Anda di halaman 1dari 10

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang tidak dapat

dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pernah menghadapi situasi

yang dapat menyebabkan kesepian. Orang tua atau muda, kaya atau miskin, laki-

laki atau perempuan, bahkan individu yang menikah atau tidak menikah dapat

mengalami kesepian, sehingga kesepian telah menjadi sebuah fenomena yang

universal. Masyarakat seringkali menganggap, bahwa kesepian banyak dialami

oleh individu pada kelompok usia lanjut; namun hasil survai nasional di Amerika

yang dilakukan oleh majalah Psychology Today (dalam Burns, 1988)

memperlihatkan, bahwa kelompok usia remaja dan dewasa awal adalah kelompok

usia yang paling berisiko mengalami kesepian.

Data yang diperoleh dari survai tersebut adalah sebagai berikut: angka

kesepian pada usia di bawah 18 tahun sebesar 79%, kelompok usia 18-24 tahun

menunjukkan angka 71%, usia 25-34 tahun menunjukkan angka sebesar 69%, usia

44-54 tahun sebesar 53%, dan kelompok usia di atas 54 tahun sebanyak 37%.

Hasil survai tersebut menginformasikan bahwa periode dewasa awal termasuk

usia yang rentan mengalami kesepian. Hal ini didukung pendapat dari Peplau dan

Perlman (dalam Sears, dkk., 2009) yang juga menyatakan bahwa kesepian yang

tertinggi terjadi di antara remaja dan pemuda, dan yang terendah terjadi di antara

orang yang lebih tua.

commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

Di Indonesia juga terdapat beberapa penelitian mengenai kesepian pada

dewasa awal, antara lain seperti penelitian Susilowati (2009) yang meneliti

mengenai hubungan kompetensi interpersonal dengan kesepian pada dewasa awal.

Pratama (2009) meneliti tentang faktor kesepian yang dialami anak tunggal pada

usia dewasa muda. Selain itu Melani (2009) juga meneliti mengenai kesepian

yang dikaitkan dengan kepribadian introvert pada mahasiswa pondokan yang

tidak memiliki pacar. Subjek dalam penelitian itu adalah mahasiswa yang

tergolong dewasa awal karena berusia 22 24 tahun.

Dewasa awal rentan terhadap kesepian disebabkan pada masa dewasa

awal individu dihadapkan dengan sejumlah besar transisi sosial, seperti

meninggalkan rumah, hidup mandiri, memasuki perguruan tinggi, atau menerima

pekerjaan untuk pertama kali (Sears, dkk., 2009). Hurlock (1980) menyatakan

bahwa pada usia dewasa awal, individu memiliki mobilitas yang cukup tinggi,

terutama bagi individu yang mulai memasuki dunia bekerja.

Saat ini dunia bekerja sudah bukan lagi menjadi milik pria. Kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta gerakan emansipasi wanita telah melahirkan

perubahan peran wanita. Wanita sudah mempunyai hak dan kewajiban serta

kesempatan yang setara dengan pria untuk berpartisipasi dalam segala bidang

pembangunan, seperti terlihat jelas pada terjadinya peningkatan dramatis jumlah

wanita yang masuk pada angkatan kerja (Waskito & Irmawati, 2007). Data dari

BPS (2012) mendukung pernyataan bahwa partisipasi wanita dalam lapangan

kerja meningkat signifikan. Desember 2010, jumlah pekerja wanita di Indonesia

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

sebanyak 2.137.817 orang. Desember 2011, jumlah pekerja wanita 2.167.640

orang. Selama rentang satu tahun jumlah pekerja wanita bertambah 29.823 orang.

Menurut Munandar (2001) wanita yang berkerja untuk mengembangkan

karier disebut sebagai wanita karier. Wanita karier juga dapat didefinisikan

sebagai wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi, seperti kegiatan usaha

atau perkantoran (Subhan, 2004). Jumlah wanita yang berambisi untuk

mengembangkan karier semakin bertambah, bahkan banyak di antara wanita

karier yang memutuskan untuk tinggal dan bekerja di luar kota. Kurangnya

kesempatan kerja di daerah asal dan terbukanya peluang kerja di kota lain

mendorong wanita pergi merantau atau melakukan mobilitas. Pernyataan ini

didukung oleh pendapat Sunarto (2004) yang mengungkapkan salah satu faktor

yang mempengaruhi seseorang untuk merantau adalah banyaknya kesempatan

kerja dan penghasilan yang lebih tinggi daripada di daerah asal.

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi pekerjaan disebut

dengan mobilitas geografis (Hurlock, 1980). Mobilitas ini mengakibatkan wanita

karier tinggal jauh dari keluarga dan kerabat yang dikenal. Tantangan yang

terbesar bagi individu yang melakukan mobilitas bukan mengenai perbedaan-

perbedaan dalam aturan-aturan, tingkah laku atau gaya hidup, tetapi lebih pada

bahaya hilangnya kontak dengan orang-orang yang dicintai (James & Kenny,

1988). Menurut Lake (1986), kehilangan kontak tersebut merupakan salah satu

pemicu munculnya kesepian. Tidak jauh berbeda dengan Lake, Hulme (1988)

juga berpendapat bahwa kesepian bersumber pada keterpisahan seseorang dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

orang lain. Uraian tersebut menunjukkan bahwa wanita karier usia dewasa awal

yang pergi merantau rentan mengalami kesepian.

Kesepian berkaitan dengan timbulnya berbagai masalah. Kesepian erat

hubungannya dengan depresi dan kecemasan, makan dan pola tidur yang kacau,

menderita sakit kepala, dan muntah-muntah (Peplau dan Perlman dalam Lestari

dan Fakhrurrozi, 2008). Mereka yang tidak mempunyai cukup keterampilan sosial

(kurang dapat bergaul) biasanya melarikan diri ke khayalan sendiri (menjadi

pelamun) atau menjadi peminum alkohol atau penyalahgunaan obat (Reverson

dalam Sarwono, 1999). Individu yang kesepian juga cenderung mudah terserang

penyakit (Lynch dalam Lestari dan Fakhrurrozi, 2008). Makin banyak orang muda

menenggelamkan rasa sepi dalam obat bius dan narkotika. Tidak jarang pula

menggunakan hubungan seks sebagai kompensasi, sehingga memicu terjadinya

hubungan seks bebas (Hulme, 1988). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Sekarsari dan Mashoedi (2009) kesepian dapat menyebabkan para wanita

dewasa muda cenderung mengalami parasosial yang dapat menyebabkan para

wanita mengalami pseudo friendship (hubungan pertemanan yang semu). Uraian

tersebut menunjukkan bahwa kesepian perlu mendapat perhatian dan perlu

dilakukan usaha-usaha untuk mengatasinya, sehingga dapat membantu wanita

karier perantau usia dewasa awal terhindar dari kesepian dan dampak-dampak

negatif yang muncul karena kesepian.

Peneliti melakukan survai prapenelitian pada 31 Oktober 2012 dengan

membagi skala kesepian kepada 10 wanita karier berusia 22 tahun hingga 37

tahun yang merantau di Surakarta. Skala kesepian yang peneliti kutip dari Burns

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

(1988) menggambarkan tingkat kesepian yang dialami individu mulai dari sama

sekali tidak kesepian dengan rentang skor 0 - 4, sedikit kesepian dengan rentang

skor 5 - 9, cukup kesepian dengan rentang skor 10 - 14, hingga sangat kesepian

Tabel 1
Skor Kesepian Survai Prapenelitian
Tingkat Kesepian
Sama Sedikit Cukup Sangat
No. Usia Skor Skala Sekali (5 9) (10 14)
Tidak
(0 4)
1 24 th 17
2 26 th 14
3 25 th 13
4 26 th 14
5 22 th 14
6 25 th 13
7 24 th 12
8 22 th 14
9 23 th 16
10 37 th 19

Tujuh dari sepuluh skala prapenelitian menunjukkan bahwa individu

berada pada tingkat cukup kesepian, adapun tiga skala yang lain menunjukkan

individu pada tingkat sangat kesepian. Selanjutnya peneliti mewawancarai

kesepuluh wanita karier tersebut untuk menanyakan lebih lanjut mengenai

kesepian yang mereka alami. Sembilan dari kesepuluh wanita karier memaparkan

bahwa mereka sering merasa kesepian saat mereka tidak dapat pulang di akhir

pekan atau saat liburan. Mereka cenderung membayangkan suasana di rumah

yang membuat individu rindu untuk pulang. Akibatnya individu mulai merasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

sendiri dan muncullah kesepian. Selain itu, empat dari sepuluh wanita karier

menyatakan saat mereka memiliki beban kerja yang berat atau merasa kesulitan

dengan tuntutan pekerjaan, individu sering merasa perlu mendapat dukungan

berupa kehadiran orang-orang terdekat, baik keluarga, teman, ataupun pacar.

Namun, pada kenyataannya mereka berada di kota yang berbeda dengan orang-

orang terdekat tersebut. Akhirnya individu mulai tidak dapat mengendalikan

emosi, mulai melebih-lebihkan keadaan, dan merasa kesepian. Hasil wawancara

tersebut menunjukkan bahwa individu memerlukan kemampuan yang dapat

membantu menempatkan emosi pada porsi yang tepat dan mengatur suasana hati.

Kemampuan tersebut dikenal dengan istilah kecerdasan emosi (Goleman, 2007).

Menurut Baron (dalam Goleman, 2007) kecerdasan emosi adalah

serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi seseorang

untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Definisi

tersebut menerangkan bahwa apabila seorang individu mempunyai kecerdasan

emosi maka individu tersebut akan mampu mengenali emosi yang ada dalam

dirinya, kemudian mengelola secara baik emosi yang ada di dalam dirinya agar

menjadi sumber energi emosi positif yang dapat dimanfaatkan untuk menangani

perasaannya atau melawan perasaan yang tidak menyenangkan, serta mampu

memotivasi diri sendiri, mampu mengenali emosi orang lain dan mampu membina

hubungan dengan orang lain.

Menurut Suparno dkk., (2002) individu yang memiliki kecerdasan emosi

yang baik akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena

individu tersebut akan mempunyai kesadaran emosi, mampu menumbuhkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak melakukan aktivitas dengan baik

dan ingin mencapai tujuan yang diiginkan, dapat mengungkapkan perasaan secara

baik dan kontrol diri yang kuat. Selain itu, dijelaskan pula bahwa individu yang

memiliki kecerdasan emosi adalah individu yang banyak disenangi oleh individu

lain karena pandai bergaul dan memahami perasaan individu lain yang dijumpai.

Berdasarkan penjelasan di atas, wanita karier perantau apabila memiliki

kecerdasan emosi yang baik diharapkan akan mempunyai kesadaran akan

emosinya, mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak

melakukan aktivitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya,

dapat mengungkapkan perasaan secara baik dan kontrol diri yang sangat kuat.

Kecerdasan emosi juga dapat membantu individu memiliki kualitas hubungan

interpersonal yang baik dengan individu lain karena dapat bergaul dan memahami

perasaan individu lain. Kualitas hubungan interpersonal yang baik tersebut

menghindarkan wanita karier perantau dari kesepian.

Selain mengembangkan kecerdasan emosi, kemampuan penyesuaian diri

juga perlu dikembangkan. Hasil dari wawancara menunjukkan, bahwa enam dari

sepuluh wanita karier mengaku saat pertama kali merantau ke Surakarta mereka

cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar, karena mereka masih menaruh

rasa curiga atau was-was dengan orang-orang baru yang mereka temui sehingga

belum dapat menjalin pertemanan. Tiga dari sepuluh wanita karier tersebut

mengaku baru pertama kali tinggal jauh dari keluarga, sedangkan tujuh yang lain

sudah pernah merantau saat mereka duduk di bangku kuliah. Tiga wanita karier

ini memaparkan, bahwa mereka memerlukan waktu untuk bisa menyesuaikan diri

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

dengan kehidupan baru mereka. Tinggal sendiri di kota yang baru serta segala

sesuatu harus dilakukan sendiri. Hal- hal seperti ini membuat mereka merasa sepi

dan rindu untuk pulang ke rumah.

Kemampuan penyesuaian diri sangat dibutuhkan, sebab para wanita

karier yang merantau akan dihadapkan dengan pola-pola kehidupan baru yang

berbeda dengan pola-pola kehidupan di tempat mereka berasal, sehingga mereka

harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru sekaligus dengan tuntutan-

tuntutan pekerjaan. Schneiders (1964) mengemukakan, bahwa penyesuaian diri

adalah proses kecakapan mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang

untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri

sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Individu menyesuaikan diri

dengan cara yang dapat diterima oleh lingkunganya. Penyesuaian ditentukan oleh

bagaimana seseorang dapat bergaul dengan orang lain secara baik. Tanggapan-

tanggapan terhadap orang lain atau lingkungan sosial pada umumnya dapat

dipandang sebagai cermin apakah seseorang dapat mengadakan penyesuaian

dengan baik atau tidak.

Semiun (2006) menyatakan, bahwa penyesuaian diri yang baik

mengandung suatu tingkat kemampuan untuk menghasilkan tingkahlaku yang

efisien untuk dapat mengatasi konflik-konflik, kesulitan-kesulitan, dan frustrasi-

frustrasi. Seorang wanita karier yang memiliki kemampuan penyesuaian diri yang

baik akan mampu menguasai diri sendiri dan lingkungan. Menguasai diri berarti

dapat mengendalikan dorongan-dorongan, emosi-emosi, dan kebiasaan-kebiasaan.

Sedangkan menguasai lingkungan yaitu mampu untuk menangani kenyataan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

secara sehat dan adekuat. Penyesuaian diri yang baik membantu mencapai

berbagai derajat kedekatan dalam hubungan sosialnya, sebab individu mampu dan

nyaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Uraian tersebut menunjukkan

bahwa penyesuaian diri dapat menolong wanita karier perantau terhindar dari

kesepian serta dampak-dampak negatif dari kesepian.

Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta, sebab Jakarta adalah kota besar

yang menjadi pilihan bagi masyarakat di Indonesia, termasuk masyarakat di Eks-

Karesidenan Surakarta untuk mengadu nasib. Berdasarkan latar belakang masalah

antara Kecerdasan Emosi dan Penyesuaian Diri dengan Kesepian pada Wanita

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri

dengan kesepian pada wanita karier perantau usia dewasa awal di Jakarta?

2. Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan kesepian pada

wanita karier perantau usia dewasa awal di Jakarta?

3. Apakah terdapat hubungan antara penyesuaian diri dengan kesepian pada

wanita karier perantau usia dewasa awal di Jakarta?

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri

dengan kesepian pada wanita karier perantau usia dewasa awal di Jakarta.

2. Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan kesepian pada

wanita karier perantau usia dewasa awal di Jakarta.

3. Mengetahui hubungan antara penyesuaian diri dengan kesepian pada

wanita karier perantau usia dewasa awa di Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris

tentang hubungan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri dengan

kesepian pada wanita karier perantau usia dewasa awal.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi wanita karier perantau

Penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk mengatasi kesepian,

sehingga para wanita karier perantau dapat lebih berhasil dalam

pekerjaan dan terhindar dari dampak negatif kesepian.

b. Bagi peneliti lain

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian

atau referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian

sejenis.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai