Anda di halaman 1dari 8

Ombak Rasa

Oleh: Nadia Amalia

Ada beberapa tipe bagaimana orang-orang menghabiskan waktu di tengah


keluarganya. Pertama, seseorang bisa mempunyai keluarga yang begitu harmonis dan semua
bentuk cinta menjijikkan yang biasa kamu temui di setiap dongeng anak pengantar tidur. Itu
adalah keluarga yang beruntung serta sulit menemukan keluarga seperti itu akhir-akhir ini.
Setidaknya menurut pengamatanku. Banyak juga orang-orang yang tidak bahagia dengan
kehidupan keluarga mereka dan itulah tipe keluarga kedua: di mana di luar mereka tampak
baik-baik saja tapi kering di dalam. Ya, mereka tampak harmonis di luar, tetapi batin mereka
tak terhubung, biasanya ini terjadi pada keluarga kaya yang terlalu dingin bahkan untuk
berkata “Aku sayang kamu” pada anggota keluarganya. Namun, yang terburuk, adalah jika
kamu berada di keluarga tipe ke tiga: mereka tampak buruk di luar dan tak lebih baik di
dalamnya. Aku berada di keluarga ini.

Ayahku adalah seorang nelayan. Aku tinggal di dekat pantai sejauh yang kuingat.
Kadang aku merasa kesepian dan merasa teman-temanku hanyalah ikan-ikan di laut atau
suara ombak lautan. Ayahku bukan seperti yang kamu bayangkan seseorang yang pulang ke
rumah dengan wajah ceria dan tangan terbuka lebar siap memeluk anak-anaknya. Tidak sama
sekali. Dia pemabuk yang hanya pulang jika punya kesadaran bahwa dia masih punya
anggota keluarga—yang mana jarang sekali terbersit di pikirannya—dan jarang memberi
nafkah pada kami. Ketika pulang, dia sering beraroma alkohol dan memukulku dengan keras
sampai aku mengira bakal mati di tangan ayahku sendiri.

Ketika dia cukup sadar, ayahku kadang membawa ikan-ikan dan dia membiarkanku
dan kakakku menggoreng hasil tangkapannya sebelum dia membawa sebagian besar ikan-
ikan itu untuk dijual. Tak banyak yang dilakukan ayahku jika dia cukup sadar: dia hanya
duduk di depan rumah, merokok dan membiarkan apapun yang kami lakukan. Dia bisa
dikatakan mengabaikan kami. Sejak ibuku meninggal saat aku kecil, tak banyak yang bisa
kami harapkan dari sebuah keluarga. Aku sudah sangat lega kakakku tak tumbuh seperti
ayahku. Ayahku keras dan kaku sedangkan kakakku, yah, dia tak senantiasa
memperhatikanku tetapi kami berhubungan dengan baik.

Tentang sekolahku, aku cukup cerdas untuk anak yang hanya tahu laut dan pantai.
Sungguh mengejutkanku ketika aku nyaris selalu mendapat nilai bagus di sekolah. Sekolahku
tak sebagus sekolah yang mungkin kamu kira. Itu sekolah yang payah sebenarnya, maksudku
kamu tak akan lulus dari sana dengan mengatakan “Aku bangga dengan sekolahku” dan
sebagainya, tetapi aku akui aku bertemu guru-guru yang cukup baik di sana. Aku duduk di
kelas tiga SMP dan aku cukup baik-baik saja.

Malam itu aku tak bisa tidur entah karena udara begitu dingin atau aku terlalu lelah.
Aku menghabiskan waktuku membantu Kak Noah menangkap ikan sepulang sekolah sampai
larut malam. Aku menyadari bahwa aku benar-benar sakit ketika tengah malam tiba. Jadi, aku
bangkit dari kasur lapukku dan berjalan menuju kasur kakakku yang hanya berjarak dua
meter dari kasurku. Awalnya aku hanya berbisik padanya—aku sedang ingin punya teman
bicara saat aku tak enak badan—tetapi ketika Kak Noah tak kunjung bangun, aku
menggoyangkan bahunya sampai dia terkaget-kaget layaknya aku membangunkannya karena
ada tsunami.

“Ada apa Rio?” dia berkata diantara suara mengantuknya.

“Aku nggak bisa tidur, kurasa aku sakit.”

Dia tak berkata apapun. Aku rasa dia masih setengah tidak sadar setelah aku
membangunkannya tengah malam. Aku mengulangi perkataanku lagi, “Aku sakit. Badanku
meriang.”

Kak Noah bangkit duduk dan dia tampak tak mengantuk lagi. “Kenapa tak bilang dari
tadi? Apa kamu benar-benar sakit?”

Aku berkata kepalaku seperti dihantam palu.

“Oke,” Kak Noah berkata. “Aku tetap bangun sampai kamu baikkan.”

Aku lega mendengarnya, ketika aku sakit, aku biasa merasa kesepian. Aku tak tahu
mengapa. Namun, itu adalah kenyataannya.

Jadi, Kak Noah membacakan sebuah novel yang ia pinjam dari perpustakaan
sekolahnya. Aku gemetar seluruh badan dan merasakan tubuhku mulai menghangat. Aku
pernah demam sebelumnya—biasanya terjadi ketika aku kelelahan—dan kurasa ini seperti
demam-demam sebelumnya yang akan hilang dalam satu malam. Aku nyaris tertidur ketika
Kak Noah mulai sampai di bagian cerita yang kusenangi dan dia mulai bertanya padaku
setelah dia berhenti bercerita. “Kamu tahu ibu selalu membacakan cerita ketika aku sakit?”

Aku menggeleng dan berkata ingin tahu lebih banyak tentang ibu.
Kakakku tertawa. Dia menaruh novel yang baru dibacanya di samping bantalku dan
berkata. “Kamu tahu kamu masih empat tahun ketika ibu meninggal dan aku lah yang lebih
bisa mengingat ibu dibanding dirimu?”

Aku mengangguk.

Kakakku melanjutkan. “Ibu kita unik. Suatu kali aku pulang membawa anak ikan
yang begitu kecil. Aku mendapatkannya dari memancing di laut dengan teman-temanku yang
lain. Aku masih tujuh tahun kala itu. Jadi ibu yang saat itu menggendongmu berkata
‘Bagaimana mungkin kamu menangkap bayi ikan? Kembalikan dia ke laut!’ aku tak tahu
menangkap bayi ikan tak baik kala itu, setidaknya menurut ibu. Jadi aku menolak
melakukannya. Ibu dengan keteguhan niatnya mengembalikan bayi ikan itu tanpa
sepengetahuanku setelah aku menaruhnya di dalam air tawar. Ketika aku tahu, aku menangis.
Bagaimana mungkin ibu mengambil sesuatu yang merupakan milikku. Namun dia berkata,
‘Kamu bakal membunuh ikannya dengan air tawar itu. Lebih baik ikan itu tinggal di habitat
aslinya.’ Aku tak bicara dengan ibu hampir tiga hari setelahnya. Namun, setelah beberapa
lama, aku menyadari bahwa ibu benar.”

Saat Kak Noah menyelesaikan ceritanya, pikiranku melalang buana pada kenyataan
bagaimana mungkin perempuan seperti ibu menikah dengan orang seperti ayah. Tuhan pasti
sedang membuat lelucon. Dalam setiap hal mereka berbeda—setidaknya berdasarkan cerita
Kak Noah tentang ibu. Kak Noah berjarak umur empat tahun denganku dan dia mengingat
ibu cukup baik. Aku rasa tak ada anak yang mengingat ibunya yang telah meninggal sebaik
Kak Noah.

Aku masih gemetar di balik selimutku ketika Kak Noah memutuskan agar aku tidur
saja. Dia memberiku kompres di dahi sehingga aku bisa merasa lebih baik dan dia benar-
benar begadang untuk menemaniku karena ketika matahari naik aku masih melihatnya tetap
berada dimana dia duduk malamnya walau tetap saja dia tak bisa menyembunyikan sedikit
kelelahan di wajahnya. Aku menghargai apa yang dia lakukan. Dia kakakku dan sebagainya,
tetapi aku lebih menghargainya jika dia menunjukkan sedikit kelemahan karena itulah yang
membuatnya tampak lebih manusiawi. Dia selalu sempurna dalam segala hal. Aku rasa
kadang kenyataan itu membuatku iri. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya padamu. Aku
tak membencinya. Sungguh. Namun, mungkin jika kamu dalam posisiku, kamu akan
mengerti.
Aku menghabiskan waktu tiga hari di rumah karena tanpa kuduga aku punya demam
yang cukup serius. Ini bukan demam yang hilang dalam semalam. Namun, di hari ke empat
aku merasa jauh lebih baik.

Cara Kak Noah menceritakan sesuatu tentang ibu membuatku berpikir. Aku masih
kecil saat ibu meninggal, tetapi entah bagaimana aku punya ingatan kuat tentangnya dalam
beberapa hal. Rasanya seperti melihat film yang bisa kuputar ulang di benakku. Ingatan
pertamaku tentang ibu adalah dia memberiku ciuman kecil di puncak kepalaku sebelum
terkikik dan menggelitik kakiku. Aku tak tahu kapan dan dimana kejadian itu terjadi, tetapi
aku punya perasaan kami sedang di pantai saat itu. Ada beberapa ingatan lain yang biasanya
keluar ketika aku termenung dan semuanya cukup menyenangkan untuk diingat. Seperti yang
kukatakan sebelumnya, aku masih tak dapat mengerti mengapa ibu memilih ayah menjadi
suaminya. Aku masih belum dapat jawabannya hingga sekarang.

Ayah memukulku untuk kesekian kalinya tak lama ketika dia menemukanku tak
melakukan apa-apa malam itu bahkan tak melakukan suatu hal apapun yang membuatnya
marah. Itu membunuhku. Aku benar-benar membencinya jika aku bisa mengatakan
sejujurnya. Dia memukulku dengan tangan kosongnya dan aku merasa muak dengan bau
rokok serta alkohol yang melekat pada tubuhnya. Maksudku, aku tak melakukan kesalahan
apapun, tetapi dia pulang dan mulai memukulku dengan memanggilku anak sialan. Kakakku
tak melihat semua itu. Dia pergi selama tiga hari untuk studi banding. Aku harap dia di sini
bersamaku. Ada ketegangan antara kakakku dan ayah. Bahkan jika kakakku berada di rumah,
ayah masih akan memukulnya membabi buta persis seperti yang dia lakukan padaku, tetapi
kakak berbeda. Dia akan melawan ayah sampai mereka berdua babak belur atau mematahkan
beberapa tulang. Itulah perbedaan besar antara aku dan kakakku: aku terlalu takut untuk
melawan, tetapi kakakku memilih untuk melawan. Kurasa itulah yang bakal membedakan
nasib kami.

Aku masih marah dengan ayahku esoknya bahkan jika aku tahu ayah sudah sadar dari
mabuknya. Aku tak bisa menjelaskan padamu seberapa besar aku membencinya karena
perasaan itu telah lama ada sejauh yang kuingat. Aku bahkan tak bisa memaksa diriku untuk
mengingat kapan ayah menunjukkan sedikit rasa peduli padaku. Mungkin dia pernah
melakukannya, tetapi aku tak mengingatnya atau aku terlalu muda untuk ingat. Aku berusaha
keras membayangkan ayah mungkin menggendongku di pundaknya dan menunjuk bintang-
bintang di langit serta berkata “Lihat Rio! Itu Sagitarius!”, tetapi tak ada jalan untuk bisa
membayangkan hal semacam itu. Ayah sudah memukulku sejak aku berumur sekitar empat
atau lima tahun jika itu sudah cukup menjelaskan. Aku membencinya dan aku rasa perasaan
itu akan tetap bertahan sampai akhir hayatku.

“Ayah yang melakukan itu padamu?” ujar Kak Noah sore itu ketika studi banding-nya
telah selesai. Aku tak berkata apapun, tetapi Kak Noah cukup tahu apa yang sebenarnya
terjadi.

“Kalau kamu melawan, nggak akan separah itu,” Kak Noah berkata lagi.

Aku hanya diam seribu bahasa. Aku punya perasaan tak mau lagi membahasnya.
Dipukul hingga setengah mati cukup bagiku. Tak perlu ada perdebatan yang membuatku
mengingat semua kejadian yang terjadi sebelumnya. Aku pintar dalam hal melupakan apa
yang kurasa tak ada baiknya untuk diingat. Aku benar-benar jago tentang itu. Namun,
berbeda dengan Kak Noah. Dia selalu mengingat apa yang terjadi padanya. Baik atau buruk.

Kak Noah tak langsung menanggapi perkataanku. Dia punya alasan untuk itu. Aku
terlalu muda untuk melawan siapapun dan kurasa terbersit dipikirannya bahwa aku tak cukup
kuat untuk melawan seseorang yang lebih besar dariku bukan hanya karena umurku tetapi
karena itulah diriku.

Kami berdua tak mengatakan apapun sebelum mulai membicarakan sesuatu yang lain
seperti teman-teman kami dan hal lainnya. Namun, rasanya tak sama seperti hari-hari ketika
tak ada masalah antara aku dan ayah atau Kak Noah dengan ayah. Kami hanya berusaha
mengalihkan pikiran kami dari sesuatu yang kami tak mau membahasnya.

Aku semakin berpikir tentang melawan ayah yang dikatakan Kak Noah sebelumnya.
Kenapa aku tak mau melawan? Aku tahu itu karena sifatku dan sebagainya, tetapi bagaimana
jika aku memutuskan untuk melawan? Apa aku punya cukup alasan untuk melakukannya?
Dia ayahku, aku tak bisa berdiri di sana dan melawannya selama yang kumau. Pikiran tentang
Kak Noah—setiap kali dia melawan ayah—mulai menggangguku. Aku tak pernah seperti itu
sebelumnya. Namun, itu semakin menggangguku dan tak mau enyah dari pikiranku. Apakah
semua pukulan yang kakakku lakukan pada ayah ketika ayah mabuk sungguh-sungguh?
Maksudku, tak ada sedikit pun rasa bersalah atau penyesalan setelahnya? Untuk satu hal,
kakakku mulai membuatku takut.

Selanjutnya yang kutahu ayahku memberiku dua puluh ribu untuk masalah yang dia
buat. Dia tak benar-benar minta maaf tentu saja—bagaimana mungkin dia melakukan hal
seperti itu? Namun, seperti yang terjadi setelahnya: dia selalu memberiku beberapa ribu
rupiah sebelum melakukannya lagi. Aku tahu dia akan memukulku lagi dan memberiku uang
sialan yang tak ada gunanya setidaknya karena itu tak cukup berarti. Aku hanya merasa itu
menjadi rutin dan persetan dengan itu.

Seringnya aku membaca buku: caraku mengatasi hal-hal buruk yang terjadi di rumah.
Aku cukup cupu untuk anak seusiaku. Aku banyak membaca, itu sebabnya. Tentu aku
bermain dengan teman-temanku terkadang, tetapi sebagian besar aku membaca. Banyak hal
yang kamu sadari jika kamu membiasakan diri untuk membaca. Aku menyadarinya beberapa
hari ini. Bahkan jika aku mulai gemar membaca ketika aku kecil, aku lebih memikirkannya
akhir-akhir ini. Tak ada pengaruh yang terlibat dalam hal ini: aku kesepian ketika aku kecil
dan sebagian besar waktu kuhabiskan dengan banyak membaca buku. Mungkin itulah
mengapa aku cukup pintar. Banyak anak menumbuhkan saraf mereka karena kebiasaan
mereka membaca. Jadi itulah caraku menghadapi hidupku yang payah. Aku dipukul beberapa
kali, berusaha kuat dan sebagian besar kulampiaskan lewat membaca buku.

Aku tak mengatakan pada teman-temanku siapa yang memukulku—wajahku penuh


lebam dan sulit untuk mengabaikan bagi siapa pun yang melihatnya. Setidaknya, mereka
tahu, maksudku beberapa dari mereka yang kukenal dekat, mereka tahu ayah yang
melakukannya padaku. Kami hidup di tengah tengah keluarga yang tak jauh beda—ketika
seseorang tampak lebam di wajah, tangannya atau anggota tubuh lain, hanya dua penjelasan:
berkelahi atau dipukul orang tuanya. Aku cukup cerdas untuk anak pesisir. Aku bisa
membaca apa yang sedang terjadi di sekitarku. Tak banyak yang bahagia hidup di rumah
mereka. Maksudku, teman-temanku. Ada masalah di sini. Aku harap bisa mengatakannya
pada orang-orang di luar sana bahwa kami para remaja yang tak puas dengan kehidupan
keluarga kami. Jika kamu cukup beruntung, maksudku jika orang tuamu memperlakukanmu
dengan baik, kemungkinan besar kamu tak tahu apa yang kami rasakan. Namun, jika kamu
melalui apa yang kami alami, maka kita setara.

Aku masih tak tahu bagaimana memperlakukan ayahku dengan baik. Maksudku, aku
tak pernah mendengarkan ceritanya dan aku yakin dia punya cerita hidup di balik wajah kaku
dan kerasnya. Orang tua hanya sekedar orang lain jika kamu tak sungguh-sungguh tahu
semua tentang mereka dan ketika kamu menemukan kisah sebenarnya yang terjadi dalam
hidup mereka kamu akan memandang segala sesuatu dengan berbeda. Aku harap aku tahu
apa cerita ayahku. Dia orang yang rumit jika kamu cukup mengenalnya. Dia tak pernah
memperlakukanku dan kakakku seperti sampah—kecuali saat dia mabuk—tetapi nyaris tak
pernah memperlihatkan sedikit pun kepedulian pada kami. Kadang aku berpikir untuk masuk
ke dalam kepalanya atau berjalan dengan sepatunya hanya untuk memastikan dia tidak gila.
Maksudku, orang tua pasti menyayangi anaknya—bahkan yang terkejam sekali pun—dan
mereka pasti merasakan sesuatu tentang anaknya walau hanya sedikit. Aku ingin tahu tentang
ayahku sebesar keingintahuanku akan meninggalnya ibu.

Kakakku berkata ibu meninggal karena sakit paru-paru. Namun, aku ingin tahu
seluruh ceritanya seperti kapan, dimana dan setiap detail tentang kematiannya. Kakakku
berkata ibu tidak meninggal di rumah kami atau di rumah sakit. Dia berkata ibu
menghembuskan napas terakhirnya di rumah orang tuanya. Aku punya gambaran di kepalaku
bahwa ibuku dengan tubuh kurus berbaring di kamar sempit dengan kami semua
memandangnya yang perlahan sekarat. Aku berumur empat tahun kala itu jadi aku tak bisa
terlalu mengingatnya. Namun, Kak Noah telah berumur delapan tahun. Dia pasti cukup tua
untuk ingat setiap detail kematian ibu, tetapi dia menyaranku untuk bertanya langsung pada
ayah.

Aku berniat untuk menanyakannya suatu hari, maksudku tentang kematian ibu pada
ayah saat dia cukup sadar. Aku bertanya padanya suatu pagi sebelum kami memutuskan
untuk melakukan kegiatan masing-masing.

“Ibumu perempuan manja,” ujar ayahku dengan nada jengah. “Dia meninggalkan
keluarganya sebelum kematiannya. Itu yang harus kamu ketahui.”

Ini sedikit membuatku terkejut sehingga aku bertanya pada ayah apa ibu membawaku
saat pergi dari rumah.

“Tidak. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Berkata dia tak mau hidup susah. Dia
pergi, sakit dan meninggal.”

Itu cerita terakhir ayah pagi itu sebelum dia meninggalkanku dengan perasaan
mengganjal. Ibu meninggalkanku? Apakah itu benar-benar terjadi? Maksudku, bukan cerita
yang dibuat oleh ayah? Aku merasa disia-siakan. Apakah ibu bahkan pernah mencintaiku?

Hal itu menggangguku sekali, maksudku fakta bahwa ibu meninggalkanku,


meninggalkan keluarganya dan tak kembali sampai kematiannya. Aku tak tahu bagaimana
cara mengenyahkan perasaan ini sehingga aku tak memperhatikan pelajaran di sekolah
dengan baik. Setelah sekolah selesai, aku memutuskan untuk pergi ke pantai dan kemudian
berteriak sekeras yang kubisa. Entahlah, aku merasa jika aku melakukannya masalahku
selesai. Namun, itu tidak terjadi. Aku masih merasa terganggu dengan segala pikiran itu,
bahkan itu terasa semakin meluas seakan meracuni otakku.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas Istri
    Tugas Istri
    Dokumen1 halaman
    Tugas Istri
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cetak
    Cetak
    Dokumen1 halaman
    Cetak
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Souvenir
    Souvenir
    Dokumen1 halaman
    Souvenir
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • PULANG
    PULANG
    Dokumen2 halaman
    PULANG
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • PLOT
    PLOT
    Dokumen1 halaman
    PLOT
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Otentik Novel
    Otentik Novel
    Dokumen4 halaman
    Otentik Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • KWC 4
    KWC 4
    Dokumen2 halaman
    KWC 4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 3
    Novel 3
    Dokumen10 halaman
    Novel 3
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Stay With You
    Plot Stay With You
    Dokumen3 halaman
    Plot Stay With You
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 2
    Novel 2
    Dokumen1 halaman
    Novel 2
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • MARTAPURA
    MARTAPURA
    Dokumen2 halaman
    MARTAPURA
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Lolos D4
    Tips Lolos D4
    Dokumen2 halaman
    Tips Lolos D4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Dokumen5 halaman
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Essay
    Essay
    Dokumen5 halaman
    Essay
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • CSR
    CSR
    Dokumen3 halaman
    CSR
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Novel Islami
    Plot Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Plot Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Menulis Novel
    Tips Menulis Novel
    Dokumen3 halaman
    Tips Menulis Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel Islami
    Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Dokumen33 halaman
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Dokumen6 halaman
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat