Anda di halaman 1dari 12

KESEPIANKAH ANAK REMAJA KITA DI RUMAH?

Marsaulina, S. Gultom *)
Bapak psikologi remaja, G. Stanley Hall menyebut masa remaja ini adalah masa storm and
stress, masa yang sulit dan menegangkan. Untuk sebagian remaja masa ini adalah yang sulit,
karena mereka sudah mulai dihadapkan dengan
tugas perkembangannya seperti tanggungjawab atau
tuntutan dari lingkungannya. Menegangkan dan
dapat menimbulkan tekanan karena pada masa ini
juga mulai bermunculan konflik. Konflik muncul baik
dari dalam diri sebagai proses pencarian diri dan
lingkungannya. Willis (2004) menyebutkan pada
masa remaja banyak terjadi masalah yang dihadapi
dikarenakan tingkah laku remaja masih labil dan belum mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai tuntutan dari lingkungan. Remaja juga mulai mendapat nilai-nilai baru yang
didapatnya selain dari keluarga seperti dari sekolah, teman sebaya dan lingkungan sosialnya.
Dengan situasi seperti itu masa remaja adalah masa penuh dengan gejolak dan penuh dengan
kebingungan karena adanya berbagai pengaruh.

REMAJA
Ada beberapa batasan usia remaja,menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada
pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi
batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut
Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja
berada pada rentang 12- 23 tahun. Seperti disebut
sebelumnya, masa remaja ini sangat penting karena masa
remaja adalah masa menuju kedewasaan. Jika dia
berhasil melalui masa ini dengan baik, maka tantangan-
tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah
diatasi (Rajab, 2005). Dengan kata lain, remaja yang berhasil menghadapi tantangan di masa
remajanya sudah memiliki modal untuk masuk pada masa dewasanya dengan baik. Begitupun
sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan berikutnya besar kemungkinan akan
terjadi masalah pada dirinya. Dengan demikian remaja perlu melakukan penyesuaian. Namun,
remaja yang yang salah melakukan penyesuaian, akan melakukan tindakan atau perilaku yang
tidak realistis bahkan cenderung melarikan diri daritanggung jawabnya (Latipun & Moeljono,
2001).Perilaku-perilaku tersebut diantaranya: mengkonsumsi minuman beralkohol,
penyalahgunaan obat dan zat aditif. Berkaitan dengan pelepasan tanggung jawabnya, di
kalangan remaja juga dijumpai banyak usaha bunuh diri, tingginya angka delinkuensi (kenakalan
remaja). Remaja dalam situasi seperti ini sering menimbulkan masalah dan masalah yang
ditimbulkan tidak saja terbatas dalam lingkungan keluarga tetapi juga sampai di tengah-tengah
masyarakat luas.
Remaja dan Keterlibatan Permasalahan
Data yang mengejutkan dari KPAI untuk tahun 2014 jumlah anak-anak yang menjadi pelaku
kekerasan naik 10 persen. (http: //health.detik.com/ read/2014/12/30/170045/2790328/
763/komnas-pa-2014-jumlah-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-naik-10-persen). Penelitian yang
dilakukan pada tahun 2014 menyebutkan bahwa dari total 63 juta remaja di Indonesia,
sebanyak 14,4 juta remaja Indonesia sudah pernah mengkonsumsi minuman keras
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/08/nkvsch-fahira-idris-144-juta-
remaja-pernah-konsumsi-miras). Dengan kata lain ada 23 persen remaja Indonesia yang sudah
berhubungan dengan minuman keras (miras) padahal pada tahun 2007, remaja yang terlibat
miras sebanyak 4,9 persen, dengan demikian
terjadi peningkatan remaja yang terlibat
penggunaan miras. Data dari
http://megapolitan.harianterbit.com/ megapol
/2014/09/13/8219/18/18/22-Persen-Pengguna-
Narkoba-Kalangan-Pelajar menyebutkan dari
empat juta orang di Indonesia yang menyalahgunakan narkoba, 22 persen di antaranya adalah
anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan universitas dan umumnya penggunanya
berusia 15–20 tahun.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (2015) menegaskan bahwa saat ini Indonesia
sudah masuk darurat pornografi. Ini artinya jika Indonesia sudah darurat pornografi, maka
perilaku seks bebas sudah sangat membahayakan remaja Indonesia karena penelitian
menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap pornografi dengan perilaku
seks bebas(Rachmah dalamhttp://univ45sby.ac.id/jurnal/index.php/psikologi/article/view/8/6).
Problem terhadap bagaimana
berperilaku pada anak juga meningkat, dari
stress ujian, kesulitan belajar, kesulitan
fokus, gejala ADHD dan lain sebagainya.
Walaupun belum ada data mengenai gejala
stress and depresi pada anak di Indonesia,
namun kasus bunuh diri yang berkembang
pada anak dan remaja adalah gambaran mengenai berkembangnya persoalan psikologis pada
anak dan remaja di Indonesia. Page (2006) memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara
perilaku bunuh diri dan kesepian pada remaja.

Kesepian
Peplau dan Perlman dalam Byrne dan Baron ( 2005 ) mendefinisikan kesepian sebagai
suatu keinginan yang tidak terpenuhi untuk
membangun hubungan interpersonal yang akrab.
Menurut Sears dkk ( 1994 ) kesepian menunjuk
pada kegelisahan subyektif yang dirasakan pada
saat hubungan seseorang kehilangan ciri-ciri
pentingnya. Hilangnya ciri-ciri tersebut bersifat
kuantitatif yaitu tidak mempunyai teman atau
hanya mempunyai sedikit teman seperti yang
diinginkan. Kekurangan itu dapat bersifat
kualitatif yaitu seseorang mungkin merasa bahwa hubungan sosialnya dangkal atau kurang
memuaskan dibandingkan dengan apa yang diharapkan.
Kesepian tidak selalu sedang sendiri
Alone is not lonely. Alone berarti sendirian tapi lonely dapat diterjemahkan merasa sendiri atau
kesepian.Weiss (dalam Rotenberg, 1999) mendefinisikan
kesepian sebagai suatu kondisi emosional negatif dan orang
yang kesepian biasanya merasa sendirian walaupun berada
di tengah-tengah kerumunan ataupun keramaian. Dalam
Nurmina (2008) ada beberapa aspek kesepian, dengan :
- Indikator emosi, yaitu : kehadiran rasa sakit secara
emosional berupa rasa sedih dan bosan
- Indikator kognitif, yaitu : munculnya persepsi bahwa
hubungan sosialnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan
- Indikator interpersonal bahwa ia mengalami keterpisahan fisik dan psikologis dengan orang
lain.

Kesepian Pada Remaja


Masa remaja adalah masa yang sangat rentan terhadap kesepian ( Brennan dalam Baron &
Byrne, 2005 ; Myers, 1990 ). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Parlee dalam Sears ( 1994 )
memperlihatkan bahwa kesepian yang tertinggi terjadi di antara para remaja. Kesepian yang
terjadi pada remaja lebih disebabkan karena remaja tengah mengalami proses perkembangan
yang kompleks. Perkembangan yang meningkatkan perasaan terisolasi, kebutuhan akan
individu lain dan kecemasan terhadap masa depannya ( Brennan dalam Adi, 2000). Sullivan
dalam Santrock ( 2002 ) mengatakan bahwa jika remaja gagal untuk membentuk persahabatan
yang akrab, mereka akan mengalami perasaan kesepian diikuti dengan rasa harga diri yang
menurun. Remaja yang kesepian mempunyai sedikit teman karena merasa ditolak sehingga
memilih untuk tidak bergabung dengan teman-teman sebayanya (Fuhrmann, 1990).
Sependapat dengan hal ini, Zimbardo (dalam Fuhrmann,1990) mengatakan bahwa remaja yang
kesepian cenderung pemalu sehingga lebih suka sendiri dan ragu-ragu dalam menjalin
hubungan sosial. Goswick (dalam Fuhrmann, 1990) mengatakan bahwa kesepian pada remaja
berhubungan dengan adanya perasaan inferior yang dimiliki remaja dan tidak adanya
penerimaan sosial dan fasilitas sosial. Ia juga menambahkan bahwa,
sebenarnya kesepian merupakan hal yang wajar bagi remaja, hanya saja mereka seringkali
memperburuk keadaan tersebut dengan perasaan dan pikiran subyektif mereka yang negatif.
Kesepian berdampak terhadap kesehatan psikologis dan rasa tidak nyaman pada remaja
(Corsano, 2006, Cohen, dkk, 2005, Hardie, 2007). Perasaan bosan, sedih, malas & takut ditinggal
adalah contoh kesehatan psikologis remaja yang tergganggu.Jika ada anggapan lansia yang
sering merasa kesepian maka kita perlu melihat hasil penelitian yang berikut ini.Tingkat
kesepian paling tinggi ternyata ada pada masa remaja (Santrock, 2005 ; Rice, 2002). Ini
didukung pula penelitian yang dilakukan Parlee (dalam Sears, dkk) menyebutkan 79 % individu
yang berusia dibawah 18 tahun merasa kesepian, yang merasa kesepian usia 45 – 54 tahun
sebanyak 53% dan yang merasa kesepian diatas usia 55 tahun hanya 37 %.
Tingginya angka remaja kesepian ini dapat dijelaskan karena pada masa remaja,
seseorang memiliki kebutuhan tinggi untuk berhubungan dekat namun kurang memiliki
ketrampilan sosial yang cukup untuk membentuk hubungan sosial yang matang dan dapat
memenuhi kehidupannya (Nurmina, 2008). Dengan kata lain, jika kebutuhan untuk
berhubungan dekat sangat diperlukan namun remaja tidak mendapatkannya dari
lingkungannya atau remaja tersebut tidak mampu melakukan penyesuaian maka terjadilah
kesepian.

Remaja kesepian dan internet


Agar anak betah di rumah dan tidak merasa kesepian terkadang kita pun memfasilitasinya
dengan internet. Namun berhati-hatilah,
penelitian menyebutkan tingginya kesepian
emosional ditemukan pada individu yang
kecanduan internet (Hardie, 2007). Kesepian
emosional oleh Weiss (dalam Rotenberg, 1999)
digambarkan sebagai perasaan kehilangan
orang terdekat. Ini seperti yang terjadi pada
seseorang yang takut ditinggal oleh orangtuanya, ada perasaan cemas, kosong dan merasa
terasing. Terkait fasilitas internet kiranya perlu dilakukan pendampingan dan edukasi sehingga
anak juga dapat memilah mana content yang tepat untuknya. Games digital sekarang ini pun
sudah disusupi oleh pornografi. Mengusir kesepian pada anak dengan membiarkannya
bermain games terlalu lama dan mengandung unsur kekerasan pun akan membahayakannya.
Tidak hanya buruk untuk kesehatan fisiknya juga akibat terpapar games mengandung
kekerasan pun akan membuat anak permisif dengan kekerasan dan berperilaku agresif,
membuat anak menganggap memukul, menendang atau perilaku agresif lainnya adalah hal
yang biasa.

Orangtua berpeluang menimbulkan rasa kesepian pada anak


Atas nama profesioanalisme, mencari nafkah untuk anak, seringkali anak menjadi terabaikan.
Berangkat subuh pulang malam semua memang dilakukan untuk anak. Semua kebutuhan anak
dicukupi. Sekolah mahal, pengasuh di
rumah, fasilitas gadget dari jenis apapun
ada.Tapi pernahkah kita berpikir tentang
kebutuhan psikologisnya? Rasa kecewa
muncul jika yang diharapkan tidak sesuai
dengan kenyataan. Adakah kita ada
mendampinginya saat ia merasa sedih,
kecewa karena ia sedang perlu teman.
Ada kata sederhana untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak/remaja kita : being there.
Selalu ada ketika ia butuhkan, baik langsung ataupun tidak langsung, meskipun kita sangat
sibuk. Itu lebih penting dan membahagiakan para remaja itu. Tidak pula mengeluarkan kalimat
klasik : yang penting kualitas bukan kuantitas. Kualitas pun akan mudah dilupakan jika intensitas
kebersamaan dengan anak anak jarang sekali dilakukan.
Sebagai ayah/ibu/nenek/kakek/paman/ibu pernahkah kita berpikir, di waktu yang sama
kita sedang bekerja atau sedang melakukan kegiatan apapun, diwaktu yang sama pula
anak/remaja kita itu sedang merindukan kita. Ternyata di detik-detik itu ia sedang butuh orang
yang tidak hanya sekedar mendengar keluh kesahnya, sejenak menyediakan bahu kita untuknya
bersandar atau memeluknya karena ternyata ia sedang perlu menumpahkan airmatanya.
Jangan biarkan detik-detik ia sedang memerlukan kita dan ‘sedang merasa sendiri’ jadi berakhir
dengan tragis. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan dan being there with them.

Faktor Perceraian Orang Tua


Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak adalah faktor
ketidakutuhan keluarga meliputi perceraian dan kematian salah satu orangtua. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa remaja dibawah pengasuhan orangtua tunggal lebih banyak
mempunyai masalah psikososial dibanding remaja dengan orangtua lengkap. Studi yang
dilakukan oleh Wallerstein dan McLanahan menemukan bahwa remaja korban perceraian dan
single parent lebih rentan untuk melakukan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang,
bunuh diri, drop out dari sekolah, menjadi pengangguran, melakukan seks pranikah, dan
mengalami perceraian didalam kehidupan pernikahannya kelak (Khisbiyah, 1994). Mereka juga
sering merasa tidak bahagia dan kesepian, mempunyai ketidakstabilan emosi (Khisbiyah, 1994).
Longfellow dalam Sears (1985) mulai berusaha memahami berbagai pengaruh perceraian
terhadap anak. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa anak akibat perceraian bisa menjadi
lebih peka terhadap kesepian ketika mereka menginjak kedewasaan. Kesepian yang terjadi
pada remaja lebih disebabkan karena remaja tengah mengalami proses perkembangan yang
kompleks.
Perkembangan yang meningkatkan perasaan terisolasi, kebutuhan akan individu lain dan
kecemasan terhadap masa depannya (Brennan dalam Adi, 2000). Akibat remaja kehilangan
tempat berpegang untuk mencurahkan perasaannya, mereka sering merasa tidak bahagia dan
kesepian karena tidak adanya kepuasan dalam hal berkomunikasi dengan orangtuanya.
Hal yang diungkapkan diatas berkaitan dengan kualitas komunikasi pada remaja dengan
orangtua tunggal, dimana remaja yang komunikasinya dengan orangtua tunggal rendah atau
tidak berkualitas akan cenderung mengalami kesepian karena remaja menganggap bahwa
dirinya tidak dimengerti dan dipahami oleh orangtuanya dan merasa orangtua tidak
menyayangi mereka dan cenderung mengkompensasikannya melalui tindakan yang agresif,
frustasi dan kesepian (Istyarini, 2001).

Kesepian pada Remaja dan Kecenderungan Permasalahan yang ditimbulkan


Kesepian dan sifat anti sosial
Aplikasi dan perwujudan dari terasing adalah kesepian. Jika seseorang sudah merasa diasingkan
maka orang tersebut akan mengalami kesepian dalam diri dan lingkunga sehingga merasa sepia
tau kesepian. Jika hal ini terus dibiarkan maka orang tersebut akan kehilangan unsur dan
karakter unik dalam dirinya senhingga dia
pun sulit untuk mengenali dirinya.
Bila ini tidak segera diatasi akan
berdampak buruk pada diri remaja tersebut.
Sehingga para remaja ini memustuskan untuk
menyendiri dan tidak berinteraksi kepada
orang-orang yang ada di sekelilingnya yang
dalam jangka waktu kedepannya akan mengakibatkan para remaja ini menjadi ansos (anti
sosial). Contohnya adalah ketika seorang remaja yang dianggap mempunyai kelakuan atau sikap
yang aneh, otomatis ia akan dijauhi oleh teman-temannya, dan pada saat itulah remaja
tersebut merasa terasingkan dan membuatnya merasa kesepian sehingga akibatnya ia menjadi
ansos (anti sosial) karena ia merasa takut dengan dunia luar, rasa takut disini maksudnya adalah
takut bertemu orang-orang yang menjauhinya dan takut tidak bisa diterima oleh orang-orang.

Remaja Kesepian Dan Potensi Timbulnya Penyakit


Selain itu, dari sudut pandang psikologis, orang yang
kesepian cenderung melihat dunia sebagai tempat yang
mengancam dirinya. Akibatnya, mereka yang terisolasi secara
sosial kebanyakan menderita penyakit yang berujung pada
kematian, seperti kanker dan jantung. Cole menyarankan bagi
mereka yang merasa kesepian karena diting gal orang terkasih,
atau baru pindah ke tempat baru dan belum mengenal banyak orang, berilah tenggat untuk
mengusir rasa sepi itu maksimal selama enam bulan.
Supaya tidak dilanda rasa kesepian, selama periode itu bangunlah pergaulan dan
melihat dunia dari sisi positif. Menurut Profesor Dadang, seringkali rasa sepi diperparah oleh
pilihan pribadi alias bunuh diri. "Karena kesepian enggak tahu apa yang harus dilakukan dalam
hidup, lalu pilih mati saja," katanya. Menurut Hawari, fenomena semacam ini lazim terdapat di
kota-kota besar. "Bedanya, kalau di Barat mereka mayoritas pilih main Binggo, kalau di
Indonesia lebih cenderung mengisi kesepian dengan ibadah," katanya.

FAKTOR ORANG TUA TERHADAP TIMBULNYA KESEPIAN DALAM DIRI REMAJA

Tidak menjalin komunikasi yang harmonis dengan remaja


Komunikasi adalah alat penting dalam
berinteraksi dengan sesama manusia, termasuk
dengan buah hati kita. Namun sayangnya, tidak
sedikit orangtua yang tidak bisa menjalin komunikasi
yang baik dengan anak- anaknya. Karena alasan
sama-sama sibuk maka sulit berkomunikasi. Padahal
dengan komunikasi yang seh at antara orangtua dan
anak bisa memagari anak dari perilaku yang tidak baik. Ketika anak kita menginjak usia remaja,
banyak hal baru yang akan dialaminya. Sehingga mereka mudah galau dan memerlukan tempat
untuk curhat. Apa jadinya jika komunikasi remaja dengan orangtuanya tersumbat. Mereka akan
mencari tempat curhat yang lain. Kalau mereka menemukan sosok yang baik selain
orangtuanya tidak jadi masalah, tapi jika menemukan sosok yang tidak baik bisa fatal akibatnya.
Ada contoh kasus, seorang remaja yang merasa kesepian di rumah. Kemudian ia mencari obat
kesepian dengan nongkrong bersama teman-temannya. Kehadirannya disambut hangat oleh
seorang gembong narkoba. Anak itu mendapatkan apa yang dicarinya, persahabatan, tempat
curhat, dan perhatian yang semua itu tidak didapatnya di rumah. Singkat cerita, anak itu pun
menjadi pecandu narkoba dan sekaligus pengedar narkoba. Masa mudanya hancur karena
berawal dari masalah komunikasi.

Orangtua tidak berhasil membuang sampah dalam dirinya


Tekanan pekerjaan, beban hidup yang semakin berat, dan letih menyebabkan kita menyimpan
emosi yang siap meledak. Emosi itu adalah sampah dalam diri kita. Alangkah bahayanya jika kita
membawa sampah itu ketika berinteraksi dengan buah hati. Kita menjadi mudah terpancing
emosi dengan hal-hal sepele di hadapan anak kita. Bisa jadi anak-anak kita-lah tempat
membuang sampah dalam diri kita. Mereka menjadi luapan emosi kita.
Apa yang mereka rasakan jika terus menerus menjadi tempat sampah orangtuanya? Marah,
benci, merasa direndahkan, dendam, dan masih banyak lagi rasa yang bersemanyam dalam hati
anak-anak itu. Rasa-rasa itulah yang mengantarkan anak remaja kita menjadi sosok yang bengal
dan susah diatur.

Orangtua tidak berempati pada anak remajanya


Sekali lagi bahwa anak remaja kita akan mengalami banyak hal baru yang menyebabkan mereka
kebingungan dengan diri sendiri. Acapkali ora ngtua
tidak mau tahu dengan ketidak nyamanan anaknya.
Sehingga anak-anak itu mencari solusi sendiri
dengan resiko melangkah di luar rel kebenaran.
Orang tua juga haus akan prestasi anak. Banyak
orangtua yang merasa sangat bahagia ketika anak-
anaknya mendapat prestasi, terutama prestasi akademik, sehingga orangtua menekan anak-
anaknya untuk meraih prestasi gemilang. Anak-anak dipaksa untuk mengikuti berbagai les agar
meraih prestasi. Hidup di bawah tekanan sangatlah tidak nyaman. Begitu pun dengan anak
remaja kita. Jadilah mereka tidak nyaman dan kesepian, akhirnya mereka berlari dari tekanan
itu kepada hal-hal negatif misalnya narkoba, berselancar di internet, menikmati pornografi, dan
lain sebagainya.
*) Penulis adalah Widyaiswara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan kesejahteraan Sosial –
Kementerian Sosial RI
Daftar Pustaka

Adi, R. MC. 2000. Perbedaan Tingkat Kesepian pada Remaja di tinjau dari Status Pacaran. Skripsi
( tidak diterbitkan ). Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada

Baron, R.A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga ( Alih Bahasa : Ratna Djuwita ).

Cohen,S., Pressman, S.D., Miller, G.E., Barkin, A., Rabin, B.S., & Treanor, J.J. (2005). Loneliness,
network size, and immune response to influenza vaccination in college freshman.Health
Psychology, 24(3), 297-306

Corsano, P., Majorano, M., & Champretavy, L. (2006). Psychological well-being in adolescence :
the contribution of interpersonal relations and experience of being alone. Adolescence,
41: 341-352

Fuhrmann, B.S. 1990. Adolescence Adolescent ( Second Edition ). London : Brown Higher
Education Glenview

Hardie, E., (2007). Excessive internet use.The Role of Personality.Australian Journal of Emerging
Technologies and society, 5(1), 34-47.

Hawari, D. 1999. Al Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Dana Bhakti
Primayasa

Hurlock, E.B. (1991). Psikolgi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
(Terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Mongks, F. J. , Knoers, A. M. P. , & Haditono, S. R. (2000). Psikologi Perkembangan: Pengantar


dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurmina.(2008). Peran persahabatan dan harga diri terhadap kesepian pada remaja.Tesis (tidak
diterbitkan).Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Page, R.M. (2006).Hopelessness & loneliness among suicide attempters in school-based


samples of Taiwanese, Philipine & Thai adolescents.School Psychology International,
7.583-596.

Rice (2002)The adolescent : development, relationship and culture.Boston : Allen & Boscon.
Rotenberg, K.J. (1999). Loneliness n childhood and adolescence. Cambridge,UK : Cambridge
University Press

Santrock, (2005).Adolescence.Seventh edition. New York : Mc. Graw-Hill.


Sears, D.O., Freedman, J.L., & Peplau, L. A. (1985).Psikologi sosial (terjemahan).Jakarta :
Erlangga.

Rajab, B. 2005.Artikel sebuah Renungan Kemerdekaan; Sudah Pedulikah Kita? Sumber: Harian
Republika Jakarta. Minggu 14 Agustus 2005.

Santrock, J.W. 2002. Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga (Alih Bahasa :
Shinto B. Adelar).

Willis, S.S., 2004. Remaja dan Masalahnya.Bandung : CV. Alvabeta

http://health.detik.com/read/2014/12/30/170045/2790328/763/komnas-pa-2014-jumlah-
anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-naik-10-persendiunduh 18 Juni 2015

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/08/nkvsch-fahira-idris-144-juta-
remaja-pernah-konsumsi-miras, diunduh tanggal 18 Juni 2015

http://megapolitan.harianterbit.com/megapol/2014/09/13/8219/18/18/22-Persen-Pengguna-
Narkoba-Kalangan-Pelajardiunduh tanggal 18 Juni 2015

http://univ45sby.ac.id/jurnal/index.php/psikologi/article/view/8/6

Anda mungkin juga menyukai