha karma/asusila), meliputi: sad ripu, sapta timira, sad tatayi.
(1) Tingkah laku baik atau subha karma
(a) Tat twam asi
Tat twam asi sebagai salah satu ajaran subha karma berarti “aku
adalah engkau, engkau adalah aku”. Kalimat ini berarti bahwa kita
wajib mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri sendiri. Hal ini
sebagai dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang santi (damai)
dan kerta (makmur). Karena itu, tat twam asi harus dilaksanakan dengan
cinta kasih, bakti dan rela berkorban (Adia Wiratmadja, 1988:19).
Ajaran tat twam asi tersurat dan tersirat pada seluruh cerita Diah
Sawitri. Sebagai contoh dikutip bait 49 pupuh Sinom.

49. Uning ring indik punika, 49. Mengetahui hal itu, Dyumatsena
Dyumatsena nabda aris, uduh berkata, wahai anak menantu,
cening mantun bapa, bratan bratamu berat sekali, selama tiga hari
cening berat yukti, sajeroning brata dijalankan, Sawitri lalu berkata,
tigang wengi, upawasane linaku, pasti ayah merasa ragu di hati.
mireng bawos matuan ida, Sawitri
mahatur aris, keni sampun, Ratu
sangsaya ring arsa.

(b) Tri kaya parisuda


Tri kaya parisudha merupakan tiga laksana baik, yang meliputi
kayika (tingkah laku yang baik), wacika (perkataan yang baik),
dan manacika (pikiran yang baik). Kayika merupakan tiga macam
pengendalian diri dalam bertingkah laku, yakni tidak membunuh
(ahimsa), tidak mencuri, tidak berzina. Wacika merupakan empat
macam pengendalian melalui perkataan, yakni tidak mencaci maki

529
orang lain, tidak berkata kasar walaupun benar atau sebaliknya tidak
berkata lembut tetapi dusta, tidak memfitnah, dan tidak ingkar janji.
Manacika merupakan tiga macam pengendalian diri melalui pikiran,
yakni tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikir
buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari hukum karma phala
(Parisada Hindu Dharma, 1967:50-51, Adia Wiratmadja, 1988: 21-23).
Ajaran tri kaya parisudha tersurat dan tersirat pada cerita Diah
Sawitri. Ajaran ini tercermin pada perilaku semua tokoh atau pelaku
cerita. Sebagai contoh dikutip bait yang melukiskan tidak ingkar
janji (wacika) bagian dari tri kaya. Sawitri telah berjanji dalam hati
untuk memilih Satyawan sebagai suaminya walaupun ia mengetahui
Satyawan usianya sangat pendek.
31. Taler ya wantah apisan, bebawose 31. Juga perkataan hanya sekali ke
kengin mijil, pacang manyerahang luarnya, untuk menyerahkan diri,
angga, maring onengin ring kayun, kepada yang berkenan di hati,
maka tetiga punika, tan mindowin, ketiganya itu (tri kaya), tidak
wantah apisan punika. mendua lagi, hanya sekali.
32. Napi ida Sang Satyawan, cendek yusa 32. Sang Satyawan panjang umur
dirgha nawi, napi becik napi kawon, atau tidak, baik atau tidak, tetap
durus dados swami ingsun, sane jadi suami pilihan, tidak dua kali
sampun pilih titiang, tan mindowin, memilih
pacang niwakang pilihan.
33. Napi sane pilih titiang, matiti manahe 33. Yang dipilih, berdasarkan
tiling, wedar titiang antuk sabda, keinginan, diucapkan sesuai kata,
punika margiang ingsun, sajeroning itulah yang dilaksanakan, dalam
malaksana, sri nrepti, sapunika setiap berperilaku ayahanda,
manah titiang. begitulah keinginanku.

(c) Dasa niyama brata


Dasa niyama brata adalah sepuluh pengendalian diri atau sikap
mental. Dasa niyama brata, meliputi: dana yaitu pemberian sedekah,
ijya artinya hormat atau memuja kepada leluhur dan Hyang Widhi, tapa
artinya melatih diri untuk mencapai ketenangan hati, dyana artinya
memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, swadhyaya artinya tekun
mempelajari ajaran-ajaran suci, upasthanigraha artinya mengendalikan
hawa nafsu, brata artinya taat kepada sumpah atau janji, upawasa
artinya berpuasa, mona artinya membatasi perkataan, snana artinya
melakukan pensucian diri (Parisada Hindu Dharma, 1967:52).
Dalam cerita Diah Sawitri, ajaran dasa niyama brata dilaksanakan
oleh semua pelaku cerita pada keseluruhan jalan cerita. Sebagai contoh
dikutip bait yang melukiskan sikap mental melakukan dana (bait 13
pupuh Durma), upawasa dan brata (bait 48 pupuh Sinom).

530
13. Pamarginnya nyusup alas adoh 13. Perjalanan mereka masuk-masuk
pisan, pasramane kaparanin, sinambi hu-tan, pasraman disinggahi
mapunia, sapupute raris lunga, dan mapu-nia (bersedekah), lalu
pasraman liyan paranin, kudang berangkat lagi dan singgah lagi di
dina, pamargine mrika-mriki. pasraman lainnya, entah beberapa
hari lamanya perjalanan itu.
48. Dinan ida Sang Satyawan, pacang 48. Hari kematian suaminya selalu
ninggal jagat iki, nenten mari diingat, dan dihitung-hitung di
kaelingang, kapetek jeroning ati, hati, singkat cerita empat hari lagi,
crita petang dina malih, Sang Satyawan akan meninggal, Sawitri
Satyawan pacang lampus, Diyah bersiap-siap melakukan tapa brata,
Sawitri sayaga, nangun brata dahat yang disebut Brata Triratra.
siddhi, wastan ipun, Brata Triratra
tan liyan.

(d) Dasa yama brata


Dasa yama brata adalah sepuluh pengendalian atau pengekangan
hawa nafsu. Dasa yama brata, meliputi: anresangsya atau arimbawa artinya
tidak mementingkan diri sendiri, ksama artinya suka mengampuni
dan tahan uji dalam kehidupan, satya artinya setia, ahimsa artinya
tidak membunuh, dama artinya dapat menasihati diri sendiri, ardjawa
artinya jujur mempertahankan kebenaran, priti artinya cinta kasih
kepada sesama makhluk, prasada artinya berpikir dan berhati suci
tanpa pamerih, madurya artinya ramah tamah, lemah lembut, mardawa
artinya rendah hati (Parisada Hindu Dharma, 1967:51–52).
Ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh semua tokoh cerita
dalam Geguritan Diah Sawitri. Sebagai contoh dikutip bait 101 dan 104
pupuh Ginada yang melukiskan satya.

101.Sang Hyang Yama mangandika, 101 Sang Hyang Yama berkata, semakin
sayan akeh atur cening, lewih tan banyak perkataan anakku, utama
pendah amreta, sane patut ya pituhu, seperti amreta, yang sebaiknya
duh dewa sang patibrata, durus ditaati, wahai dewa sang patibrata,
cening, malih nunas waranugra. silakan anakku memohon lagi.
104.Sang Hyang Yama mangandika, 104 Sang Hyang Yama berkata,
Bapa ngalugrahin cening, atman Bapa menganugrahi anakku, roh
Satyawan linepas, sinambi malih Satyawan dilepaskan, sambil
mawuwus, mogi cening manggih berkata lagi, semoga anakku
sadia, istri lewih, sadhu budhi bahagia, perempuan utama, luhur
patibrata. budhi patibrata.

3) Ritual (Upacara)
Ritual adalah cara-cara melakukan hubungan antara Atman
dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi serta semua
manifestasi-Nya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa.

531
Dalam upacara digunakanlah upakara sebagai alat penolong untuk
memudahkan manusia menghubungkan diri dengan Hyang Widhi dan
manifestasi-Nya (Parisada Hindu Dharma, 1967:5).
Upacara keagamaan yang terbesar dalam agama Hindu dapat
dibedakan menjadi lima, yang disebut dengan panca yadnya. Panca
Yadnya, meliputi: (1) Dewa yadnya, yaitu upacara yang ditujukan
kepada Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya; (2) pitra yadnya, yaitu
upacara yang ditujukan untuk mengembalikan Atman dari bhuh loka
(bumi) dan buah loka (alam pitara) ke swah loka (Sorga atau alam Hyang
Widhi); (3) Rsi yadnya, yaitu pengorbanan suci untuk Rsi-rsi atau orang
suci; (4) Bhuta yadnya, yaitu pengorbanan suci kepada semua makhluk
dan kepada alam semesta untuk memperkuat keharmonisan hidup;
(5) manusa yadnya, yaitu pengorbanan suci yang ditujukan untuk
kesempurnaan hidup manusia. Upacara manusa yadnya dilakukan sejak
bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi berumur 42 hari (tutug
kambuhan), bayi berumur 3 bulan, bayi berumur 6 bulan (oton), anak
meningkat dewasa (rajasewala), potong gigi, dan menikah (Parisada
Hindu Dharma, 1967:55–59).
Dalam cerita Diah Sawitri tercermin upacara Dewa yadnya, Rsi
yadnya dan Manusa yadnya. Upacara Dewa yadnya tersurat pada bait
2–6 pupuh Sinom, yakni saat-saat Prabhu Madra (Sang Aswapati)
melakukan tapa brata dan agnihotra dalam rangka supaya memperoleh
keturunan. Sebagai contoh hanya dikutip bait 3.

3. Munggwing yusan Prabhu 3. Adapun usia Sang Raja Madra,


Madra, sampun reko ngawit lingsir, Beliau telah berumur, tetapi tidak
sakewanten tan maputra, ngardi mempunyai anak, yang menyebabkan
sungkawaning ati, tapa brata ya sedih, tapa brata dilakukan, upacara
kinardi, Agenihotra winangun, Agni hotra dilakukan, dengan
Hyang Sawitri inastawa, wolulas memuja Hyang Sawitri, selama
warsa pinasti, raris turun, Hyang 18 tahun memuja, maka turun dan
Sawitri mangandika. bersabdalah Beliau.

Upacara Dewa yadnya juga dilakukan oleh Sawitri pada saat
menjelang kematian suaminya (Satyawan) yang tersurat pada bait 40
sampai bait 54 pupuh Pangkur dan pupuh Sinom. Di bawah ini dikutipkan
bait 51 pupuh Sinom sebagai contoh.

532
51. Crita mangkin dalu kala, benjang 51. Dikisahkan telah tengah
Sang Satyawan mati, tumuli sang malam, dan keesokan harinya
patibrata, nincapang bratane lewih, Satyawan akan me-ninggal,
benjang pasemengan raris, suryane Sang patibrata meningkatkan
sampun umetu, nuli ida nangun homa, bratanya lagi, pagi-pagi sekali
katur maring Hyang Ageni, sampun saat matahari terbit, Sawitri
puput, raris nunas pangastutiya. mengadakan upacara (homa)
dipersembahkan kepa-da Hyang
Agni, lalu meminta pemujaan.

Upacara Manusa yadnya, yakni saat dilaksanakan perkawinan


Sawitri dengan Satyawan. Hal ini dinyatakan pada bait 36 –39 pupuh
Ginada yang menyangkut proses pernikahan, dan bait 40 – 46 pupuh
Pangkur tentang pelaksanaan pernikahan.
Di bawah ini dikutipkan bait 45 pupuh Pangkur sebagai contoh.
45. Sampun adung pawirasan, nuli 45. Setelah sepakat, keduanya
gelis sang kalih ya katiwakin, segera diupacarai sesuai tata
sangaskara manut unduk, Aswapati cara, Aswapati menyerahkan,
nganugrahang, sarwa mule, lan oleh-oleh dan busana lengkap,
busana jangkep cukup, maring putrin kepada putrinya, lalu kembali ke
ida tunggal, raris mawali ka puri. kerajaan.

Upacara Rsi yadnya dilaksanakan pula oleh Sawitri pada saat ia


mencari calon suami. Ia pergi sangat jauh sampai masuk ke pasraman-
pasraman di hutan. Setiap masuk pasraman, Sawitri memberikan punia
tanpa pamrih. Menurut Wangsa (1998:11 dan 37), punia seperti itu
termasuk sadhana ri kasiddhaning dharma (dharmarthah), artinya dana itu
untuk menjalankan dharma, yang kualitasnya termasuk sattwic dana,
yaitu pemberian berkualitas putih. Maksudnya adalah pemberian
itu diberikan pada waktu, tempat, dan orang yang tepat dan tanpa
maksud di balik pemberian itu. Pemberian punia itu tersurat pada bait
13 pupuh Durma. Berikut ini kutipannya.

13. Pamarginnya nyusup alas adoh 13. Perjalanan mereka masuk-masuk


pisan, pasramane kaparanin, hu-tan, pasraman disinggahi dan
sinambi mapunia, sapupute raris mapu-nia, lalu berangkat lagi
lunga, pasraman liyan paranin, dan singgah lagi di pasraman
kudang dina, pamargine mrika- lainnya, entah beberapa hari
mriki. lamanya perjalanan itu.

Berpedoman pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dengan


menggunakan pupuh Sinom, pupuh Durma, pupuh Ginada, pupuh Pangkur
dan pupuh Smarandana, pengarang berhasil menggambarkan filsafat,
etika dan ritual agama Hindu lewat perilaku/penokohan sang tokoh
cerita. Dengan teknik persona ketiga (third-person), pengarang berhasil

533
melukiskan sebuah “dunia dalam kata” lewat rangkaian peristiwa
sebuah cerita (plot), penokohan, latar serta gaya bahasa yang indah
dan menarik. Tujuan hidup sang tokoh cerita yang dilukiskan oleh
pengarang adalah kebahagiaan dan kedamaian bagi orang-orang yang
dicintainya (moksartham jagathitaya ca iti dharmah). Tujuan hidup sang
tokoh cerita tercapai berkat perilakunya yang satya, patibrata, dan subha
karma, serta didukung oleh tekad dan kemauan keras untuk mencapai
tujuan hidupnya.
Manusia diciptakan oleh Tuhan telah dilengkapi dengan
akal-pikiran. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk pribadi
dan sekaligus makhluk sosial, yang pada dirinya terdapat dorongan
untuk bergaul, dan hasrat untuk meniru. Manusia mempunyai tiga
kemampuan yang disebut tri sakti, yaitu iccha-sakti (kemauan), krya-
sakti (prana/kekuatan) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut
cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep.
Untuk dapat mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih
baik dan dapat mewujudkan kebahagiaan, manusia harus taat pada
hukum dan peraturan-peraturan kehidupan sesuai agama yang
dianutnya. Manusia harus mencari dan membina kebahagiaannya
sendiri, sebab hal itu datangnya dari dalam diri manusia sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk termulia
derajat dan martabatnya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya.
Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga mengatasi
dunia. Manusia sadar akan perbuatannya dan juga sadar akan
caranya berbuat. Manusia dapat menentukan dan mengatur hidupnya
karena manusia menggunakan akal-pikiran untuk mengelola alam
ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia
menggunakan akal-pikirannya untuk senantiasa menciptakan sesuatu
yang dapat meringankan beban hidup dan menyenangkan dirinya.
Dalam kenyataan hidup ini, kehidupan mempunyai hubungan timbal
balik dengan agama. Hubungan dimaksud bersifat dinamis. Manusia
harus insaf terhadap panggilan dan tanggung jawabnya kepada
kehidupan ini. Setiap kegiatan dalam kehidupan selalu membutuhkan
anugerah Tuhan. Pada dasarnya manusia mempunyai kekuatan,
daya/tenaga yang harus diwujudkan dan disempurnakan. Misalnya,
kekuatan pikiran dapat menciptakan pengetahuan, teknik, filsafat.
Kekuatan kehendak apabila disalurkan ke jalan yang benar dapat
menimbulkan tata susila. Dan, manusia sendiri mempunyai kerinduan,
yaitu kerinduan kepada sesama manusia dan kepada Hyang Widhi
(Tuhan). Jika kerinduan terhadap sesama manusia diwujudkan dapat
melahirkan kehidupan yang bahagia, adat istiadat, bangsa dan negara.

534
Bila kerinduan terhadap Tuhan disempurnakan dapat menimbulkan
sembahyang, iman (sradha) dan dharma sedana sesama manusia dan
bakti kepada Hyang Widhi.
Kehidupan yang digambarkan dalam cerita Diah Sawitri masih
relevan dengan kehidupan orang-orang yang beragama Hindu di
Bali khususnya dan orang-orang di jagat raya secara umum dalam
kenyataan. Masyarakat Bali Hindu selalu mulat sarira/melakukan
pembenahan diri ke arah yang lebih baik, demi harga diri, jati diri dan
martabat keluarga, namun tetap berdasarkan swadharma. Masyarakat
Bali Hindu sangat percaya pada ajaran agama Hindu yang meliputi
filsafat, etika dan ritual. Dalam menempuh perjalanan kehidupan
ini, lima kepercayaan (panca çrada) dijadikan landasan berpijak oleh
masyarakat Bali Hindu. Segala tindakan dan perilaku tokoh cerita
dalam menghadapi permasalahan kehidupannya ada relevansinya
dengan tindakan dan perilaku yang dilakukan masyarakat Bali Hindu
dalam kehidupan nyata. Hanya saja tindakan yang dilakukan tidak
persis sama seperti dalam teks. Yang relevan adalah adanya suatu
“usaha” dan “tekad” untuk mengatasi permasalahan kehidupan.
Sebagai manusia biasa, yang memiliki keterbatasan kemampuan,
masalah “hasil” dari sebuah usaha, sepenuhnya dipasrahkan kepada
Tuhan, sebab manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan keputusan
akhir ada pada Tuhan. Dengan membaca dan memahami cerita
Diah Sawitri, masyarakat Bali Hindu yang telah memiliki keyakian
terhadap ajaran agamanya lebih terinspirasi lagi untuk selalu mulat
sarira/melakukan pembenahan diri ke arah yang lebih baik dalam
menghadapi kehidupan di era globalisasi ini.

III. SIMPULAN
Cerita Diah Sawitri merupakan sebuah karya sastra geguritan, yang
dapat dijadikan model kehidupan. Model kehidupan yang terlukiskan
di dalamnya dapat memberi inspirasi bagi pembaca berkaitan dengan
eksistensi dirinya dalam era globalisasi. Di dalamnya terkandung
nilai-nilai kearifan lokal, baik yang tersurat maupun tersirat. Nilai-
nilai kearifan lokal dimaksud berkaitan dengan ajaran agama Hindu,
yang meliputi filsafat/tatwa, etika/susila dan ritual. Filsafat/tatwa yang
termuat dalam Geguritan Diah Sawitri meliputi: filsafat tri hita karana
dan panca çrada. Etika yang dilukiskan dalam geguritan dimaksud
hanyalah tingkah laku subha karma, yang meliputi: tat twam asi, tri kaya
parisuda, dasa niyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan ritual yang
dilukiskan di dalamnya meliputi: dewa yadnya, rsi yadnya dan manusa
yadnya.

535
DAFTAR PUSTAKA

Adia-Wiratmaja, G.K. 1988. Etika Tata Susila Hindu Dharma.


Agastia. I.B.G. 1987. Sagara Giri:Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar:
Wyasa Sanggraha.
Dharmayuda, I.M.S. dan I Wayan Koti Çantika. 1991. Filsafat Adat Bali.
Denpasar: Upada Sastra.
Hasan Alwi. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Karmini, Ni Nyoman. 2008. ”Sosok Perempuan dalam Teks Geguritan di Bali:
Analisis Feminisme”. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.
Kutha-Ratna, I.N. 2005. Sastra dan Cultural Studies:Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Medera, N. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadeça.
Pendit, N.S. 1989. Bhagavadgita. Yayasan Dharma Sarathi.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tinggen, I.N. 1994. Aneka sari Gending-gending Bali. Denpasar: Rhika Dewata.
Wangsa, I. 1998.“Mencari Harta dan Mengelola Dana”. Warta Hindu Dharma,
No.380 November 1998. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.
Warna, I.W. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Bali: Dinas Pendidikan Dasar
Provinsi.

536
“Pendidikan yang berkarakter Nusantara
mendesak untuk dirumuskan! Perumusan itu
hendaknya dilakukan oleh segenap komponen
bangsa yang memangku kepentingan di bidang
pendidikan dan yang berminat untuk itu. Isi
pendidikan yang berkarakter se-Nusantara
diambil dari nilai-nilai luhur budaya daerah yang
ada di Nusantara.”

Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.


Rektor IKIP PGRI Bali

ISBN 979379077-6

9 789793 790770

Anda mungkin juga menyukai