100 Tahun Bung Karno
100 Tahun Bung Karno
English Nederlands
PADA tanggal
17 Mei 1956
Presiden
Soekarno
mendapat
kehormatan
untuk
menyampaikan
pidato di
depan
Kongres
Amerika
Serikat dalam
rangka
kunjungan
resminya ke
negeri
Dok Kompas
tersebut.
Sebagaimana
dilaporkan
dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam
pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan
dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat
kami dari belenggu kolonialisme," kata Bung Karno, "telah berlangsung
dari generasi ke generasi selama berabad-abad." Tetapi, tambahnya,
perjuangan itu masih belum selesai. "Bagaimana perjuangan itu bisa
dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih
berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati
kemerdekaan?" pekik Soekarno di depan para pendengarnya.
Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap
dan pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah
tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan
Marxisme". Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal
Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak
jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah
bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia
bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka
datang terutama "untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka."
Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.
Anti-elitisme
Kompleks
Mendua
Tidak sendirian
Berdampak luas
Apa pun latar belakang sikap-sikap itu, pola hubungan elite rakyat yang
diambil oleh Soekarno dan para aktivis pergerakan waktu itu rupa-
rupanya memiliki dampak yang luas. Ketika pada tahun 1933-1934
Soekarno serta para pemimpin lain ditangkap dan diasingkan oleh
Belanda, gerakan kemerdekaan mengalami kemacetan total. Tanpa
adanya elite metropolitan itu seolah-olah rakyat tidak bisa lagi bergerak
dalam perjuangan demi kemerdekaan. Pergerakan itu baru muncul
kembali ketika para pemimpin yang diasingkan itu dibebaskan oleh
Belanda saat mereka terancam oleh kedatangan balatentara Jepang.
Sayang sekali bahwa keterpisahan antara elite dan masyarakat itu pada
zaman pasca-Soekarno tidak mengecil, melainkan justru membesar.
Meskipun sejak naiknya Orde Baru pada akhir 1960-an aksespara elite
kepada rakyat kebanyakan telah terbuka semakin luas-antara lain
dengan naiknya tingkat pendidikan, semakin tersedianya sarana-sarana
komunikasi dan menguatnya ekonomi-akses itu tak sepenuhnya
termanfaatkan. Di bawah orde yang katanya "baru" itu tetap saja rakyat
menjadi komponen massal yang dalam proses bernegara, berada di
bawah kontrol elite metropolitan sebagai penentu hampir semua
kebijakan yang ada.
Ketika pada tahun 2001 bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya
Soekarno dan lima puluh enam tahun Proklamasi Kemerdekaan, kita
masih dilanda berbagai ketidakpastian, yang salah satu akarnya adalah
keterpisahan antara elite dengan rakyatnya.
Masih panjang
Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini
kita perlu "membangun dunia baru." Tetapi upaya untuk membangun
dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu
"membangun Indonesia baru." Dan upaya membangun Indonesia baru itu
mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar
lahir dari kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam Indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi-kalaupun ada kecil
peranannya-kelompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan
pengaruh.
Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak
enggan untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-
an. Di satu pihak meneruskan sikap militan generasi itu dalam
memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkurban demi cita-cita itu.
Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem
pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite
lama dengan elite yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya
tetap sama. Dengan demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik
yang benar-benar berorientasi pada semakin terwujudnya demokrasi.
English Nederlands
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu
Tantular ini. Pertama, dari karya Tantular ini berasal dari istilah
"mahardhika" (yang menjadi asal kata merdeka), "Pancasila" dan
seloka "bhinneka tunggal Ika"-ungkapan yang menurut Dr Soewito
dalam tulisannya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (1975)-
"is a magic one of great significance and it embraces the sincere
hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame
works of an Indonesian Pancasilaist community".
Akan tetapi, apa pun rincian dari perkembangan legitim dalam faham
teologisnya, yang jelas dengan latar belakang pandangan
teologisnya itu, Bung Karno sangat mengakrabi alam semesta. Dan
kunci untuk mengerti hal itu adalah Tat Twam Asi (Aku adalah dia,
dia adalah aku). Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan
mencintai alam berarti mencintai Pencipta-Nya. Dan cinta Bung
Karno terhadap kosmos itu diawali dari Bumi tempat kakinya
berpihak, Bumi pertiwi Indonesia yang disapanya dengan takjub dan
hormat sebagai "Ibu". Bagi Bung Karno, Indonesia telah menjadi
sebuah mitos. Mungkin karena itu, Agus Salim dan A Hassan
mengkhawatirkan nasionalisme Bung Karno akan jatuh kepada
faham ashabiyah (spirit of clan), yang menjurus kepada tindakan
syirk atau pemberhalaan.
Lebih jelas lagi, kita bisa mengikuti deskripsi Bung Karno mengenai
nasionalisme Indonesia yang diungkapkan begitu berapi-api: "Bukan
saya berkata Tuhan adalah Indonesia", kata Bung Karno, "tetapi
Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia". Sang Putra Fajar itu
tidak dapat menahan hentakan-hentakan gelora jiwa dalam dadanya
yang begitu mencintai negerinya, sampai harus bercakap akrab dan
berdendang takjub dengan sungai-sungainya, pohon-pohonnya,
langit biru dan awan gemawannya, ombak laut dan pantai-pantainya.
Singkat kata, di mata Bung Karno, Indonesia adalah satu totaliteit
daripada segala perasaan yang terkandung dalam kalbu yang
membuatnya rela untuk berjuang.
Tak ayal, Bung Karno, seperti para pujangga Jawa kuno (yang karya-
karyanya masih dilestarikan di Bali)-"berbakti kepada
keindahan" (ahyun ing kalangwan) karena keyakinan bahwa Tuhan
sendirilah "tattwa ning lango" (inti segala keindahan). Bukankah para
sufi mendendangkan tembang yang sama? Tidak seorang pun dari
mereka yang berzikir mengagungkan asma-Nya, kecuali
bersenandung dengan syair-syair mereka. Kullu jamilun min
jamalullah (Semua keindahan adalah berasal dari keindahan Allah).
Juga, Inallaha jamilun wa yahibuj jamal (Allah itu mahaindah dan
mencintai keindahan).
istilah sufi Islam, atau logos spermatikos (benih sabda Ilahi) dalam
pemikiran patristik Kristen. Sesungguhnya kebenaran itu satu dan
tidak terbagi, meskipun mewujud dalam simbol-simbol yang secara
eksoteris berbeda-beda. Prinsip kasunyatan Tantular ini, oleh Bung
Karno diterjemahkan secara politis dalam sila "Ketuhanan Yang
Maha Esa" dalam Pancasila, berbareng dengan dibabtisnya seloka
Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara. Dengan sila pertama
itu, Bung Karno telah membebaskan bangsanya dari "keharusan
menantikan pesawat penyelamat dari Moskwa atau seorang kalifah
dari Istanbul". Maksudnya, Indonesia tidak menjadi negara Islam,
karena bertentangan dengan realitas kemajemukan bangsa, tetapi
juga bukan negara sekuler, karena melawan degup hati sanubari
rakyat yang sangat religius.
Bung Karno sadar, pilihan moral itu ibarat salib yang harus
dipikulnya menuju "puncak Kalvari politik yang kejam". Masih
menurut Cak Ruslan, Bung Karno terakhir kali menerima delegasi
mahasiswa dari GMKI dan PMKRI pada tahun 1967. Pada waktu itu
Bung Karno mengutip sabda Yesus: "Lihat, Aku mengutus kamu
seperti domba di tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu
cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati". Juga, "Mereka akan
menyesah kamu, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa
dan raja-raja" (Injil Matius 10:16-18). Maka Bung Karno menempuh
jalan ahimsa (tanpa kekerasan), ketika drama pengalihan kekuasaan
itu bahkan hanya berlangsung 2-3 babak saja. Semua berjalan
begitu cepat dan rapi. Sang Penyambung Lidah Rakyat pun akhirnya
tenggelam, meskipun Orde Baru yang "menjambret" kekuasaannya
tidak pernah mampu menguburkan pengaruhnya yang besar.
Demikian jiwa kenegarawanan Bung Karno. Sejarah juga mencatat,
dengan spiritualitasnya yang lapang, terbuka, inklusif dan toleran itu,
Bung Karno telah berhasil mempersatukan bangsa yang majemuk ini
menjadi satu.
English Nederlands
"AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena
rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah
rakyat." Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI
pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak
sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di sana.
Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu
membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak
suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang
memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat
sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan dari orang lain.
"Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang
(Adams, 2000:3)
(Adams, 2000:14)
"Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi
pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah
enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa
mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat
matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan
lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini
putra dari sang fajar." (Adams, 2000:24)
"Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan
enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan
dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah
aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan." (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan
sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.
"Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan
memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan Gunung Semeru atau
Gunung Kinibalu sekalipun."
"Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari
pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: "Saya seorang
nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."
Penutup
English Nederlands
Pada waktu itu, angka buta huruf di kalangan rakyat Indonesia masih
tinggi. Oleh karena itu, film yang sifatnya audio-visual, lebih mudah
dimengerti dan punya dampak lebih besar daripada media cetak.
Kantor cabang sebuah perusahaan film Jepang, Nippon Eigasha,
dibuka di Jakarta. Dan mereka setiap bulan meluncurkan dua film
berita dan dua film "budaya" (istilah terjemahan dari bahasa Jerman,
artinya hampir sama dengan film dokumenter yang dibuat untuk
maksud pendidikan dan propaganda).
Bung Karno sendiri dimasukkan hampir setiap bulan, baik dalam film
berita maupun film budaya. Dalam film-film itu ia menyampaikan
pidato yang cukup panjang. Suara dan wajah Bung Karno
ditayangkan dan tersebar ke seluruh Pulau Jawa dalam film 35 mm.
Filmnya diputar tidak hanya di gedung bioskop di kota, tetapi juga
dibawa ke seluruh pelosok oleh Barisan Propaganda dan diputar di
lapangan. Penduduk diajak nonton secara gratis. Meskipun Bung
Karno sudah sangat terkenal di antara kaum intelektual, tetapi belum
dikenal di kalangan rakyat biasa. Dengan film-film itu mereka mulai
mengenal wajah dan suara Bung Karno.
Contoh 1:
Contoh 2:
"Masyarakat baru yang kita sedang susun itu, tak mungkin kekal
kalau kita tidak mencapai kemenangan akhir, karena itu marilah kita
taruhkan perjuangan ini sampai ke ujung-ujungnya, tahanlah
menderita, tahanlah kesukaran. Kebesaran kita tidak dapat kita capai
di atas kasur bantalnya kesenangan, kebesaran kita itu hanyalah kita
bisa capai di dalam api unggunnya perjuangan." (Menoedjoe ke Arah
Mengambil Bagian Pemerintahan Dalam Negeri, Oktober, 1943).
Contoh 3:
Pada tanggal 8 Maret yang lalu, di lapangan Ikada ini pula, saya
telah gemblengkan di dalam kamu punya hati semuanya, bahwa
kamu semuanya, kita semuanya adalah ikut berperang. Bung Karno
ikut berperang! Bung Hatta ikut berperang! Kusumo Utoyo ikut
berperang!" (Jawa News, No 15 Oktober 1943).
Apa yang dimaksud dalam pidato ini adalah solidaritas bangsa Asia
menghadapi kekuatan Barat. Bung Karno menginterpretasi perang
Jepang sebagai perang bangsa Asia sendiri, dan menganggap
Amerika dan Inggris sebagai musuhnya sendiri. Agitasi anti-Barat
bisa dilihat dalam pidato berikut yang disampaikan pada bulan April
1943.
Contoh 4:
Bung Karno jatuh cinta pada Fatmawati, salah seorang murid Bung
Karno sewaktu mengajar di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu.
Inggit adalah istri yang membantu dan memberi dukungan pada
Bung Karno selama 20 tahun dalam masa susah dan penuh
penderitaan. Ny Inggit adalah pembuka jalan bagi Bung Karno
Akan tetapi, karena Ibu Inggit tidak setuju Bung Karno punya istri
kedua, padahal Bung Karno ingin punya anak, akhirnya ia
menceraikan Ny Inggit dan menikahi Ny Fatmawati pada Juni 1943,
kurang lebih setahun setelah Bung Karno kembali ke Jawa.
Pada tahun 1944, anak pertama Bung Karno, Guntur, lahir. Betapa
besar kebahagiaan Bung Karno dan Ny Fatmawati. Panglima Besar
Jepang memberi nama Jepang kepadanya, yaitu "Osamu". Osamu
adalah kode Angkatan Darat Ke-16 yang menduduki Jawa, yang
artinya "memerintah". Kebetulan pada waktu itu ada seorang bidan
wanita Jepang, yang dikirim ke Indonesia untuk membantu Jawa
Hokokai dan Fujinkai. Bidan ini-namanya Sanko Sakigawa-sangat
akrab dengan Bung Karno. Oleh karena itu, Bung Karno segera
memperlihatkan bayinya kepada Sakigawa, sekaligus meminta
nasihat tata cara mengasuhnya.
English Nederlands
Arsitek-seniman
Senang sayembara
Yang tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai
seorang arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karya-
karya unggulan yang dihasilkan melalui sayembara.
Dari kisah itu terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno
sejak dulu sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar
slogan kosong, melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya
sehari-hari.
English Nederlands
Padahal, menurut Peter Dale Scott, empat dari enam perwira tinggi
pro Jenderal Yani yang mengikuti pertemuan pejabat teras Angkatan
Darat pada Januari 1965, tewas dalam peristiwa G30S bersama
English Nederlands
SEWAKTU ber-
SMA di
Yogyakarta
selama periode
revolusi fisik,
saya
menggabungkan
diri pada
organisasi
Seniman
Indonesia Muda
(SIM) dan dipilih
menjadi
Dok Kompas ketuanya di saat
organisasi itu
mula-mula
didirikan pada tahun 1946. Organisasi ini berpusat di Solo, dengan S
Soedjojono sebagai Ketua Umum SIM, dan mempunyai dua cabang, di
Yogya dan Madiun. Anggota SIM cabang Yogya tidak banyak jumlahnya,
namun terdiri dari para pelukis senior yang sudah "jadi", yaitu Affandy,
Hendra, Roesli, Soedarso, Dullah, Hariadi, dan beberapa pelukis muda
"harapan", seperti Troeboes, Zaini, Nasyah Djamin, Nazhar, Soeharto, dan
Tino Sidin.Sanggar SIM di Alun-alun Lor sering dikunjungi oleh tamu-tamu
negara dari negara asing, atas anjuran Bung Karno, dan ada kalanya SIM
diminta membawa koleksi lukisan anggota-anggotanya ke Istana Negara
untuk dipamerkan oleh Presiden kepada para tamu.
Pada suatu pagi, tiba-tiba datang utusan dari Bung Karno yang meminta
SIM segera membawa karya-karya yang bermutu ke Istana. Saya memang
tinggal sendirian di sanggar dan kebetulan belum berangkat ke sekolah.
Mengingat waktu yang disediakan hanya dua jam, tidak ada kesempatan
bagi saya untuk mengabarkan hal ini kepada para anggota senior yang
tinggal bertebaran jauh dari sanggar. Maka saya sendirilah-seorang diri-
Tidak lama setelah lukisan siap dipajang di serambi depan Istana, dari
ruang dalam keluar ketiga Bung Besar, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.
Rupanya mereka ingin melihat lebih dahulu lukisan-lukisan yang ada
sebelum membanggakannya nanti di muka para tamu. Bung Karno
menanyakan kepada saya-dengan nada kebapakan-apakah tidak
keberatan kalau mereka berbahasa Belanda. Saya katakan sama sekali
tidak, karena saya mengerti bahasa tersebut.
Sebelum Jepang datang, saya sudah sempat duduk di kelas satu MULO.
"Wel, in dat geval mag ik u dan verzoeken, meneer de voorzitter, om mee
te praten met ons?!", kata Bung Karno dengan nada kepresidenan, namun
dengan sikap bercanda. "Met genoegen, meneer de president," jawab
saya, "en dank u zeer."
Lalu sambil berkeliling menatap lukisan satu per satu, yang untuk sebagian
besar bercorak ekspresionistis dan impresionistis, Bung Karno dan Bung
Sjahrir bertukar pikiran mengenai apresiasi masing-masing. Dalam
berdiskusi mereka saling "bertutoyer" saja-kelihatan intim sekali-namun
saya tetap membahasakan mereka dengan sebutan "u". Walaupun umur
saya jauh lebih muda dan bicara Belanda saya tentu tidak selancar
mereka, saya tidak merasa mereka remehkan. Mereka mendengarkan
dengan saksama uraian dan ulasan saya, termasuk tentang pendapat
mereka, dan tidak memotong pembicaraan sebelum saya selesai
berbicara.
Dari perdebatan seni itu saya berkesimpulan bahwa Bung Karno lebih
merupakan seorang "pencinta seni" (kunst liefhebber). Bagi dia seni lukis,
atau seni rupa pada umumnya, adalah identik dengan keindahan visual.
Maka itu tidak mengherankan kalau dia menggandrungi lukisan-lukisan
wanita cantik dari Basoeki Abdoellah. Wanita dengan kecantikan wajah
dan kemolekan tubuhnya adalah by nature simbol dari keindahan par
excellence. Inilah idee fixe yang kiranya menentukan pula sikap dan
perlakuannya terhadap wanita. Baginya, tarikan atau jalannya kuas yang
ekspresif tidak begitu penting untuk diperhatikan apalagi diperhitungkan.
Kalaupun dia "tertarik" pada lukisan Affandy yang serba impresionistis dan
karya Soedjojono yang begitu ekspresif, saya pikir-menurut kesan saya-
karena dia telah mengenal baik kepribadian dan kemanusiaan kedua
seniman tersebut dan naluri humanitasnya-bukan penalaran seninya-
mengakui ketinggian mutu seni karya-karya mereka.
sekali selama studi di negeri Belanda dahulu dia telah melihat sendiri
lukisan-lukisan modern yang asli di berbagai museum Eropa. Dia ternyata
seorang intelektual hasil tempaan nalar akademis Eropa Barat yang
berpembawaan luas. Dia dan Bung Karno lama memperdebatkan "konsep"
seni mengingat "keindahan visual" tidak selalu disepakati sebagai "de
standaard" mutu seni. Akhirnya kedua Bung Besar menantang jawaban
saya yang, menurut Bung Karno, memegang leiderschap SIM cabang
Yogyakarta, Ibu Kota Republik Indonesia, "membawahi" beberapa pelukis
senior yang dia kenal baik.
Saya katakan bahwa "keindahan" bukan berupa "harga mati" yang terpatri
di mata atau kertas uang, bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan lain
dengan nilai yang sama tetap. Tidak ada seorang pun yang berani
mengatakan bahwa apa yang diperlukan bagi kreasi suatu seni yang baik
adalah sebuah konsep yang baik mengenai seni. Namun, saya bisa
mengatakan bahwa suatu konsep seni yang tidak memadai dapat
menghambat-bahkan merusak-jalannya kreativitas. Di kalangan para
seniman sendiri mungkin ada yang tidak tertarik secara khusus pada teori
estetika dan di antara mereka yang mungkin relatif lemah dalam teori
tersebut, atau bahkan tidak mempedulikannya sama sekali, tentu ada yang
mungkin mampu mengombinasikan bakat kreasi artistik dengan flair untuk
estetika. Kelihatannya bila pikiran tidak bisa menjelaskan, naluri punya
alasan-alasannya sendiri. Maka bila otak manusia belum mampu
mengatur, biarkanlah kodrat alam membimbing sewajarnya. Dalam
berkarya perlu bagi seniman tetap memupuk individualitas, eigen
persoonlijkheid, dalam artian tidak ikut-ikutan dan bisa menjelaskan sendiri
mengapa karyanya dianggap baik dan waardig genceg untuk dipamerkan.
Selama perdebatan seni ini Bung Hatta diam saja. Sikapnya bagai "guru"
yang sedang mengawasi "murid-muridnya" sedang bertengkar. Dia ikut
mendengarkan dengan serius, menatap muka setiap pembicara dan
sesekali tersenyum lembut. Saya berkeringat dingin bukan karena
berdebat dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir, tetapi karena tahu sedang
diawasi terus-menerus oleh Bung Hatta. Saya tidak yakin kalau tokoh yang
saya kagumi ini tidak tertarik pada seni. Betapa tidak. Saya ingin benar
ketika masih remaja di zaman Belanda dahulu saya pernah menghadiri
malam deklamasi di gedung organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) di
Medan. Ketika itu para anggota senior dari JIB membacakan berbagai
soneta, sajak, dan syair dari beberapa pujangga "Pulau Masa Depan",
yaitu Muhammad Jamin, Sanusi dan Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisyahbana, Tengku Amir Hamzah, dan ... Mohammad Hatta.
Cobalah perhatikan tanda tangan negarawan kita yang satu ini. Ia benar-
benar merupakan ekspresi dari suatu jiwa seni. Sebagai tanda tangan ia
bukan sembarang ungkapan jati diri, tetapi merupakan pula suatu gubahan
kaligrafis yang bermutu, suatu persenyawaan yang sungguh artistik dari
dua jenis huruf, yaitu Latin dan Arab.
***
Pak Affandy menolak pemberian pulpen itu sambil berkata dengan lirih,
"Bung, terima kasih. Saya butuh uang, bukan pulpen. Saya juga tidak tahu
di mana bisa menjualnya. Lagi pula jangan-jangan saya nanti dituduh
mencuri." Mendengar ucapan Affandy yang terakhir itu Bung Karno tertawa
terbahak-bahak. Tanpa disadari, Pak Affandy dan saya ikut pula tertawa
sejadinya. Lalu Bung Karno bangkit dari duduknya, berdiri dan menepuk
bahu Pak Affandy. "Tunggu sebentar Mas Affandy", katanya, "saya akan
menemui Bu Fat di dalam." Tidak lama kemudian, Bung Karno keluar, lalu
memilih sebuah lukisan yang ditawarkan, dan memberikan sebuah amplop
kepada Sang Pelukis. "Terimalah ini, saya pinjam dulu dari Bu Fat, diambil
dari uang belanja sehari-hari", katanya. "Jumlahnya memang tidak
seberapa. Kekurangannya akan saya angsur bulan depan. Sudah saya
perintahkan kepada dokter kepresidenan supaya memeriksa Bu Affandy di
rumah. Tolong tinggalkan alamat rumah kepada ajudan sebelum pulang."
Saya pilih Pak Affandy, karena pelukis kita yang satu ini sudah memiliki
koleksi yang cukup untuk berpameran tunggal. Dia betul-betul kreatif,
siang dan malam terus berkarya. Kalau sedang melukis seperti orang
kesurupan dan mutu lukisannya pantas dibanggakan. Pada Pak Affandy
bisa saja dititipkan karya pelukis-pelukis lainnya, dan kalau keuangan
negara memungkinkan diikutsertakan pula satu atau dua pelukis
senior.
Perbuatan saya ini disalahkan oleh Ketua Umum SIM karena dianggap
melampaui wewenang Ketua Cabang SIM tanpa berkonsultasi lebih dahulu
dengan pengurus pusat. Saya dipanggil ke Solo dan diadili di dalam rapat
yang dihadiri oleh pelukis-pelukis senior dan yunior yang ada di pusat.
Setelah Ketua Umum SIM menjatuhkan vonisnya yang menyatakan saya
bersalah, saya bangkit dan mendatangi mejanya. Saya gebrak meja itu
dan berkata keras, "Persetan!". Saya segera keluar dari ruang rapat dan
langsung pulang ke Yogyakarta.
***
Apa pun alasan penghancuran ini, Bung Karno telah melenyapkan satu
saksi penting dari sejarah bangsa, padahal di Yogya dahulu dia sering
mengatakan kepada pemuda-pelajar betapa pentingnya orang
mempelajari sejarah. Maka, sebagai tanda protes, ketika proses
penghancuran gedung bersejarah itu sedang dilaksanakan, saya kirim
sebuah lukisan cat air kepada Bung Karno. Lukisan ini berukuran 15 x 20
cm dan di situ saya gambarkan Bung Karno berhadap-hadapan dengan
saya. Lukisan saya beri judul "Soekarno sainganku". Saya kirim per pos
dan sebagai pengirim saya sebut: Daoed Joesoef, ex-voor-zitter van SIM
Yogyakarta.
Pernah terpikir oleh saya apakah perbuatan Bung Karno ini bukan suatu
gerak refleks spontan dari seorang seniman. Bukankah seorang seniman
biasa menghancurkan karyanya-lukisan, patung, partitur musik-bila dia
kesal atau tidak puas dan orang lain tidak berhak melarangnya karena
yang dihancurkannya itu adalah miliknya sendiri. Hal seperti ini memang
sering terjadi dalam sejarah.
Namun, yang dihancurkan oleh Bung Karno itu bukan sekadar bangunan
rumah miliknya sendiri. Yang dilenyapkannya bersama-sama dengan
kehancuran rumah dan tugu di Pegangsaan Timur itu adalah sebuah bukti
otentik dari suatu sejarah kolektif, sejarah perjuangan nasional, walaupun
memang diakui betapa besar peranannya dalam kejadian bersejarah yang
pantas dibanggakan itu.
Oleh karena jengkel dan muak melihat keadaan itu, beberapa orang
pemuda mengumpulkan dokumen-dokumen perjuangan pribadi untuk
dibakar sebagai bukti dari tekad tidak akan menggunakan partisipasi
perjuangan masa lalu guna mendapatkan berbagai keistimewaan dan
fasilitas. Dan pembakaran ini dilakukan dengan khidmat, pada suatu senja,
di kaki tugu sederhana yang ada di halaman depan Gedung Proklamasi.
English Nederlands
dengan mata takjub dan terharu. Jutaan orang itu berdiri di tempat
dahulu Bung Karno memandangi lembah dan awan-awan.
Bung Karno terpana melihat poster yang provokatif itu. Dan ia lantas
bertanya kepada Sudjojono, siapa yang jadi model. Sudjojono tentu
Sepuluh tahun berjalan, pada 1960 Dullah minta diri keluar dari
Istana. Ia ingin jadi pelukis bebas. Bung Karno terperangah, sambil
bertanya.
"A thing of beauty is a joy forever", adalah ucapan yang sering keluar
dari bibir Bung Karno. Itu sebabnya lukisan wanita cantik, alam
benda yang elok, pemandangan yang tenteram, sudut kampung
yang adem, sangat membahagiakannya. Singkat kata, riwayat,
pribadi dan karya-karya Man-fong cocok dengan Bung Karno.
Hingga usulan Dullah agar Man-fong menggantikannya jadi pelukis
Istana, diterimanya dengan sukacita.
TAHUN 1961, Lee Man-fong diangkat resmi. Dan sejak itu pula ia
yang tadinya masih warga negara Tiongkok, menjadi warga negara
Indonesia. Namun, Man-fong sesungguhnya bukanlah orang
kantoran. Lingkungan Istana yang protokoler, punya jam kerja, serta
harus 'menurut' Sang Bapak, sungguh bukan pekerjaan mudah
baginya. Man-fong lantas membawa sahabatnya, Lim Wasim, dan
diusulkan jadi asistennya. Bung Karno tidak menolak.
ia mengajar di Xian I Shu Xue Yuan, atau Institut Seni Provinsi Xian.
Tahun 1959, kembali ke Indonesia.
Di Istana Wasim ternyata jauh lebih aktif dari Man-fong. Dan itu
sudah diramalkan. Tugas Wasim seperti juga kerja utama Dullah
dulu. Di antaranya yang paling membanggakan adalah tugas melukis
sosok Bung Karno untuk dibawa Presiden ke luar negeri. Karena
banyak kepala negara yang meminta gambar "Bung Karno Sang
Kolektor" sebagai kenang-kenangan.
Ketika Bung Karno turun dari kekuasaan awal tahun 1966, koleksi
yang ada sekitar 2.300 bingkai. Jumlah yang bukan main! Bahkan
ada yang menyebut, inilah koleksi lukisan terbesar seorang Presiden
di seputar Bumi, kala itu. Dan ketika kekisruhan politik dimulai, apa
boleh buat, Lee Man-fong yang tak berpolitik terpaksa "lari" ke
Singapura. Dullah selama beberapa tahun berdiam diri di rumah,
lantaran diincar sebagai Soekarnois. Dan Lim Wasim?
English Nederlands
Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung
Karno kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan
nama toko serba ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada
kenangan khusus untuk Ida Ajoe Njoman Rai?
Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih
dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita
Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi
perlindungan. Janda cerai selama empat bulan tersebut kemudian
menikah dengan Bung Karno pada pertengahan tahun 1923.
Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak
ubahnya seperti anakku sendiri."
Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah
mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku
Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH berdasar wawancara
dengan Inggit Gar-nasih, Bung Karno sambil menahan tangis
bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak
usah bercerai?"
"Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau
harus dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau
kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu."
Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy
Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh
karena itu buku tersebut juga masih melupakan Yurike Sanger,
pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas anggota "pagar ayu" Barisan
Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara Kartini, Yurike sempat
mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji kepadanya,
"Adiklah, istri Mas yang terakhir".
Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki,
sama sekali tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang
kemerdekaan. Dan juga tidak akan melenyapkan sumbangannya
dalam memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah
Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya.
English Nederlands
***
Oleh karena itu, tidak perlu diherankan benar kalau banyak juga
orang yang melihat peristiwa 5 Juli 1959 sebagai awal dari zaman
otoritarianisme dan sentralisme di Tanah Air. Bukankah sejak Dekrit
Presiden itu dikeluarkan lembaga legislatif praktis tidak lagi berdaya
menghadapi kekuasaan eksekutif? Bukankah pula sejak itu
dorongan sentralisasi semakin kuat dan kencang juga? Semakin
kuat pemerintahan, maka semakin kentallah otoritarianisme itu, dan
semakin kuat pula sentralisasi kekuasaan. Hal ini berlanjut sampai
dengan terjadinya lengser keprabon pada bulan Mei 1998 yang lalu.
Sebaliknya, tentu tidak pula perlu dianggap sebagai suatu keanehan
kalau ada juga yang bertahan dengan pendapat bahwa tanggal itu
secara simbolis menandai awal keberhasilan Indonesia untuk
menemukan kembali "kepribadian nasional"-nya.
***
Maka, apa pun mungkin corak penilaian sejarah atau politik terhadap
Demokrasi Terpimpin, namun secara empiris harus dikatakan juga
bahwa dalam episode ini Soekarno dengan sadar menjadikan dirinya
sebagai perpaduan dari legitimasi konstitusional dengan keharusan
dan kesahihan ideologis. Karena itu, barangkali tidaklah terlalu
berlebihan kalau dikatakan bahwa dari sudut kajian sejarah episode
Demokrasi Terpimpin bisa pula diperlakukan sebagai "laboratorium"
penyelidikan tentang kepemimpinan Soekarno, sebagai Kepala
Negara/Pemerintahan dan sebagai pemimpin bangsa. Bisakah
keduanya saling mendukung? Atau, mungkin saling menjegal? Kalau
seandainya demikian, yang manakah yang lebih keras bersuara?
***
***
militer.
***
***
Dalam situasi ini hanya ucapan sang "Nabi" yang menjadi ukuran
keabsahan. Mestikah diherankan kalau dalam persaingan untuk
mendekati Soekarno, Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi,
perbedaan penafsiran semakin lama semakin membesar juga. Kalau
telah begini benih-benih konflik terbuka semakin tumbuh juga. Maka
kalau perbedaan penafsiran ini dikenakan ke lapangan politik, maka
kemungkinan terjadinya tabrakan kepentingan semakin tak
terelakkan. Tanpa disadarinya, Soekarno telah menjadi satu-satunya
penyangga dari konflik terbuka antara TNI AD, yang diejek PKI
sebagai "kapitalis birokrat/kabir" (karena keterlibatannya dalam
bisnis), dengan partai yang telah mendapat kehormatan sebagai
unsur "kom" dari pilar politik Demokrasi Terpimpin, Nasakom. Ketika
sang penyangga itu goyah, maka semua hambatan pun mencair.
English Nederlands
TAHUN 1996,
Soeharto gelisah. Ia
ingin Golkar menang
besar dalam Pemilu
1997, namun tak bisa
menutup mata dari
perkembangan yang
terjadi di tubuh Partai
Demokrasi Indonesia
(PDI). Saat itu,
semakin nyata bahwa
PDI menjadi tempat
berlabuh bagi
kerinduan terhadap
figur Soekarno dan
segala rupa
kekecewaan terhadap
rezim Orde Baru.
Maka Soeharto pun
mengambil jalan
pintas, memadamkan
pengaruh simbol-
simbol Soekarno di
Kompas/kartono ryadi tubuh PDI sebelum
pemilu berlangsung.
Sebuah kongres partai
yang prematur kemudian direkayasa, dan tergusurlah Megawati dari
pucuk pimpinan partai berlambang kepala banteng itu. Tak lama
kemudian, meletus Tragedi 27 Juli 1996 yang akhirnya justru
menjadi titik balik dari kebangkrutan rezim Orde Baru.
Karantina politik
Pancasila dan
Bung Karno
Satu fakta yang sangat menarik juga ditemukan Leigh dalam soal-
soal ujian untuk materi sejarah tingkat sekolah dasar. Dalam soal-
soal pilihan berganda itu, Soekarno ternyata banyak ditempatkan
pada pilihan jawaban yang salah untuk pertanyaan-pertanyaan
seputar Pancasila, perjuangan melawan penjajah, dan penumpasan
pemberontakan pascakemerdekaan. Sebaliknya, Leigh tidak
menemukan satu pun soal ujian yang menempatkan nama Soeharto
dalam pilihan jawaban yang salah. Fakta ini menurut Leigh dapat
berdampak buruk terhadap persepsi siswa terhadap peranan
Soekarno maupun Soeharto dalam sejarah.
Hal yang tak kalah menarik adalah sikap rezim Orde Baru ketika
Kolonel (Purn) Soegiarso Soerojo mempublikasikan buku Siapa
Menabur Angin Akan Menuai Badai tahun 1988. Buku ini sarat
dengan tuduhan bahwa Soekarno seorang
Marxis, komunis, serta terlibat dalam G30S/1965. Menanggapi
penerbitan buku ini, Mensesneg Moerdiono dengan tegas
menyatakan bahwa secara politik Soekarno memang salah.
"Mikul dhuwur
mendhem jero"
Entah ada hubungannya dengan sikap di atas atau tidak, yang jelas
desoekarnoisasi tak pernah berakhir tuntas. Romantisisme terhadap
Soekarno hingga kini belum sepenuhnya pudar. Simbol-simbol
Soekarno masih menjadi sarana yang efektif untuk menggalang
massa dalam pemilu. Beberapa jajak pendapat yang dilakukan
media massa juga menunjukkan generasi yang tak mengenal hiruk-
pikuk perpolitikan era Soekarno dan yang notabene tak dididik untuk
"melek" politik pun banyak yang mengagumi Soekarno melebihi
tokoh sejarah yang lain.
English Nederlands
Akan tetapi, di tahun 1920-an dan 1930-an, abad ke-20 situasi masih
lain. Komunisme dan sosialisme radikal baru saja muncul di
panggung dunia. Negara-negara demokratis di Eropa dengan
perekonomian "kapitalis" mengalami kesulitan besar (dan akan
dilanda oleh fasisme). Dalam situasi itu tidak mengherankan bahwa
para nasionalis Indonesia dengan sendirinya menolak kapitalisme
yang memang jelas mendorong perkembangan kolonialisme ke
imperialisme sejak permulaan abad ke-19. Penolakan itu tidak khas
Bung Karno saja. Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan banyak tokoh lain
sama saja menolak kapitalisme.
Demi perbandingan, mari kita lihat garis besar teori revolusi sosialis
Wladimir I Lenin sebagaimana dimuat dalam dua buku itu. Lenin
mengembangkan pandangannya berhadapan dua faham yang
ditolaknya dengan tajam: ekonomisme dan anarkisme (sindikalis).
Pandangan ekonomisme mengatakan bahwa revolusi sosialis tidak
perlu diusahakan. Kapitalisme akan- karena dinamikanya sendiri-
semakin runtuh dan dengan demikian menciptakan situasi yang
matang untuk revolusi.
Karena itu, kaum Marhaen tidak cukup asal berjuang. Mereka harus
berjuang dengan kesadaran yang tepat. Mengikuti bahasa Lenin,
Bung Karno menegaskan bahwa yang perlu adalah kesadaran yang
radikal. Radikal bagi Bung Karno berarti sadar akan adanya dua
golongan dalam masyarakat yang berlawanan. Bung Karno tidak
memakai bahasa "pertentangan kelas", tentu karena faham
"Marhaen" justru mau menegaskan bahwa analisa kelas marxis tidak
cocok dengan kenyataan sosial di Indonesia. Namun, ia
menegaskan bahwa kaum Marhaen harus selalu sadar bahwa ada
yang "sana" dan yang "sini", ada "golongan 'atas'" dan "golongan
'bawah'" dan bahwa antara dua-duanya hanya bisa ada
pertentangan. "Sana dan sini tidak bisa diakurkan, sana dan sini
tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesenya, sana dan sini akan
selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain" (47) karena "inilah
yang oleh kaum marxis disebutkan dialektiknya sesuatu
keadaan" (ib.).
pertentangan antara "orang kecil" dan "kaum atas", dan "orang kecil"
bukan kata dari perbendaharaan marxisme. Apakah perbedaan ini
relevan? Jawaban hanya dapat berbunyi: Perbedaan ini bersifat
prinsipiil dan berarti bahwa Bung Karno-berbeda dari persepsinya
sendiri-bukan seorang Marxis sama sekali. Bagi Karl Marx justru
tidak semua "kelas bawah" di segala zaman bersifat revolusioner.
Agar sebuah kelas dapat diharapkan menumbangkan kapitalisme
(tujuan yang juga diiyakan oleh Bung Karno), situasi khas kelas itu
dalam proses produksi harus kondusif ke perkembangan kesadaran
kelas revolusioner itu. "Orang kecil" bagi analisa Marxis terlalu kabur,
tidak dapat dipakai.
Ketiga, tak ada sama sekali pada Bung Karno padanan terhadap
kediktatoran proletariat yang dalam kenyataan, tetapi juga menurut
ucapan Lenin, dilaksanakan sebagai kediktatoran partai komunis di
atas proletariat. Tak ada tanda bahwa Bung Karno sesudah revolusi
politik mengharapkan penghancuran total terhadap struktur
kepemilikan dalam masyarakat sebagaimana menjadi program
Lenin. Wacana "sosio-demokrasi" dan "sosio-nasionalisme" hanya
diisi dengan menunjuk pada "koperasi radikal", serikat buruh dan
serikat tani "radikal" tanpa menjelaskan apa itu "radikal", unsur-unsur
mana semua, barangkali yang "radikal" itu juga terdapat dalam
negara-negara "kapitalis" di Barat. Bung Karno bukan seorang
revolusioner sosial.
Maka, retorika leninis Bung Karno jangan menipu kita. Di sini tidak
bicara seorang leninis, melainkan seorang yang mencita-citakan
pembebasan rakyatnya dari penindasan kolonialisme dan
keterpurukan di bawah kaum feodal tradisional serta kapitalisme
baru. Bahasa keras Lenin yang tidak pernah main-main melainkan
merupakan cetak biru prinsip-prinsip yang akan dilaksanakan begitu
5. Akhirul kata
Tidak ada tanda apa pun bahwa Bung Karno sendiri menganggap
diri sebagai seorang le-ninis. Jauh lebih masuk akal bahwa Bung
Karno-sama seperti rekan-rekan nasionalisnya lain-melihat kepada
Revolusi Oktober dengan simpati, bukan karena menyetujuinya,
melainkan karena di sini ada bangsa besar yang membebaskan diri
dari kapitalisme. Berbeda dengan anggapan Bung Karno sendiri,
marhaenisme-yang dalam pandangan saya jauh lebih realistik
daripada analisa kelas Marx yang tidak pernah peka terhadap apa
yang sebenarnya menggerakkan orang-bukan sebuah marxisme.
Bung Karno jatuh cinta dengan kata revolusi, tetapi tidak memahami
implikasi kata itu, yaitu bahwa struktur pemilikan masyarakat yang
ada harus dihancurkan dan bahwa penghancuran itu, sebagaimana
disadari sepenuhnya oleh Lenin, hanya dapat melalui kediktatoran
partai yang tidak takut memakai senjata teror. Maka, ia tidak siap
dalam hati untuk melepaskan kaum komunis yang andaikata secara
dini dilarang, barangkali dapat luput dari pembunuhan mengerikan
yang akhirnya menimpa apa pun yang berbau komunis.
Dan masih satu hal. Lain daripada Hatta-yang juga mengkritik bahwa
demokrasi Barat tidak sampai ke bidang ekonomi-Soekarno tidak
mengembangkan sikap hati yang positif terhadap demokrasi (Barat!).
Begitu saja ia termakan oleh hasutan anti demokrasi Lenin-dengan
tidak memperhatikan bahwa mayoritas kaum sosialis sedunia 1918
English Nederlands
***
***
Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak,
diatur oleh perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur.
Kedua blok yang berseteru meyakini bahwa perdamaian abadi
hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba senjata yang seimbang,
baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
English Nederlands
Ia yang tidak tampil dalam kerja sama dengan Jepang, logis untuk
menjadi pihak perunding dengan Belanda. Dan, berbeda dengan
Soekarno, Sjahrir sering dikatakan tidak mempunyai prasangka
terhadap orang-orang Belanda. Pendidikan di Barat
mengonstruksikan dalam dirinya bentuk demokrasi yang semestinya
dijalankan, yang tentu saja berbeda dengan konstruksi demokrasi
Soekarno.
Hatta mundur
Tidak dapat disangkal bahwa pada diri Soekarno dan Hatta terdapat
kegelisahan besar untuk membangun dan menyusun bangsa dan
negaranya. Namun, memang harus diakui bahwa perbedaan
pandangan di antara keduanya terus mengikuti kegelisahan itu.
Yang menarik, persahabatan di antara mereka tidak retak sekalipun
ada perbedaan-perbedaan pandangan. Hatta pun sebenarnya masih
didukung sebagai pemimpin oleh kalangan-kalangan tertentu,
terutama dukungan dari rakyat Sumatera. Namun, Hatta tetap teguh
menjalani jalan sunyinya di luar gebyar panggung politik. Maka, ia
pun tidak menggalang dan mengerahkan massa untuk mendukung
butir-butir gagasannya.
hati, tetapi berpikir bening dan jitu dalam strategi. Ia mengerti kapan
harus tampil, dan kapan turun panggung tanpa harus melukai
persatuan yang sudah dibangun bersama teman-temannya sejak
Perhimpunan Indonesia berdiri. Ia mengerti bagaimana menjalin
hubungan persahabatan dengan Soekarno meskipun nasihat-
nasihatnya sering tidak didengar. Ia mengerti kapan keras
menghardik dan kapan lembut menegur. Ia rela meninggalkan
segala-galanya, termasuk jabatan, kalau hati nuraninya terganggu.
Memang, sungguh butuh berlimpah hal untuk mengubah dunia,
seperti kata Bertolt Brecht (1898-1956), penyair Jerman, dalam
Einverstaendnis,
English Nederlands
Gadis Arivia
"Banjak orang jang tidak mengerti apa sebabnja saja anggap kursus-
kursus wanita itu begitu penting. Siapa jang membatja kitab jang saja
sadjikan sekarang ini,-jang isinja telah saja uraikan di dalam kursus-
kursus wanita itu dalam pokok-pokoknja-akan mengerti apa sebab
saja anggap soal wanita itu soal jang amat penting. Soal wanita
adalah soal-masjarakat!"
Pada suasana seperti inilah hadir Soekarno yang pada akhir tahun
1920-an mulai mengemuka sebagai tokoh nasionalis. Ia mulai
terlibat dalam politik pada tahun 1926, dan satu tahun kemudian
pada tahun 1927 ikut menggagas PNI. Ketika Kongres Ibu diadakan
pertama kali pada tanggal 22 Desember 1928, Soekarno mengambil
kesempatan ini untuk mengemukakan pendapatnya tentang
perempuan.
II
sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahadja gembira hati akan kongres
itu oleh karena kaum bapak belum insjaf akan keharusan kenaikan
deradjat kaum ibu itu,-kita gembira hati ialah teristimewa djuga oleh
karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banjak jang mengetahui
atau mendjalankan kewadjibannja ikut menjeburkan diri di dalam
perdjoangan bangsa, dan belum banjak jang berkehendak akan
kenaikan deradjat itu."
PIDATO Soekarno pada Kongres Kaum Ibu tahun 1928 ini amat
penting untuk membaca penempatan perempuan dalam pemikiran
Soekarno. Ia menyokong hak-hak perempuan, namun ia
menganggap perjuangan hak perempuan harus nomor dua setelah
perjuangan kemerdekaan. Dan bila perjuangan hak-hak perempuan
itu tercapai, perjuangan tersebut belum cukup karena kepentingan
nasional belum terwujud.
III
SEJAK Awal tahun 1930-an Soekarno telah masuk dalam fase baru
dalam perkembangan pemikiran politiknya, yaitu menguatnya
konsep-konsep marxisme di dalam dirinya. Baginya, perjuangan
perempuan yang lebih penting adalah penghancuran kapitalisme.
Hal inilah yang ia tekankan kepada kaum perempuan dengan sekali
lagi menegaskan bahwa "kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
tidak tjukup. Ada kebutuhan jang lebih besar lagi jaitu penghancuran
sistem kapitalis". (Doran, 1987:104).
IV
"Setelah bayiku berumur dua hari, waktu aku sedang berbaring, pagi-
pagi benar datanglah Bung Karno. Bung Karno du-duk di depanku
dan kemudian berkata: 'Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin
dengan Hartini.' Aku dengarkan saja apa yang Bung Karno utarakan
tadi dengan seksama dan tenang. 'Boleh saja,' kataku menjawab,
tetapi Fat minta dikembalikan pada orangtua. Aku tidak mau dimadu
dan anti poligami. Tetapi aku cinta padamu dan juga cinta pada
Hartini, demikian Bung Karno. 'Oo, tak bisa begitu!,'
kataku." (Fatmawati, 1978:80)
Tentunya kata sepakat tidak tercapai dalam parlemen, karena ide ini
tidak didukung oleh kalangan Muslim. Kompromi kemudian dicapai
melalui ga-gasan Bhayangkari, bahwa permaduan diizinkan bagi
suami-istri Muslim, tetapi kitab Un-dang-Undang Perkawinan Sipil
mendasarkan diri pada aspek monogami. Perjalanan perjuangan
undang-undang perkawinan setelah ini masih panjang karena
ditentang Kementerian Agama. Perempuan Indonesia harus
menunggu sampai tahun 1973 untuk mendapatkan undang-undang
perkawinan baru yang melarang poligami.
English Nederlands
Presiden Soekarno
Karya : Basuki Abdullah
Judul : Si Denok
Karya : M Pastori (Swiss)
English Nederlands
PANCAROBA
masa
peralihan
abad ke-19 ke
abad ke-20
ialah ucapan
yang lumrah
diketengahkan
dalam sejarah
Indonesia
bahwa suatu
jiwa zaman
(zeitgeist)
membentuk
kepribadian
Dok Kompas seseorang
yang hidup di
masa itu, dan
sebaliknya pribadi tokoh sejarah menempa jiwa zaman. Abad ke-20
bercirikan nasionalisme serta produk perkembangannya, ialah negara
nasion, maka berbicara tentang Bung Karno tidak lepas dari
nasionalisme, dan sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat
lepas dari peran kepemimpinan Bung Karno.Beberapa dasawarsa
menjelang tahun 1900, Indonesia, khususnya Jawa, mengalami
perubahan ekonomi sosial dan politik sebagai dampak modernisasi
seperti pembangunan komunikasi, antara lain kereta api, jalan raya,
telepon, telegraf, industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari
sekolah rendah sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran,
teknologi pertanian dan lain sebagainya. Tidak mengherankan apabila
timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi pasar, serta
ekonomi keuangan dan lain-lain.
***
***
Pada akhir dekade pertama kita menjumpai kultur gaya hidup kaum maju
yang terdiri atas kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan
atau kaum aristokrasi (Boedi Oetomo). Maka selaras dengan kondisi itu
sifat organisasi, gerakannya tidak mungkin radikal. Kaum pedagang
menengah dan penduduk kota sebagai anggota Muhammadiyah juga
lebih bersifat moderat, sedang SI yang mencakup lapisan menengah
sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan
petani, golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta pedagang
kecil. Acap kali ideologinya merupakan campuran antara gerakan
tradisional dan setengah modern kota. Meskipun masih bercorak
etnonasionalistis, namun sudah ada komunikasi antara golongan bawah
menengah dan atas.
***
INI semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal
dan ada komunikasi lebih bebas. Di sini kita melihat tanda-tanda
permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti
perhatian mereka luas, mencakup kesejahteraan kehidupan rakyat dan
bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat. Dua hal yang menarik
untuk diungkapkan masa itu ialah, pertama, pidato Soetomo; dan kedua,
dialog antara dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman
Wedyodiningrat. Dokter Soetomo mengutarakan keadaan negerinya
yang serba terbelakang di pelbagai bidang, antara lain bidang
kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan
sebagainya.
***
Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 sudah ada tanda-tanda
munculnya revivalisme Islam di Hindia Belanda pada umumnya dan
Jawa khususnya. Sarekat Islam didirikan oleh Haji Samanhoedi di Solo
pada tahun 1911 dan cepat menyebar ke seluruh nusantara dan jumlah
anggota meningkat secara cepat. Maka tidak mengherankan apabila
pemerintah Hindia Belanda sangat waswas sehingga dipraktikkan politik
klasik divide et impera, sehubungan dengan itu maka dilarang untuk
membuat cabang-cabang. Meskipun demikian timbul dominasi pimpinan
Sarekat Islam pusat di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Di sini kita
jumpai seorang tokoh lokal yang rupanya dapat kita anggap selaku
model peran bagi Soekarno, terutama pada keterampilan berpidato di
muka massa, khususnya retorikanya. Tokoh-tokoh pemimpin seperti
dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, HOS
Tjokroaminoto, dan EEF Dauwes Dekker (Dokter Setia Boedi) yang
menunjukkan sifat menonjol seperti anti-kolonialisme dan radikalisme.
***
***
1. Melawan kolonialisme
Perlu dicatat di sini bahwa Bung Karno pernah menulis pada secarik
kertas yang berbunyi: "Saya tidak membenci Belanda tetapi membenci
sistem kolonialnya" (arsip Den Haag). Pada masa krisis nasional dewasa
ini, penulis berpendapat bahwa gejala separatisme adalah dampak
timbulnya marginalisasi suku-suku di luar Jawa pada masa Orde Baru
dengan sentralisasi yang sangat kuat, maka suku-suku tersebut
membutuhkan ruang gerak politik untuk beremansipasi sehingga dapat
segera mengejar ketinggalannya. Pelajaran sejarah dapat ditarik dari
perkembangan historis dalam uraian tersebut di atas.
English Nederlands
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri yang
dipimpin Presiden Soekarno, dalam bukunya yang berjudul Memoar
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno, terbitan Hasta Mitra
tahun 1995, menggambarkan situasi tanggal 1 Oktober 1965 dan
hari-hari sesudahnya. Oei Tjoe Tat menuturkan, ...dengan cepat
iklim dan suasana politik di ibu kota bergeser 180 derajat. Menurut
pengamatan saya, sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de facto
sudah terlepas dari tangan Presiden selaku penguasa Republik
Indonesia. Memang padanya masih ada corong mikrofon, tetapi
inisiatif dan kontrol atas jalannya situasi sudah hilang.
Pada saat itu, Jalan Medan Merdeka Barat ditutup dan dijaga oleh
pasukan Angkatan Darat dari Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya
dan Batalyon 454/Para/Diponegoro. Kendaraan-kendaraan yang
datang dari arah Hotel Indonesia diharuskan membelok ke kiri.
(sekarang).
Saelan kemudian ke luar dan memberi tahu Mangil. Dan, agar tidak
menarik perhatian, Presiden Soekarno menggunakan mobil VW
Pada pukul 04.30, ia didatangi oleh Hamid, juru kamera TVRI, yang
baru saja menyelesaikan syuting. Hamid bercerita bahwa ia
mendengar tembakan di beberapa tempat. Setengah jam kemudian,
datang tetangganya, Mashuri, yang juga mendengar suara
tembakan.
Itu sebabnya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 21.00, melalui RRI
Mayjen Soeharto mengumumkan bahwa ia telah mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat. Padahal, saat itu, ia sudah mengetahui
bahwa Presiden Soekarno telah mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat dan mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai
caretaker.
English Nederlands
***
Boleh dikatakan isi pidato itu merupakan intisari hasil jelajah pikiran
Soekarno selama 15 tahun belakangan terhadap tulisan para pemikir
besar dunia yang menentang segala bentuk penindasan atau
eksploitasi sesama manusia.
***
***
Tentu saja tulisan Rosihan Anwar itu menimbulkan pro dan kontra,
terutama mereka yang mencintai Soekarno dan menganggapnya
sebagai manusia pejuang tanpa cacat. Yang mengomentari adalah
Mahbub Djunaidi, Ayip Bakar, Anwar Luthan dan Mr Mohammad
Roem. Semuanya menulis di harian ini, Kompas.
***
Yang menarik adalah polemik itu tidak selesai sampai di situ, sebab
kemudian Rosihan Anwar menjawabnya kembali dan dijawab sekali
lagi oleh Mr Roem. Kemudian polemik itu ditutup oleh sebuah tulisan
sejarawan Taufik Abdullah berjudul Biografi dan Surat-surat Itu
dalam Majalah Tempo tanggal 28 Februari 1981. Taufik Abdullah
berusaha membedakan antara seseorang sebagai manusia biasa
dan sebagai aktor sejarah. Sebagai manusia biasa seseorang dalam
kediriannya tampil sebagaimana adanya, yang bisa mencintai,
membenci, takut, nekat dan apa saja. Sementara sebagai aktor
sejarah, seorang manusia dapat luluh dalam kaitannya dengan
masyarakat dan dinamika sejarah. Artinya, apa pun yang sudah
berlangsung dalam pengalaman pribadinya sebagai manusia biasa
dengan segala kekuatan dan kelemahannya, tidak akan mengurangi
kontribusinya sebagai manusia pembuat sejarah bangsanya.
masa itu sebagai berikut, "Aku akan dibuang ke salah satu pulau
yang paling jauh. Berapa lamakah? Hingga semangat dan jasadku
menjadi busuk. Aku akan menghadapi pembuangan itu". Namun, hal
ini diceritakan Soekarno pada tahun 1960-an, yaitu pada saat empat
buah surat soal 'minta ampun' belum dipublikasikan, sehingga
Soekarno tidak bisa menjawab tentang kebenarannya.
English Nederlands
Ini juga berlaku dalam hal dua orang yang pernah menjadi presiden
Indonesia. Presiden Soekarno dan Soeharto, sama sekali tidak ada
waktu menulis otobiografinya sendiri, karena itu suasana batinnya
tidak pernah diketahui umum secara "asli". Soekarno dengan seluruh
kemampuan intelektualnya untuk merenung, mencernakan, dan
menulis tidak pernah meluangkan waktu menulis tentang dirinya
sendiri selain beberapa keping cerita anekdotal yang tercecer sana-
sini. Soeharto tidak pernah terbukti menulis sesuatu yang berarti
untuk publik, selain pidato-pidato kepresidenan dengan intervensi
begitu banyak tangan dan otak.
Namun, kalau biografi "as told to" menjadi satu-satunya sumber yang
bisa dipakai, maka berikut ini adalah "ucapan asli" dengan mana
kedua presiden itu mengungkapkan dirinya--Soekarno kira-kira
beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1965 kepada penulis
Amerika, Cindy Adams, dalam buku Sukarno, An Autobiography as
Told to Cindy Adams, pada saat Soekarno berumur 65 tahun;
Soeharto kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun
1989 kepada dua penulis Indonesia, Dwipayana dan Ramadhan,
dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
Otobiografi Seperti Dipaparkan Kepada G. Dwipayana dan
Ramadhan K.H., pada saat Soeharto berumur kira-kira hampir sama,
67 tahun.
"Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku,
Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman
ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi
Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti "Tuan".
Bapak adalah keturunan Sultan Kediri... Apakah itu kebetulan atau
suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah,
akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian
bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah
ahli-warisnya.
tidak lain dari soal kekurangan rezeki, dan "kekurangan rezeki itulah
jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri
lain!".
English Nederlands
BULAN-
bulan terakhir
tahun 1948
adalah saat
terberat
dalam
perjuangan
kemerdekaan
Republik
Indonesia.
Bukan saja
karena
Republik
yang masih
usia balita itu
Dok Kompas harus
menghadapi
musuh di
depan Belanda-tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa
sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi
peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948.
Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua
pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik,
Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota
ditangkap. Sejak itu Belanda menganggap Republik sudah tamat
riwayatnya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat
sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda dan
Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta dengan sejumlah
menteri dapat ditawannya, nyatanya Republik tidak pernah bubar
seperti yang dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang tak terduga
oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan.
Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa
Nebula yang bersinar itu ialah harapan yang dipancarkan dari figur dan
pidato-pidatonya yang menggetarkan. Tetapi, harapan juga bisa
berbalik menjadi kekecewaan baru, ketika apa yang dijanjikannya tak
sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada saat-saat genting sewaktu
agresi Belanda kedua itu.
Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga
sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan
terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah,
"Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk
menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta,
tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya
sendiri akan memimpin perang gerilya." (Merdeka, 29 Mei 1948)
Apa pun namanya, hukuman yang diterima Bung Karno dan Sjahrir
amat mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan demikian juga
sejarah bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir hayatnya.
Sjahrir ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati
pembebasan karena dalam masa tahanan ia meninggal dunia di tempat
pengobatannya di Zurich. Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai
meninggalnya ia juga tak pernah mengalami pembebasan. Namun,
belum pernah terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno hidup begitu
dekat kecuali pada masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji Agus
Salim dalam satu kamar.
Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali waktu Bung Karno
menyanyi di kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi Sjahrir
dirasakannya membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa
Belanda): houd je mond (tutup mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel
juga sama Sjahrir. Ketika suatu kali Moh Roem menanyakan kepada
Soekarno mengapa ia benci pada Sjahrir, ia mengatakan,
"Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia
menghardik saya seperti itu?"
politik klasik kolonial tak berlaku lagi, yang selalu percaya bahwa jika
raja atau pemimpin ditawan atau dibujuk, semua akan beres, bisa
ditundukkan. Nyatanya tidak demikian, dan Belanda sempat dibuat
shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang
sia-sia.
English Nederlands
SEINGATKU
kurang lebih pukul
20.30 waktu itu
(karena keluarga
kami baru saja
selesai makan
malam yang
selalu di sekitar
pukul 20.00), hari
ketiga Bung
Karno dinyatakan
wafat. Kuangkat
telepon yang
berdering, suara
seorang teman:
"Niek, cepet
ndeloko bulan,
ono gambare
Bung Karno ning
kono! (Niek, cepat
lihatlah bulan, ada
gambarnya Bung
Karno di sana)".
Ayah yang
sedang lewat di depanku menggeleng-gelengkan kepalanya ketika
kuceritakan kata-kata teman itu, lalu masuk ke kamarnya. Ayahku
memang seorang PSI (Partai Sosialis Indonesia), walaupun tidak
pernah aktif berpartai. Penasaran aku keluar mencari bulan, namun
sampai bosan menunggu, kebetulan waktu itu bulan tetap saja
tertutup awan mendung.Esok harinya di sekolah heboh! Saling
bertanya dan mencoba meyakinkan satu sama lain tentang
munculnya gambar Bung Karno di bulan. Tidak semua mengaku
melihatnya memang, tapi hampir seluruh masyarakat Kediri yang
"Bung Karno tidak mati, tapi moksa suatu waktu nanti akan muncul
lagi." Begitulah kepercayaan yang mereka yakini waktu itu, bahkan
mungkin sampai sekarang. Oleh karena itu, tak lama setelah
Soekarno secara resmi dinyatakan wafat, berpuluh truk yang
semuanya penuh berjejalan manusia setiap harinya menuju Desa
Mantingan, Ngawi, untuk bicara atau mendengar pesan-pesan
Soekarno melalui bantuan Mbah Suro-dukun yang menabalkan
dirinya sebagai mediator bagi orang yang ingin bicara dengan
Soekarno-lewat di depan rumah saya, yang memang letaknya di
salah satu jalan yang biasa dilewati kendaraan yang akan keluar
Kota Kediri.
Pada tahun 60-an, yang masih bisa saya kenang, setiap kali
Soekarno berpidato hampir semua jalan jadi sepi. Bahkan, tukang
becak di perempatan jalan tempat kami tinggal waktu itu, di Kediri,
Jatim, tidak mau narik, memilih bergerombol di rumah orang yang
memiliki radio-kala itu radio masih "barang mewah", tidak setiap
orang memilikinya, boro-boro televisi di Kediri belum ada yang punya-
untuk ikut mendengarkan pidato Bung Karno. Mereka, atas kemauan
sendiri, tanpa dipaksa, rela tidak dapat uang karena emoh narik,
untuk mendengarkan pidato Soekarno.
"tapi orang-orang besar ini satu persatu tidak luput dari salah. Oleh
karena sekedar manusia biasa. Saya ulangi, siapa berani berkata
bahwa Bismark tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa
Meurabeu tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa
Gladstone tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa
Garibaldi tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Mao
Tse Tung tidak pernah bersalah."
Kemarin, seorang teman SMA saya yang ketika itu adalah seorang
ketua GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) mengatakan
bahwa sebagian besar para Soekarnois ini percaya bahwa suatu hari
kelak Soekarno yang moksa itu akan muncul kembali secara "riil",
dan disebutkanlah dua daerah yang salah satunya akan jadi tempat
kemunculan Soekarno. Menurut dia, hampir semua para Soekarnois
ini penuh keyakinan bahwa hal tersebut akan terjadi. Merujuk pada
lima tingkatan belief dari Gillian Bennet dalam bukunya The Tradition
"Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di
masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." (Pidato 17
Agustus 1949)
English Nederlands
***
Akan tetapi soal eklektikisme ini bukan hanya milik Soekarno, tetapi
milik hampir semua perintis nasionalisme sebelum perang. Dari
sekian orang Indonesia yang mengaku dirinya Marxis, relatif sedikit
saja yang benar-benar mempelajari dan mengadopsi dasar filosofis
teori Marxis. Hanya sedikit di antara mereka yang sungguh-sungguh
pernah berlindung langsung dari tulisan Karl Marx. (Mintz, 7)
***
Akan tetapi pada bulan Mei 1920, sayap kiri SI membentuk partainya
sendiri, yaitu Partai Komunis Indonesia. Anggota-anggotanya
dibiarkan memiliki keanggotaan ganda di PKI dan di SI, dengan
tujuan mengontrol SI dari dalam. Sebelum berdirinya PKI, para
pemimpin komunis membentuk serikat-serikat kerja di cabang-
cabang SI. Sehingga PKI mampu membangun pengikut-pengikut
yang substansial, terutama lewat serikat-serikat kerja. PKI
mengorganisasi kaum buruh untuk melakukan pemogokan, dan
menggiring mereka menuju konfrontasi dengan Pemerintah Hindia
Belanda. Sementara itu, SI sendiri semakin menekankan watak
Islamnya.
Bandung segera menjadi daya tarik baru bagi Soekarno yang selalu
gelisah itu.
Ia menamatkan Technische Hoge School (THS) dan dilantik menjadi
insinyur pada 25 Mei 1926. Di sini ia bertemu dengan tokoh Islam
modernis dari Persatuan Islam, A Hassan.
Di sini pula, konon, ia bertemu dengan petani kecil bernama
Marhaen yang kelak dijadikan ikon 'ajaran-ajaran' populis-nya. Ia
terjun ke dunia politik secara total, pertama dengan ikut mendirikan
Algemene Studie Club Bandung, tahun 1926, dan setahun kemudian
mendirikan Partai Nasional Indonesia.
"Kami yang ada di sini (di Belanda) ... sedang berusaha membentuk
suatu blok nasionalis yang berintikan kaum nasionalis radikal yang
kuat, termasuk orang komunis. Kerja sama dengan orang komunis
tidak ada bahayanya; malahan sebaliknya, asal kita tidak
melengahkan dasar-dasar ideologi kita sendiri, akan bertambah kuat
membentuk blok nasionalis". (Ingleson, 17)
Bagi Hatta, kerja sama itu mudah karena kaum komunis mempunyai
tujuan yang sama, yakni Kemerdekaan Indonesia. "Saya melihat,
bahwa orang komunis Indonesia sebenarnya orang nasionalis yang
tersembunyi", tulis Hatta. Sejauh mereka mengikuti pola perjuangan
kelas seperti teman-temannya di Eropa, maka, kata Hatta, mereka
sama dengan kita. "Apakah mereka kelak akan tetap menjadi
komunis setelah kemerdekaan nanti, marilah kita tunggu". (Ibid, 18)
***
Akan tetapi, kini kita menyaksikan sebuah bangsa yang letih. Orang
ragu pada penyelesaian krisis, karena sejarah pertarungan politik
saat ini ternyata masih berputar pada sumbu yang sama.
English Nederlands
***
Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis
muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan, bahkan
Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap
Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan
daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya
Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk
memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-
larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan
Islam mengenai dasar negara.
***
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya
militer tergiur untuk mempunyai peranan yang langsung di dalam
sistem politik. "Demokrasi Terpimpin"-nya Soekarno memberikan
peluang. Di antara golongan "fungsional" atau "karya" yang boleh
duduk dalam parlemen adalah tentara.
tentara.
Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir
"bayi" yang kemudian menjadi entitas politik bernama Golkar.
Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik
berdasarkan "fungsi" dalam masyarakat, ideolog militer macam
Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep "karyawan" di
bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis
pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya,
Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara
untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang
berseberangan dengan kekuatan komunis.
***
ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula
perdebatan di antara para pendukungnya sendiri (ketika itu,
termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan partai
politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun
menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik
dibersihkan dari partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang
katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena
pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-
termasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan
tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal.
***
English Nederlands
PADA
tanggal 2
Januari
1950, HM
Hirschfeld,
Komisaris
Tinggi
(kepala
perwakilan)
Belanda
pertama di
Indonesia
Dok Kompas merdeka,
telah
diterima
dengan
penghormatan penuh oleh Presiden Soekarno, karena di antara para
kepala perwakilan negara asing yang diakreditasi di Indonesia,
Hirschfeld diberikan kehormatan untuk menyerahkan surat
kepercayaan pertama kepada Presiden Soekarno. Tempat terkemuka
yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada Belanda juga tercermin
pada nomor pelat yang diberikan kepada kendaraan mobil yang
ditumpanginya, yaitu CD-1. (Meier 1994: 13) Akan tetapi, hanya
sepuluh tahun sesudah peristiwa tersebut, tanggal 17 Agustus 1960,
J van Vixseboxse, kuasa usaha baru Belanda yang baru saja tiba di
Indonesia tanggal 5 Agustus 1960, diminta untuk datang pagi hari ke
Departemen Luar Negeri. Di sana Vixseboxse diberitahu oleh
Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri bahwa ia tidak perlu
menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden Soekarno.
Sebab, Presiden Soekarno dalam pidato tahunannya yang akan
diucapkan siang itu di Istana Merdeka akan mengumumkan
pemutusan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda karena
Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin
dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa
pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari
hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia,
pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman
modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-
lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda. Untuk
tahun-tahun berikutnya sampai tahun 1957 sewaktu semua
perusahaan Belanda diambil alih, angka persentase ini adalah: 8,2
persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen
(1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957).
(Meier 1994: 649).
1969: 163)
Penutup
Acuan
Anspach, Ralph, 1969, Indonesia, dalam: Golay, et. al., 1969, hlm
111-202.
English Nederlands
Tjipto-Soetatmo-Soekarno
Takashi Shiraishi
***
Dengan kata lain, "apa yang dikatakan Bapak itu baik, karena Bapak
itu benar! Itulah keluarga ideal, begitu juga negara." Adalah Bapak/
yang bijaksana/pandita-ratoe yang mesti mengarahkan demokrasi
dan perkembangan kebudayaan Jawa.
***
Tanpa terasa saya sampai ke hal kedua yang ingin saya bicarakan
denganmu - sehingga kamu tidak salah menilai saya, misalnya
mengaitkan dengan sifat baik yang justru tidak ada pada saya.
Akan tetapi, izinkan saya kembali menjelaskan obat kami. Saya bisa
bilang bahwa itu tak lain adalah "pengorganisasian rasa tidak puas",
sama seperti yang akan dikatakan De Locomotief. Oposisi harus
dilakukan terhadap pemegang kuasa, dengan wajar dan jika
mungkin dengan pengetahuan (nyata) tentang hal-hal tersebut.
Tetapi, jika terbukti tidak bisa, oposisi demi oposisi semata. Tolong
jangan anggap ini sebagai ekspresi antipati saya terhadap dominasi
Belanda, sebab saya pun akan tetap beroposisi jika orang Jawa
yang berkuasa. Kamu tahu lebih banyak dari pada saya bahwa di
dalam BB (Binnenlandsch Bestuur), misalnya, ada pejabat-pejabat
yang luar biasa takutnya terhadap kritik yang tajam. Jujur saja, inilah
alasan mengapa saya justru melakukannya (yaitu mengekspresikan
kritik yang tajam) pada tempat pertama, kedua, dan ketiga.
Betapapun, kekhawatiran adalah cara yang baik untuk mencegah
terjadinya penyimpangan kekuasaan."
***
English Nederlands
Salah satu budaya politik amat penting yang dibawa oleh tentara
dalam sistem politik di Indonesia adalah sebuah budaya elite yang
menggantikan budaya pelopor. Dengan menjadikan massa rakyat
sekadar sebagai penonton yang boleh berpolitik sekali dalam lima
tahun dalam "pesta demokrasi", maka selain ritualisme politik, hal
lain adalah pergeseran pengertian politik yang setali tiga uang
dengan barang najis. Elitisme politik berakibat pada penajisan politik.
Masyarakat madani
Hak milik pribadi hanya akan bisa dihapuskan dengan hak milik
bersama. Dan hak milik bersama dijalankan oleh negara.
Dalam teori negara sebagai "alat" penindas seperti itu, memang kita
bisa meletakkannya dalam uraian yang nonsinkretik, karena dari
awal memang dimulai dari silogisme, atau hukum sebab-akibat,
propter/ergo.
Asal saja kita tahu bahwa sejarah Rusia adalah sejarah negara
predator terhadap masyarakat, sebetulnya juga tidak menjadi terlalu
sulit untuk akhirnya kita saksikan pergantian teori negara
instrumentalis ini digantikan dengan konsep negara yang nonkausal,
yang lazim disebut sebagai hubungan negara/masyarakat yang over-
determinatif, artinya hubungan yang melingkar dan seakan-akan tak
langsung antara masyarakat dan negara, sehingga sifat gerakan
politik juga harus menjadi lain sama sekali.
Akan terlalu frontal jika terhadap masyarakat yang baru terbebas dari
sistem komunis, lalu diperkenalkan sebuah sistem yang diberi nama
"kapitalis". Sehingga, meskipun isi ideologi dari masyarakat sipil tak
lain adalah kapitalisme yang cocok untuk Eropa Timur, tidaklah
terlalu mengherankan jika istilah tersebut diambil alih oleh wacana
politik di Indonesia berdasar atas paralelisme pengalaman
psikohistoris antara Indonesia dan Eropa Timur, dengan prakarsa
penuh dari para teknokrat politik Amerika Serikat.
Oleh karena itu, sepantasnya pula jika tulisan ini ditutup dengan
baris-baris terakhir naskah pemimpin bangsa dan negara itu dari
tahun 1926 tersebut tentang persatuan dan kemerdekaan:
"Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah
rahasianya persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-
masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit saja.
Dan jikalau kita semua insyaf bahwa kekuatan hidup itu letakan tidak
dalam menerima, tetapi dalam memberi, jikalau kita semua insyaf
bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita,
jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi
asal kita punya "via dolorosa"; jikalau kita insyaf bahwa roh rakyat
kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang
satu yang berada di tengah-tengah kegelap-gumpita yang menglilingi
kita ini maka pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu
tercapai juga.
Dan, kita menelan kepahitan itu: ternyata sinar itu semakin menjauh,
hari-hari ini.
Rujukan:
(1) Cara baca cartesian yang menjadi dasar segala rupa positivisme
mengandaikan res cogitans itu ibarat cermin. Semakin bersih dan
berkilau cermin itu, akan semakin "obyektif" bacaan kita. Disebut
bacaan "bebas nilai". Cara baca yang lain adalah bacaan
strukturalis, atau malah pasca strukturalis, lihat Althuser, Louis et al,
Lire Le Capital, Petite Collection Maspero,1968, Paris, dan juga
Baudirallard, Jean, Le System des objets, Denoel-Gonthier, Paris,
1968.
(3) Teori withering away the state adalah doktrin resmi marxisme
ortodoks, yang kemudian banyak menemukan rumusan baru dalam
tahun 70-an, di Eropa. Naskah klasik untuk negara instrumental itu,
lihat Lenin, N, The State and Revolution, 1917, Petrograd.
(4) Salah satu buku untuk masyarakat sipil, lihat Hefner, RW,
Democratic Civility, New Jersey, 1998. Dan kaitan dengan krisis
komunisme yang melanda Eropa Timur lihat Drach. Marcel Le Crise
dans les pays de L'est, Editions de la Decouverte,1984, Paris.
(5) Optimisme palsu dan hiperbolik tentang Indonesia dan Asia bisa
dilihat dalam buku Naisbitt, John, Megatrends Asia, Simons and
Schuster, New York, 1996, setahun sebelum krisis menyapu negara
kita.