Anda di halaman 1dari 15

1

Seperti biasa, aku nyaris tak pernah melewati pagi yang senyap. Pagi itu,
dari luar indekos, suara kicauan burung-burung pipit terdengar sahut-menyahut
seakan memanggilku. Samar-samar, kudengar deru mobil dari depan diikuti
dering jam beker dari kamar sebelah. Kudengar pula suara guyuran air orang
mandi disusul sayup-sayup suara orang menggoreng sesuatu di dapur. Semua
suara itu beriringan dan anehnya terdengar layaknya irama musik di telingaku.
Aku sedang sendirian di kamar indekos—berpikir tentang apa yang akan
kulakukan. Saat itu hari Sabtu dan aku tak punya jadwal penting sebenarnya.
Lantas, terpikir olehku untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku.
Hampir selalu menyenangkan membaca buku saat pagi ketika pikiranmu masih
segar. Sehingga, tanpa banyak pertimbangan lagi, kuputuskan untuk mengambil
sebuah novel berjudul The Catcher in The Rye dari rak dan membacanya.
Suara lantunan puji-pujian dari masjid tak jauh dari indekos tiba-tiba
memecahkan konsentrasiku. Memang biasanya takmir masjid itu dan beberapa
anak kecil mengalunkan puji-pujian pada Sabtu pagi. Puji-pujian itu tak akan
berakhir hingga kira-kira pukul sembilan pagi. Aku suka dengan suara puji-pujian,
tetapi terkadang suara itu membuyarkan fokusku apalagi saat aku membaca buku
di pagi hari. Aku tak keberatan mendengar suara puji-pujian. Sungguh. Namun,
terkadang aku menginginkan pagi yang sunyi.
Perutku mulai keroncongan entah dari mana. Sebenarnya, malam
sebelumnya, aku makan besar di sebuah rumah makan dengan beberapa pegawai
kantor yang seruangan denganku, tetapi aku termasuk orang yang mudah lapar
pagi harinya tak peduli seberapa banyak makanan yang kusantap malam
sebelumnya. Namun, aku sedang malas keluar membeli sarapan dan sedang tak
berselera. Aku mulai berpikir tentang malam sebelumnya. Acara makan-makan itu
ide senior di ruanganku bernama Dio. Dia senang mentraktir para juniornya
sebulan sekali untuk berbagi atau mungkin dia hanya senang kumpul-kumpul
dengan kami. Kami membahas banyak hal malam itu. Aku lebih banyak
menyimak walau terkadang menimpali sesekali. Aku senang memperhatikan
orang saat berbicara dan menyelami karakternya. Itu memberiku kesenangan. Aku
suka mengamati dan menilai berbagai hal. Ketika merujuk pada orang, itu lebih
menarik lagi. Terkadang aku suka mengamati dan menilai buku yang kubaca, film
yang kutonton dan tugas kantor yang kukerjakan, tetapi mengamati dan menilai
orang memberikan kesenangan tersendiri bagiku.
Acara makan-makannya terasa singkat bagiku—nyaris berlalu begitu saja
—walau sebenarnya aku menjadi tahu isu-isu para pegawai di kantor. Aku bukan
tipe orang yang gemar mengikuti kabar terbaru tentang apa yang terjadi pada para
pegawai di kantor sehingga momen berkumpul menjadi salah satu pilihanku untuk
tahu sedikit banyak tentang apa yang terjadi pada mereka. Aku tak terlalu yakin
dengan topik apa saja yang sebenarnya kami bahas malam itu—orang-orang
hanya berbicara acak tanpa ada ujung pangkal—tetapi kurasa topik utama yang
dibahas adalah tentang pernikahan salah satu seniorku di kantor bernama Ira.
Kami membicarakan tentang undangan pernikahannya yang disebar sehari
sebelum jadwal pernikahan. Hal itu mengagetkan semua orang. Mbak Ira,
menurut penilaianku, adalah senior perempuan yang tertutup. Dia jarang berbicara
jika bukan tentang hal yang penting. Namun, tetap saja acara pernikahannya yang
mendadak membuat kaget seisi kantor. Itulah yang terjadi jika seseorang terlalu
tertutup. Tak ada yang tahu tentang hidupmu dan ketika sesuatu yang tiba-tiba
terjadi padamu hal itu menggemparkan setiap orang.
Hujan mulai turun ketika aku selesai membaca The Catcher in The Rye.
Aku suka hujan ngomong-ngomong. Hujan membuat perasaanku nyaman.
Kadang kala banjir melanda kota, tetapi tak masalah bagiku selama hujan masih
turun. Saat aku mulai membaca buku kedua—buku berjudul David Copperfield
karangan Charles Dickens—hujan turun semakin lebat. Sekali waktu aku
membaca berita tentang orang-orang Afrika yang putus asa karena kekurangan air
yang mana membuatku bersyukur bahwa aku tinggal di wilayah tropis. Hal kecil
tentang turunnya hujan bisa membuatmu merasa beruntung jika kamu benar-benar
memikirkannya.
Tak lama kemudian, setelah membaca beberapa lembar, hujan berhenti.
Agak ganjil memang hujan di kota ini dimana turunnya hanya beberapa menit
setiap dua sampai lima jam sekali. Hal itu sangat mengganggu ketika aku harus
pergi keluar. Aku suka hujan turun hanya ketika berada di dalam sebuah ruangan
yang hangat, bukan pada saat di luar. Maksudku, suasana akan nyaman ketika
hujan turun hanya saat tubuh dalam keadaan kering.
Aku mendengar suara TV dari kamar sebelah yang cukup mengganggu
ketenanganku. Aku tak begitu mengenal dengan para penghuni indekos, tetapi
yang kutahu, penghuni kamar sebelah sering menyalakan TV dengan keras.
Cukup sepi memang sendirian di kamar, tetapi bukan berarti kamu bisa
mengganggu tetanggamu. Aku seharusnya bisa satu kontrakan dengan para rekan
seangkatanku yang lain jika saja ada kamar yang tersisa. Aku terlambat
mengontak para rekan seangkatanku saat pertama kali penempatan kerja sehingga
tak kebagian kamar. Mereka menyarankanku untuk bergabung dengan kontrakan
para senior, tetapi rasanya kurang nyaman satu kontrakan dengan orang-orang
yang beda angkatan. Awalnya aku kesepian, tetapi kemudian aku mulai terbiasa
bahkan merasakan keuntungannya. Jika saja aku satu kontrakan dengan mereka,
aku tak akan sebebas yang kurasakan. Singkatnya, aku tak harus mengikuti pola
hidup mereka. Dalam beberapa hal, setelah beberapa bulan, aku sadar mereka
suka menghabiskan waktu di kafe sambil merokok sementara aku lebih suka
menghabiskan waktuku dengan membaca buku. Aku tak berkata aku menentang
kebiasaan mereka, hanya saja pola pikirku berbeda dengan mereka. Kamu
mungkin menangkap maksudku.
Suara dering gawai mengagetkanku sedikit. Mamaku menghubungiku
lewat panggilan WhatsApp. Kugeser tombol jawab ke atas dan mengucapkan
salam, “Halo Ma, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Lho, nggak ada acara, Ardi?” ujar mamaku. Mama
nyaris selalu ingin tahu apa yang kulakukan. Hal itu wajar saja, tetapi terkadang
membuatku risih ketika orangtuamu selalu ingin tahu apa yang kamu lakukan.
“Nggak ada. Ardi baca buku, Ma,” jawabku. Sebelum Mama bertanya
lebih lanjut, aku merubah topik pembicaraan. “Mama ngapain aja di rumah?”
“Tadi ada pengajian sama teman-teman Mama,” jawab Mamaku. “Nggak
pengin keluar Ardi? Nggak sumpek di kamar terus?”
Mama selalu seperti itu. Khawatir aku jenuh. Aku tak keberatan
sebenarnya di kamar. Terkadang aku rindu keluargaku, tetapi sejak pandemi
Covid-19 melanda, sukar bagiku untuk pulang kampung. Aku benar-benar ingin
bertemu keluargaku, tetapi aku khawatir melakukan kontak dengan keluargaku
saat status PPKM levelnya masih terbilang tinggi.
“Ya, nanti Ardi keluar ke toko buku,” aku berkata untuk membuat
Mamaku tenang. Mama merasa terganggu jika aku hanya bergelung di kasur.
Beliau nyaris selalu ingin memastikan aku menghabiskan sebagian waktuku di
luar. Bahkan saat masih pandemi.
“Sesekali keluar bareng teman. Yang bervariasi kalau hidup,” Ini dia.
Mamaku mulai berceramah. Aku tahu apa yang akan Mama katakan selanjutnya,
“Cari pacar kalau bisa. Adikmu Idrus sudah punya pacar…”
Mamaku mulai berceloteh tentang keinginannya punya menantu dariku.
Aku sedikit iba dengannya. Beliau sungguh mengharapkan aku punya pasangan
hidup. Beliau mencoba menjodohkanku dengan beberapa perempuan, tetapi
perjodohan itu selalu tak berjalan lancar entah karena kekurangan dariku atau
kekurangan perempuan yang dijodohkan denganku. Aku selalu berpikir penyebab
sebenarnya karena memang belum saatnya aku menikah. Namun, melihat
semangat Mama dan umurku yang sebenarnya sudah cukup dewasa membuatku
merasa sedikit bersalah.
“Kamu kan sudah dua puluh lima tahun. Sudah mapan. Coba cari
perempuan baik…,” suara lembut Mamaku terdengar dari gawai. “Masak di
kantor nggak ada yang menarik?”
Itulah yang kukhawatirkan. Mama “memaksaku” untuk mencari jodoh di
kantor. Aku sedang menikmati hidupku dan bukan berarti aku tak ingin menikah.
Namun, Mama nyaris setiap hari menanyakannya yang mana mulai membuatku
terganggu.
“Ada anak teman mama. Baik orangnya. Mau nggak mama kenalin?”
Oh, tidak. Jangan lagi.
“Nggak ah Ma. Ardi mau cari sendiri,” jawabku cepat.
“Ya kalau mau cari sendiri kamu juga harus berusaha. Coba sering-sering
keluar. Cari temen baru. Hubungi teman-teman lamamu,” dari suaranya, Mama
terdengar mulai letih. Aku benar-benar tak tahu apa yang beliau pikirkan. Aku
masih muda. Masih banyak hal yang ingin kulakukan sebelum menikah.
“Ya, Ma,” ujarku singkat, berharap Mama berhenti membahasnya.
“Ya sudah. Mama mau ke rumah teman Mama. Sudah ada janji tadi.
Pikirkan kata-kata Mama, Ardi. Masak kamu mau lajang terus. Mama lho pengin
kamu…”
Kemudian, Mama mulai kembali berceloteh tentang harapannya untuk
cepat punya cucu. Aku tak terlalu menyimaknya. Aku mendengarkan Mamaku
berbicara dengan pikiran melayang entah kemana.

2
Udara panas sekali, mungkin suhunya sekitar tiga puluh derajat celsius dan
bisa lebih tinggi lagi. Angin dari luar yang bertiup masuk melalui jendela
kamarku membawa hawa panas sehingga membuatku mengipas-ngipas leher
dengan tangan. AC kamar sedang rusak sehingga aku tak bisa melakukan apa-apa
tentang hawa yang panas. Suara puji-pujian dari masjid yang akrab dengan kota
ini membuatku sadar bahwa waktu salat asar hampir tiba. Setelah Mama
menelepon, aku hanya menghabiskan waktu di kamar menonton ulang Spectre
dan tidak pergi ke toko buku seperti yang kukatakan sebelumnya. Aku hanya
sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Aku mencoba mengalihkan pikiranku
tentang kata-kata Mama sebelumnya dengan menonton film.
Aku mulai bosan dan ketika melihat gawaiku tak mengagetkan saat
membaca sebuah pesan WhatsApp dari temanku, Liam, yang mengirim pesan
bahwa akan ada acara kumpul-kumpul di kafe malamnya. Aku sedang jenuh
sehingga prinsipku untuk tak terlalu banyak menghabiskan waktu di kafe
terkesampingkan sejenak. Aku begitu bosan sehingga jika saja acaranya diadakan
sore hari aku akan berangkat saat itu juga.
Kadang teman-teman kantorku memang mengajakku ikut serta jika saja
ada acara kumpul-kumpul seperti ini sehingga aku tak sungguh-sungguh merasa
terkucilkan. Hubungan kami semua memang akrab karena kami bekerja di kantor
pemerintahan sehingga tak seperti kantor-kantor lain. Aku beruntung lulus dari
sekolah kedinasan, bekerja di kantor pemerintah dan berteman dengan teman-
teman yang mempunyai nasib kurang lebih sama. Aku tak mengatakan aku telah
puas dengan pencapaianku, tetapi tak dipungkiri bahwa aku merasa cukup
bersyukur. Orangtuaku nyaris selalu mengatakan padaku tentang semakin
susahnya mencari pekerjaan sehingga tertanam dalam otak bawah sadarku bahwa
aku sudah sepatutnya bersyukur. Aku cukup senang dengan hidupku, tetapi
terkadang terpikir olehku jika aku bernasib lain akankah hidupku berbeda?
Hawa panas mulai membuatku gila sehingga kunyalakan kipas anginku
yang mana hanya mampu memutar udara yang juga panas. Peluhku bercucuran
seakan-akan aku sedang demam. Aku telah mengatakan pada pemilik indekos
untuk segera membetulkan AC di kamarku, tetapi dia menjajikan untuk
memanggil tukang servis esok harinya. Tak banyak yang bisa kulakukan
semenjak aku hanya orang perantauan sehingga aku hanya bisa menerimanya.
Namun, hawa panas hari itu membuatku khawatir akan terkena heatstroke.
Aku sedang tidak dalam suasana hati ingin bercakap-cakap dengan teman-
temanku, tetapi aku terlalu jemu hanya berada di kamar. Aku mungkin tahu apa
yang akan mereka celotehkan malamnya, tetapi hal itu tak jadi perkara. Cukup
sudah berada di kamar tanpa melakukan apapun yang berarti sehingga
memperhatikan orang-orang berbicara menjadi terasa lebih baik. Mereka mungkin
akan berbicara tanpa ujung pangkal, tetapi aku bisa memakluminya.
Seseorang mengetuk pintu kamarku dan aku beringsut dari kasur untuk
melihat siapa itu. Ketika kubuka pintu, berdiri di hadapanku tetangga kamar
sebelah yang bernama Eko. Pria paruh baya itu jarang berinteraksi denganku
sehingga aku penasaran apa yang diinginkannya.
“Boleh pinjem hapenya Mas? Hape saya rusak,” dia berkata dengan tiba-
tiba tanpa tedeng aling-aling. Dia cukup percaya diri meminta tolong padaku
melihat betapa jarangnya kami berkomunikasi.
Aku berkata akan meminjamkannya, tetapi baterai gawaiku hampir habis.
“Ya, nggak apa-apa Mas. Bentar doang,” ujarnya cepat-cepat dan segera
mengambil gawai di tanganku yang kusodorkan kepadanya.
Kemudian, pria paruh baya itu beranjak menuju teras indekos dan
bercakap-cakap dengan seseorang di gawai yang tak bisa kuikuti pembicaraannya.
Dia meminjam gawaiku cukup lama sementara aku hanya berdiri menatapnya
berharap dia tanggap maksudku. Percakapan itu berhenti tiba-tiba ketika akhirnya
dia berjalan ke arahku dengan wajah keruh dan berkata, “Maaf ya. Baterainya
habis.”
Aku tahu itu akan terjadi. Orang-orang jarang menepati janji pada
umumnya. Aku mengambil gawaiku, tetapi ketika aku beranjak kembali menuju
kamar, pria paruh baya itu memanggilku, “Nggak ada kegiatan, Mas? Kok jarang
keluar.”
Apa peduli Bapak? Selalu meresahkanku ketika seseorang ingin tahu
urusanku. Namun, boro-boro mengatakannya, aku menggeleng dan berkata,
“Nggak ada Pak. Bapak sendiri?”
Dia tersenyum padaku. Aku tahu ada pancaran simpati darinya, tetapi
rasanya lebih mendekati iba. “Sesekali keluar. Ngobrol. Nggak bosan tho di
kamar?”
Ada apa sih dengan orang-orang? Bukan Mama, bukan pria ini, dua-
duanya menguliahiku tentang hal yang sama.
Aku tak berkata apa pun sehingga pria paruh baya itu terlihat tak nyaman.
Dia beringsut meninggalkanku dan yang kutahu tak berurusan denganku lagi
dalam waktu yang lama.
Aku merasa sedikit bersalah dengan pria itu ketika berada di kamar. Dia
bermaksud baik dengan memberiku nasihat seperti itu, tetapi seperti yang
kukatakan sebelumnya, aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik.
Terkadang kamu memperlakukan orang lain dengan tak sepantasnya dengan
berharap dia tak sakit hati karenanya walau setelahnya kamu menyesali
perbuatanmu. Aku sudah melakukannya beberapa kali dan tahu betul rasanya.
Aku merasa berat ketika malam tiba dan melihat kurang lebih belasan
orang kantor sedang duduk di kafe saat itu. Sangat meresahkanku melihat banyak
orang, entah mengapa. Letak kafe berada di pinggir jalan dimana kami semua
berada di posisi outdoor sehingga bisa kamu bayangkan betapa hingar-bingarnya
suasana yang ada. Entah dari mana, terpintas di benakku untuk kembali pulang
tetapi terlambat untuk itu. Aku merasa terasingkan—sekilas saja—sampai
seseorang memanggilku yang dari suaranya adalah Veno, “Duduk aja Di, mau
kupesenin kopi?”
Aku berkata padanya untuk memberikanku buku menu sehingga aku dapat
memesan sendiri.
“Tolong jagain tasku, Di. Aku mau ke toilet bentar. Oke?” ujar Veno
sembari menyerahkan buku menu padaku dan menuding ke arah sling bag-nya
yang tergeletak di meja. Dia beranjak pergi meninggalkanku yang duduk dengan
rikuh.
Veno teman kantor paling dekat denganku di antara yang lain dan aku
yakin dia memahamiku. Kami bisa duduk berdekatan tanpa berbicara dengan satu
sama lain dan saling mengerti. Hal itu dikarenakan kami punya karakter yang
serupa ditambah hobi yang sama yaitu membaca yang mana kurang digemari
orang-orang sekeliling kami—para pegawai kantor terlalu lelah bekerja hingga
hampir tak memiliki waktu untuk membaca buku. Dia pintar untuk ukuran orang
yang hanya tahu kantor dan buku, tetapi aku masih lebih cerdas darinya. Kamu
dapat menilainya berdasarkan cerita ini apakah aku betul atau tidak.
Satu per satu motor mulai terparkir di depan kafe dan suasananya semakin
riuh ibarat sebuah perayaan. Setiap orang berseru, tertawa, terkikik—tiap-tiap
jenis suara kamu bisa menyebutkannya. Nyaris semua orang bertingkah liar dan
aku yakin akan semakin liar apabila malam semakin larut. Masing-masing orang
mencurahkan apa yang ingin dikatakannya, mendengarkan yang sedang berbicara
atau sekedar melihat suasana sekitar—sebagian besar menikmati waktu yang
mereka punya. Aku sendiri mulai menikmati waktu yang kumiliki dan sesekali
menimpali percakapan jika saja pembicaraannya bisa kuikuti. Aku mulai berpikir
kumpul-kumpul seperti ini menyenangkan juga daripada berdiam diri di kamar
tanpa melakukan kegiatan yang berarti.
“Lho Ardi ikut…. Jarang-jarang Ardi ikut…” Sena berkata dari ujung
meja seraya memamerkan seringai khasnya. Dia punya hobi memanas-manasiku
dengan niat menyindir. Dia paling senior di angkatanku, tetapi bertingkah seperti
junior. Dia bersikap kekanak-kanakkan tepat seperti otaknya. Aku tak pernah
benar-benar menghormatinya walau usianya di atasku. Dia memperlakukan orang
lain sesuka hati dan dia melakukannya dengan bangga. Aku mengabaikannya
hingga dia tampak seperti bicara sendiri.
“Hai, Di. Lama nggak lihat kamu!” Laili duduk di sebelahku dengan
tingkah menggoda. Aku tak terlalu suka dengan perempuan agresif walau
terkadang beberapa orang menyukai perempuan seperti itu. Aku berusaha
mengabaikannya seraya menyibukkan diri dengan gawaiku.
“Kok nggak ngajak Fina sih?” Ini yang tak kusuka. Perempuan tipe Laili
memang serupa dengan lelaki seperti Sena. Aku tak mengganggu kehidupan
mereka, tetapi terlihat bahwa mereka suka ikut campur masalahku. Lagipula, aku
tahu persis apa yang diinginkan Laili. Dia ingin mencibirku semenjak aku putus
dengan Fina. Awalnya Laili mengejarku, tetapi aku menampiknya karena
sikapnya yang terlalu agresif sehingga dia mengungkit Fina untuk mengejekku.
Aku ingin ganti menghardiknya, tetapi Laili adalah tipe perempuan yang
umpama kamu meladeninya akan buang waktu. Jadi, aku hanya menatapnya
dingin seraya berkata, “Itu urusanku. Ngapain kamu ikut campur?”
Laili tampak seperti akan mengoceh lagi—dia tipe perempuan yang keras
kepala bahkan semisal saat seseorang ingin menutup mulutnya. Sungguh
menjengkelkan hanya dengan melihat sifat ngototnya itu. Dia tak akan berhenti
hingga kamu patah semangat, tetapi untungnya aku bukan tipe orang yang mudah
mengalami hal seperti itu. Mencerca orang memberinya kesenangan dan aku tak
mau memberi apa yang dia mau.
“Sombong banget sih! Orang habis ditinggalin juga!,” Laili berkata
dengan nada kesal dan wajah bersungut-sungut. Dia tahu dia salah—akulah yang
meminta putus pada Fina yang mana diketahui nyaris semua orang—tetapi dia tak
mau repot-repot membetulkannya. Dia hanya sebal dan tak ada gunanya meladeni
perempuan yang sedang jengkel.
Aku tak perlu meladeni Laili lagi sebab dia hengkang dari hadapanku
setelah aku tak lagi menanggapinya. Veno muncul dan kami mulai membahas
tentang pekerjaan kantor. Selalu saja seringnya kami hanya memperbincangkan
tentang pekerjaan kantor atau kadang tentang buku. Kami tak pernah mengungkit
perihal keluarga atau topik personal lainnya meski seberapa dekat hubungan
pertemanan kami karena kami tipe orang yang memperhitungkan pembicaraan
tentang persoalan pribadi. Aku senang mengetahui cara pandang kami yang sama
terhadap segala sesuatu. Menyenangkan memiliki teman yang memahamimu
walau kamu tak perlu mengutarakannya. Aku menganggap diriku beruntung
punya kawan seperti Veno.
Malam kian larut. Jam telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Aku sudah menegak dua cangkir kopi dan tengah menyeruput cangkir ketiga
ketika Petra—salah satu kawan seangkatan yang duduk di sampingku—
menyeletuk sehingga membuyarkan kesendirianku, “Heh, tau nggak kamu kalo si
Ella mutasi ke pusat?”
Aku tercenung beberapa saat—walau sebelumnya sudah berniat untuk
menyingkirkan pikiran tentang Ella dari kepalaku. Tanpa tedeng aling-aling Petra
membahas perempuan itu yang membuka luka lama. Telah menyebar kabar
tentang kedekatanku dengan Ella setelah aku putus dengan Fina walau setelahnya
Ella memutuskanku. Petra bertanya padaku dengan tiba-tiba sehingga aku tak tahu
harus menjawab apa. Ingatanku melayang ke kejadian saat Ella memutuskanku
sampai Petra menyadarkan lamunanku, “Heh, kok diem aja? Jawab dong!
Penasaran nih!”
“Apa?” pikiranku masih belum fokus sehingga aku bertanya lagi.
Petra menghela napas dan mengulangi pertanyaannya, “Kamu itu lho.
Mbok ya dengerin orang bicara. Aku tuh pengin tahu apa gitu lho tanggapanmu
tentang—” Petra berhenti bicara, menyeringai dan kembali melanjutkan
kalimatnya. “Udah nggak ada rasa?”
Ini menggangguku. Aku tahu Petra suka ikut campur urusan orang, tetapi
dia sudah melewati batas. Aku tak mau membicarakan perihal asmaraku di depan
orang banyak bahkan jika saat itu hanya ada Petra aku tetap tak mau
memberitahunya. “Itu urusanku. Aku nggak mau membahasnya.”
“Ya udah. Kan cuma nanya,” Petra menutup mulutnya setelah mengatakan
kata-kata itu, tetapi aku tahu dia menyesal menanyakannya dilihat dari reaksiku.
Aku merenungkan perkataan Petra sepulangnya dari kafe. Fina adalah
kekasih pertamaku semenjak aku kerja, tetapi Ella… aku tak bisa berhenti
memikirkannya. Aku bertemu Fina di kantor sedangkan Ella… kami bertemu saat
ada acara di kantorku dan kebetulan kantornya yang berada di luar kota diundang
ke acara itu. Aku dalam kondisi masih baru saja putus dengan Fina—penyebabnya
karena dia menjadi semakin posesif—dan melihat Ella yang ramah dan
menyenangkan sehingga aku tertarik padanya. Kami bertukar nomor Whatsapp
dan banyak menghabiskan waktu dengan mengirim pesan kepada satu sama lain.
Hubungan kami seolah berakhir karena Ella mengirimiku pesan bahwa dia ingin
lebih fokus dengan kariernya. Dia tak lagi menghubungiku semenjak itu. Aku
berusaha mengubunginya—mengirimkannya pesan, meneleponnya—tetapi dia
mengabaikan semua usahaku. Aku resah dalam waktu yang cukup lama sampai
melupakannya, tetapi perkataan Petra padaku malam itu kembali mengingatkanku
tentang Ella.
Kemudian, entah darimana, saat aku berada di kamar, aku mengeluarkan
gawaiku dari kantong celana dan mulai mengetik pesan ke nomor Ella. Mungkin
dia tak akan membalasnya… Mungkin yang kulakukan hanya berdasarkan
perasaan sesaat… Mungkin…
Drrrt! Drrrt! Gawaiku bergetar. Aku tak yakin apakah itu notifikasi
balasan dari Ella, tetapi entah mengapa aku masih berharap dia akan
menanggapinya.
Itu balasan dari Ella.
Aku tak percaya dia akan membalasnya, tetapi itu benar-benar pesan
darinya:
Hai, Di. Iya nih, aku juga lama nggak denger kabarmu.
Senyumku tersungging dan kutahu saat itu aku merasa senang. Ada
harapan yang diam-diam menyeruak di dada dan aku tahu aku sadar akan hal itu.
Apa ini tanda kalau Ella masih kerap memikirkanku? Apa hubungan kami masih
bisa berlanjut?
Aku akan mengetahuinya pada hari-hari setelahnya.

3
Dering alarm membuatku terjaga dan ketika kucek layar gawaiku jam
menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Kumatikan alarm dari gawaiku
sehingga seisi indekost tak terganggu karenanya. Kicauan burung-burung yang tak
pernah absen di awal hari serta merta mengisi suasana pada pagi hari itu. Aku
bangkit dari kasur dan lima menit setelahnya lantas menunaikan salat subuh.
Aku menghabiskan waktu lima hari untuk mengenal kembali Ella setelah
sekian lama kami tak berurusan dengan satu sama lain. Sulit rasanya karena tiga
tahun bukan termasuk waktu yang singkat. Kami membahas tentang
kepindahannya ke kantor pusat dan apa kesibukanku selama di kantor serta tidak
mengungkit tentang masa lalu. Mungkin kami belum siap atau mungkin Ella
memang tak mau membicarakannya. Aku akan membahasnya jika memang dia
ingin membicarakannya, tetapi untuk sementara aku menikmati kebersamaan
kami lagi.
Setelah salat, aku mengecek gawai sekiranya ada jawaban dari Ella tetapi
pesanku belum dibalasnya. Kami menghabiskan waktu semalaman untuk chatting
—itulah mengapa aku bangun kesiangan. Jarang untukku bangun terlambat—
biasanya aku bangun di bawah pukul lima pagi, mandi dan membaca buku—
walau aku tak menyesali dengan apa yang kulakukan malam sebelumnya. Aku
mengetahui beberapa hal tentang Ella: ayahnya baru saja meninggal, dia masih
belum menikah dan rencananya untuk mengunjungi kantor lamanya. Dia tak
mengetahui responsku setelah aku tahu dia masih belum punya suami, tetapi aku
terkesiap dan merasa punya kesempatan setelah mendengarnya. Aku tidak benar-
benar menempuh jalan yang tak berujung.
Hari kamis itu aku sedang work from office dan aku dengar kabar tentang
acara pisah sambut pegawai yang akan diselenggarakan pada hari itu. Aku merasa
cukup sedih bahwa Pak Suwarno—pejabat yang dimutasikan—pindah dari kantor,
tetapi memang tradisi di instansiku pegawai datang dan pergi dan seharusnya aku
tak heran. Pak Suwarno pejabat yang baik dan mengayomi—beliau sekali waktu
mengobrol denganku seraya membagi pengalaman kerjanya—sehingga pasti
banyak pegawai yang merasa kehilangan dirinya. Namun, yang terpenting aku
senang beliau dipindahkan ke kantor yang dekat dengan homebase-nya.
Suara gerimis terdengar dan aku menghela napas karena harus keluar di
saat hujan turun. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku melangkah menuju garasi
indekos, memakai jas hujanku sebelum akhirnya menembus hujan yang semakin
lebat dengan mengendarai motor. Jarak indekost ke kantor hanya sekitar tiga
kilometer, tetapi hujan hari itu disertai angin yang bertiup kencang sehingga
sedikit menyulitkanku. Ketika tiba di tempat parkir kantor, aku basah kuyup di
beberapa tempat walau telah memakai jas hujan. Benar-benar nasib yang apes
untuk memulai hari.
Kugantung jas hujanku di motor—mengabaikan lengan baju dan celanaku
yang basah—dan berjalan menuju koridor kantor. Suasana kantor masih sepi—
aku yakin banyak yang masih enggan untuk lekas berangkat karena hujan—dan
aku hanya melihat beberapa CS yang memang datang lebih awal dari para
pegawai karena mereka harus bersih-bersih sebelum para pegawai berdatangan.
Aku menegur setiap pegawai yang berpapasan denganku—mudah bagimu akrab
dengan para pegawai yang berada dalam kantor kecil sepertiku—dan yang kulihat
adalah pegawai-pegawai yang biasa datang pagi. Mereka tahu aku juga biasa
datang pagi sehingga tak ada celetukan seperti “Tumben udah nongol jam segini!”
atau semacamnya karena mereka paham kebiasaanku.
Keadaan sungguh hening, nyatanya hanya aku yang ada di ruangan.
Biasanya kepala ruangan-ku tiba di kantor tak lama setelah aku datang—hujan
pasti membuatnya sedikit terlambat. Kepala ruangan-ku adalah orang yang
simpatik—namanya adalah Pak Maryono—dimana beliau memperhatikan
bawahannya seperti mengapresiasi hasil kerja kami dengan cara memuji secara
langsung atau menyediakan waktu untuk mentraktir kami. Beliau lebih tua dari
ayahku, tetapi memahami jiwa muda sepertiku dan bawahan lainnya yang
seumuran denganku. Terkadang menyenangkan ketika atasan mengerti pola pikir
anak muda seperti kami karena kami lebih merasa dihargai. Beberapa pejabat di
kantor ada yang sedemikian rupa membangun jarak antara atasan dan bawahan
seakan kami tidak sebanding dengan mereka dalam artian negatif. Instansi kami
adalah lembaga semi militer yang mana pangkat dan jabatan diperhitungkan,
tetapi ketika menjumpai atasan yang cukup ramah dengan para bawahannya
terutama anak mudanya adalah keberuntungan tersendiri. Aku bukannya
menghakimi, hanya saja jika kamu diperlakukan dengan baik oleh atasanmu,
bukankah itu menyenangkan?
Aku duduk dan mengecek pekerjaan apa yang harus kerjakan hari itu
yang mana tak banyak—tidak seperti perusahaan swasta yang lebih sibuk, kami
bekerja dengan cukup leluasa tetapi digaji relatif besar. Orang-orang berkata
betapa beruntungnya kami, tetapi kamu selalu menjumpai sisi positif dan negatif
segala sesuatu. Aku bukan berkata aku tak menyenangi pekerjaanku—aku butuh
biaya untuk menyokong kehidupanku—tetapi terkadang kamu bakal merasa
pikiranmu terkotakkan jika sudah bekerja selama beberapa tahun di instansi
pemerintahan. Kamu harus menerima apa yang berselisih dengan idealismemu
dan menolak apa yang selaras dengan kehendakmu. Aku tak bisa menjelaskannya
dengan gamblang kepada sebagian dari kalian karena beberapa dari kalian tak
berada di posisiku. Intinya adalah aku belajar bahwa uang bukan segalanya.
Kurasa itu cukup menjelaskan.
Tak banyak pekerjaan dan nyaris menganggur hanya beda sedikit
sebenarnya walau aku harus tetap terlihat sibuk atau dinilai negatif oleh atasan.
Serius, kami tak ada pekerjaan berat yang harus kami kerjaan dan jika ada itu tak
benar-benat sulit—hanya menyita waktu lebih lama dari biasanya. Itu seperti
kamu punya sedikit pekerjaan atau tidak sama sekali.
Aku menghabiskan waktu senggang di kantor dengan membaca buku,
nyatanya aku bisa menjadi seorang penulis setelah beberapa tahun bekerja saking
banyaknya buku yang bisa kubaca. Terdengar ironis tetapi aku mengatakan yang
sebenarnya. Ditambah lagi, tak ada hal seperti menjadi penulis tetapi punya uang
banyak atau menjadi pegawai negeri tetapi idealis. Selalu ada pertengahannya.
Beberapa penulis punya pekerjaan utama lain karena jika tidak mereka tak akan
bisa bertahan. Kamu tak bisa menyalahkan pemikiranku karena kamu tahu aku
mengatakan hal yang sebenarnya. Kita hidup di negara dengan sekelumit apresiasi
terhadap pekerjaan menulis. Aku tahu kamu paham maksudku.
Pada pukul sepuluh kami harus berkumpul di aula kantor untuk
menghadiri acara pisah sambut. Terdengar kaku, tetapi setiap kantor
melakukannya dahulu, sekarang dan mungkin yang akan datang. Itu sebuah tradisi
dan jika kamu berpegang padanya khususnya di instansi pemerintahan, kamu akan
bisa berbaur dan diterima dalam organisasi. Bahkan semisal ada tradisi yang
buruk tetapi jika telah mendarah daging kamu juga harus mematuhinya karena
orang-orang akan berkata, “Ya, mau gimana lagi? Udah kayak gitu dari sononya!”
Ketika aku masuk ke aula, para pegawai yang berkumpul tak sebanyak
yang kuduga, tetapi mungkin karena sebagian sedang work from home, work from
homebase, cuti atau menjalankan dinas luar. Aku memilih duduk di barisan
belakang dengan alasan tak ingin terlalu menonjol dan aku hanya ingin tahu
keadaan sekitar dengan lebih leluasa. Kemudian, saat aku sibuk dengan gawai,
sebuah suara mengusikku, “Mau ikut nonton nggak, Di? Nanti malam.”
Ternyata Liam. Dia duduk di sebelahku entah sejak kapan. Aku sedang tak
siap dengan ajakan tiba-tiba karena pikiranku terpaku pada Ella yang belum
membalas pesanku sehingga aku malah balik bertanya, “Apa?” walau sedetik
kemudian aku paham dengan maksud Liam. “Ah, nonton? Bareng siapa aja?”
Liam menjawab, “Sama banyak orang. Kalau ikut, aku belikan tiket. Nanti
aja gantinya.”
“Ikut,” aku berucap tanpa pikir panjang. Aku jenuh dengan Ella yang tak
kunjung merespon pesanku dan menonton film di bioskop tak buruk juga.
“Oke, jangan telat,” ujar Liam sebelum bangkit berdiri dari tempat
duduknya dan pergi entah ke mana. Dia termasuk orang yang cukup cepat bosan
sehingga kemungkinan besar nongkrong dahulu sebelum acara dimulai.
Aku melihat Fina duduk di barisan kedua. Kami tak saling bicara
semenjak putus—tidak seperti beberapa pasangan yang putus kemudian menjadi
teman, hubungan kami malah semakin merenggang. Dia menoleh dan tatapan
kami bertemu. Aku segera membuang muka karena tak nyaman rasanya
seruangan dengan mantan pacar jika kamu tahu maksudku. Kami tak saling
menghardik atau merendahkan satu sama lain, tetapi atmosfer di antara kami
sudah terlanjur tak nyaman. Aku tak membencinya atau apapun itu, tetapi
segalanya tak lagi sama.
Acara akhirnya dimulai dan kami semua duduk sembari menonton video
kenang-kenangan yang berisi beberapa tayangan singkat dari para pegawai yang
seruangan dengan Pak Suwarno. Mereka mengambil rekamannya di tempat yang
berbeda-beda dan kualitas suara yang juga berbeda-beda dengan sudut beragam
pula sehingga video tersebut tampak amatir tetapi dapat kukatakan padamu bahwa
pesan yang diungkapkan sama sekali tidak amatir. Ada yang hampir
mengeluarkan derai air mata—atau mungkin benar-benar melakukannya setelah
merekam—yang mana membuat kami yakin mereka berbicara dari hati. Beberapa
pegawai yang menonton tergelak ketika salah seorang pegawai yang ada di video
sedikit berkelakar tentang Pak Suwarno tetapi suasana masygul tetap tak dapat
menguap.
Setelah itu, pembawa acara mempersilahkan Pak Suwarno memberikan
kesan dan pesannya selama bertugas di kantor yang mana merupakan inti acara.
Pak Suwarno adalah pria tinggi, berkulit bersih dan setiap kali orang-orang
seruangan dengannya mereka selalu tersita perhatiannya pada Pak Suwarno
karena penampilannya itu. Beliau pasti tampan di masa mudanya dan beliau
punya karakter yang kuat yang memancar dari sikap, tingkah laku dan
perkataannya. Beliau memberikan kesan dan pesan dengan lugas dan tanpa
menyinggung pihak manapun yang mana menunjukkan kecakapannya dalam
berbicara. Pada akhir kesan dan pesan tersebut, hampir seluruh pegawai merasa
puas dengan apa yang disampaikan Pak Suwarno dan menyayangkan kepindahan
orang seperti beliau dari kantor.
Pak Suwarno pun duduk dan suara tepukan tangan dari tiap-tiap pegawai
menggema memenuhi aula. Kemudian, Pak Nurdin, kepala kantor, maju untuk
memberikan sepatah dua patah kata. Ketika beliau berbicara di depan, seluruh
pegawai mendengarkannya—beliau tipe orang yang dapat menggaet perhatian
orang-orang dengan tutur katanya yang kuat dan berkarakter. Beliau tahu kapan
harus memberi jeda dalam perkataannya sehingga para pendengarnya dapat
berkesempatan memahami apa yang baru beliau ungkapkan dan kapan harus
bertanya sehingga merangsang peran serta mereka. Beliau tahu cara membuat para
pendengarnya tertawa dan cara menumbuhkan semangat untuk bekerja lebih baik.
Selalu ada refleksi yang tumbuh dalam diri seseorang setelah mendengar kata-kata
dari Pak Nurdin dan pada saat itu beliau telah memenuhi perannya dengan baik
seperti biasanya. Beliau adalah representasi dari bagaimana hendaknya seorang
pemimpin.
Aku masih terkesima dengan “wejangan” Pak Nurdin ketika pembawa
acara mempersilahkan salah seorang perwakilan dari para pejabat eselon tiga
untuk memberikan pesan dan kesan untuk Pak Suwarno. Seorang pejabat maju ke
podium walau setelahnya aku tak sungguh-sungguh mendengarkan apa yang
beliau katakan. Namun, saat para pegawai di aula tergelak, konsentrasiku mulai
teralihkan kepada sang pembicara dan ketika aku bertanya pada pegawai yang
duduk di sebelahku untuk mengulangi perkataan pejabat itu, aku turut tertawa
mendengarnya. Pak Randy—pejabat yang sedang berbicara di depan—adalah
seseorang yang terbilang muda untuk pejabat eselon tiga. Dia cerdas, pandai
bergaul dan termasuk pejabat kesukaan kepala kantor. Dengan sederet prestasi
yang beliau torehkan, orang-orang cukup dibuat sungkan. Karena tubuh tegap dan
atletisnya, aku dapat menerka setiap pegawai perempuan menahan napas ketika
berpapasan dengan beliau. Beliau juga punya ciri khas tawa “ha…, ha…, ha….”
yang lantang dan berjeda seperti terdapat koma di antara suara yang keluar
sehingga orang-orang cepat menyadari kehadirannya dari suara tawanya bahkan
sebelum melihatnya. Pada saat itu, beliau juga tertawa bersama kami dengan suara
“ha…, ha…., ha….” khasnya. Aku tak yakin apakah sebagian pegawai tergelak
karena tawa Pak Randy atau tertawa karena guyonan yang dilontarkan, tetapi
kami benar-benar menikmati suasana pada saat itu.
Aku tidak heran ketika Bu Nia maju ke podium setelah pembawa acara
mempersilahkannya untuk memberi pesan dan kesan kepada Pak Suwarno. Tak
seperti Pak Randy yang ditunjuk memberikan sepatah dua patah kata di depan
karena beliau pejabat eselon tiga yang paling senior di kantor, Bu Nia ditunjuk
karena beliau pejabat eselon empat yang paling dekat dengan Pak Suwarno. Bu
Nia adalah seorang wanita berjilbab yang cantik bahkan diumurnya yang
mendekati lima puluh, bertubuh kurus dan setiap kali berbicara selalu mendesau
seakan memberi tambahan huruf “h” pada akhir kalimatnya. Beliau menutup
hidung dan mulutnya dengan sebelah tangan di tengah perkataannya dan aku
yakin para pegawai berpikir “wah, bakal nangis ini…” yang mana seperti yang
diduga Bu Nia mulai menitikkan air mata dimana membuat kami semua terdiam.
Tak ada suara sampai Bu Nia mengakhiri perkataannya dengan kalimat, “Semoga
Bapak sehat selalu dan jangan lupakan kami yang ada di sinihhh…”
Selepas itu, majulah perwakilan dari para pelaksana—jabatan paling muda
termasuk aku—yakni Mbak Kinanthi yang mana satu angkatan di atasku. Dia
membacakan teks yang ada di tangannya dimana kertas itu bergetar akibat
jemarinya gemetar dan ketika kulihat sekelilingku satu dua pegawai terkikik
apalagi saat perempuan itu mengeluarkan metafora muluk sehingga membuatnya
terlihat konyol di depan. Aku tak biasa mendiamkan seorang perempuan yang
dipermalukan di depan, tetapi perempuan itu tampak percaya diri sehingga aku tak
cukup merasa prihatin. Beberapa pegawai berusaha menahan tawa hingga merah
mukanya, tersenyum menatap lantai atau menggigit bibir sehingga tawa mereka
tak dapat meledak. Seseorang berdehem dengan disengaja dan suasana mulai riuh
karena mereka mulai tak menaruh perhatian ke depan. Ketika akhirnya Mbak
Kinanthi menyelesaikan “hiburan-nya” di depan, suara hela napas lega terdengar
dari berbagai arah diiringi ekspresi bangga dari wajah perempuan itu. Well,
kuharap seseorang tak mengatakan penampilan yang sebenarnya pada gadis itu
atau dia akan menyesal dengan upayanya hari itu di podium.
Suasananya mulai berubah saat Pak Anggara—pejabat yang menggantikan
posisi Pak Suwarno—berjalan ke depan dan memberikan sepatah dua patah kata.
Pak Anggara adalah lelaki kurus dan berwajah pucat dengan air muka serius—tipe
orang yang bakal memberikan tugas kepadamu dengan tak menerima segala
bentuk sanggahan. Dia menatap satu per satu pegawai dengan sorot mata
mengintimidasi yang menjadikan kami menyayangkan pemindahan Pak Suwarno.
Aku tahu itu hanya pembawaan Pak Anggara karena ketika dia berbicara kalimat-
kalimat yang keluar begitu tenang dan terukur yang mana mengisyaratkan sifat
beliau yang berwibawa walau tetap saja pembawaannya kaku tak bisa hilang sejak
kesan pertama.
Ketika pembawa acara meminta kami semua berdiri dan membentuk
sebuah garis panjang, aku dan para pegawai lain berbaris ibarat sedang melakukan
kegiatan salam-salaman sewaktu halalbihalal. Pak Suwarno berdiri di ujung dan
kami semua satu per satu bersalaman dengannya tepat layaknya tradisi perpisahan
pada umumnya. Ingatanku melayang pada percakapanku dengan Pak Suwarno
sebelumnya, entahlah, tiba-tiba saja aku ingat obrolan-obrolan yang telah kami
lakukan. Kami membahas banyak hal seperti pengalaman kerja Pak Suwarno, para
pegawai terutama pejabat di kantor bahkan tentang hal personal seperti keluarga
dan rumah tangga. Aku ingat Pak Suwarno berkata padaku “Nah, ingat. Pasangan
itu serupa busur panah. Jangan milih pasangan dengan serampangan. Dia yang
akan membantu mengarahkan kita ke tujuan. Ingat baik-baik.” Aku tak melupakan
nasihat itu sampai saat ini bahkan itu adalah salah satu nasihat paling bermakna
yang pernah kudengar sejauh ini.

Anda mungkin juga menyukai

  • Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Dokumen5 halaman
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Souvenir
    Souvenir
    Dokumen1 halaman
    Souvenir
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cetak
    Cetak
    Dokumen1 halaman
    Cetak
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • PULANG
    PULANG
    Dokumen2 halaman
    PULANG
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tugas Istri
    Tugas Istri
    Dokumen1 halaman
    Tugas Istri
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • MARTAPURA
    MARTAPURA
    Dokumen2 halaman
    MARTAPURA
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Stay With You
    Plot Stay With You
    Dokumen3 halaman
    Plot Stay With You
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Otentik Novel
    Otentik Novel
    Dokumen4 halaman
    Otentik Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 3
    Novel 3
    Dokumen10 halaman
    Novel 3
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 2
    Novel 2
    Dokumen1 halaman
    Novel 2
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • CSR
    CSR
    Dokumen3 halaman
    CSR
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • PLOT
    PLOT
    Dokumen1 halaman
    PLOT
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Lolos D4
    Tips Lolos D4
    Dokumen2 halaman
    Tips Lolos D4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Essay
    Essay
    Dokumen5 halaman
    Essay
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel Islami
    Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • KWC 4
    KWC 4
    Dokumen2 halaman
    KWC 4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Novel Islami
    Plot Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Plot Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Dokumen33 halaman
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Menulis Novel
    Tips Menulis Novel
    Dokumen3 halaman
    Tips Menulis Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Dokumen6 halaman
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat